Ceritasilat Novel Online

Rondo Kuning Membalas 1

Rondo Kuning Membalas Dendam Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


Rondo Kuning Membalas Dendam (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 01 Dibawah pemerintahan Sultan Agung yang arif dan bijaksana, Mataram mengalami masa jaya dan makmur. Sesuai dengan namanya, Sri Sultan memang memiliki sifat-sifat dan kepribadian yang luhur dan agung. Tidak saja beliau sakti mandraguna dan terkenal dan terkenal digdaya, juga dalam ilmu-ilmu filsafat, kesusteraan dan kesenian, Sultan Agung adalah seorang ahli yang mengagumkan. Kitab filsafat "Sastra Gending" yang hingga kini dikagumi orang adalah hasil karya beliau.
Kalau pimpinan pusat berada dalam tangan seorang yang adil bijaksana tak dapat tidak para petugas lain tentu akan tunduk, terpengaruh oleh sifat-sifat baik dan menjalankan pekerjaan dan tugasnya dengan baik pula. Tiada bedanya dengan ranting-ranting dan cabang serta daun-daun sebatang pohon yang subur tentu merupakan ranting, cabang dan daun yang subur pula sehingga keseluruhan Mataram merupakan sebatang pohon Waringin yang besar, megah dan subur dapat mengayomi dan menjadi pelindung serta tempat berteduh para rakyat kecil. Betapapun juga, tepat sebagaimana yang telah menjadi sebutan orang bahwa tak ada gading yang tak retak atau tak ada kebaikan yang sempurna melainkan sifat Tuhan Yang Maha Sempurna,
Diantara para petugas yang menjalankan tugas pemerintah di bawah pimpinan Sultan Agung, banyak pula terdapat orang-orang yang kurang baik wataknya. Namun, oleh karena pengaruh kebajikan yang bercahaya keluar dari dalam Istana Sultan Agung, watak dan sifat dari mereka ini terkekang dan apabila Sri Sultan berada di kota raja, mereka tidak berani memperlihatkan sifat-sifat mereka yang kurang jujur. Sultan Agung takkan terkenal sebagai seorang raja besar apabila beliau hanya pandai memerintah saja dan tidak mau perduli akan keadaan rakyatnya. Akan tetapi beliau mempunyai hati penuh sifat welas-asih dan terhadap rakyat kecil beliau sangat menaruh perhatian dan cinta Kasih seperti terhadap keluarga sendiri. Tidak jarang Sri Sultan Agung melakukan perjalanan ke dusun-dusun dan gunung-gunung dengan menyamar seperti seorang rakyat biasa.
Untuk melakukan peninjauan dan untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri keadaan dan kehidupan rakyat. Oleh karena daerah Mataram amat luasnya, maka seringkali terjadi bahwa Sultan Agung yang menjalankan peninjauan dan hanya diikuti oleh beberapa orang abdi pelayan ini sampai berpekan-pekan meninggalkan Istana. Dan pada saat-saat Sri Sultan tidak berada di kota raja inilah para pembesar dan petugas yang jahat berani muncul mengumbar nafsu sesatnya. Memang, tikus-tikus baru berani keluar berlagak apabila sang kucing tidak berada kesitu. Cerita inipun dimulai dengan peristiwa yang timbul dari pengumbaran nafsu jahat dari seorang pembesar yang nyeleweng dan yang terjadi pada waktu Sri Sultan pergi meninjau ke daerah luar hingga beliau tidak tahu akan peristiwa itu.
Di dusun Waru yang terletak di sebelah timur Ibukota Mataram yang menjadi kepala seorang bernama Galiga Jaya yang berpangkat Penewu, yaitu seorang pembesar yang pada waktu perang mengepalai seribu orang perajurit, oleh karena itu disebut Penewu (sewu = seribu). Penewu Galiga Jaya ini adalah seorang sakti dan mempunya pengaruh besar dan ditakuti, terutama disekitar daerah yang dikuasai, oleh karena selain kuat dan sakti, ia mempunyai watak yang keras dan mudah sekali marah. Juga ia terkenal sebagai seorang perusak pagar ayu, pengganggu anak-bini orang kampung, hingga diam-diam banyak orang membencinya" Usianya belum empat puluh, bercambang-bauk dengan kumis yang dipelintir ke atas seperti kumis Sang Gatutkaca, sepasang matanya besar dan hitam berpengaruh, kulit mukanya hitam dan tubuhnya tinggi besar.
Biarpun Penewu Galiga Jaya belum berusia empat puluh tahun dan kedudukannya hanya seorang Penewu, akan tetapi dalam soal beristeri, ia tak mau kalah oleh Sri Sultan sendiri!. Istrinya banyak sekali, memenuhi gedungnya yang besar dan agaknya ia masih belum puas dan masih banyak wanita yang menjadi selirnya di luar gedung. Dan inipun agaknya masih belum memuaskan hatinya, karena ia masih berkeliaran tak tenang, mencari-cari korban baru dan menggangu anak bini orang di dusun-dusun sekitar Waru. Di antara selir-selirnya yang tidak tinggal di dalam gedungnya, terdapat seorang wanita yang tinggal di dusun Pakem. Wanita ini tidak muda lagi, usianya telah tiga puluh tahun lebih, akan tetapi kecantikannya tidak kalah oleh remaja puteri yang manapun juga.
Dia ini adalah Rondo Kuning, seorang janda yang ditinggal mati suaminya beberapa tahun yang lalu dan Sebagaimana dapat diduga dari nama sebutannya, ia memang berkulit kuning dan halus bersih yang membuatnya Nampak jauh lebih muda daripada usia sebenarnya. Rondo kuning ini mempunya tiga orang anak perempuan dari suaminya yang dulu dan ketiga orang anak perempuan ini kini telah remaja puteri. Yang pertama bernama Kencanawati, berusia tujuh belas tahun, cantik jelita menarik hati. Yang kedua bernama Sariwati, berusia enam belas tahun, ayu kuning dan lemah lembut seperti Ibunya dan yang ketiga bernama Bandini, berusia empat belas tahun, agak kehitam-hitaman akan tetapi hitam-hitam manis dan mempunyai sifat jenaka, kenes dan kewat menggemaskan hati dan menggoncangkan iman pria!
Selain ketiga puterinya ini, dalam pernikahannya denga Penewu Galiga Jaya yang menjadi suaminya karena memaksa hingga untuk melindungi keselamatan ketiga orang puterinya, Rondo Kuning terpaksa menurut, janda cantik ini memperoleh seorang putera lagi yang baru berusia satu tahun. Betapapun hatinya tidak mempunyai rasa kasih sedikit juga kepada suami paksaan ini, namun melihat puteranya yang sehat dan mungil, Rondo Kuning merasa sayang sekali. Hal ini tidak mengherankan oleh karena Rondo Kuning tidak mempunyai anak laki-laki dan sebagaimana biasanya, seorang wanita yang telah lama tidak mempunyai anak, lalu memperoleh anak lagi, maka sayangnya terhadap anak yang baru itu amat besar. Juga ketiga orang puterinya yang telah remaja puteri itu amat cinta kepada Bondan, putera Ibu mereka yang lahir dari Penewu Galiga Jaya, Ayah tiri mereka.
Akan tetapi, semenjak lahirnya putera yang diberi nama Bondan itu, sikap Penewu Galiga Jaya yang tadinya amat mencinta Rondo Kuning, mulai berubah. Mulai saat itu apabila Penewu Galiga Jaya datang berkunjung ke rumah Rondo Kuning, perhatiannya beralih kepada ketiga puteri tirinya! Terutama sekali kepada Kencanawati yang laksana kembang sedang mekarnya dan menyiarkan keharuman yang membuat nafsu di dalam hati Galiga Jaya terbangun, Ayah tiri ini seringkali memperlihatkan sikap yang mengandung gejala kurang bersih. Hal ini diketahui baik oleh Rondo Kuning hingga Ibu ini merasa khawatir sekali. Seringkali Penewu Galiga Jaya menyindirkan kepada Rondo Kuning bahwa Kencanawati yang cantik jelita itu patut menjadi isteri atau selir orang berpangkat, karena sungguhpun hanya seorang perawan desa, namun kecantikannya tidak kalah oleh puteri-puteri kota raja.
Seorang wanita memiliki perasaan halus dan pandai sekali menangkap maksud hati pria, terutama apabila wanita itu telah menjadi isteri orang maka tentu saja ia dapat mengetahui segala gerak-gerik suaminya dan tahu betul apa yang sedang menggelora di dalam dada suami itu. Oleh karena ini, maka Rondo Kuning dalam kekhawatirannya, lalu mencarikan jodoh untuk Kencanawati yang sudah cukup dewasa untuk menjadi isteri orang. Akhirnya pilihannya terjatuh pada diri seorang pemuda dusun Pakem yang bernama Sutadi, seorang pemuda tani yang baik budi, sopan santun dan rajin bekerja. Ketika Penewu Galiga Jaya mendengar usul Rondo Kuning yang hendak menjodohkan Kencanawati dengan pemuda itu, ia menjadi marah sekali dan melarang keras.
"Apa katamu" Si Kencana hendak dijodohkan dengan bujang dusun itu" Ah, tidak, tidak boleh! Betapapun juga, Kencanawati adalah anakku, anak Penewu Galiga Jaya! Tidak patut ia menjadi isteri seorang petani busuk dan miskin! Aku tidak rela memberikan. Kencanawati harus menjadi isteri atau setidak-tidaknya selir seorang yang berkedudukan tinggi!"
"Kanda Galiga Jaya, mengapa kau berkata demikian" Hendaknya kau ingat bahwa Kencanawati adalah anakku dan Ayahnya dulupun hanya seorang petani biasa. Aku lebih berhak untuk menentukan nasib anak itu sedangkan hak dan kewajibanmu hanyalah memberi doa restu saja" Merah muka Penewu Galiga Jaya mendengar alasan dan sangkalan ini.
"Apa" Bukankah kau isteriku" Dan karena kau isteriku, maka anak-anakmu juga anakku pula! Akulah yang berhak menentukan dan memilihkan suami anak-anak itu!"
"Kanda! Kau berhak atas diri anak kita Bondan ini, akan tetapi ketiga orang gadis itu adalah anakku dan akulah orangnya yang berhak sepenuhnya untuk mengatur dan menentukan nasib mereka! Kencanawati telah dewasa, kalau kita menanti datangnya pinangan dari orang besar, sampai bilakah dia akan memasuki pintu penikahan" Apakah kanda ingin melihat Kencanawati menjadi perawan tua?" sambil berkata demikian, Rondo Kuning mulai menangis, akan tetapi tangisnya segera berhenti ketika Bondan yang melihat Ibunya menangis, lalu menjerit-jerit hingga Ibunya harus menimang-nimangnya. Dengan hati sebal dan marah, Penewu Galiga Jaya menyambar ikat kepala dan tongkatnya, mengenakan ikat kepala dengan gerakan marah, lalu mengayun tongkat hendak meninggalkan rumah itu. Akan tetapi, sesampainya di pintu ia berhenti, menengok dan berkata,
"Kalau dia sudah kau anggap terlalu besar, boleh dinikahkan. Akan tetapi tidak boleh dengan seorang pemuda tani kampungan, daripada menjadi isteri orang miskin dan kotor, lebih baik dia menjadi isteriku sendiri!" Pucatlah muka Rondo Kuning mendengar ini. Biarpun ia sudah lama dapat menduga akan kandungan hati suaminya ini, namun ia terkejut juga mendengar kehendak ini dikeluarkan dari mulut.
"Kanda Galiga Jaya! Omongan sesat apakah yang kanda ucapkan itu tadi" Kencanawati adalah anakmu sendiri!" Tiba-tiba Penewu itu tersenyum menyeringai dan matanya yang lebar hitam memandang tajam.
"Tidak ingatkah kau akan kata-katamu tadi bahwa dia itu adalah anak suamimu" Dia tidak mempunyai hubungan darah daging dengan aku, maka apa salahnya kalau dia menjadi selirku?"
"Kanda Penewu!" Rondo kuning menjerit, akan tetapi Penewu Galiga Jaya telah melangkah pergi sambil memutar-mutar tongkatnya. Rondo Kuning merasa betapa seluruh tubuhnya mejadi lemas dan lemah-lunglai. Ia jatuh terduduk di atas kursi dan Bondon yang mulai menangis menjerit-jerit lagi kini tak dihiraukan. Wanita itu duduk memandang ke depan dengan mata tak bersinar dan wajah pucat bagaikan mayat. Bibirnya menggigil dan terdengar bisikan-bisikan Perlahan-lahan,
"Ya Allah... Apa yang harus kulakukan?" Pada saat itu, Kencanawati, Sariwati, dan Bandini sedang berada di belakang. Telah beberapa lama ketiga gadis itu selalu menjauhkan diri apabila Penewu Galiga Jaya datang mengunjungi Ibu mereka. Ketiga dara muda ini memang merasa benci kepada Penewu Galiga Jaya yang kasar. Terutama Kencanawati, dara ini merasa betapa pandang mata Ayah tirinya itu berkilat dan menakutkan apabila sepasang mata yang lebar dan hitam itu ditujukan kepadanya. Pandang mata Ayah tirinya itu membuat ia merasa seakan-akan ia sedang berdiri telanjang bulat di depan Ayahnya.
Oleh karena itu setiap kali mendengar akan kedatangan Ayah tirinya, ia segera cepat-cepat meninggalkan rumah dan mengajak kedua orang adiknya. Ketika mendengar tangis dan jerit Bondan yang mereka kasihi, ketiga dara itu merasa tidak tega dan juga hran. Biasanya Bondan jarang menangis sampai sekeras dan selama itu, seakan-akan tidak dihiraukan oleh Ibunya. Maka ketiganya lalu berlari pulang dan alangkah kaget mereka melihat betapa Bondan menangis dalam gendongan Ibunya yang duduk bengong tak bergerak bagaikan sebuah patung. Kencanawati lalu cepat mengambil Bondan dari pangkuan Ibunya dan sebentar saja setelah gadis ini menimang-nimangnya dan menepuk-nepuknya, anak itu lalu tertawa-tawa riang. Sementara itu, Sariwati dan Bandini segera memeluk Ibu mereka.
"Ibu, mengapa si Bondan menangis saja?" tanya Sariwati sambil menatap wajah Ibunya yang pucat.
"Apakah Bondan nakal dan membuat Ibu berduka dan marah?" tanya Bandini sambil membelai-belai lengan Ibunya. Tiba-tiba Rondo Kuning memeluk kedua anaknya itu dan menangis terisak-isak. Sariwati dan Bandini terkejut, akan tetapi mereka ini hanya ikut menangis sambil bertanya,
"Ibu... ada apakah, Ibu?" Rondo Kuning tak dapat menjawab, hanya menangis tersedu-sedu sambil menyebut-nyebut nama Kencanawati. Kencanawati yang lebih dapat melihat keadaan daripada kedua orang adiknya, lalu memberikan Bondan kepada Sariwati dan menyuruh kedua kedua orang adiknya itu membawa Bondan kebelakang. Sariwati dan Bandini menurut perintah kakaknya walaupun mereka tak tega meninggalkan Ibu mereka yang masih menangis. Setelah kedua adiknya itu pergi, Kencanawati lalu duduk berlutut di depan Ibunya sambil memegang tangan orang tua itu dengan halus, lalu bertanya,
"Bunda sayang, hal apakah yang mendukakan hatimu?" Rondo Kuning memeluk dan mendekap kepala puterinya ke dada sambil mengeluh perlahan,
"Kencana... apakah yang harus kita lakukan?" Kencanawati bangun dengan sikap tenang, memang dara ini memiliki ketenangan dan ketabahan hati yang mengagumkan,
"Ceritakanlah Ibu, dan biarlah anakmu ikut memikirkan persoalan yang mengganggu pikiranmu."
"Kencanawati, benar-benarkah kau sudah cocok dan setuju apabila menjadi isteri Sutadi, biarpun ia hanya seorang pemuda tani yang bodoh dan miskin?" Wajah Kencanawati yang cantik itu memerah, akan tetapi dengan masih tenang serta penuh kesadaran ia menjawab,
"Ibu, bukankah aku telah menjawabnya pada beberapa hari yang lalu ketika Ibu bertanya tentang hal ini" Aku hanya menurut dan taat kepada kehendak Ibu, karena aku yakin bahwa pilihan Ibu tentu telah dipertimbangkan semasak-masaknya. Aku percaya bahwa Ibu takkan salah pilih."
"Kau takkan menyesal walaupun calon suamimu itu melarat dan hanya pandai mencangkul tanah?"
"Kemiskinan bukan merupakan penghalang kebahagian dan kekayaan bukan merupakan tangga kebahagiaan. Bukankah ini ucapan Ibu sendiri yang dulu sering diajarkan kepadaku dan adik-adikku?"
"Biarpun kepandaian Sutadi hanya mencangkul tanah?"
"Ibu, bertani adalah pekerjaan yang semulia mulianya pekerjaan, mengandung tugas bakti kepada Tuhan Yang Maha Murah." Rondo Kuning menarik napas panjang.
"Aku tahu bahwa kau akan berbahagia apabila kau menjadi kawan hidup pemuda itu nak. Akan tetapi... Ayahmu..." Tiba-tiba hati Kencanawati berdebar cemas.
"Rama Penewu" Ada hubungan apakah dia dengan urusan kita ini, Ibu?"
"Dia... dia tidak setuju, bahkan melarang keras!" Kencanawati terkejut. Sungguhpun hal ini tidak mengherankannya.
"Apa... Apa kehendaknya, maka ia melarang perjodohan saya, Ibu?" tanyanya dengan hati tiba-tiba merasa tidak enak sekali.
"Dia...dia" berkata bahwa daripada kau kawin dengan seorang petani miskin lebih baik dia mengambilmu sebagai selirnya sendiri."
"Jahanam keparat!!" Tiba-tiba kedua mata Kencanawati yang bagus itu memancarkan cahaya merah.
"Ibu, lebih baik anak mati daripada menjadi selirnya!" Sambil berkata demikian, gadis yang berhati tabah dan keras itu berlari memasuki kamarnya.
"Kencana...!" Rondo Kuning berteriak dan lari mengejar ke dalam bilik anaknya itu. Ia melihat betapa Kencanawati mengambil sebuah pisau belati dan siap hendak menanamkan pisau itu ke dalam dada ke dalam dada kirinya. Bondo Kuning cepat menubruk dan merampas pisau itu.
"Kencana, gilakah kau?" serunya mencela. "Pantaskah anakku berlaku senekat dan berpikiran sependek ini" Kita harus mencari jalan yang baik, tidak berputus asa dan membunuh diri! Ini bukanlah jalan yang sempurna, anakku." Kencanawati memeluk Ibunya dan barulah ia menangis.
"Ampun, Ibu..." Setelah Ibu dan anak itu bertangisan dengan hati duka, Rondo Kuning lalu menghibur anaknya dan berkata,
"Jangan kau kira bahwa akupun rela memberikan kau menjadi selir si durhaka itu. Akan tetapi, apa daya kita wanita-wanita lemah terhadap Galiga Jaya yang berpengaruh dan berkuasa" Jalan satu-satunya ialah melarikan diri, nak. Kau harus lari sebelum terlambat dan aku hendak memberi tahu kepada Sutadi agar kalian bisa lari bersama."
"Dan meninggalkan Ibu serta adik-adikku?" kata Kencanawati dengan air mata mengalir turun membasahi pipinya yang pucat.
"Tidak apa, anakku. Demi keselamatanmu, kau dan calon suamimu harus lari dan pergi jauh-jauh dari tempat berbahaya ini. Kelak masih banyak waktu bagi kita untuk saling bertemu kembali."
Tanpa dapat membantah lagi, Kencanawati lalu mengumpulkan pakaian dan bersiap-siap, sedang Rondo Kuning lalu memanggil Bandini dan menyuruh anak ini segera pergi mencari Sutadi yang masih bekerja di sawah dan memanggil pemuda itu agar cepat datang ke rumah Rondo Kuning. Alangkah marahnya Sutadi ketika mendengar penuturan Rondo Kuning tentang maksud jahat Penewu Galiga Jaya. Akan tetapi sebagai seorang pemuda biasa, dia juga tidak berdaya melawan dan tidak berani menentang Penewu itu secara berterang, maka ia lalu tunduk terhadap rencana Rondo Kuning. Ketika melihat tunangannya yang cantik itu keluar sambil menangis dan membawa buntalan pakaian, hati Sutadi terharu sekali. Ia lalu mengangkat dada dan berkata kepada Rondo Kuning,
"Ibu, percayalah kepada saya. Saya akan membawa pergi dinda Kencanawati dan akan melindunginya. Saya rela mengorbankan nyawa dan raga saya yang tidak berharga ini untuk membelanya dari kekejaman Penewu Galiga Jaya!"
Setelah bertangis-tangisan dengan Ibunya serta dengan Sariwati dan Bandini, Kencanawati lalu mencium Bondan, sama sekali tidak ingat bahwa anak kecil itu adalah keturunan orang yang kini hendak mencelakakannya. Kemudian ia pergi dengan cepat bersama tunangannya meninggalkan rumah Ibunya dan meninggalkan dusun Pakem. Akan tetapi mereka yang sedang berusaha untuk melarikan diri dan mencoba untuk menghindarkan diri dari bencana kekejaman Penewu Galiga Jaya, tidak tahu akan pengaruh dan kecerdikan Penewu itu! Setelah meninggalkan rumah Rondo Kuning, Galiga Jaya telah dapat menduga bahwa tentu selirnya itu takkan tinggal diam dan mencoba untuk mencegah kehendaknya yang hendak menyelir puteri tirinya.
Maka Penewu ini telah memerintahkan kaki tangannya untuk mengintai dan melakukan penjagaan. Ketika mendengar laporan dari perajuritnya bahwa Kencanawati melarikan diri dengan seorang pemuda ani, Galiga Jaya segera membawa serombongan perajurit dan dengan naik kuda lalu melakukan pengejaran. Mereka tak usah lama mengejar, oleh karena seorang gadis selemah Kencanawati tentu saja tak dapat berlari cepat dan Sutadi yang mencinta tunangannya tak tega untuk memaksanya berlari-lari cepat. Keduanya menjadi pucat ketika tiba serombongan orang berkuda mengejar dan menyusul mereka. Ketika Galiga Jaya melompat turun dari kuda dan berdiri sambil bertolak pinggang menghadapi mereka, keduanya hanya dapat berpegang tangan dan menggigil.
"Hm, bagus sekali perbuatanmu ini, Kencanawati! Pantaskah seorang Puteri Penewu yang terhormat melakukan perbuatan yang teramat rendah dan hina, melarikan diri dengan seorang pemuda melarat" Kau sungguh mencemarkan nama Ayahmu ini."
"Aku tidak mempunyai Ayah seperti kau!" jawab Kencanawati yang biarpun merasa takut akan tetapi masih memiliki kekerasan dan ketabahan hatinya.
"Ha-ha-ha! Kau memang benar, anak manis! Aku bukan Ayahmu dan sebentar lagi aku adalah suamimu!"
"Keparat tak tahu malu!" tiba-tiba Sutadi tak dapat menahan marahnya lagi dan ia lupa akan takutnya.
"Hanya anjing rendah saja yang hendak mengganggu anak perempuannya, walaupun hanya anak tiri!" Berputarlah kedua mata Galiga Jaya yang besar itu karena marahnya.
"Bangsat yang sudah bosa hidup!" serunya dan ia mencabut keris lalu melompat menerkam. Sutadi adalah seorang pemuda tani biasa. Walaupun ia memang bertubuh tegap dan kuat sehat, namun ia tidak pandai ilmu pencak silat serta tak pernah mempelajari ilmu berkelahi. Menghadapi serangan Galiga Jaya ia mencoba untuk mengelak dan balas memukul, akan tetapi, melawan Penewu yang telah banyak mengalami pertempuran dan yang telah banyak mempelajari aji kesaktian serta ilmu perkelahian, ia merupakan makanan lunak. Dalam beberapa gebakan saja, keris Galiga Jaya telah berkali-kali menusuk perut dan dadanya hingga pemuda bernasib malang itu roboh mandi darah dan tewas seketika setelah berhasil mengeluh,
"Kencanawati...!" Kencanawati menjerit ngeri dan menubruk mayat pemuda itu. Akan tetapi, secepat kilat kedua lengan Galiga Jaya memeluknya dan Penewu itu sambil tertawa bergelak-gelak lalu memondong tubuh dara itu ke atas kudanya. Kemudian, ia membawa anak buahnya menuju ke dusun Pakem. Bukan main kaget dan cemasnya hati Rondo Kuning ketika melihat kedatangan Galiga Jaya dengan anak buahnya, terutama ketika melihat Kencanawati terpeluk erat di depan Penewu itu! Sambil menggendong Bondan di dada, ia lari menyambut dan segera hendak menarik turun Kencanawati, akan tetapi Galiga Jaya lalu mendahului melompat turun sambil memberi perintah kepada seorang pembantunya untuk menjaga agar Kencanawati tidak turun dari kuda.
"Kau... kau apakan dia" Kau hendak membawa kemana anakku..." dengan mata terbelalak dan jari telunjuk menunding, Rondo Kuning berkata. Galiga Jaya tersenyum menyeringai dan mengejek.
"Hm, kau perempuan rendah, tak kenal budi, dan Ibu yang tidak dapat menjaga kehormatan anak perempuannya! Kau secara tidak tahu malu telah menyuruh Kencanawati melarikan diri dengan seorang pemuda melarat!"
"Kau perduli apa" Lebih baik ia lari dengan seorang pemuda tani daripada menjadi korban nafsu binatangmu! Hayo lepaskan anakku!"
"Rondo Kuning, jangan kau kurang kurang ajar. Ingatkah kau aku ini siapa?"
"Kau jahanam besar! Kau adalah seorang laki-laki keparat!"
"Kurang ajar!" Galiga Jaya mengayunkan cambuk kudanya yang tepat memukul Rondo Kuning hingga perempuan itu terhuyung ke belakang dan darah mengucur dari pipinya.
"Lepaskan anakku!" katanya dan untuk kedua kalinya cambuk di tangan Galiga Jaya menyambar, kini tepat mengenai mata kiri Rondo Kuning hingga wanita itu menjerit kesakitan dan matanya menjadi biru tak dapat dibuka lagi!
"Ibu" Kencanawati menjerit dan meronta-ronta di atas kuda, akan tetapi hal ini bahkan menyenangkan hati perajurit yang bertugas menjaga dan memeganginya hingga perajurit itu tersenyum-senyum senang sambil memeluk tubuh gadis yang meronta-ronta itu.
"Ibu...! Ibu...!!" tiba-tiba terdengar pekik dari dalam rumah dan Sariwati berdua Bandini berlari-lari menghampiri Ibunya. Mereka lalu menubruk dan memeluk Rondo Kuning sambil menangis. Orang-orang dusun yang melihat peristiwa ini, mengertak gigi dan memandang dengan mata merah saking marah dan gemasnya, akan tetapi mereka tidak berani menghadapi Penewu yang berkuasa serta yang diikut oleh anak buahnya yang lebih dari dua puluh orang banyaknya itu. Kini Rondo Kuning tak dapat menahan lagi rasa benci dan marahnya. Ia melepaskan diri dari pelukan Sariwati dan Bandini, lalu maju lagi bagaikan seekor harimau betina mengamuk.
"Jahanam Galiga Jaya! Lekas kau lepaskan dan bebaskan anakku. Hendak kau bawa ke mana Kencanawati" Dan kau apakan Sutadi?"
"Ha-ha-ha! Kau belum tahu, ya" Dengarlah! Sutadi bangsat kecil yang kurang ajar itu telah mampus di ujung kerisku. Dan Kencanawati mulai hari ini menjadi selirku dan tinggal digedungku. Hidupnya akan jauh lebih bahagia dan terhormat, daripada berada disini, dibawah asuhan Ibunya yang tidak dapat menjaga kehormatannya."
"Galiga Jaya anjing keparat!" Rondo Kuning menerkam maju sambil memeluk Bondan dengan tangan kiri. Tangan kanannya diulur maju, merupakan cengkeraman dan hendak mencakar muka Penewu itu. Sambil menyerang, Rondo Kuning menyemburkan ludah sirihnya yang merah ke arah muka suaminya. Galiga Jaya cepat mengelak dari cengkeraman itu, akan tetapi ia terkena ludah sirih merah, hingga sebagian muka dan lehernya menjadi merah. Bukan main marahnya, dengan gemas sekali ia lalu mengangkat tangan kanan memukul keras-keras ke arah dada Roro Kuning.
Dalam kemarahan besar, Roro Kuning sampai lupa kepada Bondan yang masih digendong dan dipeluknya, maka ketika pukulan Galiga Jaya menyambar dada, tanpa disengaja pukulan ini jatuh tepat mengenai kepala Bondan. Anak kecil itu memekik ngeri, berkelojotan dalam pelukan Ibunya dan" mati. Rondo Kuning memandang muka anaknya dan tiba-tiba ia berdiri diam bagaikan patung, memandang wajah anaknya yang telah putus nyawanya itu. Mata Rondo Kuning yang biru sebelah itu terbelalak, mulutnya celangap, kulit mukanya yang kuning menjadi putih bagaikan kapur. Galiga Jaya sendiri ketika melihat bahwa pukulan tangannya mengenai kepala anaknya sendiri hingga anaknya itu tewas, merasa terkejut sekali dan melangkah mundur tiga tindak dengan wajah pucat dan perasaan ngeri, sedangkan ia merasa betapa bulu tengkuknya berdiri.
"Bondan...!" Jerit ini terdengar sampai jauh karena dikeluarkan sedemikian keras dan nyaringnya hingga mengejutkan kuda yang ditunggangi para perajurit.
"Bondan... kau... kau mati! Kau dibunuh oleh Ayahmu sendiri... Bondan..." Rondo Kuning lalu menjatuhkan dirinya di atas tanah, berlutut dan menciumi muka anaknya sambil menangis meraung-raung. Tiba-tiba ia mengangkat kepala memandang dan ketika melihat wajah Galiga Jaya yang nampak terkejut dan menyesal, tiba-tiba saja timbul hati geli yang luar biasa di dalam hatinya. Tak disengaja lagi Rondo Kuning tertawa tergelak-gelak, lalu bangkit berdiri dan menuding kepada suaminya,
"Galiga Jaya, ha-ha-ha! Kau membunuh anakmu sendiri... Kau... kau anjing yang makan anak sendiri" ha-ha-ha! Kau telah berlumur darah di leher dan muka, kau akan mampus dengan darah memenuhi leher dan mukamu! Lihat, lihat darah anakmu memenuhi tanganmu!" Galiga Jaya melangkah mundur selangkah dengan muka makin pucat. Ia meraba lehernya dan memang ludah sirih yang berlumur di lehernya seperti darah hingga tangannya menjadi merah pula. Sementara itu, Rondo Kuning sudah menangis lagi meraung-raung dan sambil tertawa dan menangis berganti-ganti, akhirnya wanita itu lalu melompat dan lari dari situ sambil memanggil-manggil nama Bondan dan memondong mayat anak itu.
"Ibu...!" Sariwati dan Bandini mengejar. Akan tetapi Galiga Jaya lalu berseru,
"Tangkap kedua gadis itu!" Para anak buahnya tak perlu diperintah dua kali. Mereka berebut menangkap Sariwati dan Bandini yang cantik jelita dan menaikkan kedua orang remaja puteri itu ke atas kuda. Sementara itu, melihat Galiga Jaya tadi memukul mati Bondan, Kencanawati saking ngerinya telah menjadi lemas dan pingsan di atas kuda. Orang-orang dusun yang melihat betapa Galiga Jaya membunuh Bondan dan membuat Rondo Kuning menjadi gila, segera menyerbu maju dan seorang tua yang tinggal di dekat rumah Rondo Kuning menegur,
"Penewu Galiga Jaya! Perbuatanmu ini agak melampaui batas!"
"Apa" Kalian hendak memberontak" Hajar mereka!" seru Galiga Jaya kepada anak buahnya dan para perajurit berkuda itu lalu majukan kuda dan menghujankan pukulan dan tendangan kepada orang-orang kampung itu.
Orang-orang kampung lari cerai-berai, yang agak tabah mencoba melawan, akan tetapi mereka ini bahkan menjadi korban tombak dan sebentar saja bersihlah tempat itu, yang lari telah bersembunyi, sedangkan yang melawan telah roboh semua. Termasuk kakek yang menegur tadi, sebelas orang kampung tewas dalam amukan ini. Setelah itu Penewu Galiga Jaya lalu melarikan kudanya yang membawa Kencanawati dan gadis itu masih saja belum siuman dari pingsanya. Juga Sariwati dan Bandini dinaikkan ke atas kuda dan dibawah lari oleh dua orang pembantu Galiga Jaya. Berbeda dengan kakaknya, Sariwati dan Bandini tiada hentinya menjerit-jerit minta tolong dan meronta-ronta mencoba melepaskan diri dari pelukan penawannya. Akan tetapi, siapa yang berani menolong"
Di lereng Gunung Lawu, sebelah timur puncak yang disebut Pringgodani, terdapat sebuah gua batu. Gua ini lebar dan dalam, menghadapi sebuah lapangan yang tidak saja ditumbuhi rumput hijau yang rata dan gemuk hingga apabila angin gunung menghembus lalu, ujung-ujung rumput yang bergelombang itu merupakan permukaan air hijau yang indah dan bergerak-gerak hidup, akan tetapi disana-sini terdapatpula bunga-bunga liar yang indah.
Bunga-bunga ini memang liar dan tidak sengaja ditanam oleh tangan manusia, akan tetapi mereka hidup subur dan menyiarkan keharuman yang sedap dan menyegarkan. Di antara bunga-bunga indah, terdapat pula mawar, melati dan kemuning. Gua ini tidak kosong, melainkan didiami oleh seorang tua renta yang bertubuh tinggi kurus. Jenggot dan kumisnya yang panjang dan putih bersih itu menandakan bahwa usianya telah sangat lanjut. Memang kakek ini sudah tua sekali, bahkan menurut cerita orang-orang tua yang tinggal disekitar kaki Gunung Lawu dan di lereng gunung yang subur tanahnya itu, kakek ini sudah ada semenjak Ayah mereka masih hidup! Menurut cerita ini, apabila benar-benar terjadi, maka kakek ini tentu sudah lebih dari seratus tahun umurnya! Kakek tua ini bernama Panembahan Sidik Paningal dan yang terkenal di desa-desa sekitar Gunung Lawu sebagai Eyang Sidik saja.
Beberapa pekan yang lalu, pada suatu pagi yang cerah, panembahan itu duduk di muka gua, bersila di atas tanah kering yang berumput oleh karena tanah itu memang menjadi tempat duduknya pada waktu ia berada di luar gua, hingga rumput-rumput mengering dan tidak tumbuh di tempat itu. Di depannya, seorang pemuda teruna duduk pula bersila dengan sikap hormat. Pemuda ini bertubuh sedang, tidak terlalu besar, tidak pula kurus kering, bahkan pada sepasang lengan dan dadanya yang tak berbaju itu nampak daging dan otot-otot yang membayangkan tenaga yang kuat. Keningnya lebar, hidungnya lurus mancung, dan bibirnya menandakan bahwa ia kuat iman dan teguh hati. Yang menarik hati adalah sepasang matanya, karena sepasang mata ini bercahaya ganjil dan dari manik matanya seakan-akan bersinar keluar tenaga yang berpengaruh dan kuat, yang membuat orang tidak tahan menatap dan menyambut padang mata itu lama-lama. Mata ini bagus bagaikan sepasang bintang pagi.
"Adiguna, muridku. Sekali lagi kutekankan bahwa kau tidak mempunyai bakat untuk menjadi seorang pertapa. Kau tidak dilahirkan untuk menjadi pertapa. Sungguhpun harus kuakui bahwa kau kuat menjalankan tapabrata. Waktu yang lima tahun kau lewatkan di tempat ini sudah cukup lama dan sekarang sudah tiba waktunya bagimu untuk turun gunung." Adiguna tertegun mendengar penjelasan gurunya ini. Hatinya ingin benar tinggal terus di tempat ini, tempat yang telah merebut hatinya yang telah disayanginya sebagai tempat yang paling indah dan menyenangkan di dunia ini. Kata-kata gurunya yang menyebutkan tentang "Dilahirkan" tadi, tiba-tiba membuat ia sadar dan timbul pula pertanyaan yang dulu sering mengganggu hatinya.
"Eyang panembahan, betapapun hamba ingin sekali diperkenankan tinggal terus ditempat ini, menjaga Eyang yang sudah tua serta mempelajari ilmu dari Eyang, namun kehendak Eyang tak berani hamba membantahnya. Akan tetapi, ucapan Eyang tadi mengingatkan hamba akan sesuatu dan hamba mohon sebelum hamba meninggalkan tempat ini, sudilah kiranya Eyang menerangkan hati hamba yang telah lama digelapkan oleh sebuah hal yang ingin sekali hamba ketahui." Panembahan Sidik Paningal tersenyum dan aneh sekali, pada saat ia tersenyum, lenyaplah sifat tua yang menyelimuti wajahnya, terganti oleh kemudaan. Bahkan mukanya menjadi seperti muka seorang kanak-kanak yang segar dan sehat.
"Adiguna, sudah menjadi hak seorang murid untuk bertanya dan memang kewajiban seorang guru untuk menjawab pertanyaan itu. Katakanlah apa yang mengganggu hatimu, dan seberapa dapat aku hendak menerangkannya."
"Maafkan hamba, Eyang. Sesungguhnya, walaupun hamba datang disini dalam usia belasan tahun, namun peristiwa itu agaknya telah membuat hamba kehilangan ingatan hamba ini, datang dari mana dan siapa pula Ayah Ibu hamba." Panembahan Sidik Paningal tersenyum lagi.
"Memang benar, muridku, ketika aku menemukan kau usiamu telah tiga belas tahun, dan yang kau ketahui hanyalah namamu sendiri. Apakah kau masih ingat akan peristiwa kedatangamu ditempat ini?"
Adiguna masih ingat dengan baik sekali peristiwa yang mengerikan itu. Ketika ia berusia tiga belas tahun dan sedang mengarit (membabat dengan arit) rumput yang tebal, tiba-tiba seekor macan loreng yang besar sekali melompat dan menyerangnya! Adiguna melawan mati-matian dengan aritnya dan kekagetan serta ketakutan membuatnya tak kuasa berteriak minta tolong. Akhirnya sebuah sampokan kaki depan harimau itu membuat arit Adiguna terlempar jauh dan ia roboh pingsan sebelum mengetahui apa yang diperbuat oleh harimau itu pada dirinya. Macan loreng itu tidak segera menerkam, dan mengaum serta mencium-ciuminya, seakan-akan merasa ragu-ragu dan mengira bahwa ia telah mati. Kemudian, macan itu mengigit pundaknya dan membawanya lari keras.
Ketika siuman, Adiguna mendapat kenyataan bahwa dirinya telah berada di sebuah hutan di kaki Gunung Lawu dan bahwa macan itu telah lenyap, dan yang berada di depannya kini adalah seorang kakek tua yang bukan lain Panembahan Sidik Paningal adanya. Ternyata kemudian kakek sakti itu telah menolongnya dan mempergunakan kesaktiannya untuk mengusir harimau itu dan melepaskan korbannya. Adiguna yang merasa takut dan terkejut, ternyata telah mendapat pukulan keras pada ingatannya yang membuatnya lupa akan segala, kecuali namanya sendiri. Demikianlah semenjak hari itu ia menjadi murid Panembahan Sidik Paningal mempelajari ilmu batin dan aji kesaktian, serta mengerjakan pekerjaan keperluan mereka berdua sehari-hari. Kini mendengar pertanyaan gurunya, terbayanglah kembali segala peristiwa itu dan ia menjawab dengan sembah,
"Hamba masih teringat dengan baik akan segala budi Eyang yang telah menolong hamba dari terkaman mulut harimau!"
"Jangan ikat dirimu dengan segala budi pertolongan Adiguna. Semua peristiwa tidak terluput dari gerakan tangan sakti dari Yang Maha Agung dan kita hanya tinggal menjalankan saja. Kalau kau ingin mengetahui asal-usulmu, kau harus kembali ke tempat dari mana harimau itu membawamu. Dia dulu datang dari arah barat bukit ini, maka sekarang kau turunlah dari sini dan menuju ke barat. Kalau kau mencari dengan teliti, tentu kau akan dapat mencari keterangan tentang asal usulmu itu. Juga kau akan tiba di Ibu kota Mataram hingga kau akan mendapat kesempatan mengabdi kepada Sri Sultan yang bijaksana, karena apakah gunanya segala macam ilmu yang kau pelajari dan tak dapat mempergunakannya guna menolong negara dan bangsa?"
Demikianlah setelah menerima petunjuk-petunjuk dan petuah-petuah yang amat luhur dan berharga dari gurunya, Adiguna lalu turun gunung dari sebelah barat. Ia menggunakan ketangkasannya dan sebentar saja ia telah dapat menuruni gunung dan melintasi jurang-jurang yang dalam dan berbahaya. Ketika ia melalui sebuah hutan yang amat liar dan luas, tiba-tiba dari balik pohon-pohon besar berlompatan keluar lima orang tinggi besar yang memegang golok atau keris di tangan kanan. Sikap mereka menakutkan dan mengancam, dan seorang pemimpinnya yang bercambang bauk dengan keris di tangan membentak,
"Hai, pemuda bagus, kau berhentilah!" Adiguna menahan langkah kakinya dan memandang tenang. Ia tak tahu sedang berhadapan dengan siapa dan mengapa mereka ini mencegat perjalanannya.
"Ada keperluan apakah saudara-saudara menghentikan perjalananku?" tanyanya dengan sabar. Panembahan Sidik Paningal yang cinta kepada muridnya itu telah memberikan beberapa potong pakaian kepada Adiguna, dan pakaian itu dibuntal serta diikatkan di belakang punggung pemuda itu. Kelima orang yang menghadangnya itu memandang ke arah buntalan pakaian dan pemimpinnya berkata,
"Anak muda yang bagus, sebelum kau melanjutkan perjalananmu, lebih dulu kau harus menyerahkan buntalan itu kepada kami!" Adiguna terheran dan memandang dengan bingung.
"Mengapa aku harus menyerahkan buntalan yang terisi pakaian itu kepada kalian?"
"Tak usah banyak cerewet, lekas kau serahkan buntalan itu!" seorang diantara yang empat lain membentak sambil peletotkan matanya yang besar dan merah.
"Apakah kalian butuh akan pakaian" Kalau benar-benar kalian membutuhkannya, marilah, kalian boleh ambil semua!" Sambil berkata demikian, Adiguna melepas ikatan buntalan dari pundaknya dan memberika itu kepada si cambang bauk yang segera menyambarnya. Mereka lalu beramai membuka bantalan itu akan tetapi wajah mereka kecewa sekali oleh karena melihat bahwa isi buntalan itu hanyalah pakaian-pakaian yang biarpun bersih dan indah, namun tak berapa banyak harganya! Mereka lalu memandang kepada Adiguna dengan mengancam.
"Hayo kau keluarkan semua barang milikmu yang masih kau bawa!" Adiguna makin terheran.
"Eh, apakah sebenarnya maksud kalian" Kalian membutuhkan pakaian dan aku sudah memberikan semua pakaianku, sekarang apakah lagi yang kalian kehendaki" Aku sunguh-sunguh tidak mempunyai apa-apa lagi." Pemuda ini belum pernah mendengar atau bertemu dengan perampok, maka ia tidak tahu bahwa kini ia sedang berhadapan dengan perampok-perampok! Tiba-tiba si cambang bauk yang menjadi pemimpin mereka berbisik-bisik kepada kawan-kawannya. Biarpun mereka itu berdiri agak jauh, namun dengan kesaktiannya, Adiguna dapat mendengar percakapan mereka. Ia mendengar si cambang bauk berkata,
"Pemuda ini bagus dan tampan sekali. Mari kita culik dia!" kata si camban bauk.
"Ya, kita jadikan dia pelayan kita!" kata kawannya.
"Tidak, kita jual saja dia kepada pembesar mataram!" Si cambang bauk lalu menghadapi Adiguna yang masih berdiri dengan tenang dan berpura-pura tidak mendengar percakapan mereka tadi sungguhpun mendengar percakapan itu, ia merasa heran sekali.
"Anak muda yang bagus!" kata si cambang bauk. "Kalau engkau tidak mempunyai barang-barang berharga untuk menebus dirimu, terpaksa engkau harus ikut dengan kami dan menjadi tawanan kami!"
"Kalian ini sebenarnya orang-orang apakah dan mengapa tanpa sebab agaknya hendak mengganggu aku" Kukira tadi kalian memang orang melarat yang membutuhkan pertolongan hingga aku telah memberikan pakaianku, akan tetapi mengapa kalian hendak menawanku" Sebenarnya siapakah kalian ini?" Kelima orang perampok itu saling pandang dengan mata heran, kemudian tertawalah mereka dengan geli hati.
"Anak bodoh! Engkau mengira kami ini orang-orang melarat yang butuh pakaian" Ha-ha-ha! Jangan engkau menghina, anak muda. Kami adalah lima saudara yang berkuasa di hutan ini, dan aku bernama Bandusenggoro! Engkau siapakah, anak muda yang bagus dan hendak kemana?"
"Namaku Adiguna dan aku hendak mencari keluargaku," jawab Adiguna sejujurnya.
"Siapa keluargamu itu dan orang mana?"
"Inilah yang aku sedang mencari-cari, aku sendiri tidak tahu siapakah keluargaku."
"Eh, kau ini benar-benar orang aneh! Siapa nama Ayah Ibumu?" tanya pula Bandusengoro. Adiguna mengangkat kedua pundaknya keatas.
"Inipun aku sedang mencari tahu, karena aku telah lupa akan nama mereka." Bendusengoro saling pandang dengan kawan-kawannya dan mereka ini mulai menganggap bahwa pemuda yang bagus ini barangkali telah berobah otaknya! Mana ada orang lupa nama Ayah Ibu sendiri" Adiguna juga maklum bahwa pernyataannya tadi tentu menimbulkan keheranan dan tidak kepercayaan, maka ia lalu menyambung kata-katanya,
"Lima tahun yang lalu ketika aku bekerja mencari rumput, seekor harimau menyerang dan menggondolku pergi dan semenjak itu aku telah lupa sama sekali akan keadaan keluargaku." Tiba-tiba seorang diantara perampok-perampok itu berseru,
"Hai, kalau begitu kau tentulah kemenakan Pak Wiryosentiko di dusun Pakem!" Akan tetapi Bandusengoro berkata keren,
"Siapapun adanya kau, sekarang juga kau harus ikut dengan kami!" Sambil berkata demikian, ia melompat maju memegang lengan tangan Adiguna. Pemuda itu ketika mendengar nama Wiryosentiko di dusun Pakem yang diperkenalkan sebagai pamannya, berdiri sejenak tak bergerak dan otaknya mengingat-ingat. Serasa pernah didengarnya nama ini, juga nama dusun Pakem tak asing bagi telinganya. Maka ia tidak memperdulikan pegangan tangan Bandusengoro. Setelah kepala rampok itu membetotnya dengan kuat, barulah ia seakan tersadar dari mimpi. Tanpa disengaja ia menarik lengannya yang terpegang dan dengan mudah saja terlepas dari pegangan Bandusengoro. Kepala rampok itu terkejut, tak pernah disangkanya bahwa pemuda itu begitu kuat sehingga sekali merenggut saja pegangan tangannya terlepas.
"Kau hendak lari kemana?" bentaknya dan menubruk lagi. Akan tetapi sekarang Adiguna telah merasa mendongkol sekali melihat kekasaran perampok-perampok ini. Sekali ia menggerakkan kaki ke kiri, tubrukan itu menjadi luput dan tubuh kepada rampok itu terhuyung ke depan.
"Jangan kau memaksa, Bandusengoro!" kata Adiguna. Akan tetapi serentak kawanan perampok itu maju hendak menangkapnya. Terpaksa Adiguna lalu memperlihatkan ketangkasannya. Kedua tangannya bergerak cepat dan sebelum kelima orang perampok itu tahu apa yang telah terjadi atas diri mereka, tahu-tahu tubuh mereka telah terpelanting ke kanan kiri hingga kulit mereka lecet-lecet dan kepala mereka benjol-benjol. Bukan main marahnya kelima orang itu. Mereka masih belum mau mengerti bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Mereka mencabut senjata tajam yang tadi diselipkan dipinggang karena memandang rendah pemuda halus ini dan sambil mengeluarkan teriakan menyeramkan, mereka lalu maju menyerang.
Walaupun tidak takut kepada semua senjata tajam itu, namun Adiguna merasa khawatir kalau-kalau pakaian yang dipakainya akan rusak dan robek, maka ia lalu bergerak lebih cepat lagi, kini dengan kedua kaki dan tangannya. Dan akibatnya hebat sekali! Kelima orang perampok yang terkenal buas dan memiliki ilmu berkelahi yang cukup tangguh dan tenaga luar biasa kuatnya itu, tiba-tiba menjerit-jerit kesakitan sambil memegangi tangan mereka yang tadi memegang senjata tajam yang kini telah terlempar ke kanan kiri. Ternyata bahwa gerakan Adiguna yang cepat hingga tak terlihat oleh mata lawan-lawannya itu telah dengan cepat menyerang tangan mereka dengan kipratan tangan dan tendangan kaki hingga pergelangan tangan mereka menjadi matang biru dan sakit sekali.
"Jahat! Jahat! Kalian ini lima orang perampok sungguh ganas dan kejam! Kalau bukan aku yang kalian serang, bukankah kalian telah berhasil membunuh orang?"
Setelah berkata demikian, tanpa memperdulikan lima orang perampok yang memandang dengan mata terbelalak heran, pemuda itu lalu mengambil kembali buntalan pakaiannya dan melanjutkan perjalanannya dengan cepat menuju ke barat. Mudah saja bagi Adiguna untuk mencari dimana adanya dusun Pakem. Segera ia mencari rumah Wiryosentiko dan ternyata bahwa Pak Wiryosentiko adalah seorang tua yang bekerja sebagai penggarap sawah yang miskin. Ketika ia masuk ke dalam pondok, ia disambut oleh Pak Wiryosentiko sendiri beserta isterinya yang telah tua pula dan seorang anaknya yang telah menikah dan tinggal dirumah itu dengan isterinya. Anak kedua Wiryosentiko, seorang pemuda berusia sebaya dengan Adiguna, sedang pergi dan tidak berada di rumah. Mula-mula Wiryosentiko merasa heran melihat kedatangan Adiguna.
"Raden ini siapakah dan ada perlu apa mencari hamba?" tanyanya, karena wajah dan sikap Adiguna menimbulkan persangkaan padanya bahwa pemuda ini tentulah seorang bangawan.
"Paman, apakah benar paman mempunyai seorang kemenakan yang bernama Adiguna?" tanya Adiguna dengan suara gemetar menahan perasaan hatinya yang menggelora. Orang tua itu terkejut dan heran.
"Adiguna" Benar, Raden. Adiguna itu adalah anak kemenakan hamba yang telah lenyap lima tahun yang lalu, khabarnya ia digondol macan!" Mendengar ucapan ini, Adiguna lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah,
"Paman... akulah Adiguna kemenakanmu itu!" Untuk sejenak Pak Wiryosentiko berdiri tertegun dan memandang dengan mata terbelalak, demikian isterinya. Puteranya yang juga memandang, tiba-tiba berseru,
"Benar Ayah, dia ini benar si Guna! Lihat saja tahi lalat di pangkal lengan kanannya dekat pundak itu!" Pak Wiryosentiko memandang dan ia lalu menubruk dan memeluk Adiguna,
"Aduhai, anakku! Jadi engkau masih hidup!" Isterinya pun lalu maju memeluk Adiguna dengan tangisnya, dan pertemuan ini mendatangkan haru dan suka. Adiguna dengan singkat menuturkan pengalamannya, hingga Pak Wiryo suami isteri dan Jimanta serta isterinya, yaitu putera dan mantu Pak Wiryo memandang dengan penuh takjub. Setelah bertemu dengan orang-orang yang dulu dikenalnya baik ini, teringatlah Adiguna kepada Riyatman, putera bungsu pak Wiryosetiko.
"Dimanakah si Riyatman?" tanyanya gembira. Pak Wiryosentiko menghela napas. "Saudaramu itu sukar sekali diatur dan tidak taat kepada orang tua. Jarang sekali ia berada dirumah dan kesukaannya hanyalah belajar pencak silat dan mengejar segala macam ilmu kepandaian berkelahi. Entah mau menjadi apa anak itu! Semenjak kemarin ia tidak pulang sudah biasa ia pulang dua atau tiga hari sekali." Kemudian Adiguna bertanya kepada pamannya tentang kedua orang tuanya. Pamannya memandang heran dan berkata,
"Adiguna, engkau sungguh patut dikasihani. Agaknya peristiwa dengan harimau itu telah membuat engkau sedemikian takut dan kaget hingga engkau telah lupa akan segala hal. Lupakah engkau bahwa engkau adalah seorang yatim-piatu, tak berayah tak beribu lagi" Engkau ikut padaku semenjak berusia sepuluh tahun dan sebelum Ibumu meninggal dunia menyusul suaminya, ia telah menitipkan engkau kepadaku."
Adiguna mendengarkan penuturan singkat ini dengan kepala tunduk dan ia tak dapat berkata apa-apa, hanya menekan perasaannya yang terserang kekecewaan dan kedukaan hebat. Paman dan bibinya memandang dengan penuh iba sambil menggelengkan kepala. Para tetangga yang masih ingat akan Adiguna, ketika mendengar bahwa pemuda yang digondol macan itu kini masih hidup dan datang kembali menjadi girang dan heran, maka sebentar saja penuhlah rumah Pak Wiryosentiko dengan para tetangga yang hendak melihat Adiguna yang tidak mati setelah digondol harimau pada lima tahun yang lalu.
Perlahan-lahan, teringat jugalah Adiguna kepada wajah orang-orang yang dulu menjadi tetangganya itu hingga terhibur juga kedukaan dan kekecewaan hatinya. Pada saat itu, diluar terdengar suara ribut-ribut dan orang menceritakan tentang amukan Penewu Galiga Jaya yang menculik anak perempuan Rondo Kuning dan bahkan telah membunuh beberapa orang kampung yang membela Rondo Kuning! Adiguna menjadi marah sekali mendengar bahwa hal yang kejam dan ganas ini dapat terjadi dikampung itu maka ia lalu berseru keras dan tiba-tiba semua orang terkejut melihat bayangan berkelebat dan pemuda itu tahu-tahu telah lenyap dari tengah-tengah mereka! Pak Wiryosentiko berdiri bingung dan barulah semua orang dapat menduga bahwa Adiguna, tentu telah menjadi seorang sakti!
"Tentu saja!" kata seorang diantara mereka. "Kalau dia tidak sakti, tentu ia telah mati dimakan macan!"
"Yang menggondolnya tentu macan siluman dan ia menjadi murid macan siluman itu!" kata seorang lain. Ketika Adiguna tiba ditempat pertempuran, ternyata ia hanya melihat mayat-mayat orang kampung bergelimpangan, ditangisi oleh sanak keluarga masing-masing. Penewu Galiga Jaya telah pergi jauh membalapkan kudanya, diikuti oleh para anak buahnya.
"Kemana jahanam itu pergi?" Adiguna bertanya. Seorang kampung dengan gemas menunjuk ke jurusan utara dan Adiguna lalu mempergunakan ilmu lari cepat mengejar ke arah itu! Ilmu lari cepat yang digunakan oleh Adiguna ini adalah ilmu lari Tunggang Bayu (Naik Angin) yang kecepatannya luar biasa, tidak kalah oleh larinya kuda!
Oleh karena itu, tak lama kemudian ia berhasil menyusul rombongan Penewu Galiga Jaya. Ia mudah mengikuti kemana larinya rombongan itu, oleh karena suara kedua orang gadis yang menjerit-jerit itu dapat terdengar oleh telinganya yang memiliki pendengaran tajam. Barisan Galiga Jaya yang terdiri dari dua puluh tiga orang itu, ketika masuk ke daerah Waru dan tiba di jalan yang diapit oleh sawah di kanan kiri, tiba-tiba menjadi ribut dibagian belakangnya. Penunggang kuda yang berada paling belakang, tiba-tiba saja merasa betapa pinggangnya, dipegang orang dari belakang dan tahu-tahu tubuhnya terlempar ke dalam sawah, jatuh di tanah lumpur hingga muka dan kepalanya penuh lumpur hitam! Orang kedua menyusul, ketiga, keempat, tubuh-tubuh mereka melayang bagaikan dihembus angin badai dan jatuh bergelimpangan di atas sawah.
Gegerlah keadaan barisan itu. Yang di belakang berteriak dan yang di depan berhenti lalu membalikkan kuda mereka. Juga Galiga Jaya sendiri terheran dan menghentikan kudanya. Kencanawati telah siuman kembali dan menangis terisak-isak, sedangkan Sariwati dan Bandini masih saja berteriak-teriak dan menjerit-jerit minta tolong sampai suara mereka menjadi serak. Adiguna setelah menjatuhkan beberapa orang perajurit dan melihat betapa semua penunggang kuda menghentikan kuda mereka, lalu melompat ke arah dua ekor kuda dimana Sariwati dan Bandini tertawan dan menjerit-jerit. Dua orang perajurit yang menawan kedua orang gadis itu, ketika melihat bahwa yang mengamuk adalah seorang pemuda tanggung yang nampak lemah lembut segera menyambut Adiguna dengan golok di tangan dan membacok dari atas kuda. Akan tetapi, Adiguna beseru,
"Rebahlah kamu!" dan sekali kedua tangannya bergerak ia telah dapat menangkap lengan tangan mereka yang memegang golok dan sekali ia membetot, kedua orang itu terpelanting dari atas kuda mereka! Karena mereka keduanya memeluk Sariwati dan Bandini, maka ketika mereka jatuh maka kedua orang gadis itupun ikut terjatuh pula. Akan tetapi Adiguna berlaku sebat. Ia melompat maju dan dengan cepat ia dapat merampas kedua orang gadis itu dari tangan penawan-penawan mereka. Melihat bahwa pemuda itu datang hendak menolong mereka, maka Sariwati dan Bandini segera lari dan bersembunyi dibelakang Adiguna dengan muka ketakutan.
"Awas, Raden!" kata Bandini dengan bibir gemetar ketika lima orang perajurit turun dari atas kudanya, dan lari mendatangi dengan pedang ditangan!
"Tenanglah adikku!" kata Adiguna dengan tersenyum, "Dan kalian duduklah saja di atas rumput di pinggir sawah itu!" Sariwati dan Bandini lalu lari ke rumput dan duduk berlutut sambil berdoa memohon kepada Yang Agung agar supaya pemuda penolong mereka itu mendapat kemenangan!
Ketika lima orang itu datang menyerbu, tiba-tiba Adiguna mempergunakan kegesitannya dan tahu-tahu ia telah melompat tinggi melewati kepala mereka! Tentu saja kelima orang perajurit itu terkejut dan heran sekali ketika tiba-tiba pemuda itu lenyap dari depan mereka! Selagi mereka merasa bingung, tiba-tiba dari belakang Adiguna mendorong keras dan kelima tubuh perajurit itu terdorong dan jatuh dengan kepala lebih dulu ke dalam selokan kecil yang penuh lumpur! Menjadi menjadi gelagapan karena untuk sementara mereka menjadi buta, hidung, mata dan mulut, bahkan telinga mereka penuh tersumpal tanah lumpur. Terdengar tertawa nyaring dan ternyata bahwa Bandini gadis yang kenes dan lincah itu, timbul kembali kejenakaannya melihat pemandangan ini. Ia tertawa geli dan bertepuk tangan menyoraki kelima orang perajurit itu.
"Ahai...! Ada lima ekor buaya bermandi lumpur di selokan itu!" Mau tidak mau Adiguna tersenyum mendengar kejenakaan gadis hitam manis itu, akan tetapi terpaksa ia harus mencurahkan perhatiannya ke depan karena kini semua perajurit datang menyerbu dan kesemuanya telah turun dari kuda dan mencabut senjata masing-masing! Terdengar lagi seruan Bandini,
"Hai, Mbak Sari, lihat! Buaya-buaya itu berkaki dua!" Sariwati biarpun biasanya bersikap tenang dan halus, kini melihat keadaan lima orang perajurit yang merangkak dan berdiri dengan muka dan kepala serta seluruh tubuh berlumur lumpur dan dengan bingung meraba-raba kesana-kemari, mendengar kelakar adiknya terpaksa tersenyum juga. Akan tetapi, biarpun ia rasa geli mendengar kejenakaan adik, dan melihat keadaan lima perajurit itu, ia masih teringat akan nasib kakaknya yang masih berada di atas kuda Penewu Galiga Jaya, maka ia segera berteriak ke arah Adiguna.
"Den-Mas yang budiman! Mohon engkau suka menolong kakakku yang masih tertawan itu!" Mendengar suara yang halus merdu ini, Adiguna merasa sesuatu yang aneh terjadi pada hatinya. Dada kirinya tiba-tiba berdebar aneh dan di dalam kesibukannya mengelak serangan para lawan-lawannya, ia masih menengok memandang ke arah Sariwati.
Biarpun ia hanya memandang sekilas, namun ia mendapat kenyataan bahwa gadis berkulit kuning itu luar biasa cantiknya, bagai seorang bidadari turun dari kahyangan! Maka ia lalu memperhatikan ke depan dan melihat bahwa seorang gadis lain masih berada diatas kuda yang ditunggangi seorang tinggi besar bercambang bauk dan bermata lebar menyeramkan. Ia segera dapat menduga bahwa ini tentu Penewu Galiga Jaya yang kejam itu, maka ia lalu berseru keras dan tahu-tahu ia telah menyusup diantara belasan senjata yang menyerangnya dan melompat ke arah Penewu Galiga Jaya. Galiga Jaya bukanlah seorang lemah dan ia telah banyak mendapat pengalaman bertempur melawan orang-orang sakti. Kedigdayaannnya yang terkenal di Mataram dan selain memiliki ilmu pencak silat yang tinggi, iapun memilki tubuh yang kebal dan aji kesaktian yang cukup ampuh.
Melihat gerakan pemuda yang berusaha menolong ketiga orang puteri Rondo Kuning itu, ia maklum bahwa pemuda itu tentulah murid seorang pandai, maka ia cepat mengeluarkan sebatang sabuk yang tadi membelit perutnya. Sabuk ini terbuat dari lawe berwarna merah dan ini bukanlah sabuk biasa, melainkan sebuah senjata yang teramat ampuh. Senjata sabuk lawe merah ini didapatnya dari daerah Gunung Lawu sebelah timur dari seorang pertapa yang sakti. Jangankan manusia biasa, bahkan kabarnya makluk haluspun takut menghadapi sabuk lawe yang mujijat ini, karena sibuk ini telah dicapai dan diberi mantera mujijat oleh seorang sakti hingga ampunya luar biasa! Ketika tubuh Adiguna berkelebat dekat, Galiga Jaya lalu memutar sabuk lawe hingga menimbulkan angin dan menyabet ke arah Adiguna sambil membentak,
"Mampuslah kau!" Adiguna terkejut sekali ketika merasa bahwa sambaran sabuk itu menerbitkan hawa yang luar biasa kuatnya dan yang melemahkan semangatnya. Ia maklum bahwa ia sedang menghadapi sebuah senjata yang ampuh dan mujijat, maka ia tiidak berani menerima senjata itu, lalu mengelak mempergunakan kelincahannya. Sabuk itu menyambar lewat di dekat lambungnya dan biarpun kulitnya tidak tersentuh oleh sabuk lawe merah, namun hawa sambarannya saja sudah menimbulkan rasa panas pada kulit tubuhnya! Tak terasa lagi Adiguna melompat mundur dua langkah, dan kesempatan ini digunakan oleh Galiga Jaya untuk berseru kepada anak buahnya,
"Kepung dan tangkap dia!" Setelah berkata demikian, Penewu ini lalu memecut kudanya yang segera membalap memasuki dusun Waru. Penewu ini cerdik sekali. Ia maklum bahwa pemuda itu sakti mandraguna dan untuk menghadapinya, perlu ia mengerahkan dan mencurahkan seluruh kepandaian dan tenaganya. Apabila kencanawati masih berada di atas kuda, maka tentu saja gerakannya terhalang, maka ia pikir lebih baik melarikan puteri itu dulu dan menahannya di dalam gedung, baru nanti kembali menghadapi pemuda pengacau yang gagah itu! Melihat betapa Penewu itu melarikan diri, Adiguna hendak mengejar, akan tetapi perajurit-perajurit itu maju mengurung dengan rapatnya.
(Lanjut ke Jilid 02) Rondo Kuning Membalas Dendam (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 02 Kalau ia mau, mudah saja baginya untuk melepaskan diri dari kurungan ini dan terus mengejar, akan tetapi ia teringat kepada dua orang dara yang duduk di atas rumput itu. Kalau mereka ini ditinggalkan, bukankah keadaan mereka berbahaya sekali karena para perajurit yang ganas itu masih berada disitu"
Maka ia lalu menjadi gemas sekali dan menghadapi keroyokan belasan orang perajurit itu dengan gagah perkasa. Melihat betapa Kencanawati dilarikan Penewu, Sariwati menjadi khawatir dan menangis lagi, tetapi Bandini yang tidak melihat ke arah Kencanawati dan tidak tahu bahwa kakaknya yang sulung itu dilarikan Penewu, bersorak-sorak gembira melihat betapa Adiguna menghajar para perajurit habis-habisan! Memang mengagumkan sekali sepak terjang Adiguna menghadapi para pengeroyoknya. Dimana saja tubuhnya melompat dan berkelebat, terdengar pekik terkejut dan tubuh seorang perwira dilontarkan tinggi-tinggi dan akhirnya tubuh itu jatuh ke dalam lumpur, membuat tanah lumpur memercik ke atas dan tubuh itu terbenam ke dalam lumpur dengan kepala dibawah!
"Bagus, bagus! Nah, dia menjadi seekor kura-kura di dalam lumpur!" teriak Bandini sambil tertawa geli. Kalau tangan Adiguna bergerak memukul atau kakinya bergerak menendang hingga seorang perajurit memekik kesakitan mengaduh-aduh sambil memegangi kepalanya yang terpukul atau mengaduh-aduh sambil memegangi sebelah kaki ke atas dan menggunakan kaki kedua untuk berloncat loncat karena kakinya tertendang sakit sekali, Bandini berseru sambil tertawa,
"Lihat, lihat! Mereka sekarang menari-nari! Aduh bagusnya! Itu, itu... kepalanya benjol-benjol seperti disengat tawon!" Memang Bandini yang baru berusia empat belas tahun itu masih memiliki sifat kanak-kanak, terdorong oleh sifatnya yang kenes dan kewat. Melihat sepak terjang Adiguna yang gagah perkasa itu, kepungan para perajurit menjadi kocar-kacir dan mereka yang masih mengeroyok lalu mengundurkan diri dengan hati jerih. Tujuh orang perajurit lain telah terlempar ke dalam tanah lumpur hingga kini ada selusin perajurit yang merangak angkak keluar dari lumpur dengan kedua tangan meraba-raba karena kedua mata mereka yang kemasukan lumpur tak dapat melihat!
"Eh, pengacau muda, siapakah namamu dan mengapa engkau begitu berani melawan Penewu?" tanya seorang perajurit dari tempat jauh. Dengan keringat membasahi dadanya yang telanjang Adiguna berdiri bertolak pinggang dan sambil tersenyum ia berkata,
"Ketahuilah, wahai kaki tangan Penewu yang jahat! Aku bernama Adiguna dan setelah aku berada disini, aku takkan membiarkan kalian mengganas dan membunuh rakyat secara sewenang-wenang dan kejam." Kemudian Adiguna menghampiri kedua orang gadis itu dan Sariwati lalu berlutut dan menyembah didepan pemuda itu sambil menangis. Bandini juga berlutut dan menyembah, akan tetapi ia tidak menangis, bahkan memandang kepada wajah pemuda itu dengan penuh kekaguman dan terima kasih.
"Den-Mas, saya menghaturkan beribu terima kasih atas budi pertolongan yang besar ini dan hanya Tuhan Yang Maha Agung yang akan membalas budi ini."
"Kau gagah sekali, Den-Mas, dan bolehkan kami ketahui, siapa nama Den-Mas yang gagah ini?" bertanya Bandini dengan berani. Sariwati mengerling tajam kepada adiknya untuk menegurkan akan tetapi sambil tersenyum dan merendahkan diri Adiguna menjawab,
"Silahkan kalian berdiri dan janganlah memberi penghormatan sebesar ini kepadaku. Aku bukanlah Raden-Mas dan bukan pula orang bangsawan, akan tetapi aku adalah orang kampung biasa seperti kalian. Namaku Adiguna dan aku adalah anak kemenakan Pak Wiryosentiko!" Kedua orang gadis itu memandang dengan penuh perhatian dan untuk kedua kalinya Adiguna tertegun melihat wajah Sariwati yang benar-benar amat cantik molek dalam pandangannya.
"Jadi" kau ini... anak yang hilang digondol harimau itu?" tanya Sariwati gugup. Ketika Adiguna mengangguk, Bandini segera bediri dan memandang dengan kagum.
"Ah" pantas saja kau sakti mandraguna, tidak tahunya kau telah diangkat anak oleh seekor harimau siluman yang sakti."
Gambar 0201 "Bandini!" seru Sariwati menegur, akan tetapi adiknya tidak memperdulikannya hanya memandang wajah Adiguna dengan kagum dan tersenyum-senyum manis.
"Hm, jadi namamu Bandini?" kata Adiguna kepada gadis hitam manis itu. "Dan siapakah nama kakakmu ini" Apakah kalian anak Mbok Rondo Kuning?"
"Mbakyuku ini bernama Sariwati dan ia cantik sekali."
"Bandini!" kembali mbakyunya menegur dan ketika Bandini dan Adiguna memandang, ternyata bahwa Sariwati telah menangis lagi dengan sedihnya.
"Kau mengapa, diajeng?" kata Adiguna menghibur.
"Ah, bagaimana dengan nasib kakakku Kencanawati" Den-Mas?"
"Jangan menyebut aku Den-Mas!" Adiguna memotong. Untuk sejenak Sariwati tak dapat berkata-kata dan memandang dengan bingung dan Bandini menolongnya.
"Kau harus memanggil Kang Mas, Mbak Sari!" Dengan muka merah Sariwati lalu berkata lagi,
"Kang Mas... mohon kau suka menaruh belas kasihan kepada kami dan tolonglah mbakyu Kencanawati. Dan Ibuku" Ibuku... ah..." Sariwati tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tangisnya datang lagi membuat ia terisak-isak.
Kini Bandini teringat kembali kepada Kencanawati dan kepada Ibunya, terutama sekali ia teringat kepada Bondan yang terbunuh mati, maka ia pun menangis dan tangisnya keras sekali. Adiguna mamandang bingung. Para perajurit telah pergi dari situ, bahkan yang tadi merangkak-rangkak keluar dari lumpur, telah ditolong oleh kawan-kawannya dan telah pergi semua hingga tempat disitu sunyi. Apakah yang harus dilakukannya" Kalau ke Waru untuk menolong Kencanawati, bagaimana dengan dua orang gadis ini" Bisa juga mereka disuruh pulung dulu ke Pakem, akan tetapi bagaimana kalau mereka ini bertemu dengan anak buah Galiga Jaya di tengah jalan" Akhirnya ia mengambil keputusan untuk mengantar kedua orang dara ini ke rumah pamannya dulu, baru kemudian ia kembali lagi dan menolong Kencanawati.
"Marilah kalian kuantar ke Pakem dan untuk sementara waktu tinggal dengan pamanku. Setelah itu aku akan mencoba menolong kalian." Oelh karena tubuh kedua orang gadis itu telah menjadi lemah saking takut dan menderita waktu mereka ditawan dan menjerit-jerit tadi, maka tentu saja mereka tak dapat berjalan cepat. Setelah hari menjadi senja, barulah mereka tiba di Pakem dan disambut oleh para penduduk kampung dengan riang gembira, akan tetapi mereka menjadi berduka ketika mendengar bahwa Kencanawati belum tertolong dari tangan Penewu Galiga Jaya. Adiguna lau menyerahkan kedua orang dara itu kepada paman dan bibinya Wiryosentiko, kemudia ia lalu berlari cepat menuju ke Waru untuk menolong Kencanawati.
Hari telah menjadi gelap ketika ia tiba di gedung Galiga Jaya. Ternyata bahwa Penewu Galiga Jaya telah bersiap sedia menanti datanganya serangan musuh, oleh karena ia telah mengatur barisan pendam (perajurit-perajurit bersembunyi) disekitar tempat itu hingga tadipun ia telah diberi tahu oleh penjaga terdepan bahwa anak muda yang gagah perkasa itu telah datang menyerbu seorang diri. Ketika dengan hati-hati Adiguna telah memasuki taman, tiba-tiba saja tamansari itu telah terkurung rapat oleh ratusan orang perajurit yang memegang tombak dan pedang hingga mereka merupakan pagar tombak yang amat kokoh kuat. Obor-obor dipasang dari sekeliling taman itu hingga keadaan di dalam taman menjadi terang dan tubuh pemuda itu nampak nyata di bawah sinar obor. Adiguna tidak menjadi jerih, bahkan lalu bertolak pinggang dan berteriak,
"Galiga Jaya, kalau kau memang seorang jantan dan sakti, keluarlah kau untuk mencoba tebalnya kulit kerasnya tulang dengan aku!"
"Adiguna, anjing kecil yang tak tahu adat! Kau kira aku takut kepadamu?" terdengar jawaban dari tempat gelap dan tiba-tiba tubuh Galiga Jaya yang tinggi besar lagi kuat itu melompat keluar. Penewu ini nampak menyeramkan sekali. Pakaiannya serba ringkas berwarna hitam, rambutnya yang panjang digulung ke atas dan diikat dengan kain wungu, sarungnya diikatkan kebelakang hingga nampak celana hitam sebatas lutut. Dadanya telanjang dan berbulu ditengah-tengah. Di kedua pergelangan tangannya nampak gelang akar cendana yang berwarna kehitam-hitaman, tangan kiri memegang sabuk lawe merah dan tangan kanan memegang sebatang keris luk tujuh. Adiguna masih saja tersenyum dan bersikap tenang, kemudian setelah Galiga Jaya berdiri dihadapannya dengan sikap yang mengerikan bagaikan seekor harimau haus darah, pemuda itu berkata mengejek,
"Galiga Jaya, kau mengandalkan pangkat dan kekuasaan untuk berlaku sewenang-wenang menindas rakyat kecil, menculik perawan-perawan dusun, membunuh kaum tani untuk melepas nafsumu yang jahat. Apakah kau tidak malu" Sebagai seorang pemimpin dan Penewu, kau seharusnya memberi contoh-contoh baik kepada rakyat agar rakyat hidup dalam keadaan tata tenteram kerta raharja. Kalau pemimpinnya berlaku sebagai seorang berandal perampok besar, apakah perampok-perampok dan maling-maling kecil takkan berkeliaran mencontoh perbuatanmu" Apa kau tidak takut kepada Sri Sultan yang arif bijaksana?" Bukan main marahnya Galiga Jaya mendengar ini, dan kedua matanya yang lebar menjadi merah ketika ia membentak,
"Babo, babo! Adiguna bocah kampung! Kau mengandalkan sedikit ilmu kepandaianmu untuk bersikap sombong! Kau ini orang macam apakah berani sekali membuka mulut besar dan berlaku sebagai penasihatku" Bangsat benar! Bukalah matamu dan lihat baik-baik! Ketiga anak perempuan itu adalah anak tiriku dan aku berhak untuk membawa mereka, siapa berani bilang bahwa aku menculik mereka! Kau pandai memutar lidah. Kaulah yang menculik Sariwati dan Bandini, dan kalau tidak lekas kembalikan kedua anak tiriku itu, kau akan mampus di ujung ribuan senjata! Aku membunuh orang-orang karena mereka telah memberontak dan berani melawan Penewu dan perajurit-perajurit Mataram. Mengapa Sri Sultan akan amarah kepadaku" Sudahlah, Adiguna, sayangi jiwa dan usia mudamu! Aku akan ampuni kau asal saja kau mengembalikan kedua orang puteri tiriku yang kau culik itu dan pergilah selanjutnya dari daerahku ini dengan aman!"
Biarpun ucapan Penewu itu terdengar seakan-akan ia berbaik hati dan berlaku murah kepada Adiguna, namun pada hakekatnya ucapan ini terdorong oleh rasa jerih menghadapi pemuda dan gagah dan sakti itu, walaupun belum boleh dianggap bahwa ia takut. Galiga Jaya adalah murid Panembahan Baudenda yang terkenal sakti dan yang bertapa di tepi sungai sebelah timur Gunung Lawu. Ia telah mempelajari berbagai ilmu kepandaian berkelahi dan aji kesaktian, serta sudah banyak mengalami pertempuran-pertempuran besar hingga kegagahannya membuat ia terpilih dan diangkat menjadi Penewu oleh Sri Sultan. Maka tentu saja ia tidak takut kepada seorang pemuda tanggung seperti Adiguna ini.
"Galiga Jaya!" jawab Adiguna yang sama sekali tidak marah mendengar dirinya dimaki-maki, "Jangan kau bicara seperti anak kecil. Semua orang tahu akan maksudmu yang keji dan kotor. Kau bertopeng hendak melindungi puteri tirimu, padahal sebenarnya kau hendak mengambilnya menjadi selir! Dan kau bahkan telah menyiksa isterimu Rondo Kuning dan yang lebih hebat lagi, kau telah menjatuhkan tangan kejam dan membunuh anakmu sendiri yang masih kecil. Lekas kau bebaskan Kencanawati agar aku dapat mengembalikannya kepada adik-adiknya dan selanjutnya jangan kau berbuat sewenang-wenang lagi!" Diingatkan akan pembunuhan terhadap Bondan yang tak disengaja itu, tiba-tiba Galiga Jaya menjadi pucat karena marah dan sambil berseru dengan geramnya ia lompat menerkam dan sekaligus menggerakkan dua buah senjata di kedua tangannya mengirim serangan hebat!
"Bagus!" seru Adiguna yang cepat mengelak karena ia maklum bahwa tidak saja sabuk lawe merah di tangan lawannya itu amat ampuh, juga keris luk tujuh itupun buka senjata sembarangan dan kehijau-hijauan itu saja menujukkan bahwa itu adalah senjata yang mengandung bisa! Galiga Jaya tidak memberi kesempatan kepada Adiguna untuk balas menyerang, ia memutar-mutar sabuk lawenya sedemikian rupa hingga menyambar-nyambar ke arah Adiguna, sedangkan kerisnya siap sedia menembus dada pemuda itu apabila kesempatannya terbuka baginya. Diam-diam Adiguna terkejut dan kagum melihat sepak terjang lawannya yang tangkas.
Ia maklum bahwa Penewu ini bukan seorang lawan yang lemah dan tidak boleh dibuat gegabah. Maka ia berlaku hati-hati sekali dan mempergunakan kesigapan dan kecepatan gerakannya untuk menghindarkan ancaman kedua senjata itu. Beberapa lama mereka bertempur di bawah sorak-sorai para perajurit yang masih mengurung denga obor di tangan kiri dan tombak di tangan kanan. Mereka bersorak gembira oleh karena melihat betapa pemuda pengacau itu tidak mendapat kesempatan untuk membuat serangan balasan. Memang, terjangan dan serbuan Galiga Jaya yang dilakukan bertubi-tubi itu tak memungkinkan Adiguna membuat serangan balasan. Biarpun dalam pandangan mata para perajurit, agaknya Galiga Jaya mendesak terus dan akan mendapat kemenangan, namun Penewu itu sendiri merasa terkejut dan kagum sekali.
Belum pernah selama hidupnya ia menghadapi seorang lawan yang memiliki kegesitan seperti Adiguna. Ia merasa seakan-akan sedang bertempur melawan sebuah bayangan. Semua serangannya gagal dan selalu mengenai angin! Keringat telah membasahi jidatnya. Sebaliknya, Adiguna juga merasa bahwa apabila dia hanya bertempur sambil mundur dan mengelak saja, akhirnya ia tentu akan kalah, karena selain menghadapi Galiga Jaya yang sakti, disitu masih berdiri ratusan perajurit yang tentu akan mengeroyok. Ia berpikir bahwa sebelum mereka itu bergerak, lebih baik berusaha merobohkan Galiga Jaya terlebih dulu. Maka Adiguna lalu meraih ikat kepalanya dan menarik ikat kepalanya yang berwarna biru. Ikat kepalanya adalah ikat kepala yang biasa dipakai oleh gurunya dan ketika hendak turun gunung, gurunya memberikan ikat kepala biru itu kepadanya sambil berkata,
"Muridku, kalau terpaksa engkau harus melawan seorang lawan tangguh dengan senjata, kau pergunakanlah ikat kepala ini yang mempunya daya melumpuhkan lawan, akan tetapi ingat, jangan sekali-kali engkau menewaskan nyawa lawan kalau tidak mempunya dasar yang kuat hingga engkau terpaksa menewaskannya. Kalau engkau sembarangan membunuh manusia, engkau akan terkena kutuk, Adiguna!" Kini menghadapi Galiga Jaya, Adiguna yang terdesak itu terpaksa menarik ikat kepala ini dari atas kepalanya dan memegangnya di tangan kanan pada ujungnya. Ketika keris luk tujuh di tangan Galiga Jaya menyambar, cepat bagai kilat Adiguna menggerakkan tanggannya dan ujung ikat kepalanya meluncur dan menangkis keris itu.
Sekali saja Adiguna menggentakkan tangannya, ujung ikat kepala itu membelit keris! Galigaya mengeluarkan suara ketawa keras dan ia mempergunakan tenaganya untuk membetok kerisnya agar ikat kepala lawan muda itu terbabat putus. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika mendapat kenyataan bahwa kerisnya sama sekali tak dapat dilepas dari belitan ikat kepala itu. Bahkan tiba-tiba terdengar Adiguna berseru keras dan menggerakkan tenaganya dan keris di tangan Galiga Jaya itu terlepas dari pegangan, karena dibetot oleh kain pengikat kepala di tangan Adiguna. Saking kerasnya Adiguna menarik, keris itu sampai terlepas dan meluncur cepat menancap di atas tanah! Galiga Jaya marah sekali dan memukul dengan sabuk lawe merah di tangannya, Adiguna menangkis dengan kebutan kain kepalanya.
Gambar 0202 Dua helai senjata ini bertemu dan Galiga Jaya merasa betapa lengan tangannya tergetar hebat! Ia makin marah dan penasaran sekali dan menyabet bertubi-tubi, akan tetapi kali ini Adiguna tidak hanya main kelit saja. Ia menangkis dengan ikat kepalanya dan bahkan membalas dengan serangan kebutan yang mendatangkan angin!. Sorak-sorai para perajurit tiba-tiba tak terdengar lagi ketika melihat betapa keris pusaka Penewu itu telah terpukul jatuh dan bahkan kini pemuda yang luar biasa itu mulai membalas dengan serangan-serangan yang tak kalah hebatnya. Mereka melihat betapa Penewu yang tinggi besar itu mulai terdesak mundur, agaknya tidak kuat menghadapai ikat kepala ditangan Adiguna! Beberapa orang perwira pembantu Galiga Jaya yang juga memiliki kepandaian, ketika melihat betapa pemimpin mereka terdesak,
Tanpa menanti perintah lagi, segera melompat maju sambil menghunus senjata masing-masing. Mereka ini terdiri dari tujuh orang perwira yang disebut Penatus, atau perwira yang mengepalai seratus orang perajurit dan rata-rata memiliki kepandaian bertempur yang lumayan juga. Milihat datangnya serbuan ini, Adiguna bergerak cepat. Sambil mengeluarkan ilmu pencak silatnya yang disebut "Joget Lutung Sakti", ia menyerang cepat sekali hingga ujung ikat kepalanya berhasil memukul pundak Galiga Jaya. Biarpun yang dipukulkan itu hanyalah sehelai kain pengikat kepala, namun akibatnya hebat sekali! Galiga Jaya merasa seakan-akan seluruh otot dan bayu di dalam tubuhnya diloloskan dan yang membuatnya menjadi lumpuh tak bertenaga! Ia jatuh mendeprok dan mendekam di atas tanah tanpa daya, mengeluarkan keluhan yang timbul dari rasa heran dan putus asa!
Ia maklum sepenuhnya bahwa apabila pada saat itu Adiguna menyerang dan menjatuhkan pukulan maut, ia tak akan dapat mengelak ataupun menangkis lagi. Maka ia lalu meramkan mata menanti jatuhnya pukulan dan menerima nasib. Akan tetapi, biarpun Adiguna amat benci kepadanya, dia tidak mau menjatuhkan pukulan maut, bahkan lalu membalikkan tubuh dan menghadapi serbuan tujuh orang perwira itu. Kini ia mengamuk bagaikan seekor naga sakti bermain dengan ombak laut. Kain pengikat kepala yang ampuh itu telah diikatkan kembali dan untuk menghadapi sekalian perwira itu, dia tidak perlu menggunakan senjata. Ia hanya pergunakan kedua tangan dan kakinya yang sudah lebih dari cukup untuk membuat para pengeroyoknya kocar-kacir dan jatuh bangun!
Akan tetapi, para pengeroyok datang bagaikan air membanjir, jatuh satu datang dua, jatuh dua datang empat dan roboh empat datang delapan! Adiguna mengerti bahwa kalau ia terus melayani mereka, ia akan kehabisan tenanga, dan pula hal ini akan berarti membuang-buang waktu dengan sia-sia. Maka ia lalu berseru keras dan dengan sebuah lompatan yang mentakjubkan para pengeroyoknya, pemuda sakti ini telah berhasil melompat dengan cepat melewati kepala para pengeroyoknya dan terus berlari menuju ke gedung Penewu! Setiap perajuit yang menghadangnya, dirobohkannya dengan sekali dorong atau sekali tendang. Ketika ia berhasil menyerbu masuk kedalam gedung dan langsung menuju ke ruang keputren, yakni tempat tinggal para selir dan isteri Penewu yang banyak sekali jumlahnya, ternyata bahwa disitupun terjadi keributan hebat!
Ketika Galiga Jaya berhasil membawa lari Kencanawati, ia masukkan dara itu ke dalam kamar dan membujuk-bujuknya agar dara itu suka menjadi selirnya. Biarpun Kencanawai memaki-maki dan menangis serta menyatakan tidak sudi, namun d depan Penewu itu, gadis ini tidak berdaya dan biarpun ia ingin sekali membunuh diri, namun tak berhasil karena Penewu itu keburu mencegahnya. Ketika serbuan Adiguna datang, maka Galiga Jaya lalu menyingkirkan semua benda yang kiranya dapat dipakai untuk membunuh diri, lalu meninggalkan Kencanawati setelah mengunci pintu kamarnya. Akan tetapi, setelah Penewu itu pergi, Kencanawat lalu melepaskan kembennya (sabuknya) dan menggunakan kemben itu untuk menggantung diri!
Dan ketika para selir mengintai dari balik daun jendela, mereka melihat bahwa tubuh Kencanawati telah bergantung dengan kaku dan tak bernyawa pula! Setelah mendapat keterangan dimana adanya kamar yang menjadi tempat tawanan gadis itu, Adiguna lalu menendang daun pintu hingga roboh dan ia berdiri diam bagaikan patung ketika menyaksikan pemandangan yang mengerikan itu. Tubuh dara yang cantik jelita itu ternyata telah tak bernyawa pula dan masih tergantung dengan leher terikat kemben! Dengan hati penuh iba, Adiguna melompat ke atas dan merenggut kemben itu terlepas dari tiang usuk. Cepat ia melepaskan kemben dari leher Kencanawati dan setelah mendapat kenyataan bahwa dara jelita itu benar-benar telah mati, Adiguna lalu memondong tubuh yang tak bernyawa pula itu dan berlari keluar dengan cepat sekali!
Para perajurit yang telah merasa jerih, tidak ada yang berani mencegahnya dan Adiguna lalu melarikan diri menuju ke Pakem dengan mayat dara itu di dalam pondongannya. Ketika ia tiba di Pakem, malam telah hampir lewat dan fajar telah mulai menyingsing. Penduduk dusun Pakem termasuk pamannya dan sekalian keluarga, juga Sariwati dan Bandini telah menanti di luar kampung. Tiba-tiba semua orang melihat dengan samar-samar diantara halimun menebal, sesosok bayangan orang berlari mendatangi dengan cepat sekali. Dan setelah bayangan itu berdiri di depan mereka, ternyata itulah orang yang mereka tunggu-tunggu, Adiguna. Akan tetapi, ketika melihat bahwa pemuda itu memondong tubuh seorang wanita yang telah lemas dengan rambut terurai, Bandini dan Sariwati menubruk maju dan menjerit,
"Mbakyu Kencanawati"!!" Jerit tangis yang memilukan terdengar ketika Adiguna menceritakan bahwa Kencanawati menggantung diri sampai mati di dalam kamar tahanannya di gedung Penewu. Sariwati bahkan sampai pingsan beberapa kali hingga ributlah semua orang dusun Pakem. Orang-orang telah mencari Rondo Kuning dengan tersebar, akan tetapi ternyata bahwa Ibu yang karena sedihnya menjadi seperti gila itu tak dapat ditemukan.
"Bagaimana kalau Penewu Galiga Jaya dan perajurit-perajuritnya datang mengejar dan menyerbu disini?" Pak Wiryosentiko menyatakan kekhawatirannya.
"Jangan khawatir, paman. Kalau keparat itu dan kaki tangannya datang mengejar, biarlah ananda yang menghadapinya!" jawab Adiguna dengan gagah.
"Adiguna" kata pamannya yang telah tua dan banyak pengalaman itu sambil menghela napas, "Aku percaya akan kesaktianmu. Akan tetapi, engkau hanya seorang diri, sedangkan Penewu mempunyai banyak perajurit. Bagaimana engkau yang hanya seorang diri ini dapat menghadapinya" Mungkin engkau sendiri dapat membela diri dan selamat, akan tetapi apakah engkau dapat menjaga keselamatan kami sekampung dan kedua orang gadis ini?" Setelah berpikir-pikir, Adiguna menganggap bahwa ucapan pamannya ini betul juga. Maka semua orang lalu mencari daya upaya untuk menghindarkan kedua orang gadis remaja itu dari bencana yang mengancam. Akhirnya Pak Wiryosentiko juga yang mendapatkan jalan terbaik.
"Baiknya begini saja, Guna. Jangan kepalang tanggung menolong keluarga Rondo Kuning. Kau bawalah kedua orang gadis ini ke tempat aman jauh letaknya dari sini. Kami akan mengubur jenazah Kencanawati yang akan kami kebumikan bersama-sama jenazah pemuda Sutadi yang juga telah diketemukan. Kalau Galiga Jaya menyerbu kesini, tentu dia takkan mengganggu kami asalkan engkau dan kedua orang gadis ini tidak berada di kampung Pakem." Semua orang menyatakan setuju, maka biarpun kedua orang gadis yang malang itu masih lelah sekali dan mereka tidak mau meninggalkan jenazah kakak mereka, namun mereka dipaksa oleh semua orang, bahkan Adiguna lalu berkata kepada Sariwati,
"Aku percaya bahwa kalian berdua mempunyai kebijaksanaan cukup untuk mengerti bahwa apabila Penewu jahanam itu melihat kalian berada disini, maka seluruh kampung akan tertimpa bencana. Apakah kalian tega melihat kehancuran penduduk sekampung ini?" Sariwati memandang pemuda itu dengan mata basah, kemudian dengan hati berat sekali ia membungkuk dan mencium sekali lagi kening jenazah kakaknya, lalu ia membetot tangan Bandini.
"Aku" aku telah siap," katanya dengan suara gemetar. Pada pagi hari itu juga, Adiguna kembali mengiringkan kedua orang gadis itu meninggalkan Pakem.
Sariwati dan Bandini sebenarnya telah lelah sekali hingga mereka merasa betapa kedua kaki mereka lemas tak bertenaga, sedangkan telapak kaki mereka yang berkulit tipis itu telah pecah-pecah. Kemarin mereka telah melakukan perjalanan jauh setelah menderita takut, kaget dan lelah ketika terculik, kemudian malam tadi sama sekali mereka tak dapat tidur. Kini pagi-pagi mereka telah diharuskan berjalan lagi, bukan berjalan di atas tanah yang halus dan baik, akan tetapi masuk keluar hutan yang penuh duri dan kerikil tajam, maka tentu saja mereka berjalan dengan sukar sekali! Hati Adiguna merasa kasihan sekali melihat kedua orang remaja puteri ini, terutama melihat Sariwati, biarpun gadis ini sedikitpun tak pernah mengeluh dan hanya berjalan sambil tertunduk. Sebaliknya Bandini mengeluh panjang pendek.
"Aduh, awak celaka! Aduh, tubuh sial! Mengapa nasibku sampai menderita semacam ini" Aduh, Dewata yang Agung, cabutlah saja nyawa hamba daripada menderita sengsara seperti ini." Kadang-kadang Bandini mengeluh dan menyebut-nyebut Ibunya sambil menangis,
"Ibu" Ibu" dimanakah engkau Ibu" Aku hendak ikut Ibu"!" Kalau Bandini menyebut-nyebut Ibunya, Sariwati lalu mendekap dan memeluknya sambil menangis dan keduanya lalu mogok berjalan, hingga terpaksa Adiguna menghibur dengan kata-kata halus. Ketika mereka berjalan di atas jalan yang penuh kerikil tajam, Bandini menyumpah-nyumpah,
"Bedebah! Kerikil kejam tak mengenal perikemanusiaan! Sudah tahu orang lagi sengsara masih menyiksa dan menusuk-nusuk kaki. Aduh" kakiku lecet-lecet dan sakit..." Bandini terhuyung-huyung dan hampir saja ia jatuh kalau Adiguna tidak lekas-lekas menangkap dan mendukungnya. Ketika merasa betapa enaknya didukung oleh sepasang lengan tangan yang kuat itu, Bandini menarik napas panjang dengan lega sambil memejamkan mata dan berkata,
"Ah... Kalau saja aku mempunyai seorang kakak yang berlengan kuat seperti ini, tentu ia akan mendukungku dan tidak membiarkan aku berjalan kaki hingga kakiku hancur-lebur." Adiguna tersenyum dan memandang wajah dara nakal yang hitam manis itu.
"Bagaimana kalau kau anggap aku kakakmu sendiri dan kau kudukung" Maukah kau?" Bandini mengangguk-anggukkan kepala dengan senang.
"Mau" mau sekali!" Tiba-tiba ia mengerling kepada Sariwati.
"Tapi" ah, turunkanlah aku. Kak Sari tentu akan marah dan memaki aku sebagai gadis genit seperti biasa! Biarlah kakiku hancur dan lecet-lecet! Biar kedua kakiku patah-patah, lebih baik begitu daripada kau dukung dan dimaki-maki oleh Mbak Sari yang galak!" Ia mencoba melepaskan diri, akan tetapi sambil tersenyum geli. Adiguna bertanya kepada Sariwati,
"Bolehkah dia kudukung" sebagai" sebagai kakaknya?" Sariwati merasa gemas melihat kenakalan dan kemanjaan adiknya, akan tetapi hatinya merasa kasihan juga melihat adiknya berjalan dengan sukar.
Dia sendiri merasa betapa sepasang kakinya sakit-sakit dan lelah sekali, maka ia lalu mengangguk perlahan tanpa mengeluarkan jawaban. Adiguna merasa kasihan sekali kepada Sariwati dan ia lalu berjalan perlahan disamping gadis itu sambil mendukung Bandini. Dan tak lama kemudian, Bandini telah jatuh pulas dalam dukungannya. Di dalam pulasnya, gadis cilik itu tersenyum! Beberapa kali Adiguna memandang wajah manis dalam dukungannya ini dan ia merasa, betapa bahagianya kalau ia mempunyai seorang adik seperti ini! Dia sendiri hidup sebatang kara, tak berayah tak beribu, tak bersaudara pula. Keluarga satu-satunya, Pak Wiryosentiko sekarang terpaksa ditinggalkannya pula. Ia menghela napas dan berkata kepada Sariwati yang berjalan dengan kepala tunduk, seakan-akan gadis ini sedang menghitung langkah kakinya,
"Diajeng Sari... adikmu ini manis dan jenaka sekali. Aku suka sekali mempunyai adik seperti ini!" Kata-kata yang dikeluarkan tanpa disadari artinya ini membuat Sariwati bermerah muka. Dan gadis ini yang merasa cinta sekali kepada Bandini, selalu tak dapat menahan senyumnya kalau orang bicara tentang Bandini yang nakal, kenes, akan tetapi mempunyai hati baik.
"Dia nakal, Mas. Bangunkanlah dia dan biar dia berjalan lagi."
"Ah, biarlah, diajeng. Tak apa, kasihan kakinya sampai pecah-pecah dan bengkak," kata Adiguna sambil memandang ke arah kaki Bandini. Sariwati memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata mengandung pernyataan terima kasih besar dan kagum sekali.
"Kau baik sekali kepada kami, Mas Guna. Mengapakah?" Adiguna terkejut dan memandang. Sepasang mata bertemu yang membuat pemuda itu menjadi bingung, tak tahu harus menjawab bagaimana. Akhirnya ia dapat juga menentramkan hatinya yang berdebar, lalu berkata,
"Sudah menjadi tugas hidup setiap orang untuk menolong sesamanya yang sedang menderita sengsara, diajeng. Aku adalah orang biasa saja, tidak lebih baik daripada orang lain." Sariwati merasa terharu sekali dari dalam hatinya ia mengakui bahwa selama hidupnya belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda yang semulia ini hatinya, segagah ini sepak terjangnya dan setampan ini wajahnya!
"Kau tentu lelah, Mas. Marilah kita beristirahat dulu." Adiguna tidak tahu bahwa sebenarnya Sariwatilah yang merasa lelah, akan tetapi oleh karena gadis itu berbicara dengan sewajarnya, ia tidak mengerti dan menyangka gadis itu benar-benar khawatir kalau ia lelah.
"Aku sama sekali tidak lelah, diajeng. Jangankan baru berjalan sedemikian dekat, aku pernah berjalan kaki tiga hari tiga malam tanpa merasa lelah." Tanpa disengaja, entah mengapa dan berbeda dengan sikapnya yang biasa, ia telah membanggakan kepandaian dan kekuatannya kepada gadis itu! Di dalam hatinya Sariwati mengeluh. Tiga hari tiga malam berjalan kaki"
"Kau mau artikan bahwa selama tiga hari tiga malam kau sanggup berjalan kaki terus-menerus sambil mendukung orang?" Adiguna mengangguk sambil tersenyum. Hatinya membesar karena bangga.
"Tanpa merasa lelah?" tanya lagi dara itu. Kembali Adiguna mengangguk.
"Celaka," pikir Sariwati, Kalau pemuda ini mengajak ia bejalan terus selama tiga hari tiga malam, ia bisa mati sambil berjalan! Sedangkan sekarang juga kakinya telah menggigil karena lelahnya. Tiba-tiba Sariwati tersandung dan terhuyung ke depan. Adiguna terkejut dan hendak menolong, akan tetapi tak dapat karena ia sedang mendukung tubuh Bandini. Akan tetapi gerakannya ini membuat Bandini tersadar. Sariwati jatuh terduduk dan memijit-mijit kaki kanannya. Bandini segera turun dari dukungan dan menghampiri kakaknya.
"Mengapa, Mbak Sari" Kau jatuh?" tanyanya. Sariwati tidak menjawab, bahkan mengerling tajam dan cemberut kepada adiknya.
"Kenapa kakimu, diajeng" Sakitkah?" tanya Adiguna sambil membungkuk dan melihat kulit yang putih kuning dan halus itu.
"Entahlah, keseleo agaknya," kata gadis itu sambil memijit-mijit betis kakinya yang menjadi bunting. Terpaksa Adiguna membuang muka dan tak sanggup melihat betis itu lebih lama lagi karena terjadi sesuatu pada hatinya yang membuat dada kirinya berdebar keras! Bandini membantu kakaknya berdiri dan ketika dicoba berjalan, Sariwati terpincang dan sukar dapat melangkahkan kaki.
"Mbak Sari, engkau harus didukung! Kang Mas Guna kau dukunglah Mbak Sari. Kasihan, kakinya keseleo!" Adiguna bermerah muka dan merasa serba salah. Apakah yang harus dilakukan" Untuk mendukung Sariwati, tentu saja ia mau dan bahkan agaknya di saat itu tidak ada kegirangan yang lebih besar daripada mendukung tubuh itu dan merasai tubuh yang menimbulkan debar mengherankan pada jantungnya itu berada dekat-dekat dengan dirinya. Akan tetapi, ia tak kuasa mengucapkan kata-kata, malu untuk menawarkan jasanya.
"Mengapa, Mas Guna" Apakah engkau tidak mau menolong dan mendukung Mbak Sari?" tanya Bandini dengan wajah mengandung penasaran dan marah.
"Tentu aku mau!" jawab Adiguna cepat-cepat.
"Habis, tunggu apalagi" Dukunglah, lihat, kakinya juga pecah-pecah. Tidak kasihankah engkau kepadanya?"
"Bandini!" Sariwati mencela sambil memandang adiknya dengan tajam.
"Diajeng Sari, maukah engkau kudukung?" akhirnya dapat juga pemuda itu mengeluarkan kata-katanya.
Makin merah wajah Sariwati mendengar tawaran ini dan tanpa berani memandang, ia berkata lembut,
"Kalau engkau mau..."
Adiguna lalu membungkuk dan kedua lengan tangannya kuat memeluk belakang tubuh Sariwati, lalu diangkatnya tubuh itu dengan ringannya! Ia merasa betapa tubuh itu seakan-akan lebih ringan daripada tubuh Bandini, dan aneh sekali, kedua lengan tangannya gemetar ketika menyentuh tubuh darah ini. Sariwati merasa malu sekali hingga meramkan matanya, tidak berani membukanya, hanya merasa betapa tubuhnya kini merasa enak dan senang sekali. Lenyap seluruh rasa lelah yang tadi dideritanya! Ketika ia mencoba membuka mata, kebetulan sekali mata Adiguna yang berada dekat wajahnya sendiri itu sedang memandangnya. Kembali dua pasang mata beradu dan Sariwati cepat-cepat meramkan matanya lagi. Diam-diam Adiguna melirik ke arah kaki kanan gadis itu dan ia mendapat kenyataan, bahwa kaki itu sebenarnya tidak apa-apa!
Diam-diam ia merasa geli dan mendukungnya lebih erat lagi, seakan-akan ia merasa khawatir kalau-kalau tubuh yang didukungnya itu akan terlepas dan jatuh. Ia merasa seolah-olah mendukung sebuah benda yang tak bernilai harganya dan diam-diam ia bersumpah bahwa ia hendak membela tubuh yang didukungnya ini dengan seluruh badan dan nyawanya! Biarpun Adiguna membantu kedua remaja puteri itu didalam perjalanan, mendukung mereka silih berganti, namun terpaksa ia sering berhenti dan beristirahat, oleh karena kalau dipaksanya tentu mereka akan jatuh sakit karena lelah dan lapar. Mereka hanya makan buah-buah yang mereka dapatkan di sepanjang perjalanan. Apabila malam tiba, mereka bermalam di bawah pohon-pohon besar dan Adiguna selalu menjaga mereka dengan penuh perhatian hingga kedua remaja itu merasa berterima kasih sekali.
Hubungan antara Adiguna dan Sariwati tidak kaku lagi, bahkan apabila mereka bertiga berjalan melanjutkan perjalanan mereka, Bandini memegang tangan kiri Adiguna, sedang tangan kanan pemuda itu berpegang dengan tangan kiri Sariwati! Tanpa mengucapkan dengan mulut, antara Sariwati dan Adiguna terdapat jalinan kasih cinta yang mendalam. Pandang mata mereka jelas menyatakan suara hati dan masing-masing telah dapat menyelami isi hati tanpa mengeluarkan kata-kata. Apakah yang lebih meyakinkan dan jelas dari pertukaran pandang mata untuk menyatakan cinta kasih antara seorang pria dan seorang wanita" Bandini yang lincah dan kewat merasa suka sekali kepada Adiguna dan menganggapnya kakak sendiri.
Remaja puteri ini cerdik dan nakal, maka biarpun kedua muda-mudi itu tak pernah menyatakan perasaan cinta kasih mereka, baik dengan kata-kata maupun dengan perbuatan, namun Bandini sudah dapat menerka bahwa keduanya saling tertarik dan saling cinta. Hal ini menjadi bahan baginya untuk menggoda kakaknya, dan tiap kali ada kesempatan, tentu dia menggoda Sariwati dan Adiguna yang membuat Sariwati pura-pura marah dan Adiguna tertawa gembira! Pada hari ketiga, ketika mereka bermalam di sebuah hutan dan pada keesokan harinya pagi-pagi sekali melanjutkan perjalanan, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara mengaum yang keras sekali dan menggetarkan seluruh isi hutan! Bandini dan Sariwati terkejut sekali dan mereka memegang tangan Adiguna di kanan kiri sambil merapatkan tubuh kepada pemuda itu.
"Harimau," bisik Sariwati dengan tubuh terasa dingin, sedangkan Bandini telah menggigil ketakutan!
"Tenanglah," bisik Adiguna sambil melepaskan kedua tangannya yang terpegang erat-erat itu untuk bersiap sedia menghadapi serangan. Tiba-tiba rumpun alang-alang di sebelah kiri bergoyang-goyang dan Adiguna cepat memutar tubuhnya menghadapi alang-alang itu.
Sariwati dan Bandini cepat berlari di belakang tubuh Adiguna sambil mengintai dan balik punggung pemuda itu. Terdengar lagi auman keras, dan kini nampaklah kepala seekor harimau muncul dari alang-alang. Sepasang matanya yang bercahaya terang itu liar memandang, kemudian menatap wajah Adiguna yang berdiri tak bergerak. Akan tetapi, hanya sebentar saja mata harimau itu kuat beradu pandang dengan Adiguna dan terpaksa harimau itu mengalihkan pandang matanya ke bawah. Mata pemuda dihadapannya itu terlampau kuat dan tajam hingga membuat matanya terasa perih dan pedas. Ia lalu maju perlahan dan kini nampaklah tubuhnya yang tinggi dan besar seperti seekor anak sapi, kulit kuning dan loreng-loreng sedangkan perutnya yang kecil ramping itu mengempis, tanda bahwa ia sedang lapar sekali dan telah beberapa hari tak mendapat mangsa.
"Kang Mas Guna" hati-hati, mas"!" terdengar Sariwati berbisik gemetar oleh karena dara ini teringat betapa dulu pemuda pujaan hatinya ini pernah digondol macan. Dengan perasaan berterima kasih karena mendengar betapa suara gadis yang penuh kecemasan dan kekhawatiran terhadap dirinya itu terdengar mesra sekali, Adiguna tersenyum dan menyentuh tangan Sariwati yang terulur kepadanya.
"Jangan kau khawatir, diajeng!" Sambil berkata demikian, tangan kiri Adiguna tak disengaja meraba pundaknya dimana terdapat luka kecil bekas gigitan harimau yang menggodolnya ketika ia masih kecil dulu.
"Tinggal saja disini, jangan mendekat!" katanya lagi kepada Sariwati dan Bandini, kemudian dengan amat beraninya Adiguna melangkah ke arah kanan agar ia dapat melayani terjangan binatang itu di tempat yang agak lega dan jauh dari kedua dara itu.
Melihat betapa calon korbannya melangkah ke kanan, harimau itu bergerak mengikuti dengan tindakan perlahan dan dari hidungnya keluar suara menghembus-hembus. Kedua matanya memandang kepada Adiguna, akan tetapi tidak secara langsung, bagaikan mengerling dari bawah dan selalu menghindari pandang mata pemuda itu. Ekornya menjungat ke atas, tak bergerak, tanda dari ketegangan hatinya. Tiba-tiba harimau itu merendahkan diri, masih maju perlahan, akan tetapi perutnya hampir menempel tanah, kedua matanya memandang tajam. Kemudian, tiba-tiba sekali sambil mengeluarkan gerengan keras dan menyeramkan, ia melompat tinggi dan menerkam ke arah leher Adiguna. Bandini memekik lalu menubruk Sariwati untuk menyembunyikan mukanya di dada kakaknya itu. Sariwati mendekapnya, akan tetapi gadis ini dengan mata terbelalak memandang ke arah Adiguna sambil menjerit ngeri,
"Awas, Mas...!" Adiguna bersikap tenang-tenang saja. Sambil melangkah ke kiri dengan cepat, ia dapat menghindarkan diri dari terkaman pertama itu dan tak lupa ia melirik ke arah Sariwati sambil tersenyum membesarkan hati dan berkata lembut,
"Jangat takut, Sari!"
Gambar 0203 Ketika terkamannya dielakkan oleh lawannya, harimau itu cepat membalikkan tubuh dan kini ia menjadi marah sekali. Ia mendekam, mengerahkan seluruh tenaga pada kaki belakangnya, kemudian mengejot tubuhnya tinggi-tinggi, menerkam lagi dengan lebih hebat dan cepat daripada tadi! Adiguna menyuruk maju ke depan di bawah tubuh harimau itu, lalu cepat membalikkan tubuh hingga ketika harimau itu melompat turun, ia berada dibelakang harimau dan sekali ia mengangkat kaki menendang, tubuh itu terpental jauh dan bergulingan!
Bukan main besar hati Sariwati melihat ini. Matanya terbelalak kagum dan bangga, sungguhpun hatinya masih dak-dik-duk, karena khawatir sekali melihat betapa ketika menerkam, kuku-kuku harimau itu terulur panjang sedangkan mulut harimau itu meringis memperlihatkan gigi yang tajam-tajam mengerikan! Harimau itu geram sekali. Ia menggereng keras dan setelah ia dapat berdiri kembali, ia segera menubruk lagi, kini lompatannya rendah dan langsung ke depan hingga tidak memungkinkan Adiguna untuk menyusup ke depan seperti tadi. Pemuda itu tidak kurang akal. Ia mempergunakan ilmu kepandaiannya melompat tinggi ke kanan dan dan sambil melompat dan miringkan tubuh hingga lagi-lagi terkaman harimau itu tidak mengenai tubuhnya,
Ia mengulur tangan dan berhasil menangkap ekornya hingga tubuh harimau itu rebah miring dan cepat-cepat ia memukul dengan tangan kanan ke arah leher binatang itu. Akan tetapi, harimau itu bukanlah lawan yang ringan. Sambil menggerakkan tubuh dan menundukkan kepala, ia mencoba untuk mengelakkan pukulan Adiguna hingga pukulan itu meleset dan hanya menyerempet pundak binatang itu saja. Namun pukulan ini biarpun hanya menyerempet kulit, cukup membuat binantang itu menggerung kesakitan dan sekali meronta ekornya dapat terlepas dari pegangan Adiguna. Kini harimau itu lebih berhati-hati karena agaknya ia maklum bahwa pemuda yang menghadapinya dengan tenang ini bukanlah seorang yang mudah saja dicalonkan menjadi pengisi perutnya!
Ia mulai berjalan memutar dan berusaha menghampiri Adiguna dari belakang! Bandini yang kini berani mengangkat muka dan memandang, merasa ngeri sekali. Tidak seperti ketika menyaksikan Adiguna berlagak melawan para perajurit Penewu dulu, kini ia betul-betul merasa ngeri melihat harimau itu, hingga bukan saja ia tidak bergembira melihat pertempuran ini, bahkan ia memandang takut-takut dan memeluk mbakyunya erat-erat. Sebaliknya, makin lama kekhawatiran Sariwati melenyap dan pandang matanya makin kagum dan makin mesra terhadap Adiguna. Alangkah gagahnya pemuda itu, pikirnya. Segagah Arjuna, tiada keduanya di dunia ini! Sementara itu, Adiguna mengikuti harimau yang berputar-putar berusaha mengelilingi dirinya. Ia juga ikut berputar hingga harimau itu sudah mengelilingi dirinya dua putaran.


Rondo Kuning Membalas Dendam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Heh, bedebah pengecut!" Adiguna berkata mengejek sambil mengernyitkan hidung kepada harimau itu. "Kau tidak berani menyerang dari depan" Baiklah, seranglah dari belakang!" Ia lalu berdiri diam dan tidak mau mengikuti harimau itu berputar lagi.
"Awas, Kang Mas!" teriak Sariwati karena hatinya menjadi cemas lagi melihat betapa Adiguna berlaku sembrono dan terlalu berani. Akan tetapi, pada saat itu harimau tadi telah melompat dan menubruk dari belakang tubuh Adiguna! Namun, kini Adiguna memperlihatkan kegagahannya yang luar biasa. Ia membalikkan tubuh dan tidak mengelak, akan tetapi sebaliknya, secepat kilat ia mengirim serangan untuk menyambut terkaman itu!
Serangannya ini adalah ilmu pukulan yang disebut Raksa Rodra (Beruang Buas). Kedua tangannya bergerak demikian cepat dan kuatnya hingga pukulan tangan kiri sekali gerak dapat menyampok kedua kaki depan harimau yang mencakar dan pukulan tangan kanan dengan tenaga penuh menghantam muka harimau itu, tepat di pangkal matanya. Harimau itu seperti terkena sambaran petir. Ia meraung keras dan tubuhnya berguling-guling sampai merupakan buntalan kain loreng-loreng yang bulat digelundungkan. Setelah tubuhnya itu menabrak sebatang pohon jati, barulah tubuhnya berhenti bergulingan. Ia berdiri lagi dengan kepala pening, karena untuk beberapa lama ia hanya mengeluh dan menggereng-gereng. Agaknya pandang matanya nanar dan segala yang dilihatnya berputaran!
Pukulan yang baru diterimanya tadi benar-benar hebat dan belum pernah ia terpukul sekeras itu. Sebetulnya, keberaniannya telah lenyap dan ia merasa jerih menghadapi pemuda itu, akan tetapi oleh karena perutnya merasa lapar sekali, ia menjadi nekat. Ia mulai menoleh ke kanan kiri dan tiba-tiba ia melihat dua orang gadis yang duduk berpelukan di bawah pohon. Kebetulan sekali ketika ia terpukul dan terlempar bergulingan, ia terlempar ke arah tempat dua orang gadis itu, hingga kini jarak antara dia dengan tempat mereka lebih dekat daripada jarak antara Adiguna dengan tempat mereka! Ia mengaum sekali lagi keras-keras dan tiba-tiba ia berlari ke arah kedua gadis itu! Bandini memekik keras dan tiba-tiba kedua kakinya seakan-akan lumpuh hingga ia terguling jauh dan lekas-lekas dipeluk oleh kakaknya, sedangkan Sariwati berseru,
"Kang Mas" lekas, tolong"!" Biarpun telah mempunyai perasaan benci terhadap harimau, namun tadi Adiguna tidak mempunyai niat untuk membinasakan harimau ini. Akan tetapi setelah melihat betapa binatang itu dengan ganas dan buasnya lari hendak mengganggu Sariwati, Adiguna menjadi marah sekali.
"Binatang keparat!" Ia memaki dan tubuhnya melompat cepat sekali hingga sebelum harimau itu sempat menubruk Sariwati dan Bandini, Adiguna telah menubruknya dari belakang dan memeluk pinggangnya. Tubrukan ini keras sekali hingga binatang itu terguling dan Adiguna tetap memeluk pinggangnya dan terguling bersama!
Harimau itu mencoba untuk memberontak dan ketika ia mencakar dengan keempat kakinya, kaki belakangnya mencakar paha Adiguna dan pemuda ini merasa pahanya perih! Makin marahlah Adiguna dan ia lalu bangun berdiri dengan harimau itu masih dipeluknya hingga binatang itupun terbawa berdiri di atas kaki belakangnya! Demikian hebat tenaga Adiguna hingga harimau itu tak kuasa melawannya. Adiguna lalu melepaskan pelukan tangan kanan dan sekarang ia menggunakan lengan kanan yang kuat itu untuk memeluk dan menjepit leher harimau dari belakang, sedangkan lengan kirinya masih tetap memeluk pinggang. Ia mengerahkan tenaga, otot-otot pada lengan kanannya membusung dan tak lama lagi "Krak" patahlah leher harimau itu! Setelah Adiguna melepaskan bangkai harimau itu dan berdiri memandang bangkai lawannya, Sariwati berlari sambil memekik,
"Kang Mas... Kau... kau terluka hebat...?" Ternyata bahwa dara itu melihat betapa paha Adiguna berlumur darah hingga saking cemas dan kagetnya, ia lupa diri, berlari cepat dan segera berlutut dan memeluk kaki kanan pemuda yang terluka itu. Terharu sekali hati Adiguna melihat pernyataan cinta kasih yang suci murni ini. Ia segera membungkuk dan mengangkat bangun gadis itu dengan halus. Mereka berdiri berhadapan dan kedua tangan Adiguna masih memegang kedua bahu Sariwati dan dua pasang mata saling pandang dengan mesra, menyatakan perasaan hati masing-masing dalam seribu satu bahasa gagu! Bandini yang melihat keadaan mereka itu, lalu datang berlari-lari. Kini gadis cilik ini tidak takut lagi dan ia tertawa-tawa dan menari-nari mengelilingi kedua teruna remaja itu.
"Bagus, bagus! Kalian kini menjadi mimi dan mintuna seperti Kamajaya dan Kamaratih!"
"Hush, Bandini! Jangan kau berlaku nakal dan main-main! Tidak kau lihatkah betapa Kang Mas Adiguna menderita luka parah?" Teringat akan luka itu Sariwati lalu berlutut kembali untuk memeriksa paha yang terluka, dan karena biarpun luka itu sedikit saja akan tetapi mengalirkan banyak darah hingga lukanya tertutup, maka Sariwati menyangka bahwa luka dipaha Adiguna parah.
"Tidak apa-apa diajeng. Hanya luka kecil saja dan tidak berarti."
"Kaki berlumur darah dan kau bilang luka kecil tidak berarti apa-apa?" mencela Sariwati dan gadis lalu melepas kembennya (sabuknya) yang terbuat dari sutera hijau untuk dipotong sedikit pada ujungnya.
Ia mempergunakan giginya yang putih dan kuat menggigit pinggir kemben lalu merobeknya. Setelah membetulkan kembennya dengan baik-baik, ia lalu mempergunakan potongan kemben itu untuk membalut luka di paha Adiguna yang masih berdiri sambil menundukkan kepala memandang gadis kekasih yang cantik ini. Dari atas ia melihat alis yang hitam indah dan hidung yang lurus dan memancung, melihat potongan tubuh yang menggairahkan hingga diam-diam ia makin kagum melihat keindahan bentuk tubuh dan kecantikan Sariwati yang dianggapnya sempurna tanpa cacat itu. Ia merasa berterima kasih sekali kepada sepuluh jari tangan yang kecil-kecil dan berkulit halus, jari-jari runcing yang membalut pahanya dengan cekatan dan sentuhan mesra. Setelah selesai membalut paha yang terluka itu, Sariwati bangun berdiri dan mukanya memerah.
"Terima kasih, diajeng," bisik Adiguna.
"Kami yang harus berterima kasih kepadamu, bukan kau!" kata Sariwati. Kemudian ia memandang khawatir, "Bagaimana Kang Mas. Sakit sekalikah kakimu" Apakah kau dapat berjalan" Atau, akan lebih baikkah kalau kita istirahat dulu agar kakimu sembuh kembali?" Adiguna memandang dan tersenyum mendengar pertanyaan-pertanyaan yang dihujankan oleh gadis itu. Ia menggeleng-geleng kepala dan menjawab,
"Kakiku tidak apa-apa. Kalau lukanya lebih besar dan patah sekalipun, mendapat rawatanmu dan dibalut oleh tanganmu yang halus lembut itu, tentu akan sembuh juga seketika! Mari kita lanjutkan perjalanan agar lekas sampai di tempat tujuan."
"Kemanakah kau hendak membawa kami pergi, Kang Mas?" tanya Sariwati.
"Tidak ada tempat yang lebih aman daripada tempat tinggal guruku," jawabnya.
"Gurumu" Apakah gurumu siluman macan yang menggondolmu dulu?" Bandini bertanya sambil membelalakan matanya yang hitam lebar karena kengerian. Juga Sariwati memandang penuh pertanyaan.
"Bukan, guruku bukan siluman, juga bukan macan! Beliau adalah Sang Panembahan Sidik Paningal atau lebih terkenal dengan sebutan Eyang Sidik, yang tinggal di lereng Gunung Lawu."
"Jadi gunung ini adalah Gunung Lawu?" tanya Bandini lagi. Memang benar, mereka telah tiba di kaki Gunung Lawu yang mengandung banyak hutan-hutan liar. Perjalanan menjadi makin sukar, akan tetapi berkat ketangkasan Adiguna yang tak segan-segan untuk memondong mereka seorang demi seorang apabila melintasi jurang yang berbahaya, dan berkat keteguhan hati kedua remaja puteri yang tidak bersikap manja itu, akhirnya sampai juga mereka di lereng gunung dengan selamat. Ketika Adiguna tiba di depan gua tempat tinggal Eyang Sidik, panembahan tua dan sakti itu kebetulan sekali tengah duduk di depan guanya. Ia menyambut muridnya dengan senyum dikulum.
"Wahai, Adiguna muridku, kau sudah kembali lagi" Dan siapakah gerangan dua orang puteri yang ikut datang bersamamu ini?" Sambil menyembah dan berlutut, Adiguna menceritakan pengalamannya selama meninggalkan perguruan. Panembahan Sidik Paningal mengangguk-anggukkan kepala dan akhirnya berkata kepada dua orang gadis itu.
"Memang betul apa yang direncanakan oleh Adiguna, angger. Kalian berdua lebih baik untuk sementara waktu tinggal dulu disini bersama Eyang." Sariwati dan Bandini berlutut dan menyembah. Semenjak pertama kali melihat panembahan yang bermuka terang dan agung itu, mereka merasa tunduk dan menghormat sekali.
Dari pandangan pertama mereka dapat menduga bahwa panembahan itu tentu seorang suci yang patut dihormati dan dapat dipercaya penuh. Kemudian, atas perintah Panembahan Sidik Paningal, Adiguna lalu membangun sebuah pondok sederhana dari bambu dan kayu gunung beratapkan ilalang kering. Biarpun pondok ini sederhana sekali, namun cukup untuk tempat tinggal kedua orang perawan itu. Mereka suka benar tinggal di tempat itu, oleh karena selain berhawa sejuk segar, juga tentram dan kaya akan tamasya alam yang indah. Kepada orang-orang tani yang kebetulan melihat kedua orang gadis itu, dengan singkat Eyang Sidik memberi tahu bahwa mereka adalah dua orang keluarga Adiguna yang datang kesitu untuk menjadi muridnya. Ucapan ini bukanlah bohong semata, oleh karena memang kedua kakak beradik itu semenjak datang mempelajari ilmu dari Panembahan Sidik Paningal.
Bandini yang merasa sakit hati dan benci melihat kekejaman orang-orang yang telah menghancurkan kebahagiaan keluarganya menaruh hati dendam dan dia bercita-cita menjadi seorang pendekar wanita seperti Srikandi, Mustokoweni, atau Larasati yang kegagahannya tidak kalah oleh pria. Eyang Sidik yang mengetahui sifat gadis ini tidak segan-segan memberi pelajaran olah keperwiraan, sedangkan Sariwati yang lebih halus dan lemah lembut serta mempunyai bakat sebagai ahli tapa yang teguh iman dan kuat kemauan, mendapat latihan aji kesaktian berdasarkan ilmu batin. Sementara itu setelah bermalam tiga hari di tempat gurunya, Adiguna lalu diperintahkan untuk turun gunung lagi oleh Eyang Sidik, agar supaya pemuda itu dapat meluaskan pengetahuan dan mencari pengalaman serta mengulurkan tangan membela dan menolong mereka yang tertindas dan menderita sengsara.
"Kau perlu datang ke Pakem lagi, Adiguna, karena aku khawatir sekali kalau-kalau Penewu itu menjatuhkan tangan jahat kepada penduduk disana sebagai penumpah amarahnya kepadamu." Adiguna maklum akan kesaktian gurunya dan ia tahu pula bahwa gurunya itu mempunyai pandangan yang tajam sekali. Apa yang diucapkan oleh kakek sakti ini selalu terbukti, maka tanpa membuang waktu lagi, ia segera turun gunung. Sebelum ia pergi, ia berhasil menemui Sariwati.
"Diajeng, jagalah baik-baik dirimu dan adikmu disini dan jangan kau khawatir, karena dalam perlindungan Eyang Panembahan, kau dan adikmu takkan menemui bencana sesuatu. Aku takkan lama pergi dan segera aku akan kembali lagi, diajeng."
"Kakang Mas, berjanjilah sekali lagi bahwa kau akan kembali!" Adiguna melangkah maju dan tanpa ragu-ragu lagi ia memegang kedua tangan dara itu. Mereka berpegangan tangan dan getaran yang keluar dari hati mereka melalui tangan itu menceritakan kepada masing-masing akan perasaan hati mereka.
"Aku bersumpah, diajeng, bahwa aku pasti akan kembali kepadamu."
"Aku akan selalu mengenangmu, Kang Mas, dan aku akan bersetia menantimu sampai datang ajalku!"
"Diajeng... Terima kasih atas cinta kasihmu yang besar ini." Kedua berpegang tangan dan berdiri dan tak bergerak, hanya saling pandang dengan mesra. Akhirnya Sariwati melepaskan tangannya dan berkata lirih.
"Jangan lupa untuk mencari tahu tentang keadaan Ibu, Kang Mas."
"Tentu, diajeng, tentu. Aku takkan melupakan hal penting itu." Maka akhirnya berangkatlah Adiguna, diikuti pandang mata kekasihnya.
Pada masa itu, daerah Mataram amatlah luasnya. Daerah sebelah selatan meluas sampai kepinggir Laut Kidul, laut yang bergelombang besar dan dahsyat, laut yang tak pernah diam airnya, yang selalu melempar ombak ke pantai dan siang malam tiada hentinya ombak memukul batu-batu karang di pingir laut, menerbitkan bunyi menggelegar bagaikan ratusan raksasa mengamuk dan saling bunuh sambil mengeluarkan teriakan-teriakan menyeramkan. Semua orang merasa seram dan takut apabila melihat Laut Kidul, laut yang pusat perhatian para pertapa, laut yang terkenal Nyai Roro Kidul, Ratu wanita yang menguasai laut luas itu dengan anggauta yang menyeramkan oleh karena tentaranya bukanlah manusia biasa, melainkan para siluman dan dedemit.
Nyai Roro Kidul menjadi tokoh besar sebagai Ratu iblis dan setan, seperti Sang Batari Durga di jaman pewayangan! Semua orang yang tinggal di dekat pantai laut, tiap malam Selasa dan malam Jum"at, tak pernah lalai dan lupa untuk membakar dupa dan menyajikan kembang rampai untuk menghormat dan memuja Nyai Roro Kidul yang terkenal sakti dan gaib itu. Pada suatu hari, diantara batu-batu karang yang menghitam dan telah licin mengkilat karena tiap saat disiram air laut yang datang bergelombang, nampak sesosok bayangan orang berjalan terbungkuk-bungkuk dan terhuyung di tepi laut. Bayangan ini jelas sekali merupakan bayangan seorang wanita dan kalau pada saat itu ada orang yang melihatnya dari jauh, maka tentu orang itu tak akan ragu lagi bahwa yang sedang berjalan itu adalah Nyai Roro Kidul sendiri.
(Lanjut ke Jilid 03) Rondo Kuning Membalas Dendam (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 03 Kalau orang yang melihatnya itu akan mendekat, maka ia akan merasa ngeri dan terkejut sekali, oleh karena wanita ini selain rambutnya yang hitam dan panjang itu terurai kebelakang dan tak terurus dan pakaiannya compang-camping, juga mukanya yang nyata cantik sekali itu nampak mengerikan. Kedua matanya memerah, pipinya yang kuning itu memucat, mulutnya dengan bibir berbentuk indah dan merah warnanya itu menyeringai seakan-akan ia menderita kesakitan hebat, sedangkan peluh dan debu telah mengotori mukanya hingga corang-coreng tidak karuan. Titik-titik air mata mengering di kedua pipinya.
Yang lebih mengerikan adalah bahwa wanita yang paling banyak berusia tiga puluh lima tahun ini, menggendong seorang anak kecil. Bukan, bukan anak lagi, melainkan sebuah mayat anak kecil yang telah mulai rusak dan menyiarkan bau busuk! Wanita itu adalah Rondo Kuning, yang telah menjadi gila oleh karena kesedihan dan kehancuran hatinya melihat puteranya, Bondan, mati terbunuh oleh kepalan tangan Ayah anak itu sendiri, Penewu Galiga Jaya! Juga karena terlalu mengkhawatirkan keadaan ketiga orang puterinya, terutama Kencanawati, maka wanita yang malang ini menjadi berubah pikiran. Ia melarikan diri dari Pakem sambil menggendong, menciumi dan menangisi mayat Bondan, terus berlari ke selatan dan menangis disepanjang jalan. Sebentar-bentar menangisi anaknya, sebentar tertawa tergelak-gelak atau terkekeh-kekeh sambil memaki-maki Galiga Jaya!
Orang-orang yang bertemu di jalan lari menjauhi dengan hati ngeri dan takut. Berhari-hari bahkan berpekan-pekan Rondo Kuning berjalan kaki terus menuju ke arah selatan tanpa tujuan tanpa kehendak dan apabila ia merasa lapar, ia makan apa saja yang ditermukan. Daun-daun pohon, akar-akar, buah-buah, bahkan kadang-kadang ada ulat yang dimakannya! Tiada hentinya ia menimang-nimang Bondan yang sudah menjadi mayat itu dan tentu saja mayat itu rusak dan menyiarkan bau busuk hingga keadaannya sungguh mengerikan dan menyedihkan! Oleh karena lelah dan lapar Rondo Kuning lalu menjatuhkan diri berlutut diatas pasir yang halus dan bersih itu, melempar-lempar batu karang yang terdapat dibeberapa tempat, lalu menurunkan mayat Bondan dan menidurkan sambil mulutnya mengeluarkan bunyi sebagaimana biasanya Ibu menidurkan anak,
"Ssh" ssh" ssh?" dan tangan kanannya dengan mesra dan lemah lembut menepuk-nepuk paha mayat anaknya yang mulai keriputan itu! Kebetulan sekali pada waktu itu, air laut sedang surut hingga, air laut tidak sampai ke atas pasir dimana Rondo Kuning menidur-nidurkan anaknya. Kemudian, karena terlampau lelah, Rondo Kuning lalu membaringkan tubuhnya di sebelah mayat Bondan dan jatuh pulas. Tak terasa lagi, malam tiba dengan cepatnya menggantikan siang. Bulan muncul menggantikan malam hari yang agaknya merasa terlalu ngeri dan kasih melihat keadaan Rondo Kuning, hingga ingin buru-buru bersembunyi agar tak usah terlalu lama melihat keadaan wanita yang mengharukan itu!
Blue Ransel 1 Pendekar Rajawali Sakti 108 Harga Sebuah Kepala Jaka Dan Dara 2

Cari Blog Ini