Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp Bagian 1
Sekte Teratai Putih 1 1 Sekte Teratai Putih 1 1 << SEKTE TERATAI PUTIH >>
Karya : STEFANUS S.P. Jilid I *** K ETIKA pintu gerbang kota Se-shia sudah
terlihat di depan mata, maka Soh Piao
pun melambatkan lari kudanya. Selain untuk
tidak menguras habis tenaga kudanya, ia sendiri
juga ingin berkuda dengan santai sambil
menegakkan punggungnya, setelah setengah
hari membungkuk berpacu di atas pelana
kudanya karena diburu waktu. Kini melihat kota
Se-shia sudah di depan mata, ia berpikir untuk
mendapat makanan dan minuman segar buat
dirinya sendiri, dan buat kudanya juga.
Se-shia adalah sebuah kota di kawasan
barat-laut kekaisaran, sebuah titik dari jalur
perniagaan kuno yang disebut Jalan Sutera.
Karena itulah di dalam kotanya tidak
Sekte Teratai Putih 1 2 mengherankan kalau banyak terlihat orangorang asing bertampang Asia Tengah atau Asia
Barat, baik sebagai penetap maupun sekedar
lewat. Memasuki kota, Soh Piao harus menjalankan
kudanya lebih perlahan lagi, sebab di kota ini
yang memakai jalanan bukan hanya manusia
melainkan kadang-kadang juga rombongan
kambing atau domba yang memenuhi jalan.
Begitu juga waktu itu, serombongan kambing
memenuhi jalanan dengan digembala seorang
Mongol dengan topinya yang khas. Jalanan jadi
macet, diwarnai sedikit pertengkaran antara si
penggembala kambing dengan penjual sayuran
di pinggir jalan yang dagangannya dihampiri
kambing-kambing itu. Ketika melewati tempat yang agaknya adalah
penitipan hewan-hewan tunggang seperti kuda,
keledai dan unta, Soh Piao membelokkan kuda
memasuki tempat itu. Seorang pegawai tempat itu cepat
menyambut, "Mau menitipkan kuda, Tuan?"
"Benar." Sekte Teratai Putih 1 3 "Apakah kuda Tuan perlu dimandikan dan
disikat bulunya?" "Cukup diberi makan saja sampai kenyang,
aku hanya sebentar di tempat ini." sahut Soh
Piao sambil melompat turun dari kuda dan
menyerahkan tali kekang ke tangan orang itu.
"Eh, sobat, di mana ada orang menjual makanan
enak di dekat-dekat sini saja?"
"Ada, Tuan. Tuan ikuti saja jalanan itu ke
arah barat sampai puluhan langkah, sampai
ketemu simpang tiga. Nah, beloklah ke kiri, ada
warung enak." "Baik. Terima kasih. Aku titip kudaku dulu."
"Silakan, Tuan."
Soh Piao meninggalkan tempat penitipan
hewan-hewan tunggangan tadi, dan berjalan
menuju ke arah yang ditunjukkan. Ia temukan
bahwa yang disebut warung itu ternyata adalah
sebuah tenda besar dengan beberapa tenda
kecil di sekitarnya. Di depannya banyak
ditambatkan kuda dan unta kafilah, nampaknya
tempat itu begitu ramai. Dari dalam tenda besar
Sekte Teratai Putih 1 4 tercium bau daging kambing bakar yang
membangkitkan selera. Sekali lihat bentuk tendanya, Soh Piao
langsung tahu kalau pemilik tempat makan ini
pastilah orang Hui. Dan karena orang suku Hui
umumnya beragama Islam, di tempat makan itu
tentu takkan dapat dijumpai arak atau daging
babi, namun mereka terkenal dengan
keahliannya mengolah kambing.
Soh Piao melangkah masuk tenda besar
sambil mencopot capingnya dan pedang yang
tergendong di punggungnya. Dicarinya tempat
duduk, ditaruhnya pedangnya di meja, sedang
tudung bambu digunakannya untukt mengipasngipas dirinya.
Seorang lelaki Hui berikat kepala putih
mendekati Soh Piao dan bertanya, "Selamat
siang, Tuan. Tempat kami menyediakan macammacam masakan daging kambing seperti..."
orang itu menyebutkan serentetan nama
masakan, lalu, "...nah, Tuan mau pesan yang
mana?" Sekte Teratai Putih 1 5 Karena bingung memilih, Soh Piao melihatlihat dulu ke sekitarnya, dan ketika melihat
seorang tamu lain sedang makan dengan lahap
di meja sebelah, maka ia berkata dengan suara
rendah, "Masakan yang seperti itu saja."
Si lelaki Hui tersenyum. "Minumnya?"
"Apa saja?" Berbeda dengan jenis makanannya yang
berbeda-beda, maka jenis minumannya justeru
hanya dua macam, "Susu kambing panas dan
dingin. Kalau Tuan mau, bisa dicampur telor."
Soh Piao menarik napas. Bau kambing saja
sudah membuatnya pening, namun melihat
orang-orang sekitarnya meneguk dengan lahap
dari mangkuk-mangkuk besar mereka, maka dia
pun ingin mencoba "Baik, yang dingin saja, dan
tidak usah dicampur telor."
Selama menunggu pesanannya, Soh Piao
sempat mengedarkan pandangannya, mengamati tamu-tamu lain di bawah tenda
besar itu. Sebagian dari mereka adalah orangorang asing, bisa dilihat dari tampang, bahasa
dan pakaian mereka. Kalau tidak berpakaian
Sekte Teratai Putih 1 6 saudagar, ya berpenampilan seperti pengawal
bayaran. Di tempat itu memang banyak jagoan
yang menjual jasa sebagai pengawal bayaran
untuk menemani para kafilah yang hendak
melintasi gurun pasir. Karena jauhnya
perjalanan, maka sekali disewa, pengawal itu
bisa melakukan perjalanan selama tiga-empat
bulan lamanya. Mereka kelihatan sebagai orangorang yang kuat dan berani, dengan berbagai
macam senjata yang mereka bawa. Bahkan Soh
Piao melihat juga beberapa pucuk senjata api
yang dl jaman itu ujung larasnya masih
berbentuk terompet, gunanya untuk mengisikan bubuk mesiu dari moncongnya.
jaman itu, bubuk senapan maupun pelurunya
yang berujud kelereng besi masih harus diisikan
dari moncong senapan. Pesanan Soh Piao pun diantar datang. Itulah
sepiring besar irisan-irlsan daging, kambing
panggang bercampur bau bawang dan merica
yang tajam, semangkuk saus kental berwarna
kecoklat-coklatan, dan semangkuk besar susu
kambing yang tidak dicampur telor melainkan
Sekte Teratai Putih 1 7 permuka annya terapung-apung beberapa helai
bulu kambing seperti perahu wisata di Telaga
Tiong-ting-oh. Tidak ada sumpit yang disediakan. Ia
menoleh ke sekitarnya dan melihat bahwa
tamu-tamu lain pun makan tanpa sumpit,
mereka menggunakan "jurus tangan kosong"
untuk mencomot potongan-daging, dicelup saus
kemudian langsung dicaplok. Tetapi kelihatannya enak sekali. Buktinya ada seorang
tamu yang menggunakan potongan daging
terakhirnya untuk membersihkan sisa-sisa saus
sampai ke dasar mangkuk, lalu mengunyah
daging itu dengan bersuara keras.
Soh Piao pun akhirnya mengikuti cara makan
orang-orang barat-laut itu. Ternyata nikmat
juga. Bahkan untuk menambah kenikmatan,
kaki boleh saja dinaikkan ke atas bangku. Soh
Piao ikut-ikutan. Dia yang sudah lama
mengikuti gaya hidup "beradab" orang-orang
suku Han, suku mayoritas di wilayah tengah dan
selatan yang serba tertib itu, sekarang merasa
bebas. Beberapa orang meliriknya dengan
Sekte Teratai Putih 1 8 heran juga, kenapa ada orang Han ikut-ikutan
makan sambil menaikkan kaki"
Selesai makan, ia minum susu kambingnya.
Ia harus berjuang keras membujuk perutnya
agar tidak memberontak lalu memuntahkan
kembali susu campur bulu itu. Berhasillah ia
minum sepertiga isi mangkuk besar itu, lalu ia
melambai memanggil lelaki Hui tadi.
"Berapa harganya semua?" Soh Piao
menunjuk bekas-bekas makannya di meja.
Orang itu menyebut harganya, dan Soh Piao
membayarnya sedikit lebih banyak.
"Kembaliannya buat kamu." katanya dengan
keangkuhan khas orang-orang wilayah tengah
dan selatan, suka berlagak tidak perlu benar
kepada uang. "Terima kasih, Tuan."
"Sebentar, aku mau tanya suatu hal."
"Silakan, Tuan."
"Apakah kau tahu di mana letak puri
kediaman Keluarga Sebun?"
"Oh, bekas puri, maksud Tuan?"
"Lho, kenapa bekas?"
Sekte Teratai Putih 1 9 "Karena puri itu sudah menjadi reruntuhan."
"Tetapi masih ada orang yang mendiaminya
bukan?" "Kelihatannya masih, begitu kata pencaripencari kayu bakar yang sering berada di
tempat itu." Soh Piao termangu-mangu sejenak.
"Baiklah, tolong beri petunjuk tentang
tempat itu," "Tuan keluar dari kota ini ke arah selatan,
ikuti jalan raya yang menuju kota Seng-toh.
Kira-kira sepuluh li dari gerbang kota, kalau
Tuan menengok ke sebelah kiri, Tuan akan
melihat sebuah bukit kecil. Nah, di atas itulah
dulu tempatnya Puri Keluarga Sebun."
"Baik. Terima kasih." Soh Piao bangkit dari
duduknya sambil mengikatkan kembali
pedangnya melintang di punggung, lalu
membawa capingnya dan keluar dari rumah
makan itu. Di tempat penitipan hewan tunggangan, ia
mengambil kudanya yang sudah segar dan,
kenyang, membayar ongkos perawatannya, lalu
Sekte Teratai Putih 1 10 menaiki kuda itu ke arah pintu gerbang selatan
kota Se-shia. Pintu gerbang terus dilewatinya, dan kini ia
berada di jalanan luar kota yang sepi, maka
jarak sepuluh li yang dikatakan pegawai warung
tadi hanya diukurnya secara kira-kira saja.
Benar juga, tidak lama kemudian terlihat di
sebelah kiri jalan, atau di sebelah timur, nampak
sebuah bukit kecil yang tertutup belukar lebat.
Hanya pepohonan yang kelihatan, tidak terlihat
ada bangunan apa-apa di bukit itu.
Soh Piao menghentikan kudanya untuk
mengamat-amati. "Apakah aku salah alamat?" Soh Piao
berpikir ragu-ragu. Dari dalam bajunya ia
keluarkan sepucuk surat yang harus disampaikan kepada Keluarga Sebun di Se-shia,
dari Keluarga Sebun di Lok-yang. Ia baca lagi
tulisan di sampul itu, "Kepada yang ananda
hormati: Ibunda Sebun, Adinda Sebun Giok dan
Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keponakan-keponakan sekalian di Bukit Pekhim-nia (Bukit Beruang Putih), Se-shia."
Sekte Teratai Putih 1 11 Soh Piao celingukan lagi. Jangan lagi
bangunan di atas bukit, bahkan jalan untuk
menuju ke atas pun tidak terlihat. Seluruh bukit
tertutup rapat oleh semak belukar dan rumput
ilalang. Tiba-tiba Soh Piao melihat ada seorang
sedang memanggul seikat kayu bakar di atas
pundaknya. Cepat-cepat Soh Piao memajukan
kudanya sambil berseru memanggil, "Hei,
tunggu, sobati" Orang itu berhenti dan menatap Soh Piao.
Setelah Soh Piao dekat dan dapat memperhatikan orang itu, ternyatalah orang itu
adalah pemuda yang memiliki sepasang mata
jernih, memakai pakaian sederhana dengan
sebilah kapak kecil pemotong kayu terselip di
ikat pinggangnya. Dan nampaklah pemuda itu
juga seorang berkaki pincang.
Soh Piao turun dari kudanya. "Maaf, sobat,
numpang tanya, apakah tempat ini bernama
Pek-him-nia?" "Benar, Tuan." "Tempat keluarga Sebun?"
Sekte Teratai Putih 1 12 "Benar, Tuan." "Jalan mana yang harus dilewati untuk
sampai ke tempat tinggal keluarga Sebun?"
"Bisa lewat situ, terus naik ke atas," pemuda
itu menunjuk jalan setapak di antara pohonpohon yang tadinya hampir tidak terlihat
karena tertutup belukar. Dan gelap, meskipun
saat itu matahari sedang di tengah-tengah
langit, sebab jalan setapak itu tertutup daundaun pohon di atasnya berlapis-lapis.
Soh Piao mengucap terima kasih kepada
pencari kayu itu, lalu menuntun kudanya
memasuki lorong jalan setapak itu. Tempat
macam itu jelas tidak mungkin dilalui dengan
menunggang kuda. Sesekali Soh Piao harus melompati batang
pohon yang tumbang dan sudah dikeroposkan
oleh jamur-payung, kadang-kadang juga harus
menundukkan kepala supaya kepalanya tidak
terbentur dahan yang terlalu rendah.
Hampir-hampir Soh Piao tidak percaya,
bahwa tempat belukar macam itulah dulu
menjadi tempat kediaman yang megah dari
Sekte Teratai Putih 1 13 Keluarga Sebun, yang puluhan tahun yang silam
adalah mercusuarnya rimba persilatan kawasan
barat-laut. "Kejayaan dunia pun sesuatu yang fana...."
Soh Piao jadi semakin menghayati kata-kata
kuno itu. Sampai di pinggang bukit dia menemukan
sebuah tugu batu yang sudah roboh, diselimuti
lumut dan rumput. Dengan telapak sepatunya,
Soh Piao menghapus lumut sehingga muncul
kembali lekuk-lekuk hurufnya. Tiga huruf "Pek
Him Nia" atau Bukit Beruang Putih. Dinamakan
demikian bukan karena di situ banyak beruang
putihnya, melainkan karena puluhan tahun
yang lalu Sebun Him dikenal dengan gelar Sehim (Beruang Barat).
Tiba di atas bukit, Soh Piao menjumpai
reruntuhan puri yang luas terbentang. Di
depannya persis adalah sebuah telundakan batu
yang tinggi, namun sudah berantakan karena
banyak ubinnya yang hilang dicongkel maupun
pecah-pecah, dilapisi rerumputan liar karena
tebalnya tanah melapisinya. Di atas telundakan
Sekte Teratai Putih 1 14 adalah pintu gerbang yang mestinya megah
kalau masih utuh, namun pintu gerbang itupun
sudah setengah ambruk, sama dengan tembok
yang mengelilingi puri. Soh Piao menuntun kudanya menaiki
telundakan itu. Sampai di puncak telundakan, Soh Piao tidak
bisa langsung melihat ke halaman dalam,
karena terhalang sebuah tembok yang didirikan
tepat di belakang pintu gerbang, berfungsi
sebagai macam sekesel. Menurut Peng-hoat
(teori militer) yang pernah Soh Piao baca,
tembok macam itu untuk menahan laju
serangan musuh seandainya musuh berhasil
mendobrak pintu gerbang. Itulah sebabnya di
tembok macam itu biasanya terdapat lubanglubang pemanah dua deretan, deretan atas
untuk memanah yang berdiri, deretan yang
bawah untuk pemanah-pemanah yang berjongkok. Bagian lain dari puri ini boleh ambruk
menjadi reruntuhan, tapi tembok penghalang
pandangan itu tetap dirawat, bahkan ada tandaSekte Teratai Putih 1
15 tanda kalau pernah diperbaiki. Rupanya karena
pada tembok itulah terlukis lambang kejayaan
Keluarga Sebun tempo dulu, yaitu gambar
seekor beruang yang berdiri dengan kedua kaki
belakangnya sambil mengangkat kedua cakar
depannya tinggi-tinggi. Sebagaimana temboknya, lukisan itu juga bukan lukisan aseli,
melainkan pernah dilukis ulang, dan celakanya
pelukisnya kurang mahir. Maka kesan beruang
garang yang dikehendaki jadi tidak tercapai,
sebaliknya muncul seekor beruang yang agak
kurus. Kedua cakarnya yang terangkat ke atas
itu tidak merupakan ancaman buat musuh,
tetapi malah menimbulkan kesan seperti
beruang di kebun binatang yang kurang dana,
seakan sedang minta dilempari makanan oleh
pengunjung kebun binatang. Bukan menggetarkan, melainkan mengharukan.
Soh Piao geleng-geleng kepala sendiri
melihat itu, gumamnya, "Buat apa terus
memaksakan diri menimbulkan kenangan masa
lalu dengan mempertahankan simbol simbol
kosong macam ini?" Sekte Teratai Putih 1 16 la melangkah ke balik tembok bergambar itu
dan melihat bangunan-bangunan yang berantakan dan nyaris seluruhnya tertutup
tanaman rambat liar, dihurti binatang-binatang
dan burung-burung liar. Ada sebuah kolam yang
dulunya pasti berair jernih dengan bunga
teratai, ikan emas dan angsa putihnya, namun
sekarang airnya tinggal sedikit sebab separuh
dari kolam itu sudah terisi tanah ditumbuhi
ilalang setinggi manusia. Airnya yang sedikit itu
berwarna hijau kental, tempat nyamuk dan
kodok berkerajaan. Soh Piao berhenti melangkah dan berseru,
"Permisi! Saya Soh Piao, utusan Keluarga Sebun
dari Lok-yang, ingin menjumpai Keluarga Sebun
di Se-shia! Suaranya hanya bergaung dan mengagetkan
burung-burung liar yang sedang hinggap di
reruntuhan tembok. Burung-burung itu lalu
kabur. Soh Piao mengulangi seruannya lebih keras,
dan akhirnya ada juga reaksi dari arah puri.
Dari balik reruntuhan terdengar derap lari
Sekte Teratai Putih 1 17 mendekat, lalu muncullah seorang gadis berusia
sekitar enam belas tahun. Rambutnya dikuncir
dua, sikapnya tidak ubahnya dengan gadis-gadis
sebayanya, sebelah kakinya masih di alam
kanak-kanak, sementara sebelah kakinya lagi
sudah di alam kedewasaan. Pakaiannya
sederhana. Soh Piao jadi ingat anak gadisnya
sendiri di rumah, yang sebaya dengan gadis ini.
Begitu melihat Soh Piao, gadis itu langsung
bertolak pinggang dan menegur dengan galak.
"Sudah aku katakan berkali-kali, bahwa
keluarga kami pasti akan melunasi semua
hutang! Keluarga kami bukanlah tukang
kemplang hutang! Tetapi kalian tidak percayapercaya juga, dan terus-menerus mengganggu
ketenteraman tempat ini! Kalian benar-benar
sudah tidak menghargai lagi kebesaran nama
keluarga Sebun!" Keruan Soh Piao tertegun, datang-datang
langsung didamprat karena disangka mau
menagih hutang. Namun dari kata-kata gadis
itu, ia jadi bisa sedikit mengetahui bagaimana
Sekte Teratai Putih 1 18 "perekonomian" sisa-sisa Keluarga Sebun di
situ. Cepat ia memberi hormat dan berkata,
"Nona, saya datang dari Lok-yang karena diutus
oleh majikan saya, Sebun Beng, untuk
menyampaikan surat kepada Keluarga Sebun
yang di sini. Nama saya sendiri Soh Piao."
Sekarang gadis itu yang melengak, lalu
tersipu-sipu karena sudah terlanjur marahmarah dan membuka rahasia keluarganya.
"Oh....maaf.... maaf.... jadi Tuan ini adalah utusan
Pamanku yang ada di Lok-yang, Paman Sebun
Beng?" "Benar. Nona sendiri siapa?"
"Aku Ciok Kim-he, anak keempat dari Ibuku
yang bernama Sebun Giok. Paman Sebun Beng
adalah kakak tiri ibuku, seayah tetapi berlainan
itu." "Oo, bisakah Nona mengantar saya
menghadap Nenek atau Ibu nona?"
"Paman Soh ingin menjumpai mereka?"
"Benar. Untuk menghaturkan surat."
"Surat apa?" Sekte Teratai Putih 1 19 "Surat undangan pernikahan."
"Siapa yang hendak menikah?"
"Nona, dapatkah kita berbicara sambil
berjalan?" "Baik. Mari ikuti aku."
Sambil menuntun kudanya, berjalanlah Soh
Piao bersama Ciok Kim-he untuk masuk lebih
dalam ke daerah reruntuhan itu. Melihat bekasbekas reruntuhan itu saja sudah cukup
membuat Soh Piao mengagumi keluarga Sebun
di masa lalu, sebab melihat reruntuhannya pun
tidak sulit membayangkan besar, indah dan
kuatnya puri Keluarga Sebun itu dulu. Ibaratnya
inilah sebuah kota benteng di atas bukit. Selain
megah dan indah, juga setiap tempat dibuat
tanpa mengabaikan perhitungan militer. Soh
Piao masih bisa menemukan bekas lapanganlapangan latihan, lorong-lorong perangkap atau
penyesat dengan lubang-lubang untuk pemanah
di kiri kanannya, lorong-lorong buntu yang
lantai papannya bisa terbuka dengan besi-besi
runcing di bawahnya. Soh Piao memperhitungkan bahwa puri itu pasti bisa
Sekte Teratai Putih 1 20 dihuni dua ribu orang lebih, dan berdasarkan
keuntungan letaknya tentu tempat itu bisa
dipertahankan dengan baik terhadap musuh
yang jumlahnya sepuluh kali lipat. Soh Piao
pernah mendengar cerita, bahwa keluarga
Sebun tempo dulu memang berambisi
menguasai dunia, bahkan berkomplot dengan
seorang pangeran di istana. Lalu pangeran itu
runtuh kedudukannya, Sebun Him sendiri ikut
runtuh setelah terbuka kedoknya sebagai
pimpinan gerombolan jahat Hek-eng-po,
padahal sebelumnya dia gembar-gembor
Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengajak orang untuk membasmi Hek-eng-po
sambil mengecam siapa pun yang tidak
mengikuti langkahnya. Ternyata kemudian
terbongkar bahwa dia sendirilah pimpinan Hekeng-po itu. Semua itu hanya dapat diingat
samar-samar oleh Soh Piao, sebab waktu itu ia
masih terlalu ecil. Lamunan Soh Piao dibuyarkan oleh
pertanyaan gadis penunjuk jalannya, "Eh,
Paman Soh belum menjawab, siapa yang akan
menikah?" Sekte Teratai Putih 1 21 "Puteri tunggal majikanku, Nona Se-bun
Hong-eng." "Ah, jadi Cici Hong-eng akan menikah"
Dengan siapa?" "Dengan Panglima Wan Lui."
Ciok Kim-he mengerutkan alisnya yang
lentik. "Panglima" Wan Lui" Rasa-rasanya
pernah mendengar nama itu."
Soh Piao tersenyum, "Memang nama itu
cukup terkenal di seluruh negeri."
"Orang mana dia?"
"Asalnya dari Liau-tong, tetapi belakangan
ini berada di Pak-khia setelah dia berjasa.."
"Ya, aku ingat sekarang!" Ciok Kim-he tibatiba menukas. "Apakah Wan Lui ini adalah
orang yang pernah menolong Pangeran Honglik ketika diculik sekawanan agama sesat Peklian-kau"
Kemudian juga berjasa menggulingkan komplotan Liong Ke-toh di
istana, yang bermaksud merebut hak Pangeran
Hong-lik?" Tidak bisa tidak Soh Piao mengangguk
dengan bangga, sebab berita itu telah menjadi
Sekte Teratai Putih 1 22 pembicaraan umum di seluruh negeri. Apalagi
karena Pangeran Hong-lik yang ditolong itu
kemudian naik tahta dan dialah yang sekarang
disebut Kaisar Kian-liong.
Kata Soh Piao dengan bangga, "Benar, Nona
Ciok. Panglima Wan Lui itulah yang sekarang
akan menikah dengan Nona Sebun Hong-eng."
Ciok Kim-he tiba-tiba menjadi murung,
seolah meratapi nasibnya sendiri,
"Alangkah beruntungnya Cici Hong-eng
mendapatkan calon suami seperti itu, karena ia
tinggal di tempat di mana bisa bergaul secara
wajar dengan masyarakat luas...."
Cepat-cepat Soh Piao menghibur, "Saya yakin
Nona Ciok kelak juga akan menemukan jodoh
yang...." "Ah, Paman Soh!" potong Ciok Kim-he
dengan wajah merah. "Aku kan tidak sedang
membicarakan diriku sendiri" Aku sedang
membicarakan keberuntungan Cici Hong-eng."
"O, maafkan saya, Nona."
"Eh, Paman Soh, apakah Paman Sebun itu
kaya?" Sekte Teratai Putih 1 23 "Tidak, Cukupan saja."
"Tetapi mulai sekarang, terbukalah jalan
untuk menjadi kaya. Sebagai seorang mertua
dari panglima kesayangan Kaisar sendiri, tentu
Paman Sebun akan menjadi orang sangat
berpengaruh di Lok-yang, bahkan pejabatpejabat daerah pun belum tentu berani
menyentuh bayangan tubuhnya. Seandainya
Paman Sebun Beng mengerti kesempatan ini,
dia bisa...." Hampir-hampir Soh Piao "meledak" gusar
mendengar komentar tentang majikannya yang
dihormati itu. Namun ketika ia menyadari
bahwa kata-kata itu tidak diucapkan untuk
menyindir atau mengejek, melainkan untuk
menginginkan, ia lalu menyabarkan diri dan
cepat memotong perkataan itu, "Rupanya Nona
Ciok belum mengenal watak Paman Nona
sendiri." "Kenapa dengan Paman Sebun Beng?"
"Memang benar Paman Nona itu akan
bertambah pengaruhnya setelah menjadi
mertua Panglima kesayangan Kaisar, tapi
Sekte Teratai Putih 1 24 peningkatan pengaruh itu pasti akan menjadi
berkah bagi orang lain, bukan sebaliknya.
Selama ini Paman Nona sudah mendirikan
banyak tempat belajar membaca menulis bagi
anak-anak miskin. Setelah pengaruhnya
meningkat, akan makin banyak orang miskin
mendapat manfaat." Mereka bercakap-cakap sambil berjalan
perlahan melewati reruntuhan demi reruntuhan, karena tempat itu luas sekali. Dulu
di tempat itu dihuni pelayan yang laki-laki saja
jumlahnya seribu orang, belum terhitung
keluarga para pelayan itu dan para pelayan
perempuan. Kabarnya pula para pelayan lelaki
dewasa mendapat latihan silat dan taktik
perang, sehingga mereka bukan cuma pelayanpelayan yang pintar memotong rumput atau
memberi makan hewan-hewan peliharaan,
melainkan dapat diandalkan sebagai sebuah
pasukan yang terlatih bilamana diperlukan.
Melihat reruntuhan itu saja, orang bisa
membayangkan betapa melambung ambisi
Sebun Him dulu. Sekte Teratai Putih 1 25 Kemudian mereka memasuki bagian yang
agak terawat, nampak ada tanda-tanda garapan
tangan manusia. Bahkan ada terlihat ada kandang ayam,
kandang kelinci, kolam ikan kecil-kecilan, kebun
sayur-sayuran dan buah-buahan yang semuanya dikerjakan dengan bersahaja di
tanah-tanah yang terluang di sela-sela
reruntuhan. Soh Piao merasa dipindahkan dari
suasana kejayaan masa silam yang berbau
ambisi dan perang, ke dalam suasana lain yang
menimbulkan ketenteraman.
"Siapa yang mengerjakan kebun-kebur dan
beternak hewan-hewan ini?" tanyt Soh Piao.
"Kakak tertuaku, dia memang senang
berkebun dan beternak, bahkan juga pintar
membuat obat dari tanaman-tanaman Hasil
kerja tangannyalah yang membuat keluarga
kami masih bisa bertahan hidup...."
Soh Piao mengangguk-angguk sambi
membatin, "Syukur tidak semua orang ditempat
ini hidup di alam mimpi masa lalu yang tidak
Sekte Teratai Putih 1 26 mungkin kembali. Ada yang sudi mengucurkan
keringat demi masa kini."
"Siapa nama kakak tertua Nona itu?"
"Liu Yok." "Ciok Lui-yok, begitu?" tanya Soh Piao.
Mengingatkan Kim-he bermarga Ciok, maka
kakaknya tentunya juga she Ciok. Meskipun Soh
Piao adalah orang terpercaya Keluarga Sebun di
Lok-yang, namun tentang seluk-beluk Keluarga
Sebun di Se-shia ini dia kurang tahu. Itulah
sebabnya dia bertanya. Ciok Kim-he menyahut, "Bukan, marganya
bukan Ciok tetapi Liu. Namanya hanya sepatah
kata, Yok itulah..."
"Ooo..." Soh Piao mengangguk-angguk.
Rupanya kakak beradik tapi berlainan ayah,
sehingga masing-masing mengikuti nama marga
ayahnya masing-masing. Sementara langkah mereka telah tiba di
sebuah tempat lapang di antara reruntuhan,
yang di pinggirannya bergelimpangan alat-alat
latihan silat seperti Ciok-so (kunci batu untuk
membesarkan tenaga), patok-patok Sekte Teratai Putih 1 27 keseimbangan, orang orangan kayu dan
berbagai jenis senjata. Di tengah lapangan kecil
itu ada seorang pemuda yang bertelanjang dada
sambil bermain pedang. Soh Piao sama sekali
tidak terkesan akan permainan pedangnya, Soh
Piao berani memastikan bahwa dia akan
mampu membuat pemuda itu mencium tanah
dalam waktu kurang dari sepuluh jurus.
Namun Ciok Kim-he sendiri menunjuk
pemuda itu dan dengan bangga menerangkannya kepada Soh Piao, "Itu adalah
kakakku yang kedua."
Mendengar sampai di situ, Soh Piao menduga
pemuda itu tentunya bermarga Liu atau Ciok.
"... namanya Auyang Hou. Cita-citanya
menjadi pendekar besar seperti Kakek Sebun
Him almarhum." Soh Piao heran dalam hatinya, "Lho, nama
keluarganya kok lain lagi" Apakah ayahnya juga
lain lagi?" Sudah tentu Soh Piao sungkan
menanyakannya. Sementara pemuda yang sedang berlatih di
tengah lapangan itu pun menghentikan
Sekte Teratai Putih 1 28 gerakannya, ketika melihat Ciok Kim-he lewat
di pinggir lapangan bersama seorang yang
menuntun kuda. Ia lalu membalik pegangan
pedangnya, lalu melangkah mendekat dengan
gaya yang tegap namun kelihatan agak dibuatbuat. Lebih dulu ia menanyai Ciok Kim-he, "Ahe, siapa orang ini?"
Sahut Ciok Kim-he, "Kakak Hou, Paman Soh
Piao ini adalah utusan Paman Sebun Beng di
Lok-yang. Paman Soh, inilah kakakku Auyang
Hou." "...yang bergelar Siau-pek-him (Beruang
Putih Kecil)!" sambung Auyang Hou tanpa
sungkan memperkenalkan gelarnya, sambil
menjura dengan gagah dan memegangi
pedangnya yang ujungnya ke tanah, meniru
gaya pendekar-pendekar silat. "Senang berjumpa denganmu, sobat."
"Terima kasih, Tuan Muda."
"Sobat, kau membawa-bawa pedang,
tentunya bisa bersilat?"
"Ah, sama sekali tidak berarti."
Sekte Teratai Putih 1 29 Auyang Hou tanpa sungkan memperkenalkan
gelarnya, sambil menjura dengan gagah dan
memegangi pedangnya Sekte Teratai Putih 1 30 "Jangan berkata demikian, sobat, asalkan kau
rajin berlatih kau akan mencapai tingkatanku
juga. Jangan putus asa."
Dalam hatinya, Soh Piao diam-diam geli
bercampur iba. Tadi ia sempat menyaksikan
permainan silat Auyang Hou yang dikenalinya
sebagai Pat-hong-kiam (Pedang Delapan
Penjuru). Ilmu pedang itu, boleh dikata bahwa
setiap tukang-jual jamu di pinggiran jalan atau
anggauta gerombolan topeng monyet yang
mana pun juga bisa memainkannya, dan tidak
sedikit yang memainkannya lebih baik dari
Auyang Hou. Soh Piau heran juga, lalu darimana
anak muda ini mendapat julukan yang demikian
mentereng" Jangan-jangan menjuluki dirinya
sendiri" Tetapi Soh Piao menjawab dengan bijaksana,
"Terima kasih, Tuan membangkitkan semangat
saya. Kali ini saya benar-benar menyesal karena
tidak bisa memanfaatkan kesempatan untuk
mendapat petunjuk-petunjuk Tuan Muda yang
berharga, berhubung sempitnya waktu yang
tersedia buat saya."
Sekte Teratai Putih 1
Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
31 Auyang Hou menarik napas, "Yah, memang
begitulah biasanya. Tidak adanya kemajuan
yang berarti karena sikap malas dan tidak
mampu menggunakan kesempatan-kesempatan
berharga untuk minta petunjuk kepada orang
yang lebih ahii." Lalu Auyang Hou menjinjing pedangnya
kembali ke tengah lapangan untuk berlatih.
Sedangkan Soh Piao bersama Ciok Kim-he
berjalan terus sampai tiba di bagian reruntuhan
puri yang baru pantas disebut kediaman
manusia. Di tempat itu berdiri beberapa
bangunan yang masih cukup utuh, tanpa
rumput dan belukar, bahkan ada usaha
memperindah tempat itu dengan beberapa
petak atau deretan pohon bunga-bunga yang
terawat rapi. "Inilah tempat kami...." kata Ciok Kim-he.
"Silakan Paman Soh menunggu sebentar, aku
akan memanggil Nenek dan Ibu."
Soh Piao mengikat kudanya di sebatang
pohon, lalu ia melihat-lihat sekitar tempat itu.
Puri keluarga Sebun itu terletak di atas bukit,
Sekte Teratai Putih 1 32 maka jadi berlimpah dengan pemandangan
indah, udara mengalir yang segar dan cahaya
matahari, di kejauhan terlihat permukaan
sebuah telaga kecil memantulkan sinar
matahari. "Nyaman juga tempat ini di siang hari." kata
Soh Piao dalam hati, "Tetapi kalau malam hari,
tinggal terpencil di puncak bukit belukar
macam ini tidakkah sama dengan tinggal di
sarang hantu?" Tidak lama kemudian, Ciok Kim-he keluar
kembali dan berkata dengan polos, "Paman Soh,
mari menunggu di ruangan tamu. Nenek dan
Ibu sedang mempersiapkan diri menyambut
Paman." Soh Piao tertawa dalam hati, "Menyambut
diriku saja kok pakai persiapan segala."
Kemudian ia duduk di ruang tamu yang
sebenarnya sederhana, tapi berusaha didandani
dengan banyak benda "antik" tiruan yang sekali
pandang saja sudah kelihatan kalau palsu.
Sementara menunggu, Ciok Kim-he menemani
Soh Piao bercakap-cakap. Sekte Teratai Putih 1 33 "Jadi Nona Ciok ini anak nomor tiga, ya?"
tanya Soh Piao mencoba mengetahui lebih
banyak tentang keluarga ini.
"Bukan. Nomor empat."
"Lho, bukankah tadi Nona Ciok berkata
bahwa Nona punya dua orang kakak
yaitu Tuan Muda Liu Yok dan Tuan Muda Auyang
Hou?" "Aku tidak pernah berkata bahwa aku hanya
punya dua kakak. Aku hanya bilang bahwa aku
punya kakak tertua bernama Liu Yok dan punya
kakak kedua bernama Auyang Hou. Tapi masih
ada kakakku yang ketiga, juga laki-laki."
"Ooo, boleh saya tahu namanya?"
"Bwe Gin-liong. Ia jarang di rumah. Ia suka
sekali menghabiskan waktu dengan temantemannya di kota Se-shia. Bahkan kadangkadang berhari-hari tidak pulang. Ia cucu
kesayangan Nenek." Bahwa kali ini pun Soh Piao mendengar anak
yang nama marganya berbeda dengan tiga
saudara-saudaranya, Soh Piao sudah tidak
terlalu kaget, ia sudah "terlatih" sebelumnya.
Sekte Teratai Putih 1 34 Katanya dalam hati, "Jadi Sebun Giok ini
melahirkan empat anak dari lelaki yang berbeda
nama marganya. Ada yang Liu, Auyang, Bwe
darnCiok. Luar biasa."
Kemudian dari ruangan dalam terdengar
suara batuk-batuk seorang perempuan tua,
suara langkah kakinya yang diselingi ketukanketukan tongkat di lantai.
Ciok Kim-he buru-buru berkata kepada Soh
Piao, "Berdirilah untuk menghormati Nenekku,
Paman Soh. Nenek amat tidak suka kepada
orang-orang yang kurang hormat kepadanya."
Dari dalam muncul seorang Nenek berusia
lebih kurang delapan puluh tahun, agak gemuk,
berdandan bagus sehingga setiap kali
melangkah terdengarlah suara gemerincing
lembut perhiasan-perhiasan di seluruh tubuhnya. Agak susah diketahui kalau perhiasan
itu imitasi. Ia dituntun oleh seorang perempuan yang
sudah berusia hampir setengah abad, namun
kelihatan rajin merawat tubuh dan wajahnya
sehingga tetap langsing dan cantik. Ia menuntun
Sekte Teratai Putih 1 35 ibunya sambil lebih banyak menunduk seperti
gadis berusia tujuh belas tahun, membuat lelaki
yang melihatnya bisa lupa kalau dia hampir
setengah abad dan punya empat anak yang
sudah dewasa dan semuanya berlain-lainan she!
Melihat Sebun Giok, mau tak mau kelelakian
Soh Piao terusik juga, "Pantas masih ada saja
lelaki yang mendekati janda ini. Aku pun kalau
sedang lupa daratan, rasanya tidak keberatan
kalau ditawari untuk menjadi ayah dari anak
kelimanya yang bakal memakai marga Soh."
Namun cepat-cepat diusirnya pikiran kurang
ajar itu dari kepalanya, mengingat bahwa
perempuan itu adalah adik dari majikannya
yang dihormatinya. Selama melangkah menuju tempat duduk
buat Nyonya rumah yang dibuat lebih tinggi
dari tempat duduk tamu-tamunya, sehingga
para tamu yang datang seolah-olah menghadap
raja, Nenek Sebun tidak melirik sedikit pun ke
arah Soh Piao. Ia duduk di kursinya yang tinggi
dibantu Sebun Giok, lalu Sebun Giok sendiri
duduk di sebelahnya Sekte Teratai Putih 1 36 Soh Piao bersikap hormat dengan tetap
berdiri sampai kedua nyona rumah itu duduk.
Setelah keduanya duduk, barulah Soh Piao
memberi hormat dan berkata, "Saya Soh Piao,
diutus oleh majikan saya Sebun Beng di Lokyang untuk menyampaikan salam hangat dan
menengok kesehatan keluarga di sini."kata-kata
itu terputus, karena Nenek Sebun tiba-tiba
memukulkan tongkatnya ke papan injakan
kursi, sambil menggeram, "Hemm, jadi kamu ini
kacungnya kacung?" Keruan Soh Piao bingung, "Maksud Lo-hujin?"
Jawaban Nenek Sebun tidak sungkan sedikit
pun, "Ya, majikanmu di Lok-yang itu dulunya
adalah kacung di tempat ini, meskipun sekarang
ia mengangkat dirinya sebagai keluarga Sebun.
Sebelum jadi kacung di sini, pekerjaannya juga
kacung di Liu-keh-cung (perkampungan
Keluarga Liu) di Lok-yang, namanya Liu Beng.
Tak terduga sekarang berani memakai nama
keluarga Sebun dan menganggap sekeluarga
dengan kami, dan ikut menikmati Sekte Teratai Putih 1 37 penghormatan sebagai anggauta keluarga
Sebun. Hemm...." Sambutan macam ini membuat Soh Piao
terlongong dan bungkam tanpa kata-kata.
Sebun Gioklah yang kemudian berkata
kepada Ibunya, "Ibu jangan bersikap demikian.
Ibu suka atau tidak, kenyataannya Kakak Beng
memang anak ayah juga, yang didapatkan oleh
Ayah sebelum menikah dengan ibu, meskipun
terbukanya rahasia hubungan darah itu baru
pada saat Ayah di ambang ajal. Kakak Beng
cukup menderita sejak kecil, karena ditinggal
oleh Ayah begitu saja, namun tidak mendendam
kepada keluarga kita, malahan sudi menggunakan nama keluarga Sebun meneruskan garis keturunan Keluarga Sebun
karena tidak satu pun anak-anakku yang
memakai marga Sebun. "Huh, tentu saja dia senang memakai nama
keluarga Sebun, dari Liu Beng menjadi Sebun
Beng, karena mengangkat derajatnya dari
jongos menjadi anggota keluarga Sebun yang
terkenal!" Sekte Teratai Putih 1 38 Sikap ibunya itu membuat Sebun Giok agak
malu di depan Soh Piao, katanya mengingatkan,
"Ibu, dengan memakai nama keluarga Sebun,
Kakak Beng bukannya mendapatkan keuntungan, malahan sebenarnya rela memikul
resiko permusuhan yang diwariskan Ayah.
Bukankah pada akhir hidup Ayah, seluruh dunia
telah mengetahui bahwa Ayah bukan seorang
pendekar sejati seperti yang disangka orang
atau digembar-gemborkan Ayah sendiri,
melainkan ternyata adalah pemimpin gerombolan jahat Hek-eng-po yang dibenci
seluruh dunia" Dengan memakai nama Sebun,
Kakak Beng menunjukkan diri sebagai anak
lelaki yang berani mengakui Ayahnya,
bagaimana pun jahatnya sang Ayah! Dan kalau
selama ini tidak ada musuh-musuh Ayah yang
datang mengacau kemari, itu tidak lain karena
mereka segan kepada Kakak Beng!"
Nenek Sebun jadi gusar, "Bagus! jadi kau juga
memuji-muji kacung itu, bahkan memanggilnya
sebagai Kakak, dan mencaci almarhum Ayahmu
sendiri" Aku tidak sudi mengakui bahwa
Sekte Teratai Putih 1 39 ketenteraman hidup kita sekarang ini adalah
karena kewibawaan Si Jongos itu! Ketenteraman kita adalah karena orang masih
gentar melihat lambang kejayaan keluarga
Sebun di pintu gerbang itu!"
Karena terpancing emosinya, suara Sebun
Giok tak terasa bernada mengejek, "Yang Ibu
maksudkan lambang kebesaran keluarga kita
apakah gambar beruang kelaparan di dekat
pintu gerbang itu" O, Ibu, bahkan tukang-tukang
tagih rekening pun tidak gentar lagi kepada
gambar itu. Buktinya masih ada saja orang yang
datang mau menagih hutang!"
Kegusaran Nenek Sebun pun meledak,
"Keparat! A-giok, kau sebagai puteri Keluarga
Sebun ternyata lebih mengagumi jongos itu dan
mencerca keagungan keluargamu sendiri"
Dasar anak.... uhuk-uhuk uhuk! Hoaagh!"
Bersyukurlah Soh Piao kepada batuk yang
menyergap si Nenek Pemarah itu. Kalau batuk
itu tidak datang, Soh Piao hanya akan mendapat
"suguhan" pertengkaran ibu dan anak itu.
Sementara itu dilihatnya Ciok Kim-he memijitSekte Teratai Putih 1
40 mijit tengkuk Neneknya sampai batuknya
mereda, kemudian berlari ke ruang dalam
untuk mengambilkan minuman bagi Nenek nya.
Selagi si Nenek masih terengah-engah dan
belum bisa berbicara lagi, Soh Piao
Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menggunakan kesempatan untuk menyodorkan
sepucuk sampul yang agak tebal kepada Sebun
Giok, sambil berkata dengan hormat, "Harap
Nyonya ketahui bahwa saya hanya suruhan.
Tugas saya hanya menyampaikan surat ini dan
menunggu jawabannya."
Tanpa menunggu Ibunya, Sebun Giok
membuka surat itu. Isi surat ternyata ada dua
lembar kertas lebar. Lembar pertama adalah
surat Sebun Beng sendiri, lembar kedua adalah
selembar Hui-Iui ("Uang terbang" atau semacam
cek, cara pengiriman uang jarak jauh yang
sudah dikenal sejak jaman Dinasti Tong, abad ke
tujuh). Sebun Giok membaca surat itu tanpa
suara. Sementara itu, setelah minum beberapa
tegukan, tenggorokan Nenek Sebun menjadi
lega kembali, dan ini mencemaskan Soh Piao
Sekte Teratai Putih 1 41 yang sebenarnya tidak ingin lagi mendengar
suara Nenek itu. Alangkah baiknya kalau Nenek
itu bisu mendadak. "A-giok, apa isi surat Si Jongos itu?" tanya
Nenek Sebun. "Kakak Beng mengundang kita semua untuk
hadir dalam pesta pernikahan puterinya di Lokyang bulan depan."
Dan yang dicemaskan Soh Piao pun
terjadilah, begitu tenggorokannya lega, Nenek
Sebun siap meluncurkan panah-panah kedengkian dari mulutnya, "Aha, inilah rupanya
taktik Si Jongos untuk mengangkat derajatnya
di depan umum. Kehadiran kita akan
dipamerkannya di hadapan tamu-tamunya, agar
orang-orang melupakan asal-usulnya sebagai
jongos dan mengira dia benar-benar anggauta
keluarga Sebun. He-he-he, pintar sekali dia. Eh,
lelaki kampung mana yang mau jadi
menantunya?" Soh Piao tidak dapat lagi menahan perasaan
panas di hatinya, ia lalu menjawab dengan suara
bangga. "Calon menantu majikan saya adalah
Sekte Teratai Putih 1 42 Jenderal Wan Lui, yang pernah menyelamatkan
Kaisar Kian-liong dari tangan orang-orang Peklian-kau (Agama Teratai Putih), dan sekarang
adalah sahabat dan teman berbincang Kaisar
pribadi." Ketika itu Nenek Sebun sedang menyeruput
minumannya, dan jawaban Soh Piao itu
membuatnya tersedak dan terbatuk-batuk lebih
keras. Ciok Kim-he jadi sibuk kembali mengurut
tengkuk sang Nenek. Setelah batuknya reda, Nenek Sebun tidak
mencaci-maki lagi, melainkan duduk termangumangu dengan wajah lesu, sehingga Soh Piao
yang melihatnya jadi nerasa kasihan juga.
Sebun Giok kemudian bertanya kepada
bunya, "Bagaimana, Bu" Kakak Sebun
Beng mengharapkan jawaban kita sekarang melalui
saudara Soh ini. Kalau kita akan berangkat ke
Lok-yang, mengingat-ingat jaraknya yang cukup
jauh, tentunya larus mempersiapkan segala
sesuatunya nulai sekarang."
Beberapa saat lamanya Nenek Sebun masih
termangu-mangu. Seandainya matanya tidak
Sekte Teratai Putih 1 43 berkedip-kedip, tentu orang-rang akan menyangka dia sudah putus jantungnya.
"Bagaimana, Ibu" Mau berangkat ke Lokyang atau tidak" Saudara Soh sedang menunggu
jawaban kita untuk disampaikan kepada Kakak
Beng......"Sebun Giok mengulangi pertanyaannya
lebih keras. Nenek Sebun lebih dulu menarik napas
berat, lalu berkata dengan lesu, "Buat apa
datang ke sana" Si Jongos itu pasti cuma hendak
memamerkan pestanya yang mewah kepada
kita. Kita bahkan akan dihinanya di depan
umum untuk melampiaskan dendamnya...."
Suatu keajaiban, bahwa nenek yang tadinya
begitu tinggi hati, sekarang berubah menjadi
rendah diri begitu rupa. Sebun Giok merasa kasihan juga, lalu
berkata, "Ibu jangan berpandangan seburuk itu
kepada Kakak Beng. Kalau dia berniat
mempermalukan kita, tidak perlu menunggu
sampai sekarang. Selama ini dia sudah menjadi
tokoh terhormat, sedangkan kita adalah orangorang yang dilupakan. Namun Kakak Beng tidak
Sekte Teratai Putih 1 44 pernah melakukan sesuatu yang menyakiti hati
kita. Bahkan kita diajaknya ikut serta
menikmati kebahagiaannya, karena dia tetap
menganggap kita sebagai keluarganya, meskipun kita pernah merendahkannya sebadai
kacung di masa mudanya dulu."
"Hem, A-giok, kau kira jarak ke Lok-yang itu
dekat" Apakah kita harus berjalan kaki ke sana"
Dan setibanya di sana pakaian kita sudah
compang-camping seperti gembel?"
Sebun Giok lega, Ibunya sudah menunjukkan
tanda-tanda untuk pergi ke Lok-yang.
Sebun Giok lalu menunjukkan lembaran Huilui sambil berkata, "Kakak Beng mengirim Huilui senilai seribu tahil perak, yang bisa
diuangkan di Pek-him Gin-hang (Bang Pek-him)
di Se-shia. Cukup untuk menyewa kereta, kuda,
bahkan menyewa pengawal dan ongkos makan
sepanjang perjalanan."
Begitu mendengar ada kiriman uang,
semangat Nenek Sebun bangkit kembali. Ia
menjulurkan lehernya panjang-panjang seolah
Sekte Teratai Putih 1 45 ingin mengirim kepalanya ke seberang meja,
"Mana uangnya?"
Sebun Giok agak malu juga melihat tingkah
laku ibunya. Diseberangkannya kertas Hui-lui
itu ke seberang meja, langsung disambar oleh
ibunya dan di-amat-amati.
"Kita berangkat, Bu?"
"Baik! Kita akan pergi!" kali ini suara si
Nenek tidak lesu lagi. "Horeeeeee, kita akan melihat kota Lokyang!" Ciok Kim-he serta-merta menyambut
gembira keputusan itu. Rupanya selama ini ia
sudah jemu terus-menerus berada di tempat
sunyi itu. Memang sekali-sekali ia juga melihatlihat ke Se-shia, namun lama-lama bosan juga
karena segala sudut kota Se-shia sudah
dikenalnya baik-baik. Soh Piao tersenyum melihat ulah gadis itu.
Teringat puterinya sendiri yang sebaya.
Soh Piao lalu berdiri menghormat dan
berkata. "Kalau demikian, Nyonya-nyo-nya,
ijinkanlah sekarang saya segera kembali ke LokSekte Teratai Putih 1 46 yang untuk menyampaikan kabar gembira ini
kepada Tuan saya." Sebun Giok berdiri untuk membalas
penghormatan Soh Piao, sedang Nenek Sebun
merasa bahwa derajat dirinya terlalu tinggi
untuk membalas penghormatan dari "kacungnya kacung".
* ** Ketika Soh Piao tiba di kaki bukit Pek-himnia dan hendak melompat ke atas kuda yang
dituntunnya dari atas bukit, tiba-tiba dilihatnya
lagi pemuda pincang pencari kayu yang tadi
menunjukkan jalan ke atas bukit. Soh Piao
melambaikan tangan sebagai salam.
"Sudah selesaikah urusan Tuan dengan
keluarga Sebun?" tanya pemuda itu ramah.
Sekali lagi Soh Piao kagum melihat kembutan
mata pemuda itu, kelembutan yang pasti
terpancar langsung dari jiwanya. Soh Piao
menilai, orang-orang yang kerjanya berdoa dan
Sekte Teratai Putih 1 47 membaca kitab setiap hari pun belum tentu
memiliki mata pejernih ini, meskipun mungkin
bisa unggul dan kelihatan lebih alim dalam hal
penampilan jasmaniah. "Inilah kekuatan sejati itu....." Plkir Soh Piao.
Tiba-tiba pula muncul keinginan Soh Piao
untuk mengenal lebih dekat si pemuda pincang
yang "bukan apa-apa itu. Meskipun sebelah
kakinya sudah menginjak sanggurdi, dia batal
melompat keatas pelana kudanya, malahan
menuntun kudanya mendekati pemuda itu,
tanyanya ramah, "Eh, sobat kecil, boleh aku tahu
namamu?" Pemuda itu heran karena ada seorang yang
berpakaian bagus, gagah menunggang kuda
besar yang bagus dan mahal, tiba-tiba menaruh
perhatian kepadanya. Pemuda itu pun
tersenyum dan menjawab ramah. "Tentu saja
boleh, Tuan. Nama saya Liu Yok."
Nama itu mengejutkan Soh Piao, jadi pemuda
pincang inikah anak tertua Sebun Giok, seperti
yang dikatakan oleh Ciok Kim-he tadi" Soh Piao
benar-benar tidak menduga. Tadinya, dengan
Sekte Teratai Putih 1 48 melihat betapa pongahnya Nenek Sebun, betapa
pembualnya si Beruang entah apa Auyang Hou,
dan mendengar kabar tentang Bwe Gin-liong
yang punya banyak teman-teman di kota besar,
Soh Piao menduga kalau putera tertua Sebun
Giok itu lebih kurang sama "model"nya dengan
saudara-saudaranya dan neneknya. Meskipun
Ciok Kim-he bercerita pula bahwa saudara
sulungnya itu berkebun dan beternak, pastilah
penampilannya sehari-hari agak rapi. Ternyata
sekarang yang dilihat oleh Soh Piao adalah
seorang pemuda pincang, celananya yang lusuh
hanya sampai ke lutut, bajunya buntung,
sepatunya sudah bolong ujungnya dan
menonjolkan jempol kakinya. Namun yang
sangat istimewa adalah matanya yang
memancarkan perdamaian dan kelembutan
yang menyejukkan siapa pun yang berdekatan
dengannya. "Maaf.... maaf, jadi.... Tuan Muda ini adalah
putera tertua Nyonya Sebun Giok?"
Perubahan sikap itu malah mengheran kan
Liu Yok. "Eh, kenapa Tuan berubah sikap"
Sekte Teratai Putih 1 49 "Memang saya adalah putera Ibu Sebun Giok,
tetapi apa yang istimewa dengan itu?"
"Tuan Muda Liu jangan lagi memanggil saya
dengan sebutan Tuan, sebab saya adalah hamba
dari Paman Tuan Muda di Lok-yang, yaitu Tuan
Sebun Beng..." Liu Yok malah tertawa perlahan men dengar
penjelasan itu. "Itulah sebutan kosong bikinan
manusia. Ada orang tinggi, ada orang
menengah, ada orang rendah, lalu kita ikutikutan menempatkan diri di jenjang-jenjang
itu." "Tuan Muda...."
"Bagaimana kalau aku memanggilmu Paman
dan Paman memanggilku sobat atau saudara,
seperti tadi" Kita tidak perlu ikut-ikutan."
Soh Piao menyeringai sambil menggarukgaruk tengkuknya sebentar lalu akhirnya
menuruti usul itu, "Baiklah, Sobat Liu..."
"Tadi Paman belum menyebut nama Paman,
dan bahkan belum menjawab pertanyaanku
apakah urusan Paman dengan Keluarga Sebun
sudah beres?" Sekte Teratai Putih 1 50 "Namaku Soh Piao. Tentang urusan itu, saya
hanya menyampaikan surat dari Pamanmu
untuk keluarga Sebun di sini."
"Boleh aku tahu surat apa?"
"Surat undangan perkawinan. Pamanmu di
Lok-yang akan menikahkan puterinya, dan
seluruh keluarga ini diundang ke Lok-yang."
Wajah Liu Yok langsung berseri. "Betul" Ah,
Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kalau demikian aku juga bisa ikut melihat-lihat
kota Lok-yang." Soh Piao tersenyum, "Sobat Liu, aku senang
bercakap-cakap denganmu, tetapi aku tidak
punya banyak waktu. Aku harus secepatnya
menyampaikan jawaban keluarga di sini kepada
majikanku. Sampai ketemu lagi di Lok-yang."
"Silakan, Paman Soh."
Mereka bertukar salam, lalu Soh Piao
menaiki kudanya dan menderapkannya ke arah
kota Se-shia. Diam-diam Soh Piao berkata dalam
hatinya, "Akhirnya kutemukan juga sebutir
mutiara cemerlang dalam keluarga Sebun di Seshia. Mutiara bernyawa."
Sekte Teratai Putih 1 51 Sementara itu, Liu Yok cepat-cepat mengikat
kayu-kayu bakarnya, kemudian diangkatnya ke
pundak dan dibawanya naik ke bukit dengan
langkah terpincang-pincang.
Namun ia tidak langsung pulang ke
reruntuhan puri, melainkan ke lereng bukit
sebelah timur, yang disinggahinya setiap hari.
Di lereng yang agak terbuka, dengan sedikit
pohon-pohon besarnya, ada tiga gunduk tanah
kuburan. Dua di antara tiga kuburan itu terletak lebih
tinggi, diberi nisan yang bagus, bahkan diberi
atap peneduh pula. Sedang kuburan yang ketiga
terletak agak di bawah, terpisah belasan
langkah dari dua kuburan yang bagus. Kuburan
ketiga ini hanya berujud gundukan tanah yang
hampir rata dan ditumbuhi rumput-rumput liar.
Seandainya Liu Yok tidak mengunjungi dan
membersihkannya setiap hari, pastilah kuburan
itu lama-kelamaan akan rata dan diinjak-injak
orang. Namun Liu Yok merawatnya setiap hari,
karena itulah kuburan ayah Liu Yok yang
bernama Liu Jing-yang. Sekte Teratai Putih 1 52 Setelah meletakkan ikatan kayu bakar nya
dan mulai bekerja mencabuti rumput liar di
kuburan ayahnya, Liu Yok masih tak habis
heran kenapa kuburan kakek luarnya, Sebun
Him, dan paman luarnya, Sebun Hiong, diletakkan berdekatan dan
dibangunkan nisan begitu bagus, sedang
kuburan ayahnya ditaruh berjauhan dan mirip
dengan kuburan anjing saja" Bukankah ayahnya
termasuk keluarga Sebun juga, karena
memperisteri Sebun Giok, ibu Liu Yok" Kalau ia
tanyakan itu kepada Ibunya, Ibunya hanya akan
menangis. Kalau ia tanyakan kepada Neneknya,
Neneknya akan menatapnya dengan sorot mata
penuh kebencian dan menyemprotkan kutukan
dahsyat ke arahnya. Dan tidak mungkin Liu Yok
bertanya kepada adik-adik tirinya, sebab
mereka lahir belakangan dari Liu Yok, sudah
tentu tidak tahu apa yang terjadi. Namun demi
kian, teka-teki kuburan-kuburan itu tidak
membuat Liu Yok masygul, ia tidak meng
ijinkan kemasygulan itu merampas kedamaian
Sekte Teratai Putih 1 53 jiwanya. Ia percaya, suatu saat nanti ia akan
mengetahui jawabannya. Sementara membersihkan kuburan itu
dengan hati tanpa beban, tiba-tiba terlintaslah
dalam pikiran Liu Yok, "He, kalau kelak aku
bepergian ke Lok-yang cukup lama, bukankah
makam ini akan lama tidak terawat dan
ditumbuhi semak belukar" Lebih baik sekarang
aku taruh batu-batu di atasnya, supaya kalau
aku tinggalkan untuk waktu yang lama pun
tetap bisa kelihatan..."
Liu Yok lalu mencari batu-batu untuk
ditumpuk di atas kuburan itu.
Sebelum selesai dengan pekerjaannya itu,
muncullah Sebun Giok di tempat itu. "A-yok,
mau kau apakan kuburan itu?"
Liu Yok mengusap keringatnya sambil
menjawab,- "Aku menaruh batu-batu di
kuburan Ayah, agar kalau aku tinggalkan
kuburan ini cukup lama di Lok-yang,
gundukannya tidak lenyap dikikis hujan dan
ditumbuhi belukar, Bu."
Sekte Teratai Putih 1 54 Sebun Giok heran, "Darimana kau tahu kalau
kita sekeluarga mendapat undangan dari Lokyang?"
"Aku bertemu dengan Paman Soh Piao di
kaki bukit, Bu." Sebun Giok mengangguk-angguk. Diam-diam
ia merasa kasihan kepada anak tertuanya yang
cacad dan diperlakukan sebagai jongos dalam
keluarga itu. Juga kasihan karena Nenek Sebun
belum tentu mengijinkan cucunya yang satu ini
ikut ke Lok-yang. Nenek Sebun pasti akan malu
di depan tamu-tamu di Lok-yang.
Akhirnya Sebun Giok cuma berkata, "Mari
aku bantu, supaya cepat selesai. Sebab Nenek
memanggilmu." Ibu dan Anak itu lalu bergotong-royong
mencari dan menumpukkan batu-batu di atas
makam itu. Keduanya lalu berpandangan
dengan puas melihat hasilnya.
"Mari kita pulang, Bu."
Mereka mendaki ke arah reruntuhan puri.
Sebun Giok melihat betapa ringan dan tangkas
anak laki-laki tertuanya itu melangkah di lereng
Sekte Teratai Putih 1 55 Sebelum selesai dengan pekerjaannya itu,
muncullah Sebun Giok di tempat itu. "A-yok, mau
kau apakan kuburan itu?"
Sekte Teratai Putih 1 56 bukit, meskipun kakinya cacad dan pundaknya
dibebani seikat besar kayu bakar yang cukup
berat. "Kalau diajari silat, anak ini akan cepat
maju..." diam-diam Sebun Giok menilai dalam
hati. Lalu tercetuslah pertanyaan dari mulutnya.
"A-yok, kenapa kau tidak ingin belajar silat
seperti adik-adikmu?"
Liu Yok memperlambat langkahnya agar bisa
berbicara dengan Ibunya, "Karena aku
bersahabat dengan siapa saja, Bu, dan tidak
terpikir untuk berkelahi dengan siapapun,
manusia bukan hewan. Bahkan kemarin, seekor
ular belang yang hendak memagut aku, telah
pergi begitu saja setelah aku minta dia pergi
dengan lemah-lembut."
"Tapi bagaimana kalau misalnya kau
bertemu dengan musuh yang berbahaya" Yang
tidak bisa dibujuk untuk berdamai?"
"Aku belum pernah ketemu orang macam itu,
Bu. Yang aku temui, ada orang yang
kelihatannya begitu jahat, ternyata akhirnya
Sekte Teratai Putih 1 57 bisa diajak bicara dengan akrab juga dan
bahkan menjadi teman baik."
"Tetapi tidak semua orang begitu."
"Entahlah, Bu. Aku hanya merasa tidak perlu
belajar memukul orang."
"Nak, sikapmu itu apakah disebabkan oleh
cacad kakimu?" Liu Yok bungkam dan terus mendaki lereng.
Sebun Giok menjajari langkahnya dan
berkata dengan lembut, "Nak, kalau benar
keenggananmu belajar silat adalah karena
cacadmu, maka aku ingin kau tahu bahwa cacad
itu bukan rintangan, asal ada kemauan. Puluhan
tahun yang lalu, kalangan silat mengenal
seorang pendekar wanita berlengan satu yang
bergelar Tok-pi Sin-ni (Bhikkuni Lengan
Tunggal), yang konon adalah puteri Kaisar
Kerajaan Beng yang terakhir yang bernama
Puteri Tiang-ping. Dia bukan saja pendekar
yang luar biasa, bahkan juga berhasil mendidik
murid-murid yang luar biasa pula. Kang-lam
Thai-hiap (Pendekar Besar Kang-lam) Kam
Hong-ti yang terkenal itu adalah muridnya,
Sekte Teratai Putih 1 58 begitu juga si sastrawan sakti Pek Thai-koan
dan si pendekar wanita Lu Si-nio yang terkenal
setelah berhasil masuk istana dan membunuh
Kaisar Yong-ceng beberapa tahun yang lalu.
Tokoh-tokoh hebat itu adalah murid-murid
Tok-pi Sin-ni. Masih banyak jago-jago lain yang
memiliki cacad tubuh, seperti buta, buntung
kedua kakinya dan sebagainya..."
Ternyata Liu Yok tetap tidak menunjukkan
rasa tertarik sedikitpun. Jawabnya, "Bu, biar aku
hidup terus seperti ini. Tenteram. Tidak
mempersiapkan diri untuk berkelahi dengan
orang lain." "Nak, mempelajari silat bukan berarti ingin
berkelahi. Pendeta-pendeta di kuil pun banyak
yang belajar silat, namun tidak berarti mereka
gemar berkelahi. Mereka adalah orang-orang
alim." "Tetapi waktu berlatih pun mereka sudah
mengotori pikiran. Pada waktu melatih suatu
jurus, pasti mereka sudah membayangkan
menjotos kepala atau menendang perut. Itu
mengotori pikiran." Sekte Teratai Putih 1 59 Melihat anaknya bersikeras, Sebun Giok
tidak mau berbantah lagi. Namun ia benarbenar mengharapkan anaknya berbahagia
dengan sikap hidup yang dipilihnya sendiri,
bukan karena cacad kakinya. Bukan seperti
dongeng tentang seekor serigala yang gagal
meraih buah anggur di dahan yang tinggi, lalu
menipu dirinya sendiri dengan mengatakan
bahwa anggur itu tidak enak rasanya.
"Bu, Nenek memanggilku itu kira-kira mau
disuruh apa?" "Mungkin akan disuruh ke Se-shia, ke Pekhim Gin-hang. Tahu tempatnya?"
"Tahu, Bu. Rumah tempat menukarkan uang,
kan?" "Benar." "Untuk apa?" "Menguangkan kertas Hui-lui kiriman
Pamanmu dari Lok-yang."
Diam-diam Liu Yok merasa berbahagia.
Neneknya paling sering mendamprat dirinya,
namun anehnya, dalam soal keuangan,
Neneknya paling mempercayainya. Sekte Teratai Putih 1 60 Mempercayai kejujuran Liu Yok. Pernah suatu
kali sang Nenek ingin menjual sisa perhiasan
emasnya untuk menyambung hidup, lalu
disuruhnya cucu kesayangannya, yaitu Bwe Ginliong, untuk ke Se-shia menjualnya. Pulangnya
Bwe Gin-liong tidak membawa uangnya karena
sudah habis untuk berjudi. Bwe Gin-liong
berdalih ingin melipatgandakan uang itu, tetapi
akibatnya malah amblas dan tidak tersisa
sepeser pun. Liu Yok lebih dulu pergi ke dapur untuk
menaruh kayu bakarnya, setelah itu barulah
menjumpai Neneknya. Begitu Liu Yok muncul, ia langsung dihujani
dampratan oleh sang Nenek, "He, bangsat
pincang! Tidak tahu diri! Sampai hampir
mampus aku menunggumu, baru sekarang kau
muncul! Kemari!" "Iya, Nek." Setelah Liu Yok dekat, Nenek Sebun
menyodorkan kertas Hui-lui kiriman dari Lokyang, sambil membentak dengan ludahnya yang
muncrat-muncrat, "Pergi sekarang juga ke PekSekte Teratai Putih 1
61 him Gin-hang di Se-shia dan uangkan ini. Minta
uang kertas saja, senilai seribu tahil perak,
mengerti" Kalau kau berani mencurinya
biarpun hanya sepeser, aku potong tanganmu!
Mengerti, bangsat cilik?"
"Iya, Nek..." kata Liu Yok sambil menerima
kertas itu. Ciok Kim-he yang sedang memijati pundak
Neneknya itu memprotes penasaran, "Kakak
Yok belum pernah mencuri, Nek. Kalau Kakak
Gin-liong barulah..."
"Diam!" bentak Nenek Sebun kepada cucu
Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perempuannya, lalu berkata lagi kepada Liu
Yok, "Berangkat! Sampailah ke Bank itu
sebelum matahari terbenam, masih ada waktu
asal kau tidak bermalas-malasan menyeret
kakimu yang jelek itu!"
"Iya, Nek!" Di balik pintu, Sebun Giok merasa sesak juga
dadanya mendengar caki-maki yang tajam dari
Nenek Sebun kepada cucunya sendiri. Mestipun
hal itu terjadi saban hari, namun Sebun Giok
masih merasa risih di kuping juga. Yang dia
Sekte Teratai Putih 1 62 herankan justru Liu Yok begitu tenang
menerima semuanya itu, seolah-olah tidak
tergoyahkan sedikit pun. Kemudian Liu Yok pun meninggalkan bukit
Pek-him-nia menuju kota Se-shia yang berjarak
sepuluh li. Di tengah jalan ia bertegur sapa
dengan beberapa kenalan, orang-orang yang
tinggal di sekitar bukit itu. Orang-orang di
sekitar situ mengenal Liu Yok sebagai orang
yang suka sekali menolong dan bersahabat
dengan siapa pun. Tiba di gedung Pek-him Gin-hang yang
belum tutup, Liu Yok segera menukar Hui-lui itu
dengan uang kertas. Bahkan pemilik Pek-him
Gin-hang itupun sudah kenal dengan Liu Yok. Ia
seorang asing yang kulitnya putih, hidungnya
melengkung, rambut dan brewoknya hitam
keriting, namun ia sudah empat generasi tinggal
di Se-shia. Dalam perjalanan pulangnya, Liu Yok tidak
terburu-buru lagi, meskipun matahari sudah
semakin rendah di sebelah barat. Yang penting
Sekte Teratai Putih 1 63 ia bisa menyerahkan uangnya kepada Neneknya
tanpa kurang sepeser pun.
Ketika sudah dekat kaki bukit Pek-him-nia,
tiba-tiba Liu Yok mendengar suara orang
memanggil-manggil di belakangnya. "Kakak
Yok! Kakak Yok!" Liu Yok mengenali itulah suara adiknya yang
nomor tiga, Bwe Gin-liong. Ia menghentikan
langkah dan menoleh. Dilihatnya adiknya yang
tampan dan selalu berpakaian perlente itu
sedang berlari-lari mendekatinya.
"Ada apa, A-liong?" tanya Liu Yok setelah
dekat. Sikap Bwe Gin-liong ramah sekali. "Kakak
Yok, tadi ketika aku bersama teman-teman
sedang makan di loteng Rumah Makan Hongwan, aku melihat Kakak keluar dari Pek-him
Gin-hang. Betul?" Tentu saja Bwe Gin-liong melihat, sebab
rumah makan itu berseberangan persis dengan
Bank Pek-him. Rumah Makan Hong-wan adalah
sebuah rumah makan orang-orang berkantong
tebal. Namun Liu Yok tahu kalau Bwe Gin-liong
Sekte Teratai Putih 1 64 sering makan-makan di situ, bukan karena
banyak uang, melainkan karena ditraktir
teman-temannya yang kaya-kaya. Itulah
lingkaran pergaulan Bwe Gin-liong, dan itu pula
sebabnya dia sering merengek kepada
Neneknya untuk dibuatkan baju baru, karena
lingkungan pergaulannya menuntut dia harus
selalu perlente. Bersambung jilid II. Sumber Image : Koh Awie Dermawan
Yang Ngurutkan Halaman : Kang Hadi
first share in Kolektor E-book
PSW 10/06/2018 02:13 PM Sekte Teratai Putih 1 65 Sekte Teratai Putih 2 1 Sekte Teratai Putih 2 1 << SEKTE TERATAI PUTIH >>
Karya : STEFANUS S.P. Jilid II *** K ALI INI PUN Liu Yok rasanya sudah bisa
menebak, apa yang diingini adik tirinya
ini. "Aku memang dari Pek-him Gin-hang, tetapi
uang di kantongku ini bukan kepunyaanku,
melainkan kepunyaan Nenek..."
"Aku tahu..." Bwe Gin-liong menggosokgosokkan sepasang telapak tangannya sambil
cengar-cengir. "Begini, Kak, malam ini aku dan
teman-temanku menyelenggarakan suatu permainan yang mengasyikkan. Tetapi bukan
judi lho, hanya semacam tebak-tebakan namun
berhadiah. Tentu saja butuh modal. Karena itu,
kalau boleh..." "Itu namanya judi, A-liong."
Sekte Teratai Putih 2 2 "Bukan, itu hanya permainan pengisi waktu.
Jangan terlalu ketinggalan jaman, Kak,
pergaulan membutuhkan banyak permainan
yang baru untuk memeriahkan suasana. Kak,
coba beri aku dua ratus tahil perak saja dari
uang Nenek itu, nanti aku kembalikan tiga atau
empat kali lipat." "Aku tidak berani menyerahkan uang Nenek
kepadamu, A-liong. Lebih baik kau minta sendiri
kepada Nenek, barangkali akan diberi, sebab
bukankah kau adalah cucu kesayangan Nenek?"
"Ah, sama saja. Sekarang aku minta dulu
uangnya, nanti Kakak mengatakannya kepada!'
Nenek, kan sama saja" Mana uangnya?"
Dulu Liu Yok pernah menuruti usul Bwe Ginliong semacam itu, dan akibatnya parah. Di
depan Nenek Sebun ternyata Bwe Gin-liong,
mengingkari bahwa ia memakai uang itu, maka
Nenek Sebun lalu menumpahkan kemarahannya kepada Liu Yok. Sebenarnya
Nenek itu sudah hapal beda sifat kedua cucunya
itu, toh dia tetap saja menghajar Liu Yok karena
tidak tega menghajar cucu kesayangannya.
Sekte Teratai Putih 2 3 Karena itulah sekarang Liu Yok menggeleng
sebagai jawaban atas usul Bwe Gin-liong itu.
Keruan Bwe Gin-liong jadi geram, sikap
ramah yang dipertontonkan tadipun lenyap
diganti dengan sikap mengancam, "He, pincang,
mau berikan uang itu kepadaku atau tidak"
Kalau tidak kau berikan, aku malah akan
merebut semuanya supaya kau digantung oleh
Nenek!" Liu Yok tetap menggeleng, dan ini
menggemaskan Bwe Gin-liong. Tiba-tiba Bwe
Gin-liong mencengkeram ke baju Liu Yok, di
mana di baliknya ada uang itu dan Bwe Ginliong tahu hal itu. Namun Liu Yok mendekapkan
kedua tangannya di dada, lalu berbalik dan
pergi terpincang-pincang.
"Bangsat! Bangsat pincang!" Bwe Gin-liong
memburu dan tentu saja gerakannya lebih
cepat. Ia menyapu kaki Liu Yok dari belakang
sehingga roboh, namun dalam jatuhnya pun Liu
Yok tetap mendekap kan kedua tangannya di
dada. Sekte Teratai Putih 2 4 Tanpa belas kasihan Bwe Gin-liong
menendangi tubuh kakak tirinya itu sehingga
menggeliat-geliat kesakitan. Lalu ia menduduki
tubuh itu dan dengan kedua tangannya
berusaha merenggangkan lengan-lengan Liu
Yok, namun tidak berhasil. Lengan-lengan si
pencari kayu dan pekerja keras yang sudah
biasa melakukan pekerjaan berat itu tentu saja
jauh lebih kuat dari tangan-tangan si anak
manja yang kerjanya bersenang-senang saja.
"Jangan, A-liong..." rintih Liu Yok. "Mintalah
sendiri kepada Nenek. Bukankah kau cucu
kesayangannya?" "Nenek sekarang tidak mau memberi lagi
kepadaku! Tidak percaya lagi kepada ku!" teriak
Bwe Gin-liong hampir menangis karena jengkel
belum bisa merebut uang itu. "Dia malah lebih
percaya kepadamu, anjing pincang busuk! Ayo
serah kan uangnya!" Dan karena gagal merebut uang itu, Bwe Ginliong tiba-tiba memukuli muka Liu Yok, bertubitubi, sehingga wajah itu terhempas ke kiri dan
kanan. Dalam sekejap wajah Liu Yok pun
Sekte Teratai Putih 2 5 berantakan, berlumur darah, bengkak, lebam
dan kotor oleh tanah. Namun sepasang
lengannya tetap mendekap dada.
"Aduh, jangan pukul lagi, A-liong. Sakit. Sakit
sekali..." "Biar! Mampus juga biar!"
Penganiayaan itu tentu akan berlangsung
terus, seandainya di tempat itu tidak lewat
beberapa pencari kayu. Pencari-pencari kayu
itu berlari-larian mendekat, ada yang berteriak,
"He, Tuan Muda Bwe Gin-liong! Kau apakan
kakakmu?" "Apakah Tuan Muda akan membunuhnya?"
Bwe Gin-liong serempak sadar dari
kekalapannya. Ia sadar, kalau kakak tiri-nya
sampai mati di tangannya dengan disaksikan
saksi sebanyak itu, dia akan mengalami
kesulitan. Meski ada teman-temannya yang
merupakan anak pembesar, belum tentu
mereka suka menolongnya begitu saja. Maka
cepat Bwe Gin-liong pergi meninggalkan
kakaknya, kembali ke reruntuhan puri untuk
mengadu lebih dulu kepada Neneknya.
Sekte Teratai Putih 2 6 Pencari-pencari kayu itu segera mengerumuni Liu Yok, dan gemparlah mereka
melihat remuknya wajah Liu Yok.
"Astaga, kalau tidak kulihat sendiri, sulit aku
percaya bahwa seorang adik tega berbuat
seperti ini kepada kakaknya, biar hanya kakak
tiri..." "Kerasukan setan dari mana anak muda she
Bwe itu?" "Benar-benar dia persis ayahnya..." komentar seorang lelaki yang rambutnya sudah
ubanan. "Dulu ayahnya juga seperti itu. Setelah
menghabiskan sebagian besar harta Nyonya
Sebun yang dinikahinya secara pura-pura, dia
terus minggat begitu saja, meninggalkan
keluarga Sebun." Lelaki ubanan itu tiba-tiba menghentikan
kata-katanya karena kuatir menyinggung
perasaan Liu Yok. Bagaimanapun Nyonya Sebun
yang disebut-sebutnya tadi adalah Ibu Liu Yok
juga. Orang-orang di sekitar Pek-him-nia sering
diam-diam menjuluki Sebun Giok sebagai
"Ayam Petelur" karena sudah berhubungan
Sekte Teratai Putih 2 7 empat kali dengan empat lelaki dan
menghasilkan empat anak. "Eh, Saudara Liu, tidak apa-apakah kau?"
Liu Yok menggeleng. Tentu saja wajahnya
kesakitan, tetapi yang lebih kesakitan adalah
hatinya sendiri. Adiknya benar-benar hampir
membunuhnya seandainya orang-orang ini
tidak datang. "Apakah Saudara Liu tidak perlu orang untuk
mengantar sampai di atas?"
Lagi-lagi Liu Yok hanya menggeleng.
"Bagaimana kalau Tuan Muda Bwe Gin-liong
menghadang lagi?" Liu Yok kembali hanya menggeleng,
mulutnya seakan kelu. Tanpa meninggalkan
sepatah kata pun ia meninggalkan orang-orang
itu dan naik ke atas bukit.
Orang-orang menatap punggungnya. Ada
Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang menggelengkan kepalanya dan bergumam,
"Kasihan..." Tetapi buat Liu Yok sendiri, selama dia
melangkah naik, dia tidak membiarkan
kekecewaan dan kesedihan menggumpal
Sekte Teratai Putih 2 8 menjadi racun bagi jiwanya. Ia biarkan
kekecewaan dan kesedihan itu mencair menjadi
air bening yang menetes lewat matanya.
Untungnya, dia tidak termasuk golongan orangorang sok gagah yang sering berkata, "Bagi lakilaki, air mata jauh lebih mahal dari darah." Liu
Yok malahan bersyukur bahwa laki-laki pun
punya air mata yang dikendalikan dari bagian
jiwanya yang terdalam merasa berbahagia pula
bahwa ia masih bias menangis.
Ketika langkahnya sampai ke rerutuhan puri
itu, dia merasakan hatinya sudah lega dan
bersih kembali. Bahkan mulutnya sudah bisa
menggumamkan kata-kata, meskipun tidak ada
yang mendengarnya, "A-liong adikku, aku tetap
menyayangi mu. Kasih sayangku tidak akan
dapat dikalahkan oleh perbuatan jahat kepada
diriku yang bagaimanapun juga. Aku tetap
seorang pemenang, aku tidak terkalahkan."
Ia lalu menyerahkan uang kertas itu, utuh
meskipun agak kumal karena pergulatan tadi.
Neneknya menerima dengan wajah berseri-seri,
namun berseri-seri terhadap uangnya, Sekte Teratai Putih 2 9 sedangkan kepada Liu Yok yang bermuka
babak-belur itu tidak digubrisnya sama sekali,
la mengibaskan tangannya seolah-olah mengusir ayam, "Sudah. Pergi sana."
Liu Yok pergi ke sumur untuk membersihkan diri. Luka-lukanya pedih kena air,
namun ia sudah bisa bersenandung riang.
Waktu itu, hari sudah petang, matahari sudah
menghilang dengan hanya meninggalkan
guratan-guratan jingga di langit barat.
Ketika ia masuk ke kamarnya yang
bersebelahan dengan tempat penyimpanan
kayu bakar, ia merasa diluar dugaan bahwa di
meja kamarnya sudah ada lilin menyala, ada
beberapa mangkuk masakan, dan adik
bungsunya yang perempuan, Ciok Kim-he,
duduk di sebelah meja sambil menatap pintu
menanti kedatangan Liu Yok.
Semula wajah Ciok Kim-he berseri-seri, tapi
demi melihat muka kakaknya yang ringsek, Ciok
Kim-he jadi kaget. "Kakak Yok, kau kenapa?"
"Ah, tidak apa-apa," sahut Liu Yok sambil
tersenyum. Sekte Teratai Putih 2 10 "Tetapi muka Kakak..."
"Kalau aku bilang tidak apa-apa ya tidak apaapa," sahut Liu Yok ringan dan tulus dari dasar
hati. "Dan apa ini?" ia heran melihat hidanganhidangan di atas meja, Kim-he menjawab,
"Kakak terlalu, masa hari ulang tahun sendiri
lupa" Aku ambil seekor ayam dari ladang dan
beberapa macam sayuran, sekalian belajar
memasak. Coba dicicipi"
Liu Yok tertawa bahagia lalu mengambil
tempat duduk. Wajahnya memancarkan
kebahagiaan, hatinya terasa hangat, sambil
meraih sumpit dia mengajak, Kau harus ikut
makan, A-he." "Aku sudah." "Jadi sebanyak ini buat aku semuanya?"
"Ya. Kakak bekerja keras setiap hari, Kakak
membutuhkan banyak tenaga, Kakak harus
banyak makan." "Kau sangat memperhatikan aku."
"Kakak jauh lebih memperhatikan kami,
meskipun tidak semua orang dalam keluarga ini
menyadari hal itu. Aku tidak bisa Sekte Teratai Putih 2 11 membayangkan bagaimana hidup keluarga ini
sehari-harinya kalau tidak ada kakak. Kakak
Hou hanya latihan silat saja kerjanya, sedang
Kakak Liong tidak mau melakukan pekerjaan di
rumah ini yang paling kecil pun."
Liu Yok makan dengan lahap, penuh ucapan
syukur dari dasar hatinya. Bersyukur bahwa
jalan hidupnya tidak melulu kerikil tajam, onak
duri dan mendung, tetapi juga rumput yang
empuk, bunga yang indah dan matahari yang
cerah. Sementara Ciok Kim-he pun gembira melihat
kakaknya menghargai hasil kerjanya tidak
dengan kata-kata, melainkan dengan makan
selahap pengemis yang sudah tiga hari tidak
ketemu nasi. "Enak?" tanyanya.
Liu Yok mengangguk-angguk mantap karena
mulutnya sedang penuh makanan, meskipun
buat orang lain makanan itu sebenarnya terlalu
asin. Namun Liu Yok tidak ingin mengecewakan
adiknya. Sekte Teratai Putih 2 12 Ciok Kim-he puas. Ia lalu mengamat-amati
ruangan berdinding kayu yang men jadi
kediaman kakaknya itu. Alangkah sederhana.
Sebuah ruangan yang tidak luas dengan satu
pintu dan tanpa jendela, perabotannya hanyalah
sebuah dipan beralas tikar, sebuah meja dan
dua bangku, serta sebuah rak pakaian pendek.
Semuanya buatan sendiri yang serba kasar. Dan
ruangan yang sudah cukup sempit itu masih
harus bertambah sempit dengan tumpukan
barang-barang di salah satu sudutnya. Ada
keranjang-keranjang, perkakas perkebunan,
kampak pemotong kayu dan sebagainya.
Namun tatapan mata Ciok Kim-he tertahan
oleh sebuah benda yang tergeletak di bagian
atas rak pakaian. Rasanya agak janggal melihat
benda itu tergeletak di kamar yang setengah
acak-acakan itu. Itulah sebuah kitab tebal
bersampul hitam. Beberapa tahun yang lalu, ketika Ciok Kimhe mengetahui bahwa kakaknya itu ternyata
bisa membaca, ia sudah heran. Memang ketiga
orang adik tiri Liu Yok dipanggilkan guru oleh
Sekte Teratai Putih 2 13 Nenek Sebun, sedang Liu Yok tidak
diperkenankan belajar dan disuruh terus
bekerja. Tetapi entah kenapa Liu Yok bisa
membaca sama lancarnya dengan adik-adik
tirinya. Dan kini Ciok Kim-he melihat kitab
bersampul hitam itu, ia bertambah heran.
Rupanya kakak sulungnya ini biasa membaca
buku pula" "Buku siapa itu, Kak?"
"Bukuku. Bacalah. Isinya bagus."
Ciok Kim-he bangkit dari kursinya untuk
mengambil buku itu. Liu Yok hanya mengikuti
dengan pandangannya sambil terus makan.
Ciok Kim-he membawa buku itu ke meja,
mendekatkannya ke lilin dan membukabukanya. Minat bacanya memang sedikit sekali,
maka dia hanya membuka-bukanya sekilas, lalu
menaruhnya tanpa minat dan bertanya, "Buku
apa ini, Kak?" "Entahlah. Isinya ada cerita, ada nasehat, ada
syair. Aku diberi oleh Paman Go dan disuruh
membacanya." "Paman Go?" Sekte Teratai Putih 2 14 "Buku siapa itu, Kak?" "Bukuku, Bacalah.
Isinya bagus Sekte Teratai Putih 2 15 "Ya. Kenapa tampaknya kau heran?"
"Paman Go, si tukang membuat arang yang
sering mengantarkan arangnya ke mari itu?"
"Ya. Mana ada Paman Go yang lain?"
"Lucu. Tukang membuat arang saja punya
kitab tebal ini, padahal membaca pun belum
tentu bisa..." "A-he, jangan suka meremehkan orang
dengan penampilan luarnya. Justru Paman Co
itulah yang dulu mengajariku membaca dan
menulis, dan mengajari macam-macam lagi.
Pengetahuannya luas sekali. Di rumahnya dia
memiliki banyak buku."
"Iya?" Ciok Kim-he masih kurang percaya.
Tiba-tiba dari bangunan yang lain
terdengarlah teriakan Nenek Sebun yang parau,
memanggil Ciok Kim-he. Ciok Kim-he bangkit dengan kesal, "Huh,
pasti disuruh memijati lagi. Bosan!"
"Eh, jangan berkata begitu, A-he. Mestinya
kita bersyukur masih bisa berbuat sesuatu bagi
orang tua yang masih ada di antara kita."
Sekte Teratai Putih 2 16 Ciok Kim-he tercengang. Hampir-hampir
tidak percaya bahwa kata-kata macam Itu bisa
meluncur keluar dari mulut seorang yang setiap
hari dicaci-maki oleh sang Nenek dengan katakata tajam yang bagi orang lain mungkin tidak
tertahankan. Ciok Kim-he meninggalkan ruangan itu.
Keluarga Sebun yang masih tinggal di bukit
Pek-him-nia itupun sudah bersiap siap jauhjauh hari sebelumnya untuk pergi ke Lok-yang.
Dengan kemauan yang tidak tercegah, Nenek
Sebun menetapkan bahwa rombongan itu harus
tampil megah sepanjang perjalanan, untuk
mengingatkan orang-orang kejayaan Keluarga
Sebun di Se-shia tempo dulu, katanya. Maka ia
merancang iring-iringan megah meskipun
keretanya kereta sewaan semua. Pengawalpengawal, yang juga sewaan dari Piau-hang
(perusahaan ekspedisi) akan diberi "seragam
kebesaran Keluarga Sebun". Akan dilengkapi
pula dengan bendera-bendera.
Sebun Giok mengingatkan ibunya, bahwa
rencana itu akan memakan biaya tidak sedikit,
Sekte Teratai Putih 2 17 sedangkan perjalanan Liok-yang cukup jauh dan
tentunya membutuhkan makan dan penginapan
sepanjang jalan. Tetapi Nenek Sebun bersikeras
dengan rencananya. Terpaksa Sebun Giok diamdiam menyuruh Liu Yok ke Se-shia untuk
menjualkan sisa perhiasan emasnya yang tidak
seberapa lagi, ditukar dengan yang imitasi,
pokoknya asai kelihatan memakai perhiasan
sajalah. Uangnya dipegang diam-diam, tidak
diberitahukan Ibunya, sebagai cadangan
perbekalan. Kalau ibunya sampai tahu ada uang
cadangan, pasti akan "memperhebat" rencananya. Masih ada satu masalah yang dipertengkarkan Sebun Giok dan Ibunya, yaitu
soal ikut tidaknya Liu Yok. Nenek Sebun
berkehendak Liu Yok ditinggalkan saja di
rumah, jangan sampai bikin malu di Lok-yang.
Namun Sebun Giok mengancam dengan
sungguh-sungguh, kalau Liu Yok ditinggal, dia
pun tidak akan berangkat ke Lok-yang. Nenek
Sebun merasa tersudut. Kalau Sebun Giok tidak
ikut, maka kehadirannya sendiri di Lok-yang
Sekte Teratai Putih 2 18 tentu kurang beralasan. Sebab yang punya
hubungan darah dengan Sebun Beng di Lokyang justru adalah Sebun Giok, sebagai saudara
seayah berlainan ibu. Tentu tidak enak Nenek
Sebun hadir di Lok-yang sementara Sebun
Gioknya sendiri malah tidak hadir. Akhirnya
Nenek Sebun pun tunduk kepada tuntutan
Sebun Giok perihal ikutnya Liu Yok, dengan
syarat untuk tidak tampil dalam acara-acara
penting yang banyak tamunya. ..
Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Liu Yok gembira sekali ketika diberi tahu
Ibunya bahwa dia boleh ikut. Meskipun di Lokyang nanti dia hanya akan membantu-bantu di
dapur, bukan di pestanya, namun Liu Yok cukup
senang. Sebenarnya dalam hatinya, Liu Yok juga
ingin berkesempatan melihat tanah-leluhur nya.
Menurut cerita ibunya, ayah Liu Yok bernama
Liu Jing-yang, tuan muda dari Liu-keh-chung
(perkampungan keluarga Liu) yang terletak di
dekat Lok-yang. Begitulah keluarga itu mempersiapkan
dirinya. Sekte Teratai Putih 2 19 Bwe Gin-liong sudah menyiapkan pakaian
yang bagus-bagus sampai dua kotak besar lebih.
Anak muda itu membayangkan, karena Wan Lui
adalah orang dekatnya Kaisar Kian-liong, tamutamunya tentulah orang-orang terkemuka,
kalau bisa berkenalan dengan satu dua orang
dari mereka, tentu bisa membuka jalan ke masa
depan yang gemilang, pikirnya.
Dan dibayangkannya pula dalam pesta itu
banyak gadis-gadis anak-anak pembesar, eh,
nasib orang siapa tahu kalau dia diambil
menantu seorang pembesar tinggi" Bukankah
wajahnya cukup tampan, penampilannya cukup
hebat dan sikapnya juga terpelajar" Tetapi Bwe
Gin-liong sadar, bahwa untuk dapat menarik
perhatian orang, ia tidak mungkin tampil seadanya. Ia harus kelihatan cerdas, kata-katanya
harus "berbau" filsafat tingkat tinggi atau
kesusasteraan. Kalau perlu ia akan mengaku
sudah pernah lulus Ujian Han-lim di Ibukota,
mudah-mudahan bohongnya tidak ketahuan.
Maka Bwe Gin-liong yang selama ini membenci
buku, sekarang banyak mengurung diri dalam
Sekte Teratai Putih 2 20 kamar dan bergelut dengan benda-benda yang
dibencinya, buku-buku. Keluarganya jadi heran
melihat perubahan kelakuan si tukang
keluyuran ini. Sering ia duduk di tempat sepi,
memegang buku terbuka, berkomat-kamit
menghapalkan kata-kata sulit, dan sekali-sekali
menampar jidatnya sendiri.
Persiapan Auyang Hou agak berbeda.
Pemuda yang mendambakan sebagai pendekar
silat ini, berlatih giat. Namun kecuali itu, ia juga
sering pergi ke Se-shia untuk melihat
bagaimana gaya para jagoan ketika saling
menyapa, tertawa, memegang sumpit, memberi
hormat, menantang berkelahi, melangkah acuh
tak acuh, menuang arak ke dalam cawan, dan
sebagainya. Semuanya diperhatikannya baikbaik lalu ditirunya di rumah dengan beberapa
polesan. Untuk belajar menjura saja ia ratusan
kali melakukannya di dalam cermin, dan masih
saja merasa gayanya kurang pas. Satu kali
merasa kurang gagah karena pundaknya terlalu
melorot dan siku-sikunya terlalu merapat ke
Sekte Teratai Putih 2 21 tubuh, tetapi lain kali kok kelihatan ketiaknya
terlalu lebar. Begitu kesibukannya setiap hari.
Persiapan Ciok Kim-he sebagai anak
perempuan tentu saja tidak jauh berkisar dari
urusan pakaian dan perhiasan. Sebenarnya
dalam hatinya ada juga rasa iri akan nasib baik
saudara sepupunya di Lok-yang yang akan
menjadi isteri seorang Panglima, panglima
kesayangan Kaisar pula. Maka Ciok Kim-he
diam-diam juga mendambakan nasib baik, siapa
tahu di Lok-yang nanti ia "disambar" seorang
bujangan yang cukup dapat dibanggakan.
Hari yang ditunggu-tunggu, hari keberangkatan, itupun tiba.
Ada dua buah kereta di kaki bukit. Kereta
pertama adalah kereta tertutup yang indah,
pintunya bertirai, akan dinaiki para wanita,
yaitu Nenek Sebun, Sebun Giok dan Ciok Kimhe. Kereta kedua adalah kereta terbuka untuk
mengangkut barang-barang, juga Liu Yok, sebab
Nenek Sebun menggolongkan Liu Yok sebagai
barang. Sekte Teratai Putih 2 22 Ada sepuluh pengawal berkuda yang diberi
seragam mentereng, dan dengan upah
secukupnya mereka diperintah agar di
sepanjang jalan mengaku sebagai hamba-hamba
Keluarga Sebun, jangan mengaku sebagai
pengawal-pengawal dari Piau-hang (perusahaan ekspedisi). Auyang Hou dan Bwe
Gin-liong juga akan naik kuda sewaan dari Piauhang, meskipun Bwe Gin-liong merasa agak
gamang. Rombongan itu pun berangkat Dan
kemegahannya menarik perhatian sepanjang
jalan. Apalagi pengawal terdepan diperintahkan
oleh Nenek untuk mengibarkan sehelai bendera
biru laut dengan gambar beruang putih yang
berdiri. Para pengawal diam-diam cemas juga.
Bagaimana kalau ketemu musuh-musuh
Keluarga Sebun yang berilmu tinggi. Mereka
tetap cemas, meskipun Auyang Hou dengan
gagah menepuk-nepuk pedangnya sambil
mengatakan dengan gagah, bahwa siapa pun
berani menghadang rombongan itu maka
Sekte Teratai Putih 2 23 pedangnya akan "masuk putih keluar merah",
omongan yang ditiru nya dari para jagoan di Seshia yang dilihatnya. Para pengawal terpaksa
manggut-manggut, namun diam-diam mereka
bersepakat sama sendiri, kalau telah berbahaya
mereka akan kabur saja. Ada anak-isteri yang
harus diberi nafkah, jadi persetan dengan
keagungan Keluarga Sebun.
Entah karena musuh-musuh sedang tidak
berselera menghadang atau bagaimana,
rombongan itu akhirnya masuk Propinsi Ho-lam
beberapa belas hari kemudian tanpa rintangan
apa-apa. Begitu memasuki Propinsi Ho-lam, segeralah
terasa bahwa nama Sebun Beng begitu
dihormati orang, sehingga keluarga Sebun yang
dari Se-shia itu "kecipratan kehormatan" dan
mengalami pelayanan amat memuaskan
sepanjang jalan karena diketahui sebagai sanak
keluarga Sebun Beng. Buat Nenek Sebun yang gila hormat,
penghormatan itu membuatnya semakin besar
kepala. Namun dikatakannya kepada siapa saja,
Sekte Teratai Putih 2 24 bahwa penghormatan itu bukan karena nama
Sebun Beng, melainkan karena bendera
beruang putih yang dipasang di kereta.
Sebun Giok diam-diam mendongkol melihat
sikap Ibunya yang tetap saja sulit menerima
kenyataan tentang diri Sebun Beng yang masih
saja sering disebutnya "si jongos". Hampir saja
Sebun Giok membantah, "Kalau penghormatan
sepanjang jalan di Propinsi Ho-lam itu
disebabkan bendera beruang putih, kenapa
penghormatan itu baru diperoleh setelah dekat
Lok-yang dan bukan jauh sebelumnya" tapi
Sebun Giok mampu mengendalikan mulutnya
untuk tidak mengucapkannya. Kalau tidak,
tentu akan pecah pertengkaran dengan Ibunya
yang tentu memalukan di depan pengawalpengawal sewaan itu.
Untunglah, makin dekat Lok-yang, Nenek
Sebun makin dapat mengendalikan mulutnya.
Soalnya, melihat betapa besar rasa hormat
orang-orang kalau menyebut nama Sebun Beng,
dalam hati Nenek Sebun muncul juga rasa
gentar. Bahkan perlahan-lahan dia mulai putar
Sekte Teratai Putih 2 25 haluan. Ia mulai jarang menyebut Sebun Beng
sebagai "si jongos", sebaliknya kepada orangorang dia malahan mulai mengaku-aku sebagai
"ibunya Sebun Beng" sehingga orang-orang pun
bertambah-tambah hormat kepadanya.
Beberapa hari kemudian, rombongan pun
memasuki kota Lok-yang. Ibu kota Propinsi Holam itu sungguh jauh lebih megah dari kota Seshia yang sering mereka Jihat. Jalan-jalan lebar
berlapis lempengan-lempengan batu, gedunggedung besar dan indah, pagoda-pagoda dan
kuil-kuil tua, tidak ada kambing-kambing
berkeliaran di jalanan seperti di Se-shia.
Duduk di kereta pembawa barang, Liu Yok
bersinar-sinar matanya memperhatikan keadaan kota itu. Liu Yok begitu tertarik karena
membayangkan bahwa di jalan-jalan itulah
barangkali dulu leluhur-leluhurnya berjalanjalan.
Jalan ke rumah Sebun Beng dengan gampang
diketemukan, sebab setiap penduduk Lok-yang
mengetahuinya dan bisa menunjukkannya.
Bahkan ada orang yang dengan sukarela
Sekte Teratai Putih 2 26 mendahului ke rumah Sebun Beng untuk
memberitahukan kedatangan rombongan keluarga dari Se-shia itu.
Rombongan dari Se-shia itu menyangka,
mengingat ketenaran Sebun Beng, ditambah
kedudukan calon menantunya sebagai Panglima
kesayangan Kaisar Kian-liong, tentu rumah
Sebun Beng luar biasa besar dan megah. Tetapi
begitu tiba di depan rumah itu, mereka
tercengang melihat rumah yang berukuran
sedang-sedang saja dan sederhana. Baik ukuran
maupun kemegahannya bahkan bisa ditandingi
banyak rumah di kota Se-shia yang lebih kecil
dari Lok-yang. "Inikah rumah si jong... eh, ehm... si A-beng
itu?" Nenek Sebun mengerutkan alisnya.
"Benar, Bu," sahut Sebun Giok.
"Begini kecil dan... biasa?" Nenek Sebun
menahan diri untuk tidak mengatakan "jelek"
"Paling tidak lebih besar, lebih mirip
kediaman manusia, daripada tempat kediaman
kita di atas bukit itu, Bu."
Sekte Teratai Putih 2 27 Rombongan itu harus yakin bahwa itulah
rumah Sebun Beng, sebab di depan pintu rumah
sudah berdiri Sebun Beng dan beberapa orang
untuk menyambut. Sebun Beng memakai jubah panjang dari
kain hangat yang modelnya sederhana dan
kainnyapun bahan murahan. Kepalanya yang
sudah setengah ubanan itu ditutup topi
berbentuk belahan semangka. Melihat kereta
yang di depan, segera Sebun Beng
menyongsong ke depan pintu kereta,
menyambut Nenek Sebun yang sedang
melangkah keluar dari kereta. Sebun Beng
membungkuk dalam-dalam menyatakan hormatnya, katanya, "Saya benar-benar merasa
bahagia bahwa Ibu memenuhi undangan saya.
Saya merasa diberi muka terang oleh Ibu..."
Alangkah bangganya Nenek Sebun akan
sambutan itu, pikirnya, "Eh, jongos ini masih
tahu diri juga di depanku. Tidak ada salahnya
akupun memberi sedikit muka terang
kepadanya..." Sekte Teratai Putih 2 28 Maka ketika Sebun Beng mengulurkan
lengannya yang kokoh untuk membantunya
turun dari kereta, Nenek Sebun berpegangan
tangan itu. Kemudian isteri Sebun Beng, yaitu Auyang
Siau-hong, ikut menghormat dan menyambut
Nenek Sebun, begitu juga Sebun Hong-eng, si
calon mempelai. Auyang Siau-hong kemudian mengambil alih
tugas Sebun Beng untuk menuntun Nenek
Sebun ke dalam rumah. Sementara itu, Sebun Giok juga sudah turun
dari kereta, dan lebih dulu memberi hormat
kepada Sebun Beng. Ia membawa diri sebagai
seorang adik kepada kakaknya, "Salam saya
untuk Kakak Beng. Saya merasa beruntung
Kakak tidak melupakan kami di se-shia,
sehingga kami tidak sama sekali terasing dari
pergaulan umat manusia karena dosa-dosa
Ayah kita..." Nenek Sebun agaknya tidak suka melihat
Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sikap dan kata-kata anak perempuannya yang
merendah itu, namun tidak berkata apa-apa.
Sekte Teratai Putih 2 29 Sebun Beng terharu melihat sikap Sebun
Giok, ia jadi ingat masa lalu. Dulu, ketika Sebun
Beng masih menjadi si kacung Liu Beng di puri
Keluarga Sebun, karena waktu itu belum
diketahui kalau dia anak luar-nikah Sebun Him,
Sebun Giok sebagai nona majikannya bersikap
amat menghina. Maklum, waktu itu Sebun Giok
adalah puteri kesayangan Sebun Him yang kaya
raya, terhormat dan dikenal sebagai satu dari
segelintir pendekar sakti jaman itu. Tetapi
kemudian Sebun Him terbongkar kedoknya
sebagai pemimpin gerombolan jahat Hek-engpo, dan itulah awal keruntuhan keluarganya.
Sebun Giok sendiri juga terbentur kenyataan
pahit bahwa suami pertamanya, Liu Jing-yang,
adalah musuh dalam selimut yang mengawininya hanya demi keinginan menguasai harta Keluarga Sebun. Hidup Sebun
Giok makin rapuh, sehingga beberapa lelaki
penipu sempat "mampir" di kegersangan
hatinya dan menghasilkan anak-anak yang
berbeda-beda ayahnya. Kini Sebun Beng
melihat, mesti adik tirinya itu berpakaian
Sekte Teratai Putih 2 30 pantas, berusaha merias diri sebaik-baiknya
dan juga nampak awet muda, namun matanya
buram, tidak lagi bercahaya seperti dulu. Katakatanya yang merendah itu tambah menikam
hati Sebun Beng. Sebun Beng memegang kedua lengan Sebun
Giok dan berkata lembut, "Sudahlah, adikku.
Kesalahan Ayah kita adalah beban kita semua,
bukan bebanmu saja. Dan kita harus berterima
kasih kepada para sahabat yang tidak
menimpakan hutang darah Ayah kepada kita.
Kita harus belajar mempercayai bahwa umat
manusia yang hidup di bawah satu matahari
yang hangat ini diciptakan untuk saling
bersaudara dan saling mengasihi, bukan untuk
saling mendendam dan saing menghukum
dengan perasaan benar sendiri..."
Sebun Giok benar-benar merasa terhibur
mendengarnya. Sekian tahun hidupnya terombang-ambing tanpa pegangan, sejak
Ayahnya meninggal, dan beberapa lelaki yang
datang pun ternyata bangsat semua. Kini
kembalinya ke pergaulan masyarakat ramai
Sekte Teratai Putih 2 31 langsung disambut kehangatan sikap kakak
tirinya yang amat melegakan.
Kemudian Auyang Hou maju ke hadapan
Sebun Beng dengan langkah bak pendekar
ulung yang sudah sekian lama dilatihnya di
depan cermin, termasuk sebelumnya melompat
turun dari kuda dengan kaki diayunkan ke
depan melewat atas kepala kuda, di depan
Sebun Beng ia lalu memberi hormat sambil
mengencangkan otot-otot pundak dan dadanya
suara juga dibuat agak berat dan gagah Saya
menyampaikan hormat kepada Paman Sebun
Beng. Mengharapkan banyak petunjuk dari
Paman!" Tetapi Sebun Beng menanggapi sikap sangat
resmi itu justru dengan tertawa sambil
menepuk pundak Auyang Hou keras-keras. "He,
apa-apaan ini" Menghadapi Pamanmu sendiri
kok seperti orang mau menantang pi-bu
(duel)?" Auyang Hou pun jadi tersipu.
Lalu majulah Bwe Gin-liong dengan gaya
anggun seorang terpelajar tinggi, dengan
Sekte Teratai Putih 2 32 sepasang tangan selalu tersembunyi di dalam
lengan-lengan jubahnya. "Saya menyampaikan
hormat kepada Paman!"
Sebun Beng tertawa pula, "Nah, apa lagi ini"
Pejabat tinggi atau bangsawan dari mana ini?"
Bwe Gin-liong pun jadi menyeringai
canggung. "Nah, ini anak yang dulu ingusan, sekarang
sudah begini cantik," Sebun Beng tertawa
menyambut salam hormat Ciok Kim-he. "Kapan
kau ganti mengundang Pamanmu ini ke pesta
pernikahanmu?" Ciok Kim-he menunduk tersipu dengan
wajah merah. Begitulah, Sebun Beng berbahagia melihat
tiga keponakannya yang ganteng dan cantik itu,
namun ia tetap merasakan masih ada yang
kurang. Matanya mencari-cari di antara
rombongan orang-orang yang baru datang itu,
dan matanya pun bersinar ketika melihat Liu
Yok muncul dari balik kereta sambil berkata
ringan, "Paman, saya siap membantu apa saja.
Sekte Teratai Putih 2 33 Saya ahli memotong kayu, merebus air,
menyembelih ayam... apa saja."
Sebun Beng melangkah maju menyongsong
Liu Yok dan langsung mendekapnya. Sebun
Beng punya hubungan khusus dengan ayah Liu
Yok, dan bagaimana riwayatnya sejak dia masih
menjadi kacung di Liu-keh-chung dengan nama
Liu Beng, itulah sebabnya Sebun Beng selalu
bergolak perasaannya setiap melihat Liu Yok.
Auyang Hou dan Bwe Gin-liong menatap
agak iri melihat Liu Yok mendapat perhatian
demikian besar dari Sebun Beng. Di hadapan
banyak orang pula. "Tetapi aku lebih berpeluang untuk
bersahabat dengan pendekar-pendekar terkenal, memasuki pergaulan yang membanggakan..." Auyang Hou menghibur diri
sendiri dalam hati. "Sedang Kakak Yok hanya
akan berada di dapur terus, bersama pelayanpelayan..."
Bwe Gin-liong pun berpikiran kurang lebih
sama, "Ah, kenapa aku harus iri kepada Si
Pingcang jelek itu" Paling banter ia akan
Sekte Teratai Putih 2 34 bergaul dengan beberapa tukang masak di
dapur, tidak mungkin dia berkesempatan
bergaul dengan puterinya Gubernur Ho-lam
misalnya. Eh, kabarnya Gubernur Ho-lam punya
dua orang puteri yang cantik sekali..."
Sementara itu, Nenek Sebun telah
memerintah Liu Yok dengan suaranya yang
parau dan dingin, "A-yok, tugasmu adalah
menurun-nurunkan barang-barang dari kereta
dan membawanya masuk ke dalam rumah..."
"Baik, Nenek," Liu Yok dengan patuh hendak
menjalankan perintah itu, namun dicegah Sebun
Beng, "Ibu, soal barang-barang itu janganlah
kuatir. Kami sudah menyediakan tenaga untuk
itu." Soh Piao, pemimpin pegawai-pegawai di
rumah Sebun Beng, segera menyuruh orangorangnya untuk bekerja.
Sebun Giok terlihat amat bahagia melihat
keakraban Sebun Beng dan Liu Yok. Sedikit
banyak ia dapat pula menjajagi bagaimana
perasaan Sebun Beng. Sekte Teratai Putih 2 35 Kemudian tiba saatnya Sebun beng
memperkenalkan keluarganya dari Se-shia itu
dengan beberapa tamu di rumahnya yang ikut
menyambut keluar. Saat itu, tamu yang ada di
rumah Sebun Beng hanya tiga orang, yaitu
seorang laki-laki setengah baya dengan
sepasang anak kembarnya yang sudah dewasa
dan menjadi pemuda-pemuda tegap. Sang ayah
adalah Tong Gin-yan dari Se-cuan, sudah
menjadi sahabat Sebun Beng sejak keduanya
masih sama-sama muda. Anak-anak kembarnya
bernama Tong San-hong dan Tong Hai-long.
Meskipun keduanya berperawakan dan
berwajah sama, orang akan dapat membedakannya dengan mudah. Tong Sanhong, sesuai dengan namanya yang berarti
"puncak gunung" nampak pendiam, anggun,
kokoh dan serba terkendali. Sedang kembarannya, juga sesua dengan namanya yang
berarti "gelombang laut" nampaknya adalah
seorang pemuda yang kurang sabaran dan tidak
betah diam. Saat itu Tong Hai-long kelihatan
berwajah murung. Maklumlah, dulu sebenarnya
Sekte Teratai Putih 2 36 dialah yang lebih dulu berkenalan dengan
Sebun Hong-eng, bahkan sejak kecil, lalu diamdiam dia mencintai gadis itu, tak terduga
kemudian muncullah Wan Lui yang berhasil
merebut hati Sebun Hong-eng. Beberapa hari
lagi Sebun Hong-eng akan menjadi Nyonya Wan
Lui dan diboyong ke Pak-khia.
Mula-mula Sebun Beng memperkenalkan
Nenek Sebun dengan Tong Gin-yan, "Ibu, inilah
sahabat saya sejak muda, Tong Gin-yan dari
Tiau-im-hong di Propinsi Se-cuan..."
Sebagai orang yang satu generasi lebih
muda, Tong Gin-yan membawa diri semestinya
dengan membungkuk dalam, "Saya menyampaikan hormat kepada Nyonya Besar
Sebun..." Tak terduga Nenek Sebun malah bertanya
dengan sikap yang sangat tidak ramah, "He, kau
orang she Tong, berdiam di Tiau-im-hong di Secuan, apa hubunganmu dengan Tong Lam-hou?"
"Almarhun adalah ayah saya..."
Nenek Sebun tiba-tiba berkata dengan
sengit, "Jadi kau adalah anak dari bangsat yang
Sekte Teratai Putih 2 37 telah memfitnah suamiku sebagai pemimpin
gerombolan Elang Hitam" Fitnahan ayahmu
begitu berhasil, sehingga suamiku tewas di
Tiau-im-hong!" Keruan saja Tong Gin-yan kelabakan
menghadapi sikap Nenek Sebun itu. Yang benar,
almarhum ayahnyalah yang difitnah Sebun Him,
sehingga kaum pendekar menyerbu Tiau-imhong karena dihasut Sebun Him. Untung ada
orang Hek-eng-po sendiri yang membongkar
kedok Sebun Him sehingga semua orang tahu
kalau Sebun Him sendirilah pemimpin
gerombolan penjahat Hek-eng-po, bukan Tong
Lam-hou. Kini Tong Gin-yan menghadapi
pemutarbalikan fakta yang diucapkan oleh
Nenek Sebun, janda Sebun Him. Tong Gin-yan
jadi merasa serba salah. Kalau didiamkan saja,
berarti nama ayah nya yang sudah meninggal
itu memikul tuduhan yang tidak benar. Tapi
kalau dibantah, dia pun sungkan kepada Sebun
Beng yang adalah sahabat baiknya.
Ternyata anak Tong Gin-yan, Tong Hai-long,
yang tidak dapat menahan diri lalu maju ke
Sekte Teratai Putih 2 38 depan dan berkata keras, "Itu tidak benar.
Jangan coba-coba memfitnah Kakekku!"
Auyang Hou pun melompat ke depan
neneknya dengan gaya pendekar siap tempur,
tangannya sudah menggenggam tangkai pedang
Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
namun belum dicabut, matanya menatap tajam
ke arah Tong Hai-long. Gayanya boleh juga.
Tong Hai-long yang berangasan itupun
hampir meladeni Auyang Hou, namun
pundaknya ditahan dari belakang oleh ayahnya.
"A-hai, Pamanmu Sebun Beng bisa menyelesaikan kesalahpahaman ini. Kau akan
kurang hormat kepadanya kalau bertindak
sendiri." Sementara Sebun Beng pun berkata kepada
ibu tirinya, "Sudahlah, Ibu, luka-luka lama buat
apa diungkit-ungkit lagi menjelang hari bahagia
salah seorang cucu Ibu" Tidak perlu kita saling
menghakimi sekarang. Puluhan tahun yang lalu
Semuanya sudah diselesaikan di Tiau-im-hong
di bawah kesaksian puluhan ribu pasang mata
para pendekar dari seluruh pelosok negeri..."
Sekte Teratai Putih 2 39 Sementara isteri Sebun Beng pun memegangi lengan Nenek Sebun sambil
membujuk lembut, "Tempat beristirahat buat
Ibu sudah kami sediakan. Ibu tentunya butuh
istirahat setelah perjalanan jauh."
Sebun Giok ikut membujuk pula. Kedua
perempuan itu menuntun Nenek Sebun di kiri
kanannya masuk ke dalam rumah.
Sebun Beng menepuk pundak Auyang Hou
yang masih pasang kuda-kuda, "A-hou, kalau
mau mewarisi dari leluhur, warisilah yang baikbaik saja. Jangan dendamnya atau hutangdarahnya. Lebih baik mengikat persahabatan."
Perlahan-lahan dan penuh gaya Auyang Hou
"membongkar" sikap tempurnya, lalu memberi
hormat kepada Tong Hai-long dengan penuh
gaya juga, "Pamanku benar. Saudara Tong,
harap sudi menerima uluran tangan persahabatan sesama pendekar. Memang tidak
ada yang untung kalau dua harimau
bertarung..." Dalam kalimat itu sekaligus Auyang Hou
telah merangkum kata-kata "sesama pendekar"
Sekte Teratai Putih 2 40 dan "dua harimau" untuk menyebut dirinya dan
Tong Hai-long. Tong Hai-long agak geli, katanya menyindir,
"Untunglah aku tidak jadi berkelahi denganmu,
Saudara Auyang. Kalau sampai terjadi
perkelahian, tentu aku akan terluka parah..."
Tong San-hong menyikut saudara kembarnya agar tidak menyindir keterlaluan.
Bagaimanapun juga Auyang Hou adalah
keponakan Sebun Beng yang mereka hormati.
Ternyata Auyang Hou tidak merasa kalau
disindir, malahan tanpa sungkan-sungkan dia
berkata, "Ah, dalam pertarungan sesama
pendekar tentulah wajar kalau ada yang terluka.
Asalkan bisa menarik pengalaman berharga
dari pertarungan itu, kerugianpun akan
berbalik menjadi keuntungan!"
"Bukan main anak ini..." Sebun Beng diamdiam mengeluh dalam hati melihat gerak-gerik
keponakannya ini. "Sebagai pamannya, aku
harus berusaha mengarahkannya, jangan
sampai dia menganggap diri sendiri terlalu
Sekte Teratai Putih 2 41 hebat sehingga suatu saat bisa mencelakakan
diri sendiri." Setelah semuanya saling memperkenalkan
diri, Sebun Beng mengajak mereka masuk ke
dalam. Malam harinya Sebun Beng menyelenggarakan sebuah perjamuan sederhana sebagai ucapan selamat datang
kepada keluarganya yang dari Se-shia. Sekaligus
ingin mencairkan suasana kaku antara Nenek
Sebun dan Tong Gin-yan. Namun upaya
memperbaiki hubungan ini gagal total karena
Nenek Sebun tetap bersikap kaku. Tong Gin-yan
pun harus mengendalikan diri agar tidak
merusak suasana, bahkan juga berusaha
mengendalikan Tong Hai-long yang penaik
darah itu. Malam itu pula Liu Yok berhasil membuat
perjanjian dengan Soh Piao, bahwa besoknya
Soh Piao akan mengantar Liu Yok melihat bekas
Perkampungan Keluarga Liu di luar kota Lokyang, tempat leluhur Liu Yok dulu.
Sekte Teratai Putih 2 42 Soh Piao yang sudah terkesan baik kepada
Liu Yok sejak pertemuan pertama di kaki bukit
Pek-him-nia dulu, menyanggupi permintaan Liu
Yok dengan senang hati. Mereka juga berjanji
akan saling memanggil sebagai saudara, Soh
Piao jadi kakak dan Liu Yok jadi adik, meskipun
usia terpaut dua puluh tahun lebih.
* * * Esok paginya, karena Liu Yok terbiasa
bangun pagi-pagi sekali, maka di kota Lok-yang
pun kebiasaannya itu tidak luntur. Langsung ia
menuju ke belakang rumah, dan dilihatnya di
bagian belakang sudah ada beberapa pembantu
keluarga Sebun yang sibuk di dapur. Ada yang
menyalakan api, membelah kayu, mengisi air
dan sebagainya. Ketika Liu Yok meraih kampak pembelah
kayu dan melangkah ke tumpukan kayu bakar
di sudut halaman, pelayan-pelayan menatapnya
dengan heran. Seorang pelayan lalu mendekatinya, "Tuan Muda... Tuan Muda..."
Sekte Teratai Putih 2 43 Liu Yok berhenti dan menoleh. Merasa
canggung juga karena dipanggil sebagai Tuan
Muda, padahal biasanya di Se-shia dia hanya
kebagian disuruh-suruh dan dibentak-bentak.
"Ada apa?" "Tuan Muda akan melakukan apa dengan
kampak itu?" "Ini kampak pembelah kayu bukan?"
"Benar." "Kalau sudah tahu ini kampak pembelah
kayu, tentunya tahu apa yang akan aku lakukan.
Kampak pembelah kayu ya untuk membelah
kayu." "Tetapi.... itu bukan pekerjaan Tuan Muda."
"Siapa bilang" Di Se-shia aku mengerjakannya setiap hari."
"Apakah Tuan Muda tidak lebih baik berlatih
silat saja bersama Tuan Muda Auyang Hou di
Lian-bu-thia (bangsal latihan)?"
"Aku tidak bisa bersilat."
Sebun Beng sendiri tiba-tiba muncul di
halaman belakang itu dan langsung bertanya,
"Ada apa ini?" Sekte Teratai Putih 2 44 "Tuan Muda ini ingin membelah kayu," sahut
seorang pelayan. Sebun Beng menatap Liu Yok, dan Liu Yok
menjawab sebelum ditanya, "Otot ototku kaku
semua karena sudah beberapa hari dalam
perjalanan tidak melakukannya, Paman. Aku
bisa jatuh sakit di sini."
Sebun Beng tersenyum, lalu berkata kepada
pelayan-pelayannya, "Biarkan keponakanku ini
melakukan apa saja yang disenanginya. Dia
tamu di sini." Pelayan-pelayan saling berpandangan; heran. Ini benar -benar paman dan keponakan
yang sama anehnya. Sementara Liu Yok mulai dengan "olah
raga"nya, Sebun Beng duduk santai di
tumpukan kayu di dekatnya dan bertanya, "Eh,
A-yok, aku dengar dari Soh Piao, pagi ini dia
akan mengantarmu ke bekas perkampungan
Keluarga Liu. Betul?"
"Betul, Paman."
Sekte Teratai Putih 2 45 "Punya keperluan dengan tempat itu?"
"Sekedar ingin tahu tempat leluhurku saja,
Paman." "Betul-betul hanya ingin tahu?" Pertanyaan
Pamannya yang mulai menukik" itu mengherankan Liu Yok, sehingga dia
menghentikan kerjanya dan menatap Pamannya
lekat-lekat. "Paman pikir, kalau tidak sekedar
ingin tahu, untuk apa lagi aku ke sana?"
Sebun Beng mengerutkan jidat dan berkata
dengan hati-hati, "Tidak salah orang berusaha
mencari akarnya di masa lalu dengan melalui
tempat-tempat bersejarah misalnya. Asal harus
hati-hati, kenangan yang berlebihan bisa
mempengaruhi tingkah lakunya di masa kini."
"Maksud Paman?"
"Banyak penguasa tiba-tiba keranjingan
perang lalu menyerbu negeri tetangga, misalnya
sehabis membaca riwayat kejayaan negerinya
di masa silam. Akibatnya, banyak orang
menderita." Liu Yok tertawa. "Aku kan bukan penguasa,
Paman." Sekte Teratai Putih 2 46 "Memang bukan. Tetapi keranjingan perang
yang aku contohkan tadi barulah salah satu
kemungkinan. Bisa juga orang merasa rendah
diri atau iba diri atau dilecut rasa bersalah tak
habis-habisnya setelah mengetahui masa
lalunya. Ada bagian-bagian masa lalu yang
sebaiknya dilupakan saja."
"Yang Paman maksudkan apakah leluhurku,
Keluarga Liu" Apakah begitu buruknya?"
Lama Sebun Beng menatap mata Liu Yok,
mengukur keteguhan hati Liu Yok kalau
mendengar riwayat leluhurnya yang corengmoreng. Dan Sebun Beng yakin bahwa dia
menemukan keteguhan jiwa luar biasa di balik
mata Liu Yok. Maka Sebun Beng pun menjawab,
"Ya. Buruk sekali."
"Aku boleh mendengarnya?"
"Apa kau belum mendengarnya?"
"Ibu belum pernah mau menceritakannya
kepadaku, tanpa menyebut alasannya."
Sebun Beng menarik napas, menatap ke
langit yang semakin cerah.
Sekte Teratai Putih 2 47 Sementara Liu Yok jadi lebih banyak
bicaranya daripada membelah kayu, "Paman,
terus terang saja aku tidak tahu kenapa Nenek
sering memaki aku sebagai keturunan
pembunuh. Apakah ayahku pembunuh" Di
lereng bukit Pek-him-nia, kuburan ayahku juga
diletakkan jauh lebih rendah dari kuburan
Paman Sebun Hiong dan Kakek Sebun Him.
Kuburan Kakek dan Paman dibangun bagus,
Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuburan Ayahku seperti kuburan anjing saja."
Hati Sebun Beng tertusuk. Namun dia lega
juga bahwa Liu Yok mengucapkan kata-kata itu
begitu tenang dengan mata tetap jernih. Liu Yok
tidak mengucapkannya dengan mata berapi-api
marah, suara meninggi dan tinju mengepal.
Sebun Beng heran juga, kekuatan macam apa
yang dimiliki Liu Yok"
Meskipun yakin keteguhan hati Liu Yok,
Sebun Beng hanya berani menjawab samarsamar, "Di antara dua garis keluargamu, dari
pihak ayahmu maupun ibumu, sama-sama
bersalah. Terlalu panjang ceritanya."
Sekte Teratai Putih 2 48 Liu Yok menangkap isyarat lembut bahwa
Pamannya agaknya belum bersedia menceritakan semuanya, meskipun tahu. Liu
Yok pun meneruskan membelah kayu, tidak
mendesak. Sebun Beng kemudian bertanya, "Kau akan
tetap pergi di bekas perkampungan leluhurmu
itu?" "Ya." Sebun Beng menarik napas, "Kalau begitu,
bersiap-siaplah mulai sekarang supaya tidak
kesiangan. Biar pekerjaanmu dilanjutkan orang
lain." Liu Yok mengangguk lalu menyerahkan
kampaknya ke tangan seorang pelayan.
Ketika matahari belum terlalu tinggi, Liu Yok
bersama-sama Soh Piao sudah berada di luar
kota Lok-yang. Mereka berjalan kaki dan
melangkah dengan sabar. Sambil berjalan
mereka berbincang, dan Soh Piao menangkap
betapa sederhana dan lurusnya jalan pikiran Liu
Yok, yang anehnya juga sulit disudutkan. Soh
Piao mendengar pula beberapa "keyakinan
Sekte Teratai Putih 2 49 aneh" yang kalau didengar orang-orang tua
pastilah menimbulkan kegusaran. Antara lain
Liu Yok mengatakan bahwa manusia lebih
berkuasa daripada dewa-dewa dan iblis-iblis.
"Masih jauhkah tempat itu?" tanya Liu Yok.
Soh Piao menunjuk lereng bukit kecil di
kejauhan, "Di tempat itulah dulunya perkampungan leluhurmu, Adik Yok."
"Agaknya untuk sampai ke sana harus
melewati beberapa desa lagi."
"Benar. Di desa itu banyak penduduknya
yang aku kenal. Kalau kau lelah, kita bisa
beristirahat sebentar di sana."
Liu Yok tertawa, "Aku berkeringat tetapi
tidak lelah. Di Se-shia aku terbiasa bekerja
sehari penuh." "Tidak adakah adik-adikmu yang membantu?" "Tidak menjadi soal dibantu atau tidak. Kerja
keras membuat diriku merasa ada gunanya."
Langkah mereka pun memasuki sebuah desa
yang tidak jauh dari kota Lok-yang. Melihat
banyaknya dan luasnya halaman-halaman
Sekte Teratai Putih 2 50 penjemuran kain, gampang ditebak kalau
sebagian besar penduduk desa itu adalah
penenun-penenun. Namun kali ini Soh Piao diam-diam merasa
heran. Biasanya desa itu ramai, pintu-pintunya
terbuka bersahabat, suara alat tenun terdengar
dari setiap rumah, lelaki dan perempuan sibuk
menjemur kain-kain yang baru dicelup berbagai
warna, anak-anak bermain-main di jalanan.
Tetapi kali ini Soh Piao melihat pintu -pintu
tertutup rapat di siang hari bolong, suara alat
tenun tidak terdengar, halaman-halaman
penjemuran kosong melompong hanya nampak
dengan bambu-bambu panjang yang bergeletakan. Ini mengherankan Soh Piao.
"Aneh, kenapa begini sepi?" tak terasa ia
berdesis. "Apakah tidak biasanya seperti ini, Kakak
Soh?" "Biasanya ramai, tidak ubahnya kampungkampung lain."
"Mungkin orangnya bepergian."
Sekte Teratai Putih 2 51 "Masa orang bepergian sekampung" Biar aku
tanyakan." Soh Piao mendekati sebuah pintu yang
dikenalnya, lalu mengetuknya sambil memanggil-manggil, "Paman Lam! Paman Lam!"
Sengketa Guci Pusaka 2 Pendekar Rajawali Sakti 161 Siluman Tengkorak Gantung Penakluk Ujung Dunia 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama