Ceritasilat Novel Online

Sekte Teratai Putih 6

Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp Bagian 6


5 tanganku di jidatmu pelan-pelan, bukan
memukul..." "Ti.... tidak apa-apa, Paman. Tetapi jangan
menyentuh tubuhku. Rasanya.... rasanya.... ada
yang menolak di dalam tubuhku."
Sebun Beng bertukar pandangan dengan Lui
Yok, sama-sama heran akan
"penyakit aneh" itu. Hanya dipegang saja kok
kesakitan" Tanya Sebun Beng cemas, "Kalau begitu,
penyakitmu bukan sekedar karena kelelahan, Ahou. Perlu dipanggilkan tabib."
"Jangan, jangan." cegah Auyang Hou.
"Biarkan aku beristirahat sehari ini, Paman, dan
aku akan pulih kembali."
"Jangan menganggap enteng penyakitmu
sendiri, A-hou. Kalau penyakitmu makin parah
dan sampai terjadi apa-apa, bagaimana aku
harus bertanggung jawab kepada Ibumu?"
"Tidak apa-apa, Paman. Yakinlah. Beri aku
kesempatan tidur, dan nanti aku akan pulih."
"Baiklah. Kalau nanti habis tidur penyakitmu
belum hilang juga, terpaksa kita cari tabib."
Sekte Teratai Putih 10 6 Auyang Hou tidak menjawab, cuma menarik
selimutnya ke atas sebagai tanda bahwa dia
akan mulai tidur. Sebun Beng meninggalkan
kamar itu bersama Liu Yok.
Di kamarnya, Sebun Beng mengeluarkan
beberapa keping uang untuk diberikan kepada
Liu Yok sambil berkata, "Kita tidak tahu apa
penyakit adikmu, tetapi kau bisa menjelaskan
tanda-tandanya kepada si pemilik toko obat,
dan mungkin dia akan tahu obatnya. Pemilik
toko obat biasanya cukup tahu juga tentang
macam-macam penyakit dan obatnya."
"Paman...." Liu Yok seperti hendak
berbicara namun ragu-ragu, sehingga
mengherankan Pamannya. "Kenapa" Apa yang
mau kau katakan?" "Aku ragu kalau penyakit A-hou adalah
penyakit biasa." "Kalau bukan penyakit biasa, terus penyakit
apa?" "Mungkin penyakit bikinan orang Pek-liankau."
Sekte Teratai Putih 10 7 "Kenapa kamu menduga begitu" Punya
bukti?" "Bukti tidak ada, Paman. Hanya semacam
perasaan yang kuat saja, Paman."
Kalau orang lain yang berkata "hanya
perasaan" pastilah Sebun Beng tidak akan
terlalu menghiraukannya. Namun sekarang
Sebun Beng sudah mengenal betapa istimewanya keponakannya yang satu Ini.
Keistimewaan yang bahkan sering tidak
diketahui oleh Liu Yok sendiri, sedang orang
lain yang mengetahuinya pun hanya sekedar
mengetahui tetapi tidak akan bisa menjelaskan
apa, kenapa dan bagaimananya. Karena itu
Sebun Beng mengangguk-angguk mendengar
perkataan Liu Yok itu. Katanya, "Kemungkinan
besar begitu. Kota Han-king ini tidak jauh lagi
dari Hong-yang, tempat kegiatan rahasia kaum
Pek-lian-kau. Mungkin juga mereka sudah tahu
siapa kita dan maksud kedatangan kita, dan
mereka melakukan penyambutan lebih dulu."
Sekte Teratai Putih 10 8 "Paman, siapa orang aneh yang kemarin
berbicara dengan Paman di dekat penjual buahbuahan di dermaga itu?"
"Aku tidak pasti. Namun aku menduga dialah
Kim-mo-long (Serigala Bulu Emas) Mo Hwe,
tokoh nomor satu Pek-lian-kau saat ini."
"Jadi bagaimana sekarang, Paman" Kita
belikan obat untuk A-hou atau tidak?"
"Baiklah. Kita cobakan kepada A-hou, siapa
tahu dugaan kita tentang kejahilan orang Peklian-kau itu keliru, dan A-hou hanyalah sakit
biasa. Terangkan gejala-gejalanya kepada si
pemilik toko obat, tetapi tidak usah dibumbubumbui cerita tentang Pek-lian-kau."
"Baik, Paman." Dengan langkahnya yang terpincangpincang, Liu Yok pun keluar dari penginapan
itu, langsung ke toko obat, dan cepat-cepat
pulang kembali. "Apa kata si pemilik toko obat?"
"Dia tertawa dan berkata A-hou hanya
kelelahan. Dia berikan obat penambah tenaga
yang dibuat dari jin-som, itu saja. Katanya obat
Sekte Teratai Putih 10 9 ini kwalitasnya nomor satu dalam jarak seratus
li dari seluruh Han-king ini."
Sebun Beng tertawa, "Omongan tukang obat
di mana-mana sama. Selalu mengaku nomor
satu." Liu Yok pun tertawa. "Lalu bagaimana
dengan obat ini?" "Cobalah diseduh menurut petunjuk dan
suruh Auyang Hou minum."
Liu Yok lalu minta air panas dan peralatan
lain ke dapur penginapan dan menyeduh obat
itu semangkuk buat adiknya. Mangkuk berisi
seduhan panas itu dibawanya perlahan-lahan ke
kamar Au-yang Hou sambil ditiup-tiup
permukaannya agar agak dingin.
Ternyata Auyang Hou tidak benar-benar
tidur. Ia nampak gelisah, jidatnya berkeringat.
"Adik Hou, coba minum dulu obatnya...." kata
Liu Yok. Ternyata Auyang Hou memang tidak tidur.
Suara Liu Yok yang lirih itu membuatnya
bangun, lalu duduk dan mengusap sendiri
keringat di jidatnya. Sekte Teratai Putih 10 10 Ketika Liu Yok menyodorkan mangkuk obat.
Auyang Hou langsung menenggaknya tanpa
banyak bicara, ada sepercik rasa terima kasih
terpancar di matanya. Terpercik ke arah Liu
Yok. "Obat apa ini?" tanyanya.
"Untuk menyembuhkan badan. Mungkin kau
kelelahan." "Aku tidak sakit sebenarnya, Kak."
Jarang sekali Auyang Hou memanggil
Liu Yok dengan sebutan "Kak" seperti itu.
Kini sebutan itu membuat Liu Yok tersenyum,
matanya berbinar. "Syukurlah. Kamu harus
katakan kepada dirimu sendiri aku tidak sakit,
aku tidak sakit, aku tidak sakit begituuuu...
terus." Auyang Hou tertawa, "Ah, Kakak ada-ada
saja." Namun sikap Liu Yok sangat bersungguhsungguh, "Lho, ini bukan mengada-ada. Mulut
kita inilah yang mengendalikan atau mengarahkan hidup kita, apakah mau sampai ke
tujuan ataukah masuk jurang di tengah jalan."
Sekte Teratai Putih 10 11 "Eh, Kak...." "Kenapa?" "Keluarga Sebun kita ini ternyata benarbenar terkenal sampai ke mana-mana, bahkan
sampai ke kota Han-king yang ratusan li dari
kota Se-shia ini lho!"
Melihat adiknya mulai segar dan banyak
bicara, Liu Yok mengharap adiknya itu akan
cepat pulih kembali, maka ia pun tidak
keberatan menemaninya mengobrol.
"A-hou, yang terkenal itu adalah Paman
Sebun. Bukan kita. Paman Sebun seorang baik
hati, punya menantu seorang Jenderal ternama
pula, maka jadi terkenal. Bukan kita. Kalau kita
ini, apanya yang mau dikenal orang?"
Auyang Hou mengerutkan alisnya dengan
perasaan kurang senang, "Maksudku, Paman
terkenal, tetapi aku juga terkenal. Kemarin
malam aku bertemu dengan seorang pendekar
persilatan, ketika dia mengetahui julukanku
sebagai Siau-pek-him (Beruang Putih Kecil), dia
amat terkejut dan mengatakan bahwa dia lama
Sekte Teratai Putih 10 12 mendengar nama besarku. Lalu sikapnya sangat
hormat kepadaku." Liu Yok menarik napas. Ia sudah hapal satupersatu tabiat adik-adiknya, termasuk Auyang
Hou yang jiwanya dipenuhi cita-cita menjadi
orang terkenal. Namun untuk mengecewakan
adiknya, Liu Yok mengangguk-angguk saja.
"Kak, aku bercerita tentang keluargaku, dan
orang itu agaknya juga ingin bertemu dengan
Kakak. Agaknya dia juga mengagumi Kakak."
Bagian yang ini, Auyang Hou sebenarnya
tidak suka mengatakannya kepada Liu Yok,
sebab bukankah ini berarti membagi
"kemasyhurannya" dengan Kakak yang sering
dianggapnya punakawan ini" Tetapi setiap
memejamkan matanya, ia seolah-olah dibayangbayangi wajah "teman"nya yang dijumpainya
kemarin malam, dengan mata yang mengancam
kadang-kadang ia bermimpi melihat "teman"nya itu berubah menjadi seekor serigala
besar berbulu kuning keemasan. Sepasang mata
itu begitu menakutkan dan mengancam, susah
dihapus dari angan-angan.
Sekte Teratai Putih 10 13 Tak terduga Liu Yok menanggapinya dengan
santai saja, "Ha-ha, mengagumi
aku" Memangnya dia pernah mencicipi telur-telur
buatanku yang menurut Ibu adalah paling lezat
di dunia?" Tanggapan santai itu membuat Au-yang Hou
sebenarnya semakin tidak senang membicarakan permintaan "teman" nya untuk
bertemu Liu Yok. Namun ia tidak berani
mengingkari "tugas"nya, ada sesuatu yang amat
mengancam pada diri 'teman"nya itu, entah apa,
yang memaksa Auyang Hou mau tidak mau
harus meneruskan permintaan itu kepada Liu
Yok. "Kak, memang Kakak tidak suka kemasyhuran dunia persilatan, tetapi Kakak
suka atau tidak suka, kemasyhuran itu melekat
pada nama keluarga kita. Orang itu benar-benar
ingin berkenalan dengan Kakak. Mungkin dia
sudah...." Auyang Hou menghentikan kata-katanya,
sebab kata-kata lanjutannya berarti Sekte Teratai Putih 10 14 menyanjung Liu Yok dan menenggelamkan
"nama besar"nya sendiri.
"Dia sudah apa?" tanya Liu Yok.
Apa boleh buat, Auyang Hou terpaksa
melanjutkan kata-katanya, "Mungkin dia sudah
mendengar peristiwa di kota Lok-yang. Ketika
Kakak membuyarkan sihir tokoh-tokoh Peklian-kau semacam Pek-coa-sin (Malaikat Ular
Putih) Oh Jing dan Hek-hwa-koai (Siluman
Gagak Hitam) Mao Pin. Padahal dua orang
putera Ketua Hwe-liong-pang saja hampirhampir menjadi korban ilmu gaib kedua tokoh
Pek-lian-kau itu." Ternyata, mendengar sanjungan itu pun Liu
Yok tenang-tenang saja. "Oh, itu" Itu bukan
sesuatu yang istimewa. Setiap manusia, asal
kembali kepada kedudukannya sebagai wakil
Sang Pencipta atas bumi ini, akan bisa
melakukannya. Itu memang bagiannya manusia.
Seluruh manusia, bukan hanya aku."
Auyang Hou belum tertarik kepada hal-hal
kerohanian macam itu. Cepat-cepat dia
mengembalikan alur pembicaraan ke pokok


Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekte Teratai Putih 10 15 yang semula, "Ya, nyatanya hal itu
mengagumkan banyak orang. Makanya orang
itu ingin bertemu dengan Kakak. Mungkin dia
minta diajari oleh Kakak."
"Ada-ada saja. Ingin diajari masakmemasak?"
Auyang Hou benar-benar harus belajar
bersabar kali ini. Tentunya dia ingin berguru
kepada Kakak tentang ilmu menaklukkan ilmuilmu gaib Pek-lian-kau."
"Itu bukan ilmu." tukas Liu Yok. "Itu memang
anugerah yang diberikan kepada manusia,
memang hak sah manusia, semata-mata
pemberian Sang Pencipta."
"Iya, iya, entah disebut apa pun orang itu
agaknya ingin....mengetahui-nya."
"Siapa namanya?"
"Mo Long." "Bagaimana tampangnya?"
"Rambutnya berwarna emas, pakaian warna
emas...." Sekte Teratai Putih 10 16 "Orang yang kemarin berbicara dengan
Paman di dermaga, di depan penjual buahbuahan itu?"
Di bawah tatapan mata yang jernih dari Liu
Yok, Auyang Hou mengangguk.
Liu Yok menarik napas dan berkata,
"Menurut Paman, nama orang itu bukan Mo
Long, melainkan Mo Hwe. Mo Long hanya
sebagian dari julukannya yang lengkapnya
adalah Kim-mo-long (Serigala Berbulu Emas).
Tokoh nomor satu Pek-lian-kau saat ini."
Auyang Hou terkejut mendengarnya,
punggungnya mengeluarkan keringat dingin
mengingat betapa berbahayanya pengalamannya semalam. "Benarkah Paman
berkata begitu?" Auyang Hou tahu bahwa pertanyaannya yang
minta penegasan itu sebenarnya kurang perlu.
Liu Yok tidak pernah berbohong dalam hal
sekecil-kecilnya. Liu Yok malahan balas bertanya, "Jadi teman
yang kaumaksud itu adalah Kim-mo-long Mo
Hwe?" Sekte Teratai Putih 10 17 Auyang Hou jadi takut kalau hal itu
disampaikan kepada Pamannya, mungkin
Pamannya akan marah lagi kepadanya. "Kak,
aku tidak tahu kalau dia adalah tokoh nomor
satu Pek-lian-kau. Dia begitu ramah, omongannya menyenangkan. Jangan bilang
Paman, Kak." Liu Yok mengangguk, dan di luar dugaan dia
malahan berkata dengan mantap, "Kalau dia
adalah Kim-mo-long Mo Hwe, baik, aku akan
menemuinya. Kapan dan di mana dia ingin
bertemu aku?" "Apa, Kak?" tanya Auyang Hou kurang yakin
akan pendengarannya sendiri.
"Aku akan menemuinya, sesuai dengan
permintaannya." "Justru setelah tahu bahwa dia orang
berbahaya?" "Dia cuma orang yang hatinya gelap dia akan
bisa berubah kalau ada api sejati yang masuk ke
hatinya." Auyang Hou merasa dirinya seolah-olah
sedang menghadapi selembar cermin cekung
Sekte Teratai Putih 10 18 yang menampilkan bayangan terbalik tentang
dirinya. Seandainya Auyang Hou menghadapi
hal yang sama, apa yang dilakukannya pastilah
kebalikan dari yang dilakukan Liu Yok. Kalau
yakin bahwa "Mo Long" itu hanyalah seorang
"pengagum Keluarga Sebun", pastilah Auyang
Hou dengan senang hati menemuinya untuk
membuaikan diri, sebaliknya kalau dari
kemarin tahu bahwa "Mo Long" ternyata adalah
gembong Pek-lian-kau yang menakutkan,
biarpun diseret sepuluh orang belum tentu
Auyang Hou mau berangkat karena takut.
Namun Liu Yok sebaliknya, setelah tahu yang
ingin menemuinya adalah Kim-mo-long Mo
Hwe, malah ingin menemuinya.
"Eh, di mana dan kapan aku harus
menemuinya?"Liu Yok mengulang pertanyaannya. "Benar-benar Kakak ingin menemuinya?"
"Ya." Ragu-ragu juga Auyang Hou untuk
menjawabnya terang-terangan. Ia kadangkadang memang merasa malu punya kakak
Sekte Teratai Putih 10 19 seorang cacad seperti Liu Yok, namun saat itu
yang muncul ke permukaan justru perasaan
yang lain, yang meskipun jarang muncul namun
tersimpan juga di dalam hati. Perasaan antara
dua orang bersaudara, biarpun cuma seibu
berlainan ayah. Kalau membayangkan betapa
Liu Yok tidak pernah bersalah kepadanya
meskipun sering dihina, betapa perhatiannya
kepada seluruh keluarga, Auyang Nou merasa
berat hati juga kalau Liu Yok menemui Mo Hwe
hanya sebagai ular mencari gebuk. Beberapa
saat ia bungkam. Sampai ia geragapan ketika Liu Yok menepuk
pundaknya, "He, kau belum menjawab
pertanyaanku. Kapan dan di mana aku harus
menemui dia?" Tiba-tiba Auyang Hou mengertakkan gigi.
"Tidak, aku tidak akan menjawab. Kakak tidak
boleh menemui dia." "Lho, bagaimana kamu ini" Tadi meng ajak
aku menemui dia, sekarang malah menghalangi
aku menemui dia..." Sekte Teratai Putih 10 20 "Karena tadi aku belum tahu kalau dia tokoh
Pek-lian-kau. Kalau sekarang aku sudah tahu
dia tokoh Pek-lian-kau dan tetap membiarkan
Kakak menemuinya, berarti aku mencelakakan
Kakak." Hati Liu Yok tersentuh mendengar ketulusan
kata-kata adiknya itu, berbeda benar dengan
kalau sedang berlagak pendekar ulung yang
tidak lebih topeng belaka.
"Aku punya perlindungan yang tidak bisa
ditembus siapa pun, kecuali kalau aku keluar
sendiri dari perlindungan itu," kata Liu Yok.
"Nah, kapan dan di mana?"
"Kenapa tidak Kakak biarkan saja orang itu?"
"Jangan begitu, setiap manusia di muka bumi
ini bersaudara, berasal dari satu nenek-moyang.
Aku wajib mencoba menyelamatkan Kim-molong Mo Hwe dari kejatuhan harkatnya sebagai
manusia, dari belitan kejam ilmu-ilmu
setannya." "Kakak mau menginjinkan aku ikut?"
Sekte Teratai Putih 10 21 Kalau biasanya Auyang Hou malu berjalan
bersama-sama dengan Liu Yok, kali ini justru
minta diajak. Liu Yok mengangguk.
"Baik. Aku katakan. Dia ingin menemui kita
nanti malam di sebuah warung di dekat
dermaga." "Jadi di luar kota?"
"Benar. Dan ada satu hal lagi yang dia ingini."
"Apa?" Auyang Hou ragu-ragu. Ia tahu betapa
sayangnya Kakak tirinya itu kepada kitab
bersampul hitam yang dibacanya tiap pagi dan
malam, sehingga Auyang Hou ragu-ragu apakah
Kakaknya akan mau kalau diminta kitab itu
untuk menemui Kim-mo-Iong Mo Hwe" Auyang
Hou sering mendengar cerita-cerita di rimba
persilatan, bahwa kadang-kadang sebuah kitab
diperebutkan dan dipertahankan dengan
mengorbankan banyak jiwa di antara
kelompok-kelompok persilatan yang memperebutkannya. Apakah kitab Liu juga
kitab seperti itu, yang akan dipertahankan matimatian"
Sekte Teratai Putih 10 22 "Kenapa ragu-ragu, A-hou?"
"Kak orang itu... orang itu...mohonnya
maafkan kelancanganku. teIah bercerita
kepadanya bahwa Kakak punya kitab yang
selalu dibaca-baca, entah kenapa dia tertarik
sekali, dan minta kalau Kakak mau
menemuinya, agar Kakak membawa kitab itu."
Sama sekali di luar dugaan Auyang Hou,
ketika Liu Yok menjawab begitu ringan, "Ooo,
bagus. Aku akan membawa nya. Makin banyak
orang suka membaca itu dan mempraktekannya, akan makin tenteramlah
dunia ini. Makin sedikit orang yang suka
bertengkar, dan akhirnya akan lenyap, orang
akan hidup damai dengan sesama manusia,
dengan alam, dengan sesama mahluk. Bagus,
bagus. Aku akan membawa kitab itu."
"Kalau dia memintanya, Kak" Bukankah
Kakak menyayangi kitab itu?"
"Kalau dia minta untuk dipelajari dan
dipraktekkan, aku akan memberikannya dengan
senang hati. Kalau aku sendiri ingin membaca,
Sekte Teratai Putih 10 23 aku akan menumpang baca pada kitab
kepunyaan Paman Sebun. Sama saja."
"Baiklah, kalau begitu, nanti malam kita ke
sana." "Sekarang beristirahatlah dulu."
Ketika malam tiba, Liu Yok dan Au-yang Hou
pun bersiap-siap. "Apakah Paman perlu diberitahu?" tanya
Auyang Hou lirih, karena kamar yang ditempati
Pamannya tepat bersebelahan dengan kamarnya. Sahut Liu Yok, "Pamanlah yang bertanggung
jawab kepada Ibu dalam hal keselamatan kita
berdua, jadi Paman harus mengetahui
kepergian kita. Kita katakan saja, kita akan
menemui seorang teman, tidak perlu dikatakan
bahwa kita akan menemui seorang tokoh Peklian-kau, sebab kalau diketahuinya pasti kita
akan dilarang pergi."
"Baik. Eh, bagaimana kalau Kakak saja yang
berbicara kepada Paman?"
"Baiklah." Sekte Teratai Putih 10 24 Liu Yok tahu, saat malam yang hening seperti
itu, Paman pasti sedang tenggelam dalam
kekhusyukannya membaca kitab bersampul
kitam itu. Diam-diam Liu Yok senang juga. Ia
berharap semua anggota keluarga akan suka
kitab itu kelak, la mendekati pintu yang tertutup
itu dan mengetuknya pelan-pelan.
"Siapa?" suara dari dalam.
"Aku, Paman. Liu Yok."
"O, masuklah." Ketika Liu Yok mendorong pintu, apa yang
sudah diduganya itu tepat. Pamannya sedang
memelototi halaman-halaman buku yang
dipegangnya itu dengan sorot mata yang
bersinar-sinar bahagia, mirip sorot mata orang
kehausan di tengah gurun melihat pancaran air
yang segar, la mengangkat wajahnya ketika Liu
Yok melangkah masuk. "Ada apa?" "Aku dan A-hou akan keluar sebentar,


Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Paman." "Ke mana?" Sekte Teratai Putih 10 25 "Menjumpai seseorang yang ingin meminjam
kitab ini." sahut Liu Yok sambil mengeluarkan
kitab dari bajunya. Kitab yang sama dengan
kitab yang sedang dibaca Sebun Beng.
"Siapa?" "Seorang sahabat." waktu menjawab ini, Liu
Yok tidak merasa sedang berbohong, sebab buat
dia memang semua manusia di muka bumi
adalah sahabat. "Bersama A-hou" Apakah A-hou sudah
sembuh?" "A-hou tidak sakit,, Paman, hanya kelelahan.
Dan malam ini ia sudah segar kembali dan ingin
berjalan-jalan." Sebun Beng merasa berbahagia melihat
kedua keponakannya itu akan berjalan-jalan
bersama-sama. Tadinya dia agak prihatin
melihat sikap Auyang Hou yang selalu
meremehkan Liu Yok, kini agaknya sikap itu
sudah berubah sedikit. "Baiklah. Pergilah. Tetapi jangan terlalu
malam kembalinya, jangan sampai besok pagi
Sekte Teratai Putih 10 26 kelelahan lagi. Perjalanan kita ini jadi tertundatunda terus."
"Baiklah, Paman."
Tidak lama kemudian, Liu Yok dan Auyang
Hou sudah berada di jalanan kota Han-king
yang diterangi lampion-lampion di depan
rumah-rumah besar. Mereka langsung melangkah menuju pusat kehidupan malam di
kota itu, bukan di dalam kota, namun justru di
luar kota, di dekat dermaga.
Seperti kemarin malamnya, tempat itu ramai
dengan berbagai ragam manusia. Dan kalau
sudah di tempat ini, tabiat jelek Auyang Hou
kumat kembali. Ia malu kalau sudah berdandan
sebagai "pendekar" yang lengkap dengan
caping, mantel dan pedangnya, harus berjalan
bersama Liu Yok yang berdandan amat
sederhana dan kakinya cacat.
"Kak, aku akan berjalan mendahului Kakak.
Di warung tempat aku masuk, Kakak juga
masuk tetapi carilah meja yang berbeda."
Tanpa dijelaskan pun Liu Yok sudah tahu isi
hati adiknya, namun ia tidak marah karena
Sekte Teratai Putih 10 27 berusaha memaklumi isi hati adik-adik tirinya,
ketiga-tiganya. Sementara itu, Kim-mo-long Mo Hwe sudah
menunggu di tempat yang tersembunyi, dan
sudah melihat Auyang Hou melangkah
sendirian di antara orang-orang yang berlalulalang. Melihat Auyang Hou melangkah
sendirian saja, Mo Hwe sudah bangkit
kegusarannya, menyangka Auyang
Hou mengingkari janji. Namun ketika melihat sosok
yang berjalan terpincahg-pincang beberapa
langkah di belakang Auyang Hou, kegusaran Mo
Hwe pun reda. "Bagus. Malam ini aku akan mencoba
menyingkap rahasia ilmu keluarga Sebun yang
sudah beberapa kali menggagalkan serangan
ilmu gaibku...." pikir Mo Hwe.
Mo Hwe menunggu beberapa saat, sampai
melihat Auyang Hou masuk dan duduk di
warung yang kemarin malam. Pelayan warung
tergopoh-gopoh meladeni sang "pendekar".
Kemudian Liu Yok juga masuk ke warung yang
sama, duduk tidak semeja dengan Auyang Hou
Sekte Teratai Putih 10 28 melainkan di meja sebelahnya. Terhadap Liu
Yok, Si Tukang Warung bersikap memandang
enteng. Mo Hwe tersenyum melihatnya dari
seberang jalan. Lebih dulu dia menoleh ke kirikanan, lalu mulai melangkah menyeberangi
jalan. Namun matanya terbelalak, langkahnya
dibatalkan, di dalam warung itu nampak
seseorang yang tidak diharapkan hadir di
tempat itu. Orang itu duduk semeja dengan Liu
Yok. Orang itu adalah Sebun Beng. Entah kapan
dia duduk di situ, baru saja Mo Hwe menoleh ke
tempat lain tahu-tahu Sebun Beng sudah
muncul di dekat Liu Yok. Keberhasilan rencana Mo Hwe pun terancam.
"Setan alas Sebun Beng itu!" geram Mo Hwe
yang terpaksa kembali berlindung dan
mengawasi dari seberang jalan. "Setan alas pula
Si Pembual yang sok pendekar itu, rupanya dia
membocorkan rencananya kepada Pamannya,
sehingga bedebah Sebun itu ikut campur."
Sekte Teratai Putih 10 29 Beberapa saat Mo Hwe masih memperhatikan Sebun Beng, Auyang Hou dan
Liu Yok dari tempat persembunyiannya.
Meskipun kemarahannya serasa membakar
dada, namun otaknya masih juga bisa
menangkap setiap kejanggalan dari apa yang
dilihatnya di dalam warung itu. Dia melihat
Auyang Hou duduk dengan angkuh seperti
biasanya, tetapi anehnya, se-angkuh-angkuhnya
Auyang Hou, Mo Hwe yakin bahwa Auyang Hou
sudah memperhatikan hubungan antara Paman
dan keponakan-keponakan itu selama beberapa
hari selama satu kapal. Namun yang dilihatnya
kini, Auyang Hou bersikap angkuh dan
menganggap Pamannya sendiri yang berada di
dekatnya itu seolah-olah tidak ada. Ternyata
sikap Liu Yok, juga Si Tukang Warung dan lainlainnya juga sama, mereka bersikap seolah-olah
Sebun Beng tidak ada di tempat itu.
Mo Hwe mengeram dalam hati, "Permainan
gila macam apa yang sedang dimainkan oleh
orang-orang itu?" Sekte Teratai Putih 10 30 Mendadak pikiran muncul di benak Mo Hwe,
"Ah, kalau tiga orang ini berada di sini
semuanya, bukankah kamar-kamar penginapan
mereka kosong" Inilah kesempatan untuk
sepuas-puasnya menggeledah kamar mereka,
dan menyingkap rahasia ilmu mereka!"
Yakin akan sempurnanya gagasan itu, Mo
Hwe segera melaksanakannya tanpa pikir
panjang. Ia justru meninggalkan tempat itu,
menuju penginapan tempat Sebun Beng
bermalam di kota Han-king-Tempat itu sudah
diketahuinya, sebab selama ini Mo Hwe tidak
tanggung-tanggung menyelidiki setiap gerakgerik incarannya.
Tiba di penginapan itu, tentu saja dia tidak
masuk dari depan dan mendaftar kepada
pengurus penginapan, melainkan memutar ke
belakang penginapan, sebuah tempat yang
gelap. Ia tidak langsung melompati tembok
belakang penginapan itu, melainkan duduk
bersila, menyiapkan salah satu ilmu gaibnya
untuk mengamankan tindakannya. Ia keluarkan
selembar "hu" dan sebuah bendera segitiga
Sekte Teratai Putih 10 31 kecil berwarna hitam yang di kalangan Pek-liankau disebut Hek-hun-ki (Bendera Mega Hitam),
salah satu peralatan gaib mereka.
Hu atau kertas jimat itu dijepit dengan
telunjuk dan jari tengah, dengan mata terpejam
sambil mulutnya berkomat-kamit. Ketika ia
goyangkan kertas kuning itu, mendadak kertas
itu menyala tanpa diberi api, lalu ditebarkan
abunya. Kemudian bendera Hek-hun-ki diangkat dan digoyang-goyang ke empat
penjuru sambil tetap membaca mantera. Udara
yang cerah mendadak ditutupi mendung, angin
berjangkit keras dan dingin sehingga pasir
beterbangan. Mo Hwe terus membaca mantera.
Sementara orang-orang di dalam penginapan
itu, bahkan sekitarnya, mulai terkena akibat
serangan gaib Mo Hwe itu. Mereka diserang
kantuk luar biasa, dan mulai bertumbangan
tidur di sembarang tempat. Bahkan ada yang
sedang berada di kandang kuda. Untung tidak
ada yang sedang di pinggir sumur. Dengkur
keras terdengar di seluruh sudut penginapan
itu. Sekte Teratai Putih 10 32 Mo Hwe menyimpan kembali benderanya
dan bangkit. Angin berhenti bertiup. Udara
normal kembali, hanya saja orang-orang di
seluruh rumah penginapan tersebut telah tidur
pulas semuanya. Dengan berani Mo Hwe melompati langsung
tembok penginapan itu, melangkah santai tanpa
sembunyi-sembunyi di halaman belakang
rumah penginapan itu, sekali-kali melangkahi
tubuh para pegawai penginapan yang
bergeletakan tidur. Mo Hwe bahkan melangkah
langsung ke kamar Sebun Beng yang sudah
diketahuinya, dan tanpa takut-takut dia
mendorong pintunya sehingga terbuka. Buat
apa takut, sebab tadi dilihatnya Sebun Beng
sedang berada di warung arak di dekat
dermaga" Kamar ini pasti kosong, demikian
perkiraan Mo Hwe. Namun alangkah kagetnya ia ketika melihat
di dalam kamarnya Sebun Beng tengah
membaca dengan penerangan sebatang lilin. Mo
Hwe berkeringat dingin, lalu yang duduk di
warung di dekat dermaga yang menyebabkan ia
Sekte Teratai Putih 10 33 tidak berani bertindak tadi, siapa" Yang
membuatnya lebih kaget, ialah karena Sebun
Beng sama sekali tidak terpengaruh oleh ilmu
sirepnya tadi. Sebun Beng mengangkat matanya dari
halaman-halaman kitabnya, menatap tajam Mo
Hwe sambil pelan-pelan meletakkan kitabnya.
Lalu berdiri. Mo Hwe seolah-olah menjadi patung di
ambang pintu. Sapa Sebun Beng, "Kim-mo-long Mo Hwe,
apakah Anda sudah demikian kehilangan sopansantun sehingga masuk kamar orang di tengah
malam tanpa mengetuk pintu lebih dulu?"
Mo Hwe memang sadar bahwa Sebun Beng
sudah mengenalinya, bahkan mungkin sejak
sama-sama di kapal dulu. Teguran Sebun Beng itu membuat Mo Hwe
tergagap beberapa saat, akhirnya dia nekat
mengemukakan dalihnya biarpun sadar bahwa
dalih itu sangat mengambang dan sulit
dipercaya, "Maaf, Tuan Pendekar Sebun yang
Sekte Teratai Putih 10 34 mulia. Aku.., aku rupanya salah sasaran. Aku....
sebenarnya sedang mencari orang lain...."
"Alasan yang mengada-ada, Tuan Mo. Jangan
memperbodoh aku dengan mengatakan bahwa
selama beberapa hari ini hanya kebetulan saja
kita bersama-sama satu kapal, dan bertemu
beberapa kali setelah turun kapal. Itu bukan
kebetulan. Apalagi karena aku sedang mencari
Puteri Tuan Gubernur di Ho-lam yang kau
culik." Mo Hwe sadar, ia tidak mungkin lagi
menghindari bentrokan. Ia gentar sebetulnya.
Nama Sebun Beng terlalu besar. Bahkan setelah
beberapa peristiwa ganjil di alami nya dan
kegagal ilmu gaibnya beberapa kali, ia percaya
kalau Sebun Beng juga punya "ilmu" yang anehaneh. Itu membuat Mo Hwe semakin gentar.
Ketika Sebun Beng melangkah selangkah ke
arahnya, Mo Hwe tiba-tiba melompat dari
ambang pintu ke tengah-tengah halaman
belakang penginapan itu, sambil mengharapkan
mungkin ada setitik kesempatan untuk kabur.
Tetapi baru saja sepasang kakinya menyentuh
Sekte Teratai Putih 10

Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

35 tanah, Sebun Beng juga sudah berdiri dua
langkah di depannya, entah bagaimana cara
bergeraknya. " "Sebun Beng, apa maumu?"
"Serahkan kembali Nona Sun Pek-lian, puteri
Gubernur." Mata Mo Hwe berputar sejenak, lalu
lenjawab, "Baiklah. Aku akan mengambilnya
dan membawanya kemari."
Sebun Beng tertawa pendek, "Tuan Mo, kau
menganggap semua orang setolol anak kecil
umur tiga tahun saja, gampang kau bohongi.
Tentu saja aku tidak akan melepaskanmu kali
ini, sampai anak buahmu atau kawan-kawanmu
dalang dengan membawa Nona Sun dalam
keadaan selamat." "Maksudmu, aku menjadi tawanan?"
"Tidak ada jalan lain."
"Sebun Beng, kau menyudutkan aku!"
"Tepat. Aku menyudutkanmu."
Mo Hwe melangkah mundur sambil
menyilangkan sepasang lengan di depan
Sekte Teratai Putih 10 36 tubuhnya, mulutnya mulai berkomat-kamit
membaca mantera. Sebun Beng berkesiap, ia tahu Mo Hwe
adalah pentolan Pek-lian-kau yang merupakan
gudangnya sihir, maka melihat mulut lawannya
berkomat-kamit, Sebun Beng langsung dapat
menebak niat lawannya. Sebun Beng tidak
pernah mempelajari ilmu gaib dan tidak sudi
bertempur dengan ilmu gaib. Ia tidak tahumenahu dengan ilmu gaib. Bahkan ia tidak akan
bisa menjawab bagaimana dirinya bisa kebal
terhadap serangan kantuk Mo Hwe, sekaligus
juga bagaimana ia "sekaligus berada" di sebuah
warung arak dekat dermaga. Ia sendiri akan
bingung kalau disuruh menjawab itu.
Melihat Mo Hwe menyiapkan ilmu sihirnya,
Sebun Beng tidak memberinya kesempatan. Ia
melangkah maju dengan cepat bagaikan
meluncur, tinjunya menghantam ke dada lawan
dengan tenaga penuh. Mo Hwe sadar, serangan lawannya tidak
mungkin dihadapi dengan memecah perhatian,
Sekte Teratai Putih 10 37 sambil membaca mantera, terpaksa ia
melompat mundur lagi, mencari ! jarak lagi.
Namun Sebun Beng tidak mau mengulangi
pengalaman pahit si kembar Tong San-hong dan
Tong Hai-long ketika; menghadapi gembonggembong Pek-lian-kau di Lok-yang, juga
pengalamannya sendiri ketika melawan empat
manusia jadi-jadian yang ternyata hanyalah
boneka-boneka rumput belaka. Itulah sebabnya
dia memburu dengan rapat, gelombang
pukulannya begitu rapat mengepung dan
menekan dengan dahsyat. Dan Mo Hwe benar-benar tidak mendapat
kesempatan untuk melawan dengan lilmu
gaibnya. Dengan demikian, di halaman belakang
rumah penginapan itu pun terjadilah
pertempuran yang "normal". Artinya pertempuran yang benar-benar mengandalkan
kerasnya tulang, liatnya kulit, tajamnya mata
dalam mengamati gerak lawan, panjangnya
napas dan juga encernya otak mengatur siasat
dan menanggulangi siasat lawan.
Sekte Teratai Putih 10 38 Ternyata dalam pertempuran "normal" pun
Kim-mo-long bukan lawan yang lemah. la orang
nomor satu di Pek-lian-kau. Memang ia kurang
giat melatih ilmu silatnya sebab lebih menaruh
harapan terhadap ilmu gaib, namun bukan
berarti silatnya lemah. Dalam belasan gebrak
pertama, Sebun Beng menaksir bahwa kalau
yang menghadapi Kim-mo-long Mo Hwe anakanak muda seperti Wan Lui atau Si Kembar she
Tong, anak-anak muda itu barangkali hanya
bisa mengimbangi saja. Cara bertempur Mo Hwe juga cepat, ganas,
tak kenal aturan. Bentuk serangan yang seperti
apa pun dihalalkan, asal ada kesempatan. Kalau
ada kesempatan menggigit, ia tidak akan segansegan menggigit. Begitu pula dengan mencakar,
menginjak kaki atau meludahi mata.
Sambil bertempur, dia juga sering
menggeram seperti serigala, cirinya kalau
sedang marah. Tetapi yang dihadapinya sekarang adalah
Sebun Beng, salah seorang diri segelintir tokoh
generasi tua yang masih tersisa, masih
Sekte Teratai Putih 10 39 cemerlang dan masih disegani. Sebun Beng
sekokoh gunung batu kalau bertahan, dan kalau
balas menyerang maka serangannya sederas
dan segencar gunung ambruk. Tidak mengherankan kalau Mo Hwe dalam waktu
tidak terlalu lama sudah harus mandi keringat
dan megap-megap di bawah tekanan dahsyat
Sebun Beng. Setiap kali Mo Hwe berdesis kesakitan kalau
ada anggota-anggota tubuhnya yang harus
berbenturan dengan tangan atau kaki Sebun
Beng yang seperti lempengan-lempengan besi
karena terlatihnya. Mo Hwe sudah berkecil hati,
seandainya ia bisa menjaga tulang-tulang
tubuhnya tidak sampai kena pukulan atau
tendangan Sebun Beng, tetapi lengannya yang
untuk menangkis lama-lama bisa patah juga.
Seringkali Mo Hwe harus berguling-guling di
tanah dalam menyelamatkan diri dari hujan
serangan Sebun Beng. Maka rambut kebanggaannya yang bagaikan benang-benang
emas, serta pakaiannya yang berwarna
keemasan itu pun jadi kotor penuh debu.
Sekte Teratai Putih 10 40 Suatu ketika, waktu deru pukulan Sebun
Beng di atas kepalanya, Mo Hwe merunduk dan
dengan nekad menyerudukkan kepalanya ke
perut Sebun Beng. "Hem, mulai ngawur ya?" dengus Sebun Beng
sambil menyedot napas mengeraskan otot-otot
perutnya. Serudukan Mo Hwe itu ternyata cukup keras
ia sambil mendorongkan seluruh tubuhnya,
Sebun Beng sampai terhentak mundur
selangkah. Tetapi Mo Hwe sendiri merasa
kepalanya seolah-olah menyeruduk pohon,
bukan main sakitnya, sampai matanya
berkunang-kunang. Belum sampai Mo Hwe mengatasi rasa sakit
dan pusingnya, sepasang telapak tangan Sebun
Beng telah menekan sepasang pundaknya,
sambil membentak, "Menyerahlah!"
Mo Hwe mengikuti saja arah tekanan itu ke
bawah, sampai pundaknya menyentuh tanah
dan langsung bergulingan ke samping.
Tangannya sempat meraup segenggam tanah
untuk ditaburkan ke arah mata Sebun Beng. Mo
Sekte Teratai Putih 10 41 Hwe sendiri, bergulingan menjauh dan tidak
langsung berdiri, melainkan duduk bersila
sambil membaca manteranya cepat-cepat.
Sebun Beng kembali menyerbu, dan terkejut
ketika melihat tampang Mo Hwe setelah
melompat bangkit dari duduknya untuk
menanggapi serangan itu. Nampak mata Mo
Hwe bersinar kemerah-merahan, sepasang
taringnya tumbuh lebih panjang, sepasang
lengannya juga nampak lebih panjang dengan
kuku-kuku yang panjang dan lengan serta leher
berbulu keemas-emasan. Ia telah menjadi
setengah manusia setengah serigala.
Selagi Sebun Beng tertegun, Mo Hwe-lah
yang sekarang merangsak lebih dulu, sambil
menggeram. Dan memang terasa ada
peningkatan kekuatan, kecepatan dan keganasan serangannya dibanding "ronde
pertama" tadi. Sebun Beng harus lebih berhatihati terhadap lengan-lengan musuh yang lebih
panjang dan berbulu serta berkuku itu.
"Benar-benar ilmu kaum siluman," geram
Sebun Beng. Sekte Teratai Putih 10 42 Sebun Beng mengokohkan posisinya, lalu
mulai memainkan gerak-gerak andalannya yang
disebut Cui-siang Sip-pat-sik (Delapan Belas
Gerakan Gajah Mabuk). Ilmu yang tidak
mengandalkan mantera atau kegaiban tetapi
dapat dilatih secara biasa. Begitu ilmu itu
"keluar" Sebun Beng seolah berubah menjadi
seekor gajah raksasa dalam hal tenaganya.
Tinju-tinjunya bergerak dalam gerak seperti
belalai atau kaki-kaki depan atau gading-gading
seekor gajah, membawa tenaga yang dahsyat
sehingga udara berguncang. Bahkan halaman
belakang rumah penginapan itu seolah-olah
juga bergetar oleh injakan-injakan kaki Sebun
Beng. Tetapi dalam mempraktekkan ilmu kali ini,
Sebun Beng merasa ada perbedaan ketika
mempraktekkan ilmunya saat-saat sebelumnya.
Dalam praktek sebelumnya, asalkan Sebun Beng
merasa layak mengeluarkan ilmunya, maka
keluarlah ilmunya tanpa beban di dalam hati.
Tetapi kali ini, sambil bertempur, Sebun Beng
merasa ada semacam beban di hatinya, seperti
Sekte Teratai Putih 10 43 ada suara hati kecil yang menyalahkan jkenapa
ia mengeluarkan ilmunya. Ilmu yang
bernafaskan kekerasan, meskipun tanpa embelembel "gaib" atau "siluman" dan juga sudah
diselubungi dalih "mempertahankan diri" atau
"diserang lebih dulu". Suara hati itu terus
menuduh dan tidak bisa dibungkam dengan
berbagai jalasan. Sebun Beng jadi heran, "siapa" yang bersuara
terus dalam jiwanya itu"
Namun apa pun yang bergolak dalam hati
Sebun Beng sendiri, perkelahian berjalan terus.
Mo Hwe terus menyerang dengan cakarancakaran ganasnya sambil menggerak-geram
seperti serigala. Dan Sebun Beng belum berani
"mengabulkan permintaan" suara hati nuraninya yang dianggapnya penuh resiko.
Suara hati itu minta agar Sebun Beng mengalah
saja. Sebun Beng justru memperhebat gerakannya
untuk mengimbangi Mo Hwe yang juga semakin
hebat. Sekte Teratai Putih 10 44 Suatu kali, Mo Hwe menubruk sambil
menjulurkan dua cakarnya sekaligus. Sebun
Beng mengelak ke samping, tetapi Mo Hwe
menjejakkan kaki ke tanah untuk menubruk
terus dan membuat gerakan serabutan dengan
kedua cakarnya. Sebun Beng tercakar pipi
kanannya sehingga berdarah.
Meluaplah kemarahan Sebun Beng dan
lenyaplah suara hati kecilnya. Sambil
membentak menggelegar, ia mengayunkan
sebuah jotosan sekuat tenaga ke dada Mo Hwe
tanpa pertimbangan apa pun kecuali
menggenjot dada Mo Hwe sekuatnya.
Mo Hwe yang sedang dalam gerak maju
dalam lontaran tubrukannya sendiri, tidak
sempat mengubah arah kecondongan badannya.
Dia hanya menyilangkan kedua tangannya di
depan dada untuk menangkis.


Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun pukulan Sebun Beng yang digerakkan
ledakan kemarahan itu terlalu bertenaga,
tangkisan Mo Hwe tetap bobol, tinju Sebun
Beng tetap saja mendarat di dada Mo Hwe
meskipun kekuatannya sudah berkurang karnaSekte Teratai Putih 10
45 Namun jotosan yang sudah tidak sepenuh tenaga
itu masih mampu membuat Mo Hwe terkapar dan
mencelat tiga langkah ke belakang, sambil
menggelogokkan segempal darah kental
dari mulutnya. Sekte Teratai Putih 10 46 melewati tangkisan lebih dulu. Namun jotosan
yang sudah tidak sepenuh tenaga itu masih
mampu membuat Mo Hwe terkapar dan
mencelat tiga langkah ke belakang, sambil
menggelogokkan segempal darah kental dari
mulutnya. Perlahan-lahan ujud setengah serigalanya
juga pulih ke ujud normalnya sebagai manusia.
Sebun Beng masih panas hatinya, ia sudah
siap mengayunkan tangannya untuk meringkus
Mo Hwe hidup-hidup, tetapi dari lorong
penginapan terdengarlah suara, "Paman,
jangan!" Liu Yok muncul terpincang-pincang, diikuti
Auyang Hou. Rupanya setelah sekian lama
mereka menunggu Mo Hwe tetapi Mo Hwe tidak
muncul, mereka lalu pulang ke penginapan.
Tidak mereka sangka di penginapan ini
malahan melihat Mo Hwe hampir ditangkap
oleh Pamannya. Sebun Beng menoleh kepada kedua
keponakannya. "Syukurlah kalian selamat."
Sekte Teratai Putih 10 47 Liu Yok mengerutkan alisnya, "Kenapa
Paman berkata begitu" Tentu saja kami selamat,
karena kami berangkat tanpa niat untuk
berkelahi atau bermusuhan dengan siapa pun."
Sementara itu, sambil mengusap-usap
bibirnya yang berdarah, Mo Hwe terheranheran melihat Liu Yok dan Auyang Hou pulang.
Sementara Liu Yok telah bertanya kepada Mo
Hwe, "Tuan Mo, Anda meminta kepada Adikku
untuk mengajak aku ke warung dekat dermaga
itu, kenapa Anda sekarang malah berada di sini
dan berkelahi dengan Pamanku" Apa
maksudmu?" Mo Hwe sudah berdiri, meskipun dalam
dadanya masih terasa nyeri, la agak bingung
harus menjawab bagaimana" Kalau ia jawab
bahwa ia melihat Sebun Beng juga duduk di
dalam warung itu. ia kuatir akan ditertawakan
sebagai orang yang sedang bingung" Bukankah
Sebun Beng tetap di penginapan ini, bahkan
telah berkelahi dengan dirinya dan mengalahkan dirinya" Tetapi lalu siapa orang
Sekte Teratai Putih 10 48 yang persis Sebun Beng yang duduk di warung
dan semeja dengan Liu Yok tadi"
Beberapa saat Mo Hwe tidak mampu
menjawab. Sementara sikap Liu Yok ternyata tidak
mengandung permusuhan sedikit pun. Sambil
mengeluarkan kitab bersampul hitam dari
bajunya, ia mendekati Mo Hwe sambil berkata,
"Bukankah Tuan Mo mengundang aku untuk
meminjam kitab ini, menurut kata Adikku" Aku
sudah datang ke warung itu membawakan kitab
ini, tetapi Tuan tidak datang. Nah, inilah kitab
itu, terimalah...." Mo Hwe benar-benar kebingungan, malam
ini rasanya dia terjerumus ke alam yang asing,
bahkan dia mulai meragukan kewarasan
otaknya sendiri. Pertama, melihat "Sebun Beng
di dua tempat sekaligus". Kedua, sikap Liu Yok
yang begitu baik, tidak memusuhinya, padahal
Liu Yok berhak minta kepada Pamannya untuk
membunuhnya. Ketiga, Mo Hwe sudah
menyangka bahwa kitab bersampul hitam yang
disangkanya kitab berisi "ilmu sakti" itu akan
Sekte Teratai Putih 10 49 dipertahankan mati-matian oleh Liu Yok,
sebagaimana umum nya yang terjadi di
kalangan persilatan, ternyata malah tadi sudah
dibawakan oleh Liu Yok ke warung dekat
dermaga, dan sekarang disodorkan kepadanya.
Mo Hwe bingung akan sikap Liu Yok, sebab
yang selama ini masuk ke dalam jiwanya
hanyalah perkara-perkara permusuhan, kebencian, ambisi setinggi langit buat diri
sendiri tidak perduli mengorbankan orang lain,
tipu muslihat, dan sebagainya. Maka sikap Liu
Yok itu benar-benar dipandangnya sebagai
sesuatu yang maha ganjil.
Tetapi kegarangan matanya tidak tahan
menatap mata Liu Yok yang lembut.
Liu Yok sudah selangkah di hadapannya,
masih dalam sikap menyodorkan buku itu. Mo
Hwe seolah lumpuh, tak mampu bergerak,
meskipun dalam hatinya yang keruh muncul
setitik niat, "Alangkah menguntungkan kalau
bisa meringkus bocah cacat yang kabarnya
sama sekali tidak mampu bersilat ini, dan
Sekte Teratai Putih 10 50 memaksa Sebun Beng tunduk di bawah
kemauanku." Tetapi kemauan tinggal kemauan, seujung
jari pun ia tidak bergerak, tercengkam wibawa
Liu Yok yang jauh di luar dugaannya.
"Tuan Mo, bukankah Tuan menginginkan
buku ini?" Yang menanggapi kemudian adalah prasangka buruk Mo Hwe, prasangka yang
sudah terlalu dibiasakan sehingga menjadi jalan
pikirannya sehari-hari, "Tidak. Aku tidak mau
lagi buku ini." "Kenapa?" "Aku berterima kasih kepadamu, Anak muda.
Karena kau mencegah Pamanmu memukul aku.
Aku tidak lagi mengingini barangmu."
Itulah jawaban Mo Hwe, tetapi sebenarnya
dia berbohong, dalam hatinya dia berkata lain,
"Tidak mungkin kitab asli diserahkannya
kepadaku dengan cara begini mudah. Ini pasti
kitab palsu. Hem, setan pincang, tunggulah
saatnya aku mendapatkan buku itu dari
padamu. Buku yang asli."
Sekte Teratai Putih 10 51 Demikianlah jiwa yang sudah diracuni
prasangka, maksud baik orang lain pun akan
selalu ditanggapinya dengan sikap bermusuhan.
Liu Yok menarik napas dan mengantongi
kembali kitab itu. Sementara Sebun Beng
bertanya, "A-yok, A-hou, jadi orang inikah yang
kalian katakan sebagai teman yang akan kalian
temui dan kalian pinjami kitab itu?"
Auyang Hou sudah menunduk dan takut
didamprat Pamannya, namun Liu Yok
menjawab Pamannya dengan tenang,
"Ya." "Kau anggap dia sebagai kawan?"
"Kenapa tidak?"
Sebun Beng garuk-garuk kepala. Ia sudah
berusaha memahami kepribadian Liu Yok dan
sudah ada hasilnya sedikit, tetapi masih belum
berhasil mengenal sepenuhnya kepribadian
keponakannya ini. Masih ada sisi-sisi
kepribadiannya yang kelihatan aneh, susah
dimengerti orang lain. "Orang itu menculik Puteri Gubernur." Sebun
Beng mengingatkan Liu Yok. "Kita harus
Sekte Teratai Putih 10 52 menangkapnya, dan memaksa kawankawannya menukarkan dirinya dengan diri
Puteri Gubernur itu."
"Maaf, Paman, itu jadinya memperhebat
permusuhan. Bagaimana kalau kita pakai cara
antara manusia dengan manusia?"
"Bagaimana?" "Kita biarkan Tuan Mo ini pergi, asalkan dia
berjanji akan mengembalikan puteri Gubernur"
Kita belajar mempercayai sesama manusia. Itu
bagus bukan?" Sebun Beng menarik napas, dalam hatinya
dia menggerutui keponakannya itu, "Bagus
gundulmu. Kalau Mo Hwe hanya sekedar
berjanji palsu supaya bisa pergi dari sini, lalu
dia ingkar janji tidak mengembalikan Nona Sun,
bukankah pihak kami rugi besar" Orang jahat
macam Mo Hwe, mana bisa dipercaya?"
"Bagaimana, Paman?"
"Maaf, A-yok. Apakah orang she Mo itu bisa
dipercaya, janjinya?"
"Barangkali kita harus memberinya kesempatan, bahwa seorang yang paling jahat
Sekte Teratai Putih 10 53 pun ada kalanya tergerak hati-kecilnya untuk
menunjukkan bahwa dia tidak sejahat yang
disangka orang." Mo Hwe tersentuh hatinya oleh kata-kata Liu
Yok, meskipun tetap saja menganggap Liu Yok
adalah "mahluk langka" yang barangkali hanya
satu-satunya di dunia. Tetapi dia masih
menunggu jawaban Sebun Beng.
Sebun Beng bimbang sekian lama, ia
menatap tajam-tajam Mo Hwe seolah-olah
mengharapkan matanya bisa menyelidiki setiap
relung jiwa Mo Hwe sejelas-jelasnya, untuk
menemukan ada tidaknya kebohongan dalam
jiwa Mo Hwe. Anehnya, dalam jiwa Sebun Beng
sendiri seolah ada yang bersuara mendukung
gagasan Liu Yok yang "amat tolol" itu.
"Bagaimana?" tanya Sebun Beng kepada Mo
Hwe."Maukah kau berjanji untuk membebaskan
Nona Sun, sebelum kuijinkan pergi dari sini?"
Jawaban Mo Hwe sungguh di luar dugaan.
"Tuan Sebun, aku ini orang jahat yang suka
berbohong, apakah Tuan akan begitu tololnya
mempercayai jawabanku" Misalnya, aku
Sekte Teratai Putih 10 54 katakan bahwa aku akan membebaskan Nona
Sun, padahal tidak?"
"Jadi seandainya kau jawab bahwa kau akan
membebaskan Nona Sun, itu jawaban bohong?"
"Benar!" sahut Mo Hwe sambil membusungkah dada tanpa gentar. "Dan inilah
jawabanku yang jujur, terserah mau dipercaya
atau tidak, bahwa pihak kami tidak akan
membebaskan Nona Sun. Bahkan seandainya
aku kalian tangkap dan coba kalian tukarkan
dengan Nona Sun, kalian takkan berhasil. Nona
Sun akan kami sembelih, kami jadikan korban
upacara tahunan menurut kepercayaan kami.
Nah, itulah jawaban yang benar. Mau apa
kalian?" Sebun Beng bangkit kembali kemarahannya,
ia sudah mengepalkan tinjunya hendak
melangkah melabrak Mo Hwe, tetapi Liu Yok
cepat-cepat menghalangi Pamannya.
"Jangan, Paman!"
'Minggir, A-yok, kamu sudah mendengar
sendiri jawabannya yang menantang. Percuma
saja kita mencoba berbaik hati dan memberi


Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekte Teratai Putih 10 55 kepercayaan kepadanya, dan jawaban inilah
yang kita peroleh!" "Dia sudah menanggapi kepercayaan kita,
Paman." Sebun Beng melongo. "Maksudmu?"
"Dia sudah menjawab dengan jujur.
Meskipun seandainya dia mau berbohong dia
akan lolos dari sini."
Sebun-Beng benar-benar bingung, apalagi
ketika Liu Yok mendesak, "Paman, biarkan dia
pergi sebagai hadiah kejujurannya. Biar orangorang tahu bahwa kejujuran ada pahalanya."
"Dia akan menyembelih puteri Gubernur
demi upacara sesatnya."
"Seandainya dia kita tangkap atau kita bunuh
pun, puteri Gubernur akan tetap dibunuh. Tidak
ada gunanya menahan dia di sini, tetapi
barangkali ada gunanya memberi kesempatan
dia menjadi orang baik."
Sementara itu, dari relung jiwanya yang
terdalam, suara yang "mendukung" gagasan Liu
Yok itu semakin mengusik Sebun Beng. Karena
Sekte Teratai Putih 10 56 bingungnya, Sebun Beng sampai meremas
rambutnya sendiri. Sedangkan Mo Hwe sendiri tidak kalah
bingungnya mengikuti jalan pikiran Liu Yok
yang terasa asing itu. Liu Yok berkata pula, "Aku yakin, Nona Sun
tidak akan disembelih."
"A-yok, kau ini berbicara seolah-olah kamu
ini dewa sesembahannya orang Pek-lian-kau
saja!" Jawab Liu Yok kalem, "Setiap manusia, asal
berada di tempat yang semestinya, yang
disediakan baginya oleh Sang Pencipta,
kedudukannya bahkan lebih tinggi dari dewa,
malaikat, siluman, dan roh-roh lainnya."
Mo Hwe menggeram gusar mendengar katakata itu, "Manusia tak tahu diri, kamu akan
dikutuk oleh para Thian-ciang (Panglima
Langit) dan para Thian-peng (Perajurit Langit)
untuk ucapanmu yang menghujat roh-roh
sesembahan kami itu!"
Sahut Liu Yok, "Akulah yang akan mengutuk
roh-roh itu, kalau sampai Nona Sun terluka
Sekte Teratai Putih 10 57 seujung rambut pun...." lalu Liu Yok
menengadah ke langit yang kelam dan berkata,
"Kalian para panglima langit, kalian cuma debu
di telapak kakiku dan kalian akan menanggung
hukuman yang sangat pedih, apabila
mengabaikan ancamanku. Ada pedang dan
panah Sang Pencipta di mulutku!"
Sebun Beng, Mo Hwe dan Auyang Hou
tercekam melihat adegan itu. Sebun Beng dan
Auyang Hou selama ini melihat Liu Yok hanya
sebagai seorang yang kelewat baik hati
terhadap sesama manusia, memilih disakiti
daripada menyakiti, belum pernah Liu Yok
mengancam sesama manusia dan bahkan
senantiasa berusaha menghibur atau membesarkan hati orang lain. Bahkan Mo Hwe
pun dianggap kawan. Tetapi kali ini Liu Yok
mengancam begitu garang, dan sasaran
ancamannya juga tidak tanggung-tanggung,
yaitu mahluk-mahluk halus yang disembah
orang Pek-lian-kau dan dipercaya bisa
melindungi atau mencelakakan orang. Namun
Sekte Teratai Putih 10 58 Liu Yok dengan garang mengucapkan, "Kalian
cuma debu di telapak kakiku."
Wajah Mo Hwe menjadi merah padam.
Pikirnya, "Keajaiban besar kalau sampai bocah
ini tidak dikutuk dewa-dewa dalam waktu
singkat. Entah disambar petir, entah kena
penyakit berat." Sementara itu Sebun Beng telah berkata, "Mo
Hwe, aku akan merepotkan diri dengan
menahan dan merawat orang macammu.
Pergilah!" Mo Hwe memberi hormat, "Terima kasih.
Tetapi sekali lagi, aku tidak menjanjikan apaapa."
Lalu pergilah Mo Hwe. Ketika ia melewati
Auyang Hou yang berdiri termangu-rnangu, ia
berhenti sebentar, menepuk pundak Auyang
Hou sambil berkata, "Sobat kecil, untuk
kebaikan Pamanmu, Biarlah aku pun membalas
kebaikannya dengan sebuah nasehat untukmu.
Kalau ingin panjang umur, berhentilah bermain
pendekar-pendekaran. Salah-salah bisa me
ngundang bencana." Sekte Teratai Putih 10 59 Auyang Hou tersipu-sipu kikuk, apalagi saat
itu dia masih dalam pakaian
gaya "Pendekar"nya. Caping, mantel dan pedang.
Namun ia tidak berani berkata apa-apa. Tentu
saja ia tidak berani bersikap sebagai "orang
gagah" setelah tahu bahwa yang dihadapinya
adalah Mo Hwe, tokoh nomor satu Pek-liankauw sekte Pakcong. Kalau kemarin malam di
warung lagaknya terhadap Mo Hwe memang
"wah" namun bisa dimaklumi karena saat itu ia
benar-benar menyangka Mo Hwe sekedar
seorang "pengagum kebesaran Keluarga
Sebun". Mo Hwe menghilang di gelapnya malam.
Sebun Beng menarik napas, "Nah, lenyaplah
sebuah kesempatan untuk menyelamatkan
Nona Sun..." Liu Yok merasa kata-kata itu bernada
menyalahkannya, dia pun menjawab, "Paman,
aku yakin sikap kita ini membekas dalam
jiwanya. Memang kita tidak mengharap dia
berubah dalam satu dua hari, tetapi kita selalu
berharap dan memberi jalan agar orang yang
Sekte Teratai Putih 10 60 bagaimana pun jahatnya bisa kembali ke jalan
benar. Banyak orang jahat yang sebenarnya
ingin bertobat, namun terhalang sikap orangorang yang sok suci."
"Mudah-mudahan."
"Paman tidak apa-apa?" Auyang Hou
mendekat, sambil mengamat-amati pipi Sebun
Beng yang kena cakaran Mo Hwe tadi.
Sebun Beng mengusap pipinya. "Tidak apaapa, hanya luka di kulit. Lain kali jangan cari
perkara di luaran, beginilah jadinya."
Mereka lalu masuk ke kamarnya masingmasing.
Sementara itu, Mo Hwe melangkah di loronglorong gelap kota Han-king dengan membawa
nyeri di dadanya. Kadang-kadang ia berhenti
menyandarkan tubuh di tembok untuk
mengatur napas dan mengumpulkan tenaganya,
sebelum melangkah kembali.
Ia melangkah ke sebuah rumah yang terletak
di bagian kota yang sepi, meskipun masih dalam
lingkungan tembok kota Han-king. Rumah itu
juga dikelilingi pohon-pohon besar, Sekte Teratai Putih 10 61 penerangannya sangat sedikit, sehingga di
malam hari suasananya menyeramkan. Ke
rumah itulah Mo Hwe menuju.
la mengetuk pintunya, lalu menunggu sambil
memperbaiki napasnya. Pintu dibuka, seorang lelaki bermuka garang
berdiri di ambang pintu sambil membawa
lampion jinjing, la terkejut melihat keadaan Mo
Hwe, "Cong-cu (ketua sekte)! Kau terluka?"
Mo Hwe cuma mengangguk. Orang itu dengan lampion di tangan kiri,
menggunakan tangan kanannya untuk merangkul dan memapah Mo Hwe melangkah
masuk ke rumah yang serba remang-remang
itu. Ia menundukkan Mo Hwe di ruang tengah
dan bertanya, "Cong-cu, kau terluka" Siapa yang
melukaimu?" Mo Hwe menarik napas. "Lukaku tidak parah,
jangan begitu gugup. Beri aku waktu untuk
memulihkan diri di sini beberapa hari, dan aku
akan pulih seperti semula. Sekarang aku ingin
tanya kamu." "Silakan, Cong-cu."
Sekte Teratai Putih 10 62 "Berapa orang-orangmu di kota ini?"
"Kira-kira tiga puluh orang, tetapi dua puluh
orang sudah berangkat untuk mengikuti
upacara tahunan menyembelih korban manusia.
Jadi tinggal sepuluh di kota ini."
"Sepuluh orang yang tinggal itu siapa saja?"
"Aku lalu Soh Sin-ci, lalu Tong-hwe Tojin dan
beberapa anak buah biasa."
"Cukup. Aku ada tugas untuk kalian semua."
"Dengan senang hati, Cong-cu. Tugas apa"
Siapa yang harus kami bunuh atau culik?" tanya
Si Muka Garang dengan bersemangat. Pekerjaan
seperti membunuh, menculik atau menggunaguna orang amatlah digemarinya.
Mo Hwe menggeleng, "Tidak. Bukan
menculik, membunuh atau mengirim kutukan.
Tetapi tolong ambilkan teh hangat dulu buat
aku." "O, maaf, Cong-cu sampai aku lupa..." tergesagesa Si Muka Garang bernama Un Kim-liang itu
mengambilkan minum. Dia adalah seorang
tokoh Pek-lian-kau untuk tingkat cabang HanSekte Teratai Putih 10 63 king dan sekitarnya masih termasuk golongan
Pak-cong (Sekte Utara). Setelah teh hangat terhidang dan Mo Hwe
meneguknya, Mo Hwe pun menjelaskan
perintahnya, "Saat ini di kota Han-king ada tiga
orang yang sedang menginap. Mereka terdiri
dari seorang Paman dan dua keponakan
lelakinya. Sang Paman bernama Sebun Beng..."
"Ah, Sebun Beng dari Lok-yang yang terkenal
itu" Yang baru-baru ini menikahkan puteri
tunggalnya dengan Wan Lui Si Panglima
Manchu keparat yang punya hutang darah tak
terhingga kepada golongan kita itu?"
"Tajam juga kupingmu."
"Tentu saja, Cong-cu. Sebun Beng sudah
menjadi mertua Wan Lui musuh besar kita,
maka dia pun sekarang adalah musuh besar
golongan kita juga!"
"Benar, bahkan dia bersama kedua
keponakannya sedang dalam perjalanan untuk
membebaskan puteri Gubernur Ho-lam. Malam
ini dia sedang berada di kota ini. Tetapi aku
tidak menyuruh kalian melabraknya secara
Sekte Teratai Putih 10 64 kekerasan. sebab kalian sendiri yang akan
digilas jadi bubur dengan tongkat-besi Sebun
Beng..." Un Kim-liang agaknya terlalu bersemangat,
sehingga sering-sering menyela kata-kata
ketuanya, "apakah Cong-cu akan menyuruh
kami menggunakan boneka-boneka Thian-peng
untuk menyerang mereka, atau ilmu gaib
merebut sukma?" Mo Hwe tetap menggeleng, jawabannya
membuat Un Kim-liang hampir-hampir tidak
percaya, "Ilmu-ilmu gaib pun tidak akan
mempan terhadap mereka, sebelum kita
temukan kelemahan mereka."
"Hahh?" Un Kim-liang terkejut. Maklum,
karena yang paling dibanggakan kaum Pek-liankau adalah ilmu-ilmu gaibnya, sedangkan dalam
hal ilmu silat mereka serba pas-pasan, para
pemimpin dan pentolan pun tidak ada yang luar
biasa. Kini mendengar ketuanya berkata bahwa
ilmu gaib Pek-lian-kau tidak mempan, Un kimliang jadi penasaran.
Sekte Teratai Putih 10 65 Bersambung jilid XI. Sumber Image : Koh Awie Dermawan
Yang Ngurutkan Halaman : Kang Hadi
first share in Kolektor E-book


Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

PSW 12/06/2018 01:50 PM Sekte Teratai Putih 10 66 Sekte Teratai Putih 11 1 Sekte Teratai Putih 11 1 << SEKTE TERATAI PUTIH >>
Karya : STEFANUS S.P. Jilid XI *** "B ENARKAH itu, Cong-cu?"
"Ya. Di sebuah desa terpencil, aku
pernah mengirim empat boneka Thian-peng
untuk membereskan Sebun Beng, dan gagal.
Lalu aku mengikuti mereka selama beberapa
hari, untuk mencoba mengetahui kelemahan
ilmu mereka. Sampai di kota ini..."
Mo Hwe lalu menceritakan pengalamannya
malam ini, tidak ada yang disembunyikannya.
Terutama perihal "Melihat Sebun Beng di dua
tempat sekaligus". Un Kim-liang terheran-heran mendengarnya.
Komentarnya, "Kalau demikian, memang Sebun
Beng punya ilmu yang tinggi. Entah ilmu apa itu
namanya, aku mendengar pun belum pernah."
Sekte Teratai Putih 11 2 "Kalau menurut Sam-cong-cu (Ketua Sekte
Ketiga), Si Pincang keponakan Sebun Beng yang
bernama Liu Yok itu juga pantas diperhatikan.
Itulah yang harus kalian selidiki dengan hatihati.
Mungkin kalian bisa mendekati keponakannya yang bernama Auyang Hou, titik
paling lemah dari rombongan kecil itu."
"Baik Cong-cu, akan kami laksanakan."
"Satu hal lagi harus kalian ingat."
"Apa, Cong-cu?"
"Jangan mencelakai Si Pincang itu. Cukup
selidiki saja rahasia kemampuannya."
Un Kim-liang tercengang. Sejak kapan Si
Ketua Sekte ini jadi orang baik hati yang tidak
tega mencelakai orang"
* * * Sebun Beng terpaksa menunda rencananya
untuk meneruskan perjalanan ke Hong-yang.
Pasalnya, luka di pipinya akibat goresan kuku
Mo Hwe ketika berubah ujud, mencemaskan
Sekte Teratai Putih 11 3 Sebun Beng. Sebun Beng kuatir ada racun
menyusup tubuhnya, meskipun Liu Yok dengan
yakin sudah mengatakan bahwa luka itu tidak
apa-apa. Sebun Beng memutuskan untuk tetap
berada di kota Han-king itu sampai lukalukanya diyakini tidak berbahaya lagi.
Bagi Auyang Hou, jiwanya baru saja berkerut
kecil, nyalinya pecah setelah pengalaman
berbahaya itu. Sungguh tak disangka bahwa
"Permainan pendekar - pendekarannya"
membuatnya bertemu dengan tokoh nomor
satu dari Pek-lian-kau Sekte Utara. Auyang
merasa beruntung juga, bahwa ia tidak diapaapakan.
Satu dua hari Auyang Hou tidak berselera
untuk berjalan-jalan di luar penginapan dengan
memakai pakaian pendekarnya. Ia mendekam
saja dalam kamarnya. Banyak mengobrol
dengan Pamannya. Untunglah Sang Paman
cukup bijaksana untuk tidak membanjiri kuping
keponakannya ini dengan nasehat-nasehat yang
bersambung tanpa henti, melainkan disisipi
dengan kisah-kisah rimba persilatan yang
Sekte Teratai Putih 11 4 digemari Auyang Hou, lalu Auyang Hou sendiri
bisa menarik kesimpulan atau hikmahnya.
Dan meskipun kurang tertarik, Au-yang Hou
juga sering mengobrol dengan Liu Yok, apabila
Pamannya sedang sibuk membaca kitabnya
atau bermeditasi. Dulu Auyang Hou sering
menganggap Kakak tirinya ini sebagai "orang
aneh" dengan sikap hidupnya, tetapi makin
sering ia bercakap-cakap dengan Kakak tirinya
ini, makin berkurang juga "keanehan"nya di
pandangan mata Auyang Hou. Ada beberapa
jalan pikiran kakak-tirinya yang oleh Auyang
Hou dikategorikan "lumayan normal".
Tetapi setelah dua hari, Auyang Hou bosan
juga kalau terus-terusan dalam kamar dan
hanya mengobrol dengan Pamannya atau Kakak
tirinya. la sudah rindu mengenakan kembali
"pakaian pendekarnya dan berjalan-jalan di
tempat ramai untuk menikmati pandangan
kagum orang-orang terhadap dirinya. Namun ia
masih kuatir terulang pengalamannya kepergok
dengan orang macam Kim-mo-long Mo Hwe
atau yang sejenisnya. Begitulah pikiran Auyang
Sekte Teratai Putih 11 5 Hou, ingin jadi pendekar asalkan jangan ketemu
bahaya. Hari ke tiga, Auyang Hou mulai berani keluar
dari pintu depan penginapan, dan malam
harinya dia sudah berkenalan dengan seorang
penjual bakmi pikulan yang sering nongkrong di
depan penginapan kalau malam hari. Mula-mula
Auyang Hou pura-pura membeli bakmi
meskipun kenyang, padahal tujuannya hanyalah
ingin mengajak ngobrol si penjual mi tua
berjenggot putih itu. Atau lebih tepat lagi, bukan
saling berbicara, melainkan Auyang Houlah
yang bercerita panjang lebar membualkan
pengalamannya "sebagai pandekar", suatu hal
yang terus mendesak-desak dalam pikirannya
tetapi tidak mungkin diutarakan kepada
Pamannya atau Kakak tirinya. Pamannya dan
Kakaknya sudah tahu kalau ia senang membual.
Auyang Hou bercerita panjang lebar, namun
ia mulai jengkel juga ketika si penjual bakmi itu
malahan terkantuk-kantuk. Namun Auyang Hou
terus juga bercerita, lumayan, daripada tidak
ada pendengarnya. Sekte Teratai Putih 11 6 "Demikianlah, harimau di sebelah depan
menerkamku, dan aku cepat-cepat merunduk
sambil menyambar kaki belakangnya, lalu
kuputar-putar beberapa kali di atas kepala..."
Cerita Auyang Hou bersemangat, tidak perduli
pendengarnya sudah terkantuk-kantuk. "...saat
itulah harimau yang di sebelah kiri juga
menerkam ku, aku hempaskan tubuh harimau
yang di tanganku ke arah harimau yang
menerkam dari samping, kedua harimau itu
bertumpang-tindih lalu lari terbirit-birit."
"Ya, ya..." Si penjual bakmi menjawab kabur,
tanpa tahu benar apa yang diucapkannya.
Auyang Hou kesal juga karena ceritanya
kurang diperhatikan, ia bangkit dari dingklik
yang didudukinya dekat pikulan bakmi,
melangkah masuk ke penginapan."
Namun Si Penjual Mi tergagap bangun dan
memanggil, "Harimau, eh, Tuan Muda.... Tuan
Muda...." Auyang Hou berhenti melangkah. "Ada apa,
Pak Tua?" "Tuan Muda belum membayar."
Sekte Teratai Putih 11 7 "Oh!" tergagap Auyang Hou mengeluarkan
kantong uangnya, dan melangkah balik
mendekati Penjual Mi itu untuk membayar apa
yang sudah dimakannya tadi.
"Terima kasih, Tuan Muda. Tuan Muda
sungguh hebat, bisa mengalahkan dua ekor
harimau." "Jangan lupa, Pak Tua. Namaku Auyang Hou,
julukanku Siau-pek-him alias Beruang Putih
Kecil. Ceritakan kepada teman-temanmu."
"Ooo, iya, iya, tentu saja. Besok malam Tuan
Muda akan membeli bakmi saya lagi?"
"Lihat saja besok."
Besok malamnya, Si Bakul Bakmi kembali
sudah nongkrong di depan penginapan, di
pinggir jalan. Auyang Hou sebenarnya malas
mengobrol dengannya, toh dia susah-susah
bicara akan ditinggal terkantuk-katuk. Namun
Auyang Hou melihat di samping Si Bakul Mi ada
bakul pangsit kuah yang lebih muda, juga
menggunakan pikulan. Auyang Hou pun melangkah keluar, ke tepi
jalan. Sekte Teratai Putih 11 8 Kedua penjual makanan itu serempak
menawarkan dagangannya sambil berdiri.
Auyang Hou tertawa, dia duduk di dingklik
yang disodorkan oieh Bakul Pangsit Kuah yang
kelihatannya akan menjadi pendengar yang
"lebih sopan" dari Si Bakul Bakmi yang suka
mengantuk. Begitulah, sambil menikmati pangsit kuah
yang hangat-hangat lezat, Auyang Hou bercerita
kepada Si Tukang Pangsit, tentang "pengalaman"nya membasmi sebuah perguruan
jahat. Dan benar dugaan Auyang Hou, bahwa Si
Tukang Pangsit mampu menjadi pendengar
yang lebih menyenangkan. Tidak jarang Si
Tukang Pangsit berdecak kagum, memberi
komentar-komentar yang membuat Auyang
Houw semakin bersemangat membual. Setelah
selesai ceritanya tentang "perguruan jahat",
disusullah ceritanya tentang "membasmi
perampok di gunung", bahkan terluncur juga
dari mulutnya bahwa saat itu dia sedang
memburu orang-orang Pek-lian-kau.
Sekte Teratai Putih 11 9 Si Tukang Pangsit benar-benar terpesona,
"Ah, jadi Tuan ini sedang mengejar orang-orang
Pek-lian-kau, orang-orang agama sesat itu?"
Jauh di dalam hati Auyang Hou ada
peringatan, bahwa terlalu berbahaya untuk
menceritakan tujuan perjalanannya kepada
sembarangan orang yang belum di kenal. Tetapi
dorongan untuk dipuji dan dikagumi lebih hebat
menggelora dalam dadanya, sehingga dia pun
bercerita panjang lebar tentang maksud dan
tujuan perjalanannya,, tentu saja dengan
"bumbu" cerita yang bukan main banyaknya.
Si Tukang Pangsit mengangguk-angguk
dengan wajah kagum, berbeda dengan Si
Tukang Bakmi tua yang sudah mendengkur
pulas. "Jadi Tuan ini sedang berusaha menyelamatkan puteri Gubernur di Ho-lam,
yang diculik orang-orang Pek-lian-kau?"
"Ya! Aku sebagai pendekar selalu tidak tahan
melihat kejahatan berlangsung di depan mata.
Aku harus turun tangan."
Sekte Teratai Putih 11 10 "Akrabkah hubungan Tuan dengan puteri
Gubernur Ho-lam yang diculik itu?"
"Aaah.... ya begitulah ..." sahut Auyang Hou.
"Hubungan antara keluarga Gubernur itu
dengan keluargaku, memang cukup baik.
Maklum, banyak anggota keluargaku yang
berhasil memangku pangkat tinggi di
pemerintahan. Tahukah kamu, bahwa Jenderal
Wan Lui yang terkenal itu, Jenderal kesayangan
Sri Baginda Kian-liong, adalah iparku. Dia
memperisteri puteri Pamanku."
"Kalau begitu bukan mustahil Tuan muda ini
bisa jadi menantu Gubernur di Holam lho! Kan
dalam cerita-cerita dongeng sering begitu"
Seorang pahlawan berjuang menyelamatkan
seorang puteri cantik, lalu jadi suaminya..."


Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sanjung Si Tukang Pangsit sambil cengar-cengir.
"Nasib orang siapa tahu, iya kan?"
Auyang Hou menyeringai kikuk, tetapi dalam
hatinya merasa bahwa angan-angan semacam
itu "tidak ada salahnya".
Ketika itulah dari ujung jalanan muncul
seorang gadis yang menunggang kuda perlahanSekte Teratai Putih 11
11 lahan. Bahwa seorang gadis malam-malam
berada di luar rumah adalah sesuatu yang
mengherankan, namun mengingat kota Hanking sebagai sebuah kota dermaga, salah satu
titik perhentian dalam lalu-lintas air di Sungai
Tiang-kang, hai itu tidaklah mengherankan
benar. Pintu kota Han-king yang menghadap ke
arah sungai selalu terbuka siang malam, kecuali
dalam keadaan perang. Auyang Hou dan Si Tukang Pangsit
memandangi gadis berkuda itu, dan mereka
terlongong kagum. Itulah seorang gadis yang cantik namun
berkesan gagah, bukan cantik yang menunjukkan kelemahan. Pakaiannya berwarna
kuning, begitu pula mantel di punggungnya
yang melambai perlahan, bahkan pita
rambutnya dan sepatunya juga berwarna
kuning. Sampai-sampai kuda tunggangannya
pun berbulu kuning. Memang manis dan gagah. Tetapi yang
membuat orang gentar adalah golok bertangkai
panjang yang dikempitnya di sisi tubuhnya.
Sekte Teratai Putih 11 12 Kentara kalau dia membawa senjatanya itu
tidak sekedar untuk bergaya, namun bebarbenar menguasai permainannya.
"Gagah benar gadis ini..." puji Auyang Hou
dalam hati. "Gagah dan manis..."
Auyang Hou geragapan ketika gadis itu
menghentikan kudanya lalu melompat turun
dengan tangkas dan ringan. Di bawah cahaya
lampion gantung di depan rumah penginapan
itu, terlihat wajah gadis ini agak kotor oleh
debu. Agaknya gadis ini habis melakukan
perjalanan jauh dan belum sempat membersihkan diri. Si Tukang Pangsit buru-buru bangkit dari
duduknya "Mau makan pangsit kuah, Nona?"
Nona itu tersenyum manis, sehingga Auyang
Hou yang memandangnya dari keremangan
sambil duduk di dingklik, semakin mabuk
kepayang. Kata gadis itu kepada Si Tukang Pangsit,
"Bung, perutku masih kenyang. Tetapi aku akan
memberimu uang, kalau mau menunjukkan
Sekte Teratai Putih 11 13 rumah penginapan yang masih buka di malam
selarut ini." Si Tukang Pangsit menunjuk penginapan
tempat Auyang Hou, "Tempat ini adalah
penginapan, Nona." "Terima kasih," gadis itu memenuhi janjinya,
memberi uang kepada Si Tukang Pangsit, lalu
menuntun kudanya ke depan pintu penginapan
dan mengetuknya. Auyang Hou menatapnya dengan penuh
harap, mudah-mudahan masih ada tempat,
sehingga gadis itu bisa satu penginapan
dengannya dan diajak berkenalan.
Pintu dibuka, pengurus penginapan muncul.
Pengurus penginapan itu berbicara sebentar
dengan gadis itu, nampak Si Pengurus
penginapan itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Gadis itu pun dengan lunglai
menuntun kudanya, lalu melompat ke atasnya.
Auyang Hou cepat berdiri dan berkata,
"Nona, barangkali aku diperkenankan menolong
Nona mencarikan rumah penginapan bagi
Nona." Sekte Teratai Putih 11 14 Gadis itu menatap Auyang Hou dengan tajam
penuh selidik, keindahan matanya membuat
Auyang Hou bertingkah laku seolah-olah
celananya kemasukan semut.
"Siapa Anda?" tanya gadis itu. "Logat
bicaramu tidak seperti orang-orang daerah ini."
"Nona, memang aku herasal dari Se-shia di
Propinsi Siam-si. Aku juga sedang dalam
perjalanan, dan kebetulan sudah berada di kota
ini beberapa hari sehingga sedikit mengenal
liku-liku kota ini."
Si Tukang Pangsit menambahkan keterangan, "Nona, Tuan muda ini juga seorang
pendekar ulung. Julukannya Beruang Putih
Kecil. Jadi kalian berdua ini adalah pendekar
ketemu sesama pendekar..."
Selama Si Tukang Pangsit "mempromosikan"nya, Auyang Hou menegapkan
sikapnya mengatur raut mukanya agar
kelihatan gagah. Sementara Si Tukang Pangsit melanjutkan
penjelasannya, "...Tuan muda ini juga sedang
memikul sebuah tugas yang amat mulia.
Sekte Teratai Putih 11 15 Menyelamatkan puteri Gubernur Ho-lam yang
diculik orang-orang Pek-lian-kau."
Si Baju Kuning tercengang sekejap, sikapnya
kepada Auyang Hou berubah menjadi
menghormat, "Oh, terimalah salamku, Tuan..."
Cepat Auyang Hou menyebutkan namanya
dan julukannya dengan bangga, "Namaku
Auyang Hou, Nona, dan orang-orang menjuluki
aku Siau-pek-him..."
Gadis baju kuning itu mengerutkan alis,
mencoba mengingat-ingat akan nama dan
julukan itu. Rasanya belum pernah mendengarnya. Namun ia berbasa-basi dengan
mengatakan, "Oh, Tuan Auyang, sudah lama aku
mendengar namamu yang termahsyur."
Hati Auyang Hou semakin menggelembung
bangga, ia melangkah makin dekat sambil
berkata, "Mari aku temani Nona, sampai Nona
menemukan tempat untuk beristirahat."
Tetapi biarpun Nona baju kuning itu adalah
gadis pengembara yang lebih bebas sikapnya
dari gadis-gadis pingitan, ia masih merasa malu
juga kalau malam-malam berjalan berdua
Sekte Teratai Putih 11 16 dengan seorang lelaki yang belum dikenalnya
benar. Sahutnya, "Terima kasih, Tuan Auyang,
aku tidak berani merepotkan Tuan. Sebagai
pengembara jarak jauh, aku sudah terbiasa
mengurus diri sendiri, apalagi dalam sekedar
urusan sekecil ini. Tetapi kalau boleh, aku ingin
menanyakan beberapa pertanyaan kepada
Tuan..." "Silakan, Nona."
"Benarkah apa yang aku dengar tadi, bahwa
Tuan sedang dalam perjalanan mencari puteri
Gubernur Ho-lam yang diculik orang-orang Peklian-kau?"
"Benar." "Ada hubungan apa antara Tuan dengan
keluarga Gubernur Ho-lam itu?"
Terbukalah kesempatan bagi Auyang Hou
untuk menyombongkan diri, "Pertama-tama,
tentu saja tindakanku itu terdorong oleh jiwa
kependekaranku, yang tidak menginjinkan
kelaliman malang-melintang begitu saja di
depan hidungku. Bukankah kita sebagai
pendekar telah digembleng untuk..."
Sekte Teratai Putih 11 17 Gadis baju kuning itu berdehem satu kali,
mengingatkan Auyang Hou untuk tidak
berceramah tentang "semangat kependekaran".
Betapapun tebal kulit muka Auyang Hou, ia
merasakan juga teguran itu. Maka omongannya
pun kembali ke pokok persoalan, "Yang ke dua,
karena penculik-penculik itu sungguh tidak
tahu diri. Dia melakukan penculikan itu, justru
ketika aku sedang berada di meja perjamuan
bersama dengan Tuan Gubernur di Ho-lam,
bahkan bersama-sama Sri Baginda Kian-liong..."
Bicara sampai di situ, Auyang Hou
memperhatikan wajah Si Gadis Baju Kuning,
ingin tahu bagaimana reaksi gadis itu
mendengar bahwa ia pernah dijamu oleh
seorang Gubernur, bahkan Kaisar. Ternyata
wajah gadis itu tenang-tenang saja.
Auyang Hou jadi agak masygul, apakah
pengalaman dijamu oleh Gubernur dan Kaisar
itu masih kurang berharga di mata Gadis Baju
Kuning ini" Dia pun terpaksa meneruskan
bualannya, "Yang ke tiga, tidak lain karena
hubungan baikku dengan keluarga Gubernur di
Sekte Teratai Putih 11 18 Ho-lam, yang sudah begitu erat. Tahukah Nona,
bahwa aku ini sudah dianggap seperti anggota
keluarganya sendiri?"
"Ooo..." "Terlebih-lebih hubunganku dengan puteriputeri Gubernur, sudah akrab, seperti kakak
beradik saja!" Mungkin Auyang Hou akan terhindar dari
kehilangan muka, seandainya dia hanya
menyebut "puteri Gubernur" dan bukannya
"puteri-puteri Gubernur". Namun dia justru
sudah menyebutnya. "Puteri-puteri Gubernur" Puteri yang mana?"
Auyang Hou pernah mendengar cerita
Pamannya, bahwa Gubernur Ho-lam punya dua
orang puteri. Yang bungsu adalah kesayangannya Sang Gubernur, namanya Sun
Pek-lian dan gemar memakai pakaian putih,
sesuai dengan namanya yang berarti "Teratai
Putih". Auyang Hou pernah melihatnya, ketika
perjamuan pernikahan Wan Lui dan Sebun
Hong-eng. Tentang Puteri Gubernur yang tua,
Auyang Hou mendengar bahwa gadis itu
Sekte Teratai Putih 11 19 seorang pesilat, namanya Sun Cu-kiok. Dan
sesuai dengan "tafsiran" Auyang Hou tentunya
gadis itu suka berpakaian ungu, sebab
bukankah namanya saja berarti "Seruni Ungu?"
Begitulah, menghadapi gadis serba-kuning
ini, Auyang Hou nekad saja menjawab, "Tentu
saja kedua-duanya. Tidakkah Nona tahu, bahwa
puteri Gubernur yang tua itu seorang wanita
pendekar, seperti juga Nona" Namanya Sun Cukiok. Kapan-kapan Nona aku kenalkan
kepadanya. Jangan kuatir, hubungannya dengan
aku sudah sedemikian baik, dia sudah
menganggap aku sebagai kakaknya sendiri, dan
bahkan sering menggoda aku, memohon-mohon
petunjuk ilmu silat kepadaku..."
Kata-kata Auyang Hou terhenti, karena
melihat Gadis Baju Kuning itu tiba-tiba menutup
mulutnya, menahan tertawanya.
"He, apa yang Nona tertawakan" Aku bicara
sungguh-sungguh." Ketika itulah Sebun Beng melangkah keluar
dari penginapan. Agaknya Sang Paman ini
cemas, karena malam sudah lewat Auyang Hou
Sekte Teratai Putih 11 20 belum masuk kembali ke kamarnya. Sebun Beng
menguatirkan keponakannya itu, sebab
peristiwa dengan Kim-mo-long Mo Hwe "masih


Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hangat". "A-hou, ternyata kau masih di sini!" tegur
Sebun Beng sambil melangkah mendekat.
Melihat Pamannya, Auyang Hou kembali
pamer kepada Si Gadis, ia masih penasaran
karena merasa ditertawakan oleh gadis itu.
Katanya, "Nona tentu pernah mendengar nama
Sebun Beng, pendekar terkenal dari Lok-yang"
Dia adalah Pamanku. Itulah orangnya, yang
sedang mendekat ke mari."
Sebun Beng melangkah makin mendekat
sambil tertawa, "Keponakanku sedang menceritakan apa saja kepadamu, Nona Sun?"
Auyang Hou terkesiap mendengar Pamannya
memanggil gadis itu dengan panggilan Nona
Sun. Belum lenyap debur jantung Auyang Hou,
gadis serba kuning itu sudah memberi hormat
kepada Sebun Beng, "Saya menyampaikan
Sekte Teratai Putih 11 21 salam kepada Paman Sebun. Tak tersangka kita
bertemu di sini, Paman."
"Nona Sun, kau sudah berkenalan dengan
keponakanku ini?" "Oh, jadi Tuan Auyang yang bergelar Siaupek-him ini adalah keponakan Paman Sebun?"
"Siau-pek-him?" Sebun Beng menoleh
kepada Auyang Hou yang kelihatan semakin
bingung. "A-hou, kau bicara apa saja kepada
Nona Sun Cu-kiok?" Disebutnya nama Sun Cu-kiok, gadis baju
kuning itu, memang membuat Auyang Hou tidak
berkutik. Baru saja dia membual bahwa Sun Cukiok "sudah menganggapnya seperti kakaknya
sendiri" dan "sering memohon-mohon petunjuk
ilmu silat", ternyata orang yang diomongkannya
justru ada di hadapannya tanpa diketahuinya
Sungguh, rasanya Auyang Hou saat itu ingin
bisa mengubah diri menjadi semut untuk masuk
ke lubang semut untuk menyembunyikan rasa
malunya. Tidak dijawab oleh keponakannya pun Sebun
Beng sudah bisa menebak bahwa keponakannya
Sekte Teratai Putih 11 22 "Nona tentu pernah mendengar nama Sebun
Beng, pendekar terkenal dari Lok-yang" Dia
adalah Pamanku. Itulah orangnya yang
sedang mendekat ke mari."
Sekte Teratai Putih 11 23 itu pasti sudah membual. Cuma Sebun Beng
belum tahu kalau bualan Auyang Hou kali ini
berakibat cukup telak bagi perasaan Auyang
Hou sendiri. Sebun Beng menarik napas sambil
geleng-geleng kepala. Sementara Auyang Hou jadi teringat katakata kakak tirinya, Liu Yok, "Apa beratnya
bicara sebenarnya" Tidak membebani perasaan,
tidak menipu orang, tidak perlu setiap saat
ketakutan kalau bohongnya terbongkar."
Namun untunglah, agaknya Sun Cu-kiok
kasihan melihat Auyang Hou sedemikian salah
tingkah, sehingga Sun Cu-kiok tidak ingin
menyudutkannya. Tanyanya kepada Sebun
Beng, "Jadi Paman Sebun bermalam di
penginapan ini?" "Benar. Nona di mana?"
"Aku belum mendapatkannya. Entah
penginapan mana yang masih membuka
pintunya di malam selarut ini."
"Kalau begitu, Nona menginap di sini saja..."
"Tadi pengurus penginapan mengatakan
bahwa tempat ini sedang penuh."
Sekte Teratai Putih 11 24 "Tidak. Saat ini aku memakai satu kamar,
kedua keponakanku memakai satu kamar
lainnya. Tetapi biarlah kami bertiga akan tidur
satu kamar, dan Nona bisa memakai kamar
yang kosong. Biar aku bicara kepada pengurus
penginapan." Sun Cu-kiok tidak menolak lagi, ia memang
sudah penat melakukan perjalanan, kulitnya
juga sudah tidak tahan lagi akan debu dan
keringat yang menempelinya. la sudah rindu
merendam dirinya di air hangat, makan
makanan enak, lalu tidur nyenyak sampai pagi.
Karena itu ia berucap, "Terima kasih, Paman
Sebun." Sementara itu jiwa Auyang Hou merasa
semakin tertekan. Ia merasa begitu kehilangan
muka, sebisa-bisanya jangan lagi bertemu
dengan Sun Cu-kiok. Tetapi celakanya,
Pamannya malah menawarkan tempat di
penginapan itu, dan lebih celaka lagi kalau
Pamannya nanti jangan-jangan juga mengajak
Sun Cu-kiok bergabung dalam rombongan
perjalanan ke Hong-yang...
Sekte Teratai Putih 11 25 Karena itulah, ketika Sebun Beng menoleh,
dia tidak melihat Auyang Hou lagi. Rupanya
anak muda itu sudah menyelinap diam-diam
meninggalkan tempat itu, mungkin lebih dulu
masuk ke dalam kamarnya. Sebun Beng menepati kata-katanya tadi
dengan berbicara kepada pengurus penginapan.
Mula-mula Si Pengurus Penginapan pura-pura
merasa keberatan karena sudah tidak ada lagi
tempat, namun keberatannya cair setelah
melihat sepotong uang perak yang muncul dari
kantong Sebun Beng. Begitulah Sun Cu-kiok mendapat kamar
bekas Sebun Beng, sedangkan Sebun Beng
sendiri "mengungsi" untuk tidur agak
berdesakan dengan kedua orang keponakannya.
* * * Esok paginya, sampai matahari cukup tinggi,
Auyang Hou belum juga keluar dari kamarnya,
meskipun sebenarnya ia sudah jemu berada di
Sekte Teratai Putih 11 26 dalam kamar. Namun kalau keluar kamar, ia
kuatir berpapasan dengan Sun Cu-kiok.
Paman dan Kakak tirinya sudah bangun, dan
berbincang-bincang dengan Sun Cu-kiok di
kamar sebelah. Kadang-kadang terdengar suara
tawa gadis itu yang merdu, membuat Auyang
Hou iri dan sebenarnya ingin ikut bercakapcakap, namun ia kesal kepada dirinya sendiri
yang sudah terlanjur membual kelewat batas
semalam sehingga mempermalukan diri sendiri.
Ketika Liu Yok melangkah masuk ke kamar,
Auyang Hou langsung menyongsongnya dengan
pertanyaan, "Apa yang Paman dan Kakak
perbincangkan dengan Nona Sun?"
"Banyak." "Apakah sedang membicarakan..." Auyang
Hou tidak melanjutkan kata-katanya. Namun
Liu Yok tahu, Adik-tirinya itu ingin menanyakan
apakah dirinya yang sedang dibicarakan.
Sahut Liu Yok, "Kami berbicara tentang
banyak hal yang bermanfaat, untuk penyelamatan Nona Sun Pek-lian."
"Jadi tidak membicarakan aku?"
Sekte Teratai Putih 11 27 "Tentu saja tidak. Kenapa kau berprasangka
demikian, Adik Hou?"
Bukan menjawab, Auyang Hou malah
bertanya kembali, "Kapan Nona Sun akan
melanjutkan perjalanan dan meninggalkan
penginapan ini?" Liu Yok heran, "Dia tidak menyebut-nyebut
sama sekali soal keberangkatan. He, kenapa
nampaknya kau tidak menyenangi dia, A-hou"
Dia orang baik dan ramah, tidak sombong
meskipun puteri seorang Gubernur."
Auyang Hou bungkam. Liu Yok bertanya pula, "A-hou, matahari
sudah tinggi, kenapa belum juga bangun untuk
membersihkan diri dan sarapan pagi" Apakah
kurang sehat lagi?" "Aku ingin segera meninggalkan tempat ini.
Bukankah sudah tidak ada halangan apa-apa
lagi" Terlalu lama berada di Han-king ini benarbenar bisa membuatku sakit."
"Kenapa?" "Pokoknya aku sudah jemu."
"Baik, aku katakan kepada Paman."
Sekte Teratai Putih 11 28 Sementara itu, pembicaraan Sebun Beng
dengan Cu-kiok sudah memasuki hal-hal yang
serius. Wajah Sebun Beng tegang ketika
mendengar Sun Cu-kiok menceritakan tentang
perampokan rombongan pengawal rahasia yang
membawa gaji prajurit untuk sepropinsi Oulam.
"... dan mereka cuma menunjukkan ini,
ditinggalkan di tempat pembantaian ujar Sun
Cu-kiok sambil menunjukkan dua bendera kecil.
Satu berwarna kuning, dengan gambar bulatan
merah di tengahnya sebagai lambang matahari,
dan bulan sabit putih sebagai lambang
rembulan. Itulah bendera Clit-goat-ki, bendera
negara di jaman dinasti Beng yang sudah runtuh
hampir seratus tahun silam. Yang satu lagi
adalah bendera hitam bergambar teratai putih
di tengahnya, itulah bendera kaum Pek-liankau. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa
perjuangan Pek-lian-kau memang bertujuan
menegakkan kembali dinasti Beng.
Menatap kedua bendera itu, Sebun Beng
mengertakkan gigi. "Keparat, kalau aku tahu
Sekte Teratai Putih 11 29 kaum Pek-lian-kau sudah melakukan keganasan
macam ini, aku tidak akan melepaskannya
beberapa hari yang lalu."
Sun Cu-kiok heran, "Melepaskan siapa,
Paman?" "Tokoh utama Pek-lian-kau Sekte Utara, Kimmo-long Mo Hwe. Kami bentrok beberapa hari
yang lalu, dan aku sebenarnya punya
kesempatan untuk menangkapnya. Tetapi...."
Sebun Beng lalu menceritakan peristiwa
yang belum lama terjadi, bentroknya dengan Mo
Hwe. Usai mendengar cerita itu, Sun Cu-kiok
membanting kaki dengan kesal, karena luapan
emosinya, dia jadi seolah-olah memarahi Sebun
Beng seolah-olah Sebun Beng itu lebih muda
daripadanya. "Astaga, Paman Sebun, menghadapi tokoh golongan sesat macam Mo
Hwe, apakah ada gunanya menerapkan sikap
saling mempercayai" Kita akan rugi sendiri,
bukankah kalau kita tangkap dia, kita bisa
memaksa pihak Pek-lian-kau untuk menukarnya dengan Adikku?"
Sekte Teratai Putih 11 30 Sebun Beng berusaha memaklumi sikap Sun
Cu-kiok itu. Sahutnya, "Ya, aku barangkali
memang bersikap terlalu lemah..."
Masih banyak yang akan dikatakan Sun Cukiok, tetapi ia segera menyadari kalau Sebun
Beng adalah seorang tokoh angkatan tua yang
seangkatan dengan gurunya, juga mertua dari
seorang panglima berpengaruh di sisi Kaisar
Kian-liong sendiri. Maka Sun Cu-kiok menahan
diri untuk tidak "memarahi" Sebun Beng lebih
lanjut. "Ya sudah, nasi sudah menjadi bubur mau
terlalu disesali juga percuma... kata Sun Cu-kiok
akhirnya. Paman Sebun, sekarang dapatkah
Paman menunjukkan ke arah mana kira-kira
perginya si keparat Mo Hwe itu?"
"Apa yang akan Nona lakukan?"
"Tentu saja mengejarnya dan membekuknya,
apalagi?" "Apakah Nona membawa pembantu atau
kawan dalam perjalanan ini?"


Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya. Itu kawanku..." sahut Sun Cu-kiok
dengan nada bangga kepada Sebun Beng, sambil
Sekte Teratai Putih 11 31 menunjuk golok bertangkai Panjangnya yang
tersandar di sudut ruangan
Sebun Beng menarik napas, "Maaf, nona, aku
tidak meremehkan kemampuan nona, tetapi
aku katakan bahwa took Pek-lian-kau yang satu
ini tidak dapat dipandang enteng. Ia bukan saja
mahir dalam berbagai ilmu gaib, namun
ketrampilan berkelahinya pun di luar dugaan.
Biarpun aku berhasil memukul dadanya
sehingga terluka dalam, dia pun berhasil
menggores pipiku...."
Sun Cu-kiok tidak berani meremehkan katakata Sebun Beng itu. Sebun Beng adalah seorang
pendekar unggulan, tetapi berkata sedemikian
tentang Mo Hwe, mau tak mau Sun Cu-kiok
harus memperhatikannya. Tiba-tiba teringatlah Sun Cu-kiok akan
"kawan-kawan" barunya, itulah sekelompok
perwira-perwira dari pasukan rahasia bawahan
Kaisar Kian-liong langsung. Sejak Sun Cu-kiok
meninggalkan kota kecil itu, ia tidak lagi
berpapasan dengan para perwira pasukan
rahasia yang akan menyamar sebagai
Sekte Teratai Putih 11 32 rombongan sandiwara itu. Ataukah mereka
sebenarnya pernah dilihatnya, tetapi di balik
selubung penyamaran lain yang tidak
dikenalnya" Sun Cu-kiok ingat pula, bahwa Oh
Tong-san pernah memberinya sebuah buku
kecil, berisi kode-kode rahasia untuk mencari
hubungan dengan pasukan rahasia itu. Perlukah
hal itu diberitahukan kepada Sebun Beng"
Akhirnya Sun Cu-kiok cuma berkata, "Paman
tidak usah khawatir, ada juga beberapa orang
yang kebetulan satu tujuan dengan aku,
mungkin bisa saling membantu."
"Kalau aku boleh tahu, siapakah mereka?"
"Harap Paman menjaga rahasia ini baik-baik,
mereka adalah perwira-perwira dari pasukan
rahasia yang di bawah Kaisar langsung."
Sebun Beng mengangguk-angguk. Ulah Peklian-kau rupanya sudah dianggap cukup
meresahkan, sehingga Kaisar menerjunkan
pasukan rahasia yang terkenal itu. Tetapi untuk
menjumpai mereka tentu tidak gampang.
Mereka tentu bersembunyi di balik berbagai
penyamaran yang baik. Sekte Teratai Putih 11 33 "Sekiranya Nona tidak keberatan, aku
mengajak Nona berjalan bersama kami. Tempat
ini sudah tidak terlalu jauh lagi dari Hong-yang
yang kita duga sebagai sarang tersembunyinya
kaum Pek-lian-:au, tidak mustahil mereka
memasang banyak perangkap. Berjalan bersama-sama akan lebih baik dari berjalan
sendirian." Sesaat Sun Cu-kiok termangu-mangu
mempertimbangkan usul Sebun Beng itu. Ketika
mula-mula ia turun gunung, Sun Cu-kiok
memang terlalu percaya diri. Namun sejak
pertempurannya dengan Kui Tek-lam, Si
Pemuda Baju Biru yang berpangkat Cam-ciang
dalam pasukan rahasia Kaisar, Sun Cu-kiok jadi
harus belajar sedikit "rendah hati". Ia pernah
pula memergoki tempat yang menjadi bekas
pertempuran antara pengawal dengan orangorang Pek-lian-kau, dan yang ada di situ
hanyalah mayat para pengawal yang
bergelimpangan. Sun Cu-kiok percaya bahwa
para pengawal itu tentunya orang-orang yang
Sekte Teratai Putih 11 34 tangguh, toh mereka akhirnya jadi mayat
semuanya. Memikir hal itu, akhirnya Sun Cu-kiok
mengangguk dan menjawab, "Baiklah, Paman.
Kita akan menuju ke Hong-yang dalam satu
rombongan.... Tiba-tiba Sun Cu-kiok menghentikan katakatanya, karena teringat sesuatu. Lalu tanyanya,
"Tetapi aku menunggang kuda, apakah Paman
bertiga juga.... Seburi Beng menukas. "Itu perkara kecil.
Memang selama ini aku menempuh perjalanan
dengan berjalan kaki, tetapi kami bisa mencari
pinjaman kuda. Sahabatku tersebar di manamana...."
"Lebih baik beli saja, jadi lebih leluasa
menggunakannya." Sebun Beng lalu garuk-garuk kepala. Enak
saja Sun Cu-kiok menyuruhnya membeli tiga
ekor kuda, sedangkan uang Sebun Beng tidak
cukup biarpun hanya untuk membeli seekor
kuda. Sekte Teratai Putih 11 35 Tetapi rupanya Sun Cu-kiok tidak sekedar
mengusulkan, ia segera bangkit dan berkata,
"Aku yang akan membelikannya untuk Paman
bertiga. Mari, sekarang juga kita ke tempat
penjualan kuda, agar dapat segera berangkat
dari sini." "Baiklah," sahut Sebun Beng tanpa sungkansungkan lagi, sebab ia tahu, bahwa membeli tiga
ekor kuda adalah terlalu ringan bagi Sun Cukiok, puteri Gubernur di Ho-lam yang tentunya
membawa banyak bekal itu.
Bahkan kemudian Sun Cu-kiok juga melunasi
rekening Sebun Beng bertiga, jadi Sebun Beng
selama beberapa hari tidur dan makan di
penginapan itu seolah-olah gratis.
Tetapi sebuah masalah baru timbul.
Terpincang-pincang Liu Yok mendekati
Pamannya sambil membawa secarik kertas
bertulisan. "Paman!" "Kenapa?" "A-hou pergi tanpa berpamitan, hanya
meninggalkan pesan tertulis ini!"
Sekte Teratai Putih 11 36 Sebun Beng merebut kertas itu dari tangan
Liu Yok dan membacanya. Ternyata memang
Auyang Hou menyatakan ingin berjalan sendiri.
Sebun Beng mengerti kenapa keponakannya itu
berbuat demikian, mungkin merasa benarbenar kehilangan muka setelah bualannya kena
batunya semalam, di hadapan Sun Cu-kiok.
Kalau sudah demikian, mana ada muka untuk
terus berjalan bersama Sun Cu-kiok" Yang
membuat Sebun Beng sangat kuatir, ialah kalau
membayangkan keponakannya itu bakal "main
pendekar-pendekaran"
di luaran tanpa pengawasannya. Padahal yang di luar sana
bukannya permainan "dunia persilatan-dunia
persilatan" melainkan benar-benar dunia
persilatan. "Astaga, kalau sampai terjadi apa-apa dengan
anak itu, apa yang akan kukatakan kepada
Ibunya?" desis Sebun Beng dengan wajah
tegang. Tak sanggup rasanya membayangkan
wajah adiknya, Sebun Giok, andaikata
menerima berita yang kurang baik. Sedangkan
Sekte Teratai Putih 11 37 Sebun Beng lah yang mengajak Auyang Hou
memasuki pengembaraan. "Coba kita cari, barangkali masih bisa kita
ketemukan. Kita berjalan ke arah berlainan,
tetapi ingat, nanti siang tengah hari haruslah
kita sudah berkumpul kembali di tempat ini..."
kata Sebun Beng. "Dan jangan menambah beban
pikiranku dengan tidak muncul di tengah hari
nanti. Bersama A-hou atau tidak."
Liu Yok merasa kasihan kepada Pamannya. Ia
ikut merasakan beban berat pada jiwa
Pamannya itu, hanya dengan melihat wajah
Sang Paman. Diam-diam ia menyesalkan
tindakan Auyang Hou, sekali gus menguatirkan
keselamatannya. Begitulah, keberangkatan ke Hong-yang
bersama Sun Cu-kiok pun tertunda. Untung Sun
Cu-kiok masih bisa menerima penjelasan,
meskipun dengan perasaan tidak sabar. Bahkan
Sun Cu-kiok kemudian ikut pula berkeliling kota
Han-king untuk mencari-cari Auyang Hou.
Tengah hari mereka berkumpul kembali di
penginapan itu dengan tangan hampa.
Sekte Teratai Putih 11 38 "Aku minta maaf kepadamu, Nona Sun, garagara keponakanku itu Nona jadi ikut terbeban.
pikiran." Sun Cu-kiok hanya mendesah sambil
mengusap keringat di jidatnya dengan
saputangan berwarna kuningnya.
Sementara Liu Yok mengusulkan, "Paman,
silakan Paman dan Nona Sun melanjutkan
perjalanan ke Hong-yang untuk menyelamatkan
Nona Sun Pek-lian yang segera membutuhkan
pertolongan. Jangan sampai terlambat. Aku
akan mencari A-hou."
"Dunia begini luas, ke mana kau akan
mencarinya?" Liu Yok bungkam, tak mampu menjawab.
Dan Pamannyalah yang melanjutkan katakatanya, "Aku tidak memperbolehkanmu
berpisah denganku. Aku sudah hampir gila
memikirkan Si Anak Gila itu, dan aku tidak mau
menjadi gila benar-benar kalau beban pikiranku
menjadi dua kali lipat karena memikirkanmu
pula. Tidak. Kau harus tetap bersamaku."
Liu Yok menarik napas. Sekte Teratai Putih 11 39 Sementara itu, Sebun Beng masih juga
menggerutu, "Biar anak gila itu mendapat
sedikit pelajaran pahit, supaya sifatnya
berubah." "Mudah-mudahan, Paman. Asal jangan
sampai membahayakan nyawanya saja."
Siang itu juga, berangkatlah Sebun Beng, Liu
Yok dan Sun Cu-kiok menuju Hong-yang. Liu
Yok tidak bisa menunggang kuda, namun ketika
Sun Cu-kiok membelikannya kuda, Liu Yok
nekad menaikinya. Perjalanan menjadi agak
lambat, sebab Liu Yok harus belajar
menunggang kuda, meskipun ia cepat bisa.
* * * Auyang Hou memisahkan diri dari Paman
dan Kakaknya, untuk sementara tidak
mengenakan "pakaian pendekar" nya yang
menyolok dan membuat gampang di kenali.
Setelah yakin bahwa Paman dan Kakaknya itu
tidak akan lagi menemukannya, Auyang Hou
Sekte Teratai Putih 11 40 mencari jalan untuk keluar dari kota Han-king.
Tidak berani melalui jalan-jalan besar,
melainkan menyusup-nyusup lewat gang-gang
sempit dalam kota. Saat itu "pakaian pendekar"nya di-bungkus
dan dipanggul di punggungnya, toh ketika ia
melewati sebuah perkampungan sesak di dalam
kota, ada juga yang memanggilnya, "Tuan
pendekar! Tuan pendekar!"
Auyang Hou berhenti melangkah, namun
ragu-ragu untuk menoleh, langan-jangan yang
dipanggilnya bukan dirinya melainkan orang
lain, sehingga dia akan mendapat pengalaman
memalukan pula. Tetapi panggilan itu semakin dekat diiringi
pula derap langkah orang berlari-lari mendekat.
Pundaknya ditepuk, dan setelah itu barulah
Auyang Hou menoleh karena yakin dirinyalah
yang dipanggil. Orang yang memanggilnya
ternyata adalah bakul pangsit kuah yang
kemarin malam nongkrong di depan
penginapannya. Bakul pangsit kuah yang
kemarin malam ikut menjadi saksi terlucutinya
Sekte Teratai Putih 11 41 kedok Auyang Hou. Sehingga Auyang Hou heran
bahwa orang itu masih juga menyebutnya "tuan
pendekar". Karena itu, panggilan itu malah membuat
Auyang Hou kikuk sendiri, "Ah, jangan lagi
menyebut-nyebut soal itu..."


Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lho, kenapa" Semalaman aku kagum
mendengarkan cerita Tuan tentang...."
"Ah, sudahlah. Lupakan semua kata-kataku
semalam."' "Tidak bisa kulupakan, Tuan. Aku terlanjur
mengagumi Tuan, bahkan sudah terlanjur
kuceritakan tentang diri Tuan kepada orangorang, tetangga-tetanggaku."
Auyang Hou mengeluh dalam hati dan
mencaci dirinya sendiri, "Mampuslah kamu,
Tuan Pendekar. Kamu takkan lepas dari
permainanmu sendiri."
Sementara Si Tukang Pangsit Kuah yang
siang itu tidak bersama pikulannya, terus
melangkah di samping Auyang Hou dan
bicaranya menyerocos terus. Auyang Hou diamdiam heran juga, semalam ketika dia mendapat
Sekte Teratai Putih 11 42 malu, tukang pangsit kuah ini berada di
dekatnya dan bisa menyaksikan semua yang
terjadi, kenapa tetap saja ngotot dan
menyanjung dirinya sebagai pendekar" Mungkinkah orang ini hanya sekedar berlagak
tidak tahu, atau memang benar-benar tidak
tahu" Pikir Auyang Hou, "Bisa jadi semalam dia
memang kurang bisa menangkap apa yang
terjadi sesungguhnya, mungkin karena dia
sedang sibuk entah membesarkan api atau apa.
Kalau begitu ya untungku. Di matanya, aku
masih tetap seorang pendekar...."
Mendapat pikiran demikian, tak terasa gaya
berjalan Auyang Hou berubah, menjadi sedikit
lebih tegap. Ia tidak merasa kikuk lagi, dan tidak
lagi berkata "lupakan kata-kataku semalam". Ia
terima semua sanjungan orang itu dengan
senang hati. Padahal, seandainya Auyang Hou cukup
cermat memperhatikan orang ini, kecurigaannya pasti timbul. Semalam, ketika
orang ini duduk di atas dingklik di dekat pikulan
Sekte Teratai Putih 11 43 Sementara Si Tukang Kuah Pangsit yang
siang itu tidak bersama pikulannya, terus
melangkah di samping Auyang Hou
dan bicaranya nerocos terus.
Sekte Teratai Putih 11 44 pangsit kuahnya, orang ini nampak begitu tolol.
Mendengar cerita Anyang Hou hanya manggutrnanggut saja sambil sekali-kali mengucapkan
"ooo" panjang. Tetapi siang ini ia kelihatan
begitu tangkas berpikir dan berbicara. Inilah
yang tidak diperhatikan Auyang Hou..
"Tuan, apakah Tuan sebagai seorang
pendekar tidak ingin menambah ilmu?"
pertanyaan ini menarik perhatian Auyang Hou,
sehingga ia melambatkan langkahnya dan
menoleh kepada Si Tukang Pangsit.
Si Tukang Pangsit menyeringai, "Maaf Tuan,
bukannya aku memandang rendah ilmu Tuan
kalau aku menawarkan hal tadi. Tetapi
bukankah ilmu itu tidak ada batasnya" Apa
salahnya Tuan menambah ilmu" Kalau Tuan
berminat, aku dapat mengantarkan Tuan
kepada seorang Guru silat."
Dalam pikiran Auyang Hou langsung
terbentuk gambaran tentang seorang guru silat
yang mencari nafkah dengan menjual ilmunya
kepada siapa pun yang berminat. Tidak
ubahnya guru-guru bayaran yang mengajari
Sekte Teratai Putih 11 45 Auyang Hou di Se-shia. Dan Si Tukang Pangsit
itu agaknya adalah "calo" untuk mencari murid.
Pantas demikian bersemangat mencarikan
murid buat Si Guru Silat.
Auyang Hou kurang tertarik, ia membayangkan paling-paling yang ditawarkan
itu guru silat yang kwalitasnya tidak melebihi
guru-guru Auyang Hou di Se-shia dulu, di manamana memang banyak orang seperti itu.
Namun Si Calo terus saja berpromosi, "Tuan,
Guru Silat yang aku katakan itu bisa mengajari
memukul batu sehingga pecah, melompati
tembok yang tinggi, dan berjalan cepat seperti
angin...." Auyang Hou masih belum tertarik. Gurugurunya di Se-shia juga pernah memberi
pelajaran demikian. Disuruh memukul-mukul
kantong pasir. Disuruh menanam pohon kecil
yang harus dilompati seratus kali setiap pagi
dan sore, sehingga ketika pohon itu bertambah
tinggi maka lompatannya pun akan bertambah
tinggi setelah sekian tahun. Atau berlari-lari di
gunung dengan kaki dibanduli kantong-kantong
Sekte Teratai Putih 11 46 pasir. Auyang Hou pernah mendengar
semuanya itu, bahkan pernah mempraktekkannya namun hanya beberapa
hari, setelah itu tidak telaten lagi. Auyang Hou
lebih suka berlatih jurus-jurus yang enak
dipandang, kelihatan gagah sebagai jurus
pembukaan, meskipun belum tentu ada
kegunaannya. Atau berlatih bagaimana melangkah gagah dengan mantel melambai,
melangkah masuk ke sebuah warung misalnya,
tanpa melepas caping, dan bergaya sedemikian
rupa sehingga mengesankan orang lain. Atau
mengucapkan kalimat-kalimat khas dunia
persilatan, semacam, "Sudah lama mendengar
nama besar Tuan", atau "Mohon petunjuk dari
Tuan" dan sebagainya.
Namun kata-kata berikutnya yang didengarnya cukup menarik, "Tuan, Guru Silat
yang aku katakan itu berbeda dengan guru-guru
yang lain. Dia bisa mengajarkan semua yang aku
katakan tadi." "Guru-guru lain juga bisa. Kamu pun bisa
mengajari orang memukul batu, perkara batu
Sekte Teratai Putih 11 47 itu yang pecah atau tangan pemukulnya yang
remuk, itu perkara lain. Pokoknya memukul
batu." "Bukan begitu, Tuan, la benar-benar
memukul batu sehingga pecah. Lebih hebat lagi,
dia dapat mengajarkan ilmu dalam waktu
singkat." Kali ini Auyang Hou mulai tertarik. Belajar
dalam waktu singkat, itulah yang dicari-carinya.
Dalam waktu singkat dirinya akan menjadi
pendekar tangguh! Tak terasa, langkahnya
melambat. Si Tukang Pangsit tahu kalau umpannya
mulai kena, bujukannya semakin gencar, "Betul,
Tuan. Dalam waktu singkat dia bisa mengubah
seseorang yang semula lemah, menjadi mampu
meremukkan batu, melompati tembok tinggi
dan sebagainya!" "Apa iya" Dengan cara bagaimana?"
Menuru guru itu, dengan tenaga roh alam
semesta. Katanya, di aalam semseta ini ....."
"Sihir maksudmu?"
Sekte Teratai Putih 11 48 "Bukan, bukan sihir. Menggunakan tenaga
alam, istilahnya." Auyang Hou semakin terpikat. Kalau benar
omongan calo ini, bisa juga dicoba. Di
kantongnya masih ada beberapa potong perak
pemberian Pamannya, bisa untuk membayar
Guru itu. Mudah-mudahan Guru bayaran yang
ini tidak akan minta tarif yang gila-gilaan, dan
umumnya mereka memang memperdagangkan
ilmu dengan dalih "sekedar supaya dapur tetap
berasap". Angan-angan Auyang Hou pun
melayang tinggi. Membayangkan alangkah
gagahnya kelak ia di depan Sun Cu-kiok,
melompat tinggi seperti elang dengan mantel
berkibar di belakangnya, menerkam musuh dan
menjotos ringsek hidung musuh. O, alangkah
mengesankan, adegan seperti itu bagi Sun Cukiok, bukan mustahil Sun Cu-kiok akan jatuh
einta kepadanya. Lamunannya buyar ketika ujung kakinya
tersandung batu. "Eh, kenapa, Tuan?"
Sekte Teratai Putih 11 49 Auyang Hou tersipu sejenak, pendekar kok
kesandung batu. Jawabnya pura-pura tenang
meskipun kakinya kesakitan, "Ah, tidak apaapa."
Dan ia pun tetap berusaha melangkah
dengan tegap biarpun ujung jari-jari kakinya
yang terkena batu tadi terasa berdenyutdenyut.
"Bagaimana dengan tawaranku, Tuan?"
Meski dalam hati sudah sangat tertarik,
Auyang Hou berpura-pura dingin, "Hem,
perkara memecah batu dan melompat tinggi
bukanlah hal asing bagiku. Tetapi perkara
tenaga alam semesta itu memang baru aku
mendengar kali ini. Aku ingin bertemu dengan
orang itu, aku ingin menilai apakah dia cukup
layak membicarakan soal ilmu silat dengan
aku." Dalam hati, Si Tukang Pangsit mentertawakan kepongahan Si Pendekar Gadungan
ini, namun wajahnya tetap ramah.
"Kalau begitu marilah aku antar Tuan ke
rumahnya." Sekte Teratai Putih 11 50 Untuk sampai ke rumah guru silat itu,
mereka harus keluar kota Han-king dan menuju
sebuah tempat yang sepi Yang jalanannya
menanjak dan penuh belukar. Yang ada
hanyalah jalan setapak yang kadang-kadang
terputus oleh rerumputan liar.
Ketika berjalan mendaki itu, kecurigaan
Auyang Hou muncul juga setitik. Ia melihat Si
Tukang Pangsit dengan ringan mendaki lereng
bukit itu, dengan langkah cepat, dan tidak
terengah-engah. Sebaliknya Auyang Hou sudah
mandi keringat, napasnya sesak, matanya
berkunang-kunang. Cuma saja dia malu untuk
minta kepada si Tukang Pangsit agar
melambatkan langkah. Bukankah Si Tukang
Pangsit itu sudah memanggilnya Si "Tuan
Pendekar?" Masa "pendekar" kalah sama tukang
pangsit" Rupanya Si Tukang Pangsit memang sengaja
berbuat demikian untuk lebih meyakinkan
Auyang Hou. Sambil tetap berjalan cepat, masih
sempat juga ia berkata, "Yang aku punyai ini
hanya sebagian kecil dari ajarannya. Karena
Sekte Teratai Putih 11 51 aku tidak berbakat, aku hanya bisa menerima
sekelumit saja dari ilmunya. Kalau Tuan
pastilah akan mendapatkan banyak. Tuan
berbakat." "I... iya.... iya...." sahut Auyang Hou di sela-sela
deru napasnya yang hampir putus, sambil
melangkah sempoyongan di belakang Si Tukang
Pangsit. Di depan matanya hanya ada pendarpendar hijau kuning karena dia hampir semaput
kelelahan. Untunglah, tujuan sudah tercapai.
"Itulah tempat tinggalnya." kata Si Tukang
Pangsit sambil menunjuk sebuah bangunan
kayu yang nampak belum lama dibangun, di
lereng bukit. Auyang cuma mengangguk, berusaha untuk
tetap tegak biarpun kepalanya berkunangkunang.
Si Tukang Pangsit berkata, "Tuan tunggu
dulu di sini, biar aku panggilkan guru silat itu."


Sekte Teratai Putih Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baru saja selesai kata-kata Si Tukang Pangsit,
dari belakang rumah kayu itu tiba-tiba
meluncur sesosok bayangan, melompati atap
Sekte Teratai Putih 11 52 dan langsung berdiri di depan Auyang Hou
dengan gerak ringan. Auyang Hou yang sudah bersiap-siap
membawa lagaknya sebagai pendekar yang
bertemu dengan "sesama sobat rimba
persilatan" dan juga sudah menyiapkan
serangkaian kata-kata bagus, sekarang terkesiap setelah melihat orang yang berdiri di
depannya itu ternyata bertampang begitu
menyeramkan, meskipun saat itu adalah siang
hari bolong. Hampir saja Auyang Hou putar
tubuh dan kabur sekencang-kencangnya dari
tempat itu. Toh meskipun ia tidak kabur, namun
sepasang dengkulnya sudah gemetar.
Orang yang berdiri di hadapannya benarbenar kurus seperti tengkorak, kulitnya pucat
dan bahkan lebih pucat dari mayat. Melihat
orang ini, rasanya seperti melihat sesosok
mayat keluar dari kuburnya.
Auyang Hou belum tahu kalau manusia yang
berdiri di depannya itu memang berjuluk Huiheng-si Si Mayat Terbang Nyo Jiok, tokoh nomor
Sekte Teratai Putih 11 53 dua dalam Pek-lian-kau Sekte Utara, hanya di
bawah Kim-mo-long Mo Hwe.
Nyo Jiok ternyata bersikap baik. Ia menepuknepuk pundak Auyang Hou sambil bertanya,
"Anak muda, kau mengenal aku?"
Karena mulutnya seolah kelu, Auyang Hou
cuma bisa menggeleng satu kali.
"Belum kenal" Baiklah aku perkenalkan diri.
Namaku Nyo Jiok, julukanku Hui-eng-si,
kedudukanku dalam Pek-lian-kau golongan
utara hanya di bawah Cong-cu (ketua sekte)
yang sudah kamu kenal."
Auyang Hou semakin membeku mendengar
itu, dalam hatinya ia meratapi ketololannya
sendiri. Apalagi ketika mendengar Nyo Jiok
berkata lebih lanjut, "Aku sudah mendengar
tentang kamu, anak muda. Kamu keponakan
Sebun Beng, bukan?" "Inilah hari terakhirku di dunia ini" ratap
Auyang Hou dalam hati. Ia tahu benar betapa
besar rasa permusuhan kaum Pek-lian-kau
terhadap Sebun Beng. Mulut Auyang Hou seolah-olah dijahit.
Sekte Teratai Putih 11 54 Namun ia heran juga ketika melihat Nyo Jiok
ternyata bersikap tidak bermusuh, biar muka
mayatnya itu tetap saja menyeramkan. "Aku
sudah mendengar sikap kesatria yang
diperlihatkan oleh kalian, orang-orang Keluarga
Sebun, terhadap Cong-cu, sehingga membiarkan
Cong-cu pergi begitu saja. Sebagai balasan atas
kebaikan keluarga Sebun, karena kami orangorang Pek-lian-kau enggan berhutang budi,
apalagi berhutang budi kepada orang yang
punya hubungan keluarga dengan anjing-anjing
bangsa Man-chu, maka aku akan memberi
hadiah kepadamu!" Auyang Hou masih membungkam, la belum
dapat membayangkan apa bentuk dari "hadiah"
itu. Dan Si Mayat Terbang sudah menjawabnya
sendiri, "Kudengar kau bercita-cita menjadi
pendekar termasyhur, bahkan sudah menyiapkan julukan bagi dirimu sendiri, yaitu
Siau-pek-him." Auyang Hou tertunduk salah tingkah.
Sekte Teratai Putih 11 55 Sementara Nyo Jiok berkata lagi, "Mungkin
tadi kau sudah mendengar dari orang
suruhanku, kau akan mendapat ilmu."
Sampai di sini, betapapun pengecut-nya
Auyang Hou, muncul juga setitik kesadarannya.
la melihat sendiri betapa mengerikannya
kehidupan orang-orang Pek-lian-kau meskipun
mereka berilmu tinggi, mereka sudah
kehilangan martabatnya sebagai manusia,
sehingga seolah-olah menjadi setengah siluman
atau setengah binatang. Karena itu, tiba-tiba dia
mengangkat wajahnya dan menjawab tegas,
"Tidak! Lebih baik aku mati dari pada belajar
ilmu Pek-lian-kau yang sesat! Aku tidak mau
berubah menjadi burung gagak atau serigala,
dan hari-hari tertentu harus menjalankan
upacara-upacara menyembah setan!"
Waktu mengucapkan itu, Auyang Hou sudah
siap-siap menerima kemarahan orang-orang
Pek-lian-kau di depannya itu.
Di luar dugaan, Nyo Jiok tertawa terkekeh
saja dan berkata, "Itulah pandangan yang keliru
tentang Pek-lian-kau kami. Seolah-olah kami ini
Sekte Teratai Putih 11 56 golongan siluman, padahal kami juga punya
ilmu-ilmu sejati yang tinggi. Dan aku bermaksud
mengajarmu memecahkan batu, melompat
tinggi dan berjalan cepat seperti angin."
"Dengan bantuan setan-setan" Tidak, terima
kasih." jawab Auyang Hou tegas. Terus ia
Misteri Karibia 2 Wiro Sableng 004 Keris Tumbal Wilayuda Cincin Maut 3

Cari Blog Ini