Sengatan Birahi Karya Dian Purba Bagian 1
Sengatan Birahi karya Dian Purba Sumber Image : Awie Dermawan
Pembuat Djvu : Kang Ozan Edit teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
Ebook persembahan Group Fb Kolektor E-Book
Selesai di edit : 3 Juli 2018 (Situbondo)
Selamat membaca ya ! ***** SENGATAN BIRAHI SENGATAN BIRAHI Karya : Dian Purba Diterbitkan oleh TB. Mutiara, Jakarta
Cetakan Pertama : 1994 Setting oleh : Sinar Repro
Hak Penerbit ada pada penerbit TB. Mutiara Dilarang mengutip, memproduksi dalam bentuk apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit
*** SATU Sunyi. dingin, dan mencekam.
MALAM memang sudah sangat iauh. Telah melintasi pertengahan. Gelap dan hitam di semua penjuru. Beku. Di langit... tak sebutirpun bintang yang menampakkan diri. Langit sepenuhnya diselimuti kabut hitam yang bergulung-gulung ke arah Barat.
Sebuah malam Jum'at Kliwon yang kelam dan suram. Suasana malam yang agak lain dari sebelumnya.
Mendadak, suasana sunyi itu dipecah oleh suara lolongan anjing yang memilukan serta menyayat ujung perasaan yang terdalam.
"Aauuu... aangng...."
Berulang-ulang dengan irama aneh yang mengerikan. Membuat bulu kuduk berdiri menyentak-nyentak. Membuat darah berdesir-desir tak karuan. Seram dan menakutkan. Suasana
menjadi kian suram dan mengenaskan. Anehnya, asal suara lolongan sangat samar dan sulit ditebak. Suara itu muncul seolah olah dari balik gumpalan awan hitam di atas daundaun kelapa.
Tak lama kemudian turun hujan gerimis dibarengi hembusan angin yang kencang
"Aauuu... anggng..." Lolongan anjing masih terus terdengar merintih.
Seram. Di tengah suasana malam yang sedemikian mengerikan, terdengar suara derak pintu dari tepi perkampungan. Sebuah pintu rumah gubuk reot terbuka secara perlahan-lahan. Dari dalam. gubuk muncul seorang gadis muda berambut panjang dan acak-cakan. Berpakaian kumal yang sangat sederhana .Tanpa merasa enggan, gadis bertubuh kurus itu langsung menceburkan diri ke siraman hujan. Membiarkan tubuhnya dihembus oleh angin kencang dan dingin. Baju penuh tambalan yang sedang dikenakan tampak menjadi terhempas hempas. Begitupun rambutnya yang panjang
Anehnya. sepasang matanya dalam keadaan terketub. Barangkali dia sedang tidur-berjalan" Tapi langkah kakinya sama sekali tidak manut. ia berjalan sanqat baik di jalan setapak menjauhi
perkampungan. Semakin lama langkahnya semakin Cepat. Seperti ada makhluk lain yang tidak tampak oleh mata yang membimbingnya.
Sekujur tubuh si gadis sudah basah kuyub. Tapi dia seperti tak memperdulikannya. Gadis kurus tanpa alas kaki itu seperti tak kedinginan.
"Aauuu... aanng...." Suara lolongan anjing maSih melengking di kesunyian malam.
Setelah berjalan melewati celah-celah pohon nyiur selama sekitar seperempat jam. tibalah dia di bibir pantai sebelah Utara. Dia telah memotong pulau kecil itu dari pantai di sebelah Selatan hingga di pantai sebelah Utara. Seperti ada yang menahan langkahnya. dia lalu berhenti di bawah sebatang pohon kelapa yang daun-daunnya sangat banyak dan rimbun. Walau begitu, dia belumlah terhindar dari siraman hujan yang kian lama kian lebat .Dalam keadaan basah kuyub. masih dengan sepasang mata terketub, gadis itu menjongkok lalu berlutut ke arah laut lepas. Kedua telapak tangannya diracuk di depan dada laksana orang bersujud. Semua itu dilakukan oleh si gadis seperti dalam bimbingan orang yang tidak terlihat.
Baru sesaat kemudian, terciumlah bau busuk yang memuakkan hingga membuat seisi perut
hendak tumpah. Mirip bau mayat manusia yang sudah membusuk. Berbarengan dengan itu tibatiba pula udara berubah lebih dingin bagaikan di lembah salju. Si gadis yang sedang bersujud tampak terusik dibuatnya. Ia seperti terSiksa oleh bau busuk dan hawa dingin itu. Bahkan sampai membuat tubuhnya terjerembab ke atas tanah berlumpur. lalu menggeliat-geliat bagaikan cacing kepanasan di atas batu. Ganjilnya. mulut si gadis tak mengeluarkan suara rintihan barang sepatah katapun juga. Sepasang matanyapun masih tetap terkatub.
Sekarang tubuhnya berubah kejang-kejang. Kedua kakinya menerjang-nerjang bagaikan kaki kuda yang sedang keracunan makanan. Kedua tangannya seperti sedang berusaha untuk memegang apa saja yang dapat dipegang. Sementara lumpur sudah melumurinya mulai dari ujung kaki hingga ke ujung rambut.
Sangat mengharukan keadaannya. iba hati melihatnya.
Setelah bergelut dengan siksaan aneh sekitar satu jam lamanya, mendadak tubuhnya diam tak bergerak. Tubuh itu menelentang menghadap ke atas. Dari mulutnya keluar darah kental yang kehitam-hitaman. Tapi denyut di perutnya me
nandakan kalau dia masih hidup. Mungkin gadis yang malang itu hanya kehilangan kesadaran. Mungkin cuma sedang pingsan.
Sekonyong-konyong melesat setitik sinar putih dari tengah angkasa dan jatuh di samping si gadis yang yang masih terbujur kaku. Titik sinar yang menakjubkan itu lantas berubah menjadi sosok seorang gadis cantik yang mirip bidadari. Luar biasa kecantikannya. Ia mempesona. Gadis berjubah putih itu muncul membawa bau wangi yang sangat merangsang dan segar di dasar hidung. Anehnya. walau hujan turun sedemikian derasnya, tapi tak setetes air pun yang membasahi jubahnya.
Sesaat bidadari itu memandangi tubuh kerdil yang tak bergerak di hadapannya. Butir-butir air mata tampak meleleh ke kedua belah pipinya yang halus dan lembut. Kemudian dia berjongkok dengan tangis yang semakin tak bisa ditahan. Dibelai-belainya rambut gadis malang itu sembari berujar sendu :
"Anakku, maafkan Emmak! lni terpaksa Emmak lakukan untuk membalaskan dendam sakit hati Emmak dan Bapakmu. Kau tidak akan pernah lagi mengetahui ini semua, Anakku! Kau hanya menanggung akibatnya. Hidupmu
menderita. Anakku!" Selesai berkata demikian, perlahan lahan bidadari berjubah putih itu bangkit berdiri. Dihapusnya air matanya. Sesaat lagi masih dipandanginya wajah si gadis kerdil yang diakuinya sebagai anaknya. Setelah itu dia berbalik dan lenyap secara mendadak.
Seiring dengan itu, suara lolongan anjingpun berhenti. Hujan berangsur-angsur berhenti. Angin berubah menjadi semilir. Dan. malam tetap sunyi.
*** DUA SETELAH sembahyang subuh, Basyah Purwa keluar dari kamarnya. la mengenakan kain sarung yang dililitkan panjang dari pinggangnya ke bawah. Di bagian atas dia memakai kaus oblong berwarna merah muda. Ia bermaksud menunggu pagi di balebale kayu yang terdapat di serambi depan sambil berdzikir. Itu sudah menjadi kebiasaannya sejak tinggal di pulau kecil dan terpencil ini. Tapi ketika melintasi ruang tamu, ada suara teguran yang ditujukan kepadanya.
"Kau sudah bangun. Basyah?"
Basyah Purwa segera berpaling ke arah datangnya suara. Di salah satu sudut ruang tamu berlantai papan itu. dia melihat ayahnya sedang duduk di atas tikar sambil menikmati semangkok kopi hangat. Sepertinya, Pak Ali. ayahnya itu, baru saja mengisi pipa cangklongnya dengan tembakau racikan sendiri. Tapi belum semnat dibakar.
"0, Bapak...!" Basyah Purwa lalu mendekat
dan duduk pula di atas tikar. "Sudah lama Bapak bangunnya?" tanyanya pula.
"Sudah cukup lama. Bapak tadi dibangunkan oleh Emmakmu untuk sembahyang."
"Emmak ada di mana?"
"Di dapur, sedang memasak. Kalau kepingin minum kopi, minta saja ke sana. Mungkin air panasnya masih ada."
"Tidak usah. Aku 'kan tidak biasa minum kopi?" Basyah Purwa tersenyum. "Tapi saya mau tanya, Pak! Apakah semalam Bapak mendengar sesuatu?"
"Mendengar apa?" Pak Ali balik bertanya.
"Mungkin suara aneh, Pak?"
"Suara aneh yang bagaimana maksudmu?"
"Semalaman aku sedikit sekali tidurnya. Pak. Aku terganggu sekali oleh suara lolongan anJing."
"Kau mendengarnya?" Kening Pak Ali berkerut, sementara pandangannya semakin lurus ke wajah putranya.
"Betul, Pak!" jawab Basyah serius." Bapak mendengarnya?"
Pak Ali menganggukkan kepalanya. "Emmak
.mU juga mendengar. Mungkin semua orang yang ada di pulau kecil inipun mendengarnya."
basyah Purwa menjadi bertambah serius.
"Anjing siapa itu, Pak?" tanyanya lagi.
Kembali Pak Ali menggelengkan kepalanya. "Di sini tidak ada yang punya anjing," jawabnya.
"Kalau begitu anjing liar" Atau barangkali srigala?"
Lelaki berusia di atas lima puluh tahun itu kembali menggelengkan kepalanya.
"Pulau Siluman ini sangat kecil, Bapak. Kurang dari dua kilometer persegi. Separuh di bagian Utara cuma pasir yang tidak ditumbuhi apa-apa selain kelapa. Hanya separuh ke sebelah Selatan ini yang banyak ditumbuhi tumbuhan bakau. itupun sudah semua disentuh tangan manusia. Yang dapat dibikin kebun sudah dibikin kebun dan yang bisa dijadikan tambak sudah pula dijadikan tambak. Lantas di mana tempat srigala untuk hidup di sini?" Basyah Purwa sungguh tak habis pikir.
"Itu sudah lama menjadi pikiran penduduk yang tinggal di sini," sahut Pak Ali.
"Bagaimana, Pak?"
"Seperti yang kau katakan itu. Tak mungkin ada srigala di pulau terpencil seperti ini .Dari mana srigala datang ke sini" Di sini tak ada binatang buas darat. Tapi mengapa suara lolong
anjing itu selalu ada?"
"Berarti suara lolongan anjing itu sudah lama didengar oleh penduduk di sini?"
"sudah." "Pendapat Bapak sendiri bagaimana.?"
"Bapak tidak bisa memberi pendapat apa-apa tentang itu."
"Orang orang?" "Kebanyakan orang-orang mengatakan bahwa itu adalah srigala Siluman."
"Srigala siluman" Apa pernah ada orang yang melihatnya?"
"Tidak!" Pak Ali pun menggelengkan kepalanya. "Tapi begitulah umumnya pendapat orangorang di sini."
"Barangkali karena itu pulau ini disebut Pulau Siluman, Pak?"
"0, tidak! Suara lolongan itu baru mulai terdengar sejak dua tahun terakhir ini, sementara nama pulau ini sudah ada sejak dulu. Menurut ceritra, pulau ini dulu suka tenggelam dikala air laut sedang pasang, lalu kelihatan lagi setelah air laut surut. ltu sebabnya pulau ini disebut Pulau Siluman. Tak ada hubungannya dengan suara lolongan anjing misterius itu."
"Tapi orang-orang tetap percaya kalau di sini
ada srigala Siluman?"
"Ya." "Apa ada akibat jeleknya terhadap penduduk di sini?"
"Ya. Sejak dua tahun terakhir ini, sudah ada delapan orang yang menjadi korbannya."
"Korban apa maksud Bapak?" Basyah Purwa semakin serius.
"Korban jiwa. Orangorang percaya bahwa srigala itu bisa berubah wujud menjadi perempuan perempuan cantik secantik bidadari. Kemudian perempuan itu akan mendatangi perahuperahu para nelayan yang sedang menangkap ikan di tengah laut. Dia pilih salah seorang, lalu merayu dan menggodanya dengan cara-cara yang porno. Bagi yang kuat imannya. dia pasti tidak akan celaka. Tapi bagi yang tidak kuat. dan mau menyetubuhi perempuan itu, maka akan mampuslah dia."
"Mampus bagaimana?" tanya Basyah Purwa karena ayahnya tidak segera menyambung
"Dia akan mati. Darahnya akan dihisaphabis oleh perempuan itu. lalu mayatnya dibiarkan terapung di tepi pantai."
Mengerikan sekali. gumam Basyah Purwa di dalam hati. Sempat bergidik bulu kuduknva
mendengarnya. "Apakah perempuan cantik itu cuma mencari korban di Pulau Siluman ini?"
"Tidak. Juga di Pulau Cendana. Lebih mengherankcn, korbannya pasti penduduk yang berasal dan Pulau Cendana. Yang dari Pulau Bidadari atau yang berasal dari pulau lain. tidak pernah menjadi korbannya."
"Mengapa begitu, Bapak?"
Pak Ali menggelengkan kepalanya.
Basyah Purwa terdiam sambil berpikir-pikir. Pulau Siluman. Pulau Cendana, dan Pulau Bidadari adalah tiga pulau kecil yang berdekatan. Masih termasuk dalam lingkungan Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Pulau Seribu. Dari antara ketiga pulau itu. Pulau Siluman adalah yang terkecil. Luasnya tak lebih dari 2X1 Km persegi. Jarak ke Pulau Bidadari sekitar 2 mil, sedangkan ke Pulau Cendana sekitar 3 mil.
Dulunya, Pulau Siluman adalah sebuah pulau kosong. Tak berpenghuni. Orang merasa enggan pindah ke sana karena sebahagian besar tanahnya cuma pasir yang hanya dapat ditumbuhi tanaman kelapa Cuma sedikit di pesisir Selatan yang dapat ditumbuhi semak-semak.
hanya tumbuhan bakau. Begitu juga tanah di
Pulau Cendana atau di Pulau Bidadari masih banyak yang kosong dan lebih subur untuk ditanami sayur mayur. Tapi sejak lima tahun terakhir ini, Pulau Siluman mulai banyak ditinggali. Kebanyakan pindah dari Pulau Cendana dan Pulau Bidadari, sekalipun ada juga yang datang dari Pulau Panggang, dan bahkan dari Pulau Jawa.
Alasan para penduduk pindah ke Pulau Siluman adalah karena tanah mereka telah digusur oleh pihak penguasa untuk dijadikan tempat rekreasi orang-orang gedean dari kota Jakarta. Sulit bagi mereka untuk bertahan di tanah leluhur mereka itu, sebab sadar tidak mungkin bisa melawan penguasa. Jadinya, ganti rugi yang diberikan terpaksa diterima, sekalipun tidak sesuai dengan keinginan hati. Saat ini, Pulau Cendana dan Pulau Bidadari sudah penuh bangunan-bangunan villa. hotel, bungalow, homestay, atau entah apa lagi namanya
Ayah Basyah Purwa adalah salah seorang korban penggusuran dari Pulau Bidadari. Mereka pindah ke Pulau Siluman ini sejak lima tahun yang lalu. Tanah mereka di Pulau Bidadari digusur oleh orang-orang kaya dari Jakarta dan sekarang di tempat itu telah dibangun sebuah
villa yang sangat megah dan bagus. Cuma Basyah Purwa tak segera ikut pindah ke pulau ini dulu. sebab dia sudah sempat sekolah agama di kota Cirebon, Jawa Barat. Baru setelah dua minggu terakhir ini dia ikut menetap bersama orangtuanya
Sekarang Pulau Siluman ditinggali 38 Kepala Keluarga dengan jumlah penduduk lebih dari 200 jiwa. Semua nelayan tradisional, miskin dan mayoritas buta huruf. Sejak dua tahun terakhir. Pak Ali adalah kepala desa yang dipercayai oleh masyarakatnya. Beliau disegani karena wibawa dan dianggap lebih pintar. Juga karena usianya yang termasuk paling tua dari semua penduduk desa yang mereka sebut Desa Nyiur Melambai.
*** BARU saja pagi terang sempurna, terdengar suara gaduh di luar rumah. Pak Ali dan Basyah Purwa menjadi bertatapan, keheranan.
"Apa yang sedang terjadi, Pak?" tanya Basyah Purwa, anak muda berusia 23 tahun itu.
Pak Ali memandang putra tunggalnya sejenak. Tanpa menjawab terlebih dahulu, dia bangkit dan berjalan mendekati pintu yang sudah sejak tadi terbuka.
Basyah Purwa ikut bangkit dan menyusul ke pintu. Dari samping ayahnya, dia melihat banyak orang menuju pinggir desa. Semua berjalan cepat dan bersikap garang. Lebih mengherankan lagi karena orang-orang itu pada membawa senjata masing-masing. Ada yang memegang golok, kapak, belati, pacul, potongan kayu, atau cuma sebutir batu yang pantas untuk dilemparkan.
"Celaka!" gumam Pak Ali setelah melihat ulah para warganya.
"Ada apa, Pak?" tanya Basyah Purwa tak mengerti.
"Mereka harus segera dicegat!"
Selesai berkata demikian, Pak Ali langsung meloncat ke luar. Dengan setengah berlari dia menyusul warganya yang menuju pinggir desa.
Basyah Purwa pun tidak tinggal diam. Cepatcepat ia kembali ke kamarnya untuk mengenakan celana panjangnya. Setelah itu, dia meloncat ke luar untuk menyusul ayahnya. Anak muda berambut gondrong dan bertubuh kekar itu merasa ada yang tidak beres. Dia menduga orang-orang tadi menuju suatu tempat untuk melakukan penyerangan. Tapi siapa yang hendak diserang" Apa sebabnya"
Dalam waktu sekejap. orang-orang telah banyak di halaman rumah gubuk yang sudah reot itu. Seorang pria bertubuh kekar langsung menggedor gedor pintu gubuk secara kasar.
"Hei, Seroja! Keluar kau!" teriaknya keraskeras.
"Hei, Perempuan Sundal! Buka pintu!" pekik yang lain.
Pintu dan dinding rumah gubuk yang sudah reot itu secara serentak digedor kasar dan kuatkuat dari luar. Bersamaan dengan itu. susulmenyusul pula makian, cacian, dan ancaman kasar dialamatkan ke arah rumah.
"Berhenti!" Seseorang berteriak keras dari arah belakang.
Semua orang pada melihat ke arah datangnya suara. Pak Kepala Desa tiba dengan langkah
panjang dan nafas tersengal-sengal. Orang yang paling dihormati itu langsung berdiri di depan pintu rumah gubuk yang hendak diobrak-obrik sembari memandangi warganya satu-persatu.
"Ada apa ini?" tanya Pak Ali setengah membentak.
"Perempuan sinting itu telah membunuh lagi warga desa kita ini, Pak!" jawab' seorang lelaki bertubuh kekar bernama Eyot.
"Siapa yang dibunuh?" Pak Ali mengerutkan keningnya.
"Suto, Pak!" masih Eyot yang menyahut. "Kami menemukan tubuhnya tadi pagi tergeletak di atas pasir dekat langgar."
"Betul demikian?" tanya Pak Ali kepada warga
lain. "Betul, Pak!" Serentak belasan orang menjawab dengan koor.
Cukup sampai di situ, sesungguhnya Pak Ali sudah bisa mengetahui persoalan selanjutnya. Dia sudah bisa mengetahui maksud penyerangan yang hendak dilakukan oleh warganya terhadap gubuk reot serta penghuninya. Tapi agar tidak sampai terjadi pengrusakan atau pembunuhan secara liar, dia ajak para warganya yang sedang marah itu untuk berdialog. ,
"Lantas kenapa kalian hendak menyerang rumah ini?" tanyanya kembali.
"Pasti dia yang telah membunuh Suto, Pak!" jawab Eyot berapi-api. "Di lehernya tampak luka gigitan seperti korban-korban terdahulu."
"Apa kalian punya bukti?"
"Ada, Pak! Ada orang yang melihat perempuan itu semalam mendekati Suto dan berbicara dengannya."
"Siapa?" "Saya. Pak!" Seorang lelaki kurus tampil ke depan dengan gagah dan gentlemen. Dia bernama Billok. "Semalam, lewat tengah malam, saya menangkap ikan bersama Suto di sekitar dua mil ke arah Timur. Perahu saya dan perahu Suto tergolong berdekatan. Dengan jelas kulihat Seroja mendatangi Suto, lalu mengajaknya bicara. Suara dan tawa Seroja sangat jelas kukenal."
"Dengan apa Seroja datang ke sana?" potong Pak Ali bertanya.
"ltu, Pak... Dia bisa berjalan di atas permukaan air laut," jawab Billok ragu-ragu.
"Apa itu mungkin?" tanya Pak Ali dengan suara yang lebih keras.
"A, 00" aa, sepertinya mungkin Pak Kepala
Desa. "Billok tergagap gagap
"Kalian semua masih saja mau dipengaruhi hal hal yang tidak jelas!" Pak Ali berkata agak marah. "Kalian mau main hakim sendiri. Sudah, bubar semua!" perintahnya pula.
"Ta... tapi, Pak! Bagaimana dengan mayat Suto?" Eyot mencoba hendak menanggapi.
"Aku bilang. bubar semua!" ulang Pak Ali memerintahkan. "Jangan ada kulihat yang mencoba coba mengganggu Seroja. Gadis itu tak bersalah. Paham semua?"
"Paham, Pak...!" Orang-orang menjawab dengan koor, lalu bubar dalam waktu seketika.
Begitu melihat para warganya telah bubar, Pak Ali langsung menuju langgar, tempat di mana dikatakan ditemukan mayat Suto, salah seorang warganya yang hingga kini masih membujang. Saat dia tiba di sana, mayat anak muda berUSia dua puluh empat tahun itu sudah dibaringkan di terras langgar sebagai tempat sementara. .
Pak Kepala Desa Nyiur Melambai itu sejenak memeriksa keadaan korban. Memang benar bahwa ada luka gigitan manusia di leher Suto. Cukup dalam gigitan itu. Sama dengan luka yang dialami korban korban sebelumnya. SutO
telah menjadi korban kesembilan sejak dua tahun terakhir ini. Anak muda itu berasal dari Pulau Cendana. Bahkan orangtua dan famili familinya semua masih ada di sana.
Secara diamdiam, Basyah Purwa ikut memperhatikan keadaan korban dari jarak tertentu. Hatinya sungguh penasaran melihat gigitan di leher Suto.
"Apakah Suto meninggal akibat gigitan itu, Bapak?" tanyanya begitu mereka kembali ke rumah.
"Tidak ada yang bisa memastikannya," jawab Pak Ali sambil meraih gelas kopinya yang dari tadi masih terletak di atas tikar. Masih tersisa separuh kopi itu. "Setiap korban yang ditemukan selalu sudah menjadi mayat. Tapi memang gigitan aneh seperti itu selalu ada. Itu membuat dugaan kalau darah korban telah dihisap terlebih dahulu sebelum meninggal dunia."
"Apa mungkin itu hisapan drakula?"
"Entah drakula, entah phampir, entah zombi, atau entah apa lagi namanya.... Sulit sekali mengetahui secara pasti."
"ltu memang sungguh misterius. Aku seperti. sulit untuk mempercayainya." Basyah Purwa terus penasaran. "Lantas, mengapa orang-orang"
hendak mengobrak-abrik rumah gubuk yang dipinggir desa itu?" lanjutnya bertanya.
"Mereka menduga penghuni rumah itulah yang membunuh Suto serta korban-korban sebeIumnya."
"Siapa memang penghuni rumah itu?"
"Cuma seorang gadis yang sangat malang. Seroja namanya. Dia cuma tinggal sendirian di sana, karena kedua orangtuanya sudah meninggal sejak beberapa tahun yang lalu."
"Mengapa orang orang pada menuduhnya yang melakukannya?"
"Itulah yang masih sangat misterius. Kata beberapa orang nelayan, Seroja itulah pembunuhnya. Mereka bilang bahwa Seroja punya ilmu... yang dapat membuatnya berjalan di atas permukaan air laut. Kata mereka lagi, saat mencari korbannya, Seroja bisa berubah menjadi seorang gadis cantik yang mirip bidadari'. Tawa dan suara Seroja sehari-hari, kata mereka, sangat persis dengan tawa dan suara bidadari cantik yang bisa berjalan di atas permukaan air laut itu. Itu sebabnya orang-orang pada percaya kalau Seroja itu punya ilmu."
"Kalau memang begitu, siapa tahu dugaan penduduk itu betul.?"
Pak Ali tersenyum sembari menggeleng ge langkan kepalanya. "Bapak tidak yakin itu, "katanya." Seroja itu cuma seorang gadis remaja yang sakit ingatan. Dia pun buta huruf. Hidupnya menderita. Di rumah gubuk itu dia cuma tinggal sendiri. Hidup kesehariannya cuma keluyuran atau menyendiri. Makan sehari-harinya sepenuhnya tergantung pada rasa iba orangorang. Juga pakaian yang di tubuhnya adalah pemberian orang-orang."
"Apa dia tak punya famili di sini?"
"Tidak. Bahkan di Pulau Cendana pun tidak ada."
_"Mereka tadinya berasal dari Pulau Cendana?"
"Ya. Dan menurut ceritera yang Bapak dengar, orangtuanyalah dulu yang paling pertama menempati pulau ini. Tadinya, semua pulau ini menjadi milik mereka. Desa ini dulunya merupakan sebuah kebun yang sangat subur, dan pemiliknya adalah mereka. Cuma setelah kedua orangtuanya meninggal, berubahlah menjadi seperti ini... seiring semakin banyaknya orangorang yang pindah ke mari."
"Mengapa orangtuanya meninggal?"
"Bapak tidak tahu persis, sebab waktu itu kita
belumlah pindah ke sini. Ketika itu kita masih di Pulau Bidadari. Cuma, kata orangorang, suamiistri itu dibunuh bajak laut yang datang ke sini. Seroja yang kala itu masih anak-anak, tidak ikut dibunuh."
"Dikubur di mana?"
"Tidak dikubur Cuma dibuang saja mayatnya ke tengah laut,"
Basyah Purwa terdiam karena merasa kehabisan pertanyaan untuk diajukan. Tapi dia masih terus memikirkannya. Betapapun, peristiwa meninggalnya Suto secara misterius dan beberapa orang terdahulu adalah sebuah masalah yang mesti dipikirkan bersama oleh semua penduduk desa. ltu masalah yang harus dipecahkan. Pembunuhan secara tak wajar itu mesti dihentikan. Masalahnya harus terungkap, sehingga penduduk desa menjadi bisa hidup aman dan tenteram. Bagaimana orang-orang bisa menangkap ikan di tengah lautan dengan tenang kalau makhluk yang telah memakan korban Sebanyak 9 orang itu masih saja berkeliaran"
"Apakah masalah ini sudah pernah dilaporkan kepada polisi, Bapak?" tanya Basyah Puma setelah sempat mereka agak lama sama-sama terdiam.
sudah dulu, setiap ada korban, selalu Bapak laporkan ke polisi di Pulau Panggang. Polisi sudah sempat melakukan pemeriksaan. Tapi hasilnya tak ada," jawab Pak Ali tanpa capek bercerita pada putra tunggalnya itu. "Setelah itu. Bapak tak pernah lagi melaporkannya. Soalnya dilaporkan pun polisi sudah tak mau datang. Mereka juga menganggap kasus itu sebagai kasus misterius."
"Tapi kalau polisi itu jeli, seharusnya bekas gigitan di leher para korban bisa diidentikkan dengan bentuk gigi Seroja. Dari situ akan ketahuan" Apakah memang Seroja yang menggiginya atau bukan, sehingga penduduk tidak terus-menerus mencurigainya. .. . "
"Sudah. Itu sudah dilakukan."
"Hasilnya?" "Tidak identik. Hasil pemeriksaan di laborator rium menunjukkan bahwa yang menggigit itu bukan gigi Seroja."
"Kalau sudah begitu. mengapa orang-orang masih terus menuduhnya?"
"Justru di situ salahnya! Makanya Bapak berani membentak mereka tadi...."
Bapak-anak itu sesaat sama-sama terdiam untuk memikirkannya. Tapi kemudian Pak Ali
yang mendahului bicara. "Mungkin karena para nelayan masih melihat perempuan cantik yang mirip bidadari itu punya wajah yang rada mirip dengan Seroja, juga dengan suaranya, maka orang-orang menjadi tak percaya pada hasil penelitian di laboratorium itu. "katanya sembari meraih gelas kopinya kembali.
Basyah Purwa manggut-manggut karena juga bisa memahami.
*** TIGA BASYAH PURWA baru saja berjalan-jalan mengelilingi Desa Nyiur Melambai. Desanya para nelayan itu dianggapnya sangat memprihatinkan. Banyak yang mendesak untuk segera dibenahi. Satu-satunya sumber air bersih yang terdapat di tengah pulau harus dirawat baik. Lingkungan harus lebih terawat sehingga tak memberi kesempatan bagi bakteri penyakit untuk berkembang biak. Perlu dibentuk koperasi ikan. sehingga para nelayan tidak seterusnya bergantung pada tengkulak. Tapi yang dianggapnya paling mendesak adalah pembentukan lembaga pendidikan untuk anak-anak usia sekolah. Ternyata di Pulau Siluman yang terpencil itu belum ada sekarang, sehingga semua anak-anak pada buta huruf.
"Apa rencanamu selanjutnya, Basyah" Kau 'kan sudah tamat Sekolah Guru Agama" tanya Mak Aisah saat siang itu bersama Basyah Purwa duduk-duduk di bale-bale kayu yang terdapat di
serambi rumah mereka. "Tadinya saya bermaksud hendak segera kembali ke Cirebon, Emmak," jawab Basyah Purwa menanggapi. "Soalnya sudah ada sekolah yang bersedia menerimaku untuk mengajar di sana. Tapi lama-lama aku semakin tertarik dengan pulau ini."
"Apa yang menarik di pulau semacam ini" Mendinglah kau kembali ke Cirebon dan mengajar di sana."
"Aku kasihan melihat anak-anak yang ada di sini, Emmak. Mereka tidak sekolah."
"ltu salah orangtua-orangtua mereka. Dulu Bapakmu sudah menyarankan untuk membangun sekolah barang dua kelas. sehingga anakanak di sini bisa belajar untuk sekedar bisa baca dan tulis. Tapi mana ditanggapi oleh mereka?"
"Bukannya tak ditanggapi. Emmak. Orangtua-orangtua di sini mengangap anggaran pembangunan gedung sekolah yang diajukan Bapak terlalu besar, sehingga mereka tak mampu membayarnya. "
"Lantas kalau kau" Apa yang hendak kau lakukan?" Mak Aisah menatap wajah putra tunggalnya itu.
"Untuk sementara saya tidak akan memikir
kan membangun gedung sekolah.Saya akan jadikan langgar untuk tempat belajar mereka. Kalau untuk tujuan baik, tentu tidak ada salahnya. Lama-lama baru dipikirkan untuk membangunnya."
Mak Aisah merasa niat putranya cukup baik dan patut dipuja. Tapi dia sangat tidak yakin hal itu akan terjadi. Dia mengerti bahwa orangtua orangtua di perkampungan nelayan ini tidak terlalu berminat untuk menyekolahkan anak masing masing.
Bersamaan dengan itu, muncul seorang gadis bertubuh kurus ceking, berambut panjang, tanpa alas kaki, dan berpakaian sangat sederhana. Agak malu-malu gadis remaja berusia sekitar tujuh belas tahunan itu mendekati Mak Aisah dan Basyah Purwa. Tapi Mak Aisah sudah langsung dapat menduga maksud kedatangan gadis yang sakit ingatan itu.
"Kau Seroja..."!" ujar Mak Aisah menegur.
Gadis remaja itu melihat ke arah Basyah Purwa dengan bola matanya yang bundar, lalu tertunduk malu-malu. Tampaknya dia baru kali ini melihat Basyah Purwa.
"Kau mau makan...?" tanya Mak Aisah .
Seroja tidak menjawab. Malah dia alihkan ke arah lain. pandangannya
Namun Mak Aisah sudah sangat mengerti gadis remaja yang sangat malang itu, sehingga ia segera masuk ke dapur untuk mengambilkan makanan. Cuma sepiring nasi, sayur bayam rebus, serta sepotong ikan asin.
"Nih!" kata Mak Aisah begitu kembali ke serambi rumah
Gadis remaja yang bernama Seroja itu segera mendekat dan menerimanya. Setelah itu dia pergi dengan membawa makanan itu. Tanpa berterima kasih terlebih dahulu.
"Begitulah dia terus-menerus," kata Mak Aisah kemudian. "Kalau dia lapar, dia minta nasi pada orangorang."
"Apakah dia Seroja yang hendak diserang orang beberapa hari yang lalu?" tanya Basyah Purwa menjadi sangat tertarik.
"Ya." "Oh, sungguh kasihan gadis itu! Apakah dia sudah sakit ingatan sejak dulu?"
"Katanya sih tidak"! Dia baru begitu setelah kedua orang tuanya meninggal. Begitu "ialah dia sehari-harinya... cuma duduk-duduk dan keluyuran."
Apakan dia bisa diajak bicara?"
"Tidak. Dia ngomongnya selalu ngawur. Kita tanya begitu, nanti dia akan jawab begitu."
"Tak bisa diarahkan atau disuruh" Misalnya untuk mencuci piring atau sekedar menyapu rumah?"
"Tidak. Dia tidak mengerti itu. Rumahnya saja harus orang lain yang membersihkannya. Sama Sekali tak ada yang bisa diharapkan darinya."
Basyah Purwa berpikir sambil mengingat sosok tubuh gadis kerdil dan ceking tadi. Sungguh iba hatinya. Tapi apa yang bisa dilakukannya untuk menolong"
"Apakah Seroja suka mengganggu orang?" tanyanya lagi karena terus penasaran.
"Tidak. Dia justru takut sama orang lain. sekalipun cuma sama anak kecil. Sebab itu dia suka diledekin oleh anak-anak sini."
"Dia tidak punya sikap yang aneh lainnya?"
"Tidak. Sehari-hari dia cuma begitu... diam menyendiri, jarang sekali bicara."
Basyah Purwa kembali terdiam, tapi terus memikirkan gadis yang sangat malang itu,
KARENA semua korban pembunuhan misterius adalah penduduk yang berasal dari Pulau Cendana, tentu menjadi sangat menarik untuk dipikirkan dan diusut. Padahal di Pulau Siluman hanya sekitar sepertiga yang berasal dari Pulau Cendana. Selebihnya dari Pulau Bidadari, Pulau Panggang, dan ada pula yang berasal dari Pulau Jawa. Lebih aneh lagi karena yang menjadi korban adalah lelaki. Tidak ada perempuan yang menjadi korban.
Berpikir untuk berbuat yang terbaik untuk desanya, suatu siang Basyah Purwa pergi ke Pulau Cendana. Pulau itu tidak terlalu asing baginya, sebab sebelumnya dia sudah sering ke sana. Jarak Pulau Bidadari dan Pulau Cendana sangat dekat, sehingga ketika orangtuanya dulu masih tinggal di Pulau Bidadari, ia sering ke sana untuk bermain-main bersama teman-teman sebayanya. Kepada beberapa orangtua yang sedang nongkrong di sebuah warung kopi, pembicaraan tentang korban-korban misterius itupun dimulainya untuk memancing minat orang yang ada di sana.
' "Apa Bapak-bapak tidak ada melihat seorang lelaki tua, jalannya sudah bungkuk, pakai tongkat,
rambut dan jengg-tnya sudah PUtih dan panjang. datang ke Pulau ini?" Basyah Purwa memancing
. Semua orang yang ada di warung kopi pada melihat ke arahnya.
"Kami tidak melihat orang seperti itu memasuki pulau ini?" Lelaki tua yang duduk di sudut warung menjawab sambil menarik cangklongnya dari mulutnya. "Memang Siapa itu?" tanyanya pula.
"Dia seorang dukun berhati mulya. Kami sengaja memanggilnya dari Cirebon untuk membantu kami di Pulau Siluman," jawab Basyah Purwa. "Siapa tahu dia kesasar ke pulau ini" Soalnya dia belum pernah ke sini," tambahnya.
"O, Adik dari Pulau Siluman?" tanya pemilik warung yang juga sudah cukup tua.
"Ya. Saya putranya Pak Kepala Desa di sana. Karena pembunuhan-pembunuhan misterius terus berlangsung di sana, saya disuruh oleh Bapak saya untuk mencari dukun ke Cirebon. Siapa tahu bisa mengungkap dan menghentikan pembunuhan-pembunuhan selanjutnya."
"lantas dukunnya sudah ada?" Kembali lelaki tua yang duduk di pojok bertanya.
. "Sudah, Pak! Menurut janjinya, kemarin dia tiba di Pulau Siluman. Tapi setelah kami tunggu;__
tunggu. ternyata dia belum juga tiba. Siapa tahu beliau kesasar ke sini. sehingga aku datang untuk mencari.
'Tidak ada"!" kata pemilik warung menandaskan.
Sesaat semua sama-sama terdiam. Basyah Purwa pun pura-pura meneguk kopi manisnya sambil berpikir-pikir Apa yang dikemukakannya adalah kebohongan. Tujuannya cuma memancing perhatian orang-orang yang ada di sana.
"Menurut saya." Tiba-tiba lelaki setengah baya yang duduk di dekat pintu berujar. "dukun atau orang pintar dari manapun tidak akan berhasil menghentikan pembunuhan-pembunuhan itu. ltu sudah menjadi kutukan dari Ki Karim dan istrinya Mimit Rako'ah," katanya.
Basyah Purwa tertarik sekali mendengar nama Ki Karim dan Mimit Rako'ah. Dua nama yang sebelumnya tidak pernah didengarnya.
"Memang kenapa. Pak?" tanyanya sembari menatap ke arah lelaki itu.
"Dulu. Ki Karim dan istrinya mengajak orangorang muda dari Pulau Cendana ini agar pindah ke Pulau Siluman. Soalnya Pulau ini sudah semakin penuh sesak. Tapi waktu itu tak ada yang mau. Jadinya cuma Ki Karim dan istrinya,
Mimit Rako' ah, serta putri mereka yang masih kecil yang pindah ke sana. Mereka lalu berkebun di sana dan berhasil dengan baik. Setelah mereka berhasil, orang-orang muda yang diajaknya dulu baru berdatangan ke sana. Kebun milik keluarga itu mereka rampok untuk dijadikan desa. Dan bahkan kemudian, Ki Karim dan istrinya meninggal terbunuh," masih lelaki jangkung yang duduk di dekat pintu itu bercerita panjang-lebar.
"Siapa yang membunuh mereka, Pak?" Basyah Purwa semakin penasaran.
"Tidak ada yang tahu. Katanya sih dibunuh sama bajak laut"!"
Anak muda berambut gondrong berwajah teduh itu manggut manggut. Ia merasa apa yang didengarnya sangatlah berharga sebagai informasi yang perlu diusut lebih jauh.
"Memangnya, kenapa dulu Ki Karim dan keluarganya pindah ke Pulau Siluman?" tanyanya lebih jauh.
Sengatan Birahi Karya Dian Purba di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia itu seorang guru yang baik dan penuh pengabdian. Dia ingin agar pulau itu tidak dibiarkan sia-sia, sementara anak-anak muda di Pulau Cendana ini sudah banyak yang tidak punya pekerjaan. Untuk memancing minat orang-orang muda dari pulau ini, dia lantas mendahului pindah
ke sana." masih si lelaki jangkung berusia setengah baya yang menjawab.
Basyah Purwa kembali manggut-manggut, berusaha memahami. Dia pun mulai berpikir, betulkah pembunuhan pembunuhan misterius itu sebagai kutukan sebagaimana diduga oleh lelaki berusia setengah baya itu" Lantas, mengapa Ki Kan'm dan Mimit Rako'ah yang mengutuknya" Apakah lelaki jangkung yang duduk di dekat pintu itu telah menduga kalau yang membunuh pasangan suami-istri itu bukanlah para bajak laut, tapi orang-orang yang datang ke sana merebut tanah kebun Ki Karim dan keluarganya"
Menjadi timbul minat Basyah Purwa untuk menyelidiki soal itu terlebih dahulu. la menjadi ingin tahu.... Siapa sesungguhnya yang telah membunuh orangtuanya Seroja" Mengapa sampai dibunuh7 Dan, dimana dikuburkan"
*** EMPAT SULIT sekali Basyah Purwa memejamkan matanya. Ia tak juga dapat tidur. Padahal malam sudah sangat jauh. Pikirannya masih saja pada infomasi baru yang didapatnya tadi siang di Pulau Cendana.
Karena ada dugaan bahwa yang membunuh Ki Karim dan istrinya, Mimit Rako'ah. adalah orang-orang muda yang berasal dari Pulau Cendana, maka Basyah Purwa menjadi perlu lebih hati-hati untuk melakukan penyelidikan berikutnya. Ia tak boleh membocorkan niatnya pada orang lain, selain kepada kedua orangtuanya. Kalau dugaan itu betul. tentu orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan itu akan sangat tak suka penyelidikan itu dilakukan" Mereka pasti marah. Betapapun maksudnya adalah baik, tapi dia perlu juga mempertimbangkan keselamatan jiwanya dan kedua orangtuanya.
Masih dalam suasana uring uringan karena tak juga dapat tidur, mendadak terdengar lagi suara lolongan anjing yang sangat memilukan dan menggetarkan perasaan.
"Aauuu... aangng...!"
Basyah Purwa tersentak. Spontan ia duduk di atas kasur lusuh tempat tidurnya. Buru-buru dia nyalakan lampu minyak yang tadi sempat dimatikannya. Lampu itu lalu didekatkannya ke arah kalender. Dia baru sadar kalau malam ini adalah malam Jum'at Kliwon yang kelima. Seperti kata ayahnya, biasanya pada malam Jum'at Kliwonlah suara lolongan anjing itu akan terdengar. Memang tak selalu. Tapi korban jiwa selalu didahului adanya lolongan anjing seperti itu.
Karena lolongan anjing masih terus terdengar, cepat-cepat Basyah Purwa meloncat dari jendela kamarnya ke luar. Dia meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan orangtuanya. Dengan mengucapkan sebaris kalimat syahadat, ia lantas berlari mencari asal suara lolongan anjing. Ia percaya, dengan maksud baiknya dia akan selamat. Dia tak ingin lagi ada korban jiwa dari desanya, sehingga ia berusaha untuk mencegahnya.
Malam itu langit sangat cerah. Bulan bersinar,
menerangi bumi. Walau sunyi, mencekam, dan terasa mengerikan, tapi Basyah Purwa terus berlari ke arah datangnya suara lolongan anjing. Ternyata dari pantai bagian Utara Pulau Siluman. Dia memperlambat langkahnya setelah merasa sudah dekat. Dia berlari dari satu pohon kelapa ke pohon kelapa yang lain. Terus mendekat dan mencari sumber suara lolongan. Dan, hatinya menjadi tergetar karena suara itu ternyata berasal dari atas pohon kelapa. Sungguh aneh, pikirnya. Dia semakin yakin bahwa suara lolongan itu bukanlah suara lolongan anjing atau srigala benaran. Mungkin anjing atau srigala jadi jadian" Kalau itu anjing atau srigala betulan, tentu tidak akan di atas kelapa. Anjing maupun srigala tidak bisa memanjat. Begitu Basyah Purwa tiba di pangkal pohon kelapa sumber suara lolongan, mendadak tak terdengar lagi. Hening sesaat. Tapi tak lama kemudian sudah terdengar lagi dari pohon lain. Dan ketika anak muda berambut gondrong itu mendekati lagi pohon kelapa sumber suara yang baru, kembali suara sesaat terhenti, lalu kemudian terdengar lagi dari pohon yang lain. Begitu sempat beberapa kali sebelum akhirnya Basyah Purwa keletihan sendiri. Dari suatu tempat, ia
melihat ke atas Tapi tidak melihat apa apa. Dia tak melihat ada makhluk apa-apa di sana. Tapi karena suara lolongan masih terdengar dari sana, dia percaya bahwa di situ sedang ada makhluk halus sedang bertengger.
Di saat Basyah Purwa sedang berpikir untuk melakukan suatu tindakan, mendadak suara lolongan itu berhenti. Dari atas pohon kelapa yang tinggi itu, tampak turun dua titik sinar putih yang sangat terang. Semakin lama semakin ke bawah. Hati Basyah Purwa menjadi dagdigdug. Lebih cemas lagi karena kedua titik sinar mengarah kepadanya.
Setelah terus memperhatikan dan dapat melihat dengan jelas, ternyata di bawah titik sinar itu terdapat kerangka tulang manusia yang bergerak-gerak. Tulang tulang itu masih sempurna, hanya sudah tak punya daging dan darah. Keduaduanya langsung gentayangan di atas Basyah Purwa.
Karena kerangka tulang-belulang itu tidak menyerangnya, Basyah Purwa berdiam diri di suatu tempat. Hanya sepasang matanya yang terus mengawasi. Untuk mematikan rasa takutnya, ia pegang batang kelapa yang ada di dekatnya. Berkali-kali pula ia menyebut nama 'Allah' untuk memperkuat keberaniannya.
Setelah beberapa saat kedua kerangka tulangbelulang manusia itu terbang melayang-layang di atasnya, tiba-tiba salah satunya melesat ke arah laut lepas dan hilang secara mendadak. Tapi salah satunya masih terus melayang layang di atasnya. Bahkan kemudian terdengar suara tawa perempuan yang sangat mengerikan.
"Hihihihihi. . . . Hihihihihihi. . . . "
Jelas suara itu berasal dari tulang-belulang yang sedang melayang. Bergidik bulu kuduk Basyah Purwa. Apalagi bersamaan dengan itu terciumlah bau busuk yang sangat menggoncang perut. Mirip bau daging manusia yang sudah busuk. Mual perut Basyah Purwa jadinya. Beberapa kali dia hendak muntuh, tapi tak jadi. Karena tak tahan, ia mencoba bergerak meninggalkan tempat itu. Namun baru beberapa langkah kakinya menjauh, bau busuk itu berubah menjadi bau menyan yang juga menusuk hidung. Basyah Purwa sampai berbatuk-batuk dibuatnya.
"Hihihihihi.... Hihihihihi.?"
Rangka tulang-belulang manusia itu terus tertawa dengan suara memecah keheningan malam. Tapi tak lama kemudian tiba-tiba terjatuh! ke atas tanah berpasir, lalu lenyap seketika. Seiring dengan itu, bau menyan pun lenyap. Semuanya menjadi hilang tak berbekas.
Basyah Purwa terperangah. Sempat lama dia tak bisa bergerak dari tempatnya karena terus memperhatikan ke Sekitarnya. Tapi setelah betulbetul yakin semuanya telah biasa, baru dia berbalik dan" melangkah hendak pulang.
Namun saat langkahnya mendekati desa, tibatiba dia dikejutkan oleh satu sosok bayangan hitam meloncat ke balik sebatang pohon kelapa.
"Siapa itu?" tanyanya setengah berseru.
Rupanya orang yang bersembunyi di balik pohon kelapa itu mengenal suara Basyah Purwa sehingga ia segera keluar dari persembunyiannya.
"Saya dik Basyah...!"
"Kau Bang Eyot?"
"Iya!" Basyah Purwa lalu mendekat. "Mengapa bang Eyot ada di sini?" tanyanya.
"Saya mengawasi Seroja, Dik!" jawab Eyot.
"Mengapa diawasi?"
"Begitu tadi mendengar suara lolongan anjing itu, aku segera ke luar untuk mengawasinya. Pikirku, siapa tahu dia akan ke luar mencari
korban lagi?" "Kenyataannya?"
"Tidak. Dik Basyah! Dia tidak ada keluar,"
jawab Eyot tersipu-sipu. "sekarang saya percaya kalau yang membunuh teman-teman bukanlah Seroja."
Basyah Purwa menjadi tersenyum.
"Dik Basyah sendiri dari mana?" sambung Eyot bertanya.
"Saya justru mencari asal suara lolongan anjing tadi," jawab Basyah Purwa.
"Ketemu, Dik?" Basyah Purwa menganggap belum baik memberitahukan apa yang barusan disaksikannya. sehingga ia menggelengkan kepalanya.
"Aneh sekali," katanya. "Karena saya dengar suara itu datang dari Utara, lantas saya ke sana. Tapi begitu aku tiba di sana, ternyata suara itu datang dari Barat. Ketika aku datangi lagi ke arah Barat, suara itu sudah berasal dari arah Timur. "
"Kalau begitu benar suara anjing jadi-jadian 'kan Dik Basyah?" Eyot minta ketegasan.
Anak muda putra pak kepala desa itu menggelengkan kepalanya, lalu menjawab : "Saya belum bisa memastikannya!"
Eyot menjadi kembali penasaran.
*** BESOK harinya, Basyah Purwa bangun agak kesiangan. Tentu karena semalam dia lama sekali baru tidur. Begitu terbangun, ia langsung mencari tahu kalau-kalau masih ada korban baru yang meninggal.
"Semalam saya mendengar lagi suara lolongan anjing itu. Apa ada lagi korban baru, Mak?" ujarnya bertanya karena cuma ibunyalah yang ditemukannya ada di rumah.
"Tidak ada," jawab Mak Aisah menanggapi. "Hingga jam segini, belum ada penduduk yang melapor kehilangan anggota keluarganya."
"Bapak ada di mana sekarang?"
"Di penimbangan ikan."
Hati Basyah Purwa menjadi lega mendengarnya. Dia tak berminat menceritakan apa yang dilakukannya semalam saat lolongan anjing itu terdengar. la khawatir ibunya akan marah. Dan, dia pun sudah berkeputusan untuk tidak akan menceritakannya kepada ayahnya. Yang penting, sudah tak ada lagi korban meninggal.la senang mendengar semua nelayan yang berlayar semalam telah kembali pagi ini ke rumah masing masing.
"Emmak, bagaimana kalau aku kembali dulu ke Cirebon barang sehari dua hari?" ujarnya
bertanya. minta izin. "Untuk apa lagi kau ke sana?" tanya Mak Aisah.
"Aku 'kan masih punya barang-barang di sana, yang kutitipkan di rumah salah seorang teman. Padahal barang-barang itu sangat kuperlukan di sini, terutama buku-buku saya yang masih banyak."
"Minta izinlah pada Bapakmu !" kata perempuan berusia menjelang lima puluh tahun itu. "Kapan rencanamu akan ke sana?" tanyanya pula.
"Kalau Emmak dan Bapak setuju, besok pagi, sehingga lusa aku sudah bisa kembali lagi ke sini," jawab Basyah Purwa menceritakan rencananya.
Mak Aisah diam dan terus sibuk dengan pekerjaannya menggaram ikan untuk diasin. Ikan itu nantinya akan dijual ke touke yang sudah sangat dipercaya oleh suaminya. Keluarga ini tidak pernah menjual ikan pada tengkulak yang seenaknya menciptakan harga dasar ikan.
*** SUASANA di dalam kamar berdinding bilik bambu itu terasa mencekam. Sinar yang terbit dari sebatang lilin yang dipasang di atas piring porselin seolah-olah tak sanggup menerangi ruangan kamar yang cuma berukuran 3X2 meter persegi.
Si kakek tua duduk bersila di atas selembar tikar yang sudah buruk. Dia sepenuhnya melihat pada asap dupa yang terus mengepulkan asap tebal dan bau yang tajam di dasar hidung. Konsentrasi pikirannya penuh dan terpusat. Mulutnya komat-kamit mengucapkan bahasa yang sulit dimengerti oleh orang lain. Sementara di hadapannya lagi, duduk seorang pemuda berambut gondrong dan bertubuh kekar. Pemuda itu pun bersila dalam posisi diam. Dia menunggu hasil penglihatan jarak jauh dari si kakek tua
yang sedang bermantra-mantra.
Siapa yang tidak mengenal Kakek Silun dari Desa Weru Kulon di punggung Gunung Cennay, Cirebon" Dia seorang dukun kesohor yang penuh pengabdian. Orangtua berusia enam puluh tahun lebih itu pun masih gesit mengajarkan ilmu silat beraliran putih kepada generasi yang lebih muda.
Basyah Purwa adalah seorang muridnya yang sudah dinyatakan lulus. Sambil sekolah di kota Cirebon. Basyah Purwa dengan rajin berguru silat kepada Kakek Silun pada sore hingga malam harinya. Sekarang dia kembali mendatangi gurunya itu dengan keperluan yang lain.
Setelah selesai dengan pemusatan pikiran dan mengucapkan kalimat jampi-jampinya, Kakek Silun menegakkan kepalanya sembari menghela nafas panjangnya. Keringat di leher dan wajahnya dihapusnya dengan' ujung kain sarung yang sedang dikenakannya. Dupa yang terus mengepulkan asap segera dipadamkan, lalu mengajak Basyah Purwa ke luar.
"Mari kita bicara di depan!" ajaknya sambil bangkit berdiri.
Basyah Purwa pun bangkit dan mendahului menuju bale-bale kayu yang terdapat di depan rumah bilik bambu di tengah persawahan yang sangat luas itu. Lilin kecil yang dibawanya dari kamar dia letakkan di tengah bale-bale.
"Apakah Kakek telah melihat sesuatu di Pulau Siluman?" ujarnya mendahului bicara karena ingin cepat cepat mendapat penjelasan.
"Ya," jawab Kakek Silun sambil menyalakan tembakau di dalam pipa cangklongnya.
"Bagaimana, Kakek?" Basyah Purwa semakin tak sabaran.
"Bila tak segera dicegah, dalam waktu dekat ini, akan lebih banyak korban berjatuhan di sana!"
"Maksud Kakek?"
"Apa yang terjadi di sana adalah tindakan balas dendam. Dendam dari arwah yang gentayangan terhadap manusia-manusia yang serakah."
"Arwah siapa yang mendendam, Kakek" Dan siapa-siapa saja yang akan menjadi korbannya?"
"Mungkin kau sudah mengetahuinya. Yang mendendam adalah orang ' pertama yang membuka pulau itu."
"Ki Karim, Kakek?"
"Bukan, tapi istrinya."
"Mimit Rako'ah?"
"Ya. Itu orangnya!"
O, kalau begitu tepat dugaan seorang lelaki yang pernah bicara denganku di Pulau Cendana, gumam Basyah Purwa dalam hatinya.
"Lantas yang akan menjadi korbannya, Kakek?" tanyanya lagi.
"Banyak dan masih banyak! Saya tidak bisa menyebutkannya satu-persatu. Aku hanya melihat banyak?"
"Apakah dendamnya bisa dicegah, Kakek?"
"Harus dicegah!"
"Caranya, Kakek?"
"Usahakan untuk menemukan tulang-belulang pasangan suami istri itu. lalu kubur dengan baikbaik. Di samping itu, semua orang di kampung itu harus ikut bertanggung-jawab atas diri putri mereka yang bernama Seroja."
"Di mana kami bisa menemukan tulang-belulang suami-istri itu. Kakek?"
"Saya tidak tahu. Saya cuma tahu.... Begitulah cara menangkal jatuhnya korban berikutnya!"
Kalau begitu masih akan sulit sekali; Basyah Purwa membatin. .
"Mengapa sampai arwah Mimit Rako'ah sampai membalas dendam, Kakek" Apa sesungguhnya yang telah dilakukan oleh orangorang di Pulau Siluman sehingga mereka menjadi sasar
annya?" tanyanya melanjutkan.
"Usutlah pelan pelan, nanti kau akan mengetahui sendiri!" jawab dukun yang sudah menduda itu. "Jarak dari Cirebon ini ke Pulau Siluman sudah sangat jauh, sehingga pikiranku sudah sulit menjangkau ke sana. Aku hanya melihat yang penting-pentingnya saja tadi."
Basyah Purwa sejenak terdiam untuk memikirkan pertanyaan berikutnya. Tapi dia belum sempat bertanya lagi, Kakek Silun sudah berkata lagi :
"Dan perlu kau ketahui, korban berikutnya bukan cuma laki-laki orang dewasa lagi, tapi semua bisa menjadi korbannya. Laki-laki atau perempuan, kecil atau yang sudah besar. semua bisa menjadi korbannya."
"Juga yang berasal dari pulau lain selain Pulau Cendana. Kakek?"
"Ya!" "Mengapa, Kakek?"
"Itu tak perlu kau tanyakan! Yang penting, segeralah kembali ke sana. Lakukanlah sesuatu! "
Basyah Purwa menjadi terdiam. Masih banyak sesungguhnya yang hendak ditanyakannya. tapi karena Kakek Silun sudah seperti kelelahan ia menjadi enggan untuk bertanya lagi. Sementara
tantangan yang akan dihadapinya justru dirasakannya jauh semakin berat dan sulit. Bahkan ia belum tahu apa yang harus terlebih dahulu dilakukannya nanti di Pulau Siluman.
SETIBANYA kembali di Pulau Siluman, Basyah Purwa sangat terkejut mendengar khabar yang sama sekali di luar dugaannya. Bapaknya memberitahu kalau semalam Eyot tertangkap basah memperkosa Seroja.
"Patut disayangkan tindakan Eyot itu," kata Pak Ali dengan menyesal.
Ha'ti Basyah Purwa justru menjadi berkobarkobar marah mendengarnya.
"Sempat Eyot memperkosanya. Bapak?" tanyanya sembari menggeregetkan giginya.
"Ya, sempat!" "Lantas diapakan dia?"
Pak Ali menggelengkan kepalanya. "Tadinya Bapak bermaksud membawanya ke Pulau Panggang untuk diserahkan kepada yang berwajib. Tapi para warga melarangnya. Mau tak mau Bapak harus turut pada keinginan mereka," katanya.
"Mengapa orang-orang pada melarangnya?"
"Begitulah orang orang di kampung ini. Biar Eyot sudah jelas jelas berbuat salah, tapi rupanya Eyot masih lebih berguna bagi mereka ketimbang Seroja. gadis malang yang sangat menderita itu."
Mendidih darah Basyah Purwa dibuatnya. Ia merasa tak bisa menerima ketidak adilan itu. Orang-orang kampung dianggapnya sudah keterlaluan. Pilih kasih. Tapi yang dianggapnya paling kurang ajar adalah Eyot, karena dengan tega-teganya memperkosa seorang gadis berpenyakit jiwa. Basyah Purwa merasa perbuatan Eyot sungguh menjijikkan.
"Sebagai kepala desa di sini, seharusnya Bapak bisa sedikit memaksakan sesuatu yang lebih adil kepada penduduk di sini," katanya rada menyesalkan ayahnya yang terlalu lembek terhadap para warga. "Bapak tidak mesti terus menerus mengikuti kehendak rakyat sepenuhnya, asal Bapak yakin bahwa yang Bapak lakukan adalah yang terbaik untuk mereka. Soalnya. mereka kadang-kadang tidak mengerti mana yang adil dan mana yang tidak."
Pak Ali tersenyum renyah. "Mereka adalah orang-orang yang sudah terlebih dahulu menem
pati Pulau Siluman ini .Jadi sangat sulit bagi Bapak untuk menerapkan kehendak Bapak. sekalipun kadang kadang yang hendak Bapak lakukan adalah yang terbaik. Mereka sepakat memilih Bapak untuk menjadi kepala desa karet na mereka berharap Bapak bisa berbuat sesuai dengan keinginan mereka. Tadi sebelum melepaskan Eyot sempat dilakukan penghitungan suara, berapa yang setuju dan berapa yang tidak bila Eyot dibawa ke Pulau Panggang untuk diserahkan kepada yang berwajib. Temyata hanya empat orang yang setuju, selebihnya menghendaki Eyot tetap bebas di sini, sebab menurut mereka Eyot suka menolong."
Basyah Purwa menjadi pusing sendiri dibuatnya.
"Lantas bagaimana dengan keadaan Seroja sekarang?" tanyanya mengalihkan
"Dia masih dirawat oleh beberapa orang ibuibu yang merasa kasihan melihatnya."
"Di mana?" "Di rumahnya." "Apakah Emmak ada di sana?"
"Ya." "Memang sampai bagaimana keadaannya?"
"CUkUP memprihatinkan. Seroja sempat tak
sadarkan diri. Sepertinya, Eyot telah mengkasarinya terlebih dahulu sebelum memperkosanya. Pelipisnya ada yang sampai robek hingga mengeluarkan darah. Juga ada bekas memar akibat pukulan di pipi kirinya. Barangkali Eyot menamparnya?"
"Biadab betul itu si Eyot!" Basyah Purwa menggeram sambil menggeregetkan giginya kembali.
Pak Ali diam sambil meraih tembakaunya yang terletak di samping kirinya.
Basyah Purwa kemudian bangkit berdiri. "Aku akan melihat keadaan Seroja dulu sebentar, Pak!" katanya berpamit, lalu pergi.
Akan tetapi anak muda bertubuh kekar itu tidak betul pergi untuk melihat keadaan Seroja. Cukup mendengar laporan dari ayahnya, ia sudah merasa punya hak untuk memberi hajaran bagi Eyot. pria yang sudah beberapa tahun di atas usianya. Tapi hingga kini Eyot masih tetap membujang. Karena itu dia mencari Eyot ke pantai. Di samping sebuah perahu yang sedang tertambat, ia melihat Eyot sedang memperbaiki jaring'jala yang rusak. Eyot ditemani beberapa orang pemuda desa di sana. Mereka bercanda dan tertawa seolah-olah sedang tak terjadi
sesuatu. Menjadi bertambah marah Basyah Purwa melihatnya.
"Hei, Eyot! Aku mau bicara denganmu!" ujarnya setengah berteriak sambil terus berjalan mendekat:
Eyot dan teman temannya, pada melihat ke arah Basyah Purwa. Mereka menjadi mengerutkan alis masing-masing begitu melihat sikap putra pak kepala desa itu
"Ada apa dik Basyah?" tanya Eyot sambil berdiri tegak.
"Apa yang kau lakukan terhadap Seroja?" Basyah Purwa balik bertanya.
"Ah', itu..."!" Eyot tertawa. "Soal itu sudah beres tadi pagi. Bapak kamu sendiri yang membereskannya. Ya, "kan...?" Dia minta penegasan dari teman-temannya.
"lya!" serentak teman-temannya menjawab.
"Tapi perbuatanmu akan menambah banyaknya jatuh korban jiwa dari desa ini!" teriak Basyah Purwa.
"Maksudmu?" "Akibat perbuatanmu, desa ini akan menjadi celaka. Karena itu, lebih baiklah kau kuhabisi sekarang!" Selesai berkata begitu, Basyah Purwa langsung mengayunkan tinjunya persis ke ra
hang Eyot. Karena kuatnya buah tinju itu, Eyot sampai terpental sejauh beberapa langkah ke belakang sebelum akhirnya terjerembab di atas pasir pantai. Tapi Basyah Purwa belum puas, sehingga ia meloncat ke depan sekalian menendang dada lawannya. Bahkan disusulnya dengan tendangan-tendangan berirama, baik ke muka, ke perut, atau ke buah pelir Eyot.
Hanya dalam waktu singkat, Eyot sudah babak belur dan tak berdaya. la terjerembab di atas pasir dengan muka babak belur, bibir retak. mulut berdarah, dan sekujur tubuhnya serasa remuk. Teman-temannya tak seorangpun yang berani mendekat untuk membantu. Mereka merasa ngeri, setelah melihat cara berkelahi Basyah Purwa yang lihai dan gesit.
Anak pak kepala desa itu mendekati Eyot lagi, lalu menarik leher bajunya. la sandarkan tubuh lelaki bertubuh kekar itu ke dinding sebuah perahu yang sedang diperbaiki. Ditatapnya dengan sorot mata yang tajam.
?"Seharusnya aku membunuhmu supaya lebih adil," katanya sembari menggeram. "Tadinya, kukira kau Seorang pahlawan yang mau memikirkan keadaan di desa ini. Tapi rupanya
kau sumber bencana". lalu ia dorongkan orang yang sudah tak berdaya itu hingga rubuh kembali.
Basyah Purwa masih ingat ketika suatu malam dia bertemu dengan Eyot di tepi desa. Saat itu lolongan anjing sedang terdengar berkumandang. Eyot mengaku mengawasi rumah Seroja, dengan maksud untuk membuktikan pendapat orang-orang di desa kalau gadis itulah yang membawa musibah di Pulau Siluman ini. Basyah Purwa sempat kagum pada perhatian Eyot. Dia mengira Eyot adalah seorang pemuda yang mau memikirkan desanya. Akan tetapi, rupanya, dari semenjak itupun sudah ada maksud Eyot untuk memperkosa Seroja, gadis yang sangat malang itu.
SETELAH selesai menghajar Eyot sebagai ungkapan rasa kesalnya, Basyah Purwa berjalan menelusuri pantai ke arah Utara. Pantai sebelah Utara sudah diketahui para penduduk merupakan wilayah yang berbahaya, karena ombak laut suka menerjang ke darat hingga puluhan meter. Karena itu tak sebuah rumahpun yang terdapat di sana. Sehari-harinya di sana hanya lengang. Jarang didatangi orang. Belum lagi tanah di sana cuma tanah pasir yang tidak dapat ditumbuhi apa-apa selain pohOn kelapa yang rapat. Tapi justru pemandangan alam sangat indah di sana. Dengan pasirnya yang putih, pantai utara itu menjadi tempat yang menyenangkan untuk sekedar rileks. Pemandangan lepas ke tengah samudra luas. Anginnya sejuk membelai wajah. Teduh di bawah lindungan daun-daun nyiur yang rajin melambai dan menari-nari.'
Basyah Purwa duduk mendursat di atas pasir putih. Punggungnya menyandar ke pangkal batang sebuah pohon kelapa yang besar. Ia hela nafas panjangnya sembari memandang ke samudra luas. Pandangannya lepas tanpa ada penghalang. Pulau Siluman sudah merupakan pulau yang paling Utara di gugusan Pulau Seribu. Ke'
Utaranya lagi sudah tak ada pulau sebatas yang dapat ditangkap mata.
Hebusan angin yang semilir membuat keringat di tubuhnya cepat kering. Rasa lelahnya setelah menghajar Eyot, dan berjalan kaki dari pantai Selatan, dengan cepat hilang dari tubuhnya. Tapi lama lama ia merasa lemas dan ngantuk. Beberapa kali ia menguap sebelum akhirnya merebahkan tubuhnya di atas pasir. la sediakan dirinya untuk tidur di bawah pohon kelapa yang teduh dan sejuk. Jacket hitamnya yang dia jadikan sebagai bantal untuk mengganjal kepalanya.
Namun sesaat setelah matanya terpejam. mendadak tubuhnya serasa diselimuti oleh udara yang sangat dingin. Tubuhnya bagaikan ditenggelamkan di danau es. Seiring dengan itu, tercium pula aroma wangi yang begitu segar di rongga hidung. Basyah Purwa tak tahu bau aroma wangi apa itu. Karena heran, ia segera membuka matanya kembali. Dia perhatikan ke sekitarnya. tapi tidak ada apa-apa.
"Basyah...! Basyah...!" Suara perempuan mendesah ke telinganya.
Semakin heran anak muda itu jadinya. Dia tak tahu suara siapa itu. Padahal di sekitarnya tak
ada orang. Lebih mengherankannya lagi karena tubuhnya semakin terasa beku. Sulit digerakkan, sehingga ia hanya tetap bisa berbaring di atas pasir putih.
"Basyah...! Basyah...!" Suara itu terdengar lagi.
"Siapa kau?" Basyah Purwa menanggapi
Tak ada jawaban. Anak muda itu sudah menunggu lebih lama, tapi tetap tak ada tanggapan. ltu membuatnya bertambah curiga. Siapa perempuan itu" Dia tak mengenal suara si perempuan tadi, tapi mengapa orang itu memanggil namanya" Apakah itu hantu, setan, atau roh halus" Tapi mungkinkah ada hantu di siang bolong begini"
Basyah Purwa mencoba lagi menggerakkan tubuhnya, tapi sudah sangat sulit. Sekujur tubuhnya serasa sudah beku. Sementara aroma wangi yang tiba di hidungnya membuatnya seolah-olah semakin lemah. la mabuk kepayang oleh tajamnya aroma wangi-wangian itu, sehingga membuat sepasang matanya serasa pedas dan ingin dipejamkan. Begitu kuatnya tuntutan rasa ngantuk itu, sehingga dia perpasrah diri. Ia kembali menyediakan dirinya untuk tidur kembali.
Tapi baru saja dia memejamkan matanya,"
kembali suara itu terdengar.
"Basyah. . .! Basyah.. .!"
"Siapa kau?" "Bukalah matamu dan kau akan melihatku!"
Kembali Basyah Purwa membuka matanya. Dan, ia menjadi terkejut karena di hadapannya telah berdiri seorang wanita cantik yang mirip bidadari. Wanita muda itu tersenyum manis ke arahnya.
"Siapa kau?" Kembali Basyah Purwa bertanya.
"Kau tidak usah takut. Aku datang untuk berterima kasih kepadamu."
"Berterima kasih karena apa..." Aku tak mengenalmu dan tidak melakukan sesuatu untukmu?"
Wanita cantik berkain warna jingga itu tersenyum lebih manis. Dia tak menjawab pertanyaan itu, tapi justru mengalihkan pembicaraan ke hal lain.
"Kami akan mengadakan pesta, maukah kau datang ke pesta itu?" tanyanya sekalian menawarkan.
"Aku tidak mengenalmu. Aku juga tak tahu di mana rumahmu. Bagaimana aku bisa datang ke sana?" jawab Basyah Purwa sambil terkekeh.
"Nanti akan tahu sendiri siapa aku. Berjanjilah untuk datang ke pesta itu!"
"Ya, aku akan datang! Beritahulah di mana kampungmu dan di mana rumahmu!"
Wanita cantik itu tersenyum manis, lalu lenyap secara tiba-tiba.
Basyah Purwa terhentak dan terkesima. Ketika dia gerakkan tubuhnya, ternyata sudah seperti biasa. Sudah tak beku lagi. Hawa dingin mendadak hilang dan begitupun dengan aroma wangi yang dari tadi merangsang hidungnya.
Cepatcepat ia duduk sembari memperhatikan ke sekitarnya. Tak ada orang. Tak ada wanita cantik yang mirip bidadari tadi. Dalam keadaan berkeringat, dengan nafas berat tersengal-sengal, ia kucek kucek matanya, lalu melihat lagi ke sekitarnya. Tetap yang dilihatnya cuma laut dan pantai. Tak ada orang. Tak ada pula bidadari cantik.
Apakah saya sedang bermimpi barusan" Basyah Purwa mulai ragu. Tapi sepengetahuannya dia tidak sempat tertidur tadi. Dia merasa yakin bahwa apa yang dilihatnya hanya bukanlah di dalam mimpi. Dia yakin bahwa mata aslinya telah melihat sesuatu, yakni melihat seorang wanita cantik yang mirip bidadari yang turun
dari kayangan. Sangat jelas bahwa wanita itu mengundangnya ke sebuah pesta yang aka diadakan.
*** KETIKA hal itu diceritakannya kepada Ibunya. lbunya justru mentertawakan dan menganggap nya sebagai lelucon.
"Mungkin kau sudah sempat ketiduran tadi d sana, lalu bermimpi," kata Mak Aisah menanggapi.
"Tapi saya merasa belum tidur, Mak. Tu buhku memang sudah terasa kaku dan beku, tapi sepasang mataku tak jadi terpejam, karena wanita cantik itu memanggilku lagi," jawab Basyah Purwa tetap sengit.
"Lantas yang kau lihat itu siapa?" Mak Aisah kembali tertawa.
"Aku merasa yakin bahwa aku telah melihat jin atau mahkluk halus," kata Basyah Purwa yakin.
"Di siang bolong begitu mana ada jin yang berkeliaran?" lagi-lagi si lbu tertawa geli.
Bersamaan dengan itu, Basyah Purwa menjadi teringat Seroja. Dia perbandingankan wajah
Seroja dengan wajah wanita cantik yang tadi di lihatnya di pantai sebelah Utara. Nada mirip. Bentuk wajah mereka punya persamaan banyak. Hanya saja perempuan cantik tadi lebih gemuk, punya kulit yang halus, rambutnya rapi, dan memakai pakaian yang Sangat bagus, sehingga tampak lebih menarik dan cantik. Sementara Seroja cuma seorang gadis yang sakit ingatan, menderita, tubuhnya kurus-kering, kulitnya kotor dan legam, rambutnya tak terurus, serta bajunya sudah kumal dan penuh tambalan. Wanita cantik itupun terkesan lebih dewasa, sedangkan Seroja masih kekanak-kanakan dan bodoh.
"Kukira memang dia mirip Seroja, Mak"! Ya. mirip Seroja!" katanya merasa yakin. '
Mak Aisah menjadi lebih serius. "Mirip Seroja?" tanyanya sembari mengerutkan keningnya.
"Ya! Jangan-jangan wanita itulah yang selama ini dilihat oleh orang-orang bisa berjalan di atas permukaan air laut" Siapa tahu dia yang telah membunuh orang-orang dari desa ini selama ini?"
Mak Aisah terdiam tanpa bisa memberi tanggapan apa-apa. Tapi jelas mulai meyakini semua perkataan putranya.
"Bagaimana keadaan Seroja sekarang.! sambung Basyah Purwa lagi bertanya.
"Sekarang sudah lebih baik. Dia sudah sadarkan diri. Tapi tadi siang dia sempat pingsan lama sekali." jawab Mak Aisah bersungguhsungguh. "Lantas. wanita cantik itu tadi tidak bilang apa-apa kepadamu?" tanyanya kembali kepada pembicaraan semula.
"Dia mengundang aku ke sebuah pesta. Tapi pesta apa. akan diadakan di mana, aku tidak tahu, sebab dia tidak mengatakannya sekalipun sudah kutanyakan."
"Lalu...?" "Begitu saja! Kemudian dia menghilang secara tiba-tiba."
Mak Aisah memandangi putranya sangat bersungguh-sungguh. Dia tak lagi memikirkan soal apa yang disaksikan oleh Basyah Purwa. Sekarang dia justru khawatir kalau-kalau anak tunggalnya itu menjadi korban berikutnya dari pembunuh aneh itu. Undangan yang dikatakan oleh Si perempuan Cantik justru ditatsirkannya sebagai korban berikutnya
*** ENAM SEBUAH malam yang cerah. Langit tanpa awan. Jutaan bintang membentuk gugusan cahaya untuk menyemarakkan suasana malam. Sayang sekali rembulan tiada tampak. Barangkali sedang menerangi belahan bumi lain"
Di tepi pantai yang berpasir putih, duduk seorang pemuda tampan berambut gondrong dan bertubuh kekar. Sunyi di sana. Tak tampak orang lain. Pandangannya lurus ke samudra yang hitam. Kadang-kadang pula ia menengadah ke langit untuk mencari bintang kejora kesayangannya.
Pemuda itu suka udara malam. Suka kegelapan. 'Suka pula dengan kesunyian. Dalam suasana seperti itu, dia justru merasa mudah sekali menemukan kedamaian. Hanya dalam suasana seperti itu dia bisa merenungkan kehidupan.
melihat Kebesaran Sang Pencipta. dan memikirkan perannya sebagai makhluk di tengah lingkungan masyarakat. Dalam kesunyian dia sering menemukan ide-ide untuk diterapkan dalam kehidupannya.
Mendadak. seseorang menegurnya dari belakang.
"Hai"!" Anak muda yang sedang merenung itu segera berpaling ke arah suara teguran. Dia sempat terperangah karena di belakangnya telah berdiri seorang gadis muda yang sangat cantik. Gadis itu berambut panjang, memakai blus putih dengan renda kuning di ujung bawah dan lengan, serta memakai sepatu kulit yang sangat bagus. Juga mengenakan assesori emas dan berlian yang berkilau-kilau.
"Boleh saya duduk di sampingmu?" ujar gadis anggun itu kemudian
"Aa" Silahkan, silahkan!" Dengan tergagap anak muda itu mempersilahkan.
Si gadis lalu duduk di atas pasir tanpa takut rok blusnya akan kotor. , "Nama saya Basyah Purwa, dan Adik...?"
"Aas Melati!" Mereka lantas bersalaman.
"Namamu sangat indah, dan baru sekarang ini aku mendengarnya. Apakah kau orang baru di Pulau ini?" tanya Basyah Purwa.
"Ya. Aku datang dari Pulau Jawa. Tepatnya dari Pasundan," jawab si gadis.
"O, jauh sekali"! Apakah kau datang sendiri?"
"Ya. Aku datang ke sini untuk menghadiri undangan pesta seorang kenalan."
"Siapa?" "Ki Karim dan istrinya. Mimit Rako'ah."
Basyah Purwa menjadi terkejut. Tapi rasa terkejutnya tak sampai dia tampakkan kepada gadis cantik itu.
"Seharusnya ayah saya yang hendak menghadirinya, tapi kebetulan beliau sedang berhalangan," lanjut gadis yang mengaku bernama Aas Melati itu menjelaskan. "Apakah Anda hendak ke pesta itu juga?" tanyanya pula.
"0, ya, ya!" jawab Basyah Purwa dengan tergagap-gagap. "Tapi karena kulihat tadi keadaan masih sepi di sana, maka aku menunggu di sini," katanya pula asal jawab.
"Saya juga terlalu cepat datangnya, sehingga mencari tempat untuk beristirahat. Dan kebetuan melihat Anda tadi, lalu aku mendekatimu."
"Senang aku dengan kedatanganmu. Aku suka
pada kecantikanmu " Aas Melati tersenyum malu malu seraya membuang pandangannya ke arah laut lepas.
Geregetan Basyah Purwa melihat sikap Aas Melati yang malu-malu. Hatinya tergoda. Birahinya bangkit menggebu hingga membuat alat vitalnya membesar dan menegang. Mudah sekali ia terangsang oleh si gadis. Padahal cuma melihat dan mencium bau wangi yang menyebar dari tubuhnya.
"Apakah Anda pemuda dari pulau ini juga?" kemudian si gadis cantik bertanya.
"Ya," jawab Basyah Purwa.
"Senang rasanya menemukan pemuda segagah dan seperkasa kamu di sini!"
Pujian itu membuat hati Basyah Purwa semakin bergairah.
"Aku ingin mencoba dulu keperkasaan pemuda dari Pulau ini," kata Aas Melati lagi sembari melingkarkan kedua lengannya di leher Basyah Purwa.
Anak muda itu sempat kaget. Berani juga gadis ini. pikirnya. Dia menjadi curiga kalau gadis itu bukanlah gadis baik baik, tapi gadis cabul. Namun karena dorongan birahinya sudah sedemikian hebatnya, benda di celah pahanya
pun sudah menegang dan keras, maka keberanian si gadis ditanggapinya. la peluk Aas dan menciuminya dengan ganas.
Dalam waktu singkat saja, mereka sudah samasama hanyut dalam rangsangan nafsu birahi masing-masing. Basyah Purwa dengan liar mulai berani meraba dan menyentuh wilayah-wilayah rawan di tubuh si gadis. Sementara Aas Melati pun mulai membuka kancing-kancing baju dan celana si pemuda. . Mereka sama-sama sadar kalau mereka berada di tempat terbuka, tapi mereka pun tahu kalau di sekitar mereka sedang tak ada orang. Di sana cuma ada mereka berdua.
Semua pakaian Basyah Purwa tanggal sudah. Kini gilirannya menanggalkan kain-kain yang melekat di tubuh si gadis. Satu demi satu dia pereteli hingga tak selembar benangpun yang tersisa. Betapa kagumnya anak muda itu memandang tubuh Aas Melati yang indah dan montok. Tubuh itu punya lekak-lekuk yang sempurna. Punya kulit yang halus dan lembut.
*** sorry ..beberapa halaman terpaksa saya sensor...
*** "Oh. Basyah! Kau begitu hebat! Maukah kau menjadi kekasihku?" ujar Aas Melati kemudian penuh rasa puas dan kagum.
"Tentu saja, sayang," sahut Basyah Purwa. "Kau membuatku puas sekali. Kau akan menjadi kekasihku," tambahnya.
"Kita akan mengulanginya, sayang?"
"Ya. Kita akan mengulanginya nanti!"
"Nanti setelah usai pesta?"
Basyah Purwa menganggukkan kepalanya.
Kemudian mereka sama-sama membenahi pakaian masing-masing. Aneh sekali karena pakaian Aas Melati tak sedikitpun kotor atau kusut. Sementara pakaian Basyah Purwa sudah menjadi sangat kotor dan berdebu.
"Pakaianku sudah sangat kotor. Sungguh tak pantas lagi dipakai untuk ke pesta," ujar Basyah Purwa.
"Kotorpun tidak apa apa. Aku akan tetap bangga bila kau yang mendampingiku," kata Aas Melati menanggapi
"Tapi sungguh tak enak perasaan...."
"Kalau begitu, bagaimana.?"
"Bagaimana bila aku hanya menemanimu ke sana" Tapi nanti aku tidak akan ikut ke pesta itu. Aku akan menunggumu dari kejauhan."
Putri Pasundan itu menatap mata kekasihnya sesaat, lalu menganggukkan kepalanya sebagai pertanda persetujuannya.
Sengatan Birahi Karya Dian Purba di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sesungguhnya itu hanya alasan Basyah Purwa. Ia hanya menghindar untuk ikut ke pesta itu, sebab dia tak merasa diundang ke sana.
Mereka pun lalu menuju ke tempat pesta. Di suatu tempat, Basyah Purwa berhenti, sedangkan Aas Melati meneruskan langkahnya.
Dari jarak kurang dari tiga puluh meter dari tempatnya berada, Basyah Purwa dapat melihat suasana di tempat pesta. Pesta itu diadakan di luar rumah batu yang sangat kuno. Di bawah tenda raksasa yang di pasang di halaman rumah. Tampak sudah banyak sekali orang. Tua maupun muda. Laki-laki maupun perempuan. Cukup sekali pandang, akan mudah diketahui kalau pesta itu tentu dilakukan "oleh keluarga kaya
yang berpengaruh. Tanpa didahului pemberitahuan dari protokol, mendadak muncul tiga orang manusia dari arah rumah batu kuno. Satu laki laki dan dua perempuan. Kemunculan mereka langsung disambut hormat oleh para undangan dengan cara berdiri sambil bertepuk tangan. Ketiga orang itu mengambil tempat di kursi emas yang di pasang di sebuah panggung kecil.
Bukan main terkejutnya Basyah Purwa karena mengenal kedua orang perempuan. Perempuan yang paling kecil tidak lain adalah Seroja. Tapi di sana. gadis remaja itu tidak dalam keadaan gila. Dia tak dalam keadaan sakit ingatan. Seroja tampak cantik sekali, wajahnya ceria dan banyak senyum, bajunya bagus dari sutra ungu dengan pita emas menjepit rambutnya.
Perempuan yang lebih tua adalah gadis cantik yang pernah dilihatnya di pantai bagian Utara Pulau Siluman. Pasti tak salah. Perempuan itu yang datang berterima kasih untuknya sekalian mengundangnya ke sebuah pesta. Rupanya inilah pesta yang dimaksud.
Adapun lelaki kekar yang duduk di samping kedua perempuan itu sama sekali belum pemah dikenal oleh Basyah Purwa. Hanya dia menduga
bahwa itulah suami si perempuan cantik yang mirip bidadari, sedangkan Seroja adalah putri mereka.
Begitu ketiga orang ,itu memasuki tenda tempat diadakannya pesta, seorang protokol menyatakan bahwa pesta telah dimulai Sebagai mata acara pertama adalah makan dan minum sepuas puasnya. Setelah itu baru disusul dengan acara kata sambutan dan yang lain-lainnya.
Namun dalam suasana gembira dan semarak di pesta itu. mendadak muncul belasan orang berpakaian serba hitam dan bertopeng hitam. Mereka langsung mengacaukan pesta. Lebih tragis lagi karena ketiga orang yang duduk di kursi emas mereka bunuh. kecuali si gadis remaja Seroja. Perempuan cantik yang mirip bidadari beserta suaminya mereka tusuk di dada dan leher hingga tewas seketika.
Keadaan pesta menjadi kacau balau. Jerit tangis dan pekik ketakutan terdengar mengerikan. Semua panik dan berusaha menyelamatkan diri masing masing.
Basyah Purwa yang terus mengawasi pesta dari jarak sekitar tiga puluh meter segera meloncat dan berlari ke arah tenda untuk melakukan pertolongan. Sayangnya ketika ia tiba di sana, "
para pengacau itu sudah pada kabur dan maSUk ke kegelapan malam. Dia mencoba mengejar ke luar kampung. tapi sudah tak berhasil lagi menemukannya. Justru kegelapan malam membuatnya sulit melihat jalan. Ketika kakinya melangkah ke depan, ternyata di sana sudah jurang sedalam dua meter. Jadinya ia terjerembab ke jurang itu, lalu....
Anak muda tampan bertubuh kekar itu terbangun dari tidurnya, secara mendadak. la buka matanya dengan sekujur tubuh gemetaran. Wajahnya tegang. Keringat membasahi tubuhnya. Nafasnya memburu seiring irama detakan jantungnya.
"Ya, Allah! Rupanya aku telah bermimpi,' bisiknya dalam hati.
Tapi ia menjadi sangat malu pada dirinya sendiri karena menemukan tubuhnya sudah dalam keadaan bertelanjang bulat. Untung dia sedang berada di kamarnya sendiri. Ketika dia sentuh ujung kemaluannya, di sana masih ada Sisa-sisa lendir sperma yang belum sempat mengering. Mimpi basah.
Menyadari bahwa cuma sebuah mimpi, Basyah Purwa menjadi bisa bernafas lega. ia raih handuk-. dan melap sekujur tubuhnya yang basah keri
ngat. Setelah itu dia kenakan kembali celana dalam dan pakaian pakaiannya yang lain. Karena masih malam, kembali ia merebah, tapi belum untuk tidur. Selembar koran bekas diraihnya lalu mengipas-ngipaskannya ke dada, leher, dan mukanya. Ia berusaha kembali mengingat mimpinya yang indah. Mimpi yang diakhiri dengan ketegangan yang tragis.
Baginya, mimpi itu perlu dipikirkan maknanya. Ia merasa mimpinya kali ini bukanlah sekedar mimpi penghias tidur. Tapi ada artinya. Punya makna dan maksud tertentu. Karena itu dia bermaksud untuk menceritrakannya besok kepada Bapak dan Emmaknya. la ingin mendiskusikannya pada orangtuanya. sekalipun cuma mimpi. Soalnya, lewat Aas Melati yang bercinta dengannya dalam mimpi. dia mengetahui bahwa pesta itu dilakukan oleh Ki Karim dan istrinya, Mimit Rako'ah. Bukankah itu nama ayah dan ibunya Seroja" Bukankah Seroja pun tampak dalam mimpi itu" Dan, bukankah keluaga itu yang pertama sekali membuka Pulau Siluman
*** PAK ALI dan istrinya sama sama serius memikirkan mimpi putra mereka. Mereka mencoba menemukan arti dari mimpi yang memang rada ganjil itu.
"Dan kau sendiri, bagaimana pendapatmu?" tanya Pak Ali setelah tak bisa menafsirkannya.
"Aku bisa pastikan bahwa suami istri yang meninggal terbunuh itulah ayah ibu Seroja," jawab Basyah Purwa cepat.
"Lantas...?" "Betul, bahwa mungkin dulu Seroja itu tidak sakit ingatan. Dia gila setelah orangtuanya meninggal. Mungkin karena shock atau trauma setelah ayah-ibunya dibunuh di depan matanya sendiri" Bisa pula karena tertekan oleh peristiwa yang sangat mengerikan itu."
"Makna dari pesta itu sendiri?" ganti Mak Aisah yang bertanya.
"Kukira soal kesejahteraan mereka dulu tinggal di pulau ini. Tiba tiba datang orang yang merebut kesejahteraan itu dari mereka. Dan bahkan pasangan suami-istri itu dibunuh. Dibunuh oleh orang-orang bertopeng."
"Siapa orang-orang bertapeng itu?"
"Belum jelas. Tapi kukira adalah merekamereka yang telah menjadi korban pembunuhan
secara misterius." "Kau tidak boleh sembarangan berkata begitu," tegur Pak Ali dengan suara ditekan-tekan." Bagaimana kalau orang orang pada mendengarnya?"
Basyah Purwa menjadi tersenyum, sinis. "Seorang dukun di Cirebon mengatakan bahwa jumlah mereka yang membunuh suami istri itu dulu ada tujuh belas orang. Baru sembilan yang telah meninggal. ltu berarti masih ada delapan orang lagi. Di samping itu, katanya, desa ini akan mendapat musibah besar bila masalah itu tidak segera dibereskan," katanya penuh keyakinan.
"Kata dukun tidak selalu benarlah," kata Pak Ali menanggapi.
"Tadinya aku berpendapat seperti itu, Bapak. Aku juga meragukan pendapatnya. Tapi aku juga heran, sebab dia tahu persis dengan keadaan di pulau ini tanpa kujelaskan terlebih dahulu. Katanya pula, Seroja bisa menjadi sumber malapetaka di desa ini, tapi juga bisa menyelamatkan. Dengan sikap orangorang yang tidak ramah kepadanya, desa ini akan celaka. Tapi bila orangorang mau menganggapnya sebagai manusia, dan tidak suka merendahkannya. maka pulau ini"
bisa selamat." "Dalam bentuk apa petaka yang dimaksud?"
"Si kakek dukun itu tidak memberitahukannya. Tapi dengan mimpi dan keganjilan yang kualami beberapa hari terakhir ini, aku begitu percaya pada perkataannya."
"Lalu cara mencegahnya?"
"Seroja harus diurus. Setelah itu kerangka tulang-belulang Ki Karim dan Mimit Rako'ah harus ditemukan dan dikubur secara layak!
"Bagaimana cara menemukannya?"
"Itu yang harus dipikirkan oleh semua warga desa. Tentu masih ada warga desa ini yang mengetahui di mana sesungguhnya mayat suamiistri itu dulu mereka buang."
"Itu akan sangat sulit..."!"
"Memang sulit, tapi cara yang saya bilang tadi penting untuk menyelamatkan desa dan pulau ini!" Basyah Purwa tetap serius.
Pak Ali pun serius memikirkannya.
*** TUJUH HUJAN badai turun bagaikan ditumpahkan dari langit. Dibarengi hembusan angin kencang yang siap menyapu apa saja. Sudah sejak tadi sore itu berlangsung. Karena itu, dapat dipastikan bahwa tak seorangpun penduduk Pulau Siluman yang turun ke laut lepas untuk menangkap ikan. Biasanya dalam iklim segila ini, ombak akan sangat besar. Perahu-perahu para nelayan bisa ditenggelamkannya dalam waktu singkat hingga menjadi porak-poranda.
Basyah Purwa sudah sejak tadi tertidur pulas di dalam kamarnya. Orangtuanyapun tentu sudah tidur di kamar sebelah. Begitupun semua penduduk desa. Malam s'udah lewat pertengahan. Dalam keadaan seperti ini, biasanya akan enak sekali tidur. "
Namun, mendadak putranya pak kepala desa itu terbangun karena mendengar suara lolongan
anjing itu di tengah hujan badai dan angin kencang itu. Cepat-cepat ia bangkit dan melihat ke arah kalender. Bukan malam Jum'at Kliwon. Dilihatnya pula jarum jam sudah menunjukkan pukul 01.10 WlB. dini hari. Udara pun sangat dingin.
Tapi karena tak ingin lagi ada warga desa yang menjadi korban jiwa akibat pembunuhan secara misterius, dengan nekad Basyah Purwa menjeburkan diri ke siraman hujan yang lebat. Kehembusan angin yang kencang. Di samping harus bergelut dengan hawa dingin yang menggigilkan tubuh, juga rasa seram tetap membuat bulu kuduknya berdiri menyentak nyentak. Walau sudah pernah mengusut asal suara lolongan anjing itu, tapi tetap saja perasaan takut dan ngeri ada mempengaruhi dirinya.
Dengan berlari anak muda berambut gondrong itu menuju asal suara lolongan anjing di pantai sebelah Utara Namun baru di pertengahan jalan, secara samar-samar ia melihat satu sosok bayangan manusia berjalan pelan-pelan ke arah Utara. Dipercepatnya langkahnya untuk membuat jarak yang lebih dekat kepada sosok bayangan itu. Walau dalam kegelapan malam, dia bisa memastikan bahwa manusia itu adalah
seorang perempuan. Setelah lebih diperjelasnya lagi, bahwa perempuan itu adalah Seroja
Mau ke mana dia" Basyah Purwa bertanya dalam hati. Sama seperti dirinya, gadis remaja yang sakit ingatan itu juga sudah basah kuyub oleh siraman hujan yang semakin deras. Karena ingin tahu apa yang hendak dilakukan gadis remaja itu, Basyah Purwa terus mengikutinya dengan membuat jarak yang sedang. Ia tak ingin mengejutkan. Ia pun tak ingin keberadaannya diketahui.
Satu hal yang membuat Basyah Purwa kagum adalah karena gadis kurus itu berjalan begitu santai. Tanpa merasa kesulitan. Padahal keadaan di bawah pohon-pohon kelapa itu sangat gelap dan hitam. Seroja seperti dibimbing dan diarahkan. Tapi di samping gadis itu. dia tak melihat lagi ada orang lain.
Setibanya di pantai Utara, di bawah sebatang pohon kelapa, Seroja berhenti lalu berjongkok ke arah laut lepas. Bahkan kemudian bersujud. Tapi tidak bicara apa-apa. Mulutnyapun tak tampak komat-kamit.
Basyah Purwa yang terus mengawasi dari jarak beberapa meter di belakang sempat heran dengan apa yang dilakukan oleh Seroja. Tapi
belum sempat dia berpikir lebih jauh, tampak asap putih bergulung menutup tubuh gadis itu. Bersamaan dengan itu terciumlah bau busuk yang sangat menggoncang perut. Persis seperti bau yang pernah diciumnya ketika berada di pantai ini beberapa minggu yang lalu. Basyah Purwa sempat mual, tapi tak sampai muntah.
Seiring dengan menipisnya asap putih, tanpa Seroja sudah menggelepargelepar di atas tanah. Mirip orang sedang berpenyakit ayan. Kedua kakinya menerjang-nerjang dan bagian tubuh yang lainnya terus menggeliat geliat.
Bukan main harunya hati Basyah Purwa. Ia merasa iba. Tapi dia percaya ada roh lain yang bekerja dalam diri gadis yang sangat malang itu, sehingga dia tak memunculkan diri untuk melakukan pertolongan. Dia terus saja melakukan pengawasan dari jarak tertentu.
Lama sekali keadaan itu berlangsung sebelum tampak setitik sinar muncul dari atas pasir. Sinar itu terbang ke atas Seroja dan berputar-putar sebentar. Sama seperti yang telah dilihatnya beberapa minggu yang lalu, di bawah sinar itu ternyata adalah kerangka tulang-tulang manusia. Cuma kalau yang dilihatnya dulu ada dua kerangka manusia, sekarang cuma satu.
Tiba tiba Seroja berhenti bergerak dan terkapar kaku di atas pasir. Dari mulutnya tampak keluar darah kental yang kehitam-hitaman. Tapi seiring dengan itu, kerangka tulang belulang itu berubah pula menjadi manusia sempurna. Sekarang sudah punya daging dan otototot. Tulang belulang itu tiba-tiba berubah menjadi seorang perempuan cantik yang mirip bidadari yang baru turun dari kayangan. Memakai jubah putih dan berkalung emas dan berlian. Tak salah,_bahwa dialah perempuan yang pernah mengundang Basyah Purwa ke sebuah pesta. Perempuan itulah yang pernah dilihatnya di sebuah pesta dalam mimpinya. Perempuan itu pasti Mimit Rako'ah, istri Ki Karim dan ibunya Seroja.
Menakjubkan sekali di mata anak muda tampan berambut gondrong itu.. Sekarang Mimit Rako'ah telah berdiri di samping tubuh Seroja yang telah beku" dan tak bergerak. Kemudian jongkok sambil menangis. Dielusnya rambut Seroja yang panjang sambil berkata :
"Anakku, maafkan Emmak! Ini terpaksa Emmak lakukan untuk membalaskan dendam sakit hatiku. Juga sakit hati Bapakmu. Kau tidak akan mengerti semua ini. anakku Tapi kau telah
menderita dibuatnya. . .. "
Masih sempat Mimit Rako'ah beberapa saat menangisi Seroja. Namun secara tiba-tiba dia bangkit berdiri, berbalik, lalu melesat ke tengah udara dan hilang seketika.
Basyah Purwa sudah tak lagi mendengar ada suara lolongan anjing. Dia tak tahu sejak kapan itu berhenti. Dari tadi pikirannya cuma ke peristiwa aneh yang ada di depan matanya. Sekarang Seroja masih terbujur kaku di atas pasir. Tersiram hujan yang masih lebat.
Tak tahu dia apa yang hendak dilakukannya. Hendak menolong Seroja dia merasa ngeri. Sementara ke mana perginya arwah Mimit Rako'ah tadi, dia pun tidak tahu. Tapi dia merasa yakin sekali bahwa Mimit Rako'ah akan kembali. Tak mungkin perempuan cantik itu akan membiarkan putrinya begitu saja. Dari' sikap dan tangis perempuan itu tadi, dia bisa pastikan bahwa sesungguhnya Mimit Rako'ah sedemikian mencintai Seroja. Karena itu dia memutuskan untuk bertahan di tempat persembunyiannya. la menunggu hingga roh yang sedang gentayangan itu kembali lagi. Di samping itu, dia merasa perlu melakukan pengawasan terhadap diri Seroja. Dia tak tega meninggalkannya begitu saja.
satu hal yang mengherankannya, mengapa Ki Karim tidak menampakkan diri seperti istrinya" Apakah betul bahwa yang hendak balas dendam cuma Mimit Rako'ah, seperti kata kakek Silun di Cirebon sebulan yang lalu" Mengapa lelaki bertampang keras itu tidak ikut balas dendam" Bukankah mereka sama-sama diperlakukan sadis oleh kelompok orang-orang bertopeng dan berbaju hitam"
DENGAN tubuh yang basah kuyub dan menggigil kedinginan, Basyah Purwa mulai tak sabaran untuk menunggu. la merasa tersiksa sekali. Sudah lebih dua jam dia berdiam diri di persembunyiannya, tapi Mimit Rako'ah tak juga kembali. Tubuh Seroja masih saja terbaring kaku di atas pasir. Disiram hujan lebat dan dihempas angin kencang.
Namun di tengah keraguan anak muda itu, tampaklah satu sosok putih melayang di tengah udara lalu turun ke samping tubuh Seroja. Sosok putih itu ternyata adalah Mimit Rako'ah. Tapi wajahnya sekarang begitu seram. Mukanya mirip daging yang sedang membusuk. Gigi taringnya panjang seperti gigi drakula. Jari-jari tangannya panjang-panjang dengan kuku yang panjang dan runcing. Lebih mengerikan lagi karena mulutnya masih dilumuri darah segar. Juga jubah putihnya penuh percikan-percikan darah. .
Mimit Rako'ah yang sudah berwajah buruk itu sesaat memandangi tubuh Seroja. Menakjubkan, bahwa kemudian Seroja mulai tampak bergerak lagi. Tapi seiring dengan itu. Mimit Rako'ah kembali berubah wujud menjadi tulang-belulang. Kerangka tulang-belulang itu
kemudian terbang dengan setitik sinar di atasnya. Menjauh lalu jatuh di suatu tempat dan lenyap seketika.
Seroja perlahan lahan bangkit berdiri dan mulai melangkahkan kakinya untuk pulang ke arah desa.
Basyah Purwa masih sesaat tetap berada di tempat persembunyiannya. Dia mulai mencurigai tempat "jatuhnya kerangka tulang-belulang tadi. Dia ingat bahwa beberapa minggu yang lalupun ke sanalah kerangka itu jatuh dan hilang. Mengapa harus jatuh di sana" Mengapa tidak seperti kerangka yang satu lagi, di mana waktu itu melayang dan hilangnya di tengah laut"
Tapi karena masih ingin mengikuti Seroja dan ingin mengetahui apa yang hendak dilakukannya, maka dia tak lagi sempat memikirkannya lebih jauh. Ia segera berbalik dan mengejar gadis itu di malam yang sangat gelap dan hitam itu. Sekarang sekujur tubuhnya sudah menggigil kedinginan.
Ternyata Seroja tak lagi menyimpang ke mana-mana. Dia langsung pulang ke rumahnya. Jalannya enteng; ringan, lancar seperti ada yang menuntun. Padahal malam sedemikian gelap dan pekat. Menakjubkan.
Karena sudah tak ada lagi yang hendak diintai, Basyah Purwa pun langsung pulang ke rumahnya. Tubuhnya sudah menggigil karena kedinginan. Ia ingin segera mandi, lalu memakai baju penghangat, dan tidur dalam balutan Selimut yang tebal. Apa yang barusan disaksikannya dengan mata kepalanya sendiri, biarlah besok dipikirkan selanjutnya.
*** DELAPAN DESA Nyiur Melambai kembali gempar dan menjadi pusat perhatian._ Betapa tidak. Satu keluarga yang terdiri dari Bapak, Ibu, beserta empat orang anak-anak. ditemukan meninggal dalam keadaan yang sangat mengenaskan di rumah mereka sendiri. Kesemuanya meninggal secara aneh. Di leher mereka, terdapat gigitan manusia... sama seperti korban-korban yang terdahulu. Bedanya. kalau sebelumnya yang menjadi korban cuma lelaki dewasa, dan meninggalnyapun di tengah lautan, tapi sekarang perempuan dan anak-anakpun sudah ikut korban. Kejadiannya pun sekarang sudah di dalam desa. Di dalam rumah. _
"Kita harus melakukan sesuatu, Pak Kepala Desa! Ini sudah semakin menakutkan," kata salah seorang warga kepada kepala desa
"Ya!" jawab Pak Ali cepat. "Kumpulkan semua
lelaki dewasa di halaman rumah saya' Kita harus membicarakan masalah ini lebih serius," katanya pula.
"Baik, Pak Kepala Desa!"
Pak Ali mendahului pulang ke rumahnya. Karena tak segera melihat putranya, dipertanyakannya pada istrinya yang sedang mempersiapkan makanan di dapur.
"Basyah di mana?" tanyanya dengan muka tegang.
"Masih tidur," jawab si istri.
Pak Ali lantas menuju pintu Basyah Purwa. Pintu itu diketuknya sambil berseru memanggilmanggil.
"Basyah...! Basyah, bangun!"
Basyah terbangun oleh ketukan pintu, lalu buru-buru memakai kain sarungnya yang terlepas. Setelah itu dia dekati pintu dan membukanya. la kaget sekali dengan ketukan pintu itu. sebab tak biasa Bapaknya sekasar itu.
"Ada apa, Bapak?" tanyanya begitu berhadapan dengan bapaknya.
"Kau belum tahu berita baru...?" Pak Ali balik bertanya. '
"Berita baru apa, Pak?" Basyah Purwa menjadi heran. "Saya kan baru bangun.?"
"Ada korban lagi!"
"Siapa?" "Samsi beserta semua keluarganya!"
"Beserta semua keluarganya?"
"Ya. Istri dan keempat orang anak mereka... semuanya meninggal."
"Apakah kasusnya sama dengan yang sebelumnya?"
"Ya!" Basyah Purwa ternganga dan tertegun. Tak perlu lagi dia bertanya-tanya soal itu. Pelakunya sudah jelas adalah arwahnya Mimit Rako'ah. Rupanya keluarga itulah yang dihabisi oleh perempuan itu semalam. Darah satu keluarga itulah yang dihisap oleh perempuan yang sedang mendendam itu.
Sejengkal Tanah Sepercik Darah 15 Pendekar Rajawali Sakti 65 Kuda Api Gordapala Pedang Angin Berbisik 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama