Ceritasilat Novel Online

Sengatan Birahi 2

Sengatan Birahi Karya Dian Purba Bagian 2


"Bagaimana pendapatmu?" tanya Pak Ali kemudian.
Basyah Purwa menggelengkan kepalanya. Sulit baginya untuk menceriterakan peristiwa yang disaksikannya semalam. Kalau itu sampai dia ceritakan, bukan tak mungkin Seroja yang akan menjadi kena sasaran.
"Sebentar lagi orang-orang akan berkumpul di halaman rumah kita," kata Pak Ali lagi. "Kemukakanlah apa yang hendak kau
Kemukakan. Siapa tahu mereka menanggapinya dengan bersungguh-sungguh" Kalau Bapakmu ini, sudah tak punya ide lagi untuk itu."
Basyah Purwa berpikir sejenak. Dia menganggap usul Bapaknya tidaklah terlalu jelek. Bahkan kesempatanlah sekarang baginya untuk bicara kepada semua warga secara terbuka.
"Jam berapa orang-orang akan berkumpul?" tanyanya kemudian.
"Sebentar lagi. Kalau mau ikut memecahkan masalah pelik ini, mandi dan berpakaian rapilah!" kata Pak Ali menanggapi.
Basyah Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Setelah itu dia kembali masuk kamar, mengambil handuk, untuk kemudian menuju kamar mandi di belakang dapur.
*** LEBlH dan empat puluh pria dewasa berkumpul di halaman rumah Pak Kepala Desa. Duduk di_atas tikar pandan yang dilebarkan di atas tanah. Semua punya air muka yang serius dan bahkan boleh dikatakan tegang. Tentu semua ikut prihatin akan musibah yang menimpa keluarga Samsi.
"Kita semua sudah sama sama tahu untuk apa kita berkumpul di halaman ini," kata Pak Ali sebagai Kepala Desa dari depan. "Korbankorban pembunuhan secara misterius masih saja terus berjatuhan. Sudah banyak usul yang saya ajukan kepada kalian selama ini. Tapi tak satupun yang ditanggapi secara bersungguhsungguh. Sebab itu, untuk saat ini, saya tidak akan mengajukan usul lagi. Aku justru meminta kepada saudara-saudara sekalian." Apa yang hendak kita lakukan untuk mencegah sehingga tak ada lagi korban berikutnya?" Selesai berkata begitu, Pak Ali lalu duduk di kursi khusus yang disediakan untuknya.
Para warga yang berkumpul di sana pun mulai memperbincangkannya dengan orang orang di sampingnya, sehingga suasana menjadi brisik dan ribut.
"Saya usul. Pak!" Mendadak seorang lelaki
bertubuh kurus bersuara sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
"Ya, silahkan!" Pak Ali memberi kesempatan.
Semua perhatian lantas tertuju kepada lelaki bertubuh kurus itu
"Bagaimana kalau kita cari dukun lagi?" usulnya.
"Dulu sudah ada empat orang dukun yang kita datangkan ke sini, tapi tak seorangpun yang mampu mengungkap kasus ini," Pak Ali langsung menjawab. "atau bagaimana pendapat yang lain tentang usul ini?" tanyanya pula.
"Percuma, Pak!" sahut beberapa orang sekaligus. Hampir semua tak menyetujui usul itu.
"Saya justru mengusulkan supaya diadakan ronda malam. Pak!" ganti pria gemuk yang di belakang angkat bicara.
"Ya. itu bagus Pak!" Beberapa orang mendukung.
"Bagaimana kita mau ronda, sedangkan pada malam hari kita biasanya melaut untuk mencari ikan?" Lelaki setengah tua yang duduk di depan menanggapi.
Orang-orang menjadi terbuka pikirannya mendengar tanggapan si lelaki setengah baya.
Kemudian tak ada lagi yang berani men
gajukan usul. Tapi masih membicarakannya dengan orang-orang di samping masing masing. Jadinya keadaan menjadi bertambah brisik dan ribut. Rapat seolah-olah tak akan menghasilkan apa apa lagi. Di tengah tengah kegaduhan itulah Basyah Purwa bangkit dari duduknya dan berdiri di samping ayahnya. "Saya punya usul," katanya tenang dan jelas. Semua perhatian menjadi tertuju kepadanya. Suasanapun menjadi tenang dan terkendali. "Kita sudah sama-sama tahu, betapa semakin mencemaskan keadaan di desa kita ini," kata Basyah Purwa melanjutkan. "Kalau dulunya makhluk misterius itu menyerang cuma pada malam Jum'at Kliwon, tapi sekarang sudah tidak. Kalau tadinya yang menjadi korbannya cuma lelaki yang sedang menangkap ikan di tengah laut, sekarang anak anak dan wanitapun sudah diincarnya. Bahkan sudah berani masuk kampung kita ini. Dan saya memperkirakan akan semakin banyak lagi korban bila kita tidak melakukan sesuatu untuk mengatasinya." Sesaat dia terdiam untuk memberi kesempatan kepada semua orang untuk memikirkan perkataannya. "Justru _cara untuk mengatasinya itu yang sulit..."!" Seseorang menanggapi dari arah be lakanq. '
"Setelah beberapa bulan saya tinggal di Pulau Siluman ini, dan mengamati serta mempelajarinya, tampaknya tidaklah terlalu sulit untuk mengatasinya," jawab Basyah Purwa tetap tenang. "Yang penting, ada kemauan di antara kita untuk mencegahnya, itu saja pokoknya," sambungnya.
"Kita semua berkumpul di sini karena ingin mencegahnya! Kami pun sudah memikirkannya sejak lama, cuma tidak menemukan cara yang tepat." Masih lelaki yang dibelakang yang menanggapi.
"Kita semua tahu bahwa yang selalu menjadi korban adalah penduduk yang berasal dari Pulau Cendana. Bukan begitu?"
"Ya, memang betul!" Semua menjawab secara serentak.
"Dan, percayakah kalian bahwa pelaku pembunuhan itu bukan orang biasa, tapi makhluk halus...?"
Tak seorangpun yang berani menjawab. Justru suara brisiklah yang terjadi, sebab semua orang bicara kepada orang di samping masingmasing.
"Bukankah kalian yang mengatakan bahwa perempuan cantik itu bisa berjalan di atas permukaan air laut?" lanjut Basyah Purwa bicara..
"Dan, bila yang membunuh itu orang biasa, bukan makhluk halus, maka cara membunuhnya tidaklah dengan cara menggigit leher, tapi menusuknya dengan benda tajam."
Pikiran orang-orang banyak mulai terbuka.
"Saya sependapat bahwa pembunuh itu adalah jin atau semacam drakula penghisap darah," kata seorang lelaki tua dari tengah. "tapi mengapa ada jin yang menyerang kita" Apa salah kita?"
"ltulah sesungguhnya yang pertama harus kita pikirkan," sahut Basyah Purwa sambil tersenyum
"Kita tidak akan bisa mengatasinya tanpa tahu dulu apa kesalahan kita. Kita harus tahu dulu.... Mengapa makhluk halus itu menyerang penduduk dari desa kita?"
"Apakah Dik Basyah punya dugaan tentang itu?" Dengan pelan pria kurus yang paling depan bertanya.
"Ya, saya memang punya pendapat, dan saya yakin sekali inilah yang menjadi sumber petaka di Pulau Siluman ini," jawab Basyah Purwa tegas. '
"Apa itu?" Yang lain bertanya.
"Bukankah kalian juga yang bilang bahwa perempuan cantik yang bisa berjalan di alas"
permukaan air laut itu sangat mirip dengan gadis malang bernama Seroja binti Karim?"
"Ya, memang! Saya sendiri sudah dua kali melihatnya," jawab pria lain.
"Saya juga pernah melihatnya. Memang mirip sekali," timpal yang lain.
"Memang dia mirip Seroja, tapi dia bukan Seroja, melainkan Ibunya yang bernama Mimit Rako'ah!"
Semua menjadi tercengang. Saling melihat ke orang di sampingnya, tapi tidak bicara. Dan kesempatan itu digunakan oleh Basyah Purwa untuk mengamati orang yang berkumpul di sana satu-persatu. Kebanyakan tampak bingung, tak menyangka, dan malah seperti tak mengerti. Tapi ada beberapa orang yang langsung berubah air mukanya.
"Bukankah Mimit Rako'ah telah meninggal?" Dengan tiba-tiba seorang pria muda bertanya dengan bingung.
"Memang sudah," jawab Basyah Purwa sambil tersenyum. "Karena itu rohnya bisa gentayangan."
"Lalu, mengapa dia murka kepada penduduk Pulau Siluman ini?"
"Dia bukan murka, tapi balas dendam!'
"Balas dendam karena apa?"
"Karena ada orang orang tertentu yang berbuat sadis kepadanya, kepada suaminya, dan mungkin juga kepada Seroja sebagai putrinya."
"Siapa orang orang yang berbuat sadis kepada mereka?"
"itu yang perlu mendapat pengakuan dari kita-kita. Saya menduga bahwa di antara kita ada yang mengetahuinya. Untuk itu, aku minta supaya berbesar hatilah mau mengakuinya, sehingga desa kita ini tidak semakin menakutkan. Demi keselamatan kita semua, saya minta supaya mereka mau mengakuinya sebab cuma dengan cara itulah dendam Mimit Rako'ah bisa kita Cegah."
Tak seorangpun yang mau mengaku telah bersalah. Justru suasana menjadi ribut dan berisik. Melihat suasana yang demikian, Basyah Purwa kembali melanjutkan :
"Perlu Bapak bapak ketahui, bahwa sudah ada bukti yang menyatakan bahwa Ki Karim dan istrinya, Mimit Rako'ah,_ mati bukan karena diserang bajak laut seperti yang kita ketahui selama ini, melainkan dibunuh oleh orang-orang kita juga."
Mendengar itu, kembali suasana menjadi ribut. Dan karena tetap tak ada yang mau mengakui"
kesalahannya. sementara yang hendak dibicarakanpun Sudah tak ada. Basyah Purwa kembali memberikan kesempatan kepada ayahnya untuk bicara, yang seterusnya menutup pertemuan itu.
*** SEUSAI pertemuan itu, Pak Ali menyatakan rasa penyesalannya atas apa yang diutarakan oleh putranya barusan.
"Kau tak seharusnya bicara seperti itu. Bisa menyinggung perasaan mereka," katanya.
"Itu penting, Pak, sebab pengakuan mereka sangat menentukan untuk mencegah jatuhnya korban berikutnya," jawab Basyah Purwa tanpa merasa bersalah. "Yang membunuh Ki Karim dan istrinya, Mimit Rako'ah, dulu ada tujuh belas orang. Yang sudah korban baru sepuluh orang. Itu berarti masih ada tujuh orang lagi yang masih hidup. Dan bila mereka mau mengakui kesalahan mereka, itu berarti untuk keselamatan mereka juga."
"Orang-orang Pulau Cendana terkenal punya kebiasaan buruk dalam soal seperti itu. Mereka suka memilih mati ketimbang mengakui perbuatan mereka yang salah di masa lalu." "
"ltulah salahnya. Dan aku yakin tidak semua orang-orang Pulau Cendana begitu. Pasti ada yang berpikiran lain. Kuharap mereka akan ada yang menemuiku untuk membongkar kasus itu. SUpaya lebih jelas. Kita harus menemukan kerangka tulang-tulang Ki Karim dan Mimit Rako'ah untuk menguburkannya baik-baik, sebab cuma cara itu yang bisa mengatasi jatuhnya korban berikutnya."
Pak Ali menjadi terdiam. Semakin pusing dia memikirkan persoalan yang timbul di desa yang dipimpinnya.
*** SEMBILAN KORBAN kembali jatuh dengan jarak yang cuma dua minggu. Bilu dan istri serta dua orang putri mereka yang masih kecil-kecil ditemukan tewas mengenaskan pada suatu pagi yang mendung. Meninggalnya tetap saja seperti korban-korban terdahulu. Di leher mereka ditemukan luka gigitan yang sangat dalam.
Peristiwa terakhir ini sedikit berbeda menurut Basyah Purwa. Di samping tidak terjadi pada malam Jumat Kliwon, juga tidak ditandai suara lolongan anjing yang menyeramkan seperti sebelum-sebelumnya. Malam terjadinya peristiwa itu, Basyah Purwa tidak mendengar ada suara lolongan anjing. Dan warga lain juga mengatakan demikian.
Dan, kejadian yang menimpa keluarga Bilu_ telah membuat penduduk semakin tercekam rasa takut. Resah dan gelisah menyelimuti desa siang
Dan malam. Bahkan beberapa penduduk sudah meninggalkan Pulau Siluman untuk mencari aman ke pulau lain. Mereka mengungsi menunggu keadaan lebih aman.
"Apakah kau tidak ikut prihatin dengan keadaan di desa kita ini?" tanya Basyah Purwa yang sejak dari tadi duduk di atas pasir.
"Tentu saja prihatin," sahut Billok, lelaki kurus berambut gondrong itu sambil terus memperbaiki jaring jalanya. "Tapi apa yang bisa saya perbuat" Saya cuma orang bodoh yang tahunya cuma mengarungi lautan untuk menangkap ikan. Kalau menangkap hantu aku tidak bisa."
"Tapi kau adalah salah seorang penduduk yang pertama datang ke pulau ini "kan...?"
"Memang. Dan aku tidak mengingkari kalau aku ikut terlibat dalam pembunuhan terhadap Ki Karim dan istrinya, Mimit Rako'ah, waktu itu. Bahkan akulah yang pertama menusuk perut Ki Karim."
"Mengapa itu kalian lakukan?"
"Seperti yang sudah kau duga, kami ingin merebut pulau ini dari tangannya."
"Mengapa mesti harus direbut?" "ltulah kesalahan kami waktu itu. Kami menqira Ki Karim tidak akan memperbOlehkan"
kami tinggal di sini, sehingga kami pilih cara yang seperti itu. Soalnya sekitar desa ini dulu sangat subur oleh sayur-mayur yang diurus oleh keluarga itu. Padahal kalau diminta. kukira Ki Karim pasti akan memberinya, sebab dari sebelumnya dia sudah mengajak orang-orang muda dari Pulau Cendana supaya datang ke sini. Ki Karim seorang lelaki yang baik dan berhati mulia. Sayangnya semua itu baru kusadari setelah sekarang. Mestinya dari dulu itu bisa kupahami."
"Kalau begitu, mengapa kau tidak mau memberitahukan di mana mayat mereka kalian buang?"
"Aku bukannya tidak mau memberitahukan!" Billok bertambah serius. "Sudah berapa kali itu kubilang. Cuma aku tidak tahu, sebab waktu itu aku bertugas untuk membunuh suami istri itu. sedangkan untuk membuang mayatnya menjadi tugas yang lain. Jadi aku tidak tahu di mana dulu itu mereka buang."
Basyah Purwa mulai bisa mempercayai pengakuan Billok, lelaki kurus yang sudah punya anak tiga itu.
"Tapi kau mengerti maksudku "kan...?"
"Tentu saja! Jiwaku dan keluargaku sedang terancam sekarang. Akulah sesungguhnya yang
lebih prihatin dengan keadaan ini. Pada akhirnya, giliran kami akan tiba ditimpa petaka itu. Tapi apa yang bisa saya lakukan untuk menyelamatkan kami" Karena itu aku sudah pasrah...."
"Ada yang bisa kau lakukan!" Dengan cepat Basyah Purwa menanggapi.
"Apa?" Billok melihat ke arah Basyah Purwa sambil menghentikan pekerjaannya.
"Kalian masih ada enam orang yang hidup. Usahakanlah bertanya kepada mereka di mana mayat itu dibuang. Cuma itu. Kalau untuk mengambil tulang-belulang itu nanti dan menguburnya, biar kita berdua saja."
Billok lebih serius memikirkannya.
"Memang siapa saja yang sudah mengaku terlibat dalam pembunuhan itu?" tanyanya kemudian.
"Baru kau! Yang lain belum ada.?"
Billok manggut-manggut sambil terus berpikir. Melihat bahwa putra pak kepala desa itu sangat serius, maka semangatnya menjadi timbul untuk ikut aktif memecahkan masalah yang menghantui semua penduduk desa. '
"Saya akan usahakan secara diam-diam!" katanya berjanji.
"Ya! Dengan diamdiam saja," sahut Basyah
Purwa mendukung." basyah tidak perlu tahu soal siapa yang ikut terlibat dalam pembunuhan itu dulu. Bagi saya yang penting, di mana sekarang tulang-belulang itu. "
Billok kembali manggut-manggut, lebih yakin pada dirinya sendiri.
*** BASYAH PURWA baru saja meninggalkan langgar setelah mengajar anak anak membaca dan menulis dalam bahasa Arab ketika dicegat oleh Billok.
"Ada apa?" tanya Basyah Purwa agak heran.
"Saya mau bicara dan penting sekali," jawab Billok dengan sangat bersungguh-sungguh.
"Kita bicara di sini atau di rumah saya saja?"
Billok setuju bicara di bale-bale kayu yang terdapat di serambi rumah orangtua Basyah Purwa.
"Katakanlah, apa yang penting itu!" ujar putra pak kepala desa itu sambil meletakkan dua gelas kOpi di hadapan mereka.
"Aku sudah tanyai mereka semua," sahut Billok sambil membakar ujung sebatang rokok kretek murahan.
Basyah Purwa langsung mengerti ke mana arah pembicaraan.
"Hasilnya?" tanyanya menjadi lebih bersungguhsungguh.
"Cuma seorang yang tahu. Itupun cuma mayat Ki Karim. Sedangkan mayat Mimit Rako'ah tidak ketahuan dibuang ke mana dulu."
"Mengapa tidak ketahuan?" ' _
"Yang membuangnya sudah ada meninggal
"Memang mereka tak dibuang dalam satu tempat?"
"Tidak." Basyah Purwa menjadi tertegun, karena merasa akan semakin sulitlah untuk mencegah petaka yang terus menerus mengancam desa mereka.
"Kalau mayat Ki Karim dibuang di mana katanya?" tanyanya kemudian.
"Di Utara. Katanya dibuang ke laut."
"Ke laut?" "Ya. Tapi pasti tidak jauh, sebab cuma dilemparkan oleh dua orang saja dari pantai."
"Kau sudah tahu tempatnya?"
"Sudah. Dia sudah memberitahukannya tadi kepada saya dengan jelas."
Basyah Purwa sangat menyesalkan karena tak diketahui di mana mayat Mimit Rako'ah dulu dibuang. Padahal justru itu yang lebih penting. Ki Karim tidak melakukan balas dendam terhadap manusia-manusia yang dulu membunuhnya. Justru yang melakukan tindakan balas dendam adalah Mimit Rako'ah.
"Kalau begitu, cepatlah minum kopimu!" katanya kemudian sambil meraih gelas kopinya. "Kita akan melakukan pencarian sekarang juga!"
Billok menggemyitkan alis matanya. "Seka
rang?" tanyanya. "Ya. sekarang' " Bnayah Purwa menegaskan.
"Tapi sudah " ?"
"Itu tidak masalah Semakin cepat semakin baik. Kita harus menemukannya sekarang juga, lalu menguburkannya kemudian."
Billok terdiam. Tapi karena melihat Basyah Purwa sedemikian seriusnya, dia terpaksa mau menurut.
Mereka berjalan menuju pantai sebelah Utara di kegelapan malam yang mulai pekat. Cuma dipandu sebuah senter penerang yang dipegang oleh Basyah Purwa. Mereka tak banyak bicara, sehingga suasana menjadi terasa sunyi dan hening.
Billok adalah seorang lelaki kurus yang sudah biasa mengembara di tengah lautan untuk menangkap ikan. Biasa sendirian saja dari matahari tenggelam hingga matahari terbit lagi keesokan harinya. Biasanya dia tak pernah takut. Tapi karena sekarang dikatakan untuk mencari tulang-belulang seorang manusia. bukan main takutnya dia. Sudah sejak'tadi darahnya terus berdesir-desir. Bulu kuduknya terus menyentaknyentak berdiri. Tapi karena melihat Basyah Purwa sangat berani, rasa khawatirnya menjadi
semakin berkurang. "Di sebelah mana?" tanya Basyah Purwa begitu langkah mereka telah tiba di tepi pantai.
Billok melihat ke kiri dan kanannya sebentar, lalu menunjuk ke arah kanannya.
"Berarti dari sana!" ujarnya. "Batu itu tanda yang dikatakannya tadi siang kepadaku. Mereka melemparkannya dari atas batu tersebut "
Basyah Purwa kembali memimpin menuju tempat yang ditunjuk oleh Billok, lelaki kurus berambut gondrong itu.
Mereka berdiri di atas batu besar yang dimaksud. Basyah Purwa membayangkan saat mayat Ki Karim dibuang dari tempat mereka berdiri ke arah laut. Kalau cuma dilemparkan dengan tangan, tentu jaraknya tidak akan lebih dari empat meter, pikirnya.
Berpikir demikian, putra kepala desa yang pemberani itupun mulai membuka jacket. baju, dan celana panjangnya.
"Kau tunggu saja di sini! Biar aku sendiri yang berenang," ujarnya.
Karena memang udara sangat dingin malam itu Billok sangat senang tak diajak ikut terjun ke air laut yang tenang dan tidak terlalu berombak .la duduk di atas batu dan melihat Basyah Purwa
yang mulai menyelam sambil memegang senter air. Sebentar anak muda itu sudah menyelam ke d asar laut, tapi sebentar kemudian sudah muncul ke permukaan untuk menghela nafas.
Tiba tiba Billok dikejutkan oleh satu sosok bayangan yang melesat dari atasnya. Bayangan putih itu melesat dari arah Timur ke arah Barat. Tapi sebentar kemudian lenyap tanpa bekas. Jadinya rasa takutnya menjadi semakin menjadijadi. Darahnya semakin berdesirdesir .Bulu kuduknya berdiri menyentak-nyentak. Dan belum sempat ia berpikir lebih jauh, sudah terdengar suara tawa cekikikan seorang perempuan dari pohon kelapa yang rapat di sana.
"Hihihihihi.... Hihihihihi...!"
Hantu Betina; begitu langsung dugaan Billok. Karena takutnya, tanpa pikir panjang lagi, dia ikut menjeburkan diri ke laut dan mendekati Basyah Purwa. Pakaiannya menjadi basah semua. '
"Ada apa?" tanya Basyah Purwa yang sedang muncul ke permukaan untuk menarik nafas.
"Ada Hantu Betina!" jawab Billok dengan muka pucat bagaikan mayat.
"Di mana?" "Oi pohon kelapa! Dia tertawa cekikikan!"
Basyah Purwa cenderung percaya, sebab dia sendiri sudah pernah melihatnya ada di sekitar ini. Dia lantas menuju ke darat, yang diikuti oleh Billok.
Dari atas batu besar, Basyah Purwa memperhatikan ke sekitar mereka. Tapi dia tak melihat ada tanda-tanda kalau di sana sedang ada hantu. Suara tawa yang disebutkan oleh Billok sudah tak ada.
"Kok enggak ada?" tanyanya.
"Tadi ada! Jelas aku dengar. Dia datang dari arah Timur, dan melesat ke arah Barat, lalu menghilang secara mendadak," jawab Billok sangat seru.
"Kita sedang berusaha berbuat yang terbaik, Billok," kata Basyah Purwa kembali, tapi tetap mengawasi sekitar mereka. "Kita sedang melakukan sesuatu untuk kepentingan rakyat banyak. Jadi percayalah bahwa kita tidak akan diganggu
oleh jenis hantu apapun...."
"Tapi tadi jelas-jelas ada!" Billok tetap bersemangat mempertahankan pendapatnya.
"Aku percaya. Tapi kau tak perlu takut! Kita pasti tidak akan diapa-apakannya."
Bersamaan dengan itu, tampak satu titik sinar yang sangat terang di celah-celah dedaunan
kelapa yang rimbun. Karena sudah pernah melihatnya, Basyah Purwa langsung menduga kalau di bawah titik sinar itu tergantung kerangka tulang-tulang manusia. Dan dugaannya itu tidak meleset. Sinar itu kemudian melintas dari hadapan mereka beserta kerangka tulangtulang itu, lalu terjatuh di suatu tempat dan lenyap.
Billok memegang lengan kiri Basyah Purwa erat-erat karena ketakutan. Seumur-umur dia baru sekarang menyaksikan pemandangan yang seseram itu. .
"Sekarang sudah tidak apa-apa! Tenang saja!" kata Basyah Purwa. "Tak perlu takut! Aku akan ke air lagi. Aku sudah menemukan tulang-belulang itu. Tinggal mengambilnya saja."
Billok menganggukkan kepalanya dengan ragu-ragu. Kembali dia awasi Basyah Purwa menyelam dengan rasa takut yang sedemikian hebatnya.
*** HAMPIR dua jam lamanya mereka disana, sebelum akhirnya semua tulang-tulang Ki Karim berhasil dikumpulkan. Tulang-belulang yang masih utuh itu lantas dibalut pada kain putih yang sudah dipersiapkan sebelumnya, lalu diikat kedua ujung balutan sebagaimana layaknya mengkainkafani seorang mayat.
"Bawa!" ujar Basyah Purwa kepada Billok.
Billok ragu-ragu, tapi akhirnya dia terima. Dia merasa sangat takut sekali. sebab hingga kini masih dapat dibayangkannya bagaimana persisnya wajah Ki Karim. la kenal betul lelaki yang sangat baik itu. Bahkan masih diingatnya ketika ia menusuk perut Ki Karim sekitar enam tahun yang lalu. Ketika itu Ki Karim langsung rubuh ke atas lantai dengan dada tembus, lalu mati seketika.
Dari atas batu itu mereka berjalan sekitar dua puluh meter ke arah Timur Persis ke tempat mana tadi tulang-belulang yang gentayangan terjatuh dan lenyap secara misterius. Basyah Purwa sudah beberapa kali melihat kerangka itu jatuh di sana, lalu lenyap di sana pula. ltu membuatnya curiga. kalau-kalau di sana ada apa-apa.
"Letakkan secara baik-baik di sini!" kata
Basyah Purwa menunjuk jacketnya. "Kita harus menggali tempat ini!"
"Untuk apa?" Billok heran.
"Aku sangat curiga dengan tempat ini. Siapa tahu di sini dulu dibuang mayatnya Mimit Rako'ah?"
Billok belum memberri tanggapannya lagi, Basyah Purwa sudah mulai menggali dengan kedua tangannya. Dia pun lalu membantu. Karena cuma pasir, memang dengan mudah mereka bisa menggali hingga lebih satu meter ke bawah. Luasnya sekitar 2X2 meter. Tapi sudah hampir dua jam mereka melakukan penggalian, tak juga ada tanda-tanda menemukan tengkorak atau tulang-tulang manusia. ltu membuat mereka bisa menyimpulkan bahwa di sana tidak ada yang mereka cari.
"Bagaimana" Masih akan diteruskan?" tanya Billok sambil melihat pada Basyah Purwa yang berhenti melakukan pencarian.
"Sudah cukup!" jawah Basyah Purwa. "Sudah lelas tidak ada di sini. Tapi aku masih tetap mencurigai tempat ini," katanya pula.
Mereka lantas meninggalkan tempat itu untuk menuju desa.
"Bagaimana dengan tulang-tulang ini?" tanya
Billok kembali membuka pembicaraan. "Biarlah disimpan di rumahku. Besok akan kita undang penduduk untuk menguburnya se cara baik-baik. Kita harus mendoakannya, se hingga ia bisa tenteram di alam baka." Billok terdiam. Dia setuiu saja pada usul itu.
*** SEPULUH WALAU tulang-belulang Ki Karim sudah dikuburkan secara baik baik, disertai upacara agama yang khikmad dari penduduk desa, tapi Basyah Purwa merasa keadaan belumlah aman sepenuhnya. Jiwa-jiwa penduduk masih tetap terancam hilang dalam waktu-waktu tertentu. Memang hingga sekarang, setelah sebulan kemudian. belum ada lagi korban yang jatuh. Tapi itu belum jaminan bahwa keadaan sudah aman sepenuhnya. Yang sudah dikubur secara wajar baru Ki Karim, sedangkan istrinya belum. Padahal, justru Mimit Rako'ah yang balas dendam. Bukan suaminya, Ki Karim.
"Apa yang kau lakukan selanjutnya?" tanya Billok sore itu saat bertemu dengan Basyah Purwa.
Putranya pak kepala desa itu menggelengkan kepalanya. "Usaha kita telah buntu Padahal kita
perlu segera menemukan tulang-belulang Mimit Rako'ah," jawabnya.
"Lantas bagaimana." Kami tak ada yang tahu di mana dulu dibuang mayatnya. Yang membuangnya sudah pada tewas semuanya."
"Justru itu yang memusingkan aku! Padahal keadaan belumlah aman. Aku justru khawatir sekali dalam menghadapi malam Jum'at Kliwon mendatang. Bukan tak mungkin pada saat itu Mimit Rako'ah akan minta korban lagi."
"Aku juga sudah memikirkan itu. Bahkan firasatku berkata akan demikian."
"Bagaimana?" "Akan ada lagi korban yang jatuh."
Anak muda bertubuh kekar dan berambut gondrong sebatas bahu itu terdiam sambil berpikir-pikir.
"Kapan malam Jum'at Kliwon lagi?" tanya Billok kemudian.
"Ya, yang akan datang ini!"
"Minggu depan?"
Basyah Punya menganggukkan kepalanya.
"Sudah dekat sekali"!" gumam Billok cemas. "Mungkinkah sudah tiba giliranku dan keluargaku?" tanyanya pula dengan renyah.
"Mudah-mudahan tidak! Mudah-mudahan ti
dak akan ada lagi korban yang jatuh," jawab Basyah Purwa menghibur.
"Mungkin..." Mungkin...?" Billok tertawa getir. "Bisakah hati kami tenang dengan mengharapkan sesuatu dari kata mungkin..?"
Basyah Purwa menggelengkan kepalanya.
*** TAK seorangpun penduduk Desa Nyiur Melambai yang tidak tegang. cemas, dan takut. Lebih-lebih lagi orang-orang yang berasal dari Pulau Cendana. Bahkan orang orang yang dulu ikut terlibat membunuh Ki Karim dan Mirnit Rako'ah sudah pada pasrah pada nasip.
Basyah Purwa tidak mau tinggal diam melihat keadaan yang seperti itu. Bersama Billok dan yang lain-lain, mereka membuat rencana untuk menghadapi malam nanti. Semua lelaki dianjurkan untuk tidak ada yang turun ke laut mencari ikan. Para penduduk dikumpul di beberapa rumah. sehingga lebih mudah diawasi. Sementara laki laki dewasa diperintahkan supaya ronda semalam suntuk.
Sangat sibuk keadaan di desa itu jadinya. Sebelum hari gelap, para lbu-lbu sudah bergabung dengan ibu-ibu lain di rumah-rumah yang sudah ditentukan dengan membawa anak masing-masing. Mereka akan tidur bersama di malam Jum'at Kliwon yang menakutkan ini.
Di luar rumah. para lelaki membuat kelompok-kelompok untuk berjaga. Lampu minyak dipasang di setiap sudut desa. Adzan terus dikumandangkan dan' langgar.
Sedikit melegakan karena suasana malam begitu cerah. Di langit tak setitikpun tampak awan. Bulan purnama yang kedua bersinar terang. Sementara angin cuma semilir tiba di Pulau Siluman yang terpencil itu. Sama sekali tak ada tanda tanda hujan akan turun.
Semakin larut malam, semakin terasa tegang dan mencekam. Rasa takutpun serasa kian menjadi-jadi. Gerak dedaunan yang dihembus angin dengan cepat ditanggapi sebagai sesuatu yang menakutkan. Pelepah kelapa yang jatuh di pinggir desa dan menimbulkan suara, akan langsung ditanggapi dengan serius.
Basyah Purwa sendiri tampak tegang. Ia tak bisa diam. Sebentar ke sini dan sebentar ke sana. Ia pun sering berjalan bolak balik untuk sekedar merenggangkan ketegangan otaknya. Tapi sesungguhnya bukanlah soal setannya yang dia cemaskan. la cemas justru bila masih ada nanti korban yang akan jatuh. Itu sungguh tak dikehendakinya lagi.
"Sudah jam berapa. Pak?" tanyanya pada seorang lelaki setengah tua yang duduk sambil menikmati segelas kopi di atas tikar pandan yang dilebarkan di atas halaman.
"Pukul dua belas lewat seperempat," jawab
yang ditanya. Basyah Purwa sering mencatat bahwa pada saat saat seperti inilah biasa anjing misterius itu melolong. Pada jam-jam seperti inilah korban biasanya, akan ada yang jatuh. Mudah mudahan malam ini tidak akan ada lagi korban, harapnya membathin.
Malam semakin sunyi, hening, dan mencekam. Para lelaki yang berjaga rupanya semua sama-sama tegang, sehingga tak seorangpun yang mengeluarkan suara. Semua seperti tahu bahwa sebentar lagi akan ada peristiwa aneh yang hendak menganggu mereka.
Keadaan malam yang begitu cerah, tiba-tiba berubah menjadi gelap. Segumpal awan hitam berdiam di atas Pulau Siluman, sehingga menghalangi sinar rembulan yang terang. Semua orang tertegun karena heran. Kemunculan dan keberadaan awan hitam itu terasa sangat aneh. Sungguh ganjil.
Sesaat kemudian berhembus angin badai yang sangat kencang dari arah Selatan. Begitu kuatnya hingga menumbangkan beberapa batang pohon kelapa. Bahkan rumah-rumah panggung yang umumnya terbuat dari dinding bilik bambu pada bergoyanggoyang, sehingga mencemas
kan semua orang. Basyah Purwa dengan segera memerintahkan supaya semua orang keluar dari dalam rumah dan mencari tempat tempat yang aman.
Betul saja. Sesaat kemudian angin yang lebih kencang datang hingga merubuhkan beberapa bangunan gubuk. Pohon pohon kelapa terus ada yang bertumbangan. Untung orang-orang sudah ke luar rumah untuk menyelamatkan diri masingmasing.
Keadaan bertambah runyam lagi karena hujanpun menyusul turun dengan sangat lebat. Sungguh membuat semua orang menjadi panik. Anakanak kecil, perempuan, dan orangorangtua lanjut usia harus basah kuyup di tengah siraman hujan yang luar biasa lebatnya. Sementara angin kian lama kian kencang merubuhkan apa saja.
Betul-betul menjadi kacau balau. Semarawut. Dunia seolah-olah hendak kiamat.
Basyah Purwa dan orangorang lain terus berusaha melakukan pertolongan.
Di tengah suasana yang sedemikian mengerikan, mendadak terdengar suara tawa cekikikan dari tengah udara.
"Hihihihihi.. Hihihihihi...." Suara tawa cekikikan itu bergema, mengerikan.
Basyah Purwa sudah mengenal suara tawa cekikikan itu Ketika ia melihat ke tengah udara, dia langsung melihat satu sosok bayangan putih melesat ke pinggir desa. Bayangan itu bukan kerangka tulang belulang. Bayangan itu berdaging sebagai mana manusia. Mengingat pengalaman yang disaksikannya beberapa bulan yang lalu, dia menjadi teringat pada Seroja.
"Billok, mana Seroja?" tanyanya di tengah kepanikan para penduduk.
"Tidak tahu!" jawab Billok sambil membawa lari anak-anaknya ke tempat yang lebih aman.
Saat itu juga Basyah Purwa berlari ke pinggir desa. Pintu rumah Seroja diterjangnya dan langsung terbuka. Gadis kurus yang sakit ingatan itu dicarinya, tapi tidak menemukannya di sana. Rumah. itu kosong.
Menduga bahwa Seroja ada di pantai sebelah Utara. dia berlari ke sana dengan menerobos hitamnya malam dan lebatnya hujan. Beberapa kali ia harus terjatuh atau menabrak pohon kelapa hingga membuat bibirnya retak dan berdarah. Tapi anak muda ini tidak memperdulikannya. la terus lari sekencang kencangnya.
Tiba di pantai sebelah Utara, Seroja dicarinya. Dengan mudah ditemukannya tergeletak
di atas pasir dalam keadaan basah kuyup. Gadis remaja yang sakit ingatan itu terkapar dalam keadaan tidak bergerak. Dari mulutnya tampak keluar darah kental yang kehitam hitaman.
"Ya, Allah, lindungi gadis malang itu! Lindungi semua penduduk! Jauhkan mara bahaya dari kami semua! Tak ada yang lebih berkuasa dari Engkau, ya Allah!"
Selesai mengucap demikian, tubuh Seroja diangkat dan dibopongnya serta membawanya lari ke arah kampung. Sampai di sana, ia bawa ke dalam rumahnya yang sudah kosong, tapi belum rubuh diterpa angin topan. Orang orangtua dipanggilnya supaya masuk dan bersembahyang untuk Seroja. Sebuah Kitab Al Qur'an dia letakkan pula di dekat kepala gadis yang sangat malang itu.
"Gadis ini tidak akan celaka! Teruslah kalian doakan! Baca ayat-ayat suci untuk mengembalikan rohnya yang dipinjam oleh Mimit Rako'ah! Tak ada yang lebih berkuasa selain Allah! Mimit Rako'ah cuma makhluk kecil yang diciptakan oleh Allah!"
Selesai berkata begitu. Basyah Purwa yang sudah basah kuyup dan kotor kembali berlari ke pantai sebelah Utara. Tapi kali ini dia disertai
oleh Billok dan tiga orang lainnya. Dari tempat mana tadi dia menemukan Seroja. ia berteriak ke arah suara cekikikan yang terus bergema.
"Mimit Rako'ah...! Dengarlah, bahwa putrimu telah kami bawa pulang! Dia dalam lindungan Allah Yang Maha Pengasih! Kau tidak akan sepenuhnya bisa memperalat putrimu, sebab yang memilikinya adalah Allah!"
Kalau suara tawa cekikikan Mimit Rako'ah bergema di atas Pulau Siluman, suara Basyah Purwa hanya terdengar kecil karena hilang ditelan suara derasnya hujan dan kencangnya angin badai. Tapi dia yakin suaranya akan didengar oleh hantu yang sedang gentayangan itu.
Terbukti, bahwa sesaat kemudian suara tawa cekikikan itu sudah tak terdengar lagi. Seiring dengan itu hujan mendadak berhenti. angin topan tak lagi berhembus, dan kabut hitam di tengah udara lenyap tak berbekas sehingga sinar rembulan yang terang kembali menerangi Pulau Siluman.
Semua orang pada terheran-heran. Sungguh menakjubkan.
Basyah Purwa dan teman-temannya masih berdiri dengan tegang. Masih dalam keadaan basah kuyup. Dalam keadaan nafas yang ter
engan-engan setelah berlari ke sana ke mari.
Beberapa kedipan mata kemudian, tampaklah satu sosok bayangan putih melesat di antara celah-celah pohon kelapa yang rapat. Bayangan itu lalu turun lebih ke bawah, tapi tidak sampai menyentuh tanah. Tepat di atas pasir galian di tempat mana sebulan yang lalu Basyah Purwa dan Billok melakukan pencarian terhadap tulang-belulang Mimit Rako'ah.
Orang halus yang berwujud Mimit Rako'ah itu memandang marah ke arah Basyah Purwa dan teman-temannya. Sikapnya jelas menunjukkan rasa tidak suka. Tapi Basyah Purwa tidak takut sama sekali. la berjalan ke depan beberapa langkah untuk memperdekat jarak dengan hantu cantik berjubah putih itu.
"Kami semua telah menderita akibat dendammu! Apakah itu belum cukup" Dan Seroja sudah sangat menderita, mengapa kau tambah lagi penderitaannya" Dunia kami sudah lain dengan duniamu. Karena itu janganlah saling mengganggu." katanya tetap tenang.
Mimit Rako'ah menggeram. Tapi bersamaan dengan itu berangsungangsur dagingnya melebur menjadi air dan menetes ke tanah. Persis leburnya segumpal es di dekat perapian. Hanya
dalam waktu singkat, tubuh itu sudah tinggal rangka tulang-tulang. Kemudian tulang-tulang itu jatuh ke atas pasir, lalu lenyap tak berbekas.
Basyah Purwa berlari ke depan untuk mengetahui ke mana perginya tulang-belulang itu, tapi tetap gagal mengetahuinya.
Teman-temannya pun pada mendekat.
"Sungguh sulit dipercaya"!" ujar Bilu, pemuda tanggung yang dari tadi terus tegang dan gemetaran.
"Ya. Inilah untuk yang pertama sekali aku menyalsikan peristiwa aneh semacam ini," kata Lei ikut mengutarakan rasa keterkejutannya.
"Tapi kita belum aman! Desa kita masih tetap terancam," jawab Basyah Purwa menanggapi. "Kita baru akan aman setelah berhasil menguburkan tulang-tulangnya, seperti kita menguburkan tulang belulang suaminya sebulan yang lalu."
Bilu, Le'i, Billok, serta Jiun menjadi samasama terhentak. lalu saling bertatapan.
*** HUJAN badai memang telah berhenti. Begitupun dengan angin ribut. Rembulanpun sudah kembali bersinar terang. Tapi keadaan di Desa Nyiur Melambai benar-benar sudah sangat berantakan. Pohon pohon banyak yang tumbang. Beberapa rumah menjadi rata dengan tanah. Tangis wanita dan anak_anak berkumandang dari mana-mana lewat tengah malam yang dingin itu. Semua basah kuyub.
BaSyah Purwa langsung menuju rumahnya. Rumah orangtuanya yang beton sama sekali tidak mengalami kerusakan barang sedikitpun juga. Di dalam rumah begitu banyak orang yang ditampung.
"Bagaimana dengan Seroja, Bapak?" tanyanya begitu berpapasan dengan Bapaknya yang tampak sangat sibuk sekali.


Sengatan Birahi Karya Dian Purba di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia sudah sadarkan diri kembali, dan sekarang sedang ditidurkan di kamar," jawab Pak Ali.
"Apakah ada yang ganjil tadi dengan dirinya?"
"Dia sadarkan diri secara mendadak. Begitu sadar, ia langsung kembali seperti biasa... seolah-olah tak ada yang terjadi pada dirinya."
Basyah Purwa manggut-manggut sambil berpikir-pikir. Kemudian disambungnya bertanya:
"Apakah ada penduduk yang menjadi kor-"
ban?" "Tidak! Bapak baru saja melakukan pengecekan, tak ada yang mengaku kehilangan anggota keluarganya."
"Yang luka?" "Cuma luka ringan, ada beberapa orang. Yang justru memusingkan adalah akibat amukan angin topan tadi. Beberapa rumah rata dengan tanah. Ada yang cuma atapnya yang terhempas. Yang belum sempat diperiksa adalah perahu-perahu penduduk yang ditambat di pantai. Mungkin banyak yang rusak."
"Soal itu. biarlah besok diperiksa!"
Bapak-Anak itu lantas berpisah dan melanjutkan tugas masing masing, melayani penduduk yanqiperlu bantuan.
*** SEBELAS KEADAAN di Pulau Siluman berangsur-angsur pulih setelah peristiwa bencana di malam Jum'at Kliwon itu. Rumah-rumah yang rusak di perbaiki secara bergotong royong; Pohon-pohon kelapa yang bertumbangan ke desa segera disingkirkan; Penduduk yang mengalami luka-luka sudah disembuhkan; Dan para lelaki sudah mulai lagi melaut untuk menangkap ikan. Secara umum, kegiatan di desa terpencil di tengah samudra itu sudah normal kembali.
Walau demikian bukan berarti keadaan sudah aman sepenuhnya. Orang-orang masih saja dicekam rasa takut akan muncul lagi bencana yang serupa atau bahkan yang lebih_ besar. Saat ini semua orang sudah percaya bahwa petaka di Pulau Siluman adalah akibat dendam arwah Mimit Rako'ah. Akibatnya, rasa takut justru lebih mencekam orang-orang yang dulu terlibat dalam
pembunuhan terhadap Ki Karim dan istrinya. Terlebih-lebih karena pembunuhan pembunuhan yang dilakukan akhir-akhir ini sudah semakin liar. Bukan lagi cuma lelaki dewasa yang menjadi korban, tapi juga perempuan dan anak anak.
Semua orang percaya bahwa untuk menghentikan amukan arwah Mimit Rako'ah cuma dengan cara yang dikemukakan oleh Basyah Purwa, yakni menemukan tulang-belulang perempuan itu, lalu menguburkannya secara baikbaik. Masalahnya. di mana tulang-belulang itu harus ditemukan" Seisi kampung sudah tak ada yang tahu di mana dulu mayat perempuan itu dibuang setelah dibunuh secara sadis. Orangorang yang bertugas membuang mayat Mimit Rako'ah dulu sudah pada meninggal secara misterius.
Terbatas sekali pengetahuan orang-orang di sana tentang hal-hal yang demikian. Pasti pula tak akan ada pustaka yang mengulas tentang dunia gaib serta cara mengatasinya. Dunia gaib adalah alam misteri. Banyak orang yang tidak mempercayainya, tapi banyak juga yang meyakininya. Tetapi terlepas dari itu.'dunia gaib tetap dekat dengan manusia. Alam Misteri berdampingan dengan kehidupan sehari-hari manusia.
Dan, Petaka di Pulau Siluman adalah contoh nyata. ltu sebuah pertanda betapa dekatnya manusia dengan para arwah yang telah mati.
"Semua orang di desa ini masih dicekam rasa takut. Apa kau tidak akan melakukan sesuatu untuk mengatasinya?" tanya Pak Ali yang mulai mempercayai perkataan perkataan aneh putranya.
"Apa lagi yang bisa saya lakukan, Pak" Masalahnya sudah jelas. yakni mesti menemukan tulang belulang almarhumah Mimit Rako'ah. Tapi akan menemukan di mana?" Basyah Purwa menanggapi.
Pak Ali meraih gelas kopinya, lalu meneguk isinya sekali teguk.
"Bapak khawatir sekali bila malam Jum'at Kliwon berikutnya bencana yang lebih besar akan menimpa desa ini." lanjutnya berkata sambil meletakkan gelas kopinya kembali. "Apalagi malam Jum'at Kliwon berikutnya akan bertepatan dengan satu Suro. Orang-orang di sini sangat percaya bahwa satu Suro adalah sebuah hari yang kramat." '
Basyah Purwa memahaminya, tapi dia sendiri sudah tak tahu lagi harus berbuat apa.
"Atau barangkali Bapak punya pendapat untuk
saya lakukan...?" tanyanya minta pendapat.
"Ya," jawab Pak Ali cepat "Setelah Bapak pikir-pikir, mungkin guru silatmu yang di Cirebon adalah seorang dukun yang bisa dipercaya. Maksud Bapak, kalau memang kau setuju, pergilah lagi ke sana. Minta tolonglah kepadanya Siapa tahu beliau bisa membantu kita untuk menemukan tulang-belulang Mimit Rako'ah'"
Basyah Purwa menyempitkan kelopak matanya sehingga membuat keningnya sedikit berkerut. la pikirkan usul Bapaknya dengan serius, lalu membuat pikirannya menjadi terbuka. la cendrung setuju. Mengapa tidak dari sebelumnya aku mengingat guruku itu kembali" Anak muda ini membathin.
"Saya kira begitupun baik," jawabnya kemudian. "Kapan saya bisa berangkat ke sana?" tanyanya pula.
"Secepatnya! Besok pagi begitu hari mulai terang, saat itulah kau berangkat." jawab Pak Ali, Kepala Desa yang sangat bertanggung jawab itu. "Lebih cepat tentu lebih baik. Bapak tak ingin lagi ada korban yang jatuh di desa kita ini. Juga sangat tidak mengharapkan terjadi lagi bencana seperti yang malam Jum'at Kliwon itu."
Basyah Purwa terdiam sebagai pertanda per
setujuannya. Tapi ia tetap berpikir dan berpikir untuk desanya dan semua rakyat
*** UNTUK memuaskan rasa rindunya pada Kota Cirebon, Basyah Purwa menyempatkan diri jalan-jalan di Pasar Balong. Untuk mengganjal perutnya yang keroncongan, ia makan nasi lengko di sebuah warung pojok di depan Keraton Kanoman. Sambil menikmati makanan khas kota tua yang didirikan Sunan Gunung Jati itu, sepasang matanya terus liar melihat ke keramaian manusia yang sedang berbelanja atau yang sedang menuju dan meninggalkan Keraton Kanoman.
Pada saat itulah secara tak sengaja matanya melihat seorang gadis cantik keluar dari Keraton Kanoman menuju jalan raya. Gadis itu mengenakan blus putih dengan renda-renda pink di tepi-tepinya. Yang membuatnya tertarik bukan karena kecantikannya saja, tapi karena gadis itu mirip wajah Seroja. Bentuk wajah dan panjang rambutnya sama persis. Bedanya. Seroja seorang gadis yang sakit ingatan, kurus. bodoh. dan miskin, sedangkan gadis yang disaksikannya
sekarang memiliki tubuh yang gempal-padat, kulitnya bersih, sehat, bajunya bagus, dan tampak pintar dan lincah sekali.
Penasaran anak muda berambut gondrong dan bertubuh kekar itu, sehingga buru buru ia bangkit berdiri. Makanan yang belum habis di piringnya ditinggalkannya. Buru-buru dikejarnya gadis itu. ia berusaha mendahuluinya agar bisa melihat wajah si gadis cantik lebih jelas.
Namun baru saja dia hendak mendahului, si gadis sudah menoleh ke arahnya, lalu menegur.
",Eh Kakang Basyah"!" Ujarnya seperti terkejut.
Basyah Purwa menjadi kaget setengah mati. Dia memang mengejar gadis itu karena mirip dengan seorang gadis malang di desanya. Tapi dia tak mengira kalau gadis itu mengenal dan mengetahui namanya. Jadinya dia menjadi gelagapan dan tergagapgagap.
"Aa... ooo... ya, saya memang Basyah! Nama lengkap saya Basyah Purwa." sahutnya.
"Lha..."!" Si gadis heran. "Memangnya Kakang Basyah tidak mengenal saya?"
BaSyah Purwa menjadi bertambah bingung. "Aa... maaf, Dik, saya lupa," katanya berterusterang."
"Saya Seroja, Kang."! Masa bisa lupa dengan saya?" Si gadis tersenyum geli
"Seroja..."!" gumam Basyah Purwa bingung. "Seroja mana?"
Gadis cantik berbibir tipis itu kembali tertawa. "Masak sih Kakang Basyah sudah lupa dengan saya?"
"Seroja yang sekampung dengan saya di Pulau Siluman?"
"lya." "Kok...?"" Basyah Purwa masih sulit untuk mempercayai. "Kamu kok sudah ada di sini?" tanyanya pula.
"Saya sudah setahun di sini, Kang."
"Setahun"!" Lagi-lagi Basyah Purwa tak bisa percaya. Bukankah baru dua hari yang lalu gadis itu masih kulihat di Pulau Siluman" Si anak muda membathin. "Rasanya sulit untuk kupercaya...?"
"Mengapa sulit. Kang?" Seroja kembali tertawa geli. "Ayo, Kang, ke rumah saya...!" ajaknya pula. .
Basyah Purwa belum sempat berpikir lebih jauh, lengan kirinya sudah ditarik oleh gadis cantik yang mengaku bemama Seroja itu
"Memang di mana rumahmu?"
"Di sana! Tak iauh!"
Kau tinggal sama Siapa di sana?"
Sama Embah Putri saya'"
Memang tak terlalu jauh mereka berjalan kaki. tibalah mereka di depan sebuah rumah tua berpekarangan lua . Seroja mendahului memasuki pekarangan rumah itu. lalu disusul oleh Basyah Purwa.
Basyah Puma berjalan sambil memperhatikan rumah tua yang sudah agak lapuk itu. Juga diperhatikannya pohon-pohon melinjo. pohon aceh. pisang. mangga, serta kelapa yang tumbuh subur di pekarangan rumah, sehingga membuat suasana menjadi sangat teduh dan sejuk.
"Sayangnya Embah Putriku sedang tak ada. sehingga Kakang tidak bisa berkenalan dengannya. ujar Seroja kemudian sambil membuka pintu dengan sebuah anak kunci. '
Ke mana memang Embah Putrimu?" tanya Basyah Purwa sekedar menanggapi.
"Sedang pergi ke Linggarjati untuk urusan penting."
Basyah Purwa merasa tak perlu bertanya tentang urusan penting yang dimaksud. Karena sudah dipersilahkan masuk, dia melangkah memasuki rumah tua itu.
ternyata di dalam rumah sangatlah bersih dan rapi. Kalau dari luar rumah itu tampak sudah lapuk dan seperti tak berpenghuni, tapi di dalamnya terasa sangat menakjubkan dan menyenangkan. Baru selangkah memasuki rumah sudah langsung terasa suasana sejuk yang nyaman. Lantai rumah yang bersih dan licin itu terbuat dari petak marmar China bermotif bunga melati. Satu set kursi tua yang terbuat dari kayu jati asli tampak masih terawat baik di sana. Juga ada sebuah bufet berisi piring piring kuno buatan Eropa dan China. Sebuah lukisan besar berupa pemandangan laut terpajang di salah satu bidang dinding. Terkesan antik ruang tamu itu, tapi juga menimbulkan kesan magis yang menggetarkan perasaan. Mungkin karena semua perabot yang ada cuma berupa barang barang kuno.
"Silahkan duduk dulu Kakang!" ujar Seroja mempersilahkan begitu menutup pintu kembali. Setelah itu dia langsung memasuki sebuah kamar.
Basyah Purwa duduk dengan perasaan berdebar-debar. Bukan cuma karena ruang tamu semacam itu masih sangat asing baginya, sehingga membuatnya agak kikuk. Tetapi dia juga belum bisa mempercayai kalau Seroja yang dikenalnya di Pulau Siluman adalah Seroja yang dilihatnya
sekarang. Ketika keluar dari kamar, Seroja sudah mengenakan pakaian lain. Sekarang dia mengenakan baju daster batik yang panjang hingga menyeret di lantai. Motilnya kembang-kembang dan khas tradisi Cirebonan. Di mana Basyah Purwa. justru dengan pakaian itu Seroja tampak lebih anggun dan cantik. Lebih keibuan dan terkesan lebih lembut. Sempat bergetar hati anak muda berusia dua puluh dua tahun itu dibuatnya.
"Kakang Basyah mau minum apa?" tanya Seroja kemudian menawarkan.
"Terserah saja!" jawab Basyah Purwa sambil menyungging senyumnya.
Seroja pun tersenyum, lalu berbalik dan melanjutkan langkahnya ke arah dapur.
Basyah Purwa kembali berpikir pikir. Seroja itu seorang anak yatim-piatu. Hidupnya malang dan menderita. Menderita kelainan syaraf. Bodoh dan tidak bekerja apa-apa. Pernah diperkosa oleh si brengsek Eyot. Lantas mengapa tiba-tiba berubah menjadi seorang gadis cantik yang pintar" Tubuhnya menjadi gemuk dan memiliki kulit yang halus"
Aneh" *** Kembali beroja muncul dengan membawa dua gelas minuman di atas sebuah nampan keramik. Sebuah gelas diletakkannya di hadapan Basyah Purwa dan sebuah lagi di hadapannya.
"Silahkan diminum. Kakang!" ujarnya mempersilahkan.
Untuk sekedar mengikuti tata krama bertamu. Basyah Purwa meraih gelas itu dan meneguk isinya sedikit. Dia menjadi takjub karena minuman itu sedemikian wanginya dan nikmat sekali di dalam mulut. Sungguh baru pertama kali ini dia meminum minuman seperii itu.
Seroja pun menarik gelasnya dan meneguk isinya sedikit... sebagai penghormatan untuk tamunya.
"Saya sungguh tak menyangka Kakang Basyah akan pernah mampir di rumah ini," ujarnya sambil meletakkan gelasnya kembali.
"Aku juga tidak menyangka kalau Dik Seroja telah menjadi seperti sekarang ini. Masih sulit untuk aku percaya." sahut Basyah Purwa menanggapi. .
"Mengapa masih belum percaya. Kakang?" Seroja tertawa. "Bukankah sudah jelas dilihat oleh Kakang...?"
"Ya, memang. Tapi?" Basyah Purwa tak
melanjutkannya lagi karena mendadak kepala nya terasa pening.
Seroja tersenyum lalu mendekatinya.
"Mengapa, Kakang" Pusing.?" tanyanya.
Basyah Purwa cuma bisa menyahut dengan anggukan kepalanya.
Kemudian Seroja memapah Basyah Purwa ke dalam kamarnya, lalu membaringkan tubuh kekar itu di atas tempat tidur. Pakaian pakaian pria perkasa itu ditanggalkannya satu-persatu lalu ikut berbaring di sampingnya.
Menyadari pakaian-pakaiannya pada dipreteli, Basyah Purwa justru menjadi bergairah. Rasa pusing di kepalanya mendadak hilang dan berganti dengan dorongan birahi yang sangat menggebu. Dia tanggapi apa yang dimulai oleh Seroja. Kain-kain yang menempel di tubuh gadis itu ganti dipretelinya satu demi satu dan menyisihkannya ke telaga ranjang. Setelah semua tanggal, dia mulai menciumi bibir si gadis yang tipis dan segar, sementara tangannya menjadi liar meraba dan menyentuh di mana ia suka.
Seroja tampak lebih agresip dan tak sabaran. Tubuhnya yang elok dan sempurna tak hentihentinya menggeliat-geliat untuk bisa lebih rapat ke dekapan pria tampan bertubuh perkasa itu.
Buah dadanya yang mengkal dengan sengaja digesek gesekkannya ke dada Basyah Purwa yang berbulu tebal. Sementara pangkal pahanya terus disentuh-sentuhkannya ke sebuah benda sebesar ketimun di bawah perut si anak muda.
Ketika dorongan birahi itu sudah kian mendesak, tak tertahankan lagi, Basyah Purwa bergerak untuk menindih tubuh Seroja yang indah dan sempurna. Tapi dia tiba-tiba menjadi gelagapan. la kelalap dan tergagap-gagap.
Matanya terbuka. Dia terkesiap. Muka, rambut, dan dadanya basah. Di sampingnya berdiri' seorang kakek tua memegang ember sambil tertawa terkekeh kekeh.
Menyadari apa yang sedang terjadi. Basyah Purwa bangkit dan duduk di atas bale-bale kayu. Dia menjadi sangat malu menemukan dirinya sudah bertelanjang bulat. Dengan terbirit-birit dia pungut pakaian-pakaiannya dan mengenakannya cepat-cepat.
Si kakek tua masih tertawa terkekeh-kekeh.
"Kau sedang mimpi apa sehingga sampai main bugil-bugilan begitu?" tanyanya.
"Aa" Saya memang sedang mimpi, Kakek." jawab Basyah Purwa masih tergagapgagap.
"Mimpi sedang bercinta-cinta...?" Tawa si
kakek kian menjadi jadi. "lya, Kakek!" Basyah Purwa pun menjadi ikut tertawa.
"Untung kau mimpi di sini. Kalau sedang banyak orang, tentu kau akan menjadi tontonan banyak orang."
"Begitu tiba tadi di Sini, saya tidak menemukan Kakek. sehingga aku putuskan untuk menunggu. Akupun lalu tidur-tiduran di bale-bale ini. Tahu-tahunya jadi tiduran benaran," kata Basyah Purwa menjelaskan.
"Saya memang baru tiba," jawab Kakek Silun, dukun yang bermukim di punggung Gunung Cermay itu.
"Kakek dari mana?"
"Dari Sunyaragi. Kakek ada penting di sana."
"Apa tidak ada murid Kakek yang latihan malam ini?"
"Tidak. Besok baru ada. 0, ya, kapan kau tiba di sini?"
"Tadi, Kek! Sekitar jam empat sore."
"Langsung dari Pulau Siluman?"
"Ya, Kakek! Saya datang karena penting, Kakek!"
"Saya sudah tahu itu! Sebaiknya kau cepat cepat kembali ke sana, sebab keadaan di sana
justru sedang kacau balau. "
Basyah Purwa tertegun sejenak. Aku belum berceritera apa-apa, lantas bagaimana orangtua ini bisa tahu, pikirnya. Tapi kemudian dia sadar bahwa Kakek Silun adalah seorang dukun sakti berhati mulya.
"Sedang kacau bagaimana maksud kakek?"
"Cepatlah pulang! Nanti kau akan tahu sendiri!"
"Tapi saya ke sini untuk suatu urusan, Kakek" Aku harus menemukan tengkorak Mimit Rako'ah seperti yang dulu Kakek sarankan, tapi kami tidak berhasil. Saya ke sini untuk minta bantuan lagi pada Kakek. Ayah saya yang menyuruh saya ke sini."
"Kalian tidak akan menemukannya lagi, sebab sudah berserakan di tengah laut. Dulu mayatnya jauh sekali dibuang ke tengah samudra, sehingga dagingnya dimakan sama ikan hiu. Kalian harus keringkan dulu Laut Jawa baru bisa menemukannya."
Basyah Purwa menjadi bertambah bingung.
"Lantas, cara apa lagi yang harus kami lakukan untuk mencegah petaka yang akan ditimpakan oleh arwah Mimit Rako'ah, Kakek?" tanyanya cemas.
"Gampang! Kalau kau melihat kerangka tu lang-belulangnya melayang-layang di tengah udara, cepat-cepat bakar menyan sebanyak banyaknya. Begitu kerangka. tulang-beluiang itu sudah turun. siram pakai air kembang!"
"Begitu saja, Kakek?" tanya Basyah Purwa karena Kakek Silun tak bicara lagi.
"Ya!" "Nanti akan bagaimana jadinya. Kakek?"
"Nanti saja lihat!" Orangtua yang sudah bungkuk itu kembali tertawa.
Basyah Purwa menjadi tertegun. Semudah itukah"
*** DUA BELAS MALAM itu juga Basyah Purwa meninggalkan Cirebon untuk kembali ke Pulau Siluman. Ada dua hal yang terus-menerus menjadi buah pikirannya selama di perjalanan. Yang pertama adalah soal mimpinya yang aneh ketika ketiduran di atas bale-bale kayu di depan rumah Kakek Silun, sedangkan yang kedua adalah soal kekacauan yang dimaksudkan oleh dukun tua berhati mulya itu di Pulau Siluman. Dia sama sekali tak bisa memperkirakan kekacauan apa yang dimaksudkan oleh bekas guru silatnya itu.
Adapun soal mimpinya. sangat sulit baginya untuk menafsirkannya. Apalagi mimpi itu cuma mimpi yang datang di siang hari. Tapi dia tetap merasa mimpi itu punya arti tertentu Bukankah sangat aneh Seroja yang sakit ingatan tiba tiba berubah menjadi seorang dara cantik yang sangat lincah dan pintar" Bukankah pantas men
jadi bahan pikiran bila Seroja yang hidup menderita tibatiba tinggal di sebuah rumah yang berprabot bagus dan antik-antik" Lebih membingungkannya lagi karena Seroja sempat bermain cinta dengannya dan hampir hendak melakukan persetubuhan.
Sebuah mimpi yang ganjil.
Pas matahari terbit di ufuk Timur. pada saat itulah Basyah Purwa kembali tiba di Pulau Siluman. Dia menjadi heran sekali melihat orangorang pada berada di tanah pekuburan yang ada di luar desa. langsung dugaannya kalau ada yang meninggal. Tapi siapa" Apakah meninggal karena korban dendamnya Mimit Rako'ah lagi"
Cepat-cepat dia mendekati para ibu-ibu dan anak-anak yang berkumpul di dalam desa. Kebiasaan di sana tidak memperbolehkan perempuan dan anak anak ikut ke pemakaman saat ada mayat dikuburkan.
"Siapa lagi yang meninggal. Emmak?" tanyanya karena kebetulan ibu kandungnya ikut berkumpul di sana.
Mak Aisah berpaling ke arah putranya dengan sepasang mata yang masih belinang air mata.
"SerOJa! Jawabnya. Basyah Purwa kaget bukan kepalang. "Seroja meninggal?" tanyanya tak yakin.
Mak Aisah menganggukkan kepalanya.
"Meninggal karena apa?" tanya Basyah Purwa lagi.
"Dibunuh orang."
"Dibunuh"!" Lagi-agi anak muda itu terkejut. "Siapa yang membunuh?"
"Tidak ada yang tahu."
"Kapan kejadiannya?"
"Kemarin malam."
"Kalau begitu mengapa baru sekarang dikuburkannya?"
"Sempat dilaporkan kepada polisi. Dikira polisi akan datang kemarin melakukan pemeriksaan. Setelah hingga sekarang tak juga datang, akhirnya diputuskan untuk menguburnya."
0. berarti inikah sebahagian arti mimpiku yang di Cirebon" Apakah kehadirannya dalam mimpiku sebagai ucapan perpisahannya denganku" Oh, tragis sekali hidupmu, Seroja; Basyah Purwa membathin. Kemudian cepatcepat ia menuju tanah pekuburan. ia ingin melihat jasad itu dulu sebelum dimakamkan. Tapi kehadirannya di sana sudah terlambat. Upacara
pemakaman sudah selesai dan lobang kubur sudah ditutup kembali.
"Kapan kau tiba?" tanya Bapaknya begitu orang-orang mulai bubar.
"Barusan," jawab Basyah Purwa.
"Sayang kau tidak sempat melihat gadis malang itu"!"
"Ya. Aku juga sangat menyesal. Tapi apa sesungguhnya yang telah terjadi dengannya?"
"Dia ditemukan terbunuh di dalam rumahnya."
"Siapa yang membunuhnya?"
"Itu yang belum tahu. Sudah Bapak laporkan kepada polisi, dengan harapan akan diketahui sidik jari si pembunuh, tapi polisi pun tidak datang." Pak Ali sangat menyesalkan.
"Siapa yang dicurigai?"
Pak Ali menggelengkan kepalanya. "Pembunuhan dilakukan pada malam hari, sedangkan ditemukan baru pagi harinya. Jadi sulit sekali mengetahui siapa pembunuhnya."
Basyah Purwa menggeram dengan sangat marah. Dengan tekad yang bulat dia berkata :
"Brengsek sekali pembunuh itu! Aku bersumpah untuk mengusut kasus ini hingga tuntas! Aku akan beri si pembunuh itu pelajaran. biar
dua tahu rasa!" Pak Ali cuma diam sambil memperhatikan putra tunggalnya yang sedang bersumpah itu.
*** DIDU dan OYONG berlari kencang kencang menuju desa sambil berteriak-teriak minta tOlong. Para penduduk yang mulai tertidur di peraduan masing-masing menjadi bangkit kembali dengan cemas. Para laki-laki dewasa langsung berhamburan ke halaman untuk mengetahui apa yang terjadi.
Basyah Purwa dan Bapaknya berbarengan menuju asal suara teriakan. Mereka bergabung dengan orang lain yang siap dengan senjata masing-masing. Ada yang membawa golok. kapak, pacul, pisau, atau cuma potongan kayu. Di depan langgar, mereka menemukan Didu dan Oyong sudah duduk di atas mmput dengan muka pucat bagaikan mayat. Nafas mereka memburu karena kelelahan.
Kedua orang pemuda tanggung itu sudah terkenal kebrandalannya. Mereka malas dan suka mencuri ikan orang-orang yang sedang dijemur. Sudah beberapa kali keduanya kena gebuk orang
orang desa, tapi tak juga kapok-kapok.
"Ada apa?" salah seorang penduduk bertanya kepada keduanya.
"Ada hantu!" Didu dan Oyong menjawab berbarengan.
"Di mana?" tanya yang lain.
"Di sana!" Oyeng menunjuk ke arah Utara. Yang ditunjuk adalah ke arah penambatan perahu para penduduk desa.
"Hantunya kayak mana?"
"Pakai jubah putih dan mukanya cuma tinggal tengkorak. "
"Kalian didekati?" kali ini Pak Kepala Desa yang bertanya.
"Ya. Malah kami dikejarnya," jawab Didu.
Pak Kepala Desa lantas memimpin orang orang menuju ke tempat yang dimaksud. Tapi Basyah Purwa tidak ikut. Dia tinggal di depan langgar bersama Didu dan Oyong.
"Dari mana datangnya hantu tengkorak itu?" tanya Basyah Purwa kemudian.
"Kami tidak tahu"! Tiba-tiba saja sudah ada di belakang kami." mas-ih dengan serius Didu menjawab.
"Memang untuk apa kalian ke sana" "Kan sudah jauh malam begini?" kejar Basyah Purwa
terus. "Oo" Cuma... main saja," jawab Didu terbat-bata.
"Begitu...?" ganti Basyah Purwa melihat kepada Oyong.
"Ya..." Oyong menjawab kaku.
Basyah Purwa menyempitkan kelopak matanya sambil berpikir pikir. Beberapa bulan terakhir ini, sudah ada beberapa buah perahu nelayan hilang. Bukan tak mungkin kedua orang ini yang mencurinya dan menjual ke pulau lain; dia menduga-duga.
Satu hal lagi yang menjadi bahan pikiran Basyah Purwa adalah karena hantu itu menampakkan diri pada Oyong dan Didu. Biasanya arwah Mimit Rako'ah cuma menampakkan diri bagi orang-orang yang hendak dimampuskannya. Tapi mengapa sekarang pada dua orang pemuda tanggung berusia belasan tahun" Lebihlebih lagi karena keduanya bukan berasal dari Pulau Cendana, tapi dari Pulau Bidadari.
"Apakah hantu itu bicara kepada kalian?"
"Tidak!" Didu yang menyahut.
"Dia tak bersuara?"
"Tidak!" Basvah Purwa manggut-manggut sambil
bangkit berdiri. Dari semula dia sudah mencurigai kedua orang itu terlibat dalam pembunuhan terhadap diri Seroja. sehingga dianggapnya perlu untuk memastikan dugaannya.
"Seharusnya kalian tidak perlu lari tadi," katanya.
"Mengapa?" Didu dan Oyong serentak menanggapi. '
"Sekarang kalian selamat, tapi besok besok tidak akan lagi. Kalian akan menjadi korban berikutnya. "
"Maksudnya?" Didu menjadi gemetaran.
Oyong malah kembali menjadi pucat.
"Sulit bagiku untuk menjelaskannya," kata Basyah Purwa tersenyum. "Tapi kalau kalian ingin selamat, aku bisa membantu. Aku punya penangkal yang jitu. Karena itu aku tidak pernah takut kepada yang namanya hantu. setan, ataupun dedemit. Kalian mengerti 'kan maksudku...?"
Siapa lagi di desa ini yang tidak mengetahui kalau Basyah Purwa tidak pernah takut pada hantu" Semenjak dia berhasil menemukan tulang-belulang Ki Karim. semua orang menjadi sangat kagum kepadanya. Padahal itu ditemukannya karena informasi dari Billok.
"Bantulah kami Bang Basyah! Kami sangat
taKut, Ujar Uyong memohon penuh harap.
"Ya, Bang! Tolonglah kami," pinta Didu pula.
" Gampang! Syaratnya cuma satu, beritahu saya siapa yang membunuh Seroja!" jawab Basyah Purwa.
Spontan muka kedua orang itu menjadi berubah. Mereka bertatapan sejenak, lalu kembali lagi melihat kepada Basyah Purwa.
"Tapi kami tidak tahu, Bang!" kata Didu dengan suara bergetar.
"Ya, kami tidak tahu!" Oyong mendukung.
Basyah Purwa tersenyum. "Kalau begitu, sangat menyesal saya tidak bisa membantu kalian. Kasihan, bahwa kalian akan menjadi korban berikutnya!" Setelah berkata demikian, ia berbalik dan pergi.
Didu dan Oyong menjadi saling bertatapan, ketakutan.
*** TIGA BELAS GUNTUR meledakkan suara yang menggelegar; Kilat menyambar silih berganti; Hujan turun begitu deras-, Sementara angin topan berhembus menubruk dan menggulung apa saja di jalan yang dilaluinya. Sudah terdengar ada beberapa pohon kelapa yang tumbang.
Sebuah malam yang mengerikan. Sejak sore keadaan seperti itu mulai berlangsung, sehingga semua orang setuju bila dikatakan bahwa hal itu cuma peristiwa alam biasa. Pasti bukan petaka yang ditimbulkan oleh arwah Mimit Rako'ah, sekalipun malam ini diperkirakan arwah itu akan gentayangan di Pulau Siluman.
Persiapan untuk menghadapi malam Jum'at Kliwon, yang jatuh pada malam ini. sudah dilakukan sejak beberapa hari terakhir ini. Apalagi malam ini bertepatan dengan satu Suro, yang diyakini meniadi sebuah malam kramat; di mana
para roh-roh yang sudah mati akan gentayangan di atas bumi.
Tegang Sunyi. Pak Ali dan Basyah Purwa sejak tadi duduk di atas tikar yang digelar di ruang tamu. Keduanya tak saling bicara. Pak Ali tak henti hentinya mengisap asap tembakau dari pipa cangklongnya dan sekali-sekali meraih gelas kopi yang sudah dingin. Sementara Basyah Purwa cuma duduk dengan tegang. Pikirannya terus bekerja. Sekalipun malam berhawa dingin, tapi anak muda itu terus saja berkeringat.
"Cak. Buum...!" kembali guntur menggelegar menggetarkan Pulau Siluman.
Basyah Purwa sedikit terusik
Baru pukul 23.25 WIB. Malam terasa gaduh oleh ulah alam. Tapi sunyi dari kegiatan manusia. Dapat dipastikan bahwa tak seorangpun penduduk yang pergi melaut untuk menangkap ikan. Di samping karena sudah dilarang untuk semalam ini, tentu karena, cuacapun sangat tidak memungkinkan. Malam ini, semua penduduk sudah diperintahkan berjaga-jaga. Bersiap atas kemungkinan apa yang akan terjadi. Bahkan penduduk sudah diajari untuk melakukan begini
dan begitu bila terjadi sesuatu yang di luar perkiraan.
Di tengah suasana malam yang tidak menentu itu, seorang pria muda berlari menerobos hUJan badai dan angin topan ke arah Barat desa. Mukanya yang basah tampak pucat pasi dan memutih bagaikan mayat. Walau dalam kegelapan malam yang hitam dan pekat, tapi langkahnya begitu lincah dan ringan.
Pak Kepala Desa dan putranya menjadi saling bertatapan mendengar suara langkah kaki di luar rumah. Tapi mereka bersikap menunggu. Barulah setelah pintu diketuk dari luar, mereka serentak bangkit dan berjalan menuju pintu.
"Siapa itu?" tanya Basyah Purwa setengah berteriak.
"Saya, Bang Basyah!"
Basyah Purwa dan Pak Ali kembali saling bertatapan karena mengenal suara itu adalah suara Oyong. Karena itu cepat-cepat pintu mereka buka. Dan memang pemuda tanggung itu sudah berdiri di depan pintu dengan tubuh menggigil dan basah kuyup. Basyah Purwa menarik lengan Oyong agar masuk, dan menutup pintu kembali.
"Ada apa Yong?" tanya Pak Ali menolehkan
muka Oyong yang pucat dan seperti ketakutan.
"Saya ketakutan, Pak Kepala Desa!" jawab pemuda tanggung itu lalu menangis. Sekujur tubuhnya gemetaran.
Basyah Purwa yang mengambilkan handuk untuk diberikan kepada Oyong sesaat mempersempit kelopak matanya. la tertarik pada sikap dan pengakuan pemuda tanggung itu.
"Ketakutan karena apa" Memang kau tidak di rumah orang tuamu?" tanya Pak Ali lagi.
"Saya dari rumah, Pak! Tapi saya tetap takut di sana."
"Lantas mengapa datang ke sini?"
"Saya mau minta jimat dari Bang Basyah, Pak Kepala Desa!"
Pak Ali menjadi kaget. "Jimat apa?" tanyanya, sebab diketahuinya bahwa putranya tidak pernah punya jimat apapun juga.
Bersamaan dengan itu Basyah Purwa keluar dari kamarnya dengan membawa handuk dan memberikannya kepada Oyong.
"Lap dulu tubuhmu... supaya hangat!" katanya sambil duduk di hadapan pemuda tanggung itu.
"Memang jimat apa yang hendak kau berikan
Kepadanya?" tanya Pak Ali pada Basyah Purwa.
"Memang siapa yang minta jimat?" Basyah Purwa melihat kepada Oyong. "Kau datang untuk minta jimat?"
"Ya, Bang! Saya takut sekali, Bang!"
Basyah Purwa menjadi tersenyum. "Takut pada hantu itu?"
"Ya, Bang!" "Apa memang kau sudah bisa memberikan syarat yang kubilang?"
"Ya, Bang!" "Siapa?" Basyah Purwa lebih serius.
"Saya dan Didu, Bang!"
"Kalian berdua"! "
"Betul, Bang! Tapi kami disuruh oleh bang Eyot. Kami dibayarnya, Bang."
Berubah muka Basyah Purwa jadinya. Rupanya masih bajingan itu yang suka mengacau desa ini.
"Mengapa kalian mau?" tanyanya setengah membentak.
"Kami dikasih duit, Bang," jawab Oyong masih dengan tubuh yang menggigil.
Kembali Basyah Purwa terdiam. Diperhatikannya Oyong lebih jauh. Sepertinya memang pemuda tanggung itu sudah diliputi rasa takut
sejak tadi, tapi takut untuk mengakui kesalahannya. Setelah makin malam, keadaan semakin tegang dan sunyi, lama-lama rasa takut itu sudah tak tertahankan lagi, sehingga dipaksakannya datang untuk minta perlindungan, sekalian mengakui perbuatannya.


Sengatan Birahi Karya Dian Purba di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengapa Eyot hendak membunuh Seroja?" tanyanya pula.
"Katanya demi keamanan desa ini, Bang," jawab Oyong sejujurnya "Dengan membunuh Seroja, katanya arwah Mimit Rako'ah tidak akan muncul lagi."
"Terus apa lagi katanya?"
"Katanya, untuk membalaskan dendamnya kepada Abang, karena Abang pernah menghajarnya di depan teman-temannya."
Basyah Purwa memang sudah mengetahui kalau sejak dia berkelahi dengan bujangan tua itu, sejak itu pula Eyot tak suka kepadanya. Eyot cendrung memusuhi dirinya.
"Mengapa Didu tidak ikut datang ke sini bersamamu?"
"Dia juga mau ke sini, Bang. Tapi dia takut."
"Takut karena apa?" '
"Takut mengakuinya, sebab katanya akan dibawa ke kantor polisi dan dipenjarakan."
"Memang mesti begitu!"
Oyong menjadi terdiam; semakin ketakutan. Mukanya yang sudah pucat menjadi bertambah pucat. Ditatapnya BaSyah Purwa seakan minta dikasihani.
Seketika itu terdengar suara lolongan anjing dari kejauhan. Suaranya menjadi tampak samarsamar karena ditelan suara gemuruh hujan dan angin badai. Langsung perhatian Basyah Purwa, Pak Ali, dan Oyong ke sana. Kalau Basyah Purwa dan Pak Ali masih tampak tenang, tapi Oyong sudah semakin menggigil ketakutan.
"Cakk, Buuurrr...l" Guntur kembali meledak dengan suara yang menggetarkan permukaan bumi.
Keadaan betul-betul sangat suram, seram, dan menakutkan. Semua orang pasti sangat tegang mendengar lolongan anjing yang memang sudah diperkirakan. Tapi karena semua penduduk sudah diingatkan dari sebelum-sebelumnya, Basyah Purwa berharap malam ini tidak akan ada lagi korban jiwa.
Anak muda itu segera masuk ke dalam kamarnya. Ketika keluar dari sana sudah memegang dasar kelapa berisi menyan serta sebuah ember kecil berisi air yang di dalamnya juga terdapat
Kembang tiga warna. Basyah Purwa memang telah mempersiapkan itu sejak siang tadi.
"Bawa ini!" Basyah Purwa menyodorkan ember kecil itu ke arah Oyong. "Tapi airnya tak boleh tumpah!" katanya pula memperingatkan.
Oyong menerimanya dengan ragu-ragu. "Kita mau ke mana, Bang?" tanyanya.
"Menangkap hantu berkepala tengkorak yang pernah kalian lihat! "
Pemuda tanggung itu melihat Basyah PUrwa antara percaya dan tidak. Sementara sekujur tubuhnya sudah semakin gemetaran karena takut.
Selesai membalut dasar kelapa berisi menyan dengan selembar pelastik, agar tidak basah, Basyah Purwa berpamit pada Bapaknya. Setelah itu mengajak Oyong pergi.
Walau dalam keadaan ketakutan, Oyong menurut saja. Karena Basyah Purwa sudah menjeburkan diri ke dalam hujan yang kian lebat, dia pun menyusul. Padahal sekujur tubuhnya sudah menggigil dan gemetaran.
Langkah Basyah Purwa sangat panjang dan jalannya sangat cepat. Kadang-kadang Oyong harus berlari agar tidak tertinggal di belakang. Padahal ia ketakutan bila sampai jauh dari Basyah Purwa. Terlebih-lebih setelah mereka berada di
tengah pulau, yang mana suara lolongan anjing sudah semakin keras terdengar.
Suasana alam semakin menggila. Hujan semakin deras. seolah olah ditumpahkan dari langit. Angin ribut semakin ganas menumbangkan pohon-pohon kelapa. Kilat tak henti hentinya menyambar laksana hendak membelah langit. Sementara guntur meledak mengagetkan dan menggetarkan Pulau Siluman yang terpencil di tengah samudra luas itu.
Keadaan yang begitu menegangkan diperrun yam lagi dengan suara lolongan anjing siluman. membuat penduduk desa cemas dan ketakutan. Akan adakah korban arwah Mimit Rako ah malam ini?"
Semua penduduk dewasa pada terbangun. Bersiapsiap dengan senjata masing-masing. Itu adalah perintah Pak Kepala Desa. Anjuran lain, supaya yang mendapat kesulitan segera berteriak minta tolong. sehingga para tetangga mendengar dan segera bisa datang memberi pertolongan.
Langkah Basyah Purwa dan Oyong sudah menjelang pantai sebelah Utara. Suara lolongan anjing sudah semakin nyata dan jelas. Oyong semakin ketakutan. Dia tak berani jauh-jauh lagi
dari Basyah Purwa. "Bang...!" ujarnya dengan suara yang bergetar, lalu menangis.
"Ada apa?" tanya Basyah Purwa berbisik.
"Takut, Bang...!"
"Diam! lkuti saja aku! Kalau bersuara. kutinggalkan kau nanti di sini!"
Oyong menjadi diam, dengan bulu kuduk berdiri dan menyentak-nyentak.
Kurang dari sepuluh meter dari bibir pantai. mendadak tampak bayangan putih berkelebat dari arah Timur ke arah Barat, lalu hilang secara mendadak. Melihat itu Basyah Purwa menarik lengan Oyong agar bersembunyi di balik sebatang pohon kelapa besar.
"ltulah hantu berkepala tengkorak yang kalian lihat!" ujar Basyah Purwa berbisik ke telinga pemuda tanggung itu.
Oyong hanya bisa menarik nafas sembari menelan air ludah untuk membasahi kerongkongannya. Malah kemudian dia baru sadar kalau dia telah terkencing-kencing di celananya sendiri.
Sesaat Basyah Purwa menyapu keadaan disekelilingnya. Tak melihat ada manusia lain. Ia khawatir kalau ada orang yang dijadikan sebagai
pengganti seroja yang telah meninggal. Bukankah Mimit Rako'ah sebelumnya suka meminjam jiwa putri tunggalnya itu"
Mendadak, terdengar suara tawa cekikikan yang menyeramkan dari tengah udara.
"Hihihihihi." Hihihihihi.?"
Sudah tak salah lagi, suara arwah Mimit Rako'ah BaSyah Purwa melihat ke arah asal suara, tapi tak langsung melihat bayangan putih tadi. Dia hanya bisa menduga kalau suara itu datang dari daundaun kelapa yang rimbun di sebelah kirinya. Sekitar dua puluh meter ke arah Barat.
"Yong, kau tetap di sini, ya! Jangan pergi dari sini!" ujarnya berbisik.
"Abang mau ke mana?" Oyong lebih cemas
"Ke sana!" "Bang..."l" Oyong menangis dan menimbul kan suara.
Basyah Purwa segera menyumpal mulut pemuda tanggung itu.
"Kalau kau bersuara lagi, kutinggalkan kau di sini!" katanya mengancam. "Membunuh Seroja kau berani, menghadapi Ibunya tidak"!"
Oyong menjadi diam ketakutan.
Kemudian Basyah Purwa berlari dari samping
Oyong ke arah Barat. Di tangan kirinya tergenggam dasar kelapa yang di dalamnya sudah dipersiapkan menyan. Di bawah sebatang pohon kelapa yang miring, dia berhenti. Di situ pula dibakarnya menyan yang dibawanya. Setelah menyala, ia letakkan di pangkal pohon kelapa yang miring itu agar tidak terkena hujan. Asapnya begitu tebal membubung ke tengah udara.
Namun saat itu pula tampak sosok bayangan putih tadi melayang ke arah Selatan, yang berarti ke arah desa. Sempat cemas Basyah Purwa dibuatnya. Tapi karena orang orang desa sudah siap menyambut malam Jum'at Kliwon yang juga bertanggal satu Suro ini, hatinya sedikit tenang. la biarkan menyan itu terus mengepulkan asap ke tengah udara, lalu ia kembali ke tempat persembunyian Oyong.
Setibanya dia di sana, bukan main terkejutnya dia karena menemukan pemuda tanggung itu sudah tergeletak di atas tanah berpasir. Ketika diperiksanya, ternyata Oyong cuma pingsan. Untung ember yang berisi air kembang tiga warna yang dibawa dari rumah tidak sampai tumpah. Bila sampai itu yang terjadi, maka akan sia-sialah usaha mereka malam yang sangat memerikan ini.
basyah Purwa berusaha menyadarkannya dengan memijit kepala pemuda tanggung itu keras keras. Usaha itu membawa hasil. Sesaat kemudian Oyong sudah siuman dan membuka mata. Begitu melihat Basyah Purwa, dia langsung mendekapnya sambil menangis tertahantahan.
"Sudah, sudah! Sebentar lagi semua akan beres," kata Basyah Purwa agak tegas. Kemudian dia dudukkan Oyong dan menyandarkannya ke batang kelapa.
Oyong berusaha melawan rasa takutnya.
Saat itu hujan masih terus turun dengan lebatnya. Mereka basah kuyub dan kedinginan. Angin semakin kencang bertiup. Kilat terus menyambarnyambar. Dan, gunturpun belum berhenti menggetarkan bumi. Namun suara lolongan anjing itu sudah tak terdengar lagi. Tak jelas kapan suara lolongan itu berhenti, sebab dari tadi perhatian mereka sepenuhnya ke sosok bayangan putih yang sekarang entah pergi ke mana.
"Apakah kita masih lama di sini, Bang?" tanya Oyong kemudian dengan suara gemetaran.
"Sampai tulang belulang Mimit Rako'ah kita dapatkan," jawab Basyah Purwa suam.
Uyong terdiam dengan tersiksa.
Lebih satu jam mereka menunggu sebelum arwah yang gentayangan itu muncul dari arah Selatan dengan tertawa cekikikan.
"Hihihihihi.... Hihihihihi...."
Arwah itu terbang sambil cekikikan. Cuma dalam seketika, sudah berada tak jauh dari persembunyian mereka. Sempat lenyap sebentar di balik dedaunan, tapi muncul lagi dan mendekati asap menyan yang terus mengepul. Mula-mulanya melayang di atas dengan berputar-putar, tapi lama-lama turun lebih rendah. Dan, alangkah terkejutnya Basyah Purwa karena melihat jubah putih itu penuh noda dan lumuran darah. Apakah dia sudah menelan korban lagi" tanyanya dalam hati.
Hantu itu sepenuhnya tertutup jubah putih. Dari kepala hingga ke ujung kaki. Cuma mukanya yang kelihatan dan itu pun cuma tulang tengkorak yang amat seram untuk dilihat. Belum lagi mulut tengkorak itu masih berlumuran darah, sehingga menjijikkan.
Seperti mabuk, lama-lama menurun mendekati dasar kelapa yang terus mengepulkan asap menyan. Basyah Purwa tidak tahu mengapa beqitu. Sekarang ini dia hanya menjalankan
nasehat Kakek Silun dari Cirebon Dan sesuai yang dianjurkan, begitu arwah yang gentayangan itu hampir menyentuh tanah, cepat cepat ia berlari ke depan dan menyiramnya dengan air kembang tiga warna dari dalam ember yang khusus disediakan dari rumah.
Terkena. Aneh bin ajaib, sosok putih itu mendadak hilang dan lenyap tak berbekas. Namun di tengah udara langsung terdengar suara tangisan perempuan yang sangat memilukan hati. Merinding bulu kuduk Basyah Purwa dibuatnya. Suara tangis itu sempat agak lama, hingga akhirnya lenyap secara perlahan-lahan. Tampaknya roh halus itu menjauh ke arah laut lepas.
Setelah suara tangis itu tak terdengar lagi dengan hati-hati Basyah Purwa melangkah mendekati dasar kelapa tempat menyan dibakar. Tapi sama sekali dia tak menemukan tulangbelulang ada di sana. Juga tidak ada tengkorak manusia. Justru yang ditemukannya adalah sebuah cincin bermata berlian yang sangat bagus. Mata berlian itu bersinar di tengah kegelapan, sehingga menyilaukan mata.
Sesaat dia teringat pada perkataan Kakek Silun beberapa minggu yang lalu di Cirebon.
"Mayat perempuan itu dibuang di tengah laut dan dagingnya sudah habis dicobak cabik ikan hiu. Sementara tulang belulangnya sudah berserakan entah di mana. Kau tidak akan berhasil menemukannya, kecuali Laut Jawa bisa kau keringkan. Pokoknya, apa yang kau temukan nanti, itulah ambil dan kubur dengan baik-baik. Setelah itu keadaan akan aman," begitu Kakek Silun dulu bicara.
Mengingat perkataan itu, dengan hati-hati dia mengambil cincin berlian yang sangat bagus itu. Sesaat diperhatikannya. Kalau Cincin ini dijual. pasti harganya sangat mahal. Aku bisa langsung kaya mendadak. bathinnya mempertimbangkan. Tapi tetap disadarinya bahwa cincin berlian itu sangat berbahaya bila tidak segera dimakamkan seperti yang disarankan oleh Kakek Silun. Karena itu dia tidak akan berniat untuk memiliki cincin tersebut.
Cincin berlian itu lantas dia balut dengan kain putih yang sudah dipersiapkan sebelumnya dari rumah. Tetap dia balut dan mengikatnya seperti biasanya mengkainkafani orang meninggal. Setelah itu baru dia ajak Oyong kembali ke desa.
Di tengah perjalanan, sesungguhnya Basyah Purwa masih terus berpikir dan bertanya tanya.
Dia bisa pastikan bahwa di desanya sudah ada lagi korban jiwa. Percikan darah di jubah putih arwah Mimit Rako'ah yang sempat dilihatnya tadi seolah-olah memberitahukan itu kepadanya.
Hujan masih terus turun deras-, Angin topan terus berhembus dengan ganas; Kilat masih terus menyambar nyambar; Dan, guntur masih sekalisekali meledak menggetarkan permukaan bumi. Tapi hati anak muda bertubuh kekar dan berambut gondrong itu sudah lega sekarang. Setelah cincin bermata berlian itu dimakamkan secara baik-baik besok, dia percaya bahwa keadaan akan aman seterusnya. Korban tidak akan jatuh lagi akibat dendam arwah Mimit Rako'ah.
Mereka tiba kembali di desa. Oyong ikut ke rumah Basyah Purwa. Tapi mereka menjadi sangat terkejut karena melihat tetesan tetesan darah di pintu rumah. Lebih terkejut lagi karena darah itu kian banyak di dalam rumah.
Firasat Basyah Purwa langsung berkata lain. Ia mencurigai ada sesuatu yang tidak beres di dalam rumahnya.
"Bapak...! Emmak...!" ujarnya berseru memanggil, tapi tak ada sahutan.
Karena rasa curiganya telah berubah menjadi rasa cemas. tetesan tetesan darah yang belum
sempat kering itu dia usut hingga ke kamar ibubapaknya. Pintu yang tertutup digedornya. tapi tetap tidak ada tanggapan dari dalam kamar. Tanpa pikir panjang lagi, pintu kamar itu dido braknya dan terbuka. Alangkah terkejutnya dia karena menemukan Bapak dan Emmaknya sudah terkapar di atas tempat tidur dengan berlumuran darah.
"Bapak! Emak!" Basyah Purwa mencoba lagi membangunkan, tapi kedua orangtuanya sudah tak bergerak. Ketika diperiksanya ke leher Bapak dan Emmaknya, di sana tampak gigitan lebar dan dalam.
Pasti gigitan hantu Mimit Rako'ah!
Basyah Purwa menjadi menjerit keras-keras. Suaranya memecah malam hingga menarik perhatian seluruh kampung. Cincin bermata berlian dikeluarkannya dari dalam sakunya dan membanting-bantingkannya ke dinding dan ke lantai.
"Kau membunuh Bapak dan Emmakku! Kubikin mampus kau Mimit Rako'ah...!" tangisnya dengan suara keras. penuh kemarahan.
Orang-orang pada berdatangan dan segera melakukan pertolongan dan penghiburan. Malam yang dari tadi terasa sunyi dan mencekam.
mendadak menjadi ramai dan ribut oleh suara suara manusia.
*** EMPAT BELAS PAGI itu, saat matahari menyingsing di ufuk Timur, puluhan orang berkumpul di pekuburan yang terdapat di luar desa. Suasana duka yang mendalam menyelimuti hati dan bathin setiap orang. Semua penduduk desa sedang berkabung. Bapak Kepala Desa mereka yang baik beserta istri yang lembut dan penuh kasih sayang telah tiada. Mereka serentak menghantarkannya ke peristirahatan yang terakhir.
Basyah Purwa berdiri di samping liang kubur kedua orang tuanya yang mulai ditutup pakai tanah. Ia berusaha bersikap tenang. sekalipun di dalam hatinya pedihnya bukan main. Dia sadar bahwa Ibu-Bapaknya tidak mungkin kembali lagi. Hanya saja, ia masih sangat sulit mengerti dengan peristiwa yang menimpa orangtuanya. Dia tak bisa paham.... Mengapa orangtuanya ikut menjadi korban dendam dari arwah Mimit
Rakoyah! Apa sebetulnya kesalahan kedua orangtuanya"
Dunia ini memang terasa aneh; akhirnya dia berpikir dan menyimpulkan sendiri. Sulit membedakan antara dunia nyata dan dunia para arwah, sebab duaduanya sangat dekat. Kadangkadang sulit membedakan mana yang baik dan mana yang tidak, sebab keduanya sama-sama ada. Di atas bumi yang fana ini, orang baik bisa saja dibenci dan dimusuhi. Niat berbuat baik tidak akan selamanya diterima oleh orang lain.
Dunia ini ditumbuhi penyakit iri yang subur.
Sebelumnya, tadi pagi sebelum matahari terbit, sudah didahului mengubur cincin bermata berlian yang diibaratkan tubuh almarhum Mimit Rakoyah. Itu perlu dilakukan untuk mencegah petaka yang akan ditimbulkan oleh arwah perempuan itu selanjutnya. Semua berharap keadaan di Pulau Siluman akan menjadi aman dan tenteram setelah upacara khusus itu dilakukan.
Kini orang orang mulai meninggalkan pekuburan di luar desa itu. Basyah Purwa pun ada di antaranya. la didampingi oleh Billok, salah seorang warga yang belakangan sangat dekat dengannya. Billok pula yang memperlancar usahanya mengungkap kasus terbunuhnya Ki
Karim dan Mimit Rako'ah sekitar tujuh tahun yang lalu.
"Apakah kau sudah punya rencana setelah keadaan di pulau ini terselesaikan?" ujar Billok bertanya sembari menoleh ke arah kirinya.
"Mungkin aku akan segera meninggalkan pulau ini," jawab Basyah Purwa.
"Kau mau ke mana?"
"Mungkin aku akan kembali ke Cirebon untuk mengajar."
"Bagaimana dengan rencanamu mendirikan sekolah di pulau terpencil ini?"
Basyah Purwa merasa tersentuh hatinya mengingat anak-anak di Pulau Siluman ini yang masih rata-rata buta huruf Untuk mendirikan sekolah di pulau ini memang sudah menjadi rencananya sejak menginjakkan kaki di sini sekitar setahun yang lalu. Cuma saja. selama ini, pikirannya masih lebih terpusat pada gangguan dendam arwah Mimit Rako'ah. Selama ini, dia masih lebih mengutamakan itu untuk keamanan dan ketentraman.
Dan belum sempat dia menjawab pertanyaan Billok yang terakhir, dari arah depan terdengar suara berseru ke arah mereka.
"Bang Basyah...!"
Ketika mereka melihat ke depan, Oyong tampak sedang menyambut mereka
"Ada apa, Yong?" tanya Basyah Purwa setelah berhadapan dengan pemuda tanggung berusia lima belas tahun itu.
"Saya sudah pasrah, Bang. Sekarang saya sudah siap dibawa ke kantor polisi untuk selanjutnya dipenjarakan. Saya mau menebus kesalahanku karena telah ikut membunuh Seroja," jawab Oyong dengan lantang dan tegas.
Basyah Purwa menjadi heran. sebab sebelumnya justru anak itu sangat takut perbuatannya dilaporkan kepada polisi.
"Mengapa pikiranmu dengan tiba-tiba berubah?" tanyanya memancing
"Karena saya sadari bahwa saya memang bersalah, Bang," jawab Oyong sederhana saja.
"Bagaimana dengan Didu, temanmu itu?"
"Dia sudah pergi melarikan diri bersama bang Eyot !"
"Melarikan diri ke mana?"
"Katanya ke Pulau Jawa. "
"Kapan mereka perginya?"
"Tadi pagi, sebelum hari terang sempurna."
Basyah Purwa menjadi manggut-manggut. la tatap wajah si pemuda tanggung dengan ber
sungguh-sungguh. "Sekalipun mereka berhasil lari, tapi hati mereka tidak akan pernah tenteram Seumur hidup mereka akan terus gelisah, karena akan dibayangi oleh kesalahan mereka sendiri," katanya menghibur. "Kau lebih bahagia ketimbang mereka, sebab kau mau menyadari kesalahanmu. Kau jantan. Aku salut kepadamu," lanjutnya sambil menepuk-nepuk pundak Oyong.
Billok turut tersenyum pada keberanian dan kegagahan pemuda tanggung itu.
"Lantas saya bagaimana, Bang?" kembali Oyong bertanya.
" Polisi malas sekali datang ke pulau ini. Sudah dipanggilpun tidak mau datang. Mungkin karena pulau ini terlalu jauh ke tengah samudera" Atau barangkali karena sudah kapok setelah gagal mengungkap petaka yang ditimbulkan dendam arwah Mimit Rako'ah" Mudah-mudahan kau bisa bebas terus. Aku akan membelamu sekuat tenaga saya nanti," kata Basyah Purwa berjanji.
"Sungguh, Bang?" Oyong tertawa girang.
Basyah Purwa menganggukkan kepalanya. la berani berkata begitu kepada pemuda tanggung itu karena tahu bahwa keadilan yang mendasar sesungguhnya ada di setiap lingkungan masya
rakat. "bukan terletak dipalu haKim pengadilan. Contoh yang paling nyata adalah dendam arwah Mimit Rako'ah.
catatan : Buat pembaca cerita misteri ini yuk gabung ke Group Fb Kolektor E-Book untuk mendapatkan ebook ebook terbaru dan yang suka baca cerita silat dan novel secara online bisa juga kunjungi
http://ceritasilat-novel.blogspot.com
Sampai jumpa di lain cerita ya !!!
Terimakasih TAMAT Beautiful Disaster 4 Ketlka Flamboyan Berbunga Karya Maria A. Sardjono Da Vinci Code 3

Cari Blog Ini