Ceritasilat Novel Online

Si Tangan Halilintar 1

Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


Si Tangan Halilintar (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 01 Angin menderu-deru, bertiup kencang mengguncang pohon-pohon yang meliuk-liuk seperti menari-nari sambil berdesah panjang. Semakin besar dan tinggi pohon itu, semakin hebat pula ia terlanda angina yang mengamuk. Melihat betapa angina lebih hebat mempermainkan pohon kecil pendek, maka terasa kebenaran kaum bijaksana jaman dahulu yang mengatakan bahwa makin kaya dan makin tinggi kedudukan seseorang, makin banyak pula godaan menerpa dirinya. Karena itu orang bijaksana memilih menjadi orang kecil yang hidup sederhana dan tidak menonjol sehingga hidupnya tenteram dan damai. Musim dingin telah tiba. Sejak padi matahari tidak tampak karena terhalang awan dan mendung hitam tebal sehingga cuaca remang dan angina kencang membuat hawa terasa sangat dingin menyusup tulang. Hawa udara seperti itu amatlah buruknya dan semua orang tahu bahwa keadaan macam itu biasanya membawa dating bermacam-macam penyakit. Yang sudah pasti, akan banyak orang terserang panyakit batuk pilek.
Kota Lin-han-kwan yang biasanya cukup ramai itu, kini tampak sunyi. Toko-toko dan pintu-pintu rumah banyak yang tutup. Orang-orang, terutama yang berbadan lemah, merasa lebih aman untuk tetap tinggal dalam rumah, menghangatkan diri dengan baju atau selimut tebal dan mendekati perapian. Jalan-jalan sunyi karena siapa yang mau dilanda sunyi karena siapa yang mau dilanda angina kencang yang mengamuk di luar rumah itu" Lebih baik terlindung di dalam rumah. Kecuali mereka yang terpaksa keluar rumah untuk bekerja, mereka yang hidup miskin dan mengandalkan hidupnya dari hari ke hari dari hasil pekerjaan mereka. Sehari saja tidak bekerja, berarti besok tidak ada beras untuk dimakan keluarga! Mereka inilah yang tepaksa keluar rumah untuk bekerja, para pekerja kasar, kuli angkut dan segolongannya. Biarpun tubuh mereka hanya terbungkus kain kasar yang tidak tebal, namun tubuh yang sudah terbiasa dengan udra nuruk itu telah menjadi kebal. Angin kencang itu agaknya tidk mampu menembus mereka yang sudah membaja. Kecuali para pekerja kasat yang miskin ini, tidak ada orang lain yang keluar rumah.
Pada saat itu, tampak adegan yang amat menarik perhatian seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun yang duduk dibalik kaca jendela sebuah rumah. Anak itu memandang dengan penuh perhatian kearah pohon-pohon yang diamuk angina. Dia melihat betapa hanya pohon-pohon yang besar tinggi yang diombang-ambingkan angin. Banyak pula phpn pohon tinggi yang patah-patah cabangnya. Hanya pohon cemara yang tinggi saja yang tidak patah. Pohon-pohon cemara tinggi itu meliuk-liuk dengan lemas dan lenturnya, menyerah tanpa perlawanan dank arena inilah mereka itu selamat, tidak sampai patah atau rusak. Tiba-tiba pandang mata anak itu tertarik ketika dia melihat seorang laki-laki tua berjalan terhuyung-huyung di jalan simpang tiga, Laki-laki itu sudah tua, pakaiannya butut compang-camping, tubuhnya kotor tak terurus dan kurus, rambutnya yang banyak uban itupun kotor. "kasihan pengemis itu?" Anak itu berbisik dan memandang penuh perhatian, sinar matanya membayangkan perasaan iba yang memenuhi hatinya. Iba merupakan sebuah perasaan suci dan mulia yang merupakan satu di antara buah-buah dari pohon Kasih yang tumbuh dalam hati sorang manusia.
Dan agaknya perasaan iba ini sudah ditanamkan oleh orang tua anak itu sejak dia masih bayi. Anak itu bernama Law Heng San, putera Law Cib dan istrinya. Law Cin berusia empat puluh tahun dan istrinya berusia tigaluh dua tahun. Mereka hidup bahagia dan tenteram di kota Lin-han-kwan itu. Lauw Cin pernah mempelajari ilmu pengobatan dan kini dia membuka sebuah toko obat di kota itu. Biarpun toko obatnya tidak begitu besar, namun penghasilannya cukup untuk membiayai kehidupan mereka bertiga. Juga nama Lauw Cin dikenal baik oleh penduduk kota itu karena Lauw Ci terkenal suka menolong orang. Dia tidak pernah mencari banyak keuntungan, tidak memasang harga tinggi untuk obatnya biarpun yang beli orang kaya, dan bahkan dia siap memberikan obat secara Cuma-Cuma pada penderita sakit yang miskin. Karena ayah ibunya suka menolong orang dan murah hati itulah maka hengsan juga mudah merasa kasihan kepada orang yang menderita. Heng San bertubuh kurus dan wajahnya tampan, kulitnya putih bersih. Alisnya tebal dan hitam. Membuat wajah yang tampan itu tampak gagah. Sebagai anak tunggal, tentu saja Heng San sangat disayang dan dimanja orang tuanya.
Mereka tidak mengundang seorang guru untuk mengajarkan ilmu membaca dan menulis kepada anak mereka. Suami istri itu adalah orang-orang yang pernah mempelajari kesusasteraan maka mereka sendiri yang mendidik Heng San sejak anak itu berusia lima tahun. Kini dalam usia dua belas tahun, Heng San telah mahir sekali, bukan hanya membaca dan menulis huruf, bahkan dia pandai membaca kitab-kitab pelajaran Khong Hu Cu, pandai pula membaca kitab To Tek Keng dari agama To, dan selain kefasihan membaca itu diapun pandai mengarang dan menulis sajak dengan huruf-huruf yang indah. Juga sudah lebih dari setahun anak ini mulai diberi pelajaran tentang ilmu pengobatan oleh ayahnya. Tiada cita-cita lain dalam hati Lauw Cin dan isterinya selain melihat putera mereka kelak menjadi ahli pengobatan yang pandai dan budiman sehingga dapat menggantikan pekerjaan orang tuanya. Tiba-tiba sepasang mata Heng San yang bersinar lembut namun tajam itu terbelalak. Dia melihat kakek pengemis itu terhuyung-huyung lalu jatuh terpelanting ke tepi jalan.
"Aduh celaka, di jatuh?" kata Heng San dan melihat kakek itu tidak bangkit kembali, tanpa ragu dia lalu membuka dan melompat keluar kemudian berlari menghampiri kakek itu dengan maksud hendak menolongnya bangkit kembali. Akan tetapi ketika dia berjongkok dan memeriksa, ternyata kakek itu tak dapat bergerak lagi dan tidak bergerak maupun menjawab ketika dia memanggil-manggilnya. "Kek! Kek! Bangunlah...!" Dia mengguncang pundak yang kurus itu, akan tetapi kakek itu tetap tidak bergerak, seperti telah mati saja. Heng San yang telah mempelajari ilmu pengobatan, memegang nadi pergelangan tangan kakek itu, lalu meraba dadanya. Masih berdenyut, akan tetapi lemah sekali. Dia pingsa, piker Heng San dan dalam udara sedingin ini. Kalau dibiarkan, kakek itu tentu akan mati. Cepat dia berlari pulang dan mengetuk pintu depan dengan gencar. Daun pintu terbuka dari dalam dan ibunya berdiri memandangnya dengan mata terbelalak, juga ayahnya berdiri di belakang ibunya dengan terheran-heran. "Aihh"., Heng San! Bagaimana engkau dapat berada diluar"
Cepat masuk Hawa sedingin ini berada di luar, bias masuk angin!" kata ibunya dambil menarik tangan anaknya ke dalam dan cepat menutup daun pintu karena begitu terbuka, dari luar sudah menyerbu angina yang amat dingin. "Heng San, bagaimana engkau dapat di luar rumah?" Tanya ayahnya dengan sinar mata tajam menyelidik. "Ayah, Ibu, aku tadi melihat dari jendela seorang pengemis tua terhuyung lalu jatuh terguling ke atas tanah. Aku lalu keluar dari jendela untuk menolongnya, ternyata dia pingsan, Ayah." Ayah dan Ibunya yang tadinya marah melihat Heng San keluar rumah tanpa pamit dalam cuaca seburuk itu, segera lenyap perasaan marah mereka begitu mendengar keterangan Henf San. Hati mereka yang penuh bleas kasihan itu segera tertarik dan cepat mereka mengajak Heng San untuk keluar dan menunjukkan dimana pengemis tua itu berada. Setelah tiba di dekat tubuh kakek yang rebah miring itu, Lauw Cin cepat memeriksanya. "Ah, masih hidup!" katanya penuh harapan dan dibantu Heng San, Lauw Cin segera memondong tubuh kakek itu dan membawanya masuk ke dalam rumahnya diikuti isterinya.
"Cepat sediakan air panas dan buatkan bubur encer!" perintah Lauw Cin kepada Isterinya. "Heng San, kau ambil arak, obat gosok dengan arak, kemudia dia dibantu oleh Heng San menanggalkan pakaian kotor kakek itu. Tampak tubuh yang kurus kering dengan tulang-tulang menonjol dibawah kulit. Lauw Cin lalu menggosok-gosok seluruh tubuh itu dengan obat dan arak mengusir dingin yang membuat tubuh itu menjadi kaku. Kemudia dia menyuruh Heng San mengambil seperangkat pakaian yang baru dan tebal lalu mengenakan pakaian itu pada tubuh kurus itu. Ibu Heng San memasuki kamar membawa bubur panas dan air mendidih. Lauw Cin mencampur obat dengan air panas, lalu menuangkan obat ke dalam mulut kakek itu. Kakek itu mengeluh lirih dan bergerak, akan tetapi masih memejamkan mata, seperti orang ngelindur. Law Cin lalu menyuapkan bubur kedalam mulutnya dan kakek itu menelan beberapa sendok bubur hangat. Tak lama kemudian sadarlah pengemis tua itu dan membuka kedua matanya. Dia terbelalak heran, memandang ke kanan kiri, lalu kepada pakaian yang menutupi tubuhnya.
Di luar dugaan semua orang tiba-tiba tubuh yang kurus lemah itu telah melompat dan bangkit duduk, matanya memanda ke sekeliling lagi dan berputaran aneh. Lalu dia memandang satu demi sau wajah ayah ibu dan anak itu dan mulutnya tersenyum getir. Terdengar suaranya penuh keluhan dan penyesalan. "Hayaaaa"..! Engkau telah memaksa aku haru mengaku engkau adalah In-kong (tuan penolong) bagiku! Kalau tadi kalian membiarkan tubuh tua bangka yang hamper rusak ini mati di jalan, sekarang aku tentu sudah senang. Akan tetapi sekarang kalian telah mengikat aku dan memberi tugas hidup yang baru untuk melunasi hutangku kepadamu Hayaaa"!" Pengemis itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan menghela napas panjang pendek. Lauw Cin bertukar pandang dengan isterinya. Sungguh aneh orang ini. Ditolong tidak berterima kasih malah mengeluh dan mengomel panjang pendek.! "Paman, harap jangan sungkan. Kami menolongmu bukan untuk melepas budi, melainkan sekadar memenuhi kewajiban kami sebagai manusia.
Kami tidak mengharapkan imbalan apapun." kata Lauw Cin. "Kek, kenapa engkau ingin benar cepat mati" Lihat, alangkah senangnya hidup. Kita bias bermain-main, bias makan enak," kata Heng San dengan suara mencela ketika mendengar kakek itu berkata bahwa dia akan lebih senang mati. Pengemis tua itu memandang Heng San dengan sinar matanya yang tajam dan aneh. Kemudia tiba-tiba kedua tangannya terulur ke depan dan dia sudah memegang kedua pundak anak itu. Jari-jari tangannya meraba-raba pundak, leher, punggung dan dada. Lalu jari-jari itu meraba-raba dan menekan-nekan kepala Heng San. Anak itu merasa risi dan geli, akan tetapi dia tidak dapat melepaskan diri dari jari-jari tangan yang seolah-olah melekat pada tubuhnya itu. Kakek itu akhirnya melepaskan kedua tangannya dari tubuh Heng San, dia tertawa dan mengagguk-anggukkan kepalanya. "Ha-ha-ha, tidak percuma.... Tidk percuma...!" selagi ibu, ayah dan anak itu terheran-heran, kakaek itu bertanya kepada Lauw Cin, "In-kong (tuan penolong), apakah anak ini puteramu"." Lauw Cin mengangguk, "benar, dia putera kami, anak tunggal kami." Kakek itut ba-tiba melompat turun dari atas pembaringan, berdiri di atas lantai dan menari-nari sambil bertepuk-tepuk tangan.
Lauw Cin, isteri dan anaknya hanya memandang bingung, mengira bahwa kakek itu kumat gilanya. "Bagus! bagus sekali! Kalau begitu, tidak percuma engkau menolongku, In-kong. Aku tidak akan susah-susah lagi mencari jalan untuk membalas budimu! Ha ha ha ha!" Dia tertawa-tawa dan bertepuk-tepuk tangan ladi, menari-nari di sekeliling kamar itu. "Paman yang baik, apa maksud kata-katamu itu?" Lauw Cin bertanya dan memandang heran. Isterinya mengerutkan alis dan merasa ngeri, mengira bahwa kakek itu adalah seorang yang miring otaknya. Kakek itu berhenti menari-nari dan berdiri di depan Lauw Cin. "Paman yang baik" Ha ha, aku suka sebutan itu! Paman yang baik baik. Ah, sebutan yang enak didengan. Ketahuilah, In-kong, orang yang kau tolong hari ini, bukan sembarang pengemis, juga bukan sembarang orang! Aku adalah Pat-jiu Sinkai yang telah menjelajah dunia kang-ouw (dunia persilatan) selama puluhan tahun!" Lauw Cin terkejut bukan main. Dia sudah banyak mendengar akan nama julukan Pat-Jiu Sinkai (Pengemis Sakti Tangan Delapan) ini yang amat terkenal sebagai seorang pendekar aneh yang selalu membasmi kejahatan menolong yang lemah, membela kebenaran dan keadilan.
Seorang tokoh kang-ouw (sungai telaga atau dunia persilatan) yang ditakuti lawan disegani kawan. Lauw Cin lalu cepat memberi hormat dengan merangkap tangan depan dada dan membungkuk. "Harap maafkan kami, Lo-enghiong (pendekar tua), kami tidak tahu bahwa kami berhadapan dengan seorang pendekar yang terkenal gagah perkasa dan budiman. Terimalah hormat saya." "Huh, apa ini" Aku tidak suka penghormatan yang berlebihan. Sudah kukatakan bahwa aku lebih senang disebut paman yang baik. Angan sebut-sebut aku lo-enghiong segala macam. Aku memang tidak pernah dikalahkan orang gagah dan jagoan manapun. Akan tetapi hari ini aku harus tunduk kepada keperkasaan alan dan jatuh sakit, hamper mati tak berdaya sehingga kelihatan bahwa aku sebetulnya hanyalah seorang manusia yang lemah. Kebetulan sekali engkau yang menolongku. Aku si tua bangka ini belum pernah berhutang budi tanpa dibalas. Sekarang aku melihat bahwa anakmu ini bertulang pendekar dan berkakat baik sekali. Maka perkenankanlah aku mengangkat dia sebagai muridku, dengan demikian aku dapat membalas budimu."
Selagi Lauw Cin dan isterinya termangu dan tidak tahu harus bersikap bagaimana mendengar ucapan kakek pengemis itu, Heng San yang juga pernah mendengar akan nama besar kakek itu segera saja menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Pat-jiu Sinkai sambil mengangguk-anggukkan kepala dan berkali-kali menyebut, "Suhu"." Pat-Jiu Sin-kai memandang anak itu, lalu tertawa dan berkata girang "Ha ha, muridku yang baik! Muridku yang baik!" Tiba-tiba di memegang kedua pundak Heng San, lalu mengangkat tubuh anak itu dan melemparkan tubuh itu ke atas, diterima kembali dengan kedua tangan ketika tubuh itu meluncur turun, dilempar dan diterima lagi sampai berulang kali, seolah-olah tubuh anak itu menjadi sebuah bola yang dibuat mainan sesuka hati. Heng San sama sekali tidak pernah berteriak ketakutan, bahkan merasa gembira juga kagum akan kekuatan kakek yang kelihatannya kurus kering berpenyakitan itu. Lauw Cin dan isterinya tentu saja memandang adegan itu dengan mata terbelalak dan hati khawatir, akan tetapi merasa sungkan untuk melarang, apa lagi mereka melihat Heng San tersenyum-senyum girang diperlakukan seperti bola mainan itu.
Ketika Heng San diturunkan ternyata wajah anak yang taadinya pucat kedinginan kini tampak segar, kedua pipinya kemerahan dan matanya bersinar-sinar gembira! Tentu saja Lauw Cin merasa girang. "Ha-ha-ha, tidak salah pilihanku! Aku merasa beruntung sekali mendapatkan murid seperti... heii, aku belum mengenal namamu! Juga belum mengenal nama in-kong, penolongku!" tiba-tiba kakek itu berseru. Lauw Cin tersenyum dan berkata "paman yang baik," dia tidak berani lagi menyebut dengan sebutan lain, "nama saya adalah Lau Cin dan anak kami bernama Lauw Heng San." "Lauw Heng San" Bagus, biarlah kelak dia menjadi sekokoh S(Gunung). Dan katakana terus terang, apakah kalian suami isteri tidak merasa keberatan kalau aku tinggal disini dan menjadi guru anak kalian ini?" "Ah, sama sekali tidak, paman Pat-jiu Sin-kai. Kami malah merasa gembira dan berterima kasih sekali." Lauw Cin berkata, kemudian suami isteri itu segera mengatur dan menyediakan sebuah kamar untuk menjadi kamar tidur kakek itu.
Demikianlah, mulai hari itu Pat-jiu Sin-kai tinggal dirumah keluarga Lauw Cin dan menjadi guru Hengsan. Diapun kini mau membersihkan badannya dan mengenakan pakaian bersih sehingga biarpun masih tampak kurus, namun sehat dan bersih. Dia juga tidak menolak ketika Lauw Cin membuatkan obat untuk memulihkan kesehatannya. Pada malam pertama Pat-jiu Sin-kai tinggal dirumah itu, Lauw Cin dan isterinya tidak dapat tidur. Mereka memperbincangkan anak mereka dan Pat-jiu Sin-kai. Tadinya isteri Lauw Cin menyatakan kekhawatirannya dan tidak membiarkan anak tunggalnya menjadi murid kakek yang aneh dan terkadang seperti tidak waras otaknya itu, Akan tetapi setelah dibujuk suaminya dan mendengarkan alasan-alasannya, ia menurut juga. Suami isteri itu tidak tahu kalau percakapan mereka dapat didengar oleh Pa-jiu Sin-kai yang rebah diatas oembaringan dalam kamarnya yang bersebelahan dengan kamar suami isteri itu.
Mereka tidak tahu bahw kakek itu memiliki banyak kesaktian. Diantaranya ilmu-ilmunya, dia menguasai ilmu yang disebut Hok-te Teng-seng (mendekam di tanah mendengarkan suara). Dengan ilmu ini, kalau dia menempelkan telinganya di atas tanah, dia dapat mendengarkan jejak langkah kaki yang dating dari jauh. Kini, dengan mengempelkan telinganya pada tembok, dia dapat pula mendengarkan percakapan Lauw Cin dan isterinya dengan jelas solah-olah dia hadir dalam kamar tidur itu. Lauw Cin mengatakan pendapatnya kepada isterinya yang merasa tidak setuju anaknya menjadi murid Pat-jiu Sin-kai. "Aku sendiripun tidak merasa suka melihat wataknya yang aneh dan menakutkan itu, akan tetapi bagaimana kita dapat menolak permintaannya untuk mendidik Heng San" DIa seorang yang amat terkenal dan sepanjang pendengaranku, dia adalah seorang pendekar besar yang banyak mencurahkan tenaganya untuki menolong orang-orang yang tertindas dan sengsara. Jadi, kalau dipikir-pikir, dia masih segolongan dengan kita.
Bukankah kita juga bercita-cita untuk mendidik Heng San menjadi orang pandai dan budiman yang kelak menjadi penolong orang yang sengsara?" "Akan tetapi kita menolong orang-orang menggunakan kelembutan, bukan dengan kekerasan seperti para pendekar silat!" bantah isterinya. Memang benar, akan tetapi harus kita ingat bahwasekarang ini jamannya sudah berubah. Negara dijajah bangsa Mancu, dimana-mana terjadi perang dan pemberontakan melawan penjajah. Timbul pula banyak orang jahat yang mempergunakan kesempatan selagi Negara kacau untuk melakukan perampokan dan segala macam kejahatan. Hidup menjadi tidak aman. Maka, aku kira tidak ada jeleknya kalau Heng San mempelajari sedikit ilmu silat agar sutuhnya kuar dan dia kelak dapat menanggulangi segala macm bahaya kekerasan dengan tabah dan dapat menjada diri terhadap serangan orang-orang jahat. Isterinya menghela napas panjang. "hem, ya sudahlah kalau begitu. Mudah-mudahan apa yang kau katakana itu semua benar demi kebaikan anak kita." Pat-jiu Sin-kai tidak mendengarkan lagi dan dia tersenyum puas dalam tidurnya.
Pat-jiu Sin-kai dahulu tinggal di dekat kota raja Peking dan dia terkenal sebagai seorang guru silat yang memiliki kepandaian silat tinggi. Ketika pasukan Mancu menyerbu Peking dengan bantuan Wu San Kui dan mengalahkan pemberontakyang telah menjadi Kaisar Dinasti Beng yang baru, maka Pat-jiu Sin-kai juga ikut berjuang mempertahankan kota raja Peking. Setelah pasukan kerajaan itu kalah dan terpukul mundur, keluar meningkalkan Peking, Pat-jiu Sin-kai pulang ke kampungnya. Akan tetapi alangkah kaget dan sedihnya ketika dia mendapatkan kenyataan bahwa dusunnya telah dibakar ketika terjadi perang, bahkan isteri dan anak tunggalnya dikabarkan tewas dalam keributan perang itu. Walalupun tidak ada kuburan untuk isteri dan anaknya, Pat Jiu Sin-kai percaya bahwa mereka sudah mati. Dia begitu sedih dan terguncang hatinya sehingga dia menjadi seperti orang kehilangan semangat dan tak lama kemudia orang-orang mendapatkan dia mengembara dengan pakaian awut-awutan sebagai seorang pengemis. Dia merantau kemana saja kakinya membawanya dan dia sudah tidak ingat lagi akan namanya sendiri. Akan tetapi karena watak pendekarnya masih ada, dimanapun dia berada, dia selalu menentang kejahatan.
Banyak sekali penjahat telah dia robohkan, bahkan banyak jagoan-jagoan berilmu tinggi kalah olehnya sehingga dunia kangouw memberikan julukan Pat-jiu Sin-kai kepada orang yang telah melupakan namanya sendiri itu. Dia agaknya juga tidak pernah melupakan bahwa anak isterinya mati karena penyerbuan pasukan Mancu, maka dia menganggap bahw Mancu sebagai musuh besarnya. DImanapun dia berada, kalau bertemu dengan pembesar Mancu, tentu dia akan menyerang dan membunuhnya. Karena itu, selain nama Pat-jiu Sin-kai dikagumi dunia kang-ouw, nama itupun dibenci pemeritnah baru Mancu dan para pembesar mengerahkan pasukan untuk dapat menangkap atau membunuhnya. Pat-jiu Sin-kai sudah tidak memperdulikan dirinya lagi, tidak menjaga diri, tidak memperhatikan kesehatannya, tidak menjaga makannya yan tidak menentu, sehingga akhirnya dia terserang penyakit. Seringkali dia terserang penyakit jantung dan seringkali jatuh pingsan. Ketika dia lewat di dekat rumah Lauw Cin penyakitnya kambuh dan dia jatuh pingsan ditepi jalan yang ketika itu amat sunyi.
Untung baginya bahwa Heng San melihatnya. Kalau tidak, dia tentu sudah mati kaku kedinginan di luar rumah itu. Sebagai seorang yang berwatak pendekar, dia tidak mau menerima budi orang tanpa membalas. Terutama sekali setelah melihat Heng San, dia teringat akan anak laki-lakinya sendiri dan dia suka pula melihat Heng San berbakat. Maka dia mengambil keputusan untuk menunda perantauannya yang tak ada ujung pangkalnya itu dan dia menurunkan ilmu-ilmunya kepada Heng San. Pat-jiu Sin-kai tidak tanggung-tanggung mewariskan ilmunya kepada Heng San. Dia menggembleng anak itu sedemikian rupa sehingga boleh dibilang tidak ada satu haripun terlewat tanpa latihan berat. Akan tetapi Heng San tidak pernah merasa berat, tidak pernah malas. Dia senang betul berlatih silat. Dia mulai mengabaikan pelajarannya tentang kesusasteraan dan lebih suka berlatih silat. Lauw Cin dan isterinya tentu saja tidak senang melihat ini, akan tetapi mereka tidak berdaya. Mereka terlalu sungkan kepada Pat-jiu Sin-kai dan merekapun tidak tega menghentikan putera mereka dari kesenangannya. Mereka terlalu memanjakan Heng San. Maka merekapun diam saja.
Tubuh Heng San yang tadinya kurus lemah itu, tahun demi tahun mengalami perubahan besar. Walaupun dia masih kurus akan tetapi tubuh itu tampak tegap berisi dan kuat sekali. Terutama tangan kanan Heng San memiliki tenaga yang luar biasa kuat karena gurunya memberi pelajaran bermacam-macam ilmu yang lihai kepadanya, dari latihan memukul dan meremas pasir panas sampai meremas bubuk besi! Akan tetapi ketika Pat-jiu Sin-kai hendak memberi ilmu silat yang menggunakan senjata tajam, Lauw Cin dan isterinya melarangnya. Ayah dan ibu ini merasa ngeri melihat putera mereka memainkan senjata tajam, seolah-olah mereka melihat anak mereka membunuhi orang dengan senjata-senjata itu atau setidaknya melukai orang. Padahal Lauw Cin adalah orang yang suka mengobati orang-orang sakit atau terluka. Karena permintaan yang sangat dari kedua orang tua Heng San, Pat-jiu Sin-kai tidak memaksakan kehendaknya. Pengemis tua yang lihai ini masih tetap menaruh hormat kepada Lauw Cin yang disebutnya sebagai in-kong (tuan penolong).
Maka diapun menggembleng Heng San dengan ilmu-ilmu silat tangan kosong yang amat lihai. Bahkan dia mengajarkan semacam ilmu sulat tangan kosong khas untuk melawan dan menghadapi musuh-musuh yang bersenjata tajam. Untuk menjadi ahli silat tangan kosong yang betul-betul tangguh, Heng San harus memiliki kepandaian silat tangan kosong yang lengkap. Ginkangnya (ilmu meringankan tubuhnya) harus tinggi agar dia dapat bergerak dengan gesit dan lincah seperti sekor kera. Selain tenaga otot yang biasa disebut gwa-kang (tenaga luar) harus kuat, lwe-kang (tenaga dalam) harus terlatih baik, bahkan sin-kang (tenaga sakti) harus ditimbulkan dan dapat dikendalikannya dengan baik. Juga berdasarkan sin-kang ini dia diberi pelajaran Tiat-pouw-san (Baju Besi), semacam ilmu kebal sehingga senja baja biasa saja belum tentu dapat melukainya. Setelah Heng San dilatih Pat-jiu Sin-kai selama lima tahun, Lauw Cin dan isterinya menganggap bahwa putera mereka sudah cukup lama mempelajari ilmu silat. Dia dan siterinya menemui Pat-jiu Sin-kai dan menyatakan pendapatnya.
Paman yang baik, kami kira sudah cukup lama Heng San mempelajari ilmu silat, telah kurang lebih lima tahun. Dia kini sudah mulai dewasa, usianya sudah tujuh belaas tahun. Sudah tiba waktunya bagi Heng San untuk memperdalam pengetahuannya tentang ilmu pengobatan agar dia dapat menggantikan kedudukanku dan melanjutkan usahaku. Akan tetapi Pat-jiu Sin-kai memutar-mutar kedua matanya dan menggelengkan kepalanya. "Belum, In-kong, Belum!" dia selalu menyebut In-kong (tuan penolong) kepada Lauw Cin." kepandaiannya masih belum matang dan belum cukup. Dia harus belajar lima tahun lagi!" "Lima tahun lagi?" Suami Iteri itu berteriak hampir berbareng saking kagetnya mendengar ucapan pengemis tua yang kini berpakaian rapi dan bersih, dan tidak pantas disebut pengemis itu."Paman, untuk apa dia harus belajar lima tahun lagi?" teriak Lauw Cin penasaran "Apa gunanya" Apakah dia bisa kenang karena main silat" Apa dia bisa menghasilkan sesuatu dengan ilmu silatnya?" "Benar sekali kata-kata suamiku, paman!" kata pula isteri Lauw Cin yang ikut menjadi penasaran."
Untuk apa dia harus membuang-buang waktu untuk mempelajari ilmu silat lima tahun lagi" Dia sudah dewasa, harus mendapatkan jodohnya. Apakah kelak dia harus memberi makan anak dan isterinya dengan ilmu silat" Buktinya, dia bersusah payah mempelajari ilmu silat lima tahun dan apa hasilnya?" Kakek itu menghela napas lalu melompat ke atas pembariangan dan duduk bersila. "Hasilnya" Lihat saja sore nanti, pasti Heng San akan memperlihatkan hasil belajar silat selama ini." Setelah berkata demikian, Pat-jiu Sin-kai lalu memejamkan kedua matanya, bersemedi seperti biasanya. Melihat kakaek bersamadhi, Lauw Cin dan isterinya tidak berani mengganggu lagi dan keluar dari kamar kakek itu. Mereka merasa penasaran dan tidak puas. "apa sih yang dimaksudkan ketika dia berkata bahwa sore nanti Heng San akan memperlihatkan hasilnya belajar silat selama ini?" isteri Lauw Cin mengomel ketika mereka sudah berada di dalam toko obatnya.
Pada sore harinya, ketika Lauw Cin dan isterinya sedang sibut membungkus obat, terjadilah keributan di atas jalan depan rumah dan toko mereka. Ada seorang anak penggembala menggiring tiga ekor kerbaunya, agaknya hendak diajak pulang ke kandang. Tiba-tiba sekor dari kerbau-kerbau itu yaitu yang paling besar dan kuat karena kerbau itu jantang dan sudah dewasa, menguak dengan keras, lalu mendengus-dengus, mengguncang-guncang kepala yang bertanduk melengkung dan runcing itu, kemudian lari ke kanan kiri dan mengamuk. "Awas...! Kerbau gila mengamuk! Lari...! Lari...! terdengar beberapa orang berteriak dan semua orang yang berada di jalan itu berlarian cerai-berai. Sebuah kereta dorong yang berada ditepi jalan, didepan toko Lauw Cin, diseruduk kerbau yang mengamuk itu sehingga menjadi berantakan dan pecah-pecah. Pendorongnya melompat dan lari sambil berteriak ketakutan. Kini kerbau yang mengamuk itu berada di dekat toko Lauw Cin. Melihat kerbau yang matanya merah itu mendengus-dengus marah, Lauw Cin dan isterinya memandang ketakutan, bahkan Nyonya Lauw Cin menjadi pucat dan gemetaran.
Apalagi ketika mereka melihat Heng San tiba-tiba melompat keluar dari dan dengan tenangnya pemuda itu menghadapi kerbau yang mengamuk. "Heng San larilah...! cepat lari Lauw Cin dan Isterinya menjerit-jerit, Pemuda itu menoleh kepada mereka lalu tersenyum, "tenanglah, ayah dan ibu." katanya Kerbau gila itu kini melihat Heng San. Dia mendengus marah, mendudukan kepalanya, kaki depannya menggaruk-garuk tanah lalu menerjang ke depan. " Heng San... Heng San...!!" kemudian ia terkulai lemas dalam pelukan suaminya. Pingsan! Menghadapi serudukan kerbau itu Heng San bersikat tenang namun dengan gerakan tenang namun dengan gerakan lincah dia menghindar ke samping sehingga serudukan kerbau itu sempat membalik untuk menyerang lagi, dia melompat dekat ke samping kerbau, menggunakan tangan kiri menangkap tanduk kerbau dan tangan kanannya lalu menyambar dengan pukulan kilat ke arah kepala kerbau. Lauw Cin yang memeluk isterinya dan memandang ke arah puteranya, mata terbelalak dan mukanya pucat, jantungnya berdebar tegang dan khawatir.
Hanya mendengar suara "krakk" yang nyaring dan dia melihat betapa tubuh kerbau yang besar itu menjadi lemas dan roboh diatas tanah, tak begerak lagi, darah mengalir dari kepalanya yang pecah. Bukan Lauw Cin dan mereka yang kebetulan melihat peristiwa ini, bahkan Heng San sendiri jelas tampak heran dan terkejut sampai berdiri terbelalak memandang bangkai kerbau itu. Kemudian, seperti orang penasaran yang tidak percaya akan apa yang dilihatnya sendiri, pemuda itu membungkuk dan memeriksa kepala kerbau itu dan dia membersihkan tangannya yang berlepotan darah pada kulit leher kerbau itu. Orang-orang datang berduyun-duyun untuk melihat jelas bahwa kerbau gila yang mengamuk itu telah tewas. Tiada habisnya mereka memuji ketangkasan dan kehebatan Heng San. Ramailah orang sekota membicarakan peristiwa itu. Mereka selain kagum juga terheran-heran karena sebelumnya tidak ada yang tahu bahwa Heng San telah mempelajari ilmu silat dari seorang sakti. Mereka memang tahu bahwa jubu di rumah Lauw Cin tinggal seorang Kakek kurus kering yang tampak lemah. Lauw Cin hanya mengatakan bahwa kakek itu masih pamannya yang kini tinggal bersamanya.
Setelah memapah isterinya yang masih belum sadar benar dan masih lemas itu, Lauw Cin memanggil puteranya. Seorang pembantu toko disuruh menjaga toko dan Heng San memasuki kamar itu dengan senyum bangga karena kini baru dia menyadari bahwa selama bertahun-tahun tekun belajar silat, kini tampak bukti dan hasilnya. Pat-jiu Sin-kai juga berdiri diambang pintu kamar sambil tersenyum. "Bagaimana pendapatmu tentang hasil latihan silat Heng San, Lauw In-kong?" tanya kakek itu. Lauw Cin tidak dapat menjawab, hanya memandang wajah puteranya dengan kagum. Pada saat itu, Nyonya Lauw telah siuman kembali bangun duduk dan matanya mencari-cari. "Heng San..., Heng San...." Heng San segera menghampiri ibunya dan duduk disamping ditepi pembaringan. "Aku disini, Ibu, jangan takut, aku tidak apa-apa." Ibunya memandang penuh kasih sayang dan ia menghela napas lega melihat anaknya berada didekatnya dengan selamat. Ia merangkul Heng San dan berkata, "Ahh, Heng San, jangan engkau membuat ibumu kaget setengah mati seperti tadi. Engkau tidak terluka" Dan bagaimana kerbau itu tadi"."
"Kerbau itu tidak melukaiku dan aku berhasil memukulnya mati, ibu." "Ah, sukurlah." kata ibunya kagum. "Aku harus mengganti kerugian kepada pemilik kerbau itu!" kata Lauw Cin dan dia lalu menugaskan pembatunya menyelesaikan penggantian kerugian karena matinya kerbau itu, Kemudian, untuk merayakan kemenangan puteranya, Lauw Cin menyuruh orang membagi-bagikan daging kerbau itu kepada para tetangga. "Nah, sekarang baru kalian suami isteri percaya bahwa apa yang kuajarkan kepada putera kalian tidak sia-sia, bukan?" kata Pat-jiu Sin-kai setelah mereka duduk makan malam bersama di ruangan makan. "Saya girang sekali bahwa dia menjadi seorang pemuda yang kuat tangkas dan pemberani, paman. Banyak terima kasih atas bimbingan paman selama lima tahun ini." kata Lauw Cin dan isterinya mengangguk menyetujui.
"Sekarang harap kalian tidak keberatan lagi membiarkan Heng San melanjutkan silatnya selama tahun lagi, agar dia menjadi seorang yang benar-benar kuat dan pandai sehingga kalian tidak perlu mengkhawatirkan keselamatannya lagi. Kalau dia sudah tamat belajar jangankan baru sekor kerbau mengamuk, biar ada seratus ekor kerbau gila sekalipun, di akan dapat menjaga diri dengan mudah. Pula, dia akan dapat menjadi seorang pendekar budiman sehingga nama kalian sebagai orang tuanya akan terangkat dan menjadi buah bibir dan pujian rakyat.." Mendengar ucapan ini, Heng San kembali mendahului orang tuanya dan dia berlutut didepan gurunya. "Suhu (guru), tecu (murid) mohon bimbingan Suhu sampai selesai." Pat-jiu Sin-kai tertawa girang "tentu saja aku akan lakukan itu Heng San, karena engkau memang aku ingin melihat engkau belajar sampai tamat."
"Heran sekali, bagaimanakah kerbau itu tiba-tiba menjadi gila dan mengamuk?" Lauw Cin bertanya kepada Pat-jiu Sin-Kai yang tertawa bergelak mendengar pertanyaan itu dan kedua biji matanya semakin cepat berputaran. "Sudah kukatakan tadi pagi bahwa Heng San akan memperlihatkan hasil pelajarannya. Sekarang setelah terbukti, kuharap kalian tidak ragu-ragu lagi dan merelakan hati kalian kalau aku melatih Heng San barang lima tahun lagi, agar dia kuat menjaga keselamatan diri sendiri, juga keselamatan orang tuanya dan menjunjung tinggi namaku sebagai gurunya." Sambil masih tertawa girang, kakek itu lalu meninggalkan keluarga itu. Tak seorangpun mengetahui bahwa kakek aneh itu tadi ketika tiga ekor kerbau yang digiring itu lewat depan rumah keluarga Lauw, menggunakan kepandaiannya menyambitkan sebatang jarusm yang tepat mengenai belakang telinga kerbau terbesar sehingga binatang itu menjadi terkejut dan kesakitan lalu mengamuk. Dan diapun telah memesan untuk mengahdapi kerbau yang mengamuk agar jangan sampai mencelakai orang-orang dijalan.
Kemenangan yang amat mudah melawan kerbau gila itu, yang roboh dan pecah kepalanya hanya dengan sekali pukul saja, membuat Heng San semakin giat belajar. Kini bahkan dia tidak mau lagi membaca kitab-kitab yang berisi filsafat dan tuntunan budi pekerti itu yang disodorkan ayahnya. Dia manganggap ilmu silat jauh lebih bermanfaat dan menyenangkan. Kini dia berani menolak dan mengabaikan petunjuk ayah dan ibunya, tidak lagi penurut seperti dulu sebelum menjadi murid Pat-jiu Sin-kai. Lima tahun lewat dengan cepatnya Sang waktu memang aneh. Kalau tidak diperhatikan, ia melaju secepat cahaya sehingga bertahun-tahun lewat rasanya baru beberapa hari saja. Akan tetapi kalau diperhatikan, sang waktu merayap amat lambatnya sehingga kalau ada orang menanti sesuatu, penantian sehari rasanya seperti setahun! Selama lima tahun terakhir, Heng San setiap harinya berlatih silat dan Pat-jiu Sin-kai mengajarkan sema ilmu silat yang dikuasainya dan semua digubah menjadi silat tangan kosong yang tangguh. Kini Heng San telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh dua tahun yang bertubuh kokoh dan kuat sekali.
Kepandaianya silatnya bahkan sudah setingkat dengan Pat-jiu Sin-kai, bahkan kalau mau dibuat perbandingan, mungkin Heng San lebih tangguh daripada gurunya karena dia memiliki tenaga yang jauh lebih kuat. Hanya tentu saja Heng San masih kalah dalam hal pengalaman bertanding. Dalam latihan bersama yang mereka lakukan bersama yang mereka lakukan. Pat-jiu Sin-kai merasa betapa beratnya dia menangkis pukulan muridnya, sebaliknya Heng San kadang merasa berat menghadapi perkembangan gerakan suhunya yang lebih rumit. Namun, sekiranya mereka berkelahi sungguh-sungguh untuk dapat mengalahkan Heng San. Akan tetapi Lauw Cin dan isterinya tidak merasa senang melihat perkembangan mereka itu. Mereka melihat betama bersama meningkatnya kepadaian Heng San yang menjadi seorang pemuda yang gagah perkasan dan tinggi ilmu silatnya, muncul pula sikat tinggi hati dan sombong dalam diri anak mereka. Mereka cemas melhat betapa Pat-jiu Sin-kai hanya dapat melatih ilmu silat saja dan sama sekali tidak mendidik pengetahuan batin dan budi pekerti sehingga orang tua itu merasa khawatir kalau-kalau anak mereka menjadi seorang sombong dan sewenang-wenang yng mengandalkan kekuatan dan ilmu silatnya.
Apa yang dikhawatirkan Lauw Cin dan isterinya terjadi beberapa pekan kemudian. Kalau Heng San menguasai ilmu pengobatan, tentu tindakannya akan mendatangkan kebahagiaan, baik bagi orang lain maupun bagi dirinya sendiri. Akan tetapi ternyata olmu silatnya hanya mendatangkan urusan dan permusuhan saja. Pada suatu hari, Heng San lewat sebuah rumah besar. Diluar pintu depan yang besar itu tergantung sebuah papan bertuliskan huruf-huruf yang indah, berbunyi : HUI HOUW BUKOAN (Perguruan Silat Harimau Terbang). Heng San tahun bahwa rumah perguruan itu dihuni oleh Ciang Kauwsu (Guru Silat Ciang) yang bertubuh tinggi besar dan kokoh. Rumah perguruan silat itu merupakan satu-satunya di kota Lin-han-kwan dan telah dibuka kurang lebih tujuh tahun yang lalu, Heng San tahu pula bahwa banyak pemuda diantaranya ada beberapa orang tetangga dan teman-temannya, menjadi murid di Hui How Bukoan dengan membayar iuran setiap bulan.
Beberapa orang teman itu pernah mengajaknya untuk berguru silat disitu, akan tetapi Heng San selalu menolak karena secara diam-diam tanpa diketahui orang lain kecuali ayah ibunya, dia sudah mempunyai guru, yaitu Pat-jiu Sin-kai yang ingin agar namanya dirahasiakan. Ketika dia lewat depan rumah itu dia melihat daun pintu depan yang lebar itu terbuka dan dari dalam terdengar teriakan-teriakan mereka yang berlatih silat. Dia menjadi tertarik dan melangkah menghampiri. Setelah dia berdiri diambang pintu, dia melihat sekitar tiga puluh orang laki-laki, pemuda dan bahkan orang tua, sedang berdiri berjajar berlapis-lapis melakukan gerakan silat menurut aba-aba yang dikeluarkan seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat. Heng San pernah melihat Ciang Kauwsu, orang yang memberi aba-aba itu. Karena guru silat itu berdiri membelakanginya, maka dia tidak melihat munculnya Heng San di ambang pintu. Akan tetapi para muridnya tentu saja melihatnya karena mereka semua menghadap keluar.
Mereka yang mengenal Heng San, terutama teman-teman dan tetangganya, otomatis menghentikan gerakan silat mereka dan berseru gembira. "Itu dia Heng San si Pembunuh Kerbau!" Teriakan ini bermacam-macam nadanya. Ada yang bernada kagum, akan tetapi ada pula yang bernada mengejek. Para murid ini hanya mendengar beritanya saja tentang Heng San memukul kerbau gila, tidak menyaksikan sendiri. Melihat keributan dan banyak muridnya menghentikan latihan, Ciang Kauwsu mengerutkan alis dan diapun membalikkan tubuh menghadap ke arah Heng San yang berdiri dan tersipu-sipu oleh julukan itu. Memang diapun mendengar bahwa yang menyebutnya Heng San di Pembunuh Kerbau, entah memuji atau mengejek dia tidak perduli. Ciang Kauwsu melangkah maju menghampiri Heng San. Langkahnya perlahan dan melenggang santai, seperti langkah harimau! Guru Silat satu-satunya di Lin-han-kwan ini juga sudah mendengar akan peristiwa mengherankan itu, dimana katanya seorang remaja membunuh sekor kerbau gila hanya dengan sekali pukul, pada hal anak itu tidak pernah belajar silat.
Tentu saja dia tidak percaya akan cerita itu dan menganggapnya dongeng orang-orang bodoh yang berlebihan. Akan tetapi sekarang dia berhadapan dengan anak ajaib yang dikabarkan membuhuh kerbau gila itu. Timbul sebuah gagasan yang menguntungkan dalam benaknya. Kalau pemuda yang terkenal ini mengaku bahwa dia murid perguruan Hui Houw Bukoan, tentu banyak pemuda akan tetarik untuk belajar di perguruan silatnya. Bahkan orang-orang dari kota lain akan berdatangan untuk berguru kepadanya yang telah menghasilkan murid yang ajaib.! Kini Ciang Kauwsu sudah berhadapan dengan Heng San, dalam jarak dua meter. Biarpun Pat-jiu Sin-kai tidak pernah mengajarkan sopan-santun kepadanya, namun sejak kecil Heng San sudah dijejali budi pekerti baik oleh kedua orang tuanya, maka kini tanpa disengaja lagi secara otomatis deapun menjura dan memberi hormat. "Maafkan saya kalau saya mengganggu. Saya hanya kebetulan lewat dan ingin menonton saja, Ciang Kauwsu."katanya hormat. "Engkaukah yang terkenal dengan julukan Heng San si Pembunuh Kerbau itu?" tanya Ciang Kauwsu yang nama lengkapnya Ciang Hok.
"Nama saya Lauw Heng San." "Hem, aku sudah mendengar bahwa engkau putera si tukang obat Lauw Cin. Benarkah lima tahun yang lalu, ketika engkau masih remaja, engkau telah membunuh sekor kerbau gila dengan sekali pukul" Ahh! Aku tidak percaya itu. Tentu kabar itu kosong dan dilebih-lebihkan saja!" kata Ciang Kauwsu. "Suhu mungkin sebelumnya kepala kerbau itu telah retak!" seru seorang murid dan ucapan yang mengejek itu disambut gelak tawa. Hati Heng San menjadi panas. "terserah kepada kalian mau percaya atau tidak, aku tidak peduli. Yang penting kenyataannya, melihat kerbau gila mengamuk, aku khawatir kalau kerbau gila itu mencelakai orang, maka kupukul dia dan mati!" Melihat pemuda itu tampak marah, Ciang Kauwsu lalu berkata, "Heng San agar kami dapat percaya, engkau harus membuktikan bahwa engkau memiliki kemampuan itu." "Hem, Ciang Kauwsu. Peristiwa itu terjadi lima tahun yang lalu. Bagaimana aku dapat membuktikannya?" tanya Heng San dengan hati masih panas karena dia tidak dipercaya, bahkan dijadikan bahan olok-olok.
"Begini, Heng San, engkau harus membuktikan bahwa engkau memang memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga mampu membunuh sekor kerbau gila. Untuk menguji kemampuanmu itu. Engkau harus bertanding melawan aku. Biarpun engkau tidak mungkin bisa menang melawan aku, akan tetapi aku tidak akan mencelakaimu. Kalau engkau kalahpun, setidaknya aku sudah mengetahui bahwa engkau memang berkepandaian dan setelah engkau kalah, engkau harus menjadi murid perguruanku dan mengaku kepada siapa saja bahwa engkau murid Hui Houw Bukoan dan engkau menggunakan ilmu yang kau pelajari dari kami untuk membunuh kerbau itu. Kalau engkau tidak berani menguji kepandaian melawan aku dalam sebuah pi-bu yang adil, tanpa senjata, maka kami semua akan menganggap engkau pembohong dan semua berita tentang membunuh kerbau gila itu hanya bohong belaka. Heng San mengerutkan alisnya, Guru silat ini sombong sekali, pikirnya dan para muridnya itupun sombong. "Suhu, mana dia berani melawan suhu?" seorang muri mentertawakan. "Suhu, kalau melawan Suhu, dalam waktu satu jurus saja tentu dia sudah terjungkal.
Lebih ramai kalau dia melawan tecu (murid) saja!" kata seorang murid yang merupakan murid kepala karena sudah lima tahun belajar silat disitu. Pada saat itu, darah sudah naik ke kepala Heng San. "Baik, aku terima tantanganmu, Ciang Kauwsu. Kalau aku kalah, aku akan menjadi murid Hui Houw Bukoan, akan tetapi kalau engkau yang kalah melawan aku?" Ledakan suara tawa menyambut pertanyaan Heng San. Terdengar kata-kata ejekan, bahkan seorang pemuda berkata, "Heng San, pikirlah dulu kalau bicara! Masa suhu kalah olehmu! Mana mungkin?" Ciang Kauwsu juga tertawa akan tetapi dia lalu membalik kepada para muridnya dan mengangkat kedua tangan memberi isarat agar para murid tidak membuat gaduh. Setelah suasana menjadi tenang, guru silat itu menghadapi Heng San kembali, "Heng San kalalu engkau kalah, aku mengharuskan engkau pai-kui (berlutut menyembah) kepadaku sebanyak sepuluh kali dan engkau menjadi murid Hui Houw Bukoan sepeti kukatakan tadi. Karena itu kalau aku yang kalah... heh-heh, engkau boleh mengajukan saran, apa yang harus kulakukan."
"Baik, sekarang dengar baik-baik saranku, Ciang Kauwsu. Kalau engkau yang kala, engkau tidak usah pai-kui kepadaku, akan jelas engkau tidak pantas menjadi guru silat di kota Lin-han-kwan ini, Karena itu, engkau harus menurunkan papan nama perguruanmu, menutup perguruan silat dan tinggalkan kota ini." Para murid terbelalak, betapa beraninya pemuda itu! Ciang Kauwsu mengerutkan alis, kumisnya yang tebal seperti berdiri semua, mukanya merah. "Heng San, berani sekali engkau jangan salahkan aku kalau nanti engkau kalah dan mengalami babak belur, benjol, memar dan tulang patah!" bentaknya. "Sudah menjadi resiko orang yang berani pi-bu (adu silat) mengalami luka-luka!" Jawab Heng San. "Bagus, hayo ke tengah ruangan silat," katanya sambil membalik dan melangkah ke dalam, berseru kepada para murid, "kalian semua mundur membuat lingkaran lebar, bari kami tempat yang leluasa dan lihatlah betapa guru kalian menghajar pemuda yang sombong ini!" Heng San mengikuti guru silat itu ke tengah ruangan.
Para murid membuat lingkaran yang cukup lebar dan semua memandang dengan wajah penuh ketegangan. Yang suka kepada Heng San menjadi cemas, akan yang tidak suka menjadi gembira karena mereka semua yakin bahwa Ciang Kauwsu tentu akan memberi hajaran keras kepada Heng San yang berani mengajukan saran yang dianggap merendahkan dan menghina itu. Kini kedua orang itu sudah saling berhadapan dan saling beradu pandang seperti dua ekor ayam jago hendak berlaga. Heng San sudah dewasa benar. Tingginya tidak kalah dibandingkan Ciang Hok, walaupun tubuhnya tidak sebesar guru silat itu. Biarpun selamanya dia belum pernah bertanding ilmu silat, namun hatinya sama sekali tidak merasa gentar. Gurunya sendiri sudah mengatakan bahwa dia tidak akan kalah bertanding dengan siapapun juga di kota ini. Dan walaupun dia belum pernah bertanding dalam arti yang sesungguhnya berkelahi, namun sering sekali dia bertanding silat melawan gurunya dan sewaktu latihan bertanding ini, Pat-jiu Sin-kai tidak main-main melainkan menyerang sungguh-sungguh.
Perasaan takut berarti kalah sebelum bertanding, demikian nasehat gurunya. Ciang Hok sudah memasang kuda-kuda dengan ilmu andalannya yang juga dipergunakan sebagai nama perguruannya, yaitu Hui Houw Bukoen. (Ilmu Silat Harimau Terbang). Pasangan kuda-kuda itupun tampak gagah sekali, dengan kedua kaki sedikit terpentang dan lutut ditekuk, kemudian kemudian kedua tangan bersilang dengan jari-jari itu membentuk cakar harimau, kelihatan jari-jari iry mengandung tenaga kuat dan otot-ototnya menonjol, menyeramkan. "Heng San, hayo maju seranglah. Hendak kulihat bagaimana engkau dapat memukul roboh kerbau gila itu dengan sekali pukul!?" kata guru silat Ciang sambil menyeringai dan memandang rendah. Heng San juga memasang kuda-kuda tetapi sikapnya biasa saja, kaki kiri didepan dan kaki kanan di belakang kedua lutut ditekuk dan kedua tangan berada dibawah kanan kiri pinggang. "Ciang Kauwsu, engkaulah yang menantang pertandingan dan engkau lebih tua daripada aku, maka engkau yang sepantasnya mulai lebih dahulu.
Nah mulailah, aku sudah siap!" kata Heng San tanpa maksud memandang rendah, melainkan hanya ingat akan akan keharusan bersikap sopan dan mengalah terhadap orang yang lebih tua seperti yang diajarkan ayah ibunya. Pada hal, melihat guru silat itu dari dekat, Heng San dapat melihat ciri-ciri seorang yang mengandalkan tenaga otot dan kerasnya tulang sehingga dia merasa lebih yakin bahwa yang dia hadapi bukanlah lawan berat, walaupun dia tidak mau memandang ringan. Mendengar ucapan Heng San, guru silat Ciang ini mengerutkan alisnya karena dia menganggap ucapan yang sopan itu mengandung tantangan yang memandang rendah kepadanya. Timbul niatnya untuk menghajar bocah sombong itu. "Awas! Sambut seranganku ini!" bentaknya dan bentakan ini disambung suara auman mirip auman sekor harimau. Agaknya memang auman ini sengaja dikeluarkan untuk menambah wibawa dan sesuai pula dengan nama ilmu silat dan perguruannya, yaitu Harimau terbang. Tubuhnya sudah melompat dan menerjang ke depan, tangan kiri memancing dengan cakaran ke arah muka Heng San sedangkan serangan intinya adalah sebuah tonjokan dengan kepalan tangan kanan ke arah dada Heng San.
Beberapa batang tulang iga pemuda itu dapat dipastikan akan patah-patah kalau pukulan itu mengenai sasaran. Heng San dapat melihat datangnya serangan pancingan dan serangan inti ini dengan jelas. Dia melangkah mundur membiarkan cengkeraman itu lewat. Ketika lawan melangkah maju dan kepalan tangan kanan menyambar ke arah dadanya, dia sengaja mendiamkan saja dan diam-diam dia menyalurkan sin-kang (tenaga sakti) ke arah dadanya yang akan menerima pukulan, mengerahkan ilmu Tiat-pouw-san (ilmu kebal Baju Besi). "Wuutt... dukkk!" kepalan tangan kanan Ciang Hok bertemu dada dan dia mental ke belakang. Tangan kanannya terasa nyeri bukan main seolah bertemu dengan dinding baja! Selagi dia terhuyung ke belakang kaki kiri Heng San mencuat dan menyambar ke arah dadanya. "Wuuuttt... desss!" tubuh Ciang Hok terlempar dan jatuh terjengkang. Para murid Hui-houwbukoen terbelalak kaget. Mereka merasa seperti sedang mimpi. Guru mereka yang mereka bangga-banggakan itu roboh hanya dalam segebrakkan saja!
Tidak mungkin! Ini tentu hanya kebetulan saja. Jangankan para murid yang hanya menjadi penonton, bahkan Ciang Hok sendiri yang mengalami hal itu merasa seperti dalam mimpi. Diapun tidak percaya bahwa dalam segebrakan saja dia telah roboh oleh pemuda itu. Sebetulnya hal itu tidaklah aneh, Biarpun Ciang Hok telah menjadi guru silat, namun ilmu silatnya hanya matang diluarnya saja. Dia hanya dapat menguasai kulitnya saja, tidak pernah mendapatkan isinya dan tenaganyapun hanya tenaga kasar, tenaga otot yang disebut gwa-kang (tenaga luar). Sebaliknya Heng San selama sepuluh tahun dididik oleh seorang pendekar sakti dan dia telah menguasai inti ilmu silat sehingga setiap gerakkannya tidak dikendalikan pikiran lagi. Setiap gerakkannya sudah merupakan jurus baru yang disesuaikan dengan keadaan saat itu, dan pemuda inipun sudah menguasai tenaga sakti. Setiap dia bergerak untuk bertanding silat, maka tenaga dalamnya sudah tersalur dan dapat dikendalikan, digerakkan ke manapun.
Guru silat Ciang yang penasaran sekali belum mau mengaku kalah. Dia melompat bangun lagi, mukanya merah dan matanya berapi-api. "Sambut ini!" bentaknya dan sambil menggerreng seperti harimau terluka diapun melompat dan menerkam ke arah Heng San. Kini kedua tangannya membentuk cakar dan mencekeram kearah leher dan perut, seperti harimau menerkam domba. Serangan ini berbahaya sekali dan kalau leher dan perut Heng San terkena cengkeraman jari-jari tangan yang kuat seperti cakar harimau itu, tentu leher dan perutnya akan robek dan dia dapat tewas seketika. Menghadapi sertangan yang ganas ini Heng San menjadi marah. Orang ini bukan hendak menguji kepandaian lagi pikirnya, melainkan menyerang untuk membunuh. Dia lalu cepat menggerakkan kedua tangannya, bagaikan dua ekor ular menyambar, tahu-tahu dia telah berhasil menangkap kedua pergelangan tangan lawan. Cepat sekali dia membuat gerakan memuntir dan sekali menyentakkan kedua tangan dengan pengerahan tenaga dalam, tubuh Ciang Hok telah terangkat dan Heng San melontarkan tubuh itu lewat atas kepalanya ke belakang.
"Wuuutt..... brukkk!!" tubuh Ciang Hok terbanting keras sekali ke atas lantai dan dia mencoba bangkit, namun terkulai kembali karena kaki kirinya terasa nyeri dan lengan tangannya juga terkilir.! Beberapa muridnya segera datang membantu dan memapahnya bangkit berdiri. Dengan muka pucat Ciang Hok memandang kepada Heng San, lalu menunddukkan mukanya dan berkata, "sudahlah! Aku memang tidak pantas menjadi guru silat di kota ini..." "Bagus Kalau kau menyadari hal itu. Lebih baik lagi kalau engkau segera menutup perguruan ini dan meninggalkan Lin-han-kwan." Setelah berkata demikian, Heng San membalikkan tubuhnya keluar dari rumah perguruan itu. Para murid mengikutinya dan ketika tiba di luar Heng San mendongak memandang ke arah papan lebar yang ditulisi perguruan itu. "Papan ini harus diturunkan!" Katanya dan tiba-tiba dia mendorongkan telapak tangannya ke arah papan itu sambil mengerahkan sin-kang (tenaga sakti).
"wuuuttt... brakkk!" papan itu pecah menjadi dua potong dn jatuh dari gantungannya. Para murid Hiu-Houw-bukuon terbelalak. Papan itu amat tebal namun pecah dan jatuh terkena hawa pukulan jarak jauh Heng San. Mereka menjadi jerih dan segera masuk kembali ke dalam rumah perguruan itu. "Pada hari itu juga. Perguruan Silat Harimau Terbang ditutup dan Ciang Hok membawa barang-barangnya meninggalkan kota Lin-han-kwan, entah pindah kemana tidak ada yang tahu. Ketika Law Cin mendengar akan peristiwa itu, dia memarahi Heng San didepan Pat-jiu Sin-kai. "Hengsan! Engkau telah berubah menjadi seorang tukang pukul yang jahat! Kenapa engkau mengganggu Guru Silat Ciang Hok yang tidak bersalah" Dia membuka perguruan silat di kota ini, apa hubungannya denganmu" Kenapa engkau berkelahi dengan dia dan mengalahkannya, sehingga dia merasa malu dan menutup perguruannya lalu pergi meninggalkan Lin-han-kwan.?"
Heng San diam saja. Akan tetapi Pat-jiu Sin-kai yang berada disitu tertawa bergelak. "Ha ha ha, In-kong dan Lauw Toanio! Apa yang dilakukan Heng San itu adalah hal yang lumrah saja terjadi di dunia persilatan. Pertandingan itu bukan perkelahian, melainkan pi-bu (pertandingan silat) untuk menguji ilmu silat masing-masing. Kalau Ciang Hok kalah lalu merasa malu dan menutup perguruannya dan meninggalkan Lin-han-kwan, hal itu adalah biasa saja dan tidak perlu dipersoalkan. Heng San sama sekali tidak bersalah!" Melihat ayah dan ibunya masih marah, Heng San lalu berkata. "Ayah dan Ibu, percayalah bukan aku yang menantang pertandingan. Ketika itu aku mampir nonton latihan mereka. Tahu-tahu dia menghina dan mengejekku, dan guru silat Ciang itu menantangku dan mengatakan bahwa kalau kami bertanding dan aku kalah, aku harus mengakuinya sebagai guruku.
Sebaliknya kalau dia yang kalah, dia akan menutup perguruan dan pergi dari kota ini. Karena sikapnya yang sombong dan menghina, maka aku menerima tantangannya dan akibatnya dia kalah dan pergi dari kota ini. Aku tidak bersalah, Ayah." Karena merasa sungkan kepada Pat-jiu Sin-kai, Lauw Cin dan isterinya tidak berkata apa-apa lagi, namun di dalam hati mereka, kedua orang tua ini sangat kecewa sekali. Mereka membayangkan dalam usianya yang dua puluh dua tahun seperti sekarang ini, kalau saja Heng San tidak menjadi murid Pengemis tua itu tentu dia kini sudah dikenal diseluruh kota sebagai seorang ahli obat mida yang sudah banyak menolong dan menyembuhkan orang sakit sehingga nama keluarga mereka menjadi semakin harum. Akan tetapi sekarang mereka mempunyai anak tunggal yang menjadi tukang pukul.
Peristiwa itu sebulan kemudian disusul dengan peristiwa lain yang lebih menggegerkan pula. Pada suatu pagi, Heng San yang melihat ayah dan ibunya selalu berwajah muram, mulut mereka cemberut dan alis mereka berkerut setiap kali memandangnya sehingga dia maklum bahwa mereka masih marah sekali kepadanya, lalu meninggalkan rumah untuk mencari hawa segar dan menghibur hatinya yang menjadi kesal dan murung. Dia berjalan-jalan tanpa tujuan dan kedua kakinya membawanya memasuki sebuah taman umum yang berada di sudut kota, di dekat pintu gerbang sebelah barat kota Lin-han-kwan. Hatinya yang murung menjadi gembira, ketika melihat keadaan taman umum, ketika dia melihat keadaan taman umum itu yang indah karena pada saat itu musim bunga telah tiba dan tanaman itu semua sudah mulai berbunga. Karena itu, banyak orang, terutama orang-orang muda yang pada pagi hari yang cerah itu, mengunjungan taman. Suasana dalam taman itu sungguh menyenangkan.
Ketika Heng San tiba disebuah kolam ikan emas yang berada di sudut taman, dia melihat tiga orang gadis mida yang sedang bermain-main di tepi kolam, melemparkan makanan ke arah ikan-ikan yang berada dalam kolam. Suara tawa mereka yang tertahan-tahan dan merdu itu membuat suasan menjadi semakin segar dan nyawam bagi Heng San. Dia melihat bahwa seorang di antara tiga orang gadis itu cantik sekali, berpakaian merah muda dan biarpun dandanannya tidak mewah, namun pakaiannya cukup rapi dan bersih. Adapun dua orang gadis lainnya agaknya merupakan teman atau juga pengikutnya, karena pakaian mereka seperti pakaian pelayan yang lebih sederhana. Gadis itu berusia kurang lebih delapan belas tahun dan dua orang temannya itu lebih muda, sekitar lima belas tahun usia mereka. Pada waktu itu, pemerintah kerajaan yang baru, yaitu kerajaan Ceng yang didirikan oleh bangsa Manchu yang berhasil menduduki dan menjajah cina, mengadakan peraturan-peraturan yang harus ditaati seluruh rakyat bangsa Han, yaitu bangsa aseli Cina.
Semua laki-laki diharuskan memelihara rambut seperti halnya para laki-laki bangsa Manchu. Karena rambut yang panjang itu berabe sekali, maka menurut kebiasaan waktu itu, rambut itu dikuncir, menjadi kuncir panjang yang digantung di belakang punggung. Heng San dan para pria yang berada dalam taman juga mempunyai kuncir seperti itu. Rambut Heng San yang subur dan hitam itu dijadikan sebuat kuncih yang besar dan ujungnya diikat kain kain sutera hitam. Kuncirnya panjang sampai di pinggang dan kadang kuncirnya itu dilibatkan di lehernya sehingga dia tampak gagah sekali. Heng San mengerutkan alisnya ketika serombongan laki-laki menghampiri tiga orang gadis yang sedang bermain-main memberi makan ikan di empang itu. Mereka terdiri dari belasan orang yang mengenakan pakaian seragam penjaga keamanan kota, membawa sebatang golok tergantung di pinggang masing-masing. Hanya petugas-petugas pemerintah dan para pembesar machu saja, dan beberapa orang Han yang menjadi antek penjajah dan menjadi pembesar-pembesar kecil, yang diperbolehkan membawa senjata tajam.
Rakyat jelata dilarang membawa senjata tajam. Siapa berani melanggar akan ditangkap dengan tuduhan memberontak.! Dua belas orang prajurid penjaga keamanan kota itu mengikuti seorang laki-laki yang usianya sekitar tiga puluh tahun lebih dan melihat pakaiannya mudah diketahui bahwa dia adalah seorang bangsawan Manchu, atau putera seorang pembesar tinggi. Heng San segera mengatahui siapa orang itu. Biarpun dia tidak mengenalnya karena putera seorang pembesar Manchu mana yang mau bersahabat dengan seorang pemuda biasa. Dia tahu bahwa bangsawan Manchu muda itu adalah Bauw Mauw, putera Jaksa Bauw seorang pembesar yang berkuasa di kota Lin-han-kwan. Dia melihat betapa Bauw Mauw mendekati gadis-gadis itu dan bicara dengan gadis cantik berpakaian merah muda. Gadis itu tampak takut dan malu-malu, sedangkan Bauw Mauw tersenyum-senyum dan kelihatan seperti menggoda dan merayu.
Karena merasa curiga, Heng San berjalan mendekati, padahal orang-orang lain yang berada di taman itu pergi menyingkir dan kelihatan takut kepada Bauw Mauw dan para pengawalnya. Setelah dekat, Heng San mendengar percakapan mereka dan agaknya gadis berpakaian merah muda itu kini berbantahan dengan Bauw Mauw. "Tidak, Koncu (tuan muda), saya tidak mau...!" gadis itu berkata dan nada suaranya marah akan tetapi juga takut. "Engkau harus mau mengikuti aku karena saat ini kalian bertiga kami tangkap!" Bauw mauw lalu memberi isarat dengan tangan kepada dua belas orang pengawalnya yang segera maju mengepung tiga orang gadis yang tampak ketakutan itu. Apalagi dua orang gadis pembantu rumah tangga itu tampak takut sekali dan mereka mulai menangis. "Ditangkap" Kongcu, apakah kesalahan kami maka ditangkap?" gadis itu membantah, walaupun wajahnya berubah pucat.
"Nanti kalian akan tahu kalau sudah diperiksa dikantor ayahku! Ingat, ayah adalah jaksa di kota ini dan kami berhak menangkap siapa saja yang kami curigai. Hayo Jalan!" tiga orang gadis itu didorong-dorong para pengawal dan sambil menangis terpaksa melangkah maju. Orang-orang yang melihat peristiwa itu dari jarak jauh tidak ada yang berani mencampuri. Akan tetapi Heng San yang menjadi penasaran sekali. Dia segera membayangi rombongan yang menawan tidak orang gadis itu. Tentu saja dia menjadi terheran-heran melihat bahwa rombongan itu tidak menuju ke kantor kejaksaan seperti yang diduganya, melainkan malah keluar dari pintu gerbang barat kota itu.! Dia terus membayangi tanpa diketahui oleh rombongan itu dan tak seorangpun penduduk yang begitu tolol untuk berani mencampuri urusan putera jaksa itu. Heng San mengikuti terus dan melihat bahwa rombongan itu membawa tiga orang tawanannya ke sebuah rumah mungil.
Itulah rumah peristirahatan yang dibuat Jaksa Bauw, sebuah rumah mungil di lereng bukit, di tempat yang sunyi dan berhawa sejuk. Tempat yang memang nyaman sekali untuik beristirahat, menjauhi keramaian kota. Setelah mereka semua memasuki rumah itu Heng San cepat menyusup di antara pohon-pohon dan semak-semak mendekati tumah itu. Tiba-tiba dia mendengar jerit wanita keluar dari sebuah jendela kamar yang tertutup. Heng San cepat menghampiri jendela itu dan tanpa ragu lagi dia mendorong daun jendela sehingga terbuka. Matanya terbelalak melihat pemuda Manchu putera jaksa itu sedang bergumul dengan gadis berpakaian merah muda. Mereka bergumul di atas pembaringan, Bauw kongcu berusaha merenggut lepas pakaian gadis itu sedangkan gadis itu sekuat tenaga berusaha mencegahnya. Mereka tidak tahu bahwa jendela kamar sudah dibuka Hengsan dari luar, Bauw Koncu yang sudah menggila oleh gairah nafsu itu sudah tidak melihat atau mendengat apa-apa lagi.
Heng San tak dapat menahan kemarahannya lagi. Sekali menggerakkan tubuh, dia sudah melompat ke dalam kamar. Sekali tangan kirinya mencengkeram dan merenggut, tubuh itu dan terpelanting ke atas lantai. Tangan kanan Heng San menyambar " dess...!" pemuda bangsawan manchu itu terkapar, giginya rontok, mulutnya berdarah dan dia pingsan seketika. Heng San mendengar jerintan-jeritan wanita diluar kamar. Cepat dibukanya ruangan depan, kemarahan membuat mukanya berubah merah sekali ketika dia melihat betapa dua orang gadis pembantu tadi dijadikan rebutan dua belas orang pegawal Bauw koncu. "Jahanam-jahanam busuk!" dia berseru dan tubuhnya berkelebatan di antara dua belas orang itu. Beberapa orang diantara mereka mencabut golok untuk melawan pemuda yang mengamuk itu, namun perlawanan mereka tidak ada artinya bagi Heng San.
Sorang demi seorang roboh pingsan oleh ukulan atau tendangannya. Tak lama kemudian tanpa banyak cakap, Heng San mengiringkan tiga orang gadis itu untuk kembali ke kota Lin-han-kwan dan memesan agar untuk sementara waktu mereka jangan keluar rumah dulu. Setelah itu, barulah dia pulang ke rumahnya. Sebentar saja, kota Lin-han-kwan menjadi gempar. Begitu ada yang mengetahui Heng San si pembunuh kerbau gila menghajar Bauw kongcu bersama sekelompok pengawalnya, semua orang membicarakannya. Sebagian besar membicarakan peristiwa itu dengan hati riang gembira karena bauw koncu terkenal mata keranjang dan suka mengganggu anak bini orang dan Bauw taijin terkenal pula sebagai pemeras dan penindas mengandalkan kekuasaannya dan suka bertindak sewenang-wenang.
Akan tetapi, ketika Lauw Cin dan isterinya mendengar hal itu, mereka terkejut setengah mati dan keduanya cepat menyerbu kamar Heng San. Saat itu Heng San telah menceritakan pengalamannya kepada suhunya. Pat-jiu Sin-kai hanya tersenyum dan mengangguk-angguk membenarkan tindakan muridnya. Pada saat mereka berbicara berdua sedang berbicara, masuklah Lauw Cin dan isterinya. Dari sikap orang tuanya yang menyerbu kamarnya dengan sikap tegang, maklumlah Heng San bahwa ayah ibunya sudah tahu akan apa yang terjadi di rumah peristirahatan pembesar Lauw itu. "Heng San! Bagaimana sih engkau ini?" tegur ibunya, ":engkau berani memukuli Bauw kongcu, putera jaksa Bauw sampai pingsan"." "Barangkali engkau sudah gila!" bentak ayahnya, tidak peduli lagi bahwa Pat-jiu Sin-kai ada di situ. "engkau akan menyeret seluruh keluarga ini ke dalam malapetaka!"
"Ayah, Ibu, harap tenanglah. Aku sama sekali tidak bersalah. Bauw koncu itu dan selosin pengawalnya sedang hendak memerkosa tiga orang gadis baik-baik, apakah aku harus tinggal diam?" Lauw Cin merasa mendongkol dan bingung sekali. Di lubuk hainya, tentu saja dia dapat melihat bahwa perbuatan puteranya itu membela wanita-wanita yang diperkosa, bahwa perbuatan itu benar. Akan tetapi bagaimanapun juga hanya timbul dari hati sombong dan mengandalkan ilmu silat sehingga akibatnya mendatangkan permusuhan dan keributan. "Huh, tahukah engkau bahwa perbuatanmu itu dapat membuat kita sekeluarga dijatuhi hukuman mati dengan tuduhan memberontah" Ah, anak bodoh! Aku harus cepat menghadap Bauw taijin.!" Lauw Cin segera berganti pakaian dan membawa semua uang tabungannya yang tadinya disimpan untuk persediaan kalau puteranya menikah dan untuk menambah modal. Kemudian sambil membawa semua uang itu pergilah dia ke rumah Bauw taijin.
Bauw taijin menerima Lauw Cin di ruangan tamu dan dia mengerutkan alisnya ketika pengawal memberitahu bahwa Lauw Cin datang menghadap. Ketika Lauw Cin muncul di pintu, dia segera menghardik. "hemmm, inilah yang bernama Lauw Cin, ayah dari pemuda pemberontah itu?" Dengan kedua kaki gemetar Lauw Cin segera maju dan menjatuhkan dirinya berlutut. "saya mohon ampun sudilah kiranya paduka mengampuni anak saya yang bodoh. Ampunilah keluarga kami yang bodoh, taijin. Saya berjanji bahwa saya tidak berani melakukan kenakalan lagi. Semua ini hanya kesalah-pahaman, taijin, karena anak saya yang tolol itu tidak mengenal Bauw koncu. Untuk menyatakan penyesalan kami, saya mohon paduka sudi menerima sedikit bingkisan ini." Lauw Cin menyodorkan "bingkisan"yang amat besar dan berat itu ke depannya dan kembali dia memberi hormat dengan membungkuk sambil berlutut sehingga berkali-kali dahinya menyentuh lantai.
Akan tetapi pembesar itu menunjukkan pandang matanya ke bungkusan yang berat itu dan mengira-ira berapa isinya. "Anakmu itukah yang dikenal sebagai Heng San si pembunuh kerbau gila itu?" tanyanya. "betul, taijin. Anak saya hanya seorang pemuda kasar dan bodoh." "Hemm, dan anakmu itu juga yang telah mengalahkan guru silat Ciang Hok yang memimpin Hui-houw-bukoan itu, yang sekarang telah menutup perguruannya"." "Be.... benar, tai-jin. Anak saya memang nakal sekali, suka membikin keributan. Akan tetapi saya berjanji untuk memperbaiki kelakuannya. Ampunkan kami, tai-jin yang mulia dan bijaksana." "Hemm, siapakah guru yang mengajar ilmu silat anakmu itu?" Karena ingin mendapatkan ampuj, Lauw Cin tidak berani berbohong. " Yang mengajarnya adalah seorang... pengemis tua, tai-jin" "hehhh...." seorang pengemis?" "
(Lanjut ke Jilid 02) Si Tangan Halilintar (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 02 Ya, dia sudah sepuluh tahun tinggal dirumah kami." "Siapakah namanya?" "kami tidak tahu siapa namanya, tetapi hanya mengetahui nama julukkannya saja, yaitu pat-jiu Sin-kai, tai-jin." Pembesar itu diam saja, akan tetapi diam-diam dia merasa terkejut bukan main. Dia sudah mendengar akan nama Pat-jiu Sin-kai ini sebagai seorang tokoh kang-ouw yng terkenal sakti, bahkan dia mendengar pula bahwa tokoh ini merupakan orang yang menjadi perhatian pemerintah karena dianggap sebagai orang yang anti pemertintahan Mancu. Gentarlah hari Jaksa Bauw. Dia menekan kemarahannya, bukan saja melihat uang sogokan yang banyak itu, melainkan terutama sekali dia takut akan pembalasan Heng San dan gurunya kalau dia bertindak keras. "Baiklah, sekali ini kami mengampuni keluargamu, akan tetapi kalau anakmu itu masih banmyak ulah lagi, kami akan mengerahkan pasukan untuk menangkap dan menghukum seluruh kelaurgamu! Nah pergilah!."
"Terima kasih, tai-jin, terima kasih!." Lauw Cin memberi hormat berkali-kali lalu mengundurkan diri dengan hati lega akan tetapi juga jengkel sekali terhadap puteranya. Setibanya di rumah dan melihat Heng San duduk di ruangan dalam bersama Pat-jiu Sin-kai, dia segera mendamprat anaknya didepan kakek itu. "Heng San, engkau anak durhaka! Perbuatanmu memukuli Bauw kongcu dan para pengawalnya itu sungguh keterlaluan sekali! Aku memperbolehkan engkau belajar silat kepada gurumu bukan untuk membikin engkau menjadi seorang tukang pukul dan merendahkan nama orang tuamu saja! Engkau memancing permusuhan dan mencelakakan keluarga kita sendiri." "akan tetapi, ayah. Orang-orang itu memang pantas dipukul!" Lauw Cin menggebrak meja dengan marah "engkau yang pantas dipukul! Kenapa engkau usil dan suka mencampuri urusan orang lain" Dengar baik-baik, mulai sekarang engkau kularang keluar dari rumah ini. Mulai sekarang engkau harus membantu aku mengurus pekerjaanku, dan belajar bekerja.
Aku sudah tua, siapa yang akan menjadi penggantiku kalau aku mati, kecuali engkau" Engkau buakan belajar menjadi penolong orang dan mempelajari pengobatan, sebaliknya engkau malah menjadi pemukul dan mencelakai orang orang lain!" setelah berkata demikian, ayah yang marah itu meninggalkan Heng San dan Pat-jiu Sin-kai yang sejak tadi hanya diam saja. Tak lama kemudian, ibu Heng San memasuki kamar itu sambil menangis. "Ah, ada apakah, ibu?" Heng San bangkit dan merangkul ibunya. Nyonya Lauw merangkul anaknya sambil menangis. Setalah reda tangisnya, nyonya itu berkata, "Aduh, Heng San, kenapa engkau membikin ayahmu marah dan ibumu bersedih hati" Tahukah engkau akibat dari pemukulanmu terhadap Bauw kongcu" Ayahmu menguras semua harta simpanan kita untuk diberikan kepada Bauw tai-jin agar pembesar itu tidak mencelakai kita.
Pada hal..... semua harta itu dikumpulkan selama bertahun-tahun, disediakan untuk pernikahan dan modal usaha." Ibu itu menangis lagi. Heng San membujuk dan menghiburnya. Setelah berhenti menangis, nyonya Lauw meninggalkan ruangan itu, tanpa berkata apapun bahkan tanpa menoleh kepada Pat-jiu Sin-kai. Heng San merasa sedih sekali, dia tidak dapat mengerti mengapa ayahnya marah dan mengapa pula ayahnya menyerahkan semua simpanan hartanya kepada bauw tai-jin. Bukankah putera pembesar Mancu itu yang bertindak jahat mengganggu gadis dan bahkan hendak memperkosanya" Bukankah para pengawal itupun hendak memperkosa dua orang gadis pembantu itu" Bukankah dengan menghajar mereka dan dia telah menolong tiga orang gadis itu dan telah membuat jera laki-laki jahat yang mengganggu keamanan penduduk Lin-han-kwan"
Mengapa bahkan ayahnya mengatakan dia tukang pukul orang dan tukang mencelakai orang". Dia duduk termenung, tenggelam ke dalam kesedihan sehingga lupa bahwa gurunya juga duduk dalam ruangan itu dan sejak tadi mengamatinya sambil tersenyum. "Seorang laki-laki tidak perlu bersedih atau kecewa dan putus asa menghadapi segala persoalan yang datang, melainkan sepatutnya menghadapinya sebagai tantangan. Di mana kejantananmu" Tidak perlu bersedih, tidak perlu melamun, yang perlu bertindaklah.!" "bagaimana tecu harus bertindak, suhu" Sekali ini tecu bukan menghadapi sembarang orang yang dengan mudah saja dapat tecu lawan! Tecu menghadapi kemarahan ayah dan kesedihan ibu, bagaimana tecu dapat bertindak." "Heng San, aku tidak terlau menyalahkan ayah ibumu. Mereka adalah orang-orang yang baik budi namun lemah. Mereka tidak tahu apa-apa tentang kegagahan dan keadilan yang dijunjung tinggi orang-orang gagah dunia kang-ouw seperti kita."
"lalu, apa yang harus tecu lakukan suhu" Ayah melarang tecu keluar rumah dan mengharuskan tecu menbantu pekerjaan ayah di toko obat. Tecu tidak berani membantah dan menentang kehendaknya." Pat-jiu Sin-kai tersenyum dan mengelus jenggotnya yang jarang. "hemmm, terserah kepadamu. Kalau begitu, turuti saja kemauan ayahmu." Heng San mengehela napas dan mengerutkan sepasang alisnya yang hitam tebal. "tecu tidak suka, suhu. Tecu tidak suka berdiam saja dirumah, terkurung dan menjadi ketak dalam sumur, tidak dapat melihat keadaan dunia di luar sumur." Pat-jiu Sin-kai mengangguk-angguk dan tersenyum lebar. " memang demikianlah sifat seorang pendekar silat, Heng San, selalu ingin merantau meluaskan pengetahuan dan menambah pengalaman, ingin menegakkan kebenaran dan keadilan. Muridku, aku berhutang nyawa kepada ayahmu dan sampai matipun aku tidak mau menyakiti hatinya. Akan tetapi kini kulihat bahwa engkau memang tidak berjodoh untuk menjadi tukang obat seperti ayahmu.
Engkau bertulang pendekar. Semua ilmu kepandaianku sudah kuajarkan kepadamu dan aku tidak memyombong kalau kukatakan bahwa tingkat kepandaianmu sudah cukup tinggi dan engkau tidak perlu kuatir lagi menghadapi para penjahat. Bekal kepandaianmu cukup untuk menjadikan engkau seorang pendekar yang disegani, walaupun tentu saja masih banyak orang yang tingkatnya sama bahkan lebih tinggi darimu." "Lebih tinggi, suhu" Tecu ingin bertemu dengan mereka dan meluaskan pengetahuan dengan belajar dari mereka." Pat-jiu Sin-kai tersenyum lebar. "demikianlah seharusnya semangat orang muda. Selalu tidak mau kalah dan ingin memperoleh kemajuan. Akan tetapi, Heng San, sesungguhnya untuk masa ini, tidaklah mudah mencari orang yang pantas menjadi gurumu. Tingkat kepandaianmu sudah cukup tinggi, hanya belum matang. Kalau saja engkau merantau di dunia kang-ouw selama tiga atau lima tahun saja, pengetahuanmu juga bertambah dan kepandaianmu dengan sendirinya akan meningkat."
"Merantau seperti para pendekar, seperti yang sering suhu ceritakan itu?" "Ya, seperti para pendekar itulah, menjalankan darmabakti dengan menolong sesama manusia yang mendapatkan kesukaran dan terutama yang tertindas. Membela kebenaran dan keadilan, membasmi mereka yang jahat dan yang meng gunaki:m kekuatan dan kekuasaan menindas kaum lemah. Dengan begitu, maka tidak akan sia-sialah engkau bersusah payah mempelajari ilmu silat selama sepuluh tahun ini." "Ah, suhu! Itulah yang menjadi cita-citaku, yang kupikirkan siang malam." Gurunya mernandang penuh selidik, lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh, "Heng San, bagaimanapun juga, lebih baik aku berterus terang kepadamu. Ketahuilah bahwa segala sesuatu di dunia ini mempunyai dua permukaan yang berlawanan. Permukaan yang baik dan permukaan yang buruk. Merantau sebagai seorang pendekar meluaskan pengalaman, memang ada baiknya, akan tetapi juga ada buruknya."
"Apakah buruknya, suhu?" "Permukaan atau segi buruknya banyak, Heng San. Banyak sekali godaan bagi orang yang hidup merantau. Kehidupannya menjadi liar, tidak tetap, bahaya mengancam dari mana-mana. Dan jika engkau tidak berhati-hati, banyak hal yang dapat menyeretmu ke jalan sesat yang selalu menjanjikan kenikmatan. dan kesenangan. Lihatlah aku ini sebagai contoh. Aku tukang merantau, malang melintang di dunia kang-ouw. Apa jadinya dengan diriku" Setelah tua, aku menjadi seorang geiandangan yang berpenyakitan, tiada gunanya, seorang pengemis tua yang tentu sudah mati kedinginan di tepi jalan kalau saja ayahmu tidak demikian baik hati menolongku. Memang, ada benarnyajuga ayahmu memaksa engkau mengikuti jejaknya. Kalau engkau menjadi pengganti ayahmu, engkau akan dikawinkan, berumah tangga, memiliki anakanak dan hidup bahagia dengan keluarga, tidak menghadapi bahaya dan dapat hidup damai dan tenteram."
"Akan tetapi tecu tidak suka, suhu. Teeu merasa bosan dengan kehidupan tenter am tanpa tantangan. Teeu justeru ingin dihadapkan tantangan dan bahaya, ingin menempuh bahaya, in gin menguji kekuatan sendiri, dan ingin hidup bebas seperti sekor burung di udara." Pat-jiu Sin-kai memandang muridnya dan kedua matanya berputaran, mulutnya tersenyum lebar. "Memang begitulah darah pemuda! Nah, kalau sudah tetap pendirianmu, tidak pergi sekarang mulai dengan pengembaraanmu, mau tunggu kapan lagi?" Heng San terkejut dan menatap wajah gurunyadengan mata terbelalak. "Sekarang, suhu?" "Ya, sekarangl Takutkah engkau" Masih ragu-ragu?" "Tidak, suhu. Apakah, suhu hendak pergi juga" Mari kita merantau bersama, suhu." "Hemm, engkau menghendaki kawan" Takutkah engkau pergi seorang diri" Kalau takut, lebih baik tidak usah pergi, Heng San." "Bukan" takut, suhu. Akan tetapi kalau suhu hendak pergi, bukankah lebih baik kalau kita pergi bersama?"
"Tidak, Heng San. Kita harus berpisah. Sudah sepuluh tahun engkau belajar silat dariku. Kini aku sudah tua, tubuhku sering sakit. Aku harus mengaso. Engkau pergilah sendiri, akan tetapi ingat baik-baik. Jangan sekali-kali membiarkan dirimu diperhamba nafsu sendiri, jangan mempergunakan semua ilmu yang selama ini kaupelajari untuk berbuat jahat. Kalau sampai engkau tersesat dan menecemarkan nama baik orang tuamu dan gurumu dengan perbuatanmu yang jahat, aku akan mencarimuj dan menghukummu!" "Te-cu akan selalu menaati semua petunjuk dan perintah suhu. Malam hari ini juga tecu akan berangkat pergi, harap suhu dapat menutupi kepergian tecu sehingga ayah dan ibu tidak akan tahu sebelum besok pagi." "Baiklah, Heng San." Heng San lalu menjatuhkan diri berlutut di depan suhunya. "Tecu menghaturkan ban yak terima kasih at as semua bimbingan suhu selama ini."
Pat-jiu Sin-kai mengangkat bangun pemuda itu dan Heng San lalu berkemas. Setelah malam tiba, dia menggendong buntalan pakaian dan bekalnya,. meninggal kan sepucuk surat dalam sarmpul yang sudah ditulisnya tadi, kemudian dia melompat keluar dari jendela kamarnya, menyelinap dalam kegelapan malam dan meninggalkan rumah orang tuanya. Beberapa kali dia harus menoleh dan memandang rumah yang diselimuti kegelapan malam itu, rumah di mana dia terlahir dan di mana selama duapuluh dua tahun dia hidup dan tumbuh dewasa. Ketika dia teringat akan orang tuanya, terutama ibunya, kedua matanya menjadi panas dan basah. Hampir saja dia memba. talkan kepergiannya. karena merasa iba kepada ibunya. Akan tetapi dalam telinga nya terngiang kata-kata suhunya, "Seorang jantan yang gagah perkasa han~s berani mengambil keputusan, tabah dan tidak cengeng!"
Dia lalu melompat dan pergi meninggalkan rumah i tu, meninggalkan kota Lin-han-kwan dan pergi tanpa tujuan tertentu karena memang niatnya merantau, ke mana saja hati dan kedua kakinya akan membawanya. Pada kesokan harinya, ketika matahari telah. naik tinggi namun belum melihat Heng San keluar dari kamarnya, Nyonya Lauw lalu mengetuk daun pintu kamar puteranya. Tidak ada jawaban. Ia mendorong pintu dan ternyata daun pintu terbuka. Kamar itu kosong, pembaringan tampak rapi, tidak kusut. Jendela kamar itu juga terbuka. Ketika melihat sebuah sampul tertutup di atas meja, Nyonya Lauw merasa jantungnya berdebar tegang. Diambilnya sampul surat itu dan berlari mencari suaminya yang berada didepan, di toko obat mereka. Kedua tangan nyonya itu gemetar, seolah ia merasakan firasat yang tidak baik. "Kamar Heng San kosong, pembaringannya tidak ditiduri dan dia tidak ada. Aku menemukan surat bersampul ini di atas meja dalam kamarnya." katanya dan suaranya juga gemetar.
Lauw Cin mengerutkan alis dan mene rima surat itu, lalu sampul dibukanya dan surat dibacanya. Setelah membaca surat itu, wajahnya menjadi pucat dan kemudian berubah merah sekali. "Dasar anak put-hauw (tidak berbakti)l" serunya sambil melempar surat itu ke a tas me ja. Isterinya cepat menyambar surat itu dan membacanya dengan kedua tangan yang memegang surat itu gemetar. Belum habis ia membacanya, ia telah menangis tersedu-sedu. Lauw Cin merampas surat itu dari tangan isterinya dan seperti orang yang masih penasaran dan tidak percaya, dia membaca sekali lagi surat itu Ayah-ibu yang terclnta, Saya mohon beribu ampun bahwa saya pergi tanpa pamit dan tanpa Ijin ayah-lbu. Saya 1ngin sekali merantau, meluaskan pengalaman. Saya akan merasa sengsara kalau diharuskan selalu tinggal di dalam rumah seperti seorang anak perempuan.
Harap ayah dan ibu tidak terlalu marah, dan jagalah kesehatan ayah dan ibu, jangan sampai jatuh sakit. Sekali lagi. ampunkan saya dan saya mohon doa ayah ibu. Kalau saya telah kenyang merantau, pasti saya akan pulang dan siap menerima hukuman yang hendak ayah ibu jatuhkan kepada saya. Dari anak yang tidak berbakti, Lauw Heng San. "Ini semua gara-gara pengemis tua itu! Dia harus bertanggung jawab. Kalau Heng San tidak belajar silat darinya, tentu dia tidak akan meninggalkan kita." Ia lalu menangis tersedu-sedu. Lauw Cin juga marah sekali. Diikuti isterinya, dia lalu melangkah lebar menuju ke dalam, mencari Pat-jiu Sin-kai yang duduk termenung dalam kamarnya. Kakek itu segera bangkit berdiri melihat Lauw Cin yang merah mukanya itu memasuki kamarnya bersama Nyonya Lauw Cin yang menutupi muka sambi! menangis. "Lauw-inkong dan toanio, selamat pagi." kata Pat-jiu Sin-kai sambil memberi hormat.
"Kau.....kau harus bertanggung jawab atas semua ini" bentak Lauw Cin marah sambil melemparkan surat yang ditinggalkan Heng San kepadanya. Dengan sikap tenang Pat-jiu Sin-kai menangkap surat itu. Dia tidak terkejut atau heran karena dia sudah menduga bahwa kedua orang tua muddnya itu tentu akan menyalahkannya dan dia sudah siap untuk menghadapi mereka. Diapun tahu bahwa saatnya untuk meninggalkan tempat itu sudah tiba. Setelah membaca surat itu, dia mengembalikannya kepada Lauw Cin, lalu memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada dan membungkuk, dan berkata. "Baiklah, Lauw-inkong dan Lauw-toanio, kalau ji-wi (kalian berdua) menyalahkan aku karena kepergian Heng San, aku menerimanya. Aku hendak pergi mencarinya dan tidak akan kembali sebelum menemukannya. Harap ji-wi tidak terlalu khawatir tentang diri Heng San. Dia telah memiliki kegagahan dan kepandaian yang cukup kuat untuk menjaga diri.
Aku orang tua yang tiada guna ini sudah cukup lama menjadi beban, sudah cukup lama menerima budi jiwi dan sampai matipun aku tidak akan lupa bahwa di dunia ini terdapat sepasang suami isteri yang budiman. Nah, selamat tinggal!" Setelah berkata demikian, kakek itu menggerakkan tubuhnya. Suami isteri itu hanya melihat sesosok bayangan berkelebat cepat keluar dari ruangan itu. Mereka berdua hanya menghela napas panjang dan pada hari-hari berikutnya Lauw Cin harus selalu menghibur isterinya dan mereka berdua hampir setiap malam menyalakan hio-swa (dupa biting) untuk bersembahyang dan mohon kepada Tuhan agar putera mereka dilindungi.
Heng San melakukan perjalanan dalam perantauannya, tanpa tujuan tertentu. Mula-mula, perjalanannya itu mendatangkan kegembiraan dalam hatinya. Apa saja yang dilihatnya dalam perjalanan itu merupakan pemandangan baru. Kalau dia melakukan perjalanan melalui pegunungan, dia melihat be tapa luasnya dunia ini dan betapa indahnya pemandangan alamo Kalau dia memasuki sebuah kota yang besar dan ramai, dia mendapat kenyataan betapa kota Lin-han-kwan sebetulnya hanya merupakan kota yang kedl. Dia merasa kagum dan gembira dan mulai dapat menikmati perantauannya. Pada suatu hari dia memasuki kota Leng-koan. Kota ini merupakan kota terbesar yang pernah dilihatnya selama dalam perjalanannya. Dia berjalan-jalan di sepanjang jalan yang ramai. Ketika dia melihat sebuah toko obat yang besar dengan papan nama "Pao-an-tong" dia teringat akan ayah ibunya dan tiba-tiba saja dia merasa rindu sekali kepada mereka.
Tak terasa dia sudah meninggalkan rumah selama hampir enam bulan atau setengah tahun. Teringat akan orang tuanya, maka terkenanglah dia akan kota Lin-han-kwan, membuat dia berdiri termenung sampai lama di depan toko obat itu. Seorang setengah tua keluar dari toko dan menghampirinya. "Tuan hendak mencari obat apakah?" tanya orang itu. Heng San terkejut mendengar pertanyaan ini dan dia segera sadar dari lamunannya. "Saya tidak mencari apa-apa," jawabnya sambi! menggeleng kepalanya. Mendengar jawaban ini, tiba-tiba orang setengah tua itu mengubah sikapnya. Kalau tadi dia ramah dan sopan, kini dia cemberut, mukanya merah dan ucapannya kasar. "Kalau tidak mencari apa-apa, mengapa berdiri sejak tadi dan melihat-lihat seperti orang mencari-cari" Apa kau hendak mencuri?" Merah muka Heng San mendengar ini. Darah naik ke kepalanya dan ingin dia memukul orang itu. Akan tetapi perasaan ini ditahannya. Dia tidak ingin membikin ribut.
Orang itu demikian sombongnya dan hal ini sungguh di luar dugaannya. Disangkanya bahwa semua pemilik toko obat orangnya ramahdan lembut seperti ayahnya. Akan tetapi orang ini demikian kasar dan tidak sopan. Tanpa menengok lagi diapun meninggalkan orang itu dengan muka merah. Heng San mengambil keputusan untuk bermalam di kota itu selama dua tiga hari untuk melihat-lihat kota yang ramai. Akan tetapi ketika dia mencari kamar di rurnah penginapan, ternyata semua rumah penginapan telah penuh. Hari itu kebetulan ada perayaan gotong toapekong di kota itu sehingga banyak pengunjung datang dari kota-kota lain untuk membayar kaul atau sekedar nonton keramaian. Akhirnya, setelah berputar-putar, dia mendapatkan juga sebuah kamar berukuran kecil di sebuah rumah penginapan sederhana. Kembali dia menghadapi sikap yang membuatnya mendongkol. Pengurus rurnah penginapan itu menyambutnya dengan pandang mata penuh selidik akan tetapi jelas yang diselidiki itu bukan dia, melainkan pakaiannya yang sederhana, dan tidak baru.
Dia kehabisan bekal pakaian bersih, semua pakaiannya kotor dan dia belum sempat mencucinya, maka sejak kemarin dia belum berganti pakaian. "Sewanya semalam sepuluh logam tembaga dan harus bayar di mukaI" katanya dengan nada memandang rendah dan penuh kecurigaan. Mukanya yang masih merah karena marah menghadapi sikap kurang ajar pemilik toko obat tadi menjadi semakin merah. Dia marah dan malu. Marah melihat sikap pengurus rumah penginapan dan malu karena sesungguhnya uangnya rnemang tinggal sedikit sekali, paling banyak tinggal dua tail dan beberapa potong logam tembaga. Ketika meninggalkan rumah, dia membawa lima puluh tail akan tetapi uang itu habis untuk biaya makan dan penginapan selama setengah tahun. Dia mengeluarkan uang yang dua tail perak dan menyerahkannya kepada pengurus penginapan itu. "Terimalah dua tail ini dulu." Orang pendek kurus itu mencabut pipa tembakau yang tadi menancap di mulutnya, lalu mementang mulut yang giginya menghitam karena candu tembakau itu dan keluar ucapannya yang galak.
"Mana ada aturan begini" Kalau tidak bisa membayar uang muka lima tail, lebih baik pergi." "Sobat, kelak kalau kurang, pasti akan kulunasil" kata Heng San. "Tidak bisal Sekarang tidak punya uang, kapanpun tidak punya uang. Engkau mau mengakali aku" Tidak bisa, harus penuh lima tail perak untuk uang muka, tidak boleh kurang satu tjhi (logam tembaga) pun. Bayar sekarang atau pergi sekarang jugal" orang itu mengusir dengan lagak sombong sekali. Heng San tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Akan tetapi dia masih ingat dan tidak memukul orang, hanya dia menggenggam uang dua tail perak itu dan mengacungkan uang yang dikepal itu di depan hidung pengurus penginapan dan menghardik, "Kalau engkau tidak menahan mulutmu yang kotor dan penuh candu itu, akan kuhancurkan seperti uang ini!" Dia menggenggam uang perak itu dan ketika dia membuka kepalan tangannya dia memperlihatkan dua potong uang perak yang telah pecah berkeping-keping dalam tangannya Pengurus penginapan itu memandang telapak tangan Heng San dengan mata terbelalak dan wajahnya menjadi pucat.
Sikapnya berubah seketika dan dia mernbungkuk-bungkuk sambil berkata, "Maaf, tai-ong (raja besar), maafkan saya. Mari silakan, tempatilah kamar yang kosong ini, soal uang pembayaran kapanpun boleh...." "Engkau manusia brengsek Jangan sebut aku tai-ong, apa kaukira aku ini kepala rampok?" "Maaf, tai-hiap (pendekar besar), harap maafkan sikap saya tadi. Di sini seringkali terjadi penipuan. Orang-orang datang minta kamar dan setelah pergi mereka tidak mau membayar. Karena itu kami minta uang muka sebanyak lima tail lebih dulu." "Hemm, engkau harus mempergunakan matamu baik-baik dan dapat membedakan siapa penipu dan siapa bukan." Dengan hati masih gemas Heng San memasuki kamar satu-satunya yang masih kosong itu. Sebuah kamar yang kedl dan kotor sekali. Melihat kamar yang kotor itu, uang sewa sepuluh tjhi juga masih mahal. Marahlah hatinya. Ah, benarbenar orang kota inl penipu dan pemerasI Dia berteriak memanggil pelayan.
Seorang palayan tua berlari-Iari memasuki kamarnya. Berbeda dengan pengurus tadi, pelayan itu sikapnya cukup hormat sehingga agak redalah kemarahan dalam hati Heng San. "Siauw-ya (tuan mluda) memerlukan apakah?" tanyanya. "Kamar ini kotor sekali. Coba to long bersihkan dan pasanglah kain tilam kasur )"ang leblh bersih." Pelayan itu memandang Heng San dengan sinar mata heran. "Siauw-ya hendak menyewa kamar ini?" "Ya, kenapa?" Heng San balik bertanya. Pelayan itu menoleh ke Kanan kiri, agaknya takut kalau-kalau ada orang lain akan mendengarnya. "Siauw-ya, berapakah siauw-ya membayar untuk menyewa kamar ini?" Heng San cemberut teringat akar kekurang-ajaran pengurus tadi. "Aku harus membayar sepuluh chi semalam dan memberi uang muka sebanyak lima tail. Kenapakah?" Pelayan itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Terlalu......terlalu..! Memang aku tahu, orang she Leng itu penipu besar. Masa kamar semacam ini disewakan orang, dan semahal itu"
Ah, siauw-ya, kalau engkau percaya omongan seorang tua seperti saya, lebih baik carilah kamar di lain penginapan, karena di penginapan ini sudah penuh dan tidak ada kamar lain kecuali yang ini." "Eh" Apa maksudmu dengan ucapan itu, paman" Heng San memandang penuh selidik dan terheran. "Aku mencari di mana-mana, semua penginapan sudah penuh maka aku terpaksa menerima kamar ini." "Orang she Leng itu telah menipumu. Kamar ini adalah..... kamar hantu! Siapapun tidak pernah bermalam di sini. Tidak seorangpun berani. Jangankan disuruh bayar uang muka lima tail, diberi upahpun tidak akan ada yang berani." Pelayan tua itu bergidik, merasa seram. Sepasang mata Heng San terbelalak. "Apa katamu" Kamar hantu?" "Sstt...., jangan keras-keras bicara, siauw-ya. Dengar keteranganku, siauwya. Sudah sejak kurang lebih tiga bulan yang lalu sampai sekarang, tidak seorang pun berani tidur di kamar ini.
Tiap kali ada orang tidur di sini, pada tengah malam dia tentu diganggu hantu sehingga malam-malan dia lari keluar sambi! berteriak-teriak ketakutan. Bahkan telah ada beberapa orang tabah dan merasa jagoan bermalam di sini untuk membuktikan, akan tetapi mereka itupun berteriak-teriak dan berlari keluar pada tengah malam dan semenjak itu, tak seorangpun berani bermalam di kamar ini. Dan sekarang, orang she Leng itu memberikan kamar ini kepada siauw-ya hanya karena siauw-ya orang luar kota dan tidak tahu akan rahasia kamar hantu ini, bahkan ditambah dengan membayar uang muka lima tail. Sungguh terlalu..... terlalu sekali....." Diam-diam Heng San mengerling dan memandang ke sekeliling dalam kamar, akan tetapi tidak terdapat sesuatu yang mencurigakan. "Hemm, harap engkau jangan main-main, paman. Benarkah apa yang kauceritakan itu?"
"Ah, saya sudah tua, siauw-ya. Untuk apa saya berbohong kepadamu?" "Mengapa orang-orang yang tidur di sini berlarian ketakutan" Apa yang mengganggu mereka?" "Macam-macam cerita mereka. Ada yang merasa dirinya diangkat orang dan tahu-tahu telah pindah di kolong tempat tidur. Ada yang melihat bayangan setan. Ada yang tahu-tahu tubuhnya terasa kaku tidak mampu bergerak untuk beberapa lamanya. Ah, macam-macamlah cerita mereka. Pokoknya mereka merasa terganggu oleh sesuatu yang mengerikan. Maka akan lebih baik bagimu kalau engkau pindah saja, siauw-ya." "Pindah ke mana, paman?" "Ke mana saja, asal tidak di dalam kamar hantu ini." "Akan tetapi, sudah kukatakan bahwa semua penginapan agaknya sudah penuh tamu." "Kalau perlu, siauw-ya boleh tidur di rumah saya, yaitu kalau siauw-ya sudi tidur di rumah gubuk yang bobrok."
Heng San memandang orang tua itu dengan senyum terima kasih dan girang. Kiranya tidak semua orang di kota ini berhati buruk, pikirnya. Pelayan miskin dan tua ini adalah seorang yang berhati baik dan bersih. "Paman," katanya dengan suara lembut dan ramah. "Terima kasih atas kebaikanmu. Tidak, aku tidak takut. Biarlah aku mencoba pula bagaimana rasanya diganggu hantu." Pelayan tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan memandang heran. "Siauwya aneh, sungguh aneh sekali... " dan dia mulai membersihkan kamar itu seperti diminta Heng San, kemudian dia meninggalkan pemuda itu setelah memandangnya sekali lagi dengan heran dan menggeleng kepalanya.
Heng San duduk dalam kamar itu dan untuk beberapa lamanya dia memikirkan percakapan dengan pelayan tua itu. Benarkah ada hantu di kamar ini" Dia teringat akan cerita gurunya, Pat-jiu Sinkai tentang setan dan hantu. Menurut gurunya, apa yang disebut setan atau nantu itu memang ada. Akan tetapi setan yang menampakkan diri itu tidak berbahaya. Tidak ada setan yang menampakkan diri berani atau dapat mengganggu manusia. Yang amat jahat dan teramat berbahaya adalah setan yang mengganggu manusia melalui pikirannya. Setan atau nafsu manusia sendiri. Itu amat berbahaya. Kalau setan sudah menguasai hati akal pikiran manusia, maka si manusia itu akan diseret ke dalam lumpur kesesatan dan manusia itu akan dapat melakukan segala kejahatan yang keji dan jahat. Tidak, dia tidak percaya ada hantu atau setan yang berada di kamar ini mengganggu setiap orang yang tidur di situ. Mungkin kakek pelayan tadi sudah tua dan pikun, atau mungkin dia seorang yang terlalu percaya akan tahyul.
Sebentar saja Heng San dapat melupakan segala renungan tentang setan di kamar itu dan dia teringat lagi akan keadaan dirinya. Keadaan dirinya yang letih pantas dipikirkan daripada memikirkan soal setan. Dia sudah.kehabisan uang! Bagaimana dia harus mendapatkan uang" Dan baru sekarang dia melihat kenyataan bahwa orang hidup memang memerlukan uang! Agaknya tidak mungkin hidup tanpa uang! Pakaian, makanan, bahkan tempat tinggal atau tempat tidur selalu membutuhkan uang! Teringatlah dia akan ucapan suhunya kalau bercerita tentang perantauan seseorang dalam dunia kang-ouw. Perantauan seperti itu tidaklah mudah. Bukan menghadapi musuh para penjahat saja yang berbahaya. Melainkan yang lebih berbahaya lagi adalah kebutuhan akan uang. Seorang perantau akan menghadapi kesulitan besar kalau tidak pandai mencari uang untuk biaya hidupnya.
Bahkan suhunya memberi contoh dirinya sendiri. Karena tidak pandai mencari uang, dan tidak sudi melakukan pencurian atau perampokan, suhunya rela menjadi seorang pengemis, minta-minta belas kasihan orang untuk sekedar memberi uang kecil pembeli makanan! Tidur di mana saja, di emper rumah, kalau tidak diusir pemilik rumah, atau di bawah jembatan. Pakaian hanya yang menempel di badan karena tidak mampu membeli yang baru. Perut kadang kadang kelaparan karena berhari-hari tidak ada orang yang mau memberi sedekah. Hidup menjadi terlantar! Menjadi pengemis" Dia" Menjadi pencuri" Heng San menghela napas panjang. Tidak, dia tidak sudi melakukan itu. Baik menjadi pengemis tukang minta-minta, apa lagi menjadi pencuri atau perampok! Tiba-tiba Heng San berdiri dari duduknya. Tidak mungkin! Dia mendengar langkah kaki perlahan-lahan menghampiri daun pintu kamarnya.
Itukah setan yang datang hendak mengganggunya" Ah, tidak mungkin. itu suara jejak langkah seorang manusia biasa. Langkah itu berhenti di muka pintu kamarnya! Heng San memperhatikan penuh kewaspadaan, mengira bahwa setan itu akan masuk menembus pintu. Seperti bayangan, seperti yang pernah dia dengar dongeng-dongeng tentang setan yang dapat menembus apa saja. "Tok-tok-tok!" Pintu kamarnya diketok. Heng San bernapas lega. Jelas bukan setan. "Siapa di luar?" tanyanya sambi! duduk kembali. "Saya, siauw-ya." Heng San tersenyum. Pelayan tua yang baik hati itu. "Masuklah, paman. Daun pintunya tidak terkunci" katanya. Daun pintu didorong dari luar dan pelayan tua itu masuk. Dia memandang ke sekeliling kamar, mukanya agak pucat dan sikapnya seperti orang tegang, lalu dia menghela napas panjang, lega.
"Sukurlah, siauw-ya tidak apa-apa." Heng San tersenyum. "Terima kasih, paman. Aku tidak apa-apa. Tidak ada hantu di sini." "Akan tetapi sekarang belum tengah malam, siauw-ya. Maukah engkau keluar dari kamar dan duduk di ruang tengah, bercakap-cakap dengan saya" Kebetulan saya bertugas jaga malam ini." Sebetulnya dia tidak ingin mengobrol, akan tetapi Heng San tidak tega menolak melihat keramahan pelayan tua itu dan dia lalu keluar dan duduk di ruang tengah bersamanya. Pelayan tua itu banyak bercerita dan Heng San mendengarkan dengan hati tertarik, terutama tentang perayaan gotong toapekong (patung yang dipuja dalam kelenteng) itu. "Telah beberapa lamanya di kota ini terjangkit penyakit aneh dan pencurian-pencurian yang aneh pula. Orang-orang menganggap bahwa hal itu merupakan gangguan roh jahat, maka mereka lalu mengambil keputusan untuk menggotong patung Kwan-te-kong keluar dari kelentengnya dan diarak putar-putar kota untuk mengusir roh jahat yang mengganggu penduduk kota."
"Penyakit aneh yang bagaimanakah, paman?" tanya Heng San yang merasa heran mendengar bahwa kota ini agaknya kaya akan cerita tentang segala macam roh jahat dan hantu yang mengganggu manusia. "Selama beberapa bulan ini, hampir setiap malam tentu ada rumah yang diganggu. Tahu-tahu sejumlah uang emas dan perak lenyap tanpa meninggalkan bekas. Tuan atau nyonya rumahnya tiba-tiba saja menderita penyakit kaku-kaku dan gagu untuk beberapa lamanya. Kalau mereka sudah dapat bicara dan ditanya, mereka tidak tahu apa-apa, hanya mengatakan bahwa pada waktu tengah malam mereka terbangun dari tidur dalam keadaan kaku tidak mampu bergerak dan tidak mampu bicara. Kalau bukan setan atau roh jahat yang melakukan hal itu, habis siapa lagi?" Heng San menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Mana ada setan yang doyan uang perak dan. emas, paman?" "Engkau tidak tahu, siauw-ya.
Pernahkah engkau mendengar orang-orang yang kaya mendadak tanpa bekerja?" "Kaya mendadak tanpa bekerja?" "Ya, orang-orang yang tanpa bekerja sesuatu tiba-tiba saja menjadi kayaraya. Nah, mereka inilah merupakan orang-orang yang memelihara roh jahat. Dengan menjual rohnya kepada roh-roh jahat itu, mereka dapat memerintah roh jahat untuk mencuri uang." "Menjual roh kepada setan" Bagaimana maksudnya, paman?" Heng San benarbenar tertarik karena selama hidupnya memang belum pernah dia mendengar akan hal aneh semacam itu. "Begini, siauw-ya. Orang yang memelihara roh jahat itu telah berjanji bahwa kelak setelah dia mati diapun akan menjadi seperti roh-roh jahat itu. Menjadi setan pula. Tapi sebelum mati dia dapat hidup kaya raya tanpa bekerja." Heng San menghela napas panjang.
Dia tidak dapat percaya begitu saja akan obrolan macam itu. Akan tetapi untuk menyatakan ketidak-percayaannya dia merasa sungkan dan tidak tega. Pula, tidak akan mudah membantah orangorang yang sudah terlalu percaya akan tahyul. Dia lalu menyatakan hendak tidur karena sudah mengantuk. "Selamat tidur, siauw-ya. Jangan lupa, kalau ada apa-apa berteriaklah. Aku akan membantumu kalau hantu jahat itu mengganggumu karena engkau adalah orang yang baik." Heng San tersenyum geli. "Terima kasih, paman." Dia memasuki kamarnya dan hanya menutup daun pintu, Lalu duduk termenung melanjutkan renungannya tentang keadaan dirinya, tidak lagi memikirkan setan atau roh jahat. Dia membayangkan dirinya yang benar-benar telah kehabisan uang dan apa selanjutnya yang akan dilakukannya. Teringatlah dia akan kata-kata gurunya sebelum dia meninggalkan rumah. Gurunya pernah mengatakan bahwa kalau dia menuruti kemauan ayahnya, menjadi ahli pengobatan, membuka toko obat, tentu dia tidak akan pernah kekurangan uang.
Uang! Dari mana akan didapatnya" Tiba-tiba saja dia teringat akan cerita pelayan penginapan itu. Orang-orang miskin tiba-tiba menjadi kaya raya tanpa bekerja! Ah, pikirannya lalu menghubungkan dengan lenyapnya uang emas dan perak dari rumah-rumah orang kaya yang tiba-tiba menjadi kaku dan gagu. Karena perbuatan setan" Roh jahat" Sudah pasti bukan! Itu tentu perbuatan manusia juga! Dia teringat. Gurunya pernah bercerita bahwa di dunia kang-ouw terdapat orang-orang yang menamakan diri mereka maling-maling budiman, yaitu mereka yang menggunakan kepandaiannya untuk mencuri uang dari rumah orang-orang kaya dan hasil curiannya itu sebagian diberikan kepada orang-orang miskin! Roh jahat yang mengganggu kota Leng-koan itu pastilah sebangsa maling budiman itu! Dan kalau pengganggu keamanan itu seorang maling, berarti seorang manusia, dia tidak boleh tinggal diam.
Dia mungkin dapat menangkapnya untuk menghindarkan penduduk kota ini dari gangguannya. Setelah berpikir demikian, Heng San lalu merapikan bajunya dan membuka daun jendela kamarnya yang menembus ke pekarangan samping lalu melompat keluar dari dari jendela, menutupkan lagi daun jendelanya dan cepat dia melompat ke atas genteng, lalu melakukan perjalanan melalui wuwungan rumah-rumah besa. Ketika tiba di tiba di sebuah wuwungan yang tinggi, dia teringat bahwa wuwungan itu adalah wuwungan tumsh merangkap toko obat yang pemiliknya melakukan penghinaan terhadap dirinya siang tadi. Tiba-tiba dia menyelinap dan bersembunyi di balik tembok penutup wuwungan dan mengintai. Sinar bulan tua cukup memberi penerangan remang-remang. Tadi dia melihat bayangan berkelebat di a tas rumah depan. Cepat dia bersembunyi dan mengintai. Jantungnya berdebar melihat sosok bayangan itu juga melompat ke wuwungan rumah obat.
Gerakannya gesit bukan main dan kedua kakinya tidak menimbulkan suara sedikitpun ketika kedua kakinya menginjak genting. Seorang yang memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang cukup tinggi. Sejenak bayangan itu celingukan, memandang ke kanan kiri, kemudian tubuhnya melayang ke bawah. Heng San cepa t keluar dar i balik wuwungan dan dengan gerakan yang disebut Lo-wan-teng-ki (Monyet Tua Meloncati Cabang) dia melompat turun, berjungkir balik dan kedua kakinya telah mengait sebatang balok yang melintang. Dari tempat gelap ini dia dapat memandang ke sekeliling rumah itu di bawah. Dia melihat bayangan itu menghampiri sebuah jendela, meraba-raba jendela dan sebentar saja jendela telah terbuka tanpa mengeluarkan suara. Bayangan itu lalu melompat ke dalam kamar melalui jendela yang terbuka. Heng San cepat melayang turun dan mengintai dari balik jendela yang terbuka.
Biarpuan dia merasa tidak suka kepada pemilik toko obat yang sombong itu, namun dia tetap saja hendak mencegah kalau pencuri itu hendak mengganggu atau membunuhnya. Heng San melihat bayangan itu menyingkap kelambu dan dalam keremangan dia melihat seorang laki-laki yang bukan lain adalah pemilik rumah obat itu rebah di samping seorang wanita yang mungkin isterinya. Heng San sudah siap dengan sebuah batu kecil yang tadi diambilnya ketika dia turun. Dia siap menyambitkan batu kalau maling itu hendak melakukan pembunuhan. Akan tetapi bayangan itu tidak mencabut pedang yang berada di punggungnya, melainkan menggerakkan jari tangannya menotok dua orang yang sedang tidur itu. Heng San maklum dari gerakan tangan itu bahwa yang ditotok adalah jalan darah yang membuat kedua orang lelaki dan perempuan itu tak mampu bergerak atau berteriak dan menjadi kaku dan gagu.
Kemudian maling itu membongkar peti dan mengeluarkan sebuah kantong yang. nampaknya berat. Ketika tali kantung dibuka, di. bawah sinar lampu gantung tampak bahwa isinya uang emas dan perak yang berkilauan. Setelah mengikat lagi mulut kantung, bayangan itu lalu melompat keluar dari jendela dengan cepat. Heng San sudah siap dan telah mendahului melompat ke atas wuwungan. Hatinya merasa girang karena tanpa disangka-sangka dia telah menemukan orang yang selama ini mengganggu ketenteraman penduduk kota itu. Kiranya orang inilah yang disangka roh jahat, yang membuat orang-orang menderita penyakit aneh, tubuhnya kaku dan gagu! Dan orang ini pula yang dianggap roh jahat yang dipelihara orang yang mencari pesugihan. Ketika bayangan itu melompat ke atas genteng, tiba-tiba dia merasa ada angin menyambar.
Ia cepat mengelak, akan tetapi tahu-tahu kantung uang yang dipanggulnya telah tertarik dan pindah tangan! Ia mengeluarkan jerit lirih dan memandang ke depan. Seorang pemuda dengan senyum mengejek berdiri di depannya dan kantung uang itu telah berada di tangan pemuda itu. Di lain pihak Heng San menjadi terkejut dan heran. Bayangan itu ternyata adalah seorang pemuda yang bertubuh kedl ramping dan wajahnya tampan sekali. Ketika bayangan itu tadi menjerit lirih, keheranan Heng San bertambah karena dia tahu bahwa yang berdiri di depannya adalah seorang wanita muda yang menyamar sebagai laki-lakil "Eh....oh...! Jadi... roh jahat itu engkaukah?" tanyanya dengan heran. Gadis - cantik berpakaian pria itu menjadi merah mukanya dan cepat ia mencabut pedang panjang tipis yang terselip di sarung pedang yang diikat di punggungnya.
Bende Mataram 26 Benteng Digital Digital Fortress Karya Dan Brown Lima Jalan Darah 2

Cari Blog Ini