Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
Guruku adalah Hui-kiam Lo-mo (Iblis Tua Pedang Terbang) yang juga seorang pejuang kenamaan dan datuk Sungai Huang-ho! Karena engkau telah membunuh dan melukai para, pejuang, membela pembesar Mancu, maka berarti engkau. menjadi pengkhianat dan aku datang untuk membunuh pengkhianat bangsa seperti engkau, Lam-liong Ma Giok!" Setelah berkata demikian, Can Ok mencabut sepasang pedang dari punggungnya, menyilangkan sepasang pedang mengkilap itu di de pan dada, siap untuk menyerang. Ma Giok tersenyum. "Can Ok, kalau engkau sudah tahu bahwa gerombolan yang kau pimpin sekarang ini adalah. gerombolan perampok dan penculik wanita, maka berarti engkau sarna saja dengan mereka, yaitu penjahat keji yang berkedok pejuang! Tidak perlu kita bica'rakan tentang perjuangan karena orang-orang macam kalian tidak akan mengerti. Sekarang kalian adalah penjahat-penjahat yang berhadapan dengan aku sebagai seorang pendekar yang tugasnya menentang kejahatan dan membasmi para penjahat!"
"Keparat sombong! Mampuslah!" Can Ok mengeluarkan bentakan nyaring dan ia sudah menyerang dengan sepasang pedangnya, pedang kiri menusuk ke arah dada disusul pedang Kanan menyambar untuk memenggal leher Ma Giok. Akan tetapi pendekar ini melompat ke belakang, sehingga dua serangan itu tidak menyentuh dirinya. Ketika Can Ok mengejar ke depan, Ma Giok sudah mencabut pedangnya. Kembali Can Ok menyerang dengansepasang pedangnya dengan jurus Siang-liong-sin-yauw (Sepasang Naga Memutar Tubuh). Pedangnya menyambar dari Kanan kiri dengan cepat dan dahsyat. Melihat gerakan ini, maklumlah Ma Giok bahwa lawannya ini cukup hebat ilmu pedangnya. Dia memang sudah lama mendengar nama guru pemuda ini, yaitu Hui-kiam Lo-mo. yang terkenal sebagai datuk Sungai Huang-ho (Sungai Kuning) dan Hhai sekali ilmu pedangnya maka dijuluki lblis Tua Pedang Terbang.
Dengan hati-hati namun tidak kalah cepatnya dia menggerakkan pedangnya sehingga tampak sinar pedangnya bergulung-gulung dan berkelebatan ke kanan kiri menangkis serangan lawan. "Trangg".. cringgg?"!" Tampak bunga api berpijar ketika sepasang pedang itu ditangkis dan Can Ok terkejut bukan main ketika merasa betapa kedua tangannya yang memegang pedang tergetar hebat dan terasa panas. Tahulah dia bahwa Lam-Liong Ma Giok Si Naga Selatan itu memiliki tenaga sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat, jauh lebih kuat daripada tenaganya sendiri. Akan tetapi dasar dia memiliki watak tinggi hati dan mengagulkan kepandaian sendiri, Can Ok tidak menjadi gentar dan rnenyerang lebih hebat lagi. Ma Giok juga mengeluarkan ilmunya dan selain rnengelak dan menangkis, diapun membalas serangan dan setelah lewat belasan jurus, rnulailah Can Ok terdesak hebat. Gulungan sinar pedang Ma Giok sernakin melebar dan dua gulungan sinar pedang Can Ok menyempit dan terhimpit.
Biarpun dia memegang dua batang pedang, tetap saja Can Ok kini hanya mampu memutar sepasang pedangnya untuk menangkis dan melindungi tubuhnya, sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Sementara itu, cuaca mulai menjadi gelap, malam menjelang datang menggantikan cuaca senja yang remang. Karena lawannya cukup tangguh sehingga Ma Giok harus mencurahkan semua perhatiannya untuk merobohkannya dan kini sudah mampu mendesaknya, maka pendekar itu kurang memperhatikan Kui Siang yang masih berdiri di bawah pohon dan menonton dengan hati khawatir. Tiba-tiba Ma Giok mendengar Kui Siang menjerit. Dia terkejut sekali dan cepat melompat ke belakang menjauhi Can Ok lalu menoleh ke arah Kui Siang lagi. Alangkah kagetnya melihat tempat itu kosong. Kui Siang tidak lagi berada di situ, dan dia melihat dia di antara selusln orang tadi melarikan dIri sambil memegangi kedua lengan Kui Siang.
Melihat ini, Ma Giok mengeluarkan seruan nyaring melengking dan tubuhnya melesat kedepan, mengejar dua, orang yang melarikan Kui Siang itu. Akan tetapi sepuluh orang anggauta gerombolan menghadangnya dan menye- rangnya dengan golok mereka. Juga Can Ok mengejar dan menyerang dengan sepasang pedangnya. Ma Giok marah bukan main. Pedangnya berkelebat menyambar-nyambar, sinarnya bergulung-gulung seperti sekor naga mengamuk. Terdengar teriakan-teriakan dan dalam waktu beberapa detik saja empat orang anggauta gerombolan sudah roboh mandi darah menjadi korban pedang di tangan Ma Giok! Kemarahan Ma Giok kini dltujukan kepada Can Ok yang dianggapnya menjadi sebab terculiknya Kui Siang, maka sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kecepatannya, dia menyerang Can Ok. Can Ok mencoba menangkls dengan sepasang pedangnya, akan tetapi kaki kiri Ma Giok mencuat dan Can Ok berteriak, roboh tertendang.
Dengan gerakan Liong ong-lo-hai (Raja Naga Mengacau Lautan) Ma Giok kembali merobohkan dua orang pengeroyok sehingga yang lain menjadi gentar dan mundur. Ma Giok menggunakan kesempatan ini. untuk melompat dan mempergunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) berlari cepat sekali mengejar dua orang penjahat yang melarikan Kui Siang. Untung Kui Siang masih dapat menjerit sehingga Ma Giok dapat mengejar ke arah yang benar. Tak lama kemudian dia dapat mengejar dua orang yang sedang menyeret-nyeret Kui Siang. Agaknya mereka berduapun tahu bahwa Ma Giok mengejar dan sudah berada di belakang mereka. Seorang di antara mereka, yang,bertubuh tinggi besar dan mukanya brewok, berhenti berlari, membalikkan tubuh, menempelkan goloknya di leher Kui Siangdan membentak, "Berhenti! Atau akan kupenggal leher wanita inil" Melihat Kui Siang diancam seperti itu, Ma Giok tertegun dan diapun berhenti bergerak di depan mereka berdua, memandang Kui Siang yang rambutnya awut-awutan dan menangis.
Tentu saja Ma Giok. tidak berani menyerang karena maklum bahwa kalau hal itu dia lakukan, biarpun dia tentu dapat membunuh dua,0 orang itu, namun nyawa Kui" Siang takkan dapat tertolong lagi. Golok dua orang itu kini sudah menempel di leher Kui Siang! "Jangan bunuh ia, jangan ganggu ia. Ia tidak bersalah apa-apa." katanya dengan khawatir sekali. Si brewok 'itu menyeringal. Cuaca belum gelap benar sehingga dalam keremangan ltu mereka semua masih dapat melihat dengan jelas. "Kau tidak ingin kami membunuhnya" Nah, menyerahlah. Lepaskan pedangmu itu!" perintah si brewok sambil menekan goloknya pada leher Kui Siang. "Kalau engkau tidak menurut, leher mulus ini pasti akan kupenggal!" Terpaksa Ma Giok melemparkan pedangnya ke atas tanah. "Sudah kubuang pedangku. Bebaskan ia!" katanya dengan suara tenang walaupun hatinya berdebar tegang karenakhawatir akan keselamatan Kui Siang. Dalam keadaan ini, melihat keselamatan Kui Siang terancam, barulah terasa olehnya betapa besar arti dan nilai wanita itu baginya!
Dia akan rela mengorbankan nyawanya sendiri untuk Kui Siang! Si brewok yang melihat Ma Giok membuang pedangnya, dan mendengar Ma Glok minta mereka membebaskan wanita itu, tertawa bergelak, lalu menoleh kepada kawannya. "Kau tetap tempelkan golokmu di lehernya. Hati-hati, jangan sampai ia lolos, biar kubereskan dulu pengkhianat ini!" Setelah berkata demikian, dia melangkah maju dan mengangkat goloknya untuk dibacokkan ke kepala Ma Giok! Pada saat itu orang kedua yang menodong Kui Siang dengan goloknya berteriak kesakitan karena wanita itu dengan nekat sekali menggunakan kesempatan itu untuk menggigit lengan yang memegang golok itu. Gigitannya kuat sekali karena Kui Siang telah nekat. Golok itu terlepas dari pegangannya dan pada saat itu pula Ma Giok cepat bertindak. Ma Giok cepat sekali bergerak ke depan ketika golok di tangan si brewok itu masih terangkat ke atas dan dengan jurus Cun-lui-tong-te (Geledek Musim Semi Menggetarkan Bumi) dia memukul ke arah si muka brewok.
"Wuuuttt".. desss?"!!" si tinggi besar muka brewok itu terlempar dan roboh terjengkang, tewas seketika. Ma Giok tidak berhenti sampai di situ saja. Dia melanjutkan gerakannya, kini memukul ke arah orang ke dua yang baru saja lengannya digigit Kui Siang. Tangannya menampar ke arah kepala orang ke dua itu. Dia mempergunakan jurus Tai-pangtian-ci (Burung Garuda Pen tang Sayap). "Wuuuttt?". prakkk?"!" Kepala anggauta gerombolan itu pecah terkena tamparan yang amat kuat itu. Melihat dua orang yang tadi menyeretnya roboh, Kui Siang menubruk Ma Giok sambil menangis. Ma Giok merangkulnya dan mendekap kepala itu ke dadanya. Tiba-tiba Kui Siang mengeluh dan memegangi perutnya. "Aduhh?". paman?" aduhhh?" perutku?"!" Ma Giok terkejut sekali. Tanpa bertanya lagi tahulah dia apa artinya itu. Agaknya Kui Siang hendak melahirkan! Pada saat itu, Kui Siang merintih lalu terkulai, pingsan dalam rangkulan Ma Giok.
Ma Giok cepat memondong tubuh Kui Siang, mengambil pedangnya dari atas tanah, kemudian ia berlari cepat menuju ke dusun yang dilihatnya tadi. Dia tidak perduli lagi akan dua ekor kuda tunggangan mereka, buntalan pakaian dan uang. Yang teringat saat itu hanyalah bagaimana menyelamatkan Kui Siang. Dia harus membawa Kui Siang ke dusun itu sebelum wanita itu melahirkan! Untung baginya bahwa malam itu bulan sepotong muncul lewat senja sehingga dia dapat melihat jalanan. Setelah berlari cepat beberapa lamanya, tampaklah sinar lampu rumah-rumah penduduk sebuah dusun. Pada rumah pertama, karena khawatir sekali akan keadaan Kui Siang, Ma Giok mengetuk pintu rumah itu. "Siapa di luar?" terdengar suara seorang wanita tua. "Saya, tolong bukakan pintu, saya butuh pertolongan karena keponakanku sakit!" kata Ma Giok. Daun pintu terbuka dan seorang wanito. berusia sekitar lima puluh tahun, berpakaian petani, muncul di ambang pintu.
Sinar lampu menyorot dari dalam menerangi wajah Ma Giok yang memondong tubuh Kui Siang yang masih pingsan. Wanita itu memandang kepada Kui Siang dan bertanya heran. "Ia kenapakah?" "Ia sakit?" eh, sebetulnya, ia".. agaknya akan melahirkan. Tolonglah, nyonya, beri tempat dan panggilkan seorang bidan untuk menolongnya meiahirkan?"" "Ah, agaknya Thian (Tuhan) yang membimbingmu ke sini, si-cu (tuan), karena kebetulan sekali aku adaiah seorang bidan. Mari, bawa ia masuk ke dalam kamar ini." Sambil membawa sebuah lampu meja, wanita itu mengajak Ma Giok yang memondong Kui Siang memasuki sebuah kamar yang tidak seberapa luas namun cukup bersih. "Rebahkan ia di pembaringan ini." kata wanita itu. Setelah Kui Siang dibaringkan, wanita itu memandang heran. "Ia kenapa" Agaknya ia seperti tidur?"" "Ia pingsan, tadi kesakitan di jalan. Biar kusadarkan ia." Ma Giok lalu menotok jalan darah dan mengurut tengkuk Kui Siang, mencubit otot besar dan Kui Siang mengeluh lalu membuka mata.
Ia memandang kepada MaGiok dan ke kanan kiri sampai ia melihat wanita itu., "Paman, kita berada di mana......?" tanyanya. "Tenangkan hatimu, Kui Siang. Kita ditolong oleh nyonya bidan yang baik hati ini." kata Ma Giok. Tiba-tiba Kui Siang mengeluh dan memegangi perutnya dengan kedua tangan. "Aduhh?" perutku?" ah, nyeri sekali, paman?"" Tentu saja Ma Giok menjadi bingung. Dia menoleh kepada pemilik rumah itu, seolah hendak menanyakan nasehatnya. Wanita bidan itu lalu duduk di tepi pembaringan, memeriksa perut Kui Siang dan berkata, "Engkau akan meiahirkan. Tenanglah, aku akan membantumu. Sicu, dapatkah engkau membantu aku dan memasak air sampai mendidih" Air, tempatnya dan perapian berada di dapur, bagian belakang rumah ini." "Ah, tentu saja!" kata Ma Giok, lega karena dia dapat melakukan sesuatu untuk membantu. Dia la1u membawa lilin menyala dan pergi ke belakang di mana dia menemukan segala yang diperlukan untuk memasak air.
Sebentar saja air itu mendidih dan dia segera membawa air itu dalam baskom ke dalam kamar tadi. Dia melihat Kui Siang masih merintih-rintih dan bidan itu mengurut periahan bagian perutnya. Setelah meletakkan baskom ke atas meja, Ma Giok bertanya, "Bagaimana keadaannya?" Nenek itu mengerutkan alisnya dan. menggeleng ialu menghela napas panjang, memandang kepada Ma Giok dan memberi isarat dengan gerakan kepala dan pandang mata agar Ma Giok mendekat. Ma Giok mengerti dan mendekatkan telinganya. Wanita itu berbisik. "Tidak begitu baik," ia berbisik dekat telinga Ma Giok agar jangan terdengar oleh Kui Siang yang gelisah, memejamkan mata dan mengerang kesakitan, "letak bayinya terbalik dan keadaan tubuhnya lemah sekali?"" Wajah Ma Giok menjadi pucat mendengar ini. "Tolonglah, nyonya yang baik, tolonglah, selamatkan nyawanya?" " ia berbisik dengan suara penuh permohonan dan kekhawatiran.
"Saya akan berusaha, si-cu, akan tetapi seberapa kepandaian manusia seperti saya yang bodoh ini?" "Apa yang dapat saya bantu" Katakanlah, saya akan membantu sekuat tenaga untuk menyelamatkannya." kata Ma Giok. "Oya, benar juga. Sekarang pergilah ke dalam dusun. Di dekat perempatan sana terdapat sebuah rumah tembok yang pekarangannya lebar. Di situ tinggal seorang penjual obat. Belilah sebungkus obat menambah darah dan penguat tubuh bagi seorang wanita yang melahirkan. Katakan saja bahwa Ngo-ma (ibu Ngo) yang menyuruhmu, penjual obat itu tentu akan mengerti obat apa yang kubutuhkan dan tentu akan melayanimu dengan baik." "Baik, nyonya. Sekarang juga saya berangkat!" Ma Giok berlari keluar. Untung bahwa dia masih menyimpan uang di dalam saku bajunya. Dia dapat menemukan rumah penjual obat itu dan setelah membeli obat yang dimaksudkan, dia berlari kembali ke rumah di ujung dusun itu.
Bidan itu merasa heran dan gembira melihat Ma Giok demikian cepat kembali membawa obat yang diperlukan. Dengan petunjuk bidan itu, Ma Giok memasak obat dan setelah airnya tinggal semangkok, dibawanya semangkok obat itu ke dalam kamar. "Wah, tidak diminum sekarang, sicu. Ambil saja anglo (perapian) dari dapur ke sini, buat Api yang kecil saja dan letakkan panci obat di atas tungku dengan api kecil itu agar obatnya selalu hangat." Pada saat itu, terdengar suara ribut ribut di luar rumah, lalu daun pintu rumah itu digedor orang. Bidan itu terkejut dan memandang kepada Ma Giok. "Sicu, apakah ramai-ramai di luar itu" Kenapa pintu rumahku digedor?" "Tenanglah, nyonya. Lanjutkan pertolonganmu kepada Kui Siang. Biar aku yang membereskan mereka yang membikin ribut di luar." Setelah berkata demikian, Ma Giok melompat keluar. Dia membuka daun pintu dan melihat enam orang berdiri di depan rumah.
Empat orang di antara mereka adalah sisa anak buah gerombolan yang masing-masing memegang sebuah obor yang diangkat tinggi-tinggi sehingga keadaan di situ cukup terang. Yang dua orang lagi adalah Can Ok dan seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh lima tahun yang bertubuh tinggi kurus dan rambutnya sudah putih semua. Lima batang pedang pendek terselip di ikat pinggangnya dan sebatang pedang panjang tergantung di punggungnya. Melihat pedang-pedang ini, Ma Giok terkejut dan menduga bahwa orang ini tentulah Hui-kiam Lo-mo, Si Iblis Tua Pedang Terbang yang namanya terkenal sebagai datuk Sungai Kuning, tokoh sesat yang mengaku sebagai pemimpin pejuang.! Can Ok menudingkan telunjuknya ke arah muka Ma Giok. "Ma Giok pengkhianat, anjing bangsa Mancu, bersiaplah engkau untuk menerima hukuman mati!" Kakek itu juga memandang kepada Ma Giok sambil mengerutkan alisnya dan terdengar suaranya melengking tinggi seperti suara seorang wanita, juga nada dan lagaknya seperti seorang wanita, agak genit.
"Aih, inikah yang bernama Ma Giok dengan julukan Naga Selatan itu" Hemm, sayang sekali. Namamu sudah terkenal sebagai pemimpin pejuang dan engkau juga gagah perkasa dan tampan menarik, akan tetapl kini engkau merendahkan diri menjadi antek penjajah Mancu!" Baru mendengar ucapan dan melihat lagak kakek berambut putih itu saja Ma Giok sudah merasa muak. Orang seperti ini mana dapat dipercaya" "Kalau aku tidak salah duga, tentu engkau yang berjuluk Hui-kiam Lo-mo, datuk Sungai Kuning. Benarkah?" "Ha-ha-ha, kiranya matamu tajam juga, Lam-liong. Sesudah mengenalku, kenapa engkau tidak memberi hormat?" kata kakek yang suaranya seperti wanita itu. "Hui-kiam Lo-mo, aku tidak pernah bermusuhan denganmu. Sekarang aku ada urusan yang teramat penting. Kalau ada urusan dengan aku, kuharap engkau suka datang lagi besok pagi!" kata Ma Giok yang suaranya gelisah sekali mendengar rintihan Kui Siang yang terdengar dari tempat dia berdiri.
"Heh-"heh-hi-hik, Lam-liong. Engkau bersikap gagah dan ganas menghadapi muridku dan anak buahnya. Setelah berhadapan dengan aku, tiba-tiba berubah menjadi pengecut. Kalau engkau tidak berani melawanku, akui saja dan cepat kau berlutut minta ampun kepadaku!" kata kakek itu dengan lagak sombong. Akan tetapi Ma Giok menahan diri dan bersabar karena ia tidak ingin berkelahi dalam keadaan seperti sekarang ini, di mana keselamatan Kui Siang terancam maut. "Tolonglah, Hui-kiam Lo-mo, demi hubungan antara kita sebagai sama-sama tokoh dunia kang-ouw, aku minta sekali lagi kepadamu agar menangguhkan urusan ini sampai besok pagi. Malam ini aku sungguh menghadapi urusan yang lebih penting lagi.! "Heh-heh-ha-ha!" Hui-kiam Lo-mo terkekeh. "Engkau harus mati sekarang juga!" Sambil bicara kakek itu meraih ke atas punggungnya dan sebatang pedang yang berkilauan tajam tertimpa sinar empat buah obor itu telah berada di tangannya.
Pada saat itu terdengar jeritan dari dalam."Ah, itu tentu suara perempuan yang dilindunginya. Kita bunuh saja dulu perempuan itu!" teriak Can Ok. Agaknya orang ini sudah mengandalkan gurunya untuk menghadapi Ma Giok yang membuatnya jerih. Dia hendak melompat ke dalam, akan tetapi Ma Giok mendahuluinya. Karena terkejut mendengar jeritan Kui Siang dan ingin sekali dia melihat Setibanya di depan kamar, Ma Giok membuka daun pintu dan dia melihat Kui Siang berguling ke kanan kiri dengan gelisah dan agakQya menderita kesakitan hebat, sedangkan Ngo-ma sibuk mengurut perut Kui Siang untuk membantunya melahirkan bayinya. "Tekan terus, kuat-kuat......!" terdengar Ngo-ma mendesak, suaranya parau, diseling jerit tangis Kui Siang. Ma Giok merasa ngeri dan iba sekali, akan tetapi dia tahu bahwa dia tidak mampu berbuat apapun untuk menolong wanita yang dikasihinya itu. Pada saat itu Ma Giok merasa angin serangan yang menyambar dahsyat dari belakang.
Cepat dia menyambar gagang pedangnya, mencabutnya dan sambil memutar tubuh dia menangkis. "Trangggg......!" Sepasang pedang di tangan Can Ok yang membacoknya itu terpental. Kiranya Can Ok sudah tiba di situ, diikuti oleh empat orang anak buahnya dan juga Hui-kiam La-mo! Ma Giok berdiri tegak di depan pintu kamar dan ketika enam orang itu maju menyerang, dia memutar pedangnya menangkis. Ketika pedang dl tangan Hui-kiam Lomo menyambar dengan dahsyatnya, Ma Giok mengerahkan tenaganya menangkis. "Trangggg........!!" Keduanya merasa betapa tangan mereka yang memegang pedang tergetar hebat, tanda bahwa tenaga sakti mereka seimbang. Ma Giok hanya menjaga agar jangan ada yang memasuki kamar itu, menjaga pintu kamar dengan sekuat tenaga. Dia. tidak balas menyerang, hanya menangkls serangan bertubi-tubi darl enam orang itu. Telinganya dicurahkan untuk memperhatikan keadaan daJam kamar.
Dia mendengar suara Ngo-ma masih mendesak Kul Siang, kini suara bidan itu gemetar ketakutan melihat perkelahian di luar kamar. Sementara 1tu, masih terdengar Kui Siang merintih dan menangis, dan suara inilah yang membuat Ma Giok gelisah bukan main. Rintihan itu demikian mengerikan hatinya, apalagi ketika dia mendengar betapa rintihan itu diselingi suara Kui Siang menyebut dan memanggil-manggil namanya. Ingin sekali dia masuk dan mendekati Kui Siang, namun hal itu tidak mungkin dia lakukan karena dia harus mencegah agar jangan ada orang jahat dapat memasuki kamar dan mengganggu Kui Siang. "Singggg.......!" Ma Giok cepat mengelak dengan merendahkan tubuhnya. Sebatang pedang pendek menyambar dan Iewat di atas kepalanya, menancap di papan daun pintu. Hui-kiam Lo-mo sudah mulai mempergunakan senjata andalannya yang membuat namanya terkenal, yaitu Iblis Tua Pedang Terbang.
Datuk itu mulai menyerangnya dengan sebatang pedang terbangnya. "Thian (Tuhan)......!!" terdengar jerit melengking keluar dari mulut Kui Siang. "Ouwah ouwah ouwah! "Tangis bayi yang baru ditahirkan menyusul jerit melengking itu. Mendengar dua suara ini, tiba-tiba Ma Giok seperti mendapat tambahan semangat dan tenaga baru. Bayi itu telah lahir! Keharuan dan kegembiraan bercampur dengan kekhawatiran dan kemarahan terhadap enam orang pengeroyoknya. Dengan dahsyat sekali dia menerjang mereka. Pedangnya berkelebatan seperti ki!at menyambar-nyambar dan empat orang anak buah gerombolan telah terbabat roboh oleh pedangnya! Bahkan pedangnya yang mengamuk itu melukai pundak Can Ok yang cepat melompat mundur. Melihat ini, bahkan Huikiam Lo-mo sendiri menjadi gentar dan ia lalu memegang Iengan muridnya dan melompat jauh lalu melarikan diri! Ma Giok tidak memperdulikan mereka, cepat memasuki rumah dan begitu masuk kamar, dia melihat Ngo-ma sedang membersihkan seorang bayi lakilaki yang bertubuh montok dan sehat.
Bayi itu menangis owek-owekan, suaranya nyaring sekali dan Ngo-ma sibuk menggunting tali pusarnya dan membersihkannya dengan air hangat. Ma Giok terpesona melihat bayi itu. Kemudian ia menoleh ke arah pembaringan. Kui Siang rebah telentang dengan rambut kusut terurai itu di atas bantal, membuat wajahnya yang jelita tampak pucat sekali. Tubuhnya tertutup selimut, akan tetapi di bagian bawah, sekitar paha dan kakinya, berlepotan darah! Ma Giok merasa ngeri dan cepat dia menghampiri, lalu duduk di tepi pembaringan, tidak perduli pakaiannya terkena darah. "Kui Siang......?" Dia berkata lirih, menjulurkan tangannya dan menyentuh pipi yang masih basah air mata itu. Dia terbelalak, sentuhan Itu menyadarkannya bahwa sesuatu yang tidak beres telah terjadi. Cepat jari-jari tangannya pindah ke leher wanita itu untuk merasakan denyutnya. "Kui Siang.".!!" Ma Glok berseru dan memegang kedua pundak Kui Siang, diguncangnya seperti hendak membangunkannya dari tidur nyenyak.
"Saya menyesal sekali, aku aku tidak dapat menolongnya. Bayi dapat lahir dengan selamat, akan tetapi ibunya...... ia terlalu lemah dan tidak kuat...... " terdengar suara Ngo-ma yang seolah datang dari tempat jauh sekali bagi pendengaran Ma Giok. "Kui Siang.... aduh Kui Siang......." Ma Giok terkulai lemas dan dia menciumi muka Kui Siang yang masih basah air mata itu sambil menangis. Ma Giok, Si Naga Selatan itu menangis! Sungguh merupakan kenyataan yang sangat aneh. Pendekar yang sudah digembleng dan digodok banyak pengalaman pahit sejak tanah air dijajah Mancu itu, kematian isterinya, kehilangan segala harta miliknya, menjadi pelarian dan buruan pemerintah Mancu, belakangan ini. malah kematian puterinya yang menjadi anak tunggalnya., yang seolah sudah lupa bagaimana rasanya berduka apalagi menangis, kini terisak-isak di atas jenazah Kui Siang! Kini Ma Giok menyadari benar bahwa sesungguhnya dia telah jatuh cinta kepada wanita itu. Perasaan cinta yang belum pernah dia rasakan semenjak isterinya meninggal dunia.
Akhirnya Ma Giok mampu menekan perasaan dukanya dan dia berbisik ke dekat telinga jenazah itu. "Kui Siang, beristirahatlah dengan tenang dan tenteram. Jangan khawatirkan anakmu. Aku bersumpah akan memelihara dan mendidiknya seperti anakku sendiri. Dia terlahir dalam keadaan sengsara sebagai. akibat jatuhnya kerajaan Beng, maka ketahuilah, Kui Siang. Anakmu itu, anak kita, akan kuberi nama Beng (Terang), Lauw Beng. Semoga kelak dia akan dapat menegakkan kembali Kerajaan Beng-tiauw (Dinasti Beng) atau setidaknya dia akan menjadi seorang pendekar budiman, berbakti kepada nama orang tua, negara,dan bangsa dengan melakukan perbuatan baik, gagah perkasa, pembela kebenaran dan keadilan, penentang kejahatan." Setelah dapat menenangkan hatinya, biarpun masih merasa amat sedih dan kehi!angann yang membuat hidup ini terasa sepi dan kosong, Ma Giok lalu mengurus pemakaman jenazah Kui Siang. Para tetangga Ngo-ma di dusun itu membantunya.
Ma Giok juga segera lapor kepada kepala dusun tentang penyerbuan orang-orang jahat yang sebagian dapat dibunuhnya itu. Kemudian, atas bantuan Ngo-ma, dia wanita dusun yang juga belum lama melahirkan seorang anak. Terpaksa, demi perawatan bayi itu, Ma Giok tinggal di dusun itu selama tiga bulan. Selama tiga bulan itu, awan duka menyelubungi kehidupan Ma Giok. Jarang dia keluar dari rumah janda tua itu, hanya melamun dan termenung. Hiburan satu-satunya adalah kalau dia memondong anak itu yang dia beri nama Beng dan tentu saja she (bermarga) Lauw, sesuai dengan nama ayah kandung anak itu, adalah Lauw Heng San. Akan tetapi dia selalu menyebut Lauw Beng dengan Siauw Beng (Beng Kecil), sebuah sebutan yang kelak akan dipakai terus oleh anak itu. Dengan kematian Kui Siang yang diam-diam amat dicintanya, berarti Ma Giok telah kehilangan segala-galanya. Dahulu dia kematian isterinya, lalu kematian puteri tunggalnya.
Kini kematian Kui Siang. Kalau saja tidak ada Siauw Beng, mungkin pendekar besar yang pernah menjadi pemimpin para pejuang penentang penjajah Mancu itu sudah putus harapan dan bosan hidup. Hampir tidak ada manusia di dunia ini, kecuali mungkin para nabi, rasul atau manusia-manusia pilihan Tuhan, manusia-manusia tertentu saja, yang dapat bertahan untuk hidup bebas, dalam arti kata hidup di antara orang-orang lain, di antara benda-benda yang. menjadi kepunyaannya, namun batinnya bebas dari semua itu, bebas dari kemelekatan. Nafsu-nafsu daya rendah sudah diikutsertakan kepada manusia sejak dia lahir, dan nafsu-nafsu inilah yang membentuk keakuan, membentuk ego yang selalu membutuhkan sesuatu di luar dirinya untuk dapat melekat. Padahal, justeru kemelekatan inilah yang melahirkan duka. Isteriku, anakku, keluargaku, hartaku, namaku, semua yang diembel-embeli dengan AKU inilah yang mendatangkan pertentangan, permusuhan, dan berakhir dengan kedukaan.
Manusia yang bijaksana menyadari bahwa dia tidak memiliki apa-apa, semua yang berada di alam semesta ini mutlak adalah milik Tuhan, Sang Pencipta Maha Pemilik. Bahkan dirinya, jiwanya, adalah milik Tuhan. Memang dia boleh jadi mempunyai banyak hal, mempunyai keluarga, mempunyai harta, mempunyai nama. Akan tetapi mempunyai untuk sementara saja dan akhirnya tentu akan dipisahkan darinya. Bukan MEMILIKI. Dia tidak kuasa sedikitpun akan apa yang dipunyainya, termasuk badan dan jiwanya. Kalau YANG MEMILIKI berkenan mengambilnya, dia tidak akan mampu menolak karena sesungguhnya dia bukan sang pemilik. Yang ngaku-aku memiliki itu hanhyalah nafsudaya rendah, yang senantiasa menginginkan yang nikmat dan yang menyenangkan. Kesadaran akan ini semua akan membuat manusia waspada dan tidak terlalu tenggelam dalam duka apabila ditinggal mati seseorang yang dicintanya.
Sadar bahwa orang yang dicintanya itu bukanlah miliknya, seperti juga dirinya sendiri bukan miliknya. Maka, apabila. YANG MAHA MEMILIKI mengambilnya, dia akan menyerahkan dengan segala keikhlasan hati. Kesadaran ini akan banyak mengurangi,bahkan menghapus, penderitaan karena kedukaan. Setelah tinggal di dusun itu selama tiga bulan dan Siauw Beng tampak sudan sehat dan kuat, Ma Giok lalu meninggalkan dusun itu. Dia membawa Siauw Beng dan melakukan perjalanan menunggang sekor kuda menuju ke Thaisan. Kuda bekas tunggangan Kui Siang dia berikan kepada Ngo-ma sebagai hadiah. Tentu saja bukan suatu perjalanan yang mudah. bagi Ma Giok membawa seorang bayi berusia tiga bulan dalam perjalanan yang demikian jauhnya. Setiap hari, sedikitnya tiga kali, dia harus mencarikan seorang ibu yang dapat menyusui Siauw Beng. Dan apabila dalam perjalanannya, Siauw Beng dalam gendongannya menangis, dia hanya dapat gelisah tanpa dapat menolongnya.
Terkadang ia terpaksa membiarkan anak itu menangis teroweh-oweh dalam gendongannya sambil membalapkan kudanya, sampai anak itu lelah sendiri dan menghentikan tangisnya sendiri karena tertidur. Ada kalanya pula dia berhenti dan tertawa terbahak-bahak kalau anak itu, setelah mendapat air susu seorang ibu di dusun yang mereka lewati. mau tertawa-tawa dan ngoceh. Alangkah senang dan bahagianya hati Ma Giok kalau sedang begitu. Ditimangnya anak itu, dilemparkan ke atas, diajak bermain-main sehingga bayi itu lambat laun menjadi terbiasa dan tidak menangis malahan tertawa kalau dilempar-lemparkan ke atas oleh Ma Giok yang tentu saja canggung dan kaku itu. Ma Giok memang belum berpengalaman mengasuh bayi. Baru satu kali dia mempunyai anak kandung, itupun ada ibunya sehingga dia hampir tidak pernah tahu betapa susahnya mengasuh seorang bayi. Dan sekarang, dia terpaksa harus mengganti pakaiannya kalau anak itu ngompol, harus membersihkannya kalau anak itu berak, harus mengayun-ayun dan menghiburkannya kalau menangis.
Perjalanan sejauh seribu li (mil) lebih itu ditempuh Ma Giok selama hampir empat bulan. Untung baginya bahwa tidak pernah mendapat halangan atau rintangan dalam perjalanan. Dia menganggapnya sebagai berkah Thian (Tuhan) kepada Siauw Beng. Memang segala sesuatu merupakan berkah Thian, akan tetapi kalau di ditinjau dalam penalaran manusia, penjahat manakah yang mau mengganggu seorang laki-laki yang membawa seorang bayi" Tidak ada sesuatu yang berharga dapat diharapkan dari laki-laki dan bayinya itu. Mungkin inilah yang membuat para perampok segan untuk mengganggu Ma Giok. Juga boleh jadi karena mereka melihat sikap Ma Giok yang gagah berwibawa, dan melihat pedang yang tergantung di punggungnya. Ada pula yang mengenal bekas pemimpin pejuang yang pernah menjadi tokoh dunia kangouw dengan julukan Lam-liong (Naga Selatan) ini dan tentu saja mereka menjadi jerih untuk mengganggunya.
Akhirnya, dalam keadaan letih namun lega, Ma Giok tiba di lereng dekat puncak Gunung Thai-san, di mana terdapat sebuah pondok kayu sederhana namun kokoh kuat. Inilah tempat pertapaan Pek In San-jin, yang hidup berdua saja dengan seorang pemuda remaja, berusia dua belas tahun yang menjadi pelayannya. Biarpun Ma Giok belum pernahiberkunjung ke tempat itu, namun dia sudah mendapat keterangan mengenai tempat dari suheng mendiang Pat-jiu Sin-kai dan menjadi guru mendiang Ngo-ji-auw-eng (Garuda Lima Cakar) Tankok itu. Pondok kayu di dekat puncak itu sudah tampak dari bawah. Tinggal satu putaran lagi dan Ma Giok akan sampai di sana. Tiba-tiba sebuah batu besar jatuh berdebuk di depannya. Batu gunung itu sebesar perut kerbau dan tentu beratnya seratus kati lebih. Ma Giok yang meninggalkan kudanya di dusun terakhir di lereng gunung itu dan melanjutnya pendakian dengan jalan kaki, terkejut.
Batu itu datang dari depan, namun tidak langsung menyerangnya karena jatuh berdebuk di depannya, dalan jarak tiga meter. Ketika dia mengangkat muka, dia melihat seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun menyangga sebuah batu yang sama besarnya dengan yang jatuh di depannya itu, menyangga dengan tangan kiri. Tangan kanannya kosong dan agaknya bocah itu yang tadi melontarkan batunya mungkin tadinya disangga tangan kanannya. Ma Giok memandang terbelalak, hampir tak percaya. Benarkah anak itu. yang melontarkan batu tadi" Agaknya demikian karena tangan kiri anak itu masih menyangga sebongkah batu lain yang sama besarnya, dan tampaknya sama sekali tidak merasa berat. PADAHAL, batu itu tentu lebih dari seratus kati beratnya. Bahkan seorang laki-laki dewasa yang bertubuh kokoh sekalipun belum tentu mampu menyangga batu seberat itu dengan sebelah tangan, apalagi melontarkannya dalam jarak kurang lebih sepuluh meter itu.
"Eh, siauw-ko (kakak kecil), engkaukah yang melontarkan batu itu di depanku tadi?" Ma Giok bertanya sambil menghampiri. Dia memandang penuh perhatian. Anak yang usianya sekitar dua belas tahun itu bertubuh tinggi besar, matanya lebar, hidungnya pesek dan bibirnya tebal. Muka yang tak dapat dikatakan tampan, bahkan tampak kasar dan bodoh, akan tetapi sinar matanya mengandung kejujuran. Sebelum menjawab, anak itu melontarkan batu sebesar perut kerbau yang disangga dengan tangan kirinya ke atas, ada tiga meter tingginya, lalu disambut dan dilontarkan lagi sampai tiga kali. Kemudian dia menurunkan batu itu dan melompat ke atas batu sehingga kini tingginya sarna dengan tinggi Ma Giok. "Benar, aku yang.. melontarkannya di depanmu." jawabnya jujur. Suaranya nyaring dan logatnya masih menunjukkan logat khas desa. "Akan tetapi mengapa kaulakukan itu, siauw-ko" Seorang tuan rumah yang baik tidak akan menyambut seorang tamu seperti itu."
"Tamu yang balk tentu disambut dengan baik pula. Akan tetapi engkau adalah. tamu yang tidak diundang dan kunjunganmu yang tiba-tiba ini tentu hanya akan mengganggu ketenangan suhu." jawab anak itu. Ma Giok tersenyum. "Aku bukan tamu, melainkan sahabat segolongan, siauwko. Apakah lo-cian-pwe (orang tua gagah) Pek In San-jin berada di rumah" Aku ingin menghadap dia." "Hemm, engkau adalah sin-khek (tamu baru), bagaimana aku tahu apakah engkau ini sahabat segolongan ataukah bukan?" anak itu membandel. Ma Giok tersenyum. Anak ini tentu bukan bocah biasa dan tadi menyebut suhu, tentu yang dimaksudkan adalah Pek In San-jin. Jadi anak ini adalah murid Pek In San-jin" Pantas dia bersikap penuh curiga dan agaknya dengan demonstrasi kekuatan mengangkat dan melemparkan batu itu dia hendak mengusir orang yang dianggapnya akan mengganggu gurunya. Orang biasa tentu akan ketakutan dan segera pergi dari situ melihat tenaga bocah yang dahsyat itu.
Ma Giok melangkah maju, mendekati batu yang dilontarkan tadi. Kemudian dengan kaki kanannya, dia mengungkit batu itu dan melontarkan dengan tendangannya ke atas, kemudian selagi batu itu melayang di atas kepalanya, dia menggunakan tangan kanan, memukul batu itu dengan tangan miring sambil mengerahkan sin-kang (tenaga sakti). "Pyarrrr...!" Batu sebesar perut kerbau itu pecah berantakan terkena pukulan tangan Ma Giok. "Nah, siauw-ko, katakan kepada Pek In San-jin bahwa aku mohon menghadap untuk menyampaikan berita tentang Pat-jiu Sin-kai dan Ngo-jiauw-eng Tan Kok." Mendengar disebutnya dua nama ini, anak itu cepat melompat turun dari atas batu, lalu memberi hormat dengan kedua tangan dirangkap di depan dada sambil berkata. "Mari, silakan ikut saya, lo-sicu (orang tua gagah)." Anak itu bersikap hormat dan mendahului Ma Giok berlari naik ke arah puncak di dekat mana berdiri sebuah pondok kayu itu.
Agaknya anak itu sengaja hendak memamerkan kebolehannya berlari cepat sambil berloncatan. Akan tetapi tentu saja dengan mudah Ma Giok dapat mengimbangi, bahkan melampaui kecepatannya. Di depan. pondok itu, dia berhenti dan menoleh kepada Ma Giok. "Silakan tunggu sebentar, lo-sicu. Saya akan melapor kepada suhu." Setelah berkata demikian, anak itu masuk ke dalam pondok yang cukup besar itu. Ma Giok berdiri di luar. Siauw Beng tertidur pulas dalam gendongannya. Agaknya hawa sejuk dekatpuncak itu membuat dia kenakan tidur. Ma Giok menikmati keindahan panorama dari atas tempat tinggi itu. Tak lama kemudian, anak itu keluar. "Lo-sicu dipersilakan masuk. Suhu telah menanti. Silakan." Ma Giok melangkah, melewati ambang pintu dan memasuki sebuah ruangan depan yang luas. Seorang kakek duduk di atas dipan kayu, bersila seperti arca. Kakek itu usianya sudah tujuh puluh tahun lebih. Rambut, kumis dan jenggotnya yang panjang sudah putih semua.
Kepalanya botak dan tubuhnya tinggi kurus. Namun dia duduk bersila dengan tubuh tegak lurus. Matanya masih bersinar, tajam ketika dia mengamati wajah Ma Giok. Di dekatnya tampak sebatang tongkat bambu putih. Melihat kakek ini, walaupun tidak mengenalnya, Ma Giok dapat menduga bahwa tentu dialah yang bernama Pek In San-jin, seorang pertapa yang telah berpuluh tahun mengasingkan diri di tempat sunyi ini dan tidak mau mencampuri urusan duniawi. Sambi! menggendong Siauw Beng, dia memberi hormat dan berkata dengan suara lantang namun penuh hormat. "Mohon maaf kepada lo-cian-pwe kalau kunjungan saya ini mengganggu ketenangan lo-cian-pwe. Saya bernama Ma Giok dan saya mohon menghadap lo-cian-pwe Pek In San-jin untuk menyampaikan berita tentang lo-cian-pwe Patjiu Sin-kai dan pendekar Ngo-jiauw-eng Tan Ok." "Sian-cai (pujian damai)......! Kiranya si-cu adaiah pendekar Ma Giok yang berjuluk Lam Liong"
Sudah lama aku mendengar bahwa engkau adalah seorang pemimpin pejuang yang gigih meiawan penjajah Mancu. Dudukiah, Ma-si-cu (orang gagah Ma)!". Melihat sikap ramah kakek itu, Ma Giok Giok merasa 1ega dan dia ia1u duduk di atas sebuah bangku yang tersedia di ruangan itu, berhadapan dengan Pek In San-jin. "Ma-sicu datang hendak menyampaikan berita tentang su-te (adik seperguruan) Pat-jiu Sin-kai dan muridku Tan Kok" Apakah itu berita tentang kematian mereka yang akan kausampaikan, sicu?" Ma Giok terkejut. Apakah kakek ini sudah mengetahuinya" "Apakah lo-cianpwe sudah mendengar akan ha1 itu?" Pek In San-jin tersenyum dan mengge1eng kepaianya. Luar biasa sekali, ketika dia tersenyum, tampak giginya masih berderet-deret utuh dan rapi! "Aku tidak pernah pergi dari puncak ini, dan A-song, kacungku itu, juga paling jauh pergi turun ke dusun di 1ereng bawah. Tentu saja aku tidak pernah mendengar tentang mereka.
Akan tetapi kalau engkau datang membawa berita tentang mereka yang menjadi pejuang, berita apaiagi yang 1ebih berharga bagi seorang pejuang kecuali berita kematian" Seorang pejuang baru disebut pahiawan kalau dia mati dalam perjuangan, itupun kalau kebetulan ada yang memperhatikannya. Kalau dia tidak gugur, siapa yang akan memperhatikan dan ingat bahwa mereka itu adalah bekas pejuang" Kecuali kalau mereka kini memperoleh kedudukan tinggi tentunya. Nah, berita apa yang kau bawa, Ma-sicu?" Dengan lembut, jelas dan panjang lebar Ma Giok menceritakan tentang kematian Pat-jiu Sin-kai yang sudah sakit-sakitan itu, yang tewas saking marahnya melihat muridnya yang bernama Lauw Heng San dapat terbujuk dan tertipu sehingga Lauw Heng San menjadi perwira pembesar Mancu, yaitu Pangeran Abagan yang mengubah nama menjadi Thio Ci Gan dan dikenal sebagai Thio-ciangkun (Panglima Thio).
Karena ketidaktahuannya itu, Lauw Heng San bahkan dengan pasukan istimewanya membasmi para pejuang yang dianggapnya sebagai penjahat-penjahat dan gerombolan pemberontak! Bahkan Lauw Heng San juga khilaf telah membunuh Ngo-jiauw-eng Tan Kok, murid Pek In San-jin. Mendengar penuturan itu Pek In San-jin menghela napas panjang. "Aiih, bagaimana sute Pat-jiu Sin-kai begitu bodoh dan lengah sehingga mengangkat seseorang yang seperti itu menjadi muridnya?" "Lo-cian-pwe, sebetulnya Lauw Heng San itu bukan orang jahat atau sesat. Dia seorang gagah yang berjiwa pendekar. Dia hanya tertipu, terbujuk oleh Pangeran Abagan yang dia kira seorang pembesar Han sejati, bahkan dia diambil mantu, dijodohkan dengan puteri tiri pembesar itu. Akan tetapi setelah bertemu dengan lo-cianpwe Pat-jiu Sin- kai, dia menyadari kesalahannya dan dia lalu mengamuk, membunuh Pangeran Abagan dan para jagoannya, akan tetapi dia sendiri juga tewas."
Dengan panjang lebar Ma Giok menceritakan tentang Lauw Heng San ketika pendekar itu membalik dan mengamuk di gedung Pangeran Abagan atau Thio-ciangkun. "Melihat bahwa Lauw Heng San telah menyadari kesalahannya, maka kami semua merasa kasihan kepada isterinya yang sedang hamil tua. Maka, ketika isterinya melarikan diri, saya mengajak Bu Kui Siang, isterinya itu, menyelamatkan diri, meninggalkan kota Keng-koan. Kami tidak tahu apa yang terjadi dengan keluarganya yang lain." "Sian-cai........, buruk sekali nasib mereka itu." kata Pek In San-jin dengan hati dipenuhi belas kasihan. "Memang sesungguhnya, lo-cian-pwe, buruk sekali nasib mereka, Lauw Heng San, dan isteri serta anaknya. Isterinya itu saya ajak melarikan diri, dengan tujuan ke sini karena saya kira di sinilah tempat yang aman dari pengejaran orang Mancu terhadap isteri Lauw Heng San. Akan tetapi, di tengah perjalanan, nyonya muda Bu Kui Siang melahirkan, pada saat kami diserang oleh Hui-kiam Lomo dan muridnya beserta beberapa orang anak buahnya.
Saya berhasil menewaskan anak buahnya dan mengusir Hui-kiam Lomo dan muridnya dan pada saat itu pula Kui Siang juga melahirkan seorang putera. Akan tetapi.......... ketika melahirkan itu puteranya (Lanjut ke Jilid 08)
Si Tangan Halilintar (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 08 selamat dan ia..... ia..... ia meninggal dunia......" "Sian-cai, semoga Tuhan memberi tempat yang baik untuk nyonya muda itu...." kata Pek In San-jin. "Saya menunggu sampai anaknya berusia tiga bulan, baru saya bawa anak itu melakukan perjalanan ke Thai-san dan hari ini saya berhasil membawanya menghadap lo-cian-pwe. Inilah anak itu, lo-cian-pwe, namanya Lauw Beng, saya sebut Siauw Beng." "Akan tetapi, mengapa engkau mengajak dia ke sini, Ma-sicu?" "Ke mana lagi saya membawanya, locian-pwe" Anak ini adalah putera murid mendiang Pat-jiu Sin-kai, berarti masih cucu murid lo-cian-pwe sendiri. Saya hendak menyerahkan anak ini kepada locian-pwe untuk dididik agar kelak dia dapat melanjutkan perjuangan kami, dapat menjadi orang ho-han (patriot) dan pendekar yang akan berbakti kepada bangsa dan tanah air."
"Akan tetapi, bagaimana mungkin aku dapat merawat seorang bayi sekecil ini, Ma-sicu?" bantah Pek In San-jin yang tentu saja merasa tidak sanggup untuk merawat anak sekecil itu. "Tentu saja tidak, lo-cian-pwe. Saya akan mencarikan ibu pengasuh di pedusunan kaki gunung yang akan merawat dan memeliharanya sampai usianya cukup besar untuk mulai mempelajari ilmu dari lo-cian-pwe." "Hemm, usiaku sudah tua sekarang, Ma-sicu. Aku khawatir, kalau dia sudah besar, aku sudah terlalu tua atau mungkin sudah mati untuk dapat mengajarnya. Karena itu, aku mau menerima Siauw Beng menjadi murid hanya dengan satu syarat." "Apakah syaratnya itu, lo-cian-pwe?" "Syaratnya adalah bahwa engkau harus pula membantuku untuk mendidik dan mengajarnya, sicu. Aku sudah mendengar banyak ten tang engkau, aku tahu bahwa engkau seorang ahli silat aliran Siauwlim-pai. Aliran Siauw-lim merupakan sumber dari aliran-aliran lain, karena itu aku menghendaki agar anak ini mempelajari dasar-dasar ilmu silatnya darimu, juga engkau yang wajib memberi tuntunan dalam ilmu sastra kepadanya.
Setelah dia menyerap semua ilmumu, barulah aku akan mengajarkan apa yang aku bisa kepadanya. Dengan demikian, andaikata aku mati sebelum dia menjadi besar, dia sudah menerima banyak darimu. Kalau syarat itu tidak kaupenuhi, sebaiknya engkau membawa dia ke tempat lain saja, Ma-sicu." Ma Giok terkejut mendengar syarat yang mengikatnya itu. Dia berpikir keras karena syarat itu demikian mendadak dan bersangkutan dengan kehidupan selanjutnya. Dia seolah mendengar suara Kui Siang yang bicara kepadanya tentang tugas seorang patriot dan seorang pendekar. Sekarang bukan masanya untuk menjadi pejuang, karena perjuangan menentang penjajah tidak mungkin dilakukan seorang diri. Akan tetapi seorang pendekar dapat berjuang di mana saja dan kapan saja seorang diri, menegakkan kebenaran dan keadilan,.membela yang lemah tertindas, menentang yang kuat tapi jahat. Dia menghela napas, teringat akan usahanya selama beberapa tahun berjuang namun tanpa hasil karena dia hanya mampu mengumpulkan para pejuang yang amat kecil jumlahnya, dibandingkan dengan pasukan Mancu yang besar dan kuat.
Dia menjadi patah semangat, apalagi kalau dia lihat kenyataan betapa dia menolong putera seorang pembesar Mancu yang berada di pihak yang benar dan tertindas maka harus dibelanya terhadap kejahatan orang-orang yang mengaku sebagai pejuang! Memang sebaiknya dia menerima syarat Pek In Sanjin. Dia menganggap dirinya sebagai pengganti ayah bunda Siauw Beng, maka sudah sepantasnyalah kalau dia yang merawat dan memelihara anak itu. Dia juga menerima sebuah kitab yang ditemukan di antara pakaian Kui Siang, yaitu kitab Ngo-heng Kun-hoat, peninggalan dari Lauw Heng San yang mengubah sendiri ilmu silat tangan kosong itu, yang membuat dirinya dijuluki sebagai Lui-kongdang (Si Tangan Halilintar). Dia berkewajiban untuk ikut menggembleng Siauw Beng agar kelak anak itu dapat pula melanjutkan julukan ayahnya, yaitu Si Tangan Halilintar! Dia harus menerima syarat itu, demi Siauw Beng, demi Kui Siang yang suaranya seolah-olah terdengar membujuk-bujuknya.
Demi cintanya terhadap Kui Siang.! "Baiklah, lo-dan-pwe. Saya terima syarat itu!" katanya dengan suara mantap. "Sian-cai......! Agaknya kita dan Siauw Beng memang berjodoh, Ma-sicu. Nah, biarlah A-siong mengantarmu ke dusun di bawah sana. Dia mengenal banyak orang dan tentu dapat mencarikan seorang ibu pengasuh untuk Siauw Beng. Engkau sendiri boleh tinggal di mana saja yang kausukai. Kalau mau tinggal di tempat sepi ini, boleh saja." Ma Giok mengucapkan terima kasih, lalu dia turun dari puncak, menggendong Siauw Beng dan mengajak A Siong. Setelah tiba di dusun pertama, dia mengambil kudanya, kemudian atas petunjuk A Siong, dia menyerahkan Siauw Beng dalam asuhan Bibi Hwa, demikian panggilan seorang janda yang hidup seorang diri di dusun itu. Wanita ini peramah, memiliki sebidang tanah dan rumahnya. Ma Giok memberikan kudanya kepadanya berikut sejumlah emas dan perak untuk biaya merawat Siauw Beng. Bibi Hwa menerima Siauw Beng dengan senang hati.
Sebagai seorang janda yang hidup sebatang kara, tentu saja ia senang tiba-tiba mendapatkan seorang anak yang demikian sehat dan mungil, ditambah sekor kuda dan beberapa potong emas pula! Dalam perbincangan di antara mereka, Ma Giok tahu bahwa wanita itu banyak pengalaman dan mengerti benar bagaimana harus merawat anak kecil. Bibi Hwa menjelaskan bahwa mula-mula ia akan minta pertolongan para ibu yang masih menyusui anaknya untuk membagi. sedikit susunya kepada Siauw Beng. Kemudian, setelah dengan uangnya ia dapat membeli sekor sapi perah, ia akan memelihara anak itu dengan susu sapi. Dan Bibi Hwa sudah berpengalaman memelihara anak kecil karena ia pernah dulu mempunyai dua orang anak yang sekarang telah mati semua terserang wabah penyakit ganas. Demikianlah, mulai hari itu, Ma Giok Si Naga Selatan seperti lenyap dari dunia kangouw. Para tokoh kangouw kehilangan dia dan banyak orang menduga bahwa mungkin Lam Liong (Naga Selatan) telah tewas dalam perjuanganhya yang gigih melawan pemerintah penjajah Mancu.
Ma Giok menemukan kebahagiaan tersendiri selama dia mengasingkan diri di puncak Thai-san. Dia memperdalam pengetahuannya tentang agama To dari Pek In San-jin, juga tentang ilmu silat. Bahkan setelah dia berada di situ, dialah yang melatih ilmu silat kepada A Siong yang biarpun di situ bekerja sebagai pembantu atau pelayan, namun dianggap keluarga sendiri dan diberi pelajaran silat. Walaupun otak A Siong agak tumpul, dan dia hanya dapat mempelajari dan menghafal gerakan silat yang sederhana, namun secara alami dia memiliki tenaga yang amat kuat. Setelah dapat menghimpun tenaga sakti, dia semakin kuat. Wataknya yang terbuka dan jujur, juga setia, membuat Ma Giok amat suka kepadanya. Ma Giok mengharapkan kelak A Siong dapat menjadi teman yang baik dan setia dari Siauw Beng yang dia anggap sebagai puteranya sendiri. Dalam perawatan Bibi Hwa, Siauw Beng menjadi anak yang sehat dan kuat.
Juga sikap Bibi Hwa yang lembut dalam merawat, selain lembut juga Bibi Hwa memang pandai bicara, pandai bercerita yang lucu-lucu, maka dengan sendirinya Siauw Beng berangkat besar dengan watak yang lembut, namun suka melucu, jenaka dan lincah. Dia menganggap wanita yang gendut, yang disebutnya bibi itu sebagai pengganti ibunya dan kepada Ma Giok yang datang berkunjung seminggu dua kali, dia menyebut ayah dan menganggap Ma Giok sebagai ayah kandungnya. Ketika Siauw Beng berusia tujuh tahun dan sudah mulai mengerti, dia mulai bertanya-tanya tentang ibu kandungnya dan Ma Giok lalu menceritakan bahwa ibu kandungnya tewas ketika melahirkan dia. Mulailah Ma Giok mengajarkan ilmu membaca dan menulis, dan seringkali dia bercerita tentang perjuangannya menentang pemerintah penjajah Mancu. Juga dia banyak bercerita tentang para pendekar dengan kegagahan mereka, menentang kejahatan membela yang benar tertindas, menegakkan kebenaran dan keadilan dengan modal ketangguhan ilmu silat mereka.
Semua cerita ini merupakan pupuk bagi jiwa kependekaran Siauw Beng sehingga semakin besar, Siauw Beng semakin bercita-cita untuk menjadi seorang pendekar yang selalu menegakkan kebenaran dan keadilan! Ma Giok mulai melatih ilmu silat kepada Siauw Beng. Dasar-dasar ilmu silat Siauw-lim-pai yang kokoh. Dengan pasangan kuda-kudanya yang kokoh, gerakan dasar kedua kaki yang kuat, maka Siauw Beng akan dapat melatih Hmu silat aliran manapun dengan baik karena gerakan kedua kaki itu merupakan pondasi bagi semua llmu silat. Tentu saja teman berlatihnya adalah A Siong. Biarpun usia A Siong jauh lebih tua, selisih dua belas tahun, namun A Siong yang amat sayang kepada Siauw Beng suka melayaninya berlatih dan banyak mengalah. Setelah Siauw Beng berusia sepuluh tahun, mulailah Ma Giok membawanya ke puncak Thai-san dan Pek In San-jin sendiri yang membimbingnya dalam ilmu-ilmu silat yang lebih tinggi.
Sang waktu bergerak dengan amat cepatnya kalau tidak diamati. Seperti jalannya sang matahari, kalau diamati seolah matahari tidak pernah bergeser dari tempatnya. Akan tetapi kalau kita lengah dan tidak memperhatikan, tahutahu matahari yang tadinya muncul di ujung timur, tahu-tahu sudah hampir tenggelam di ujung barat! Demikian pula, tanpa diperhatikan dan tanpa disadari sang waktu melesat cepat dan tahu- tahu dua puluh tahun telah lewat sejak Siauw Beng, bayi berusia beberapa bulan itu dibawa ke Thai-san oleh Ma Giok! Pada pagi hari itu, matahari pagi bersinar terang. Udara cerah, tidak berkabut seperti biasanya sehingga semua tanaman dapat menikmati sinar matahari yang menghidupkan sepuas mereka. Sejak pagi-pagi tadi, A Siong telah sibuk mengangkut air dari sumber, menggunakan pikulan yang membawa dua tong air besar, dibawa naik ke puncak dan dituangkan ke dalam bak mandi yang besar dan gentung-gentung di dapur.
Siauw Beng membantunya dan seperti biasa setiap pagi, mereka berlomba siapa yang lebih cepat dan lebih banyak mengangkut air. Dan, seperti sudah terjadi sejak tiga tahun yang lalu, A Siong selalu kalah! Setelah menyelesaikan pekerjaan sehari-hari, A Siong dan Siauw Beng pergi ke taman belakang pondok di mana terdapat sebuah tempat terbuka yang mereka pergunakan untuk berlatih silat. Ketika itu, A Siong sudah berusia tiga puluh dua tahun. Seorang laki-laki bertubuh raksasa, tinggi besar kokoh kuat seperti batu karang, otot-ototnya menonjol melingkar-lingkar di lengan, bahu dan dadanya, demikian pula pada paha dan betisnya. Pakaiannya sederhana namun cukup bersih. Kepalanya besar, sesuai dengan bentuk tubuhnya. Matanya lebar dan dari sinar matanya saja orang sudah dapat menduga bahwa dia seorang yang terbuka dan jujur, dan ada bayang-bayang kebodohan dan kesederhanaan pada sinar matanya.
Hidungnya besar agak pesek dan bibirnya tebal namun bentuknya indah dan warna bibirnya merah tanda sehat. Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang, merupakan seorang lawan yang menggiriskan hati siapa saja, berhadapan dengan Siauw Beng. Siauw Beng yang sudah berusia dua puluh tahun itu menjadi seorang pemuda dewasa yang berwajah tampan gagah, tubuhnya sedang dan tegap sekali, namun tampak kecil berhadapan dengan A Siong. Pakaiannya juga sederhana. Ma Giok memang mendidik agar pemuda ini mempunyai sikap hidup sederhana, kesederhanaan yang. timbul dari kerendahan hati' dan tidak mudah tergiur oleh keadaan lahiriah yang serba mewah dan gemerlapan. Namun, kesederhanaan pakaiannya tidak menyembunyikan ketampanan Siauw Beng. Sepasang matanya tajam bersinarsinar, penuh semangat dan kegembiraan hidup,dan pandang matanya amat tajam, sinar matannya terkadang mencorong.
Hidungnya mancung dan bibirnya selalu terhias senyum, senyuman khas yang jenaka dari orang yang suka bergurau dan yang memandang segala sesuatu dari segi keindahannya. "Nah, A Siong sekarang kita mau latihan apa?" tanya Siauw Beng. Sejak kecil, dia biasa memanggil raksasa itu A Siong 'begitu saja, dan A Siong juga menyebutnya Siauw Beng. Hubungan mereka akrab karena A Siong memang tidak dianggap sebagai pelayan, melainkan sebagai keluarga sendiri. Tiga tahun yang lalu, setelah Pek In San-jin meninggal dunia karena usia tua, pondok itu menjadi tempat tinggal Ma Giok dan A Siong tetap dipertahankan sebagai anggauta keluarga. A Siong menyeringai. Dia tahu, berlatih apapun juga dengan Siauw Beng, dia pasti akan kalah. Sejak Siauw Beng berusia lima belas tahun, lima tahun yang lalu, dia sudah tersusul dan kalah dalam segala halo Baik itu dalam ilmu baea tulis, menghafat ayat-ayat kitab suci, maupun ilmu-ilmu silat yang pernah mereka pelajari.
Adu lari dia kalah cepat, adu loncat kalah tinggi. Hanya kekuatan tenaga kasar atau gwa-kang (tenaga luar) saja ia mampu mengalahkan Siauw Beng, akan tetapi kalau adu tenaga sakti atau tenaga dalam, dia masih kalah kuat. Apalagi dalam ilmu silat. Dia kalah cepat dan kalah mahir. Mungkin dalam ilmu Tiat-pouw-san (Ilmu Kebal Baju Besi) dia lebih kuat daripada Siauw Beng. "Sesukamulah, ilmu apa yang akan kauperlihatkan hari ini, Siauw Beng. Sekali ini akan kuusahakan untuk mengalahkanmu!" "Sekarang begini saja, A Siong. Kita tidak melatih ilmu tertentu, akan tetapi melatih semuanya!" "Semuanya, apa maksudmu?" "Begini, kita bertanding seolah dua orang musuh yang saling berhadapan. Jadi, kita keluarkan semua ilmu yang kita kuasai untuk mendapatkan kemenangan." Mendengar tantangan ini, A Siong tertawa. "Heh-heh-heh, kalau secara bebas begitu, engkau pasti akan kalah, Siauw Beng." Siauw Beng juga tertawa.
"Hemm, benarkah" Kalau belum dicoba, bagai:mana engkau bisa memastikan begitu?" "Kau tahu, aku mempunyai ilmu gulat yang tidak pernah kaupelajari. Sekali sebua.h anggauta badanmu tertangkap olehku, engkau akan kubuat tidak berdaya dan akan kalah." kata A Siong sungguh-sungguh dan jawaban ini saja menunjukkan bahwa dia jujur atau kurang cerdik. Masa dalam pertandingan mencari kemenangan, dia sudah memberitahukan rahasia kemenangannya" Akan tetapi biarpun jujur dan kurang cerdik, A Siong bukan sembarangan membual. Dalam pertandingan itu, tentu saja mereka berdua sudah menguasai benar ilmunya dan dapat membatasi tenaganya sehingga kalau pukulan mengenai anggauta tubuh lawan, pukulan itu hanya mengandung sebagian tenaga saja. Dan pukulan Siauw Beng yang tidak dilakukan dengan tenaga sepenuhnya itu, dapat diterima oleh tubuhnya yang dilindungi kekebalan dengan baik.
Sebaliknya kalau sampai tangan, kaki, pundak atau pinggang Siauw Beng dapat ditangkapnya, dia akan membuat Siauw Beng tidak mampu berkutik lagi dengan pitingan-pitingan dan kuncian-kuncian ilmu gulatnya.! "Baiklah, sekarang kita bertaruh," kata Siauw Beng. "Ayah tadi memesan agar siang nanti selain masak sayur seperti biasa juga kita harus merebus enam butir telur, untuk ayah dua butir dan kita masing-masing dua butir. Nah, kita pertaruhkan dua butir telur kita, kalau aku kalah, dua butir telur untukku untukmu dan sebaliknya kalau aku menang, engkau harus makan dengan sayur dan dua butir telurmu kau berikan padaku." A Siong membelalakkan matanya yang sudah lebar itu sehingga mendelik seperti mata sapi. "Jadi semua empat butir telur rebus untuk makan siangku nanti" Hemm" "Ingat, engkau harus dapat mengalahkan aku lebih dulu!" Siauw Beng mengingatkannya. "Baik, mari kita mulai! Demi untuk dua butir telur rebus, sekali ini aku pasti menang!" kata A Siong.
Keduanya lalu memasang kuda-kuda yang sama, kedua kaki dipentang lebar, kedua lutut ditekuk dan dalam keadaan seperti menunggang kuda, mereka saling berhadapan. Kuda-kuda yang kokoh, namun karena bentuk tubuh A Siong demikian besar, maka dia tampak lebih kokoh. "Nah, mulailah, A Siong!" Siauw Beng menantang. A Siong mulai menerjang maju. Gerakannya kuat dan cepat, kedua lengannya yang panjang besar itu seperti dua buah lengan biruang yang menyambar. Siauw Beng mengenal gerakan- ini, mengelak dan. membalas. Akan tetapi karena A Siong juga mengenal gerakannya, maka A Siong dapat pula menangkis. Keduanya mulai saling serang dengan seru. Kalau ada orang menonton pertandingan itu, dia tentu akan khawatir. Tampaknya mereka itu saling serang dengan sungguh-sungguh dan gerakan sepasang tangan mereka mengeluarkan bunyi bersiutan. Akan tetapi dua orang itu telah menguasai ilmu mereka sehingga kalau ada tangan mereka yang mengenai sasaran, sebelum tangan itu menyentuh tubuh lawan, tangan itu tentu akan dikurangi tenaganya.
Sehingga tidak akan membahayakan tubuh yang terpukul. Karena sifat pertandingan ini hanya latihan, maka mereka lebih mengutamakan gerakan otomatis untuk membuat seluruh perasaan mereka hidup dan menyatu dengan ilmu silat yang mereka mainkan. "Haiiittt....!" A Siong membentak dan dia sudah menyerang derigan jurus yang paling disukainya, yaitu jurus Samhoan-to-goat (Tiga Lingkaran Bungkus Bulan). Tubuhnya menyerang dengan kaki melakukan gerakan berputar seperti melingkar-lingkar tiga kali dan dengan demikian dia menyerang lawan dari tiga jurusan yang berbeda. Siauw Beng mengelak ke belakang, lalu memutar tubuh dan menangkis dengan jurus Pek-liong-pai-bwe (Naga Putih Sabetkan Ekor). "Duk-duk!" Dua kali serangan A Siong dapat ditangkis dan keduanya tergetar sehingga terdorong mundur. "Sambut ini" kini Siauw Beng membentak dan tangan kanannya membentuk seperti leher burung bangau, jari-jarinya disatukan menotok ke arah ulu hati A Siong dengan jurus Pek-ho-tek-hu (Bangau Putih Mematuk Ikan).
Namun A Siong maklum akan bahayanya serangan ini dan dia sudah memutar lengan kanannya dari samping, menangkis dengan gerakan memutar dengan jurus To-tui-lim-ciang (Dorong Roboh Lonceng Emas). Demikianlah, kedua orang itu saling serang dengan serunya. Tentu saja kalau Siauw Beng menghendaki, dengan ginkang (ilmu meringankan tubuh) dan sinkang (tenaga sakti) yang lebih unggul, dia akan mampu merobohkan A Siong lebih cepat, namun untuk itu dia harus menggunakan tenaga dalam dan hal itu tentu akan membuat A Siong terluka cukup parah. Dia tidak menghendaki hal ini terjadi, maka pertandingan yang sesungguhnya hanya latihan itu berjalan seru, seimbang dan lama. Akhirnya, setelah mandi peluh dan merasa sudah cukup puas dengan latihan itu, A Siong mengeluarkan simpanannya yang akan membuat dia dapat menikmati dua butir telur rebus tambahan. Tiba-tiba dia membuat gerakan aneh dan tahu-tahu jari-jari tangan kanannya yang besar itu sudah dapat menyambar dan menangkap lengan kiri Siauw Beng.
A Siong memang pandai ilmu gulat yang dipelajarinya dari seorang pemburu binatang berbangsa Hui yang kesasar ke Thaisan. Bagi seorang ahli gulat, sekali lengan lawan dapat tertangkap, maka lengan itu akan dipuntir dan ditelikung dalam jurus kuncian yang akan membuat lawan tidak berdaya lagi. A Siong sudah kegirangan dan hendak menelikung lengan itu. Akan tetapi tiba-tiba Siauw Beng membuat gerakan dari samping, tangan kirinya menampar pangkal lengan A Siong yang menangkapnya, disusul tamparan lain yang mengenai pundak raksasa itu. "Plak! Plak!!" A Siong berseru kaget, pegangannya terlepas karena dia merasa lengan kanannya seperti lumpuh dan ketika tamparan ke dua mengenai pundaknya, diapun terpelanting roboh! A Siong merangkak bangun dan memandang kepada Siauw Beng dengan mata terbelalak. "Huh, ilmu tamparan maearn apa itu" Kenapa aku tidak mengenalnya" itu bukan ilmu yang kaupelajari dari suhu!
Engkau menggunakan ilmu dari luar, kau curang, Siauw Beng!" A Siong menegur, penasaran karena dia kalah sehingga kehilangan dua butir telur rebusnya. "Tidak, A Siong. Itu adalah ilmu silat Lui-kong-ciang, memang belum kau kenaI, akan tetapi bukan ilmu dari luar, melainkan ilmu warisan dari ayah kandungku. Karena tadi aku sudah kaupegang dan hampir kaukuasai, maka dalam kegugupanku, aku terpaksa menggunakan Luikong-dang. Biarlah aku mengaku kalah dan dua butir telur rebusku siang ini boleh kaumakan." "Nanti dulu! Soal telur rebus gampang. Akan tetapi engkau tadi bicara tentang warisan dari ayah kandungmu" Ma lo-sicu masih hidup, bagaimana bisa dikatakan dia meninggalkan warisan untukmu?" Siauw Beng menjadi bingung. Ma Giok yang selama ini dia anggap sebagai ayah kandungnya, dua tahun yang lalu menyerahkan kitab Ngo-heng Lian-hoan Kunhoat kepadanya dan menceritakan tentang Lauw Heng San, ayah kandungnya yang tewas sampyuh (sama-sama tewas) dengan seorang pembesar Mancu.
Ma Giok juga menceritakan tentang ibunya yang meninggal dunia ketika melahirkan dia. Baru dia tahu bahwa Ma Giok hanyalah ayah angkatnya. Dia lalu melatih diri dengan ilmu silat peninggalan ayah kandungnya itu. Dia masih menganggap Ma Giok sebagai ayahnya sendiri dan tidak menceritakan tentang rahasia dirinya kepada orang lain. Akan tetapi dia kelepasan bicara sehingga membuka rahasianya sendiri. Maka, kini dia tidak mampu menjawab, hanya memandang A Siong dengan muka bodoh. "Sian-cai...! Sudah waktunya engkau mengetahui juga kenyataan itu, A Siong, karena engkaulah yang akari menemani Siauw Beng dalam perantauannya di dunia kangouw sebagai seorang pendekar, melanjutkan cita-cita ayah kandungnya." Sesosok bayangan berkelebat dan Ma Giok telah berdiri di dekat mereka. Ma Giok kini sudah menjadi seorang kakek berusia enam puluh lima tahun, namun dia masih tampak gagah perkasa dan berwibawa walaupun rambutnya sudah bercampur banyak uban.
A Siong memandang kepada Ma Giok dengan mata bodoh. "Apa artinya ini semua, Malo-sicu?" Ma Giok duduk bersila di atas sebuah batu bundar yang menjadi tempat duduk yang dia senangi. Seringkali bekas pimpinan pejuang itu duduk melamun di at as batu ini seorang diri. "Kalian duduklah dan dengarkan kata-kataku. Aku ingin bicara tentang hal yang penting, dengan kalian." Siauw Beng dan A Siong duduk di atas batu di depan kakek itu dan siap mendengarkan "A Siong, ketahuilah bahwa Siauw Beng ini sebenarnya bermarga Lauw. Mendiang ayah kandungnya bernama Lauw Heng San, seorang pendekar besar yang gagah perkasa dan. yang dahulu dijuluki orang Si Tangan Halilintar! Sayang bahwa dia ditipu dan terbujuk oleh seorang pembesar Mancu sehingga rela menjadi kaki tangannya, menentang kaum pejuang yang gigih melawan penjajah Mancu. Akan tetapi dia sadar bahwa dia tertipu lalu memberontak dan membunuh pembesar Mancu itu berikut para jagoannya.
Isterinya yang bernama Bu Kui Siang sedang mengandung ketika itu dan aku membantunya melarikan diri dari pembalasan orang-orang Mancu. Aku membawa Kui Siang menuju ke sini, akan tetapi di tengah perjalanan ia melahirkan. Kami diserang orang-orang jahat. Aku dapat mengusir mereka akan tetapi Kui Siang meninggal dunia ketika melahirkan Lauw Beng ini." A Siong dengan muka sedih memandang kepada Siauw Beng dan berkata, "Aku ikut merasa berduka mendengar tentang ayah ibumu, Siauw Beng." "Ah, semua itu sudah berlalu, A Siong. Aku yakin ayah dan ibu kandungku telah mendapatkan tempat yang tenteram dan damai abadi. Kita tidak perlu berduka lagi untuk mereka." kata Siauw Beng. "Siauw Beng benar, A Siong. Nah, sekarang kalian berdua dengarlah baikbaik. Siauw Beng, setelah engkau mempelajari Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat peninggalan ayah kandungmu, maka tidak ada ilmu lain lagi yang dapat kuajarkan kepadamu.
Juga engkau telah mewarisi semua ilmu yang dulu diajarkan mendiang Pek In San-jin. Maka, sekarang tibalah saatnya bagimu untuk turun gunung. Bekal kekuatan jasmani telah engkau miliki, juga bekal kekuatan rohani telah banyak kau pelajari dari aku dan Pek In Sanjin. Engkau boleh melanjutkan perjuanganku, perjuangan ayah kandungmu, dan engkau sudah sepatutnya memakai julukan Si Tangan Halilintar. Dengan julukan ini engkau akan membersihkan nama; ayah kandungmu yang sempat ternoda! karena bujukan orang Mancu. Denga perbuatan-perbuatanmu yang bijaksana sebagai seorang pendekar budiman, maka nama Si Tangan Halilintar akan terangkat, yang berarti engkau juga mengangkat nama dan kehormatan ayah kandungmu. Dan engkau, A Siong, engkau bantulah Siauw Beng dalam segala hal. Engkau jadilah seperti saudara sendiri, menentukan jalan hidup kalian masing-masing.
Aku hanya dapat mendoakan dad sini semoga Tuhan selalu melindungi kalian dan memberi bimbingan ke arah jalan yang benar dan baik." Dua orang muda itu sudah mengenal watak Ma Giok. Pendekar ini, sekali mengeluarkan kata-kata, tidak mungkin dibantah dan apa, yang dikatakan itu selalu benar. Maka keduanya lalu meng.angguk. "Baik, ayah. Saya akan menaati perintah ayah." kata Siauw Beng. "Saya akan menemani Siauw Beng ke rnanapun dia pergi, Ma lo-sicu" kata A Siong dengan wajah yang agak sedih dan bingung. Pikirannya kacau. Ke mana mereka harus pergi" Dia tidak mengenal daerah di luar pegunungan Thai-san ini! "Nah, berkemaslah kalian. Bawa semu pakaian, bungkus dengan kain dan gendong buntalan pakaian itu. Siauw Beng, ada sisa sekantung emas di dalam peti pakaianku itu, boleh. kau ambil dan kau bawa sebagai bekal kalian di perjalanan." Ketika dua orang muda itu bangkit dan hendak melaksanakan perintah itu, Ma Giok bertanya kepada A Siong.
"A Siong, apakah enam butir telur itu sudah kau rebus?" A Siong memandang heran. "Sudah, lo-sieu." "Bawalah sisa roti kering dan daging kering dari dapur, juga enam butir telur rebus. Bawalah untuk bekal kalian menuruni gunung." Dua orang muda itu dengan patuh.melaksanakan semua perintah Ma Giok. Setelah siap, sambil menggendong buntalan pakaian masing-masing, mereka menghadap lagi kepada Ma Giok yang masih duduk di atas batu bundar. Siauw Beng menjatuhkan diri di atas lututnya dan A Siong mengikuti perbuatannya. Sambil berlutut di depan Ma Giok, Siauw Beng berkata dengan suara perlahan. "Ayah, masih ada sebuah pertanyaan lagi yang sampai sekarang belum ayah jawab." Ma Giok mengangguk-angguk. "Ada sebuah pantangan besar bagi seorang pendekar, Siauw Beng. Seorang pendekar haruslah bersikap adil dan kalau pantangan ini kau langgar, maka engkau akan kehilangan pertimbangan yang adil itu dan engkau tidak pantas menjadi pendekar.
Pantangan itu adalah dendam sakit hati! Segala tindakan yang didasari dendam, merupakan tindakan balas dendam yang timbul dari kemarahan dan kebencian, dan sama sekali tidak diukur dengan keadilan lagi. Bahkan tindakan balas dendam menimbulkan perbuatan kejam, terkadang bahkan jahat. Engkau tentu hendak menanyakan siapa mereka yang menyerang aku sehingga ibumu sampai meninggal ketika melahirkan, bukan?" "Benar, ayah. Ayah sudah menceritakan tentang kematian ayah Lauw Heng San yang telah. berhasil membunuh musuh-musuhnya sehingga tidak ada penasaran lagi. Akan tetapi kematian ibu yang disebabkan serangan orang jahat. Saya tidak akan menentang orang itu karena balas dendam. Kalau nanti saya mendapatkan bahwa dia kini menjadi orang baik-baik, saya tidak akan mengganggunya. Akan tetapi kalau dia masih menjadi orang jahat, saya akan menentangnya, bukan untuk membalas dendam, melainkan untuk menentang kejahatan seperti yang Suhu Pek In San-jin dan Ayah ajarkan kepada saya selama ini."
"Baiklah kalau begitu. Para penyerang itu adalah Hui-kiam Lo-mo, seorang datuk Sungai Huang-ho. Dia lihai sekali akan tetapi sekarang tentu sudah sangat tua kalau dia masih hidup. Mungkin sekarang usianya sudah delapan puluh lima tahun. Ketika itu dia menyerang bersama muridnya yang bernama Can Ok dan empat orang anak buahnya. Aku berhasil membunuh empat orang anak buah itu, akan tetapi.Hui-kiam Lo-mo dan Can Ok sempat melarikan diri." "Terima kasih, ayah." kata Siauw Beng. "A Siong," kata Ma Giok sambil tersenyum. " Engkau agaknya juga hendak menyatakan sesuatu. Kalau ada yang mengganggu hati dan pikiranmu, katakanlah dalam kesempatan terakhir ini." A Siong yang semula ragu-ragu, lalu berkata, "Hanya ini, lo-sku. Kalau kami berdua pergi meninggalkan tempat ini, lalu....... lalu bagaimana dengan lo-sicu" Siapa yang akan mengerjakan kesemuanya itu" Mengangsu air, membersihkan rumah dan pekarangan, mencuci dan memasak.
Ah, bagaimana lo-sicu dapat hidup seorang diri di sini" Tidak ada yang mengurus, tidak ada yang membantu. Sungguh, saya....... saya tidak tega, lo-sicu." Ma Giok tersenyum. "Mendiang Pek In San-jin berkata benar ketika mengatakan kepadaku bahwa engkau yang tampak kasar ini memiliki hati yang lembut, di dalam batu yang sederhana itu tersimpan emas. Jangan khawatir, A Siong. Aku adalah seorang yang sudah biasa hidup sendiri dan siapa tahu mungkin akupun akan turun dari puncak ini. Temanilah saja Siauw Beng, kalian berdua dapat saling bantu sehingga kalian akan dapat menemukan kebahagiaan dalam hidup ini. Nah, sekarang berangkatlah!" Siauw Beng dan A Siong lalu berangkat. Mereka menuruni puncak. Kalau Siauw Beng dengan langkah tegap terus maju ke depan, adalah.A Siong yang berjalan di belakangnya, beberapa kali menengok dan diam-diam laki-laki kasar tinggi besar itu menggunakan punggung kepalan tangan kanannya untuk mengusap air mata yang membasahi kedua matanya.
Kota Sauw-ciu merupakan kota yang ramai. Pada waktu bangsa Mancu menyerbu ke Cina, kota itupun menjadi kacau dan rusak. Akan tetapi sekarang kota itu telah dibangun kembali. Pemerintah baru, yaitu dinasti Ceng atau pemerintah penjajah Mancu maklum bahwa kota ini merupakan pasaran yang ramai untuk berdagang. Di sini pemerintah dapat memperoleh banyak penghasilan dari pemungutan pajak dan pemungutan-pemungutan lain sehingga pemerintah perlu membangun kota itu, menjaganya agar aman sehingga rakyat dapat berdagang dengan leluasa. Karena semakin maju dan ramai, maka rumah-rumah penginapan dan rumah-rumah makan yang besar bermunculan seperti jamur di musim hujan. Di sudut barat kota itu berdiri sebuah rumah makan besar dengan nama Ho Tin Jai-koan (Rumah Makan Ho Tin). Rumah makan itu selain mempunyai sebuah ruangan besar di bawah, di bagian atas juga ada lotengnya yang memiliki ruangan cukup luas pula.
Kalau di ruangan bawah, rumah makan itu mampu menampung sekitar tiga ratus orang tamu, di bagian loteng mampu menampung kurang lebih seratus orang tamu. Rumah makan Ho Tin ini merupakan sebuah di antara tiga buah restoran terbesar di kota Sauwciu dan restoran ini khusus menghidangkan masakan suku Khek dari utara. Pada pagi hari itu, suasana kota sudah ramai. Toko-toko sudah buka dan yang paling ramai adalah toko-toko besar yang menjual rempa-rempa dan tokotoko kelontong atau toko-toko kain. Di situ orang berjual beli dengan ramainya. Sepagi itu restoran-restoran masih sunyi. Biasanya, para tamu yang bermalam di hotel-hotel, kalau pagi cukup dengan sarapan bubur atau makanan kecil yang dijual oleh penjaja makanan di depan hotel-hotel itu. Kalau hendak makan siang atau makan malam dengan kawan-kawan yang mereka sebut "makan besar", barulah mereka berkunjung ke restoran, memesan masakan-masakan yang lezat dan mahal, lalu makan-makan sambil minum arak sampai mabuk.
Akan tetapi, pada pagi hari itu sudah ada belasan tamu yang duduk di ruangan bawah rumah makan Ho Tin. Mereka pada umumnya para pedagang kaya yang untuk sarapan pagi saja ingin menikmati masakan yang lezat dan mahal dari rumah makan besar yang terkenal dikota Sauw-ciu itu. Kecuali dua orang tamu yang sama sekali tidak. mendatangkan kesan sebagai saudagar kaya, bahkan mereka tampak seperti dua orang dusun yang berpakaian sederhana sekali walaupun bersih. Mereka masing-masing menggendong buntalan kain dan kini mereka melepaskan buntalan kain dari punggung dan menaruh di atas lantai dekat meja yang mereka hadapi. Mereka itu bukan lain adalah Siauw Beng dan A Siong. Setelah melakukan perjalanan berbulanbulan tanpa halangan di dalam per jalanan karena siapa yang hendak mengganggu dua orang dusun sederhana seperti mereka, pada pagi hari itu, pagi-pagi sekali mereka memasuki kota Sauw-ciu dan karena perut mereka terasa lapar, ketika mencium bau sedap masakan dari rumah makan Ho Tin, mereka segera memasukinya.
Seorang pelayan menghampiri mereka dengan alis berkerut. Dia pernah mengalami orang-orang yang uangnya tidak cukup untuk membayar makanan pesan masakan di rumah makan itu, maka pengalaman ini merribuat dia berhati-hati. Apalagi melihat A Siong yang cengar cengir mencoba menggerak-gerakkan hidungnya yang besar pesek ketika mencium sedapnya masakan, dia merasa curiga. Bagaimana orang-orang dusun seperti mereka berani memasuki restoran Ho Tin yang besar dan tentu saja masakannya serba mahal dan lezat" Blasanya hanya para saudagar kaya saja yang berpesta pora di sini. Belum pernah ada orang dusun makan di situ. Biasanya, orang dusun membeli makan di pinggir jalan, masakan yang murah. "Kalian berdua masuk ke sini mau apakah?" Sebuah pertanyaan yang kasar dan amat menghina dari seorang pelayan restoran kepada tamunya. Akan tetapi Siauw Beng dan A Siong tidak merasakan kekasaran itu, apalagi penghinaan.
Pertanyaan itu hanya membuat Siauw Beng memandang kepada pelayan itu dengan heran. "Sobat, melihat tulisan di luar itu, bukankah ini sebuah rumah makan" Kami lihat para tamu juga sedang makan. Tentu saja kami masuk ke sini untuk pesan makanan." kata Siauw Beng sambi! tersenyum. A Siong mengangguk-angguk. "Ya, pesan makan yang baunya sedap ini" Pelayan itu menyeringai, jelas dia memandang rendah. "Hemm, ketahuilah kalian berdua. Masakan di rumah makan kami ini mahal harganya. Jangan-jangan setelah makan kalian tidak mampu membayarnya!" Mulailah Siauw Beng merasa bahwa orang ini memandang rendah kepada mereka, akan tetapi dia tidak marah, hanya tersenyum. Sebaliknya, A Siong juga mulai mengerti bahwa mereka disangka tidak mampu membayar harga makanan. Kebetulan dia yang diserahi membawa kantung uang mereka, maka dia lalu cepat membuka buntalan pakaiannya, mengeluarkan kantung uang itu dan membukanya di depan hidung pelayan sambil membentak.
"Tidak mampu membayar katamu" Lihat, kalau kepalamu dimasakpun agaknya kami masih mampu membayarnya. Tentu kepalamu tidak semahal ini, bukan?" Dia mengguncang kantung itu sehingga terdengar bunyi gemerencing emas dan perak di dalamnya. Pelayan itu terbelalak ketika melihat betapa kantung itu berisi banyak sekali emas! "Maaf......" katanya sambil membungkuk-bungkuk. "Ji-wi (kalian berdua) hendak memesan masakan apakah?" Sikapnya seketika berubah, kini sopan, bahkan menjilat. Siauw Beng tersenyum. Orang macam ini berwatak rendah. Suka menjilat yang di atas dan menghina yang di bawah, menjilat orang kaya dan menghina orang miskin. "Hemm, kami akan memesan... eh, apakah ada masakan kepala seperti yang dikatakan saudaraku tadi?" Siauw Beng menggoda. "Masakan... kepala...?" Pelayan itu otomatis memegangi kepalanya sendiri. ''ah... tidak ada... tidak ada..."
"Kalau tidak ada, kami memesan nasi dan dua macam masakan daging ayam dengan sayur." kata Siauw Beng. "Seperti masakan yang baunya terciurn dari sini sekarang ini" A Siong menambahkan. "Dan minumnya, air teh!" Pelayan itu kembali merasa heran. Biasanya, orang memesan masakan dengan minuman anggur atau arak, akan tetapi orang-orang dusun ini memesan minuman air teh! Dia mengangkat pundak lalu pergi untuk menyampaikan pesanan ini di bagian dapur. Sambil menanti dihidangkannya pesanan mereka, dua orang itu memandang ke kanan kiri. Segala yang terdapat di situ menarik perhatian mereka, terutama perhatian A Siong. Siauw Beng masih mampu menahan keheranan dan kekagumannya, akan tetapi A Siong merasa kagum dan mulutnya berdecak-decak kalau melihat sesuatu yang membuatnya kagum dan heran. Seperti ukiran-ukiran pada dinding, lukisan-lukisan. Bahkan sumpit yang halus buatannya, yang sudah tersedia di dalam tempat sumpit di atas meja.
Juga dia mengagumi pakaian orangorang yang sedang makan minum di ruangan itu. Ketika dia melihat jalan tangga yang menuju ke loteng, dia berdiri untuk dapat melihat ke arah loteng. "Lihat, di atas ada ruangannya lagi. Kita bisa duduk dan makan di sana!" katanya kepada Siauw Beng. Siauw Beng tersenyum dan menarik tangan A Siong agar duduk kembali. "Sudahlah, di sini juga sama saja. Lihat, orang-orang lain juga makan di sini. Belum tentu,kalau ruangan di atas itu untuk para tamu, mungkin untuk keluarga pemilik rumah rnakan ini sendiri." katanya. Karena Siauw Beng dan A Siong masih menunggu hidangan dan memperhatikan keadaan sekitarnya, tidak seperti para tamu lain yang sedang sibuk makan, maka perhatian mereka segera tertarik oleh munculnya dua orang laki-Iaki dari luar rumah makan. Mereka memasuki ruangan itu dan Siauw Beng merasa tertarik sekali karena dari langkah mereka, tahulah dia bahwa mereka itu adalah orang-orang yang "berisi".
Dari langkah dan sikap mereka, dia tahu bahwa dua orang itu adalah ahli-ahli silat yang pandai. Tentu saja kemunculannya menarik perhatiannya. A Siong yang dalam banyak hal mengikuti gerak-gerik Siauw Beng, juga segera menaruh perhatian kepada dua orang itu. Yang seorang berusia sekitar lima puluh tahun, tubuhnya tinggi kurus seperti bambu. Tampaknya lemah saking kurusnya, seolah tertiup angin saja dia akan terpelanting. Juga saking kurusnya, wajahnya seperti tengkorak terbungkus kulit, sehingga tampak menyeramkan. Orang ke dua lebih tua, sekitar lima puluh tiga tahun, tubuhnya sedang dan dia mengenakan jubah longgar kebesaran sehingga tampak lucu walaupun tampangnya boleh dibilang bersih tampan. Yang lebih menarik perhatian Siauw Beng dan A Siong, di punggung kedua orang itu tergantung sebatang pedang. Menarik sekali melihat orang-orang ini berani membawa pedang di punggung mereka, begitu terang-terangan tidak disembunyikan.
Padahal pada waktu itu, pemerintah kerajaan Ceng, yaitu pemerintah penjajah Mancu, melarang keras rakyat bangsa Han (pribumi) membawa senjata di tempat umum! Maka, Siauw Beng dapat menduga bahwa dua orang itu tentulah sebangsa pendekar yang terkadang tidak mengacuhkan larangan pemerintah penjajah yang mereka anggap musuh, atau mungkin juga mereka berdua sebangsa penjahat yang tentu saja tidak memperdulikan segala macam larangan. Maka diam-diam dia memperhatikan gerakgerik dua orang itu. Dia melihat betapa dua orang itu celingukan dan menyapu ke seluruh ruangan, mata mereka seperti mencari-cari. Agaknya mereka tidak menemukan apa yang dicari karena lalu memasuki ruangan dan langsung saja mereka berdua melangkahkan kaki ke arah anak tangga yang menuju ke loteng atau ruangan atas. Pada saat itu, pelayan datang menghidangkan makanan yang dipesan Siauw Beng dan A Siong.
Dua piring nasi dan dua miring masakan, sepoci air teh dan mangkok-mangkok teh. Akan tetapi begitu meletakkan hidangan di atas meja, pelayan tadi melihat dua orang tadi hendak naik ke loteng. "Heii... tidak boleh naik ke sana...!!" Pelayan itu lalu berlari menghampiri dua or,ang itu, A Siong tidak perduli, begitu melihat nasi dan masakan, dia lalu mulai makan dengan lahapnya sehingga semangkok nasi itu habis dalam waktu cepat. Dia segera menyambar mangkok nasi ke dua. Akan tetapi Siauw Beng yang tertarik oleh gerak-gerik dua orang itu ingin melihat apa yang hendak dilakukan pelayan yang cerewet dan suka memandang rendah orang miskin dan menjilat orang kaya itu. Pelayan itu mendahului dua orang itu, menghadang dan menghalang mereka melangkah ke anak tangga. "Harap jiwi (kalian berdua) tidak naik ke loteng karena pada saat ini loteng telah diborong oleh Song-Loya (Tuan tua Song) untuk pesta keluarganya!"
Dua orang tamu itu memang berpakaian agak kotor, agaknya karena habis melakukan perjalanan jauh sehingga sepatu merekapun penuh debu. Maka pelayan itupun agaknya kurang menghormati mereka. Orang yang tinggi kurus bermuka tengkorak itu berkata, suaranya serak, "Kami justeru hendak bertemu Song-loya! Minggirlah kau!" Akan tetapi pelayan itu berkeras melarang. "Tidak, kalau tidak ada perkenan Song-loya, kami tidak berani membiarkan siapapun juga naik ke loteng. Apa buktinya bahwa ji-wi merupakan tamu Song-loya?" "Buktinya?" Orang ke dua yang mukanya bersih dan bajunya kedodoran bertanya, lalu dijawabnya sendiri. "Inilah buktinya!" Dia menggerakkan tangan kiri menepuk pundak pelayan itu. Kemudian sambil tersenyum lebar kedua orang itu melanjutkan langkah mereka menaiki tangga yang menuju ke ruangan loteng di atas. Pelayan itu masih berdiri seperti tadi dan agaknya dia hanya berdiri melongo, tidak melakukan atau berkata apapun.
Sementara itu, nasi dalam mangkok ke. dua juga sudah lenyap memasuki perut A Siong yang tadi masih merasa lapar. "He, sobat pelayan! Tambah lagi nasinya!" Dia berseru dan melihat pelayan itu masih bengong berdiri di bawah anak tangga, A Siong mengomel. "He, budak uang! Kalau orang yang memanggil, engkau pura-pura tidak dengar, kalau uang yang memanggil, engkau berlari menghampiri dengan ekor bergoyang-goyang!" Karena tidak sabar, dia bangkit berdiri dan melangkah lebar menghampiri pelayan yang masih berdiri bengong di bawah tangga yang menuju ke loteng. "Hei, bung pelayan! Apakah engkau tuli dan gagu" Hayo tambah lagi nasi putih, dua mangkok, eh, tiga... lima mangkok. Cepat!" bentak A Siong sambil menyentuh lengan pelayan itu. Akan tetapi dia sendiri terkejut ketika tangannya merasa betapa lengan pelayan itu kaku. Tahulah A Siong bahwa pelayan itu tidak mampu bergerak karena tubuhnya telah ditotok orang sehingga kaku.
Setelah mengetahui keadaan pelayan itu, A Siong menepuk pundaknya dan menggunakan jari tangannya untuk membuka jalan darah yang tertotok sambil berkata,"Hayo epat ambilkan tambahan nasi!" Seketika pelayan itu dapat bergerak kembali. Wajah pelayan itu menjadi pucat. Dia tahu bahwa tadi tubuhnya tidak mampu bergerak setelah tangan kiri tamu yang berjubah lebar itu menepuk pundaknya dan sekarang, setelah pemuda dusun tinggi besar itu menepuknya, dia dapat bergerak kembali. Baru dia menyadari bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, maka sambil membungkuk-bungkuk dia lalu menyanggupi dan bergegas pergi ke dapur untuk mengambilkan lima mangkok nasi yang diminta A Siong. Siauw Beng melihat ini semua. Ketika A Siong duduk kembali, dia berbisik. "A Siong, di sini gawat, jangan bertindak sembrono. Jangan mencari pertengkaran dengan orang tanpa sebab yang pasti. Kita tidak tahu orang-orang macam apa yang sedang berkumpul di atas itu."
Sambil mulai makan nasi dari mangkok ke tiga, A Siong menjawab. "Hemm, masa bodoh amat. Asalkan mereka tidak mengganggu kita, akupun tidak perduli." Keduanya makan minum dan seakan sudah melupakan lagi peristiwa tadi. Dari tempat mereka duduk, mereka dapat mendengar suara mereka yang di loteng bicara tidak jelas dan hanya mendengar mereka tertawa-tawa. Tiba-tiba terdengar suara dari atas. "Heiii! Pelayan, cepat naik ke sini!!" A Siong dan Siauw Beng semakin tertarik. Suara itu terdengar biasa saja, namun mereka berdua dapat merasakan betapa suara itu didorong oleh tenaga sakti kuat sehingga mengandung getaran dan suara seperti itu dapat terdengar dari tempat jauh! Seorang pelayan lain, karena yang tadi tidak berani naik, cepat naik ke loteng memenuhi panggilan itu. Tak lama kemudian dia turun lagi membawa sebuah kertas catatan, agaknya pesanan mereka yang berada di loteng itu dicatat dan itu menandakan bahwa pesanan itu tentu banyak.
Sesampainya di bawah, pelayan itu berbisik-bisik kepada pelayan yang kena totok tadi. Kembali A Siong minta tambahan dua mangkok nasi dan ketika pelayan itu mendekati, dia bertanya, "Apa yang dikatakan pelayan yang melayani mereka yang berada di atas?" Karena pelayan itu kini tahu bahwa raksasa muda itu bukan orang sembarangan, dia menjawab. "Tadinya ada dua orang di atas, ditambah lagi dua orang yang baru datang, akan tetapi kenapa kini yang di atas menjadi lima orang" Entah bagaimana yang seorang lagi tahu-tahu berada di loteng." Setelah berkata demikian, dia pergi untuk mengambilkan dua mangkok nasi. Siauw Beng saling pandang dengan A Siong. "Memang mencurigakan mereka itu, A Siong. Aku khawatir akan terjadi sesuatu yang hebat di sini. Akan tetapi ingat, kalau tidak mengganggu kita, jangan mencampuri urusan orang lain." kata Siauw Beng. A Siong yang sudah menghabiskan enam mangkok nasi, A Siong baru merasa kenyang dan dia menyeka mulutnya dengan kain lap, lalu berkata, "Kalau mereka melakukan kejahatan mengganggu orang, apakah akupun harus diam saja?"
"Tentu saja tidak. Akan tetapi hati-hati, jangan sekali-kali turun tangan sebelum ada isarat dariku." pesan Siauw Beng. A Siong mengangguk. Dia memang harus menaati Siauw Beng yang dia anggap sebagai ganti Ma Giok. Tiga orang pelayan membawa baki penuh masakan ke atas loteng. Mereka turun lagi membawa baki kosong dan di atas terdengar orang-orang bicara dan tertawa-tawa gembira. Siauw Beng dan A Siong sudah selesai makan. Selagi Siauw Beng hendak memberi isarat kepada A Siong untuk membayar harga makanan dan pergi dari situ, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar rumah makan Ho Tin dan tampak seorang gadis cantik jelita memasuki ruangan bawah, dikawal oleh selosin pasukan Mancu yang memakai pakaian seragam gemerlapan. Tentu saja semua tamu di rumah makan itu menjadi terkejut dan ketakutan. Pada waktu itu, setiap kalau melihat pasukan Mancu orang merasa takut dan ngeri.
Walaupun bangsa Mancu sudah memerintah hampir tiga puluh tahun di Cina, rakyat tetap merasa panik kalau melihat pasukan Mancu karena seringkali pasukan Mancu bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat dengan dalih melakukan pembersihan terhadap para pemberontak! Para pelayan rumah makan, Ho Tin, dipimpin oleh majikannya sendiri, cepat menyambut gadis itu dengan membungkuk-bungkuk penuh hormat. Mereka mengenal gadis cantik jelita yang dari pakaiannya saja dapat diketahui bahwa ia adalah seorang puteri bangsawan Mancu! Memang sudah beberapa kali Puteri Maya, demikian nama gadis bangsawan Mancu itu dikenal sebagai puteri seorang bangsawan tinggi, bahkan kabarnya ayah gadis itu adalah seorang panger an kerajaan Mancu, datang ke restoran itu untuk makan siang. "Selamat pagi, Nona Puteri Maya yang terhormat, selamat pagi dan silakan memilih meja yang paduka anggap paling menyenangkan.
Silakan!" kata pemilik restoran diikuti oleh para pelayan yang membungkuk-bungkuk sambil tersenyum ramah. Puteri Maya, demikian nama gadis jelita itu, memandang ke sekeliling. Masih banyak meja kosong di ruangan bawah itu, akan tetapi agaknya dia tidak tertarik. Ketika pandang matanya bertemu dengan Siauw Beng dan A Siong, gadis itu mengerutkan alisnya. Agaknya ia merasa heran melihat ada dua orang pemuda dusun berada pula di restoran besar itu untuk makan! Agaknya gadis itu tidak suka dengan keadaan di ruangan bawah, mungkin sekali karena melihat bahwa di situ terdapat dua orang dusun. Masa ia, seorang puteri keluarga istana harus makan satu ruangan bersama dua, orang dusun yang bodoh, miskin dan kotor" Ia lalu memandang ke arah anak tangga yang menuju ke loteng. "Aku hendak makan di atas saja." kata gadis itu kepada majikan rumah makan yang bertubuh gendut. Majikan restoran itu membelalakkan matanya dan suara gadis yang nyaring merdu itu seperti mengejutkannya.
"Mohon beribu ampun, Nona puteri! Akan tetapi tempat di atas sudah diborong orang untuk pesta!" Gadis cantik itu mengerutkan alisnya. "Pembesar mana yang memborongnya". Katakan kepadanya bahwa Puteri Maya yang menghendaki tempat di loteng itu dan suruh mereka berpindah ke bawah!" "Bukan pembesar, nona. Akan tetapi yang memborong adalah Song Wan-gwe (Hartawan Song) yang dermawan dan terkenal di kota Sauw-ciu ini" "Tak perduli siapa dia, suruh turun pindah ke bawah!" bentak Puteri Maya "Akan tetapi... mereka sedang berpesta, nona... " "Hemm, berapa orang sih yang berpesta?" "Mereka ada empat... eh, lima orang... " "Apalagi cuma lima orang, hayo suruh mereka pindah ke bawah sekarang juga. Dan jangan membuat aku habis sabar!" Majikan restoran Ho Tin itu tampak ketakutan dan bingung. Nama besar Hartawan Song sebagai seorang dermawan di kota Sauw-ciu amat terkenal, bukan saja karena kaya raya dan sosiawan, suka mendermakan kekayaannya, dan yang lebih dari itu.
Hartawan Song juga terkenaI sebagai seorang yang memiliki ilmu silat yang tinggi dan kabarnya memiliki hubungan erat dengan semua tokoh kangouw yang gagah perkasa! "Akan tetapi... Nona Puteri... saya... saya tidak berani... " "Hemmmm..." Puteri Maya lalu memberi isarat kepada perwira yang memimpin pasukan pengawalnya. Perwira itu bersama empat orang perajurit lalu berjalan melalui anak tangga menuju ke loteng. Siauw Beng dan A Siong yang sudah membayar harga makanan, tidak segera keluar, melainkan masih duduk dan memperhatikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Juga para tamu yang masih berada di situ memandang dengan hati berdebar. Mereka semua mengikuti lima orang perajurit pengawal yang naik ke loteng. Mereka yang berada di bawah tidak dapat melihat apa yang terjadi di atas, akan tetapi mereka dapat mendengar suara seseorang membentak. "Loteng ini sudah kami borong dan kami sewa.
Tak seorangpunboleh mengusir kami dad sini sebelum kami selesai makan minum." Terdengar bentakan perwira pasukan tadi. "Puteri Maya membutuhkan tempat ini, maka kalian harus pindah ke bawah, sekarang juga atau terpaksa kami menggunakan kekerasan menyeret kalian turun ke bawah!" Terdengar suara tawa beberapa orang disusul suara berdebukan dan mereka yang di bawah melihat betapa lima orang perajurit pengawal itu berpelantingan dan terguling-guling turun dari anak tangga loteng! Agaknya lima orang itu dengan paksa dilempar-lemparkan turun! "Bagus..." A Siong berseru, akan tetapi Siauw Beng segera menyentuh tangannya dan raksasa muda tadi menutup kembali mulutnya. Siauw Beng tidak terlalu menyalahkan temannya yang agaknya berpihak kepada mereka yang berada di loteng karena baik A Siong maupun ia sendiri sudah banyak mendengar dari Ma Giok tentang kekejaman dan kesewenang-wenangan pasukan Mancu yang menjajah tanah air dan bangsa mereka.
Namun, Ma Giok juga memperingatkan bahwa tidak semua orang Mancu jahat, di antara mereka banyak juga yang baik. Puteri Maya menengok dan matanya yang indah, jeli dan tajam itu menyapu ruangan itu, agaknya hendak mencari siapa orangnya yang mengeluarkan suara pujian tadi. Akan tetapi melihat semua orang terdiam, ia lalu mengalihkan perhatiannya lagi ke arah anak tangga. Ketika melihat lima orang pengawalnya yang lain mencabut pedang hendak menyerbu ke atas, puteri itu membentak "Tahan, dan mundur kalian!" Lima orang pengawal itu tidak jadi menyerbu dan membantu kawan-kawan yang berpelantingan tadi. Namun tidak ada yang terluka parah dan kini sepuluh orang perajurit pengawal itu memandang ke arah gadis jelita yang dengan langkah tenang naik ke atas loteng melalui anak tangga itu! Semua orang, termasuk Siauw Beng dan A Siong, mengikuti langkah gadis cantik jelita itu dengan heran dan tegang. Sungguh berani gadis bernama Puteri Maya itu.
Lima orang perajuritnya saja begitu naik sudah berpelantingan jatuh dan kini ia, seorang gadis cantik jelita yang usianya paling ban yak delapan belas tahun, berani naik ke loteng seorang diri saja! Juga majikan rumah makan Ho Tin dan semua pelayannya, yang hanya mengenal Puteri Maya makan di rumah makan itu selama beberapa kali dalam waktu sebulan ini, memandang heran. Siauw Beng memberi isarat kepada A Siong dan mereka berdua menggunakan kesempatan selagi orang tercurah perhatian mereka ke arah loteng, cepat menyelinap keluar dan dari sisi rumah makan itu, di mana terdapat sebatang Pohon mereka lalu memanjat pohon mengintai dari jendela loteng yang kini berada di depan mereka. Dari luar jendela itu mereka dapat menonton dengan jelas apa yang terjadi di ruangan loteng itu. Mereka melihat ada lima orang duduk menghadapi meja besar penuh hidangan. Yang duduk di kepala meja adalah seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun, pakaiannya seperti seorang hartawan sehingga mudah diduga bahwa tentu dia yang disebut Song Wan-gwe (Hartawan Song) yang dermawan itu.
Tubuhnya tinggi besar dan wajahnya yang tampak gembira itu membayangkan kesabaran dan kematangan, namun juga berwibawa. Jenggotnya yang masih hitam itu rapi berjuntai sampai ke lehernya dan mukanya kemerahan. Orang ke dua berusia sekitar lima puluh delapan tahun, bertubuh sedang berpakaian ringkas dan wajahnya masih menunjukkan bekas ketampanannya. Orang ke tiga bertubuh pendek gemuk, berusia sekitar lima puluh lima tahun, mukanya menyeringai seperti orang tertawa dan tarikan mukanya lucu. Orang ke empat dan ke lima adalah dua orang yang tadi naik dan yang jubahnya longgar kedodoran adalah yang tadi menotok pelayan sehingga pelayan itu tak dapat bergerak seperti patung.Sedangkan orang ke lima adalah si kurus yang mukanya seperti tengkorak. Usia si jubah kedodoran sekitar lima puluh tiga dan si muka tengkorak sekitar lima puluh tahun. Mereka adalah orang-orang yang sudah mulai tua, berusia lima puluh ke atas dan pakaian merekapun sederhana, kecuali yang tertua dan yang duduk di kepala meja yang berpakaian seperti seorang hartawan.
Orang pendek gemuk yang mukanya lucu itu tertawa sambi! membersihkan kedua telapak tangannya seolah baru saja memegang barang kotor. "Heh-heh, segala macam tikus busuk datang mengganggu pesta kita, Song-ko (kakak Song). Sungguh menjemukan dan mengurangi selera saja!" Orang tertua, yaitu Hartawan Song yang agaknya menjamu empat orang itu tersenyum, akan tetapi kata-katanya mengandung nada teguran ketika dia berkata, "Ciang-te (Adik Ciang), engkau masih saja tidak dapat mengubah watakmu yang suka main-main. Permainan tadi hanya akan merepotkan aku yang tinggal di Sauw-ciu ini, Ciang-te karena peristiwa tadi pasti akan ada ekornya!" "Heh-heh-heh, Song-ko, tidak usah khawatir. Aku orang she Ciang selalu berpendirian, berani berbuat harus berani menanggung resikonya! Aku yang tadi telah mengusir lima ekor tikus itu, kalau ada ekornya, biarlah aku yang menghadapi. Engkau tidak perlu mencampuri dan engkau tidak bersalah apa-apa, Songko." kata si pendek gemuk.
"Uh, Ciang-ko (kakak Ciang), bagaimana engkau bisa berkata begitu kepada Song-toako (kakak tertua Song)" Biarpyn kini kita sudah terpisah-pisah, namun kita tetap merupakan lima bersaudara yang saling membela, bukan" Apa yang dilakukan seorang di antara kita, menjadi tangguh jawab kita berlima. Bukankah begitu, Song-twako?" Hartawan Song mengangguk-angguk, kemudian dia bangkit berdiri ketika muncuI gadis cantik jelita dari bawah tangga. Melihat ini, empat orang yang lain juga menoleh dan melihat gadis cantik jelita berpakaian bangsawan Mancu, mereka juga bangkit berdiri. Dengan matanya yang indah namun bersinar tajam, Puteri Maya yang sebetulnya nama lengkapnya adalah Mayani, menyapu lima orang itu, lalu terdengar suaranya yang nyaring dan merdu, dalam bahasa yang logat Mancunya masih kental. "Siapa yang telah merobohkan lima orang pengawalku ke bawah loteng tadi?" Lima orang itu adalah orang-orang yang selalu bersikap gagah, maka si pendek gendut yang bernama Ciang Hu Seng itu cepat melangkah maju menghadapi gadis itu dan berkata, sambil tersenyum.
"Akulah orang she Ciang yang melakukannya, nona. Yang lain-lain ini tidak ikut campur danaku yang bertanggung jawab. Lima orang perajurit tadi bersikap kasar hendak mengusir kami dari sini, maka terpaksa aku memaksa mereka turun kembali." Sinar mata yang bening indah dan tajam itu mengamati wajah si pendek gendut dan tangan kirinya perlahan-lahan melolos sebuah sabuk sutera merah yang tadinya melingkar di pinggangnya yang Kecil ramping. Ternyata sabuk sutera merah itu panjangnya sekitar tiga meter. "Hemm, bagus, orang she Ciang! Engkau rnerobohkan mereka yang rnenjadi pengawalku, berarti engkau tidak memandang kepada Puteri Mayani. Nah, cobalah engkau jatuhkan juga aku seperti kau lakukan kepada lima orang pengawalku tadil" Ciang Hu Seng menjadi bingung. Biarpun mulutnya masih tersenyum lebar, namun sinar matanya kacau dan dia benar-benar menjadi salah tingkah.
Dia adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, tidak akan mundur selangkahpun menghadapi lawan yang bagaimanapun dahsyatpun. Akan tetapi sekarang dia ditantang seorang gadis berusia belasan tahun, seorang puteri bangsawan yang cantik jelita seperti bidadaril Bagaimana mungkin dia menyerang seorang puteri muda belia seperti itu" "Aku... aku... tidak bisa menyerang wan ita muda belia..." katanya gagap dengan muka berubah kemerahan walaupun mulutnya masih tersenyum. "Hemm, kalau engkau tidak bisa menyerang aku, akulah yang akan menyerangmu untuk membalas apa yang kaulakan terhadap para pengawalku tadi!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba tangan puteri itu bergerak dan meluncurlah sinar merah ke arah muka si pendek gemuk. Sinar merah itu menyambar sambil mengeluarkan suara berciutan, gerakannya cepat bukan main dan telah menyambar ke arah kedua mata orang she Ciang itu! Si pendek gemuk terkejut bukan main. Dia mengenal serangan berbahaya.
Sabuk sutera yang lemas itu kini menjadi senjata yang kuat dan berbahaya sekali dan hal ini saja menunjukkan bahwa puteri muda belia itu memiliki sinkang (tenaga sakti) yang hebat! Dia cepat mengelak, akan tetapi kedua ujung sabuk itu mengejarnya dan kini terdengar lara meledak-Iedak ketika kedua ujung sabuk sutera itu melecut-lecut dari atas mengancam kepala dan muka si pendek gendut. Diam-diam Siauw Beng dan A Siong merasa terkejut dan heran sekali. gadis bangsawan yang muda belia itu ternyata seorang ahli silat yang lihai bukan main. Kini, kedua sinar merah mengurung dan mendesak, dan ketika orang she Ciang itu melompat ke samping, dia disambut dorongan tangan kiri adis bangsawan itu. "Wuuuttt... desss!" Tubuh di pendek gendut itu terpelanting. Dorongan telapak tangan yang mungil itu ternyata cukup kuat sehingga biarpun tubuh si pendek gendut yang memiliki kekebalan itu tidak terluka, namun dapat membuat dia terguling!
Hal ini sungguh mengejutkan teman-temannya yang berada di situ. Si pendek gemuk she Ciang ini bukanlah orang sembarangan, melainkan seorang pendekar yang amat terkenal, baik ilmu silat tangan kosong maupun ilmu pedangnya. Maka sungguh mengejutkan kalau dalam waktu beberapa jurus saja dia sampai terpukul roboh! Ciang Hu Seng juga merasa penasaran. Dia masih tersenyum akan tetapi cepat melompat bangun dan kini sebatang pedang telah berada,di tangan kanannya. Melihat temannya mencabut pedang, Hartawan Song memperingatkan, "Ciangte, jangan lukai atau bunuh orang!" Akan tetapi gadis bangsawan Mancu itu yang menjawab, "Katak buduk ini tidak akan mampu melukai aku, hi-hik!" Suara tawanya sungguh menggelitik dan membuat Ciang Hu Seng menjadi marah sekali karena merasa dipandang rendah, dengan sebutan katak buduk. Akan tetapi pada dasarnya memang dia tidak dapat marah, maka mulutnya masih tersenyum ketika dia menggerakkan pedangnya.
Pedang itu berkelebat, berdesing dan ketika dia memainkannya, tampak gulungan sinar perak yang menyambar-nyambar dahsyat. "Bagus, kiranya engkau seorang ahli pedang. Hemm, jangan dikira aku jerih menghadapi pedang pemotong leher ayam di tanganmu itu!" Puteri Mayani mengejek dan iapun memutar sabuk sutera merahnya semakin cepat. Kini sang puteri itu benar-benar memperlihatkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa sekali. Tubuhnya seolah lenyap, berubah menjadi bayangan yang menari-nari di antara gulungan sinar sabuk sutera merah dan gulungan sinar pedang keperakan. Sungguh merupakan suatu pemandangan indah namun juga menegangkan sekali. Siauw Beng dan A Siong yang mengintai dari luar jendela, di antara dahan-dahan pohon menjadi semakin asyik. Mereka berdua tidak mengenal kedua pihak yang bertanding, maka tentu saja tidak berani mencampuri, hanya diam-diam nonton dengan hati kagum, terutama terhadap gadis bangsawan Mancu itu.
Tanpa disadari hati kedua orang ini condong memihak kepada Puteri Mayani, sungguhpun mereka maklum bahwa puteri bangsawan itu adalah bangsa Mancu yang seharusnya mereka musuhi karena bangsa Mancu itu sekarang menjajah tanah air dan bangsa mereka! Akan tetapi melihat seorang gadis muda belia dan demikian cantik jelita menggunakan sabuk sutera berkelahi melawan seorang laki-laki yang memegang pedang dengan gerakan demikian dahsyat, tentu saja mereka khawatir kalau-kalau tubuh yang indah menarik dengan kulit putih mulus itu akan terluka oleh bacokan atau tusukan pedang! Akan tetapi, gerakan Mayani semakin cepat sehingga pandang mata Ciang Hu Seng menjqdi kabur. Bahkan empat orang kawannya juga memandang khawatir. Dengan kelebihan dalam gin-kang itu saja, mudah diduga bahwa gadis Mancu itu akan dapat mengatasi lawannya. "Hyaaaattt...!" Terdengar pekik melengking dan tiba-tiba ujung sabuk yang kiri sudah membelit pedang dan ujung sabuk yang kanan menotok ke arah pundak kanan.
Tak dapat dihindarkan lagi, pedang itu terampas oleh belitan ujung sabuk.! "Mampuslah oleh pedangmu sendiri, katak buduk!" Puteri Mayani berseru dan kini pedang di ujung sabuk itu meluncur turun ke arah leher Ciang Hu Seng. Ciang Hu Seng yang pundaknya tertotok sa at itu tidak mampu menghindar. Akan tetapi ada sinarmenyambar, menangkis pedang di ujung sabuk dan ada jari menepuk pundak Ciang Hu Seng sehingga si gendut pendek mampu bergerak kembali. Kiranya Hartawan Song sendiri yang turun tangan menyelamatkan Ciang Hu Seng. Puteri Mayani terkejut. Pedang yang tertangkis itu terlepas dari libatan sabuknya, bahkan ujung sabuknya terpotong sedikit. Pedang rampasan itu melayang ke atas dan Ciang Hu Seng yang sudah bebas dari totokan itu melompat dan menangkap pedangnya dengan tangan kanan. Puteri Mayani tersenyum mengejek. "Hemm, jangan dikira aku takut menghadapi pengeroyokan kalian berlima. Akan tetapi aku malu kalau menjadi tontonan di tempat ramai ini.
Kalau memang kalian merasa diri jagoan, datanglah di hutan cemara di kaki bukit Kera besok pagi setelah terang tanah. Di sana aku akan melayani kalian! Nah, sampai bertemu besok pagi" Setelah berkata demikian, dengan tenangnya gadis itu menuruni anak tangga. "Tunggu, nona!" seru Hartawan Song. "Kami tidak bermaksud bermusuhan denganmu!" Dia mengejar turun, akan tetapi Mayani berhenti di bawah tangga, menoleh dengan suara mengejek. "Apakah Hartawan Song yang terkenal dermawan juga terkenal pengecut dan penakut" Kalau ada omongan, kita bicarakan besok pagi di hutan cemara!" Setelah berkata demikian, gadis itu memberi isarat kepada sepuluh orang perajurit pengawalnya dan merekapun pergi meninggalkan rumah makan Ho Tin. Siauw Beng dan A Siong juga cepat-cepat turun dari atas pohon. "Wah, ada tontonan menarik besok pagi, Siauw Beng. Kita tidak boleh lewatkan tontonan itu." kata A Siong. Siauw Beng mengangguk.
Laron Pengisap Darah 4 Olga 04 Leukimia Kemping Lembah Ketakutan 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama