Ceritasilat Novel Online

Sumpah Leluhur 1

Sumpah Leluhur Karya Abdullah Harahap Bagian 1


Sumpah Leluhur Karya Abdullah Harahap Sumber Image : Awie Dermawan
Djvu : Kang Ozan Edit teks dan pdf : Saiful Bahri Situbondo
Ebook persembahan Group Fb Kolektor E-Book
selesai di edit : 27 juni 2018 (situbondo)
Selamat Membaca ! *** Apabila ada nama, tempat kejadian ataupun cerita yang bersamaan, itu hanyalah suatu kebetulan belaka. Cerita ini adalah fiktif.
SUMPAH LELUHUR Karya : Abdullah Harahap Diterbitkan oleh : Sarana Karya. Jakarta Cover oleh : Suryadi
Cetakan : 1992 Setting oleh : Trias Typesetting
Hak penerbitan ada pada Sarana Karya Dilarang mengutip. memproduksi
dalam bentuk apapun tanpa ijin
tertulis dari penerbit. *** ABDULLAH HARAHAP SATU Setelah terkentut-kentut beberapa kali bus reot itu berhenti di stanplat setelah lebih dulu membuang bergumpal-gumpal asap menghitam dari knalpot yang ujungnya menjulang ke atas di bagian belakang. Sepanjang perjalanan hampir satu hari penuh dari kota memang ada yang naik lagi naik lagi, akan tetapi tidak kurang pula yang bergantian turun. Sehingga begitu suara kentut ' terakhir dari knalpot bus mereda. penumpang yang turun tinggal segelintir. Salah seorang di antaranya tampak berpakaian perlente meski sedikit lusuh dan berdebu. Setelah menerima uluran koper dari kenek yang menurunkannya dari bagian atas bus, ia menarik nafas sebentar, kelelahan.
Sekilas ia menatap ke arah lampu-lampu warung yang mulai dinyalakan satu persatu. Perutnya sedikit keroncongan. Tetapi ia merasa sudah terlalu sore untuk berhenti. Karena itu ia langsung menaiki sebuah oplet. Satu-satunya oplet yang ada di terminal. Lebih reot lagi dari bus tadi. Untunglah ia mendapat tempat duduk di sebelah
supir, sehingga bisa melonjorkan kaki yang letih
dengan leluasa. Berulang-ulang kenek oplet mengguncang-guncang engkol sampai mesin opiet itu menderu. Setelah terbatuk-batuk sebentar kendaraan yang sudah setua supirnya sendiri itu melaju perlahan-lahan di atas jalan tidak beraspal dan di sana sini berlubang.
"Untung lagi kemarau," supir kurus dan bermuka pucat di sebelah laki-laki berpakaian perlente itu nyeletuk seraya mengebul-ngebulkan asap dari pipa cangklongnya yang ujung-ujungnya sudah retak. ?" kalau di musim hujan. aku tak akan narik."
Merasa ia yang diajak ngomong, laki-laki di sebelah supir menyahut:
"Sudah lama narik, Pak?"
"Aku?" supir menoleh. Diperhatikannya sebentar si penanya. "Aden orang baru ya?"
Laki-laki perlente itu mengangguk.
"Hem," menyambung supir. "Aku jadi supir mungkin sebelum Aden lahir. Oplet ini warisan ayahku. Satu-satunya. Waktu itu masih baru. Belum sebulan dibeli. Larinya pun, boleh diadu dengan lari beberapa ekor kuda. Tetapi sekarang... bukan saja oplet ini semakin tua seperti pemiliknya sendiri. Tetapi jalan-jalan yang harus dilaluinya bukannya semakin baik setelah jaman merdeka. Dulu di jaman Walanda..."
"Walanda?" "Kami menyebut Walanda pada orang-orang bule yang pernah menjajah negeri ini. Tetapi ketika mereka pergi, jalan-jalan sangat baik dan...."
Dan kemudian ia bercerita panjang lebar tentang jalan jalan yang licin meski terbuat dari tanah. tetapi keras dan mulus. Memang hasil kerja rodi. namun terasa benar manfaatnya. Apalagi bagi supir oplet seperti dia atau bapaknya. Ia juga menceritakan bagaimana dengan hasil seminggu ia bisa ongkang-ongkang kaki satu bulan lamanya.
"Harga-harga waktu itu masih murah. Dengan sebenggol Aden bisa memperoleh sepuluh kilo beras. Tetapi sekarang?" ia mendecik-decik. "Sayang, dulu aku tidak menyadari kalau jaman merdeka semakin lama semakin pahit rasanya.... Penyesalan yang datang terlambat. Sekarang ini semua serba mahal. jalan-jalan semakin rusak dan onderdil-onderdil oplet setua ini sukar dicari. Semua uangku habis. Rumah juga begitu. Tiga orang istri mudaku terpaksa kucerai. Tinggal yang tua. ia begitu setia. Tak sampai hati aku melepaskannya."
"Sampai sekarang?" nyeletuk si lelaki perlente.
"Sampai sekarang," mengangguk si supir.
"Banyak anak, Pak?"
. "Anak" Anak-anak saya malah sudah beranak pihak."
"Wah...." "Begitulah, Den. Aku juga sering mengeluh seperti Aden. Wah...." '
"Engga punya sawah?"
"Pernah. Tetapi pahitnya jaman merdeka menyebabkan sawah-sawah itu terpaksa kujual. Aku malah pernah jadi pemetik teh. Memang perkebunan teh sekarang yang laku keras. Di jaman ' smp"
Wolanda dulu. tak pernah aku memikirkannya. Kukira dengan beberapa puluh ringgit uang di kantong... tetapi ah, itu dulu. Nyatanya sekarang banyak di antara anak-anak atau cucu-cucuku yang jadi pemetik teh. Coba kalau dulu aku membeli beberapa petak?"
"Ada anak atau cucu kakek yang bekerja di perkebunan teh Adiwinata . "
Cangklong di mulut supir terjatuh tiba-tiba. Serbuk-serbuk tembakaunya mungkin berserakan ketika-ia perlahan-lahan memungutnya kembali. Ketika ia pasangkan di mulut. batang cangklong itu menggeletar. Laki-laki yang bertanya menunggu jawaban. tetapi si supir terus bungkam. Ketika ia perhatikan benar-benar, laki-laki itu kemudian menyadari kalau wajah si supir agak pucat dalam remang-remang bias lampu kamar yang sedang mereka lewati di pinggir jalan. Karena orang-orang yang sedang berbincang-bincang di tempat duduk belakang juga pada terdiam di waktu yang bersamaan, laki-laki itu menoleh. Penumpang-penumpang di belakang melarikan pandangan ketika ia menoleh, beberapa di antaranya masih menatap dengan tajam.
Laki-laki perlente itu menjadi heran.
ia mau bertanya pada supir ketika oplet itu terguncang. Kemudian. mesinnya mati. Laki-laki itu mendengar supir gemeletuk giginya. Kemudian mengumpat-umpat menyuruh kenek memutar engkol. Sekali. Dua kali. Tiga. Empat. Lima. Dan
pada saat sang supir menyumpah-nyumpah dengan kata-kata yang kotor. oplet itu hidup kembali mesinnya. Lalu dengan merangkak berusaha dengan susah payah keluar dari lubang besar yang menganga menelan ban ban oplet. Udara malam yang dingin terasa menusuk tulang ketika kendaraan tua itu melejit-lejit lagi dan sesekali terbatuk. Supir seperti menghargai oplet tuanya dan ikut terbatuk-batuk. Lalu :
"Aden mau ke perkebunan itu?" tanyanya.
"Ya." "Ooo!" Kemudian supir itu diam. Laki-laki perlente itu semakin penasaran. tetapi tiba-tiba oplet telah berhenti. Kampung di mana oplet itu berhenti terasa agak sepi, tetapi masih ada beberapa andong yang segera mendekat begitu oplet minggir.
"Di sinilah aden berhenti," rungut supir.
Laki-laki perlente itu menoleh ke luar. Beberapa warung kecil sedang akan tutup.
"Sudah malam, tetapi banyak andong yang bisa aden sewa ke perkebunan itu...."
Laki-laki itu membuka pintu. Kenek oplet turun bersamaan dan menyodorkan koper si lelaki. Kemudian oplet itu terbatuk-batuk. lalu menjauh. Namun sempat si ielaki menatap pandangan yang aneh dari berpasang pasang mata penumpang belakang oplet. ia semakin tidak mengerti. Tetapi tidak banyak kesempatan baginya untuk berpikir karena andong-andong telah mendekatinya dan
seorang kusir yang terdekat menawarkan kereta kudanya.
'" murah, Den. Trip terakhir...." kusir itu tersenyum ramah.
Laki-laki itu naik dan meletakkan kOpernya di tempat duduk yang kosong.
"Ke mana, Den?" tanya kusir begitu andong berjalan.
"Komplex Perkebunan Adiwinata." jawab lakilaki itu.
Kusir andong terjengkat dengan kepala mendongak ke belakang, pada penumpangnya. Sepasang matanya mengecil penuh curiga, kemudian menghentikan andong dengan tiba-tiba.
"Maafkan. Den. Tetapi Aden terpaksa turun di sini."
"Ha?" '... saya agak pusing, Den. Engga usah bayar.
Maafkan saya." Meskipun agak mendongkol, laki-laki perlente
itu kemudian turun juga. Dan begitu andongnya kosong dari penumpang, sang kusir segera mencambuk kudanya keras-keras disertai suara "Husy !
Husy! Husy !"nya. Laki lakl perlente itu termangu mangu memandang andong yang kembali ke pangkalan kemudian terus ke arah lain setelah berbicara kepada kusir-kusir andong yang lain. Anehnya, setelah pembicaraan itu para kusir segera melecut kuda-kuda mereka dan kemudian menjauh. Jalanan di kampung itu menjadi sepi dalam seketika. Warung-warung telah tutup semua. "Tinggal sebuah andong yang mendekat perlahan-lahan ke arah tamu asing itu.
"Ke perkebunan Adiwinata eh?" tanya kusir dengan pandangan tajam.
"He-eh." "Boleh. Tetapi taripnya tinggi!"
'Persetanlah. Pokoknya. hari sudah semakin malam dan tak mungkin aku jalan kaki ke sana...' dan laki-laki perlente itu segera menaikkan kopernya kemudian tubuhnya.
Andong itu kemudian berjalan terseok-seok. dan tahulah si laki-laki kalau kuda yang menarik andong tampak sangat kurus dan berkeringat di bawah jilatan cahaya rembulan. Kuda itu berulang kali mogok di jalan sehingga kusir menghantam hantamkan cambuknya dengan suara melejit-lejit lengking menyakitkan telinga disertai sentakan sentakan kasar. Dan andong itu berusaha melalui jalan yang semakin kecil rasanya dan juga semakin mendaki. Melewati rumah-rumah yang saling berjauhan akhirnya andong itu tiba di jalanan sepi yang di kiri kanannya cuma pohon-pohon yang rimbun di antara batang-batang teh yang bertumpuk-tumpuk di sana sini.
'.... Aden tamu rumah tua itu?" kusir tiba-tiba nyeletuk setelah lama berdiam diri.
"He-eh! "Aden akan lama?"
"Mungkin tak akan kembali!"
Gigi kusir itu gemeletuk, seperti kedinginan. Ia memecut kudanya keras-keras. Kemudian dengan suara menggeletar menggerutu perlahan, seperti pada dirinya sendiri:
'Tak akan kembali. Ya, ya... Aden mungkin tak akan kembali."
Laki-laki perlente itu melongo.
"Apa maksud Bapak?"
Lama kusir itu tidak menjawab. Kemudian:
"Aden mau bertamu ke rumah itu?"
"Bertamu" Aku baru saja menerima rumah serta perkebunan itu sebagai warisan.?"
Kusir itu batuk-batuk kecil. Suara pecutnya menimpa punggung kuda dengan suara nyaring, sahut bersahut dan terdengar seperti letupan letupan petir di tengah-tengah alam sekitar yang semakin gelap dan semakin sepi. Lampu damar di balik kaca yang tergantung di kiri kanan andong. terguncang-guncang ke sana ke mari menimbulkan bayangan-bayangan memanjang dan menari. nari kian ke mari. Laki-laki perlente di tempat duduk belakang merasakan sesuatu yang janggal dan tidak mengenakkan. Tetapi apa dan mengapa ia tidak tahu, dan ia benar-benar ingin tau.
"Aden sial kalau begitu," celetuk kusir.
"Sial?" "Kalau saya jadi Aden, saya akan pulang ke kota malam ini juga."
'E-eh. kenapa rupanya?"
ia tidak memperoleh jawaban. Karena kusir itu telah menarik tali kekang kuda keras-keras sehingga andong itu berhenti. Senyap seketika. Yang terdengar cuma dengus nafas kuda yang kelelahan. Sebentar-sebentar kuda itu menyembur-nyemburkan liur berbuih dari mulutnya. Kusir
didepan memandang ke belakang dengan wajah yang tampak tegang dalam remang-remang malam.
"Cuma sampai di sini, Den."
Laki-laki perlente itu memandang ke depan. Jalan setapak yang akan ia lalui rasanya masih teramat panjang dan di kejauhan ia melihat sebuah bangunan yang seperti kotak bersegi-segi berwarna hitam. Kotak-kotak itu ia ketahui sebagai bangunan rumah, karena tampak sinar lampu yang kelap kelip dari balik kaca sebuah jendela. Dan ia juga melihat dua titik cahaya lampu agak di bawah bangunan. Mungkin lampu pintu gerbang. ia mau mengomel karena harus jalan kaki sejauh itu. tetapi ketakutan kusir pertama, kusir-kusir lain dan supir oplet serta penumpang-penumpang lain membuatnya berpikir panjang. Maka ia segera meloncat turun. mengangkat kopernya dan membayar uang sewa dengan selembar uang ribuan.
"Ambillah kembaliannya," sungutnya. kemudian berlalu.
Kusir mengucapkan terima kasih. memandang laki-laki itu sesaat, mendecik-decikkan lidah, menggeleng-gelengkan kepala kemudian memutar andong ke arah semula. Lecutan cambuknya memecah-macan di kesepian malam, dan suara teriakan-teriakannya menggema semakin jauh. Suara itu semakin lama semakin hilang.
Lelaki perlente itu berjalan terseok-seok dengan koper besar di pundaknya. la mengumpat berulang-ulang dan beberapa kali hampir terjatuh.
Lama-lama ia terbiasa dengan jalan yang gelap dan sepi mencekik itu. Suara jangkerik dan burung burung di pepohonan ikut menyepi begitu si lelaki terbatuk atau lewat dengan dengus nafas yang berat. Sekali dua ia menoleh ke kiri kanan dan sekali dua lagi ia berhenti dan mendengarkan dengan diam bila ada suara berisik di sekitarnya. Setelah merasa aman. ia meneruskan langkah langkahnya. Dan bangunan yang hitam kelam dan tampak bagaikan raksasa di tengah perkebunan teh itu semakin dekat jua.
Laki-laki itu berhenti. Menarik nafas sebentar. Lalu: ' "Hei! Ada orang?" ia berseru. Lantang.
Seruan lelaki itu menggema memecahkan kesepian malam. Sahut bersahut dengan si ponggang dan kembali ke telinganya dalam bentuk gaungan memanjang. Sesaat tubuhnya menggeletar. Ia mengumpat dirinya sendiri dan berusaha melenyapkan perasaan kacau dengan melambangkan geletar tubuhnya sebagai pertanda lelah dalam perjalanan sepanjang hari dan hampir setengah malam untuk sampai ke daerah terpencil dan di sekelilingnya tidak terdapat rumah-rumah penduduk ini. Matanya yang nanap mencoba memandang jendela di bagian atas bangunan yang hitam kelam di depannya.
Sesaat, tidak terjadi sesuatu apa.
ia mau menyeru lagi, ketika jendela itu terbuka. dan sesosok bayangan tubuh muncul di sana.
"Hai...!" segera ia berteriak, tetapi lebih perlahan seraya berjalan terseok-seok melalui dua lampu damar yang terpacak di kanan kiri pintu gerbang halaman bangunan itu. Koper di pundaknya terasa semakin berat. Peluh sudah membasahi sekujur tubuhnya. la benar-benar sangat kecapaian sehingga berteriak keras-keras untuk membangunkan siapapun juga yang tengah berada di dalam rumah besar dan bertingkat itu. Ketika ia menoleh, jendela di atas sudah tertutup. Lalu cahaya lampu di sana ikut menghilang. Gelap lagi seketika. Rembulan yang pucat yang menolongnya untuk bisa mencapai anak tangga teratas dari teras depan bangunan itu dan kemudian diam menunggu. Dengan nafas lelah ia membanting kopernya. Berderak keras menimpa lantai teras yang terbuat dari papan. Kemudian ia menoleh ke belakang. Ke jalan yang barusan diialuinya. ia tidak menampak sesuatu apapun juga. ia heran, bagaimana ia bisa menempuh perjalanan di tempat segelap itu semenjak turun dari andong, dan merasa bersyukur telah sampai di alamat yang ia tuju, meski pandangan curiga dan ketakutan dari orang-orang yang ia temui sepanjang perjalanan dari stanplat bus. memberikan gambaran yang aneh dari... rumah yang kini siap ia masuki. Suara berderak yang tiba-tiba membuat ia terkejut. la membalik. Pintu di depannya menganga. Ada bias lampu terlempar ke luar. Lalu sesosok bayangan besar. Memanjang, menyapu dan kemudian melewati tubuhnya. Ketika lampu minyak diacungkan ke depannya, dengan terkejut
ia menyadari laki-laki apa yang berdiri di hadapannya. Sesosok wajah yang 'sesaat membuat jantungnya berhenti berdenyut. Kedua mata di depannya masih terbuka, tetapi tanpa alis dan sebelah pipinya tampak rusak hebat.
*** DUA Pemuda perlente di depan pintu, kaget bukan main. ia terlonjak selangkah. Mundur, namun segera bisa menguasai diri. Mengapa harus takut"
Setelah menarik nafas sebentar, ia bertanya hati-hati:
"... Mang Karta?"
Laki-laki dengan tampang tak sedap dipandang itu, menyahut parau:
"Saya sendiri...." Matanya yang tanpa alis. memandang tamunya. Tajam.
"Aden Suryadi Adiwinata?"
"He-eh." Laki-laki itu membuka pintu. Lebar-lebar.
"Masuklah. Den Surya."
Memang. tanpa dipersilahkan pun laki-laki pendatang itu menerobos saja masuk. meletakkan koper besarnya di sebelah pintu dan kemudian menarik nafas panjang. Seraya menutupkan pintu besar itu kembali dengan suara berderak-derak, laki-laki yang dipanggil Mang Karta nyeletuk:
"Saya kira aden tak jadi datang." Aku sendiri sudah diberitahu kalau di rumah
ini aku telah dinantikan oleh seorang pelayan lakilaki bernama mang Karta. Tetapi tidak kukira kalau orangnya memiliki wajah rusak dan tanpa alis mata, pikir Suryadi dalam hatinya. '
Dan di mulut ia mendumel:
"... salah satu ujian semesterku gagal. Aku harus asistensi beberapa hari di fakultas dan mengulang ujian yang gagal itu."
"Dan lulus?" Mang Karta tersenyum. Sebenarnya _ramah, tetapi dengan wajah yang demikian bentuknya, tampak senyuman itu mengerikan. Suryadi menahan gejolak hatinya dengan balas tersenyum.
"Berkat do'a Mang Karta, ujianku lulus."
"Syukurlah." dan pelayan rumah tangga itu kemudian berjalan mendahului Suryadi sambil melanjutkan: "Mari saya antar ke kamar Aden di atas. Kopernya biarkan saja, besok pagi saja saya urus..."
Suryadi mengikuti laki-laki itu. tetapi sesaat ia tertegun. Ternyata bukan wajah mang Karta saja yang rusak. Laki-laki setengah baya itu berjalan terseok-seok, seperti mau jatuh. Tetapi mungkin sudah terbiasa, ia melangkah dengan lancar meski sebelah kakinya ternyata pincang. Kerusakan wajah mang Karta membuat hati Suryadi bergolak, tetapi kaki pincang laki-laki yang malang itu membuat hati Suryadi renyuh dan diam-diam menaruh simpati. ia masih ingat pesan pengacara yang menguruskan warisan dan menemuinya di kota: "Pelayan rumah itu telah mengabdikan dirinya dengan baik, karena itu perlakukanlah ia dengan baik-baik juga sebagaimana paman. ayah dan kakek serta moyangmu memperlakukan ayah dan kakek mang Karta."
Dengan terlatih-tatih mang Karta berjalan menaiki anak tangga demi anak tangga menuju bagian atas rumah yang dari dalam tampak lebih besar dan lapang itu. Sambil berjalan di belakangnya Suryadi memperhatikan potret-potret berbentuk lukisan-lukisan besar berbingkai bergantungan sepanjang tepi tembok di bagian atas anak tangga. Namun bayangan lampu yang suram tidak mendorong minatnya untuk memperhatikan lukisan-lukisan besar itu secara serius dan berniat untuk melaksanakan itu besok pagi. Sekarang, ia perlu beristirahat panjang dan tidur selelap-lelapnya. Mang Karta segera membuka salah sebuah pintu kamar di bagian loteng.
"lnilah kamar untuk Den Surya."
"Kenapa dengan kamar-kamar lain." tanya Suryadi sambil menunjuk pintu-pintu kamar yang sejajar.
"Saya belum sempat berbenah. Tetapi kalau Aden tak merasa puas dengan kamar ini"."
"Tak merasa puas?" Suryadi tertawa sambil memperhatikan ruangan kamar yang ia masuki. "Kamar sebesar ini. dengan satu set meja belajar, lemari pakaian yang begini lebar dan tempat tidur... amboi. antik benar tempat tidur berkelambu ini. "
'Sambil berkata begitu. Suryadi melontarkan
tubuhnya ke atas kasur yang tebal sehingga _badannya terangkat sejenak ke atas dan ketika jatuh kembali di kasur. ia merasa puas dengan keempukannya yang sangat nyaman. Mang Karta tersenyum memperhatikan tingkah Suryadi. Dan sedikit demi sedikit senyuman itu mendatangkan ketenangan di hati pemuda itu, karena dia pikir toh senyuman mang Karta tidak bisa dirubah oleh seorang pun juga karena sudah semestinya demikian. ia berpikir tentu ada sebab mengapa lakilaki setengah baya itu bernasib sedemikian malang. dan ingin menanyakan hal itu suatu saat yang tepat tanpa menyinggung perasaannya.
'... rumah ini tidak disentuh oleh peralatan modern." kata mang Karta lembut. "Besok Aden akan melihatnya sendiri. Mudah-mudahan Aden tetap menjaganya agar tetap demikian."
"Mengapa?" tanya Suryadi heran.
"Demikianlah yang berlaku semenjak rumah ini dibangun oleh moyangmu yang pertama. Den Surya." Mang Karta tersenyum pula, tampak lebih agung dari keadaan wajahnya yang begitu buruk. "Nah. selamat tidur dan bermimpilah yang indah. Karena mulai besok Aden akan bekerja berat sebagai pewaris perkebunan teh yang luasnya berhektar-hektar ini...."
ia kemudian mengangguk sedikit. menyalakan lampu-lampu lilin yang terselip di antara pipapipa tembaga sebuah lampu gantung di pertengahan kamar. Setelah itu ia beranjak ke pintu, memperhatikan Suryadi yang juga melakukan hal
yang sama, tersenyum dan kemudian keluar setelah lebih dulu menutupkan pintu perlahan-lahan. Berderit bunyi pintu itu ketika tertutup.
"Minyak pelumas memang pengaruh abad modern. Tetapi derak-derak pintu bukanlah suara warisan." pikir Suryadi termangu. "Besok akan kusuruh salah seorang pegawai perkebunan untuk membelinya ke kampung terdekat. Kasihan kalau mang Suryadi yang kusuruh membeli. Tentu orang-orang kampung akan ketakutan atau melecehkan wajah dan kakinya yang cacat."
Seraya memikirkan cacat tubuh pelayan rumah peninggalan yang kini menjadi miliknya itu. Suryadi mencoba memejamkan mata. Dipejamkan pertama terbayang di kepalanya wajah seorang gadis yang manis bertubuh tinggi semampai. Suryadi tersenyum. Teringat pada pacarnya yang ia tinggalkan di kota. ia bertekad untuk mengurus perkebunan ini sebaik mungkin. Kalau bisa menempatkan seorang wakil selama ia pergi ke kota untuk meneruskan kuliahnya suatu ketika sampai tamat.
Dan kemudian membawa pacarnya itu kembali ke perkebunan ini. Bukan lagi sebagai seorang kekasih semata. tetapi juga sebagai seorang istri. Dari gadis itu ia akan memperoleh beberapa orang anak. dan belasan tahun mendatang anak-anak itu kawin beranak lagi. sehingga rumah besar dan luas ini tidak akan sesepi dan sekosong sekarang.
Ia baru saja terlelap ketika telinganya menangkap suara yang sayup-sayup:
"Winata.... Adiwinata...!"
Matanya nyalang terbuka. 'Winata...!" Semakin nyalang matanya terbuka. Bermimpikah dia" Apakah ingatan terhadap kekasihnya yang ia tinggalkan di kota, membuat khayalnya melambung" la memikirkan itu sejenak. dan tibatiba hatinya berdenyut. Tak mungkin. Ia tidak bermimpi.
Kekasihnya selalu memanggil nama depannya, tidak pernah memanggilnya dengan nama keturunannya. Tetapi setelah memperhatikan ke sekeliling kamar, ia tidak melihat ada siapa-siapa. Dengan perasaan ganjil memenuhi benak, ia coba berbaring kembali. Karena lelah oleh perjalanan seharian, dengan cepat ia terlelap. Tetapi tak lama.
Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang dingin menyentuh tubuhnya.
Ia tersentak bangun. '... siapa?" gumamnya.
Ternyata yang dingin itu bukan seseorang atau sesuatu benda. Melainkan deru angin dari luar yang menyapu ke dalam kamar. Api lilin sampai menari-nari dan satu dua di antaranya mulai padam. Setelah menggoyang-goyangkan kepala untuk menenangkan perasaannya, Suryadi memperhatikan arah angin itu datang. Ternyata jendela kamar terbuka. Tirai gordyn jendela berkibarkibar ditiup angin. Dari luar menderu suara angin itu dan jilatan rembulan yang pucat menyapu dan beradu
dengan jilatan lampu lilin yang hampir padam seluruhnya.
Dengan mendongkol. Suryadi bangkit.
la berjalan ke jendela. Meninjau sebentar ke luar sebelum menutupkannya .Dari tingkat atas di mana ia sekarang berdiri. ia melihat ke bawah. Ternyata jendela di mana sekarang ia tegak rupanya adalah jendela yang tadi terbuka ketika ia berteriak dan kemudian ditinggalkan mang Karta waktu turun ke bawah untuk membukakan pintu. Rupanya mang Karta lupa menutup jendela kembali karena tergesa-gesa. Dan waktu mereka tadi masuk ke sini, arah angin mungkin ke jurusan lain sehingga suasananya tidak seribut sekarang.
Suryadi baru saja mau menutupkan jendela ketika tiba-tiba ia terpana. Nun. jauh di puncak bukit yang dikitari perkebunan teh, persis di bawah lingkaran bulan yang pucat, ia melihat sesosok bayangan putih. Hatinya tersentak. Dengan dada berdebar keras ia perhatikan bayangan itu lebih teliti. Sangat samar-samar tampaknya sehingga ia ragu untuk memastikan apakah ia melihat sesuatu benda yang nyata ataukah ia terpengaruh oleh hallusinasi. Ah, tentunya cerita-cerita film horror atau buku-buku saku tentang hantu-hantu yang banyak ia baca dan sering dilecehkan di kota, tiba-tiba telah mempengaruhi dirinya.
Tetapi tidak! Bayangan putih itu bergerak-gerak.
Mula-mula ujung-ujung kain yang mungkin baju kemudian bayangan itu menghilang merupakan titik yang semakin jauh dan jauh, lantas kemudian lenyap sama sekali. Tinggal matanya menangkap sinar rembulan yang putih pucat. dan tiba-tiba Suryadi yang sesaat agak bimbang, tersenyum pada dirinya sendiri.?"Mungkin bentuk bulan itu menimbulkan bayangan-bayangan ganjil di kaki langit. Terlalu, mana mungkin ada bidadari turun dari bulan di bumi ini" Hah!" lantas ia membantingkan jendela sampai tertutup, kemudian
memasang kunci-kuncinya lalu naik ke tempat tidur.
*** TIGA Esok paginya Suryadi bangun dengan perasaan yang lebih segar. Namun ingatannya tidak bisa ia lepaskan dari bayangan putih yang menghilang di bawah rembulan yang pucat. Entah mengapa. ketika ia bangun pagi itu ia merasa bayangan itu bukan bidadari yang turun ke bumi tetapi bukan pula bayangan khayal. Apalagi setelah ia hubung-hubungkan dengan suara mendayu-dayu memanggil nama keturunan bukan namanya sendiri.
Tidak pernah ada orang yang memanggilnya dengan Adiwinata. Selalu Surya atau oleh beberapa kawan-kawannya dipanggil Yadi, kadangkadang juga Didi. Tetapi Adiwinata" Seumur ia menerima predikat nama keturunan itu di belakang nama kecilnya, tak pernah seorang pun juga yang menyebut Adiwinata. Dan tadi malam ia ielas mendengar panggilan itu dalam keadaan masih sadar. Panggilan seorang perempuan. Lalu bayangan putih yang menghilang di puncak bukit di kejauhan itu, tampaknya juga bayangan perempuan.
Tetapi mungkinkah perempuan itu berteriak di
tengah malam dari puncak bukit untuk membangunkannya, yang juga bisa membangunkan penduduk di kampung-kampung sekitarnya" Dan kalaupun ia berteriak setinggi-tingginya, jarak yang sangat jauh ke bukit itu tidak akan mungkin dijalani oleh suara seorang manusia biasa. Kecuali, kalau bayangan putih itu adalah bayangan seorang manusia luar biasa. Namun luar biasa bagaimana"
Bingung memikirkan itu, ia berjalan ke jendela dan membukanya. Yang pertama-tama ia lihat adalah puncak bukit itu. Ternyata gundul sama sekali. Tanahnya coklat kehitaman. Tidak. tidak mungkin seorang perempuan berada di tempat itu di tengah malam buta. Penasaran, ia mencari-cari dengan matanya.
Di bawah puncak bukit gundul itu terdapat seonggok semak menghutan, kemudian pohon pohon turi dan beberapa batang kelapa di selang seling oleh pohon-pohon jenis lainnya. Di bawah jilatan matahari pagi, pemandangan itu tampak sejuk dan nyaman. Terlebih-lebih setelah matanya memandang jauh ke sekeliling, ke perkebunan teh yang luas dan kini telah syah menjadi miliknya Perkebunan itu sedang subur subumya dan sebentar lagi akan panen, begitu kata pengacaranya di kota. Dan puluhan bahkan mungkin ratusan pemetik teh akan memenuhi daerah itu. Laki perempuan. tua muda. Betapa indahnya nanti bila dipandang dari tempat di mana kini ia berdiri. Dan keindahan itu semakin ia rasakan waktu memandang halaman rumah yang besar dan luas itu. Di
sebelah selatan ada kolam ikan yang lebar. di arah yang berlawanan kandang-kandang ternak. Dan di dekat teras. terikat dengan ujung tali pada tiang teras tegak seekor kuda jantan berwarna hitam legam dan tampak sangat gagah.
"Hem. Pagi-pagi mang Karta sudah menyediakan kuda tunggangan untukku." pikir Suryadi seraya menghirup udara segar sepuas puas hati.
ia baru saja menikmatinya, ketika pintu di ketuk dari luar. bergegas Suryadi membukanya. Tampak sosok tubuh mang Karta yang besar tetapi sedikit doyong karena kakinya yang pincang. Cahaya yang lebih terang kini memperjelas kerusakan di wajah laki-laki setengah baya itu. Tadi malam Suryadi menyangka wajah itu mungkin terkena air keras. tetapi kini jelas ia melihat gurat gurat seperti cakaran binatang buas. Bergidik bulu kuduk Suryadi membayangkan bila binatang buaslah yang merusak wajah laki-laki didepannya.
"Saya kira Den Surya belum bangun." sapa pelayan itu dengan ramah. "Sarapan telah menunggu di bawah. Juga beberapa orang tamu."
'Tamu?" Suryadi tercengang.
"Ya." "Untukku?" 'Ya.' . "Dari mana mereka tahu aku ada di sini" Siapa siapa mereka" '
"Mereka itu lurah desa yang wilayahnya mencakup juga perkebunan ini. ia disertai seorang Mantri Polisi. Dan setiap orang baru yang datang
apalagi dengan tujuan ke rumah ini. akan cepat tersiar sama cepatnya dengan nomor buntut judi toto gelap"."
Senda gurau itu membuat bibir Suryadi melepas senyum.
"Tetapi... mengapa Mantri polisi harus ikut?"
"Nanti akan Aden ketahui sendiri. Lebih baik dari mulut orangnya langsung. Jangan dari saya"."
Suryadi mau bertanya mengapa tidak harus dari mang Karta sendiri. Tetapi laki-laki setengah baya itu cepat-cepat meneruskan.
?" sarapannya bisa dingin. dan Surya. Dan lagi Aden harus mandi. Pakai air hangat?"
Suryadi menggelengkan kepala.
"Udara dingin harus dilawan dengan air dingin." jawabnya, kemudian bergerak ke lemari.
Di dalamnya telah tersedia pakaian-pakaian tidur, beberapa stelan pakaian perkebunan yang mengingatkan ia pada tuan-tuan tanah. dan di bagian bawah beberapa potong handuk yang terlipat rapih. Dengan menyambar juga selembar kain ia mengambil handuk itu dan kemudian turun ke bawah.
Ketika melewati anak-anak tangga, pandangnya tertarik pada lukisan-iukisan besar di tembok yang tadi malam cuma ia lihat sekilas. ia tahu lukisan pertama seorang laki-laki berambut, berKUMiS dan berjenggot putih adalah kakek moyangnya, pendiri perkebunan dan rumah tua ini. Di sebelah kakek moyangnya itu berdiri seorang perempuan berkulit putih dan mata biru dan rambut kemerah-merahan. Dari cerita yang ia dengar, istri kakek moyangnya itulah sebenarnya yang menghadiahkan daerah ini kepada kakek moyangnya, sebagai pertanda cinta kasih istri berkebangsaan Belanda itu.
Suryadi mencoba mencukur kumis dan jenggot itu dalam benaknya, dan menghapus kerut merut di dahi dan sudut-sudut mata kakek moyangnya. Maka ia seperti melihat wajah itu akan sama dengan lukisan di sebelahnya. Lukisan yang dari usianya pastilah kakek Suryadi. Wajah itu juga hampir sama dengan lukisan di sebelahnya lagi. Ayah Suryadi yang meninggal ketika ia masih ingusan dan belum dibawa uwanya ke kota. Uwanya pun mirip ayahnya, dan nasibnya pun sama. Meninggal sebelum punya keturunan. Untunglah Suryadi sudah dewasa dan bisa menghidupi diri sendiri dari uang yang ditabungkan uwanya itu atas namanya. la berterima kasih pada uwanya di dalam hati seraya memperhatikan lukisan terakhir. Itu adalah lukisan pamannya yang meninggal beberapa bulan yang lalu sehingga tinggal Suryadi pewaris tunggal. Dan ia membayangkan wajahnya sendiri. Dan merasakan keajaiban Tuhan menciptakan generasi demi generasi yang terlahir dengan ciri-ciri tubuh dan wajah yang hampir serupa.
"Suatu ketika kelak, lukisan diriku pun akan tergantung di tembok ini." pikir Suryadi seraya tersenyum.
Ia menuruni anak tangga demi anak tangga
dengan mata mencari-cari. ia tidak melihat seorang tamu pun di ruangan tengah itu. Set kursi dan meja kayu yang umurnya mungkin sudah puluhan tahun, tampak kosong. Di pojok dekat pintu masuk bukan orang yang berdiri mengangguk padanya. akan tetapi sebuah patung besi yang mengingatkan ia pada tentara romawi dahulu kala. Di sebelahnya lagi, patung pualam seorang perempuan. Ketika ia perhatikan wajah perempuan itu. ia merasakan sesuatu yang aneh pada dirinya. la seperti pernah mengenal seseorang yang wajahnya mirip dengan wajah patung itu. Cantik tetapi binal dengan daya tarik yang luar biasa mempengaruhi dirinya.
*** Lama ia terpaku memandang patung pualam yang seakan-akan hidup itu, sampai mang Karta muncul dari pintu ruang belakang dan berkata:
"Segeralah mandi, Den Surya. Biar kita sarapan bersama."
ia mengikuti mang Karta ke ruang belakang menuju kamar mandi. Tak ada bad-kuip ataupun kran leiding. Yang ada ialah sebuah bak besar dan tinggi penuh dengan air yang ditimba dari sumur di luar tembok kamar mandi dan disalurkan ke dalam bak melalui pipa bambu yang menembus tembok. Untuk mandi. ia harus membuka sebuah
potongan karet dari mana kemudian air mengucur dengan deras.
?" tamu-tamu kita di mana?" tanyanya sebelum menutupkan pintu kamar mandi.
Mang Karta yang sudah akan pergi, membalik.
"Di ruang tamu."
"Yang mana?" "Di sebelah ruangan yang pertama kali Aden masuki tadi malam."
"Ooo...." Dan Suryadi baru saja membuka seluruh bajunya dan siap untuk mandi, ketika telinganya seperti dihembus angin sejuk dan disapu oleh sebuah suara mendayu-dayu:
"Winata...!" Suryadi tertegak dengan tubuh tegang.
Disambarnya handuk, dan secepat kilat ia membuka pintu kamar mandi. Tetapi ruangan di depannya kosong melompong. Juga ruang tengah. Ketika matanya memandang ke arah patung pualam di sebelah patung besi, ia merasakan tubuhnya tegang. Mata patung itu seperti memandang tajam padanya. dan mulut patung itu seperti tersenyum jalang padanya.
'Persetan !' Suryadi memaki dirinya sendiri. "Mengapa aku berkhayal yang tidak-tidak"
ia kemudian kembali ke kamar mandi, meneruskan maksudnya dan tidak mendengar suara perempuan yang mendayu-dayu memanggil nama keturunannya itu lagi sampai ia selesai mandi. meski sesekali ia pasang kupingnya tajam-tajam.
Setelah kembali ke kamar dan mengenakan pakaian seragam perkebunan yang mirip seragam tentara tetapi berwarna kelabu, ia kemudian turun ke bawah bersamaan dengan waktunya mang Karta naik ke atas membawakan koper Suryadi. Dengan koper yang berat itu tampak mang Karta semakin doyong karena kakinya yang pincang. Suryadi bermaksud menolong. tetapi senyum simpatik di wajah yang mengerikan itu menahan maksudnya.
"Tamu-tamu sudah lama menunggu, Den."
Suryadi mengangguk, terus turun, melewati ruang tengah dengan berusaha sekuatnya agar tidak menoleh ke arah patung pualam itu. Ia kemudian membuka sebuah pintu lain yang besar dan tinggi dengan ukiran-ukiran perang dalam pewayangan di daun pintu yang terbuat dari papan itu. Dua orang tamu yang duduk di kursi yang sama tuanya dengan kursi di ruang tengah. Cepat cepat berdiri begitu Suryadi masuk. Mereka mengangguk bersamaan seraya mengucapkan selamat pagi. '
Setelah membalas ucapan selamat pagi itu, Suryadi mempersilahkan tamu-tamunya untuk duduk kembali sementara ia sendiri mengambil tempat duduk sendiri.
"Berlakulah biasa. Seperti di mmah sendiri." katanya.
Kedua tamu itu mengangguk setuju.
"Nah. saya senang sekali kedatangan tamu sepagi ini. Rumah ini kosong dan sepi. Tak adateman bicara." ia melanjutkan.
"Untuk itulah kami datang." sahut laki-laki tua yang tampaknya lurah desa itu. la mendehem sebentar, kemudian meneruskan: "sekalian kami berkenalan. Saya Asikin. lurah di sini dan Bapak ini." ia menunjuk kepada laki-laki yang lebih muda serta mengenakan seragam polisi desa. "... namanya Jaka. polisi setempat."
Menteri polisi itu mengangguk.
"Senang berkenalan dengan bapak-bapak." sambut Suryadi ramah. "Adakah sesuatu yang bisa saya bantu?"
"Ah. tak banyak," sahut lurah desa. Ia membuka map yang dari tadi ia letakkan di atas meja "Cuman minta pertolongan agar Den Suryadi menanda tangani surat tanda menetap didesa ini.." ia menyodorkan surat yang ia maksud. menyebabkan Suryadi agak tersipu waktu menyahut:
"Wah, seharusnya saya yang datang ke kantor desa."
"Ah. tak usah repot-repot Den Surya. Hitung hitung kami gerak badan jalan pagi ke perkebunan ini. Udara segar, matahari yang hangat membuat usia kita bisa bertambah panjang.?"
"Wah. Pak Asikin ini. Usia orang kan sudah ditentukan Tuhan."
"Benar. Den. Tetapi kita kan harus berusaha...." .
Suryadi kemudian menandatangani surat tanda penduduk setempat itu yang kemudian dimasukkan sang lurah kembali ke dalam map. Setelah itu ia diam, rupanya memberi kesempatan kepada kawannya yang lain. Menteri polisi itu sesaat ragu-ragu, tetapi sinar mata Suryadi yang lembut dan ramah menyenangkan hatinya. ia segera membuka mulut:
"Sebenarnya saya segan mengutarakannya, Den Surya..." ia batuk-batuk kecil sebentar. "Tetapi kami harap. kalau terjadi apa-apa di rumah ini, ataupun atas diri Den Surya. segeralah beritahu kami. Mudah-mudahan kami bisa menolong, dan Den Surya pun bisa menolong kami memecahkan misteri yang selama ini terjadi."
"Misteri?" "Ah." Menteri Polisi itu agak gugup. "Bukankah Aden sudah tau, kalau penghuni rumah ini semenjak orang yang pertama, senantiasa mati secara aneh dan mengerikan" Beberapa di antaranya malah tak diketahui di mana mati dan dikuburnya...."
Suryadi memang mendengar hal itu juga dari pengacaranya. Pengacara itu malah menekankan, kematian kakek moyang dan turunan berikutnya oleh penduduk dihubung-hubungkan dengan takhayul atau tepatnya misterius. Dan itulah yang mendorong hati Suryadi memang untuk datang dan menetap di perkebunan ini.
Selesai makan pagi. lurah dan menteri polisi itu kemudian pamit untuk kembali ke tempat kerjanya masing-masing. Suryadi masih termangu mangu di meja makan memikirkan pembicaraannya dengan tamunya terutama polisi desa tersebut. Tentang kakek moyangnya yang meninggal dunia tanpa diketahui di mana kuburnya. Orang orang tua di desa itu percaya kalau kakek moyang Suryadi mati ditelan siluman penyihir yang pernah menghantui penduduk sekitar tempat itu. Kakek Suryadi mati dengan tubuh terhantar di puncak bukit, seluruh tubuhnya robek-robek seperti dimakan binatang buas.
Hanya ayahnyalah yang lebih bernasib agak baik. Diketemukan tergeletak di antara batang batang teh. dan menurut keterangan dokter terkena serangan jantung. Sedang paman Suryadi, mati dalam keadaan duduk di kursi goyang di ruang tengah. Sepasang matanya melotot lebar. sedang mulutnya menganga Di lambung terhunjam sebuah sebilah pedang panjang oleh tangannya sendiri. menembus jantung terus punggung dan kulit sandaran kursi goyang di mana tubuh pamannya melekat berlumur darah.
Polisi desa bahkan telah mendatangkan beberapa orang reserse dari kota. Tidak pernah bisa dibuktikan kalau semua kejadian itu dikarenakan pembunuhan. Karena tidak ada saksi. Tidak ada jejak-jejak. Bahkan tidak ada petunjuk sama sekali.
Menggigil tubuh Suryadi ketika menunggangi kuda mengitari perkebunan teh itu dan mampir di
warung-warung penduduk. Begitu ada yang tau ia pewaris terakhir dari rumah tua di tengah-tengah perkebunan. banyak yang memanjatkan do'a kepada Tuhan semoga dia selamat. dan sebagian di antaranya buru-buru menyingkir dengan wajah ketakutan. Seorang pemilik warung yang sudah tua menjelaskan kepada Suryadi mengapa mereka ketakutan:
?" mereka menyangka setan penyihir selalu ' mengintai Aden dan takut tempat...!"
Mandor perkebunan teh yang ia temui sedang mengawasi pekerjaan beberapa orang pegawai yang menyemprot obat anti hama, malah menekankan:
"Pada waktu panen. akan banyak teh-teh yang menjadi tua dan layu tidak terpetik."
"Mengapa?" "Perkebunan ini teramat tuas. Sedang pemetik
teh sedikit." "Sedikit" Bukankah penduduk di sekitar sini banyak yang melarat hidupnya?"
"Tetapi tak semua berani ikut memetik di tempat kita."
"Ah?" "Mereka percaya kalau hantu-hantu yang menguasai daerah ini semenjak jaman kakek moyang Aden, mengintai di mana-mana, biarpun di siang bolong. Bukankah ayah Aden diketemukan mati tergeletak siang bolong di antara batang-batang teh?"
Suryadi menyipitkan mata. Tidak tega mengingat kejadian itu.
"Kau percaya hantu-hantu itu. Pak Cakra"
Mandor perkebunan yang bertubuh tegap dan wajah kekar itu bergidik sesaat.
Kemudian: "Mula-mula tidak. Tetapi semakin santernya desas-desus di tengah penduduk.?"
Suryadi sudah paham lanjutan dari katakata yang terputus itu. Karena itu ia segera menyingkir dengan pundak yang panas, karena terngiang ngiang di telinganya ucapan polisi desa tadi pagi:
"... hati-hatilah, Den Surya. Aden keturunan terakhir. Dan tampaknya apa yang oleh penduduk dikatakan hantu penyihir. tidak akan melepaskan Aden begitu saja. Tetapi yakinlah. Tuhan di atas kita semua!"
Menjelang sore Suryadi tiba di rumah. Mang Karta telah mempersiapkan makanan di atas meja ruang makan. Segala santapan lezat yang didatangkan dari tukang masak khusus dari desa, tidak menarik selera Suryadi, sehingga mang Karta yang diam-diam memperhatikan bertanya hati hati:
'Ada yang dirisaukan, Den"


Sumpah Leluhur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suryadi memandang pelayan rumah tangga yang makan bersamanya itu.
"Ah... hanya soal-soal kecil."
"Tetapi bisa menjadi besar. Dan."
"Maksud Mamang?"
"Di perkebunan ini, hal-hal yang kecil itu justru soal-soal yang aneh dan tidak masuk di akal.
Seperti kepercayaan penduduk misalnya.' Suryadi meletakkan sendok garpunya. "Terkutuk dengan kepercayaan yang konyol itu'
Mang Karta mencoba tersenyum di antara rona merah yang mewarnai wajah rusaknya. Berkata dengan suara yang dingin menenangkan:
"Saya senang Den Surya tidak mempercayainya. "Apakah kau juga tidak?"
"Saya tidak berkata demikian. Tetapi selama
Den Surya tidak mempercayainya. selama itu wabah ketakutan yang mengerikan dan selama ini
mengintai rumah ini, bisa berpikir dua kali sebelum mendekati Aden...."
Suryadi menyipitkan matanya.
"Wabah apakah itu kira-kira, Mang Karta?"
"Balas dendam roh atau wujud nyata dari si penyihir...."
Menurut cerita mang Karta. kakeknya yang juga pelayan rumahtangga yang setia dari keluarga Adiwinata melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana secara sembunyi-sembunyi Juragan Adiwinata bermain cinta di belakang punggung istri Belandanya. Perempuan kedua yang hadir di hati juragan Adiwinata itu adalah salah seorang
pelayan rumah tangga yang ketika itu sangat banyak. Kedua insan itu saling mengadakan pertemuan sembunyi-sembunyi dan konon mencapai batas hubungan bersuami istri di beberapa bagian rumah. di tengah-tengah perkebunan bahkan di banyak tempat lainnya, sampai suatu ketika istri gelap juragan Adiwinata dipergoki oleh juragan itu sendiri tengah bergumul dengan saudara laki-laki si perempuan di rumah tempat tinggal mereka.
"Biadab. nista!" teriak juragan Adiwinata. lalu setelah mengutuk gundik dan turunannya akan terus berzinah dengan keluarga sedarah sepanjang hidup mereka. kemudian mengusir pembantu itu dari lingkungan perkembunan. Ia pergi bersama saudara laki-lakinya. dan menetap di suatu tempat yang tidak diketahui. Semenjak itu juragan Adiwinata sering jatuh sakit, sampai seorang dukun terkenal mengatakan juragan diguna-gunai oleh seorang yang pernah ia sakiti hatinya. Mendengar itu. juragan marah besar. Ia melupakan sakit yang ia derita. bertualang ke sekitar daerah itu mencari bekas gundiknya dan semenjak itu juragan Adiwinata tidak pernah kembali ke rumah. Orang-orang berkata cuma melihat bekas gundiknya itu bersama saudaranya bertapa di gunung dan hidup sebagai penyihir.
"... dan semenjak itu. kedua penyihir bersaudara itu dianggap sebagai biang keladi kematian demi kematian yang menimpa penghuni rumah ini."
"Tetapi... sejak jaman kakek moyang. Tak mungkin." gerutu Suryadi.
"Mengapa tidak" Kedua bersaudara itu toh melakukan hubungan suami istri. Mereka punya anak, dan anak-anak mereka meneruskan kutuk yang dititipkan oleh orang tuanya. Begitu seterusnya...."
"Apakah Mang Karta maksudkan?"
Lelaki setengah baya itu manggut-manggut.
"Begitulah. Keturunan terakhir dari penyihir itu, mungkin juga sudah lahir dan kini sudah dewasa dan siap memasang jaring-jaring sebagai penerus balas dendam kakek neneknya.?"
Suryadi tiba-tiba tertawa. Katanya:
"Pingin pula aku bertemu dengan penyihir muda itu. Mudah-mudahan ia perempuan, cantik pula lagi..." lalu ia tertawa semakin bergelak. Mang Karta menggerimit. memanjatkan do'a-do'a kemudian menempatkan jari telunjuk di bibirnya. Setelah itu ia beranjak dari tempat duduk, menaiki tangga menuju kamar Suryadi seraya berkata:
"Pakaian-pakaian Aden yang kotor harus segera saya kumpulkan. Sebentar lagi tukang cuci dari desa akan mengambilnya."
Suryadi memandang laki-laki yang berpincang-pincang menaiki anak tangga demi anak tangga. la menggeleng gelengkan kepala. Masih tersenyum. Tetapi ketika pandang matanya beradu dengan lukisan demi lukisan di tembok yang dilewati mang Karta, jantungnya tiba-tiba berdenyut. Kembali rasa ajaib mendatangi dirinya. Mengapa wajah kakek moyangnya. menurun sama
persis dengan wajah generasi kemudian. sampai kepada wajahnya sendiri" Suryadi coba berdiri. Tegak, seperti kakeknya. Kepala sedikit ditengadahkan. Angkuh. Mata sedikit dikecilkan. Tajam dan keras.'Lalu tiba-tiba. ia merasakan sesuatu yang ganjil pada dirinya. Ia merasa seolah-olah yang berdiri di tempatnya tegak sekarang. bukanlah dirinya. melainkan kakek moyangnya.
Angkuh dan keras, tubuh Suryadi yang seolah-olah membawa kakek moyangnya, berjalan ke ruang tengah, kemudian duduk dengan tenang di kursi goyang yang sudah tua tetapi di matanya tiba-tiba tampak baru dibuat itu. Bahkan kulit sandaran kursi itu masih berbau daging kambing. la duduk di sana, menggoyang-goyangkan kursi sedikit dan di hadapannya. tiba-tiba berdiri sesosok tubuh yang semampai. montok dengan senyum dan tatap mata yang jalang.
"Winata.." bisik perempuan itu.
Suryadi tanpa sadar bangkit dari duduknya. Tenang, ia melangkah mendekati sosok tubuh perempuan itu. dan berbisik:
"Kekasihku..." Lalu. mereka kemudian berpelukan dengan hangat. Hangat sekali, bibir mereka saling beradu sementara jari jemari Suryadi menyelusup kian kemari menikmati bagian-bagian tubuh si perempuan yang lembut tetapi panas bagaikan bara api. Ia terus menekan tubuh perempuan itu ke dinding, berusaha menelanjanginya dan mereka hampir terjatuh berguling di lantai kalau saja tidak terdengar pekik yang tiba-tiba:
"Den Surya!" Lantas sebuah tamparan yang deras hinggap di pipi Suryadi. Laki-laki itu terperangah, bergerak mundur dan terheran-heran melihat Mang Karta berdiri di sebelahnya seraya memegangi patung pualam di sebelah patung besi yang hampir jatuh ke lantai.
"... mengapa Mang Karta menamparku?" tanyanya gugup.
'Mengucaplah, Den. Mengucaplah."
Suryadi mengucap. ia semakin sadarkan dirinya. Kemudian. heran melihat bahwa kancing kancing bajunya terbuka dan dadanya basah oleh keringat. Dengan mata terbelalak ia memandang patung pualam di depannya yang sudah ditegakkan kembali oleh mang Karta. Wajah patung itu. Persis seperti wajah yang sempat menghayati diri dan merangsangnya. Tetapi patung itu diam. Tegak membisu. Tidak mungkin. Tidak mungkin. ia ingat samar-samar si perempuan melepaskan kancing-kancing bajunya sementara Suryadi sendiri melepaskan peniti yang melekat di baju si perempuan. Peniti-peniti itu terbuat dari emas. la ingat betul. Perempuan itulah yang melepaskan kancing-kancing kemeja Suryadi.
'Oh. Apa yang terjadi?". Suryadi terduduk di sebuah kursi seraya memukul mukulkan tangan ke kepalanya.
Mang Karta mendekat. Menyodorkan segelas air dingin.
"Minumlah, Deni"
Suryadi mereguk habis minuman itu.
tetapi... mengapa?" ia berguman tak percaya.
"Tenanglah. Dan jangan kaget, paman Aden juga sempat mengalami hal yang sama"."
"Mamang temukan lagi memeluk patung pualam itu?"
"Menurut pandanganku, ya. Tetapi menurut paman Aden, ia memeluk seorang perempuan.... Sayang. ketika itu saya tidak ingat untuk menamparnya seperti Aden. Saya membetot tubuhnya. Paman Aden menjadi marah. la seperti memperoleh kekuatan luar biasa. ia menyerangku, berteriak-teriak mengutuk, memaki-maki dan mencaci seraya mencakari wajahku. Di saat itulah kusadari, kuku-kuku jari jemari beliau seperti bertambah panjang dan panjang. Habis sebagian wajahku ia cakar, seperti dicakar harimau. Aku bergerak mundur melanggar patung besi dan jatuh bersamaan. Patung besi yang besar dan berat itu menimpa kakiku. Semenjak itulah kakiku pincang dan wajahku rusak berat?" ia mengakhiri kisahnya dengan wajah murung.
'Dan... paman?" bisik Suryadi.
"Tidak saya ketahui apa yang terjadi dengannya. Ketika saya sadar, orang-orang telah menolong saya dari jepitan patung besi itu. Sedang paman Aden.?" ia bergidik sesaat. "Semua menyaksikan beliau mati di ujung pedang yang menembus jantung sampai punggungnya, terduduk di kursi goyang. Tahukah Aden" Beliau tetap dalam keadaan seperti yang saya lihat sebelumnya. berkuku panjang dan runcing. yang tumbuh dalam seketika. sedang wajah beliau menyeringai dan ada taring-taring runcing di antara gigi-giginya. Hampir seluruh wajahnya penuh dengan bulu...!"
*** EMPAT Ketegangan masih menguasai diri Suryadi setelah ia kembali masuk ke dalam kamarnya. Seluruh otot-otot tubuhnya yang kejang ia coba lemaskan dengan bersenam sedikit kemudian menggoler di atas tempat tidur. Namun ketegangan itu tidak juga mereda.
Dengan gelisah ia menyambar sebuah kursi. mendekatkannya ke jendela dan duduk disana. Ia harapkan udara segar dari luar dan panorama yang menarik disenja kala itu bisa menenangkan hatinya sedikit. Namun memandang jauh ke luar. melewati perkebunan teh. melewati lembah dan bukit-bukit. melewati gunung-gunung. bahkan melewati batas kesanggupan mata memandang. terbayang di pelupuk matanya wajah Prawira Kusumah SH seorang pengacara terkemuka di kotanya.
Wajah pengacara yang biasanya tenang dan tak pernah lepas dari senyum itu juga tegang ketika ia memberitahukan hal hal yang patut diperhatikan oleh Suryadi.
"Kematian-kematian yang menimpa leluhur-leluhurmu sebaiknya tidak kau pandang enteng,"
kata pengacara itu. 'Saya menyarankan agar kau menempatkan sejumlah orang orang yang bisa dipercaya...."
Ketika itu, Suryadi tertawa kecil.
"Apakah kehadiran sejumlah bodyguard bisa menghalau tahayul yang dipercaya penduduk setempat?" tanyanya tak acuh.
"itu bukan tahayul. Kau tahu itu?"
"Saya tak tahu. tetapi saya memang tidak mempercayainya."
"Karena itu. pikirkanlah keamanan dirimu. ingat. kaulah satu-satunya pewaris yang tinggal. Dari pengamatan saya. ada pihak-pihak tertentu yang menghendaki harta peninggalan leluhurmu jatuh ke tangan mereka."
"Tapi... siapa?"
Pengacara itu tidak menjawab. Dan memang ia tidak bisa. seperti Suryadi sendiri tidak melihat adanya kemungkinan itu. Bukankah tinggal ia satu-satunya keturunan yang masih hidup dari juragan Adiwinata" Dan setahunya, tidak pernah keluarganya mempunyai musuh.
Baru kini. dari mulut mang Karta ia dengar kalau sang juragan yang ditakuti di masa hidupnya itu pernah mengusir gundik dan saudara gundiknya itu dari rumah besar yang kini ia tempati. Tetapi si gundik dan saudaranya tidak pernah dilihat orang lagi. Cuma timbul desas-desus kedua bersaudara yang dipergoki juragan Adlwinata sedang melakukan persetubuhan terlarang itu, kemudian hidup sebagai penyihir.
Dan itu telah terjadi lebih dari seratus tahun berselang!
Suryadi mengeluh. Menyandarkan kepala ke bandul jendela.
"... apakah tidak sebaiknya aku ikut?" terngiang-ngiang ucapan kekasihnya sesaat sebelum ia meninggalkan kota.
"Bersabarlah. sayang. Bila segala sesuatunya telah beres, aku akan menjemputmu !'
"Tetapi aku takut. Sur!"
"Takut" Mengapa pula kau yang ketakutan?"
Kekasihnya merebahkan wajah di dada Suryadi. Terisak.
"Cerita-cerita mengerikan tentang leluhurmu membuat perasaanku senantiasa cemas, Sur....!
"Justru karena itu aku mau pergi sendirian. Mau kubuktikan pada mereka kematian leluhurku semua adalah kematian wajar. Setiap orang toh akan mati dan...."
'Dan aku tak ingin kau ikut mati." potong kekasihnya.
Suryadi tertawa "Kalau sudah kodrat. sayang. Tak bisa ditolak," katanya.
"Tapi tidakkah ada baiknya saran pak Prawira kau turuti" Setidak-tidaknya keamananmu terjamin."
'Tak perlu. sayang. Toh sayatidak punya musuh."
"Kau memang tidak. Tetapi leluhurmu?"
Tubuh Suryadi tiba-tiba menegang kembali. Ucapan terakhir dari kekasihnya masih terngiang ngiang dan seperti menghantam telak telinganya berulang-ulang. ketika sepasang matanya terbuka lebar. Sesuatu membersit dalam manik-manik matanya. Sebentuk bayangan putih, kecil dan terpencil. namun tampak jelas karena berada di tengah tengah lembayung warna senja di ufuk barat.
Suryadi tegak seketika. Dan bayangan putih itu bergerak. Gerakan yang tidak akan terlihat andaikata sepasang mata Suryadi tidak terpelotot memperhatikan bayangan itu. Sebuah lambaian. Lambaian tangan.
Dari seorang perempuan! Mata Suryadi mencari-cari ke sekitar perumahan di mana kini ia berada. Tidak seorang manusia lain pun ada di sana. Dan bayangan itu terus juga melambai. Jelas, hanya tertuju pada dirinya. Sesaat angin dingin menerpa wajah Suryadi. ia merasakan hal yang sebaliknya pada tubuhnya. Kehangatan. Kehangatan yang tidak ia mengerti tetapi terasa betapa kehangatan itu berbau kembang semerbak. Bau melati. Bau mawar. Dedaunan teh di bawah sana bergeming tertiup angin senja. Gemulai. Dan bayangan putih di atas bukit melambai semakin gemulai jua. Jadi aku. pikir Suryadi dengan perasaan tidak menentu.
Aku yang kau panggil. Siapakah kau gerangan. gadis yang dengan sengaja memperlihatkan dirimu sekarang dan tadi malam"
Dalam beberapa loncatan, Suryadi teiah ke
luar dari kamarnya. la bergegas-gegas menuruni tangga, membuka pintu depan lebar-lebar dengan suara berderak-derak menyakitkan telinga. Ia tidak perduli pada suatu itu, juga tidak perduli pada wajah heran dari mang Karta yang berpapasan dengannya di ruang tengah. Dan ia sama sekali tidak memperdulikan bahkan tidak mendengar suara mang Karta memanggil-manggil namanya.
Bagaikan terbang ia berlari ke istal tempat penyimpanan kuda. Ada beberapa ekor di dalamnya, juga beberapa ekor sapi. Di kandang paling ujung ia membuka pintu-pintu kayu dan-mengeluarkan si hitam legam yang keringatnya masih belum kering setelah sepanjang hari ia tunggangi berkeliling perkebunan.
Kuda jantan yang gagah itu meringkik keras begitu Suryadi duduk di punggungnya.
'Hoyaah !" Suryadi berteriak, lantas kakinya menggerakkan sanggurdi.
Kuda itu terlonjak ke depan. Kemudian lari menggebu.
Dengan menggebrak kudanya berlari sepanjang jalanan setapak menuju ke luar daerah perkebunan, sepasang mata Suryadi terus menerus memandang ke puncak bukit di kejauhan. Bayangan putih itu masih tampak samar-samar. Langit semakin lembayung dan perlahan-lahan mulai gelap, dan ia harus berpacu dengan waktu. Tidak boleh ia abaikan kesempatan ini. Harus ia ketahui dengan pasti. manusia perempuan apa bayangan putih itu dan siapa sebenarnya dia. Tadi malam ia
hampir percaya kalau bayangan hantu seperti yang sudah ia dengar dari beberapa orang penduduk disekitar perkebunan. Tetapi sekarang masih sore. Tidak ada hantu yang muncul sebelum malam tiba!_
Seperti mengerti kegelisahan dan jalan pikiran majikannya, kuda jantan yang ditunggangi oleh Suryadi berlari dengan kecepatan yang hampir menyamai deru angin yang berseliweran di sekitar mereka. Beberapa orang penduduk sebuah kampung yang mereka lewati memperhatikan dengan tercengang penunggang kuda yang lewat. Tetapi Suryadi tidak ambil perduli. Selagi keliling tadi siang ia telah mempelajari daerah ini dan kini ia ingin mencapai bukit yang berhadapan langsung dengan jendela kamarnya. Mungkin jaraknya puluhan kilometer, tetapi ia harus menempuhnya juga '
ia harus tahu bahwa ia berhadapan dengan manusia biasa. Bukan manusia-manusia yang hanya hidup di alam khayal penduduk dan yang menyebabkan kematian-kematian leluhurnya dianggap sebagai kematian-kematian yang berbau sihir.
Sudah dua perkampungan ia lewati ketika tiba-tiba ia sadari kudanya berhenti. Nafasnya beradu dengan nafas kuda yang ngos-ngosan seperti lokomotip tua yang kelelahan. Tidak ada suara lain. Tenang, sepi mencekam. Senja semakin turun. Tidak sampai satu jam lagi daerah itu akan gelap. ia berpikir sebentar. Memandangi sungai yang mengalir di depannya. Cukup lebar, tetapi di beberapa tempat tidak begitu dalam. Sungai itu berbatu-batu. Di seberangnya, terdapat hutan yang tampaknya tidak terurus sama sekali.
Suryadi menghela nafas panjang.
"Apakah kau takut seperti mereka?" dengusnya pada telinga kudanya.
Seakan mengerti, kuda itu meringkik keras. Kemudian kaki depannya yang kukuh, berkilau oleh kucuran keringat menjejak air. Berdecak decak air sungai ketika mereka menempuhnya di bagian yang jarang batubatu dan tampak tenang alirannya. Suryadi sesaat bimbang memikirkan kalau-kalau mereka bisa terperosok pada bagian bagian dalam di tengah sungai, tetapi dengan kebulatan tekad ia percayakan dirinya sepenuhnya pada indera binatang yang tampak gagah dengan sepasang matanya yang berkilauan itu.
Ternyata kepercayaannya tidak sia sia .Meskipun agak lambat karena kaki-kaki depan kuda mencari-cari jalan di kedalaman air, tubuh Suryadi hanya basah sampai batas lutut. itu berarti kuda itu harus berjuang melawan arus yang melanda sampai ke lambungnya .
Ringkikan yang keras dari kuda itu memecah kesepian senja begitu keempat kakinya menginjak tanah berumput di seberang sungai. Kemudian tidak dengan tergesa-gesa kuda itu berjalan seperti merangkak ke depan, mulai menempuh semak-semak di antara batang-batang pohon beraneka ragam yang berbentuk tabir berwarna warni di hadapan mereka.
Dan begitu mereka memasuki hutan bersemak belukar itu. Suryadi segera menyadari kalau mereka telah dicengkeram oleh kegelapan yang membutakan mata.
Sejenak,' ia menahan tali les sehingga kuda itu berhenti.
Mata Suryadi ia pejamkan berulang-ulang. Kemudian ia menjadi biasa dalam kegelapan yang remang-remang itu. Di beberapa tempat dari pohon-pohon masih mengintip cahaya senja. tetapi di tempat-tempat lainnya remang-remang bahkan gelap sama sekali. Tidak ada jalan yang harus mereka lalui. Tidak ada petunjuk untuk sampai ke tempat yang ia tuju. Suryadi mulai lesu. Diam-diam ia mendengarkan dengan telinga yang dipertajam. Hutan itu sunyi senyap. Bahkan suara binatang binatang gunung pun tidak ia dengar sama sekali. Seolah-olah hutan yang kini ia masuki. tidak berpenghuni. Suryadi menggigit bibir. Mengingat-ingat.
?" kalau tak salah, sebelum menyeberang sungai bukit itu lurus di depan." ia bergumam sendiri. Perlahan, tetapi teramat keras sehingga baik ia maupun kudanya tersentak kaget sendiri.
Suryadi tersenyum. Memperkeras suaranya: "Bodoh benar aku ! Terpengaruh oleh suasana yang begini saja. Hayo. kudaku sayang. Majulah. Jangan biarkan waktu mendahului kita."
Kuda itu ragu-ragu. Untuk pertama kali semenjak ia tunggangi. kuda itu ragu-ragu.
Suryadi menepuk-nepuk kepala kuda itu. kemudian mengelus-elus helai-helai rambutnya.
"Mengapa" Takutkah kau?"
Kuda itu menggerang sesaat. Kemudian:
"Majulah. Tak akan lama. kita akan segera kembali." Suryadi berbisik di telinga kuda, sebagai bujukan terakhir.
Memperoleh belaian kasih. sang binatang yang diberi kepercayaan oleh manusia yang menungganginya itu perlahan-lahan mengangkat kaki depannya. kemudian kaki-kaki belakangnya. Gedebag gedebug ladam-ladam kuda menimbulkan irama baru yang mengejutkan di telinga Suryadi. Tetapi ia kuat-kuatkan hatinya.
Beberapa kali kuda itu harus menerobos semak belukar, sedangkan Suryadi menggerak-gerakkan tangan untuk menghindari tumbuhan berduri atau dedaunan tajam yang bisa menggores kulit wajah ataupun merobek bajunya. Tenang tetapi mencekam di kesepian hutan yang hanya dimeriahkan oleh langkah-langkah kaki kuda dan semak-semak yang terlanda. mereka maju dengan garis lurUs.
Semakin jauh ke dalam. semakin sepi dan gelap jalan yang mereka lalui. Tetapi Suryadi sudah merasa terlanjur maju. ia berharap, kegelapan hutan di depannya segera berubah jadi suasana senja yang tenggelam tetapi lepas terbuka dengan sebuah pemandangan yang lebih mengenakkan perasaan. Apakah itu perkebunan ataukah juga persawahan bukit, bahkan juga bukit tandus dengan sebuah gubuk yang memancarkan kelipan lampu lewat jendela dan kepulan asap dari atap dapur. Dan ia akan membuktikan sendiri, di dalam ' gubuk itu ada penghuninya. Entah berapa orang, tetapi salah seorang di antaranya pastilah perempuan yang telah dua kali ia lihat muncul di puncak bukit.
Sedetik. ia masih berpikir mengapa ia begitu bernafsu menguber perempuan itu dan tidak menunggu waktu yang tepat atau meminta bantuan orang lain. Mang Karta misalnya. Tetapi di detik berikutnya, pikirannya terpecah.
Kuda tunggangannya meringkik keras.
Suryadi merasa tubuhnya terangkat dan punggung kuda.
Lalu limbung mau jatuh. *** LIMA Suryadi tidak sempat menjerit.
Ia cuma mendengar ringkikan kuda. Kemudian punggungnya terasa membentur benda keras. la terdongak kesakitan. Rasa pusing menyerang kepalanya dengan hebat. Ia merasa akan jatuh pingsan. bahkan diam-diam ia merasa takut kematian itu sudah siap menjemput dirinya. Susah payah ia menggerak gerakkan tubuh. tetapi siasia.
Dalam keadaan setengah sadar setengah pingsan ia mendengar ringkikan yang melengking-lengking dekat telinganya. Mula-mula keras. Kemudian perlahan-lahan melemah. Ia coba menoleh. Dan terkejut melihat sepasang mata yang besar bersinar-sinar. Cahaya yang memantul dari sepasang mata itupun perlahan meredup. Dengan mengerahkan sekuat tenaganya untuk melawan rasa takut pada kematian, Suryadi mencoba duduk.
Seketika, debur jantungnya kian mengencang.
Tangannya meraba sesuatu benda. Rasanya
dari kayu. Ia raba lebih lama dan kemudian ia mengira-ngira. Kayu itu pastilah tumbak yang dipancangkan di dalam lubang di mana ia beserta kudanya telah terjerumus. la tajamkan pandangan matanya untuk melawan kegelapan yang memekat di dalam lubang. Samar-samar ia melihat tumbak-tumbak kayu lain yang bagian runcingnya menganga ke atas. la menggigil ketika menyadari apa yang telah menimpa diri kudanya.
Binatang yang perkasa dan tidak mengenal takut itu telah diam tidak bergerak sedikitpun juga. Tubuhnya yang besar dan kukuh. terhantar menggeletak di sebelah Suryadi. Di beberapa bagian perut dan di pertengahan ekornya, tersembul ujung-ujung tombak.
Gemetar, Suryadi menggapaikan tangannya.
Ujung-ujung tombak itu berlumuran darah.
"Kudaku yang malang," rungut Suryadi dengan susah.
Genangan darah yang hangat di tangannya menyemburkan bau amis yang membuat rasa pusing di kepalanya kian menjadi. Bau kuda bercampur tanah lubang yang lembab mulai pula menerpa hidung. Suryadi menengadah. Gelap sekali di atas. gelap sekali. Namun ia coba juga menghirup udara sebanyak-banyaknya.
la bersyukur kuda itu jatuh tanpa menimpa salah satu bagian tubuh Suryadi. dan tidak sebuah pun batang-batang tumbak yang menembusi tubuhnya sendiri. Namun di balik semua perasaan itu. kekhawatiran melanda hatinya. Lubang jebakan ini tampaknya cukup dalam.
ia tidak tahu berapa tinggi permukaan lubang. dan apakah ia bisa naik tanpa menghadapi resiko tergelincir dan ia jatuh kembali. Kali ini dengan tubuh langsung menimpa batang-batang tumbak lainnya yang menganga runcing di langit kelam.
Entah berapa lama ia berperang dengan keinginan untuk naik ke atas dan untuk tetap diam menunggu sampai datang siang, sampai kemudian samar-samar ia dengar suara langkah-langkah kaki.
Tubuh Suryadi menegang. Langkah-langkah kaki itu!
Begitu halus dan perlahan, tetapi dalam kesenyapan malam yang menghantui rimba belantara itu, terdengar bagaikan langkah-langkah raksasa yang berdebum-debum menuju dirinya dan siap melumatnya. Suryadi memepetkan diri ke dinding lubang. Tanpa bersuara. Nafas ia tahan agar jangan sampai keluar. Kalau yang di atas sana bukan raksasa. ah. tolol benar. Tentu saja bukan. Tetapi itu belum berarti keselamatan bagi dirinya. Karena langkah-langkah kaki ditengah hutan pada malam hari hanya diciptakan oleh langkah-langkah kaki binatang buas. Binatang yang seharusnya terjerumus ke dalam lubang, tetapi beruntung karena nasib itu lebih dulu dialami oleh Suryadi dan kudanya.
Keringat dingin sudah membasahi sekujur tubuhnya, ketika di bibir lubang ia melihat bayangan putih. Hatinya tersentak keras. Bayangan putih !
Namun demikian gelapnya suasana ketika itu. Sehingga ia cuma melihat bayangan putih semata. Tanpa mengetahui apakah bayangan itu bayangan binatang ataukah bayangan perempuan berbaju putih yang ia lihat di puncak bukit dan yang '
menyebabkan ia harus celaka seperti sekarang dan kudanya mati tersiksa.
ia tidak melihat raut wajah. Tidak pula anggota-anggota tubuh. Semua gelap. Gelap. Gelap. Dan bayangan putih itu seperti berjongkok. Mungkin juga menjulurkan salah satu bagian tubuhnya ke dalam lubang.
Suryadi mendengar helaan nafas di bibir
lubang. Berdegup jantungnya. Tiba-tiba " keinginan untuk menjerit. Ia tahan nafas kerasnya, kemudian melepasnya dalam sebuah teriakan. Tatapi teriakan itu cuma tertahan ditenggorokan. Lidahnya kelu. sementara mulutnya tidak mau terbuka. ia mengetahui kekejangan telah menguasai seluruh persendian tubuh sampai ke sanubarinya yang paling dalam, sehingga jangankan bergerak, untuk menjerit pun ternyata ia tidak sanggup.
**** Karena itu, dengan putus asa ia kemudian
melihat bayangan putih itu seperti berdiri kembali, kemudian lenyap. Tinggal langkah-langkah kaki yang semakin menjauh dan menjauh, kemudian hilang sama sekali. Barulah Suryadi bisa membuang nafas. Cuma nafas. Ia terlalu takut untuk
menjerit. Tanpa yakin makhluk apa yang bakat muncul di bibir jurang.
Tetapi ia pun takut mati di dalam lubang. Kalau itu terjadi, sungguh konyol. Tak akan seorang pun yang mengetahui di mana ia berada dan di berkubur. T erlintas nasib kakek moyangnya. Juragan Adiwinata pun lenyap tanpa bekas. Dan orang-orang lalu mengatakan juragan Adiwinata ditelan oleh kekuatan penyihir bersaudara yang mambalas dendam padanya. Dan kalau . Suryadi tidak berhasil keluar hidup-hidup dari dalam lubang. maka kepercayaan penduduk itu akan semakin menebal. Dan sia-sialah ia mempertahankan pendiriannya selama ini. .Sia-sialah ia datang ke kampung ini, meninggalkan studi. kesenangan dan pacarnya di kota. Pacarnya.
"Duh. kekasih!" ia mengerang. "Kalau kuingat dirimu. tak kan aku menguber bayangan perempuan di pwuoak bukit itu. 0, maukah kau memaafkan pengkhianatan dan memberikan kekuatan pada diriku. sayang?"
la ingin menangis, tetapi ia merasa malu pada dirinya.
la harus berjuang. Tidak boleh berputus asa.
Setelah beberapa saat berusaha mengendurkan otot-otot yang kejang. Suryadi kemudian merangkak. Kepalanya membentur benda keras. Ternyata kepala kuda. Kalau di siang hari, ia bisa membayangkan di kepala kuda itu akan ada sepasang mata yang membesar, melotot menahan rasa sakit. Tetapi karena gelap dan sinar kehidupan dari mata itu telah mati, Suryadi tidak melihat apa-apa. Namun ia masih mengharapkan
pertolongan dari binatang yang belum berapa lama ia kenal tetapi seakan-akan sudah sehidup semati dengannya.
"Maafkan aku. kuda yang baik." ia berbisik.
Lantas. ia berdiri di bagian atas tubuh kuda yang menggeletak itu. Sesaat ia agak terhuyung karena rasa sakit akibat terjatuh ke dalam lubang. Cuma sesaat. Karena ingatan begitu dekatnya tadi bayangan putih yang muncul hanya beberapa detik mendorong hatinya. Bibir lubang pastilah tidak terlalu tinggi. Dengan berdiri di atas tubuh binatang yang telah mati itu ia berharap bisa mencapai tepi lubang.
Terdorong oleh semangat yang kembali berkobar-kobar. ia menggapai-gapaikan tangan. Tetapi ternyata tidak mencapai tepi lubang. Seketika ia hempaskan kaki dengan kesal. Terbentur pada ujung tumbak yang menembus leher kuda.
"Hem, Tuhan masih mau menolongku," ia bergumam.
Lalu ia iejakkan kakinya di ujung tumbak itu. Karena sepatunya beralas karet. tidak sampai tertembus. Kaki yang lain meraba-raba. Segera ia menemukan ujung tumbak yang menembus perut kuda. la jejak lagi. Kini tinggi tubuhnya mencapai apa yang ia kehendaki. Setelah meraba-raba di bibir lubang, ia merasa memegang akar-akar kayu yang besar dan kuat. la sentak-sentakkan sesaat. menguji kekuatan bertahan akar itu. Setelah yakin cukup kuat, ia kemudian melambungkan dirinya keras-keras ke atas. kemudian siku-siku kakinya melipat.
Benturan sepatunya menggempur tepi lubang dengan keras sehingga tubuhnya melambung lagi. Dengan meminjam kekuatan lambungan itu ia melejit ke atas dan kemudian jatuh berdebum di atas tanah berumput.
"Selamat!" pikirnya seraya duduk dan menarik nafas lega.
Sekarang. persoalannya ialah. Ke arah mana ia akan menuju" Meneruskan penguberannya terhadap bayangan perempuan berselubung kain putih di puncak bukit"
"Konyol benar," ia tersenyum sendiri. "Bukankah aku mengaku salah dan meminta maaf pada kekasihku?"
Namun dalam hati kecilnya ia merasa akan dan harus bertemu dengan perempuan misterius itu, siapapun juga dia adanya. Entah kapan, tetapi pasti saat itu akan terjadi. Yang penting. ia harus hidup dan kembali untuk menyegar bugarkan tubuhnya. Karena itu ia berdiri. Mencoba memandang dalam kegelapan dengan mata yang nyalang. la ingat-ingat arah kuda jatuh ke dalam lubang kemudian ia merangkak. meraba-raba. Segera ia temukan semak belukar yang terlanda tubuh kudanya.
Dengan berpedoman pada arah yang samarsamar itu ia terus merangkak seraya terus meraba raba. Sesekali ia tersandung jatuh. tetapi bangkit lagi. Berulangkali pula wajah dan bajunya ditusuk tusuk semak tajam sehingga ia merasakan perih
yang amat sangat. Jalan yang ia tempuh seolah-olah tidak akan berujung dan telah banyak tahun berlalu sampai kemudian samar-samar ia mendengar suara ribut. ribut yang semakin lama semakin jelas. la tertegak, diam mendengarkan.
Suara-suara itu adalah suara-suara manusia. Seketika, perasaan capek lenyap. la menghambur menerobos semak belukar dengan berpedoman pada suara-suara itu. Dengan jatuh bangun ia berhasil keluar dari hutan dan melihat beberapa orang yang membawa obor baru saja menyeberangi sungai.
Sambil berlari. Suryadi berteriak:
"Hai!" Lampu-lampu obor itu tertegun. Suara-suara itu diam. Melihat ada bayangan berlari-lari dari dalam hutan mendekati mereka. ada yang berteriak:
"Hantuuu !" Lantas Suryadi melihat beberapa di antara nyala-nyala obor itu menjauh mengikuti orang orang yang memegangnya menyebur kembali ke dalam sungai untuk berenang ke seberang. Tetapi sebuah suara yang dikenal oleh Suryadi menahan orang-orang lain yang sudah siap pula melarikan diri:
"Tahan! Aku tahu benar itu bukan hantu!"
Dengan bersemangat, Suryadi menyahut:
"Aku memang bukan hantu. Mang Karta. Aku Suryadi!" Orang-orang yang sudah terjun ke sungai pada naik kembali beramai ramai. Suryadi lega sekali. Tetapi ia sudah terlalu capek, sehingga akhirnya terjatuh bergulingan di atas tanah berumput. Dengan dipimpin oleh mang Karta orang orang yang memegangi obor-obor itu berlari larian mendekat. Perlahan-lahan tampak tubuh Suryadi menggeletak kelelahan di atas rumput. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Beberapa bagian wajah dan lengannya berdarah oleh goresan lukaluka. Hampir seluruh pakaiannya robek.
'Tuhan masih mengabulkan doa ku. Den Surya.' mengucap mang Karta seraya melemparkan obornya dan berjongkok.
"Terimakasih, Mang." jawab Suryadi, tersenyum. '
"Kau... tidak apa-apa bukan. Den?"
"Aku selamat. Selamat, seperti yang kau lihat.'
"Tetapi Aden tentu capek dan sakit Mari saya bopong."
Suryadi menolak dan berusaha berdiri. Namun
' setelah selamat dari kematian yang mengerikan. terasa bagaimana kekuatannya sebagai manusia biasa cuma terbatas.
Ia sudah hampir jatuh lagi kalau mang Karta tidak segera menangkap pinggangnya. kemudian memanggulnya. Dengan bantuan beberapa orang yang mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi agar tidak menyentuh air. Suryadi diseberangkan melalui sungai. Air matanya menetes satu persatu oleh perasaan syukur selama kembali dalam keadaan
hidup. dan oleh perasaan haru atas pertolongan orang-orang yang berusaha menahan rasa takut untuk bisa menemui dirinya. Dalam hati ia berniat untuk mengadakan upacara selamatan sebagai tanda terimakasih.
Dan menjelang tiba di rumah besar yang rasanya seperti sudah lama rumah yang sangat ia rindukan. orang-orang yang mengantar sudah pulang satu persatu. Tinggal mang Karta berdua dengan Suryadi saja.
'Apa yang mereka takutkan, Mang?" tanya Suryadi ketika ia terbaring di kamar sementara mang Karta membalut tubuhnya yang luka-luka.
"... mereka takut. Selalu begitu. Takut memasuki rumah ini di malam hari."
"Apakah rumah ini berhantu?" Suryadi tertawa.
Mang Karta tertegun. "Kalau kau hidup lebih lama di rumah ini, Dan," keluhnya perlahan. "kau tak akan berbicara seceroboh itu."
"Lantas mengapa pula mereka pada berserabutan ketika aku ke luar dari hutan?"
"Untuk kuajak ke sana saja mereka sukar, Den. Hanya dengan membujuk mereka dengan kenyataan bahwa Aden satu-satunya pewaris yang masih hidup untuk memperbaiki keadaan yang telah merusak jiwa orang-orang di sekitar perkebunan ini, beberapa orang-orang berani mau ikut mencari Aden. Tetapi ketika menjelang sampai ke dalam hutan dengan mengikuti jejak-jejak kaki kuda... ah. kuda itu tidak mungkin kembali dengan
selamat, bukan." Mang Karta menatap serius pada Suryadi.
"Kuda yang malang. Dan orang-orang itu akan semakin percaya. di hutan itulah dua penyihir bersaudara lebih dari seratus tahun yang lalu. hidup dan memperhebat ilmu sihirnya. Dan di hutan itulah kakek moyang Aden paling akhir terlihat. Juragan Adiwinata lenyap bagaikan ditelan bumi dalam hutan yang tidak pernah dijamah manusia itu...."
Dingin sekujur tubuh Suryadi mendengar penuturan mang Karta itu. Jadi ia telah memasuki apa yang oleh penduduk dianggap sebagai hutan larangan. Tetapi jebakan itu" Dan bayangan putih yang muncul dalam beberapa detik itu" Diam-diam ia merasa yakin kalau bayangan putih itu pasti bayangan manusia. Entah siapa. tetapi kuat dugaan pasti perempuan yang selalu menampakkan diri di puncak bukit. Ada misteri yang terpendam di tengah-tengah hutan itu. Misteri inilah yang berhasil membuat kakek moyangnya bagaikan lenyap di telan bumi sehingga penduduk percaya kalau juragan Adiwinata ditelan para penyihir. ia harus menyingkapkan tabir misteri itu. ia harus membuktikan pada penduduk bahwa di dalam hutan itu ada manusianya yang juga hidup seperti
mereka! '... hem," ia bergumam. "Akan kuperlihatkan sesuatu pada kalian besok."
"Ya Den?" Mang Karta memandang heran.
"Besok. Bila aku sudah kuat, kau dan beberapa orang penduduk akan kuajak masuk kembali ke dalam hutan."
Mang Karta menggeleng-gelengkan kepala.
"Mereka tak akan berani,"
"Meskipun di siang bolong?"
"Munculnya Aden dengan pakaian robek-robek berlumur darah dari dalam hutan itu semakin meyakinkan kepercayaan yang menghinggapi mereka selama ini."
"Tetapi jebakan itu!"
"Jebakan?" mang Karta bertanya.
"Ya, Jebakan binatang buas. Tak mungkin hantu atau peri yang membuatnya karena mereka tak takut pada binatang buas. Lubang menganga, ditutupi jerami dan semak belukar buatan dengan tombak-tombak runcing di dasarnya. ltu adalah hasil karya tangan manusia untuk menghalau atau menjebak binatang. Dan kuda kita yang malang itulah salah satu korbannya!"
Mang Karta termenung. Lalu:
"Mereka tetap akan ragu-ragu...."
"Termasuk manteri polisi" Dan Kepala Desa?"
"Entahlah.' 'Setidak-tidaknya bawalah mereka berdua sebagai saksi. Sekarang. perutku sudah keroncongan. Maukah mang Karta membawakan makanan
ke dalam kamar" Kakiku masih terasa sakit....'
Selesai makan malam, ia ingin menulis sepucuk surat. la berjingkat-iingkat ke meja. Mengambil pulpen. Tetapi ketika membongkar lemari dan pakaian. sadarlah ia kalau dari kota ia tidak membekali diri dengan buku apalagi kertas tulis. Membangunkan mang Karta ia tidak sampai hati. Orang tua itu sudah susah payah mengumpulkan orang-orang kampung untuk mencarinya ke hutan dan kemudian membawanya pulang untuk dirawat. Biarlah ia tertidur nyenyak di kamarnya ditingkat bawah. Suryadi akan mencari kertas tulis sendiri. Biarpun kakek moyangnya tidak menghendaki adanya bau-bau modern di rumah ini. tetapi kertas tulis sudah dipakai jaman kakek moyangnya. seperti juga sendok garpu dan piring, cangkir. lampu gantung peninggalan istri Belandanya yang meskipun rata-rata berbentuk antik tetapi jelas merupakan pengaruh dunia modern yang dibawa oleh Belanda ke negeri ini. Kalau begitu, kertas tulis mesti ada. Tetapi di mana"
Karena tak juga menemui kertas di kamarnya sendiri. ia berniat mencarinya di kamar lain yang oleh mang Karta tidak boleh ia masuki. Apa sebabnya mang Karta belum menceritakan dan ia sendiri belum sempat menanyakannya. Kalau dugaannya benar, pastilah menyangkut apa yang mereka katakan hantu-hantu atau barangkali ada benda benda peninggalan di dalam kamar yang tidak boleh diganggu gugat.
Tetapi. mengapa" Bukankah semua itu kini milik Suryadi, termasuk rumah dan setiap pelosok kamar-kamarnya" Dan ia cuma ingin mencari kertas, untuk menulis surat pada kekasihnya di kota Memberitahukan ia telah tiba dengan selamat dan tidak mengalami kesulitan apa-apa di perkebunan ini, mohon maaf terlambat berkirim kabar, sekalian memberitahu mungkin lama ia baru bisa kembali ke kota. _
Setelah keluar dari kamarnya. ia berjalan ke arah kamar lain di ujung koridor tingkat yang sama. Dengan berbekal sekotak korek api dan sebatang lilin yang menyala pada tangkai perak, ia tiba di depan ambang pintu. Tenang dan beku rasanya pintu itu, seperti enggan dimasuki. Ada perasaan aneh menyelinap ke dalam hati Suryadi ketika ia memegang tombol pintu dan memutarnya dengan hati-hati. Apapun yang mungkin ia lihat di dalam, tetapi ia cuma ingin mencari secarik kertas.
Menulis surat pada pacar akan sedikit menolongnya dari kegelisahan dan kekacauan pikiran oleh apa yang ia alami semenjak tiba di rumah ini sampai ia hampir mati tak berkubur di tengah hutan tadi. Dengan suara berderit. pintu terbuka.
*** ENAM Suryadi menahan nafas. ia ulurkan tangannya yang memegang tangkai perak berlilin menyala ke dalam kamar. Mula-mula ia tidak melihat apa-apa, kecuali sebuah tempat tidur yang lebih tua dan besar dari yang ada di kamarnya. Tempat tidur itu juga berkelambu. hanya kelambu yang kini ia lihat sudah kumal karena debu dan jaring laba-laba. Rupanya kamar ini jarang atau sama sekali tidak pernah dibersihkan. Masuk ke dalam, ia juga melihat lemari. Terkunci.
Ada satu set kursi antik dari marmer. Alat-alat tulis di atasnya iuga dipenuhi sarang laba-laba. Ia merasa tidak memerlukannya. Ia coba menarik laci. Ada buku-buku tua. juga beberapa potong benda-benda lama seperti pipa cangklong dari gading gajah, kertas penyerap tinta. cincin emas yang besar, pisau lipat dan berbagai benda lain yang dipakai sehari-hari. Setelah membongkar laci demi laci akhirnya ia menemukan tumpukan kertas tulis di laci paling bawah.
Setelah menyisihkan beberapa lembar uang kertas Belanda yang berserakan di atas kertas-kertas itu ia mengambil beberapa helai kertas tulis yang kosong .
Sekarang. apakah ia kembali saja ke kamar atau menulis di tempat ini saja" Toh ada lilin yang menyala terang, ada meja meski berdebu. ada kursi yang bisa ia duduki setelah lebih dulu menerpis-nerpiskan sarang laba-laba yang memenuhinya. Mengapa ia harus capek-capek kembali ke kamar" Kalaupun nanti ia ketiduran. kasur empuk di atas tempat tidur itu kiranya telah lama menantikan kehadiran tubuh manusia untuk menghangatkannya kembali. Lengkaplah sudah.
Sekarang, ia lebih baik duduk. meletakkan lilin di atas meja dan mulai menulis. Terasa enak duduk di kursi berkaki marmer beralas karet busa itu. ia hamparkan kertas di atas meja. Siap untuk menulis. Tetapi kata-kata apa yang paling tepat la ucapkan sebagai pendahuluan isi surat. Meskinya kata-kata yang mesra, tetapi apa yaaa"
la bersandar ke kursi. Mencari kata-kata lamunan. Tetapi kepalanya yang tertengadah, tiba-tiba menegun. Lamat-lamat matanya menangkap dua buah potret besar yang digantungkan bersebelahan pada dinding di hadepannya.
Dua pasang mata memandang tajam pada Suryadi.
Yang sepasang adalah mata kakek moyangnya sendiri. Juragan Adiwinata. Seolah menatap tajam dan menegur pada dirinya. Namun bibir keriput itu melepas seukir senyum yang gagah.
sedikit angkuh tetapi menyenangkan hati. ia membayangan dirinya dalam keadaan seperti kakek moyangnya di dalam potret. Mengenakan pakaian bangsawan kampung dengan bintang-bintang perak dari Belanda dan rumbai-rumbai hias, berdiri gagah. perlente dan penuh daya perintah yang tidak terbantah.
Aneh. tetapi itulah yang dialami Suryadi.
Ia merasa yang duduk di kursi, adalah kakek yang telah memasuki dirinya. Dan ketika ia menoleh ke potret satunya lagi, ia melihat wajah seorang perempuan muda yang cantik jelita. bermata jalang dan berbibir menantang. Cuma sedetik ia teringat pada persamaan wajah itu dengan patung pualam di ruang tengah di tingkat bawah. karena di detik berikutnya sebuah kekuatan gaib telah membuat Suryadi berdiri perlahan-lahan. Dari depannya muncul bayangan perempuan berkain putih seperti bidadari, tanpa penutup lain di baliknya sehingga seluruh liku-liku tubuhnya tampak nyata menggairahkan. _
"Winata..." berbisik perempuan itu. dengan nafas hangat.
"Kekasihku," menjawab Suryadi.
Ia mengembangkan kedua belah tangannya. Perempuan cantik itu menyelusup di tengah-tengah. merebahkan wajah di dadanya dan mereka berpelukan dengan kemesraan tiada tara dan kehangatan yang menggelora. Harum semerbak mekar wangi dari rambut si perempuan. menimbulkan aroma-aroma kegairahan yang melanda
seluruh tubuh dan jiwanya.
"... tidak takutkah kau. Winata?" berbisik perempuan itu.
"Takut?" "Ya, Kalau ketahuan istrimu kau masuk ke kamar ini, bercumbu denganku dan"."
"Sekali ia marah, di saat itu juga ia kucerai."
"Tetapi semua kekayaan dan kedudukanmu yang berpengaruh di daerah ini berasal dari istri Belandamu itu, Winata"."
"Aku pun bisa hidup tanpa harta, kekasih! Dengan cintamu yang lembut kita bisa mencari kebahagiaan dan kekayaan berlimpah. Kita akan menikah, hidup sebagai suami istri dan tidak bercumbu di bawah rasa takut dan harus selalu bersembunyi-sembunyi..."
"Alangkah indahnya, Winata."
"Ya. kekasihku. lndah sekali. seindah wajah dan tubuhmu. 0, kerinduan yang selalu melanda, terimalah kehadiran hambamu yang pasrah tanpa kata..." dan sepasang tangan Suryadi mengangkat tubuh perempuan itu perlahan-lahan ke tempat tidur. Sepasang bola mata perempuan itu tenggelam di balik kelopak matanya yang indah. Terpejam dalam ketika bibirnya dicium Suryadi dengan perlahan. Ada rintihan halus dari bibir si perempuan. Dan ketika Suryadi merasakan gejolak gairah mulai menempur kejantanannya pakaian putih yang tipis satu-satunya milik perempuan itu telah terbang ke sisi ranjang. Melayang layang sesaat di udara kemudian jatuh mengelimpang di atas tantai.
"Kekasihku." bisik Suryadi dengan suara gemetar.
"Winata, sayangku," balas si perempuan. Mendesah. Seraya mengigit bawah telinga Suryadi. Jari jemarinya yang lembut dan berkuku bagus menggapai-gapai ke arah kemeja yang dikenakan Suryadi. membuka kancing-kancing satu persatu dengan sepasang mata yang terus terpejam.
Helaan. nafas mereka saling berpadu. harum semerbak tubuh mereka saling berpagut. Jiwa mereka seperti dilanda oleh kebahagiaan yang menyatu. seperti tubuh mereka yang tidak terpisahkan lagi.
Bagaikan terbang ke surgaloka bersama dewa dan dewi. mereka menari-nari gembira, bersenyum tertawa, merintih bersenda, dihibur nafas kuda yang mereka tunggangi...


Sumpah Leluhur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan akhirnya mereka tertidur lelap sampai
pagi. "Den Surya! Den Surya! Den Surya!"
Panggilan yang samar-samar itu membangunkan Suryadi. Mula-mula, ia merasa dipanggil oleh kekasihnya, tetapi ketika suara itu terus memanggil-manggil ia kenali sebagai suara laki-laki. Perlahan lahan ia buka matanya. ia kucak-kucek
dengan kedua lengannya. Kemudian ia menoleh ke samping. Kasur di sisinya kosong, dingin seperti juga bantal yang bersatu dengan bantalnya.
Tidak ada perempuan cantik jelita yang begitu hangat dan bergelora di tubuhnya. Tidak ada kemesraan dan keindahan yang berlambang syorga. Yang ada cuma tubuhnya sendiri, telentang dalam keadaan telanjang di atas kasur yang spreinya acak acakan. berdebu dan sebagian kelambu yang menganga masih dipenuhi oleh sarang labalaba.
'Ya Tuhan. Den Surya. lihatlah. Tutupilah dirimu!"
Suryadi serentak berdiri.
Di ambang pintu. tegak Mang Karta. pucat pasi dengan wajah tuanya yang rusak mengerikan dan kakinya yang terpincang-pincang ketika melangkah masuk ke kamar. Terkejut dan takjub. Suryadi menyambar celana paniangnya yang terhampar di lantai. la iuga menyambar kemejanya. tetapi ia tidak melihat di sana juga terhampar kain putih si perempuan. Yang ada cuma lantai papan yang kering berdebu.
"Mengapa Aden masuk dan tidur di kamar ini?" tanya mang Karta gugup.
Suryadi menggoyang-goyangkan kepalanya yang terasa sakit.
"Aku..; aku tidak tahu...." gumamnya. Untuk meyakinkan diri ia melangkah ke meja. Kertas tulis itu masih kosong. dihimpit oleh pulpennya sendiri. ketika memandang ke dinding, ia melihat potret
kakeknya dan potret perempuan berwajah seperti patung pualam. tengah tergantung bersisian. Potret kakeknya berwajah kaku. dengan mata menegur tetapi tersenyum angkuh namun menyenangkan hati. Dan si perempuan bermata jalang, berbibir menantang.
"Siapa perempuan ini" bisik Suryadi gemetar.
Mang Karta melihat potret itu, dan menjadi lebih pucat. Gemetar bibirnya waktu menjawab.
'itu konon potret pelayan yang jadi penyihir itu. Dan kamar ini adalah kamar pribadi kakek moyangmu, di mana mereka sering bertemu secara sembunyi-sembunyi."
Tersendat nafas Suryadi. Apa yang dialaminya barusan benar-benar bagaikan sebuah mimpi yang indah tetapi mencemaskan dalam kenyataannya. ia benar-benar merasa hidup lebih dari seratus tahun yang lalu. bercumbu di tempat tidur dengan perempuan cantik yang kini potretnya tergantung di dinding.
Tiba-tiba ia merasa takut memikirkan itu. dan tanpa memperdulikan bagian-bagian dan benda benda lain di dalam ruangan yang luas itu, cepat cepat ia menghambur ke luar diikuti oleh mang Karta yang cepat-cepat pula menutupkan pintu. Dengan lembaran kertas serta pulpen di tangan beberapa saat kemudian Suryadi terduduk di atas
debur-debur kencang. ia tidak tahu apakah ia harus menulis surat juga pada kekasihnya di kota.
Yang ia tahu, pikirannya sedang terguncang hebat oleh impian yang seakan-akan nyata ia alami di kamar kakek moyangnya.
"Sarapan pagi sudah siap, Den Surya." tak lama kemudian mang Karta muncul kembali.
"Aku... aku tak lapar."
"Nanti Aden masuk angin. Dan hari ini para pemetik teh akan mulai bekerja. Sebaiknya Den Surya melihat-lihat mereka sebagai selingan kegembiraan di perkebunan ini...."
Seraya mengeluh. Suryadi bangkit berdiri. menuruni tangga ke tingkat bawah tanpa berani menoleh pada dinding di mana lukisan kakek moyangnya dan leluhur-leluhurnya yang lain bergantung. la terlalu takut untuk memperlihatkan mukanya kepada juragan Adiwinata, seperti suatu keharusan yang mesti ia perlihatkan. ia pun segan pada kakeknya, pada ayahnya. pada pamannya. Semua itu menimbulkan bayangan-bayangan yang mencemaskan dan mengharu birukan perasaannya. Desas-desus tentang kematian demi kematian leluhur-leluhurnya itu yang terjadi secara misterius. mulai membingungkan dirinya terlebih lebih setelah apa yang ia yakini ia alami secara sadar di kamar kakek moyangnya.
Selama sarapan Suryadi diam-diam saja. Pelayan satu-satunya dirumah itu pun tidak berani
mengganggu. ia makan pula diam-diam. berulangkali mengeluh melihat keanehan-keanehan yang sering dilakukan tuan mudanya. dan berulangkali pula ia menyeka wajahnya yang setengah rusak
menyapu keringat yang mengucur satu persatu. meski udara di pagi hari itu sebenarnya cukup dingin. Setelah sarapan selesai dan pelayan membersihkan meja. ia beranikan diri untuk berkata:
"Saya akan menyuruh orang memanggil kepala desa dan menteri polisi. Tetapi sebelum mereka datang, ada baiknya Den Surya memperlihatkan muka pada para pemetik teh sekedar memberitahu mereka telah ada majikan yang baru."
Suryadi memandangi mang Karta. Wajah rusak di depannya menggetarkan hatinya. Laki-laki tua yang telah lama hidup dalam rumah ini pun telah mengalami hal-hal misterius yang menyebabkan wajahnya rusak dan sebelah kakinya pincang. Mestinya laki-laki itu juga mengetahui mengenai tabir misteri yang menggantung selama ini, tetapi mang Karta tampaknya tidak pernah berminat untuk mengungkapkannya. Atau, memang ia tidak terlalu banyak mengetahui.
"Apakah aku harus berpidato?" ia bertanya dengan seloroh. sekedar menghilangkan ketegangan yang menjepit di antara mereka berdua.
Mang Karta tersenyum. Untuk orang lain. tampak mengerikan.
"... sebagai permulaan. makan sianglah bersama mereka. itu merupakan sebuah cara pendekatan yang juga telah dilakukan ayah dan paman Den Surya. Mereka akan senang. Jangan lupa, beberapa di antara mereka ikut mencari dan Surya ke hutan tadi malam...."
"Kalau begitu, sediakanlah santapan siang
yang lezat. Semua pegawai suruh makan di halaman depan...."
"Berarti saya harus memotong salah seekor anak sapi, meminta tenaga bantuan sejumlah pekerja dan tukang masak serta mempersiapkan meja-meja dan kursi-kursi di pekarangan.' kata mang Karta puas, seraya berdiri. "Bila Den Surya sudah siap, pak Cakra akan segera datang untuk menjemput dan menemani berkeliling...."
Bersama mandor kebunnya bernama Cakra itu Suryadi berkeliling. Kali ini jalan kaki. karena kuda jantannya yang gagah itu telah mati dalam lubang jebakan di hutan sedangkan kuda lain dalam istal tidak ada yang menarik hatinya. Pengalamannya yang mengerikan dan menyebabkan kuda tunggangannya mati penasaran tidak ingin ia ulangi kembali.
Ingatan pada semua yang ia alami itu membuat pikiran dan perhatiannya tidak tertuju pada puluhan pemetik-pemetik teh yang tengah bekerja, laki perempuan. tua dan muda. Pakaian mereka berwarna-warni, topi-topi pandan mereka yang lebar-lebar seperti tudung saji sangat menarik hati. dan pandang mata mereka yang berminat melihat kehadiran Suryadi di tengah-tengah mereka, sama sekali tidak mengurangi kerisauan yang melanda hatinya.
Setelah berbincang-bincang dengan beberapa orang pemetik teh ia kemudian meninggalkan mereka sibuk dengan pekerjaannya lalu berjalan
sendirian ke bawah rindangan sebatang pohon beringin untuk bernaung.
Matahari sudah mulai naik ketika seseorang lewat di hadapannya membawa bakul besar berisi daun-daun teh yang baru dipetik. Kehadiran orang itu mungkin tidak akan menarik perhatian Suryadi kalau saja orang itu tidak mendehem halus sehingga perhatian Suryadi yang dari tadi tidak lepas-lepas ke arah bukit di mana bayangan perempuan itu ia lihat muncul, segera teralih. ia tertegun melihat orang di depannya. Seorang gadis tinggi semampai dengan lekuk-lekuk tubuh yang menonjolkan keremajaan yang tengah menjadi.
"Lagi melamunin apa. Juragan?" sapa gadis itu.
Lembut dan merdu sekali suaranya. Sesaat. Suryadi memperhatikan gadis itu dari ujung rambut ke ujung kaki. Dalam pakaian pemetik tehnya yang sederhana dan bertambal rapih di sana-sini, wajah gadis itu tampak cantik dan menarik. Suryadi merasakan sesuatu yang menyentuh dalam hatinya ketika memandangi wajah gadis itu. ia seperti mengenal raut wajah itu. tetapi setelah susah payah mengingat-ingat ia tak juga bisa manebak. Mungkin bukan wajah itu yang memberi kesan padanya, tetapi potongan tubuhnya yang tinggi semampai.
"Siapa kau?" ia membuka mulut.
Gadis itu meletakkan bakul tehnya. duduk di tempatnya tadi tegak.
"Nama saya Suryati. Kata ayahku. berarti cahaya hati."
"Ayahmu tepat sekali memberikan nama." memuji Suryadi.
"Mengapa tidak mendekat kemari dan duduk di bawah naungan bayang bayang yang begini sejuknya?" _
"Ah. tidak sepantasnya saya berbuat demikian, Juragan."
"Jangan panggil aku dengan sebuatan itu. Panggil saja namaku, atau kalau kau pun enggan memanggil namaku panggillah aku sebagai mana pembantu-pembantu" memanggilku. Dan karena kebetulan nama depan kita serupa, dengan nama apakah kau harus kupanggil Suryati?"
"Empat huruf terakhir cukup baik, Den Surya."
"Baiklah. Yati. Nah. mengapa tidak mendekat kemari" Apakah kau takut?"
Gadis itu tertunduk malu. Wajahnya yang disengat mentari tampak kemerahan. Segar dan mempesona hati yang memandang.
"Saya malu, Den Surya."
"Mengapa harus malu?"
"Karena kata orang terlarang berdekatan dengan Juragan."
"Surya. Namaku Surya."
'" kata orang. terlarang berdekatan dengan Den Surya." ulang gadis itu. mengikutkan pembetulan dari Surya. Si lelaki yang bernaung di bawah pohon mengernyitkan alis mata. Namun cuma sebentar. karena segera wajahnya menjadi biasa kembali. Ia sedikit tertengadah ketika tersenyum membujuk. Persis seperti juragan Adi,
winata tersenyum pada potret atau lukisannya di dinding .Hati Suryadi berdetak tanpa sesuatu sebab yang tak mengerti .Dan agak gugup ketika ia menyapa
'Sudah lama kerja di sini"
lumayanlah, Den Surya Hampir setahun '
'Jadi kau pun mendengar kematian ayahku. Setidak tidaknya, pamanku '
Gadis itu menganguk Wajahnya sedikit pucat
"Cerita-cerita itukan yang membuatmu takut"
Mengangguk lagi si gadis. Semakin pucat
'... kau terlalu dipengaruhi tahayul kalau begitu. Yati."
Si gadis tidak menjawab. 'Nah. Sudahlah Sebentar lagi akan tiba waktu makan siang. Maukah kau ikut bersamaku mengatur meja makan di halaman rumah sana. Yat" Suryadi menunjuk ke pekarangan rumah besar di pertengahan perkebunan.
Mang Karta tampak tengah sibuk dengan sejumlah pembantu-pembantu yang ia datangkan dari desa. Ia akan senang sekali kalau di dekat ujung meja duduk juga gadis itu. meskipun hal Itu akan merupakan gejala pengkhianatan pada kekasihnya di kota .
Namun seperti ada perasaan yang menyuruhnya untuk bergaul lebah intim dengan gadis itu. Terlebih-lebih setelah lebih memperhatikan dengan teliti.tampak betapa cantiknya gadis itu.dan betapa tubuhnya membentuk bagus sekali. Tanpa ulasan dan balutan barangbarang atau pakaian
pakaian mode dari kota. namun justru semakin menambah daya tarik.
Tetapi si gadis tiba-tiba berkata:
"Maafkanlah. Den Surya. Tetapi hari ini ayah saya sakit. dan saya harus segera pulang untuk
menemaninya...." "Oh." Suryadi agak kecewa. "Di mana ayahmu tinggal?"
"Jauh. Den Surya. Jauh sekali dari sini."
"Oh ya?" "Melewati desa-desa. Den Surya. Tetapi dengan jalan setapak yang biasa saya tempuh dengan ayah, cuma memakan beberapa jam berjalan kaki.?"
"Hem. Kalau begitu, pergilah pada pak Cakra. Mintakan beberapa potong daging dan ikan untuk kau bawa pulang sebagai lauk pauk ayahmu yang' sakit!
Si gadis mengucapkan terima kasih. kemudian berdiri.
Namun sebelum pergi. ia memperhatikan Suryadi dengan mata tajam. Suryadi terpana. Heran, mengapa si gadis memandanginya demikian rupa. Dan juga heran mengapa gadis itu dengan sengaja seolah lewat di dekatnya kemudian duduk memenuhi permintaannya.
* * * la memikirkan hal itu dengan perasaan gundah. Kemudian mengambil kesimpulan.
Ia seorang majikan yang kaya dan berpengaruh dan si gadis sebagai pegawainya yang cantik dan menarik. Kemudian, ia teringat kehidupan modern di kota. Di kantor-kantor tertentu, juga bisa terjadi hal yang sama. Mungkin dengan cara yang berbeda, tetapi tetap saja bahwa sama. Seorang majikan ada main dengan pegawai wanitanya. Tetapi mungkinkah si gadis itu bertujuan sama dengan sekretaris-sekretaris pribadi direktur di kota kota"
Suryadi menghela nafas. "Sampaikan salamku pada ayahmu. Semoga ia cepat sembuh."
Si gadis mengucapkan terima kasih lagi. Kemudian melangkah menjauh, semakin jauh dan jauh sampai kemudian ia hilang di antara pekerja pekerja lainnya yang masih bertekun di antara batang-batang teh yang memenuhi beberapa perbukitan di sekitar itu. Yang tinggal cuma bayangan pinggulnya yang bergerak gemulai, betisnya yang indah. jari jemari kakinya yang manis dan suaranya yang merdu dan wajahnya yang mempesona mata.
"O, laki-laki!" sungut Suryadi seraya memukul jidatnya sendiri.
Ia kemudian tersenyum. Berdiri. Ia harus segera pulang ke rumah, tetapi ingin ke bagian lainnya di bukit sebelah tempatnya bernaung. Di sana terletak beberapa gubuk yang terpisah-pisah sebagai tempat sementara beberapa orang pegawai pegawai tetap selama musim memetik teh. Ia memperhatikan keadaan gubuk-gubuk dan isinya yang serba sederhana, kemudian menemui pak Cakra untuk mengingatkan ia pada suatu ketika memperbaiki gubuk gubuk itu dan menambah peralatannya. Setelah itu bersama-sama pak Cakra ia mengikuti arus pemetik-pemetik teh yang berduyun duyun menuju ke halaman rumah induk begitu lonceng pertama makan siang berbunyi.
Ketika mendekati rumah, gadis tadi berpapasan dengan mereka dengan bakul yang tidak lagi berisi daun-daun teh melainkan beberapa potong daging sapi yang masih segar dan beberapa ekor ikan. Ia mengangguk halus dan tersenyum manis pada Suryadi dan pak Cakra, tetapi Suryadi merasa senyum dan anggukan itu seolah cuma tertuju pada dirinya. Hatinya berdetak keras, berbunga-bunga. Setelah berusaha sedapat mungkin menyembunyikan perasaannya yang tergoncang ia bertanya:
"Apakah kau kenal baik gadis itu dengan ayahnya, pak Cakra?"
Yang ditanya menoleh ke belakang, ke arah si gadis menjauh kemudian menyahut:
"Ndak begitu kenal benar. Banyak pemetik pemetik teh yang berasal dari kampung-kampung yang jauh. Termasuk gadis itu dan ayahnya. Tetapi sebegitu jauh. yang saya ketahui ia dan ayahnya termasuk pekerja yang baik."
"Di mana kiranya mereka tinggal?"
Pak Cakra melihat Suryadi dengan ekor matanya. Yang dilirik sadar, tetapi pura-pura tak acuh. ia sudah terlanjur bertanya, dan ia memang ingin sekali mengetahui lebih banyak tentang gadis yang baru ia temui tetapi seolah-olah sudah begitu dekat sekali dengan hatinya itu. Karena itu dengan berminat ia menunggu pak Cakra menjawab pertanyaannya.
"Kalau tak salah, di balik bukit sana!"
Suryadi mengikuti arah telunjuk pak Cakra. dan tiba-tiba hatinya berdenyut. Bukit yang ditunjuk pak Cakra adalah bukit di mana ia lihat bayangan perempuan misterius itu muncul.
*** TUJUH Siang itu seluruh pegawai perkebunan teh diperbolehkan pulang selesai makan siang bersama yang tidak begitu meriah. Sebagian besar dari mereka masih memperlihatkan rasa takut takut tiap kali melihat ke rumah di mana Suryadi tinggal. la mengerti bayangan kecemasan dalam hati mereka mengingat adanya misteri berbau maut yang senantiasa menyelubungi rumah besarta penghuninya itu. Karena itu Suryadi tidak bisa berkata apa-apa begitu selesai makan, setiap orang lantas buru-buru pamit dan mengucapkan terima kasih atas kebaikan hati Suryadi menyediakan santapan lezat yang jarang mereka cicipi. Satu-satunya kekaguman pemetik-pemetik teh itu hanyalah sistim prasmanan yang rupanya merupakan cara makan yang baru dikenal penduduk di situ.
Sedikit masygul dengan kurangnya kegembiraan yang ia harapkan, Suryadi kemudian memutuskan untuk segera memulai rencana yang telah ia pikirkan sepanjang malam. Apabila hutan di mana ia dan kudanya terjerumus bisa dibuktikan
sampai sekarang masih dijamah manusia, maka sedikit banyak akan menolong mengurangi kepercayaan tahayul yang terus menerus menimbulkan ketakutan-ketakutan di kalangan penduduk. Dengan demikian nama baik rumah dan leluhurnya perlahan-lahan bisa ia bangkitkan kembali.
Masih terngiang-ngiang di telinganya kisah kisah sebelum bobo yang diceritakan oleh uwanya tentang kemasyhuran kakek moyangnya. Juragan Adiwinata yang di masa hidupnya sama berpengaruhnya dengan seorang Residen. Meskipun juragan Adiwinata beristeri Belanda. ia tidak sepenuhnya tunduk kepada keinginan-keinginan penjajah semasa hidupnya.
Perasaan cinta yang sangat dari isteri Belandanyalah yang menolong juragan Adiwinata dari tekanan penjajah di masa itu.
"Saya tak kecewa kalau yang ikut cuma sebegini." celetuknya puas seraya memandang tamu-tamunya yang masih tinggal satu persatu. Pak Asikin, kepala desa yang senantiasa tersenyum itu kali ini agak muram wajahnya. Tadi mang Karta sempat membisikkan:
"Kalau bukan karena gengsi, tak akan berani pak Asikin masuk hutan."
Yang lain-lainnya cuma dua orang. Pak Cakra, mandor perkebunannya. lalu seorang penduduk yang mewakili pak Jaka, karena menteri polisi itu kebetulan sedang bertugas ke kota memenuhi panggilan atasannya. Namun dua saksi sudah cukup. Ditambah mang Karta yang rupanya ikut
bersemangat oleh keyakinan Suryadi tentang hutan yang selama ini ia kenal dengan sebutan 'Hutan para penyihir."
Menjelang senja mereka akhirnya tiba di batas antara daerah yang didiami penduduk dengan daerah yang konon tidak pernah dijamah manusia kecuali para penyihir. Batas yang berupa sungai berbatu itu mereka seberangi hati-hati. Pakaian mereka sebagian basah kuyup ketika mereka tiba di seberang dan berembuk di pintu gerbang hutan yang tampaknya tidak pernah terbuka-buka sepanjang masa.
Di mana-mana pemandangannya sama. Semak belukar yang penuh onak duri, pepohonan pepohonan yang batang-batangnya saling berjauhan tetapi karena rimbun seperti saling bergandengan dengan akar-akar yang saling kait mengait. Suryadi sendiri agak kebingungan, jalan mana yang ia tempuh kemarin bersama kudanya
"Heran." ia bergumam. 'Mestinya jejak-jejak kuda itu masih ada di sekitar sini."
Mang Karta dan pembantu polisi desa mencari-cari.
"Mungkin ada yang menghapus," sungut pelayannya.
'Dan itu membuktikan memang manusialah yang menghuni hutan ini." sahut Suryadi. Tetapi yang lain belum merasa puas. Meskipun segan, tetapi mereka akhirnya setuju untuk menerobos masuk ke dalam hutan di suatu tempat yang kelihatannya sedikit terbuka dan dimasuki. Matahari
masih bersantai-santai di ufuk barat, namun toh mereka merasa perlu untuk mempersiapkan beberapa buah obor yang akan bermanfaat begitu mereka memasuki tabir kegelapan di dalam hutan. Sebagai pemimpin Suryadi merasa perlu berjalan duluan.
"Di sini pun jejak-jejak kuda tidak ada." bisiknya. Yang lain diam.
"Tetapi... nah. ini ada ranting-ranting yang patah.' ia melanjutkan dengan wajah cerah memperlihatkan benda yang ia katakan. "kalau demikian. melalui jalan inilah aku dan kuda itu kemarin lewat."
Semak belukar di antara pepohonan di depan mereka, memang tampaknya bagaikan terambas oleh sesuatu. Pak Asikin yang mulai berkeringat segera menyalakan obor. Karena nyala obor demikian dekat ke wajahnya. yakinlah Suryadi kalau keringat yang membasahi jidat pak Asikin adalah keringat dingin adanya.
Cahaya obor yang segera menyingkap kegelapan yang samar-samar menimbulkan bayangan-bayangan memanjang dan bergoyang-goyang ke sana sini mengikuti gerakan api obor yang sesekali tertiup angin apalagi kalau mereka berjalan. Pembantu polisi desa berpegangan tangan kuat-kuat dengan kepala desa sementara Suryadi berjalan di depan dan. mang Karta yang lebih pemberani dari kedua orang yang di tengah, berjalan paling belakang dengan sebatang golok siap di tangan.
'Yang kutakutkan cuma binatang buas," bisiknya lembut.
Justru bisikan itu yang membuat pak Asikin gemetar sehingga ia cepat-cepat berjalan lebih dekat pada Suryadi di depan.
"Binatang-binatang di sini pasti juga binatang siluman. Saya masih tidak bisa melupakan ketika paman Den Suryadi diketemukan mati dengan bentuk yang...."
Suryadi tertegun. Yang lain ikut tertegun. Pak Asikin lebih-lebih lagi. ia menyesali ucapannya yang terlanjur keluar. Pastilah Suryadi tersinggung hatinya karena pamannya almarhum dibawa-bawa. Siapa yang tidak akan kecil hatinya apabila keadaan salah seorang anggota keluarganya yang telah mati diungkit-ungkit. Kalau keadaan baik, tak apalah. Tetapi ini....
Pak Asikin gemetar membayangkan saat-saat di mana ia sendiri bersama-sama menteri polisi bagaimana paman Suryadi mati mengerikan di kursi goyang. Pedang menusuk lambung saja sudah mengerikan. Tetapi sepasang mata melotot lebar, mulut ternganga memperlihatkan lidah yang memerah saga, serta seluruh tubuh sampai ke wajah ditumbuhi oleh bulu dengan jari-jari yang berkuku panjang. Dalam keadaan hidup, akan buas sekalilah manusia yang telah berubah bentuk itu. Untunglah ia sudah mati dan....
Tetapi bukan ucapan pak Asikin yang membuat Suryadi tertegun. la menghentikan langkahnya tiba-tiba, karena di hadapannya ia melihat hal
yang aneh. Semak belukar yang tadinya terambas ke satu arah. kini terambas ke berbagai arah. Ia menyalakan obornya sendiri dengan menyulutkan ke obor pak Asikin untuk memastikan pandangannya ke depan. Obornya ia julurkan tinggi-tinggi.
Benar saja. Daerah semak belukar di antara pepohonan pepohonan raksasa di hadapannya, bagaikan porak poranda dilanda oleh sesuatu yang tidak ia mengerti. Kalau dilanda oleh binatang tidak mungkin. Karena ada ranting-ranting dan cabang-cabang yang patah sedikit lebih tinggi dari tubuhnya. Bila dikatakan binatang besar dan tinggi. mestilah gajah. Tetapi gajah tidak mungkin tak meninggalkan jejak di tanah lembab yang mereka injak.
'Apa-apaan ini?" sungutnya bingung.
Yang lain-lain mulai merasa was-was, kata
mang Karta. "Mungkin tadi ada binatang buas berkelahi di
sini." 'Tak mungkin," sungut pembantu polisi desa.
"Kalau binatang berkelahi. mestilah semak belukar di sini porak poranda. Tetapi ini.?"
Ya. Semak belukar ini seperti sengaja terambas. Menjurus ke berbagai arah. sehingga Suryadi sendiri kebingungan ke arah mana ia menuju. Setelah berulang kali membujuk pak Asikin dan temannya. barulah ia berhasil membagi mereka berempat menjadi dua kelompok. ia bersama pembantu polisi desa ke kiri. sedangkan mang Karta dan pak Asikin ke arah kanan.
"Kalau ada yang aneh, berteriaklah biar kami tahu," Suryadi memperingatkan mang Karta.
"Sebaiknya berteriak tiap dua atau tiga menit, biar kita satu sama lain di arah mana masing masing berada dan tidak sampai kesasar...." mang Karta mengusulkan, yang disetujui oleh yang lain lainnya.
Dengan persetujuan tanda itu mereka segera berpencar. Tetapi semakin jauh masuk ke dalam hutan. semakin banyak tempat-tempat yang terambas. Suryadi menjadi marah. ia menduga pasti ada seseorang yang berniat tidak baik. sengaja meninggalkan tanda-tanda yang kacau balau itu, agar ia tidak bisa mencapai tempat di mana ia dan kudanya terjerumus. Kalau saja peristiwa itu tidak terjadi di malam hari, mungkin dalam keremangan hutan ia bisa melihat tanda-tanda di atas. Apakah itu jenis-jenis semak belukar. jenis pohon atau cabang-cabang yang mempunyai bentuk tersendiri.
Setelah hampir puluhan kali kedua kelompok itu saling meneriaki akhirnya mereka bertemu lagi. Di tempat berpencar semula tanpa hasil apa-apa. Mang Karta dan Suryadi berpandangan dengan kecewa, sedangkan pak Asikin dan kawannya. begitu sadar usaha mereka sia-sia. tanpa berkomentar apa-apa langsung melangkah cepat-cepat ke luar dari hutan. Tiba di tepi sungai. mereka berempat saling berpandangan. Suryadi dan mang Karta dengan wajah kecewa.
Tetapi melihat wajah kepala desa dan temannya yang pucat pasi bagaikan kapas serta seluruh wajah dan pakaian mereka basah oleh keringat. mengertilah Suryadi. Kepercayaan penduduk tentang hutan itu sebagai tempat bermukim para hantu siluman dan para penyihir, akan semakin tebal juga.
Pembantu polisi desa masih gemetar ketakutan begitu mereka tiba di seberang sungai.
"Teriakan-teriakan kita yang menggaung di hutan pastilah akan membuat marah para hantu dan dedemit!" sungutnya.
Pak Asikin lebih parah lagi. Ia memang tidak berbicara apa-apa semenjak keluar dari dalam hutan dan sepanjang perjalanan. Tetapi begitu sampai malam harinya di rumah keluarganya, baru menginjak ambang pintu pak Asikin menggerimit.
"Para penyihir akan mengutuk kita semua karena memasuki daerah mereka," dan begitu selesai berkata. ia pun jatuh tidak sadarkan diri.
Meskipun beberapa menit kemudian Suryadi berhasil membuat ia siuman, tetapi semua telah sia-sia. Beberapa orang penduduk yang datang berkerumun untuk mengetahui kabar apa yang mereka bawa dari hutan. begitu melihat kepala desa mereka jatuh pingsan, segera bubar dengan diam-diam. Namun di tiap wajah jelas terlihat bayangan-bayangan kecemasan yang tengah berkecamuk dalam pikiran masing-masing.
"Terkutuklah orang yang merusak rencanaku." gerutu Suryadi begitu mereka tiba di rumah.
Mang Karta menggantungkan goloknya di antara benda-benda tajam dan senjata-senjata antik ciptaan jaman Belanda di dinding, berkomentar dengan suara bimbang:
"Kalau itu orang, Den Surya."
Suryadi mendengus: "Jadi kau juga sependapat kalau perusak rencanaku itu adalah hantu-hantu hutan?"
Mang Karta menggelengkan kepala.
"Hantu-hantu tidak akan meninggalkan bekas bekas yang nyata dan bisa dilihat mata biasa," bantahnya.
"Jadi kalau begitu, perbuatan binatang-binatang buaskah itu menurut pikiranmu?"
Lagi-lagi pembantunya menggelengkan kepala. Kali ini, dengan sinar mata yang membersit aneh ketika memandang pada Suryadi.
"Binatang pun tidak. Den Surya."
"Lantas apa?" Suryadi menjadi kesal.
"Para penyihir!" '
"Para penyihir itu cuma hidup di masa moyangku saja. Dan itu telah lebih seratus tahun berlalu."
'Penyihir bisa hidup beratus-ratus tahun, Den. Kalaupun ia mati, keturunannya akan muncul menggantikan kedudukannya. Dan karena keturunan penyihir itu mengetahui maksud Aden untuk memusnahkan tahayul yang dipercayai penduduk dan yang justru menguntungkan mereka. para penyihir itu memporak porandakan hutan. Akibatnya, para penduduk justru berbalik tidak saja semakin takut terhadap hutan larangan akan tetapi
juga semakin menjauhi kita. Mereka tahu para penyihir membenci dan bermaksud melenyapkan Aden dari muka bumi. Penduduk akan segan berdekatan dengan kita, karena itu berarti mereka pun akan ikut dibenci serta dijadikan sasaran kemarahan para penyihir!"
*** DELAPAN Malam itu Suryadi lagi-lagi tidak bisa tertidur.
Telah ia coba membulak balik sebuah buku tua berbahasa daerah yang ia ambil dari rak perpustakaan lama di kamar tamu. Buku tua yang berdebu itu sebenarnya menceritakan dongeng lama yang teramat lengkap mengenai kisah Sangkuriang yang memendam cinta kasih terhadap Dayang Sumbi, ibu kandungnya sendiri. Jalan cerita dan bahasa daerah tingkat tinggi yang sangat menarik itu ternyata tidak mempengaruhi kegelisahan yang merajalela dalam diri Suryadi.
"Toh akhir cerita buku ini sudah kuketahui." sungut Suryadi sendiri.
"Sangkuriang ditolak cintanya oleh ibunya. Karena gagal memenuhi syarat yang diminta Dayang Sumbi. ia menendang perahu yang lagi ia buat, melambung ke kaki langit dan muncullah sebuah gunung yang dinamakan Tangkuban Perahu. Perahu yang menangkup. Bah. Lebih baik aku menulis surat saja sama si Lena."
Lantas ia turun dari pembaringan. Memindahkan lampu darl meja kecil dekat tempat tidur ke
meja kaca. Secarik kertas yang ia bawa dari kamar pribadi kakek moyangnya masih terhampar di atas meja. ditindih oleh pulpennya sendiri.
Ketika duduk menghadapi kertas itu. terbayang kembali saat-saat aneh ketika ia ingin menulis surat di meja tulis kakek moyangnya. Ia merasa dirinya sebagai juragan Adiwinata yang didatangi oleh kekasih gelapnya. bercumbu di atas tempat tidur dan ketika terbangun pagi hari ia mendapatkan dirinya terlentang di atas kasur bersprei penuh debu. telanjang. sendirian....
"Mimpi setan!" makinya.
Lalu ia mulai mencercahkan ujung pulpen . pada kertas di hadapannya.
'Magdalenaku. yang kurindu," ia memulai.
"Ketentraman tidak pernah kuperoleh di tempat ini. Semakin banyak hal-hal mencengangkan, tetapi justru membuat aku semakin penasaran untuk tetap tinggal dan membuktikan bahwa keturunan leluhurku adalah keturunan orang baik baik. Persetan dengan hantu-hantu atau para penyihir itu. Tetapi Magdalenaku sayang. untuk sementara tekanlah dulu keinginanmu untuk menyusulku kemari. Karena kau pun tahu.?"
ia menghela nafas sebentar. Lalu meneruskan: . '" kau pun tahu. Lena. Aku cemas kalau kau ikut bersamaku hidup di daerah yang misterius ini. Bukankah padamu pernah kuceritakan. leluhur leluhurku selalu meninggal tanpa didampingi isteri-isteri mereka, karena isteri-isteri leluhurku semua meninggal terlebih dahulu karena tertekan bathin. Aku pun takut bathinmu tertekan kalau kau tinggal di rumah ini, Lena. Tertekan melihat keganjilan-keganjilan di rumah ini. keganjilan-keganjilan di sekelilingnya. keganjilan-keganjilan yang kulakukan sendiri seperti keganjilan-keganjilan yang pernah dilihat dan dialami isteri-isteri leluhurku. Karena itu sayang. sebelum semua ini menjadi jelas dan hatiku tenteram, kupikir bersabarlah sementara waktu menunggu saatnya tiba aku kembali ke kota untuk menjemputmu. atau setidak tidaknya untuk bertemu denganmu melepaskan rindu dendam yang sudah tidak tertahankan..."
Suryadi baru saja akan mengakhiri isi suratnya dengan kalimat:
"Kirim salamku untuk keluargamu dan teman teman di sini. Peluk cium kekasihmu. Suryadi yang dilanda rindu."
Tetapi di saat itulah ia merasakan hembusan angin lembut di pundaknya. Aneh. ia merasakan bulu romanya berdiri oleh perasaan hangat. Kemudian ia mendengar bisikan yang sangat halus.
'Winata...." Tangannya tertegun di atas kertas.
la pertajam telinga. "Winata. kekasih!"
Seketika. Suryadi menoleh ke arah suara itu muncul.
Yang ia lihat adalah pintu kamarnya yang terbuka. la lupa menutupkannya ketika tadi mengambil buku ke bawah. Dan dari arah pintu itulah suara
tadi muncul. Anehnya Suryadi tidak merasa terkejut atau heran, apalagi takut. Hatinya berbunga bunga, landasan asmara yang semerbak selagi ia menulis surat pada kekasihnya Magdalena semakin mewangi dan hangat. Perlahan lahan ia berdiri. Melangkah ke pintu.
Ia memandang sepanjang koridor.
Di ujung sebelah kanan, ada sebuah pintu tertutup. Pintu kamar pribadi isteri Belanda juragan Adiwinata. yang juga belum ia masuki setelah beberapa hari ia ada di rumah ini. Tidak ada apa-apa di arah sana.
ia menoleh ke kiri. Di ujung sana, pintu kamar juragan Adiwinata juga tertutup. Mang Karta malah telah menguncikannya dan menyimpan sendiri anak kunci setelah pelayannya itu tahu ia tidur tadi malam di sana dalam keadaan telanjang bulat.
"Terlarang memasuki kamar ini," gerutu mang Karta ketika itu.
Tetapi suara yang memanggil... dari dalam sanakah gerangan"
"Winata. Aku di sini"!"
Suryadi menoleh ke depan.
ia melihat anak tangga demi anak tangga dalam jilatan lampu gantung di ruang bawah. Dan di anak tangga yang paling bawah. ia melihat seseorang sedang duduk dalam posisi yang sangat menggairahkan. '
Seorang perempuan muda, cantik jelita dan yang sudah tidak asing lagi baginya. Perempuan yang mendatanginya di kamar tidur kakek moyangnya. Perempuan yang muncul dari arah patung pualam dekat pintu keluar.
Sesaat. hati Suryadi masih dilanda kesadarannya. la memandang ke pintu keluar. Tetapi patung pualam yang mirip perempuan itu, masih tegak di tempatnya.
"Mengapa tidak turun, Juragan?"
Mendengar itu, Suryadi memelas:
'Jangan panggil juragan padaku. Euis. Panggillah namaku. Aku lebih senang mendengarnya." kata Suryadi seraya tersenyum, dagu sedikit terangkat. Angkuh. tetapi menarik untuk dipandang.
Wajah perempuan di bawah bersemu merah.
"Mengapa tidak turun untuk bercumu denganku. Winata?"
Suryadi ingin dipanggil dengan namanya sendiri. Tetapi aneh. ia pun merasa tidak perlu dipanggil menurut nama kakek moyangnya.
Dengan langkah-langkah yang teratur dan tegap, ia menuruni anak tangga demi anak tangga. Kesenyapan malam yang melingkupi ruangan besar dan megah itu dipecahkan oleh langkah-langkah kakinya dan suara nafasnya yang mulai menggebu, terangsang oleh gairah kelelakiannya.
ia kemudian berhenti di anak tangga yang kedua dari bawah.
Si perempuan yang ia panggil dengan nama Euis tanpa mengerti ia memanggilnya dengan nama itu. menengadah. Bibirnya merah merekah. Basah tanpa pulasan. Lembut bagaikan keju. Semerbak bagaikan delima. Sepasang matanya berbola bundar redup bersinar. Di antara senyumnya. tampak giginya yang putih berbaris rapih dan sangat indah. Manik-manik mata perempuan itu berpencar-pancar ke mata Suryadi, dan gelombang payudaranya yang setengah menggelembung keluar dari balik blouse yang penitinya sengaja dibuka. menimbulkan gelombang-gelombang pasang yang dahsyat dalam dada Suryadi.
"... mengapa berdiri saja. Winata?"
"Kaulah yang semestinya tegak. Euis'
"Kalau aku harus berdiri, berarti kau masih menganggap dirimu sebagai seorang juragan !'
"Euis. sayangku," Suryadi membungkuk, mengelus pundak si perempuan. Lembut dan mesra. "Kau pintar benar bersilat lidah, Euis."
"Dan kau pintar benar menidurkan isteri Belandamu. Tak takutkah kau kalau ia tiba-tiba terbangun, sayang?"
Seketika, Suryadi menoleh ke atas. Ke arah kanan. Ke pintu kamar isteri Belanda juragan Adiwinata, seolah-olah takut kalau perempuan yang disebutkan Euis benar-benar terbangun, muncul di pintu, tidak saja untuk merusak kemesraan mereka tetapi juga sekaligus menciptakan kekisruhan di rumah tangganya. Namanya akan jatuh tidak saja di mata penduduk, tetapi juga di mata penguasa-penguasa Belanda di daerah itu.
Tetapi dengan suara yang mantap Suryadi menjawab:
Mencari Ayah Kandung 1 Pendekar Slebor 45 Ajian Sesat Pendekar Slebor Siapa Ayahku 2

Cari Blog Ini