Sumpah Leluhur Karya Abdullah Harahap Bagian 2
"Sudah kuberikan ramu-ramuan yang kau buat, sehingga ia tidak akan terbangun sampai
besok siang. Euis." "O. kekasih," Euis menatap manja.
"0. dewi jelita."
Dan Suryadi perlahan-lahan mengangkat tubuh itu. Mengangkatnya berdiri. Karena si perempuan masih teramat rendah di bawahnya. Suryadi turun satu anak tangga lagi. Kini mereka berhadapan. Dekat dan rapat. Namun gejolak perasaannya tidak bisa ia tahankan lagi. Suryadi pun menggerakkan kedua lengannya yang gemetar hebat, memeluk tubuh perempuan itu dengan kasar dan kemudian menciumi seluruh wajah dan bibirnya dengan rakus. Si perempuan membalasnya dengan hangat.
Tetapi ketika tangan Suryadi berusaha membuka bajunya, perempuan itu menjauh dan berkata dengan hati-hati:
"Jangan di sini!"
Suryadi tersenyum. "Takutkah kau"'
"Aku tidak takut pada siapa-siapa. Tetapi bercumbu di tempat-tempat tersembunyi akan terasa lebih indah bukan Winata?"
Tangan si perempuan kemudian terulur. Suryadi menyambutnya. Mata si perempuan menatap jalang, bibirnya tersenyum mengajak. Bagaikan kerbau dicucuk hidungnya. Suryadi menurut dengan patuh dibawa perempuan itu melampaui ruang tengah, membuka pintu depan. turun ke teras. Di sana mereka berpelukan lagi. Hangat dan menggairahkan. Lolong anjing menggaung dari
hutan. Perempuan Itu menggeletar dalam pelukan Suryadi.
"Angkatlah tubuhku. Winataku."
Dengan kekuatan lengan-lengannya Suryadi membopong si perempuan. Kemudian kakinya melangkah.
Di bawah jilatan bulan purnama yang terang benderang kedua insan itu berjalan dengan tujuan pasti. Langsung ke arah istal penyimpanan kuda. Dengan ujung kakinya Suryadi mendorong pintu kayu istal sampai terbuka. Tanpa menutupkannya lagi, kakinya terus melangkah melewati kandang demi kandang kuda. Dalam pandangannya dan dalam pikirannya semua kandang itu berisi dan melepas dengus-dengus kuda yang hangat dan berbusa! Tanpa memperdulikan pandangan binatang yang tidurnya terganggu itu, Suryadi terus membopong Euis menuju sebuah anak tangga.
ia merasa heran akan kehebatan dirinya sendiri. Menaiki tangga bambu itu dengan Euis dalam bopongannya. terus ke atas dan di sana langsung membaringkan si perempuan di atas tumpukan jerami. Begitu tangannya terlepas dari bebannya, barulah Suryadi merasakan nafasnya yang sesak karena kelelahan.
"Baru sebegitu, sudah tidak kuat." tertawa si perempuan. "Apakah aku harus kecewa malam ini. Winata?"
Ditantang begitu Suryadi mendengus:
"Aku masih sanggup meluluh lantakkan tubuhmu, Euis' _
"Lalu, mengapa tidak kau lakukan sekarang?" tantang si perempuan seraya membuka sendiri pakaiannya. Dan sesosok tubuh bidadari tanpa penutup apapun di seluruh tubuhnya, segera menari-nari di bola mata Suryadi. Ia merasakan kehangatan yang sangat membakar seluruh tubuhnya. Lututnya goyah dan tiba-tiba ia jatuh berlutut.
"Begitu indah tubuhmu, kekasihku."
"Dan begitu gagah kau di mataku, suamiku.'
"Suamimu?" "Bukankah kau akan segera menikahiku. Winata?"
"Tetapi, Euis. aku... aku...."
"Masihkah kau berharap isterimu mati secepat mungkin, Winata?"
"Aku tak tahu. Ia tetap tampak sehat dan...."
"Bunuhlah ia. Winata!"
"tidak. Tidak mungkin itu kulakukan. la merupakan sumber rejeki dan bintang terangku."
"Kalau begitu, jangan jamah lagi tubuhku." Euis merengut dan menjauh.
"Euis. aku... 0. jangan menjauhiku. bidadariku."
'Bunuhlah isterimu!"
"Aku tidak bisa. Tanganku bukan tangan pembunuh!" .
Si perempuan tiba-tiba memandang tajam. Suryadi menunggu dengan cemas. sampai si perempuan mengeluarkan niat yang tersembunyi di balik sinar matanya: '
'... bukankah aku yang selalu menyediakan makanannya. Winata" Berikanlah ijinmu, sayang. dan aku akan memberikan racun yang dahsyat tetapi tak akan bisa diketahui apabila isteri Belandamu itu mati!" Suryadi bimbang.
Tetapi gerakan tangan si perempuan yang merenggut tubuhnya sehingga mereka segera berpadu tubuh, membuat ia cuma bisa termanggut-manggut.
Dan ia tidak perduli lagi apa yang akan terjadi pada isteri Belanda-nya ataupun pada kedudukannya. begitu si perempuan mulai merintih"
4 * * * Suryadi terbangun menjelang siang. Sekujur tubuhnya terasa lemah lunglai. Ngilu. Ketika ia buka matanya, ia tersentak duduk. Memandang heran ke sekitar. Ke atap rumbia tak jauh dari kepalanya. Ke dinding papan yang sudah pecah pecah. Ke tumpukan jerami di mana ia tengah terduduk, dan pakaian yang seperti diselimutkan
ke tubuhnya yang telanjang. Hidungnya kembang kempis mencium bau yang tidak enak. Bau kuda. la menoleh dengan cepat ke depan. dan dengan terkejut menyadari kalau ia berada di loteng kandang kuda. Mengapa ia tidur di sini" Dan mengapa ia telanjang bulat" Siapa yang menyelimutkan pakaiannya sendiri ke tubuhnya"
ia baru saja selesai mengenakan pakaian waktu terdengar suara berisik dari bawah. Ada orang memanjat tangga. Kemudian sebuah wajah muncul. Wajah yang sesaat membuat jantung Suryadi berdenyut. Mata orang itu cuma sebelah. Pipinya juga cuma lengkap sebelah, karena pipi di bawah mata yang tertutup rapat tanpa kelopak itu hancur sama sekali. Dan ia kemudian melihat bibir yang rusak menampakkan gigi dengan gusi yang merah kehitaman. Wajah yang penuh terror itu tersenyum. Ramah.
Suryadi menghela nafas. "... apa kerjamu di situ. Mang Karta?" tanyanya terbata-bata.
Pelayannya itu naik ke loteng. kemudian duduk di hadapannya.
"Saya menunggui Aden dari tadi,' ia menjawab. "Dari tadi?"
"Ya. Ketika bangun pagi pagi. saya dapati pintu rumah terbuka lebar. Pintu kamar tidur Aden juga menganga, dan saya tidak melihat Aden berada. Karena khawatir kalau ada sesuatu yang terjadi pada diri Aden, saya telah menyuruh orang mencari ke mana-mana....'
"Oh !' tubuh Suryadi terasa semakin lesu. "Aku tak mengerti...."
Mata mang Karta yang masih baik, melebar dengan tiba-tiba.
"Jadi... Aden tidak sengaja tidur di sini" tanyanya.
Suryadi terdiam sesaat. kemudian:
'Tidak," "Ah...." 'Ada orang yang membujukku agar tidur dan bercumbu di sini.'
"Siapa?" Suryadi memandangi wajah pelayannya yang rusak berat itu. Orang itu tidak menampakkan penghinaan. Juga tidak keinginan tahuan. Pertanyaan yang terlontar keluar dari mulutnya seolah-olah tidak disengaja. hanya karena sekedar heran.
Suryadi malu pada dirinya. Sudah dua kali ia ditemukan oleh mang Karta di tempat tidur yang salah. dalam keadaan yang tidak wajar pula lagi. Pelayan itu jugalah yang menolong ia dari suatu kekuatan gaib yang mempengaruhi Suryadi untuk memeluk dan menciumi seorang perempuan. yang ketika ia tersadar temyata cuma sebuah patung pualam belaka. Tidak. Tak bisa ia terus terusan berahasia pada pelayannya ini. Mang Karta sudah tahu banyak tentang dirinya. Juga tentang kehidupan yang berbau misteri dari keluarganya.
"Mang Karta..." ia tiba-tiba teringat sesuatu. 'Tahukah kau siapa nama perempuan penyihir yang diusir kakek moyangku lebih seratus tahun yang lalu?"
Dahi mang Karta mengemyit. Kemudian:
"Kalau tak salah. Euis."
"Euis!" membercik keringat dingin di tubuh Suryadi.
"Euis!" Dialah perempuan yang sudah berulang kali muncul dalam diri Suryadi. Perempuan yang berulang kali membawa Suryadi ke alam antara nyata dan tidak. Bahkan membuat Suryadi seolah-olah bukan merasa dirinya sebagai Suryadi, melainkan sebagai kakek moyangnya.
Diam-diam ia merasa-cemas. Tiap kali perempuan bernama Euis itu memberi kehangatan dan kenikmatan tiada tara. tiap kali pula Euis memanggil dirinya bukan dengan nama Suryadi. Tetapi dengan nama kakek moyangnya:
Winata! "Mengapa, Den?" Mang Karta benar-benar ingin tahu kini.
"Ah. tidak...." Suryadi tiba-tiba menjadi gugup. Tetapi ia belum yakin. ingin ia mengajukan sebuah pertanyaan lagi. "Katakanlah mang Karta. Apa kira kira penyebab dari kematian isteri Belanda juragan Adiwinata?"
"Resminya. lemah jantung." jawab mang Karta. Tetapi wajahnya tiba-tiba menjadi ragu. Seperti juga suaranya yang keluar terputus-putus: '" tetapi menurut cerita-cerita"."
"Cerita siapa?"
"Kebanyakan penduduk Den. Dan cerita bapak saya sendiri, selama ia menjadi pelayan dirumah ini"."
"Apa kata bapakmu?"
"isteri Belanda juragan Winata mati karena diracun orang!"
Dan itulah yang dikatakan Euis dalam pembicaraannya dengan Suryadi tadi malam, di atas tumpukan jerami ini! Dingin sekujur tubuh Suryadi mengingat semua itu. Ketika bangkit, ia merasa persendiannya gemetar. Susah baginya untuk turun dengan stabil dari loteng kandang kuda. dan tiba di bawah.ia melihat jerami yang bertaburan tidak menentu. Diam-diam ia yakin, jerami-jerami itu jatuh dari loteng. ketika tadi malam ia bergelut dengan dahsyat bersama perempuan bernama Euis itu.
Ketika mereka sarapan menjelang siang, ia bergumam dengan bimbang.
"Percayakah kau Mang Karta, kalau kukatakan perempuan penyihir bernama Euis itu masih hidup sekarang?"
Mang Karta terkejut. Berulang-ulang ia menggelengkan kepala. Tetapi belum merasa puas dengan gelengan saia. la tambah dengan kata-kata:
"Jangan bergurau. Den."
"Aku sungguh-sungguh."
Wajah mang Karta pucat lesi.
"Den, jangan memanggil arwah yang sudah lama meninggalkan dunia ini."
"Aku tak memanggil arwah. Tetapi ia sendiri yang datang!"
"Arwah itu?" Mang Karta setengah tercengkat dari duduknya.
"Entah arwah entah orangnya. Tetapi Euis itu pasti masih hidup. Entah di mana pula ia berada.
Tetapi pasti di sekitar-sekitar sini...."
"Bagaimana rupa orangnya?"
"Cantik. Masih muda. Persis seperti patung pualam di kamar depan. Lebih persis lagi dengan lukisan di kamar juragan Winata."
"Masih muda?" Mang Karta tiba-tiba tertawa. Kecut. "Ketika ia terusir dari rumah ini lebih dari seratus tahun yang lalu, Den Surya, si Euis itu konon sudah berumur dua puluh tahun. Jadi kalau ia masih hidup itu pun kalau-kalau tentunya ia kini sudah jadi nenek tua renta yang tinggal tulang berbalut kulit...."
Suryadi tidak bisa lagi berkata apa-apa.
*** SEMBILAN Siang hari itu ia ikut sebuah truk yang membawa karung-karung berisi daun-daun teh hasil petikan seluruh pekerja-pekerja perkebunannya. Pada mang Karta ia berkata tidak usah cemas atau menunggu. Ia akan berusaha kembali pada sore harinya Dari supir truk ia dengar cerita-cerita yang sama seperti yang ia dengar dari mulut ke mulut. Tentang keanehan-keanehan yang terjadi pada keluarganya. dan misteri yang menyelimuti daerah perkebunan itu.
Supir truk agak heran ketika Suryadi minta diturunkan di jembatan. Tempat itu tak jauh letaknya dari hutan di mana Suryadi dan kudanya pernah terjerumus.
"Mengapa di sini. Den Surya?" tanya supir. "Di sini sepi. tak ada siapa-siapa."
"Aku mau ke sana." Suryadi menuniuk ke arah hutan.
Supir itu tercengang. "Tak ada orang yang berani"."
'Jangan menakut-nakuti saya," Suryadi memotong kalimat si supir. "Cepatlah pergi. kalau tidak mau muatanmu terlambat tiba di pabrik!"
Truk itu kemudian terlonjak maju. Sebelum menjauh supir truk sekali lagi melongokkan kepala keluar dari jendela. Suryadi tidak perduli. Truk itu kemudian berlari kencang melalui jalan yang tidak beraturan bentuknya sehingga terguncang guncang. Seolah olah takut. Jadi semua penduduk tanpa kecuali. selama ini telah dihantui oleh keanehan keanehan yang terjadi di sini, pikir Suryadi.
ia semakin penasaran dan ingin membuka tirai yang menutupi misteri itu. Setidak-tidaknya. dengan usaha itu ia ingin membebaskan dirinya dari peristiwa-peristiwa aneh yang terus-menerus mengikutinya, bahkan menurut banyak orang suatu ketika bisa membunuhnya seperti juga telah membunuh
kakek moyang, kakek, ayah dan pamannya ! Matahari tepat berada di ubun-ubun ketika ia
akhirnya tiba di mulut hutan setelah celana dan sepatu bootnya penuh lumpur karena melewati rawa-rawa. Sesaat sebelum memasuki hutan, ia genggam sebuah benda dingin di dalam kantong jacketnya. Sepucuk pistol kaliber kecil yang berkat bantuan pengacaranya di kota bisa ia peroleh dan dibawa ke kampung ini. Belum pernah ia mempergunakan senjata itu untuk maksud-maksud tertentu. tetapi seperti kata pengacaranya bagaimanapun ia harus berhati-hati. Siapa tahu ia suatu ketika akan memerlukan bantuan benda berbau maut itu.
Tiba di dalam hutan. suasana siang bolong sedikit membantu memberi penerangan pada jalan yang ia lalui. Dengan sebuah tongkat kayu ia merambasi jalan-jalan di depannya dengan hati
hati sekali. Sedikit membungkuk tiap kali menyibakkan semak belukar yang setengah layu setengah jadi karena bekas dijalani.
Setelah beberapa lama, di antara jejak-jejak yang semrawut akibat injakan-iniakan banyak kaki dari rombongan pencari yang ia pimpin sebelumnya. akhirnya ia berhasil menemukan jejak-jejak kaki kuda yang ia cari. Permukaan tanah di beberapa bagian sangat lembab. Jejak-jejak kaki kuda itu di beberapa tempat menghilang karena banyak batu-batu dan tanah-tanah kering. Tetapi ia berhasil menemukan jejak-jejak kaki kuda yang sama di tempat-tempat lain, mengarah langsung ke bukit di balik hutan. Bukit di mana ia kadang kadang melihat bayangan putih seorang perempuan suka menghimbau ke arah perkebunan.
Seraya tak habis-habisnya memikirkan siapa gerangan perempuan yang kadang-kadang berani muncul di puncak bukit di tengah malam buta, ia terus mengikuti jejak kaki kudanya. Lama sudah ia berjalan. kadang-kadang membungkuk sehingga otot-ototnya terasa kejang. tetapi ia bunuh kelelahan itu dengan keyakinan akan membuka kabut misteri yang membuat orang ketakutan tiap kali menyebut nama hutan larangan ini. Akhirnya ia berhasil menemukan jejak-jejak kaki kuda yang kacau setelah menyingkapkan semak belukar yang dari susunannya tampak bukan semestinya tumbuh di situ. Ada tangan-tangan jahil dengan maksud-maksud tertentu menempatkan semak belukar itu di atas jejak-jejak kaki kuda itu.
Suryadi terperangah kelelahan waktu kemudian ia selesai membongkar semak belukar lainnya di atas gundukan tanah yang cukup lebar. Tanah itu tampak masih baru. Pantaslah rombongannya sebelumnya tidak berhasil menemukan tanah di mana ia perkirakan kudanya tertanam. Karena sebelumnya ia pun harus membongkar banyak semak belukar dengan tanah-tanah yang terbongkar. Hanya karena tanah di mana ia berdiri sekarang agar gembur dan lunak. ia merasa yakin berdiri di atas tempat yang tepat. Setelah menjelajahi dengan matanya. ia kemudian menemukan bulu kuda diantara patahan-patahan ranting. dan sesobek kecil dari pakaiannya sendiri.
"Hem!" gumamnya seraya memperhatikan bulu kuda dan sobekan pakaian itu. "Kini. tinggal mencari jejak lain. Jejak manusia-manusia jahil yang telah memporak porandakan isi hutan dan berusaha menutup-nutupi kenyataan bahwa hutan ini juga dijamah oleh manusia biasa. Yakin sudah kalau orang ini pasti manusia biasa. Entah ia ada hubungannya dengan keluargaku entah tidak. tetapi ia harus kubekuk !'
Digenggamnya lagi pestol di kantong jacketnya. Lebih erat.
Kemudian. matanya jelalatan mencari. Tidak ada semak belukar yang terambas. Tetapi dengan menguakkan pakai tongkat kayu di beberapa tempat. akhirnya di permukaan tanah ia menemukan beberapa ranting yang patah patah. Mengikuti petunjuk itu. ia iuga menemukan jejak-jejak kaki di
beberapa tanah yang lembab.
Kaki itu tidak bersepatu. Pasti disengaja, agar tidak meninggalkan jejak yang dalam. Tetapi karena terburu-buru. ujung-ujung jari kaki itu menekan terlalu' kuat sehingga tetap meninggalkan bekas. Berada di tengah hutan, Suryadi tidak tahu ke mana arah jejak-jejak misterius itu. Tetapi bagaimanapun. ia harus mengikutinya.
Keringat sudah membasah kuyupkan tubuh dan pakaiannya. ketika ia dikejutkan oleh suara berdesir tidak jauh dari arah samping kanan.
Seketika. ia menoleh. Dalam kesamaran hutan, ia menampak sepasang mata kecil yang berwarna merah saga dan berkilauan. Darah Suryadi tersirap. ia merogoh pestol dalam kantong jacketnya. ltu memerlukan waktu yang memang pendek. namun sangat berharga. Dan ia terlambat merebut waktu yang amat berharga itu!
Terdengar suara angin bersiut keras.
Suara berdesir yang sekilas itu tidak memberi kesempatan bagi Suryadi untuk melakukan gerakan mengelak. Tangannya baru saja menjangkau laras senjata di kantong jacket waktu sebuah sambaran yang deras menghantam sisi kepalanya. Suara angin bersiut yang dingin disertai bau anyir
yang memuakkan menyentuh naluri Suryadi. Seketika ia memalingkan muka. Cuma gerakan itu. Tetapi ia telah tertolong oleh sambaran sebuah mulut lebar yang menganga dengan lidah bercabang yang terjulur ke luar masuk. Air lendir yang pesing sempat memerciki wajah Suryadi.
'Setan!" ia memaki, lantas cepat-cepat menjatuhkan diri. Tubuhnya meluncur jatuh persis ketika serangan kedua menyusul dengan cepat. Kali ini. pundak Suryadi yang kena. ia merasakan hantaman yang deras. Lengan bajunya robek.
Sedetik ia sempat melirik kalau ada bintik-bintik merah atau kucuran darah. Di detik berikutnya ia menggulingkan tubuhnya dalam beberapa putaran. Namun telinganya dengan jelas menangkap suara angin bersiul yang terus-menerus mengikuti gerakannya berguling. sehingga dengan panik ia kemudian melakukan sebuah loncatan salto.
Tubuhnya persis berada di udara waktu hantaman yang keras mengenai pinggangnya. la terjatuh di tanah. Terkulai sesaat. Dengan mata nanap ia memandang mulut yang lebar itu.
Tampak beberapa gigi taring yang panjang dan lidah bercabang yang mengucurkan liur. Kemudian ia melihat bangun tubuh binatang itu. Seekor ular python yang sama besar dengan tubuhnya sendiri. masih menggantung di anak cabang terendah dari pohon yang tadi dilalui oleh Suryadi.
Rupanya merasa sia-sia mengumbar tenaga karena terus-menerus mengikuti gerakan berguling Suryadi. makhluk seperti mencari siasat baru.
Matanya yang kecil berwarna merah saga. semakin berkilau melihat calon korbannya jatuh terduduk. Kini, leher makhluk itu meliuk ke atas dengan mulut yang menganga semakin lebar. Matanya yang buas menunjukkan maksudnya yang sudah pasti. Sebuah serangan langsung dan lurus menyerbu wajah Suryadi. Naluri laki-laki itu yang mengatakannya. Ia mencoba berdiri. tetapi gagal. Pinggangnya kelewat sakit. Pada detik yang terakhir ia masih sempat menyambar pestol yang terlempar tak jauh dari tubuhnya.
"Kau yang hidup di hutan ini ! Karena itu kau pulalah yang harus mati di sini!" ia berteriak.
Kemudian. persis di saat kepala ular menembus bagai panah ke depan, ia menarik laras pestolnya. Gerakan yang terlalu cepat sehingga tembakannya tidak mengenai sasaran. yakni otak binatang melata yang buas itu. Pelurunya cuma menyerempet sebelah mata sang ular.
Percikan darah merah kehitaman menyambar wajah Suryadi ketika kepala ular itu menghantam tepat di depan mukanya. Tak bisa melarikan diri, ia cuma menjatuhkan tubuh ke belakang. Kepala ular itu meluncur terus melampaui tubuhnya.
Suryadi sudah siap melepaskan tembakan kedua yang memecah kesepian rimba belantara itu, ketika ia merasakan benda yang lunak. tetapi berat dan bersisik menimpa tubuhnya. Suryadi menjerit. Kaget.
*** SEPULUH Ternyata mahluk besar dan panjang itu tidak kuat menyangga bobot tubuh sendiri karena gerakan menyerang yang lurus dan sekuat tenaga. Belitannya pada cabang pohon lepas. ditambah rasa sakit yang menyerang sebelah mata yang hancur. Dan jatuhlah tubuh bersisik yang panjang itu ke tanah. sebagian menimpa tubuh Suryadi. Karena kesakitan yang amat sangat. ular itu meliuk-liuk ke sana ke mari dengan liar. menghantam sekenanya saja Sebelah tangan Suryadi kena terpukul oleh ekor ular. yang sedang memegangi senjata. ia berhasil mempertahankan agar pestolnya tidak terlepas. Tetapi tangannya itu bagaikan lumpuh. Lunglai seketika.
"Akan matikah aku di sini" ia bergumam pada dirinya sendiri.
Tidak. ia tidak mau mati. Karena itu ia beringsut-ingsut dari tempat di mana sang ular yang sedang mengamuk itu menghantamkan kepala dan ekornya ke sana ke mari. Beberapa batang pohon kecil sampai bertumbangan. Suryadi bergidik dan terus beringsut menjauh. Terbayang kalau tubuhnya yang kena disambar. Semak belukar di hadapannya sudah berantakan. Tetapi ular itu masih bertenaga cukup untuk meliuk ke sana ke mari, mencari Suryadi dengan sebelah matanya yang masih normal. Binatang itu akhirnya melihat mangsa yang mencelakakan dirinya.
Ketika itu. Suryadi sedang mencoba berdiri dengan menyanggakan tubuh ke sebuah batang pohon. Mulut yang besar dan sangat lebar menganga. Mata yang tinggal satu-satunya tampak mengerikan di sebelah mata lain yang hancur berantakan. Sesaat. ular itu menggeleng-gelengkan kepala. Di saat berikutnya. kepala yang besar dan lonjong itu meluncur ganas. Entah karena sudah kehabisan tenaga, entah karena matanya yang masih normal tidak terbiasa bekerja sendirian tanpa mata yang lain. tetapi yang pasti Suryadi sangat bersyukur kepada Tuhan ketika ia sudah tidak berdaya untuk mengelak, gerakan ular itu justru sedikit menyamping. Langsung menghantam batang pohon. Berderak keras. dan darah memercik ke mana-mana.
"Ya Allah," bisik Suryadi, merasa ngeri dan menjatuhkan diri. Seraya berguling-guling ia masih sempat memperhatikan ular python yang semaput itu meliuk-liukkan tubuh ke sana ke mari. makin lama makin lemas. Tetapi Suryadi tidak mau memilih kemungkinan ular itu mati. dan merasa lebih baik menghindar selagi si ular masih hidup. Suara berdesir-desir masih menyentuh telinganya waktu ia berhasil menyambar sepotong ranting sebesar
lengan yang patah bekas sambaran ular.
Dengan ranting pohon itu ia berusaha berdiri, kemudian setengah merangkak berjalan menjauhi tempat itu. Tanpa ia lihat ia sudah yakin ular itu akan mati. Tetapi ia tidak ingin melihat bagaimana makhluk yang hampir menamatkan riwayatnya itu. meregang nyawa. Dengan sekuat tenaga ia terus merangkak, kadang-kadang berdiri dan berlari dengan bantuan tongkat. Ia tidak tahu ke arah mana ia menuju.
Semakin lama. ia merasa semakin tidak tahu jalan mana di hutan itu yang ia rambas. Dalam kepanikan ia teringat untuk memberikan tanda. Ketika ia terbaring kelelahan di atas rerumputan yang lapang. ia mengangkat mengacungkan pestol ke udara kemudian melepaskan beberapa kali tembakan. Sampai pelurunya habis. Ia berharap ada yang mendengar tembakan itu, dan kemudian berusaha merangkak tanpa tujuan.
Namun jauh dalam bathin ia ragu-ragu apakah akan ada yang akan datang sebagai juru selamat. Kampung yang berdekatan teramat jauh letaknya. Kalaupun ada orang yang mendengar, belum pasti mereka bersedia memasuki hutan larangan.
Tidak, tak akan seorang pun yang mau mengambil resiko untuk mati secara mengerikan atau hilang lenyap tanpa bekas di dalam hutan yang sejak lebih dari seratus tahun dianggap sebagai tempat bersemayamnya arwah para penyihir.
Ingat pada kenyataan yang pahit itu, Suryadi mulai putus asa.
Tubuhnya semakin lemah juga. Dan pada saat ia tidak mengetahui kalau ia justru sudah mendekati pinggiran hutan. ia kemudian merasa bintang-bintang menari di kepala, dunia berputar, terangkat ke atas kemudian jatuh dengan cepat menuju ke bawah. Lalu tubuh Suryadi pun meluncur, berdebuk dengan suara ribut karena terjatuh di atas tanah yang berawa. Ia merasakan kedinginan yang amat sangat. Kemudian semuanya menjadi hitam. Sepi dan menakutkan.
* * * Tiba-tiba Suryadi merasa didatangi seseorang.
"Kasihan, sayangku." bisik orang itu. Sayup sayup.
Ia merasa pusing. Tergoncang. Bayangan orang itu terlalu samar untuk dilihat. Tetapi aneh. Dengan cepat ia telah bisa mengenalinya.
"Euis!" rungut Suryadi penuh harap. "Tolonglah aku."
"Mengapa. Winata" Mengapa sayang" Tak pernah aku menemukanmu dalam keadaan semengerikan ini. Mengapa kau" 0, dengarlah tangisku. Peganglah dadaku. Kau rasakan denyut jantungku. Winata" Terlalu! Terlalu benar. Ku tak ingin dia membunuhmu sekejam ini. 0. aku cuma meminta agar saudaraku mempengaruhi dirimu
dengan kekuatan sorot matanya. dan dengan kekuatan itu kau harus mengakui aku sebagai isterimu. membawa aku kembali ke rumahmu menggantikan kedudukan isteri Belandamu yang sudah mati itu.?"
"Persetan dengan saudaramu, Euis. Tetapi tolonglah aku"."
"Tetapi kutukmu padaku, Winata?"
"Kutukku" Apa yang telah kuucapkan. Euis?"
"Kau mengusirku dan saudaraku. Kau mengutuk karena kami kau temukan berzinah?"
"0. aku tak ingat itu. Kepalaku sakit. Euis. Seluruh tubuhku hancur-hancur rasanya... o. tulang-tulangku seperti lepas satu sama lain. 0. darah-darah di tubuhku menggumpal. Perutku melilit. Sakit, Euis! Sakit sekali!"
"Tarik dulu kutukmu, Winata."
"Aduh, kutuk apa" Sakit sekali, Euis."
"Kau mengutuk keturunanku dan saudaraku yang terlahir dari hubungan kami. Akan berzinah dengan saudaranya sendiri. Apakah itu saudara setingkat ataukah saudara berbeda tingkat. Sesama anak ibu. anak bapak, atau sebagainya. Kau bilang...."
Suryadi menggeliat. "Sakit!" teriaknya dengan suara lemah. tidak perduli pada celoteh mulut Euis. "Racun apa yang diberikan saudaramu itu, padaku" Racun apa. Euis?"
"Ah, tadinya yang kuberikan cuma ramuan pelupa ingatan." "Pelupa ingatan" Tak tahu aku itu."
"Ya. Agar ingatanmu pada semua yang terjadi selama ini lenyap. kecuali pada cintamu atas diriku. pemberi ramuan itu. 0. tak tahu aku kalau saudaraku memberikan ramuan lain yang mematikan. O. Winata. Maafkanlah dia. Maafkanlah."
"Aku memaafkannya, tetapi cepatlah berikan obat penangkal."
'Tak mungkin. Winata."
"Demi cintamu. Euis. Demi cintaku!"
"Ah, kau telah mengusirku...."
"Tetapi kau menangis!"
"Aku cuma menangisi akhir hidupmu yang malang. Menangisi keinginanku yang gagal."
"Keinginanmu?" "Memperoleh tidak saja dirimu. tetapi seluruh harta kekayaanmu. Winata...."
"Ambillah semua apa yang kumiliki. tetapi lepaskan aku dari siksaan ini."
"Percuma, Winata. Kau masih punya anak. malah kudengar tak lame lagi kau akan terima cucu.?"
'Apa salahnya" O. sakit sekali. apa salahnya Euis?"
"Mereka akan jadi pewarismu."
"O. sudahlah, Euis. Jangan berbelit-belit lagi. Tolonglah aku.?" Suryadi merasa ia mengucurkan air mata. Sekujur tubuhnya semakin berantakan rasanya. Seluruh tulang-tulangnya yang seperti dibetot satu sama lain menimbulkan keperihan yang amat sangat. Ususnya la rasakan hangus
terbakar, sedangkan jantungnya perlahan-lahan mulai rapuh dan sukar berdenyut.
"Hentikan cumbu rayu itu, Euis!" tiba-tiba terdengar sebuah hentakan yang keras.
Wajah _Euis terangkat, lalu terdengar sebuah tamparan. Euis terjajar, memekik halus. Kemudian samar-samar Suryadi melihat wajah saudara perempuan yang telah ia usir dari rumah itu. Sesosok wajah keras dan kejam, dengan mata seperti nganga jurang yang hitam menjorok. Mulut laki laki itu menyeringai. Giginya sama hitam, kemudian ia tertawa. Mengakak. Tertawa sekeras-kerasnya. tidak memperdulikan Suryadi yang merasa sudah mendekati ajal.
"Maafkan aku. saudaraku terkasih!" bisik Euis seraya memeluk laki-laki itu yang ia sebut saudaranya itu. Mesra. Yang dipeluk membalik, kemudian menghentikan tawanya. Pandangan matanya yang hitam tak berkilau itu. menusuk langsung ke mata Euis. Suryadi melihatnya. Melihat bagaimana Euis dicium oleh si lelaki. Kemudian seluruh tubuh Euis dijamah dan diremas oleh tangan lakilaki itu. Pakaian yang melekat di tubuh Euis kemudian melorot satu persatu, disusul pakaian si lelaki. Kemudian Suryadi mendengar dengus-dengus nafas yang berpacu, erang dan rintih dan seluruh ruangan gubuk di mana mereka berada. seperti mau runtuh. '
Suryadi menjadi nanap matanya.
"Tuhanku!" ia berucap.
Dan tiba-tiba. ia merasa kekuatannya pulih. Ia
menggerakkan sedikit tubuhnya lalu membuka mata dengan susah payah. Ia mencium bau yang aneh, dan kemudian melihat wajah seorang perempuan muda yang cantik. Menatap dengan pandangan cemas ke arahnya.
"Suryati !" erang Suryadi. Heran melihat kehadiran gadis pemetik teh itu.
* * * Bau yang aneh itu berasal dari sebuah baskom. Suryadi melihatnya ketika gadis pemetik teh yang duduk di pinggir tempat tidur mencelupkan sebuah gelas ke dalam baskom. Taburan kembang berwarna warni memercikkan air dan uap halus mengebul ke udara. Gelas yang sudah berisi air setengah itu kemudian disodorkan pada Suryadi. la menerimanya dengan ragu-ragu.
"Harus kuapakan ini?"
"Minumlah. Juragan Surya."
Alis Suryadi mengernyit. "... sudah pernah kukatakan agar kau jangan..."
"Baiklah. Suryadi,' potong si gadis cepat-oepat. 'Habiskanlah isi gelas itu kalau kau tidak mau terbaring berlama-lama di tempat tidur yang reot ini."
Suryadi sebenarnya mau muntah mencium baunya saja. Tetapi ucapan si gadis mengingatkan
dirinya yang terkapar dengan sebagian tubuh yang ngilu dan seperti ditusuk-tusuk jarum, terutama di bahunya. Minuman itu tentu ramuan obat. Si gadis sudah bersusah payah untuk menyediakannya, mana mungkin Suryadi menolak"
Dengan menarik nafas agar tak tercium baunya ia kemudian mereguk minuman itu sekali teguk. Terasa agak licin di tenggorokan sehingga perut Suryadi kian melilit .Namun perlahan-lahan ia sadari minuman itu memberi kehangatan pada dadanya. Selama menekan rasa mual yang menyerang perut diam-diam ia merasa denyut-denyut yang tidak mengenakkan di pundak mulai mengurang.
"... bagaimana aku sampai berada di sini?" tanyanya kemudian, memperhatikan keadaan di sekeliling.
"Ayah yang menemukanmu."
'Ooo.?" ucap Suryadi. Tidak bersemangat.
la perhatikan keadaan kamar itu. Peralatannya tidak banyak. Cuma sebuah meja. dua potong kursi kayu dan tempat tidur yang kini menampung tubuhnya. Ditambah sebuah rak pendek dekat pintu. Melihat tumpukan pakaian dalam rak dan sebuah potongan kaca besar yang disandarkan ke tembok. Suryadi mengira-ngira rak dan kaca itu buat gadis penolongnya berfungsi sebagai lemari merangkap toilet. Dinding kayu di sekeliling mereka bersih, demikian iuga atap rumbia di atas. Kalau tidak ada baskom di atas meja tentulah udara di kamar ini sangat nyaman. lebih-lebih dengan jendela lebar tak jauh dari kepala tempat tidur.
Lewat jendela itu Suryadi melihat kebun palawija yang tidak begitu besar berlatar belakangkan hutan.
"Ayah sedang berjalan-jalan menguatkan otot otot tubuhnya yang kejang setelah sakit beberapa hari," si gadis menerangkan seraya mengikuti pandangan mata Suryadi. "Ia kemudian mendengar tembakan di kejauhan. Lalu berlari ke arah hutan. Di sana ia menemukanmu terkapar. Mula-mula ia kira sudah mati. Tetapi setelah diseretnya keluar dari dalam hutan ia lihat ternyata kau masih hidup. ia lalu membawamu ke mari, persis ketika aku baru pulang kerja dari perkebunan milikmu untuk menemani ayah makan siang."
"Ayahmu baik sekali. Aku berhutang budi padanya." kata Suryadi dengan jujur.
"Ah. anggaplah itu tugas sesama manusia. Namun?" gadis yang seingat Suryadi cuma mempunyai perbedaan satu huruf dengan namanya sendiri itu, tiba-tiba memandang Suryadi dengan aneh. '" jangan kecewa kalau ayah nantinya tampak kurang simpatik."
"Mengapa?" tanya Suryadi heran.
"ia kurang menyukai kehadiran orang asing di rumah ini."
"Lho!" "Memang aneh, tetapi begitulah kenyataannya. Lebih lebih kalau orang itu berasal dari daerah perkebunan teh juragan Adiwinata."
"tetapi... bukankah kalian bekerja di perkebunan itu?"
"Pekerjaannya yang kami cari. Bukan orang orangnya."
"Aku tak mengerti.?"
"Kalau kau sering mendengar desas-desus di kalangan penduduk, kau akan mengerti, Suryadi."
Laki-laki itu menghela nafas.
"Jadi kalian pun percaya pada hantu-hantu penyihir itu!" keluhnya.
Si gadis tersenyum. "Mungkin juga," katanya tanpa nada. Dan tiba tiba melengak lagi keluar lewat jendela. "Nah, ayah sudah pulang dari kebun."
Beberapa detik setelah si gadis berkata dari pintu muncul seorang laki-laki tinggi semampai. Wajahnya tirus dengan kulit yang hitam legam. Tanpa kumis dan jambang maupun jenggot. Seharusnya rapi. Tetapi karena rambutnya dibiarkan tumbuh acak-acakan. jadi kelihatan seperti brewok. la tersenyum tipis pada Suryadi. Yang disenyumi balas tersenyum, dengan hati yang penuh tanda tanya. Betapa tidak. Senyum tipis itu saja sudah terasa tidak enak, lebih-lebih lagi sinar mata yang berongga dalam itu. Tidak ada senyum di mata itu. Yang ada hanyalah sinar mata tajam yang rasanya sangat menusuk karena terjulur ke luar dari rongga yang menjorok.
'... sudah baik?" sapanya pendek.
"Sudah. berkat bantuan Bapak. Saya berterima kasih untuk.?"
"Ah. Tak usah berbasa basi. Sudah kewajibanku untuk menolongmu."
ia kemudian melemparkan seikat ubi kayu ke
lantai. "Rebuskan ini untuk teman minum kopi. Yati !'
*** Ditambah dengan segelas kopi dan beberapa potong ubi rebus, sore harinya Suryadi merasa sudah agak kuat. Canggung oleh sikap ayah Sur-yati yang kaku ia kemudian permisi untuk pulang. Laki-laki setengah baya itu tampak mengernyitkan semua alis-alis di dahinya waktu Suryati buru-buru berkata:
"Kau belum cukup sehat. Juragan. Biar kutomani pulang."
Namun orang tua itu tidak mengucapkan katakata protes sepatah pun juga.
"Mengapa tergesa-gesa?" tanya Suryati setelah Suryadi bersama gadis itu berjalan di atas jalan setapak tak jauh dari rumahnya.
"... ah." Suryadi mencari jawaban yang terbaik. '" kasihan kalau mang Karta kehilangan aku kembali !'
"Kehilangan?" "Sudah beberapa kali ia terpaksa mencari cariku karena....'
"Ya?" desak Suyati setelah Suryadi terdiam lama.
"Ah, tidak apa-apa," jawab Suryadi buru-buru. Tidak mungkin menceritakan kisah-kisah aneh
yang dialaminya pada gadis yang baru ia kenal ini. Memang Suryati seperti sudah tidak asing baginya. setidak-tidaknya karena telah menolongnya hari ini. Akan tetapi kalau ia bercerita tentang hal-hal yang-aneh itu. Ia takut ia akan menambah kecemasan yang selama ini saja telah membuat tidak tentram penduduk daerah perkebunan itu. terutama para pegawai-pegawainya. Dan sebuah truk yang mendatang dari arah pedesaan di mana Suryadi pertama kali turun datang dari kota. menolongnya. "Nah. Mau kan cegatkan kendaraan itu untukku. Yati" Aku belum kuat berlari...."
Si gadis mengangguk, kemudian berlari-lari ke arah jalan besar.
Truk itu berhenti. 'Terima kasih." kata Suryadi setelah berada di tepi jalan, mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Suryati.
"Tak usah berterima kasih. Kau belum sembuh betul." "
"0, kau baik sekali Yati. tak akan kulupakan."
Sebuah kepala terjulur ke luar dari jendela truk.
"Hai. Den Surya" Kita bertemu lagi ya?"
Suryadi menoleh. Ternyata supir truk yang menjelang siang tadi membawanya numpang. Suryadi melambaikan tangan.
"Mau kemana lagi?" tanyanya sambil lalu.
"Mengambil sisa-sisa teh untuk hari ini, Den Surya."
"O," Suryadi menjadi gembira. Berarti truk itu langsung menuju perkebunan miliknya. la kemudian setengah terseok-seok karena pinggangnya yang masih sakit menuju ke pintu truk di sebelah lain yang telah dibukakan si supir. Suryati nguntit di belakang seraya memegangi lengan Suryadi seolah-olah takut kalau lelaki itu terpeleset. Suryadi mengucapkan terima kasih lalu naik ke sebelah supir. ia mau menutupkan pintu ketika dengan heran. la menyadari si gadis tidak mau beranjak dari tempatnya berdiri. rapat ke pintu truk.
'Ada apalagi. Yati?" tanyanya heran.
Mata gadis itu memandang tajam. Langsung menusuk ke jantung Suryadi sehingga yang ditatap berdebar dadanya.
"Kau belum sembuh betul Surya !'
'Jangan khawatir. Besok aku sudah...."
'Kalau kau bisa. Tetapi aku membawa ini..." ia mengulurkan sebuah bungkusan kecil yang dibawanya semenjak dari rumah. 'Hanya aku yang bisa membuat ramuan-ramuannya...."
Suryadi berpikir-pikir sesaat. Rasa herannya membuat ia bertanya ragu:
'Tetapi ayahmu?" "Ayah sudah sembuh. ia tak akan marah kalau aku tidak tidur di rumah malam ini...."
Sumpah Leluhur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suryadi bimbang. Dalam kebimbangannya, tanpa sengaja ia menoleh pada supir. Sang supir pura-pura membuang muka. tetapi bibirnya melepas sebuah senyum. Wajah Suryadi bersemu merah. Ia tidak tahu keputusan apa yang akan ia ambil. Dan ia kemudian menjadi heran mengapa dengan cepat sekali ia tiba-tiba berkata:
"Baiklah!" lantas ia turun, membiarkan Suryati naik lebih dulu untuk duduk di antara supir dengan dirinya. Kemudian truk itu melaju menuju ke perkebunan.
Setelah agak jauh truk itu berjalan, supir tiba tiba memecahkan kesepian yang mencekik di antara mereka:
"Ehm." ia mulai dengan batuk kecil. "... ini trip saya yang kesekian Den Surya. Saya sudah empat kali pulang balik dari perkebunan ke pabrik. Kali yang keempat tadi, mang Karta mencari-cariku. Katanya ia dengar dari orang-orang aku membawa Juragan Surya dengan truk ini dan...."
Suryadi tersenyum. "Ia memang pelayan yang baik. Tentu ia cemas sekali. bukan?"
"Memang demikianlah. Den. Ketika kukatakan Aden berhenti di jembatan dan bermaksud jalan kaki menempuh rawa-rawa menuju ke hutan larangan...."
"Mang Karta jadi, pucat, ya?"
'Pucat dan gugup, Den Surya."
*** SEBELAS Wajah mang Karta yang setengah rusak itu memang masih pucat ketika Suryadi tiba di depan rumah. Ia melihat beberapa orang berkumpul kumpul, ada yang membawa kuda. Mang Karta berlari-lari menyongsong kedatangan Suryadi dan tanpa bisa menahan dirinya langsung memeluk tuannya itu.
"0. saya baru saja mempersiapkan regu pencari, Den," katanya dengan gugup. "Aden tidak apa-apa?"
"Seperti kau lihat, Mang Karta." jawab Suryadi terharu. "Nah. barang kali kau sudah kenal dengan Suryati.' ia menolehkan dagu pada gadis di sebelahnya. "la termasuk salah seorang pemetik teh yang telah menolongku dan....'
Dan Suryadi tiba-tiba tertegun.
Mata mang Karta yang masih normal, tampak menyipit. Karena mata itu tanpa alis, kelihatan sangat tajam sinar matanya dalam jilatan matahari yang hampir jatuh tidur di ufuk langit barat yang lembayung. Sukar untuk menebak isi hati orang tua itu dengan keadaan wajahnya yang rusak dan
penuh gurat-gurat bekas luka. Tetapi Suryadi yang sudah mengenalnya dengan baik. menyadari kalau ada pancaran ketidaksukaan pada mata mang Karta terhadap Suryati. Perasaan Suryadi menjadi tidak enak. Tak tahulah ia mau memihak pada siapa. sampai mang Karta akhirnya membuka mulut:
"Saya senang berkenalan dengan Eneng.'
"Panggil saja saya Yati," si gadis tersenyum. Manis.
Mang Karta mengangguk. Kemudian berjalan mendahului kedua remaja itu menuju kumpulan orang-orang.
"Masukkan kuda-kuda kembali ke kandang." ia setengah berteriak. "Ambil seekor anak domba yang sudah cukup umur untuk kalian bawa ke perumahan dan berpestalah kalian malam ini demi keselamatan juragan kita semua."
Orang-orang yang berkumpul-kumpul dan dikenal Suryadi sebagai pegawai-pegawai tetap perkebunan tehnya yang diam di perumahan di sebelah sana bukit. bersorak-sorak gembira. Setelah mengucapkan terima kasih pada Suryadi dan Mang Karta mereka beramai-ramai memasukkan kuda ke istal. beramai-ramai pula menuju ke kandang ternak lain di sebelah istal. Ketika berjalan masuk ke dalam rumah mengikuti mang Karta yang sudah melangkah jauh lebih dulu. Suryati tiba tiba bergumam:
"Tampaknya pelayanmu itu mengatur segala sesuatu di sini."
Suryadi terlengak. Nalurinya menangkap nada yang aneh dari gumaman itu. Nada yang terpancar dari sinar mata mang Karta. Ketidaksukaan !
Setelah mempersilahkan Suryati mencari tempat duduk sendiri di ruang tamu. Suryadi langsung pergi ke ruang tengah. ia tahu kalau pandang mata gadis itu tertuju pada langkah-langkahnya yang sedikit kaku. Pinggang Suryadi memang masih agak terasa sakit. Namun ia gagah-gagahkan juga, sekedar menjaga agar si gadis tidak pula ikut ke ruang tengah untuk membantunya berjalan. Sampai di dalam, ia lihat Mang Karta sedang menurunkan lampu gantung besar yang setelah ia hidupkan sumbunya langsung dinaikkan lagi ke atas. kemudian mengikatkan tali penaik turun lampu itu pada sebuah pasak yang tersembul pada dinding dekat tangga menuju ruangan-ruangan di atas.
"Mang Karta..."
Pelayan itu tampak terkejut dipanggil begitu tiba-tiba.
"Ya Den?" tanyanya. Aneh. matanya memandang curiga untuk pertama kali ke arah majikannya. Suryadi menyadari hal itu dan membathin: "Ada apa dengan mang Karta?"
?" kalau sudah selesai kau hidupkan semua lampu-lampu. tolong sediakan kamar untuk Yati."
Wajah mang Karta jadi tegang.
"Kamar?" ' "Lha. apakah kita harus menyuruhnya pulang malam ini?"
Ketegangan di wajah mang Karta mengendur. ia mengangguk perlahan-lahan. kemudian berjalan ke arah pintu yang terbuka. dari mana tampak koridor panjang yang di sebelah sisinya merupakan dinding dengan pintu-pintu kamar berhadapan dengan halaman samping rumah.
"Mang Karta?" Pelayan itu kembali lagi.
"Ya Den?" "Mau ke mana kau?"
'Lho, bagaimana aden ini. Kan katanya mau menyediakan kamar....'
"Tidak. Untuk Suryati tak baik kau sediakan salah satu dari kamar-kamar pelayan itu," Suryadi menunjuk ke koridor. Telunjuknya kemudian diarahkan ke lantai atas. 'Apa tidak lebih baik kau siapkan saja bekas kamar nenek moyangku yang tak pernah terbuka itu?"
Tiba-tiba. mata mang Karta mengecil. Bibir. nya bergerimit. tampak seperti membacakan do'a do'a. Heranlah Suryadi. Katanya:
"Ada apa. Mang?"
'Tidak." mengeluh mang Karta. Kecut. "Kamar itu tidak boleh diisi."
Suryadi mulai jengkel. 'Apa-apaan ini" Kunci kamar bekas isteri Belanda kakek moyangku tidak pernah kau berikan. Memakai kamar bekas kakek moyangku. kau lantas ribut. Apakah kau mau membiarkan kamar kamar besar itu menjadi lapuk dan runtuh bersama
bangunan rumah yang semakin tua ini" 0, jijik aku mengingat kamar kakek moyangku penuh debu dan sarang laba-laba. seperti itu jugakah keadaan kamar isterinya?"
Mang Karta menjadi pucat.
"Maafkan saya, Den Surya," katanya berbatabata. Matanya yang tinggal sebelah itu berlinang linang. Suryadi tersadar. Untuk pertama kali ini berkata keras pada pelayannya ini. Phisiknya yang sudah sedemikian menyedihkan sepatutnya dikasihani. tetapi ia malah telah memarahinya Suryadi merasa menyesal. Tetapi apa boleh buat. Ia teringat pada sindiran Suryati sebelum memasuki rumah tadi. Seolah-olah mang Karta yang mengatur di rumah ini. bukan dia sebagai pemilik dan majikan.
"Hem!" gumam Suryadi. "Sudahlah. Pokoknya, tempat untuk Yati tidak pantas apabila disediakan kamar pelayan."
Terbungkuk-bungkuk mang Karta menaiki tangga menuju ke atas.
"Baiklah, Den Surya. Biar kamar juragan Adiwinata saja yang saya bersihkan..."
"Mengapa tidak kamar isterinya?"
Mang Karta tertegun di puncak tangga. Selintas ia memandangi potret-potret yang tergantung berjajar di tembok yang sejajar dengan tangga. ia menghela nafas. Berat. Lalu berkata. sama beratnya:
?" setidak-tidaknya, kamar juragan Winata telah pernah dijamah oleh den Surya!" Ia menggeleng-gelengkan kepala sesaat. Kemudian melanjutkan: "Tetapi maafkan saya. den. Kamar-kamar pribadi itu terlarang untuk orang-orang yang bukan termasuk penghuni rumah ini. Karena itu. neng Yati hanya boleh tidur di kamar Aden sedangkan Aden terpaksa tidur di bekas kamar kakek moyang Aden."
"Aku tidak melihat bedanya," sungut Suryadi seraya mengangkat bahu. ia kemudian memutar tubuhnya, berjalan menuju ke ruang tamu. Pelayannya memperhatikan pemuda itu menjauh. Wajahnya tampak menjadi murung. Lama ia termenung di tempatnya berdiri. sampai kemudian ia menggeleng-gelengkan kepala dan membuang nafas banyak-banyak. Setelah itu. ia berjalan di atas lantai papan menuju kamar juragan Adiwinata yang pintunya masih tertutup. Detak-detak langkah kakinya yang halus terasa menyentak-nyentak di ruangan yang sepi senyap itu. kemudian tertegun di depan ambang pintu. Lalu terdengar suara berderit nyaring ketika pintu itu ia buka.
Sementara mang Karta dengan perasaan terharu biru bercampur takut membersihkan kamar pribadi pendiri rumah itu di atas. maka di ruang tamu di bawah Suryadi menemui gadis pemetik teh yang kini menjadi tamunya untuk menanyakan ia ingin minum apa.
"... biar saya buatkan sendiri," sahut gadis itu tersenyum. la rupanya baru saja mengalihkan perhatiannya pada benda-benda serba antik serta perpustakaan buku-buku lama di ruang tamu itu
ketika Suryadi masuk. "Kau sendiri minum apa. Surya?"
"Kalau kau sudi, tolong buatkan teh yang terpahit. Mungkin akan menolong pinggangku yang masih terasa ngilu ini."
"Ramuan-ramuan yang akan kubuat malam nanti akan menolong menyembuhkan pinggangmu. Tetapi baiklah, akan kubuatkan juga teh yang sangat pahit. sehingga lidahmu akan segan mencicipinya." la tertawa sesaat, disambut oleh Suryadi.
"Boleh aku tahu. dapur di sebelah mana?"
Suryadi memberikan petunjuk-petunjuk seperlunya, kemudian membaringkan tubuhnya yang terasa sangat lelah di atas kursi panjang berlapis tali-tali rajut. Lapisan itu terasa amat keras. namun agak lumayan dibanding dengan ranjang kayu berlapis tikar di rumah Suryati. Pikirannya kemudian bercabang. la berminat mengganti iapisan kursi-kursi tamu itu dengan busa dan bulu domba. Kalau busa dianggap sebagai pengaruh modernisasi. apa salahnya diisi dengan kapuk seperti halnya kasur-kasur tempat tidur"
Kemudian lagi, pikirannya tertuju pada gadis yang baru saja menghilang ke ruangan dalam. Sepintas lalu sebelum menghilang ia sempat menampak punggung gadis itu. Lunak sekali bentuknya, dengan pinggul yang padat dan bergoyang lembut tiap kali kakinya melangkah. Kaki si gadis manis pula susunannya. Mungkin tadinya putih. tetapi karena hidup di perkebunan sering
terpanggang matahari sehingga tampak agak kecoklat-coklatan. Betis Suryati kelihatannya agak keras. Mungkin karena terlalu banyak berjalan pulang pergi dari rumahnya ke perkebunan ini. Tetapi kulit pahanya tampak halus, dan betisnya pasti akan semakin halus kembali andai saja ia tidak berjalan jauh sepanjang hari.
Dan itu baru mungkin terjadi, kalau Suryati tidak tinggal di rumah ayahnya, melainkan di rumah ini!
Suryadi tersenyum memikirkan kemungkinan itu.
Dan menjadi malu pada dirinya sendiri waktu menyadari Suryati sudah berada di dekatnya tanpa diketahui.
"Melamun. Surya?"
Ia menoleh. Wajah gadis itu tampak berseriseri. semakin cantik dalam suasana ruang tamu yang dijilati lampu minyak. Semenjak ia melihat gadis itu untuk pertama kalinya waktu beristirahat di tengah-tengah perkebunan teh, Suryadi telah tertarik pada kecantikan gadis itu. Diam-diam matanya menjelajahi liku-liku tubuh Suryati selagi si gadis meletakkan dua cangkir teh di atas meja. Dan buru-buru mengalihkan mata ke arah lain setelah si gadis duduk kembali di tempatnya semula.
'Silahkah minum Surya. ' Ia buru-buru duduk. Kemudian menyambar cangkir teh pahit di depannya. Uapnya mengebul
ke atas. Harum sekali baunya. Rasanya lebih harum dari biasa. Suryadi berpikir-pikir. apakah kelainan bau itu disebabkan yang membuatnya bukanlah seorang laki-laki setengah baya dengan tubuh terbungkuk-bungkuk dan wajah rusak melainkan hasil tangan seorang gadis cantik bertubuh indah dengan wajah yang tiap kali dilirik tiap kali tampak semakin cantik"
"Enak!" gumamnya setelah meneguk teh yang masih panas. "Pahit. tetapi terus terang sangat enak." dan dalam hati ia membathin: "Aneh, lebih enak dari biasanya."
"Bolehkah saya pergi mandi?"
Pertanyaan itu mengejutkan Suryadi.
'Oh. ya. Ya. Silahkan" Sudah tahu tempatnya?"
"Sudah. ketika tadi pergi ke dapur. Tetapi..." ia tampak ragu-ragu. .
"Mengapa?" "Aku takut." "Hah?" Suryadi terlonjak.
"Kamar mandi itu terlalu besar. Baknya tinggi sekali. dan kehitam-hitaman. Maaf, saya bukan bermaksud tidak baik. Tetapi angin yang berembus dari lubang di atas talang. membuat lampu teplok berkibar-kibar. Bayangan-bayangan yang ditimbulkannya di kamar mandi benar-benar membuat perasaan saya tidak enak.'
"Nah," Suryadi mendengus. "Kau pun sudah mulai dijangkiti perasaan cemas dari penduduk terhadap isi rumah ini."
"Aku cuma berjaga-jaga, Surya."
"Hem. baiklah. Apakah harus kutemani sampe ke dalam kamar mandi?" tanya Suryadi seraya berdiri.
Si gadis memberengut. "Idih. Belum apa-apa sudah begitu.'
Mata Suryadi meredup. "Belum apa-apa?" bisiknya.
Wajah Suryati bersemu merah. Dengan tersipu ia kemudian bersungut-sungut:
'Jangan memandangiku seperti itu."
"Mengapa, Yati?" Suryadi mendekat.
'Malu." 'Aduuuh !' Suryadi tersenyum.
'E-eh. Mau menggoda apa mau nemanin saya ke kamar mandi?" Suryati buru buru mengelak ketika pemuda itu semakin dekat juga. Kemudian berlari mendahului menuju ke kamar mandi. Sambil berjalan mengikuti gadis itu. Suryadi sendiri berpikir pikir dalam hatinya. ia merasa aneh, tetapi ia juga tidak perduli pada keanehan yang menimpa dirinya. Mengapa begitu cepat ia tertarik pada gadis yang belum lama ia kenal. Bahkan di dalam dadanya memekar bunga-bunga yang mendorong kelelakiannya untuk melepaskan suatu naluri yang terpendam. Naluri yang tidak pernah terlampiaskan semenjak ia meninggalkan Magdalena di kota.
Magdalena! la tiba-tiba teringat pada gadis itu. Dan ajaib. la tidak ingin mengingatnya terus menerus. Karena. ia telah tiba di depan pintu kamar mandi dan melihat bagaimana Suryati membuka
pintunya hati-hati. la berdiri diam menunggu sampai Suryati masuk. Ia berharap akan melihat pintu kamar mandi kembali ditutupkan. Tetapi tidak. Pintu itu tetap terbuka dan si gadis tidak segera membuka bajunya. Melainkan. menjulurkan kepala ke luar dari dalam kamar mandi dan berbisik:
"Surya" 'Nghm?" 'Kesinilah....' Suryadi mendekat. Ditarik oleh kekuatan luar biasa yang terpancar lewat sorot mata gadis itu. _ Tarikan itu terasa semakin kuat setelah wajahnya semakin dekat dengan wajah si gadis. dan semakin lama kuat juga. la sama sekali tidak bisa menghindar bahkan merasa kehangatan yang luar biasa di dalam dadanya ketika wajah mereka saling beradu. Bibir gadis itu terasa panas membakar waktu mencercah di bibir Suryadi. Setelah itu. pintu kamar mandi tertutup. Suryadi termangu mangu di luar. Ciuman yang singkat itu masih menghangati bibirnya ketika dekat telinganya ada suara berbisik diiringi hembusan angin yang sangat dingin:
'Jangan permainkan diriku, kekasih...!'
Terkejut. Suryadi memandang ke sekelilingnya. Lengang dan sepi. Tak ada siapa-siapa, sementara dari kamar mandi terdengar bunyi air diguyurkan diiringi suara Suryati menggumamkan sebuah lagu daerah.
*** DUA BELAS Suryadi gugup. Siapa yang berbisik itu" Gadis pemetik teh tidak mungkin! Gadis itu sedang membersihkan tubuhnya di dalam kamar mandi. Lagipula ia bernyanyi-nyanyi kecil. Suryadi melirik lagi ke sana ke mari. Tetap tidak ada siapa-siapa Dan angin dingin menerpa tubuhnya semakin keras. Suryadi merasa terdorong dengan kuat. Ia terhuyung-huyung. Kemudian tubuhnya membentur dinding. Pinggangnya yang sakit kambuh kembali.
Suryadi mengeluh: 'Siapa kau" Siapa kau?"
Dan bisikan itu mendesir lagi.
'Jangan permainkan diriku. Jangan permainkan diriku"."
Suryadi memekakkan telinga.
'Jangan..." Ditutupnya dengan jari telunjuk.
'Jangan permainkan diriku. Jangan....'
Suryadi menggigil. Kedinginan. Semakin lama semakin dingin. Semakin keras pula bisikan di tubuhnya Dan bisikan itu menghunjam terus. Mendesir terus, menembus jari-jari yang menutupi
telinga. menembus selaput telinga terus ke otak, disertai angin dingin yang menderu-deru menyakitkan. Seluruh persendian di tubuh Suryadi gemetar dengan hebat. Ia tak tahan. Benar-benar tidak tahan. Lalu berteriak keras-keras:
"Tidak! Tidaak ! Tidaaaaak !"
la goyang goyangkan tubuhnya ke kiri kanan. Dan tiba-tiba ia membentur sesosok tubuh. Lunak dan hangat. Suryadi membuka matanya yang terpicing sejak ia membentur dinding.
"Ada apa. Surya" Ada apa?"
la menghela nafas. Angin dingin itu mati dengan tiba-tiba. '
"Ndak," jawabnya gugup. "Maafkan. aku mengejutkanmu bukan" Sudah selesai kau mandi, Yati?"
"Sudah, tetapi..."
"Ah. Cuma pinggangku rasanya sakit sekali. Aku tak tahan dan jeritanku lepas begitu saja!"
Suryati yang tampaknya mengenakan pakaiannya dengan bergegas-gegas lantas membimbing Suryadi meninggalkan ruangan yang pengap dan gelap itu. Mereka tiba di ruangan tengah persis dengan saat mang Karta bergegas-gegas turun dengan langkah langkah kakinya yang terseret-seret itu. Melihat kedua insan itu muncul dari arah kamar mandi di mana Suryadi dibimbing oleh Suryati, ia tertegun. Pandangannya dengan curiga tertuju kepada si gadis yang tidak memperdulikannya. 'Bantu Den Surya ke kamar tidurnya. Mang
Karta." ujar Suryati. "Saya akan membuatkan ramuan obat...."
Kecurigaan di mata mang Karta melenyap. Segera ia memburu dan kemudian menerima tubuh Suryadi yang lemas sekali dari tangan Suryati. Perlahan-lahan ia membantu majikannya itu menaiki tangga. Suryadi yang masih sadar berusaha berpegang sekuat tenaga ke bahu pelayannya. Sebaliknya si pelayan berpegangan pada tangan tangan yang mendaki terus ke atas. Susah baginya membawa tubuh majikannya yang kehilangan tenaga itu sementara ia sendiri harus terseok-seok dengan kakinya yang salah satunya tidak normal lagi. Wajah pelayan itu basah kuyup oleh keringat begitu ia selesai membaringkan tubuh Suryadi di atas tempat tidur.
"Tenang. Den. Tenanglah," ia coba membujuk ketika Suryadi masih menggigil seraya mengerang erang.
"Seluruh tubuhku dingin, Mang. Seluruh tubuhku...."
"Aku akan mengambilkan minuman hangat."
"Tidak. Cepat bantu Suryati membuatkan ramuan itu."
Mang Karta ragu-ragu. Dengan wajahnya yang masih pucat pasi, Suryadi membentak.
"cepat kubilang!"
Terbungkuk-bungkuk mang Karta meninggalkan kamar itu. Terbungkuk-bungkuk pula ia menuruni tangga. Tiba di bawah. ia memandang ke atas. Dan tiba tersadar. Tanpa ia sengaja. ia telah membaringkan tubuh Suryadi di tempat tidur pemuda itu sendiri. Bukan di tempat tidur kakek moyangnya. Sesaat, ia kebingungan. Membiarkan keadaan itu terus demikian berarti memberi kesempatan pada gadis yang hampir sama namanya dengan nama majikannya itu, tidur di kamar juragan Adiwinata. Tidak, itu tidak boleh terjadi!
Namun mang Karta belum sempat untuk memutuskan apa-apa ketika dari arah dapur muncul Suryati membawa baskom berisi air panas. Ketika melewati mang Karta gadis itu tidak berbicara sepatah pun. Matanya justru menatap tajam pada mang Karta. membuat yang ditatap merasa tidak enak. Lebih-lebih tidak enak lagi perasaan mang Karta melihat isi baskom. Selain air panas, juga bunga-bunga warna dan beberapa potong akar akaran. Tercium olehnya bau yang sangat menusuk hidung. Bau yang aneh....
Mang Karta mau mencegah tetapi Suryati sudah masuk ke kamar tidur majikannya. ia menjadi gugup. Sebenarnya ia bisa memanggil orang untuk mencarikan manteri kesehatan di desa terdekat. Dekat rak perpustakaan di ruang tamu juga banyak obat-obatan.
"Bah. Mungkin ramuan kampung lebih mujarab," akhirnya ia menggerutu sendiri.
Dan dari atas terdengar seruan lembut:
"Bawakan sebuah gelas, Mang!"
Mang Karta menghela nafas. Bersungut-sungut
"Gadis itu mulai pula memerintah diriku!"
Namun ia bergegas juga ke dapur mengambil gelas dan kemudian membawanya naik ke atas, ke kamar tidur majikannya. Di sana, matanya yang tinggal sebelah yang bekerja baik, memperhatikan Suryati mengacau ramuan obatnya. Ketika gelas berisi air ramuan itu disodorkan si gadis ke mulut majikannya, tangan mang Karta bergerak untuk mencegah. Tetapi Suryadi sudah menerima uluran gelas itu, dan mendekatkan ke mulutnya sendiri. Mang Karta menggigit bibirnya yang sudah tidak tentu bentuknya itu waktu memperhatikan bagaimana jari jemari Suryati mencengkeram jari jemari Suryadi yang memegang gelas dan menekannya terus sampai isi gelas habis diminum oleh majikannya. Semakin dalam giginya mengigit ketika di saat berikutnya Suryati terus menggenggam tangan Suryadi, sementara majikannya itu dengan nafas terengah-engah berucap:
"Terima kasih Yati, terima kasih!"
Mang Karta cuma bisa mengeluh menyadari ia tidak diperhatikan sama sekali oleh majikannya. Sedangkan Suryati, dengan tenang memintanya agar keluar meninggalkan mereka.
"Tak akan lama Den Surya sudah baikan kembali," bisiknya.
Mang Karta mencoba memperhatikan majikannya. meminta pendapat. Tetapi Suryadi benar
benar sudah terpengaruh oleh kehadiran gadis cantik yang telah menolongnya lagi untuk kesekian kalinya itu. Pelayan itu merasa terluka di hatinya. Ia kemudian bergerak mundur. Kakinya terseret-seret. Lesu. Ia terus turun dari tingkat atas ke bawah. Melewati anak tangga demi anak tangga. Sebentar-sebentar tertegun. Memandang potret-potret yang bergantungan di dinding yang sejajar dengan anak tangga. ' Di depan potret juragan Adiwinata wajahnya pucat sekali dan ia menggumam: "Maafkan saya. juragan suci!"
Dan di depan potret kakek Suryadi, anak dari
juragan Adiwinata. ia bergumam pula: "Tolonglah cucumu." Pada potret ayah Suryadi ia berbisik: "Tolonglah anakmu."
Dan ia mau meminta pertolongan pula ketika. memperhatikan potret paman Suryadi. Tetapi pandangan mata dari potret itu membuat tubuhnya gemetar. Tidak. Tak pernah mang Karta berhasil berhadapan dengan tenang dengan paman Suryadi. Laki-laki itulah yang membuat wajahnya rusak berat. Yang menyebabkan sebelah kakinya terpincang-pincang. Terbayang di mata pelayan itu bagaimana wajah paman Suryadi yang bagus dengan bangun tubuhnya yang gagah itu, mati di kursi malas. Terpancang pada sandaran kursi oleh sebilah pedang yang ditusukkan oleh tangannya sendiri. Dan tangan paman Suryadi ditumbuhi bulu-bulu yang panjang. dengan kuku-kuku yang
runCing-runcing memanjang pula.
Mang Karta mendengus. Kemudian meloncat turun. la menyeret-nyeret kakinya dengan susah payah menuju pintu samping. Setelah membukanya, ia menghirup udara pekarangan yang segar. Langit di atas tampak membiru. Bulan bertengger dengan mekarnya menerangi permukaan bumi.
"Wahai, sudah purnama kiranya." ia berbisik sendiri.
Tampak bola matanya bersinar-sinar.
Setelah cukup lama memandangi bulan itu, ia kemudian melangkah sepanjang koridor. Tiba di depan kamarnya sendiri. ia membukanya dengan hati-hati. Kamar itu gelap. la meraba kantong. Mengeluarkan korek api dan menyalakan sebuah lampu teplok di dinding. Ruangannya tidak begitu lebar itu tampak sangat sederhana akan tetapi bersih dan teratur perabotannya. Perlahan-lahan ia membungkuk ke arah kaki tempat tidur yang rapat di dinding. Digeserkannya kaki tempat tidur itu dengan hati-hati. Dalam jilatan lampu dinding ia memperhatikan ubin yang agak rekah lalu mengangkatnya pula. Ternyata di bawah ubin itu ada lekukan kecil terbuat dari papan. Dari dalam lekukan itu. pelayan yang dipercaya Suryadi itu kemudian mengeluarkan sebuah anak kunci.
* * * Di kamar tidur, Suryadi rupanya sudah mulai tenang dan tidak menggigil lagi. Dalam keadaan setengah sadar setengah tertidur ia berbisik lemah:
'Yati?" "Nghm?" si gadis menggenggam tangannya erat erat.
"Maukah kau....' 'Ya. Surya?" wajah gadis itu mendekat.
"Maukah kau... tidur bersamaku malam ini?"
Bersemu merah wajah si gadis. Lama ia tidak menjawab dan cuma memperhatikan mata Suryadi yang penuh harap. Lantas setelah cukup lama berpikir ia akhirnya menganggukkan kepala dan berkata:
'Asal kau tidak nakal!"
Suryati tersenyum. ' "Kau baik sekali, Yati."
'Jangan katakan itu, sayang."
Mata Suryadi yang sudah setengah mengantuk. nyalang terbuka.
"Apa katamu?" tanyanya bernafsu.
Suryati menunduk. Mencium bibir pemuda itu berlama-lama sehingga Suryadi terengah-engah nafasnya.
'" aku sayang padamu. Surya. Aku sayang padamu."
"Yati...." Tidurlah. Tidurlah dengan rasa sayangku."
"Berbaringlah di sebelahku. Yatiku sayang!"
Dengan canggung. gadis itu naik ke tempat tidur dan berbaring di sebelah Suryadi. Pemuda itu
memeluknya dengan hangat dan erat. seperti tidak akan melepaskannya lagi. Suryati balas memeluk. Mata Suryadi terpejam, tetapi mata Suryati tidak. Sepasang bola matanya yang bundar nyalang menatap kelambu di atas mereka. menembus kelambu itu, menatap dinding loteng, menembus loteng entah menatap apa lagi dalam angan angannya yang melambung. Tak lama kemudian nafas Suryadi mulai teratur dan pemuda itu mendengkur dengan halus.
Perlahan-lahan Suryati melepaskan diri dari pelukan Suryadi. Pemuda itu ternyata telah tidur. Gadis itu kemudian meluncur dari tempat tidur. Hati-hati sekali. Dari sana ia terus berialan ke meja baca. Ia dekatkan lampu pada sehelai kertas yang dihimpit oleh sebuah pulpen. Karena matanya agak kabur oleh rasa panas yang terlempar dari semprong lampu ia mengucek-nguceknya Setelah itu mulai membaca tulisan yang tertera diatas kertas:
"Magdalenaku yang kurindu?"
Ternyata surat itu adalah surat yang tak pernah selesai ditulis oleh Suryadi. Diam diam, Suryati memandangi Suryadi yang tertidur pulas di atas tempat tidur. Sorot matanya berkilau dalam jilatan cahaya lampu, dan mulut gadis itu tersenyum tipis. Ia kemudian mau meneruskan membaca ketika telinganya menangkap suara halus di luar pintu.
Suryati menjadi tegang. Diam mendengarkan. ***
TIGA BELAS Mata mang Karta sempat menangkap perubahan letak cahaya dari sela-sela bawah pintu kamar tidur majikannya. Cepat-cepat ia merapatkan tubuh ke dinding. Dengan muka tegang ia menunggu. Menunggu dengan nafas yang ditahan sekuat-kuatnya. Tetapi pintu kamar tidak terbuka. Tak ada suara menyapa ataupun wajah yang keluar untuk memperhatikan gerak geriknya. ia bernafas lega. Dan perlahan-lahan berjalan setengah mengingsut ke sudut koridor atas yang berlawanan dengan arah kamar juragan AdiWinata. ia segera tiba di pintu kamar tertutup yang semenjak Suryadi datang ke perkebunan ini belum pernah menjamahnya.
Dan kini mang Karta mengeluarkan anak kunci.
Dimasukkannya hati-hati ke dalam lubang kunci pintu. Dengan merapatkan telapak tangannya yang satu di bagian lubang kunci Itu ia bisa menahan suara berdetak ketika anak kunci ia putarkan. Sesaat, ia diam menunggu. Tidak ada garak atau suara mencurigakan dari arah kamar
majikannya. ' la menghela nafas lega, namun tampak gelisah ketika ia mulai mendorong pintu kamar bekas istri Belanda juragan Adiwinata itu. Gelap sekali di dalam. Tidak ada lampu sama sekali. Sinar lampu gantung di ruang tengah yang sejajar dengan koridor atas tidak mencapai kamar sehingga sejenak mata mang Karta seperti buta. Bau-bauan yang aneh menyerbak keluar dari dalam kamar.
Mang Karta menarik nafas.
Kemudian menerobos masuk lantas menguncikan pintu perlahan-lahan. Tiba didalam ia membiasakan diri dengan kegelapan. Lama ia bertegak di tempatnya berdiri, sampai dari tengah-tengah ruangan yang selama ini ia rahasiakan pada majikannya. terdengar sebuah suara yang berat dan parau:
"... kau itu, Karta?"
Mang Karta melepas nafas panjang.
"Ya, Ayah!" Sesaat sepi mencekam, Mang Karta duduk bersimpuh di lantai. Dia menanti. Matanya mencoba menembus kegelapan. tepat ke tengah-tengah ruangan. Di atas tempat tidur dalam kelambu yang pasti tertutup samar-samar ia melihat bayangan sesosok tubuh sedang duduk mencangkung. la seolah-olah melihat bintik-bintik mata yang berkilauan dari balik kelambu itu. Bintik-bintik mata yang memandang tajam ke arah dirinya. Dingin dan menusuk.
"... sudahkah bulan purnama?"
"Sudah. Ayah." Diam lagi. Lama sekali. Yang terdengar cuma helaan-helaan nafas yang berat berulang-ulang dari atas tempat tidur, disusul oleh bunyi mulut kemak-kemik membacakan mantera dan doa-doa yang tidak bertitik koma. Bau menyan menyapu hidung mang Karta. bercampur baur dengan bau bauan lain. Ruangan yang tertutup rapat itu membuat sesak nafasnya, tetapi karena sudah terbiasa ia sanggup juga untuk tetap duduk bertahan dan tidak segera kabur dari dalam kamar yang suasananya tidak mengenakkan Itu.
Laki-laki yang duduk mencangkung di atas tempat tidur tiba-tiba merubah posisi. Kini berbaring. Sangat perlahan, tanpa menimbulkan suara meski mang Karta yakin besi-besi tempat tidur yang sudah karatan itu. tidak pernah diminyaki.
* * * "Aku lelah sekali. Karta. Selama bertapa di tujuh gunung, tenagaku sudah hampir punah. Kalau tak mengingat tugas-tugas yang dibebankan pada pundak. maulah aku menolak permintaanmu untuk kembali ke rumah ini. Dan kini sudah bulan purnama. Genap sudah tapaku. Genap pula rencana dari pihak lain yang sewaktu-waktu siap dijalankan.?"
"Mereka sudah siap, Ayah." mang Karta memberanikan diri memotong.
Tak ada sahutan. lama mang Karta menunggu. sampai dari tempat tidur lepas lagi beberapa helaan nafas yang disusul oleh pertanyaan yang sangat tenang:
"Bisa kau katakan dengan jelas?"
"... seorang asing telah memasuki rumah ini."
"Bau tidak enak itu pun kucium. Karta. Tetapi siapakah orang asing itu?"
"Seorang gadis."
"Seorang gadis..." dari tempat tidur kalimat itu diucapkan berulang.
"Seorang gadis. Ha!" bayangan yang berbaring tiba-tiba terduduk, kemudian mencangkung seperti semula. Ada hembusan hembusan nafas berat berkepanjangan. Kemudian:
"Kau harus melakukan sesuatu, Karta!
"Ya, ayah?" "Lakukanlah sesuatu yang bisa menyebabkan mereka memulai tindakan!" ujar orang di tempat tidur. Ia menghela nafas sesaat. Kemudian suaranya terdengar puas: 'Telah tiba waktunya bagi kita untuk bertindak!"
Mang Karta perlahan-lahan berdiri.
Begitu berdiri. ia membuka pintu tanpa menjaga suara lagi. Keras sekali ia memutar kuncinya. dan tiba di luar segera menutupkan pintu itu kembali. Suara hantaman pintu lebih keras lagi memecahkan kesepian malam. Reaksi dari tindakan pelayan itu segera muncul. Pintu kamar tidur majikannya terbuka dengan cepat. Sebuah kepala
terjulur ke luar. disusul oleh sesosok bayangan tubuh. Tubuh seorang perempuan. Dalam jilatan cahaya lampu. kedua bola mata perempuan itu bersinar-sinar dengan tajam.
"Siapa itu?" serunya.
Mang Karta tegak dengan muka tegang di depan pintu kamar yang barusan ia tutupkan.
"Aku Neng Yati!"
Perempuan yang ternyata Suryati itu terjengah sesaat. Matanya dengan liar memperhatikan wajah pelayan itu seraya lebih mencondongkan lampu ke depan. la bergidik sesaat setelah cahaya lampu yang menembus kegelapan menangkap raut wajah mang Karta yang rusak hebat itu. Tetapi rasa takut cepat-cepat ia tekan dan dengan tidak berpikir panjang ia bertanya tegas:
'Apa kerjamu di situ?"
"Akulah yang bertanya, Neng Yati. Apa kerjamu di kamar den Surya?"
"Cuma menidurkannya dan"."
"Dan?" tantang pelayan itu.
Mata Suryati membelalak. "Tahan mulutmu. pelayan!"
Wajah mang Karta memerah padam. Darah naik ke kepalanya.
"Mengapa" Takutkah rahasiamu terbuka?" rungutnya lantang. "Pikiranmu buruk dan busuk. pelayan!"
"Hem!" si gadis tiba-tiba mendesis. 'Kau mau menyembunyikan sesuatu dariku. eh" Menutupinya dengan berbincang kata?" ia kemudian maju
ke depan dengan berani. "Minggir kau. pelayan!
Sebaliknya. mang Karta juga maju.
'Jangan coba-coba!" senggaknya.
"Kau menyembunyikan sesuatu di kamar itu. Kau menyembunyikannya !"
"Tinggalkan rumah ini. Neng Yati. Tinggalkan rumah ini segera."
"Tidak. Tak sudi aku kau perintah. Bukan kau yang berkuasa.?"
Sekali sentak. lengan Suryati terenggut oleh tangan mang Karta yang kukuh. Tangannya yang lain berusaha menampar tetapi segera pula dibetot oleh si pelayan.
"Lepaskan aku!" memekik Suryati.
Tetapi si pelayan justru membetot lebih keras. Lampu di tangan Suryati jatuh ke lantai. Berdering bunyi semprong kacanya yang pecah. Minyak yang tertumpah dijilati api. Sambil mendorong tubuh si gadis si pelayan menginjak-injakkan kaki di atas api. Ia meringis menahan rasa sakit tetapi api itu berhasil ia padamkan. Dengan sekali dorong, tubuh si gadis berguling ke arah tangga terus ke bawah. Pekikan halus mengiringi gerakan tubuh gadis itu meluncur dan terhenyak di lantai bawah.
"Kau... kau...." ia mengerang.
"Masih belum mau keluar juga?" dengus mang Karta dari puncak tangga.
"Sialan kau, pelayan bermuka buruk. Menyesal aku memberi ramuan yang membuat majikanmu tertidur pulas. Kalau tidak. ia pasti sudah terbangun untuk membanting dan membunuhmu."
Tiba-tiba mang Karta tertawa.
"Jadi senjata makan tuan, ya" Ramuanmu justru mencelakakan dirimu sendiri. Karena itu. segeralah enyah. perempuan picisan !'
"Ou!" gadis itu mengerang dengan suara sakit.
"Eh. masih belum mau pergi?" dengus mang Karta lalu meluncur turun dengan kaki terseret seret dari atas dan tiba di bawah langsung mengangkat tubuh si gadis yang bersikeras bertahan pada kaki tangga. Selama beberapa saat mereka bergulat dan kali ini si gadis mempergunakan taktik lain. Ia gigit tangan mang Karta yang membetot pundaknya dan sebelah kakinya menendang selangkangan mang Karta. Pelayan itu menjerit tertahan, pegangannya terlepas.
Begitu dirinya bebas, Suryati berusaha menaiki tangga.
Teriaknya. "Akan kubongkar isi kamar yang kau rahasiakan itu. Akan kubongkar!"
"Tak bisa. anak setan!" gerutu mang Karta dan dengan melupakan rasa sakitnya ia melonjak-lonjak menaiki anak tangga demi anak tangga menyusul si gadis. Tiba di lantai koridor atas kaki gadis itu terpegang olehnya sehingga tubuh yang bertahan pada kaki itu jatuh terjerembab. Suryati terpekik lengking.
"Terkutuk kau, pelayan. Terkutuklah kau !"
la terus mengutuk selama diseret oleh si pelayan menuruni tangga terus melewati ruangan tengah yang lebar. Menjelang pintu keluar mang
Karta agak tertegun ketika memandang patung pualam didekat patung besi. Seolah olah ia melihat mata patung itu bercahaya. Bergidik tubuh mang Karta. dan membuang pikiran mengerikan yang selintas mengisi benaknya.
ia yakin pada kekuatan yang membantunya dari balik pintu kamar bekas isteri juragan Adiwinata. Dan dengan keyakinan itu ia terus menyeret Suryati keluar rumah. Dari teras. ia kumpulkan tenaga sekuat-kuatnya dan tubuh si gadis itu meluncur ke halaman. jatuh menggelimpang di atas rerumputan.
'Nyah dan jangan coba-coba kembali memasuki rumah ini, Neng Yati. Kalau tidak aku akan membunuhmu !"
Kemudian ia membantingkan pintu besar sampai tertutup. Keras sekali. Sehingga terasa memecahkan kesepian ruangan. menimbulkan suara menggaung yang tinggi dan sambut bersambut ia bergidik sesaat. merasa ada tarikan pada pundaknya dari arah patung pualam.
Sumpah Leluhur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan susah payah mang Karta menyeret kakinya yang pincang itu untuk menjauh. Terbayang di matanya saat-saat mengerikan ketika paman Suryadi sedang berpelukan dengan patung pualam itu. Adegan yang sama ia lihat. juga dilakukan oleh Suryadi. Tetapi bukan itu yang membuatnya ngeri.
Yang ia takutkan adalah saat-saat di mana ia harus berjuang melawan patung besi yang hampir jatuh akibat gerakan tubuh paman Suryadi dengan
patung pualam itu. Patung besi itu jatuh menimpa kakinya. sementara wajahnya penuh darah oleh cakaran yang sempat dilancarkan oleh paman Suryadi.
Dengan kaki terseret-seret ia terus menaiki tangga. menuju ke kamar yang tadi ia tinggalkan. Sementara itu. di luar rumah Suryati menangis tersedu-sedu. Sekujur tubuhnya terasa sakit. Lebih-lebih hatinya. Seraya mencium tanah berumput ia meratap:
"Mereka menyiksaku, Ayah. Mereka menyiksaku!"
Lalu tiba-tiba ia tertengadah. Menatap bulan. Tepat di pertengahan langit. Terang bagaikan matahari. Sepasang mata Suryati bersinar-sinar di antara butir-butir air bening yang melelehi pipinya. Mulutnya kemak-kemik di antara sedu sedan. dan tiba-tiba ia menengadahkan kedua lengan ke udara. Dengan wajah tertuju tepat pada bulan purnama. ia mengerang:
"Purnama, 0 purnama. Bangunkan dia untukku. Bangunkan dia untukku. Semenjak lahir aku diajar untuk mencintaimu, purnama. Telah lama pula aku mengabdikan diri padamu. 0. purnama. Bangunkan dia untukku. Bangunkan dia, purnama!"
Kemudian ia berdiri. Terhuyung-huyung.
Kakinya gemetar. Angin malam yang dingin menyapu tubuhnya. Tetapi ia tidak perduli. Sekilas ia menoleh ke samping atas, ke arah jendela kamar tidur Suryadi yang masih tertutup. Setelah itu,
ia berjalan terseok-seok meninggalkan pekarangan rumah besar itu. makin lama makin cepat dan akhirnya ia berlari-lari menembus udara malam yang dingin menusuk tulang.
Ia berlari dan terus berlari dengan air mata yang berlinang-linang.
*** EMPAT BELAS Seperti dibangunkan oleh kekuatan gaib, Suryadi tersadar dari tidurnya. Mula-mula matanya terpantang lebar, menatap kelambu yang putih bersih. Kemudian, matanya terpejam. Mengingat ingat. Lalu ketika matanya terbuka kembali. ia menoleh ke samping. Tempat di sisinya kosong. ia raba. Dingin. Tetapi bantai di sebelahnya sedikit cembung. Jelas baru saja ditiduri orang lain.
"Yati...." ia berbisik.
ia coba bangkit. Susah sekali. Tetapi setelah duduk di tepi tempat tidur dan menggelengkan kepalanya yang terasa berat berulang ulang, ia memperoleh kekuatan kembali. Matanya terasa sangat mengantuk dan ia ingin untuk terus tidur, tetapi hatinya menyuruhnya agar terus berjaga jaga.
ia tidak tahu mengapa. Ia bahkan tidak yakin kalau ia dalam keadaan bangun dan sadar ataukah bangun di dalam mimpi. Lantas ia menolehkan kepala sedikit waktu terdengar bisikan halus:
"Winata...." Tubuh Suryadi menggigil. "Bangkitlah, Winata. Sudah tiba waktunya kau menemuiku!"
' "Euis!" desah Suryadi. Mulutnya terasa sukar mengucapkan nama itu. Ia beranjak ke arah jendela. Membukanya perlahan-lahan. Aneh sekali. ia tidak merasa takut dengan kegelapan yang merajalela di kamarnya. Juga tidak merasa kedinginan oleh angin yang menampar dari luar begitu jendela terbuka. Ia memang menggigil. Tetapi gigilan itu bukan disebabkan oleh rasa dingin. Tetapi oleh suara bisikan yang seperti datang bersama sambaran angin:
"Datanglah padaku, Winata...!"
Ia tidak tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Ia merasa dirinya adalah kakek moyangnya, memandang angkuh ke bawah. Ke halaman yang luas. perkebunan tehnya yang lebar terpentang, perbukitan miliknya. hutan palawija hasil garapan pegawainya lalu nun di kejauhan sana. dibatasi oleh hutan bersemak belukar ia melihat puncak bukit yang gundul di bawah jilatan bulan purnama empat belas hari.
Lalu ketika kepalanya yang agak pusing ia gelengkan berulang-ulang. ia merasa dirinya bukanlah juragan Adiwinata melainkan Suryadi. Turunan terakhir dari juragan yang di masa hidupnya dulu menjadi sebutan penduduk. seperti sekarang mereka juga menyebut-nyebut dirinya sebagai turunan juragan yang terakhir dan segera akan mengikuti jejak leluhur-leluhurnya. Mati dalam keadaan yang sama mengerikan dan misterius!
Lalu tiba-tiba ketika ia melihat nun jauh di bawah sana. Suryadi terhenyak. Ia melihat bayangan orang berlari-lari di bawah jilatan bulan purnama. Semakin lama semakin jauh dan semakin mengabur. Tetapi sosok tubuh itu jelas sosok tubuh perempuan. Samar samar tadi ia mendengar suara:
"Purnama. bangunkan dia untukku !'
Tanpa sadar, Suryadi berbisik pada dirinya sendiri.
'Suryatikah itu?" Lantas masih tanpa sadar. ia berpegang kuat ke bendul jendela dan berteriak sekeras suaranya:
'Yatiiiiiiiiii !" Suaranya membelah kesepian di malam buta itu. bergaung dengan si pongang di gunung dan di bukit. la gemetar mendengar suaranya sendiri. dan semakin gemetar waktu melihat bayangan tubuh yang berlari-lari di bawah sinar bulan purnama itu tertegun.
'Suryati !" desahnya. ia mau berteriak lagi. tetapi bayangan itu kemudian pasti si Suryati! "Mengapa ia lari tengah malam begini" Mengapa" 0. tidak boleh aku membiarkannya. Tidak boleh...!"
Ia kemudian meraba-raba ke bawah tempat tidur. Karena yang dicarinya tidak ketemu, ia mengeluarkan sekotak korek api dari bawah bantal. Ia hidupkan sebatang. Nyala terang segera menjilat ruangan. Ternyata yang ia cari tidak berada di bawah tempat tidur. melainkan dekat meja baca. Bergegas ia menyambarnya. Sepasang sepatu
boot, yang dalam waktu singkat telah melekat di kedua kakinya. Dinyatakannya lagi korek api.
Ternyata suratnya kepada Magdalena.
Wajah Suryadi memucat. "Jadi. suratku pada Magdalena inikah yang menyebabkan Suryati melarikan diri?"
Tiba-tiba, rasa kesal muncul dalam hatinya. Surat itu ia sambar, lantas ia sulut ke nyala korek api. Jilatan api membesar dan surat itu kemudian terbakar hangus. debunya jatuh berserakan ke lantai.
"Persetan si Magda." ia menggerutu sendiri. '0. karena dia Yati melarikan diri di tengah malam buta. Tak akan aku menulis surat dan memikirkan engkau lagi, Magda. Telah ada si Yati dalam hatiku. la telah menolongku berulangkali. dan kini waktunya bagiku untuk menolongnya. O. menempuh bukit demi bukit seorang diri di tengah malam buta. O. ia akan diterkam binatang buas!"
ia kemudian merogoh kantong jacketnya yang tergantung di kapstok. Pestol yang menolongnya tadi siang dari serangan ular phyton di hutan kembali tergenggam di tangannya. Ketika ia periksa ternyata pelurunya sudah kosong. Di bongkar bongkarnya lemari. Tetapi ia tidak menemukan kotak peluru.
"Setan!" makinya. "Bodohnya aku. Coba kalau kuturuti pesan pengacara itu agar aku membekali diri dengan sekotak peluru cadangan. Mengapa aku begitu percaya kalau senjata ini toh tidak
berguna" Dan. ternyata kini memang tidak berguna sama sekali. Bah !"
la lemparkan senjata itu seenaknya. Membentur dinding. kemudian jatuh dengan suara berdegar di lantai. Suryadi tidak perduli. Secepat ia sanggup ia keluar dari kamar.
la agak heran melihat lampu yang berasal dari kamarnya berserakan di lantai koridor dengan bau terbakar. Tetapi keheranannya itu tidak ia pikirkan berlama-lama. Segera saja ia menuruni tangga dalam beberapa kali loncatan. Tiba di bawah ia melihat pintu ke koridor samping tertutup. Mang Karta tentunya tengah tidur. Tetapi tidak. Ia tidak membutuhkan pelayannya itu. Masih ia ingat bagaimana tadi sore pelayannya menyambut kedatangan Suryati dengan sikap dan pandangan mata tidak suka.
"Pelayan celaka itu pulakah yang membuat Suryati tidak betah di sini?" ia memaki sendiri terus menerobos ke pintu depan.
Sesaat, ia tertegun. Ada suatu tarikan aneh membetot dirinya. Tarikan aneh yang datang dari patung pualam di pintu.
Kemudian suara bisikan yang halus:
"... temui aku. Winata!"
Suryadi berteriak lengking:
"Setan! itu pasti suara setan. Jangan menggangguku!" _
Lantas ia melemparkan tubuhnya keras-keras ke depan. melepaskan diri dari gaya tarik yang seperti magnit dan tidak berwujud itu. Ia membentur pintu depan. Ternyata tidak terkunci. Pintu itu terbuka melebar menerima kedatangan tubuh Suryadi sehingga si pemuda jatuh bergulingan di teras terus di tanah berumput.
Tetapi dengan cepat ia berdiri.
Bulan purnama menerangi daerah di sekelilingnya. ia coba mengingat jalan yang ditempuh Suryati ketika tadi ia lihat berlari lari. Kemudian. bagaikan berlomba dengan maut ia berlari sekencang-kencangnya.
ia sama sekali tidak mengetahui kalau di belakangnya. dari dalam rumah muncul dua sosok tubuh. Yang seorang kekar, tetapi terbungkuk bungkuk dan pincang dengan wajah rusak.
Ia adalah mang Karta. pelayan Suryadi.
Di sebelahnya. berdiri tegak lurus menatap bulan purnama. seorang laki-laki berambut dan berjenggot putih yang berkibar-kibar di sapu angin, sehingga tubuhnya yang tinggi tampak sangat kurus. Mirip jerangkong. Cuma kulit membalut tulang. Tetapi sorot matanya tajam bagai sembilu. berkilau-kilau ketika beradu dengan sinar bulan purnama. Suaranya juga jelas terdengar:
?" memang sudah waktunya!"
"Apalagi yang kita tunggu, Ayah?" tanya anaknya. mang Karta.
'Biarkan pemuda itu memenuhi keinginannya untuk sementara. Karta. Aku masih ingat ke arah mana dulu juragan Winata menghilang. Melihat arah lari den Surya mengikuti gadisnya, jelaslah sudah kita akan menempuh arah yang sama....'
"Tetapi kita akan terlambat. Ayah !'
"Baiklah. Kau bisa mengikutiku"
Lalu tubuh yang kurus kering dan tua renta itu melangkah tenang dan ringan mengikuti jalan ke arah mana Suryadi berlari. Mang Karta terseok seok di belakang. sehingga berulang kali ayahnya terpaksa berhenti menunggu jangan sampai anaknya yang malang itu tertinggal jauh.
Semua itu berlangsung tanpa sepengetahuan Suryadi. Yang ia tahu ialah suatu keajaiban yang seolah-olah muncul pada dirinya. Ia rasakan tenaganya berkumpul menjadi luar biasa.
Kaki-kakinya melayang dengan ringan. kadang-kadang ia sampai setengah membungkuk dan berhasrat untuk ikut menjejakkan kedua lengannya agar membantu kecepatannya berlari seperti binatang berkaki empat. Darah di sekujur tubuhnya mengalir deras. panas membara dan nafasnya menggebu-gebu.
Ia juga menyadari hal-hal yang lain. Bila di tempat kegelapan ia tadinya merasa takut tidak bisa melihat jalan. maka ternyata kemudian ia bisa memandang jalanan di depannya dengan jelas. bagaimana juga gelapnya. Telah terbiasakah ia" Atau karena dorongan semangatnya untuk menolong kekasihnya"
Suryadi sudah tidak ingat berapa lama ia berlari. la tidak merasa lelah sedikitpun. Sekujur tubuhnya basah kuyup oleh peluh sehingga berulang kali ia harus menyeka wajahnya. Selama berlari. ia tidak pernah terjatuh sama sekali. Seolah olah jalan yang ia tempuh ia hafal betul, meskipun diam-diam ia menyadari kalau jalan itu baru untuk pertama kalinya ia tempuh. Namun nampaknya bagi Suryati merupakan jalan biasa yang ia pakai memotong dari rumahnya ke perkebunan untuk memetik teh milik Suryadi.
Seraya berlari Suryadi bergumam sendiri:
"Dari nama saja kami sudah serupa benar. Menyebut namanya, seperti aku menyebut namaku sendiri. 0. ia adalah bagian dari diriku. Bagian jiwaku. Yati. Yati. Mengapa kau meninggalkan aku" Mengapa" Tidak tahukah kau betapa kini aku tergila-gila pada dirimu?"
Angan-angannya mulai melambung.
Di antara dengus nafasnya yang berpacu dengan kecepatan kakinya berlari ia melihat Suryati berpakaian pengantin. Dibimbingnya gadis itu memasuki rumah mereka di pertengahan perkebunan. Rumah yang lain dari yang sekarang. Modern, serba mutakhir dan dibangun menurut selera yang sedang laris di kota.
Suryati akan kagum dan tidak berhenti-hentinya melontarkan seruan kebahagiaan kalau ia melihat kamar tidur mereka dengan ranjang berputar dengan dinding yang terbuat dari kaca seluruhnya. Di sebelahnya ruangan hias khusus untuk Suryati dengan kaca rangkap tujuh, tidak lagi toilet darurat dengan rak pakaian dari kayu yang sudah usang dengan sepotong pecahan kaca besar di atasnya.
Berapapun jauhnya Suryadi akan mengusahakan air leiding masuk ke perkebunan itu. dan Suryati akan leluasa mandi dalam bak dari porselein di bawah cahaya lampu berwarna warni. Tidak lagi kamar mandi yang pengap dan gelap sehingga Suryadi harus menemani Suryati dari luar pintu.
Di bak itu mereka bisa bercumbu. Tidak lagi cuma sekedar berkecupan lewat pintu yang sudah karatan.
Angan-angan Suryadi yang melambung tiba tiba lenyap terenggut oleh cahaya lampu yang kelap-kelip dari arah kejauhan. Ketika semakin dekat ia kemudian mengenali rumah itu sebagai rumah di mana tinggal gadis yang ia cintai itu bersama ayahnya. Ayah Suryati tampaknya kurang sympatik, tetapi kalau Suryadi bermaksud sungguh-sungguh melamar anak gadisnya tentulah laki-laki tua berwajah tak terbaca itu akan berubah sikapnya. Apalagi kalau ia dibawa Suryadi pindah ke rumah mereka yang baru dan mutakhir di tengah perkebunan suatu hari kelak.
Suryadi tersenyum begitu sampai di belakang rumah kekasihnya. ia tidak merasa capek sedikitpun. dan heran atas kesanggupannya. la cuma berdiri sejenak untuk mengatur nafas dan agar tampak tenang dan tidak jorok kalau ia nanti memasuki rumah.
Kemudian ia melangkah hati-hati. Memutar ke depan. Dan melihat daun pintu sedikit terbuka. Jadi. Suryati belum lama memasuki rumahnya dan saking tergesagesa telah lupa menutupkan pintu.
Dan tiba-tiba ia tertegun. Di lantai tengah ruangan ia melihat sesuatu yang sangat memporak porandakan isi hatinya. Dalam kelap kelip lampu dinding, ia melihat Suryati tengah bergelut dengan ganas bersama ayahnya, berguling-guling dalam dekapan yang saling bertaut. Kedua-duanya tanpa sehelai benang pun juga.
Suryati tidak menangis seperti yang ia bayangkan
.Tetapi merintih dan mengerang oleh lampiasan kenikmatan.
*** LIMA BELAS Tanpa terasa lagi tubuh Suryadi menjadi lemas. la jatuh meluncur ke lantai. Suara jatuhnya tidak mengejutkan kedua anak beranak yang sedang berada di puncak birahi itu. Mereka bahkan tidak perduli pada kehadiran orang lain di antara mereka. meski sesaat mata mereka memandang juga pada Suryadi yang lemah terduduk di ambang pintu.
Si gadis dan ayah kandungnya sendiri itu terus bergulung-gulung bersama ayahnya sampai kemudian kedua tubuh mereka saling terhempas diiringi nafas puas dan lelah.
"Jadi dia datang juga?" tak lama kemudian ayah Suryati berdiri seraya mengenakan pakaiannya.
'... buaian purnama memenuhi panggilanku. Ayah." rungut Suryati dengan suara lelah.
'Dan laki-laki itu tidak berdaya."
"Seperti kakek moyangnya dulu tak bisa berbuat apa-apa di hadapan kakek dan nenek. Ayah. Bukankah seperti itu yang sering kau ceritakan?"
Laki-laki itu tampak tidak sympathik dengan
wajah banyak kerut dan mata menjorok jauh ke dalam itu. tersenyum. la melemparkan pakaian anak gadisnya seraya menyuruh agar segera mengenakannya disusul dengan kata-kata lain:
"Kita akan menunaikan tugas terakhir kita. Yati."
Suryati menerima pakaian yang diulurkan ayahnya. Tetapi tidak mengenakannya. ia masuk ke kamarnya dan tidak lama kemudian keluar kembali dengan mengenakan pakaian lain. Dalam kegoncangan yang sedang melanda diri Suryadi ia tidak perduli bahan apakah yang dipakai Suryati itu. tetapi diam-diam ia mengeluh. Pakaian itu pastilah pakaian yang sering dipergunakan Suryati dengan maksud-maksud tertentu. Seakan akan mengerti arah pikiran Suryadi. si gadis tertawa. Senang.
"Memang aku yang sering kau lihat berada di puncak bukit. Surya yang malang...."
Suryadi menggeleng-gelengkan kepala dengan susah.
'Terkutuklah kau. Yati."
Tawa Suryati semakin lengking. dibumbui oleh tawa ayahnya yang bergelak. Di antara derai tawanya. ayah Suryati menggeram:
"T ak henti-hentinyakah keluargamu mengutuk. anak muda" 0, memang kami ini terkutuk. Sayang, dulunya keluarga kami adalah keluarga baik-baik. Tetapi kakek dan nenek si Yati. ah, jelasnya. ayah dan ibuku salah jalan. Mereka terlalu bernafsu dan saling menginginkan satu sama lain. Moyangmu mengetahui hal itu lalu mengusir mereka. Tahu kau kutuk apa yang ia jatuhkan atas diri ayah dan ibuku?"
Suryadi mendengus. ia ingat betul. Dan laki laki bertampang keras di depannya menegaskan:
"Moyangmu mengutuk ayah ibuku. Keturunan mereka akan berzinah sesama mereka pula. Seperti yang kau lihat. anak muda. Yang kau lihat barusan. itu adalah hasil kutukan kakek moyangmu. juragan Adiwinata yang tidak tahu diri itu. Ketika tadi Yati pulang seraya menangis. aku membujuknya dan kemudian pelukan dan belaianku menimbulkan rangsangan lain. Kami tidak bisa menahan diri. Memang kami tahu kau akan muncul, tetapi tidak sesegera ini. Namun semua sudah terjadi. Ada baiknya juga, untuk membuktikan padamu bagaimana kutuk kakek moyangmu telah berlaku semenjak lama atas keluarga kami. Kutuk yang menyakitkan hati, tetapi menimbulkan kenikmatan yang menyenangkan. Setujukah kau dengan pendapatku itu?"
Suryadi meludah ke lantai.
"Ho-ho. Mengapa cuma meludah. Mengapa tidak menyerang?"
Suryadi ingin. namun bathinnya berperang. Ada jiwa kedua yang sedang menguasai dirinya. Jiwa yang bukan milik Suryadi yang asli. Jiwa pemdompreng itu memaksa dirinya untuk tidak bergerak tetapi menunggu dengan patuh. Jiwanya yang asli menyuruhnya melawan. tetapi jiwanya yang lain tetap sama kuat pengaruhnya memaksanya untuk tetap diam. la merasakan pergolakan yang dahsyat itu tidak saja di dalam hati akan tetapi juga di pembuluh pembuluh darahnya.
"Kau tak akan bisa, anak muda," laki-laki terkutuk itu terbawa membahak. "Kau tak akan bisa, karena ramuan yang diberikan Suryati sudah meresap masuk ke seluruh pembuluh darah bahkan ke hatimu."
Ia kemudian menoleh pada anaknya yang sedang mempersiapkan sebuah obor. Entah untuk apa obor itu.
"Katakanlah Yati. ramu-ramuan apa yang kau minumkan padanya."
"Bukankah itu dinamakan orang guna-guna, Ayah" Agar ia jatuh cinta padaku. Tidak itu saja. Tidak pernah ia tahu kalau dalam ramuan yang kita berikan di rumah ini juga dicampuri bubuk hitam itu. Bubuk yang bertahun-tahun kita ramu dari bahan bulu, tulang, taring. darah. hati dan jantung harimau! Aha, Ayah. Apakah pemuda kesayangan kita ini nantinya bisa menjadi harimau jadi-jadian yang sangat jinak, Ayah" Aku perlu teman jalan jalan di tengah hutan. tak usah sendirian lagi seperti selama ini"!"
Suryadi gemetar sekujur tubuhnya. Gemetar hebat.
Tetapi ia tetap tidak bisa menggerakkan anggota badannya.
Keterangan anak beranak itu bagaikan sambaran petir ke wajahnya. dan hunjaman batu gunung yang bertumpuk-tumpuk melanda dirinya.
Ia merasakan kesakitan yang teramat sangat. Ingin memberontak. Tetapi ingin pula untuk diam dan penurut. 0, apa yang tengah menjangkiti dirinya" Benarkah apa yang mereka katakan" Mungkinkah" Apakah cuma mimpi buruk belaka"
"Ini bukan sihir. Bung. Tetapi aku ini termasuk ahli obat-obatan yang diajar baik oleh ayah ibuku yang terusir oleh kakek moyangmu. Sayangnya. keahlianku hanya dikhususkan untuk dipergunakan terhadap para pencela ayah ibuku dan keturunan mereka. Yakni leluhur-leluhurmu, dan kini kau sebagai keturunan terakhir. 0. tak menyesal aku menyuruh Yati mengikuti kau ke rumahmu kemarin sore. Dengan begitu, ramuan yang lebih banyak bisa ia minumkan padamu, tanpa merasa khawatir kalau ramuan-ramuan itu tidak diberikan oleh pelayanmu apabila kami titipkan begitu saja! Sekarang baru gejala-gejala permulaan anak muda. Larimu cepat seperti harimau. Matamu tajam biar dalam kegelapan. Tenagamu luar biasa. Eh. heran" Atau kagum, karena kau telah membuktikan sendiri ketika berlari-lari mengejar Suryati tadi?"
Suryadi ingin meludah. Tetapi tak bisa. Celaka. Telah kalahkah jiwanya yang asli"
?" purnama akan segera turun, Ayah." si gadis tiba-tiba mendesah. Wajahnya tampak bernyala nyala dalam kobaran api obor. "... apakah tidak sebaiknya kita sekarang naik ke bukit?"
"Wah, hampir aku lupa," yang ditanya terkejut. "Tetapi eh, apa tidak sebaiknya kuceritakan juga
padanya cerita yang sering kusampaikan padamu?"
"Tentang apalagi. Ayah?"
?"Tentang bagaimana kakek moyangnya dulu di saat-saat menjelang tiba ajalnya memergoki ayah dan ibuku sedang berzinah tanpa ia kuasa untuk memprotes apalagi mengusir seperti yang pernah ia lakukan sebelumnya?" _
Jantung Suryadi berdenyut. Peristiwa itu seperti pernah ia alami. Tidak. Bukan ia alami. Tetapi peristiwa itu melalui sebuah kekuatan gaib telah muncul dalam diri dan pikirannya, hampir-hampir merupakan kenyataan. Ia semakin panik. Jadi kisah-kisah lain yang misterius itu juga merupakan kenyataan. Kisah-kisah ketika ia bergelut dengan perempuan bernama Euis di ruangan tengah. di kamar mandi di anak tangga dan di kandang kuda! Ya Tuhan. Mu'jizat apakah yang sedang Kau perlihatkan ke dunia ini"
"Sambil berjalan ke bukit saja. Ayah."
Si ayah menurut dan ia pun kemudian membimbing Suryadi keluar dari rumah dengan dipelopori oleh Suryati yang berjalan lebih dulu dengan obor di tangannya. Purnama di langit memang masih mekar tetapi betapa tidak terasa indah di mata Suryadi.
Purnama itu seperti tumpukan bola kristal para ahli nujum lewat mana nasibnya segera akan ditentukan. Dan sambil berjalan mendaki bukit ia mendengar kedua anak beranak itu saling berceloteh. Menceritakan hal-hal yang selama ini merupakan kabut misteri bagi dirinya dan bagi penduduk di desa-desa sekitarnya.
Tahulah ia sekarang. bagaimana akhir hidup nenek moyangnya. Juragan Adiwinata yang sudah tua renta, dengan nekad telah menerobos masuk ke tengah hutan belantara untuk mencari kedua penyihir bersaudara. yang tidak saja telah mengganggu ketenteraman desa. Akan tetapi terutama. telah merusak nama baik juragan Adiwinata.
Malang. orang tua yang sedang marah itu. kurang hati-hati. la terperosok masuk ke dalam salah satu lubang jebakan binatang buas. Dalam keadaan luka-luka. kedua bersaudara yang di. amuk dendam itu meringkus juragan Adiwlnata dengan mudah. Mereka mengangkutnya ke bukit. tubuh tua renta itu mereka baringkan di atas tanah gundul. di bawah jilatan bulan purnama. Kedua bersaudara penyihir itu lalu membaca mantera mantera. Memuja angin. Memuja langit. Memuja bulan kemudian sama-sama berseru:
"0. purnama raya! Terimalah persembahan pengabdi-pengabdimu inii" Lalu tubuh tua renta, yang sudah kepayahan menerobos hutan. sudah terluka di lubang jebakan. tubuh tua renta yang sudah tak berdaya apa-apa itu, mereka siksa semene-mana. Mereka menusuk-nusuk tubuhnya. bagian demi bagian, tak menyisakan walau sejengkal pun juga. Darah tuanya muncrat dengan hebat, anyir memualkan. Namun dengan lahap, Euis mereguk muncratan darah itu. Tak ubahnya mereguk air pegunungan yang segar menyejukkan. "Aku akan terus hidup menemani keturunannya. wahai purnama!" kemudian Euis menjerit lantang, menyebutkan sumpah.
"Seperti kau lihat sendiri, Surya," mendengus Suryati, menutup cerita tentang nenek moyang mereka yang mengerikan itu. "Aku masih hidup. Aku, titisan moyangku. Aku, dengan sumpahnya yang mengalir serta meresapi darahku. jantungku. sumsumku.?" Suryati menyeringai, kemudian tertawa mengikik. disambut desau angin yang seolah-oleh membadai dengan tiba-tiba.
* ** Suryadi menggigil. ingin ia menjerit, menyumpah serapah kedua anak beranak yang terkutuk itu. Ingin ia meneriakkan. mereka dusta. Mereka bohong. Mereka pembual. Pokoknya mereka dua orang anak beranak yang tidak saja terkutuk. tetapi juga haram jadah!
Tetapi. 0, lidah, mengapa begini kelu"
Dan sanubari. Sanubarinya yang paling dalam. Seolah-olah membenarkan segala sesuatunya tanpa mengurangi titik komanya. Seolah-olah tidak saja menyentuh telinga Suryadi. tetapi me nyentuh jaringan-jaringan serta sel-sel matanya. Ia tidak mendengar, ia justru melihat apa yang mereka ceritakan. Kekuatan gaib dan aneh. seolah olah melambungkan dirinya.
Melambungkan dirinya ke tempat dan waktu. di mana ia bukan seorang Suryadi. melainkan seorang juragan Adiwinata Melambungkan kedua anak beranak itu. ke tempat dan waktu, di mana mereka adalah dua orang bersaudara kandung. Mereka tidak berdusta. Mereka tidak berbohong. Mereka tidak membual. Suryati dan ayahnya. menceritakan apa adanya.
Mereka benar. Tetapi. mereka tetap terkutuk. Mereka tetaplah haram jadah!
Suryati tertawa lagi, mengikik. Senang. Ah. bukan. Misteri. Tawa yang tidak sedap di telinga. Tawa yang mengerikan.
"Ketika beberapa malam yang lalu kau dan kudamu terperosok pula ke dalam salah satu lubang jebakan," katanya bernafsu. "... kami kira kau sudah mati. Karena lubang jebakan itu penuh bambu-bambu runcing yang beracun. Sungguh mati, kami banyak menyediakan lubang-lubang jebakan di dalam hutan untuk menjaga dari serangan binatang-binatang buas dan ternyata kau yang jadi korban. Karena malam gelap aku tak tahu kau masih hidup... karena itu cepat-cepat aku meninggalkanmu untuk melaporkannya pada ayah. Lalu esok harinya kami cuma menemukan kudamu. Kau sudah menghilang. Khawatir kalau rahasia misteri yang menyelubungi hutan diketahui penduduk. cepat-cepat ayah memporak porandakan isi hutan dan menanam kudamu di lubang
di mana kalian terjebak. Jadi Suryatilah bayangan putih yang muncul di mulut lubang setelah Suryadi terperosok. Dan ayah Suryatilah yang membuat rombongan yang ia pimpin tidak berhasil menemukan apa yang mereka inginkan sehingga lurah Asikin sampai jatuh pingsan setiba di rumah dan penduduk semakin percaya hutan belantara itu dipenuhi arwah dan hantu penyihir.
' Suryadi menggigit bibir menahan rasa sakit hati. sementara darah ditubuhnya semakin menggelegak juga. Meskipun tidak terikat. tetap saja persendian-persendian otot dan otot-ototnya lemah tidak berdaya. Sama sekali ia tidak bisa memberontak dari pegangan ayah Suryati yang terus menyeretnya ke puncak bukit. ***
ENAM BELAS Mereka akhirnya tiba di puncak bukit gundul yang tampak dari jendela kamarnya di perkebunan.
Di sana. ia dibaringkan mereka. Persis seperti dua bersaudara penyihir dulu membaringkan juragan Adiwinata. la tidak bisa memikirkannya dengan jelas, karena segera saja tempat itu dikebuli oleh asap menyan dan bau beraneka ragam ramu ramuan yang dibakar oleh Suryati. Obor telah dipacakkan gadis itu ke tanah. Nyalanya yang kuat menyilaukan mata Suryadi.
la menoleh ke arah lain. Kebetulan. arah itu adalah arah ke perkebunan teh, beberapa bukit di sebelah sana. Dalam jilatan bulan purnama dan mungkin oleh ketajaman matanya yang bertambah dengan ramuan yang telah meresap ke tubuhnya. kini ia lihat bangunan rumahnya sendiri. Seperti gundukan kotak-kotak kecil, tetapi dari sanalah ia melihat bayangan putih yang ternyata bayangan Suryati.
"0. purnama!" Yati tiba-tiba mengerang. 'Tak akan kuhirup darah korban ini. purnama. Tetapi
berikanlah ia kesempatan untuk hidup. Setelah kami gagal merubah pamannya menjadi binatang buas seperti yang kami harapkan, jadikanlah korban ini manusia berwujud harimau, dan berjiwa harimau. ia akan menjadi penjaga kami dan keturunan kami sepanjang masa. Dan karena ia sudah menjadi binatang, ia akan menyetubuhi binatang pula. Sebagaimana lazimnya binatang, tidak memandang ayah ibu atau saudara lagi. Mereka akan berhubungan kelamin satu sama lain. Mereka akan berzinah. Keturunan laki-laki ini akan berzinah sesamanya seperti keturunan dan leluhur-leluhur kami berzinah karena kutuk juragan Adiwinata!"
Lalu gadis berpakaian putih itu tiba-tiba merunduk. Suryadi memperhatikan dengan penuh minat upacara yang tanpa ia kehendaki justru ditujukan pada dirinya itu. Ternyata gundukan gundukan tanah di antara mana gadis itu bersimpuh, adalah kuburan-kuburan tua.
"Kakek, nenek dan ibu?" si gadis mulai meratap. "Keinginan kalian akan segera terkabul!"
Ratapan itu menyayat dan memilukan. Angin pegunungan yang dingin berdesir menyapu sehingga Suryadi menggigil. Kian lama ratapan Suryati kian pilu. Dan bulan purnama di langit biru diam dengan tenang. Menyinarkan cahayanya ke bumi. tanpa berdaya untuk ikut campur dalam kejadian-kejadian yang berlangsung di depan sinar matanya.
Ataukah, purnama itu membiarkan saja apa yang terjadi pada diri Suryadi, karena sang purnama telah dipuja oleh manusia-manusia yang katanya pengabdi bulan itu" 0. perutnya melilit waktu ayah Suryati meniupkan asap dari dupa ke hidung dan mulut Suryadi.
"Jangan..." tiba-tiba ia membuka mulut. oleh ketegangan yang terlahir dari dua jiwa yang saling berhantam. 'Jangan lakukan itu...."
Tetapi asap dupa itu terus berkebul-kebul. Suryadi terbatuk.
Dan Suryati terus meratap:
"Nenek. kecantikanmu telah berhasil membunuh musuhmu. Telah kau hirup darah juragan Adiwinata. Telah kau hancurkan dan hirup pula darah dari tubuh anak juragan jahanam itu. Kemudian kau sebar-sebarkan anggota tubuhnya di bukit agar ditemukan orang-orang. 0. Ibu, telah pula kau racun cucu juragan itu ketika ia mencumbumu di kebun teh. Memang kami gagal menamatkan niat kami pada cucu muda juragan Adiwinata, tetapi ia telah mati oleh tangannya sendiri. Entah karena tubuhnya sudah berbulu. mulutnya sudah bertaring dan kukunya sudah memanjang serta runcing karena ramuan yang kuberikan ketika ia mencumbuku. Entah karena sebab lain. tetapi ia telah mati. Terimalah kini. persembahan kami. Turunan sang juragan yang terakhir!"
Lalu kepala Suryadi diangkat.
Sebuah batok didekatkan ke mulutnya. Dari dalamnya tercium bau busuk. Dari nyala obor. Suryadi melihat warna air yang hitam legam dalam batok itu. itukah ramuan terakhir yang akan merubah
wujudnya menjadi wujud harimau" Dengan segala
daya dan sisa pikiran sehatnya. Suryadi berjuang
mati-matian dan dari mulutnya meluncur kata-kata
yang telah bergumpal dari tadi di dadanya: "Tuhankul'
Dan tiba-tiba kesepian malam di puncak bukit itu dipecahkan oleh teriakan:
"Hentikan upacara terkutuk itu. manusiamanusia celaka!"
Suryati dan ayahnya terlonjak berdiri. Suryadi menolehkan muka. Di bawah. ia melihat dua orang laki-laki dalam sinar rembulan dan cahaya obor mendaki bukit cepat-cepat. Melihat yang jalannya terbungkuk-bungkuk seraya menyeret kakinya Suryadi memuji syukur pada Tuhan. Ternyata orang yang di saat-saat terakhir ia anggap remeh itu telah muncul sebagai dewa penyelamat.
"Mang Karta." erangnya. ingin berteriak. 'Mang Karta. Mang Karta! Tolonglah aku, Mang Karta!"
Ayah Suryati menggeram: "Pengacau!" teriaknya lengking dan mengeluarkan sebilah golok dari balik bajunya.
"Majulah. penyihir!" Mang Karta mendorong tubuh ayahnya ke samping dan terseok-seok naik ke puncak bukit.
Bulan purnama menangkap rona wajahnya
yang rusak mengerikan. dan ayah Suryati agak bergidik melihat siapa lawannya. ia pernah mendengar cerita-cerita tentang manusia yang satu ini, tetapi ia tidak tahu kalau sedemikian betul wujudnya.
Sesaat ia lengah dan pelayan rumah Suryadi mempergunakan kesempatan itu dengan melayang ke udara. Ya. laki-laki yang selama ini dianggap Suryadi lemah. ternyata mempunyai kekuatan pisik tersendiri dengan jurus-jurus silat yang sukar di percaya.
Segera saja suasana di sekitar itu menjadi ribut oleh senggak menyenggak antara kedua laki laki yang tengah bertempur itu. kadang-kadang dibumbui oleh pekik tertahan Suryati. Sementara itu Suryadi cuma bisa memperhatikan seraya berbaring tanpa kuasa untuk membantu. Gejolak gejolak darah di tubuhnya semakin menggila. ia mau berteriak pada para penolongnya bahwa ia mungkin saja berubah wujud sewaktu-waktu. Tetapi teriakan-teriakan mang Karta dan ayah Suryati menelan pekik yang cuma berupa keluhan yang keluar dari mulut Suryadi. Bertahun-tahun rasanya ia berjuang melawan ketakutan yang melanda dirinya. Sampai tak tertahankan lagi air matanya mengucur keluar.
ia sudah mulai putus asa ketika bulan purnama semakin condong dan ayah Suryati terguling guling ke bawah bukit dengan golok menghunjam di pinggangnya sendiri. Mang Karta jatuh terduduk kelelahan di depan tubuh Suryadi dan
berteriak pada ayahnya: "T olong den Surya. Ayah!"
Bersamaan waktunya dengan mendekatnya kakek-kakek yang misterius itu. terdengar isak tangis Suryati. Gadis itu berlari-lari menuruni bukit, langsung menuju ke hutan. Mang Karta tegak siap untuk mengejar tetapi ayahnya mencegah:
"Kita urus dulu den Surya!"
Lalu mang Karta membantu Suryadi berdiri.
"... maafkan saya. juragan. Pamanmu terlambat kutolong. tetapi kalaupun kau berhasil kuselamatkan sekarang, tetapi apa yang akan kuberikan adalah sesuatu yang menjijikkan." ia kemudian mengeluarkan sebuah tempolong. yang isinya sangat bau. "ini adalah hasil tapaku di kamar juragan isteri. Selama duduk mencangkung. keringat mengucur melalui duburku. Harimau paling tidak menyukai kotoran manusia. dan bau duburku tentunya sangat ia benci. Maafkan saya. Den Surya!" lalu isi tempolong itu ia percikkan ke tubuh dan wajah Suryadi, setelah lebih dulu mang Karta menelanjangi majikannya itu.
Sejuk rasanya sekujur tubuh Suryadi. meskipun hidungnya mencium bau pesing yang sangat menjijikkan. Tetapi ia tahan bau yang tidak enak itu. Tak lama kemudian ketika tubuhnya perlahan-lahan mulai segar dan jalan darahnya normal. mang Karta membantunya mengenakan pakaian kembali.
ia kemudian berhasil duduk. bahkan ketika
menjelang dini hari ia telah berhasil berdiri di antara mang Karta dan orang tua aneh dan asing itu. Seraya membantu Suryadi mengenakan pakaian. pelayan yang setia itu memperkenalkan ayahnya.
Sekaligus Mang Karta meminta maaf telah me nutup rahasia kamar tidur juragan isteri. Semata mata karena kamar tidur Suryadi tak mungkin di tempati sementara kamar juragan Adiwinata tak berani mereka mengusiknya. Lagipula ayah mang Karta yang sudah tua renta itu semasa mudanya sering melayani keperluan sehari-hari Juragan isteri di kamarnya. Sehingga kamar itu sudah tak asing lagi baginya. ketika berpuluh-puluh tahun kanwdian ia kembali dari pengembaraannya mencari rahasia hilangnya juragan Adiwinata sekaligus mencari ilmu.
Sementara mang Karta menggali salah satu kuburan di dekat kaki mereka dengan mempergunakan golok dan tangan, kakek-kakek itu bercerita pada Suryadi yang sudah mampu menguasai diri.
'... dalam tapaku di tujuh gunung naluriku mengatakan arwah si penyihir masih gentayangan di rumah juragan. Ketika aku kembali atas panggilan si Karta. kulihatlah patung pualam itu. Juga lukisan Euis di kamar juragan Adiwinata. Kedua benda itu tidak berani kuusik. karena itu adalah benda-benda kesayangannya meski Euis dan saudaranya telah ia usir. Namun benda-benda itu cuma penyalur. Penyalur dari arwah yang sesungguhnya !'
Kokok ayam dari hutan dan burung-burung
mulai bersahut sahutan ketika akhirnya lubang kuburan itu tergali seluruhnya. Kini. dalam tanah di bawah mereka. dalam jilatan obor yang masih terus bernyala-nyala terlihatlah sesosok bentuk yang membuat jantung Suryadi berdenyut.
Matanya terbelalak melihat sosok tubuh seorang perempuan muda yang cantik jelita. lengkap berpakaian. Sosok tubuh yang selama ini mengikuti dirinya dan bercumbu rayu dengannya
"Euis...!" ia bergumam dengan suara menggigil.
Kakek di sebelahnya menggelengkan kepala.
"Yang di depanmu itu cuma tulang belulang. Den Surya. Tetapi saya maklum. Kau masih belum lepas dari pengaruhnya. Karena itulah kita terpaksa harus menunggu sampai cahaya pagi mulai menjilati bumi dan purnama tidak berkuasa lagi atas alam raya ini."
Saat yang ditunggu-tunggu itu datang dengan perlahan. Mula-mula cahaya yang buta-buta ayam, remang-remang menguning. pucat kebiruan dan akhirnya terang seterang pagi yang cerah berembun. Dan bersamaan dengan proses datangnya pagi itu. perlahan-lahan mata Suryadi melihat pakaian yang melekat di tubuh Euis dalam kubur perlahan-lahan lenyap. menyusul daging-daging tubuhnya. bagian-bagian lunak lainnya seperti lenyap ditelan bumi. Suryadi hampir pingsan oleh kegoncangan perasaannya ketika bersamaan dengan munculnya matahari ia bergumam kelelahan:
"Ya, cuma tulang belulang belaka...i'
Mendengar suara Suryadi. kakek-kakek itu meneriakkan pada anaknya:
"Kuburkan kembali, Karta!"
Mang Karta menurut dengan patuh.
la menutup kembali lubang kubur itu dengan diam-diam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya yang kumat-kamit" Entah apa yang ia ucapkan. Atau, mungkin ia sedang berdo'a.
Dan, ayahnya yang sudah tua bangka itu. bergumam lirih kepada Suryadi:
"Perempuan ini dikuburkan anak-anaknya di tengah malam. kala bulan purnama muncul. itu memang keinginannya Sehingga usahanya untuk menghirup darah moyangmu. bisa kesampaian. ia terus hidup dalam bayangan keturunan-keturunan juragan Adrwinata. Dan ia akan mati untuk kedua kalinya, mati yang sesungguh-sungguhnya, mati apabila ia telah dikubur secara wajar. Sebagaimana kita mengubur manusia-manusia lainnya. Yakni. di kala matahari masih bersinar dipermukaan bumi"."
*** Matahari. Ah. matahari telah bersinar di permukaan bumi.
Ketika semuanya telah berlalu dan mereka tiba dengan selamat di rumah, Suryadi seakan-akan memasuki sebuah dunia yang baru. Dunia yang terasa asing, namun dekat dan akrab dengan hati.
Meski patung pualam serta potret Euis pernah menjadi perantara arwahnya, namun Suryadi tidak mengganggu gugat benda-benda yang seakan tetap hidup itu. ia tempatkan benda-benda itu di tempat semula. sebagaimana dulu kakek moyang nya menempatkannya.
la tergugah juga, ketika mang Karta mengabarkan perihal Suryati. Gadis itu diketemukan telah mati dalam salah satu lubang jebakan binatang buas, di tengah hutan belantara. Cara kematian yang aneh. memang, tetapi hidup ini memang serba aneh.
Bagaimana tidak. Tiba-tiba saja, ia teringat kepada Magdalena. Tiba-tiba saja, cintanya kembali meluap-luap. Kerinduan membuat tangannya gemetar. ketika ia duduk menghadapi meja dan mulai menulis surat."
"Magdalenaku tersayang.
Akhirnya, lepaslah aku dan' kekhawatiran yang pernah kau cemaskan. Apa yang kini kupikirkan adalah perbaikan total di rumah perkebunan ini. Kuharap. kau akan menyukainya. Setelah itu, kembali ke kota untuk membeli pakaian pengantin yang indah. Katakan pada mama dan papa, Magda. aku akan datang untuk melamarmu. SURYADI ADIWINATA"
catatan : buat pembaca ebook ini. silahkan gabung di Group Fb Kolektor E-Book untuk mendapatkan ebook ebook terbaru atau yang suka baca cerita silat dan novel secara online bisa juga kunjungi
http://ceritasilat-novel.blogspot.com
Sampai jumpa di lain cerita ya !
Terimakasih. TAMAT 3 Kehidupan 3 Dunia 3 Wiro Sableng 137 Aksara Batu Bernyawa Pendekar Naga Mas 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama