Ceritasilat Novel Online

Tak Kupersembahkan Keranda 1

Tak Kupersembahkan Keranda Bagimu Karya Mira W Bagian 1


Tak Kupersembahkan Keranda Bagimu
karya Mira W Sumber Image : Awie Dermawan
Pembuat Djvu : Kang Ozan Edit teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
Selesai diedit : 24 Juli 2018
Ebook di persembahkan Group Fb Kolektor E-Book
Selamat membaca ya !!! *** TAK KUPERSEMBAHKAN KERANDA BAGIMU Oleh: Mira W.
Diterbitkan pertama kali Oleh: Penerbit Bahtera Hak Cipta dilindungi oleh Undang Undang
Gambar Sampul dan Ilustrasi isi
Oleh: Steve Karnajaya Tata wajah isi Oleh: S. Chudry Saragih *** TIBA-TIBA saja Riri jadi muak. Di ruang anatomi ini mayat memang tidak terhitung banyaknya. Kalau waktu praktikum mulai, mayat mayat itu dijejerkan di atas meja seperti pisang goreng. Dan mayat memang tidak ada yang bagus.
Perempuan yang paling cantik sekalipun tampak mengerikan kalau sudah jadi mayat. Tapi mayat yang satu ini! Yang terhantar di meja praktikumnya! Astaga! Bukan hanya baunya yang aduhai! Bentuknya pun menakutkan!
Matanya mendelik. Lidahnya menjulur ke luar. Dan bagian badannya sebelah bawah nyaris hancur. Riri tidak bisa membayangkan bagaimana kejamnya manusia yang membunuh orang ini.
Entah bagaimana caranya dia mati. Mungkin dijerat dulu lehernya baru dilemparkan ke atas rel kereta api. Tapi sudahlah. Itu 'kan urusan polisi. Yang jelas, manusia yang punya akal sejahat ini pasti si Nurdin. Meletakkan mayat istimewa ini di atas meja praktikumnya. Sialan.
Nurdin selalu datang paling dulu di ruang anatomi. Sementara anak-anak tingkat dua masih kuliah di ruang atas, dia sudah masuk ke sini. Berlagak mempersiapkan praktikum. Mentang mentang asisten. Seenaknya saja dia mengatur.
Nurdin pasti masih sakit hati. Minggu lalu dia mengajak Riri ke pesta ulang tahunnya Fani.
Eh, tahu tahu Riri pulang sendiri diantar Roni.
"Jangan gitu dong, Ri," gerutu Nurdin ketika esok paginya mereka bertemu di kantin. "Mentang mentang ada yang punya mobil, yang naik mOtOr ditinggal begitu saja!"
"Salahmu sendiri," sahut Riri acuh tak acuh. "Cuma punya motor 'nggak tahu diri."
Dia sedang menunggu bakso pesanannya. Dan karena begitu banyaknya mahaSiswa yang pesan bakso, tante yang punya kantin itu jadi pusing tujuh keliling. Mulutnya tidak henti-hentinya mengomeli pembantu satu satunya. Sementara tangannya tidak henti-hentinya memindahkan bolabola daging itu ke dalam mangkuk yang berjejer di depannya.
"Tante, lekasan dong baksonya!" teriak Riri tanpa mengacuhkan Nurdin yang langsung duduk di dekatnya. "Kuliahnya hampir mulai! Apa baksonya mesti dibawa ke kelas?"
"To, lekasan tuh!" dengan reflex si Tante Bakso membentak pembantunya. "Kamu kerjanya loyo amat sih!"
Tetapi baru juga si Broto terbirit-birit meraih mangkuk bakso di depan si Tante, dari meja yang lain terdengar teriakan nyaring Susi:
"To, mana es sirupnya" Ada yang keselek nih! Hampir mati nggak bisa napas! "
"Ya, ya, ya!" sahut Broto dengan napas panjang pendek.
Dalam hati dia mengutuk mengapa mahasiswa. mahasiswi di sini doyan sekali jajan. Kalau kantin ini kosong, dia kan bisa lebih panjang umur. Toh gajinya tidak naik naik sekalipun belum pukul 12 baksonya si Tante sudah habis!
"Jangan menghina yang cuma punya motor.
Ri," geram Nurdin menahan marah.
"Ah, siapa bilang aku menghina" Kalau aku tidak mau naik motor, aku kan tidak mau pergi sama kamu!"
"Kok aku ditinggal begitu saja" Mentang mentang sih ada si Ronni"
"Sudah bagus si Roni mau 'ngantar aku pulang! Kalau tidak, aku kan terpaksa naik taksi! Kamu dansa terus kayak orang kemasukan! Datang ke sana mau kasih selamat Sama Fani atau mau 'ngepel lantai" Aku sudah bosan 'nunggu kamu!"
"Ah, kalau mau pulang kamu kan bisa panggil aku! Kalau ngotot mau pulang sendiri, taksi juga banyak, ngapain nebeng dia?"
"Naik taksi sendirian jam sebelas malam"!" Riri membelalak marah sampai si Broto yang sedang menghidangkan bakso melirik ketakutan, kuatir ada lalat yang ikut terebus di dalam kuah bakso itu seperti dulu. "Bisa dipanggang kalau ketahuan ayahku!"
"Tapi kenapa mesti pulang sama dia?"
"Nah, apa salahnya" Dia yang 'ngajak kok, bukan aku yang minta!"
"Tapi aku tidak suka sama si Roni, Ri!"
"Lho, apa hakmu mengatur aku" Pacar bukan, saudara bukan! Kenal juga baru tiga bulan! Kok sudah berani-beranian mengatur. Siapa yang boleh jadi temanku!"
Dengan sengit Riri meraih sendok. Dan mulai melahap baksonya tanpa mengacuhkan Nurdin lagi.
Sejak itu Nurdin jadi sentimen. Tiap kali praktikum anatomi, Riri pasti dapat mayat rusak. Fani yang menjadi partnernya seregu, lama-lama ikut sengit juga. Habis dia terus-terusan dapat mayat yang sudah tidak karuan bentuknya.
"Punya hutang apa sih kamu, Ri?" gerutunya sambil mulai mengeluarkan scalpel dan pinset anatomi.
Mau tidak mau mayat ini mesti dibedah juga. Kalau tidak rugi sendiri. Bulan depan tentamen terakhir. Dan tidak lulus ujian anatomi berarti mesti mengulang praktikum. Duh, amit-amit! Mendingan mengulang praktikum lain daripada anatomi!
Biar biji mata melotot terus sampai pegal, praktikum histologi masih lebih lumayan. Cuma mengintip mikroskop lebih sedap daripada menghirup bau mayat. Apalagi mayat yang rusak begini! Brrr!
"Tahu tuh, asistennya sentimen!" sahut Riri acuh tak acuh. "Masa tiap ada yang hancur disuruh kirim ke meja kita."
"Rayu dong si Nurdin," bisik Fani sambil mengerlingkan matanya ke assisten yang berdiri di depan ruangan itu. "Dulu dia baik sekali sama kita. Tiap praktikum pasti dia nongkrong di sini ngajarin kita. Sampai bosan aku lihat tampangnya."
"Merayu dia?" Riri mencibir. "Yang bener aja, Nyong! Memangnya cuma dia asisten di sini"!"
"Asisten sih banyak, tapi yang pintar kan sedikit!"
"Kamu kira cuma dia yang paling jago?"
"Ada calon lain?"
Riri tidak menjawab. Sebaliknya dia cuma tersenyum tipis. Dan sudut bibirnya terangkat sedikit. Sementara ekor matanya mengerling lincah ke balik tubuh Fani.
Dengan perasaan ingin tahu Fani lekaslekas menoleh ke belakang. Dan mendadak dia jadi gelagapan sampai lupa bernapas. "Paduka Tuan
itu?" bisiknya sambil membelalaki Riri dengan tatapan tidak percaya. "Gila kamu, Ri!"
"Lho, kenapa tidak" Kalau cari yang paling pintar, dia itu ahlinya! Si Nurdin sih apaan" Kroco!"
"Tapi dia!" Fani mendesis ngeri. "Kalau belum hapal Spalteholz sebuku mendingan jangan tanya dia! Sama saja kayak membangunkan macan tidur!"
"Daripada tidak lulus" Kamu mau mengelus ngelus mayat setahun lagi?"
"Duh, babe jahat amat Sih," keluh Fani seperti biasa kalau dia sedang tertimpa musibah. "Tahu begini susahnya jadi dokter kok aku dipaksa masuk FK!"
Dan Fani hampir terlambat menutup mulutnya. Dokter Tardi lewat di sisi meja mereka.
"Belajar atau ngobrol"!" bentaknya begitu melihat mayat di atas meja mereka masih utuh.
Terkejut campur gugup serentak semua perkakas yang dipegang Fani berjatuhan ke lantai.
"Bagus!" geram dokter Tardi marah. Kalau belum jadi mayat, pasti orang yang terhantar di atas meja itu ikut melompat bangun karena kagetnya. "Kalau pasien hidup yang mesti kamu operasi saat ini, semua alat-alat itu sudah tidak steril!"
"Iya, dok . . ." sahut Fani gugup sambil buruburu memunguti alat-alatnya. Habis dia mesti bilang apa lagi"
"Ayo, mulai dikerjakan!" Sekarang dokter Tardi mendelik ke arah Riri. "Mayat ini untuk dipakai belajar, bukan untuk diajak ngobrol!"
"Tidak bisa mengeluarkan lidahnya, dok . . ." Riri mulai memasang taktik merayunya. Matanya maupun suaranya serentak disetel lunak. Seempuk
mungkin. Tetapi dokter Tardi bukan Nurdin. Bukan pula asisten asisten yang lain. Sebaliknya dari melunak, hentakannya malah tambah menggelegar. Fani sampai menciut ketakutan. Dan alat alat di tangannya hampir berjatuhan lagi ke lantai. "Lidahnya sudah di luar begitu! Apanya lagi yang mau dikeluarkan?"
"Eh, anu, dok . . ." Riri menggagap. Tapi sambil menggagap pun dia masih bisa bergaya. Matanya yang indah itu masih mampu menatap dengan sejuta permohonan. "Tolong dok, terangkan sekali lagi.Di daerah Larynx Pharynx masih banyak yang belum jelas . . ."
Sambil menggerutu dokter Tardi meraih scalpel dan pinset dari tangan Riri. Sengaja Riri mengulurkan tangannya sedemikian rupa sehingga jari-jari dokter Tardi sempat menyentuh tangannya, Hasilnya memang tidak langsung kelihatan. Dokter Tardi masih tetap tampak segalak biaSa. Tetapi bagaimanapun dia mencoba bersikap keras agar tampak berwibawa di depan mahasiswa mahasiswinya, dia tetap juga seorang laki-laki. Berada di samping seorang mahasiswi yang secantik Riri, meskipun sikapnya masih manja manja takut, dokter Tardi jadi tampak lebih bersemangat. Dan apa yang diajarinya hari itu saja, bagi Riri lebih berguna daripada seandainya dia mengikuti praktikum se puluh kali lagi pun!
"Masih ada yang belum jelas?" tanya dokter Tardi sambil berdiri dari bangku Riri. Itu pun karena waktu praktikum telah habis.
"Terima kasih, dok . . ." sahut Riri separuh ditahan-tahan. Senyumnya mengambang menunggu kesempatan. Ketika dilihatnya dokter Tardi tidak
marah, dikembangkannya senyumnya lebih lebar. 'Lain kali boleh nanya lagi kan, dok?"
"Kecuali waktu ujian," sahut dokter Tardi datar.
Dia meninggalkan Riri tanpa menoleh lagi. Tetapi begitu tubuhnya lenyap di balik pintu, serempak teman-teman Riri menyorakinya.
"Hebat, Ri!" komentar Fani sambil menyusut peluhnya. "Macan pun bisa kamu jinakkan!"
"Asal tahu caranya," sahut Riri acuh tak acuh. "Apa susahnya menjinakkan lelaki?"
"Kamu pakai susuk kali ya, Ri?" goda Herman. "Yang angker saja jadi lembek!"
"Susuk dengkulmu!" sambil tersenyum Riri cepat cepat membereskan alat-alatnya. "Minum yuk, Fan."
"Kau yang traktir aku?"
"Memangnya aku dapat lotere?"
"Biar aku yang traktir kalian," potong Herman.
"Betul nih, Her?" mata Rena langsung membulat. "Aku boleh ikut?"
"Wah, sorry! Kamu nggak masuk bilangan. Cuma buat cewek. Dan yang bobotnya di bawah enam puluh kilo."
"Sialan!" geram Rena sambil mengacungkan tinjunya untuk memukul bahu Herman.
Tetapi Herman lebih lincah lagi berkelit.
"Waduh, mati aku!" teriaknya sambil tertawatawa. "Tidak usah dipukul, dipegang saja sama kamu aku bisa gepeng, Ren!"
Rena memang punya potongan istimewa. Anak-anak menjulukinya pegulat wanita. Entah berapa berat badannya. Tidak ada yang tahu. Dia paling ngeri melihat timbangan. Tapi pasti tidak
kurang dari delapan puluh kilogram. Heran bagaimana dia bisa masuk ke dalam mobil Mazda kotaknya yang kecil mungil itu.
"Ajak Rena deh, Her," bujuk Fani pada Herman. "Dia makannya tidak banyak kok. Paling paling empat mangkok."
"Iya, apa artinya sih delapan ratus buat kamu?" Riri menimpali. "Suruhlah babemu tanda tangan lagi. Biar makin banyak Mercy yang pindah ke garasimu."
"Lho minta ditraktir kok 'maksa?"
"Siapa yang minta traktir?" sambar Riri ketus. "Kamu yang ngajak kok!"
"Oke, oke, Nona manis! Silakan bawa siapa saja yang kamu mau bawa! Nah, kapan kita ke kantin" Sekarang atau besok?"
Tetapi belum juga mereka berempat keluar dari sana, Tatiek sudah lebih dulu menghampiri Riri sambil berbisik-bisik:
"Groupnya si Alex dapat preparat lho, Ri. Tadi aku lihat sendiri. Mereka bawa pulang tengkorak buat belajar di rumah!"
"Nyolong?" Mata Fani langsung melebar. "Wah, berani betul!"
"Gila! Bisa diskors kalau ketahuan!"
"Bukan! Si Nurdin yang kasih kok."
"Nurdin?" "Katanya buat belajar di rumah. Lumayan pinjam sehari. Gros kan susah. Bahannya minta ampun banyaknya. Mau belajar semuanya di sini mana keburu?"
"Duh, gampang kalau begitu!" Herman menjentikkan jarinya dengan gembira. "Kita belajar sama-sama mereka saja. Di rumah Alex. Di sana banyak tukang makanan lagi. Tauge gorengnya
enak." "Alex pelit. Katanya buat groupnya sendiri. Itu juga kalau tidak ketahuan mereka diam-diam saja."
"Wah, serakah amat sih" Mau pinter sendiri ya"!
"Katanya groupnya sudah lima orang. Kalau tambah banyak, apalagi tambah cewek, nanti katanya bukan belajar malah ngobrol!"
"Sialan!" geram Rena sengit. "Dikiranya cuma dia sendiri yang bisa pinjam preparat" Ayo Fii, masa kamu kalah sama mereka" Tunjukkanlah keahlianmu!"
"Ngapain" Nyopet preparat mereka?"
"Rayu si Nurdin! Itu kan keahlianmu!"
"Wah, kali ini tidak! Kami lagi konfrontasi."
"Kita adukan saja si Alex kalau dia tidak mau ajak kita belajar bersama!" usul Fani berapi api. "Kamu berani menghadap dokter Tardi, Ri?"
"Buat apa?" sahut Riri acuh tak acuh. "Sama saja buat kita. Tidak bisa belajar."
"Kalau mereka bisa belajar di rumah. kita tidak, itu namanya curang! Nanti nilai mereka lebih bagus dari kita. "
"Kalau angka mereka bagus-bagus, nilai ratarata kelas jadi naik!"
"Itu berarti lebih susah lagi untuk lulus!"
"Udeh deh diam!" bentak Riri jengkel. "Kalian bisanya ribut melulu."
"Kamu ada ide, Ri?" bisik Fani penuh harap. Matanya yang sebulat bola bekel semakin melebar. Biasanya si Riri ini banyak akalnya. Tidak rugi memilih dia jadi pemimpin regu.
"Daripada ribut-ribut mendingan kita curi saja satu tengkorak lagi."
"Wah, aku nggak berani, Ri!" mata Fani langsung menyipit. Tidak sadar dia menggigil Sedikit. "Aku takut yang punya tengkorak marah."
"Yang punya sudah game kok!"
"Justru karena itu! Aku takut hantunya datang. Malam malam aku digerayangi . . . hiii!!"
"Kalau aku sih bukan takut hantu itu," Tatiek menimpali. "Aku takut hantu yang satu lagi, yang masuh doyan bistik . dokter Tardi! Kalau ketahuan . . ."
"Namanya iuga maling, ya tidak boleh ketahuan dong!"
"Tapi bagaimana caranya, Ri?" sela Herman, satu-satunya lelaki di group mereka. "Pak Dul kan selalu ada di sini kalau ruang praktikum dibuka?"
"Itu urusanku. Pokoknya kamu berani nggak?"
"Apa boleh buat deh. Daripada tidak lulus?"
"Nah, begitu dong. Tidak percuma kamu jadi lelaki." Lalu sambil menoleh kepada Tatiek. Riri menanya separuh mendesak, "Kamu bagaimana, Tiek"Berani?" _
"Aku sih tidak ada pilihan lain, Ri. Aku ikut kamu saja deh."
"Kamu bagaimana, Ren?"
"Kalau tidak belajar di rumah rasanya sih aku bakal tidak lulus, Ri. Bahan begitu banyak, mana sempat diulang di sini semua?"
"Nah, tinggal kamu, Fan," Riri menoleh kepada Fani. "Bagaimana nih" Kalau kamu tidak ikut, kita tidak jadi. Di group kita, kalau satu lulus, berarti semua mesti lulus."
"Asal kamu kasih nyontek waktu ujian nanti, Ri"
"Wah, jangan mengandalkan nyontek dong! Kalau kebetulan dokter Terdi yang mengawasi,
mendingan tidak bisa daripada diberi nol! Sudah tdak lulus, dimaki-maki lagi!"
"Lebih baik kita belajar dulu baik baik, Fan," Rena mencoba menasihati temannya. "Urusan nyontek, tunggu kesempatan deh!"
"Bagaimana, Fan?" desak Riri sekali lagi.
"Sudahlah, aku oke saja," akhirnya Fani menyerah. "Kamu yang boss."
"Tidak takut lagi?"
"Biar nanti malam aku tidur berdua di kamar Nuning."
"Idih, nggak tahu malu," ejek Herman geli. "Sudah besar begini maSih takut hantu!"
"Siapa sih yang tidak takut sama hantu?" Rena menyeringai dengan kecut. "Aku juga ngeri. Tapi daripada tidak lulus" Mesti mengulang anatomi lagi" Waduh, amit-amit!"
"Kalau kamu sih tidak usah takut, Ren!" goda Herman. "Malah hantunya yang takut sama kamu! digondol juga kamu Sih bakal dipulangin lagi!"
"Sialan!" sekali lagi Rena memburu Herman untuk memukulnya. Tetapi sekali lagi Herman lebih cepat menyelamatkan dirinya. Dia melompat ke pintu dan hampir bertabrakan dengan Pak Dul, penjaga ruang anatomi yang selalu mengenakan kacamata hitam itu.
Entah mengapa. Di luar atau pun di dalam ruangan, dia tidak pernah melepas kacamatanya. Padahal kacamata itu cukup gelap. Barangkali untuk membedakan dirinya dari mayat-mayat yang ditemukan di tiap sudut kamar itu. Atau sekedar menutupi pemandangan tidak enak yang tiap hari dilihatnya di sana. Mayat. Mayat melulu.
"Maaf, Pak Dul," Herman menepuk bahu
Penjaga kamar mayat yang selalu dingin seperti mayat yang dijaganya itu.
" Kenapa tidak pada pulang?" tanya Pak Dul dingin. "Praktikum kan sudah selesai."
Herman sudah hendak membuka mulutnya, tetapi Riri buru-buru memotong. "Ayo deh, keluar semua! Bikin ribut saia!"
Sambil mengedipkan sebelah matanya didorongnya Fani dan Rena ke luar.
Tanpa menunggu sampai nona-nona itu meninggalkan ruangan, Pak Dul langsung saja mengerjakan tUgasnya. Menurunkan mayat-mayat bekas praktikum dari atas meja. Dan menyimpannya di ruang sebelah.
Dia sedang memasukkan sesosok mayat ke dalam bak pengawet ketika Riri tiba-tiba muncul di belakangnya. Tetapi yang kaget malah Riri. Bukan Pak Dul.' Laki-laki tua itu masih tetap sama dinginnya seperti tadi. Sama sekali tidak terkejut dengan kedatangan Riri yang begitu tiba-tiba.
"Mau apa ke mari?" tanya Pak Dul datar.
"Pak Dul kok nggak kaget sih?" tanya Riri tanpa menyembunyikan rasa herannya. "Kalau saya sih bisa pingsan kalau lagi sendirian di sini tiba-tiba ada yang muncul. Salah-salah dikira mayatnya yang bangun."
Pak Dul cuma mendengus. Tanpa mengacuhkan Riri lagi, dia meneruskan kerjanya.
Celaka, gerutu Riri dalam hati. Ketemu tunggul nih. Orang apa batu sih" Kok dingin amat!
"Pak Dul . . ." tegur Riri setelah dua kali dehemnya tidak dihiraukan Pak _Dul. "Bisa kita omong-omong sedikit?"
Pak Dul menoleh sekilas. Dan melihat muka lelaki tua itu tidak sadar Riri mundur sedikit. Muka
Pak Dul begitu dingin. Datar. Tanpa emosi sama sekali. Entah terbuat dari apa muka itu. Rata. Mati.
Makin lama dilihat, dia makin mirip dengan mayat-mayat yang dijaganya. Dan tiba-tiba saja Riri menyesal mengapa dia tidak mengajak Fani tadi. Atau Herman. Atau Rena. Atau persetan siapa saja. Asal jangan sendirian di sini!
Hiii, bulu kuduknya terasa mulai meremang . . . Dan kamar ini jadi terasa makin dingin . . .
"Soal apa?" Suara Pak Dul mendadak menyadarkan Riri.
Dia baru ingat, Pak Dul masih menatapnya. Masih menunggu kelanjutan kata-katanya tadi.
"Anu, Pak Dul . . ." Riri batuk-batuk sedikit. Tapi sampai sakit lehernya pura-pura batuk, suaranya belum mau keluar juga. Tiba-tiba saja otaknya jadi buntu. Kata-kata yang biasanya mengalir lancar seperti air dari mulutnya kini hilang entah ke mana.
Ih, ada apanya laki-laki tua yang dingin ini" Mengapa cuma ditatap saja dia sudah jadi kelabakan begini"
"Anu, Pak Dul . . . Ngngng . . . anu . . . kalau boleh . . . eh, kalau bisa, saya mau pinjam preparat . . ." Riri menarik napas dalam-dalam, seakanakan baru keluar dari kamar gas.
"Bawa surat?" tanya Pak Dul dengan suara yang lebih dingin lagi.
"Su . . . Surat . . .?" Riri menggagap.
"Dari dokter Tardi. Atau dari asisten-asistennya."
"Bawa, Pak . . ." Riri mengeluarkan sebuah ampl0p yang telah disiapkannya baik-baik. Hasil patungan.
Dengan ragu-ragu disodorkannya amplop itu kepada Pak Dul. Jari-jarinya yang telah terulur siap
untuk menyentuh tangan Pak Dul cepat-cepat ditariknya kembali ketika sekilas tadi dilihatnya betapa mengerikannya tangan laki laki itu . Dan dia buru-buru memejamkan matanya untuk berdoa.
Ya Tuhan! Seandainya lelaki yang tidak tergiur oleh kecantikan ini tidak berminat juga pada uang . . . habislah dia!
Riri menunggu dengan dada berdebar-debar. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Ketika tidak didengarnya juga suara dampratan Pak Dul, lambat lambat dia membuka matanya dan mengintip sedikit . . . Pak Dul sedang memasukkan amplop itu ke dalam saku celananya. Dan . . . astaga! Dia tidak marah!
"Preparat apa?" tanyanya dengan suara rendah. "Kapan dikembalikannya"!"
Riri hampir bersorak kegirangan. Rasanya dia lebih lega mendengar suara Pak Dul daripada mendengar kabar dia lulus ujian sekalipun. Duh, rupanya mayat pun masih doyan duit!
*** "KAMU memang hebat, Ri," puji Fani tidak habis-habisnya di perjalanan pulang. "Orang kayak Pak Dul saja bisa kamu taklukkan!"
"Bukan aku yang menaklukkannya," potong Riri jemu. "Uang."
"Orang seperti dia saja masih bisa disogok ya," gumam Fani sambil melarikan motornya lebih cepat mendahului sebuah bajaj. "Uang memang manis."
"Pelan-pelan, Neng!" dari belakang Riri menepuk bahu Fani. "Ini jalur lambat tahu nggak?"
"Lho kita kan mau buru buru sampai di rumahmu. Tidak lucu kan kalau mereka sampai duluan!"
"Iya kalau sampai di rumah. Kalau ke rumah sakit?"
"Kalau kamu belum nongol juga, nanti dikira tidak jadi belajar di rumahmu . . ."
Belum habis Fani berkata, Riri sudah menjerit kaget.
"Awas, Fan! Orang nyeberang!"
Fani membanting kemudi motornya secepat kilat untuk menghindari ibu yang sedang melintas seenaknya di depan motornya itu. Dan dia tidak sempat mengatur keseimbangan lagi. Motornya menyuruk limbung ke pinggir. Roda depannya menghantam gili-gili. Dan mereka sama-sama terbalik. Diiringi jeritan orang orang yang sedang lewat, Riri dan Fani jatuh tumpang tindih dengan motor mereka.
"Buset," gerutu Riri sambil merayap bangun di aspal panas. "Untung tidak ada bis lewat. Bisa remuk kepalaku."
"Kau tidak apa-apa, Ri?" tanya Fani sambil beringsut bangun. '
"Cuma lecet sedikit."
Beberapa orang yang kebetulan lewat mencoba menolong dengan membantu mengangkat motor Fani. Dan sebentar saja belasan orang sudah mengerubungi mereka.
"Duh, mimpi apa tadi malam," keluh Riri jengkel campur malu. "Jadi tontonan begini!"
Fani tidak menyahut. Dia sedang dibantu berdiri oleh dua orang pemuda. _
"Nggak apa apa, Tante?" tegur yang Lebih muda.
Sialan, maki Fani dalam hati. Masa aku
dipanggil Tante" Tetapi di mulut dia masih bisa menyeringai pahit.
"Tidak," sahut Fani sambil mengebas-ngebaskan debu yang melekat di roknya. "Terima kasih. Maaf, itu tas saya . . ."
Buru-buru dia menyambar tasnya yang sedang dipegang pegang oleh pemuda yang satu lagi.
Waduh, menolong sih boleh, salah salah tas bisa hilang! Soalnya di antara -'orang yang begini banyak, berapa gelintirkah yang betul-betul mau menolong" Sisanya cuma mau menonton. Atau membantu mengamankan barang-barang si korban.
Nah, lihat saja si Riri. Dia lebih memikirkan tasnya daripada dirinya sendiri. Begitu bangun dia langsung menyambar tasnya. Dan tidak mengijinkan seorang pun menyentuh barang-barangnya yang berceceran di jalan. Apalagi tengkorak curiannya . . . untung masih dibungkus plastik!
"Idih, apaan tuh, Mbak?" Seorang gadis kecil yang kebetulan hendak bantu memungutnya cepatcepat menarik tangannya kembali.
"Ular," sahut Riri asal saja. Buru-buru dia membereskan tasnya.
Percaya atau tidak, dua tiga orang yang tadi berdiri di dekatnya cepat-cepat mundur. Dan Riri menggunakan kesempatan itu untuk lekas'lekas naik ke boncengan motor Fani.
"Ayo, Fan, tunggu apa lagi" Mau masuk Pos Kota?"
"Ibu jari kakiku, Ri," keluh Fani ketika motor mereka sudah meluncur meninggalkan kerumunan orang di belakangnya. "Sakit sekali. Jangan jangan patah."
"Ala, asal masih bisa dipakai jalan biar deh. Patah satu masih ada sembilan."
"Sialan, aku ngomong serius nih!'
"Ayo deh mampir RSCM dulu. Kita foto."
"Sial amat ya. Kualat kali sama mayat yang kamu curi tengkoraknya ini, Ri."
"Habis aku mesti bagaimana" Pasang dupa di depannya?"
"Perlahan-lahan Fani membelokkan motorna memasuki halaman RSCM.
"Paling tidak kamu mesti permisi dulu, Ri."
"Aku sudah permisi sama Pak Dul kok."
"Maksudku sama yang punya tengkorak."
"Kenal juga tidak yang mana mayatnya."
Fani sedang menjalankan motornya lambat lambat untuk mencari tempat parkir ketika klakson sebuah mobil yang berada di belakang mereka melengking memekakkan telinga.
"Busyet, cerewet amat sih!" geram Fani sambil menoleh ke belakang. "Dia kira rumah sakit ini punya babenya apa"!"
"Ketengahkan sedikit, Fan," teriak Riri kesal. "Biar dia tahu ini halaman rumah sakit bukan by pass!" '
Dan klakson mobil itu makin santer minta lewat.
"Pinggir, Neng!" teriak tukang parkir.. "Bawa orang sakit tuh!"
"Boleh taruh sini, Pak?" Fani menunjuk sebuah tempat kosong yang diberi berpalang.
"Lama nggak?" "Sebentar." "iyalah!" si tukang parkir melambaikan tangannya. "Asal mobil bisa lewat."
Setelah memarkir motornya, Riri dan Fani bergegas menuju ke pintu gerbang. Mobil yang tadi berjalan di belakang mereka kini berhenti di sana
juga. Pengemudinya, seorang perempuan setengah baya, bergegas turun untuk membukakan pintu sebelah kiri. Seorang pemuda tinggi kurus yang agak bungkuk dibantunya turun dari mobil.
"Tante tante," komentar Fani. "Pantas bawel."
"Anaknya kali, Fan. Sakit."
"Tampangnya sih boleh juga, ya, Ri."
"Tapi badannya cuma selembar, Fan. Payah. Lelaki tanpa otot begitu mana kuat gendong kita ke ranjang?"
Dan di luar dugaan Riri, pemuda yang sedang melangkah tertatih-tatih dipapah ibunya itu menoleh. Sekejap mereka saling pandang. Cuma sekejap memang. Karena di detik lain, mereka sudah sama-sama harus menoleh ke depan lagi kalau tidak mau menubruk orang yang sedang berdesak-desakan masuk.
Tetapi walaupun cuma sekejap, Riri sudah bisa merasakan getaran aneh yang dipancarkan oleh tatapan yang menusuk itu. Tidak ada rasa marah sama sekali di matanya. Tidak ada benci. Apalagi dendam.
Mata itu begitu lembut. Pandangannya amat menyejukkan meskipun redup bagai pelita yang hampir padam. Dan entah mengapa, melihat tatap matanya, tiba-tiba saja Riri menyesal telah mengucapkan kata kata itu.
"Maaf," kata Riri spontan. Dia memang brengsek Mulutnya terlalu enteng. Kadang-kadang malah lancang. Tetapi kalau dia menyesal, dia langsung minta maaf. "Bukan maksud saya menyinggung perasaan saudara . . ."
Ada senyum yang amat tulus merekah di bibir yang pucat kebiru biruan itu. Dan ketika dia menoleh lagi, Riri kembali terkesiap melihat tatapannya. Tatapan matanya demikian lembut. Rasanya Riri belum pernah melihat tatapan yang begitu lembut bersorot di mata seorang laki-laki.
Dan pesona yang dipancarkannya belum mau hilang juga sampai Riri menjumpainya kembali ketika dia sedang menunggu Fani yang sedang difoto di bagian Radiologi.
Pemuda itu datang ke sana di atas sebuah kursi yang didorong oleh SeOrang perawat. Ibunya berjalan di sampingnya.
"Halo," sapa pemuda itu ketika mereka sampai di dekat Riri menunggu. Senyumnya merekah kembali. Masih tetap setulus tadi. "Tunggu siapa?"
"Teman," sahut Riri sambil menggeser duduknya memberi tempat kepada ibu pemuda itu.
Tetapi si tante hanya mengangguk sedikit sambil tersenyum kaku. Sama sekali tidak mau duduk. Dia tetap tegak di sisi kursi anaknya sambil mengawasi perawat yang sedang masuk ke kamar rontgen mengantarkan surat dokter.
"Mau foto juga?" tanya Riri mencoba ramah.
"Untuk perSiapan operasi."
"Operasi?" tersentak Riri.
"Jantung." Ada senyum yang tidak mau hilang di bibir yang pucat itu.
"Jangan banyak omong dulu, Di," ibunya memperingatkan. "Nanti sesak lagi."
Tetapi sedikit pun dia tidak menoleh kepada ibunya. Matanya tidak lepas lepasnya memandang Riri.


Tak Kupersembahkan Keranda Bagimu Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah lama?" tanya Riri asal saja. Dengan perasaan tidak enak.
"Apanya?" "Sakit jantung."
"Sejak lahir." Sekali lagi Riri tersentak. Kali ini lebih hebat. Tetapi pemuda itu masih tetap tersenyum.
"Ini Operasi saya yang keenam. Jantung saya bocor. Dokter-dokter juga heran saya masih hidup."
"Sudahlah, Di," potong ibunya lagi. Kali ini lebih keras. Dan kali ini, dia juga berpaling pada Riri. "Maafkan, Bandi belum boleh terlalu banyak bicara. Jantungnya lemah sekali. Dia bisa sesak lagi."
Riri menoleh kepada ibu yang malang itu. Sebenarnya dia belum terlalu tua, seandainya dia lebih rajin mengurus dirinya. Mungkin penderitaanlah yang telah mengguratkan kerut-kerut ketuaan yang lebih banyak di dahinya.
Matanya yang cekung selalu menatap lingkungannya dengan murung. Sedang rambutnya yang tidak terurus baik, pendek tidak panjang pun belum, memberi kesan yang lebih suram lagi pada penampilannya.
Amat berbeda dengan Bandi. Meskipun tubuhnya begitu kurus sehingga menimbulkan kesan terlalu tinggi, dia tidak tampak muram. Senyum seolah-olah sudah menyatu dengan bibirnya.
Matanya yang redup selalu menyapa lingkungannya dengan ramah. Tetapi kalau mata yang tenggelam dalam rongga yang cekung itu menatap Riri, sorotnya bisa berubah jadi demikian lembut. Menimbulkan sensasi yang aneh di hati Riri.
"Saya doakan semoga tidak ada tempat kosong di Surga," gurau Riri sambil tersenyum. Tiba-tiba saja dia merasa, Bandi sudah bosan dikasihani. Bosan dengan suasana yang kelabu. Sekali-sekali dia mesti diajak bergurau. "Supaya kamu bisa melewati operasimu yang ketujuh. Kasihan kalau dokter-doktermu kehilangan langganan."
Dan dugaannya tepat. Untuk pertama kalinya
Bandi tertawa. Dan dia tetap tertawa sekalipun ibunya sedang menatapnya dengan kesal.
"Kapan kita bisa bertemu lagi?" tanyanya sesaat sebelum perawat mendorong kursi dorongnya ke kamar rontgen.
"Jangan tanya saya," tersenyum Riri. "Tanya doktermu."
"Saya ingin menemuimu lagi."
"Nah, mintalah dokter menambal bocor jantungmu lebih kuat!"
Fani yang tahu-tahu sudah tegak di depan menengok ke belakang dengan heran.
"Kamu ngomong sama siapa, Ri?"
Tetapi Riri hanya tersenyum. "Bagaimana" Ada yang patah?"
"Cuma bengkak sedikit."
Penasaran Fani sekali lagi menengok ke belakang.
*** KARENA rumah Riri besar dan sejuk, temantemannya selalu memilih belajar bersama di rumahnya. Dan bukan itu saja. Di rumah Riri selalu banyak makanan. Belajar di sana berarti perut terjamin.
Ibunya bersedia memindahkan rumah makan mana pun ke rumah asal anaknya mau belajar. Tapi kalau datang cuma untuk pacaran, nanti dulu.
"Pacaran boleh," hampir setiap malam Riri mendengar ibunya mengumumkan undang-undangnya. "Asal ada batasnya. Kalau kamu hamil kamu terpaksa kawin. Dan kawin sebelum studimu Selesai, itu malapetaka! Repot! Bukannya kamu yang jadi dokter malah anakmu yang akan bolak balik ke dokter!"
"Ala, ibu kepingin amat Riri jadi dokter sih!"
"Lho, itu kan tUjuanmu sekolah" Kalau tidak, apa gunanya kamu sekolah dari kecil sampai besar begini?"
"Supaya tidak buta hurup!"
"Cuma itu?" belalak ibunya bersemangat sekali. Majalah yang tadi sedang dibacanya dilemparkannya ke samping. "Nah, kapan wanita mau maju kalau pikirannya cuma sesempit itu?"
"Ah, ibu sendiri juga tidak jadi dokter!" sahut Riri seenaknya. Dia sedang makan emping pedas sambil menghapal topografi.
"Soalnya Ibu tidak punya kesempatan! Kakekmu hanya pegawai negeri. Dan tidak bisa korupsi. Berapa gajinya pegawai negeri" Hanya karena lbu ulet, maka kita sekarang bisa jadi begini!"
Lantas mulailah Ibu Riri menceritakan awal suksesnya. Riri menguap jemu. Entah sudah berapa ratus kali dia mendengar cerita itu. Sejak umur lima tahun. Kalau kisah itu dibukukan, mungkin sudah 100 kali cetak ulang.
Ibunya begitu bangga menceritakan bagaimana dulu dia tidak mampu membeli sepotong coklat pun waktu kecil. Sekarang melapisi seluruh tembok rumahnya dengan coklat sekalipun dia sanggup! Dan dia ingin anak anaknya mengulangi kisah kesuksesannya itu.
Lama sebelum orang-orang menggambar gemborkan real estate, dia sudah mulai main tanah. Dan bersama naiknya jenjang karir suaminya, bisnisnya pun semakin berkembang. Apa yang namanya fasilitas dan prioritas bisa diperolehnya dengan mudah melalui tanda tangan suaminya.
Ayah Riri lebih keras lagi dari ibunya. Karena ambisi orangtuanya, abang Riri yang sulung harus
dirawat psikiater setiap kali dia mulai membuat skripsi. Dan karena skripsinya tidak selesai selesai, dia belum lulus juga dari Fakultas Teknik sekalipun dia sudah sembilan tahun lebih mengeram di sana.
Abangnya yang kedua lain lagi. Dia mesti masuk Fakultas Ekonomi meskipun dia lebih suka main gitar. Ibunya menginginkan anaknya yang kedua ini jadi akuntan. Wah, tenaga macam begini diperlukan sekali untuk mengelola perusahaannya.
Persetan dengan segala mcam bakat Seni yang dimilikinya! Di perusahaannya tidak ada tempat buat seniman. Lha, buat apa anak lelaki yang cuma pintar main gitar"
Laki-laki mesti kuat. Dinamis. Tabah. Dan bersemangat membangun. Bukan duduk-duduk memeluk gitar sambil menyanyikan lagu-lagu cengeng menangisi cinta! Kalau ada uang, tidak perlu ditangisi pun cinta pasti datang.
"Main gitar boleh saja," Riri masih ingat bagaimana'ibunya menggerutui abangnya waktu dia dipaksa masuk Fakultas Ekonomi. "Tapi cuma hobi. Masa kamu mau cari makan dengan gitar" Pakailah kesempatan untuk maju, Man. Tidak semua orangtua mampu memberi kesempatan kepada anak anaknya untuk menyelesaikan studi mereka."
Barangkali ibunya benar. Ibu adalah salah satu dari segelintir wanita yang berpikiran maju. Baginya, anak perempuan atau anak lelaki sama saja. Semuanya harus memakai kesempatan untuk maju kalau ada. Dalam gerak laju pembangunan yang pesat sekarang ini, yang bodoh pasti akan tertinggal di belakang.
Tetapi satu hal dia lupa. Membangun bukan hanya dalam bidang fisik saja. Karena terlampau bersemangat membangun, dia membunuh bakat seni yang sebenarnya ada dalam keluarga mereka. Padahal bukan cuma Arman yang punya bakat seni. Adik Riri yang bungsu pun bisa jadi penyanyi yang hebat kalau dia diberi kesempatan. Tetapi begitu dia memenangkan kejuaraan menyanyi di sekolahnya, begitu dia dikirim untuk melanjutkan studinya di Australia selesai SMA. Minggu-minggu pertama, Renny menangis setiap kali ia menulis surat kepada Riri. "Aku ingat ketika aku dan teman-teman mendaki Gunung Gede, Ri," tulisnya sendu. "Di puncak sana, di depan kemah kami, aku mengalunkan lagu 'Naik-naik ke puncak gunung' sementara Dino mengiringi suaraku dengan gitar. Panorama begitu indah, Ri. Cahaya bulan dan bintang-bintang yang bertaburan di langit seakan-akan telahmenyatu dengan alam di sekitar kami. Daun-daun pepohonan yang gemerisik, rumput yang bergoyang, ah, semuanya seolah-olah ikut bernyanyi dengan kami . . . Sekarang baru kusadari Ri, betapa indahnya sebenarnya lagu 'Naik naik ke puncak gunung' yang sederhana itu. Apalagi bila dipadu dengan panorama dan suasana yang tepat. Sering kalau sedang sendirian begini aku menyanyi, Ri. Tapi di tempat yang gersang ini sungguh berbeda dengan di tanah air kita. Aku Sering menangis kalau mendengar lagu-lagu Indonesia dari kaset atau radio, Ri . . "Kasihan kamu, Ren," keluh Riri setiap kali membaca surat adiknya. Kalau saja Ibu sedikit punya perasaan . . . sedikit punya toleransi . . . punya pengertian . . .
*** _SEJAK bel tanda mulai ujian berbunyi, Nurdin tidak mau pergi-pergi dari sisi Riri. Ke mana Riri berputar, ke situ dia ikut. Akibatnya Riri bukan saja tidak bisa nyontek. Berpikir pun jadi sulit.
Dia rikuh kalau bel tanda pindah tempat sudah berdering Sedangkan kertasnya masih kosong. Walaupun tidak melihat, dia merasa Nurdin sedang menertawakannya. Dan dia jadi malu sendiri. Kesal. Mengkal. Serba salah.
Karena tidak tahu ke mana mesti menyalurkan kemarahannya, tidak sengaja Riri merenggut tali yang meliliti pembuluh darah mayat itu kuatkuat. Dan di luar dugaan, pembuluh darah yang ditanyakan dalam soal ujian itu putus.
Riri masih tertegun bingung di sana. Tidak tahu harus lapor atau pura pura tidak tahu saja ketika tahu-tahu Nurdin sudah tegak di hadapannya.
"Jangan marah-marah dong," tegur Nurdin dengan suara yang sengaja diangker-angkerkan. "Kalau tidak bisa ya sudah! Jangan ditarik-tarik begitu. Sampai putus juga dia tidak akan menyebutkan namanya!"
Sialan, maki Riri dalam hati. Unjuk gigi kamu ya!
Nurdin memungut tali yang putus itu. Dan mengikatnya kembali di ujung pembuluh darah
yang putus tadi. Sambil membungkuk pura-pura mengikat, telapak tangannya yang kiri sengaja diperlihatkannya kepada Riri.
Sekejap Riri membaca tulisan yang tergores di telapak tangan Nurdin. Sekejap dia tertegun kebingungan. Tidak tahu mesti berbuat apa. Cuma sekilas memang. Karena di detik lain bel telah berdering. Dan dia mesti bergeser ke mayat sebelahnya.
Baru ketika sedang membungkuk di mayat sebelah Riri tiba-tiba terkesiap. Bukankah tulisan di tangan Nurdin itu adalah nama pembuluh darah yang ditanyakan dalam soal"
Tidak sadar Riri menengadah. Dan matanya berpapasan dengan mata Nurdin.
Pemuda itu memang sedang menatapnya. Tapi tak ada lagi dendam dalam matanya. Mata itu sudah kembali bersahabat. Tanpa ragu ragu lagi, Riri menuliskan nama pembuluh darah itu di kertas ujiannya.
** "WAH, salah lagi!" keluh Fani sambil memukul kepalanya sendiri.
Dia dengan teman-temannya sedang berdesak desakan di muka papan tulis yang memuat jawaban jawaban yang benar dari soal-soal ujian yang ditanyakan tadi.
"Aku juga salah," gerutu Rena kesal "Kukira itu Arteria Anonyma. Kamu betul berapa, Fan?"
"Paling-paling separuh."
"Lumayan. Aku dari tadi baru betul sepuluh."
"Aku cuma lima!" menimpali Tatiek tanpa ditanya.
"Salah sendiri," komentar Alex separuh
menyindir. "Kalian tidak bisa main mata sama asisten sih. Contoh si Riri dong tuh! Kedip Sana lirik sini pasti siip!"
"Makanya jadi Cowok mesti punya modal kalau mau dilirik cewek," sahut Riri tidak kalah berangnya. "Kalau tidak ada tampang, mesti punya kedudukan'"
"Wah, nyindir ya!" Alex menyeringai pahit. "Mentang-mentang tampangku payah."
"Nah, sudah tahu tampangmu payah, mulutmu ribut terus kayak mesin bajaj!"
"Lho, kok kamu sengit amat sih, Ri?"
"Abis kamu bawelnya lebih dari cewek sih!"
"Ala kan cuma main-main," tersenyum Alex. "Boleh mentraktirmu minum?"
"Sorry," sela Nurdin yang tiba-tiba sudah muncul di belakang mereka. "Riri sudah janji akan minum bersamaku."
Tanpa menunggu jawaban Riri lagi, Nurdin menarik tangan gadis itu. Dan membawanya ke kantin.
"Enak ya jadi cewek cakep," menyeringai Rena. "Tiap hari ada saja yang traktir!"
"Kamu juga sebenarnya cakep, Ren," goda Herman, orang yang paling senang mengisengi Rena, "asalkan angin di perutmu itu dikeluarkan sedikit. Kalau kempis, kamu pasti bisa menyaingi Riri!"
"Sialan!" mendelik Rena. "Kau kira aku ban"!"
Herman dan teman-temannya tertawa geli.
"Kalau ban kamu ini pasti ban radial, Ren!" tersenyum Fani.
"Bukan!" sambar Herman gesit. "Ban truk!"
*** "TERIMA KASIH ya tadi," kata Riri sambil meneguk es siropnya.
"Ah, 'nggak apa-apa kok," tersenyum Nurdin. "Sebenarnya sudah seminggu lebih kutunggu tunggu kapan kamu mau minta tolong padaku. Tapi rupanya kamu terlalu sombong. Kamu ingin membuktikan bahwa kamu tidak butuh siapa siapa"
"Kalau mau menolong jangan pakai pamrih dong."
"Tidak. Aku sungguh sungguh kepingin menolongmu, Ri. Aku tidak mengharapkan apa-apa dari kamu. Aku cuma ingin kita bersahabat kembali."
Riri meletakkan gelasnya sambil tersenyum.
"Oh, itu sih soal gampang. Sama siapa pun aku mau berteman. Tapi jangan lantas mau menguasai dong kalau sudah jadi teman."
"Oke deh, aku terima salah. Kamu memang lain dari yang lain. Membawamu pergi bukan berarti memiliki dirimu."
"Tentu saja, Din! Aturan dari mana begitu" Diriku 'kan milikku sendiri. Kalau kuberikan diriku kepada tiap lelaki yang pergi bersamaku, lha berapa orang pacarku" Sebaliknya kalau aku cuma mau pergi dengan seorang pacar saja, wah bisabisa aku tidak punya teman dong!"
"Prinsipmu memang aneh." Nurdin tertawa pahit. "Tapi aku tidak percaya kalau kau tidak tahu setiap lelaki yang membawamu pergi ingin jadi pacarmu, bukan cuma teman!"
"Yuhui! Diskusi anatomi cinta!" gurau Herman yang datang ke kantin bersama Fani dan Rena. "Boleh numpang duduk di sini, As" Sudah tidak ada meja kosong."
"Boleh," sahut Nurdin sambil menggeser
duduknya merapat ke dekat Riri. "Tapi bayar sendiri ya."
Begitu duduk Fani langsung menoleh kepada Riri.
"Bagaimana nih, Ri" Jadi 'nggak?"
"Kalian mau pergi?" sela Nurdin terkejut campur kecewa. "Ke mana?"
"Bezoek teman di RSCM. Usus buntu. Kemarin dioperasi."
"Oh." Nurdin purapura menaruh minat. Padahal yang diminatinya cuma Riri. "Siapa sih?"
"Kamu pasti tidak kenal. Teman waktu SMA dulu."
"Boleh ikut?" "Aku pergi bersama Fani."
"Kita bisa pergi sama-sama. Aku ingin mengantarmu pulang."
"Memang tidak ada tugas di klinik?"
"Sudah dua hari tidak ada coschap."
"Lho, kenapa?" "Mogok." "Mogok" Pasienmu kabur semua?"
"Pasien sih banyak. Kita yang kabur. Mau menghadap Dekan."
"Wah, demonstrasi nih?" membelalak Fani. "Kok 'nggak ada poster" Sepi sepi saja."
"Bukan demonstrasi. Cuma mengajukan resolusi."
"Soal apa?" menimpali si gemuk Rena. Ketika Fani sedang tidak melihat, disikatnya diam-diam sepotong telur dari piring Fani.
"Biasa. Soal coschap yang akan datang. Kami tidak masuk lagi."
"Masa urusan begitu saja mesti menghadap Dekan?"
Dalam soal soal seperti ini Fani memang ngotot. Rasa ingin tahunya besar sekali. Dan sekali lagi Rena punya kesempatan untuk mengutil sepotong daging dari nasi rames Fani.
"Abis mau ngadu ke mana lagi" Ke DPR?"
"Tidak bisa diselesaikan dengan Pudek saja?"
"Tidak adil Sih. Masa yang satu dua tingkat di bawah kita diberi prioritas masuk klinik duluan. Kita yang tua tua disuruh nunggu. Mentang mentang mereka ke daerah."
"Lho, itu 'kan janji Dekan sendiri" Kalau tidak dijanjikan dapat prioritas sepulangnya dari daerah, mana mereka mau ke sana" Mereka 'kan ke sana dengan biaya sendiri!"
"Apa dikira kita yang di sini tidak pakai biaya" Kita juga mau ke daerah kalau dapat kesempatan!"
"Wah,bisa ramai nih!" kata Rena sambil menyambar sepotong tempe. Tetapi kali ini Fani melihatnya. Dengan sengit dipukulnya tangan Rena.
"Kurang ajar! Ngomong sih ngomong tangan diam dong!"
"Abis pesananku tidak datang'datang sih."
"Lantas kamu suruh aku makan apa, Ren?" mendelik Fani ketika dilihatnya di piringnya hanya tersisa seonggok nasi putih.
"Sorry deh," Rena tersenyum malu. "Kalau lagi ngomong aku suka lupa!"
"Bagaimana tidak melambung," Herman tertawa geli, "nah, makan saja otomatis!"
*** KETIKA sedang melewati deretan kamar kamar rontgen menuju ke bangsal bedah, tidak sengaja ingatan Riri kembali kepada pemuda bermata redup yang ditemuinya di sini sebulan yang lalu.
"Saya ingin menemuimu lagi," katanya dulu.
Sudah selesaikah operasinya" MaSih hidupkah dia" Diam diam Riri jadi tersenyum sendiri. Kalau dia Sudah mati, jangan jangan hantunyalah yang datang menemuinya! Hantu penasaran!
"Ketawa sama siapa, Ri?" cetus Fani sambil menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Sepi.
"Ah, enggak. Ketika lewat di sana tadi tibatiba saja aku ingat temanku. Dia dirawat di sini juga. Habis operasi jantung."
"Wah, kalau setiap temanmu yang dirawat di sini mau kamu kunjungi, sampai kapan kita pulang, Ri?" keluh Nurdin jemu.
"Sebelum dia dioperasi aku sudah janji akan mengunjunginya."
"Tapi kan tidak perlu hari ini!"
"Pulang deh kalau kamu capek."
Nah, dia mulai ngadat lagi, pikir Nurdin menahan marah. Ini gelagat jelek.
"Dan membiarkan kamu pulang sendiri?"
"Aku bisa pulang dengan Fani."
Nurdin tidak menyahut. Sambil menghela napas panjang ditahannya kejengkelan yang sudah hampir meluap ke luar dari benaknya.
Menghadapi gadis cantik memang perlu kesabaran. Tetapi menghadapi gadis cantik yang satu ini bukan cuma perlu kesabaran. Tidak gila saja sudah bagus! Kalau sudah maunya, jangan harap bisa ditawar. Apalagi dibantah.
Nah, coba saja lihat ulahnya. Tiba-tiba saja dia ingin melihat temannya yang baru dioperasi jantung. Namanya saja dia lupalupa ingat. Kamarnya pun dia tidak tahu!
"Sabar saja, As," hibur Fani ketika dilihatnya
wajah Nurdin sudah kecut seperti asam cuka, "kalau mau jadi pacar Riri memang mesti tahan up." _
Nurdin tidak menyahut. Dia sedang bersandar ke tiang dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celananya. Sementara matanya dengan sengit mengikuti Riri yang sedang masuk ke kantor perawat untuk bertanya.
"Kalau tahu begini mendingan aku tidak ikut!" gerutunya kesal. "Habis nengok yang ini lihat yang itu. Memangnya kita majelis gereja atau dinas sosial"!"
Fani tersenyum geli. Kapok lu! Soraknya dalam hati. Jangan mau enaknya saja dong punya teman.
Fani masih ingat bagaimana ulah Nurdin mengirimkan mayat-mayat rusak ke meja praktikum mereka dulu. Hari ini, sebagian dendamnya telah terbalas.
Maka biarpun dia sendiri sudah bosan mengikuti Riri, dia tidak membantah ketika Riri berkeras hendak menengok Bandi. Padahal yang seperti apa saja pemuda yang namanya Bandi itu dia tidak tahu.
"Cakep," sahutnya sok tahu ketika Nurdin menanyakan seperti apa rupanya teman Riri itu. "Badannya besar tinggi."
"Pantas dia ngotot kepingin ketemu," geram Nurdin Sengit. "Pacarnya" Ketemu di mana" Teman SMA?"
"Wah, ceritanya panjang, As!" berdusta Fani. "Besok sajalah di kantin ceritanya."
Padahal dia tahu juga tidak. di mana Riri kenal manusia ini!
*** BANDI masih berbaring setengah duduk di ranjangnya ketika Riri masuk bersama Fani. Nurdin terpaksa menunggu di luar. Dan melihat gadis itu, mata Bandi yang redup langsung bersinar gembira. Dia sudah bergerak bangun jika ibunya yang sedang duduk di dekatnya tidak cepat cepat menghalangi.
"Astaga, Bandi!" desisnya kaget."Kamu mau ke mana"!"
Ibunya lebih kaget lagi melihat tatapan Bandi yang demikian berseri-seri. Dan kekagetannya sampai pada puncaknya ketika dia menoleh ke belakang dan melihat siapa yang datang.
Dua orang gadis cantik di ambang pintu. Hampir tidak bisa dipercaya! Bandi punya teman gadis gadis yang begini rupawan" Biasanya anak kecil pun tidak mau berteman dengan dia! Main bola saja tidak kuat!
"Halo," sapa Riri sewajar menyapa seorang teman lama, "kamu masih hidup?"
Hampir tersedak ibu Bandi menelan ludahnya. Sapaan yang begitu kasar belum pernah didengarnya. Apalagi kalau dialamatkan kepada Bandi!
"Saya senang sekali melihatmu!" cetus Bandi dengan napas terengah-engah. "Begitu senangnya sampai rasanya jantung saya mau putus!"
"Bandi . . ." desah ibunya kuatir.
Dia sudah separuh berdiri hendak mendorong Bandi bersandar kembali. Tetapi ketika melihat Riri sudah sampai di tepi tempat tidur, ibu Bandi hanya diam mematung, tidak tahu mesti berbuat apa.
"Selamat siang, Bu," tegur Riri tanpa rasa rikuh sedikit pun. "Kami boleh melihat Bandi?"
"Oh, tentu." Ibu Bandi menoleh sambil menggeser tubuhnya memberi tempat. "Tentu.
Nak. Silakan . . . silakan . . ."
"Terima kasih, Bu." Riri memberinya seuntai Senyum manis yang membuat ibu Bandi tiba-tiba ingat di mana dia pernah melihat gadis ini.
"Saya. . . saya gembira. . .gembira sekali . . ." gumam Bandi sambil menebah dada kirinya
Ibunya sampai lompat memburunya.
"Kenapa, Di" Kenapa?" tanyanya cemas.
"Tidak apa-apa, Bu," sahut Bandi terengahengah. "Cuma rasanya jantung sialan ini berdebar terlalu cepat . . ."
"Ibu panggil dokter ya?"
"Tidak usah, Bu . . . tidak usah . . . sebentar juga pasti baik . . ." Dengan wajah yang masih bermandikan cahaya tak sekejap pun Bandi melepas kan tatapannya pada Riri. "Saya . . . saya betul, betul tidak sangka kamu mau datang. . katanya dengan Suara terputus-putus. "Betul-betul suatu kehormatan . . . bagi saya . .
Celaka, keluh Fani dalam hati. Teman model apa pula ini" Di mana Riri menemukan segala macam manusia beginian" Noraknya bukan main!
Mula mula Riri sendiri hanya ingin menepati janjinya. Dia sendiri tidak tahu mengapa dia menaruh belas kasihan pada penderita penyakit jantung yang sudah hampir mati ini.
Sejak pertama kali melihat Bandi, Riri memang sudah tertarik kepada mata yang lembut dan sejuk itu. Mata yang tidak pernah menyimpan marah. Tidak pernah menyimpan dendam. Tetapi cuma itu. Kasihan.
Ketika Bandi memintanya untuk datang dan datang lagi, Riri tidak sampai hati mengecewakannya. Setiap kali dia merasa malas mengunjunginya,
setiap kali itu pula terbayang mata yang lembut itu sedang menekur menatap pintu. Menantikan seseorang.
Dan matanya berlumur kecewa ketika orang yang dinantinya tidak kunjung tiba sampai waktu berkunjung habis. Karena itulah akhirnya Riri terpaksa datang dan datang lagi. Karena dia merasa ditunggu. Dibutuhkan.
Bahkan ibu Bandi yang dulu menguatirkannya kini berbalik ikut menunggu. Dia malah lebih cemas lagi kalau Riri tidak muncul.
Soalnya sejak Riri sering datang, Bandi tambah cepat sembuh. Gairahnya untuk hidup semakin meluap luap sehingga dokter pun heran melihatnya.
"Ah, inilah rupanya bidadarinya," tersenyum dokter Marwan ketika sore itu dia kebetulan berada di kamar Bandi dan Riri masuk dengan seikat bunga mawar.
"Selamat sore, dok," Sapa Riri tanpa rasa canggung sama sekali. Dia langsung menghampiri Bandi untuk menyerahkan mawar mawarnya.
"Halo!" tegurnya sambil tersenyum. "Jantungmu masih mau berdenyut?"
"Terima kasih, Ri." Bandi mencium mawarnya dengan penuh perasaan. "Yang kemarin pun belum layu."
"Boleh kuganti?"
Tanpa menunggu jawaban, Riri berpaling untuk meraih jambangan di atas meja di samping tempat tidur. Dan dia baru melihat laki-laki yang sedang duduk di sisi meja itu.
"Abangku, Ri," kata Bandi memperkenalkan, "namanya Haris. Awas lho, dia perayu ulung!"
Dia memang ada tampang, pikir Riri sambil meneliti perawakan laki-laki yang tegap itu. Tampangnya bisa jadi idola gadis gadis remaja. Dan tubuhnya atletis. Cuma matanya kurang ajar_ Lancang. Lebih lebih kalau dia sedang menatap dengan cara begini. Tatapannya lebih bersifat menilai daripada melihat.
"Mas Har, Ini Riri."
Ada rasa bangga dalam suara Bandi. Seolaholah dia ingin berkata: Lihatlah temanku yang satu ini, Mas! Tidak mengecewakan bukan" Meskipun kau seorang ahli, kau pasti belum memiliki yang seperti ini!
"Hai!" sapa Riri acuh tak acuh.
Ditatap sebinal itu dia bukannya rikuh malah makin menyepelekan. Digantinya mawar-mawar di dalam jambangan di samping tempat tidur. Meskipun dia tahu Haris masih mengawasinya dengan tatapan yang itu-itu juga, Riri tidak menjadi salah tingkah. Dia tetap setenang biasa. Padahal gadis mana yang tahan dijilati tatapan yang demikian panas dari seorang pemuda dalam jarak sedekat itu"
Yang gelisah bukan Riri. Malah Bandi. Dia sudah dapat menangkap kilatan gairah yang bersorot dari mata abangnya. Jarak mereka begitu dekat. Haris pasti Sudah dapat mencium parfum yang dipakai Riri. Bahkan mereknya pun pasti dia sudah tahu.
Dan Haris tidak berusaha menyembunyikan kelaki-Iakiannya di balik kepura puraan. Tanpa malu-malu dia membiarkan matanya menikmati sepuas-puasnya lekuk-lekuk tubuh Riri yang demikian menggemaskan. Menjelajahi satu demi satu bagian bagian yang mempesona.
Haris baru bangkit menyodorkan kursinya ketika Riri selesai mengganti bunga di dalam jambanoan.
"Silakan duduk."
"Terima kasih." Riri menarik kursi yang disodorkan Haris dan dengan gaya yang sama sedapnya dia duduk dengan enaknya di sana.
"Ke mana bapak tua teman sekamarmu?" tanya Riri ketika dilihatnya ranjang di seberang Bandi kosong.
"Pindah." "Pindah ke mana" Ke Surga?"
"Belum," tersenyum Bandi, "ke ICCU kembali. Jantungnya kumat lagi."
Selama Riri mengobrol dengan Bandi, Haris hanya diam bersandar ke meja di belakangnya. Tetapi matanya tidak lepas lepasnya mengawasi mereka.
"Mas Haris kalau datang selalu malam," kata Bandi tanpa peduli Riri menanyakannya atau tidak. "Dia memang pintar merayu suster. Entah bagaimana caranya tapi dia selalu bisa masuk meskipun waktu berkunjung telah habis."
Bandi tersenyum ke arah Haris. Lalu sambil menoleh kembali kepada Riri sambungnya lunak. "Tapi hari ini dia datang sore. Khusus untuk melihatmu, Ri."
"Boleh merokok?" sela Haris tiba-tiba.
Ketika Riri menoleh, pemuda itu memang sedang menatapnya.
"Silakan." "Boleh menawarkan nona rokok?"
Riri tidak jadi berpaling pada Bandi. Dan terpaksa menoleh kepada Haris lagi. Sekejap mereka saling pandang. Sebenarnya Riri tidak sedang ingin merokok. Tetapi ada sesuatu di mata pemuda itu yang melecut sebuah tantangan. Tanpa raguragu diambilnya sebatang rokok.
Haris membungkuk menyalakan pemantik apinya. Dan menyulut ujung rokok Riri.
"Maaf," potong dokter Marwan sesaat sebelum meninggalkan kamar itu, "apa tidak sebaiknya kalian merokok di luar saja" Supaya kamar tidak pengap dengan asap."
Sejenak Bandi kelihatannya ingin membantah. Tetapi Haris sudah mendahului membukakan pintu untuk Riri. Sekali lagi mereka saling tatap. Dan melihat pemuda yang sedang menantinya di ambang pintu itu, tanpa berkata apa-apa lagi Riri meraih tasnya.
"Terima kasih mau mengunjungi Bandi," kata Haris ketika mereka sudah duduk di luar, "saya harap ini selingan yang menggembirakan buat nona."
"Oh, bukan selingan," sahut Riri sambil mengisap rokok dengan enaknya, "ini hobi saya,"
"Saya dengar nona masih sekolah."
Sekarang Riri menatap Haris dengan jemu sebelum menjawab.
"itu tidak ada hubungannya dengan Bandi."
"Tingkat berapa?"
"Perlukah ditanyakan?"
"Kalau nona mau jadi teman Bandi, saya harus tahu betul siapa anda."
"Hai, Bung'" Riri melemparkan puntung rokoknya ke tanah dan menginjak-injaknya dengan gemas. Ditatapnya Haris dengan sengit. "Dengar baik-baik. Kalau anda ingin Bandi bisa menikmati sisa hidupnya dengan santai, berhentilah memperlakukan dia seperti anak kecil!"
Riri bangkit sambil menghentakkan kakinya dan meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi.
*** BERBULAN-BULAN setelah kejadian itu Riri tak pernah menjenguk Bandi lagi.
Kalau mereka kira aku yang mengejar-ngejar Bandi, mereka boleh gigit jari! Geram Riri kesal setiap kali dia teringat kepada Bandi dan kepada ulah abangnya yang sok itu. Baru juga pemuda begituan! Yang sepuluh kali lebih hebat saja bisa kugaet semudah menjentikkan jari! Dikasihani malah tidak tahu diri. Nah, lihatlah sekarang siapa yang butuh!
Tetapi bagaimanapun Riri berusaha menindas keinginannya untuk melihat Bandi di balik ke angkuhannya, suatu hari keangkuhanitu runtuh juga tatkala Riri melihat kenekadan Bandi untuk menemuinya.
Harapan Bandi musnah sama sekali ketika Riri tidak muncul juga pada hari terakhir dia meninggalkan rumah sakit. Sia-sia dia menunggu. Gadis cantik yang lincah menawan itu, yang membuatnya masih ingin melihat matahari esok pagi, tak pernah muncul lagi. Dia menghilang begitu saja tanpa memberitahukan dulu apa kesalahan Bandi. Dan ini membuat Bandi makin penasaran.
Dia harus pergi menjumpai Riri. Rasanya siasia saja jantungnya masih mau berdenyut kalau dia tidak bisa melihat qadis itu tiap hari. Pagi dia
menunggu Siang. Siang menunggu malam. Malam dilaluinya dengan gelisah karena ingin cepatcepat pagi. Siapa tahu esok Riri datang .
Maka begitu dirasanya tubuhnya sudahcukup kuat, diam diam Bandi menyelinap ke luar dari rumahnya. Siang-siang begitu Haris tak pernah ada di rumah. Ah, kadang-kadang Bandi iri padanya. Haris begitu kuat..jantungnya tidak pernah mengeluh biarpun dia keluyuran terus sepanjang hari. Haris tidak pernah pulang sebelum hari gelap. Ibu pun sedang Sibuk menyelesaikan jahitan. Bandi bisa pergi sebentar tanpa setahu mereka. Ibu pasti mengira dia masih tidur Siang.
Dia begitu ingin menjumpai Riri. Rasanya rindunya sudah hampir tidak tertahankan lagi. Belum pernah dia merasa begini inginnya menemui seseorang . . .
Dengan sebuah taksi dia mencari alamat Riri. Tidak sulit menemukan rumah sebesar itu. Apalagi letaknya di jalan yang cukup besar di daerah kelas satu. Tidak usah ke luar masuk gang. Tidak perlu membungkuk bungkuk meneropong nomor. Nomor rumah itu terpampang demikian besarnya sampai kutu "pun bisa membacanya.
Yang sulit justru cara untuk masuk ke rumah tersebut. Ada penjaga di gardu kecil di depan rumah itu. Dan celakanya, dia tidak percaya Bandi teman Riri. Non Riri memang punya banyak teman. Ruparupa modelnya. Tapi yang macam begini nanti dulu.
Sudah badannya kurus seperti orang kelaparan, mukanya pucat seperti orang sakit. Pakaiannya asal saja. Datangnya naik taksi lagi. Dia baru mengalah ketika Bandi mendesak terus. Barangkali dia kasihan juga melihat napas Bandi yang sudah
tersengal sengal. "Tunggu sebentar di sini. Saya tanyakan ke dalam sebentar."
Terpaksa Bandi bersandar ke rumah papan itu. Sekedar untuk mengistirahatkan punggungnya. Dan menudungi kepalanya dari Sengatan matahari. Disekanya keringatnya sekali lagi. Dan dia menarik napas dalam dalam.
Alangkah panasnya di sini. Napasnya terasa mulai sesak. Mungkin karena kecapaian. Mungkin juga karena menghirup debu jalanan. Tapi mungkin juga karena akan segera bertemu dengan Riri . . .!
O, jantungnya terasa berguncang lebih keras. Menggetarkan dinding dadanya yang tipis. Dan gempa di dalam dadanya tambah hebat ketika pintu dibuka dari dalam . . . ah, yang ke luar bukan Riri. Cuma seorang pembantu.
"Non Riri tidak ada, tuan. Dari pagi belum pulang."
Lemaslah kaki Bandi. Dia Sudah menempuh perjalanan sejauh ini untuk menemui Riri. Dan gadis yang dirindukannya itu tidak dapat ditemuinya.
"Bo . . . boleh saya tunggu di dalam?"
Pertanyaannya belum habis ketika bunyi klakson yang amat nyaring nyaris membuat tubuhnya tersentak ke belakang karena kaget.
Bergegas penjaga pintu mendorongnya mundur dan melebarkan pintu sambil berseru. "Awas, mobil mau masuk!"
Mobil. Ada secercah harapan mencuat lagi di hati Bandi. Ririkah yang datang itu"
Siasia dia mencoba melongok ke dalam. Kaca mobil itu terlalu gelap. Tertutup rapat semua. Jangankan mengenali siapa yang di dalam. Melihat ada orangnya atau tidak saja sulit.
Dan tanpa permisi lagi mobil itu meluncur masuk meninggalkan segumpal besar debu buat paru-paru Bandi. Dia batuk batuk begitu hebatnya sampai penjaga pintu yang sedang menutup pintu kembali itu terpaksa menghampirinya lagi.
"Bukan Non Riri," katanya Iba. "Ibunya. Tuan ada perlu apa" Cari pekerjaan?"
"Saya teman Riri."
Bandi ingin meneriakkan sepotong kata itu. Tapi dadanya terasa perih. Terhuyung-huyung dia meninggalkan rumah Riri.Tangannya sudah separuh terangkat untuk menghentikan sebuah taksi ketika kakinya tak mampu diangkatnya lagi. Dan dia tersungkur mencium tanah.


Tak Kupersembahkan Keranda Bagimu Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** "ASTAGA!" damprat ibu Riri ketika melihat penjaga pintu rumahnya menggotong Bandi masuk. "Apa-apaan kamu ini, Jo! Segala macam gembel pingsan begini kamu bawa masuk ke dalam rumah"!"
"Bukan gembel, Bu," sahut Parjo ketakutan, "katanya teman Non Riri."
"Hah"!" belalak ibu Riri sengit. "Sejak kapan anakku punya teman orang beginian" Ayo, lekas bawa ke luar!"
"Tapi dia sakit, Bu . . ."
"Kau pikir ini rumah sakit"! Ayo, lekas keluarkan sana!"
"Mesti saya bawa ke mana, Bu?" desah Parjo bingung. "Dia pingsan. Apa mesti saya biarkan menggeletak di pinggir jalan?"
"Panggil ambulans! suruh mereka bawa dia ke rumah sakit! Habis perkara!"
*** HARIS begitu geram mendengar penuturan Bandi. Pulang kerja dia Sudah dikejutkan oleh jerit tangis ibunya. Bandi hilang. Semalam-malaman dia mencari adiknya. Tahu-tahu dia diterlantarkan orang begini. Dan semuanya gara gara gadis brengsek itu!
"Bukan salah Riri, Mas Har," bisik Bandi lemah. "Dia tidak ada di rumah."
Mereka usir adikku seperti binatang, geram Haris dalam hati. Mereka anggap siapa sih diri mereka itu" Mentang-mentang orang pangkat. Orang kaya Seenaknya saja memperlakukan orang lain!
Haris begitu tersinggung melihat keadaan Bandi. Dia ditaruh di bangsal. Dibiarkan menunggu pemeriksaan dokter. Seperti gelandangan dia diangkut ke mari.
Untung Bandi masih sempat membawa KTP. Dan untung orang-orang yang menolongnya berbaik hati tidak tolong menyimpankan dompetnya sekalian.
Begitu dapat kabar Bandi ada di rumah sakit ini, Haris langsung ke mari. Dan dia demikian terenyuh melihat keadaan adiknya.
"Dia punya sakit jantung,"geram Haris kepada perawat yang bertugas di sana. "Baru sebulan keluar dari rumah sakit. Operasi jantung! Dan bisa mati kalau dibiarkan begini!"
Dan Haris bukan Haris kalau dia tidak mampu mengeluarkan Bandi malam itu juga. Bandi langsung dipindahkan ke bagian jantung. Dan mendapat perawatan yang lebih baik.
Nampaknya semua berjalan lancar. Ibunya sudah lebih tenang. Keadaan Bandi pun tidak terlalu menguatirkan lagi. Tetapi Haris masih
penasaran. Siang itu juga dengan geram dia melarikan mobilnya ke rumah Riri. Dia mesti membuat perhitungan dengan mereka. Mereka mesti tahu, bukan cuma mereka yang mau disebut manusia!
Haris menghentikan Jeepnya tepat di depan gardu penjaga pintu itu. Dan mengeluarkan kepala nya dari jendela ketika Parjo menghampiri.
"Cari siapa, Pak?"
"Riri ada?" "Belum pulang, Pak."
"Buka pintunya. Saya mau tunggu di dalam."
Sejenak Parjo mengawasi Haris. Tampangnya sih boleh jUga, pikirnya hati-hati. Dandanannya pun keren. Pakai mobil pula. Tapi . . . sikapnya begitu kasar. Dan matanya . . . duh, itu bukan mata orang baik-baik! Dia mesti hati hati!
"Lekas buka pintunya!" bentak Haris sengit. "Begini kalian memperlakukan orang yang mau bertamu?"
"Bapak siapa?" "Perlu lihat KTP?"
"Jangan kasar, Pak," peringatkan Parjo sambil meraba senjata yang tergantung di pinggangnya. "Kalau mau bertamu mesti mengikuti peraturan di sini!"
"Peraturan apa?"
"Semua tamu mesti lapor!"
Jadi begini mereka membatasi dirinya dari rakyat yang membiayai hidup mereka, pikir Haris geram. Ditatapnya pagar tinggi yang melindungi rumah itu dengan kokohnya. Di sini kemarin Bandi diplonco habis-habisan! Dijemur di panas matahari sambil menunggu Riri keluar. Dan bunyi klakson yang lumayan kerasnya menyentakkan lamunannya. '
Parjo langsung menggebrak kap motor mobil Haris.
"Minggir, Pak!" perintahnya tegas. "Mobil mau masuk!"
Dari kaca spion Haris melirik ke belakang. Cuma seorang sOpir yang tampak. Penumpang yang duduk di belakang tidak jelas.
Juga setelah dia menepikan mobilnya dan mobil mewah itu lewat cepat di sampingnya. Kaca mobil itu terlalu gelap untuk mengenali siapa penumpangnya.
Ketika Parjo bergerak untuk menutup kembali pintu pagar, Haris langsung menginjak gas. Dan Jeepnya melompat dengan ganasnya ke depan. Menerjang pintu yang belum sempat ditutup itu. Dan membentur bumper belakang mobil yang sedang berhenti untuk menurunkan penumpang di depan rumah.
Karena kerasnya benturan, mobil itu sampai terlonjak maju menabrak pintu garasi yang belum sempat dibuka.
Tanpa menghiraukan jerit keterkejutan mereka, Haris turun dari Jeepnya. Dia langsung disambut oleh Parjo yang sedang berlari-lari masuk. Dan perkelahian tak dapat dihindarkan lagi.
Satu lawan satu, meskipun Parjo bersenjata, Haris tidak menemui kesulitan. Tetapi ketika sopir dan penumpang mobil itu ikut bantu mengeroyok, Haris agak kewalahan juga.
Lebih-lebih waktu seorang laki-laki besar tinggi yang muncul dari dalam langsung mengirimkan sebuah pukulan karate yang tidak sempat lagi dihindarkannya.
Haris terhuyung ke arah Parjo yang segera meringkusnya. Pemuda yang naik mobil itu, yang
sejak tadi belum sempat menyarangkan sebuah pukulan pun, kini memuaskan rasa penasarannya dengan mengirimkan pukulan demi pukulan ke muka Haris.
"Arman! Cukup!" bentak laki-laki bertubuh besar yang baru muncul itu. "Lelaki apa kamu ini! Memukuli orang yang Sudah tidak berdaya!"
Serentak begitu mendengar perintah yang demikian berwibawa, pemuda itu langsung mundur. Parjo pun segera melepaskan Haris yang terSungkur lemas mencium tanah.
"Punya urusan apa orang ini dengan kamu?" tanya laki-laki bertubuh tegap itu kepada Arman.
Sikapnya amat berwibawa. Bahkan cerutu pun belum lepas dari mulutnya. Tetapi dia sudah mampu melumpuhkan orang dengan sekali pukul saja.
"Datang datang dia menubruk mobil kita, Ayah," sahut Arman sambil menyeka darah di sudut bibirnya dengan kesal.
"Dia mencari Non Riri, Pak," lapor Parjo setelah memberi hormat. "Dan memaksa masuk."
"Mencari saya?" desah Riri heran.
Sejak tadi dia memperhatikan perkelahian itu dari dalam mobil saja. Tetapi ketika Parjo menyebut namanya, Riri langsung turun. Dan mengamat-amati laki-laki yang tersungkur di tanah itu.
"Kau kenal dia, Ri?" desak ayahnya tajam,
Riri menghampiri tubuh pemuda itu lebih dekat. Pario segera menyeret Haris bangun. Dan menghadapkannya pada Riri.
Sekarang Haris mengangkat mukanya. Dan Riri hampir memekik mengenali wajah yang berlumuran darah itu. Dia sudah membuka mulutnya untuk menyebut nama Haris. Tetapi sorot yang begitu penuh kebencian di mata lelaki itu mengejangkan rahang Riri.
"Kemarin Bandi mencarimu," geram Haris sengit. "Dan mereka mengirimnya ke rumah sakit!"
"Bandi . . .?" gumam Riri bingung. "Ke . , _ rumah sakit?"
"Kemarin saya memang mengantarkan seorang pemuda ke rumah sakit." Tanpa sadar cengkeraman Parjo di lengan Haris mengendur dengan sendirinya. "Dia pingsan di depan. Dia mengaku teman nona tapi . . ."
Dengan kasar Haris merenggutkan lengan lengannya dari cengkeraman Parjo. Begitu lepas, dia langsung menyusut darah di mukanya. Dan tanpa menoleh lagi naik ke Jeepnya.
"Tunggu!" cegah ayah Riri marah. "Ini persoalan apa" Saudara jangan pergi dulu! Soalnya belum selesai!"
"Dia teman saya, Ayah," potong Riri terus terang "ini cuma salah paham!"
Haris yang sudah melangkahkan kakinya ke dalam Jeep tidak jadi naik mendengar pengakuan Riri. Apalagi ketika gadis itu memburu menghampirinya.
"Boleh saya ikut" Saya ingin melihat Bandi."
Haris tertegun bingung. Tidak percaya kepada apa yang didengarnya. Dan tidak menyangka Riri berani berbuat demikian.
Sekejap mereka saling pandang. Dalam sekejap saja Riri melihat semua kebencian telah pudar dari mata Haris. Berganti dengan kebingungan.
"Riri!" bentak ayahnya sengit. "Kau mau ke mana"!"
"Ke rumah sakit, Ayah," sahut Riri tegas. "Bandi teman baik saya. Dan dia sakit jantung! Kalian hampir membunuhnya!"
Lalu kepada Haris tanyanya tanpa perasaan, "Bung masih sanggup membawa mobil ini ke rumah sakit?" sambil berkata demikian Riri mengulurkan tangannya meminta kunci mobil.
Sekilas Riri membaca kemarahan berkobar lagi di mata Haris. Dia pasti tersinggung. Tetapi Riri tidak peduli. Begitu Haris melompat naik, dia cepat-cepat membuntuti dari pintu yang lain. Dan Jeep itu telah menderu mundur sebelum Riri sempat menutup pintu.
Sesaat sebelum mobil yang dikemudikan dengan gila-gilaan itu menghilang, Haris masih sempat mendengar teriakan-teriakan kemarahan ayah Riri. '
Tetapi dia tidak peduli. Kepalanya terasa pusing. Pelipisnya berdenyut-denyut. Seluruh wajahnya terasa pedih. Dan matanya berkunang-kunang. Beberapa kali dia harus menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Hanya untuk mengusir rasa pusing yang semakin menyengat. Beberapa kali dia melihat Riri menoleh. Tetapi Riri tidak berkata apa-apa. Dia tetap membisu sekalipun Haris mengemudikan mobilnya dengan begitu mengerikan. Di wajahnya sama sekali tidak tergurat perasaan takut.
Dia baru bersuara ketika Haris tidak memperlihatkan tanda-tanda untuk membelok sekalipun pintu rumah sakit sudah hampir terlewati.
"Rumah sakitnya di sebelah kanan. Bandi dirawat di sini?"
Seperti tersentak kaget Haris langsung membanting kemudi mobilnya. Jeep itu terlonjak ke kanan. Dan menyuruk masuk ke halaman rumah sakit. Beberapa mobil di belakang mereka membunyikan klakson dengan sengitnya. Tetapi mobil Haris terus menyelonong limbung tak terkendali. .!'"
Penjaga karcis sudah buru buru melompat ke tepi untuk menghindar. Ketika mobil itu berhenti tepat di depan hidungnya, dia melongokkan kepalanya ke dalam mobil dengan marahnya. Tetapi mulutnya yang Sudah dibuka lebar-lebar siap untuk mendamprat mendadak mengejang kembali melihat keadaan Haris. Dia malah tidak jadi menyodorkan karcis.
"Lekas masuk, Pak!" katanya cemas. "Kecelakaan ya?"
*** HARIS menutupi sebagian mukanya yang berlumuran darah dengan saputangan. Sekedar menghindari perhatian orang orang yang kebetulan berpapasan. Di bawah tatapan mata Riri, dia masih berusaha untuk melangkah setegap tegapnya meskipun jalannya sudah limbung.
Riri mengawasinya dari belakang sambil menghela napas.
"Pergilah rawat mukamu dulu," katanya tawar. "Bandi bisa dapat serangan lagi melihat keadaanmu."
Tetapi Haris tidak menyahut. Menoleh pun tidak. Dia tetap berjalan di depan Riri. Dan Riri tahu percuma menasihati pemuda yang satu ini. Dia angkuh. Keras kepala. Dan tidak sudi dikasihani. Apalagi oleh wanita.
Beberapa orang yang kebetulan berpapasan di jalan menoleh dengan ngeri kepada saputangan yang telah penuh bercak-bercak darah itu.
"Bagian kecelakaan di depan, Pak," sesaorang coba memperingatkan Haris. "Di sini sih bagian jantung . ."
"Kecelakaan ya, Bu?" tanya yang lain kepada Riri. "Suami Ibu jatuh dari motor?"
Sedikit pun Haris tidak mengacuhkan mereka. Dia terus melangkah ke tangga yang menuju ke tingkat dua.
Mula mula dia masih mampu mendaki tanpa berpegangan. Tetapi sesudah dua tiga anak tangga, dia terpaksa berpegangan ke pinggir. Dan setelah sia-sia mengangkat kakinya lagi, dia bergayutan ke pegangan tangga untuk menahan tubuhnya supaya tidak merosot ke bawah. Terpaksa Riri memapahnya turun sebelum tubuh Haris benar-benar ambruk.
Tidak mudah memapah tubuh seorang laki-laki yang sebesar Haris. Apalagi kalau dia sendiri meronta menolak dipapah. Malah Riri yang terhuyung hampir jatuh kalau Haris tidak keburu balik meraihnya.
"Aku hanya ingin menunjukkan di sana ada lift!" bentak Riri gemas. Ditepiskannya tangan Haris yang masih menggenggam lengannya dengan kasar.
"Naiklah duluan," desis Haris tersinggung. "Aku bisa naik sendiri!"
"0h," geram Riri sambil mengatupkan rahangnya menahan marah. "Cobalah naik sendiri! Berdiri saja kau sudah sempoyongan!"
Mereka pasti sudah bertengkar seandainya pintu lift tidak keburu terbuka. Dua orang perawat ke luar dari sana. Begitu melihat Haris, mereka langsung bergerak untuk membantunya. Tetapi dengan kasar Haris menyingkirkan tangan mereka.
"Saya tidak apa-apa!" katanya sambil masuk ke dalam lift dan langsung memijat tombol.
Riri harus buru-buru melompat masuk kalau tidak mau ketinggalan di luar. Dan pintu yang hampir tertutup itu membentur bahunya. Tidak sengaja dia mengaduh. Tubuhnya terhuyung kedalam lift. Dan jatuh dalam pelukan Haris,
Sekejap mereka sama sama tertegun. Tangan Riri yang secara reflex sudah bergerak untuk menyingkirkan lengan Haris tibatiba membeku dalam pelukan yang ketat itu. Sebaliknya Haris tidak jadi melepaskan pelukannya ketika dirasanya tubuh yang hangat itu melunak dalam dekapannya.
Mereka baru sama-sama tersentak saling menjauh tatkala pintu lift terbuka. Dan Riri mendahului Haris menyelinap ke luar dari lift. Bergegas menuju ruang ICCU.
*** "RIRI!" Bandi terperangah melihat kedatangan gadis itu. Mukanya yang sayu langsung bersinar gembira.
Tanpa mengacuhkan ibunya yang sedang duduk terpekur di sampingnya, Bandi mengulurkan kedua belah tangannya menyambuti Riri.
Ibunya mesti lekas lekas menahan Bandi agar waktu dia bergerak bangun, kawat-kawat yang menghubungkan dadanya dengan mesin EKG di samping kiri tempat tidurnya tidak lepas.
"Halo," sapa Riri sambil menerima uluran tangan Bandi. "Jantungmu ngadat lagi?"
"Riri . . ." Bandi menggenggam tangan gadis itu erat erat.
Ibunya yang melihat siapa yang datang langsung mengurut dada.
Penyakit datang lagi, pikirnya kesal.
Tetapi wajahnya tidak menampakkan perasaan apa apa. Dia masih bisa tersenyum kaku membalas teguran Riri.
Di pintu yang memisahkan ruangan itu, Haris menyaksikan pertemuan mereka sambil menebah mukanya dengan saputangan. Heran, ada perasaan
sakit setiap kali dia melihat paras Bandi demikian bersinar-sinar. Bandi begitu bahagia menyambut kedatangan Riri. Sudah jatuh cintakah dia pada gadis itu"
Oh Tuhan, jangan! Pekik Haris dalam hati. Riri bukan gadis untuk Bandi! Dia terlalu liar untuk seorang pemuda yang selemah adiknya! Dia terlalu berpengalaman! Terlalu berbahaya!
Dengan sedih Haris memutar tubuhnya. Lambat lambat dia melangkah ke luar.
Tidak sampai hati melihat kegembiraan Bandi. Pedih rasanya melihat mata adiknya yang demikian bersinar-sinar. Dia begitu menyayangi Bandi. Sejak kecil dia selalu berusaha melindungi adiknya.
Bandi yang lemah. Bandi yang penyakitan. Bandi yang selalu membutuhkan pertolongannya.
Dalam usia 21 tahun entah sudah berapa kali dia masuk rumah sakit. Selama ini dokter memang masih berhasil memperpanjang umur Bandi. Tapi sampai kapan"
Dia begitu dimanjakan oleh ibunya. Oleh abangnya. Oleh pamannya. Selalu dijaga agar Bandi bisa hidup dengan tenang. Jangan ada kejutan dalam hidupnya. Jangan ada stress. Jangan ada shock.
Sampai suatu hari dia bertemu dengan seorang gadis. Gadis yang dicintainya. Dan celakanya, gadis itu bukan gadis alim yang mampu menenteramkan jantungnya. Gadis itu malah seorang berandal. Seorang gadis binal yang mampu mengoyakkan jantung Bandi dengan sekali senyum saja!
Tentu saja Bandi tidak tahu. Darimana dia tahu kalau sejak kecil dia lebih banyak bergaul dengan dokter daripada dengan gadis-gadis!
Tetapi Haris bukan Bandi. Sejak pertama kali
bertemu, dia telah dapat menilai dari jenis mana gadis yang digandrungi adiknya ini. Gayanya menghadapi laki laki, caranya berdandan, bahkan caranya merokok menunjukkan betapa berpengalamannya dia menaklukkan hati seorang laki-laki.
"Orang sehat saja bisa sakit jantung punya pacar seperti dia!" Haris peringatkan ketika suatu malam Bandi minta kepadanya agar menjemput Riri.
Sudah beberapa hari gadis itu tidak muncul menjenguknya. Dan dalam beberapa hari itu Bandi merasa amat kesepian. Rasanya dia hampir gila menunggu terus. Dan dia tidak tahan lagi kalau tidak mengungkapkan perasaannya kepada Haris.
"Aku mencintainya, Mas," katanya sederhana sekali.
Meskipun sudah menduga sejak semula, tak urung Haris merasa sedih mendengar pengakuan Bandi.
"Dia bukan gadis yang cocok untukmu," desis Haris datar. "Dia bukan gadis yang diciptakan untuk seorang lelaki saja."
Tetapi cinta Bandi begitu kuat. Heran bagaimana seorang yang punya jantung begitu lemah bisa memiliki hati yang demikian kuat.
Dan Celakanya, Bandi tidak bertepuk sebelah tangan. Riri menanggapi cinta Bandi.
Entah iblis mana yang membujuknya untuk mencicipi cinta seorang pemuda seperti Bandi. Soalnya, kalau pakai logika, bagaimana gadis yang Secantik dan sebinal Riri bisa naksir pada seorang pemuda penyakitan seperti Bandi!
Sudah badannya cuma selembar, mukanya pucat seperti tembok gereja lagi! Nah, dari sudut mana Riri dapat mengerlingkan matanya"
Tetapi di situlah kurang ajarnya! Riri bukan cuma menanggapi uluran tangan Bandi. Dia malah seolah-olah membalas cinta pemuda itu! Padahal berapa lama dia betah tinggal di samping Bandi" Berapa lama dia tahan punya kekasih yang tidak bisa dansa, tidak bisa ngebut, tidak bisa berkelahi"
Barangkali buat Riri sendiri ini cuma sekedar selingan. Kapan saja dia mau, dia bisa meninggalkan Bandi. Tapi bagaimana dengan Bandi sendiri" Masuh kuatkah jantungnya setelah ditinggalkan Riri seorang diri"
"Bandi bukan mainan yang cocok untukmu," Haris peringatkan setelah dia sia-sia menasihati Bandi. Dia datang pada Riri dan bicara blak blakan dengan gadis itu. "Aku tahu sekali cewek macam apa kamu ini. Kau bertukar pacar seperti ganti baju. Kau bisa membunuh Bandi lebih cepat."
"Jangan samakan aku dengan cewek cewekmu atau tante-tantemu," balas Riri tidak kalah pedasnya. "Barangkali cinta cuma bahan lelucon di kepala buaya darat macam kamu. Tapi aku betulbetul mencintai Bandi."
"Untuk berapa lama?" sindir Haris tajam. "Sampai kau bosan bolak-balik mengantarnya ke dokter" Aku tahu sekali apa yang dicari perempuan seperti engkau. Dan percaya padaku, Bandi tidak dapat memberikannya."
"Aku sudah bosan bergaul dengan lelaki-lelaki brengsek seperti kamu. Ketika melihat Bandi, aku sadar, pemuda macam dialah yang kubutuhkan sebagai suami."
"Kau cuma main-main."
"Aku serius." "Aku tidak percaya."
"Peduli amat. Pokoknya Bandi percaya. Aku-.
toh tidak kawin denganmu."
"Dia sakit! Kau bisa membunuhnya kalau mempermainkan dia!"
"Berhentilah melindungi adikmu! Dia sudah dewasa! Dia bisa memilih pacar lebih baik daripadamu!"
"Kau belum kenal Bandi! Kau cuma simpati karena dia penyakitan! Tidak ada cinta di hatimu!"
"Kau cuma kenal jantung Bandi. Aku kenal hatinya. Kami bisa jadi pasangan yang cocok."
"Buat berapa lama?"
"Kenapa kau meributkan sekali waktunya" Lebih baik dia berbahagia beberapa bulan daripada hidup dalam kegersangan seumur hidup bukan" Tidakkah matamu yang ahli itu melihat, betapa bahagianya dia akhir akhir ini, ketika cinta sudah menyentuh hatinya?"
Barangkali Riri benar. Tetapi barangkali juga dia cuma pintar omong. Bagaimanapun, satu hal dia benar. Belum pernah Haris melihat adiknya sebahagia sekarang. Gairah hidupnya begitu meluapluap. Bukan hanya Haris yang heran. Ibunya juga. Riri seolah-olah obat mujarab bagi Bandi.
"Sekarang aku tahu apa gunanya aku hidup sampai besok," kata Bandi mengharukan sekali. "Supaya aku dapat melihat Riri."
"Jangan kecewakan Bandi, Nak Riri," pinta ibu Bandi dengan airmata berlinang. "Cuma Nak Riri yang bisa bikin dia bahagia."
Ya Tuhan, keluh Riri dalam hati. Mengapa setiap orang menyangsikan kesungguhanku" Tidakkah mereka tahu aku juga masih punya hati" Bagaimana mungkin aku tega meninggalkan seorang pemuda seperti Bandi" Dia begitu membutuhkan diriku!
Dan Riri menepati janjinya. Selama dua tahun dia mendampingi Bandi dengan setia. Haris sendiri heran bagaimana seorang gadis yang dianggapnya brengsek bisa begitu setia.
Waktu Bandi dirawat untuk kesekian kalinya di rumah sakit, Riri memilih tinggal di rumah daripada pergi bermalam minggu dengan temantemannya. Hanya untuk membuktikan kesetiaan cintanya kepada Bandi.
Dia tahu, meskipun Bandi terbaring tak berdaya di atas ranjangnya di rumah sakit, dia punya mata-mata yang selalu mengintai ke mana Riri pergi. Dan Haris pasti lapor kalau memergoki Riri pergi bersama orang lain. Matamata yang satu ini memang cerdik. Berpengalaman. Dan tidak mempan disogok.
Diam-diam Riri sendiri kagum bagaimana seorang pemuda berandal seperti dia bisa demikian menyayangi adiknya. Sebaliknya Haris pun mulai mengagumi kesetiaan Riri.
Walaupun tidak dikatakannya, kekaguman itu terlukis dari sikapnya yang semakin bersahabat. Sekarang Haris bahkan memilih berdiskusi dengan Riri lebih dahulu sebelum membicarakan soal-soal yang menyangkut kesehatan Bandi dengan ibunya sendiri.
"Dokter bilang, Bandi mesti dioperasi lagi," kata Haris ketika ia mengantarkan Riri pulang sehabis menengok Bandi malam itu. "Operasi kali ini malah lebih besar daripada Operasi-Operasi yang dulu."
Riri tidak menjawab. Ia menatap lurus ke depan. Mencoba menembusi kesuraman akibat titik-titik hujan yang mulai memburamkan kaca mobilnya. .
Bukan cuma dari Haris dia telah mendengar laporan betapa semakin parahnya keadaan jantung Bandi. Bukan hanya sekali dia melihat dokter yang merawat Bandi menggeleng-gelengkan kepalanya dengan murung. Sudah tibakah saat yang paling ditakutinya itu"
"Sudah lama bossku menawarkan karcis gratis untukku ke Amsterdam," kata Haris pula, setelah sia-sia menunggu reaksi Riri.
"Tapi kau tidak boleh pergi dalam keadaan seperti inil" protes Riri segera. Ketika dia menoleh tadi, Sekejap Haris membaca kepanikan dalam matanya. "Bandi menghadapi operasinya yang terberat dan kau enak enakan mau ngeluyur ke Amsterdam"!"
"Kata siapa aku mau ngeluyur?"
"Apapun namanya tugasmu di sana! Aku tahu sekali apa kerjamu!"
"Eh, jangan ngomel dulu, Neng! Siapa bilang aku mau ke Amsterdam?"
"Bossmu menawarkan tiket pesawat ke Amsterdam kau tolak?"
'"Tentu saja tidak!"
"Nah!" "Tapi bukan untukku. Untuk Bandi."
"Bandi?" belalak Riri kaget. "Keterlaluan kau! Begitu pesawat take off, kita sudah mesti panggil ambulans!"
"Tentu saja bukan sekarang. Nanti. Kalau keadaan umumnya mulai membaik. Kalau sudah diijinkan dokter naik pesawat terbang."
"Haris . . ." tidak sadar Riri meletakkan tangannya di lengan Haris yang sedang memegang kemudi. "Sebenarnya, apa kata dokter?" suaranya gemetar ketakutan. "Masih ada harapan untuk
Bandi, bukan" Kau tidak sedang merencanakan perjalanan terakhir baginya?"
"Aku justru ingin menyembuhkannya!"
"Di Amsterdam?"
' "Ada seorang adik Ibu di sana."
"Dokter?" "Bukan. Tapi Paman kenal seorang dokter bedahjantung yang mungkin bisa menolong Bandi."
"Kau pikir Bandi mau dioperasi di sana?"
"Kau yang mesti membujuknya."
Sekali lagi Riri tercenung. Merenungi hujan yang mulai menderas di luar mobil mereka.
"Kata Bandi, dia ingin cepat-cepat mengawinimu."
"Itu bukan alasan untuk mengirimnya ke Amsterdam."
"Memang bukan. Tapi kau bisa mulai dari sana. Kalau dia menikah, dia tentu ingin menjadi suamimu, bukan pasien."
"Aku rela merawatnva seumur hidup."
"Bandi tahu. Tapi dia ingin punya isteri. Bukan perawat."
"Mengapa tidak berobat di sini saia" Kau yakin Amsterdam lebih baik?"
"Kita sudah mencoba di sini. Kalau ada kesempatan, kenapa tidak mencoba di tempat lain" Aku tidak mengatakan Amsterdam lebih baik. Aku sama tidak tahunya dengan engkau. Bedanya, aku selalu ingin mencoba."
Riri menghela napas. "Sudah kaubicarakan dengan ibu?" '
"Belum. Aku minta pendapatmu dulu. Cuma kepadamulah Bandi mau dengar."
"Aku kepingin dia sembuh," sahut Riri ' perlahan.
Sekarang, bukan hanya kaca mobilnya buram. Matanya pun suram digenangi airmata
*** RIRI melipat surat Bandi sambil menghela napas. Rupanya surat pertama dari setiap orang yang pergi ke luar negeri sama saja nadanya. Entah yang pergi belajar. Entah yang hanya berobat seperti Bandi.
Tidak betah. Kesepian. Ingin pulang. Tidak ada makanan enak. Tidak ada teman senasib. Tapi kalau sudah beberapa tahun di sana, malah tidak mau pulang. Seperti Renny.
Mula-mula dia nangis-nangis kepingin pulang. Sekarang malah ibunya sampai nangis sekalipun menyuruhnya pulang dia tidak mau. Sudah betah di sana. Sudah punya pacar malah. Sia sia ibunya memaksa pulang.
Sekali lagi Riri menghela napas. Terbayang kembali di depan matanya perpisahannya dengan Bandi di Halim minggu lalu.
Sejak masih di rumah, Bandi "sudah begitu lengket. Tidak mau jauh darinya. Tidak mau lepas.
"Aku tidak ingin pergi, Ri," keluhnya getir sesaat sebelum mereka berpisah. "Lebih baik aku mati di pangkuanmu daripada di negeri orang."
"Tapi kau pergi supaya sembuh, Di," potong Riri menahan keharuan. Tidak sampai hati melihat airmata Bandi, "kalau kau kembali nanti, aku ingin kau menggendongku masuk ke dalam kamar Pengantin kita."
"Sekarang pun aku masih sanggup menggendongmu, Ri! Persetan dengan jantung sialan ini!"
"Jangan, Di." Riri memaksakan sepotong senyum di bibirnya. "Kalau kau menggendongku, aku mau jantungmu masih berdenyut sesampainya di ranjang pengantin kita . .
"Wah, ngelamun lagi!" Dengan gemas Fani memukul bahu Riri. "Ada apa sih" Romeomu kena serangan jantung lagi" Sudah deh, ganti saja sama plastik!"
"Plastik dengkulmu!" gerutu Riri sambil menyimpan surat Bandi di tasnya. "Kalau ada pasien yang mau partus, bayinya pasti langsung nongol begitu dengar suara geledekmu!"
"Biarin!" tersenyum Fani. "Biar enteng ngedennya."
"Yang kembar itu bagaimana" Masih lama partusnya" Pembukaannya sudah berapa?"
"Nggak tahu ah. Itu 'kan urusan koas senior. Yang yunior kayak kita 'kan baru disuruh nonton!"
"Lha, kalau kamu tidak mau belajar ngapain jaga malam di sini, Fan" Mendingan bobok di rumah!"
"Abis si Nurdin sombong betul! Baru aja jadi senior maunya merintah terus! Nyuruh periksa Hb lah. Nyuruh bikin status lah. Memangnya aku babunya?"
"Duh, kok jadi sengit begini, Fan" Memang lamaranmu tidak diterima?"
"Lamaran" Tampang kayak si Nurdin" Kirakira, Ri! Menghina tuh namanya!"
"Jangan kelewat pilih-pilih, Fan!" goda Riri sambil tersenyum. "Nanti dapat yang lebih payah lagi!"
"Seperti kamu?" sindir Fani. "Yang sehat _
kamu tolak semua, eh tahu-tahu dapat langganan ICCU!"
Riri tertawa pahit. "'Yang kayak begitu cintanya tanpa reserve, an."
"Orisinil lagi," tambah Fani sambil menyeringai lebar, " tangan pertama pula."
Tanpa melepas sandalnya lagi Fani naik ke atas tempat tidur. Dan dengan separuh tungkainya terayun-ayun ke tanah, dia membaringkan tubuhnya Seenaknya.
"Bandi bagaimana, Ri?" tanyanya sambil menguap. "Kapan operasinya?"
"Baru pemeriksaan-pemeriksaan pendahuluan."
"Kau yakin dia bisa sembuh, Ri?"
"Kalau tidak, tidak akan kukirim dia jauh-jauh ke sana."
"Bukan karena abangnya cakep?"
Riri tersenyum. Sekilas terbayang wajah Haris. Fani begitu mengaguminya. Dan dia tidak habis habisnya berpikir mengapa Riri tidak memilih Haris saja.
"Yang satu ini bibit unggul, Ri."
"Iya, tapi aku tidak tahu di persemaian mana saja bibitnya sudah disebar!"
"Kamu yakin Bandi bisa memberikan keturunan?"
"Itu tidak penting."
"Kata siapa anak tidak penting, Ri" Sekarang kamu bisa ngomong begitu. Sepuluh tahun lagi kamu pasti kesepian tanpa anak! Perempuan kan dilahirkan dengan naluri seorang ibu!"
"Mana Hb nya, Fan?" gerutu Nurdin yang tahu-tahu muncul di ambang pintu kamar jaga
mereka "Ditunggu tunggu malah enak-enakan ngobrol di sini'"
"Dibawa Bidan Nursuah!" sahut Fani Seenaknya.
Sesudah Nurdin pergi sambil marah-marah, Fani baru mengumpat lagi.
"Enak saja 'nyuruh orang! Masa semua pasien yang masuk aku yang mesti periksa Hb" Heran, praktikum apa saja paSti ketemu dia!"
Riri tertawa geli. "Itu namanya jodoh, Fan!"
"Jodoh apa!" dumal Fani kesal. "Dia yang memilih mau jaga sama kamu kok!"
Riri hanya tersenyum. Bukan cuma Fani yang mencurigai Nurdin. Haris juga. Nurdin memang belum putus asa mengejarnya. Sungguhpun Riri tak pernah melayaninya.
Ketika Riri kebetulan dapat giliran coschap di bagian kebidanan, Nurdin yang harus mengulang kepaniteraan klinik di bagian yang sama buru-buru memilih satu regu dengan Riri.
Karena dia sudah pernah bertugas di bagian ini, dia bisa mengajari Riri apa apa yang belum diketahuinya. Dan karena dia masih menaruh hati pada Riri, dia rela mengerjakan semua tugas yang seharusnya dilakukan oleh gadis itu. Tentu saja kalau Riri sedang segan melakukannya.
Lain dengan Fani. Karena Nurdin tidak naksir Fani, dialah yang selalu diperalat. Disuruh mengerjakan tugas-tugas rutin yang membosankan.
Baru malam ini Fani berani membangkang. Dan Nurdin jadi kalang kabut. Mau menyuruh Riri dia segan. Menyuruh Fani tidak mau. Terpaksa dia bolak-balik terus melayani pasien. Dan sialnya, malam ini pasien datang seperti pasar malam. .
Rahasia Istana Terlarang 1 Pendekar Slebor 62 Manusia Muka Kucing Peti Mati Dari Jepara 3

Cari Blog Ini