Takhta Bayangan The Shadow Throne Karya Jennifer A. Nielsen Bagian 2
Aku segera terlihat tidak lama setelah mulai berlari untuk mencapai tempat yang sepi di dinding. Seorang Avenia yang mengawasi menyuruhku berhenti, tetapi terdengar desing di udara dan panah Herbert mencapainya. Yang lain sekarang akan siaga, tetapi waktu yang kubutuhkan hanya sebentar.
Di dasar tembok, aku meraih kantong mesiu yang kucuri tadi pagi. Aku mengambil sejumlah besar dan menumpukkannya, kemudian melarikan diri secepat mungkin. Beberapa detik kemudian, Evendell mengirim panah berapi persis ke tumpukan itu. Bubuk mesiu langsung meledakkan seluruh tembok. Aku terlempar jatuh dan berguling ke balik sebuah batu dekat situ untuk melindungi diri dari serpihan yang berjatuhan. Ketika yang terburuk telah berlalu, aku mengintip dinding yang roboh dan runtuhan yang tersebar luas. Mungkin aku menggunakan terlalu banyak bubuk mesiu tadi.
Aku lari secepat mungkin ke arah dinding. Mereka yang selamat mulai berteriak meminta tolong, tetapi Herbert tetap mengawasi dengan baik serta melepaskan anak panah bagi mereka yang melihatku. Begitu sampai di dalam, aku menyadari mereka jauh lebih memperhatikan tembok yang hancur ketimbang apa yang menyebabkannya. Jika terus merunduk, aku mungkin dapat lewat di persis di antara kerumunan itu.
Aku memanjat tangga di menara pengawas yang diabaikan sampai aku dapat melihat Mott dan Imogen. Para tentara yang bersama mereka berkumpul dekat-dekat menjaga kedua tawanan, atau mungkin untuk saling melindungi. Jumlahnya lebih banyak daripada yang dapat kulawan, dan terlalu banyak orang yang dapat menyakiti teman-temanku sebelum aku dapat menghentikan mereka.
Aku turun lagi dan berlindung di balik bangunan untuk mempertimbangkan langkah selanjutnya. Lirikan sekilas ke dalam jendela terdekat memperlihatkan bangunan itu penuh senjata, yang menurut pendapatku jauh lebih banyak daripada yang dibutuhkan Avenia. Kuletakkan bubuk mesiu lagi dekat bangunan itu, kemudian lari seakan hidupku tergantung pada tindakan itu. Sebagian besar karena, yah, memang begitu. Sama seperti yang terjadi sebelumnya, aku nyaris belum cukup jauh sebelum panah berapi mengenainya dan bangunan itu meledak. Kali ini, aku tidak melindungi diri cukup baik sehingga tergores cukup parah di satu lengan, belum lagi sebongkah batu hampir mendarat di atasku. Kalau Evendell dan aku lolos dari sini, kami harus mendiskusikan pengaturan waktunya ketika melibatkan bahan peledak.
Pada saat itu, kekacauan sudah meletus di mana-mana dalam kamp. Para tentara diperintahkan pergi ke tempat-tempat yang telah kuhancurkan, tetapi beberapa yang lain berlari sejauh mungkin. Kebingungan itu membantuku, tetapi yang benar-benar kubutuhkan adalah mengalihkan perhatian para penjaga sekitar Mott dan Imogen.
Jadi mesiu yang terakhir kugunakan untuk bangunan perbekalan lainnya, yang ini dipenuhi makanan dan selimut. Kutinggalkan seluruh kantong di sampingnya, lalu memberikan tanda pada Evendell. Kali ini, dia memberiku kesempatan berada lebih jauh sebelum dia menyulutnya. Ketika meledak, kudengar perintah-perintah bagi segenap tentara untuk mengelilingi kamp dan bersiap menghadapi penyerangan.
Aku lebih menyukai itu. Invasiku sudah terjadi, dan aku ingin mereka mengosongkan bagian tengah dan pindah ke sisisisi perkemahan mereka.
Seseorang menepuk bahuku, aku berputar dan melihat Herbert di sampingku. Aku memintanya untuk tetap dalam posisi aman tempat dia dapat menghentikan siapa saja yang menghalangi masuknya aku ke dalam kamp. Namun dia bertindak lebih jauh dan mengikuti aku ke dalam. Aku mengangguk kepadanya, berterima kasih atas kesetiaannya, dan memberi tanda agar dia ikut bersamaku.
Mott dan Imogen tidak sepenuhnya diabaikan. Seorang prajurit muda berdiri di belakang kursi Mott. Pedang kasar ditekan di dada tawanannya, menunggu teror apa saja yang dipikirnya akan terjadi. Dua prajurit lain yang lebih besar menjaga Imogen. Orang yang membawa cambuk dan tentara-tentara sisanya telah disuruh pergi.
Perlahan aku menginstruksikan Herbert untuk menempatkan dirinya agar bisa melihat Imogen dengan jelas sementara aku bersiap-siap menyelinap ke belakang Mott. Pengaturan waktu kami harus sempurna, dan Herbert harus cepat karena dia punya dua target.
Begitu aku merangkak ke luar dari bayangan, Herbert melontarkan anak panah pertamanya, mengenai satu penjaga Imogen. Pada saat itu aku persis di belakang anak laki-laki yang berdiri menjaga Mott. Dengan tangan kiri, kutempelkan pisau di lehernya, sementara tangan kananku menahan lengannya yang memegang pedang di dada Mott. Anak laki-laki itu mengejang, dan tanpa sepatah kata pun kutarik lengan itu ke belakang dan menurunkannya. Ketika aku mengangkat kepala lagi, Herbert telah menjatuhkan penjaga kedua di samping Imogen. Dia sekarang akan mengawasi area ini sampai Mott dan Imogen bebas.
Anak laki-laki di belakang Mott melepaskan pedangnya ke tanganku dengan hati-hati dan mendecit, "Tolong jangan bunuh aku."
Ingatanku terbang ke beberapa bulan lalu, ketika Latamer si anak yatim piatu memohon pengampunan yang sama padaku. Aku tidak pernah berniat menyakiti Latamer, juga anak lakilaki ini.
Dengan pisauku masih di lehernya, aku memberitahunya kalau dia mencoba macam-macam, ada anak panah bertuliskan namanya yang siap ditembakkan. Dia setuju untuk bekerja sama dan aku menyuruhnya membuka ikatan Mott.
Sementara dia bekerja, Mott berkata, "Maafkan aku, Jaron. Perangkap itu ditujukan untukku."
"Kita berdua tertipu."
"Aku tahu kau yang datang ketika kudengar ledakan-ledakan
itu. Aku melontarkan cengiran kepadanya. "Bayangkan apa yang mungkin terjadi, seandainya aku punya lebih banyak bubuk mesiu."
Mott tidak menunjukkannya, tetapi aku tahu dia terkesan. Ledakan-ledakan tadi hebat.
Kemudian aku berlari ke Imogen, mata cokelat madunya berkilat dengan ketidaksetujuan. Aku tahu dia akan marah terhadapku"seringnya begitu. Aku jarang menyalahkannya karena, harus diakui, biasanya aku layak mendapatkannya. Tetapi kali ini, kemarahan ini tak bisa kuanggap sambil lalu. Kami tetap berada dalam situasi yang sangat berbahaya.
Pertama kubuka sumpal mulutnya, kemudian setelah itu, aku merasa kewalahan dengan keinginan mendadak untuk menciumnya. Desakan itu lebih kuat daripada apa pun yang pernah kurasakan, dan perasaan yang tidak sepenuhnya kumengerti. Tetapi aku menahan diri dan sebaliknya bertanya, "Kau terluka?"
Mengabaikan pertanyaan itu, dia berkata, "Kau kan tahu apa yang akan mereka lakukan terhadap Mott adan aku hanya untuk mendapatkan informasi. Menurutmu apa yang akan mereka perbuat terhadapmu?"
"Kalau kita pergi dari sini, tak seorang pun dari kita harus mengetahuinya.
"Tidak, Jaron, pergilah! Ini jebakan. Akulah jebakan itu!" Badannya menggeliat ketika dia berdebat, dan walaupun kakinya sudah bebas, dia menyulitkan usahaku untuk meraih tangannya yang terikat. Aku berkata, "Terserah mau membantu atau tidak, tetapi aku takkan pergi tanpamu!"
Dia mendengus, lalu diam sehingga aku dapat meraih talinya. Ketika mengirisnya, aku berkata, "Begitu kita bebas, kita akan lari ke rawa-rawa. Mott menyiapkan perahu di sana."
"Kita tidak akan bisa. Tidak semua bisa."
"Kita hanya akan lari. Jangan menoleh ke belakang. Lari saja."
"Mereka menanyai Mott tentang kau, tetapi awalnya dia tidak mau bilang." Imogen menggigit bibir dengan cemas. "Begitu mereka membawaku ke sini, dan cambuk itu, dia memberitahu mereka dia akan menurut. Aku memohon agar dia tidak melakukannya. Aku benci saat mereka menggunakanku untuk melawanmu. Lebih baik aku mati daripada jadi penyebab kejatuhanmu."
Aku ragu cukup lama untuk menatapnya lekat-lekat. "Jangan pernah bilang begitu. Aku membutuhkanmu tetap hidup." Aku kembali bekerja dan menambahkan, "Tali ini hampir putus. Bersiaplah untuk lari."
Saat itu satu tangannya sudah lepas, dan dia menggunakannya untuk menyisir rambutku dengan jemari, mengusap helai-helai yang jatuh dari wajahku. Tebal dan cokelat, telah dirapikan dari guntingan asal-asalan yang kulakukan sebelum pergi ke para bajak laut. Sekarang aku berharap rambutku lebih panjang sehingga ada lebih banyak bagian yang bisa dibelai jemarinya. Bahkan di sini, aku merasa tersedot oleh sentuhannya dan harus memaksa diri berkonsentrasi pada tali.
"Ketika kau selesai, beri aku pisaumu," katanya. "Aku juga bisa bertarung."
Begitu tangannya yang satu lagi bebas, dia memberiku pelukan hangat. Aku teringat komentar Roden bahwa aku membohongi diri sendiri tentang Imogen. Mungkin Imogen juga melakukan hal serupa.
Sebelum aku dapat berbicara, dia berbisik, "Apa pun yang terjadi selanjutnya, berjanjilah padaku agar kau memilih untuk tetap hidup."
Di belakang kami, Mott akhirnya lepas dari ikatan-ikatannya. Ketika Herbert mau membantunya berdiri, Avenia muda yang telah melepaskan ikatannya langsung merunduk ke dalam bayangan dan melarikan diri. Mott menyambar pedang anak itu dariku dan berkata, "Kita harus bergegas. Dia akan memberitahu semua orang kita ada di sini."
Aku meletakkan sebilah pisau ke tangan Imogen, menyadari jari-jariku menyentuh jemarinya, lalu menariknya bersamaku. "Lari!"
Kami bahkan belum sampai ke pepohonan ketika sekelompok tentara mendatangi kami. Herbert terus melontarkan anak panah ke arah tempat terbuka itu, melakukan sebisanya untuk membuka jalan bagi kami. Aku menduga Evendell berada di suatu tempat di luar kamp, mengawasi kami juga. Mott berteriak kepadaku supaya pergi, sementara dia bertempur, Imogen dan aku melepaskan diri dari kelompok itu, lalu mengarah ke sebuah bukit.
Lebih banyak lagi prajurit datang, dan aku menyuruh Imogen untuk pergi ke puncak tempat Evendell dapat melihat dan melindunginya. Begitu dia turun di sisi lainnya, dia tidak akan terlihat lagi dan bisa terus berjalan tanpa hambatan ke arah perahu. Aku menebas siapa saja yang paling dekat denganku, cukup sering mengenai target, dan menghindari usaha untuk menjadikanku target. Ketika kerumunan itu menipis menjadi hanya beberapa orang, aku melarikan diri dari mereka untuk mengikuti Imogen.
Pada saat itu, dia hampir mencapai puncak bukit. Tetapi bukannya berlari menuruni sisi lainnya, Imogen berhenti untuk menoleh ke arahku. Seorang prajurit datang entah dari mana dan menyerangnya, tetapi pisau Imogen lebih cepat, dan dia meninggalkan tentara itu memegangi kakinya yang berdarah.
"Raja Jaron di bawah sana!" seorang pria besar di punggung bukit itu berteriak. "Itu dia! Tembak dia!" Dia menunjuk persis ke arahku, kemudian seorang pemanah di dekat situ menaikkan busur dan memasang anak panah. Di mana Evendell, atau Herbert, yang bisa lebih dahulu memanahnya" Aku perlu tempat berlindung, tetapi sisi bukit itu gundul. Aku dalam bahaya.
Imogen pasti mendengar perintah itu juga. Mata pemanah itu tertuju padaku, jadi dia tidak melihat Imogen datang menabraknya. Panahnya yang dimaksudkan untukku terbang jauh melenceng. Imogen berdiri, tetapi laki-laki yang lebih besar menyambar lengannya. Imogen menggigit orang itu, dan ketika terlepas, dia lari lagi.
Aku memekik sambil berlari menaiki bukit, berharap mengalihkan perhatian mereka kembali kepadaku, tetapi kemarahan mereka terfokus pada Imogen sekarang. Pemanah itu menarik sebilah panah lagi dan mengarahkannya pada Imogen sementara dia berlari sepanjang punggung bukit. Dia berbalik, cukup lama untuk menatapku lagi.
Terlepas dari keributan dan kekalutan di seluruh kamp, suara desing memecah udara menjadi lebih keras daripada yang lain. Anak panah itu mendapati targetnya tinggi di dada Imogen. Masih menatapku, wajahnya terpuntir rasa sakit, kemudian dia jatuh dari puncak bukit. Tubuhnya berguling ke sisi yang lain dan hilang dari pandangan.
Aku terus berlari, yakin bahwa aku dapat menemukan dan menyelamatkannya lagi. Entah bagaimana.
Tetapi ketika aku berlari, kudengar seorang tentara berseru dari sisi lain bukit itu. "Kita mendapatkan gadis itu! Dia tewas."
Dan bersama kata-kata itu, seluruh duniaku runtuh.
BAB 10 APA pun yang terjadi selanjutnya menjadi kabur. Aku berhenti melangkah setelah mendengar kematian Imogen, dan mungkin jatuh berlutut. Entah itu, atau seorang tentara yang mengejarku membuatku berlutut.
Aku tidak yakin berapa orang mengelilingiku kemudian. Lima puluh atau seratus" Tidak atinga artinya karena aku tidak balas melawan. Aku kehilangan pemikiran tentang bagaimana melawan balik, atau mengapa aku harus berusaha.
Imogen tidak tewas. Tidak mungkin, karena aku baru saja berbicara dengannya. Hanya beberapa saat yang lalu dia mengusapkan jemarinya di rambutku, dan masih hidup. Yang harus kulakukan hanyalah menemukannya dan pasti aku akan mendapati luka itu tidak separah yang kupikir. Kami masih ati lari dari sini, bersama-sama.
Namun aku melihatnya sendiri, tempat anak panah itu menembus dadanya. Darah tercurah dari lukanya"terlalu banyak dan terlalu cepat. Dia mungkin sudah meninggal sebelum tubuhnya menyentuh tanah.
Salah seorang tentara menghantam rahangku dengan keras, tetapi tetap menahanku sehingga dia ati menyerangku lagi dan menonjok mata kiriku. Aku sama sekali tidak melawan ketika dia terus menghajarku, dan kenyataannya, aku ating tidak merasakannya. Aku tidak mengerti bagaimana dia ati berpikir segala sakit di tubuhku ada artinya dibandingkan hancurnya hatiku.
Mereka akhirnya membuatku terjatuh, merampas pedang dari genggamanku, dan merobek rompiku. Dua orang langsung mulai bertengkar memperebutkan rompi kulit itu, tetapi mereka diperintahkan untuk menyimpannya dengan utuh bagi komandan. Aku digeledah dengan teliti seandainya ada senjata rahasia yang kubawa, lalu tangan dan kakiku dirantai bersama. Tanpa peduli dengan nyeri di bahuku, mereka menggulingkanku sampai telentang, barangkali agar aku dapat melihat komandan yang menangkapku. Mungkin mereka tidak menyadari bahwa mata kiriku sudah menutup karena bengkak, dan aku punya hal lain yang lebih baik untuk dilihat dengan mata kananku. Aku berpaling menghindarinya dan merasa sol sepatunya di pipiku, menekan wajahku lebih jauh lagi ke pinggir.
"Jadi, ini raja kecil yang menimbulkan begitu banyak kesulitan?" dia mengejek. "Aku tidak begitu terkesan."
Dia mengangkat sepatu botnya, dan berlutut pada satu kaki di sampingku. Kupalingkan kepala tetapi merasakan napas panasnya ketika dia bicara. "Aku berharap ati melaporkan bahwa gadis itu meninggal dengan cepat tanpa sakit," dia berkata. "Tetapi kutemukan dia masih hidup di kaki bukit"ating mati. Dia memohon agar aku mengasihanimu. Kukatakan padanya aku tidak berniat begitu. Dan pada tarikan napas terakhirnya, dia memintaku untuk menyampaikan pesan bagimu, dari hatinya hanya untukmu."
Kali ini aku menatapnya, walaupun dari nada suaranya aku tahu dia tidak akan memberiku kata-kata cinta. Dia nyengir jahat dan memperlihatkan dua jarinya, basah oleh darah. Darah Imogen. Disobeknya pakaian dalamku sampai didapatinya dadaku yang telanjang, lalu ditorehkannya jari-jarinya di kulit, membuat dua garis merah di sana. Menyengat seperti asam, nyerinya ating seperti dia menikamku.
"Bawa ke dalam dan kurung dia," perintah komandan. "Jangan sampai musuh mendekatinya meski dalam jarak satu kilometer!"
Seseorang memasangkan kantong gelap di kepalaku, kemudian mereka mengangkat dan membawaku pergi dengan menarik rantai itu. Beberapa menit kemudian, aku dimasukkan dalam ruangan yang nyaris tanpa cahaya, dipenuhi udara dingin, tampaknya berlokasi di bawah tanah.
Dari sana, aku dipindahkan ke besi yang terpasang di dinding. Yang entah bagaimana membuat situasiku menjadi lebih enak karena rantainya cukup panjang sehingga aku dapat memindahkan tanganku ke depan dan merosot ke posisi duduk. Tetapi yang lain tidak membaik. Dalam privasi ruangan itu, salah satu orang yang membawaku menendang kaki dan perutku, menyumpahiku, dan berkata teman-temannya ada di tembok yang kuledakkan. Dia terus melakukannya sampai suara yang lain akhirnya menyuruhnya berhenti.
Setelah itu, aku menarik diri ke dalam benakku. Aku terus kembali ke momen-momen terakhir itu. Ekspresi Imogen ketika aku melepaskan ikatannya. Ada rasa takut dan ragu, tetapi mungkin juga lega. Roden bilang Imogen menatapku seakan dia mencintaiku. Adakah cinta dalam ekspresinya"
Aku tidak tahu. Yang dapat kupikirkan hanyalah mengapa dia harus menghentikan si pemanah itu. Mengapa dia tidak terus berlari saja dan menyelamatkan diri"
Sadar bahwa aku tidak memperhatikannya, orang yang menendangku sebelumnya mulai melakukannya lagi, kali ini lebih keras. Kakinya bersentuhan persis pada tempat Roden mematahkan kakiku, dan sakitnya memaksaku bereaksi.
"Ah, di situ kelemahanmu," katanya. "Aku akan mengingatnya."
"Kalian semua dibubarkan." Suara itu milik orang yang meletakkan sepatu botnya di wajahku. Orang-orang yang merespons memanggilnya Komandan Kippenger.
Aku dengar ruangan itu dikosongkan, kemudian mendengar suara pisau dikeluarkan dari sarungnya. Dia menempatkan pisau itu di pangkal leherku dan aku berharap dia akan membunuhku dengan cepat. Jantungku terasa seolah penuh lubang, jadi dia tidak ati membuatnya lebih parah lagi. Aku hanya ingin ini berakhir dengan cepat.
Tetapi bukan itu tujuannya. Dia menggerakkan pisau itu ke bawah, merobek kaus dalamku, dan mengirisnya dari badanku menjadi serpihan. Aku berharap dia menghilangkan darah itu juga. Aku tidak tahan merasakannya di kulitku. Kemudian dia menunduk dan menarik cincin raja dari jariku. Akhirnya, dia melepaskan sepatu botku, aku berasumsi itu untuk mencegahku melarikan diri. Aku bahkan tidak punya pikiran untuk mencobanya. Ketika semua sudah selesai, dia menarik kantong dari kepalaku. Aku seharusnya mengedip agar mataku menyesuaikan diri dengan cahaya, tetapi ating tidak ada cahaya, tidak perlu penyesuaian.
Aku berada di sel tahanan yang digali buru-buru, ating seluruhnya terbenam di bawah permukaan tanah, dan dilapisi papan-papan kayu kasar untuk menahan tanah. Satu-satunya cahaya ating melalui retakan-retakan di langit-langit yang tinggi, tetapi celah-celah itu juga bocor oleh tanah dan air, serta kemungkinan mengundang tikus masuk juga. Karena begitu dekat dengan tanah rawa-rawa, tanah di bawahku ati dibilang berlumpur. Namun besi-besi di pergelangan tangan dan mata kakiku tertanam dalam di dinding. Aku tidak dapat melepaskan diri, bahkan jika aku punya keinginan untuk melakukannya.
Kippenger tinggi, dengan rambut pirang gelap dan hidung mencuat. Aku rasa ada wanita yang menganggapnya tampan jika mereka tidak menatap terlalu lama dan mendapati kekurangan-kekurangannya. Yaitu bahwa dia jelas semacam iblis kejam yang kelihatannya akan membuat penangkapanku sebagai medali kehormatan pribadinya.
"Nah," dia berkata begitu dia melangkah mundur untuk melihatku. "Siapa pun kau sebelumnya, sekarang kau bukan siapa-siapa. Bagi dunia ini, kau sudah mati. Raja Vargan sedang ke sini. Dipikirnya dia ating untuk menginterogasi pelayanmu, tetapi dia akan senang sekarang kami punya hadiah yang lebih berharga."
Aku tidak menjawab. Tidak peduli.
"Vargan akan menyebarkan berita kematianmu sampai ke ujung daerah ini," dia melanjutkan. "Kehilangan raja mereka, dalam beberapa hari Carthya akan lenyap seperti lilin ditiup angin."
Benakku melayang lagi. Aku bertanya-tanya apakah Herbert dan Evendell selamat. Apakah Mott melarikan diri, kalau dia melihat yang yang terjadi pada Imogen. Apakah dia melihatku. Dan apa yang akan mereka lakukan terhadapku kalau aku tidak mau menyerah dalam perang ini. Aku bertanggung jawab sepenuhnya atas kehancuran negaraku.
Dan aku tidak punya keinginan untuk memperbaikinya.
BAB 11 SAAT tersulit lapar adalah ketika rasa perih itu mulai terasa. Ketika tubuh menyadari kehilangan waktu makan dan memberi tanda butuh makanan. Tetapi setelah beberapa saat, badan berhenti meminta, menyerah mengharapkan apa pun. Rasa perih akan kembali, tentu saja, dan rasa lapar tidak pernah hilang. Tetapi begitu seseorang mencapai tahap ini, dia punya masalahmasalah yang lebih besar ketimbang jadwal makan selanjutnya.
Lapar adalah kekhawatiranku yang terakhir.
Dalam beberapa hari pertama setelah ditangkap, aku hampir dibiarkan sendirian terus. Penjaraku dijaga ketat"aku tahu itu dari pembicaraan yang tersaring melalui papan-papan di atasku. Tetapi aku tetap dalam gelap, tidak diberi apa-apa untuk dimakan, dan hanya mendapat air berlumpur yang menetes dari tanah di atas untuk diminum. Beberapa kunjungan yang kudapat hanya untuk meyakinkan aku masih di sana, dan untuk menambahkan luka-lukaku dengan cara apa pun yang menyenangkan bagi para penjaga. Dalam seluruh waktu itu, aku tidak pernah balas melawan, tidak berkata sepatah pun, tidak pernah memberi indikasi apa pun kalau aku menyadari keberadaan mereka. Menurutku, kalau mereka ingin memberitahu semua orang aku sudah mati, lebih baik aku berlaku demikian.
Suatu pagi pada hari ketiga, perlakuan mereka berubah. Dua orang tentara Vargan datang dengan semangkuk sup dan memaksaku memakannya. Aku memberi mereka deskripsi lengkap di mana mereka dapat menyingkirkan dan membuangnya. Orang yang lebih tinggi melemparkan mangkuk itu kepadaku, seolah aku akan peduli, dan mereka pergi.
Belakangan, pada malam hari, mereka membawa piring dengan sebongkah roti keras dan segelas air kotor. Aku melemparkan roti itu ke sudut, berharap tikus-tikus akan memilih mengunyahnya ketimbang mendatangiku lebih dekat. Aku mencoba mengenai seseorang ketika aku melemparkan gelas, tetapi tidak berhasil melemparkannya lebih jauh dari kaki penjaga.
Komandan Kippenger segera memanggil, dan berteriak-teriak tentang betapa banyak kesulitan yang akan didapatnya kalau aku tidak makan. Entah bagaimana, kenyataan itu saja membuat rasa lapar lebih mudah ditahan.
Keesokan paginya, seorang wanita dikirim dengan handuk yang digunakannya untuk membersihkanku. Aku memohon kepadanya untuk mengelap semua darah Imogen yang tersisa di dadaku, dan dia melakukannya. Baru saat itu aku merasa bisa bernapas lagi.
"Aku membantu merawat gadis itu ketika mereka membawanya ke sini," kata wanita itu. "Mereka menawarkan segala imbalan yang memungkinkan untuk mendapatkan informasi tentang kau, tetapi dia selalu menolak."
Sakit rasanya mendengar tentang Imogen, namun aku menyadari tidak mendengar tentangnya lebih berat. Aku menghabiskan begitu banyak waktu di dua hari terakhir memikirkan kembali hal-hal yang para pendeta di gereja ajarkan tentang kehidupan setelah kematian. Jika mereka benar, semua orang baik menjadi santa di surga, jelas di sanalah sekarang Imogen berada. Keluargaku akan berada di sana juga. Entah itu benar atau tidak, aku memilih untuk percaya di sanalah dia berada, bahagia dan bebas dari segala kekhawatiran dan rasa sakit. Membantu mengurangi rasa sakitku.
Setelah wanita itu pergi, sebuah kursi dimasukkan ke ruangan. Seorang pembawa berita di luar mengumumkan keberadaan Raja Vargan, walaupun dengan meremangnya kulitku, aku merasa dia sudah dekat. Beberapa saat kemudian dia memasuki penjaraku.
Dalam masa mudanya, Vargan merupakan seseorang yang kehadirannya menunjukkan otoritas, tetapi waktu telah membuatnya aus seperti air laut meluruhkan istana pasir. Rambut putihnya diikat ke belakang dan dia mengenakan kacamata bundar tebal yang memperbesar mata gelapnya yang berkantong. Seorang pelayan yang menemaninya diam-diam menyinggung kacamata itu dan Vargan dengan cepat melepaskannya, seakan dia tidak mau dilihat orang. Ketika dia menyerahkan kacamata itu kepada pelayannya, pelayan itu memberikan sepucuk kain, yang dia tekankan ke hidung. Kudapati hal itu aneh, karena tidak pernah terpikir olehku kalau di sini pasti bau. Dia berdiri di ambang pintu, meluruskan punggung, kemudian memperhatikanku sambil berjalan maju. Akhirnya dia duduk di kursinya, walaupun dia belum berbicara sepatah pun, dan aku belum menyapanya.
"Aku diberitahu kau tidak mau makan," akhirnya dia bicara.
"Makanan Avenia rasanya seperti kotoran asin," gumamku.
"Kuharap kau menjadi rendah hati. Aku dapat membiarkanmu mati di sini."
"Kuharap begitu."
Dia bergeser dan menatapku. "Menjadi tawanan itu berat bagimu. Kau tampak mengenaskan."
"Kau juga. Setidaknya aku punya alasan."
Dia terkekeh pelan. "Raja kecil itu menginvasi negeriku seorang diri, menimbulkan kematian pada gadis yang dicintainya, dan sekarang menjadi milikku untuk diperlakukan sesukaku. Seperti yang sudah kami beritahukan padamu, kami segera mengirimkan kabar kematianmu ke mana-mana, dengan tawaran kepada regen utamamu untuk menyerah dengan damai."
"Aku senang kau menawarkan," kataku. "Dia akan menerima dengan senang hati penyerahan dirimu."
Dia terkekeh lagi. "Ketika kita bertemu pada malam pemakaman keluargamu, kukatakan aku menyukaimu, dan memang begitu. Kau anak muda penuh semangat, sangat perlu disiplin, tetapi dengan banyak kualitas yang kukagumi. Aku berharap kita bisa berteman."
Aku tidak berkata apa-apa. Harapanku terhadapnya tidak sebaik itu.
"Posisimu dalam perang ini tidak menguntungkan, Jaron. Pilihan terbaik bagi semua tentaramu adalah untuk meletakkan pedang mereka. Akan ada harga yang mahal untuk kesetiaan mereka, dan aku berharap kau tidak akan meminta itu dari mereka lebih lama lagi. Menurutmu aku tidak serius" Dua pemanah yang datang bersamamu tewas. Kau tahu itu" Mereka tinggal untuk menolongmu ketika mereka seharusnya lari."
Aku menduga mereka terbunuh, tetapi tetap saja itu berita
buruk. Aku menyadari mereka tidak menyebut-nyebut Mott. Mungkin ada kesempatan baginya untuk melarikan diri.
Vargan melanjutkan, "Dengan pasukanku saja, kau akan tetap kalah jumlah, baik dalam kekuatan dan banyaknya, tetapi juga ada Gelyn dan Mendenwal yang melawanmu. Aku dengar tentang pertempuranmu dengan kapten penjagamu. Sekarang dia pergi dan membawa tentara-tentara terbaikmu, katanya. Sisa pasukanmu tersebar, tanpa kekuatan untuk mempertahankan satu daerah pun. Dan aku memilikimu, masih berduka karena kehilangan gadis itu."
Dia menyebut Imogen dengan "gadis itu", yang merupakan penghinaan terhadap Imogen. Tetapi aku lebih memilih itu daripada mendengar Vargan mengucapkan namanya. Vargan tidak punya hak untuk mengucapkannya, tidak setelah apa yang diperbuatnya.
Vargan mencondongkan badan ke depan dan menangkupkan kedua tangan. "Kami menunggu selama mungkin untuk menguburkannya. Aku bertanya-tanya kalau kau mau melihat mayatnya, untuk melihat tempat panah itu menusuk. Kau boleh meminta kesempatan untuk berkabung dengan layak."
Aku tetap diam. Sempat terpikir beberapa kali untuk meminta melihatnya, tetapi pada akhirnya aku sadar bahwa melihatnya dalam keadaan demikian, memiliki kenangan terakhir seperti itu, akan menghancurkanku lebih cepat lagi.
Vargan mengangkat bahu tak peduli. "Kami tidak tahu apaapa untuk batu nisannya selain nama panggilannya. Dia tewas dalam pertempuran, dan layak mendapatkan lebih daripada itu.
Amarinda ingin Imogen diadopsi ke dalam keluarganya.
Aku yakin itu. "Dia adalah Imogen dari Bultain," aku menggumam. "Itu namanya."
Vargan mengangguk. "Dan apakah ada tulisan di batu nisan yang ingin kautambahkan?"
Kata-kata itu sudah terangkai dalam benakku, namun aku tetap menunggu sampai menatap persis ke arahnya sebelum berkata, "Di sini berbaring Imogen dari Bultain. Kematiannya memicu pembalasan dendam yang menandai hari-hari terakhir Raja Vargan."
Muka Vargan memerah dan dia berdiri. "Anggap dirimu beruntung aku tidak menguburmu di sebelahnya. Karena penghinaanmu, dia tidak akan mendapatkan batu nisan. Tidak akan ada kenang-kenangan bahwa dia pernah berada di sini."
Seandainya saja kenangan dapat diabaikan begitu mudahnya.
"Aku menangkapnya!" Vargan berteriak. "Dan sebelum semua ini berakhir, aku akan mengambil semuanya darimu."
"Tidak ada yang tersisa," gumamku.
"Kau yakin" Kau akan memberikan kepadaku semua yang kuinginkan, atau kau akan belajar apa artinya kehilangan segalanya. Mott, pelayan kesayanganmu itu. Aku akan membuatmu melihat setiap menit dari eksekusi pelan-pelannya. Rulon Harlowe"dia seperti ayah bagimu, bukan" Tidak akan susah mengakhiri hidupnya. Dan sang putri. Dia beruntung kalau terbebas dengan sedikit rasa sakit, seperti pelayan dapur yang kaucintai itu."
Saat itu, dia mendapatkan perhatianku. Kalau diucapkan orang lain, itu mungkin hanya ancaman-ancaman yang dirancang untuk menakut-nakuti. Tetapi Vargan akan menikmati kesempatan untuk melaksanakannya. Kalau aku tidak bekerja sama dengannya, menggunakan orang-orang itu satu demi satu, dia akan menghancurkanku.
Dia memanggil penjaga-penjaganya, lalu menunjukku dan berkata, "Biarkan para iblis menaklukkannya. Kali berikut bertemu dengannya, aku ingin dia dengan senang hati membungkuk di kakiku. Dia tidak akan menentangku!"
Para penjaga membungkuk pada raja mereka dan beberapa dari mereka mengawalnya menaiki tangga. Yang lain datang mendekatiku, meninju telapak tangan mereka, bersiap melaksanakan perintah Vargan.
BAB 12 DUNIAKU kabur antara mimpi dan kenyataan. Imogen masih hidup dalam dunia yang satu, dan tak ada apa pun kecuali nyeri di dunia lainnya. Karena itu, aku menghabiskan sebagian besar dari setiap hari bergantung pada setiap ingatan yang mungkin kukenang tentangnya. Hal itu saja yang membuatku tetap hidup.
Satu memori terus kembali, momen yang kukenang sekaligus kubenci. Ketika aku melepaskan ikatan Imogen dari tiang, jemarinya membelai rambutku. Meskipun ketidakpedulian diperlihatkannya kepadaku, setiap kata yang diucapkannya membuatku percaya di antara kami hanya ada persahabatan. Namun sentuhannya mengubah semua itu. Dan seandainya aku harus memotong memori itu di sana dan tidak berpikir lebih jauh lagi, aku akan melakukannya. Tetapi hal itu selalu mengikuti, selalu, dengan bayangan ekspresi kesakitannya ketika panah itu menembus dadanya, dan tubuhnya yang jatuh terpuruk sebelum lenyap di balik bukit. Ingatan itu terpatri dalam benakku, dan lebih buruk daripada apa pun yang dapat dilakukan Komandan Kippenger atau anak buahnya terhadapku.
Kata-kata terakhir Imogen memohon agar aku memilih untuk hidup. Mengapa dia tidak dapat melakukan hal yang sama"
Vargan meninggalkan tentara-tentaranya dengan ajakan untuk menyiksaku kapan saja mereka mau, dan aku menduga akan menerima bentuk terburuk dari yang dapat mereka rancang. Awalnya mereka kejam terhadapku, setiap tulang di tubuhku mengetahui itu. Tetapi aku menjadi lemah karena kurang makan dan tidak lebih responsif dibanding boneka kain. Mereka mulai menginterogasiku untuk mendapatkan informasi, dan membayar aksi tutup mulutku dengan penghinaan total.
Kippenger bahkan merancang suatu permainan yang ditujukan untuk menghibur otak bodoh pasukannya. Dia meletakkan sebuah garlin di atas batu datar yang tertancap di atas dinding penjaraku dan menyuruhku untuk mengambilnya.
Aku melihat ke koin itu, lalu melengos. Jaraknya tidak jauh"mungkin dua kali tinggi badanku"tetapi kelihatan lebih tinggi. Meraih garlin itu sementara masih dirantai akan sulit, kalau tidak mustahil, dan aku jelas tidak melihat apa gunanya mencoba.
Tetapi Kippenger ingin bermain. "Ambil koin itu, Nak," dia berkata, "dan akan kuperbolehkan kau membeli kebebasanmu dengan itu."
Tetap aku tidak bergerak. Tidak sampai seorang penjaganya yang kasar, yang dipanggil Terrowic oleh yang lain, menarik pedang dan menyuruhku memanjat mengambil koin itu. Rasanya sakit ketika berdiri, tetapi kupikir pedang itu akan lebih menyakitkan.
Tanah di sekelilingku lembek di beberapa tempat, tetapi ada juga akar-akar dan bebatuan tertanam yang dapat memberikan pegangan bagiku untuk mencapai koin itu"kalau rantai tidak menarikku ke bawah, kakiku yang lemah pasti akan membuatku jatuh.
Setelah ancaman-ancaman Terrowic yang lain, aku kutancapkan jari-jari ke tanah untuk meraih akar, dan memaksa kakiku memanjat. Begitu aku bergerak, Terrowic menghantam bagian belakang kakiku dengan bagian pedangnya yang lebar.
Aku kehilangan pegangan dan jatuh terlentang ke tanah. Terrowic berdiri di atasku dan tertawa, lalu Kippenger menyuruhku memanjat lagi. Setelah beberapa ancaman lagi aku kembali berdiri, tetapi memanjat tidak lebih tinggi sebelum Terrowic memukul kakiku lagi. Ini juga terjadi untuk yang ketiga kali, tetapi pada yang keempat kali, aku hanya berguling menghadap dinding dan mengabaikan mereka. Kippenger tak terlalu senang menerima penolakanku, tetapi aku tahanannya, bukan hiburannya. Aku tidak mau memainkan permainan ini.
Kippenger menunduk saat aku terbaring di tanah. "Mereka memanggilmu Raja yang Berkuasa. Jadi, panjatlah. Bangun dan ambil koin itu."
"Lepaskan rantainya."
Dia tertawa, mengejekku. "Ah, tetapi justru itu maksudnya, bukan" Kau takkan pernah bebas dari rantai itu. Kau takkan dapat meraih koin. Kau takkan bisa berdiri kalau tidak kuizinkan. Seandainya sebuah garlin berada di luar jangkauanmu, bagaimana caranya kau dapat meraih kebebasan" Kau takkan pernah bangkit lagi."
Aku berbalik untuk melihat koin itu sekali lagi, kemudian menutup mata. Mungkin dia benar.
Keesokan harinya, Kippenger melupakan koin itu. Tetapi dia kembali dengan strategi baru. Wanita yang membasuhku dua hari sebelumnya masuk dengan semangkuk sup. Kippenger mengikutinya masuk dan menyuruhku memakannya. Aku bahkan tidak menatapnya sampai dia memerintahkan dua tentara masuk ke dalam ruangan. Yang satu memegang tongkat. Aku mempersiapkan diri untuk menerima hukuman lagi, namun sebaliknya dia menyuruh wanita itu untuk berbalik dan bersandar ke dinding. Wanita itu tersentak ketakutan dan menatapku.
Saat itu juga, mangkuk berada di tanganku. "Biarkan dia pergi. Aku akan makan." Untuk membuktikan kesungguhanku, aku makan sesuap. Mungkin karena aku begitu kelaparan, sup itu terasa seperti hadiah dari para orang suci. Aku berniat menghabiskannya sampai ludes, dan kalau dia menawarkan lebih banyak lagi, akan kuterima.
Meski berharap keadaan akan berbeda bagiku, Imogen benar: aku tidak dapat menyerah di sini. Aku harus memilih untuk hidup.
Setelah aku mulai makan, Kippenger menyuruh wanita itu dan para tentara pergi. Menyadari apa yang mungkin akan terjadi begitu aku menghabiskan sup, aku makan perlahan-lahan. Tetapi setelah kuletakkan mangkuk itu, dia berkata, "Kau tidak mau makan untuk menyelamatkan dirimu sendiri, tetapi kau akan makan untuk menyelamatkan orang asing. Menarik sekali." Dia mengawasiku beberapa saat lagi, lalu melanjutkan, "Di Carthya, kau menempatkan sejumlah besar tentara di tebing, jauh dari pertempuran apa pun, dan mengawasi danau yang tidak lagi ada. Kenapa begitu?"
"Kau pernah menanyakannya."
"Dan kau menolak untuk menjawab. Jadi aku bertanya lagi. Mengapa pasukanmu berada di sana?"
"Seharusnya sudah jelas," jawabku tanpa menatapnya. "Mereka menunggu danau itu kembali muncul. Mungkin kau bisa bergabung dengan mereka dan pergi berenang."
Dia menendang pinggangku, menambah memar yang ada di sana, kemudian berlutut untuk menatapku. "Mengapa kau tidak bekerja sama denganku" Mengapa kau tidak menyelamatkan diri dari sakit ini?"
"Kau tidak menyakitiku," jawabku. Tidak sepenuhnya benar"aku tetap saja tersentak"tetapi aku merasa lebih baik menjawab begitu.
"Jika aku tidak menyakitimu, kau memaksaku untuk membawa seseorang yang dapat kusakiti." Dia berdiri tegak, lalu bersiul kepada penjaga-penjaganya di luar. Seperti anjing yang menuruti panggilannya, mereka melangkah menuruni anak tangga. Namun kali ini mereka membawa seseorang.
"Tobias." Dia mengangkat kepala ketika kusebut namanya dan aku melihat sisa-sisa hidungnya yang berdarah di wajahnya. Seberapa pun senangnya aku melihat dia, jantungku sudah berdebar-debar. Jika Tobias ada di sini, lalu di mana Fink dan Amarinda"
Matanya membelalak ketika melihatku dan menggeleng tak percaya. "Jaron" Kau masih hidup" Tetapi kata mereka?"
"Aku masih hidup. Atau nyaris begitu."
Suara Kippenger mengeras. "Aku akan bertanya lagi, Jaron. Mengapa pasukanmu berada di tebing itu?"
Aku membuka mulut, tetapi tidak berkata apa-apa. Kippenger menggunakan diamnya aku sebagai alasan untuk menampar Tobias dengan kekuatan yang aku tahu akan meninggalkan bekas. Tobias memekik kesakitan, lalu jatuh ke tanah, pingsan.
Para penjaga menarik kedua lengannya, membuatnya berdiri lagi, tetapi Kippenger berkata, "Apa gunanya sekarang" Kita akan menunggu sampai dia bangun, jadi Jaron dapat mendengar jeritannya."
Mereka memborgol Tobias ke rantai yang lain di seberangku dan meninggalkan dia dengan wajah separuh terbenam di lumpur dingin. Kippenger menunjuk Tobias, memperingatkan jika aku tidak bekerja sama, dia akan melakukan hal yang sama kepada Tobias seperti yang dilakukannya terhadap Imogen.
Ketika Kippenger dan anak buahnya pergi, aku perlahanlahan memanggil nama Tobias. Dia hanya bergerak sedikit awalnya, tetapi aku memanggilnya lagi, lebih keras kedua kalinya.
Tanpa membuka matanya, dia berbisik, "Sudah aman?"
Aku melontarkan tawa tertahan. "Tentu saja tidak. Kau tahu kita ada di mana, bukan?"
Sekarang Tobias membuka mata dan bermanuver ke posisi duduk. "Kau tahu dari mana aku tidak pingsan?"
"Orang yang pingsan tidak mengintip ketika dipikirnya tidak ada yang memperhatikan." Dia separuh tersenyum kepadaku, dan kemudian, dengan lebih serius aku menambahkan, "Kau pikir aku sudah mati?"
Dia mengangguk muram. "Mereka memamerkan pakaianmu ke mana-mana agar dilihat orang-orang, sobek dan berlumur darah. Mereka berharap itu akan mematahkan semangat rakyat untuk bertempur."
Sambil mendengus, aku berkata, "Yah, seperti yang dapat kaulihat dengan jelas, aku jauh dari tewas seperti yang dikatakan orang Avenia."
"Dari penampilanmu, kau tampak nyaris tewas."
Aku suka leluconnya, tetapi sebenarnya, aku pun merasa begitu.
"Lalu apakah Mott dan Imogen berhasil melarikan diri?"
Menjawabnya lebih sulit daripada yang kupikirkan, dan aku harus memaksa kata-kata itu untuk ke luar. "Tidak ada kabar tentang Mott sejak aku datang. Aku belum berani bertanya tentang dia. Imogen tidak... tidak..."
Tobias mengangguk dan membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, lalu menutupnya. Apa pun yang akan dikatakannya, turut berdukacita, atau kasihan, atau pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut, tak satu pun kuinginkan. Jadi sebelum dia bisa berubah pikiran, kututup mata untuk mengistirahatkannya, lalu bertanya, "Di mana Amarinda dan Fink" Tolong katakan mereka berhasil sampai ke Bymar."
Kesunyian itu cukup lama sehingga memaksaku untuk kembali menatap Tobias. Dia menggeleng. "Kami melewati penjaga-penjaga perbatasan tanpa banyak kesulitan. Mereka mengambil sebagian besar makanan, tetapi membiarkan kusir kita lewat. Kami hampir sampai di Isel ketika segerombolan pencuri menyerang kereta. Tidak ada waktu untuk kembali ke tempat persembunyian di bawah, jadi ketika kesempatan itu datang, kami berlari dan bersembunyi dekat jalan sementara kusir kami menahan mereka. Sekelompok tentara Avenia lewat dan mendengar keributan itu. Mereka menangkap beberapa pencuri itu dan kusir. Para pencuri memberitahukan tentang kami yang melarikan diri, dan para tentara segera menyadari kereta kami mungkin membawa sang putri. Mereka menyuruh kusir kami berbicara, tetapi dia hanya mengekspresikan kesetiaannya kepada Carthya dan menolak menjawab pertanyaan-pertanyaan selanjutnya."
Aku menggeleng. Kesetiaan itu amat berharga, tetapi dengan adanya para tentara, hal itu berarti aku tabu sekarang bagaimana kisah kusir itu berakhir.
Tobias melanjutkan, "Saat itulah tentara-tentara itu memberitahu kusir tentang kematianmu. Mereka bahkan memperlihatkan sepotong pakaianmu. Amarinda dan aku mengawasi dari kejauhan. Kami mengenali itu pakaian sama yang kaukenakan ketika terakhir kali kita bersama."
"Fink melihatnya juga?"
"Kami semua melihatnya, Jaron, dan pada saat itu kami berjuang untuk tidak menangis. Fink bahkan berdiri untuk menyerang mereka, tetapi aku menahannya." Tobias menjilat bibirnya. "Berita terburuk dalam hidupku, dan tidak lebih baik bagi yang lainnya. Diperlukan beberapa menit setelah para tentara itu pergi sebelum Amarinda merasa cukup kuat untuk berjalan."
"Ke arah Bymar?"
Kembali, Tobias menggeleng. "Aku berusaha membujuk Amarinda untuk pergi, tetapi dia tahu tidak akan lama sebelum kabar kematianmu tersebar. Dia merasa orang Carthya akan mencari kepemimpinan di takhta dan bahwa seseorang harus duduk di sana. Jadi dia memaksa untuk berjalan kembali ke Drylliad."
Itu ide gila. Kalau tentara-tentara yang menghentikan para pencuri itu mengetahui putri ada di Avenia, mereka akan menjungkirbalikkan negeri ini untuk mencarinya. Dan Isel adalah pelarian terdekat mereka. Menyusuri kembali perjalanan mereka ke Carthya jauh lebih berbahaya, dan kukatakan begitu pada Tobias.
"Aku setuju," dia protes. "Tetapi dia putri dan aku pelayannya. Kalau dia mau kembali ke Carthya, aku tidak punya pilihan selain mengikuti. Fink pergi ke Bymar, untuk memohon mereka datang membantu Carthya."
"Apa?" aku meledak marak dan harus mengingatkan diri agar tidak berisik. "Kau mengirimnya pergi sendirian?"
"Dia berkeras dapat melakukannya. Dan dia orang Avenia, jadi kesempatannya untuk melewati tentara-tentara cukup baik. Kami tidak punya pilihan, Jaron."
Mungkin tidak, tetapi aku tetap tidak menyukainya. "Bagaimana kau bisa tertangkap?" tanyaku kepadanya.
"Dia dan aku tertidur suatu malam dan aku mendengar suara dalam gelap. Aku menyelinap untuk menyelidiki dan para tentara itu menemukanku. Begitu mereka menyeretku kembali ke tempat aku tidur, dia sudah pergi, bersama segala tanda dari jejaknya."
Aku merasa amat ketakutan akan apa yang telah terjadi pada putri sejak saat itu, dan dari ekspresi di wajah Tobias, dia merasakan hal yang sama. Bayangan akan apa yang mungkin terjadi kalau Amarinda tertangkap juga tidak tertanggungkan, menjadi lebih parah karena aku menjadi begitu tak berdaya di sini.
Cukup sudah. Sudah waktunya untuk melarikan diri dari tempat ini.
BAB 13 TERLEPAS dari niat terbaikku untuk melarikan diri dari kamp Avenia, kenyataannya situasi kami memperumit rencanarencana itu. Karena mereka memiliki Tobias sebagai sandera, perlakuan mereka terhadapku semakin buruk. Bahkan jika kesempatan untuk melarikan diri datang, tenagaku untuk melakukannya menyurut. Tobias menawarkan bantuan kapan saja sebisanya, tetapi perlakuan yang diterimanya hanya sedikit lebih baik dibanding aku, dan tanpa kerja samaku, keadaan akan menjadi jauh lebih buruk baginya.
Di tempat aku melepaskan Mott dan Imogen, Tobias dan aku ditanyai tentang rencana-rencana perang, kali ini oleh si troll canggung, Terrowic, dan anak buah Kippenger yang lain. Berat rasanya berada di sana, dengan pemandangan ke arah bukit tempat Imogen berdiri hanya beberapa hari sebelumnya. Aku berulang-ulang memandang lereng, berharap meski tak logis untuk melihatnya, lalu perhatianku akan teralih lagi, kembali ke pertanyaan-pertanyaan mereka yang tak ada habisnya.
"Berapa banyak tentara yang kau tempatkan di Drylliad?" Terrowic bertanya.
"Jangan jawab!" Tobias memohon, yang membuatnya mendapatkan pukulan lagi di perutnya. Dia membungkuk, napasnya tersedak, dan aku merasakan sakit yang sama dalam tubuhku.
"Beri kami angkanya." Orang yang lebih kecil berbicara, dia memiliki stahi lalat besar di dagunya yang terus kupandangi dengan jijik, terutama karena aku tahu tatapanku mengganggunya. "Akan kami paksa kau menyebutkannya kalau harus."
"Tidak, kau tidak bisa melakukannya," gumamku. Bukan niat mereka yang kuragukan, hanya kenyataan bahwa tidak ada apa-apa lagi di dalamku. Semua sudah kering, meninggalkan ampas dari semangat apa pun yang dulu pernah kumiliki.
"Kami bisa melakukan lebih banyak daripada yang kaupikirkan," Terrowic berkata. "Rajaku diam-diam berhubungan dengan seseorang yang katanya kaukenal dengan baik. Seorang bangsawan bernama Bevin Conner."
"Mantan bangsawan," gumamku. Dan itu bukan rahasia. Aku sudah tahu hubungan antara Conner dan Vargan.
"Conner memberitahukan tentang bangsawan dapur di Libeth, tentang pasukan-pasukanmu, dan pertengkaranmu dengan kapten pengawalmu. Jadi meski kau tidak mau bicara, kami akan tetap mendapatkan apa yang kami inginkan." Kalau begitu, aku tak akan bicara. Aku mencoba melengos, tetapi dia memerintahkan seseorang untuk mengambil cambuk.
Entah itu untukku atau untuk Tobias, aku tidak dapat membiarkannya terjadi. Jadi aku memanggilnya kembali, "Komandan-komandanku akan menduga kalian mendapatkan informasi ini dariku," kataku. "Mereka akan mengganti semua rencana. Kalian tidak sadar betapa tidak ada bergunanya hal ini."
"Kami akan memutuskan apa yang tidak berguna." Terrowic hanya punya setengah otak dibanding orang-orang lain di kamp ini, tetapi mengimbanginya dengan menggandakan kekuatan pukulan-pukulannya. Dia bulat dan gemuk, jadi pada awalnya aku meremehkannya. Namun tidak lagi. Pukulan terburuk yang kuterima di sini berasal darinya.
"Aku yakin kau mengerti arti kesia-siaan lebih baik daripada orang lain," aku berkata. "Tetapi aku sudah cukup menderita. Biarkan aku bicara kepada sang komandan."
Terrowic merengut. "Kau tidak bisa mengecoh seseorang yang melihat mawar merah."
Entah apa artinya itu. Mungkin sebenarnya dia hanya punya sepertiga otak. Dia mengangkat tangan ke arah Tobias lagi, tetapi aku berteriak, "Cukup! Panggil dia sekarang!" Dia berhenti dan aku menambahkan, "Panggil sang komandan, atau akan kukatakan kepadanya kau berpikir anak-anak perempuannya terlihat seperti kodok."
"Aku tidak pernah bilang?"
"Kau bilang begitu tadi malam. Kau seharusnya berbicara lebih hati-hati ketika melewati penjara bawah tanahku."
Terrowic menurunkan lengan, lalu memberitahu temannya untuk mengawasi kami sampai dia dan sang komandan kembali. Sementara Terrowic pergi sambil mengentakkan kaki, penjaga bodoh jelek ini hanya berdiri di satu sisi tempat dia dapat mengawasi perempuan-perempuan lewat dengan bakul cucian mereka yang berat. Tidak terlihat seperti pemandangan yang sangat menarik bagiku, tetapi mungkin karena aku punya urusan-urusan lain yang lebih besar dalam kepalaku.
Sementara penjaga itu teralihkan perhatiannya, aku menarik napas panjang, berharap akan memberiku sedikit kelegaan. Ketika ternyata gagal untuk memberikan apa pun kecuali bertambahnya kekhawatiran, aku berpaling kepada Tobias. "Aku membutuhkan senyuman. Ceritakan kepadaku sesuatu yang tidak mengerikan."
"Sekarang?" "Mungkin tidak akan ada saat yang lebih baik."
"Baiklah." Dia menyeringai saat sebuah cerita muncul di benaknya. "Dua hari pertama setelah kami mulai berjalan kembali ke Carthya, setelah mendengar tentang kematianmu, baik Amarinda dan aku sangat menderita."
Aku mengangkat sebelah alis. "Ini cerita terburuk yang pernah kudengar."
"Hus. Tunggu dulu." Mata Tobias berkaca-kaca ketika dia kembali ke hari itu. "Amarinda hampir tidak bicara sepatah pun sepanjang waktu itu, dan aku tidak tahu apa yang dapat kukatakan kepadanya. Malam itu hujan, dia dan aku terpaksa berteduh di bawah semak lebat. Saat itu dingin dan begitu gelap, kami hampir tidak bisa melihat jari kami sendiri, dan malam itu rasanya tak habis-habis."
"Aku mulai meragukan kalau kau mengerti apa arti "tidak mengerikan," gumamku.
"Hus!" Tobias tersenyum lagi. "Namun keesokan paginya sangat indah. Hangat dan cerah, segala sesuatunya bersih karena hujan. Bahkan di Avenia, kelihatannya merupakan hari yang sempurna untuk berjalan. Kami berburu mencari apa saja yang dapat kami temukan untuk dimakan. Sang putri melihat semak beri liar besar, dan karena lapar, dia bergegas ke arahnya. Dia begitu bersemangat, sampai tidak memperhatikan tanah yang dipijaknya. Dia tersandung akar yang mencuat dan jatuh persis ke petak lumpur kental. Semakin berjuang ke luar, dia menjadi semakin kotor. Aku ikut masuk untuk menolongnya tetapi terjatuh juga. Pada saat kami berdua keluar, tidak ada satu senti pun dari badan kami yang tidak berlumur lumpur."
Aku terkekeh. Sepanjang waktuku bersama Amarinda, aku tidak pernah sekali pun melihatnya menggerakkan tangan dengan canggung, apalagi seluruh badannya. Karena aku pernah mengomentari kotoran di wajahnya, kemungkinan untuk mengejeknya sekarang menjadi tidak terbatas. Sekarang, menyadari dia tidak sempurna, mungkin akhirnya ada kesempatan bagi dia dan aku.
"Kalian berhasil mendapatkan beri itu?" tanyaku.
"Pada akhirnya." Dia tersenyum lagi. "Awalnya, kami terlalu kotor untuk makan. Jadi kami berjalan lebih jauh dari jalan setapak itu sampai menemukan kolam tempat badai tadi malam telah menciptakan sebuah air terjun yang deras. Rasanya berjam-jam berlalu sementara kami berdiri di bawah air terjun agar kembali bersih, dan diperlukan beberapa waktu bagi pakaian kami untuk kering. Lalu kami makan."
Senyumku lenyap dan aku mendecakkan lidah, tetapi dia dengan cepat menggeleng. "Maaf kalau tidak enak kedengarannya. Tidak seperti yang kaubayangkan."
Dia mulai bicara lebih banyak, tetapi saat itu Terrowic sudah kembali bersama Komandan Kippenger, yang sama sekali tidak terlihat senang dipanggil ke sini.
"Kita perlu tempat untuk bicara," kataku. "Secara pribadi." "Mengapa tidak di sini?"
Aku memandang berkeliling dan memutar mata ke arah
Tobias dan anak buah Kippenger. "Karena banyak orang, tentu saja." Dia mulai berbalik pergi, tetapi aku menambahkan, "Akan kuberikan yang kauinginkan. Tetapi hanya jika ada kau dan aku."
"Tidak!" kata Tobias. "Jaron, apa yang kaulakukan?"
"Menyelamatkan nyawamu." Aku kembali menoleh kepada Kippenger. "Jadi?"
Dia mengangguk pada Terrowic dan si penjaga jelek. "Salah satu dari kalian, bawa teman Jaron kembali ke penjara bawah tanah. Yang lain akan menunggu di sini sementara raja kecil ini dan aku bicara."
Tobias meneriakkan namaku ketika mereka melepaskan rantainya, tetapi aku bahkan tidak menoleh. Dia tidak perlu mengerti keputusan-keputusanku, atau menyukainya; itu adalah keputusan-keputusan yang harus kuambil.
Lama berselang di malam itu ketika Terrowic membawaku kembali ke penjara bawah tanah. Waktuku bersama Kippenger tidak berlangsung sebaik yang kuharapkan, dan pada saat itu, aku sudah lelah dan sangat kesakitan sehingga aku bahkan tidak bisa duduk ketika dia merantaiku kembali. Tobias memohon agar mereka memberi aku sup, tetapi Terrowic menolaknya. Bukan masalah. Aku juga tidak punya kekuatan untuk memakannya.
"Selama dia ditahan, kau bertanggung jawab atas nyawanya," Tobias memprotes. "Dia berhak mendapatkan kebutuhan dasar."
"Dia tidak berhak atas apa pun," Terrowic menjawab. "Jika rajamu menginginkan kebutuhan dasar, dia seharusnya memasukkan itu ke dalam perjanjiannya."
"Perjanjian apa yang dibuatnya?" Tobias berbalik kepadaku. "Jaron, perjanjian apa?"
"Aku memberitahu mereka semuanya." Diperlukan segenap kekuatanku untuk memaksa diri ke posisi duduk. "Yah, hampir semuanya. Aku memberi mereka sesuatu yang cukup untuk menegosiasikan pembebasanmu. Ketika aku melihatmu pergi dengan aman besok pagi, aku akan memberitahu mereka sisanya."
"Tidak! Jaron, jangan!"
"Apa lagi yang harus kulakukan?" aku balas berteriak. "Menonton sementara mereka menghukummu karena aku bungkam" Pada akhirnya mereka akan membuatku bicara, tetapi kau sudah meninggal pada saat itu. Setidaknya dengan jalan ini, kau akan hidup."
"Dan bagaimana denganmu?" dia bertanya.
"Mereka tidak akan melepaskanku," gumamku "Kau kan tahu itu. Apa pun imbalannya."
Kenyataan itu sangat menyedihkan, dan aku terpuruk di tembok batu dingin. Dia menatapku dengan ekspresi simpati yang lebih kubenci dibanding jika dia merasa kecewa terhadapku, atau bahkan marah. Aku berpaling darinya, tetapi hal itu tidak melindungiku dari merasa malang karena dikasihani.
"Katakan padaku kau tidak patah semangat," dia berkata. "Aku tahu pasti terasa seperti itu, tetapi kau dapat bangkit dari hal ini."
"Dari mana kau bisa tahu?" aku membentak. "Apakah kau menanggung beban seluruh kerajaan di bahumu" Apakah negara musuh memfokuskan seluruh kekuatan untuk menghancurkanmu?"
"Tidak." "Dan apa mereka mengambil seseorang yang kaucintai?" "Tidak, dia?" Lalu Tobias menyadarinya dan langsung berubah. "Jaron, apakah kau mencintai Imogen?"
Jika dia mengharapkan suatu pengakuan, dia tidak akan mendapatkannya. Aku berguling ke arah dinding dan menutup mata. "Aku mencintai semua orang yang telah diambil dariku. Jadi jangan katakan padaku kapan aku boleh menyerah."
BAB 14 TOBIAS seharusnya dilepaskan dini hari besok, tetapi ketika kupaksa diri bangun dari tidur nyenyak, dia berada di pengujung percakapan bisik-bisik dengan Komandan Kippenger. Setelah komandan pergi, aku bertanya pada Tobias apa yang mereka diskusikan.
"Aku regen dari pemerintahanmu," kata Tobias. "Hal itu memberiku nilai sebagai tawanan."
Ini bukan saatnya untuk menyombong. "Kau lebih berharga bagi Carthya kalau tetap hidup," kataku. "Kau seharusnya sudah berada dalam perjalanan ke sana."
"Aku setuju untuk tinggal, sebagai ganti bagi makanan yang layak dan selimut bagimu. Sebagai bagian dari perjanjianku, mereka juga membiarkan kau beristirahat hari ini."
Aku berharap cukup kuat untuk menolak tawaran itu dan memaksanya pergi, tetapi aku tidak bisa. Aku amat membutuhkan makanan pada saat itu dan hampir selalu mati rasa karena kedinginan. Jadi aku mengangguk. Bahkan jika aku tidak setuju dengan keputusannya, aku berterima kasih akan hal itu.
Makanan dibawakan tidak lama sesudahnya, tetapi dilakukan sebagai ejekan bagiku. Irisan daging tebal dan potongan roti besar disajikan dalam mangkuk perak berat yang pantas bagi seorang raja. Karena beberapa hari terakhir ini aku makan sangat sedikit, aku tahu daging itu akan terlalu berat bagi perutku. Aku mencoba menggigiti roti, tetapi terasa sama tidak enaknya di perutku.
Aku menendang mangkuk itu ke arah Tobias. "Kau sebaiknya makan ini."
"Tidak," katanya, menendangnya kembali. "Jaron, ini untukmu."
"Aku tidak bisa memakannya, dan mereka tahu itu." Aku mengoperkan mangkuk itu kepadanya lagi. "Diperlukan usaha yang besar untuk mendorong ini kepadamu, jadi tolong ambil ah."
Dia meraih mangkuk itu, tetapi hanya menatapnya. "Aku membuat perjanjian dengan mereka. Bukan ini yang kuinginkan."
"Aku mendapat selimut, dan cukup. Sekarang makanlah. Setidaknya salah satu dari kita membutuhkan tenaga." Makanan itu tercium sangat lezat sehingga memperbaharui semua pedihnya rasa lapar di tubuhku. Jadi kubungkus diri dalam selimut dan berbaring untuk tidur.
Aku tetap dalam posisi itu sampai sore ketika Kippenger datang ke penjara bawah tanah dan mengumumkan bahwa Raja Vargan telah kembali untuk berbicara denganku. "Kau berjanji untuk menjawab sisa pertanyaan-pertanyaan kami," katanya. "Raja ingin menanyakannya sendiri."
Aku bahkan tidak membuka mata untuk menjawab. "Aku berjanji hanya kalau Tobias pergi dengan selamat."
"Dia masih berada di sini karena perjanjian yang dibuatnya atas namamu! Sekarang berdirilah. Raja Vargan mengulurkan persahabatan denganmu. Dia mengundangmu untuk minum teh bersamanya."
Teh itu menarik bagiku, tetapi aku tidak tertarik dengan jenis persahabatan yang ditawarkannya.
Terrowic kembali, dan kali ini dia membawa mantel seragam hitam bergaris merah, mirip dengan seragamnya sendiri. Aku melihatnya, tetapi tetap bungkam. Aku perlahan berdiri, terutama untuk menghindari tendangan-tendangan yang diberikannya kepadaku dengan murah hati.
Dengan tatapan tajam di wajahnya, Terrowic mulai membuka besi-besi yang mengikatku ke dinding. Lalu dilemparkannya mantel itu ke arahku. "Pakai itu."
"Memakai warna Avenia di tubuhku" Kau pasti bercanda. Ambilkan aku yang lain."
Dia menunjuk Tobias, yang duduk bergeming di sudut penjara bawah tanahnya. "Kalau kau tidak mau, aku bisa mematahkan tangannya."
Takhta Bayangan The Shadow Throne Karya Jennifer A. Nielsen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau kan bisa bilang "tolong. Kau tidak punya pikiran lain selain kekejaman, ya?" Aku meraih mantel itu, kemudian mengulurkannya kepada Terrowic. "Aku seorang raja dan kau seorang pelayan. Kau seharusnya membantuku berpakaian."
Terrowic hampir memukulku lagi, tetapi Kippenger meraih lengannya lebih dulu. "Kau hanya bau busuk bagi kami. Pakai itu.
Sambil mendesah, aku mengenakan mantel itu di bahu. Aku tidak mau repot-repot mengencangkan ikat pinggang, tetapi Kippenger menariknya erat-erat bagiku, kemudian menyuruh agar pergelangan tanganku dirantai lagi. Aku menyatukannya tanpa melawan. Begitu aku terikat, Terrowic menyuruhku mengikutinya.
"Aku tidak bisa berjalan," kataku. "Kau seharusnya tahu itu. Kau yang paling keras memukulku."
Kalau mereka tidak menyukaiku ketika aku tidak merespons, sekarang jelas aku tidak mendapatkan teman baru. Kippenger mendengus dan menyuruh tentaranya menggendongku ke Vargan.
"Aku tidak akan melakukannya. Dia bisa berjalan dengan baik."
"Aku melihat bagaimana kau memperlakukannya kemarin. Bahkan jika dia bisa berjalan, dengan semua memar itu akan makan waktu satu jam untuk membawanya ke sana. Angkat dia."
Dengan kelembutan yang dapat diharapkan seseorang dari seekor anjing bulldog ganas, Terrowic melemparkan aku ke babunya. Saat itulah aku akhirnya menyadari kesempatanku. Kami belum lagi keluar penjara ketika aku mendapatkan kuncikunci dari pinggangnya dan menyusupkannya ke lengan mantelku.
Raja ditempatkan di bangunan bata yang dibangun terburuburu tetapi didekorasi elegan dengan tiga anak tangga mengarah ke pintu masuk. Tentara itu menjatuhkanku ke lantai di depan jalan masuk dan memberitahuku untuk berjalan dari sana atau kakiku akan diseret. Aku berdiri, tetapi langsung tersungkur ke anak tangga kedua. Itulah kesempatanku untuk membuat kunci-kunci itu jatuh ke dalam mantel, tertahan oleh ikat pinggang yang kencang. Sebelum dia mendapat kesempatan untuk menendang, aku berdiri lagi dan terpincang-pincang ke atas. Bagian itu bukan akting. Berjalan sungguh-sungguh nyeri.
Vargan duduk di sisi meja kayu yang kelihatannya tidak cocok untuk seseorang yang mengenakan begitu banyak perhiasan kerajaan. Kali ini tanpa kacamata, tetapi ada dua tanda merah pada kedua sisi hidungnya, mengindikasikan dia baru saja memakainya. Dan dia menyisir rambut kelabunya lurus ke bawah hari ini, yang membuatnya terlihat bahkan lebih tua daripada biasanya. Setidaknya, sepuluh tahun setelah kematiannya.
Seluruh bagian belakang ruangan itu ditutupi tirai dengan bordir berat yang melambai sampai ke lantai. Sejenak aku bertanya-tanya ada apa di baliknya, lalu memutuskan aku tidak terlalu peduli. Vargan dikelilingi setidaknya dua puluh tentara bersenjata lengkap, mereka masing-masing merupakan gudang senjata. Aku ingin percaya dia membutuhkan begitu banyak perlindungan dari muslihat-muslihatku, tetapi aku tidak punya muslihat yang tersisa. Baik tenaga maupun keinginan untuk melawan sudah surut. Seekor anak kucing bisa menjaga Vargan dariku.
Ketika aku masuk, dia memberi tanda ke kursi di seberang meja, mengundangku untuk bergabung dengannya. Aku berdiri di tempat sampai para tentara yang dekat di belakangku mendorongku maju. Aku beringsut ke meja dan, tanpa melihat kepadanya, menjatuhkan diri dengan keras ke kursi.
Vargan memperhatikanku dengan ekspresi jijik dan akhirnya menawarkan sepiring roti dan irisan keju yang telah disiapkan di antara kami. Dia menungguku untuk menatapnya, dan kuberi dia perlakuan terbaik sebisaku, sebagian besar yang kuperbuat, mengumpulkan ludah di dalam mulut, kalau-kalau dia mencondongkan badan lebih dekat.
Sebaliknya, Vargan duduk bersandar kembali di kursinya.
"Malam ini, Avenia akan mulai berbaris ke Carthya. Terima kasih untuk informasi yang kauberikan kepada komandanku kemarin. Aku tahu persis harus menyerang di mana, dan bagaimana. Aku punya seratus orang untuk setiap satu orangmu. Setiap orang yang melawanku akan mati."
Mataku bergerak cepat ke arahnya, kemudian kembali ke meja. Tidak lebih.
Hal itu membuatnya marah, dan dia menjadi lebih lantang. "Tidakkah kau peduli apa yang terjadi di luar sana" Terhadap negerimu, rakyatmu?"
Tentu saja aku peduli. Kalau dia menatapku dan hanya melihat bekas-bekas luka di dagingku dan nada tak peduli suaraku, dia tidak tahu apa-apa tentang siapa aku sebenarnya. Siapa aku selama ini.
"Kau membuat perjanjian dengan komandanku, dan kau berutang beberapa informasi kepadaku. Namun demikian, kita berdua tahu begitu kau memberitahuku, tidak akan ada lagi alasan untuk membiarkanmu hidup." Vargan mencondongkan badan saat itu, tetapi terlambat. Aku telah menelan ludah itu. "Jadi, aku mengajukan tawaran kepadamu. Bekerja samalah denganku untuk mengakhiri perang ini. Bersama-sama, kita akan menyelamatkan ribuan nyawa, termasuk nyawamu sendiri."
Dia terdiam sehingga aku dapat memberinya respons. Aku bahkan menolak untuk berkedip.
Jadi dia melanjutkan, "Carthya akan menjadi jajahan Avenia. Aku akan menjadi kaisar di daerah ini. Kau akan tetap menjadi raja, namun tunduk terhadap peraturanku. Kita dapat menegosiasikan persyaratan-persyaratan untuk negara jajahan, untuk ditukar dengan perdamaian di antara kita." Jeda lagi, lalu dia berkata, "Aku tahu kau tidak ingin mendengar semua ini, tetapi aku memeperingatkanmu pada malam pemakaman keluargamu. Kau bisa mendapatkan perdamaian dariku saat itu"aku tidak meminta banyak. Tetapi kau mengabaikan peringatan-peringatanku, kau mempermainkan kesetiaan para perompakku. Kau malah memperburuknya."
Meski semua ini terjadi, aku tersenyum sedikit. Memperburuk keadaan merupakan salah satu dari sedikit bakatku.
"Aku telah menunjukkan kemampuanku untuk mengambil apa saja yang kuinginkan darimu, dan aku akan mengambil Carthya juga, kalau perlu. Tetapi aku jauh lebih suka kita meraih kesepakatan. Dengan tanda tanganmu pada sebuah perjanjian, takkan ada keraguan tentang perjanjian di antara kedua negara kita."
Kali ini ketika aku tidak menjawab, Vargan mencondongkan diri cukup dekat untuk menyentuhku. Aku memalingkan wajah, tetapi dia mencubit pipiku dengan jemari gendutnya dan memaksaku melihat menatapnya. "Aku menawarkanmu perdamaian, dan kesempatan untuk hidup. Ini satu-satunya cara kau meninggalkan kamp ini hidup-hidup."
Dia cukup dekat sekarang sehingga ketika aku meludah, mengenainya persis di mata. Aku membidik pipinya, namun ini lebih baik.
"Kalau aku tidak peduli dengan nyawaku sendiri," aku berkata pahit, "bayangkan saja bagaimana perasaanku terhadap hidupmu."
Dia menyumpah dan menamparku cukup keras untuk hampir menggulingkanku dari kursi, tetapi aku tidak peduli. Hinaanku lebih buruk.
"Kusuruh kau untuk membuatnya rendah hati," Vargan berkata kepada orang-orangnya. "Apakah dia terlihat rendah hati?"
Kalau mau berbuat adil pada para tentaranya, sebelum aku meludahi raja mereka, aku mungkin terlihat cukup rendah hati. Tetapi artinya akan ada banyak hukuman yang menantiku. Meludahinya layak untuk itu.
Vargan mulai bebicara tentang hal lainnya, namun Kippenger telah menunggu di depan bangunan dan melesat ke dalam. Dia membungkuk cepat kepada Vargan, lalu berkata, "Maafkan saya, Yang Mulia, tetapi seorang diplomat datang dari Carthya, menanyakan tentang kematian Raja Jaron. Dia memohon untuk bertemu dengan Anda sekarang."
Kepalaku menoleh cepat. Diplomat apa"
Terrowic segera berada di samping kursiku dan meletakkan sebilah pisau di leherku.
"Bawa dia ke balik tirai dan jaga agar dia tidak bersuara di sana," Vargan memerintahkan. "Aku ingin raja kecil ini mengerti dengan jelas apa yang dipertaruhkan jika dia tidak bekerja sama."
Dibawah todongan pisau, dua tentara lainnya menyeretku ke ujung ruangan dan ke balik tirai. Di sana tidak ada apa-apa kecuali tumpukan peti perlengkapan perang. Terrowic membisikkan lagi apa yang akan dia lakukan kalau aku bersuara, dan kedengarannya tidak begitu menyenangkan. Tetapi tidak akan ada kesulitan dariku. Melebihi perasaan orang lain di ruangan ini, aku hanya ingin tahu siapa yang datang.
Ternyata, aku pasti akan mengenali suara itu dari kejauhan, dan aku berharap itu orang lain.
"Raja Vargan, aku membawa salam duka dari kerajaan
Carthya, tempat rakyat kami sedang berkabung. Sebagai tugasku kali ini, aku datang untuk meminta jenazah raja kami, Raja Jaron." Suara Harlowe.
Aku ingin berteriak, untuk memberitahunya aku berada sedekat ini dan jauh lebih hidup dibandingkan apa yang diduga orang lain. Tetapi aku tahu apa yang akan terjadi pada kami berdua bahkan jika aku hanya berdeham.
Untuk alasan-alasan yang tidak dapat kumengerti, Harlowe dengan sukarela berjalan ke cengkeraman orang Avenia. Dan sekarang, kalau aku tidak bekerja sama, Vargan juga akan mengambilnya dariku.
BAB 15 VARGAN mengambil kesempatan baru ini seperti seekor ular menyambar tikus. Dia akan memaksaku bertindak, tetapi aku tidak tahu bagaimana mengatasinya. Akan cukup sulit untuk Tobias dan aku untuk pergi dari sini. Sekarang Harlowe juga" Berapa banyak lagi anggota kerajaanku yang akan berkumpul di penjara bawah tanah itu" Aku tidak ingin ditemani mereka, tidak di sini, dan tak peduli seberapa keras usaha mereka untuk menolongku, tidak mempermudah keadaan.
Kunci rantaiku masih tersembunyi di dalam mantel, tetapi aku tidak punya kesempatan bebas sebelum salah satu dari banyak penjaga di sini membunuhku, dan Harlowe target berikutnya. Jadi aku berdiri dalam hening dan menurut sepenuhnya. Untuk saat ini.
"Kau ingin mendapatkan jenazah Jaro n?" kata Vargan kepada Harlowe. "Untuk apa?"
"Gelarnya Raja Jaron," Harlowe menjawab tenang. "Dan sewajarnya, kami berharap untuk memakamkannya, menurut tradisi-tradisi Carthya."
Vargan membiarkan kesunyian lama berbalu, mungkin dalam usahanya untuk mengintimidasi regen utamaku. Yah, dia dapat menatap Harlowe selama mungkin, tetapi aku tahu Harlowe tidak akan berkedip.
Akhirnya, Vargan menyerah dan berkata, "Sayang sekali Jaron sudah meninggal. Kalau tidak, aku akan menawarkan kesempatan untuk bertukar tempat, memberikan nyawamu sebagai gantinya."
"Dan aku akan menerimanya," Harlowe berkata.
"Ya, tetapi apakah Jaron akan mengizinkanmu melakukannya?" Tawa Vargan kejam dan kasar. Dia berbicara kepada Harlowe, tetapi pesannya ditujukan padaku. "Akankah dia membiarkanmu meninggal untuk menyelamatkan dirinya sendiri?"
"Aku akan mendesaknya," Harlowe berkata. "Kalau Jaron ada di sini, aku akan memohonnya untuk mencari cara agar tetap hidup, bahkan dengan mengorbankanku."
"Dan seandainya dia di sini," Vargan berkata, "aku akan menawarkan cara untuk menyelamatkan kalian berdua. Bawa dia keluar!"
Para penjaga di sampingku mendorongku dari balik tirai ke dalam aula besar. Aku tidak siap untuk bergerak begitu cepat, jadi walaupun keadaanku tidak baik, terhuyung-huyung ke dalam ruangan mungkin membuat kondisiku terlihat lebih buruk. Harlowe berdiri lebih tegak ketika melihatku, tetapi ekspresi di wajahnya adalah kesedihan mendalam, bukan terkejut. Aku mencoba untuk mengerti. Tentunya, dia sudah mengetahui selama ini kalau aku masih hidup, tetapi bagaimana caranya" Harlowe segera meninggalkan kursi dan membungkuk di kakiku, tindakan yang membuat Vargan berang.
"Kau akan menyembab kepadaku sebelum semua ini berakhir!" Vargan menggeram. "Kalian berdua akan menyembahku!"
Harlowe berdiri lagi dan dalam kemarahannya kelihatan telah menjadi lebih besar, jauh lebih tinggi daripada Vargan. Dia memberikan tanda kepadaku dengan tangannya. "Lihat dia, penderitaan yang jelas-jelas dialaminya di sini! Jika kau mengizinkan perlakuan seperti itu terhadap seorang raja, kau tidak layak meminta apa pun darinya!"
"Dia secara ilegal memasuki Avenia dan menyerang kamp ini," Vargan menyahut. "Itu tindakan seorang raja atau seorang tentara bayaran" Jaron tahananku, dan percayalah, dia menerima jauh lebih banyak kebaikan daripada yang layak didapatnya."
Harlowe melangkah maju untuk melanjutkan perdebatan, tetapi aku menggumamkan namanya untuk mendapatkan perhatiannya. Sembari menggeleng, aku berkata, "Pulanglah, sekarang, selagi bisa, dan biarkan aku menangani keadaan di sini. Katakan pada orang-orang aku tidak apa-apa."
"Tetapi kau tidak demikian," kata Harlowe. "Aku tidak akan pergi dari sisimu."
Vargan terkekeh. "Kata-kata mulia dari kalian berdua, mengenai pilihan yang tidak kalian miliki." Dia menelengkan kepalanya sebagai perintah bagi para penjaganya untuk mendekati Harlowe. Mereka menarik lengannya ke belakang dan hampir saat itu juga memasangkan rantai yang mirip dengan rantaiku.
"Raja Jaron, persis sebelum regenmu tiba, aku baru saja akan memberikan perintah-perintah yang berhubungan denganmu. Kau bisa menduga perintahnya apa?"
"Kau ingin membebaskanku, untuk menyelamatkan dirimu dari rasa malu setelah aku melarikan diri."
Matanya menyipit. "Aku hendak memerintahkan eksekusimu. Tetapi aku menyarankan kita mulai dengan regen utamamu saja. Regenmu yang lebih muda akan menyusul."
"Tidak!" "Maka lakukan seperti yang kukatakan! Tanda tangani kertas-kertas yang membuat Carthya negara jajahan Avenia."
Aku melirik Harlowe, tetapi tidak bisa membaca ekspresinya. Dia harus tahu aku tidak dapat menandatanganinya.
Dengan isyarat dari Vargan, orang yang memegang Harlowe menarik pisau dan menempelkan pisau itu di lehernya. Harlowe memiringkan kepalanya untuk menjauh, tetapi matanya menatapku. Mata itu tenang, atau setidaknya, lebih damai daripada yang kurasakan.
Kemudian Vargan berkata, "Kau akan melihatnya mati, Jaron, di sini sekarang. Dan kau akan tahu bahwa semua ini dapat dicegah kalau saja kau mau tunduk padaku!"
Aku tetap tidak merespons. Akhirnya Vargan berkata, "Bunuh dia."
"Aku perlu waktu!" teriakku. "Raja Vargan, kau meminta segalanya dariku. Setidaknya kau bisa memberiku satu jam berdua saja dengan kedua regenku untuk mendiskusikan proposalmu. Aku butuh saran mereka." Vargan terlihat tidak yakin, tetapi aku menambahkan, "Aku berjanji untuk menggunakan sebaik mungkin waktu yang diberikan."
Vargan menyuruh kami pergi, kembali ke penjara yang sama tempat aku dikurung sebelumnya. Para penjaga membawaku pergi lebih dahulu, Harlowe tidak jauh di belakang. Terrowic, yang kuncinya kucuri, tiba-tiba mulai menepuk-nepuk mencarinya.
"Aku kehilangan kunci-kunciku," dia berkata kepada penjaga lain yang bersamaku.
"Lagi" Raja akan memancung lehermu kalau dia tahu." "Penjaga-penjagaku tidak pernah kehilangan kunci-kunci mereka," gumamku. "Di Carthya, kami tidak sebodoh itu."
Dia menancapkan jemarinya lebih dalam di lenganku dan mempercepat langkah. Aku hampir kehilangan pijakan dengan kecepatan yang bertambah, tetapi berhasil mengikutinya. Aku tidak mau tersungkur lagi dan membuat Harlowe cemas. Dia kelihatannya sudah cukup senewen.
Hanya ada dua set rantai terpasang di dinding. Tobias masih terikat pada yang satu, dan ketika aku berjalan bersama Harlowe, dia terduduk kaget tetapi tidak berkata apa-apa. Mereka mengembalikanku ke rantai satunya. Dengan tidak adanya alternatif lain, Harlowe dibawa ke sudut dan diperintahkan untuk duduk tak bergerak. Cukup berpuas diri karena mendapatkan tambahan anggota kerajaan, para penjaga melipat lengan mereka dan berdiri memunggungi tembok.
"Kami tidak akan bicara sepatah pun sampai kalian pergi," kataku. "Raja kalian menjanjikan kami satu jam privasi untuk mendiskusikan proposalnya. Kalian mau menjelaskan keterlambatan itu, atau aku?"
Penjaga-penjaga itu saling memandang, kemudian keluar. Ketika aku yakin mereka sudah pergi, aku segera bertanya pada Harlowe, "Dari mana kau tahu aku masih hidup?"
"Mott tetap bersembunyi dekat kamp selama ini, tetapi dia sama sekali tidak dapat mendekatimu. Kami tidak tabu mengenai Tobias, tetapi aku senang dia berada di sini untuk membantumu."
"Aku akan melakukan lebih banyak baginya, kalau bisa," kata Tobias.
Harlowe tersenyum kepadanya. "Dan untuk itu, kau mendapatkan terima kasih dari seluruh kerajaan." Kemudian dia berbalik kembali kepadaku. "Kami tidak bisa menyelamatkanmu, jadi kami memutuskan untuk memaksamu menyelamatkan diri sendiri."
"Kalau aku bisa melarikan diri, aku sudah melakukannya. Kau mengorbankan diri dengan sia-sia!"
"Aku tidak mengorbankan diri, Yang Mulia. Kita semua akan melarikan diri dari sini dengan selamat. Aku mengenalmu cukup baik untuk tahu kapan pikiranmu sedang bekerja. Sekarang, beritahu aku rencanamu."
Rencana terakhirku berujung dengan kematian Imogen. Aku sulit percaya bisa berbuat lebih baik bagi Harlowe dan Tobias kali ini. Namun demikian, tidak berbuat apa-apa hasilnya sudah jelas bagi kami semua. Sesuatu harus terjadi.
Walaupun harus sedikit bermanuver, aku berhasil mengambil kunci dari mantel dan membebaskan diri. Kemudian aku membebaskan Tobias, yang merayap ke Harlowe dan berupaya melepaskan rantainya.
"Dapatkah kalian bertempur?" aku bertanya. "Aku khawatir tidak akan dapat banyak membantu kalian dalam bidang ini." "Kau kan tabu kemampuan bertempurku," kata Tobias. "Tetapi aku akan melakukannya sebisaku."
"Kalau begitu aku akan cukup kuat bagi kita semua," Harlowe berkata.
Ketika para penjaga kembali satu jam kemudian, kami kembali ke tempat kami, terikat ke dinding. Atau setidaknya, rantai-rantai itu melingkari pergelangan tangan kami, tetapi tidak terkunci.
Begitu mereka masuk, aku bertanya kepada Terrowic. "Apakah kau menemukan kunci-kuncimu?"
Dia mengerutkan sebelah sisi mukanya dan bergerak lebih jauh ke dalam sel. "Mengapa?"
"Karena kalau para tahanan menemukannya, kau akan mendapat masalah besar."
Kemudian dia mengerti. Dia menyerangku, tetapi aku berguling dan dia menabrak tembok. Dari tempatnya dia bersembunyi di balik pintu, Tobias melompat ke depan dan mengayunkan rantai yang dipakainya ke kepala penjaga. Dengan suara berderak keras, Terrowic tersungkur ke tanah, tidak sadarkan diri.
"Kau lihat itu?" tanya Tobias. "Aku melakukannya!"
Harlowe dengan cepat membantu Tobias melucuti senjata orang itu, dan Tobias memasangkannya di atas pakaiannya.
Kami mulai bergerak ke pintu, tetapi langkah-langkah kaki terdengar turun ke arah kami dari penjaga-penjaga lain yang mendengar keributan. Kami terperangkap.
BAB 16 PENJAGA-PENJAGA itu mulai mengisi ruang penjara bawah tanahku. Aku mulai bergerak ke tengah-tengah mereka, tetapi Harlowe mendorongku mundur. Kemudian, jauh dari atas tangga, kami mendengar tubuh-tubuh berjatuhan. Tertegun, orang-orang yang memasuki sel merupakan mangsa empuk bagi Harlowe, yang memegang pedang Terrowic. Beberapa saat kemudian, Mott melesat melalui pintu dengan pedang pendek di satu tangan dan pedang panjang di tangan lain. Dia mengenakan helm sama seperti serdadu-serdadu Avenia yang lain, dan berpakaian dalam mantel hitam dan merah sama seperti yang kukenakan, walaupun tanpa ikat pinggang.
Dia melihat Tobias lebih dahulu dan menaikkan alisnya terkejut. Tetapi kemudian dia melihatku dan merengut. "Apa yang mereka lakukan terhadapmu?" Sebelum aku dapat menjawab, dia teringat urusannya dan berkata, "Kita tidak bisa lama-lama. Ayo pergi."
Tobias dan aku menunduk dan menyambar helm-helm dan belati dari dua orang yang terkapar. Kami tidak punya waktu untuk menyamarkan Harlowe, tetapi aku berharap dengan seragam-seragam dan senjata-senjata kami akan terlihat bahwa kami para penjaga mengawal dia sebagai tahanan.
Begitu di luar penjara bawah tanah, Mott membantuku ke atas kuda yang diikatnya dekat sana, kemudian memanjat naik ke depanku dan menyuruhku tetap menunduk. Dia punya kuda kedua untuk Harlowe, yang melompat ke sadel dengan kelincahan yang tidak kuduga dimilikinya. Tobias berkuda di belakangnya, dan bahkan mengulurkan belatinya supaya terlihat seolah Harlowe adalah tahanannya. Hebatnya, hampir tanpa diperhatikan tentara-tentara lain di sekitar situ, kami berkuda pergi.
Mott tidak membawa kami ke arah pintu masuk utama kamp, melainkan, ke arah rawa-rawa. Kami melintasi beberapa tenda, tetapi jumlah tentaranya lebih sedikit daripada yang kuharapkan. Kemudian di suatu tempat di belakang kami, kamp itu tiba-tiba menjadi sibuk dan aku tahu lenyapnya kami telah disadari. Mott hanya berkuda lebih cepat, berusaha mendahului sinyal untuk mencariku tanpa menarik perhatian ke arah kami.
Kami berhenti di area yang sepi dekat rawa-rawa tempat tanah sudah berlumpur serta alang-alang dan kiambang tumbuh tebal dan lebat. Mott melompat turun dari kuda, lalu menarikku ke pelukannya. Aku mendesak bahwa aku dapat berjalan tetapi dia terus menggendongku lebih dalam ke air dan menurunkanku ke perahu kecil yang tersembunyi di sana. Harlowe dan Tobias memanjat naik di belakang kami dan pengemudi perahu itu segera memerintahkan dua pendayung agar cepat beraksi. Aku melihat salah satu dari mereka menggunakan dayungnya untuk memukul sesuatu sebelum kami bergerak. Kalau kami beruntung, itu hanya seekor ular.
Mereka menyampirkan selimut tebal di bahuku dan Harlowe membawaku ke tempat duduk di tengah perahu sementara kami tanpa suara menjauhi tepian. Berlutut di depanku dalam perahu, Harlowe menyelipkan kaus kaki wol dan sepatu bot kulit ke kakiku dan bertanya apa aku memiliki luka yang harus segera ditangani. Ketika aku menggeleng, dia menyodorkan botol minuman dan menyuruhku meminumnya pelan-pelan. Teh panas itu seperti obat bagi sedikit energi yang masih mengalir dalam tubuhku. Cairan itu mengandung bau pahit belerang yang menguap dari rawa-rawa, namun aku tak peduli. Aku meminumnya penuh syukur sementara Harlowe duduk diam di sampingku. Tobias berada di suatu tempat di belakang kami, mengawasi seandainya ada yang mengikuti.
Malam datang lebih cepat di dalam rawa-rawa, atau setidaknya terlihat seperti itu. Tanaman-tanaman di atas air begitu lebat di beberapa tempat sampai sering memaksa kami untuk mundur dan mencari jalur yang lebih lapang. Bau busuk membuat mual, tertahan pohon-pohon tinggi yang memadati tepian. Ketika kami cukup jauh ke utara dari kamp Vargan, pengemudi perahu memerintahkan agar lampu-lampu ditempatkan di depan perahu, namun hal ini hanya membuat bayangan-bayangan lebih mengerikan dan air hitam itu terlihat lebih dalam. Aku berpaling darinya dan mengubur diri semakin dalam di selimut.
"Kau kedinginan, Yang Mulia?" Harlowe meraba-raba bagian belakangnya dalam perahu. "Kita masih punya selimut."
"Aku baik-baik saja. Tidak perlu apa-apa lagi." Ketika mata kami bertemu, aku menambahkan, "Terima kasih, atas perbuatanmu tadi."
"Berterima kasihlah kepada Mott. Ini idenya."
Aku berbalik untuk menatap Mott, yang sedari tadi mengawasiku. Aku mengangguk kepadanya, usaha yang lemah untuk mengomunikasikan rasa terima kasih yang kurasakan. Senyum balasannya untukku muram.
"Dua orang yang membantuku memasuki kamp," aku menggumam. "Keduanya pemanah?"
"Mereka tidak lolos," kata Mott. "Maaf, Jaron."
Jadi Vargan mengatakan yang sebenarnya tentang nasib mereka. Mendengar berita itu lagi tidak mengurangi kesedihan yang kurasakan atas kehilangan mereka, atau penyesalanku karena aku tidak berhasil mendapatkan lebih banyak hal dengan dikurbankannya nyawa mereka.
Mustahil untuk melihat apa pun melampaui cahaya lentera, tetapi aku menduga tidak banyak yang layak dilihat. Kucoba mengabaikan derakan dan erangan yang memberikan kehidupan kepada rawa-rawa ini dan meminum teh lagi. Aku sudah lama tidak mendapat makanan yang memadai, perutku mengalami masalah dengan cairan itu. Tetapi teh itu memberi kehangatan yang amat dibutuhkan tubuhku, jadi aku melanjutkan minum dari botol itu.
"Aku berharap kau dapat melihat tempat ini bawah terangnya matahari," Harlowe berkata. "Mungkin kau bisa memberitahuku apakah tempat ini sejelek yang selalu kupikirkan."
Sudut mulutku naik. Baru sedikit yang kulihat dari rawarawa ini, tetapi bau yang kuhirup lebih banyak daripada yang kuinginkan. Aku sudah punya opini mengenainya.
"Keluargaku selalu tinggal di sini," Harlowe melanjutkan, "tetapi begitu dewasa, aku ingin pergi, membangun rumahku sejauh mungkin dari tempat jelek ini. Aku sempat pergi beberapa lama, dan bertahun-tahun lalu dalam perjalananku aku bertemu gadis cantik bernama Havanila. Dia merasa Libeth membutuhkan kami, dan mendesak ada keindahan dalam rawa-rawa. Seperti itulah dia"seseorang yang hanya melihat keindahan di sekelilingnya."
"Havanila. Aku tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya."
"Dari dia cucu perempuanku mendapatkan namanya." Harlowe kembali merenung, kemudian berkata."Aku kehilangan Havanila yang kucintai tahun lalu, terlalu cepat."
Aku menghirup teh itu lagi. Jelas dari nada suaranya betapa dia mencintai Havanila. Betapa dia masih mencintainya. Aku bertanya-tanya mana yang lebih buruk: mencintai seseorang yang meninggal terlalu cepat. Atau tidak pernah jatuh cinta sama sekali.
"Meninggal karena apa?" Lebih dari ingin tahu, pertanyaan itu dimaksudkan untuk mengalihkan pikiranku.
Kerutan di wajah Harlowe semakin dalam saat dia mempertimbangkan jawabannya. Akhirnya dia berkata, "Kurasa karena sedih. Kau tahu kan, telah terjadi tiga kehilangan dalam keluarga kami. Kau mengetahui kematian putra sulungku, Mathis, beberapa bulan lalu. Mungkin aku belum memberitahumu, teapi kau sedikit mengingatkanku kepadanya. Ada sedikit kesamaan fisik, tetapi kemiripannya sebenarnya ada pada karaktermu. Seperti kau, dia selalu keras kepala dan tidak mau kalah, serta sulit diatur. Terlepas dari tantangan-tantangan itu, aku sangat menyayanginya."
Aku teringat akan ayahku sendiri, perjuangan tiada henti dengan usahanya untuk mengontrol, membentuk, dan membuatku melihat dunia melalui matanya. Dan aku, menolak semua itu, setiap kalinya. Aku ingin percaya bahwa terlepas dari kesulitan-kesulitan yang kuberikan baginya, dia mencintaiku sama seperti Harlowe mencintai anaknya.
Harlowe melanjutkan. "Kau mungkin tidak tahu, tetapi Mathis punya adik laki-laki. Ketika dia masih bayi, dia diculik pengasuhnya, seorang wanita Avenia yang meminta tebusan besar sebagai gantinya. Aku hendak membayarnya, tetapi tidak pernah mendengar kabar wanita itu lagi. Saat itu musim dingin sangat buruk"mungkin mereka berdua tidak selamat ketika melarikan diri. Istriku tidak pernah benar-benar pulih dari kehilangan itu; aku yakin duka itu akhirnya membuatnya meninggal. Tetapi aku menghibur diri bahwa jika dia tidak bisa bersamaku, setidaknya dia bersama anak-anakku sekarang di dunia lain."
"Kau percaya akan adanya surga, kalau begitu?" tanyaku.
Matanya tetap menatapku. "Aku tahu surga itu ada. Keluargaku menungguku di sana."
Seperti keluargaku menantikanku.
"Kurasa aku menceritakan ini kepadamu karena walaupun aku tidak akan pernah bercita-cita menjadi raja, kadang-kadang aku menganggapmu anakku sendiri. Aku harus pergi mencarimu ke kamp itu, karena aku tidak akan bertahan kalau kehilangan kau juga."
Tidak ada respons yang melintas di benakku, jadi aku hanya mengencangkan selimut lagi. Setelah istirahat panjang, aku bertanya tentang perkembangan berita dari perang ini.
"Belum ada kabar dari Kerwyn," Harlowe berkata. "Mari kita berharap itu berarti dia terus berupaya dengan Raja Humfrey dari Mendenwal, dan tidak ada yang memburuk."
"Pasukan mereka menembus perbatasan kita tiga hari lalu," kataku. "Mereka masuk melalui pertahanan kita dekat Benton dan bergerak ke utara."
Harlowe tampak terkejut. "Ya, mereka membawa ribuan tentara, jumlah yang tidak akan bisa dilawan Carthya. Tetapi dari mana kau mengetahuinya?"
"Tidak ada yang berpikir aku bisa kabur dari kamp," jawabku. "Mereka tidak selalu berhati-hati seperti yang seharusnya ketika berbicara di dekatku. Aku tahu jauh lebih banyak daripada yang diduga Vargan. Yang aku tidak tahu adalah rencana Mendenwal setelah mereka ada di sini."
"Aku mungkin bisa membantu dalam hal itu," Harlowe menawarkan. "Salah satu dari mata-mata kita mencegat pesan dari Mendenwal untuk Avenia. Sebagian besar tentara Mendenwal berkemah di Danau Falstan, di sana mereka akan menunggu instruksi selanjutnya dari Avenia."
"Kalau begitu kau juga harus mengirim lebih banyak pasukan kita ke Danau Falstan. Kita memiliki kamp yang bagus di dataran tinggi di atas danau."
"Kita tidak punya cukup tentara untuk memenangi pertempuran di sana, Tuan."
"Pertempuran itu tidak akan mengandalkan jumlah. Dan tak seorang pun boleh bertindak sampai aku tiba di sana."
Tobias, yang sedang mendengarkan, memotong. "Kau yakin, Jaron" Kau sekarang mungkin memiliki informasi tentang Avenia. Tetapi mereka juga tahu lebih banyak tentang kita. Dalam tawar-menawarmu dengan Komandan Kippenger, kau memberitahunya semua strategimu."
Aku berputar cukup jauh untuk menyeringai kepadanya.
"Benarkah" Untuk apa aku berlatih berbohong selama hidupku, kalau bukan untuk saat itu?"
Tobias terkekeh. "Kau memberi mereka rencana palsu?" "Apakah itu tuduhan, Tobias" Apakah kau meragukan bahwa aku akan mengubur kekayaan Carthya dalam gua-gua rahasia di perbukitan Benton?"
"Tidak ada bukit-bukit di sekitar Benton," kata Tobias. "Gua-gua juga tidak ada."
Aku menaikkan alis. "Mungkin itu yang membuat mereka begitu rahasia. Apakah kau meragukan bahwa aku melebur pedang-pedang para prajurit kita dan menggunakan logamnya untuk persenjataan" Atau bahwa aku berusaha berdamai dengan Mendenwal dengan menawarkan anakku nanti kepada raja mereka" Kau percaya" Karena Kippenger tidak meragukannya sama sekali. Aku tahu banyak mereka, tetapi mereka tidak mendapatkan apa-apa dari kita."
Sementara yang lain tertawa, Harlowe melanjutkan percakapan kami tadi. "Kami dapat mengantarmu ke Danau Falstan, kalau kau mau. Tetapi aku memintamu untuk beristirahat dulu sekarang."
"Aku akan beristirahat dalam perjalanan ke sana. Pastikan kalau diketahui dengan luas di seluruh Carthya bahwa aku masih hidup, dan aku akan berada di Danau Falstan."
"Kalau aku mengirimkan berita itu, musuh-musuh kita akan mendengarnya juga," Harlowe memperingatkan.
"Aku berharap begitu. Tetapi aku tidak akan langsung berada di sana. Ada sesuatu yang harus kulakukan terlebih dahulu." Aku berbalik dan bertanya kepada Mott, "Apakah kita membawa senjata?"
Mott meraih ke depannya di perahu dan menarik pedangku dan sarungnya. "Aku berhasil mengambil ini ketika mereka menyimpannya di gudang beberapa malam lalu" Aku mengulurkan tangan untuk meraihnya, tetapi dia hanya menurunkan lagi ke dekatnya. Biasanya, aku akan memaksa untuk mengambilnya, tetapi kelihatannya dibutuhkan usaha terlalu besar, lagi pula akan sulit memegangnya. Kemudian Mott membuat isyarat ke buntalan terbungkus di dekatnya. "Di sana juga ada lebih banyak senjata, walaupun seharusnya kita tidak membutuhkannya. Kita akan segera menyeberang kembali ke Carthya. Kemudian pergi sejauh mungkin dari tempat ini."
Aku menggeleng. "Putar balik perahu ini. Kita perlu tempat aman untuk mendarat di Avenia."
Mott meringis dan tangannya mengepal. Sesuatu dalam diriku membuat Mott berada di ujung kesabarannya, atau lebih daripada itu. Setidaknya kali ini aku mengerti kenapa, dan berusaha menghindari perdebatan dengan berkata, "Ada alasannya."
Dia ingin berteriak kepadaku"aku tahu itu, dan tindakan itu dapat dibenarkan"tetapi dia hanya menarik napas dalamdalam dan berkata, "Ingat kita berada di mana, Jaron. Kita hampir sampai ke Carthya, tempat kita bisa mendarat dengan aman. Perintahmu akan membawa kita lebih jauh ke dalam Avenia."
"Kita akan mendarat di Avenia, lebih bagus kalau di bagian barat." Mott mengerang, dan Harlowe mulai keberatan, tetapi aku berkata, "Lagi pula ini rencana yang lebih aman. Tidak akan sulit bagi Vargan untuk mengirim pasukannya ke sisi Carthya dari rawa-rawa ini. Mereka akan menungguku di sana. Tak seorang pun yang menduga aku tetap berada di Avenia."
"Ada alasan mengapa tidak ada yang menduganya," kata Mott. "Terlalu bodoh, bahkan bagimu."
Aku berbalik kepada Harlowe, untuk memberinya detaildetail yang akan dibutuhkannya untuk fase berikutnya perang ini. "Tentu saja, Yang Mulia," dia berkata begitu aku selesai. "Tetapi setidaknya beritahukanlah mengapa kau bertahan di Avenia."
Aku memandang Tobias dan Mott sebelum menjawab, "Kita akan pergi ke para bajak laut. Sudah waktunya mereka menjawab panggilan raja mereka."
BAB 17 PENDARATAN kami di dermaga Avenia begitu mudah, aku nyaris ingin mengingatkan Mott bahwa aku telah mengambil pilihan yang lebih baik. Tentu saja, ada jalan yang berbahaya di hadapan kami dan terlalu cepat untuk merayakannya. Mott, Tobias, dan aku masih tetap berpakaian sebagai tentara Avenia, yang akan membantu kami melewati pedesaan tanpa masalah. Setidaknya, aku berharap tidak akan ada masalah. Betapapun aku ingin menyembunyikannya, Mott jelas mengerti bahwa aku tidak berada dalam keadaan bisa bertarung.
Kami bertiga meninggalkan perahu; lalu aku menyuruh para pendayung dan pengemudi perahu untuk mengantarkan kembali regen utamaku ke Drylliad dengan selamat. Aku mengingatkan Harlowe tentang strategi-strategiku, tetapi menegaskan bahwa prioritas utamanya adalah untuk mengirim tim pencari Putri Amarinda. Jika Fink berhasil sampai ke Bymar, aku berharap dia dapat tinggal di sana, yang lebih aman, atau kembali ke Carthya ditemani pasukan Bymar dan di bawah perlindungan mereka.
Untuk menghindari argumen apa pun, aku hanya menjelaskan hal yang penting dari rencana-rencanaku. Mulut Mott terkatup membentuk satu garis tipis tanda tidak setuju dan Harlowe tidak kelihatan lebih senang juga. Tobias jelas berpikir bahwa aku menjadi gila ketika berada dalam tahanan, dan hal itu tidak sepenuhnya mustahil. Aku tidak menentangnya. Pada akhirnya, mereka setuju dengan apa yang kuminta, dan Harlowe memastikan Mott dan Tobias berjanji untuk menjaga keamananku. Mott menjawab bahwa dia akan melindungiku dari semua orang kecuali diri sendiri, yang kupikir merupakan kompromi yang adil.
Setelah Harlowe pergi, Mott, Tobias, dan aku mengambil sebagian makanan dan tiga kuda gagah dari seorang petani di pinggir rawa-rawa. Kamp Vargan lebih jauh ke selatan dari posisi kami, dan aku berharap jalan ini akan membuat kami tetap jauh dari sana. Aku tidak tahan membayangkan kembali ke sana, dengan sukarela atau tidak.
Perlahan-lahan matahari terbit di belakang kami. Kami mengarah ke barat dengan kecepatan lebih lambat daripada yang kuinginkan, tetapi Mott memaksa aku menyimpan tenaga dan memulihkan diri dari berapa hari terakhir. Kesabaran tidak pernah menjadi kebijakan yang menarik bagiku, dan jelas sesuatu yang tidak pernah kumiliki. Tetapi untuk sekarang, hal itu diperlukan. Ketika malam tiba, aku memesan penginapan tempat kami dapat tidur nyenyak. Dengan seragam hitam dan merah kami, serta aksen Avenia-ku, tidak seorang pun memperhatikan kami.
Aku merasa jauh lebih baik keesokan paginya, dan bahkan berhasil menyantap makanan sungguhan, atau yang paling mirip dengan makanan di Avenia. Begitu kami berada di jalan lagi, Tobias bertanya, "Tidakkah kita seharusnya berbelok lebih jauh ke selatan untuk mencapai Tarblade?"
"Kita punya perhentian lain lebih dahulu," kataku.
Mott mengerang. "Kau ingat kita berada jauh dalam teritori musuh, bukan?"
"Orang-orang ini bukan musuhku," kataku. "Hanya raja mereka. Aku perlu mengirim pesan."
"Yang dibawa tangan seorang Avenia" Jaron, kau mungkin tidak menganggap orang-orang ini musuhmu, tetapi mereka tidak terlihat begitu ramah terhadapmu. Kalau kau punya pesan untuk dikirimkan, berita itu seharusnya dibawa Harlowe kemarin."
"Ide bagus, seandainya kemarin terpikir olehku akan hal itu!" aku membentak.
Kami berkuda setengah jam lagi sebelum tiba di tepi perkemahan para pencuri, tempat pertama kali aku dibawa dalam perjalananku ke para perompak. Tempat itu selalu hiruk pikuk dengan aktivitas, dan aku mengharapkan keramaian yang sama sekarang.
Namun kali ini berbeda. Aku meletakkan pedang di tempatnya ketika kami berkuda ke perkemahan, tetapi tanganku siap, berjaga-jaga. Beberapa orang yang masih di sana berdiri menyambut kami, tetapi mereka terlihat lebih seperti pengemis ketimbang pencuri. Beberapa bersenjata, tetapi tidak seorang pun menghunusnya. Aku mengenali beberapa, tetapi sebagian besar wajah-wajah baru. Aku tidak punya teman di sini.
"Kau sudah cukup menyusahkan kami!" seorang pria mabuk meneriakkan kata-kata tak jelas. "Tak satu pun dari kami di sini bisa berperang"kelompok tentara terakhir mengetahuinya dan pergi meninggalkan kami."
Dengan agak gugup, Mott dan Tobias saling memandang, dan aku menyadari pakaian yang kami kenakan.
"Apa yang terjadi pada orang-orang lain yang di sini?" aku bertanya. "Apakah mereka menawarkan diri untuk berperang?"
"Sukarela di ujung pedang," seseorang menjawab. "Mereka membawa semua yang mungkin bisa berguna."
Pria yang lain melenggang mendekat, menatapku. "Berapa umurmu, Nak" Kau bukan tentara. Atau pemimpin mereka, rasanya."
"Bukan pemimpin tentara Avenia, memang." Ketika aku melepaskan helm, ada cukup banyak reaksi yang membuat jelas bahwa sebagian dari mereka mengenaliku. "Namaku Jaron. Aku raja Carthya, raja bajak laut Avenia, dan sahabat Erick, yang berkuasa di sini. Kalau kalian tidak mau berperang bagi Vargan, bergabunglah denganku sekarang. Berkuda bersamaku dan tinggalkan tempat ini."
"Atau kami bisa menangkapmu dan memperoleh cukup banyak emas untuk seumur hidup dari Vargan," orang yang paling dekat denganku berkata.
Aku mendengus. "Jangan konyol. Kalau kalian punya kemampuan untuk menangkapku, kalian pasti sudah direkrut."
Mereka menyerah dan separuhnya membuang muka dariku. "Kami orang Avenia," pencuri lainnya menjawab, duduk kembali di sebelah api. "Kami akan tetap berada di sini."
"Terserah kalian. Tapi semur di pancimu encer, dan aku bisa membantu mengentalkannya. Kalau kau lapar, aku akan membayar orang yang bisa berkuda paling cepat untuk mengirim pesan ke Carthya."
"Tidak," Tobias mendesis. "Kau tidak bisa memercayai orang-orang ini." Tetapi aku mengabaikannya.
Orang yang terdekat denganku mengangkat tangannya ke pinggang. "Aku pengendara kuda tercepat di sini. Apa pesanmu?" "Pesannya untuk komandanku di Drylliad." Aku mengamatinya terus. "Dapatkah kau mengirimkannya?"
Dia membalas tatapanku. "Dengan janji kehormatanku sebagai pencuri."
Yang setidaknya, merupakan hal yang bertolak belakang. Aku melanjutkan, "Cukup baik, kurasa. Katakan kepadanya bahwa selama aku ditangkap, aku dipaksa mengungkapkan strategi-strategi utama kami dalam perang, jadi semua harus diubah. Aku perlu semua orang cadangan pergi ke Drylliad untuk melindungi istana, dan aku ingin semua jebakan dipersiapkan di kota itu. Aku juga ingin kekayaan Carthya dipindahkan ke tempat yang disebut Farthenwood. Akan lebih aman di sana." Aku mencondongkan badan ke arahnya. "Sekarang berjanjilah kepadaku bahwa pesan ini akan sampai ke istanaku."
"Itu pesan yang cukup berbahaya." Dia mengangguk kepada sebuah garlin yang tergenggam dalam kepalanku. "Kuharap kau berencana untuk membayarku lebih banyak daripada itu."
Aku memasukkan koin itu kembali ke saku. Yang satu ini bukan untuknya. "Tidak diragukan Vargan akan menganggap berita ini jauh lebih berharga daripada apa yang sanggup kubayarkan kepadamu di sini. Tetapi temanku akan memberimu beberapa garlin sekarang, dan kau boleh meminta lebih banyak lagi begitu mencapai Drylliad."
Aku memberikan tanda kepada Mott, yang merogoh tas pelananya dan mengeluarkan segenggam penuh koin untuk pria itu. Dia mengantongi uang itu, kemudian berkata kepada para pencuri lain untuk mempersiapkan kudanya.
Tidak ada lagi yang dapat menahan kami di sini sekarang. Aku mengucapkan salam kepada mereka dan berkata kami harus berangkat lagi. Setelah kami pergi, Mott berkata, "Ketika berada dalam tahanan, kau berbohong kepada Avenia tentang rencana-rencana kita."
"Ya." "Dan sekarang kau berharap untuk mengubah semua rencana kita yang sebenarnya agar cocok dengan kebohongan-kebohongan itu?"
"Kelihatannya itu ide bagus."
Dia menatapku sesaat, kemudian mengangkat bahu. "Kuharap kau tahu apa yang kaulakukan."
"Jika tidak, kau akan selalu berada di sana untuk menunjukkan kesalahan-kesalahanku."
Aku tersenyum dari sudut mulutku dan Mott terkekeh perlahan. Guyonan itu meringankan ketegangan yang ada di antara kami sejak penyelamatanku, bahkan Tobias juga agak santai. Beberapa jam kemudian, kami berhenti untuk membiarkan kuda-kuda itu beristirahat dan untuk berbagi sebagian makanan yang kami bawa dari penginapan. Dalam hangatnya hari, kami berteduh di bawah rindangnya pohon yew tinggi yang menghadap pantai laut Eranbole di kejauhan. Keindahan yang tidak biasa dan aku ingin suatu hari nanti naik kapal dan berlayar melintasinya.
Sebelum menyantap makanan bagi diri mereka sendiri, Mott dan Tobias bersandar ke batang pohon dan membiarkan aku makan serakus yang kubutuhkan. Itu membantu mengembalikan kekuatanku, walaupun masih jauh dari cukup untuk percakapan yang berusaha kuhindari sejak aku melarikan diri.
Ketika tidak dapat ditunda lebih lama lagi, aku bertanya kepada Mott, "Apakah aku melakukan tindakan yang benar, menyelamatkanmu dari kamp itu?"
"Tidak." Dia mendesah dengan berat dan menoleh ke samping menatapku. "Namun bukan hal yang salah juga. Pada malam kau menyelamatkan aku, dari menit mereka membawa Imogen ke sana, aku tahu aku akan memberitahu semua yang mereka inginkan. Aku telah mengecewakanmu, Jaron."
"Aku tidak lebih baik. Aku bahkan tidak bertahan lama ketika mereka menempatkan Tobias di hadapanku, dan dia tidak secantik Imogen."
Tobias menyembur tertawa dan berkata dia bahkan tidak akan mencoba untuk menentangnya.
Kami beristirahat beberapa lama, lalu Mott berkata, "Tentang Imogen?"
Mataku tertutup, memikirkan kembali saat terakhir bersamanya. "Kupikir aku dapat menyelamatkannya. Dan kau juga." "Kau menyelamatkanku. Dia mungkin bisa melarikan diri juga, tetapi dia tidak dapat meninggalkanmu, sama seperti kau tidak dapat meninggalkannya."
"Dia terkena anak panah yang disediakan untukku. Dia memberikan hidupnya kepadaku."
Memanah Burung Rajawali 2 Kapas Kapas Di Langit Karya Pipiet Senja Bentrok Rimba Persilatan 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama