Ceritasilat Novel Online

Wajah Wajah Setan 2

Wajah Wajah Setan Karya Abdullah Harahap Bagian 2


"He eh"." jadi kau yang memergoki aku dan mengangkatku ke tempat tidur!"
Tak ada yang kepergok. tidak ada yang memergoki Mira. dengarlah. Malam itu kau gelisah sekali. Menjelang dinihari, aku terbangun. dan melihat kau tergelimpang dilantai. Kukira kau terjatuh dari tempat tidurmu. Kau tertidur nyenyak Susah dibangunkan tanpa sengaja aku meraba benjolan di belakang kepalamu lalu kugosok dengan krem.
'Dan . tadi malam"' Miranti terengah-engah
Hampir mustahil! ia hanya bermimpi!
"Tadi malam"' Ratno tertawa Sumbang "Kau menggelinjang gelinjang- sepanjang malam Mengerang lirih. Aku sampai kewalahan Setengah mati! '
Terkejut, Miranti memandang SUaminya.
"Kau . kau tidak menikmatinya"
"Hanya sejenak "
"Suamiku yang malang," Miranti tersenyum. lantas mendekap suaminya dengan hati terenyuh 'Kita akan mengulanginya kembali. kalau kau ingin '
Aku ingin." ' Sekarang?" "Jangan ! Aku sudah terlambat masuk kantor. Dan ah. kalau tidak salah aku harus menangani sebuah proyek rehabilitasi jalan utama di kota." Ratno bangkit bergegas. berpakaian dengan rapi diawasi oleh isterinya lengan mata tidak berkedip
'Tidak sekarang. manisku". Ratno mengecup bibirnya 'Mungkin nanti malam?"
Dan sebelum malam tiba. Miranti telah menemukan sesuatu.
*** Siang hari menemani bu Endah berkunjung ke seorang tetangga yang sakit. Karena orang orang tua itu keasyikan ngobrol. Miranti diam diam mengundurkan diri. Ia bingung ke mana ia harus pergi Pulang ke rumah, tak ada sesuatu yang harus ia kerjakan. Tadi ia telah membereskan segala persiapan menunggu Ratno pulang nanti petang. dan memenuhi janjinya yang mendebarkan hati itu.
Tanpa ia sadari. Miranti telah duduk di batu lebar berbentur altar yang terletak di bibir lembah. Heran, pikirnya. mengapa pula Ratno masih mengingini hubungan badan, padahal baru tadi malam mereka menikmatinya" Mereka" Dari percakapan Ratno tadi, Miranti tiba-tiba sadar. hanya ia sendiri yang menikmati hubungan itu. Betapa ia menyesal. telah mengecewakan suami tersayang .
Ia tercenung. Dalam. Sekali. kaki kanannya bergerak untuk menghindari seekor binatang melata kecil yang disebut kaki seribu. Tepat pada saat yang sama ia lihat sesuatu yang lain. Terselip di celah dua buah batu yang menjorok ke rerumputan. Sesuatu yang bewarna pekat. dan ketika ia pertajam mata. berubah jadi merah hati.
Benda itu ia pungut dengan tangan gemetar. Setangkai bunda ros.
*** LIMA Miranti mengamat amati bunga itu dengan jantung berdebar. Warna. bentuk dan besar maupun panjang tangkainya. sama benar dengan bunga yang tadi malam diselipkan Ratno di rambutnya. Masih segar pula. Tak ada tanda tanda layu. Tetapi dua kelopak dan ujung tangkainya, tampak hancur kehitam hitaman. Tentulah bunga itu terjatuh dari rambut Miranti ketika ia dan suaminya naik ke tempat tidur. Lalu salah seorang dari mereka, tanpa sengaja telah menginjaknya.
"Apakah Ratno yang membuangnya?" ia berpikir. bingung. lalu menatap rumah yang mereka tempati dan letaknya hampir dua ratus meter dari tonjolan batu batu di bibir bukit itu. "Sejauh ini'?" desah Miranti.
Mendadak perasaan tidak enak menyelinap di sanubarinya. ia teringat mimpi buruknya tadi malam. Seolah olah Ratno muncul dari kegelapan. kemudian menggeluti dirinya. Bukan di atas ranjang. melainkan di atas batu berbentuk altar yang kini ia duduki. Apakah semua itu bukan sekedar mimpi" Atau"
Pundaknya terasa dingin seketika.
Nalurinya membisikkan bahwa saat itu ia tengah diawasi seseorang. Reflek. lehernya berputar dengan sepasang mata memandang ke sekitar tempat itu. Tak ada siapa-siapa yang kelihatan. kecuali rumah rumah yang berdiri megah. diam membatu seolah tidak berpenghuni. Tidak ada bocah berlarilarian di jalan. atau anjing yang mengais-ngais tempat sampah sebagaimana yang sering dilihat Miranti di tempat tinggal mereka yang lama. Suasana di sekitarnya sepi. tanpa ada tanda tanda kehidupan.
Takut takut, ia menoleh ke belakang. Memandang
tonjOlan batu yang paling tinggi. paling curam dari batu batu lainnya. Ia mengharapkan dengan cemas, di atas sana tegak sesosok tubuh kehitam hitaman. tinggi berbulu. dengan dua tanduk di kepala. Namun selain langit yang biru jernih serta sekelompok awan putih perak. ia tidak melihat apa apapun lagi.
'Pasti! Pasti ada yang mengawasiku" desahnya. gemetar. Lantas ia menghambur turun dari batu. bermaksud lari secepat mungkin ke rumah. Untunglah akal sehatnya segera muncul. Mungkin hanya perasaannya saja yang mengatakan ia diawasi. Kalaupun ada orang jahil yang mengintipnya dari tempat tersembunyi. ia tak perlu takut. Ia harus menunjukkan bahwa ia seorang perempuan yang berhati tegar. angkuh dan tidak mau tahu. ia lantas melangkah dengan tenang dan sabar. Makin dekat ke rumah. perasaan diawasi itu pun makin hilang pula .
Sebuah mobil tua muncul dengan suara mesin menggerung gerung di jalan mendaki, lalu setelah lebih dulu terbatuk batuk berhenti di depan rumah bersamaan waktunya ketika Miranti tiba di tempat yang sama. Lewat jendela mobil Ratno melempar seulas senyum manis seraya melambaikan tangan. Miranti berlari lari mendekat. dan membukakan pintu mobil. sambil memberengut manja. pura pura merajuk
"Pergi kok enggak bilang bilang"'ia bersungut sungut .
Ratno turun. tertawa kecil. kemudian berbangkis
"tidurmu terlalu nyenyak' sahutnya, seraya menyeka kening dengan sehelai sapu tangan. Kau baikbaik saja kekasih?"
Miranti diam saja ketika Ratno mencium pipinya. kemudian berjalan mengiringi si suami masuk ke dalam rumah. Begitu mereka di pintu. Ratno berbangkis lagi .
"Flu?" tanya miranti. kuatir.
"He-eh...." "Aneh!" 'Apa anehnya orang kena flu?" rungut Ratno setengah tersinggung, seraya membiarkan tas kerjanya diambil Miranti yang kemudian membawanya masuk ke dalam dan meletakkan tas di atas meja.
"Aku tadi ikut meninjau sebuah proyek. Hujan sedang turun. Derasnya bukan main. Eh. apakah di sini tidak hujan"'
Sebagai jawaban. Miranti justru balas bertanya:
'Kau keluar malam ya?"
"Kapan?" tanya Ratno. bingung. Atau resah"
"Tadi malam." "Apa maksudmu, Mira" Bukankah sepanjang malam tadi kita berdua ada di...."
'Ah. Hanya ingin tahu." Miranti angkat bahu. lantas sambil bergegas ke belakang ia mendengus : "kubuatkan air panas untuk mandimu " " Di pintu dapur ia berhenti. Ia mengawasi Ratno yang juga tengah melakukan hal yang sama terhadapnya. lantas bertanya dengan penuh selidik : "Oh. ya". Ketika bangun pagi. aku tidak melihat bunga ros pemberianmu. Kau buang?"
Ratno membasahi bibir. Berpikir sebentar. lalu: "He-eh" "Kemana?" "Emmm... ke keranjang sampah. kalau tak salah. Atau ke luar jendela" Ah. aku lupa. Benar benar lupa. Mengapa sih soal sepele itu harus kau tanyakan. Mira"''
Belum lagi Miranti menjawab, pintu penghubung kerumah induk di ketuk dari sebelah dalam. Ratno membukanya. dan induk semang mereka berdiri di sana. menghadiahkan seulas senyum keibuan untuk suami
Isteri muda yang tengah bersitegang itu. Perempuan berusia lanjut itu memandang mereka silih berganti. lantas mendengus dengan nada menyesal:
"Oh. Rupanya aku telah memilih waktu yang tidak cocok!"
'Hampir. Barusan kami memang lagi asyik...!" Ratno menyeringai sumbang. sementara Miranti diamdiam menyelinap masuk dapur. "Ada apa. bu Kutil?"
'Husy! Panggil aku bu Endah. atau ibu saja. Jangan dibawa bawa kutil bapakmu." perempuan berusia lanjut dengan wajah keibuan itu tertawa. Kemudian ia melirik ke pintu dapur. lalu dengan suara yang seolah sengaja dikeraskan ia berkata : "Pak Abu menanyakanmu tadi. Katanya. kalian berdua sudah ada janji...."
"Janji" Aku...." protes yang keluar dari mulut Ratno terhenti ketika matanya beradu dengan sorot mata bu Endah yang berkilau tajam. Berbangkis sebentar. Ratno kemudian merubah nada suaranya menjadi serius. "Astagaaaa!' ia berseru. lantang. "Memang aku berjanji untuk menemui pak Abu dua hari yang lalu. Untuk menyelesaikan surat surat pindah kami yang belum beres. Wah, wah. Dia marah tentunya... Tidak" Oh, syukurlah. Kapan aku harus datang menemuinya. bu Endah?"
"Katanya. sekarang juga kalau kau ada waktu...."
Di dapur. Miranti mendengar percakapan itu dengan pikiran melantur tidak menentu. Mimpi buruk. Ratno dengan birahi menggebu gebu. sosok tubuh kehitam hitaman. bunga ros merah hati. batu altar.... Ratno telah berdusta. pikiran Miranti dengan gundah. Tentang bunga. dan tentang di mana mereka bersetubuh tadi malam. Dengan hati kecewa Miranti menjerang air panas. kemudian menghidangkan makan sore di atas meja. Selama ini Ratno seorang suami yang jujur, sebaliknya Miranti berusaha memperhatikan kesetiaan seorang
isteri untuk mengimbangi kejujuran Ratno. Dengan begitu rumah tangga mereka tetap utuh, mereka pun tetap saling membutuhkan. Tidak terganggu oleh godaan godaan maupun goncangan yang datang dari luar terutama pihak keluarga Ratno. Apabila setelah Miranti sampai dua kali mengalami keguguran sehingga banyak gunjingan yang menuduh Miranti tidak akan mampu memberikan anak kepada Ratno. Begitu Ratno jatuh bangkrut. gunjingan makin hebat. Sampai timbul tuduhan. Lihat! Dalam soal rejeki pun Miranti itu pembawa sial. Dan....
Dan Miranti terjengah. manakala bahunya disentuh seseorang dari belakang.
"Maaf. sayangku. Aku pergi agak lama," Ratno berbisik dekat telinga Miranti yang duduk menunggu dari tadi di dekat meja makan. "Pak er we sedikit rewel. se hingga pembicaraan jadi bertele tele. Tetapi semua sudah beres sekarang "
"Hem!" 'Masih marah'' Ratno mendekap. dan menengadahkan wajah Miranti dengan mesra. dan mengecup bibirnya dengan penuh kasih. Lanjutnya : "Aku menyesal telah berdusta mengenai bunga itu....'
ini dia. jerit Miranti dengan jantung berdebar.
"Sudah kulupakan." desahnya. berpurapura.
"Tetapi kau harus berterus terang. Mira. Aku harus minta maaf. karena tadi malam aku kerasyukan set... ah, maksudku. aku agak sedikit gila-gilaan."
"Aku... aku tak mengerti."
"Tentu saja. Mira. Kau terlalu banyak menelan obat. Kau benar benar setengah lupa diri ketika aku membopongmu ke luar rumah"
'Apa"!" Miranti tersentak.
"Tadi malam"." Ratno memandangi wajah isterinya
dengan mata penuh rasa cinta. Gugup dan terputusputus ia lalu menceritakan bagaimana ia membopong Miranti dengan bersemangat menuju tumpukan batu di bibir bukit itu. Keadaan Miranti yang setengah lupa diri itu memudahkan pekerjaannya. la meletakkan Miranti di permukaan batu yang menyerupai altar itu. di mana kemudian mereka berdua saling melampiaskan birahi.
'Di tempat terbuka" Astaga. Ratno..."
Bersemu merah wajah Ratno.
Kemalu-maluan ia bergumam:
"Aku yakin tidak ada yang melihat kta."
"Tetapi... mengapa... "
"Maaf. Sengaja kau tidak kuberitahu sebelumnya. Kuatir kau menolak. dan menuduh aku kekanak kenakan, atau... atau terpengaruh mistik."
"Mistik" Hai, kau membuatku semakin bingung, sayangku." Miranti mendekapkan telapak tangan si suami ke gumpalan payudaranya yang naik turun dengan kencang. Ia ingin tangan yang kuat itu melindungi dadanya dari goncangan-goncangan aneh yang menakutkan.
"Yah...." Ratno membasahi bibirnya. 'Beberapa orang kerabat mengusulkan agar aku memilih tempat yang sedikit berbau rituil bila kita bermaksud untuk memperoleh anak lagi."
"Oh!" Sepi sebentar. Lantas: 'Ratno?" "Mmm...." 'Rasanya. banyak benar manusia manusia lain di sekitar kita. ketika kita melakukan itu," Miranti teringat mimpi buruknya. "Dan kau begitu hitam. Begitu kuatnya. Aku sampai kewalahan.... Orang orang itu. Ratno. Wajah mereka dicoreng-moreng. Berkelakuan aneh. Bernyanyi
dan"." "itu hanya perasaanmu. Mira-ku." Ratno mendengus. setelah tubuhnya tegang sesaat. "Aku juga merasakan hal yang sama. Sehingga. seperti kukatakan tadi pagi. aku hampir-hampir tidak dapat menikmatinya. Aku menyesal. lalu membopongmu kembali masuk ke rumah."
"Dan bunga ros-ku terjauh." gumam Miranti. "Di bawah altar
"Lalu karena kau desak tiba-tiba. kukatakan aku membuangnya ke keranjang sampah. Bodoh benar bukan. Mira?" ujar Ratno dengan bersemangat. seolah olah seorang murid tolol yang mendadak tahu apa jawaban yang harus diberikan atas pertanyaan gurunya yang serba rumit.
Suami isteri itu tertawa. gembira.
Kemudian. "Mira, kekasih 'Ya. Ratno. pujaanku?"
"Aku lapar." 'Makanlah. Semua sudah terhidang!" Miranti mengembangkan kedua lengan di permukaan meja makan. di atas mana santapan sore yang lezat-lezat sudah lama ia siapkan.
"Mmm. bukan perutku."
"Ah?" "Aku ku yang lain yang lapar. Mira.'
"Tetapi semua ini jadi dingin nanti." rungut Miranti. dengan jantung berdebar.
Biar." "Kau belum mandi...."
" Nanti saja sekalian."
kau bau keringat!" "Tetapi keringatku enak!"
"ldiih, nakal....' Miranti mencubit suaminya. Ratno terpekik. manja. lalu dengan kasar mengangkat tubuh Miranti dari kursi. Agak kasar dan terburu nafsu. Namun Miranti tidak tersinggung. Ia justru menyukainya. Jantungnya pun kian berdebar. apalagi setelah Ratno membopongnya ke kamar tidur.
Di ambang pintu. lakilaki itu bersin lagi.
Keras sekali. Miranti menggigit telinga suaminya. pura pura marah. Sesaat. ketika gigitan itu terlepas. cahaya lampu kamar tidur yang terang benderang. menyinari belakang telinga Ratno. Tampak bekas gigi Miranti. berwarna kemerah merahan. Tetapi di bawah rambut. agak ke bawah dari telinga Ratno. terlihat lingkaran merah yang lain. Merah. kehitam hitaman. Seperti tattoo. Miranti memperhatikannya terheranheran. karena lingkaran sebesar uang logam yang aneh itu. tidak ada sebelumnya. Ia mau bertanya. namun Ratno Sudah merebahkannya di tempat tidur. melepaskan gaunnya seraya menjelajahi lehernya kemudian dadanya dengan ciuman ciuman berapi api.
Seketika. Miranti melupakan tattoo yang ganjil itu.
Satu-satunya yang masih teringati. ia cetuskan tidak lama kemudian:
"Padamkan dulu lampu. Ratno..."
Ratno tidak memadamkan lampu.
Miranti pun tidak perduli.
*** BAGIAN KEDUA Hanya sebentar saja dokter Subagio memeriksa Miranti. Itupun sambil lalu. dan hampir tidak ada pertanyaan yang keluar dari mulutnya yang sudah mulai keriput. Tampaknya tanpa pemeriksaan itupun ia sudah tahu apa yang harus dilakukan. Begitu Miranti duduk kembali di seberang meja kerja dokter tua yang rambut nya sudah memutih itu. ia langsung bertanya dengan harap-harap cemas:
' Ba-bagaimana. dokter..?"
Subagio menarik nafas panjang. Kemudian mengulas senyum seorang ayah yang ingin menyabarkan anaknya. Matanya bersinar ganjil ketika ia menatap perut Miranti. lantas berbisik pelan:
positip!" Miranti sudah menduga. Selama minggu-minggu terakhir ia sudah merasa adanya perubahan-perubahan yang nyata pada kondisi pisiknya. la gembira tentu saja. sangat gembira. Namun dua kali menerima kekalahan yang sangat pahit menggantikan kegembiraan itu dalam bentuk kekuatiran yang menakutkan
'Sungguh?" ia minta diyakinkan.
Subagio dengan ramah mengingatkan Miranti:
'Dulu. nak. sudah kutawarkan padamu untuk me lempari rumahku kalau aku memberikan obat yang salah. Penawaranku masih tetap berlaku...."
Miranti ingin bersorak. Namun tubuhnya masih terlalu tegang. dan ketakutannya masih menggigit. Gagap. ia menanyakan apa yang tersurat dalam benaknya
"ia... ia akan hidup. dokter?"
Subagio terkejut. Kemudian: "Lupakan masa lalumu yang suram. anakku." ia berkata khidmat seperti seorang ulama yang tengah berkhotbah di depan mimbar. "Kau kini memasuki babak baru. yang akan merubah seluruh masa depanmu. Aku sudah menangani beratus-ratus kasus yang sama. Tetapi belum pernah aku seyakin hari ini. Ia akan hidup. benar benar hidup. Melebihi kehidupan kita semua yang hina dina ini. Melebihi..."
Kali ini. Miranti dapat berdiri tegak.
"Boleh saya pinjam telepone. dokter?"
"Silahkan!" Ratno sendiri yang menerima telepone Miranti.
Isteri yang sedang berbahagia itu. tanpa kata pembukaan berteriak di mulut telepon.
'Aku hamil!" Jam-jam berikutnya bukan main menggembirakan.
Pavilyun kecil yang mereka tempati tak henti hentinya kedatangan tamu. Semua sudah berumur, tentu saja. karena mereka adalah tetangga yang sama sama tinggal di daerah pemukiman yang letaknya terpencil dari kota yang hiruk pikuk di bawah bukit. Ucapan ucapan selamat. petuah-petuah dan do'ado'a yang semoga di kabulkan Tuhan. mengalir seperti air bah. Malah pak Abu Lahuba yang jarang muncul di depan umum itu. sengaja datang dengan membawa seikat kembang.
Dengan bibirnya yang hitam. ia mencium pipi Miranti yang putih, dan menghadiahkan seikat kembang beraneka ragam namun seluruhnya berwarna merah hati.
"Untuk makhluk kecil dirahimmu. yang akan membawa perubahan besar di muka bumi..." ia berujar dalam dan takzim.
"Bapak berlebih lebihan." sahut Miranti. sambil menatap suaminya yang tersenyum senyum riang.
' Aku mengatakan apa adanya. anakku, ' Abu Lahuba yang menjadi penanggung jawab daerah pemukiman itu. berkata dengan tegas tapi lembut. Suaranya seolah guyuran air dingin yang merembes masuk ke seluruh pembuluh darah. tulang belulang, bahkan sampai ke sumsum Miranti. Entah mengapa. Miranti tergetar dan nyanyian nyanyian rituil yang datang dari langit. seolah.olah menyentuh selaput telinganya.
la mengawasi orang-orang tua yang ada di se kelilingnya. tibatiba teringat sesuatu yang membuat ia tersenyum sendirian. Pak Kutil yang suka usil. bertanya .
'Apa yang kau pikirkan nak?"
Miranti menjawab: 'Anakku' ia pandangi wajah wajah tua namun semua cerah dan gembira itu. kemudian meneruskan ' Aku bayangkan bagaimana kalau ia kelak lahir ke dunia. Tak ubahnya seekor anak kucing yang manis tersesat di tengah kumpulan harimau harimau tua yang sudah tidak bergigi!"
Gelak tawa memenuhi pavilyun itu seketika.
Setelah semua tamu pulang ke rumah masmg masing. pak Kutil beserta isterinya masuk pula ke rumah induk semangnya. Hari sudah larut malam Tetapi bu Endah tidak langsung pergi tidur. Ia mengambil keranjangnya duduk di kursi malas lalu mulai merajut. Suaminya bertanya hati hati
'Apakah ia tadi meminumnya sampai habis"''
Tanpa menoleh. sang isteri menyahut:
"Tanpa setetespun yang tinggal. '
"Anak yang penurut dia itu. bukan"
"Penurut benar sih tidak. Ia sempat memprotes. Malah sampai muntah. Katanya. susu itu terlampau masam. mana dingin lagi. Setelah kuberitahu itu susu kambing yang sudah dibasikan. ia menggigil. Hampir saja minumannya ia buang. kalau Subagio tidak segera datang menolong. la menghabiskan susu itu. pak. tetapi belum menyentuh sedikitpun hidangan satunya lagi...."
"Maru itu?" "Ya! ' 'Cuma segumpal kecil darah ayam yang dikeringkan." pak Kutil bersungut sungut. "Apakah dokter Subagio tidak menjelaskan pula kepada Miranti. maru itu akan membuat ia cukup kuat selama mengandung bayi yang sudah lama sama sama kita harapkan?"
"Jangan tergesa-gesa. kata Subagio. pak Nanti nak Mira curiga"." perempuan tua yang telah asyik merajut itu, mendadak menggoyang goyangkan kepala. lantas bersungut-sungut pada suaminya : 'Jangan berdiri mematung saja. pak. Tolong garukkan belakang telingaku. Gatal sekali rasanya...."
Pak Kutil mendekati isterinya.
Dengan bantuan cahaya lampu. ia menemukan yang ia cari di belakang telinga bu Endah. Itupun setelah lebih dulu menyibakkan sebagian rambut perempuan itu. sehingga bagian yang gatal itu dapat terlihat dengan jelas. Sebuah lingkaran merah kehitam hitaman. sebesar uang logam.
Sambil menggaruk lingkaran yang ganjil itu. pak Kutil berbisik :
"Kau dengar apa yang tadi diucapkan pak Abu?"
"Kudengar. pak."
"Akan terjadi perubahan besar di muka bumi....'
"Benar. Akan terjadi perubahan besar di muka buni." isterinya mengiyakan.
Di kamar tidur mereka. Miranti mengomeli suaminya:
"Jauhkan maru itu dari dekatku. Ratno. Aku jijik!"
Ratno memandangi gumpalan kecil di atas piring
yang ia pegang. berusaha membujuk :
"Cuma sekerat. sayangku. Anggap saja dandang kering."
"itu darah, Ratno. Darah mentah!"
Apa salahnya?" "Hukumnya haram!"
"ini demi kesehatanmu. Tanya saja dokter Subagio." Ratno kewalahan. namun wajahnya tetap memperlihatkan muka manis dan kesabaran yang mengagumkan. "Lupakah kau. telah dua kali kau mengalami keguguran?"
"Oh...." "Makanlah." "Ya Tuhan. Tadi susu dingin asam dan baunya bukan main. Sekarang darah...." Miranti hampir menangis, namun ia jumput juga potongan maru di piring itu. Berkali kali ia menelan ludah. sambil mengamat amati potongan maru di antara jari jemarinya yang gemetar. Berkali kali pula ia mengutarakan perasaan jijiknya, mengucapkan kata kata haram, dan akhirnya dengan bantuan segelas air. obat yang lain dari yang lain itu ia kunyah juga. Sesudah menelannya dengan susah payah, ia menggerutu :
"Demi anakku." "Anak kita. Mira."
'". Demi anak kita. ' Mira manggut-manggut. lantas merebahkan tubuhnya yang letih lesu di ranjang. Ratno menyelimuti isterinya dengan teliti. sehingga hanya tampak kepala Miranti sampai sebatas leher saja.
Setelah lampu kamar dipadamkan. Ratno ikut rebah di sisi Miranti.
"... peluklah aku, kekasih: isterinya berbisik.
Ratno memeluk isterinya di bawah selimut.
"Apakah badanku dingin. Ratno?"
"Hangat." 'Rasanya membeku." 'Kau letih. Mira. Mungkin juga karena cuaca. Ketika tadi aku menutup pintu. langit dipenuhi pekat yang mendung. Tampaknya hujan akan turun.?"
Aneh. Padahal tadi siang. bahkan sampai sore. begitu cerah.' Miranti bergumam. Resah. 'Apakah ini pertanda buruk. Ratno"
"Untuk petani yang sudah lama ditimpa kemarau. penanda baik. Tetapi untuk kepala proyek seperti aku. benar benar buruk. Aku masih baru memegang jabatan. Namun tampaknya harus membuat perubahan rencana besar besaran. kalau musim hujan tiba...."
Kau punya staf, bukan?"
"He-eh," Biarkan mereka yang mengurusnya. Pikirkanlah mengenai masa depan kita, sayangku. Aku sudah bosan mengontrak rumah terus terusan. Tiap akhir tahun. ke takutan dikejar uang sewa yang semakin tinggi. Belum lagi harus berpindah pindah Seperti pengungsi...."
Katamu," potong Ratno. tertekan lngin mengganti mobil kita dengan yang baru Soal tanah atau rumah.. ."
'Aku berubah pikiran. Ratno."
Mengapa"' "Pak Kutil dan bu Endah. memang orangorang tua yang ramah. baik hati. memperhatikan kita seperti memperhatikan anak-anak mereka sendiri. Tetapi suasana di sekitar rumahini, Ratno. kadang kadang membuatku takut. Lebih-lebih tumpukan batu di bibir bukit itu....'
"Apakah kau pernah disakiti mereka?" tukas Ratno dengan cepat. Ia tidak ingin membicarakan mengenai batu batu besar yang salah satu berbentuk altar itu. Membayangkan tempat itu, ia sama takutnya dengan Miranti. Ia tidak akan melupakan bagaimana isterinya pada suatu malam, di permukaan altar...."
"Tidak. Mereka semua orang baik."
"Jadi" "Agak misterius. itu saja. Jarang berkumpul satu sama lain. Lebih jarang lagi bergaul dengan pemukiman tetangga di bawah bukit. Tidak ada anak anak kecil. Tidak ada suasana hiruk pikuk orang berkeluarga. Yang lebih tidak mengenakan lagi. omongan mereka kalau kebetulan kami bertemu satu sama lain.... Dunia yang sudah rusak. Kiamat yang sudah menunjukkan pertanda segala macam. Pokoknya. pembicaraan yang itu ke itu juga. Dengan harapan yang itu ke itu juga: suatu hari, akan ada perubahan," Miranti bernafas tersengat-sengat.
Susah payah ia melanjutkan :
paling akhir. tadi Pak Lahuba bilang. anak kita kelak akan membawa perubahan di muka bumi. Hai. hai. hebat benar. Luar biasa. Emangnya anak kita kelak bakal jadi apa sih. Ratno" '
'Presiden, siapa tahu Atau. ketua Dewan Keamanan pe-be be! ' Ratno menjawab dengan sungguh sungguh. Disusul suara memohon : 'Sudahlah. Mari kita tidur. Aku harus masuk kerja pagi-pagi benar "
Di luar rumah. guntur menggelegar tiba tiba
Miranti bergidik. Dengan mata nyalang ia memandang jendela kamar tidur. Tertutup tirai. Namun ventilasinya memperlihatkan cuaca yang hitam kelam, dan seSekali mendadak putih menyilaukan manakala petir sambar menyambar. Lewat tengah malam. hUjanpun turun deras. membadai. Topan seakan menggoncangkan rumah itu. namun tidak mampu menggugah tidur Ratno yang lelap.
Mata Miranti tak mau terpicing.
Ia teringat saat saat pertama kali ia mengandung. Hujanpun membadai seperti sekarang. Ia sampai terserang flu berat. hampir selama masa kandungan. Anak
mereka yang pertama. tidak saja lahir prematur. Tetapi juga ukuran panjang dan timbangan berat badannya tidak normal. sehingga perlu dibantu dengan arus listrik selama dirawat di rumah sakit. Tetapi baru beberapa hari pulang ke rumah. anak itu terserang panas. Di bawah hujan deras mereka melarikannya kembali ke rumah sakit. Tiba di sana. meninggal sebelum sempat mendapat pertolongan.
Marianna. anak mereka yang kedua. juga lahir prematur. tetapi lebih sehat dari yang pertama. Sayang. suatu hari Ratno dipecat dari pekerjaannya karena hasutan orang. Mereka terpaksa menjual apa saja untuk membiayai hidup selama Ratno belum dapat kerjaan lain. Setelah semuanya habis. mereka terpaksa pindah ke rumah kontrakan yang lebih kecil. sempit dan jorok. Itupun dengan meninggalkan hutang di rumah kontrakan mereka yang lama. Lalu musim hujan yang bertemu dengan wabah kolera itu. merenggut Marianna pula....
Miranti gemetar ketika mendengar curah hujan yang bagai air bah menyapu atap rumah. Kaca jendela seakan mau pecah oleh hempasan angin topan. Apakah ini pertanda buruk pula untuk anak mereka yang ketiga" Tetapi dokter bilang. anak ini akan hidup. "melebihi hidup kita semua!" Pak Abu bilang. malah akan membawa perubahan besar di muka bumi. Kata orang tua tua. biasanya manjur. Bakal jadi Presiden. kata Ratno. atau siapa. tahu. ketua Dewan keamanan pe be-be. Ia tersenyum sekali mengingat harapan suaminya yang mustahil itu. Tumbuh sehat pintar dan setelah dewasa jadi orang yang berguna pun sudah cukup. Miranti akan merawatnya. mendidiknya mengajarinya tentang apa artinya hidup dan kehidupan. Kemudian...
Guntur menggelegar lagi. Keras luar biasa. sampai ranjang yang mereka tiduri
seolah terangkat dari lantai.
"Gempa!" Miranti setengah berteriak. terduduk di ranjang.
Ratno tetap saja terlelap. Terlalu capai belakangan ini setelah menduduki jabatan kepala bagian proyek yang sibuk itu. Haruskah ia bangunkan saja" Ah. jangan. Ratno membutuhkan istirahat. Pagi pagi benar ia harus masuk kantor. sibuk merubah rencana pembangunan. dan.... Tetapi kalau terjadi gempa"
Miranti bergidik. Ia harus memeriksanya. Siapa tahu!
Pelan pelan ia bangkit dari tempat tidur. Guntur sudah berhenti. Hanya kilat yang sesekali masih menyambar. disertai tiupan angin topan dan hujan badai yang seolah tidak akan mau berhenti. malah semakin keras saja. Tirai jendela ia singkapkan. Namun hanya kegelapan yang ada di luar. Lalu. bayangan samar samar rumah tangga. Kalau tak salah. rumah pak Jumadi. yang menurut cerita bu Endah, dulunya bekas petani dan kini melonjak jadi penasihat di salah satu departemen pemerintah. Banyak memiliki bintang jasa. dan untuk itu' terpaksa sering meninggalkan rumah dan isterinya yang sudah tua renta. Kemudian, isterinya pindah ke rumah salah seorang anak mereka di kota. Namun rumah itu tetap mereka tempati pada waktu-waktu tertentu. Sering kosong. seperti malam ini. Tak ada cahaya apa apa di dalam rumah tetangga itu. Tak ada kehidupan. Jadi. tentu saja tidak seorangpun yang ia harapkan keluar dari rumah pak Jumadi untuk berteriak : "Gempa. Hayo. semua keluar. Ada gempa"!"
Miranti beranjak ke ruang depan.
Lantai tidak bergeming sedikitpun. Ah. memang tidak ada gempa. barangkali. Mungkin karena terlalu kesepian seorang diri. ia merasa hujan kecil sebagai hujan
badai. Tahu-tahu saja. Miranti telah menyingkap tirai jendela depan pavilyun. Kegelapan yang sama. butir, butir hujan yang sama. Dengan suara angin bersiut siut yang sayup sayup sampai ke telinga. Pepohonan di depan rumah tampak bergoyang goyang di bagian daun nya yang rimbun. tetapi batang batangnya tetap utuh, tak tergoyangkan.
Tak ada apa-apa lagi selain bayangan pepohonan itu
Miranti baru saja akan menutupkan tirai jendela dan bermaksud untuk tidur saja. ketika petir menyambar di tengah kepekatan malam yang gelap gulita. Miranti terkejut bukan main. Ia pegangi tirai kuat-kuat. sehingga kaca jendela tetap telanjang di depan matanya. Sambaran kilat yang kedua kali. tidak mengejutkan. Hanya. mentajubkan.
Kilat itu bersinar cukup lama.
Cukup pula bagi Miranti untuk melihat segala galanya. Tanaman bunga yang setengah rebah di pekarang an, pepohonan yang tegak dengan tangguh, lapangan rumput. jalan setapak yang mendaki. lalu tumpukan batu-batu besar di bibir bukit.
Altar tampak menyala. Ah. bukan menyala Melainkan terang benderang dalam jiatan lidah petir. Dan di belakang altar di tonjolan batu yang paling tinggi, sosok tubuh yang sudah pernah ia lihat, muncul sekilas. Tinggi kekar dan hitam, dengan sepasang tanduk di kepala. berdiri lurus menghadap Miranti. Ia melihat sepasang mata besar yang merah menyala nyala. yang kemudian lenyap, bersama hilangnya petir
Lalu. perlahan-lahan, hujanpun turut mereda
*** ENAM Tergetar Miranti karena perubahan suasana yang mendadak itu. Suara riuh rendah diluar rumah lenyap begitu saja. Tinggal sepi yang menganga seperti ada roh roh jahat tertegun dalam kegelapan. Ingin rasanya Miranti lari dari jendela. bersembunyi dalam pelukan Ratno di kamar tidur. Wahai, mengapa begitu lelap suaminya. tiap kali Miranti dihadapkan pada cengkeraman iblis yang menggapai dari luar sana"
Betapapun Miranti mencoba. kakinya tetap saja terpaku di lantai. Bahkan tangannya yang menyingkap tirai jendela. tak mampu ia gerakkan sama sekali. Nafasnya berdesahdesah. mengeluarkan uap putih yang segera mengendap dipermukaan kaca jendela. Namun matanya yang terpentang lebar masih dapat melihat perkembangan yang terjadi di pekarangan. kemudian di sepanjang perbukitan. Meskipun pucat, cahaya rembulan yang kembali muncul cukup lantang menyuarakan kekuasaannya. Kabut tipis seperti sutera putih merayap diatas rerumputan, merangkak malas sejauh mata memandang. Tiba di bibir bukit yang ketinggian. kabut itu tampak dengan susah payah merangkul tumpukan batu batu hitam. terutama batu yang paling menonjol kuat dan menjulang ke langit biru.
Berkedip mata miranti seketika.
Ada sesuatu disana, agak kesebelah kanan tumpukan batu misterius itu. Sesuatu itu bergerak lambat memanjat sebuah batu besar dan lebar. Mulut Miranti terbuka lebar. ingin menjerit karena kaget. manakala sesuatu itu berdiri tegak. memandang kian kemari dan berhenti tepat kearah rumah yang didiami Miranti bersama suaminya.
Ketika sesuatu itu bergerak turun. Miranti terengah. Komat kamit mulutnya membaca apa saja yang teringat untuk mengusir ketakutan yang kembali mendera. Sesuatu itu. makhluk berwujud manusia. berjalan tersaruk saruk dengan kaki kaki tenggelam dalam pelukan kabut. Suram. hitam. menjurus langsung ke tempat Miranti mengintip. di balik jendela.
Tidak jangaaan...." tahu tahu saja mulut Miranti dapat bersuara. setelah kelu sejenak tadi. "Jangan dekati aku... jangan kesini. oh jangan...!"
Nalurinya untuk menyelamatkan diri mengerakkan otot otot Miranti yang tegang kaku. Sarap sarapnya mulai pula bekerja. demikian pula pembuluh darah serta denyut jantungnya. Tanpa sadar. tirai yang ia cengkeram terlepas. dan ia bertindak mundur. selangkah. dua langkah, tiga. empat sambil berbisik mohon perlindungan.
Ratno" Ratno?" kemudian. disusul dengan putaran tubuh. gerakan kaki yang semakin cepat. berlari ke kamar tidur seraya berteriak histeris: Ratnooooo!"
Ratno terbangun bukan oleh teriakan isterinya. Melainkan oleh terkaman tubuh Miranti yang terbang ke atas ranjang, lalu memeluk suaminya dengan sekujur tubuh bergetar hebat. Setelah mengucek ucek mata sebentar, Ratno menggapai tombol lampu, Klik, kamar tidur terang benderang menyilaukan. Ratno terkesiap melihat wajah isterinya yang pucat seperti kertas itu. basah bersimbah peluh Dingin.
'Ada apa Mira?" . 'Didddi aaa menuju kkeee kemariii..._' Miranti menceracau gugup. tak ubahnya orang sehat walafiat yang mendadak gagu
'Dia" Siapa?" 'Haaa -hantuuu .." Han . Astaga, Mira. Ratno perlahan lahan dapat menguasai dirinya. "Kau membuatku kaget saja. Hantu, hem. Sejak kapan kau percaya pada hal hal gaib yang menggelikan itu" Tak ada hantu, Mira. tak...."
"Ada. Diluar pintu!" '
"Apa". Ratno hampir saja tertawa. Namun iba kasihan melihat isterinya yang sangat ketakutan itu menekan keinginan konyol itu. Ia menarik nafas pantang, kemudian bangkit dari tempat tidur.
"Baiklah." ia berkata lembut. "Akan kulihat sebentar."
"Jangan!" Miranti ketakutan.
"Alaaa, paling juga bayanganmu saja. Kalaupun pencuri, kukira ia itu tertalu nekad menyatroni rumah dimana aku menetap." Ratno tersenyum, dan berjalan keluar kamar tidur. Seketika terbayang masa-masa mereka masih menetap ditempat kediaman mereka yang lama. Tempat yang sumpek, semrawut dan rawan, tempat dimana ia sering ikut keluar ronda malam, sering memergoki maling bahkan menangkapnya dengan tangan sendiri. Mau tidak mau selagi berjalan ke pintu depan. otot otot lengan. dada serta paha Ratno mengembang oleh dorongan naluri membela diri.
Diam-diam. Miranti menguntit di belakangnya. Bukan karena ingin ikut. Melainkan semata mata karena tidak mau ditinggal sendirian di kamar tidur. Ketika Ratno menjangkau pegangan pintu. Miranti menyambar lengan suaminya. Ratno sampai kaget sendiri, hampir marah, namun naluri ingin melindungi menekan kemarahannya itu jauh ke sanubari.


Wajah Wajah Setan Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Berdirilah diam diam di belakangku," ia berbisik.
Lalu. jari jemarinya menyentuh anak kunci, sementara tangannya yang lain mengintip lewat celah celah tirai jendela yang sedikit tersingkap. Kegelapan diluar telah diterangi bulan yang semakin benderang, mana lampu beranda ikut pula menerobos kabut. Ia melihat
sesosok tubuh kehitam hitaman mendekat dari arah perbukitan. dan berjalan sejajar dengan pagar pekarangan pavilyun.
Ratno bergerak cepat dan terampil. .
Kunci pintu disentak berderak, daun pintu direnggut terbuka. Dengan satu kali lompatan ia telah berdiri di beranda seraya berseru lantang"
"Berhenti, siapapun kau adanya!" ,
Terdengar seruan kaget, lantas sosok tubuh ke hitam hitaman itu berhenti, hanya selangkah dari pintu pagar. Di belakang Ratno, Miranti bergidik. Selama beberapa detik. ia pejamkan mata dan berdo'a semoga makhluk itu tidak menghambur menyerang ia dan suaminya.
"Siapa kan"," Ratno bertanya kejam.
Sepi menyentak sejenak, Miranti hampir Jatuh pingsan.
Lalu: "Saya, juragan...." terdengar jawaban parau.
"Saya siapa?" "Pardi." Seketika itu juga. Miranti membuka kedua belah matanya. lalu berdiri tegak di samping Ratno. bersama sama menatap sosok tubuh kehitaman yang tampak tegak dengan gelisah di luar pagar. Karena belum yakin, Ratno mendengus:
"Mendekatlah. Supaya aku dapat melihatmu."
Sosok tubuh itu bergerak ragu ragu ke pintu pagar. membukanya dengan suara berderit kemudian melangkah memaSuki pekarangan. Dalam sekejap. ia telah berdiri dihadapan kedua orang muda itu. Gelisah dan ketakutan tergambar di wajahnya yang kehitam hitaman. Lampu beranda menerangi sekujur tubuhnya. Ia tidak saja berkulit kehitam-hitaman, tetapi juga berpakaian
warna gelap. Pantaslah penampilannya menakutkan ketika muncul dari balik kabut. Namun, meski telah mangenali laki laki itu sebagai pelayan di rumah induk semang nya, Miranti belum puas
"Apa apa kerjamu di luar"," ia mendesah. lirih.
"Ya, Apa kerjamu di luar",' Ratno mengulang" pertanyaan isterinya. Curiga. _
"Saya baru pulang. juragan," jawab orang itu. Dari kebun."
"Kebun siapa?" 'Ya, kebun siapa lagi. Kebun pak Kutil, tentu. Saya...."
"Mengapa larut malam begini?"
"Oh. itu. Saya pulang sore sore. juragan muda. !'tapi mendadak hujan turun begitu saja. Derasnya bukan main. Dinginnya, beeer orang itu menggigil. dan merapatkan sarung pelekat yang terbelit di lehernya. 'lantas saya berteduh di tengah jalan. Ada ceruk yang lebar dan hangat, hampir-hampir saya ketiduran. Kemudian hujan tahu tahu berhenti, lalu saya...."
"Kau datang dari arah sana. Mengapa?" tanya Miranti bernafsu, seraya menunjuk ke bibir bukit, di mana terletak tumpukan batu-batu hitam misterius yang kini seolah berkumpul diamdiam. mengintai pembicaraan mereka dari kejauhan.
'Saya suka memilih lewat dari situ, juragan. Ada jalan setapak. curam dan berbahaya memang. Tetapi! lebih singkat. dan sekalian melatih mental saya...; ia tersenyum sumbang. "Biar sudah tua saya ingin lebih pingin sehat dan gagah seperti juragan muda." ia menunjuk dengan sopan kearah Ratno yang tinggi kekar dan berdiri kokoh di samping Miranti yang kecil mungil.
"Hem! .' Miranti mendengus, tidak tahu lagi apa yang akan ia utarakan. Ratno demikian pula. Ia merasa puas
telah membuktikan pada isterinya bahwa tidak ada hantu di dunia ini. Miranti tidak perlu takut lagi. Yang mereka hadapi bukan pula pencuri, melainkan pelayan laki-laki induk semang mereka sendiri! Tidak perlu dicurigai sama sekali.
"Boleh saya pergi. juragan" Saya letih dan ingin tidur." ,
Ratno mempersilahkan. laki-laki itu membungkuk sopan. kemudian berlalu Ketika ia menutup pintu pagar, orang itu membungkuk lagi. Baru setelahnya ia bergegas pergi ke bagian belakang rumah besar itu. dimana ia punya kamar dengan kunci tersendiri.
Ratno mengawasi isterinya.
"Puas"." ia tersenyum.
Miranti geleng kepala. "Apa lagi. Mira?" _
"Aku masih curiga padanya."
"Uh. Kukira.... Tetapi marilah kita ke dalam dulu. Dingin sekali di luar sini... ia menarik isterinya ke dalam. yang menurut saja bagai kerbau dicucuk hidung, dengan wajah tetap kelihatan tidak puas dan mata kosong mengambang seakan terhipnotis. Ratno memaksanya supaya tidur saja, tetapi Miranti menolak.
"ia muncul tidak lama setelah aku melihat makhluk itu." gumamnya, serius.
"Makhluk apa?" "Makhluk hitam bertanduk. Dengan mata merah bernyala-nyala!"
"Hai, itu lagi. Apakah Pardi bertanduk?"
"Tidak?" "Matanya merah?"
Tidak." "Jadi?" , "Tak ayal lagi. Ada sesuatu di sekitar tempat ini.
"Ratno. Telah lama aku memikirkannya. Tetapi kau terlalu menganggap sepele. menganggap remeh. malah kukira kau menganggap aku sudah berotak miring. Eh. jangan menyela dulu. Dengarkan aku, Ratno. Aku tidak menyukai tempat ini. Kita harus pindah!"
Ratno ternganga. Tak bersuara. ' "Apa jawabmu?" Miranti mendesak, tak sabar.
"Kau letih. Mira. Kurang tidur. Dan sedang hamil muda. Itu sebabnya kau suka berpikir yang bukan bukan. Dan"."
"Itu lagi!" Miranti menghentakkan kaki ke lantai. Kesal.
"Lantas. apa maumu?"
"Pindah." "Tempat ini enak. Semua yang kau perlukan tersedia di rumah ini. Dan bukankah kau pernah berkata, pak Kutil dan isterinya begitu baik hati, begitu pengasih, sehingga kau benar benar merasa menemukan kasih sayang orang tua yang tidak kau peroleh lagi semenjak ayah ibumu meninggal?"
"Tempat ini membuatku takut
"Takut pada apa?"
"Makhluk itu." "Alaaa, Mira.?"
"Kau percaya si Pardi. ya"." Miranti menukas. "Ia selama ini tidak banyak bicara. Bahkan jarang terlihat"
"Itu karena ia tahu diri. Dan soal jarang terlihat. karena ia tidak saja sering diperbantukan di rumah pak Abu yang tinggal seorang diri itu. melainkan juga karena -seperti ia ceritakan tadi harus sering pergi mengurus kebun pak Kutil."
"Aku tidak yakin. Pasti ada sesuatu yang disembunyikannya."
"Wah. Apa pula itu?"
'Entahlah. Pokoknya sesuatu. yang semata-mata ditujukan padaku. Apa. aku tidak tahu. Namun aku begitu takut. Jangan jangan... memang ia sendiri makhluk jahat bertanduk dan bermata merah bernyala bagai api neraka itu. Aku tak percaya hantu. benar! Oleh karena itu. apa yang kulihat muncul mengerikan ditonjolkan batu yang paling tinggi itu. bukan jelmaan roh jahat. Melainkan buatan Pardi sendiri. Entah bagimana caranya. Yang jelas. ia punya maksud maksud jahat...!"
"Mira, Mira. Kau terlalu menaruh curiga dan...." Ratno berpikir sebentar. Sesuatu membuat kepalanya mendadak dingin dan pikirannya jernih. Lebih-lebih lagi semenjak melihat mata isterinya yang panik serta suaranya yung begitu bernafsu. "Kukira, pendapatmu masuk akal." ujar Ratno. berubah pikiran dengan tiba-tiba saja. Miranti yang sedang terguncang perasaan, tidak menyadari perubahan yang terjadi begitu cepat itu. Dengan serius dan sama bernafsu. Ratno mendesah: "Aku akan menyelidiki orang itu. Tetapi Mira. selagi kecurigaanmu belum terbukti kumohon. Janganlah berpikir untuk pindah."
'Tetapi aku...." 'Nanti dulu. Mira. ingat kita belum lama di sini. Pindah begitu saja tanpa sebab sebab yang jelas, akan membuat tetangga-tetangga dan bapak serta ibu Kutil bertanya tanya. Karena hanya kita berdua orang muda di daerah pemukiman ini. mereka lantas keliru menduga. lalu tersinggung, sakit hati. Itu tidak baik. Masih ada lagi. Aku belum lama bekerja. Belum sempat kumpul-kumpul uang. Memikirkan pindah dalam keadaan kita sekarang. benar benar membuat aku kau pojokkan dalam kesulitan "
Miranti mendengus: "Kau memikirkan dirimu sendiri. Tak kau pikirkan
"Mira...." "Apakah kau telah mengikuti jejak pejabat lama yang kau gantikan" Mengabaikan isteri. dan mulai tertarik pada perempuan lain'?"
"Hai. hai. Apa lagi ini?" Ratno tercengang. Miranti melotot, kemudian berlalu ke kamar tidur tanpa menjawab sepatahpun jua. Ratno kebingungan, kemudian menyusul. Di kamar tidur, ia berusaha membujuk Miranti. Tetapi isterinya tidak mau dibujuk. Ratno kesal sendiri. ikut marah. dan mempersetankan sikap aneh isterinya yang ganjil malam itu. Tempat ganjil malah. Pertengkaran mulut itu berlanjut dalam pertengkaran berupa perang dingin, dan berakhir dengan tidur di ranjang sambil punggung-memunggungi.
*** "Beberapa hari ini kalian tampak tegang." bu Endah berkata hati'hati ketika ia dan miranti tinggal berdua di rumah besar itu. dan sang induk semang yang baik hati itu dengan Sengaja mengundang anak semangnya yang sedang gelisah untuk duduk minum bersama di rumah induk, sekalian mengisi kesepian ditinggal pergi suami masing masing. Ratno ke kantor, dan pak Kutil bersama Pardi turun ke kota. Mengambil uang pensiun di bank.
"Bukannya aku mau ikut campur, nak Mira," desah bu Endah, lembut dan setengah menyalahkan dirinya sendiri. "Namun aku dan bapakmu tak enak makan, melihat kalian berdua berlaku seperti kucing dan anjing," ia tersenyum. "Jangan lupa. kalian sudah. kami anggap sebagai anak sendiri."
Miranti mengucapkan terimakasih. Ragu ragu sebentar. apakah ia harus membukakan rahasia rumah tangganya kepada perempuan tua yang budiman itu. Sambil mengawasi jari-jemari bu Endah yang dengan terampil menggerakkan jarum pada kaos kaki yang ia rajut, ia kemudian bergumam:
"Hanya soal sepele saja. bu.
"Boleh aku tahu?"
"Ah...." "Tak usahlah, kalau kau enggan!" bu Endah tersenyum lagl. "Hanya yaa, tadinya kukira aku dapat membantu."
Sepi sejenak. Lalu tiba tiba: . "Ibu percaya hantu?"
"Apa?" bu Endah kaget. Hampir saja jamm menusuk ibu jarinya. Sekejap kemudian. wajahnya sudah nampak biasa kembali. 'Pertanyaanmu aneh benar. nak Mira."
. "Ibu percaya?" desak miranti.
"Tentu saja percaya."
"Mengapa, bu Endah?"
"Karena selain makhluk nyata. .dunia ini juga dipenuhi oleh hal-hal gaib. Bukankah itu tertera dalam kitab . suci?"
"Yang disebut gaib. bisa saja. dan aku yakin. bu Endah, pasti ditujukan pada ciptaan Tuhan semata...."
"Apakah makhluk gaib bukan ciptaan Tuhan. nak Mira?"
_"Itu aku tak.... Hem. tetapi makhluk gaib itu seperti apakah rupa dan wujutnya. bu Endah?"
"Tergantung dari sudut apa kita merasakan dan melihatnya..." perempuan tua itu menatap Miranti dengan sorot mata tajam. "Kau melihat makhluk gaib. itukah yang kau maksudkan. Mira?" '
"Ya. bu?" __ "Astaga. Dimana?"
Mira menyebutkan tempatnya. Kemudian menceritakan suasana serta bagaimana rupa makhluk yang pernah ia lihat. Bu Endah mendengarkan dengan takut. dengan sesekali mengucap sesuatu samar samar. sesekali geleng kepala. dan pernah sampai mengatakan "Setan Itu dia. Sang Penguasa" Ia mengucapkannya begitu samar, sehingga Miranti tidak mendengar, hanya bercuriga ketika melihat wajah bu Endah berubah kemerah-merahan serta matanya kelihatan berkilat kilat penuh semangat.
"ibu merasakan sesuatu"' Desah Mira. ingin tahu.
"Oh. Hanya kegembiraan."
"Mengenai?" "Ceritamu. Ceritamu itu membuktikan kebenaran yang telah disebut dalam kitab suci. Tentang adanya Penguasa di muka bumi. Ah. jangan bertanya apa-apa dulu. Aku juga sama bodohnya seperti kau dalam soal soal begituan. Namun aku percaya. sesuatu akan lahir di dekat kita. dan sesuatu itu diberi pertanda lewat apa yang kau lihat."
"Makhluk jahat itu?" Miranti terkejut.
_ "Siapa mengatakan yang kau lihat itu makhluk jahat, anakku?"
"Tidak " eh. aku...."
"Pernah kau diganggunya?"
"Tidak." "Jadi. ia baik. Selama ia tidak mengganggu, ia tidak jahat..." bu Endah berkata khidmat. Melihat anak semangnya kebingungan. ia mengalihkan percakapan pada hal lain: 'Oh ya. sambil lalu aku ingin tanya padamu. nak Mira. Apakah kau mencurigai si Pardi?"
'.'Bu aku..." Miranti terpojok.
"Tak usah cemas. Ia hanya pelayan di sini. Tenaganya pun tidak begitu kami perlukan, kecuali di kebun. dan sesekali menemani pak Abu yang sudah tua itu. kalau ada sesuatu yang tak dapat dilakukan pak Abu seorang diri. Memang belakangan ini Pardi jarang sekali di rumah. Kukira ia memperoleh seorang majikan baru secara diam diam. tetapi tidak memberitahu. Ia memang suka berlaku aneh aneh... tetapi bertanduk dengan mata merah bernyala, kedengarannya menggelikan."
"Apa saja yang aneh aneh dari kelakuannya. bu'?"
"Ah. tak jelas benar. Didekatku, ia biasa biasa saja. Hanya kalau ia sudah jauh dari rumah ini. dan sering berkumpul dengan orang-orang kampung tak jauh dari lembah. kudengar ia sering berbuat aneh. Aneh macam apa. aku sendiri tidak jelas. Tetapi setelah mendengar kisahmu yang menakutkan itu. aku kira aku dan bapakmu harus lebih berwaspada."
Kaos kaki itu selesai ia rajut.
Lalu diletakkan di keranjang. dimana hasil rajutan nya yang lain telah bertumpuk tumpuk. Dengan sengaja ia arahkan perhatian Miranti pada keranjang itu. sekedar untuk mengalihkan bahan pembicaraan dengan halus.
'Delapan setel. Kaos kaki dan kaos tangan. Cukuplah. nak Mira"'
Untuk apa. bu"'' 'Astaga, kandunganmu tak lama lagi akan lahir. bukan" ' bu Endah pura pura tersinggung
'Untuk anakku" Miranti terkejut Telah lama ia perhatikan kesibukan induk semangnya merajut. Namun tak pernah ia duga. hasil rajutan itu untuk anaknya, terutama yang mengherankan dia, karena bentuknya yang ganjil. "Aduh. bu. Aku sangat berterimakasih' ia memegang tangan perempuan itu dengan perasaan terharu. "Tetapi
"tetapi apa nak Mira"
"Dari dulu kuperhatikan. hasil rajutan itu... yah. agak aneh. Yang mana kaos kaki" Yang mana kaos tangan" Hampir serupa bentuknya. Dan apakah tidak terlalu panjang lengannya?"
"Jadi. tak ada beda kaos tangan dan kaos kaki?" bu Endah mengernyitkan dahi. "Ya ampun. rupanya hal itu baru kusadari sekarang. Maklum sudah tua bangka sudah lama tidak mengerjakan hal yang serupa. Untung kau ingatkan. nak... Hem, untuk apakah ini cocok di pakai?"
"Kaos kaki saja, bu. Tetapi kebanyakan."
"Biarlah." "Lagipula. bu." Miranti mengamat amati salah satu kaos ditangannya 'Lengannya yang kepanjangan ini, dapat sebagai pengganti kaos. Cuma ya bu. apa bentuk ujung pada kaki nantinya. tidak terlalu bundar."
"Biar saja. nak. Agar jari jari kaki si kecil tidak terjepit." ia mengambil benang rajut. Jadi aku akan memulai lagi Membuat kaos tangan. Tetapi nanti dulu. Bau apa itu. dari dapur"
"Biar kulihat. bu. ' Miranti bangkit dan bergegas pergi ke dapur.
"Ah. rupanya bu Endah menjerang air dan lupa mematikan kompor. Air di periuk telah habis kering. dan dasar periuk hangus mengering, tinggal warna kehitam hitaman yang mengepulkan asap berbau pesing. Dengan bantuan sehelai lap. Miranti mengangkat periuk dan meletakkannya di atas meja perabotan yang permukaannya terbuat dari porselen.
Waktu memadamkan kompor perhatiannya tertarik pada bahan bahan masak didekatnya. Ada setengah periuk susu. rempah-rempah, kemudian setumpuk maru di atas sebuah piring. Rempah rempah itu baunya bukan main. sehingga kepala Miranti agak pening, ditambah sebagian maru itu belum kering benar sehingga tampak darah masih kental meleleh di tengah tengah piring. ia tahu. semua itu disediakan untuk nanti di berikan padanya seperti biasa, rasanya ia ingin muntah. Darah merah kehitaman itu membuat perutnya mengulah.
Ia lari ke kamar mandi. Dan di sana. muntah benar benar. Keluar dari kamar mandi. perasaannya lebih enak. Ia berpaling kearah lain waktu melewati dapur. Dan karena perbuatannya itu. matanya menangkap sesuatu yang aneh lewat sebuah pintu gudang yang agak terbuka. Mua mula. ia terkejut dan menduga ada banyak wajah-wajah mengerikan mengintai dari dalam kegelapan gudang. Ia tertegun. tak dapat bergerak gerak. Matanya melotot. menunggu dengan ngeri kalau kalau wajah wajah mengerikan itu muncul dan menyerangnya.
Namun, saat demi saat berlalu tanpa terjadi apaapa.
Tidak ada suara apa apa dari gudang. Tidak ada gerakan. Dan ketika mata Miranti terbiasa dengan kegelapan yang temaram dibagian dalam gudang lewat pintu dari tempatnya berdiri. ia melihat apa yang di sangkanya wajah wajah mengerikan. Ternyata cuma topeng topeng belaka, dengan cat warna warni yang simpang siur sehingga tampak mengerikan. Topeng topeng itu banyak sekali jumlahnya. bergantungan pada paku di tembok gudang.
"Periukku periukku, pasti hang.... Eh. apa kerjamu disitu. nak Mira?" tahu tahu saja bu Endah telah berdiri di pintu masuk ruang tengah. memperhatikan Miranti. Mata perempuan itu berkilat ganjil. Sekejap cuma. lalu ia berjalan mendekati Miranti. "Hem. Kau tentu terkejut melihat benda benda busuk itu." ia berkata lunak, seraya
menutupkan pintu gudang cepat cepat.
Miranti menarik nafas. Lalu mengurut dada. sehingga paru parunya terasa lapang kembali .
'Buat apa topeng topeng mengerikan itu bu?" tanyanya. setengah berbisik.
"Mana aku tahu." runggut bu Endah gusar. Itu pekerjaan si Pardi. Katanya sih untuk dijual kalau turun ke kota. Tetapi nyatanya. ditumpuk saja. mengotori gudang. Hem. hem." bu Endah kelihatan sangat gusar. "Kalau besok ia tidak memindahkannya akan kubakar semua topeng-topeng busuk itu!"
Seolah tidak menyukai persoalan ini ia menoleh ke arah dapur.
Katanya: "Jadi periukku yang rusak tambah satu lagi ya?" ia angkat bahu. menarik Miranti kembali ke tengah rumah induk seraya berkata tak acuh 'Biarlah. Masih banyak yang lain."
Namun percakapan mereka tidak menyenangkan lagi.
Pemandangan di dapur. kemudian di gudang telah membuat perasaan Miranti tidak menentu. Terutama topeng topeng itu. Mengingatkannya pada sesuatu. Apakah ia pernah melihat topeng-topeng sejenis" Di pasar" Di toko" Atau disekitar tempat ini" Topeng yang bergerak-gerak. Tetapi dimana" Kapan" Bagaimana" ia mengingat ingat setengah mati, namun sia sia.
Akhirnya ia minta diri untuk masuk ke paviliun.
Bu Endah tak dapat menahannya. Perempuan tua itu melepas ia pergi lewat pintu penghubung. Begitu Miranti tidak tampak lagi. bu Endah bersungut sungut sendirian.
"Celaka! Celaka! Apa yang harus kuperbuat?"
Dan ia merajut dengan gugup.
Akibatnya. jari telunjuknya tertusuk jarum. Ia tidak kaget atau kesakitan. Ia biarkan bekas tusukan jarum mengeluarkan butir butir darah Lalu setelah darah itu hampir menetes, ia bergumam: Abuuuu. abuuuu, abuuuu." lalu menjilati darah itu. Bekas tusukan tidak tampak sama sekali. Lenyap mengebu begitu saja.
Sambil menatap jari jemarinya, ia mengeluh'
"Topeng..." lalu. wajahnya berubah cerah "Ya. Topeng. Mengapa tidak" Pardi dan topeng Sungguh cocok." .
Lalu ia bangkit. Berjalan keluar rumah. seraya bergumam puas;
'Aku harus beritahu dia. Dan minta persetujuannya?" .
Tak lama kemudian dia menghilang di balik pintu salah sebuah rumah yang terdapat di daerah pemukiman terpencil di atas perbukitan itu.
* * * Ratno pulang menjelang malam.
ia makan diam diam ditemani Miranti. Tak seorangpun mereka yang berbicara. Miranti masih terpengaruh oleh apaapa yang ia lihat siang harinya. dan yang jelas ia masih marah pada suaminya yang begitu menyepelekan pendapatnya selama ini. Padahal bu Endah. yang begitu tua dan tentunya sudah berpengalaman. menyetujui dugaan Miranti. Bahwa ada makhluk jahat di sekitar mereka dan....
"Mira?" Ratno bergumam tiba-tiba.
"Nggg?" Miranti tidak mengangkat muka.
'Aku sudah menghubungi... hem. maksudku. tanpa
persetujuanmu aku telah menghubungi beberapa orang teman teman dekatmu."
"Untuk?" barulah Miranti angkat muka, memandang suaminya. bingung.
"Kukira kau kesepian. Dan yah. bukankah tiap kali kita merencanakan punya anak, kita selalu mengundang makan seorang dua kawan kawan baik" Jadi, harap kau maafkan aku. Mereka kuundang untuk makan malam di rumah kita." lalu Ratno menyebut beberapa nama, yang tiap nama membuat wajah Miranti yang keruh berubah cerah. makin cerah dan cerah. '
"Kapan?" ia berbisik pelan, oleh luapan kegembiraan.
"Sabtu malam. Minggu depan "
"Oh, " Miranti telonjak dari kursinya. berlari memeluk si suami. "Alangkah senangnya. Telah lama aku merindukan mereka semua. Hem. hem. apa apa saia yang akan kuhidangkan ya?", ia mereka-reka sejumlah nama dan jenis masakan. dan tiba tiba. seraya merenggangkan pelukannya. ia berbisik dengan suara manja: 'Mengapa kau tiba-tiba begitu baik padaku, Ratno"'
"Karena aku merasa bersalah," Ratno tersenyum gembira. 'Aku lupa kau tengah mengandung, Seharus nya aku tidak keras kepala dan yah .. mengapa pula kita pertengkarkan soal soal sepele itu?"
Mereka berciuman sejenak.
Mesra. "Dan: "Mira?" "Ya Ratno?" "Sekarang. aku akan berjaga jaga Supaya kau dapat tidur nyenyak. Maafkan, selama ini aku terlalu menurutkan nafsu tidurku sendiri. Jadi, Mira, mulai malam ini aku akan tahu diri. Sehingga kalau makhluk yang kau
ceritakan itu muncul...."
Makhluk itu baru muncul malam berikutnya.
Miranti baru saja terlelap. ketika Ratno membangunkannya dan berbisik dengan suara gugup:
"Aku melihatnya!"
Miranti segera bangun. Di luar, hujan memang turun. tetapi tidak begitu deras. Suara anginpun tidak terdengar membadai. Namun ada kilat menyambar sesekali, dan guntur yang mengguruh samar samar. Miranti dengan gemetar menempel di belakang suaminya ketika Ratno mengajaknya berjingkat jingkat ke jendela. lalu dengan hati hati menyingkapkan tirai.
Gelap sekali di luar. Tetapi tidak demikian halnya. ketika petir menyambar. Dalam perubahan cuaca yang sekilas itu, kelihatan tumpukan batu-batu hitam di bibir bukit. Selebihnya. tak ada apaapa lagi.
"Aku tak melihat...."
'Sssst!" Ratno meletakkan jari telunjuk di bibir. "."Sabar
Sabar" Lucu benar kau ini, pikir Miranti. ia masih gemetar. namun bersama suaminya ia merasa tidak setakut sebelumnya. Anehnya. ketika kilat menyambar lagi di luar rumah. dan ia melihat sesuatu di permukaan tonjolan batu yang paling tinggi. ia juga tidak setakut sebelumnya. Dengan mata nyalang ia melihat makhluk itu.
Berdiri lurus di atas batu. Hitam pekat. dengan posisi langsung menghadap ke jendela tempat mereka mengintai. Dua kali petir menyambar. Dua kali Miranti melihat bentuk seperti tanduk. mencuat di kiri kanan kepala makhluk misterius itu.
"Mau apa kau?" Miranti tersentak. ketika Ratno berjalan ke pintu.
"Memergoki dia' "Dia siapa?" barulah Miranti ketakutan
"Hantumu yang terkutuk itu!"
Sebelum Miranti sempat mencerna arti ucapan suaminya. Ratno telah membuka pintu dan dengan kecepatan yang tidak terduga. ia menghambur keluar rumah, berlari di bawah siraman hujan menuju tumpukan batu-batu hitam di tempat ketinggian itu.
Guntur menggelegar di langit kelam.
Dan lantai tempat Miranti berpijak seakan tergoncang tiba-tiba.
*** TUJUH PADA malam yang sama, dalam kamar sempit tak jauh di belakang pavilyun. Supardi gelisah setengah mati. Begitu masuk tidur. ia telah dapat merasakan ada sesuatu yang tengah menunggunya di luar. Sesuatu yang bersembunyi di balik kegelapan malam yang dingin berkabut. Sekali ia buka pintu atau jendela. ia pasti langsung diterkam. Dicekik. Dicabik-cabik. Dan kalau itu terjadi, ia tahu pula, bahwa ia tidak akan mampu melakukan perlawanan.
Sore tadi. perasaan itu belum timbul.
Ia sengaja menemui kedua majikannya. Mengutarakan niat, minta berhenti. Baik sebagai pelayan, maupun pengurus kebun. Tentu saja suami isteri pak Kutil kaget bukan kepalang. lama kedua majikannya saling bertukar pandang, sebelum pak Kutil membuka mulut:
'Begitu mendadak. Astaga' Apakah kami telah mengecewakan kau selama ini Pardi?"
"Saya cukup puas. juragan...."
lantas" "Saya eh. saya bemaksud menikah dalam waktu dekat ini,' Supardi mengakui dengan malu malu. Ia harapkan. pengakuannya yang terus terang itu dapat menggembirakan hati kedua orang majikannya. Nyatanya tidak. Pak Kutil tertegun. Dan bu Endah kelihatan bingung.
"Hem... ' majikannya yang lelaki, menarik nafas panjang. 'Jadi kau ada kemajuan. Bagus! Kami senang mendengarnya . " namun tekanan suaranya sama sekali tidak menampakkan rasa senang. "Lantas. mengapa harus pindah" Ajak saja isterimu tinggal bersama kita."
"Ia tidak mau. juragan. Sudah saya paksa paksa."
?"Mengapa?" "Anu eh. begini. Ia Sudah janda. Punya anak empat. Katanya, ia tidak ingin menyusahkan, eh lagipula ia sudah punya rumah sendiri. Tak mau meninggalkan rumahnya. Dan. apalagi" Haruskah diceritakan Supardi, perempuan itu telah mengajaknya tinggal bersama. dengan syarat Supardi mau meninggalkan sifat sifat buruknya selama ini. itu. bolehlah. Tetapi ucapan yang lain dari si perempuan" Perumahan di atas bukit itu. perumahan orang orang terkutuk' Lupakan mereka' Jangan mau diperbudak setan-setan itu' Mereka semua pasti penjelmaan roh roh jahat yang tengah merencanakan sesuatu yang mengerikan. Entah apa. tetapi mereka dulu konon orang-orang baik dan menempuh jalan lurus
Pokoknya segala macam hinaan yang mengandung curiga.
"Kapan kau bermaksud pindah "'' mendadak bu Endah bertanya .
Supardi menarik nafas lega. Jadi ia tak harus menceritakan alasan mengapa calon isterinya tidak mau di boyong ke atas bukit. dan lebih suka tinggal di rumahnya.
Sesudah membasahi bibir yang sempat kering. Supardi menjawab.
"Sore ini juga!"
Kaget lagi suami isteri itu .
Tetapi tidak lama. Bu Endah kemudian pergi meninggalkan rumah tanpa berkata apa apa. Sedang suaminya. setelah termenung cukup lama. menatap Supardi dengan wajah muram. Katanya:
"Sebenarnya kami merasa berat melepaskanmu. Tetapi karena tampaknya pendirianmu cukup teguh. apa boleh buat. Baiklah. Begini. Saat sekarang kami tidak
punya uang kontan yang cukup membayar sisa gaji dan pesangonmu. Datanglah lain kali. Namun kami ingin memberimu sebuah tanda mata...."
Pak Kutil tertatih-tatih pergi ke gudang.
Ketika kembali. ia memegang sesuatu yang terbungkus kertas dan segera ia sodorkan ke tangan Supar di yang menerimanya dengan kepala dipenuhi tanda tanya. Maklum jalan pikiran pelayannya. pak Kutil menerangkan:
"Hanya sebuah topeng. Tetapi dibuat dari bahan karet yang kuat. dan dirias sangat menarik. ini yang terbaik dari semua topeng yang ada dalam persediaan kita. Eh, mengapa kau gelisah" Wajahmu pun tampak pucat. Sakit?"
"Tid -eh. hanya sedikit pusing. juragan."
"Perlu kuantar ke rumah pak Subagio?"
"Tidak terima kasih. Saya akan sembuh segera." Supardi kemudian pamit. dan berjalan meninggalkan rumah induk dengan langkah goyah dan tangan yang seakan terbakar selama memegang tanda kenang-kenangan itu. Topeng karet. pikirnya dengan cemas. Topeng yang berbau kematian! Topeng berbau maksiat! Topeng yang pantas dipergunakan manusia manusia durjana yang telah melupakan Tuhan!
ia berani mengatakan seperti itu. karena ia sudah tahu.
Bahkan bukan sekali dua ia telah melihat bagaimana topeng-topeng aneh menari nari di bawah jilatan rembulan, di antara suara-suara nyanyian yang bergaung menakutkan di tengah malam buta. Melengkapi upacara upacara ganjil yang kadang kadang sempat mengalirkan darah manusia.. .
Sambil tersuruk suruk menuju kamar pondoknya. Supardi menatap kegelapan malam yang dingin berkabut. Tiba-tiba ia merasa takut. Dan topeng di tangannya seperti bergerak gerak. Karena tidak tahan lagi, ia buang topeng yang dibungkus kertas itu jauh jauh. Entah kemana ia tidak perduli. Yang penting, sejauh tangannya mampu melemparkannya. Kemudian dia pun lari terbirit birit memasuki kamar pondokkannya .
Ia hampir menjerit karena panik dan takut. manakala pintu susah sekali terbuka. Rupanya kunci pintu kali ini mengulah. Sambil terus berusaha mendorong, mengangkat. menekan dan menarik pengangan pintu supaya kunci pas masuk di lobangnya, mata Supardi liar jelalatan kian kemari. takut kalau-kalau ada sesuatu yang menguntitnya diamdiam. Akhirnya pintu terbuka juga, Ia menerobos masuk seketika. dan membanting pintu sampai tertutup. dan menguncinya rapat-rapat.
Namun toh terbaring di tempat tidurnya. tak mendatangkan perasaan aman. Siapa tahu. apa yang ia takutkan telah sempat mengikutinya sampai ke dalam. ketika tadi ia membuka pintu. Dan kini bersembunyi di kolong ranjang. atau di bawah lemari. Ia biarkan lampu menyala terang benderang. dan mencoba tidur. Tidak ada sesuatu yang perlu ia takutkan di kamarnya. Yang ia kuatirkan. justru berada di luar rumah.
Entah mengapa. ia merasa sangat yakin sesuatu telah mengintai diam-diam. begitu topeng tadi ia lemparkan. Sesuatu itu bahkan berusaha mengejarnya. ketika ia membuka pintu, Untung Supardi cukup cepat....
Supardi sudah terbiasa dikejar kejar orang. Jadi bahan olok olok anak kecil. dilempari batu, dicap orang gila, dicemoohkan orangorang tua. dianggapnya makanan sehari-hari. Ia juga tidak merasa aneh kalau mendadak orang yang berpapasan meludahi mukanya begitu saja. tanpa sebab sebab yang jelas.
Pernah sekali. ia ketiduran di pos hansip. Ngorok. Melindur pula. Liurnya melelehi lantai. tanpa ia sadari. Karena jijik. petugas ronda yang masuk pos haram menjamahnya. Tetapi ia harus dibangunkan. bukan" Maka orangorang yang mau ronda. saling berebut usul cara bagaimana yang paling mujarab membangunkan Supardi tanpa harus mengotori tubuh dan pakaian masing masing .
Diambilnya usul yang terbaik. Salah seorang yang paling muda. paling nakal dan dianggap paling jagoan. tampil ke depan. Ia berdiri mengangkangi Supardi yang tidur celentang. menghadap ke mulut Supardi yang mangap seperti mulut buaya siap menerkam bangkai. Orang tadi membuka celananya. lantas kencing sepuaspuas hati di comberan menganga itu.
Tentu saja. minuman ajaib itu membuat Supardi terloncat. Ia mencak-mencak. namun tak dapat berbuat apa-apa kecuali ngacir bagai anjing kurap disodori sapu lidi. Ia merasa terhina. tak pelak lagi. Tetapi ia belum pernah seterhina ketika ia pertama kali jatuh cinta.
Supardi yang gelandangan. makan bagaimana belas kasihan orang tidur bagaimana belas kasihan alam, sungguh celaka. Ia jatuh cinta kepada perawan yang jadi bunga desa. Lebih celaka lagi. perawan itu puteri tunggal. anak sebiji wayang pak Lurah yang terkenal kaya raya. Pemuda pemuda tampan. berkedudukan dan berpangkat terhormat terbang disekeliling bunga desa itu. Termasuk anak pak Camat sendiri. yang pernah mengencingi Supardi.
Tahu diri. Supardi hanya berani mengintip sang kekasih dari kejauhan. sembunyi secepat cepatnya kalau ada yang melihat ada gelisah bagai cacing terperangkap di pasir kalau kebetulan sang kekasih melirik. Perempuan itu lebih terhina dan tersiksa lagi: masa iya. gadis yang paling cantik dan paling kaya di desa. dicintai Supardi. Begitulah. Suatu senja, ketika ia mandi di kali. ia pergoki Supardi mengintipnya dari balik semak belukar.
Sutiningsih, perawan yang bunga desa itu, menjeritjerit setinggi langit. Penduduk desa gempar, dan hampir setiap pemuda mengajukan balas jasa untuk menolong mencari siapa yang dimaksud si perawan ketika ia lari terbirit birit: 'Hantu kudisan! Anjing kurap yang tak tahu ibu bapak! Babi, ular kadal dan segala macam itu.
Mujur Supardi tahu gelagat.
la keburu meloloskan diri. lari ke tengah-tengah hutan belantara. Sakit hatinya tidak terperi. Setelah melewati rawa-rawa yang penuh ular dan kalajengking. ia selamat pula mendaki bukit batu karang yang dihuni binatang-binatang buas.
Tanpa ia sadari. akhirnya ia jatuh tertidur di puncak bukit. tepat di bibir jurang bebatu batu curam. Tumpukan batu batu besar hitam yang menjulang ke langit kelam. seolah memberikan dia perlindungan yang penuh kasih. Dan batu ceper berbentuk altar yang ia tiduri. jadilah ranjangnya yang paling nyaman.
Dalam tidurnya ia menangis. meratap berhiba-hiba:
"Ooo. setan! O. segala dedemit! Kasihani aku. bantulah aku mendapatkan gadisku. Hanya kau yang kupuja. ooo penguasa malam yang hitam. Perlihatkan rupamu. Biarlah aku mengabdi...!"
Alam seolah mendengar puji pujinya.
Dari langit hitam pekat. hujan mendadak tercurah. tumpah dari tempayan raksasa. disertai suara guruh yang menggelegar dan petir yang menciutkan hati. Seketika itu juga Supardi basah kuyup. dan udara malam
yang dingin seolah menghentikan jalan darahnya. Lumpuh dan tak berdaya, ia lengket jadi satu dengan batu yang ia tiduri .
Belum habis kaget dan rasa takutnya mendadak ia dengar suara rendah tetapi menyentuh sampai ke sanubari:
'Kau memanggilku. Supardi?"
Berharap ada seseorang yang ia kenal dan tiba tiba menaruh belas kasihan. mata Supardi jelalatan mencan kian kemari. Tak satupun yang dapat ia lihat kecuali pepohonan berdaun rimbun. semak belukar penuh onak duri. dan tumpukan batu-batu hitam menyeramkan tetap di depan biji matanya.
"Aku di sini. Supardi" ujar suara itu lagi lebih keras.
Siapa kau" Mengapa kau tahu namaku"!' Supardi berteriak. mencoba mengatasi riuh rendahnya hujan badai serta angin topan yang melanda.
"Aku Penguasa mu. anak manusia!"
Petir menyambar beberapa kejap.
Lalu Supardi melihatnya. Tegak di puncak batu yang paling menonjol tinggi. tampak sesosok tubuh besar, kekar. hitam dan dahsyat. dengan mata merah saga dan tanduk di kiri kanan kepala. Makhluk itu menyeringai. tetapi Supardi tidak melihat gigi. lidah atau rongga kecuali gua yang sempit dan dalam dibawah mata yang melotot merah bernyala-nyala itu. Supardi makin lengket ke altar
'Apa apa yang kau inginkan dari aku yang melarat ini"'' Supardi meratap ketakutan.
"Menolongmu." "Apa"' "Melindungimu.' 'Mana mungkin?" ' Bahkan memperoleh kekasih yang kau idam idam kan'"


Wajah Wajah Setan Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

'Aaaa ppaa. aku tak... siapa . mengapa .. Supardi tergagap. Anehnya. keberanian mulai muncul sedikit demi sedikit. Ia nekad tengadah menatap makhluk itu, seraya bertanya ingin tahu:
'Kau tidak meludahiku'" Tidak akan mengencingi aku" Tidak akan memperolok olok aku .."
"Si jelita yang malang. Itukah yang kau dapat dari Sutiningsih?"
"Eh eh kau tahu pula siapa kekasihku"
'Aku tahu apa saja yang kau dan manusia-manusa di sekelilingmu tidak pernah tahu. Dengarkan " sebuah tangan hitam. kokoh panjang menuding ke altar.
Di situ. kelak. perawannya harus kau serahkan padaku'"
Ha" Perawan Sutiningsih?"
Bukan. la milikmu. Aku minta yang lain. Perawan dari hasil perkawinanmu dengan Sutiningsih.
Pernikahan -aku dan Sutiningsih ah. jangan main main kau. raja segala hantu dan dedemit '
Terdengar tawa membahana. seolah mau meruntuhkan bukit terjal itu sehingga Supardi ambil ancang ancang untuk meloloskan diri. Segera suara itu reda. ia kembali memperoleh semangat. lebih-lebih makhluk itu dengan khidmat berujar:
"Di dunia kita sekarang. abdiku. apapun dapat di atur. Apalagi. hanya menjodohkan kau dengan Sutiningsih. Tetapi ingat. anak perawanmu kelak . .
"Kalau laki laki yang lahir'"
"Anak perawan. kubilang. Jangan banyak cingcong kau" mendengar itu. Supardi menciut kembali ketakutan. "Anakmu perempuan. Kuminta ia. setelah cukup umur dan melewati haid-nya yang pertama. tidurkan ia di tempat kau rebahan sekarang. dan biarkan kami berdua. Sekali lagi. biarkan kami berdua! Dengar?"
"Ya. ya paduka! Saya dengar, jungjunganku!" Supardi menyembah-nyembah. menciumi batu altar dengan hormat yang berlebih lebihan. "Tetapi kalau aku boleh tahu. mau kau apakan anak perawanku yang cantik dan cakep itu?"
Supardi bersimpuh. menahan senyum. Sutiningsih bunga desa. pikirnya. Dan aku. paling tampan. paling cakep dan semua laki laki yang berebut mengambil hati Sutiningsih. Cuma. Sutiningsih buta. tidak melihat kenyataan. Kelak. Sutiningsih bakal tahu, setelah anak mereka lahir. Cantik seperti ibunya cakep seperti ayahnya.
Tidak ada sahutan. Juga tak ada guruh. tak ada petir. tak ada hujan, tak ada angin topan. Namun pakaian Supardi. basah kuyup. seolah baru saja keluar dari dalam lubuk yang dingin membeku. Semak belukar disekelilingnya hancur. dan beberapa batang pohon ia lihat baru saja tumbang. akar akarnya seolah direnggut dari dasar bumi.
Selagi ia ternganga. matahari terbit perlahan-lahan.
Segera ia membiasakan matanya. dan menciut manakala ia dengar langkah-langkah kaki mendekat di permukaan tanah lembab dan becek. Ia takut untuk melihat. karena itu ia tangkupkan wajah di balik kedua telapak tangan. Namun rasa ingin tahu tidak dapat ia bendung. Di antara jari'jemari yang sengaja ia longgarkan diam diam. dapatlah ia mengintip siapa yang datang.
Manusia. seperti dirinya. Memang bertubuh tinggi besar. kulitnyapun hitam pekat. namun jelas yang mendekat itu tetap manusia. Manusia itu tersenyum ramah tamah. senyum serta keramahan yang baru pertama kali diperoleh Supardi selama ia hidup. disusui suara lembut menyapa:
"Siapa kau. anakku?"
Supardi menurunkan tangan. Menyebutkan namanya dengan bimbang.
"Apa kerjamu di situ?"
Supardi hampir saja buka mulut mau menceritakan pengalamannya. Tetapi mendadak ia ingat. orang di hadapannya juga laki laki seperti dirinya. seperti pemuda pemuda yang dibencinya. Mana tahu. orang itu tertarik dan lantas jatuh cinta pula pada Sutiningsih. Lebih baik ia simpan saja cerita itu untuk dirinya sendiri. sebagaimana ia ingin memiliki Sutiningsih untuk diri sendiri pula.
Maka. lama kemudian ia baru menjawab:
"Aku kesasar. Karena tak ada tempat berteduh..."
"Anakku yang malang. Kasihan, di bawah hujan lebat dan angin puting beliung seperti tadi. Kau tentunya sangat kedinginan. Apakah kau lapar'?"
Bergolak seketika perut Supardi.
Liurnya meleleh seketika. ia memang mencium bau masakan yang merangsang hidung. entah dari mana datangnya. Begitupun. Supardi merasa perlu hati hati. Barangkali saja orang ini utusan dari desa. bermaksud meracunnya, supaya ia gagal mendapatkan Sutiningsih,
"Bapak siapa?" ia bertanya. curiga.
"Abu. Panggil saja Abu Lahuba Purwadi. Aku tinggal tak jauh dari sini. Mau ikut?"
Tatap mata tajam yang penuh welas asih itu. mau tak mau membuat Supardi hanya menurut bagai kerbau dicocok hidung. Bau masakan yang semakin seronok. melimbungkan tubuhnya. Orang yang minta dipanggil Pak Abu itu lantas bantu memapah Supardi ke rumah tempat tinggalnya. Ternyata di daerah perbukitan yang setahu Supardi jarang dijamah orang orang desanya itu. terdapat sebuah bangunan tua. Mungkin bekas peninggalan Belanda. dengan jalan berbatu yang sudah ditumbuhi semak belukar. Pepohonan rimbun menaungi rumah itu. sehingga matahari pun tak mampu melihatnya. Hampir seluruh bidang tembok sudah ditumbuhi lumut serta benalu yang menyemak. Beberapa bagian malah sudah runtuh Di sana sini terdapat sarang segala macam binatang. Dari laba laba. tikus. sampai kebabi babi hutan.
Tertegun Supardi menatap rumah itu.
"Bapak tinggal di sini?" ia berbisik. tak percaya.
'Sebenarnya belum lama. Aku pendatang dari daerah jauh Seperti kau. kebetulan aku nyasar di sini. Kutemukan rumah ini. dan kurasa tempatnya cocok untuk didiami. Mana harganya murah pula. 'Lelaki itu tersenyum. Ia menatap dalam dalam ke wajah Supardi. baru melanjutkan: Kalau kau mau tinggal dengan aku. kita dapat mempercantiknya bukan?"
Rumah itu memang dapat mereka percantik. dengan jalan membersihkan apa saja yang tak pantas terlihat di tempat tinggal yang khusus buat manusia. Mereka juga dapat memperbaiki beberapa bagian yang rusak dengan bahan baku yang seadanya. Tetapi untuk membuatnya lebih cantik. jelas tidak mungkin
'Aku cuma seorang tua yang miskin. anakku. begitu suatu hari Pak Abu berujar. Dan itulah sebabnya mereka harus puas menempati rumah yang tampak seadanya itu. 'Maklum. cuma seorang pensiunan kecil. Kuharap kau betah di rumah bobrok ini. Untuk sekedar makan dan tempat bernaung dari panas dan hujan. lumayan bukan"
itu sajalah yang pernah diketahui Supardi mengenai pribadi Pak Abu Lahuba Purwadijaya. Seorang tua miskin. yang hidup dari uang pensiun yang tak seberapa. Pensiunan apa. Pak Abu tak pernah menceritakan. dan Supardi segan pula bertanya. Tak ada hal lain lagi yang
dapat dikorek dan diketahui Supardi. Kecuali, Pak Abu suka menyendiri di sebuah kamar tertutup. Tidak mau diusik tidak mau diganggu oleh apapun. meski hanya suara langkah kaki Supardi berjingkat jingkat melewati pintu kamarnya
Sebaliknya. Pak Abu mengetahui banyak hal dari cerita Supardi. Dengan gembira, Supardi yang ketika itu berusia sekitar enam belas tahun dan merasa punya seorang sahabat sekaligus majikan yang baik untuk pertama kalinya mengisahkan riwayatnya sendiri. yang penuh penderitaan. Ia tidak tahu asal usulnya yang sesungguhnya. Lebih banyak ia tahu dari gunjingan orang. Konon. ia lahir di luar nikah,
Ayahnya bekas perampok, yang dihajar orang ketika ketahuan membuntingi gadis anak orang baik baik. Dalam keadaan babak belur. ayahnya berusaha melarikan diri dari keroyokan penduduk. Ia terjun ke sungai yang tengah dilanda banjir. kemudian hanyut. Sejak itu kabar berita tentang ayahnya tidak pernah lagi terdengar. Ia dianggap sudah mati . Kalau tidak dimangsa buaya. tentulah dimangsa hantu sungai yang lain.
Ibunya sendiri, diusir dari kampung. Perempuan itu memboyong perut buntingnya pergi ke hutan. bersembunyi di bagian hutan berawa-rawa. Mujur ada seorang dua penduduk yang menaruh belas kasihan. la mendapat kiriman makanan sesekali.'namun tidak tetap. jumlahnya pun tidak memadai. Kemudian. karena tampak perempuan itu semakin buruk karena harus hidup seorang diri di hutan berawa rawa. membuat orang mulai takut mendekatinya. Ia setengah gila. hampir lupa siapa siapa penolongnya. sehingga ia beberapa kali hampir mencelakakan orang yang datang dengan itikad baik .
Begitupun, ketika Supardi dilahirkan, perempuan itu tetap seorang ibu yang penuh pengabdian pada bayinya .
Supardi besar dan tumbuh di tengah ratap tangis dan penderitaan ibunya. harus mencari makan sendiri sambil menggendong bayi. Enam tahun kemudian. ibunya meninggal dipatuk ular. Supardi melolong. menangis meratap ratap dalam usahanya membangunkan sang ibu yang dikiranya jatuh tertidur.
Ketika mayat ibunya mulai membusuk. ratap tangis Supardi didengar orang yang kebetulan lewat untuk mencari kayu bakau. Mayat ibunya dibenamkan ke dalam rawa. Dan Supardi dibawa ke desa oleh orang yang menemukannya. Malang. semenjak ia menetap di desa. orangtua angkatnya terus menerus tertimpa musibah. ingat masa lalu orangtua Supardi. maka orang-orang pun mengatakan bahwa Supardi anak pembawa sial. Terpaksa ia diusir dari rumah.Hidup bergelandangan dari belas kasihan orang. Yang paling banyak ia peroleh selain makan sisa. tentu saja umpatan cerca dan caci maki. tidak terhitung lagi hinaan hinaan pisik. Begitulah ia tumbuh menjadi dewasa. dibesarkan oleh belas kasihan yang bercampur penghinaan. Tak heran. mengapa Sutiningsih demikian gempar begitu gadis itu mengetahui. Supardi telah jatuh cinta kepadanya. .
"Sabar. anakku." Pak Abu menepuk nepuk bahu Supardi. tiap kali Supardi selesai bercerita. lantas saja menangis tersedu-sedu. "Bukan Sutiningsih saja perempuan yang ada didunia ini."
Tidak. buat Supardi. Hanya Sutiningsih satu-satunya perempuan yang pernah ada untuk ia cintai. Pikiran itu terus mengganggunya Ia hanya terhibur. bila Pak Abu mempercakapkan hal hal lain. Misalnya:
"Di sini. anakku." kata orangtua yang miskin itu. "Kau tak akan terhina lagi. Orang akan menyayangi engkau dan keturunanmu, apabila kau bersikap baik kepada
mereka. Mau membantu apa saja pekerjaan mereka yang dapat kau bantu. Setia, dan tidak melanggar janji. Ingatlah itu. Pandai pandai membawa diri."
Lalu Pak Abu menggambarkan. daerah perbukitan itu tak lama lagi bakal ramai. Tempat itu cocok untuk perumahan. dan orang orang yang mau membangun rumah diatas bukit. pastilah orang orang kaya dan terhormat. "Bersama merekalah kau akan hidup dan menggantungkan masa depanmu." begitu Pak Abu selalu mengingatkannya.
"Betapa jitu ramalan Pak Abu.?" gumam Supardi sendirian, seraya menarik selimut sampai ke lehernya. Udara malam bertambah dingin juga. Di luar. suasana sepi mencekik mulai dimeriahkan oleh bunyi guruh dan petir yang menyambar sesekali. Tak lama kemudian. hujan pun terdengar turun renyai-renyai. membasahi atap atap rumah mewah di sekeliling bukit. Rumah rumah di mana orang orang kaya dan terhormat sepeni kata Pak Abu. tinggal menetap. Baik berpasang pasangan sebagai suami isteri maupun sendiri-sendiri. Ada duda ada janda. Malah seorang ianda menikah di tempat barunya dengan seorang duda.
Sesuai dengan yang diamanatkan Pak Abu. pelan pelan Supardi menyesuaikan diri. Ia mengerjakan apa saja yang dapat ia bantu, kalau ada seorang pendatang membangun rumah tempat tinggal. atau menetap di rumah yang telah dibangun orang lain sebelumnya. Dari mulai kuli kasar. sampai pekerjaan mengepel lantai dan mencuci piring, semua ia kerjakan dengan baik. Semua orang boleh dikatakan menyenangi Supardi.
Dan semua mereka. berusaha mendapatkan Sutiningsih untuk dijodohkan dengan Supardi. Entah bagaimana caranya, niat itu terkabul juga. Itu beberapa tahun kemudian. Setelah Sutiningsih kawin cerai sampai tiga kali. dan tiap kali suaminya mati tak lama setelah menikah. Ada yang karena kecelakaan di jalan raya. ada yang sakit demam malaria, dan yang ketiga sakit ingatan lalu bunuh diri.
Masih terbayang di mata Supardi. pertemuan mereka yang beriwayat.
Pagi itu Supardi menyusuri sungai. mancing. Karena lagi sial, ia tak dapat ikan cukup banyak. Ia terpaksa sering berpindah pindah tempat, sampai akhirnya ia tiba di sebuah belokan sungai, di tempat mana ia lihat seorang perempuan tengah bergulat melawan tiga orang laki-laki muda yang rupanya mencoba memperkosanya.
Supardi menjatuhkan salah seorang dari mereka dengan sekali tinju. Dua yang lain kabur terbirit birit. Yang jatuh. bangkit dengan segera. lantas lari pula sipat kucing tanpa menoleh lagi ke belakang. Bernafas lega. Supardi menatap perempuan yang terkulai lemah dengan kaki terjulur di tebing sungai itu. Si perempuan balas menatap. Dan mereka sama-sama terkejut .
"Ningsih!" Supardi berbisik, parau.
"He! Kau... bukankah kau Pardi?"
Meski cuma buruh rendahan. namun tinggal di tengah tengah lingkungan orang kaya serta beradab. mempengaruhi penampilan Supardi di depan mata Sutiningsih. Perempuan itu masih ingat masa lalu, mereka. namun tidak menjerit apalagi melarikan diri ketika Supardi membantunya berdiri.
"Mari kau kuantar pulang." Supardi mendesah dengan suara gemetar.
Dalam perjalanan pulang. ia mengulangi apa yang
sekian tahun sebelumnya pernah ingin utarakan ke pada Sutiningsih.
"Maukah kau kawin denganku?"
"Tanya saja pada abah!" Sutiningsih menjawab tanpa ragu ragu
Bukan Supardi yang pergi melamar. Melainkan Pak Abu yang telah diangkat sebagai kepala kampung di atas bukit. ditemani oleh dua tiga orang tetangga berwajah dan berpakaian sama mentereng. Lamaran itu. dengan Sendirinya diterima sekali jadi. Dengan catatan. orang tua SutiningSih tidak bertanggung jawab kalau Sutiningsih menjanda untuk keempat kalinya.
Pernikahan itu berlangsung di atas bukit. Diiringi doa-doa yang aneh.
Pak Kutil menyediakan pavilyun rumahnya untuk ditempati Supardi dan isterinya. Sebelum mereka naik ranjang di malam pertama. Pak Kutil yang suka usil berbisik di telinga Supardi.
Pelan-pelan naiknya "
Bu Kutil membentak suaminya, gusar.
Pak Kutil enak saja menyahut"
"Dasar kau jorok. Bu. Yang kumaksud. naik tempat tidurnya. Salah satu kaki tempat tidur itu. bukankah pernah patah"'
Supardi hidup berbahagia dengan isterinya. Namun. musibah yang dibayang bayangkan orang ketika Supardi melamar Sutiningsih. terjadi juga. Hanya kali ini berbeda. Supardi tetap hidup. segar bugar. Yang meninggal justeru Sutiningsih. ketika satu-satunya anak mereka. bocah perempuan lucu dan cantik. baru saja belajar berjalan. Meninggalnya Sutiningsih. terasa menyakitkan hati. Tetapi karena kehadiran si kecil Partinah. sedikit banyak dapat menolong penderitaan Supardi. Lain halnya dengan orangtua Sutiningsih. Mereka tak
dapat menanggung kesedihan ditinggal mati anak kesayangan mereka. Apalagi. mereka pernah berharap. kalau toh ada yang mati. hendaklah bukan Sutiningsih. seperti pernah terjadi pada tiga kali perkawinannya sebelum itu. Kedua mertua Supardi meninggal saling susul menyusul tak lama setelah Sutiningsih pergi ke alam baka.
Tinggallah Supardi. dengan Partinah tersayang.
la sayangi. disayangi Pak Abu. disayangi Pak Kutil dan isterinya. disayangi oleh semua orang yang tinggal di atas bukit. ia tumbuh dan besar bersama mereka. Sampai tibalah haidnya yang pertama.
Ketika itu Partinah baru menginjak usia sebelas tahun.
Masa haidnya yang pertama habis pada suatu malam yang dingin. dengan rembulan empat belas hari bersinar terang benderang tepat di ubun ubun langit. Supardi baru saja rebah untuk tidur menyusul Partinah. ketika pintu pavilyun diketuk dari luar. Ketika ia buka. ia sangat terkejut melihat wajah wajah mengerikan. Setelah ia simak baik baik. barulah ia sadari. wajah wajah itu milik tetangga tetangganya sendiri. yang semuanya mengenakan topeng karet berbagai rupa dan coretan cat warna.
Di balik topeng itu tak dapat ia kenali mereka satu persatu.
Ia juga tak pernah tahu tetangganya yang mana yang tiba tiba tampil ke depan. lantas berujar dengan suara dalam:
"Kami datang untuk mengambil anakmu."
Berdesir sekujur pembuluh darah Supardi.
"Anakku"' ia berbisik. sambil mengingat-ingat sesuatu yang ada hubungannya dengan maksud mereka datang.
"Benar. Bukankah kau telah berjanji?"
Supardi melarikan diri ke ceruk di lereng bukit berbatu karang ketika anaknya di bawa orang orang bertopeng menuju altar batu yang tergeletak di bibir bukit itu. Dari ceruk di bawah sana. Supardi mendengar anaknya menangis melolong lolong. berteriak teriak kacau. Antara terkejut dan takut. Supardi masih dapat bertahan tetapi ketika anaknya memanggil manggil
Bapaaaakkk.. . Aduh, tolong Bapaaaaak sakiiiiit
Ia tak tahan lagi Langsung melompat keluar ceruk. mendaki tunggang langgang ke atas bukit. Tiba di dekat gundukan batu hitam itu, ia terpesona. Orang-orang yang tadi mendatangi rumahnya. semua meliuk-liuk berkeliling setengah lingkaran di dekat altar. sambil menyenandungkan lagu lagu magis yang menggigilkan bulu roma. Dan dipermukaan altar, sesosok tubuh kekar. hitam berbulu. memiliki tangan-tangan dan kaki kaki yang aneh pula bentuknya. bertanduk kembar di kepala --tengah mengangkangi tubuh anak perawannya yang telanjang.
Supardi tidak bersuara, apalagi bergerak.
Tetapi makhluk itu tetap saja mengetahui kehadirannya. Mendadak. tubuh tinggi kekar dan hitam itu meloncat dalam posisi tegak yang ganjil. Lantas dengan mata merah bernyala-nyala bagai lidah api yang menyambar menghanguskan. makhluk itu menggeram kepada Supardi:
'Abdi celaka' Hamba yang tak tahu membalas guna! Kau telah memberantakkan semua rencana. Tak bakal lahir calon penguasa yang kita tunggu-tunggu. Tak akan, tak akan" Tidak. dari rahim anak perawanmu!"
Selesai menggeram. makhluk itu lenyap secepat kilat dalam kegelapan. Tak ada yang berani menatap.
Tak ada pula yang berani membuka mulut. Supardi hanya termangu mangu. Dan wajah-wajah bertopeng itu sama bungkam lalu bubar diam diam. pulang ke rumah masing-masing. Barulah setelah itu Supardi tersadar. la berlari mendekati anaknya yang terkulai lemah dan kesakitan di permukaan altar. Altar itu dilelehi darah.
*** Supardi menggigil. Takut dan marah memenuhi kepalanya karena membayangkan nasib Partinah yang malang. Perasaan takut itu dikalahkan perasaan marah. manakala ia bangkit. Turun dari tempat tidur. dan berjalan ke jendela dengan langkah langkah tegas. Ia mengintai ke luar, lewat tirai yang ia singkapkan.
Tak ada apa apa, kecuali kegelapan. dan hujan yang menderas.
Barangkali, suara gesekan gesekan aneh yang barusan ia dengar di daun jendela, bukan berasal dari jendela itu sendiri. Mungkin dari gesekan cabang cabang pepohonan yang tampak berdiri di luar sana. tinggi menjulang ditengah kegelapan malam yang menghitam. Hujan kian menderas. Suaranya bersorak sorak. Riuh rendah.
Malas. Supardi melepaskan tirai .
Ia kembali ke tempat tidur. Duduk mencangkung. memikirkan apa yang harus ia lakukan sekarang. Sudahlah. masa lalu. Anaknya toh telah mati ketika ia temukan di altar batu yang dilelehi darah itu. Memang anak itu bernafas ketika Supardi memeluknya. Masih sempat memanggil nama bapaknya, mengadukan azab sengsara yang ia derita. Tetapi anak itu toh mati juga, beberapa helaan nafas setelah pengaduannya terakhir, Ia tidak
perlu menyesali orang-orang yang datang mengetuk pintu rumahnya.
ia yang harus mempersalahkan diri. Karena janjiya. yang dulu ia tidak pikirkan matang matang. Nasi sudah menjadi bubur. Kejam dan mengerikan, memang. tetapi demikianlah kehidupan yang diam diam ia rasakan selama ini merambati atap rumah demi atap rumah yang ada di atas bukit. Termasuk atap pavilyun yang dulu ia tempati, dan bertahun tahun kemudian ganti ditempati oleh sepasang penghuni baru. Suami isteri muda belia. yang sangat menarik hati. Karena ketampanan yang suami. dan kecantikan yang isteri. Terutama. karena usia mereka yang belia!
'Manusiamanusia yang malang" Supardi bergumam, lirih, sambil menatap kosong ke jendela kamarnya yang scmpit. Kamar yang ia tempati semenjak datangnya penetap baru di pawlyun. "Seharusnya kalian tidak datang ke tempat terkutuk ini. Seharusnya jangan. Jangan Jangaaann...!'
Ia memukuli pahanya dengan tinjunya yang terkepal, kemudian menangkupkan wajah di balik kedua telapak tangan. Menangis tersedu-sedu. sambil meratap getir:
"Tidakkah kalian tahu nasib yang menimpa anak perempuanku?"
Tiba tiba ia berhenti menangis.
Mengapa harus memikirkan Partinah. Sekian kali lagi, ia sudah mati. Dan suami isteri muda pendatang baru itu. toh bukan siapa siapanya. Buat apa meributkan mereka. Yang penting. ia harus memikirkan diri sendiri, dan masa depan. Masa depan yang sempat suram, setelah Sutiningsih mati. setelah Partinah juga mati, Masa depan itu dua bulan belakangan ini kembali bersinar, seperti bersinarnya matahari pagi di sebuah rumah
kecil. beberapa ratus meter letaknya dari kebun Pak Kutil.
_ Sudah lama ia mengenal penghuni rumah itu. Seorang laki laki berusia lanjut, tetapi sakit sakitan karena paru-paru yang kronis. Mereka konon dulunya orang yang termasuk kaya, sebelum kekayaan itu mulai di gerogoti paru-paru yang di-idap laki-laki kurus kering itu. Terpaksalah mereka pindah ke rumah yang lebih sederhana. Dibeli pula sebidang tanah sawah, cukup untuk hidup seharihari. Tentu saja keempat orang anak-anak mereka harus berhenti sekolah, dan ganti jadi petani di sawah.
Karena tempatnya bekerja berdekatan dengan letak rumah itu. dengan sendirinya mereka sering bertemu. Supardi yang merasa iba kepada penderitaan mereka. dan ingat pada dirinya sendiri serta masa lalunya yang penuh pahit getir, lantas berusaha menolong sedapat dapatnya. Tanpa setahu Pak Kutil, uang gaji yang di terima Supardi sebagian besar ia sumbangkan kepada keluarga yang terkena musibah itu. Hasil tanaman palawija sebagai penyeling pohon-pohon cengkeh, tiap kali panen ia singkirkan sebagian untuk mereka, dan kepada Pak Kutil ia berbohong makin banyak saja pencuri belakangan ini!
Dan pencuri itu, mau tak mau ikut belasungkawa. ketika suatu hari si sakit menghembuskan nafas juga. Sesaat sebelum meninggal, ia memegang tangan Supardi dan meninggalkan pesan yang merupakan orang yang mau mati:
"Jagalah anak isteriku "
Itu saja. Tak lebih. Tetapi ia bersedia. Meskipun kemudian, arti kalimat pendek itu ditangkap lain oleh janda si mati. Ia punya anak empat, tak jadi soal. Ia toh belum begitu tua. Dan wajahnya masih memiliki sisa sisa kecantikannya di
masa lalu. serta telaten pula merawat tubuh sehingga tampak tetap menarik di mata lelaki. apalagi laki laki yang sudah lama menduda dan kesepian macam. Supardi. Mereka makin sering bertemu. Dari bertemu. kemudian membuat rencana. Dari rencana itu, lahirlah gagasan sore tadi. Minta berhenti kepada majikannya!
Supardi menghela nafas panjang.
Hujan di luar rumah telah mulai reda. Tinggal renyai renyai Guruh sesekali masih mengguntur dan petir sesekali masih pula menggelegar, diselang seling desau angin yang menyapu lirih kian kemari.
Eh, tunggu. Masih ada suara lain.
Suara menggesek-gesek. Kali ini bukan di daun jendela seperti tadi. Melainkan di daun pintu sebelah luar. Supardi mendadak ciut lagi. Tetapi kemarahannya masih bersisa. Dengan itu. ia memberanikan diri. bangkit menuju pintu. dan membukanya sekaligus. Memberanikan pula menatap kegelapan malam berhujan di luar, seraya menggeram
Setan terkutuk! Berhentilah menggangguku"
Guntur menggelegar di langit kelam, menyambut tantangannya. Hujan berdesah desah menakutkan. dan angin mendadak diam. Supardi terpana. Ciut lagi. Bersyukur tak ada apa apa yang menerkamnya dari balik kegelapan. ia memutar tubuh Bermaksud masuk dan tidur lagi. Lalu ia terpaku. Tegak mematung di tempatnya berputar setengah tadi.
Topeng karet yang ia buang tadi, tampak menyeringai di depan biji matanya. Topeng karet itu seperti lengket jadi satu dengan daun pintu. Bentuk dan corat coret cat warnanya menyerupai wajah seekor binatang yang mirip kuda. atau kambing, atau campuran lembu. Dalam jilatan sinar lampu kamar yang merembes sampai ke pintu. ia lihat semacam telinga di kedua sisi topeng.
bergantung lemas. Jadah!' umpat Supardi perlahan. setelah rasa kagetnya lenyap sedikit demi sedikit. 'Mereka rupanya mau memperolok olok aku. eh"''
Lalu ia mengangkat tangannya. Menjangkau topeng itu, dengan maksud menggedor pintu rumah induk dan melemparkan benda terkutuk itu ke wajah Pak Kutil. Namun lagi lagi gerakannya setengah jadi. Lengan yang terangkat itu berhenti di tengah jalan. karena nyata jelas apa yang tadi ia perkirakan telinga. bergerak perlahan lahan. sampai tegak dengan kukuh. Tanduk Topeng bertanduk!
Bagaimana mereka dapat membuat topeng itu bergerak dengan sendirinya"
Belum lagi Supardi sempat mencerna pertanyaannya sendiri itu. wajah topeng itu mulai berubah. Matanya yang dicat merah. tiba tiba menyala hidup. Dan mulut lebar di bawah lubang lubang hidung yang sama lebarnya. tiba tiba pula menyeringai semakin lebar memperlihatkan rongga yang dalam dan hitam tanpa dasar.
Udara dingin merenggut pundak Supardi.
Ia mau berteriak. Namun lidahnya begitu kelu. Ia mau berlari. Kaki-kakinya begitu lumpuh. Terpaku mati di permukaan lantai. Samar samar. ia dengar suara suara lain yang datangnya dari pavilyun Juragan muda. jeritnya dalam hati. Juragan muda. bangunlah kemari lah. dan tolonglah bangunkan aku dari mimpi yang buruk ini' Tolonglah...!'
Dan mimpi buruk itu ternyata hanya permulaan belaka _.
Topeng yang kemudian hidup sempurna itu. tahu tahu saja telah berpindah tempat tanpa ada terlihat tangan yang menggerakkan Setelah copot begitu saja dari daun pintu, dengan suara bersiut. topeng itu hinggap dan lengket
menjadi satu di sekujur wajah sampai kepala Supardi sendiri. Menggigit. berusaha merapat dengan kejamnya!
Petir menggeletar menerangi langit kelam. ketika Supardi menjerit lengking dalam usahanya melepaskan topeng itu dari kepala. Semakin ia betot, semakin kencang topeng itu menggenggam. Dengan suatu keheranan yang aneh dan rasa sakit yang tidak terperi. pelan-pelan ia mulai merasakan kulit sebelah dalam topeng mencair. kulitnya sendiri pun mencair. Secepat kulit-kulit itu cair. secepat itu pula kering kembali. bersatu rapat. seolah memang topeng itu adalah wajah dan kepala Supardi yang asli. .
Ia menjerit lagi. Namun yang ditangkap telinganya. hanya suara gereng yang lirih dan dingin menusuk tulang. Dengan ketakutan yang manjadi-jadi. Supardi meronta ronta meloncat loncat histeri. Uap yang panas mendidih seolah membakar tubuhnya dari bagian dalam. Sakitnya tak tertahankan. Naluri untuk mendinginkan panas itu mendorongnya lari ke tengah derasnya hujan. meloncat loncat kian kemari.
'Matanya seakan buta ia tak tahu ke arah mana ia telah berlari. Ke arah mana pula ia telah meloncat. Tahu tahu saja. ia merasakan kedua kakinya telah menjejak di permukaan batu yang keras bergumpal-gumpal. Sadar ia tersasar di bibir bukit, Supardi dengan panik berusaha turun dari tumpukan batu batu hitam. Berlawanan dengan kehendaknya. ia justru mendaki. merambat naik. dan kemudian berdiri tegak di puncak batu yang paling tinggi menjulang.
Pada saat itu pula. disaksikan isterinya yang berdiri terpukau di ambang pavilyun. Ratno Tanudireja dengan sigap meloncat dan berlari ke bibir bukit. Ia masih setengah perjalanan menuju tumpukan batu batu hitam. manakala guntur meledak lagi di langit kelam. Keras dan dahsyat sekali bunyinya. Berlangsung lebih panjang dari waktu yang biasa.
Supardi sampai limbung, jatuh.
Dan Miranti merasakan lantai tempatnya berpijak, mendadak goncang. Di lain pihak. Supardi juga tidak mampu menahan keseimbangan tubuhnya. la jatuh terguling. Naluri ingin menyelamatkan diri pada detik detik terkahir membantunya jatuh ke depan. bukan ke belakang dimana lereng bukit batu karang menganga hitam.
Toh, sia sia. Ia jatuh dengan kepala lebih dulu. tepat di permukaan altar.
Sedetik sebelum nafasnya berakhir, Supardi masih dapat merasakan bagaimana cengkeraman topeng karet itu dengan cepat merenggang dari kulit wajah maupun kepalanya. Tak heran. ketika kepala Supardi kemudian terkulai di antara genangan darahnya sendiri. topeng itu pun ikut jatuh. menggelinding di atas rerumputan yang basah.
Hujan menderas kembali. Membadai....
*** DELAPAN Pagi hari itu, alam berubah secara menta'jubkan.
Hujan mendadak reda begitu saja. bersama perginya kegelapan malam yang jahat. Dengan gembira matahari menyembur di ufuk timur, menjilatjilat dengan lidah lidahnya yang berwarna kuning emas. Alam seolah olah tidak mau lahu terhadap wajah-wajah murung yang mengelilingi altar batu di bibir bukit. Di situ. terkapar mayat Supardi. Kepalanya pecah. Bola mata mendelik, hampa dan mati, menatap sebuah topeng karet yang bergeletak di alas rerumputan yang basah. Mata itu menuntut, menuduh, sekaligus sengsara. menderita....
*** "Tunggu apa agi" Aku harus masuk kantor setengah jam lagi'". seseorang menggerutu. parau.
Barulah mayat Supardi mereka angkat ke kamar di tempat almarhum semasa hidupnya. Dibersihkan. dikain kafani. lalu kemudian digotong oleh beberapa orang menuju tempat peristirahatannya yang terakhir. Tanpa upacara kematian. Tanpa pembacaan doadoa sebagaimana layaknya. Juga tidak terlihat suasana berkabung diwajah orang orang yang datang melayat.
Sebulum pukul sembilan pagi, pengantar jenazah sudah kembali ke rumah masing masing, Dan kehidupan sehari hari di perumahan yang berlangsung seperti di atas bukit itu kembali pula berlangsung seperti biasa. seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Ibu ibu ke pasar, berbelanja kebutuhan dapur. Beberapa orang berkumpul di salah satu rumah membicarakan rencana arisan yang akan dibuka setelah terhenti berbulan bulan lamanya. Suami suami yang masih bekerja. turun ke kota. Pak Abu. ditemani pak Kutil pergi ke desa mendaftarkan kematian Supardi. Kereta pengangkut sampah tampak
bergerak dari rumah ke rumah. Seorang perempuan tua berteriak teriak kalang kabut memanggil kucingnya yang hilang. dan seorang laki-laki yang sama tuanya tampak Sibuk memperbaiki pagar yang patah.
Miranti rebah di ranjang. dengan tubuh lemah lunglai dan wajah pucat bersimbah keringat.
Aku . aku tidak tahan. dokter..: ia mengerang susah payah. 'Rasanya. perutku melilit-lilit. Dan kepalaku .. aduh. sakit sekali...!"
Dokter Subagio memberikannya suntikan.
Kemudian: tidurlah. Kau hanya tergoncang, itu saja !"
'Aku takut. dokter."
"Apa yang kau takutkan" Semua sudah berlalu. Dengan kematian Supardi. mimpi-mimpi burukmu akan segera berakhir.'
Tetapi dokter. perutku...". Miranti hampir mencucurkan air mata. kalau saja tangannya tidak di genggam erat erat oleh Ratno yang memandang isterinya dengan kuatir
"Kau selalu meminum habis susu yang dihidangkan bu Endah?"
Ya. dokter " 'Maru itu juga?" 'Ya. dokter." Bagaimana dengan nafsu makanmu'?"
'Masih baik. Malah kukira. makanku semakin banyak akhir akhir ini...."
'Bagus. Hanya perlu kunasihatkan. nak Mira. Kurangi nasi. Sebaiknya. perbanyak makan sayur Terutama lalap lalapan."
'Apakah tidak sebaiknya dokter berikan saja pel pel yang kubutuhkan"'' Seperti pel-pel yang pernah kumakan pada waktu kehamilanku yang dulu dulu. Rasa
sakit ini. aduh. dokter. aku tidak tahan dan" "
"Dari hasil pemeriksaanku. nak". dokter Subagio memotong. Suaranya lembut. iba, dan penuh kasih 'Pel jenis itu tidak akan banyak menolong. Ah. jangan protes duu. Aku toh tidak ingin menyiksamu, nak Mira. Oke oke Akan kuberikan kau beberapa butir pel tidur. Aturan pakai nya....'
Miranti tidak mendengar lanjutan kata kata dokter Subagio. Perlahan lahan. ia terpejam. kemudian tertidur dengan lelap. Dokter Subagio memeriksa nadi Miranti sejenak kemudian tersenyum kepada "Ratno
Tidak ada yang perlu kau risaukan sekarang, katanya Sambil membereskan tas kerjanya. ia bertanya sambil lalu: "Mau ngantor hari ini'"
"Terpaksa. dokter. Pekerjaanku banyak yang terbengkalai karena memikirkan iSteriku
"la baik-baik saja. percayalah. Oh ya. mobilku rusak. Mau tolong kau jemput aku sekalian kau ke kota"'
'Oke " Namun toh Ratno pulang ke rumah jauh lebih siang dari biasa. lngatannya kepada Miranti tidak mau hilang sehingga konsentrasinya sering buyar. Pukul tiga siang ia tiba di rumah menemukan rumahnya sunyi sepi. dan kamar tidur yang kosong ia pergi ke rumah induk semangnya, tetapi rumah itu pun terkunci. Setelah mencari kesana kemari, ia temukan bu Endah sedang ngobrol di rumah salah seorang tetangga .
"Mira?". bu Endah mengernyitkan dahi.
Ketika kutinggalkan satu jam yang lalu, ia masih ada di tempat tidur." '
Bersama sama mereka kemudian mencari. namun tidak ada tetangga yang melihat Miranti. Dari penghuni rumah yang letaknya di mulut jalan menuju kota. juga tidak diperoleh petunjuk kalau-kalau Miranti lewat menuju kota. karena sehari-hari penghuni rumah itu sibuk memperbaiki pagar depan. Akhirnya seorang tetangga perempuan dapat memberi petunjuk.
"Tadi kulihat Mira tunin ke lereng bukit", ia menerangkan. "Waktu itu. aku sedang mencari si Pus yang nakal. He. tahu kau Endah" Si pus sedang menjilati darah kering di bawah altar batu itu. la ketakutan ketika kupergoki mau ngacir lagi. tetapi ekornya sempat kupegang. Aduh. coba kau saksikan bagaimana si Pus meronta mati-matian. Kucingku itu....'
Bu Endah pamit dengan halus
Mereka tinggalkan perempuan tua yang dengan penuh rasa cinta menciumi kucing kesayangannya itu. lalu pergi ke bibir bukit. Di bawah tumpukan batu hitam yang menjulang ke langit biru. tampak sepasang sandal Miranti. tersimpan rapih. Bu Endah pucat. dan Ratno dengan gelisah mencari cari kian kemari sambil memanggil-manggil mana isterinya
' Mungkin ia ke bawah '. bu Endah akhirnya memberi usul. '
Ratno menggangguk tanpa berkata sepatah pun. Lalu bergegas menuruni jalan setapak ke lereng bukit karang. Jalan setapak itu tidak selicin ketika tadi pagi.Ratno ikut turun melalui jalan yang sama menggotong mayat Supardi sebelum jenazahnya mereka kuburkan di salah satu ceruk yang terletak di lereng bukit karang itu. Meskipun demikian, perasaan kuatir Ratno tidak berkurang. Sambil terus menuruni jalan setapak itu, berkalikali matanya ia tarikan ke bawah bukit mencari-cari kalau-kalau ada tanda tanda Miranti telah tergelincir.
Miranti tidak ingin tergelincir.
Karena itu, sebelum menuruni jalan setapak ke tempat yang ingin ia datangi. sandalnya ia tinggalkan di atas. Lalu dengan hati-hati ia turun. ia tidak perlu tergesa gesa.
Toh yang _ingin ia lakukan, hanyalah membaca sedikit do'a yang ingat di makam Supardi. karena semenjak ia lihat Supardi terhempas jatuh di batu altar sampai jenazahnya dikuburkan. Miranti tidak sadarkan diri. Ketika ia siuman, dokter telah duduk di sampingnya. Menyuntiknya, sehingga ia tertidur. Dalam tidurnya, ia melihat wajah Supardi. polos tanpa topeng dan mata Supardi menatapnya dengan mata memelas, Minta belas kasihan. .
Itulah. sebabnya. begitu ia bangun dari tidurnya yang nyenyak, Miranti langsung meninggalkan pavilyun. Apapun maksud Supardi menahut nakutinya, tidak menjadi soal Lagipula ia tidak begitu yakin sosok tubuh Supardi yang ia lihat menje-lang subuh sebelum laki laki itu jatuh dan mati. adalah sama dengan sosok tubuh yang sebelumnya ia lihat muncul dalam suasana yang sama. Malam hitam kelam. hujan topan "dan angin yang membadai. Rasanya tubuh mengerikan yang sebelumnya ia lihat. lebih hitam .. lebih tinggi. lebih besar dengan tubuh Supardi. Matanya menyala nyala. merah seperti api neraka, tidak seperti mata Supardi yang mengenakan topeng karet .
Dari pembicaraan suaminya dengan dckter Subagio, ia dapat menduga duga dimana Supardi dikuburkan. Tetapi di lereng bukit itu terdapat banyak sekali ceruk dan tidak ada tanda tanda kuburan sama sekali. ia baru mengetahui letaknya kuburan Supardi, ketika mendadak ia lihat sesosok tubuh ramping berkain kebaya menyelinap keluar dari sebuah ceruk yang menjorok seperti gua yang sangat dalam.
Perempuan itu kaget ketika dipergoki Miranti .
Selama beberapa saat mereka berdua hanya saling menatap dan mengawasi. Dengan demikian Miranti lantas tahu. perempuan ini meski tampak masih berwajah
manis. jelas sudah berumur. dan sinar mtanya memperlihatkan tidak saja perasaan dukacita. tetapi juga kemarahan yang terpendam.
Perempuan setengah baya itu yang mula mula membuka mulut.
Suara dingin. Tajam. menusuk:
"Kau salah seorang penghuni di atas sana?", ia bertanya. tanpa menunjuk arah yang ia maksud, namun dapat dimengerti
"Yaaaa.. Miranti mengangguk, "Ibu... ibu siapa?"
"Tak perlu kau ketahui", sahut perempuan itu, dengan wajah yang tiba-tiba berubah sinis. Tetapi matanya menghina. "Tadi malam aku punya janji dengan Supardi. Kami akan menikah. pagi ini" Tetapi ia tidak pernah muncul lalu kudengar desas desus. ia telah mati, dan dikuburkan di ceruk ini. Hem! Hem! Di ceruk. Tanpa kubur yang digali. kecuali tumpukan batu-batu dan lumpur yang kotor menjijikan...", mata perempuan itu berapi api "Kalian tidak saja telah membunuhnya! Kalian juga telah menghina jenazahnya! Hanya karena ia ingin tobat. ingin kembali ke jalan yang lurus! Tuhan akan mengutukmu! Mengutuk orang-orang yang tinggal bersamamu'. Aku akan selalu berdo'a. semoga Tuhan membalas kejahatan semua!"
Ia kemudian meludah. Lalu meluncur turun ke bawah bukit. dan lenyap di balik timbunan semak belukar yang menyemak tinggi di antara pepohonan-pepohonan berdaun rimbun. Lama Miranti menatap kepergian perempuan itu, termangu mangu kaget, ta'jub, bingung dan takut. Ia tidak tahu apa yang dimaksud perempuan itu. tidak jelas apa yang ia bicarakan. Tetapi telinganya dipenuhi oleh kutuk dan sumpah serapah yang membuat ia menggigil, kemudian jatuh terduduk di tanah yang becek. Ia masih terduduk di situ, ketika Ratno menemukannya.
Melihat pakaian isterinya yang kusut dan kotor. serta wajahnya demikian pucat kurus dan tersiksa. tanpa berpikir panjang lagi Ratno memeluk Miranti. mendekapkan wajah perempuan itu ke dadanya. seraya membujuk bujuk dengan suara getir.
' Kita kembali ke atas. ya Mira" Kau menyiksa dirimu sendiri. Kata dokter. kau harus banyak beristirahat.... O. Mira. kau tidak tahu betapa aku cemas memikirkanmu, betapa aku kuatir kalau-kalau kau?"
"Mengapa?". bisik Miranti. setelah mengigau 'Mengapa Ratno?"
'Apa yang mengapa. Mira?", Ratno menatap mata isterinya dengan gelisah, "Kau membuatku bingung. Tidakkah kita lebih baik naik saja ke atas. dan....
"Supardi. Ratno. Supardi! Mengapa kalian menguburnya di ceruk ini?"
Sesaat, Ratno terdiam. Lalu: "Entahlah. Aku---aku sendiri tidak tahu. Kata mereka ya. ya. kata mereka. karena ketika masih hidup Supardi pernah meminta agar ia dikuburkan di ceruk ini. apabila ia mati
"Dan hanya ditumpuki batu serta lumpur. Tak di tanam!". desah Miranti, masih setengah mengigau.
"Ah. Itu aku tidak tahu. Mira. Aku tidak ikut masuk ke dalam, ketika mereka menguburkan jenazah, Mira! Kau sempat masuk ke dalam" Ke gua yang hitam dan mengerikan itu'" '. Ratno menatap ke ceruk yang menerjang ganas sampai ke hidung.
'Tidak. Aku belum sempat masuk".'
"Lantas"' 'Perempuan itu yang mengatakan."
"Perempuan" Perempuan mana" Siapa?"
Mira angkat bahu. Lalu pelan pelan ia berdiri. Sempoyongan.
'Aku lemas sekali. Ratno, ia mengeluh ' Dan jabang bayi di pcrutku aduh. rasanya ada tendangan halus. Wahai Ratno. Kandunganku belum lama jadi. tetapi tetapi seolah olah sesuatu tengah hidup. tumbuh dan berkembang dengan pesatnya. Aku takut. Ratno... "
'Mari kubantu kau naik.... Pelan-pelan saja. Salah langkah sedikit. kau bisa keguguran He,Mira. Jangan kau kecewakan aku untuk ketiga kalinya. Jangan .Awas tanganmu! Rumput itu kotor. tak kuat jadi pegangan. Hem kau tidak mau mengatakan siapa perempuan itu. Mira?"
'Aku tidak tahu 'Ia muncul tibatiba. menghilang tibatiba pula. Mungkin ia penduduk desa di bawah sana.. .
"Hem. Akan kuselidiki siapa dia."
"Ah" Buat apa Ratno"
'Memperingati dia Agar tidak menakut nakuti engkau lain kali"
"Dari mana kau tahu ia menakut nakuti aku?"
"Naluri, Mira. Naluri seorang suami" Ratno dapat juga menjawab seraya tersenyum manis. setelah agak lama ia terdiam mendengar pertanyaan isterinya. "Aku mencintaimu. Miranti".
Harimau Harimau 3 Satria Gendeng 11 Rencana Manusia Terkutuk Kisah Sepasang Rajawali 21

Cari Blog Ini