Ceritasilat Novel Online

Cerita Cinta Enricho 1

Cerita Cinta Enricho Karya Ayu Utami Bagian 1


Belantara Inilah ingatan pertamaku dalam hidup: sebuah pohon
maha besar. Aku memandang pohon raksasa itu, teduh dan
men??julang di hadapanku, dan satu-satunya yang kurasakan
ada??lah takjub. Tak ada yang lain. Aku berada dalam gen???dong?
an dan kami berjalan mengitari batangnya, yang amat sangat
lebar, untuk berbelok ke sebuah arah. Setelah itu aku tak ingat
lagi. Setelah itu yang ada hanya pengetahuan yang kudapat
dari cerita yang sepenggal-sepenggal.
Kususun potongan kisah itu seperti ini:
Kami berbelok menuju persembunyian berikutnya. Umur?
ku satu tahun. Aku hanya minum air tajin dan, terka?dang, susu
dari sapi yang kebetulan kami temukan di pede?saan. Tapi aku
tumbuh menjadi bayi yang terlalu berat bagi ibuku sehingga
Enrico_koreksi2.indd 3 Ayu Utami ia tak kuat menggendongku. Seorang wanita bernama Rah
membopongku dalam seluruh perjalanan berat ini. Entah
ke?napa, ia selalu muncul dalam khayalanku sebagai raksasi,
sesosok bibi gendruwo yang mengiringi kami di tengah rimba,
Rahwana perempuan. Sebab itu namanya Rah. Bayanganku
tentang dia telah bercampur dengan mitos. Ia berambut gim?
bal panjang yang, jika digelung ke atas, ujung-ujungnya ber??
juntai melingkar-lingkar seperti sulur tanaman rambat. Mata??
nya besar dan beberapa giginya mencuat keluar. Kaki dan
tangannya kokoh, serta tubuhnya padat seperti se?ekor ban?
teng betina, karena itu ia kuat menggendong aku yang men?
jadi besar hanya dengan bilasan beras dan sedikit susu sapi.
Berkat bibi gendruwo inilah ibuku tidak menjadi bung?kuk
atau mengalami cedera pinggang dalam pembuangan ini.
Rah seperti abdi dan ibuku wanita satria. Ibuku bertu?
buh ramping kokoh. Sebetulnya ia memiliki tangan dan kaki
yang kuat juga, tetapi perempuan kota seperti dia tidak ter?
latih berjalan kaki kilo-kilometer masuk keluar hutan sam?
bil mem??bawa dua anak kecil. Perjalanan ini meletihkan bagi??
nya, meski ia tidak pernah mengeluh. Ibuku sangat berbeda
dari perempuan-perempuan lain di sekitar kami. Rambutnya
pendek. Sepanjang-panjangnya adalah sebahu. Pada masa itu
wa?nita kampung selalu berambut panjang. Dan berkutu. Ibu
selalu menghubungkan rambut panjang dengan kutu. Ibu
juga selalu memakai rok selutut dan sepatu pantovel?ya,
pantovel yang hitam dan hebat itu?sementara perempuanpe?rempuan lain me?makai kebaya, atau baju kurung, dengan
san??dal atau bah?kan telanjang-kaki. Jika kami sedang me?ma?
suki perkampungan di selepas hutan, ia menutupi rambut
pendeknya dengan selendang, agar mirip dengan wanitaEnrico_koreksi2.indd 4 Cerita Cinta Enrico ain wanita setempat. Tapi bajunya?rok selutut, bukan kain pan?
jang?tetap membedakan penampilannya. Dan di dalam pe?
nampilannya yang berbeda itu, ibuku juga fasih berbahasa
Belanda. Ibuku bisa membaca bahasa Jerman dan Inggris, bisa me????
nunggang kuda, bermain polo, tenis, mengetik, mencatat de?
ngan steno, bermain akordeon, membaca koran dan bukubuku tebal. Tapi kini, telah setahun ia hidup di antara belan???tara
dan kampung di pelosok Sumatra Barat. Bayangkanlah: ia
seorang ibu muda dengan pendidikan modern dan baru me???
lahirkan bayi keduanya: aku. Baru orok merah itu ber??umur
sehari, ia membawa bayi itu meninggalkan rumah ber?salin.
Ia juga membawa kakak si bayi meninggalkan rumah mereka
di kota Padang, dan masuk hutan bersama suaminya, seorang
letnan Angkatan Darat (seorang lelaki yang setia tetapi ber?
nasib kurang baik?setidaknya dalam karirnya).
Barangkali karena itu juga Ibu tak pernah kuat meng?gen??
dongku. Ia baru sehari lalu melahirkan tatkala pem?be??ron???
takan militer pecah dan sang letnan Angkatan Darat me?mu????
tus????kan ikut bergerilya bersama pasukan yang menyem?pal itu.
(Keputusan yang menunjukkan kesetiaannya pada sum?pah
praju?rit, tetapi sangat buruk bagi karirnya kelak). Sebe?lum
luka-luka persalinannya sembuh, Ibu telah mengem?bara se?
ba?gai ke?luarga gerilya, menempuh liku-liku hutan dan nga?rai
dengan berjalan kaki. Ayah tidak bisa menggendongku, se?bab
ia me?manggul senjata. Untung ada Rah, bibi gendruwoku...
Tapi Rah bukan ibu-susuku. Dan bukan berarti bahwa Ibu
tak pernah menggendongku. Ibu menimangku pada saat ia me?
nyusui aku, ketika kami berjalan atau saat beristirahat. Tapi,
tak ada makanan yang cukup bergizi di hutan. Air susu ibu?
Enrico_koreksi2.indd 5 Ayu Utami ku tidak mengalir. Atau mungkin terlalu sedikit. Lebih sedikit
dari getah pepaya. Akibatnya, bayi lapar yang dipeluknya di
dada itu pun mengenyut dengan campuran marah dan frustasi.
Tapi sekeras apapun bayi malang itu mengenyut, lebih sedikit
dari getah pepaya yang menitik. Barangkali karena hisapan
itu, atau mungkin setelah giginya mulai tumbuh, bayi itu ak?
hirnya menelan seperempat puting payudara ibunya yang tak
mengalirkan susu sebanyak yang dituntutnya. Mungkin sejak
itu ditambahkanlah menu air tajin, yaitu bilasan pertama
beras, bagiku. Juga susu hewan, setiap kali kami mendapati
ada penduduk desa yang memelihara sapi.
Aku tak ingat bagaimana aku bisa menelan secuil puting
susu ibuku. Dan aku ngeri membayangkan bahwa makanan
yang pertama kumakan adalah... (aku tak berani meng?ucap?
kannya). Dari seluruh pengembaraan kami sebagai gerilya
pemberontakan, satu-satunya ingatan jelas yang kumiliki
hanyalah tentang pohon maha besar itu. Pohon raksasa yang
harus kami kitari untuk berbelok menuju tempat aman yang
baru, sebelum mencari tempat aman berikutnya. Hanya da?lam
kelanjutan hidupku aku tahu bahwa ibuku kehilangan secuil
putingnya. Sejak usia tujuh tahun sampai menjelang remaja
aku melihatnya setiap kali aku merawatnya manakala ia sa??kit.
Pada masa itu Ibu telah menjadi peternak ayam petelur yang
ulung. Ia kerap keletihan karena kerja kerasnya, dan aku selalu
membaluri tubuhnya dengan Vicks, dan memandanginya, se?
tiap kali: puting sebelah kiri yang kehilangan secuil bagian?
nya. Ketika itulah Ibu, sambil mengenang masa bayiku dengan
haru dan kasihan, akan bercerita bagaimana aku dulu begitu
kelaparan di tengah hutan...
Enrico_koreksi2.indd 6 ain Ayam Hitam dan Burung Kuau Dan inilah ingatan keduaku:
Sebuah dapur yang gelap. Dapur masa lalu yang penuh
jelaga. Ada jendela kecil yang terlalu tinggi untuk diraih. Dari
situlah cahaya masuk. Ada banyak kuali besar berpantat hi?
tam, yang rasanya cukup untuk tempatku masuk dan bersem?
bunyi. Kami berjongkok sedih dan ketakutan di sebuah su?
dut. Aku dan kakakku perempuan. Tidak ada siapa pun selain
kami. Pengetahuan tentang kesendirian itu membuat aku sa?
ngat takut. Tiba-tiba seekor ayam hitam menerjang ke dalam dapur.
Ia mendarat di hadapan kami, menoleh padaku, memamer?
kan paruhnya yang tajam, lalu mengembangkan sayapnya.
Enrico_koreksi2.indd 7 Ayu Utami Aku menjerit dan menangis geru-geru sebab aku yakin aku
akan dimakan oleh ayam ganas itu. Lalu kakak perempuanku,
yang tak jauh lebih besar dari aku, bangkit dan mencoba
mengusir ayam itu. Aku mendengar kakakku menggusahgusah. Kutahu kaki dan tangannya kecil dan kurus saja se?per?
ti milikku. Ayam terbang ke sana kemari dalam bilik nan ge?
lap. Sayapnya menciptakan keributan yang mengerikan, dan
ca?karnya menendangi tumpukan. Kuali-kuali berjatuhan dan
bergulingan dengan bunyi nyaring yang merontokkan tulangtulangku. Akhirnya sebuah keajaiban terjadi. Setelah men?
cabik-cabik udara, ayam itu melompat ke ambang jendela, lalu
terbang keluar. Kakakku telah menyelamatkan aku. Tapi luka
ketakutanku tak segera sembuh. Aku terisak-isak di antara
reruntuhan panci dan kuali. Kesedihan tak terperi.
Selanjutnya, sekali lagi, adalah pengetahuan yang ku???susun
dari ingatan yang samar dan cerita yang datang sepotongsepotong. Pertanyaan besarku adalah ini: ke mana Rah, bibi
gen?druwoku yang setia, yang selama ini membopongku? Me?
ngapa ia tak menemani kami? Ia tak pernah kulihat lagi. Ada?
kah ia memutuskan tinggal di rimba belantara, sebagai?mana
seharusnya para raksasa? Tentang ibuku, aku tahu ke mana ia pergi hari itu. Aku
punya sedikit ingatan samar. Kami tak lagi tinggal di hutan.
Kami tinggal di sebuah rumah di pinggir kota yang kemudian
kutahu adalah Bukittinggi. Matahari baru terbit dan kabut
masih menyelimuti pagi. Aku melihat ibuku mengenakan
selendang dan baju kurung. Untuk pertama kalinya aku
melihat ia tidak memakai rok dan pantovelnya yang gagah dan
hebat itu. Hari itu terasa sebagai hari yang istimewa. Sebab
Ibu telah menyiapkan sesuatu sejak masih gelap dan kini ia
Enrico_koreksi2.indd 8 Cerita Cinta Enrico mengenakan pakaian wanita setempat. Lalu ibuku mengunci
pintu, meninggalkan aku dan kakakku di dalam rumah. Ia
berjalan pergi sambil menyunggi sesuatu di atas kepalanya.
Sesuatu itu adalah telur. Lusinan telur, untuk dijual ke ibu?
kota provinsi, yang jaraknya setengah hari perjalanan dengan
keretaapi. Dan, ia perlu setengah hari lagi untuk kem??bali.
Maka kami ditinggalkan di rumah seharian. Tanpa penjaga.
Sebab Rah tak ada lagi. Tentulah itu hari yang istimewa bagi ibuku. Itulah hari
di mana ia melaksanakan keputusan yang telah ia pikirkan
bebe?rapa lama ini. Yaitu, menanggalkan kemodernannya dan
menjadi seperti perempuan kampung. Sesuatu yang belum
per?nah terjadi padanya. Masa pemberontakan telah selesai.
Me?reka telah kembali dari hutan. Tapi suaminya juga kembali
sebagai pasukan desertir yang kalah. Pangkatnya dilucuti. Ia
bukan lagi Pak Letnan. Untunglah untuk sementara ia diper?
bolehkan menetap di sebuah rumah kecil di Bukittinggi, sam?
bil menunggu keputusan berikutnya mengenai nasibnya, se?
perti juga sesama prajurit yang membelot dan menyerahkan
diri. Ayahku telah terlalu lama tak punya ketrampilan selain
sebagai tentara. Ibuku punya banyak ketrampilan modern?
ia pernah bekerja di kantor ketika masih gadis di Jawa. Tapi
kemam?puan semacam itu tak terlalu berguna pada saat-saat
begini. Tak ada kantor di Bukittinggi yang membutuhkan ke?
ma?hirannya. Mereka punya dua anak kecil: aku, yang saat
itu berumur sekitar tiga tahun, dan kakakku, yang berumur
sekitar lima tahun. Karena satu alasan yang baru kuketahui
kemudian hari, mereka tidak mau pulang kembali ke Jawa.
Seperti kali itu, ayahku kerap meninggalkan rumah dua
Enrico_koreksi2.indd 9 Ayu Utami tiga hari. Jika ia akan pulang, biasanya malam hari, kami me?
nunggunya sambil mendengarkan burung kuau liar yang
berkukuk di pepohonan. Lalu, dari kejauhan akan terdengar:
Cing...! Cang...! Cung...! Ayahku pulang. Panggilan sayangnya
pada ibuku, kakakku, dan aku adalah Cing, Cang, dan Cung.
Ayah pergi ke kota besar, mencari pekerjaan. Tapi agak?
nya, sejauh ini hasilnya tidak menjanjikan, sementara uang
ke??luarga kami semakin tipis. Maka, ibuku memutuskan un?tuk
mulai menjual telur dari ayam-ayam yang selama ini dipeli?
hara Ayah untuk kebutuhan kami sehari-hari. Telur kami tak
me?nemukan pembelinya di Bukittinggi. Hanya toko di Pa?dang
yang bisa membeli telur-telur itu. Maka ibuku berangkat ke
sana, sekitar seratus kilometer jauhnya. Ia tahu bahwa telur
tak bisa dijual oleh perempuan dengan rok dan sepatu. Rok
dan sepatu?apalagi pantovel nan hebat?terlalu terpelajar
untuk mempersembahkan telur. Maka ia mengenakan baju
yang biasa dikenakan para inang pedagang.
Aku tak pernah tahu kapan ibuku belajar menyunggi
barang di atas kepalanya. Dan agaknya ia memang tak mahir
menyunggi. Ia terpeleset dan terjatuh di kereta...
Malam itu kami berempat berkumpul lagi. Aku merasa sa?
ngat bahagia karena keluarga kami utuh. Aku, Ibu, Ayah, dan
kakakku. Kakakku menceritakan insiden ayam mengamuk
yang menyebabkan dapur porak-poranda dan aku meraungraung mau mati. Ibuku bercerita tentang keterpelesetannya
di keretaapi yang menyebabkan sebagian besar telur yang
disungginya pecah dan ia menjadi sangat malu. Sejak itu Ayah
tak mengizinkan lagi ibuku berlagak seperti wanita kam?pung:
mengenakan baju kurung dan menyunggi dagangan di kepala,
Enrico_koreksi2.indd 10 Cerita Cinta Enrico dan meninggalkan anak-anak sendirian di rumah. Yang mana
dari ketiga hal itu yang paling mengganggunya, aku tak tahu.
Ibu tak terbentuk dengan cara itu, kata Ayah. Ia kesrimpet kain
panjangnya, sementara beban di kepalanya membuat sulit
men?jaga keseimbangan. Tapi barangkali, selain karena ke??ce?
la?kaan itu, ada alasan lain. Bukan demikianlah citra wa?????nita
yang diidamkan ayahku. Ayah kadung menyukai perem???puan
berambut pendek yang mengenakan rok yang menam???pak?????kan
betis kokoh serta pantovel hebat itu. Ia tak mau ibuku ber?ubah
menjadi sosok yang lain. Maka percobaan Ibu memakai baju
kurung berhenti sampai di situ.
Sementara itu, aku masih kadang bertanya-tanya: ke mana
Rah, bibi gendruwoku itu?
Enrico_koreksi2.indd 11 Kelahiranku Beginilah kisah hidupku dalam sejarah Indonesia. Aku
lahir di hari dan kota yang sama dengan pengumuman dekla??
rasi Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, yang
ke?lak dikenal sebagai pemberontakan PRRI: Padang, 15 Fe?
bruari 1958. Ketika Letkol Ahmad Husein, panglima komando daerah
militer Sumatra Tengah, sedang memeriksa draf ultimatum
Dewan Perjuangan untuk ia bacakan sebentar lagi; ibuku,
Syrnie Masmirah, sedang mengejan di Rumah Sakit Tentara.
Ayahku, Letda Muhamad Irsad, menunggui istrinya melahir?
kan anak kedua mereka, sambil mengikuti perkembangan
berita revolusi di daerah itu lewat radio dengan hati berdebardebar.
Enrico_koreksi2.indd 12 Cerita Cinta Enrico Mereka mengharapkan anak lelaki, sebab mereka telah
memiliki seorang putri. Letda Irsad duduk di luar kamar ber?
salin sambil memijat-mijat betisnya yang kurus. Tak ada yang


Cerita Cinta Enricho Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahu bahwa betis itu kurus, sebab ia selalu mengenakan ce?la??na
panjang. Tapi ia tahu, itulah bagian tubuhnya yang ia tak suka:
sepasang kaki yang kurus dan lurus, licin tanpa bulu, yang di
matanya selalu tampak seperti ceker-ayam. Irsad sejak muda
suka melatih otot. Ia memiliki dada bidang dan lengan yang
sekal. Dan lehernya besar. Tapi otot betis yang kecil tak akan
pernah bisa dilatih jadi mengkal sampai kapan pun. Bahkan
jika ia menjadi tukang becak. Ia berharap anak lelakinya akan
mewarisi kegagahannya namun dengan tungkai milik ibunya.
(Tungkai kokoh yang mengenakan pantovel hebat itu.)
Istrinya telah menyiapkan nama untuk anak itu, yang ia
tak setuju. Enrico. Dari Enrico Caruso, seorang penyanyi te?
nor Italia, yang sesungguhnya sudah meninggal dunia lama
se?be?lum ibuku lahir. Letda Irsad keberatan dengan nama itu
karena kebarat-baratan. Tapi istrinya memang masuk sekolah
zending sehingga Ayah pun membantah dengan alasan lain.
"Ya ampun, Sayang. Dia kan sudah mati tahun 1921. Sudah jadi
mumi. Dia bukan penyanyi populer dari zaman kita." Sialnya,
ayahku tidak pernah mendengar suara Enrico Caruso yang
menggetarkan kalbu. Ibuku mendengar piringan hitamnya waktu ia masih kecil
dan tinggal bersama keluarga Eropa yang menjadi misionaris
di Jawa. Tapi, karena suaminya tak punya kenangan tentang
nyanyian itu, maka??demi keseimbangan argumen?mereka
berdebat tanpa menyebut mutu kesenimanan sang tokoh.
"Enrico adalah anak yang begitu mencintai ibunya!" begitu
alasan Ibu. Ibuku membaca di majalah Libelle?satu-satunya
Enrico_koreksi2.indd 13 Ayu Utami majalah wanita modern di masa itu, dan berbahasa Belanda?
artikel mengenai penyanyi yang sedang disengketakan ini.
"Enrico begitu mencintai ibunya, sampai-sampai setiap kali
ia menyanyi yang terbayang adalah wajah ibunya." Ibuku
menerjemahkan kutipan dari majalah itu yang dihapalnya
luar kepala. Ia percaya itulah rahasia suara surgawi dan mata
sayu Enrico Caruso yang mendebarkan.
Ibuku, Syrnie Masmirah, mendambakan anak lelaki yang
men?cintai dirinya habis-habisan. Ayahku membantah, kalau
karena alasan itu, kenapa tidak kita beri nama Sangkuriang.
Bayangkan kalau namaku Sangkuriang. Ibuku balas mem?ban?
tah, "Sangkuriang mencintai perempuan tanpa tahu bah?wa
itu ibunya. Cintanya tidak senonoh! Enrico Caruso men?cin?tai
karena ia tahu perempuan itu adalah ibu??nya." Ini menunjuk?
kan bakat berdebat ibuku yang lebih besar dari Letda Irsad.
Akhirnya Letda Irsad mengaku bahwa ia keberatan karena
nama itu terlalu kebarat-baratan. Ter?nyata tak sulit bagi Ibu
untuk menerima argumen itu. Ia menghubungkannya dengan
tempat kelahiran Ayah, Madura, yang baginya pulau terpencil
dan kampungan. Ibu menerima dengan syarat ia tetap boleh
memanggil anak itu dengan nama Rico. Ayahku membuat na?
ma bagiku, nama yang masuk akal dalam lingkungan militer:
Prasetya Riksa, dengan panggilan sayang Rico. Enrico.
Lahirlah aku, tepat ketika, hanya satu kilometer dari sana,
di Gedung Joang 45, Letkol Ahmad Husein maju ke muka co?
rong dan membacakan ultimatum Dewan Perjuangan un??tuk
peringatan kepada Presiden Sukarno.
Jururawat keluar dari kamar bersalin dan mengabari
Letda Irsad yang sedang galau bahwa anaknya telah lahir.
Ibu dan bayi selamat. Bayi laki-laki. Letda Irsad segera bangkit
Enrico_koreksi2.indd 14 Cerita Cinta Enrico dan melangkah lekas-lekas dengan kaki-kaki kurusnya yang ia
benci. Diusapnya istrinya yang masih letih, lalu ditengoknya
bayinya. Dan yang pertama diperiksanya adalah bentuk kaki
bayi laki-laki itu. Ia sedikit kecewa menemukan sepasang
ceker-ayam seperti miliknya menjulur dari bokong bayi yang
masih kempis kemerahan. Sayang juga, meski semuanya
lengkap?katanya dalam hati. Sempat terlintas takhayul ini
di pikirannya: "jangan-jangan kalau dulu kusetujui anak ini
bernama Enrico, kakinya tumbuh lebih kekar." Tapi dalam
disiplin militer ia dilatih untuk bersikap positif dan optimis,
maka dengan segera ia membalik spekulasi takhyuli itu
menjadi kepastian yang menguntungkan: "Bayangkan, kalau
sudah kusetujui namanya Enrico, tapi ternyata kakinya
ceker-ayam seperti milikku juga. Setidaknya, namanya bukan
Enrico..." Enrico_koreksi2.indd 15 Pemberontakan Bentukku meramalkan bentuk revolusi bagi ayahku.
Se??buah revolusi dengan kaki-kaki kurus. Ya, sebuah pem?be?
rontakan yang lahir pada tanggal 15 Februari 1958 di Padang
adalah pemberontakan berkaki kurus. Saat dokter dan pera?
wat telah meninggalkan mereka berdua, Irsad mengajak
istrinya bicara mengenai hal itu.
"Kamu sudah dengar, Syrnie? Revolusi sudah di?umum?
kan." Istrinya mengangguk lemah.
Mereka melamun sebentar, lalu memandangi kaki bayi
merah yang tampak begitu ringkih. Sebuah petunjuk yang
dibaca berbeda oleh lelaki dan perempuan itu.
Sesungguhnya Muhamad Irsad merasa tak berdaya. Ia
Enrico_koreksi2.indd 16 Cerita Cinta Enrico seorang letnan yang bertugas di bagian keuangan. Atasan??
nya pun tahu, ia lebih jenis lelaki jujur daripada jenis lelaki
berdarah perang, sekalipun Madura?tempat kelahirannya?
di??ang?gap pulau yang beradatkan clurit. Dulu ia masuk mili?
ter semata karena bayangannya mengenai kegagahan, tanpa
tahu apa arti kegagahan sebenarnya. Ia tak suka me?nya??kiti
apapun (kelak, aku melihat betapa ibuku lebih tega me?nyem?
belih hewan daripada ayahku). Ia juga bukan orang politik.
Ia hanyalah prajurit yang setia. Ia tahu betul militer hanya
berfungsi jika ada ketaatan pada perintah. Maka, jika koman?
dannya memerintahkan untuk mendukung revolusi, ia tak
punya pilihan selain mendukung revolusi yang dinyatakan di
Sumatra Barat itu. Ya, sekalipun ia berasal dari Madura, yang
berafiliasi ke Jawa daripada Sumatra.
Sementara itu, istrinya, Syrnie Masmirah, yang lahir di
Kudus, memiliki kakak angkat bernama Sastrodikoro, yang
men?jadi bupati di Lumajang. Sebagai tokoh partai politik,
Sastrodikoro mendengar bahwa revolusi yang diumumkan di
Padang itu tidak dianggap sebagai tuntutan otonomi daerah
yang tulus oleh Presiden Sukarno. Sebab, Amerika Serikat
men???dukung pemberontakan itu. Dengan kata lain: revolusi
telah ditunggangi. Amerika Serikat akan menggunakan ge?
rakan itu untuk menjatuhkan Sukarno. Sukarno memusuhi
Blok Barat dan lebih memberi angin pada Blok Komunis
dalam permulaan Perang Dingin itu. Sukarno adalah anak be?
ngal yang berbahaya bagi Barat. Kesimpulan: Jawa akan me?
numpas pemberontakan ini habis-habisan, sebagai bagian dari
perang melawan campur tangan Amerika Serikat terhadap
kemandirian Indonesia. Sumatra menyebutnya revolusi. Jawa menyebutnya
Enrico_koreksi2.indd 17 Ayu Utami pemberontakan. Tapi di dalam pasukan pemberontak itu ter?
dapat banyak keluarga prajurit Jawa (serta Madura). Di an?ta?
ranya adalah ayah dan ibuku. Dan di pucuk pimpinan pa?sukan
dari Jawa itu adalah seorang jenderal dari Sumatra: Abdul
Harris Nasution. Sastrodikoro menelepon ke Padang, berpura-pura mena?
nyakan keadaan Syrnie setelah melahirkan. Tapi ia mencoba
mem?beri tahu: Revolusi itu pasti kalah. Berhati-hatilah. Pikir?
kan anak-anakmu. Irsad memandangi makhluk yang baru lahir itu: sebuah
revolusi dengan kaki-kaki kurus.
"Tapi aku seorang prajurit, Syrnie. Aku setia pada sum?
pahku. Aku bukan seorang politisi."
Syrnie memegang tangan suaminya yang bimbang. Ia
meng??angguk, tak lagi lemah. Bagi dia cinta dan kesetiaan ber?
ada di atas segalanya. Menyuruh suaminya tidak setia pada
sumpah prajuritnya berarti mengkhianati prinsip hidupnya
sendiri. "Jawa akan mengirim pasukan untuk menumpas revolusi
ini, Syrnie. Besar-besaran. Aku harus mundur dari kota dan
bergerilya di hutan-hutan. Padahal kamu baru melahirkan..."
"Aku ikut kamu, Chat."
Chat: panggilan sayang ibuku terhadap ayahku. Dari Irsad.
Irchat. Chat... Ibuku mengulangi: "Aku dan anak-anak ikut kamu. Juga si
Rah..." Rah: bibi gendruwoku. Esok harinya Ayah membawa ibuku meninggalkan ru??mah
sakit itu. Mereka memberi tahu Rah dan Sanda, kakak perem?
puanku yang tak pernah terlalu sehat sejak lahir. Mereka
Enrico_koreksi2.indd 18 Cerita Cinta Enrico mengemasi segala yang bisa mereka bawa: beberapa buntal
baju, makanan, emas-emasan yang disimpan ibuku sejak dari
Jawa, mesin jahit Pfaff yang dilepaskan dari kakinya. Dan se?
patu ibuku: sepatu olah raga serta pantovelnya yang hitam
dan hebat itu. Sepatu yang tak tertandingi.
Aku lahir bersamaan dengan revolusi berkaki ringkih. Dan
di hari kedua hidupku aku telah menjadi anak dari keluarga
gerilya. Enrico_koreksi2.indd 19 Operasi Bayi Gerilya Bagi ayahku, bentukkulah yang meramalkan revolusi. Bagi
ibuku, reaksikulah yang membuat ramalan yang lebih penting.
Lama ia tak menceritakan ini pada ayahku:
Ketika lahir, aku begitu sunyi. Aku tidak menangis. Aku
diam seribu bahasa. Itu menakutkan, bagi ibuku maupun
bagi dokter dan jururawat yang membantu kedatanganku ke
dunia. Orok yang tidak menangis berarti tidak memulai nafas
pertamanya. Dokter menepuk-nepuk pantatku, aku tutup
mulut. Perawat menarik-narik ceker-ayamku, mulutku terus
terkatup. Darah dan lendir telah dibersihkan dari tubuhku,
bibirku tetap rapat. Menit-menit semakin berlalu, semakin
mendekati bahaya. Sebab pasokan zat asam ke tubuhku telah
Enrico_koreksi2.indd 20 Cerita Cinta Enrico terputus sejak aku terlepas dari perut ibuku. Sebentar lagi zat
asam itu habis, padahal aku belum bernafas. Aku hanya akan
bernafas jika aku menangis, tapi aku tidak mau menangis.
Lalu, terjadilah pemandangan yang mengerikan ini: Dok?
ter rumah sakit militer itu menyuruh suster menyediakan dua
kuali. Yang pertama berisi air dingin, yang kedua air panas.
Jangan tanya seberapa dingin atau seberapa panas. Dua kuali
mengepul-ngepul itu pun tersedia. Dokter tentara itu men?
jungkir aku dan menggenggamku pada sepasang ceker-ayam?
ku yang malang. Kelak ibuku bilang, aku sungguh seperti
ayam mati yang telah dibului. Dokter tentara itu barangkali
dulu dapat pekerjaan menyiksa tawanan. Ia begitu tega. Ia
mengangkatku tinggi-tinggi, lalu mencelupkan aku?dengan
kepalaku di bawah?ke dalam air dingin. Membenamkan ke?
pala ke dalam air adalah hal yang biasa dilakukan interogator
agar tawanan mengaku. Setelah beberapa saat, ia mengentas?
ku dari kuali air dingin lalu mencelupkan aku dalam air panas
di kuali sebelahnya. Setelah itu ia mengangkatku lagi lalu
menempelengi bokongku. Air dingin, air panas, plak-plak. Air
dingin, air panas, plak-plak. Sungguh, ia mau meretakkan aku
sepertinya aku ini gelas. Ia adalah seorang interogator kejam,
yang melakukan ini semua sampai sang tawanan mengaku.
Begitulah, setelah beberapa kali dibegitukan, aku akhirnya tak
tahan lagi menutup mulutku, dan aku pun menangis.
Semua orang bertepuk tangan.
Ayahku dijemput. Tapi ibukulah yang menarik pelajaran dari apa yang
dilihatnya. Sebuah pelajaran mengenai sikap hidup.
Enrico_koreksi2.indd 21 Ayu Utami Esoknya aku dibawa masuk ke belantara Sumatra. Aku
menjadi bayi gerilya. Sekarang marilah kita bayangkan apa yang terjadi di
Pulau Jawa. Ketika Kolonel Ahmad Yani (yang kelak men?jadi
"Pahlawan Revolusi") memimpin pasukan untuk meng?han?
curkan pemberontakan PRRI, dalam operasi yang dinama?
kan Operasi 17 Agustus, seluruh keluarga ayah dan ibuku
geger. Tapi, keluarga ayahku agaknya lebih bisa merelakan
Muhamad Irsad, pemuda gagah yang memang memutuskan
menjadi tentara. Menjadi tentara artinya siap mati dalam
perang. Sebaliknya keluarga ibuku, yang merasa bahwa Syrnie
Masmirah hanya terseret ke dalam huru-hara sejarah karena
ia seorang istri, seorang perempuan.
Maka tampillah Sastrodikoro, abang angkat ibuku yang
bupati Lumajang itu, mengontak Kolonel Yani. Ia memberi?tahu
bahwa di antara keluarga pasukan yang memberontak itu ada
adiknya, seorang ibu muda yang baru sehari saja mela?hirkan.
Rasa kekeluargaan selalu hidup dalam bangsa ini. Kolonel
Yani pun setuju untuk mengadakan operasi khusus untuk
menjemput ibuku dari hutan. Begitulah keputusan tambahan
yang dibuat di Pulau Jawa. Namanya: Operasi Bayi Gerilya.
Cerita kembali ke belantara Sumatra. Ketika aku mulai
mengunyah-ngunyah puting ibuku dan mencoba menelannya,
datanglah seorang kurir membawa berita dari pasukan
musuh, yaitu pasukan Ahmad Yani yang hendak menumpas
kami. Beritanya adalah berita kemanusiaan: ada permintaan
keluarga Syrnie Masmirah, istri Letda Muhamad Irsad, agar
Syrnie Masmirah dan anak-anaknya yang masih kecil?ya,
aku dan Sanda, kakak perempuanku yang tak pernah terlalu
Enrico_koreksi2.indd 22 Cerita Cinta Enrico sehat sejak lahir?kembali ke Pulau Jawa dan tidak dilibatkan
dalam perang ini. Dalam negosiasi berikutnya, pasukan Yani
bersedia untuk menukar Syrnie Masmirah dan kedua anaknya
dengan sejumlah perbekalan bagi gerilyawan.
Aku tak tahu apa perbekalan yang dijanjikan pasukan Yani
untuk mendapatkan aku, Sanda, dan ibuku. Aku lebih se??nang
membayangkan perbekalan itu adalah berkarung-karung
daun katuk, yang akan membuat air susu ibuku lancar dan aku


Cerita Cinta Enricho Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak perlu menggigit serta menelan puting susunya. Tapi tentu?
lah itu tolol sekali. Sebab jika aku dijemput ke Jawa, maka tak
ada lagi gunanya berkarung-karung daun katuk bagi para
gerilyawan. Barangkali itu adalah beberapa karung beras atau
kalengan ransum militer. Tawaran itu disampaikan kepada ayah dan ibuku. Dan,
sungguh, keduanya menjadi sangat bimbang. Mereka tahu,
perbekalan gerilya semakin tipis. Bahan makanan yang di?
ta?warkan musuh terdengar sangat lumayan bagi pasukan
gerilya. Dan di tingkat keluarga, ayahku tahu bahwa revolusi
ini?seperti telah diramalkan oleh kelahiranku?tidak seperti
yang dia harapkan: berkaki kurus. Revolusi ini tidak akan
berakhir pada kejayaan. Di beberapa tempat, pertempuran
antara pasukan pusat dengan gerilya telah memakan korban
jiwa di pihak pendukung PRRI. Itu artinya, ia membawa
anak dan istrinya menuju kekalahan belaka. Kekalahan yang
sejauh apa? Di mana batasnya? Ia tak tahu. Itu membuat ia
sangat gundah. Ia memang tidak bisa mengkhianati sumpah
prajurit, ia rela menerima kekalahan ini, tapi kenapa ia harus
melibatkan istri dan anak-anaknya?
Irsad berkata kepada istrinya bahwa, barangkali benar,
anak-anak seharusnya tidak merasakan penderitaan ini.
Enrico_koreksi2.indd 23 Ayu Utami Agaknya ia juga berkata, lihat, baru sebentar saja bayi kita su?
dah memakan seperempat puting susumu. Bayangkan kalau
kita bergerilya lebih lama lagi.
Dengan berat hati ibuku menurut. Ia terpaksa mengakui
bahwa ia tidak ingin membiarkan bayinya tumbuh jadi dra?
kula. Bahkan drakula yang tak hanya menghisap darah, tetapi
juga memakan daging. Keduanya lalu menghadap koman?dan
dan menyatakan bahwa Syrnie Masmirah bersedia dijem?put
untuk pulang ke Jawa. Maka diaturlah skenario pertukaran
itu: aku-ibuku-kakakku dengan beberapa karung bahan ma?
kanan. Rah, bibi gendruwoku, tentu saja akan ikut, sebab ia
satu paket dengan aku. Ia adalah kendaraanku.
Pada hari H-1, komandan membiarkan Letda Irsad meng?
habiskan malam terakhir berdua dengan istrinya saja, tanpa
diganggu anggota pasukan yang lain. Rah menidurkan Sanda
dan aku sampai tengah malam, sebelum ayah dan ibuku akan
kembali kepada kedua anaknya.
Malam itu bulan purnama sekalipun tidak ada bulan. Di
antara bunyi cengkerik hutan, Irsad dan istrinya berpelukan
dengan keyakinan bahwa tak ada malam lain selain malam
ini. Tak ada hari esok bagi mereka. Syrnie akan pergi ke Jawa
dan mereka mungkin tak akan bertemu lagi. Irsad mungkin
akan mati dalam perang saudara ini, ditembak oleh Letda
Laksmana, keponakannya sendiri yang berada di kubu mu??suh.
Sanda akan mengingat ayahnya samar-samar. Tapi Prasetya
Riksa, yang dipanggil Rico, Enrico, tidak akan pernah kenal
ayahnya... Matahari terbit. Operasi Bayi Gerilya. Di titik yang diten?
tukan, di sebuah lapangan yang membatasi dua hutan, kurir
Enrico_koreksi2.indd 24 Cerita Cinta Enrico pasukan Yani telah menaruh perbekalan yang dijanjikan. Me?
reka berdiam di hutan sebelah, menunggu Syrnie Masmirah
muncul dari hutan yang berhadapan, bersama satu bayi, satu
balita, dan satu pengasuh anak. Menit-menit berlalu. Jam-jam
lewat. Tapi ibuku tak pernah muncul, padahal pasukan gerilya
telah mengambil perbekalan yang dijadikan alat tukar.
Sekarang aku menyesal bahwa pasukan Yani tidak mengisi
karung-karung itu dengan daun katuk.
Enrico_koreksi2.indd 25 Perempuan Pahlawan Ibuku mendapatkan nama harum di tengah belantara. Ia
membuat pasukan kami memperoleh bahan makanan tanpa
ia meninggalkan suami dan perjuangan. Ayahku merasa ga?
lau yang bercampur dengan bangga dan bahagia. Sedang?
kan ibuku menerima sikap diam dan tangguhnya sebab itu
te?lah ditunjukkan oleh bayinya yang lahir bersama revolusi.
Revolusi, meski berkaki kurus, tetaplah revolusi. Anaknya
telah menahan trauma lahir ke dunia sampai sedetik sebelum
maut seharusnya mencekik. Syrnie bersumpah akan menahan
semua penderitaannya. Bahkan jika ia harus kehilangan kedua
puting susunya. Ia baru kehilangan seperempat puting kirinya ketika revo?
lusi akhirnya dikalahkan dengan telak oleh pasukan Yani. Aku
Enrico_koreksi2.indd 26 Cerita Cinta Enrico tak punya ingatan apapun mengenai peristiwa yang paling
menyedihkan bagi ayahku. Peristiwa di mana ia merasa ke?
hor??matannya direnggut. Peristiwa yang menghantuinya da??
lam mimpi sampai lama sekali. Di lapangan yang sama de?
ngan lapangan yang seharusnya menjadi titik di mana ibuku
dijemput, ya di lapangan di mana dulu istrinya menun?juk?kan
kemenangannya, di situlah ia harus menunjukkan kekalah??an.
Lapangan di antara dua hutan. Hutan musuh, yang menjanji?
kan daging rusa dan buah-buahan, di seberang sana. Hutan
kami di sebelah sini, yang menjanjikan harimau dan segala
macam ular berbisa. Perjanjian penyerahan diri telah diterima. Jawa tidak akan
memenjarakan ataupun menganiaya pasukan pemberontak
yang menyerahkan diri. Mereka hanya akan dilucuti pang?
katnya. Dan, setelah itu, diperbolehkan mendaftar kem?bali
ke dinas militer. Maklumlah, hampir semua mereka, se?perti
ayahku, tak punya ketrampilan selain sebagai serdadu. Syaratsya?rat pendaftaran ulang akan ditentukan kemudian. Pe??nye?
rahan senjata dilakukan di lapangan itu. Ya, lapangan di an??
tara dua hutan. Lapangan kemenangan ibuku dan kekalahan
ayahku. Letda Irsad berbaris bersama seluruh gerilyawan, yang
pada hari itu tidak bisa lagi menyebut diri mereka pasukan
re?volusi. Mereka adalah pasukan pemberontak, seperti nama
yang diberikan Jawa kepada mereka. Revolusi berkaki kurus
itu telah sepenuhnya menjadi pemberontakan setengah hati
belaka. Irsad tetap mencoba berdiri dengan sikap tegap se?
utuhnya, dengan kehormatan penuh, meskipun hatinya hancur
ketika perwira pasukan Yani melucuti tanda pangkatnya.
Divisi Banteng, nama gagah pasukan revolusioner di
Enrico_koreksi2.indd 27 Ayu Utami Sumatra Tengah itu, telah roboh. Tanda pangkat bintang putih
tanggal dari seragam ayahku. Dari tepi lapangan, ibuku berdiri
tegak memandang peristiwa itu, didampingi Rah serta kedua
anaknya. Untuk menunjukkan harga dirinya dan suaminya,
ia tampil sangat necis, mengenakan rok bunga-bunga yang
dilicinkannya sebisa mungkin, dan pantovelnya yang gagah
berani. Pantovel yang tak tertandingi. Ia telah menunjukkan
bahwa ia selalu mendampingi lelaki yang dicintainya apapun
yang terjadi. Ia telah menunjukkan bahwa ia tidak menangis,
sebab begitulah yang ia sendiri tafsirkan dari kelahiranku, di
hari kelahiran revolusi juga?meskipun hampir bisa dipas?
tikan aku tidak memaksudkannya sama sekali. Aku tidak me?
nangis waktu lahir, mungkin memang ada kesalahan pro?gram
pada tubuhku. Atau, tepatnya, cacat teknis. Tapi bagi ibuku,
tidak ada sesuatu yang tidak bermakna. Menurut ibu?ku, aku
tidak menangis sampai sedetik sebelum maut men?cekikku,
itu artinya: aku menangis karena perlu?semata-mata karena
perlu?bukan karena perasaan takut atau sedih atau marah
atau trauma. Karena bayi perlu menangis, maka aku me?
nangis. Begitulah yang benar. Sesuatu itu karena perlu. Bukan
karena perasaan-perasaan cengeng. Ya, menurut ibuku, aku
telah menunjukkan bahwa aku menangis karena perlu ber?
nafas. Demikianlah, ia pasti percaya bahwa aku menelan se?
pe?rempat putingnya karena aku perlu makan, bukan karena
ma?rah atau karena aku suka rasanya. Tapi, kelak, peristiwa
ayam mengamuk yang membuat aku meraung-raung mau
mati menunjukkan bahwa aku ternyata tidak sebegitu heroik.
Sayang?nya, ia tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri
kejadian itu. Lapangan di antara dua hutan...
Enrico_koreksi2.indd 28 Cerita Cinta Enrico Tanda pangkat telah sepenuhnya lepas dari baju ayahku.
Barisan dibubarkan. Ibuku maju menyambut suaminya de?
ngan langkah yang mantap, betis yang mengayun dari balik
rok selutut bermotif kembang, dan pantovel hitam hebat
yang menyalut telapak kakinya. Ibu muda dengan dua anak.
Keanggunannya mengembalikan harga diri ayahku.
Enrico_koreksi2.indd 29 Lilin Merah Pantovel ibuku sangat hebat. Benda itu cantik sekaligus
gagah. Kecantikannya ada pada lekukan takiknya, juga haknya
yang terbuat dari kayu yang ditatah sedikit meliuk. Sedang?
kan kegagahannya juga tampak pada haknya yang sebesar
palu itu, serta pada kulit kokoh yang menutup seluruh tumit
maupun jemari kaki, menyiratkan rasa aman dan kekuatan;
serta gesper kuningan yang setampan benda-benda militer.
Sejak kecil aku suka menyemirnya. Aku pandai menyemir
sepatu ibuku. Pertama-tama, bersihkan kulitnya dari debu
dan kotoran. Jika ada tanah yang menempel, gosok dengan
kain basah hingga noda itu lepas. Jangan terlalu basah; sepatu
harus kering saat disemir. Setelah itu, oleskan semir pada
seluruh permukaan kulit. Semir harus yang bagus. Semir
Enrico_koreksi2.indd 30 Cerita Cinta Enrico yang jelek malah merusak kulit. Diamkan beberapa menit.
Baru gunakan sikat lembut. Demikian juga dengan gesper
ku?ningannya. Oleskan brasso dengan jari?aku suka baunya,
ada yang menyengat sekaligus lembut padanya. Gosok setelah
dibiarkan beberapa menit. Bagian yang paling menyenang?kan
adalah sentuhan terakhir yang akan membuat pantovel hi?tam
itu mengilap-ngilap seperti turun dari surga. Kujepit se?patu
itu dengan kedua pahaku. Selembar lap panjang kutegang??kan
dengan menggenggam kedua ujungnya di tangan kanan dan
kiri. Lalu mulailah aku melicinkan sepatu dengan mena?rik lap
itu sekuat tenaga, ke kanan ke kiri, ke kanan ke kiri, sam?pai
berbunyi srt! srt! seperti penyemir profesional. Setelah sele?
sai, kuletakkan sepatu itu di rak tertinggi dengan rasa bangga.
Pantovel itu memantulkan sinar surgawi. Jika kau melihatnya,
kau pasti percaya bahwa rasanya lebih enak daripada permen
Belanda kattedrops. Aku akan merona ketika Ibu memuji pekerjaanku. Hatiku
berdebar-debar manakala ia mengenakan pantovel itu di
kakinya. Kakinya yang kokoh dengan betis penuh. Tidak
seperti kakiku atau kaki ayahku yang kurus bagai ceker-ayam.
Slup. Sepasang pantovel itu terpasang dengan cantik sekaligus
gagah, menyangga seluruh bangunan tubuhnya. Ia menjelma
sesosok dewi. Rok lebar menutupi kaki ibuku dari lutut dan mengecil
di pinggang, seperti payung kembang-kembang. Ia menge?
na?kan atasan putih dengan sedikit renda di dada dan lengan.
Rambutnya segar, tidak seperti rambut kebanyakan perem?
puan lain, yang cepal oleh minyak dan menyimpan kutu.
Ibuku adalah perempuan tercantik, teranggun, dan termaju
di seluruh duniaku?yang terbentang seluas tangsi militer
Enrico_koreksi2.indd 31 Ayu Utami tempat kami tinggal. Begitu Ayah selesai mengelap sepedanya, kami akan be?
rangkat ke gereja di kota Padang. Ibu akan duduk di jok yang
telah diberi bantalan oleh Ayah. Aku duduk pada stang. Rambut
ibuku yang bersih akan berkibar oleh angin, sedangkan
rambutku dan rambut Ayah yang cepak boleh diminyaki?
sebab kami adalah laki-laki.
Di depan gereja aku dan Ibu akan turun, sementara Ayah
pergi untuk berjalan-jalan sendiri. Ia suka ke pasar, dan per?
nah ia menjemput kami lagi dengan seekor ayam aduan yang
telah tua. Ayah tidak ikut ke gereja, sehingga aku bertanya
kenapa ibuku mengajak aku ke gereja dan berdoa.
Ibu menjawab, "Karena anak kecil itu masih suci. Doanya
pasti didengar Tuhan."
"Memang orang dewasa kenapa, May?" (Aku memanggil
ibuku "May" dan ayahku "Pay".)
"Orang dewasa sudah terlalu banyak salahnya. Seringsering doanya sudah tidak tulus lagi."
Di rumah pun ibu sering mengajakku berdoa, dan biasa?
nya aku jatuh tertidur di pangkuannya. Tapi pada hari Minggu,
biasanya Ibu di dalam gereja dan aku di sekolah Minggu. Aku
senang berada di sekolah Minggu, sebab di sana aku bermain
dan bernyanyi. Lalu Ayah akan menjemput kami lagi sambil
membawa oleh-oleh. Suatu hari, Ayah ikut masuk ke dalam gereja, meskipun
ia cuma duduk diam saja. Rupanya hari itu hari Natal. Gereja
telah penuh. Kami kebagian tempat di bangku agak belakang.
Mataku langsung terpikat pada lilin-lilin istimewa yang telah
menyala cantik. Lilin-lilin itu berwarna merah! Aku belum
pernah melihat lilin selain yang putih biasa. Lilin merah itu
Enrico_koreksi2.indd 32 Cerita Cinta Enrico pastilah bisa dimakan, sebab warnanya begitu menarik hati.
Dan, lihat, selain yang telah menyala, ada setumpuk lilin lagi,
dikemas dalam paket-paket kecil. Aduh, seperti apa rasanya
lilin surgawi? Di luar dugaanku, pendeta membagikan lilin itu pada
me?reka yang berada di bangku depan. Aku menyesal bahwa
kami datang telat dan duduk di belakang. Tapi, pembagian
itu berlangsung ke deretan belakangnya, dan belakangnya,
dan be?lakangnya. Aku berdebar-debar, khawatir jika lilin itu
telah habis ketika seharusnya tiba giliran kami. Aku gembira
luar biasa dan nyaris tidak percaya ketika akhirnya satu paket
lilin dipindahkan ke tanganku. Aku ingin cepat pulang dan
mencicipi lilin merah surgawi.
Tapi Ayah menyuruh aku dan Ibu pulang naik dokar. Aku
tak banyak bertanya kenapa ia pergi sendiri dengan sepeda,
se?bab satu-satunya keinginanku adalah pulang dan merasa??kan
lilin merah. Aku agak kesal sebab Ibu ternyata memba??waku
berbelanja dulu sebelum pulang. Kugenggam lilin merahku
erat-erat agar jangan sampai jatuh. Kenapa Ibu berlama-lama
membeli ini dan itu untuk makan malam Natal? Aku kan mau
makan lilin merah...

Cerita Cinta Enricho Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku melompat dari atas dokar begitu kuda berhenti di
depan kompleks militer kami. Ayahku telah di rumah dengan
sebatang pohon cemara! "Lihat, Cung, kita punya pohon Natal!" kata Ayah sambil
tersenyum lebar. Aku memandang dengan takjub dan gembira. Itulah po???hon
Natal pertamaku; pokok cemara yang ditebang ayahku dari
suatu tempat. Begitu bahagianya aku sehingga tidak kecewa
ketika tahu bahwa ternyata lilin merah tidak bisa dimakan.
Enrico_koreksi2.indd 33 Ayu Utami Kami menghiasi pohon itu dengan kulit telur yang telah di?ke?
ringkan dan dibersihkan. Lilin-lilin merah ajaib kami pasang di
bawahnya. Ibu menyiapkan hidangan istimewa untuk makan
malam: mi goreng. Dan kue-kue tentunya. Dan begitu petang
tiba, kami bertiga berkumpul untuk bersantap. Aku, ibu, dan
ayahku. Kami menyalakan lilin-lilin merah. Aku merasa sedikit
sayang bahwa lilin-lilin itu mulai meleleh dan kehilangan
bentuk necisnya. Tapi tak apa. Kami membaca kisah Natal, lalu
makan malam sambil bercerita macam-macam.
Dan ayahku bercerita bahwa pohon Natal itu ditebangnya
dari makam Sanda. Malam itu aku mulai tahu bahwa kakakku sudah tidak ada
lagi. Enrico_koreksi2.indd 34 Pantovel Ibu Aku kembali menyemir pantovel Ibu untuk kakinya yang
tak tertandingi. Kuoleskan krim merk Kiwi dan kugosok rata.
Sepasang kaki nan kokoh dan subur akan memakai sepatu ini.
Kuku-kukunya dipotong pendek dan sangat bersih, tak pernah
mengenakan kuteks. Tak pernah kulihat ada daki dibiarkan
menyisip di sela kuku dan kulitnya. Kusikat pantovel itu. Tiap
malam sepasang kaki itu dicuci dengan air yang dicampur
Lysol, lalu, setelahnya diolesi krim Ponds. Tiap tiga hari tela?
pak?nya dikosek dengan batuapung. Tak pernah ada kapalan
atau garis-garis kutu air di sana. Kupoles pantovel dengan lap
panjang yang kutarik kuat-kuat, kiri kanan kiri kanan, sampai
berbunyi srt! srt! Tak ada ibu lain di dunia ini yang memiliki
kaki seperti milik dia. Sepasang kaki hebat, tak tertandingi.
Enrico_koreksi2.indd 35 Ayu Utami Lihatlah, pantovel itu sudah berkilau-kilau di bawah sinar
matahari yang masuk dari ventilasi. Aku mengembali?kan
perkakas semir dengan rasa bangga atas hasil kerjaku. Sebentar
lagi pipiku akan merona ketika Ibu mengelus rambutku dan
men?cium dahiku, tanda ia mengagumi jerihpayahku. Dan itu?
lah yang terjadi. Lalu?ini bagian yang paling mendebarkan?
sepasang kaki istimewanya akan menelusup ke dalam se??patu
yang telah terkena sentuhanku. Slup! Dan, selalu be?gitu, selalu
mendebarkan, Ibu akan terangkat dari atas tanah, men??jelma
sesosok peri, dalam roknya yang mengembang di ba?wah dan
menguncup di pinggang seperti payung, kemejanya yang rapi
dan berenda di dada. Tas renang kami pun telah siap. Hatiku melonjak-lonjak.
Pergi renang adalah kebiasaan kami. Biasanya sepekan sekali.
Jika libur, bisa dua kali seminggu. Lihatlah, tas itu telah kem?
bung oleh perlengkapan: swimpak, washlap, handuk, sabun,
dan penganan buatannya sendiri. Ibu membuat segala hal
sen?diri. Makanan hingga baju renang kami dibikinnya sendiri.
Celana renangku sangat hebat, membuat aku merasa bagai?kan
Tarzan. Modelnya cawat, warnanya loreng, tidak disambung
utuh, melainkan dibuatnya sedemikian rupa sehingga di
bagian pinggang, kanan dan kiri, aku harus mengikat sendiri
tiga simpul yang bersusun. Tali-tali itulah yang membuat aku
merasa liar dan merdeka seperti Tarzan. Swimpak buatnya
dan Ayah juga ia jahit sendiri.
Hari itu Ibu telah membuat apa yang kusebut sebagai tart
tetapi sesungguhnya adalah sejenis Christmas Stolen?roti
padat beraroma kayu manis dengan kismis dan sukade di da?
lamnya dan luarnya dibaluri salju dari gula tepung. Aku suka
sekali roti padat itu. Kepadatannya mengenyangkan. BuahEnrico_koreksi2.indd 36 Cerita Cinta Enrico buah kering di dalamnya memberi kejutan. Bahkan sukadenya
pun Ibu buat sendiri dari kulit jeruk yang tebal. Ia campurkan
juga rajangan manisan kolang-kaling ke sana. Katanya, karena
banyak buah Eropa yang tidak ada di sini. Sampai mati aku
akan merasa bahwa Christmas Stolen adalah roti paling enak
sedunia. Selain ketan, yang aku juga tergila-gila. Tapi kali itu
libur Natal dan Ibu membuat tart, bukan ketan juruh.
Kali ini Ayah tidak ikut. Ia harus berjaga di kantor hari itu.
Aku dan Ibu pergi berdua saja ke Kolam Renang Teratai dari
rumah kami di asrama militer Belakang Tangsi. Kami berja?
lan bergandengan tangan mesra. Aku sangat bahagia. Aku
sangat bangga. Jika aku menoleh ke atas, kulihat wajah ibuku.
Leher?nya menjulang dari kerah renda. Kepalanya selalu tegak.
Ia tak pernah menunduk seperti orang tidak percaya diri. Di
atas ram????butnya adalah payung berbunga yang dipegangnya
secara anggun dengan tangan lainnya (tangannya yang satu
meng??genggam tanganku mesra). Jika aku menoleh ke ba?wah,
kulihat rok ibuku yang kembang, dan sepasang hebat kaki
dengan pantovel yang telah kusentuh, yang berayun-ayun
menapaki tanah dengan gagah.
Kolam Renang Teratai di Jalan Sudirman adalah yang pa?
ling modern di masa itu. Airnya bukan tampungan sungai me?
lainkan dari perusahaan air minum negara?air yang telah
diproses?sehingga tak ada katak atau ular yang senang men?
dekam di sana. Kolamnya juga besar; bisa untuk pertanding?an
Olimpiade, kata ibuku. Aku telah mengalahkan Ibu dalam hal
renang. Ia hanya berenang menyeberang lebar kolam, semen?
tara aku telah bolak-balik panjangnya.
Hari itu aku dan Ibu begitu senang sehingga kami bere?
nang banyak sekali. Diselingi makan kue dan minum limun.
Enrico_koreksi2.indd 37 Ayu Utami Aku berkhayal jadi Tarzan: melompat berkali-kali ke dalam
air dari papan loncat yang kubayangkan sebagai tebing;
bere?nang menyelamatkan Ibu dari serangan buaya. Aku ma?
nusia bebas dan berjasa! Tahu-tahu hari sudah sore. Sudah
waktunya pulang. Renang kami agak terlalu banyak rupanya
se?hingga kami tersadar bahwa jarak pulang lumayan jauh dan
melelahkan untuk ditempuh jalan kaki. Tak ada kendaraan
umum waktu itu, selain bendi. Tapi, kata Ibu ia sedang tidak
boleh naik kereta kuda karena goncangannya terlalu besar.
Perut Ibu sedang sakit dan tak boleh terguncang-guncang,
katanya. Aku tak begitu mengerti.
Lalu kami berdiri di tepi jalan, yang di masa itu sangat le?
ngang. Tak ada angkutan umum bermotor. Sedikit sekali orang
yang memiliki mobil. Ibu memandang ke kiri dan ke kanan.
Beberapa mobil lewat. Selang beberapa saat, sebuah sedan
menuju ke arah kami. Ibuku melambai. Mobil itu berhenti. Ibu
berkata bahwa ia dan aku sedang mencari tumpangan pu?lang
ke asrama Angkatan Darat. Apakah mobil itu menuju ke sana?
Bolehkah kami menumpang? Lelaki itu mempersilakan kami masuk dengan ramah.
"Wah, terima kasih banyak, Pak," kata Ibu sambil men?
jelas??kan bahwa ia sedang tidak bisa naik bendi karena dila?
rang dokter. Samar-samar aku mendengar kata perdarah?an,
dan sebuah kata berbahasa Belanda yang kutahu kemu?dian
ada?lah bloeding, yang tak terlalu aku mengerti.
Aku bertanya, "Kenapa kalau naik mobil boleh?"
"Karena di bagian bawah mobil ada pegasnya sehingga
mo????bil tidak terlalu bergoncang. Bendi tidak punya pegas,"
sahut Ibu. Lelaki itu mengiyakan dan menambah beberapa pen?
Enrico_koreksi2.indd 38 Cerita Cinta Enrico jelasan. Aku pun membayangkan kerangka mobil. Pegas dari
kawat baja yang sangat kuat di antara roda dan tempat du?duk
kami. "Kalau ban melewati lobang, tempat duduk tidak terasa
ikut masuk ke dalamnya."
Perjalanan bersama lelaki baik hati itu menyenang?kan.
Kami turun persis di mulut gang kompleks asrama kami. Pe???
tualangan hari itu sungguh memuaskan. Aku masih me?nan?
dak-nandak sepanjang lorong menuju rumah. Ayahku juga
telah berada di rumah. Malamnya aku bercerita dengan semangat apa yang ter?
jadi seharian. "Apay menyesal tidak ikut pergi renang!" kataku som??bong.
Lalu ibu dan aku bercerita juga tentang kepulangan kami yang
menumpang mobil orang. Lifting, kata Ibu, istilahnya da?lam
bahasa Belanda. Tiba-tiba air muka ayahku berubah. Tapi ayahku tak
pernah marah. Ia hanya tampak kurang senang.
"Lain kali jangan menumpang mobil orang lagi," katanya.
"Nanti jadi omongan tetangga."
Ibuku seperti hendak membantah?sebab, bukankah
dokter melarang dia naik bendi?tapi tak jadi ia. Kami tak
punya mobil. Ayah melembut, "Kamu kan tahu sendiri kayak apa te?
tangga-tetangga kita." Kata Ayah, Ibu lain sekali dengan se?mua
orang di kompleks kami. Ya, aku tahu betul itu. Semua ibu di
tangsi ini berkutu, kecuali Ibu. Setiap pagi atau sore me?reka
duduk-duduk dengan rambut terurai sambil saling mencari
kutu. Mereka suka sekali bergunjing. Jika mereka berkelahi
satu sama lain, mereka memaki dengan bahasa Jawa yang
sung?guh kampungan dan, ya ampun, mereka suka menyingkap
Enrico_koreksi2.indd 39 Ayu Utami atau melorotkan kain, memperlihatkan bokong mereka pada
musuhnya. Jika bisa, kurasa mereka akan kentut juga untuk
menyatakan kebencian. Ibu teman-temanku banyak yang
tak bisa baca-tulis. Ibuku berbahasa Belanda dan mengerti
Jerman serta sedikit Inggris. Ia bisa steno dan mengetik. Dari
majalah-majalah Belanda yang dikumpulkannya, ia belajar
membuat pola dan menjahit segala macam pakaian, memasak
segala macam kue. Dan, lebih dari semua itu, ibuku memakai
rok dan sepatu pantovel! "Kamu cantik, Cing... Kamu ibu muda. Anakmu baru satu,"
kata Ayah kepada Ibu. Ibuku tercenung sebentar, lalu berkata dengan nada sedih,
"Anakku pernah dua."
Ayahku, sebelah tangannya memegang tangan Ibu. Lalu
ta?ngannya yang lain memegang perut Ibu. Ia melakukan?nya
dengan lembut dan sendu sekali sehingga aku tiba-tiba me?
rasa cemburu. Aku juga tidak terlalu mengerti. Ada yang aneh. Samarsamar aku tahu aku pernah punya kakak perempuan ber?nama
Sanda. Tapi sekarang aku adalah anak tunggal. Aku tidak bisa
mengaitkan apa yang terjadi di antara dua hal itu.
Enrico_koreksi2.indd 40 Seandainya... Aku merasa jadi lelaki dewasa manakala mengantar Ibu ke
pasar. Ibu akan mengenakan pakaian yang telah agak tua jika
pergi ke pasar. Tapi ia selalu bersih dan necis. Ia tetap mema?kai
pantovel?tetapi juga yang paling tua. Pantovel itu akan jadi
kotor sepulangnya, dan aku akan langsung membersihkan?
nya dengan hati gembira. Aku selalu mengenakan kemeja dan
celana yang dibuat sendiri oleh Ibu dengan mesin jahit Pfaffnya yang berjasa besar. Tidak ada anak berpakaian sebagus
aku di asrama kami. Bahkan anak-anak perwira. Ibu selalu
membuat aku merasa gagah.
Lebih dari itu, aku betul-betul gagah dan dewasa setiap
kali mengantarnya ke pasar. Aku membawa tasku sendiri,
yang dibuat Ibu dari bahan blacu yang dilapis dan dijahit
Enrico_koreksi2.indd 41 Ayu Utami dobel hingga jadi sangat kuat. Ibu juga membawa keranjang
belanjanya, yang terbuat dari anyaman plastik sekeras rotan.
Sebagai laki-laki, dengan bangga aku akan membawakan
se?gala yang berat-berat: kelapa, yang di masa itu dibeli se?
butir, biasanya utuh dengan airnya; kacang hijau, kacang me?
rah, kedelai, dan bebijian yang lain; gula pasir, gula merah;
buah-buahan... pokoknya segala yang berat. Semakin berat
bawaanku, semakin aku merasa jadi laki-laki.
"Sini, May! Aku bawakan!" Aku senang sekali mengatakan
itu. Yang ringan dan ringkih masuk ke dalam keranjang ibuku:
sayur-sayuran, teri, ikan, daging. Kami tak pernah membeli
telur, sebab kami memiliki ayam dan bebek, yang tiap hari
ku??gembalakan, yang menghasilkan telur lebih dari cukup
untuk diri kami sendiri. Setiap kali membeli ikan atau daging,
Ibu minta kepada penjual untuk membungkusnya baik-baik.
Ibu akan menaruhnya hati-hati dalam keranjang, agar jangan
sampai kelihatan orang. "Kenapa May?" tanyaku.
"Tetangga suka pamer kalau beli daging atau ikan. Pamer
itu tidak elok," bisik Ibu.
Ya. Ibu-ibu di asrama kami biasa menaruh ikan atau da?
ging di paling atas isi keranjang. Setelah itu mereka akan ber??
keliling dan mengobrol kencang-kencang agar semua orang
tahu bahwa hari itu mereka makan ikan atau daging. Ibuku
tidak pernah memamerkan apapun. Tapi, tanpa itu pun ia su?
dah terlalu berbeda dari semua warga tangsi. Dan aku bang?
ga bahwa kekasihku, ibuku, adalah makhluk istimewa. Aku
memuja ibuku. Aku melayaninya dengan bahagia.
Para penjual yang dilanggani Ibu selalu memujiku.
Enrico_koreksi2.indd 42 Cerita Cinta Enrico Katanya, si Rico anak tampan. Atau Rico anak baik. Atau
Rico anak berbakti. Semua pujian itu membuat aku sungguh
merasa lelaki dewasa yang hebat. Aku pantas mendampingi
ibuku. Tapi aku juga suka mengumpulkan bungkus-bungkus
rokok yang dibuang orang di pasar untuk mainan kami di
asra?ma. Anak-anak asrama suka bermain bungkus rokok.
Kami mempunyai harga untuk masing-masing jenis. Yang
me?nang adalah anak yang punya koleksi termahal. Bungkus
rokok termurah adalah Soor, rokok bikinan Medan. Warna?
nya coklat hijau. Yang termahal adalah Kaiser. Dasarnya putih
dan tulisannya perak, gambarnya satria berkuda dengan baju
zirah dan tombak panjang.
Kadang-kadang aku lupa pada kegagahanku dan mele????ngos


Cerita Cinta Enricho Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari Ibu untuk memburu bungkus-bungkus rokok itu. Jika aku
menemukan Kaiser, aku harus memungutnya, meski???pun su?
dah kena becek dan cap alas kaki orang. Aku juga suka meng??
intip di bak-bak sampah, siapa tahu ada bungkus rokok yang
ma?sih lumayan atau yang istimewa.
Hari itu belanjaan bawaanku sangat berat. Hari sangat
panas. Keringatku menetes-netes. Ibu memandangi aku de?
ngan penuh cinta serta haru, dan bertanya, "Bagaimana kalau
kita naik bendi saja? Biar kamu tidak capek, Rico..."
Langsung berdiriku kutegakkan kembali dan aku men?
jawab lantang, "Tidak! Rico tidak pernah capek!"
Semakin berat tantangan, semakin aku merasa gagah.
Semakin aku merasa gagah, semakin aku merasa nikmat.
Ibu membuka payungnya dan kami pun berjalan bersamasama. Tubuhku sesungguhnya harus sedikit miring untuk
me??nyangga tasku yang berisi kelapa dan segala macam. Tapi
se?lalu kuusahakan jalanku tegap. Apalagi kalau aku tahu Ibu
Enrico_koreksi2.indd 43 Ayu Utami sedang memandangiku. Aku mendapatkan kepuasan dengan
kegagahanku. Aku merasa tak kalah jantan dari Ayah.
Aku juga tahu bahwa setiap kali kami berjalan kaki, kami
menghemat ongkos bendi. Aku tahu menabung adakah hal
yang baik. Suatu hari ada parade 17 Agustus di Stadion Imam Bonjol.
Ayahku akan ikut defile. Upacara sebesar itu tak setiap ta?hun
diadakan. Aku harus melihatnya. Tapi Ibu tidak ikut. Pagipagi kami telah berangkat. Aku duduk di bangku penonton
dan me??nyaksikan penaikan bendera, yang diikuti oleh pa??ra??de
satuan-satuan militer. Aku mencari-cari di mana ayah?ku da?
lam barisan KUDAM III dan menemukannya. Aku melambailambai dan memanggilnya, tapi tentu saja dia tidak boleh
me??nyahut. Parade selesai sekitar jam sebelas. Aku segera
me??nemui ayahku dan mencerocos tentang bagaimana aku
berhasil menemukan dia dalam defile.
Ayahku kehausan. Kami membeli limun sebelum beranjak
pulang. Ayah mau menyetop bendi, tapi dengan segera aku
berkata tegas, "Tidak usah naik bendi, Pay! Kita jalan kaki saja!
Lebih hemat.... dan gagah!"
Matahari mulai terik. Aku dan Ayah berjalan pulang. Se?
pan?jang jalan aku mencerocos terus, pelbagai cerita. Sema?
kin dekat rumah, semakin sedikit Ayah bicara. Keringatnya
me?netes-netes sebesar butiran jagung. Ia membuka kancing
seragam bagian atasnya. Jalannya semakin sempoyongan. Se?
patu larsnya semakin berdebum-debum menahan tubuhnya
yang tak lagi lurus. Sesampainya di rumah ia langsung membanting badan dan
berselonjor di bangku. Ia menarik nafas-nafas panjang untuk
Enrico_koreksi2.indd 44 Cerita Cinta Enrico beberapa saat, sebelum tenaganya pulih untuk mencopoti
segala seragamnya yang berat: kemeja, celana, sabuk, dan
but yang semuanya tampak beruap. Ia mengeluh pada ibuku:
"Ini pasti karena ajaran kamu, Cing... Si Rico mengajak aku
pulang jalan kaki. Padahal sudah seharian aku dijemur dalam
upacara." Aku sesungguhnya sama sekali tidak ingin membuat
ayahku sempoyongan. Aku betul-betul ingin melaku?kannya
ka??re?na jalan kaki adalah gagah dan hemat. Tapi peris?tiwa
itu mem??beri rasa menang juga pada diriku. Aku ternyata
lebih kuat dari Ayah. Lihat, May, aku lebih perkasa dari
Apay! Aku lebih pantas dicintai daripada ayahku. Tenagaku
masih berlimpah-lim?pah. Aku pun lari keluar untuk bermain
bungkus rokok de?ngan teman-teman. Setelah main bungkus
rokok, kami berkelana lagi sesuka kami. Dan di suatu kebun
aku menemukan satu buah sukun matang teronggok di tanah.
Sukun matang jatuh pohon. Yang pertama kuingat adalah ibu?
ku. Selalu Ibu yang pertama kuingat. Aku akan mempersem??
bah?kan sukun ini untuk Ibu. Tapi satu buah rasanya kurang.
Ku?longok ke atas dan kutemukan ada yang tampaknya lumayan
matang. Aku pun memanjat pohon dan memetik satu lagi. Aku
berlari-lari pulang membawa dua buah sukun. Begitu bungah
hatiku bisa membawakan buahtangan bagi kekasih.
Aku menerobos ke dalam rumah sambil kedua tanganku
terentang menyodorkan buah istimewa itu. Kulihat wajah
ibuku: terkejut, terharu, dan bangga.
Sore itu kami minum teh dengan kudapan sukun goreng.
Sukun adalah buah yang sangat enak. Tak ada roti manapun
yang menandingi gurih dan seratannya. Ibu mengelus
Enrico_koreksi2.indd 45 Ayu Utami kepalaku berulangkali sambil menegas-negaskan betapa
manisnya aku membawakan oleh-oleh untuk keluarga di
rumah. Tapi, tiba-tiba matanya menerawang ke luar dan ia
meng?gumam lirih?sangat lirih, tapi aku bisa mendengarnya:
"Seandainya saja Sanda masih ada. Betapa senang dia punya
adik Rico. Seandainya Sanda ada di sini..."
Pelan-pelan aku sadar bahwa pujian Ibu kepadaku tidak
pernah tak dibebani kesedihan atas hilangnya kakakku. Ibuku
tak pernah cukup memujiku saja. Ia harus menambahkan
sesuatu yang pahit. Enrico_koreksi2.indd 46 Memori yang Hilang Kematian Sanda kakakku pelan-pelan ternyata merupa????kan
tikungan dalam hidup ibuku, dan juga hidup kami. Aku sen?
diri tidak pernah ingat peristiwa itu. Bagaimana ia terhapus
dari memoriku, aku tak tahu. Sungguh, sebelum libur dan
pesta Natal dulu itu, rasanya aku lupa bahwa ia pernah ada.
Ke?pah?lawanannya dalam peristiwa ayam mengamuk hanya?
lah dongeng yang terpisah dari hidupku.
Perlahan-lahan aku tahu ceritanya.
Setelah pemberontakan gagal?ya, pemberontakan de?
ngan kaki-kaki kecil seperti ceker-ayamku?ayahku mendaf?
tar kembali ke dinas militer. Pangkatnya diturunkan satu
ting?kat. Aturan itu sesungguhnya sudah diumumkan sebe?lum?
nya. Banyak di antara kawan ayahku yang tidak jujur. Ketika
Enrico_koreksi2.indd 47 Ayu Utami ditanya apa pangkat terakhir, mereka menaikkannya, agar
ketika diturunkan mereka mendapatkan kembali pangkat
yang sama. Tapi Ayah orang jujur. Dan Ibu mendukung ia untuk
teguh dalam kejujuran. Maka, ketika masuk dinas, ia bukan
lagi seorang perwira. Ia menjadi bintara. Jarak dari bintara ke
perwira adalah sedikitnya lima tahun.
Pembantu letnan satu (Peltu) Muhamad Irsad kini men?
dapat satu rumah petak di asrama militer Belakang Tangsi,
kota Padang. Kami pindah dari Bukittinggi di mana ada
burung kuau dan ayah suka berseru Cing! Cang! Cung!... dari
kejauhan. Kini ayah digabungkan dengan prajurit dan bin?
tara yang tidak pernah lulus sekolah calon perwira. Dan ibu?
ku?yang fasih berbahasa Belanda dan mengenakan pan?
tovel hebat?bertetangga dengan perempuan-perempuan
ber??kutu yang sebagian buta huruf dan?sungguh mati aku
tidak bohong?mereka sampai hati untuk memperlihatkan
pan?tat mereka untuk mengejek jika mereka saling berkelahi.
Aku pun berteman dengan anak-anak kolong yang mulutnya,
tanpa kutahu, sangat kotor?dan mulutku pun segera menjadi
seperti milik mereka. Jika kupikirkan sekarang, bagi ayah dan ibuku ini tentu?lah
sebuah kejatuhan. Tapi, mereka tidak pernah bicara apapun
tentang itu. Mereka tak pernah bersikap begitu. Mereka telah
belajar dari kelahiranku.
Mereka segera mencari hal-hal yang menyenangkan. Salah
satunya, bagi Ayah, adalah kenyataan bahwa rumah kami sa?
ngat dekat dengan pantai. Ayah berasal dari Madura, sebuah
pulau kecil. Pantai dan laut adalah kegembiraannya. Ia tak
sabar untuk segera membagikan kebahagiaanya kepada anakanaknya dalam menyambut hidup baru mereka. Sebaliknya,
Enrico_koreksi2.indd 48 Cerita Cinta Enrico ibuku punya pendapat buruk mengenai angin laut. Angin laut
bisa membuat radang paru, longensteking, katanya. Apalagi
Sanda tak pernah terlalu sehat sejak lahir. Badannya ringkih
dan ia punya penyakit bengek bawaan. Ia sering sesak nafas.
Tapi, ayahku punya kegembiraan kanak-kanak yang sulit ia
hentikan. Lagi pula, Ayah sama sekali tidak percaya bahwa
angin laut itu buruk. Seumur-umur orang Madura tinggal di
pantai dan tak ada kematian massal akibat longensteking.
Konon aku dan Sanda sangat gembira ketika Ayah menaik?
kan kami ke boncengan sepeda dan Ayah mengayuh sepeda
itu ke pantai Padang di mana ada reruntuhan benteng Jepang
dan fosil si Malin Kundang. Itulah pertama kalinya kami me?
lihat pantai, dan pastilah sangat menakjubkan bagi aku dan
Sanda?meskipun aku menghapusnya dari ingatan. Aku hanya
ingat setiap kali kami ke pantai, kami akan membeli limun dan
rujak. Malam harinya, sepulang dari kegembiraan bermain di
pantai itu, penyakit asma kakakku kambuh. Aku tak punya
ingatan sedikit pun tentang itu. Juga tentang suara bengek
yang menyertai nafas tidurnya yang terakhir. Akhirnya ka?
kakku meninggal dunia. Aku tak punya ingatan apapun. Aku
kosong sama sekali. Setelah agak jauh dari peristiwa itu, aku melihat foto pe?
ma?kamannya seperti melihat gambar asing. Pada foto itu
aku tampak berdiri di sebelah peti jenazahnya yang kecil.
Aku menengadah menatap kamera, dengan kesedihan yang
menakutkan di mataku. Sanda berbaring di dalam peti,
bibirnya sedikit terbuka, seperti bunga. Tapi bahkan foto itu
tidak bisa membangkitkan memori apapun. Agaknya aku
sudah menghapusnya atau menguburnya terlalu dalam.
Enrico_koreksi2.indd 49 Ayu Utami ain Ibuku bercerita: pada petang setelah Sanda dimakam?
kan, aku berlari ke luar rumah dan melempari semua jendela
tetanggaku dengan batu sehingga pecah berantakan. Ayah
terpaksa mengganti ongkos pemasangan kembali kaca-kaca
jendela di kompleks itu. Aku tidak menangis. Aku diam. Seperti
waktu dilahirkan. Enrico_koreksi2.indd 50 Dunia Baru Ibu Ibu menahan sedih dalam diam. Seperti yang ia pelajari dari
kelahiranku. Kukira sebetulnya ia tak bisa tidak menyalah?
kan Ayah atas kematian Sanda. Ia sudah peringatkan bahwa
angin laut sangat buruk untuk paru-paru, dan suaminya toh
membawa kami ke pantai juga. Tapi ayahku adalah orang yang
ia cintai sepenuhnya juga. Orang yang deminya ia rela hidup
tak menentu dalam gerilya di hutan. Lelaki yang deminya ia
berani menolak jemputan pasukan khusus Yani dalam Ope?rasi
Bayi Gerilya. Kehilangan anak oleh andil suami membuat duka
yang ia simpan dalam rongga dadanya berlipat ganda. Sema?
kin jauh ia dari tanggal kematian Sanda bukan semakin sem?
buh lukanya. Sebaliknya, semakin ke dalam luka itu meradang.
Lalu, di luar pengetahuannya ia berubah menjadi keras dan
Enrico_koreksi2.indd 51 Ayu Utami pahit. Ia menumbuhkan cangkang pelindung yang menu?tupi
luka di dalam jiwanya. Pelan-pelan aku mulai kehilangan
ibuku yang dulu. Natal dengan cemara dari makam Sanda dulu adalah pesta
Natal pertama dan terakhir yang bisa kuingat. Sejak itu kami
tak pernah merayakan Natal lagi. Sedikit demi sedikit ibuku
tak lagi membawa aku ke gereja di mana ada lilin merah atau
sekolah Minggu. Ia bertemu dengan pengkabar Saksi Yehuwa:
Suatu hari ada yang mengetuk pintu. Saat itu ibuku ada
di ruang depan, sedang menjahit dengan mesin jahit Pfaff
berdinamo-nya yang berjasa. Itulah pertama kalinya seorang
lelaki yang kelak kukenal sebagai Om Khasiar muncul di rumah
kami. Lelaki itu tampak seperti seorang Minang berdarah
India yang necis, perlente, sangat sopan, dan terpelajar. Ia
mengenakan celana dril dengan garis setrika yang sangat
lurus bagai dibuat di dhobi. Lengan dan dada kemejanya di?
kancing penuh. Rambutnya berpomade rapi dengan sedikit
jambul yang jatuh?kelak mengingatkan aku pada Johny Cash.
Ia membawa tas kulit dokumen yang tersemir. Ibuku, yang
selalu terpikat pada kebersihan dan keteraturan, menerima
tamu asing itu dengan terbuka.
Entah bagaimana, seperti bisa membaca kegundahan Ibu
yang paling dalam, pemuda itu langsung berbicara mengenai
kebangkitan. Ya, kebangkitan orang mati. Padahal ibuku baru
kematian anak. Aku tak tahu persis apa yang dikatakannya,
tetapi sejak itu ibuku melihat sebuah Dunia Baru, kelak,
yang terletak di dunia ini juga, di mana putrinya kembali ke
pelukannya. Enrico_koreksi2.indd 52 Cerita Cinta Enrico Dunia baru itu seperti ini: Ibu melihat dirinya duduk
menghadap ke padang di antara dua hutan. Lalu, dari
kejauhan, Sanda datang berlari-lari kepadanya. Langkahnya
begitu ringan dan ceria. Di belakangnya adalah aku, yang
melambai-lambaikan tangan. Lalu ayahku, yang tergopohgopoh mengejar sambil berteriak riang: Cing...! Cang...! Cung...!
Di cecabang hutan bu?rung kuau bernyanyi: kuau, kuau... Di
sudut lain ladang itu anak domba sedang bergulung-gulung
dengan singa, yang ti?dak akan memangsanya lagi. Burung
elang beradu-adu paruh dengan anak ayam. Itulah Firdaus,
yang akan hadir kembali di muka bumi ini. Ya, Saudarasaudara, di muka bumi ini!
Sebagai orang Kristen Ibu percaya bahwa orang yang
mati dalam iman dan kasih Tuhan akan masuk surga. Tapi
di manakah surga itu? Manusia tidak tahu. Dan seperti apa?
kah jiwa yang berada di dalam surga? Manusia tidak tahu.
Bagaimana jiwa ibuku, kelak setelah meninggal dunia, dapat
mengenali kembali jiwa Sanda, jika mereka bertemu lagi
nanti setelah sekian lama? Manusia tidak tahu. Apakah jiwa
berwujud? Manusia tidak tahu.
Manusia tidak tahu. Manusia tidak tahu. Manusia tidak
tahu... Betapa taktertahankan ketidaktahuan itu.
Ketidaktahuan menggerogoti hati ibuku di bagian yang
lembut. Bagian yang lembut itu peka dan mudah merasakan
sakit. Pemuda Khasiar ini tiba-tiba mengetuk pintu dan mena?
war?kan suatu pengetahuan, bukan suatu ketidaktahuan.
Ia me?nawarkan kepastian, bukan misteri. Pengetahuan itu


Cerita Cinta Enricho Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti selaput keras yang melindungi bagian lembut dari
Enrico_koreksi2.indd 53 Ayu Utami hati ibuku agar tidak merasakan sakit dan tergerogoti. Itulah
cangkang keras dan pahit ibuku yang tumbuh selapis demi
selapis bersama kunjungan Khasiar sang Pengkhabar.
Pengetahuan itu adalah ini: bahwa kita, sebagai Saksi
Yehuwa, akan dibangkitkan kembali pada hari kiamat kelak.
Bukan untuk hidup di surga sebagai roh seperti para malai?
kat. Melainkan, dalam darah dan daging yang sama, di muka
bumi yang sama ini?tapi dalam keadaan bumi yang disucikan
kembali, yang disebut Dunia Baru. Itulah pengetahuan yang
memberi ibuku harapan untuk berjumpa kembali, seutuhutuhnya, dengan Sanda.
"Tidak. Bukan saya yang mengatakan itu, Ibu," Khasiar
berujar. Sebab, pengetahuan itu tertera dalam kitab suci yang
selama ini diakrabi ibuku sejak kecil.
"Apakah Ibu memiliki Alkitab di rumah ini?"
Ibu, yang seperti tersihir, mengangguk.
"Marilah kita buka."
Dengan fasih jari-jari pemuda itu menemukan lembarlembar yang terpisah-pisah di dalam kitab seribu halaman
setebal balok kayu itu, dan menunjukkan ayat-ayat yang ia
maksudkan. Ibu mengenali ayat-ayat itu, tetapi tidak pernah
menafsirkannya sejelas ini. Jari-jari pemuda itu seperti jarijari kaki Ibu; tak ada sekerat daki pun yang menyelip padanya.
Penjelasan awal bagian pertama selesai.
"Jadi, apakah saya bisa bertemu dengan anak saya lagi
kelak?" ringkas Ibu bagai bertanya pada seorang pedagang
asuransi. "Mari kita buka Alkitab," jawaban Khasiar untuk pertanya?
an apapun, sebelum ia menunjukkan ayat-ayat.
Penjelasan awal bagian akhir selesai.
Enrico_koreksi2.indd 54 Cerita Cinta Enrico Sebelum pergi, pengkabar itu mengeluarkan selebaran
dari tas kulit dokumennya, dan menawarkan Ibu untuk mem?
beli Menara Pengawal, brosur mereka yang seharga ongkos
cetak saja. Untuk dibaca-baca, katanya. Dan ia akan kembali
dua minggu lagi untuk menjawab semua pertanyaan Ibu
setelah membaca. Tentu Ibu mau membelinya. Ia ingin tahu
lebih banyak mengenai Dunia Baru, seperti polis asuransi
yang menjamin manfaat hari kiamat.
Dua minggu kemudian?pada hari yang sama dan jam
yang sama?Khasiar sang Pengkhabar kembali mengetuk
pintu rumah kami, sementara ibuku telah duduk di depan
mesin jahit Pfaff-nya yang berjasa di ruang depan dengan
harapan baru. Sebuah harapan baru yang jelas dan pasti. Ya:
manfaat hari kiamat. Sejak hari itu, perlahan tapi pasti, dunia ibuku berubah:
menjadi tanpa seni dan keraguan.
Enrico_koreksi2.indd 55 Diplomasi Ibu Saksi Yehuwa tidak memiliki sekolah yang baik. Ibuku tahu
itu. Saksi Yehuwa tidak memiliki gereja yang mengasyikkan
buat anak-anak. Ibuku tak peduli. Saksi Yehuwa tidak meraya?
kan Natal dan ulang tahun?dua peristiwa yang membaha?
gia?kan anak-anak. Ibuku juga tidak peduli. Kelak, setelah aku
agak besar, aku baru tahu bahwa sekte ini sempat dilarang di
Indonesia. Sebab itulah kami berhimpun secara diam-diam.
Ibu dengan keras kepala membawa aku serta dalam acara
berhimpun, di tempat yang berpindah-pindah. Tapi, pada
suatu kurun waktu, kami mendapat tempat berhimpun yang
tetap untuk selama satu atau dua tahun.
Tempat itu adalah sebuah ruang dari satu bangunan
kayu yang cukup besar. Seperti banyak bangunan di Padang
Enrico_koreksi2.indd 56 Cerita Cinta Enrico pada masanya, itu adalah semacam rumah panggung beratap
seng. Dinding papannya dilabur kapur dan bagian dalamnya
disekat-sekat menjadi kelas-kelas. Itu adalah bangunan SMA
Conforti, sebuah sekolah Katolik. Pada zaman itu misio?naris
Katolik dikenal memiliki pendidikan yang sangat ber?mutu.
Ta?pi SMA Conforti bukan yang paling bergengsi di antara se?
kolah-sekolah Katolik yang mereka punya. Bangunan ini me?
nyedihkan. Terutama karena bagiku bangunan ini ber?????fungsi
sebagai pengganti gereja dan sekolah Minggu. Ya, gereja di
mana ada lilin-lilin berwarna merah pada kebaktian Natal.
Sekolah Minggu di mana aku menggambar, bernyanyi-nyanyi,
dan guru kami bermain musik. Semua itu tak ada lagi padaku.
Yang ada adalah perhimpunan dalam sebuah ruang kelas de??
ngan bangku-bangku sekolah, tanpa lilin-lilin, tanpa bungabunga, tanpa organ, tanpa jendela besar yang mengarah??kan
cahaya. Lantai papan model rumah panggungnya mengingat?
kan aku pada kandang ayam, sehingga diam-diam aku
menyebutnya gereja kandang ayam.
Kami mendapat sebuah ruang di sore hari di SMA Conforti
itu. Setelah jam sekolah selesai. Pemakai ruang sebelum kami
adalah orang-orang yang mengambil "kejar paket", yaitu
sekolah cepat untuk mengejar ijazah SMA. Mereka kebanyakan
orang-orang dewasa, yang di mata kanak-kanakku tampak
seperti orang tua tidak menarik, yang tidak sempat sekolah
di masa remaja mereka. Orang-orang yang tersingkir dari
sistem pendidikan utama. Dan perhimpunan kami mendapat
sisa ruang dan waktu setelah orang-orang yang tersingkir
itu. Toh, diam-diam kami masih bersyukur karena sekolah
Katolik ini menyewakannya juga kepada kami. Penumpangan
ini meninggalkan jejak yang cukup dalam bagiku: bahwa kami,
Enrico_koreksi2.indd 57 Ayu Utami para Saksi Yehuwa, menempel pada Gereja Katolik seperti
benalu. Dan persis di sebelah asrama militer tampat kami
tinggal ada sebuah gereja Katolik.
Ibuku mengajari aku bermain akordeon kecil. Entah sejak
kapan ia memiliki alat musik yang tak satu orang lain pun di
tangsi militer punya. Ibuku selalu memiliki segala hal yang tak
dipunyai orang lain. Lagu pertamaku adalah Santa Lucia. Sol,
sol, do, do, si, si... Fa, fa, la, la, sol... Lagu itu meninggi di bagian
belakang dan menyayat hati. Pada malam hari, ketika asrama
telah sepi, Ibu kerap meminta aku memainkan instrumen
pompa itu. Nyanyian akordeonku yang menguar rasa sendu
melayang melewati lapangan badminton di tengah tangsi dan
mencapai halaman gereja untuk kemudian masuk ke rumah
pastor. Suatu pagi Ibuku mengenakan pantovelnya. Slup! Tapi kali
ini ia tidak mengajakku serta. Beberapa hari kemudian aku
tahu bahwa Ibu telah membereskan pendaftaran sekolahku.
Ia pergi mengunjungi pastor gereja di sebelah tangsi kami,
meminta rekomendasi untuk anaknya belajar di sekolah
Katolik terdekat. Tapi sekolah swasta ini juga dikenal mahal.
Anak-anak Tionghoa dan anak-anak pejabat belajar di sana.
Sekolah itu memang punya sistem subsidi silang. Yang kaya
bayar mahal, yang miskin bayar sedikit. Tapi jatah untuk orang
miskin tentu saja diutamakan bagi anak-anak dari keluarga
Katolik. Nama ayahku Muhamad Irsad. Dan ibuku kini diamdiam sedang belajar jadi pengikut Saksi Yehuwa.
Ibuku dibesarkan dalam keluarga zending, misionaris
Pro??testan. Orang Protestan maupun Katolik saling meng?
akui bahwa satu sama lain adalah orang Kristen juga. Tapi
baptisan Saksi Yehuwa tidak diakui oleh kedua gereja
Enrico_koreksi2.indd 58 Cerita Cinta Enrico besar itu (meskipun SMA Conforti memberikan juga ruang
kelasnya untuk kami berhimpun). Inilah yang dilakukan Ibu:
ia datang kepada si Pastor dan memperkenalkan diri, dalam
bahasa Belanda, sebagai ibunda dari anak yang tiap malam
memainkan Santa Lucia dengan akordeon?yang bunyinya
didengar si pastor tiap malam. Anak yang tiap malam bermain
akordeon di sebuah tangsi militer yang kumuh itu ingin se?
kolah di SD yang baik. Seorang ibu muda berbahasa Belanda
dan seorang anak yang bermain akordeon dari sebuah asrama
militer yang miskin dan jorok, tentu saja suatu keajaiban. Aku
mendapatkan bangku di sekolah itu. Meski bukan bangku yang
terbaik. Sebab aku masuk sekolah sore, yang tidak disebut
sebagai SD Frater melainkan SD Andreas.
(Kelak, ibuku juga menjumpai Frater Servaas de Beer, ke?
pala sekolah SMA Don Bosco, dan berdiplomasi dalam ba?hasa
Belanda; sementara ayah temanku, seorang kapten Ang??katan
Darat, mendatangi Frater Servaas sambil petantang-petenteng.
Aku diterima di Don Bosco sementara temanku tidak. Ayahku
berkata: "Bahasa kekuasaan tidak mempan. Lihat diplomasi
ibumu.") Dan lagu Santa Lucia. Meskipun bukan lagu rohani, me?
lainkan bercerita tentang perahu bernama Santa Lucia dan
pelabuhan teluk Napoli, semua pastor tahu dan senang lagu
itu. Tapi, lebih dari itu, lagu itu dipopulerkan oleh siapa
lagi jika bukan penyanyi yang mengilhami namaku: Enrico
Caruso. Penyanyi yang mencintai ibunya sampai mati... Tapi,
tapi, tapi... sejak menjadi simpatisan Saksi Yehuwa, Ibu mulai
merasa salah dengan kesenangan-kesenangan duniawi,
ter?masuk musik, jika tidak berguna. Ia tidak nyaman jika
keindahan hanya untuk keindahan. Ia harus menemukan
Enrico_koreksi2.indd 59 Ayu Utami alasan kegunaan. Bahkan untuk menutupi kesenangannya
yang asli. Jadi, agaknya dia mengajari aku akordeon dan lagu
Santa Lucia bukan demi keindahan dan musik itu sendiri.
Dia membuat aku bermain setiap malam dengan alasan agar
nyanyian akordeonku sampai ke telinga pastor dan aku bisa
masuk ke sekolah yang baik.
Aku mulai bersekolah. Pelajaran yang paling kusukai ada?
lah sejarah dan juga sastra! Dan yang ini bukan berkat ibuku,
me?lainkan jasa ayahku. Ia senang menyalin ulang catatan
pela?jaran sejarahku dengan tulisannya yang rapih dan bagus.
Aku senang sekali membaca tulisan tangan ayahku. Ayah juga
suka membacakan buku bagiku. Kami suka membaca ber?
sama-sama. Aku dan ayah suka membaca. Aku dan ayah suka
bermain. Ayah tidak pernah mengenang Sanda atau bicara
tentang Dunia Baru. Enrico_koreksi2.indd 60 Patah Hati Enrico_koreksi2.indd 61 Enrico_koreksi2.indd 62 Hati Dingin Ibu Aku membaca sejarah dengan caraku sendiri:
Ketika gigi depanku telah tumbuh semua, tepatnya di
umur??ku yang ketujuhbelas bulan (yaitu saat aku mulai me?
ngunyah dan mencoba menelan puting ibuku di rimba belan?
tara), Presiden Sukarno mengumumkan dekrit yang terkenal
itu. Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit yang, anehnya, jatuh
pada hari ulang tahun ibuku. (Bayangkan, bayi drakula ini
mem?beri ibunya hadiah ulang tahun dengan mengunyah
puting susu?nya. Dan Presiden memberinya hadiah Dekrit!).
Ah, marilah kita bayangkan masa yang sebelumnya:
Ayahku dan ibuku sedang mekar-mekarnya ketika
Sukarno dan Hatta membacakan Proklamasi Kemerdekaan.
Da?lam semangat kemerdekaan itu, dan dengan perhitungan
Enrico_koreksi2.indd 63 Ayu Utami bahwa serdadu Jepang sudah kalah dalam Perang Dunia,
ayah??ku ikut gerombolan pemuda merebut senjata di sebuah
gudang Jepang. Tapi, terjadi baku tembak dan kakinya terkena
serpihan mortir. Luka ringan yang membuatnya pincang be?
berapa lama itu menyelamatkan dia dari pertempuran yang
sesungguhnya, yaitu perang melawan Agresi Militer Belanda.
Gara-gara secuil pecahan mortir, ia jadi beristirahat di rumah
kakeknya di Sumenep, sementara?hanya terpisah oleh se?
buah selat sempit?pecah pertempuran di Surabaya yang
me?ngor??bankan ribuan pemuda Republik dan menewaskan
Brigadir Jenderal Inggris Mallaby, dan yang kelak dikenang
sebagai Hari Pahlawan 10 November.
Setelah Agresi selesai dan Belanda mengakui kemerde?
kaan RI, Muhamad Irsad menjadi bintara Angkatan Darat
dan di?tugaskan di Semarang. Di sanalah ia bertemu seorang
perempuan berpotongan rambut rapi dengan pantovel hi?tam
perkasa yang ternyata adalah sekretaris di kantor Pak Mayor.
Konon, mayor itu menaruh hati juga pada sekreta??risnya yang
cakap ini. Tapi, si sekretaris itu, seorang yang sangat ber?
iman, percaya bahwa Tuhan akan mengirim ia jodoh yang
tidak berkumis dan tidak merokok. Dan, entah bagaimana,
pada saat itu Peltu Muhamad Irsad mencukur kumisnya serta
berhenti merokok. Pendek cerita, Syrnie Masmirah tahu mana
yang harus dipilih di antara si mayor dan si peltu.
Mereka menikah di kantor catatan sipil, tanpa upacara
adat ataupun agama. Sebab Irsad dari keluarga muslim Ma?
dura. Syrnie dibesarkan di keluarga zending. Untuk mere?dam
ketegangan dalam keluarga, mereka sepakat menjauhkan diri
dari sanak-saudara, mencari penugasan di luar Jawa. Dapatlah
Irsad pos di Padang. Lahirlah Sanda. Lahirlah aku.
Enrico_koreksi2.indd 64 Cerita Cinta Enrico Lahirlah juga, pada waktu yang bersamaan, tuntutantuntutan baru di negeri muda ini. Ya. Kemunculan kami ber????sa??
maan dengan kemunculan pemberontakan-pem?beron???takan
daerah. Salah satu yang terpenting adalah PRRI, sau?dara
kem?barku, si Revolusi berkaki kecil. Lahir 15 Februari 1958.
Kelahiranku membuat Presiden Sukarno kewalahan. Untuk
me?ngem?balikan kekuasaan di tangannya itulah ia meng?
umum?kan, di hari ulang tahun ibuku, Dekrit Presiden 5 Juli
1959, persis ketika aku mau menelan puting ibuku.
Sejak ulang tahun ibuku yang ketigapuluhempat itulah
Indonesia memasuki apa yang disebut masa "Demokrasi
Terpimpin". Artinya, kira-kira, tidak ada demokrasi. Kendali
sepenuhnya ada di tangan Presiden Sukarno. Yang dirasakan
rakyat adalah ekonomi yang kian terpuruk. Kelaparan me?
rajalela. Ke dalam era inilah kami kembali dari hutan, setelah
Revolusi berkaki ceker-ayam itu dikalahkan dengan telak oleh
Sukarno, melalui pasukan Yani.
Setelah mematahkan kaki saudara kembarku, dengan
kekuasaannya yang tak tertandingi Sukarno mengerahkan
pa?sukannya untuk merebut Papua Barat dari tangan Belanda
dalam operasi yang dinamakan TRIKORA, atau disebut juga
Pem?bebasan Irian Barat?meskipun kita tidak tahu siapa
yang dibebaskan. Persis ketika operasi itu berhasil, pagi hari?
nya Ayah mengajak aku dan Sanda jalan-jalan ke tepi laut dan
malamnya kakak perempuanku itu meninggal dunia. Ibu?


Cerita Cinta Enricho Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ku yang berduka tak terkatakan mengenangnya di catatan
harian?nya begini: Sanda bagaikan tumbal bagi pembebasan
Irian Jaya. Indonesia mendapatkan Irian, tapi aku kehilangan
putriku Sanda. Ekonomi Indonesia hancur. Konon, dari bulan ke bulan
Enrico_koreksi2.indd 65 Ayu Utami makin banyak orang mati busung lapar. Tapi, semua itu aku
hanya dengar ceritanya saja. Keluarga kami diselamatkan
oleh bakat ayahku, yang tidak diasahnya di sekolah calon
perwira. Sejak kanak-kanak di Madura, ia sangat pandai
memelihara hewan. Kami selalu mempunyai ayam, bebek,
angsa yang menghasilkan telur dan daging, selain kucing dan
anjing sebagai sahabat anaknya. Tapi, ayahku hanya pandai
memelihara. Maksudnya, ia tidak pernah mau menyembelih
hewan peliharaannya. Aku jadi mengerti kenapa pasukan
Yani dengan mudah mengalahkan pasukan PRRI. (Seharusnya
seorang tentara yang tak tega membunuh tak usah terlalu
sedih ketika tanda pangkatnya ditanggalkan di lapangan
antara dua hutan dulu.) Kami selamat dari kelaparan. Tapi Ibu tidak selamat dari
duka kematian anak, sampai suatu hari. Pada tanggal yang tak
tercatat, pemuda necis berambut Johny Cash, Khasiar sang
Pengkhabar, mengetuk pintu rumah kami. Waktu itu aku ba?
ru saja melepaskan bebek-bebek agar mereka pergi ke rawarawa di dekat Kantor Pajak.
Ibuku, yang sejak pertemuannya dengan Khasiar sang
Pengkhabar kini memiliki tujuan hidup sangat jelas: yaitu
Dunia Baru, menjagal ayam atau bebeknya dengan tangan dan
wajah dingin. "Papamu itu sentimentil. Tidak mau memotong hewan."
Ibu selalu mencoba memaksa aku melihat dan mem?bantu
dia dalam upacara penyembelihan. Aku tahu cara membunuh
ikan untuk dimasak. Kepruk kepalanya atau cabut insangnya,
seperti memetik kuntum yang masih berada dalam kelopak?
hanya saja kuntum itu berdenyut. Aku tahu apa yang harus
Enrico_koreksi2.indd 66 Cerita Cinta Enrico dilakukan untuk memutus leher ayam atau bebek, meski aku
belum pernah melakukannya sendiri. Aku sudah pandai mem?
bersihkan ikan atau membului unggas-unggas malang itu di
usiaku yang keenam. Suatu hari Ibu memerintahkan aku untuk memotong se?
ekor bebek, meskipun umurku belum lagi tujuh tahun. Per?
soal?annya, Ayah telah melatih aku menggembalakan makhlukmakhluk itu setiap hari sehingga aku mengenali mereka satu
per satu. Tapi aku juga tak berani melawan perintah ibuku.
Bukan karena takut, melainkan karena seseorang harus me?
nyembelih hewan jika kita mau memakan dagingnya. Bahwa
ayahku tak mau melakukannya, itu adalah salah. Tapi, karena
Ayah telah memenuhi banyak kewajiban lain, ia diperkenan?
kan mangkir dari peran ini. Aku, apalagi jika aku mau dewasa,
tak boleh melarikan diri. Aku menerima tanggung jawab de?
ngan kaki gemetar dan tubuh berkeringat dingin.
Tanganku begitu lemas saat kuambil si Dudu dari kan???
dang. Ia adalah bebek jantan yang bodoh. Aku diam-diam me?
mi???lih dia karena alasan itu. Satu rombongan bebek biasa???nya
me????miliki dua pejantan. Satu akan memimpin jalan berang???kat,
satu lagi memimpin jalan pulang. Dudu adalah jantan pemim?
pin jalan pulang. Ia selalu salah jalan sehingga rombongan
tersesat dan aku harus pergi mencari mereka men?jelang pe?
tang. Bagaimana?pun bodohnya si Dudu, aku kenal Dudu dan
Dudu kenal aku. Lihatlah, ia menatap kepadaku. Wajahnya memelas dan
tak percaya. Aku menutup mata dan kukeratkan pisau ke le?
her Dudu. Leherku berkeringat dingin. Tanganku gemetar. Ia
menjerit dan menggelepar. Aku tahu, aku sering lihat, bahwa
bebek masih suka berlari-lari meskipun kepalanya sudah
Enrico_koreksi2.indd 67 Ayu Utami tak bersamanya. Persoalannya, kepala Dudu belum terpisah
dari badannya. Aku baru berhasil mengerat tiga per empat
le?hernya, tapi ia keburu melarikan diri. Begitu sadar bahwa
bebekku lari, dengan leher sedikit menyambung seperti tutup
ceret, aku mencoba mengejar. Tapi ia kabur. Ia merasa ku?khia?
nati. Ia terbang, melewati pagar, ke arah semak, ke balik pe?
pohonan, hilang... dengan leher tutup ceretnya yang mem?buat
kepalanya mengayun-ayun janggal.
Dengan pucat pasi aku melaporkan kegagalanku pada
Ibu. Ia tidak bereaksi. Ia tidak memarahi aku, tapi tidak juga
membesarkan hatiku. Sikapnya yang dingin membuat aku
merasa jadi orang gagal. Aku ingin ia menghiburku, mengata?
kan bahwa "Tak apa, Rico. Kamu toh masih terlalu kecil." Tapi
daripada didiamkan begini, lebih baik aku dimarahi. Jika ia
marah, aku punya tenaga untuk membalas. Dengan membalas,
aku menutupi kegagalan. Tapi ia tak marah sehingga aku tak
punya cara untuk menutupi kegagalanku. Aku terpaksa me?
lihat kenyataan. Ibu menyuruhku cuci tangan dan pergi belajar. Aku me?
rasa nelangsa. Di saat-saat demikian, aku merasa ibuku tak
mungkin bersikap dingin seandainya Sanda masih hidup. Aku
ingin menitikkan airmata tapi tak bisa.
Ketika petang tiba, ada yang berkelapak di kandang. Si
Dudu pulang! Bebek yang lehernya kukerat itu kembali, se?
perti rindu rumah. Ia datang selepas gelap seperti telah ter?
se??sat. Lehernya masih seperti tutup ceret yang menyebabkan
kepalanya berayun-ayun aneh. Ibuku mengambil makhluk
malang itu dan membawanya ke dalam rumah. Aku purapura belajar. Tapi dari kamar aku mengintip ke ruang depan.
Tanpa ekspresi, Ibu menjahit leher bebek itu dengan jarum
Enrico_koreksi2.indd 68 Cerita Cinta Enrico dan benang yang biasa ia pakai menjahit. Hanya saja ia ti?dak
memakai mesin Pfaff berdinamonya yang berjasa besar. Ia
men?jahit dengan tangan. Makhluk malang itu terkulai pasrah.
Esoknya si Dudu sudah berjalan-jalan kembali. Ia mati tua,
bertahun-tahun kemudian. Tapi sakit hatiku pada Ibu tidak hilang sampai bertahuntahun kemudian. Hanya saja, jika kita melihatnya dari kaca
mata lain, dalam enam tahun aku telah bertumbuh dari bayi
drakula yang memakan puting ibunya sendiri menjadi bocah
kecil yang bertanggung jawab. Bocah cilik yang mengalah?
kan keinginan-keinginannya sendiri untuk sesuatu yang lebih
besar. Tapi, pertanyaannya, apakah yang lebih besar itu?
Suatu hari ayahku pulang membawa sebuah kotak tertu?
tup selubung. Ayah pandai membuat ketegangan dan kejutan.
"Coba tebak apa ini?" katanya penuh teka-teki. Ia selalu
pandai membuat aku berdebar-debar.
Tapi ibuku, sejak bertemu Khasiar sang Pengkhabar, ia tak
suka membiarkan ketegangan berlangsung lama. Semuanya
harus benar dan perlu. "Itu burung beo dari Nias. Yang sudah dijanjikan orang
galangan kapal itu. Dia senang pada papamu karena papamu
orang baik." Ayahku agak jengkel bahwa Ibu memperpendek per??main?
an kejutan kami. Pelan-pelan, aku dan Ayah berpenda?pat bah?
wa Ibu adalah faktor perusak permainan.
Ayah menyingkapkan selubung dan aku melihat burung
beo istimewa itu untuk pertama kalinya. Bulunya hitam me?
ngi?lap. Kaki, paruh, dan jengger di belakang kepalanya ku?ning
menyala. Matanya polos tetapi cerdik. Aku segera jatuh cinta
Enrico_koreksi2.indd 69 Ayu Utami pada hewan itu. Aku merawat Eppo dengan senang hati. Begitu namanya,
sebab itulah kalimat pertamanya: eppo. Makanannya adalah
pisang, serta nasi yang dicampur batu bata dan cabe merah.
Ia sangat menurut padaku, juga untuk dimandikan di luar
kandang. Ia bisa makan dari tanganku. Ayah menggantung
kan?dangnya di belakang rumah. Katanya, agar Eppo bisa ber?
komunikasi dengan ayam-ayam kami. Kegembiraanku mem?
buat anak-anak tangsi tahu bahwa aku mempunyai seekor
beo, burung yang sangat mewah di masa itu. Hanya orang kaya
yang bisa membelinya. Tentulah aku bercerita pada mereka,
tanpa tahu betul bahwa itu burung mahal. Jika anak-anak
tahu, maka ibu-ibu mereka pasti tahu. Jika ibu-ibu mereka
tahu, suami-suami mereka akan tahu juga. Proses itulah yang
aku tidak tahu. Suatu hari, sepulang sekolah, aku tak menemukan lagi
kan?dang Eppo. Kait yang terpasang di para-para masih
ada, tapi tempat itu kosong. Ayah tidak ada. Yang ada hanya
Ibu. Ibu menjawab aku, "Burung beonya sudah diberikan
kepada Pak Komandan. Tak apa ya? Itu burung mahal, jadi
perawatannya juga mahal. Biar keluarga Pak Komandan saja
yang merawatnya." Aku tidak terima dengan alasan itu. Sebab aku yang me?
rawatnya dan Eppo tidak makan daging atau ikan yang mahalmahal itu. Tapi aku tahu bahwa semarah apapun aku, Eppo
tidak akan kembali. Tanpa kata setiap anak tangsi tahu apa
arti Komandan. Tapi aku mengarahkan kekecewaanku pada
yang memberi kabar, yaitu Ibu.
Dulu, ketika aku lebih kecil lagi, Ayah pernah pulang mem?
bawa sebuah kotak. Ia menaruh kardus itu di atas lemari yang
Enrico_koreksi2.indd 70 Cerita Cinta Enrico tinggi, tapi aku sudah kadung melihatnya. Ibuku berkata,
biarlah Rico melihatnya sebentar. Maka Ayah menunjukkan isi
kotak itu kepadaku. Sesuatu yang membuat mataku berbinar
dan hatiku berdebar. Sebuah mobil-mobilan dengan baterai.
Bukan sekadar mobil, melainkan ambulans yang sirenenya
bisa menyala dan berbunyi sembari jalan. Tak pernah ada
mainan yang lebih bagus daripada itu. Aku gembira sekali.
Tapi mainan itu bukan untukku.
"Ini kado ulang tahun untuk anak Pak Komandan," kata
ibuku. "Tak apa ya, Rico? Dilihat-lihat saja ya?"
Itulah pelajaran pertamaku bahwa seorang ibu di dalam
tangsi menyayangi anak Komandan lebih daripada anaknya
sendiri. Tapi, entah kenapa, aku selalu menyalahkan ibuku
lebih daripada ayahku untuk kesalahan yang sama.
Enrico_koreksi2.indd 71 Calon Adik Aku masih menyemir pantovel ibuku. Tapi perasaanku tidak
seperti dulu lagi. Aku tak lagi melakukannya dengan cinta
dan kekaguman. Aku melakukannya karena kebiasaan. Ibuku
masih mengelus kepalaku, tapi tidak selalu mencium dahiku
lagi. Kalaupun ia mengecupku, rasanya tidak seperti dulu lagi.
Rasanya, ia telah menganggap semir-menyemir ini sebagai ke?
wajibanku saja. Pipiku tidak memerah lagi jika ia menciumku
karena sepatunya kubuat mengilap. Aku tak berdebar-debar
lagi ketika kakinya termuat ke dalam pantovel itu. Aku malah
sering agak sedih. Entah kenapa.
Suatu hari, ketika kami sedang makan bersama, ayahku
berkata dengan gembira, "Kamu akan punya adik."
Ayah dan ibuku tampak bahagia. Maka ide punya adik
Enrico_koreksi2.indd 72 Cerita Cinta Enrico membuatku bersukacita juga. Meskipun tidak sampai me?
nandak-nandak. Mereka sudah menyiapkan nama, dan ayah
ber?tanya apakah aku setuju dengan nama itu. Nugraini. Nama
perempuan. Aku mengangguk. Aku akan punya adik perem?
puan. Pengganti kakak perempuanku. Di wajah ibuku ada
ke?banggaan dan keceriaan yang jarang. Hari itu hari yang
menyenangkan. Tapi kelanjutan pengumuman bahagia itu tak ada lagi.
Suatu kali Ayah membawa Ibu pulang dengan mencarter
mobil umum, hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya
karena sangat mahal. (Barangkali karena itu ia bukannya tak
cemburu waktu Ibu dulu lifting dengan mobil orang). Mobil
carter itu berhenti di muka gang. Ayah memegangi Ibu berjalan
sangat pelan menuju rumah.
Sejak itu untuk waktu lama sekali Ibu berbaring terus di
tempat tidur. Sejak itu aku terbiasa dengan kata bloeding (kata
yang kudengar di mobil tumpangan dulu) dan aku terbiasa
melihat darah dalam pispot yang dibersihkan oleh Ayah. Dan
sebentar kemudian aku terbiasa pula membersihkan darah
dalam pispot itu bergantian dengan Ayah. Pernah Ayah mem?
bungkus gumpalan darah itu dalam kain dan menguburkannya
dengan baik di halaman rumah kami.
Sejak itu aku terbiasa dengan tugas baru yang ku?terima
di usia tujuh tahun ini. Yaitu, mengosongkan pispot di su?ngai
dan membersihkannya dengan daun bluntas jika Ayah se??dang
pergi kerja. Karena Ayah berangkat ke kantor pagi-pagi, aku??lah
yang menyalakan kompor minyak untuk menyiapkan ma?kan
siang. Aku tahu bagaimana membuat api biru pada kom??por mi?????
nyak. Tinggi sumbunya harus digunting agar pas betul dengan
mulutnya. Sumbu yang terlalu panjang akan menyebabkan api
Enrico_koreksi2.indd 73 Ayu Utami kuning yang berasap. Ibuku tak tahan dengan asap. Ia punya
ba?kat asma juga, seperti Sanda. Asap akan membuatnya ter?
batuk-batuk. Padahal ia tak boleh bergerak apalagi ter?kejang.
Batuk akan membuat parah perdarahannya. Setelah kom?por
menyala aku akan menanak nasi dengan dandang. Jika airnya
telah surut, nasi harus diaron agar tanak. Saat itulah di atasnya
kutaruh petai, terasi, tomat, dan cabe yang nanti akan kuulek
dengan gula dan garam sebagai sambal untuk makan siang
kami. Aku juga mengukus telur dan sayuran lain di atas nasi
itu. Aku suka labu siam. Setelah itu aku mandi dan berangkat
sekolah. Aku sekolah siang di SD Andreas.
Aku mengerjakan semua itu tanpa sedih, tanpa mengeluh,
tanpa haru juga. Ada kalanya aku ingin Ibu tersenyum sambil
mengelusku atau memujiku, tapi aku tahu ia tak pernah me?
lakukan itu. Ia sakit dan sikapnya seperti menyatakan bahwa
sudah sewajibnya aku merawat ibuku yang sakit. Maka aku
belajar untuk tidak mengharapkan pujian dan senyum manis?
nya yang dulu. Itulah masa-masa aku mulai membaluri dada
ibuku dengan Vicks manakala ia sesak nafas, dan melihat pu?
ting susu kirinya yang hilang secuil. Tapi, sebagai anak tujuh
tahun, aku bisa lalai jika tiba-tiba aku bertemu sesuatu yang
sangat menarik hatiku. Dan ibuku masih suka jengkel padaku
karenanya. Suatu kali aku pulang sehabis bermain dengan anak-anak
tangsi dan kudapati rumahku kosong. Ibuku tak berbaring di
tempat tidur. Ayahku apakah belum pulang. Seorang tetang?
ga yang suka mengagumi pekerjaan dapur yang kulakukan


Cerita Cinta Enricho Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

men?datangiku. Ia berkata bahwa ayahku tadi pulang tapi
buru-buru membawa ibuku ke rumah sakit. Ibuku turun dari
tempat tidur dan mencoba berjalan sendiri ke kamar mandi,
Enrico_koreksi2.indd 74 Cerita Cinta Enrico karena pispot tidak ada di dekat ranjangnya. Itu menyebab?kan
perdarahan berat sehingga ia harus dibawa ke dokter.
Aku merasa heran karena tidak bisa mengingat apa yang
terjadi. Tapi ayahku marah besar padaku begitu ia pulang. Ia
tak pernah marah sebelum ini. Ibu menginap di rumah sakit.
Aku sungguh tak tahu apa yang terjadi. Barangkali aku belum
mengembalikan pispot yang sedang kujemur di hala?man.
Barang?kali Ibu sudah mengingatkan aku agar mengambil
pispot itu dan menaruhnya di bawah tempat tidur. Barangkali
tiba-tiba seorang teman muncul dan mengajakku bermain
bungkus rokok... Aku tak tahu persis apa yang terjadi. Tapi malam itu aku
merasakah sedih dan marah yang menyengat dan tak bisa
kutumpahkan. Enrico_koreksi2.indd 75 Dunia Anak Laki Tiba-tiba aku telah menjelma anak nakal. Itu kusadari saat
Ibu mengatakannya padaku dengan wajah kesal, "Kamu sudah
jadi anak nakal sekarang, Rico!"
Ibu sudah boleh meninggalkan tempat tidur. Ia boleh ber?
diri atau duduk, asalkan melakukan segala hal dengan tenang
dan pelan-pelan. Ayah kerap mengingatkan dia agar jangan
terlalu banyak marah padaku. Marah itu tidak baik untuk
proses penyembuhan. Tapi Ibu tetap mengeluh pada ayahku,
"Chat! Anakmu sekarang membuat hatiku kaku."
Malam itu kulihat Pastor datang ke rumah kami. Sejak
per?temuan Ibu dengannya dulu, untuk meminta rekomen?dasi
aku sekolah di SD Andreas, hubungan keluarga kami dengan
Enrico_koreksi2.indd 76 Cerita Cinta Enrico pastor itu jadi dekat. Di halaman gereja, mereka memeli?hara
seekor sapi perah. Ibu menyuruhku belajar memerah susu
dan membantu di sana. Aku senang melakukannya, terutama
ka?rena ada dua anak perempuan cantik keturunan Italia yang
membimbingku. Dua putri Opa Milita, seorang pria Italia yang
menikah dengan gadis setempat. Aku takjub melihat tangan
dan kaki mereka yang berbulu.
Tapi malam itu wajah Pastor tidak senang. Aku menciut
di sudut kamar tidur, sebab aku tahu apa salahku. Aku telah
mengambil pahat milik ayahku dan bersama anak-anak tangsi
mencungkil ubin tangga utama gereja yang terbuat dari batu
marmer Italia. Potongan ubin itu kami pecah-pecah dan kami
buat gundu. Rupanya, sama seperti ibuku, ayahku juga memiliki ben?
da-benda yang tidak dipunyai orang lain di tangsi militer ini.
Hanya Ayah satu-satunya yang punya pahat batu. Sampai se?
ka?rang aku tak mengira pastor itu bakal tahu bahwa cuma
ayahku yang memiliki alat-alat pertukangan yang lengkap.
Ayah, yang pada awalnya tidak percaya bahwa anaknya tega
melakukan itu, tidak langsung mempertemukan aku dengan
tamunya. Tapi, begitu Pastor pulang, aku dipanggilnya.
Aku mengaku. Tapi aku tidak mengaku bahwa aku ikut
men?cungkil ubin marmer itu. Teman-temanku di tangsi ini,
yang biasa disebut sebagai anak-kolong, memaksa aku memin?
jami pahat itu. Merekalah yang melakukannya. Aku hanya
meminjami. Ayah menyuruh aku datang kepada Pastor dan meminta
maaf. Pastor itu mendengarkan pengakuanku, yang tidak
sepe?nuhnya jujur, dan tidak menghukumku atau menuntut
keluargaku. Tapi hukumanku datang dari kata-kata ibuku
Enrico_koreksi2.indd 77 Ayu Utami dalam nada yang menusuk hati: "Air susu dibalas dengan air
tuba. Kamu telah jadi anak kriminal, Rico!"
Aku sesungguhnya frustrasi. Aku marah oleh hal-hal yang
tak bisa kupahami. Aku sebetulnya menginginkan pujian
ibuku, tapi yang kubuat justru hal-hal yang dibencinya. Ibu,
Ibu tidak mengerti! Ibu tidak tahu dunia anak laki! Kami
tidak seperti anak perempuan, Ibu! Dalam dunia kami, setiap
anak menempati peringkat masing-masing. Kami ini terusmenerus diuji untuk bisa menjadi anggota kelompok. Dan da?
lam kelompok itu, peringkat kami pun terus-menerus diuji.
Setiap pekan bahkan setiap hari kami tahu, siapa menempati
peringkat satu. Siapa di bawahnya. Siapa di peringkat akhir.
Dan siapa yang tidak pantas menjadi anggota kelompok. Un?
tuk menjadi anggota, dan untuk naik atau mempertahankan
peringkat, ada banyak yang harus dilakukan anak laki-laki...
Pada suatu kali, semua anak tangsi sudah tahu bahwa nan?ti
malam adalah "Malam ke-41". Pada "Malam ke-41" anak-anak
akan berkeliling membawa obor sampai sangat larut. Ren???cana
ini telah diketahui semua anak asrama dan orang tua mereka.
Aku pun telah membuat obor dari buluh pepaya yang diisi mi?
nyak tanah dan diberi sumbu. Aku tahu bahwa keasyik?an ini
adalah bagian dari permainan di bulan puasa di tangsi kami.
Meskipun aku tidak puasa, bermain adalah bermain. Sambil
membawa oborku, aku bergabung dalam barisan.
Tiba-tiba seorang anak berteriak, "Hey! Si Rico kan orang
Kristen! Dia tidak boleh ikutan!"
Seruan itu membuatku terhenyak. Itulah kali pertama
aku merasa bahwa aku dikeluarkan dari kelompok karena
Enrico_koreksi2.indd 78 Cerita Cinta Enrico agamaku lain. Dan aku tak tahu cara menjawabnya.
Seorang teman lain membelaku dengan suara nyaring.
"Boleh, kok! Si Rico boleh ikut!"
Pada akhirnya aku tetap berkeliling kota sambil mem?????bawa
obor. Tapi perdebatan itu bukannya tidak berdampak pada?ku.
Aku merasa tersesat, tak tahu bagaimana harus memahami???????nya
dengan akal-sehat dan rasa keadilan. Bahkan pembelaku pun
tidak mempertahankan aku dengan argumen. Ia membela?ku
dengan suara nyaring saja. Suaranya kuat, maka ia menang.
Malam itu aku tahu rasanya jadi minoritas. Apa yang terjadi
malam itu bukan tidak berhubungan dengan kesertaanku
dalam komplotan pencungkil marmer gereja. Aku ingin mem?
buktikan bahwa aku adalah bagian dari geng ini.
Ibuku tak tahu, untuk menjadi anggota kelompok anakkolong, ada tiga ujian. Pertama... ya ampun, aku tak akan bi?
sa me?ngatakan ujian yang pertama ini pada Ibu. Memasuki
usia enam tahun biasanya anak-anak sudah tidak pantas
lagi menjadi anak-bawang. Anak-bawang adalah bocah yang
di?anggap terlalu kecil dan lemah untuk bisa melakukan halhal yang dilakukan anggota geng. Mereka kadang diboleh??kan
membuntuti atau menonton dari sebuah jarak permainanper??mainan para anggota. Lebih sering mereka dilarang ikut,
terutama kalau kegiatan dikerjakan di luar asrama. Umurku
enam jalan tujuh. Aku tak mau lagi jadi anak-bawang. Betapa
ingin aku menjadi bagian dari geng anak-kolong. Sudah lama
aku membuntuti gerombolan itu, mencoba menonton apa
yang mereka buat, dalam jarak yang semakin dekat. Melihat
aku bertambah besar, kini mereka mulai memandangku.
Suatu hari aku dipanggil ke tengah gerombolan.
Enrico_koreksi2.indd 79 Ayu Utami "Hey, Rico! Kamu sudah bisa mencelikkan burungmu
belum?" Seorang anak yang sudah besar melorotkan celana?nya
dan memperlihatkan bagaimana ia "mencelikkan burungnya".
Dengan takjub aku melihat ada kepala lain di ujung burung?????nya,
yang semula tersembunyi di dalam. Makhluk itu bisa keluarmasuk sembari tangan anak itu menarik atau menguncup?kan
kulit di ujung kepala itu. Kepala lain itu diselaputi putih-putih.
Seorang anak lagi membuka kancing celananya juga untuk
melakukan hal yang sama. Ternyata ia tidak bisa melakukan?
nya. Kulit di pucuk burungnya tidak bisa ditarik ke belakang.
Anak itu menjerit kesakitan. Anak-anak lain tertawa. Tahulah
aku bahwa tidak semua anak bisa "mencelikkan burung".
Tapi itu bukan ujian pertama yang sesungguhnya. Itu ha?
nya syarat awal bagi tes yang pertama. Aku bisa mencelikkan
bu?rungku. Bersamaan dengan itu burungku bisa mengeras.
Aku lulus prasyarat untuk mendengarkan soal ujian pertama
yang sesungguhnya. "Rico, kamu kalah sama si Untung. Si Untung saja sudah
bisa!" kata anak yang telah besar.
"Bisa apa?" tanyaku penasaran, sebab si Untung ini lebih
kecil setahun dari aku. Dia umur lima jalan enam.
"Ngembot ayam! Masa kamu gak tahu?" Mereka bilang, ba?
gaimana mungkin aku tidak tahu itu padahal aku punya ba?
nyak ayam. Ibuku memang beternak ayam petelur sekarang.
Dan aku sudah ikut bertugas merawat ayam-ayam itu. Lalu
mereka bilang bahwa aku harus memasukkan burungku ke
dalam pantat ayam dan menceritakan rasanya.
"Kalau sudah, baru kamu bisa kita anggap."
Tentu saja aku tidak mau kalah dengan si Untung yang
Enrico_koreksi2.indd 80 Cerita Cinta Enrico masih lima jalan enam tahun. Lebih lagi, betapa ingin aku
men?jadi anggota geng. Ini adalah ujian pertamaku. Aku tahu
ibuku tidak akan bahagia dengan ujian ini. Maka, diam-diam
aku mengambil seekor dari ayam-ayamku. Ibuku tidak akan
curiga asal aku melakukannya dengan hati-hati. Aku biasa
me??masukkan telunjukku ke bokong ayam-ayamku untuk me?
meriksa apakah telurnya sudah keras atau belum. Itu adalah
salah satu tugas yang diberikan Ibu padaku. Ayam yang siap
bertelur dibiarkan dalam petarangan. Yang belum ada telur
dikeluarkan agar tidak mengacau dan memecahkan telur
ayam lain. Jadi, sekarang aku melakukan pemeriksaan dengan
burungku. Begitu saja. Tapi, karena aku lain dari semua anak di tangsi?baju?ku
bagus (dijahit sendiri oleh Ibu), bukuku banyak, aku punya
akordeon?mereka menuntut lebih dariku. Mereka sering
me????nyuruh aku meminjamkan ayamku untuk inisiasi anakbawang. Tentu saja aku tak bisa menolak. Tapi aku meng?ingat?
kan mereka agar melakukannya dengan baik. Ya, seperti jika
me?me??riksa apakah telur di dalam pantat ayam itu sudah siap
atau belum. Jika kita melakukannya dengan kalem, ayam-ayam
itu diam saja. Jika tidak, ayam itu akan marah dan berteriakteriak. Kelak aku tahu, itulah pelajaran pertamaku, yang
kupelajari dari pekerjaanku sendiri, dari ayam-ayamku, bukan
dari anak-anak tangsi. Dan justru akulah yang mengajari
mereka, bahwa untuk bisa memasukkan sesuatumu ke dalam
sesuatu yang lain, kau harus melakukannya dengan sejenis
rasa hormat pada yang memiliki sesuatu yang lain itu.
Enrico_koreksi2.indd 81 Ujian Peristiwa mencelikkan burung itu melahirkan aku yang
baru. Ada diriku yang baru yang muncul bersamaan dengan
munculnya kepala unggas kecilku. Kemahiran baru itu me?
nye?nangkan pula. Suatu siang aku sedang mencelik-celikkan
burungku di kamar. Tiba-tiba ibuku masuk sambil membawa
sapu lidi. Aku sudah kerap disabet dengan sapu lidi di umur
tujuh tahunan itu. Aku terkejut bukan kepalang melihat ibuku
muncul. Aku tahu ia pasti tidak suka melihat aku bermainmain dengan benda yang mengeras itu. Seketika aku lari, me?
lesat meninggalkan rumah. Ia pasti tidak bisa mengejar aku. Ia
masih sakit. Berjalan pun ia harus sangat hati-hati.
Ibuku masih sangat lemah. Tapi aku juga harus menye?le?
saikan ujian-ujian anak lelaki. Aku harus menjalani tes untuk
Enrico_koreksi2.indd 82 Cerita Cinta Enrico diterima sebagai anak asrama, anak-kolong Belakang Tangsi.
Ujian pertama telah kulalui. Bahkan aku melakukannya dengan
cara yang lebih baik dan beradab dibanding semua anak. Kini
aku harus menjalani dua tes berikutnya. Ujian kedualah yang
paling membuat aku gentar.
Di belakang asrama kami ada sebuah jalan. Jalan Belakang
Tangsi namanya. Di bawah jalan itu ada saluran air got yang
melintang dan meliuk. Gorong-gorong itu hanya cukup untuk
memuat anak kecil merangkak. Ujian kedua yang harus ku?
tempuh adalah melalui terowongan sempit dan gelap itu dari
ujung satu dan keluar di ujung yang lain. Tanpa alat bantu
apa?pun, senter atau sebagainya. Aku sangat takut pada ruang
sempit, apalagi yang gelap. Dinding-dinding yang menghimpit
menimbulkan rasa tertekan yang tak dapat kutanggung.
Tapi, untuk mendapat pengakuan, setiap anak harus melalui
te?rowongan itu, dengan sedikitnya tiga saksi. Jadi aku tak
mung?kin bohong. Lagipula, jika lewat masanya, tubuh kita
akan menjadi terlalu besar untuk bisa melewati lorong itu.
Sungguh, tes kedua ini adalah uji nyali di usia dini. Satusatunya kesempatan adalah tatkala kau masih kecil.
Tibalah giliranku. Saksi-saksi, yaitu anggota geng yang
lebih senior, berjaga di kedua mulut liang. Jantungku berdebum
dan perutku mual karena ketakutan. Aku rasanya seperti mau
masuk ke dalam liang kuburku sendiri. Tapi aku ingin jadi
lelaki sejati, sebagai syarat menjadi anggota kelompok. Dengan
perasaan tidak karuan, aku mulai menyurukkan kepalaku
ke dalam goa yang berlumut hitam itu. Setelah itu tanganku,
tubuhku yang merangkak, dan kaki-kakiku yang dingin.
Segala suara hilang. Aku masih bisa melihat batu-batu
dan lumut di bawahku oleh sisa cahaya dari pintu lorong di
Enrico_koreksi2.indd 83 Ayu Utami belakangku. Tapi di depanku hanya ada kegelapan. Sema?kin
aku maju, semakin sedikit sisa terang dari belakang, sema?
kin aku masuk ke dalam kebutaan. Tak tampak mulut tero?
wongan yang satunya. Gelap. Semakin gelap. Ke mana lorong
ini sesungguhnya pergi? Tak terdengar lagi suara temantemanku. Gelap, sepi, dan menghimpit. Pada satu titik aku
merasa tak bisa bernafas. Aku bagaikan tercekik. Kuputuskan
untuk mundur. Aku merangkak atret. Cahaya di belakang
mulai terlihat. Aku lega. Tapi aku juga sedih dan malu. Aku tiba
di mulut liang. Pantatku ke luar lebih dulu. Teman-temanku
berseru, "Rico gagal! Payah! Si Rico gagal!"
Aku malu dan sedih sekali. Setiap hari aku berjanji pada
diriku bahwa aku akan mencoba lagi ujian kedua itu. Dan aku
memang pernah mencobanya lagi. Setiap kali pula aku harus
menelan kenyataan bahwa aku gagal.
Untungnya, ujian ketiga boleh ditempuh meskipun kau
tidak lulus ujian kedua. Tahap ini disebut ujian ketiga se?matamata karena wilayah jelajahnya lebih jauh daripada jalan
Belakang Tangsi. Kami harus pergi ke Bandar Buat, yang ja?
rak?nya sekitar delapan kilometer. Begitu matahari terbit dan
aku melepas bebek-bebekku agar mereka pergi ke rawa-rawa
dekat Kantor Pajak, aku bergabung dengan gerom?bolan. Kami
berjalan kaki mendaki bukit-bukit ke Bandar Buat. Di Bandar
Buat ada jalur lori gantung pengangkut semen dari pabrik
besar di Indarung. Karena kota kecil ini terletak dekat puncak


Cerita Cinta Enricho Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukit, maka jalur kereta gantung tidak terlalu tinggi dari
tanah. Lihat! Pada rel itu kawat baja bergerak meng???angkut
keranjang-keranjang baja. Bunyinya berderit-derit berat. Yang
ke arah bawah memuat tumpukan sak semen. Yang ke arah
Enrico_koreksi2.indd 84 Cerita Cinta Enrico atas kosong. Kami harus memanjat konstruksi penyangga rel
itu, menunggu sampai ada satu keranjang yang lewat di muka
kami, dan melompat ke sana sebelum lori itu lampau.
Aku menemukan bakatku. Aku tidak takut ketinggian. Aku
tidak berdebar-debar mual. Sebaliknya, aku berdebar pe?nuh
gairah. Kupanjat tiang-tiang itu. Mataku tertuju pada satu
keranjang baja yang kuincar. Begitu ia lewat di depanku aku
pun melompat. Hup! Aku mendarat di tengah tumpu?kan sak
semen. Lori bergerak maju dengan derit-derit sarat. Ku?lihat si
Untung di belakangku, masih mengambil ancang-ancang untuk
melompat. Tampaknya ia ketakutan. Lori yang kutum??pangi
melaju. Di bawahku terbentang lembah, hijau oleh sawah dan
pepohonan. Bumi semakin di bawah, aku bergantung dalam
keranjang semen di ketinggian. Jika aku jatuh, aku pasti mati.
Tapi pengetahuan itu menambah rasa gagahku. Aku ternyata
berani. Aku melihat sawah, pepohonan, atap-atap rumah, jalanan
dan kendaraan menuju Teluk Bayur. Aku sedang terbang. Aku
melihat langit terbentang. Yang kurasakan adalah baha?gia dan
merdeka. Ah, seharusnya seperti inilah menjadi anak laki-laki:
merdeka. Semen-semen itu akan dibawa ke Pelabuhan Teluk Bayur
sebelum diangkut dengan kapal-kapal ke Jawa. Berada di atas
tumpukannya, aku berkhayal, apa rasanya ikut sak-sak semen
itu naik kapal ke Jawa? Ayah-ibuku berasal dari sana. Mereka
selalu bercerita yang hebat-hebat tentang Pulau Jawa...
Khayalanku tentang Pulau Jawa tidak berlangsung lama.
Sebab aku begitu bahagia dengan keberhasilanku dan pe?
man?dangan terbuka di sekelilingku. Lori kadang macet dan
berhenti sebentar. Itu hanya menambah rasa petualanganku.
Enrico_koreksi2.indd 85 Ayu Utami Aku sungguh-sungguh terhibur dari rasa gagalku pada ujian
kedua. Kulihat si Untung ada di lori kebeberapa di belakangku.
Ia akhirnya berhasil melompat juga. Rel perlahan menurun,
tanda bahwa sak-sak semen ini akan segera didaratkan di
Teluk Bayur. Kami berhenti di satu tempat sebelum pelabuhan. Dari
sana kami berjalan kaki ke Padang. Kami pulang menjelang
matahari terbenam. Ibuku sangat marah sebab aku hilang dan
tidak makan seharian. Ibuku juga sebal melihat aku menjelma bocah lelaki
dengan borok di sana-sini. Kami memang suka mencebur
ke sungai yang jadi tempat pembuangan segala ampas kota
se??hingga penyakit kulit dan bisul hampir selalu menghiasi
kaki kami. Gerombolan kami punya cara memecahkan bisul
dan mem?bersihkan nanahnya jika borok itu telah demikian
parah. Biasanya, borok mudah pecah jika kita renang di laut
cukup lama. Tapi, jika renang di laut tidak membersihkan
borokmu, maka beginilah: Anak yang bisulnya telah bermata
akan dipegangi ramai-ramai. Di mata bisul itu kami taburkan
beberapa butir nasi atau beras. Seorang anak lain akan
memanggil ayam dan mendekatkan kepala ayam itu kepada
mata bisul yang telah ditaburi beras. Dengan segera ayam itu
akan mematuki beras dan, tanpa sengaja, memecahkan bisul.
Si ayam akan menghabisi beras sekaligus nanah kuning-hijau
pada borok itu sampai bersih. Tentu saja si pemilik bisul
akan meraung dan meronta. Untuk itu ia sejak tadi dipegangi.
Operasi ini adalah hal seru bagiku.
Ibuku marah jika tahu bahwa aku menjadi pasien operasi
begini. Ia akan menyelesaikan operasi itu dengan operasinya
sendiri. Ia akan membersihkan borokku dengan mengoretnya
Enrico_koreksi2.indd 86 Cerita Cinta Enrico pakai kapas yang telah dicelup dengan air yang berwarna
ungu karena dibubuhi kalium permanganat. Aku ingat nama
obat-obatan karena aku biasa merawat ibuku juga. Cara ibu
mengoret borokku lebih kejam daripada ayam mematuk bisul.
Dan ayam melakukannya tanpa mengomel.
Suatu hari si Untung kena bisul yang tak pecah-pecah.
Entah kenapa hari itu tidak ada yang mau menyumbangkan
sesendok beras pun. Anak-anak juga percaya bahwa ayahku
adalah orang kaya nomer dua di asrama kami. Maka mereka
menyuruh aku menyediakan nasi atau beras, serta ayam,
untuk operasi bisul si Untung. Aku mengambil beras tanpa izin
ibuku, dan kami membikin keributan di dekat kandang ayam.
Rupanya Ibu sangat marah dengan kelakuanku. Mung?
kinkah ia tahu bahwa dulu aku meminjamkan ayam-ayam?nya
untuk "inisiasi embot ayam"? Begitu masuk rumah, Ibu telah
me?nyambutku dengan sapu lidi di tangan. Aku tidak ingin
lari keluar sebab teman-temanku akan menertawakan aku.
Akhirnya aku lari ke kolong ranjang. Ibuku agaknya sangat
geram. Ia membungkuk untuk meraihku. Aku bersembunyi
semakin ke sudut. Ibu berteriak marah sambil semakin
membungkuk. Tiba-tiba dari antara kakinya aku lihat darah menetes...
Enrico_koreksi2.indd 87 Hari Kiamat Aku pun tahu bahwa aku tidak akan pernah punya adik lagi.
Malam itu, meskipun Ibu "mengalami perdarahan" (istilah ini
kutahu belakangan), Ayah tidak membela siapapun.
"Untuk apa kamu marah-marah seperti itu?" kata Ayah
kepada Ibu. "Rico itu anak kamu satu-satunya."
Ibuku diam saja. Ini di luar kebiasaannya. Jarang ibuku
mau mengalah dalam perdebatan. Maka aku tahu bahwa ka?li?
mat Ayah tidak hanya bicara tentang hari ini. Ibuku tidak bisa
Titisan Siluman Harimau 1 Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen Amarah Mulgarath 1

Cari Blog Ini