Ceritasilat Novel Online

Cerita Cinta Enricho 2

Cerita Cinta Enricho Karya Ayu Utami Bagian 2


punya anak lagi. Awalnya aku senang karena merasa Ayah
mem??belaku?padahal yang dilakukan Ayah semata-mata ti?
dak membela Ibu. Tapi Ayah segera menasihati aku sehingga
aku merasa bahwa sesuatu yang tidak menyenangkan se?
dang terjadi. Malam itu menyedihkan. Sebab ibuku menutup
Enrico_koreksi2.indd 88 Cerita Cinta Enrico percakapan dengan kata-kata yang memilukan. Dengan lirih
ia berkata bahwa ia merasa umurnya tidak akan panjang. Dan,
sejak itu, aku selalu mengingat ia kerap berkata: ia percaya
umurnya tak akan panjang lagi sebab Rico telah jadi kelewat
nakal. "Chat, anakmu membuat kaku hatiku." Ia tidak pernah
menyebutku anaknya. Selalu "anakmu" kepada Ayah.
Aku memang bukan hanya selalu berdebat dengan Ibu se?
ka?rang. Aku bahkan mulai terlibat perkelahian antar kelom?
pok. Aku juga mulai mengerahkan anak asrama tatkala aku
bermusuhan dengan orang yang sewenang-wenang. Temanteman tangsi pernah melempari SD Andreas dengan batu
ka?rena anak kelas 4 mengeroyokku. Kami pernah melaku?
kan penyerbuan pada bioskop yang penjaganya melempar si
Untung karena mencoba masuk tanpa karcis. Sejak itu kami
malah jadi bisa nonton gratis. Kami juga pernah menyerang
se?orang toke yang menipu kami soal layang-layang. Sejauh ini
aku memang hanya menggunakan persaudaraan korps tangsi
un?tuk membalas ketidakadilan. Tapi, agaknya, ayah-ibuku pa?
ham bahwa kekuasaan dan kekerasan tidak akan tahu batas
dengan sendirinya. Mereka mulai cemas akan pengaruh adat
anak-kolong terhadap diriku. Apalagi, perkembanganku mem?
buat istrinya percaya bahwa umurnya akan jadi pendek; Ayah
lalu berupaya mendapatkan rumah dinas baru yang lebih
privat. Ibu berdoa agar kami mendapatkan tempat tinggal di
mana Rico bisa memanjat pohon dan menikmati buahnya.
Doanya terjawab. Ayahku tiba-tiba mendapatkan jabatan
di Pusat Koperasi Angkatan Darat. Pada usiaku kesepuluh,
kami pindah ke tempat baru. Sebuah rumah yang halaman
luasnya dipakai untuk memarkir truk-truk PUSKOPAD. Dan di
sana ada dua pohon yang memenuhi doa Ibu, jambu kelutuk
Enrico_koreksi2.indd 89 Ayu Utami dan rambutan, yang selalu kupanjat dan kunikmati panen?
nya dengan sukacita. Aku pindah ke sekolah Katolik yang lain,
yang dekat dengan rumah baru itu, SD Yos Sudarso?nama
pahlawan yang gugur dalam perebutan Irian Barat, operasi
yang berakhir bersama kematian kakakku Sanda.
Untuk menggantikan kehilangan teman-teman, Ayah dan
Ibu mendapatkan anjing untukku. Aku sangat bahagia. Sete?
lah ayam, angsa, bebek dan kucing, akhirnya aku punya anjing.
Di antara segala hewan, anjing adalah yang paling setia pada
manusia. Selain itu, aku juga merasa gagah dan istimewa ka?
rena teman-temanku yang dulu tak ada yang punya anjing.
Anjing pertamaku adalah betina hitam yang kuberi nama
Ireng. Ia galak luar biasa dan sering menggigit orang sehingga
kami terpaksa mengikatnya. Tapi ia begitu setia pada kami dan
menjaga seluruh binatang rumah yang lain, termasuk kucing.
Setelah ia agak tua, kami mendapat seekor anjing jantan muda
bernama Vicky. Tetapi karena ganteng sekali, Ayah mengganti
namanya jadi Brando. Dari Marlon Brando, bintang film yang
paling ganteng di masa itu dan paling dikagumi Ayah sampai
Ayah meninggal dunia kelak. Dengan Pemuda Brando, si tua
Ireng hamil dan beranak. Aku membantu ia melahirkan. Bayi?
nya keluar satu persatu terbungkus selaput yang basah dan
penuh darah, yang mengingatkan aku pada gumpalan merah
dalam pispot yang kerap kubersihkan dulu. Di situlah aku tahu
bahwa mamalia?termasuk manusia?melahirkan bukan
dari pantat seperti jika ayam bertelur. Aku mulai sedikit demi
sedikit paham apa yang terjadi pada tubuh ibuku sehingga ia
tak akan bisa punya anak lagi.
Tahun 1968 adalah tahun yang paling penuh sukacita
dalam hidupku. Potongan-potongan ingatan dari tahun ini
Enrico_koreksi2.indd 90 Cerita Cinta Enrico masih kerap muncul dalam mimpi-mimpi indahku sampai
tua nanti. Aku berbaring di atas pohon sambil memandangi
buah jambu yang sudah kuamankan dengan sak semen. Aku
berenang di sungai besar di belakang rumah bersama Ayah.
Ireng melahirkan di musim hujan. Ketika Ireng melahirkan
anak-anaknya, nun jauh di Pulau Jawa, lahirlah seorang bayi
perempuan. Pada tangal 21 November... tapi tentang ini nanti
dulu saja. Di tempat itu aku memulai hidup baru yang "lebih ber?
adab". Setidaknya, terjauhkan dari kecenderungan kekeras??an
anak-kolong. Aku tidak tertarik untuk bermain dengan anak
kampung di sekitar rumah baruku. Selain karena aku pen?
datang, mereka tak memiliki semangat korps yang dimiliki
anak asrama. Ayahku segera mengisi segala kekosongan yang
mungkin terjadi padaku. Ia sering sekali mengajak aku non?
ton film atau tamasya ke luar kota dengan motor Ducatti-nya
(pada zaman itu belum ada kendaraan Jepang). Aku hapal
bau keringat di punggungnya yang terasa hangat dan nya?man
buat?ku. Pada periode ini, ibuku mulai tersingkir dari hubung?
an kami berdua. Atau, barangkali dia juga yang menyingkirkan
dirinya sendiri... Tak pernah satu hari pun lewat tanpa Ibu menyebut "Hari
Kiamat" atau "Dunia Baru". Khasiar sang Pengkabar telah
men?jadi tamu tetap kami. Atau, tepatnya tamu tetap ibuku. Ia
tak lagi datang sendiri. Ia mulai didampingi tamu-tamu lain.
Ibuku mulai tak hanya menerima kunjungan, tetapi juga pergi
berkunjung. Ibuku mulai pergi berhimpun. Sesungguh?nya,
teman-teman baru Ibu itu baik dan menyenangkan semua.
Hanya ibuku yang menjengkelkan.
Enrico_koreksi2.indd 91 Ayu Utami Ibuku memiliki dunianya sendiri. Yaitu Dunia Baru yang
akan datang di Hari Kiamat. Aku dan Ayah memiliki dunia
kami. Yaitu dunia film dan tamasya hari ini. Kami semakin
me??nyukai hiburan, baik yang kami ciptakan sendiri atau yang
diciptakan film koboi. Aku sangat suka "koboi spageti"?itu,
film koboi buatan Italia. Sementara itu, ibuku makin suntuk
mempelajari sesuatu yang tampak jelas tapi masih jauh sekali,
dan makin membenci kesenangan-kesenangan duniawi.
Diam-diam ayahku sebetulnya prihatin tentang Ibu. Ayah
sangat peka dan tak mau membuat Ibu merasa terkucil. Bia?sa?
nya, jika kami berencana tamasya sehari penuh, se?hari se?be?
lumnya Ayah akan menghubungi teman-teman per?him?pun?an
Ibu. Ayah membujuk supaya ada di antara mereka yang mau
menginap di rumah untuk menemani Ibu agar ti?dak ke??sepian.
Siapapun yang bersedia akan dijemput Ayah. Aku senang se?
kali jika sore-sore Ayah datang sambil membon??cengi Tante Ola,
Tante Inan, atau Tante Swan. Selain mereka wangi dan baik
hati, itu artinya Ibu tidak akan mengomel sebe?lum, sepanjang,
dan setelah kami tamasya.
Ibu juga sudah tak pernah lagi ikut kami nonton. Pada
masa itu bioskop adalah tempat merokok. Kadang-kadang
film malah tampak keruh dan berkabut. Ibu tidak tahan asap.
Asmanya akan kambuh. Kini, agama barunya membuat ia
men?jauhi hiburan duniawi, apalagi yang diciptakan ma?nu?
sia dengan khayalan-khayalan kasar. Sekali lagi, agar istri?nya
tidak merasa ditinggalkan, Ayah selalu menyuruhku mem?
bahagiakan Ibu pada hari yang malamnya kami akan pergi
me?nonton. "Kamu harus pandai membujuk ibumu," katanya,
sebuah nasihat yang kelak sangat berguna bagiku dalam ber?
hubungan dengan wanita. Enrico_koreksi2.indd 92 Cerita Cinta Enrico Itulah persoalannya: membujuk Ibu, membahagiakan
Ibu... Setiap hari aku memompa air untuk mengisi tanki rumah
kami. Setiap pagi aku melepas bebek-bebek dan sorenya
mengan?dangi mereka lagi. Untunglah si Dudu sudah mati
dan digantikan oleh bebek jantan yang pintar sehingga rom??
bong?an bebekku tidak tersesat melulu?jadi aku tidak perlu
menjemput mereka petang-petang. Setiap minggu aku meng?
giling kerang, jagung, kacang-kacangan lalu mencampurnya
de??ngan dedak, tahi minyak, dan akhirnya beberapa jenis
vitamin, un??tuk makanan ayam. Setiap dua bulan aku meng?
aduk adonan kapur, gabah, dan tahi sapi untuk alas kandang
ayam?campuran ini berfungsi untuk menjaga kekeringan
kandang dan meng?ikat tahi ayam agar tidak basah dan bau.
Lalu aku akan masuk ke dalam kandang, terbungkuk-bungkuk
karena kandang itu begitu sempit, membersihkan alasnya
yang telah keras, lalu meng?gantinya dengan adonan baru. Aku
harus mengenakan baju tertutup, sepatu karet, kaca penutup
muka, dan sarung ta?ngan karena kandang itu penuh debu dan
tahi ayam. Ku?cing-kucingku sudah tahu. Jika mereka melihat
aku dalam pakaian astronot itu mereka langsung ikut. Sebab,
di balik alas lama yang telah keras itu kami akan menemukan
banyak sekali cindil?anak tikus yang masih merah, yang
pastilah lezat sekali bagi kucing-kucingku. Aku melakukan
semua itu sejak umurku enam atau tujuh tahun. Dan tak usah
diingat-ingat bahwa aku juga membersihkan pispot ibuku,
menanak nasi dan menyiapkan lauk, ya, di umurku tujuh ta?
hun.. tanpa mengharapkan senyum manis dan ucapan terima
kasih, meskipun di dalam hatiku aku merindukan pujiannya,
untuk sekadar menyatakan bahwa aku ini anak baik...
Enrico_koreksi2.indd 93 Ayu Utami Dan hanya ada dua cara untuk membujuk ibuku. Pertama,
tidak beradu mulut dengannya, terutama perihal Hari Kiamat
dan Dunia Baru. Kedua, ikut dia berhimpun dan mengerjakan
PR dari perhimpunan! Itu dia! Berhimpun bukan cuma seperti pergi ke gereja:
duduk manis di sana sambil terkantuk-kantuk, mendengarkan
khotbah dan mengucapkan doa asal-asalan, lalu pulang. Da?
lam berhimpun, setiap orang dipaksa jadi pendeta. Kami
tidak boleh jadi domba yang merumput baik-baik saja. Kami
diharuskan jadi gembala. Selalu ada PR sebelum datang ke
perhimpunan. Yaitu mempelajari ayat-ayat Alkitab yang te?
lah ditentukan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
telah dideret di bawah bacaan itu. Latihan tanya-jawab tadi
dimaksudkan untuk membantu anggota mempersiapkan se?
jenis khotbah pembahasan yang harus disampaikan nanti,
dalam acara berhimpun. Ya, kami tak boleh jadi domba. Kami
harus jadi gembala juga! Anak-anak sampai kakek-nenek
harus menempuh ini. Jadi, untuk sebuah acara berhimpun,
kami perlu sekitar tiga jam untuk mempersiapkan mental dan
intelektual kami. Ibuku punya jadwal berhimpun setiap Selasa, Kamis, dan
Minggu. Pada awalnya, ia mencoba mengajak aku dan Ayah
serta setiap kali. Jadi, bayangkan bahwa aku harus membuat
PR Saksi Yehuwa selain PR sekolah! Belum lagi urusan kan?
dang ayam dan bebek. Kami menawar dan bisa mangkir untuk
hari Selasa dan Kamis. Tapi jarang kami bisa mangkir di hari
Minggu. Acara berhimpun dan seluruh PR-nya itulah yang
sering membuat liburanku rusak.
"Kalau kamu tidak mau mengerjakan PR-nya, paling tidak
Enrico_koreksi2.indd 94 Cerita Cinta Enrico kamu tidak usah berbantah-bantahan dengan ibumu," kata
Ayah. "Tapi soal Hari Kiamat itu kupikir sudah keterlaluan, Pay!"
bantahku. "Para rasul bilang begitu dua ribu tahun yang lalu.
Dan tidak terjadi. Masa kita masih percaya bahwa Kiamat akan
datang dalam hidup kita sekarang?"
"Sudahlah, Cung. Daripada rusak liburan kita."
Ayahku terlalu kompromistis. Aku tidak setuju dengan
sikapnya. Bukankah ia mengajari aku untuk mencari kebe?
naran? Suatu pagi, Ibu membacakan buku pelajaran barunya yang
menyatakan bahwa peradaban manusia hanya akan ber?umur
enam ribu tahun dan setelah itu akhir zaman akan ter??jadi. Dan
kita sudah di tahun keenamribu sejak Adam dan Hawa.
"Oh ya?" kataku jengkel. "Jadi sebetulnya kapan sih per?
sisnya Hari Kiamat itu akan datang?"
Enrico_koreksi2.indd 95 Kada Gestapu Aku mendengar bisik-bisik yang menakutkan. Kiamat
sudah dekat, dan telah diketahui pula waktunya. Ini terjadi
sebelum anjing betina Ireng menjadi anggota keluarga. Rumah
kami kemalingan dan pencuri itu mengambil senjata api Ayah.
Senjata semi-otomatis Jungle itu selalu digantung pada dinding
kamar tidur. Sebagai gantinya, si pencuri meninggalkan
standgun palsu yang dirakit dari besi tua. Ah, kisahnya lebih
dramatis: Malam itu ibuku terbangun. Ia melihat bayangan sedang
mengendap-endap. Pemandangan itu membuat kesal hati?
nya. Sebab ia yakin itu adalah suaminya, yang sampai larut
malam begini masih bermain tombak-tombakan dengan
anaknya. Keterlaluan!?pikirnya. Tentu saja Ibu cemburu pada
Enrico_koreksi2.indd 96 Cerita Cinta Enrico hubungan mesra ayah-anak ini. Dengan jengkel ia berkata,
"Chat! Awas kamu! Kulaporkan pada komandan kamu!"
Si pencuri tidak siap dengan komentar seperti itu, yang
datang dari seorang perempuan yang sama sekali tidak takut.
Suara yang barangkali malah mengingatkan ia pada istri atau
ibunya sendiri. Ia pun melarikan diri.
Melihat suaminya kabur, Ibu semakin kesal. Ia bangun,
meraih sapu lidi, dan mengejarnya. Bayangan itu semakin
serius melarikan diri. Ibu semakin sungguh-sungguh membu?
runya. Sosok itu lari lewat pintu belakang rumah. Tatkala Ibu
hendak menyusulnya, ia mendengar suara orang mendengkur
di kamar tidur belakang. Ia kenal suara ngorok itu, milik
sua??mi??nya sendiri. Ibu baru sadar bahwa yang dikejarnya
adal?ah maling ketika dilihatnya Ayah sedang lelap di kamar
belakang. Peristiwa itu menimbulkan keributan. Terutama karena si
pencuri mengambil senjata api Jungle milik Ayah. Esok harinya,
Polisi Militer, berbaret biru, datang ke rumah. Pemeriksaan
berlangsung cukup panjang. Mereka melihat-lihat keadaan
rumah, sudut-sudut yang mencurigakan, dan jalur yang mung?


Cerita Cinta Enricho Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kin digunakan si pencoleng. Mereka juga menginterogasi se?
mua yang biasa ada di rumah. Termasuk aku. Padaku mereka
bertanya, kenapa Ayah dan Ibu tidur terpisah padahal mereka
kan suami istri? Ayahku agak pucat. Ibuku juga tampak tidak nyaman.
Kujawab sejujurnya. "Dulu, rumah kami di asrama Bela?
kang Tangsi kecil sekali sehingga kami tidur bertiga satu
ranjang. Sekarang rumah ini besar sekali, jadi kami mau tidur
di kamar sendiri-sendiri."
Sebelumnya, ibu dan ayahku ditanyai satu persatu. Ibu
Enrico_koreksi2.indd 97 Ayu Utami menjawab, "Karena hawa sedang sumuk sekali." Secara ter?pi?
sah ayahku menjawab, "Karena saya sering mengorok keras
sekali sehingga istri tidak bisa tidur. Padahal istri sudah capek
seharian mengurus ayam."
Polisi Militer itu tampaknya agak curiga bahwa ada yang
tidak beres dalam rumah tangga kami. Ia bolak-balik di dalam
rumah dan pekarangan beberapa saat lagi. Ayahku tampak
semakin pucat. Begitu Ayah yakin bahwa penyelidik dengan baret biru
dan but putih-hitam itu telah jauh sekali dari rumah?tak
mung????kin kembali dalam setengah jam, dan tak ada lagi orang
selain ka?mi bertiga?Ayah buru-buru pergi ke rak buku. Ia
me?ngo??rek laci tempat Ibu menyimpan kumpulan pola baju,
majalah Libelle, dan resep makanan. Di antara tumpukan itu ia
me?ngeluar??kan selembar piringan hitam. Album penyanyi Lilis
Suryani yang me?muat lagu Kepada Paduka Yang Mulia Presiden
Sukarno. Ayah membawa piringan hitam itu ke halaman bela?
kang, me???nyi????ramnya dengan bensin dan membakarnya sampai
jadi abu. "Jangan bilang apa-apa," katanya padaku.
Hari itulah aku tahu bahwa zaman telah berganti. Presi?
den kami bukan lagi Ir. Sukarno, yang menumpas saudara
kem?barku si Revolusi berkaki kecil; yang melancarkan operasi
Perebutan Irian Jaya, pertempuran yang berakhir bersama
kema?tian kakakku dan menghasilkan pahlawan yang nama?
nya menjadi nama sekolahku. Presiden kami sekarang adalah
Soeharto, seorang jenderal. Zaman berganti. Apa yang dulu di?
perintahkan kini dilarang. Antara lain, lagu Lilis Suryani yang
memuja-muja Presiden Sukarno dulu. Lagu itu tidak boleh
dinyanyikan lagi. Siapa yang masih menyimpannya?apalagi
Enrico_koreksi2.indd 98 Cerita Cinta Enrico jika dia pegawai negeri atau tentara?pastilah dicurigai. Di?
curigai sebagai pendukung Sukarno, bahkan terlibat Partai
Komunis Indonesia. Ayahku baru saja dapat jabatan baik di koperasi AD, yang
membuat kami boleh menempati rumah besar ini. Di zaman
itu, kecemburuan bisa saja terjadi. Di tahun-tahun itu, Pre?
si?den Jenderal Soeharto sedang melancarkan operasi lain,
operasinya sendiri: operasi membersihkan segala penga?ruh
PKI dan Sukarno. Mengertilah aku mengapa Ayah pucat: jika
Polisi Militer menemukan piringan hitamnya, album Lilis
Suryani itu bisa saja digunakan oleh siapapun yang cemburu
pada karir Ayah untuk menyingkirkan dia. Aku tak mau ayah?
ku masuk penjara, karena itu aku berjanji untuk menutup
rapat-rapat mulutku mengenai Lilis Suryani sampai dua puluh
lima tahun ke depan. Kukatakan itu pada ibuku.
"Dua puluh lima tahun ke depan?" katanya sok bijak.
"Kiamat akan terjadi tujuh tahun lagi!"
"Apa? Kiamat akan datang tujuh tahun dari sekarang?!"
Ibuku mengangguk. "Tapi, umurku baru sepuluh tahun, May! Tujuh tahun lagi
artinya pas aku baru boleh nonton film 17 tahun ke atas. Masa
sudah kiamat?" Sudah berapa film terlewatkan hanya karena
usiaku belum cukup. "Kan bukan aku yang menentukan," jawab Ibu, seolah-olah
dia tak dapat menolongku.
Markas besar Saksi Yehuwa di Amerika Serikat mengata?
kan bahwa kiamat akan terjadi tahun 1975. Mereka punya
hitung-hitungannya. Ya, tujuh tahun dari sekarang. Bumi akan
terbelah dan langit runtuh. Ibuku percaya betul itu. Ia senang,
sebab itu berarti ia akan segera bertemu dengan kakakku
Enrico_koreksi2.indd 99 Ayu Utami 100 Sanda. Tapi aku sama sekali tidak senang. Sebab yang akan
dibangkitkan untuk hidup di Dunia Baru itu adalah orangorang yang, seperti ibuku, tidak suka nonton bioskop. Ka?
lau?pun aku dan ayahku ikut dibangkitkan, apa menarik?nya?
Kami tidak bisa nonton film bersama. Tak ada film yang akan
diproduksi. Kami hanya akan disuruh berhimpun tiap hari.
Aku sekarang mulai pandai mengutip Alkitab, hanya untuk
membantah ibuku. "Tidakkah Ibu membaca, Yesus berkata bahwa Hari
Tuhan itu datang seperti pencuri? Nah, Ibu sendiri tidak bisa
membedakan mana pencuri mana Ayah!"
Ibuku gelagapan. Setiap kali tidak bisa menjawabku, ia
kem?bali pada buku teksnya dan mengulang segala keterangan
panjang yang tidak kutanyakan. Menyebalkan sekali.
"Untuk orang yang beriman, selalu ada tanda-tanda za?
man!" katanya. "Orang yang bijak akan membaca tanda-tanda
zaman!" Ibu bilang bahwa perubahan yang terjadi sekarang ada?lah
awal dari tanda-tanda zaman itu. Pergantian presiden. Ayahmu
terpaksa membakar album Lilis Suryani. Itu peringatan agar
kita mulai melepaskan diri dari hiburan-hiburan duniawi.
Jangan terlalu banyak menonton lagi! Dan, lihat!, kota Padang
tengah terserang penyakit Kada Gestapu. Berhati-hatilah!
Jangan terlalu banyak melawan orangtua, nanti kamu terkena
juga. Sialnya, aku lalu memang terkena penyakit Kada Gestapu
itu. Mengerikan sekali. Pada awalnya aku mengira aku terkena
kusta. Inilah sejenis penyakit kulit yang datang bersamaan
dengan berjangkitnya parasit tumbuhan yang disebut Bungo
Gestapu. Benalu itu berbentuk seperti benang-benang ber?
Enrico_koreksi2.indd 100 Cerita Cinta Enrico warna kuning yang tiba-tiba saja, di masa itu, menyaluti semua
tanaman perdu di kota Padang, padahal zaman itu hampir
semua pagar terbentuk dari tanaman perdu. Awalnya, anakanak menyambut benang-benang kuning aneh itu dengan
suka????cita, mereka mengumpulkannya dan menjadikannya
main??????an. Bersamaan dengan itu, kulit mereka terkena busik
yang berubah menjadi basah dan menjijikkan. Sejak itu be??nalu
tadi ditakuti dan disebut Bungo Gestapu dan penyakit kulit?
nya Kada Gestapu. Gestapu menjadi nama yang mengerikan
bagi anak-anak seantero Padang. Sedang bagiku, kesan itu
bercampur dengan tanda-tanda datangnya Hari Kiamat.
Sepucuk surat tiba di rumah kami. Dari Jawa. Ibu mem?
bacakannya buat kami bertiga. Surat dari keluarga Ayah. Di
antara jeda membaca, Ibu dan Ayah mengomentari surat itu
dan bercerita bahwa Jenderal Yani menjadi salah satu korban
Gestapu. Aku tahu Jenderal Yani. Aku kenal dia! Ia dulu adalah
Kolonel Yani yang memimpin penyerangan terhadap ayahku,
tetapi juga yang memerintahkan Operasi Bayi Gerilya untuk
menyelamatkan aku, Sanda, dan Ibu.
"Ia adalah salah satu jenderal yang dibunuh Gestapu," kata
Ibu. Ketika itu penyakit kulitku sedang sangat meruyak dan aku
ketakutan bahwa aku akan mati digerogoti oleh Kada Gestapu.
Bayangkan, jenderal saja dibunuhnya. Apalagi aku, cuma anak
seorang pembantu letnan. Bagi seorang anak tangsi, tak ada
yang lebih hebat daripada jenderal, berapapun bintangnya.
Komandan yang berpangkat mayor saja bisa merebut burung
beo kita. Sekarang presiden kita juga seorang jenderal. Pera?
saanku tak keruan. Selain takut mengenai nasibku sendiri, aku
Enrico_koreksi2.indd 101 101 Ayu Utami 102 juga berduka-kecewa bahwa jenderal kok bisa dibunuh. Dan
Jenderal Yani, meski dia berperang melawan ayahku, toh ia
mau menyelamatkan aku dan ibuku.
Selagi perasaanku mengawang mengenai Jenderal Yani,
ibuku melanjutkan baca dan berkata pada Ayah, "Chat,
keponakanmu, Laksmana terkena juga."
"Terkena apa, May?" tanyaku tegang.
"Terkena kasus Gestapu."
Aku merasa gawat. Anehnya, Ayah melirik saja. Wajahnya
sama sekali tidak prihatin. Ayahku tidak genting atau sedih
bahwa salah satu saudara?ya, keponakannya?terkena Kada
Gestapu. Aku tak pernah melihat Ayah sedingin itu menanggapi
berita tentang penderitaan orang; apalagi ini keluarga sendiri.
Reaksi Ayah mengherankan aku.
Ibu melanjutkan baca. Dari surat itu tahulah aku bahwa
nenekku, yaitu ibunda ayahku, mengira bahwa Ayah telah
meninggal dunia bertahun-tahun lalu. Tepatnya, Ayah tewas
ketika pasukan Yani menyerbu pasukan PRRI?ya, Revolusi
berkaki kecil yang lahir bersamaan denganku. Ayah mati
ditembak oleh Laksmana, yang menjadi tentara pasukan Yani.
Memang Ayah tidak pernah pulang ke Jawa atau Madura sedari
kepergiannya dulu. Tapi, sejak kembali dari hutan, ia selalu
mengirim surat dan uang kepada ibundanya. Nenekku tidak
percaya dan menganggap bahwa surat serta uang itu kebaikan
hati menantunya saja agar ia mengira putranya masih hidup.
Surat yang kami terima ini kembali memperingatkan Ayah
bahwa Nenek masih mengira ia telah mati. Surat itu ditutup
dengan permintaan agar Muhamad Irsad pulang sebentar ke
kampung halamannya Madura, mumpung ibundanya masih
hidup. Enrico_koreksi2.indd 102 Cerita Cinta Enrico Ibu segera menyambut ajakan itu. Katanya, "Mumpung
masih ada waktu sebelum Hari Kiamat."
Ya, sebelum kiamat yang akan datang tujuh tahun lagi....
103 Enrico_koreksi2.indd 103 Jawa Kapal besar Le Havre Abeto yang kami tumpangi bergerak
pelan meninggalkan pelabuhan Teluk Bayur. Menuju Jawa,
pulau yang kukhayalkan setiap kali aku duduk pada tum?
puk?an semen Indarung dalam kereta gantung yang melintasi
cakrawala. Ibu selalu bercerita tentang pohon mangga, yang
tak ada di Sumatra. Di Sumatra hanya ada kweni, yang serat?
nya kasar, getahnya keras, dan selalu boleng digerogoti ulat.
Di Jawa ada segala macam mangga yang harum, manis, dan
ber?serat lembut. Ayahku bercerita bahwa di Jakarta ada toko
serba ada Sarinah, yang menjual segala macam termasuk
pesawat terbang. Aku yakin segala yang hebat ada di Jawa,
tanpa sadar bahwa itu juga yang membuat Letkol Ahmad
Husein memproklamirkan saudara kembarku, si Revolusi
Enrico_koreksi2.indd 104 Cerita Cinta Enrico berkaki kecil, yang kini sudah lama meninggal dunia.
Aku termenung membayangkan ayah dan ibuku. Jika me?
mang segala yang hebat ada di Jawa, kenapa dulu mereka pergi
ke Sumatra? Ayahku lahir di pulau kecil dan gersang, Madura, yang ter?
letak di Utara Jawa Timur dan terpisahkan oleh selat sem?pit
saja. Ayah anak sulung dari istri kedua seorang asisten we?
da?na bernama Joyosaputro, satu di antara dua orang yang
memiliki mobil?atau yang waktu itu disebut prahoto?di
tahun 30-an di pulau itu. Tidak, bukan dalam perkawinan
poli??gami. Joyosaputro menikah dengan perempuan kedua itu
(ya?itu nenekku) setelah istri pertamanya meninggal.
Tapi ketegangan dalam keluarga selalu terjadi. Begitulah
manusia. Keluarga istri muda agaknya percaya bahwa mereka
adalah trah Madura halus sementara istri tua menurunkan
anak-anak Madura kasar: para carok, yaitu mereka yang ber?
diskusi bukan dengan mulut melainkan dengan clurit. Jangan
ditanya kebenarannya, sebab waktu itu aku masih kecil dan
suka berkhayal sendiri. Istri tua kakekku bernama Gandari.
Istri muda, yaitu nenekku, bernama Kunti. Anak-anak Gandari
adalah para Kurawa. Anak-anak Kunti adalah kelima Pandawa.
Ayahku, si sulung, tentulah Yudistira.
Yudistira Irsad ini, seperti sudah kuceritakan, ikut me??
nyer?bu sebuah gudang Jepang. Maklumlah, ayahnya yang asis?
ten wedana punya radio dan dari siaran berita mereka tahu
bah?wa Jepang telah kalah Perang Dunia. Jadi, sesungguhnya,
Irsad bukannya tanpa perhitungan. Sekaligus bukannya ga?gah
berani. Ia menaksir bahwa lawan mereka akan bersikap ayam
sayur. Ternyata, para serdadu Jepang yang "lebih baik pulang
nama daripada gagal dalam tugas" itu melawan. (Moto itu
Enrico_koreksi2.indd 105 105 Ayu Utami 106 kemudian jadi semboyan pasukan khusus RI.) Irsad terluka.
Lukanya tidak berat dan tidak ringan, melainkan pas betul
untuk mengistirahatkan dia agar tidak ikut dalam pertem?
puran berdarah yang sesungguhnya dalam mempertahankan
kemerdekaan. Kemerdekaan RI akhirnya diakui Belanda. Sementara itu,
rivalitas antara trah Kurawa dan Pandawa dalam leluhurku
terus berlangsung. Cucu sulung Joyosaputro yang lahir
dari para Kurawa adalah Laksmana, putra Duryudana. Jadi,
Laksmana adalah keponakan ayahku. Tapi usia Ayah dan ke??
ponakannya itu sama. Persaingan pun terjadi di antara me?
reka. Tahu reputasi pamannya dalam menyerbu gudang
Jepang, Laksmana segera mendaftar jadi tentara. Ayahku, tak
mau kalah, mendaftar juga. Para Kurawa bangga dengan adat
kasar mereka, sementara keluarga Pandawa dengan adat halus
mereka. Ayahku sesungguhnya lebih tertarik pada peradaban
dan pendidikan. Laksmana selalu ingin menembak jantung
atau kepala orang. Ayahku diam-diam selalu ingin menembak
burung, yaitu ke atas. Di tempat tugasnya di Semarang Ayah jatuh cinta pada
seorang perempuan yang berambut pendek, memakai rok
selutut, dan bersepatu pantovel?yang baginya adalah per?
wujudan modernitas dan keterpelajaran. Sekretaris Pak Ma?


Cerita Cinta Enricho Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yor ini suka membaca, naik kuda, bermain tenis dan akor??deon.
Sayangnya perempuan ini Kristen. Maka, dalam rivalitas antar
keluarga itu, nilai Muhamad Irsad pun melorot. Ia tak lagi
anak sulung yang sempurna. Perkawinannya yang sete?ngah
lari karena tanpa restu keluarga dengan Syrnie Masmirah itu
me?nurunkan angkanya terhadap Laksmana, sang saingan. Dan
ia sendiri diam-diam tahu bahwa Laksmana menang angka
Enrico_koreksi2.indd 106 Cerita Cinta Enrico juga sebagai tentara daripada dia, yang hanya mau menembak
burung, itupun kalau burungnya kebetulan terbang dan
menghampiri peluru. Demi melepaskan diri dari ketegangan persaingan ke?luarga
itu, dan demi agar ia tak harus terus-menerus berpura-pura
garang, ia memilih meninggalkan Jawa. Ia ingin pergi se?jauhjauhnya dari sanak-saudara, mencari kebebasannya sendiri
bersama wanita yang ia cintai habis-habisan. Ia melamar po?
sisi di bagian keuangan. Sebab, itulah kelebihannya: ia jujur.
Tibalah mereka di Padang. Ayahku baik-baik bekerja di
Keuangan Daerah Administrasi Militer, disingkat KUDAM,
Sumatra Tengah. Lahirlah Sanda. Lahirlah aku. Tapi itulah
masa ketika orang-orang menyadari betapa timpang pemajuan
antara Jawa dan luar Jawa. Sukarno hanya memikirkan Jawa.
Padahal, di zaman Belanda banyak intelektual datang dari
Sumatra. Dan buatku, ketimpangan itu memang betul, sebab
di Sumatra tidak ada mangga, hanya ada kweni, dan di Padang
tidak ada toserba Sarinah yang menjual segala hal bahkan
kapal terbang. Panglima daerah militer itu Letkol Ahmad Husein mem?
proklamirkan berdirinya PRRI di Padang?ya, saudara kem?
barku si Revolusi ceker-ayam. Ayah dalam posisi sulit. Prajurit
harus taat atasan. Tapi siapa atasannya? Letkol Ahmad Husein
di Padang atau Jenderal Nasution di Jakarta? Teringat pula ia
akan saingannya?Laksmana?dan tekanan keluarga, ia tak
ingin berkiblat ke Jawa lagi. Ia memilih ikut Letkol Ahmad
Husein. Jadilah ia pemberontak di mata Jawa.
Gegerlah keluarganya. Muhamad Irsad sang Yudistira
yang telah kalah dadu itu kini malah bergabung dengan
pasukan pemberontak! Nenek Kunti sangat sedih. Tapi itu
Enrico_koreksi2.indd 107 107 Ayu Utami 108 pun tidak cukup. Letda Laksmana direkrut sebagai anggota
pasukan Kolonel Yani yang ditugaskan untuk menumpas para
pengkhianat PRRI. Rivalitas lama dalam keluarga me?nge?luar?
kan buahnya. Letda Laksmana mendatangi rumah Nenek Kunti,
seolah-olah pamit, tapi sebelum pulang ia berkata bahwa ia
akan menembak jantung atau bahkan kepala Letda Irsad
jika pamannya?yang telah jadi pemberontak itu?melawan.
Ya, Letda Laksmana bersumpah akan membunuh pamannya
sendiri. Nenek Kunti hancur hatinya. Perang saudara itu berakhir
dengan kekalahan pihak Ayah. Korban tewas sekitar 30.000
orang jumlahnya. Nenek Kunti percaya bahwa putra sulung?
nya, Yudistiranya, ada di antara yang mati itu. Putranya mati
ditembak oleh cucu dari istri tua suaminya. Begitulah Perang
Baratayuda. Tak seorang pun bisa mengubah kepercayaan itu.
Tidak juga surat-surat dan kiriman uang ayahku. Ia percaya
ibuku yang mengirim semua itu. Tapi itu juga yang barangkali
melunturkan ketidaksukaannya pada Ibu. Ia mulai percaya
bahwa Ibu, meskipun Kristen, adalah menantu yang berbakti.
Sementara itu, karir pembunuh anaknya, Laksmana, jus?
tru cemerlang. Ia direkrut menjadi anggota Cakrabirawa, pa?
sukan elit pengawal Presiden Sukarno. Tapi, beberapa tahun
kemudian, keadaan berbalik. Sukarno digulingkan. Pasukan
pengawalnya dituduh terlibat pembunuhan tujuh perwira
AD?termasuk Yani, yang telah menjadi letnan jenderal.
Laksmana pun ditangkap dan dipenjarakan.
Ayah tidak berempati sama sekali pada keadaan rival
bebuyutannya itu. Ia dendam sebab Laksmana-lah yang me?
nye?babkan Nenek Kunti tidak bisa percaya bahwa ia masih
hidup. Kini, Ayah akan pulang untuk menunjukkan bukti
Enrico_koreksi2.indd 108 Cerita Cinta Enrico terakhir bahwa ia memang masih hidup. Dirinya sendiri. Jika
ibunya masih tidak percaya lagi, berarti memang tidak ada
yang bisa diperbuat. Dan aku, sampai bertahun-tahun kemudian aku tidak tahu
bahwa Gestapu bukanlah penyakit kulit.
Aku masih terlalu kecil untuk bisa mengenali seluruh sau?
daraku. Kami tinggal beberapa malam di Surabaya, sebelum
berangkat ke Sumenep, kota tinggal Nenek Kunti di Madura.
Utusan dari Madura datang mengunjungi kami di Surabaya.
Mereka terpana melihat Ayah, memastikan bahwa itu memang
Muhamad Irsad yang pergi lima belas tahun silam. Kulihat
Ayah membuka kancing atas, melonggarkan kemejanya, dan
mereka mengintip tahi lalat di bahu Ayah. Setelah yakin, utusan
itu kembali ke Sumenep untuk mempersiapkan mental Nenek
Kunti. Begitulah, akhirnya ayahku bertemu kembali dengan
ibundanya dalam perjumpaan yang sangat mengharukan.
Teras rumah ala indische wohnhaus itu telah penuh orang.
Me?reka memegangi Nenek Kunti, yang telah berdandan sejak
pagi. Nenek memakai kebaya putih. Orang-orang berdiri
menyambut rombongan kami. Ayah dan Nenek bertataptapan beberapa saat. Kulihat ayahku bersungkem dan Nenek
mengelus-ngelus kepalanya sebelum mereka berpelukan
sambil bercucuran airmata.
109 Enrico_koreksi2.indd 109 Little Baby Gone Ibuku, sebaliknya, lahir dari istri pertama seorang pe?da?
gang di Kudus bernama Saleh Ibrahim. Kehadiran istri kedua
lelaki itu memiliki hubungan dengan perpindahan iman istri
pertamanya. Begini ceritanya:
Suatu hari Sarah, nenekku itu, belanja di pasar seperti
setiap kali. Sampai di rumah, ia merapikan cabai, bawang, dan
kacang-kacangan itu di dapur. Ketika itulah dia menemukan
sebuah iklan pada secarik di antara kertas-kertas pembungkus
belanjaannya, satu gambar lelaki ganteng berambut gondrong,
berjanggut, dengan domba dan tongkat gembala:
Anda ingin mengenal Kristus?
Hubungi alamat ini Enrico_koreksi2.indd 110 Cerita Cinta Enrico Sarah menyurati alamat itu. Dan mulailah perkenalan?nya
dengan yang disebut Kristus. Pada awalnya lewat kores?pon?
densi. Kemudian, ia bertemu juga dengan si misionaris Kris?ten.
Aku tak tahu persis apakah dia ingin mengenal Kristus se?te????lah
sua?minya mengambil istri lagi. Atau Ibrahim justru meni???kahi
Hagar karena Sarah pindah agama dan meninggalkan dia. Tak
jelas betul. Yang pasti, akhirnya Sarah pergi dari suami?nya,
me?ninggalkan semua anak lelakinya (kecuali satu yang ma?
sih bayi), tapi membawa serta semua anak perempuannya
ke Semarang. Kenapa ia meninggal?kan putra-putranya dan
membawa putri-putrinya, itu juga men?jadi pertanyaan buatku.
Sarah beserta anak-anak perem?puan dan satu bayi tinggal
bersama keluarga zending di Semarang.
Dalam keluarga misionaris Belanda itulah ibuku tumbuh,
sambil mendengarkan suara Enrico Caruso dari piringan
hitam atau radio. Agaknya itulah cinta pertamanya. Ia jatuh
hati pada bayangannya tentang penyanyi tenor Italia yang
mem?populerkan lagu rakyat Napoli ke dunia: Santa Lucia.
Tapi, agaknya sejak kecil ia juga punya bakat untuk tidak
nyaman dengan kesenangan-kesenangan duniawi. Maka ia
harus mencari alasan lain atas perasaannya pada Enrico.
Ia menemukan alasan itu di majalah Libelle: Enrico Caruso
men?cintai ibunya sedemikian rupa sehingga setiap kali ia
menyanyi yang terbayang adalah wajah ibunya. Syrnie mulai
mengidealkan cinta platonis seorang anak pada ibunya, dan
menutupi motif awal cintanya yang romantis, dan barangkali
juga sensual, pada bayangannya tentang Enrico Caruso.
Bertahun-tahun Syrnie puas dengan bayangannya ten?
tang Enrico Caruso. Tahu-tahu umurnya sudah hampir 30
tahun?usia yang sudah sangat telat bagi seorang gadis untuk
Enrico_koreksi2.indd 111 111 Ayu Utami 112 me?ni?kah di masa itu. Ia tidak suka laki-laki yang petantangpetenteng, tipe macho seperti Esau dalam Alkitab. Esau, si
pem?buru yang tubuhnya berbulu dan keluyuran melulu. Ia
menyukai Yakub, sebab Tuhan juga berpihak pada adik Esau
itu. Yakub bertubuh licin dan senang berada di rumah ber?
sama ibunya. Lagipula, Alkitab menceritakan bahwa si sulung
Esau meremehkan hak kesulungannya dan malah menjual hak
itu pada Yakub seharga semangkuk sup brenebon. Jadi, se?cara
moral, Yakublah yang lebih benar. Maka, Syrnie percaya bah??wa
Tuhan akan mengirimkan jodoh yang klimis buatnya.
Datanglah kiriman itu: seorang pemuda yang berkaki
kurus, tanpa bulu, dan baru saja mencukur kumis.
Meskipun rumah Nenek Sarah pernah dilempari tahi ka?
rena perpindahan iman itu, pada akhirnya hubungan ibuku
serta Nenek Sarah dengan keluarga besar Ibrahim baik-baik
saja. Bahkan dengan anak-anak dari Hagar, istri kedua Ibrahim.
Semua anak yang ikut Sarah menjadi Kristen. Yang ber?sama
Ibrahim beragama Islam. Sekalipun Sarah meninggalkan sua?
mi dan putra-putranya, tali persaudaraan di antara mereka
tidak putus. Keluarga besar ibuku tampaknya lebih lapang
meng?hadapi perbedaan daripada keluarga ayahku.
Di Sumenep, di rumah keluarga besar Ayah, para Kurawa
kini sedang menonjolkan rasa persaudaraan dengan Pan?
dawa dalam kedatangan kembali Ayah setelah lima belas
tahun hilang. Bahkan perkawinannya dulu pun tidak diketa?
hui keluarga. Sebagai saudara-saudara tua, mereka usul un?
tuk memestakan kembali perkawinan Ayah dan Ibu. Masalah?
nya, itu berarti mereka akan memanggil penghulu untuk
me?nikahkan Ayah Ibu dengan cara Islam. Tentu saja ibuku
tidak mau. Irsad dan Syrnie juga tak pernah kawin Gereja.
Enrico_koreksi2.indd 112 Cerita Cinta Enrico Jadi, tidak akan ada kawin Islam juga. Ayahku menolak abangabang tirinya dengan halus. Ia berkata "tak usah repot-repot",
dan mengaku bahwa ia harus cepat-cepat ke Jawa untuk me?
meriksakan jantung putranya ke dokter spesialis. Kelainan
jantungku yang baru ditemukan menyelamatkan Ibu dan Ayah
dari ketegangan keluarga. Aku marah pada ibuku karena ia
selalu menceritakan kelemahan dan penyakitku pada saudarasaudara. Tak sekalipun ia bercerita bahwa aku anak baik dan
kuat membawakan belanjaannya. Yang ada: Rico anak rewel
dan penyakitan... Kami menghabiskan sebulan penuh di Jawa, dengan be?
be?rapa hari di Madura, mencocokkan dengan jadwal kapal
penumpang Le Havre Abeto yang dua minggu sekali. Aku telah
naik kereta Limex lintas Jawa yang sangat modern. Aku men?
dapatkan sepasang sepatu kulit coklat terang sete?lah, me?
mang dengan sangat rewel, membongkar seluruh per??tokoan
di Surabaya. Aku telah melihat toserba Sarinah di Jakarta,
mes?kipun tidak sempat menengok kios penjual pesawat
terbang. Kami pergi ke Glodok dan aku membeli kaset lagu
Chirpy chirpy cheep cheep dari Middle of the Road yang waktu
itu diputar oleh seluruh toko. Sepanjang jalan aku bernyanyi:
Where?s your mama gone? Little baby gone. Far far away...
Aku telah makan mangga, yang rasanya memang lembut
menakjubkan. Om Zaini membawaku ke semua makanan
enak di Surabaya (kelak pamanku yang menyenangkan ini
me??ninggal muda karena penyakit yang disebabkan makanan
enak, dan putranya yang melihat ayahnya sekarat tanpa bisa
mem?bantu akhirnya memutuskan untuk jadi dokter). Kami
ke Pasuruan, Lumajang, Semarang, Jepara, Kudus, Yogyakarta,
Enrico_koreksi2.indd 113 113 Ayu Utami Magelang, melihat Borobudur-Mendut-Prambanan, Jakarta,
Bogor, Kebun Raya, Puncak (selain ke dokter spesialis jan?
tung). Sepanjang jalan aku bernyanyi: Where?s your mama gone?
Little baby gone. Far far away...
Aku kembali ke Padang telah berubah. Di atas kapal Le
Havre Abeto itu, dalam ayunan ombak lembut, aku tahu hati?ku
tertinggal di Jawa?pulau yang kini pelan-pelan lenyap di ba?lik
garis laut. Dalam kesenduan melihat daratan itu menghilang
perlahan aku tahu bahwa aku hanya ingin kembali ke sana.
Sendiri. 114 Enrico_koreksi2.indd 114 Kelahiran Kembali Kandang ayam itu kini terasa begitu menekan. Masuk ke
dalam pintunya, aku teringat mulut gorong-gorong gelap yang
menjadi kegagalanku sebagai anak-kolong sejati. Di kandang
ini aku hanya bisa merangkak. Dalam baju astronot, kucung?
kil alas yang telah mengerak terkena tahi dan tumpahan mi?
num?an ayam. Alas itu adalah rumah bersalin para tikus. Re?
lung-relung yang terbentuk di bawahnya adalah kamar-kamar
bayi. Kucing-kucingku segera mencaploki cecindil yang masih
merah itu. Tapi, kali ini keriangan mereka tidak meng?hibur?
ku. Yang terlihat olehku hanyalah jeruji-jeruji yang sung?guh
meng?himpit. Itulah kota kelahiranku bagiku sekarang. Aku tak
ingin menghabiskan hidupku di sini. Aku sayang Ayah dan Ibu,
Enrico_koreksi2.indd 115 Ayu Utami 116 tetapi aku tak bisa di sini selamanya. Aku harus pergi. Terasa
sesak. Aku telah punya SIM motor sekarang. Lebih cepat daripada
aturan?ayahku yang Angkatan Darat punya sedikit kemewah?
an untuk hal-hal yang begini. Aku telah membantu Ibu men?
jual telur dengan mengendarai Honda bebek kami. Aku mulai
mencari pasar sendiri untuk telur-telur kami yang kini se?makin
banyak. Langganan baru yang pertama kudapat adalah toko
kelontong A, yang hari itu pertama buka, di Jalan Imam Bonjol.
Nama itu, A, ternyata memiliki arti bagi hidupku nanti. Toko
ini pun kelak menjadi pelanggan terbesar ibuku, sehingga aku
lumayan bangga karena telah membukakan pasar baru, pasar
utama pula. Ibu tentu saja tidak pernah memujiku. Ia merasa


Cerita Cinta Enricho Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semua ini memang seharusnya. Pemilik Toko A adalah seorang
pemuda Tionghoa sebaya denganku. Aku senang padanya.
Entah kenapa ia memantulkan keinginanku untuk merantau.
Kubilang padanya aku akan meneruskan pendidikan ke ITB.
Ya, di Bandung, kota yang tak sempat kukunjungi waktu aku
ke Jawa. Ia tampak takjub. Kampus di mana presiden per?
tama Indonesia belajar itu terlalu jauh bagi banyak putra
Padang. Tidak. Persisnya aku tidak ingin merantau. Aku ingin
meninggalkan kota ini tak untuk kembali.
Ayam kami sekarang sudah lima ratus ekor. Biaya pen?
didikanku telah dipenuhi oleh ayam-ayam itu, yang aku ikut
merawat dan menjualkan telurnya. Ibuku adalah peternak
yang sangat telaten. Ayam kami lebih produktif daripada
yang dituliskan dalam teori-teori. Setiap hari tujuh puluh
persen ayam kami bertelur. Kami tak pernah kena kematian
massal unggas. Ibu tahu mana ayam yang mulai sakit, dan ia
akan langsung memisahkan mereka dari yang lain. Banyak
Enrico_koreksi2.indd 116 Cerita Cinta Enrico mahasiswa peternakan datang padanya untuk belajar. Itu juga
masa emas telur di Indonesia. Pada sebutirnya, setengahnya
adalah untung. Tapi aku tidak ingin tetap di sini.
Ibu masih percaya bahwa Hari Kiamat akan datang tahun
1975. Sebentar lagi. Dalam waktu yang semakin dekat itu,
ia semakin mantap untuk dibaptis sebagai seorang Saksi
Yehuwa. Jika kau masuk Kristen, atau masuk Islam, kau diizin?
kan menjadi umat yang manis dan malas. Sebab ada imam
atau pendeta yang akan menyiapkan rumput bagi dombadomba. Ibu harus menyiar, seperti Om Khasiar jika telah
dibaptis nanti. Yah, barangkali untuk dua tiga tahun sebelum
Hari Kiamat datang. Waktu pembaptisan telah ditentukan. Ibu mengajak aku
untuk dibaptis bersama-sama dengannya. Tentu saja aku tidak
mau. "Aku tidak mau jadi bagian kelompok yang ingin men?
datangkan Hari Kiamat pada tahun 1975," sahutku.
"Hush! Hari Kiamat itu bukan kita yang mendatangkan.
Hari Kiamat akan datang apakah kita siap atau tidak."
"Kalau ternyata Hari Kiamat itu tidak datang pada tahun
1975? Kan aku kebagian sialnya saja; harus menyiar!"
"Masa kamu bilang menyiar itu pekerjaan sial? Itu
pekerjaan mulia!" Ibuku mulai meninggi.
"May! Aku tidak setuju bahwa kita harus menyiar pada
orang lain. Itu mengganggu orang, May!"
"Menjadi saksi iman memang harus begitu."
"Aku tidak setuju! Tidak ada ayatnya!"
"Siapa bilang? Aku tidak terganggu waktu Khasiar datang
pertama kali dan menyiar. Aku malah sangat terhibur!"
Enrico_koreksi2.indd 117 117 Ayu Utami 118 Aku ingin berteriak: tentu saja, Ibu baru saja kematian
anak, dan pemuda itu bicara tentang kebangkitan. Tentu
saja Ibu tergiur. Tapi aku mulai dewasa dan tahu bahwa ka?
lau kukatakan begitu, itu akan sangat melukai hati ibuku.
Aku memakai jurus lain. "May, tahu surat Rasul Paulus kan?
I Korintus 13. Pada akhirnya adalah tiga hal ini: iman, peng?
harapan, dan kasih; dan yang paling besar di antaranya adalah
kasih. Berbuat kasih itu lebih besar daripada iman sekalipun.
Kok bisa menyiar jadi segala-galanya!"
Ibuku mulai kewalahan mengatasi debatanku. Akhirnya
ia putuskan bahwa aku memang belum siap untuk dibaptis.
Mataku dan hatiku belum sepenuhnya tercelik?itu istilah
yang ia pakai, yang membuat aku semakin jengkel sekaligus
geli, sebab kata itu hanya kupakai untuk burungku. Sesung?
guh?nya aku tidak punya keberatan apapun pada orang-orang
perhimpunan ini. Mereka semuanya baik hati, jujur, dan sa?
ngat berperhatian pada yang lemah. Tapi, keberatanku se?lain
soal Hari Kiamat adalah ini: apa tidak cukup orang men?jadi
baik? Apa tidak cukup menjadi seperti ayahku? Me?ngapa
orang harus jadi pengkabar juga, memaksakan iman kita pa?da
waktu dan telinga orang lain?
Aku dan Ayah menemani, tepatnya menonton, Ibu di?bap?
tis. Upacara itu berlangsung di Mataair Tandikat. Di Tandikat
ada danau kecil dengan air terjun mungil di tengah alam yang
asri. Ibuku mengenakan pakaian putih. Ibu dipersilakan me?
nutup hidungnya. Lalu dengan hati-hati pemimpin upacara
mencelupkan kepalanya ke dalam air. Resmilah Ibu menjadi
seorang Saksi Yehuwa. 23 Maret 1973. Di Jakarta, Jenderal Soeharto dilantik sebagai Presiden
Enrico_koreksi2.indd 118 Cerita Cinta Enrico RI oleh MPR yang tidak sementara. Ya, bukan MPRS lagi, me?
lainkan MPR. Titik. Pelantikan itu menjadi tanda telah di?be?
res?kan olehnya semua musuh dan bahaya di dalam negeri. Ia
telah membubarkan PKI, menghancurkan pengaruh komu?
nisme sampai ke akar-akar yang lain, termasuk menjebloskan
keponakan Ayah, Laksmana, ke dalam penjara. Ia telah men?
dirikan partai baru bernama Golkar, dan mengisi MPR dengan
orang-orang partai itu serta militer yang loyal padanya. MPR
yang dibentuknya itulah yang kini melantiknya lagi sebagai
Presiden RI. Indonesia lahir kembali dalam kekuasaan baru. Ibuku la?
hir kembali dalam keyakinan baru. Dua tahun lagi kiamat.
119 Enrico_koreksi2.indd 119 Tiket untuk Kebebasan Ada dua pergantian tahun yang sangat kutunggu. Yang kedua
adalah menuju 2000. Ayah pernah bilang bahwa pada tahun
itu ia akan sudah sangat tua. Jadi, kalau dia ketiduran atau
tidak ingat, ia minta aku membangunkan dia untuk melihat
peralihan tahun. Entah kenapa aku terharu dan jadi ingat
terus wajah dan kata-katanya. Ia bilang begitu setelah melihat
aku menggambar jam yang melambangkan pergantian tahun.
(Ia juga menyimpan terus gambar itu.)
Tapi, tahun yang pertama kunantikan adalah datangnya
1975. Aku sangat menunggu tahun baru ini, sebab aku yakin
ini akan jadi tanda kemenanganku terhadap Ibu mengenai Hari
Kiamat. Seperti biasa kami menunggu detik-detik peralihan
sambil makan mi goreng. Lonceng berdentang. Detik pertama
Enrico_koreksi2.indd 120 Cerita Cinta Enrico 1975 lewat, menit-menit pertama, jam-jam pertama. Bumi
tidak berguncang. Tapi masih ada 365 hari lagi bagi langit
untuk runtuh dan tanah terbelah.
Pada acara berhimpun di awal tahun itu Hamba Sidang
meng?umumkan bahwa Hari Kiamat tidak jadi datang seka?rang.
Aku diam saja. Aku sudah belajar dari untuk menang tam?pa
ngasorake, menang tanpa pecicilan?semboyan yang, sial??nya,
suka diulang-ulang oleh Presiden Soeharto. Aku ingin tahu
reaksi Ibu di rumah nanti. Di luar dugaan, iman Ibu sama se??kali
tidak tergoyah. Tidak ada ramalan yang tak tergenapi. Se?bab,
Tuhan selalu bisa mengubah rencana. Jadi, aku tahu bahwa
orang yang beriman memang akan tetap beriman meski?pun
janji-janji tidak dipenuhi atau rencana selalu ber??ubah-ubah.
Mereka tetap merasa pasti meski diberi ketidakpastian.
Aku merayakan ulang tahunku yang ke-17 dengan ke
bioskop bersama Ayah. "Hore! Kiamat tidak jadi datang. Jadi
aku bisa nonton film 17 tahun ke atas," kataku mengejek Ibu.
Ibu tentu saja tidak ikut. Selain ia tak tahan asap rokok,
ia sudah sangat menjauhi hiburan duniawi. Belakangan, dari
catatan hariannya, kami tahu bahwa ia merasa sangat sayu
malam itu. Ia merasa ditinggalkan oleh suami dan anaknya yang
kini selalu membantah dia dan akan menyebabkan umur?nya
pendek. Ibuku semakin merasa dikucilkan sebab Saksi Yehuwa
tidak merayakan ulang tahun dan tidak menonton bios?kop.
Buatku, aku sudah capek menjadi anak aneh yang tidak boleh
merayakan ulang tahun. Aku sudah capek jadi terkucil. Masa
tidak boleh aku bersenang-senang dan itu menyebabkan
ibuku yang gampang merasa terkucil jadi merasa terkucil?
Salah sendiri kenapa banyak menuntut!
Aku dan Ayah menonton film Sunflower yang dibintangi
Enrico_koreksi2.indd 121 121 Ayu Utami 122 Sophia Loren dan Marcello Mastroianni. Ceritanya sedih dan
mengharukan. Tentang seorang istri yang ditinggal suaminya
perang. Aku jadi terharu pada ayah-ibuku. Mereka juga dua
manusia yang melalui perang saudara. Tak terbayang se?
andainya ibuku menyerah pada Operasi Bayi Gerilya. Aku
tak akan mengenal ayahku yang ini. Pulangnya, kemesraan
itu kugunakan untuk membicarakan hal yang sangat serius
bagiku. "Aku mau belajar ke ITB, Pay."
Ayahku mengangguk. Tapi kami sama-sama tahu bahwa
ibuku memberi satu syarat untuk ia merestui kepergianku ke
Jawa. Aku harus dibaptis sebagai Saksi Yehuwa. Jika tidak, Ibu
tidak akan memberi restunya. Aku tak percaya tetapi ayahku
percaya bahwa seorang anak harus mendapatkan restu dari
kedua orangtuanya agar hidupnya lapang dan bahagia. Aku
sebetulnya ingin kabur saja jika Ibu keras kepala, tetapi aku
menimbang ayahku. "Anggaplah baptisan itu sebagai tiket ke Jawa," kata Ayah.
"Kamu tak usah peduli, tak usah bantah-membantah lagi. Yang
penting kamu dapatkan tiket itu. Setelah itu kamu toh bebas."
Aku terharu pada ayahku. Adakah ia melihat penderita?an?
nya dalam gerilya dulu sebagai akibat ia tidak mendapatkan
restu orangtuanya? Aku ingin memeluk ayahku, mengatakan
betapa cinta aku padanya, betapa bersyukur aku memiliki
ia se?bagai ayah. Tapi aku sedang ingin tampak tegar sebagai
anak muda. "Iya, Pay. Sebetulnya, buatku semua ini nonsens. Agama
hanya sia-sia." Ayahku diam saja. "Aku akan dibaptis, tapi..." aku diam sebentar, "tapi kalau
Enrico_koreksi2.indd 122 Cerita Cinta Enrico aku kecelakaan dan butuh darah, aku akan terima transfusi
ya, Pay." Saksi Yehuwa melarang transfusi darah.
Ayahku memandangi aku. "Tentu saja. Kamu masih muda."
Nadanya tanpa ragu. Lalu ia yang kini diam sebentar. "Kalau
aku, aku tidak akan terima transfusi. Karena aku sudah tua.
Kalau aku terima darah orang, paling berapa tahun hidupku
akan bertambah. Tapi ibumu akan menyesal sepanjang sisa
hidupnya. Untuk apa." Ia memandangi aku lagi. "Kalau kamu,
kamu punya hidupmu sendiri."
Betapa rindu aku untuk memeluk ayahku erat-erat. Ke?
ingin?anku untuk tampak gagah dan dewasa menahanku.
Ayahku memberi tiket bagi kebebasanku tanpa menun?tut
apapun. Kini tinggal aku dapatkan tiket itu dari Ibu. Berapa??pun
akan kubayar, asalkan aku bisa mendapatkan kebebasanku...
Ayam-ayam ibuku kini lebih dari seribu ekor. Tapi mereka
bukan "ayam sungguhan" lagi. Ayam sungguhan bagiku adalah
ayam kampung. Ialah ayam-ayam yang bulunya belang-belang,
punya karakter dan kemauan sendiri-sendiri. Ayam yang
masih bisa kukenali sebagai individu dan karenanya pantas
mendapatkan nama. Si Blirik, Si Mamak, Si Boleng, Si Jalu, Si
Jintan, Mordekhai... Tapi, pada suatu zaman, datanglah apa yang disebut se?
bagai ayam leghorn. Ibu membelinya dalam bentuk telur, yang
harganya tiga kali lipat telur ayam kampung dan besar?nya ham?
pir dua kalinya. Telur-telur raksasa itu kami selipkan dalam pe?
tarangan di mana induk-induk terbaik mengeram. Datang??lah
waktu menetas. Dan, wahai, piyik yang keluar dari dalam?nya
berwarna emas. Tanpa bintik tanpa bakal belang. Ayam-ayam
Enrico_koreksi2.indd 123 123 Ayu Utami leghorn itu tumbuh dewasa lebih cepat dan bulunya berwarna
coklat seragam. Lalu tibalah saatnya mereka bertelur. Ketika
itulah kami tahu bahwa makhluk ini bodoh-bodoh. Badan
mereka gemuk, lamban, dan tidak pandai mengeram, malahan
memecahkan telur-telur sendiri dan telur-telur ayam lain.
Telur mereka, meskipun besar, berbau amis. Tapi orang-orang
sedang diterpa demam telur besar. Pasar tidak mengeluh pada
amis itu, malah berpendapat bahwa amisnya itu yang bergizi.
Diam-diam aku lebih suka telur ayam kampung, dan tahu
bahwa, meskipun kecil, telur-telur itu berasal dari ayam-ayam
yang cerdas dan berkarakter. Aku tidak pernah bilang pada
pelanggan kami bahwa ayam-ayam leghorn itu binatang tolol.
Begitu gobloknya makhluk leghorn ini sehingga kami harus
membeli mesin penetas telur, sebab mereka tidak mampu
mengerami telur-telur mereka. Ditetaskan oleh mesin, se?ma?
kin bodoh juga piyik yang keluar. Bayangkan kalau ma?nusia
dilahirkan dan disusui oleh mesin!
Zaman semakin maju dengan aneh. Makhluk baru di?per?
kenalkan. Namanya ayam broiler. Inilah hewan yang pa?ling
tolol dan tidak berjiwa yang pernah kutemui. Menetas seba?gai
piyik emas yang cantik, dalam empat minggu mereka sudah
tam?pak seperti tante-tante putih gemuk. Ayam kam?pung se?
usianya akan tampak masih remaja, penuh rasa ingin tahu,
persaingan, dan kenakalan. Broiler menjadi dewasa tanpa
pernah menjadi remaja dan tanpa kehilangan lemak bayi
mereka. Mereka tidak bisa mengenali peternaknya, tak bisa
mengenali teman atau musuh. Mereka hanya bisa mengang?
guk-angguk makan atau minum. Mereka tak terbedakan satu
sama lain. 124 Enrico_koreksi2.indd 124 Cerita Cinta Enrico Aku merasa itulah yang diinginkan ibuku terhadap aku.
Anak yang tak punya rasa ingin tahu, tak punya kenakalan,
tak menginginkan kebebasan, melainkan hanya mengang?gukangguk sampai Kiamat datang memotong lehernya.
Di hari pembaptisanku, di sebuah kolam renang di Medan,
di tahun yang seharusnya aku tertawa keras karena Hari Kia?
mat melengos entah ke mana, aku bersumpah itu adalah ter?
akhir kalinya aku mengangguk, mematuk dedak dan jagung
yang disediakan ibuku. Setelah ini, tak akan kugadaikan lagi


Cerita Cinta Enricho Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kebebasanku. Tapi tak secepat itu...
125 Enrico_koreksi2.indd 125 Jembatan Ibu sebetulnya tidak ingin aku pergi. Apalagi ke Bandung.
Ibu tidak pernah silau dengan kemegahan duniawi. Maka
ia tak merasa penting juga punya anak insinyur. Suatu hari
keponakannya yang baru lulus Akademi Mililter datang. Aku
senang padanya, pemuda yang gagah dan menawan. Ia sangat
gampang menarik hati cewek. Gadis-gadis di sekitar rumah
termehek-mehek dibuatnya. Ia juga senang padaku. Tapi ia
keponakan ibuku lebih dulu daripada ia temanku. Ia bilang
pada Ibu, melihat watak si Rico, anak itu akan jadi liar dan
lepas kendali jika tinggal di Bandung. "Bulik tak akan bisa
memilikinya lagi." Pergaulan di sana sangat bebas. Gadis-gadis
Bandung sangat berani. Ibuku tidak tahu bahwa aku sudah pernah berbuat itu
Enrico_koreksi2.indd 126 Cerita Cinta Enrico dengan perempuan di kota sunyi ini. Ada satu cewek cantik
yang sangat bagak. Aku ciuman dengannya di tepi laut di atas
motorku suatu malam Minggu, dan ia tidak memakai beha.
Dengan dialah aku mendapat pengalaman pertamaku. Aku
telah siap dengan kondom yang kubeli di apotik sebelumnya.
Umurku lima belas. Tapi, sejak niatku masuk ITB telah bulat, aku tak tertarik
lagi pada perempuan. Tujuan hidupku cuma satu: lepas dari
SANG PEREMPUAN. Mana sesungguhnya yang lebih ku?
inginkan: lepas dari dia atau masuk ITB? Hmm, aku tahu bah?
wa Sang Perempuan itu sangat berharga sehingga satu-satu?
nya jalan lepas darinya adalah masuk ke perguruan tinggi
yang paling berharga pula di negeri ini. "Aku tidak akan pulang
sebelum aku masuk ITB, Pay," kataku yang membuat ayahku
sedih. Tapi Sang Perempuan itu kelihatannya tidak terlalu
rela. Syarat pertama yang dimintanya telah kupenuhi: aku
sudah dibaptis. Pembaptisan itu bagiku adalah titik di mana
aku tak mau lagi percaya pada Tuhan. Persetan dengan Tuhan.
Agama telah merusak ibuku. Ibuku yang dulu cantik, hebat,
dan periang itu kini telah diringseknya menjadi makhluk yang
lain sama sekali. Aku dendam pada agama.
Apapun itu, masih ada dua tahun sebelum aku bisa betulbetul bebas. Dalam dua tahun itu, aku harus patuh mengikuti
dia berhimpun. Aku pun berhimpun dengan lidah kelu. Tak
pernah lagi aku membantah, sebab hati dan kepalaku telah
melampaui saat ini. Lalu, tentu saja, ini bukan syarat darinya
tapi sebetulnya satu-satunya syarat mutlak: aku harus lulus
tes masuk ITB. Seluruh waktuku kupakai untuk mempersiapkan diri
meng??hadapi ujian masuk. Aku tak pernah bermain lagi dengan
Enrico_koreksi2.indd 127 127 Ayu Utami 128 teman-teman. Tak pernah cari pacar lagi. Kerjaku hanya bela?
jar, dari pukul tujuh malam hingga empat pagi. Setelah itu aku
akan tidur hingga jam delapan untuk bangun dan sekolah lagi.
Jika aku mengantuk, aku pergi ke kamar mandi. Kuceburkan
kepalaku ke dalam bak air dan kuhirup airnya seperti bernafas
dengan hidung. Rasa nyeri tak kepalang di kepala akan
membuat aku terbangun lagi.
Aku juga mengorganisir kursus matematika dan fisika.
Ada sepasang guru yang sangat piawai. Pak Lim Tek An dan
istrinya. Pak Lim orangnya lurus sekali. Ia tidak mau memberi
kami kursus, karena kami adalah muridnya di sekolah. Aku
tak habis akal. Aku pun merekrut keponakan kepala sekolah
untuk menjadi anggota kelompok. Dengan begitu, aku bisa
minta kepala sekolah untuk memerintahkan Pak Lim memberi
les. Waktu itu aku sudah pindah ke SMAN 1 karena, akibat
suatu periode disorientasi yang membuatku malas, aku tidak
berhasil masuk jurusan IPA di Don Bosco. Aku sudah kenal
Pak Lim sebetulnya, sebab ia dulu juga mengajar di Don Bosco
sebelum pindah, agaknya karena konflik dengan pengganti
Frater Servaas. Suatu kali jadwal kursusku bentrok dengan jadwal ber?
himpun. Ketika itu hujan lebat. Aku bilang pada Sang Pe?
rempuan, bahwa aku tidak bisa ikut berhimpun. Kuantar?kan
motor menyeberang jembatan kayu yang melintas sungai
kecil di depan rumah kami. Aku selalu mengantar motor sam?
pai lepas jembatan jika Sang Perempuan?ya, ibuku?harus
berkendara sendiri, sebab jembatan kayu itu sempit dan licin.
Ia pun berangkat berhimpun sambil cemberut. Pasti dalam
hati ia mengeluh: kaku hatiku.
Ia akan berhimpun lebih lama daripada aku kursus. Jadi,
Enrico_koreksi2.indd 128 Cerita Cinta Enrico ketika ia pulang nanti, aku sudah di rumah untuk menjem?put
motornya dari tepi jembatan. Tapi, persis saat ia pulang, aku
sedang di kamar mandi. Hujan belum reda. Ia mencoba me?
nye?berangi sendiri jembatan itu sambil menuntun motornya.
Ia terjatuh. Sendi lengannya lepas.
Aku berlari-lari untuk menolongnya. Ia menolak uluran
tanganku. Ia menyalahkan aku atas kecelakaan yang me?nim?
panya. Gara-gara aku tidak ikut berhimpun, maka ini terjadi.
Lalu di matanya aku melihat bahwa ia juga menyalahkan aku
sehingga ia dulu mengalami perdarahan yang menyebabkan
ia tak bisa punya anak lagi. Semua karena aku anak yang tidak
menurut. Sebetulnya aku agak takut juga kalau ia mendoakan agar
aku gagal masuk ITB. Mengingat doanya sering berhasil. Aku
bukan orang yang percaya Tuhan lagi sekarang. Tapi kupikir
doa itu sejenis sugesti. Kalau orang melakukannya dengan
khu?syuk, maka energinya?seperti santet?bisa mem?pe?nga?
ruhi sesuatu. Di titik-titik beginilah ayahku maju. Ia bicara dengan ke?
ponakan ibuku yang ganteng itu agar jangan menambah ke?te?
gangan. "Jangan bicara apa-apa pada Syrnie tentang Bandung.
Nanti dia makin sesak nafas." Sebagai sesama tentara, sang
yunior pun menurut. Ketika waktunya tiba aku berangkat seorang diri. Dengan
kapal barang Bengawan yang kakusnya segera tersumbat
sehingga cairan coklat tumpah ke dek setiap kali kapal diterjang
ombak. Air taik pun kuterima dengan tabah. Asalkan aku pergi.
Satu semester setelah kepergianku, Ayah dan Ibu mene?
rima telegram dariku: TELAH DITERIMA DI UI ITS IPB ITB
TITIK Enrico_koreksi2.indd 129 129 Kebebasan Bandung, kota pegunungan, Jawa Barat. 1977.
Aku melangkah di jalan menikung, di Taman Sari, un?
tuk mencari makan malam. Hujan rintik terpendar lampulampu jalan. Lembah memantulkan basah yang meliuk-liuk
pada aspal. Kueratkan jaketku. Dingin menggigilkan bibirku.
Tiba-tiba, kusadari airmataku mengalir. Aku telah sendiri
sekarang. Aku telah menjadi diriku, dalam segala kesepian
dan bahayanya. Telah kutinggalkan ayahku yang lapang hati;
ibuku dan ayam-ayamnya. Akan kutempuh duniaku sendiri,
yang tak pasti, tetapi kupilih sendiri.
Aku tahu, hidupku tak akan aman lagi. Aku ini seorang
pengelana, mengendarai motor besar dalam bentangan jalanjalan highway yang menembus gurun. Kota-kota dikuasai
Enrico_koreksi2.indd 130 Cerita Cinta Enrico sherif tua yang jahat. Mereka korup dan membenci kebebas?
an. Sebaliknya, kebebasan dicintai oleh mahasiswa dan anak
muda. Aku kini mahasiswa ITB. Demikian pula mendiang
Rene Louis Conrad, yang namanya menjadi nama salah satu
gerbang kampusku. Ia mati lebih dari sepuluh tahun yang lalu,
tetapi aku merasa menjadi temannya. Aku merasa mengenal
dan mencintai dia. Ah, dia pemuda berambut gondrong dan
bermotor besar Harley Davidson. Ke mana-mana ia memakai
celana dan jaket jeansnya yang beraroma petualangan. Ia
mencintai kebebasan dan berani mencari kebenaran.
Suatu hari sang pengelana yang romantis ini mengen?
darai motor besarnya, seperti seorang Che Guevara. Dalam
perjalanannya ia melalui sebuah truk polisi. Truk itu berisi
taruna Akademi Kepolisian yang baru saja kalah bertanding
sepak bola melawan mahasiswa ITB. Penuh kebencian dan
kemarahan, segumpal ludah melayang dari dalam truk itu
me?nerpa wajah Rene Louis. Kawanku tersentak. Ia tidak suka
perbuatan sewenang-wenang. Mentang-mentang Presiden
Jen?deral Soeharto menggabungkan Kepolisian menjadi ba?
gian dari Angkatan Bersenjata yang berkuasa, para taruna itu
telah menjadi demikian congkak dan tidak mau menerima
kekalahan, pecundang yang pengecut.
Sahabatku menghentikan truk itu untuk mencari kebe?
naran. Ia ingin para polisi bersikap satria. Ia bertanya kepada
semua yang ada di dalam truk: "Siapa yang meludahi aku?
Kalau berani, mengakulah!"
Seseorang mencabut pistol dan menembaknya. Peluru
meluncur menembus dadanya. Begitu saja. Tidak. Tidak be?
gitu saja. Ada yang bilang ia lebih dulu ditendang-tendang
Enrico_koreksi2.indd 131 131 Ayu Utami seperti bola. Itulah Kepolisian Republik Indonesia. Mereka
membunuh mahasiswa sejak masih taruna.
Hidupku tidak akan aman lagi. Tapi itu jalan yang ku?pilih.
Angin Bandung bertiup semakin dingin. Aku tidak jadi ma?kan
di warung, dan kuminta nasi ramesku dibungkus saja. Malam
itu aku sedang ingin menangis, dan biarlah aku menangis
dalam rintik hujan malam.
Militer telah menjadi musuh mahasiswa sekarang. Aku
ter???ingat ayahku, seorang perwira rendah yang jujur dan se??
derhana. Maafkan aku, Ayah, tapi aku terpaksa memusuhi
korps-mu sebab mereka telah demikian semena-mena seka?
rang. Mereka telah jadi tukang pukul, memukuli rakyat, demi
men?jaga kepentingan Jenderal Soeharto dan para pejabat
korup. Tentara juga telah mencampuri urusan pribadi maha?
siswa. Mereka melakukan razia rambut gondrong. Bah?kan
sam?pai ke dalam kampus ITB. Mereka hendak mengenyah???kan
semua simbol kebebasan. Tiba-tiba aku terhenyak. Air?mata?
ku berhenti mengalir sekarang... Sebab, mereka, para ten??tara
itu, telah menjadi seperti ibuku: hendak men?cetak anak-anak
muda yang patuh, tidak menginginkan kebebasan, tidak pu?
nya kenakalan, melainkan hanya mengangguk-angguk seperti
ayam broiler, hingga Kiamat memotong leher mereka.
132 Enrico_koreksi2.indd 132 Masturbasi Di gerbang Rene Louis Conrad pada suatu pagi aku merasa
hidupku akan berakhir dalam beberapa menit lagi. Prasetya
Riksa, mahasiswa tambang ITB angkatan 77, ketua Badan
Perwakilan Anggota, mati dilindas panser. Berita itu akan
sampai kepada ayah dan ibuku. Mereka akan menerimanya
dengan tak percaya: anaknya berakhir di sini. Anak satusatunya itu berakhir lebih dulu dari mereka sendiri. Dengan
tubuh remuk. Pada pagi harinya, mahasiswa telah memasang kain me?
rah besar bertuliskan "Dewan Mahasiswa ITB tak mengingin?
kan Saudara Soeharto terpilih kembali sebagai Presiden RI."
Spanduk menyala itu dibentangkan untuk menyambut Si?dang
Enrico_koreksi2.indd 133 Ayu Utami 134 Umum MPR 1978, yang sudah pasti akan memilih Jenderal
Soeharto lagi. Kami tahu bendera itu akan segera diturunkan bebe?rapa
menit saja setelah dipasang. Tapi tidak apa, toh pernyata?an
itu akan menjadi berita. Media akan memuatnya dan seluruh
Indonesia akan jadi tahu bahwa tidak semua orang ingin dia
menjadi pemimpin lagi. Seluruh Indonesa akan jadi tahu
bahwa ada yang berani bersuara. Tapi kami tidak terlalu
menduga bahwa pembalasannya akan seperti itu.
Aku tiba di kampus ketika spanduk itu sudah direnggut.
Mahasiswa mengadakan rapat dan dalam rapat itu ada yang
menyampaikan berita bahwa kampus akan diduduki tentara.
Bukan polisi, melainkan Angkatan Darat?yang paling ber?
kuasa di antara angkatan yang lain. Dibanding AD, polisi ha?
nyalah anak-bawang dalam Angkatan Bersenjata. Bahkan si
anak-bawang telah menembak mati Rene Louis Conrad. Kini
Angkatan Darat akan datang dengan panser.
Apapun, kami memutuskan untuk mempertahankan
kampus. Dengan cara berbaring di jalan di pintu masuk!
Lewati dulu mayat kami sebelum kau kuasai ITB. Jika panser
itu memaksa, mereka akan masuk dengan melindas mati ma?
ha??siswa. Kami akan menjadi tameng hidup, bukan hanya bagi
kampus ITB. Kampus itu kini adalah simbol akal-sehat, lam?
bang ketidaktundukkan pada kekuasan yang telah korup.
Aku tak berpikir ulang. Tak ada satu pun di antara kami yang
berpikir ulang. Sebab kami memperjuangkan cita-cita luhur.
Aku berbaring di lapisan kedua. Di lapisan terluar ba?rang?
kali adalah aktivis mahasiswa yang lebih senior. Yang lebih
ke dalam adalah mahasiswa yang selama ini tidak men?jadi
aktivis kampus, dan para mahasiswi. Kami telentang di jalan
Enrico_koreksi2.indd 134 Cerita Cinta Enrico di gerbang Rene Louis Conrad. Ketua Dewan Mahasiswa dan
beberapa orang berpidato secara bergantian. Beberapa lagi
memimpin nyanyian dan yel.
Beberapa waktu kemudian aku merasa tanah mulai ber?
getar. Tak lama lagi bunyi gemuruh semakin keras dan tam?
paklah moncong-moncong panser itu di ujung jalan. Itulah
detik ketika aku merasa bahwa aku akan berakhir di sini.
Panser semakin dekat. Aku telah melihat kolongnya yang
gelap dan berminyak, tuas-tuas dan roda-rodanya berderakderak. Makhluk itu semakin dekat, semakin dekat. Aku su?dah
bisa mencium bau minyaknya ketika, tiba-tiba, dari barisan
belakang para mahasiswi meloncat, berlari ke lapisan luar,
dan membaringkan diri di sana, menjadi tameng bagi kami,
para laki-laki. Panser itu berhenti. Aku siap mati. Tapi aku tidak membayangkan bahwa pa?ra


Cerita Cinta Enricho Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mahasiswi siap mati tak hanya untuk cita-cita luhur, tetapi ju?ga
untuk melindungi kami, teman-temannya. Aku selalu me???rasa
bahwa perempuan sering jauh lebih tangguh daripada lakilaki. Dan mereka memikirkan kehidupan, bukan kega???gahan.
Kami, para lelaki, sering melakukan sesuatu demi kega?gahan.
Tapi kaum perempuan berbuat demi kehidupan. Lelaki sering
berbuat untuk egonya sendiri, sedang perempuan berbuat
untuk orang lain. Tiba-tiba aku teringat Sanda, kakakku, yang
me?nyelamatkan aku dari serangan ayam hitam pemakan anak
kecil. Ketua dan beberapa pentolan Dewan Mahasiswa ber?ne?
go??siasi dengan aparat yang datang itu. Kami, para tameng
hi?dup, bertahan dalam pembaringan kami di jalan gerbang.
Per???undingan agaknya berjalan alot, lalu buntu. Tiba-tiba, para
Enrico_koreksi2.indd 135 135 Ayu Utami 136 prajurit menyerbu dan mengobrak-abrik pertahanan kami.
Mereka menyeret dan mengambil semua anak yang berbaring
di jalan. Aku ditarik dan dilemparkan ke dalam truk bersamasama yang lain. Truk melaju ke markas Kodim dan kami
dimasukkan ke dalam sel. Kampus ITB pun diduduki Pasukan
Siliwangi. Pada akhirnya aku dan yang lain dibebaskan. Tetapi be?
be??rapa hari kemudian pasukan Siliwangi yang mendu?duki
Kampus ITB itu diganti dengan pasukan Diponegoro yang
kejam. Pasukan Siliwangi, yang bermarkas di Bandung dan
terdiri dari banyak orang Sunda, memiliki hubungan emo?
sional dan menaruh hormat pada ITB. Tapi prajurit dari Jawa
Te?ngah yang datang ini tidak memiliki ikatan apapun. Alihalih, ini malah mengulang Perang Bubat antara Majapahit me?
la?wan Pajajaran, di mana bala tentara Jawa itu dengan curang
menghabisi utusan Sunda. Pasukan Diponegoro memukuli
maha?siswa dengan popor senjata, menendang, bahkan men?
jambak rambut mahasiswi. Gerakan Mahasiswa dipatahkan oleh kekerasan.
Setelah dipukuli oleh militer, kami dikebiri oleh Men?teri
Pendidikan dan Kebudayaan dengan "kebijakan" NKK/BKK.
NKK-nya singkatan dari Normalisasi Kehidupan Kampus. Yang
terjadi adalah, Dewan Mahasiswa dihapuskan dan maha???siswa
tidak diizinkan lagi mengorganisasi diri untuk mengkritik
pemerintah. Aku kini mahasiswa ITB. Tapi perguruan tinggi telah men?
jadi peternakan yang membesarkan ayam-ayam leghorn dan
broiler saja. Yaitu ayam-ayam palsu, yang tak punya kemauan,
tak punya kenakalan, tak punya rasa ingin mencari yang se?
sungguhnya. Ayam-ayam yang diproduksi untuk daging dan
Enrico_koreksi2.indd 136 Cerita Cinta Enrico telurnya saja. Ayam-ayam yang tak punya karakter, tak punya
keunikan individu. Ayam-ayam yang hanya menganggukangguk, mematuk-matuk apapun yang diberikan kepada
me???reka, sampai kelak Kiamat memotong leher mereka. Se?
le??sai??lah periode aku menjadi aktivis mahasiswa. Aku mau
mastur??basi saja. Aku ingat. Suatu hari ada pengumuman atas nama De?
wan Mahasiswa. Pengumuman itu dipasang di beberapa tem?
pat. Pada papan-papan dan spanduk terentang. Penyair be?
sar itu akan datang dan mengadakan pembacaan sajak dan
kami diundang untuk menghadirinya. Siapa lagi kalau bu?kan
W.S. Rendra, penyair berambut gondrong yang selalu meng?
gemakan sajak-sajak kritis terhadap pemerintah. Sua?ranya
meng?gelegak, membangkitkan cinta dan kesadar?an akan ke?
tidakadilan. Pada malam yang dijadwalkan itu aku datang ke lapang?an
yang ditentukan. Mahasiswa telah memenuhi tempat. Panitia
membagikan obor kepada tiap-tiap orang, yang membuat aku
agak heran. Rapi dan estetik betul mereka kali ini. Ku?lihat ada
beberapa kamera film serta lampu-lampu yang terlalu serius
untuk sekadar pembacaan sajak. Rambut sang penyair itu
sudah agak pendek sekarang. Ia membacakan sajak-sajak?nya,
sementara ada seseorang, yang tak aku kenal, menjadi dirigen
yang memberi tahu kami kapan harus mengayun-ayunkan
obor itu. Aku merasa ganjil bahwa untuk mengayunkan obor
saja kami harus diperintah. Kamera-kamera terus mengambil
gambar. Kami pun tersadar bahwa ternyata ini adalah pengambilan
gambar untuk adegan film. Mereka sedang main film! Judulnya
Enrico_koreksi2.indd 137 137 Ayu Utami Yang Muda Yang Bercinta. Jadi, sial betul, kami dijadikan figur?
an tanpa diberitahu. Artinya, kami dimanipulasi. Agaknya, da?
lam film itu sang penyair bermain sebagai seorang mahasiswa
romantis. Setelah pembacaan sajak itu selesai, ada adegan
me?reka berdiri di atas panggung sambil melambai-lambai.
Bin?tang film perempuan muncul. Ia sangat cantik dan seksi:
Yati Octavia. Dari bawah panggung aku memandangi betisnya
yang mulus dan mengkal, yang menjulur dari balik roknya
yang sesekali berderai tertiup angin Bandung yang dingin.
Aku mem?bayangkan kehangatan di balik rok itu, tempat sepa?
sang tungkai itu bermula.
Ketika acara selesai, para mahasiswa menggugat penye?
lenggara sebab telah memanipulasi mereka ke dalam adegan
film. Malam itu juga Ketua Dewan Mahasiswa disidang ramairamai. Aku tidak mau ikut serta dalam penghakiman itu. Onani
lebih bagus daripada mengadili si Ketua Dewan Mahasiswa
yang barangkali juga terbujuk oleh ketenaran sang penyair dan
sang bintang. Aku memilih pulang ke kamar kosku. Malam itu,
ketika teman-temanku menyidangkan sang penanggung?jawab,
aku masturbasi tiga kali berturut-turut: aku menunggang kuda
putih, menyelamatkan Yati Octavia; perempuan itu duduk di
depanku, memunggungi, aku di belakangnya, kupeluk ping?
gang?nya dengan satu tangan, kudaku berderap menembus
hutan yang terbakar seperti obor-obor yang berayun...
138 Enrico_koreksi2.indd 138 Poker Selanjutnya hidup bagaikan judi.
Seorang putra diplomat yang baru pulang dari Prancis
mengajari aku main poker?judi, tentu saja. Dengan segera
aku tahu bahwa permainan ini lebih menarik daripada kartu
truf, blackjack, honeymoon bridge, ataupun sabung ayam. Aku
senang main dan beberapa kali aku bisa membayar tiga empat
bulan uang indekos dari menang taruhan. Aku berjudi sejak
dikebiri rezim Soeharto. Kartu truf NKK/BKK itu membuat ke?
bebasan yang kuperoleh dengan masuk ITB kini tak bermak??
na seperti yang kuharapkan. Hanya sekadar terbebas dari Ibu
dan Hari Kiamat, tetapi tak lebih dari itu. Aku tak bisa men?
jadi manusia ideal yang memperjuangkan cita-cita besar. Jadi,
tenagaku yang sedang berlimpah-limpah kupakai untuk yang
Enrico_koreksi2.indd 139 Ayu Utami 140 seru-seru saja. Berjudi di antaranya. Dan menyebarkan wabah
itu di koskosan. Poker adalah permainan yang menarik. Poker ini tidak
rumit. Ia lebih mengandalkan seni daripada intelektualitas. Ia
adalah seni membaca karakter orang dan menyembunyikan
watak diri sendiri. Poker juga seni mengendalikan nafsu sebab
memang ada yang disebut angin keberuntungan. Jika angin itu
sedang menerpa lawan mainmu, biarkanlah dia di atas angin.
Sama seperti dengan perempuan, kau harus tahu kapan kau
di atas dan kapan di bawah. Jangan kau paksa dia membuka
kartunya. Tinggal pandai-pandai kau membaca angin itu.
Aku tak pernah kalah telak, sebab aku selalu tahu kapan ber?
henti. Kuncinya: jangan rakus dan jangan ingin memiliki. Ini
permainan, Bung! Hidup adalah permainan. Tapi hidupmu
juga tak boleh dikuasai permainan.
Aku terlatih untuk tidak tamak dan tidak ingin memi?liki,
sebab demikian pula polaku berhubungan dengan perem??puan.
Perempuan bukan untuk dimiliki, sebab demikian pula aku
bukan untuk dimiliki. Perempuan bukan untuk dibeli, sebab
kau tak pernah bisa membeli permainan. (Hey. Kau memang
bisa membeli mainan. Tapi permainannya? Tidak). Perem?puan
adalah teman bermain, bukan mainan. Judi adalah permainan
tanpa mainan. Begitu pula percintaan. Bedanya dengan poker,
aku tidak pernah menyembunyikan watak dan motifku da?
lam berhubungan dengan perempuan. Dalam berhadapan
de?ngan manusia, aku selalu jujur, seperti ayah-ibuku. Ah...
Aku jadi ingat bagaimana Ayah menyuruh aku menyenangnyenang?kan hati ibuku dulu sebelum kami bermain. Kupikir,
karena itu aku jadi terbiasa menyenangkan hati perempuan.
Bahkan perempuan yang paling susah disenangkan seperti
Enrico_koreksi2.indd 140 Cerita Cinta Enrico ibuku. Beda?nya, kalau dulu aku membujuk hati Ibu agar ia
tidak memberati permainanku dengan Ayah, kini aku mem?
bu?juk hati cewek-cewek agar mereka mau main denganku.
Membujuk itu bukan dengan rayuan gombal, tetapi dengan
perbuatan dan percakapan menyenangkan.
Tiap tahun aku diusir dari tempat kosku. Setelah me?mer?
goki cewek-cewek di kamar yang selalu berbeda setiap se?
mester, induk semang akan bilang bahwa sewa buatku tidak
bisa diperpanjang lagi. Katanya, sudah ada yang me?mesan.
Tapi kutahu kamar itu kosong sepeninggalku. Jadi aku mah?
fum, aku akan harus selalu pindah kos setiap tahun. Bahkan
per??nah juga teman-temanku sendiri sepakat untuk mengeluar?
kan aku dari kontrakan bersama. Mereka bilang mereka mau
perpanjang sewa rumah ini, tetapi sayangnya sudah ada anak
baru yang akan menggantikan tempatku. Jadi, mereka minta
maaf, aku dipersilakan mencari tempat baru sendiri. Aku
baik-baik saja dibegitukan. Aku jadi menyebarkan wabah judi
di banyak tempat kos. Aku gembira jika mengunjungi tempat
lamaku dan mendapati teman-teman sedang berjudi.
Suatu hari, mungkin karena baru terusir dari tempat kos
dan belum mendapatkan yang baru, aku menginap di rumah
teman di Bogor. Ia memelihara anjing dan aku tiba-tiba punya
ide untuk meminjam seekor anjingnya. Hewan imut itu ku?
ma?sukkan dalam tas dan kubawa naik kereta ke Bandung. Di
dalam gerbong segera aku jadi pusat perhatian gadis-gadis
yang gemas melihat anjing itu dan aku jadi mendapat banyak
nomer telepon cewek. Di Bandung, berkat anjing itu aku berkenalan dengan
seorang mahasiswi seni rupa ITB. Ia cantik, baik hati, anak
orang kaya. Ia mengajakku piknik, dengan kue-kue enak,
Enrico_koreksi2.indd 141 141 Ayu Utami 142 ke per?bukitan kapur Citatah. Katanya, anak-anak seni rupa
sedang latihan panjat tebing dalam persiapan ekspedisi
Carstenz Pyramid. Di situlah ia memperkenalkan aku kepada ketua grup
pe???manjat, yang namanya sudah kudengar, orang yang aku
lang?sung suka, Harry Suliztiarto, mahasiswa seni rupa ITB
angkatan di atasku. Melihat potonganku tanpa ragu ia me?
nyodorkan harnes dan peralatan panjat tebing. Wajahnya
ramah. Aku begitu terkesan pada keterbukaannya. Waktu itu
aku memang sudah suka olahraga tantangan. Sebelum?nya,
aku mengikuti pelatihan resimen mahasiswa Mahawarman,
semata-mata karena aku ingin mendapat petualangan seka?
ligus liburan gratis selama sebulan. Aku memang ingin tubuh?
ku digembleng sampai hancur-hancuran. Setelah longmars
100 km sambil memanggul senjata dan memakai topi baja
yang panas bagai kuali aktif, dengan sabuk dragrim yang
lebih mencekik daripada membantu, setelah seorang peserta
meninggal dunia dan satu temanku tak bisa mencopot lars?nya
karena kulit kakinya yang lecet dan bernanah telah lengket
dengan sepatu yang terlalu kecil itu... setelah semua itu,
aku ternyata tidak lulus Mahawarman karena persis di hari
terakhir aku menghunus pisau dan mengancam pelatihku.
Sungguh mati aku merasa pelatihku itu mau menembak aku.
Saksi mata mengatakan bahwa ia tidak mencabut senjata.
Tapi, sumpah, aku merasa ia memang akan menembakku,
maka???nya kuambil pisauku dan kuacungkan padanya. Lalu aku
dipaksa mengundurkan diri karena bagaimanapun aku akan
dipecat dengan tidak hormat lantaran telah mengancam jiwa
orang lain. Ya, sial betul, itu persis satu hari sebelum latihan
berakhir. Enrico_koreksi2.indd 142 Cerita Cinta Enrico Setelah gagal di Mahawarman, aku ikut pelatihan
Wanadri, kelompok pecinta alam yang juga punya kawah
candra???dimuka sekeras militer. Setelah separuh pelatihan, se?
te??lah lulus penyiksaan terberat di Situ Lembang, aku gagal
juga. Bukan karena masalah fisik, melainkan kata orang,
karena tem?peramenku. Tapi menurutku bukan begitu. Per?
sisnya begini: dalam suatu rencana perjalanan sepanjang em?
pat jam, se?nior kami bertanya siapa yang ingin naik truk dan
sia?pa yang ingin jalan kaki. Tentu saja aku jujur, aku ingin naik
truk. Toh itu cuma sisa perjalanan pendek. Tak ada yang dikor?
bankan. Ternyata terdengar bisik-bisik bahwa itu je?bakan
untuk menguji kekompakan. Mereka yang semula mengacung
bersama aku pun satu per satu menurunkan tangan lagi.
Akhirnya, cuma empat orang yang dengan jujur meng?a?ku
ingin naik truk. Ter?nyata kendaraan itu memang tidak ada.
Tawaran itu hanya jebakan untuk mempermalukan kami yang
ingin naik truk. Di per?jalanan itu memang kami ber?em?pat
jadi bulan-bulanan. Kami diolok-olok sebagai pengkhia?nat.
Di situlah aku me??rasa semua ini taik kucing. Jebakan-jebakan
kesetiakawanan ini, taik kucing!
Aku berpikir-pikir sepanjang jalan. Aku merasa ada prin?
sip yang dilanggar. Begitu tiba, aku menghadap Komandan
Latihan. Kukatakan padanya, "Saya mengundurkan diri. Sebab,
di sini kami dilatih untuk jujur, tetapi Anda semua malah
menipu kami." Keputusan itu sangat berat sesungguhnya. Semua anak
pecinta tantangan akan bangga menjadi anggota korps. Aku
tahu ada banyak pemuda yang berkali-kali gagal dan berkalikali ikut lagi pelatihan ini. Itu menunjukkan betapa mereka
ingin jadi anak Wanadri. Jika aku mengundurkan diri, aku
Enrico_koreksi2.indd 143 143 Ayu Utami akan jadi orang gagal di mata semua orang. Tapi kupikir justru


Cerita Cinta Enricho Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di titik inilah ujianku. Mana yang kupilih: prinsip keju?juran
atau keberadaan sebagai anggota korps? Aku teringat be??tapa
dulu aku begitu ingin menjadi anggota geng anak-kolong. Aku
gagal ujian menembus saluran air dan itu menghan??tuiku te?rus
sampai sekarang. Akankah sekarang aku gagal lagi? Akan???kah
aku terhantui lagi sepanjang hidupku nanti? Tapi untuk apa
aku jadi anggota korps jika gerombolan itu menyalahi prin?
sip yang lebih tinggi? Untuk apa aku jadi anggota korps tapi
kehilangan kemerdekaan sebagai diriku sendiri? Taik. Sela?
ma ini aku sangat dekat dengan drugs tapi tak pernah tertarik
me?makainya karena dua alasan: benda itu tidak membuat?ku
gagah dan benda itu merenggut kebebasan. Oke. Biarlah aku
kalah di mata orang banyak. Aku memilih menang di mata?ku
sendiri. Itulah ujian terberatku: memilih kalah di mata dunia
tapi setia pada prinsip yang tak kelihatan orang. Sekali lagi
kubuktikan bahwa yang kuinginkan adalah menjadi mer?deka.
Juga merdeka dari korps. Hanya aku satu-satunya yang tega
mengundurkan diri. Kalau soal kejujuran, aku selalu ingat ayah dan ibuku. Me?
reka tak pernah menawar soal itu. Bahkan tidak bagi Ayah
untuk akal-akalan menaikkan pangkat sepulang dari gerilya.
Sebagai pedagang telur, ibuku tak pernah menahan telur
untuk menjelang Lebaran, di mana harga akan jadi tinggi dan
aku akan untung banyak. Ia marah besar ketika tahu aku me?
num?puk ribuan telur di kamar menjelang Lebaran. Ia mela?
rangku berbuat begitu lagi. Itu tidak benar, katanya. Dan soal
kesetia?kawanan, jangan tanya lagi. Ibuku tidak datang ke?tika
di?jemput pasukan Yani dalam Operasi Bayi Gerilya. Ia me??mi?
144 Enrico_koreksi2.indd 144 Cerita Cinta Enrico lih kehilangan seperempat puting susunya demi kesetiaan?nya
pada Ayah. Kini, taik kucinglah uji kekompakan begini. Tahu
kenapa taik kucing? Kau bisa pura-pura setiakawan sebab ke?
menangan itu dekat: agar lulus. Agar jadi anggota korps. Kau
bisa melihatnya berkilau-kilau di depan matamu. Tapi, orang
yang sungguh setiakawan adalah dia yang berkorban untuk
sesuatu yang tanpa harapan sekalipun!
Sekarang, di perbukitan kapur yang tandus Citatah itu,
aku segera terpikat pada kelompok panjat tebing yang di??ke?
palai Harry ini. Lelaki ini tidak menampakkan lagak sok kua??
sa sama sekali. Gerombolan panjat tebing Skygers mene?????ri?ma
siapapun yang hendak berlatih dalam suasana egaliter. Ti??dak
ada atasan bawahan. Tak ada yunior yang harus taat pada
se??nior. Kesetiakawanan tidak usah diuji dengan tes buatan.
Kesetia??kawanan akan tumbuh dengan sendirinya. (Begitu ju??ga
dengan cinta. Cinta tak perlu diuji atau dikatakan. Cinta akan
tumbuh dengan sendirinya jika memang mau tumbuh). Dan
aku tidak takut ketinggian. Aku senang pada ketinggian. Itu
kuketahui sejak aku naik dalam keranjang semen Indarung.
Harry seorang seniman. Boleh dibilang ia adalah seniman
performance art pertama di Indonesia: ia memanjat atap bun?
dar planetarium dan memasang patung di puncaknya tan?pa
diketahui petugas dan menyebabkan kehebohan setelah?nya.
Dan bagiku ia adalah Bapak Panjat Tebing Indonesia. Aku
selalu senang pada seniman. Kalau saja aku betul-betul bebas
memilih, aku lebih suka jadi mahasiswa seni rupa daripada
tambang. Aku selalu kagum pada kegilaan mereka. Tapi aku
menimbang Ayah Ibu. Mereka tak akan bangga dan tak akan
paham jika aku masuk jurusan seni rupa. Aku anak satu145
Enrico_koreksi2.indd 145 Ayu Utami satu?nya. Betapapun aku membebaskan diri dari ibuku dan
melaku?kan segala yang dilarangnya, aku masih diam-diam
memikirkannya. Sejak perkenalan itu, Harry menjadi sahabat yang sangat
kuhormati, dan aku menjadi bagian gerombolan pemanjat
tebing ini. Kuperkenalkan juga poker kepada mereka, tetapi
lucunya mereka tidak tertarik. Segera kutahu panjat tebing
lebih menegangkan daripada judi. Dengan merekalah aku
menghabiskan hari-hari terbaik dalam hidupku, di antara
cadas-cadas dalam terik dan hujan. Bersama mereka kami
memelihara seekor anjing bernama Patrick, yang selalu ku?
bonceng dengan motor besarku tiap kali kami memanjat di
sekitar Jawa Barat. Patrick berjongkok di sadel dan dua kaki
depannya memegangi pundakku. Telinganya akan berkibarkibar tertiup angin sebab motor melaju kencang. Ia sangat
pandai menjaga keseimbangan. Aku juga mengantongi seekor
nuri kepala hitam yang kudapat dari Papua. Urip, demikian
nama burung hebat itu (begitulah nama jenerik burung ini
bagi orang Asmat), mendekam di dekat jantungku dengan
manis sepanjang perjalanan. Lalu aku akan melepasnya ke?
tika aku memanjat. Dia akan terbang berkitar-kitar sesuka?
nya, seolah mengawasi para pemanjat. Seusai latihan, aku
akan bersiul kencang dan dia akan kembali padaku. Aku tak
per??nah mengikat hewan-hewanku. (Hanya si Ireng yang dulu
kucancang, sebab ia memang suka menggigit orang). Aku
senang jika mereka bebas dan berkawan denganku tanpa
ikat?an. Begitulah hubungan antar makhluk yang kuidealkan.
De?ngan merekalah aku merasakan kesendirian sekaligus ke?
ber?samaan dalam kebebasan yang kuidam-idamkan.
146 Enrico_koreksi2.indd 146 Cerita Cinta Enrico Periode panjat tebing adalah mimpi indah hidupku. ?Sam??
pai sekarang aku masih bisa mencium bau gersang tebing
ser????ta semak-semak yang meliputinya dan menjadi berdebardebar bahagia. Tanganku masih bisa basah mengingat jalur??jalur sulit yang dulu kulalui ataupun gagal kulalui. Aku ma???sih
bisa merasakan harum angin di ketinggian satu kilometer di
atas tanah di puncak jalur The Nose di El Capitan Amerika
Serikat. Aku lumayan senang bahwa aku bisa membuat eks?
pe????disi yang mengantar kami bertiga (Sandy Febijanto, Jati
Pranoto, dan aku) menjadi orang Indonesia pertama yang me??
man??jat lulus jalur itu.
Suatu hari, setelah beberapa hari meninggalkan Bandung
untuk pemanjatan, kutemukan kamar kosku telah digarong.
Aku memang tak punya banyak barang, mengingat aku harus
pindah induk semang tiap tahun. Tapi mesin tik dan kamera
Canon-ku, dua benda yang kuanggap berharga, raib. Padahal
waktu itu aku diminta jadi fotografer dalam satu acara jurusan
yang akan dihadiri menteri-menteri. Salah satu pacarku,
mahasiswi tambang yang kebetulan juga anak orang kaya, me?
minjamkan satu set Nikon?lengkap dengan beberapa lensa,
lampu, tripod, sekalian tas?milik ayahnya. Aku belum pernah
meng?gunakan seri itu, tapi kutahu Harry punya kamera se?
je??nis. Maka aku belajar padanya dan di rumahnya sehari
penuh. Diam-diam, itulah titik ketika aku berpikir untuk jadi
fotografer saja dan bukan insinyur pertambangan. Bebe?rapa
bulan kemudian, setelah aku dan si mahasiswi tambang sepa?
kat putus, gadis itu menghadiahi aku satu lensa zoom. Ia baik
sekali. Aku merasa melihat kartuku lagi. Kuputuskan, aku akan
147 Enrico_koreksi2.indd 147 Ayu Utami 148 serius jadi fotografer. Kujual motor, sepeda, dan beberapa
benda lain. Kubeli satu set kamera.
Sesungguhnya, ibukulah yang pertama kali memper?ke?nal?
kan aku pada kamera. Ketika itu umurku sekitar sepuluh tahun
dan aku sudah mulai suka melukis dengan cat minyak. Tapi
ibuku agak alergi dengan bau minyak. Ia percaya bau-bauan
itu akan membikin sakit paru-paru. Ia ingin mengalihkan
minat seniku. Barangkali ia berdoa. Seperti doanya agar kami
mendapat rumah berhalaman yang menjauhkan aku da?ri
geng anak-kolong, kali ini doanya terkabul juga dengan cara
aneh. Salah satu teman berhimpun ibuku tiba-tiba kudengar
masuk tahanan. Ia dituduh membuat dan memperjual?beli?
kan foto wanita telanjang. Entah untuk biaya macam-macam,
adiknya menjualkan kamera Yashica Mat itu dengan harga
murah. Ibu pun membelinya dan memberikannya kepadaku.
Kamera itu sangat profesional. Sedihnya, pada saat yang sama
aku kehilangan guru lukisku. Sejak itu aku mulai lebih senang
memotret daripada melukis.
Kini, keputusanku telah lebih mapan. Aku mulai berguru
dari satu fotografer senior kepada yang lain. Salah satu yang
kerap kukunjungi adalah jurufoto fauna yang tinggal di Bogor.
Seorang yang suka semua hewan kecuali kucing dan kera. Ka?
tanya kedua hewan itu tak ada perannya di dunia ini selain
mengacau. Suatu hari aku naik kereta untuk menghabiskan
akhir pekan sambil belajar di rumahnya, seperti kerap ku?la?ku?
kan. Tapi aku sedang sangat horni juga. Kau tahulah, hormonhormon itu kadang-kadang memang begitu, membuat dada
dan selangkangan kita seperti mau pecah. Di kereta aku ber?
temu dengan seorang cewek seksi yang bergaya congkak,
sepertinya biasa mendapat perhatian. Maka aku pun berla?
Enrico_koreksi2.indd 148 Cerita Cinta Enrico gak sombong pula. Ia jengkel dan penasaran karena aku tidak
mem?pedulikannya. Tak usah dianalisa, (dan barangkali karena
poker melatihku untuk peka membaca orang lain), tubuhku
tahu bahwa anak itu sebetulnya kepingin ditaklukkan, meski
tingkahnya belagu. Kami bermain di toilet gerbong yang hari
itu sedang sepi. Kami tidak bercakap-cakap. Kami tidak saling
tersenyum. Aku tak pernah tahu namanya. Ia tak pernah tahu
namaku. Tapi demikianlah berjudi. Kau bisa saja mendapatkan
permainan yang bagus tanpa harus mengenal musuh.
Di rumah guruku itu ternyata sedang ada keponakan
jauhnya yang menginap. Seorang gadis berwajah cantik
badung, dengan codet di pipi bekas kecelakaan yang mem?
buat wajah?nya semakin bengal. Ia sedang berlibur dengan
dua cewek lagi, mungkin teman sekolahnya. Tentu saja kami
ngobrol. Tentu saja aku memberi tanda bahwa aku tertarik
pada si badung. Guruku tampaknya juga sudah tahu adat
kemenakannya dan membiarkan waktuku tersita tak hanya
untuk belajar. Malamnya pintu kamarku diketuk. Si gadis
badung itu menelusup ke ranjangku tanpa kata-kata. Ia nakal
sekali. Setelah selesai, ia menciumku lalu pergi. Tak lama ke?
mudian, pintuku diketuk lagi. Kulihat temannya muncul dari
balik pintu. Aku bercinta sambil agak bertanya-tanya dalam
hati. Siapa sebetulnya menaklukkan siapa. Setelah selesai, ia
menciumku lalu pergi. Tak lama kemudian, pintuku diketuk
lagi. Kali ini aku merasa dikerjai. Cewek ketiga muncul dan
tentu saja aku harus bekerja lagi. Tentu saja, lagi-lagi, setelah
selesai ia juga menciumku lalu pergi.
Paginya aku berjumpa lagi dengan mereka di meja sara?
pan. Ketiganya cekakak-cekikik, seperti sudah menuntaskan
sua?tu rencana. Aku berharap si cewek ketiga akan melebihEnrico_koreksi2.indd 149 149 Ayu Utami lebih??kan cerita dari semalam. Sebab, kau tahulah, ada beda
antara bermain betulan dengan bermain karena harus. Tapi
begitulah judi. Ada kalanya kau merasa dikerjai juga, dan tak
bisa meninggalkan tempat begitu saja.
Demikianlah. Hidup adalah judi. Itulah jalan yang aku mau
pilih sampai akhir hayatku kelak. Ya, sampai Hari Kiamat yang
dibayang-bayangkan Ibu...
150 Enrico_koreksi2.indd 150 Cinta Terakhir? Enrico_koreksi2.indd 151 Enrico_koreksi2.indd 152 Manusia Bebas Tahun 2000 akan tiba tengah malam nanti. Tahun yang
diramalkan ayahku sejak tiga puluh tahun silam bahwa ia
ingin dan akan melihatnya. Umurku sudah empat puluh satu
sekarang, dan Ayah tujuh puluh lima. Ia sudah empat tahun
duduk di kursi roda, dan Ibu telah meninggal dunia tiga belas
tahun lalu. Ayah tetap tinggal di Padang. Aku telah bermukim
di Jakarta. Roda hidupku telah menemukan relnya.
Peternakan ayam kami telah tutup lima belas tahun
silam. Masa emas telur sudah selesai. Setelah mengebiri aku
dan para mahasiswa, Jenderal Soeharto dan kroninya mulai
memonopoli semua bisnis. Pakan ternak?mulai dari kedelai,
gabah, hingga obat-obatan?dikuasai dan harganya menjadi
tinggi sekali buat peternak. Harga telur bagi konsumen
Enrico_koreksi2.indd 153 Ayu Utami tidak turun. Tapi keuntungan peternak rumahan jadi sangat
tipis. Jika sebelumnya lima puluh persen harga telur adalah
keuntungan; kini laba itu tak sampai sepuluh persen. Ayah
kini hidup dengan uang pensiun dan kiriman dariku.
154 Telepon rumah kontrakanku berdering. "Rico?" suara yang
sangat kukenal di seberang sana. Ayah. Tak setiap tahun baru ia
menelepon. Tapi ini tahun baru istimewa, yang dinantikan???nya
sejak tiga puluh tahun lalu. Kubayangkan ia?rambutnya te?lah
putih meski tetap tebal, mengenakan oblong yang lengan?nya
dikurangi dan lehernya disayat untuk menampung dada?nya
yang tetap bidang (soal menyayat kaos itu ia belajar dari aku)?
selalu dengan semangat?memacu kursi rodanya untuk me?
nuju telepon umum terdekat. Pada masa itu handpon masih
barang mewah. Aku selalu mengirimi dia kartu telepon. Aku
tak mungkin menghubunginya sebab rumah kami di Padang
masih belum kebagian saluran telepon. Ayah mengayuh roda
dengan tangannya yang senantiasa terlatih dan terpelihara,
sementara kakinya yang sejak lahir kurus itu kini semakin
kecil, tak bergerak lagi, seperti sepasang ceker-ayam mati.
Aku bilang padanya bahwa tiga puluh tahun lalu, ketika
1969 berganti 1970, ia minta dibangunkan pada malam ini
(seolah aku akan selalu berada di sampingnya sampai tua?
ini membikin aku merasa sendu sekaligus bersalah). Tapi kini
pun ia sudah ingat sendiri. Sedangkan aku, untuk merayakan
peralihan milenium, aku telah memutuskan untuk berhenti
merokok mulai 1 Januari 2000. Ini adalah malam rokok ter?
akhirku. Sebetulnya, beberapa tahun belakangan ini aku me?
nunggu ada pacar yang membuatku berhenti merokok. Tapi,
yang terjadi, mereka malah jadi ikut merokok. Karena tak ada
Enrico_koreksi2.indd 154 Cerita Cinta Enrico pacar yang bisa, maka biarlah milenium yang menghen??tikan
aku. Ayah tidak pernah merokok sejak aku mengenalnya. Atau,
ia telah berhenti sejak bertemu dengan Ibu. Aku tumbuh da?lam


Cerita Cinta Enricho Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumah yang bebas asap rokok. Tapi aku merokok begitu lepas
dari ibuku, dan sebagai bagian dari perlawananku padanya.
Ayah bertanya bagaimana aku akan merayakan pergan?
tian tahun di malam ini selain menghisap rokok terakhirku.
Ku?bilang, biasalah, sebagai fotografer aku akan memotret
orang-orang yang berpesta-pora merayakan peralihan mile?
nium. Bukan, bukan untuk koran apa pun. Bukan untuk pe?
sanan, tetapi dalam proyek pribadiku sendiri. Aku sedang
ter??tarik merekam kelas menengah?kelas yang menjadi
asal-usul kebanyakan fotografer dan, justru sebab itu, sedi?
kit men?jadi obyek foto para jurnalis. Aku sedang mau mem?
bebas?kan diriku dari kecenderungan voyeurisme para foto?
jurnalis; kecenderungan mengintip kelas yang berbeda. Aku
ingin menghadapi kelasku sendiri. Di usia empatpuluhan ini,
tampaknya aku ingin mengetahui diriku sendiri.
Aku tahu Ayah tidak terlalu bisa mengikuti pikiran-pi?
kiranku lagi. Tentunya kadang ia heran juga: kenapa aku ha?
rus sekolah di ITB kalau akhirnya menjadi jurufoto. Duniaku
telah menjadi begitu berbeda dari yang ia kenal. Aku pernah
bekerja sebagai insinyur di perminyakan, tapi dalam se?ta?hun
aku merasa menjadi ayam broiler kembali. Lebih parah lagi,
seluruh benih, makanan, dan obat bagi ayam-ayam itu telah
dikuasai Jenderal Soeharto dan kroninya.
Seni adalah dunia kebebasan itu. Fotografi kuanggap se?
bagai bagiannya, di mana kau sekaligus tetap bisa jadi pro?
fe?sio?nal. Sebetulnya aku mencintai seni sejak kecil. Ayahku,
yang sadar pada ketertarikanku, mengirimku kursus melu?kis
Enrico_koreksi2.indd 155 155 Ayu Utami 156 pada Huriah Adam, seniman hebat yang salah satu lukisan?
nya terpasang di Wisma Penyalur, gedung milik AD tempat
ayahku bekerja. Lukisan itu menggambarkan laut yang sedang
di?terjang badai. Begitu dahsyat dan mencekam. Anehnya,
guru?ku yang baik itu hilang dalam kecelakaan pesawat yang
sedang melintasi laut dalam cuaca buruk. Aku sedih sekali.
Bersamaan dengan itu Ibu menghadiahi aku kamera Yashica
Mat, sehingga pelan-pelan aku bisa melupakan guru lukisku.
Aku suka berkhayal punya pacar seorang seniman. Se?
pertinya menyenangkan bisa bangun tidur dan melihat keka?
sihku sedang melukis, atau bermain musik, atau merancang
desain, atau menulis novel. Aku senang membayang-bayang?
kan memandangi perempuan yang kerjanya mengasah rasa
seni dan menciptakan sesuatu yang bagus. Sebagai wujud
rasa kagum, aku akan menyiapkan sarapan buatnya. Segala
yang enak. Jus segar, buah-buahan, roti atau sereal, tart buah
seperti bikinan Ibu. Sayangnya, aku tidak pernah ingin jadi
suami. Jadi, aku tak bisa menimbang bibit-bebet-bobot cewek
yang kuincar. Sikap penuh pertimbangan itu hanya cocok
untuk orang yang mencari istri. Aku tidak mencari istri. Aku
hanya mencari teman tidur.
Pada akhirnya, aku berpindah-pindah pelukan perem?puanperempuan yang menurutku seksi dan sedang membutuh?kan
lelaki yang bukan bakal sua?mi. Atau yang sedang jenuh de?ngan
suami mereka. Wanita yang sekadar membutuhkan transit.
Cewek-cewek yang diam-diam sedang mencari jodoh akan ke?
cewa dan meninggalkan aku setelah beberapa kali kami ber?
cinta. Mereka kesal me?ngetahui bahwa hubungan kami tidak
akan ke mana-mana meskipun aku memperlakukan mereka
dengan aman dan penuh penghargaan. Sedang yang mencari
Enrico_koreksi2.indd 156 Cerita Cinta Enrico petualangan juga akan menghentikan hubungan?sambil
ber??terima kasih ka??re??na aku memberi mereka petualangan
se?belum mereka yakin pada pilihan mereka dan kembali
kepada suami atau pacar se??rius mereka itu. Ah, sebenarnya
aku pernah punya pacar seorang mahasiswi arsitektur. Ia
mirip seniman juga. Hubungan ka?mi lumayan panjang. Tapi ia
meninggalkan aku setelah saha??bat kami jatuh dan mati ketika
selesai panjat tebing. Bertahun-tahun aku tak bisa melupakan
mereka?pacarku, dan partner climbing-ku itu.
Ayah tidak pernah bertanya apapun tentang bagian hidup?
ku yang berhubungan dengan perempuan. Ia percaya bah?
wa aku tidak akan kesepian sebab aku punya Nina, saha?bat
yang menyayangiku, sementara seks memang akan sela?lu
se?mentara belaka. Semua orang jujur tahu bahwa seberapa?
pun kita mencintai orang, gairah akan selalu padam. Betapa?
pun Ayah mencintai Ibu, ia tetap menikmati poster Raquel
Welch berbikini yang kupasang di balik pintu kamarku. Ayah
suka tidur siang di kamarku. Setelah aku pergi ke Jawa, Ibu
mencopot poster itu. Dan sejak itu poster tersebut tak bisa
kutemukan lagi. Pada malam terakhir abad ke-20 itu Ayah juga tidak ber?
tanya siapa pacarku sekarang. Untuk apa? Toh enam bulan
lagi sudah lain perempuan. Kami hanya ngalor-ngidul per?
kara se?pele, sekadar pemuas rasa kangen. Ayah mengakhiri
percakapan setelah ada bunyi bip tanda pulsa kartunya habis.
Begitu menutup telepon ada rasa ngelangut menyelimuti hati?
ku. Betapa waktu telah berlalu. Aku bukan lagi anak-anak.
Aku sendiri sudah mulai berumur. Usiaku telah masuk kepala
empat. Bagaimana kira-kira Ayah melihat aku, anak panahnya
yang dulu pernah melesat lepas dari busur? Anak panah itu
Enrico_koreksi2.indd 157 157 Ayu Utami 158 tidak selamanya melesat. Ia akan mendarat juga di suatu
ruang. Dua puluh tahun silam aku pernah menjanjikan kisah
sukses tentang putra daerah yang merantau untuk belajar
di perguruan terbaik negeri ini. Kini diriku bukan cerita
sukses-sukses amat. Aku tidak menjadi insinyur, melainkan
fotografer. Aku tidak menjadi bos, melainkan freelancer. Aku
tidak memiliki istri dan anak, dan?sekalipun aku tak pernah
kekurangan cewek?aku masuk dalam kategori bujang lapuk
bagi orang-orang di kampung. Tapi itulah kehidupan yang
aku pilih. Semuanya bermuara pada satu hal: aku mau jadi
manusia bebas. Aku tidak ingin punya bos, dan tidak ingin
menjadi bos. Sebab, menjadi bos ataupun anak buah, duaduanya berada dalam relasi yang tidak saling membebaskan.
Aku tidak ingin memiliki istri, sebab istri akan segera men?
jadi ibu kita. Aku tidak ingin punya anak, sebab aku akan
bersedia menggadaikan kemerdekaanku demi anak, seperti
yang dilakukan Ayah. Dan aku khawatir aku akan bersikap
menuntut pada anakku, seperti yang dilakukan Ibu. Aku tak
mau menggadaikan kebebasanku demi apapun. Apalagi untuk
status-status sosial semacam perkawinan dan tanda-tanda
kemapanan lain. Ayah sendiri juga bukan cerita yang berakhir sukses. Ke?
tika menjadi taruna pastilah ia menjanjikan khayalan tentang
karir gemilang. Sang Yudistira dalam keluarga. Ia lulusan per?
tama Sekolah Calon Perwira di negeri ini. Tapi keterlibatan???nya
dengan PRRI mendaratkan busur panah ini ke tepi jurang. Toh
ia bahagia dalam kesederhanaannya dan cintanya pada Ibu.
Bagaimana Ayah membayangkan bahwa gennya akan
ber??akhir sampai di sini? Aku, putra tunggalnya, tidak berniat
Enrico_koreksi2.indd 158 Cerita Cinta Enrico punya bayi. Aku menarik nafas panjang. Aku bersyukur me?
miliki Ayah yang lapang dada, yang memberiku tiket me?nuju
ke?bebasanku. Aku terkenang percakapan sepulang non?ton
bioskop dulu. Ia sendiri barangkali tidak mendapat restu dari
orangtuanya, tapi (atau justru karena itu) ia memberikan
seluruh restunya padaku. Agar hidupku bahagia. Airmataku
membayang. Itulah percakapan terakhirku dengan Ayah. Tujuh belas
hari setelahnya ia meninggal dunia. 17, itu angka keramat pula
bagi dia. Angka yang bertuah bagi semua patriot, sekaligus
angka kesedihan. "17 Agustus" adalah nama operasi pimpinan
Kolonel Yani yang membuatnya jadi prajurit kalah. Pada tang?
gal 17 itu ia tidur nyenyak dan tak bangun kembali. Kuanggap
ia telah puas melihat tahun 2000, seperti yang diramalkannya
tiga puluh tahun silam bahwa ia ingin dan akan melihatnya.
159 Enrico_koreksi2.indd 159 Sebatang Kara Ketika ibuku meninggal dunia dulu, adalah Ayah yang aku
cemaskan. Setelah setahun terdeteksi dengan hepatitis, Ibu
menghembuskan nafas terakhir. Hanya sepuluh tahun se?
telah kepergianku ke Jawa, seolah menepati nubuat bahwa
aku akan membikin umurnya tidak panjang-panjang amat.
Seperti ramalannya sendiri, Ibu mati makan hati, hatinya
kaku. Ayah?yang baik hati dan jujur?masih memiliki ba?
nyak orang yang mencintainya di kantor KUDAM, meski ia
telah pen?siun lama. Ia memutuskan untuk pensiun dini. Men?
dengar istri Pak Muhamad Irsad meninggal dunia, mereka
langsung mencarikan lahan makam tanpa banyak tanya. Maka
Ibu, seorang Saksi Yehuwa yang keras kepala dan tak pernah
Enrico_koreksi2.indd 160 Cerita Cinta Enrico menyia-nyiakan kesempatan untuk menyiar, dimakamkan di
kuburan Islam. Ketika aku memandangi pusaranya dengan miris sebab
teringat kata-kata Ibu?tentang keliaranku yang mem?per?
pendek hidupnya, ayahku masih sempat bercanda, "Lihatlah,
ibumu akan menyiar di tempatnya yang baru ini."
Tapi yang mengkhawatirkan datang begitu pemakam??an
selesai. Ayahku mengunjungi ibuku dua kali sehari. Setiap pagi
dan sore, ia pergi dari rumah dengan motor bebek Suzuki-nya,
membeli seikat kembang yang dipilihnya dengan cermat di
pasar, untuk kemudian bercakap-cakap dengan nisan Ibu.
Hari pertama itu, pagi-pagi, setelah sarapan, kulihat ia
berganti pakaian. "Ke mana, Pay?" aku bertanya. "Menengok
ibu?mu," jawabnya. Sore-sore, menjelang waktunya wedangan,
ia memakai lagi baju rapinya. "Ke mana, Pay?" "Menemui
ibumu." Esok harinya, begitu lagi. Hari berikutnya, juga begitu. Se?
tiap kali setelah sarapan, ia tampak ceria seperti seseorang
yang hendak mengapel pacar. Berangkatlah ia dengan sebuket
bunga. Setelah hampir satu jam menghilang, ia pulang kem?
bali. Wajahnya tidak secerah sebelumnya. Sebaliknya, ia
tampak agak sendu selama dua jam pertama. Memasuki dua
jam kedua, ia tampak menjadi realistis. Dalam dua jam ketiga,
ia tampak kehilangan dan menyedihkan. Setelah enam jam
itu lewat, ia tampak ceria lagi, seolah mendapat harapan baru
bahwa ini waktunya ia menengok pacarnya lagi. Demikianlah
siklus emosinya dari hari ke hari.
Aku menemaninya di rumah sampai lebih dari empat
puluh hari, dan ia terus membesuk Ibu dua kali sehari tanpa
libur. Ketika aku harus kembali ke Jawa, aku nasihati Ayah
Enrico_koreksi2.indd 161 161 Ayu Utami untuk mengurangi kunjungannya. Menurutku tidak sehat
orang hidup menengok orang mati sampai dua kali sehari se?
tiap hari. Sesungguhnya hal yang paling menakutkan buat?ku
adalah membayangkan diriku terkubur dalam kotak sempit
di dalam tanah. Aku tak tahu bahwa Ayah berbagi ketakutan
yang sama sehingga ia merasa harus menengok Ibu yang
sedang terkubur dalam kotak sempit di bawah tanah itu agar
tidak kesepian. 162 Kini Ayah dimakamkan di samping Sanda kakakku, di pe?
kuburan Kristen. Ayah akhirnya telah dibaptis sebagai Saksi
Yehuwa juga, lama setelah Ibu meninggal; hanya beberapa
tahun sebelum ia sendiri tidak bangun kembali setelah puas
melihat tahun 2000. Aku telah menjadi sangat skeptis pada
agama. Kupikir Ayah adalah prototipe orang Jawa (sekalipun
dia orang Madura): manusia yang percaya pada suatu keha?
dir?an agung di luar dunia kasat, sesuatu yang kerap mereka
sebut sebagai Gusti, yang tak perlu dirumus-rumuskan, jauh
se?be?lum agama-agama impor datang. Ketika agama-agama
im?por yang obsesif itu berdakwah, orang-orang seperti Ayah
meng?anggapnya sebagai salah satu dari banyak jalan menuju
ke?baikan. Tidak ada di dunia ini satu-satunya jalan. Selalu ada
banyak jalan. Mereka punya sikap yang lebih lapang ketim?bang
banyak orang Islam ataupun Kristen?antara lain ibuku. Tak
pernah sekalipun aku melihat Ayah sembahyang. Menge??nal
ayahku, aku tak yakin ia percaya betul dengan ajaran-ajaran
Saksi Yehuwa. Tapi jika ia melakukan ini untuk Ibu, kenapa
ia tidak dibaptis manakala kekasihnya itu masih hidup?
Anehnya aku tak pernah menanyakan itu padanya. Barangkali
karena aku sudah begitu sebal pada agama dan orang-orang
Enrico_koreksi2.indd 162 Cerita Cinta Enrico beragama yang kerjanya membujuk kita untuk beribadah atau
masuk agama mereka. Kalau aku jadi Ayah, aku juga tidak mau
dibaptis JUSTRU agar ibuku tidak merasa menang angin. Toh
Ayah sudah mencintai Ibu dengan segala hal yang lain.
Tapi, setelah Ibu meninggal, barangkali Ayah merasa bah??
wa tidak ada yang perlu dilawannya lagi. Dan siapa tahu, un?
tung-untungan, jangan-jangan cerita tentang Hari Kiamat itu
betul. Ayah sendiri tidak takut mati dan tak bangkit-bangkit
lagi. Tapi, alangkah sedih ibuku jika ia bangkit dan hanya Sanda
serta aku?anak begajulnya?yang juga bangkit, sedangkan
suaminya sendiri tidak. Apakah Ibu bisa bahagia di lepas Hari
Kiamat jika kekasihnya, si Chat yang dibelanya mati-matian
sampai kehilangan secuil puting di medan gerilya, tidak ikut
bangkit? Ayah telah melakukan banyak hal agar Ibu bahagia?sam??
bil tetap mempertahankan otoritas pribadinya dengan ber?
tahan tak mau dibaptis sampai akhir hayat Ibu. Tapi, lihatlah
soal transfusi itu. Aku dianjurkannya jika membutuhkan,
sebab aku memiliki hidupku sendiri. Ia tak punya keraguan
sedikit pun tentang itu. Tapi ia sendiri tidak akan transfusi,
sekalipun membutuhkan, sebab itu hanya akan membuat
ibuku tidak tenang. Ibu percaya bahwa orang yang menerima
tranfusi darah tidak akan bisa bangkit di Hari Kiamat nanti,
sebab tubuhnya telah tercampur unsur tubuh orang lain.
Suatu hari, anehnya, ujian itu betul-betul tiba. Tak lama
setelah aku berangkat ke Jawa, Ayah jatuh sakit. Ia meng??


Cerita Cinta Enricho Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

alami gangguan ginjal dan, entah bagaimana, dokter menyu?
ruh??nya transfusi darah. Seperti ia bilang, buat Ibu lebih baik
mati dengan harapan dibangkitkan untuk hidup selamanya
daripada bertahan dua tiga tahun saja lalu tamat. Aneh bin
Enrico_koreksi2.indd 163 163 Ayu Utami ajaib, Ayah sembuh dan segar bugar! Dan tentu saja ibuku
menggunakan cerita kesembuhan ini sebagai dongeng muk?
jizat dalam kesaksian dan pengkabaran imannya. Dan aku,
yang bergeming, bagi Ibu adalah si degil yang tak mau mence?
lik?kan mata hati. Jika dulu Ayah telah kadung lulus ujian tidak transfusi
darah (artinya, memenuhi syarat fisik untuk bangkit di Hari
Kiamat), sayang betul jika ia gagal karena tidak memenuhi
syarat spiritual. Satu-satunya alasan kenapa Ayah dibaptis,
menurutku, adalah karena ia mau Ibu bahagia jika ternyata
Hari Kiamat ala Saksi Yehuwa itu betul-betul ada. Ayah tidak
memikirkan dirinya. Ia memikirkan Ibu.
Aku memandang-mandangi pusara mereka. Nisan Ibu yang
tersesat di tengah pemakaman Islam. Aku tidak memasang
salib di sana, hanya batu ceper dengan tatahan ayat tentang
kebangkitan yang menjadi favoritnya. Kuburan Sanda yang
begitu kecil dan begitu tua. Makam Ayah yang masih merah
tanah. Dua manusia yang menjadi asal-usulku, satu anak kecil
yang berbagi gen denganku, tiga manusia yang pernah berbagi
hidup denganku, di hutan belantara dan di kota... mereka
semua kini telah berbaring dalam peti kemas sempit di dalam
tanah. Tinggal aku di antara keluarga gerilya itu yang masih
berada di muka bumi. Tiba-tiba aku merasa sangat sepi dan
sendiri... 164 Untuk pertama kalinya aku pulang ke Jawa sebagai se?
batang kara sejati. Bagiku kini, Jakarta adalah pulang. Sedang
seluruh asal-usulku terbenam di Padang. Gelap mengatupkan
jubahnya menutupi langit kota, menyingkapkan sedikit war?na
api di kakinya, seperti sayup neraka. Taksiku melaju me?nuju
Enrico_koreksi2.indd 164 Cerita Cinta Enrico rumah. Lampu-lampu jalan bergantung muram. Cahayanya
terlalu murung untuk mencapai tanah. Aku teringat sebuah
jalan menurun di kota Bandung, dahulu, ketika aku baru
saja mendapatkan kemerdekaanku: airmataku menetes dan
mengalir bersama kilap hujan pada aspal. Dua puluh tahun
lalu, Jawa merupakan tanah kebebasan. Malam ini aku kehi?
langan perasaan itu, bahkan saat menginjakkan kakiku kem?
bali ke tanah yang kuidamkan. Ketika seluruh akarku telah
mati, kemerdekaan jadi tak lagi bisa dimengerti. Tanpa asalusul yang mengikatku, apa arti kebebasanku ini?
Aku terbangun pukul tiga dini hari. Tubuhku menggi?gil.
Demam telah menelanjangi aku dari segala perisai. Humor dan
sinisme tak lagi melindungiku. Tinggallah aku, dengan suatu
rongga yang meruyak, rasa kosong yang tak terjembatani.
Kesedihan yang tak mau kuakui itu kini menampakkan
bayang-bayangnya yang tak berwajah. Kurasakan diriku ge?
me?tar kedinginan. Dalam nelangsa yang bagai tak tertahan?
kan, aku merasa menjadi orang kalah, dan tiba-tiba saja aku
menginginkan hadirnya seorang kekasih.
165 Enrico_koreksi2.indd 165 Merindu Kekasih Mimpi-mimpi sakit panas ganti-berganti seperti saluran
televisi yang kacau. Aku berpindah dari satu ke lain adegan
intensitas tinggi. Melewati lorong. Lorong yang menekan
dan menakutkan. Tembok-tembok sempit tak rata, terbuat
dari adonan kapur, gabah, dan tahi sapi yang telah mengerak,
penuh dengan anak tikus yang hendak menuntut balas. Tahi
dan cipratan minuman ayam menetes-netes seperti di dalam
goa... Gorong-gorong di bawah jalan. Ujungnya tak memberi
harapan dan dindingnya yang berlumut mengeluarkan bunyi
detak jantung... Kukayuh sepedaku di antara kendaraankendaraan besar. Tapi mengapa sepeda ini begitu jangkung,
lebih tinggi dari segala truk yang ada di jalan itu, sepeda ini
setinggi tiang listrik dan kakiku begitu mungil, tak mencapai
Enrico_koreksi2.indd 166 Cerita Cinta Enrico pedal yang sedang berayun di bawah. Aku harus mengayuhnya
sekuat mungkin agar pedal itu bisa kembali lagi ke atas
dengan sisa tenaga kepada kakiku. Sementara itu aku harus
menjaga keseimbangan sepeda sirkus ini agar jangan jatuh
dan terlindas truk-truk besar di kanan-kiriku. Aku kecil dan
sendirian. Ke mana Ayah, ke mana Ibu?
Ibu merasa tidak lucu bahwa Ayah menamai ayam jantan
kesayangannya dengan Mordekhai. "Itu nama nabi," kata Ibu.
Menurut Ayah Mordekhai bukan nabi, melainkan pegawai
keuangan yang jujur. Seperti Ayah. Setiap pagi Mordekhai
mengantar Ayah sampai gerbang kompleks dan setiap siang
menjemput Ayah di tempat yang sama. Ayam jantan itu sangat
istimewa. Ayah sangat mencintai Mordekhai dan Mordekhai
sangat mencintai Ayah. Ayah sayang Mordekhai, Mordekhai
sayang Ayah. Apa Mordekhai pinta, ayah memberinya. Suatu
hari, entah mengapa, Ayah kehilangan keseimbangan dan ter?
jerembab. Ia menimpa Mordekhai dan ayam jantan malang itu
langsung tewas. Ibu berkata itu tulah karena Ayah memainmainkan nama nabi. Ayah sangat sedih, tapi bertahan bahwa
Mordekhai itu bukan nabi, melainkan pegawai keuangan yang
jujur. Bukan! Bukan! Ayah menangis. Ia menangis tersedusedu seperti bocah yang bersalah dan kehilangan. Kakinya
menjejak-jejak. Ayah menangis begitu menyedihkan. Ataukah
aku yang menangis. Aku terbangun dan mendapati diriku terisak-isak. Aku
tersadar dalam rasa sedih yang tak kuketahui alasannya.
Telah tiga pekan demamku tidak betul-betul hilang. Selama
itu mimpi-mimpi sakit panas menghampiri tidurku dan
membangunkan aku dalam kesadaran yang mengerikan; yaitu
bahwa aku merasa kosong. Betapa menakutkannya hidup jika
Enrico_koreksi2.indd 167 167 Ayu Utami 168 kau tidur penuh mimpi buruk dan terjaga dalam kekosongan.
Setiap kali kekosongan itu begitu mencekat, aku mengingin?
kan hadirnya kekasih. Aku tak pernah merasa kosong sebelum ini. Aku telah
memilih hidupku dan aku bahagia. Aku tak mau punya istri,
apalagi anak. Mimpi paling burukku?yang syukurlah tak
pernah hadir dalam demam ini?adalah kamera Leica-ku hi?
lang dan pacarku hamil sehingga aku harus mengawini?nya.
Un??tuk mencegah mimpi buruk yang terakhir itu, sumpah mati,
aku tidak bisa bercinta kalau tidak pakai kondom.
Aku menginginkan perempuan sebatas teman tidur. Itu??
pun, kalau bisa, jangan dengan jatuh tertidur betulan. Kecuali
bila pacarku meng?inap di rumah, sebisa mungkin aku tidak
mau tidur betulan dengan perempuan. Kau tak tahu apa yang
bisa terjadi jika kita tidur. Suatu kali saat aku terlelap salah
satu perempuanku naik ke atasku dan menyetubuhiku tanpa
kondom. Untung rasa takutku akan kehamilan lebih besar
daripada nafsuku. Jadi, kami tak bercinta karena kondom
habis. Tapi, begitulah, pe?rempuan diam-diam suka menjebak
kita. Mereka buat diri mereka hamil dan mereka suruh kita
bertanggung jawab. Ka?dang-kadang kupikir mungkin aku juga
harus menunjukkan bahwa kondomku tidak bocor sebelum
kami bermain. Tapi, aku selalu memperlakukan pacar-pacarku
Hijaunya Lembah Hijaunya 37 Sumpah, Aku Mau Banget Jadi Mata-mata Cross My Heart And Hope To Spy Gallagher Girls 2 Karya Ally Carter Naga Sasra Dan Sabuk Inten 13

Cari Blog Ini