Ceritasilat Novel Online

Dendam Roh Jejaden 1

Dendam Roh Jejaden Karya Abdullah Harahap Bagian 1


Dendam Roh Jejaden Karya Abdullah Harahap Pembuat Djvu : Syauqy_Arr
Edit teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
Selesai di edit : 30 Juli 2018
Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://ceritasilat-novel.blogspot.com
Selamat Membaca ya !!! *** DENDAM ROH JEJADEN Karya Abdullah Harahap Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit ALAM BUDAYA Jakarta
Cetakan Pertama 1984 Design cover oleh Irhandy Kasmara
*** UNTUK kesekian kali semenjak ia menginjakkan kaki di dalam bungalow yang letaknya terpencil itu, Tondi Sudisman kembali memperhatikan dengan seksama situasi di kamar tidur. Seolah sedang tertidur nyenyak, Harjadinata, pemiLik bungalow, terbaring di atas tempat tidur berkasur busa yang lebarnya cukup untuk ditiduri empat orang. Tampaknya ranjang yang kelewat besar itu masih terlalu sempit untuk lakikali setengah umur itu, karena kedua belah kakinya sampai batas lutut, terjuntai di pinggir tempat tidur. Ujung-ujung jemari kaki hampir menyentuh lantai berlapis karpet berwarna merah muda.
Tidur yang nyenyak! Alangkah mengerikan untuk tidur dalam keadaan serupa itu, pikir Tondi dengan hati yang kecut. Betapa tidak. Kedua belah lengan Harjadinata, terkembang lebar ke samping, seolah untuk melapangkan tempat udara masuk ke paruparunya, yang sudah tidak berfungsi lagi. Dadanya yang telanjang tidak memperlihatkan tanda-tanda kehidupan, meskipun kedua belah matanya terbuka sengat lebar. Tiada sinar di bola mata yang terbelalak itu. Kalau saja tidak terdapat lubang peluru yang besar dan hampir menghancurkan kepala tepat di pusat dahi, mungkin mulut yang terbuka lebar itu masih sanggup menceritakan apa yang telah ia saksikan sebelum ia menghembuskan nafas terakhir.
Harjadinata, pemilik bungalow berumur empatpuluh tiga itu, telah mati.
Tondi sudah memastikannya. Sepasti ia menyimpulkan, bahwa peluru yang menembus batok kepala itu berasal dari sebuah senjata berlaras panjang, yang terletak dengan aman dan damai di atas sebuah meja. Hidungnya yang berpengalaman memberitahu Tondi bahwa dari moncong laras itu tercium bau mesiu yang semar-samar, tidak berasap atau panas lagi, akan tetapi jelas belum lama dipergunakan. Besar lubang yang menganga di dahi Harjadinata, sama dengan besar peluru
dari senjata yang sehari-harinya dipergunakan oleh pemiliknya untuk berburu ke hutan.
Senjata berburu itu terletak di atas sesusun kertas kertas tik. Selembar kartas tik itu masih menempel di ban mesin tulis, yang duduk dengan diam di atas meja, berdampingan dengan senjata berbau maut itu.
"Aneh "...," pikir Tondi. "Pelayan mengatakan ia mendengar orang mengetik tadi malam. Tetapi, mana hasil ketikan itu?"
Memang dari dalam tas kulit yang mewah milik mayat yang terbaring tidak semestinya di atas ranjang itu, telah ia lihat sejumlah berkas-berkas. Namun tas itu dalam keadaan rapi dan terkunci di dalam lemari. Ada sejumlah surat-surat dan nota perusahaan, namun tidak ada yang bisa dijadikan petunjuk sama sekali. Barangkali ia harus mencocokkan berkas maupun surat-surat itu ke perusahaan di mana Harjadinata menjadi seorang komisaris. Siapa tahu salah satu di antaranya adalah hasil ketika juru tik misterius yang bekerja di kamar ini, tadi malam.
Siapa juru tik itu gerangan"
Seraya mengernyitkan dahi, Tondi Sudisman memperhatikan ke luar kamar lewat jendela yang terbuka. Menurut pelayan, jendela itu telah terbuka ketika ia memaksa masuk ke kamar itu pagi
ini. Tetapi sore hari sebelumnya pelayan telah menguncinya rapat-rapat.
"Tuan Harjadinata-kah yang membukanya?" Tondi bertanya-tnya dalam hati, selagi ia melangkah ke dekat jendela. "Atau juru tik yang misterius itu?"
Ia meninjau ke luar. Anak-anak buahnya mengatakan bahwa mereka tidak melihat jejak-jejak yang jelas di luar jendela maupun di seluruh pekarangan rumah. Di bawah jendela tumbuh rumput peking yang subur. Mungkin tadinya di situ ada jejak, tetapi alam telah menutupinya dengan tenangnya. Sama tenang dengan alam itu sendiri, di luar jendela. Jauh ke sana, tampak sawahsawah mendaki perbukitan. Lebih jauh lagi, lereng gunung dengan hutannya yang lebat menyebabkan dari jendela tampak warnanya seperti beludru yang hijau kebiru-biruan dalam jilatan matahari siang yang tidak begitu terik. Ah, tidak terik, tetapi betapa gersang dalam kamar ini. Tondi menyeka keringat yang membasahi pucuk hidungnya, seraya memperhatikan pepohonan yang ditanam dalam susunan rapih di pekarangan samping. Pohon-pohon yang rimbun, teduh dan memberi kesejukan ke dalam kamar, kalau saja tidak ada mayat yang terkapar di atas tempat tidur itu.
"Pak ?"" Polisi berpangkat letnan-satu itu, menoleh dengan kaget.
Seorang sersan berdiri di ambang pintu kamar.
"Saksi-saksi sudah lengkap semua."
"Oh ya?" rungut Tondi, tidak bersemangat. Entah mengapa, ia tidak begitu yakin akan menemukan jawab dari kematian yang harus ia hadapi sebagai kasus yang jarang terjadi di wilayah kekuasaannya. Wilayah yang selama ini tenang tenteram, dengan penduduknya yang ramah tamah serta tidak emosionil. Meski, seorang dua di antara mereka, gadis gadis atau janda berusia tidak lebih dari dua puluh lima, memiliki raut wajah atau potongan tubuh yang serasi, bisa membangkitkan birai. para pendatang atau penyewa bungalow di sekitarnya. Lalu mengadakan transaksi, yang kebanyakan tanpa ijin dari yang berwewenang. Ah, itu hak mereka. Demi hidup, dan kesenangan bersama. Yang senang kehangatan, yang lain, uang. Pendeknya, selagi transaksi-transaksi itu tidak menimbulkan kerugian di salah satu pihak, Tondi tidak ambil perduli.
Terus terang, ia sendiri bukan seorang suami yang baik. Dalam menjalankan tugasnya, ia sering tidak berada di rumah. Dan udara pegunungan yang sejuk, kurangnya hiburan, mau tidak mau
mendorong dirinya untuk mencari penyaluran. Dan perempuan, tahu benar kapan mereka bisa berguna menolong kesepian seseorang, terutama, laki-laki semacam Tondi. Atau, semacam Harjadinata itu, misalnya.
Sebelum ke luar dari kamar, ia perhatikan sekali lagi mayat itu.
Tetap terbaring di tempatnya, layaknya seperti tidur, dengan kedua lengan terkembang ke samping kiri dan kanan, kedua kaki terjuntai hampir mencapai lantai, Harjadinata tidak banyak menolong meringankan kegundahan hati yang sedang dialami Tondi. Ia berusaha mengelakkan matanya dari lubang yang sisi-sisinya digenangi darah mengering itu, lantas bergegas ke luar dari kamar.
Kesemuanya ada empat orang. -.
"Empat," rungut Tondi, dalam hati tentu." Terlalu sedikit. Apa yang bisa mereka ceritakan?"
Ia berharap, anak-buahnya yang tengah menyebar mencari keterangan keterangan, bisa memperoleh kisah-kisah yang mungkin menolong, barangkali kisah yang lebih banyak dari apa yang bisa diceritakan hanya empat orang saksi. Dan Tondi, semakin murung, ketika ia mengambil tempat duduk di salah sebuah kamar tersendiri. Tidak ada bau perempuan dalam kamar itu, meski
ada toilet yang indah, lemari pakaian berisi bajubaju luar dalam untuk perempuan, sepatu-sepatu, tas, seperangcat kosmetik, dan ranjang lumayan bagus.
' Siapa yang ia panggil dulu"
"Pelayan yang laki-laki itu, siapa namanya, Bung?" '
Sersan bawahannya yang tegak dengan hormat diambang pintu kamar itu, sama hormatnya ketika ia tadi mengagetkan Tondi di kamar tidur Harjadinata yang sudah almarhum, menjawab dengan cepat.
"Pak Joko ...."
"Suruh dia masuk."
Sersan itu pergi. Tondi mengeluarkan notes, dan mencorat-coret dengan pulpen. Mudah-mudahan ada petunjuk, pikirnya, lalu menulis dengan gerakan yang malas "saksi Joko. nelayan."
*** PAK JOKO sebenarnya masih berumur tiga puluh sembilan, hanya empat tahun di atas
umur Tondi Sudisman sendiri. Akan tetepi, kawin tiga kali tidak memberinya kebahagian. Isteri pertamanya kabur dengan lelaki lain. Isteri yang kedua, sudah janda, akan tetapi tidak mau punya anak dari pak Joko, karena janda itu sendiri sudah lelah mengurus anak-anaknya yang jumIahnya mencapai setengah lusin, hasil perkawinan dari suaminya yang pertama. Meski isteri ketiga dari pak Joko usianya baru dua puluh satu tahun, wajahnya manis dan dadanya besar, belum berarti pak Joko boleh bersenang hati. Karena Nengsih, isterinya yang terakhir untuk sekarang ini,
entah di masa datang -di samping seorang bekas pelacur, konon tidak bisa melahirkan anak karena pernah diserang penyakit raja singa stadium tiga.
Tak heran, ketika memasuki ruang nyaman yang menjadi seram karena dipergunakan untuk interogasi, pak Joko agak bungkuk dan berwajah layu. Ia tampak sepuluh tahun lebih tua dari usia yang sebenarnya, pekerjaannya di rumah itu, di samping sebagai pelayan, juga penjaga, perawat kebun dan sudah bisa dipastikan sebagai tukang pijit tuannya, tiap kali pulang dari berburu di hutan. ,
"Duduklah dengan santai, pak Joko," Tondi berusaha seramah mungkin, meski ia tidak menyukai gambaran ketakutan di mata orang yang tua badan muda umur itu. Tondi tak senang dirinya membuat takut orang, apalagi orang yang lebih tua dari. dia. Pak Joko menyeret kursi di hadapan Tondi, lalu menghenyakkan pantatnya dengan enggan. Kepalanya merunduk, menatap lantai, atau tengah menghitung apakah jari-jemari kakinya tidak ada yang berkurang.
"Kudengar pak Joko kena bengek akhir-akhir ini."
Orang itu mengangkat sedikit dagunya.
"saya, pak." "Sudah ke dokter?"
Sikap bersahabat dari Tondi memberikan keberanian pada pak Joko untuk mengangkat wajahnya lebih tegak. Ia kemudian bisa duduk dengan santai, dan setelah berbicara ke timur dan ke barat, tampaknya siap untuk menjawab pertanyaan pertanyaan yang semestinya.
"Kapan pak Joko terakhir melihat Tuan Harjadinata?" '
Bergerak jakun pak Joko, sebentar, matanya menjadi awas. Tetapi senyum ramah di bibir Tondi Sudisman, menolongnya untuk berbicara dengan jelas.
"Tadi malam, pak," Ia menyahut. Tenang.
"Pulang dari berburu?"
"Ya, pak. Tuan Harja kelihatan sangat letih. Ia langsung masuk ke kamar. Saya kira, terus mandi. Karena ia berkata demikian, dan kemudian menyuruh saya mempersilahkan perempuan itu masuk ke kamar, satu jam setelah ia mandi ...."
"Setelah itu?" "Saya tak melihat beliau lagi."
"Coba ceritakan tentang perempuan itu."
Perempuan itu, demikian cerita pak Joko, datang kira-kira satu jam sebelum majikannya pulang. Malam baru saja jatuh ketika pintu diketuk. Nengsih sedang mempersiapkan makan malam di dapur. Joko ke depan untuk membuka pintu.
dan tertegun ketika melihat' tamu majikannya. Ia telah diberitahu bahwa seorang juru tik perempuan akan datang dari' kota, dan agar ia terima dan suruh istirahat sebelum majikan pulang. Ia juga tahu, biasanya juru-tik yang berkunjung ke bungalow, setelah menyelesaikan tugas resminya, mencari tambahan uang masuk dengan menjalankan tugas lain sebagai teman tidur majikannya.
Juru tik yang biasa', namanya Maria. Bertubuh padat, dengan dada besar dan pinggul besar, kesukaan majikannya, akan tetapi perempuan yang ada di depan Joko, bertubuh langsing, dadanya tidak begitu besar meski nampak lembut dan segar, demikian pula pinggulnya. Namun rambutnya yang tergerai, ditambah leher yang jenjang halus, benar benar mendatangkan kegairahan tersendiri buat mata yang melihat. Wajahnya sukar untuk digambarkan. Apakah lebih tepat disebut cantik, atau jelita, atau manis. Perempuan itu memiliki ketiga hal itu sekaligus, begitulah kesimpulan pak Joko.
Joko terpesona, lama. Lebih lebih ketika beradu pandang dengan mata si perempuan. Mata yang tampak kelam, tetapi menyembunyikan sinar tersendiri, yang kelihatan asing, tetapi sangat berpengaruh, sehingga untuk beberapa saat Joko berpendapat bahwa ia rela terjun ke jurang yang dalam, apabila
perempuan itu yang memerintahkan.
Tak heran, ia terengah waktu perempuan itu bertanya:
"Boleh saya masuk?"
Suaranya terdengar sayup-sayup, seperti orangnya sangat jauh. Tetapi getarannya tajam ketika menyentuh telinga.
Pada saat Joko mau membuka mulut, perempuan itu telah melangkah masuk. Joko menyingkir buru buru, merasa sayang untuk menyentuh tubuh semampai itu, khawatir mengotori pakaiannya yang indah, serasi dengan bentuk tubuhnya. Setelah berada di dalam, sang tamu memandang sekilas suasana mewah di dalan ruangan, kemudian mengambil tempat duduk di sebuah jok yang tebal, lantas begitu pantatnya terhenyak, begitu ..matanya yang indah, terpejam. Joko terheran-heran. Tentu perempuan ini sangat letih menempuh perjalanan berjam-jam dari kota.
ia segera menutupkan pintu. Lupa untuk mamperhatikan, apakah masih ada mobil yang membawa si perempuan di luar rumah, atau udah pergi, seperti biasanya mobil yang membawa Maria, selalu menghilang begitu menurunkan penumpangnya di halaman bungalow. Teringat pesan majikannya, Joko menelan ludah beberapa kali sebelum kemudian menyapa:
"Non?" Perempuan itu tetap terpejam. Hanya mulutnya yang terbuka. Sangat sedikit, tetapi telinga Joko bisa menangkap suara yang sayup sayup itu:
"Ng?"" "Tuan berpesan, agar non beristirahat saja di Eh, sebelumnya, bolehkah saya tahu, mengapa bukan non Maria yang datang?"
Barulah kelopak mata yang indah itu, terbuka.
Sinar tajam berkilat sebentar di mata yang bundar, kemudian lenyap secepat sinar itu muncul.
"Maria?" perempuan itu bergumam. Kemudim : "Oh ya. Ia berhalangan."
itu saja. Lalu matanya terpejam lagi.
"Non?" "Ng!" "Sebaiknya beristirahat di kamar, sementara menunggu tuan pulang. Di dalam, ada kamar mandi, pakaian ganti, perlengkapan untuk dandan, serta tempat tidur yang nyaman ...."
Joko membuka kamar untuk tamu yang kini dipergunakan Tondi Sudisman untuk bertanya jawab. Perempuan itu masuk, menutup pintu, tak pernah ke luar lagi, sampai kemudian tiga jam setelahnya Joko mengetuk pintu itu, dan mempersilahkan si perempuan memasuki kamar kerja merangkap kamar tidur Harjadinata. Perempuan itu ke luar dengan tenang, melangkah langsung ke kamar yang ditunjuk Joko tanpa mengucapkan sepatah katapun, kemudian lenyap di balik pintu yang tertutup. Satu hal yang tak lepas dari perhatian Joko, adalah kebiasaan yang selalu dilakukan Maria atau perempuan perempuan sebelum Maria, yakni berganti pakaian, dan berhias secantik mungkin. Akan tetapi, perempuan yang ini, tetap dengan pakaian dan dandanan seperti ketika ia datang
Pak Joko menarik nafas panjang, letih.
Tondi Sudisman menawarkan sebatang rokok, yang diterima pelayan itu dengan tangan sedikit gemetar.
"Apa yang kau ketahui, setelahnya?"
Pak Joko menyulut rokoknya. Lama. Dan menghembuskan asapnya, berlama-lama. Tampaknya ia melakukan itu, untuk memperoleh ketenangan hati, sambil mengumpulkan ingatannya yang sempat tergoncang, setelah pagi ini menemukan majikannya telah menjadi mayat.
"Saya tak tahu apa-apa lagi ...."
"Ay, yang benar. Menurut Sersan Dudung, kau mendengar mereka bercakap-cakap ...."
"0h ya. Saya mendengar mereka bercakap cakap."
"Apa yang mereka percakapkan?"
"Entahlah, pak. Suara mereka hanya samar,samar terdengar. Saya kira percakapan biasa saja, dan karena sekali saya dengar disebut nama Maria, tentu mereka berbicara mengenai mengapa Maria tak datang atau semacamnya. Lagipula, saya tidak begitu suka nguping dan .."
"Hem. Baiklah. Lalu ?"
"Sesekali saya dengar suara mesin tik, dan suara Tuan mendikte ...."
"Apa yang didiktekan majikanmu?"
"Mana saya tahu?" Joko angkat bahu, malas. "Saya bilang begitu, karena biasanya kalau juru tik bekerja, berarti tuan mendikte. Urusan perusahaan, tidak masuk ke dalam otak saya yang sudah tua ini."
Barangkali ia memang sudah tua, pikir Tondi, lalu mengajukan sejumlah pertanyaan-pertanyaan lain untuk melengkapi keterangan yang sudah ia ceritakan. Namun tidak ada hal-hal lain yang bisa dicatat, kecuali bahwa majikan dan, tamunya tidak ke luar untuk makan malam, serta majikannya orang baik-baik dan setahu pelayan itu, tidak punya musuh. Setidak-tidaknya, majikannya tidak pernah menimbulkan permusuhan terhadap orangorang di wilayah daerah peristirahatan itu.
*** NENGSIH tidak banyak bercerita. Sadar bahwa ia pernah tidur dengan Tondi Sudisman, ia
sesekali melempar senyum manis dan mata serta gerak bibirnya mengajak. Tetapi saat itu Tondi tidak bernafsu untuk menggeluti perempuan manapun, apalagi Nengsih yang kini sudah punya suami. Dan teringat Nengsih pernah terjangkit raja singa, Tondi jadi gemetar sendiri.
"Tuan datang dua hari yang lalu," menerangkan perempuan muda yang mau dipersuami orang yang jauh lebih tua darinya, karena ia memerlukan perlindungan seseorang, setelah ia kapok menjalani kehidupan liar yang menyebabkan ia mengalami nasib yang fataal. Rahim dan kandungannya menjalani operasi yang lumayan besar biayanya, hasil tabungan Joko selama bertahun-tahun. Operasi itu menyelamatkan Nengsih dari kematian yang mengerikan, namun keruntuhan sewaktu bisa menjerumuskannya. Karena pak Joko, meski sudah mulai tua, masih tetap mendambakan sekurang-kurangnya seorang anak, untuk penerus turunannya.
"Apakah ia memperlihatkan kelakuan atau Sikap-sikap yang lain dari biasa?"
Nengsih menjawab dengan tegas:
"Tidak!" Majikannya datang dengan mobil "Toyota hard top," mandi, berganti pakaian lalu pergi berkeliling bukit. Pulang malam, bersama seorang teman yang akan pergi sama-sama untuk berburu ke hutan esok harinya. Mereka makan malam berdua, bercakap-cakap sebentar kemudian tidur. Pagi-pagi mereka telah berangkat dengan naik mobil. Nengsih tidak menyediakan bekal kecuali minuman, karena biasanya majikannya membeli makanan atau penganan lain dalam perjalanan ke hutan.
Ia sudah tidur ketika majikannya pulang. Untunglah tuan Harjadinata tidak bernafsu untuk makan sehingga Nengsih terpaksa harus bangun untuk menghangatkan makanan yang telah ia sediakan
dan menghidangkannya di meja makan.
"Jadi kau melihatnya terakhir kalinya, katika akan pergi berburu."
"Benar pak." "Hem." Tondi tercenung. Tidak banyak petunjuk. "Kau kenal juru-tik yang datang malam tadi?"
"Wah ..., lihatnya juga baru kali ini. Ia cantik sekali, belum pernah aku bertemu perempuan secantik dia. Kaki dan lengannya berbulu halus, kalau tak salah pirang. Kuku-kukunya terawat rapih, menurutku terlalu panjang dan runcing."!"
Iri, pikir Tondi, keirian seorang perempuan.
Kebanyakan lelaki memang lebih tertarik pada perempuan yang betis atau lengannya ditumbuhi bulu bulu halus, apalagi berwarna pirang. Pertanda perempuan Itu kelihatan dingin akan tetapi di atas tempat tidur, panas berapi-api. Dan kuku yang terlalu panjang atau runcing, ah, si Nengsih ini mungkin melebih-lebihkan. Tetapi apa bedanya" Kuku yang demikian, bila menghunjam di punggung, tidaklah menyakitkan, tetapi justru menimbulkan birahi yang tersendiri.
Tondi menelan ludah. Gemetar lagi.
Lalu: "Apalagi yang kau ketahui tentang dirinya?"
"Tak banyak pak. Karena saya melihatnya hanya sebentar, yakni ketika suami saya mempersilakan ia masuk ke kamar untuk beristirahat, sambil menunggu Tuan pulang ". Kukunya itu, pak Tondi, buatku terlalu panjang, terlalu runcing dan ...."
"Dan kuteknya terlalu merah?" rungut Tondi Sudisman, bosan.
"Itulah! Justru sebaliknya, terlalu pucat!"
Tergantung cat kuku yang dipakai juru-tik itu, rungut Tondi, kali ini dalam hati. Dan di mulut, ia bergumam lain :
"Apakah Tuan pernah melihatmu?"
Nengsih terbelalak. "Melihat saya" Wah, tiap kali Tuan berbicara dengan saya, ia tentu melihat saya dan ...."
"'Maksudku, menaksir engkau?"
Merah padam wajah Nengsih.
"Saya bukan kaliber Tuan Harja ...," desahnya, hampir-hampir tidak terdengar.
Ia tampaknya jujur, pikir Tondi. Lagi pula, semasa hidupnya Harjadinata punya cukup banyak uang untuk mendapatkan perempuan yang sesuai dengan kaliber dirinya meminjam istilah Nengsih -. Dengan demikian, tidak ada hal yang dicemburukan oleh Joko, sehingga pelayan itu membalas dendam pada majikannya. Lagipula Joko
telah bertahun tahun menjaga bungalow, menerima bayaran yang cukup, konon tidak pernah diperlakukan sewenang-wenang, dan kebiasaan pak Joko menyewakan bungalow kepada orang-orang luar yang membawa pelacur, tidak pernah ditegur Harjadinata. Karena, uang sewa liar itu dibutuhkan pelayannya, dan Joko sendiri selalu menjaga agar kamar tuan dan kamar tamu tuannya, tidak diusik orang-orang yang menyewa. Kamar Joko dan isterinya, cukup memadai, untuk pasangan pasangan yang sudah tidak kuat menahan hawa dingin pegunungan. Sementara Joko dan Nengsih tak pernah kedinginan.
Setelah mengajukan beberapa pertanyaan lagi, Tondi Sudisman menyuruh Nengsih ke luar sambil tak lupa berpesan agar mempersilakan saksi berikut untuk menemuinya. Melihat pantat Nengsih yang mulai menipis, sebenarnya ia ingin agar saksi berikutnya adalah perempuan berpantat lebih padat dari Nengsih, dengan dadanya yang besar dan
"Lukman!" ia membuka lembaran notesnya yang masih kosong.
Tidak banyak yang bisa ia catat dari kedua saksi sebelumnya. Bagaimana dengan yang ini"
Ia kemudian mencoret dengan pulpennya :
"Lukman. asisten perkebunan."
"NAMA lengkap?"
" Lukman Suryo Kuncoro."
"Asal Jawa, kalau begitu! Solo?" '
"Purwokerto." "Hem. Umur?" "Tiga puluh dua."
"Alamat?" "Ini kate-pe saya, kalau bapak ingin me ...."
"Hem. Sejak kapan bekerja di perkebunan teh itu?"
"Baru enam bulan."
"Sebelumnya?" "P.T. Lima. Eksportir kayu."
"Jabatan?" "Pak petugas! Tampaknya seolah-olah saya ini dituduh sebagai ...."
"Aku mencurigai setiap orang! Dua hari yang lalu, Anda tidur di rumah ini. Esoknya pergi dengan almarhum ke hutan untuk ...'
"Ah. Harja mati di kamarnya, bukan di hutan. Ketika ia mati, aku sedang main domino dengan beberapa orang mandor di perkebunan. Jadi, hapus saja nama saya dari daftar Anda!"
"Alibi Anda akan kami cek. Tetapi , mengapa kita harus ribut ribut" Untuk saat ini, saya bisa mencurigai setiap orang, tetapi sebaliknya, saya bisa juga mempercayai setiap orang. Setidak
tidaknya, tergantung dari apa yang dapat diterangkan orang itu, tentang kematian almarhum ...."
"Aku tidak tahu menahu."
"Tetapi Anda tahu banyak tentangnya."
"Yeah. Tentu saja. Kami pernah bekerja di perusahaan yang sama. Meski, kedudukannya jauh lebih tinggi dari aku sendiri. Isterinya masih terhitung famili, meski agak jauh. Rumah kami tidak berjauhan, demikian pula selera kepada perempuan. Dan terutama ini : kami punya hobby yang sama. Karena itu, bila aku pergi berburu, aku mongundang dia. Sebaliknya dengan dia, maka aku yang diundang. Adalah secara kebetulan, kalau perkebunan di mana kini saya bekerja, berdekatan letaknya dengan bungalow di mana ia suka menyendiri ...." .:.
"Pernah berselisih?"
"Boleh tanya isteriku, isterinya, anak-anaknya, kerabat, lain, dan staf pimpinan di PT Luna, ketika aku masih bekerja di sana sebagai seorang sales yang gagal ...."
"Ah, jangan bersedih oleh kegagalan masa lalu. Apalagi, masa kemudian, mendatangkan sukses. Saya dengar, di perkebunan itu Anda akan diangkat jadi salah seorang pimpinan. Tetapi kita sudah bicara terlalu jauh dari rel. Apa yang dapat Anda ceritakan. ketika malam itu Anda tidur di sini?"
"Hanya soal tetek-bengek. Lalu tidur."
"Ia tidak merasa dirinya terancam atau kelihatan cemas?"
"Belum pernah aku mengenal orang setenang dia, meski suatu hari ia pernah hampir menabrak salah seorang anaknya sendiri yang berlari-lari menyongsong mobilnya ke luar dari pekarangan. Bahkan kemaren, untuk melepaskan kekesalan hati, dengan tenang-tenang pula ia telah menembak jatuh seekor kera besar dari puncak pohon ...!"
"Ah _..!!! *** BELUM pernah mereka sesial hari kemarin. Telah tiga jam lebih mereka berjalan, semenjak meninggalkan mobil di sebuah perkampungan yang terletak di pinggir hutan. Namun tidak seekor pun binatang buruan yang tampak, meski udara sangat cerah dan rerumputan sangat hijau dan subur. Tak ada babi hutan, tak ada kijang, tak ada kelinci, bahkan burungburung seolah telah bermigrasi ke hutan yang lain.
Untuk membuang rasa kesal, Lukman membidik kepala seekor ular python yang bergulung gulung di cabang sebuah pohon yang rendah. Terdengar suara timah panas menembus daging ymg lunak. Darah memercik, dari gulungan di
Cabang pohon itu bergerak gerak dengan buas, kemudian meluncur jatuh ke bawah dengan suara berdebuk yang keras. Ingin membawa kulit ular itu sebagai oleh-oleh, Lukman segera berlari ke semak-semak yang rapat di bawah pohon tempat sasaran tembakannya terjatuh.
Tetapi tidak ada binatang apa pun di sana, apalagi ular python.
Yang ada hanya sepotong kayu tua, yang telah lama tumbang, sudah berlumut dan di beberapa tempat ditumbuhi oleh cendawan. Tidak ada semak yang porak poranda maupun terkuak, kalau binatang itu tidak mati lantas melarikan diri. Juga tidak ada ceceran darah, padahal ...
"Kau lihat tadi darah memercik?" tanya Lukman dengan wajah muram.
Harjadinata menyeringai. "Mungkin itu serpihan kayu, bukan percikan darah."
Sama-sama mereka memperhatikan cabang di mana menurut Lukman ia lihat ular besar itu bergulung. Tetapi tidak ada bekas peluru di sana, kecuali kulit kayu yang lunak dan basah, serta berbau hanyir. Sementara, batang pohon serta cabang-cabang yang berdekatan, kering dan keras. Lukman berdiri di atas kayu yang sudah setengah busuk itu, lantas mandekatkan hidungnya ke cabang pohon yang tampak lembab itu. ' Bulu kuduknya seketika merinding.
"Apa yang kau kerjakan?" tanya Harjadinata, heran.
Lukman meloncat menjauhi pohon itu.
"Aku aku mencium bau ular!" ujarnya, lirih, dengan wajah yang perlahan-lahan berubah jadi pucat.
"Wah. Kau hanya menembak kayu, bung!"
"Tidak. Bukankah kau sendiri yang menunjuk ke tempat ular itu tampak bergelung?"
"Mungkin mataku salah. Lihat, cabang pohon itu agak melingkar, sehingga dari tempat terang ke tempat cabang yang gelap itu, tampak seperti bentuk seekor ular ...."
"Tetapi aku telah menembak kepalanya aku telah mendengar suaranya jatuh. Dan melihat darah memercik. Dan ", dan mencium baunya. Bau ular!"
Harjadinata menepuk-nepuk bahunya dengan lembut.
"Sudahlah, tenanglah. Tanpaknya kau sudah mulai terpengaruh dengan umpan kakek kakak yang tadi bertemu di kampung itu ...."
Kakek-kakek itu sedang mengumpulkan kayu bakar di pinggir hutan, dari tempat di mana mobil mereka tinggalkan. Setelah saling menyapa, orang
tua itu memandang senjata berburu yang mereka bawa, lantas bertanya dengan nada curiga: .
"Mau ke atas?" ia menunjuk ke hutan hutan gelap di lereng gunung.
Mereka mengangguk serempak.
"Batalkan saja niat itu, den. Kami sendiri, belum pernah naik sampai ke sana ...."
"Mengapa?" "Tak ada yang berani. Belum pernah ada yang berani. Konon, di sana banyak binatang jadi-jadian. Bekas orang orang murtad melarikan diri, dalam bentuk dan rupa yang sudah berganti!"
Mereka berdua saling bertukar pandang. Tidak. Tidak tertarik mereka mengenai binatang jadi-jadian, apalagi mengenai orang-orang murtad yang telah berganti rupa. Itu hanya omong kosong, dongeng orangtua untuk menakut-nakuti anak yang nakal, tentang pemuja pemuja roh halus yang mendiami gunung atau lembah terasing. Mereka berdua lebih tertarik pada keterangan bahwa hutan di atas mereka, belum pernah didatangi orang. Jadi, binatang binatang buruannya, masih utuh, masih subur "!
"Kakek itu mungkin benar," gumam Lukman, setengah berbisik, setelah mana kemudian menarik lengan Hujadinata. "Ayoh, mari kita segera turun!"
"Dengan tangan kosong?"
"Tetapi binatang binatang di sini ...."
"Nak!" tadi 'bung', sekarang 'nak', benar benar Harjadinata menganggap remeh tidak saja terhadap kesialan mereka hari itu, bahkan juga terhadap diri Lukman. "Akan kubuktikan padamu, bahwa kau telah salah sasaran. Akan ku tembak binatang berikutnya yang terlihat, dan bangkainya kuserahkan untuk kau kuliti!"
Kekeras hatian Harjadinata meringankan ketakutan Lukman.
Mereka kemudian meneruskan perjalanan, sambil tidak lupa merambas semak agar menukil batang atau ranting pepohonan, sebagai petunjuk jalan mereka nanti pulang. Malangnya, mahluk yang mereka temukan pertama kali, justru apa yang sering digembar-gemborkan Darwin mengenai asal mula dan keturunan manusia. Sepasang kera yang besar, tengah bergelayutan di puncak sebatang pohon yang rimbun, sambil menjeritjerit riuh melihat kedatangan mereka. Sepasang kera itu meloncat loncat dengan indah, dari satu cabang ke cabang yang lain, bahkan seperti terbang dari satu pohon ke pohon yang lain, sambil sesekali berdekapan, mesra, seolah tengah bercumbu.
Harjadinata mengangkat senjata berburunya.
Lukman menjadi cemas. "Kau mau menembak kera itu?"
"Apa salahnya" Mereka seperti meledek kita. Dan lagi pula, aku mau buktikan padamu, bahwa kakek itu hanya menakut nakuti kita saja, menganggap kita anak kecil yang sudah semestinya cuci kaki lantas tidur ...," ia tertawa keras, kemudian membidik.
"Jangan!" cegah Lukman.
Tetapi terlambat. Terdengar bunyi letusan yang keras, menggema dengan suara yang tinggi disambut oleh si pongang. Sebelum nada yang terakhir dari letusan itu lenyap di lembah-lembah, terdengar pekikan nyaring di udara. Salah seekor kera'besar itu "berlari-lari" dengan ribut di puncak pohon, sementara yang lain sudah tidak kelihatan lagi.
Hampir terhenti nafas Lukman.
Tetapi suara kerosak-keresek ranting dan daun daun yang dilanda benda berat, kemudian suara berdebuk yang lunak, segera menyadarkan ia dari pesona yang mengerikan itu. Ia baru saja bernafas kembali, ketika Harjadinata sudah berlari lari ke arah pohon besar dan tinggi itu, kemudian membungtuk.
"Kemarilah, Lukman!"
Lukman menarik nafas. Berulang-ulang.
Lalu mendekat, dengat takut takut. Dan di
depan Harjadinta berjongkok ia melihat sesosok makhluk kera yang sudah mati, dengan kepala yang hampir pecah oleh sambaran peluru, tepat di bagian dahi yang sempit. Ia selalu mengagumi tembakan Harjadinata yang jitu, selalu pula memujinya.
Akan tetapi sekarang, tiada rasa kagum di hatinya, tiada keinginan untuk memuji, selain desah kengarian, Serta protes menyalahkan :
"Kau telah membunuhnya!"
Harjadinata mendongak, memperhatikan wajah Lukman yang pucat.
"Hai," katanya. "Suaramu seolah-olah mengatakan bahwa yang kutembak ini salah seorang kakek moyang kita!"
Lantas, ia tertawa, terbahak-bahak. _
Lukman menunggu sampai tawanya habis, setelah mana ia kemudian bergumam :
"Kudengar, makhluk jadi-jadian selalu membalas dendam dengan mempergunakan cara dan senjata yang sama ...."
Tawa Harjadinata kian membahak. Sampai ke luar air matanya.
Lalu: "Kekasihku ini," ia mengacungkan senjatanya tinggi tinggi. "Tak akan pernah berpisah denganku. Itu kau tahu. Jadi, tak usahlah kau cemaskan."
"Tetapi pelurunya ...."
"Apakah harus kucari di hutan rimba ini?" ia kemudian berdiri, memanjangkan leher, seolah meninjau ke sana ke mari, kemudian pura-pura kecewa lantas seraya menahan senyum, Harjadinata berkata : "Lupakan saja. Siapa tahu, kelak keturunan kita ribuan tahun yang akan datang menemukan peluru itu, lantas membanding-bandingkan dengan milik mereka. Dan percayalah, mereka akan berkata bahwa peluru itu hasil ciptaan manusia, bukan ciptaan khewan apalagi penjelmaan setan maupun rokh halus ....!"
Setelah memandang sekilas pada bangkai kera di dekat kakinya, ia bersungut:
"Kau tidak menginginkan kulitnya?"
"Hhhh "Eh, sudahlah. Jangan marah, kalau kau tak mau. Tadi kau mengajak pulang, bukan" Baiklah. Mari kita tinggalkan tempat ini. Memang mengesalkan, tidak ada binatang buron yang bisa kita bawa pulang. Tetapi aku merasa puas. Karena berhasil meyakinkanmu, bahwa mahluk yang hidup di dalam hutan ini, adalah mahluk nyata seperti mahluk-mahluk lainnya, termasuk kau dan aku. Lagipula, aku harus tidur sore ini, untuk kerja berat nanti malam ...."
Harjadinata mengerling ketika mengucapkan _kalimat terakhir. Lukman sudah tahu maksudnya. Harjadinata tentu sudah ditunggu seorang sekretaris muda dan cantik, berpantat besar, berdada besar. Siapa namanya" Maria, kalau tidak salah. Dan karena sebulan yang lalu Lukman diberi kesempatan untuk tidur satu malam dengan Maria, maka Lukman lantas maklum, kalau tugas Maria bukan sekedar seorang juru tik.
Membayangkan dada Maria yang besar, dan pinggul padatnya yang selalu bergoyang-goyang, merupakan hiburan setelah gagal memperoleh binatang buron. Akan tetapi, dalam perjalanan pulang kembali ke kampung di mana mobil mereka tinggalkan, Lukman tidak sedikit pun membayangkan Maria. Yang terbayang di matanya adalah ular yang bergelung kemudian lenyap, lalu bangkai seekor kera, mahluk pertama yang paling dekat hubungannya dengan manusia, kata orang ....
Ketakutan selalu membayangi Lukman.
Seolah ada cakar yang mengerikan, mengejar dari belakang, kemudian mencengkeram tengkuknya dengan sekonyong-konyong. Beberapa kali ia terjatuh sambil menjerit karena tidak memperhatikan jalan, yang hanya membuat Harjadinata semakin bergelak kesenangan. Lama-lama. Pikir Lukman suara tertawa orang ini tidak lagi
menyenangkan, akan tetapi mengerikan!
Untunglah, sampai di kampung, mereka selamat!
Sudah pukul tiga sore. Satu jam setengah perjalanan ke rumah, kemudian tidur dua jam berikutnya, lalu siap "tempur", menyebabkan Harjadinata tidak sabar ketika mobil tak juga berhasil dihidupkan mesinnya. Setelah mencek bahwa bensin masih cukup, ia turun memeriksa mesin. Tetapi tidak ada kerusakan apa-apa. Karena jalan menurun, rem dilepas, mobil melaju kemudian persnelling masuk. Mesin menggerung gerung.
Harjadinata tertawa senang.
Tetapi hanya sebentar. Karena, ketika ke luar dari mulut kampung, sesosok tubuh menyeberang jalan' dengan tiba-tiba. Harjadinata buru-buru menginjak rem saking terkejut, dan mulutnya sudah siap untuk memaki, ketika mereka sadari bahwa sosok tubuh yang berdiri tegak dengan sikap tak acuh terhadap bahaya di depan mereka, adalah seekor kera besar, dengan kedua lengan menjuntai di sisi tubuhnya, hampir mencapai tanah. Kera itu, dengan sepasang matanya yang kecil bersinar sinar, memandang ke arah mobil yang mereka naiki, setelah mana kemudian mengulang di balik semak belukar yang lebat dan tinggi.
"Jadah! Kukira anak kecil!" rungut Harjadinata, lantas memacu kendaraan kembali.
Tetapi Lukman, semakin ' tidak tenteram.
Dengan cemas ia memandang ke kiri kanan jalan yang mereka lalui, dan di sebuah pengkolan, kera itu tampak kembali. Kali ini tidak memotong jalan mereka dengan tiba-tiba seperti tadi, akan tetapi berdiri diam-diam, setengah membungkuk di atas gundukan tanah yang tinggi. Tak jauh di dekatnya, tampak dua tiga ekor kerakera yang lebih kecil, tetapi bersikap diam, dan mengawasi kendaraan mereka berlalu.
"Tuhanku!" ucap Lukman, seraya mengusap wajahnya. "Kau lihatkah mahluk makhluk mengerikan itu?"
Harjadinata menyeringai. "Dari dulu juga banyak kera di sini. Sedemikian banyak, sehingga kera-kera itu berhasil menjadi penguasa hutan. Itu sebabnya aku tak pernah berminat ke daerah yang kita tinggalkan tadi, karena tidak ingin salah tembak ...."
"Dan kau telah salah tembak!"


Dendam Roh Jejaden Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hanya untuk iseng. Dan meyakinkan kau, kepada pikiranmu yang normal ...."
Setelah berkata begitu, ia tertawa.
Dan tidak acuh kepada kera-kera yang sesekali terlihat, kemudian lenyap di pinggir jalan atau di rimbunan pohon yang mereka lalui. Tiada gerakan lain dari mahluk mahluk itu, kecuali mengawasi kemudian menghilang. Tidak ada suara ribut ribut, apalagi kemudian serbuan frontal yang membabi buta. Lukman tak kuasa bergerak dari tempat duduknya, dengan jendela di sampingnya ia naikkan kacanya tinggi tinggi, sampai angin pun tak bisa lolos.
Ia baru merasa lega, setelah Harjadinata menurunkannya di rumah yang ia tempati selama enam bulan terakhir, semenjak ia bekerja di perkebunan teh sebagai asisten. Harjadinata tetap bersikeras untuk mengajak Lukmm ikut bersama sama ke bungalow, untuk menikmati malam panjang'bersama Maria. Tetapi ia menolak, dengan dalih, hanya ada seorang perempuan, sedang mereka berdua.
"Kalau begitu, datanglah besok. Maria akan tinggal selama beberapa hari ...."
"Oke. Aku datang!"
Setelah itu, Harjadinata pergi.
ia tidak melihatnya lagi, tetapi ajakannya untuk datang hari ini, telah dipenuhi Lukman. Meski, bukan atas kehendak Lukman sendiri, melainkan atas panggilan Letnan Satu Polisi Tondi Sudisman.
*** "TIDAK kusangka, bahwa aku akan menemuinya dalam keadaan sudah menjadi mayat!" keluh Lukman Suryo Kuncoro, dengan suara yang getir dan wajah yang pucat.
Tondi Sudisman memperhatikan mata Lukman yang menjorok ke dalam, berwarna kemerah merahan, pertanda ia tidak tidur sepanjang malam. Aku akan cek alibinya, apakah ia bermain kartu sepanjang malam, pikir Tondi. Aku tidak bisa mempercayai alibinya itu, sama seperti aku tidak bisa mempercayai dongengnya yang mirip cerita dalam buku-buku mistik atau cerita yang selalu didongengTetapi untuk tidak melukai hati Lukman, ia bergumam juga:
"Kisah yang menarik ...."
"Dan tidak bapak percaya!" rungut Lukman, menuduh.
"Ah ...." "Tidak usah berdusta. Mahluk itu telah membalaskan dendamnya, tetapi Anda tetap beranggapan ini pekerjaan seseorang. Dan orang itu, mungkin aku sendiri!"
"Begini, bung. Saya yakin kematian tuan Hariadinata dikarenakan tingkah seseorang. tetapi
aku tidak menuduhmu sebagai orang yang melakukannya Tentu saja, selama alibimu masih bisa dipercaya. Meskipun, ceritamu yang panjang lebar barusan, cerita yang begitu menyeramkan, masih meragukan."
"Makhluk itu...."
"Tenanglah, bung Lukman. Begini saja untuk sementara, tuduhan kami lebih terarah kepada seorang perempuan. Seorang juru tik yang cantik jelita, manis sekaligus, serta mempesonakan. Dan dengan tambahan ; misterius. Kami akan menyelidiki dan mencari identitasnya ...."
"Kalau ia ada!" berengut Lukman, lalu : "Bolehkah aku pergi sekarang?"
Tondi Sudisman mengangguk.
Seperti waktu masuk, Lukman pun ke luar dari kamar dengan kepala merunduk, wajah muram dan kusut, serta langkah-lankah gontai, seperti orang mabuk. Barangkali ia memang pemabuk, pikir Tondi. Lalu dalam mabuknya, ia berkhayal yang bukan bukan. Siapa tahu, waktu berburu kemarin .Ah. Ia seharusnya menanyakan hal itu tadi kepada lakilaki itu. Apakah Lukman minum terlalu banyak waktu pergi berburu. Tetapi, masih ada kesempatan. Masih ada. Dan ia, lebih menyukai, untuk menghadapi wajah lain, yang lebih segar dan lebih berdaya tarik, dari wajah Lukman yang kusut dan berbau alkohol .......
*** MARIA memang punya daya tarik sendiri. Di balik sweater-nya ia tidak mengenakan
lapis apa pun lagi, sehingga payudaranya yang menggumpal, berayun-ayun selagi ia melangkah masuk, kemudian agak bergoyang ketika perempuan itu menghenyakkan pantatnya yang padat di kursi yang berhadapan dengan kursi yang diduduki Tondi.
Mulutnya yang lebar tetapi lunak, meski agak pucat, namun tetap membuat bibir Tondi terasa sedikit gatal. Sayang, wajah yang penuh dan segar itu, tampak pucat .sementara bola matanya yang bundar, masih membayangkan kengerian. Yah, siapa yang tidak tergoncang melihat orang
yang tidur di ranjang, dengan lengan terpentang lebar, sepasang mata terbuka sama lebarnya, kedua kaki menjuntai ke lantai, tetapi dahi dilubangi peluru
Dari mulut yang lunak itu, terdengar lirihan yang keras:
"Mengerikan!" Lalu sudut-sudut matanya yang dari tadi berlinang, semakin banyak digenangi butir-butir air, yang kemudian meleleh dengan cepat, membuat bedak yang melapisi pipinya rusak sebagian.
"'Demikianlah," sahut Tondi, bergumam, seraya mata memandang tajam.
"Ah, maafkan, saya rupanya terlalu emosionil!" kata Maria setelah melihat pandangan mata Letnan Polisi itu. Ia menyeka air matanya dengan saputangan yang ia keluarkan dari dalam tasnya. Tercium bau harum yang semerbak. Tondi tidak bisa memastikan, darimana asal muasal baru harum itu. Apakah dari saputangan, dari dalam tas yang terbuka, atau dari tubuh perempuan itu sendiri.
"Apa yang bisa saya bantu?"
"Sedikit keterangan, kalau boleh," jawab Tondi, ramah.
Perempuan itu mencoba tersenyum.
"Saya kira, memang akan sangat sedikit yang
bisa saya bantu." Tondi membalas senyum itu, dan betapa ia ingin, agar ia selalu bisa tersenyum pada perempuan itu. Dengan demikian, Maria akan merasa lebih bersahabat, kalau bisa lebih intim dengan dirinya, dan siapa tahu, suatu ketika kelak, mereka bisa bertemu, dalam suasana yang lain .
Tondi menarik nafas panjang .Membuang jauh jauh pikiran yang buruk di kepalanya, kemudian :
"Jam berapa nona tiba di sini?"
"Tak sampai satu jam, sebelum bapak dan anak buah bapak, datang."
"Kudengar, semestinya nona datang tadi malam."
"Benar. Tetapi terhalang oleh jalan longsor," ia menyebut tempat di mana jalan itu longsor. Dan Tondi memang telah mendengar tentang tanah longsor itu tadi malam, sehingga lalu lintas terputus sampai pukul empat, Subuh.
"Apa yang nona kerjakan, kemudian?"
"Kembali ke kota, lalu menelpon ke sini, untuk memberitahu saya tidak bisa datang malam tadi, dan berjanji akan datang pagi ini, kalau memang
saya masih dibutuhkan "."
"Apa jawab tuan Harjadinata?"
"Tak Sepatah pun. Karena bukan ia yang menerima telepon, melainkan seorang perempuan!"
Dahi Tondi berkerut. Ada nada kecemburuan dalam suara itu.
Juru-tik yang misterius itukah, atau Nengsih"
"Nona Maria. Kenal suara siapa yang menerima telepon?"
"Tidak." "Pernah menelepon kemari sebelumnya, dan diterima oleh pelayan perempuan yang bernama Nengsih itu?"
"Pernah sekali dua."
"Apakah suara dia yang nona dengar?"
"Tidak." "Nona yakin?" "Suara Nengsih agak berat dan serak. Yang ini, sangat halus, dan terlalu kecil, seolah sayup-sayup sampai ...."
Sayup-sayup sampai, pikir Tondi. kau juga mengatakan begitu.
Tetapi ia masih belum yakin. Lalu :
"Tidakkah nona curiga, suara itu disamarkan?"
"Tidak. Suaranya terlalu jernih."
"Seorang ahli bisa saja membuat suaranya berubah, dengan tekanan yang jernih, bukan?"
"Kalau itu ..., saya tidak tahu."
"Hem. Baiklah. Seterusnya?"
"Saya berangkat dari kota pagi pagi benar,
karena saya malam itu mendapat penjelasan bahwa pagi-pagi lalu lintas sudah akan lancar kembali. Saya bersikeras untuk datang, karena perempuan yang menerima telepon hanya mengatakan 'oh iya"' dan 'akan saya sampaikan' dan beberapa kata-kata pendek lainnya. Sebenarnya saya ingin berbicara langsung dengan Kang Harja, tetapi ...."
"Hem. Panggilan yang intim."
Perempuan itu terperangah sebentar. Katanya:
"Kami sudah sering bekerjasama, dan aku dianggapnya sebagai adik."
"Oh," Tondi menahan senyum. "Tetapi apa, coba teruskan."
"Perempuan itu menutup telepon sebentar, kemudian mengatakan bahwa saya boleh datang."
Ia tiba pukul sembilan pagi.
Dan disambut dengan gugup oleh pak Joko dan isterinya, yang mengatakan Harjadinata belum keluar-keluar dari kamar, serta tidak menjawab ketika pintu mereka ketuk-ketuk. Biasanya, Harjadinata selalu minta dibangunkan pagi' pagi benar, untuk minum kopi, kemudian melakukan sedikit gerak badan. Joko telah melihat dari luar, bahwa jendela kamar majikannya terbuka lebar. Namun ia segan untuk mengintai ke dalam, teringat bahwa ia bersama seorang perempuan. Kecemburuan
Maria tumbuh, lebih-lebih setelah Joko menceritakan bahwa perempuan itu mengatakan Maria berhalangan, padahal Maria tidak pernah menghubungi siapa pun tadi malam.
Mereka berdua kemudian pergi ke samping rumah.
Maria yang menongolkan kepala ke dalam, dengan berdiri di sebuah bangku.
Dan ia seketika jatuh pingsan, setelah memperhatikan dengan seksama bahwa tubuh di atas ranjang bukan sedang tidur nyenyak, melainkan sudah mati. Ia baru sadar setelah polisi datang, dipanggil oleh Joko lewat telepon.
Maria memencet hidung, menahan isak.
Tondi menanti sebentar. Baru kemudian :
"Sudah lama kenal dengan almarhum?"
"Hampir satu tahun."
"Cukup intim, rupanya."
"Ah" Begitulah. Sebenarnya, saya hanya seorang typist. Lain tidak!"
"Oh!" lagi-lagi Tondi menahan senyum.
Maria mengatakan bahwa Harjadinata sangat baik semasa hidupnya. Royal dengan uang, tidak pernah membuat marah orang. Sungguh mustahil orang seperti dia, mempunyai musuh yang menghendaki kematiannya. Memang benar, barangkali. pikir Tondi. Saksi saksi itu menemukan bentuk lain. Siapa tahu, kematian itu bermotifkan waris, cemburu, atau sakit hati.
"Ada lagi yang bisa saya bantu?"
Masa lalumu dengan almarhum, pikir Tondi, tetapi mulutnya bergumam:
"Untuk sementara, sekian dulu."
Tentu saja. Ia harus memusatkan perhatian hanya pada peristiwa malam tadi saja, dan alibi saksi-saksinya. Tentang perempuan ini, di samping alibinya mengenai terhalangnya ia di perjalanan lalu kembali ke kota, kemudian hubungan masa lalunya dengan almarhum, mungkin bisa dicek oleh anak buahnya, kalau perlu dengan bantuan orang-orang di pusat.
Di pintu, perempuan itu tertegun.
Ketika ia membalik, di matanya yang berlinang, tampak sorot ketakutan.
"Saya mendengar omongan orang mabuk bernama Lukman itu," katanya, bergetar. Ah, ia menyebut nama Lukman seperti nama seorang asing yang belum pemah ia kenal, pikir Tondi. Kemudian mendengarkan dengan berminat, lanjutan umpan si perempuan, yang ternyata sebuah pertanyaan:
"Mengapa ia dibunuh?"
Itulah yang belum kuketahui, pikir Tondi. Karena, tidak ada yang dirusak atau yang diambil
dari kamar almarhum. Bahkan setumpuk uang kontan, sejumlah kertas-kertas berharga, beberapa potong perhiasan yang mahal mahal, tidak disentuh oleh si pembunuh, kalau memang pembunuh itu bermaksud merampok. Jadi, bukan pencurian, bukan perampokan. Yah, barangkali, itulah ;waris, cemburu, sakit hati. Salah satu di antaranya.
Dengan tenang, Tondi menjawab:
"Kalau Harjadinata masih hidup, barangkali ia bisa menjawabnya!!
Perempuan itu terengah, kemudian ke luar dari kamar.
Pinggulnya yang padat, benar-benar membuat gatal tangan.
Tondi Sudisman menelan ludah.
Ia baru saja meneguk kopi terakhir yang di. antarkan Nengsih, lalu menyulut sebatang rokok, ketika ambulans datang. Setengah jam kemudian, sebuah mobil'meluncur memasuki halaman bungalow dan berhenti di belakang ambulans. Seorang perempuan setengah umur, berpakaian dan berdandan mewah, dengan potongan tubuh yang masih menarik hati, memasuki bungalow. Lalu, tangis pun meledak ledak, sehingga belakang kepala Tondi Sudisman berdenyut-denyut menyakitkan.
*** NYONYA ANNA, isteri almarhum yang sudah beranak tujuh, jatuh pingsan sampai tiga kali. Dokter yang datang bersama ambulans, terpaksa membagi waktunya dari memeriksa mayat ke pemeriksaan terhadap kesehatan tubuh nyonya Anna. Ia kemudian memberikan suntikan penenang, setelah mana perempuan setengah umur itu tidak lagi menangis, juga tidak tidur, namun sadar untuk menjawab beberapa pertanyaan. "Batasi dirimu!" memperingatkan dokter kepada Tondi. "Ia masih shock." Ia tidak banyak mengajukan pertanyaan. Perempuan itu menjawab seadanya, tanpa menyembunyikan segala sesuatu, meskipun yang sifatnya'
sangat pribadi. Di rumah, almarhum adalah seorang suami dan ayah yang baik dicintai dan mencintai. Di luar rumah, ia adalah seorang sahabat yang menyenangkan dan suka membagi kesenangannya dengan teman-teman dekat. Ya, pikir Tondi, antara lain, membagi Maria dengan Lukman, entah dengan siapa lagi. Itu sangat penting, pikirnya, dan gundah memikirkan peringatan dokter, ia memutuskan untuk menanyakannya.
Ia bertanya sebijaksana mungkin :
"Apakah di rumah, almarhum memperoleh kepuasan" Maksud saya, dalam soal perhubungan suami isteri "."
"Sudah saya katakan, ia seorang suami yang baik!"
"Dan ..., nyonya?"
Mata perempuan itu menjadi awas.
Tetapi kemudian, menjadi datar, dingin dan tak acuh.
"Saya mengerti maksud pak Tondi. Begini. Saya tidak tahu, apakah saya seorang isteri yang baik atau tidak. Tetapi saya senantiasa berusaha melayani suami dengan baik, dan ia kelihatan selalu merasa puas. Tetapi, ia seorang maniak. Ia tidak puas hanya dengan diriku seorang. Lalu, ia mencari kepuasan itu dari perempuan lain ...."
"Ah. Nyonya tahu ...."
"Bukankah ia suami saya?" rungut si perempuan, tenang dan sabar. Dan tampaknya ia memang seorang isteri yang penyabar. "Lagipula, suamiku selalu berterus terang. Ia tidak menyembunyikan apa pun dari depan maupun belakangku. Aku rela dan ikhlas, asal ia tetap kembali ke rumah dan tetap ingat bahwa ia punya isteri dan anak ...."
Jam empat sore, Tondi menutup buku notesnya.
Tertutup pula jalan yang licin untuk ia tempuh menuju pemecahan kasus yang misterius itu. Sementara itu nyonya Anna menyetujui usul Joko dan Lukman supaya suaminya dimakamkan di daerah peristirahatan itu karena memang suaminya pernah berpesan agar ia tidak dikuburkan di kota, takut suatu ketika kuburannya digusur .
Sampai penguburan selesai, laporan mengenai perempuan misterius yang datang tadi malam sebagai juru-tik, belum masuk.
Tondi belum pernah semurung hari itu.
*** Larut malam baru Lukman tiba di rumah. Sebenarnya ia ingin main domino lagi dengan mandor mandor perkebunan teh seperti malam sebelumnya, untuk melenyapkan kesepian karena
sang isteri sudah satu minggu hijrah ke rumah mertua, karena mertuanya yang perempuan sedang sakit keras. Tetapi ia terlalu letih, dan bayangan mengerikan dari kematian Harjadinata benar benar sangat mengganggu pikirannya. Ia langsung saja masuk ke kamar, melemparkan tubuh ke tempat tidur tanpa melepas sepatu, apalagi berganti pakaian.
Ia berguling-guling di tempat tidur, tanpa bisa terpejam.
Setelah menghabiskan empat botol bier dan setengah bungkus rokok, barulah ia mulai merasa mengantuk. Tetapi perutnya terlalu sesak, kebanyakan minum. Ia membuka tali pinggang dan melemparkan seenaknya saja, sehingga tidak menyangkut di gantungan akan tetapi jatuh dengan suara berisik ke lantai, tak jauh dari kaki tempat tidur. Demikian juga sepatunya, ia biarkan berserak di pojok kamar. Barulah kemudian, ia merasa lega dan tenteram ketika mengatupkan mata, dan berbaring dengan diam.
Entah berapa lama ia tertidur, Lukman tidak tahu.
Mungkin satu jam, dua, atau tiga, mungkin hanya beberapa menit. Ia terbangun oleh suara angin ribut ymg mengguruh menghantam pepohonan di luar rumah. dan membuat tirai jendela berkibar-kibar. Ternyata salah satu daun jendela terbuka. Angin dingin menerobos ke dalam kamar, membuat tubuhnya bagaikan dingin membeku. Ia bergerak dari bawah selimut, dengan maksud akan turun lalu menutupkan jendela yang terbuka itu. Tetapi kakinya baru saja menyentuh lantai, ketika ia lihat sesuatu bergerak, hanya setengah meter dari jari jari kakinya. Sesuatu yang berwarna gelap, berkilat-kilat oleh lendir, dan berbau busuk.
Ular! Ia tertegun, dengan tubuh seketika menjadi kaku.
Matanya melotot, terbelalak ketakutan melihat bagaimana mahluk melata itu menjalar perlahan, semakin dekat dan semakin besar, kemudian ia melihat bentuk yang nyata dari seekor ular python. Nafasnya terhenti ketika ular itu melingkar, dengan bagian leher terangkat ke udara, dan dari kepalanya yang lancip, tampak sepasang mata kecil berwarna hijau kemerah-merahan. Lidah yang lebih merah lagi, menjulur ke luar masuk lewat moncongnya yang membentuk garis oval, berusaha mencapai paha Lukman yang beku oleh ketakutan.
Bagaimana ular itu bisa berada di sini"
Apakah Tibatiba, kepala yang lancip itu meledak, dengan bunyi berdetuk yang dahsyat. Seolah dilanda sebutir peluru yang dengan kejam meretakkan tengkoraknya yang lunak. Darah memercik kian kemari, sebagian membercaki lantai, semakin menyembur ke wajah Lukman. Ia terpekik kaget. Pekikan itu membuat ia tersadar dari kebekuannya yang penuh kegilaan. Tangannya mulai bergerak ke depan, bersamaan dengan saat kepala yang lancip, pecah dan bergelimang darah itu menyambar ke arah lehernya.
"Tidaaaakkk!!" Lukman menjerit lengking.
Ia berusaha menepiskan benda yang menyerang ke lehernya itu sekuat tenaga. Akan tetapi sisik sisik tebal, kasar, dingin dan berbau busuk telah membelit lengannya, kemudian mencapai lehernya, mulai melingkar
"Tidaak Kau sudah mati. Sudah matiiii!!" Lukman hampir menangis, dan berusaha melawan belitan yang kian mencekik di leher. Tetapi dengan buasnya mahluk itu terus mempererat lingkaran tubuhnya yang besar dan hitam berkilauan, menjepit batang leher Lukman, menekan pernapasannya sampai dengus-dengus terakhir.
Lukman tidak lagi berteriak teriak.
Ia hanya mampu melakukan pemberontakan yang lemah, tak ubahnya katak yang sudah terperangkap. Jalan nafasnya terkunci. Matanya melotot hampir ke luar menahan sakit yang luar biasa, lidahnya menjulur semakin panjang ke luar, dijilati oleh lidah bercabang-cabang serta berlendir, disusul suatu pagutan yang menyengatkan di batok kepalanya. Lukman masih sempat mendengar suara berdetuk yang lemah di jidatnya, sebelum tubuhnya melongsor jatuh dari tempat tidur, kemudian tergelimpang di lantai. Diam, tidak bergerak-gerak lagi.
Tirai jendela berhenti berkibar-kibar.
Angin badai diam, melesu.
Malam bertambah dingin jua.
*** TONDI SUDISMAN baru saja akan berangkat Tke kantor, ketika diberitahu tentang kematian
Lukman. Bergegas ia mengebut jeep tuanya yang sudah reot ke perkebunan.
Sama seperti keadaan di kamar Harjadinata, pintu terkunci dari dalam, jendela terbuka, dan tidak ada barang-barang yang hilang. Yang ada, hanyalah tubuh Lukman yang terkapar di lantai, setengah melingkar menahan sakit. Kedua telapak tangannya, dengan keras mencengkeram tali pinggang dari kulit berwarna hitam pekat di masing masing ujungnya. Tali pinggang itu membentuk lingkaran di sekeliling leher korban, membelit dan menjepit sangat rapat sehingga leher Lukman seolah terbagi menjadi dua bagian.
Selain wajahnya yang kebiru-biruan, mata yang melotot lebar dan lidah yang terjulur panjang, juga terlihat benjolan halus dijidat. Ada luka kecil di benjolan itu. Tondi lama berpikir, kemudian menyimpulkan bahwa luka benjolan itu ditimbulkan oleh kepala tali pinggang yang terbuat dari logam keras, yang membentur ketika Lukman melakukan belitan yang mematikan itu.
Tondi bergidik. Ngeri. "Bunuh diri," desisnya, parau.
Tetapi, ia belum pernah melihat orang membunuh diri, atau sanggup membunuh diri, dengan mempergunakan tali pinggang yang dibelitkan kelehernya sendiri, ditarik oleh tangan-tangannya sendiri. Tidak. Ia belum pernah melihat atau mendengar kejadian serupa itu. Kalau ia tidak menyaksikan sendiri keadaan mayat itu, ia tidak akan mau percaya!
Dalam buku notesnya, siang hari itu, ia menulis:
"Panik dan shock, oleh goncangan jiwa!"
Barangkali Lukman memang menceritakan hal yang sebenarnya mengenai perburuan yang sial itu. Tondi Sudisman sudah melakukan pengecekan. Dm penduduk kampung di mana Lukman dan
Harjadinata meninggalkan mobil, sependapat mengatakan bahwa kedua almarhum telah memasuki hutan larangan. Bahkan beberapa orang di antara mereka, sempat melihat keluarnya kerakera berbagai jenis dari hutan, bersamaan dengan keluarnya Harjadinata dan Lukman dari mulut desa mereka. Belum pernah penduduk kampung itu melihat kera begitu dekat ke kampung, dan begitu aneh sikapnya.
Tegak diam, mengawasi mobil yang ditumpangi kedua almarhum, berlalu pergi
"Lalu, bunuh dirikah Harjadinata, seperti Lukman?" gumam Tondi, kecut, seraya bersandar di kursinya, dengan mata yang suram dan kosong.
Bagaimana caranya" Duduk di pinggir tempat tidur, menekankan ujung laras senjata berburu ke dahi. Senjata yang tegak lurus dengan popor rapat ke lantai. Lalu pelatuk ditekan, mempergunakan ibu-jari kaki
"Apakah setelah berbuat konyol begitu, Harjadinata berlaku lebih konyol lagi?"
Yakni, dengan kepala berlubang ditembus peluru sehingga otaknya berhamburan, masih mampu berjalan ke meja, dan meletakkan senjata itu di dekat mesin tik!
"Mesin tik!" Tondi mengigau. "Dan juru-tik!"
Matanya terpejam, membayangkan juru tik yang misterius itu. Terdengar suara Harjadinata mendikte, kata Joko, lalu mesin tik bekerja. Si juru-tik bekerja. Tetapi mengapa kertas-kertas itu kosong" Padahal pitanya masih bagus. Mesin tiknya masih baru. Bagaimana mungkin kertas-kertas tik itu kosong"
Hanya ada satu jawabannya.
Yakni, dengan menangkap juru-tik yang misterius itu.
"Tetapi, siapa dia gerangan" Dan di mana ia sekarang?"
Tondi pucat, dan berpeluh dingin.
Ia masih menunggu laporan masuk.
Dan ia akan terus menunggu.
*** SIA-SIA, TONDI. . Sia-sia kau menunggu. Sampai ubanan, kau tak akan mendapatkan laporan, setidak-tidaknya, yang benar. Kau kemudian pensiun, menjadi semakin tua, pikun dan mungkin lupa ingatan. Hanya ada satu jalan melepaskan dirimu dari penderitaan yang mengerikan itu. Lupakan! Lupakan kasus mengerikan dan membingungkan, dari kematian Harjadinata. Lupakan saja. Lalu pikirkan kasus-kasus lain, atau pikirkan anak isterimu. pikirkan peningkatan kariermu, lalu masa depan keluargamu.
Untuk meringankan bebanmu, barangkali bisa kututurkan sebuah kisah yang aneh, pada malam kematian Harjadinata, yang periang, acuh tak acuh, namun ternyata sebagai manusia, ada kelemahan nya. Yakni, sekali waktu, lupa diri. Dalam keadaan lupa, tampil bawah sadarnya yang buruk. Sehingga, ia menembak mahluk_ di atas pohon itu, dengan tidak berperasaan sama sekali, kecuali ingin menyenangkan hati sahabatnya.
Mobilnya terus meluncur setelah ia meninggalkan Lukman di perkebunan. Namun aneh, meskipun gas ia habiskan di jalan yang kadang-kadang buruk, toh mobil itu terasa seolah-olah diberati beban yang melampaui batas, atau tertahan pada sebuah tali yang terikat pada gunung di belakang. Rasanya lambat dan lama sekali baru ia tiba di rumah. Lebih lama dari dugaannya sendiri, sehingga malam hari ia baru sampai. Sebenarnya ia sudah teramat letih, dan berharap bahwa juru-tik yang sudah ia hubungi sebelum meninggalkan kota dua hari yang lalu, tidak jadi datang, apa pun alasannya.
Tetapi Joko mengatakan, jurutik itu sedang beristirahat di kamar tamu. Ah, Maria, Maria, memang kau seorang kekasih yang tidak pernah mau
melepaskan kesempatanmu, pikir Harjadinata seraya berendam di kamar mandi, membersihkan tubuh dan menyempatkan diri menyemprot beberapa bagian tubuhnya dengan cologne. Maria tidak saja hangat akan tetapi panas berapi api, kalau ia mencium bau yang segar dari tubuh seorang lakilaki.
Ketika ia menyuruh Joko mempersilakan jurutik itu masuk, ia heran melihat wajah pelayannya yang agak aneh dari biasa. Tetapi Joko tidak berkata sepatah pun, tampaknya sedang terpengaruh oleh gejolak pikiran yang membingungkan. Ah, tentu ia punya urusan lagi dengan Nengsih, isteri bekas pelacurnya yang sudah tobat itu. Biarkanlah. Ia tak patut mencampuri urusan orang, kalau tidak diminta.
Ia kemudian mengenakan piyama, lalu menunggu.
Lalu, masuklah jurutik itu. Juru tik yang bertubuh semampai, rambut panjang tergerai, dengan dada yang kecil dan lunak: pinggul lembut dan wajah yang cantiknya alang kepalang. Ia bukan Maria. Tetapi Harjadinata tidak perduli apakah ia Maria atau tidak. Sesekali ia menyukai pergantian selera. Tidak usah dada besar dan pinggul bergoyang-goyang. Siapa tahu, perempuan ini
"Siapa kau?" mulamula ia bertanya heran.
Perempuan itu memandangnya. Tajam, tetapi ada sinar birahi di matanya. Semakin ia perhatikan semakin ia sadari, bukan saja betis dan lengan akan tetapi juga, wajah perempuan itu ditumbuhi bulubulu halus dan pirang. Ajaib. Dari bulu bulu halus itulah, bersemarak ke luar rangsangan birahi yang ganjil itu.
"Apakah ..., nama saya, penting?" ia dengar suara lembut, halus, dan sayup sayup semampai.
"Lalu, mengapa dengan Maria?"
"Ia ia berhalangan."
"Hem. Kau tahu, apa tugasmu?"
"Apakah itu penting?"
Tidak, itu tidak penting benar.
Ia sendiri merasa sangat letih, ingin tidur, dan sudah memutuskan untuk tidak bekerja malam itu, membuat notulen dan beberapa masalah yang akan ia lemparkan minggu depan dalam rapat dewan komisaris. Tetapi, alangkah tidak lucu, kalau ia langsung meminta perempuan itu melepaskan pakaiannya, kemudian mengajaknya naik ke tempat tidur.
"Baiklah ...," ia merubah keputusannya. "Hadapilah mesin tikmu."
Perempuan itu berjalan ke meja.
Ketika melewati rak tempat senjata, si perempuan bergumam:
"Untuk apakah semua ini?"
Harjadinata memperhatikan ke rak, lalu :
"Pestol itu untuk menjaga diri. Senjata yang di bawah, untuk berburu unggas, yang paling atas, untuk binatang-binatang besar. Tetapi, apakah itu penting?" ia menirukan suara si perempuan.
Bibir ranum itu, merekahkan senyuman mempesona.
Harjadinata balas tersenyum.
Dan, mereka telah intim, semenjak itu.
Ia mulai mendikte. Sambil berjalan mundar mandir, sesekali duduk, mengisap cerutu, menenggak whisky. Di antara kalimat-kalimat yang sifatnya resmi dan harus diketik, ia selipkan kalimat kalimat tidak resmi, yang tentu saja tidak untuk diketik :
"Darimana kau berasal?"
"Masih terhitung orang daerah sini."
"Oh ya?" Dikte yang resmi lagi. Beberapa tegukan wisky, lalu :
"Berapa umurmu?"
"Ah, perempuan tak suka bicara tentang hari tua ...."
"Begitu?" Dan mereka tertawa, renyai.
"Sudah bersuami?"
"Pernah." "Dan?" "Pisah." "Cerai?" "Ditinggal mati ...."
"Oh maaf ...." Kerta kertas tik susul menyusul memasuki ban-mesin. Harjadinata tidak memperhatikan hasil ketikan perempuan itu, karena ia lebih tertarik memperhatikan perempuan itu sendiri. Benar, dada itu tidak terlalu besar, tetapi lekukannya begitu indah, dan bundarannya begitu manis. Kelihatannya sangat lembut dan lunak
"... wah. Makin kacau ...," suatu saat, jurutik itu menegur.
Harjadinata sadar akan dirinya.
"Aku lelah," ia berdalih. "Bagaimana kalau kita hentikan dulu, dan melanjutkannya besok?"
Belum lagi si perempuan sempat menjawab, telepon berdering.
Perempuan itu tersentak, kaget, memandang sebentar ke wajah Harjadinata. Yang dipandang tersenyum, ia sendiri kaget oleh telepon yang tiba-tibaitu.
"Terimalah ...," gumamnya, lembut.
Si perempuan mengangkat gagang telepon.
Lalu: "Hallo?" Terdengar suara sayup-sayup, tetapi Hariadinata mengenali suara Maria, dan mendengar perempuan itu berkata 'oh ya?" Ialu 'akan saya sampaikan'. Ia kemudian menutup corong penerima, lalu bertanya halus:
"Maria bersikeras datang besok pagi. Bagaimana?"
Harjadinata bingung. Mengapa" Bukankah Maria telah minta digantikan oleh temannya" Oh, tentu. Tentu. Maria memegang peranan, dan perempuan yang satu ini, hanya sebagai pelengkap, sekedar agar Hariadinata tidak kecewa tanpa Maria. Biarlah Maria datang. Bukankah besok Lukman berjanji akan datang" Pasangan mereka, lengkap kini. Tentang siapa dengan yang mana, bisa diatur besok."
"Katakan saja, okey."
Perempuan itu menyampaikan pesan itu, kemudian memutuskan hubungan.
"Aku merasa gerah ...," gumamnya, setelah itu, setengah berbisik, seraya memandang lurus ke mata Harjadinata.
Hariadinata tersenyum. Ternyata ia lebih agresip, pikirnya.
"Kubuka jendela?"
"Ah. Usul yang menarik ...," balas si perempuan, tersenyum.
Harjadinata berjalan ke jendela. Membukanya lebar-lebar, sehingga tidak saja cahaya rembulan, akan tetapi angin yang segar menerobos masuk ke dalam. Tubuhnya sendiri yang sudah dibakar oleh whisky, merasakan kenikmatan tersendiri dan' udara pegunungan di tengah malam, dalam elusan lembut dari bulan purnama itu .
Ia memutar tubuh, ketika lampu padam dengan mendadak.
Kursi yang ditempati si perempuan, kosong. Ia biasakan mata dengan kegelapan yang menghantu di kamar itu. Dengan bantuan rembulan yang menerobos lewat jendela, kemudian samar-samar ia melihat si perempuan terbaring di tempat tidur, dengan mata yang berkilauan memandang penuh ajakan ke arah Harjadinata. Ah, betapa indah mata itu, dalam pantulan rembulan. Dan betapa indah 'bentuk tubuh yang dibiarkan terbuka sebahagian, dengan kancing kancing blouse yang sudah dilepas. Rambutnya yang hitam, tergerai menyebar hampir memenuhi setengah tempat tidur. Harum yang semerbak dan menggilakan, menyerang hidung Harjadinata.
Seraya berjalan ke tempat tidur, ia melepas piyamanya.
Dan membiarkannya terhampar di kaki tempat
tidur. Di pinggir ranjang, ia ternanap sebentar, memperhatikan wajah yang kemilau, bibir yang ranum basah, leher yang jenjang mulus, dan payudara yang bundar dan lunak, semuanya meminta. Ia merunduk, dengan lutut gemetar, lalu menciuminya satu persatu, lembut dan birahinya perlahan lahan menggelora.
Perempuan itu mengerang, ketika Harjadinata naik ke ranjang.
Tetapi sang dewa baru saja akan melepas pakaian yang setengah setengah terbuka itu, ketika sang dewi berbisik:
"Apa itu?" Harjadinata terengah sebentar.
Lalu setelah memperhatikan wajah si perempuan, ia menoleh ke jendela. Ia tidak melihat apa pun, mula-mula, kecuali bayangan gelap di kejauhan, dan pepohonan yang rimbun di taman. Tetapi ketika ia rasakan tubuh si perempuan bergetar hebat, ia kembali memperhatikan lebih seksama. Dan, ia melihatnya!
Rimbunan dedaunan itu bergerak-gerak liar, meski angin sepoi saja.
Lalu terdengar suara jeritan-jeritan halus, tidak terlalu keras, tetapi iramanya menyayat tulang. Harjadinata dengan terkejut terduduk di pinggir
tempat tidur, dengan kedua kaki menjuntai ke lantai. Perlahan lahan ia mulai menangkap bayangan beberapa sosok tubuh bergayutan di cabang cabang dan beberapa ekor di antaranya melompat lompat dari satu pohon ke pohon yang lain. Tampak merupakan bercak-bercak hitam dalam jilatan rembulan
"Mahluk-mahluk terkutuk itu ...," ia mendesis. "Mau apa mereka?"
Terdengar tawa lunak di belakangnya.


Dendam Roh Jejaden Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia mau berpaling, tetapi si perempuan Sudah meluncur dari tempat tidur, berjalan di hadapannya, langsung ke rak di mana senjata-senjatanya tersimpan.
"Mau apa kau?" rungut Harjadinata, heran.
"Apakah kita biarkan mereka menimbulkan keributan?"
Harjadinata menyeringai dalam kegelapan.
Ia lihat si perempuan mengambil senjata berburu yang paling atas, senjata yang ia pergunakan hari itu, dan memperoleh sasaran yang salah, sehingga mahluk-mahluk di atas pohon itu, telah mengikutinya sampai ke rumah. Si perempuan kemudian berjalan ke jendela, seraya mengekang senjata pembunuh itu, memandang sebentar ke luar, ke arah pepohonan. Gerakan gerakan di sana semakin ribut.
"Senjata itu tidak berpeluru," kata Harjadinata.
"Aku punya pelurunya," jawab si perempuan, tenang, dan dingin.
"Ah?" "Kuperoleh di hutan, di antara semak-semak, dekat sebatang pohon."
Harjadinata yang sudah akan bangkit untuk mengambil kotak peluru, terpaku di tempat duduknya, di pinggir tempat tidur. Ada gidikan halus di tengkuknya. Jangan-jangan Tetapi ah, pikirnya, mungkin saja di hutan lain, bekas pemburu yang lain. Lalu ia bergumam, halus namun entah mengapa, mulai cemas :
"Mungkin pelurunya tidak cocok, dan bekas ditembakkan .?"
Perempuan itu memasukkan sesuatu ke tempat peluru yang benar di senjata yang ada dalam genggamannya. Semua gerakan itu ia lakukan dengan ringan dan lincah, sehingga Harjadinata merasa heran dan takjub, bagaimana senjata yang begitu berat tidak menggoyangkan keseimbangan seorang perempuan yang begitu lembut.
"Aku tahu, pelurunya cocok. Karena aku melihatnya sendiri ditembakkan dari senjata ini ...." '
"Tetapi tentu peluru kosong dan Ha!" Harjadinata menjadi pucat. "Bagaimana kau tahu, peluru itu berasal dari senjataku" Kapan kau melihatnya kupergunakan?"
Perempuan itu membalikkan tubuh.
Ia menghadap langsung ke tempat tidur, dan membidikkan senjatanya langsung ke kepala Harjadinata, yang menjadi kaku di tempat duduknya.
"Aku punya kekuatan untuk datang menemuimu," katanya, sayup sayup sampai, tetapi terdengar kejam dan mengerikan. "Maka, aku pun mempunyai kekuatan untuk menembakkan senjata ini, meski pelurunya hanya sebutir kerikil ...."
"Tetapi mengapa ...."
"Demi suamiku!"
"Aku ..., aku tak mengerti ...," bibir Harjadinata kumat-kamit, sementara pikirannya terus bekerja. Namun siasia saja. Persendian tubuhnya seperti tidak mau digerakkan. Hanya pori-pori kulitnya yang bergerak, membuka semakin lebar, merembeskan peluh dingin yang mulai menganak sungai di sekujur tubuhnya.
"Kau ..., telah ..., membunuhnya ...," suara si perempuan semakin sayup, semakin parau, semakin berat ..." tadi siang ..., di hutan ..., ketika aku tengah ..., bercumbu dengannya ....!"
"Tidak Tidak mungkin!"
Tetapi ucapan itu tidak ke luar dari mulut Harjadinata, melainkan memberontak dalam dadanya. Karena, semakin terbiasa matanya dalam kegelapan, semakin ia bisa memperhatikan dengan lebih jelas. Pakaian yang melekat ditubuhnya yang putih mulus ikut mengelam. Di tempat di mana pakaian yang cemerlang itu tadi melekat, kini tumbuh bulu bulu yang berwarna gelap agak kepirang-pirangan. Lengan-lengan yang memegang senjata itu bertambah panjang, tetapi 'tetap teracung ke depan, memperlihatkan bulu-bulu yang sama hitam dengan laras senjata itu sendiri.
"KK -aa -uuu ...."
Wajah di dekat jendela, menyeringai. Lebar. Sangat lebar. Wajah yang telah berubah kehitam hitaman, memperlihatkan lidah yang merah, basah, berlendir, dan gigi-gigi taring yang panjang, runcing gemerlapan
Terdengar suara berdetak yang lunak.
Harjadinata mengenal suara itu. Pelatuk menyentuh lingkaran penahan. Tiada suara tembakan. Tiada letusan yang menggema mengerikan. Tetapi, sesuatu seolah menyentuh dahinya, tepat di tengah-tengah, hampir di antara kedua biji matanya. Harjadinata terhempas ke belakang, dengan kedua lengan terpentang lebar, kemudian terkapar di permukaan ranjang. Kakinya yang terjuntai ke lantai, berkelejotan sesaat, kemudian diam.
*** Terdengar suara menggeram yang dahsyat.
Sosok tubuh di dekat jendela bergerak ke tempat tidur, memperhatikan tubuh Harjadinata yang terbaring mati.
Sosok tubuh itu kemudian meletakkan senjata di atas meja.
Kemudian, bergerak ke jendela, memukul mukul dada, seraya memekik mekik. Dari pepohonan terdengar sahutan riuh rendah. Sosok tubuh itu meloncat ke luar jendela. Berlari-lari dari satu pohon ke pohon yang lain. Semakin lama tubuhnya semakin kecil, kemudian hilang lenyap di kejauhan, diikuti oleh serombongan bercak bercak berwarna hitam, dalam jilatan rembulan. Ketika itu, rembulan, teramat pucat.
*** SENYUMKU KEPADA ALMARHUMAH
Hari ini perkenankanlah aku bercerita tentang
seorang supir taksi. Dan, berhubung perkenalan kami teramat singkat, maka aku akan bercerita apa adanya saja. Bus yang kutumpangi dari Jakarta sudah tancap gas begitu ke luar dari terminal Cililitan. Waktu menunjukkan beberapa menit menjelang tengah malam. Jalanan kosong melompong. Tak heran bus melaju dengan kecepatan di atas 100 di jalan rata, dan hanya menurunkannya sekitar 20 atau 30 di belokan biar bagaimanapun tajamnya.
Memasuki daerah Puncak, beberapa ratus meter setelah tanjakan Tugu kecelakaan itu pun terjadi. Bukan salah supir bus. Sebuah truk yang sarat
muatan datang dari arah berlawanan. Di sebuah pengkolan, bus dan truk berpapasan. Sialnya, truk mencuri jalan terlalu ke kanan. Suara hingar bingar lantas meledakkan kesunyian di dinihari yang dingin berkabut. Sumpah serapah campur baur dengan jerit tangis orang yang terluka. Mungkin juga ada ymg mati seketika. Aku tak tahu. Karena sebuah mobil patroli polisi kebetulan pula melintas dan dengan sigap menangani keadaan.
Aku sempat membantu seorang perempuan yang kepalanya mengucurkan darah melepaskan diri dari jepitan besi kursi ; menolongnya turun dari bus, dan menyerahkan pada seorang polisi yang baru selesai mengadakan hubungan melalui radiomobil. Kuharap saja ambulan segera datang diSertai sejumlah tenaga terampil. Seorang lakilaki tua minta disandarkan ke sebatang pohon. Setelah mengabulkan permintaannya , cepat cepat aku berlalu. Tentu saja aku tidak punya andil apaapa dalam peristiwa kecelakaan itu. Jadi tak ada yang perlu kucemaskan. Tetapi aku paling tak suka berurusan' dengan polisi. Soalnya, waktu aku masih kuliah rumah tempatku kost dimasuki maling. Aku lantas melapor ke pos polisi setempat. Dan apa yang kualami" Bukannya polisi segera turun tangan. Tetapi lebih dulu aku ditanyai hampir satu jam lamanya. Dan sebagian dari pertanyaan itu maksudnya dapat kutangkap bahwa,
aku orang pertama yang dicurigai. Petugas tak mau tahu, bahwa arloji pemberian salah seorang pacarku, ikut disambar maling.
Kembali ke peristiwa musibah tadi. Selagi polisi sibuk aku bergegas menghindar. Menyelinap dalam kegelapan. Jalan kaki. Masih shock oleh peristiwa itu, aku menempuh arah yang keliru. Semestinya aku mundur ke arah kami mula datang. Ini malah berjalan cepat-cepat ke arah tujuan. Sekitar tiga atau empat ratus meter aku berhenti. Tegak menunggu bus atau kendaraan lain yang menuju Bandung. Lama aku menunggu, tak juga dapat tumpangan. Untuk menghilangkan perasaan kebas di kaki dan jemu di hati, kuteruskan berjalan. Jaket kurapatkan sambil bersyukur tidak punya beban yang harus dipikul. Hanya sebuah tas kecil berisi suratsurat dan sedikit uang ;honorarium sebuah novel yang baru kuterima dari salah satu majalah terbitan ibukota.
Lebih dari satu jam berlalu. Dua bus sudah lewat. Penumpangnya amat sarat. Tentu saja ditambah oleh penumpang bus yang terkena musibah tadi. Disitulah baru kusesali mengapa aku menempuh arah keliru. Salah satu bus lewat begitu saja, mungkin tidak melihatku. Bus satunya ini menurunkan kecepatan. Tetapi di dalam kulihat sudah banyak orang berdiri. Sampai ada yang bergantung di pintu. Aku disuruh begitu
pula" Nanti dulu! Kaki ini sudah tak sanggup!
Sebuah colt buntung mau dihentikan. Sayangnya tempat duduk depan sudah penuh. Aku disuruh menambah tumpukan sayur mayur di bak belakang. Bisa aku terlempar nanti, kalau mengantuk. Jadi, kulangkahkan lagi kaki ini. Kadang kadang nekad menyerobot jalan bila ada cahaya lampu mobil atau sepeda motor mendatang dari kegelapan. Selain seruan kaget si pengendara, yang kudapat selebihnya cuma caci maki.
Hampir putus asa, dalam kesunyian malam itu aku sampai berteriak lantang: "Jadah! Apa aku ini mereka kira hantu gentayangan" Oke. Oke. Kalau begitu, biarlah sekalian aku minta bantuan hantu saja ....!"
Seruanku belum usai, ketika sebuah mobil ke luar dari balik kabut. Lampunya menyilaukan mata. Datangnya begitu tiba-tiba pula. Aku menghindar ke tepi. Sudah tak bernafsu minta tumpangan. Maha Besar Tuhan, justru mobil itu yang berhenti sendiri.
" perlu bantuan?" kudengar suara sayup. Aku sampai ternganga. Ta'jub. Tetapi pintu mobil sudah dibuka dari dalam. Disertai ajakan ramah : "Ayo, naiklah."
Di dalam mobil, hanya ada si pengemudi. Aku memperkirakan umurnya sekitar 30 tahun, berwajah tampan tetapi dengan gurat gurat keras. Sebaliknya, mata pengemudi itu kelihatan suram. Semua gambaran itu kuperoleh bila mobil kami berpapasan dengan mobil lain dan cahaya yang menyergap sekilas memperlihatkan rupa si pengemudi. Ia kutawari sebatang rokok, tetapi menolak. Lagi batuk, katanya. Dan memang sekali dua ia terbatuk. Serak, parau, agak ditahan. Tanpa kuminta ia memberitahu mengapa aku begitu beruntung. Mobil yang kutumpangi sebuah taksi. Baru pulang mengantar langganan ke Bogor. Di Bogor penumpang sepi, sedang di Bandung isteri menunggu.
"Jadi, biar kosong aku memutuskan pulmg saja," katanya, tersenyum. Lalu : "Anda belum memperkenalkan diri."
Baru saja kusebut nama, ia sudah memotong dengan pertanyaan penuh minat: "Pengarang itu, ya?"
Malu-malu dan bangga, tentu saja, kuakui kebenaran tebakannya. Percakapan kami tidak lagi kaku. Tiba-tiba kami sudah menjadi dua orang sahabat lama yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Dan sebagai seorang sahabat, ia menawarkan sesuatu:
"Mau kuberi bahan" Sebuah kisah, yang kujamin pasti menarik. Cerita yang langka terjadi."
Banyak kenalanku mengatakan serupa. Kebanyakan pula apa yang mereka katakan menarik tak lebih dari sampah. Dan apa yang mereka katakan langka tak ubahnya gelandangan yang dapat kau temui banyak bergelimpangan di emper toko.
Tetapi kemudian harus kuakui, cerita orang ini memang luar biasa atau, paling tidak, tentang apa dan siapa dia sebenarnya
*** NAMANYA ringkas, mudah diingat. Parto. Profesi sebagai supir taksi sudah ia jalani semenjak usia 21 tahun. Jebolan STM, dan sempat menikmati kebanggaan sebagai mahasiswa ITB, fakultas tehnik jurusan mesin. Belum setahun jadi mahasiswa, ia sudah drop-out. Ayahnya, seorang kepala sekolah, meninggal setelah bertahun tahun menderita tumor otak. Pensiun janda ibu Parto tadi seberapa. Maka ia putuskan berhenti kuliah, lalu kerja apa saja untuk membantu keperluan ibu dan tujuh orang adik-adiknya.
"Mujur, seorang paman yang kaya kemudian turun tangan membantu kami," cerita Parto, m tara lain." Aku dianjurkan meneruskan kuliah. Kutolak. Adik-adikku lebih membutuhkan pertolongan paman. Setelah beberapa lama aku menarik taksi orang. paman menawarkan salah satu dari mobilnya. Yang ini saja, sambil Parto menepuk-nepuk kemudi dengan wajah ceria. Mendung di matanya seolah lenyap pada saat ia menceritakan keberuntungannya. "Aku tak dikenakan jumlah wajib setor yang tetap oleh paman. Tetapi itu justru membuatku lebih berhati-hati. Aku tak mau mencuranginya. Sehingga hubungan kami tetap terjaga sebagai keluarga. Dan sebagai majikan, ia tentu saja sangat kuhormati."
Parto memilih rute Bandung Jakarta. Rute basah. Namun begitu, tentu saja ia menerima tawaran dicarter ke luar kota. Sering untuk beberapa hari lamanya. Beberapa kali ia ditipu orang. "Tetapi aku orang yang sabar. Percaya, Tuhan tidak akan menjauhkan rejeki selama kita tabah," kisah Parto. Ia lalu berkisah tentang langganan atau penumpang bangsa sendiri : kikir, tetapi kalau sudah ketemu yang baik hati, royal bukan main. Lebih royal dari orang-orang Eropa. "Tetapi soal kikir, orang kita masih belum apa-apa. Sekali kau ketemu turis Jepang, kau harus pintar mengakali mereka. Lagaknya sih hebat. Tetapi soal duit, payah. Bisa-bisa nombok."
Karenanya Parto lebih suka memilih turis Eropa. Selain hambur dengan lembaran dollarnya, senang memberi tanda mata. Apalagi Parto menguasai aktif maupun pasif bahasa Inggeris, dan sedikit-sedikit Jerman dan Perancis. Pengalamannya banyak pula. Baik tentang alam atau kebudayaan daerah yang dikunjungi para turis langganannya. Dan terutama, pengetahuannya tentang karakter dan tingkah laku manusia. Dengan pengetahuan itu ceritanya tak pernah putus. Umumnya cerita jorok. Tetapi turis asing menyukainya, membuat mereka tertawa terbahak bahak sampai berleleran air mata." Dan Parto menerima untungnya : tip dalam jumlah besar. Uang, maupun barang.
"Kini, cerita intinya," ujar Parto tahu agak mengantuk. Kurang tertarik dengan cerita sebelumnya yang kuanggap bertele-tele." Dan bung akan kutendang ke luar, kalau bilang cerita yang ini tak ada apa-apanya." Ungkapan kasar. Namun karena di ucapkan sambil tertawa, kumaafkan dia.
*** Suatu malam. "Kira-kira seperti waktu sekaranglah," katanya. Parto baru pulang dari perjalanan keliling pulau Jawa dan Bali. Dua minggu lebih, mengantar tiga orang turis Jerman : suami isteri dan seorang puteri yang menginjak usia remaja. Pulang lagi ke Bandung, ketiga orang turis diantar Parto ke hotel tempat mereka akan menginap sebelum kembali ke negeri asal. Tahu, apa hadiah yang didapat Parto" Tip sejumlah besar uang, tentu saja. Itu lumrah. Juga seuntai kalung emas bertatahkan berlian milik si nyonya Jerman.
"Tanda mata saya untuk isterimu di rumah," kata nyonya yang budiman itu, sambil berlalu mengiringi suaminya masuk ke hotel.
Tinggal puteri mereka yang masih remaja.
Ia rupanya, dengan bintik-bintik kemerahan" di kedua belah pipi. Beberapa kali memeluk dan mencium Parto dalam perjalanan keliling. Sekali, pura-pura salah masuk kamar di Singaraja, Bali : tetapi Parto tertolong keadaan. Parto sedang mabuk dan muntah ketika gadis itu masuk.
Nah : Di Bandung, si remaja Jerman sengaja turun belakangan. "Kamarku terpisah. Nyaman dan enak di dalam._ Ayo ikut. Satu jam saja ...," ditambah maksud terang terangan : "Aku ingin kau Buat bahan cerita pada teman-teman kalau aku pulang nanti."
"Berapa tahun usiamu, nona?" tanya Parto.
"Empat belas. Kenapa?"
"Kau mengingatkan aku pada anakku di rumah!"
Itu bohong, tentu saja. Untung Parto pernah bercerita, di negeri tercinta ini lumrah kalau suami isteri sudah naik ke pelaminan walau yang wanita harus tempat es-de, dan yang lelaki masih suka menghapus ingus pakai lengan.
"Tetapi kau pernah bilang bahwa kau ...."
Protes gadis itu dipotong Parto dengan alasan yang sangat masuk diakal : "Kalau aku menidurimu, nona cantik, kok rasa rasanya aku meniduri anakku sendiri!"
Paling tidak kekecewaan gadis itu terobati dengan sebutan 'nona cantik'. Dikulumnya berlama lama bibir Parto, menanggalkan liontin bermata batu safir merah darah yang dipakainya, dan berkata : "Untuk anakmu," lantas menghilang ke dalam hotel.
Hampir saja, pikir Parto bersyukur. Ia bukan tak mau pada si remaja itu. Ia ingin menggumulinya, kalau perlu sampai pagi. Tetapi Parto adalah satu dari sedikit supir-supir, yang sadar isterinya dengan setia dan harap-harap cemas menunggu di rumah. Sedang Nirmala, baru tiga tahun dinikahi Parto. Dari tiga tahun itu, paling setengahnya mereka tinggal bersama. Maklum supir taksi, mobil jadi isteri kedua. Menyedihkan memang. Tetapi sukanya tiap bertemu lagi, rindu bukan main, mesra tiada kirakira. Lebih asyik ketimbang masih pacaran!
Birahi Parto sudah meledak ledak sewaktu meninggalkan hotel. Maksud mengembalikan mobil lebih dulu ke garasi pamannya, dibatalkan. Ia sudah tak tahan, jadi terus saja ke rumah. Mobil ditinggalkannya di tepi jalan, lalu bergegas memasuki gang sempit dan becek habis disiram hujan. Sunyi sepi sepanjang gang. Bahkan petugas ronda malam, seolah enggan meninggalkan tempat tidur. Rumah kecil sederhana yang ditempati Parto suami isteri, lebih sunyi lagi. Lampu teras menyala. Tetapi di dalam gelap gulita. Janganjangan Nirmala tak tahan menanggung sepi dan
kabur ke orang tuanya. Tetapi tidak. Nirmala tak pernah begitu. Ia pemberani, teguh pendiriannya. "Sendirian menantimu, lebih nikmat. Konon, bila kau tibatiba pulang," selalu Nirmala berucap penuh cinta kasih. Dan wahai, betapa cantiknya dia. Perawan Jerman itu di mata Parto dapat angka 7. Nirmala, 9. Atau 10, kalau saja tak ada bekas kudis di betis kirinya.
Parto selalu bawa kunci sendiri. Ia masuk ke dalam. Membiarkan suasana tetap gelap gulita. Ia ingin mengejutkan Nirmala, dengan bisikan menakut-nakuti : "He, perawan kudisan. Pilih harta, atau nyawa?". Dan biasanya, akan terdengar bisik sahutan : "Oh. Si punggung berpanu kiranya. Aku pilih main cinta saja."
Birahi Parto makin melonjak lonjak rasanya.
Kamar tidur tidak terkunci. Ketika ia buka perlahan-lahan, terdengar suara berderit halus di ranjang. Parto gemetar, melimpah oleh hasrat tak tertahan. Ia baru membisikkan : "He, perawan.?" sudah terdengar sahutan sayup-sayup sampai lain dari biasa:
"Sayangku. Kau pulang juga akhirnya."
Dalam gelap, mereka berpelukan. Tak perlu bantuan cahaya untuk mengenali satu sama lain. Bila kau naik ke ranjang pasanganmu, menggumulinya, maka kau pasti dapat mengetahui dengan mata terpejam, apakah ia isteri atau suamimu, ataukah tikus lain kesasar memasuki lubang yang salah.
Dua kali mereka bermain cinta.
Kemudian: "Sudah lama aku tak ke luar rumah, mas. Yuk jalan-jalan ah ...."
"Aduh. Masih capek. Ngantuk lagi, Mala."
"Ngg ...." Rajukan Nirmala jauh lebih gawat ketimbang hentakan seorang langganan yang marah. Kembali mengenakan pakaian, Parto mengikuti isterinya ke luar rumah. Ia agak heran, Nirmala berpakaian lebih cepat dan lebih ringkas dari biasa. Dan tahu tahu ia sudah menanti di pintu depan, sebelum Parto sendiri sempat mengancingkan celana. Namun keheranan itu lenyap setelah melihat senyum manis penuh rasa cinta di bibir Nirmala yang merekah, berbunga. Mereka menempuh gang sempit becek itu hati-hati. Sesekali Nirmala terpekik manja, untung tidak membangunkan tetangga sebelah menyebelah.
Mobil masih ditempatnya semula di parkir.
Mesinnya masih panas. Dan melaju membelah kegelapan malam, tanpa banyak cincong.
"Kau ingin kuantar ke mana, sayangku?"
Tanpa melepaskan rangkulan dari lengan suaminya, Nirmala menyahuti dengan suara rendah : "Terserah kau. Mas."
"Hem ...," Parto berpikir sebentar. Lalu ; "Bagaimana kalau ke rumah paman" Sekalian aku melapOr-"
"Aku setuju saja. Malah senang ...."
"Hei. Biasanya kau menolak kalau kuajak ketemu paman," cetus Parto, tercengang.
"Ia orang baik, aku tahu. Tetapi mas, kebiasaan jeleknya itu!"
"Tak terlalu jelek, menurutku. Kau tahu Mala. Ia selalu memperlakukan adil keempat isterinya."
"Dengan menyimpan sekeranjang lagi di luaran?"
"Yang penting, isteri dan semua anak-anaknya hidup terjamin. Tak kekurangan. Isteri-isterinya kompak satu sama lain. Anak anak mereka, semua maju. Mereka sudah tahu siapa suami atau ayah mereka. Paman sudah tua sudah sukar dirubah. Mau apalagi?"
"Kau selalu membelanya, mas."
"Ia pamanku. Dewa penyelamat keluargaku, sejak belasan tahun lalu. Murah hati. Tak pernah bertanya untuk apa uang yang diminta ibu, atau ke mana perhiasan yang dulu dibelikannya untuk adikku si Mira yang royal itu. Dan -ah, agaknya kau lupa. Dengan mobilnya, kita akhirnya punya rumah sendiri. Masih kurang" Mobil ini, ia perkenankan kucicil. Tinggal sedikit lagi. Dan dengan apa yang kuperoleh selama dua minggu terakhir ini ...."
Kegembiraan di wajah Parto, meredakan protes isterinya. "Kau bawa apa untukku, kekasih?"
"Wah. Tertinggal di rumah. Oh, oh. Pasti matamu terbelalak kalau melihatnya nanti. Kuperoleh dari ...."
"Mereka orang orang baik, aku percaya."
"Dermawan lagi ."
"Kau tak dibuat pusing oleh mereka, aku percaya."
"Malah gembira."
"Sampai kau lupa padaku?"
"Kadang-kadang memang ya," jawab Parto jujur. Dan kejujuran itu, menambah kesetiaan sang isteri padanya. "Tetapi kau rasakan sendiri tadi di tempat tidur, bukan" Dua kali aku meminta. Pertanda, betapa aku menginginkanmu lebih dari yang lain."
"Cium aku, mas."
Parto mencium Nirmala. Lembut. Tak lama kemudian mereka memarkir mobil di halaman luas rumah paman Parto.
"Pergilah mengetuk pintu," pinta Nirmala. "Tak baik kalau yang dilihatnya duluan, aku." _ Wajar, pikir Parto. Dan pertanda ketidak sukaan Nirmala pada pamannya, masih membekas. Ia tinggalkan Nirmala yang bersikeras menunggu di
dalam mobil, lantas berjalan ke pintu depan. Ia mengetuk, kemudian ingat, lalu memijit bel. Dua kali. Keajaibanlah -mengingat apa yang telah dan kemudian terjadi yang menyebabkan si pembuka pintu, justru paman Parto sendiri. Wajahnya kusut, tetapi gembira setelah mengetahui siapa yang dinihari begini membangunkannya dari tidur.
"Eh, nak. Kapan pulang" Ayo, masuk. Masuklah!"
"Sebentar, paman. Kupanggil dia dulu."
"Dia siapa?" "Isteriku, tentu," Parto tersenyum.
Pamannya membalas senyuman Parto. "0h ya, tentu saja kau datang dengan Nirmala. Kalau tidak ...," senyumnya, mendadak lenyap. Wajah pun berubah pucat pasi, sementara kedua biji mata seakan mau terlonoat ke luar," Kau maksud, Nirmala -ada di -sini" Tidak mustahil. Ia ...."
Mendadak pula, belalak matanya beralih dari keponakannya ke sosok tubuh yang tahu-tahu sudah berdiri di belakang Parto. Nirmala tersenyum pada paman mertuanya. Menyapa, lirih, dengan suara seperti desiran angin musim kemarau: "Sehat-sehat saja, paman?"
Paman tidak menjawab. Karena ia sudah keburu semaput. Terjerembab di lantai.
Jatuh pingsan. "Ayo kita pulang," bisik Nirmala. Suaranya ketakutan.
Parto mulanya akan menolong pamannya. Tetapi ia diseret Nirmala menjauhi rumah itu tanpa memperdulikan protes yang meluncur dari mulut si suami. Ketika mobil meluncur ke luar dari halaman, sempat Parto dengar suara-suara ribut di dalam rumah pamannya. Keluarga paman telah pada bangun. Mereka akan menolongnya.
Tetapi Parto belum puas. "Ada apa, kok paman jadi begitu?"
"Besok juga mas akan tahu."
"Besok" Kenapa tidak sekarang saja, Mala?"
"Sekarang, mas. Aku ingin pulang. Aku ingin menghabiskan sisa malam denganmu. Kau tidak tahu, betapa lama aku menunggu datangnya saatsaat membahagiakan ini ...."
Keadaan masih sepi ketika mereka melangkahi gang dan masuk ke dalam rumah mereka sendiri. Beberapa saat lamanya Parto masih tak tahu mau berbuat atau berkata apa. Pikirannya kacau. Kecurigaan bertumpuk di benaknya. Namun sang isteri tidak membiarkan suaminya berlama-lama dilanda bingung dan panik.
"Ayolah, kekasih. Cumbui aku." Nirmala
sudah menanti di bawah selimut.
Parto geleng kepala. Kesadarannya belum pulih.
"Yang" Yang?" desah Nirmala, penuh rayu. "Aku kedinginan, Yang. Sini, kau peluk aku ...."
Beberapa saat kemudian, Nirmala sudah mencumbu suaminya sedemikian rupa dahsyat, luar biasa, mempesona dan belum pernah dialami Parto sepanjang mereka berumahtangga. Nirmala melampiaskan birahi seolah baru pertama terjadi tak akan berulang lagi.
Esoknya Parto bangun kesiangan.
Itupun setelah pintu rUmahnya digedor-gedor orang dari luar. Rupanya oleh tetangga sebelah dan salah seorang sepUpu, anak tertua pamannya. Sepupunya menangis tersedusedu, bercerita tak karu-karuan. Dari tetangganya Parto lantas tahu bagaimana mereka tahu ia ada di dalam rumah. Mereka melihat mobilnya di parkir di tepi jalan dan tahu Parto sudah pulang. Tetapi kabar itu tidaklah penting.
Yang penting, kabar mengenai pamannya.
Orangtua itu ditemukan sudah meninggal dunia, pagi tadi. Paman Parto mati gantung diri.
Lebih mengagetkan lagi : Parto kalang kabut mencari isterinya. Tetapi bagaimanapun ia ribut kian kemari, Nirmala tak pernah lagi terlihat. Juga oleh tetangganya, yang selain keheranan juga
sangat masygul. Sebenarnyalah Nirmala telah meninggal dunia. Bukan pagi itu, tetapi sepuluh pagi sebelumnya. Nirmala menelan satu botol pil tidur dan usaha dokter di rumahsakit ke mana ia dilarikan, sia-sia saja. Nirmala menghembuskan nafas terakhir, dengan meninggalkan pesan yang membingungkan semua orang: "Cepat pulang, sayang ku. Aku akan tetap menunggu."
PARTO terisak-isak. Wajah supir taksi yang keras telah berubah selunak bubur. Tetapi mobil tetap terkendali. Aku tak perlu cemas.
Mulanya akan kuucapkan turut belasungkawa. Tetapi kukira ucapan itu tidak berguna. Jadi aku diam saia. Setengah percaya setengah tidak dengan kisah Parto yang menta'jubkan itu. Isterinya tetap menanti dengan setia, biar telah berpindah tempat ke dunia lain. Dan dari kegaiban dunia penuh misterius itu, ia bercumbu dengan si suami, kemudian melakukan pembalasan dendam dengan caranya yang khas.
Pembalasan dendam arwah Nirmala dikisahkan Parto menjelang mobil kami memasuki mulut kota Bandung yang dingin menusuk. Tidak seorangpun yang tahu mengapa Nirmala tampak
murung dan berdukacita. Dua hari ia mengunci diri, sampai orang akhirnya mendobrak rumah dan menemuinya tengah sekarat menjelang ajal. Hanya Parto yang tahu. Isterinya bukan orang pasar mulut. Apalagi mengenai rahasia keluarga. Jangan dikata lagi, bila itu menyangkut paman Parto yang selalu disanjung penuh hormat oleh suaminya.
"Sebelum gantung diri, paman menulis sepucuk surat pendek. Direkat rapat. Ditujukan untuk aku, pribadi. Tahu isinya?"
Geleng kepala, adalah jawaban terbaik yang dapat kuberikan.
"isinya ...," lanjut Parto, lirih. "Bahwa ia minta maaf. Ia menyesali perbuatannya. Telah lama ia menaruh hati pada Nirmala. Telah beberapa kali pula ia mencoba iman Nirmala. Selalu gagal, dan selalu pula Nirmala merahasiakannya padaku. Lalu tepat setelah aku meninggalkan rumah mengantar turis Jerman itu ;tiga hari pula sebelum Nirmala nekad bunuh diri, -paman mencegat Nirmala di mulut gang ketika Nirmala akan pergi belanja ke pasar."
Orangtua itu dalam keadaan mabuk. Itu yang tertulis dalam suratnya. Dengan dalih ia mendengar kabar buruk mengenai Parto, pamannya dapat mengajak Nirmala naik ke mobil. Ada telefon ia terima, katanya. Parto mengalami kecelakaan, kalau tak salah di Surabaya. Nirmala terpukul. Ayo, kata sang paman mertua : aku sudah tahu kau kaget mendengarnya -jadi sudah kusediakan minuman penyegar -ini, cicipilah seteguk dua agar kau lebih tenang. Setengah sadar Nirmala menerima uluran paman Parto. Setelahnya ia pusing. Dalam keadaan masih pusing ia kemudian sadar telah terbaring di ranjang kamar sebuah motel, dengan tubuh paman mertuanya menghimpitnya. Dengan kejam, begitu isi surat pamannya pada Parto : "Kuancam dia, agar tidak buka rahasia. Sekali itu dilakukannya, segala jalan akan kucari untuk menjauhkan dia dari sisimu!"
"Padahal itu tak perlu," ucap Parto, tersendat sendat sambil membelokkan mobil ke arah kiri di perempatan AsiaAfrika. "Aku tahu betul. Nirmala tak pernah ingin merusak hubungan baikku dengan paman. Satusatunya ia pernah mencoba, adalah ketika kami bertengkar malam itu. Malam, ketika Nirmala -atau lebih tepat, roh Nirmala -, kuajak menemui paman. Ancaman itu tak perlu. Sungguh tak perlu!"
Masih dengan wajah muram, ia menghentikan mobil di depan rumahku setelah dengan enggan aku memberi petunjuk. Sebagai pertanda simpathi, aku mengajak dia : "Aku bujangan. Bagaimana kalau bung ikut masuk" Aku akan membuat kopi yang enak."
Ia setuju. Sambil mengiringiku dari belakang masuk ke rumah yang tahun depat akan kupersembahkan pada calon isteriku tersayang, kudengar Parto bergumam : "Bukan karena kopi itu aku ikut. Tetapi, karena ceritaku belum berakhir ...."
*** YA, IA BENAR Ceritaku inipun, masih berlanjut.
Beberapa kali Parto menolak meneguk minumannya, dengan alasan menunggu sampai minuman itu dingin. Sementara itu kami terus ngobrol ngalor-ngidul. Dan buntut buntutnya selalu ke riwayat hidup Parto, supir taksi yang memelaskan hatinya itu.
"Tahu mengapa aku dan Nirmala begitu leluasa ke luar masuk gang, ke luar masuk rumah tanpa ada yang mengusik?" Setelah aku geleng kepala Parto menjawab sendiri : "Karena, orang bilang gang dan rumah itu berhantu. Dengan caranya sendiri, isteriku selalu berusaha menjauhkan setiap orang yang ingin mendekati rumah kami. Rupanya, ia ingin dibiarkan sendirian. Menungguku pulang ...."
Air matanya menetes lagi.
Tak terasa, kelopak mataku ikut basah.
"Apa yang terjadi kemudian?" tanyaku berpikir apa gunanya pertanyaan itu.
"Aku hampir gila, tentu saja."
"Dan?" _ "tanpa menghadiri upacara penguburan jenasah paman, aku ke luar dengan mobilku. Ngebut gilagilaan. Kucederai dua orang pejalan kaki, kulemparkan ke pinggir sebuah mobil lain, dan kemudian aku telah dikejar dua mobil polisi lalu lintas. Tetapi belasan tahun aku berpengalaman mengemudi, ingat" Dengan mudah mereka kukelabui ...," Parto tersenyum. Kaku.
"Begitu," komentarku pendek, ingin tahu lanjutannya.
"tahu-tahu, aku sudah berada di luar kota," katanya lirih. "Mungkin naluri saja. Mobil kularikan di jalan yang rutenya selalu kulalui. Sepanjang jalan aku berteriak, memaki, menceracau. Sepanjang malam pula aku melolong lolong, menangis berkepanjangan. Dan, peristiwa itu pun terjadi."
"Peristiwa apa?" tanyaku, tenang.
"Naas. Di turunan Puncak, menjelang Tugu. Tak jauh dari tempat kita tadi bertemu dan kau memanggilku ...."
"Aku -apa?" "Kau memanggilku," ia menyeringai. Tak seram. Melainkan, ramah dan menyenangkan. "Kau ingin dibantu, biar oleh hantu sekalipun. Ingat?"
Aku tercengang Menatap orang di depanku, cemas. "Maksudmu ...."
"Begitulah. Lupa diri, mobilku menghantam batu besar yang menonjol dari tebing jalan, jungkir balik beberapa kali sebelum mendarat di sebatang pohon ...."
"Dan -kau ...," gelas di tanganku, bergetar.
"Oh, jelas bukan. Kecelakaan sehebat itu, mana mungkin menyelamatkan pengemudinya. Aku mati seketika, tentu saja."
Ia tertawa. Seperti tadi, tidak ada bayangan seram. Tawanya lunak, enak di telinga.
"Bagaimana" Apa kisahku ini menarik hatimu?"
Kopiku tumpah. Membasahi tangan. Membasahi meja.
"Sa -sangat menarik ...."
"Mau menulisnya?"
"Dengan perkenanmu," ketenanganku kembali. Sedikit. Dengan pikiran kacau balau, aku nyeletuk tanpa pikir : "Asal, jangan minta bagian honor di muka. Aku ...."
Tawanya berderai lagi. Pelan. Sopan.
"Mungkin Nirmala tersinggung. Tetapi ia tak pernah membantahku." Parto bergumam lag". "Lagipula, aku sudah berjanji padanya. Itu imbalan keisenganku malam ini, membuka rahasia kami berdua pada orang lain."
"Janji apa -kau, dengan isterimu?"
"Agar aku tidak gentayangan. Ia bilang, aku boleh terus mengemudi. Tetapi jangan membuat orang ketakutan. Katanya, bantulah siapa yang dapat kau bantu. Maka, bung. Ambillah honor cerita ini untukmu saja. Atau untuk pacarmu, boleh juga. Dan ongkos taksi lupakanlah. Nirmala tak membutuhkannya."
Tiba-tiba aku berpikir bahwa omong kosongnya sudah keterlaluan.
Ia bukan hantu. Ia -- "Udah, aku pamit dulu. Oke?"
Aku mau mengutarakan sesuatu. Tetapi terlambat. Parto sudah berjalan ke pintu. Pintu itu tertutup. Ia tidak membukanya. Tetapi begitu saja, ia sudah menghilang. Raib. Aku kaget. Sedetik. Detik berikutnya, aku melompat ke pintu. Kurenggut terbuka. Tampak Parto melangkah tersuruk-suruk dalam kegelapan subuh, menuju mobilnya. Begitu Parto masuk ke dalam, maka supir taksi itu berikut mobilnya, lenyap pula. Raib, seperti kabut diterpa panasnya matahari pagi. Tetapi sayup-sayup kudengar suara deru mesin mobil menjauh .
Lama baru aku sadar. Kemudian, bergumam sendirian : "Roh yang baik hati."
Aku teringat bagian terakhir ceritanya. Tentang amanat isterinya. Bantulah siapa yang perlu dibantu jangan menakut-nakuti mereka.
Aku tak pernah mengenal Nirmala.
Namun kukira, tak ada salahnya aku berterimakasih. Sambil rebah di pembaringan, aku tersenyum. Kepada Nirmala. Apa, atau siapapun dia.
Salam manisku untukmu. Dan suamimu tercinta. '"
ALTAR PERSEMBAHAN SEPINTAS LALU tempat itu tampak biasa biasa saja. Merupakan salah satu sisi lereng
terjal sebuah gunung -yang sesuai dengan kenyataannya, oleh penduduk setempat diberi nama Gunung Batu. Tempat terbuka itu sebagai misal. Tak begitu luas memang. Tetapi murni hanya batu-batuan saja yang ada. Dinding yang menjulang lurus ke langit, tempat terbuka di mana kini Hartono tegak, lalu lereng yang menurun curam kebawah. Di samping kiri Hartono terdapat sebongkah batu besar , setinggi pinggang. Tadi ia telah mengukurnya, didorong perasaan ingin tahu. la membujur di atasnya. Tengkurap, dengan tubuh rata ke permukaan batu. Dan dengan perasaan ta'jub ia sadari, panjang batu'itu persis sama dengan panjang tubuhnya sendiri. Demikian pula lebarnya, persis sama dengan panjang kedua lengan direntangkan ke kiri ke kanan.
Apa yang membuat tempat itu aneh dan diam diam menimbulkan perasaan seram, adalah dinding batu yang menjulang, serta lantai terbuka disekitar tempatnya berdiri. Seluruh permukaan batu berwarna hitam legam, namun ketika ia amat amati lebih seksama, ternyata warna itu di beberapa bagian tampak kemerah-merahan. Benarkah dahulukala ribuan darah manusia telah memerciki bagian bagian yang memerah itu" Atau ada unsur kimiawi yang berproses selama ribuan tahun di kedalaman gunung batu itu" Sayang ia bukan seorang geolog untuk dapat menentukan sebab musabab mengapa warna batu itu sedemikian ganjilnya. Sayang pula ia tak berminat jadi seorang antropolog untuk mengetahui sejarah manusia yang pertama tama menghuni lembah di bawah sana, dan kemudian mewariskan kebudayaan kuno mereka pada generasi demi generasi berikutnya.
Matahari semakin condong di ufuk Barat. Alam menghendaki matahari itu berangkat tidur justru di bagian lain gunung, sehingga bayangan yang ditimbulkannya sedemikian rupa mendebarkan. Puncak gunung itu seakan merayap terus.
Semakin lebar, semakin jauh. Lembah di bawah sana berubah gelap, meski malam belum jatuh. Bayangan gunung batu itu seolah menelan seluruh permukaan bumi dihadapannya ,ujung lidahnya mencaplok segenap mahluk hidup yang kemudian ia telan ke dalam perutnya.
"Bukan main!" Hartono geleng geleng kepala saking kagum. Sebelum kegelapan menutup semua permukaan lembah, masih sempat ia lihat gerakan samar samar berupa titik titik kelabu. Ia yakin itu adalah kelompok teman-temannya sedang bergegas menuju kampung terdekat karena takut malam keburu tiba.
"Hai, kaum penakut!" ia melambai ke arah teman temannya, berharap mereka dapat mendengar suaranya dan melihat lambaian tangannya. "Berkurunglah di kandang kalian sepanjang malam. Tapi jangan lupa carikan untukku seorang janda muda rupawan!"
Ia tertawa bergelak dengan lelucon di ujung teriakannya yang lantang membahana. Dan -Hartono mendadak terdiam. Terus diam, menunggu, dengan telinga mendengarkan. Ajaib! Tak ada suara si pongang. Teriakannya seolah tenggelam begitu saja. Tidak bergaung dan kembali dalam bentuk yang menyenangkan sebagaimana lazimnya. Saking penasaran, bulu romanya sampai tegak berdiri. Ia tiba tiba dijangkiti perasaan seram. Lalu kemudian :
"Haram jadah!" ia memaki sendiri. "Aku sudah terpengaruh oleh omongan kaum penakut yang ketinggalan peradaban itu!"
Coba saja! Dua hari yang lalu, salah seorang penduduk di bawah sana seenaknya memperingatkan Hartono dan kawan kawannya : " bila kalian secara kebetulan menemui celah di dinding gunung, jangan kalian masuki. Segeralah kalian bergegas menjauh. Dan lupakan celah yang kalian lihat itu!"
Seorang kakek yang mengaku usianya 102 tahun, menambahkan peringatan yang lebih hebat lagi : "Siapa saja yang nekad memasuki celah itu terpaksa harus mengurbankan darahnya. Yang kemudian menginjak lalu memperhinakan lantai apalagi altar persembahan milik penghuni Gunung Batu, maka ia harus mengurbankan nyawanya!"
Selama dua hari perjalanan yang meletihkan, Hartono dan kawan-kawannya boleh dibilang tak menemui kesulitan yang berarti. Satu-satunya kesukaran, hanyalah ketika, pada akhirnya! -mereka menemukan celah itu dan lalu memasukinya. Mereka adalah pemuda-pemuda kota besar, yang lebih mencintai alam ketimbang narkotik. Mereka juga adalah pendaki-pendaki gunung kelas satu di perkumpulan, dengan perlengkapan serba mutakhir. Entah sudah berapa banyak piala, piagam, dan tanda jasa lainnya diperoleh grup mereka. Karena sukses yang selalu mereka capai lebih dulu dari group lain. Terutama, karena keberanian mereka setiap kali menhindari bahaya yang, acapkali nyawa taruhannya.
Tak heran meski sudah dilarang, mereka toh sepakat mencari celah yang menggoda keingintahuan itu. Lalu setelah mereka menemukannya, timbullah kesukaran itu. Mereka berdebat, kemudian bertengkar. Hartono bersikeras ingin masuk. Yang lain menolak. "Biar kita ini orang orang hebat, hendaklah kepercayaan penduduk setempat kita hormati," tegas ucapan Sumpena, pemimpin regu.
"Kalian tak ingin melihat altar persembahan itu?" protes Hartono, sambil memandang temannya satu persatu. Ia tahu siapa mereka, dan tahu apa jawabannya. Benar saja. Setelah diadakan pemilihan suara, Sumpena memperoleh angka 1 untuk dirinya sendiri, dan 5 untuk Hartono. Dengan hasil pemilihan suara itu mereka berenam kemudian memasuki celah. Sempit sekali, berkelok-kelok, dengan ancaman batu-batu runcing tajam sepanjang perjalanan. Akibatnya, tak seorangpun dari mereka yang tidak terluka.
Tak heran, kalau Sumpena lantas mengerutu : "Benar apa kata kakek itu. Setiap orang dari
Tapak Dewa Naga 1 Shugyosa Samurai Pengembara 9 Masalah Besar 2

Cari Blog Ini