Ceritasilat Novel Online

Dendam Roh Jejaden 2

Dendam Roh Jejaden Karya Abdullah Harahap Bagian 2


kita, mengeluarkan darah ...."
Ucapan Sumpena seketika mempengaruhi anggota regu yang lain. Maka, setelah menemukan dan beberapa saat mengagumi altar, lantai batu, dinding gunung, lembah di bawahnya, lima orang sepakat untuk segera berlalu. Kembali diadakan pemilihan suara. Dan kali ini, Hartono yang mendapat satu suara, dari dirinya sendiri. Ia sangat marah dan mengatakan mereka semua penakut.
"Justru sekarang inilah," geramnya kesal, "Ada kesempatan buat kita merubah jalan pikiran orang orang yang ketinggalan jaman itu. Kita akan buktikan, dongeng-dongeng menyeramkan itu hanya untuk leluhur leluhur mereka, bukan untuk konsumsi generasi masa kini."
Tidak, kata yang lain. Teguh menolak.
Saking jengkelnya, Hartono membuka kancing celana lantas kencing memutari lantai, dinding, altar. Bagai orang kesurupan ia berteriak-teriak : "Lihat. Tempat ini sudah kukencingi'. Dan kalian akan lihat, sepanjang malam ini aku akan membuktikan kedunguan orang-orang dusun itu."
Tak seorangpun dapat mencegah Hartono.
Dalam keadaan demikian, kepala regu harus melakukan sesuatu, demi keselamatan jiwa setiap anggota. Hartono menyadari apa yang akan diperbuat Sumpena dan kawan-kawannya. Cepat ia menjauhi mereka. Dengan lembing pengungkit di
tangan, ia berkata mengancam : "Orang pertama yang menjamahku, mati." Kawan-kawannya terkejut. , Lalu salah seorang bergumam putus asa : "Sudahlah. Kita juga enak. Turun tanpa harus menggotong tubuhnya yang besar itu." Mereka semua mendo'akan keselamatannya. Lalu pergi.
HARTONO duduk di altar. Heran, mengapa tadi siang ia bertindak gila-gilaan begitu" Benar pulakah ia akan melembing teman yang pertama kali menjamah tubuhnya" Tentu saja tidak. Ancaman belaka. Ia cuma tidak mau dibuat pingsan lalu diseret turun gunung. Anehnya, wajah kawan kawannya tampak berubah ketakutan. Lantas mengalah, masih sama sama memperlihatkan wajah takut. Seolah, Hartono di mata mereka tak ubah nya bangkai nenek moyang mendadak bangkit dari kubur.
Sambil membuka bekal, Hartono tersenyum sendiri.
"Manusia-manusia tolol," umpatnya, menyeringai. Ia menghabiskan dua potong roti kering, menenggak beberapa teguk air gula milik Sumpena yang sengaja mereka tinggalkan untuknya.
Apa sih yang ditakutkan" Toh sudah sering mereka diperingatkan orang. Dan kemudian mereka berhasil membuktikan, bahwa apa yang dikatakan keramat, apa yang dikatakan daerah yang dihuni mahluk gaib yang jahat ; ternyata cuma tempat tempat berbahaya akibat semburan gas beracun, atau binatang melata yang berbisa dan langka.
Baru hari ini, mereka menemukan tempat yang memang sesuai dengan dongeng penduduk setempat. Kawan-kawannya lantas ngeper. Ia tidak. Karena, kalau Hartono juga ngeper, maka lain kali mereka tidak lagi punya kesempatan untuk menolong penduduk di pedalaman untuk hidup normal dan berpandangan lebih wajar. Sebuah missi mulia yang diemban setiap anggota pendaki gunung. Tugas tak tertulis, karena penyelesaiannya pun harus disesuaikan dengan kondisi dan keadaan setempat.
Tampaknya, tugas berat yang satu ini, dibebankan hanya ke pundak Hartono seorang.
Ia merasa bangga. Dan dengan bangga pula, melawan keinginan hatinya untuk menyalakan api unggun. Mulanya ia rebahan di altar. Tetapi semakin naik malam, udara semakin dingin menggigit. Lalu ia pindah ke lantai buatan alam itu, dan rebah merapat di kaki altar dengan dinding gunung di sebelah lainnya. Lebih hangat sekarang. Apalagi ia sudah
memakai jaket satu lapis lagi, demikian pula celana, kaus kaki, dan topi kupluk. Sebagai pelengkap, sebuah selimut yang untung tidak dilupakan kawan-kawannya sebelum tadi mereka pergi.
Oh ya. Sedang apa mereka sekarang" Ribut dengan penduduk setempat, itu sudah pasti. Sumpena dan kawan-kawannya akan mengatasi persoalan itu. Lalu apa" Oh, mungkin memanaskan kaki di tungku api milik penduduk setempat. Sambil mengunyah singkong bakar. Dan beberapa gelas kopi kental. Hem, nanti dulu. Kalau tak salah pemilik rumah itu punya anak gadis. Tidak begitu cakep, tetapi lumayan buat teman ngobrol. Coba kalau janda, wah Eh, tadi Hartono berteriak apa ya"
Oh,oh, oh. Ia minta dicarikan seorang janda muda rupawan.
Astaga! Hartono senyum-senyum dikulum. Andaikata ia selamat melewati malam di tempat yang kata mereka keramat ini dan ia yakin bahkan memastikan dirinya pasti selamat, maka Hartono menemui teman-teman seregunya yang kalah bertaruh. Sebagai hadiah kemenangan, ia akan menyuruh mereka benar-benar mencarikan janda muda rupawan. Siapa tahu, kaya pula lagi. Dan kalau jodoh, tak akan kemana. Jadi begitu kedua belah pihak
oke, langsung lamar dia. Hem! Segenap warga desa akan ke luar untuk menyambut kehadirannya. Akan bertempik sorak merayakan pernikahannya. Semua kagum, semua memuji dan memuja -biar Hartono tidak menghendaki hal-hal berlebihan itu. Lalu penduduk akan menurut kata-katanya. Bahwa dunia yang lalu, biarlah dimiliki leluhur-leluhur kita di masa lalu. Mari kita renggut dan kembangkan dunia yang kita miliki sekarang. Dan, persetan : kepercayaan terkutuk itu harus segera ditinggalkan. Kepercayaan bahwa setiap tahun penghuni Gunung Batu meminta kurban nyawa manusia. Bahwa, setiap tanggal -bulan -hari, yang menurut perhitungan tokoh tokoh masyarakat, pasti ada penduduk yang mati.
"Waktunya," demikian wakil kepala desa mengatakan sebelum regu Sumpena berangkat naik gunung. "Adalah dua hari mendatang, sebelum tengah malam."
Berani hari ini. Malam ini! Hartono tercengkat dari rebahnya. Apakah ia mendengar atau melihat sesuatu" Gelap di sekeliling. Cahaya bulan purnama tidak dapat membantu. Lantai terbuka, dinding, altar, semuanya begitu legam kemerahan, semuanya menelan cahaya rembulan. Dan semakin jauh malam, anehnya, semakin kurang angin bertiup. Udara terasa hangat sekarang --, dan itu di puncak gunung! Dari hangat, lalu berubah kering. Hartono merasa gerah. Ia tanggalkan selimut. Menyusul lapis pertama dari pakaian yang ia kenakan. Hampir tengah malam, ia sudah bertelanjang dada. Tinggal kolor melapisi tubuhnya. Memalukan, pikir Hartono. Tetapi tak apalah. Toh tidak ada orang mengintip. Dan pelan-pelan, matanya semakin berat, berat, dan lebih berat lagi. Akhirnya, terpejam sama sekali.
Dalam tidurnya, barulah ia mendengar suara. Dan, melihat sesosok tubuh datang mendekat. Ia kaget ketika menyadari bahwa yang datang mendekat itu, ternyata seorang perempuan muda. Tubuhnya elok, wajahnya rupawan. Perempuan itu tidak mengenakan sehelai benangpun menutupi tubuhnya. Ia tersenyum, manis. Memabukkan.
Banyan, hei, bangun! Ingin Hartono berteriak, agar ia terbangun dari mimpi. Namun teriakan itu tertelan sendiri ,dikalahkan oleh hasrat kelelakiannya. Dan dengan jantung berdebar-debar, ia rebah diam. Menanti. Tak ada kata terucap. Tak ada tanya. Apalagi janji. Perempuan itu tahu-bahu telah rebah di sebelahnya. Senyumnya menggugah birahi. Sinar matanya, penuh ajakan. Hartono ingin menolak rangsangan yang menjangkiti tubuhnya.
dan mulai menindih perempuan itu.
Waktu terus berlalu. ' Lelah dan puas, _Hartono terkapar lagi di tempat semula. Perempuan itu tersenyum bangkit berdiri. Tanpa berkata apaapa seperti tadi, ia kemudian pergi. Lenyap tanpa ketahuan ke arah mana, seperti halnya ketika sebelumnya ia muncul entah dari mana.
Hartono keheranan. Tapi kantuknya datang lagi menyerang. He, apa" Kantuk" Bukankah ia bermimpi" Sungguh aneh. Belum pernah ia mengalami mimpi dalam mimpi. Wah, kawan-kawannya pasti tak percaya. Dan akan tertawa mencemooh kalau ia ceritakan tentang mimpinya. Lalu mereka akan sibuk memenuhi permintaan Hratono, sang pemenang yang gagal" berat ; agar mimpi itu jadi kenyataan, sebelum Hartono berubah sakit ingatan. Hahaha ....!
Ada suara tawa. Lunak. Bukan dari mulutnya. Hartono, dalam rebahnya, berpaling. Kembali ia kaget. Darimana datangnya semua orang-orang ini" Apakah mereka itu laki-laki, atau perempuan" Mau apa pula mereka" Lihat. semua berpakaian aneh-aneh. Semua berjubah kebesaran. Berkudung pula, sehingga wajah mereka tak lebih dari bayangan kegelapan. Hitam, selegam malam.
"Kali ini, ada kata-kata : "Sudah kau cicipi kehangatan janda muda rupawan, bukan" Sudah kau nikmati permintaanmu yang paling akhir, bukan" Sekarang, tibalah giliranmu. Bersiap siaplah."
Mereka lalu membantu Hartono berdiri.
Aneh. Ia tidak melawan. Ia menurut saja. Patuh. Oh, tentu saja. Dalam mimpi, orang selalu berkelakuan tak masuk diakal. Sering sering bertentangan dengan kebiasaannya, kalau sedang bangun, sedang sadar sesadar sadarnya. Sambil memikirkan hal itu, ia membiarkan dirinya dituntun ke ujung lantai, melewati altar, dan kemudian berdiri menghadap ke lembah. Oh, oh, oh. Tunggu dulu. Apa itu, dibawah sana. Jutaan kunang kunang. Bukan. Itu jutaan obor, Hartono! Jutaan obor, di tangan jutaan manusia! Mungkin jumlah mereka hanya mencapai ribuan orang. Tetapi karena semuanya memenuhi lembah tanpa ada celah yang kosong, bergerak pula kian kemari, jumlah ribuan itu seolah tampak seperti jutaan orang banyaknya.
Orang yang tadi berbicara, mengacungkan tangan tinggi-tinggi.
Gerakan hilir mudik di lembah, seketika berhenti. Suara-suara bergalau mendadak sepi. Menyentak. Rembulan bersembunyi di balik awan. Guntur menggelegar lemah. Di langit, terdengar
suara nyanyian berirama, nyanyian rituil, nyanyian puja puji. Ketika nyanyian itu berakhir, si pembicara berteriak nyaring:
"Musim ini, panen kalian akan dilipatgandakan." Penyawah, silahkan mengetam sambil berdendang. Peternak ikan, silahkan menjala sambil memukul kendang. Pengantin baru, silahkan bertanam benih sambil bergoyang ...."
Berhura-hura, jutaan manusia di lembah sana.
Obor di lempar lemparkan. Suara-suara berterimakasih gaungnya berkumandang kian ke mari.
Pembicara, angkat suara lagi "Orang muda ini, telah merelakan diri untuk dikorbankan. Karenanya, tetaplah kalian kenang dia sepanjang jamm. Puja dan pujilah pengorbanannya, dan tanamkan dalam diri anak-anak kalian agar mengikut jejaknya."
Korban manusia, di manapun, senantiasa memilukan hati.
Jutaan manusia di bawah sana, menggaungkan nyanyian sedih, tangis pilu menyayat hati. Si pembicara membalikan tubuh. Ia mengawasi dari balik kerudung hitamnya, lurus ke wajah Hartono. Bertanya lembut : "Kau sudah siap, anakku?"
Hartono. sadar ia cuma bermimpi menjawab
iseng: "Siap apanya, pendeta hitam?" '
Terdengar suara bergumam dari kerumunan orang-orang berjubah di sekelilingnya. Tetapi si pembicara yang agaknya ketua mereka, tenang tenang saja. Sama sekali ia tidak tersinggung. Karena nada suaranya tetap lembut, enak didengar:
"Mengurbankan darah, anakku."
"Darah siapa?" "Darahmu, anakku."
"Hei. Dari tadi kau menyebut-nyebut aku anakmu. Kau bukan ayahku, aku merasa pasti akan itu!"
"Setiap orang dari kalian adalah anakku. Sekarang, rebahlah di altar itu. Telentanglah, dan mintalah rembulan agar memelukmu dengan segala kehangatannya."
Semula Hartono mau menolak. Tetapi orang orang berjubah di sekelilingnya dengan sigap menyergapnya, lalu menelentangkannya di permukaan altar. Karena ia terus saja meronta, mereka me megang dan menekannya kuat-kuat. Tak pernah lagi melepaskan pegangannya. Untuk itu, mereka semua terpaksa harus membungkuk. Sehingga, yang tampak oleh Hartono bukanlah rembulan. Yang tampak, adalah wajah-wajah hitam yang menyeramkan.
Untuk pertama kali, Hartono gemetar. Ketakutan, merintih : "Tidak. Tidak. Lepaskan aku. Biarkan aku bangun dari mimpi terkutuk ini!" dan ia menggigit lidahnya keras-keras, sampai mengeluarkan darah. Ia juga membenamkan kukukuku jari tangannya ke telapak, sampai bardarah. Namun meski sudah berusaha sedemikian keras dan parah, berbeda dari kebiasaan orang bermimpi, Hartono tetap saja tak mampu bangun dari tidurnya. Mimpi buruk itu tetap berlangsung. Kini, semakin nyata, semakin mengerikan.
"Lowongkan tempat buat aku menjalankan tugas," ujar pembicara tadi. Para penyergap, tanpa melepaskan tangkapan mereka, berdiri sedemikian rupa. Sehingga, korban mereka tetap tak berkutik di altar, sementara sang ketua dengan leluasa maju ke salah satu sisi altar, searah dengan dada Hartono.
"Tabahkan hatimu, nak," katanya.
Lalu dengan kecepatan yang Sukar ditangkap oleh mata, tangannya tahu-tahu sudah terangkat ke atas. Sedetik, Hartono melihat kilatan sesuatu benda. Detik berikutnya, didorong oleh kekuatan sepasang tangan kukuh, kilatan benda itu telah melayang ke bawah. Menghunjam dalam ke lambung Hartono, menembus jantungnya.
Hartono tidak menjerit. Ia begitu terpesona. Sehingga sedikitpun tidak merasakan hunjaman benda tajam yang menembus jantungnya, dan menghentikan peredaran darahnya. Bersamaan dengan itu, kelopak mata Hartono pelan-pelan mengatup. Rapat. Ia tertidur kembali.
Tidur, dalam pelukan malam yang abadi.
*** PERDEBATAN seru di balai desa setelah tibanya rombongan anak-anak muda pendaki gunung malam tadi, pagi harinya menghasilkan satu keputusan yang diambil dengan penuh kebimbangan. Selisih suara tipis sekali. 14 orang penduduk berdiri di pihak Sumpena dan kawan-kawannya, sehingga suara mereka berjumlah 19. Sisa yang hadir berdiri di sudut lain. Juga berjumlah 19. Kepala desa memandang wajah setiap orang warganya yang hadir malam itu semuanya warga tertua dan paling dihormati. Pandangannya kemudian beralih ke wajah Sumpena dan kawan-kawannya. Wajah-wajah muda yang putus asa. Wajah wajah dari dunia peradaban maju, tetapi sekarang ingin dilindungi oleh dunia peradaban dari masa lalu.
Berpikir sejenak, kepala desa kemudian bergumam : "Baiklah. Aku berdiri.di pihak anak anak muda ini!"
Sumpena dan kawan-kawannya memeluk orangtua itu. Berterimakasih atas kebijaksanaan ymg ditempuhnya. Setelah menerima laporan Sumpena, penduduk desa gempar. Tokoh-tokoh masyarakat setempat lalu dengan keras melontarkan kecaman dan menolak permintaan agar usaha menyUSul Hartono dilupakan saja, dan biarkan penghuni Gunung Batu menentukan nasib anak muda itu. Sekarang, hasil pemilihan suara sudah jelas. Selisih tipis, cuma satu. Sulitnya, angka satu itu justru ditambahkan oleh persetujuan suara kepala desa sendiri.
Malam itu juga regu Sumpena tanpa Hartono dibantu oleh beberapa orang penduduk pemberani, bergegas meninggalkan desa menuju puncak Gunung Batu. Diharapkan, kepala desa yang turut serta dapat menyadarkan dan membujuk Hartono supaya turun gunung setelah lebih dulu minta ampun karena memperhinakan tempat keramat itu. Namun dalam hatinya, regu pencari diam-diam kuatir mereka terlambat bertindak. Bahkan Sumpena sendiri, mulai menangis. Mestinya ia dan kawan-kawannya bertahan tinggal di atas sana, mendampingi Hartono. Bersama-sama, mereka dapat menolak setiap bala. Tetapi, entah mengapa,
begitu menginjak tempat menyeramkan itu. Sumpena dan kawan-kawannya dijalari perasaan takut. Ketika Hartono naik pitam, yang mereka lihat bukan wajah teman mereka. Melainkan, seraut wajah asing. Wajah bengis yang sorot matanya melumpuhkan keberanian mereka
"Tuhanku. Ampuni dosa sahabatku itu!" tak henti-hentinya Sumpena berdoa dalam perjalanan kembali.
Perjalanan yang tidak saja melelahkan.
Tetapi juga menyiksa. Sangat menyiksa. Siksaan itu bukan datang dari kekerasan alam yang mereka hadapi. Melainkan, datang dari dalam jiwa mereka sendiri.
Lewat subuh, mereka tiba di lereng gunung batu itu.
Namun baru setelah matahari terbit di ufuk Timur, mereka menemukan celah yang dicari. Sumpena dan kawan-kawannya berebutan masuk. Yang lain, setelah saling bertukar pandang, baru menyusul. Itupun, bimbang.
Rombongan pencari akhirnya menemukan Hartono.
Pakaian anak muda itu centang perenang. Bertebaran di lantai persembahan. Dalam jilatan mentari pagi, tampak tubuh Hartono rebah di altar. Menelentang, telanjang.
Tampaknya ia tidur. Suara-suara berisik di sekelilingnya, tidak mampu membangunkan Hartono. Ia tetap saja rebah. Matanya tetap saja terpejam, rapat.
Tetapi, wajahnya! Wajah itu pucat. Tak berdarah. Lebih menggemparkan lagi, lambungnya. Lambung Hartono tampak berlubang. Tampak pula daging-dagingnya, tulang-tulangnya. Lubang mengerikan itu samasekali tidak mengeluarkan walau setetes darah.
Hartono sudah mati. Selama beberapa hari, penduduk desa berkabung. Sedikitpun mereka tidak merasa gembira menyadari kenyataan bahwa malam itu setiap jiwa penduduk tetap dimiliki si empunya. Orangorang tua bilang, pertama kali dalam sekian ratus tahun tak ada warga desa meninggal pada malam yang ditakuti itu.
Di kota, tim dokter yang membedah jenazah Hartono kebingungan. Jelas, Hartono mati oleh tusukan benda tajam. Ditorehkan sedemikian rupa sehingga ketika diangkat, benda tajam itu meninggalkan lubang. Pertanyaannya sekarang ; bukan siapa pembunuhnya, dan mengapa ia di bunuh. Pertanyaannya adalah, tubuh Hartono seolah tak pernah memiliki darah menjelang pada saat kematiannya.
*** TERBUAT DARI DOSA KUPANDANGI botol kecil itu. Ada beberapa
butir pel di dalamnya. Satu saja sudah cukup,
dan aku tertidur nyenyak malam ini. Atau empat, atau lima. Sekaligus. Dan aku akan tertidur untuk selama-lamanya. Bukanlah itu suatu jalan yang terbaik" Tanganku menjangkau ke atas meja. Dan sekejap kemudian, telah kugenggam bukan botol kecil berisi pel tidur itu. Melainkan gelas kopi yang isinya tinggal separoh.
Kureguk. Sekali. Panjang.
Kopi itu tidak bersisa lagi. Pahit sekali rasanya di lidah. Apa boleh buat. Setidaknya hasrat untuk tidur sedikit bayak bisa teratasi. Dengan malas kubuka lagi lembaran majalah di tangan kiriku.
Tetapi halaman mana lagi yang belum kubaca" Rasanya seluruh huruf-hurufnya sudah kutelan habis. Sampai kenyang aku dibuatnya. Aku kira...." .
"Ha! Jadi dia pulang juga!" aku terlonjak waktu bel berdering. Dua kali. Pendek-pendek. Dan nada begitu hanya dibunyikan oleh satu orang. Margono. Aku setengah berlari ke ruang depan. Sekilas mataku menangkap bayangan jam dinding. Jarum pendek dan jarum panjang bersatu menutup angka dua. Hem!
Ketika pintu kubuka, dari bayangan jelas di luar muncul sosok tubuh. Jangkung, tegap dengan bahu yang bidang. Aku geleng kepala melihat rambutnya yang kusut masai. Tetapi lewat tengah malam begini rasanya tidak pantas untuk mengingatkan bahwa ia telah dua bulan lebih tidak bercukur. Dan setelah ia masuk, keinginan untuk mengatakan itu semakin terhujam jauh di lubuk hati. Bau tak enak meraSuk hidung.
"mas mabuk lagi," sapaku seraya memperhatikan ia masuk dengan kaki terseok-seok.
"Bantulah aku!" sahutnya. "Jangan hanya tahu ngomel!!"
Bau alkohol makin keras menyerang hidung waktu ia kubimbing menuju kamar mandi. Kubuka pintunya dan kubiarkan ia masuk sendiri. Kamudian aku bergegas ke dapur.
"Mana air panasnya?" sayup sayup ia bertanya. Setengah berteriak.
"Pakai air dingin saja!"
"Selarut ini?" -"Sudah hampir pagi, mas. Saya toh tak minta mas pulang terlalu ...."
"Mana air panasnya"!"
"Air dingin, mas. Biar segar ...," dan aku sudah mulai memanaskan soup serta kari kambing yang kumasak sore tadi. Samar-samar kudengar Margono menyumpah serapah. Entah apa saja yang ia ucapkan. Namun aku sudah kebal oleh gerutuannya. Tak perduli. Acuh saja. Biar! Biar dia tahu!
Ada suara berdentang di kamar mandi.
Gayung yang dibantingkan. Hah! Terserah dia. Asal bukan aku yang ia banting .Biar! Biar dia tahu!
Santapan malam untuk waktu yang sudah terlewat, telah tersedia lengkap di atas meja makan .
waktu Margono masuk seraya menyeka wajah dengan handuk. Kubantu ia melap pundaknya yang basah. Bau alkohol itu sudah reda, namun aku belum boleh bersenang hati. Margono menatap ke meja makan dengan dahi berkerut.
"Dinihari' begini?" sungutnya dengan suara tak senang.
"Makan dululah, Mas."
Margono cuma angkat bahu. Lalu melangkah
gontai menuju kamar tidur. Ia_buka pintu. Dan kemudian menutupkannya dengan suara keras. Aku terhenyak di kursi. Memandangi hidangan makan malam. Nasi putih itu seperti tumpukan ulat. Kari kambing itu seperti lumpur yang baru diinjak kaki kuda. Mengepul, mengeluarkan asap. Dan soup tampak seperti bekas pencuci tangan. Lalu leherku bagai di aliri lendir hanyir. Sambil terpekur, aku menahan rasa mual yang bergumpal gumpal di hati. Aku telah menunggu semenjak sore. Dengan perut yang melilit. Dan setelah yang kutunggu datang, ia cuma masuk kamar tanpa menaruh perhatian sedikitpun.
Gemetar tanganku ketika hidangan itu ku masukkan kembali ke lemari makan. Biarlah, aku menghibur diri. Paling tidak esok pagi aku tidak perlu repot-repot menyediakan masakan baru. Yang ini masih bisa kuhangatkan. Kenapa pula aku harus membuangnya" Kemudian aku ke kamar mandi. Berkumur-kumur. Membasuh muka. Dingin. Sampai ke tulang. Tetapi perasaanku lebih enak. Dan dengan perasaan yang lebih nyaman itu, aku melangkah menuju kamar tidur. Membuka pintunya.
Margono melingkar di atas ranjang.
"mas," aku mendekat.
Tak ada sahutan. "Mas!" kuperhatikan mukanya. '
"Ng?" "Ganti baju dulu, mas."
"bukalah," sahutnya, tanpa membuka kelopak mata.
Kulepas tali sepatunya. Kemudian menarik sepatu itu dari kakinya. Bau tak enak terlempar dari kaos kakinya.
"Mas ...." "Ya!" "Bukankah tadi pagi sudah kusediakan kaos kaki yang baru?"
"Ngh. Aku lupa."
"Besok kupasangkan ya mas?"
"Biar yang ini saja."
"Bau, mas. Akan kucuci."
Ia tak menyahut lagi. Aku lepas tali pinggang celananya. Ia telentangkan tubuhnya yang kekar. Debur dadanya bergerak datar. Nafasnya juga datar. Celananya telah selesai kulepas. Lalu kemeja. Aku mengeluarkan ganti dari lemari.
"Duduklah, Mas. Pakai piyama."
Ia tak duduk. Malah membalikkan tubuh. Menghadap tembok. "Mas ...." "Biar begini saja!" "Nanti mas masuk angin."
Tak ada sahutan. Kupandangi punggungnya yang telanjang. Ada sentakan-sentakan di tubuhku. Jari-jari tanganku saling menekan. Gemas. Aku berjalan ke arah ranjang. Naik. Dan sambil naik melepas salah satu kancing atas gaun tidur. Kubiarkan dada setengah tersembul ke luar .
"Mas ...." "Sudah hampir pagi, Yenni. Tidurlah ...."
Sentakan sentakan itu beralih ke mata. Menyakitkan. Tetapi keinginan untuk terus menatap punggung telanjang itu tak juga bisa dikalahkan oleh keinginan untuk tidur saja, kemudian melupakan segala sesuatunya. Kalau toh tak bisa, pel tidur saja, kemudian melupakan segala sesuatunya. Kalau toh bisa, pel tidur tadi bisa menolong. Satu. Atau lima sekaligus"
"Mas." Diam. Aku tertelentang. Menatap langit langit kamar. Putih. Hanya warna putih. Pucat. Dan warna itulah yang kukira meronai wajahku saat ini. Seperti ingin menyatu. Dengan langit langit. Semakin dekat. Semakin rapat. Langit langit yang keras itu bagai menghimpit wajahku. Menjumpai jalan nafasku. Aku berusaha mengelak. Tapi tak bisa. Jalan nafasku kian tertutup. Aku menggeliat. Memberontak dari himpitan yang menyakitkan itu.
"Yenni?" Bahuku di goncang-goncang. Margono.
Lepas nafasku. Panjang. Lega.
"kenapa kau?" Kutatap langit-langit kamar itu. Terlalu jauh untuk menghimpit wajah serta jalan nafasku.
"engga.,apa-apa, mas.
"Tapi barusan. Tubuhmu ...."
"Kenapa mas?" "Melejat-lejat."
"Oh. Mungkin aku kegerahan."
"Kubuka baju tidurmu ya?"
Kutatap matanya. Mesra. Margono mengelak. Kemudian mulai melepas baju tidurku. Nafasku mengencang. Dan tatapan Margono jauh ke buah dadaku. Semakin kuperkencang jalan nafas. Tertegun Margono. Sebentar cuma. Kemudian kudengar desah nafasnya. Lalu suaranya:
"Sekarapg tidurlah ya" Besok kau terlambat masuk kerja!"
Aku terhenyak. Kejengkelanku datang. Kubalikkan pula tubuhku. Dengan gerakan kasar. Biar dia dengar. Nafasku menggebu-gebu. Mataku seperti mau terloncat ke luar. Terpandang toilet di hadapan ranjang. Kupandangi tubuhku. Kenapa" Bukankah tak bercacat sedikitpun" Kupandangi dadaku. Margono pernah mengaguminya. Dan kini, bentuk dadaku masih seperti dulu. Lalu apa"
Pinggangku masih langsing. Wajah" Apakah aku telah bertambah tua" '
"kau kelihatan jauh lebih muda dari umurmu yang sebenarnya," terngiang ucapan seorang lelaki lain. Sutikno. "Kalau tak tahu kau sudah bersuami, aku akan sangka kau seorang anak sekolahan ...."
Ia tersenyum. Menatap ke wajahku. Lama. Sampai aku gugup dibuatnya. Tetapi ia tidak berusaha menyentuh. Apalagi menciumku. Aku senang pada ketidak semberonoannya. Banyak lelaki lain akan berbuat lebih agresif dari Tikno, apabila kuperlihatkan tanda okey. Bahkan bilapun aku menolak, mereka akan memaksa. Ini jamannya, begitu Tikno pernah berkata." Kebanyakan lelaki baru dikatakan jantan bila dia sudah bisa menguasai seorang perempuan!"
"Dengan cara kasar?" pernah kutanya Tikno.
"Cara tak jadi soal."
"Perempuan bukan barang mainan."
"Tergantung dari sikap kalian, Yenni."
"Lalu apa tanggapanmu tentang diriku?"
Wajahnya menjadi serius. Terlebih-lebih matanya.
"Kau tahu jawabanku. Yenni. Karena kau sudah tahu, bahwa aku tahu kau sudah bersuami. Tetapi aku masih tetap punya harapan ...."
Harapan! Kupejamkan mata. Kini, apakah lagi yang bisa kuharapkan" Margono yang tidur membelakangiku" Menatap tembok yang lebih beruntung
'dari tubuhku" Dari wajahku" Apakah yang dicarinya ditembok itu" Sesuatu yang lain"
Tiba-tiba aku membalik. Kujentik bahunya.
"Mas ." Oh. Ia belum tidur. Ia putar tubuh, menatapku. .
"Ya"!! Hampir saja kulontarkan tuduhan itu. Bahwa telah ada perempuan lain! Tetapi keinginan itu hanya tersimpan di hati, waktu menatap sinar matanya. Dalam, tanpa suatu bayangan kebahagiaan. Gurat gurat di sudut matanya semakin banyak akhir-akhir ini. Rongga mata itu sendiri menjorok teramat dalam. Aku terpukau. Laki-laki ini bukan lagi Margono yang dulu kekar, jantan dan penuh semangat. Ia kini hanya seorang lelaki muda tetapi yang berusaha untuk cepat tua lalu mati.
"belum tidur lagi, sayang?" suaranya terdengar amat lembut.
Hatiku terenyuh. Tanpa tanyakan lagi, aku terlonjak ke depan. Merangkulnya. Rapat. Hangat.
"Mas. Mas. Kenapa kau dingin saja, mas?"
Tak ada sahutan. Selalu tak ada sahutan.
"Mas. jawablah. Apakah aku tidak menarik hatimu lagi?"
"Jangan berkata begitu, Yenni?"
"Kau tak lagi cinta padaku!"
"Lalu, buat apa aku setiap hari pulang kerumah. Kembali ke sisimu?"
"Karena kau merasa terpaksa!"
Ia tertegun. Dapat kurasakan. Tubuhnya kaku di kulit tubuhku. Aku sendiri tidak bisa menahan detak jantung yang mengencang tiba-tiba. Kenapa kukatakan demikian" Kenapa aku
"Nah, hatimu sendiri mengatakan yang sebaliknya bukan?" katanya, lebih lembut dari tadi.
Aku mengangguk. Namun belum puas.
"Lantas buat apa hidup seperti ini mas?"
"Aku sendiri tak tahu."
"Kau laki-laki, mas. Kau mesti tahu."
"Aku bukan laki-laki lagi kini ...," suaranya menurun. Jatuh.
"Mas!" "Aku hanya tumpukan daging dan tulang. Aku tinggal menanti waktu membusuk dan kemudian tinggal menunggu saat dibuang ke tong sampah! Sampai anjing-anjing menggerogotinya. Licin. Dan tandas ..."
"Mas ...." "Kau seharusnya yang meninggalkan aku, Yenni. Aku mencintaimu. Tetapi aku tak bisa berbuat apa-apa padamu."
"Kau bisa, Mas. Kau bisa. Tapi kau tak mau!'."
"Aku tak berani, Yenni."
"Kau membuat khayalan. Bukan kenyataan!" ' Margono menggeleng di bahuku.
"Ini kenyataan, Yenni. Sudah ada buktinya."
Hampir saja aku menangis. Ia mengingatkan itu lagi, Arman. Bayangan si kecil Arman menari nari di mataku. Aku mengatupkannya. Berusaha melihat dalam kegelapan. Tetapi bayangan itu terus muncul. Muncul. Senyumnya yang lebar. Matanya yang lebar. Tawanya yang lebar. Lalu suaranya yang lengking. Seakan dunia ini miliknya.
"Aku bisa menidurimu. Sekarang. Nanti. Besok. Lusa. Dan seterusnya. Lalu seorang anak lagi lahir. Laki-laki, seperti Arman. Atau perempuan, seperti yang telah lama kau inginkan. Dan setelah ia mulai besar, mulai manja, tiba-tiba ia Oh, tidak," tubuh Margono mengejang. "Tidak. Aku tak mau mengulanginya, Yenni. Aku tak mau!"
Kupeluk suamiku. Kupeluk dengan penuh kasih sayang.
Aku mendengar suaranya yang putus asa :
" kenapa tak kau tinggalkan saja aku, Yenni" Kau bisa cari lelaki lain. Kawin dengannya_ Dan punya keturunan ...."
"Kau gila, Mas."
"Aku bicara sesungguh hati. Kau akan terus tersiksa. Selama berada di dekatku. Kau ...."
"Aku bahagia, Mas. Karena aku mencintaimu."
Kudengar Margono menggumamkan sesuatu. Mencium pipiku, kemudian berbaring seraya melingkarkan lengan di bawah leherku. Mataku menatap langit-langit kamar itu lagi. Tidak sepucat tadi. Ada rona lain. Yang semarak: Lalu perlahan memberi sesuatu ujut.
Sutikno! *** SUTIKNO tidak bicara banyak. Suaranya yang lembut lewat telephone hanya menanyakan : "Apakah kau baik-baik saja Yenni?" yang setelah ia teruskan dengan :
"Boleh aku ke rumahmu?"
"Aku sedang di kantor, Tikno."
"Pulangnya, maksudku. Kujemput kau."
" jangan!" "Takut dilihat orang?"
Aku tertawa. Pahit. "Tak pernah aku takut pada siapapun, Sutikno. Semua orang tahu kau sahabat baik mas Gono. Tak seorang" yang akan menaruh curiga.
Aku hanya meminta, janganlah ke rumahku sore ini."
"Lantas. Kapan?"
Terdiam aku oleh serangannya. Kemudian:
"Sudahlah. Kapan-kapan. Okey" Terima kasih kau menelephoneku hari ini, Sutikno."
Gagang telephone kuletakkan, Aku berharap ia memanggil-manggil namaku pada saat-saat terakhir, tetapi meski gagang telephone lambat saja kutarik dari telinga, namun tak kudengar lagi suara laki-laki itu. Aku hanya dengar desah nafas lembut. Tak lebih. Namun tak ia letakkan juga telephonenya. Akulah yang lebih dulu memutuskan..
Tanganku yang memegang telephone di atas chaak tiba-tiba ada yang pegang. Aku terkejut. Melihat ke arah orang itu. Lukman. Ia tersenyum. Manis, akan tetapi teramat nakal. Buru-buru kutarik tanganku.
"Melamun lagi, nyonya manis?"
Darahku berdebur-debur. Nyeletuk:
"Kau membuatku terkejut."
"Habis. Aku mau membell dari tadi. Telephone terus terusan kau pegang."
*** Ia dekatkan telephone ke mulutnya. Memutar nomer nomer.
"Sobat baik?" tanyanya Seperti sambil lalu.
Mula-mula kusangka yang ia ajak bicara orang yang diseberang sana telephone. Aku tak menyahut jadinya.
' "He, yang menelephone tadi itu, sobat baik kah?"
Kulihat laki-laki ini. Ia tersenyum. Akupun tersenyum.
"Baik sekali ...," jawabku.
"Melebihi Mas Gono?"
"Sedikit di bawahnya," aku tertawa.
Lukman juga tertawa. Kemudia ia telah memperoleh sambungan. Sejenak kuperhatikan ia bicara di telephone. Urusan dinas. Namun bukan pembicaraan yang menarik hati. Melainkan mulutnya yang bergerak-gerak itu. Merah kehitaman. Tipis di bawah bulu-bulu kumis. Dagunya kencang dan keras. Demikian pula tulang pipinya. Katakata yang ke luar dari mulutnya lantang. Dan begitulah sikapnya. Juga lantang. Kalau bukan seorang teman sekantor yang sudah biasa berlaku intim, aku mungkin menuduhnya kurang ajar. Tetapi begitulah dia. Lepas bebas. Meski kadang kadang tak kenal batas.
Dan tiba-tiba wajahku menjadi merah padam, waktu mataku menangkap kerdipan mata Lukman. Ia terus berbicara di telephone, tetapi ia tertawa padaku. Sial, ia tahu rupanya aku memperhatikannya. Maka, ketika aku mengerjakan daftar restriBusi kantor yang harus kuselesaikan hari ini, tak urung tanganku agak gemetar. Berulang kali aku menghela nafas panjang untuk menenteramkan perasaanku, tetapi sia-sia juga. Dan karena tak juga daftar restribusi itu tak bisa kuselesaikan, aku sambar koran pagi dari meja Nina di sampingku. Gadis itu melihatiku, tersenyum. "
"Tak enak badan?" tanyanya halus.
Aku mengangguk. Suatu pertanyaan yang tak dipersiapkan.
"Pantas. Agak pucat," katanya.
Dan ia meneruskan kerjanya. Setelah itu, aku tak berkesempatan untuk berbuat sesuatu apapun lagi. Memperhatikan Nina, bahkan untuk memperhatikan berita-berita koran yag tengah kupegang. Lukman telah menerocos pula:
"Kalau sakit, permisi sajalah. Atau aku akan memintanya pada boss?"
"Tak usah." "Ada yang digelisah kan?"
Aku menggeleng. "Hem," lantas ia kembali kemejanya. Celaka betul, waktu aku memperhatikan ia duduk kembali, pada saat yang sama ia juga memperhatikan aku. Ia tersenyum dan wajahku menjadi merah dibuatnya. _
Habis jam kantor, Lukman mendekatiku.
Berjalan bersama menuju ke luar.
'Apa kabar Mas Gono?" .
"Kau seperti tak serius menanyakannya, bung."


Dendam Roh Jejaden Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia tertawa. "Aku hanya heran," katanya. "Biasanya ia selalu menjemputmu. Tetapi akhir-akhir ini ...."
'Mas Gon "sibuk," kataku dengan gundah.
"Setiap hari?" "Hampir setiap hari ...."
"Ooo ...," kami telah berada di luar. "Boleh kuantar pulang?" ' Aku menggeleng.
"Atau kubawa jalan-jalan?"
Kupandangi wajahnya. Tertawa.
"Makin hari kau makin nakal, Lukman."
Wajahnya memerah. "Bolehkah aku meminta satu hal?"
Semakin merahlah lagi wajahnya. Ia menatapku dengan wajah serius.
"Apa itu?" "Lain kali, jangan suka memegangi tangan orang sebelum meminta ijin pada yang bersangkutan!!"
Lukman ternganga. Dan selagi mulutnya belum tertutup kembali, aku sudah bergegas meninggalkan laki laki itu. Ia memang agak kurang ajar, tetapi aku harus berterus terang pada diriku sendiri, Bahwa aku menyukainya. Hanya sebagai teman. Tak lebih. Dan sekali aku memperlihatkan bahwa aku suka padanya, maka aku sudah bisa bayangkan. Lukman seorang yang nakal. Maka ia akan berbuat lebih dari kurang ajar. Dan aku tak mau dipersamakan dengan apa yang pernah dibicarakan Sutikno denganku. Bahwa perempuan kebanyakan dianggap 'laki-Iaki sebagai barang mainan.
"Selamat siang, Yenni."
Aku terdongak. Kepala Sutikno menjulur lewat jendela Thunderbird-nya yang berwarna biru laut. Tangannya yang satu pegang stir, sementara tangannya yang lain sudah membukakan pintu samping.
"Masuklah," ia menegaskan pembukaan pintu mobil itu.
Tatapan matanya yang keras tak bisa dikalahkan oleh hal-hal lain dalam diriku. Sekilat, aku telah masuk ke mobil biru laut yang cemerlang itu, duduk disamping Sutikno yang segera menghidupkan mesin. Waktu Thunderbird itu meluncur, aku melihat bayangan seseorang di pinggir jalan. Tepatnya, aku merasakan bahwa kami diperhatikan. Ketika aku menoleh, aku melihat sebuah senyuman datar lepas dari mulut Lukman. Perasaanku menjadi tak enak. Apakah dugaannya hari ini padaku"
"Ia mengganggumu"'
Aku terkejut. "Ya?" . "Laki laki itu. Ia yang bernama Lukman, bukan?"
' Aku manggut-manggut. "Apa yang hendak diperbuatnya?"
Suara Sutikno yang bernada tak sedap membuat aku tersenyum kecil.
"Tak lebih dari apa yang ingin kau lakukan."
Lewat ekor mataku, aku melihat wajah Sutikno memerah.
"Memiliki engkau?"
Aku tertawa. Lebar. "Mengantar pulang. Hanya itu!"
Sutikno tertawa pula. Mula mula lepas, kemudian seperti tertegun. Aku heran, tetapi segera teringat pada kalimat-kalimatku yang terakhir. Hem, pikirku dengan nada riang. Sekali-kali ingin kucoba lelaki ini. Ya, ya. Aku sesekali perlu bersikap keras pula terhadapnya. Ia, hari ini, seperti yang kukatakan barusan hanya boleh mengantarku pulang. Itu saja, seperti yang kukatakan ingin dilakukan oleh
Lukman. Dan hal itu rupanya menjadi pemikiran Sutikno, karena sampai tiba di depan rumah ia tidak bicara apapun. Baru ketika membukakan pintu, ia buka suara:
"Kuantar sampai kedalam. ya?"
' "Jangan. Siapa tahu Mas Gono ...."
Sutikno loncat ke luar dari mobil.
"Suamimu meninggalkan kantor jauh sebelum waktunya," katanya dengan suara yakin. "Ia pergi bersama kepala tata usaha. Judi. Ke mana lagi ...."
"Mas Gono tak punya cukup uang," bantahku.
"Tetapi kepala tata usaha itu, punya."
"Korupsi?" bisikku, ketakutan.
"Kalau judi terus-terusan, ya ke sanalah akhirnya!"
Aku tertegun di pintu. "Dengarlah, Tikno," aku memohon dengan suara setengah menangis. "Jangan biarkan mas Gono ikut-ikutan dengan orang itu!"
Sutikno tercengang, kemudian membahak.
"Kau mimpi, Yenni. Sudah kubilang, nekad ambil uang kas hanya suatu kemungkinan terakhir."
"Tapi kalau itu toh terjadi?"
Sutikno angkat bahu. "Harapkan saja jangan," katanya.
Ia kupersilahkan juga masuk ke dalam. Sutikno tidak mengambil tempat duduk di ruang tamu, melainkan terus mengikutiku ke dalam. Aku tak ambil perduli. Ia telah terbiasa begitu. Ambil minuman sendiri. Cari majalah atau bacaan lainnya di ruang tengah. Tetapi di luar dugaanku, minatnya sungguh luar biasa. Ketika aku akan
masuk ke kamar untuk berganti pakaian ia memegang bahuku.
"Yenni ...." ' Aku terkejut, membalik menghadap Sutikno.
"Jangan melihatiku dengan mata seperti itu, Yenni," keluhnya. "Apakah aku tampak begitu menakutkan?"
Darah seperti naik ke ubun-ubunku. Aku berusaha menahan, dan berusaha tetap tenang.
"Mau apa kau, Tikno?"
Sebagai jawaban, ia tarik tubuhku. Rapat ke tubuhnya. rangkulan tangannya bergetar.
"Aku menyukaimu, Yenni."
"Terima kasih."
"Aku selalu teringat padamu."
"Terima kasih."
"Aku ..., aku mencintaimu, dan ..., dan ...."
Dan aku mulai gugup. "Jangan bergurau, Tikno."
"Aku sungguh-sungguh," matanya marah. "Aku ingin memiliki engkau. Memperisterimu. Lalu Yenni, Yenni!"
Aku berusaha melepaskan diri. Tetapi rangkulannya kian kencang.
"Tikno. Aku sudah jadi isteri orang. Ingatlah!"
Ia manggut-manggut, namun semakin rapat pelukannya. Nafasku jadi megap-megap.
"Margono tak memperlakukan engkau sebagaimana lajimnya bukan" Iya" Iya?"
Merah wajahku seketika. __
"Tak usah singgung-singgung tentang ....','
"Penting artinya bagiku, Yenni. Karena aku ingin memberikan apa yang tak diberikan Margono padamu ...." '
"Ia berikan semua, Tikno. Semua yang kuinginkan sebagai perempuan!"
"Dulu! Tetapi sekarang tidak lagi, bukan?" ia bersikeras.
"Itu ..., itu bukan urusanmu," aku mulai lemah.
"Aku rasa itu urusanku. Karena aku cinta padamu, Yenni!"
"Jangan seperti anak anak. Jangan ..." tegurku. Dengan suara yang semakin tenggelam. Rangkulan lengan-lengannya yang kukuh membuat otot-ototku lemas. Sentuhan tubuhnya yang rapat membuat kerinduanku akan jamahan lelaki, melecut lecut. Hati kecilku melawan, tetapi tubuhku menyerah pasrah ketika Sutikno berhasil melakukannya. Melakukan apa yang selama ini dengan luar biasa ia pertahankan. Sebuah ciuman yang panas bagaikan api di permukaan bibirku.
Aku terjengah. Berdiri dengan gontai.
Tasku lepas. Jatuh ke lantai. Suaranya hilang dalam desah nafas Sutikno. Dalam erangan nafasku
sendiri. Laki-laki itu menjadi liar, berbuat sekehendak hati dan hasratnya. Aku diam, diam, tak menyahut, tetapi tak pula menolak : Aku takut, tetapi aku menikmatinya. Aku gugup, tetapi hasrat keperempUanku mendesak-desak ...
*** MARGONO pulang terhuyung-huyung. Tetapi aku tidak membaui alkohol di mulutnya. Waktu ia kusambut di pintu, hatiku sedikit gugup. Mula-mula nanar mataku. Seolah-olah yang berdiri di hadapanku bukan suamiku sendiri, melainkan bayangan tubuh lelaki lain. Sutikno. Waktu membalas pandangan mata Margono, jantungku dilecut perasaan kecut. Tahukah suamiku apa yang tersirat di balik sinar mataku yang pudar" Ia langsung ke ruang makan. Aku siapkan hidangan malam. " kau menungguku ya?" tanyanya tiba-tiba. Matanya menyelidik. Aku gerah, aku resah. "Ya. Kau tunggu aku. Begini terus. Sepanjang
hari. Sepanjang malam. Dan apa yang telah kulakukan sebagai balasannya ...."
Mendengar suaranya yang memelas, aku hampir menghambur. Ingin memekik. Menyatakan penyesalanku. Bahwa yang seharusnya berkata demikian adalah aku. Apa yang telah kulakukan! Tuhanku!
Tiba-tiba aku berlari padanya. Bersimpuh, memeluk lututnya.
"Mas. Mas. Mas ....!"
Suamiku terkejut. Aku tahu dari tanganya yang tiba-tiba kaku. Lalu kemudian, aku rasakan elusan lembut di rambutku. Penuh kasih. Penuh sayang.
"Berarti kau masih mencintaiku," gumamnya, runtuh.
Makin pecah dada rasanya. Aku rebahkan wajah di pahanya, adalah karena aku menyesal dan ingin menyatakan penyesalan itu. Dan Margono menganggap lain. Sesuatu yang justru sangat bertentangan dengan apa yang ia katakan. Meski. Tuhan jadi saksi bahwa cintaku pada Margono tak akan tergoyahkan. Tak akan!
"Masku, sayangku ...," hanya itulah akhirnya yang bisa kuucapkan.
Lalu air matakupun menitik satu persatu. Satu persatu.
"Kau takkan menyesaliku, bukan," tanyanya.
Semakin berderai air mata ini. Justru itu yang ingin ku katakan padanya.
"Kuharap kau tak marah, Yenni. Aku _tahu. Kau tak akan marah ...."
Bahuku terangkat. Mas Gono menengadahkan wajahku. Ditatapnya mataku dalam-dalam.
Hampir-hampir aku tak kuasa, hampir-hampir kularikan tatapan mataku dari sambaran tatapan matanya.
"Kau menangis," katanya.
Aku menggigit bibir. Ia tiba-tiba mengangkatku lebih tinggi. Kemudian memelukku rapat-rapat. Aku balas memeluknya. Lebih rapat, berusaha menahan tangisku. Tidak. Ia tidak boleh tahu. Ia tidak boleh tahu!
"Kita makan ya?"
Aku hanya makan sedikit. Margonopun menelan makanannya dengan tersendat sendat. Kukira, sebuah masalah besar sedang menjadi buah pikirannya. Namun sikap yang ia perlihatkan padaku, bukanlah sikap yang tidak mencinta. Berarti, ia tidak tahu sama sekali apa yang telah diperbuat Sutikno, teman baiknya, padaku sore tadi!
"Mas ...." "Ya?" ia menghentikan suapannya.
"Teruskan makannya, Mas. Aku sudah capek capek memasak ..."
*** Ia manggut-manggut. Dan terus menyuap. Namun sinar mata dalam rongga yang kini dalam itu,_masih tetap suram. Sebentar bentar ia melirikku, dan tatapan mata kami beradu. Lalu kudengar keluhannya. Pendek pendek. "Ada yang menyusahkan hatimu, Mas. Kau tak akan merahasiakannya padaku toh?" Ia tertegun. "Sudah kubilang ...," tibatiba ia menekur. "Tinggalkan saja aku!"
"Mas!" 'Aku telah merusak segalanya, Yenni. Segalanya telah rusak." Kupegang telapak tangannya. Kugenggam. "Aku mengerti, Mas." "Tetapi kini soalnya bukan soal Arman saja lagi'.Aku terdiam.
"Aku telah terjerumus."
"Mas katakanlah." Ia melihatku. Sekilas. Kemudian menatap ke piringnya yang kosong.
"Tambah Mas?" Ia menggeleng.
"Kau tahu ...," katanya. "Kita punya tabungan di bank." Darahku tersiram "Ya Mas." "Nah. Kau mulai kaget."
"kenapa dengan tabungan itu, Mas."
"Kuambil tadi siang.
"Mas ambil?" . Ia mengangguk. "Semua. Tanpa sisa, kecuali 25 perak yang diharuskan!" "
"Kau ..., kau ...." .. "
"Aku telah menghabiskannya."
"Beli apa Mas?" aku mencoba menahan diri.
Ia menggeleng lagi. "Pakai ..., maafkan aku, Yenni. Kepala Tata Usaha di kantor ...."
Wajahku pucat. Teringat keterangan Sutikno sore tadi. Dan tiba tiba aku tahu ke mana sudah semua uang tabungan yang telah bertahun tahun kami simpan itu. Dan melihat ia pulang dengan terhuyung-huyung serta lesu, aku tahu pula akan nasib dari simpanan buat masa mendatang kami itu.
"Mula-mula cuma kecil kecilan, Yenni," ia memelas. "Tapi tadi siang aku tak tahan lagi, dan ..., dan ...."
Tiba-tiba ia menatap lurus ke mataku. Matanya merah, tetapi bibirnya pucat lesi.
"Kenapa kau diam saja, Yenni" Kenapa diam saja?"
Mulutku berkemik, tetapi aku tak tahu apa yang akan kukatakan.
"Marahilah aku. Marahilah!"
Aku menjilat bibirku yang terasa kering.
"Kenapa Yenni" Kenapa?" dan aku tersentak kaget. Tangannya melayang cepat sekali, dan piring di'depannya terbang di udara. Kemudian, membentur dinding dengan suara ribut dan lebih ribut lagi ketika pecah berderai di lantai.
Bersamaan. dengan jatuhnya piring itu, kedua tangan suamiku yang terkepal jatuh menghantam meja.
"Aku telah menjadi setan, bukan" Telah menjadi setan, ya?"
Tiba tiba aku takut. Menatap sinar matanya yang merah bagaikan singa.
"Mas!" "Aku bukan Mas-mu. Aku seorang lakilaki terkutuk! Terkutuk, Yenni. Terkutuk!" dan tiba-tiba ia menghambur ke kamar. Aku terdiam sesaat. Lenyap sudah bayangan untuk hidup tenang di hari-hari mendatang. Memang, tabungan itu tak seberapa banyak. Tetapi dengan kondisi sekarang, di mana suamiku hanya mengharapkan uang gaji, tak mau berusaha lain seperti dulu lewat catut catutan atau objek lainnya, jumlah yang tak seberapa itu sangat terasa artinya. Dan kini
Aku terhenyak. Lemas di kursiku.
Dan seperti magnit, mataku menatap ke tembok. Lewat cahaya lampu yang samar-samar, aku
melihat potret besar berbingkai emas itu. Mas Gono. Tertawa lebar. Gagah, dan tampan. Dalam pelukannya, seorang anak laki laki kecil berumur empat tahun. Dan lakilaki kecil itu, seperti tertawa padaku. Tertawa manja. Seperti kudengar suaranya yang riang gembira : "Mama. Mama, sini. Ikut dong!" Dan aku berlari enggan mendekat. Dan sekali jepret, bertigalah kami di potret, pada bingkai di sebelah bingkai potret pertama.
"Jangan biasakan potret dalam jumlah ganjil," pernah kakak perempuanku yang tertua bilang. "Tak lama setelah berpotret, salah satu meninggal."
Dan entah sudah takdir atau entah karena apa yang dikatakan kakakku itu benar adanya, satu hari menjelang ulang tahun Arman yang kelima akan dilangsungkan, teman sekolahnya datang beramai-ramai ke rumah ditemani guru mereka yang berkata dengan suara ketakutan :
"Arman ditabrak mobil!"
Margono menceritakan bahwa aku pingsan sampai tujuh kali. Kali ketujuh, adalah ketika saat pemakaman Arman, persis pada hari ulang tahunnya. Dan ayah anakku yang malang itu, setelah bertahan sekuat tenaga, akhirnya jatuh bersimpuh di atas makam. Meskipun dilarang oleh sanak keluarga dan ulama, tetapi suamiku bersikeras untuk menanam kereta kereta kuda yang ia belikan
khusus untuk hadiah ulang tahun Arman. Kereta kuda itu mengeluarkan suara musik lembut ketika Margono memutar salah satu rodanya. Dm suara musik yang lembut itu masih terdengar ketika penggali makam mulai menimbuni kuburan itu dengan tanah tanah yang memerah.
Margono tersenyum. Dan air mata mengucur tak henti dari matanya. Tak terdengar suaranya. Baru ketika makam itu telah digunduki tanah, tiba-tiba ia memekik. Ia menyerbu tanah itu. Berteriak teriak:
"Arman. Anakku Arman. Armanku sayang. Arman!"
Dan ia membongkar gundukan makam itu dengan tangannya. Ia membongkarnya dengan liar. Teriakan-teriakan liar. Seperti gila, ia memanggil manggil nama anak itu, dan seperti gila ia terus membongkar timbunan tanah memerah itu. Beberapa orang membetotnya dengan kuat. la meronta. Lepas. Mengorek tanah itu lagi. Memekik-mekik kembali :
"Armanku sayang. Arman! Kau senang sayang" Kau ulang tahun sekarang bukan" Dengar, dengar bunyi musik itu. Kau dengar Arman. Ayoh, naik, naiki kereta kudamu, sayang. Naikilah, anakkuuuu ...," lantas, ia menangis tersedu-sedu. Dan aku tak ingat apa-apa lagi setelah itu. Aku hanya ingat, bahwa hari, Minggu dan bulat-bulan yang
kami lalui semenjak hari itu, tak pernah lagi dibarengi kebahagiaan. Suamiku lebih gila lagi. "Kutuk itu jadi!" ia sering mengigau.
"Kutuk itu terjadi. Kutuk itu."
"Mas, sudahlah," aku berusaha menyabarkannya. Lantas, kalau ia terbangun, ia menangis. "Arman," hanya itulah yang-keluar dari mulutnya. "Kau jadi korban kelakuan ayahmu, nak. Kau yang jadi korban ...."
*** AKU tersadar ketika guntur menggelegar di udara.
Terloncat kaget oleh suara yang mengejutkan di pagi buta itu, aku melangkah menuju ke kamar. Suara rintik hujan di genting rumah terdengar seperti detik detik jantungku sendiri. Margono menelentang di tempat tidur. Matanya nyalang ke langit-langit kamar. Dan waktu aku masuk, ia menoleh. Tatapan matanya tidak bersinar sesuatu apapun.
"Mas ...." Ia duduk di tepi ranjang.
"Mendekatlah, Yenni."
Aku melangkah ke dekatnya. Bersimpuh dan
merebahkan kepala lagi di pahanya.
"Maafkan atas kekasaranku barusan."
"Kau tak salah, Mas." ~
"Aku menyesal, Aku telah menghancurkan harapan kita." ,
"Kau bisa memperbaikinya, Mas.";
"Dengan apa?" ia tertawa pahit. ,!
"Dengan cintamu padaku, Mas."
"Aku mencintaimu, Yenni. Dan ternyata aku toh telah merusaknya."
Kau kira engkau saja, Mas, tanyaku dalam hati. Dan pertanyaan itu terasa sakit sekali.
"Kita perbaiki dari sekarang, Mas. Kita perbaiki."
"Apakah kita bisa?"
"Coba, mas. Kita coba ...."
Ia mengangkat tubuhku. Membaringkanku di sisinya. Kami bertatapan beberapa lama. Kemudian, wajahku merapat ke wajahnya. Aku mencium bibirnya. Ia memelukku. Dan membalas ciumanku. Jantungku berdebut kencang. Hangat. Setelah sekiem lama, jeritku dalam hati. Dan aku merangkul Mas Gono, seperti tak akan kulepaskan lagi.
" Yenni." "Ya Mas." "Besok kau ke dokter ya?"
Tiba-tiba tubuhku menegang.
"Jangan ulangi lagi permintaanmu itu, Mas."
"Tetapi Yenni ...."
"Aku tak mau ke dokter, mas. Kalau yang menjadi tujuan adalah apa yang kau sudah sering minta."
"Tetapi kita tidak bisa terus menerus begini. Yenni. Sekedar bersentuhan. Tak lebih dari itu ...."
"Kenapa Mas?" aku hampir menangis.
"Kenapa" Bukankah kau punya kesanggupan?"
"Aku sudah bilang, Yenni. Aku takut!"
"Biarkan ia lahir, Mas. Biarkan anak kita yang kedua datang!"
Ia menggeleng. "Lalu kita kehilangan?"
Aku terduduk. "Kau penakut. Mas!"
"Yenni!" "Kau tak mau mencoba. Kau mengharapkan kematian. Bayanganmu hanya itu. Kematian. Kematian! Kematian!"
"Itu kutuk, Yenni!"
"Kutuk" Haaa, itu bukan dari Tuhan. itu datangnya dari manusia!"
"Tetapi Arman "Takdir Tuhan. Mas!"
Ia menggelengkan kepala:
"Itu kutuk. Narsi mengatakan bahwa keturunanku akan mati di saat-saat sedang manja-manjanya. Dan Arman ...."
Aku jadi berang. Disebut-sebutnya nama Narsi membuat gejolak darahku naik. Tidak.; Tak seorang perempuanpun boleh bersentuhan, dengan Margono. Tak seorangpun. Tetapi Narsi" Ia berbuat lebih. Lebih dari bersentuhan!
"Salahmu sendiri Mas!" aku setangah memekik. "Kenapa kau paksa ia menggugurkan. Sampai ia mati. Bersama kandungannya! Bukti kepengecutanmu, bukan?"
"Aku tak cinta padanya, Yenni. Aku hanya cinta padamu."
"Dan ia mengutukmu, membuatmu takut lalu kemudian tak mau menyetubuhi aku lagi karena kebetulan kutukannya itu terbukti" Begitu, ya?"
"Itu bukan suatu kebetulan, Yenni."
"Oh!" aku membanting diri di kasur. Menutup kedua belah telinga dengan menekannya ke bantal sekuat kuatnya. Tetapi toh suara Margono terus menyelusup di telingaku :
"Salahku, Yenni. Kau benar. Salahku. Lalu lalu, kenapa tak kau lepaskan saja, lelaki terkutuk ini" Kenapa, Yenni?"
Aku tersentak. "Jangan ulang ulangi lagi kalimat itu, Mas. Aku bosan."
Ia memandangiku dengan mata redup.
"Jadi akhirnya kaupun bosan!"
Berdetak jantungku. ?"Mas?" aku memeluknya. "Aku maksud, aku maksud ...."
"Kenapa", Yenni. Kalau kau sudah bosan?"
"Pada keinginanmu, Mas. Aku bosan mendengar kau ingin agar aku tinggalkan engkau, Mas. Mas. . Tahukah kau" Tahukah" Aku akan mati, kalau aku sampai berpisah dengan engkau!"
"Yenni!" "Mas ...," dia berbisik di telinganya. "Masih ragukah engkau?"
Ia mengangguk. Renyuh hatiku. "Kita boleh melakukannya, Yenni. Tetapi dengan syarat..Tidak akan lahir seorang anak lagi!"
Kusabarkan hatiku. Masih lama, kukira untuk membuat Mas Gono lupa atau bisa menekan rasa takutnya akan terulangnya apa yang ia katakan kutuk itu. Masih lama, dan sementara itu belum tiba waktunya, aku harus bersabar. Bersabar. Tetapi akupun tak boleh menyerah begitu saja. Sekali aku turutkan kehendaknya, maka ia akan terus memaksakannya. Dan harapan untuk memperoleh seorang pengganti Arman yang hilang,
akan lenyap pula untuk seterusnya. ' "'
"Terserah kau, Mas. Tetapi camkanlah. Aku tak mau disterilkan. Dan aku jijik harus pakai spiral atau semacamnya. Tidak, Mas.!! Aku tak akan melakukannya, sebelum keadaan memaksa. Nanti, setelah anak-anak kita mejadi sepuluh atau tujuh belas ..."
Mata Margono memerah. "Kau berkhayal." '
"Aku sungguh sungguh, Mas."
"Tidak. Kita tak boleh punya anak lagi."
"Mas!" . "Satu-satunya jalan Yenni, kita berpisah kamar mulai saat ini ...!!!"
Nafasku bagaikan terenggut habis. Aku jatuh terbaring dengan mata nanar. Bintang-bintang menari di mataku. Gelap, berbaur merah darah, hitam, kuning tua, merah darah, kuning menyilaukan mata, hitam lagi lalu setelan itu aku tak sadukan diri lagi .
*** AKU agak terhibur waktu pagi harinya Sutikno menelephone dari kantornya. Suaranya terdengar amat jauh, seperti menghimbau. Dan ketika ia mengucapkan "Hallo, Yenni," aku tak bisa membedakan apakah suara Sutikno yang bergetar ataukah jantungku yang tiba-tiba berdebur.
"Lagi ngapain, Yenni?"
" ya, begini." "Sibuk?" "Hem." "Ngapain saja?"
"Ya, nelephone." Ia tertawa. Relax. Aku senang mendengarnya.
"Margono belum masuk kantor kulihat. Masih tidur dia?"
"He-eh." "Bos belakangan ini marah-marah saja."
Aku tercekat. "Pada mas Gono?" "
"Kukira demikian ...."
"Apakah ada kemungkinan ia ....!'
"Jangan berharap yang tidak sepatutnya, Yenni-ku!"
Aku menjilat bibir. Bercabang pikiranku. Antara kemungkinan kerja Margono, dan ucapan Sutikno yang terakhir: "Yenniku."
"Kau mulai berani," rungutku. Perlahan.
"Apakah kau tak sudi?"
Aku terdiam. Di sebeng sana juga terdiam. Dan aku gugup oleh kesepian yang mencengkam itu. Seolah-olah kesepian itu harus kupecahkan dengan keputusan yang tak bisa diganggu gugat lagi. Aku harus memilih. Margono. Atau Sutikno. Dan aku tidak melihat pilihan lain, kecuali cepat cepat berbisik:
"Sudah ya. Sampai di sini!"
"Yenni! He, Yenni, tunggu ...."
Tetapi telephone telah kuputuskan.


Dendam Roh Jejaden Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku termangu. Menatap gagang telephone itu.
seperti aku menatap Sutikno. Wajahnya yang penuh harapan, tak kenal putus asa. Lalu wajah Suamiku Margono. Hampir hampir tidak punya harapan, dan benar dilanda keputusasaan. Apakah di saat saat demikian aku tega meninggalkan dia" Ia telah kehilangan Arman. Seperti ia kehilangan dunianya. Lalu haruskah dia kehilangan miliknya yang tertinggal, aku" Tidak. Tidak, Mas Gono. Hal ini tidak akan terjadi!
Lima tahun berselang, ia telah berusaha mendepakku ke luar. Agar ia kutinggalkan, seperti Lila meninggalkannya, seperti Rose yang mempersetannya atau Anita yang menyingkirkannya. Satu satunya yang tidak sudi menjauh dari sanubari nya hanya Narsi. Narsi dengan bibit yang mati di perutnya. Narsi yang tidak pernah memaafkannya. Jabang bayi yang tidak pernah menerima ampunnya. Memakan waktu yang cukup lama bagi ku sampai rasa takutnya bisa kululuhkan dan ia bersedia menikah denganku, memperoleh anak dari rahimku. Arman. Yang kami asuh dari detik ke menit, jam ke hari, bulan ke tahun. Dunia tertawa. Bulan menari gembira. Matahari tersenyum bahagia. Itulah artinya Arman bagi Margono. Sampai kemudian Tuhan toh meminta matahari itu, menyita bulan itu, menutup dunia itu. Gelaplah segalanya.
*** "Mbak?" Aku tersentak kaget. Nina
"Kau gelisah, mbak. Ataukah mata saya salah?"
Senyum kupaksakan semakin lebar.
"Mudah-mudahan kau salah, dik."
Ia menggelengkan kepala. Lantas mendekatkan kursinya kedekat mejaku. Matanya jelalatan ke sana ke mari. Aku tak berminat untuk mengikuti pandangan matanya. Tetapi setelah merasa aman dari perhatian kollega sekantor yang lain demikianlah menurut pendapatku --ia berkata setengah berbisik:
"Kakakku yang perempuan dulu juga seperti engkau."
"0h ya?" "Selalu resah. Tak tenang. Dan hidup seperti tanpa gantungan."
"0h?" " "Ia ditinggal anaknya pula. Seperti mbak."
Aku mengeluh. "Tetapi ia segera beroleh gantinya. He ...," ia memegang punggung tanganku. "Kapan mbak dapat ganti?" '
Itulah persoalannya, Nina, jawabku. Dalam hati. Dan jawaban itu bagai menyayat-nyayat. ' Tiap sayatannya mengeluarkan darah. Dan tiap tetes darah bagaikan menggelegak, kemudian hangus terbakar. Sesak nafasku rasanya. Aku terbatuk, Serak.
"Hati-hati, mbak," Nina menjadi serius. '.'Jangan terlalu dibawa susah. Mbak mulai batuk batuk ya. Nanti jadi tebesean."
Aku menyeringai. "Terimakasih, Nin. Kalau khawatir, bawa saja saputangan lain kali. Tutup mulut atau hidungmu kalau kau lihat aku mau batuk."
"Ah, mbak," ia tertawa.
Akupun tertawa. Dan, ketika ia kembali ke mejanya, kukira akupun beroleh sedikit kekuatan untuk meneruskan tugasku. Kemarin aku menerima teguran boss. Dan hari ini aku tak mau menerima peringatan yang sama. Mungkin lebih. Siapa tahu, bahkan seperti kemarahan majikan suamiku. Sampai sampai kata Sutikno, ia ...
*** MARGONO memang menerima surat pemecatan tiga hari setelah Sutikno memberikan kemungkinan itu via telephone. Pulang kantor, suamiku tertawa. Lebar. Keras. Terbahak-bahak. Panjang Sampai air matanya bercucuran.
"Bacalah ini. Bacalah ...," katanya.
Dan mendengar suaranya yang seperti suara kalau ia dalam keadaan_mabuk, perasaanku menjadi tak enak. Dan aku membaca kertas yang ia berikan. Surat pemecatan resmi. Antara lain ditulis : "Tiada perhatian pada pekerjaan. Dan suka mengganggu ketenangan karyawan lain." Tersirap darahku. Sutikno pernah bercerita. Margono sering ngomong sendiri di kantor. Tertawa. Cekikikan.
Atau, tibatiba mengeluh, dan mengeluarkan suara seperti tangis. Terlebih'lebih kalau ia sedang membaca majalah kanak-kanak yang selalu dibelinya. Pernah ia bercitacita untuk bercerita pada Arman, tiap kali menjelang tidur. Karena itu ia suka membeli majalah kanak kanak, dan mencoba menghapalkan tiap cerita sebaik-baiknya dengan harapan ia tak terlupa sehurufpun apabila mau menceritakan kembali di telinga Arman. Di lain waktu, seorang teman sekantor membawa anak yang kira-kira seusia Arman. Laki-laki pula lagi. Celoteh. Liar dan manja. Persis Arman, kata Sutikno. Margono terloncat dari kursinya.
"Hey, nak!" serunya.
Lalu ia sambar anak itu. Ia dekap. Anak itu ketakutan. Lalu menangis.
"Cup, cup sayang. Jangan nangis, jap, jap, jap?"
Tetapi diciumi begitu, si anak kian menjeritjerit. Ibunya menjadi panik. Dengan memelas ia meminta anak itu dari Margono. Tetapi suamiku menjadi marah.
"Sebentar saja!" ia berteriak. Dan kedua sudut matanya basah oleh butir-butir air. Ia menatap anak yang menangis itu. Kebetulan, si anak melihat pula padanya. Mereka bertatapan. Kemudian terdengar Margono mengeluh:
"Ah. Kau bukan Arman. Mata Arman kebiru-biruan. Seperti langit. Matamu terlalu pekat. Aku tak suka!" lantas si anak diletakkan begitu saja. Ibunya tersinggung. Oleh cara Margono melepaskan si anak, dan oleh ucapannya yang terakhir. Ketika Margono kembali ke mejanya. terpekur sambil mencoret coret gambar boneka lalu kata-kata "Arman" berulang-ulang di atas kertas kerjanya, kolega perempuannya itu mengatakan : "Kurang ajar benar si Gono. Persetan sama dia. Aku tak suka lagi di sini," dan si perempuan minta berhenti hari itu juga.
"Nah, Yenni. Bagus benar surat itu, bukan?" aku dikejutkan oleh suara Margono. Matanya merah. Aku tak sanggup melihatnya. Terduduk lemas di kursi. Menatapi surat itu. Tetapi yang kulihat hanya gambaran mengabur. Seperti asap. Dan aku tenggelam dalam kepulan asap itu. Pekat. Pengap. Menyesakkan dada. Aku terbatuk-batuk.
"Apakah mereka kira, dengan memecatku, aku tak bisa hidup?" Margono tiba-tiba bangun sambil berteriak. Aku memandangnya. Dengan perasaan kasihan. Dan ia terduduk lemas. Suaranya juga lemas:
"Ya. Aku telah mati. Sejak lama aku telah mati."
Kemudian ditangkupkannya kepalanya ke meja. Terdengar sedunya. Perlahan. Surat itu segera kulupakan. Kudekati Margono. Mengelus kepalanya. Lembut. Dan mencoba menghiburnya. dengan kata-kata lembut:
?"Kita masih punya harapan, Mas."
Ia menggeleng-gelengkan kepala. Tapi tak ada suaranya yang ke luar.
"Gajiku cukup untuk kita berdua, Mas."
Tiba-tiba ia menggenggam tanganku. Air matanya terasa hangat.
"Yenni!" ia. memelas. Kemudian mencium telapak tanganku. Mesra. Penuh kasih sayang. Kemesraan dan kasih sayang itu ia perlihatkan sampai jauh malam. Aku berbahagia. Tetapi cuma sekejap. Sebab, ketika malam telah semakin larut, ia bukannya membuka bajuku, menciumi dan menggumuli seluruh tubuhku melainkan berkata:
"Tidurlah ya Yenni?"
Lalu, ia menghilang dari kamarku. Pergi ke kamarnya. Dan malam terasa sepi sekali. Sepi sekali!
*** RASA kecewa setiap malam selalu ditinggalkan, lama-lama berubah juga menjadi perasaan lain. Aku wanita. Aku memang harus memperhatikan Margono. Tetapi aku juga butuh perhatian. Aku bukan benda mati. Aku ingin disentuh. Dijamah. Digeluti. Akupun bukan binatang. Ingin berlebihan. Tak pandang tempat atau waktu. Aku hanya minta yang sewajarnya. Dan Margono "Ia laki laki yang bodoh!" sungut Sutikno ketika sekali waktu ia berhasil membujukku ke luar rumah. Dan celakalah, karena aku juga tak berhasil melawan keinginan hatiku, untuk jangan mau dibawa oleh Sutikno ke rumahnya sendiri. Celakalah aku!
"Mas Gono lagi sakit, Tikno. Hatinya. Dan jiwanya." "
"'Tetapi ia toh lelaki. Seperti aku. Dan ia bodoh. Tak melihat sebelah matapun pada benda paling berharga di dunia ini, yang telah menjadi miliknya, akan tetapi masih tetap ingin dimiliki lelaki lain!"
Terus terang, cupil hidungku sedikit mengembang.
"Mungkin aku telah menjadi tua, Tikno."
Ia merangkul pinggangku. Berbisik halus sekali ditelinga:
"Dalam usia 27 begini" He, Yenni. Serasa aku masih melihat kau dimasa aku mula pertama melihatmu ...."
"Kapankah itu?" aku sambil tak berdaya menolak rabaan tangannya yang menjalari sekujur tubuhku. Bagaikan rayapan ular. Menggelikan, tetapi hangatnya, amboi!
"Masa kau lupa."
"He-eh." "Ah ..., yang benar," nafasnya mendengus di leherku.
Aku menggelinjang. "Kapan?" tanyaku, hampir-hampir berupa senjata untuk tidak membuka rahasia hatiku yang sedang dilanda nafsu.
"Di hari perkawinan kalian, toh?"
"0h ...." "Pelaminan kalian di malam pertama hangat ya?" bisiknya semakin menggila. Dan celaka benar, justru kalimat itu mengingatkan aku pada kehangatan malam pertama perkawinanku. Dan hasrat-hasrat yang menggejolak dalam tubuhku semakin menjadi-jadi.
"Ah, siapa bilang."
"Margono." "Apa katanya?" dan pikiranku makin kacau balau.
"Kau hangat. Lembut. Dan menggilakan!"
"Ah, ah, ah ...."
Dan segalanya pun terjadi. Aku lupa Margono. Tetapi tak bisa melupakan kekecewaan yang ia timbulkan akhir-akhir ini. Dan terlebih-lebih tak bisa melupakan, bahwa aku perempuan. Butuh kasih mesra, kata menggila. Dan belaian tiada tara. Aku butuh semua. Semua! Telah lama aku menginginkannya. Lama sekali. Rindu yang serasa berabad-abad. Penantian yang seakan-akan menghabiskan usia. Dan ketika aku sadar bahwa aku masih muda, bahwa penantianku tidak bisa tersia-sia, Sutikno telah memanfaatkannya .
Aku baru menangis ketika Sutikno membantu mengenakan pakaianku kembali.
"Kenapa kau lakukan itu, Tikno" Kenapa?" Kuingin mengucapkannya dalam kalimat-kalimat yang lebih kasar. Melalui nada-nada yang lebih tajam'. Tetapi aku justru mengatakannya dengan suara yang tersendat-sendat. Dan takut takut.
"Karena aku sayang padamu, Yenni!"
"Tapi, Sutikno."
"Biarlah kau punya suami. Tetapi aku yakin, kau segera akan meninggalkannya dan datang padaku."
Mataku terbelalak. Semakin sadar aku akan tempat di mana aku harus berpijak.
"Tidak, Sutikno."
"Kenapa" Bukankah kau juga sayang padaku?"
Elusan tangannya dibahu kemudian di pipiku membuat aku hampir-hampir tak bisa bersuara. Tetapi kemudian suaraku bisa juga dipaksa ke luar.
"Tapi, Tikno. Aku ..., aku ..., aku juga sayang pada Mas Gono!"
Ia tersenyum. Kecut. "Itu tidak penting. Kau sayang padaku juga, bukan?"
Tanpa kuasa, aku mengangguk.
"Nah, rasa sayangmu padanya akan segera hilang."
Aku menggeleng. "Lihatlah. Suatu ketika," ia menjawab pasti.
Kembali aku menggeleng. Juga pasti.
Tetapi ia tak perduli. Katanya mesra.
"Kau tidur di sini saja ya malam ini?"
"Tidak." "Apa yang kau tunggu di rumah?"
"Mas Gono." "Ah, aku toh ada di dekatmu."
"Ia butuh seseorang,.Tikno. Dan hanya aku satu-satunya."
Sutikno tertawa. "Kau sentimentil." katanya.
Aku berdiri. "Perasaan sentimentillah yang justru membantu aku hidup. Perasaan sentimentillah yang menimbulkan kasih sayang. Dan perasaan itu mulamula jatuh pada Mas Gono. Mula mula. Dan seterusnya!"
"Yenni, kau ...."
Aku membuka pintu kamarnya.
"Aku sayang padamu, Sutikno. Setidak-tidaknya, karena kau telah berhasil menjamahku. Sampai kebagian yang paling dalam. Tetapi, kau adalah orang kedua, Sutikno. Ingatlah itu!" lalu aku menghambur ke luar kamar.
*** TETAPI segala sesuatunya dengan cepat telah terjadi.
Margono dengan mudah sekali telah menghabiskan segala sesuatu yang ada di rumah. Termasuk simpanan rahasiaku, yang tidak bisa kupertahankan bila ia telah merengek seperti anak kecil. Aku tetap ingin melihat ia sebagai seorang suami, seorang ayah, seorang yang jantan. Justru ia bertingkah sebaliknya. Dan aku tidak bisa menolak. Tidak bisa. Karena, betapapun ia adalah suamiku.
Namun, sesuatu yang lain tak pula terelakkan.
Keadaanku mengkhianati suami kian menjadi-jadi. Lama-lama kuanggap sebagai suatu keharusan. Tak pula bisa kutolak. Karena aku butuh
kasih sayang. Bukan saja dalam bentuk bathiniah, tetapi terutama juga jasmaniah. Pikiran-pikiran jahat muncul sebagai pembela diri. Bahwa kebutuhan-kebutuhan jasmaniahlah yang menambah kukuh kebutuhan bathiniah.
"Aku tak bisa membiarkanmu begini terus menerus!" Sutikno akhirnya marah.
"Kuingin membahagiakan kau. Tetapi cara cara begini, justru semakin menyiksamu!"
Apa yang dapat kuperbuat cuma menyabarkan hati lelaki itu.
Dan ia marah, semakin marah karenanya.
"Sampai kapan" Menunggu suamimu mati?" ia mengeluh. Lalu: "Umurnya masih panjang. Aku bisa melihatnya. Tetapi hidupnya dari hari ke hari kian sinting. Dan kau katakan. kau akan tetap mempertahankan si sinting itu!"
Lalu laki laki yang kupertahankan itu, justru selalu berkata sebaliknya:
"Berbuatlah apa yang kau sukai, Yenni."
Selalu aku tercenung mendengar ucapan Margono itu. Lama baru kukomentari :
"Dengan keadaan begini, Mas?" tanyaku, tersendat menahan air mata yang mendesak untuk lari ke luar. "Aku tak kuat, mas. Pagi-pagi aku ke kantor, kau masih tidur. Pulang siang, kau tak ada di rumah. Dan ketika kau pulang larut malam, aku telah terlelap di kamar ...."
"Syukurlah. Jadi kau tidak harus menungguku pulang,kan?" ia tersenyum.
' Kau"tak marah?"
"Padamu" Alangkah bodohnya aku, Yenni."
"Mas ...." "Yenni, Yenni. Perbuatlah apa sesukamu. Asal, jangan halangi kesukaanku!"
Dan ia melakukan kesukaannya itu terus. Terbang ke rumah-rumah judi. Berendam di mejameja bilyard. Bermabuk-mabukan di bar bar. Pulang setelah aku terbang ke alam mimpi. Dan masih tidur waktu aku bangun pagi. Kemudian wajahnya belum sempat kutatap. ia sudah lenyap sepulang aku dari kantor. Ah. Inikah yang dinamakan berumahtangga"
"Ingatlah mas. Yang kau hambur hamburkan itu adalah uangku," protesku, lain hari.
Matanya bersinar tajam. "Kau mulai main bisnis, Yenni?"
Tercekat kerongkonganku. Kering, Mas Gono tersenyum getir.
"Baiklah Mudah-mudahan sekali waktu aku bisa mengganti uangmu. Lengkap dengan bunga!"
"Mas Gono ...."
Tetapi ia telah pergi. Meninggalkan aku. Meninggalkan rumah. Meninggalkan api kecewa serta kancah neraka yang semakin berkobar dalam
diriku. Menggantungku di langit langit rumahku sendiri. Wahai, sekali lagi., inilah yang dinamakan. berumah tangga" ' " "
*** KEMUDIAN Sutikno menghadirkan jurang itu!
"Apakah kau sudah buta?"
"Tidak." "Lalu?" "Aku sedang berpikir."
"Sampai tua. Dan semuanya terbuang percuma."
"Tak seburuk itu, Tikno."
"Lalu Ini"!" ia menekan perutku.
Aku tersentak sendiri. Kupandangi Sutikno.
" kau ..., kau tahu?"
Ia menyeringai. "Mataku tak buta, Yenni. Kukira aku bakal menjadi ayah!"
Ayah! Ayah dari anak yang kukandung!
"Tak mungkin, Tikno," aku berucap. "Hai," ia tercengang. '
" Kita belum kawin."
"Nah," ia tersenyum. Lebar. "Justru itu aku terus mendesakmu."
"Kau tak bisa, Sutikno."
"Apa lagi halangannya."
"Aku masih punya suami."
"Lepaskanlah dia!" Sutikno berkata ketus.
Aku menggeleng. Sutikno memegangi kedua bahuku.
Matanya lurus menatap ke mataku. Ada bayangan kekejaman. Tetapi aku percaya, itu hanya dikarenakan oleh emosi yang terpendam dalam dadanya. Dan aku lebih percaya, karena setiap pembicaraan ia selalu memperlihatkan kecemburuannya. Sebagai wanita, salahkah bila aku merasa senang dengan hal terakhir itu"
"Dengarlah, sayang. Kau bakal jadi ibu dari anakku. Berpikirlah wajar.
Jangan sentimentil."
"Aku tak pernah berpikiran tak wajar."
Ia mengangguk. "Ya. Kau waras. Seperti aku. Maka itu, mulailah pikirkan, bahwa kau akan menjadi seorang ibu. Bukankah itu yang telah lama menjadi cita-citamu?"
Aku mengangguk. Lemah. 'KAu, tidak bergembira, Yenni. Aku merasakannya. Kenapa?"
"Kau tak tahu, Sutikno."
"Kau ingin punya anak lagi. Suamimu tak mau memberikannya. Dan akulah yang kemudian menjalankan tugas itu. Sampai kini berhasil. Ya, ya. Akulah yang akan memberimu anak."
"Justru itulah, Sutikno."
Dipandanginya mataku dengan penuh tandatanya.
Dan aku tak bisa menyiksa Sutikno berlamalama.
"Keinginanku masih tetap, Sutikno. Punya seorang atau beberapa orang anak."
"Lantas?" "Kuingin ayah anak itu adalah Margono."
Ia menjilat bibir. "Anakku mau kau apakan ...."
"Bukan, Sutikno. Anakmu adalah anakmu. Aku tak berniat mengakukannya sebagai anak Mas Gono. Karena aku yakin, ia sendiripun tidak akan sudi."
"Kau membuatku bingung, Yenni."
"Mudah saja, Sutikno. Kuingin benih yang ditubuhku adalah benihnya Mas Gono!"
Kedua lengan Sutikno terkulai di sisinya.
Lemas. Kemudian ia terduduk di ranjang. Lemas. Lepas keluhannya. Lemas. Dan ia menggeleng-gelengkan kepala. Juga lemas. Segalanya lemas. Lemas. Lemas. Dan lemas. Seluruh anggota tubuhku seperti copot satu persatu, tak kuat menahan rasa lemas itu.
"Jadi hanya itu yang bisa memberikanmu kebahagiaan?" ia bertanya juga akhirnya.
Aku mengangguk. "Dan yang kuberikan?"
"Aku berbahagia, Sutikno."
"Sesungguhnya?"
"Sesungguhnya, Sutikno."
"Tapi kau takut."
"Aku takut, Sutikno."
"Takut menerima kebahagiaan itu."
"Tiada yang lebih kutakutkan dari itu, Sutikno."
"Jangan mematuhi setiap perkataanku!" tiba tiba ia berteriak.
"Tiada kalimat kalimat lainnya lagi, kau tahu itu," sahutku. Tenang.
Ia terdiam. Lama. Juga aku. Lama. Tetapi aneh, rasa nyaman ada di hatiku. Kusayangi kedua lelaki ini. Seorang dengan janin yang kukandung di tubuhku, dan yang lainnya dengan kasih sayang yang melekat dalam keseluruhan hati dan jiwaku.
Sampai kapankah aku berpijak di belahan dua
lelaki" Lalu apa yang akan kau lakukan?" beberapa saat aku tak bisa menjawab. Kemudian: "Aku tak tahu."
"Meniadakan calon anak itu?" Kering bibirku. Aku menjilatnya. Perih terasa mata. Dan aku mengerdip-ngerdipkannya. Lalu :
"Aku tak tahu, Sutikno."
"Apa yang kau tahu kalau begitu?" tanya dongkol. Aku menggeleng.
"Itupun aku tak tahu!" Ternganga lebar mulut Sutikno
*** DAN Menyipit mata Margono, pada waktu aku tak bisa menahan muntah pagi hari itu. Aku tak bisa menghindar. Begitu tiba-tiba. Begitu mendesak. Aku ingin lari ke suatu tempat. Tetapi akhirnya aku tiba di sumur. Dan selagi aku terengah engah menahan rasa mual di perut oleh muntah yang tercurah membasahi jubin kamar mandi, pada saat itulah muncul bayangan memanjang di belakangku. Aliran darahku semakin menurun. Putih seperti kapas wajahku, kuyakin. " jadi itu sebabnya ; semalaman kau tak bisa tidur," aku mendengar suara Mas Gono yang datar.
*** Aku menangkupkan wajah ke kedua telapak ' 'Aku tak mendengar apa apa beberapa saat. Helaan nafaspun tidak.
Kuingin lantai tempatku berpijak, belah, dan aku tenggelam ke dasar bumi yang paling dalam. Mati terhimpit, atau terbang ke awang-awang, pecah berserakan. Tetapi aku tetap terbungkuk bungkuk di lantai, memuntahkan lebih banyak bukti-bukti pengkhianatan!
Aku kemudian mendengar langkah langkah.
Menjauh. Terseret-seret. Perasaanku semakin terharu biru. Kacau balau tak menentu. Aku berpegang ke tembok bak kamar mandi. Bersandar. Kemudian punggung serasa patah. Aku jatuh terduduk. Blouse tidurku lembab oleh air yang basahi lantai. Ujung jari-jari kakiku licin oleh lendir muntah yang berserakan di depan biji mataku.
Kupegangi perutku. Sakit. Terguncang-guncang.
Tetapi rasa sakit itu lebih memukul di bagian lain.
Dada. Dan tiba-tiba, aku merasa akulah makhluk paling kotor di dunia ini!
Aku jadi nekad. Berdiri. Gontai. Dapur cukup dekat. Ada bermacam-macam pisau tajam yang bisa kupilih di
sana. Hanya sekali geser di leher. Atau memutus, di urat nadi. Cukuplah. Dan semuanya akan lenyap. Semuanya akan tidak terasa lagi! Semuanya akan menjadi nol. Nol besar.
Baru saja aku akan berdiri waktu sepasang tangan memegang pundakku.
"minumlah ini," aku mendengar suara yang sayup sayup.
Kupandangi sorot mata itu. Aku tak menemukan sesuatu apapun sebagai pegangan. Lalu dengan tangan gemetar aku menyambut uluran gelas berisi teh panas dari tangannya yang kukuh tetapi telah semakin kurus itu.
Tangen itu tak bergetar sedikitpun.
Aku meneguk teh itu. Satu. Dua. Tiga teguk.
Perasaanku agak enak. Sedikit. Sampai terdengar suaranya yang kini lebih dekat :
"Kau tahu, Yenni?"
Aku diam. Menanti. Dengan perasaan waswas.
"Aku memang penjudi. Peminum. Boleh pula kau katakan laki laki yang mulai dilanda ketidak warasan. Dalam sikap-sikapku. Tindak tandukku. Mungkin juga dalam cara kerja otakku "
Bibirku kering lagi. Cepat kuteguk minuman itu. Panas sekali.
"Tetapi satu hal, Yenni. Perempuan tetap kujauhi. Aku tak mau mengkhianati keutuhan rumah
_ tangga kita!" Lalu, ia pergi meninggalkanku. Kakinya terseret-seret. Gontai. .
*** DUA hari dua malam aku menanti. Namun Margono tak muncul-muncul juga.
Perasaan panik karena kepergok waktu muntah-munta perlahan-lahan mulai berubah dan diganti oleh perasaan waswas. Pada subuh hari ketiga, aku berlutut di sejadah. Kemudian sujut. Bersujud lagi. Dengan bibir gemetar aku berucap :
"ke mana perginya suamiku ya Tuhan?"
Dan air mataku titik. Kesadaran itu datang begitu terlambat. Bahwa betapapun baik serta penuh kasihnya Sutikno akan diriku, namun kehilangan Margono benar benar merupakan suatu hal yang paling kutakutkan."Dan titiklah air mataku bila teringat ucapan
terakhirnya sebelum meninggalkan rumah:
" Perempuan tetap kujauhi."
Bergetar hatiku. Ia menyatakan tentang diri nya: Tetapi ia sekaligus memukul diriku ; bahwa aku sebaliknya telah mendekati seorang lelaki lain.
"Aku tak mau mengkhianati keutuhan rumah tangga kita," kalimat lanjutan Margono lebih menyakitkan lagi. Dan apa yang telah kulakukan" Di tubuhku telah bermukim benih yang diturunkan oleh Sutikno!
"Mas! Mas! Mas ...," aku tersedu.
Namun Margono tak juga pulang sampai pagi, meski aku menyebut-nyebut namanya beribu kali. Dengan keyakinan bahwa Margono tidak akan berbuat hal-hal yang nekad, aku coba masuk kerja pada hari ketiga. Aku berharap aku dijemputnya ke kantor, atau ia menitipkan surat pada seorang di kantor yang memberi gambaran di mana dia berada atau ke mana ia pergi. Atau putusan apa yang telah ia ambil atas diriku!
Membayangkan hal terakhir, aku tak bisa memusatkan perhatian pada pekerjaan. Nina yang baik tidak bertanya-tanya lagi. kenapa aku kelihatan resah, wajahku pucat dan mataku merah karena kurang tidur. ia hanya memperhatikan aku dengan wajah turut prihatin. Aku sangat berterima kasih sekali atas perhatiannya, yang kuutarakan
lewat bibirku : "Kau teman yang baik, dik Nina."
Ia tersenyum. "Dan kau seorang perempuan cantik, yang dalam situasi tertentu seperti kehilangan sarisari hidup, mbak. Namun tetap kelihatan cantik dan menarik," lalu seolah-olah untuk menghibur hatiku, ia bertanya hal hal yang menyimpang :
"Apa resep untuk menjaga wajah tetap terawat baik, mbak?"
"Ha?" aku tercenung oleh pertanyaan itu. Tetapi setelah menyadari bahwa itu hanya untuk mengurangi ketegangan yang kualami, maka aku mencoba tersenyum. Lantas memberikan jawaban :
"Cepatlah jatuh cinta, Nina!"
Wajah Nina tiba-tiba bersemu merah, diluar dugaanku.
" kau luar biasa!" katanya rendah.
"Ah?" Lalu sambil bersipu-sipu, ia berkata lebih rendah:
"Memang saya sedang mengalaminya."
Tiba-tiba, senyumku tidak dipaksakan lagi. Benar benar ke luar dari hati nuraniku. Sungguh, aku merasa lucu. Lalu:
"Pada siapa?"

Dendam Roh Jejaden Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wajahnya semakin memerah.
"Bilangin Mbak dong."
'Giginya yang berbaris putih dan rapih kelihatan semua.
Senang hatiku memandanginya.
"Kau juga cantik. He, siapa laki-laki yang beruntung itu?"
Matanya melihat sekeliling. Lalu ke ruangan dalam, lewat kaca tembus. Kenapa pula ia melihat ke sana" Setahuku, itu bagian lain dan pria-pria yang ada di sana sudah pada berkeluarga. Termasuk bigbos. Ketika pintu ruangan itu terbuka tidak saja dia tetapi otomatis aku juga lirik. Seorang lelaki ke luar dan mengambil tempat pada mejanya, di pojok dekat pintu ke luar. Ia adalah Lukman.
Mata Nina mengecil. "Mbak tidak akan bilang-bilang?" ia berbisik.
"Tanggung beres, dik Nina."
"Janji?" "E-eh, pakai janji segala."
"Mau janji?" ia mendesak. Mengulurkan tangannya. Merasa semakin aneh, kusambut uluran tangannya. Untuk menguatkan, kutimpa dengan ucapan:
"Percayalah padaku, dik."
Ia kelihatan puas. Lalu, setelah meneliti ke pojok, wajahnya kian bersemu merdu. Aku melirik. Pada saat itu Lukman melarikan matanya ke atas mejanya sendiri. Tetapi sempat kulihat ia mengelakkan pandanganku.
Dan, tiba-tiba aku tercengang sendiri.
"diakah orangnya, dik Nina?" _
Nina menjadi tak tetap duduknya.
"Jangan keras-keras ngomongnya, mbak."
"Sorry," aku tertawa kecil. Teringat peristiwa tak lana berselang. Tangan dan ucapan ucapan Lukman yang nakal, ajakan ajakannya untuk mengantarku pulang ke rumah atau nonton atau pergi jalan-jalan berdua. Aku yakin Nina mengetahui itu, tetapi aku juga yakin jika seorang perempuan telah jatuh cinta pada seorang laki-laki, maka apa dan siapa laki-laki itu tidak lagi menjadi persoalan baginya. Dan Nina adalah seorang perempuan.
Aku baru saja akan mengulurkan tangan untuk jabatan kedua kalinya, mengucapkan selamat atas keberuntungan Nina, sewaktu telephone di sudut mejaku berdering. Aku tersentak kaget dibuatnya. Dan sewaktu sekonyong-konyong debut jantungku mengencang, kembalilah aku tenggelam pada dunia yang kualami sepanjang dua hari kemaren sampai siang ini ;was-was, kecewa, menyesal dan takut.
Gemetar tanganku ketika mengangkat telephone itu.
Relasikah" Atau ..., oh, Mas Gono. Mas Gono. Kaukah itu"
Dengan perasaan riang bercampur panik, kuangkat gagang telephone.
Lau terdengar sebuah suara lembut dari seberang sana :
"Yenni?" Aku berusaha menahan perasaanku. Menarik nafas dalam, sebelum kemudian menjawab suara yang sudah cukup kukenal itu :
" ada apa, Tikno?"
Diam beberapa saat. Lalu :
"Nada suaramu tidak begitu menggembirakan, sayang. Kenapa?"
"Aku ..., aku ...."
"Kau jadi gugup. Telah terjadi sesuatu?"
"' Mas Gono." Ia mengeluh, pendek. Aku tahu, ia merasa tak tenang kalau aku sebut-sebut nama suamiku. Tetapi seperti sadar tiba-tiba akan situasi yang ia hadapi sebagai suatu kenyataan, Sutikno kemudian bertanya: "Apakah ia tahu?"
Aku mengangguk. Lemas. "He, jawab Yenni. Apakah ia tahu?"
Aku mengangguk. Lemas. "He, jawablah Yenni. Apakah ia tahu?"
Aku tersadar bahwa anggukanku tak ia lihat.
"Maukah kau menjemputku siang ini?"
*** SUTIKNO langsung membawa aku ke rumahnya.
Begitu tiba, begitu ia menutupkan pintu dan langsung memelukku. Ciumannya di bibirku terasa panas sekali, dan aku merasa sekujur tubuhku gemetar. Tetapi bukan getaran nafsu. Semacam getaran lain, yang biar bagaimanapun juga tidak ingin aku merasakannya kembali.
" kau dingin, Yenni," bisik Sutikno sambil menarik wajahnya dari wajahku.
"Bolehkah aku duduk?"
Ia memperhatikanku. Lama, dan tajam.
"Bolehkah aku duduk?" aku mengulangi.
Pelukannya lepas, dan suaranya seperti dipaksakan:
"Permintaanmu tidak memerlukan jawaban, Yenni. Kau kira rumah siapakah ini?"
Kuambil tempat duduk pada kursi tunggal yang hanya persis untuk satu orang. Tidak di tempat biasa, kursi panjang di mana aku bisa berdampingan bahkan dibaringkan oleh Sutikno, untuk kemudian digelut dan diciuminya. Mata Sutikno menyipit, mengerti kenapa aku mengambil tempat duduk bukan di kursi biasa.
"Sikapmu aneh sekali hari ini," ia menggumam dan duduk pada kursi yang berhadapan." Dan selama dua hari kau tidak masuk kerja. Aku mau ke rumahmu, tetapi sebelum aku tahu apakah ada perubahan baru di sana, aku kurang berani mencobanya. Baiklah," ia kelihatan lesu." Ceritakanlah. Meskipun itu bukan sesuatu yang menyenangkan."
Aku memperhatikan Sutikno dengan perasaan duka. Kepalaku menggeleng.
"Kau mendadak jadi orang pessimis, Tikno."
"Karena kau dingin hari ini, Yenni."
"Maafkan. Pikiranku lagi kacau balau."
"Ia tahu?" Aku mengangguk. Wajah Sutikno memucat, tetapi cuma sekilas. Dan aku tidak merasa heran waktu tiba-tiba ia tersenyum. Juga tidak ketika ia berkata:
"Itu lebih baik. Supaya ada alasan baginya untuk menceraikan engkau."
Dan wajahkulah yang kukira tibatiba memucat. '
Tubuhku dingin, dan aliran darahku seolah olah membeku.
Tas kecil yang masih tergenggam di tanganku, kucengkam erat-erat dengan jari-jariku, menahan gelombang perasaan yang tidak karuan. Keras sekali pukulan yang kuterima oleh ucapan Sutikno.
" justru itulah yang kutakutkan," sahutku dengan gagap.
"Jangan bodoh, Yenni!"
Aku tersenyum. Getir. "Memang aku seorang perempuan bodoh."
"Yenni "Sudahlah, jangan bantah. Kau sendiri yang mengatakannya. Memang. Memang aku bodoh. Karena aku telah membuat suatu kesalahan besar. Teramat besar."
Sutikno menjadi muram. "Kau menyesal, Yenni?"
Aku terdiam. Sutikno setengah membungkuk di depanku. Berbisik, tetapi lebih mirip teriak yang tertahan dalam tenggorokan :
"Jawablah. Kau menyesal?"
"Bukan ini kesalahan yang kuperbuat, Tikno," aku merasa tersinggung karena didesak begitu rupa.
Lantas, apa?" "Kau menjadi kasar ...."
Bahunya terangkat. Perasan tersinggungku kian menjadi.
"Jangan rubah pandanganku terhadap dirimu, Sutikno."
Ia menjadi lesu. Duduk biasa kembali di kursinya. Menjilat bibir, tetapi ia kelihatan tak mampu untuk mengucapkan sepatah kata. Dan aku merasa iba melihat halnya.
"Kesalahan apa yang kuperbuat Tikno, adalah suatu kesalahan yang tidak akan dimengerti oleh seorang manusia lainpun. Kecuali aku ...."
Bibirku kering rasanya. Kemudian :
"aku mencintai dua orang lelaki. Sekaligus, dalam saat yang bersamaan. Itulah kesalahannya."
Sutikno menggeleng-gelengkan kepala. Susah sekali.
Ia tak menoleh padaku waktu berkata :
"Seharusnya aku lebih mengerti tentang dirimu."
"Ya. Ya. Kamu belum mengerti benar."
"Kau tak menolak. Bahkan memberikan sambutan yang hangat. Karena itu aku beranggapan, bahwa perasaan cinta yang lama di hatimu telah mati perlahm-lahan ...."
"Justru semakin hidup, Tikno."
Pucat lagi wajahnya. Kali ini seperti tak bisa ia hindarkan. ,
"Ya, aku mengerti. Kini. Dan itu pulalah kesalahanku ..."
"Satu-satu?" "Jangan bergurau. Yenni."
Aku tersenyum kecut. "Apakah kau telah mengambil suatu keputusan?" ia bertanya ragu.
Aku menggeleng. "Dan bayi kita dalam perutmu?"
Kembali aku menggeleng. "Aku ingin jadi ayah, Yenni. Seorang ayah yang baik."
"Kau berbakat untuk itu."
"Dan setelah aku hampir berhasil ...."
"Kau belum gagal. Sampai saat ini, bayimu masih selamat."
Mata Sutikno menyipit. "Sampai kini?" Aku mengangguk. " hari esok, siapa tahu!"
"Yenni!" ia tertegak berdiri.
Aku tetap tenang. Kataku:
"Jangan lupa, Sutikno. Aku lari dalam dekapanmu, tenggelam di atas ranjangmu juga karena aku ingin memiliki seorang anak kembali. Seorang
Arman yang lain, kalau bisa seorang Arman yang sama.
"kau, bukankah kau hampir memilikinya?"
"Bukan milikku mutlak, Tikno."
"Kau gila. Aku tak bermaksud membagi baginya."
"Memang tak bisa dibagi. Aku katakan calon bayi ini bukan milikku mutlak, karena tidak setitikpun benih Mas Gono tertanam pada darah yang hampir menjadi daging ini."
Sutikno gemetar. Ia berjalan, ke ujung ruangan, kemudian ke pintu, ke jendela, melihat ke luar tetapi seperti tak menemukan lagi ke ujung kamar. Aku mengikutinya, tapi aku tak bisa menghitung berapa kali ia berjalan mundar mandir. Aku sedang menghitung kemungkinan kemungkinan apa yang harus kami ambil.
"Apa yang akan kau lakukan, kalau begitu?" Sutikno tahu-tahu telah berdiri di belakang tempat dudukku. Aku melihat lurus ke depan. Melalui pintu yang tertutup. Jauh. Jauh. Jauh sekali. Tak bertepi. Tetapi berwujut : wajah Margono.
"Aku belum tahu."
"Apakah kau meminta pendapatku?"
"Kau punya pendapat?"
"Tidak," jawabannya tegas.
"aku juga tidak."
Ia mengelus pundakku. "Kalau begitu, berlakulah seperti biasa."
"Itukah jalan terbaik."
"Hanya itu jalan terbaik." '
Seperti menegaskan kata-katanya, ia menarikku sampai berdiri. Diputarnya tubuhku menghadap padanya, memandangi wajahku kemudian berkata selembut mungkin:
"Kalau kau mengecewakan aku, Yenni, maka kau meruntuhkan hidup seorang manusia!"
Aku menggeleng, dan hendak menjawab.
"Tidak. Aku tidak memerlukan kata-kata," tukasnya cepat. Dan dengan gerakan sebaliknya, perlahan-lahan ia memegang kedua belah pipiku, menariknya dekat ke wajahnya kemudian mencercahkan sebuah ciuman di bibirku. Aku diam saja. Dan masih diam ketika ia memelukku, rapat, rapat dan hangat. Ciumannya mulai menggila, dan merayap ke sana ke mari.
Dan sebelum aku terbius, aku cepat mengingatkannya:
"maukah kau lakukan sesuatu untukku, Sutikno?"
Ia menjawab dengan bisikan yang panas di telingaku:
"Apapun akan kulakukan demi kau, Yenni."
"Pikirkanlah dengan sesungguh-sungguhnya, Tikno."
"Yakinlah padaku. Dengar satu syarat."
"Boleh aku tahu?"
"Asal jangan kau minta aku menjauhimu. Hanya itu syaratnya."
"Bukan itu yang kukehendaki."
Dipandanginya wajahku. la tersenyum. Ketika ia mengecup bibirku, aku berusaha supaya darah darah di tubuhku menjadi hangat. Kukira aku berhasil. Setidak-tidaknya, setelah ciuman ciumannya yang merayap-rayap.
"Nah. Apakah yang kau ingin kulakukan untukmu?"
Beberapa saat aku hanya memandangi Sutikno. Mencari kesungguhan hatinya, dan setelah aku yakin aku menemukan apa yang kucari, aku lalu berbicara dengan suara tenang:
"Mas Gono menghilang dari rumah."
Dahinya mengernyit. Kemudian:
"Hem." Hanya itu.
"Kuminta, tolonglah carikan dia untukku."
Membesar mata lelaki itu. Mulutnya juga. Nafasnya seperti berhenti seketika. Kaku tangannya yang memeluk tubuhku.
"Kau telah berjanji, Sutikno."
Tiba-tiba ia melepaskan pelukannya. Wajahnya merah padam. Kemarahannyanya sekali ia luapkan padaku.
"Kau setan betina, Yenni," ia memungutkan tasku yang jatuh waktu ia memeluk dan menciumi aku. "Kau bajingan, tetapi terkutuklah aku cinta setengah mati padamu. Baiklah. Suamimu
itu akan kucari. Kalau boleh berterus terang, kalau
kutemukan juga, kuharap Margono sudah dalam
keadaan mati. Kuantar pulang sekarang, Yenni?" ...
*** WAJAH Sutikno masih merah padam waktu ia muncul di rumah menjelang jauh malam. Wajah itu kini berkeringat. Pakaiannya lusuh, rambutnya juga lusuh. Dengan gerakan lesu ia duduk, dan tanpa menunggu aku bertanya ia menggumam sendiri:
"aku telah mengelilingi seluruh bar dan rumah judi. Di seluruh kota. Jumlahnya tujuh belas buah. Termasuk lima nightclub. Tak sebatang hidungpun yang menyerupai hidung suamimu!"
Perasaan cemasku mengalahkan ketajaman kata-katanya.
"Di rumah teman temannya?"
"Banyak yang bilang ; kok si Gono itu tak muncul muncul sejak lama ya. Apa lupa sama kita?" kemudian Sutikno terkekeh. "Hah-heh, setan benar mereka itu semua. Seperti kau."
"Kau tidak tempuh jalan lain?" pikiranku kian cemas. _
Sutikno semakin tenggelam di kursinya.
"Persetan, aku telah melakukannya. Tak satu seksi polisipun yang mencatat kejahatan atau kematian yang menyangkut seorang laki-laki sialan bernama Margono. Juga tidak surat-surat kabar ...," lalu seolah-olah menelan sebuah pil pahit, ia meneruskan : "Ya, itulah sialnya. Aku tak melihat atau mendengar kabar tentang kematiannya."
Aku berpegang kesandaran kursi. Dengan seluruh tubuh yang lemas. Sutikno memperhatikannya. Kecewa berlipat ganda tergambar di mata lelaki itu. Ia berdiri dengan gontai. Melihatku sebentar. Menjilat bibir. Tetapi aku tak sanggup untuk mengucapkan sepatah kata, termasuk katakata terimakasih untuk bantuan atau maaf atas kekecewaannya. Aku hanya memandangi dia dengan mata kosong, kosong, kosong : Ia beranjak menuju pintu. Katanya:
"Kau sungguh sungguh setan dan bajingan betina, Yenni."
Aku tak menyahut. Ucapannya masuk telinga kiri dan ke luar telinga kanan. Kepala dan dadaku
penuh oleh rasa cemas dan takut memikirkan laki-laki lain yang makin lama kurasakan semakin lebih penting dari seorang Sutikno, bahkan jauh lebih penting lagi dari calon bayi Sutikno yang kini bermukim di perutku.
Sutikno mengucapkan beberapa kata gumaman ketika tiba di pintu. Entah apa, aku tak mendengar. Mungkin gerutu, mungkin sumpah serapah. Baru ketika ia akan menutupkan pintu, aku mendengar kata katanya lebih jelas:
"Celakanya, aku jatuh cinta padamu!"
Dan pintu ia bantingkan dengan keras.
Aku tersentak oleh bunyi sentakan yang mengejutkan itu. Dan tanpa terasa, tubuhku meluncur jatuh ke lantai. Aku merasakan bahu kananku sakit, telinga kananku berdenging-denging dan setelah itu aku tidak mersakan apa-apa lagi
*** AKU tersadar oleh sengatan matahari di wajahku.
Kubuka mata lebar lebar, dan ketika aku menoleh kulihat jendela kamar terbuka lebar. Cahaya matahari menerobos masuk ke dalam, menjilat keseluruhan ranjang di mana aku terbaring.
Lama aku mengingat-ingat, kemudian tiba-tiba terduduk dengan kaget.
Siapa yang mengangkatku dari lantai ruangan depan ke atas ranjang di kamar tidurku" Di atas meja yang seperti digeser supaya berada di dekat ranjang, ada gelas air putih, Ialu sebuah baskom juga berisi air putih. Sebuah handuk kecil mengendap didasar baskom. Ketika kuraba, air di gelas
maupun di baskom dingin, tetapi baskomnya masih terasa sedikit hangat. Jadi air itu tadinya panas. Dan" setelah lihat sebuah botol mungil berisi minyak kayu putih, aku cepat-cepat meluncur turun dari atas ranjang.
Sebuah perasaan yang jauh bertentangan dengan yang kualami di hari-hari terakhir ini, muncul dalam diriku. Entah bagaimana, aku telah berada di depan toilet. Kupandangi tubuhku yang terbungkus dalam baju tidur. Lewat kaca toilet kulihat juga pakaianku ketika jatuh pingsan tadi malam, terhampar seperti dilemparkan begitu saja. Jadi dia telah mengangkatku ke atas tempat tidur, mengganti pakaianku dan sebelumnya telah mencoba menyadarkan aku dari ketidak sadaran.
Sambil tersenyum aku mematut-matut diri di kaca. Membetulkan susunan rambut. Dengan kagum kulihat bentuk bibirku bagus sekali, warnanya merah cerah meski belum kuberi lipstick. Aliran darahku yang mengencang dan hangat telah memerahi bibirku. Juga wajahku, juga hatiku, juga jantungku.
Kemudian, setengah berlari kubuka pintu kamar.
Terdengar bunyi gedebuk-gedebuk halus.
Sedang mengapa dia" Aku berlari ke ruangan tengah.
(maaf satu halaman hilang...)
pat tidurmu. Atau menggeletak di ruang depan dan lupa menguncikan pintu ...."
Kukatupkan mataku yang terasa perih.
Kalau saja ia tahu bahwa tadi malam aku bukannya lupa menutupkan pintu, atau kalau saja ia tahu siapa orang yang menutupkan pintu itu sebelum aku jatuh pingsan .
"Mas ...," aku mendekat.
Ia telah meletakkan bola kembali di titik tengah halaman.
"Mas Gono." Bola itu terlonjak waktu ia sepak. Membentur tembok, hinggap lagi di kakinya, membentur tembok lagi dan hinggap pula di kakinya. Begitu berulang-ulang. Wajahnya merah, berkeringat.
Lebih dekat, lebih bisa kulihat.
Pakaian yang ia kenakan masih pakaian empat hari yang lalu, ketika ia meninggalkan aku termangu mangu di kamar mandi dan sadar bahwa tidak dengan dia, ternyata aku telah bersetubuh dengan lain lelaki dan menghasilkan benih di perutku, yang hampir menjadi.
Lutut celana, bagian pantat dan punggung bajunya dikotori tanah yang melekat seperti karat dan di lipatan ujung celananya aku menilai bunga bunga rumput, kemudian juga beberapa helai rumput halus di rambutnya yang tebal tetapi tak teratur itu.
Tercekat aku ketika tiba-tiba kusadari di mana ia berada selama aku kehilangan dia!
"Mas ...," kusambar bola karet itu ketika melambung ke arahku.
Ia menoleh. _ "Berikan bola itu," katanya.
"Tidak, mas." "Berikan!" "Jangan main seperti itu, Mas." _
"Bukan urusanmu. Ayoh, berikan lekas."
Ia mendekat. Aku juga mendekat. Dan ketika jarak di antara kami tinggal saling mengulurkan tangan untuk tenggelam dalam suatu pelukan, kami berdua sama-sama tertegun. Kupandangi wajahnya. Tulang-tulangnya agak menonjol. Begitu kurusnya. Rongga matanya seperti guha. menjorok jauh ke dalam. Dan sinar mata yang terpancar ke luar dari guha yang dalam itu, hampir-hampir tak bercahaya.
"Aku tahu mengapa kau kembali, Mas Gono," aku menggigit bibir.
Ia seperti tak acuh. " Bola itu," ia mendesak. Kini ragu-ragu.
"Betul bukan, Mas Gono?"
Ia menjadi gelisah. "Berikan, atau aku akan pergi lagi."
Kusodorkan bola karet itu. Ia mengambilnya dengan tangannya yang berbulu kotor sekali. Jari-jarinya yang kurus bersepuh warna coklat. Seperti tatah yang mengering bercampur debu dan keringat. Dan aku tahu tanah serta debu itu tidak berasal dari tanah halaman samping di mana ia sedang bermain bola.
"Mainlah, Mas. Dengan aku ...."
Margono yang hampir saja akan meletakkan bola karet di garis tengah, tertegun kembali. Ia memandangiku.
"kau?" "Iya, Mas. Karena Arman telah lama mati."
Kali ini, ia tidak marah.
"Tetapi kenapa aku harus main bersama engkau?"
Aku tersenyum. Memperoleh sebuah harapan. Yang telah lama hilang.
"Karena aku tak mengijinkmmu hilang lagi dan tidur selama beberapa hari di atas tanah di dalam mana jasad Arman terkubur!"
Dengan heran, ia memandangi mataku.
" kok kau tahu?"
"Aku tahu." Ia menggeleng-gelengkan kepala, tak percaya.
"Sungguh bodoh aku Mas, tak menyuruh orang mencarimu di kuburan Arman."
"Mencari aku?" "Benar, Mas." "Untuk apa?" cahaya di matanya semakin terang.
"Untuk dikembalikan padaku, Mas."
"Kenapa kau katakan begitu?"
"Karena aku kehilangan engkau, Mas."
"Kehilangan aku?"
Oh, aku tak ingin berdebat lebih panjang lagi. Betapapun debat itu terasa hangat dan penuh kemesraan, sungguh. Aku lebih menghendaki hal yang lain. Yang lebih hangat. Yang jauh lebih mesra.
Dan tanpa bisa kutahan, aku terlonjak ke depan.
Seluruh tubuhku kuhempaskan dan kutekankan ke tubuh Margono, dan air mataku tertumpah habis di bidang dadanya. Aku memeluknya, memeluknya erat-erat. Dalam tangisku, aku tersenyum ketika mendengar suara halus dan melihat bola karet itu jatuh, menggelinding ke dekat kakiku.
"Mas, Mas," aku berkata lirih. "Kau tak akan pergi lagi, bukan" Tak akan pergi lagi?"
Beberapa saat ia tak menjawab.
"Ya, ya, kau tak akan pergi. Tidak akan ya Mas?" aku menjawab sendiri.
" Yenni." "Jangan katakan sesuatu. Mas. Tapi lakukanlah Sesuatu!"
"Yenni ...." "Lakukanlah, Mas. Lakukanlah!"
Tangannya yang jatuh lemas di kedua sisi tubuhnya, terangkat perlahan dan kemudian melingkar di punggungku. Kehangatan kian kurasakan. Kebahagiaan seperti bertumpuk-tumpuk datang ke arahku, sehingga aku terengah-engah dibuatnya. Dan ketika nafasku hampir putus, cepat cepat aku menarikkan bibirku dari gelutan mulut Margono.
Kupegang kedua belah pipinya.
"Kau yakin kenapa kau kembali, Mas?"
Ia tersenyum. Manggut-mmggut.
"Bersumpah, Mas?"
"Demi Tuhan!" "Dan kau telah menemukan dirimu?"
Manggut manggut lagi Margono.
"Bersumpah, Mas?"
"Sekali lagi, Demi Tuhan."
"Dan hidup sebagai sedia kala" Dalam segala hal" Sebagai seorang suami terhadap isterinya?"
Senyumnya melebar. "Berjanji, Mas?"


Dendam Roh Jejaden Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Berjanji!" "Demi ...,?" "Tuhan. Demi Tuhan, Yenni. Aku berjanji, demi Tuhan untuk menggaulimu lagi sebagai
mana seorang suami menggauli isterinya."
"Oh Mas!" aku mencium kedua belah pipinya.
','Apa yang mendorongmu untuk berjanji sehebat itu?"
"Arman." "Ia telah lama ...."
"Iya, Yenni. Dia telah lama mati. Tetapi di hatiku, ia tetap hidup. Dan selama tiga hari tidur bersama Arman di atas kuburannya, aku seperti dibisiki oleh anakku tersayang itu. Bahwa, semuanya terjadi karena kesalahanku. Seharusnya aku sejak dulu-dulu sadar, bahwa kau tidak saja membutuhkan kehadiran seorang anak lagi. Akan tetapi juga, membutuhkan sesuatu yang tak kalah pentingnya. Sesuatu yang hanya terjadi apabila ada keinginan untuk memperoleh seorang anak."
"Luar biasa, Mas."
Suamiku tertawa. Kulit wajahnya yang tadinya suram itu, sudah memerah kini. Cahaya matanya seperti bersaing dengan cahaya matahari yang telah mulai tinggi.
"Kita main bola, Mas?" tanyaku.
Ia menggeleng. "Lho, kok engga jadi."
"Belum." "Apalagi?" "Aku telah berjanji padamu."
Tiba-tiba aku tersadar. Lalu tertawa. Cerah,
dan lebar. "Kau ingin pula aku berjanji, Mas?" Ia mengangguk. Tawaku sedikit menurun. Kutahan getaran getaran dahsyat dalam jantungku. Kucoba menenangkan permg yang terjadi antara hati dengan nuraniku. Kucoba mendekat perasaan ke perempuan dan keibuanku. Kemudian, keyakinan bahwa toh aku akan beroleh gantinya dari suamiku sendiri. aku berhasil memperoleh kemenangan. Kataku dengan suara terharu : "Dia belum jadi daging, Mas. Hai! pengkhianatanku itu masih merupakan darah yang mungkin segera akan menggumpal. Dan karena itu bukan milikku yang mutlak dan bukan darah dagingmu sendiri, aku telah bertekad Mas. Apa boleh buat!"
"Kau tidak takut, Yenni?" Aku menggeleng.
"Kau seorang perempuan. Dan pernah jadi ibu."
"Ibu dari seorang anak, Mas. Bukan dari segumpal darah."
"Kau tak takut berdosa kalau itu kau lakukan?"
"Darah yang menggumpal ini sendiri adalah terbuat dari dosa, Mas. Dan aku tak mau dan itu
semakin membesar, membesar dan kemudian menghantui cinta kita sepanjang usia."
"Luar biasa," ia mengulangi kata-kataku. Seperti' dia, aku tertawa, tetapi tidak seperti dia, aku justru mengajukan pertanyaan:
"Apanya yang luar biasa, Mas?"
"Tak pernah kubayangkan, bahwa kita akan melakukan suatu aborsi."
Aku terdiam beberapa saat. Tetapi setelah melihat Wajah suamiku yang penuh semangat, aku segera membungkuk. Bola itu kugenggam dengan kedua telapak tangan. Aku mundur agak jauh, kemudian meletakkan si bola karet milik almarhum Arman di tanda. Sambil memandang Margono aku berseru :
"Awas, Mas!" lalu bola itu kusepak.
Suamiku yang menyambutnya dengan'kakinya. Disaat yang bersamaan, ia berseru pula :
"Tangkap, Arman!"
Lantas tendangan kakinya sedikit dimiringkan, dan sedetik kemudian terdengar bunyi halus ; clep! Bola karet menclok dalam jepitan kedua batang kayu yang ditanam bersilang itu!
Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://ceritasilat-novel.blogspot.com
Sampai jumpa di lain kisah ya !!!
Situbondo,30 Juli 2018 Terimakasih tamat Ketika Cinta Bertasbih 7 Sherlock Holmes - Pegawai Kantor Bursa Dedemit Rimba Dandaka 1

Cari Blog Ini