Hujan Panas Dan Kabut Musim Karya A.a. Navis Bagian 1
Copyright ? pada Djambatan Anggoa IKAPI
(Cetakan pertama tahun pertama Hujan Panas, 1964 Cetakan kedua, dilengkapi Kabut Musim, 1990)
Gambar sampul: Ipong Purnama Sidhi
ISBN 979 428 154 9 Percetakan Antm Kosong Anem
bukuLIAT ... ini harus kalian ketahui ... apa yang kami lakukan sama sekali tidak ada tendensi kepedulian melestarikan lingkungan. sebenarnya kami suka menyentuh dan membuka kertas buku lembar demi lembar halaman demi halaman, bunyi gesekan kertas dan baunya yg khas melahirkan sebuah sensasi tersendiri ... karena itu kami tidak peduli jika untuk menghasilkan buku harus menebang berpuluh-puluh pohon karena kami percaya pada teori kekekalan energi. tapi kami akan marah jika berpuluh-puluh pohon ditebang hanya untuk membuat tisu atau tusuk gigi.
siapa kami ? kami hanya salah satu dari masyarakat pengumpul dan peramu di dunia maya, kami pun bagian dari para cyber-crafter yg mengumpul dan mendaur ulang sampah-sampah informasi menjadi sesuatu yg betul-betul berguna
siapa kami ? kami bukanlah bagian dari orang-orang yg mencoba beralih dari era paper menuju era paperless. kami hanyalah orang-orang yg ingin mengakses buku-buku, hanya saja di dunia "yg jauh dari keyboard" tidak jarang kami diperhadapkan pada pilihan makanan atau buku (sesuatu yg tidak seharusnya diperhadap-hadapkan) dan tidak jarang (dengan sangat terpaksa) kami memilih buku dengan konsekuensi kami harus mengencangkan ikat pinggang berhari-hari.
siapa kami ? rasanya tidak penting untuk memperjelas siapa kami, anggap saja kami adalah anda dan anda adalah kami ....
yang terpenting adalah ...
apa itu www.bukuliat.info ?
www.bukuliat.info hanyalah salah satu dari sekian banyak perpustakaan di dunia maya yg menyediakan ebook. ebook-ebook yang berhasil kami kumpulkan dari berbagai sumber di dunia maya. hanya begitulah kami, tidak lebih !
Catatan: buat anda yg mempunyai uang lebih kami harap anda tetap membeli buku aslinya demi mempertahankan kelangsungan hidup penulis, penerbit (khususnya penerbit-penerbit kecil) dan para distributor.
Ucapan Terima Kasih : terima kasih untuk mereka-mereka yg telah bekerja keras membuat ebook
terima kasih juga untuk mereka-mereka yg telah meluangkan waktunya untuk meng-upload ebook-ebook miliknya
... kami juga mengucapkan terima kasih untuk mereka-mereka yg review atau resensi bukunya telah kami gunakan dalam postingan kami. kami tetap menghormati anda dengan selalu mencantumkan alamat sumber dari review atau resensi yg kami gunakan.
terima kasih juga buat seluruh netizen yg telah berkunjung dan memanfaatkan apa yg kami buat, terima kasih telah menjadikan kami sedikit berguna.
PERINGATAN ATAU PEMBERITAHUAN ATAU HIMBAUAN ATAU APALAH NAMANYA :
semua ebook yg kami posting sama sekali tdk diperuntukkan untuk kepentingan komersil, semua postingan kami sepenuhnya untuk berbagi pengetahuan demi kemajuan ilmu pengetahuan. bagi pihak yg merasa dirugikan atau/dan tidak suka dengan kehadiran salah satu postingan kami harap menghubungi kami dengan cara meninggalkan komentar/laporan pada postingan terkait ebook yg dimaksud. kami akan memproses semua komentar/laporan paling lambat 7 hari setelah komentar/laporan kami baca.
Isi Pengantar VI Bagian Pertama : HUJAN PANAS 1
1. Politik Warung Kopi 3 2. Orang dari Luar Negeri 24
3. Baginda Ratu. 46 4. Kisah Seorang Amir 60 5. Pak Menteri Mau Datang 84
Bagian Kedua : KABUT MUSIM 117
1. Orde Lama 119 2. Pelamar 129 3. Efcndi 148 4. Orang Baik yang Malang 159
5. Sepasang Jas dari Menteri 170
Pengantar Sepuluh cerita pendek dalam buku ini dibagi dalam dua kumpulan. Hujan panas dan Kabul Musim. Kumpulan pertama ditulis pada tahun 1955 - 1960 dan pernah diterbitkan sebagai buku pada tahun 1964 dengan judul yang sama. Kumpulan kedua. Kabut Musim, ditulis pada tahun 1965 ? 1985, pernah dimuat dalam majalah Sastra dan Horison serta harian Kompas. Cerita pendek Orang Dari Luar Negeri dan pak Menteri Mau Datang sudah diterjemahkan ke bahasa Perancis. Sedangkan Sepasang Jas Dari Menteri sudah diterjemahkan ke bahasa Inggeris.
Pemberian judul Hujan Panas dan Kabut Musim atas buku ini, dimaksud sebagai kiasan dari suasana cerita. Hujan panas merupakan kondisi alam, dimana hujan turun selagi matahari marak, maka iklim sangat tidak sehat. Menurut tahyul, kondisi itu memberi isyarat ada orang besar akan meninggal atau ada yang mati terbunuh. Sedangkan musim berkabut dipandang sebagai saat yang tidak baik untuk suatu perjalanan.
Sebagaimana yang dikiaskan oleh judul buku ini, maka semua tema cerita diangkat dari suasana yang tak menyenangkan, potret dari ironi kehidupan yang berlangsung dalam masyarakat. Dibandingkan dengan penerbitan sebelumnya, pada beberapa cerita telah dilakukan perbaikan redaksional.
Padang, 20 Juni 1990 VII Bagian Pertama 1. Politik Warung Kopi 2. Orang dari Luar Negeri
3. Baginda Ratu. 4. Kisah Seorang Ainir 5. Pak Menteri Mau Datang
1 Politik Warung Kopi Di warung Mak Lisut, di simpang liga dekat rumahku di kampung, saban waktu bisa terjadi sidang politik yang menarik. Terutama kalau beberapa gembongnya sudah hadir dengan lengkapnya. Mereka itu hanya berlima. Yaitu Mak Malin, Mak Gindo, Mak Datuk, Mak Muneak dan Mak Caniago. Kadang-kadang mereka menamakan dirinya dengan Big Five atau Panca Tunggal. Sedang orang-orang lain tidak terhitung sebagai gembong. Mereka hanya pendengar. Dan dalam mengambil po kok masalah mereka selamanya tidak kekurangan bahan. Situasi politik tanah air, terutama tentang jatuh bangunnya sebuah kabinet, menjadi bahan yang paling menarik.
Keistimewaan mereka selamanya terletak dalam cara meninjau sesuatu masalah. Kenapa sebuah kabinet bisa jatuh, dan kabinet apa yang mungkin bangun. Juga mereka meramalkan beleid atau kebijaksanaan sebuah kabinet yang akan datang terhadap masalah luar dan dalain negeri. Ramalan mereka hampir selamanya tepat. Dan yang tidak pernah cocok, hanyalah masalah komposisi dan personalia sebuah kabinet. Dan mereka selamanya mengeluh. Meskipun mereka mengerti kenapa kabinet demikian rupa harus juga terjadi.
Jika dalam memperbincangkan suatu masalah yang sedang terjadi di tanah air, mereka menempatkan diri sebagai menteri kadang-kadang. Siapa yang akan jadi perdana menteri, siapa yang jadi menteri luar negeri, keuangan, dan sebagainya. Menteri-menteri yang mereka perebutkan adalah yang penting-penting saja. Tapi mereka tidak pernah berebutan untuk menduduki kursi menteri. Karena untuk mengatasi perebutan kursi, mereka ambil saja potongan kertas. Lalu dilotrc. Meski pun nasib telah menentukan salah seorang menjadi menteri keuangan, mereka masih diizinkan menolak jabatannya itu. Dan dalam memperbincangkan sesuatu masalah, mereka berkewajiban sebagai menteri sungguh-sungguh tanpa melupakan dari partai mana datangnya menteri itu.
Kalau situasi politik di tanah air sedang sepi, mereka pun masih tidak kekurangan bahan. Acara mereka berobah dengan topik lain, yang sudah terang tidak terlepas dari bidang politik juga. Acara itu bernama: "Kalau aku jadi titik titik titik". Titikan itu boleh diisi dengan jabatan apa saja yang dikehendaki. Kadang-kadang mereka sampai mengisi jabatan presiden juga. Maka menjadi presidenlah mereka itu secara berganti-ganti. Tapi dalam hal ini mereka tidaklah membicarakan angan-angan politik mereka. Melainkan angan-angan si cebol yang mereka ceritakan dengan berseloroh sekali. Seolah-olah mereka menganggap bahwa seorang presiden tidak boleh berpolitik.
Sekali-sekali aku pun mengikuti sidang-sidang politik mereka tanpa perlu menunjukkan kartu pengenal. Sidang terakhir yang aku hadiri ialah pada beberapa tahun yang lalu. Waktu itu mereka membuat acara yang lain dari yang lain. Yaitu acara: "Bagaimana Indonesia supaya Makmur". Pikiran ini keluar dari Mak Lisut, si empunya warung. Kata Mak Lisut mengomentari usulnya, "Kita sekarang tidak perang lagi, karena Belanda sudah pergi. Kita audah terbiasa hidup dalam peperangan. Dalam peperangan kita sudah diajarkan untuk saling mencurigai. Saling hantam-hantaman. S.iling menipu dan benci membcnci. Dan selama perang kita tak bisa memakmurkan tanah air kita, apa lagi memakmurkan diri kita sendiri. Sedang tujuan kita dalam peperangan itu, ialah kemerdekaan. Dan tujuan kemerdekaan ialah kemakmuran. Sekarang perang telah habis. Tapi kemakmuran belum juga tercapai."
Rupanya pikiran Mak Lisut begitu mendadak datangnya. Karena itu lama sekali Big Five itu terdiam. Tapi setelah Mak Lisut menambahkan komentarnya, bahwa yang jadi musuh kita sekarang adalah anti kemakmuran, yaitu kemiskinan, barulah secara sendat-sendat timbul lagi keinginan bicara antara mereka.
Mula-mula Mak Gindo yang bicara. Katanya, "Ya, memang. Musuh kita sebenarnya kemiskinan. Sebelum musuh itu sampai menjajahi kita lebih lama, baik kita gempur dia itu. Seperti kita menggempur Belanda dulu."
Tapi gembong-gembong politik itu masih terdiam juga oleh tambahan komentar Mak Gindo. Lalu Mak Lisut menambahi lagi komentarnya, "Ingat Kita baru saja keluar dari peperangan. Dari peperangan itu kita memperoleh moril yang rusak. Kalau kita tak cepat-cepat bertindak, kita sendiri akan hancur. Dalam diri kita tak ada kedamaian lagi. Dalam diri kita terlalu tebal kemauan saling bermusuhan. Supaya kita jangan sampai saling bermusuhan antara sesama kita, baik kita bangunkan musuh kita yang baru. Yang bakal kita labrak bersama-sama. Musuh kita yang nyata sekarang ini, ialah kemiskinan itu. Bagaimana kita bisa melabraknya?"
Nampaknya semua gembong-gembong politik itu sudah mulai terpikat oleh pokok acara itu. Duduk mereka sudah mulai mereka perbaiki. Tapi belum juga ada keluar suara yang menghangat.
"Aku setuju," tiba-tiba Mak Gindo angkat bicara lagi. Dan orang-orang memandang kepadanya. Seperi i mau meminta jalan agar terlepas dari kebuntuan pikiran mereka.
"Aku juga setuju. Tapi bagaimana caranya?" tanya Mak Malin menyusuli.
"Ha. Begini. Aku dapat akal. Sidang kita harus ditukar coraknya. Tidak bisa dengan cara sidang kabinet lagi. Sebab kabinet zaman sekarang begitu mudah dijatuhkan dan begitu enteng menjatuhkan dirinya sendiri," kata Mak Datuk mulai angkat bicara. Dan kalau sudah Mak Datuk yang mulai, itu berarti jalan buntu boleh dikatakan sudah akan terternbusi.
"Kita adakan sidang para ahli?" tanya Mak Malin.
"O, tidak bisa. Sebab para ahli itu sebenarnya, sama dengan tukang-tukang. Sidang kita ini tidak bisa dipisahkan dengan sidang dari segala partai. Sebab partai-partai itulah yang punya pengikut. Sedang kemiskinan, musuh kita, adalah lawan orang banyak. Bukan lawan para ahli. Kemakmuran adalah hak orang banyak. Bukanlah hak para ahli. Dan partai-partai adalah wakil dari orang banyak. Wakil rakyat," kata Mak Datuk pula.
Kini jalan buntu telah tertembus. Dan sidang akan dimulai. Sidang antara partai dengan pokok acara: "Bagaimana Indonesia supaya Makmur". Setelah diadakan lotre untuk menentukan wakil partai-partai, maka jadilah Mak Caniago wakil PKI. Mak Malin, PSII. Mak Datuk, PNI. Mak Gindo Partai Adat Sedangkan Mak Muncak PSI. Di luar kebiasaan, karena sidang sekarang adalah sidang antara partai, maka supaya seluruh partai terwakili, kepada yang hadir pun diberi kesempatan jadi anggota sidang. Hingga dengan demikian Masyurni, Murba, Perti dan beberapa partai lainnya pun dapat terwakili. Hanya Mak Lisut saja yang tidak kebagian partai, meski ia yang punya usul. Sebab waktu dilakukan pembagian partai itu, ia lagi sibuk dengan segerobak jualannya yang baru diantarkan orang dari toko langganannya.
Maka ahli-ahli politik yang mengangkat dirinya jadi pemimpin partai-partai di seluruh Indonesia itu, mulailah mengemukakan pendapatnya masing-masing. Dengan segala gaya dan keahliannya menguraikan segala keyakinan politiknya untuk mencapai kemakmuran itu. Sudah dapat diduga hanya kelima gembong itu saja yang punya suara lantang. Dan kelimanya pun sama berpendapat, bahwa Indonesia adalah negara yang maha kaya raya dan mempunyai penduduk yang cukup banyak. Dan mereka pun sama sependapat, jika negara Republik Indonesia itu tak bisa memakmurkan rakyatnya, hal itu karena kesalahan kabinet-kabinet yang lalu. Hanya yang jadi perbedaan dalam pendapat ialah dalam cara mencapai tujuan itu juga. Dalam mempertahankan pendirian mereka itu, kadang-kadang mereka lupa pada partai yang diwakilinya masing-masing. Mereka jadi berbicara atas pikiran mereka sendiri. Lama sekali perdebatan itu.
Yang paling banyak mendapat tantangan ialah buah pikiran Mak Datuk. Ia bilang, bahwa untuk mencapai kemakmuran yang merata, setiap orang harus rela sama-sama miskin lebih dulu. Dari situ barulah sama-sama mengangkat diri untuk menjadi makmur bersama-sama.
"Dulunya, semenjak lahir malah, kita sudah miskin juga. Buat apa memiskinkan diri lagi?" bantah seseorang.
Perdebatan begitu sengitnya. Kadang-kadang diselang-seling oleh ejekan dan seloroh yang menerbitkan tertawa, tapi memencong-kan senyum yang kena ejekan.
Salah seorang hadirin yang tidak termasuk gembong Big five angkat bicara pula. Katanya, "Kalau masing-masing kita saling mempertahankan pendiriannya saja, tiada kompromi, bagaimana kita dapat bersatu mencapai tujuan?"
"Jadi kita perlu kompromi? "tanya Mak Caniago tengik.
"Tentu." "Kompromi inilah yang mencelakakan kita selamanya. Tidak pernah suatu kemenangan dicapai dengan kompromi. Kalau sekali kita sudah belajar berkompromi, maka untuk lain kali kita belajar bagaimana menerima kekalahan. Ingal saja pada sejarah penjajahan yang dilakukan Belanda dulu," kata Mak Caniago lantang.
Si pengusul nampaknya hendak mempertahankan pendapatnya. Tapi ia tak pandai berbicara seperti yang diinginkannya. Hanya pada air mukanya saja kelihatan perlawanan. Maka sunyilah segalanya seketika. Terasa udara warung itu sudah pengap oleh asap rokok yang mengepul di ujung mulut dan menyebar di udara. Dan di kala itu terdengarlah seot-seot langkah dari luar mendekat. Dan kini mata mereka sama tertuju ke pintu. Dan di pintu muncullah orang yang membawa seotan langkah itu. Ucin dia. Dengan menggaruki belakang kepalanya hingga kopiahnya miring kedepan, Ucin memandangi semua orang, ia ragu-ragu ketika tegak di pintu.
"Cin," seru Mak Lisut selagi menghitung barang dagangannya yang baru selesai di bongkar dari gerobak. "Kalau kau mau kopi, tolong aku mengangkat ini."
Mata Ucin mengalih ke Mak Lisut. Lalu tanpa peduli, sambil memperbaiki letak kopiahnya, ia pun pergi lagi.
"Bagaimana, Cin?" tanya Mak Lisut pula.
'Tak kena strateginya," jawab Ucin setelah ia jauh.
Suatu keunikan di kalangan gembong politik kampung itu, bila mereka tersua pada suatu kemuskilan politik, berteriaklah hati mereka mengharapkan datangnya suatu masalah baru, agar terhindarlah pikiran yang menumpul itu. Dan kali ini teriakan hati mereka itu terjelma oleh munculnya Ucin.
"Kenapa ia tidak diobati, ha?" tanya Mak Gindo memulai trobosannya pada lobang permatalah baru itu.
Semua mata sama tertuju pada Mak Gindo sekarang. Nafas mereka sama-sama membesar kelegaan. Tapi Mak Gindo melontarkan pertanyaan itu tidak untuk siapa pun. Hingga tak perlu jawaban, la menekurkan kepalanya tenis sambil tetap memutar gelas kopi di atas tadahnya. Namun seperti sudah semestinya begitu, setiap pertanyaan yang dilontarkan taklah akan menunggu lama untuk mendapat jawaban.
"Siapa yang mesti mengobatinya?" masih sebuah tanya entah dari siapa.
"Tentu keluarganya, kan?" masih juga bersifat pertanyaan.
Tapi tebang yang ditrobos Mak Gindo itu terlalu kecil untuk dimasuki bersama-sama. Dan sunyilah lagi yang mengepung mereka. Hingga suara gelas yang diputar di alas 'tadahnya, begitu nyaring kedengarannya. Bunyi gelas itu seperti diatur dengan suara Mak Lisut yang tengah menghitung. Kring, satu. Kring, dua. Kring, tiga. Seperti bunyi musik tanpa melodi saja. Dan mereka seolah-olah sama terpesona mendengarkan musik Itu.
Sekali ini rupanya gembong-gembong politik di warung Mak Lisut itu benar-benar kehilangan daya imajinasinya. Mungkin karena masalah Ucin yang baru timbul itu bukanlah masalah yang menarik untuk melepaskan diri dari kemuskilan persoalan upaya memakmurkan rakyat tadi. Karena seorang Ucin hanya seorang yang tidak mempunyai arti bagi pokok masalah yang layak untuk diperbincangkan. Karena semua orang tahu bagaimana Ucin. Ucin gila. Sebelum ia gila dulu, Ucin seorang pemuda yang jadi semarak kampung kami. la pelatih Lasykar Pesindo. Ketika semua lasykar dilebur ke dalam TNI, Ucin tak ikut terleburkan. Apa sebabnya, semua orang tak tahu. Tapi ketika perang selesai, Ucin menjadi buah bibir orang lagi. Karena dengan berangsur-angsur otaknya mulai miring dan kian miring juga. Ada yang mengatakan, sebabnya karena Ucin terlalu banyak menyembelih orang waktu perang baru lalu, sehingga mala orang-orang yang disembelihnya yang terbeliak meminta nyawa padanya itu, lama-lama mencekau jiwa Ucin. Lain pendapat mengatakan, bahwa aktivitas Ucin selama bergerilya lidak mendapat penghargaan yang wajar dari pemerintah. Ia mengharapkan pangkat letnan, tapi yang dikasi sersan. Ada pula yang mengatakan, karena kekasihnya tidak setia. Tapi yang lain mengatakan karena otaknya dihantam malaria.
Gembong-gembong politik di warung Mak Lisut tidak pernah membicarakan soal Ucin dengan sungguh-sungguh. Paling banyak mereka hanya mentraktir segelas kopi bila diminta Ucin. Tapi yang paling banyak yang diberikan kepada Ucin ialah makian. Kadang-kadang juga dengan gertakan mau memukuli bila Ucin sudah makin liar. Untungnya miring Ucin, miring yang baik-baik saja. Karena sering ditampik permintaannya dan malah sering dimaki dan digertak, lama-lama Ucin tak mau lagi mengganggu kemegahan tahta orang-orang politik warung kopi itu. Ia hanya duduk dengan diam-diam di sudut warung. Dan mau minum kalau ia punya uang.
Setelah pergi beberapa lama dari warung itu, Ucin muncul lagi di ambang pintu. Mulutnya menyanyikan lagu "Darah Rakyat". Sekali lagi perhatian ditujukan kepadanya, seperti mengharapkan semoga dari Ucin yang gila itu akan datang ilham bani untuk mengatasi kebuntuan pikiran mereka. Ucin muncul dengan tangan kanannya menyelam dalam saku jas yang bersih tapi tak pernah diseterika. Sedangkan tangan kirinya masih juga menggaruk-garuk belakang kepalanya.
"Ucin punya duit sekarang. Serupiah," katanya setengah menyanyi dengan suara parau ketika ia sampai di ambang pintu. Lalu dipandangnya Mak Lisut dengan perasaan geli. Kemudian dengan gaya seorang komandan pasukan, ia memerintah, "Lisuuuut. Ambil kopi. Perintah." Habis itu ia tertawa ketika dilihatnya Mak Lisut memandangnya dengan dongkol.
Dan Mak Gindo kembali melihat lagi sebuah lobang keluar dari kebuntuan yang telah begitu lama mereka deritakan. Dengan suaranya yang besar ia berkarta, "Mari kita lihat apa si Lisut mau diperintah Ucin, apa tidak. Terkaanmu bagaimana, Datuk?"
"Pasti dia mau."
"Kalau aku si Lisut, aku tak mau," Mak Malin menyela.
"Itu salah. Tidak realis. Bagiku, kapitalis ini, yang penting uang masuk," sela Mak Mun-cak menyindir. "Kenapa buat Ucin tidak, bagi bajingan tengik pun aku bersedia meladeni sebagai budak. Yang penting uang masuk."
"Betul begitu," teriak Mak Lisut dari luar. Kemudian ia berkata pada Ucin, "Kau mau kopi susu atau kopi telor, Cin?"
'Sembarang saja. Asal harganya sepuluh sen," kata Ucin, "Apa pakai susu, apa pakai telur atau pakai darah rakyat, aku tak perduli, asal harganya sepuluh sen."
Ucin kadang-kadang dapat juga berbuat seperti orang yang paling terkemuka di kampung kami. Kalau peruutya sudah kenyang dan ada uangnya, lalu dirasakannya dunia telah bersumbu pada tempat tegaknya. Bicaranya mengalahkan pikiran orang lain, yang waras olaknya. Sehingga mereka itu tak punya kesempatan untuk bicara lagi. Harus bungkam. Apa orang mau mendengarkan omongannya apa tidak, bukan soal bagi Ucin. Dan setelah ia mereguk kopinya yang panas, mulailah keluar suaranya. Katanya, "Kapitalis, imprealis, ooo, bronsitis, komunis, sosialis, ooo ooo. ..
"Pak Komis," sela Mak Malin membantu.
"Ya. Pak Komis itu borjuis. Materialis lagi," Ucin melanjutkan.
"Sipilis?" ulas Mak Gindo.
"Kencing manis?" Mak Caniago ikut pula.
"Itu kunci Inggris," sekarang Mak Sutan ingin pula menyertai.
"Jangan lupa linggis," kata Mak Datuk yang lagi asyik mencongkel-congkel telinganya dengan kelingking.
"Ya. Semua yang pakai is is is itu, mesti kita gempur habis dengan taktis dan strategis, sampai kikis dari tanah air kita yang manis," kata Ucin melanjutkan. Bangga benar ia karena begitu banyak mengucapkan istilah yang bersanjak. Dan orang-orang pun jadi gembira, seolah-olah terlepas dari kesenyapan yang telah lama mencekau.
Lalu Ucin tertawa terbahak-bahak setelah matanya mengedari setiap orang yang telah bergembira itu. Dan ketika matanya terpandang pada Mak Lisut yang lagi menyusun barang dagangannya di rak pajangan, ia pun berseru, "Lisuuut. Kopi apa ini? Pakai tuba, ya? Pahit benar. Ayo, tambah gulanya."
Mak Lisut tahu benar pada tingkah laku semua langganannya. Jangankan Ucin yang tak waras itu, yang waras pun akan selalu mengatakan kopinya terlalu manis atau terlalu tawar atau terlalu pahit setelah meminum setengah gelas. Tak obahnya seperti cerita anak-anak dalam membeli cendol saja.
Setelah minum setengah gelas, lalu mengatakan cendolnya terlalu manis. Dan setelah ditambah cendolnya, dikatakan terlalu tawar. Pada tambahan ketiga, genaplah setengah gelas lagi jumlah tambahan cendolnya dan di bayar tetap saja dengan harga satu gelas. Dan Mak Lisut selalu saja melayani mereka dengan sabar. Kalau tidak demikian, tentulah sidang politik akan beralih ke warung lain. Dan itu berarti warungnya akan lengang. Dan tingkah laku Ucin yang mengakali mak Lisut itu tentu saja tidak termasuk bahan olok-olok yang menarik oleh gembong politik itu. Karena itu kebiasaan mereka juga, kebiasaan yang tak layak untuk dijadikan bahan olok-olok.
"DI, TII, Kahar Muzakar sebetulnya patriot bangsa kita," kata Ucin lagi ketika gelas kopinya telah penuh lagi, "Mestinya mereka mati pada waktu perang melawan Belanda supaya namanya dikekalkan sebagai bunga bangsa. Patriot tak bisa hidup dalam zaman damai. Patriot akan mati kalau damai datang. Bahkan bisa dianggap jadi pengkhianat bangsa kalau mau terus berperang. Itulah ruginya pahlawan yang tak mati waktu berperang."
Kata-kata Ucin itu tak diberi komentar oleh hadirin di warung itu. Lebih-lebih oleh gembong politik itu. Karena menurut pendapat mereka, betapa pun benarnya kata-kata seorang orang gila, kata-kata itu tetap menjadi kala kata orang gila saja. Dan barangkali juga mereka tiba-tiba lelah sadar diri, bahwa ucapan orang gila tak sepantasnya dilayani. Mereka semuanya terdiam. Dan sebagai juru pidato yang kehilangan bahan pidatonya jika pendengar tidak bertepuk tangan oleh kata-kala-nya yang tepat. Ucin pun kehilangan bahan pula. la tidak lagi melanjutkan omongannya. Lama juga suasana seperti beku itu menyungkupi warung itu.
Tiba-tiba datanglah suasana bani. Di ambang pintu kedengaran suara pecah mengambang. Suara pengemis yang minta sedekah. Begitu bebasnya suara itu mengawang ke dalam sidang politik yang telah lama bungkam itu, bagai menekani suasana dengan pemberat timah berton-ton. Demikian sunyinya keadaan. Malah bernafas pun orang-orang itu bagai hendak menghentikannya. Dan suara Mak Lisut yang lagi asyik menghitung-hitung bagai seperti ketokan martil.
Di saat yang pengap itulah licin mengambil inisiatif. Katanya kepada Mak Datuk yang duduk di sebelahnya, "Mak Datuk ninik mamak, bukan? Kenapa kemenakan Mak Datuk dibiarkan jadi pengemis, he?"
Mak Datuk terkejut oleh ucapan itu. Mukanya memerah semu. Tapi ia gembong politik di warung kopi itu, salah seorang anggota Big Five, maka cepat ia memandang pada Mak Malin. Tapi Ucin melanjutkan kata-katanya, "Ya, Datuk-datuk zaman sekarang cuma memikirkan dirinya sendiri saja."
"Ah, itu masalahnya si Malin. ajarannyalah yang melembagakan orang-orang harus minta sedekah kalau sudah miskin," kata Mak Datuk dengan tangkasnya.
Mak Malin tak mau kalah. Pukulan itu dirasanya tidak tepat diarahkan pada dirinya. Ajaran agamanya memang menyuruh orang-orarig agar memberi sedekah, tapi tidak pernah menyuruh orang-orang meminta sedekah. Dan kalau ada orang yang meminta sedekah karena miskinnya, itu bukan kesalahannya. Itu kesalahan orang lain. Katanya, "Tadi siapa yang bilang balnva untuk mencapai kemakmuran, kita harus rela untuk sama-sama miskin dulu? Siapa bilang tadi? Aaa, kau yang bilang tadi, bukan Gindo? Cobalah kau praktekkan apa yang kau katakan tadi."
Sebagaimana Mak Malin. Mak Gindo juga gembong politik. Otaknya encer untuk mclemparkan kewajiban pada orang lain. Dan katanya, "Yang miskin itu siapa? Yang miskin itu kan kaum proletar. Y'ang mengaku teman kaum proletar itu si Caniago orangnya. Ayo, Caniago belalah bangsamu itu."
Mak Caniago orangnya memang bersemangat tinggi. Suaranya pun tinggi. Dan dengan suaranya yang tinggi pula cepat ia berkata, "Aku bukan tukang pembasmi kemiskinan kaum proletar. Aku cuma tukang anjurkan agar kaum proletar melemparkan kemiskinannya dengan merebut kekayaan kaum borjuis. Supaya... supaya.. "
"Supaya apa? Supaya dari hasil perebutan itu kau dapat bagian yang lebih banyak, heh? "tukas Mak Muncak ketika Mak Caniago tergagap-gagap berbicara.
Mak Caniago tidak mau mengalah begitu saja. Lalu katanya sambil menuding-nuding Mak Muncak, "Kau yang begitu getol meneriakkan persatuan, bukan? Kau yang paling getol untuk menyatukan segala-galanya, menyeragamkan segala-galanya, bukan? Jangan hanya suku-suku bangsa saja yang ingin kau persatukan, jangan hanya pandangan-pandangan hidup bangsa kita saja yang ingin kau seragamkan, Muncak. Seragamkan juga nasib mereka dengan nasibmu yang sudah empuk itu. Jangan hanya bersatu dan persatuan itu kau
anjurkan bagi keperluan politikmu saja. Tapi pakai juga untuk kemakmuran dan untuk kemiskinan.''
"Itu kampanye adu domba, ya? Subversi itu namanya." balas mak Muncak sambil ter-sengeng-sengeng senyumnya.
Dan semua orang sama terbahak-bahak oleh pertengkaran politik yang mereka lakukan sendiri dalam membincangkan nasib seorang pengemis yang meminta sedekah. Sedangkan pengemis itu masih tercenung berdiri di ambang pintu. Begitu tololnya kelihatan karena mendengar perdebatan politik yang Lak terjangkau oleh pikirannya yang miskin itu.
"Jadi bagaimana? Apa kita bilang saja: "maaf, Pak" kepada pengemis itu? " salah seorang berkata setelah tawa terbahak mereda.
"Apa? Minta maaf pada pengemis? Bikin malu saja. Masa minta maaf pada pengemis. Itu tidak patriotik," ujar Ucin vang rupanya dapat menanggapi perdebatan itu.
"Siapa yang bilang orang-orang politik halus minta maaf pada orang miskin tadi?" Mak Lisut ikut pula menyela.
"Itu si Saun. Mana si Saun tahu politik," kata Mak Datuk.
"Jadi kalau tak tahu politik, bagaimana?" sela Mak Lisut. Warna mukanya memerah karena kegembiraan telah dapat mengolok-oloki orang-orang politik di warung kopinya itu. "Jangan banyak bicara, bung. Jangan banyak bicara. Yang perlu bukti. Libat aku. Aku tidak mau main politik, tapi aku bisa memberi. Karena aku hanya mau main uang, maka aku dapai memberi uang pada orang miskin."
"Meski hanya uang paling kecil dan kumal pula," sambung Ucin.
Mak Lisut yang sudah mulai melangkahkan kakinya seperti jenderal dalam parade militer ke arah laci uangnya, tertegun sejenak, la kc-tawa tanpa suara. Dan yang lain-lain terbahak-bahak lagi.
Ucin lantas berdiri. Diacungkannya tangannya tinggi-tinggi seperti cara gerilyawan menyatakan kesanggupannya melaksanakan tugas yang menantang mati ketika diminta oleh komandannya. "Aku. Aku patriot bangsa. Patriot bangsa pun sanggup memberi. Jauh lebih banyak dari uang kecil kaum kapitalis."
Kemudian didekatinya pengemis ini. Disodorkannya uang kertas serupiah satu-satunya yang dimilikinya kepada pengemis itu.
"Alhamdulillahirabilulamiin," ucap pengemis itu setelah menerima uang serupiah dari Ucin.
"Aku. Aku patriot bangsa, tahu. Aku telah memberimu seluruh uangku yang ada. Cukup, bukan? Kalau masih belum cukup, aku masih bisa kasi nyawaku padamu. Itulah patrim yang tak segan-segan memberi apa saja, termasuk nyawanya," kata Ucin lagi. Dan kepada Lisut ia berkata, "Lisuuuul. uangku sudah habis. Kopimu saya ulang, ya?"
"lak usah utang, Cin. Masukkan saja rekeningku sepuluh sen dalam sedekah yang kau berikan ilu," kata Mak Lisut pula. Dan kemudian ia jatuhkan uangnya ke lacinya lagi dan ditolakkannya laci itu ke bawah mejanya.
Dan semenjak itu lahirlah pameo bani di warung kopi ilu, bahwa sedekah yang diberikan oleh orang kapitalis diambilkannya dari hak-hak orang lain dan uangnya sendiri lelap disimpannya dalam laci. Dan tingkah lakunya itu jauh lebih gila daripada perbuatan orang gila sungguhan.
Aku tidak tahu, apakah kesimpulan yang sudah jadi pameo itu sudah tak berlaku lagi kini. Setelah keadaan telah begitu banyak berobah di tanah air kita. Ingin sekali aku kembali ke kampung lagi. untuk menyertai permainan politik di warung kopi di simpang tiga itu.
2 Orang dari Luar Negeri PADANGPANJANG adalah kota yang berbahagia. Aku di situ lahir. Hampir seperlima abad aku dihidupinya. Kota itu memang banyak memberi hidup. Di situ ada batukapur yang memberi hidup. Ada sungai yang memberi hidup. Ada pasar yang memberi hidup. Ada oto, ada kereta api yang memberi hidup, meski kadang-kadang orang mati juga digilingnya. Banyak sekolah yang memberi hidup. Banyak tentara, polisi dan kantor-kantor yang memberi hidup. Tapi di waktu perang Revolusi dulu, tentara dan polisi itu banyak juga yang mengambili hidup orang. Hujan banyak turun di situ, juga memberi hidup. Pada sawah dan tanaman tentunya. Sawah dan tanaman itu memberi hidup pada manusia. Toko-toko banyak, juga memberi hidup. Dan rumah-rumah yang berjejeran di sepanjang jalan melindungi orang yang hidup.
Setahuku, tiada kota yang pernah kulihat, yang lebih dari kota kelahiranku dalam memberi hidup. Jakarta tidak. Medan tidak. Bandung tidak, meski kota itu di kaki gunung juga.
Di kota-kota itu orang hidup dengan mati-matian. Dan matinya, meski mati kehilangan nyawa seperti biasa, kadang-kadang caranya sangat mengerikan. Tidak juga seperti kota Denpasar, kota di pulau sorga itu. Sebab sor-ganya cuma buat pelancong, tapi mereka juga bagi perempuan janda yang miskin.
Di kota kelahiranku tak seorang pun yang hidup dengan mati-matian. Mereka hidup seenaknya. Berjalan boleh lenggang kangkung. Setiap hari, dari pagi sampai tengah malam, orang dapat duduk-duduk atau bermain kartu di kedai-kedai kopi sambil menghutang segelas kopi, tanpa dapat masam muka dari si empunya kedai. Di kota kelahiranku memang air berlebihan. Ilingga kemanapun kita bertandang, perempuan atau gadis-gadis cepat-cepat menyediakan minuman bagi kita. Air-air di kotaku tidak sejahat air di kali Musi atau Ciliwung. Tak ada banjir. Tak ada menghanyutkan bangkai. Kalaupun ada orang yang terbenam di sebuah bandar, itupun karena sakit sawan. Dan seisi kota jadi gcmpaT.
Demikianlah kota kelahiranku yang bahagia yang banyak memberi hidup. Yang semenjak hampir lima belas tahun yang lalu telah kutinggalkan, karena takdir menghendaki aku hidup di tempat lain.
Namun bagaimanapun banyaknya sudah
orang meninggalkannya, lapi ia tetap juga jadi kota yang berbahagia. Banyak orang yang sudah mendapat nama di situ (bukan nama yang diberikan di waktu lahir). Ulama-ulama di seluruh Sumatcra Barat memulai kemasyhurannya di situ. Mula-mula ia belajar di situ. Kemudian namanya disebut di seluruh Nusantara, sebagai orang besar tanah air. Meskipun demikian, orang di kota kelahiranku tidak ketagihan membuat tugu-tugu. Untung juga tidak. Karena di masa sekarang tugu-tugu dibuat orang, seperti orang mencetak pamflet propaganda saja.
Memang kota kelahiranku kota yang berbahagia. Meskipun majunya tidak bukan main seperti kota lain, lapi dengan beringsutan ada juga. Terutama pada saat terakhir ini, telah bertambah lagi orang dari luar negeri. Orang dari luar negeri ini, orang-orang Indonesia juga. Kelahiran kota kelahiranku. Mereka belajar setahun dua di luar negeri. Dan kini mereka telah berpulangan. Memang dulu-dulunya orang dari luar negeri sudah banyak juga di koia kelahiranku itu. Tapi kebanyakan mereka itu karena jadi anak kapal. Atau petualang yang kecewa hidup, lalu pergi ke Malaya. Kadang-kadang petualangannya sampai ke Mckah. Pulang membawa sorban. Tentu saja mereka itu tidak banyak memberi kesan apa-apa untuk kota kelahiranku. Sebab memangnya mereka tidak untuk mendapat apa-apa pergi ke luar negeri itu. Ada memang, beberapa orang yang pergi ke luar negeri untuk belajar. Ketika pulang, mereka telah hapal ayat-ayat dan hadis-hadis. Lalu mereka jadi pemimpin ulung di seluruh Nusantara.
Tapi semenjak pemimpin ulung tidak dicetak di luar negeri lagi, semenjak partai partai di Jakarta lelah mampu mencetaknya, maka orang luar negeri menimbulkan harapan yang lain. Harapan yang ditimbulkan oleh kehendak akan ilrnu yang praktis bagi hidup yang serba bani. Demikianlah terhadap orang luar negeri yang baru pulang, kota kelahiranku sedang menunggu suatu perobahan sejarah yang segemilang dulu dalam bentuk yang lain.
Apakah harapan itu akan terkabul dengan kepulangan mereka?
\ku hanya dapat mendengar ccritanya dari saudara sepupuku, la ini orang istimewa dalarn tabiat dan wataknya. Dan oleh ceritanya itu aku dapat tersenyum.
Henini ceritanya: Kau kenal sama si Bah-rum? l idak? Si Bahrum anak Mak Jaya yang hrrlepau di simpang stasiun itu? Ia kan sudah prrgi ke Lropah. la dapat tunjangan belajar. I mi i tahun. Semenjak ia pergi, meskipun ia ani ih jauh, tapi dalam semua percakapan danangan-angan kami, ia selalu kami bawa serta. Kami ikut merasa bangga dia ada di Eropa itu. Tentu saja, bukan? Karena ia sahabat kami, kawan selapik seketiduran.
Lebih-lebih di masa darurat dulu. Dan kalau salah seorang di antara kami menerima suratnya, berhari-hari lamanya surat itu di kantpngi. Ke mana kami pergi, surat itu kami bawa. Seolah jimat yang keramat saja. Kepada setiap orang akan selalulali surat itu diperagakan. Orang-orang jadi kagum pada kami. Atau orang-orang jadi iri pada kami. Karena kami punya kawan orang luar negeri. Dan ini sangat menyenangkan hati kami.
Sekali rasa bangga kami meluncur juga. Seperti meluncurnya salju di puncak gunung ketika musirn panas tiba. Kami tak bisa berla-gak-Iagak karena punya sahabat orang luar negeri. Seperti halnya salju yang cair menjadi air, kini tergenanglah di rawa-rawa, demikian pula kami. Hingga kami tak berani memperagakan surat-surat Bahrum yang datang.
Matahari yang datang mencairkan salju di puncak gunung kebanggaan kami itu, ialah seseorang yang baru kembali dari luar negeri, la setahun di Amerika. Dan ia tidaklah sahabat kami. Tapi ia orang kota kelahiran kami juga.
Gagahnya bukan main. Bajunya wol semua. Berdasi kupu-kupu yang sahan hari bertukar saja ragamnya. Bertopi dan bermantel besar.
Dan di bahunya tersandang tali kamera kecil. Langkahnya satu-satu. Dan setiap melangkah, satu anggukkan kepala. Jika mengingat betapa gantengnya, wah, kami jadi seperti anak ayam yang mencericit di keram-pang induknya bila ada elang di udara. Dan bila ia lewat dekat kami sedang berkelompok, lenyaplah segala tawa besar kami. Dan kepala kami jadi teminduk tanpa disengaja, seperti ada malaikat maut lewat di dekat kami. Tapi mata kami mengikutinya dengan menyudut serta iringan hati yang mengiri.
Setiap sore, setiap pagi, di mana orang-orang ramai, ia tentu akan lewat pada waktu-waktu yang tertentu. Ayahnya mengiringkan di belakang. Bila ayahnya bertemu dengan setiap orang, selalu ia menegur dengan senyum sambil memperkenalkan anaknya: "Ini .makku. Dari luar negeri. Dari Amerika."
Kemudian ia pergi meninggalkan mulut orang yang melongo.
Dan yang menyakitkan hati kami benar, ke-Lisih-kekasih kami ikut-ikut pula mempercakapkan orang Amerika itu bila setiap mulut inrrcka bisa terbuka. Segala pujian bukan untuk Tuhan lagi, tapi untuk orang Amerika itu. Dan ilu berarti, setiap celaan, setiap kehengakan hanya tertentu buat kami.
Kami yang dari tahun ke tahun sepanjang umur kami, hanya tahu berbegar di sekitar dapur ibu saja.
Ketika terdengar sudah, bahwa orang Amerika itu mau cari bini, kawan-kawan yang punya kekasih cantik, jadi cemas. Dan segala gadis-gadis asik berbedak dan bergincu. Dan dengan pakaian serba bani mereka jadi rajin keluar nimah. Kurang ajarnya, jika mereka bertemu dengan kami, mereka tidak mau lagi omong dengan kami. Apalagi berjalan berduaan. Meskipun berjalan itu cuma kebetulan seiring jalan. Kami tahu maksudnya. Tentu saja supaya jangan disangka orang Amerika itu, bahwa dia sudah berpunya. Dan kalau orang Amerika itu lewat di hadapan rumahnya, beramai-ramai mereka ke depan, kadang-kadang juga sampai ke gerbang mmahnya. Lalu dengan semanis tengguli, mereka menegur, "Mampir duluuu."
Memang merapung benar hidup kami ketika itu. Seperti ikan-ikan yang kolamnya dituba dengan kapur saja.
Dan iapun tak pandai lagi berbahasa awak. la bicara dalam bahasa Indonesia saja. Meskipun kepada orang lua-tuanya di kampung. Kadang-kadang bercampur aduk dengan bahasa Inggris: "Ile yu. Kemon." Atau sekali-sekali kami dengar: "Oke boi." Kepada orang tua-tua pun sering ia bilang: "Oke boi." Astaga bukan main dia ilu. Lagaknya.
Pada suatu hari terbitlah matahari lain. hingga orang Amerika yang telah jadi salju di puncak gunung tertinggi itu lalu cair pula, meleleh seperti nanah ke luar dari telinga di dalam pandangan kami. Matahari itu seorang luar negeri pula. Ia ini dari Eropah. Dua tahun ia disitu. Jadi lebih lama.
Kau temu kira, ia akan lebih ganteng, bukan? Ya. la lebih ganteng. Selain semua peragat apa yang pernah dibawa orang Amerika itu pulang, iapun membawa skuter. Lambretta mereknya. Mengikuti jejak orang Amerika
yang selalu diiringi ayahnya, maka skuter itu meraung-raung setiap petang dan pagi. Suaranya mengatasi segala kekaguman orang terhadap si Amerika selama ini. Lain daripada dasi dan topi dan mantel, ia juga pakai sarung tangan. Sarung tangan putih. Bila ia bersalaman dengan gadis-gadis barulah sarung tangannya itu dilepaskannya. Tentu ini maksudnya mau merabai kelembutan tangan gadis, kiraku Tapi kemudian ia katakan itu etiket.
Tentu kau kira sekarang, pongahnya dua kali lipat, bukan? Tidak. Hatinya rendah bukan main. Hingga terjela-jela dan kadang-kadang rasa-rasa dapat dipijak saja.
la jadi sahabat kami. Selalu ia suka datang
kc kedai dimana kami biasanya menghabiskan hari. Dan ia omong-omong dengan karni. Banyak sekali omongannya. Sebaiknya matanya tertutup saja hendaknya. Kalau ia sudah melihat sesuatu kebiasaan orang kita, lalu ia bilang, "Tidak seperti di Eropah."
la lihat jalan becek, lalu ia bilang, "Tidak seperti di Eropah." Banyak lalar, dia bilang, "Tidak seperti di Eropah. Berebur-rebut orang naik kereta api atau beli karcis bioskop, ia bilang, "Tidak seperti di Eropah." Dilihatnya anak-anak telanjang dalam hujan, dia bilang, "Tidak seperti di Eropah." Semua-muanya dibandingkannya dengan Eropah saja. Tapi ceritanya itu tidak menarik hati kami benar. Dan ia sendiri pun lebih suka cerita tentang perempuan Eropah. Dan cerita itu membikin kami ingin pula ke Eropah.
Tahu kau bagaimana ceritanya? Katanya, ia sudah pergi kc Skandinavia. Katanya, gadis-gadis di situ dapat dipeluk saja bila mau. Dan sambil berbisik dia bilang, 'Tahu kalian, di negeri itu tidak ada gadis yang perawan?"
"Eh. Jadinya kalau begitu, gadis di sini saja yang dilahirkan punya perawan? " tanya kami keheranan.
"Oh. Bukan begitu, maksudku Perawannya dengan mudah mereka berikan," katanya dengan sungguh-sungguh.
"Bagaimana kau tahu? " kami ingin tahu.
"Sudah kau coba?" tanya kami lagi ketika ia hanya kctawa menjawab pertanyaan kami.
Sekali lagi ia kctawa. Tapi pertanyaan kami tinggal pertanyaan saja. Sebab kemudian ia bilang tentang gadis-gadis di Negeri Belanda. Betapa pula di Paris. Lain lagi di Roma. Dan cerita-ceritanya itu membikin kami ngiler.
"Dan di Napoli," katanya lagi, "kita dapat menyewa kamar hotel dengan 1000 lira semalam. Lengkap dengan seorang perempuan untuk kawan tidur."
"Ondeh, Mak. Seribu semalam?" kata kami terkejut
"Di Jakarta 100 rupiah sudah hebat," komentar yang lain.
"Seribu lira itu cuma 10 rupiah saja. Dan perempuannya potongan Gina tulen," katanya.
Kami senang sekali mendengar ceritanya yang demikian. Karena ceritanya itu, selamanya kian lama kian menarik. Jauh lebih menarik dari segala cerita cabul yang dilarang polisi menyiarkannya.
Tapi pelitnya orang Eropah itu bukan main pula. Dalam sesering itu kami mengobrol di kedai kopi, haram sekali ia yang membayar. Selalu saja kami yang kena. Tapi kami selalu scnang kepadanya. Bukan saja ia punya cerita
yang menagihkan, juga ia sangat hormat kepada kami. Kalau salah seorang kami mengambil rokoknya, cepat-cepat ia bertindak. Rokok itu ia ambilkan buat kami. Lalu disuguhkannya dengan segala hormat. Lalu diambilnya korek api. Dicetuskannya. Lalu dibakarkannya rokok kami. Dan sebaliknya, kalau kami pula yang menyuguhkannya rokok, lalu kami bakarkan pula, selamanya dengan mengangguk ia ucapkan terima kasih. Katanya, cara demikian juga etiket bualan Eropah.
Tapi dalam hal ini, aku memang kurang ajar benar. Kalau aku mau mengisap rokoknya, lalu aku katakan, "Sim, aku mau merokok."
"Oh," katanya. Dan dengan cepat ia menyuguhkannya padaku. Lalu dibakarkannya pula.
"Terima kasih," kataku menirukan suara rendahnya dan lagak tingkahnya juga.
Melihat aku terlalu sering berbuat demikian, kawan-kawan lainnya pun berbuat demikian. Maka jadilah orang Eropah itu jadi tukang suguhkan dan tukang bakarkan rokok kami. Tapi kalau kami sama kami saja, kami hanya seperti biasa yang kami lakukan. Ambil sendiri dan bakar sendiri. Akhirnya ia tahu juga etiket buatan Eropahnya itu hanya kami tempel-tempelkan pada mukanya saja. Dan ia
merasakan kelakuan kami seperti mengejek. Kemudian ia tak mau lagi berbuat demikian. Maka kembalilah ia jadi orang Minangkabau tulen lagi.
Kalau ia bicara dengan kami selamanya dengan tenang. Tidak tergopoh-gopoh. Tapi satu kata demi satu kata. Dan selamanya ia tak mau bicara berebutan. Kalau ia hendak menyela, selamanya ia akan berkata, "Tunggu dulu. Boleh aku menyela?" Atau kadang-kadang ia bilang "Maaf. Aku ingin bicara."
Tapi aku ini juga yang kurang ajar. Akupun meniru dia itu. Dan kawan-kawan pun berbuat demikian pula. Bicara satu-satu dan pelan-pelan. Dan kalau mau menyela, kami bilang, "Tunggu dulu. Boleh aku menyela?" Atau kami katakan, "Maaf. Aku ingin bicara." Tapi kami keseringan berbuat demikian, bila dekatnya. Dan bila kami dengan kami saja, ya seperti orang awak saja. Kelibut. Siapa yang keras suaranya, ialah yang didengar. Ialah yang menang. Akhirnya ia kembali jadi melayu lagi, setelah tahu kami terlalu banyak cemooh.
Sekali hari ia bilang, ia telah membalaskan dendam bangsa kita terhadap Belanda.
"Bagaimana?" tanya kami serentak.
"Aku telah menghardik-hardik Belanda itu di negerinya sendiri. Aku perintah-perintah
ia seperti jongos. Angkat ini. Ambil itu, kataku dengan membelalakkan mataku besar-besar, seraya menunjuk dengan tangan kiriku," katanya seraya mencobakan gerakan tuan menghardik jongosnya.
"Siapa-siapa yang kau damprat? Juliana juga?" tanya kami pula.
Ia tertegun dari omongannya. Dan matanya berputar-putar kehilangan kata melihat kepada kami.
'Tentu jongos-jongosnya saja, bukan? " tanya kami lagi.
"Biar jongos, tapi kan Belanda? " sela yang lain.
"Tapi Belanda itu pernah menghardik Datuk kita, ketika Datuk kita itu masih jadi loper," kata yang lain.
Dan akhirnya pembicaraan kami jadi meriah dan kami tertawa terbahak-bahak. Sedang orang Eropah dua-tahun itu sudah bungkem suaranya. Dan untuk seterusnya hilanglah dengungan cerita Eropah di telinga kami.
Namun demikian tiba juga pertanyaan-pertanyaan dalam hati kami. Bagaimana pula lagaknya si Bahrum kalau ia pulang nanti. Yang setahun di luar negeri, sudah kami lihat poaknya. Yang dua tahun, sudah kami ketahui pula lagaknya. Dan Bahrum lima tahundi luar negeri.
Kalau tidak lima kali lipat orang Amerika, tentulah sekurangnya dua kali lipat orang Eropah dua tahun itu dalam segala gaya dan bawaannya.
Kembalilah, kami mengomongi sahabat kami itu. Tapi kami tidak bicara tentang surat-suratnya lagi. Karena kini terasa suratnya itu tak ada isinya sama sekali, selain cerita ilmu bumi anak sekolah saja sampainya kepada kami. Dan cerita-ceritanya tentang perempuan, orang Eropah dua tahun punya cerita lebih serem. Cuma kini kami merekakan lagak bagaimana pula yang akan kami tonton kelak. Tambah dekat ia pulang, tambah seringlah kami mengomonginya.
Dan kamipun sama sepakat, bahwa si Diah, tunangannya, gadis yang telah 28 tahun umurnya, akan sia-sia menunggu. Kini badannya sudah kerempeng. Tapi putihnya bertambah-tambah. Sebab tak pernah berpanas matahari lagi, dan rajin berbedak tebal-tebal. Namun kepandaiannya sudah bertam hah-tambah juga. Segala macam kursus dimasukinya. Dari menjahit, menambal dan menyulam sampai pada menghias bunga dan muka. Dan kepandaiannya memasak, konon kabarnya sejak dari Barat, melalui India terus ke Timur jauh. Maksudnya tentu mau menempatkan dirinya sebadai bidadari si Bahrum itu. Tapi dia tidak tahu, bidadari si Bahrum bisa menari-nari dengan telanjang di hadapan orang ramai di Eropah itu. Dan tentu saja si Diah tak pernah memperoleh surat yang berisikan kisah bidadari Eropah itu.
Akhirnya Bahrum tibalah. Apa yang kami duga selama ini, meleset sama sekali. Cuma satu yang tidak meleset, yaitu tentang kesia-siaan si Diah menunggu hingga berumur 28 tahun. Baru saja ia turun dari kapal dan bertemu dengan Diah yang matanya menyinarkan kelaparan cintanya, Bahrum hanya bilang "Eh, si Diah."
Ketika si Bahrum pulang itu, sama saja keadaannya dengan ketika ia pergi dulunya. Memang ia punya pakaian wol juga, tapi wolnya wol kasar. Kaus kakinya usang, sama usangnya dengan sepatunya. Dan hatinya, seperti hati si Bahrum dulu juga. Meski ada kelainannya. Itu pun dalam pembawaan bicaranya saja. Ada juga etiket buatan Eropahnya ia bawa, selain etiket-etiket itu, ia juga bawa skuter. Juga sebuah piano dan radio pikap dan sebuah teprekorder. Sebuah mesin tulis dan kamera tak ketinggalan.
Ya. Tentu saja ia rendah hati dan tidak punya tingkah dibikin-bikin. Aku kira, karena ia seorang seniman. Ia belajar musik di situ. Terutama biola. Dan kami mengira-ngirakan, tentulah ia sudah sehebat Jasha Heifetz atau Yehudi Menuhin benar-benar. Sedangkan dulu ia sering bilang, bahwa ia Ychudi Menuhin Indonesia.
Tentu saja kami ingin benar mendengar betapa seronoknya gesekan biolanya. Betapa pula jari-jari kirinya menari-nari di atas tali. Apa sudah seperti lidah ular yang kehausan cepatnya. Dan biolanya hebat benar. Dari kayu yang sudah 300 tahun usianya.
Maka sekali hari, ketika orang-orang tidak ramai lagi mengunjunginya, kami datang. Kami datang bukanlah hendak mendengar cerita luar negerinya lagi, sebab cerita luar negeri itu sama saja dengan cerita siapa pun juga. Keinginan kami hanyalah hendak mendengarkan gesekan biolanya.
"Rum. Coba main, ah," kata kami. "Rindu benar kami mendengar mainmu."
Ia hanya tersenyum. Barulah setelah kami berulang mendesaknya ia pergi ke kamarnya. Karni kira tentu ia mengambil biola. Dan hati kami bukan main senangnya. Tapi ketika ia keluar, ia hanya menjinjing teprekorder. Dan ketika teprekorder itu berbunyi, kedengaranlah suara biola dengan iringan piano. Maka ia mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Bunyinya nget ngot nget ngot saja. Dan kami tidak mengerti. Dan kami tidak merasakan keindahannya.
"Kau yang mainkan itu?" tanya kami.
"Yang main piano kau juga, ya?" tanya yang lain.
Kemudian katanya,"Masa bisa orang main biola sekaligus dengan piano."
"Les Paul konon kabarnya bisa. Ia main gitar, ia main hawaian dan ia pula main bas. Isterinya menyanyi dalam empat suara. Kenapa ia bisa, kau tidak?" kata kami.
"Yang main piano itu seorang nona," katanya menyahuti tanya kami.
'Tunanganmu, yaaa?" kami bertanya dengan nakal-nakalan.
Dan ia mengerdipkan matanya sebelah. Kemudian ia ceritakan segala rencananya dengan segala alat-alat yang ia bawa.
"Aku mau menyelidiki lagu-lagu daerah kita. Lagu-lagu rakyat di daerah kita, tidak kalah indahnya dengan lagu rakyat Eropah," katanya.
Kemudian ia berbicara panjang sekali tentang rencananya yang sudah lama diperaninya di luar negeri. Ia juga menceritakan, bagaimana lagu-lagu orang Janggi di Spanyol. Bagaimana polka-polka di Eropah Timur. Lalu musik orang Negro yang telah menyusup ke seluruh jiwa pemuda di seluruh dunia. Kami mengangguk saja mendengarkannya seraya dengan mulut yang ternganga.
"Piano yang kubawa itu, untuk penyusun kembali lagu-lagu yang telah kuselidiki. Teprekorder, untuk menyalin lagu-lagu asli di kampung-kampung. Kamera untuk foto dokumentasi. Mesin tik, ya, tentu saja untuk men-tik hasil penyelidikan ilmiah tentang musik daerah. Dan pikap untuk mempertinggi selera tukang musik kita di sini," katanya.
Apapun cita-citanya yang diuraikannya dengan penuh semangat, namun dalam hati kami mendesak-desak juga rasa ingin tahu bagaimana kepandaiannya memainkan biola setelah jarinya di sepuh lima tahun di Eropah itu. Ingin tahu kami itu, kian besar juga. Dan akhirnya kami desak juga supaya ia mainkan biolanya yang dari kayu 300 tahun itu. Akhirnya ia main juga setelah ia tak dapat mengelak lagi oleh desakan kami. Tapi lagunya nget ngot nget ngot seperti yang dibunyikan teprekorder tadi juga. Lalu kami minta saja ia memainkan lagu "Pelayaran". Sebab lagu itu lebih kena di hati kami. Dan tentu saja kami kira, kalau ia memainkannya lebih seronok dan lebih sahdu. Maklum jari-jarinya sudah lima tahun disepuh oleh Akademi Musik.
"Kalau demikian saja cara mainmu, kakek Taik tentu bisa jadi profesor biola di Eropah," kata kami setelah ia selesai.
Sungguh kami heran benar, kenapa orang
luar negeri jadi kaku memainkan lagu nenek moyangnya. Percuma saja ia sekolah lima tahun di Eropah. Lebih baik uang sekolahnya yang telah habis sebanyak itu, digunakan oleh Pemerintah untuk pembrantas kemiskinan.
Dan mendengar komentar kami itu, rupanya tersinggung benar perasaannya. Hingga sampai sekarang, tak pernah lagi kami mendengar gesekannya.
Kemudian ia jarang bersua dengan kami. Sebab, katanya, ia lagi sibuk. Tiap sebentar ia pergi ke kantor Pemerintah di Bukittinggi. Kami kira mulanya ia mau minta kerja. Dan kami jadi heran, kenapa seorang pemain biola minta kerja di kantor. Tapi rupanya ia sedang merencanakan pendirian sebuah sekolah musik. Pemerintah sudah setuju. Dan meminta kepadanya untuk membuat rencananya. Siang malam ia bekerja membuat rencana itu. Hingga badannya kelihatan jadi kurus dan pucat. Dan ketika rencananya selesai, diajukannya kepada Pemerintah.
"Ini rencana apa?" kata orang Pemerintah itu. "Mana anggaran belanja pegawainya? Mana anggaran pembangunan gedungnya? Bagaimana sekolah bisa berdiri kalau gedungnya tidak ada?"
"Yang penting bukan gedungnya. Tapi rencana sekolahnya," kata Bahrum.
"Ya. Sekolah ilu kan gedung?" kata orang Pemerintah itu lak mau kalah. "Rencana ini tidak laku."
Dan semenjak itu, laklah lagi ia menyibukkan dirinya dengan kantor-kantor Pemerintah itu. Dan mukanya selalu berkerut masam dan hatinya selalu meluapkan benci. Apalagi ketika orang-orang Pemerintah selalu mengiriminya surat, supaya segera menjadi pegawai Kantor Pemerintah, sebagai pemenuhi perjanjian Ikatan Dinasnya.
"Biar aku masuk penjara saja," katanya menggerutu. Lalu kepada kami ia katakan, "Kalau aku jual segala barang-barang yang aku bawa dulu, berapa harganya kira-kira?"
"Piano dan pikap itu?" tanya kami heran dan penuh harap. Sebab kamipun ingin juga menolong menjualkannya, karena mencatut adalah pekerjaan kami juga.
"Semuanya," katanya.
"Biola juga?" tanya kami.
"Ya. Biola juga," katanya tegas.
Dan kini keheranan kami jadi bertambah. Lalu kami tanva ia lagi, "Hendak jadi apa kau lagi?"
"Aku inau beli tanah. Aku mau jadi petani. Itu lebih baik," katanya. Bagaimana itu, pikir kami, sudah begitu lama helajar musik, di Eropah pula, kini mau jadi petani.
Dan semenjak itu kami hanya mendengar keluhan dan kebenciannya yang meluap-luap kepada setiap orang. Serupa saja tabiatnya dengan orang Amerika itu, yang setiap hari mengeluh karena tak dapat berdangsa. Dan di Eropah dua tahun mengeluh juga, karena tak punya uang. Sudah mengeluh, mereka mencela. Habis mencela mereka mengutuk.
Kami tak mengerti sama sekali, kenapa mereka jadi demikian. Padahal jika menurut pepatah orang tua-tua, kalau nak tahu disayang kampung, pergilah merantau. Tapi barangkali juga, orang yang membuat pepatah itu yang salah. Karena merantaunya orang dahulu tidak sampai ke luar negeri.
Akhirnya semua orang keluaran luar negeri itu pergi. Perginya lain dari perginya orang Belanda dan Jepang yang betul-betul orang luar negeri tulen. Mereka itu pergi dengan hati sedih karena meninggalkan Indonesia kita yang makmur dan sentosa. Sedang orang luar negeri buatan dalam negeri itu, perginya karena benci dan mengutuki tanah tumpah darahnya. Apakah tidak aneh itu?
Dan si Amerika, setelah belajar ilmu pertanian di Amerika kini ia bekerja di kantor. Menulis-nulis surat di Kementerian. Dan di waktu ia pergi ke Kementcrian, sawah orang tuanya digadaikannya pula. Dan si Bahrum, yang belajar kesenian, lebih suka jadi petani. Hanya si Kasim yang lain pendiriannya. Ia belajar ilmu grafika di Eropah. Dan kini ia bekerja di Kebayoran mencetak uang. Meskipun percetakan orang tuanya dibiarkannya saja di injak dengan kaki baru jalan. Tapi itu bolehlah,
setelah ia pandai mencetak uang banyak-banyak, tentu ia takkan mengeluh oleh sebab kekurangan uang lagi.
Apakah tidak aneh orang luar negeri buatan dalam negeri itu, menurut sangkamu?
3 BagindaRatu Baginda Ratu yang terkenal di kota kami, badannya kokoh. Rambutnya lebat, juga tegang, dan selalu disisir rapi. Pakaiannya senantiasa apik. Disetrika licin oleh (lobi (ia menyebutnya waserai) yang termahal. Karena bahan kainnya mahal dan menurut mode terakhir guntingannya. Tapi tentang pakaian ini, tidaklah ia istimewa benar. Sebab banyaklah orang lain yang mampu mempunyainya di kota kami. Maklumlah di kota kami banyak barang selundupan dijual orang. Meski setiap orang mampu mempunyai apa saja yang dijual orang di kota kami, tidaklah setiap orang punya selera yang baik. Tapi Baginda Ratu punya selera yang baik. Itulah keistimewaannya. Keistimewaannya yang paling istimewa ialah pada dasi dan kaos kaki. Kebanyakan pemakai apik di kota kami, biasanya punya dasi satu dua saja. Dan kaos kakinya seringkah kedapatan semenjak dibeli hingga hancur, tak pernah dicuci. Sudah banyak kerak dan baunya pun tengik. Bukanlah demikian halnya dengan Baginda Ratu. Ia punya pastilah lebih dari siapapun. Janganlah mencoba mengatakan kepadanya, bahwa ada lain orang punya lebih bagus. Sebab nanti mulutnya yang pengomong, pastilah akan terkatup.
Tapi aku tentulah tidak bermaksud menceritakan Baginda Ratu ini dari sudut dasi dan kaos kaki.
Tidak seorang pun akan merasa rugi jika bersahabat dengan Baginda Ratu. Terutama bila seseorang punya leher longgar yang dapat mengangguki segala omongan. Dan sesudah mengangguk-angguk barang tiga kali, ia akan gelisah benar bila belum mengajak saudara makan-minum di restoran.
Tentu saudara akan bertanya sekarang, yang manakah Baginda Ratu itu?
Ia akan mudah ditemui pada setiap resepsi orang-orang terkemuka (ia menyebutnya elite) di kota kami. Tertawanya paling banyak. Dan dengan gerakannya yang lincah ia sudah terbang kian kemari menemui setiap orang. Omong-omong sebentar dan tertawa terbahak-bahak, ha ha he he, lalu ia akan pergi ke kelompok lainnya. Seperti ia diburu waktu saja. Ini dapat dipahami, karena begitu banyaknya kenalannya dan begitu sempitnya waktu pada resepsi itu.
Kalau banyak dijumpai orang yang bcrgelagat demikian, perhatikanlah dasi atau kaos kakinya. Di sana akan terlihat bahwa Baginda Ratu punya memang lain dari yang lain. Dalam artian yang tidak menyolok tentunya.
Tentu saja menemuinya dalam suatu resepsi tak banyak menolong, karena orang-orang terkemuka itu tidak saban hari mengadakannya. Maka carilah ia pada setiap petang Sabtu di sositet. Yah, tentu saja sositet orang-orang terkemuka pula. Ia selalu datang kc situ. Ia tidak bermain judi seperti orang-orang lainnya. Ia hanya main bilyar. Dalam permainan itu ia jarang bersungguh-sungguh. Meski ia tidak termasuk pemain jelek, tapi taklah pernah ia memenangkan dirinya. Oleh sebab itu jadilah ia sehagai lawan main yang paling menyenangkan oleh Walikota atau Sekretaris Gubernur atau seorang dokter yang pernah jadi calon Menteri. Ketiga orang itu sudah tua-tua. Matanya sudah pada rabun dan permainannya lebih banyak jeleknya daripada baiknya. Namun Baginda Ratu tak pernah menempatkan dirinya sebagai pemenang pertama.
Hujan Panas Dan Kabut Musim Karya A.a. Navis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tak ada gunanya mengalahkan orang-orang itu," katanya sekali padaku ketika pembicaraan kami melantur ke soal tersebut. "Mereka main untuk bersenang-senang. Bukan untuk jadi juara. Lain halnya kalau mereka itu mau jadi juara."
"Kalau begitu," kataku menyoal," kenapa kau tidak bermain sama orang yang pintar saja?"
"Siapa yang pintar di sana?"
"Jadi tidak ada orang yang pintar di sana?" tanyaku cepat. Sebab setahuku ada dua orang jagoan bilyar yang sering main di sositet itu.
Dan pertanyaanku tidak dijawabnya secara langsung. Melainkan katanya, "Kalau aku main sendirian, aku bisa dapat angka seratus lebih satu kiu."
"Kalau begitu kau sudah jagoan. Jagoan tanpa lawan."
Dan kami tertawa gelak-gelak. Lalu aku dibawanya ke restoran. Kemudian aku tahu dari orang lain, bahwa di kalangan orang-orang terkemuka di kota kami, kepintaran seseorang tidak boleh terlalu menonjol. Siapa yang terlalu pintar, tidak disukai. Mereka hanya menjadi barang tontonan yang menyenangkan saja. Bukan jadi kawan.
Baginda Ratu juga bermain tenis. Dan klub yang dimasukinya, bukanlah tempat orang melatih diri supaya jadi jagoan. Melainkan klub orang tua-tua yang memelihara kesehatannya agar tetap utuh. Ya, tentu saja klub orang tua-tua golongan terkemuka pula.
"Enak bermain dengan mereka, "katanya memberi alasan pada pertanyaanku ketika suatu hari aku bertemu dengannya." Sebab saban hari main dapat bola baru."
"Di klub Fortuna juga orang selalu memakai bola terbaru," kataku.
Sebagaimana biasa ia tentu punya alasan yang tak terbantah ketepatannya. Ini aku tahu benar, setelah aku bergaul agak lama dengan dia.
"Bermain dengan mereka, kita sungguh-sungguh puas," katanya.
"Mana yang lebih puas jika bermain dengan orang yang pintar?" tanyaku.
Tentu sekali lagi ia akan berianya, siapa yang pintar bermain di kota kami. Dan aku menunggu jawabannya. Dan ia berkata, "Aku sudah coba bermain di mana-mana. Aku tidak bisa betul-betul puas. Orang tua-tua itu senang bermain dengan aku. Karena aku bisa memelihara bola selama sepuluh menit dalam satu skor. Kadang-kadang bola out pun aku ambil."
Sebelum aku selesai berpikir tentang bagaimana mungkin orang bisa senang dengan cara bermain seperti itu, ia melanjutkan lagi. Katanya, "Di klub itu aku dapat bermain dalam setiap partai. Sebab mereka itu semua ingin berpartner atau berlawan dengan aku."
"Kalau begitu terus menerus, tentu kau tidak bisa jadi juara," kataku.
"Buat apa jadi juara? Kalau sport, ya, sport. Sport bukan untuk mengalahkan orang. Sport bukan untuk cari nama atau uang. Men sana incorporo sano," katanya pula. Dan lalu ia tertawa terbahak-bahak. Ini sudah kuduga lebih dahulu. Sebab ia akan selalu tertawa terbahak-bahak bila ia merasa ucapannya tepat.
Ketika di kota kami hampir setiap orang pada tergila-gila bermain bridge, ia datang kepadaku untuk belajar.
"Oh, sama saja dengan main truf, ya?" katanya ketika aku mulai memberikan keterangan bagaimana caranya bermain bridge itu.
Tapi ketika aku memberikan teori bagaimana seharusnya mengajukan tawaran, ia mulai memperhatikan sungguh-sungguh dan mencatatnya dalam sehelai kertas. Namun demikian sukar juga ia memahami. Lalu ia minta saja aku membuatkan catatan untuknya. Tapi aku menyuruhnya saja membeli sebuah buku teori yang lengkap. Sepanjang yang kuketahui, ia tak pernah berhasil menempatkan dirinya menjadi teman atau lawan bermain yang disenangi.
"Susah sekali mendapat partner yang cocok," katanya ketika aku mencoba menanyainya tentang kenapa ia tak ikut perlombaan bridge baru-baru ini.
"Kalau demikian," kataku, "bermain caturlah yang paling tepat buatmu."
"Ya. Memang. Main catur aku paling gemar. Dulu, ketika zaman darurat, Mr. Siddik, staf kedutaan kita di Mesir sekarang, ia lawan mainku benar," katanya dengan wajah yang berseri-seri.
"Kalau begitu," kataku berbohong, "tentu kau akan datang hari Sabtu depan ke rumah Ir. Kumala Pontas, ya?"
Sebentar ia kulihat begitu gelisahnya. Tapi segera air mukanya berobah hingga melukiskan betapa keccwanya ia. "Ah, sayang sekali, liari itu benar aku sudah berjanji dengan Letnan Kolonel Sofyan, Kepala Staf. Tak dapat aku membatalkan janjiku. Sayang sekali."
Tapi selanjutnya aku tak pernah lagi mendengar mulutnya membicarakan kedua permainan itu. Bila pun sekali-sekali aku menyebutnya, ccpal-cepat dialihkannya pokok pembicaraan. Agaknya ia tidak berhasil menjadi pemain yang disenangi.
Sudah terlalu panjang aku menceritakan Baginda Ratu dari segi permainan. Seolah-olah hidupnya hanya dalam permainan belaka. Seolah-olah ia tak punya pekerjaan dan cita-cita. Tantang pekerjaannya dulu, tak banyak kuketahui. Selain dari sejumput omongannya yang keluar sepotong dani sepotong. Kalanya, di zaman Jepang ia baru mulai bekerja. Sebelumnya ia masih jadi anak sekolah. Dan kemudian di zaman siap-siapan ia menjadi pelatih calon opsir. Menurut katanya, kebanyakan dari komandan kompi yang berada di daerah kami adalah bekas muridnya. Tentu saja aku jadi kagum. Di samping itu aku tidak mengerti kenapa ia lepaskan jabatannya yang bagus itu. Pada hal di saat sekarang, opsir tentara selalu memegang pimpinan segala kegiatan. Lalu aku tanya dia, "Jadi pelatih apa?"
"Olah raga," jawabnya pendek.
Dan aku terperangah karena rasa kagumku terjatuh ke bawah kakiku. Tapi kemudian ia ceritakan betapa takutnya beberapa calon opsir itu kepadanya dulu. Dalam latihan tentunya. Ada yang sampai menangis kena pukulan ketika main boksen. Namun tak diterangkannya apa sebabnya ia berhenti jadi tukang ajar calon-calon opsir itu. Katanya kemudian ia jadi pemborong. Lalu jadi juru buku di suatu kantor dagang di ibu kota. Dan setelah kantor dagang itu bangkrut, ia kembali ke kota kami. Dan menganggur sebentar. Dua tahun terakhir ia bekerja di suatu lembaga pemerintah.
"Aku diminta dengan hormat untuk bekerja di situ," katanya menerangkan. "Karena aku punya pergaulan yang luas di kalangan orang-orang terkemuka. Dari itu tenagaku sangat dibutuhkan oleh Kepala Lembaga itu."
Semenjak ia bekerja di situlah aku mulai berkenalan dengan Baginda Ratu.
"Sebanyak itu kantor-kantor yang kumasuki, inilah yang paling cocok buatku. Enak bekerja di lembaga itu," katanya pula.
"Apa enaknya?" tanyaku ingin tahu.
"Kita banyak torne. Dan kita tak perlu duduk-duk di kantor sejak jam tujuh sampai jam dua. Kenapa kau tersenyum?" katanya kemudian ketika aku tersenyum mendengar alasan kesenangannya bekerja di lembaga itu.
"Kau di-pegepe-kan?" tanyaku main nakal-nakalan. Karena aku tahu, bahwa ia diklerekan oleh pegepe.
"Pcgepe tidak penting bagi orang seperti aku. Yang penting jabatanku. Sebenarnya, aku jadi penasehat pak Kepala. Kau mengerti saja, pak Kepala tak mengerti apa-apa dengan tugasnya. Maka itu kalau ada tamu-tamu dalang, akulah yang ke muka," katanya.
Tapi aku tahu hatinya mulai merasa tidak enak untuk melanjutkan omongan itu.
Pada suatu hari Minggu aku dimintanya datang ke rumahnya. Lembaganya bermaksud akan mengadakan sebuah pameran. Pada jam yang ditentukan aku sudah berada di halaman rumahnya. Ketika itu ia sedang tegak menunggu dengan pakaian yang sangat apik. Dasinya terjela di lehernya. Dan bamboosharskin di seluruh tubuhnya. Takjub juga aku oleh sambutan hangatnya itu. Apa lagi jika diingat bahwa kedatanganku hanya sekedar hendak membantunya merencanakan suatu pameran yang bakal diadakan.
"Ah, sayang sekali, bung," katanya ketika kakiku baru saja menginjak teras rumahnya. "Aku harus pergi."
Sekali lagi rasa takjubku jatuh kc kaki. Dan kini terpijak-pijak oleh kekesalan. Karena sudah begitu payah aku jalan kaki dari rumah yang hanya datang untuk membantu pekerjaan kantornya, tahunya aku mendapatinya akan pergi. Tapi aku orang Timur, yang menurut para ahli harus berbudi tinggi. Maka aku tanyalah sebagai basa-basi, hendak kemana ia pergi. Jawabnya, "Setengah jam yang lalu, aku ditilpun Mr. Zainul. Ia mengajakku pergi ke Batusangkar. Ada pesta turun mandi seorang bayi."
Dan bertambah terperangahlah aku mendengar betapa penting urusannya jika dibandingkan dengan menyusun rencana pameran itu. Tapi apa hendak dikata, jarak jalan yang kutempuh tidaklah sampai seperlima puluh jarak yang akan ditempuhnya ke Batusangkar itu. Dalam aku berpikir-pikir hendak berbuat apa lagi pada hari sepagi itu, sambil mene-nang-nenangkan deburan jantungku yang keras karena payah dan jengkel, datanglah anak-anaknya dari dalam rumah. Mereka bekejaran memperebutkan sebuah buku. Buku itu berjudul Jurnalistik dalam Teori dan Praktek.
"Dulu aku sangat ingin jadi wartawan," katanya ketika ia tahu aku lama memperhatikan buku yang di tangan anaknya itu. "Wartawan punya pergaulan luas di kalangan orang-orang terkemuka. Tapi wartawan masa sekarang, peranan tuak belaka. Patahlah hatiku hendak jadi wartawan itu."
Baru saja ia selesai berkata, berhentilah sebuah mobil Plymouth model 1955 di depan rumahnya. Baginda Ratu berlari-lari kecil mendekati seperti jongos dipanggil tuannya. Kepala Mr. Zainul yang telah ubanan tersembul keluar. Perempuan-perempuan dan anak-anak yang penuh sesak di atas Plymouth itu pada melihat kepada Baginda Ratu.
"Ah, sayang sekali, Baginda. Isteri dan anak-anakku jadi juga mau pergi ke Batusangkar. Lain kalilah, ya, kita pergi," kata Mr. Zainul ketika Baginda Ratu telah di dekatnya.
"Untung benar aku tak jadi pergi. Aku banyak pekerjaan sekarang. Kami akan membuat pameran penting. Hari ini rencananya akan disusun. Nah, selamat saja, pak Mister," kata Baginda Ratu. Lalu mereka tertawa-tawa sejenak. Starter berbunyi. Dan gas keluar dari knalpotnya di belakang seperti hendak mencibiri Baginda Ratu.
"Untung benar aku tak jadi pergi," katanya kepadaku. "Marilah kita kerjakan rencana itu. Eh, kau mau apa? Kopi susu atau kopi coklat?"
Lalu ia ke belakang rumahnya. Dan ketika ia keluar, di kepitannya terangkut sebuah tas kulit yang padat. Tapi baru saja kami mulai menyusun rencana pameran itu, kedengaran lagi bunyi klakson mobil di depan rumahnya, la seperti sudah kenal betul pada setiap bunyi klakson, lalu katanya, "Itu tentu Sekretaris Gubernur."
Dengan berlari-lari kecil seperti jongos dipanggil tuannya pula, ia buru-buru ke luar meninggalkan aku begitu saja. Tapi tak lama kemudian ia kembali lagi. Juga berlari-lari anjing. Dan aku tak diperdulikannya. Ia terus ke ruang belakang. Dan ia berkata pada isterinya, bahwa ia akan pergi bersama Sekretaris Gubernur. Ada urusan penting. Dan kepadaku ia katakan sambil lewat, "Kau saja yang mengerjakan rencana itu, ya?"
Tanpa menunggu apa kataku, ia terus berlari jongos dipanggil tuannya. Aku pun mengikutinya sampai di teras.
"Eh, kau ada teman, Baginda?" tanya Sekretaris itu ketika ia melihat aku.
"Ya, ia tinggal di rumah," jawab Baginda Ratu tanpa memandang kepadaku sampai ia memasuki mobil itu.
"Kami sebentar saja, bung," kata Sekretaris itu kepadaku. "Kami melihat kuda pacuku yang sakit. Sebentar saja. Barang sejam paling lama."
Dan starter berbunyi. Asap gas pun keluar dari knalpot di belakang. Kini asap itu yang mencibiriku, aku rasa. Semenjak itu aku tak perduli lagi dengan Baginda Ratu. Apa ia mau mengadakan pameran apa tidak, aku tidak perduli. Dan memang pameran itu belum juga jadi-jadinya hingga kini. Juga aku tidak perduli tentang cerita-cerita orang, kenapa ia lebih suka bermain tenis di klub orang tua-tua, kenapa ia suka ke sositet, kenapa selalu hadir pada setiap resepsi orang-orang terkemuka. Aku tak perduli.
Juga aku tak hendak perdulikan dia ketika aku ketemu dia pada suatu senja. Tapi aku orang Timur. Orang Timur menurut petuah ahli-ahli zaman sekarang, mesti baik budi. Dan aku tanya juga sambil lalu, "Ke mana?"
"Aku ambil kursus Inggris dan Buku Dagang A dan B sekaligus," katanya sambil menghadang jalanku.
Dan sebagai orang Timur yang harus baik hati terpaksa juga aku bertanya lagi, "Eh, apa di lembaga itu sudah mengurus urusan dagang?"
"Kau belum tahu, ya? Aku sudah diminta Prof. Syaaf untuk jadi sekretaris Universitas Andalas, tahu? Aku kira pekerjaan di situ bakal lebih enak. Sebab nanti aku bisa berkenalan dengan segala orang yang punya titel bila para mahasiswa itu tamat kuliahnya," katanya.
Dan aku tidak perduli apa bicaranya lagi. Juga tak perduli pada penghadangannya. Aku terus berjalan menuju arahku semula. Untuk meladeninya aku tak mau lagi. Meski aku berhenti jadi orang Timur yang harus baik hati karena itu.
4 Kisah Seorang Amir Di kampungku banyak benar orang yang bernama Amir. Entah apa sebabnya nama Amir itu sangat disukai orang pada suatu masa di kampungku itu. Mungkin karena terpesona pada cerita, bahwa setiap raja di negeri Arab disebut Amir. Atau mungkin juga karena nama Amir lebih indah dari pada nama Kundur, Godok, Binuak, Ulok atau Tonyok. Demikianlah pada suatu masa banyak benar orang yang bernama Amir di kampungku. Karena sangat banyaknya nama Amir itu, timbullah kesulitan lain. Sebab bila orang bicara tentang seorang Amir, orang tidak akan segera tahu, Amir mana yang dimaksudkan. Tapi kesulitan itu lekas pula diatasi.
Kebetulan pula di kampungku itu, setiap orang yang bernama Amir punya keistimewaan masing-masing, menyolok atau tidak. Keistimewaan masing-masing itulah yang dijadikan nama tambahan untuk membedakan seorang Amir dengan Amir yang lain. Jadi ada yang bernama Amir Mataloak, karena matanya besar, di samping ada Amir Sipit. Ada Amir Cina, karena wajahnya mirip Cina, di samping ada Amir Keling karena kulitnya hitam. Karena dua orang
Amir yang hitam kulitnya, maka yang seorang lagi dipanggil Amir Tambi. Ada Amir Balok, karena badannya seperti balok, di samping ada Amir Rangkik, karena badannya kecil akibat sakit-sakitan. Ada Amir Kate. Seorang Amir yang kate lain nya tapi berkulit kuning dipanggilkan dengan Amir Jepang. Ada Amir Panjang, meski yang sebenarnya orangnya tinggi. Mungkin karena di kampungku setiap orang sama tingginya dan sama pula rendahnya menurut ajaran dari pandangan hidup mereka, maka di samping tidak dipakaikan gelar tinggi, juga tidak dipakaikan gelar rendah. Untuk Amir yang rendah tubuhnya dipanggil dengan Amir Pendek. Di samping itu ada Amir guru, karena ia memang guru. Ada Amir Gadis, tapi tidak ada Amir Bujang. Yang Amir Gadis dikarenakan oleh tingkah lakunya keperempuanan, lama-lama yang paling sering disebutkan orang ialah nama tambahan itu. Misalnya si Loak, si Sipit, si Keling, si Tambi, si Cina, si Japang, si Kate, si Pendek, si Panjang, si Guru. Dan yang paling celaka ialah si Amir Gadis, dipanggilkan namanya si Gadis pada hal ia laki-laki dan sudah dua orang isterinya, dan lima orang anaknya.
Tapi yang akan kuceritakan sekarang ialah tentang seorang Amir, yang lain dari Amir-Amir yang banyak itu, Ia bukanlah orang kampungku. Ia pindah dari suatu kota dan menyewa rumah di salah satu jalan di kampungku. Ia seorang pegawai pemerintah. Tapi ia lebih suka disebut amtenar, seperti term masa
Belanda. Tubuhnya besar, matanya besar. Mulutnya besar dengan bibirnya laksana jeruk mawar yang terkelupas kulitnya. Perutnya pun besar dalam arti harfiah dan maknawiah, dalam kenyataan dan kiasan. Untuk orang kampungku memang ia dipandang sebagai orang besar. Bukan karena fisiknya, melainkan karena jabatannya yang amtenar.
Maka itu tidak adalah celanya apabila ia berkata di lepau kopi di simpang tiga kampungku, bahwa ia betul-betul dilahirkan sebagai orang istimewa.
"Aku memang dilahirkan sebagai orang istimewa. Ketika aku lahir, sudah ada tanda-tandanya, kata ibuku. Tapi baru nyata kelihatan keistimewaanku semenjak aku mulai dewasa. Sebab aku selalu menjadi pemimpin di dalam bentuk apa pun juga. Di kalangan orang inuda, sampai kini aku tidak segan-segan bertingkah seperti anak muda pula. Di kalangan orang tua-tua, meski aku masih muda, aku pun mempunyai bakat pengasuh, pelindung, pengadil yang bijaksana. Aku bisa main gambus, bisa main keroncong, bisa nyanyi, bisa menari. Minum tuak pun aku biasa. Sehingga sebotol dua botol tuak yang kuminum, taklah akan memahukkanku. Aku juga bisa mengaji. Ayat-ayat dan hadis-hadis banyak yang hafal di kepalaku, dan fasih pengucapannya. Menjadi khatib dan imam waktu sembahyang Jumat, itu telah ibarat minum rokok bagiku, karena biasanya. Aku sebenarnya segala tahu. Apa yang tuan-tuan ketahui, aku tahu semua. Tapi apa yang kuketahui, tuan-tuan tidak akan tahu kalau tidak aku beritahu. Dulu-dulunya aku pun pemain sepak bola juga. Malah aku pernah jadi kampiun main badminton di pasar malam. Karena aku segala tahu, tidak pun akan jadi amtenar, aku akan bisa juga hidup senang, memperoleh nafkah seperti sebanyak sekarang. Sekurang-kurangnya, aku beri pengajaran agama di mesjid-mesjid, berkeliling dari satu kota kc kota yang lain, akan kuperoleh juga nafkah yang lumayan. Tapi justeru karena aku segala tahu itulah sebabnya aku memilih jadi amtenar, tahu?"
Oleh karena ia terlalu sering mengatakan dirinya segala tahu itu, di mana saja asal ada kesempatan, maka orang kampungku menamakannya Amir Tahu.
Di kampungku ia lekas benar populer. Segala lapisan masyarakat digaulinya. Ketika ia mula datang, ditemuinya ninik mamak dan segala penghulu yang ada di kampungku, sebagai memperkenalkan dirinya. Dan kepada Penghulu Tua dari suku Caniago, Datuk Pcrpatih, dimintanya supaya ia dipandang sebagai anak-kemenakan orang suku Caniago pula. Sesuai dengan ajaran adat; Terbang menumpu, hinggap mencekam. Bagai burung yang berpindah dari satu dahan ke dahan yang lain.
Kepada yang muda-muda diperkenalkan dirinya dengan memasuki pergaulan lepau kopi di simpang liga itu, di mana orang-orang suka main domino, remi dan catur. Dan kepada orang tua-tua diperkenalkan dirinya dengan ikut berlama-lama di mesjid dari Magrib sampai Isya.
Orang kampungku menakar jabatan amtenar itu sangatlah tingginya. Maka itu ketika ia mula menetap di kampungku, berebutanlah berbagai macam perkumpulan kampungku mengajaknya agar ikut jadi pengurus, menjadi tiang perkumpulan. Ada perkumpulan kematian, ada perkumpulan simpan-pinjam, ada perkumpulan pencak silaL, ada perkumpulan randai, perkumpulan musik, sepak bola dan juga badminton. Karena untuk menjadi anggota biasa saja tidaklah dipandang pantas bagi seorang amtenar. Baik oleh Amir sendiri, apalagi oleh penduduk. Itulah sebabnya ia diajak jadi pengurus, meski sebelumnya ia belum lagi jadi anggota.
"Tuan-tuan," katanya pada setiap pengurus yang mengajaknya jadi anggota pengurus, "untuk menjadi salah seorang pengurus aku ini memang patut. Bahkan menjadi ketua pun aku lebih patut lagi. Akan tetapi mengingat jasa tuan-tuan, tentu saja aku tidak sepantasnya langsung menerima jabatan ketua itu, bukan? Aku memang seorang yang terbilang berpendidikan tinggi. Karena aku telah mengikuti berbagai kursus, seperti Inggeris, Belanda, Arab. Bahkan kursus dagang, ilmu ukur untuk jadi mantri opnemer. Karena itulah aku sudah sepatutnya menjadi
ketua saja, bukan? Akan tetapi karena aku amtenar, lebih baik aku jangan diminta jadi ketua, apalagi jadi anggota pengurus yang lebih rendah dari ketua. Mintalah aku menjadi penasihat saja. Minta secara resmi. Alamatkan suratnya ke kantorku. Soalnya, karena jabatan penasihat sangatlah penting. Bahkan lebih penting dari jabatan ketua. Oleh karena itu janganlah disepelekan." Demikianlah katanya atau kira-kira yang akan dikatakannya bila berbagai anggota pengurus suatu perkumpulan kampungku mengajaknya jadi pengurus.
Kemudian semua perkumpulan yang ada di kampungku, bahkan di luar kampungku juga, mencantumkan namanya menjadi penasihat. Itu pun setelah dimajukan permohonan secara resmi ke alamat kantornya dan dijawab pula dengan resmi kepada perkumpulan-perkumpulan tadi. Dan sebagai penasihat ia aktif sekali. Segala apa yang hendak dilakukan setiap perkumpulan kampungku, haruslah meminta nasihatnya lebih dahulu. Sebab kalau tidak, baik karena lupa atau karena menganggap tidak perlu sebab acaranya tidak penting, ia akan marah besar. Sepanjang hari ia akan bertura-tura dan membusuk-busukkan nama pengurus, kepada siapa saja dan di mana saja.
"Aku sebagai amtenar yang telah diminta dengan cara resmi jadi penasihat, berhak diberi tahu apa yang akan kalian lakukan. Meski pada soal-soal yang kecil sekalipun. Kalau aku katakan tidak baik, ya, tidak baik. Jangan lakukan. Tapi kalau aku katakan baik, ya baik, baru boleh dilakukan. Ingatlah aku ini amtenar," katanya dalam bertura-tura itu.
Maka karena terlalu sering pula ia menyebut dirinya penasihat itu, namanya pun disebut Amir Penasihat, setelah Amir Tahu. Karena kata penasihat terlalu panjang bagi lidah umum, maka disebutkan saja namanya dengan Amir Sihat.
Rumah yang didiaminya di kampungku, ialah rumah sewa yang terbaik. Sesuai dengan martabatnya sebagai amtenar. Akan tetapi kebutuhannya pada rumah itu tidaklah mutlak benar nampaknya. Barangkali ia hanya memerlukan sebuah kamar tidur saja dan sebuah kamar mandi. Sebab ia sendiri jarang ada di rumah. Pagi-pagi benar, jam enam kira-kira, ia telah keluar dari rumahnya. Mampir di lepau kopi simpang tiga sebelum pergi ke kantor. Kantornya tutup jam dua, tapi ia baru akan muncul di rumahnya apabila ia sudah ingin tidur.
Ketika ia mula dalang di kampungku, sebelum ia pergi kc kantornya, ia mampir dulu di lepau kopi simpang tiga untuk sarapan pagi. Pada mulanya semua orang ingin dan senang mentraktirnya. Dan setiap orang yang sempat mentraktirnya dengan segelas kopi, sepiring ketan serta goreng pisang, senantiasa akan merasa bahagia sekali. Sebab yang ditraktirnya bukan sembarang orang, melainkan seorang amtenar yang berkancing baju dari perak dan berinisial "W" pula, yaitu inisial dari nama Wilhelmina, ratu kerajaan Belanda. Tapi setelah lama kelamaan, setelah setiap orang telah pernah mentraktirnya ganti berganti, entah telah berapa kali masing-masingnya, rasa bahagia semua mulai berobah menjadi rasa tersiksa. Lalu orang mencoba dengan liciknya membayari saja apa yang lelah dimakannya, lalu pergi dengan diam-diam. Akan tetapi Amir kita ini lambai maklum rupanya. Dan ketika ia mulai maklum, maka ia menunjuk saja seseorang yang terdekat duduknya untuk membayarkan apa yang disarapannva. Cuma segelas kopi, sepiring ketan dan goreng pisang. Setelah orang tahu betapa perangainya, orang-orang datang ke lepau itu lebih pagi lagi dan cepat-cepat pergi sebelum Amir datang. Hanya sehari dua Amir kita terkecoh. Maka selanjutnya ia datang lebih pagi lagi. Tapi ketika semua orang sudah tahu, bahwa ia datang lebih pagi pula, maka orang-orang merobah waktunya. Mereka baru datang ke lepau setelah Amir
berangkat ke kantornya. Tapi tak mudah mengecoh seorang amtenar yang segala tahu itu. Karena demi ia tahu bahwa orang-orang baru muncul setelah ia berangkat ke kantor, maka ia akan meninggalkan pesan pada pemilik lepau, agar disampaikan kepada salah seorang untuk membayarkan sarapannya. Nampaknya ia tidak begitu perduli, apakah orang suka membayar atau tidak. Biasanya orang tenis juga membayarkannya, meski dengan sungut-sungut. Akan tetapi kemudiannya ia jarang ke lepau kopi itu waktu pagi-pagi. Jam enam lewat sedikit ia telah berangkat ke kantornya tanpa mampir lagi lebih dahulu. Dan orang menduga tentu ada orang-orang di lepau lain yang akan digetahinya. Sejak itu, lepau kopi simpang tiga itu telah hidup seperti biasa lagi.
Aku tidak tahu persis di mana Amir makan siang dan makan malam. Orang kantornya pulang jam dua. Tapi ia tiba di rumahnya bila matanya sudah mengantuk. Kalau ia sudah pulang jam empat, maka jam lima sore ia lelah pergi lagi. Pulangnya setelah larut malam, setelah kedai-kedai tutup. Paling cepat ia pulang apabila bioskop telah usai pertunjukan pertamanya.
Setelah lama kehidupan lepau kopi simpang tiga itu tertib dan teratur seperti sediakala sebelum Amir pindah ke kampungku, keadaan pun terguncang lagi. Amir kembali sering muncul lagi. Tapi waktunya tidak teratur. Ada kalanya pagi-pagi benar, setelah orang selesai sembahyang subuh di mesjid. Ada kalanya sedikit siang, yaitu sebelum waktu kantor. Ada kalanya ia muncul sore, atau lewat senja atau pada waktu lepau hampir tutup dekat lengah malam. Dan siapa saja yang ada waktu itu, terkena getahlah dia dengan semangkok kopi dan sepiring ketan sama goreng pisang. Dan kalau lepau kopi telah tutup, ia ikan beralih tempat ke pos ronda yang tidak begitu jauh letaknya.
Ia bukan sama sekali tidak disukai orang di kampungku. Ia pandai membuat lelucon hingga orang terpingkal-pingkal tertawa. Kalau ia bercerita, gerak-geraknya mengasyikkan. Melihat gerak-geriknya saja orang takkan mungkin tidak ikut memperlihatkan giginya. Cerita-ceritanya tidak pernah jorok atau merendahkan orang lain. Dan kadang-kadang ia menyuarakan sepotong nyanyian. Nyanyian yang sering didendangkan yaitu lagu Arab "Al-Afain". Memang suaranya syahdu. Tapi guraunya datang bila hatinya senang. Hatinya senang kalau perutnya sudah kenyang. Soal isi perut ia tak memilih. Asal bisa dimakan dan empuk, sudah cukup. Pada saat-saat yang menyenangkan itu, sesungguhnya orang tidak keberatan mentraktirnya.
Tapi kenikmatan yang paling besar baginya, ialah bila diundang orang kenduri, baik untuk suatu hajat atau pesta kawin. Di saat itu ia memperlihatkan benar betapa kapasitas perutnya. Ia selalu akan memilih tempat duduk di sebelah ujung, tempat orang yang dimuliakan didudukkan. Biasanya di bagian itu lauk pauk yang terlezat ditaruhkan. Misalnya kepala kambing, ikan besar atau singgang ayam. Jika tidak ada orang mempersilakannya duduk di sana, ia sendirilah yang berinisiatif. Tak malu-malu ia menyuruh orang bergeser ke tempat lain. Tentu saja dengan gayanya yang bergurau. Sehingga orang tak merasa tersinggung.
Dan kalau ia makan, seluruh piring lauk-pauk di hadapannya bisa licin isinya, selicin habis dijilat kucing. Kalau kebetulan lauk-pauk yang disukai habis, tak malu-malu pula ia minta lauk-pauk ditempat orang lain. Semuanya digayakannya dengan bergurau. Sehingga suasana menjadi meriah.
Akan tetapi apabila kenduri itu sangat sederhana hidangannya, sehingga ia takkan dapat melepaskan seleranya, diambilnya dua buah pisang, diremas-remasnya bersama nasi yang telah berkuah gulai, sampai melejit di sela-sela pangkal jarinya. Tentu saja ada orang yang kejijikan, hingga seleranya patah. Itulah vang dikehendakinya. Maka dapatlah ia makan enak dan memilih lauk-pauk vang disukainya.
Setelah orang tahu betapa besar kemampuan dan nafsu makannya, lalu orang sebutkanlah namanya jadi Amir lambung. Lambung artinya perut, seperti perut kapal yang dapat memuat segala macam dalam jumlah yang bukan main banyaknya.
Selain ia mendapat gelar Amir Tahu, Amir Sihat, Amir Lambung atau Amir macam-macam lainnya, ia pun pernah memperoleh gelar Amir Ula. Ula dalam bahasa kampungku artinya ular. Sebagai ular ia dapat membelit sesuatu sebelum dipatoknya. Tanpa menghilangkan arti ular, Amir Ula berasal dari kata ulama yang dihilangkan "ma"nya, karena ia beberapa kali membawakan profesi ulama.
Orang-orang di kampungku pada masa itu ialah orang baik-baik, alim-alim dan taat-taat beribadah. Mesjidnya meski tidak sebesar dan seindah mesjid di kampung lain, akan tetapi selalu ramai dikunjungi orang. Terutama pada sembahyang malam hari, seperti Magrib, Isya dan juga Subuh. Setiap sore hari Selasa, perempuan belajar memahirkan bacaan Quran. Dan setiap sore Kamis belajar ilmu agama, tentang etik, moral dan tentang yang halal dan yang haram, yang sunat dan yang makruh. yang wajib dan yang tidak. Guru-guru untuk pelajaran agama sering kali juga didatangkan dari kampung atau tempat lain yang jauh. Dan selagi guru-guru itu memberikan pelajaran, sebuah bekas kaleng sardencis diedarkan secara beranting.
Berdentang-berdenting bunyi uang dijatuhkan kc dalamnya. Uang itu, selain untuk sedekah untuk guru, juga untuk infak mesjid. Sedangkan orang laki-laki mendapat pelajaran pada waktu malamnya. Dan setiap hari sehabis sembahyang Asyar, anak-anaklah yang meramaikan mesjid itu. Mereka belajar membaca Quran.
Dan setiap penetap baru akan lekas dihormati dan disenangi orang apabila ia sering kelihatan bersembahyang di mesjid. Amir pun melakukannya untuk menarik simpati penduduk kampungku. Pada mulanya ia sangat rajin sembahyang berjemaah pada Magrib dan terus tinggal di mesjid sampai waktu Isya. Antara kedua waktu itu, ia bacalah Quran. Alangkah indahnya bacaannya dan merdu suaranya. Orang terpesona mendengarkannya. Sekali-sekali ia ikut menyerukan Azan. Semua telinga yang dapat disentuhnya menimbulkan gerinding pada pori mereka yang peka.
Itulah pangkal mulanya ia dipandang sebagai ulama juga. Beberapa kali ia telah menjadi imam sembahyang. Dan beberapa kali pula ia jadi imam pada waktu sembahyang Jumat. Akhirnya ia diminta jadi khatib. Sedangkan kaum perempuan memintanya pula memberikan pelajaran agama pada petang Kamis itu. Dan meski ia orang penetap di kampung kami, dan menjadi amtenar pula, kaum perempuan itu tidak hendak melupakan kewajiban mereka untuk mengedarkan kaleng sardencis secara beranting.
Karena terpikat oleh kajiannya, isi kaleng sardencis itu lebih banyak dari biasanya. Dalam memberi pelajaran, ia tidak saja mengutip ayat dan hadis dalam bahasa Arab dengan fasih, sering pula ia menyelipkan pepatah dan petitih, serta pantun-pantun. Mengutip pepatah dan petitih serta pantun dalam pengajian sangat jarang dilakukan orang. Namun ketika Amir mengutipnya, hati perempuan yang mendengarnya jadi sangat terpikat padanya. Hati perempuan terpikat itu, tidaklah disalahgunakannya. Ia tak hendak menduai isterinya, katanya, ketika pada suatu ketika ada orang yang meninjau hatinya untuk mengambil seorang janda atau gadis di kampungku.
Pada suatu kali, ia diminta orang lagi menjadi khatib Jumat. Sebagaimana biasa yang dikehendakinya, permintaan haruslah disampaikan secara resmi dengan surat dan dialamatkan ke kantornya. Pada Jumat yang ditentukan tiba, hampir saja ia lupa. Di mesjid orang sudah mulai gelisah menantinya. Seseorang telah pergi ke rumahnya menanyakannya. Di simpang ia telah dilihat-lihat kalau sudah muncul dari salah satu jalan. Pekerjaan itu seperti sia-sia saja. Sehingga pengurus mesjid segera saja mencari kata sepakat untuk memilih salah seorang dari yang hadir sebagai khatib. Karena tanpa khotbah, rukun sembahyang Jumat akan kurang.
Ketika kata mufakat sudah putus dan telah disampaikan ke alamatnya, dan orang yang diminta itu telah setuju pula, Amir pun muncul dengan suarabaritonnya mengucapkan salam di pintu mesjid.
Ia langsung kc mimbar yang terletak di mihrab. Sekali ini khatib di kampungku memang istimewa. Bukan karena ia seorang amtenar, melainkan karena khatib yang seorang ini memakai pakaian dinasnya yang berkancing perak dan berinisial lcttcr "W". Kopiahnya agak sempit kelihatan. Karena ketika akan naik mimbar salah satu kopiah orang yang hadir di situ dicomotnya saja, sebab menjadi sangat ganjil apabila khatib tidak memakai tutup kepala waktu membawakan khotbahnya.
Mula-mula tentu saja ia minta maaf kepada hadirin, karena ia terlambat datang dan tak sempat mengganti pakaiannya di rumah lebih dahulu. Kelambatannya karena ketika ia hendak pulang dari kantornya, ia dibawa Tuanku Demang untuk menghadap tuan Aspiran bersama-sama untuk membicarakan sesuatu masalah penting. Sehingga ia tak sempat mandi dulu dan dengan keringat di badannya ia sudah harus berdiri di mimbar.
Meski badannya berkeringat, khotbahnya lancar dan menarik, hingga tak seorang pun yang bosan mendengarkannya. Pada ujung khotbahnya pandai sekali ia membelokkan persoalan agar kaum muslimin yang hadir ingat pada kewajibannya atas kondisi mesjid mereka. Mula-mulanya ia memandang
ke loteng agak lama. Orang menyangka mulanya,bahwa ia telah kehilangan bahan khotbah. Tapi tidak demikian halnya. Ketika segenap mata ikut memandang loteng itu, tangannya menunjuk seraya berkata, "Itu.'' Dan segenap mata beralih ke arah sasaran di loteng.
"Itu," katanya seraya menunjuk ke arah yang lain.
Dan semua mala mengikuti arah telunjuk Amir menunjuk.
"Itu." kata Amir pula mengalih telunjuknya.
Semua mala pun mengikuti arah telunjuk itu lagi.
Amir menunjuk ke berbagai arah di loteng, di dinding dan di tiang-tiang penyangga. Karena gayanya yang meyakinkan, memaksa seluruh mala menoleh ke arah yang ditunjuknya.
"Semuanya sudah rusak, bobrok, wahai kaum muslimin yang beriman," katanya setelah ia menunjuk-nunjuk itu. "Akan kita biarkan sajakah rumah Tuhan ini tetap rusak, tetap bobrok? Tidak, tidak boleh kita biarkan. Marilah kita perbaiki bersama-sama. Marilah kita buang daki dunia lebih banyak dari biasanya. Agar Tuhan tidak memurkai kita. Agar Tuhan tidak memasukkan kita kc neraka jahanam, wahai kaum muslimin yang beriman. Kita telah dibcri-Nya rahmat. Rahmat itu bila tidak kita gunakan untuk jalan Allah, ia akan menjadi daki dunia, akan menjadi laknat. laknatullah. Agar setiap orang dapat memberikannya dengan secara ikhlas, aku akan berdiri di pintu mesjid ini sehabis sembahyang menanti keikhlasan kaum muslimin. Dan
Jumat itu adalah Jumat yang paling bersejarah di kampungku. Sejarah yang paling tidak menyenangkan, meski pun hasil infak mesjid mencapai rekor yang belum pernah terjadi. Dan hari itu, hari dimulainya suatu pengkajian dan pergunjingan tentang tingkah laku yang serba buruk dilakukan Amir. Sembahyangnya dan kecakapannya tentang ilmu agama itu hanya digunakannya untuk mengelabui mata orang banyak. Untuk popularitasnya saja. Lalu orang mengkajinya lebih mendalam. Bahwa ia datang ke rumahnya untuk tidur saja. Kemanakah ia pada waktu-waktu sembahyangnya. Karena ia tidak pernah hadir di mesid pada sembahyang Lohor dan Asyar. Bahkan pada waktu Magrib serta Isya pun ia jarang kelihatan, selain pada waktu ia mula-mula datang dulu.
"Coba pikir," kata seseorang, "pada hari Jumat itu ia datang langsung dari kantornya. Setelah menanggalkan sepatunya, ia langsung berkhotbah. Habis berkhotbah langsung bersembahyang. Dan siapa yang melihatnya mengambil wuduk dulu. Berkhotbah dan bersembahyang tanpa wuduk tidak syah, bukan?"
"Jelas kesediaannya mengajar mengaji agama selama ini, bukan karena Allah. Melainkan karena sedekah," kata yang lain pula.
"Di lepau si Liput tak pernah ia membayar apa yang ia makan," yang lain lagi menambahkan.
"Pada hal ia amtenar. Tentu gajinya besar, lapi kemana saja uangnya?"
"Kalau begitu, ia bukan ulama. Melainkan ula," kata seorang yang lain lagi.
"Amir Ula dia kalau begitu. Tukang belit," seseorang membuat kesimpulan.
Sejak itu ia kehilangan simpati secara total di kampungku. Bila ia datang ke tempat orang sedang berkumpul-kumpul, dengan diam-diam orang pun membubarkan diri. Seorang demi seorang berlalu. Kalau ia ketemu seseorang dan akan diajaknya beromong-omong, mendadak saja orang itu mengatakan bahwa ia ingat pada urusannya yang penting. Itu terjadi di mana saja, di jalan, di lepau kopi simpang tiga, di tempat orang main badminton. Lama sekali baru ia mengerti mengapa orang menghindar darinya. Dan ketika ia sadar bahwa ia telah dikucilkan orang kampungku, ia pun angkat kaki ke kampung lain di kota kami.
Di kampung itu ia membuat sejarah yang sama. Tapi orang kampung itu membalasnya dengan sempurna kontan.
Kejadian itu pada bulan puasa, la menampilkan dirinya sebagai imam sembahyang tarawih. Dipilihnya ayat-ayat yang panjang dengan irama yang indah-indah. Di mesjid itu orang membiasakan sembahyang tarawih termasuk witirnya hanyalah sebelas rakaat. Tapi ia melakukannya dua puluh dua rakaat.
Entah karena kekenyangan di waktu berbuka puasa atau karena tablig yang cukup panjang juga hari itu disampaikan buya Haji Makmur, di antara jemaah ada yang tak mampu lagi menahan kantuknya selagi Amir membacakan ayat-ayat sembahyang. Ada orang yang tak mampu melawan kantuknya lagi, persis di saat sedang rukuk. Sehingga badannya terdoyong ke depan menubruk orang di depannya. Orang yang kena tubruk itu pun tak dapat mengendalikan dirinya pula. Ia menubruk orang yang di depannya lagi. Orang yang kena tubruk itu sudah terlalu tua. Sehingga ia terjerembab ketika hendak berdiri sehabis rukuk. Orang pun riuh karena ada yang tak mampu menahan ketawanya. Namun sembahyang diteruskan juga.
"Atagafirullah, sampai begitu? Tak tahu aku. Betul-betul tak tahu. Begitu khusuknya aku sembahyang,!" kata Amir setelah mendengar apa yang terjadi waktu sembahyang yang diimaminya.
Dan beberapa malam kemudian, ia tampil lagi hendak mengimami sembahyang tarawih. Semua orang, terutama yang tua-tua, sudah gelisah. Takut kalau-kalau tarawih akan kacau balau lagi. Dan ia akan melakukan rakaat sampai dua puluh dua kali lagi, hal yang tidak dilakukan jemaah di mesjid itu. Pengurus mesjid serta merta memperingatinya agar memilih ayat yang pendek-pendek saja dan tarawihnya hanya sebelas rakaat sudah cukup seperti yang dilazimkan.
Amir memang memilih ayat yang pendek-pendek saja. Akan tetapi rakaat ketujuh, ia memilih ayat yang meski pun cukup pendek, tapi jarang dibaca orang. Sehingga ia salah mengucapkannya. Kesalahannya segera dibetulkan oleh salah seorang ulama dengan mengulanginya dengan suara yang keras. Pada rakaat kesepuluh Amir melakukan kesalahan yang sama pada ayat vang lain. Sehingga terpaksa jemaah itu mengulanginya sekali lagi.
Dan setelah selesai rakaat ke sebelas, ulama itu lalu mengucapkan salam dengan suara lebih keras sebagai penutup sembahyang. Namun Amir yang jadi imam, nampaknya hendak mencukupkan tarawihnya sampai dua puluh dua rakaat. Tapi ulama yang telah dua kali mengkoreksi bacaan Amir, tidak hendak meneruskan sembahyangnya. Ia berdiri juga, tapi untuk pergi. Melihat ulama itu pergi, maka jemaah lain, jadi kebingungan. Karena peristiwa itu baru pertama kali terjadi. Namun kepergian ulama tua itu, yang biasa juga menjadi imam di mesjid itu, membawa pengaruh juga. Mulailah ada orang yang meneruskan. Mungkin karena berpendirian, lebih banyak rakaat dipakai, lebih baik. Meski yang mereka biasakan hanya sebelas rakaat saja tarawihnya.
Ketika rakaat keempat belas, Amir terus rukuk setelah mambaca alfatihah, dan tidak membaca ayat lainnya, orang pun mulai sadar, bahwa imam mereka sudah sesat. Tapi tak ada orang yang hendak memperbaiki kesesatan itu. Lalu keluarlah seorang demi seorang dari mesjid itu. Maka tinggallah imam
yang sesat itu seorang diri meneruskan tarawihnya sampai dua puluh dua rakaat. Dan ketika ia selesai memandang ke kiri dan ke kanan sambil mengucapkan salam, barulah ia sadar, bahwa mesjid telah kosong. Yang tinggal hanya dia seorang dan para jemaah wanita, karena rasa segannya.
Di luar mesjid, orang tua yang pertama-tama meninggalkan mesjid itu berkata pada orang-orang yang merubunginya. "Tidak wajib bagi umat Islam mengikuti imam yang sesat," katanya, "Apalagi setelah diperbaiki, masih juga sesat."
Beberapa orang pergi berlindung di tempat vang gelap untuk mengetahui apa yang dilakukan oleh imam yang ditinggalkan jemaahnya itu, setelah ia tahu tak seorang pun lagi yang mengikutinya.
Tak seorang pun yang tahu, apa yang dikatakan dan dilakukan Amir ketika tahu bahwa pengikutnya telah meninggalkannya. Apakah ia berteriak-teriak, "Wahai pengikutku, kemana kalian?" seperti yang diteriakkan raja Richard III yang ditinggalkan kuda setelah terjatuh pada satu peperangan yang menentukan. Tidak seorang pun yang tahu.
5 Pak Menteri Mau Datang "Pak Menteri mau datang. Pak Menteri mau datang. Pak Menteri mau datang."
Entah sudah berapa ribu kali kalimat itu diucapkan oleh para pegawai jawatan itu semenjak tiga minggu yang lalu. Yaitu semenjak telegram yang mengabarkan kedatangan menteri tiba. Sekurangnya sepuluh kali sehari, mestilah telah terloncat dari setiap mulut seorang pegawai. Tentu saja harus begitu. Sebab kedatangan menteri, merupakan peristiwa penting dalam sejarah dunia kepegawaian di provinsi-provinsi. Meski kedatangan itu tidak akan tercatat dalam buku sejarah anak sekolah.
Setiap orang talhu, bahwa menteri itu seorang makhluk yang punya darah dan daging seperti manusia biasa saja, seperti dirinya sendiri atau seperti Mak Uyun, si jaga kantor yang selalu merasa demam kalau tidak kena hardik sekali dalam sehari. Namun orang pun tahu juga, bahwa pada darah dan daging seorang menteri mengalir semacam mukjizat sekeramat lampu Aladin. Malah lebih istimewa
lagi dari lampu Aladin, seorang menteri juga punya semacam zat yang dapat melamurkan seseorang dari jabatannya yang tinggi, seperti kerjanya zat cair yang dapat melamurkan logam. Terutama oleh Kalikulah, yang baru saja diangkat jadi Kepala Jawatan itu; sangatlah diinsyafinya betapa artinya kedatangan Menteri itu.
Ketika telegram itu sampai ke tangan Kalikulah, tanpa tunggu apa-apa, keluarlah perintahnya untuk mengadakan rapat Kepala Bagian di jawatannya.
"Pak Menteri mau datang. Apa usul Saudara-saudara?" tanyanya memulai rapat tanpa basa basi dan kata pengantar.
Kepala Bagian itu semua terdiam saja. Karena mereka belum mengerti tujuan rapat itu. Dan mereka saling memandang dengan sudut mata.
"Lekaslah Saudara. Lekaslah. Sebulan lagi Tak Menteri sudah ada di sini," desak Kalikulah yang sudah kehilangan kesabaran. Seorang Kepala Bagian yang tertua, Pak Pono, mengarungkan telunjuknya seperti murid sekolah yang ditanyai guru ketika membuat ulah, pelan-pelan dan kemalu-maluan.
"Ya? Apa usul saudara?"
"Supaya. .. supaya. . kata Pak Pono tertegun-tegun.
"Cepatlah. Cepatlah. Waktu sebulan, bukan waktu yang panjang," desak Kalikulah bertambah tak sabar.
"Oleh karena Pak Menteri kita ini, baru pertama kali datang ke sini, sedangkan Menteri sebelumnya belum. . ."
"Usul. Usul. Usul. Aku perlu usul," Kalikulah memotong dengan ucapan yang kian lama kian ccpat. "Apa usul Saudara untuk menyambut kedatangan Pak Menteri?"
"Usul saya supaya Pak Menteri. . ia tertegun lagi. "Usul saya supaya beliau, Pak Menteri kita itu, sebelum ia eh, beliau, sebelum beliau datang kemari lebih baik, ya, maksudku yang sebenarnya ialah .. ."
"Itu usul atau pidato?" sela Kalikulah tambah tak sabar, karena merasa seolah Menteri sudah tiba saja di ambang pintu kantornya.
"Ya ini usul." "Penting apa tidak?"
"Ya. Penting, kalau dikatakan penting. Tapi kalau dikatakan tidak penting. . . ya. . . anu.. ."
"Sudah. Sudah. Sudah. Aku perlu hanya usul yang penting. Yang kuperlukan sekarang, yaitu usul bagaimana seharusnya kita menyambut kedatangan Menteri kita," kata Kalikulah, memotong lagi. Ia bicara begilu cepatnya, hingga Tan Tejo, si Kepala Kantor yang bertindak jadi sekretaris rapat dan duduk
di ladapan Kalikulah, terpaksa menutup mulut dan hidungnya untuk membendung percikan air ludah dari mulut Kalikulah.
"Ooo, begitu?" kata lain-lain Kepala Bagian hampir serentak. Rupanya mereka baru mengerti maksud rapat itu diadakan.
Maka berpancaranlah usul demi usul. Dan segala usul disaring dan disaring lagi. Jadilah suatu rencana. Untuk itu habislah waktu sehari penuh. Tapi pada hari esoknya rencana itu dirobah lagi. Karena semalam-malam harinya setelah ia berbicara dengan isterinya, ditemukan rencana baru yang lebih hebat. Rupa-rupanya setiap Kepala Bagian punya rencana baru yang mentereng pula. Dan dalam tiga hari berapat terus menerus, barulah rencana itu selesai sama sekali. Karena begitu besar dan hebatnya, maka Kalikulah memerintahkan supaya mulai saat itu segala urusan dinas kantor dibekukan. Segala tenaga dan pikiran harus dikerahkan untuk menyelenggarakan segala rencana penyambutan. Seluruh pegawai harus kerja siang dan malam. Melembur. Dan jika perlu di kantor disediakan makan.
"Ini seperti rencana penyambutan raja saja, l'ak Kalik," kata salah seorang Kepala Bagian yang termuda usianya.
"Apa salahnya?" cctus Kalikulah heran.
"Eh. Negeri kita ini suatu Republik yang demokratis. Bukan kerajaan."
"Juist. Justeru karena itulah. Karena kita tidak punya raja, Pak Menteri kita muliakan sebagai raja. Dan penyambutan ini bukan perintah Pak Menteri, melainkan kehendak kita yang jadi rakyat. Jadi samalah dengan kehendak 'rakyat. Apa itu tidak demokratis?" sanggah Kalikulah.
Dan Kepala Bagian yang muda itu terdiam. Sebab sekaranglah ia baru tahu, bahwa di Negara Republik yang demokratis, seorang Menteri harus dipandang sebagai raja. Sedangkan selama ini, seorang Menteri hanya dianggapnya sebagai pemimpin dari beberapa jawatan saja.
Semenjak selesai urusan rapat-rapat, Pak Pono yang selama ini jadi kebencian gadis-gadis juru tik karena selalu suka mencari kesalahan tik, tak lagi sececah pun pantatnya lekat di kursinya. Ia selalu mondar mandir sambil memijit keningnya yang kerinyutan. Sedang pada hari-hari sebelumnya ia hanya terbenam pada kursinya saja dan di atas mejanya bertimbun segala macam surat. Tapi kini mejanya sudah penuh oleh debu dan kertas bertebaran. Dan kerjanya selalu mondar mandir, mondar dan mandir. Seperti orang yang tak tahu lagi
apa yang harus dikerjakannya. Mukanya yang pucat, kini sudah jadi kelabu. Namun meski bagaimana pun keadaannya, taklah berani ia beristirahat di rumahnya. Sebab Kalikulah setiap waktu menanyakannya. Kadang-kadang juga ia dibawa melihat-lihat persiapan di tempat-tempat lain. Malah sampai ke luar kota, dan pulangnya baru larut tengah malam.
Pada hal satu-satunya orang yang benar-benar sibuk, selain Kalikulah, ialah Kepala Bagian Keuangan dan Perlengkapan. Tak hentinya ia kedatangan tamu. Semuanya adalah anggota Panitia Penyambutan, yang datang meminta segala macam ini dan itu bagi kepentingan seksinya. Sungguhpun demikian berat kerjanya, disambilkannya juga membeli segala macam tetek bengek berbagai keperluan dan bahan penyambutan Pak Menteri itu. Umpamanya, sejak dari kertas-kertas berwarna sampai kepada bambu untuk gaba-gaba. Sejak dari lem, paku, kain bendera dan spanduk sampai kepada membeli nasi ramas ke kedai. Itu dilakukannya sendiri. Dan karena tergesa-gesa selalu, oleh karena kesempitan waktu, segala blangko kuitansi tak sempat diisi. Hanya disuruh tanda tangani saja kepada pemilik toko. Lengkap dengan stempelnya. Beruntung isterinya dapat membantu mengisikan kuitansi itu dalam empat rangkap di rumahnya.
Kesibukan itu bukan sekedar di kantor saja terjadinya. Malahan ada pengaruhnya ke seluruh kota. Ibu-ibu di rumah ikut bertambah kerjanya. Sebab setiap anaknya yang masih bersekolah mesti punya pakaian seragam putih. Anak-anak sekolah dengan pakaian serba putihnya akan disuruh berbanjar di sepanjang jalan di kala menteri datang nanti. Kelas-kelas sekolah kini mulai kosong semua. Karena semua murid sekolah menengah berlatih aubade dan tarian massal setiap hari di tanah lapang sepak bola. Untuk itu, setiap harinya dengan berbaris mereka berangkat dari sekolah masin-masing ke tanah lapang. Sehingga hampir pada setiap simpang dirasa perlu dijaga oleh polisi untuk mengatur lalu lintas. Dan polisi itu perlu pula diberi uang makan. Tak kurang dari seribu murid berlatih aubade dan dua ribu pula yang melakukan tarian massal. Tarian massal itu dua macam pula jenisnya. Ada yang Timur dan ada yang Barat. Yang dikatakan tarian Timur ialah semacam tari payung dan tari selendang. Dan yang Barat semacam senam dengan alat golong-golong dan tongkat. Murid-murid yang ikut menari tarian Timur itu, yang laki-laki akan memakai pakaian teluk belanga sedang yang perempuan memakai baju kurung. Bahan kainnya disediakan oleh Jawatan. Yang menjahitnya ibu-ibu mereka.
Sumpit Nyai Loreng 2 Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka Kedele Maut 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama