Ceritasilat Novel Online

Hujan Panas Dan Kabut 2

Hujan Panas Dan Kabut Musim Karya A.a. Navis Bagian 2


Pakaian itu akan jadi inventaris, yang sewaktu-waktu bila ada Menteri lain berkunjung, akan digunakan kembali. Dan kepada seratus orang gadis sekolah menengah yang cantik diwajibkan meminjam pakaian kebesaran nenek moyang zaman purbakala. Untuk mencarinya ke mana-mana, mereka dibenarkan tidak masuk sekolah. Dengan mengenakan pakaian nenek moyang purbakala itu mereka akan dibariskan menyambut kedatangan Pak Menteri.
Seminggu lagi menjelang kedatangan Pak Menteri, seluruh program telah tersusun rapi. Menyusun program itu tidaklah semudah membuat program sandiwara atau pun program rapat raksasa yang akan dihadiri anak sekolah dan pegawai negeri. Sebab segala sesuatunya harus tersusun, bukan saja rapi, tapi harus tepai pula. Misalnya jam berapa pesawat terbang mendarat. Berapa menit Pak Menteri istirahat di airport. Berapa menit perjalanan mobil yang melalui jalan protokol dari airport itu sampai ke penginapan. Bahkan juga sudah dihitung waktu yang dihabiskan jika Pak Menteri berjalan kaki dari satu tempat ke tempat yang lain yang bakal ditinjaunya. Dan jalannya Pak Menteri bukanlah jalannya para atlit di kala pawai dalam suatu upacara di stadion, melainkan seperti jalannya seorang penganten baru pergi keija. Pendeknya, ke tempat mana pun akan dikunjungi Pak Menteri, bukan
jauh jaraknya yang dikirakan, melainkan berapa lama jarak itu ditempuh. Untuk mengukurnya, Kalikulah sendiri yang pergi. Di tangannya tergenggam sebuah stopwatch. Sedangkan Pak Pono yang selalu membayangi kc mana Kalikulah pergi, mencatati pada buku kecil.
Dan telegram sudah pula dikirimkan ke Ke-menterian. Menanyakan jam berapa biasanya Pak Menteri bangun pagi, jam berapa tidur siang dan tidur malamnya. Jam berapa waktu makannya, baik pagi, siang atau malamnya. Dan makanan itu apa pula macamnya bila pagi, bila tengah hari dan bila malam. Bahkan makanan apa yang paling disukai sebagai cuci mulut. Juga sampai ditanyakan pula, apakah Pak Menteri suka duren dan jengkol, karena waktu itu kedua buah-buahan itu lagi musimnya. Dan jawabannya sudah diterima.
Tambah dekat waktunya Pak Menteri tiba, tambah berdebarlah segala hati. Dan tambah sibuklah setiap orang. Tambah seringlah marah tersembul dari mulut Kalikulah. Dan muka Pak Pono yang sudah kelabu, kini sudah mulai hijau. Matanya sudah cekung. Dan tangannya sudah semakin sering memijit jangat di pangkal hidungnya. Sedang nafasnya sudah segan keluar masuk secara teratur.
Bukan Pak Pono saja yang keletihan. Seluruh
pegawai di Jawatan Kalikulah sudah dihinggapi wabahnya. Kebanyakan mereka itu baru jam sembilan datang ke kantor. Itu sudah termasuk lekas. Namun ilu tidak lagi menjadi soal benar oleh Pak Pono, yang biasanya begitu teliti terhadap kehadiran para pegawainya setiap hari. Sebab ia sendiri dalang sudah selalu pula terlambat. Ketika datang itu, matanya merah bukan karena marah, tapi karena baru bangun tidur. Sebab setiap malam ia baru pulang pada jam dua dari menghadiri latihan sandiwara, yang sesungguhnya tak perlu dihadirinya. Tapi Kalikulah selalu mengajaknya pergi bersama. Dan para pegawai itu, bila sudah ada di kantor, lebih menyukai duduk bergerombolan, omong-omong tentang segenap pemandangan yang menarik mata muda mereka selama diadakan berbagai latihan-latihan itu. Bekerja untuk keperluan kantor yang rutin, praktisnya mereka tidak lagi. Dan kalau datang Pak Pono ke kelompok pegawai itu bergerombol, bercerai berailah mereka semua, seperti lebah yang sarangnya kena tampar elang. Pada hal sebenarnya mereka hanya memindahkan tempat mengobrol ke tempat yang lebih aman.
Dalam suasana seperti itulah. Pak Ayub datang dari suatu dusun yang terpencil. Ia dalang hendak mengurus supletoir gajinya yang sudah setahun lebih
belum juga selesai. Setiap bulan ia sudah menyurati jawatannya minta diuruskan. Namun bagaimana pun ia menunggu, tak sebetik berita balasan diterimanya. Lalu kini ia sendirilah yang datang.
Mula-mula ia cari Pak Pono. Tapi Pak Pono semenjak kemarin tidak masuk, demikian keterangan pegawai kantor itu kepadanya.
"Bagaimana dia? Sakit?" tanya pak Ayub.
"Tak tahu." "Kapan ia masuk?"
"Tak tahu." "Mengapa tak tahu?"
"Pak Menteri mau datang."
"Jadi kalau Pak Menteri mau datang, semua orang tak perlu kerja lagi? Kenapa?" Pak Ayub bertanya heran karena tidak melihat seorang pegawai pun bekerja menurut pengetahuannya.
"Itu bukan urusanku. Itu urusan Pak Menteri," kata pegawai itu seraya meninggalkan Pak Ayub yang belum lagi puas dan pulih perasaannya dari keheranan dan tak mengerti itu.
Kemudian ia pergi ke kamar Kepala Bagian Keuangan dan Perlengkapan. Kepala Bagian ilu sedang dihadapi oleh beberapa orang yang sedang bermata merah dan bermuka merah. Ia sedang menggores angka-angka di atas kertas. Dalam menggores itu ia mengomel juga.
"Ini sudah melampaui anggaran. Ini sudah terlalu/' katanya.
"Terlalu? Melampaui anggaran?" sela salah seorang tamunya.
"Ya. Masa sampai tiga ribu rupiah."
"Jangan banyak bicaralah. Kalau mau bayar, bayar. Kami sudah mau menolong kalian. Yang datang bukan Menteri kami. Tapi Menteri kalian," kata tamu itu tambah meradang.
Kepala Bagian Keuangan itu memandang jengkel kepada tamunya. Mata jengkel bertemu dengan mata merah tamunya. Tapi Kepala Bagian Keuangan itu badannya kerempeng, maka kepalanya cepat tertekur, seperti seekor anjing kurus melihat buldog yang galak.
"Berapa saudara minta sekarang?"
"Semua." "Semua?" "Ya. Semua." "Aku dapat perintah, hanya separoh anggaran boleh dibayar."
"Aku tidak perduli dengan perintah itu. Aku perlu semua. Aku sudah bosan dengan semua komedi kampungan kalian. Setiap aku datang kemari minta uang, saudara bilang sama Pak Kalik. Aku minta sama Pak Kalik, dia bilang sama saudara. Aku tidak mau jadi bola lagi Kalau hari ini aku tidak terima uang itu semua, yah, selamat tinggal. Takkan kuteruskan pekerjaan Panitia ini lagi."
Kepala Bagian Keuangan itu jadi kalang kabut pikirannya. Sebentar ia termangu. Lalu katanya kepada semua tamunya tanpa kehilangan keangkuhannya; "Saudara juga perlu uang sekarang?"
"Kalau tidak untuk itu, mengapa kami kemari?" jawab tamu-tamu itu dengan hampir serentak dan tidak kalah angkuhnya pula.
"Berapa?" "Tentu saja semua. Di sini bukan pasar, bung. Tak ada tawar menawar. Mau kasi, kasi."
Kepala Bagian Keuangan itu merasa jalan darahnya terhenti. Belum pernah ia berhadapan dengan pembangkangan seperti itu selama ia menjadi Kepala Bagian Keuangan. Pikirannya terkacau balau. Ia tahu, bahwa tamunya sudah pada marah. Tapi kalau permintaan mereka diluluskan, keuanganlah yang jadi kacau balau. Lama ia mempertimbangkan antara kacau pikiran dengan kacau keuangan. Kalau sampai keuangan kacau, muka Kalikulah yang penuh bekas jerawatan itu akan menjadi hitam. la tak mau dibentaki sepnya itu. Tapi kalau diminta pertimbangan Kalikulah, ia sudah tahu apa yang dikatakan Kalikulah, "Bijaksana, saudara. Bijaksana."
Dan dalam pada ia merenung itu, matanya teralih pada Pak. Ayub yang sedang berdiri di ambang pintu. Pak Ayub memandang sayu kepadanya. Sebentar pandangan mereka bersabung, lalu Pak Ayub bicara.
"Aku Ayub. Datang dari dusun yang jauh. Aku datang ke sini minta keterangan tentang supletoir gaji yang sudah setahun tak berketentuan."
"Itu bukan urusanku," kata Kepala Bagian Keuangan yang merasa dirinya terkecoh oleh pandangan sayu Pak Ayub, yang mulanya disangkanya solider kepadanya.
Tapi ucapan itu sebagai bentakan sampai ke telinga Pak Ayub. Ia dari tadi sudah mulai marah juga. Lagi pula ia sudah meraba sudah tua untuk menerima bentakan. Lalu katanya, "Aku jangan dibentak, Sutan. Aku datang ke mari bukan untuk dibentak. Aku datang meminta hakku."
"Tak ada waktu. Pak Menteri mau datang," kata Kepala Bagian Keuangan itu lebih mengeraskan suaranya. Dan cepat ia berkata kepada tamunya dengan suara lembut yang di hejan-hejan, "Bikinlah tanda terima sementara."
"Berapa?" "Tidak lebih dari tujuh puluh lima prosen dari anggaran yang dimajukan dulu."
"Oh, tidak bisa. Aku mau semua," kata tamu yang sedari tadi telah bersuara besar.
Tapi yang lain telah mengeluarkan notes kecilnya. Mereka menulis tanda terima sementara sebanyak yang telah ditetapkan. Lalu memberikannya kepada Kepala Bagian Keuangan. Tamu yang ribut-ribut tadi pun ikut-ikut menulis. Kepala Bagian Keuangan itu membaca isi kertas secarik itu. Lalu disesuaikannya dengan angka-angka pada daftar yang tersedia di hadapannya. Lalu dibukanya laci mejanya. Dikeluarkannya seikat uang kertas. Kemudian dihitungnya sampai sejumlah tertentu. Dipisahkannya uang yang tinggal. Yang di tangannya dihitungnya lagi. Sampai dua kali ia menghitung, sebelum diserahkannya kepada yang berhak.
Melihat itu Pak Ayub tidak mau ketinggalan. Dia tulis pula tanda terima sementara. Tidak banyak jumlahnya. Cuma dua ratus dua puluh setengah rupiah. Dan diberikannya. Lalu menghitung uangnya dua kali. Kemudian diberikannya kepada Pak Ayub sambil matanya melihat pada daftar anggaran yang di depannya. Tapi ketika Pak Ayub hendak mengambil uang itu, tiba-tiba Kepala Bagian Keuangan itu menarik uang itu kembali seraya berkata, "Uang untuk apa ini?"
"Tapi supletoir gajiku," kata Pak Ayub tercengang setelah kegembiraannya mulai hilang.
'Tak ada urusan supletoir sekarang. Pak Menteri mau datang," kata Kepala Bagian Keuangan itu sambil memasukkan uang itu ke laci mejanya. Lalu laci itu dikunci. Dan tanpa pamit ia berlalu pergi dengan gesitnya.
Dan Pak Ayub, orang tua yang sudah berdinas kepada negara lebih dari tiga puluh tahun serta karena usianya, ia sudah menjadi orang yang penyabar dan penerima segala apa yang ditimpakan ke atas perutnya oleh orang yang lebih muda, meski orang muda itu seusia anaknya, tapi sudah sepanjang itu umurnya dan dinasnya, justeru di masa kedatangan seorang menteri dari negara yang berkedaulatan rakyat ia baru merasakan perlakuan yang sedemikian rupa. Sudah setahun lebih urusan supletoirnya terbenam-benam. Sudah setiap bulan ia menyurati jawatannya, dan sekarang ia sendiri yang datang. Namun dampratan vang diterimanya. Begitu tajam tusukan itu pada perasaannya, melampaui kesanggupannva memelihara kesabaran.
"Terlalu. Sangat keterlaluan," kata hatinya.
Tapi ia sama sekali tidak bisa mengerti dan tak terikuti oleh otaknya, bahwa revolusi kemerdekaan telah menghasilkan suatu tata kehidupan baru. Bahwa seorang menteri yang baru berdinas kurang dari setahun, datang meninjau daerah selama tiga hari saja,
dan akan menelan biaya lebih lima ratus kali dari supletoir yang ditunggu-tunggunya lebih dari setahun, adalah sangat begitu penting dibandingkan dari melayani hak-hak seorang pegawai yang telah berdinas tiga puluh tahun lebih, yang urusannya takkan memakan waktu sepuluh menit. Yang dipahami Pak Ayub hanyalah keperluannya seorang. Bahwa sebulan lagi anaknya yang perempuan, yang paling bungsu, akan kawin. Seekor kambing perlu dipotong. Dan untuk seluruh biaya perkawinan itu, ia memerlukan supletoir gajinya yang sudah setahun terbenam terus.
Lupa ia betapa kesibukan orang-orang di jawatan itu, yang telah parau suaranya mengucapkan kalimat, "Pak Menteri mau datang." Lupa ia betapa muka-muka sudah pada bengis, pucat, kelabu bahkan hitam karena kelelahan. Tak tahu ia bahwa semua mata sudah merah, karena kurang tidur dan perasaan yang tersinggung. Yang itu semuanya hanya oleh sebab kedatangan telegram kira-kira sebulan yang lalu. Juga tidak tahu ia, bahwa seluruh kota pun sibuk. Seluruh ibu-ibu sudah pedih matanya menjahitkan pakaian anak-anaknya yang ikut aubade dan ikut tarian Ti mur dan Barat secara massal untuk menyambut kedatangan Pak Menteri. Bahkan ia tidak tahu bahwa
puluhan murid sekolah yang klenger karena dipanggang terik matahari ketika latihan aubade atau tarian Timur dan Baiat itu.
"Aku perlu uang. Uang itu harus kuterima sebelum aku pulang besok. Kalau keperluan seorang menteri dapat dikeluarkan sekian ribu rupiah dalam sekejap mata, tentu aku sepantasnya menerima hak-hakku yang sudah setahun lebih kuurus," kata Pak Ayub mengomel sendirian.
Sesungguhnya sudah tiga hari Pak Ayub menunggui kantor jawatannya. Dan hanya kepada Kalikulah dan Pak Pono saja lagi ia menggantungkan harapannya. Tapi Kalikulah tidak pernah dapat ditemuinya, karena ia banyak pekerjaan di luar. Dan kalau ia datang agak sekejap di kantornya, Pak Ayub pulalah yang terpica karena ia perlu membasahi kerongkongannya di lepau kecil di belakang kantor itu. Sedangkan Pak Pono sudah jatuh sakit rupanya.
Bertambah lama ia di kantor itu, tambah tak mengerti ia pada segala apa yang dilihatnya. Karena ia hanya melihat dengan kaca mata dusunnya, dan pengalaman dinasnya sejak masa penjajahan, bahwa semua orang yang sibuk hanyalah bicara tentang omong kosong belaka. Omong kosong tentang pesta
besar yang bakal diselenggarakan. Dan bahkan omong kosong tentang gulai dan ikan pada nasi ramas yang akan mereka makan tengah hari itu. Tak seorang pun yang bekerja, mengerjakan pekerjaan dinas mereka. Namun demikian, semuanya mengatakan sedang lagi sibuk. Sekurang-kurangnya sibuk pada air muka mereka bila di dekat salah seorang Kepala Bagian.
Ketika Kalikulah datang juga bertepatan dengan hadirnya Pak Ayub di kantor itu, cahaya harapan menyorotlah dalam pancaran mata tuanya orang tua itu. la yakin benar, bahwa apa yang dikehendakinya pasti akan mendapat perlakuan semestinya. Seekor kambing jantan akan disembelih juga di bulan depan. Dan anak gadisnya yang bungsu bekal punya junjungan. Sebab Kalikulah sudah pasti mau menolongnya. Bukan saja karena uang yang diperlukan cuma seperlima ratus biaya penyambutan Pak Menteri, juga karena di zaman revolusi dulu, Kalikulah mengungsi di rumahnya selama lebih dari enam bulan. Tanpa ragu-ragu ditemuinya Kalikulah di kamar kerjanya. Tapi rupanya Kalikulah sedang berunding dengan beberapa orang. Merundingkan masalah penting. Karena seluruh Kepala Bagian pada hadir.
Kalikulah mengedarkan pandangannya waktu hendak memulai rundingan. Lalu matanya tertumbuk
pada Pak Ayub. Pak Ayub mau bicara. Tapi terlambat, karena suara Kalikulah lebih cepat keluar menanyakan Pak Pono.
"Sakit," jawab seseorang.
"Sakit? Omong kosong saja itu. Panggil dia segera. Waktu kita sudah sangat sempit," kata Kalikulah pula.
"Tapi dia di rumah sakit."
"Ya. Panggil juga. Biar ia di neraka sekali pun, panggil."
"Panggil?" tanya yang memberi keterangan itu keheranan.
"Ya. Panggil. Segera," kata Kalikulah pula.
"Apa Bapak tidak tahu, Pak Pono sudah dua hari di rawat di rumah sakit?"
"Astaga. Jadi dia betul-betul sakit? Ah, sayang sekali ia tak dapat menunda sakitnya agak beberapa hari lagi," katanya tanpa memerlukan jawaban. Kemudian katanya dengan tiba-tiba, "Saudara, sebenarnya soal kita sekarang sudah beres. Besok dan lusa akan diadakan latihan besar. Semua acara disatukan. Tapi semua guru-guru ngomel dengan mengatakan bahwa murid-murid mereka tak dihargai. Mulanya guru-guru itu cuma minta bon-bon saja untuk murid-murid mereka pada waktu latihan. Tapi tadi ini, mereka minta sebotol lemon
untuk setiap murid pada latihan besar dan pada acara. Aku tidak keberatan asal keuangan mengizinkan, kataku. Mereka tidak mau diberi janji lagi. Maka saudara Binu harus.menyelesaikannya."
"Tapi, Pak, anggaran untuk konsumsi sudah habis," kata Kepala Bagian Keuangan.
"Masa? Sepuluh ribu rupiah sudah habis saja. Padahal Pak Menteri belum lagi datang," kata Kalikulah keheranan.
Ketika catatan pengeluaran diberikan oleh Binu, Kepala Bagian Keuangan, mata Kalikulah terbelalak melihat angka-angka yang tertera di dalamnya. Tak dapat ia mempercayai pandangannya, bahwa uang sepuluh ribu tinggal sedikit lagi sisanya, sedangkan Pak Menteri belum lagi berangkat dan Jakarta.
"Ini tidak patut. Ini tidak patut. Masa untuk membeli nasi ramas pegawai saja sudah menelan biaya lebih dari dua ribu rupiah. Mereka kan terima uang lembur nanti. Namun nasi ramas mereka sungkahi juga sesuka hati. Ini betul-betul tidak patut. Saudara Binu harus mempertanggungjawabkannya. Dan lemon untuk murid-murid itu? Oh, tobat, tobat. Gila. Sungguh gila. Berapa harga lemon sebotol?"
'Tiga puluh sen sebotoJ kalau beli banyak. Tiga ribu murid, masing-masingnya tiga botol, itu berarti duaribu tujuh ratus rupiah," kata Kepala Bagian Keuangan itu seraya mencoret-coret pada sehelai kertas.
"Gila. Sungguh gila. Menteri saja belum berangkat dari Jakarta, tapi biaya konsumsi sudah habis. Mana lagi biaya makan Pak Menteri dan rombongan selama di sini, belum lagi biaya konsumsi untuk resepsi. Sungguh gila. Suruh saja anak-anak itu minum air sungai. Ya Allah, ya Tuhan. Jatuhkan sajalah kabinet ini. Biar Pak Menteri tak jadi datang," kala Kalikulah menyumpah-nyumpah.
"Dulu sudah juga aku bilang. Menteri kita, Menteri dari suatu Negara Republik yang demokratis, bukan feodal," kata Kepala Bagian yang termuda menyela sumpali serapah Kalikulah.
Kata-kata itu bagai mengejek menurut pendengaran Kalikulah. Dan tak pantas diucapkan oleh seorang bawahan, lalu katanya de ngan kasar, "Ini rapat dinas, Saudara. Tidak ada oposisi, tahu?"
Tapi Kepala Bagian yang muda itu tak mau kalah, la berkata lagi, "Ini bukan masalah nposisi atau politik, Pak. Ini masalah betapa Ironinya kehidupan politik itu sendiri. Mente-tl itu saban dilantik, saban datang ke daerah. Pulang dari daerah setelah bikin janji-janji, kabinet bubar. Lantik lagi yang baru. Meninjau lagi. Bikin janji lagi. Kemudian selelah kembali ke Jakarta, lalu kabinet bubar. Dan rakyat, hanya kenyang oleh janji."
"Saudara. Sebagai pegawai negeri Saudara tidak pantas mengeluarkan kata-kata yang tak senonoh itu. Saudara bukan anggota parlemen," Kalikulah berkata dengan nada yang tajam. Tapi ia lupa bahwa ia sendiri baru saja menduakan agar kabinet jatuh. Tapi ketika ia ingat, cepat-cepat ia berkata, "Saudara. Kita boleh kesal, kita boleh tidak setuju dengan ironinya kehidupan politik negeri ini. Tapi ingatlah, bahwa kita sedang mengadakan rapat keija dinas. Bukan rapat politik. Oleh karena itu, cerita tentang kabinet mau jatuh atau mau bangun, kita hentikan saja sampai sekian."
Namun Kepala Bagian yang muda itu tak hendak berhenti berbicara, "bulu. kalau Menteri datang kita sambut dengan sederhana saja, seadanva saja, tanpa menghilangkan rasa hormat kita kepadanya. Tapi kini, semenjak akan diadakan pemilihan umum, menteri-menteri itu datang disambut besar-besaran, seperti kedatangannya itu berfungsi sebagai kampanye pemilihan umum."
"Stop. Stop. Saudara dari partai apa? Dari partai oposisi, ya? Tak senang sama menteri ini, ya? " tukas Kalikulah seperti mengancam.
Dan Pak Ayub yang sedari tegak di pintu tambah tak mengerti pada apa yang terjadi. Yang ia mengerti
cuma satu. Bagaimana ia bisa terima uang supletoirnya. Ia sudah terlalu lama di kota itu. Sebulan lagi anaknya bakal kawin. Seekor kambing jantan perlu dipotong. Dan tepat di saat orang terdiam, seperti yang dipikirkannya, Pak Ayub maju mendekati Kalikulah. Kalikulah jadi heran memandang kepadanya. Menurut setahunya, orang tua itu bukanlah salah seorang anggota panitia penyambutan Pak Menteri. Tapi wajah yang lesu itu, serasa pernah dikenalnya. Tak asing baginya. Tapi siapa? Payah ia mengingat. Dan akhirnya dibuangkannya saja usaha untuk mengingat orang tua itu. Tapi kemudian terpikir olehnya, jangan-jangan orang tua itu disuruh salah seorang Kepala Jawatan untuk urusan panitia.
"Ya? " tanyanya dengan bahasa yang manis menegur Pak Ayub.
Pak Ayub merasa dapat hati. Lalu berentetanlah segala keluhan dan segala maksudnya datang ke kantor itu. "Sebulan lagi anakku yang perempuan akan kawin. Seekor kambing jantan perlu dipotong. Maklumlah anak perempuanku itu anakku yang paling bungsu. Kalau supletoirku tidak keluar sekarang, celakalah aku."
"Biarlah celaka. Sekarang tidak ada urusan kawin. Pak Menteri mau datang," bentak Kalikulah
melampiaskan kejengkelan karena merasa terkecoh telah begitu lama mendengarkan persoalan tetek bengek seorang pegawai rendah.
Tapi Pak Ayub tak hendak mundur setapak pun lagi. Tekadnya sudah tunggal. Dan mesti ia pertahankan. Kalau ia tak hendak celaka dari nasib bcrperawan tua. la tegangkan urat lehernya, la lemparkan jauh-jauh kejengkelan hatinya. Dan ia tutup lobang telinganya dari segala macam makian yang bakal diterimanya. Ia mendesak Kalikulah. Dan mendesak terus. Dan ketika Pak Ayub akhirnya berkata: bahwa uang supletoir yang dua ratus rupiah itu tak ada artinya dibandingkan biaya penyambutan Pak Menteri, maka Kalikulah mendapat peluang. Segala yang tersendat dalam lehernya selama ini meletuslah seperti letusan gunung berapi, "Karena tidak ada artinya itulah kamu boleh pergi."
"Bagaimana aku bisa pulang ke Palangkai tanpa membawa uang yang jadi hakku? " kata Pak Ayub yang sengaja menyebut dusun tempat tinggalnya, supaya Kalikulah ingat padanya.
"Kalau tidak bisa, ya, pulang saja ke neraka," kata Kalikulah.
Pak Ayub jadi gugup. Keseimbangannya jadi buyar. Sebelum selesai ia memulihkan dirinya, Kalikulah telah berkata lagi. Tapi bukan masalah Pak
Ayub Kutanya, "Bagaimana, saudara-saudara? Tiga ribu rupiah untuk membeli air yang tak sampai satu kubik itu, itu memang terlalu. Anggaran tidak cukup. Sedangkan yang telah disediakan, sudah hampir habis. Pada hal Pak Menteri belum lagi berangkat dari rumahnya."
Kalikulah lalu mengedari pandangannya ke segenap orang-orang yang hadir. Satu demi satu ditatapnya. Tapi setiap ia menangkap mata masing-masing mereka itu, mata mereka pada lari melalui jendela yang terbuka. Hanya Binu, Kepala Bagian Keuangan, yang tertekur dalam kepalanya. Lama Kalikulah menatapnya. Namun kepala Binu tak terangkat juga. Akhirnya mata Kalikulah tertumbuk kepada mata Pak Ayub lagi. Dan lehernya kembali membengkak. Pada matanya bergayutan iblis yang meradang. Dan seperti pekikan orang digigit kalajengking, Kalikulah berteriak, "Keluar kamu. Nanti aku pecat."
Muka Pak Ayub yang memerah karena begitu lama mengumpulkan segala keberaniannya, memucat dengan tiba-tiba. Dirasakannya kakinya berpijak di tanah yang longsor. Rasanya ia mau terbang. Dibangkitkannya lagi keberaniannya. Ia mau bicara. Tapi ketika mulutnya mau bergerak, didengarnya lagi bentakan Kalikulah yang mengusirnya pergi. Rupanya
keberanian orang tua itu tinggal pada angan-angannya saja. Kini semuanya jadi gelap. Sempoyongan ia kc luar. Dan di luar pintu ia terduduk pada kursi. Lemas seperti balon bocor.
Tapi di dalam kamar kerja Kalikulah muncullah sinar benderang. Sinar itu datangnya dari otak Kepala Bagian Keuangan. Katanya, lemon itu tak usah saja dibagi-bagikan pada murid-murid. Karena itu hanya akan memperkaya kantong pengusaha asing saja. Lebih baik uang itu diberikan untuk isi kas POMG sekolah masing-masing. Semua guru diperkirakan akan setuju.
"Kalau guru-guru itu tidak setuju?" tanya Kalikulah pula."
"Kita ambil saja lemon itu. Pembayarannya kemudian."
"Uangnya dari mana?" "Asal saja Pak Menteri merasa puas dan senang dengan penyambutan kita, biasanya segala urusan keuangan akan beres. Sering terjadi begitu. Namun mengurusnya memang agak lama juga. Mesti diurus langsung ke Jakarta."
Kalau Kalikulah sudah dapat diyakinkan sepenuhnya , itu berarti segala daun jendela sudah terbuka, segala daun pintu terkembang. Dan hati yang
sempit tadinya, kini mengambang seperti balon yang telah terisi penuh gas. Tapi balon Pak Ayub sudah pecah. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana meniup balon itu Pagi. Tapi Tuhan tidak hendak campur, karena makhluk itu telah ditempatkan ke dunia dengan segala fasilitas dan peralatan hidup. Sehingga setiap manusia dapat hidup sesuka hati. Tak tergugat oleh siapa pun. Hanya hati manusia itu sendirilah yang akan dapat menggugatnya, sepanjang mereka mau.
Dan memanglah orang-orang yang sedang berada dalam kamar kerja Kalikulah sedang tak mau tahu dengan apa yang terjadi di luar. Mereka sedang berwajah yang berseri dengan tawa rianya. Dunia mereka sedang melapang, hingga mereka dapat berpesta sendiri tanpa rintangan. Tapi keriaan itu terganggu juga. Sedang mereka berpesta dengan keriaan itu, berbunyilah telepon. Cepat Kalikulah mengangkat gagangnya ke telinga. Keriangannya terhenti sebentar. Ya, hanya sebentar. Dan ketika gagang telepon itu diletakkannya, sisa-sisa keriangannya masih kelihatan mengambang di wajahnya.
"Saudara-saudara," katanya dengan suara yang diharukan. "Saudara Pono telah mati sebentar ini. Di rumah sakit."
"Mati?" tanya hati setiap orang dengan perasaan
terkejut. Dan suasana dalam kamar itu mendadak jadi sunyi seketika. Kesunyian itu memecah ketika Kalikulah berkata dengan sayu, "Sayang benar saudara Pono keburu mati. Kalau ia sempat menunggu Pak Menteri datang, alangkah baiknya. Pak Menteri tentu akan menaikkan pangkatnya. Sayang sekali."
"Ya, sayang sekali," kata yang lain menimpali.
"Tapi, ya, untung juga," kata Kalikulah melanjutkan. "Eh, maksudku, jika Pak Menteri kita beritahu tentang kematian Saudara Pono ini nanti, akibat payah bekerja guna mempersiapkan penyambutan Pak Menteri, tentu Pak Menteri akan sangat terharu. Tentu Pak Menteri juga akan menyangka, kita ini pun telah bekerja sangat berat untuk memuliakan kunjungannya. Tentu Pak Menteri akan lebih memperhatikan keadaan kita. Tentu Pak Menteri akan menyuruh Biro Kepegawaian mempercepat penyelesaian kenaikan pangkat kita semua. Tentu Pak Menteri akan lebih memperhatikan tambahan anggaran buat daerah kita. Ya, kalau tidak sampai demikian Pak Menteri berpikir, percuma sajalah kita payah-payah seperti ini. Percuma saja Saudara Pono mati. Ya, sebenarnya percuma saja Pak Menteri itu dipanggilkan Yang Mulia kalau hatinya tak sampai mulia memperhatikan keadaan
kita yang telah sekian lama terkatung-katung kenaikan pangkat kita. Sudah hampir setahun usulan kenaikan pangkat kita dikirimkan ke pusat."
"Ya, sayang benar Pak Pono keburu mati," sela salah seorang.
"Tapi, kalau dipikir-pikirkan benar, yang payah bukan hanya kita saja. Pegawai-pegawai kita pun payah," kata Kepala Bagian yang lain.
Cepat Kalikulah menimpali, "Aku sudah pikirkan juga tentang mereka. Pangkat mereka tentu saja tidak bisa dinaikkan, kalau karena alasan kedatangan Pak Menteri. Tapi aku pikir, mungkin kita beri mereka hadiah yang pantas. Bagaimana Binu? Dapat saudara carikan anggarannya?"
"Sebenarnya ada beberapa anggaran yang tersedia. Karena Gubernur telah ikut menanggulanginya," kata Binu dengan gayanya yang menunjukkan keulungannya.
"Anggaran yang mana itu?" tanya seseorang.
"Itu belum pasti benar. Tapi mungkin anggaran keamanan, transportasi dan akomodasi juga. Dan itu belum pasti benar," kata Binu pula.
"Asal jangan yang mahal, tokh," sela Kalikulah. Lalu ia ingat isterinya. Isterinya tak kurang payahnya akibat kedatangan Pak Menteri. Hampir setiap malam ia ikut menyaksikan latihan kesenian, kalau Kalikulah menyaksikannya. Hanya pada waktu rapat-rapat saja isterinya tidak hadir. Akan tetapi tak urung,
ia akan terbangun tengah malam untuk membuka pintu bila Kalikulah pulang. Isterinya sudah lama merindukan sepasang perhiasan bermata berlian. Dengan gajinya tak mungkin bisa dibeli. Hanya dengan acara-acara seperti inilah mungkin disisakan uang untuk pembelinya.
Sekejap ia ingat juga pada Pak Ayub. Rasanya wajah orang tua itu perilah dikenalnya. Tapi kemudian, ia pikir pula bahwa tak mungkin ia begitu ingat tentang siapa pegawainya yang memang banyak itu, maka pikirannya kepada Pak Ayub segera saja ia lemparkan. Namun tentang masalah yang dikemukakan Pak Ayub tentang supletoir gajinya yang telah setahun lebih masih terbenam urusannya, dan dengan uang supletoir itu ia akan membiayai pernikahan anak gadisnya yang bungsu, dan uang supletoir itu tidak sebanyak harga perhiasan berlian yang diperlukan isterinya, tidaklah menjadi pikiran oleh Kalikulah. Karena memang masalah itu tak pernah singgah dalam ingatannya.
Dan ketika orang-orang yang berapat di kamar kerja Kalikulah keluar untuk menjenguk Pak Pono di rumah sakit, tak seorang pun yang memperdulikan Pak Ayub. Ketika tadi ia siuman dari kehilangan kesadarannya, ia tak dapat mengingat akan urusannya ke kantor itu. Yang ia ingat cuma, ia begitu letihnya, lapar dan tak berdaya. Orang-orang itu melewati Pak Ayub begitu saja. Tak seorang pun yang melihat kepadanya, selain Kalikulah yang tertegun juga
sejenak. Dan Pak Ayub yang dapat juga menangkap tatapan mata Kalikulah itu, tak melihatnya sebagai suatu peristiwa.
Lama setelah orang-orang itu pergi, Pak Ayub tnasih di kursi itu. la sangat merasa lelah, lesu, juga haus dan lapar. Tapi tak kepada seorang pun ia mempunyai keberanian untuk minta tolong mencarikan segelas kopi. Ia takut meminta-minta lagi. Bukan takut tidak dipenuhi, melainkan takut bila dikasari lagi. Sedang meminta yang menjadi haknya, ia sudah dimaki, apa lagi meminta tolong yang berbentuk belas kasihan. Dan ia membiarkan dirinya hampa. Tak mengharapkan apa-apa, walau hanya sedikit perdulian. Orang-orang itu, bahkan hampir semua pegawai telah pergi ke rumah sakit, namun Pak Ayub tertinggal seorang diri dalam ruang kantor yang megah itu. Ruang kantor itu tidak memberikan saran apa pun lagi kepadanya. Padahal, selama ini, segalanya yang datang dari kantor itu banyak sekali menentukan dalam sikap dan pola hidupnya.
Dan ketika orang-orang itu mulai datang kembali dengan suara yang hiruk pikuk mengatakan, "Pak Menteri tak jadi datang. Kabinet terancam jatuh."
Pak Ayub masih juga tak berdaya di kursi itu. Begitu lesunya dia. Loyo.
Bagian Kedua 1. Orde Lama 2. Pelamar 3. Efendi 4. Orang Baik yang Malang
5. Sepasang Jas dari Menteri
1 Orde Lama Syahdan...... Di kala fajar dengan sinarnya mulai rnen gambang di puncak bukit sebelah timur danau, bunyi canang pun kedengaran bertaiu-talu menembus telinga penduduk meski yang tinggal jauh di pinggang bukit. Canang pemberitahuan lari Kepala Desa.
"Bukan canang gotong-royong. Sebab kini hari Jumat," pikir Lemarn selagi menyiangi ladang cabainya.
Semenjak desa sekitar danau itu dibebaskan dari pasukan PRRI, hampir setiap hari penduduk dikerahkan bergotong-royong. Kalau tidak memperbaiki jalan, tentu menebas pohon pisang di sekitar perkampungan, karena pohon pisang dapat dijadikan perlindungan oleh pasukan PRRl jika menyerang desa. Kalau tidak membersihkan halaman kantor kenamaan, tentulah membuat pagar bambu di sepanjang jalan desa agar pasukan PPRl tidak leluasa menerobos ke dalam desa. Hanya pada setiap hari Jumat gotong-royong ditiadakan. Kamu waktu pada hari itu demikian pendek menjelang sembahyang Jumat.
Oleh karena itu Leman merasa lega juga. Meski ada canang ditabuh, pastilah tidak akan mengganggu rencananya hari itu. Karena ia bermaksud pergi ke Kecamatan untuk minta surat izin menikahkan Ramalah, anak gadisnya yang sulung. Tanpa surat izin Kantor Urusan Agama Kecamatan, tidak seorang kadhi pun dapat menikahkan Ramalah. Sedangkan pernikahan itu harus segera dilaksanakan. Kalau tidak, akan sangat terlambat jadinya. Laki-laki yang bakal jadi suami Ramalah akan mempunyai kesempatan untuk berhelah lagi. Itu tidak boleh terjadi. Kalau sampai terjadi, wah, wah, wah, Leman tak mampu memikirkannya panjang-panjang.
Ramalah telah hamil tiga bulan. Sedang laki-laki itu menolak menikahinya. Dalihnya, Ramalah tidak perawan sebelum dengan dia. Tapi Ramalah berkeras, bahwa laki-laki itulah satu-satunya yang telah menidurinya. Namun setelah dibujuk-bujuk dan dijanjikan akan dibelikan sebuah sepeda, barulah laki-laki ini bersedia menikahi Ramalah. Sungguh pun begitu, masih ada syarat laki-laki itu lagi. la hanya mau menikahi saja, tapi ia takkan pulang untuk serumah.
"Baiklah. Pokoknya Ramalah pernah menikah, meski kemudian ia akan menjanda seumur hidupnya.
Soalnya, anak yang dalam perut Ramalah perlu mempunyai ayah yang syah," Leman menegas dalam hatinya ketika laki-laki itu mengajukan syarat tambahan itu. Keputusan itu baru diperoleh tadi malam. Dan kalau hari itu pernikahan tidak sampai berlangsung, mungkin laki laki itu akan mungkir lagi.
Di kala matahari telah muncul di puncak bukit, Leman sudah menapaki jalan raya ke Kecamatan. Di lepau simpang desa, ia diteriaki orang agar jangan ke Kccamatan hari itu, karena akan ada razia. Tapi Leman tidak perduli. Ia tak takut kena razia. Sebab ia telah punya surat keterangan yang cukup.
Jalan raya demikian sepi. Tidak seperti biasanya hari Jumat yang jadi hari pasar di desa Kapur. Tapi itu tidak menjadi pikiran Leman. Pikirannya terpusat pada masalah pernikahan Ramalah. Kata ulama yang jadi ikutan Leman, yang berkewajiban menikahkan anak perempuan ialah bapaknya sendui. Kadhi cuma jadi saksi saja. Kalau sesederhana itu cara pernikahan menurut agamanya, sebetulnya ia tidak perlu ke Kantor Urusan Agama untuk memperoleh izin. Seandainya pemerintah memerlukan pencatatan, itu bisa dilakukan kemudian saja. Tapi pernikahan demikian tidak menurut aturan. Maka kini tiba-tiba saja Leman merasakan, bahwa aturan dibuat
hanyalah untuk menyulitkan urusan.
Sulit atau tidak, ia mesti ke Kantor Urusan Agama hari itu juga. Dan oleh tekadnya itu, sebuah rencana besar yang akan menjadi kebanggaan nasional hampir saja berantakan. Karena........
Presiden telah memerintahkan, pada Hari Proklamasi yang akan datang ini, Negara Republik Indonesia harus dinyatakan sebagai negara yang bebas buta huruf. Karena itu perlu diadakan razia guna mengetahui apakah bangsa Indonesia telah betul-betul bebas buta huruf selelah sekian lama dilakukan kampanye pemberantasannya. Untuk propinsi kami, gubernur telah memerintahkan agar razia dilakukan di Kapur, desa asal-usulnya. Sebagai suatu simbolik. Karena sebagai putera utama negara, gubernur harus memperlihatkan pada Presiden, bahwa desa asal-usulnya telah melaksanakan perintah presiden dengan baiknya. Dan gubernur sendiri akan datang bersama panitia untuk mengawasi razia itu.
"Jangan bikin malu aku," pesan gubernur pada bupati beberapa hari yang lalu.
Dan bupati meneruskan pesan itu kepada camat, "Jangan sampai aku dimarahi gubernur."
Dan camat memerintahkan kepada kepala desa
di sekitar danau itu, "Kalau masih kedapatan yang buta huruf, kepala desanya akan kumasukkan dalam tahanan."
Dan kepala desa memerintahkan pada o-rang ronda," Bunyikan canang. Suruh semua orang yang buta huruf masuk hutan."
Tapi Leman hanya mendengar bunyi canang. Tidak mendengar suara ronda yang berseru. Maka tiba-tiba saja Leman dicegat di ambang desa Kapur oleh petugas yang melakukan razia. la dibawa ke hadapan papan-tulis yang disandarkan pada sandaran kursi di tepi jalan raya. Semua mata orang yang berkerumun memandang kepadanya.
"Baca," perintah seorang petugas sambil menunjuk dengan sepotong rotan pada huruf putih di papan-tulis itu.
"Ya, Allah bencana apa yang akan menimpa Ramalah?" teriaknya dalam hati sambil melirik-lirik kiri-kanan mencari celah tempat lari.
Setelah berulang-ulang petugas itu memerintah sampai membentak, tak ada juga celah bagi tempat lari Leman. Hanya sekujur tubuhnya basah oleh keringat karena selain kepayahan jalan kaki dari rumahnya juga karena uii menahan rasa kecut.
Lidahnya menjadi kelu. Bukan hanya karena kecut oleh bentakan itu, melainkan juga karena memangnya
ia tidak bisa membaca huruf yang ditunjuk oleh petugas itu. Selintas ia ingat Tuhan dan ia ingin berdoa semoga ia diberi mukjizat. Tapi ia tidak tahu doa apa yang harus dibacanya ketika itu.
Kulit wajah gubernur yang kehitam-hitaman menjadi kelabu karena naik pitam ketika Leman digiring orang ke tempat para pejabat yang mengawasi razia itu. Dengan bengis ia menegur bupati. Bupati yang kena tegur, mcmbalaskannya pada camat. Dan camat membalaskannya dengan membentak Kepala Desa. Kepala Desa punya kesempatan berpikir cepat, secepat pesawat pemburu yang sering lewat desanya ketika mencari sisa pasukan PRRI. Ia maklum gubernur akan merasa malu besar, karena masih kedapatan orang buta huruf, justeru di kampung halamannya sendiri. Segera ia menjawab bentakan camat dengan gaya bahasanya yang tenang.
"Tapi pak gubernur, orang ini bukan orang kampung halaman kita."
Wajah gubernur tiba-tiba menjadi cerah. Lalu ia berkata pada Ketua Tim Razia yang sengaja datang dari Jakarta.. "Benar, kan, kataku? Tidak ada orang kampung halamanku yang buta huruf."
"Jadi dari mana dia ini?" tanya Ketua Tim Razia itu.
"Dari desa Seberang Bukit, Pak," kata Kepala Desa dengan cepat.
"Jangan memojokkan aku, va?" tiba-tiba bupati yang bangkit berangnya oleh jawaban Kepala Desa itu.
Sekali lagi Kepala Desa menunjukkan kecerdasannya. "Memang ia tinggal di desa Seberang Bukit, Pak. Tapi aslinya ia penduduk desa Kiliran."
"Itu keterangan yang betul. Karena Minggu lalu aku telah mengadakan razia di Seberang Bukit. Tidak ada orang Seberang Bukit yang masih buta huruf," kata Bupati pula dengan membangga. Karena desa Seberang Bukit itu desa kelahiran ibu-bapaknya.
"Kami percaya," ulas orang dari Jakarta itu dengan tenang-tenang saja. "Masalahnya, bagaimana bunyi laporan ke Presiden aku tulis?"
Pertanyaan yang tidak mudah untuk diberikan jawabannya. Meski Leman bukan penduduk desa Kapur, bukan pula penduduk desa Seberang Bukit, tapi toh dia penduduk propinsi yang dibawahi gubernur itu? Semua orang yang hadir sibuk berbisik-bisik dengan leman di sampingnya. Dan camat mendekati Leman. Lalu ia berbisik ke telinga Leman. "Jahanam kau," katanya. *
Runding punya runding, akhirnya antara pejabat yang berkumpul itu kembali membuktikan keampuhan
musyawarah untuk mufakat. Sehingga Ketua Tim Razia dari Jakarta itu berkata pada wartawan yang banyak hadir, "PBB harus belajar kepada Indonesia, bagaimana cara memberantas BH."
Dan Gubernur menyambung, "Perintah Presiden telah kita laksanakan dengan sempurna."
Tapi tidak bagi Leman.. .
Karena musyawarah singkat yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang mengikuti jalan razia itu telah memutuskan bahwa buta-huruf yang masih ada pada Leman harus diberantas segera. Tugas itu diberikan pada camat dan akan diawasi oleh bupati. Dan camat menyanggupi, bahwa dalam waktu tiga bulan Leman tidak akan buta huruf lagi. Sehingga pada Hari Proklamasi depan ini, Presiden sudah bisa mengumumkan ke seluruh dunia bahwa Indonesia telah bebas BH. Lalu rombongan dari Ibukota itu meninggalkan desa Kapur dengan membawa wajah yang berseri-seri.
Dan Leman tinggal dengan loyo, serta bertambah loyo oleh bentakan dan makian para pegawai camat. Lalu jatuh pingsan ketika camat memberinya hukuman mengangkut 40 karung semen dalam seminggu ke pintu air yang tengah dibangun di kaki bukit Sarasah. Karena letak pintu air itu dua jam perjalanan melalui pematang sawah dan tak ada
kendaraan bisa ke sana. Dan ia tidak bisa mengangkatnya sendiri. Ia harus mengupah orang lain. Kalau ia mengupah, itu artinya sepeda untuk calon suami Ramalah tak jadi dibeli.
Dengan menangis Leman mengadukan nasibnya kepada kepala desa. Ia ceritakan segala kesulitan yang dihadapinya. Tapi kepala desa hanya bisa menasehati agar menemui camat. Dengan harapan yang hilang-hilang timbul, Leman menemui camat.
"Kau telah menyulitkan aku. Menyulitkan bupati. Menyulitkan gubernur. Malah menyulitkan Presiden. Tahu? Tambah 10 karung semen lagi kau bawa ke sana," kata camat sebelum Leman habis menceritakan kesulitannya.
Mestinya Leman menemui bupati untuk minta belas kasihan. Tapi pengalamannya dengan camat telah memberinya pelajaran. Yakni: tambah tinggi tempat mengadu, tambah mahal harga tebusannya.
Tak ada jalan lain baginya kini. Selain menyerahkan Ramalah pada suratan nasibnya sendiri.
Dan ketika Presiden mengumumkan Indonesia bebas BH pada Hari Proklamasi seperti vang direncanakan semula, berteriaklah seorang bayi yang baru saja keluar dari rahim ibunya. Kelahirannya terlalu cepat dua bulan. Tapi Leman merasa lebih tua sepuluh tahun lagi, ketika memikirkan pertanyaan si bayi kelak, "Siapa ayah saya?"
2 Pelamar Suatu pagi, hari Jumat yang terpilih sebagai hari baik, Bidin datang ke kantor Pak Kantor minta kerja. Bidin anak desa. Otaknya encer. Tapi dengan susah payah barulah ia menamatkan SMA. Ini disebabkan ia anak tunggal seorang janda miskin, yang hidupnya menjual kue. Dan Bidin anak tahu diri. Maka sepulang dari sekolah, waktunya habis menolong ibunya. Menumbuk tepung dan membelah kayu api serta membungkus kue di malam hari. Tak banyak waktunya mengulangi pelajarannya di rumah. Dan tak ada waktunya untuk mengembangkan dirinya sebagai anak muda di antara kawan sesama besar.
la tak berniat hendak menyambung ke sekolah yang lebih tinggi. Meski pun ibunya ingin si anak jadi dokter atau mister atau insinyur. Tapi Bidin berpikir, tamat SMA sudah cukup. Apa lagi ibunya sudah tua dan tak patut lagi bekerja berat. Sedang umurnya sendiri dua puluh tahun.
Menurut pendapat Bidin, hidup senang harus dicapai dengan martabat yang tinggi. Dapatnya martabat tinggi itu, haruslah bekerja agar supaya
pangkat tinggi. Dan pangkat tinggi dapat dirangkul via pendidikan tinggi pula. Dan ia sudah tamat SMA. Apa lagi? Sedangkan orang yang hanya sekolah rakyat saja, sudah bisa jadi wakil Gubernur. Ada orang yang hanya mulai dari pintar mengaji, lalu akhirnya jadi Menteri. Ada kepala jawatan yang berasal dari pemain trompet. Sedang ia, sudah bersekolah di SMA. Jabatan apakah yang takkan mungkin ia peroleh kelak? Tapi ia tak sampai bercita-cita mau jadi gubernur atau menteri. Ia cuma bercita-cita punya pangkat. Dengan demikian dapatlah ia mengangkat kehidupan ibunya. Tak perlu ibunya kerja sampai larut malam lagi. Tak perlu ibunya bangun di pagi buta lagi. Ibunya tentu akan dapat duduk-duduk di sofa sambil mendengar radio. Tidak sampai bergantung ke langit cita-citanya Bidin. Hanya sederhana saja. Untuk menyenangkan ibunya, kalau ia berpangkat.
Ketika ia bangun pagi-pagi, ia sudah mengangankan bahwa ia pasti akan berhasil. Bukankah diploma SMA yang keramat itu sudah ada di tangannya? la pasti akan diterima pada salah satu kantor pemerintah. Ia nanti akan mendapat sebuah meja. Pada meja itu nanti akan bertumpuk surat-surat yang minta tebahannya. Alangkah hebatnya.
Apalagi menurut kata orang, di kantor pemerintah sangat sekali kekurangan tenaga ahli. Kebanyakan pegawai hanya tamatan Sekolah Rakyat saja. Dan itu pun sudah tua-tua pula. Sedikit sekali yang tamat SMP. Apa lagi SMA. Dan sudah terang nantinya pegawai yang tidak bersekolah itu, langsung jadi anak buahnya. Jika mereka itu berbuat tolol, sudah tentu akan kena murkanya pula. Ah, agak seram juga dirasakannya, bila ia terpikir bahwa di antara anak buahnya yang tolol itu, dan yang kena murkanya, adalah orang tua yang seusia dengan mendiang ayahnya, kalau ayahnya itu masih hidup sekarang. Tentu orang tua akan kecut oleh murkanya. Alangkah kejamnya. Alangkah jahatnya. Lebih lagi bila ia ingat ibunya yang tua kalau dimarahi orang yang sebaya dengan anaknya sendiri.
Tapi lamunannya itu, biar jadi kenyataan benar kelak tidaklah penting baginya untuk dipikirkan sekarang. Yang penting baginya, ia dapat pekerjaan. Pangkatnya tinggi. Ibunya senang. Habis.
Ketika ia berangkat dari rumah, ia diantarkan ibunya dengan pandangan mata yang tak berkedip-kedip di pintu, serta dengan segala doa yang dapat disebutnya. Dan Bidin sendiri tidak lupa membaca alfatihah dan melangkah dengan kaki kanan pada langkah pertama. Dengan penuh keyakinan dan seraya menyebut kalimat Quran itu, akhirnya tiba juga Bidin di kantor Pak Kantor. Apa sebabnya kantor ilu yang ditujunya, ia sendiri tidak tahu. Kepada seorang tua, yang berbaju seragam coklat, ia bertanya dengan sopan.
"Oh, Anak mau minta pekerjaan?" kata Lebong tua. "Catatkanlah nama, tujuan, suku anak di buku ini."
Dan penerimaan yang baik itu dianggap Bidin sebagai suatu firasat dari suatu permulaan yang berhasil. Mengapa tidak, pikirnya, hari itu, hari Jumat, hari yang terbaik dalam seminggu. Dan ia mulai melangkah dengan kaki kanannya seraya menyebut alfatihah. Dan sepanjang jalan yang ditempuhnya tak henti-hentinya ia menyebut ayat-ayat Quran yang bisa dihafalnya.
"Itu," kata Lebong pula sambil menunjuk ke arah Pak Kantor yang lagi sibuk menghadapi tamu-tarnunya. "Beliau itulah Kepala Kantor. Nanti kalau tamu beliau sudah pergi, menghadaplah kepada beliau, tapi menjelang itu, duduklah di sini."
Kemudian Lebong memberi petunjuk kepada Bidin, bagaimana mestinya dilakukan bila mau menghadap Pak Kantor. "Nanti bapak menyampaikan kedatangan anak. Kalau anak sudah diizinkan
masuk, mula-mula anak ketok pintu perlahan-lahan. Meski pun pintu itu tidak tertutup. Mendehem tidak boleh. Jangan keras mengetoknya. Perlahan saja. Kalau sudah didengar anak disuruh masuk, jangan lantas menyerbu saja. Sebut merdeka atau assalamualaikum. atau selamat pagi saja juga boleh. Barulah mendekat kepada beliau.
Di dekatnya sebut lagi salam itu. Merdeka atau assalamualaikum. Atau selamat pagi. Ini maksudnya untuk beliau. Sedang salam yang tadi untuk kantor dengan segala isinya. Kalau anak disuruhnya duduk, bilang terima kasih. Tapi jangan duduk. Tegak saja. Kemudian barulah ceritakan apa maksud anak. Mudah-mudahan Tuhan memberkati anak. Kalau sudah diterima nanti, jangan lupa padaku. Isteriku membuka kedai. Anak tentu boleh mengebon di situ. Tapi yang paling disenangi isteriku, ialah kontan."
Sambil menghafalkan segala petunjuk orang tua itu, Bidin mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Beberapa belas orang menghadapi mejanya masing-masing. Berjajar seperti murid sekolah di dalam kiasnya. Beberapa meja kosong. Tapi di atasnya penuh oleh surat-surat yang bertumpukan dan berserakan. Sedang pak Kantor duduk di meja di sudut ruangan. Menghadap ke semua pegawainya. Hingga dengan demikian dapatlah ia dengan mudah mengawasi seluruh ruangan itu. Ketika itu Pak Kantor sedang kedatangan tamu. Mereka itu gagah-gagah semuanya. Memakai dasi. Dasinya panjang-panjang. Dan Bidin berpikir, tentulah orang-orang itu pegawai tinggi semua. Tentulah mereka membicarakan masalah pekerjaan yang penting pula. Lama benar mereka berunding, menurut perasaan Bidin.
Untuk pelengah waktu, diedarkannya lagi pandangannya. Diamatinya segalanya sam demi satu dengan lebih cermat. Ada pegawai yang berkerut-merut mukanya membacai surat-surat di atas mejanya. Ada orang yang membalik-balik map. Satu persatu surat dalam map itu diperiksanya. Lalu map itu diletakkannya pada sudut meja sebelah kanan, apa bila ia selesai membaca seluruh surat di dalamnya. Diambilnya map yang lain. Dibacanya surat-surat di dalamnya. Kemudian map itu ditutupnya. Dan ditumpukkannya pada tumpukan map di kanan meja. Diambilnya lagi map yang lain. Lama sekali ia berbuat demikian. Begitu tekun dan telitinya. Kalau ia penat, diregangnya kedua belah tangannya ke samping. Sambil kuap ia menggeliat. Pikir Bidin, alangkah rajinnya orang itu, teliti lagi, sehingga penat dan mengantuk ia bekerja.
Seseorang yang sedari tadi asyik menulis, lalu mengeluarkan amplop dari laci mejanya. Amplop itu
ditulisnya pada muka dan belakangnya. Kemudian kertas yang ditulisnya tadi dimasukkannya ke dalam amplopnya. Dan dengan lidahnya yang panjang, sepanjang lidah anjing yang menjilat daun bekas kuah sate, dijilatinya perekat tutup amplop itu. Lalu direkatnya. Dan dari saku bajunya dikeluarkannya sesuatu. Rupanya prangko. Dibubuhkannya pada amplop itu. Dan akhirnya amplop itu dimasukkan ke dalam sakunya sendiri.
Seorang yang lain, lagi asyik membaca di balik map yang tertumpuk tinggi di mejanya, tertawa senyum sendirian dia. Seperti orang gila. Kawan yang sebelah mejanya melihat padanya. Ingin tahu dan bertanya dengan berbisik. Yang membaca mengangkat apa yang menerbitkan senyumnya. Sebuah majalah di tangannya.
Seorang gadis juru tik menekur di meja kerjanya. Ada sesuatu yang menarik matanya pada ujung jarinya. Sudah itu jarinya dijauhkannya ke bawah meja. Ditatap dengan sepenuh minat, seperti orang menatap suatu barang yang hendak dibelinya di toko. Lalu ujung jarinya itu ditiup-tiupnya. Ujung jarinya itu merah oleh kuteks. Dan seorang gadis juru tik yang lain, setiap sebentar menggaruk-garuk
pinggangnya. Atau kadang-kadang kepalanya. Ia memandang sekejap pada Pak Kantor, sebelum mulai mengetik lagi. Setelah mengetik beberapa baris, ia menggaruk pinggangnya lagi atau kepalanya. Tenang sekali suasana di kantor itu. Selain dari pada suara tawa Pak Kantor dan tamu-tamunya, tak ada suara yang keluar dari mulut.
Lama kemudian tamu-tamu itu pada berdiri dan bersalaman dengan Pak Kantor. Bidin pun berdiri. Disangkanya tamu-tamu itu mau pergi. Tapi mereka itu masih juga berbicara dan tertawa-tawa sambil berdiri. Belum ada tanda-tanda mereka itu betul-betul hendak pergi. Dan kemudian, salah seorang dari tamu itu duduk lagi di kursinya. Pak Kantor pun kembali duduk. Yang lain-lain mengikutinya. Bidin merasa kecewa benar. Ia berpikir, lebih baik ia pergi saja ke kantor lain. Pada hal hari Jumat itu, kantor ditutup jam setengah dua belas. Alangkah baiknya, kata hatinya, jika bukan hari Jumat hari yang terbaik dalam seminggu. akan banyaklah waktu baginya untuk melamar pekerjaan ke berbagai kantor.
Dan akhirnya tamu-tamu itu kembali berdiri. Rupanya mereka betul-betulan hendak pergi. Tapi ketika tamu-tamu itu pergi, pak Kantor pun pergi. Dan Bidin mulailah merasa, ia takkan berhasil pada hari yang baik itu. Payah-payah menunggu,
tahu-tahu ditinggalkan begitu saja. Tapi ketika Bidin melihat orang-orang itu terhenti di halaman kantor di dekat mobilnya dan omong-omong lagi, Bidin yakin tentunya Pak Kantor takkan pergi. Tapi alangkah lambatnya segala urusan selesainya. Waktu mereka habis oleh tawa dan omong-omong yang sedikit cabul. Omongan yang tidak ada tertulis dalam tugas-tugas kantor pemerintah yang mana pun juga. Lebih kotor cabulannya dari sekalian cerita cabul yang pernah diomongkan kawan-kawan Bidin di sekolah dulu, menurut pikir Bidin. Mual ia mendengarkan. Mual oleh kejengkelannya karena ia sudah begitu lama menunggu.
Sekarang ia jadi lupa pada petunjuk orang tua yang telah diamalkannya tadi. Dan ketika Pak Kantor hendak kembali ke dalam kantornya, Bidin menyongsongnya dengan tabikan tangan yang dirasakannya kaku.
"Hamba ingin berbicara, Pak," kata Bidin dengan suara di kerongkongan dan tak lupa menukar istilah aku dengan hamba, menurut tata krama yang sopan di kampung halamannya.
"Sudah dicatatkan nama?" tanya pak Kantor tanpa memandang pada Bidin.
"Sudah, Pak." "Bagus. Ada urusan apa?" tanya pak Kantor lagi.
Dan kini selain ia tidak melihat kepala Bidin, Pak Kantor terus saja ke meja tulisnya.
Bidin jadi hilang akal mau berbuat apa. Akan menurutkan Pak Kantor itu atau mengatakan saja, ia tahu, ia belum diberi izin masuk. Karena demikian kata orang tua itu kepadanya tadi. Hendak dikatakannya saja apa yang hendak dikatakannya, tentu dengan berteriak supaya bisa didengar Pak Kantor yang sudah menjauhinya. Itu tentu saja tidak pantas. Hendak diketoknyakah pintu dan kemudian mengucapkan merdeka atau assalamualaikum? Ia ragu-ragu.
"Mari sini," kata Pak Kantor dari meja tulisnya.
Barulah akal Bidin kembali ke kepalanya. Dan ia melangkah dengan kaki yang serasa tidak berpijak di lantai. Dan samar-samar ia ingat lagi pada segala petunjuk orang tua tadi. Tapi ia tak tahu juga, apa ia harus juga mengucapkan merdeka atau assalamualaikum. Sedang ucapan selamat pagi rasanya tidaklah tepat lagi, sebab hari sudah tinggi. Ataukah di rapatkannya saja jari tangannya pada tepi keningnya seperti prajurit menghormati opsirnya? Dalam ia kehilangan akal demikian, Pak Kantor menyuruhnya duduk. Akalnya kembali masuk ke kepalanya. Maka ia kini telah dapat menguasai
dirinya. Sesuai dengan petunjuk orang tua tadi, Bidin tak lupa mengucapkan terima kasih dan ia terus berdiri saja. Dan Pak Kantor memandangnya dengan rasa puas. Pandangan itu menimbulkan kepercayaan yang lebih dalam pada Bidin atas dirinya sendiri.
"Ada urusan apa?" tanya Pak Kantor lagi sambil menyilangkan tangannya di atas meja. Tapi matanya, setelah memandang sekejap pada Bidin, lalu menjalar ke seluruh meja tulisnya. Seperti ia mencari tuma di daun mejanya itu.
"Ibu hamba sudah tua, Pak. Tapi ayah hamba sudah mati," kata Bidin memulai dengan gagap.
Pak Kantor masih juga mencari tuma pada mejanya.
"Hamba anak tunggal, Pak. Tapi ibu hamba miskin," kata Bidin lagi untuk menarik belas kasihan Pak Kantor sedapat-dapatnya. "Umur hamba sudah dua puluh tahun. Tentu tak patut hamba membiarkan ibu hamba yang telah tua itu tetap seperti itu. Apa lagi, ya, apa lagi. Bidin berhenti bicara Semua apa yang patut hendak dikatakan sudah dikatakannya, menurut perasaannya. Hendak dikatakannya bahwa ibunya yang telah tua itu seorang perempuan, tentu tak perlu dikatakannya. Ibu mana yang tak perempuan.
Apa perlu dikatakannya, bahwa sesudah ayahnya meninggal, ibunya tak kawin-kawin lagi? Rasa hatinya itu pun tak perlu dikatakannya. Lalu digaruk-garuknya belakang kepalanya. Dan sambil menggaruk itu ia paksakan juga menyudahkan kalimat yang belum siap tadi, "Apa lagi, Pak, ibu hamba yang perempuan itu sudah tua, Pak, dan miskin pula, Pak.
"Jadi maksudmu, mau kau bikin apa dengan ibumu yang perempuan tua dan miskin itu?" tanya Pak Kantor.
"Tidak apa-apa, Pak. Selain hamba ingin hendak menyenangkan hidup beliau itu."
"Menyenangkan ibumu kenapa di sini? Di rumahnya atau . . . ya. . . di pasar malam orang bisa senang-senang. Biar sudah tua bangka sekali pun," kata Pak Kantor yang maksudnya hendak bergurau saja.
Tapi bagi Bidin, keseimbangannya menjadi hilang. Ia merasa sekujur badannya berkeringat. Lebih sulit dirasanya daripada menjawab pertanyaan gurunya di waktu ujian dulu.
Dan setelah meniup tuma di atas mejanya. Pak Kantor bertanya lagi, "Maksudmu minta pekerjaan?"
"Ya, Pak. Kalau Bapak ada belas kasihan kepada hamba dan ibu hamba, perempuan yang sudah tua
lagi miskin ilu. Pak," kata Bidin dengan agak lebih lancar.
Pak Kantor lalu menyandarkan badannya ke kursinya yang besar itu. Dan kedua tangannya bersilang di atas perutnya yang mulai gendut. Jari-jarinya bergerak-gerak seperti alu kincir. Dan kemudian katanya, "Mana surat-suratmu?"
Bidin menjulurkan segulungan kertas yang sudah terasa basah dalam genggamannya. Tapi melihat gulungan kertas yang dijulurkan itu, muka Pak Kantor yang penuh perhatian tadi jadi merah sekarang. Dan dengan sedikit membentak ia berkata; "Aku bukan tukang buka gulungan kertas. Aku kepala kantor, tahu?"
Cepat Bidin menarik gulungan suratnya dan mengembangkannya baik-baik. Dan dengan tangan yang gemetar dijulurkannya lagi surat itu. Tapi pegangannya tidak kuat, sehingga surat-surat itu jatuh ke lantai. Lalu dipungutnya cepat-cepat. Tapi ketika ia hendak mengangkat kepalanya, tepi meja membenturnya. Dan ia merasa sekujur badannya benar-benar mandi keringat. Ini adalah permulaan yang tidak baik, pikirnya.
"Oh, kamu tamat SMA?" tanya Pak Kantor ketika ia sudah melihat surat-surat Bidin. "Angkamu baik sekali."
Bidin merasa perasaannya selapang alam.
"Kalau sebaik ini angka-angkamu," kata Pak Kantor menggantungkan kalimatnya sejenak, "aku kira, kamu banyak harapan buat masa yang akan datang. Kenapa tidak disambung saja ke sekolah yang lebih tinggi? Kau pasti diterima. Mungkin juga bisa dapat ikatan dinas."
Terperangah oleh kekaguman Pak Kantor atas nilai ujiannya, Bidin jadi lancar berbicara. Ia ceritakan segala alasannya, kenapa ia ingin bekerja dari pada menyambung sekolahnya. Tapi kemudian Pak Kantor mengulang-ulang lagi rasa sayangnya, jika otak yang seencer dimiliki Bidin itu dimatikan oleh hawa kantoran. Lama kemudian setelah ia mengulang-ulang komentarnya, ia sarankan agar Bidin menyambung sekolahnya ke sekolah yang lebih terjamin penampungan kerjanya kelak dan yang berikatan dinas agar beban ibunya tidak bertambah berat.
"Tidak lama-lama sekolah di situ. Paling lama tiga tahun. Ada juga yang cuma setahun. Sayang sekali kalau kamu tak ambil kesempatan yang terbaik. Apalagi angka-angkamu begitu baiknya. Cobalah masukkan rekes ke berbagai tempat. Ke AURI, ke ALRI, ke Angkatan Darat, ke PTT, DKA. Atau ke Akademi Luar Negeri saja, biar kau jadi Duta Besar di Paris kelak. Atau ke Akademi Dalam Negeri,
biar kau bisa jadi Gubernur kelak. Atau ke Akademi Duane saja. Setahun kursus di sana. Dan setamat dari situ kau bisa kaya raya. Masukkan rekes banyak-banyak ke mana saja. Ibarat memancing, sebarkan pancing empat lima, salah satu takkan mengena? Pasti mengena. Tak mungkin tak mengena, bukan? Apalagi dengan angka-angkamu yang sebaik ini. Kalau tak mengena satu pun, kamulah yang sial. Tapi kalau semuanya mengena, siapa tahu, kamu akan senang. Kamu tinggal pilih saja yang mana kamu suka. Kalau aku diminta pertimbangan, baik kau pilih saja Akademi Duane. Orang duane, masa sekarang, lebih mudah kaya ketimbang orang-orang di jawatan lain."
Tapi Bidin sudah matang perhitungannya sehingga ia bertekad tidak hendak melanjutkan sekolahnya lagi. Ia tak hendak berpisah dengan ibunya, perempuan tua yang janda dan miskin pula.
"Sayang sekali angka-angkamu yang sebaik ini, cuma digunakan untuk bekerja di kantor," kata Pak Kantor pula kemudiannya setelah Bidin mengemukakan segala alasannya.
Bidin kian tak mengerti, kenapa orang yang memiliki angka sebaik itu, disayangkan jika hanya bekerja di kantor. Meski ia melanjutkan sekolahnya ke sekolah tinggi mana pun, tokh akhirnya ia akan bekerja di kantor juga. Orang yang bekerja di kebun,
di jalan raya atau di pelabuhan, tokh tidak memerlukan diploma sekolahan, pikirnya. Dan ia tambah tidak mengerti melihat wajah kekecewaan Pak kantor karena ia punya diploma SMA.
"Kalau kau punya diploma SR, bereslah," akhirnya Pak Kantor berkata.
Bidin memang tidak punya diploma SR. Sebab ketika ia tamat sekolah rendah itu dulu, perang pun datang. Dan ketika perang pergi, ia telah duduk di SMP.
"Tapi diploma SMP hamba ada, Pak," kata Bidin.
"SMP juga terlalu tinggi. Sayang. Sayang sekali kau terlalu pintar. Sayang," kata Pak Kantor menyesali Bidin.
Maka leburlah segala harapan yang begitu lama dipendam Bidin. Sedangkan dalam pada itu Pak Kantor terus juga berbicara. Mengemukakan rasa sayangnya, penyesalannya. Sekarang ditambah dengan kata-kata, amat, terlalu, sangat dimuka kata sayangnya. Tak ketinggalan gelengan kepala. Lalu diceritakannya pula, ketidakmengertiannya sendiri terhadap peraturan yang dibuat pemerintah. Betapa timpangnya komposisi kepegawaian. Kekakuan birokrasi. Dan pada akhirnya dicelanya sistem pendidikan di zaman sekarang. Sekolah banyak, lapangan kerja tak memadai, Sekolah banyak-banyak
memang baik, akan tetapi sistem pendidikan haruslah dirobah. Dirobah dari sistem kolonial ke yang nasional sejati.
"Dari dulu," kata Pak Kantor selanjutnya. "Aku sudah hantam sistem pendidikan kolonial itu. Hingga aku masuk penjara kolonial itu akibatnya. Tapi setelah kita merdeka, sistem kolonial masih dipakai juga. Yah, itulah, kalau orang-orang yang memerintah sekarang masih menggunakan bekas-bekas kaki tangan kolonial. Peraturan pegawai juga kolonial. Coba. Masa seorang tamatan SMA tidak boleh jadi juru tulis. Seorang juru tulis tidak boleh pula punya diploma SMA. Kalau dengan cara begitu, mana bisa prestasi kantor pemerintah bisa tinggi. Kalau lulusan SMA sudah banyak, mereka mau atau bisa kerja apa?"
Setelah Pak Kantor berbicara panjang pendek mengutuki segala yang tidak disukainya, lalu ia bertanya lagi pada Bidin," "Siapa namamu? Oh, ya, Bidin, ya. Kalau kau hanya punya diploma Sekolah Rakyat saja, aku bisa terima kau. Sekarang juga."
Kaki Bidin yang menopang tegaknya yang kian loyo itu, berasa kejang sekarang. Sudah sekian lama ia harus tegak mendengarkan wejangan Pak Kantor yang panjang lebar itu, persis seperti ketika ia masih sekolah dulu yang dipaksa tegak berjam-jam untuk


Hujan Panas Dan Kabut Musim Karya A.a. Navis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengarkan pidato seorang pemimpin yang ketagihan berdiri di podium rapat umum, maka ia menyadari betapa tidak enaknya hidup jadi orang kecil. Tapi kalau di rapat umum dulu, ia masih bisa duduk meski dalam panas terik, maka sekarang ia harus tetap berdiri dalam hawa panas kantor yang terasa sudah sumpek itu.
Tapi Pak Kantor yang enak-enak duduk di kursinya yang besar itu tak memperdulikan kesengsaraan kaki Bidin. Ia siksa terus kaki Bidin dengan wejangannya. Dan pada akhirnya Pak Kantor mengkritik habis-habisan orang yang bersekolah tinggi. Katanya, "Bersekolah tinggi sebenarnya tidak berguna. Otak pintar-pintar juga tidak perlu. Yang terpenting di dalam hidup dan bekerja ialah kemauan. Kemauan baik. Dedikasi. lihat saja orang-orang yang bersekolah tinggi-tinggi itu. Katanya mereka adalah pemimpin. Tapi sebagai pemimpin, kecintaannya pada rakyat tipis sekali. Hampir boleh dikatakan, mereka tidak mencintai rakyat. Tambah tinggi sekolah orang, tambah jauhlah hatinya dari rakyat. Lihat aku. Aku tidak bersekolah tinggi. Tapi aku mencintai rakyat. Berjuang untuk rakyat. Sudah dua puluh tahun sampai sekarang. Dan sekarang aku jadi kepala di kantor ini. Siapa bilang aku tidak sanggup?
Aku sanggup. Tidak kalah dari orang yang bersekolah tinggi yang memimpin kantor lain. Apalagi jika mengingat, bahwa stafku pun tak seorang juga yang keluaran sekolah tinggi, namun aku masih bisa memajukan reputasi kantorku. Kalau kepala kantor orang keluaran sekolah tinggi dan memiliki stafnya yang keluaran sekolah tinggi pula, tapi prestasinya sama dengan prestasiku, itu menunjukkan bahwa bersekolah tinggi saja tidak cukup, bukan? Apalagi kalau prestasi kerjanya di bawah prestasi kerja kantorku. Bayangkanlah."
Ketika kaki Bidin telah betul-betul semutan, jam sudah setengah dua belas. Pegawai-pegawai sudah mulai berkemas-kemas hendak pulang. Dan seperti pegawai itu pula, Bidin keluar dari kantor Pak Kantor membawa kakinya yang semutan berkat wejangan yang panjang lebar itu. Sehingga ia terpincang-pincang melangkah.
Di luar ruang kantor Lebong bertanya pada Bidin tentang hasil permohonannya. Tapi ketika ia tahu Bidin ditolak karena punya diploma SMA, lalu Lebong berkata, "Begini saja, nak. Kalau diploma SMA tidak laku, datang lagi ke sini besok dengan membawa diploma Sekolah Rakyat. Supaya tidak dikenal Pak Kantor lagi, cukur kepala anak licin-licin."
3 Efendi Kalau si Noni, anak tiri tuan Rotten yang indo, menikah pada usia sangat muda, tidaklah luar biasa untuk diceritakan. Karena si Noni cantik. Sebagai gadis cantik pastilah banyak orang mengincarnya. Jika si Noni menikah dengan orang penting, juga tidak luar biasa. Setiap orang penting tentu ingin menikah dengan gadis cantik.
Tapi jika orang penting itu Efendi, sobatku sejak kecil, ini memang patut diceritakan.
Lebih sepuluh tahun Efendi menghilang dari kota kami. Ketika ia muncul kembali, revolusi baru saja mulai. Efendi muncul dengan sepatu lars yang tinggi, dengan pedang samurai dan dengan sepasukan laskar pengiring. Tentu saja semua orang terpesona. Sehingga tuan Rotten, yang telah jadi Lutan sejak zaman Jepang, dengan segala senang hati menerima Efendi jadi menantu. Meski si Noni belum setahun kedatangan haidnya yang pertama.
"Mengawini si Noni berarti telah memenangkan sebagian dari perjuangan melawan Belanda," tangkis
Efendi pada pimpinan partai dari laskarnya yang keberatan atas per nikahan itu karena khawatir jika Efendi kehilangan semangat juangnya.
Kekhawatiran pimpinan partai terbukti. Efendi bertahan di rumah si Noni ketika pasukan Belanda menduduki kota kami. Sedangkan pasukannya bergerilya di pedalaman.
"Aku tidak berkhianat pada Republik, tokh?" tangkis Efendi ketika kami ketemu di Ibukota Negara setelah perang kemerdekaan usai.
Tentu sulit dibilang ia berkhianat, kalau pengertian berkhianat itu sama dengan bekerja sama dengan musuh untuk mengalahkan bangsa sendiri. Sebab hampir selama masa pendudukan tentara Belanda yang kurang setahun itu, Efendi didekam di penjara. Dipukul babak belur. Dan si Noni diambil gendak oleh seorang opsir Belanda, sehingga ia melahirkan anak yang betul-betul pirang rambutnya, melebihi rambut tuan Rotten, bapak tiri si Noni.
"Si Noni masih isterimu?" aku bertanya bodoh-bodohan.
la tidak menjawab langsung. Setelah lama merenung-renung ia berkata lagi padaku. "Selama di penjara aku merenungi hidup ini. Hidup betul-betul ibarat roda pedati. Sekali di atas sekali di bawah. Kini aku sedang di bawah. Suatu waktu aku tentu akan
di atas lagi. Siapa tahu. Maka aku akan mengambil perempuan yang betul-betul indo. Bukan pribumi yang punya bapak tiri indo."
Apa yang diucapkannya tercapai juga akhirnya. Itu kuketahui dari sebuah berita dalam koran. Sobatku itu dilantik jadi anggota Dewan Kota. Bukan sembarang kota. Tapi Ibukota dari Republik Indonesia, Jakarta.
"Kau betul-betul ingin tahu rahasia suksesku?" tanyanya ketika aku dibawanya keliling kota dengan mobil sedannya. "Selama sengsara di Jakarta ini, aku merenungi hidup sedalam-dalamnya. Aku yang tidak ikut gerilya, dicap sebagai pengkhianat bangsa. Tapj orang KNIL yang terang-terangan memerangi Republik, diterima bergabung dalam TNI. Maka aku menarik kesimpulan, bahwa nilai-nilai ditentukan menurut keperluan yang sesuai dengan waktu, tempat dan keadaan. Sang pemenanglah yang punya kuasa. Karena itu nilai dan ukuran akan selamanya tidak tetap. Dalam keadaan yang tidak tetap itu, kita harus menemukan kuncinya. Dan kunci itu terletak di sini," katanya seraya mengetok-ngetok kepalaku dengan ujung jari telunjuknya.
"Bentuk apa kuncimu?" tanyaku.
Setelah lama merenung-renung, ia berkata lagi, "Banyak pejuang yang terlantar sehabis perang.
Lalu mereka boyong ke Ibukota. Berperang melawan nasib. Karena tidak punya modal, mereka jadi pedagang kaki lima. Sekali lagi mereka diuber-uber. Jika dulu di hutan diuber serdadu Belanda, maka di kota mereka diuber oleh polisi bangsanya sendiri. Mereka marah. Tapi tak berdaya. Karena mereka tak punya komandan pasukan. Orang yang marah tak berdaya dan kehilangan pimpinan, begitu mudah dipikat jantungnya dengan jaring harapan yang indah-indah. Lalu jadilah aku pemimpin mereka."
"Bagaimana kau menggunakan kunci itu ?" tanyaku.
"Partai-partai tengah berebut massa. Setiap partai punya koran. Koran partai itu berebut menokohkan aku, supaya aku memboyong massaku ke pihaknya. Isyu dimunculkan. Tanggapanku bergelegar membakar emosi pejuang yang dikecewakan, terthadap isyu yang kubuat sendiri. Itu taktik politik murahan yang pernah kubaca teorinya. Walikota juga orang partai, la tokh tidak suka kotanya meledak selagi ia jadi Walikota. Maka aku diundangnya. Bukan ke kantornya. Tapi makan malam di Hotel Des Indes. Tawar menawar terjadi. Maka jadilah aku anggota Dewan Kota," katanya seperti menceritakan suatu hal yang biasa-biasa saja.
"Tapi pedagang kaki liar tetap liar saja," kataku.
Kau kira bisakah orang kecewa yang lapar akan mau ditertibkan? Lagi pula, kalau mereka sudah ditertibkan, aku ini akan jadi apa?"
"Walikota, tidak menagih janjimu?"
"Ia tokh memerlukan ribut-ribut juga, supaya orang merasa ngeri menggantikan kedudukannya." katanya lagi dengan nada yang datar.
Nasibnya betul-betul seperti perputaran roda pedati. Setelah Pemilihan Umum, ia tidak lagi jadi anggota Dewan Kota. Karena partainya kalah. Maka aku tak ketemu-ketemu dia pula. Namun aku yakin dia pasti akan muncul di atas panggung lain, yang tak kalah pentingnya.
Benar juga dugaanku. Ketika aku ketemu dia lagi, suasana perang saudara sedang merayap di kota kami. Efendi kulihat dengan seragam hijaunya. Revolver di pinggang, senapan otomatis di punggung, dan tanda pangkat kapten di bahu. Dalam pikiranku, apabila tentara pusat menyerbu, pastilah Efendi akan membuang senjatanya lagi. Seperti dulu, ketika tentara Belanda menyerbu kota kami
Kali ini dugaanku keliru. Ketika tentara pusat menyerbu ke kota kami, Efendi tidak mau kehilangan
tongkat sampai dua kali. Ia sandang terus senjatanya ke pedalaman. Bergerilya dia.
Tapi apa lacur, pilihannya lagi-lagi keliru. Kini tentara yang datang menyerbu yang memenangkan perang. Yang bertahan di hutanlah yang menderita kekalahan. Hancurlah dia, pikirku. Putaran roda pedatinya takkan naik-naik lagi.
Namun ibarat bajing melompat, yang kalau jatuh selalu pada kakinya, hingga dengan gesit ia akan melesat lagi memanjat pohon tinggi. Demikianlah sobatku Efendi itu. Karena ketika aku ketemu dia lagi, ia sudah di puncak putaran roda pedatinya lagi. Bersama dengan Gubernur ia menyambut kedatangan delegasi kami di kota Pekanbaru. Bukan main dia, pikirku.
Tapi aku ragu-ragu pada pandanganku, karena ketika aku diperkenalkan kepadanya, tak tampak pada wajahnya bahwa ia mengenal aku. Begitu formal gayanya. Keraguanku kian bertambah-tambah selama dalam pertemuan berlanjut di kantor Gubernur. Karena andaikata orang yang tengah kuhadapi bukan sobatku Efendi, mengapa wajahnya begitu mirip? Gerak-gerik khususnya yang kukenal tetap terlihat nyata. Meski namanya Pendi Maja, tokh sama dengan nama panggilannya waktu kecil sebagai
si Pendi. Yang kemudian mendapat gelaran Majoindo ketika menikah dengan si Noni, tapi sehari-hari dipanggil mertuanya dengan Majo saja. Namun dari pandangan matanya jelas sekali bahwa ia betul-betul tidak mengenal aku. Akhirnya aku duga saja, bahwa Pendi Maja adalah saudara kembar sobatku Efendi. Walau sejak kecilku mengenal Efendi, aku tak pernah tahu ia punya saudara kembar.
Lagi pula, tidaklah mungkin seorang kapten PRRI akan bisa menjadi anggota Badan Pemerintah mendampingi Gubernur pada zaman Nasakom. Apalagi kedudukannya itu sebagai unsur dari golongan komunis. Jadi pastilah Pendi Maja bukan sobatku Efendi.
Tapi aku tidak bisa melupakannya sungguh-sungguh. Ketika aku ketemu seorang teman lama yang lama menetap di Pekanbaru, aku tanyai dia tentang mungkin atau tidaknya Pendi Maja sama dengan Efendi.
Cerita temanku itu begini. Ketika tentara pusat telah merebut seluruh kota, Efendi muncul di Riau. Kebetulan Caltex lagi menerima buruh untuk menebas hutan. Efendi melamar. Mungkin ia pikir, daripada bersembunyi di hutan karena takut ditembak tentara, lebih baik bekerja di hutan dengan mendapat gaji. Tapi menebas hutan pasti bukan macam pekerjaan vang disukainya Konon ketika ia menerima
gaji pertama, ia jamu semua teman sekerjanya makan besar. Tentu ia mendapat simpati. Habis makan enak. ketika perut semua orang pada kenyang, Efendi berpidato panjang lebar, menganjurkan agar buruh bersatu guna membela diri dari lindasan majikan. Orang yang sudah dikasi makan kenyang, adalah orang yang paling lapang hati dan sedikit malas berpikir karena mulai mengantuk. Segera orang setuju mendirikan serikat buruh, dan Efendi jadi ketuanya.
Efendi bukan Efendi kalau ia berhenti sampai di situ. Lalu buruh mulai banyak ulah. Efendi dipanggil ke kantor. Keluar kantor Efendi telah jadi mandor dari teman-temannya sendiri. Sebagai mandor, Efendi tidak lagi mandi keringat. Ketika didengarnya direksi akan meninjau tingkat upah yang baru, digerakkannya buruhnya menuntut perobahan upah. Suatu delegasi dikirim. Efendi yang jadi ketuanya. Tentu saja tuntutan itu berhasil, karena memang upah akan dinaikkan. Pamor Efendi kian menanjak. Anggota serikat buruhnya bertambah banyak. Hingga namanya lebih tinggi dari menara minyak yang tertinggi di ladang minyak itu. Lalu datanglah partai-partai mendekatinya. Tawar menawar terjadi. Efendi memilih tawaran tertinggi. Itu datangnya dari golongan komunis. Karena golongan itulah yang
menjamin jabatan anggota Badan Pemerintah kepadanya, meski jabatan ketua buruhnya ia lepaskan sebagai tukaran. Dan untuk memberi kesan revolusioner, namanya diganti dengan Pendi Maja.
"Kenapa ia seperti tidak mengenal aku lagi?" tanyaku pula.
Itulah gayanya, karena kau datang sebagai delegasi kabir* yang setan kota," jawab temanku.
Karena maklum, aku tidak berpikir lagi tentang sobatku Efendi itu. Hingga aku betul-betul melupakannya.
Akan tetapi ketika kaum komunis ditumpas habis karena pemberontakannya, selenting aku ingat lagi pada sobatku itu. Aku pikir, habislah riwayatnya kali ini. Kalau ia masih berumur panjang, roda pedatinya akan terus di bawah saja. Takkan bangkit-bangkit lagi. Apabila rodanya masih bisa naik, sungguh menakjubkanlah takdir yang disediakan kepadanya.
Ketika aku akan naik pesawat di Schiphol untuk pulang ke Indonesia, aku melihat si Noni. Ia bersama seorang perempuan muda yang berambut pirang dengan hidungnya yang tidak begitu mancung. Aku kira, perempuan itu anak si Noni dengan opsir KN1L dulu. Aku kira juga, opsir itu akhirnya membawa si Noni bersama anaknya ke Belanda, lalu jadi warga Negara leluhur bapak lilinya, tuan Rotten. Melihat si
? Kabir, akronim dari kaum hinokrat. Istilah yang dipakai
kaum komunis untuk mengejek pejabat.
Noni, sudah tentu aku ingat pada sobatku Efendi lagi. Dan sepanjang terbang pulang, aku sering melamunkan hidup manusia yang dibawa nasibnya masing-masing. Si Noni jadi Belanda, sedangkan Efendi entah di mana. Dan ketika turun di Bangkok, gatal juga aku hendak memperkenalkan diri pada si Noni ketika kami sama-sama membeli barang souvenir. Memperkenalkan diri sebagai teman sejak kecilnya Efendi. Tapi aku selalu ragu-ragu, meski sekali waktu mata kami bertatapan, seolah-olah ia seperti ingat padaku. Perkenalan tidak terjadi. Dan aku bersyukur sekali, karena aku tak perlu.sampai mengungkit-ungkit peristiwa lama yang mungkin tak menyenangkan hatinya.
Alangkah tercengangnya aku ketika tiba di lapangan Halim di Jakarta. Noni terbenam dalam pelukan seorang laki-laki yang menyambutnya. Dan laki-laki itu Efendi. Efendi sobatku yang ajaib. Ia tak melihatku. Mungkin juga pura-pura tak melihatku seperti dulu di Pekanbaru. Tapi ketika mobil Mercynya hendak melaju meninggalkan airport Halim, ia melihat aku yang lagi menunggu taxi. Mercynya berhenti. Aku dipanggilnya. Ketika aku mendekat, sehelai kartu nama diberikannya padaku.
"Ini perusahaan menantuku. Datanglah kapan-kapan. Panjang ceritanya," katanya seraya tertawa dengan gembiranya.
Setelah rasa takjubku hilang, setelah Mercy itu jauh, aku baca kartu nama yang di tanganku. Real Estate "Mahligai Agung". Dan di bagian sebelahnya tertera: Effendi Majo. Direktur.
Sungguh menakjubkan jalinan hidup ini, kata hatiku.
4 Orang Baik yang Malang Kalau bukan karena dia, aku tidak bisa membayangkan macam sejarah hidup yang aku tempuh. Mestinya aku sudah dipenjarakan pada waktu di SMA kelas dua dulu, karena menabrak dua orang pejalan kaki dengan sedan paman yang aku larikan ketika parkir di rumah. Aku tidak punya rebewes dan belum pernah belajar menyetir mobil. Tapi karena Tantawi, temanku itu punya ayah yang kepala polisi di kota kami, maka aku tidak dipenjarakan. Perkaraku tak sampai dibawa ke pengadilan. Akan tetapi aku harus segera pindah ke kota B. Lalu kami berpisah beberapa lama. namun kami terus berhubungan dengan surat.
Bukan karena jasanya itu aku mengatakan Tantawi, temanku itu, orang baik. Tanpa jasanya itu pun aku harus mengakui, bahwa Tantawi memang orang baik. Sejak aku mulai kenal, ia telah memberi kesan yang meyakinkanku untuk mengakuinya sebagai orang baik. Aku mengenalnya sejak SMP. Aku tidak pernah melihatnya melakukan sesuatu yang ugal-ugalan sebagaimana yang lazimnya kami
lakukan. Bahkan kalau atla keributan dalam bentuk apapun juga, pastilah ia lelah menyingkir jauh lebih dahulu. Bukan karena dia pengecut. Aku tahu pasti hal itu. Soalnya, karena dia sangat menjaga nama baik ayahnya yang jadi kepala polisi.
Waktu menjadi mahasiswa pun namanya tidak tercela. Dia selalu serius dalam belajar. Dan waktu dia jatuh cinta pada teman sekuliahnya, Wati, dia tidak kurang seriusnya dalam bercinta. Lalu mereka segera kawin dan beranak. Waktu itu perkawinan antara mahasiswa tidak sulit. Sebagai bekas lentera Pelajar, Tantawi mudah dapat pekerjaan setelah jadi sarjana muda. Sambil bekerja dan beranak, dia terus juga mengikuti kuliah. Hanya Wati yang tidak meneruskan. Karena baginya lebih penting menjadi seorang ibu rumah tangga sejati daripada menjadi seorang sarjana dan bekerja di kantor.
Sebagai pegawai, Tantawi tetap bertingkah laku seperti biasa. Tidak banyak tingkah. Tidak suka keluyuran ke luar kantor meski di kantor tidak ada pekerjaan. Dia baru keluar kantornya bila memang harus keluar. Umpamanya untuk menghadiri rapat-rapat. Rapat-rapat apa saja macamnya. Menghadiri rapat itu mungkin suatu kesenangan baginya. Sebagai pengimbuh kebosanan duduk di kantor tanpa pekerjaan.
Konon dalam setiap rapat itu, jarang sekali dia ikut berbicara. Kalau pun sampai dia berbicara, bahasanya rapi dan kalimatnya sangat terpelihara, sehingga tidak akan ada orang yang tersinggung. Karena itu pula, orang pada senang kepadanya. Sehingga bila dia dicalonkan jadi anggota panitia atau pengurus organisasi, hadirin akan setuju saja. Tapi yang paling membantunya ialah penampilannya yang memang meyakinkan. Kalau bobot badannya bisa dikurangkan, ia cukup tampan untuk jadi bintang film. Wajah dan postur tubuhnya mirip dengan bintang film Robby Sugara kalau lebih kurus dan kepalanya tidak cepat botak.
Sebagai suami, ia tipe laki-laki yang langka untuk masa kini. Terakhir aku ketemu dengan dia suami-isteri, tiga tahun yang lalu. Wati yang dulunya gadis langsing dengan warna kulitnya yang kuning langsat serta senyumnya yang menawan, telah begitu berubah kelihatannya setelah mereka mempunyai anak-anak yang telah remaja. Wati begitu kerempeng dan malah mulai keriputan. Pertemuan kami tiga tahun yang lalu, tak urung menimbulkan bahan gunjingan anak-anakku yang gadis.
"Payah deh, mandi lulur setiap hari takkan menolong. Dokter bedah plastik pun akan menolak melakukan operasi. Tak ketulurtgan sama sekali. Kasihan si Om Tantawi," katanya kepada ibunya.
Percuma saja usahaku membela Tantawi dengan kesetiaannya yang tak ada bandingannya itu. Tantawi yang begitu tampan. Sikapnya yang tenang, terlihat begitu berwibawa. Dan pangkatnya sudah pegawai tinggi pula saat itu. Meski Wati kelihatan telah lebih tua beberapa tahun, namun kesantunan dan kesetiaan Tantawi tidak pernah berkurang kepadanya. Tapi isteriku bilang, bahwa pada mata Wati selalu terlihat kegelisahan. Gelisah oleh karena kondisi tubuhnya yang begitu cepat menua, sehingga perasaan waswasnya selalu menghantui.
"Ah, jangan pikirkan yang bukan-bukan. Aku kenal betul siapa Tantawi. Sejak kecil ia telah menunjukkan tipe laki-laki yang setia dan tahu menjaga martabat dirinya," kataku.
Tantawi memang orang baik. Aku akan senang dan merasa bahagia sekali kalau bisa membantu menyenangkan hatinya. Bukan karena berkat jasanya yang telah membebaskan aku dari hukuman penjara dulu. Tapi karena dia temanku. Dan temanku ini adalah orang baik, terpercaya dan setia pada prinsip hidup yang lelah ditanamkan oleh ayahnya yang jadi kepala polisi di kota kami pada masa lalu. Maka itulah sebabnya aku segera saja menulis sepucuk surat kecil ke kepala cabang kantorku di kota M, ketika. Tantawi mampir ke kantorku waktu akan pergi
ke kota itu untuk menghadiri suatu konferensi: "Tolong layani sebaik-baiknya, temanku ini, selama di kota Anda," tulisku dalam surat kecil yang kumasukkan dalam amplop yang tidak dilem.
Tapi ketika konferensi itu selesai ia tidak mampir ke kantorku sebelum kembali ke kotanya. Pada hal aku sudah menunggu-nunggu dengan sebuah paket oleh-oleh untuk Wati. Lalu aku menelepon kepala cabang di kota M itu menanyakan apakah Tantawi sudah kembali atau belum.
"Sudah, pak. Dia sudah pulang," jawab Beny dari seberang.
"Kau melayaninya dengari baik?" tanyaku. Karena menurut pikiranku, kalau pelayanan Benv baik, pastilah Tantawi mampir ke kantorku untuk mengucapkan terima kasihnya. Minimal pastilah ia akan menelepon.
"Aku lelah melayaninya dengan baik. Pak. Seperti biasa. Tapi itulah soalnya. Barangkali aku telah salah kasi pelayanan, Pak," Beny menerangkan dengan suara yang penuh sesalan.
"Kau beri apa dia di sana?"'
"Biasa, Pak. Aku kira dia mau. tapi tahunya ditolak."
"Apa yang kau kasi?"
"Biasa, Pak." "Kau kasi cewek?"
"Iya, Pak. Yang tercantik, Pak."
"Astaga. Kau betul-betul jahanam. Masa kau suruh dia begitu-begitu di sana. Apa kau tidak tahu temanku itu orang baik?"
"Ya, itulah, Pak. Saya tidak tahu. Pak."
Aku yakin, pastilah Tantawi sangat marah padaku, karena anak buahku memberinya perempuan. Tapi Beny memang tidak bisa disalahkan, sebab itu salah satu tugas yang perlu dilakukannya bila ada tamu-tamu yang berkunjung ke kotanya. Lalu ia menyamaratakan semua orang. Kini Tantawi merasa tersinggung.
Ketika Beny datang ke kantorku, beberapa waktu kemudian, aku tanya dia tentang kasus temanku, Tantawi yang orang baik itu. Beny menempatkan Tantawi di mess, karena kalau di hotel akan kurang santai. Tantawi merasa senang sekali. Malamnya Beny menyuruh seorang stafnya untuk mencarikan seorang perempuan yang paling top agar diantar ke mess.
"Kata stafku, mereka lama ngobrol macam-macam dengan Pak Tantawi. Hampir dua jam. Pak Tantawi cukup senang. Bahkan matanya sering mencuri pandang pada gadis itu, menurut kata stafku itu, Pak. Tapi ketika ia mau pamit dan hendak meninggalkan perempuan itu, Pak Tantawi menolak. Tapi tidak dengan marah-marah, Pak," keterangan Beny padaku.
Pikirku, dia memang mampu mengendalikan emosinya. Dan tidak marah-marah pada mereka, karena dia tahu mereka hanyalah orang suruhan saja. Namun ia merasa tersinggung rupanya, karena menyangka aku telah mencoba merusak kesetiaannya pada Wati. Lalu aku menelepon ke kantor Tantawi di kotanya. Tapi dia tidak masuk, kata bawahannya. Aku menelepon ke rumahnya. Yang menyahut Wati. Aku mendengar suara Wati tidak bahagia. Meski telah habis kepandaianku bicara tentang hal-hal yang paling menyenangkan, namun nada suara Wati tidak berobah. Lalu aku tanya apakah dia sehat-sehat saja. Jawabnya, dia sehat. Lalu aku beranikan saja menanyakan hubungannya dengan Tantawi. Nada suaranya tambah tak bahagia.
"Tidak. Kami tidak bertengkar. Tidak ada apa-apa yang terjadi antara kami," jawab Wati dari telepon di seberang lautan itu.
"Syukurlah. Aku yakin tidak ada apa-apa dengan kalian. Tapi suaramu kok lain, Wati," kataku.
"Memang tidak ada apa-apa antara kami. Sungguh. Tapi. . ."
Aku menunggu dengan merapalkan gagang telepon ke telingaku.
"Anu. . . sejak kembali dari M, Tawi seperti berobah."
"Berobah? Dia baik-baik saja di sana, bukan? Dan dia pulang segera sehabis konferensi, bukan?"tanyaku.
"Memang. Tapi dia begitu pendiam sekarang. Banyak mengelamun. Aku tidak tahu mengapa. Tapi dia tidak sakit, kok."
Aku ingin mengatakan kepada Wati tentang kesalahan kecil yang dilakukan anak buahku di M. Sebagai hendak mengatakan suaminya orang baik, setia dan tepercaya. Tapi tentu saja aku takkan mengatakannya. Karena bagaimana juga kesalahan kecil itu termasuk rahasia laki-laki yang tak boleh diceritakan pada isteri. Dan sebelum menutup telepon aku bilang pada Wati agar menyampaikan salamku pada Tantawi dan minta padanya kapan-kapan ke kotaku agar jangan tidak mampir.
"Aku sangat marah, karena ia tidak mampir," kataku pada akhirnya.
Enam bulan kemudian Tantawi muncul lagi di kantorku. Bobot badannya memang kelihatan turun. Tapi senyumnya sama seperti masa lalu. Sungguhpun demikian gerak-geriknya terlihat seperti telah berobah. Nampaknya ia memaksakan kelincahan. Dia mengatakan akan ke M lagi. Untuk melakukan studi perbandingan selama seminggu, katanya.
"Engkau mau aku menulis surat buat anak buahku di sana?" tanyaku dengan menyimpan rasa was-was, karena telah terjadi kesalahan kecil dulu itu.
Ia senyum saja. "Kau cukup dilayani di sana dulu? Kau merasa senang?"
"Ya, aku senang sekali di sana," katanya sambil tersenyum.
Lalu aku ambil kertas nota. Aku tulis Layanilah seluruh keperluan temanku ini dengan lebih baik. Aku masukkan ke dalam amplop, tanpa dilem, aku berikan kepadanya. Dan ketika dia sudah pergi, aku menelepon ke M untuk memperingati Beny agar jangan melakukan kesalahan kedua kalinya. Tapi sebaliknya agar dijaga jangan sampai Tantawi kesepian selama di M.
Karena kesibukan oleh pekerjaan aku lupa pada Tantawi dalam masa sebulan waktu berlalu. Dan aku merasa aneh, kenapa ia tidak mampir ke kantorku sebelum kembali ke kotanya. Aku ingin tahu kenapa. Lalu aku menelepon ke kantornya. Dari pegawainya aku mendapat keterangan Tantawi masuk rumah sakit. Seminggu setelah pulang dari M.
"Apa sakitnya tak tahu, Pak. Cuma suka merenung terus. Sesekali suka bicara sendirian," jawab suara dari telepon di seberang lautan itu.
Aku pikir, tentulah anak buahku sudah salah layanan lagi terhadap Tantawi yang orang baik itu. Maka aku menelepon Beny.
"Tidak, Pak. Aku tidak melakukan kesalahan untuk kedua kalinya. Tidak kubiarkan dia kesepian, la kutemani ke rness bersama isteriku sampai dua malam. Pada malam ketiga ia tidak mau keluar kamarnya ketika kami kunjungi lagi. Pak. Malam berikutnya juga begitu. Sampai ia pulang ia suka marah-marah pada pelayan. Kami tidak mengerti, kenapa dia begitu," jawab Beny dengan sedikit ketakutan.
Aku tidak puas. Aku lalu menelepon ke kotanya lagi menanyakan pada dokter yang merawat Tantawi. Tapi dokter itu tidak menerangkan banyak untuk memuaskanku. la hanya bilang, Tantawi menderita sedikit gangguan psikologis. Tidak berat. Meski memerlukan waktu. Pikirku, penyakit temanku itu bukan tidak berat, kalau dokter itu sampai bilang bahwa penyembuhannya akan memerlukan waktu. Menurut dugaanku, tentulah ada sesuatu yang mengganjal hatinya selama di M. Lalu aku ceritakan semua yang kuketahui apa yang dilakukan Beny selama dua kali Tantawi di M.
"Kalau begitu, obatnya ada di mess itu," kata dokter itu setelah agak lama kemudian.
"Di sana tidak ada apa-apanya, dokter," kataku tak paham.
"Perempuan itu obatnya," kata dokter itu dengan tegas.
"Jangan gila-gilaan, dokter. Tantawi orangnya orang baik," kataku dengan marah.
"Ada kalanya laki-laki memerlukan perobahan. Lebih-lebih mengingat isterinya. . ."
Kata-kata dokter itu tak kubiarkan berlanjut. Aku letakkan gagang teleponku. Lalu bersandar di kursi dengan perasaan lemas sambil berpikir. Apakah aku harus membalas jasa Tantawi dulu, hingga aku tak jadi masuk penjara, dengan mengirimnya ke M kalau memang demikian terapinya? Isteriku pasti tidak setuju. Tapi bagaimana pendapat Anda?
5 Sepasang Jas dari Menteri
Saya selalu menderita salah kaprah dalam persoalan stelan jas. Terkecuali pada masa perjaka. Pada masa itu ada rasa keren dan bergengsi bila memakainya. Apalagi kalau melilitkan seutas dasi di leher. Waktu itu aku tinggal di Bukittinggi, kota yang berhawa dingin. Stelan jas memang terasa lebih bermanfaat. Misalnya kalau pulang dari resepsi di Gedung Nasional dengan berjalan kaki di tengah malam, kelopak jas yang lebar itu dapat ditutupkan sehingga seluruh dada terlindung dari serbuan hawa malam. Waktu itu aku punya 2 stelan jas. Satu dengan model dubble brass, dan yang lain model berkancing dua.
Ketika mau kawin, saya memesan satu stel lagi. Modelnya berkancing satu, sesuai dengan mode masa itu. Karena ganjil rasanya kalau penganten baru tidak mengenakan stelan jas pada waktu berkunjung ke rumah sanak-saudara setelah upacara perkawinan rampung dengan selamat.
Setelah itu sava tidak pernah memesan stelan jas lagi. Soalnya, setelah saya menikah perang PRRI meletus dan berkelanjutan dengan kekalutann
tanah air sampai peristiwa G30S meledak yang gemanya begitu lama menghilang. Jangankan membeli stelan jas baru, memakai yang lama saja saya tidak merasa tega. Tapi celananya menjadi usang karena sering dipakai.
Ketika saya dipilih jadi anggota DPRD Propinsi dan akan dilantik, stelan jas menjadi sangat penting. Karena ada kesan, jika tidak memakai stelan jas waktu dilantik, upacara akan bisa batal. Maka dibongkarlah kopor penyimpan jas yang sudah lama terlupakan. Ternyata semuanya sudah menguning dan rusak dimakan rayap. Untuk memesan yang baru tidak mungkin. Selain karena alasan waktu, juga karena tidak punya kelebihan uang. Maklumlah sedang lagi menganggur. Untuk mengatasi masalahnya, saya pinjam stelan jas saudara sepupu. Ukuran tubuh sepupu itu agak tinggi sedikit. Maka waktu dicobakan memakainya, celana agak kedalaman, lengan baju agak kepanjangan. Tapi lak apalah. Pinggangnya nanti bisa dilipat. Sedangkan lengannya bisa disembunyikan dengan terus menerus memasukkan tangan ke kantong baju atau celana.
Demikianlah saya dilantik menjadi "anggota yang terhormat" dengan menggunakan stelan jas kebesaran menurut artinya yang harfiah serta dipinjam dari sepupu yang merasa bersyukur karena saya tidak lagi
menganggur. Akan tetapi masalah stelan jas belum selesai sekian saja. Menjadi anggota DPRD yang selalu dipanggilkan dengan "saudara anggota yang terhormat" itu, perlu menghadiri acara dan upacara protokoler yang mewajibkan semua orang memakai stelan jas. Karena dalam surat, undangan tertera kalimat yang berbunyi: Pakaian Resmi, Lengkap.
Saya adalah orang yang berpikir rasional, menurut pendapat saya. Maka menurut pikiran saya, aturan memakai stelan jas di negeri tropis seperti kota Padang pada upacara siang hari di lapangan terbuka, betul-betul merupakan peraturan yang ngawur. Lagi pula, mengeluarkan uang separoh dari penerimaan anggota DPRD untuk membeli stelan jas yang akan digunakan 2 kali setahun dan masing-masingnya untuk 2 atau 3 jam, betul-betul tidak rasional. Tapi apa yang harus sava katakan, kalau pembuat peraturan itu adalah orang-orang yang memandang bangsa Indonesia telah sama makmurnya dengan mereka? Akibatnya saya tidak pernah hadir pada acara yang undangannya memuat catatan: Pakaian Resmi. Lengkap itu.
Syukurlah. Karena semua orang sependapat, lebih baik tidak hadir pada acara itu daripada datang tanpa stelan jas yang telah menjadi pakaian resmi.
Namun masalah stelan jas itu rupa-rupanya belum akan selesai melingkari hidup saya. Sekali hari seorang penjahit datang ke rumah saya. la membawa guntingan kain wol yang beraneka ragam raginya. Saya disuruh memilih ragi yang saya sukai. Lalu mengukur tubuh saya. Sambil mengukur ia berkata, bahwa ia disuruh ajudan dari Jenderal... Karena jenderal itu mau pindah dan ingin memberi kenang-kenangan buat saya. Luar biasa sekali, kata hati saya. Ketika saya menduga pemberian itu karena jenderal itu tahu saya tidak punya stelan jas, saya termangu.
Waktu Itu saya sedang sakit. Sakit yang rutin mulanya, kiraanku. Akan tetapi tidak kunjung sembuh, setelah memakan obat yang sudah rutin pula untuk penyembuhannya. Sehingga saya perlu ke dokter. Dan dokter memberi saya injeksi 2 kali seminggu selama 10 minggu. Dengan tambahan aturan yang lazim, tidak boleh keluar rumah, terutama malam hari, harus minum susu, makan telor dan berhenti merokok. Akibatnya saya tidak bisa melepas Jenderal. . . ketika berangkat pindah tugas. Dan akibat lainnya saya lupa pada stelan jas di penjahit itu. Si penjahit juga lupa setelah jenderal itu pindah.
172 173 Saya ingat kembali pada stelan jas itu, ketika saya akan ke Belanda. Saya pergi mengambilnya, tapi stelan itu perlu dipaskan ke badan saya. Ternyata celana begitu sempit pada panggul dan pinggang. Baju jas pun sempit pula pada perut saya.
"Penjahit goblok," kata saya dalam hati. Dan penjahit itu sendiripun bingung. Panggul dan perut saya diukur lagi. Dan dicocokkan dengan catatan pada bukunya. Ternyata memang ada selisih yang cukup banyak. Andaikata sedikit saja selisihnya stelan itu masih bisa dipermak, kata penjahit itu. Akhirnya baju sempit itu saya bawa jugalah pulang.
Lalu saya timbanglah badan saya. Dulu normalnya berat badan saya 44 Kg. Akan tetapi ketika ditimbang waktu itu menunjukkan angka 55 Kg. Sudah menjadi abnormal rupanya akibat sakit saya yang sembuh.
Ketika berangkat ke Belanda, saya bawa jugalah jas yang sempit itu. Karena menurut teman-teman yang sudah sering keliling dunia, stelan jas sangat penting. Apalagi datang ke Belanda karena diundang, dan sudah tentu akan ada resepsi atau pertemuan resmi.
"Dan jangan lupa, stelan jas kita kenal lewat Belanda dan orang Belanda terkenal konservatifnya," kata teman-teman itu lagi. Tak apalah, pikir saya, jas itu bisa juga dipakai asal tidak dikancingkan. Sempit sedikit tak akan kentara.
"Siapa tahu, baju sempit sedang jadi mode sekarang di Eropah," kata saya menghibur isteri saya yang risau karena baju jas yang sempit itu. Tapi celananya memang tidak bisa dipakai sama sekali. Dan akhirnya saya turunkan kepada anak laki-laki saya dengan sedikit dipermak.
Berpikir bahwa stelan jas merupakan produk kebudayaan Belanda, maka saya menjadi salah kaprah ketika tiba di Schiphol. Saya keluar dari pesawat dengan memakai jas dan tentu saja dilengkapkan dengan dasi. Yang menyambut saya ternyata hanya memakai jaket saja. Wah. Mulailah saya salah kaprah. Pikir saya, masa saya yang Indonesia pakai jas dan dasi, sedangkan Belandanya sendiri tidak? Kemudian datang seorang Belanda lainnya mendekati saya. Dan menanyakan apakah barang-barang saya sudah cukup. Saya pikir, inilah penyambut saya yang sesungguhnya. Bos dari yang tadi karena ia memakai pakaian yang lengkap, berstelan jas dan berdasi. Akan tetapi ketika ia tiba-tiba mengangkat koper saya, saya menjadi rikuh sekali. Dengan spontan saya cegah ia melakukannya. Tapi ia tidak perduli. Kopor saya dimasukkannya ke ruang bagasi mobil. Saya bingung sekali, seorang bos
yang berstelan jas mengangkat kopor saya. Ternyata kemudian dia bukan bos, melainkan sopir. Dan saya pun bertambah bingung karenanya.
Pada waktu pengundang mengadakan resepsi khusus untuk saya, sekali lagi saya kebingungan dalam memikirkan pakaian yang akan saya pakai. Kalau saya memakai stelan jas, jangan-jangan saya akan disangka sopir. Kalau tidak saya pakai, yang akan saya hadiri ialah resepsi untuk saya dan negeri ini adalah negeri Belanda sumber ilham bangsa Indonesia untuk ikut berstelan jas. Masa bodoh, kata saya. Saya pakai saja jas saya, meski tidak satu stel dengan celana. Benar saja semua orang memakainya. Termasuk staf kedutaan Indonesia. Terkecuali J. Thermoshuizen yang akan menyampaikan pidato. Ia cuma pakai jaket.
Di ruang resepsi, sebelum acara dimulai, semua orang masih berdiri sambil ngobrol. Semuanya mengancingkan jasnya sehingga anggun dan apik kelihatan. Dan saya meniru mereka pula. Namun perut saya harus dikempiskan benar-benar agar kancing jas saya terpasang. Akan tetapi saya khawatir karicing itu akan putus nanti. 'Kan saya perlu bernafas sehingga tidak mungkin perut saya dikempiskan terus menerus. Mudah-mudahan saja mereka tidak melihat saya telah memakai jas secara salah. Kalau pun mereka melihat dan mengejek saya, mereka toh akan tetap di Belanda dan saya akan kembali ke Indonesia. Lagi pula saya datang ke Belanda mewakili diri saya sendiri.
Tapi masalah stelan jas itu belum selesai lagi. Selama di Belanda saya mengambil kesempatan untuk menghubungi suatu Lembaga yang penting bagi kerja sama dengan lembaga yang saya urus. Saya menelepon mereka. Saya diberi waktu dan bahkan diundang makan pada waktu itu. Tentu saja saya mengenakan jas yang sempit itu lagi pada hari pertemuan itu. Waktu saya berkaca di kamar hotel, memang terlihat keren jugalah saya waktu itu. Tapi apa yang saya dapati? Tuan rumah saya hanya mengenakan jaket. Dan ia langsung membawa saya makan ke restoran. Di restoran itulah pembicaraan berlangsung. Dalam hati saya, kalau saya tahu saya tidak perlu datang mengenakan baju sempit ini.
Berpengalaman di Belanda, motto "kleren maken de man" telah usang. "Orang" tidak ditentukan lagi oleh bajunya. Saya buang pikiran yang beranggapan bahwa stelan jas itu adalah resmi dan penting. Di Belanda sendiri ternyata tidaklah seketat apa yang dipikirkan orang Indonesia, kata saya menegaskan diri sendiri. Maka sejak itu saya tidak merasa tertekan lagi bila menghadiri setiap undangan resmi dan protokoler. Saya kenakan saja batik lengan panjang. Akhirnya semua orang menerima kehadiran saya dengan apa adanya. Namun demikian, setiap orang yang tidak mengenal saya akan selalu bertanya pada temannya demi melihat tamu yang berbaju batik. Dan jawab temannya selalu sama, "Ah, dia kan seniman."
Namun masalah stelan jas itu belum selesai sampai sekian. Baru-baru ini saya menghadiri suatu pertemuan sastrawan di negara tetangga yang kaya raya. Di sela acara, seorang menteri ingin menjamu makan siang seorang dari setiap anggota negara peserta. Tempatnya di Hotel Sheraton yang berjarak 50 meter dari hotel tempat saya menginap. Karena begitu dekat, saya pikir, baik saya jalan kaki saja. Tapi rupanya karena diundang menteri, saya tidak dibiarkan jalan kaki. Sebuah sedan Mercedes datang menjemput. Protokol yang berstelan jas terbeliak matanya melihat saya.
"Pak, mengapa tidak pakai stelan jas?" tanyanya, ' "Kenapa?"
Ya, bapak kan diundang menteri. Itu artinya bapak diundang negara. Di undang raja."
"Tapi saya tidak punya stelan jas."
"Waduh, pak. Kalau dari tadi bapak katakan, saya bisa carikan."
"Kalau begitu tak usah saja saya ikut."
"Oh, jangan, pak. Itu sama saja artinya dengan bapak menolak undangan menteri," katanya pula seraya menggaruk belakang kepalanya sehingga kopiahnya terjongkek ke depan.
Nampak sekali wajahnya risau ketika mengantarkan saya ke lobby hotel. Banyak orang telah hadir. Semuanya dengan stelan jas. Dan semua mata memandang saya dengan cahaya mata yang memudar serta senyum terhejan, tidak seperti biasanya kami ketemu. Sambutan demikian saya rasakan karena saya mengenakan baju batik saja. Batik meteran malahan. Karena tahu diri saya memencil. Tapi karena tahu saya dari Indonesia, wakil bangsa, saya sesali diri sendiri.
Ketika menteri datang, semua kami berdiri. Menteri menyalami kami satu demi satu. Tiba salamnya di tangan saya, saya rasakan tangannya tidak menggenggam dan matanya lewat melampaui mata saya. Pastilah ia tersinggung.
Di meja makan saya dapat kursi di sebelah kiri teman dari Malaysia. Dan orang Malaysia itu duduk persis di hadapan menteri. Artinya saya juga duduk di hadapan menteri. Sedang makanan dihidangkan orang-orang berbicara. Sedang makan pun mereka bicara. Menteri bicara dengan orang Malaysia di sebelah kanan saya. Orang yang di sebelah kiri saya berbicara dengan orang yang sebelah kirinya lagi. Dan yang di depan saya sudah punya teman bicara. Sayalah satu-satunya yang tidak kebagian teman bicara. Sehingga makanan yang tidak serasi dengan lidah saya itu, kian tidak enak rasanya. Alangkah tingginya nilai sepasang jas, pikir saya.
"Pak Navis mau tinggal di sini?" tanya menteri tiba-tiba setelah semua piring disingkirkan.
Kagok juga saya oleh pertanyaan yang tiba-tiba itu," Saya tidak bisa berpisah dengan keluarga, Pak Menteri," kata saya.
"Bawa mereka ke sini. Tinggal di sini," katanya pula.
Saya bertambah kagok lagi. Lalu saya katakan saya sudah merasa senang tinggal di Indonesia.
"Apa senangnya? Mungkin di sini akan lebih, barangkali," kata menteri itu pula.
"Di Indonesia hidup memang sulit, Pak Menteri. Tetapi bila setiap kesulitan telah bisa diatasi, di situlah letak kebahagiaan, Pak Menteri. Dan anak-anak pun setiap hari belajar mengatasi kesulitannya sendiri dengan berbagai alternatif," kata saya dengan merendah.
Menteri pun terpana nampaknya. Dan saya bahagia telah mampu mengatasi suatu kesulitan yang baru saja ditemui.
Baru saja saya sampai di rumah lagi, isteri saya menyambut dengan berbagai macam cerita duka. Seorang anak sepupunya meninggal di rumah sakit karena terlambat mendapat donor darah. Seorang ipar saya meninggal ditabrak truk ketika ia pergi ke mesjid untuk mengucapkan azan subuh. Tak seorangpun sanak saudara yang mampu menjenguk ke Medan karena tidak punya uang. Pertunangan si Mona putus karena tak mampu menyediakan uang biaya pesta di rumah tunangannya. Malik, anak ipar isteri saya bakal tak jadi sarjana tahun ini. Karena dosen pembimbing belajar ke luar neceri, sedang dosen pembimbing yang baru menaruhnya melakukan riset yang lain. Biaya riset yang lalu saja, telah menghabiskan uang setengah juta. Dari mana lagi ia dapat uang?
Rupanya kebahagiaan didapat bukan karena saya mampu mengatasi kesulitan seperti saya katakan pada menteri di Hotel Sheraton itu. Melainkan karena kemampuan membiarkan setiap kesulitan datang bersarang. Akibat pikiran itu saya susah tidur. Akan tetapi wak tu tertidur saya bermimpi. Saya mendapat kiriman stelan jas wol keluaran Inggeris dari menteri di Hotel Sheraton itu. Waktu saya cobakan, ternyata stelan jas itu kelewat besar.
Mimpi itu saya ceritakan kepada anak-anak di meja makan. Tentu saja saya menceritakan apa dan siapa menteri yang mengirimkan stelan jas itu.
Anak laki-laki saya yang mahasiswa menyeletuk, "Memang baju menteri terlalu besar buat ayah."
Saya tersentak mendengar komentar yang kurang ajar itu. Dan semua mereka tertawa. Saya buru-buiu minum, sambil berkata dalam hati, "Tidak ada yang berpendapat bahwa semua orang telah salah mengukur saya."
Akan tetapi air di gelas saya telah sedikit, kesenakan saya tak teratasi pula.
182 I Gaijin 6 Raja Petir 10 Sengketa Pewaris Tunggal Boneka Hidup Beraksi Dua 1

Cari Blog Ini