Ceritasilat Novel Online

Kidung Malam Mahabarata 1

Kidung Malam Mahabarata Karya Herjaka Hs Bagian 1


?Sumber : http://www.tembi.org/
Oleh : Herjaka HS Kidung Malam (01) Malam bulan tua itu semakin larut. Melalui cahaya bintang yang bertaburan, di langit hitam, tanah Hastinapura masih menampakkan kesuburannya. Bagi kawula yang pada umunnya bekerja di siang hari, malam itu bagaikan selimut tebal yang memberi kenyamanan untuk terlelap dalam tidur, agar esok pagi dapat bekerja kembali dengan pikiran yang jernih dan badan yang segar. Namun, tidak demikian bagi mereka yang mempunyai tugas dan kewajiban pada malam hari, terlebih bagi para petugas jaga, baik yang berada di pelosok desa maupun yang berada di pusat kota-raja. Bagi mereka, malam adalah bayangan misterius yang harus diwaspadai, karena dia dapat dengan tiba-tiba menampakkan wujudnya yang sangat mengerikan. Untuk menjaga agar malam berlalu dengan selamat, sesekali mereka melantunkan mantra kidungan;
Ana kidung rumeksa ing wengi, teguh ayu luputa ing lara, luputa bilahi kabeh, jim setan datan purun, paneluhan tan ana wani, miwah panggawe ala, gunane wong luput, geni atemahan tirta, maling adoh tan wani perak mring mami, tuju duduk pan sirna
Sementara itu, di bawah cahaya lampu minyak yang ditempatkan di depan gerbang cepuri kraton, tampaklah seorang setengah baya, mukanya hitam dan kakinya pincang, berjalan diapit oleh dua orang punggawa raja. Mereka melangkah memasuki pintu cepuri, menuju sebuah ruangan.
"Kakanda Destarastra"
"O, adinda Yamawidura, engkau sudah datang. Mendengar suaramu, hatiku yang gelisah menjadi pasrah."
"Terimakasih Kakanda Prabu, aku merasa sangat berarti di hadapanmu."
"Sungguh, engkau sangat berarti adikku, tidak hanya untukku, tetapi juga bagi Negara Hastinapura."
"Janganlah membuatku seorang sudra ini menjadi semakin kecil dan kerdil, karena pujian Kakanda Prabu, seorang raja besar Hastinapura."
"Memang benar, engkau lahir dari ibunda Rara Katri dari kalangan sudra, namun darah sudra tidak nampak dalam pribadimu. Pengamatanmu tajam dan waskitha, wawasanmu luas, engkau laksana seorang Brahmana. Oleh karenanya, malam ini aku memanggilmu agar engkau menyuarakan kebenaran di tengah-tengah kegelisahan hatiku."
"Kegelisahan apakah yang membuat Kakanda Prabu gundah?"
"Anak-anakku menginginkan tahta Hastinapura."
"O kakanda, kegelisahan itu tidak hanya milik Kakanda Prabu, tetapi milik seluruh rakyat Hastina. Aku khawatir firasatku menjadi kenyataan"
"Engkau mempunyai firasat apa, Yamawidura?"
"Perang saudara kakanda"
Destarastra terkesiap, matanya yang buta menerawang jauh ke masa depan, yang penuh dengan konflik untuk memperebutkan tahta Hastinapura. Apa yang diucapkan adiknya tergambar jelas di benaknya. Dan tanda-tanda ke arah perang saudara sudah mulai tampak. Semenjak meninggalnya Pandudewanata seratus anaknya, atau para Kurawa mendesak Destarastra, agar Duryudana, sebagai saudara sulung Kurawa, diangkat menjadi pangeran pati untuk disiapkan menjadi raja Hastinapura.
"Yamawidura, dapatkah perang saudara dihindarkan?"
"Tentu saja dapat, bergantung Kakanda Prabu"
"Apa yang harus aku perbuat?"
"Kakanda prabu sudah mempunyai jawabannya, di dalam lubuk hati yang paling dalam."
Malam merambat perlahan. Sepeninggalnya Yamawidura, Dewi Gendari menghampiri Destarastra.
"Kanda Prabu, malam menjelang akhir, tidurlah, banyak tugas menanti di esok hari."
"Permaisuriku, bagiku malam dan pagi tidak ada bedanya, yang membedakan adalah perasaanku. Aku ingin menikmati malam ini sepuasnya. Sepanjang hidup belum pernah aku mengalami perasaan seperti malam ini."
"Kanda Prabu, jika demikian, tentunya malam ini menjadi malam yang sangat khusus dan istimewa, karena belum pernah terjadi sebelumnya. Untuk itu ijinkanlah aku ikut menikmati keistimewaan malam ini bersama kakanda prabu, satu-satunya laki-laki paling istimewa di seluruh bumi Hastinapura."
"Engkau memang selalu ada bersamaku Gendari. Tak terkecuali untuk malam ini. Malam yang paling menggelisahkan."
"Jika diperkenankan, bolehkah saya mengetahui tentang kegelisahan itu"
"Peri hal permintaan anak-anak kita"
"Mohon maaf Kanda Prabu, masih ingatkah ucapan kanda prabu, ketika anak kita berada dalam rahimku."
"Ya, aku ingat, aku akan memberikan sesuatu yang terbaik bagi anak-anak kita."
"Kanda Prabu, sesuatu yang terbaik memang pantas diberikan untuk anak kita. Maafkan kanda prabu, bukankah permintaan anak-anak kita adalah sesuatu yang terbaik? Menjadi raja, berkuasa di sebuah negara besar Hastinapura."
"Namun bagaimanapun juga, mengangkat Duryudana menjadi raja adalah salah. Bukankah tahta Hastinapura adalah titipan dari Prabu Pandudewanata. Jika sekarang adinda Pandu wafat, tentunya hak atas tahta Hastinapura berada di tangan anak-anak Pandu, yaitu para Pandawa. Apa jadinya kalau kita memaksakan kehendak? Tentu para Pandawa akan menuntut haknya sehingga terjadilah perang saudara seperti yang dikatakan Yamawidura."
"Negara Hastina adalah titipan, itu benar kakanda. Namun bukan dari Pandu semata, melainkan dari para pendahulu, termasuk juga rakyat Hastinapura. Ampun Kanda Prabu, sesungguhnya kita semua berhak untuk mengatur, menjaga, memelihara dan mengembangkan Negara Hastina demi kemakmuran rakyat. Jika anak-anak kita mampu untuk menjalankan tugas itu serta membawa kejayaan negeri ini di mata dunia, mengapa tidak kita beri kesempatan.?"
"Tetapi bagaimanapun juga, kata-kata Adinda Yamawidura tentang perang saudara sangat menggelisahkan."
"Kita orang lemah Kanda Prabu. Jangan paksakan menyangga kegelisahan ini sendirian! Aku senantiasa ada di sampingmu. Kanda Prabu, kita nikmati bersama kegelisahan ini, pasrahkan kepada Hyang Maha Agung, maka akan ringanlah jadinya."
Kata-kata yang diucapkan Gendari mengalir lembut bak selendang bidadari mengusap dadanya yang sesak karena kegelisahan. Sejenak Destarastra melupakan kegelisahannya. Diciumnya kening Gendari yang kuning bercahaya dengan penuh kasih cinta. Dan Gendari pun menyambut dengan pelukan mesra. Keduanya perlahan rebah di tilamsari nan indah. Sisa malam itu menjadi milik mereka berdua. Sementara itu, sayup-sayup terdengar dari kejauhan mantra kidungan: Ana kidung rumeksa ing wengi . Dan malam pun berlalu dengan selamat.
Kidung Malam (02) Tahta dan Kewibawaan Pagi itu udara segar, langit cerah. Burung bernyanyi bersautan, ayam jantan berkokok bersusulan. Pertanda hari baru mulai dibentangkan. Negara besar yang bernama Hastinapura mengawali hari itu dengan mengadakan pasowanan agung. Sang Prabu Destarastra duduk di dampar kencana, beralaskan beludru hitam beraroma bunga melati. Sang raja memakai mahkota Jamang Mas bersusun tiga, didampingi sang prameswari Dewi Gendari, dan dikelilingi para emban, cethi, keparak, manggung. Hadir dalam pasowawan agung tersebut, Patih Sengkuni, Resi Bisma, Yamawidura, para tumenggung, mantri, bupati, demang, lurah, sentana, nayaka dan para kawula.
Menurut silsilah, Prabu Destarastra adalah anak sulung raja Hastinapura yang bernama Abiyasa atau Prabu Kresnadwipayana dengan Dewi Ambika. Namun karena ia buta, maka yang diangkat sebagai raja, anak ke duanya yang bernama Pandudewanata. Pada masa pemerintahan Pandu, Negara Hastinapura mengalami kemajuan pesat, kesejahteraan meningkat, kejayaan negeri terangkat. Namun sayang, pada puncak pemerintahannya, Pandudewanata mendapat kutuk dari Resi Kimindama. Ia beserta ke dua permaisuri, Dewi Kunthi dan Dewi Madrim, terpaksa meninggalkan tahta dan menitipkannya kepada Destarastra. Namun sebelum berhasil melepaskan kutuk, Pandu wafat. Hingga sekarang Destarastralah yang memegang tahta Hastinapura. Tahta itu telah memberinya segalanya, kesenangan kepuasan, kekuasaan, kekayaan, kebesaran, kewibawaan dan keagungan. Betapa nikmatnya tahta itu. Semakin lama duduk di atas tahta, akan semakin nikmat rasanya.
Ya itulah tahta, sesuatu yang terbaik di bumi Hastinapura. Berikanlah yang terbaik kepada anak-anak kita, kata Gendari terngiang ditelinga Destarastra. Tidak! Itu bukan yang terbaik, karena hal itu dapat menjerumuskan anak-anak kita ke dalam perang saudara. Namun dikarenakan bujukan Gendari tak pernah henti, Destarastra terombang-ambing, antara mempertahankan atau menyerahkan tahta. Jika menuruti pikirannya, tahta akan dipertahankan untuk isteri dan anak-anaknya. Namun jika menuruti kesadarannya, tahta akan diserahkan kepada anak-anak Pandudewanata.
Untuk mengatasai konflik batinnya, Destarastra mengadakan Pasowanan agung, untuk menyampaikan niatnya kepada para tetua dan penasihat negri, bagaimana pendapat mereka jika anak-anak Pandudewanata diboyong di Hastinapura, agar diantara Kurawa dan Pandawa dapat hidup berdampingan dengan damai, bahu-membahu membangun negeri dan meneruskan kejayaan Hastinapura.
"Sinuwun Prabu sesembahan hamba, hamba menyetujui rencana sinuwun Prabu memboyong anak-anak Pandudewanata, dan hamba akan mempersiapkan upacara besar-besaran menyambut kedatangan mereka."
"Sengkuni, penyambutan itu tidak perlu dengan kemewahan. Semenjak Negara Hastina ditinggalkan Pandudewanata, banyak kawula yang hidup dibawah garis kemiskinan. Melihat kenyataan itu, apakah engkau sampai hati menghamburkan kemewahan, di tengah-tengah kemiskinan, hanya demi sebuah upacara? Bukankah yang terpenting adalah keselamatan para Pandawa?"
"Maafkan hamba dhuh Sang Maha Resi Bisma, sesungguhnya maksud hamba tidak lain kecuali demi menjaga kewibawaan Raja."
"Ada cara lain untuk menjaga kewibawaan raja, tidak dengan kemewahan dan kekuatan. Di tengah-tengah keprihatinan, seorang raja akan semakin berwibawa jika dia rela menanggalkan kewibawaanya dan bersama-sama dengan kawula ikut merasakan dan menjalani keprihatinan." sahut Bisma.
"Ampun Kakanda Prabu." Sela Yamawidura. "Benar apa yang dikatakan Paman Resi Bisma, bahwa kewibawaan tidak terletak pada kemewahan, kekuatan dan simbol-simbol raja yang ada di keraton, tetapi kewibawaan raja ada pada mereka, para kawula. Bukankah tahta dan mahkota tidak ada artinya jika tanpa kawula? Dan tepatlah kiranya jika Kakanda Prabu memboyong Pandawa di Hastinapura. Dengan kebijaksanaan tersebut, rakyat akan menilai bahwa Kakanda Prabu memperhatikan mereka, mendengarkan suara mereka, serta merasakan jeritan hati mereka yang dirundung rindu kepada anak-anak Pandudewanata."
Yamawidura memang dikenal sebagai penasehat bijaksana dan waskitha. Para sesepuh dan Destarastra menyetujui saran Yamawidura. Maka segeralah diputuskan hari pelaksanaan memboyong Pandawa, Yamawidura diangkat menjadi duta, menemui Begawan Abiyasa di Saptarengga, untuk memboyong Kunthi dan ke lima anaknya.
Pada hari yang ditentukan, sejak pagi kawula berduyun-duyun memenuhi alun-alun dan ruas-ruas jalan yang akan di lewati anak-anak Pandu. Dengan kesadaran dan ketulusan hati, para kawula memasang umbul-umbul, rontek, bendera, penjor dan macam-macam hiasan untuk menyambut anak-anak Pandu. Hastinapura berubah wajah. Ibarat seorang gadis sedang bersolek, untuk menyambut kekasihnya yang telah lama berpisah. Waktu itu, ketika Pandudewanata, meninggalkan Hastinapura, rakyat mengiring dengan tetesan air mata. Nestapa Pandudewanata adalah duka kawula Hastinapura. Setelah lama berpisah, hari itu, kerinduan antara kawula dan raja tumpah kepada anak-anak Pandudewanata.
"Hore! Horeee! Calon Raja kita datang."
"Hidup calon Raja!"
"Hidup anak Pandu!"
"Hiduuup!" Sepanjang jalan para kawula Hastinapura mengelu-elukan. Mereka saling berebut ingin melihat dari dekat putra-putra Pandudewanata. Pancaran kebijaksanaan Puntadewa, kekokohan Bimasena, ketampanan Harjuna, ketenangan Nakula dan kecerdasan Sadewa, mampu mengundang kekaguman rakyat Hastinapura. Ketika kereta yang ditumpangi Dewi Kunthi melintas di depan mereka, ada rasa iba tersembul dari ekspresi wajah rakyat Hastinapura, tatkala melihat kerut-kerut wajah wanita setengah baya itu menggoreskan penderitaan yang teramat dalam.
Sore hari, setelah upacara Pandawa Boyong usai. Jalan-jalan menuju kotaraja menjadi lengang, alun-alun kembali sepi. Prabu Destarastra termenung, merasakan peristiwa yang baru saja berlalu.
"Gendari, Benar apa yang dikatakan Yamawidura bahwa kewibawaan tidak berada pada simbol raja. Tanpa simbol-simbol raja, anak-anak Pandudewanata disambut bak raja besar, melebihi raja yang berkuasa. Itu artinya bahwa simbol-simbol raja yang aku pakai selama ini kosong, dan isinya ada di tangan anap-anak Pandu. Untuk itu sudah sepantasnya tahta Hastinapura aku berikan kepada Pandawa"
"Jangan Kanda Prabu, Kakanda harus mempertahankan tahta Hastinapura"
"Mempertahankan tahta tanpa kewibawaan?"
"Bukankah Kanda Prabu yang memegang kekuasaan dan menguasai negeri ini? Termasuk menguasai kewibawaan. Jika kewibawaan itu diyakini berada di tanggan Pandhawa kita akan merebutnya dan memberikan kepada para Kurawa. Ingat! Kakanda, kita belum memberikan yang terbaik untuk anak-anak kita."
Sore menjelang malam, langit menjadi semakin merah. Cahaya matahari mulai enggan menambah panasnya Bumi Hastinapura yang kian panas, sepanas hati Dewi Gendari.
Kidung Malam (03) Menyalahgunakan Kekuasaan
Beberapa pekan berlalu, Kunthi beserta kelima anaknya tinggal di Keraton Hastinapura. Walaupun sejak kecil hidup di pegunungan, mereka tidak canggung menjalani hidup mewah di istana. Karena di Saptarengga Begawan Abiyasa menggembleng dan membekali mereka dengan berbagai ilmu, unggah-ungguh, dan hukum tatanegara. Maka tidak mengherankan, dalam usia belia, Pandawa telah menunjukkan kematangannya.
Patih Sengkuni dan ke seratus anak Destarastra, tidak senang melihat kelebihan bocah-bocah Pandawa. Padahal usia mereka sebaya dengan Kurawa. Rasa dengki dan benci merambat dari dasar hati. Mereka lupa bahwa para Pandawa adalah adik keponakannya, yang seharusnya ikut bangga karena kelebihannya. Tetapi sayang, hati mereka ditutup oleh kemewahan. Pikiran mereka dibelenggu oleh kekuasaan dan bahkan mata mereka silau akan tahta.
Harapan Destarastra memboyong Pandawa ke keraton, agar diantara Pandawa dan Kurawa hidup rukun berdampingan Namun harapan tersebut tidak kesampaian. Sesama cucu Abiyasa itu ibaratnya air dan minyak, tidak pernah rukun. Duryudana dan adik-adiknya selalu mencari dan membuat masalah. Dengan berlindung dibawah kekuasaan Prabu Destarastra, para Kurawa memamerkan kekuatan untuk menghasut kawula Hastinapura. supaya di mata rakyat, Pandawa tidak memiliki kepantasan menjadi raja.
"Hai Para kawula! Tidak sadarkah kalian, bahwa Abiyasa telah membelokkan tahta Hastinapura? Bukankah yang berhak menjadi raja adalah putra sulung laki-laki dari raja yang berkuasa? Siapakah anak sulung Abiyasa, pada waktu ia menjadi raja dengan gelar Prabu Kresnadwipayana?"
"Destarastraaa!" teriak para kawula di kasatriyan Banjarjungut.
"Dan siapakah anak sulung Prabu Destarastra, raja kita sekarang?"
"Duryudanaaa!" "Jelas bukan! Siapa yang lebih berhak menduduki tahta Hastinapura?
"Duryudana!" "Bagus! Suara kalian adalah suara kejujuran. Dan Duryudana merupakan pilihan kejujuran. Jika negeri ini diperintah dengan jujur, tidak ada penyelewengan, maka Hastinapura akan aman dan makmur." Dursasana menegaskan.
Lepas dari benar dan tidaknya bahwa sesungguhnya yang berhak menduduki tahta adalah Duryudana, para kawula sudah mempercayakan kewibawaan dan kebesaran Hastinapura kepada Pandawa. Maka jika nanti Prabu Destarastra memberikan tahta kepada Duryudana, putra sulungnya, kawula akan terluka. Hastinapurapun berduka.
Panas udara kotaraja Hastinapura di malam Anggorokasih itu. Dewi Gendari mengajak Destarastra keluar cepuri untuk merasakan tiupan angin malam di Taman Candrakirana, barangkali hal tersebut dapat melepas kegerahan.
"Kanda Prabu, apakah yang Kanda pikirkan. Raut muka kakanda menyisakan kekece-waan. Tidakkah kanda menikmati indahnya suasana malam di Taman Candarkirana ini?"
"Dinda Gendari, apakah engkau tidak merasakan penderitaanku?"
"Kakanda, derita kita adalah satu, apa yang Kanda derita, juga aku derita. Katakanlah Kanda tentang derita itu!"
"Gendari. Selama aku memerintah belum pernah aku mengecewakan rakyat. Kebijaksanaan yang aku putusan selalu berdasarkan suara dan kebutuhan rakyat. Tetapi engkau merasakan sendiri, apa yang kudapat atas jerih payahku, kecuali hanya tahta kosong tanpa wahyu dan kewibawaan. Suara rakyat yang mengelu-elukan kedatangan para Pandawa, bukti bahwa mereka mendambakan raja baru yang dapat membawa kemakmuran. Itu artinya bahwa rakyat kecewa dengan pemerintahanku tanpa aku ketahui penyebabnya. Aku mulai curiga bahwa aku telah dikkianati. Laporan yang aku terima dari orang-orang kepercayaanku, tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Mereka memanfaatkan kebutaanku. Aku telah dihina, dikhianati, Keparaaat!! Rasakan aji lebur sekethi!"
Brooll! Beteng taman di depan Destarastra hancur rata dengan tanah, digerayang tangan Destarastra yang telah dialiri aji lebur sekethi. Dewi Gendari gemetar ketakutan melihat kemarahan Destarastra.
"Ampuuun Kanda Prabu, jangan hancurkan negeri ini! Apakah Kanda tega meninggalkan puing-puing kebobrokan kepada anak cucu kita?"
"Gendari, jangan halangi aku! Jika engkau tidak menginginkan negeri ini luluh lantak oleh aji lebur sekethi, panggil Patih Sengkuni. Cepaaat!!"
Untuk sesaat darah Gendari berhenti mengalir mendengar nama Patih Sengkuni disebut. Apakah Destarastra mengetahui bahwa Patih Sengkuni telah berkhianat? Wah gawat! Tidak terbayangkan apa jadinya seandainya pada saat kemarahan memuncak, Sengkuni berada di depan Destarastra.
"Ampun Kanda Prabu, redakan gelombang kemarahan dan berpikirlah dengan jernih. Dalam kejernihan hati Kanda Prabu akan dapat melihat dengan jelas persoalannya dan mencari jalan keluarnya."
"Gendari, semuanya sudah jelas, bahwa aku dikhianati. dan bawa pengkhianat itu ke hadapanku."
"Kanda Prabu, Patih Sengkuni adalah adik kandungku, aku mengetahui apa yang dikerjakan selama ini. Ia bukan seorang pengkhianat Ia telah bekerja keras siang malam demi Kanda Prabu."
"Gendari justru karena ia adikmu, engkau menutupi kesalahannya."
"Ampun Kanda Prabu, beri kesempatan untuk membuktikan bahwa kecurigaan Kakanda tidak benar."
"Jangan tunda waktu, lakukan itu!"
"Baiklah Kakanda. Perintah ini adalah perintah seorang raja. Raja Hastinapura yang besar dan agung. Sebagai kawula aku akan melaksanakannya dengan penuh pengabdian dan ketulusan. Mohon doa restu Kanda Prabu, agar aku dapat segera menemukan orang yang telah merongrong kewibawaan raja dan mereka yang berkhianat."
Destarastra sedikit lega, atas kesanggupan Dewi Gendari. Angin malam bertiup dingin. Mendinginkan hati Destarastra. Sehingga ia membiarkan tangannya dipegang lembut oleh Dewi Gendari untuk kemudian dituntun masuk ke dalam kedhaton.
Sebelum memasuki pintu kedaton, tiba-tiba mereka menghentikan langkahnya mendengar auman serigala di Taman Candrakirana. Auman itu mengingatkan tangis seorang bayi sulung yang kemudian diberi nama Duryudana. Suara si bijak Yamawidura terdengar kembali, ?hendaknya kakanda Destarastra membuang bayi yang tangisnya menyerupai lolongan serigala itu di sungai, karena bayi yang berciri demikian akan membawa bencana besar.?
Kidung Malam (04) Awal Sebuah Pertikaian Di dalem kasatrian Hastinapura, Puntadewa berkumpul dengan kedua adiknya, Suasana sedikit hening. beberapa pohon sawo beludru yang berada di halaman memantulkan cahaya matahari ke wajah mereka, melalui balik daun-daunnya yang berwarna ke coklat-coklatan. Siang itu, saat istirahat, wanci bedhug tengange, Semar memanfatkan waktunya untuk mengunjungi momongannya.
"Dhuh bendara kula, Puntadewa, Bimasena, Harjuna, ada goresan sendu di wajah kalian. Adakah sesuatu perkara besar yang melebihi kemampuan kalian untuk menanggungnya, sehingga menggelisahkan hati?"
"Eyang Semar, engkau sungguh seorang punakawan pinunjul, mampu merasakan apa yang kami rasakan. Memang benar, ada perasaan yang menyesak hati. Keberadaan kami di Hastinapura rupa-rupanya tidak dikehendaki oleh para Kurawa. Mereka menunjukan sikap tidak bersahabat, bahkan mengarah pada permusuhan. Gerak-gerik kami dicurigai, kami dilarang keluar masuk benteng untuk bertatap muka dengan para kawula, sehingga kami jadi serba salah untuk melakukan sesuatu."
"Dhuh bendara kula, dengan keadaan yang kurang menguntungkan tersebut bukan berarti kalian tidak dapat berbuat sesuatu. Bagi orang bijak, waktu jangan disia-siakan. Setiap denyutnya harus membawa manfaat. Pekerjaan itu jangan ditunggu, tetapi dikerjakan. Dharma bakti jangan dinanti, tetapi dijalani."
"Eyang Semar, kami menjadi bingung, apa yang musti kami kerjakan?"
"Dhuh adhuh, ndara, ndara, bendara kula. Sampeyan itu bagaimana ta? Di Saptarengga eyangmu Abiyasa telah mengajari banyak hal, baru beberapa bulan hidup di istana, rasa pangrasa kalian menjadi tumpul. Apakah kalian tidak melihat dan merasakan kehidupan di lingkungan beteng jero ini. Para abdi menjadi korban kebijakan raja, hidup dalam penderitaan dan tekanan. Mereka butuh dibela, dilindungi dan dibebaskan dari berbagai ancaman. Sebagai seorang satria masihkan kalian bertanya, apa yang musti dikerjakan?"
"Eyang Semar, kami telah mencoba melakukan hal itu, namun kami malahan dituduh menentang kebijaksanaan raja dan membuat onar di beteng jero ini"
"Kalian memang harus cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati. Kalian dapat melakukan sesuatu untuk sebuah keadilan, tanpa harus menimbulkan kecurigaan dan membuat keonaran. Jangan berhenti karena dihalangi! Karena sesungguhnya pekerjaan mulia tidak akan pernah selesai hanya dengan berpangku tangan dan keragu-raguan." Tanpa menunggu jawaban, Semar segera melangkah pergi. Kakinya yang besar dan kokoh menapaki hamparan pasir, melewati sela-sela pohon Sawo Beludru. Puntadewa, Bimasena dan Harjuna terpaku diam. Mereka menatap kepergian Semar hingga hilang ditelan pintu seketeng.
Siang itu matahari tak terhalang mega, wajah mereka yang merah karena teguran Semar, semakin memerah diterpa pasir di halaman Kasatrian yang beterbangan tertiup angin. Dari pandangan matanya dapat diketahui bahwa perasaan mereka sangat terpukul. Mereka menyadari ketidak mampuannya menghadapi sebuah suasana yang sengaja dibuat untuk semakin memojokkan mereka.
Tiba-tiba siang yang hening itu pecah oleh kegaduhan para Kurawa yang datang di Dalem Kasatrian. Disertai teguran sinis, mereka menghampiri Puntadewa dan adik-adiknya. Ketiga anak Pandu itu diam saja. Suara yang tidak mengenakan dan menyakitan itu, sudah terbiasa keluar dari mulut para Kurawa.
"Huaa ha ha! Bingung! Linglung! Pantas saja anak gunung di kraton bingung. Ha ha ha. Bukankah hidup di keraton menyenangkan? makan enak, tidur nyenyak, apakah masih kurang? Apakah menginginkan wanita sintal manis, cantik bahenol? Huaaaa "
"Hmm, jaga mulutmu Kakang Dursasana, jika tidak ingin aku robek."
Para Kurawa terdiam, mereka tergetar oleh kata-kata Bimasena. Puntadewa mencoba meredakan ketegangan.
"Sebagai saudara tua yang kami hormati seharusnya kalian tidak mengeluarkan kata-kata pedas menusuk, karena sesungguhnya kami ingin hidup berdampingan dengan damai. Di Hastinapura ini bukankah tidak ada perbedaan diantara kita"
"Tidak berbeda dengan kami? Hua ha ha ha. menggelikan! Kami adalah para putra raja yang hidup di keraton, sedangkan kalian adalah anak Pandhu yang hidup di hutan."
"Tetapi Ramanda Pandhu adalah raja yang berhak atas tahta Hastinapura."
"Orang mati tidak dapat naik tahta. Tetapi kalau memang kalian ingin diperlakukan sama seperti putra raja, silakan minta dikeloni arwah bapakmu, huaaaaa." ejek Dursasana.
"Hmm, kurang ajar."
Bimasena tak mampu menahan amarah ketika ayahnya yang sudah meninggal dihina. Duryudana dan Dursasana yang berada dipaling depan, dihampirinya dengan kakinya, Keduanya jatuh terlentang menyentuh pasir. Para kurawa maju mengerubut. Belum berlanjut keributan itu, tiba-tiba terdengarlah suara yang sudah tidak asing di telinganya.
"Bima anakku." Ditolehnya arah datangnya suara. Ia melihat Dewi Kunthi ibundanya dan Yamawidura pamandanya telah berada diantara Puntadewa dan Harjuna. Bersamaan dengan itu Para Kurawa meninggalkan Kasatrian.
"Bima, jaga amarahmu, tidak ada gunanya membuat onar di negri yang kita cintai ini."
"Benar kata ibumu Kunthi, jika nafsu amarahmu kau biarkan liar, akibatnya akan merugikan negri, mencelakai sesama dan menghancurkan diri sendiri."
Tanpa sepatah katapun Bimasena berjalan memasuki dalem kasatrian, diikuti oleh Kunthi, Yamawidura dan kedua adiknya.
Sesampainya di ruang tengah, mereka duduk bersama. Dalam kesempatan tersebut, Yamawidura menyampaikan perkembangan terbaru yang menyangkut keberadaan Anak-anak Pandu di Negara Hastinapura. Ada sekelompok petinggi Negri dan para bangsawan yang membuat laporan, bahwa semenjak Pandawa memasuki kota raja, kewibawaan raja berangsur-angsur surut. Jika hal ini dibiarkan, pada saatnya nanti wahyu raja akan berpindah kepada Pandhawa. Maka jalan satu-satunya yang harus dilakukan adalah mengusir Pandawa dari Bumi Astinapura.
"Aku sudah mengingatkan kepada Raja, agar meneliti terlebih dahulu kebenaran laporan itu sebelum mengambil keputusan. Namun omongan Sengkuni dan Gendari lebih berpengaruh. Kakanda Prabu memutuskan, kalian diusir dari Hastinapura. Namun ada secercah harapan, ketika Kakanda Prabu masih mendengarkan suaraku, untuk tidak mengusir kalian keluar dari bumi Astinapura. Ia memperbolehkan aku memboyong kalian di Panggombakan, yang masih terhitung wilayah Hastinapura."
Malam itu malam purnama, Kunthi, kelima anaknya dan Yamawidura meninggalkan kotaraja Hastinapura. Tidak seperti ketika mereka memasuki kotaraja, kali ini, disepanjang jalan yang dilaluinya, tidak ada rakyat yang mengelu-elukannya, kecuali suara binatang malam yang mengidungkan tembang kesedihan. Sementara itu, bulan bundar menyembunyikan mukanya di balik awan hitam, ia tidak sampai hati melihat ketidak adilan yang disandang anak-anak manusia.
Kidung Malam (05) Gajah Misterius Nun jauh di perbatasan Negara Hastinapura, tersebutlah sebuah kasatrian, Panggombakan namanya. Di kasatrian tersebut Yamawidura tinggal bersama seorang istri, Dewi Padmarini anak Prabu Dipacandra, dan dua anaknya yaitu, Sanjaya dan Yuyutsuh. Sosok Yamawidura adalah titisan Bathara Dharma, dewa keadilan dan kebenaran, sifat-sifat itu ada dalam diri Yamawidura. Oleh karenanya di bawah kepemimpinannya, Panggombakan menjadi kasatrian yang aman, tentram, damai, adil dan sejahtera.
Malam itu, ketika para kawula kasatrian Panggombakan mulai berangkat ke peraduan, Yamawidura, Dewi Kunthi dan ke lima anaknya menginjakan kakinya di Panggombakan. Kedatangan mereka memang disengaja agar tidak diketahui banyak orang, kecuali anggota dan kerabat dekat kasatrian. Dewi Padmarini, Sanjaya dan Yuyutsuh, menyambut kedatangan tamu agung dengan sukacita.
Ada suasana yang berbeda, dibandingkan dengan kotaraja Hastinapura. di panggombakan, sebagian besar penduduknya tidak gila pangkat dan kedudukan. Mereka bekerja dengan tulus, tidak semata-mata mencari uang. Prinsip hidupnya adalah ?urip samadya, ora ngaya? Yang didambakan adalah hidup berdampingan dengan tentram saling menghargai dan saling membantu. Itulah yang membuat Kunthi dan kelima anaknya kerasan tinggal di kasatrian Panggombakan
Namun walaupun begitu, masih ada sisa nestapa yang senantiasa membayangi Kunthi dan para Pandawa. Mengapa kepindahan mereka ke kasatrian Panggombakan disebabkan oleh tuduhan sebagai pengghasut kawula dan pengkhianat raja? Betapa hinanya sebutan itu. Ada keinginan untuk menjelaskan kepada kawula, bahwa mereka bukan penghasut, bukan pengkhianat. Namun bagaimana caranya?
"Penjelasan itu tidak perlu, ada saatnya kebusukan itu terkuak dan kebenaran akan memancar bersinar. Yang kita butuhkan adalah ketabahan dan kesabaran. Anak-anakku, percayalah, sesungguhnya kawula Hastinapura tidak bertindak semata-mata berdasarkan pikirannya, mereka bertindak berdasarkan kata hati yang jernih dan jujur. Tidaklah mudah untuk mempengaruhi mereka dengan tipudaya dan kepalsuan."
"Maafkan kami Pamanda Yamawidura, sesungguhnya dengan sebutan pengkhianat itu, kami menjadi semakin canggung untuk melangkah dan semakin ragu untuk bertindak." "Orang canggung akan tersandung, orang ragu bagaikan sebuah batu yang beku. Melangkah salah, berhenti mati. Ibarat wastra lungset ing sampiran. Jiwa satria yang ada pada kalian akan menjadi pudar tanpa memberi manfaat bagi hidup dan kehidupan."
"Lantas apa yang harus kami lakukan Pamanda Yamawidura."
"Mengapa hal itu masih engkau tanyakan Puntadewa? Bukankah kakang Semar telah banyak memberikan wejangan. Lain di Kotaraja lain pula di Panggombakan. Di sini hampir tidak ada kepalsuan dan kemunafikan. Oleh karena itu, lakukanlah sesuai dengan nurani. Jangan ditunda lagi, sudah saatnya kalian berbuat. Menunggu artinya membuang waktu. Waktu yang telah berlalu akan menjadi semakin jauh meninggalkan kita, tanpa peduli apa yang kita kerjakan"
"Hmm, Paman Widura! aku ini orang bodoh, jangan berputar-putar, bicaralah yang jelas, kami harus berbuat apa?
"Baiklah Bima. Ada yang jauh lebih penting dari pada keinginan membasuh nama dari tuduhan pengkhianatan, yaitu manjing ajur-ajer menyatu dengan mereka, berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing. Mendengarkan suara mereka, melayani kebutuhan mereka, sepi ing pamrih rame ing gawe. Merasakan apa yang dirasakan mereka. Jika kalian siap melakukannya, mulailah dari kasatrian Panggombakan. Sekarang juga!"
Hari demi hari dilaluinya. Kebersamaan para ksatria Saptarengga ditengah-tengah kehidupan kawula Panggombakan, membuahkan hasil yang menggembirakan. Pelan namun pasti, tanah perdikan pemberian Pandudewanata tersebut mengalami kemajuan diberbagai bidang. Sikap ikhlas dan semangat melayani yang dibangun Puntadewa, Bimasena dan Harjuna tanpa disadarinya telah membasuh namanya. Kawula Panggombakan yang juga bagian dari rakyat Hastinapura dapat menilai dari dekat bahwa Puntadewa dan adik-adiknya tidak mempunyai jiwa pengkhianat seperti yang telah dituduhkan oleh penguasa negri. Mereka adalah para ksatria luhur, rendah hati dan sakti. Di pundak merekalah kawula Panggombakan khususnya dan rakyat Astinapura pada umumnya, menggantungkan masa depan Negara Hastinapura yang lebih baik.
Hari menjelang sore, ketika langit diujung kulon temaram sinarnya. Puntadewa dan Harjuna masih sibuk membantu warga desa yang sedang membuat jembatan bambu. Tiba-tiba dari arah hutan, munculah seekor gajah. Ukuran gajah itu empat kali lipat lebih besar dibandingkan dengan gajah pada umumnya. Gajah besar bergading panjang itu mengarahkan langkahnya menuju orang-orang yang berkerumun ditempat itu. Matanya yang sipit berusaha dibuka lebar-lebar, dan tampaklah betapa tajamnya ia memandang, seakan-akan tahu bahwa ia menjadi pusat perhatian.
Orang-orang mulai kecemasan ketika gajah itu melangkah semakin dekat. Mereka mulai membayangkan jika belalainya yang kuat melilitnya, dan gadingnya yang panjang menghantamnya serta kakinya yang besar menginjaknya. Puntadewa dan Harjuna memberi isyarat kepada mereka untuk tetap tenang. Keanehan terjadi. Gajah yang pada awalnya garang menakutan, tatkala melihat Puntadewa dan Harjuna berubah menjadi gajah jinak dan bersahabat. Ia menghampiri mereka dan bersimpuh, sembari mengangkat belalainya.
Semua mata memandang heran. Bukankah polah gajah semacam itu hanya bisa dilakukan oleh gajah tunggangan raja? Belum habis rasa herannya, belalai gajah tersebut mengangkat Puntadewa dan Harjuna untuk diletakan dipunggungnya. Segera sesudah itu ia berdiri, berjalan meninggalkan tempat itu. Suasana takut dan cemas yang menghantui orang-orang disekitarnya, berubah menjadi kegembiraan. Mereka segera meninggalkan pekerjaannya dan berlari-lari kecil, mengikuti gajah yang membawa Puntadewa dan Harjuna. Semakin panjang jalan yang dilalui, semakin bertambah pula orang-orang yang mengiringi.
Setelah berkeliling tanah Panggombakan, gajah tersebut melangkahkan kakinya ke arah kotaraja Hastinapura. Belum jauh meninggalkan tapal batas Panggombakan, tiba-tiba Semar muncul menghadang ditengah jalan.
"He he, berhenti!"
Gajah tersebut menghentikan langkahnya. Ia kelihatan bersalah dan malu-malu, tidak berani menatap mata Semar. Orang-orang heran menyaksikan peristiwa itu.
"Ayo kembali! Cepat!"
Gajah tersebut sangat patuh, seperti layaknya seorang abdi yang mendapat perintah tuannya, ia merubah arah, menuju ke rumah induk kasatrian Panggombakan.
Hari menjelang gelap, lampu-lampu minyak mulai dinyalakan. Namun orang-orang yang mengiringi Gajah misterius justru bertambah jumlahnya. Mereka ingin menyaksikan keanehan baru yang akan di lakukan oleh seekor gajah besar bergading panjang dan bermata tajam.
Kidung Malam (06) Tradisi "JUMENENGAN"
Berita munculnya seekor gajah ramai dibicarakan. Banyak diantara para kawula Panggombakan datang ke Kasatrian, untuk melihat Gajah yang menggemparkan itu. Berbagai pertanyaan terlontar dari mulut mereka. Dari manakah gajah itu? milik siapa? Mengapa ia memperlakukan Puntadewa dan Harjuna bagaikan raja?
Seperti yang dilihat banyak orang, bahwa Gajah itu sangat patuh kepada Semar, maka dapat dipastikan bahwa Semar mengetahui asal usul dan sejarahnya. Dan karena itulah maka pada keesok harinya, Semar secara khusus menceritakan kepada orang-orang yang berkumpul di pendopo peri hal asal-usul Gajah tersebut.
"Pada suatu malam, ketika Palasara bertapa di hutan Gajahoya, ia bermimpi bertemu seorang kakek tua bermahkota, begitulah Semar mengawali ceritanya. Kakek bermahkota tersebut mengaku bernama Prabu Hasti yang artinya Gajah. Ia menunjukkan sebuah dampar kayu berwarna hitam bercahaya. Dengan tersenyum ia berkata. "Aku akan membantumu untuk menjadi raja menduduki dampar ini" Palasara tertegun dengan mimpi itu. Sebagai seorang pertapa, bayangan menjadi raja jauh dari pikirannya. Apakah aku akan menjadi raja, duduk di sebuah dampar hitam bercahaya seperti di dalam mimpiku kakang Semar?
"Aku merasakan bahwa mimpi Raden akan menjadi kenyataan, walau hanya sekejap." "Dimanakah aku mendapatkan dampar itu?"
"Dampar itu ada di sekitar hutan ini."
Oleh karena mimpinya, Raden Palasara menyetujui ketika beberapa pengikutnya dan Semar mencoba membuka sebagian dari hutan Gajah Oya untuk membangun keraton. Pada saat pembangunan hampir selesai, mereka menemukan sebuah pohon hitam. Dikatakan pohon hitam, karena batang dan daunnya berwarna hitam legam. "Inikah dampar itu?" Saya menggangguk pelan.
Ketika kami akan menebang pohon hitam tersebut, ada seekor gajah besar tiba-tiba muncul dan menghalangi niat kami. Palasara memerintahkan pengikutnya untuk mundur, ia sendiri yang mendekati Gajah tersebut. Dengan penuh hormat Palasara memohon. "Bolehkah pohon itu kami tebang untuk membuat dhampar?" Sungguh aneh, Gajah itu mengangguk hormat. Ia tahu apa yang dimaksudkan Raden Palasara. Maka penebangan pohon hitam dimulai. Tanpa diperintah, Gajah itu membantu merobohkannya.
Tepat pada saat selesaianya pembangunan keraton, dhampar pun jadilah. Para pengikut Raden Palasara bersukacita. Hidup Palasara! Hidup Sang Raja! Hari penobatanpun dipilih. Tempat penobatan raja dihias meriah. tak terkecuali dampar tempat calon raja. Ketika segala sesuatu telah siap dan waktu yang ditentukan tiba, Raden Palasara memakai busana kebesaran atau busana raja diiringi para pengikutnya berjalan pelan menuju dampar pusaka. Suasana sungguh hening. Para kawula yang sejak awal membantu proses pembuatan keraton menanti-nanti saat seperti ini. Mereka tidak merelakan sedikitpun matanya berkedip, karena hal tersebut akan melewatkan detik-detik peristiwa langka, penobatan seorang raja.
Pada saat segalanya hening, heneng, henung, jagad raya diam sekejap, tiba-tiba ada suara memecah menggelegar, yang berasal dari Gajah besar bergading panjang. Semua mata diarahkan ke padanya. Ia dengan tenang melangkah mendekati Palasara. dan secara mengejutkan belalainya yang kokoh menyambar, mengangkat dan membawanya untuk didudukan di atas dampar pusaka. Para kawula terkesiap. Sekejap darah di tubuh mereka bagaikan berhenti mengalir. Beberapa saat kemudian baru mereka sadar bahwa penobatan raja telah selesai. Palasara duduk diatas dampar pusaka dengan agungnya. Dampar kayu hitam tersebut bercahaya memenuhi ruangan.
Para kawula bertepuk tangan penuh syukur. Raja baru telah dinobatkan dengan gelar Prabu Dipakiswara. Beliau raja menamakan negaranya Hastinapura. Sejenak kemudian perhatian para kawula yang hadir beralih pada Gajah yang baru saja mendudukkan Palasara di atas dhampar. Dengan lucunya Gajah itu menyembah hormat. Melihat tingkah laku Gajah yang mencoba bersikap seperti kawula terhadap rajanya, Sang Prabu Dipakiswara teringat kepada Prabu Hasti, orang tua bermahkota yang menjumpai dalam mimpinya yang berjanji akan membantunya menjadi raja. Apakah ada hubungannya antara Prabu Hasti dan Gajah ini? Gajah misterius itu diberi nama Antisura.
Pengangkatan calon raja oleh Gajah Antisura menjadi tradisi Jumenengan di Hastinapura. Sang pewaris tahta dikatakan sah jika ia didudukkan di atas dampar pusaka oleh Gajah Antisura. Karena hanya orang yang diangkat dan didudukkan oleh Gajah Antisura yang kuat duduk di atas dampar pusaka. Para pengganti Palasara secara berurutan, yaitu Prabu Sentanu, Abiyasa dan Pandudewanata juga di dudukan oleh gajah Antisura.
Pada waktu Pandu meninggalkan keraton dan menitipkan keraton kepada Destarastra, Antisura tidak mau mengangkat Destarastra ke dampar pusaka. Karena dipaksa oleh Patih Sengkuni, Gajah Antisura lari meninggalkan Hastinapura.
"Kaka Prabu Destarastra, kita hilangkan saja tradisi jumenengan yang melibatkan Gajah Antisura. Karena pada kenyataannya Antisura tidak mau mengangkat Kakanda Prabu ke dampar pusaka." kata Patih Sengkuni kepada Destarastra. Namun sungguh aneh, ketika Destarastra mencoba sendiri duduk di atas dampar pusaka, ia terlempar. Berkali-kali dicoba, Destarastra terlempar. Maka atas saran Patih Sengkuni dhampar pusaka yang berwarna hitam bercahaya itu disingkirkan, dan diganti dengan dhampar buatan baru yang lebih mewah dan indah.
Beberapa tahun telah berlalu, orang telah mulai melupakan sosok Gajah keramat yang selalu hadir dalam upacara jumenengan dan kirab-kirab agung raja. "Tetapi mengapa gajah Antisura tiba-tiba muncul di Panggombakan dan mengangkat Puntadewa dan Arjuna"
"Saya tidak tahu persis ke mana Gajah Antisura itu pergi menyusul penobatan Destarastra, meninggalkan Hastinapura. Menurut dugaanku, ia mencari Pandudewanata untuk dibawa kembali dan didudukkan di Dampar Pusaka. Namun tidak pernah ketemu, karena Prabu Pandu telah wafat. Maka ketika ia bertemu dengan anak-anak Pandudewanata, ia mengangkat Puntadewa dan Harjuna, yang dianggap sebagai pewaris tahta yang sah." Demikianlah semar mengakhiri ceritanya sosok Gajah Antisura.
Kidung Malam (07) REBUTAN LENGA TALA Gajahoya nama hutan yang kemudian dibuka oleh Palasara menjadi Negara Hastinapura, diyakini bahwa sebelumnya kawasan tersebut merupakan sebuah kerajaan besar yang bernama Gajahoya atau Limanbenawi. Tidak tahu pasti apa penyebabnya, negara Gajah Oya hilang tak berbekas. Kecuali beberapa situs yang ditemukan seperti misalnya batu ompak dan batu fondasi. Lebih dikuatkan lagi adanya peristiwa mistis dari beberapa orang yang tinggal disekitar hutan, termasuk juga Palasara. Mereka sering ditemui oleh orang tua bermahkota yang mengaku bernama Prabu Hasti. Hasti artinya Gajah, Liman juga berarti Gajah.
Orang kemudian menghubungkan dengan nama Gajahoya atau Limanbenawi sebagai nama negara yang diperintah oleh Prabu Hasti. Jika kemudian Palasara membuka hutan Gajahoya dan menjadikannya sebuah keraton, artinya bahwa Palasara.memunculkan kembali sebuah keraton yang telah tenggelam. Sedangkan nama Hastinapura dapat dimaknai dengan hadirnya kembali keratonya Prabu Hasti, yang besar kuat laksana gajah.
Jika demikian gajah Antisura tidak bisa lepas dengan Hastinapura. maka tidak selayaknya jika Semar menghentikan langkahnya, ketika Gajah Antisura akan membawa Puntadewa dan Arjuna menuju Hastinapura. "Sesungguhnya aku tidak melarang Gajah Antisura kembali ke Hastinapura, namun dikarenakan Puntadewa dan Arjuna ada dipunggungnya, itulah yang akan menjadi masalah besar." Belum waktunya mereka masuk ke Hastinapura. karena saat ini Pandhawa baru dalam pengusiran ke luar keraton."
Yamawidura membenarkan apa yang dikatakan Semar. Walaupun begitu ia menginginkan secepatnya Gajah Antisura kembali ke Gajahan keraton Hastinapura. Tidak menunda waktu, Semar bersama dengan beberapa srati gajah menuntun Gajah Antisura melangkahkan kakinya ke Bumi Hastinapura.
Destarastra tidak begitu senang dengan kembalinya gajah Antisura karena dahulu menolak untuk mengangkat di atas dampar pusaka. Namun tidak demikian dengan Patih Sengkuni. Karena Ia mempunyai rencana agar Gajah Antisura pada saatnya mau mengangkat Duryudana duduk di atas singgasana, karena dengan demikian semakin kuatlah pengakuan rakyat Hastinapura.
Seperti biasanya, pagi itu Dalem induk Panggombakan yang sekitarnya banyak ditumbuhi pohon besar kecil nan rindang, ramai oleh kicaunya burung-burung. Teristimewa suara burung prenjak bersautan persis didepan rumah sebelah kanan. Biasanya itu pertanda akan datang seorang wiku, pandhita atau panembahan. Semar meyakini pertanda itu, maka ia bersama para abdi panggombakan mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut tamu agung tersebut.
Keyakinan Semar dalam menanggapi pertanda alam melalui suara burung prenjak menjadi kenyataan. Tak lama kemudian, datanglah Begawan Abiyasa dari Pertapaan Saptaarga. Yamawidura, Kunthi dan Pandhawa tergopoh-gopoh menyambutnya. Kedatangan Begawan Abiyasa sungguh amat tepat, karena kerabat Pandhawa sedang gundah hatinya menyusul pengusirannya dari Negara Hastinapura. Bagaikan air kendi yang telah berusia delapan tahun menyiram kepala dan hatinya. Dingin menyegarkan. Suasana menjadi tenang tentram.
Belum genap sepekan Begawan Abiyasa tinggal di Panggombakan, tiba-tiba suasana damai dihempaskan oleh kedatangan Patih Sengkuni dan para Kurawa. Dengan alasan karena terdorong oleh kerinduannya kepada sauadaranya yaitu para Pandhawa. Namun ternyata itu sekedar basa-basi yang tidak berlangsung lama. Rupanya para Kurawa telah mengatur strategi. Beberapa orang ditugaskan untuk menjauhkan Bima dan saudaranya dengan Begawan Abiyasa. Karena yang menjadi tujuan utama adalah untuk menemui Begawan Abiyasa. Pada mulanya mereka menghaturkan sembah seperti layaknya seorang cucu kepada eyangnya yang bijak. Tetapi apa yang kemudian terjadi? Para Kurawa yang diwakili Patih Sengkuni menanyakan perihal Lenga Tala milik Begawan Abiyasa.
"Kami tidak percaya bahwasanya Sang Begawan tidak membawanya. Tidak mungkin Lenga Tala lepas dari dirinya. Karena Lenga Tala merupakan minyak yang mempunuai kasiat luar biasa. Siapa saja yang sekujur badannya diolesi Lenga Tala ia tidak akan terluka oleh bermacam jenis senjata. Oleh karena itu kedatangan kami ke Panggombakan ini untuk memimta Lenga Tala sekarang juga. Jika Sang Begawan Abiyasa mengatakan bahwa Lenga Tala tidak dibawa, kami akan melepaskan semua pakaian yang menempel, untuk membuktikan bahwa Sang Begawan telah membohongi kami! He he he."
Belum mendapat jawaban, Dursasana mulai melakukan aksinya. Ia dengan cepat menjulurkan tangannya dan menarik ubel-ubel tutup kepala yang dipakai Begawan Abiyasa. Bersamaan itu tampaklah benda bercahaya berbentuk oval, berujud cupu, jatuh dan menggelinding di lantai. Dengan cekatan Dursasana menyahut benda tersebut dan membawanya kabur, seraya terkekeh-kekeh.
"Memang benar engkau tidak berhohong hai Abiyasa, bahwa dirimu tidak membawa Lenga Tala. Karena yang membawa adalah aku, hua ha ha"
Dursasana berlari sambil menari-nari menimang cupu yang berisi Lenga Tala, diikuti oleh Patih Sengkuni, Duryudana dan beberapa Kurawa. Abiyasa bersama beberapa cantrik tidak mapu berbuat apa-apa. Namun dibalik raganya yang lemah, Sang Begawan Abiyasa mempunyai kekuatan lain yang jauh melebihi kekuatan ragawi manapun, yaitu dengan kekuatan sabda yang keluar dari mulutnya.
"Inikah Destrarastra hasil didikkanmu? Apakah engkau tidak cemas bahwa suatu saat perilaku anak-anakmu Kurawa yang diperbuat untukku akan menimpamu pula? Bahkan lebih dari itu, mereka akan beramai-ramai menginjak-injak kepalamu, hai Destarastra. Dan engkau Sengkuni. Karena mulutmulah semua ini terjadi. Oleh karena hasutanmu, mulutmu akan menjadi lebar, selebar badanmu."
Para cantrik mengerti bahwa apa yang di katakan Guru mereka tidak sekedar ungkapan ketidak puasan, tetapi merupakan kutukan bagi Drestarastra dan Patih Sengkuni. Maka ketika guntur menggelegar dibarengi angin bertiup kencang, para Cantrik merasa ngeri, karena hal tersebut menjadi pertanda bahwa kutukan Begawan Abiyasa benar-benar akan terjadi.
Kidung Malam (08) Cupu Bercahaya Para cantrik Padepokan Saptaarga yang ikut ke Panggombakan merasa tercabik hatinya, menyaksikan Sengkuni dan para Kurawa menghina guru mereka, Begawan Abiyasa. Sikap diam mereka bukan karena ketakutan, tetapi bagi mereka tidaklah terpuji membuat keributan pada saat bertandang di Panggombakan. Karena kesadaran tersebut, tanpa diperintah salah satu diantara para cantrik berlari keluar, untuk melaporkan kejadian tersebut kepada Bimasena.
Sementara itu, rombongan Kurawa yang berhasil membawa Lenga Tala, bergantian menimang-nimang benda berbentuk oval bercahaya, sembari menari-nari di sepanjang jalan. Para peladang yang sedang merawat tanamannya, memilih menyembunyikan diri, dari pada harus memberi hormat sembah kepada para bangsawan yang tidak mereka sukai. Burung-burung pun terbang berhamburan meninggalkan pepohonan di pinggir jalan untuk mengabarkan kepada kawula Panggombakan untuk menjauhi jalan yang akan dilewati rombongan Patih Sengkuni dan para Kurawa, supaya hati mereka tidak dikotori oleh kejahatannya.
Cupu bercahaya berisi Lenga Tala yang dapat membuat kekebalan badan dari serangan segala jenis senjata dan pusaka, sungguh menyilaukan hati Patih Sengkuni dan Kurawa. Oleh karena nafsunya itu, mereka tidak memperdulikan lagi sesamanya, bahkan saudaranya atau malah pepundhennya yang seharusnya mereka hormati. Saking asyiknya mengamati benda hasil rampasannya, Patih Sengkuni dan Para Kurawa tidak menyadari bahwa Bimasena telah menyusul mereka.
Panas hati Bima. Ia tidak mampu lagi membendung luapan amarah. Tanpa banyak kata, dengan cepat kaki Bima yang perkasa menghampiri dada Dursasana. Terjengkang-lah Dursasana menipa Kurawa yang lain. Saat itulah tiba-tiba Bimasena merebut Lenga Tala dari tangan Duryudana. Patih Sengkuni kebingungan, seperti orang kebakaran jenggot. Dengan suara parau ia berteriak "Kejar Bimasena dan rebut Lenga Tala!" Dursasana segera bangkit mengejar Bimasena, diikuti Duryudana dan adik-adiknya serta Patih Sengkuni.
Bimasena adalah seoarang Ksatria sejati. Ia tidak lari. Dengan dada tegak Bima menunggu terjangan para Kurawa. Bimasena bergeming menerima pukulan bertubi-tubi. Ia berusaha dengan sekuat tenaga mempertahankan Lenga Tala. Namun sedahsyat apapun tenaga manusia tentu ada batasnya. Demikian pula Bimasena, menghadapi keroyokan para Kurawa. tenaganya semakin menyusut.
Pada saat kelelahan, ia memutuskan untuk melempar Lenga Tala, jauh ke arah gunung Sataarga. Sengkuni dan para Kurawa terkejut sesaat, namun kemudian bagaikan gerombolan Serigala mengejar Domba, mereka berlari kearah jatuhnya Cupu Lenga Tala. Bimasena dan Harjuna dan beberapa cantrik menyusulnya. Bima berdiri tegak memandang ke arah jatuhnya Cupu Lenga Tala. Ada kelegaan dihati Bima, ketika ia membayangkan bahwa cupu tersebut akan membentur batu dan isinya tumpah, tidak dapat dimanfaatkan.
Tidaklah mudah untuk menemukan cupu yang dilempar Bimasena. Walaupun dengan sisa tenaganya, lemparan Bimasena jauh hingga menjangkau di balik bukit, sehingga Patih Sengkuni dan Kurawa kehilangan arah jatuhnya Cupu Lenga Tala. Menjelang sore, Cupu Lenga Tala belum di temukan. Akhirnya Patih Sengkuni dan Kurawa dipaksa menghentikan pencariannya, karena hari mulai gelap. Mereka bertekad tidak akan pulang ke Negara Hastinapura sebelum dapat menemukan cupu tersebut
Malam merambat pelan. Di tempat peristirahatan, Patih Sengkuni, Duryudana dan Dursana tidak dapat segera memejamkan mata. Kekhawatiran yang sama, muncul di dalam benaknya. Mereka khawatir jika malam terlalu panjang, Cupu Lenga Tala ditemukan orang lain. Niat mereka inging merobek malam sehingga pagi segera menjelang, untuk melanjutkan usahanya mencari dan menemukan Lenga Tala. Namun sang malam berjalan seperti biasanya, hingga gelapnya mencapai titik sempurna.
Pada saat itu, hampir bersamaan, ketiganya tercengang melihat seleret sinar kebiru-biruan yang membelah langit dari bawah ke atas. Tanpa diperintah ketiganya bergegas menuju tempat asal sinar misterius tersebut. Karena kegaduhan langkah mereka, para Kurawa yang lain terbangun dari tidurnya. Tanpa mengetahui apa yang dilakukan oleh para pimpinan mereka, mereka bangun menyusul Patih Sengkuni, Duryudana dan Dursasana yang sudah mendahului hilang ditelan pekatnya malam.
Kidung Malam (09) Murid Pilihan Niat Patih Sengkuni, Duryudana, Dursasana dan Kurawa lainnya berubah. Jika semula mereka menginginkan hari segera pagi, namun dengan adanya cahaya kebiru-biruan, mereka bermaksud menghentikan gelap, sebelum dapat menemukan apa yang menjadi sumber cahaya tersebut. Karena di dalam gelap mereka dapat dengan jelas melihat sinar kebiru-biruan itu, sehingga dengan mudah dapat menemukan tempat cahaya itu berasal.
Di pinggir hamparan tanah pategalan, tepatnya di sebuah sumur tua, awal dari cahaya itu. Secara bebarengan mereka mendekati sumur melongok di dalamnya. Mata mereka berkilat-kilat melihat benda yang menjadi sumber dari cahaya. Hampir bersamaan mereka berucap "Cupu Lenga Tala."
Betapa senang hati mereka melihat benda yang dicarinya ada di depan mata dalam keadaan utuh. Maksud hati ingin segera mengambilnya, namun mereka kebingungan bagaimana caranya? Sumur yang tidak begitu luas itu amat dalam. Dinding sekelilingnya penuh lobang, ditumbuhi semak belukar. Tampaklah di antara rimbunnya semak, beberapa ekor ular berbisa dengan badannya yang mengkilat tertimpa cahaya. Melihat keadaan sumur yang menyeramkan, diantara mereka tidak ada yang punya nyali untuk masuk ke dalam sumur. Beberapa lama mereka mondar-mandir di seputar sumur, tanpa berbuat sesuatu.
Bersamaan dengan merekahnya fajar di ujung Timur, Bimasena, Harjuna dan saudara-saudaranya datang. Sengkuni menyapanya dengan amat manis. "Anak-anakku Pandawa, kebetulan kalian datang. Hampir saja kami putus asa tidak dapat menemukan Cupu Lenga Tala. Sekarang cupu telah diketemukan di dalam sumur tua ini. Namun di antara kami tak ada berani mengambil. Hanya kalianlah yang kami harapkan dapat mengambilnya, untuk kemudian dibagi dengan adil." Bimasena dapat menangkap dibalik kata-kata manis, ada tipu muslihat yang kotor. "Aku tidak mau! biarlah Cupu Lenga Tala tenggelam di dasar sumur, dari pada jatuh ke tangan orang-orang durhaka."
Bimasena dan saudara-saudaranya ingin segera pergi, tanpa berniat melongok sumur tua itu. Namun langkah mereka terhenti ketika melihat kelebatnya seseorang. Dengan langkahnya yang ringan orang tersebut menuju sumur tua. Ia membawa rumput kalanjana yang telah disambung-sambung. Semua mata menatapnya. Walaupun badannya cacat, mata orang itu tajam bagai elang. Kewibawaan memancar kuat darinya.
Sesampainya di bibir sumur, sembari menebarkan pandangan ke arah Kurawa dan Pandhawa, ia berkakata. "Apa yang kalian inginkan dariku?" "Ambilkan benda itu untuk kami!." Teriak para Kurawa. "Baiklah! Lihatlah!" Seperti mendapatkan aba-aba, para Kurawa berebut merapat di bibir sumur, ingin melihat apa yang akan dikerjakan orang asing tersebut. Dengan penuh keyakinan ia menurunkan rangkaian rumput kalanjana ke dalam sumur. Ditanganya, sambungan rumput-rumput itu berubah bagaikan seekor naga kecil yang ganas, menyergap Cupu Lenga Tala, dan mengangkatnya ke permukaan sumur. Dalam sekejap Cupu Lenga Tala telah berada dalam genggamannya. Para kurawa bersorak gembira. Bagaikan anak-anak kecil yang mendapatkan kembali mainan kesukaannya. Mereka saling berdesakan, berebut menjulurkan tangannya, untuk mendapatkan Cupu Lenga Tala.
Orang asing tersebut mengerutkan keningnya, ia nampak tidak senang atas perilaku para Kurawa. "Tidak sembarang orang yang mempunyai benda istimewa ini. Aku ingin bertemu dengan pemiliknya untuk mengembalikan padanya." Dalam hati mereka bertanya-tanya. siapakah orang ini? Apakah dia kenal dengan Begawan Abiyasa, pemiliknya?. Namun mereka tidak berani menanyakan hal tersebut. Ada rasa getar dan takut menyaksikan kesaktian yang telah ditunjukkan. Oleh karena itu para Kurawa tidak berani memaksakan kehendak untuk mendapatkan Cupu Lenga Tala. Mereka menyerahkan kepada Patih Sengkuni yang dipercaya mempunyai banyak siasat untuk mendapatkan cupu dari tangan orang asing tersebut.
Sementara itu para Pandhawa justru lebih tertarik kepada perilaku orang asing tersebut yang dipercaya mempunyai segudang ilmu tingkat tinggi, dari pada Cupu Lenga Tala. Bagi para Pandhawa yang sejak kecil gemar berguru, bertemu dengan orang berilmu tinggi merupakan kesempatan yang tidak boleh sia-siakan. Maka dengan tak segan-segan mereka menghampirinya.
Harjuna bersimpuh menyembahnya dan Bimasena mengangkat orang itu di atas kepala wujud lain dari sembah Bimasena. Keduanya hampir bersamaan berucap: "Perkenankanlah aku menjadi muridmu ya maha guru." Orang itu terharu karenanya.. Sejak awal ia mengamati Bimasena dan Harjuna. Matanya yang tajam dapat melihat kejujuran, kepatuhan, kesetiaan dan bakat yang luar biasa dibalik ketampanan Harjuna dan kegagahan Bimasena. Gayungpun pun bersambut. Sesungguhnya penggembaran orang asing tersebut hingga sampai ke tempat ini dalam upaya mencari murid terbaik. Dan saat ini telah ditemukan dalam diri Harjuna dan Bimasena..
"Siapa namamu bocah bagus?"
"Nama hamba Harjuna"
"Dan kau bocah gagah perkasa?"
"Bimasena" "Baiklah Harjuna dan Bimasena mulai hari ini kalian aku angkat menjadi muridku"
Kidung Malam (10) Kumbayana Orang sakti bertubuh cacad itu telah mengangkat murid baru, Bimasena dan Harjuna, dan disusul Puntadewa, Nakula dan Sadewa. Dalam pernyataan awal mereka berlima berjanji akan selalu patuh kepada guru. "Ha, ha, ha, bagus-bagus! Aku tidak menyangka bertemu kalian berlima yang terkenal dengan sebutan Pandhawa Lima. Dengan suka hati aku bersedia menjadi gurumu"
Patih Sengkuni gusar. Orang asing yang berhasil mengambil Cupu Lenga Tala, telah mengangkat murid Pandhawa. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa Lenga Tala akan diberikan Pandhawa. Apalagi setelah mengetahui bahwa para Kurawa telah merebut paksa dari tangan Begawan Abiyasa. Namun sebelum kemungkinan paling buruk terjadi, Patih Sengkuni segera mendekatinya, dengan penuh hormat ia memperkenalkan diri. "Namaku Sengkuni, patih Hastinapura, dan yang berada di sekitar sumur itu adalah putra-putra raja. Jika diperbolehkan aku akan memanggilmu Kakang, seperti layaknya sebutan untuk saudara tua. Kebetulan Sang raja butuh guru sakti bagi putra-putranya. Untuk itu kakang, sekarang juga engkau aku ajak menghadap raja. Aku akan meyakinkan kesaktianmu, sehingga raja berkenan mengangkatmu menjadi guru resmi istana."
Sebenarnya orang asing tersebut tidak membutuhkan murid, selain Pandhawa lima. Namun tawaran Patih Sengkuni perlu dipertimbangkan. Karena dengan menjadi guru istana, ia dapat memanfaatkan kekuatan dan kebesaran Hastinapura untuk tujuan-tujuan pribadi. "Baiklah Adhi Sengkuni, aku terima tawaranmu, asalkan anakku Aswatama dan Pandhawa lima boleh masuk ke istana untuk bersama putra-putra raja mendapatkan ilmu dariku."
Sengkuni keberatan dengan syarat itu. Ia tidak suka Pandhawa tinggal di istana. Bahkan beberapa waktu lalu Patih Sengkuni berhasil membujuk raja untuk mengusir Pandhawa, dengan alasan bahwa Pandhawa telah menghasut rakyat untuk memusuhi raja. "Jika kalian keberatan dengan syarat itu, akupun keberatan untuk masuk istana. Maaf! Selamat tinggal! Ayo murid-muridku, ikutilah aku!"
"Adhuh celaka! Lenga Tala dibawa! Para Kurawa kejar dia!!"
Ketika Kurawa bergerak untuk mengejar mereka, tiba-tiba kabut tebal menghadang jalan. Orang sakti dan Pandawa lima lenyap di balik putihnya kabut.
Siapakah sesungguhnya orang sakti itu? Ia menuturkan riwayatnya kepada Pandawa Lima sebelum mengajarkan ilmu di Padepokan tempat tinggalnya.
Namaku Durna atau Kumbayana, artinya bejana air. Nama itu dipilih untuk mengingatkan peristiwa kelahiranku. Ketika ayahku bertapa, ia tergoda oleh seorang bidadari bernama Dewi Grahitawati, yang sedang mandi di telaga. Karena tidak kuasa menahan nafsu, maka air kama ayah jatuh ke telaga. Air kama itulah kemudian di tempatkan di dalam bejana air yang kemudian menjadi anak manusia, dan diberi nama Kumbayana.
Ayahku adalah raja di Hargajembangan, bernama Prabu Baratwaja. Sebagai anak tertua, aku disiapkan menjadi raja. Semula Hargajembangan merupakan kerajaan kecil, namun semenjak Rama Baratwaja menyimpan keris Pulanggeni pinjaman Begawan Abiyasa, guru Ramanda dari tanah Jawa, Hargajembangan menjadi sebuah negara besar. Kerajaan-kerajaan di bumi Atasangin tunduk kepada Hargajembangan. Aku tahu bahwa Ramanda Prabu berilmu hebat, namun menurutku kebesaran tahta Hargajembangan bukan karena kehebatan ramanda, melainkan karena kesaktian Pulanggeni. Bagaimana jadinya jika tanpa Pulanggeni? Apakah negara-negara Bumi Atasangin masih tetap tunduk dibawah Hargajembangan? Jika tiba saatnya nanti aku menggantikan Ramanda dengan Pulanggeni, tentunya akupun dapat menjadi raja besar. Tetapi aku heran, mengapa Begawan Abiyasa membiarkan keris Pulanggeni bertahun-tahun berada di Hargajembangan? Apakah di padepokannya masih tersimpan puluhan pusaka sekelas Pulanggeni. Betapa beruntungnya jika aku dapat bertemu dan berguru kepadanya.
Sore itu, Hargajembangan memamerkan ke kesuburannya. Tanaman padi umur lima pekan menghampar hijau bak permadani menyelimuti sebagian besar bumi Hargajembangan. Hingga sore merambat malam, para petani enggan beranjak, sebelum mereka mendengar gemericiknya air mengaliri tanamannya. Karena bagi mereka suara gemericik dari ujung petak sawahnya bagaikan kidung malam yang menghantar ke tempat peraduan, untuk berbaring tidur dalam kelegaan.
Jauh dipusat Kota, di malam itu juga, Ramanda Prabu memanggil aku dan adikku Sucitra. Rupanya ada hal yang begitu penting. Aku berdebar menghadapnya.
"Kumbayana, karena usia yang mendekati senja, kesehatanku semakin menurun, dan gampang lelah. Pada siapa lagi tahta kuserahkan, kalau bukan padamu. Oleh karenanya matangkanlah ilmumu untuk bekal menjadi raja."
"Kapan Ramanda?"
"Lebih cepat lebih baik."
Inilah saat yang kutunggu Dengan Pulanggeni aku akan menjadi raja besar, menguasai raja-raja di Bumi Atasangin. Namun belum reda getar suka-citaku, Ramanda Prabu mengambil keris Pulanggeni dan menyerahkannya kepada Sucitra "Kembalikan keris ini kepada Bapa Guru Abiyasa dan mohon doa restunya untuk penobatan Kumbayana." Debar suka citaku berhenti seketika. Menyusul keringat dingin ketakutan.
Kidung Malam (11) Pergi ke Tanah Jawa Perasaan takut menyelinap di dalam hatiku, setelah keris Pulanggeni berada di tangan Sucitra dan segera akan dikembalikan pemiliknya di Tanah Jawa. "Rama Prabu, kalau boleh, keris Pulanggeni jangan dikembalikan terlebih dahulu, aku sangat membutuhkannya sebagai ?sipat kandel? menjadi raja."
"Kumbayana, pengembalian pusaka tidak mungkin untuk ditunda. Aku sudah berjanji kepada Bapa Guru Abiyasa, jika Hargajembangan telah menjadi besar, keris Pulanggeni segera aku kembalikan. Tidakkah engkau melihatnya sekarang? Bumi Atasangin telah menjadi satu di bawah Hargajembangan. Engkau tinggal memelihara dan mempertahankan kebesaran negeri ini."
"Ampun Ramanda Prabu, memelihara dan mempertahankan lebih berat dari pada merintis dan membangun."
"Kumbayana, memelihara dan mempertahankan memang butuh kesabaran dan welas asih. Hal itu bukan berarti lebih berat dibandingkan dengan merintis dan membangun. Baik itu membangun atau pun memelihara, keduanya mempunyai kesulitannya masing-masing. Namun yang lebih penting bahwa engkau jangan salah mendudukan pusaka dalam hidupmu! Untuk menjadi raja yang terutama adalah ilmu dan kesiapan lahir batin.
"Ampun Ramanda, jika Ramanda telah mengambil tuah dari pusaka Pulanggeni untuk merintis dan membangun, apa salahnya aku menginginkan Pulanggeni untuk memelihara negri yang Ramanda wariskan."
"Kumbayana, ada hal yang belum kau mengerti, bahwa Bapa Guru Abiyasa memberikan pusaka Pulanggeni untuk mengangkat wibawa, menebarkan rasa segan dan takut bagi yang berniat jahat dan membahayakan kelangsungan Hargajembangan. Karena dengan demikian orang akan mudah ditundukan dan diatur. Bukanlah hal tersebut telah terbukti? Namun sekarang, para raja Bumi Atasangin telah tunduk kepada kita. Mereka bukan musuh kita lagi. Mereka adalah sahabat-sahabat yang bersama-sama dengan Hargajembangan menjaga keutuhan Bumi Atasangin. Apakah engkau tega menebar rasa takut kepada para sahabat kita?"
"Jika demikian Ramanda, biarlah aku yang mengembalikan Keris Pulanggeni ke tanah Jawa, siapa tahu karena kebaikan Begawan Abiyasa, aku diberi pinjaman pusaka sekelas Pulanggeni untuk kepentingan yang berbeda, yaitu menjaga kebesaran Hargajembangan dan persatuan Bumi Atasangin.
"Kumbayana, perjalanan ke Tanah Jawa membutuhkan waktu yang tidak pendek, terlebih letak Padepokan Saptaarga yang berada di puncak gunung ke tujuh, tidak cukup ditempuh selama satu bulan. Itu artinya engkau akan membuang waktu yang seharusnya dipergunakan untuk mempersiapkan dirimu menjadi raja?"
Rama Prabu Baratwaja bergeming pada perintah semula, pengembalian keris Pulanggeni dipercayakan Sucitra.
Pada hari yang disepakati, pagi-pagi benar, Sucitra membawa Keris Pulanggeni, meninggalkan Hargajembangan. Firasatku mengatakan bahwa wahyu keraton telah hilang dari Bumi Atasangin. Kewibawaan Hargajembangan akan menjadi surut. Raja-raja di Bumi Atasangin yang selama ini tunduk kepada Hargajembangan akan berontak, dan yang terkuat akan menguasai Hargajembangan.
Aku menjadi takut dinobatkan, dan tidak mau menjadi raja sebelum mendapat pusaka sekelas Pulanggeni.
Maka aku berniat meninggalkan tanah tumpah darahku, Negara Hargajembangan di bumi Atasangin.
Aku pamit melalui selembar surat.
"Ramanda Prabu yang aku hormati,
Ketika Pulanggeni dibawa pergi Sucitra, ada sesuatu yang lepas dari Negara Hargajembangan. Oleh karena itu Ramanda dengan terpaksa aku meninggalkan Bumi Atasangin untuk mencari pusaka pengganti Pulanggeni di tanah Jawa.
Jika aku ditakdirkan menjadi raja, kelak aku pasti akan kembali di Bumi Atasangin. Maafkan Ramanda Prabu dan selamat tinggal."
Putranda yang durhaka Kumbayana Pada tengah malam aku tinggalkan Bumi Atasangin. Niatku pergi ke tanah Jawa, menemui Begawan Abiyasa. Semakin jauh Negara Hargajembangan aku tinggalkan, semakin sedih rasanya. Tidak terasa kedua pipiku basah oleh airmata. Berat juga berpisah dengan Ibunda Ratu dan Ramanda Prabu, yang sejak kecil mengasuh, mendidik dan mencintaiku.
Perjalanku terhenti di tepi Samodra. Suasana hening sepi. Berhadapan samodra luas, disertai deburan ombak besar bergulung susul menyusul, kesaktianku tidak berarti.
Apakah adikku Sucitra menyeberangi samodra ini? Bagaimana caranya? Bagaimana aku dapat sampai ke tanah Jawa? Oh Dewa tolonglah aku. Hanya Dewalah yang dapat menolong. Jika Orang, pasti keturunan Dewa. Namun jika binatang, tentu kendaraan Dewa. Kalaupun ada yang dapat menolongku, jika wanita akan aku peristri, jika laki-laki, aku angkat menjadi sahabat.
Tiba-tiba di angkasa ada benda putih terbang menuju tempat aku berdiri. Semakin dekat, semakin jelas. Seekor Kuda Bersayap! Binatang yang hanya aku kenal dalam dongeng tersebut, mendarat tepat di depanku. Ke empat kakinya ditekuk, sayapnya dikibas-kibaskan, ia memberi isyarat dengan kepalanya agar aku duduk di punggungnya.
Apakah binatang ini dikirim dewa untuk menolong aku? Menyeberangkan aku ke tanah Jawa? Tanpa pikir panjang, aku naik di punggungnya.
Tiba-tiba sayapnya dikepakan.
Aku dibawa terbang. Tinggi dan semakin tinggi.
Kidung Malam (12) Batari Kuda Bersayap

Kidung Malam Mahabarata Karya Herjaka Hs di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Isyarat kuda bersayap itu jelas, aku diminta duduk di punggungnya. Aku coba menuruti keinginannya. Siapa tahu aku diterbangkan ke tanah Jawa.
Sejenak setelah duduk dipunggungnya, sayapnya digepakan, ia terbang melintas samodra. Aku terkejut, berpegang lehernya erat-erat, takut akan jatuh. Kuda Bersayap mengurangi kecepatan. Ia tahu, aku ketakutan.
Beberapa waktu kemudian, aku mulai tenang, dan berani menebarkan pandangan. Oh betapa indahnya pemandangan di atas awan. Mega berarak laksana kapas putih terbang ditiup seribu bidadari jelita. Air laut bagaikan beludru biru, selimut para Dewa. Dari kejauhan aku melihat daratan. Itulah tanah Jawa, tempat Begawan Abiyasa tinggal. Semakin dekat tampaklah, bahwa daratan itu sangat subur.
Tanpa aku perintah, Kuda bersayap mulai merendahkan terbangnya, dan mendarat dengan lembut di tanah Jawa. Benar-benar aneh, ia tahu tujuanku.
Aku heran dengan kejadian yang baru saja aku alami. Apakah aku sedang bermimpi? Tidak! Ini alam nyata. Aku telah berdiri di tanah Jawa. Dan kuda bersayap itu telah menolongku. Tampaknya Kuda bersayap itu tidak peduli.bahwa aku masih keheranan, ia berjalan meninggalkan aku.
Beberapa langkah kemudian, ia berhenti dan menoleh kepadaku. Aku mulai mengerti isyaratnya, bahwa aku diminta mengikutinya. Aku penasaran, akan ku ikuti ke mana ia melangkah. Apa yang diinginkannya?
Ku perhatikan dari belakang, langkahnya gemulai, bak putri raja. Ooh! kuda itu betina
Tidak lama kemudian kami sampai di tengah taman aneka bunga indah. Tempat ini sangat romantis. Siapa pun orangnya akan merasa nyaman berada di tempat ini, terutama bagi sepasang remaja. Ah jika aku ditemani seorang bidadari, alangkah bahagianya. Aku dapat memadu kasih sepuasnya tanpa ada yang menggangu.
Selagi aku mengkhayal layaknya seorang jejaka yang kesepian, mulut kuda betina menyentuh punggung tanganku dengan lembut. Aku terkejut. Kutarik tanganku cepat-cepat. Kuda betina kecewa dengan perlakuanku. Dari sorot matanya tampak kesedihan itu. Aku menyesal telah melakukannya dengan kasar. Seharusnya aku elus-elus dahinya, seperti yang aku lakukan terhadap kuda-kudaku di Hargajembangan.
Aku dekati kuda bersayap tersebut. Aku elus dahinya, kepalanya dan lehernya dengan lembut. Matanya yang sedih menjadi berbinar penuh kebahagiaan.
Hari-hari berlalu tanpa ada niatan meninggalkan tempat itu. Aku semakin akrab dengannya.
Pada suatu malam antara sadar dan mimpi, di sebuah taman bunga nan elok indah, sayup-sayup terdengar suara kidung malam yang menghanyutkan. Ada suasana romantis, sakral, agung berbaur menjadi satu. Aku tidak dapat menceritakannya dalam wujud kata-kata keelokan malam itu. Di tempat tersebut, aku bertemu dengan seorang batari jelita, Wilutama namanya. Kami berdua saling mencurahkan kasih. Kasih antara sepasang pria dan wanita yang jatuh cinta.
Kasih antara suami dan istri.
Ketika kami puas meneguk kenikmatan.
Aku tersadar. Tidak jauh dariku, mata kuda bersayap itu menatapku.
Berdesir hatiku melihat sorot matanya. Benarkah sorot mata Batari Wilutama?
Apa yang terjadi dengan diriku dan Kuda bersayap?
Aneh, gaib, penuh misteri.
Semenjak peristiwa tersebut, aku semakin menyayangi Kuda bersayap. Karena di dalam sorot matanya aku diingatkan kepada Sang Batari Wilutama. Tanpa pernah aku tahu kapan mengandungnya. Tiba-tiba secara ajaib kuda bersayap itu melahirkan seorang bayi, wajahnya mirip aku.
Anakku kah ini? "Benar. Itu anak kita."
Aku terkejut mendengar suara lembut merdu.
Astaga! Batari Wilutama? Mimpikah aku?
"Akulah Kuda bersayap itu. Bertahun-tahun aku menjalani kutukan dewa. Aku akan pulih menjadi Batari, jika dapat melahirkan manusia. Pertemuan kita merupakan akhir penantianku yang panjang. Aku menjadi bathari seperti semula."
"Wilutama, aku mencintaimu. Kita akan membangun rumah tangga yang tentram damai, untuk bersama-sama mendampingi anak kita." Maafkan kakang, kita tidak mungkin bersatu. Aku segera kembali ke kahyangan. Karena jika tidak, pasti aku mendapat hukuman yang lebih berat."
"Mengapa pertemuan kita hanya sekejap, seperti mimpi?
"Sesungguhnya, hidup ini adalah sebuah mimpi. Memang hanya sekejap, namun sangat berarti. Pertemuan ini telah melahirkan sejarah baru, Seorang bayi buah cinta kita. Namakan ia Aswatama. Jika ada kesulitan dengan anak ini, sebut namaku dan aku akan menolong."
"Lalu, bagaimana dengan hubungan kita?"
Terimalah tusuk konde ini, sebagai tanda cintaku. Jika engkau rindu padaku kecuplah benda ini, maka rindumu akan terpuaskan."
Sekejap kemudian, setelah aku terima benda pusaka pemberiannya, Batari Wilutama lenyap secara gaib.
Sedih, kecewa, menyesal bercampur menjadi satu. Sang Batari telah merampas cintaku. Sebagai jejaka belia aku tak kuasa menanggungnya. Apakah aku kuwalat terhadap orang tua?
Oh Aswatama, menangislah keras-keras agar ibumu mengurungkan niatnya meninggalkan kita.
Aku berteriak keras, Wilutamaaa!
Aku gendong anakku, aku kudang sepanjang jalan .
Tak gentung-gentung jleng. Tak tak, tak tak tak jleng.
Kidung Malam (13) Merendam Dendam Tak tak. tak tak. jleng. Tak gentak gentung, jleng!
Bagaikan orang gila aku masuk keluar dusun. Tidak mudah mendapatkan keterangan keberadaan Pertapaan Saptaarga. Karena orang pada takut berdekatan denganku.
Tanah Jawa sangat luas. Aku tersesat di Negara Pancalaradya. Dari cerita ?mbok bakul sinambi wara? bahwa Raja yang bertahta bernama Prabu Durpada. Yang menarik perhatianku bahwa sang raja adalah salah satu murid Begawan Abiyasa yang berasal dari negeri seberang. Ada dorongan yang sangat kuat untuk bertemu kepada Prabu Durpada. Apapun yang terjadi aku ingin menghadap raja.
Niatku dihalangi oleh pengawal perbatasan.
Aku memaksakan kehendak, mereka bukan tandinganku. Dalam sekejap para pengawal perbatasan aku kalahkan dan aku masuk ke kota raja Pancalaradya. Di tengah kotaraja, aku dan anakku Aswatama dikepung prajurit. Rupanya khabar dari perbatasan telah sampai di sini.
Aku tidak gentar. Aku mengamuk setiap prajurit yang menghalangi aku robohkan. "Ayah!" aku berhenti mengamuk, ketika mendengar jerit anakku.
Aswatama disandera. Aku menjadi lemas seketika, dan menyerah, agar Aswatama tidak dilukai. Segera setelah aku berhenti melawan, ada utusan raja yang memerintahkan agar aku beserta Aswatama dibawa masuk menghadap raja. Utusan raja dan pengawal mengirid kami masuk menuju ke Bangsal Kencana, tempat Prabu Durpada menunggu. Berdebar hatiku melihat dari jauh Raja Pancalaradya. Ketika semakin dekat, benar yang aku duga, ia adalah adikku. Aku berteriak keras-keras. Sucitra! sembari mendekap erat-erat penuh sukacita.
Prabu Durpada terkejut. Ia hampir jatuh di lantai karena menahan dorongan tenagaku yang kegirangan.
Gandamana adik Durpada, kuatir keselamatan raja.
Dengan marah ia menyeret dan menghajarku.
Aku sengaja tidak melawan. Harapanku agar Sucitra keluar menghentikan perbuatan Gandamana, kemudian mengajakku dan anakku memasuki Kedaton untuk saling melepas rindu.
Sampai badanku remuk dihajar habis-habisan, Sucitra tidak keluar juga.
Aswatama menagis keras sekali, melihat aku dihajar Gandamana.
Setelah aku tak berdaya, Gandamana dan para Prajurit mengusir kami.
Sembari menagis sepanjang jalan, Aswatama yang biasanya aku gendong, berusaha menuntunku. Di sepanjang jalan kami tidak berjumpa orang. Mungkin mereka menyingkir ketakutan, karena menganggap aku penjahat yang di hukum raja. Sesampainya di sebuah sendang, Aswatama membantu aku membersihkan darah disekujur badanku yang mulai mengering.
Wajahku rusak, lengan kananku remuk.
Sucitra, Sucitra, mengapa engkau sengaja membiarkan aku dihajar oleh adikmu?
Mungkinkah engkau tidak ingat lagi wajahku, suaraku, kakakmu si Kumbayana.?
Mustahil! Ataukah engkau sengaja melupakan aku, mengubur masa lalulumu?
Dhuh Dewa, apakah dosaku, benarkah aku kuwalat dengan orang tua? hinga aku mengalami nasib seperti ini?
Aswatama memandangku penuh kesedihan. Ia tidak menangis lagi, air matanya telah habis. Hatinya menderita. Aku lebih menderita, bukan karena penderitaanku, melainkan karena melihat penderitaan anakku, satu-satunya harapan hidupku.
Oh ngger, bocah bagus, Aswatama.
Bersabarlah. Nanti jika saatnya tiba, akan kutunjukan didepanmu. Pembalasanku kepada Sucitra dan Gandamana. Siang malam kami berjalan, menggendong dendam, menyusuri jalan penderitaan, memilih tempat terpencil jauh dari keramaian. Akhirnya kami temukan tempat yang cocok sebagai tempat tinggal. Untuk menyembuhkan luka-lukaku. Aku memeperdalam ilmu dan mengajarkannya kepada Aswatama.
Satu, dua orang perantau yang nyasar ketempatku, tertarik untuk berguru.
Jadilah tempat tinggalku sebagai padepokan kecil, aku namakan Soka Lima.
Diantara cantrik-cantrikku, belum kutemukan bakat menonjol, untuk kuajari ilmu-ilmu andalan. Agar dapat membalaskan dendamku. Rata-rata mereka berkemampuan sedang, termasuk Aswatama. Aku mendambakan murid yang pandai, bahkan teramat pandai.
Jika aku tunggu mungkin terlalu lama. Maka saya putuskan untuk menyisihkan waktu, mencari di pusat pusat kota. Pada akhirnya kalian tahu sendiri, kita dipertemukan pada saat para Kurawa ingin mengambil cupu lenga tala di sumur tua itu, demikian Durna mengakhiri ceritanya.
Aku merasa lega mendapat murid kalian berlima. Dibenakku telah tergambarkan, kalianlah yang mampu mengobati sakit hatiku, dengan membalaskan dendamku kepada Durpada dan Gandamana. Maka mulai sekarang belajarlah penuh semangat dan ketekunan. Akan aku ajarkan ilmu-ilmu terbaik yang aku miliki.
Kidung Malam (14) Mengharap Hidup Rukun Sementara itu, sesampainya di keraton Hastinapura, Patih Sengkuni melaporkan kepada raja, bahwa lenga tala gagal direbut. Sekarang dibawa pergi oleh seorang pandhita sakti. Bahkan ia telah mengangkat murid Pandhawa dan membawa serta mereka ke padepokannya.
Duryudana dan para Kurawa merengek-rengek memohon kepada raja agar Pandhita sakti tersebut diangkat menjadi Guru Istana.
"Ampun Kakanda Prabu, perlu menjadi pertimbangan, ia mau menjadi guru para Kurawa asalkan Pandawa lima diperkenankan masuk istana, pada hal beberapa waktu yang lalu Kanda Prabu telah mengusir mereka."
"Jika demikian biarlah anak-anakku yang datang berguru ke padanya"
"Ampun Kakanda Prabu, langkah tersebut akan merosotkan kewibawaan paduka raja,"
"Lantas bagaimana pendapatmu Patih Sengkuni?"
"Kanda Prabu, sebelumnya aku ingin mencari padepokannya untuk kemudian memaksa dia datang di istana tanpa Pandawa Lima"
Mendengar rencana Patih Sengkuni, Duryudana yang menyaksikan sendiri kesaktiannya padhita tersebut bertanya, lalu siapa yang mampu memaksanya?
Sengkuni sempat gelagepan, namun ia kemudian berkata, "Aku akan memerintahkan satu bregada prajurit untuk mengepung dan kemudian menangkapnya.
"Sengkuni! Apakah untuk mendapatkan seorang guru tidak boleh dengan cara paksa. Jika terjadi korban nyawa apakah engkau mau bertanggungjawab?
"Maksud saya tidak begitu Maha Resi Bisma. Apa yang akan kami lakukan ini semata-mata merupakan tanda bakti kepada raja. Karena jika nantinya para putra raja mendapatkan guru yang sakti, dan menyerap ilmunya, mereka akan mampu menjaga, memperkuat dan memperluas kerajaan Hastinapura"
"Sengkuni, Sengkuni, apakah engkau tidak pernah melihat guru sakti di Hastinapura ini? Coba kamu jawab dengan jujur, tidak adakah Guru Sakti di Hastinapura? Sengkuni!"
"Ada, ada Maha Resi, bahkan tidak sekedar ada, tetapi banyak. Jumlahnya kira-kira ratusan, ee mungkin bisa mencapai ribuan. Sedangkan yang diangkat menjadi guru istana saja sudah seratus lebih. Padahal gaji mereka" "Cukup!! Sekarang jawab pertanyaanku, apakah para Kurawa telah menyerap semua ilmu dari mereka, terutama para guru yang digaji istana?" Eee sudah, eh belum dhing. Maksud saya semua ilmu telah diajarkan dan dipahami, tetapi belum semua di kuasai." "Bagus, lalu apa usahamu agar para Kurawa mampu menyerap ilmu para guru istana dengan baik? "
Ampun Maha Resi Bisma, jika bibir ini menjadi panjang, salah satunya karena setiap waktu aku selalu mengatakan kepada keponakanku para kurawa, belajarlah yang tekun dan rajin. Tetapi memang mempelajari ilmu-ilmu tingkat tinggi tidak cukup dengan rajin dan tekun, tetapi membutuhkan bakat dan kemampuan" "Jadi menurutmu cucu-cucuku para Kurawa itu rajin dan tekun?" Iya, eee kadang-kadang rajin, dan kadang-kadang tekun. Eee rajin kok, tetapi" "Sengkuni, engkau akan mengatakan bahwa para Kurawa itu tekun dan rajin tetapi tidak berbakat dan tidak mampu menguasai ilmu-ilmu tinggi?" "Tidak demikian Sang Maha Resi, para Kurawa itu mempunyai bakat dan kemampuan, tetapi belum ada guru yang mampu menggali bakat dan kemampuannya"
"Sengkuni! Engkau jangan menyalahkan para guru istana! Engkau menganggap aku buta? Tidak dapat melihat kenyataan yang sebenarnya? Bukankah para Kurawa tidak dengan sungguh-sungguh menyerap ilmu dari para guru istana? Dan itu sesungguhnya menjadi tanggunggjawabmu untuk memotivasi mereka."
"Ampun Maha Resi, hamba ini seorang Patih, tugas hamba mengabdi kepada negara dan raja. Bukan sebagai pengasuh anak-anak raja." "Baik! Jika demikian jangan ikut campur dalam hal mencari guru untuk para Kurawa. Anak Prabu Destarastra, ijinkanlah aku sendiri yang akan menemui guru sakti yang diinginkan anak-anakmu. Pertimbanganku agar para Kurawa dan para Pandawa menyerap ilmu dari guru yang sama, dengan aturan dan disiplin yang sama serta sumpah ketaatan yang sama pula. Sehingga dengan demikian ada harapan untuk mempersatukan diantara mereka."
Destarastra setuju usul Resi Bisma, karena sesungguhnya ada harapan yang sama, agar diantara anak-anaknya dan anak-anak Pandudewanata hidup berdampingan dengan rukun. Tetapi entah apa sebabnya benih-benih permusuhan telah tumbuh lebih cepat dari pada benih-benih kerukunan.
Dengan pertimbangan bahwa Yamawidura mengetahui letak padepokan, tempat Pandhita Sakti berada, maka Destarastra memerintahkan kepada Yamawidura untuk mengiring Resi Bisma. Menurut keterangan Sadewa, sewaktu mohon restu kepada Ibunda Dewi Kunthi ke Panggombakan, ia beserta keempat saudaranya selama beberapa waktu tinggal di Padepokan Sokalima yang terletak di tapal batas wilayah Negara Pancalaradya, untuk berguru kepada Padhita Durna.
Pada hari yang telah disepakati, sebelum matahari terbit, Resi Bisma diiringi Yamawidura keluar dari Kestalan Keraton Hastinapura, menuju arah tenggara. Derap dari delapan kaki kuda yang mereka tumpangi, meninggalkan debu yang terbang terbawa angin dan menempel pada lekuk-lekuk bangunan Keraton Hastinapura yang indah.
Kidung Malam (15) Sang Resi Bisma Di tengah terik matahari, Resi Bisma dan Yamawidura sengaja tidak berhenti, agar segera sampai di Padepokan Sokalima, tempat Pandhita Durna menggembleng cantrik-cantriknya, termasuk Pandhawa Lima. Jika pun harus istirahat, sekedar untuk memberi makan minum kuda-kuda mereka. Dilihat pada garis-garis wajahnya, Resi Bisma sudah tidak muda lagi, bahkan dapat dikatakan lanjut usia, namun badannya masih tegap dan jiwanya masih tegar, jauh lebih muda dari usia yang sebenarnya. Sorot matanya tajam bagai rajawali. Segudang ilmu sakti yang ia pelajari sejak masa kanak-kanak, masih melekat kuat di badan dan jiwanya. Waktu muda ia mendapat tiga anugerah besar yaitu; umur panjang sampai tujuh turunan, tidak pernah kalah dalam berperang dan tidak dapat mati jika tidak atas permintaan sendiri. Ia menjadi putera mahkota kerajaan Hastinapura pada masa pemerintahan ayahnya, Prabu Sentanu. Namun karena Dewi Setyawati, ibu sambungnya menginginkan tahta demi anaknya, maka ia mengalah, dengan ikhlas tahta diserahkan kepada anak Setyawati. Bahkan ia berjanji untuk menjalani hidup ?wadat? tidak menikah, agar tidak mempunyai keturunan yang akan mengusik tahta Hastinapura, dan menimbulkan pertumpahan darah diantara saudara.
Dengan kebesaran hati, Resi Bisma telah melepaskan tahtanya dan menjalani hidup wadat. Walaupun ada godaan besar dari seorang wanita bernama Dewi Amba, Bisma tetap setia dengan janjinya untuk tidak menurunkan anak dari seorang wanita. Namun saat ini ia sangat kecewa, bukan karena ia telah merelakan tahtanya dan menjalani laku hidup wadat, tetapi lebih dikarenakan pergolakan tahta Hastinapura tidak terhindarkan karenanya. "Apakah keputusanku untuk melepaskan tahta salah? Jikakalau benar, mengapa Citragada dan Wicitrawirya anak Setyawati, belum genap hitungan tahun menduduki tahta, meninggal secara berurutan? Menurut anggapan rakyat Hastinapura, Citragada dan Wicitrawirya tidak kuat menduduki tahta, mereka kuwalat kepada pendiri Keraton dan Rakyat Hastinapura. Karena secara tidak langsung telah merebut tahta yang bukan haknya dari tanganku. Rupanya Ibunda Setyawati mempercayainya anggapan rakyat. Ia sangat menyesalkan telah mengajukan anak-anaknya untuk menduduki tahta.
Pada suatu malam, Ibunda Ratu menemuiku, dan meyapaku. Ia selalu memanggilku dengan nama kecilku, Dewa Brata. Ketika nama itu disebut, aku diingatkan kepada ibuku Dewi Ganggawati, seorang bidadari yang memberikan nama itu. Aku rindu padanya, ingin dipeluk, dicium, dibelai dengan penuh cinta. Namun itu tak pernah aku rasakan. Sejak bayi, Ibunda telah meninggalkan aku dan ramanda Prabu Sentanu kembali ke kahyangan.
"Dewa Brata, aku telah melakukan kesalahan besar kepadamu dan rakyat Hastinapura. Semenjak kedua adik tirimu meninggal berurutan, tahta Hastinapura kosong. Aku sadar, tragedi ini merupakan peringatan ?Hyang Akarya Jagad? bahwa sesungguhnya hanya engkaulah yang berhak atas tahta Hastinapura."
"Bukan Ibunda yang bersalah, melainkan aku. Karena dengan memberikan tahta kepada keturunan Ibunda Dewi Setyawati, aku telah mengkhianati leluhurku, pendiri Keraton Hastinapura ini. Seakan-akan tahta Hastinapura adalah milikku, dapat aku gunakan sesukaku, boleh aku diberikan sesuai keinginanku. Demikian pula kedudukan putera mahkota yang kutanggalkan tanpa persetujuan rakyat, artinya aku telah menyelewengkan kepercayaan rakyat Hastinapura."
"Dewa Brata inilah saat yang tepat untuk menebus kesalahan kita"
"Katakan apa yang harus aku lakukan untuk menebus kesalahan."
"Jika engkau mau melakukan, kesalahku tertebus pula"
"Katakan Ibunda, katakanlah"
"Duduklah di tahta Hastinapura"
Malam itu terang benderang, tidak turun hujan. Bulan penuh menggantung di langit, kidung malam mengalun merdu. Namun kata-kata Ibunda Ratu laksana halilintar menggelegar di dada Dewa Brata. Sesungguhnya yang dikatakan Ibunda Ratu, sama dengan bisikan nuraninya bahkan sama pula dengan nurani rakyat, yang beranggapan bahwa satu-satunya orang yang berhak, pantas dan kuat menduduki tahta adalah Dewa Brata. Namun kesadarannya menolak untuk menjadi raja.
Aku mengalami goncangan yang amat hebat, jika aku tidak bersedia menjadi raja, artinya aku telah mengingkari tradisi pendiri kraton Hastinapura, dan menolak mandat yang diberikan rakyat. Namun sebaliknya jika aku bersedia menjadi raja, aku telah mengkianati janjiku dan menghina para Dewa yang telah memberikan tiga anugerah karena kerelaanku menyerahkan tahta dan hidup wadat.
Resi Bisma menghentikan permenungan masa lalunya, ia dan Yamawidura sampai di gapura masuk padepokan Sokalima. Sang Resi Bisma banyak berharap kepada guru besar Soka Lima, untuk membantu mengurangi beban perasaan bersalah, dengan mempersatukan Pandhawa dan Kurawa, sehingga mampu meredam sengketa dan pertumpahan.
Dua orang cantrik menyambut dengan penuh hormat, sopan dan ramah, walaupun mereka tidak tahu bahwa tamunya adalah dua orang besar dari negara yang besar pula.
Kidung Malam (16) Dendam dalam Sekam Bisma dan Yamawidura turun dari kudanya, segera dua orang cantrik menghampirinya untuk menambatkan kuda-kuda mereka. Begitu pula dengan dua cantrik lain mengiring Bisma dan Yamawidura menuju ke bangunan induk padepokan. Sepanjang jalan, aneka bunga warna-warni menjulur tangkainya, merunduk di pinggir jalan, bagaikan pagar-ayu, menyambut datangnya kedua tamu agung. Di bibir tangga bangunan induk, Pandita Durna, beserta Puntadewa, Bimasena, Harjuna, Nakula dan Sadewa tergopoh-gopoh menyongsong mereka.
"Selamat datang di padepokan Sokalima, Sang Resi Agung Hastinapura. Sudah tiga hari ini, sepasang burung prenjak berkicau bersautan persis di depan rumah induk. Itu pertanda bahwa padepokan akan kedatangan tamu Resi Agung."
"Pandhita Durna jangan berlebihan, aku manusia biasa seperti engkau, bukan manusia agung."
Durna mengangguk-angguk, walaupun sesungguhnya ia tahu bahwa Bisma adalah Resinya para Resi.
Setelah mereka dipersilakan duduk, Bisma mengawali pembicaraan.
"Pandhita Durna, tentunya engkau telah mengetahui banyak tentang aku dari cucu-cucuku Pandhawa. Namun aku ingin mengatakan bahwa hingga sat ini hidupku selalu dibayang-bayangi perasaan bersalah. Menyusul keputusanku yang pertama: ketika aku merelakan tahta kepada anak-anak Setyawati dengan Ramanda Prabu Sentanu yaitu Citragada dan Wicitrawirya, yang meninggal berurutan setelah menduduki tahta. Keputusan yang ke dua: mengangkat Abiyasa, anak Setyawati dengan Palasara trah Pertapa Saptaarga, bukan trah Hastinapura. Sejak Abiyasa menduduki tahta, Hastinpura selalu bermasalah. Terlebih lagi setelah kehadiran Kurawa dan Pandhawa perebutan tahta Hastinapura semakin meruncing."
"Sang Resi Bisma, perjalanan hidupku rupanya juga tidak lebih baik." Pandita Durna berkisah pula.
"Sampai saat ini perasaan bersalah seperti yang dirasakan Sang Resi juga menggelayut dalam hidupku. Ketika Ramanda Prabu Baratwaja menginginkan aku menjadi raja di Hargajembangan, aku menolak, dan memilih pergi ke Tanah Jawa, untuk berguru kepada Begawan Abiyasa. Tetapi tragedi telah menimpaku, badan dan wajahku cacat seumur hidup. Aku menggembara tak tentu arah di negeri orang, dengan membawa anak tanpa ibu."
Mereka terdiam untuk sementara waktu, ingin saling memahami perjalanan hidup masing-masing.
"Pandita Durna, aku tahu engkau dalam penderitaan, namun engkaulah yang kurasa dapat membantu mencegah perang antara Kurawa dan Pandawa. Untuk itulah aku datang memohon engkau bersedia menjadi guru mereka. Karena dengan menjadikan mereka murid-muridmu, mereka akan menjadi saudara seperguruan, yang akan menumbuhkan perasaan senasib, seperjuangan. Bukankah hal tersebut akan memperkecil benih-benih permusuhan?"
"Pada awalnya aku lebih berminat mengangkat murid para Pandhawa. Namun setelah Sang Resi mengungkapkan tujuan mulia dibalik pengangkatan murid Para Kurawa, aku bersedia menjadi guru mereka."
"Terimakasih Kumbayana. Tentunya dengan kesediaanmu, Prabu Destrarastra akan memberikan gelar guru istana."
"Dhuh Sang Resi Bisma, ada yang lebih penting dari gelar itu, yaitu kebebasan mengajar setiap orang yang membutuhkan."
Bisma dapat memahaminya, karena ia tahu persis darma seorang pandita atau resi, ialah memberikan ilmu kepada siapa saja, tidak pilih-pilih. Ibaratnya sebuah sumur yang selalu terbuka bagi yang menimba air darinya.
Sebelum kembali ke Istana Resi Bisma dan Yamawidura berpesan agar selain mengajarkan ilmu, ada hal mendasar yang wajib ditanamkan kepada Pandhawa dan Kurawa, yaitu agar diantara mereka dibangun rasa mencintai, sikap saling menghargai dan rela memberi maaf.
Membangun sikap moral tidak lebih mudah dibandingkan dengan mengajarakan ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan. Oleh karenanya seorang guru diharuskan mempunyai otoritas penuh, teguh adil dan berwibawa. Dengan alasan tersebut, Bisma setuju bahwa tempat penggemblengan para murid, dilakukan di Sokalima.
Semenjak resmi menjadi Guru Istana Hastinapura, nama Pandita Durna terangkat karenanya. Tokoh-tokoh penting dari penjuru negara, berguru kepadanya. Kecuali dari Negara Pancalaradya. Hal tersebut dikarenakan adanya hubungan yang tidak baik antara Sucitra dan Kumbayana, antara Prabu Durpada dan Pandita Durna.
Awalnya, menyusul peristiwa penganiayaan Kumbayana oleh Gandamana, Prabu Durpada tidak tega melihat luka yang diderita Kumbayana, maka ia membiarkannya tinggal di tapal batas wilayah Pancalaradya yang bernama Sokalima. Namun saat ini Sokalima menjadi besar dan kuat. Prabu Durpada khawatir bahwa Kumbayana akan memanfaatkan kekuatan Sokalima untuk melampiasakan dendamnya.
Memang benar, dendam di hati Pandita Durna senantiasa masih menjala dalam sekamnya. Jika tiba saatnya ia akan membuka sekam itu, supaya nyalanya menjadi besar dan membakar sasaran dendamnya yaitu Prabu Durpada dan Gandamana.
Kidung Malam (17) Mimpi Gandamana Dendam mengandung daya penghancur yang luar biasa. Si penyimpan dendam tidak akan pernah merasakan cara kerjanya dalam proses penghancuran hidup dan kehidupan. Seperti dendam yang ditumbuhkan di hati Durna. Sebagai Maha Guru ia memang suntuk mengajarkan ilmu-ilmunya kepada para murid-muridnya, tetapi tujuan utamanya bukan untuk para murid, melainkan untuk melampiaskan dendamnya kepada Prabu Durpada dan Gandamana. Sungguh luar biasa, dendam tidak akan pernah berhenti sebelum ?tuan?nya hancur.
Dikarenakan yang menjadi tujuan utama pengajaran di Sokalima adalah pembalasan sakit hati, maka pesan Resi Bisma kepada Durna agar tidak lupa menanamkan rasa saling mencintai, sikap saling menghargai dan rela memberi maaf kepada Kurawa dan Pandhawa menjadi tidak begitu penting.
Dendam itu pulahlah yang telah menyeret Pandita Durna untuk memperlakukan murid-muridnya dengan tidak adil, Mban cindhe mban siladan, pilih-kasih. Murid yang satu diemban dengan kain cindhe sedangkan murid yang lain diemban dengan siladan (kulit bambu). Diantara ratusan muridnya, Bimasena dan Harjuna mendapat perlakuan istimewa melebihi Aswatama anaknya. Karerna mereka berdua yang memang sebelumnya gemar berguru kepada orang-orang sakti, mempunyai kemampuan di atas rata-rata, bahkan kesaktiannya jauh meninggalkan murid-murid yang lain. Melalui Bimasena dan Harjuna inilah, Durna berharap dendamnya kepada Prabu Durpada dan Gandamana dapat dilampiaskan.
"Salahkah aku, sebagai guru menaruh perhatian khusus kepada murid-murid berprestasi? Dosakah aku, sebagai seorang guru mencintai murid-murid yang patuh berbakti, dan menjunjung tinggi nama sang guru? Jika kalian ingin mendapat perhatian dan rasa cintaku seperti yang aku berikan kepada Bimasena dan Harjuna, berusahalah patuh dan berprestasi seperti mereka."
Demikianlah Durna selalu membela diri, mencari alasan untuk membenarkan tindakannya. Tanpa pernah mengakui bahwa itu semua adalah buah karya dari dendamnya yang di sekam.
Walaupun tenaga Durna yang memang tidak sempurna lagi itu telah ditumpahkan untuk murid-muridnya, tidaklah mudah membentuk orang-orang sakti dalam waktu singkat. Beberapa tahun berlalu, semenjak Durna mengangkat murid Pandhawa dan Kurawa, belum ada satupun muridnya yang kemampuannya berada diatas kemampuan Gandamana, termasuk juga Bimasena dan Harjuna, murid andalannya.
Pada suatu pagi, sebelum matahari terasa panas sinarnya. Durna berdiri diatas panggungan, dengan matanya yang tajam, ia mengamati sepasang-sepasang muridnya di arena latih tanding. Ketika tiba gilirannya pasangan Bimasena dan pasangan Harjuna menunjukkan kemampuannya, ia tersenyum puas melihat ilmu kedua murid kesayangan tersebut maju dengan pesat. Namun apakah kemampuan mereka cukup memadai untuk menandingi Gandamana? Siang-malam Durna senantiasa berharap agar saat pembalasan segera tiba. Ia ingin melunasi janjinya kepada Aswatama, sewaktu anaknya menangis melihat luka-luka yang dideritanya. "Jangan menangis Aswatama bocah bagus, bersabarlah. Nanti jika saatnya tiba, akan kutunjukan di depanmu pembalasanku kepada Sucitra (Prabu Durpada) dan Gandamana. He he he"
Di Keraton Cempalaradya pada suatu malam, Gandamana tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Waktu tepat menunjukkan pukul dua dinihari. Jatungnya masih berdetak keras. Mimpi yang baru saja datang dalam tidurnya, membuat bergetar hatinya. Dalam mimpi tersebut ia didatangi Prabu Pandudewanata.
"Patih Gandamana, apakah engkau masih setia padaku?"
"Adhuh Sinuwun Prabu, aku selalu setia kepada Hastinapura dan Prabu Pandudewanata sampai akhir hayatku."
"Terimakasih Gandamana, aku ingin bukti dengan apa yang engkau katakan."
"Sinuwun Prabu, apakah yang Paduka kehendaki atas diriku ini?"
"Bersiaplah mengikuti aku ke medan perang!"
"Baiklah Sinuwun, di mana dan berapa pasukan mesthi aku persiapan?"
"Aku tidak memerlukan pasukan kerajaan. Cukup engkau seorang." Prabu Pandudewanata tersenyum, sebentar kemudian hilang dari pandangan. Aku tiba-tiba sudah berada di medan pertempuran yang sengit. Mereka saling membunuh dengan ganas. Jantungku berdegup keras, selama menjadi Patih Hastinapura baru kali ini aku melihat pertempuran yang lebih dahsyat dari ?Perang Pamukswa? perang antara Hastinapura dan Pringgandani. Aku menebarkan pandangan ke delapan penjuru mata angin, dan dengan jelas melihat bahwa pertempuran tersebut melibatkan empat raja. Yang membedakan antara raja yang satu dengan raja yang lainnya adalah warna pakaiannya, termasuk bala tentaranya. Raja yang berpakaian serba Merah, bala tentaranya berpakaian serba merah. Raja yang berpakaian Hitam, bala tentaranya juga berpakaian serba Hitam. Demikian juga raja yang berpakaian Kuning dan Putih. Diantara raja-raja tersebut, aku tidak melihat Prabu Pandudewanata. Dimanakah beliau berada? Bukankah beliau yang mengajakku ke medan perang?
Sebelum pertanyaanku terjawab, tiba-tiba ke empat raja beserta pengikutnya menyerang aku. Puluhan ribu senjata diacung-acungkan kepadaku. Sungguh mengerikan sekujur tubuhku bergetar. Sebentar lagi badanku akan lumat dicincang mereka. Namun aku tidak bisa meninggalkan medan perang. Aku bukan pengecut. Apa lagi aku telah berjanji kepada Prabu Pandudewanata untuk ikut ke medan perang, bertempur sampai titik darah penghabisan. Maka aku songsong mereka dengan muka tegak dan dada terbuka. Dhuaarr! Benturan dahsyat terjadi, aku terbangun.
Sementara kidung malam masih menyisakan suaranya, pikiran Gandamana menerawang jauh di masa lampau, ketika ia masih menjadi Maha Patih Hastinapura. Kenangan bersama Prabu Pandudewanata sungguh membangkitkan kerinduan. Rindu masa-masa kejayaan, rindu kepada Raja yang ia cintai dan ia hormati.
Namun kini semua tinggal kenangan, Prabu Pandu Dewanata telah memasuki alam keabadian. Namun ia masih berkenan mengunjungi aku. "Apakah Sang prabu juga rindu kepadaku? Aku sangat bahagia karenanya, Sang Prabu meninggalkan senyum abadi kepadaku. Meskipun hanya di dalam mimpi.
Kidung Malam (18) Pendadaran Murid Sokalima
Belum lama gema kenthongan yang dipukul sebelas kali hilang dari pendengaran, para murid Soka Lima, yang terdiri dari Pandawa dan Kurawa memenuhi Pendapa induk padepokan. Suasana pada malam itu menjadi khusus, karena ada hal yang terlalu penting yang akan disampaikan oleh Pandita Durna kepada semua muri-muridnya, tepat pada jam sebelas malam. Temaramnya lampu minyak yang menggantung di tengah saka guru, mampu menampakan raut wajah mereka yang serius. Tidak lama kemudian Pandita Durna muncul didampingi oleh Aswatama, anak semata wayang.
Setelah duduk di antara murid-muridnya, Pandita Durna membuka pembicaraan.
"Sudah lebih dari tiga tahun kalian berlatih dengan sungguh-sungguh, Aku bangga atas kemajuan yang kalian capai. Aku menghargai kalian, seperti engkau menghormati aku. Aku mencintai kalian, seperti engkau juga mencintai aku. Selama ini aku telah membantu kesulitan kalian, demikian pula yang aku harapkan kalian juga membantu kesulitanku."
"Bapa guru, bukankah bantuan kami selama ini terus mengalir. Tidak sedikit harta yang kami berikan untuk membangun pendapa yang megah ini, membangun asrama para murid, membangun pintu gapura dan tembok keliling padepokan, juga membantu fasilitas-fasilitas yang lain. Namun jika semua bantuan tersebut belum dapat mengatasi kesulitan, katakan saja Bapa Guru, kesulitan apa lagi yang perlu kami bantu."
"Anak Mas Duryudana, apa yang engkau katakan perihal bantuan itu memang benar, namun bukan itu yang aku maksudkan. Aku membutuhkan bantuan untuk menyembuhkan luka batin yang selama ini masih menganga di dalam hatiku. Oleh karenanya hidupku tidak akan pernah tenang sebelum luka itu sembuh."
"Bapa Guru yang aku hormati, hati yang menganga karena luka dan tidak segera pulih kembali itu hanya terjadi pada hati yang darahnya dialiri dendam. Apakah Bapa Guru Durna menyimpan dendam?"
" Benar Harjuna, engkau memang murid yang ?lantip,? aku menyimpan dendam. Dan demi anakku Aswatama dendam tersebut aku hidupi, sembari menunggu waktu yang tepat untuk melampiaskan."
"Lalu, kepada siapa dendam itu akan dilampiaskan.?"
"Kepada Sucitra dan Gandamana"
Para murid terdiam, mereka tahu bahwa dua nama yang disebut Pandita Durna adalah raja dan beteng kekuatan Cempalaradya atau Pancalaradya. Bagi para Kurawa Gandamana dan Sucitra atau Prabu Durpada adalah dua orang pilih tanding, yang tidak mudah dikalahkan. Hati mereka tergetar membayangkan sepak terjang Gandamana di medan perang. Dengan aji Wungkal Bener dan Bandung Bandawasa, Gandamana mampu memporakporandakan ratusan prajurit dalam sekejap. Lain halnya dengan perasaan yang berkecamuk di hati Para Pandawa. Bagi mereka Prabu Durpada dan Gandamana adalah dua orang Pepunden yang pantas di hormati. Maka jika karena janji baktinya kepada Bapa Guru Durna harus menghadapi Gandamana dan Prabu Durpada, ada perang batin yang tidak mudah untuk diselesaikannya
"Demi dendam itulah aku mengumpulkan kalian semua, untuk meminta tanda baktimu, seperti yang pernah engkau nyatakan pada saat kalian akan menjadi muridku, sekaligus sebagai pendadaran atas ilmu yang telah aku ajarkan. Jika hal ini dianggap sebagai perintah, maka tidak ada pilihan bagi kalian selain melaksanakan perintahku. Maka perintahku adalah: Besok lusa pada hari Respati Manis, sebelum matahari tenggelam, aku menginginkan Durpada dan Gandamana sampai di depanku dalam keadaan terikat."
Perintah Pandita Durna dapat diartikan bahwa para murid yang berhasil merangket Durpada dan Gandamana, adalah para murid yang lolos pendadaran. Keberhasilannya akan menempatkan mereka pada jenjang selanjutnya dan mendapatkan ilmu-ilmu yang lebih tinggi tatarannya. Tentunnya bagi mereka yang berhasil, mendapat perhatian khusus di hati Pandita Durna, lebih dari pada para murid yang tidak berhasil. Oleh karenanya walaupun para Kurawa tergetar hatinya mendengar nama Gandamana, mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mendapat pujian sang guru, maka Para Kurawa mendahului para Pandawa berangkat ke Cempalaradya.
Sebentar kemudian pendapa induk Padepokan Soka Lima menjadi sepi, Durna tersenyum tipis memandangi murid-muridnya yang bergegas meninggalkan pendapa, untuk mengemban tugas berat merangket Durpada dan Gandamana.
"Aswatama jangan pergi jauh-jauh dariku, karena sebentar lagi engkau akan menyaksikan peristiwa yang telah lama kita tunggu, pembalasanku kepada Sucitra dan Gandamana"
Keberanian para Kurawa yang kemudian muncul tidak terlepas dari ambisinya untuk selalu ingin berada di atas mengungguli para Pandawa. Peran Sengkuni sangat menentukan dalam mengobarkan kesombongan Duryudana dan Dursasana. Maka tidaklah heran, ketika para Kurawa dengan senjata lengkap sampai di pintu gerbang kotaraja Cempalaradya, Dursasana berteriak-teriak menantang Durpada.
"Hei! Raja penakut, Durpada! Jangan bersembunyi di balik tembok tebal, jangan berlindung di balik dada para prajurit, Jangan keenakan tidur bersama selir-selirmu keluarlah hadapi Dursasana dan Para Kurawa. Jika sampai tengah hari tidak mau keluar keraton akan saya bumihanguskan."
Mendengar tantangan Dursasana, kepala prajurit jaga tidak dengan serta merta terpancing. Ia cukup waspada dan berhati-hati menghadapi para kurawa, sebatas tidak merusak dan menerobos masuk keraton.
Karena tidak ada tanggapan, Dursasana, Duryudana dan saudara-saudaranya ingin menerobos prajurit jaga yang menyilangkan tombaknya di depan pintu gapura. Melihat gelagat yang membahayakan, kepala prajurit jaga menyerukan perintah.
"Tahan mereka! Jangan sampai masuk sitihinggil!"
Dursasana memandang remeh prajurit rucah yang menghadang di pintu gerbang. Sambil berteriak-teriak mata pedangnya menyambar-nyambar, bak elang mencari mangsa. Sementara itu Duryudana dengan gadanya berusaha menghancurkan setiap musuh yang menghadang di depannya.
Kidung Malam (19) Menyerah Tanpa Perang Bentrokan antara dua kelompok bersenjata akhirnya terjadi. Dursasana dan Duryudana sangat bernafsu untuk segera menghabisi para prajurit jaga yang menghadang di depan pintu gapura. Namun niatnya tidak segera kesampaian. Walaupun secara perorangan kemampuan para prajurit berada jauh dibawah murid-murid Sokalima, mereka adalah prajurit terlatih yang berani mati. Dapat bekerja sama dengan kompak dan disiplin, mampu saling menutupi celah-celah kelemahannya. Sehingga mereka bagaikan tembok tebal yang tidak mudah untuk ditembus.
Ketika belum ada satupun senjata yang menggores, tiba-tiba berkelebatlah bayangan yang mengacaukan para murid Sokalima. Bentrokan berhenti seketika. Semua mata memandang sesorang yang berdiri tegak diantara para prajurit jaga.
"Gandamana!" Ucap para Kurawa hampir bersamaan.
"Benar aku Gandamana Beteng Negara Pancalaradya. Barang siapa ingin menerobos masuk ke dalam cepuri keraton dengan niatan buruk, terlebih dahulu harus mampu merobohkan aku."
Rupanya Gandamana mau bertindak cepat untuk mengusir para Kurawa agar tidak membuat kerusakan dan ketidak tentraman di depan pintu gapura kraton, yang merupakan pintu utama bagi keluar masuknya para tamu, sahabat, kerabat raja dan kawula Pancalaradya. Maka segera di bangunlah sebuah mantra ajian Bandung Bandawasa. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari kedua telapak tangan Gandamana. Ke mana tangan digerakan, angin prahara menyapu dengan tenaga berlipat ganda, sebanding dengan tenaga seribu gajah.
Titisan Dewi Iblis 3 Hulubalang Raja Karya Nur St. Iskandar Interpretation Murder 8

Cari Blog Ini