Ceritasilat Novel Online

Ksatria Putri Tionggoan 3

Mulan Ksatria Putri Tionggoan Karya Effendi Wongso Bagian 3


ia saat mendapati kenyataan bahwa Biksu Pha Tou ternyata
sudah meninggal. Karena tidak mungkin dapat bertarung lagi
dengan biksu tua yang mengalahkannya dulu, maka ia
166 mengobrak-abrik seluruh ruangan biara.
Ia hendak mengalihkan tantangannya ke Biksu Yang Fei pemimpin tertinggi biara. Wong Qi Bei dan Huan Chen-Liang
yang saat itu sedang berguru di Shaolin mencegah niatnya
dengan bertarung di luar biara. Mereka menghadang Han Chen
Tjing yang ingin menantang Biksu Kepala pemimpin tertinggi
Shaolin tersebut setelah sebelumnya mendapat legitimasi untuk
menjaga Shaolin, dan mematuhi amanat agar tidak seorang pun
dapat mengganggunya bermeditasi di ruang bawah tanah biara.
Pertarungan tidak seimbang itu dapat dimenangkan dengan
mudah oleh Han Chen Tjing. Setelah mengalahkan Wong Qi Bei
dan Huan Chen-Liang, Han Chen Tjing kembali mengaduk-aduk
biara. Ketika itu ia hendak mencari Fang Wong, saudara
seperguruannya yang dikalahkannya beberapa tahun lalu.
Rupanya ia masih menyimpan dendam kepada Fang Wong,
yang memergokinya belajar ilmu silat hitam - sebuah pantangan
besar bagi para biksu Shaolin - dan menganggapnya sebagai
biang pengadu yang menyebabkan dirinya diusir dan
dikeluarkan secara tidak hormat dari Shaolin.
Fang Wong yang masih terluka akibat pertarungannya dengan
Han Chen Tjing tiga tahun lalu, ternyata sudah meninggalkan
biara sejak setahun lalu. Pemuda itu kabur ke sebuah dusun di
sebelah tenggara Tionggoan. Di sana ia mengalami masa-masa
167 paling sulit dalam hidupnya. Pukulan Telapak Tangan Besi dan
Kingkong Han Chen Tjing memang telah membuatnya menjadi
orang setengah lumpuh. Di dusun itu ia diobati oleh seorang tabib tua yang tinggal
beserta seorang putrinya. Selama hidup sebagai petani, Fang
Wong selalu dihantui oleh peristiwa tragis yang hampir
merenggut nyawanya. Sosok Han Chen Tjing selalu
membayanginya. Setahun kemudian ia mengidap skizofrenia.
Tidak lama berselang menjelang penyembuhan, ia diilhami
sebuah fenomena alam sehingga dapat menciptakan wushu
unik, Taichi Chuan. Dalam masa-masa penyembuhan luka dalam dan trauma
psikisnya, ia mengajari anak-anak kampung wushu ciptaannya.
Salah satu muridnya yang paling menonjol adalah Fa Mulan.
Satu-satunya anak gadis yang belajar wushu kepadanya secara
sembunyi-sembunyi. Setelah biara Shaolin diobrak-abrik oleh Han Chen Tjing, Wong
Qi Bei melarikan diri ke Guandong. Di sana ia hidup madani.
Menjadi tabib setelah belajar medika tradisional Tionggoan akupuntur dan Totok Nadi, dan membuka sebuah kedai obat.
Sementara itu Huan Chen-Liang hijrah ke Shandong. Di sana ia
mengikuti jejak Wong Qi Bei. Membuka kedai tekstil, menjual
aneka kain dan benang yang dibeli dari pedagang-pedagang
168 Mongol yang sudah mengelilingi berbagai negeri melalui Jalan
Sutra. Mereka memang menghindari hiruk-pikuk dunia persilatan
yang babur. Han Chen Tjing pun pulang kembali dengan tangan kosong dan
dendam tanpa balas. Selama masa transisi batinnya yang penuh
dengan angkara dan amarah itu, ia pun melibatkan dirinya di
dalam kancah politik. Ia membentuk klan Kelompok Topeng
Hitam yang antipemerintah dan bergerak klandestin melawan
Kekaisaran Yuan. Namun pada kenyataannya, klan bentukannya
tersebut telah melenceng jauh dari misinya yang semula.
Kelompok Topeng Hitam lebih dikenal sebagai kelompok garong
dibandingkan klan klandestin yang bertujuan menggulingkan
Kekaisaran Yuan. Gerakan-gerakan Han Chen Tjing berhenti seketika ketika ShanYu berdiri di ambang pagar halaman. Lamunannya pun
membuyar oleh selantun kalimat bariton lelaki itu.
Shan-Yu mengabari dengan suara sayup. "Saya membawa
kabar buruk!" "Saya sudah tahu!" seru Han Chen Tjing dingin. Disekanya
peluh yang membanjiri tengkuk dan lehernya dengan sapuan
ujung lengan bajunya. "Saya tidak menyangka Fa Mulan dapat secepat itu merangkum
banyak prajurit di Tung Shao!" Shan-Yu mengurai alasan.
169 Han Chen Tjing mengibaskan tangannya. "Sudahlah. Yuan Ren
Zhan memang cerdik. Dia lebih berbahaya dari ayahnya, Yuan
Ren Xing." "Ketua Han, jadi apa selanjutnya rencana Anda untuk
menghancurkan Dinasti Yuan?" Shan-Yu melangkah. Berhenti
simetris dengan sebatang cemara yang tumbang oleh pukulan
dahsyat Telapak Tangan Besi Han Chen Tjing.
"Kita tidak memiliki serdadu sebanyak mereka!" urai Han Chen
Tjing ragu. "Menyerang mereka secara frontal di Tembok Besar
sudah tidak mungkin kita lakukan lagi!"
"Apa Fo Liong mereka begitu hebat, Ketua Han?!"
"Anda sudah mendengarnya juga, Jenderal Shan?"
"Dari jasus yang sudah menyelinap ke Ibukota Da-du."
Han Chen Tjing berdeham. Ia menarik napas panjang. Mengembuskannya kemudian, juga
dengan birama panjang. Shan-Yu mengelus ujung janggutnya
yang menghitam seperti ekor bekisar. Ia masih menanti
jawaban. "Kalau tidak hebat, pasukan kita tidak mungkin mundur dari
perbatasan Tembok Besar!" jawab Han Chen Tjing akhirnya
setelah berhasil mengusai emosinya.
"Saya tidak menyangka Yuan Ren Zhan dapat menggalang
kekuatan dengan Setan Putih!" Shan-Yu menimpali, matanya
170 memicing bengis. "Semua itu karena andil Perdana Menteri Shu Yong," sahut Han
Chen Tjing, melangkah sedepa dari tempatnya berdiri. "Dia
memiliki banyak relasi dengan Negeri Putih. Setan Putih-Setan
Putih itu membantu mereka, memasok Fo Liong untuk
menghancurkan kita!"
"Keparat!" Shan-Yu meninju telapak tangannya sendiri.
"Untuk saat ini saya tidak tahu harus berbuat apa-apa. Semua
rencana kita gagal. Pasukan kita yang berhasil melewati Tembok
Besar sudah dibabat habis oleh prajurit Divisi Kavaleri Fo Liong.
Kecuali gerilya dan menelusup di Ibukota Da-du, saya sungguh
tidak tahu rencana apa lagi yang akan dapat kita terapkan!"
imbuh Han Chen Tjing dengan rupa bingung.
Shan-Yu merapatkan gerahamnya. Dicengkeramnya keraskeras gagang pedang ular peraknya saat pemimpin tertinggi Han
itu melangkah masuk ke ruang dalam rumah tanpa
memedulikannya. Ia benar-benar merasa menjadi orang yang
tidak berguna. Ia bersumpah untuk memenggal kepala Sang
Kaisar suatu saat nanti. Dan menyerahkannya sebagai hadiah
untuk lelaki berilmu silat tinggi itu.
"Jenderal Shan...."
Shan-Yu menoleh. Di ambang pagar halaman tampak Ta Yun berlari ke arahnya.
171 Tiba dua depa dari hadapannya disertai sebuah bungkukan
tabe. Wajahnya menyumringah.
"Saya baru mendapat kabar dari beberapa jasus di Ibukota Dadu, Jenderal Shan," paparnya. "Mereka mengatakan kalau
Kaisar Yuan Ren Zhan akan melakukan pesta kemenangan di
Istana Da-du. Mereka akan mengadakan Festival Barongsai."
Shan-Yu mengerutkan dahinya. "Festival Barongsai?!"
Ta Yun mengangguk. "Ya, Festival Barongsai. Menurut jasus
kita, acara Festival Barongsai tersebut akan dihadiri oleh seluruh
peserta barongsai yang ada di Tionggoan. Pihak Istana Da-du
sudah menyebarkan undangan ke seluruh penjuru negeri.
Festival Barongsai itu direncanakan akan berlangsung pada saat
purnama purna, awal dua bulan depan nanti!"
Tubuh Shan-Yu menegak. "Kalau begitu, siapkan orang-orang
kita yang berwushu tinggi. Kita akan menelusup masuk sebagai
peserta lomba barongsai. Segeralah berkemas, ikut saya ke
Ibukota Da-du besok pagi. Samarkan identitas kita sebagai
petani. Jangan sampai kepergok prajurit penjaga gerbang.
Wajah kita pasti sudah disebar di seluruh pelosok negeri sebagai
buronan!" "Baik, Jenderal Shan!"
172 Bab 14 Ia meniti hamparan beledu merah
di sepanjang tangga istana
langkahnya seirama tabal yang ditabuh pendekar Tionggoan
gadis junjungan langit Fa Mulan menapak perlahan
Di puncak itu Sang Kaisar menyambutnya
sebab ia telah berjaya menyelamatkan Tionggoan
tetapi ia menolak, menggeleng dengan wajah lesi
katanya, ini hanya langkah kecil kemanusiaan!
Karena aku hanyalah sehelai yang-liu
yang tak berdaya di rimba samsara
- Bao Ling Prajurit Garda Langit *** "Prajurit Divisi Kavaleri Fo Liong sudah memukul mundur
pasukan pemberontak Han di perbatasan Tembok Besar!" Bao
Ling menyampaikan kabar pemotivasi kepada Fa Mulan. "Saya
juga mendapat kabar, Kaisar Yuan Ren Zhan akan segera
mengirim beberapa ribu prajurit Divisi Kavaleri Fo Liong untuk
membantu kita, memperkuat pertahanan di Tung Shao ini."
Fa Mulan tidak menanggapi.
Diulurkannya sepasang tangannya di lidah unggun. Meskipun
173 musim salju sudah mulai bergeser, tetapi partikel dingin belum
lagi hilang benar dari puncak bukit. Noktah-noktah putih salju
masih terlihat menangkup di sana-sini seperti teratai. Indah
sekali. Sudah sebulan momentum fenomenal itu lewat. Tetapi Fa Mulan
tetap mawas. Tidak mau lengah barang sekejap. Karenanya, ia
menolak undangan Jenderal Gau Ming agar dirinya hadir dalam
seremoni keberhasilan yang akan diselenggarakan di Istana Dadu.
Lagipula, ia masih menyertai Shang Weng yang masih dalam
tahap penyembuhan, setelah terluka parah dalam sebuah
pertempuran di dusun bawah bukit kurang lebih satu setengah
bulan lalu. "Kaisar Yuan Ren Zhan juga akan mengadakan Festival
Barongsai," tambah Bao Ling, turut menjulurkan tangannya ke
lidah api. "Hampir semua pendekar hebat Tionggoan akan hadir
di Istana Da-du Fa Mulan mendengus. "Seharusnya Kaisar Yuan Ren Zhan tidak
boleh bereuforia begitu!" ujarnya dengan nada tidak senang.
Kabar gembira yang disampaikan Bao Ling barusan malah
menggundahkan hatinya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa
untuk mengurungkan ekspresifitas euforia Kaisar Yuan Ren
Zhan di Ibukota Da-du. 174 Bao Ling terbahak. Deretan giginya yang gading menyembul indah. Ada pancaran
intelektualitas di sana. Tidak bernada melecehkan. Fa Mulan
melirik sesaat, lalu memalingkan kembali kepalanya ke arah
lidah unggun, seperti tak mengacuhkan kehadiran pemuda itu
dengan menggosok-gosok telapak tangannya di lidah unggun.
"Saya kagum sama Anda, Asisten Fa," ujar Bao Ling, lalu
menderaikan tawanya kembali di ujung kalimat.
"Kagum kenapa?"
Fa Mulan menelengkan kepalanya, seolah memosisikan indera
pendengarannya agar dapat menangkap desibel suara lawan
bicaranya dengan jelas tanpa harus memalingkan wajah.
"Selama ini tidak ada yang berani mengeritik Kaisar Yuan Ren
Zhan." "Apa tidak boleh?"
"Boleh saja," Bao Ling tersenyum. "Tapi...."
"Tapi apa?!" Fa Mulan menghentikan aktivitas menghangatkan
badan. Menatap pemuda berwajah bersih di hadapannya yang
kini sudah terkikik. "Tentu saja kalau bernyali besar, siap-siap kehilangan kepala,"
lanjut Bao Ling, menaruh telapak tangan di lehernya, lalu
menariknya untuk menggambarkan kalimat penggal yang ia
maksud. 175 "Kalau semua orang memiliki sifat megalomania begitu, apa
jadinya dengan dunia ini?!" Fa Mulan menyergah, merapatkan
baju hangat kulit rusanya.
"Kalau tidak ada orang yang seperti kaisar atau Jenderal ShanYu, dunia ini akan terasa sepi," tepis Bao Ling, duduk di salah
satu akar tebangan batang pinus. "Tawar seperti air di Sungai
Yangtze." "Dalih keesepian tidak boleh dijadikan alasan untuk saling
membunuh!" Fa Mulan mengerutkan wajahnya seperti kurang
senang dengan alasan Bao Ling. "Tidak ada kedamaian. Hanya
diisi dengan perang dan perang!"
"Mungkin itulah seninya hidup."
"Itu asumsi. Padahal, di luar dari pertumpahan darah, banyak hal
yang dapat memperindah hidup. Banyak hal yang dapat
mengusir sepi yang menjadi asumsimu tadi."
"Saya tidak paham, Asisten Fa. Saya hanya belajar dari
fenomena alam. Seperti siklus hidup. Sesuatu yang radiah untuk
mempertahankan hidup. Merupakan rantai karnivora dan
herbivora pada hewan misalnya. Bukankah kita juga begitu.
Hanya seorang prajurit. Digembleng, latihan, dan berperang.
Kalau tidak ada perang, apa gunanya kita sebagai prajurit?!"
"Tapi, manusia dibekali dengan akal!" Fa Mulan membantah.
"Agar kita dapat memilah mana jalan yang baik, dan mana yang
176 salah. Seperti manusia, hewan pun begitu. Hewan dibekali
dengan insting. Mereka diberi naluri untuk mengendus, mana
jalur terbaik memperoleh makanan dan tempat yang cocok untuk
berkoloni sebagai eksistensi kehidupan."
"Tapi...." "Bao Ling, eksistensi kehidupan itu tidak sesederhana apa yang
kamu bayangkan." "Maksud Asisten Fa?!"
"Denyut nadi dunia tidak hanya terletak pada bagaimana
makhluk hidup itu berkembang biak dan mempertahankan hidup.
Tapi lebih dari itu, bagaimana kehidupan makhluk hidup itu
dapat berselaras dengan alam. Sehingga akan terbentuk
keharmonisan. Seperti Tao Te Cing."
"Saya tidak menyangka Asisten Fa dapat memahami filsuf Tao."


Mulan Ksatria Putri Tionggoan Karya Effendi Wongso di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sewaktu di kampung, saya diajari banyak hal oleh Guru Fang
Wong." "Fang Wong?!" Fa Mulan mengangguk. "Selain wushu Taichi Chuan, beliau juga
mengajarkan saya banyak filsafat indah Tao. Tentang
harmonisasi dan inharmonisasi hidup kita dengan alam."
"Hebat!" Bao Ling berdecak kagum. "Pantas Taichi Chuan begitu
dahsyat. Padahal, hanya mengandalkan tenaga lawan sendiri
sebagai senjata kita."
177 "Tentu. Karena sesungguhnya alam telah memberi kita beragam
arteri. Inharmonisasi tentu akan mengacaukan siklus. Sehingga
terjadi disfungsi yang mereduksi diri sendiri," papar Fa Mulan,
mereplikasi kalimat bijak yang pernah didengarnya dari gurunya,
Fang Wong, semasa kecilnya di kampung dulu. "Kamu pernah
mendengar tentang pendekar Auw Yang Pei San?"
Bao Ling mengangguk. "Pendekar Telapak Penghancur
Tengkorak, pendekar batil dari Pulau Bunga!"
"Betul. Dia merupakan contoh nyata tentang inharmonisasi,
absurditas negatif yang mencelakakan dirinya sendiri."
"Bukankah dia sudah meninggal, Asisten Fa?"
"Meninggal termakan oleh ketamakan dirinya sendiri.
Sesungguhnya, Auw Yang Pei San adalah pendekar hebat.
Sayang dia sangat ambisius untuk dapat mengalahkan semua
pendekar yang ada di dunia ini. Dia mempelajari semua ilmu
silat. Apa saja. Tanpa memilah-milah ilmu silat tersebut. Tanpa
menyeleksi dari golongan dan kalangan apa ilmu silat itu
berasal, hitam atau putih."
"Pantas...." "Suatu hari dia mencuri Kitab Aurora ciptaan Chie Pek Tong
ketika pendekar tua itu sedang bertapa. Auw Yang Pei San
mengaplikasikan ilmu silat Aurora yang, sebenarnya belum
rampung ditulis oleh Pendekar Kekanak-Kanakan terebut.
178 Karena terjadi disinteraksi antara ilmu Aurora tersebut dengan
karotis dan serabut kelabu di otaknya, maka dia pun mengalami
paranoia. Setahun kemudian dia meninggal karena pecahnya
pembuluh darah di kepalanya," papar Fa Mulan berpanjanglebar. "Itulah kompensasi inharmonisasi dengan alam."
Bao Ling mengangguk mafhum.
Sewaktu masih berstatus pelajar, ia memang banyak
mempelajari filsafat dari filosofi besar Konfusius dan Lao Tzu.
Mereka adalah tokoh-tokoh yang memperkaya Tionggoan
dengan khazanah budaya. Pemikiran mereka selaras dalam
damai, jauh dari pikuk pertumpahan darah yang bermuasal dari
ambiguitas ambisi. Dan apa yang telah didengarnya dari Fa Mulan telah
mengsingularis sebuah pemahaman tentang kuintesens alam di
benaknya. Satu hal yang belum disadarinya betul. Satu hal yang
belum tentu dapat diperolehnya dari serangkaian hari yang
dilaluinya di bangku perguruan.
Gemintang masih membenderang.
Titik-titik yang memutih keperakan itu bagai pusar quasar yang
menghitung peradaban manusia. Tanah tua yang ringkih dan
lelah bernama bumi itu pasti jenuh menyaksikan pembantaian
anak-anak manusia yang memijaki dan membasuhnya dengan
kucuran darah seolah tanpa henti.
179 Fa Mulan masih mengarca. Masih pula menghangatkan
sepasang tangannya yang jenjang pada bara abnus. Bao Ling
mengisi benaknya dengan kalimat subtil. Mungkin semacam
sangu untuk kearifannya kelak.
"Asisten Fa, menurut Anda, apakah Kaisar Yuan Ren Zhan bijak
atau tidak?" Bao Ling bertanya, memecah kebisuan. Suaranya
ditelan kesunyian malam. "Menurutmu bagaimana?" Fa Mulan balik bertanya, mencoba
menambah bara unggun yang mulai meredup dengan kayu
bakar baru. "Yang jelas, Kaisar Yuan Ren Zhan tidak sebengis ayahnya!"
"Perubahan ke arah yang lebih baik, itu kemajuan. Meski hanya
sebuah langkah kecil, tapi itu merupakan kemajuan besar bagi
terciptanya kedamaian di Tionggoan ini."
"Tapi, musuh-musuh seperti terus-menerus merongrongnya.
Saya khawatir hal itu membuat Kaisar Yuan Ren Zhan menjadi
bengis seperti ayahnya, Kaisar Yuan Ren Xing."
"Tergantung bagaimana Kaisar Yuan Ren Zhan menyikapi
semuanya itu." "Maksud Asisten Fa?!"
"Musuh selalu ada. Kebatilan dan kebajikan senantiasa seiring di
dunia ini. Musuh adalah iblis yang selalu bersemayam di benak
dan pikiran kita. Kalau kita menuruti hawa nafsu, maka musuh
180 akan bertambah kuat. Jadi genosida atas musuh atau lawan kita
sama juga menjadikan kita musuh di mata musuh. Balas
dendam akhirnya seperti tanpa batas."
"Jadi menurut Asisten Fa, harus bagaimana kita menyikapi
musuh-musuh kita?" "Fenomena alam telah mengajarkan kepada kita, bahkan jauh
sejak belum terbentuknya kehidupan di bumi ini."
"Apa itu, Asisten Fa?"
"Air." "Air?" "Ya. Air merupakan contoh nyata tentang kekuatan yang
mahadahsyat. Air dapat mengikis karang. Tapi air merendah.
Bahkan air menghidupi semua makhluk hidup tanpa pandang
bulu." "Saya sama sekali tidak dapat menduga kalau Asisten Fa dapat
sedetil itu menghayati fenomena alam."
"Saya hanya mereplikasi fenomena alam tersebut."
"Tapi hal itu sudah membawa banyak manfaat besar dalam
kehidupan Anda, Asisten Fa."
Fa Mulan mengangguk. "Manusia berhati luhur, rendah hati, dan
tidak sombong merupakan personifikasi air. Setiap orang dapat
mengejawantah serupa air. Sebab, setiap manusia membawa
benih-benih dan nilai-nilai kebajikan pada saat terlahir. Begitu
181 pula sebaliknya. Semuanya itu terkandung di dalam setiap
nurani manusia." "Apakah Kaisar Yuan Ren Zhan dapat mengaplikasikan sifat
alamiah air itu, Asisten Fa?"
"Kenapa tidak? Kaisar Yuan Ren Zhan memiliki potensi itu. Jauh
lebih besar ketimbang rakyat jelata."
"Saya belum terlalu paham, Asisten Fa."
"Dengan autokrasi yang dimilikinya, Kaisar Yuan Ren Zhan
dapat mengejawantahkan kebajikan seluas-luasnya. Mula-mula
mungkin di lingkungan keluarga dan Istana. Kemudian
berkembang ke lingkup yang lebih luas, rakyat dan negara."
"Tapi, sejauh ini saya jarang mendapati ada tokoh kaisar
semacam itu dalam lektur filsuf manapun, Asisten Fa.
Kebanyakan kaisar di Tionggoan merupakan figur-figur tiran dan
lalim." Fa Mulan mengangguk. "Benar. Mayoritas kaisar yang berkuasa
di Tionggoan memang seperti yang kamu katakan tadi."
"Kenapa, Asisten Fa?" tanya Bao Ling penasaran.
Fa Mulan menjawab dengan memantominkan kalimatnya. Kedua
tangannya terangkat memperagakan maksud yang hendak
disampaikan dengan jelas kepada Bao Ling.
"Karena mereka telah terikat oleh benang merah masa lalu.
Masa lalu yang melilit mereka dalam angkara. Maka, yang terjadi
182 adalah penggulingan kekuasaan dan kudeta dari waktu ke
waktu!" Bao Ling manggut-manggut. "Saya harap hal miris tersebut tidak
terjadi terhadap Kaisar Yuan Ren Zhan!"
"Tentu. Supaya ada kemajuan dalam langkah peradaban!" tukas
Fa Mulan tegas. Bao Ling kembali mengangguk.
Ada intensitas rasio yang menerang dalam benaknya seperti
pancaran gemintang dari hasil nova. Setapak kecil langkah bijak
manusia, merupakan langkah besar peradaban dunia. Pulsar
subtil itu sampai ke dasar hatinya. Membentuk sebait arif
pemahaman. "Malam ini saya mendapat satu pengalaman batin yang sangat
berharga melalui Asisten Fa," aku Bao Ling jujur.
Fa Mulan tersenyum. "Kamu banyak membaca lektur Konfusius,
bukan?" Bao Ling mengangguk. "Sering, Asisten Fa."
"Nah, kalau begitu kamu pasti akan memahami apa yang telah
saya katakan," ujar Fa Mulan.
"Terima kasih, Asisten Fa. Sungguh, saya sama sekali tidak
menyangka Asisten Fa dapat seserba bisa seperti ini."
"Maksudmu...." "Maksud saya, Fa Mulan adalah seorang gadis yang luar biasa."
183 Fa Mulan terbahak. "Semuanya hanya replikasi. Saya hanya
menyampaikan apa yang telah saya dengar dan baca.
Selebihnya, tidak ada. Jadi, tidak ada yang patut dibanggakan
pada diri saya." "Anda terlalu merendah, Asisten Fa!"
"Itulah sifat air!"
Fa Mulan kembali terbahak.
Bao Ling turut melepaskan tawanya mengiramai tawa gadis
atasannya itu. Di balik celah daun tenda, sepasang mata menatap dengan rupa
ganjil. Bab 15 Jangan menatapku begitu karena kelopak matamu seperti yang-liu
yang menggulanai malamku dengan tikaman sebilah rindu
Purna hatiku patah ada yang tak terbantah kau memang memanah menjatuhkan hatiku ke tanah
- Shang Weng Elegi Suatu Malam 184 *** "Kapten Shang...."
Pemuda itu menepis secawan teh yang telah diseduhkan Fa
Mulan untuknya. Cawan yang masih mengepulkan asap panas
itu terpelanting. Pecah di tanah. Gadis itu terkesiap. Wajahnya
memerah. Nila tingkah pemuda itu menghadirkan gulana.
Kerongkongannya mengerontang. Ia serasa di tubir curam.
"Kapten Shang, apa luka Anda menyeri?"
"Saya tidak perlu dibelaskasihani!"
Fa Mulan lunglai. Terduduk lemas di bangku. Secawan teh dan
kenangan raib oleh sekibas tindak sarkastis. Sesaat ia
mengharap ini mimpi. Tetapi ia memang tidak tengah bermimpi.
Pemuda itu Shang Weng. Memang Shang Weng yang sesaat
tadi telah berubah menjadi sosok lain. Secarik tabula rasa telah
ternoktah. Pemuda itu asing di matanya!
"Ada apa sebenarnya, Kapten Shang?!" tanyanya menggugat
setelah tidak berhasil membendung amarah. "Apa saya telah
melakukan sebuah kesalahan besar sehingga secawan teh ini
pun menjadi sasaran amukan tanpa dalih?!"
"Tidak ada yang perlu dijelaskan," sahut Shang Weng, duduk
memunggungi Fa Mulan yang berdiri dengan rupa galau.
"Keluarlah!" "Saya perlu penjelasan Kapten Shang sebelum angkat kaki dari
185 sini!" tantang Fa Mulan dengan suara bergetar samar.
Deferensnya menguap. Ia tidak peduli kini tengah berhadapan
dengan siapa. "Penjelasan apa?!"
"Penjelasan tentang kenapa Kapten Shang bertindak vulgar
begitu!" "Ini perintah atasan," Shang Weng menghardik. "Mau keluar
atau tidak?!" "Dipenggal pun saya tidak akan keluar sebelum Kapten Shang
bersikap satria mengatakan ada apa sebenarnya!" Fa Mulan
melototkan mata. Ia tidak ingin ditekan tanpa salah.
"Kamu sudah tahu jawabannya saat di luar berduaan dengan
Bao Ling tadi!" Shang Weng mengarahkan telunjuknya ke daun
tenda simultan dengan teriakannya yang tenor. "Apa perlu saya
jelaskan lagi!" Fa Mulan terundur setindak ke belakang. Perutnya mual. Tibatiba ia ingin tertawa sekaligus menangis. Ia benci melihat wajah
tampan itu! Ia benci melihat seringainya yang bacar! Ia benci
mendengar jeritannya yang ideofon!
Ia benci semuanya! "Saya sudah mengerti!"
"Saya tidak suka kamu bergaul dengan Bao Ling!"
"Atas dasar apa Kapten Shang melarang saya bergaul dengan
186 Bao Ling?!" "Saya mencintai kamu!"
Fa Mulan mengibaskan tangannya.
Kalimat barusan hanyalah sebentuk pluralistis pokta yang tidak
ingin didengarnya saat ini! Sebab segenap simpatinya sudah
runtuh hanya oleh satu perkara. Seorang satria dan romantika
cengeng! Hah, sebuah perpaduan ironi!
"Mau ke mana?!" Shang Weng menarik lengan gadis yang
sudah melangkah dua tindak setelah kibasan tangannya
menguncup. "Saya malas membahas masalah pribadi," jawab Fa Mulan
apatis. "Maaf, saya ingin istirahat di dalam tenda saya!"
"Tunggu. Bukan maksud saya...."
"Tidak ada yang perlu Kapten Shang jelaskan lagi. Saya tidak
marah. Saya hanya kecewa terhadap sikap Kapten Shang yang
kekanak-kanakan begitu!"
"Saya menyesal. Tapi semua yang saya lakukan tadi karena
saya mencintai kamu. Saya tidak ingin ada orang lain yang
merebut hati kamu!" "Maaf, Kapten Shang. Jangan memusingkan saya dengan halhal cengeng begitu!"
Shang Weng tergeragap. Kalimat Fa Mulan menohok hatinya. Ia
187 terkapar tidak berdaya oleh kekuatan cinta. Sesuatu yang lebih
menyakitkan dari tombak musuh yang menghunus dada kirinya
satu setengah bulan lalu!
Hatinya tercacah!

Mulan Ksatria Putri Tionggoan Karya Effendi Wongso di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ka-kamu mencintai Bao Ling?!" desak Shang Weng,
memegang erat bahu Fa Mulan, dan mengguncangguncangkannya perlahan. "Kamu mencintai dia, bukan?!"
Fa Mulan menatap nanar sepasang mata yang berkaca-kaca itu.
Tiba-tiba ia merasa muak dengan romantisme babur tersebut. Ia
ingin menyudahi semuanya. Sebab kenangan tentang sosok
satria dan pertempurannya yang heroik di Tung Shao mendadak
melenyap bagai kemarau semusim diguyur hujan sehari!
Dan ia akhirnya mengangguk dengan sebilur luka yang langsung
menganga di hatinya! "Ja-jadi...." "Tolong hargai hak saya untuk tidak ingin diganggu, Kapten
Shang!" "Tapi...." "Negara Yuan lebih membutuhkan perhatian kita. Rasanya
belum pantas kita mendahulukan kepentingan pribadi di atas
kepentingan negara!"
"Mulan...." "Maaf, Kapten Shang," Fa Mulan mengentakkan bahunya.
188 Sepasang tangan kekar Shang Weng terkulai. "Selamat malam!"
Fa Mulan melangkah. Shang Weng mengekorinya dengan mata. Ia tidak tahu harus
bertindak apa. Gadis itu melebihi seribu musuh yang pernah
ditaklukkannya. Digigitnya bibir. Tungkainya melemas. Ia terjatuh
di tanah dengan sepasang lutut yang menopang tubuh.
Cinta Fa Mulan yang sakral telah mengalahkannya.
Ia tersungkur tak berdaya.
Sepasang mata elangnya membasah!
Bab 16 Engkau lantun segala birama
yang diukir Dewata berwajah lektur
wacana semesta dari seorang satria berpedang kebajikan - Bao Ling Prajurit Jelmaan Para Dewa
*** Tubuhnya seperti mengambang. Terbang tinggi. Berhenti pada
suatu tempat nan gulita. Lalu ada cahaya yang menerobos cepat
seperti lesatan anak panah. Benderang di sekelilingnya. Sesaat
ia termangu, tidak tahu tengah berada di mana. Ada mayat189
mayat yang bergelimpangan. Darah berceceran di mana-mana.
"Yang Mulia...." Ada suara yang menyapanya lunak. Suara yang
diakrabinya semasa kanak-kanak dulu.
"An-Anda si-siapa?!" tanyanya dengan suara menggamang.
"Saya penasehat Fang Tui, Yang Mulia."
Ia teringat kisah silam masa kecilnya. Orang tua berjanggut putih
itu selalu menemaninya bermain-main di taman Istana, mengejar
kupu-kupu dan memetik daun yang-liu
"Maafkan saya, Yang Mulia. Maksud kedatangan saya adalah
untuk memberitahukan kepada Yang Mulia agar waspada
terhadap musuh-musuh di perbatasan. Terutama kaum nomad
Mongol. "Apa?!" "Suku nomad itu menggunakan kuda-kuda sebagai prajurit, dan
sekawanan nasar sebagai kutukan Dewata dari langit!"
"Lalu, saya harus mengambil tindakan apa?!"
"Anda harus memiliki sepasang pedang kembar nova."
"Sepasang pedang kembar nova?!"
"Ya. Sebelum mereka menghancurkan Kekaisaran Yuan!"
"Di mana saya harus mencari pedang-pedang tersebut?!"
"Ada di sekitar Anda, Yang Mulia."
"Di sekitar saya?"
"Ya. Sepasang pedang kembar nova merupakan pedang
190 Dewata. Bilah pedangnya dibuat dari gemintang hasil ledakan
besar di langit, supernova. Satu kalpa yang lalu, sepasang
pedang kembar itu telah melanglang dalam samsara. Sepasang
pedang kembar nova itu telah ditakdirkan untuk menyatu
melawan kebatilan. Anda harus menemukannya, Yang Mulia!"
"Tapi...." "Maaf, Yang Mulia. Saya tidak dapat berlama-lama di sini. Saya
harus kembali...." "Penasehat Fang Tui!"
Kaisar Yuan Ren Zhan terjaga. Dahinya memeluh. Napasnya
masih menyengal. Ia telah bermimpi buruk.
"Ada apa, Yang Mulia?!" Permaisuri Niang Xie Erl terbangun.
Dahinya mengerut. Ia duduk dari berbaring. "Apa Yang Mulia
sakit?!" Kaisar Yuan Ren Zhan menggeleng.
Temaram di sekeliling. Tidak ada mayat-mayat bergelimpangan.
Tidak ada darah yang berceceran. Tidak ada mendiang
penasehat tua Fang Tui di hadapannya. Tidak ada sekawanan
kuda Mongol yang menerjang Tembok Besar. Tidak ada
sekawanan burung nasar yang menghitami langit.
Sepasang pedang kembar nova?! batinnya.
"Saya panggilkan tabib untuk memeriksa Yang Mulia!"
"Tidak usah," Kaisar Yuan Ren Zhan menyergah. "Saya tidak
191 sakit!" "Tapi...." "Saya hanya bermimpi buruk. Tapi...."
"Kenapa, Yang Mulia?!"
"Saya melihat Fang Tui, mantan penasehat Ayahanda dulu. Dia
bilang, Tionggoan dalam bahaya besar!"
"Yang Mulia jangan risau. Apa yang Yang Mulia mimpikan
barusan hanyalah bunga tidur. Yang Mulia kelelahan sehingga
bermimpi buruk." "Tapi, itu mungkin isyarat kalau Tionggoan memang dalam
bahaya besar!" "Yang Mulia jangan khawatir. Untuk urusan keamanan negara,
Yang Mulia delegasikan saja kepada para atase militer. Mereka
pasti sudah tahu tanggung jawab masing-masing."
"Ah, saya tidak menyangka akan terus dirongrong oleh musuhmusuh di perbatasan. Setelah lepas dari serbuan pasukan
pemberontak Han, kini diganggu lagi oleh Genghis Khan!"
"Yang Mulia...."
"Erl, sebelum pesta barongsai diadakan, saya akan
menghancurkan barbarian Mongol di perbatasan!"
"Tapi...." "Besok saya akan menyuruh Jenderal Gau memutasikan Shang
Weng dan Fa Mulan ke daerah selatan perbatasan Tembok
192 Besar!" "Yang Mulia...."
"Supaya hidup saya bisa tenang!"
Kaisar Yuan Ren Zhan menengadah ke arah jendela dengan
daun pintu yang sengaja dipentangkannya untuk berangin-angin.
Bulan sabit masih menyampir di layar langit. Beberapa
gemintang menggelayut di sampingnya.
Sepasang pedang kembar nova?! batinnya kembali.
Ia menggeleng galau. Ah, rencana apa lagi yang hendak dijatuhkan Dewata
kepadanya! Bab 17 Hong, melesatlah ke angkasa biarlah aku menatapmu sejenak
dan menikmati kepak sayap indah nirwanamu
- Fa Mulan Refleksi Tinju Hong Terbang
*** "Siapa itu?!" Fa Mulan melompat dari salah satu binara Tembok besar.
Sesaat ia seperti kelelawar di rimba malam, mengepak dan
193 terbang sebelum tiba di tanah. Dikejarnya sesosok berpakaian
hitam-hitam yang sedari tadi menyender di dinding Tembok
Besar. Matanya jeli menangkap orang yang mencurigakan tadi.
Pasti salah seorang jasus musuh! pikirnya.
Sosok hitam-hitam itu melesat. Menapaki udara dengan
gingkang. Menjauhi Fa Mulan yang masih gesit mengejarnya,
juga dengan menggunakan gingkang seringan kapuk.
"Berhenti!" Fa Mulan menendang dinding Tembok Besar, memantul dan
salto, lalu berhenti di depan sosok berpakaian hitam-hitam itu
setelah melangkahinya sedepa dari atas udara tadi. Sosok
berbadan sedang itu menghentikan langkahnya. Fa Mulan
berkacak pinggang di hadapannya. Menahan lajunya yang
secepat kijang. "Mohon jangan menyulitkan saya, Nona!" ancam sosok bersuara
bariton itu, melepas kedok hitamnya. "Tentu saja kalau Anda
tidak ingin mendapat masalah!"
Fa Mulan menatap mawas. Wajah lelaki itu menyembul purna. Sepasang mata bundar dan
kulitnya yang secoklat jati itu telah menyimpulkan kalau ia bukan
berasal dari suku-suku bangsa yang ada di Tionggoan.
"Saya tidak akan menyulitkan Anda bila menjelaskan apa tujuan
Anda ke perbatasan Tembok Besar ini!" jawab Fa Mulan dengan
194 sikap bersiaga, masih menentang lelaki berwajah aristokrat
tersebut. "Ini urusan dalam negeri kami, Nona! Saya kira tidak etis apabila
Nona mencampuri urusan kami!"
"Tentu saja saya akan ikut campur bila Anda mengganggu
stabilitas di wilayah kekuasaan kami!"
"Maaf kalau begitu," sahut lelaki berkostum lotong itu, sedikit
membungkuk dengan tangan kanan menyampir punggung
bawah, mengisyaratkan hormat. "Saya tidak akan segan-segan
lagi terhadap Nona!"
Lelaki itu merangsek maju, mengarahkan telapak tangannya ke
arah wajah Fa Mulan. Fa Mulan mengelak, menggoyangkan
kepalanya ke kanan bersamaan dengan satu tangkisan tangan
kirinya yang membentur keras tinju telapak lelaki itu. Lelaki
bertubuh sedang itu melayangkan satu tendangan keras,
mencangkul dari arah kiri ke kanan. Namun Fa Mulan sudah
mengantisipasi, kembali mengelak dengan gerakan salto satu
langkah sehingga tendangan keras itu hanya menerpa angin.
Pertarungan masih berlangsung sengit dan seimbang.
Lelaki itu mengeluarkan jurus asing, gerakan tangannya
bergerak diagonal, memutar beberapa saat sebelum jurus
tersebut mengokoh dengan kaki membentuk kuda-kuda, seperti
menghimpun tenaga dari dalam perut dan menyalurkan tenaga
195 ke dalam kedua tangannya yang berotot. Dalam hitungan
sepuluh detak jantung, tiba-tiba lelaki itu mengentakkan
sepasang telapaknya ke arah Fa Mulan.
Fa Mulan terdorong tiga tindak ke belakang.
Ia terempas oleh embusan angin tenaga dalam lelaki itu,
sebelum akhirnya tubuhnya berhenti dan refleks berdiri stabil
dengan jurus Menara Burung Hong-nya, salah satu gerakan
dinamis dari jurus Tinju Hong Terbang ciptaannya. Satu kakinya
membentuk tongkat galah menahan limbung tubuhnya, seperti
cakar burung hong yang mencengkeram erat tanah. Telapak
kakinya membekas di tanah. Satu bukti bagaimana kuatnya
tenaga dalam lelaki asing itu yang mendorong tubuhnya
sehingga bergeser sejauh lima kaki.
Menyadari dirinya terdesak, Fa Mulan pun mengeluarkan jurus
andalannya. Tinju Bunga Matahari siap meladeni jurus asing
lelaki itu. Tinju Bunga Matahari yang luwes tetapi bertenaga itu
memang sepadan untuk melawan tinju-tinju keras semacam itu.
Selain karena memiliki serangkaian elastisitas gerakan-gerakan
bunga, Tinju Bunga Matahari juga mengandalkan telapak tangan
sebagai penumbuk dan penangkis.
Lelaki berkucir sebahu digelung dengan tali ekor rubah itu
melemparkan badannya ke udara. Ia bergulung-gulung seperti
puting-beliung, menukik tajam horizontal pada tubuh Fa Mulan
196 dengan sepasang kepalan tangan yang mengarah ke bagian
kepala. Namun secepat kilat Fa Mulan mengembangkan
kakinya, menyelonjorkan punggung betis dan pahanya ke tanah
dengan gemulai, otomatis merunduk dari terkaman lawan. Lelaki
itu hanya menghalau angin. Sasarannya hampa. Dan ia nyaris
terpelanting karena gasingan keras tubuhnya sendiri.
Fa Mulan berdiri dengan gemulai setelah berhasil menghindari
serangan dahsyat lawan. Sepasang kakinya menguncup ke atas
serupa dua bilah dahan yang-liu yang bergeletar tertiup angin.
Matanya mawas mengekori tubuh lelaki itu yang sudah sampai
di tanah, dan berdiri seimbang dengan sikap kuda-kuda.
Fa Mulan mengambil inisiatif untuk menyerang. Diangkatnya
sebelah kakinya mencangkung di depan dada serupa kaki
belalang, siap mematuk seperti bangau dengan kelepak
bentangan sayap tangannya. Tidak lama kemudian, tanpa
disangka-sangka lelaki itu kembali mengibas-ibaskan tubuhnya
saat Fa Mulan baru saja hendak menyerang. Kali ini ia berputar
lebih hebat seolah golok yang sedang mencacah angin.
Fa Mulan meluruskan lengkungan kakinya, menyepak cepat.
Namun tendangannya meleset. Hanya terdengar derau
embusan. Gelungan kucir lelaki itu terlepas karena sambaran
tendangan Fa Mulan yang sangat keras. Rambut lelaki itu
terburai. 197 Sementara itu terdengar suara riuh dari kejauhan. Puluhan
prajurit Yuan datang menyerbu, langsung dipimpin oleh Shang
Weng dari salah satu binara penjagaan di Tembok Besar. Lelaki
itu terkesiap. Mengendurkan otot-ototnya. Ia mengatupkan
sepasang tangannya ke depan.
"Maafkan saya, Nona!" sahutnya. "Saya sudah menyusahkan
Anda." "Anda siapa?!" tanya Fa Mulan penasaran.
"Saya Kao Ching dari Mongolia. Sebenarnya bukan maksud
saya untuk memata-matai kubu Yuan di perbatasan Tembok
Besar ini. Tapi, saya hanya ingin tahu seberapa banyak pasukan
ayah saya di sini!" "Pasukan ayah Anda?!"
"Pemimpin Agung Genghis Khan!"
"Jadi...." "Saya datang kemari justru bermaksud untuk menghalau mereka
kembali ke barak. Saya tidak setuju dengan perang. Perang
sudah banyak menyengsarakan rakyat Mongol. Saya yakin,
Anda pun pasti sepaham dengan saya, bukan?!"


Mulan Ksatria Putri Tionggoan Karya Effendi Wongso di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Fa Mulan terlongong. Ia mematung sampai prajurit Yuan pimpinan Shang Weng sudah
berada lima belas depa darinya. Lelaki yang bernama Kao Ching
itu menabik sebelum ratusan prajurit Yuan sampai di tempatnya
198 berdiri. "Kungfu Anda hebat, Nona!" teriaknya, lalu melesat cepat seperti
terbang. Ia menghilang di rimba malam bersamaan dengan
melamurnya teriakan pertanyaannya. "Hei, nama Anda siapa,
Nona?!" Fa Mulan masih membeku di tempatnya berdiri. Tetapi spontan
tanpa sadar ia menjawabi pertanyaan pemuda aneh yang sesaat
barusan bertarung dengannya.
"Saya Fa Mulan, Asisten Kapten di Kamp Utara Yuan!"
Lalu semuanya menghilang begitu saja. Hanya malam yang
memekat dalam birama sunyi bertabuh ratusan derap sepatu
para prajurit Yuan, serta teriakan-teriakan bising dari
kerongkongan mereka yang serupa racau. Lelaki Mongol itu
sudah menghilang tak terkejar.
Fa Mulan masih terlamun. Sungguh. Ia sungguh-sungguh terkesima. Pemuda Mongol itu
merupakan musuh aneh yang seumur hidup baru ditemuinya!
Dan ia baru terjaga dari lamunan ketika matanya membentur
sebuah belati bersarung emas di tanah. Milik musuh aneh itu.
Gegas tangannya memunguti belati yang tercecer itu. Dibantu
penerangan lamur bulan yang menggantung di langit, ia dapat
menangkap sebaris huruf kanji tergraver di sarung belati
tersebut. 199 Fa Mulan menyipitkan mata.
Diejanya tulisan itu. Harafiahnya, 'Rajawali Satu'.
Dimasukkannya belati bersarung emas itu ke dalam ikat
pinggangnya tepat ketika Shang Weng berdiri di hadapannya.
"Kamu tidak apa-apa, Mulan?!" Shang Weng bertanya dengan
rupa cemas. Fa Mulan menggeleng. Sementara itu ratusan prajurit Yuan memencar mencari sosok
yang bertarung dengan atasannya barusan.
Bab 18 Sekawanan rajawali pasir dan batu delima adalah setapak lafaz nomadia
majas maharana sejak itu tak kudengar lagi derap gagah kuda Mongol
hanya ada dengusan napas perana
yang memberat ditelan lara
- Kao Ching Elegi Rajawali *** "Suku Mongol merupakan paradigma. Ribuan tahun mereka
hidup menomad. Mereka mampu mengatasi kerasnya alam
200 utara yang tidak ramah. Mereka membentuk koloni yang luar
biasa di tanah tandus gurun. Tapi usaha agresi yang dilakukan
Baba tidak dapat ditolerir sebagai pembenaran agar rakyat
Mongol dapat memiliki tanah tetap untuk ditinggali!"
"Apa yang dilakukan oleh Pemimpin Agung Genghis Khan
merupakan cita-cita rakyat Mongol, Pendekar Kao!"
"Jangan mengatasnamakan rakyat sebagai kolektivitas suara
untuk mewujudkan ambisi pribadi!"
Kao Ching mengibaskan tangannya. Tidak lagi bersikap santun
di hadapan jenderal kepercayaan ayah angkatnya itu. Kali ini ia
sudah tidak dapat lagi mengendalikan kemarahannya. Mereka
semua memang sudah dibahang ambisi.
"Tapi...." Jenderal Thamu Khan sedikit terkejut atasi sikap sarkastis Kao
Ching barusan. Namun ia masih berusaha tersenyum. Tidak
larut dalam arus kemarahan. Bagaimanapun, ia sudah menang
selangkah! "Maaf atas kelancangan saya, Jenderal Thamu Khan. Bukan
saya mendiskreditkan Baba dalam hal ini. Tapi, apa yang Baba
lakukan akan menghimpun dendam pada rakyat Tionggoan!"
"Kekuatan armada perang kita sekarang tak terbandingi,
Pendekar Kao! Inilah saat yang tepat untuk kembali
mendapatkan hak kita. Inilah yang menjadi senjata pamungkas
201 kita untuk merebut tanah Tionggoan! Dan sampai saat ini masih
menjadi rahasia di kalangan militer kita, terlebih-lebih militer
Tionggoan! Tak satu pun negara yang dapat menyangka
kekuatan terselubung Mongol!"
"Justru itulah yang saya takutkan, Jenderal Thamu Khan!
Bahwa, dengan kapabilitas lebih yang kita miliki membuat Baba
jadi pongah dan jumawa!"
"Sudah ribuan tahun rakyat Mongol tak bertempat tinggal tetap!"
"Dalih itu tidak dapat menjadi alasan untuk melakukan
pemampasan. Perang akan menghancurkan kedua belah pihak!"
"Tapi kalau bukan sekarang, kapan lagi rakyat Mongol dapat
hidup menetap dan tenang pada sebuah daerah?"
"Rakyat Mongol tidak pernah mengeluh, dan itu sudah
berlangsung ribuan tahun. Kalau kepentingan pribadi sudah
merecoki iklim politik Mongol, maka yang terjadi adalah
kekisruhan. Perang dan perang!"
"Tapi...." "Saya ini Mongol meski ibu Han, Jenderal Thamu Khan! Dan
seperti rakyat Mongol umumnya, tidak ada yang suka perang!
Semua penduduk Mongolia sudah hidup tenang di alam gurun
yang keras, beradaptasi sejak turun-temurun. Itu stigma yang
sudah mereka mafhumi sejak lama. Jadi, alasan atas nama
rakyat Mongol itu hanya absolutisme Baba dan petinggi militer
202 lainnya!" "Mungkin...." "Saya mohon Jenderal Thamu Khan mengurungkan niat untuk
menyerang Tionggoan. Pikirkan matang-matang dampak negatif
dari invasi itu. Saya sengaja datang kemari karena saya pikir
Andalah orang terdekat dan kepercayaan Baba. Tolong
pertimbangkan kembali keputusan untuk menyerang
Tionggoan!" "Keputusan untuk menyerang Tionggoan sudah bulat, Pendekar
Kao. Dan hal itu juga merupakan harapan Pemimpin Agung
Genghis Khan sejak dulu. Beliau gusar dan geram melihat
tingkah suku-suku bangsa lain yang hidup makmur, dan berbuat
semena-mena terhadap suku bangsa Mongol ratusan tahun
lalu." "Histori ratusan tahun lalu?! Maaf, Jenderal Thamu Khan!
Betapa piciknya kita kalau mengungkit-ungkit kejadian silam, lalu
diaplikasikan ke dalam bentuk revans. Hah, dendam?! Seberapa
besar dendam masa lalu itu sehingga mampu merusak hati dan
pikiran kita?!" "Tapi...." "Sampai kapan dendam itu akan bersemayam di hati mereka?!"
"Pendekar Kao ...."
"Dendam tidak pernah akan ada habis-habisnya!"
203 "Tapi...." "Apa bedanya dengan mereka para korban pampasan nanti?!
Mereka juga akan mendendam. Lantas, suatu saat bila ada
kesempatan untuk revans, mereka akan balik menyerang
Mongolia!" "Anda masih terlalu hijau, Pendekar Kao!"
"Mungkin. Mungkin saya terlalu muda untuk mendalami pikiran
Anda semua, para tetua. Mungkin saya masih belum banyak
mengecap asam garam seperti Anda semua. Tapi paling tidak
saya memiliki nurani dibandingkan dengan Anda semua yang
merasa jauh lebih arif dan tua daripada saya! Saya bisa
merasakan bagaimana destruktifnya perang itu!"
Kao Ching meninggalkan tenda atase militer Mongol. Ia keluar
dengan langkah gontai. Tidak ada satu pun jenderal yang
mendengarkan permohonannya. Terlebih-lebih ayah angkatnya,
Genghis Khan! Mungkin besok atau lusa, perang akan meletus di perbatasan
Tionggoan-Mongolia. Ia tak punya daya apa-apa untuk dapat
menghalau maharana yang bakal memakan banyak korban
tersebut. Perang memang majas yang menakutkan sepanjang
zaman. Ia gamang. Bab 19 204 Angin membawa kebaikan pada taman rebung dan serumpun lalang di perbatasan
adakah lara telah sirna? angin akan menjawabnya jua
- Bao Ling Angin Membawa Berkah *** "Rajawali Satu?"
Bao Ling mengernyitkan dahinya. Memandang belati bersarung
emas itu dengan beragam versi kalimat di benaknya. Entah
sudah berapa kali dibolak-baliknya belati bermata tajam itu.
Sebilah belati baja berwarna keperakan dengan vinyet sehalus
sutra pada sarung emasnya selain huruf kanji berharafiah
'Rajawali Satu'. "Rajawali Satu. Pasti julukan dalam kemiliteran. Orang Mongol
biasanya menggunakan nama-nama julukan sejak lahir," timpal
Fa Mulan, mengambil kembali belati berukir huruf kanji itu dari
tangan Bao Ling. "Betul. Temujin memiliki julukan Si Raja Gurun, Genghis Khan.
Beberapa petinggi militer mereka juga memiliki nama-nama unik.
Biasanya diambil dari nama bebatuan berharga semacam ruby.
Jadi...." 205 "Jadi, Si Kao Ching itu pun...."
Bao Ling terlonjak, nyaris terlompat keluar dari dinding bahu
Tembok Besar tanpa sadar. "Kao Ching?!"
Fa Mulan mengernyitkan dahi. "Ya. Memangnya kenapa?"
"Kao Ching merupakan pendekar terkenal di Kiangsu!"
"Pendekar terkenal?!"
"Asisten Fa tidak pernah mendengar kehebatan Kao Ching?"
Fa Mulan menggeleng. "Saya terlalu sibuk...."
Sesaat kedua punggawa handal militer Yuan itu terdiam dengan
masing-masing benak dipenuhi beragam tanya. Hanya desau
angin yang sesekali memecah kebisuan di antara mereka. Fa
Mulan yang masih diliputi kebingungan saat bertarung dengan
salah satu jasus Mongol, dan Bao Ling yang masih mengamati
lamat belati milik musuh yang bertarung dengan Fa Mulan
semalam. "Si Pendekar Danuh!" desis Bao Ling dengan wajah memias,
matanya belum lepas dari graver indah pada sarung belati emas
tersebut. Fa Mulan bertanya, mendadak menegakkan kepalanya seperti
kobra. "Si Pendekar Danuh?!"
"Dia adalah simbol danuh, pakar dalam hal memanah," terang
Bao Ling bersemangat. "Dia merupakan pendekar peranakan
Mongol-Han yang sering mengikuti sayembara memanah, yang
206 diadakan pada pesta-pesta akbar para pangeran dan kaisarkaisar kecil di istana-istana kecil."
"Apakah...." "Kao Ching adalah anak angkat dari Temujin, Genghis Khan - Si
Raja Gurun Mongol!" "Pantas dia bilang begitu kemarin...."
"Memangnya...."
"Sebelum kabur dari sini, dia sempat mengemukakan alasan
keberadaannya di perbatasan Tembok Besar ini."
"Apa itu, Asisten Fa?"
"Dia bilang kalau kehadirannya di Tembok Besar bukan
bermaksud memata-matai pihak Yuan. Malah sebaliknya...."
"Sebaliknya?! Sebaliknya... apa maksudnya, Asisten Fa?!"
"Sebaliknya, dia justru datang memata-matai pasukan Mongol!"
"Aneh!" "Justru itulah yang membingungkan saya, Bao Ling."
"Padahal...." "Padahal ayah angkatnya adalah Genghis Khan, salah satu
tokoh tertinggi Mongol yang hendak menjatuhkan Dinasti Yuan!"
"Makanya...." Bao Ling kembali mengernyitkan dahinya. Tak merampungkan
kalimatnya, mencoba menghimpun buliran waktu silam dalam
kenangan di benaknya. Kao Ching tidak terlalu asing dalam
207 hidupnya. Lelaki peranakan Mongol-Han itu pernah bersamanya
dalam sebuah sayembara ketangkasan dan prosa, yang
diselenggarakan oleh Pangeran Yuan Ren Qing untuk
merayakan hari jadi ketigabelas putri sulungnya, Putri Yuan Ren
Xie, di Provinsi Kiangsu lima tahun lalu.
"Saya masih bingung dengan ambivalensi sosoknya, Bao Ling,"
ujar Fa Mulan, sedikit menelengkan kepalanya dengan rupa
bingung. "Saya ingat!" seru Bao Ling keras, sertamerta menegakkan
kepala Fa Mulan yang meneleng tadi. "Saya pernah bersamanya
dalam sebuah sayembara ketangkasan di Istana Kiangsu."
Fa Mulan mengalihkan tatapannya dari serumpun ilalang yang
meranggas di tepi Tembok Besar. "Kamu mengenalnya?"
"Tahu. Tapi kami tidak akrab. Kami masing-masing hadir
sebagai peserta dalam sayembara di hajatan Putri Yuan Ren
Xie, anak sulung Pangeran Yuan Ren Qing yang berulang tahun
ketiga belas pada saat itu. Dia mengikuti sayembara memanah
dan berkuda, sementara saya mengikuti sayembara prosa dan
puisi." "Tapi dia Mongol, bukan?!"
"Betul. Tapi, ibunya Han. Asisten Fa tahu bukan, kalau suku Han
dominan berdomisili di daerah-daerah pinggiran dan perbatasan
Mongolia. Jadi meskipun dia Mongol, namun Kao Ching
208 sebetulnya juga masih berdarah Tionggoan. Makanya, setelah
beranjak dewasa, dia kembali ikut dengan ibunya di Kiangsu.
Dari data intelijen, baru beberapa tahun ini dia pindah kembali ke
Ulan Bator dan ikut Temujin. Nah, selama berdomisili di
Tionggoan itulah dia kerap mengikuti dan memenangi
sayembara memanah. Di situlah awal mula dia dijuluki Si
Pendekar Danuh."

Mulan Ksatria Putri Tionggoan Karya Effendi Wongso di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cuma anehnya...."
"Di situlah letak keanehannya, Asisten Fa. Saya sama sekali
buta tentang sosok misteriusnya. Kenapa dia malah menentang
rencana perang ayah angkatnya!"
"Justru...." "Justru itulah yang harus kita selidiki, Asisten Fa!"
"Tentu." "Jangan-jangan...."
"Lebih baik kita selidiki lebih mendetail, Bao Ling. Meraba
dengan asumsi malah merunyamkan masalah. Karena ini
menyangkut taktik militer. Tentu kita tidak ingin kecolongan lagi,
bukan?" "Tentu, Asisten Fa!" Bao Ling mengangguk tegas. "Atau, apakah
pengaruh subtilitas dari ibu kandungnya lebih kuat ketimbang
ambisi politik Temujin sehingga dia terpengaruh...."
"Betul!" Fa Mulan sontak menegakkan badannya. Kali ini
209 kalimatnya menyalibi praduga Bao Ling yang terlontar ragu.
"Intuisi kebaikan yang terpancar dari seorang perempuan!"
"Maksud Asisten Fa...."
"Perempuan diyakini mewakili suara dari langit, Bao Ling.
Perempuan di sini yang saya maksud tentu saja ibu kandung
Kao Ching. Dan sebagaimana layaknya perempuan biasa
Tionggoan, dia pasti juga tidak menyetujui perbuatan segelintir
petinggi militer yang bernama perang tersebut."
"Betul, Asisten Fa," Bao Ling mengangguk akur. "Meski dia
dipelihara dan dibesarkan oleh Temujin, tapi dia masih lebih
dekat dengan ibu kandungnya. Dia itu lebih Tionggoan
ketimbang Mongol!" "Pantas...." "Dia tidak menyetujui rencana penyerangan pasukan Mongol ke
Tionggoan." "Mungkin karena ibunya orang Tionggoan."
"Salah satu faktor. Tapi, memang bukan perkara mudah
menjelaskan alasannya yang terbilang aneh itu, Asisten Fa."
"Betul. Pasti ada alasan lain."
"Dan sampai kini masih menjadi misteri bagi kita."
"Sungguh aneh!"
"Tapi, apakah itu bukan merupakan taktik Kao Ching agar kita
lengah, Asisten Fa?!"
210 "Maksudmu...." "Maksud saya, dia pura-pura menentang kehendak Temujin
menyerang Tionggoan agar kita mengendurkan pengawasan di
perbatasan Tembok Besar ini. Membingungkan kita, dan
membuat kita bertanya-tanya perihal kontradiksi yang dilakukan
oleh ayah-beranak itu!"
"Jadi...." "Yah, mungkin saja itu strategi mereka, Asisten Fa."
"Tapi...." "Kita mesti waspada."
"Tentu. Apa saja bisa menjadi musuh kita. Kawan bisa jadi
lawan. Begitu pula sebaliknya. Lawan bisa jadi kawan. Tapi,
tentu saja saya berharap Kao Ching merupakan pihak dalam
alternatif terakhir itu. Lawan yang menjadi kawan."
Fa Mulan terbahak. Bao Ling mengirami tawa kecil sahabat seintelektualnya. Satusatunya gadis langka yang pernah ditemuinya seumur hidup.
Perombak segala kultur turun-temurun ribuan tahun di
Tionggoan! "Ya, apa saja bisa terjadi dalam peperangan, Asisten Fa," tutur
Bao Ling di ujung tawanya. "Tapi, selama bersamanya di dalam
ajang sayembara di Kiangsu beberapa waktu lalu, saya memang
tidak pernah melihat sosok Kao Ching yang mengarah jumawi.
211 Maksud saya, dia merupakan pendekar yang tergolong defensif,
dan sangat menghindari publisitas yang berkembang dalam
dunia persilatan. Dia juga tidak tampak pongah ketika menjuarai
sayembara memanah tersebut. Meskipun dia introver, tapi
sosoknya cukup bersahaja."
"Semalam saat bertarung dengannya, saya merasa tidak sedang
berduel dengan musuh. Saya yakin, dia tidak menggunakan
seluruh kemampuannya saat berkelahi kemarin. Justru,
pertarungan kami kemarin berawal dari saya sendiri. Sayalah
yang memicu pertarungan tersebut. Sayalah yang mendesaknya
agar mau membeberkan identitas dirinya sehingga dia terpaksa
meladeni saya berkelahi karena menolak."
"Pendekar langka."
"Salah satu pendekar paling unik yang pernah saya tahu."
"Betul, Asisten Fa. Dia seperti perpaduan harmonis alam gurun
yang buas dengan keindahan selatan Tionggoan.
Ketangkasannya berkuda sembari melesatkan anak panah ke
titik sasaran danuh merupakan keterampilan yang tiada tara."
"Hebat!" "Konon dia juga dapat melesatkan sekali anak panah dengan
dua sasaran rajawali di udara kena sekaligus jika sejajar
seiringan. " "Hah?!" 212 "Makanya, dia dijuluki Si Pendekar Danuh."
"Kalau begitu, saya termasuk orang yang beruntung dapat
bertarung dengannya kemarin, Bao Ling."
"Padahal, dia jarang mau bertarung!"
"Oya?" "Buktinya, dia tidak pernah mau mengikuti sayembara duel yang
diselenggarakan sekaligus dengan sayembara memanah dan
prosa." Fa Mulan menikmati semilir angin yang bertiup dari bukit
menyusur lembah perbatasan Tembok Besar. Sejenak
dibiarkannya pipinya tertampar, enggan mengalihkan kepalanya
dari serbuan angin. Gelungan rambutnya yang sebahu
bergoyang-goyang, beberapa helai bilah rambutnya yang
kecoklatan itu melambai-lambai. Dari kejauhan ia tampak
anggun dengan pedang Mushu-nya yang kali ini menyampir di
pundaknya. Diam-diam Shang Weng melihatnya terpesona.
Sejak pertengkaran mereka seminggu lalu, memang ada jarak
yang mengantarai mereka. Hubungan mereka tak lagi seakrab
dulu. Shang Weng menyesal. Kadang-kadang ia menyadari
dirinya memang terlalu kekanak-kanakan, egosentris, serta
terlalu mementingkan gengsi dan harga diri.
"Jadi bagaimana dengan belati itu, Asisten Fa?" tanya Bao Ling,
213 melirik belati bersarung emas yang menyampir di ikat pinggang
Fa Mulan. "Kalau berjodoh, belati rajawali ini pasti akan kembali lagi ke
tangan Kao Ching." Bab 20 Samir ambisi adalah ambigu bencana Tuan dan Puan dengar dunia bukan tempat menumpah darah
awal mulakat manusia dengan yaumudin
- Bao Ling Titah Sang Naga *** "Pasukan Han terpukul mundur, Khan Agung!"
Lelaki berbadan gempal itu berdeham.
Sesaat matanya tak bergerak menatap jenderal ringkih di
hadapannya. Selang berikutnya ia kembali asyik membersihkan
pedang sabitnya yang sudah lama tak terpakai, menyingkirkan
debu yang sudah menyelubung tipis di sekujur sarungnya.
"Khan Agung...."
"Jenderal Thamu, saya percayakan pergerakan militer Mongol
selanjutnya kepadamu!"
214 Satu anggukan membalasi kalimat Genghis Khan.
Lelaki separo baya itu takzim mengakuri. Ia sudah mendapat
legitimasi untuk mengambil langkah-langkah cepat menaklukkan
Tionggoan. Namun sayang tindakannya untuk menyerang
Tionggoan dihalang-halangi oleh Kao Ching, anak angkat
Pemimpin Tertinggi Mongolia, Genghis Khan!
"Ada masalah, Jenderal Thamu?"
Seperti bertepuk dua tangan, jenderal bertubuh kurus itu sontak
mengangguk. Membungkukkan badan dengan sebilah tangan
kanan yang menyampir di punggung bawah, menghormat
lazimnya kaum nomad Mongol bertutur laku dalam santun.
"Maaf, Khan Agung. Saya tidak berani mengatakannya!"
sahutnya, sebuah usaha basa-basi berefek bola salju.
Mendatangkan serangkaian pertanyaan sebagai tawar
penasaran. Genghis Khan menghentikan aktivitasnya.
Diletakkannya senjata kesayangannya itu di atas meja. Menatap
sepasang mata balar jenderal tua yang sudah mengabdi
kepadanya sejak masih remaja. Seperti domba tua, ia tidak
punya kapabilitas apa-apa lagi selain sejumlah jasa pengabdian
dan loyalitas yang mengandili armada raksasa Mongolia.
"Ada apa sebenarnya?!"
"Maaf, Khan Agung. Saya belum berani menyerang perbatasan
215 Tembok Besar karena masih terganjal kendala interen!"
"Jenderal siapa yang tidak sepaham denganmu?!"
"Tidak ada, Khan Agung. Semua jenderal sudah sepakat untuk
menyerang. Namun...."
"Kenapa?!" "Ananda Kao Ching masih belum sepakat...."
"Kao Ching?!" "Maaf, Khan Agung. Mungkin Ananda Kao Ching masih terlalu
muda terlibat dalam militer sehingga belum memiliki keberanian
untuk bertindak. Ananda Kao Ching masih belum manda melihat
pertumpahan darah!" Genghis Khan menggabruk meja. "Dalih apa yang bikin dia
kemayu begitu?!" "Maaf, Khan Agung."
"Selalu saja ada penghalang!"
"Saya pikir, Ananda Kao Ching mungkin punya alasan sehingga
tidak ingin menyerang...."
"Tidak bisa!" Genghis Khan kembali menggabruk meja sampai
pedang sabitnya turut terempas dan mendentam di meja.
"Sampai kapan kita harus menunggu?! Sudah ribuan tahun
bangsa kita dijajah oleh kesombongan Tionggoan!"
"Tapi...." "Demi langit dan bumi, tidak ada yang dapat menghalangi
216 Genghis Khan!" teriak Genghis Khan dengan mata memicing.
"Siapa pun orangnya!"
"Ananda Kao Ching...."
"Keparat!" bentak lelaki bernama kecil Temujin itu. "Kao Ching
terlalu menyanjung tanah kelahiran ibunya - Kao Niang!"
"Mungkin...." "Perempuan itu telah meracuni otak Kao Ching!"
"Mungkin...." "Saya menyesal, rajawali itu tumbuh jadi nasar!"
"Mungkin...." "Jenderal Thamu, eksekusikan segera penyerangan. Apa pun
yang terjadi!" "Tapi...." "Jangan pedulikan amanat Kao Ching. Hari ini juga saya akan
memanggilnya ke Ulan Bator, mencabut mandatnya sebagai
Asisten Panglima Perang Mongolia."
"Baik, Khan Agung!"
Jenderal Thamu Khan menabe.
Ia meninggalkan tenda induk Panglima Tertinggi Mongolia itu.
Ia sudah diberi mandat penuh untuk melaksanakan
penyerangan. Tinggal menunggu hari yang tepat saja, maka
kurang lebih setengah juta pasukan Mongolia akan menyerbu
Tionggoan. 217 Kao Ching tak lagi memiliki legitimasi untuk membatalkan
penyerangan. Ia tersenyum picik. Kali ini Kao Ching akan
tersingkir, dan ia bakal memegang tampuk kepemimpinan
Mongolia setingkat di bawah Genghis Khan. Anak angkat
Temujin itu sudah tersingkir.
Ia terbahak. Bab 21 Jangan sodori aku sangu titah
sebab lidahku mendadak kelu
ujung pedangku pun tumpul karenanya
prosesi itu telah mematikan akal
aku tak hendak jadi nisan
- Bao Ling Nyanyian Sunyi pada Pertempuran Suatu Malam
*** Kao Ching menghela napas panjang.
Sesaat menghentikan langkahnya menyaksikan dua bocah yang
sedang asyik bermain di pasir. Anak laki-laki yang lebih
jangkung dengan selempang kulit kambing di bahunya sesekali
tertawa entah karena apa. Sementara itu bocah laki-laki lainnya,
berbadan kurus dan pendek, tampak mewek dan mengentakentakkan kakinya ke pasir. Stola beledu coklat tanah yang
218 dikenakannya terpasang agak miring, dan nyaris menutupi ujung
mata kirinya. Kao Ching melangkah dengan dada sesak.
Dihindarinya langkah sekawanan kambing yang mengarah ke
jalurnya. Ia menepi. Berhenti di samping jaro. Anak-anak Mongol
yang dilihatnya bermain pasir tadi kini telah berdiri. Menepuknepuk tangan mereka yang berdebu. Lalu berusaha
mengganggu sekawanan kambing yang berjalan lambat ke
tengah gurun beroase. Anak berselempang kulit kambing itu
tampak melompat-lompat kegirangan seusai menggebah seekor
anak kambing yang tertinggal di belakang. Yang berlari terbirit
akibat cambukan pelepah ilalang liar pada punggungnya.
Kenangan masa kecilnya terkuak.
Betapa damainya alam gurun. Sekian tahun diakrabinya
sejumput aroma oase, embusan pasir yang basir, serta alunan
tabuhan rebana yang mengiringi tarian para gadis Mongol
berhidung bangir. Sehingga setiap jengkal tanah gersang itu
telah mempolakan subtilitas nomadi di serabut kelabu otaknya.
Kesederhanaan yang kini telah terpampas oleh sesosok
makhluk majas yang bernama ambisi!
Temujin telah hilang dibawa oleh angin.
Ia telah dibuai oleh ambisi maya berpamrih takhta. Dimensi lain


Mulan Ksatria Putri Tionggoan Karya Effendi Wongso di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sang waktu telah membopongnya ke dalam lara majas buana.
219 Sehingga terkungkunglah ia di dalam segenap ambiguitas
mayor. Ia tak lagi baku. Seorang penggembala sejati, yang
berbekal busur dan anak panah di atas punggung kuda Mongol.
Lafaznya tak lagi sehangat dulu. Tak seramah embun pagi yang
menyapa padang lalang di gurun.
Kao Ching mengusap wajah.
Kapabilitasnya telah terpampas. Kendali atas mobilitas pasukan
Mongol tidak lagi berada di ujung lidahnya. Jenderal Thamu
Khan telah merampasnya. Ia telah menggerakkan sekawanan
nasar ke arah Tionggoan. Mengundang maharana. Pelantak
damai di muka bumi! Ia menyergah dengan segenap kemampuan yang dimiliki.
Maharana tidak boleh terjadi. Seluruh rakyat Mongol akan
menderita. Ratusan, ribuan, bahkan mungkin jutaan keluarga di
Mongolia akan kehilangan anak dan sanak saudara mereka
yang menjadi korban dari perang laknat. Kematian yang sia-sia,
dan tidak membawa faedah apa-apa.
"Jangan gegabah, Jenderal Thamu Khan!"
"Ini perintah Pemimpin Agung Genghis Khan!"
"Anda beserta beberapa atase militer dapat membatalkan
penyerangan. Baba pasti akan mempertimbangkan
keputusannya itu." "Kalau bukan kita yang menyerang, maka Tionggoan-lah yang
220 akan menyerang kita!"
"Lantas, apa bedanya dengan tindakan kita sekarang?! Kita
menyerang duluan, lalu mereka akan membalasnya!"
"Tapi...." "Jenderal Thamu Khan, saya hargai deferens Anda terhadap
Baba. Saya hargai pengabdian Anda terhadap Mongolia. Tapi,
untuk hal yang satu ini Anda mesti melihatnya dengan mata
hati." "Saya hanya pengabdi kecil, Pendekar Kao."
"Tapi Anda harus memiliki jiwa besar untuk masalah hajat hidup
orang banyak. Ini masalah jutaan nyawa manusia!"
"Saya paham afeksi perasaan Pendekar Kao. Tapi, kadangkadang memang ada yang mesti kita korbankan untuk dapat
mencapai cita-cita yang luhur."
"Cita-cita luhur tersebut akan ternoda apabila Jenderal Thamu
Khan tetap bersikeras dengan keputusan menyerang Tionggoan!
Perang bukan solusi yang baik!"
"Tapi perang dapat menyelesaikan masalah Mongol, Pendekar
Kao!" "Tidak ada penyelesaian masalah dengan jalan kekerasan.
Justru hal itu akan membawa masalah baru. Saya sangat tidak
sepaham dengan pola pikir seperti itu."
"Maaf, Pendekar Kao. Ribuan tahun kaum nomad Mongol
221 bertahan hidup dari kekerasan. Kalau tidak begitu, mana bisa
ada Mongolia sampai sekarang. Sedari dulu kita tidak bertempat
tinggal tetap. Terusir dari satu daerah ke daerah yang lainnya."
"Kalau itu sudah menjadi predestinasi, kita mau menggugat
siapa?! Dan saya tidak ingin habitat yang sudah turun menurun
diturunkan dari langit itu dijadikan dalih pemberontakan batin,
dan mengkompensasikan keresahan itu dalam bentuk invasi ke
negara lain." "Masalahnya tidak semudah yang Anda pikirkan, Pendekar
Kao." "Dan penyerangan ke Tionggoan pun tidak semudah apa yang
Anda bayangkan, Jenderal Thamu Khan! Banyak faktor yang
mesti Anda pikirkan di luar dari strategi yang telah Anda susun
dan rencanakan. Semangat yang menggebu-gebu dengan
pasukan sebesar apa pun tidak cukup menjadi sangu untuk
merebut wilayah orang."
"Tapi...." "Bila Anda bersikeras, sama juga berarti Anda mengirimkan
jenazah untuk keluarga prajurit Mongol!"
"Maaf, Pendekar Kao! Mungkin tidak etis Anda mengatakan hal
itu di saat pasukan Mongol dalam persiapan penuh. Seharusnya
Anda menjadi motivator. Bukan sebaliknya. Mengendurkan
semangat tempur pasukan Mongol!"
222 "Saya berkata apa adanya. Tidak ada yang saya tutup-tutupi
untuk urusan seurgen nyawa orang."
"Tapi...." "Pasukan Han pimpinan Jenderal Shan-Yu dan Han Chen Tjing
baru saja dipukul mundur. Bahkan ratusan ribu prajurit mereka
tewas di perbatasan Tembok Besar oleh kedahsyatan prajurit
Divisi Kavaleri Fo Liong Dinasti Yuan. Apakah Jenderal Thamu
Khan tidak belajar dari pengalaman?!"
"Kita sudah mengantisipasi hal itu! Kita memiliki strategi jitu
untuk meredam prajurit dari divisi baru mereka!"
"Jangan takabur, Jenderal Thamu Khan! Meski divisi baru
mereka itu jauh tidak sebanding dengan jumlah pasukan kita,
tapi mereka tidak boleh diremehkan!"
"Atase militer sudah memikirkan cara untuk melumpuhkan divisi
baru mereka itu, Pendekar Kao. Salah satunya adalah dengan
penyerangan secara frontal dan terpadu pada satu titik lemah
lawan." "Kekuatan mereka tidak bisa dilihat dari satu sisi saja, Jenderal
Thamu Khan!" "Tentu. Tapi, berdasarkan data intelijen kita, mereka tidak akan
dapat membendung pasukan Mongol yang datang bagai air
bah!" "Asumsi tidak dapat dijadikan landasan kekuatan Mongol!"
223 "Mungkin...." "Tidak ada strategi yang paling jitu selain diplomasi, Jenderal
Thamu Khan." "Diplomasi tidak masuk dalam agenda strategi."
"Kalau begitu, Anda mesti bersiap-siap untuk kehilangan banyak
nyawa!" "Itu risiko perang!"
"Kalau risiko bisa dihindari, kenapa tidak?!"
"Maksud Pendekar Kao, apakah kita harus mengalah?! Dan
membiarkan Tionggoan...."
"Mengalah adalah salah satu strategi. Mengalah untuk mencapai
kemenangan merupakan sebuah siasat yang paling jitu dalam
peperangan. Menghindari terjadinya pertumpahan darah adalah
kemenangan gemilang dalam maharana! Jauh lebih jaya
ketimbang kemenangan tentatif!"
"Penaklukan merupakan satu-satunya cara, Pendekar Kao.
Armada besar, kemampuan dan semangat tempur yang
menggebu-gebu sudah dimiliki oleh pihak kita. Pengenduran
adalah kekalahan. Kalau bukan sekarang, selamanya Mongolia
akan dianggap bangsa yang lemah!"
"Status bangsa besar tidak ditentukan dari seberapa besar
negara itu menaklukkan negara lain. Tapi seberapa jauh
kontribusi dan eksistensi kehadiran negara tersebut sebagai
224 bagian dari dunia. Sayang Baba sudah bertindak terlampau jauh.
Tidak memikirkan bagaimana seharusnya prospektif Mongolia ini
ditempatkan." "Kekuatan sebuah negara terletak pada angkatan perangnya,
Pendekar Kao. Saya sangat tidak sepaham kalau Anda
mengabaikan hal itu. Negara yang seperti Pendekar Kao
maksud itu nantinya akan menjadi negara lemah. Negara pesakit
yang setiap saat dapat menjadi sasaran empuk invasi negara
kuat dan besar. Makanya, Mongolia mesti memiliki armada
perang besar. Persis yang dibangun oleh Pemimpin Agung
Genghis Khan sekarang!"
"Membangun kekuatan armada perang semata akan
melemahkan sektor lain, Jenderal Thamu Khan! Sektor lainnya
akan terlalaikan sehingga menghambat perkembangan ekonomi
negara. Rakyat pulalah yang akan menderita nantinya!"
"Tapi...." "Sekarang saya tidak memiliki kapabilitas apa-apa untuk
mencegah penyerangan, Jenderal Thamu Khan! Tapi, saya
hanya dapat meminta agar semua atase militer dapat membuka
mata supaya bertindak benar. Bukannya jumawitas
megalomania karena merasa telah memiliki legitimasi dan
kemampuan tempur yang jauh di atas batas kemampuan negara
lain!" 225 "Tapi...." Maklumat penyerangan itu sudah jelas.
Tidak ada yang dapat menghentikannya lagi. Sekawanan nasar
akan menghitami langit Tionggoan. Menyerang negara itu
bertubi-tubi seperti gemawan yang mencurahkan rambun
kematian. Satu nestapa kemanusiaan yang telah merimbun
dalam rupa baur. Ia menggeleng sedih. Gamang dengan
keputusan ayah angkatnya!
Kao Ching melangkah tanpa permisi.
Ia keluar dari tenda salah satu atase militer kepercayaan
Genghis Khan itu. Ia ingin secepatnya pergi dari tempat para
nasar beranak-pinak. Jauh ke suatu tempat terpencil. Melupakan
semua kenangan yang pernah terjadi di sana.
Ia ingin mengobati luka hatinya.
Bab 22 Randa datang bersama selaksa nasar
himpunan segala angkara dalam nisbi loba
ada jeritan terdengar di langit hitam
melengking membelah karang-karang
maka gemintang tak lagi bercahaya
meredup ditelan gulita malam
226 Malang meranggas di bumi ini
beberapa penyeru berkuda menyerbu
tapak-tapaknya yang menggagah
derap-derapnya yang meriuh
adalah gergasi kematian - Bao Ling Anominitas Tanah Babur *** Rindu merenda hari ada bayang baur pada lukisan wajah ayu "Rindu merenda hari, ada bayang baur, pada lukisan wajah ayu.
Pendek. Bao Ling, kamu yang menulis puisi alit ini?" Fa Mulan
melambai-lambaikan kertas buram yang tengah digenggamnya.
Bao Ling mendekat. Mengambil kertas di tangan Fa Mulan. Lalu
membacanya dengan dahi mengerut. Fa Mulan masih menanti
jawaban. Ia berkacak pinggang seperti biasa.
"Rindu merenda hari..."
"Ada bayang baur," timpal Fa Mulan.
"Pada lukisan wajah ayu," ujar Bao Ling pelan, seolah sedang
mengeja. Ia menggeleng di ujung kalimatnya. "Bukan karya
saya." "Jadi, puisi ini punya siapa?!"
227 "Dapat dari mana, Asisten Fa?"
"Di tanah, di depan tenda."
"Puisi siapa, ya?!"
"Kalau bukan punyamu, lalu punya siapa?"
"Saya juga bingung. Selama ini saya jarang menulis puisi cinta,
Asisten Fa." "Lalu...." "Selain saya, setahu saya tidak ada prajurit yang bisa menulis
puisi. Apa bukan karya Kapten Shang?"
"Tulisan dia tidak begini."
"Aneh." "Mungkin diterbangkan angin hingga sampai kemari."
"Mungkin. Tapi, kenapa jatuh di depan tenda saya?!"
"Mungkin kebetulan."
"Mungkin. Tapi kalau membaca maknanya, seperti elegi...."
"Benar. Meresapi karya ini, kita seperti mendengar sebuah
ratapan tentang keresahan batin."
"Makanya...." "Puisi alit ini bagus. Selain berkaligrafi indah, makna yang
tersirat di dalam tulisannya juga menyuarakan dramatisasi hati.
Pasti bukan penyair biasa."
"Saya pikir juga begitu kalau menyimak huruf-hurufnya yang
hidup dan tegas." 228 Fa Mulan mengambil kertas bertulis puisi alit itu dari tangan Bao
Ling. Menyimaknya kembali seperti mengamati lektur tanpa tepi.
Ia berjalan tiga langkah dari daun tenda. Mencoba mencari
makna yang sebenarnya. "Hei, lihat. Di sini ada kertas lagi, Asisten Fa. Tertancap dengan
sebilah anak panah di tiang tenda!" Bao Ling spontan berteriak.
"Rupanya sengaja dikirim melalui lesatan anak panah."
Fa Mulan mendekati Bao Ling yang tengah mencabuti beberapa
lembar kertas di tancapan anak panah pada tiang kanan
tendanya. Dibacanya kertas lembar pertama yang dipentang di
telapak tangan Bao Ling. Angin membawaku kemari pada padang ilalang Meski aku harus hilang dari rimba rani Fa Mulan mengeja huruf kanji yang ditulis dengan sentuhan
indah. "Angin membawaku kemari. Pada padang ilalang. Meski
aku harus hilang...."
Bao Ling menerusi, menamatkan puisi alit yang dibaca oleh Fa
Mulan. "Dari rimba rani."
"Masih berlantun elegi," reka Fa Mulan, mengerutkan keningnya.
Bao Ling mengangguk. Ia membuka lembaran kertas kedua. Kali ini ia tidak mendapati
229 kaligrafi puisi. Tetapi sebuah surat biasa semacam manuskrip
yang ditujukan untuk Fa Mulan.
"Surat untuk Asisten Fa," sahut Bao Ling, menyerahkan kertaskertas buram tersebut kepada Fa Mulan yang masih
mengernyitkan keningnya. "Surat?!" "Khusus ditulis untuk Anda, Asisten Fa," jawab Bao Ling.
"Rupanya ada pesan penting yang hendak disampaikan oleh si
Pengirim." "Siapa?!" Bao Ling mengerutkan dahinya.
Disibaknya lembaran kertas terakhir yang berada di tangan Fa


Mulan Ksatria Putri Tionggoan Karya Effendi Wongso di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mulan. Dan ia terkesiap dengan pijar tegas yang sedari tadi
melelatu dalam benaknya. Kao Ching. Si Pendekar Danuh!
"Kao Ching!" desis Fa Mulan.
"Pantas...." "Akurasitas bidikan anak panah ini...."
"Tidak meleset saat ditembakkan, tepat menancap di tiang
kanan bagian atas tenda Anda, Asisten Fa!"
"Luar biasa...."
"Pasti dilesatkan dari jauh. Kurang lebih seperempat mil dari
perbatasan Tembok Besar ini!"
"Pendekar hebat!"
230 Bao Ling mengangguk mengakuri.
Diedarkannya pandangannya ke depan. Pada hamparan padang
ilalang di bawah Tembok Besar. Jauh di sana, ia melihat
lembah-lembah yang menubir. Hanya seseorang yang memiliki
kemampuan luar biasalah yang dapat melakukan hal
menakjubkan. Melesatkan anak panah dari kejauhan yang tak
dapat diterima nalar. Seperti sambaran kilat dari angkasa.
"Si Pendekar Danuh!" Fa Mulan kembali mendesiskan kalimat.
Menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa takjub dan heran
dengan talenta danuh yang dimiliki pemuda peranakan MongolHan itu.
"Sejak mula melihat anak panah yang menancap di tiang tadi,
seharusnya saya sudah dapat menduga kalau Si Pengirim surat
ini adalah Kao Ching, Asisten Fa!"
"Tentu. Selain Kao Ching, siapa lagi yang memiliki talenta danuh
sehebat itu?" "Tapi, saya terlebih tidak menyangka kalau Kao Ching juga
pandai menulis puisi."
"Bakat terpendam seorang anak dari padang gurun."
"Ya, itulah realita kebajikan seorang Kao Ching!"
"Dia serupa manusia bijak yang dimaksud Guru Fang Wong
kepada saya semasa kanak-kanak dulu, Bao Ling."
"Dia memiliki banyak kelebihan. Selain talenta danuh, dia juga
231 menguasi wushu yang tidak kalah baiknya. Tapi dia tidak pernah
menyombongkan dirinya. Dalam beberapa sayembara, dia tidak
pernah ikut sayembara adu tarung dan prosa. Padahal, dia
mahir kungfu dan pandai berpuisi. Dia tidak kemaruk dengan
hadiah sayembara ketangkasan lainnya. Bukankah itu replika air
selaras Taichi Chuan seperti yang pernah Asisten Fa utarakan
kepada saya?" "Betul. Meski Kao Ching berada di pihak musuh, tapi saya tidak
merasa dia sebagai lawan."
"Saya pun merasakan hal yang sama, Asisten Fa."
"Surat ini pasti penting."
"Tentu, Asisten Fa. Sepertinya, ada hal penting yang hendak dia
sampaikan sehingga mengirimnya melalui lesatan anak panah
tanpa sepengetahuan prajurit pengawas binara Tembok Besar."
Fa Mulan segera membaca surat yang telah dipaparkannya di
telapak tangannya. Prajurit Fa Mulan, Maafkan saya karena lalai menyampaikan surat ini secara
santun tindak. Namun terpaksa saya lakukan karena tidak
memiliki jalan lain agar surat ini dapat sampai kepada Anda
tanpa diketahui oleh prajurit pengawas binara Tembok Besar.
Saya tidak ingin bertempur dalam kebimbangan ini. Duel
kemarin sudah cukup meresahkan batin saya. Saya merasa
232 bertemu dengan diri saya sendiri. Bertarung dengannya. Saling
menyakiti sehingga masing-masing terluka. Saya tidak ingin hal
itu terulang lagi. Setelah berduel dengan Anda di bawah binara Tembok Besar,
saya akhirnya menyadari satu hal. Bahwa saya harus
menentukan sikap tegas dalam ambivalensi ini. Saya harus
menentukan benar, mana kawan dan mana lawan dalam
konsekuensi apa pun. Dan ketika semuanya telah tercetus
dalam hati, maka rasanya saya terkapar lunglai tanpa jiwa.
Kawan adalah lawan saya selama ini. Dan kawan adalah lawan
saya, yang tanpa saya sadari telah menelusup ke setiap sendi
dan urat nadi saya. Duel kemarin adalah kontemplasi. Denyar subtil melelatu dalam
nurani. Batas itu telah saya sentuh. Menyakitkan memang ketika
saya mendapati diri saya terhimpit dalam dilematisasi ini. Bahwa
saya tidak pernah menganggap Anda dan pihak Yuan sebagai
musuh. Justru sebaliknya. Namun alangkah naifnya kalau
menafsir hal itu sebagai skenario. Mungkin itu semua
merupakan aplikasi takdir. Entahlah.
Saya sama sekali tidak mengetahui kalau Anda sebenarnya
adalah Fa Mulan. Sebuah kembang Magnolia milik Tionggoan
yang sangat berharga! Saya ketahui semuanya itu setelah
mendengar dari Jenderal Thamu Khan - seorang panglima
233 perang yang, entah besok atau lusa, akan menyerang negeri
Anda. Ia telah menceritakan semua kedigdayaan Anda memukul
pasukan Han. Anda bukan prajurit sembarangan.
Surat ini hanyalah pencurah lara hati. Mungkin tidak etis. Tetapi
saya tidak memiliki waktu lagi untuk mengungkap semua karena
besok atau lusa, dua negeri akan diberangsang maharana.
Mungkin surat ini hanyalah romantisme baur. Keresahan hati
saya yang terpendam selama ini!
Keresahan saya bukan karena bayang kematian yang mengikuti
seorang prajurit seperti roda pedati mengikuti sang kuda. Tetapi
saya galau melihat mawadah yang raib oleh sebuah ambisi
bernama takhta. Saya tidak paham dengan segelintir Penguasa
Mulia Mongolia. Mungkin juga puak terpandang di kalangan
Anda. Apakah mereka mesti menumpahkan darah di tanah
untuk menduduki Kursi Tunggal Sang Naga itu?!
Jika benar konspirasi batil yang telah meracuni otak para rani,
maka saya tidak menyesal meninggalkan semua yang telah
menyertai saya sejak lahir. Hutang-hutang jasa saya terhadap
Temujin adalah belenggu terbesar yang telah memasung saya
selama ini. Saya sadar, saya tak akan mampu melunasinya
dalam kehidupan ini. Saya tidak ingin melunasi hutang-hutang
jasa itu dengan tumbal darah dalam maharana. Membantai
orang-orang tak berdosa. 234 Saya bersumpah untuk membalasnya pada kehidupan saya
yang akan datang. Tidak pada kehidupan ini. Sebab saya tidak
manda melihat tangisan anak-anak kecil yang kehilangan kasih
sayang orangtuanya. Karena saya merupakan duplikasi dari
durja itu. Nestapa yang telah dilahirkan dari rahim maharana.
Saya kehilangan Ayah. Lalu sebuah takdir langit telah
menggariskan saya dipelihara oleh Temujin. Ayah, pahlawan,
sekaligus musuh saya sendiri!
Ini ironi! Langit seolah menghukum saya. Saya dihadapkan pada sebuah
dilema babur. Dua pilihan yang sungguh sulit untuk diputuskan.
Namun demi yura, saya lebih memilih hengkang dari tanah yang
telah meniupkan lafaz dalam napas saya.
Dan menentang sikap apriori Ayah saya sendiri....
Bab 23 Hingar benar denting itu hingga menulikan sepasang gendang telinga
ada apa dengan semesta? sehingga mentari pun tak lagi ramah
aku serasa dilalap murka rudapaksa serupa pewaka 235 - Kao Ching Kisah pada Busur dan Anak Panah
*** Seminggu menjelang Festival Barongsai kawasan Istana Da-du
tampak riuh dengan segala aktivitas penyambutan. Ibukota Dadu mendadak meramai oleh nuansa euforia, selayaknya
penyambutan tahun baru penanggalan lunar Imlek yang sudah
turun-temurun dirayakan rakyat Tionggoan. Masyarakat antusias
menyiapkan diri ikut perayaan besar yang diselenggarakan
Kaisar Yuan Ren Zhan sebagai simbolis kemenangan Yuan atas
pemberontakan Han. Sebagian penduduk dari kalangan
terpandang berbondong-bondong untuk turut menjadi peserta
lomba barongsai tersebut.
Perguruan silat ternama juga tidak mau ketinggalan. Mereka
malah sudah mempersiapkan diri berlatih jauh-jauh hari. Selain
karena acara Festival Barongsai tersebut akan disaksikan oleh
Sang Kaisar sendiri, juga karena lomba dalam Festival
Barongsai tersebut menyediakan hadiah yang sangat
menggiurkan bagi para pemenang.
Festival Barongsai itu sebetulnya lapat-lapat terdengar sebagai
ajang pencarian bakat pewushu handal di balik euforia
kemenagan Yuan atas musuh pemberontak Han di Tung Shao
dan perbatasan Tembok Besar. Karenanya, Festival Barongsai
236 itu dapat diikuti oleh khalayak umum dari kalangan manapun.
Namun di balik itu, ada hal yang sebenarnya paling mendasari
diselenggarakannya acara akbar inisiatif Sang Kaisar tersebut.
Bahwa acara yang terbilang megah itu bertujuan
memploklamirkan Yuan sebagai penguasa tunggal Tionggoan.
Tionggoan di bawah Dinasti Yuan yang telah melahirkan prajuritprajurit handal dan loyal seperti Fa Mulan.
Namun Kaisar Yuan Ren Zhan tidak pernah berterus terang
mengungkapkan empati bangganya terhadap aksi heroik Fa
Mulan. Justru Jenderal Gau Ming-lah yang gamblang ingin
memberikan tanda penghormatan pada tindakan penyelamatan
gemilang gadis mantan wamil itu pada Dinasti Yuan. Dan secara
pribadi ia selalu mengagung-agungkan sosok Fa Mulan di
hadapan penguasa tertinggi Tionggoan tersebut.
Tetapi seminggu menjelang Festival Barongsai itu pulalah,
jenderal ahli strategi itu digamangkan oleh sebuah kasus yang
baru terungkap sekarang. Berita yang diperolehnya dari pihak
intelijen Istana membuatnya sangat terpukul. Sama sekali tidak
menyangka persiapan pesta besar Istana Da-du yang telah
rampung sempurna itu akan direcoki oleh satu hambatan besar.
Dan lagi-lagi berasal dari biang pengganggu ketenteraman
negara. Pemberontak Han! "Kami menemukan indikasi adanya penyusupan jasus musuh ke
237 dalam Istana Da-du, Jenderal Gau!"
"Apa?!" Jenderal tua itu melotot. Matanya yang sebesar kuaci itu
membolide. Terperangah untuk beberapa saat sebelum
menormalkan peredaran hormon adrenalin yang tiba-tiba
menjalar seperti lahar di sekujur nadinya.
"Maaf, Jenderal Gau!" Zhung Pao Ling mengepalkan tangannya
dengan sikap hormat disertai sedikit bungkukan badan
sebagaimana lazimnya. Prajurit Kepala Intelijen itu tampak
merasa bersalah, menundukkan kepalanya. Tidak berani
menatap wajah tua di hadapannya.
"Seminggu lagi Festival Barongsai sudah dimulai! Saya tidak
ingin acara yang diselenggarakan kaisar itu hancur berantakan
gara-gara ada pengacau kecil!" geram Jenderal Gau Ming
dengan mimik gamang. "Maaf, Jenderal Gau. Saya siap menerima hukuman. Ini
kesalahan saya!" "Sekalipun kepala kamu dipenggal, hal itu tak akan mampu
menghapus coreng malu di wajah kaisar apabila terjadi
gangguan sekecil apa pun pada Festival Barongsai minggu
depan!" Zhung Pao Ling terdiam. Entah harus menjawab apa menanggapi kegusaran Jenderal
Gau Ming. Diedarkannya mata ke sekeliling ruangan markas
238 strategi sebagai reaksi kegamangannya. Ruangan tersebut
sudah menjadi lafaz kehidupan jenderal tua itu sekarang - sejak
Kekaisaran Yuan diganyang oleh pemberontakan dari kaum
jelata Han dan nomad Mongol, Jenderal Gau Ming saban hari
duduk menyendiri di belakang meja strategi. Memang, tentu
bukan perkara gampang kalau jasus musuh sudah sampai
memasuki lingkungan Istana Da-du. Selain Jenderal Gau Ming,
maka ialah yang merupakan orang yang paling bertanggung
jawab atas keselamatan Sang Kaisar di Istana Da-du.
Seharusnya jauh-jauh hari ia sudah harus mengantisipasi hal itu.
Namun memang tidak mudah mengawasi ribuan peserta
Festival Barongsai yang berasal dari berbagai negeri. Dan ketika
sehari sebelum tiba pada saat festival, ia baru mengetahui kalau
di dalam lingkungan Istana Da-du sudah menelusup beberapa
orang jasus musuh. Kali ini mereka ikut sebagai peserta Festival
Barongsai. "Sekarang, saya tidak peduli bagaimana cara kamu
mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan! Lekas ambil
tindakan pencegahan, serta perketat pengawasan kepada setiap
peserta Festival Barongsai. Jangan sampai ada yang luput!"
"Baik, Jenderal Gau!"
Zhung Pao Ling kembali menghormat dengan takzim sebelum
meninggalkan ruangan strategi. Ia melangkah setelah pamit
239 lewat bahasa gerak tubuhnya. Tidak ada basa-basi lagi. Ia harus
segera mengenyahkan jasus yang sudah mengendap masuk ke
dalam Istana Da-du. Mereka pasti bukan orang biasa kalau
dapat lolos dari penjagaan ekstra ketat di gerbang masuk
kawasan Istana Da-du. Namun sebelum hal yang terburuk
terjadi, maka ia rela mengorbankan nyawanya mulai dari
sekarang. "Tunggu." Prajurit loyal bertubuh jangkung itu tertahan di bawah bingkai
pintu keluar, lalu membalikkan badan oleh satu panggilan yang
berdesibel tinggi di gendang telinganya.
"Hormat saya," ujarnya spontan. "Apa yang dapat saya lakukan
lagi untuk Anda, Jenderal Gau?"
"Cepat sampaikan pesan saya ke Prajurit Kurir Bao Ling di luar
markas. Segera hubungi saya di sini."
"Siap, Jenderal Gau."
"Nah, cepatlah. Saya ingin dia menyampaikan sekali lagi
undangan pesta Festival Barongsai ke Asisten Fa Mulan. Saya
ingin Asisten Fa Mulan hadir juga di Istana Da-du. Saya khawatir
musuh sudah berada di sekitar Kaisar. Mungkin juga ada musuh
dalam selimut. Entahlah. Saya dapat bernapas lega kalau sudah
ada Asisten Fa Mulan di sini!"
"Siap, Jenderal Gau."
240 Zhung Pao Ling meninggalkan ruangan strategi dengan langkah
gegas. Diayunkannya kaki secepat mungkin ke alun-alun
markas. Menghubungi sesegera mungkin Prajurit Kurir Bao Ling


Mulan Ksatria Putri Tionggoan Karya Effendi Wongso di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sedang mengaso di sana.
*** Bao Ling sedang mengamati ratusan prajurit yang tengah
berlatih. Kadang-kadang ia turut membetulkan gerak dan jurusjurus yang salah diperagakan oleh beberapa prajurit. Akurasi
tusukan tombak sangat penting untuk bekal dalam perang
nantinya. Salah berarti maut. Makanya, ia yang sangat
memahami dan ahli beladiri bersenjata toya serta tombak sangat
memperhatikan kesalahan-kesalahan kecil yang kerap menjadi
kendala di kemudian hari.
"Konsentrasi." Bao Ling terdengar mengaba-aba, sesekali menyentuh lengan
atau bahu seorang prajurit yang bermandi peluh.
"Ya, ya. Konsentrasi. Pusatkan mata kalian pada satu titik saat
menombak!" tegasnya dengan setengah berteriak. "Ayo,
kerahkan tenaga kalian. Dalam perang hanya ada dua pilihan.
Hidup atau mati. Tidak ada yang namanya setengah-setengah.
Kalian harus camkan itu semua. Ingat, nyawa kalian tergantung
pada ketangguhan diri kalian masing-masing. Hidup mati kalian
terletak di tangan kalian sendiri. Jadi jangan pernah berpikir
241 untuk setengah-setengah. Menganggap remeh lawan karena
lemah, ataupun sebaliknya. Jadi, jangan sampai lengah. Ingat,
konsentrasi!" Zhung Pao Ling menghampi prajurit kurir tangguh Yuan itu
sesampainya di area latihan. Ternyata Bao Ling masih
menyempatkan dirinya melatih beberapa ratus prajurit Kavaleri
Infanteri setelah beristirahat sebentar seusai makan siang. Ia
membantu instruktur kepala yang memiliki kemampuan beladiri
setingkat di bawah dengannya.
"Maaf, saya mengganggu aktivitas Anda, Prajurit Kurir Bao."
"Oh, tidak apa-apa," balas Bao Ling, meninggalkan area latihan
sampai beberapa langkah sembari menyeka keringat di dahinya.
"Ada apa, Prajurit Zhung?"
"Jenderal Gau Ming memanggil Anda. Sekarang Anda sedang
ditunggu di ruang strategi," tutur Zhung Pao Ling diplomatis.
"Hm, kalau tidak ada apa-apa lagi, saya mohon pamit."
"Terima kasih, Prajurit Zhung," angguk Bao Ling sesaat sebelum
lelaki bertubuh jangkung itu pamit dan berlalu dari hadapannya.
Bao Ling melangkah ke ruang strategi yang terletak tidak jauh
dari area latihan setelah membetulkan dan merapikan gelungan
seragamnya. Pasti ada hal penting yang hendak disampaikan
mendadak kepadanya. Ia sudah tahu benar watak jenderal tua
itu. 242 "Hormat saya kepada Anda, Jenderal Gau," sapanya santun
saat memasuki bingkai pintu ruang strategi.
"Masuklah, Prajurit Kurir Bao."
"Terima kasih."
Jenderal Gau Ming berdiri dari duduknya. Ia melangkah
menghampiri pemuda yang menjadi andalah Kekaisaran Yuan
untuk hal-hal yang sangat urgensi seperti pengiriman kawat dan
manuskrip kepada pihak berwenang.
"Saya ingin Prajurit Kurir Bao segera ke Tembok Besar,
menyampaikan undangan Istana Da-du kepada Asisten Fa
Mulan sekali lagi. Selain untuk menghargai jasa-jasanya
menghalau pergerakan pasukan pemberontak Han di Tung
Shao, kehadiran Asisten Fa Mulan juga diperlukan untuk
mengantisipasi jasus yang sudah menyelinap di kawasan Istana
Da-du." "Ja-jasus?!" "Ya. Menurut data intelijen yang telah kita peroleh, jasus dari
pihak Han telah memasuki kawasan Istana Da-du, dan ikut
sebagai salah satu peserta Festival Barongsai. Ada indikasi
bahwa mereka menjadikan Kaisar Yuan Ren Zhan sebagai
obyek sasaran pembunuhan. Belum jelas memang. Tapi kalau
benar, maka hampir dapat dipastikan bahwa mereka adalah
orang-orang suruhan mantan jenderal Yuan, Shan-Yu!"
243 "Jadi, apa yang mesti kita lakukan untuk mencegah rencana
busuk pihak Han, Jenderal Gau?!"
"Itulah yang merisaukan saya saat ini! Makanya, saya harap
Asisten Fa Mulan dapat hadir sebelum acara Festival Barongsai
dimulai. Mungkin dengan kehadirannya, pihak Han ragu
melaksanakan rencananya tersebut."
Bao Ling mengangguk-angguk.
Ia mafhum atas ketenaran nama Fa Mulan yang tiba-tiba melejit
sejak aksinya yang terbilang heroik di Tung Shao. Kini semua
mata seolah tertuju kepada gadis yang baru berusia belasan itu.
Kecerdikan dan ketangkasan Fa Mulan menjadi buah bibir
semua atase militer dan jenderal di Ibukota Da-du. Ia bahkan
jauh melampaui kapabilitas beberapa petinggi militer Yuan,
termasuk Kapten Shang Weng yang sudah lama mengabdi dan
memimpin di Kamp Utara. Tetapi perempuan yang terlahir sebagai anak tunggal di
keluarga Fa itu memang bukan gadis biasa. Anugerah cerlang
segemerlap bintang-bintang di belahan timur langit seperti
menaunginya. Menyertai langkahnya yang terseok oleh sarat
beban pranata. Kegigihannya sebagai prajurit paling sejati di
antara prajurit Tionggoan telah menyibak sampur kelabu yang
dinaungi bagi kaumnya turun-temurun.
Tak sadar Bao Ling tersenyum.
244 Fa Mulan adalah Magnolia. Ia seolah mewakili satu koloni yang
dianggap lemah, dan hanya terlahir serta hadir sebagai penghias
dunia yang telah dihuni oleh laki-laki. Kadang-kadang kalimatnya
seperti racau kala menyuarakan kegelisahan batinnya.
Idealisme perempuan! Hah, sesuatu yang perlu ia bangun seribu tahun lamanya lagi!
batinnya. "Tapi, apakah Asisten Fa Mulan bersedia menghadiri acara
Festival Barongsai itu, Jenderal Gau?" tanya Bao Ling ragu,
lebih terdengar kepada dirinya sendiri ketimbang sebuah kalimat
tanya untuk lawan bicaranya. "Bukankah Asisten Fa Mulan
pernah menolak undangan yang pernah saya sampaikan
kepadanya sebulan lalu?"
Ia ingat bagaimana penolakan Fa Mulan terhadap undangan
atas nama Kaisar Yuan Ren Zhan sekalipun! Ia masih ingat
bagaimana bersikukuhnya gadis itu terhadap prinsipnya yang
keras. Dan mengatakan Festival Barongsai yang
diselenggarakan Sang Kaisar itu merupakan euforia yang
sepatutnya tidak pantas dilakukan pada saat situasi dan kondisi
negara masih labil. "Bujuk kembali Asisten Fa Mulan agar mau hadir dalam acara
Festival Barongsai itu."
"Maaf, Jenderal Gau! Tapi saya skeptis dalam hal ini. Asisten Fa
245 secara tegas telah menolak menghadiri acara tersebut. Berkalikali saya membujuknya, tapi dia berasumsi kalau kehadirannya
tidaklah lebih penting dibandingkan tetap waspada menjaga
daerah perbatasan di pos pengawasan Tembok Besar. Lagipula,
Kapten Shang Weng masih dalam tahap proses penyembuhan
luka lamanya. Jadi, Asisten Fa belum dapat mendelegasikan
tugasnya kembali kepada Kapten Shang Weng."
"Bagaimana mungkin dia menolak menghadiri acara atas nama
Kaisar Yuan Ren Zhan?!"
"Tapi...." "Katakan ini perintah!"
Jenderal Gau Ming tampak emosional.
Amarahnya masih belum surut saat mendengar Zhung Pao Ling
mengabarinya perihal penyusupan jasus Han itu. Kalimatnya
mengguntur tanpa sadar. Namun selekas mungkin dihelanya
napas panjang untuk menetralisir emosinya yang meletup
dengan basuhan partikel udara yang sedikit mendinginkan
dinding paru-parunya. Bao Ling kembali mengatupkan kedua belah tangannya ke
depan membentuk hormat. "Baik, Jenderal Gau. Saya akan menyampaikan amanat Anda
sesegera mungkin." "Tolong katakan kepadanya, kehadirannya sangat dibutuhkan
246 oleh Istana Da-du. Dia adalah simbol keberhasilan armada
perang kita. Adalah penghormatan besar apabila Asisten Fa
Mulan dapat hadir dalam acara Festival Barongsai nanti."
"Akan saya sampaikan, Jenderal Gau."
"Terima kasih. Nah, berangkatlah. Dan juga tolong katakan
kepadanya, undangan ini atas nama Kaisar Yuan Ren Zhan."
"Baik, Jenderal Gau."
Tak berapa lama setelah berada di luar ruang strategi militer,
tampaklah seekor kuda melesat bagai anak panah membelah
udara senja keluar dari Ibukota Da-du. Bao Ling kembali
mendapat amanat yang tak kalah kurang pentingnya.
Atas nama Kaisar Yuan Ren Zhan ia mesti dapat mengajak
gadis itu ke Istana Da-du!
Apa pun yang terjadi! Bab 24 Langit samar berkata lewat awan-awan sebagai penyerunya
dan seribu unggas yang migran
"Datanglah, Magnolia!"
Namun Engkau tak kunjung tiba
terlebih menari di padang lalang
247 lalu rintih itu menyurut diembus angin nan bising Oh, Magnolia jangan biarkan halilintar menggasing
dan membiramakan amarah deraunya
pada desing telingaku Bicaralah di manakah Engkau maharani?
Tionggoan telah terluka - Bao Ling Lagu Magnolia *** Ia dapat merasakan betapa naifnya jiwa dalam kekerdilan ini.
Ratusan pasang mata selaksana mambang mengawasinya dari
renggang dedaunan yang setipis bilah rambut. Setiap saat ia
dapat ditikam dari belakang sampai pangkal pedang musuh
tertancap dan memboyak punggungnya. Keringatnya menitik
seperti bulir padi. Jatuh satu-satu.
Rengsanya menegak kala diresapinya ketakutan itu sebagai hal
yang lumrah. Sisa-sisa kegentaran yang menghinggapinya
seperti mambruk pada dahan rapuh, tergebah oleh satu
kekuatan bermuasal dari naluri kependekarannya. Dipacunya
langkah kuda lebih cepat dari semula. Melewati beberapa
248 rintangan bambu runcing yang dipasang untuk menjebak dan
membinasakannya di tengah hutan.
Sebilah anak panah melesat melewati ceruk dagu dan
tenggorokannya. Lesatan anak panah lainnya datang susul
menyusul ditangkisnya dengan kibasan-kibasan tombaknya
yang berputar serupa propeler.
Ia masih memacu laju kudanya dengan beragam kisah yang
membebani benaknya. Suatu saat nyawa yang mengaliri nadinadi dan urat-urat syarafnya akan tercabut dari raganya.
Dimafhuminya hal itu sebagai konsekuensi tugas moral yang
diembannya kini. Mungkin di hutan ini. Mungkin juga bukan di
hutan ini. Tetapi pada suatu tempat di mana maharana
meranggas seperti padang lalang yang menusuk-nusuk kafilah.
Telah lebih dari seribu kejadian. Ketangkasan hanyalah keahlian
yang dapat meluputkan ia sesaat dari maut. Kepasrahan pada
kematian adalah hal terpenting dalam meringankan batinnya.
Tiga belas mil telah ditempuhnya menjauhi Ibukota Da-du
menuju daerah perbatasan Tionggoan-Mongol di pos
pengawasan Tembok Besar. Satu rintangan telah dilaluinya. Dan
ia sadar akan menghadapi rintangan-rintangan berikutnya.
Nyawanya hanya selembar. Sepantasnya memang diisi dengan
hal-hal yang berguna bagi kemanusiaan. Bukankah itu
merupakan warna terindah bagi kehidupan?
249 Ia tersenyum. Masih memacu kudanya secepat lesatan anak panah. Ia teringat
Fa Mulan yang sebentar lagi akan ditemuinya di pos
pengawasan Tembok Besar. Magnolia itu telah memperindah
serumpun lalang dan rumput di tanah yang kerontang. Bukankah
hal tersebut sudah diwujudkan gadis Fa Mulan pada Tionggoan
yang mawai oleh maharana?
Lamunannya buyar oleh sekelebat sosok hitam yang
mengambang di atas kepalanya. Seperti terbang, sosok itu
mengepak-epakkan kakinya serupa sayap kelelawar.
Menyambar dan meliuk sangat dekat sampai-sampai kucirnya
mengibas terkena angin yang mendesau dari arah depan. Sosok
hitam itu seolah kelelawar yang hendak mematuk dengan
sepasang gigi taringnya. Bao Ling mengelak, salto dan berguling-guling ke tanah
menghindari sayatan pedang yang tiba-tiba keluar dari balik
jubah hitam si Penyerang Misterius yang mengganggu
perjalanannya. Kudanya mengikik dan berhenti mendadak tidak
jauh dari tempatnya memijak.
Sosok hitam-hitam tersebut terus mendesaknya saat sepasang
kakinya yang menyepak-nyepak udara tadi menjumput tanah.
Tusukan-tusukan pedangnya yang mengilap dan terpantul sinar
jingga rembang petang masih meliuk-liukkan badan obyek
250 sasarannya seperti trenggiling.
Bao Ling bangkit berdiri dengan satu gerakan memutar setelah
memantulkan kakinya ke sebatang bambu. Setelah sigap berdiri,
ia mengangkat dirinya dengan gaya terbalik menghindari
tusukan bertenaga pedang musuh. Tubuhnya melayang
ditopang sebilah tombaknya yang bertumpu vertikal di tanah.
Kini ia sudah berada di atas kepala musuh dengan tubuh
terbalik. Di atas ia lebih leluasa melancarkan balasan. Dan kepala musuh
menjadi titik terbaik untuk pelumpuhan. Sejurus saat masih
mengambang di udara, Bao Ling melancarkan satu totokan jari
telunjuk untuk mengikat mati simpul syaraf tepat di ujung ubunubun penyerang misterius tersebut. Namun seperti sudah
mengetahui niat lawannya, sosok berpakaian hitam-hitam itu
menangkis jari telunjuk Bao Ling dengan kepitan jari telunjuk dan
jari tengahnya. Seperti sepasang sumpit bambu yang mengapit
erat sebatang sosis. Menyadari kegagalan serangannya yang mematikan itu, Bao
Ling pun sesegera mungkin melancarkan tendangan bertubi-tubi


Mulan Ksatria Putri Tionggoan Karya Effendi Wongso di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke wajah lawannya ketika tubuhnya memutar normal. Jari
telunjuknya terlepas dari kepitan jemari lawan yang sekeras
kepit kepiting karena konsentrasi sang lawan yang terburai saat
menghindari tendangan sekuat sepak kudanya.
251 Si penyerang misterius itu sedikit terdesak oleh serangan Bao
Ling yang akurat dan bertubi-tubi. Namun rupanya ia bukan
orang berilmu beladiri rendah. Buktinya tendangan cangkul dari
Prajurit Kurir Yuan itu yang biasanya ampuh menyepak titik
sasaran dahi dengan tepat dapat dihindarinya dengan satu
kelitan badan seluwes walet.
Seperti menyadari beberapa falsafah silat yang pernah
dipelajarinya bahwa, salah satu pertahanan terbaik ada dalam
bentuk penyerangan, maka Bao Ling pun tak mengendurkan
serangan-serangannya yang keras dan bertenaga. Tubuhnya
yang tinggi dan jangkung memang senantiasa mendistribusikan
energi potensial, sehingga lawan-lawan yang kerap dihadapinya
kewalahan menahan pukulan-pukulan dari arah atas ke bawah.
Dan biasanya setelah melewati serangkaian jurus yang
memakan waktu cukup lama, maka tenaga lawan yang hanya
dapat menangkis dan menangkis akan terkuras dengan cepat.
Tetapi meski agak terdesak mundur, sosok berbalut jubah hitam
dengan sampur gelap senada yang menutupi kepalanya itu tetap
menyimpan marabahaya. Dan sesekali menyulitkan Bao Ling
dengan tohokan-tohokan pedang bajanya yang tajam. Beberapa
saat terdengar dentingan mata tombak dan ujung pedang yang
beradu. Nada dentingan benda logam itu diikuti oleh
merebaknya dedaunan kerontang di radius pertempuran. Sesaat
252 laga dua pendekar itu masih berimbang.
"Siapa kamu?!" teriak Bao Ling sebagai upaya taktik memecah
konsentrasi musuhnya. "Tidak perlu kamu tahu sebab ajalmu sudah di ujung pedang
saya," balas si Penyerang Misterius itu.
Bao Ling tidak terpancing mendengar kalimat satir musuhnya. Ia
masih berkonsentrasi mengoyak pertahanan lawan dengan
menusuk-nusuk tombak ke bagian vital badan lawan. Si
Penyerang Misterius itu masih menangkis dengan mengibasibaskan pedangnya serupa propeler.
"Oya?" umpat Bao Ling, balas memancing amarah lawannya
saat senjata mereka saling menyilang di udara. Pergerakan
mereka menjeda. Saling tatap dengan mata mawas dan
menantang. "Kalau begitu, keluarkan semua kekuatanmu!" lanjut
Bao Ling saat senjata mereka kembali berdenting-denting di
udara, dan sesekali mendesing-desing di dekat kepala masingmasing.
"Nah, bersiap-siaplah untuk mati!" teriak si Penyerang Misterius
itu sembari balik menyerang dengan sepenuh tenaga sampai
urat-urat di sekujur lehernya tampak menegang. "Awas!
Rasakan pedang ini!"
"Baik kalau kamu tetap bersikeras untuk membunuh saya. Saya
akan ladeni." 253 "Jangan banyak bicara, Keparat!"
"Silakan. Tunjukkan seluruh kemampuan silat yang kamu miliki!"
"Kurang ajar!" "Ayo!" "Mampus kamu!" "Ayo, jangan buang-buang waktu lagi. Saya tidak ingin meladeni
cecunguk seperti kamu. Rasanya terlalu mahal waktu saya untuk
dipakai bertarung dengan pesilat pemula semacam kamu! Masih
ada hal penting yang harus saya kerjakan selain meladeni
manusia pengecut seperti kamu!"
Si Penyerang Misterius itu akhirnya terpancing. Ia kalap.
Menyerang secara membabi-buta dengan mengerahkan seluruh
kemampuannya. "Saya bunuh kamu! Saya bunuh kamu!" teriaknya histeris,
merasa frustasi karena tak satu pun sabetan pedangnya
mengenai tubuh lawannya. "Ayo, cepat! Saya tidak punya banyak waktu lagi untuk melayani
orang pongah seperti kamu!"
"Awas kamu! Saya bunuh kamu!"
Bao Ling masih bersabar dan tidak kesusu menyudahi duelnya.
Ia hanya menggunakan ilmu silat dasar pada awal pertarungan,
bermaksud melumpuhkan dan bukan untuk membunuh
lawannya. Namun si Penyerang Misterius tersebut masih saja
254 berusaha merangsek maju meski terdesak mundur. Musuhnya
itu memang sangat bernafsu menghabisi nyawanya.
Pertarungan kali ini memang menyita banyak waktunya.
Meski tidak memiliki ilmu silat yang tinggi dan istimewa, tetapi si
Bara Dendam Menuntut Balas 5 Kimya Sang Putri Rumi Karya Muriel Maufroy Misteri Di Styles 3

Cari Blog Ini