Ceritasilat Novel Online

Ksatria Putri Tionggoan 7

Mulan Ksatria Putri Tionggoan Karya Effendi Wongso Bagian 7


"Saudara angkat setaklik?" tanya Fa Mulan dengan dahi
mengerut. "Maksud Anda apa, Pendekar Kao?"
"Kisahnya panjang," jawab Kao Ching. "Ya, kisahnya sangat
panjang, kenapa sampai dia memakai nama salah satu suku
502 Han, bahkan berasimilasi dan tinggal di Tionggoan. Bila
berjodoh, kita akan bertemu lagi dan, saya akan menceritakan
kepada Anda detil kisah masa kecil saya dan Auw Yang Kauw
alias Si Putra Matahari itu, Mulan."
Fa Mulan mengangguk. Memang bukan saat yang tepat bila malam ini ia mendengar
kisah silam Kao Ching yang pasti menyimpan banyak kenangan.
Sebab malam ini ia merasa lelah.
Sangat lelah. Bab 41 Cinta adalah pias deru dari bayu yang bercampur debu
ia berembus dari hati manusia
dan melentuk majas dalam rahimnya sendiri
- Kao Ching Elegi Cinta di antara Maharana
*** "Apakah jabatan itu demikian penting bagimu, A Kauw?"
"Penting atau tidak, saya hanya ingin dihormati oleh semua
orang." "Oh, A Kauw...."
503 "Sudahlah, Ibu. Saya hanya tidak ingin dihina. Saya ingin
mengangkat harkat keluarga kita sehingga tak ada satu orang
pun di dunia ini yang dapat melecehkan kita lagi."
"Ibu tidak menginginkan segala kemuliaan yang menjadi majas
dalam benakmu itu! Yang Ibu inginkan hanya satu, yaitu
kebahagiaanmu. Bukan kejayaan, bukan kekayaan. Tapi,
kebahagiaanmu." "Sebelum cita-cita saya terwujud, selamanya saya tidak pernah
akan bahagia." "Apalagi yang kurang, A Kauw?! Bukankah A Ling merupakan
permata yang tak ternilai di dalam keluarga kita?!"
"Jangan menyebut-nyebut nama cucu Ibu untuk menghalangi
niat saya mewujudkan cita-cita saya!"
"Kalau begitu, bagaimana dengan Chang Mei?"
"Perempuan itu pilihan Ibu, bukan pilihan saya. Dan...."
"Ya, Dewata! Kamu sudah keterlaluan, A Kauw! Biar
bagaimanapun, dia adalah istrimu."
"Dia istri sekaligus penghalang langkah saya yang Ibu sodorkan
kepada saya!" "Ti-tidak benar...."
"Saya harus pergi!"
Pemuda itu menggabruk sepasang daun pintu sehingga
terpelanting dan ruyak. Gubuk yang menaunginya belasan tahun
504 sungguh tak layak lagi. Ia bersumpah untuk berjuang
memperbaiki derajat kehidupan mereka.
"Nak, jangan pergi!"
"Saya harus pergi!"
"Ambisi akan menghancurkanmu, A Kauw!"
"Saya sudah tidak tahan hidup menderita, Ibu!"
"Bersabarlah, A Kauw. Tidak selamanya kita hidup menderita
begini." "Sampai kapan kita harus bersabar?!"
"Ta-tapi...." "Kenapa Ibu selalu melarang saya?! Kenapa Ibu selalu
memasung langkah saya?! Kenapa?!"
"Ibu tidak memasungmu, A Kauw. Ibu hanya tidak ingin kamu
dihancurkan oleh ambisi dan emosi yang meledak-ledak begitu.
Lihat, apa yang telah kamu korbankan demi cita-cita naifmu."
"Saya tidak naif! Saya hanya ingin memperoleh apa yang
seharusnya menjadi hak kita! Oh, sungguh bedebah keadaan
yang telah mengombang-ambingkan kita ke dalam penderitaan
ini!" "Bukan keadaan yang salah! bukan takdir yang salah! Tidak ada
yang salah. Hanya saja kamulah yang telah dibahang ambisi."
"Maaf, saya harus pergi!"
Seketika itu pemuda tersebut meninggalkan kampung
505 halamannya. Tak ada yang dapat menghentikan niatnya
menyongsong cita-cita setinggi langit. Tak jua tangisan bayinya
yang masih memerah. Juga jeritan pilu perempuan muda yang
telah setia menyertainya selama ini.
"Nak, belajarlah kepada kesederhanaan Kao Ching!"
Kao Ching?! Kepala pemuda bertubuh jangkung itu serasa meledak.
Sepasang gerahamnya mengatup. Kenapa semua orang
membangga-banggakan saudara setakliknya itu?!
Demi langit dan bumi, ia bersumpah untuk dapat menjadi orang
paling terpandang di Tionggoan!
Bab 42 Angin menjemput rani di gerbang tua
kala mahardika termenung dan sendiri
di antara tubir bingkai jendela
dan pada kelopak daun pintu
yang menderit dan menggerus parau karena lapuk
Sungguh, seketika itu tak terdengar lagi
sebentuk nada pondik Istana, Istana telah terbakar
baunya yang kobong menyeruak sampai di sini
506 di manakah engkau para rani
akan hilangkah segala sekar wangi dan rupa rupawan?
Masa hanya mengendus kematian tanpa tangis dan makam tanpa nisan lewat cupu hidungnya yang telah mengaroma making
- Bao Ling Makam Tanpa Nisan *** Setelah memata-matai barak Mongol, Fa Mulan kembali ke pos
pengawasan Tembok Besar. Ia menyampaikan kebenaran berita
buruk rencana penyerangan pasukan Mongol ke Tionggoan itu
kepada Shang Weng yang, sudah bersiaga dengan kekuatan
penuh. Armada perang Yuan telah membentengi Tembok Besar,
yang merupakan salah satu jalan masuk utama ke Ibukota Dadu.
Sementara itu Kao Ching melarikan diri dari barak Mongol, dan
ia kembali ke Kiangsu menemani ibu kandungnya. Ia mengambil
keputusan yang kontroversial sesaat sebelum armada perang
Mongolia menyerang Tionggoan. Ia mengundurkan diri dari
kemiliteran Mongolia setelah menolak melibatkan diri dan
memimpin dalam penyerangan besar-besaran pasukan Mongol
507 ke Tionggoan. Ia pun memutuskan hubungan dengan ayah
angkatnya - Genghis Khan - untuk selama-lamanya. Dan sejak
saat itu Fa Mulan tidak pernah bertemu dengan pemuda
berdarah Han-Mongol itu lagi.
Festival Barongsai yang akan diselenggarakan oleh Kaisar Yuan
Ren Zhan di Ibukota Da-du urung terlaksana. Penyerangan
besar-besaran pasukan Mongol di daerah perbatasan Tembok
Besar telah membatalkan acara yang, semula bakal
dilaksanakan untuk merayakan kemenangan Yuan atas pasukan
pemberontak Han. Prajurit Yuan pimpinan Shang Weng dan Fa Mulan tidak
sanggup membendung armada perang berkuda Mongol. Divisi
Kavaleri Fo Liong yang semula ampuh melumpuhkan pasukan
pemberontak Han di daerah perbatasan Tembok Besar dulu
dapat ditaklukkan oleh kaum nomad Mongol tersebut dengan
pasukan berpanahnya. Shang Weng dan Fa Mulan serta beberapa ribu prajurit Yuan
yang masih selamat melarikan diri ke Kiangsu, daerah terdekat
yang masih dapat mereka capai untuk bersembunyi. Di sana
mereka menyusun siasat pembalasan dan pengusiran pasukan
Mongol yang sudah menguasai dusun-dusun kecil di Tionggoan.
Setelah itu mereka semua perlahan kembali ke Kamp Utara di
Tung Shao. Bergabung dengan beberapa ribu pasukan
508 cadangan dari dua divisi militer. Divisi Infanteri dan Divisi
Kavaleri Danuh yang masih solid.
Di Ibukota Da-du, Kaisar Yuan Ren Zhan sudah terkepung oleh
beberapa ratus jasus handal Han pimpinan Jenderal Shan-Yu,
dan ratusan anggota klan Perkumpulan Naga Muda pimpinan Ta
Yun yang, mengail di air keruh. Mereka menyerang pada saat
konsentrasi para atase militer Yuan terpusat ke daerah-daerah
perbatasan dan pos pengawasan Tembok Besar sehingga cuai
dengan pengamanan Sang Kaisar. Akibatnya, para pemberontak
bahkan berhasil menerobos masuk ke dalam Istana Da-du
setelah membunuh beberapa atase militer Yuan, termasuk
Jenderal Gau Ming dan Perdana Menteri Shu Yong.
Namun upaya pembunuhan Kaisar Yuan Ren Zhan dapat
digagalkan oleh beberapa pengawal handal Istana Da-du. Kaisar
Yuan Ren Zhan lolos dari maut. Ia dilarikan ke Kamp Utara di
Tung Shao. Semua keluarga dan kerabat Istana Da-du beberapa
hari sebelumnya telah melarikan diri ke kediaman Pangeran
Yuan Ren Qing di Istana Kiangsu.
Di Tung Shao, Fa Mulan berupaya keras menghimpun kekuatan
baru dari prajurit-prajurit Yuan yang tersisa. Juga menarik
simpatisan rakyat jelata di dusun-dusun sekitar Kamp Utara
untuk bersatu padu melawan pasukan Mongol yang sudah
menyerbu dan menyerang Tionggoan. Di markas militer Tung
509 Shao itu pula Fa Mulan bekerja keras tanpa lelah menyusun
strategi baru untuk mempertahankan Tionggoan yang sudah
berada di ujung tanduk. "Maaf, makanan untuk Asisten Fa," sahut seorang prajurit yang
membawa nampan berisi makanan untuk Fa Mulan yang tengah
duduk di belakang meja tulisnya di dalam tenda.
Fa Mulan mengangkat muka. Tangannya yang masih
memegang pena kuas mengambang di udara. Manuskrip
strategi perang yang ditulisnya berhenti pada lajur gigir.
"Terima kasih. Taruh di atas meja makan."
"Siap, Asisten Fa."
"Eit, tunggu. Makanan apa-apa saja hari ini?"
"Selain nasi, ada sayur asin dan daging burung dara yang hanya
khusus disuguhkan kepada Asisten Fa dan Kapten Shang."
"Kalian sendiri makan apa hari ini?"
"Kami hanya makan nasi jagung."
"Kalau begitu, ganti makanan saya itu dengan nasi jagung!"
"Ta-tapi...." "Ini perintah! Saya hanya ingin makan kalau makanan yang
disuguhkan kepada saya sama dengan yang kalian makan hari
ini." "Ta-tapi, Asisten Fa...."
"Cepat ganti! Bagikan makanan yang agak lezat ini kepada
510 prajurit-prajurit yang sakit dan terluka parah."
"Siap, Asisten Fa."
Bab 43 Hwasan antara sekar bunga
dan papa dunia adakah yang lebih indah dan buruk darinya? - Oey Young Elegi Pengemis *** Gadis itu sudah mendengar berita buruk yang terjadi di Ibukota
Da-du. Meski pulau yang didiaminya terpencil dari segala kisruh,
namun tak urung kabar miris itu sampai juga ke telinganya.
Kehidupan penduduk dusun di Pulau Bunga yang tenang
tenteram tampaknya sudah mulai terusik.
Namun, ia tidak peduli. Dunianya masih penuh dengan bunga.
"A Young...." Gadis itu menoleh, sejenak mengalihkan pandangannya dari
indah warni bunga. Ada suara sember yang menyita
perhatiannya dari ritualitas pagi. Tarian serumpun bambu oleh
embus sejuk angin. Pucuk dedaunan yang-liu yang basah oleh
embun. Serta kicau pipit serupa senandung penyingsing malam.
511 "Ada apa, Pek Thong?"
"Hihihi." Pertanyaan gadis berbola mata bagus itu disambut dengan
cekikikan. Giginya yang nyaris ompong terkuak lewat bibirnya
yang ringsing - satu gambaran nyata tentang fisik yang telah
termakan usia. "Kenapa tertawa?" Oey Young bertanya, lebih sekedar
menanggapi kehadiran orangtua yang masih bersifat kekanakkanakan itu ketimbang rasa penasarannya atas sikap anehnya.
"Saya suka dengan keadaan kisruh di Ibukota Da-du."
Oey Young sontak tersenyum. Dilemparkannya sebatang perdu
liar yang sedari tadi digenggamnya. "Kenapa bisa begitu?"
Chie Pek Thong melonjak riang, bertepuk-tepuk tangan. "Yah,
karena saya senang saja."
Oey Young menggeleng-geleng. "Kamu memang aneh, Phek
Thong." "Memangnya kenapa?" sanggah orangtua berbadan gemuk itu
dengan dahi mengerut. "Memangnya salah apa?"
"Tidak ada yang salah."
"Lalu...." "Masalahnya, Tionggoan dalam bahaya."
"Peduli amat," cibir Chie Phek Thong, mengibaskan tangannya.
"Memangnya kamu juga peduli?"
512 Oey Young kini terbahak. "Memangnya apa pedulimu terhadap
saya?" Orangtua berambut perak itu kembali melonjak, bertepuk-tepuk
tangan. "Nah, sama, bukan?"
"Maksudmu?" "Sekarang, apa korelasi Tionggoan terhadap kita kalau kita
peduli?" "Yah, paling tidak kita ikut prihatin atas penyerbuan Mongol ke
Ibukota Da-du." "Peduli amat!" "Kamu tidak nasionalis, Phek Thong."


Mulan Ksatria Putri Tionggoan Karya Effendi Wongso di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lha, kamu sendiri bagaimana?!"
"Saya...." "Hihihi...." "Apanya yang lucu?"
"Tidak ada yang lucu, sebenarnya."
"Lalu...." Chie Phek Thong bukannya menjawab, ia malah menguap lebar
seolah acuh tak acuh. "Huaaap."
Oey Young tersenyum melihat tingkah bocah orangtua tersebut.
Lalu, seperti turut bertindak apatis, ia pun tak mencecar jawaban
dari mulut sahabat tuanya itu. Diedarkannya matanya ke
serumpun bambu yang bergeletar lembut ditiup angin. Sesekali
513 memejamkan matanya menikmati semilir angin yang membelai
dingin tengkuknya. "Peduli amat mereka bunuh-bunuhan. Peduli amat apa yang
akan mereka lakukan. Perang atau tidak, pejabat tinggi negara
tetap sama saja." "Tetap sama bagaimana?" tanya Oey Young datar, tak
bermaksud untuk ditanggapi. Tangannya berusaha menjangkau
setangkai yang-liu di sampingnya, yang telah bermekaran
seperti kupu-kupu bersayap merah jambu.
Chie Pek Thong membeliak-beliakkan dan membolakan
matanya. "Tetap sama maksud saya adalah, mereka tetap
diperbudak oleh harta dan kekuasaan."
Oey Young terbahak spontan.
Chie Phek Thong mengernyitkan dahi. "Kenapa tertawa?"
"Saya sama sekali tidak menyangka kalau seorang Chie Phek
Thong bisa seposesif begitu menanggapi aktualisasi yang terjadi
di Istana," urai Oey Young setelah menyurutkan tawanya.
"Kenyataannya...."
"Kenyataannya memang begitu, bukan? Pejabat dan petinggi
negara semuanya sama saja. Mereka tidak ada bedanya dengan
tikus. Setiap hari mereka menggorogoti padi di lumbung rakyat.
Bukankah itu yang melatarbelakangi sikap antipatimu, Pek
Thong?" 514 "Nah, kalau begitu, untuk apa kita harus peduli?!"
"Sebaga rakyat Tionggon, bukankah merupakan kewajiban kita
untuk mempertahankan kedaulatan negara dari serbuan bangsa
asing?" "Mempertahankan kedaulatan negara kamu bilang?! Hei,
bukannya saya apatis di saat negara di ambang kehancuran,
tapi saya lebih melihat kalau Tionggoan memang sudah tidak
dapat diselamatkan lagi. Kamu pikir para pejabat dan petinggi
Istana peduli terhadap kondisi chaos negara? Huh, jangankan
berkorban, peduli saja mereka ogah. Paling juga mereka sudah
kabur memboyong harta-benda mereka sebelum agresor
menduduki Istana Da-du. Eit, lupa. Sekaligus memboyong selirselir mereka!"
"Justru karena itulah diperlukan kepedulian orang-orang seperti
kita, Phek Thong." "Seribu tahun pun Tionggoan akan selamanya kelam."
"Kamu pesimistis, Phek Thong. Harus siapa lagi kalau bukan kita
yang berandil menyelamatkan Tionggoan?"
Chie Phek Thong kembali menguap. "Sudah, sudah. Aku jadi
mengantuk membahas persoalan negara. Biarkan saja mereka
memetik buah dari hasil batil yang mereka tanam di masa lalu."
"Hei, jangan nirapologis begitu. Toh, rakyat jugalah yang akan
menderita bila pasukan besar Mongolia menguasai Tionggoan."
515 Chie Pek Thong terkikik. "Siapa suruh...."
"Kamu memang terlalu kekanak-kanakan, Phek Thong!"
"Bukannya begitu, A Young. Tapi, saya sudah muak melihat
tingkah laku apostasi petinggi dan pejabat Istana yang tiran dan
korup. Itu hukuman bagi mereka!"
"Menghujat para pejabat dan petinggi Istana tanpa apologis tidak
ada gunanya sementara stabilitas Tionggoan sudah berada di
ujung tanduk." "Kalau begitu, kamu saja yang jadi pejabat di Istana
menggantikan mereka. Saya ingin lihat, apa kamu bisa
menjalankan roda pemerintahan kita yang sudah semberawut, A
Young! Apa kamu bisa menyelamatkan Tionggoan?!"
"Hei, kamu pikir gampang menjadi pejabat Istana?"
"Saya tidak berpikir begitu. Hanya, saya ingin tegaskan kepada
kamu kalau memimpin itu jauh lebih sulit daripada memerintah."
"Memang begitu, Phek Thong. Jika seseorang telah menduduki
takhta tertinggi, biasanya ia akan lupa dengan apa yang telah
dicanang-canangkannya dahulu."
"Apa misalnya?"
"Membela rakyat kecil. Menyejahterakan rakyat dan negara.
Mengutamakan kepentingan umum ketimbang kepentingan
pribadi masing-masing penguasa."
"Tapi yang terjadi saat mereka telah berada di pucuk kekuasaan
516 adalah sebaliknya, A Young."
"Justru itulah. Mereka tidak dapat berpikir rasional lagi karena
dibuai oleh kekuasaan. Gemerlap harta telah membutakan
nurani mereka sehingga apa yang menjadi landasan dan citacita semula - kesejahteraan rakyat - akan jauh dari harapan.
Mereka tidak lagi memimpin, tapi memerintah. Bukankah hal itu
disebut ingkar janji?"
"Makanya...." "Makanya itu dalih kamu bersikap apatis, bukan?"
"Alasannya memang begitu. Tapi, meski seapatis
bagaimanapun, saya tetap prihatin juga terhadap nasib bangsa
kita yang caruk-maruk ini."
"Berarti, kamu masih memiliki nurani."
"Tidak juga. Tapi, boleh dibilang kalau saya peduli terhadap
nasib bangsa kita ini, itu lantaran saya iba terhadap Kaypang."
"Kaypang?!" Kaypang?! Oey Young terperangah. Ia paham betul nasib
sekelompok masyarakat marjinal yang membentuk komunitas di
Ibukota Da-du tersebut. Kemiskinan merupakan predikat yang
membedakan mereka dari Tionggoan. Mereka terbuang dan
tersisih. "Sejak Khung Lung meninggal setahun lalu, praktis tidak ada lagi
yang memimpin Kaypang. Komunitas marjinal tersebut tercerai517
berai. Mereka semakin melarat dan menderita."
Oey Young menarik napas panjang. Sejenak direnunginya
kalimat Chie Phek Thong. Khung Lung identik dengan suara
rakyat. Selama puluhan tahun ia telah memimpin sekelompok
masyarakat miskin dengan penuh toleransi. Afeksinya terhadap
nasib sebagian orang yang bernasib kurang beruntung telah
memaksa raganya meninggalkan segala keningratan. Ia keluar
dari Istana, membaur dan hidup papa selama akhir hayatnya.
Kaypang, sebuah komunitas bagi orang-orang yang terbuang
merupakan belahan jiwanya. Ia hidup dan mati demi rakyat kecil.
"Khung Lung...."
Oey Young kembali menghela napas. Kalimat tak rampung Chie
Phek Thong seolah mempertegas paparan lembar suram Istana
di benaknya. Korupsi yang merajalela, peneguhan kekuasaan
dengan tumbal nyawa rakyat yang tak berdosa, serta seribu satu
macam problema bangsa lainnya. Hatinya tertohok. Sungguh
sebuah kesalahan besar telah berpaling dari kenyataan pahit itu.
Dan sungguh merupakan dosa tak terampuni lari dari semua
luka bangsa tersebut. Sekian belas tahun, ia tak mengindahkan semua kejadian miris
yang melanda Istana. Diasingkannya dirinya dari pikuk masalah.
Ia lari dari kenyataan. Meninggalkan Istana Ching. Meninggalkan
kedua orangtuanya. Sampai kalimat gurau Chie Phek Thong
518 menyadarkannya untuk kembali. Kembali memikirkan masalah
besar yang tengah dihadapi bangsa.
"Khung Lung adalah tokoh panutan dan paternalistik. Ia adalah
pahlawan rakyat kecil. Kita bukan apa-apa dibandingkan dengan
dia," lanjut Chie Phek Thong.
"Tentu, tentu," angguk Oey Young mengakuri, berusaha
mengatasi keterperangahannya akibat kalimat-kalimat Chie
Phek Thong barusan. "Kita memang bukan apa-apa
dibandingkan dengan tokoh masyarakat marjinal itu."
"Ah, sudahlah, Oey Young," Chie Phek Thong mengibaskan
tangannya dengan sikap apatis. "Saya mengantuk. Huaaap!"
Lalu, lekaki tua bertubuh tambun itu melesat secepat angin.
Meninggalkan Oey Young yang masih menyendiri. Terpekur
meresapi setiap kalimat bersirat kebajikan. Dan selang
berikutnya, Oey Young sudah berada di lintas kenangan silam.
Ia terseret jauh ke belakang. Mengenang setiap jengkal lapak
masa, sisik-melik kemanusiaan yang suram, yang telah
ditorehkan oleh Istana. Bab 44 Jangan menangis dara sebab lara telah reda biarlah bulir airmata 519 menjadi permata mengilau mengaura dalam setiap lafaz napasmu - Oey Young Senandung untuk para Papa
*** "Nama kamu siapa?"
Gadis kecil itu menggeleng. Rambutnya yang masai tersibak
mengikuti arah goyangan lemah pada lehernya. Lalu ia
menunduk seperti biasa. Tak berani bersirobok mata.
"Saya tidak memiliki nama, Puan," jawabnya datar.
Perempuan muda itu membeliakkan mata. "Seseorang harus
memiliki nama." "Tapi, sungguh, saya tidak punya nama."
"Aneh." "Maaf...." "Ya, sudahlah. Kalau kamu tidak ingin menyebut nama, toh saya
tidak bisa memaksa."
"Tapi...." "Tidak apa-apa."
"Ta-tapi...." 520 "Tidak apa-apa. Saya tidak akan marah. Kalau sudah siap nanti,
kamu pasti akan menyebutkan nama kamu sendiri."
Perempuan itu tersenyum. Menegakkan badannya setelah
membungkuk menyejajari tinggi sepinggang anak perempuan
yang ditemuinya barusan di gerbang Istana. Lantas
dibimbingnya bocah perempuan jalan sembilan itu ke ruang
dalam Istana. Namun gadis cilik itu menghentikan langkahnya. "Maaf, Puan...."
"Ada apa?" "Saya tidak pantas...."
"Pantas atau tidak, sayalah yang berhak menentukan. Bukan
orang lain. Bukan para dayang Istana. Bukan pula para kasim
Istana. Jadi, kamu tidak perlu khawatir."
"Tapi...." "Ikutlah. Kamu tidak akan diapa-apakan. Hei, kamu sudah tiga
hari tidak makan, bukan?"
"I-iya. Tapi...."
"Jangan takut."
"Bu-bukan begitu...."
Namun perempuan bertubuh lampai itu tetap memaksa,
menyeret setengah memaksa bocah cilik berbaju kumal
tersebut. Langkahnya yang tertahan diikuti oleh empat orang
dayang istana yang sedari tadi setia mengikuti majikannya.
521 "Orangtua kamu di mana?"
"Saya tidak memiliki orangtua, Puan."
Perempuan muda yang dipanggil dengan 'Puan' itu
menghentikan langkahnya. Ia kembali membungkuk setengah
badan, bersihadap dengan gadis cilik tanpa nama yang
ditemuinya lusuh di gerbang istana tadi. Kemudian ditatapnya
lamat gadis kecil yang tengah dituntunnya itu dengan dahi
mengerinyit. Seolah dapat membaca jalan pikiran perempuan berhati emas
itu, gadis cilik itu lekas-lekas menyahut menegaskan.
"Betul, Puan, saya tidak memiliki orangtua. Saya tidak bohong.
Sedari kecil, saya tidak pernah sekalipun melihat wajah kedua
orangtua saya." Perempuan aristokrat itu tersenyum geli melihat bocah dekil itu
kegugupan. "Siapa bilang kamu bohong? Saya percaya, saya percaya.
Tapi...." "Tapi apa, Puan?"
"Seperti juga nama, seseorang harus memiliki orangtua."
"Tapi...." "Ya, sudah. Mungkin kamu enggan menyebutkan nama kedua
orangtua kamu." "Ta-tapi, saya memang...."
522 "Ya, sudah. Segera makan. Nanti kamu bisa sakit. Berdebat
lama-lama tidak ada gunanya. Yang penting, perut kamu harus
diisi dulu." Gadis cilik itu manggut. Tidak membantah lagi. Dilihatnya
perempuan muda puak terpandang itu mengibaskan tangannya
mengaba supaya dayang-dayangnya segera menyiapkan
makanan. Perutnya semakin keroncongan.
"Tidak keberatan kalau kamu saya panggil dengan nama Oey
Young?" Gadis cilik itu mengerinyit. "Oey Young?!"
"Ya. Oey Young."
"Artinya apa, Puan?"
"Teratai yang Indah."
"Teratai yang Indah?!"
"Kenapa? Tidak suka?"
"Bu-bukan begitu...."
"Lalu, apa?" "Saya tidak cantik, Puan. Saya tidak pantas menyandang nama
sedemikian indahnya."
"Siapa bilang begitu?"
"Kenyataannya...."
"Di manapun ia tumbuh, Teratai tetap akan indah. Sekalipun
Teratai tumbuh di tengah kolam berlumpur."
523 "Sa-saya...."

Mulan Ksatria Putri Tionggoan Karya Effendi Wongso di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudahlah, Oey Young. Makanlah. Nanti kamu bisa jatuh sakit."
"Te-terima kasih, Puan!"
"Nah, begitu baru yang namanya anak manis."
Gadis cilik itu tersenyum. Dari sanalah hidup barunya berawal,
dan merangkai kenangan yang mengiang sepanjang masa
hidupnya.... Bab 45 Dentam rebana mengiramai ritme gelinjang
kaki mungil para jelita Mongku
Ada wajah riang dan tubuh ramping berkulit halus sewarna tembaga
meliuk-liuk liar serupa kobra
mengitari unggun yang tiap sebentar
melelatu indah serupa Fo Liong
Gadis-gadis berhidung bangir tersenyum
sungguh, sungguh tak menyadari
perana yang mendesis serupa pematuk berbisa di Gobi
- Kao Ching Tarian Dara Mongku 524 *** 1208, Ulan Bator - Mongolia
Kao Niang menatap bayi yang tengah digendongnya dengan
rupa baur. Airmatanya menitik tiap sebentar. Rambun seharian
baru saja membawa kawat buruk. Orang yang dikasihinya,
tumpuan segala harapan telah pergi untuk selama-lamanya.
Hamdan Nai-Ramdak terbantai dalam sebuah insiden berdarah
di Ulan Bator. Perang saudara yang melanda Mongolia telah merenggut nyawa
suaminya sebagai korban kebiadaban zaman. Meski gagal
menggulingkan kekuasaan Temujin menjadi Khan Agung dalam
sebuah kudeta di tanah gurun, namun Bughut Orchibat - jenderal
pembangkang - telah membinasakan banyak prajurit Temujin,
juga rakyat tak berdosa. Hatinya meradang. Rambun semakin menyiksanya. Menggigit luar biasa dengan
dinginnya yang dingin. Sementara bayi belum bernama dalam
pelukannya itu terus menangis. Seolah-olah tahu kabar buruk
yang dibawa oleh seorang peternak kuda tua kepada ibunya.
"Kao Niang...."
Ada suara paruh tangis yang menggema di belakangnya. Ia
menoleh setelah membalik badan. Daun tenda tersibak, partikel
salju berhamburan masuk menyertai Layla Khubilai yang
525 berjalan tergopoh setengah berlari ke hadapannya. Ia tampak
menggendong bayi. Persis seusia bayi yang tengah
digendongnya. "Layla...." "Abadur...." Kao Niang menggumam. Ia sudah tahu kalimat apa yang hendak
disampaikan oleh sahabatnya itu. Airmatanya kembali menitik.
"Saya prihatin," desisnya.
Layla Khubilai bertanya pelan. "Kamu sudah tahu?!"
Anggukan getasnya menjawabi.
Dibelainya rambut tipis bayinya yang masih memerah.
Dirapatkannya selimut beledu kulit rusa yang membebat tubuh
mungil itu yang kini telah tertidur. Perempuan yang tengah
terkapar dalam luka di hadapannya tengah menggigit bibir.
Keras. Sampai nyaris berdarah.
"Hamdan...." "Dia juga tewas di tangan pasukan pemberontak pimpinan
Jenderal Bughut Orchibat, Layla!"
"Ke-kenapa...."
"Seperti juga suamimu Abadur, Hamdan suami saya pun
merupakan korban perang. Biarlah Dewata yang menghukum
pembunuh-pembunuh kejam itu, Layla!"
"Sa-saya...." 526 "Mungkin peristiwa tragis yang menimpa kita berdua ini
merupakan takdir langit. Kita tidak boleh berkubang terusmenerus dalam kesedihan, Layla. Bayi kita masih memerlukan
perhatian kita!" "Tapi...." "Besarkan bayi-bayi kita ini. Semoga mereka nantinya dapat
menjadi pahlawan kebenaran bagi Mongolia."
"Tapi kita tidak memiliki siapa-siapa lagi, Kao Niang!"
"Kita harus mandiri!"
"Mana bisa...."
"Layla, kalau sudah cukup besar, bayi-bayi ini dapat kita titipkan
kepada Temujin. Beliau adalah pemimpin bijak yang welas asih.
Saya yakin beliau dapat mendidik anak-anak kita dengan baik."
Kepala Layla Khubilai menegak.
Sepasang matanya berbinar riang setelah disaput dukacita
kehilangan orang yang paling dikasihinya. Ia mengangguk.
Sertamerta mengakuri usulan Kao Niang, sahabatnya dari suku
Han bersuamikan Mongol. "Temujin tidak memiliki anak laki-laki," jelas Kao Niang. "Pasti
dengan senang hati beliau akan menerima anak-anak kita!"
"Terima kasih, Dewata nan Agung!" Layla mendongak, seolah
memanjatkan doa syukur ke langit, di balik tenda kulit kempa
lembu. "Tolonglah kami. Biarkan bayi-bayi kami ini dapat hidup
527 layak bersama Temujin!"
Seperti merasakan pijar bahagia sahabatnya itu, Kao Niang
kontan menepuk lembut punggung tangan Layla Khubilai
dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya
menggendong bayinya yang masih terlelap, dan sesekali terlihat
menguap. "Nama bayimu siapa, Kao Niang?"
Kao Niang mengembangkan senyumnya. Obat penawar lara ada
pada wajah polos tanpa dosa bayinya. Tempat menaruh segala
harapan. Karenanya ia memutuskan untuk tetap hidup.
"Kao Ching!" "Kao Ching?!" "Kao yang teguh. Kao adalah marga kami. Sementara Ching
dalam bahasa Han berharafiah teguh. Saya tidak ingin peristiwa
tragis yang merenggut ayahnya menjadi kenangan abadi di
benak saya. Makanya, bayi ini tak saya beri nama marga
Hamdan. Biarlah semua berlalu ditelan sang waktu. Bayi ini saya
beri nama yang berasal dari marga keluarga saya. Kao. Jadi,
bayi ini bernama Kao Ching. Si Teguh Kao."
"Kamu cukup bijak untuk dapat melupakan masalah."
"Yah, hanya itu saja yang dapat saya lakukan."
"Saya salut dengan ketabahan kamu!"
"Saya berusaha sebisa mungkin melupakan semua peristiwa
528 tragis itu. Saya hanya dapat menaruh harapan setinggi-tingginya
kepada Kao Ching." "Saya berniat mengikuti langkahmu!"
"Jadi...." "Bayi ini belum bernama. Setiap menyebut nama Abadur, hati
saya seperti ditusuk pedang. Saya ingin melupakan dia seperti
kamu melupakan Hamdan."
"Kamu beri nama apa bayimu, Layla?"
"Saya belum menemukan nama yang cocok. Yang pasti, saya
tidak ingin menggunakan marga ayahnya."
"Yah, mungkin itu lebih baik. Mongolia memang menyimpan
banyak kenangan buruk di dalam benak kita masing-masing."
"Bagaimana kalau kamu yang menamainya, Kao Niang?"
Kao Niang terkesiap. Terkejut atas permintaan Layla Khubilai. Dalam kalangan suku
Han, permintaan barusan merupakan penghormatan yang tiada
tara. Ia melebarkan bibir. Mengurai senyum bijak.
"Mana boleh begitu, Layla. Nama merupakan roh anak kita.
Tidak boleh dinamai sembarangan. Terlebih-lebih diberikan oleh
sembarang orang. Saya tidak boleh...."
"Tapi, saya tidak ingin bayi saya ini mereplikasi sifat ayahnya.
Dia tidak boleh menjadi prajurit. Saya harus menjauhkan dia dari
bayang kelam Mongolia. Makanya...."
529 "Makanya kamu meminta saya menamainya dengan nama Han,
bukan?" Perempuan berwajah tirus kecoklatan itu mengangguk.
Sepasang mata besarnya masih membasah. Tetapi ia tidak
dirangsa nelangsa lagi. Hatinya sedikit lapang bila mengingat
buah hatinya yang masih tertinggal. Tempat menumbuhkan
segala harapan. "Tolonglah, Kao Niang...."
"Saya tidak bisa, Layla. Bukannya saya tidak mau menolongmu.
Tapi, dalam kultur kami, hal tersebut sangat tabu."
"Ja-jadi...." "Dia tetap Mongol meskipun berganti nama sekalipun, Layla!"
"Tapi...." "Kao Ching lain. Dia masih memiliki darah Han. Kamu tahu...."
"Kao Niang...."
"Bersabarlah, Layla. Mungkin sedikit hari kamu dapat
menemukan nama yang tepat untuk bayimu."
"Tapi, saya...."
"Biarlah bayimu tumbuh secara alamiah, Layla. Nama untuk dia
hanya soal waktu. Melupakan kenangan sepat tidak sertamerta
dapat dilakukan, meski bayimu itu berganti kulit sekalipun."
"Baiklah kalau kamu bersikeras menolak, Kao Niang. Tapi,
paling tidak kamu mengusulkan satu nama untuk bayi saya ini."
530 "Nama Han?" "Tentu saja. Saya tidak ingin kenangan Mongol selalu bercokol
di benak saya." "Tapi...." "Ayolah, Kao Niang. Anggap saja saya sedang memohon, sekali
ini saja. Hanya satu nama."
"Tapi saya tidak berhak...."
"Kamu berhak, Kao Niang!"
"Arwah Abadur akan menyalahkan saya!"
"Tidak. Bukankah dia pernah mengatakan kalau anak-anak kita
nanti akan dipersatukan dalam ijab?"
Kao Niang kembali terkesiap.
Ia teringat sesuatu. Tentang taklik yang pernah disepakati oleh
Hamdan dan Abadur. Kelak bila anak mereka lahir sebagai
perempuan dan laki-laki, maka kedua anak tersebut akan
dinikahkan. Bila kedua-duanya terlahir sebagai laki-laki atau
perempuan, maka mereka akan dijadikan saudara angkat. Maka
Hamdan dan Abadur pun sepakat untuk membuat benda materiil
simbol ikatan itu. Dibuatlah dua belati bersarung emas. Anak yang terlahir duluan
akan mendapat belati yang berukir aksara Rajawali Satu', dan
anak yang terlahir kemudian akan mendapat belati serupa
berukir aksara Rajawali Dua'.
531 "Auw Yang Kauw, Si Rajawali Dua!"
Badan Layla Khubilai sontak menegak. Ia mengernyit dengan
pikiran magel. Atas dasar apa sahabatnya itu memilih nama Han
itu? Dan seperti sudah tahu apa yang bersemayam di benaknya,
Kao Niang langsung menjawabi pertanyaan yang hanya
berdenting sekilas di kepalanya tersebut.
"Auw Yang Kauw berarti Putra Matahari. Si Putra Matahari.
Matahari yang diharapkan dapat terus-menerus memancarkan
sinarnya untuk kehidupan manusia."
"Rajawali Dua...."
"Itu nama belati bersarung emas untuk putramu. Abadur pasti
sudah menceritakan kepadamu, bukan?"
Sesaat Layla Khubilai masih mengernyit.
Mencoba menghimpun serangkaian kalimat yang pernah
disampaikan oleh mendiang suaminya menyikapi taklik yang
sudah disepakatinya dengan almarhum Hamdan. Dan akhirnya
ia mengangguk setelah memori hal itu terkuak di benaknya.
"Karena bayimu lahir lebih lambat tiga hari dari bayi saya, maka
otomatis dia menerima belati Rajawali Dua' itu, Layla."
"Saya paham. Jadi hari ini, Kao Ching bayimu, dan bayi saya,
Auw Yang Kauw, resmi menjadi saudara angkat!"
"Ya. Semoga kedua bayi kita ini dapat menjadi orang yang
berguna bagi bangsa dan negara kita, Mongolia!"
532 "Semoga Dewata melimpahkan anugerah kepada bayi-bayi kita."
Layla Khubilai kembali mendongak. Kao Niang mengikuti tingkah
perempuan muda tersebut tanpa sadar. Seolah sedang
berusaha mengintip Dewata di balik tenda kulit kempa lembu.
Namun yang terlihat hanyalah kerangka-kerangka tenda dari
tiang-tiang mahoni. Juga partikel-partikel rambun yang menitik di
punggung tiang-tiang tersebut akibat embusan angin yang
menelusup di celah-celah sobekan tenda. Beberapa di
antaranya melekat di dinding-dinding tenda. Lainnya jatuh tepat
di wajah dan rambut kedua perempuan muda itu.
Bab 46 Ia bukan genta dari kemilau emas hingga gemanya ke dasar hati
tetapi ia adalah senandung largisimo yang menyentuh hati - Bao Ling Refleksi Taichi Chuan *** 1219, Kabupaten Chengdu 533 Namaku Fang Wong. Aku lahir di Sichuan, salah satu kota provinsi di Tionggoan
Selatan. Sejak lahir aku sudah tidak pernah bertemu dengan
ayahku. Kata ibu, ayah sudah meninggal di Goa Fu Xien, salah
satu lembah di Bukit Wudan. Terkurung di sana sampai ajal
menjemputnya. Namun ada dua versi yang kudengar. Pertama, ia mati karena
dirangsa gergasi. Kedua, ia mati karena nelangsa. Aku masih
kecil ketika itu. Ibu tidak pernah terbuka, jujur mengatakan yang
sebenarnya. Namun ketika beranjak dewasa, aku baru mengerti
kalau kematian ayah sangat mengenaskan. Lebih dari kedua
versi yang samar aku dengar.
Lalu amarah itu bergejolak di dalam dadaku. Seperti lahar
kepundan di gunung berapi. Semestinya Ibu tidak bisa begitu.
Seharusnya perempuan itu tidak menutupi rahim kebenaran,


Mulan Ksatria Putri Tionggoan Karya Effendi Wongso di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meski aroma yang dikeluarkannya serupa sempedah dahak
berdarah sekalipun. Belasan tahun tubuhku yang ringkih ini dipahat Ibu selaksana
arca gaharu. Ia halus gemulai menyebarkan harum. Selantun hio
yang terbakar, aku ditelikung semerbak wangi, menggiring masa
kanak-kanakku ke dalam suka tanpa lara. Ia memasungku,
menjauhkan aku dari apa yang dinamakan replika. Ia tidak ingin
anak tunggalnya, Fang Wong serupa Fang Hong!
534 Serdadu Kaisar Yuan Ren Xing telah mencacah tubuhnya
sehingga menjelma menjadi jerangkong. Mayat hidup tanpa
nyawa. Ia terasing di pengasingannya. Goa Fu Xien menjadi
saksi bisu kebiadaban manusia atas manusia lainnya. Belasan
tahun ia terbebat di antara tubir cadas. Tembok-tembok beku
yang dingin dan kelam. Aku berguru pada Shaolin dilatarbelakangi dendam yang
membara. Perempuan yang melahirkan aku dari rahimnya itu
meraung. Aku tetap bersikeras. Pergi ke dunia para resi.
Menempa diri setebal baja. Belajar ilmu silat mereka yang
mashyur. Namun aku salah kaprah. Shaolin bukan alternatif penggumpal dendam. Dunia gerbang
nirwana itu terlalu suci untuk dikotori dengan sekelumit dendam.
Takdir bicara. Aku terkapar. Lalu terdampar ke dusun ini,
Chengdu. Bertemu dengan gadis luar biasa. Gadis jelmaan
Dewata. Fa Mulan! "Guru, apakah yang dimaksud dengan Taichi?"
Ia bertanya demikian kepadaku, suatu petang saat belajar
sembunyi-sembunyi. Kedua orangtuanya memasungnya dalam
pranata ribuan tahun. Kakinya dibebat dengan benang merah
kultur Tionggoan yang kaku. Anak gadis hanyalah penghuni
sangkar madu! 535 "Taichi merupakan harmonisasi kehidupan ini dengan alam
semesta. Semua bentuk kehidupan harus berselaras dan
beriringan dengan alam. Perpaduan siklus alami, sebuah
keseimbangan yang abadi."
"Apa itu, Guru?"
"Air, api, tanah, logam, dan angin. Itulah unsur-unsur alam.
Kelima unsur alam itu telah membentuk sebuah kehidupan
hakiki yang bernama ren."
"Ren?!" "Ya. Manusia dan alam adalah satu. Masing-masing saling
melengkapi. Bukannya memusnahkan."
"Tapi Guru, saya melihat banyak manusia saling
memusnahkan!" Fa Mulan bertanya lugu. Suaranya yang mungil
itu mengentakkan jiwa. "Bukankah perang yang dilakukan
manusia itu juga merupakan pemusnahan sesama?!"
Aku memandang langit. Rembang petang masih menyisakan segumpal awan kelabu.
Bias kelam belum menyaput benar jingga yang masih bercokol
di ufuk barat. Tujuh tingkat di atasnya ada svargaloka.
Mungkinkah ini presensi neonatus Dewata di muka bumi?!
Gadis cilik itu memang maharani!
"Perang adalah inharmoni, Mulan," kataku lembut. "Perang
adalah penentangan terhadap unsur-unsur alam."
536 Kepala kecil itu mengangguk mafhum.
Namun bola matanya seolah berbicara. Bibirnya tidak sertamerta
terkatup oleh sebaris penjelasan. Ia lantas bertanya. Bertanya
apa saja. Aku mengurai senyum.
Gadis cilik memang itu penggambaran chi langit.
"Guan Yu bertempur dan berperang untuk mempertahankan
negara. Beliau malah digelari pahlawan besar. Apakah perang
yang dilakukan oleh beliau itu sahih dan tidak melanggar aturan
alam? Bagaimana menurut Guru?"
"Beliau bertempur bukan untuk memusnahkan. Tapi, untuk
menjaga agar unsur-unsur alam tidak dirusak. Rakyat, negara,
dan kemakmuran juga termasuk bagian dari unsur alam
tersebut!" "Apakah Taichi itu semata-mata kelembutan, Guru?"
"Kenapa Mulan bertanya begitu?"
"Karena saya lihat tidak ada kekerasan di dalam Taichi Chuan."
"Lembut itu belum tentu lemah, Mulan. Lemah gemulai bukan
berarti tidak kuat. Air merupakan unsur yang paling jelas dalam
Taichi Chuan." "Air?" "Ya, air. Air itu lunak dan gemulai. Tapi air dapat mengauskan
karang. Air dapat menghanyutkan sebuah desa sekaligus. Itulah
kekuatan terpendam pada air yang gemulai."
537 "Hebat!" "Dan ketahuilah, Mulan. Air adalah unsur alam yang paling
'rendah hati'. Air selalu menggenang di tempat yang rendah. Air
selalu merendah meskipun sebenarnya dahsyat. Air merupakan
paradoks dari orang yang bijak. Orang bijak itu tidak akan
melawan kekuatan dengan frontal, tapi ia akan mengalah dan
membiarkan musuhnya melumer dengan kelembutan."
"Wushu Taichi Chuan sungguh hebat!"
"Bukan wushunya yang hebat, tapi inti dari unsur-unsur alamnya.
Kekuatan mahadahsyat bagaimanapun tidak akan dapat
mengalahkah arus deras air di sungai. Wushu Taichi Chuan
hanya berguru pada alam. Makanya, proses lahirnya jurus-jurus
dalam Taichi Chuan ini tidak terlepas dari unsur-unsur alam
tadi." "Jadi, tekniknya merupakan replikasi unsur-unsur alam. Lemah
gemulai mengalahkan kekuatan besar. Seperti arus air sungai
yang menjebol batu karang dan juga akar pohon raksasa!"
"Betul." "Guru, mohon ajari saya Taichi Chuan!"
Aku tersenyum. Tersenyum melihat tingkahnya yang lugu. Ia bersujud di
hadapanku. Meminta dengan sangat agar aku mau
mengajarinya Taichi Chuan. Tentu saja aku akan mengajarinya!
538 Aku tidak ingin Dewata murka!
Sebab gadis cilik itu adalah maharani!
"Bangunlah." "Ja-jadi, Guru mau mengajari saya?!"
Aku mengangguk. Gadis cilik itu merangkul perutku.
Airmatanya bergulir ditabuh haru. Aku terbahak. Dewata seperti
mengutus seorang anak manusia untuk kugembleng menjadi
pusaka. Sebilah pedang naga yang akan menyelamatkan bumi
dari angkara. Rasa-rasanya aku menjadi makhluk paling
beruntung di dunia ini! Fang Wong, manusia setengah lumpuh, yang akhirnya dapat
mengaplikasikan sedikit kebajikan untuk perkembangan dunia.
Replika alam Taichi Chuan memang bukan sertamerta terilhami
di serabut kelabu otakku. Semuanya predestinasi dari langit.
Takdir yang tidak dapat kutolak!
Bab 47 Kekerasan dan kelembutan adalah dua kubu yang berbeda
satu bersaif mawar berbisa
dan satu bersaif yang-liu
539 masing-masing bertarung dalam jarak tak seberapa - Fa Mulan Refleksi Taichi Chuan *** 1220, Provinsi Guandong Namaku Wong Qi Bei. Aku tidak pernah berpikir untuk menjadi pendekar dengan
dianugerahi sepasang lengan baja, yang nyaris setiap hari kuisi
dengan perkelahian. Orangtuaku tidak pernah bermimpi anak
sulung mereka akan menjadi petarung. Karena mereka
menganggap pendekar adalah centeng-centeng naif yang
memenuhi hidup dunia dengan darah.
Tetapi dunia ini memang sudah babur.
Yang kuat menjazam yang lemah. Tidak ada keadilan lagi ketika
dajalis melanda Tionggoan. Pemampasan menjadi cerita subur
di tanah ini. Aku ke biara Shaolin bersangu itu. Kelaknatan
zaman mengaburkan perjalanan hidupku.
Aku gamang. Diombang alur takdir. Rupanya Shaolin yang
sesuci yang-liu bukanlah tempat menempa harap. Kebatilan
harus dilawan dengan kebajikan. Bukan dengan kekerasan!
Aku terpental. 540 Nasib membawaku kembali ke tanah kelahiranku ini. Di sini aku
belajar menyelaras dengan alam. Bukan kehendak berlandas
keinginan sekeras karang semata. Kusosialisasikan paruh
hidupku demi kebajikan. Aku belajar memadani. Membaur
dengan kesederhanaannya. Meresapi hidup penuh warna tanpa
kekerasan. Nasehat yang kutepis jumawis dulu dari sepasang
manusia peniup lafaz dalam napasku menyata.
Hitam dan putih sisik-melik dunia memang hanya setipis sutra!
Lalu suatu waktu aku menerima surat dari saudara
seperguruanku , Fang Wong. Ia mengabariku presensi neonatus
Dewata. Sekarang gadis cilik itu berada di Chengdu. Aku diminta
untuk memoles permata tersebut. Mengasahnya sehingga
menjadi batu permata yang paling mulia di antara segala
permata. Maka berangkatlah aku ke sana.
Kutemui gadis cilik jelmaan Dewata.
Aku terkesiap. Ribuan tahun tanah di Tionggoan tidak pernah
ditumbuhi bunga secantik ini.
Ia adalah Magnolia. Keindahan segala bunga.
Kuajari ia Totok Nadi. Ortopedi. Juga pengobatan tawar racun.
Kukenalkan ia pada segala jenis racun dan juga penawarnya.
Alangkah girangnya ia bukan kepalang.
"Guru, kenapa di dunia ini ada yang namanya racun?" Ia
541 bertanya demikian, suatu hari ketika mengajarinya semua hal.
"Seperti juga dalam kehidupan manusia, hati manusia diliputi
dua hal mendasar. Pertama, kebajikan. Kedua, kebatilan.
Kebatilan dapat kita ibaratkan dengan racun. Lalu, kebajikan
dapat kita ibaratkan dengan penawarnya. Dua hal itu seiring
sejalan. Tapi, kadang-kadang racun dapat menjadi penawar
racun bagi yang lainnya. Begitu pula sebaliknya. Kebajikan
dapat menjadi kebatilan bagi kebajikan lainnya. Itulah fenomena
yang terjadi di lingkungan kita. Di Shaolin misalnya, ada
maharesi yang dapat berubah jadi serigala. Begitu pula
sebaliknya di dunia hitam, ada serigala yang dapat menjelma
menjadi Dewata." "Maksud Guru, racun itu tidak selamanya buruk?"
"Racun adalah bagian dari alam. Racun mengisi kehidupan kita
sejak terbentuknya kali pertama dunia ini. Yang-liu dan Mawar
Beracun tumbuh seiring dengan pesonanya masing-masing."
"Apakah hal yang Guru sebutkan tadi masuk dalam komponen
Taichi Chuan?" "Tidak ada unsur yang lepas dari alam. Semuanya menyelaras
sehingga terjadi perimbangan yang kosmis. Kalau menentang
hukum-hukum tersebut, maka manusia akan menemui petaka."
"Petaka?! Apa maksud Guru?"
"Petaka itu bersumber dari diri kita sendiri. Seseorang dapat
542 menuai bencana dan mendatangkan malapetaka bagi dirinya
sendiri. Salah satu unsur yang tak dapat dielakkan adalah
proses penuaan, sakit, dan mati. Manusia kadang-kadang ingin
hidup di luar hukum alam tersebut. Mengabadikan dirinya dalam
ambivalensi maya. Tapi, tidak ada yang dapat membendung
unsur alam dahsyat kematian. Semua manusia pasti mati!"
"Guru, apakah yang dimaksud dengan ambivalensi maya yang
seperti Anda sebutkan tadi?"
"Itu adalah nafsu keinginan dan ambisi. Ambivalensi maya itu
terangkai dari egosentrisme dan utopis manusia. Padahal awal
mula neonatus, manusia tidak membawa apa-apa. Semuanya
terlahir bugil. Dan ketika berpulang ke Sang Pencipta pun
begitu." "Jadi menurut Guru, awal petaka itu bermula dari ambisi dan
keegosentrisan manusia?"
"Betul. Bencana bagi kehidupan datang susul-menyusul
dibahang oleh ambisi manusia. Perang, genosida, pemusnahan
dan masih banyak lagi ulah batil manusia."
"Kalau begitu, apakah darah akan dibalas dengan darah, Guru?"
"Darah dibalas darah, tidak akan ada habisnya. Karenanya,
kebencian mesti dilawan dengan kasih sayang. Kekerasan tidak
pernah akan berakhir bila dilawan dengan kekerasan. Tapi
kekerasan akan berakhir bila dibalas dengan cinta kasih.
543 Bukankah itu yang diajarkan oleh Sakyamuni?"
"Saya gamang, Guru. Terjadi banyak ketidakselarasan yang
membumihanguskan peradaban. Perang dan perang. Apakah
Dewata akan murka dan menjatuhkan sanksi kiamat?!"
"Beragam sanksi dapat dijatuhkan Dewata sebagai kompensasi
kemurkaan. Ia dapat berupa bencana jasadi. Tapi, ia dapat juga
berupa takdir. Utusan yang sudah menjadi predestinasi."
"Siapa yang dimaksud utusan itu, Guru?"
"Pahlawan dan satria. Mereka dapat berasal dari kalangan
manapun. Jelata sekalipun. Tidak hanya dari puak terpandang
dan keluarga bangsawan."
Aku lihat ia mengangguk mafhum ketika itu.
Aku tersenyum. Utusan itu adalah Fa Mulan!
Bab 48 Hingga masa itu tiba tak jua gergasi manapun menggentarkanmu
satria, biarlah kali ini saja lentera itu menuntunmu dalam lagu sunyi kekalahan
544 Jangan sesali sinar jingga lentera yang mengajakmu ke tempat
pada sekumpulan koi di Onon
dan pada sekawanan domba di Gobi
Sebab api telah membubung tinggi


Mulan Ksatria Putri Tionggoan Karya Effendi Wongso di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kala maharana tak terelak
satria, airmatamu setipis cadar tak mampu membasuh luka ambigu Mongolia
- Bao Ling Elegi Si Pendekar Danuh *** 1231, Kabupaten Chengdu Namaku Fa Mulan. Aku anak seorang veteran prajurit Yuan, Fa Zhou. Aku adalah
gadis desa biasa. Namun mereka selalu menyebutku Magnolia,
gadis jelmaan Dewata. Kadang-kadang mereka memanggilku,
Fa Mulan - Prajurit Garda Langit.
Hah, mungkin ini terlalu hiperbolis?!
Mungkin, ya mungkin. Bagiku, sebutan itu terlampau mengada-ada. Ataukah, mereka
telah mendewakan aku?! 545 Ah, entahlah. Yang pasti aku merasa tidak pernah menjadi
pahlawan. Aku ini manusia biasa yang memiliki banyak
kelemahan. Aku hanya terdiri dari daging dan darah. Aku juga
takut mati. Keberanian-keberanian yang telah aku tunjukkan selama
maharana bukanlah sesuatu hal yang, bagi kebanyakan orang
dianggap muskil dan fenomenal. Perang adalah pilihan terakhir
yang mau tidak mau harus aku jalani. Di dalam perang, hanya
ada dua pilihan. Hidup atau mati. Dan ternyata dalam beberapa
pertempuran, aku masih hidup. Bukan karena aku heroik. Bukan
pula karena aku jawara. Bukan. Namun kusadari semua itu
adalah anugerah Dewata. Aku dapat bertahan hidup di dalam
kelam maharana karena semata ajallah yang belum
menjemputku. Aku juga tidak senang mereka mengkultuskan aku sedemikian
rupa. Karena selama ini aku hanyalah sehelai yang-liu yang
mengikuti alur air sungai, dan sampai pada sebuah tempat di
mana sang air bermuara. Nasib telah membawaku ke medan
maharana. Nasib yang telah membawaku ke Tung Shao. Nasib
jualah yang telah membawaku ke Istana.
Aku menjalani hidup ini apa adanya. Menyaru sebagai laki-laki,
menelusup dan memasuki kewajiban kemiliteran Yuan.
Selanjutnya, aku bertempur sebagai prajurit Yuan.
546 Melaksanakan tanggung-jawab dan kewajiban mempertahankan
negara dari agresi bangsa lain. Bukannya karena aku beda
dengan prajurit-prajurit yang lainnya. Bukan. Sekali lagi aku
tegaskan, aku hanyalah manusia biasa.
Masih banyak tugas yang belum aku tunaikan. Tionggoan masih
pula bergejolak. Aku memiliki tanggung jawab moral untuk
memaparkan kebajikan bagi perkembangan di tanah yang
kerontang ini. Namun yang terutama, aku belum dapat membahagiakan Ibu. Ia
selalu menuntut cucu laki-laki dariku. Kadang-kadang aku benci
cerocosannya yang bawel itu. Tetapi setiap merenung sebentar,
maka kebenaran samar terungkap dari keceriwisannya tersebut.
Bahwa aku sebenarnya memang perempuan. Ya, aku memang
seorang perempuan. Bab 49 Seterang apakah gemintang timur
yang memias serupa lelatu api
dari sembur mulut Sang Naga?
Oh, patriot dari Chengdu serupakah engkau tetomis yang kasat dan hidup 547 lantas menggeliat serta terbang
di atas tanah nan kerontang ini?
- Bao Ling Litani Nirwana *** Di manakah letak sang jiwa, yang melanglang dan kadang
melarung dalam mayapada tak bertepi? Serupa dengung kecapi
dan sitar pengembara, ia terus menerus menelusup lantas
menelikung di antara basir pasir dan cadas. Kegalauan ini
sungguh tak terjamah jawab, meski dawai-dawai itu melengking
parau dan membiasi malam dengan pongah.
Lalu, apalah arti seorang manusia yang ditiupi lafaz dari langit. Ia
mengecap dengan tangisnya. Ia meraba dengan jeritan dan
celotehnya yang mungil. Oh, aku tak paham. Sungguh tak paham Kepandaian ini menjadikanku pandir. Sungguh dina jiwa yang
semelata ular-ular di Gobi. Sungguh lara hidup yang
mengagungkan rasa dan raga.
Lantas, apakah Fa Mulan yang dianugerahi Prajurit Garda Langit
merupakan seorang perkasa di antara gergasi buana? Sehingga
ia mampu memecahkan karang gemarang hanya dengan
548 aumannya? Oh, sahabatku. Tidaklah bijak mendewakan aku dalam selaksa
puja. Kultus telah menjadikanku batu di antara karang. Dan
menjadikanku pemati di antara nisan.
Mohon, sahabat. Sekali lagi aku pinta, enyahkan selantun litani
yang mengikatku dalam pranata ini. Aku ini hanya seonggok
daging. Aku ini hanya segumpal darah. Aku ini hanya raga yang
terbentuk dari segala najis, yang sungguh tak kalian pahami
maknanya. Sebab, Fa Mulan yang kalian gelari Prajurit Garda Langit juga
sesekali melakukan nista tercela dalam gelimun gemawan gelap.
Ya, nista tercela. *** Saya tidak pernah dapat memahami apa makna kehidupan ini.
Semuanya babur. Rangkaian episode kisah manusia seperti
rantai yang sambung-menyambung tanpa ujung. Ada kehidupan,
ada kematian. Ada tawa, ada tangis. Jauhar afeksi menjadikan
saya serupa rani. Sementara rana menjadikan saya serupa
pemati. Kebajikan dan kebatilan beriringan serupa bayangbayang yang mengikuti cakra pedati.
Apa yang terjadi dengan Tionggoan?!
Sabda yang diturunkan dari langit untuk para Tuan dan Puan
melamur seperti pendar pelangi, dan tak lagi memiliki makna
549 keindahan untuk dititi dedewi. Maka kuduslah engkau para rani.
Kuduslah engkau yang senantiasa meletupkan lelatu kebajikan
dalam sanubari manusia, meski iramanya yang minor menjadi
rekwin. Meski biramanya yang platonis tak terjamah para hati
yang telah terpenjara oleh tirai-tirai kegelapan.
Saya Fa Mulan, Prajurit Garda Langit, perempuan yang disabda
dan diturunkan dari Langit untuk mengabdi demi kebajikan agar
semuanya tak jadi nisan. Ya, tak jadi nisan. Bab 50 Akulah kelana dina yang mengitari taman nirwana
serupa pelacak dengan sebuah mangkuk,
jaksi rumbia, dan tongkat kayu
Namun bukan demikian adanya
demikian Puan berkata dari Istana nan megah Sebab, engkaulah Teratai nan Indah
bunga sesungguhnya yang mengembang 550 dan menangkup purna derita
para papa jelata - Oey Young Teratai nan Indah *** Hari sudah beranjak petang. Lembayung yang yang memayungi
sisi barat langit sudah menggelap serupa gergasi bisu, yang
diam dan memisteri. Ia menangkup segala fana ketika Fa Mulan
baru saja menghabiskan semangkuk bubur jagungnya dengan
lahap. Dan seketika pula itu Shang Weng menguak tirai
tendanya. "Jangan terlalu memaksakan diri bekerja keras, Mulan," selantun
kalimat selembut bayu terdengar seiring terkuaknya tirai
tendanya. Shang Weng menjenguknya.
Fa Mulan mengangkat wajahnya dari manuskrip strategi yang
tengah disusunnya. Ia menghela napas pendek sebelum
mengembangkan senyumnya yang samar sebagai awal balasan.
Belum dijawabinya kalimat subtil dari kekasihnya tersebut.
"Istirahatlah, Mulan."
Fa Mulan menghela napas panjang. "Masih banyak tugas yang
harus saya kerjakan."
Senada dengan gadisnya, Shang Weng pun melakukan hal yang
sama. Sungguh, ia cemas dengan apa yang tengah berkecamuk
551 dalam benak Fa Mulan. "Saya tahu. Tapi, jangan sampai tugastugas tersebut merusak kesehatanmu."
Fa Mulan menampik santun. "Saya bisa jaga diri, Kapten
Shang." "Tapi...." Helaan napas panjangnya kembali terdengar desis. Sungguh,
kali ini ia resah dan nyaris kehilangan semangat. Pertempuran
demi pertempuran telah menguras tenaga dan pikirannya.
Namun hal tersebut tidaklah sebanding dengan apa yang tengah
dicemaskannya. Fa Mulan adalah hal terpenting dalam
hidupnya. Gadisnya itu melebihi segalanya. Melebihi segalagalanya bahkan melebihi rasa kasih dan cintanya terhadap
kedua orangtuanya. Begitu pula terhadap kekasih masa lalunya
yang pahit, Shiaw Ing. Dan kini tidak ada sepatah kata pun yang dapat pemuda itu
letupkan untuk meluyakkan hati gadisnya. Pertempuran
heroistiknya di Tung Shao memang telah membuktikan kalau
gadis itu seteguh karang. Ia adalah Hwasan, kokoh nan indah.
Betapa mulianya penciptaan dedewa atas segala karunia ini.
Betapa sucinya platonistis yang ia pancarkan dari diri seorang
Fa Mulan. Sungguh, ia kerdil di antara semua itu.
Dan ketika Mongol menyerbu Tionggoan, hal itu hanyalah siklus
dari pencakra, berputar seolah gasing di antara majas dan
552 ambisi para petuan dan pepuan. Tetapi muskil benar adanya jika
hal tersebut ditujukan baginya. Yah, mungkin. Sebab siklus batil
adalah resital yang mesti dihentikan. Manusia membutuhkan
kebajikan yang senatur dengan alam. Denting pedang dan
tombak adalah nada rekwin yang setiap saat mengembuskan
virulen, hawa kematian yang menyengat sengat. Lalu manusia
akan mati karenanya! Lalu, seperti apakah patriotisme itu?!
Metode pengorbanan ataukah pola pada sebentuk pengabdian
tanpa pamrih? Sungguh, semuanya babur. Kecongkakan dan
kesombongan manusia adalah mayor, dan jauh melampaui
batas nalarisasi tentang kebatilan. Para rani hanya seonggok
daging yang terus mengelana dan mengembara di berbagai
belahan fana. Kehadirannya tak lebih berarti dari metamorfosis,
keindahan yang mengejawantah dari kepompong menjadi kupukupu.
Andai epik kepahlawanan itu tak pernah terjelma dalam bentuk
pengorbanan yang platonis. Andai gadis itu tak pernah ada.
Andai seorang Fa Mulan tak terlahir. Lantas, di manakah
sesungguhnya harmonisasi yang membirama dari dawai hari
para rani demi perdamaian dunia? Sungguh, ia tidak pernah
tahu. Ya, ia tak pernah tahu. 553 Lalu, kupu-kupu tersebut membentangkan sayapnya. Ia terbang
seirama angin. Ia terbang seiring denting indah sang hati. Di
mana saif telah menjadikan mereka pengabdi. Di mana syair
menjadikan mereka lagu sendu yang menggelimun di antara
tubir dan cadas. Mereka terluka. Mereka tercabik. Mereka juga
mati karenanya. Namun, kecintaan yang bermuasal dari dawaidawai hati tersebut telah menjelma menjadi seonggok jiwa yang
putih. Mereka akan bersinar secerlang gemintang di langit. Jiwajiwa mereka akan terus hidup, mengembara, dan jauh
melampaui segala zaman. Ia menembusi tabir pebatil,
memboyak kebusukan dari pendosa yang hidup tanpa nurani.
Mereka akan mengejawantah dalam segala bentuk kebajikan.
Dan mereka akhirnya merasuk dalam raga yang dilahirkan oleh
rahim manusia. Dan ketika ia dilahirkan, ia akan tersisih dari pekasih. Ia adalah
Magnolia dengan selaksa kekurangan. Ia adalah Magnolia yang
tumbuh di antara lalang dan gulma. Ia adalah Magnolia yang
tersisih. Namun keindahannya yang tiada tara telah
mengembangkan secercah asa dalam kekalutan yang luar
biasa. Ia adalah predestinasi yang diturunkan dedewa dari langit.
Sesungguhnya ia adalah manusia biasa yang terbuang.
Sesungguhnya ia adalah gadis biasa dengan segala
kekurangannya. 554 Gadis itu adalah jejelma dedewi yang hidup di antara tabir-tabir
awan. Yang bernapas lewat sepasang mata di balik dada putih
mereka. Yang setiap hari menari diiringi sitar dan harpa
berdawai emas. Itulah keindahan nirwana yang tak terbanding
apa pun. Itulah kemegahan istana surga yang tak sedikit pun
pernah digelimuni oleh kelam gemawan. Namun karena
kemaruk manusia, maka mereka bersedih dengan meneteskan
airmata sebanyak air telaga. Bahkan jauh ketimbang itu. Bahwa
airmata tersebut perlahan telah membanjir dan menjadi Sungai
Kuning tak lama kemudian.
Lalu apakah arti lektur indah di antara niraksara?
Itulah maras dedewa atas marcapada yang mendosa. Seperti
tahu apa lacur yang akan menimpa tanah yang hangat tersebut,
sertamerta mereka turun dari rengga gegajah, berdiri dan
mengaum tidak seperti biasanya. Lantas dengan lantangnya
mereka berteriak, bahkan beberapa di antara dedewa memaki
segala sepah yang telah dimuntahkan manusia lewat mulut
bacar mereka. Ulah yang tak pernah dimafhumi sebagai bagian
dari hikayah, kebajikan yang diturunkan dari surga.
Namun dari pembatil terus saja berulah dengan kejahatankejahatan. Mereka saling menjazam. Mereka saling membunuh.
Mereka saling membakar. Semuanya gosong dan kobong.
Sehingga atmosfer hanyalah making di antara mayat-mayat
555 yang bergelimpangan serta berbelatung.
"Tionggoan sudah bagai telur di ujung tanduk, Kapten Shang...."
"Sudah menjadi tanggung-jawab kita sebagai abdi negara untuk
memikirkan pembelaan dan penyelamatan bangsa kita, Mulan.


Mulan Ksatria Putri Tionggoan Karya Effendi Wongso di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi, bukan berarti kamu sampai mengenyahkan kesehatan dan
keselamatan kamu sendiri."
"Tak ada waktu lagi. Tionggoan sudah di ambang kehancuran.
Mongolia sudah masuk semakin jauh ke dalam daerah kita."
"Mengandalkan kekuatan diri sendiri seperti apa yang tengah
kamu lakukan sekarang merupakan kesia-siaan, Mulan. Mustahil
melawan Mongolia hanya...."
"Jangan melemahkan semangat hanya dengan melihat kekuatan
besar musuh, Kapten Shang. Itulah salah satu kelemahan yang
tak kasatmata. Ingat, kekuatan itu tidak dapat ditakar dengan
melihat banyaknya jumlah pasukan dan lain sebagainya.
Pertempuran di Tung Shao adalah contoh bagaimana
kelemahan itu dapat menjelma menjadi kekuatan. Jadi, saya
tidak pesimistis dalam hal ini. Seberapa hebat pun kekuatan
musuh kita." "Benar, benar. Tapi, armada berkuda Mongol sangat jauh dari
praduga para pakar strategi militer kita. Apakah bukan berarti...."
"Kemenangan dan kekalahan itu hanya setipis bilah rambut.
Semuanya memiliki kemungkinan yang sama. Bagai cakra
556 pedati, yang setiap sebentar di bawah dan setiap sebentar di
atas." "Mungkinkah kekalahan kita ini atas kelalaian para atase
jenderal di Ibukota Da-du, Mulan?"
"Maaf, saya tidak dapat menebak duga kalau merangseknya
pasukan Mongol sampai jauh ke dalam negara kita akibat
kesalahan maupun kelalaian segelintir petanggung-jawab."
"Kenapa?!" "Asumsinya beragam."
"Maksudmu...." "Sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan tidak
menguntungkan begini bagi kita, Kapten Shang."
"Apa misalnya?"
"Kalau menilik penyebab kealpaan kita menakar seberapa besar
kekuatan terselubung musuh sehingga mereka dapat menguasai
daerah perbatasan kita hanya dalam bilangan hari - barangkali
hal tersebut disebabkan karena jumawitas kemenangan kita atas
pemberontak Han." "Jumawitas?" "Ya. Pandang enteng, mengangap remeh, dan lain sebagainya.
Maka, sahihlah hal itu dapat dibenarkan sebagai biang
kekalahan kita. Kebanyakan dari kita tidak pernah belajar dari
pengalaman. Manusia selalu terjatuh ke dalam lubang yang
557 sama. Namun lepas dari semua itu, pertempuran adalah taktis
lapangan. Semuanya dapat saja terjadi. Si Kuat dapat saja
menjadi lemah karena sesuatu hal. Begitu pula sebaliknya.
Prediksi tidak dapat ditebak semudah membalik telapak tangan."
"Apakah dengan demikian berarti kita sudah habis ?"
"Manusia akan habis bila sudah tak bernyawa. Selagi masih
bernapas, tidak ada kata kalah atau habis bagi manusia. Jadi,
sesungguhnya kita sama sekali belum habis atau kalah. Kita
hanya terdesak, kritis, dan...."
"Ta-tapi...." "Ah, hidup ini memang berat, Kapten Shang. Manusia telah
menambah sulit kehidupan mereka sendiri. Perang yang
membahang merupakan ulah manusia sendiri. Perang buatan
manusia telah menyengsarakan manusia sendiri. Jadi, apa yang
telah kita lakukan itu merupkan kebatilan bagi peradaban. Ah,
entahlah kapan semuanya dapat berakhir."
Perwira belia itu diam menyimak. Apakah jejelma dedewi telah
diturunkan dari langit tetapi ia tergolek tak berdaya karena
maharana telah menghancurkan segalanya?!
Sejenak ia menggeleng. Wajahnya yang keras dan persegi
tampak lesi. Sungguh, ia tak paham atas apa yang terjadi
dengan Tionggoan. Makna yang dicerapinya hanya setipis ari.
Apakakah gada kebatilan telah menghancurkan segala
558 kebajikan di dunia ini?! Ah, gadis itu hanyalah seonggok daging dan tulang-belulang
yang ringkih. Ia bukan Hwasan yang kokoh dan gagah perkasa.
Setiap saat ia dapat terbunuh di medan laga. Dan hal itu lebih
menyakitkan ketimbang alur fiktif khayalannya sendiri. Bahwa ia
mendapati dirinya terbantai dalam maharana. Ia takut kehilangan
gadis itu lebih dari apapun juga di dunia ini. Ia akan menangisi
kematian gadis itu lebih dari seribu malam. Ia akan hancur
bersama hilangnya jasad gadis itu menjadi debu. Ia akan
merasa kehilangan nyawanya sendiri. Nyawa yang telah
manunggal dengan dirinya. Oleh karenanya, ia akan menjadi
tameng bagi seorang Fa Mulan. Ia tidak dapat membiarkan
gadis yang sangat dipujanya itu menyongsong perang.
Namun dedewa seolah rungu, tak mampu menjelmakan sebuah
mana bagi gadisnya yang heroik. Tak ada mukjizat yang
diturunkan dari svargakaloka. Dedewa telah menulikan
telinganya sendiri. Dedewa telah membutakan matanya sendiri.
Mereka tidak mampu lagi meraba segala kebajikan, dan
memusnahkan rona kebatilan yang telah meranggas dengan
cepat serta melahap semua benih-benih kebaikan di mayapada.
Lantas kini ia seolah meniti lapak ajal yang telah tertoreh
untuknya. Detak demi detak pada jantungnya, dan denyut demi
denyut pada nadinya, ia hanya menghirup kekobongan hingga
559 kematian itu memaksa jiwanya melayang-layang entah kemana.
Inikah sesungguhnya kematian yang virtual?! Kematian yang
sejati, yang selama ini hanya memberdirikan raganya saja?!
"Saya tidak pernah takut terhadap kematian. Saya hanya takut
terhadap apa yang telah ditimbulkan oleh maharana."
Sebuah penegasan yang kerap ia dengarkan dari gadis itu
kembali berdenyar di telinganya. Sesungguhnya dedewa
tidaklah berlaku adil terhadapnya. Bukankah dengan segala
kesaktian mereka, gadis itu dapat diberi kekuatan untuk
mengatasi kematian yang cuma sedepa itu? Tetapi mereka tidak
melakukannya. Mereka seolah tidak peduli. Bahkan mereka
membiarkan sang angkara murka dengan bebas
mempermainkan nasib gadisnya.
Gadis itu masih kecil. Namun ia telah menghadapi gergasi
masalah. Seribu satu pelik persoalan bangsa telah
menghantamnya bagai gada raksasa yang siap meremukkan
kepalanya. Inikah keadilan yang diturunkan dari surga untuk
Magnolia Tionggoan?! "Kadang-kadang saya terlalu egois, Kapten Shang. Saya terlalu
oportunis, dan melalaikan satu hal, bahwa kita manusia penuh
dengan keterbatasan. Saya percaya Anda diutus Dewata untuk
mengingatkan saya akan hal itu."
"Saya tidak sesuci yang kamu katakan tadi, Mulan."
560 "Memang tidak sepenuhnya demikian, tapi paling tidak saya
dapat memahami konteks kontemplasi, sehingga tidak bertindak
gegabah dan sia-sia. Dan satu hal lagi, saya tak akan binasa
dengan sia-sia." "Mulan...." "Memang benar, bukan?"
Shang Weng melirik. Didapatinya senyum tulus pada wajah lesi
gadisnya. Bukan sekali dua ia begini. Namun telah berkali-kali.
Berkali-kali, sehingga ia tidak pernah tahu apa yang tengah
dialaminya. Dalam maharana kali ini pun ia tak pernah takut
akan kematian. Ia tidak pernah terkalahkan oleh rasa kerdil dan
inferior. Ia adalah gergasi patriotik yang sesungguhnya.
Pemberontakan jelata Han dan Mongolia adalah remah dari
bentuk ketidakpuasan manusia. Itulah mulakat kesalahan yang
tak boleh terulang pada masa-masa yang akan datang.
Kehancuran lantaran inferioris adalah bentuk kelalaian yang
tidak dapat dimaafkan oleh sesiapa. Pun tak terkecuali para
pemimpin bangsa yang mengendalikan segala titah dan amar
keputusan. Karena itulah kesewenang-wenangan harus
dihentikan. Karena itu pulalah gadis Magnolia bernama Fa
Mulan itu terus berjuang dan berjuang tanpa pamrih agar
kedamaian menyata di Tionggoan. Namun sungguh perjuangan
yang tanpa berbelas. Ia menyuarakan kebajikan dan menampik
561 kebatilan atas nama langit dan cinta yang wangi. Ia memimpin
secara tegas tetapi jauh dari tiranisasi. Bukankah, ia merupakan
pemimpin yang unggul dan mengungguli segala para pemimpin
yang ada di Tiongggoan sekalipun ia merupakan kaisar
tertinggi?! Oh, Mahadewa nan Agung! Dimanakah letak keadilan surga yang telah didengungdengungkan sejak para leluhur beranak pinak bahkan telah
meleluri di kekinian? Tunjukkanlah kesaktian-Mu, tunjukkanlah
kuasa-Mu sehingga mereka dan mereka tahu mana kebenaran
dan mana kebatilan. Pertumpahan darah telah menyebabkan
segalanya menjadi tak ada artinya. Genosida dan pembantaian
telah menjadi budaya di mana-mana! Manusia telah menjadi
serigala bagi manusia lainnya. Letupan amarah bagai meriam,
meletup, meledak, dan melantakkan segala. Itukah angkara dan
hukuman, ataukah hanyalah sebentuk ketidakpedulian yang
Engkau tunjukkan karena kekhilafan manusia?!
Lalu, apakah gadis Magnolia itu adalah jejelma dedewi yang
diturunkan oleh-Nya untuk menghalau segala angkara?! Oh,
inilah bentuk ketidaktahuan oleh sesiapa dan sesiapa. Inilah
bentuk kebodohan manusia yang telah digariskan secara verbal
oleh dirinya sendiri. Inilah bentuk ketololan manusia yang telah
ditakdirkan olehnya sendiri sehingga ia menjadi keledai yang
562 selalu dan selalu jatuh ke dalam lubang yang sama.
Ya, manusia adalah keledai. Keledai yang setiap sebentar dapat
menjelma menjadi serigala dan memangsa sesiapa yang
merupakan kaumnya sendiri. Bukankah demikian merupakan
tindak ketololan yang jauh melebihi ketololan yang ada di muka
bumi ini?! Dan ini adalah ketololan Tionggoan!
Bab 51 Dewi, aku lelah dalam pertempuran ini
tuntunlah aku menuju nirwana
dimana ranah tak lagi memerah oleh darah
dan pedang telah menjelma menjadi bunga
- Fa Mulan Refleksi Avalokitesvara *** Apa yang dapat aku lakukan untuk menyelamatkan Tionggoan?!
Sungguh, aku tak paham akan nestapa ini. Adalah denyar dan
dengung kematian sajalah yang senantiasa mengitari hidupku.
Adalah parade iblis sajalah di penglihatanku sejauh kulabuhkan
pandang mataku. Semuanya adalah tarian anacastik,
mengirama dengan sempurna dan moralistik.
563 Kesempurnaan adalah asma yang bertiup sepanjang masa. Aku
terbang, melayang dan melayang tertiup angin. Aku tidak pernah
tahu di mana aku berada. Kadang aku merasa telah berada di
Selatan, atau di Utara. Lalu suatu waktu, angin jualah yang
membawaku ke Timur atau Barat. Entahlah. Anominitas ini
sungguh menjadikanku pebuta di antara buta. Semuanya gelap.
Noktah terang hanyalah gemintang di atas langit malam. Titik
terang hanyalah pijar lentera di bawah temaram dusun-dusun.
Apakah ini gerhana di dalam jiwaku?
Ada kaisar yang lalim. Ada rani yang bijak. Semuanya seiring
sejalan dalam detak-detak jantung ini. Oh, adakah
pengampunan atas dosa-dosa kami ini? Adakah pembelaan atas
ketertindasan yang senantiasa mengirama di dalam kedinaan
ini? Semuanya hening. Diam dan bisu.
*** Ketahuilah, Mulan. Sesungguhnya, ada dua warna yang
menangkupi dunia. Sesungguhnya pula, warna-warni lain,
hanyalah bias dari kedua warna tersebut. Namun, kita tidak
pernah dapat menangkap apa makna di balik semua warna yang
terpancar tersebut. Keindahan dari pelangi adalah kesemuan.
Sungguh, kita telah menafsir keliru segala. Dan dalam
menyusuri jalan nan panjang, kita semakin dibutakan oleh sang
564 kala. Ketahuilah, Anakku, bahwa jauhar dan mute yang tersebar
di sepanjang jalan yang telah kita tempuh, telah membinasakan
badan. Lalu apa yang sesungguhnya kita cari?! Bukankah pedoman
telah dimaktubkan oleh Sanghyang dalam setiap sisi nurani
manusia?! Lantas, mengapa kita demikian bodoh dan dungu
sehingga monceng dan salah arah?!
Oh, durja benar napas yang diembus para pendosa di tanah nan
batil, Mulan. Apakah ini awal mulakat manusia dengan maut?!
Jawablah, Anakku. Satu di antara perintah keng nan suci adalah,
jangan bersenada dengan kebatilan. Namun manusia, para
pendosa, telah meremeh-temehkan genta agung yang
mendengung dari langit ketujuh. Manusia telah menulikan
pendengarannya sendiri. Manusia terus menjazam. Hingga
timbullah maharana nan rana.
Oh, andai saja engkau tahu, Anakku, betapa pilunya irama hati
para rani dan dedewa di langit ketujuh. Mereka semua telah
meneteskan airmata darah, dan perlahan airmata tersebut
menjadi bah lantas menggenangi istana langit. Inilah murka bagi
mereka yang berkuasa atas titah dan amar. Inilah ihwal azab
yang akan diturunkan dari langit ketujuh.
Malang nian nasib para pembatil di tanah kerontang ini, Anakku.
Sungguh dina diri-diri nan berlumpur nanah dan kotoran, yang
565 keluar dari anus mereka sendiri. Adakah genosida sebagai
bentuk pembersihan pendosa-pendosa itu?!
Seratus kalpa tumimbal lahir tak akan mampu membasuh nista
tercela. Mereka terus melanglang, dan lahir dari rahim betina ke
rahim betina yang lainnya. Kelelahan dan perjalanan nan
panjang tidak pernah menyadarkan mereka. Lahir, lahir, dan
lahir adalah sebentuk rutinitas yang menjemukan. Manusia tidak
pernah dapat memutus rantai yang membelenggu mereka.
Apakah pertobatan merupakan sebentuk pengampunan bagi
para pendosa tersebut?! Lantas, di manakah sesungguhnya letak nirwana yang telah
didengung-dengungkan di dalam sanubari mereka oleh dedewa
dan dedewi?! Padahal, dua di antara sepuluh keng menitahkan
manusia supaya bijak bertindak. Namun lagi-lagi manusia tak
mengindahkan hal tersebut. Diberinya neraka inmoral bagi
sesamanya. Kekisruhan tak pelak terelakkan. Manusia telah


Mulan Ksatria Putri Tionggoan Karya Effendi Wongso di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melanggar aturan. Oh, Anakku, Bunga Magnolia, Pahlawan Tionggoan, kini engkau
tergolek tak berdaya di dalam haribaan pertiwi.
Tanah bergetar. Langit meratap dengan gelegar sejuta guntur.
Derau angin berdesing-desing.
Bangunlah, Anakku. 566 Bangunlah! Di sini yang-liu meliuk-liuk memanggilmu.
Bangunlah, Anakku. Inilah Aku, Avalokitesvara dari langit ketujuh.
Bab 52 Sebagai jenderal aku menogakan titah bahwa mutlaklah bagi engkau sebagai pemimpin
mendukung nilai-nilai luhur ini:
kebijaksanaan ketulusan kemurahan hati keberanian dan ketegasan - Sun Tzu Refleksi Seni Rana *** EPILOG "Pasukan besar Mongol tidak dapat dikalahkan hanya dengan
mengandalkan tekad semata, Kapten Shang. Banyak faktor
yang mesti dipikirkan sebelum bertindak."
567 "Lantas, apakah kita hanya tinggal berdiam diri saja sampai
Tionggoan benar-benar jatuh ke dalam tangan Temujin?!"
"Bukan begitu. Ingat, emosi yang membahang seperti yang Anda
lakukan dulu bukan merupakan tindakan yang tepat. Anda masih
ingat bagaimana dengan nyawa Anda sendiri yang hampir
melayang ketika menyongsong tanpa nalar pasukan
pemberontak Han dulu. Jangan menambah masalah dengan
bertindak gegabah. Penyerangan balasan terhadap kubu
Mongolia harus dipikirkan matang-matang. Mundur bukan berarti
kalah." "Ibukota Da-du kritis, Kaisar Yuan Ren Zhan di ambang maut.
Entah, apa yang tengah dilakukan oleh si Birang Shan-Yu itu.
Sekarang Bao Ling tengah menjemput beliau di hutan Hwa.
Beberapa pasukan elit kita tengah bersama Bao Ling untuk
menghadang pergerakan kecil pemberontak Han pimpinan
Shan-Yu yang tengah mengejar Kaisar Yuan Ren Zhan."
"Saya mafhum. Namun bukan demikian caranya untuk
menuntaskan masalah sepelik ini, Kapten Shan. Tugas Anda
sekarang adalah memimpin sembari mengatur strategi militer di
Tung Shao. Saya sendiri akan menyusul Bao Ling ke hutan
Hwa." "Saya percaya kamu dapat menuntaskan setiap masalah, Mulan.
Tapi saya tidak ingin kamu menjadi tumbal di garda depan
568 Yuan." "Tidak penting memikirkan pada posisi apa kita berada, Kapten
Shang. Tidak penting dalam posisi, jabatan, dan strata apa kita
sekarang. Mempertahankan negara merupakan kewajiban setiap
orang. Bukankah sedari dulu telah saya tegaskan kepada Anda
bahwa, masalah Yuan merupakan tanggung jawab kolektif.
Bukan masalah orang per orang saja."
"Saya mengerti. Tapi terjepit di dalam masalah besar begini,
saya tidak tahu harus berbuat apa lagi."
"Untuk itulah diperlukan kontemplasi."
"Apa itu, Mulan?"
"Meditasi, itulah salah satu permenungan agar kita dapat berpikir
jernih untuk dapat menyelesaikan masalah sebesar ini."
"Saya tidak tahu seberapa besar manfaat meditasi. Hei,
bukankah hal itu merupakan salah satu ajaran Sakyamuni?"
"Sakyamuni hanya membeberkan jalan. Beliau tidak pernah
memaksakan kehendak kepada sesiapa. Jiwa dan raga kita
tergantung pada kehendak kita sendiri. Kitalah yang menjadi
majikan atau tuan atas diri dan pikiran kita sendiri. Kitalah yang
bertanggung jawab atas diri kita masing-masing. Untuk itulah
diperlukan kontemplasi. Tujuannya, agar kita dapat mengambil
langkah-langkah tepat menyiasati masalah. Bukannya
mengambil langkah gegabah yang keliru."
569 "Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan sekarang untuk
mengantisipasi pergerarakan pasukan Mongolia?"
"Saya mengerti, memang sudah sepatutnyalah kita mengambil
langkah-langkah penting dan cepat untuk menghalau
pergerakan Mongolia. Jujur saja, sebenarnya pasukan kavaleri
Fo Liong kita sudah dihancurkan di perbatasan Tembok Besar.
Jadi, satu-satunya kekuatan kita sekarang hanya bertumpu di
Tung Shao ini. Pasukan elit Yuan di Ibukota Da-du sendiri sudah
menyerah. Saya kira, pasukan kitalah yang merupakan titik
terakhir untuk mengadakan perlawanan sebelum sungguhsungguh jatuh ke dalam tangan Temujin."
"Kalau begitu, tunggu apalagi? Secepatnya kita harus
menyerang sebelum Temujin merebut Ibukota Da-du."
Fa Mulan menghela napas panjang. Sungguh, ia tak paham
benar lara yang belum mereda. Tak henti-hentinya Tionggoan
dirundung maharana. Rakyat dan para jelata jualalah yang akan
menjadi korban kebiadaban.
"Kapten Shang...."
"Maafkan saya jika terlampau emosional."
"Anda tidak salah. Saya mengerti seseorang akan menjadi labil
jika didera situasi sulit seperti ini."
"Tapi, saya merasa bersalah. Saya merasa seperti tidak berguna
sama sekali." 570 "Kesalahan tidak dapat ditujukan pada satu pundak saja, Kapten
Shang. Masuknya pasukan Mongolia ke Tionggoan tidak dapat
dikatakan sebab kelalaian Anda semata. Banyak faktor
penyebab. Di antaranya euforiaritas akibat kemenangan Yuan
terhadap pasukan pemberontak Han di Tung Shao beberapa
waktu yang lalu. Jadi, saya berharap Anda tidak larut dalam
penyesalan diri begitu."
"Seperti di sini, kalau bukan kamu, entah apa yang akan terjadi.
Saya merasa benar-benar tidak berguna. Kamulah yang berhasil
mengalahkan pasukan Han Chen Tjing."
"Bukan saya. Tapi kemenangan kita adalah kemenangan
kolektifitas. Semua prajurit di sini turut berandil mengalahkan
pasukan pemberontak Han. Jadi, bukan saya semata."
Pemuda itu mengangguk. Sorot bola matanya yang serupa
elang masih mematri pada wajah tegas Fa Mulan.
Sesungguhnya kegamangannya kali ini bukan lantaran
runtuhnya Dinasti Yuan, namun lebih daripada semua itu. Ada
yang lebih ia takutkan melebihi marabahaya manapun yang siap
merenggut nyawanya sendiri.
Hitungan bilangan hari, dan bulir padi pada pematang adalah
ihwal kematian. Sedemikian dekatkah gadis itu pada ujung
kematian?! Makhluk manakah yang akan yang akan menghabisi
dan menyabut nyawa Bunga Magnolia itu?!
571 Sekali lagi ia menggeleng tanpa sadar. Bukankah kematian
merupakan awal kehidupan yang baru?! Bukankah kematian
merupakan pengakhiran derita yang seperti tak pernah ada
habisnya?! Lalu, untuk apa ia menyesalinya?!
Apakah napasnya hanya sependek gelung tabir asap dupa yang
bergeletar getas di atas paidon?! Oh, Dedewa, meski ia
bukanlah rani, namun sudilah Engkau turun ke bumi.
Mengangkatnya dari kubangan kematian. Sebab maharana ini
sungguh menyesakkan jiwa.
"Saya akan segera berangkat ke hutan Hwa untuk membantu
Bao Ling menolong Baginda."
"Mulan...." "Sudahlah, Kapten Shang. Anda harus berkonsentrasi di Tung
Shao ini. Jangan terlalu memikirkan saya. Saya akan jaga diri
baik-baik." "Saya khawatir Shan-Yu...."
"Percayalah, Kapten Shang. Kebatilan tidak pernah dapat
mengalahkan kebajikan. Saya berjanji akan kembali dengan
selamat. Tentu saja, bersama Kaisar Yuan Ren Zhan."
"Tapi, Shan-Yu memiliki ilmu silat yang tinggi. Dia juga licik."
"Saya, beserta Bao Ling, yakin dapat mengatasinya. Lagipula,
Dewata tentu tidak ingin membiarkan kebatilan merajalela di
Tionggoan ini." 572 "Ya, ya." "Sebentar lagi saya harus ke hutan Hwa. Di sini, Anda harus
memperkuat basis tempur. Anda harus berhati-hati, Kapten
Shang. Mongolia bukan musuh sembarangan. Mereka memiliki
kapabilitas tempur yang melebihi pasukan pemberontak Han.
Temujin jauh lebih lihai ketimbang Han Chen Tjing, yang lebih
mengandalkan emosional ketimbang logika dalam sebuah rana.
Temujin adalah tokoh tipikal nomadi. Dia merupakan petarung
gurun yang hebat dan ulet. Meski saya tidak gentar terhadap
terhadap kubu lawan yang kuat, namun rasa pesimistis akan
kemampuan pasukan kita tetap saja menghantui saya."
"Memang. Saya sendiri sudah pesimistis, Mulan. Ibukota Da-du
hanya tinggal menunggu hari saja jatuh ke dalam tangan
Temujin. Keadaaan sudah sangat genting. Perdana Menteri Shu
Yong dan Jenderal Gau Ming sudah tewas. Sementara itu
jenderal-jenderal lain sudah melarikan diri jauh-jauh hari
sebelum Mongolia menyerang. Sekarang, harapan Yuan hanya
terletak di pundak kita berdua. Lalu, apa yang dapat kita lakukan
dengan sisa pasukan begini?!"
Fa Mulan menghela napas panjang.
Ya, apa yang dapat mereka lakukan sekarang?!
Digigitnya bibir. Oh, inikah karma dari kebatilan manusia atas manusia lainnya?!
573 Sungguh, inilah beban terberat yang pernah ia emban. Namun
selalu ada jalan keluar dari masalah. Selalu ada sinar terang di
balik kegelapan. Dan ia percaya, Dewata senantiasa melindunginya!
SELESAI Keterangan Yang-liu = Sejenis bunga sakura (blossom flower) yang banyak
tumbuh di daerah Tionggoan Selatan.
Ying-tin = Sekarang Nangjin.
Fo Liong = Meriam. Da-du = Sekarang Beijing.
Han Chen Tjing = Pemimpin tertinggi Han, mengepalai secara
rahasia sebuah organisasi bawah tanah bernama Kelompok
Topeng Hitam. Liong = Naga. Temujin = Nama kecil Genghis Khan.
Kao Ching = Pendekar Danuh, anak angkat Genghis Khan yang
akhirnya membelot setelah Mongolia berhasil mengusai
Tionggoan. Persik = Prunus persica. Sam Kok = Epos Tiga Kerajaan yang mashyur di Tiongkok,
574 mengisahkan kepahlawanan Guan Yu yang sangat dihormati
dan dipuja para Konfusiunisme - beberapa ribu tahun yang lalu,
Guan Yu Sang Jenderal Besar Konfusius ini pernah terkena
panah musuh dengan racun serupa. Namun akhirnya ia dapat
selamat karena memiliki semangat hidup dan jiwa yang satria.
Sun Tzu = Panglima perang termashyur di Tiongkok, sangat
populer dengan ilmu seni perangnya, Refleksi Seni Rana - The
Art of War. Kowtow = Bersujud dengan sikap sembah, dahi menyentuh
lantai. Sam Pek Eng Tay = Romansa Tiongkok kuno, sangat populer
dan sering dijadikan tema klasik dalam pertunjukan opera selain
epos Sam Kok. Taichi Chuan = Salah satu cabang wushu yang unik, dengan
mengandalkan tenaga lawan sebagai teknik kekuatan beladiri itu
sendiri. Hwasan = Bukit Bunga, salah satu bukit di Pulau Bunga. Pulau
Bunga sangat masyhur karena banyak melahirkan pendekar
tangguh. Di antaranya, Auw Yang Pei San - Pendekar Telapak
Penghancur Tengkorak yang batil, Oey Young - Ketua Partai
Pengemis (Kaipang Pay) serta kelak menjadi istri Kao Ching,
dan Chie Pek Tong - Pendekar Jurus Aurora yang kekanakkanakan.
575 Fu = Jimat. Tsar chi = Energi negatif.
Auw Yang Pei San = Nama salah seorang pendekar batil yang
berasal dari Pulau Bunga, memiliki ilmu silat tinggi hasil olah
batin hitam. Mengalami gangguan jiwa sebelum meninggal
akibat termakan oleh tenaga dalam negatifnya sendiri.
Ulan Bator = Ibukota Mongolia.
Hainam = Sekarang Taiwan.
Setan Putih = Julukan satire untuk orang Eropa pada masa itu.
Kingkong = Jurus andalan biarawan Shaolin, merupakan paduan
tenaga dalam yang mengalir ke telapak tangan. Sangat
bertenaga dan dahsyat. Ciri khas jurus ini selalu meninggalkan
bekas telapak di batu atau tubuh korban. Jurus ini diciptakan
oleh Biksu Datmo ribuan tahun lalu, saat menyebarkan agama
Buddha pertama kali di Tiongkok.
Wong Qi Bei = Leluhur pendekar legendaris Wong Fei Hung, Si
Tendangan Tanpa Bayangan. Pemilik dan penerus kedai obat
kondang Pho Chi-Lam. Samsara = Sebuah kondisi berniskala derita, merupakan
serangkaian kehidupan yang berulang-ulang dalam kepercayaan
Buddhisme. Tao Te Cing = Ajaran spiritual Lao Tze, menyoal keharmonisan
576 kosmis, keseimbangan kehidupan makhluk hidup - manusia dengan alam.
Baba = Merupakan sebutan ayah untuk kaum Mongol.
Wu Zetian = Adalah kaisar perempuan pertama di China.
Memimpin Tiongkok kuno pada zaman Dinasti Tang yang
berkuasa di era tahun 618-907 Masehi. Ia menjadi kaisar setelah
menggantikan mendiang suaminya yang mangkat, Kaisar
Taizong. Semenanjung Kuning = Salah satu julukan untuk Tionggoan.


Mulan Ksatria Putri Tionggoan Karya Effendi Wongso di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yakkha Alavaka = Merupakan personifikasi kejahatan dalam
kepercayaan Buddhisme mazhab Theravada atau Hinayana.
Digambarkan sebagai sosok gergasi serupa genderuwo,
memimpin sekawanan prajurit setan bergajah yang sangat
menakutkan. Mongku = Sebutan lain untuk Mongol.
Ren = Manusia. Darah dibalas darah = Artifisial dendam, dikenal galib dalam
dunia persilatan di Tionggoan.
Sakyamuni = Sebutan lain untuk Siddharta Gautama. Salah satu
ajaran terpenting Siddharta Gautama adalah penekanan ke arah
cinta kasih. Termaktub dalam salah satu sutra versi Buddha
577 Theravada atau Hinayana di Kitab Suci Tipitaka, Karaniyametta
Sutta. Keng = Sutra atau sutta, dalam bahasa Mandarin. Merupakan
ritual verbal dalam agama Buddha mashab Mahayana. Setelah
terkena anak panah beracun kaum nomad Mongol di perbatasan
Tembok Besar semasa wamil, Fa Mulan mengalami koma
beberapa hari. Selama komanya itulah ia berhalusinasi bertemu
dengan Avalokitesvara. Avalokitesvara = Memiliki pengertian yang multitafsir. Umat
Buddha mashab Mahayana meyakini sosok-Nya sebagai Dewi
Guan Im, namun umat Buddha mashab Theravada meyakini
sosok-Nya sebagai Arahat atau makhluk suci yang telah
mencapai kesempurnaan batin.
BIODATA PENULIS Titi Permatasari | Perempuan kelahiran Jakarta, 8
September 1982 ini merupakan reporter, produser,
dan wadyabala Radio Prambors Jakarta. Penulis
yang lebih akrab disapa Titaz ini baru saja
merampungkan studinya di IISIP Jagakarsa,
Jakarta Selatan. Sedari dulu gadis berkarakter dinamis dan
tomboi ini memang senang dengan dunia tulis-menulis. Ia
578 pernah magang di majalah Gadis dan bertugas sebagai reporter
di majalah Planet Pop (1999-2000). Berduet bersama Effendy
Wongso, ia menghasilkan novel berdurasi panjang, Mulan ? Epik
Maharana, Bagian Pertama Episode Satu.
Effendy Wongso | Lahir di Watampone, Sulawesi
Selatan, 13 Juni 1980. Penulis yang memiliki nama
pena Wong ini menghabiskan masa-masa
remajanya untuk membaca dan menulis. Senang
berkecimpung di dunia remaja hingga sekarang.
Pernah bertugas sebagai wartawan majalah Anita Cemerlang
(1996-1998), dan menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah
Planet Pop (1999-2000). Ia banyak menghasilkan cerita cinta
bertokoh remaja. Pada tahun 1996, nominator LCCR (Lomba
Cipta Cerpen Remaja) Anita Cemerlang empat tahun berturutturut ini dinobatkan sebagai salah satu pengarang paling
produktif versi majalah Anita Cemerlang.
579 Pedang Sakti Tongkat Mustika 7 Sumpah Berdarah Karya Abdullah Harahap Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 17

Cari Blog Ini