Ceritasilat Novel Online

Lukisan Horor 1

Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu Bagian 1


ENTAH kenapa aku mau datang ke sekolah malam-ma?
lam begini. Atau sebenarnya aku tahu, hanya saja aku tak mau meng?
?akuinya. Aku harus datang supaya masalah itu ti?dak
tersebar. Tidak, aku tidak ingin masalah itu sampai ter?sebar
dan kedengaran semua orang?terutama orang?tuaku. Me?
reka sudah menaruh harapan begitu besar pada?ku, dan
selama ini aku sudah menjaganya dengan pres?tasi yang
kuraih dengan susah payah. Skandal me??ngeri?kan seperti ini
sudah pasti akan memukul pe?rasaan mereka.
Kenapa bisa ada yang tahu masalah ini? Kenapa bisa
ada yang tahu selain mereka-mereka yang terlibat? Aku
tahu, tak ada satu pun di antara kami yang akan men?
ceritakannya pada orang lain. Kami semua telah mem?
buat kesalahan yang teramat besar, dan sebagian dosanya
lebih besar daripada yang lain. Tapi kami semua berada
dalam posisi yang sama. Kami sama-sama takut masalah
ini tersebar, dan tak ada satu pun di antara kami yang
sudi membocorkannya pada orang lain.
Kecuali cewek itu. Tapi masa dia...?
Isi-Omen2.indd 8 011/I/13 Tidak. Dia pun tak akan membocorkan masalah ini
pada orang lain. Justru dialah yang paling bersalah,
kalau memang ada posisi seperti itu di antara kami. Dan
tak mungkin dia akan membocorkannya pada orang
yang paling berbahaya, kalau dilihat dari hubungannya
dengan orang-orang yang sudah kami celakai itu.
Lalu, kenapa orang itu bisa tahu tentang perbuatan
kami? Koridor sekolah terlihat mengerikan pada malam hari.
Pada siang hari, koridor ini dipenuhi murid-murid dari
ber?bagai kelas, semuanya bergerombol dan berisik. Tanpa
semua murid-murid itu, koridor ini terlihat panjang, me?
ngerikan, dan tak berujung. Padahal, sekarang belum
malam-malam banget. Senja baru saja turun. Di kejauhan
masih ada semburat merah muda yang cantik.
Aku menarik napas, lalu berjalan menyusuri koridor.
Menuju Ruang Kesenian. Ruangan yang remang-remang itu tampak tidak
menyenangkan. Patung-patung manusia yang baru dibuat
anak-anak kelas XI IPS-2 ditutupi seprai putih yang mem?
buat patung-patung itu tampak bagaikan sosok-sosok
hantu yang menjulang di tengah-tengah ruangan. Aku
bahkan tak bakalan tahu kalau salah satu sosok itu berisi
manusia biasa. Astaga, bagaimana kalau salah satu sosok berselubung itu
benar-benar manusia? Berhubung patung-patung itu begitu banyak, aku tak
akan bisa mengeceknya satu per satu. Apalagi satu-satu?
nya yang kuinginkan adalah keluar secepatnya dari
tempat gelap yang tak menyenangkan ini, segera setelah
aku me?nyelesaikan urusanku.
Isi-Omen2.indd 9 011/I/13 "Halo?" tanyaku, dan suaraku langsung bergema di
ruang??an kosong itu. "Ada orang di sini?"
Tadinya aku sengaja tak menyebutkan nama, tak ingin
ada pihak-pihak tak berkepentingan yang mengetahui urus?
anku. Siapa tahu ada penjaga sekolah yang lewat?atau
barangkali guru BP kami yang raksasa itu, Pak Rufus,
sedang bertengkar dengan ibunya yang pemarah dan me?
mutuskan untuk menginap di sekolah. Siapa tahu.
Tapi pertanyaanku tidak mendapatkan jawaban sama
sekali, dan aku mulai takut. Bukan hanya karena suasana?
nya mengerikan. Masalahnya, kalau ditanya, sulit bagiku
untuk menjaga kerahasiaan masalah ini, apalagi kalau
sampai ada mulut bocor di antara kami. Seandainya saja
ada orang yang mau menemaniku datang ke sini malam
ini. Sial?nya, semua orang yang terlibat tidak bisa kuhu?
bu?ngi. Kebetulankah? Atau ada sesuatu yang telah menimpa me?
reka? Oke, aku mulai berharap Pak Rufus dan Pak Jono, si
pen?jaga sekolah bermuka tikus, mendadak muncul lalu
menangkapku. Setidaknya, aku jadi punya alasan untuk
pulang. "Halo?" panggilku sekali lagi dengan suara gemetar.
Sial, aku kan cowok. Masa suaraku seperti pengecut
be?gini? Aku mengumpulkan semua nyaliku dan mem?
bentak, "Halo!!!"
Tetap saja tak ada jawaban.
"Ini nggak lucu!" ucapku dengan nada semarah mung?
kin. "Kalo lo cuma mau ngerjain gue, sori, gue nggak
ada waktu buat ngeladenin elo. Mendingan gue pulang
se?karang juga!" Isi-Omen2.indd 10 011/I/13 Aku sudah berjalan ke pintu saat lukisan itu menarik
perhatianku. Lukisan yang dibuat dalam rangka pameran
lukisan yang diadakan sekolah kami. Aku tahu, lukisan
itu milik Rima. Rima si anak kelas sepuluh yang kurus
dan jelek dengan rambut panjang me?ngerikan, cewek
lemah yang biasanya jadi bahan ter?tawaan kami, anakanak populer. Tapi entah kenapa Rima di?nobatkan
sebagai pelukis paling berbakat di sekolah kami. Padahal
lukisannya tak bagus-bagus amat kok. Agak seram,
sebenarnya. Seperti lukisan ini. Ada sebuah sosok yang mirip manu?
sia, mungkin laki-laki, menyeret dirinya keluar dari se?
buah pintu, sementara sosok lain yang mirip monster
sedang mengayunkan parang besar di be?lakangnya.
Darah berceceran di lantai, yang tentunya ber?asal dari
kaki si sosok laki-laki yang sudah buntung. Lukisan itu
dibuat dengan sapuan cat minyak yang lebih mirip
corat-coret orang sinting ketimbang lukisan orang ber?
bakat... Tunggu dulu. Kenapa sosok yang mirip laki-laki ini
berambut pirang? Kuangkat tanganku untuk menyisir rambutku yang di?
potong shaggy dan dicat warna pirang. Jantungku makin
berdegup keras saat melihat jam tangan bertali krem di
pergelangan tangan sosok itu, yang tampak mirip dengan
jam tangan yang kini melilit di pergelanganku. Tadi pagi
waktu aku melihat lukisan ini, rasanya belum ada detaildetail kecil ini.
Masa sih...? Aku mendengar bunyi di belakangku dan langsung
ber?balik. Napasku tercekat melihat salah satu patung ber?
Isi-Omen2.indd 11 011/I/13 selimut seprai itu berputar perlahan-lahan hingga meng?
hadapku. Lalu, bagaikan gerakan robot, patung itu men?
dekatiku. Dari balik seprai menyembul sesuatu yang ku?kenali
sebagai parang besar. Oh, Tuhan! Tanpa berpikir panjang, aku membuka pintu Ruang
Kesenian dan mulai berlari. Sementara itu, pikiranku di?
hantui gambar dalam lukisan itu.
Lelaki itu berkaki buntung. Darahnya berceceran di
mana-mana. Monster bersenjata parang siap mem?bacok
kepala si kaki buntung dari belakang.
Oh, Tuhan, kenapa kondisiku sekarang mirip sekali
de?ngan lukisan itu? Mendadak terlintas di kepalaku katakata teman-temanku saat melihat lukisan itu. Kata-kata
yang tadinya kukira hanya gosip belaka.
"Terkadang Rima bisa menggambar sesuatu yang akan
terjadi lho." Tidaaakkk! Aku nggak mau berkaki buntung! Aku nggak
mau mati dibacok monster bersenjata parang! Masa depanku
seharusnya indah, seharusnya nggak seperti ini...!
Tolong! Tolong aku! Aku tersandung dan terjatuh. Celaka. Lantai koridor
ini memang terbuat dari sederetan papan, dan kebanyak?
an papan ini sudah tua dan agak menyembul keluar dari
posisi yang seharusnya. Aku berusaha bangkit, tapi lalu
sesuatu menghunjam kakiku.
Aku menjerit keras-keras. Sakit, rasanya sakit sekali.
Ibu, tolong aku! Ibuuu....
Aku berusaha bangkit dan merangkak. Dengan sisa-sisa
te?naga, aku tetap berusaha melarikan diri dan menye?
Isi-Omen2.indd 12 011/I/13 lamatkan nyawaku. Tapi sesuatu menghalangiku. Sesuatu
yang lengket dan membuatku nyaris tak bisa bergerak,
sesuatu yang kemudian kusadari sebagai darahku sendiri,
yang membentuk genangan besar di atas lantai.
Seharusnya tidak seperti ini. Seharusnya tidak begini.
Tak mungkin aku berakhir sesuai lukisan yang dibuat
cewek jelek dan konyol itu.
Tapi aku memang sudah bersalah. Aku sudah melaku?
kan kesalahan yang amat sangat besar, dan aku layak
dihukum karenanya. Aku tahu semua ini pasti akan ada
karmanya. Tapi aku tidak pernah menduga akan me?
nerima karma yang begini tragis.
Telingaku terasa teredam, setiap suara terdengar bagai?
kan bunyi stereo yang memenuhi indra pendengaranku.
Suara kaki yang terseret-seret dengan berat, seolah-olah
kaki itu terbuat dari tanah liat atau besi. Suara tawa puas
yang menggema di seluruh kepalaku.
"Inilah hukuman yang harus kaujalani, selamanya."
Aku berhenti merangkak dan mendongak, menghadap
sosok yang ditutupi kain berlapis-lapis itu. Aku tidak bisa
melihat apa-apa karena pandanganku begitu buram?bu?
kan hanya karena kesadaranku yang mulai lenyap, me?
lainkan juga karena air mata yang menggenang di pe?
lupuk mataku. Memalukan, aku tahu, tapi tidak lebih
memalukan daripada air kencing yang kini membasahi
celanaku. Meski begitu, aku tetap menyadari satu hal. Tadi aku di?
kejar dari belakang, dan kini dia berdiri di hadapanku.
Hantukah ini? "Siapa kamu?" isakku. "Mengapa kamu lakukan ini
ter?hadapku?" Isi-Omen2.indd 13 011/I/13 "Alasanku sudah jelas, untuk menghukummu atas dosa?
mu setahun yang lalu."
"Tapi apa kaitanmu dengan dia?"
Aku tidak pernah mendengar jawabannya. Sebab, tahutahu saja, seluruh hidupku bagaikan ditelan kegelapan.
Isi-Omen2.indd 14 011/I/13 seminggu sebelumnya Aku memandangi papan pengumuman sekolah kami
dengan tampang superbete.
Seperti biasa, papan itu dipenuhi berbagai tempelan
kertas yang dihias secara menarik. Ada beberapa yang
diberi stempel guru BP, yang berarti mendapatkan per?
setujuan guru dan kepala sekolah, tetapi lebih banyak
lagi yang ditempel tanpa sepengetahuan yang bersangkut?
an. Oke, aku ralat. Bukannya guru dan kepala sekolah
kami tidak tahu ada pengumuman-pengumuman liar di
sini?mereka hanya tak peduli.
Dukung sekolah kita dengan join klub futsal nomor dua,
sebab klub futsal nomor satu ketuanya idiot!
Malas jajan di kantin yang sering rusuh di saat istirahat?
Hubungi 08572039xxxx. Bisa delivery ke dalam kelas, cukup
bayar tambahan seribu perak!
Isi-Omen2.indd 15 011/I/13 Tidak setuju dengan rencana field trip ke Bandung
selama tiga tahun berturut-turut? Mari kita sabot rencana
field trip berikutnya dengan mengajukan petisi ke Bali!
Dan seterusnya. Aku mengais-ngais papan pengumuman, dan menemu?
kan kertas cantik berwarna merah tua yang kutempel di
sana, ditimpa dengan tidak hormat oleh iklan tentang
delivery jajanan kantin dan ketua futsal idiot yang tak
segan-segan menancapkan paku payungnya di kertasku,
menimbulkan bolong-bolong yang menyedihkan laksana
mayat yang mendapat tembakan berkali-kali.
Tidak bisa memecahkan keanehan/misteri/teka-teki yang
Anda temukan? Silakan tinggalkan nomor HP Anda di be?
lakang kertas ini. Tertanda, Duo Detektif G&G.
Isi-Omen2.indd 16 011/I/13 Tentu saja, bagian belakang kertas itu tetap kosong,
sama seperti saat terakhir kali kuperiksa.
Tak ada yang menganggap usaha kami serius.
Bahkan partnerku pun tidak menganggapku serius.
Oke, aku akui, aku yang sudah bertindak secara se?
pihak. Erika Guruh tidak pernah menyanggupi untuk
men?jadi bagian dari Duo Detektif atau, mungkin juga,
menjadi sahabatku. Cewek itu dingin, cuek, dan tak bisa
ditebak. Orang-orang yang berani mengganggu aliran
udara di sekitarnya bakalan ditinju, ditendang, bahkan
di?colok matanya. Pokoknya, tak ada yang berani ber?
urusan dengan Erika. Kecuali aku, karena selain cukup
per?caya diri dengan kemampuanku, Erika juga tidak per?
nah menyakitiku. Dia pernah mengambil sepatuku, sebenarnya, tapi itu
pun atas keinginan sukarela dariku.
Erika tidak suka terikat dengan orang lain?dan aku
mengerti dengan prinsipnya itu. Tapi ayolah, kami sudah
Isi-Omen2.indd 17 011/I/13 melalui banyak hal bersama, suka maupun duka, dan tak
banyak orang di dunia ini yang menghabiskan waktu
de?ngan?nya sebanyak diriku. Jadi tak ada salahnya kan
kalau aku menganggap dia sudah menganggapku sahabat
sama seperti aku menganggapnya sahabat?


Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lain halnya dengan masalah Duo Detektif.
Erika tidak suka berurusan dengan orang lain. Kalian
pasti akan langsung menyadari itu setiap kali melihatnya.
Rambut pendek shaggy yang membuatnya rada-rada
mirip Justin Bieber, tubuh tinggi kurus dan berotot, dan?
dan?an mirip cewek gotik (tidak seseram dulu, tapi yang
jelas dia masih tak mirip murid sekolah pada umumnya),
dan seragam sekolah yang sudah dipermak sehingga
lebih menyerupai seragam buruh pelabuhan. Dia tidak
perlu mengusir orang?cukup melemparkan tatapan mata
penuh hawa pembunuh saja, semua orang sudah lari
pontang-panting secara otomatis. Aku tak bisa mem?
bayangkan dia mau membantuku menyelesaikan masalah
orang lain. Tapi aku bosan dengan rutinitas di sekolah.
Daripada aku membuat gara-gara (yang pastinya sangat
tak sesuai dengan imej yang kubangun di sini), lebih
baik aku mendirikan klub detektif?dan satu-satunya
orang di sekolah yang kuanggap cukup pantas untuk
men?dampingiku di klub tersebut adalah Erika.
Saat ini, cewek itu sedang merajai meja kantin paling
diincar?meja yang letaknya paling dekat dengan lapang?
an bola dan berukuran paling besar?sendirian. Tentu
saja, tak ada yang berani duduk dengan cewek me?nakut?
kan itu. Rasanya lucu melihat kelompok-kelompok yang
dibuat anak-anak SMA ini pada saat istirahat. Meja kedua
ter?besar di kantin dipenuhi oleh anak-anak paling po?
Isi-Omen2.indd 18 011/I/13 puler di sekolah kami?ini berarti cowok-cowok ganteng
dan cewek-cewek cantik yang semuanya tajir berat. Se?
bagian dari mereka melirik ke arah Erika dengan wajah
kesal karena meja besar incaran mereka hanya ditempati
satu orang, tapi tak ada satu pun yang berani bertindak
(tindak?an mencari mati itu namanya). Lalu ada ke?
lompok cewek-cewek cupu yang berkacamata dan mem?
bawa banyak buku meski saat sedang makan (melihat
ciri-cirinya, aku seharusnya bergabung dengan meja ini).
Ada juga meja yang ditempati cowok-cowok dari keluarga
kurang berada. Ada lagi meja yang ditempati anak-anak
yang langganan tidak naik kelas.
Ya, sekolah kami memang dipenuhi berbagai golong?
an?mulai dari yang genius hingga idiot, mulai dari yang
punya orang?tua konglomerat hingga yang punya orangtua
pemulung. Sekolah kami tidak pemilih?tidak seperti
sekolah te?tangga kami, Persada Internasional, yang hanya
me?nerima murid-murid kaya. Sekolah kami berusia jauh
lebih tua, punya tradisi lebih banyak, dan jauh lebih toler?
an terhadap kekurangan murid-muridnya.
Namun ini juga berarti, pergaulan sekolah kami tidak
kalah brutalnya dengan permainan dalam film The
Hunger Games yang keren itu. Memang sih tidak ada
bunuh-bunuhan?atau belum ada yang pernah terbukti?
tapi sudah jelas semua tidak segan-segan saling men?
jatuhkan demi popularitas, ataupun demi sekadar ber?
tahan hidup di SMA. Konon, setiap tahun pasti ada
insiden besar yang menggemparkan?tidak hanya satu
atau dua, tapi beberapa. Dari tahun ke tahun pihak
sekolah berusaha semakin keras untuk menekan angka
itu. Sayangnya, kejadian seram demi kejadian seram
Isi-Omen2.indd 19 011/I/13 terus terjadi, dan setiap tahun sepertinya ber?tambah
sadis saja. Itulah sebabnya aku memasang pengumuman barusan
itu. Siapa tahu, saat ini ada yang terancam bahaya.
Saat ini pun aku tahu aku sedang menghadapi bahaya
yang tidak kecil saat mendekati Erika di meja kehormat?
an. Semua akan langsung menganggapku berada di pihak
Erika. Seandainya Erika melakukan sesuatu yang meng?
ancam posisi mereka, sudah pasti bakalan ada yang ber?
tekad mengerjaiku untuk membalasnya. Soalnya, di?
banding Erika, aku sasaran yang lebih empuk. Cewek
cupu berkacamata dengan rok kepanjangan, rambut
panjang yang hanya dihiasi sirkam murahan, dengan
per?lengkapan murahan?mulai dari tas yang kini sedang
tak kubawa hingga sepatu yang menempel di kakiku.
Semuanya meneriakkan imej bahwa aku adalah anakyang-paling-tepat-untuk-ditindas.
Yah, sebut saja aku gila, tapi inilah imej yang kupilih.
Imej yang paling tepat untuk menjadi seseorang yang
tidak diperhitungkan, tidak menonjol, dan tidak di?
curigai. Tapi ternyata itu juga imej untuk seseorang yang
enak banget untuk digilas anak-anak sok jago yang me?
rajai SMA Harapan Nusantara.
"Lo tau nggak, iklan delivery makanan kantin itu
bohong?an?" tanya Erika begitu aku meletakkan pantat?ku
di bangku di seberangnya. "Gue tadi kan sempet tele?pon,
tapi katanya salah sambung."
"Emang lo ngomong apa begitu lo telepon?"
"Yah, jelas gue sebutin nama gue."
Pantas saja dibilang salah sambung. Siapa yang mau
berurusan dengan Erika Guruh, cewek seram garis miring
Isi-Omen2.indd 20 011/I/13 nggak punya duit? "Sayang juga ya, padahal efisien juga
makan di dalam kelas."
"Tapi lumayan deh, gue bisa ngirit seribu perak," se?
ringai Erika. "Jadi, kenapa muka lo kusut gitu? Apa peng?
umuman lo dicuekin orang lagi?"
"Ya...." Mendengar pertanyaan terakhir itu, mendadak
sebuah kecurigaan tebersit di hatiku. Erika kan tidak
tahu aku menempel surat pengumuman itu. Jadi, bagai?
mana dia bisa tahu? "Apa elo yang nimpa pengumuman
gue dengan iklan delivery dan berita ketua futsal idiot?"
"Lo kira gue tau soal iklan delivery dari mana?"
Aku menatap kesal cewek yang tak tampak merasa ber?
salah itu. "Kenapa lo sabotase pengumuman gue?"
"Habis, pengumuman itu tolol banget," katanya
ringan. "Emangnya misteri apa yang lo harapkan dari
anak-anak idiot ini? Pacar selingkuh, orangtua mendadak
pelit, anjing peliharaan setia kabur di tengah malam?"
"Yah, itu semua kan masalah-masalah besar dalam ke?
hidupan kita sebagai remaja," kilahku. "Hal-hal begini
yang bikin kehidupan kita jadi serasa berantakan. Lagi
pula, lo tau sendiri, sekolah kita punya legenda aneh
soal insiden-insiden menyeramkan."
"Whatever." Erika mengangkat bahu. "Tapi nggak se?
harusnya lo libatin gue. Gue kan nggak kepo kayak elo."
"Lo emang nggak kepo, tapi punya kecenderungan
menyiksa penjahat." "Wah, kalau itu bener juga sih," seringai Erika. "Jadi,
lo apain tuh pengumuman? Dicopot?"
"Emangnya gue menyerah begitu saja?" seringaiku.
"Gue taro di tumpukan paling atas dong, menutupi iklan
delivery bohongan dan ketua futsal idiot."
Isi-Omen2.indd 21 011/I/13 "Good for you, girl. Omong-omong, ada incoming dari
sebelah kiri." "Kiri gue atau kiri lo?"
"Kiri gue lah. Ngapain gue nyebutin kiri lo?"
Aku melirik ke sebelah kananku. Tiga sosok cowok
paling menyeramkan di SMA Harapan Nusantara sedang
mendekati meja kami. Orang pertama, yang mungkin
bisa disebut sebagai pemimpinnya, bernama Daniel.
Cowok itu tinggi besar dan ganteng, dengan muka imutimut polos mirip Rain si penyanyi Korea. Tapi gosipnya,
kalau dia sedang marah, kebrutalannya juga tidak kalah
dengan Rain waktu main di serial The Fugitive Plan B.
Aku tidak pernah melihat Daniel dalam keadaan ganas
begitu. Yang aku tahu, dia sudah tidak naik kelas setidak?
nya dua tahun. Mungkin saja dia lebih tua dua-tiga
tahun dibandingkan denganku.
Di sisi kirinya, Welly, yang bertubuh tinggi kurus de?ngan
gaya jalan mirip robot. Bukan mirip android keren, melain?
kan robot jadul yang jalannya step-by-step itu. Mungkin dia
kira dia lebih mirip jagoan dengan gaya jalan seperti itu
(dilihat dari segi mana pun dia tak pu?nya otot untuk
ditonjolkan). Tapi memang harus diakui, Welly salah satu
cowok paling ditakuti di SMA kami. Apalagi kalau dia
sudah mulai teriak-teriak, urat-urat di mukanya langsung
menonjol semuanya, dan gosip?nya ludahnya juga sering
menyembur. Menyeram?kan, pokoknya.
Di sisi Daniel yang satu lagi adalah Amir, yang ber?
tolak belakang banget dengan Welly. Amir bertubuh
gemuk (atau lebih tepat lagi, gemuk luar biasa), berwajah
santai dan nyaris penuh welas asih, serta sama sekali
tidak tampak berbahaya. Meski begitu, semua orang tahu
Isi-Omen2.indd 22 011/I/13 Amir adalah cowok paling tua di sekolah kami, pa?ling
senior, dan hafal semua gosip baik maupun buruk.
Bahkan cowok-cowok kelas XII tidak berani ber?tingkah
di depan Amir. Mungkin takut rahasia mereka dibocor?
kan. "Hei," sapa Daniel. "Duduk di meja gede begini kok
cuma berdua?" Daniel menoleh padaku dan tersenyum
manis. "Ini siapa? Kita sudah kenalan belum, ya?"
Ya ampun, senyum cowok ini benar-benar maut. Tak
heran banyak cewek yang naksir berat padanya. "Be..."
Aku sudah siap mengulurkan tangan, tapi Erika men?
dorong tanganku jauh-jauh dari uluran tangan Daniel.
"Udah. Jangan ganggu dia."
"Punya temen cantik kok disimpen-simpen?" gerutu
Daniel. "Jealous, ya? Takut gue direbut sama dia?"
"Sebaliknya, gue takut lo ngerusak anak orang," balas
Erika dingin. "Dan ngapain kalian di sini? Gue kira lo
semua udah bukan temen gue."
Erika memang sedang duduk. Posisinya jauh lebih
rendah dari tiga cowok bertubuh besar itu. Tapi tatapan
matanya, gerakan angkuh dagunya, dan mungkin juga
tangannya yang mengepal di atas meja, membuatnya
tampak sangat berbahaya dan jauh lebih me?nakut?kan
dibandingkan ketiga cowok yang datang dengan maksud
damai itu. Kalian mungkin bertanya-tanya apa yang terjadi di
antara mereka. Yep, aku juga. Aku belum begitu me?
ngenal Erika saat cewek itu masih berteman dengan tiga
cowok ini (pastinya, Erika agak mengerikan dan per?nah
merebut sepatuku). Yang aku tahu, ketiga cowok itu dulu
konco-konco Erika. Mungkin, dalam soal berantem, me?
Isi-Omen2.indd 23 011/I/13 reka tidak kalah jago dibanding Erika?bahkan kekuatan
mereka pasti jauh di atas Erika. Tapi mereka selalu me?
nempatkan diri sebagai bawahan Erika. Jangan tanya,
aku juga tidak tahu kenapa.
Uh, aku memang tidak tahu apa-apa ya!
"Ka, jadi orang jangan pendendam gitu dong," kata
Amir yang langsung mengempaskan pantatnya yang
besar dan bulat di samping Erika. "Kita kan udah ber?
teman lama..." "Baru setengah tahun. Itu mah bayi aja belum keluar
dari kandungan!" "Bayi apaan?" tanya Welly yang sepertinya lemot ba?
nget. "Nggak usah bikin alasan lagi deh, Ka, buat meng?
hindari kami. Gue tau kami emang salah, tapi kenapa lo
cuma cuekin kami? Kalo lo emang marah, ya udah sini,
pukul aja gue. Abis itu kita damai lagi."
"Iya, Ka, gaya kita kan nggak ngomong sampe ber?
busa-busa kayak orang lain," kata Daniel. "Cukup satudua pukulan untuk melampiaskan kekesalan lo, se?telah
itu kita damai, oke?"
"Satu," tegas Amir. "Satu pukulan."
"Satu?" dengus Erika. "Satu mah nggak akan menye?
lesai?kan apa-apa. Gue maunya tiga, tau?"
"Aduh, tiga mah gue bisa keburu menghadap Raja
Nera?ka," geleng Amir. "Satu, Ka. Plis. Jangan jahat sama
gue." "Dua okelah!" Welly berkata dengan muka sok jago.
"Dua mah gue nggak takut!"
Amir memelototinya. "Lo nggak takut, gue takut! Lo
lupa gimana perut gue diretakin sama dia terakhir kali
kita bikin dia marah?"
Isi-Omen2.indd 24 011/I/13 "Jempol kaki gue juga nyaris copot sama dia dalam
sekali serang," keluh Daniel. "Dan jangan bilang lo udah
lupa waktu hidung lo dibikin pesek sama dia!"
Waduh, aku jadi kepingin lihat pertengkaran yang
terjadi pada mereka terakhir kali. Sepertinya seru.
"Ya, gue masih inget dong," kata Welly malu. "Tapi
waktu itu gue kan nggak menduga dia tega menghajar
kita demi barang nggak berguna."
"Barang nggak berguna yang nggak mau kalian serahin
ke gue!" tandas Erika. "Kalian emang..."
Sebelum Erika menumpahkan koleksi kata-kata ke?
sayangannya yang jelas-jelas tak pantas untuk diku?
mandang??kan di depan umum, aku cepat-cepat menyela,
"Tiga pukulan."
Empat muka berpaling padaku. Empat muka dengan
tampang yang jelas-jelas mengatakan, "Kenapa tikus ini
tau-tau bisa ngomong?"
"Tiga pukulan," cicitku untuk menyesuaikan diri de?
ngan imejku. Padahal, di dalam hati aku sudah kegirang?
an. Seru juga kan, melihat Erika menunjukkan keboleh?
annya? Mana mau aku melewatkan kesempatan ini?
"Tapi, Ka, mereka boleh ngelak. Gimana?"
Erika tertawa datar. "Mana mungkin mereka bisa
ngelak dari serangan gue?"
"Lo nggak sehebat itu, Ka," kata Welly mencemooh. "Lo
inget kan, gue paling cepat di antara kami bertiga?"
"Oh, ya?" Erika menyipitkan mata. "Lo mau jadi kor?


Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ban pertama?" "Nggak takut." Erika bangkit perlahan-lahan dari bangkunya, dan se?
mua orang langsung melihat ke arah kami. Dia berjalan
Isi-Omen2.indd 25 011/I/13 ke lapangan yang lebih luas, dan Welly mengikutinya.
Tentu saja mereka tidak bergaya-gaya dengan melakukan
adegan pertarungan itu di tengah-tengah lapangan, me?
lainkan hanya di tepinya. Biar begitu, semua orang lang?
sung mengerubungi mereka.
"Siap?" Entah kenapa tahu-tahu aku kebagian tugas
menjadi wasit. "Mulai!"
Erika berjalan mengelilingi cowok kurus itu dengan
tatapan setajam elang, sementara gayanya mirip macan
yang sedang mengunci gerakan mangsanya. Welly me?
mutar tubuhnya mengikuti gerakan Erika. Kusadari
bahwa sambil memutari Welly, Erika semakin memper?
sempit jarak mereka. Tanpa disadari Welly, tahu-tahu saja
dia sudah berada dalam jarak serang Erika.
Mendadak Erika melancarkan tinjunya, dan Welly
meng?elak dengan ringan. "Satu!" seru Welly gembira.
Namun cowok itu tidak menduga bahwa Erika tidak
beristirahat untuk basa-basi. Cewek tangguh itu menarik
kerah Welly dan menyundulkan kepalanya ke muka
Welly. Saat cowok itu sedang kelenger karena serangan
ke mukanya itu, Erika menendang kakinya keras-keras
hingga cowok itu berlutut di hadapan Erika.
"Nggak usah nyembah-nyembah gue gitu, Well," seri?ngai
Erika pongah. "Hati gue yang lembut jadi nggak tega, kan.
Ya udah, gue ampuni dosa lo yang bejibun itu."
Dia menoleh, mencari-cari, dan menemukan Amir. Di?
tunjuknya Amir, lalu jari telunjuknya mengisyaratkan
Amir untuk maju. "Giliran lo, Mir."
Amir maju dengan tampang waswas. "Ka, gue benerbener sori dengan kejadian kemarin itu."
Isi-Omen2.indd 26 011/I/13 "Kata sori itu sama sekali nggak ada artinya buat gue,
Mir," sahut Erika dingin. "Yang gue mau tau itu seberapa
besar niat lo buat baikan sama gue."
Setelah berkata begitu, dia memutar tubuhnya dan
menendang ke arah muka Amir. Namun Amir berhasil
memegangi kaki Erika. "Begini nggak melanggar peraturan, kan?" tanya Amir.
"Nggak apa-apa, ini bukan masalah buat gue."
Erika tersenyum licik, lalu meloncat dengan satu kaki
yang langsung digunakannya untuk menghantam kepala
Amir. Manuver yang hebat sekali. Aku tak akan bisa
meng?gunakan jurus yang mengangkat tubuh dengan
ringan seperti itu. Tentu saja Erika belum selesai. Saat Amir melepaskan
kaki Erika untuk mengurusi kepalanya, Erika me?nyapu?
kan kakinya ke belakang lutut Amir.
Jadi sudah dua cowok bertekuk lutut di hadapan
Erika. "Sekarang tinggal elo, Niel."
Erika berbalik dan menghadap Daniel yang berdiri di
belakangnya. "Gue ngaku kalah duluan deh, Ka," kata Daniel sambil
me?nyunggingkan senyum penuh pesona yang pasti bakal?
an meruntuhkan hati banyak cewek. "Gue kan nggak
pernah menang lawan elo, jadi tolong jangan sekejam
itu sama gue, oke?" "Nggak usah sok lemah, Niel. Bodi lo aja udah dua kali
lipat gue. Mana mungkin gue nggak pake tenaga dalem?
Ayo, ke sini. Jangan buang-buang waktu gue lagi."
Daniel menghampiri Erika dan berkata genit, "Tolong
pelan-pelan, ya." Lagi-lagi mata Erika menyipit. Kuperhatikan, itu se?
macam ciri khas setiap kali Erika ingin menyerang lawan
yang diperhitungkannya. Sesuai dugaanku, dia langsung
menonjok Daniel. Cowok itu berhasil menahan tinju Erika dengan
telapak tangan. Erika menendang, dan lagi-lagi cowok itu berhasil
menangkis serangan Erika.
"Last chance," kata Daniel dengan muka yang mulai
mem?perlihatkan isi hatinya?girang karena berhasil meng?
hindari dua serangan Erika.
Erika menurunkan kakinya, lalu merunduk. Jelas-jelas
dia ingin menyundul Daniel. Daniel juga tampak siap
mengantisipasi serangan itu dengan menekuk kedua
lututnya. Lalu mendadak muka Daniel terlihat merah. "Auuu!
Tega banget sih lo!"
"Iya dong," sahut Erika tenang. "Tega memang nama
tengah gue." Mendadak kusadari, saat mata kami semua?dan juga
perhatian Daniel?tertuju pada kepala Erika, cewek itu
malah menendang area di antara kedua kaki Daniel.
Sementara itu, Daniel mengalami kesulitan untuk meng?
hindar karena lututnya yang tertekuk.
Perlahan-lahan, kami menyaksikan Daniel tersungkur
di depan kaki Erika. Inilah saatnya kami semua harus bertepuk tangan me?
muji pertunjukan keren itu. Sayang, tidak ada kehebohan
yang terdengar lantaran suara cempreng yang me?mecah
Isi-Omen2.indd 27 011/I/13 keheningan. Isi-Omen2.indd 28 011/I/13 "Ada apa ini?" Mendadak muncul sosok paling unik di sekitar kami.
Selain Erika tentu saja. Sosok itu bertubuh tinggi kurus,
berambut kribo, dan mengenakan kemeja batik lengan
panjang yang tampak resmi.
"Errrika! Kamu bikin ulah apa lagi?" teriak sosok itu,
yang tak lain adalah Pak Rufus, guru piket kami, dengan
nada yang jelas-jelas minta diperhatikan. "Kenapa semua
orang mengerubungimu? Dan Valerrria, kenapa anak
alim seperti kamu ikut-ikutan mejeng di sini?"
Ups. Kenapa tahu-tahu saja si guru piket jadi hafal
nama?ku? Padahal sebelumnya, meski nilai-nilaiku ter?
masuk gemilang, jarang ada guru yang hafal nama?ku.
Aku tak pernah ragu bahwa nama Valeria Guntur ter?
kenal di kalangan guru. Nilai-nilaiku selalu berada di atas
80, kebanyakan 90, dan sejumlah besar di antaranya bah?
kan 100. Pada semester lalu, aku meraih rangking dua
untuk peringkat umum dari lima kelas angkatan kami.
Tapi jarang sekali ada guru yang mencocokkan nama itu
dengan wajahku yang tidak mencolok dan sikapku yang
membuatku layak jadi makhluk tak kasatmata.
Pastinya, ini adalah efek bergaul dengan Erika Guruh,
cewek berpenampilan gotik paling menonjol di seluruh
angkatan kami, peraih rangking satu untuk peringkat
umum dari lima kelas angkatan kami, satu-satunya
pemilik daya ingat fotografis di seluruh sekolah kami
(yang berarti dia tidak pernah melupakan apa pun yang
dilihatnya), juga nomor satu dalam soal melakukan
kenakalan remaja. Pasti semua orang heran kenapa cewek cupu korban
penindasan sepertiku berani dekat-dekat dengan cewek
Isi-Omen2.indd 29 011/I/13 brutal ala Erika Guruh. Itu sebabnya semua mulai me?
ngenali namaku. Aku bersembunyi di belakang Erika, yang meski tidak
menoleh, kelihatan sedang nyengir bahkan dari bentuk
bagian belakang kepalanya.
"Nggak usah lebay lah, Pak Rufus," ucap Erika santai
pada guru piket yang, menurut penyelidikanku, sudah
men?jalin persahabatan kental dengan anak yang sering
dihukumnya ini. "Kami cuma main-main kok. Nggak ada
yang serius." "Nggak ada yang serius?" teriak Pak Rufus dengan
suara melengking sambil menunjuk tiga cowok yang
sedang berlutut di tempat yang berbeda-beda. "Lalu ini
apa?" Saat Erika sibuk mengarang alasan, mendadak Daniel
menyeletuk, "Kami sedang menyembah Dewi Matahari,
Pak." Kami semua melongo mendengar ucapannya. Sekilas
aku melihat Daniel melirikku dan mengedipkan sebelah
mata. Eh, serius? Cowok ganteng dan populer ini menggoda
cewek tak kasatmata sepertiku?
"Dewi Matahari?" Pak Rufus mengerutkan kening.
"Sekte baru, Pak," sambar Amir cepat. "Tapi dari keper?
cayaan Mesir Kuno. Sangat disukai anak-anak gaul zaman
sekarang." "Kalian tidak boleh bergabung dengan sekte sesat!" Pak
Rufus tampak ngeri. "Bahaya, tahu!"
"Tapi downline saya udah banyak, Pak!" teriak Welly
de?ngan muka fanatik. "Kami merekrut dengan cara
MLM. Mau beli formulir sama saya, Pak? Ajak dua temen
Isi-Omen2.indd 30 011/I/13 Bapak bisa dapat gratis satu bungkus permen penyegar
napas." "Sekte murahan ini!" Pak Rufus makin tak senang saja.
"Saya tidak suka ikut aliran yang aneh-aneh. Lagi pula,
kita sudah punya lima agama yang diakui dan satu
aliran ke?per?cayaan. Kenapa kita harus menambahnambah yang nggak jelas begini?"
"Karena manusia itu maruk," sahut Erika seenaknya.
"Udahlah, Pak. Biarin aja mereka. Nanti juga mereka
tobat sendiri. Mending Bapak urus yang lain saja dari?
pada ditawari formulir lagi. Hush, hush!"
"Errrika, kenapa kamu usir-usir saya?" Suara Pak Rufus
terdengar jengkel. "Saya hanya khawatir kamu di?ke?royok
tiga anak bengal ini. Kalian kan sudah musuh?an
berat..." "Sekarang udah temenan lagi kok." Erika berpaling
pada tiga cowok yang kini sudah berdiri di dekat kami.
"Bener nggak?" "Bener banget," angguk Daniel, lagi-lagi sambil melirik
ke arahku dan membuatku mulai salting.
"Begitulah yang disuruh Dewi Matahari," sambung
Amir. "Kalo nggak, semua downline musnah," jelas Welly
takzim. "Ya sudah, yang penting kalian tidak berantem. Se?
sama anak bengal memang harus rukun. Ya tidak,
Errrika?" "Pak," ketus Erika, "Bapak bisa ngomong ?r? dengan
nada biasa kok. Kenapa tiap kali Bapak nyebut nama
saya, mendadak logat Bapak jadi kental?"
"Karena saya bosan manggil kamu terus," balas Pak
Isi-Omen2.indd 31 011/I/13 Rufus dengan tak kalah ketusnya. "Kalau kamu sudah
ber?ubah jadi baik, nanti saya panggil kamu dengan baik
juga." "Lalu kenapa Valerrria ikut kena getahnya?" tanya
Erika lagi sambil menirukan cara Pak Rufus memanggilku
tadi. "Karrrena tadi keterrrusan," sahut Pak Rufus sambil
nyengir. "Sori, Val."
"Ya, Pak," senyumku.
"Ya sudah. Saya masih ada urusan lain dengan kalian
berdua. Yang lain, silakan teruskan istirahatnya."
Dengan kata-kata itu Pak Rufus membuyarkan kha?
layak ramai yang segera kabur sebelum nama mereka
disebut oleh guru piket yang biasanya tak begitu ramah
pada anak-anak yang dikenalinya (jelas, nama-nama yang
dihafalnya biasanya adalah nama anak-anak yang sering
melanggar peraturan). Sementara itu, Daniel, Welly, dan
Amir berjalan melewati aku dan Erika.
"Valeria..." Aku menoleh pada Daniel. "Kapan-kapan, jalan sama gue, yuk."
Aku melongo mendengar ucapan itu, tapi ketiga
cowok itu sudah meninggalkan kami. Aku menoleh pada
Erika, ingin bertanya apakah Daniel serius ataukah dia
hanya menggodaku, tapi yang kutatap adalah muka Erika
yang tampak sedang menahan emosi.
"Jadi, sekarang saya salah apa lagi, Pak?" bentak Erika
be?gitu semua orang sudah pergi. "Apa ini soal toilet guru?
Sumpah, udah lama saya nggak mampir ke situ...."
"Apa maksudmu sudah lama nggak mampir ke situ?"
pelotot Pak Rufus dengan muka tak kalah galak dengan
Isi-Omen2.indd 32 011/I/13 Erika. "Kamu pernah bikin ulah apa di toilet guru? Apa
kloset banjir itu ulahmu? Atau keran yang muncratmuncrat? Atau..."
"Udahlah, Pak, jangan bertele-tele!" sela Erika keras
dan nyolot, yang menandakan semua yang disebutkan
Pak Rufus memang ulahnya. "Emangnya kenapa Bapak
nahan-nahan kami di sini?"
"Oh ya, betul. Saya sampai lupa. Kalian dipanggil Bu
Rita." Jantungku tercekat. Bu Rita adalah kepala sekolah kami
yang juteknya luar biasa. Dia tidak pernah segan me?
negur anak-anak nakal di sekolah. Kata-kata pilih?annya
selalu tajam dan sinis, serta sanggup mem?buat merah
wajah anak paling muka badak sekalipun. Meski begitu,
sehari-hari dia jarang mengurus masalah kesiswaan dan
melimpahkan semuanya pada Pak Rufus. Gosipnya, dari
lima ratus murid di sekolah kami, hanya Erika yang


Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendapat kehormatan sering dipanggil si kepala se?
kolah. Dan sekarang aku bakalan mendapatkan giliranku.
Isi-Omen2.indd 33 011/I/13 RUANG kepala sekolah kami yang terhormat sama sekali
tidak bersahaja. Ruangan itu ditata dengan selera tinggi bernilai mahal,
dengan perabotan-perabotan yang pernah kulihat di toko
perabotan elite Da Vinci, gorden tiga lapis, dan pot-pot
bunga besar di mana-mana, serta tentunya dilengkapi
dengan satu unit AC yang segera menyebarkan bau ke?
ringat tak sedap yang menguar dari tubuhku, Erika, dan
tentu saja Pak Rufus (aku curiga yang terakhir ini paling
bau di antara kami). Dalam hitungan detik, sebuah alat
yang menempel di dinding menyemprotkan wewangian
segar yang jauh lebih mencolok daripada bau-bauan
yang kami tebarkan (meski tak sanggup melenyapkannya,
berhubung bau keringat gabungan kami bertiga memang
dahsyat banget). Sebuah sosok duduk di belakang meja mahoni yang
berat. Sosok itu memiliki seraut wajah mirip tawon?kaca?
mata dengan bingkai superbesar, hidung mancung, bibir
cemberut?dan rambut keriting berombak yang di?hiasi
uban, dengan setelan motif bunga-bunga pink yang
sepertinya cocok dikenakan oleh Profesor Umbridge, salah
Isi-Omen2.indd 34 011/I/13 satu guru Harry Potter yang paling kubenci. Aku ber?tanyatanya apakah sosok itu juga sekejam guru Harry Potter
yang gila kekuasaan itu, ataukah dia hanya pe?rempuan
bermuka tawon dengan hati selembut kupu-kupu?
Si perempuan tawon, alias kepala sekolah kami, Bu
Rita yang terhormat, memancarkan aura berwibawa yang
begitu kuat, sehingga kami nyaris melewatkan sosok
kedua di ruangan itu. Sosok itu berdiri di antara pot
bunga raksasa dan tiang bendera, nyaris tak terlihat,
mem?buat kami berdua sempat diam-diam terperanjat me?
nyadari kehadirannya. Seorang anak perempuan yang
cukup tinggi, kurus, dengan rambut panjang menjuntai
yang nyaris menutupi mukanya, hanya menyisakan celah
di tengah-tengah wajah bagaikan celah tirai untuk meng?
intip. Wajah yang sebenarnya cukup manis dan menarik,
kalau saja penampilannya tak seaneh itu.
Maksudku, kalau saja dia tidak seram banget.
"Barusan keluar dari TV, ya?" tanya Erika pada anak
perempuan itu, yang semakin menunduk dan mem?
bungkuk mendengar pertanyaan Erika yang jelas-jelas
me?nyindirnya sebagai Sadako, si hantu sumur dalam film
The Ring. Aku menyenggol Erika, berharap bisa membungkam
mulut tajamnya. Tak lucu kalau tiba-tiba sifat resenya
kumat dan tahu-tahu dia sudah adu mulut de?ngan
kepala sekolah kami, si tawon raksasa. Buru-buru ku?ucap?
kan salam untuk si kepala sekolah supaya tidak kelihatan
kurang ajar. "Selamat siang, Bu."
"Kalian berdua, duduk di sini!" perintah Bu Rita tanpa
mengacuhkan salamku. "Rima, kamu juga. Pak Rufus,
ambil satu bangku lagi dan duduk di dekat kami."
Tahu-tahu saja aku mendapati diriku diapit oleh si
cewek gotik sekolah dan si Sadako, sementara di hadapan?
ku duduk dengan muka seram, Bu Rita dan wakilnya,
Pak Rufus. Rasanya seolah-olah aku sedang menonton
film Monster Guru vs Monster Murid, namun di situ aku
cuma kebagian peran sebagai korban terinjak-injak dan
yang terlihat cuma tanganku yang sedang menggapaigapai minta diampuni.
Mataku melebar saat Bu Rita meletakkan selembar kertas
merah di depan kami. "Kalian yang menulis ini?"
Kutatap tulisan itu dengan perasaan keder.
Tidak bisa memecahkan keanehan/misteri/teka-teki yang
Anda temukan? Silakan tinggalkan nomor HP Anda di
belakang kertas ini. Tertanda, Duo Detektif G&G.
Isi-Omen2.indd 35 011/I/13 Jadi kami dipanggil karena masalah ini. Oh, God, I?m
screwed. "Siapa tuh Duo Detektif G&G?" tanya Erika cablak.
"Namanya jelek amat."
Sialan, dia menghinaku. Aku yang membuat nama itu,
tahu! "Kalian tidak akan bisa mengelak," kata Bu Rita sam?bil
menatap kami dengan sorot mata tajam yang bisa mem?
bunuh kami seandainya dia Cyclops, salah satu anggota
X-Men yang matanya bisa mengeluarkan laser. "Kami
para guru punya banyak cara untuk mengetahui
perbuatan kalian. Apalagi yang ini sudah jelas-jelas me?
nyatakan diri mereka. G&G. Guntur dan Guruh, bu?
kan?" "Bu, kalau memang itu singkatan nama kami, jelas itu
Isi-Omen2.indd 36 011/I/13 Guruh dan Guntur," cetus Erika. "Saya mana sudi terima
kalau nama saya ditaruh di belakang?"
"Jadi benar ini kalian?" tanya Bu Rita dengan nada
semakin mengerikan. Sebelum Erika mencerocos lagi, aku menyela, "Betul, Bu.
Ini kami. Tapi Erika nggak berbuat apa-apa. Saya yang mem?
buat dan menempelkan pengumuman ini, Bu."
"Iya, tapi saya juga setuju, Bu." Ucapan Erika mem?
buatku menahan senyum. Dia? Setuju? Sejak kapan? Ini
pasti salah satu bukti kesetiakawanan Erika Guruh yang
terkenal. "Jadi ini bukan kesalahan Valeria seorang diri,
me?lainkan kesalahan kami berdua."
"Saya tidak akan menyalahkan kalian untuk peng?
umum?an ini." Bu Rita menelengkan mukanya, tampak
seperti psikopat yang siap membunuh korbannya tanpa
menunjukkan perasaan setitik pun. "Saya hanya terkesan
dua murid yang begitu bertolak belakang bisa bekerja
sama. Tambahan lagi, dua murid ini ternyata dua murid
terbaik yang pernah dimiliki sekolah ini."
Sekarang aku dan Erika sama-sama tersipu-sipu di?bilang
sebagai dua murid terbaik. Tidak semua orang pu?nya
kesempatan dipuji "Bu Kepala Sekolah Tawon Raksasa".
"Kebetulan di sekolah kita sedang terjadi keanehan.
Tidak berlebihan rasanya kalau saya sebut ini sebagai
kejadian yang misterius."
Oke, sekarang mata dan telingaku terbuka lebar. Bahkan
Erika pun langsung mencondongkan badannya.
"Rima, perlihatkan lagi surat itu."
Cewek yang sedari tadi bungkam seribu bahasa saat
kami berdua dipuji-puji itu segera mengeluarkan selembar
kertas dengan sangat hati-hati dari sebuah amplop besar.
Kertas itu dilapisinya dengan plastik sehingga kami tidak
bisa menyentuhnya secara langsung. Tebersit dalam pikir?
an?ku, ini perbuatan orang yang benar-benar hati-hati?
atau parno berat. Semua pikiran itu langsung lenyap saat aku dan Erika
membaca isi kertas itu. Algojo tujuh lukisan horor akan keluar dari dalam
lukisan untuk menghukum para penjahat penyebab tra?
gedi tahun lalu, pada saat pameran lukisan, dan semua
akan mati sesuai cara-cara yang telah ditetapkan sang
algojo. Isi-Omen2.indd 37 011/I/13 Surat itu ditulis dengan krayon merah, dengan cara
yang sedemikian rupa sehingga lebih mirip coretan ke?
marahan daripada tulisan. Sekilas tampak seperti lelucon,
apalagi kata-katanya terasa menggelikan banget dan sama
sekali tidak masuk akal. Algojo tujuh lukisan horor? Keluar
dari dalam lukisan? Mati sesuai cara-cara yang telah di?tetap?
kan? Gila, kalau ini hanya lelucon, yang bikin pasti
psikopat jahat yang senang bikin orang-orang depresi
dan ketakutan. "Apa maksudnya?" tanya Erika sambil menatap Bu
Rita dengan serius. "Tragedi apa yang dimaksud?"
"Kami tidak tahu," geleng Bu Rita. "Sepengetahuan
kami, ada tiga peristiwa yang kurang menyenangkan
yang terjadi tahun lalu. Pertama, ada seorang anak yang
meninggal karena jatuh di kolam renang."
"Kok bisa?" tanya Erika dengan suara yang tak kalah
tajam?nya dengan suara Bu Rita. "Kolam renangnya kan
cetek banget." Isi-Omen2.indd 38 011/I/13 "Kolam renang itu sedang dikuras."
Oh. "Kepalanya pecah terbentur ubin. Tapi itu murni ke?
celakaan," lanjut Bu Rita datar. "Kejadian kedua, salah
satu siswa senior dikeluarkan dari sekolah karena ber?
komplot dengan geng motor untuk mencuri di sekolah
kita. Pada saat pencurian, salah satu petugas sekuriti kita
terluka parah demi mencegah perbuatan me?reka.
Sedangkan kejadian ketiga, ada siswa kelas sepuluh yang
meninggal akibat gantung diri pada saat kenaikan kelas.
Tidak diketahui apa penyebabnya."
Oh, God. Aku tidak pernah menduga ada kejadian-ke?
jadi?an yang begitu mengerikan di sekolah ini. Dari mu?
lut Erika yang agak ternganga, sepertinya informasiinformasi itu juga berita baru untuknya.
"Oh ya, saya belum memperkenalkan, Rima adalah
pelukis paling berbakat di Klub Kesenian tahun ini."
Kami berdua berpaling pada si pelukis paling berbakat
yang sepertinya langsung ngumpet di balik rambut pan?
jang?nya. "Rima punya... reputasi tertentu. Kata orang, dia bisa
meng?gambar sesuatu yang akan terjadi." Bu Rita meng?
hunjamkan tatapan ala belatinya pada Rima. "Bisa tolong
sebutkan contohnya, Rima?"
"Mmm, bukan sesuatu yang besar kok," sahut Rima
dengan suara rendah dan pelan yang nyaris tak terdengar
dan, jujur saja, seram. Sepertinya, segala sesuatu yang
ber?hubungan dengan cewek ini seram banget. "Misalnya,
waktu itu aku pernah melukis pohon tumbang di depan
sekolah. Beberapa hari kemudian, petir menyambar dan
ada pohon tumbang di lokasi yang sama dengan yang
Isi-Omen2.indd 39 011/I/13 kulukis. Atau aku pernah melukis tikus mati. Tak lama
ke?mudian, tercium bau bangkai yang nggak enak di
Ruang Kesenian. Kemudian, penjaga sekolah menemukan
seekor tikus mati," Rima terdiam sejenak, lalu melanjut?
kan dengan nada misterius, "nggak jauh dari lukisan?
ku." Bulu kudukku meremang mendengar cerita Rima.
Entah karena suaranya yang seram, atau karena mukanya
yang tak kalah seram, atau mungkin juga karena sesuatu
yang lain. "Tahun ini Rima suka melukis adegan-adegan bernada
gelap," kata Bu Rita. "Tujuh lukisan baru yang akan
dipamerkannya dalam pameran nanti dinamainya Tujuh
Lukisan Horor. Sepertinya, lukisan-lukisan itulah yang
dimaksud oleh surat kaleng ini."
"Kenapa Ibu bisa berpikir begitu?" tanyaku ingin tahu.
Tak kuduga, Rima-lah yang menjawab pertanyaanku.
"Karena lukisanku diubah."
"Maksud lo?" tanya Erika tak sabar.
"Ada satu lukisanku yang diubah," sahut Rima datar,
seolah-olah tidak takut menghadapi pelototan seram
Erika. Tapi kuperhatikan, tubuhnya yang agak mem?
bungkuk semakin mengkeret saja. "Ada yang nambahin
detail-detail." "Untuk lebih jelasnya, Rima akan menunjukkan semua
itu pada kalian," kata Bu Rita sambil melambai. "Mung?
kin saja ini hanya ulah anak-anak iseng yang mencoba
membuat kehebohan. Tapi ulah iseng ataupun bukan,
saya tak ingin semua ini mengacaukan pameran lukisan
yang akan kita adakan. Saya sudah mengeluarkan pe?
rintah bagi semua siswa untuk menghadiri pameran
Isi-Omen2.indd 40 011/I/13 lukisan itu. Saya juga sudah mengundang beberapa seko?
lah tetangga untuk mengunjunginya, termasuk saingan
kita, Sekolah Persada Internasional. Ini berarti, semua
orang akan datang ke pameran lukisan tersebut. Jadi,
saya tak ingin ada kejadian-kejadian memalukan yang
akan membuat reputasi kita tercoreng. Dari sisi sekolah,
melibatkan polisi akan terkesan terlalu heboh dan sangat
memalukan bila semua ini hanya lelucon belaka, tapi
kami siap menambah tenaga sekuriti. Untuk berjaga-jaga,
saya ingin kalian menyelidiki masalah ini sebelum semua
itu dimulai. Gabungan dua otak yang paling cerdas di
sekolah ini pasti bisa menemukan jawaban dari teka-teki
yang memusingkan ini tepat pada waktunya. Jadi, apa
saya bisa mengharapkan kerja sama kalian ber?dua?"
Aku dan Erika berpandangan. Aku menyungging?kan
senyum penuh harap, sementara Erika memasang wajah
cemberut. Meski tak ada yang menyinggung apa-apa, aku
tahu kata-kata "gabungan dua otak paling cerdas di
sekolah ini" sedang melayang-layang di antara kami.
Buktinya, beberapa saat kemudian, kami sama-sama
menyahut, "Ya, Bu." (Sebenarnya, akulah yang me?nyahut
dengan tambahan kata "Bu". Kalau Erika sih tetap
kurang ajar seperti biasa.)
"Baiklah kalau begitu." Bu Rita mengangguk pada Pak
Rufus yang tadinya mulai terkantuk-kantuk. "Pak Rufus,
tolong antarkan anak-anak ini ke Ruang Keseni?an."
Mendengar namanya dipanggil Bu Rita, muka Pak
Rufus yang tadinya blank mendadak jadi segar lagi.
"Baik, Bu." Kami berjalan menyusuri koridor sekolah yang panjang
tanpa berkata-kata.

Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Isi-Omen2.indd 41 011/I/13 Lalu, mendadak Erika menyeletuk, "Pak, Bapak naksir
Bu Rita, ya?" "Eh, enak saja kamu nuduh," hardik Pak Rufus dengan
wajah merah yang sama sekali tidak cocok dengan ram?
but kribonya. "Jangan sembarangan ngomong, Errrika.
Bu Rita itu wanita terhormat, tahu?"
"Bu Rrrita," ralat Erika dengan muka jail. "Sayang,
saya kira kalian naksir-naksiran. Padahal lumayan lho,
Pak. Kan rambut Bapak kribo kayak Michael Jackson
waktu masih muda tuh. Nah, kalo Bu Rita rambutnya
kayak sarang tawon. Nanti kalau kalian punya anak,
anak kalian pasti rambutnya kriwil-kriwil kayak cewekcewek SNSD."
"Apa hubungannya?" cibir Pak Rufus dengan muka yang
sama sekali tak bisa menyembunyikan rasa senang?nya.
"Nggak lah. Bu Rita nggak mungkin suka sama saya. Dia
pasti lebih suka yang atletis kayak Pak Tarmono."
"Ah, Pak Tarmono mah cuma seketek," Erika mencela
guru geografi kami yang pendek tapi ganteng itu. "Nggak
matching untuk Bu Rita yang perkasa. Tentunya buat Bu
Rita, Bapak yang tinggi menjulang kayak tiang bendera
dikasih hiasan pompom ini yang lebih keren."
"Sudah, nggak usah ngawur kamu," kata Pak Rufus
sambil tersenyum-senyum. "Lebih baik kamu buktikan
kalau otakmu itu ternyata bisa dipakai untuk hal yang
berguna dan bukan cuma buat mengisengi orang."
Kami menatap sang guru piket yang kemudian ber?
jalan mendahului kami sambil bernyanyi lagu Hello-nya
Lionel Richie itu. "Emangnya mereka naksir-naksiran?" tanya Rima yang
bertampang seram tapi lumayan kepo.
"Mana gue tau." Erika mengangkat bahu. "Pokoknya
kita jodohin aja. Kalo mereka jadi pacaran, sudah jelas
kita semua bakalan dicuekin. Hidup kita pasti akan lebih
bebas merdeka." "Itu kan menurut lo," kataku. "Gue sih lebih seneng
me?reka nggak pacaran. Dilihat dari tampang Bu Rita,
sepertinya dia tipe yang suka ngajak berantem. Bisa-bisa
tiap hari Pak Rufus uring-uringan dan kita yang terkena
getahnya." "Oh, iya sih, bener juga. Cih, guru-guru emang me?
repot?kan." "Siapa yang kamu bilang merepotkan, hah?" Suara Pak
Rufus menggelegar di dekat kami, membuat kami bertiga
terlonjak. "Aaah ehm kami, Pak," sahutku cepat namun ter?
bata-bata. "Bagus, betul itu," angguk guru kribo kami itu dengan
muka puas. "Jauh lebih baik daripada jawaban temanmu
yang suka mengacau itu."
"Kok dia bisa denger kita?" bisik Erika pada kami.
"Soalnya suaramu, meski sudah berbisik, keras banget,
Errrika." Erika menatapku dan Rima bergantian, dan kami ber?
dua mengangguk. "Suaramu emang kenceng banget," sahut Rima pelan
dengan senyum samar di bibirnya.
"Agak mirip suara cowok, tapi lebih cempreng," kataku
Isi-Omen2.indd 42 011/I/13 lebih spesifik. Erika menatap kami berdua dengan jengkel. "Mulai
sekarang gue bakalan bungkam seribu bahasa."
Isi-Omen2.indd 43 011/I/13 Aku tergelak. "Emangnya mulut seusil mulut lo bisa
bung?kam seribu bahasa?"
Kami akhirnya tiba di Ruang Kesenian yang terletak di
lantai dua Gedung Laboratorium. Ruangan itu ruangan
paling berantakan yang ada di sekolah kami. Dindingdindingnya dipenuhi figur tanah liat buatan para siswa,
figur wajah orang terkenal hingga sebatas dada. Ada
Julius Caesar, Napoleon, bahkan Jack Sparrow. Di dekat
lantai, kanvas-kanvas bersandar menutupi ber?bagai
palang dan kayu. Kursi ada di mana-mana, demi?kian
juga beberapa kotak kayu, beberapa kosong dan beberapa
berisi kanvas. Percikan cat bertebaran di mana-mana,
mulai dari lantai hingga langit-langit.
Bisa dibilang, ruangan itu termasuk artistik.
Ada tiga siswa yang sedang mengagumi sebuah lukis?an
kanvas yang mereka pegang bersama-sama, dan ter?lonjak
kaget saat Pak Rufus membuka pintu secara tiba-tiba.
"Pak Rufus," sapa ketiga anak itu?dua cewek dan satu
cowok, dan ketiganya punya tampang yang tak kalah
cupu?nya denganku?lalu pandangan mereka tertuju pada
Erika. Wajah mereka seketika berubah ngeri, melewati
sosokku yang sepertinya tak terlihat, lalu beralih pada si
anak pemalu dengan rambut menutupi wajahnya. "Rima,
nggak apa-apa kan kami lihat-lihat lukisan kamu?"
"Nggak apa-apa," sahut Rima, kali ini dengan suara
lebih normal daripada bisikan seram yang biasa dikeluar?
kannya saat bicara dengan kami. "Mereka juga datang
untuk lihat-lihat kok."
Ketiga anak itu langsung beringsut mendekati Rima.
"Eh, Rima," bisik cewek pertama dengan suara pelan,
tapi terdengar nada sungkan yang menandakan dia se?
Isi-Omen2.indd 44 011/I/13 benar?nya takut pada cewek bermuka mirip hantu dalam
film horor itu. "Kok kamu bisa ngundang cewek paling
rusak sesekolahan ke sini?"
"Disuruh Bu Rita."
"Tapi, Rim, apa kamu nggak takut dia ngamuk di
sini?" tanya cewek kedua yang juga terdengar ragu-ragu
dan segan. "Takutnya barang-barang kita yang berharga
dihancurin sama dia."
"Tenang aja. Si anak rusak nggak punya kuping, jadi
nggak bisa mendengar kalian. Kalau bisa, dia pasti ter?
singgung dan langsung menghajar satu-dua orang sampai
Pak Rufus terpaksa panggil ambulans."
Sindiran Erika yang keras langsung membungkam
semua orang, sementara Pak Rufus sama sekali tidak ber?
buat apa-apa untuk mencegahnya. Diam-diam aku suka
dan salut pada guru piket yang biasanya punya kelakuan
suka histeris seperti induk ayam sedang mengajari anakanaknya toilet training ini. Pada saat-saat seperti ini, rupa?
nya dia cukup setia kawan.
"Ada yang punya masalah kalau gue kepingin ngacau
di sini?" Erika memelototi ketiga anak yang sepertinya
sudah ketakutan banget dan siap kabur itu. "Elo, siapa
nama lo?" Cewek pertama itu berambut panjang dan agak riapriapan, dengan satu kepang raksasa di sebelah kanan
yang jelas-jelas dibuat untuk mempermanis penampilan
yang berantakan itu. Mukanya jelas tidak secantik Rima,
tapi penampilannya jauh lebih normal. Sayangnya, tam?
pangnya jadi tak enak dilihat lantaran mulutnya yang
cemberut (dan ditilik dari garis-garis halus di mukanya,
sepertinya dia memang suka cemberut). "Preti."
Isi-Omen2.indd 45 011/I/13 Tawa Erika langsung menyembur. "Nggak matching
amat, muka sama nama."
Kadang aku merasa memang sudah seharusnya Erika
jago berantem. Kalau tidak, mungkin dia sudah habis
digebuki semua orang yang bete padanya.
"Next. Lo?" "Tini." Erika tertawa terbahak-bahak lagi. Memang, lagi-lagi
cewek kedua ini punya nama yang tak sebanding dengan
nama mereka. Maksudku, nama Tini itu kan mengingat?
kan kita pada kata tiny. Tapi cewek ini tinggi bongsor,
dengan rambut sebahu yang tak beraturan seolah-olah
sudah tidak pernah dipotong bertahun-tahun dan rok
pendek yang malah hanya menonjolkan kaki besar,
panjang, dan berbulu yang membuatku teringat pada
kaki sopirku yang garang, Pak Mul.
"Dan elo?" Akhirnya Erika beralih pada satu-satunya
cowok di ruangan ini?selain Pak Rufus, tentunya. "Ja?
ngan bilang nama lo Dince atau apa gitu ya!"
"Tentu aja bukan," sahut cowok itu tersinggung.
"Nama gue Budi kok."
"Sekalinya terdengar lebih normal, namanya pasaran
banget," gerutu Erika. "Ganti aja nama lo jadi Dince!"
"Su?dah, cukup, Errrika." Akhirnya Pak Rufus turun ta?
ngan. "Kamu mau ngeledekin orang atau mau lihat-lihat
lukisan?" "Ngeledekin orang," jawab Erika tegas, bertepatan
dengan aku menyahut, "Lihat-lihat lukisan, Pak." Ku?
senggol Erika sambil berbisik, "Kalo lo main-main terus,
bisa-bisa kita nggak ikut pelajaran berikutnya trus kita
disuruh ikut pelajaran tambahan waktu pulang."
Isi-Omen2.indd 46 011/I/13 Cepat-cepat Erika mengubah jawabannya. "Lihat-lihat
lukisan!" "Oke, kalau begitu. Ayo, Rima, tunjukkan lukisan-lukis?
anmu. Mulai dari pohon tumbang itu. Sementara itu,"
Pak Rufus menatap galak pada ketiga anak yang masih
me?mandangi kami dengan penuh rasa ingin tahu itu,
"kalian bertiga, bel tanda istirahat selesai akan segera
ber?bunyi. Jadi lebih baik kalian kembali ke kelas seka?
rang." Ketiga anak itu berjalan ke arah pintu, ragu-ragu
sambil menatap kami dengan penuh rasa ingin tahu,
tapi delikan Pak Rufus berhasil mengenyahkan mereka
dari pandangan kami. Jujur saja, aku juga lega saat
melihat ketiga anak itu diusir pergi. Aku tidak tahu tekateki macam apa yang akan kami hadapi nanti, tapi aku
tahu bahwa aku tidak ingin ada banyak orang yang tahu
soal itu. Semakin sedikit orang yang terlibat semakin
baik. Rima segera mengeluarkan lukisan yang dimaksud Pak
Rufus. Harus diakui, lukisannya memang bagus banget.
Lukisan pohon tumbang itu tidak berfokus pada pohon
yang tumbang, melainkan pada hujan di sekolah kami.
Bangunan sekolah kami memang sudah tua, dan di
lukisan ini tampak jauh lebih tua lagi. Hujan dan angin
tampak ingin bekerja sama untuk menerbangkan gedung
sekolah. Sementara si pohon tumbang hanyalah hiasan
kecil yang digunakan untuk mempermanis lukis?an.
Tapi kini yang kami pelototi hanyalah pohon tumbang
itu. Lukisan kedua yang ditunjukkan pada kami adalah
lukisan tikus mati yang juga sempat disinggung-singgung
Isi-Omen2.indd 47 011/I/13 tadi. Lukisan itu sebenarnya tampak biasa, hanya sebuah
ruangan yang tak terpakai dengan tikus mati sebagai
hiasan. Namun harus kuakui, ruangan yang tak terpakai
itu benar-benar menyeramkan. Suasananya begitu gelap
dan muram, membuatku bergidik hanya dengan menatap
lukisan itu. Rima, yang punya tampang mirip Sadako si hantu
sumur, memang punya gaya melukis yang mengerikan.
"Dan ini lukisan-lukisan yang akan dipajang untuk
pameran lukisan nanti."
Kini aku baru menyadari kenapa Rima dan Bu Rita
begitu panik. Bahkan Pak Rufus pun tak bisa berkata-kata
saat melihat tujuh lukisan yang ditunjukkan Rima pada
kami, tanda bahwa inilah pertama kalinya beliau melihat
ketujuh lukisan itu. "Ketujuh lukisan ini kunamai Tujuh Lukisan Horor, dan
nama ini sudah cukup dikenal di kalangan anak-anak
Klub Kesenian," kata Rima perlahan.
Tujuh lukisan itu memang horor banget, berisi adeganadegan orang-orang yang sedang dihukum mati. Lukisan
pertama menggambarkan seseorang yang berlumuran
darah dengan punggung terluka parah sedang menggedor
pintu, sementara algojo yang bertampang mirip monster
mengejarnya sambil membawa parang besar yang lebih
mirip golok. Lukisan kedua menggambarkan orang yang
setengah terbaring di atas meja, tangannya nyaris ter?
potong, memandang ngeri ke arah algojo yang siap
meng?habisi nyawa si korban dengan parang yang sama
dengan di lukisan pertama.
Lukisan ketiga menggambarkan orang yang sedang
merangkak di tanah dengan kaki terpotong, dikejar oleh
Isi-Omen2.indd 48 011/I/13 si algojo yang mengayunkan parangnya dengan muka
ganas bagaikan seorang penjagal hewan. Lukisan keempat
menggambarkan orang yang tangannya diikat di dinding
sementara si algojo yang sama mengayunkan parang ke
kepala korban. Lukisan kelima menggambarkan orang yang kepalanya
dibenamkan ke dalam air oleh si algojo yang siap me?
menggal leher orang itu dengan parangnya. Lukisan
keenam menggambarkan orang yang sedang terjatuh dari
tangga, dan si algojo memberinya dorongan untuk jatuh
dengan hantaman parang pada punggungnya.
Semua lukisan itu benar-benar menakutkan, namun
yang paling mengerikan adalah gambar algojonya, yang
di lukisan pertama tampak kecil dan terlihat bagaikan
sosok mitos belaka, tampak semakin besar di lukisan
kedua, dan semakin besar lagi di lukisan ketiga. Di lukis?
an keenam, sosok algojo itu tampak begitu besar semen?
tara si korban begitu kecil, muka si algojo yang awalnya
mirip monster gaje semakin tampak jelas?wajah?nya
berbulu dengan moncong mirip musang, dengan mata
merah mengerikan dan gigi taring meneteskan ludah,
se?olah-olah dia sudah tidak sabar menyantap para
korban itu. Dan kesannya, oh, God, kesannya algojo itu siap ke?uar


Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari bingkai lukisan dan memakan kita sebagai korban
berikutnya. Tidak heran surat kaleng itu mengatakan
bahwa algojo itu bisa keluar untuk menghabisi orangorang. Tampang si algojo begitu nyata saat menatap
mata?ku. Kilatannya yang penuh dendam dan benci mem?
buatku yakin bahwa sosok ini memiliki jiwa yang ter?
tanam sangat kuat dalam lukisan ini.
Isi-Omen2.indd 49 011/I/13 "Kenapa lo bisa ngegambar sesuatu yang begini me?
ngerikan sih?" Erika menyuarakan pertanyaan yang
meng?gema dalam hatiku. Suaranya yang agak mem?
bentak menunjukkan bahwa sama sepertiku, dia juga
takut melihat lukisan itu.
Rima tidak menyahut, melainkan hanya memandangi
kami melalui rambutnya yang panjang hitam bagaikan
tirai sutra mengerikan. "Ah, udahlah." Erika mengibaskan tangan. "Lo sen?diri
emang serem. Nggak heran gambar lo kayak gini. Kalo
lo cuma bikin gambar pemandangan atau Hello Kitty,
mungkin gue yang bakalan kaget."
"Lukisan-lukisan ini memang buatanku. Tapi yang ini,"
Rima menunjukkan pada kami lukisan terakhir, lukisan
yang dilihat-lihat oleh ketiga anak Klub Kesenian tadi,
"ada detail yang ditambahkan orang lain. Bukan per?buat?
anku sama sekali. Sungguh!"
Lukisan terakhir itu menggambarkan seseorang yang
kaki?nya digantung sehingga posisi orang itu terbalik.
Muka si algojo yang besar menutupi parang yang siap
menebas tubuh orang itu hingga terpotong menjadi dua.
Berbeda dengan sosok-sosok korban yang tak begitu jelas
pada enam lukisan pertama, kali ini ciri-ciri si korban
tampak jelas. Berambut panjang, sehingga kelihatan se?
perti seorang wanita, tangannya memegang kuas, sepatu?
nya yang dekil bahkan punya tulisan merek Adidas.
"Ini kan elo!" teriak Erika kaget.
"Eh?" Aku ikutan kaget mendengar ucapan Erika. Ku?lirik
sepatu Rima, dan melihat tulisan Adidas di sepatu?nya yang
dekil. Betul juga. Memang tak percuma Erika punya daya
ingat fotografis, alias daya ingat yang mem?buatnya tak
Isi-Omen2.indd 50 011/I/13 bakalan melupakan apa pun yang pernah dilihatnya,
termasuk detail-detail remeh yang biasanya tak dipedulikan
orang-orang awam seperti aku, misal?nya.
"Iya, ini aku," angguk Rima tanpa ekspresi, seolah-olah
dia sudah biasa melihat dirinya disiksa dan dibunuh de?
ngan cara mengerikan. "Biasanya aku cuma menggambar
sosok-sosok abstrak, supaya orang-orang nggak akan sem?
barang menuduhku menggambar mereka. Jadi... ini bu?
kan perbuatanku. Lagi pula, mana mungkin aku men?jadi?
kan diriku korban seperti ini?"
"Ada yang sengaja menambahkan detail...," Erika ber?
gumam sambil menyipitkan mata. "Menarik. Lo punya
ter?tuduh?" Rima menggeleng. Meski tampang dan pembawaannya
mengerikan, cewek ini rupanya punya sifat yang rada
polos. "Gimana dengan para anggota Klub Kesenian?" tanya?
ku. "Klub kami nggak terlalu populer," jelas Rima. "Selain
tiga anak yang tadi ada di sini, kami hanya punya enam
anggota lain yang nggak terlalu aktif. Bisa dibilang, pada
pameran lukisan nanti, mayoritas lukisan yang dipamer?
kan adalah lukisanku."
"Bu Rita sengaja memberikan kesempatan ini pada
Rima," Pak Rufus angkat bicara. "Bakatnya sangat luar
biasa. Kalian bisa merasakan sensasi hebat yang me?rasuki
kalian saat memandangi lukisannya, kan?"
"Itu bukan sensasi, Pak, tapi rasa takut," cetus Erika.
"Bapak takut ya, melihat lukisan-lukisan Rima? Ternyata,
udah tua begini masih aja..."
"Errrika!" Isi-Omen2.indd 51 011/I/13 "Jadi dari semua anggota itu," selaku, merasa kasus ini
tak bakalan selesai kalau aku terus-terusan ikut men?
dengarkan pertengkaran Erika dan Pak Rufus, "nggak ada
yang punya kemampuan setara elo? Gimana kalo ke?
mampuan meniru?" Rima menggeleng. "Aku cukup mengenal kemampuan
mereka. Kecuali kalau mereka benar-benar menyem?bunyi?
kan kemampuan itu. Tapi aku rasa mereka nggak akan
sanggup melakukannya."
"Terus, di antara tiga insiden yang tadi diceritakan Bu
Rita," kini Erika ikut bertanya, "ada nggak yang berkaitan
dengan Klub Kesenian?"
"Terus terang aku juga nggak tau." Rima menggeleng
lagi. "Aku kan baru kelas sepuluh, sama seperti kali?an. Tapi
sejak aku masuk Klub Kesenian, nggak ada hal-hal aneh.
Nggak ada rumor-rumor nggak enak, ke?cuali..."
"Kecuali?" Kami berdua bertanya dengan rasa pe?
nasaran yang tak ditutup-tutupi lagi.
"Kecuali," Rima menatap kami penuh se?lidik, seolaholah ingin melihat isi hati kami saat dia mengucapkan
sesuatu yang fenomenal, "kemampuanku melukis masa
depan." Erika menyipitkan matanya yang diberi eyeliner tebal.
"Jangan-jangan elo emang pangkal masalahnya. Lo per?
nah bikin ulah apa nggak, yang bikin orang-orang den?
dam sama elo?" "Nggak," geleng Rima, kali ini cepat dan tegas. "Aku
nggak pernah mencari masalah dengan orang-orang kok.
Mana mungkin ada yang dendam sama aku?"
"Mungkin tampang lo yang seram itu pernah bikin
orang jantungan, terus orangnya dendam karena tadinya
Isi-Omen2.indd 52 011/I/13 sehat sekarang punya penyakit jantung. Mungkin,
nggak?" Rima menatap kami tanpa ekspresi. "Harusnya sih
nggak. Emangnya tampangku benar-benar mengerikan,
ya?" "Udah, Ka," tegurku pada Erika yang tampaknya se?
nang banget beradu seram dengan Rima. "Mungkin ada
baiknya kita tanyakan ke Bu Rita lagi soal tiga insiden
itu." Pak Rufus berdeham. "Bu Rita sudah pulang. Barusan
beliau SMS. Katanya, anjingnya sedang sakit, jadi beliau
harus mengantarnya ke dokter hewan."
Oh, ya ampun. Aku tak menduga Bu Rita punya hati
selembut itu pada binatang. "Aduh, kasihan sekali. Kalo
begitu kita jangan ganggu dulu deh. Kan pameran lukis?
an juga masih lama..."
"Sebenarnya sih," sela Erika datar, "tinggal empat hari
lagi. Itu yang gue denger dari kasak-kusuk temen-temen
sekelas." "Betul itu, empat hari lagi," Pak Rufus menegaskan.
Uh-oh. Ternyata waktu kami tinggal sedikit.
"Yah, tetap aja kita nggak bisa berbuat apa-apa lagi
sekarang. Lebih baik kita kembali ke kelas. Besok baru
kita temui Bu Rita lagi."
"Mudah-mudahan anjingnya nggak tiba-tiba manja
dan minta di?temani seharian," gerutu Erika. "Ya udah,
yuk, kita kem?bali ke kelas."
Oke, perlu kujelaskan di sini bahwa murid-murid di
sekolah kami ditempatkan di kelas tertentu menurut pres?
tasi akademis, prestasi olahraga dan seni, serta tata tertib.
Misalnya aku, yang berada di kelas X-A, berarti nilai
Isi-Omen2.indd 53 011/I/13 rata-rataku dalam segala hal sangat baik. Meski begitu,
ada juga hal-hal tak terduga yang terjadi, misalnya
Erika?yang duduk di kelas X-E si kelas buangan?justru
menjadi juara umum di angkatan kami, dan Rima yang
katanya adalah pelukis paling berbakat di sekolah kami
ditempatkan di kelas X-B. Aku sebenarnya lebih suka
kelas X-B yang mayoritas berisi anak-anak pandai yang
tidak terlalu ambisius. Persaingan akademis di antara
anak-anak kelas X-A terlalu tinggi, dan sungguh, hal
yang lebih menyebalkan dibanding ditindas anak-anak
populer menyaksikan anak-anak pintar saling men?jegal
dan merebut hati guru. Kalian tak bakalan me?nyangka
betapa kotornya permainan yang dilakukan oleh anakanak yang (katanya) alim itu.
Contohnya saja begini. Di kelas-kelas lain, bangku
bela?kang adalah bangku elite, sementara bangku depan
adalah bangku hukuman. Di kelasku, bangku depan
ada?lah bangku-bangku VIP yang diincar oleh setiap
anggota kelas. Berkat itulah aku bisa mendapatkan
bangku di paling ujung, berseberangan dengan meja
guru, tepat di dekat jendela yang menghadap ke kori?
dor sekolah. Dari mejaku, aku bisa memperhatikan
guru dari jarak aman sekaligus mencari-cari pemandang?
an asyik di luar kelas. Kini, kemunculanku yang terlambat di dalam kelas
me?nyebabkan beberapa wajah tersenyum puas. Si
Rangking Dua tertinggal pelajaran, begitulah kira-kira pikir?
an yang terlintas oleh mereka. Guru yang mengajar kami
me?ngernyit?kan kening melihat kemunculanku, tapi ker?
nyit?an itu hilang tatkala kribo Pak Rufus nongol dari
belakang?ku. Isi-Omen2.indd 54 011/I/13 "Baru dipanggil Bu Rita," kata Pak Rufus. "Biasa, urus?
an anak-anak pintar."
Erika cemberut saja saat kepalanya ditunjuk-tunjuk
oleh Pak Rufus, sementara Rima tampak berseri-seri di?
bilang anak-anak pintar. Tentu saja, kuping teman-teman
sekelasku langsung membesar mendengar kata-kata "urus?
an anak-anak pintar". Seketika, hawa-hawa sirik yang
begitu nyata menyebar ke seluruh kelas, membuat?ku
mual. "Oh, begitu." Bu Tarmini, saudara kembar Pak Tarmono
yang sama pendeknya dengan adik kembarnya itu, ter?
senyum. "Ya sudah, silakan kembali ke tempat."
"Saya permisi dulu, mau antar anak-anak ini kembali
ke kelas," pamit Pak Rufus.
Baru lima menit aku duduk di tempatku?sambil ber?
lagak tak menyadari teman-teman sekelas yang meng?
hujaniku dengan pelototan tak senang?aku melihat
bayangan Erika melewati jendela kelasku.
"Ke mana?" bisikku saat dia nyengir padaku.
"Toilet, seperti biasa. Mau ikut?"
Mungkin karena semua pelototan itu, atau mungkin
juga karena aku sudah mulai ketularan sintingnya Erika,
aku pun menjawab, "Mau."
Isi-Omen2.indd 55 011/I/13 AKU memandangi celana pendek bermotif Tom & Jerry
yang tersembunyi di balik rok Erika.
"Lo yakin, kita bisa kabur lewat sini dengan aman?"
tanyaku sambil menatap sekeliling kami dengan was?
was. "Percaya deh. Gue udah berjuta-juta kali kabur dari
sekolah. Nggak ada orang lain yang bisa gunakan jalan
keluar ini karena, satu, cowok nggak bisa masuk ke toilet
cewek yang merupakan satu-satunya akses ke tempat ini,
dan dua, kebanyakan cewek nggak berani meloncat
turun dari pohon ini." Erika menoleh ke bawah dan me?
nyeringai padaku. "Lo berani loncat, nggak?"
"Tunggu sampe gue di atas dulu, baru gue jawab."
Kami berdua memanjat satu-satunya pohon yang ter?
letak di belakang toilet cewek itu dengan kecepatan me?
ngagumkan. Rasanya aku tidak membesar-besarkan kalau
kubilang kami berdua mirip sepasang monyet yang m?e?
mang terlahir jago memanjat. Dalam waktu singkat,
kami berdua berjongkok di atas cabang yang, untungnya,
cukup kuat untuk menahan berat badan kami berdua.
Erika tampak santai, sementara aku rikuh karena tidak
Isi-Omen2.indd 56 011/I/13 mengenakan celana pendek di balik rok. Kalau ada yang
melintas di bawah kami, sudah pasti celana dalamku jadi
tontonan gratis. "Nggak terlalu tinggi," jawabku. "Sepertinya gue bisa
loncat." "Bener?" Aku mengangguk tegas. "Kalau begitu lo nggak keberatan dong kalau gue..."
Aku menjerit saat Erika menepuk keras-keras punggung?
ku. Posisiku jadi gamang, dan mau tak mau aku harus
meloncat saat itu juga kalau tidak ingin jatuh dengan
sendirinya. Untungnya, aku berhasil mendarat dengan
dua kaki. Sialnya, posisi mendaratku agak jongkok, dan di depan?
ku berdiri seorang cowok bermuka masam yang tinggi
men?julang. Cowok itu kukenal sebagai Vik?atau lebih tepatnya
lagi, Viktor Yamada yang itu. Sesuai nama belakangnya,
dia berasal dari keluarga Yamada yang terkenal, yang
punya reputasi sebagai cowok brilian yang menolak
kuliah di Harvard dan lebih memilih universitas swasta
dalam negeri, dan merupakan nama yang paling sering
disebut-sebut oleh ayahku sebagai salah satu generasi
muda yang patut diperhitungkan.
Asal tahu saja, aku benci padanya. Ya, aku tahu dia
keren, cerdas, dan sebagainya, tapi aku benci pada siapa
pun yang disukai ayahku. Dan sekarang, aku tiba-tiba mendapati diriku ber?
jongkok lalu berlutut di depannya.
Namun yang paling parah bukanlah berlutut di depan
cowok sempurna bertampang bete yang dipuja-puja ayah?


Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Isi-Omen2.indd 57 011/I/13 ku itu, melainkan berlutut di depannya dan seorang
cowok lain lagi yang tak kalah keren dibandingkan Vik.
Berbeda dengan muka sangar Vik, cowok ini menyeringai
lebar banget, lalu berjongkok di depanku. Kusadari
bahwa tubuhnya tidak kalah jangkung dengan Vik?lebih
besar, dengan rambut shaggy ala artis-artis Korea yang
sedang beken sekarang. Dan penampilannya makin keren
dengan pakaian serbahitam?jaket hitam pan?jang, kaus
hitam, celana jins hitam, sarung tangan hitam, dan
sepatu bot hitam?yang membungkus tubuh?nya. Dia
kelihatan seperti malaikat kematian super?ganteng!
"Hei," sapanya sambil membenarkan beberapa helai
rambutku yang menyangkut di mulutku saat aku jatuh
barus?an. "Memangnya di sini cewek-cewek punya kebiasa?
an suka muncul mendadak seperti ninja, ya?"
Oh, God. Belum pernah ada cowok yang bersikap be?
gitu sok akrab denganku pada pertemuan pertama begini.
Langsung saja aku menarik diri. Sekilas aku menatap
cowok itu dengan tajam, tidak suka dengan sikap sok
mesranya plus kepingin tahu siapa orang yang begini
berani mati, berani menyentuh rambutku pada saat
pertama ketemu. Aku terperanjat saat cowok itu membalasku dengan
tatapan yang sama. Dia juga sedang memandangiku de?
ngan ingin tahu. Meski wajahnya berkesan santai dan
rada polos, tatapannya tidak mengatakan begitu. Tatapan
itu adalah tatapan tajam dan penuh selidik, seolah-olah
sanggup menyelami perasaan dan pikiranku.
Oh, God. Aku paling benci ada orang yang berusaha
mencari tahu tentang diriku.
"Nggak semua." Erika mendarat di sebelahku dengan
Isi-Omen2.indd 58 011/I/13 ringan, sedangkan aku cepat-cepat bangkit dan berdiri
sejauh-jauhnya dari cowok tak dikenal itu. "Cuma kami
ber?dua kok! Hei, Jek." Sambil menyapa begitu, Erika me?
layangkan tinjunya pada Vik yang langsung menangkap
kepalan tangannya dengan mudah. "Kok lo udah nong?
krong di sini? Kangen sama gue, ya?"
"Jangan manggil aku Jek lagi dong." Cowok itu tam?
pak jengkel. Sekali lagi, aku tahu aku sudah bersikap tidak adil
pada Vik. Meski sering memasang wajah bete, cowok itu
tetap manis dengan rambut cepak, mata mencorong ta?
jam, hidung mancung yang mengingatkanku pada artis
lama Andy Lau, dan bibir tipis yang lebih sering cem?
berut daripada tersenyum. Belum lagi tubuhnya yang
tinggi langsing dengan otot-otot yang tersembunyi di
balik setelan keren yang dikenakannya (yang berarti dia
baru saja dari kantornya di gedung pusat Yamada Bank).
"Apa sih susahnya nyebut namaku?"
"Orang bilang, kebiasaan jelek susah diubah." Erika
meng?angkat bahu, lalu menatap cowok di samping Vik
dengan penuh rasa ingin tahu. "Eh, ini Leslie Gunawan
yang disebut-sebut si Ojek sampai berbusa-busa?"
"Aku nggak pernah nyebut-nyebut dia sampai berbusabusa!" sergah Vik bete, sementara cowok yang rupanya
ber?nama Leslie Gunawan itu tetap mengawasiku seperti
Tom si kucing nakal mengawasi Jerry si tikus malang
seraya berkata, "Yep, cuma satu-satunya di dunia ini."
Tatapan cowok itu akhirnya meninggalkanku, dan baru
kusadari sedari tadi aku menahan napas akibat di?
pandangi terus-menerus. Kini aku buru-buru mengisap
udara sebanyak-banyaknya supaya tidak pingsan lantaran
Isi-Omen2.indd 59 011/I/13 kekurangan oksigen. Tidak lucu kalau aku jatuh pingsan
hanya karena dipandangi, tak peduli pelakunya adalah
cowok paling keren yang pernah kutemui seumur hidup?
ku. Oh, God. Bisa-bisa aku dikira pingsan karena kegirang?
an dipelototi cowok keren. Itu lebih memalukan lagi.
Pandangan tajam dan penuh penilaian cowok itu ber?
alih pada Erika. Hahaha. Rasain si Erika! "Dan kamu
pacar Vik yang legendaris itu?"
Oke, meski ucapannya terdengar aneh, cowok itu tidak
salah kok. Sobatku Erika Guruh yang berpenampilan
gotik, hobi mengerjai guru, dan sanggup menghajar tiga
cowok berandalan di sekolahku ini memang pacar Viktor
Yamada si tampang bete yang hobi me?ngena?kan setelan
dan harus ngantor setiap hari sepulang kuliah. Erika tak
pernah mengumumkannya pada siapa-siapa, tentu saja.
Dia paling anti dengan semua hal yang punya konotasi
romantis. Tapi Viktor pernah me?nyamar jadi tukang ojek
demi bersama Erika, menyem?bunyikan Erika saat cewek
itu jadi buronan, bahkan melindungi Erika sampai
mempertaruhkan nyawanya sendiri. Kedengarannya seru
sekali ya. Aku juga ingin sekali tahu detail-detailnya.
Sayang sekali, Erika sangat pelit berbagi masalah pribadi
sehingga yang kuketahui hanyalah semua yang ku?
saksikan sendiri serta semua yang kuketahui dari me?
dia. Bukannya membantah dengan sengit atau menyahut
dengan bete, Erika malah menyeringai lebar dan meng?
ucap?kan pengakuan pertamanya, yang tentu saja segera
mem?buatku shock habis. "Yep, cuma satu-satunya di
dunia ini juga. Dan omong-omong, maksud kata-kata lo
Isi-Omen2.indd 60 011/I/13 tentunya gue yang legendaris, bukan dia. Dia mah
tukang ojek pasaran banget."
"Eh, sejak kapan ada tukang ojek pasaran yang pakai
jas begini?" tegur Vik. "Kamu ini ternyata nggak seberapa
pinter, ya." "Gue nggak pernah bilang gue pinter tuh, dasar cowok
eks Harvard," ejek Erika seraya memberi tekanan pada
kata eks. "Maunya gaya-gaya kayak Bill Gates, nggak tau?
nya jadi tukang ojek. Hidup emang nggak sesuai keingin?
an hati ya, Jek?" "Dua orang ini," Leslie Gunawan mengedikkan bahu? ke
arah Erika dan Vik, "apa selalu berantem begini?"
"Yah, aku pernah ngeliat Erika nyaris menusuk Vik de?
ngan pisau sih..." Aku bercanda dengan harapan cowok itu
akan lebih rileks dan tidak mengamatiku dengan gaya bak
polisi lagi. "Jadi yang beginian nggak terlalu seram."
"Memang pasangan yang luar biasa," geleng Leslie
Gunawan. "Omong-omong, kita belum kenalan."
Cowok itu mengulurkan tangannya, dan aku hanya
bisa memandangi tangan besar dengan jari-jari panjang
itu, sebelum menggenggamnya dengan tanganku yang
kecil dan halus. "Valeria Guntur," sahutku manis.
"Oh, Valeria ya. Nama yang bagus banget," ucapnya
riang. Entah kenapa, nama yang sudah bosan kudengar sejak
lahir itu mendadak terdengar bagus seperti ucapannya.
Tapi dari caranya mengucapkan namaku, rasanya kok dia
sudah pernah mendengar namaku sebelumnya.
"Kalau aku, panggil saja aku Les. Aku teman nakalnya
Vik sejak kecil." Isi-Omen2.indd 61 011/I/13 Lucu banget mendengar cara dia menyebut dirinya
"teman nakal Vik". Sepertinya, selain punya tampang
keren, cowok ini juga punya selera humor yang tinggi.
"Emangnya lo suka ngasih les ya, sampe di?panggil
begitu?" sela Erika.
"Yah, Leslie kan kayak nama cewek, jadi biar nggak salah
kira, aku harus bikin nama panggilan yang lebih maskulin.
Kasihan kan, cowok-cowok yang tadinya udah mengira
bakalan ketemu cewek manis, nggak taunya ketemu yang
kayak gini. Bisa mati jantungan mereka, hahaha."
Aku ingin bertanya apa pekerjaan Les. Dari usia?nya,
kutebak dia seumuran dengan Vik yang berbeda tiga atau
empat tahun di atas kami, yang berarti kemungkin?an
besar dia anak kuliahan. Kuliah di mana dia? Ambil
jurusan apa? Tapi sebelum kusemburkan semua per?tanya?
an itu, mendadak kami mendengar keributan besar.
"Apa itu?" Erika menoleh dan wajahnya langsung
ber??ubah kesal. "Ada yang berani bikin rusuh di seko?
lah ini. Kepingin nyari mati rupanya. Gue samperin
dulu, ya!" Tanpa mendengar jawaban kami, Erika sudah berlari
ke arah kerumunan di depan gerbang sekolah. Di sana
ada lima atau enam motor dengan knalpot meng?
gerung-gerung, dan dua pengemudi di antara mereka
sedang ber?hadapan dengan Daniel, Welly, dan Amir.
Aku ikut meng?ekor karena ingin tahu, tapi tak ingin
terlalu jauh dari Les si cowok keren yang sedari tadi
terus mengawasiku. "Ada apa ini?!" teriak Erika dengan suaranya yang se?
rak dan cablak. "Siapa yang berani bikin ulah di wilayah
gue?!" Isi-Omen2.indd 62 011/I/13 Mungkin kalian mengira Erika agak-agak narsis karena
sudah menobatkan diri menjadi pemimpin geng preman
di sekolah kami. Kenyataannya, semua mengakui hal itu,
termasuk Daniel, Amir, dan Welly yang kini langsung
mengadu pada Erika. "Ini, Ka, geng motor berani mengacau di depan se?
kolah kita," kata Welly sambil memelototi para anggota
geng motor itu dengan bola mata nyaris copot dari
rongganya. "Gue usir, eh mereka malah tetep berkeras di
sini! Apa nggak harus diberi pelajaran tuh?"
"Bener, Ka, mana suara motor mereka berisik, lagi!"
timpal Amir. "Kan kasihan anak-anak yang lagi belajar.
Jadi nggak konsen." Memangnya dia benar-benar me?
mikir?kan nasib anak-anak yang sedang belajar? "Gue
pikir, satpam-satpam mau ngusir mereka, tapi sepertinya
mereka takut." Aku dan Erika langsung menjulurkan leher untuk
melihat ke arah pos petugas sekuriti sekolah. Benar saja.
Tiga petugas sekuriti yang biasanya hobi memasang tam?
pang galak, kini ngumpet di dalam pos mereka dengan
muka pucat. "Kita nggak bisa biarin mereka, Ka!" Daniel yang biasa?
nya bertampang santai seolah-olah baru bangun tidur itu
kini tampak segar dan galak. Dibanding penampilannya
tadi siang yang melirikku terus-menerus, kini dia kelihat?
an serius sekali. "Sekali mereka dibiarin, besok-besok
mereka pasti jadi hobi mangkal di sini. Apalagi makanan
di sini enak-enak. Bisa-bisa mereka nggak mau pergi.
Nah, kalau mereka mangkal di sini, mana ada anak-anak
sekolah kita yang berani ikut mangkal? Gi?mana kalo
para pemilik warung di sini bangkrut semua, Ka?"
Isi-Omen2.indd 63 011/I/13 Oke, rasanya aku seperti sedang menonton film mafia.
Kalian tahu kan, sebenarnya mafia bertugas menjaga
kestabilan wilayah kekuasaan mereka? Tentunya mereka
melakukan semua itu sambil menjalankan bisnis kotor.
Nah, sepertinya sistem seperti itulah yang ber?laku di
sekolah kami. Erika dan konco-konconya yang menjaga
kestabilan sekolah kami, termasuk kedamaian wilayah
sekolah dan kesejahteraan para pemilik warung, sambil
terus membolos, berkelahi dengan orang-orang yang
berani mengusik sekolah kami, juga saling me?mukuli.
"Oke." Erika melangkah maju, melewati Welly, Amir,
dan Daniel, lalu berkacak pinggang di de?pan para
pengemudi motor yang tampangnya ganas-ganas banget
itu. "Yang mana bos kalian?"
"Yah, bos preman di sini cewek, rupanya." Pengemudi
motor yang paling dekat dengan Erika meludah. "Rupa?
nya cowok-cowok di sini banci, sampe-sampe mau di?
perintah oleh cewek yang masih ingusan be?gini."
Tanpa berkata apa-apa Erika berjalan ke depan cowok
itu. Lalu tanpa disangka-sangka dia mendorong motor
berat itu hingga jatuh terpelanting.
"Gila!" teriak si pemilik motor dengan muka panik
sam?bil berusaha meraih motornya yang tergeletak di ja?
lan dengan gaya menyedihkan. "Baby kesayangan gue!"
Sebelum cowok itu sempat menyentuh motornya,
Erika sudah menjegal kakinya hingga cowok itu ter?pe?
lanting, tepat di tempat dia tadi meludah. Cowok itu
ber?usaha menahan tubuhnya supaya tidak mengenai
ludah?nya, tapi Erika menginjak punggungnya keraskeras hing?ga cowok itu terjerembap ke atas ta?nah.
"Lain kali," kata Erika dengan suara rendah dan tajam
Isi-Omen2.indd 64 011/I/13 yang terdengar berbahaya, "jangan ngeludah sembarang?
an di daerah kekuasaan gue yang suci ini. Ngerti nggak,
Preman Bulukan?!" Teman-temannya langsung turun dari motor, siap
mem?bela temannya yang dihina. Kukepalkan ta?ngan?ku,
siap untuk bertindak kalau-kalau mereka berani
menerjang Erika. Ya, aku tahu di sini ada Vik dan teman?
nya, Les, si cowok superganteng yang pasti akan mem?
bela Erika, belum lagi tiga konco Erika yang kini tampak
rela menyerahkan jiwa dan raga demi bos mereka yang
brutal habis. Tapi lalu terdengar suara rendah dan dingin dari be?
lakangku. "Stop."
"Tapi, Bos, kita udah dihina sampe begini...," ucap si
Preman Bulukan. "Emang kita yang salah kok."
Aku bengong saat Les berjalan melewatiku. Jantungku
berdebar sejenak saat dia menyentuh perlahan bahuku
sebelum akhirnya meninggalkanku?gila, cowok ini


Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benar-benar cari mati, berani menyentuhku begitu!?dan
mendekati Erika. "Sori, anak buahku nggak tau aturan," senyumnya
pada Erika. "Mereka memang anak-anak yang nggak ber?
pendidikan. Jadi tolong jangan terlalu jahat dong sama
mereka." "Nggak punya pendidikan bukan berarti punya alasan
untuk bersikap kurang ajar," cetus Erika, seolah-olah
setiap hari dia selalu rajin menuruti tata krama. Tapi dia
menarik kakinya dari punggung cowok yang buru-buru
bangkit sambil mengangkat motornya itu.
"Don," Les menyunggingkan senyumnya yang lebar
Isi-Omen2.indd 65 011/I/13 dan ceria pada temannya, "sepertinya lo harus minta
maaf sama bos sekolahan ini."
"Tapi, Bos, dia udah melukai baby kesayangan gue..."
"Lo yang menghina dia duluan," tegas Les. "Dan nggak
usah sebut-sebut motor lo baby, ah. Gue me?rinding tiap
kali denger lo ngomong gitu."
"Lho, Bos, kan gue niru lagu Justin yang..."
"Tolong. Kalo lo seneng denger lagu Justin, cukup jadi
rahasia lo aja. Kita preman gini seharusnya denger Jonas
Brothers, man." "Nggak nyambung amat," cela Erika sambil menunjuk?
kan lengan bajunya yang dipenuhi tulisan penyanyipenyanyi kesukaannya. "Linkin? Park dong. Eminem."
"Selera orang kan beda-beda." Les mengangkat bahu?
dengan santai, lalu berpaling pada teman-temannya lagi.
"Oh ya, mulai sekarang, kalian juga harus baik-baik sama
cewek brutal ini, ya. Dia memang kelihatan seram, tapi
justru itu kelebihannya. Soalnya, itu yang bikin dia
dipacari orang paling brutal di geng kita juga."
Aku dan Erika sama-sama melongo ke arah Vik, yang
saat ini gayanya sama sekali tidak mirip anggota paling
brutal di geng motor lantaran setelannya yang perlente.
Namun kalau dipikir-pikir, dulu penampilannya memang
mirip banget anak geng motor. Jaket kulitnya, kaus
gambar tengkoraknya, belum lagi kerjaannya yang tiap
hari nangkring di atas motor. Yah, kalau bukan anak
geng motor, ya tukang ojek. Tadinya kami mengira dia
masuk golongan yang terakhir.
Dengan muka masam Vik menghampiri Erika dan
berdiri di sampingnya. "Siapa yang berani menghina dia,
berarti menghina gue juga."
Isi-Omen2.indd 66 011/I/13 Mulutku dan Erika makin ternganga saat semua
anggota geng motor menyahut serempak, "Sori, Vik."
Astaga, ini benar-benar pertunjukan paling ganjil yang
pernah kulihat! "Sori buat semua keributan ini," kata Les, kali ini se?
nyum?nya ditujukan pada Erika?dan padaku, sepertinya,
karena pandangannya berhenti padaku selama beberapa
waktu. "Kami nggak bermaksud mengacau. Cuma ke?
pingin kelayapan di sekitar sini, plus cari tau soal pacar
Vik yang misterius. Nggak disangka-sangka," cowok itu
lagi-lagi tersenyum, dan sekali lagi aku merasa senyum?
nya ditujukan padaku?meski mungkin saja aku hanya
kege-eran, "tempat ini memang menarik luar biasa.
Kapan-kapan kami boleh datang lagi, Ka?"
"Tapi jangan bikin keributan," gerutu Erika. "Knalpot
kalian itu lho, bikin polusi tanah, laut, dan udara, belum
dunia dimensi lain."
"Iya deh, lain kali kami parkir agak jauhan dari sini."
Aku merasa kecewa saat cowok itu berpaling pada Vik.
"Kita cabut sekarang?"
Vik mengangguk, lalu berpaling pada Erika. "Aku jalan
dulu ya. Cuma bisa kelayapan begini saat istirahat ma?kan
siang. Habis ini masih harus kembali ke kantor lagi."
"Mana dari pagi kuliah terus, ya?"
Vik mengangguk membenarkan ucapan Erika.
"Ya udah, sono lo kerja lagi, biar jadi orang bener.
Jangan kayak kita-kita ini yang kerjanya masih mainmain."
Vik menyeringai. "Cuma kamu yang masih suka mainmain, Ngil. Semua anak-anak ini udah nggak sekolah
lagi dan udah kerja."
Isi-Omen2.indd 67 011/I/13 "Kamu juga?" tanyaku kaget pada Les, dan semakin
kaget saat cowok itu mengangguk. Jujur saja, hingga saat
ini, aku belum pernah punya teman yang seharusnya
masih sekolah tapi memutuskan untuk tidak melakukan?
nya. Tanpa sadar aku lupa dengan topeng dingin yang
selama ini kukenakan. "Emangnya sekarang kamu kerja
apa, Les?" "Aku montir," sahut Les, tampak jelas kebanggaannya
pada pekerjaannya. "Kapan-kapan, kalo mobilmu butuh
diservis atau sekadar isi angin, samperin aja aku di
Bengkel Montir Gila. Nanti aku kasih harga khusus deh.
Nah, aku jalan dulu, ya. Kapan-kapan kita ketemu
lagi." Aku hanya mengangguk dengan muka culun banget
saat kedua cowok itu pergi bersama geng mereka.
"Wow, nggak nyangka tukang ojek si Erika boleh
juga!" seru Amir. "Brutal gile!"
"Ah, keliatannya dia agak manja," cemooh Welly,
mem?buatku senang karena punya rekan sekongkol.
Aku memperhatikan, hanya Daniel yang tidak ber?
komentar apa-apa. Sekali lagi, aku agak salting saat dia
memandangiku, tapi perhatianku teralihkan saat men?
dengar suara Erika di sampingku.
"Kalo dipikir-pikir, hari ini gue juga denger sesuatu
tentang geng motor. Apa ya?"
Wajah kami berdua berubah saat teringat siapa yang
menyinggung soal geng motor beberapa saat sebelum?
nya. Bu Rita. Isi-Omen2.indd 68 011/I/13 RASANYA aku tidak ingin memercayai mataku.
Kenapa Rima tega-teganya melukisku dalam situasi
seperti itu? Kutatap lukisan yang tergantung rapi pada dinding.
Lukisan itu tampak gelap dan suram, meng?gambarkan
seorang cewek berambut panjang yang se?dang berlari
dengan mata melotot, air mata mengalir di kedua
pipinya, dan mulut membuka selebar-lebarnya seolaholah sedang menjerit dengan sekuat tenaga. Cewek itu
sebenarnya bisa siapa saja. Bisa saja dia adalah Rima
sang maestro itu sendiri, atau Willyana si cewek sok
cantik yang merasa dirinya adalah bos anak-anak cewek
populer. Hanya aku yang tahu bahwa cewek itu adalah aku.
Se?sosok monster besar yang memburu cewek itu me?
renggut kepala si cewek hingga rambutnya terlepas, me?
nampakkan segaris merah yang membuat jantungku
nyaris berhenti berdetak saat melihatnya.
Mendadak kusadari. Monster yang tadinya tampak
abstrak itu kini terlihat familier. Mata yang menatap
tajam itu... Isi-Omen2.indd 69 011/I/13 Mata ayahku. Jantungku yang tadi serasa nyaris berhenti kini ber?
detak begitu cepat sampai-sampai aku merasa bakalan
ter?kena serangan jantung. Kutatap mata yang memelototi?
ku itu dengan rasa ngeri yang semakin memuncak, se?
men?tara monster itu merangkak keluar dari bingkai
lukisan. "Kau sudah membunuhnya," bisik monster itu dengan
suara yang sudah sangat kukenal sambil men?condong?kan
kepalanya ke hadapanku. Bisa kurasakan napasnya yang
panas bagaikan api, nyaris membakar wajahku. "Seka?
rang, kau akan menerima hukumanmu."
Spontan aku berbalik dan siap melarikan diri. Tapi
monster itu jauh lebih cepat. Dengan cakarnya dia men?
cengkeram kepalaku. "Jangan!" jeritku histeris. "Tolong!"
Tapi monster itu tidak mengenal belas kasihan. Tanpa
ampun dia menarik rambutku, menampakkan warna
merah di baliknya.... Aku bangun dengan jantung memukul-mukul dadaku.
Oh, God. Oh, God! mimpi yang mengerikan! Aku mem?
benamkan wajahku pada bantal, berusaha menahan rasa
takut yang masih tersisa, sekaligus rasa sakit yang meng?
hunjam dadaku. Aku sudah membunuh ibuku.
Ayahku sangat membenciku.
Bukankah sudah kuputuskan bahwa aku akan menjadi
makhluk tak kasatmata, supaya ayahku tak perlu melihat?
ku lagi selamanya? Supaya beliau tidak menatapku de?
ngan sorot mata penuh tuduhan itu lagi, sorot mata
yang membuatku merasa berada di dalam neraka?
Lalu kenapa aku mau melibatkan diri dalam semua
masalah ini dan menjadikan diriku mulai terlihat?
*** Isi-Omen2.indd 70 011/I/13 Gara-gara mimpi mengerikan itu, aku tidak bisa tidur
lagi. Kuputuskan, daripada aku berguling-guling di tempat
tidur sambil berparno-parno-ria tentang monster yang
mukanya mirip seseorang yang tidur tak jauh dari
kamarku, lebih baik aku kabur ke sekolah saja. Itulah
sebabnya aku sudah duduk di depan kantor Bu Rita sejak
jam enam pagi, saat hampir semua anak-anak lain baru
saja terbangun dari tidur mereka yang nyenyak dan tak
terganggu mimpi buruk. Sebenarnya bukan hanya mimpi mengerikan itu yang
membuatku tak bisa tidur. Sebagian dari otakku juga
memikirkan misteri yang kami hadapi kali ini, misteri
yang mungkin hanya ulah iseng anak-anak, tetapi mung?
kin juga sesuatu yang akan sangat berbahaya. Apa pun
itu, aku penasaran banget, apa yang membuat pelakunya
mengirim pesan seperti itu.
Tiga insiden tahun lalu yang disebut Bu Rita. Yang
pertama adalah soal anak yang mati dengan kepala retak
karena jatuh ke kolam renang. Kedua, siswa senior yang
dikeluarkan dari sekolah karena mencuri di sekolah
bersama geng motor dan mengakibatkan terlukanya salah
satu petugas sekuriti. Dan terakhir, siswa kelas sepuluh
yang gantung diri saat kenaikan kelas.
Kini aku tidak bisa lagi memikirkan geng motor tanpa
memikirkan cowok yang dipanggil Les itu. Cowok yang
Isi-Omen2.indd 71 011/I/13 luar biasa aneh. Biasanya, orang-orang langsung tak
meng?acuhkanku karena penampilanku yang pendiam
dan sederhana (kecuali Daniel?tapi Daniel kan playboy.
Plus, kurasa dia juga tak akan memperhatikanku kalau
aku tidak duduk dengan Erika). Tapi Les langsung meng?
amatiku dengan tajam, seolah-olah ada sesuatu dalam
diriku yang menarik perhatiannya.
Tidak, tidak mungkin. Aku tidak semenarik itu kok.
Mung???kin dia hanya kaget melihatku meloncat dari
pohon. Mana harus kuakui juga, dia cakep banget. Asal
tahu saja, bukannya aku asing dengan cowok-cowok
cakep. Sebelum ini, aku sering banget berpindahpindah sekolah lantaran pekerjaan ayahku yang senang
mem?buru barang-barang seni di seluruh dunia. Di se?
tiap sekolah yang kusinggahi, selalu ada cowok-cowok
ganteng de?ngan gigi berkilauan, rambut acak-acakan
keren ala Justin Bieber, tubuh atletis ala Taylor
Lautner, tapi tak pernah ada satu pun yang menarik
perhatianku. Yah, aku tak akan menyangkal, aku memang dingin.
Kalian pun akan begitu kalau menjalani hidup sepertiku,
ketika kalian hanya menjadi beban orangtua yang lebih
menyukai benda-benda seni bernilai tinggi ke?timbang
anak yang didapatkan secara gratis dari Tuhan, ketika
semua memperlakukan kalian dengan hormat karena
kalian adalah anak orangtua kalian dan bukan karena
siapa diri kalian, ketika tak ada yang akan me?meduli?
kanku seandainya namaku bukan Valeria Guntur. Ber?
tahun-tahun aku menjalani hidup sendirian tanpa
sahabat, terkungkung dalam hidup yang bagaikan pesta
Isi-Omen2.indd 72 011/I/13 tanpa kesudahan, dengan semua tamu yang tidak ku?
kenali sama sekali. Aku sudah pasrah menjalani hidup
sepi seperti itu seumur hidupku, sampai pada hari aku
ber?temu orang yang sama kesepiannya denganku.
Erika Guruh, nama cewek yang pertama kali menarik
per?hatianku. Sikapnya memang jutek, kasar, dan seenak?
nya. Tapi saat dia berjalan sendirian, dengan bahunya
yang tegap, langkahnya yang tegas, dan dagunya yang
terangkat, seolah-olah dia tidak takut menghadapi se?
luruh dunia sendiri, aku terkesan. Kekuatannya begitu
besar, menghipnotis diriku, dan tahu-tahu saja aku sudah
menjadi temannya. Sahabatnya. Aku tahu, rasanya berani
banget menyebut diri sendiri sebagai teman baik Erika,
tapi aku juga tahu, di dunia ini, selain Viktor Yamada
keparat, akulah orang yang paling dekat dengan Erika.
Satu teman sudah cukup untukku. Itu saja sudah jauh
lebih banyak daripada yang pernah kuterima seumur
hidupku. Jadi, aku tak pernah memimpikan akan ada
hari ini, saat hati dan pikiranku mulai terisi pertanyaanper?tanyaan tentang cowok yang baru kutemui sekali
seumur hidup dan hanya selama setengah jam pula.
Tapi kalau dipikir-pikir lagi, aku memang selalu begitu.
Dulu, aku langsung penasaran pada Erika Guruh sejak
pertama kali melihatnya. Kini, aku juga merasakan hal
yang sama terhadap Les.

Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oke, stop. Stop. Bukan waktunya aku berpikir tentang
cowok. Hanya tersisa tiga hari lagi dari waktu yang kami
miliki, sementara belum banyak yang sudah kami laku?
kan. Mendadak kusadari tali-tali sepatuku sudah terlepas
dari ikatannya dan sedang dijalin untuk saling mengikat.
Isi-Omen2.indd 73 011/I/13 Ka?lau sampai aku berjalan sekarang, sudah pasti aku ja?
tuh terjerembap. "Erika," tegurku, dan wajah Erika nongol dari belakang
kakiku. "Ngelamunin apa lo?" tanyanya dengan muka santai
yang tak menampakkan bahwa dia baru saja mengusili?
ku. "Mikirin misteri yang harus kita hadapi," sahutku.
Mata Erika menyipit. "Atau cowok ganteng garis mi?
ring montir?" Apa aku begitu gampang ditebak, atau cewek ini me?
mang genius? Tanpa menyahut aku membungkuk dan menguraikan
ikatan tali sepatu yang dibuat Erika, lalu mengikatnya
sesuai dengan tempatnya masing-masing.
"Jadi bener dugaan gue?" tanya Erika kaget.
"Hanya mikirin," sahutku jujur. "Nggak ada maksud
apa-apa kok." "Jangan marah ya, gue cuma mau ngasih lo nasi?hat."
Aku mendongak dan memandang Erika dengan heran,
karena cewek ini bukan tampang orang yang senang
mem?beri orang lain nasihat.
"Lo tuh cantik, pinter, anggun, berasal dari keluarga
supertajir, lagi. Kalo lo mau tertarik sama cowok, mini?
mal yang sekelas si Ojek gitu. Yang biarpun muka?nya
nggak jelas, tapi setidaknya punya nama keluarga yang
dikenali presiden kita. Kalo nggak, sudah pasti orangtua
lo bakalan mencak-mencak."
Selama sedetik aku ingin memprotes. Meski memang
me?mikirkan Les, itu tidak berarti aku naksir atau ter?
pesona padanya. Aku kan hanya ingin tahu. Tapi di sisi
Isi-Omen2.indd 74 011/I/13 lain, aku harus mengakui pendapat Erika benar banget.
Pasti ayahku tak bakalan senang pada cowok seperti Les.
Kalau aku memedulikan pendapat ayahku, lebih baik aku
berhenti memikirkan Les sejak awal. Masalahnya, aku
pun tak suka pada orang-orang yang disukai ayahku, dan
beliau tidak pernah peduli dengan pendapatku. Kenapa
sekarang aku harus peduli dengan pendapatnya?
"Atau minimal yang kayak Daniel." Sekali lagi aku
mendongak pada Erika dan menatapnya heran. "Yep, dia
ngaku sama gue kemarin, dia naksir elo. Yah, jelas dong,
gue langsung gebukin mukanya sampe rata. Cowok itu
kan playboy kelas ancur. Pokoknya, nggak ada gunanya
banget deh. Tapi, jelek-jelek gitu, dia masih punya modal
buat pacaran sama anak konglomerat. Nggak kayak si Les
yang kebanting abis sama elo."
"Tapi, Ka, lo pertama kali ketemu Vik juga ngira dia
cuma tukang ojek, kan?" kataku mengingatkan.
"Beda dong," kata Erika ringan. "Keluarga gue tuh
bukan keluarga terpandang seperti keluarga lo. Lagian, lo
tau sendiri, orangtua gue nggak peduli sedikit pun sama
gue. Gue mau pacaran sama tukang gali kuburan kek,
tukang es cincau kek, mereka nggak akan peduli. Lagi?
an," wajah Erika memerah, meski hanya sedikit, "waktu
awal-awal, gue sama sekali nggak tau kalo gue... mmm...
suka sama si Ojek kok."
Ternyata seorang Erika Guruh bisa salting juga. Aku
berdiri dan menelengkan wajahku di depan muka yang
agak memerah itu. "Jadi, sejak kapan lo tau lo suka sama
dia?" "Nggak tau tuh." Erika mengangkat bahu, seolah-olah
enggan mengeluarkan terlalu banyak kata untuk mem?
Isi-Omen2.indd 75 011/I/13 bahas topik ini. "Tau-tau aja," dia nyengir sendiri, "kalo
dia lagi nggak ada, hidup rasanya seperti makan nasi
putih dengan lauk ayam goreng dan sambel terasi yang
banyaknya minta ampun, tapi nggak dikasih mi?num
sama sekali." Aku ikutan nyengir mendengar perumpamaannya.
"Bikin emosi?" "Yep, kayaknya setiap orang mendadak jadi residivis
nggak tau diri, gitu."
"Elo kali yang kayak residivis." Mendengar ucapanku,
Erika langsung memelototiku, sementara aku hanya
nyengir. Entah sejak kapan, aku mulai berani menggoda
cewek galak ini dengan kepercayaan penuh bahwa goda?
anku tak akan melukai hatinya. "Udah, jangan melototmelotot lagi. Nanti mata lo nggak bisa balik ke ukuran
normal, lo bisa jadi kembaran si Vik."
"Iya ya, heran, kok ada cowok yang mukanya bete
melulu kayak gitu." Erika menyeringai, tapi seringai itu
langsung lenyap saat sesosok tawon mendekati kami.
Maksudku, tentu saja Bu Rita. Sinar matahari pagi
memantul dari kacamatanya yang bersih, membuatku
nyaris bisa men?dengar bunyi ting akibat kilau yang
sempat nyaris mem?butakan kami itu.
"Kenapa kalian belum masuk kelas? Sebentar lagi bel
masuk," tegur Bu Rita, tajam dan efisien.
"Kami ingin mendengar lebih banyak soal tiga insiden
tahun lalu, Bu," sahutku cepat sebelum Erika mulai me?
ngarang-ngarang jawaban konyol yang bisa memancing
emosi kepala sekolah kami itu.
Bu Rita menatap kami sejenak, lalu berkata, "Ayo,
masuk ke kantor saya."
Isi-Omen2.indd 76 011/I/13 Sekali lagi aku mendapati diriku berada di ruangan
yang nyaris tak pernah dimasuki siswa lain itu. Oke,
sepertinya aku bakalan jadi langganan tetap di ruangan
ini. Tidak tahu ini berarti bagus atau buruk.
Yang jelas, ini buruk untuk imej cewek-tak-kasatmataku. Sepertinya sekarang ini aku tak bakalan tak kasatmata
lagi. Baru saja pantat kami menempel di kursi di depan
meja Bu Rita, wanita itu sudah mencerocos dengan suara
datar. "Insiden pertama, siswa yang tidak sengaja terjatuh di
kolam renang. Waktu itu kolam renang sekolah sedang
dikuras, dan anak-anak kelas XI IPA-2 sedang disuruh
membersihkan kolam renang dan sekitarnya. Reva, salah
satu siswi yang sedang mengepel daerah pinggir kolam
renang, tergelincir dan kepalanya menghantam ubin
dasar kolam renang..."
"Apa Ibu yakin dia nggak didorong?" sela Erika tak
sabar. "Pasti," angguk Bu Rita. "Memang kebanyakan anakanak sedang sibuk dengan urusan mereka, tapi ada lima
orang anak yang sempat menyaksikan kejadian itu dari
dekat." "Lima anak ini," ucapku perlahan, "apa Ibu bisa beri?
kan nama-nama mereka?"
Bu Rita memasang tampang keberatan, tapi bibirnya
menyahut, "Oke. Tapi tolong rahasiakan ini dari anakanak lain, ya!"
"Tenang aja, Bu!" Erika berseru tegas. "Menjaga ke?
rahasia?an klien adalah moto perusahaan kami!"
Aku menyikutnya dan mendelik. "Sejak kapan kita pu?
Isi-Omen2.indd 77 011/I/13 nya perusahaan dan kenapa tau-tau kita punya moto
segala?" "Biar bonafide dong, beib," seringai Erika. "Tuh, si Ibu
ngasih kita daftar nama anak-anak yang ber?sangkutan."
"Juga nama guru yang bertanggung jawab pada saat
kecelakaan itu terjadi," tambah Bu Rita. "Masih ada
pertanyaan? Kalau tidak ada, kita bahas insiden berikut?
nya, yaitu insiden tentang siswa senior yang mencuri di
sekolah. Tepatnya di ruangan ini."
Kami berdua langsung melayangkan pandangan ke
sekeliling ruangan yang tampaknya memang minta di?
rampok itu. "Memangnya apa yang ingin dia curi?" tanyaku ingin
tahu. "Kebetulan, pada saat itu sekolah sedang mengadakan
acara amal. Semua uang yang didapat dari acara amal
di?simpan untuk sementara di kantor ini dan besok pagi?
nya baru akan disetor ke bank. Tapi malam itu, siswa
Mbah Pete 2 Wiro Sableng 096 Utusan Dari Akhirat Pedang Darah Bunga Iblis 13

Cari Blog Ini