Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu Bagian 5
sekarang maupun nanti. Sementara anak itu tidak punya
kemampuan untuk membantu Miss, menjadi partner
Miss. Kalau Miss Valeria tetap berkeras untuk bersama?
nya, Miss hanya akan menyebabkan ketidakbahagiaan
kalian berdua." "Andrew berpikir terlalu jauh," bantahku. "Aku belum
296 Isi-Omen2.indd 296 011/I/13 tau apa perasaanku padanya. Aku belum tau apa perasa?
an?nya padaku. Aku bahkan belum tau ingin meneruskan
apa pun dari yang namanya bisnis keluarga Guntur..."
"Miss Valeria pasti mau," tegas Andrew. "Saya sudah
berada di keluarga ini selama tiga generasi, dan selama
itu saya melihat hal yang sama. Pada akhirnya, seorang
Guntur tetaplah seorang Guntur. Miss Valeria akan men?
cintai bisnis keluarga, bahkan terobsesi, sama seperti
kakek dan ayah Miss Valeria. Orang yang tidak bisa mem?
bantu Miss, pada akhirnya akan tersingkir dalam kehidup?
an Miss." Aku menatapnya dengan sangsi.
"Percayalah pada ucapan orang tua seperti saya, Miss
Valeria." Nada teguran itu berubah jadi lembut. "Miss
tak boleh bersamanya. Suatu hari kelak, kalau anak itu
sanggup berubah menjadi pemuda yang lebih tangguh
dan bisa diandalkan, mungkin kita bisa berpikir ulang.
Tapi untuk saat ini, dengan situasi seperti ini, hubungan
kalian tak akan bertahan lama."
Aku memandangi kepergian Andrew dengan berbagai
perasaan berkecamuk dalam dadaku. Sedikit pun aku
tidak memercayai ucapan Andrew. Sedikit pun aku tidak
percaya aku akan terikat pada bisnis keluarga seperti
yang terjadi pada kakek dan ayahku. Sedikit pun aku tak
percaya Les hanya akan merusak masa depanku.
Tapi di sisi lain, kenapa aku harus berpikir terlalu
jauh? Bahkan Les menyetujui pendapat mereka, dan aku
bukan cewek agresif yang akan berusaha membuatnya
berubah pikiran. Apa lagi yang harus diocehkan?
"Miss Valeria."
"Cukup, Andrew, aku tau," akhirnya aku berkata.
"Andrew nggak perlu khawatir. Aku nggak akan men?dekati?
nya lagi." Ya, itulah pilihan yang sudah diberikan padaku, dan
aku akan menjalaninya sebaik mungkin. Sebagai?mana
bagian hidupku yang lain, semuanya sudah ditetap?kan
untukku, dan aku tak punya pilihan lain selain ber?usaha
bahagia dengan semua yang ada.
Tapi, maaf, aku tidak berniat meneruskan kehidupan
seperti ini untuk selamanya. Aku akan memberontak dan
keluar dari rumah ini, membuang nama Guntur kalau
perlu. Sebab, lebih dari segalanya, yang dibutuhkan se?
orang manusia adalah kebebasan.
*** 297 Isi-Omen2.indd 297 011/I/13 Malam itu, sesuai rencana, aku menyelinap keluar dari
rumah tepat pukul tujuh malam, setelah menyelesaikan
ma?kan malam yang membosankan dengan ayahku
yang tak bicara padaku sejak kejadian kemarin itu
(yah, aku juga tak berminat bicara dengan beliau sih,
apa??lagi de?ngan adanya peristiwa hari ini. Memangnya
be?liau kira beliau saja yang marah? Aku juga bisa ma?
rah, tahu!). Sama seperti beberapa malam sebelumnya, aku juga
mengenakan pakaian serbahitam. Mungkin karena ma?
sih sore, aku tidak menemui kesulitan sama sekali.
Para pe?tugas sekuriti pun terlihat santai dan tidak ter?
lalu was?pada. Begitu melewati pagar rumah, aku meng?
endap-endap menuju luar kompleks. Jujur saja, aku
curiga petugas sekuriti pos depan kompleks yang mem?
beritahu?kan kedatangan Les pada ayahku. Jadi kali ini
298 Isi-Omen2.indd 298 011/I/13 aku tidak mau mereka mengetahui kepergianku. Aku
me??nyuruh Erika menungguku di perempatan di depan
kompleks. Mulutku ternganga saat melihat Erika, yang juga ber?
pakaian serbahitam, nangkring di atas becak, berkipaskipas dengan pamflet supermarket, sementara si tukang
becak jongkok di pinggir jalan sambil merokok.
"Nah, itu dia!" seru Erika girang saat melihatku.
"Lho, kita naik becak?" tanyaku agak keberatan. Habis,
nggak keren amat, mau eksyen malah naik becak.
"Iya lah," tukas Erika. "Emangnya mau naik apa lagi?
Gue nggak punya kendaraan. Sedangkan lo, tajir-tajir
juga nggak punya apa-apa!"
Benar juga. Keterlaluan. Masalah ini harus kupikirkan
lagi. "Nggak apa-apa." Erika menepuk-nepuk bahuku saat
kami hendak naik ke dalam becak. "Yang bawa becak ini
si Chuck." "Chuck?" tanyaku tak percaya. "As in Chuck Bass yang
di serial televisi Gossip Girl?"
"Jelas-jelas as in Becak lah," tukas Erika. "Lo liat-liat
dong, apa miripnya dia sama Chuck Bass?" Aku me?
mandangi si tukang becak yang, meski tampak bengal,
lumayan manis dan bersahaja. Sama sekali tidak ada
mirip-miripnya dengan Chuck Bass si cowok elite dan
berbahaya. "Si Chuck ini langganan gue, udah terbiasa
gue suruh yang aneh-aneh, jadi lo nggak usah takut dia
keberatan sama ulah kita malam ini."
"Tapi katanya saya mau dibayar mahal sama Non yang
baru datang..." "Itu kalo lo kerja yang bener!" bentak Erika, lalu me?
nyenggol-nyenggolku dengan muka penuh persekongkol?
an. "Lo bawa duit, kan?"
"Mmm, iya." "Sementara ini lo jangan pelit-pelit dulu sama si
Chuck, supaya dia selalu dateng setiap kita butuh trans?
portasi. Nanti setelah kita udah punya kendaraan, kita
baru campak?in dia dengan tak berperikemanusiaan."
Intinya, jangan pernah berani malak Erika.
Untungnya sekolah kami tidak terlalu jauh. Dalam
waktu singkat, kami sudah tiba di perempatan terdekat.
"Lo tunggu di sini, Chuck," pesan Erika pada si abang
tukang becak. "Jangan terlalu deket. Bahaya, bisa di?
gantung setan sekolahan."
"Iya, Non, saya emang udah sering denger, sekolah
Non angker banget." Seharusnya Erika jangan menakut-nakuti si Chuck. Se?
karang giliran aku yang merinding.
"Hush, jangan ngomong gitu, Chuck. Makin di?sing?
gung, setannya makin deket..."
"Cukup, Ka, cukup!" selaku menghentikan Erika se?
belum nyaliku lenyap seluruhnya. "Ayo, kita jalan.
Chuck, kamu tunggu di sini, ya. Tapi jangan lengah. Si?
apa tau kami ingin pulang secepatnya."
"Ya, Non." Sambil mengendap-endap menuju sekolahan, aku me?
negur Erika, "Lo lain kali jangan singgung-singgung soal
setan dong." "Kenapa? Lo takut?"
"Iya." 299 Isi-Omen2.indd 299 011/I/13 "Sama, gue juga."
300 Isi-Omen2.indd 300 011/I/13 Aku memelototinya. "Lalu kenapa lo malah singgungsinggung?"
"Jelas," sahut Erika sambil menatapku dengan sorot
mata seolah-olah aku bodoh banget, "karena gue nggak
mau takut sendirian."
Cewek ini mulai menyebalkan.
Kami tiba di depan sekolah tanpa ada sesuatu yang
men?curigakan. Langit mulai gelap, tetapi pekarang?an
depan sekolah cukup terang-benderang berkat lampu di
pos petugas sekuriti gerbang depan.
"Eh, rupanya ada satpam berjaga di situ!" bisikku.
"No problem," sahut Erika. "Kita bisa masuk lewat jalan
be?lakang kita." Oh, ya. Benar juga. Jalan belakang itu rupanya jauh lebih sulit untuk di?
tembus masuk dibandingkan dengan saat kami meng?
guna?kannya untuk keluar. Berhubung aku lebih ringan,
akulah yang bertugas naik ke bahu Erika dan menggapai
ca?bang pohon. Beres. Sejauh ini, semuanya lancar.
Namun saat aku mengulurkan tangan untuk me?
nangkap Erika dari atas, rupanya Erika tak bisa meng?
gapai tanganku. Cewek itu mengumpat, lalu berbisik de?
ngan suara yang sepertinya bisa didengar banyak orang,
"Val, coba lo turunin kaki lo aja. Lebih panjang. Duadua?nya, ya!"
Benar juga. Aku menurunkan dua kakiku yang me?
ngepit cabang pohon. Sebetulnya aku sudah siap Erika
bakalan melakukan sesuatu yang kasar terhadap kakiku,
misalnya menariknya keras-keras. Tapi aku tidak men?
duga dia meloncat ke arah tembok, men?jadikan tembok
301 Isi-Omen2.indd 301 011/I/13 sebagai pijakan untuk meloncat lebih tinggi, dan men_
cengkeram kedua kakiku bagaikan bayi monyet yang
baru mulai belajar bergelantungan. Dalam waktu singkat,
dia berhasil tiba di atas dahan pohon.
"Hebat ya gue!" pujinya, bangga pada dirinya sen?diri.
"Iya, hebat," sahutku datar. "Kaki gue sampe berdarahdarah kena cakar kuku lo nih."
"Eh iya, gue lupa potong kuku ding. Sori."
Kami turun ke bawah pohon dengan hati-hati, tiba di
belakang toilet cewek?dan sangat bersyukur pintu?nya
tak dikunci?lalu keluar menuju koridor seko?lah. Gila,
malam-malam begini, sekolah memang kelihat?an mengeri?
kan banget. Apalagi rupanya lampu yang menyala hanya?
lah lampu pos depan. Sedangkan gedung sekolah kami
gelap gulita. "Seharusnya kita bawa senter," bisik Erika.
"Gue bawa kok," balasku berbisik, "tapi kalo kita nyala?
in, bisa-bisa ada yang tahu kedatangan kita. Kita harus
ke mana nih sekarang?"
"Tentu aja Ruang Kesenian."
Mungkin sudah pernah kusinggung, Ruang Kesenian
berada di lantai dua gedung laboratorium. Kami meng?
injak undakan pertama tangga, dan injakan itu me?
nimbul?kan suara berderik yang memecahkan kehening?
an. "Gawat," gumamku. "Ini sama aja ngumumin kedatang?
an kita." "Kita bisa susuri pinggirannya," usul Erika.
Benar juga. Sambil berpegangan pada pegangan tang?
ga, kami menaiki tangga dengan menyusuri bagian luar
tangga. Memang sangat berbahaya, dan sebaiknya ti?dak
302 Isi-Omen2.indd 302 011/I/13 ditiru oleh anak-anak yang nilai olahraganya ren?dah,
tetapi kebetulan kami berdua sudah sangat ber?
pengalaman dalam hal-hal beginian.
Di tengah-tengah perjalanan kami menuju lantai dua,
kami mendengar suara. Suara teriakan ketakutan seseorang dari lantai dua.
"Sial!" teriak Erika sambil melompat ke tengah-tengah
tangga. "Jangan-jangan si pelaku lagi beraksi!"
Aku juga punya pikiran yang sama, jadi aku segera
mengikuti Erika dan melompat ke tengah-tengah tangga,
lalu berlari menaiki tangga secepat mungkin.
Lalu kami melihatnya. Sesosok manusia bertubuh tinggi, yang mirip si algojo
dalam lukisan, siap mengayunkan parangnya ke tubuh
seorang cowok yang sedang tergeletak tak sadarkan diri
di lantai. Lalu si algojo melihat kami.
303 Isi-Omen2.indd 303 011/I/13 SESAAT aku merasa tak bisa bernapas.
Algojo itu benar-benar persis sosok algojo dalam
lukis??an. Tubuhnya tinggi besar, ditutupi beberapa lapis
baju rombeng berwarna kusam yang menimbulkan
kesan kotor dan bau, menutupi hingga ke ujung kaki.
Kepala??nya ditutupi topi kain berbentuk kerucut besar
yang se?warna dengan bajunya. Yang paling menakutkan
adalah kepalanya. Oh, God, dia mengenakan topeng
musang ber?bulu yang mengerikan sekali. Memang tidak
ada bola mata merah atau taring dengan ludah me?
netes-netes, tapi tetap saja sangat mengerikan. Mata di
balik topeng itu berkilat-kilat mengerikan, penuh den?
dam dan benci, sama seperti bola mata merah dalam
lukisan Rima. Yang tak kalah mengerikan adalah parang yang, aneh?
nya, tampak kecil banget dibandingkan bayang?anku. Tapi
kecil tidak berarti tidak mematikan. Noda-noda darah
pada parang itu sudah membuktikan se?gala?nya.
Saat menyadari kehadiran kami, si algojo bermuka mu?
sang langsung meninggalkan korbannya dan menderap
ke arah kami dengan kecepatan tinggi. Parangnya ter?
304 Isi-Omen2.indd 304
Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
011/I/13 angkat seolah tak ragu untuk membacok kami, sementara
sebelah tangannya meraih ke dalam jubahnya dan
mengeluarkan sebuah parang lagi. Bagi orang-orang
biasa, serangan nekat seperti ini pasti sudah membuat
nyali terbang hingga ke luar angkasa.
Malang baginya, kami berdua bukan orang biasa.
Si algojo langsung mengayunkan kedua parangnya
dengan gerakan menyilang yang sangat cepat?satu
parang mengarah ke wajahku, yang lain mengarah ke
wajah Erika. Tentunya kami sudah mengharapkan serang?
an semacam itu. Serta-merta kami berdua berpencar
untuk menghindarinya. Tanpa berhenti bergerak sedikit
pun, si algojo langsung memburu Erika.
Kurang ajar. Aku dicuekin...!
Terdengar suara wushhh dari belakang. Secara spontan,
aku langsung merunduk untuk menghindar. Saat aku me?
mutar tubuhku seraya merunduk, kulihat sosok besar
yang sama dengan yang barusan kuhadapi bersama
Erika. Astaga, ternyata algojonya ada dua orang!
Algojo kedua langsung bergabung dengan rekannya. Ke?
duanya sama-sama bermuka musang, saling beradu pung?
gung, empat buah parang teracung tinggi, sementara aku
dan Erika terpisah jauh dan tidak bisa saling mem?bantu.
Tapi alih-alih gemetar ketakutan, Erika malah menye?
ringai. "Akhirnya kita menghadapi adegan seru juga ya,
Val." "Bener banget." Aku menyunggingkan senyum keji
sambil menatap dalam-dalam algojo yang menghadapku.
"Udah waktunya kita balas mengincar orang-orang yang
selama ini cuma bisa ngumpet!"
305 Isi-Omen2.indd 305 011/I/13 "Pengecut yang cuma bisa keluar pada malam hari,
diam-diam pula, mengincar orang-orang yang lengah,"
Erika ter?tawa menghina, "pastinya lemah sekali, ya?"
"Pasti," sahutku dengan nada mengejek. "Ngelawan
cewek-cewek kayak kita aja kalah."
Sesuai perkiraan kami, dua orang itu langsung me?
nerjang maju untuk menyerang kami. Sudah menjadi
raha?sia umum bahwa petarung bodoh yang hanya meng?
andalkan kekuatan fisik pasti gampang terpancing emosi.
Meskipun sudah mengetahui teori ini, pengalaman tidak
bisa dibohongi. Saat dihina-dina, mereka bakalan lang?
sung kalap dan lupa semua yang sudah dipelajari, serta
menampakkan semua kelemahan mereka.
Seperti lawanku ini. Langkah-langkahnya terlalu lebar
saat dia merangsek ke arahku dengan muka musang
ganas mengerikan. Jubahnya tersibak, menampakkan
ujung sepatu yang ternyata cukup menarik. Warna hijau
stabilo yang mentereng. Hmm, aku harus mencari tahu
lebih banyak. Sehebat apa pun aku dalam ilmu bela diri, aku tidak
bisa melawan dua parang tanpa senjata apa pun. Jadi
yang bisa kulakukan hanyalah menghindar seraya
mundur, mundur, dan... "Arghhh!" Ups. Aku menginjak punggung cowok-entah-siapa
yang tadinya jadi bulan-bulanan dua algojo ini. Saat aku
menoleh ke bawah, aku melihat setumpuk rambut yang
dicat kuning jelek yang terlihat murahan banget. Pasti?
nya ini cowok yang namanya Gordon itu. Kuharap aku
tidak menambah luka parah yang diderita cowok malang
yang terbaring dalam genangan darahnya sendiri itu....
306 Isi-Omen2.indd 306 011/I/13 Oh, God, kakinya! Sesaat perhatianku lengah memandangi kaki yang ter?
luka parah itu?kaki yang nyaris putus?mem?buat?ku me?
rasa ingin menjerit sekeras-kerasnya.
Wushhh! Kurasakan ayunan parang di dekat leherku, dan helaihelai rambut hitam melayang-layang di antara aku dan
si algojo. Tanpa perlu melihat kaca pun aku tahu sebagi?
an rambutku sudah memendek. Untungnya ini rambut
palsu. Kalau tidak, mungkin aku sudah menangis di
dalam hati. Ada yang lebih gawat lagi. Parang itu tidak hanya me?
ngenai rambutku. Meski aku bahkan tak menyadari
parang itu mengenaiku, rasa nyeri yang menyebar dari
daerah tulang atlas dan baju yang langsung membasah
mem?beritahuku bahwa aku terluka. Namun, dengan
gencar?nya serangan yang kuhadapi, aku jadi tidak sem?
pat memeriksa luka itu. Lagi pula, meski sakit banget,
luka itu sama sekali tidak membuat tubuhku lumpuh.
Sekilas pandang ke arah kiri menyadarkanku bahwa
aku dekat dengan pintu menuju Ruang Kesenian. Hmm,
mungkin aku bisa memancing algojo buas ini ke dalam
sana. Seingatku, ruangan itu berantakan banget. Pasti
bakal?an banyak barang yang bisa digunakan untuk meng?
halangi serangan si algojo yang membabi buta. Dan,
kalau aku cukup kreatif, aku pasti bisa mendapatkan
senjata untuk balas melawannya.
Jadi aku pun mundur ke dalam Ruang Kesenian.
Ruangan itu lebih gelap daripada yang kusangka. Sinar
bulan menyeruak dari balik jeruji yang ada di jendela
ventilasi, sementara jendela-jendela besar ditutupi tirai
307 Isi-Omen2.indd 307 011/I/13 tebal. Sosok-sosok besar dan menyeramkan memenuhi
ruangan, membuatku nyaris mengurungkan niatku untuk
masuk. Tapi parang yang menyerang bertubi-tubi itu
menghalangi jalan keluarku. Tanpa berpikir panjang, aku
menyelinap di balik salah satu sosok itu, siap merunduk
sambil menyerang jika sosok itu ternyata algojo ketiga.
Namun saat tanganku menyentuh sosok itu, kusadari
sosok ini ditutupi selimut berwarna kusam?itu sebabnya
terlihat aneh dan menyeramkan?dan bagian dalamnya
sangat keras. Patungkah? Kedua parang itu mengayun ke arahku, mengenai so?
sok yang kemudian hancur berkeping-keping, menimbul?
kan suara memekakkan yang memecah keheningan. Dari
pecahannya yang mengenai kakiku, aku tahu itu patung
dari tanah liat. Oh ya, betul juga. Tugas kesenian kelas
sebelas. Kenapa aku bisa lupa?
Aku terus berpindah dari patung ke patung, dan setiap
patung dihancurkan oleh si algojo dengan ganas (ku?
harap anak-anak kelas sebelas mau memaafkanku karena
sudah membuat hancur tugas-tugas mereka). Sembari
menghindar, mataku terus mencari-cari dalam kegelapan,
benda yang bisa kugunakan untuk melawan si algojo.
Namun kini si algojo menjadikan patung-patung itu
untuk melawanku. Pecahan-pecahan tanah liat berserakan
di lantai, membuatku mulai terpeleset.
Sial, aku kehilangan keseimbangan!
Aku berteriak kesakitan di dalam hati (sori, aku bukan
orang yang suka menjerit-jerit) saat aku jatuh membentur
lantai yang dipenuhi pecahan tanah liat. Rasa perih yang
menandakan luka memenuhi tangan dan kakiku. Aku
308 Isi-Omen2.indd 308 011/I/13 cepat-cepat berguling untuk mencari tahu di mana pe?
nyerangku berada. Rupanya dia berada di dekatku.
Di sampingku, tepatnya. Aku menatap ujung sepatu
berwarna hijau stabilo itu dengan mata terbelalak saking
takutnya. Ujung-ujung sepatu itu mendekat selangkah
demi selangkah. Tanpa memandang ke atas pun aku
tahu si algojo sudah mengangkat parangnya tinggi-tinggi,
siap memberikan hantaman pertama dan terakhir. Ku?
pelototi gambar burung hitam di atas sepatu itu, burung
yang tampak seperti burung nasar yang siap melahap
bangkaiku. Oh, sial. Apa riwayatku bakalan tamat saat ini juga?
Enak saja! Memangnya aku mau mati karena anak ke?
cil bersepatu burung yang menyamar jadi algojo dekil?
Mendadak kemarahanku bangkit, dan itu salah satu
pemicu yang bagus saat ini. Kuraup pecahan tanah liat
sebanyak yang kubisa, lalu kulemparkan ke muka
musang si algojo. Meski celah mata pada topeng itu ber?
ukuran kecil, tetap saja ada pecahan yang berhasil me?
nyeruak masuk dan membuat si algojo kelabakan. Se?men?
tara dia sibuk mengurus mukanya, aku mengirimkan
tendangan andalanku ke sela-sela kakinya, yang tentu
saja berhasil melumpuhkannya.
Yep, jelas si algojo ini cowok. Soalnya, cewek tidak
bakal?an memakai sepatu jelek begitu.
Aku bangkit berdiri. Sementara si algojo masih kesakit?an,
aku berpindah ke belakang si algojo, dan menendang?nya
hingga giliran dia yang tersungkur menabrak din?ding.
Sebelum dia sempat bergerak, aku sudah men??jambak topi
yang, aneh sekali, menempel ketat pada kepalanya dan
309 Isi-Omen2.indd 309 011/I/13 menjedukkan moncong musang itu keras-keras ke dinding
seraya merebut salah satu parang?nya.
Lalu, tanpa ragu sedikit pun, kuhantamkan parang itu
pada parang yang masih berada di tangan si algojo.
Mata parang itu jatuh ke lantai, menimbulkan bunyi
berdenting yang menyenangkan.
"Nah lho," ucapku dengan nada meledek sekaligus ber?
bahaya. "Sekarang nggak punya senjata lagi deh! Gimana
tuh?" Aku langsung meloncat mundur saat si algojo men?
dorong salah satu patung ke arahku. Patung itu lang?
sung hancur berantakan di samping kakiku. Sementara
itu, si algojo langsung lari pontang-panting ke arah
pin?tu. Aku segera mengejarnya, berharap Erika sudah
selesai dengan lawannya dan membantuku menahan
algojo lawanku. Tapi cewek itu malah hanya berdiri seraya menatapku
dengan muka blo?on. "Lo kok nggak halangi tuh orang sih?" tanyaku rada
emosi. Tanpa menyahut dia memamerkan luka besar di
kakinya. Oh. "Sori..."
"No problem," sahutnya datar. "Lo kayaknya lebih pa?
rah." Kusadari tubuhku berlumuran darah, meski tak begitu
kelihatan pada pakaianku yang serbahitam. Rasa nyeri
ada di mana-mana, di tulang atlas di dekat dada, di
telapak tangan yang kugunakan untuk menahan lan?tai,
juga lutut dan tungkai kakiku.
"Nggak sakit-sakit amat sih," sahutku seraya me?
ngertakkan gigi. "Lawan lo ilang ke mana?"
"Gue jebak dia sampe dia terguling-guling ke bawah
310 Isi-Omen2.indd 310 011/I/13 tangga. Habis itu dia kabur begitu aja. Bener-bener nggak
setia kawan." "Namanya penjahat, biasanya emang pengecut. Mana
si korban?" "Udah gue pindahin ke pinggiran, takut kena injak lo
lagi." Ups. Rupanya kejadian itu tak luput dari perhatian
Erika. "Tapi gue nggak berani macam-macam, takut luka?
nya tambah parah." Kami menghampiri Gordon yang masih terkapar
dengan gaya telungkup. Cowok itu tak sadarkan diri,
mung?kin karena kehilangan banyak darah, sementara
kakinya nyaris putus. Rasanya seluruh luka yang kuderita
bertambah sakit saat melihat luka menganga di kaki
Gordon. "Udah telepon ambulans?" tanyaku pelan.
Erika mengangguk. "Juga si Chuck. Gue bilang ke dia
ja?ngan kaget kalo ada ambulans dan polisi dateng."
"Si Chuck punya handphone?" Mendadak aku sadari
hal yang lebih penting. "Lo telepon polisi?"
"Terpaksa," geram Erika. "Begitu ambulans dateng, me?
reka pasti ingin tau alasannya dan mereka pasti panggil
polisi. Lebih baik kita panggil polisi yang kita percaya."
"Ajun Inspektur Lukas?" tebakku.
Ajun Inspektur Lukas adalah kepala penyidik yang
pernah membantu Erika beberapa bulan lalu. Meski
masih muda, orangnya tenang, adil, tidak memihak, dan
yang paling penting, cerdas. Meski sulit memercayai
orang dewasa, aku tahu polisi ini bisa diandalkan di
saat-saat genting seperti ini.
"Ya," angguk Erika sambil cemberut. "Nggak ada orang
lain lagi sih." 311 Isi-Omen2.indd 311 011/I/13 Halah, itu cuma alasan. Meski senang menentang pi?
hak yang punya otoritas, aku tahu kok, Erika diam-diam
menyukai Ajun Inspektur Lukas ini.
"Sekarang nggak ada yang bisa kita lakukan lagi," kata
Erika sambil menoleh padaku. "Gue mau liat kerusakan
yang lo timbulkan dong. Tadi bunyinya heboh ba?
nget." Kami berdua memasuki Ruang Kesenian dan me?nyala?
kan lampu. Mau tak mau, aku terkesima juga melihat
ruangan yang porak-poranda itu.
"Sepertinya emang heboh ya," komentar Erika. "Lo
sem?pet liat tampangnya seperti apa?"
Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Boro-boro. Gue cuma liat sepatunya warna hijau
stabilo dan ada gambar burungnya," sahutku. "Elo?"
"Gue sempet sobek bajunya, tapi di dalamnya cuma
ada dada kerempeng. Nggak jelas deh itu dada siapa."
"Kalo lo bisa tau identitas orang itu dari dadanya, gue
malah jadi curiga sama elo."
"Apa tuh maksudnya?"
"Nggak," gumamku tidak jelas. "Ayo, kita masuk liatliat, siapa tau ada jejak yang ditinggalkan si algojo kem?
bar." Kami melangkah masuk ke ruangan itu. Dalam kondisi
terang dan ruangan yang tidak terlalu penuh lagi akibat
sebagian besar patung sudah hancur, kami lang?sung
melihat pemandangan yang mencolok. Di pojok ruangan
yang paling dalam, terkucil dari semua ke?hebohan di se?
kitar?nya, tampaklah lukisan horor ketiga. Lukisan dengan
korban yang kakinya diputuskan.
"Udah tiga," ucapku. "Sisa empat."
"Val, coba lihat ini."
312 Isi-Omen2.indd 312 011/I/13 Aku berbalik pada Erika yang memandangi sebuah
kotak kayu dengan muka tegang. Kotak itu terbuka dan
hanya separuh berisi. Terlihat jelas lukisan yang dibuat
Welly bersandar pada dinding kotak?satu-satunya lukis?
an yang berada di sana. Pada kotak tercantum label ber?
isi daftar lukisan yang seharusnya ada di dalam kotak.
"Seharusnya empat lukisan horor yang tersisa juga ada
di sini," ucapku tegang, menyatakan apa yang ada di
dalam pikiran Erika. "Tapi nggak ada satu pun di dalam?
nya. Mereka udah mencurinya!"
"Pantas bajingan itu kabur begitu aja," geram Erika
menyinggung soal lawannya. "Dia kepingin ngebawa
kabur lukisan-lukisan itu sebelum kita sadar!"
"Emangnya lukisan-lukisan itu penting banget, sampesampe dia rela ninggalin temennya?" tanyaku bingung.
"Sepertinya sih begitu. Gue rasa teror ini penting se?
kali buat mereka. Kalo nggak, nggak mungkin mereka
bersusah-susah..." Suara Erika terdiam saat mendengar langkah-langkah
keras dan cepat yang sedang menaiki tangga. Dari suara
langkah yang terdengar bersahut-sahutan, pastinya orang
yang datang lebih dari satu. Namun tiadanya bunyi
sirene atau mobil di luar menandakan orang-orang yang
datang ini bukanlah paramedis atau polisi yang kami
harapkan. Tanpa perlu aba-aba lagi, aku dan Erika langsung me?
lesat ke arah pintu. Aku masih memegangi parang yang
tadi kurebut, sementara Erika memungut sesuatu yang
kukenali sebagai palang kuda-kuda yang biasa digunakan
untuk menopang lukisan. Kami berdua bertukar pandang
dan mengangguk, bersiap-siap menyambut lawan kami
313 Isi-Omen2.indd 313 011/I/13 dengan serangan pembuka yang tentunya bakalan bikin
mereka keder. Sebuah sosok muncul di pintu, dan Erika, sebagai pe?
megang senjata yang tak begitu mematikan dibandingkan
dengan milikku, langsung mengayunkan senjatanya.
Benda itu langsung ditangkap oleh tangan besar, dan
pemiliknya tampak berang luar biasa saat men?campakkan
benda itu ke lantai. "Apa-apaan kalian berdua?" bentak Vik dengan mata
melotot yang nyaris copot dari rongganya. "Kenapa kali?
an datang ke sini tanpa bilang-bilang?"
Seolah-olah cowok bermuka seram itu belum cukup
menakutkan, cowok kedua menyeruak masuk dan
menatapku dengan sorot mata tajam.
"Kukira kamu lebih pintar daripada ini, Val."
Aku hanya menatapnya dengan hati dipenuhi rasa
bersalah, sementara dari sampingku terdengar Erika me?
nyuarakan isi hatiku, hanya saja dengan nada bicara
yang jauh lebih tengil, "Yahhh, ketangkap basah deh."
314 Isi-Omen2.indd 314 011/I/13 DARIPADA menghadapi algojo bersenjata dua parang,
rasanya jauh lebih menakutkan menghadapi Les yang
me?nelusuri tubuhku dengan sorot mata penuh kecemas?
an. Tak banyak yang bisa ditemuinya, berhubung pakai?
an?ku yang berwarna hitam menutupi semua luka dan
darahku. Bajuku sobek di dekat tulang belikat, tapi itu
pun berhasil kututupi dengan jaket. Yang bisa dilihatnya
hanyalah rambutku yang separuh terpotong. Diraihnya
bagian rambutku yang berubah pendek dengan tampang
sakit hati yang membuat hatiku langsung dihunjam rasa
bersalah. Kalau begini saja dia sakit hati, apalagi kalau
dia tahu luka-lukaku yang lain?
Mendadak pandangannya berpindah ke mataku, mem?
buatku merasa seperti tertangkap basah.
Alih-alih mengalihkan pandangan, aku malah balas
me?natapnya. "Buat apa kamu ke sini?" tanyaku tajam.
"Buat apa?" ulangnya dengan suara rendah, tanpa
nada marah ataupun nyolot. Hanya rasa tak percaya ber?
campur sedih dan sesal, membuatku makin merasa ber?
salah. Rasa bersalah yang, kalau dipikir-pikir lagi, aneh
315 Isi-Omen2.indd 315 011/I/13 banget. Kami kan tak punya hubungan apa-apa selain
pertemanan yang seharusnya sudah berakhir kalau
melihat adegan tadi siang. "Kamu pikir, aku nggak kha?
watir?" Sebelum aku sempat memprotes?maksudku, buat apa
dia mengkhawatirkan aku kalau dia tega banget men?
campakkanku begitu saja lantaran diberi pesan tolol oleh
ayahku??Vik sudah ikut-ikutan memarahi kami.
"Kalian berdua emang nggak bisa diatur," tukas Vik
sambil berjongkok di depan Erika dan mengamati luka
di dekat lutut temanku itu. Tanpa banyak bacot dia me?
robek kaus di balik jaketnya dan digunakannya untuk
mem??balut luka Erika. "Untung aja si Chuck meng?hu?
bungi kami..." "Chuck?!" teriak Erika mendadak. "Jadi dia yang
ngadu ke kalian ya...? Aw!" Sambil berteriak kesakit?an,
Erika melototi Vik. "Sakit, Jek!"
"Peduli amat," sahut Vik seraya mengikat balutannya
keras-keras, membuat Erika berteriak sekali lagi. "Dan
emang?nya kamu kira siapa lagi yang bisa jadi matamata? Tentu dong aku langsung rekrut si Chuck begitu
aku tau kamu sering nyuruh dia nganterin kamu ke sana
kemari." "Dasar tukang becak pengkhianat," gerutu Erika.
"Udah nggak keren, gampang disogok, lagi...!"
"Jangan sembarangan ngomong!" Vik menyentil kepala
Erika. Pastinya tidak keras, karena Erika hanya mencoba
menggigit jari-jari Vik dan tidak benar-benar ingin meng?
gigitnya. Kalau sentilan itu keras, pasti jari-jari Vik sudah
putus sekarang. "Meski dia ngomong pun, sekarang kami
datang terlambat. Coba liat lukamu ini...."
316 Isi-Omen2.indd 316 011/I/13 "Omong-omong soal terluka parah, kenapa lo nggak
kenapa-kenapa dengan luka-lukanya Val, Les?" sela Erika
dengan suara kencang dan lancang, membuat semua
pandangan langsung terarah padaku.
Berani-beraninya dia mengatai Chuck pengkhianat.
Siapa yang pengkhianat sekarang?
"Luka?" Les menoleh padaku sambil menyipitkan mata.
Spontan aku merapatkan jaketku, tapi cowok itu malah
menahan tanganku. Dasar kurang ajar. Aku menepis
tangannya dengan kasar, tapi cowok itu tetap memegangi?
ku. Jantungku serasa nyaris meloncat keluar dari rongga?
nya saat dia memperhatikan garis sobekan yang tak rapi
pada kaus hitamku yang berbahan wol. Meski sobekan
itu tidak lebar, bahkan lukaku nyaris tak kelihatan selain
sekilas warna merah, aku merasa sangat terekspos. Dan
luka yang tadinya sudah cukup sakit itu kini rasanya jadi
semakin sakit gara-gara dipelototi begitu.
"Val!" Kudengar suara Les di dekat telingaku.
"Astaga!" "Nggak sakit kok." Meski tersentuh dengan kecemas?
annya, aku menyentakkan tanganku dan melangkah
mundur. "Dan ini bukan urusanmu."
Ya, betul. Semua ini sudah bukan urusannya lagi. Buat
apa dia bersikap seolah-olah dia sangat memperhatikan
dan mengkhawatirkanku? Yang dia lakukan tadi siang
jauh lebih menyakitkan daripada semua luka ini.
Tapi cowok itu sepertinya tidak peduli dengan ucapan?
ku?juga perasaanku yang kacau-balau dibuatnya.
"Mana mungkin nggak sakit?" tanyanya dengan nada
putus asa seolah-olah tidak tahu apa yang harus diper?
buatnya padaku. "Ayo, kita turun sekarang supaya begitu
ambulans datang, kamu bisa langsung diobati."
Aku menggigit bibirku untuk menahan jerit kesakitan
saat Les meraih telapak tanganku yang dipenuhi lukaluka dengan tangannya yang kuat.
"Ada apa...?" Tatapan Les turun ke telapak tanganku.
Lalu dia meraih telapak tanganku yang satu lagi. Setelah
itu, tatapannya kembali naik ke mataku?kali ini dengan
sorot mata yang, sepertinya, rada berang. "Val, sebenar?
nya kamu terluka di mana aja sih?!"
Oke, sekarang aku mulai takut juga. "Di sini," ucapku
jujur sambil menunjuk tulang atlasku, "lalu tangan, dan
lutut. Dan sedikit di bagian depan kaki."
Aku bisa melihat setiap kata yang kuucapkan seolaholah memukul perasaan Les. Kenapa bisa begitu? Kenapa
dia begitu memperhatikanku, begitu sedih atas kondisi?
ku? Apa dia masih punya perasaan padaku?
Yeah, terus saja berharap, Val. Kalian kan baru saling me?
ngenal selama beberapa hari, dan cowok itu langsung keder
saat ditakut-takuti ayahmu. Tidak, Les tak punya alasan
untuk mencintaimu, dan kamu tak punya alasan untuk men?
cintainya juga! Lalu kenapa perasaanku begitu sakit karena sudah me?
nyusahkannya? "Oke," akhirnya Les berkata. "Ayo, aku temenin kamu
ke bawah." Berbeda dengan tadi, kali ini dia memperlakukanku
dengan begitu hati-hati, seolah-olah aku boneka rapuh
yang bakalan retak-retak dengan muka mengerikan kalau
317 Isi-Omen2.indd 317 011/I/13 diperlakukan dengan semena-mena. Sedikit-banyak, aku
318 Isi-Omen2.indd 318 011/I/13 rada lega. Meski luka-luka di kakiku tak separah luka
Erika, tetap saja aku lebih suka bergerak pelan-pelan.
Kami melewati Gordon dan pandangan Les yang tadi?
nya tertuju padaku teralih sejenak.
"Siapa itu?" tanyanya kaget.
"Korban," sahutku singkat. "Kami berhasil gagalin
rencana si pelaku." "Yeah," sambung Erika dengan suara sengak. "Beginibegini luka kami bukannya sia-sia, tau?"
"Nggak usah banyak bacot. Kalian benar-benar ke?
banget?an, tau!" tukas Vik, pandangannya lalu tertuju
pada tubuh Gordon yang terbujur bagaikan mayat ber?
simbah darah. "Ternyata bajingan itu sanggup melukai
orang separah ini!" "Bajingan-bajingan," ralat Erika. "Pelakunya ada dua."
"Pantas." Les tampak seolah-olah baru mendapat pen?
cerahan. "Habis, nggak mungkin satu orang sanggup
melukai kalian berdua sampai begini."
"Itu juga yang ada dalam pikiran kami berdua," tandas
Erika. "Makanya kami pikir nggak perlu bawa konco.
Kan kami berdua cewek-cewek super. Kalo aja kami tau
pelakunya lebih dari satu orang, pasti kami udah ngajak
si Chuck, Pak Rufus, serta seluruh geng. Kan kami bukan?
nya goblok dan kepingin nyari mati."
Untunglah ucapan Erika yang bernada mendumel itu
berhasil membungkam dua cowok tersebut.
Tiba di bawah, kami disambut petugas sekuriti shift
malam yang bermuka cemas. Dari sudut mataku, kulihat
kedua motor Les dan Vik diparkir tepat di depan gedung
lab, menandakan tadi mereka pasti sempat bernegosiasi
dengan petugas sekuriti gerbang depan ini.
319 Isi-Omen2.indd 319 011/I/13 "Bagaimana?" tanya si petugas sekuriti, yang dari name
tag-nya kuketahui bernama Pak Ridwan. "Ada yang ter?
luka?" "Banyak!" sahut Vik masam. "Makanya Bapak jangan
tidur aja di pos depan! Masa terjadi perkelahian yang
be?gitu heboh, Bapak sama sekali nggak sadar?"
"Tapi memang biasanya nggak ada yang terjadi
malam-malam begini kok," sahut Pak Ridwan membela
diri. "Lagian, biasanya Pak Jono sering keliling."
Pak Jono adalah nama penjaga sekolah yang punya
pondok di belakang sekolah. Gosipnya dia sering
gentayangan malam-malam di sekolah, memburu tikus
dan memasaknya, dan gosipnya, karena terlalu sering
ma?kan daging tikuslah muka penjaga sekolah itu jadi
rada mirip binatang pengerat tersebut.
"Nggak ada bayangannya sama sekali tuh." Kini giliran
Erika yang menjawab pedas. Meski kakinya sudah dibalut
Vik dengan baik, jalannya tetap terpincang-pincang.
"Kok bisa ceroboh begitu sih, Pak? Bukannya tahun lalu
Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
udah ada satpam yang terluka gara-gara pencurian di
kantor kepala sekolah?"
"Memang benar," angguk Pak Ridwan dengan mata
menerawang penuh nostalgia. "Itu sebenarnya partner
saya dulu, Vinsen. Sayangnya, sejak dia berhenti kerja,
sekolah nggak pernah mencari penggantinya lagi."
"Lho, memangnya kenapa Pak Vinsen berhenti kerja,
Pak?" tanyaku tertarik.
"Karena keponakan-keponakannya meninggal."
Jawaban itu menyentakkanku. "Keponakan-keponakan?
nya?" "Ya," angguk Pak Ridwan sambil menghela napas.
320 Isi-Omen2.indd 320 011/I/13 "Memang naas sekali nasib Vinsen. Salah satu keponakan?
nya meninggal karena jatuh ke kolam renang, yang satu
lagi meninggal karena bunuh diri. Lebih parah lagi, se?
mua itu terjadi setelah Vinsen berpisah dengan istri?
nya...." Aku dan Erika berpandangan. Jadi, petugas se?kuriti
yang memergoki Andra justru adalah paman Reva dan
Indah? Benar-benar kebetulan yang aneh!
Ataukah semua ini bukan kebetulan?
Suara sirene yang meraung-raung menyentakkan aku
dan Erika. Kami memandangi pintu gerbang yang dibuka
dengan cepat oleh dua orang polisi berseragam, semen?
tara ambulans meluncur masuk dan berhenti di dekat
kami. Empat orang paramedis meloncat turun dan meng?
hampiri kami. "Siapa yang terluka?"
"Mereka berdua," sahut Vik sambil menudingku dan
Erika dengan gaya yang, kalau dilakukan orang normal
terlihat biasa, tapi kalau dilakukan olehnya langsung
terasa kurang ajar. "Dan satu lagi di atas, parah banget!" sambungku
buru-buru. Bagaimanapun, luka-luka kami tidak terlalu
mengancam keselamatan jiwa dibandingkan luka-luka
yang dialami Gordon. "Hai." Aku berpaling dan melihat polisi berseragam yang
tampak mencolok menghampiri kami. Seperti polisi-polisi
lain, rambutnya dicepak pendek dengan kulit gelap
karena terlalu sering berada di luar ruangan. Yang mem?
bedakannya dengan polisi-polisi lain adalah tinggi
tubuhnya yang melebihi rata-rata (sedikit lebih tinggi
321 Isi-Omen2.indd 321 011/I/13 di?banding Les dan Vik, malah), jaket kulit yang dikena?
kan?nya, serta senyum lebar yang sama sekali tidak me?
ngurangi aura berkuasa yang dipancarkannya.
"Ajun Inspektur Lukas," panggilku sementara Erika
hanya mengangkat tangannya untuk menyapa.
"Hai," sapa Ajun Inspektur Lukas sambil nyengir.
"Kalian tertimpa masalah lagi?"
"Kok cara bicaranya seolah-olah kita ini makhlukmakhluk malang dalam sinetron?" protes Erika. "Yang
bener aja! Bukan masalah yang menimpa kami, tapi
kami yang mencari masalah!"
"Kalian yang mencari masalah? Jadi, kalian yang ber?
salah?" Aku menatap Erika dengan mangkel, sementara teman?
ku itu hanya menatap Ajun Inspektur Lukas dengan
sengit. "Apa salahnya mencari masalah? Kan masalah
udah ada dari sononya. Kalo dibiarin, masalah itu bakal?
an bertambah parah. Jadi kami yang berinisiatif untuk
men?carinya, lalu menyelesaikan masalah itu sampai tun?
tas." "Buset." Ajun Inspektur Lukas menggeleng-geleng.
"Baru kali ini saya mendengar ada orang yang bilang
men?cari masalah itu benar, dan logika yang diutarakan
ternyata memang masuk akal. Benar-benar hebat. Saya
ngaku kalah deh." Pengakuan Ajun Inspektur Lukas hanya membuat Erika
makin pongah. "Jadi, Kas?eh, maksud gue, Jun..." Suara
Erika lenyap seketika saat dipelototi Ajun Inspektur
Lukas. "Iya deh, Pak Ajun Inspektur."
Ajun Inspektur Lukas mengangguk dengan muka puas,
sementara Erika tampak mangkel.
322 Isi-Omen2.indd 322 011/I/13 "Ajun Inspektur Lukas." Vik menyalami polisi ganteng
itu dengan gaya sok dewasa seolah-olah mereka sepantar?
an. "Kenalkan, ini teman saya, Leslie Gunawan."
Inspektur Lukas menatap Les dengan penuh selidik,
seolah-olah dia sudah mendengar nama Les sebelumnya.
"Hai." "Ajun Inspektur Lukas," angguk Les.
Meski keduanya tak bersikap saling memusuhi, terasa
hawa-hawa aneh yang memancar dari pertemuan antara
polisi dan ketua geng motor ini. Rasanya tegang melihat
keduanya saling mengawasi dan memperhatikan, seolaholah berusaha mencari kelemahan lawan.
Lawan? Kuharap Les tak akan pernah menjadi lawan
Ajun Inspektur Lukas. Meski mungkin setelah ini aku tak
akan bertemu Les lagi, aku tetap tidak ingin dia melaku?
kan sesuatu yang melanggar hukum dan mem?buatnya
bersimpangan jalan dengan Ajun Inspektur Lukas.
"Ehmm," selaku seraya berdeham keras-keras, "Pak
Ajun Inspektur mau dengar soal kejadian ini?"
Ajun Inspektur Lukas tersenyum padaku, dan aku ber?
syukur saat suasana tegang dan aneh itu langsung buyar.
"Tentu saja. Kamu mau ceritakan semuanya pada saya,
Val?" Aku membuka mulut, siap untuk bercerita, tapi Erika
meng?angkat tangannya untuk menghentikanku. "Biar
gue aja, ya?" Meski tidak keberatan kebagian tugas bercerita, aku
senang bisa melimpahkan tugas itu pada Erika. "Oke."
Maka Erika pun menceritakan semuanya dari awal,
bagai?mana kami dipanggil ke ruangan Bu Rita dan di?beri?
tahu soal surat yang diterima oleh Rima, penyelidik?an
323 Isi-Omen2.indd 323 011/I/13 kami yang berakhir pada perkelahian di depan Dragon
Pool, pameran lukisan dan peristiwa menghilang?nya
Chalina dan Bu Rita, dan, tentu saja, kejadian ma?lam
ini. Sementara itu, dua orang paramedis memeriksa lukalukaku dan luka Erika, sedangkan sisanya pergi meng?
angkut Gordon yang sedang sekarat di atas sana. Les dan
Vik menemani kami sambil mendengarkan de?ngan
penuh perhatian pula, sebab inilah pertama kalinya
mereka mendengarkan keseluruhan cerita.
Tapi aku memperhatikan ada yang tak diceritakan
Erika. Dia tidak menceritakan soal malam poker Daniel sama
sekali. Ini pastilah salah satu perwujudan kesetiakawanan
Erika. Meski mencurigai teman-teman poker Daniel, bah?
kan mungkin saja Daniel mengetahui sesuatu, Erika tak
bakalan mengadukan teman-temannya itu pada pihak
berwajib. Tak peduli pihak berwajibnya ganteng dan
ramah seperti Ajun Inspektur Lukas. Aku menduga,
inilah sebabnya Erika ingin kebagian tugas menceritakan
semua ini pada Ajun Inspektur Lukas. Dia tak ingin aku
keceplosan dan menceritakan sesuatu yang melibatkan
Daniel, Welly, dan Amir. Padahal Erika tak perlu khawatir. Aku juga tak akan
men?ceritakannya. Toh Daniel bukan hanya temannya,
me?lainkan temanku juga. "Baiklah, besok pagi-pagi saya akan kembali lagi ke
sekolah untuk bicara dengan pihak-pihak yang terlibat
di sini," kata Ajun Inspektur Lukas. "Rima, guru bernama
Rufus, dan geng dari kelas XII IPA-2."
"Juga Klub Kesenian," tambah Erika. "Gue rasa hanya
324 Isi-Omen2.indd 324 011/I/13 mereka yang punya kunci untuk masuk ke ruangan
ini." "Klub Kesenian." Ajun Inspektur Lukas mengangguk.
"Saya juga akan mengecek tiga kasus yang terjadi tahun
lalu. Kebetulan saat itu saya belum bertugas, jadi saya
tidak tahu apa-apa."
"Oh, anak baru toh, Pak?" Erika menyeringai. "Tapi
hebat juga ya, tau-tau udah jadi kepala penyidik."
"Ini namanya hasil kerja keras, Non!" Ajun Inspektur
Lukas mengacak-acak rambut Erika seolah-olah cewek itu
anak kecil yang bengal dan lucu, dan Erika tampak ter?
singgung karenanya. "Dunia ini nggak buta terhadap
kemampuan kita. Kalau kamu mau berusaha, orang-orang
pasti bisa melihat kamu sebenarnya anak yang manis."
"Gue?" Erika melongo. "Anak yang manis?"
Ajun Inspektur Lukas terkekeh. "Sampai besok, Anakanak."
Sementara Ajun Inspektur Lukas berjalan pergi, Erika
meributkan soal "tampang gue mana ada manis-manis?
nya?" dan Vik menertawakannya. Kurasakan pandangan
Les jatuh padaku lagi, mengawasi paramedis menyelesai?
kan pengobatan terhadap diriku, sementara aku tidak
bisa berkutik untuk menghindari tatapannya.
"Sakit?" Aku menggeleng, meski dari tadi sudah beberapa kali
aku meringis keras saat Betadine dicocolkan ke lukalukaku. Aku tak ingin kelihatan cengeng dan manja di
depan cowok ini. Tapi Les memang tidak gampang diusir. Dia masih saja
mengamatiku dengan tatapan penuh selidik. Tatapannya
tidak menyorot tajam, malahan berkesan lembut, tapi
325 Isi-Omen2.indd 325 011/I/13 justru itulah yang membuatku salah tingkah. Kenapa
cowok yang begitu kuat dan biasa hidup di dunia yang
begitu keras, bisa menatapku dengan begitu lembut?
"Aku suka cewek berambut pendek."
Eh? Aku mengangkat wajahku hingga mata kami bertemu,
dan cowok itu langsung tersenyum lebar.
"Rambutmu," katanya sambil meluruskan rambutku
yang sudah memendek. "Kamu pantas berambut pen?
dek." Aku berusaha mempertahankan raut wajahku supaya
tetap datar. "Sependek Erika?"
"Jangan!" teriak Les dengan suara tertahan dan wajah
ngeri. "Kalo dipotong terlalu pendek, bisa-bisa rambutmu
jadi jabrik dan nggak bisa dibelai."
Arghhh. Kenapa sih cowok ini senang mengatakan halhal yang membuat jantungku meloncat-loncat tak keru?
an? Tambahan lagi, mendadak cowok itu mendoyongkan
kepalanya ke dekat telingaku.
"Kamu kira kenapa Vik suka marah? Karena waktu dia
membelai rambut Erika, dia kena tusuk terus."
Oh, God, mana mungkin aku bisa berlama-lama ber?
sikap dingin dan bete di depan cowok ini? Sekarang saja
aku sudah harus menahan tawa dengan sekuat tenaga,
sementara cowok itu menatapku dengan mata bersinarsinar jail.
Aku benar-benar tak berdaya dibuatnya.
"Siapa yang lo bilang jabrik dan suka nusuk-nusuk?"
Ups. Kami mendongak dan mendapati Erika sedang
memandangi kami berdua dengan muka bengis.
"Ehm." Les menatapku dengan tegang. "Aku cuma
326 Isi-Omen2.indd 326 011/I/13 ehm... ngasih saran gaya rambut baru buat Valeria."
"Rambut ini?!" Erika mengangkat kedua tangannya ke arah kepalaku,
dan aku langsung memegangi rambut palsuku erat-erat.
Aduh, gawat. Semoga Erika tidak melakukan sesuatu
yang gila, seperti menjambak rambut palsuku ini! Mana
aku selalu menempelkannya erat-erat dengan jutaan jepit
rambut. Kalau dia benar-benar menarik rambut palsuku,
bisa-bisa rambut asliku ikut tercabut.
Tapi dia hanya menatapku dengan muka bengong,
sementara kedua tangannya teracung padaku.
"Val." "Ya?" tanyaku, bingung melihatnya seperti terhipnotis
padaku. "Sepatu hijau bergambar burung!" Kedua tangan itu
men?cengkeram kedua bahuku dan mengguncang-guncang?
ku kuat-kuat. "Gue tau siapa pemiliknya!"
327 Isi-Omen2.indd 327 011/I/13 KEESOKAN paginya, mobil polisi sudah mejeng di
gerbang depan sekolah. Saat masuk ke dalam sekolah,
aku melihat Pak Rufus mondar-mandir bersama Ajun
Inspektur Lukas dan dua bawahannya. Dari asal mereka
dan arah yang mereka tuju, sepertinya Pak Rufus me?
nunjuk?kan ruangan-ruangan tempat Chalina dan Bu Rita
diserang si algojo. Tanpa menunjukkan tanda-tanda melihat Pak Rufus
mau?pun Ajun Inspektur Lukas, aku berjalan menuju
toilet cewek. Meski sudah janjian dengan Erika, aku shock juga me?
nemu?kan cewek itu sudah asyik nongkrong di dalam
toilet, duduk di meja wastafel seolah-olah itu singga?sana?
nya sambil menyendokkan sesuatu berwarna hijau ke
dalam mulutnya. Kakinya yang bergoyang-goyang
memberikan penampakan balutan putih di atas lutut.
"Bubur kacang ijo?" tanyaku tak percaya. "Lo makan
gituan di toilet?"
Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Daripada gule. Lebih mirip lagi sama yang di kloset."
Eugh. Jorok banget cewek ini! "Eh, wig baru nih?"
Aku memandangi bayanganku di cermin. Rambut
hitam yang bagian depannya sebatas bahu, sementara
328 Isi-Omen2.indd 328 011/I/13 bagian belakang masih sepanjang dulu. "Nggak, rambut
palsu yang biasa. Gue potong rambutnya."
"Oh, ya? Lo bisa motong rambut?"
"Yah, kalo bukan rambut yang nempel di kepala sen?
diri, nggak terlalu sulit. Apalagi kalo cuma wig. Kalo
jelek, ya tinggal dibuang. No pressure."
"Kalo jelek tinggal dibuang?" tanya Erika tak senang.
"Lo tau berapa banyak orang yang nyumbangin rambut
buat rambut di kepala lo itu?"
"Nyumbang?" dengusku. "Gue beli, tau!"
"Tapi bukan berarti lo nggak perlu menghormatinya
lagi." Erika balas mendengus. "Dasar cewek palsu. Se?bener?
nya lo bukan cewek yang manis-manis banget, kan?"
"Jelas bukan," sahutku dengan nada centil yang lebay.
"Aku kan sama aja dengan cewek-cewek normal pada
umumnya yang manis, menyenangkan, kadang alay,
kadang ababil..." "Kadang suka merayap-rayap di dinding, gonta-ganti
wig dan soft lens, menendangi selangkangan orang...."
Aku bengong sejenak. "Kok lo tau?"
"Ya iyalah, algojo lo kemaren malem lari-lari sambil
memegangi bagian penting yang lagi kesakitan gitu,
hahaha," sahut Erika seenaknya. "Yah, pokoknya, lo
mau jutek kek, feminin kek, lo bukan cewek normal.
Sama aja kayak gue."
"Lo kayak sedang menarik gue ke sekte lo?" Aku me?
natapnya penuh curiga. "Ih, padahal gue cuma mau bilang, it?s okay to be
jutek," celetuk Erika jengkel. "Omong-omong, pagi ini
gue lagi nggak delicious body nih."
"Nggak delicious body?"
329 Isi-Omen2.indd 329 011/I/13 "Nggak enak badan." Oh. "Maksud gue, nggak enak
hati. Ya apa ajalah, pokoknya gue lagi bete karena tadi
pagi gue neleponin Daniel, Welly, dan Amir, nggak ada
satu pun yang menjawab. Bikin emosi nggak sih?"
"Lagian lo telepon pagi-pagi. Mungkin aja mereka
belum bangun. Emangnya ngapain lo teleponin me?re?
ka?" "Idih, biar bangun siang pun, telepon bos harus di?
angkat," sahut Erika jengkel sambil mengeluarkan
ponselnya lagi. "Dan gue mau mereka datang ke sekolah
hari ini, sepagi mungkin. Gue masih mau interogasi
mereka sebelum kita cabut. Gue curiga mereka masih
nyembunyiin sesuatu."
Aku melirik ponsel Erika yang jelek dan tampak
murah?an. Entah untuk keberapa kalinya aku bertanyatanya soal kondisi hidupnya. Meski tampangnya lebay
banget saat memuji-muji rumahku, makanan yang disaji?
kan, dan sebagainya hingga berkesan sedang bercanda,
dia tidak main-main saat mengatakan semua itu. Ke?
luarga?nya memang berkecukupan, tapi Erika tidak pernah
diperhatikan orangtuanya. Aku bisa bilang ayahku tidak
memedulikanku, tapi dalam soal materi aku diberikan
secara berkelimpahan. Sedangkan Erika, tidak hanya
tidak mendapatkan kasih sayang, dia juga tidak pernah
diperhatikan dalam soal keuangan. Setiap barang milik?
nya adalah hasil tabungan susah payah. Kalau dipikirpikir lagi, tak heran cewek ini sering minta dibayari dan
se?macam?nya dengan gaya yang lebih mirip preman
tukang malak ketimbang tukang ngutang yang me?
mohon-mohon belas kasihan pada tengkulak untuk
diberi pinjam?an. 330 Isi-Omen2.indd 330 011/I/13 Meski begitu, tak sekali pun cewek ini mengeluhkan
kondisinya. Aku jadi bertanya-tanya, apakah kondisinya memang
seburuk yang kulihat, ataukah jauh lebih buruk daripada
ini? Tapi aku tidak enak menanyakannya. Hubungan
kami belum sedekat itu untuk saling menyinggung
teritori personal. Aku tak keberatan bercerita soal diriku
padanya, tapi Erika jauh lebih tertutup dibandingkan
denganku. Aku harus memberinya waktu. Pada saatnya
nanti, aku yakin dia akan menceritakannya padaku.
"Sial, masih belum diangkat juga!" Erika membentak
ponselnya dan menyentakkanku dari lamunan. "Ke mana
aja sih tiga anak iblis itu? Masa..."
Suaranya mendadak terhenti, dan aku merasakan
sesuatu yang tak enak merayap di hatiku juga.
"Mereka juga korban?" bisikku, mengucapkan apa
yang ada di pikiran temanku tapi ogah diucapkannya.
"Nggak, nggak mungkin!" geleng Erika. "Mereka itu
bukan orang-orang sembarangan, Val. Mana mungkin
mereka bertiga bisa diculik?"
"Bisa aja." Meski juga berharap dugaan kami ini salah,
aku tidak ingin membohongi kami berdua. "Mereka kan
saling kenal, jadi bisa aja mereka ngundang Daniel dan
lainnya ke rumah mereka atau apalah. Di sana mereka
bisa aja dibius, disekap, atau cara pengecut lainnya.
Kalau dipikir-pikir lagi," mendadak aku teringat, "tadi
malem Daniel nggak nelepon gue."
"Mungkin aja dia lagi bokek dan nggak sempet beli
pulsa," sergah Erika, sementara wajahnya mulai ngeri
dan khawatir. "Tuh anak emang suka buang-buang pulsa
seenak jidat. Sedangkan si Amir dan Welly pasti lagi
331 Isi-Omen2.indd 331 011/I/13 sengaja nyuekin gue, cuma sekadar bikin gue berang.
Pokoknya, kalo sampe gue nemuin mereka, gue akan...
akan..." Aku menatap muka Erika yang pucat. "Ayo, kita cari
mereka aja." "Gimana dengan si algojo?" tanya Erika keras kepala.
"Bukannya kita sekarang harus bikin rencana untuk
menciduk mereka?" "Soal itu bisa menunggu. Cepat atau lambat, kita pasti
bisa menciduk mereka. Sekarang kita tenangin hati lo
dulu dengan nyari Daniel, Amir, dan Welly."
"Hati gue nggak perlu ditenangin, kali."
Meski berkata begitu, Erika meloncat turun dari meja
wastafel dan bergegas ke arah pintu sambil membawabawa mangkuk kacang hijaunya.
"Ngapain lo bawa-bawa si kacang ijo?" tanyaku
heran. "Karena siapa tau kita perlu nyogok seseorang pake
bubur kacang ijo," seringai Erika.
"Serius?" tanyaku kaget sekaligus jijik. Memangnya
siapa orang murahan yang mau disogok dengan bubur
kacang hijau bekas begitu?
"Nggak lah, gue perlu balikin ini ke si Mpok. Gue
udah ilangin beberapa mangkuk. Katanya, kalo gue
ilangin satu mangkuk lagi, seumur hidup gue nggak
bakalan dikasih ngutang lagi. Si Mpok bener-bener tega
sama langganan lama. Mentang-mentang sekarang punya
langganan baru." Aku melirik Erika dengan prihatin. Cewek itu jauh
lebih bawel daripada biasanya. Pastilah dia sedang ber?
usaha menutupi kegelisahannya. Diam-diam aku me?
332 Isi-Omen2.indd 332 011/I/13 ngagumi betapa kuat perasaan cewek yang biasa ter?lihat
cuek ini. Bagaimana dia bisa menahan kesulitannya
sehari-hari, tapi langsung dipenuhi kekhawatiran dan
keinginan untuk menolong ketika teman-temannya
terjebak dalam kesulitan.
Aku bangga menjadi teman cewek sehebat ini.
Baru saja kami membuka pintu toilet, kami nyaris
bertabrakan dengan Rima. Dari permukaan keset yang
sudah membentuk jejak sepatunya, sepertinya dia sudah
berdiri di sana cukup lama.
"Apa-apaan lo? Nguping dari tadi?" Erika yang punya
pengamatan tajam, tentu saja juga menyadari hal itu.
"Aku... maaf." Rima menunduk, wajahnya semakin
ditutupi oleh rambutnya yang hitam dan panjang de?
ngan cara yang tidak wajar dan rada-rada mengerikan.
"Ada sesuatu yang harus kalian liat."
"Apa yang perlu kami liat?" tanya Erika ketus. "Ruang
Kesenian? Kalo soal itu sih, kami yang bikin hancur
berantakan." "Bukan. Bukan itu."
Ada ketegangan dan ketakutan dalam suaranya yang
menular padaku. "Ayo, bawa kami."
Tanpa berkata-kata lagi, Rima berbalik dan berjalan
dengan langkah-langkah cepat?terlalu cepat untuk
cewek yang begitu kurus dan pendiam. Tak sulit bagi aku
dan Erika untuk mengikutinya. Namun setelah beberapa
lama, kami jadi semakin bingung. Soalnya tahu-tahu
kami dibawa ke kantin. "Eh, lo jangan suruh kami traktir macam-macam ya!"
gerutu Erika. "Udah bagus kami nggak nyuruh lo yang
traktir kami..." 333 Isi-Omen2.indd 333 011/I/13 Pandangan kami berhenti pada pemandangan di
lapangan basket yang beberapa hari lalu menjadi tempat
pertarungan Erika dengan ketiga konconya. Kini, pada
salah satu tonggak ring, berderetlah tiga lukisan bergaya
suram dari atas ke bawah.
"Daniel?" bisik Erika sambil menunjuk lukisan teratas
yang menunjukkan seseorang yang tangannya diikat di
dinding dan kepalanya siap dibelah oleh si algojo. Orang
itu kelihatan seperti cowok bertubuh tinggi dan be?
rambut panjang. Memang mirip sekali dengan Daniel.
Jari Erika berpindah ke bawahnya. Pada lukisan nomor
dua, terlihat gambar orang yang kepalanya dibenamkan
ke dalam air, sementara parang si algojo menempel di
lehernya. Si korban tampak kurus kerempeng dengan
kulit putih, nyaris seperti tengkorak hidup. "Welly!"
Dan pada akhirnya, lukisan paling bawah. Si korban
sedang menahan diri di undakan teratas sebuah tangga,
si algojo berdiri di belakangnya dengan parang yang siap
menghantam punggungnya. Korban itu tampak bulat,
lucu, dan siap terguling-guling menuruni tangga bagai?
kan bola raksasa. "Amir!"
Sesaat kami semua tidak bisa berkata-kata. Lukisanlukisan itu sudah cukup mengerikan karena menunjukkan
teman-teman kami sebagai korbannya, tetapi yang lebih
mengerikan lagi adalah lukisan-lukisan itu dipenuhi
percikan merah yang tentunya adalah darah. Seolah-olah
ketiga lukisan itu ada di sana pada saat para algojo itu
melukai para korbannya. "Ini bohong!" Kudengar suara Erika yang gemetar.
"Mereka nggak mungkin terlibat kasus ini. Nggak mung?
kin gara-gara mereka Reva dan Indah meninggal. Mereka
334 Isi-Omen2.indd 334 011/I/13 emang nakal, tapi mereka bukan orang jahat. Mereka..."
Air muka Erika yang tadinya sedih dan tak percaya
berubah mengeras. "Anjir! Gue nggak percaya mereka
penjahat! Mereka itu anak baik-baik! Saat mereka ngira
gue udah berbuat jahat, mereka bahkan nggak mau
nyerahin gue ke polisi. Jadi, kali ini juga, gue nggak
percaya kalo mereka udah ngelakuin sesuatu terhadap
Reva dan Indah. Jadi, siapa pun yang udah ngelakuin
sesuatu terhadap anak buah gue, bakalan gue kulitin
hidup-hidup begitu ketemu! Ayo, Val, kita jalan se?
karang!" Tanpa perlu banyak keterangan, aku sudah mengerti
maksudnya. Kami akan mencari seseorang yang, menurut
Erika si pemilik daya ingat fotografis, mengenakan sepatu
bergambar burung. Seseorang yang kami curigai sebagai
algojo yang melawanku tadi malam. Seseorang yang
akan menuntun kami pada korban-korban yang sudah
mereka tangkap. "Eh, elo!" Aku terkejut lantaran sesaat sebelum kami
pergi, Erika menggerakkan jarinya pada Rima yang hanya
membalas tatapan Erika dari balik rambutnya yang
seram. "Lo ikut kami!"
"Eh?" Aku menoleh pada Erika dengan kaget. "Ke?napa?"
Oke, sekali lagi, bukannya aku tidak menyukai Rima.
Sebaliknya, aku malah merasa aneh karena aku suka
banget dengan cewek bertampang seram itu. Namun ini
bukan acara main-main. Kami akan mendatangi dalang
semua kejadian ini, orang-orang berbahaya yang tak
bakalan segan-segan mencelakai kami demi mencapai
tujuan mereka. Sedangkan Rima adalah cewek lemah
yang tak bakalan bisa membela dirinya sendiri kalau
335 Isi-Omen2.indd 335 011/I/13 sampai kami lalai menjaganya. Membawanya pergi hanya
akan membahayakan dirinya.
"Lo lupa ya, Val?" Erika lalu memandangi Rima yang
membalas pandangan Erika tanpa ekspresi. "Dia itu
korban ter?akhir." Oh iya, benar juga. Lukisan terakhir adalah lukisan
dengan korban menyerupai Rima. Kalau begitu, lain lagi
ceritanya. Kemungkinan besar para algojo itu akan
mencari Rima, jadi membawanya bersama kami akan
Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjadikan kami semua target. Barangkali, hanya
ongkang-ongkang kaki pun kami bakalan bisa menemu?
kan kedua algojo itu. Meski begitu, tentu saja kami tidak berniat ongkangongkang kaki. Itu bukan gayaku, dan jelas itu juga
bukan gaya Erika. Jauh lebih meyakinkan kalau kami
yang mendatangi para algojo itu. Barangkali, dengan
men??cari para algojo itu, kami juga bisa menemukan
tempat mereka menyekap para korban.
"Sekarang ini, elo nggak boleh jauh-jauh dari kami
berdua, ngerti?!" perintah Erika galak. "Tapi, kalo ada ba?
haya menimpa gue dan Valeria, lo harus ngumpet dan se?
lamatin diri lo secepatnya, oke? Jangan pikirin kami. Kami
berdua jauh lebih dari sekadar sanggup menjaga diri."
Rima tidak menyahut selama beberapa saat, lalu meng?
angguk. "Terima kasih."
"Jalannya cepetan, ya!"
"Oke." Aku menatap punggung Erika dengan geli. Cewek itu
selalu bersikap seperti itu, seolah-olah jutek, kasar, dan
tidak pedulian. Padahal, kalau menyimak ucapannya
tadi?, terasa jelas dia memikirkan keselamatan Rima bah?
336 Isi-Omen2.indd 336 011/I/13 kan di atas keselamatan kami berdua. Di luar sikapnya
yang rese banget, sebenarnya Erika peduli dengan kese?
lamatan orang lain. Banyak orang tidak menganggap hal
itu penting karena, yah, banyak sekali orang yang tidak
tahu bahwa bahaya selalu mengintip di sela-sela keiseng?
an dan kecerobohan mereka. Karena itu mereka tidak
menghargai sikap Erika yang, meskipun mirip mafia, me?
mang selalu menjaga keamanan dan keselamatan orangorang di daerah kekuasaannya.
"Eh, Val, lo ada kendaraan?" tanya Erika menyela pikir?
anku. "Kalo nggak ada, gue harus nelepon si Chuck."
Aku membayangkan kami bertiga, berdesak-desakan
dalam becak yang sempit, sementara Chuck mengayuh
dengan santai. "Gue bisa telepon Pak Mul. Dia akan
datang dalam waktu lima belas menit."
"Boleh juga... what the hell?"
Aku mengikuti arah pandangan Erika dan tercengang
melihat dua sosok berpakaian serbahitam menjulang
tinggi di depan gerbang sekolah. Oh, God, itu Vik dan
Les! Kenapa mereka bisa datang ke sini? Memang sih,
tadi malam aku dan Erika tak sengaja bicara sedikit di
depan mereka soal algojo bersepatu burung. Tapi kami
kan sama sekali tidak membuat rencana di depan me?
reka?apalagi mengajak mereka ikut serta dalam rencana
kami. Yang mereka dengar cuma janjiku dan Erika untuk
ketemuan pagi-pagi di toilet cewek, janji yang terdengar
seperti janji ala cewek-cewek centil yang tak penting
(padahal kami janjian di sana karena ruangan itu ter?
larang bagi cowok-cowok).
Sebelum aku sempat mengatakan sesuatu, Erika sudah
menderap maju dengan kecepatan tinggi.
337 Isi-Omen2.indd 337 011/I/13 "Eh, kalian berdua!" serunya dengan suara tak senang.
"Si?apa yang ngundang kalian ke sini? Apa kalian nggak
sadar, kalian udah ketuaan buat ngecengin brondong di
sini?" "Kamu kira ini ladang jagung?" tanya Vik sambil me?
layangkan pandangan ke sekeliling kami. "Jadi kepingin
jagung bakar. Ada yang jualan nggak di sekitar sini?"
"Gue sih nggak liat," kata Les sambil ikut celingukan,
lalu nyengir padaku. "Tapi kalo lo mau, ada satu gerobak
nggak jauh dari sini...."
Aku tidak mengerti cowok ini. Dia sendiri yang bilang
akan menjauhiku, tapi kenapa dia sendiri yang kembali
terus? Harus kuakui, aku tidak marah lagi padanya. Tapi
itu tidak berarti aku senang dia datang melulu. Asal tahu
saja, hatiku masih perih banget setiap kali melihatnya.
"Eh, tolong, ya!" sela Erika judes. "Kalo kalian datang
buat makan, sono pergi cari si berondong jagung ter?
sebut. Tapi kalo kalian mau bantu, kita harus jalan seka?
rang!" "Kenapa?" tanya Vik menyadari ketegangan dalam suara
Erika. "Ada yang terjadi?"
"Daniel, Amir, dan Welly jadi korban!" geram Erika.
"Oh, mereka." Nada suara Vik sama sekali tidak me?
nunjuk?kan kekhawatiran. "Udah kuduga mereka ber?
salah..." "Maksud lo?!" sela Erika berang. "Jadi, menurut lo
temen-temen gue brengsek, gitu?"
"Dasar sensi," tukas Vik. "Tapi iya, emang itu maksud?
ku. Coba aja kamu liat reaksi mereka saat mendengar
rekan-rekan malam poker mereka terlibat. Kelihatan ba?
nget mereka merahasiakan sesuatu."
338 Isi-Omen2.indd 338 011/I/13 "Itu kan karena mereka nggak ingin permainan poker
mereka diselidiki polisi."
"Yang benar aja!" dengus Vik. "Kalo cuma begitu,
nggak sulit kok membungkam polisi. Pasti ada hal lain
yang bikin mereka terlibat lebih dalam."
"Tapi itu bukan berarti mereka yang bikin Reva atau
Indah mati!" "Cukup, kalian berdua!" selaku tak sabar. "Ini bukan
saatnya bertengkar. Ka, lo tau Vik benar. Mereka emang
me?nutup-nutupi fakta dari awal. Vik, itu bukan berarti
mereka berniat jahat. Pasti ada penjelasan untuk semua
ini." "Benar kata Val," sambung Les seraya menarik bahu
Vik yang langsung disentakkannya dengan keras. "Vik,
jangan ribut soal yang beginian dulu. Ada hal penting
yang harus kita kerjakan."
Vik menatap Erika dengan tatapan tajam yang sama
sangarnya dengan singa yang ingin mengincar mangsa?.
"Setelah semua ini selesai, kita harus bicara."
"Siapa takut?" balas Erika, yang sama sekali tidak
cocok untuk menjadi mangsa, melainkan lebih cocok
menjadi lawan yang tidak kalah buas.
"Ya udah, sekarang kita jalan," kata Les tegas dengan
makna tersirat bahwa dia tak ingin mendengar per?tengkar?
an lagi. "Kalian naik motor dengan kami aja, oke?"
Sesaat aku merasa ragu. Harga diriku mengatakan
tidak, aku tidak ingin menerima bantuannya dalam ben?
tuk apa pun. Tapi, apa pantas memikirkan harga diri
pada saat-saat seperti ini, saat nyawa teman-teman kami
sedang berada dalam bahaya?
Aku tahu Erika juga mengalami pergulatan yang sama
lantaran dia baru saja berantem dengan Vik. Mukanya
yang bete menandakan dia siap menolak segala bantuan.
Akan tetapi, selama satu detik yang lama, dia tidak
menyatakan keberatan juga.
"Oke." Akhirnya aku menyahut mewakili kami berdua.
Di antara kami berdua, akulah yang seharusnya me?
ngalah?bukan pada Erika saja, melainkan juga pada dua
cowok yang tampak ngotot untuk ikut serta itu. "Tapi
kami juga harus bawa Rima, gimana?"
"Kita bisa bonceng bertiga," usul Les sambil menoleh
pada Rima. "Nggak apa-apa kan, Rima?"
Rima mengangguk pelan. "Tapi aku nggak punya
helm." "Nggak apa-apa." Les melepas helmnya. "Pake punyaku
aja. Jadi kalo ada apa-apa, kamu aman."
Aduh. Kenapa sih cowok ini harus sebaik itu? Aku
benar-benar tak punya alasan untuk membencinya.
"Val." Aku menoleh pada Erika yang rupa-rupanya
sudah bertengger di belakang Vik dengan helm terpasang
dan muka masam. "Kami jalan dulu, ya. Kita ketemu
langsung di rumah tersangka."
"Oke," sahutku. "Hati-hati!"
Motor Vik langsung melesat, sementara aku dan Rima
masih berkutat dengan helm kami.
"Rambutmu bagus," komentar Les.
"Thank you." "Digunting sama siapa?" tanyanya. "Kamu kan pulang
malam sekali. Pasti nggak sempat ke salon, kan? Atau
kamu punya stylist pribadi di rumah?"
339 Isi-Omen2.indd 339 011/I/13 "Nggak kok," sahutku agak jengkel. Kenapa sih dia
340 Isi-Omen2.indd 340 011/I/13 selalu mengungkit-ungkit ketajiran keluargaku? Atau aku
yang terlalu sensi? "Aku gunting sendiri."
"Oh, ya? Berarti kamu punya bakat jadi tukang gun?
ting rambut," kata Les sambil mengulurkan tangannya
dan menyentuh ujung-ujung rambutku. "Kamu cocok
berambut lebih pendek, seperti dugaanku."
Aku menjauhkan diri, berusaha menjaga jarak di
antara kami. Tatapan Les menyatakan dia ingin mem?
protes kelakuanku, tapi mendadak terdengar bunyi lucu
yang segera mencuri perhatian kami. Aku menoleh pada
Rima yang segera mengeluarkan ponselnya alias sumber
bunyi tersebut. Dia memandangi monitor ponselnya
sebelum akhirnya berkata sambil menyerahkan helm
kembali ke tangan Les, "Maaf, kunciku ketinggalan di
Ruang Kesenian. Sebentar ya, aku harus ambil dulu."
"Biar kutemenin," ucapku cepat, sambil juga cepatcepat membuka lagi helmku.
"Nggak usah..."
"Harus gue temenin!" tegasku. "Sekarang ini lo nggak
boleh ke mana-mana sendirian, ngerti?"
Rima diam sejenak. "Oke."
"Tunggu di sini ya, Les," ucapku pada Les yang me?
mandang kami berdua dengan waswas.
"Sebaiknya aku ikut aja..."
"Nggak usah," potongku. "Ruang Kesenian nggak jauh.
Sekarang juga lagi ada Ajun Inspektur Lukas berkeliaran
di dalam sekolah. Pasti nggak akan ada yang berani ber?
buat macam-macam." "Tapi..." "Nggak apa-apa, kamu tunggu di sini aja," selaku
tegas. "Nggak enak kalo motormu ditinggal di luar begitu
341 Isi-Omen2.indd 341 011/I/13 aja. Dimasukin juga nggak bisa, soalnya nggak ada
stempel sekolahan. Terlalu makan waktu kalau kita harus
ngebujuk satpam shift pagi. Aku janji deh, kalo ada apaapa, aku akan langsung telepon kamu, oke?"
Les ragu sejenak. "Oke kalo gitu. Tapi kamu tetap
harus hati-hati, ya!"
Aku bisa merasakan tatapan cowok itu menghunjam
punggungku saat aku dan Rima berjalan pergi. Ada se?
cercah rasa senang yang konyol di hatiku mengetahui
Les begitu mengkhawatirkanku.
"Cowok itu pacarmu, kan?" tanya Rima mendadak.
"Bukan," sahutku, mungkin agak terlalu cepat.
"Aku juga mendengar kemarin kamu bilang begitu
sama Pak Rufus," kata Rima pelan. "Tapi aku nggak per?
caya." "Elo nggak percaya?" tanyaku, agak geli dengan per?
nyataan Rima. "Ada sesuatu yang..." Rima terdiam sejenak. "Udahlah,
lupain aja." "Sesuatu apa, Rim?" tanyaku, mendadak penasaran.
Rima diam lagi. "Pokoknya, kalian nggak akan cuma
temenan." "Rima." Aku menarik tangannya dan menghentikan
lang?kahnya. "Apa maksud lo dengan kata-kata itu? Apa
elo sebenarnya emang... bisa ngeliat masa depan?"
Rima menunduk, jelas-jelas untuk menyembunyikan
reaksinya atas pertanyaanku. "Itu cuma gosip, dan ucap?
an?ku tadi cuma firasatku kok." Rima menyentakkan
tangannya dariku. "Kita harus pergi secepatnya. Nggak
enak nyuruh pacarmu nunggu lama-lama."
Aku ingin meralatnya, mengatakan bahwa Les bukan
342 Isi-Omen2.indd 342 011/I/13 pacarku, tapi akhirnya aku tidak membantahnya lagi.
Ju?jur saja, ucapan Rima membuatku curiga banget.
Jangan-jangan, gosip itu bukan cuma sekadar gosip.
Rima memang bisa melihat masa depan.
Aku terlalu sibuk memikirkan hal itu sampai tidak me?
nyadari kami sudah memasuki Ruang Kesenian yang
gelap. Saat mendengar suara pintu dikunci, barulah ke?
was?padaanku bangkit. Aku langsung membalikkan tubuh
untuk menghadapi siapa pun yang mengunci pintu
ruangan ini. Sepasang mata balas memandangiku dari balik topeng
musang berbulu kusam. Pemilik mata itu mengenakan
kostum mirip gelandangan kucel yang berlapis-lapis,
dengan dua buah parang di kedua tangannya.
Aku menoleh kembali ke depan, dan melihat Rima
memandangiku dengan muka pucat. Di belakangnya,
seorang algojo sedang berdiri berjaga-jaga.
Oke, sepertinya aku sudah dijebak.
Erika Guruh 343 Isi-Omen2.indd 343 011/I/13 TERDENGAR bunyi dering ponsel saat aku sedang kebutkebutan bareng si Ojek.
"Eh, Jek!" teriakku mengatasi deru knalpot. "Handphone
lo tuh, jerit-jerit!"
"Emangnya kamu nggak bisa liat aku lagi sibuk bawa
Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
motor?" Dasar cowok tidak ramah. Apa susahnya sih ngomong
sesuatu yang manis seperti, "Angkatin dong, Say"? Apa?
lagi, baru saja kami bertengkar dan aku masih bete
banget padanya. "Kamu yang angkatin deh," ujarnya lagi dengan suara
keras. "Handphone-ku ada di kantong di balik jaket."
Aku mulai merogoh-rogoh dengan kasar. Tahu-tahu
saja motor kami mulai melenggak-lenggok dengan gerak?
an berbahaya. "Jeeek!" Oke, aku tak akan malu-malu mengakui bah?
wa aku tengah menjerit-jerit histeris karena ketakutan.
"Lo lagi mau nyari mati?"
"Kamu yang mau cari mati!" teriak si Ojek tidak kalah
histeris. "Kenapa kamu kitik-kitik aku di saat aku sedang
kebut-kebutan begini?"
344 Isi-Omen2.indd 344 011/I/13 "Kitik-kitik?" Dasar kurang ajar. "Lo kira gue segoblok
apa? Gue lagi praktikin ilmu copet gue, tau?"
"Apanya yang copet? Berasa banget begitu!" Hah, sial.
Ini berarti aku masih kurang latihan. "Udah, ambil
dengan cara biasa aja, nggak usah raba-raba nggak jelas
gitu!" Kurang ajar. Kalau didengar orang, aku bisa disangka
cewek mesum. Sambil menahan rasa mangkel, aku meng?
ambil ponsel dari saku di bagian dalam jaket si Ojek.
Kubaca nama yang tertera di monitor, dan langsung
meng?angkatnya berhubung mengenali nama itu.
"Hei, Ob... eh, Les, ada apa?"
Kudengar suara rendah Les terdengar panik. "Erika,
kurasa ada sesuatu terjadi pada Valeria!"
Seluruh tubuhku berubah dingin. "Maksud lo?"
"Tadi dia kembali ke Ruang Kesenian bareng Rima,
dan aku berpesan bahwa dia harus meneleponku kalau
ada apa-apa. Barusan ada misscall dari dia."
"Maksud lo, dia matiin telepon saat elo angkat?"
"Lebih tepatnya lagi, telepon itu mati sebelum ku?
angkat. Aku telepon balik, nomornya nggak bisa di?
hubungi." "Oke, gue akan coba hubungi dia. Nanti gue telepon
balik." Aku memutuskan hubungan dan menekan nomor
telepon Val yang rupanya juga tersimpan di ponsel si
Ojek. Seperti yang barusan dikatakan Les, telepon itu ha?
nya mengeluarkan suara datar yang memberitahuku
bahwa nomor itu sedang tidak aktif atau sedang berada
di luar jangkauan bla-bla-bla.
Brengsek. Kenapa aku begini bodoh? Kenapa aku mem?
345 Isi-Omen2.indd 345 011/I/13 biarkan Rima ikut dengannya? Sudah jelas Rima target
berikutnya. Seharusnya Rima ikut denganku!
"Jek, puter balik!" teriakku. "Kita kembali ke seko?
lah!" "Kenapa?" "Val sama Rima ilang!"
Tanpa menyahutiku, si Ojek memutar motor tanpa me??
ngurangi kecepatan, lalu memacu motornya menentang
arah jalan seraya menaikkan kecepatan.
Menyebalkan atau tidak, cowok ini memang mengerti
perasaanku banget. Dalam waktu singkat, kami berhasil tiba kembali di
sekolah. Kulihat motor Les tergeletak begitu saja di de?
pan sekolahan, menandakan dia langsung mencampakkan
benda itu begitu mendapatkan misscall dari Val. Oke, ter?
nyata cowok itu memang tidak sebrengsek yang kukira.
Tadinya kupikir dia hanya ingin mempermainkan Val,
mentang-mentang cewek itu polos, lugu, dan berbeda
dengan cewek-cewek lain yang pernah ditemuinya.
Namun semakin lama semakin kuperhatikan, Les benarbenar perhatian pada Val. Bahkan, jujur saja, kesediaan?
nya untuk menjauhi Val malah merupakan nilai plus
buatku. Cowok egois lain, seperti Daniel misal?nya,
bakalan cuek dan jalan terus, tidak peduli hubungan
mereka bakalan bikin pusing Val atau tidak.
Halah. Menyebut Daniel sekarang membuatku pusing.
Tapi aku tidak bisa memikirkannya dulu. Saat ini yang
lebih penting adalah keselamatan Val. Daniel cowok
yang tetap bisa hidup setelah dipermak luar-dalam, tapi
Val adalah cewek yang masih polos dan lugu.
Tanpa banyak bacot, aku dan si Ojek melempar motor
dan helm di luar gerbang sekolah, lalu melesat ke Ruang
Kesenian. Ruangan itu masih belum dibereskan, rupanya. Masih
berantakan, dengan pecahan-pecahan tanah liat di manamana. Les berdiri di tengah-tengahnya, tampak frustrasi
dan putus asa, menimbulkan rasa kasihan meski aku
sendiri juga mengkhawatirkan nasib Val sekarang.
Cowok itu tengah memandangi lukisan terakhir.
Aku menatap lukisan itu dengan tidak percaya. Ter?
akhir kami melihatnya, lukisan itu adalah lukisan
tentang Rima yang digantung dalam kondisi terbalik,
ber?hadapan dengan algojo yang siap menebasnya men?
jadi dua. Tapi kini gambar itu sudah berubah menjadi
Val yang masih berambut panjang, dengan kacamata dan
sepatu murahannya yang pernah kurebut itu.
"Kenapa dia bisa jadi korban terakhir?!" tanya Les
keras, jelas-jelas menyadari kemunculan kami.
"Mungkin karena kami berdua udah terlalu dekat
dengan kebenaran," sahutku sambil menutupi nada
gemetar dalam suaraku. Sial, aku tidak menduga ini bisa
terjadi. Aku tidak menduga Val bakal jadi salah satu
korban dari Tujuh Lukisan Horor juga...!
Tidak, aku tidak boleh mengkhawatirkan nasib Val.
Aku percaya padanya. Dia bukan cewek lemah yang
tidak bisa menjaga dirinya sendiri. Lagi pula, dia cerdik
banget. Dia pasti akan menemukan cara untuk me?
nyelamat?kan dirinya sendiri?atau minimal memberitahu
kami ke mana dia dibawa pergi. Bagaimanapun, dia
membawa ponsel.... 346 Isi-Omen2.indd 346 011/I/13 Harapanku itu langsung lenyap saat Les mengangkat
347 Isi-Omen2.indd 347 011/I/13 tangannya, memperlihatkan BlackBerry putih yang biasa?
nya dibawa oleh Val. "Ditinggalkan di sini dalam kondisi dimatikan," kata
Les muram. "Penjahat-penjahat itu emang nggak mau
ngambil risiko." Arghhh! Sial! Bagaimana kalau terjadi apa-apa pada
Val? Apa yang harus kukatakan pada Andrew, si kakekkakek pe?nunggu sumur? Atau lebih parah lagi, bagai?
mana kalau aku diburu si beruang gila ayah Val itu?
Aku memandangi sekeliling, berusaha mencari-cari
sesuatu yang bisa kugunakan sebagai jejak, meski tahu
bahwa itu usaha yang nyaris mustahil. Habis, ruangan
ini begitu kacau. Siapa yang bisa membedakan antara
bekas perlawanan tadi malam dan bekas perlawanan
yang barusan terjadi? Bahkan superhero keren yang
punya daya ingat fotografis sepertiku bakalan sulit me?
nemukan sesuatu di tengah-tengah kekacauan ini.
Tapi "Dia pasti ninggalin sesuatu untuk kita."
Les memandangiku, lalu mengangguk. "Ayo, kita cari."
Kami mulai mengais-ngais di antara puing-puing. Ada
banyak sekali bercak darah terlihat di sana-sini, tapi
semua?nya sudah mengering, pertanda semua bercak
darah itu adalah peninggalan tadi malam. Sekali lagi aku
diingatkan betapa dahsyatnya pertarungan yang terjadi
tadi malam antara Val dan si algojo gila. Aku bisa mem?
bayangkan, Valeria menghadapi lawannya dengan gaya?
nya yang angkuh dan dingin. Yep, meski sehari-harinya
cewek itu tampil sebagai cewek kuper yang tampak
lemah tak berdaya, itu bukanlah kepribadiannya yang
sesungguhnya. Di balik semua kedok yang dikenakannya,
Valeria tetap seorang tuan putri dari keluarga terpandang
348 Isi-Omen2.indd 348 011/I/13 yang tenang, anggun, dan dingin, dengan sopan santun
tak bercela pada orang-orang yang layak dihormati dan
pandangan meremehkan sekaligus mematikan pada
orang-orang yang tidak mendapat respeknya. Kurasa
sikap itulah yang menimbulkan kemarahan si algojo,
mem?buatnya tidak segan-segan menghancurkan segalanya
demi mengalahkan Val. Sementara pertarunganku sama sekali tidak ada hebohhebohnya. Aku kena sabet, kutendang si pengecut itu
sampai terguling-guling ke lantai bawah, dan dia lang?
sung lari tunggang-langgang tanpa memedulikan teman?
nya yang terluka. Setelah itu aku berperan jadi paramedis
sementara untuk Gordon si pirang cupu yang sempat
terinjak si Val. Bukannya aku bisa mengobatinya. Meski
punya daya ingat fotografis, aku tak bakat jadi dokter.
Aku tak punya kesabaran dan kelemahlembutan untuk
memeriksa pasien. Bisa kudengar pekikan-pekikan
Gordon yang malang saat aku menyeretnya dengan kasar
ke pinggiran, dan akhirnya dia pingsan?mungkin karena
kehilangan banyak darah, tapi kurasa terutama karena
kesakitan akibat kuperlakukan dengan tidak hormat.
Intinya, saat ini aku lega tak ada darah yang meng?
indikasikan adanya luka-luka yang baru saja terjadi.
Soalnya, kalau ada, pastilah darah itu berasal dari Val,
mengingat dia dikepung dua orang algojo.
Lalu Rima. Apa peranannya di sini? Apa dia salah satu
penjahatnya? Dia memang aneh, tapi aku tidak merasa
dia jahat. Apa selama ini aku salah sangka?
Mendadak kulihat tulisan itu. Tulisan jelek yang se?
perti?nya ditulis dengan darah dari jari.
Boks. T4 parkir. 349 Isi-Omen2.indd 349 011/I/13 Boks kayu Klub Kesenian. Pantas saja ada satu bagian
dari ruangan itu yang tampak kosong. Salah satu boks
diambil untuk mengangkut Val, dan boks itu pastinya
dibawa ke lapangan parkir.
"Ayo, kita ke lapangan parkir!" seruku sambil berlari
ke luar. Dari suara langkah kaki di belakangku, aku tahu kedua
cowok itu mengikutiku dengan kecepatan tinggi pula.
Kami tiba di lapangan parkir yang tidak seberapa luas.
Hanya dengan sekali pandang aku berhasil menemukan
boks itu. Tentu saja, mereka bakalan mengalami kesulitan
kalau harus membawa-bawa boks kayu yang besar dalam
kendaraan mereka yang mungkin saja berukuran normal
(mungkin saja mereka membawa pick-up atau truk, tapi
menurutku kemungkinan itu kecil sekali).
Aku memeriksa boks itu dan, sekali lagi, menemukan
tulisan berwarna merah yang kecil sekali.
Rumah O. Yep, O yang dimaksud di sini pastilah Okie, si bajing?
an bersepatu norak itu! Jelas maksudnya bukan si Ojek,
karena Val selalu memanggil cowok masam itu dengan
nama aslinya yang sok keren itu. Waktu kami bicara
dengan anak-anak cupu itu di kantin, meja kantin
menyembunyikan bagian bawah tubuh mereka sehingga
sulit bagiku memperhatikan ciri-ciri mereka. Tapi saat
mereka pergi meninggalkan kami, mataku sempat
menangkap warna hijau stabilo yang mencolok itu dan
gambar burung hitam di tengah-tengah sepatu. Hanya
sekilas, tapi hei, memang cukup itulah yang dibutuh?
kan seorang pemilik daya ingat fotografis yang super?
keren ini! 350 Isi-Omen2.indd 350 011/I/13 "Ah, coba tadi kita nggak kembali ke sekolah dan terus
ngejar dia!" cetusku kesal, karena rumah dialah yang kami
tuju sewaktu aku menyuruh si Ojek putar ba?lik tadi.
"Nggak juga," geleng si Ojek. "Kalo kita duluan di
sana, bisa-bisa mereka mendapati kita sedang gedor-gedor
di luar lalu mereka kabur ke tempat lain yang lebih sulit
dituju." Benar juga pendapat si Ojek. "Oke, kalo gitu, sekarang
kita langsung ke sana?"
"Kalo bisa, jangan terlalu dekat," kata Les. "Kita ber?
henti di belokan terdekat, lalu dari sana kita mengendapendap mendekat. Mungkin kita bisa masuk lewat pintu
belakang, kalo ada."
"Nggak ada," gelengku. "Di sekitar sini nggak ada
rumah yang punya pintu belakang, bahkan rumah si Val
juga dikelilingi hutan belantara."
"Taman," koreksi si Ojek.
"Apa ajalah." Aku mendecak kesal. Taman, hutan,
semua itu tak ada bedanya bagiku. Toh dua-duanya dipe?
nuhi tanaman-tanaman rimbun. "Intinya, mungkin aja
ada pintu belakang, tapi nggak akan ada pintu pagar
belakang. Semuanya harus lewat pintu depan. Tapi, kalo
rumahnya ada di huk, seperti rumah Val, kita mung?kin
bisa memanjat masuk lewat pagar samping, lalu
memecahkan jendela untuk masuk."
"Oke," angguk Les. "Ayo, sekarang kita semua pergi ke
sana dan ngumpul di belokan pertama untuk bikin
rencana." Kami langsung naik ke motor masing-masing. Tentu saja,
aku membonceng si Ojek lagi. Huh, tidak punya kendaraan
memang bikin bete. Aku harus melakukan s?esuatu untuk
351 Isi-Omen2.indd 351
Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
011/I/13 mengatasi kendala ini. Mana si Chuck tidak bisa diandal?
kan pula. Bisa-bisanya dia menjadi infor??man si Ojek. Dasar
pengkhianat yang menyebal?kan.
Untungnya si Ojek tidak suka berlambat-lambat. Da?
lam waktu kurang dari sepuluh menit, kami sudah ber?
ada di dekat rumah Okie. Anehnya, meski si Ojek sudah
kebut-kebutan seperti orang gila, Les tiba duluan. Entah
cowok ini punya kekuatan superhero yang tak kami
ketahui, atau dia memang hanya khawatir pada Val.
"Gimana?" tanya si Ojek begitu kami berhenti. "Ada
yang mencurigakan?" "Rumah yang dimaksud itu pasti rumah ketiga dari
pojokan, kan?" kata Les sambil mengedik ke arah rumah
yang pastilah rumah si Okie. Rumah itu memang besar
dan mewah, sesuai dengan reputasi Okie sebagai salah
satu siswa paling tajir di sekolah kami. Yah, tidak ada
apa-apanya dibanding rumah Val yang mirip istana
negara, tentu saja, tapi tetap saja rumah itu cukup
mengesankan. "Pekarangan dan garasinya kosong, nggak
ada mobil yang mereka gunakan untuk ngebawa Val ke
sini. Itu berarti mereka cuma mampir."
Aku mulai mengumpat-umpat saking kesalnya. Habis,
Les benar banget. Dalam perjalanan menuju ke sini,
kami sempat menemui dua titik macet. Yah, tidak macet
total sih, tapi arusnya lambat banget. Ini berarti mereka
pasti baru saja tiba dan tak sempat menurunkan muatan.
"Jadi gimana sekarang? Kita kehilangan jejak!"
"Nggak," geleng Les. "Kamu bilang Val terlalu pintar
untuk diam begitu aja. Dia pasti ninggalin petunjuk di
sekitar sini." "Di depan rumah itu ada tong sampah besar," gumam
352 Isi-Omen2.indd 352 011/I/13 Vik. "Mungkin Val ngebuang petunjuknya ke situ supaya
nggak mencurigakan." Dia menoleh pada Les. "Lo mau
jadi tukang sampah?"
"Boleh," sahut Les tanpa ragu. "Emang lebih baik satu
orang aja, untuk berjaga-jaga kalo masih ada konco
lawan kita yang mengintai di sekitar sini. Kalian tunggu
sebentar di sini." "Hei!" Teriakanku menghentikan langkah Les. Wajah?
nya tampak tak sabar, seolah-olah dia sudah kepingin
banget mengais-ngais sampah. "Emangnya lo akan bilang
apa kalo sampe ditanya orang?"
Cowok itu nyengir. "Nggak tau. Akan kupikirin kalo
saatnya tiba." Kami berdua menatap Les dengan kagum.
"Ternyata dia emang beneran suka sama Val," kata Vik
sambil memandangi sahabatnya yang sedang mem?
bongkar-bongkar tong sampah. Cowok itu sama sekali
tidak kelihatan kepingin membantu. Betul-betul tidak
solider. Tapi aku juga sama sih. Bukannya aku tidak ingin
cepat-cepat menemukan Val. Hanya saja, pekerjaan kotor
cukup dilakukan satu orang. Terlalu ramai malah hanya
akan mengundang kecurigaan.
"Emangnya sebelum ini lo nggak yakin dia suka sama
Val?" Si Ojek menatapku seolah-olah aku makhluk luar
angkasa. "Emangnya nggak jelas selama ini dia suka
sama Val?" "Nggak," sahutku spontan.
Si Ojek langsung berdecak. "Kamu ini emang nggak
pengalaman soal cowok."
"Cih!" aku balas berdecak. "Emangnya lo pengalaman
soal cowok?" "Ngapain aku punya pengalaman soal cowok segala?"
Lagi-lagi si Ojek jengkel mendengar pertanyaanku yang
jujur dari dalam lubuk hatiku. "Yang penting aku udah
bergaul dengan Les seumur hidupku. Aku tau banget
gelagatnya. Dia emang baik, tapi belum pernah dia mau
repot-repot demi seorang cewek."
"Termasuk demi Nana?"
Wajah si Ojek makin aneh saja. "Kamu ini emang
udah gila." "Apanya yang gila?" bentakku mulai tak senang.
Habis, berani-beraninya dia menuduhku tidak waras!
"Siapa yang mau sama cewek kayak Nana?" ketus si
Ojek, memadamkan kemarahanku dalam sekejap. "Cewek
itu nggak bisa apa-apa, cuma bisa manja-manja dan
minta belas kasihan orang. Capek aku menghadapi
cewek kayak gitu." "Emang bener sih," sahutku tanpa menutupi rasa gi_
rang?ku. "Tapi, emangnya mungkin cowok suka sama ce?
wek dalam waktu begitu cepat? Mereka kan baru ketemu
nggak sampe seminggu!"
"Yah, kalo soal itu sih mungkin salahku juga." Si Ojek
menggaruk-garuk kepalanya. "Sepertinya aku cerita terlalu
banyak soal kalian. Apa kamu tau kenapa hari itu kami
ke sekolah kalian? Soalnya, kata Les, dia nggak percaya
ada cewek seperti kamu di dunia ini..."
"Apa maksudnya tuh?" sergahku bete. "Emangnya ke?
napa dengan cewek seperti gue?"
353 Isi-Omen2.indd 353 011/I/13 "Cewek seperti kamu itu luar biasa, bisa bikin Viktor
Yamada bela-belain jadi tukang ojeknya." Sial, cowok ini
selalu bisa bikin aku tersipu-sipu, meski tentu saja aku
hanya tersipu-sipu di dalam hati (memangnya aku sudi
meng?akui kelemahanku di depan orang?). "Dan dia
bilang, dia nggak percaya ada cewek lain yang punya
kepribadian bertolak belakang denganmu, tapi punya
kemampuan yang sama. Dan tau nggak? Setelah pulang
hari itu, dia nggak henti-hentinya bertanya soal Val."
"Dan lo ngasih tau semuanya?"
Si Ojek mengangguk dengan muka polos tak berdosa.
"Dasar ember! Kenapa lo bocorin semua yang lo tau
soal Val ke dia?" "Jelaslah, itu karena Les hopengku," sahut si Ojek
masam. "Kalo orang lain, kamu kira aku sudi banyak
bacot? Asal kamu tau aja, bicara itu bikin capek."
Iya deh, aku tahu. Memang si Ojek termasuk orang
yang pelit bicara. Kalau bukan marah-marah, biasanya
dia cuma diam. Aku kembali memandangi Les yang
sudah menguras seluruh isi tempat sampah. Cowok itu
memang tidak segan-segan terjun ke dunia penuh virus
dan kuman demi menyelamatkan Val. Okelah, sekali lagi,
dia menegaskan padaku bahwa Val benar-benar penting
baginya. Jadi mungkin sebaiknya kuampuni saja si Ojek
yang sudah ngember. Kulihat Les berjalan pergi dengan tangan kosong dan
wajah kecewa ketika tatapannya jatuh pada sesuatu di
354 Isi-Omen2.indd 354 011/I/13 jalanan. Dia berhenti sejenak, memungut benda yang
menarik perhatiannya itu, lalu berlari menghampiri
kami. Astaga, cowok ini bau banget!
355 Isi-Omen2.indd 355 011/I/13 "Ini pasti benda yang ditinggalkan Val buat kita!" seru?
nya girang. Aku segera merebut benda itu dari tangannya. Benda
itu adalah gulungan tisu dan, anehnya, dililit dengan
benang yang diikat rapi. Ide yang brilian, karena meski
tidak mencolok, benda itu jelas-jelas bukan sampah.
Setiap mata tajam yang bisa melihatnya akan langsung
menyadari itu adalah benda penting.
Aku menarik lepas benang itu, lalu membaca kertas
yang, lagi-lagi, ditulisi dengan darah.
"Pabrik kosong luar HBS, ujung jalan." Aku membacanya
keras-keras. "Oke, ayo kita cabut ke sana. Nggak akan
sulit kan, menemukan pabrik yang udah kosong dan ter?
letak di ujung jalan? Kan nggak banyak pabrik yang ter?
bengkalai begitu aja."
"Kurasa begitu," kata si Ojek sambil memasang helm?.
"Ayo, Les!" Perjalanan itu lagi-lagi cuma memakan waktu singkat.
Lima belas menit kemudian, kami sudah tiba di luar kota.
Kami langsung menuju daerah industri yang di?penuhi
banyak pabrik. Ada beberapa pabrik kosong yang kami
temui, tetapi kebanyakan masih dikelilingi pabrik-pabrik
aktif. Akhirnya, di salah satu ujung jalan, kami menemukan
pabrik yang kemungkinan adalah yang kami cari. Letaknya
agak jauh dari pabrik-pabrik lain?dan pabrik-pabrik
terdekatnya juga sudah kosong, terlihat dari lapangan
parkir yang kosong m?e?lompong?dengan taman yang
sudah berubah menjadi hutan belantara saking ter?
bengkalainya. Yang paling mencurigakan dari pabrik itu
adalah jendela-jendelanya yang ditutupi terpal, seolah-olah
ada kegiatan rahasia yang terjadi di dalam pabrik itu.
356 Isi-Omen2.indd 356 011/I/13 Tapi pertanyaannya adalah, kalau lapangan parkir itu
kosong melompong, ke mana mobil yang digunakan
untuk membawa Val kemari?
Baru saja aku ingin melontarkan pertanyaan itu, dari
belokan di belakang kami muncul mobil Freed berwarna
hitam. Tanpa perlu dikomando, si Ojek dan Les langsung
membelokkan motor ke lapangan parkir pabrik kosong
terdekat. Kami menyembunyikan motor si Ojek dan Les di
balik semak-semak yang tumbuh subur di pabrik itu,
lalu mengendap-endap mendekati pabrik kosong itu
dengan gerakan cepat dan tanpa bicara sedikit pun.
Mirip banget dengan ninja-ninja Jepang asli. Mungkin
kita juga harus bikin istilah untuk mata-mata khusus
orang Indonesia. Kopapat, misalnya, alias Komando
Pasukan Cepat. Seperti dugaan kami, mobil yang baru datang itu
memang bertujuan ke pabrik kosong di ujung jalan.
Kami bertiga mengintai dari balik gerbang pagar, me?
nyaksikan orang-orang keluar dari dalam mobil. Penge?
mudi mobil itu tentu saja Okie. Yang tak kami duga
adalah partner kejahatannya, tidak lain dan tidak bukan
adalah si pengecut Andra yang sempat kami gebuki
hingga terguling-guling! Dasar bajingan! Ternyata pengecut tak berguna itu
sanggup juga melakukan kekejian seperti ini!
Tapi kalau kupikir-pikir lagi, memang semua jadi ma?
suk akal. Memang aku baru ketemu Okie selama bebe?
rapa saat, tapi aku tidak akan pernah bisa membayangkan?
??nya sebagai otak kejahatan yang sanggup me???ren?cana??kan
hal-hal sadis dan mengerikan. Andra, se?baliknya, me?
357 Isi-Omen2.indd 357 011/I/13 mang punya potensi untuk melakukan hal-hal licik dan
jahat hanya demi memuaskan dendam pribadinya.
Jantungku serasa berhenti berdetak saat me?lihat Val
keluar dari mobil bersama Rima. Meski tangan mereka
terikat dan mata mereka ditutup, sikap kedua cewek itu
tenang banget, sama sekali tidak terlihat ke?takutan,
marah, atau sejenisnya, sikap yang segera me?nenteram?
kan kepanikan yang sedari tadi mencekam perasaanku
tapi baru kini kusadari. Rasanya seluruh tubuh?ku jadi
jauh lebih rileks?otot-ototku tidak me?negang lagi,
tanganku tidak mengepal lagi, dan gigi-gigiku tidak lagi
bergemeretak. Tapi kemarahanku langsung kembali saat melihat
Andra mendorong-dorong Val dan Rima dengan kasar.
Untungnya kulihat Okie menegur sikap Andra. Sepertinya
kedua penjahat ini punya pendapat yang berbeda soal
memperlakukan tawanan. Okelah, nanti aku akan mem?
berikan hukuman yang lebih ringan pada Okie. Kalau
dengan Andra, aku tak akan bermurah hati. Pastinya
akan kugebuki dia sampai dia menyembah-nyembah
(dan tentunya hatiku tak akan tergerak sedikit pun).
Oke, cuma dua orang ini, sedangkan kami bertiga.
Kuat-kuat, lagi. Sudah pasti kami menang melawan me?
reka. Jadi aku langsung berdiri, siap keluar dari tem?pat
persembunyian. "Tunggu." Aku dicekal oleh Les yang, rupanya, tak kalah emosi?
nya dibandingkan denganku. Mukanya yang biasanya
suka cengar-cengir itu kini tampak jelek dan mengerikan.
Matanya mencorong tajam, tidak kalah seramnya dengan
si Ojek, dengan gigi-gigi menyeringai bagaikan siap meng?
358 Isi-Omen2.indd 358 011/I/13 gigit siapa pun yang berani mengganggunya. Belum lagi
bau sampah yang menempel di badannya. Serius, cowok
semacam ini lebih baik dijauhi sejauh-jauhnya dan
dilihat dari jarak aman saja.
"Jangan bertindak dulu," geramnya dengan rahang
terkatup. "Kita butuh waktu untuk manjat pagar ini. Kalo
mereka tau kedatangan kita, mereka pasti bakalan langsung
masuk ke dalam pabrik dan mengunci pintu."
Argh, sial. Benar juga sih.
"Lagi pula," si Ojek ikut menyambung, "kita nggak
tau mereka cuma berdua atau masih ada yang membantu
me?reka. Jangan-jangan tindakan kita malah membahaya?
kan tawanan lain."
Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Iya, iya, gue ngerti." Dengan bete aku jongkok kem?
bali di antara tanaman. Sebal, sebal. Seluruh badanku
sudah tidak sabar untuk eksyen, tapi logika memaksaku
untuk ngumpet di tengah-tengah rerumputan. Orang
yang tidak tahu bakalan mengira aku sedang pipis. Lebih
parah lagi, ilalang-ilalang liar ini membuatku gatal-gatal.
Kenapa sih para penjahat ini tidak bisa mencari markas
yang tempat persembunyiannya lebih nyaman bagi para
pengintai? Dasar keji. Akhirnya, Val dan Rima masuk juga ke dalam pabrik
melalui pintu depan, diikuti oleh Okie dan Andra. Sesuai
dugaan Les, ada yang membukakan pintu. Ini berarti
masih ada orang ketiga (atau lebih) yang berkomplot
dengan mereka. Untung banget aku tidak langsung me?
nyerbu masuk. Bukannya membebaskan Val dan lainnya,
bisa-bisa kami semua malah menawarkan diri jadi
tawanan gratis. "Kita cari jalan masuk lain aja," bisik Les yang bangkit
359 Isi-Omen2.indd 359 011/I/13 mendahului kami. "Nggak aman lewat jalan depan. Bisabisa mereka mengintai dari jendela. Kita harus memanjat
masuk melalui tempat yang nggak ada jendela atau
pintu." Kami mengitari pabrik sambil membungkuk-bungkuk
supaya tetap tidak kelihatan di balik pagar. Alhasil, kami
mirip tiga orang tua uzur yang sedang berlagak jadi
mata-mata. Benar-benar tidak keren. Untungnya, waktu
lagi terbungkuk-bungkuk begitu, kami menemukan
lubang di bagian bawah yang bisa kami terobos. Agak
sulit untuk bodi raksasa si Ojek dan Les, tapi akhir?nya
kami berhasil masuk tanpa banyak cincong. Oke, si Ojek
dan Les memang terpaksa harus membuka jaket mereka,
dan akibatnya, kaus mereka jadi sobek-sobek. Tapi
pokoknya mereka baik-baik saja kok. Bahkan berkat baju
sobek-sobek, mereka kelihatan lebih keren.
Gedung-gedung pabrik seperti ini selalu ada beberapa
pintu. Pintu depan, pintu darurat, pintu bongkar muat?
an, pintu gudang, dan macam-macam deh. Sayang?nya
semua pintu itu terkunci rapat dengan berbagai macam
kunci. Ada yang dirantai dari dalam, ada yang bahkan
ditutupi dengan papan, tetapi ada juga yang hanya
dikunci dengan kunci biasa.
"Gimana?" bisikku pada dua anggota komplotanku.
"Kita dobrak yang cuma dipalang dengan papan, atau
kita pecahin kaca jendela?"
"Jangan, jangan!" cegah si Ojek, lalu menoleh pada
Les. "Lo bisa urus pintu dengan kunci biasa itu, kan?"
"Yep." Les mengangguk. "Pilihan gue pintu samping.
Pintu?nya tidak serusak pintu-pintu lain, jadi kalo kita
buka, mungkin nggak akan menimbulkan bunyi yang
360 Isi-Omen2.indd 360 011/I/13 terlalu keras. Jenis kuncinya juga nggak terlalu sulit
untuk dibongkar." "Lo bisa bongkar kunci?" tanyaku takjub.
"Bisa dong." Wah, cowok Val rupanya kriminal juga. Menarik sekali.
Les mulai mencongkel lubang kunci dengan meng?guna?
kan jepitan yang dibawanya (benda yang sangat men?
curiga?kan untuk dibawa ke mana-mana oleh seorang
cowok macho), sementara aku memandanginya dengan
konsentrasi penuh. "Ini nggak terlalu sulit," kata Les sambil terus meng?
arah?kan jepitannya ke arah yang tepat. "Hanya butuh
feeling dan latihan aja kok, setelah itu... voila!"
Bertepatan dengan kata voila yang diucapkannya, ter?
dengar bunyi klik yang menandakan kunci sudah ter?
buka. Aku agak keki karena Les langsung masuk terlebih
dahulu. Biasanya aku selalu jadi orang pertama dalam
melakukan berbagai tindak kejahatan, sehingga menjadi
orang nomor dua rasanya menyebalkan banget. Tapi aku
berusaha menyabarkan diri. Habis, ini semua berarti pe?
rasaan Val tidak bertepuk sebelah tangan. Aku tidak boleh
menghalangi keinginan Les untuk menemukan Val secepat?
nya hanya gara-gara kepingin jadi orang nomor satu.
Tapi tetap saja, jadi anak buah nggak ada keren-keren?
nya sama sekali. Kami masuk ke koridor gelap yang mengarah pada
ruangan besar gelap yang mirip lorong lantar?an dipenuhi
sekat-sekat aneh. Sambil merunduk kami mendekat ke
arah sekat pertama dan mendapati bah?wa sekat-sekat itu
rupanya membentuk ruangan-ruang?an kecil berisi empat
361 Isi-Omen2.indd 361 011/I/13 meja yang berdampingan dengan mesin jahit tua, beserta
sebuah rak besar yang dipenuhi berbagai peralatan jahit
seperti kancing, pita, dan sebagainya. Rupanya pabrik ini
memang sudah ter?bengkalai lama sekali, karena pabrik
garmen baru pasti menggunakan mesin-mesin yang lebih
modern, kan? Terdengar bunyi langkah-langkah menggema (untung
saja sejak tadi kami bertiga berjinjit), bunyi yang me?
nandakan ada segerombolan orang berjalan tergopohgopoh. Aku mencoba mengintip, dan melihat dua algojo
muncul dari tangga lantai bawah tanah. Kedua algojo itu
melepaskan topeng mereka?tentu saja, mereka adalah
Okie dan Andra. "Akhirnya tawanan terakhir udah diamankan juga," kata
Okie lega. "Sekarang kita bisa bicara dengan be?bas."
"Menyebalkan!" Andra menggerutu. "Kenapa kita harus
ngerahasiain identitas kita dari mereka? Sampe-sampe
kita harus pake kostum konyol ini!"
"Karena kita harus lepasin mereka setelah semua ini
selesai." "Buat apa?" teriak Andra. "Mereka kan udah mem?
bunuh Reva dan Indah!"
"Tenang, Ndra," ucap Okie dengan nada rendah. "Me?
reka nggak benar-benar membunuh Reva dan Indah..."
"Tapi mereka yang menyebabkan Reva dan Indah
mati!" sergah Andra sengit. "Lo lupa, Chalina yang udah
jahatin Reva dari dulu! Gara-gara kepingin melindungi
Reva, lo sampe bela-belain bergabung dengan kelompok
Chalina untuk mencegah mereka ngelakuin hal-hal yang
keterlaluan." Hah? Okie ingin melindungi Reva? Apa dia juga jatuh
362 Isi-Omen2.indd 362 011/I/13 cinta pada Reva? Kalau iya, kenapa Reva malah memilih
Andra yang menyebalkan itu ketimbang Okie?
"Dan jangan lupa, dia juga orang yang bikin kita ter?
jebak dalam permainan poker keparat itu. Dia bilang
sama gue, tiga anak sialan itu bodoh-bodoh, dan dia
punya cara buat ngakalin permainan itu!"
"Sebenarnya, lo yang maksa gue ikutan padahal gue
nggak mau." Kini suara Okie terdengar dingin. "Lo
bilang, lo tau caranya nambah tabungan kita supaya bisa
ngasih bantuan pada keluarga Reva. Ternyata yang terjadi
adalah kita berdua diporotin sampe abis!"
"Tapi itu bukan salah gue!" Benar-benar khas Andra,
tidak merasa bersalah dan melimpahkan semuanya pada
orang lain. "Semua itu salah Chalina. Kalo aja dia nggak
ngebujuk gue, semua ini nggak usah terjadi."
"Kenyataannya, semuanya udah terjadi," balas Okie
kesal. "Jangan lupa, lo bergabung dengan misi ini bukan
karena ingin membalas dendam demi Reva, tapi karena
ingin duit lo balik. Buat gue, semua ini semata-mata
demi Reva dan Indah. Bu Rita bersalah karena dia yang
menghentikan penyelidikan polisi terhadap kematian
Reva dan Indah hanya karena takut reputasi sekolah ter?
cemar. Tiga setan judi itu bersalah karena saat Indah
minta bantuan mereka untuk membongkar pembunuhan
Reva, mereka malah mengusirnya!"
Astaga. Jadi itulah yang tidak mereka ceritakan pada
kami! "Kalo mereka lebih bertanggung jawab dan mau nge?
bantu Indah, dia nggak akan meninggal dan kasus itu
udah bisa terbongkar sejak awal! Tapi mereka malah
milih melindungi malam poker keparat itu!"
363 Isi-Omen2.indd 363 011/I/13 Oke, sekarang waktunya si Ojek memandangiku de?
ngan tampang tuh-kan-temen-temen-lo-bajingan-banget.
Tapi kenyataannya, cowok itu sama sekali tidak bereaksi,
malahan tetap mengintip kedua algojo itu dengan sikap
waspada. Sial, aku jadi merasa bersalah lantaran tadi sudah
meng?ajaknya berantem di depan umum.
"Gue cuma menyayangkan kita harus mempergunakan
Rima dan mencelakai Valeria. Apa boleh buat, setiap
perang pasti akan ngorbanin sejumlah orang tak ber?
salah. Kebetulan event yang diketuai Rima paling dekat
dan cocok banget untuk melenyapkan orang-orang. Se?
mentara Valeria dan Erika udah terlalu mengganggu.
Salah-salah mereka malah gagalin rencana kita. Kalo kita
nahan Valeria, Erika pasti nggak berkutik lagi."
Prediksi yang salah total. Sori-sori saja, semakin aku
diganggu, semakin aku akan melawan balik!
"Tapi mereka semua bisa dilepasin. Satu-satunya orang
yang nggak akan gue ampuni cuma Chalina. Cewek itu
benar-benar psikopat! Bisa-bisanya dia mendorong Reva
dan mencekik Indah, lalu memutarbalikkan fakta dengan
mengatakan Reva kecelakaan dan Indah bunuh diri! Dan
Gordon, dia juga bersalah karena dia yang ngelaporin
Indah pada Chalina. Sayang dia berhasil lolos, gara-gara
campur tangan Erika dan Valeria, si dua manusia kepo!"
Ups. Rupanya aku sudah menyelamatkan orang jahat.
Mungkin aku memang layak disebut sebagai manusia
kepo. Yah, jujur saja sih, aku mulai bersimpati pada
Okie. Sepertinya dia benar-benar mencintai Reva, sampaisampai mau melakukan semua ini untuk membalas?kan
dendam Reva. Orang-orang yang kami bela memang
364 Isi-Omen2.indd 364 011/I/13 sudah bersalah, meski sebagian besar sebenarnya tidak
bermaksud jahat. Bu Rita, misalnya, yang hanya berniat
untuk menyelamatkan reputasi sekolah?atau tiga anak
buahku yang tak berguna dan hanya bisa memoroti
anak-anak tajir yang bodoh-bodoh. Tapi Rima tidak bisa
di?salahkan, karena aku cukup yakin dia tidak punya ke?
mampuan apa pun soal melihat masa depan, sedangkan
Val dan aku, mungkin kami memang terlihat membela
pihak-pihak yang bersalah, tapi sebenarnya tidak begitu
kok. Seandainya aku tahu Chalina sudah melakukan hal
seperti ini, mungkin aku sendiri yang akan menjotosnya
sampai mental ke jok belakang mobil Ajun Inspektur
Lukas! Sebaliknya, tidak semua orang di pihak lawan patut
diberi simpati. Sudah pasti Andra si bajingan serakah
layak diinjak-injak sampai mati. Niat busuknya untuk
meng?ambil kembali uangnya yang dikuras benar-benar
memuakkan. Bisa-bisanya dia mengambil keuntungan di
saat-saat seperti ini...!
Eh. Tunggu dulu. Aneh sekali, kenapa dua orang yang
begini berbeda bisa bersekongkol? Siapa pun yang tahu
kepribadian Andra tak akan sudi mengajaknya turut serta
dalam rencana pembalasan dendam. Oke, mungkin saja
Okie, yang lebih cerdas dan sepertinya punya kemampu?
an untuk merencanakan macam-macam, mengajak Andra
karena si busuk ini bisa digunakan untuk tugas-tugas
kotor. Tapi kalau aku, aku pasti akan mengajak orang
lain yang lebih bisa kupercayai.
"Nggak usah banyak bacot," tukas Andra. "Terserah lo
maunya gimana. Yang penting kita harus selesaikan
semua ini secepatnya. Kita harus minta Bu Rita dan tiga
setan judi itu untuk mentransfer uang masing-masing
lima puluh juta ke rekening yang kita buka atas nama
Reva. Chalina boleh lo kerjain sepuas lo. Sedangkan dua
cewek terakhir itu..."
"Mereka akan dilepasin kalo saatnya tiba." Gila, lega
banget rasanya mendengar ucapan itu! Tapi rupanya ke?
legaanku hanya bisa bertahan beberapa detik. "Tapi
Valeria itu tawanan paling berbahaya. Dia berhasil lolos
dari serangan gue malam itu, bahkan melukai gue. Meski
U 2 Dewa Arak 67 Makhluk Jejadian Komplotan Penculik 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama