Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu Bagian 3
ngumpet di pojokan situ?"
Ngumpet apanya? Aku duduk terang-terangan begini
kok. "Halo." "Rim, lo jadi dateng?" tanya Amir sambil meng?
hampiri?ku. Akhirnya, ada yang mau mengajakku ngobrol.
"Lalu mana Daniel?"
"Aku nggak tau." Gawat, setelah diajak ngobrol, aku
hanya bisa memberikan jawaban yang tidak bermutu.
Kalau begini caranya, pantas saja dari tadi aku dicuek?
in. "Coba kita telepon dia." Amir mengangkat ponselnya,
tapi mendadak teringat sesuatu. "Eh, Rim, lo yang
ngomong ya?" Eh? "Tapi..." Aku tidak sempat memprotes karena suara Daniel yang
bernada bete sudah terdengar dari seberang. "Apa, Mir?"
"Ehm, ini Rima."
"Hah? Rima?" Suara Daniel langsung berubah 180
derajat?rasa bete dan jutek berubah jadi manis dan
lembut. Dan aku diam-diam senang sekali mendengar
per?ubahan suara itu. "Kok bisa pake handphone Amir,
Rim?" "Iya, aku lagi bareng dia sekarang. Kamu lagi di mana,
Niel?" "Gue udah OTW nih, bentar ya. Tadi sibuk banget di
taman hiburan, dan setelah itu gue pulang buat mandi
dan sebagainya. Baru beres nih. Bentar ya, Rim!"
Oh ya, benar juga. Pasti tadi dia sibuk sekali me?ng?
167 Isi-Omen4.indd 167 urusi persiapan karnaval. Tadi siang sepulang sekolah,
aku sempat mampir ke sana untuk mengecek. Setelah
me?mastikan semuanya berjalan lancar, aku pun me?
ninggalkan tempat itu. Tak kusangka, Daniel masih sibuk
hingga sekarang. Sepertinya aku jadi berutang budi
banyak sekali padanya. Aku mengembalikan ponsel Amir. "Katanya dia udah
OTW." "Baguslah kalo gitu," gerutu Amir. "Paling sebel sama
orang yang sengaja berlambat-lambat demi ditunggu?in."
"Betul betul!" angguk Welly. "Terus nanti munculnya
se?olah-olah dia jadi pemeran utama, sementara kita se?
mua cuma figuran." "Yah, Daniel nggak begitu kok," ucapku. "Dia tadi
sibuk nyiapin karnaval, supaya kita semua bisa senangsenang malam ini. Itu sebabnya dia telat."
"Oh gitu." Dua cowok ini jadi terlihat merasa bersalah.
Welly mengacak-acak rambutnya seraya berkata, "Yah,
kalo gitu kami juga akan memastikan nanti malam se?
mua lancar. Kebetulan Pak Rufus nyuruh kami jadi
satpam. Kami kebagian shift besok, tapi nggak berarti
kami akan santai-santai aja malam ini..."
"Hai semuanya! Udah siap?"
Kami semua menoleh dan melihat Nikki muncul de?
ngan penuh gaya. Malam ini dia mengenakan gaun
hitam panjang yang membuatnya tampak begitu cantik
sekaligus misterius. Sepertinya sudah jelas bagi semuanya,
Nikki-lah cewek paling memesona malam ini. Dan ka?re?
na dia muncul terakhir?ralat, nyaris terakhir?kedatang?
an?nya berhasil mencuri spotlight untuk malam ini.
Kebetulan, ataukah disengaja?
168 Isi-Omen4.indd 168 Oke, aku tahu aku kedengaran dengki?dan aku minta
maaf untuk itu. Biasanya aku berusaha tidak menaruh
curiga atau berpikir negatif terhadap tindakan orang lain,
namun dalam beberapa kesempatan, usaha itu terasa
sulit banget untuk kulakukan. Misalnya seperti kejadian
malam ini. Menurutku, semua terasa aneh?Nikki yang
tidak memberitahu teman-temannya tentang keikutserta?
an?ku dengan mereka, ketidaksukaan mereka atas ke?
muncul?anku, kedatangan Nikki yang telat. Apakah Nikki
sengaja menempatkanku dalam situasi tidak mengenak?
kan ini? Yang lebih penting lagi, apa alasannya?
"Rima, aduh senengnya lo bergabung dengan kami!"
seru Nikki seraya menoleh padaku. Namun sebelum aku
sempat menyahut, dia ditarik oleh teman-teman?nya
yang langsung mengajaknya berbisik-bisik. Lalu, de?ngan
suara keras dia berkata, "Memang gue ngajakin dia. Lho,
gue lupa bilang ya? Gue kira gue udah ngasih tau kali?
an!" Oke, ada kemungkinan yang satu itu juga. Mungkin
dia hanya pelupa dan tidak ada yang perlu dicurigai.
Aku memang teman yang tidak baik, sudah memikirkan
yang buruk-buruk tentang seseorang yang berusaha ber?
sikap baik padaku. "Nah, itu dia si Daniel... Lho, dia datang sama siapa
tuh?" Kami semua berpaling ke arah pintu masuk. Terlihat
Daniel sedang membukakan pintu, sementara sosok lakilaki bertubuh lebih pendek berjalan masuk. Sosok itu
me?ngenakan topi pet dan jaket kebesaran dengan celana
jins belel. Orang lain mungkin tidak tahu apakah sosok
169 Isi-Omen4.indd 169 itu cewek atau cowok, tapi aku tahu pasti siapa orang?
nya. Dan dalam hati aku menarik napas lega. Amat sangat
lega. "Hei, Rim, sori banget gue telat..."
Daniel tidak sempat melanjutkan ucapannya lagi lantar?
an sudah dikerubuti cewek-cewek yang menunggunya
sedari tadi. "Nieelll kok lama?"
"Tau nggak sih, kami udah nunggu lima belas menit?"
"Eh, gue malah udah nunggu dua puluh menit, tauuu?"
"Kuku gue sampe somplak nungguin lo!"
"Mampuslah kita," kata Welly bete. "Lagi-lagi kita jadi
figuran." "Tenang," kata Amir dengan muka sabar. "Tunggu gilir?
an kita." Beringsut-ingsut, aku mendekati sosok bertopi pet dan
berjaket kebesaran itu. "Thanks udah datang," gumamku sepelan mungkin
su?paya tidak kedengaran Amir, Welly, ataupun cewekcewek yang sedang histeris.
"No problem," ucap Aya kalem. "Putri yang ngirim gue.
Katanya, lebih bagus gue daripada dia."
Putri memang bijak. Sosoknya yang menonjol sudah
pasti menjadi pusat perhatian semua orang. Sementara
Aya selalu berhasil tampil low profile. Berkat sosoknya
yang tomboi dan tak terlihat mirip cewek, tak ada satu
cewek pun yang memprotes kedatangannya.
Dengan susah payah Daniel berhasil meloloskan diri
dari kerumunan cewek-cewek. Tindakan pertamanya
adalah langsung merangkul kedua sobatnya.
170 Isi-Omen4.indd 170 "Mir, Wel, plis!" Aku mendengarnya berbisik. "Cepet
bantu gue alihkan perhatian mereka!"
"Memangnya gue pembokat lo..." Ucapan Welly ter?
putus saat menyaksikan Amir sudah menghambur pada
cewek-cewek. "Siapa tadi yang mesen minuman? Sini gue bayarin!"
Aku tidak tahu apa hubungan antara cewek cantik dan
traktiran, tapi sepertinya cewek cantik selalu suka di?trak?
tir, dan sebaliknya, traktiran juga selalu menimpa cewek
cantik. Dalam sekejap, semua beralih mengerubuti
Amir?juga Welly, yang berjanji untuk mentraktir ke?esok?
an harinya?lalu meninggalkan kami.
"Akhirnya!" Daniel menggerak-gerakkan kerah kausnya
seolah-olah ingin mengibaskan keringat yang menempel.
Kuperhatikan dia juga hanya mengenakan kaus putih
bergambar tengkorak yang santai (meski celana jinsnya
berwarna abu-abu mengilap). Namun apa pun pakaian?
nya, Daniel selalu tampak ganteng, berkelas, dan ber?
kilau. Jadi, aku tidak boleh membandingkan diriku de?
ngannya. "Sori, Rim, lo jadi nunggu kelamaan. Gue telat
berapa lama? Belum setengah jam, kan?"
"Belum." Tepatnya, 27 menit. Dua puluh tujuh menit
terlama yang pernah kujalani. "Tadi banyak pekerjaan yang
harus diselesaikan? Maaf ya, aku nggak bantuin kamu."
"Ah, nggak apa-apa. Lumayan fun kok, meski..." Sesaat
pikir?an Daniel seperti melayang-layang di udara. "Ah,
nggak. Nggak apa-apa. Kayaknya gue sempet kacau tadi
karena kebanyakan ngadepin orang. Serius, Rim, lo harus
bersyukur gue yang kerja di sana tadi. Masa semuanya
me?rengek-rengek, memaksa-maksa, memalak-malak, dan
mengancam-ancam? Gue sampe puyeng gini."
171 Isi-Omen4.indd 171 Aduh, aku makin merasa bersalah karena sudah me?
mintanya menghadapi semua itu. "Maaf."
"Nggak apa-apa, lebih baik gue yang ngadepin mereka
dari?pada elo," seringai Daniel. "Oh ya, soal bocah ini..."
"Siapa yang lo bilang bocah?" gerutu Aya sambil mem?
betulkan topinya yang ditepuk Daniel.
"Tadi gue ketemu bocah ini di deket terminal bus,"
kata Daniel sambil menggeleng-geleng. "Masa katanya
dia tiap hari naik angkot biar ngirit? Kalo dia diculik,
gi?mana coba?" "Mana mungkin?" cibir Aya. "Gini-gini gue jago judo.
Perlu gue buktiin?" "Nggak usah, nggak usah," sahut Daniel buru-buru. "Gue
percaya banget kok. Eh, lo mau minum dulu, Ya? Kalo
mau, sini gue bayarin. Kalo nggak, ayo kita jalan..."
"Mau!" Yah, yang namanya Aya memang tidak pernah me?
nolak barang gratisan. Daniel memesan minuman untuk dirinya dan Aya,
lalu berkata, "Satuin bill-nya dengan cewek ini ya," sam?
bil menunjukku. Aku tahu, ini hanya minuman, dan beberapa minggu
lalu dia mentraktirku lebih dari sekadar minuman, tapi
tetap saja aku senang setengah mati. Aku norak ya?
"Waduh, ditraktir cowok keren ternyata mengundang
lirikan sinis dari cewek-cewek lain ya," gumam Aya sam?
bil menyeruput strawberry tea-nya.
"Begitulah." Bukannya aku tidak sadar sih. Sejak
kemarin-kemarin juga kebaikan Daniel padaku sudah me?
nimbulkan ketidaksenangan dari pihak-pihak tertentu.
Ha?nya saja mereka tidak berani mengungkapkannya
172 Isi-Omen4.indd 172 terang-terangan di depanku. Aku juga sudah terbiasa
dengan sikap sinis orang. Kebanyakan orang sering men?
cemooh, "Peramal? Yang bener aja! Tukang tipu, kali!"
Padahal aku tidak pernah mengklaim diriku peramal.
Yah, kita tidak bisa menghindar dari ucapan-ucapan
buruk dan bernada negatif, tapi kita bisa memutuskan
untuk tidak memikirkannya terlalu sering (yah, pasti jadi
pikiran sih, meskipun cuma sedikit). "Tapi mereka nggak
akan mengganggu kita kok."
"Ya jelas aja, semua takut dikutuk sama elo," seringai
Aya. "Mereka cuma bisa ngirim tatapan maut dari jarak
jauh. Makanya gue heran kenapa gue harus dikirim buat
ngelindungin elo. Kayak elo kagak bisa melindungi diri
sendiri aja." "Bukannya melindungi aku," tukasku, "tapi membantu?
ku melindungi orang-orang lain. Karena kemungkinan
besar pengancam kita kelayapan di sekitarku."
"Orang-orang lain seperti orang-orang ini? Mana ada
orang yang sanggup celakain cewek-cewek rese begini?
Yang ada juga mereka celakain orang!"
Aku mengatupkan bibir demi menahan tawa. Habis,
kemungkinan itu juga terlintas dalam pikiranku. "Yah,
yang kita lindungi bukan mereka, tapi anak-anak lain
yang lebih lemah dan tak berdaya."
"Ya deh, semuanya untuk kaum tertindas."
Tak tebersit sedikit pun dalam pikiran kami bahwa
kenyataannya jauh lebih mengerikan daripada yang kami
duga. "Ayo kita jalan!"
Aku kaget banget waktu Daniel menarik tanganku.
"Eh? Tapi..." 173 Isi-Omen4.indd 173 "Cepet, Rim, sebelum orang-orang sadar dan minta
tebengan juga!" Aku menarik Aya yang masih memekik pelan, "Minum?
an gue!" Tapi meski perbedaan tenaga kami cukup
jauh?begini-begini Aya memang kuat?dia tidak me?
nepis?ku lantaran takut ditinggalkan bersama gerombolan
cewek-cewek mengerikan. Kami berdua terbirit-birit meng?
ikuti langkah-langkah lebar Daniel yang kabur dengan
kecepatan maksimum, diiringi tatapan kaget dan mulut
ternganga. Tahu-tahu saja kami sudah berada di dalam
mobil CR-V Daniel. "Cepet pasang seatbelt!" seru Daniel sambil menyalakan
mesin mobil, lalu tancap gas sebelum kami semua sem?
pat memasang sabuk pengaman.
"Kenapa sih kita harus lari tunggang-langgang kayak
dikejer debt collector begitu?" protes Aya yang duduk di
jok belakang. "Nggak elegan banget deh!"
"Kayaknya mendingan dikejer-kejer debt collector
daripada harus semobil sama cewek-cewek serem gitu,"
sahut Daniel tanpa melepaskan pandangan dari jalanan
di depan kami. "Eh, Niel," Aya memajukan kepalanya di antara dua
jok depan, "kalo menurut lo mereka serem, kenapa lo
nggak tegesin itu sama mereka?"
Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Karena pria sejati nggak akan nyakitin cewek, baik
secara fisik maupun mental."
Aduh, manisnya ucapan Daniel ini!
Tapi alih-alih memuji, Aya malah mencela, "Halah,
dasar bodoh! Cowok-cowok kayak elo ini cuma bakalan
diperbudak cewek-cewek rese! Nantinya lo harus hati-hati
174 Isi-Omen4.indd 174 milih istri, Niel. Sial-sial dapet yang tukang tindas, lo
cuma bisa nangis seumur hidup!"
"Ah, gue rasa gue bakalan aman kok." Daniel ter?
senyum sementara matanya tetap lurus ke depan. "Rima
nggak akan jahat-jahat amat sama gue."
Demi segala alat penyiksa di seluruh dunia ini! Apakah
dia bersungguh-sungguh mengucapkan hal itu?
Sepertinya Aya juga shock mendengar ucapan Daniel,
karena lidahnya yang biasanya lincah kini membeku.
Rasa?nya suasana di mobil mendadak jadi terlalu he?
ning. Untuk memecahkan keheningan yang rada-rada tidak
wajar ini, aku berdeham. "Aku seneng kamu mikir gitu. Soalnya aku punya satu
permintaan." "Permintaan apa?"
"Nanti setelah tiba di sana, kita gabung lagi sama me?
reka ya!" "APA?!" Ucapan terakhir ini tidak hanya diteriakkan oleh
Daniel, melainkan juga oleh Aya yang langsung me?
nempel?kan muka tak senangnya padaku.
"Kenapa lo mau gabung sama mereka?" tanya Aya se?
tengah menggeram. "Apa lo sudah gila? Lo senang
disiksa?" "Iya, kita udah susah payah kabur begini!" sambung
Daniel. "Taman hiburan ini cukup gede kok. Kalo kita
pinter-pinter menghindar, kita bisa nggak ketemu mereka
semaleman ini!" "Tapi aku udah janji sama Nikki."
"Janji macam apa?" tanya Aya, suaranya mendadak
175 Isi-Omen4.indd 175 terdengar perhitungan?mirip businessman atau tukang
tipu. "Janji itu ada banyak macamnya. Janji yang me?
libatkan uang, janji yang punya sebab-akibat, janji yang
dibikin akibat emotional blackmail..."
Merasakan tatapan tajam Daniel dan Aya, aku ber?
usaha menyembunyikan raut wajahku di balik rambut.
"Bener ya?" tanya Aya. "Dia nyoba bikin elo ngerasa
ber???salah nolak dia, dengan nanyain pertanyaan itu di
depan semua orang di kantin!"
Aduh. "Ooh, yang kalian berdua ngobrol di kantin waktu
itu!" seru Daniel. Gawat! Apa tidak ada orang di dunia
ini yang tidak menyaksikan kejadian saat itu? "Tapi gue
nggak denger apa-apa kok. Suara kalian pelan banget.
Jadi kalo lo nolak juga nggak akan ada yang tau."
"Dasar cowok, otak lo emang bolot!" omel Aya. "Ka?
rena Rima bilang oke, makanya semuanya berjalan baikbaik aja. Coba kalo Rima nolak. Tau-tau dia udah nangis
di depan umum, kali!"
Sebenarnya aku tidak bisa membayangkan Nikki me?
nangis di depan umum, tapi aku tahu sebagian besar
kata-kata Aya memang benar. Kalau aku menolak, entah
apa yang akan dilakukan Nikki untuk membuatku me?
rasa menyesal. "Eh, Rim, janji yang kayak gitu nggak ada artinya,
tau?" tukas Aya. "Dia kan curang, jadi buat apa elo bikin
repot diri sendiri dengan ngabisin waktu bersama mereka
sepanjang malam?" "Karena aku bukan orang yang curang."
Jawabanku berhasil membungkam dua orang yang
sedari tadi berusaha membujukku melakukan hal yang
176 Isi-Omen4.indd 176 sebenarnya ingin sekali kulakukan itu. Aku juga tidak
suka menghabiskan semalaman ini bersama Nikki dan
teman-temannya. Namun, ada satu alasan lagi yang tidak
kalah pentingnya dengan alasan yang kusebutkan baru?
san. Aku tidak suka melarikan diri dari janjiku. Kalaupun
malam ini aku kabur, besok-besok aku akan ditagih lagi.
Jadi, daripada aku dikejar-kejar oleh Nikki selama ber?
hari-hari, lebih baik kupenuhi saja janji itu malam
ini?dan hanya malam ini. Habis perkara.
Kami akhirnya tiba di depan taman hiburan. Bagian
pelataran dipenuhi banyak mobil dan lebih banyak lagi
motor. Aku senang melihat beberapa petugas sekuriti se?ko?
lah menjaga bagian depan karnaval. Pastinya ini diatur
oleh Pak Rufus. Guru piket itu memang bisa diandal?kan.
Kami membeli tiket di loket depan, lalu memasuki
karnaval yang sudah ramai. Musik terdengar ingar-bingar
dan bercampur baur, mulai dari lagu anak-anak London
Bridge is Falling Down hingga Baby?s Got Back-nya Sir-Mixa-Lot. Gapura-gapura kecil yang tersebar di seluruh karna?
val menebarkan lampu-lampu berwarna-warni berkelapkelip di atas kami. Tenda-tenda dengan berbagai ukuran
berdiri membentuk kelompok, sementara para pemiliknya
berteriak-teriak di depan stan mempromosikan usaha
mereka, mengenakan pakaian dan kostum lucu yang tak
bakalan mereka gunakan dalam acara-acara lain. Di latar
belakang, terlihat wahana kincir raksasa, roller coaster,
dan komidi putar. Seluruh penghuni sekolah seakan ber?
ada di sini. Aku melihat penjaga sekolah muncul ber?
sama istrinya, Bu Tarmini si guru Ekonomi. Bu Tarmini
yang bertubuh mungil itu berjalan bareng adiknya sekali?
gus guru sosiologi Pak Tarmono, juga Erika dan Valeria
177 Isi-Omen4.indd 177 yang melintas bersama pacar mereka. Melihat kegembira?
an mereka, rasanya semua jerih-payahku terbayar lunas.
"Lumayan mirip karnaval beneran ya!" seringai Aya
dengan tampang menyesal. "Seharusnya gue ikut nyari
duit di sini. Gue udah kepikiran mau jualan sirop murah?
an, gitu. Untungnya pasti banyak, semua orang pasti
ke?hausan malam-malam begini."
Daniel menghampiri stan makanan dan kembali de?
ngan membawa harumanis. "Bukan karnaval namanya
tanpa cotton candy."
"Thank you," ucapku dan Aya dengan muka senang?
aku senang karena diperhatikan Daniel, Aya senang
karena mendapat barang gratisan lagi.
"Eh, itu mobil Welly dan Amir udah dateng!" seru
Daniel sambil menarikku. "Ayo kita kabur lagi!"
"Tapi..." Sebelum aku sempat memprotes, Aya sudah men?
dorong?ku. "Setidaknya kita senang-senang dulu sebentar
sebelum gabung dengan mereka."
Oke, mungkin tak ada salahnya kami bersenang-se?
nang dulu barang lima belas menit.
Ternyata acara karnaval itu benar-benar menyenangkan.
Awalnya kami menaiki komidi putar hanya untuk me?
nyembunyikan diri dari Amir, Welly, dan geng cewek
tersebut. Aya merasa cukup pede bahwa dia tidak bakal?
an dikenali oleh orang-orang, jadi tanpa sungkan lagi dia
pun menunggangi seekor kuda. Lalu, berhubung dia
tidak mau kelihatan seperti anak kecil yang menunggangi
kuda sendirian, dia menarikku untuk membonceng di
belakangnya. "Aya," tegurku takut sekaligus senang. Sudah berapa
178 Isi-Omen4.indd 178 lama aku tidak bersenang-senang bersama Aya seperti
ini? "Kuda ini kecil banget. Kalo nanti ambruk gara-gara
kita gencet bareng, gimana?"
"Ah, nggak mungkin," cetus Daniel yang jongkok di
dekat kami. Di antara kami bertiga, dialah yang paling
takut ketahuan lantaran keberadaannya yang mencolok.
Yah, dengan tubuh yang tinggi besar, rambut shaggy ke?coke?
lat?an, dan aura berkilauan, sepertinya dia memang sulit
menyembunyikan diri. "Rima kan ringan seperti peri."
"Oh ya?" seru Aya riang. "Sama dong kalo gitu. Gue
ringan seperti berlian."
"Apa di dalam pikiranmu cuma ada duit dan barangbarang berharga lainnya?" tanyaku sebal.
"Yo?i." Kenapa sih cewek ini nggak pernah malu mengakui
ke?matreannya? Sesaat sebelum wahana selesai berputar, kami menye?
linap ke luar dan pindah ke roller coaster.
"Niel, roller coaster-nya udah diperiksa baik-baik, kan?"
tanyaku seraya memandangi kereta yang sedang bergerak
dengan kecepatan tinggi dengan anak-anak yang menjeritjerit di dalamnya.
"Iya udah," sahut Daniel. "Kenapa, Rim?"
"Nggak, takut keretanya lepas aja."
"Seperti film Final Destination?"
Aku tersenyum. Terkadang Daniel seolah sanggup mem?
baca pikiranku. "Seperti itulah kira-kira."
"Tenang, gue udah mastiin beberapa kali kok. Malahan
gue udah nyuruh tukang-tukangnya jadi kelinci percoba?
an dan naik duluan."
"Oh, kalo gitu kita bisa tenang. Tukang-tukangnya
179 Isi-Omen4.indd 179 nggak mungkin kerja asal-asalan dan ngorbanin nyawa
sendiri." Kami masuk dalam antrean roller coaster dan berhasil
mendapatkan giliran dalam waktu singkat. Aku dan Aya
duduk bareng, sementara Daniel tepat di belakang kami.
Aneh sekali, hanya dengan mengetahui Daniel tak jauh
dari kami, aku jadi merasa aman dan tenteram. Kengeri?
an yang dirasakan waktu naik roller coaster pun terasa
me?nyenangkan (bukan berarti tuduhan Aya benar, bahwa
aku senang disiksa). Sayangnya, rasa aman dan tenteram itu hanya ber?lang?
sung sebentar. "Eh, gawat!" teriak Aya saat kami turun dari roller
coaster. "Itu si Welly!"
Oh, astaga. Benar kata Aya. Welly tampak mencari-cari
kami bersama Ida dan teman-teman ceweknya. Tubuhnya
yang tinggi kurus tampak mencolok di tengah keramaian,
bergerak dengan gesit ke sana kemari, sementara leher?
nya terjulur panjang, menopang wajah yang, uh-oh, ti?
dak kelihatan senang. "Kayaknya cewek-cewek itu marah sama dia," duga
Aya. Aku sudah siap menyerahkan diri saat Daniel berkata
seraya menarik tanganku, "Kita ke kincir raksasa aja. Me?
reka nggak akan sanggup mencari kita di situ."
Tanpa bisa membantah, aku mengikuti Daniel ke kin?
cir raksasa. Bukannya aku punya pilihan sih. Di belakang?
ku, Aya mendesak-desakku supaya aku bergegas maju.
Kami memasuki salah satu kabin kincir, lalu kabin itu
mulai naik. "Sekali lagi, selamat!" seru Daniel puas. "Cihuiii!"
180 Isi-Omen4.indd 180 "Ini yang terakhir ya!" ucapku. "Setelah ini kita harus
me?nyerahkan diri." "Menyerahkan diri?" Aya mengernyit. "Kayak buronan
aja." "Yah, itu maksudku. Kita kan bukan buronan, jadi nggak
perlu melarikan diri. Lagian, cepat atau lambat, aku me?
mang harus memenuhi janjiku sama Nikki, kan?"
"Memang sih. Ya udah, kita akan kembali setelah
itu..." Mendadak terdengar jeritan yang sangat keras, sampaisampai mengatasi suara ingar-bingar karnaval.
"Apa itu?" Kami bertiga langsung berdiri dan me?
mandangi seluruh karnaval dari ketinggian di tengahtengah kincir raksasa. "Siapa yang jejeritan gitu?"
Bagaikan ditarik magnet, kami melihat orang-orang
ber?larian, semuanya menuju ke satu titik ke bagian de?
pan karnaval. Wah, itu kan toilet umum!
Aku tersentak saat Daniel membuka pintu kabin.
"Daniel!" Tapi Daniel sudah tidak mendengarkanku lagi. Dia ber?
jongkok di depan pintu yang terbuka, lalu turun dan
ber?gelantungan pada lantai kabin. Kami berdua langsung
meloncat ke depan pintu kabin, dan aku merasa luar
biasa culun karena hanya bisa memandangi kepergian
Daniel sambil memegangi harumanisku.
"Hei, lo udah gila ya?" teriak Aya yang tak kalah
shock?nya denganku, juga masih memegangi bekas haru?
manis?nya yang tinggal tongkat.
Daniel sama sekali tidak menyahuti kami. Setelah
berayun-ayun sejenak, dia menjatuhkan diri di atas atap
181 Isi-Omen4.indd 181 kabin di bawah kami. Lalu dia menuruni kabin kedua,
dan menjatuhkan diri pada atap kabin ketiga yang letak?
nya sudah tak jauh dari permukaan tanah.
Kami hanya bisa melongo melihatnya berlari menjauh
dari kincir raksasa, ke arah toilet umum tempat orangorang mulai berkerumun.
Aduh. Sebenarnya, apa yang terjadi?
182 Isi-Omen4.indd 182 Daniel RASANYA belum pernah aku berlari seperti dikejar setan
begini. Sesaat tadi aku lupa diri. Aku mengira ini hanyalah
karyawisata biasa, tempat kami bisa bersenang-senang,
tempat aku bisa bermain bersama Rima. Aku lupa bahwa
sehari sebelumnya kami menerima surat ancaman dan
potongan-potongan mayat binatang yang menandakan
kekejian sifat pelakunya. Aku lupa bahwa kami harus
waspada dan mengamati keadaan. Aku lupa bahwa sese?
Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang, atau sekelompok orang, berniat mengacaukan
karnaval ini. Dan sekarang seseorang harus menerima akibatnya.
Aku menerobos kerumunan anak-anak yang semuanya
terpaku bagaikan dihipnotis, menuju toilet umum yang
pintunya terbuka lebar. Di barisan depan, kulihat Amir
berdiri dengan tubuh gemetar, sesuatu yang tak pernah
kulihat terjadi pada dirinya. Amir, meski tampak welas asih
dan santai, adalah salah satu cowok paling pem?berani yang
pernah kutemui. Jadi, apa pun yang sudah mem?buatnya
gemetaran, pastilah bukan sesuatu yang kecil.
183 Isi-Omen4.indd 183 Omong-omong, inilah sebabnya aku berlari seperti
dikejar setan. Karena dari kejauhan, aku mengenali sosok
Amir yang besar di dekat tempat kejadian. Kukira sesuatu
sudah terjadi pada dirinya. Aku tahu ini kedengaran
egois, tapi aku lega dia sama sekali tidak terluka. Tidak
peduli matanya yang nyalang dan bibirnya yang pucat
menanda?kan dia sudah melihat seseorang yang terluka.
"Kenapa, Mir?" tanyaku sambil mengguncang tubuh?
nya. "Apa yang terjadi?"
Dia hanya menunjuk ke arah toilet yang pintunya
terbuka dan mengucapkan sepatah kata, "Nina..."
Aku tidak perlu mendengarkan penjelasannya lagi. Tan?
pa banyak cincong, aku langsung menerobos ke dalam
toilet umum itu. Berhubung yang disebut adalah Nina,
aku langsung menuju toilet cewek.
"Hei." Sial, ternyata toilet cewek dijaga oleh dua orang me?
nyebalkan yang tak lain adalah Viktor, pacar Erika, dan
Leslie, pacar Val. "Ini toilet cewek," kata Viktor, mengucapkan sesuatu
yang sudah jelas banget. "Lalu?" ketusku. "Pantas nggak pantas, gue harus ma?
suk." Viktor masih tampak garang, tapi Leslie menarik sohib?
nya itu minggir. "Biar dia masuk, Vik. Gimanapun juga,
ini urusan sekolah mereka."
Tanpa memalingkan tatapannya dariku, Vik me?
nyingkir. Dasar cowok sok keren. Dan si Leslie itu juga
sok baik banget. Aku kan wakil ketua OSIS sekolah ini,
sementara mereka hanya orang luar. Mereka tidak berhak
sok jadi satpam dalam kondisi seperti ini.
184 Isi-Omen4.indd 184 Aku memasuki toilet cewek dan melihat kerumunan
lain. Erika dan Valeria berdiri bersama Pak Rufus lengkap
dengan pasangan kribonya?maksudku, Bu Rita, kepala
sekolah kami yang tinggi, kurus, dan jutek luar biasa
(pokoknya partner sejati Pak Rufus).
"Ada apa sih?" tanyaku ikut bergabung.
Mereka tidak menyahut, melainkan memberi jalan
bagiku untuk mendekat. Saat itulah aku menyadari akan
melihat pemandangan yang sangat buruk, yang bahkan
tak bisa dilukiskan dengan kata-kata?bahkan oleh Bu
Rita yang biasanya pandai bicara.
Aku melihat Nina, separuh duduk separuh berbaring
di toilet jongkok?yang dalam kemalangannya masih
punya sedikit keberuntungan lantaran penampilannya
yang cukup sopan?dan bersandar di dinding kayu
toilet, kedua tangannya bergantung di kedua sisinya.
Mata?nya terpejam, sementara darah mengalir di antara
kedua matanya. Namun yang mengerikan bukanlah
semua itu, melainkan dandanan baru yang ditambah?
kan padanya. Pemulas mata dan pipi yang terlalu
tebal, lipstik yang keluar dari jalur bibir, hidung yang
dijejali tomat. Dia masih mengenakan gaun pendek
warna pink dan sepatu bot berwarna senada, tetapi
pakai?an dan sepatu itu disayat-sayat hingga terlihat
compang-camping dan berlumuran darah dari luka aki?
bat sayatan tersebut. Jantungku serasa berhenti berdetak saat melihat pe?
nampilan Nina yang mirip mayat badut yang salah kos?
tum. "Dia..." "Masih hidup," sahut Valeria datar. "Untunglah."
"Telepon ambulans..."
185 Isi-Omen4.indd 185 "Udah," giliran Erika yang menyahut. "Juga polisi. Si
Ajun bakalan tiba dalam waktu sepuluh menit."
Aku diam sejenak. "Siapa yang ada di sini pada waktu
kejadian?" "Itu yang perlu kita cari tahu sekarang," ucap Bu Rita
sambil memandangku. "Pak Rufus, tolong keluar bersama
Daniel." Lho? "Kenapa saya, Bu?"
"Karena kalian berdua jauh lebih friendly dengan
manusia-manusia di luar sana dibanding kami semua
yang ada di sini." Bu Rita terkadang hebat juga. "Mana
Rima?" "Rima masih ada di kincir raksasa, Bu," sahutku.
"Kok lo tahu?" celetuk Erika, tapi aku tidak meng?
indah???kannya. "Hmm, baiklah kalo gitu," sahut Bu Rita. "Nanti kalau
kalian ketemu Rima, tolong suruh hadap saya."
"Baik, Bu." Aku keluar bersama Pak Rufus. Kupelototi Viktor dan
Leslie sekali lagi saat aku melewati mereka, tapi seperti?
nya mereka tidak mengindahkanku.
Sialan, aku dicuekin. "Daniel, apa yang sebenarnya terjadi?" gumam Pak
Rufus saat berjalan bersamaku.
"Saya juga nggak tau, Pak."
Itu memang bukan jawaban yang lengkap, tapi se?
sungguhnya itulah yang kurasakan saat ini. Aku benarbenar bingung. Kenapa dari sekian banyak siswa yang
ada, Nina-lah yang diincar?
Kami kembali menemui kerumunan. Orang pertama
yang kuhampiri, tentu saja, adalah Amir.
186 Isi-Omen4.indd 186 "Mir," ucapku sambil mengguncang temanku yang
masih tampak shock banget. "Tadi apa sih yang ter?
jadi?" "Nina..." Sesaat dia hanya bisa menyebut nama Nina.
Seperti bisa melihat dimensi lain, aku menyaksikan Amir
ber?gulat dengan dirinya sendiri, lalu akhirnya menguat?
kan diri. "Nina masuk ke toilet bersama Cecil, Kiko, dan
Nikki, sementara gue pergi ke toilet cowok. Gue keluar
duluan, lalu gue nungguin mereka. Lalu Nikki dan Kiko
keluar bareng dan nungguin bareng gue. Lalu, lalu Cecil
keluar sambil menjerit..."
Jadi jeritan Cecil-lah yang tadi kami dengar di atas
kereta kincir raksasa. "Jadi gue langsung masuk, dan gue lihat, gue lihat..."
Amir memejamkan mata. "Erika nyuruh gue keluar, jadi
gue keluar. Gila, banyak sekali lukanya, Niel, kayak di
film-film thriller gitu." Aku mengernyit saat Amir men?
cengkeram kedua lenganku. "Apa Nina udah... udah me?
ninggal, Niel?" "Belum." Aku berusaha menghibur Amir. "Belum, dan
sebentar lagi ambulans bakalan dateng, jadi kemungkinan
besar dia akan tertolong. Tapi coba lo inget-inget, Mir.
Ada nggak orang-orang yang mencurigakan saat itu?"
Sementara menunggu Amir berpikir, aku melihat ke?
datangan Rima. Tidak ada Aya maupun harumanis yang
sempat kubelikan tadi. Rima tampak tegang, namun
sesuatu dalam dirinya membuatnya terlihat berwibawa
dan bisa diandalkan. "Tunggu bentar, Mir. Gue ada perlu bentar. Tapi kalo
lo inget sesuatu, tolong cari gue." Aku cepat-cepat meng?
hadang Rima. "Rim"
187 Isi-Omen4.indd 187 "Ada apa?" tanya Rima dari balik rambutnya yang me?
nutupi sebagian besar wajahnya. "Apa yang terjadi, Niel?"
Aku ingin sekali mengatakan, "Nggak apa-apa, nggak
ada yang penting kok," hanya untuk menghapus segala
ketakutan dan kepanikan di wajah itu, tetapi aku tahu
lebih baik aku memberitahukan kejadian yang sebenar?
nya. "Nina... kecelakaan."
Cewek itu tampak shock saat mendengar nama yang
kusebutkkan. Dia berusaha memasuki toilet, tapi aku me?
nahan lengannya. "Rim, sebaiknya elo nggak lihat. Kondisinya... terlalu
mengenaskan." "Aku tau," gumam Rima. "Tapi aku harus melihatnya,
Niel. Please." Kata terakhir yang diucapkannya ternyata sanggup me?
luluhkan hatiku. Jadi, meskipun dengan berat hati, aku
melepaskan tanganku dari lengannya dan menggantinya
dengan menggandeng tangannya, lalu menemaninya ma?
suk. Seperti yang terjadi padaku tadi, Viktor dan Leslie
masih menjaga pintu toilet. Sementara itu, Erika, Val,
dan Bu Rita yang masih berada di dalam toilet memberi
jalan saat Rima memasuki TKP. Cewek itu berdiri di
depan toilet, memandangi kondisi Nina tanpa berkatakata?mengingatkanku bahwa cewek ini bukan cewek
sembarangan?lalu membalikkan tubuhnya dan meng?
hadapku. "Udah ada info, apa yang terjadi?" tanyanya dengan
suara tenang yang agak membuatku prihatin. Padahal
dia tidak perlu memasang sikap kuat terus-menerus se?
perti ini. Seharusnya dia bisa mengandalkanku.
188 Isi-Omen4.indd 188 Aku menceritakan apa yang diberitahukan Amir pada?
ku, sementara Rima mendengarkan tanpa menyela dan
yang lain-lain ikut menguping tanpa malu-malu.
"Saat itu, apakah ada orang lain di dalam toilet selain
mereka?" tanya Rima saat aku menyelesaikan ceritaku.
"Nggak tau," gelengku. "Amir belum cerita sejauh itu.
Kita harus bicara lagi sama dia, juga sama Cecil, Nikki,
dan Kiko." "Aku ikut," ucap Rima sambil berjalan bersamaku.
Amir masih berada di tempat terakhir tadi aku me?
ninggalkannya. Meski sudah tidak sepucat tadi, dia
masih tampak shock. Untungnya, kali ini dia tidak sen?
diri?an. Ada Welly di sampingnya, tampak muram?dan
tak semarah tadi?sementara teman-teman cewek lain
juga sudah menemani Nikki, Cecil, dan Kiko yang se?
dang menangis. Gawatnya, sepertinya cerita itu sudah
men?jalar ke mana-mana, karena berbeda dengan sebelum?
nya, suasana mulai terdengar gaduh.
"Niel..." Sebelum aku sempat melakukan sesuatu, Amir
sudah mendatangiku duluan. "Gue inget tadi apa yang
belum gue ceritain. Tadi, waktu kami lagi nungguin
antre?an..." "Antrean?" "Iya, toilet-toilet pada rame semua, jadi kami harus
ngantre." Jadi waktu itu bukan hanya ada Nikki, Cecil,
dan Ida yang berada di dalam toilet bersama Nina. "Nah,
gue lihat ada orang yang mencurigakan yang berkeliaran
di dekat toilet. Dia pake pakaian serbahitam?topi hitam,
jaket hitam, dan celana hitam. Nggak terlihat jelas dia
itu cowok atau cewek, tapi dari tinggi badannya sih se?
perti?nya cewek?atau cowok-cowok cebol gitu."
189 Isi-Omen4.indd 189 Topi hitam, jaket hitam, celana hitam. Penampilannya
pasti mirip Aya. Tapi Aya termasuk cukup tinggi, apalagi
pakaian Aya lebih didominasi warna abu-abu.
"Kalo cewek-cewek lain di dalam toilet? Kata lo toilet?
nya lagi rame." "Waduh, gue nggak tau, Niel. Kan gue masuk waktu
se?mua cewek pada berlarian keluar. Coba kita tanya
Cecil. Cil!" Cecil menoleh saat dipanggil, demikian pula temanteman?nya. Saat dia mendekat, teman-temannya ikut
mendekat. Saat itulah aku menyadari sesuatu. Di antara
cewek-cewek yang tampaknya pucat dan sembap ini,
hanya ada satu yang tampangnya tenang-tenang saja.
Siapa lagi kalau bukan Nikki si cewek menyeramkan?
Aku sama sekali tidak mengerti apa yang diinginkan
Nikki. Tadi siang, mendadak saja dia nongol waktu aku
sedang mengecek dan mendata setiap stan serta me?me?
riksa wahana permainan. Katanya sih ingin membantuku,
tapi dia hanya berkeliaran di sekelilingku tanpa mem?
bantu sedikit pun. Yah, aku sih tidak mengharapkan
bantu?annya, jadi aku takkan mempermasalahkan hal itu.
Yang sangat menggangguku adalah, sesekali dia meng?
gandengku atau merangkulku saat aku sedang lengah.
Omaygaaaat! Jangan-jangan ini berarti aku sudah jadi
korban pelecehan seksual.
Serius deh, aku jadi ngeri banget pada Nikki. Seandai?
nya dia hanya iseng, itu masih mending. Tapi dari katakata?nya, seolah-olah dia mengira kami berpacaran.
Jangan-jangan cewek itu menderita delusional.
Itulah sebabnya sejak tadi aku mengajak Rima (dan
Aya) kabur melulu. Aku tahu, perbuatanku rada pe?
190 Isi-Omen4.indd 190 ngecut, tapi kan tidak mungkin mengumumkan pada
orang-orang, "Gue takut digrepe-grepe sama cewek ini!"
Bisa-bisa aku dibilang kege-eran atau entah apa lagi. Mau
tak mau aku bersikap hiperaktif dan mengajak Rima larilari dan ngumpet ke sana kemari laksana di film-film
India. Siapa sangka, ternyata ada kejadian seperti ini, ke?
jadian yang berhubungan dengan Nikki. Seandainya aku
tidak menghindari Nikki, apakah mungkin aku bisa men?
cegah kejadian ini? Tunggu dulu. Kok sepertinya aku punya perasaan Nikki
Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
punya hubungan erat dengan kasus ini? Entah dialah
pe?lakunya, atau dia punya hubungan erat dengan pelaku?
nya. Aku mengamati cewek itu. Ya, cewek itu memang
sangat mencurigakan. Alih-alih menangis atau ketakutan
seperti teman-temannya, cewek itu malah merapikan
baju, menepiskan debu yang menempel, memperbaiki
dandanannya... Dandanan. Pelaku kejadian ini pasti punya peralatan
rias di dalam tasnya. "Cil, tadi waktu kalian di dalam toilet, di dalam rame
nggak?" tanya Amir. "Rame kok," isak Cecil. "Di dalam kami desak-desak?an,
dan kami harus ngantre waktu pipis. Pokoknya jijik
banget deh." Kok mengantre saja jijik ya? Cewek ini memang aneh.
"Ada yang lo kenal di dalam tadi?"
"Ah, kebanyakan nggak cantik," cibir Cecil di antara
air matanya, "makanya gue nggak terlalu merhatiin. Gue
cuma mau cepet-cepet keluar. Gue ngantre di belakang
191 Isi-Omen4.indd 191 Nina, dan waktu dia nggak keluar-keluar padahal Nikki
dan Kiko udah selesai, gue iseng-iseng dobrak pintunya.
Kayaknya selotnya nggak masuk semua atau gimana,
pokoknya gampang banget kebuka dan tau-tau aja gue
lihat dia lagi..." Tidak kuasa bercerita lagi, Cecil pun tersedu-sedan
sambil membenamkan wajah ke bahu Ida yang langsung
mengernyit seolah-olah takut kena ingus Cecil.
Cerita yang aneh. Ini berarti tidak ada yang bisa
masuk ke bilik toilet Nina tanpa diketahui para pe?
ngunjung toilet lain. Jadi bagaimana caranya Nina bisa
celaka di dalam sana? Suara sirene meraung-raung di luar taman hiburan.
Tak lama kemudian, terdengar seruan-seruan diikuti ke?
munculan pasukan paramedis dan polisi. Tidak sulit bagi?
ku untuk menduga salah satu polisi akan mendekatiku.
Polisi tinggi jangkung, kekar, dan bertampang ganteng
ini?lebih ganteng dariku sepertinya, sialan?bernama
Lukas. Tepatnya, Ajun Inspektur Lukas. Meski masih
muda dan bukan polisi berpangkat tinggi, dia sudah me?
nyelesaikan banyak kasus high profile sehingga sering
diberi wewenang untuk mengepalai penyidikan. Mungkin
itu sebabnya cara jalannya terlihat penuh wibawa dan
percaya diri, mirip model yang menguasai catwalk...
Sial, aku iri banget sama polisi satu ini!
"Halo, Daniel." Dan dia ingat namaku. Horeee! "Mana
si pembuat onar?" Huh, sial. Yang dia cari ternyata Erika. "Erika ada di
dalam TKP, tapi saya rasa yang Bapak cari itu saya."
"Oh ya?" Sebelah alis polisi itu terangkat, wajahnya
tampak geli sekaligus tertarik. "Kenapa bisa begitu?"
192 Isi-Omen4.indd 192 "Karena saya yang ditugasin Bu Rita untuk mencari
infor?masi." "Oh, begitu." Polisi itu mengamatiku sebentar. Mata?
nya bergeser ke makhluk di sampingku. "Hai, Rima Hu?
jan." "Halo, Inspektur Lukas."
"Pangkat saya masih ajun kok, Rim."
"Iya, tapi sebentar lagi bakalan jadi inspektur kok."
Ajun Inspektur Lukas terlihat agak kaget mendengar
ucapan Rima, lalu tertawa. "Yah, mudah-mudahan. Doa?
kan saja ya, Rim. Nah," tatapannya beralih padaku, "saya
harus melihat kondisi korban dan TKP dulu. Tapi saya
janji akan segera kembali ke sini. Tunggu sebentar ya."
Aku menatap kepergian polisi itu dengan jengkel. Pasti
dia ingin bicara dengan Erika dulu.
"Kok kamu sewot?"
Aku menoleh pada Rima. "Apanya?"
"Kelihatannya kamu marah sama Pak Ajun Inspektur
Lukas." "Nggak kok," elakku. "Biasa aja."
Rima mengamatiku. "Kamu suka sama dia, Niel?"
Aku terloncat kaget. "Suka sama siapa?"
"Pak Ajun Inspektur Lukas."
"Ya nggak lah, gue lebih suka sama elo kok!"
"Yah, maksudku bukan rasa suka seperti itu," ucap
Rima geli. "Maksudku, kamu kepingin seperti dia."
Oke, kata-kata ini mengena banget. "Mungkin."
"Masa kamu ingin jadi polisi, Niel?" Lagi-lagi Rima
meng?amati wajahku penuh rasa ingin tahu.
"Ah, itu urusan yang masih kelewat jauh," ucapku sok
cuek, padahal ucapan itu membuatku berdebar-debar.
193 Isi-Omen4.indd 193 "Lagian sayang banget bakat musik gue tersia-siakan kalo
gue jadi polisi." "Nggak ada salahnya kok," kata Rima. "Mungkin kamu
polisi garis miring pianis. Sama seperti Sherlock Holmes
yang detektif garis miring pemain biola."
Aku menyeringai. "Yang Sherlock Holmes kan elo,
Rim. You?re my Lady Sherlock."
Ucapanku membuat Rima tersenyum, dan dia cepatcepat menyembunyikan senyum itu di balik rambutnya.
Aku tidak mengerti kenapa dia harus menutupi senyum
cantik itu. Kalau dia sering memamerkannya, semua
cewek di sekolah bakalan minder.
Sebuah brankar lewat dengan Nina di atasnya; para?
medis tergopoh-gopoh mendorong brankar itu menuju
ke ambulans. Kulihat beberapa luka di tubuh Nina sudah
diperban dan tangannya dipasangi infus. Terdengar ta?
ngis?an dari teman-teman gengnya. Sekali lagi, kuper?hati?
kan hanya Nikki yang tidak menunjukkan tanda-tanda
ke?sedihan. "Gimana, Pak?" tanyaku menyambut Ajun Inspektur
Lukas. "Nina bisa selamat?"
Tidak hanya aku, melainkan Pak Rufus juga ikut meng?
hampiri. Yang tadinya berkerumun menjagai TKP juga
ikut keluar?Erika, Val, Viktor, Leslie, dan Bu Rita. Men?
dadak suasana terasa sumpek dan menyebalkan.
"Ya," angguk Ajun Inspektur Lukas, membuatku lega.
Aku tahu Rima juga merasakan hal yang sama, soalnya
tangannya yang tadinya mencengkeram lengan bajuku
jadi melonggar. "Luka-lukanya, meskipun mengeluarkan
banyak darah, tidak terlalu dalam. Pukulan di kepalanya
mungkin membuatnya gegar otak berat. Itulah yang
194 Isi-Omen4.indd 194 meng?khawatirkan. Takutnya dia mengalami gangguan
ingatan yang membuatnya tidak akan bisa mengiden?ti?fi?
kasi pelaku. Jadi kami tetap akan menyelidiki kasus ini
secara tuntas. Sekarang tim penyidik TKP sedang men?
dokumentasi, sementara saya bertugas menggali info dari
anak-anak yang jadi saksi mata, yang rupanya banyak
sekali, seperti reunian saja."
Pandangannya menelusuri Viktor yang tampak serius,
Erika yang senantiasa bete, Val yang memandang dengan
penuh observasi, Leslie yang santai namun waspada, Bu
Rita yang berambut kribo, Pak Rufus yang lebih kribo
lagi, lalu Rima yang semakin menunduk seolah-olah ber?
usaha menghindari tatapan Ajun Inspektur Lukas. Ibu
jari dan telunjuk polisi itu membentuk pistol, dan diarah?
kannya kepadaku seraya berdecak. "Daniel giliran per?
tama. Ayo, Niel, apa yang kamu tau soal korban?"
Wah, dia tidak memilih Erika, Pak Rufus, atau Bu Rita,
melainkan aku. Aku memang hebat.
"Namanya Nina, dan ehmmm dia anak XI IPA 3."
Kalau tidak salah. "Tadi kami datang rame-rame..."
"Lho, dia teman sepermainanmu?" sela Ajun Inspektur
Lukas kaget. "Saya kira kamu main sama Erika..."
"Dia udah pindah geng, Pak," sahut Erika datar.
Sialan! Erika bikin reputasiku hancur saja di depan
polisi ini. Masa aku mau disangka segeng dengan cewekcewek populer dan dangkal? "Bukan gitu kok, Pak." Aku
memelototi Erika, yang balas mencibir dengan muka me?
nyebalkan. "Tadinya saya cuma mau pergi sama Rima,
tapi ada cewek yang maksa Rima ngajakin dia. Namanya
Nikki." "Dan Nikki ini teman Nina. Lalu teman-teman yang
195 Isi-Omen4.indd 195 lain?Nisa, Nila, Nimo..." Ajun Inspektur Lukas nyengir
men?dengar leluconnya sendiri. Cengiran itu hilang saat
tidak ada yang ikut nyengir bersamanya. "Ya deh, lelu?
con saya garing. Ayo, lanjutkan ceritanya. Tadi sampai
di bagian kalian datang ramai-ramai."
"Iya. Saya, Rima, dan Aya satu mobil. Amir dan Welly
bawa dua mobil lain. Karena males gabung, saya, Rima,
dan Aya kabur dari mereka. Nah, yang jalan bareng
Nina itu Amir, bersama temen mereka yang lain Cecil,
Kiko, dan Nikki. Waktu kami lagi di atas kincir raksasa,
kami dengar jeritan Cecil. Dari sana kami bisa melihat
orang-orang berkerumun, jadi saya langsung menuju
TKP..." "Lo turun dari kincir raksasa begitu aja?" tanya Viktor,
pacar Erika, dengan tampang tak percaya. Hehe. Sebenar?
nya sih, aku memang berniat pamer. "No kidding!"
"Hebat juga kamu," Ajun Inspektur Lukas manggutmanggut. "Heran, selama ini peranmu kok biasa-biasa
saja." Sialan. "Kemudian?"
"Saya masuk ke toilet, ketemu semua orang ini kecuali
Rima yang datang belakangan. Sementara korban alias
Nina, sedang duduk di dalam toilet dalam kondisi..."
"Kayak badut!" sela Erika sengit, seolah-olah dia sudah
tidak tahan memendam perasaannya lagi. "Kayak badut
jelek, seram, dan nggak lucu yang keluar dari neraka."
"Tenang, tenang," ucap Ajun Inspektur Lukas, dan
Erika langsung bungkam seraya membuang muka. "Iya,
saya sudah lihat kondisinya. Memang pelakunya berniat
mendandani Nina supaya mirip badut. Mungkin biar
sesuai tema karnaval?"
"Yang jelas, semua ini cukup untuk jadi jejak," kataku.
196 Isi-Omen4.indd 196 "Pertama, si pelaku pasti punya satu set alat make-up di
tasnya." "Observasi yang bagus." Jelas dong, kan Daniel
Yusman gitu lho! "Lalu apa lagi?"
"Pakaian dan sepatu korban disayat-sayat, mungkin
meng?gunakan silet atau pisau kecil, jadi pelaku juga
pasti membawa senjata itu. Dan kepala korban dipukuli
dengan sesuatu yang berat, tapi saya nggak tau kira-kira
apa." "Hanya sebegitu saja kamu sudah membantu banyak.
Ada lagi? Saksi mata?"
"Saksi mata ternyata banyak dan nggak bisa diidenti?
fikasi semuanya, kecuali kalo Bapak minta mereka maju
secara sukarela. Yang jelas pada saat kejadian, toilet lagi
ramai-ramainya." Ajun Inspektur Lukas tepekur sejenak. "Aneh. Kalau
be?gitu ramai, kenapa tidak ada yang melihat kejadian?
nya?" Itu juga pertanyaan yang sedari tadi menghantuiku.
"Mungkin bisa," ucap Val, tampak tertekan harus bi?
cara di depan orang banyak. "Bilik yang ditempati Nina
tadi merapat ke dinding."
"Oh, ya benar!" seru Erika seraya menoleh pada Val.
"Ini kan toilet darurat. Bangunannya terbuat dari kayu.
Gampang aja bagi pelakunya untuk mencopot beberapa
papan sebagai akses masuk dan keluar. Mana biliknya
Nina itu bersebelahan dengan bagian belakang toilet. Itu
kan udah semak-semak gitu. Nggak akan ada yang per?
hati?in deh." "Tapi kalo gitu, dari mana dia tau Nina ada di da?lam?"
Viktor angkat bicara. "Apa ini korban acak?"
197 Isi-Omen4.indd 197 Itu pertanyaan lain yang juga bagus. Oke, kuakui
Viktor memang cerdas. Bagaimanapun, dia pernah kuliah
di Harvard. Kalau mau adu otak, kemungkinan besar aku
kalah total. Tetapi ini kan kasusku, bukan kasusnya.
Seharusnya dia minggir dan nonton saja dari bangku
figuran. Setidaknya aku masih punya banyak informasi yang
aku tidak tahu harus kusampaikan pada orang-orang lain
atau tidak. Misalnya surat-surat ancaman itu, baik yang
diberikan pada Putri maupun yang kami temukan di
ruang OSIS. Atau perilaku Nikki yang aneh. Atau...
"Niel, itu orangnya, Niel!" Aku menoleh pada Amir
yang berteriak-teriak sambil menuding ke tengah ke?
rumun?an. "Itu orang yang tadi gue bilang!"
"Orang apa?" Aku mendengar Ajun Inspektur Lukas bertanya, tapi
aku tidak sempat menjawabnya lagi. Tanpa menyahut
aku segera berlari ke arah yang ditunjuk Amir. Oke,
bukan hanya aku, melainkan sohib-sohibku Amir dan
Welly ikut menerjang kerumunan. Terdengar teriakan
kesakitan dan kemarahan mengikuti gerakan kami, jelasjelas banyak orang terkena sikut, injak, dan mungkin
juga kena tonjok. Lalu aku melihat sosok tersebut.
Seperti deskripsi yang diberikan Amir, sosok itu
memang tidak jelas cowok atau cewek. Tubuhnya cukup
kecil bahkan untuk ukuran cewek, namun cukup pro?
porsional?tidak gemuk ataupun kurus?dan kegesitannya
mengagumkan. Dengan pakaian serbahitam yang me?
nutupi seluruh tubuhnya, dia menyelinap ke sana kemari
dengan kecepatan tinggi. Pada saat pertama kali aku
198 Isi-Omen4.indd 198 melihatnya, tanganku nyaris bisa menjangkau jaketnya.
Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perlahan namun pasti, jarak di antara kami melebar. Aku
hanya bisa mengejar dengan sia-sia sementara sosok di
depanku lenyap dari pandangan.
Sialan. Ini berarti tertuduhnya bukan Nikki.
Lalu, siapa orangnya? 199 Isi-Omen4.indd 199 Rima "LALU sekarang bagaimana, Ketua OSIS?"
Aku memandangi khalayak ramai, semuanya membalas
tatapanku dengan penuh harap. Aduh, gawat. Sekarang?
lah waktunya aku diharapkan untuk membuat keputusan
yang cepat sekaligus tepat?dan aku tidak merasa punya
kebijaksanaan yang cukup untuk melakukannya.
Kupandangi sirene ambulans yang makin menjauh.
Nina, salah satu di antara kami, mengalami insiden yang
begitu menakutkan. Seharusnya aku membubarkan karna?
val dan menyuruh semua orang pulang.
Akan tetapi, mana mungkin aku tega melakukan itu?
Setiap murid sudah menunggu-nunggu hari ini selama
sebulan. Mereka juga sudah bekerja keras untuk mem?
buat stan milik kelas mereka. Lalu, setelah kububarkan
begini, aku tidak yakin sekolah akan memberi kami bujet
untuk karyawisata lagi. Akhirnya aku berpaling pada Ajun Inspektur Lukas.
"Bagaimana pendapat Bapak?"
"Karnaval ini masih bisa dilanjutkan, bahkan saya
anjur?kan untuk tetap dijalankan. Tapi saya butuh kerja
200 Isi-Omen4.indd 200 sama dari kalian juga. Pertama, toilet ini dinyatakan
men?jadi TKP dan tidak ada yang boleh mendekatinya.
Kedua, saya mau murid-murid yang terlibat menemui
saya untuk menjalani pemeriksaan."
Aku mengangguk. "Bisa saya laksanakan. Ada tenda
kecil di dekat sini yang berfungsi sebagai gudang daru?
rat..." "Rima." Daniel yang baru tiba memegangi lenganku
seraya meredakan napasnya yang ngos-ngosan. "Biar gue
aja. Mendingan elo santai-santai di karnaval dulu aja."
"Nggak," gelengku seraya menepis tangannya. "Kamu
udah melakukan banyak sekali hari ini, Niel. Lagi pula,
mana mungkin aku bisa santai-santai? Ini pekerjaanku.
Salah satu pengurus OSIS-ku diserang, aku nggak mung?
kin berpangku tangan..."
"Tunggu dulu." Mata Ajun Inspektur Lukas berkilat.
"Nina ini anggota OSIS?"
Aku mengangguk, sementara Daniel mengiyakan.
"Menarik juga." Ajun Inspektur Lukas tepekur sejenak.
"Apa mungkin anggota OSIS yang jadi sasaran?"
Pikiranku langsung melayang pada surat ancaman
yang kami terima. Oke, mungkin saja itu yang akan di?
laku?kan oleh kelompok yang menamakan diri mereka
Kelompok Radikal Anti-Judges itu.
"Tapi, kalo memang gitu, dari mana dia tau Nina akan
masuk ke toilet itu?" protes Erika. "Kan nggak mungkin
dia mencopot papan-papan itu setelah tau Nina ada di
dalam. Memangnya Nina sebego itu, bengong aja semen?
tara dinding toiletnya dibolongin?"
"Mungkin orang itu yang mengarahkan Nina ke dalam
toilet?" duga Val. 201 Isi-Omen4.indd 201 "Kalo gitu, kemungkinan orangnya adalah temen Nina
sendiri," ucap Daniel seraya berpikir keras, "dan bukan
orang yang tadi kukejar. Tapi kalo bukan orang tadi,
kenapa dia lari? Dan seandainya dia yang ngarahin Nina
ke dalam toilet, kenapa Nina bisa mau?"
"Mungkin antreannya panjang dan Nina seneng waktu
dikasih giliran duluan," cetus Leslie yang sedari tadi
diam saja. "Cewek-cewek kan biasa begitu."
"Tapi kalo gitu, kenapa Cecil yang ngantre bareng
Nina nggak bilang apa-apa?" protes Daniel.
"Oke, pokoknya saya harus menginterogasi temanteman Nina yang tadi ikut masuk ke toilet," tandas Ajun
Inspektur Lukas. "Mereka pasti tahu sesuatu yang belum
diberitahukan pada kita. Daniel, kamu bantu saya ya!"
"Baik, Pak." "Kami akan berjaga-jaga," kata Erika padaku. "Malam
ini gue sama Val disuruh si Rufus?eh, maksud gue, Pak
Rufus?buat jadi satpam, dan kami disuruh bawa tenaga
cadangan," dia mengibaskan tangannya pada Viktor yang
tampak masam dan Leslie yang tampak geli, "jadi lo bisa
tenang. Nggak akan ada yang bisa mendekati TKP
deh." "Kalian?" tanyaku seraya berpaling pada Val dengan
heran. "Tapi..."
Ya, asal tahu saja, tidak banyak yang tahu bahwa Val
punya kemampuan bela diri yang cukup tinggi. Sebenar?
nya, hampir tak ada yang tahu, dan kurasa Val lebih
suka dengan kondisi seperti ini. Salah satu persamaan
Val dan aku adalah, kami sama-sama lebih suka jadi
figur low profile. Untung bagi Val, hingga saat ini sedikit
sekali orang yang tahu soal kelebihan-kelebihannya, se?
202 Isi-Omen4.indd 202 mentara aku malah mendapat gosip soal kemampuan
yang tak kumiliki. Jujur saja, aku iri banget padanya.
"Nggak usah khawatir," senyum Val padaku. "Les se?
lalu bareng gue kok. Jadi kalo ada apa-apa, dia yang
akan beraksi. Iya nggak, Les?"
"Apa aja deh kalo buat kamu, Val." Gila, cowok ini
benar-benar romantis. Mana senyumnya benar-benar me?
luluhkan hati. "Tapi tega banget ya Pak Rufus, memper?
alat preman-preman yang bahkan sebenarnya nggak
boleh mendekati sekolah."
Wajahku memerah. Ya, itu salah satu program OSIS
yang kucanangkan atas suruhan Putri. Aku bersyukur Les
sama sekali tidak marah padaku. Sejauh ini dia menuruti
peraturan itu dengan sangat baik, bahkan menjaga su?
paya teman-temannya sesama anggota geng motor atau?
pun ? lawan-lawan mereka tidak mendekati sekolah kami.
Dalam hati aku menaruh respek yang sangat tinggi pada
Les, juga pada Viktor Yamada yang juga tidak pernah
mendatangi sekolah kami lagi.
"Eh, itu bukan kemauan saya," kata Pak Rufus, kelihat?
an banget kepingin membela diri.
"Halah, tapi Bapak juga seneng, kan?" cela Erika.
"Saya inget kok waktu itu Bapak yang keluar ngomelngomelin para preman yang nangkring di depan sekolah?
an! Dan saya punya daya ingat fotografis nih, Pak, jadi
nggak usah mungkir deh!"
"Dan kebetulan saya ada di TKP waktu itu," sambung
Leslie. "Saya yang kena ceramah paling panjang, disuruh
mulai sekolah lagi, paling tua di kelas pun tidak apa-apa,
asal saya punya modal ijazah dan titel..."
203 Isi-Omen4.indd 203 "Iya iya!" potong Pak Rufus dengan muka makin gelap
lantaran malu. "Tidak usah mengulang semua kata-kata
saya waktu itu deh. Memangnya kamu juga punya daya
ingat fotografis?" "Bukan, Pak. Daya ingat traumatis." Melihat tampang
Pak Rufus yang mulai dipenuhi rasa sesal, Leslie tertawa.
"Just kidding lah, Pak. Nggak mungkin saya trauma cuma
gara-gara diomelin. Lagian semua kata-kata Bapak bener
kok. Saya aja yang badung dan nggak dengerin."
"Ya sudah. Kalau begitu jangan diungkit-ungkit lagi
ya!" kata Pak Rufus sambil bersungut-sungut. "Saya cuma
mau yang terbaik buat kalian! Ya sudah, sana kerja. Saya
juga harus jadi satpam keliling."
"Siap, Bos!" Eh? Semua orang bekerja? Lalu aku bagaimana?
"Rima, kamu juga keliling-keliling saja," saran Bu Rita
padaku. "Daniel bisa membantu Pak Ajun Inspektur
Lukas, sementara masalah keamanan sudah ditangani
Pak Rufus. Tidak ada salahnya kamu mengawasi karnaval
ini selaku ketua panita sekaligus bersenang-senang se?
dikit." "Tapi..." "Ibu benar sekali!" Aku kaget banget saat Aya menyam?
bar tanganku. "Kami memang mau bersenang-senang
dulu. Makasih ya, Bu. Ayo, Rim, kita lanjutin naik kincir
rak?sasa. Dadahhh Daniel!"
Sebelum orang-orang sempat bereaksi, aku sudah di?
giring pergi oleh Aya. "Aya..." "Jalannya santai aja, tapi sebentar lagi kita harus le?
nyap dari pandangan orang-orang."
204 Isi-Omen4.indd 204 "Maksudmu, kita pake jubah-apa-itu kayak si Harry
Potter?" "Haha, lucu. Jalan terus. Dan betewe, namanya Jubah
Gaib atau bahasa Inggris-nya Invisibility Cloak."
"Kalo Bahasa Prancis-nya?"
"Diam ah!" Aku nyengir sembari membiarkan Aya menuntunku
me?lewati keramaian. Sudah lama sekali aku tidak ber?
senang-senang dengan Aya seperti yang terjadi malam
ini?dan rasanya benar-benar menyenangkan. Yah,
bersama Daniel tadi juga menyenangkan, tapi bersama
Aya tidak kalah asyiknya kok.
"Kita mau ke mana, Aya?"
"Nanti lo juga tau."
Kami membelok ke sebuah jalan kecil di antara dua
tenda besar, dan membelok lagi ke bagian belakang stanstan, lalu masuk ke sebuah stan yang bagian belakangnya
terbuka. Aku berusaha mengingat-ingat, ini sepertinya
stan kelas XII IPA 1... Oke, tidak salah lagi. Yang kami temui tentunya ada?
lah... "Kalian lambat banget sih!"
Belum apa-apa kami sudah dimarahi Putri Badai.
"Huh, udah bagus gue yang jemput dia," gerutu Aya.
"Asal lo tau aja, anak ini sama sekali nggak punya
bayang?an bahwa kita berada dalam kesulitan besar."
"Kesulitan besar ap... Oh!" Aku memperhatikan pe?
nampilan Putri Badai yang superaneh. Topi hitam yang
menutupi rambutnya yang seharusnya sebahu. Jaket
hitam kebesaran. Celana hitam yang rada longgar.
"Kamu yang tadi dikejar-kejar Daniel!"
205 Isi-Omen4.indd 205 "Dan nyaris ketahuan!" teriaknya berang. "Kenapa
kamu nggak melarangnya?"
"Yah, aku kan nggak tau sosok mencurigakan itu
kamu." "Masa kamu nggak bisa ngenalin aku sih?" Si Putri
me?mang ada-ada saja. Kalau aku sampai tidak bisa me?
ngenalinya, itu kan berarti penyamarannya sudah oke
banget. Seharusnya dia merasa tersanjung, bukannya
ngamuk-ngamuk begini. "Aya aja bisa ngenalin aku!"
"Itu karena kita nyaris tabrakan," sahut Aya datar.
"Dan kita tabrakan karena gue berniat one-on-one sama
elo lantaran ngirain lo sosok mencurigakan."
"Memangnya aku semencurigakan itu?"
"Iya!" sahut aku dan Aya serempak.
Putri terdiam sejenak. "Sial."
Rasanya lucu juga melihat cewek sedingin dan se?
anggun Putri mengumpat-umpat.
"Memangnya kenapa sih kamu sampai berpenampilan
kayak begini?" tanyaku penasaran.
"Soalnya aku harus menyelidiki, siapa yang kira-kira
bertingkah mencurigakan dan bakalan bikin ulah. Kan
nggak mungkin aku turun tangan sebagai Putri Badai?
Mereka akan curiga. Makanya aku menyamar."
"Menjadi sosok yang nggak kalah mencurigakan." Aya
manggut-manggut. "Brilian."
Putri memelototinya, dan aku cepat-cepat menengahi.
"Sudah, sudah. Memang lebih baik Putri jadi sosok
mencurigakan daripada menjadi dirinya sendiri. Setidak?
nya, buat lawan kita, sosok mencurigakan nggak seber?
bahaya Putri Badai. Tapi kamu juga salah, Put. Seharus?
nya kamu ngasih tau kami."
206 Isi-Omen4.indd 206 "Yah, kukira kalian lebih pinter." Aduh. "Jadi, apa
yang terjadi sebenarnya, Rim?"
Aku segera menceritakan apa yang terjadi pada Nina,
bagaimana kejadian sebelumnya, dan siapa saja orangorang yang terlibat. Putri dan Aya mendengarkan sambil
membisu. "Menurut Ajun Inspektur Lukas, ada kemungkinan
Nina diincar karena dia anggota OSIS."
"Kemungkinan besar," Putri mengangguk. "Kelompok
radikal itu kan memprotes soal kepengurusan OSIS. Jadi
tentunya yang diincar anak-anak OSIS juga. Janganjangan, ini nggak akan menjadi kejadian satu-satunya."
"Maksud lo, masih akan ada kejadian lagi?" tanya Aya
kaget. "Ya." "Menurutmu, kita perlu ngasih tau Ajun Inspektur
Lukas soal surat-surat itu?" tanyaku cemas.
"Jangan dulu," geleng Putri. "Kita nggak bisa memer?
cayai siapa pun. Lagi pula, Ajun Inspektur Lukas punya
jejak yang bisa dia telusuri. Alat-alat make-up dan silet
itu. Kalo dia berhasil menemukan barang-barang itu di
antara anak-anak yang diinterogasinya, kan semua be?
res." "Kalo nggak, gimana?" tanyaku. "Kenapa kamu masih
nggak mau memercayai orang lain? Masa setelah ada ke?
jadian begini, kamu masih curiga sama Valeria dan
Erika?" "Aku nggak percaya siapa pun selain kalian berdua,"
Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tandas Putri. "Aku nggak mau kita membuka semua kartu
kita pada orang lain. Aku mau kita menjaga supaya posisi
kita tetap di atas angin dibanding lainnya. Mengerti?"
207 Isi-Omen4.indd 207 Ucapan Putri membungkam aku dan Aya. Bukannya
kami tidak mengerti. Putri baru saja dikhianati oleh
pacar dan orang-orang yang selama ini menjadi temanteman terdekatnya. Tidak heran dia jadi paranoid dan
gampang curiga. Sikap waswasnya sebenarnya menolong
juga sih. Benar kata Putri, kami harus menjaga supaya
posisi kami tetap di atas angin.
"Oke deh," sahut Aya. "Jadi, apa yang harus kami
lakukan malam ini?" "Rima, kamu kembali sama Daniel dan Ajun Inspektur
Lukas. Cari tahu info baru apa yang mereka dapatkan."
Aku mengangguk. "Aya, kamu ikut aku. Kita coba seli?
diki, apakah akan ada kejadian lain di tempat lain. Kalo
memang ada, pasti si pelaku perlu siap-siap, kan?"
"Iya, tapi lo harus ganti penampilan ya. Bisa-bisa tahutahu lo dibekuk Erika dan Val. Kalo sampe itu terjadi, lo
tau gue nggak akan sanggup nolongin elo."
"Aku tahu," ucap Putri cemberut seraya melepas topi
dan jaketnya. "Tapi kalo begini caranya, aku merasa
terekspos. Rasanya nggak ada bedanya dengan masang
sirene di atas kepala. Dan begitu salah satu anggota
komplotan itu melihatku, mereka semua akan langsung
menyingkir dan mencari tempat lain untuk mencelakai
orang." "Atau mereka sengaja menantang lo dan melakukan
kejahatan itu tepat di depan mata elo," sahut Aya. "Bisa
aja, kan?" Putri diam sejenak. "Iya, bisa jadi kamu benar. Yah,
apa pun yang terjadi, aku nggak mau jadi tersangka lagi.
Nyaris copot jantungku tadi dikejar-kejar Daniel dan
konco-konconya. Untung saja yang ngejar aku itu
208 Isi-Omen4.indd 208 mereka. Coba kalau Erika atau Valeria, sudah pasti aku
ke?tangkap." "Dan lo langsung jadi tertuduh utama," seringai Aya.
"Tertuduh yang meyakinkan, soalnya sejauh ini orangorang merasa elo rada jahat."
"Yah, tapi Bu Rita dan guru-guru pasti akan mem?
belaku," sahut Putri dengan dagu terangkat tinggi. "Aku
Putri Badai. Apa pun yang kulakukan, aku nggak pernah
salah." Demi Medusa dan setiap ular di rambutnya, cewek ini
memang pongah luar biasa.
Kami pun berpencar. Putri dan Aya menuju ke arah
yang sama, sementara aku berjalan ke arah sebaliknya.
Langkah pertamaku adalah kembali pada Daniel, me?
ngumpulkan informasi tentang anak-anak yang di?inte?ro?
gasi, terutama mengenai isi tas yang mencurigakan...
"Hei, Rima!" Oh, gawat. Itu Erika dan Valeria. "Kalian mau apa?"
"Waduh, galak bener." Gawat, Erika kelihatan curiga.
"Mau ke mana lo?"
"Bantuin Daniel."
"Lho, kan lo barusan dari sana," kata Valeria dengan
sikap yang terlihat polos. Meski begitu, ucapannya ter?
dengar menjebak. "Kenapa tau-tau balik lagi?"
"Aku cuma merasa nggak adil dia melakukannya sen?
diri?an." "Oh, gitu" Valeria manggut-manggut. "Omongomong, mana Aya?"
Astaga! Apakah aku yang paranoid, atau cewek-cewek
ini sebenarnya berusaha menginterogasiku?
Oke. Kata orang, pertahanan terbaik adalah memberi?
209 Isi-Omen4.indd 209 kan serangan. Jadi, sekarang giliranku menyerang me?
reka. "Aya sedang ada urusan lain. Kalian berdua bagai?mana?
Kok tahu-tahu berduaan? Mana Viktor dan Leslie?"
"Oh, ini giliran jaga cowok berpasangan dengan co?
wok, cewek pasangan dengan cewek," seringai Erika.
"Itu bukan sesuatu yang bijak," ucapku. "Mereka
nggak kenal siswa-siswi sekolah kita. Dari mana mereka
tau yang mana yang harus diawasi?"
"Memangnya elo tau yang mana yang harus diawasi,
Rim?" Pertanyaan Valeria memukulku telak. Gawat, sepertinya
aku sudah memberikan jawaban yang menyiratkan infor?
masi penting. "Bukan gitu. Maksudku... gimana kalo me?
reka nemuin orang yang mencurigakan, dari mana me?
reka tau yang mana yang harus tetap diawasi dan yang
mana yang dari sononya memang aneh?"
"Ah, sekarang kan zaman teknologi," cetus Erika. "Kalo
mereka ketemu yang mencurigakan, tinggal difoto dan
dikirim via BBM. Kalo memang mencurigakan, kami
akan langsung bergabung."
Betul juga. Sepertinya, aku tak bakalan menang kalau
bersilat lidah dengan dua cewek ini. Lebih baik kuhenti?
kan saja kegiatan tak berguna ini.
"Jadi, kalian mau apa sekarang?" tanyaku bermurah
hati. "Mau ikut aku mencari tahu apa yang didapetin
Daniel?" "Ah, nggak. Kalo yang itu mah, nanti Daniel pasti
cerita." Jadi, sebegitukah dekatnya mereka dengan
Daniel? "Mendingan kita kejar sosok mencurigakan tadi.
Gue lebih penasaran soal itu."
210 Isi-Omen4.indd 210 Ah, gawat. Erika kan punya daya ingat fotografis.
Jangan-jangan... dia sudah bisa menduga sosok men?
curiga?kan itu adalah Putri Badai.
"Rim," panggil Valeria. "Daripada nyatronin Daniel, lo
mau jalan bareng kami aja?"
Eh? "Kenapa?" "Pertama," Erika yang menyahut, "Daniel nggak perlu
disatronin. Dia pasti akan cerita hasil interogasi itu pada
kita. Dia kan ember banget."
"Kedua," kini giliran Valeria yang menyahut, "kamu
sendirian aja. Gimana kalo kamu yang jadi sasaran beri?
kut? Kemungkinan besar sasaran mereka anggota OSIS,
kan?" Aduh. Sekarang aku jadi menyesal. Sedari tadi aku
sudah mencurigai mereka, padahal mereka berniat baik
dan hanya ingin menjagaku. Selama ini aku memang
selalu merasa mereka berdua baik banget, dan pernah
suatu saat kami jadi lumayan dekat. Tadinya kupikir
kami akan terus bertambah dekat, namun perananku
dalam organisasi The Judges mengubah segalanya...
Tunggu dulu. Mereka punya waktu hampir setengah tahun untuk
bersikap baik padaku, tetapi mereka tidak melakukannya.
Mereka terus menganggapku musuh?atau pengkhianat?
yang akan menusuk punggung mereka sewaktu-waktu.
Ada saatnya aku menghadapi kesulitan dan bahaya, na?
mun tidak sekali pun mereka menawarkan bantuan.
Lalu apa bedanya dengan saat ini?
Apa sedari tadi kecurigaanku pada mereka tidak sa?
lah? "Sebenarnya apa sih yang kalian inginkan?" tanyaku
211 Isi-Omen4.indd 211 dengan nada suara lebih keras daripada yang kumak?
sud. "Apa-apaan sih?" balas Erika tampak tak senang. "Kok
lo malah bete?" Aku menggeleng. "Kalian nggak mungkin begini baik
padaku. Pasti ada udang di balik batu."
"Udang apaan?!" bentak Erika. "Kalo gue punya udang,
udah gue makan sampe nggak bersisa. Sialan, masih
ngomongin udang di saat-saat seperti ini!"
"Saat-saat seperti apa?" tanyaku curiga.
"Saat-saat gue laper lah!" sahut Erika sambil me?
mandangiku seolah-olah aku orang paling tolol di dunia.
"Jujur aja, gue udah nggak sabar ngomong sama elo.
Kalo lo mau ikut sama kami, ya udah ikut. Kalo nggak,
tolak aja. Kenapa pake nanya-nanya niat kami segala?"
Dia menyipitkan mata. "Jangan-jangan, lo kira kami
yang celakain Nina ya!"
"Bukan begitu." Aku memberanikan diri. "Masalahnya,
kalian yang menempatkan diri untuk menentang semua
rencana The Judges. Jadi justru aku yang bodoh kan,
kalo nggak curiga dengan kebaikan kalian?"
"Tapi..." "Rima benar," Valeria memotong ucapan Erika. "Kita
memang rada keterlaluan belakangan ini. Nggak heran
dia jadi curiga." "Salah sendiri," dengus Erika. "Siapa suruh dia ngusir
temen-temen kita dari sekolah."
Ugh, sudah kukira Erika?dan mungkin juga Valeria?
masih mendendam soal itu. Bukan hanya teman-teman
mereka yang diusir, melainkan pacar mereka juga tidak
diizinkan mendekati area sekolah lagi. Tapi tidak mung?
212 Isi-Omen4.indd 212 kin mereka tega melakukan semua ini untuk mem?balas
dendam. Ya, kan? "Yah, lo tau sendiri itu bukan keputusan Rima," lalu
Valeria berpaling padaku. "Di satu sisi, elo juga keterlalu?
an, Rim. Memangnya lo pikir kami ini sejahat apa,
sampai-sampai perlu dicurigai? Apa kami sanggup melaku?
kan kejahatan terhadap Nina? Jangankan yang segede
itu, menyabot penyelidikanmu demi penyelidikan kami
sendiri pun nggak akan kami lakukan. Hanya karena
kami nggak suka The Judges, nggak berarti kami nggak
mau kasus ini cepet-cepet diselesaikan. Apa setelah se?
kian lama kita temenan, elo masih nggak tau karakter
kami?" Ucapan Valeria serasa menamparku. Memang betul
kata Valeria. Aku benar-benar dangkal, sudah melupakan
be?tapa banyak kebaikan yang mereka lakukan untuk se?
kolah ini, tanpa memedulikan keselamatan mereka
sendiri. "Maaf," ucapku perlahan. "Aku memang salah."
Valeria tersenyum dan menepuk bahuku. "Nggak apaapa. Yang penting, dalam situasi seperti ini lo harus per?
caya, kami juga ada di pihak lo. Tapi seandainya keber?
ada?an kami bikin lo ngerasa nggak nyaman, ya udah,
kami nggak akan mengganggu. Yuk, Ka, kita jalan."
Aku sama sekali tidak sanggup mengucapkan kata-kata
untuk menahan mereka saat mereka berjalan melewatiku.
Apa yang bisa kuucapkan? Jelas-jelas aku bersalah. Aku
sudah ketularan paranoid Putri sampai-sampai mencurigai
mereka. Bukannya aku menyalahkan Putri. Putri berhak
merasa paranoid karena semua hal buruk yang sudah
213 Isi-Omen4.indd 213 terjadi padanya. Sedangkan aku? Aku cuma pribadi le?
mah yang tidak sanggup mempertahankan pendapatku
sendiri. Maafkan aku. Aku tahu kata-kata itu terdengar kosong, tapi aku ha?
rus mengucapkannya. Aku berbalik dan siap untuk me?
neriak?kan kata-kata itu, tidak peduli akan menarik per?
hati?an banyak orang. Namun, ucapan itu tertahan saat
aku melihat ada sesuatu yang aneh pada pemandangan
di depanku. Ada lampu yang mati pada salah satu tenda.
Oke, itu hanya sederet lampu kecil?mungkin tidak
ada apa-apa yang terjadi. Akan tetapi...
Aku menoleh ke arah TKP pertama. Lokasinya tidak
ter?lalu dekat, namun tidak terlalu jauh. Dengan berlari
cepat, bisa ditempuh dalam waktu kurang-lebih dua
menit. Semoga semua ini tidak seperti yang kuduga. Semoga
ini bukan pertanda... Aku berlari secepat mungkin ke arah tenda itu. Lang?
kah?ku terhenti saat melihat tidak ada yang berjaga-jaga
di depan tenda itu. Menurut dokumentasiku, tidak ada
tenda yang tidak ditempati.
Semoga tidak. Semoga tidak. Semoga tidak.
"Rima!" Aku mendengar Erika dan Valeria memanggilku. Rupa?
nya, meski mereka tadi berlagak berjalan pergi, mereka
masih saja mengamatiku. Kalau tidak, kenapa mereka
bisa menyadari kepanikanku yang tiba-tiba ini?
Tapi aku tidak sempat menyahuti mereka lagi. Satusatunya yang kuharapkan hanyalah supaya aku tidak
214 Isi-Omen4.indd 214 terlambat. Semoga kebetulan aku memperhatikan tepat
pada saat lampu itu mati, supaya aku bisa mencegah
kejadian mengerikan yang akan terjadi. Jadi aku pun me?
nyeruak masuk ke dalam tenda yang gelap gulita itu.
Di dalam tenda ada sebuah meja dengan lampu di
atasnya, berkedap-kedip tanda bohlamnya sudah rada
rusak. Berkat lampu berkedap-kedip itulah aku bisa me?
lihat bagian dalam tenda. Di depan meja, membelakangi
pintu masuk, sebuah sosok terlihat sedang duduk di atas
bangku kayu. Cara duduknya tampak aneh, dengan
kedua kaki terbentang, sementara kedua tangannya
terjulur lemas di kedua sisinya dan kepalanya terkulai ke
depan. Aku langsung merasa mual.
"Oh God." Aku mendengar suara Valeria berbisik di
belakangku. "Siapa itu?"
Aku tidak sanggup bergerak, dan membiarkan Erika
be?serta Valeria berlari melewatiku. Keduanya sejenak ter?
perangah dengan wajah pucat, menatap sosok yang
duduk dengan cara yang agak tak normal itu.
Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siapa itu? Aku ingin bertanya, tapi suaraku tak sanggup
keluar. Jadi perlahan-lahan aku mendekati mereka, dan
memandangi sosok misterius yang duduk di bangku kayu
itu. Sosok itu adalah Ida. 215 Isi-Omen4.indd 215 Daniel MODUS operandinya sama persis.
Korbannya berbeda, lokasinya berbeda, posisinya
berbeda. Namun wajah korban sama-sama dirias hingga
mirip badut, lengkap dengan tomat dijejalkan di hidung.
Kepala Ida juga dipukul dengan benda keras, sementara
gaunnya disayat-sayat hingga menoreh kulit, sehingga
wajah dan tubuhnya berlumuran darah.
"Ini absurd!" ucap Ajun Inspektur Lukas dengan ra?
hang terkatup. Kelihatannya dia marah banget. "Melaku?
kan ini selagi saya ada di sini! Benar-benar nekat!"
Ya, nekat adalah kata yang tepat. Soalnya, selain Ajun
Inspektur Lukas, masih ada beberapa polisi lain ber?keliar?
an di sekitar sini. Orang yang melakukan ini terhadap
Ida?juga Nina, tentu saja?pastilah bernyali sangat
besar, atau hanya sekadar nekat. Seolah-olah mereka
meng?umumkan keras-keras: polisi pun tak sanggup meng?
hentikan kami! Kelompok Radikal Anti-Judges keparat!
"Masalahnya," ucap Ajun Inspektur Lukas lambatlambat, "semua tersangka jadi punya alibi. Maksud saya,
216 Isi-Omen4.indd 216 orang-orang yang tadi kita interogasi. Semuanya sedang
menunggu di luar saat kita sedang menginterogasi
teman-temannya, kan?"
Betul kata Ajun Inspektur Lukas. Selain Amir dan
ketiga cewek yang bersamanya, kami juga menginterogasi
sejumlah anak yang mengaku berada di toilet pada saat
kejadian?baik toilet cowok maupun toilet cewek. Kami
melakukan acara interogasi itu di salah satu tenda dari
dua tenda kecil yang berfungsi sebagai gudang darurat
(bisa dibayangkan betapa penuhnya tenda itu, dan saat
pertama kali Pak Ajun Inspektur Lukas melihat tenda itu,
dia hanya meringis dan berkata, "Tidak disangka, saya
harus tenggelam sampai serendah ini, menginterogasi di
tengah tumpukan bangku dan meja."), sementara anakanak itu disuruh menunggu di luar dan dijaga oleh dua
polisi?dan semuanya saling menguatkan alibi masingmasing. Satu-satunya yang alibinya lemah malah Amir,
yang mengaku sempat kabur untuk memenuhi panggilan
alam lantaran sempat mulas-mulas melihat kondisi
Nina. Tapi tidak mungkin Amir pelakunya. Toh dia pergi di?
kawal oleh salah satu polisi penjaga, dan aku berani
men?jamin ketidakbersalahannya dengan nyawa dan ke?
hormatanku. Akan tetapi, kalau bukan Amir sementara anak-anak
lain punya alibi, kami tidak punya tersangka lagi. Ke?
cuali... Aku memandangi Rima, yang hanya berdiri di pojok?
an. Meskipun tidak bergerak, matanya mengawasi setiap
orang dengan tajam. Hanya melihatnya seperti itu, ke?
suram?an yang kurasakan jadi berkurang. Dengan adanya
217 Isi-Omen4.indd 217 Rima di sampingku, aku yakin 99% kasus ini bisa di?
selesaikan. Kecuali kalau ada kejadian tak terduga yang membuat
kami semua tidak berdaya. Itu berarti aku harus menjaga
Rima baik-baik?lebih baik lagi daripada yang kulakukan
saat ini. Aku menghampiri Rima. "Rim, mulai sekarang jangan terpisah dari gue ya,"
pinta??ku. "Gue nggak mau pelakunya menjebak elo, siapa
pun orangnya." Rima tersenyum. Senyum yang menyiratkan aku-nggakmudah-ditipu-lho, dan membuatku malu karena pasti?nya
aku lebih gampang ditipu daripada dirinya. "Oke."
"Satu lagi. Ehm, menurut lo, apa sebaiknya kita mem?
beri?tahukan soal surat ancaman itu pada Ajun Inspektur
Lukas?" Rima hanya menatapku. "Kita udah kehabisan tersangka," ucapku. "Mungkin,
setelah tau fakta itu, polisi bisa mengaitkannya dengan
se?suatu yang nggak kita sadari sebelumnya. Lagian, per?
cuma ditutup-tutupi juga. Toh semuanya udah terjadi.
Pelakunya pasti udah memprediksikan kita ngelaporin
hal itu ke polisi juga. Jadi kenapa harus kita tahantahan?"
Rima menunduk. "Iya, kurasa kamu benar."
"Kenapa?" tanyaku sembari menyibak lembut rambut?
nya, kepingin melihat air muka yang berusaha disem?
bunyi?kannya itu, namun tak ingin membuatnya takut.
"Lo takut disalahin Putri?"
"Bukan," gelengnya. "Sebenarnya, aku memang sempat
terpikir untuk ceritain masalah itu pada Ajun Inspektur
218 Isi-Omen4.indd 218 Lukas. Bahkan, mungkin kita seharusnya ceritain semua
ini sejak awal." "Yah, kita nggak menduga mereka sejahat ini," hibur?
ku. Rima menggeleng. "Seharusnya kita sudah menduga.
Tindakan mereka sudah ngelewatin batas sejak meneror
dengan bangkai binatang itu."
Rima benar. Seharusnya kami melapor sejak awal. Tapi
aku juga menyadari dia tidak punya pilihan lain. Rima
sangat patuh pada Putri, tidak peduli terkadang dia tidak
sependapat dengan Putri. Sejujurnya, terkadang aku
heran, bahkan merasa aneh, melihat kepatuhannya itu.
Apa itu hanya karena mereka sama-sama anggota The
Judges dan Putri adalah ketuanya? Ataukah ada sesuatu
yang tidak kuketahui di antara mereka?
"Ayo, kita temui Ajun Inspektur Lukas."
Ucapan Rima menyadarkanku dari lamunan. Aku se?
gera mengikutinya menemui Ajun Inspektur Lukas.
"Pak Ajun Inspektur Lukas..."
"Rima," aku menghentikan ucapannya. "Biar gue aja,
oke?" Aku tidak ingin dia yang disalahkan untuk merahasia?
kan informasi itu. Bagaimanapun, aku bisa saja berkeras
sejak awal untuk melaporkan hal itu. Tapi aku memutus?
kan untuk tutup mulut bareng-bareng demi alasan yang
menguntungkan diriku sendiri?kepingin membuat Rima
senang. Sayangnya, seandainya aku berkeras melaporkan?
nya sejak awal, mungkin aku tidak perlu menempatkan
Rima dalam posisi yang begini sulit.
"Pak Ajun Inspektur Lukas, ada yang perlu kami lapor?
kan." 219 Isi-Omen4.indd 219 Sesuai prediksiku, Ajun Inspektur Lukas marah banget
lantaran kami tidak melaporkan masalah surat ancaman
itu pada saat kejadian. "Kalian ini benar-benar bodoh!" Dia membentak kami.
"Apa kalian tahu, tindakan kalian yang ceroboh itu sudah
mengakibatkan banyak bukti yang hilang percuma?"
Aku bisa merasakan Rima mengkeret di sampingku.
"Ya, Pak," sahutku. "Tapi..."
"Tidak ada tapi-tapian! Tidak ada alasan! Lain kali
kalau ada kejadian begini lagi dan kamu tidak melapor,
kamu yang akan masuk penjara. Mengerti?"
Oke, sekarang aku jadi keder. "Ya, Pak, tapi..."
"Tidak perlu membantah lagi! Mulai sekarang, kamu
hidup dalam belas kasihan saya! Kalau kamu melakukan
kesalahan lagi, saya tidak akan segan-segan meskipun
kamu masih kecil. Mengerti?"
"Ya, Pak, tapi..."
"Daniel Yusman!"
"Pak Ajun Inspektur!" Ajun Inspektur Lukas tampak
kaget saat aku balas berteriak. "Maaf, Pak. Saya bukannya
mau membantah atau beralasan, tapi ada yang mau saya
kasih lihat." Aku mengeluarkan dompetku, dan Ajun Inspektur
Lukas makin kaget. "Hei, jangan kurang ajar! Saya tidak
mempan disogok, tahu?"
"Saya bukannya mau nyogok Bapak. Lagian, saya
nggak punya duit." Dari bagian dalam dompet, aku me?
nge?luarkan secarik kertas yang dibungkus plastik. "Ini
surat yang ditulis dengan darah tersebut. Saya sengaja
me?nyimpannya di dompet, kalau-kalau ada kejadian
yang membutuhkan saya menunjukkan hal ini."
220 Isi-Omen4.indd 220 "Yah, untung kamu tidak jadi salah satu orang yang
kita periksa tadi," sahut Ajun Inspektur Lukas datar
seraya menerima surat itu. "Kalau iya, kamu sudah jadi
tertuduh utama." Ups, itu benar juga. "Dan di ponsel saya ada banyak
foto yang saya ambil dari TKP waktu itu."
Selama beberapa saat Ajun Inspektur Lukas hanya ter?
diam seraya melihat semua foto dalam ponselku. "Ter?
nyata kamu tidak bodoh-bodoh amat." Tentu saja. "Pon?
sel ini saya sita dulu sebagai barang bukti, me?ngerti?"
"Hah?" "Masih menolak setelah melakukan segala kebodohan
itu?" "Eh, bukan gitu, Pak." Aku menggiring Ajun Inspektur
Lukas sehingga terpisah dari Rima. "Bapak jangan kasih
tau orang-orang ya ehm, di dalam ponsel saya banyak
foto Rima" Ajun Inspektur Lukas menatapku dengan muka aneh.
"Memangnya kamu apa? Stalker gitu?"
"Nggak sebegitunya sih," sahutku malu. "Kan nggak ada
salahnya saya nyimpen foto cewek yang saya suka."
"Hah? Kamu suka Rima?"
Oke, kenapa sih semua orang terheran-heran kalau
tahu aku suka sama Rima? "Iya. Memangnya kenapa,
Pak?" "Yah, kalian kan sangat berbeda," sahut Ajun Inspektur
Lukas, masih dengan wajah heran dan takjub. "Tapi
sebaik?nya kamu pikir-pikir lagi, Niel. Rima itu gadis yang
manis dan alim, gadis yang nggak layak disakiti. Kalau
kamu cuma main-main, lebih baik kamu hentikan saja
pedekatemu. Kalau kamu sampai menyakiti Rima, per?
221 Isi-Omen4.indd 221 caya deh, tidak sedikit orang yang bakalan ngamukngamuk sama kamu. Termasuk saya."
"Hah?" Aku kaget. "Kenapa Bapak tau-tau ikutan ma?
rah?" "Karena saya punya harapan tinggi kamu anak yang
baik, sedangkan menyakiti gadis sebaik Rima sudah jelas
bukan perbuatan cowok baik."
Betul juga kata-katanya. Tapi, uh-oh, bisa gawat kalau
dia tahu aku pernah menyakiti hati Rima, meskipun
waktu itu aku melakukannya tanpa sengaja. "Saya nggak
pernah punya niatan untuk menyakiti Rima kok."
"Baguslah kalau begitu. Tenang saja, foto-foto pribadi?
mu tidak akan saya sebarkan atau saya kutak-katik."
Aish, lega banget. "Kamu masih punya ponsel lain?"
"Ehm, sebenernya saya butuh SIM card-nya, Pak."
"Oke." Ajun Inspektur Lukas mencopot baterai ponsel
dan mengeluarkan kartu SIM-ku. "Ini. Punya ponsel lain
untuk digunakan?" "Itu sih gampang."
"Dasar anak tajir." Ajun Inspektur Lukas mengetuk ke?
pala?ku dengan gaya bercanda. "Ya sudah. Thanks untuk
infonya. Maaf saya marah-marah tadi."
"Maaf juga kami sudah bertingkah bodoh, Pak."
"Yah, kalian memang bodoh sih."
Aku kembali pada Rima yang?meskipun tidak ber?
ekspresi?sedang gelisah banget. Aku menyadari ke?
gelisahannya saat mendengarnya bertanya sebelum aku
sempat membuka mulut. "Kamu nggak apa-apa?"
"Gue baik-baik aja," sahutku agak heran. "Kenapa?"
"Nggak dimarahin lagi sama Ajun Inspektur Lukas,
kan?" 222 Isi-Omen4.indd 222 "Nggak lah," seringaiku. "Yang tadi itu udah mengeri?
kan banget kok. Nggak, kami cuma ngomongin hal-hal
pribadi." "Oh." Terdengar nada lega yang tak bakalan terasa
oleh orang-orang yang tak mengenal baik Rima. "Kalian
bicara soal apa?" "Hal-hal pribadi." Lalu dengan nada centil kutambah?
kan, "Cewek nggak boleh tau."
Mata Rima melebar. "Kalian bicarain hal-hal pribadi
cowok?" "Begitulah." "Tapi korban kita kan cewek-cewek. Kenapa kalian
malah ngomongin hal-hal pribadi cowok?"
Omaygaaat! Cewek ini serius banget. Tapi entah ke?
napa, aku makin sayang padanya mendengar komentarkomentarnya yang polos itu. "Yah, namanya hal-hal
pribadi, udah jelas itu menyangkut gue dan bukannya
korban, Rim." "Oh." Rima terdiam lama. "Hal-hal pribadi seperti
apa?" Tawaku nyaris meledak. Cewek bertampang datar ini
sama sekali tidak bisa menyembunyikan rasa penasaran?
nya. Aku membungkukkan badan dan berbisik di dekat
telinganya, "Rahasia."
Cewek itu menoleh padaku dengan tampang rada-rada
bete. Yah, sebete-betenya Rima, tampangnya tetap datar
saja. Tapi dia benar-benar terlihat sangat lucu?amat sa?
ngat adorable. Aku nyaris tak bisa menahan diri untuk
tidak menciumnya.
Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sabar, sabar. Kalian dikelilingi banyak orang, dan ke?
banyak?an di antaranya adalah polisi.
223 Isi-Omen4.indd 223 Dengan berat hati, aku mundur dan mengambil jarak
dari Rima. "Nanti gue yang anter lo pulang ya, Rim?"
"Oke." Wah, tak biasanya dia menurut begini. Apa jangan-ja?
ngan dia juga menyadari bahwa aku nyaris menciumnya
tadi? "Rima?" "Ya?" "Setelah semua ini selesai, kita harus ngomong pan?
jang lebar, ya?" Sepasang mata lebar itu melebar sedikit, tidak men?
colok, tetapi cukup memberitahuku rasa kaget yang
disem?bunyikannya. "Tentang apa?"
"Tentang kita."
Rima memalingkan wajahnya sedikit. "Nggak pernah
ada kita, Niel." "Ada, tentu saja ada." Aku meraih kedua tangannya.
"Gue yakin banget, lo masih suka sama gue, Rim. Jadi
nggak ada gunanya lo berkata sebaliknya, karena itu
kebohongan yang jelas banget."
Rima menghela napas. "Suka atau nggak suka, itu
nggak ada hubungannya."
"Lalu?" tanyaku bingung. "Jadi kalo bukan suka, apa
dong yang ada hubungannya?"
"Apa pun yang ada di... antara kita, aku sadar itu
udah bikin kacau perspektifku. Padahal aku nggak boleh
kacau, Niel. Aku memikul tanggung jawab besar."
Tanggung jawab besar? "Maksudmu OSIS? The Judges?
Yang bener aja! Putri Badai aja punya cowok waktu
masih jadi ketua OSIS!"
Rima menggeleng. "Bukan itu. Masih ada yang jauh
224 Isi-Omen4.indd 224 lebih penting. Aku... aku berutang budi amat sangat
besar terhadap seseorang, Niel."
Hah? Sesaat aku merasa tidak mengerti sama sekali. Lalu
men?dadak aku teringat sesuatu. Kulepaskan salah satu
tanganku yang memegangi tangannya, lalu kusibak per?
lahan rambutnya, menampakkan segaris luka besar di
pelipisnya. "Masalah ini?"
Rima mengangguk perlahan, dan entah kenapa, tubuh?
nya jadi terasa semakin kecil. Mungkin aku sudah me?
nyinggung masa lalunya yang membuatnya sangat ke?
takutan. Sialan, aku memang keterlaluan!
"Dia udah nyelamatin nyawaku, Niel," ucap Rima.
"Dan lebih hebat lagi, dia memberiku hidup yang jauh
lebih baik. Karena itu, aku pun akan memberikan nyawa
dan hidupku padanya. Karena aku nggak akan punya
dua hal itu tanpa pertolongannya."
Dia? "Siapa itu dia, Rim?"
Tapi sepertinya Rima merasa dia sudah memberitahuku
lebih dari yang seharusnya. Dia melepaskan tanganku,
lalu berjalan pergi dengan langkah cepat. Hanya karena
aku merasakan kebingungan sesaat, cewek itu pun sudah
lenyap dari hadapanku. 225 Isi-Omen4.indd 225 Rima DEMI Tuhan yang sudah menciptakan terang dan gelap
dan segala sesuatu yang ada di bawahnya.
Aku nyaris memberitahukan rahasiaku pada Daniel.
Raha?sia terbesar, yang seharusnya tak kuberitahukan
pada siapa pun. Rahasia yang selama ini tersimpan rapi
dan akan kujaga mati-matian supaya tetap menjadi
rahasia. Rahasia yang mengikatku bersama Putri Badai
dan Aria Topan. Aku masih ingat sekali hari itu. Saat itu usiaku sebelas
tahun, wajahku babak-belur, dengan jahitan yang masih
segar di pelipisku. Memar-memar merah keunguan tam?
pak di sekujur tubuhku. Tangan kananku patah, dan ada
sobekan lain yang sudah dijahit rapat-rapat di pahaku.
Singkat kata, laksana Sadako, aku berhasil kembali dari
kematian, dan orang ini adalah malaikatku.
"Kamu benar-benar yakin mau melakukan ini?" tanya?
nya. "Ya," anggukku.
"Kalau begitu, kamu harus bersumpah untuk menjaga
226 Isi-Omen4.indd 226 rahasia ini. Kalau tidak, kamu nggak akan ada gunanya
lagi bagiku." "Aku bersumpah."
Perutku mulai mulas mengingat kejadian itu.
Oh, gawat! Aku benar-benar sudah melakukan kebodoh?
an yang luar biasa besar.
Selama ini aku jarang menangis. Alasannya, pertama,
karena jarang ada hal yang cukup berarti untuk ku?
tangisi, dan kedua, tangisan itu tidak akan menyelesaikan
masalah. Orang bilang, tangisan bisa membuatmu merasa
lebih baik. Itu tidak benar. Apanya yang merasa lebih
baik? Mata yang bengkak, hidung penuh ingus, belum
lagi tubuh yang kecapekan hanya karena menangis?se?
mentara masalah sialan itu tetap ada. Tidak, menangis
sama sekali tidak ada gunanya.
Namun saat ini aku tidak bisa menahannya lagi. Aku
betul-betul takut dan sedih. Aku takut keberadaanku ti?
dak berarti lagi. Aku takut hidup dan tugas yang selama
ini kujalani akan diambil dariku.
Aku takut tidak menjadi siapa-siapa lagi.
"Rima!" Oh, gawat. Kenapa Daniel mengikutiku sih?
Dari balik rambutku aku bisa melihat wajahnya yang
tampak shock. Oke, perkembangannya makin keren saja.
Sekarang cowok itu sudah memergokiku menangis. Pasti
rasa ingin tahunya makin menjadi-jadi.
Matilah aku. "Rim?" tanyanya hati-hati. "Lo... nggak apa-apa?"
Aku menggeleng. "Kamu pergi aja deh."
"Nggak." Daniel menggeleng tegas. "Mana mungkin
gue tega ninggalin elo saat elo lagi sedih begini?"
227 Isi-Omen4.indd 227 "Kamu harus pergi," isakku. "Kamu cuma bikin rumit
hidup?ku, dan aku nggak sanggup menanggung semua
ke?rumitan itu..." "Oke, oke." Meski bilang begitu, cowok itu malah me?
melukku dan mencium rambutku. Bodohnya, aku merasa
begitu aman bersamanya. Aku merasakan kedamaian
yang belum pernah kurasakan selama ini selain sewaktu
ber?samanya, dan aku merasa semua akan baik-baik saja
kalau aku tetap bersamanya. Tapi itu adalah ucapan hati,
dan tidak peduli orang-orang berkoar-koar soal "ikutilah
kata hatimu", aku tahu ucapan hati terkadang terlalu
subjektif. Gampang sekali menuruti kata hati dan ke?
inginan diri, sementara sulit sekali mematuhi logika dan
akal sehat. "Kalo lo nggak suka gue deket-deket lagi, gue
nggak akan deket-deket lagi, Rim. Gue janji."
Janji itu demi kebaikanku. Namun jantungku tetap se?
rasa mencelus mendengarnya.
Aku tidak ingin kehilangan dirinya. Aku tidak ingin dia
pergi dari hidupku. "Gue nggak akan mau bikin lo jadi begini sedih. Maafin
gue ya, Rim." Aku merasakan Daniel mencium rambut?ku
sekali lagi sebelum melepaskan pelukannya. Wajahnya juga
sedih sekali, membuatku merasa bagaikan cewek paling
jahat di seluruh dunia. "Gue nggak tau kalo selama ini gue
udah bikin hidup lo susah. Gue pikir..." Cowok itu meng?
geleng-geleng, lalu memaksakan seulas senyum. "Nggak
penting apa yang gue pikirkan. Yang penting ada?lah elo.
Dan ingat, Rim, apa pun yang terjadi, kalo lo butuh gue,
jangan pernah segan-segan manggil gue, oke?"
Cowok itu berbalik lalu berjalan pergi. Waktu serasa
berjalan dengan gerakan lambat, dan di setiap detiknya
228 Isi-Omen4.indd 228 aku punya kesempatan memanggilnya untuk kembali
pada?ku. Tapi aku terus membiarkan detik-detik itu ber?
lalu. Satu detik, dua detik, tiga detik...
Ya Tuhan, rasanya aku kepingin berjongkok lalu me?
nangis meraung-raung sekarang juga.
"Itu keputusan yang tepat."
Tanpa menoleh, aku tahu Putri dan Aya sedang berdiri
di belakangku. "Kamu hampir membocorkan rahasia kita, Rima," ucap
Putri. "Ingat kan kata orang itu?" tanya Aya. "Kalo rahasia
ini terbongkar, kita nggak berguna lagi. Elo mau jadi
orang yang nggak berguna bagi orang itu?"
Tidak. Tentu saja tidak. Itu sebabnya aku menghancur?
kan hatiku sendiri dan, lebih jahat lagi, hati cowok per?
tama yang kucintai sepenuh hatiku.
"Pergi!," ucapku, lebih kasar dari yang kumaksud.
"Tinggalkan aku sekarang."
"Jangan bodoh," tegur Putri Badai dengan suara yang
tidak mirip dengan suara dingin dan jutek Putri Badai.
Suara ini terdengar lembut dan menghibur. "Kalo bukan
kami, memangnya kamu punya siapa lagi?"
Aku membalikkan tubuhku menghadap mereka, na?
mun pandanganku begitu kabur akibat air mata sehingga
yang kulihat hanyalah dua sosok buram dan jelek. Dua
sosok itu mendekatiku, dan hangat tubuh mereka mem?
buatku nyaman saat keduanya memelukku dengan hatihati, seolah-olah aku adalah boneka rapuh yang mudah
pecah. "Semuanya akan baik-baik saja," bisik Putri di telinga?
ku. "Kamu akan kehilangan banyak, tapi nggak ada apa229
Isi-Omen4.indd 229 apanya dengan kehilangan yang akan kita rasakan kalo
kita nggak ketemu orang itu."
"Bagaimanapun, kita masih tetap hidup dan menjalani
kehidupan anak-anak normal," sambung Aya. "Itu udah
jauh lebih baik daripada yang pernah kita bayangkan,
kan?" Ya, aku lupa. Aku lupa dengan semua yang kualami
pada masa kecilku. Ibu yang tidak pernah ada, ayah
yang terus-menerus memukuliku dan saudara-saudariku,
seolah-olah karena kesalahan kamilah ibuku pergi. Akibat
kekurangan gizi dan menjadi sasaran pelampiasan terusmenerus, kami semua jadi lemah dan gampang sakitsakitan. Lalu satu per satu mulai meninggal. Kakakku
dan dua adikku?aku menyaksikan nyawa terenggut di
depan mataku tanpa bisa berbuat apa-apa. Hingga saat
ini rasa sakit yang kurasakan saat kehilangan mereka tak
pernah benar-benar hilang.
Lalu tinggal aku satu-satunya.
Aku tidak tahu kenapa nyawaku begitu alot. Orang
bilang, semangat hidupku sangat tinggi, tapi apakah
mung?kin, mengingat saat itu aku sudah kehilangan se?
gala-galanya? Di dunia ini tidak ada lagi yang peduli
dengan hidup dan matiku. Setiap hari tubuhku dipenuhi
luka-luka yang membuatku sulit bahkan untuk mengurus
diri. Satu hari bisa bertahan berarti satu hari lagi penuh
penderitaan. Masa depan adalah kata yang asing, sesuatu
yang mungkin takkan pernah kucicipi.
Tapi hari itu, di rumah sakit, semuanya berubah. Aku
berubah jadi anak normal, anak yang memiliki hidup
normal dan kesempatan untuk menjadi manusia normal.
Tentu saja, bekas-bekas itu selalu ada: luka permanen
230 Isi-Omen4.indd 230 yang tak mungkin kuhapus di tubuhku, rasa sakit di
dalam dadaku, kulit pucat laksana hantu, dan kemuram?
an yang tak pernah bisa kuusir dari wajahku. Tapi hidup?
ku sudah jauh berubah. Aku jadi punya harapan.
Harapan-harapan yang tadinya kupikir tak mungkin
ada. Juga harapan untuk mencintai dan dicintai.
"Aku jadi serakah," aku mengaku pada kedua orang
yang paling dekat denganku di dunia saat ini.
"Aku juga pernah," sahut Putri perlahan. "Kita pasti
pernah salah, Rim." Putri tahu dia melakukan kesalahan. Tapi kenapa aku
merasa aku tidak bersalah? Kenapa aku merasa aku se?
harus?nya bersama Daniel?
"Setidaknya kita harus tau kapan untuk mundur,
Rim." "Sori," ucap Aya sambil melepaskanku. "Meski gue
nggak keberatan kita bermelankolis-ria, kita harus ber?
henti. Ada orang datang."
Orang yang datang itu ternyata Ajun Inspektur Lukas.
Buru-buru aku menghapus air mataku seraya menunduk
sebelum polisi bertampang ramah namun cerdik luar
biasa itu melihat tampangku yang memalukan.
"Halo, ternyata kalian bertiga di sini." Wajah polisi itu
agak keheranan, membuatku sadar bahwa polisi itu ber?
hasil memergoki tampang cengengku. "Kebetulan saya
me?mang ingin mencari kalian. Nah, Putri Badai, bisabisanya kamu meminta teman-temanmu merahasiakan
surat-surat ancaman yang kalian terima!"
"Saya akui itu kesalahan saya sepenuhnya." Nada suara
Putri kembali menjadi Putri Badai yang dingin dan
231 Isi-Omen4.indd 231 angkuh. "Tapi awalnya saya tidak menduga semuanya
akan separah ini. Itu hanya surat ancaman, dan saya
menerima banyak surat ancaman baik saat menjadi ketua
OSIS maupun menjadi ketua The Judges."
Kurasa Ajun Inspektur Lukas pun tidak berani macammacam pada Putri Badai, soalnya polisi itu tidak me?
marahi Putri seperti dia memarahiku dan Daniel. Ini
Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lebih mirip teguran bersahabat.
"Yah, pokoknya lain kali tidak ada salahnya kalian
mem?beritahu saya kalau ada yang tidak beres. Kalian kan
juga tahu bahwa sekolah kalian ini bukan sekolah
biasa." "Melainkan sekolah terkutuk," celetuk Aya.
"Saya tidak menganggap remeh reputasi itu," kata
Ajun Inspektur Lukas serius.
"Apalagi kami, Pak," tegas Putri. "Maafkan kami. Lain
kali kami akan lebih transparan terhadap pihak ke?polisian.
Ada yang perlu Bapak tanyakan pada kami se?karang?"
"Hmm." Ajun Inspektur Lukas berpikir sejenak. "Hanya
satu pertanyaan, dan kalian harus menjawab dengan
jujur. Ada orang yang kalian curigai?"
"Untuk saat ini belum," geleng Putri. "Kalau nggak
ada lagi yang ditanyakan, sekarang kami permisi dulu,
Pak. Ada hal-hal lain yang harus kami urus."
"Eh, tunggu dulu. Rima, kamu tahu tidak, saat ini
Daniel ada di mana?"
Aku berusaha memasang wajah sedatar mungkin.
"Nggak, Pak." "Wah, aneh. Padahal tadi dia bilang mau bantu saya.
Ya sudah, tidak apa-apa. Kalian boleh pergi. Kalau kalian
bertemu Daniel, bilang ya saya mencari dia!"
232 Isi-Omen4.indd 232 Kami bergegas meninggalkan Ajun Inspektur Lukas.
"Polisi yang mengerikan," ucap Aya sambil bergidik.
"Dari semua orang, cuma dia yang paling bikin gue ke?
takutan. Sepertinya dia sanggup membongkar semua
side-job yang gue lakukan."
"Tapi kan kamu nggak pernah jual-beli barang ilegal,
Ya," cetusku heran. "Memang sih. Tapi tetep aja, duit gue kelewat banyak
untuk anak SMA. Kalo sampe disita, gue bisa nangis da?
rah." Kadang aku bertanya-tanya berapa besar tabungan
yang sudah dikumpulkan oleh Aya. Kurasa cukup bagi?
nya untuk melarikan diri dan berganti identitas pada
saat dia mulai dikejar-kejar pihak kepolisian. "Sekarang,
apa yang harus kita lakukan?"
"Tadi kami udah menanyakan info soal kejadian Ida
pada polisi-polisi yang menjaga TKP," ucap Putri. "Tapi
sepertinya nggak ada jejak yang berarti."
"Bukan cuma nggak ada jejak." Aku menghela napas.
"Kejadian ini malah menghapus alibi semua tersangka
yang ada..." Oke, mendadak kalimat itu terdengar janggal di kepala?
ku. "Ada apa?" tanya Putri.
"Kejadian kedua ini benar-benar aneh," ucapku per?
lahan. "Dilakukan orang-orang yang supernekat, di de?
pan polisi-polisi yang masih berkeliaran, dan secara ke?
betulan menghapus alibi para tersangka."
"Maksudmu, kejadian ini bukan kebetulan," kata Putri
menegaskan pikiranku. "Bukan sama sekali," sahutku. "Kejadian supernekat ini
233 Isi-Omen4.indd 233 memang dilakukan dengan tujuan untuk menghapus
alibi para tersangka."
"Berarti, pelakunya benar-benar ada di antara para ter?
sangka itu!" seru Aya penuh semangat. "Wah, semua ini
mulai terasa menarik nih!"
"Juga berarti pelakunya benar-benar cerdik sekaligus
nekat," kata Putri dengan mata separuh menerawang.
"Se?jauh ini para tersangka saling menegaskan alibi me?
reka. Belum lagi ada polisi yang menjaga mereka. Dua
orang." "Kecuali waktu Amir harus pergi ke toilet karena
mulas," ucapku. "Dia dikawal oleh seorang polisi. Lagi
pula, kita tau Amir nggak mungkin pelakunya."
"Lo terlalu bias, Rim," cela Aya. "Mentang-mentang
dia temen Daniel, lo langsung mengeliminasi dia sebagai
tersangka?" "Bukan begitu," balasku, "tapi coba pikir. Bagaimana
kalo Amir dan salah satu polisi itu memang sengaja di?
enyah?kan supaya dia nggak menyadari ada orang yang
hilang pada saat penginterogasian sedang dilakukan?
Kalau tinggal satu polisi, perhatiannya gampang dialih?
kan, kan?" "Kalo memang itu yang mereka lakukan, kurasa aku ha?
rus ngasih tepuk tangan untuk Kelompok Radikal AntiJudges ini," kata Putri datar. "Rencana mereka bener-bener
luar biasa." "Tapi bukannya nggak mungkin dilakukan," sahutku.
"Amir dalam kondisi shock. Dia butuh minum. Orang
gam?pang banget nawarin dia minuman berisi obat pen?
cahar. Amir sendiri nggak menduga dan mengira perut?
nya yang mulas diakibatkan rasa shock-nya."
234 Isi-Omen4.indd 234 "Nah, siapa teman Amir yang bisa ngasih dia minum?
an sekaligus orang yang bisa ngambil keuntungan dari
situasi ini?" Pertanyaan yang Aya lontarkan itu seperti?
nya ditujukan pada dirinya sendiri. "Cewek-cewek itu!
Cewek-cewek yang bersama dia!"
"Cecil, Kiko, dan..."
"Nggak cuma mereka," sela Putri. "Aku udah ngecek.
Hampir semua tersangka kenal Amir. Kalian tau cowok
itu lumayan senang bergaul."
"Kok kamu bisa tau, Put?" tanyaku heran.
"Tadi aku bertanya pada polisi-polisi yang menjaga
mereka," senyum Putri. "Dan nama Putri Badai selalu
berhasil bikin semua orang kerja sama."
Wow! Kuharap suatu saat aku juga bisa begitu. "Jadi
kita sekarang harus benar-benar menegaskan alibi me?re?
ka?" "Betul sekali," angguk Putri Badai. "Soal itu, aku serah?
kan padamu, Rim." "Tapi... aku sama sekali nggak jago dalam soal begini?
an." "Makanya. Gunakan Valeria dan Erika."
Aduh! Hati nuraniku merasa tak enak saat mendengar
kata "gunakan" diikuti nama orang-orang yang kita
anggap teman. Seolah-olah kita ingin memperalat me?
reka. Tetapi, sepertinya Putri tidak punya masalah de?
ngan hati nuraninya, soalnya dia terus memelototiku
hingga aku terpaksa menjawab, "Oke."
Seperti yang sudah kuduga, hati cewek itu terbuat dari
es. Dengan wajah yang sama sekali tidak berterima kasih
(padahal tugas ini sangat menakutkan dan seharusnya
aku menolaknya saja), Putri mengangguk. "Bagus. Aku
235 Isi-Omen4.indd 235 dan Aya akan mengurus masalah lain. Kami serahkan
masa?lah ini padamu."
Aku tahu Putri sengaja tidak mau memberitahukan
apa yang akan dia lakukan bersama Aya, tapi aku tidak
akan bertanya padanya. Aku bukan tipe orang yang
kepo, sebenarnya. Aku hanya akan ikut campur kalau
me?mang keterlibatanku tak bisa dihindari. Tambahan
lagi, Putri jauh lebih bijak daripada aku dan pandai me?
lihat gambaran besar sebuah peristiwa. Membandingkan
aku dengannya sama saja dengan membandingkan pre?
siden dengan tukang ramal jalanan. Bukan hanya tahu
apa yang harus dia lakukan, dia juga pandai bela diri
se?hingga bisa melindungi diri sendiri. Dan kini dia mem?
b?awa-bawa Aya yang penuh perhitungan pula. Bisa di?
bilang mereka adalah dream team.
Sementara aku adalah tim harakiri alias tim yang di?
tugaskan untuk mengorbankan diri, untuk menghadapi
dream team lainnya. Demi para anjing cerberus yang lucu-lucu, aku benarbenar dalam masalah besar.
Aku berhasil menemukan Valeria dan Erika sedang ber?
cakap-cakap dengan Ajun Inspektur Lukas dan entah
siapa lagi. Rasanya agak kurang ajar kalau aku tiba-tiba
menyeruak dan nimbrung dalam pembicaraan mereka.
Lagi pula, pembicaraan terakhir kami tidak bisa dibilang
bersahabat. Bisa saja mereka menganggapku tidak ada,
atau, lebih parah lagi, menginjak-injakku lalu menendang?
ku ke tong sampah terdekat yang dipenuhi lalat, lalu
menancapkan nisan di sana. Yah, aku tahu itu ter?dengar
lebay, tapi sebegitulah takutnya aku meng?hadapi me?
reka. 236 Isi-Omen4.indd 236 Tapi aku harus menghadapi mereka, karena itulah
tugas?ku saat ini. "Rima, ngapain kamu berdiri di situ? Ayo, ikut ber?
gabung di sini!" Berhubung Ajun Inspektur Lukas sudah melambailambai ke arahku, aku tidak punya pilihan lagi selain
ikut bergabung. Celakanya, meski Valeria tersenyum pada?
ku, Erika menyambutku dengan seringai penuh gigi yang
rada menakutkan. Lebih celaka lagi, orang terakhir yang bicara dengan
mereka adalah Daniel. Oh, gawat. Sekarang aku harus bagaimana?
237 Isi-Omen4.indd 237 Daniel BERANI taruhan, Rima sedang membayangkan dirinya
ada??lah buronan yang kepergok dan siap untuk kabur se?
cepat-cepatnya sebelum dihadapkan ke mimpi buruk?
nya. Dalam hal ini, mimpi buruknya adalah aku.
Bukannya aku lebay. Bahkan, sebenarnya aku bingung
banget. Meskipun tidak punya kemampuan bela diri dan
terlihat begitu rapuh hingga bisa saja dia terbang dibawa
angin, Rima adalah cewek yang sangat tangguh. Sudah
berkali-kali dia dikelilingi bahaya, dan tidak sekali pun
dia terlihat gentar. Bahkan dalam situasi gawat, dia tidak
segan-segan mengajukan rencana yang membahayakan
nyawanya demi keselamatan semua orang. Sejujurnya,
itulah yang membuatku kagum gila-gilaan pada Rima.
Dan menyaksikan cewek setangguh itu menangis mem?
buat hatiku hancur berantakan. Seandainya saja aku tahu
kesalahan apa yang sudah kulakukan, semuanya pasti
akan jauh lebih mudah. Sayangnya, kenyataan tidak se?
gampang itu. Sedari tadi aku berpikir keras, membuat
238 Isi-Omen4.indd 238 dugaan-dugaan, merancang rencana, tak ada satu pun
yang terdengar cerdas bahkan di telingaku sendiri.
Utang budi, katanya. Utang budi seperti apa? Uang?
kah? Kalau memang itu, aku tidak keberatan menyerah?
kan dompetku, lengkap dengan kartu kredit dan debit,
kalau perlu sekalian jam tangan dan mobilku. Tak apaapa, tanpa semua itu, aku masih tetap ganteng kok.
Sayangnya, kurasa masalahnya tidak sesederhana itu.
Aku ingat, dulu sekali, pernah tak sengaja aku meng?
angkat tanganku di depan Rima. Respons spontan cewek
itu adalah langsung melindungi mukanya sendiri. Tindak?
an yang membuatku shock, karena jelas-jelas menanda?
kan dia takut dipukuli olehku. Sumpah, seumur hidup
aku tidak pernah memukuli cewek. Bahkan terhadap
Erika yang senang memukuliku, aku hanya main-main
saja (bukannya aku sok, tapi kalau kukerahkan tenagaku
yang sebenarnya, cewek itu tak bakalan bertahan lebih
dari sepuluh detik. Tapi kalian jangan bilang-bilang pada?
nya ya, bisa-bisa besok aku babak-belur). Jadi, reaksi
Rima yang seperti itu langsung memukul perasaanku?
sekaligus membuatku jatuh simpati padanya.
Terkadang pada saat malam buta, saat aku tidak bisa
tidur, aku membayangkan masa kecil Rima. Seperti apa
masa kecil seorang cewek yang membuatnya mengira
orang-orang tega memukulinya seperti itu? Lalu bekas
luka jahitan di pelipisnya. Bekas luka itu pastilah salah
satu jejak masa lalu yang harus ditanggungnya seumur
hidup. Barangkali masih ada bekas-bekas luka lain yang
tak terlihat olehku. Membayangkan Rima disakiti sampai
seperti itu membuat hatiku perih.
Utang budi. Berarti, ada seseorang yang akhirnya me?
239 Isi-Omen4.indd 239 nolong Rima. Buktinya, sekarang Rima tidak pernah
meng?alami luka-luka lagi. Tetapi, apa pun utang budinya
dan bagaimana cara Rima membayar utang budi itu, me?
mangnya apa hubungannya denganku, dengan kami?
Tidak mungkin kan Rima membayar utang budi itu
de?ngan perjanjian untuk menikahi penolongnya atau
anak penolongnya atau kakek penolongnya?
Ah, apa sih yang kupikirkan? Ini sudah zaman mo?
dern. Mana ada perjanjian menikah semacam itu lagi?
Memangnya zaman Siti Nurbaya? Lagian, kupikir Rima
takkan sebodoh itu menepati perjanjian yang aneh-aneh.
Aku tahu, terkadang orang rela melakukan hal-hal bodoh
demi keluar dari masalah, seperti menjual diri atau se?
jenisnya. Tapi Rima bukan cewek seperti itu. Seperti yang
kubilang, dia cewek yang tangguh.
Pasti ada sesuatu yang lain, dan aku ingin sekali tahu
apa?kah itu. Tapi aku takut rasa ingin tahuku menempat?
kan Rima pada posisi yang sulit.
Sekarang pun aku sudah membuatnya kesulitan. Bukti?
nya, tampang Rima kelihatan terpaksa banget saat dia
men?dekati kami. Oke, tampangnya tetap datar sih, se?
perti biasa. Tapi aku bisa merasakan keengganannya
bergabung dengan kami. "Hai." Aku lega saat Val merangkul Rima dan mem?
buat?nya merasa lebih nyaman. "Jangan jauh-jauh dari
kami, Rim. Takutnya si pelaku gila sedang berkeliaran di
sekitar sini mencari mangsa."
Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kami akan menginterogasi ulang para tersangka da?
lam kasus pertama," lanjut Ajun Inspektur Lukas. "Se?
pertinya, kasus kedua yang kelihatan nekat, dilakukan
un?tuk menghilangkan alibi tersangka pada kasus per?
240 Isi-Omen4.indd 240 tama. Jadi, kemungkinan besar si pelaku ada di antara
mereka." "Kemungkinan besar?" dengus Erika. "Jelas banget pe?
laku itu ada di antara mereka. Nggak mungkin ada orang
yang begini nekat, mendandani badut hanya karena
hobi." "Aku setuju," angguk Rima. "Tadinya aku juga datang
untuk memberitahu kalian teori ini."
Mendengar ucapannya, mau tak mau aku tersenyum.
My Lady Sherlock. Dia memang selalu bisa diandalkan
untuk menarik hubungan dari setiap fakta yang ada.
"Itu ramalan atau logika?" canda Ajun Inspektur Lukas.
"Bapak percaya ramalan?" balas Rima.
"Ramalan yang soal saya akan naik pangkat sih, saya
per?caya." "Pak," tukas Erika, "tolong, jangan ngimpi soal naik
pangkat dulu sebelum menyelesaikan kasus. Kalo kasus
ini nggak terpecahkan, jangankan naik pangkat, bisa-bisa
Bapak tau-tau udah jadi tukang bersih-bersih WC di
kantor polisi." "Kamu memang menyebalkan, Erika," gerutu Ajun Ins?
pektur Lukas. "Kalau kamu berani melakukan hal ilegal,
sudah pasti hukumanmu adalah bersih-bersih WC di
kantor polisi." "Ah, mana mungkin saya sebodoh itu, bisa ketangkep
sama Bapak." "Just wait and see," seringai Ajun Inspektur Lukas.
"Untuk sekarang, kita gencatan senjata dulu. Kalian
bantu saya interogasi para tersangka ya."
"Cih, dasar manipulator. Begitu butuh aja, gencatan
senjata. Coba kalo nanti saya yang butuh."
241 Isi-Omen4.indd 241 "Sudah pasti kamu bakalan dicampakkan begitu saja.
Nah, saya akan mengurus dua orang polisi yang jadi penga?
wal tadi, sementara Erika dan Val, kalian ambil Amir..."
"Lho, kok mereka yang ambil Amir?" protesku.
"Karena dia temanmu dan kemungkinan kamu punya
kecenderungan untuk membela dia. Lagi pula, dia lebih
takut pada Erika." Sial, alasan kedua ini sulit kubantah. "Oke." Dan rasa?nya
tambah menyebalkan saja saat melihat cengiran Erika.
"Ambil juga Kiko, Preti, Tini, Ronny, dan Martinus..."
"Cihuyyy!" Erika menggosok-gosok tangannya. "Waktu?
nya gebukin si Anus lagi!"
Martinus alias Anus adalah salah satu duri dalam
daging Erika. Cowok itu tipe pecundang banget, tapi
tidak pernah malu tampil heboh. Meskipun Anus sering
bikin sebal banyak orang, cuma Erika yang tidak segansegan menaboknya tanpa menunggunya bikin masalah.
Itu sebabnya Anus benci sekali pada Erika. Gosipnya,
dari waktu ke waktu, dia rajin melaporkan semua kegiat?
an kriminal Erika pada guru. Untungnya guru yang di?
pilihnya adalah Pak Rufus yang konon sayang setengah
mati pada Erika. Tentu saja laporan-laporan itu tidak
digubris sama sekali. Yah, tidak perlu membahas si Anus panjang lebar. Dia
tidak penting banget sih.
"Sedangkan kalian, Daniel dan Rima, ambil Chris,
Erwin, Damian, Joyce, Vinny, Cecil, dan Nikki."
Aku menoleh pada Rima dan bertanya waswas, "Elo oke
sama pembagian ini, Rim? Kalo mau, lo bisa pasangan
sama Val aja." Yah, tidak perlu ditanya lagi, aku kegirangan banget
242 Isi-Omen4.indd 242 waktu tadi Ajun Inspektur Lukas menyebut Erika dan Val
sebagai satu tim. Ini berarti aku kebagian tugas bareng
Rima. Tetapi aku sudah berjanji pada Rima bahwa aku
tidak bakalan mendekatinya lagi. Janji yang sulit banget
untuk kupenuhi, berhubung aku punya kebutuhan yang
amat besar untuk selalu dekat-dekat dengannya, tapi aku
berniat menepatinya dengan sebaik-baiknya.
Rima memandang Erika dan Val?dan kulihat Erika
menyeringai seraya memamerkan gigi taringnya yang
me?mang lebih runcing daripada gigi taring manusia
biasa. "Nggak apa-apa. Aku sama kamu aja."
Terkadang aku bersyukur Erika punya kebuasan yang bi?
kin takut segala makhluk di dunia ini. "Oke kalo gitu."
"Saya sudah suruh para petugas untuk menge?lompok?
kan mereka sesuai pembagian tadi, jadi kalian tinggal
temui saja. Erika dan Val, kalian masuk ke tenda jelek
sebelah sana. Daniel dan Rima, kalian ke tenda jelek se?
belah situ." "Siap, Pak!" Kami segera menuju tenda gudang yang ditunjuk Ajun
Inspektur Lukas. Aku berjalan dengan berhati-hati, ber?
usaha menjaga jarak aman supaya Rima tidak marah
atau sedih lagi. Suasana terasa canggung, dan keheningan
yang biasanya menyenangkan saat bersamanya kini ma?
lah terasa tak tertahankan.
"Lo bener-bener nggak apa-apa, kita kerja berdua se?
perti ini?" tanyaku akhirnya.
"Nggak apa-apa," geleng Rima. "Aku memang lebih
ber?harap kita bisa bersikap seperti biasa saja. Maksudku,
jangan sampai saling menghindari atau apa. Jadinya kan
canggung... kayak sekarang ini."
243 Isi-Omen4.indd 243 Oh. Haha. Kupikir cuma aku yang merasa canggung.
"Jadi, lo maunya kita gimana?"
"Kalo boleh, aku ingin kita tetap berteman seperti
dulu," katanya sambil menatapku. "Kalo kamu masih
mau." "Mau!" sahutku cepat. "Tentu saja mau!"
Oke, aku tidak bermaksud kedengaran ngebet seperti
rubah ditawari makan malam bareng si Tudung Merah.
Untungnya Rima tidak merasa sikapku menggelikan,
karena cewek itu akhirnya tersenyum. "Baguslah kalau
be?gitu." Kami masuk ke dalam tenda dan menemui orang
pertama, yang langsung kukenali sebagai Damian.
Ups! Asal tahu saja, Damian adalah kabar heboh tahun ini.
Dia cowok pindahan dari sekolah lain, langsung berhasil
masuk kelas XII IPA 1 tanpa banyak cincong. Yep, sebe?
gitu?lah geniusnya dia. Tetapi, gosipnya dia punya repu?
tasi yang amat sangat buruk di sekolah lamanya, yang
membuatnya terpaksa pindah sekolah pada tahun ter?
akhir. Ada yang bilang dia memukuli guru sampai guru
malang tersebut harus masuk UGD, dan orangtua
Damian membayar uang perawatan guru itu serta mem?
beri lagi sejumlah duit untuk membungkam guru ter?
sebut, plus dia juga harus keluar dari sekolah tersebut.
Ada lagi yang bilang, Damian memeras teman-teman
satu sekolahannya selama bertahun-tahun. Lalu suatu
hari, teman-temannya tak tahan lagi. Lima belas orang
mengepungnya sepulang sekolah?dan semuanya ditemu?
kan dalam kondisi kritis dan harus masuk UGD. Kalau
sampai Damian masuk sekolah lagi, dia akan dibunuh
244 Isi-Omen4.indd 244 oleh teman-teman satu sekolah yang dendam padanya.
Itu sebabnya dia harus keluar dari sekolah.
Gosip lain mengatakan bahwa Damian memacari se?
orang cewek, menghamilinya, menolak menikahinya,
dan cewek itu menikamnya dengan pisau dari belakang.
Cewek itu akhirnya mendekam di UGD akibat keguguran
yang tidak disengaja. Demi nama baiknya, Damian ter?
paksa pindah sekolah. Tidak ada yang tahu gosip mana
yang benar?semuanya salah, atau semuanya benar. Yang
jelas, semua gosip itu mengakibatkan dia dijuluki "Pe?
nyerang untuk tim UGD". Tidak ada satu orang pun
yang berani macam-macam padanya karena tidak ingin
berakhir dalam UGD. Aku tahu, gosip-gosip itu terdengar terlalu mengadaada. Tapi kalau kalian melihat bodi Damian yang ter?
masyhur itu, berani taruhan kalian langsung percaya
semua gosip itu. Tubuh cowok itu tinggi?lebih tinggi
dariku?yaitu lebih dari 190 cm, dan semuanya terdiri
atas otot (tidak perlu dipertanyakan lagi, perut di balik
kaus bergambar tengkorak itu pasti six pack). Mukanya
pun buas, dengan alis setebal alis Crayon Shinchan,
retina mata yang selalu tampak merah, dan tatapan mata
yang sepertinya tidak menyatu?melainkan memancar ke
segala arah. Dia benar-benar mengingatkanku pada Guan
Yu, pahlawan perang zaman Tiga Kerajaan yang kemudi?
an dianggap sebagai dewa perang Cina. Berani taruhan,
sama seperti Guan Yu, anak ini juga tidur dengan mata
terbuka. Dan mukanya luar biasa tak senang saat kami temui
saat ini. Sejauh ini, aku tidak pernah berurusan dengan Damian.
245 Isi-Omen4.indd 245 Yah, dia kan sudah kelas XII, sementara aku masih kelas XI.
Kebanyakan cowok kelas XII memujaku dan menganggapku
idola mereka. Sisanya, aku tidak terlalu peduli. Aku tidak
menganggap Damian sebagai ancaman, tapi aku juga tidak
berminat mencari masalah dengannya.
Sampai detik ini. "Kenapa gue masih ditahan sampe sekarang?" tanya?
nya dengan suara seperti raungan beruang.
"Sori, Damn." Eh, bukan salahku memanggilnya dengan nama seperti
itu. Maksudku, nama Damian itu nama macam apa sih?
Tidak ada nama panggilan yang menyenangkan untuk
nama itu. Dam, Mi, atau An. Yah, jelas aku tak mungkin
memanggilnya "Mi"?kedengarannya seperti "Mami"?
atau "An" yang kedengarannya imut banget. Satu-satunya
nama panggilan yang cocok adalah "Dam", tapi saat aku
menyebutkannya, nama itu kedengaran seperti kata
damn. "Eh, sori," ucapku sekali lagi. "Maksud gue, Damian."
Untungnya, cowok itu cuma misuh-misuh.
"Hai, Damian," ucap Rima datar, seolah-olah dia tidak
mengetahui reputasi Damian sama sekali. "Kamu tadi
bilang ke polisi, waktu kejadian insiden pertama kamu
ada di dalam toilet cowok?"
"Yep." "Ada bukti atau saksi yang bisa mendukung cerita?
mu?" "Tadi kan gue udah bilang ke polisi dan anak ini."
Sial, aku disebut "anak ini" dengan nada seolah-olah
aku masih ingusan dan perlu ditendang sejauh mungkin
supaya tidak mengacau. 246 Isi-Omen4.indd 246 "Ya, tapi kan kamu belum bilang sama aku."
Anak itu memandangi Rima lama-lama dengan tatapan
kurang ajar yang membuatku kepingin mengorek mata?
nya. "Ya ampun, lo bener-bener mirip Sadako!"
"Hei, tolong ya jaga tuh mulut...!" Aku menyergah,
tapi Rima mengangkat tangan untuk menyetop ucapan?
ku. "Komentar yang basi," sahut Rima tenang. "Di sekitar
sini, nggak ada yang nggak tau sekolah kita juga punya
Dendam Empu Bharada 1 Pendekar Slebor 52 Pulau Seribu Setan Seruling Sakti 27
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama