Ceritasilat Novel Online

Malam Karnaval Berdarah 4

Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu Bagian 4


satu Sadako. Jadi kamu bisa jawab pertanyaanku?"
Omaygaaat! Cewek ini benar-benar cool. Bisa kulihat si
striker UGD ini juga terkesan.
"Gue nggak akan sebut nama," ucap Damian dengan
sikap menyebalkan. "Tapi gue rasa semua orang yang
lagi punya urusan di toilet cowok bisa mastiin gue ada
di situ. Kalian tau," anak itu mengangkat alisnya dengan
gaya pongah, "selebriti."
Benar-benar anak ingusan yang perlu ditonjok barang
satu-dua kali biar tidak melayang-layang terus akibat
kesombongannya (oke, hanya karena dia duduk di kelas
XII, tidak berarti dia lebih tua dariku).
"Kami akan tanya ke orang lain," angguk Rima, sama
sekali tidak terpengaruh oleh gaya over-pede Damian.
"Per?tanyaan kedua, sewaktu interogasi, kamu tetap ada
di tempat sepanjang waktu?"
"Yep, dan sama seperti jawaban pertanyaan pertama,
gue nggak perlu sebutin nama. Semua orang tau gue ada
di situ." "Pertanyaan terakhir, kamu melihat ada yang mening?
gal?kan ruang tunggu?"
"Nggak tuh. Gue nggak berminat perhatiin orang lain."
247 Isi-Omen4.indd 247 Oke, anak brengsek ini benar-benar memiliki kesom?
bong?an tingkat tinggi. "Oke, akan kukonfirmasikan keteranganmu. Kamu su?
dah ngasih tau polisi nomor teleponmu yang bisa dihu?
bu?ngi?" "Yep." Asli deh, setiap kali dia mengucapkan "yep" dengan
nada menyebalkan itu, aku kepingin banget menjotos
mulutnya. Habis, kedengarannya sok cuek banget.
"Rima Hujan" Rima menoleh pada Damian. "Ya?"
"Gimana rasanya jadi cewek yang paling ditakuti di
seluruh sekolah?" Ujung bibir Rima terangkat. "Cewek yang paling di?
takuti di seluruh sekolah tuh namanya Erika Guruh,
bukan Rima Hujan." "Yang gue denger nggak begitu."
Rasanya gemas melihat Rima tersenyum sekali lagi.
Dasar Damian tukang cari perhatian. "Rasanya kira-kira
nggak akan beda jauh dengan jadi cowok paling ditakuti
di seluruh sekolah."
Omaygaaat! Apa aku tidak salah dengar? Rima dan si
pongah itu main ledek-ledekan!
Lebih mengesalkan lagi, anak yang biasanya bermuka
bengis itu balas tersenyum pada Rima. "Sampai ketemu
lagi, Miss Sadako." Brengsek! Rima bukan Miss Sadako. Dia Lady Sherlock,
keparat! Rima mengangguk pada petugas polisi yang menjaga
tenda, yang lalu memanggil orang berikutnya, Chris.
248 Isi-Omen4.indd 248 "Kali ini jangan flirting lagi sama tersangka ya," gumam?
ku. Rima melirik ke arahku. "Flirting?"
Ups, lagi-lagi aku menyinggung masalah itu. "Nggak,
nggak apa-apa." Chris adalah anak kelas X yang rada pendiam, dingin,
dan tertutup?tapi juga bukan anak yang bandel. Gosip?
nya, dia berasal dari keluarga kacau-balau. Ibu yang senang
bergonta-ganti suami, ayah tiri yang pemurah namun
palsu, kakak cewek yang punya reputasi buruk. Akhir tahun
lalu, terjadi musibah dalam keluarganya yang meng?akibat?
kan Chris kini tinggal sendirian, tapi ke?lihatannya dia bisa
mengatasi semua itu jauh lebih baik daripada yang sanggup
dilakukan kebanyakan orang.
Kami mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama
dengan yang kami ajukan pada Damian, tetapi dari anak
pendiam ini kami tidak mendapatkan banyak info.
Namun begitu, kami berhasil mengonfirmasikan keber?
adaan Damian pada kedua peristiwa itu. Chris bilang,
saat Damian nongol di toilet, semua orang yang sedang
mengantre langsung minggir dan memberi jalan?kecuali
dirinya. Mereka berdua pipis bareng dengan akrab saat
ter?dengar jeritan dari toilet cewek.
"Gue ada di bangku tunggu interogasi sepanjang wak?
tu," ucap Chris pada saat kami melontarkan pertanyaan
kedua. "Kalian bisa tanya Feby dan Regi. Kami bersamasama soalnya. Damian? Ya, dia juga ada di situ terus.
Kami nggak ninggalin bangku sedetik pun. Toh kami
nggak disuruh nunggu lama-lama banget. Orang lain
yang ninggalin ruang tunggu? Hmm, cowok yang bodi?
nya gede banget itu kali ya. Amir, kalo nggak salah?"
249 Isi-Omen4.indd 249 Orang berikutnya yang kami periksa adalah Erwin,
anak satu angkatan kami yang biasa-biasa saja. Tam?pang?
nya biasa-biasa, prestasinya biasa-biasa saja, orangtuanya
cukup tajir sehingga Erwin termasuk salah satu anak
yang sempat kuporoti di masa lalu (jangan tanya, aku
punya banyak cerita masa lalu yang kelam). Dia ter?
masuk salah satu anak yang buru-buru minggir saat
Damian memasuki toilet, dan dia juga mengaku terus
menempel di bangku tunggu interogasi saking takutnya
pada Damian yang memelototinya sepanjang waktu.
Ketika ditanya siapa yang meninggalkan ruang tunggu,
dia juga hanya menjawab Amir.
Setelah Erwin, kami beralih pada cewek-cewek. Dimulai
dengan Joyce dan Vinny, dua adik kelas kami dari kelas
X dan bersahabat akrab. Meskipun diinterogasi secara
ter?pisah, keduanya memberikan informasi yang saling
menguatkan sekaligus sama membingungkannya. Me?
nurut keterangan mereka, keduanya sedang asyik ber?
dandan saat Cecil mulai menjerit.
"Sejujurnya, kami nggak bisa nggak memperhatikan
cewek yang menjerit itu," kata Joyce. "Sejak masuk ke
toilet, dia berisik banget bersama temen-temennya. Rasa?
nya semua orang di toilet itu lenyap dan yang ada ha?
nya mereka." "Tapi gue nggak bisa menghitung jumlah mereka,"
kata Vinny sambil mengingat-ingat. "Tiga? Atau empat?
Sepertinya ada empat orang ya."
"Tiga orang, gue rasa," kata Joyce lebih yakin daripada
Vinny. "Bukan, bukan setelah kecelakaan, tapi sebelum?
nya. Tapi gue akui, mereka memang kedengerannya lebih
banyak. Habis, mereka terlalu ribut, terlalu heboh, terlalu
250 Isi-Omen4.indd 250 mengganggu. Kami harus berusaha keras nggak me?nying?
gung mereka, soalnya satu senggolan yang nggak di?
sengaja aja bisa mengakibatkan kami dimaki-maki di
depan umum." Aku tidak bisa menyalahkan mereka. Geng cewek itu
memang menakutkan. Aku saja tidak terlalu berani me?
nentang mereka. Bisa-bisa aku dikerubuti dengan ganas,
dan sepeninggalan mereka aku tinggal tulang-belulang
saja. "Yang meninggalkan ruang tunggu waktu diinterogasi?
Sepertinya cowok yang gemuk itu."
"Kalo nggak salah, namanya Amir."
"Gimana dengan geng cewek itu?" tanyaku.
Meskipun ditanya secara terpisah, jawaban dua cewek
itu sama. "Mereka berdua tetap di situ kok."
"Berdua?" Nah lho. "Seharusnya ada tiga."
"Masa?" Vinny mengerutkan alis. "Seinget gue ada dua
kok." "Pasti cuma dua," kata Joyce pede. "Kami nggak se?
rame itu kok." "Yang mana yang bersama kalian?" tanya Rima datar,
pada?hal aku sudah semangat banget mendengar per?
kembangan baru ini. "Entahlah. Mereka semua terlihat sama."
Sepeninggal mereka, aku dan Rima bertatapan.
"Dari awal, mereka nggak yakin ada berapa cewek
yang ada di situ," Rima mengutarakan apa yang juga ada
di dalam hatiku. 251 Isi-Omen4.indd 251 "Mungkin ada salah satu yang sering menghilang,
sehingga Joyce dan Vinny jadi bingung?" dugaku.
"Mungkin, tapi kita jangan menarik kesimpulan dulu.
Lebih baik kita interogasi dua cewek yang paling men?
curigakan ini." Aku mengangguk. Sepertinya dua interogasi terakhir
ini bakalan seru. Jadi kami pun menginterogasi Cecil.
Aku agak panik saat melihat Cecil masuk seraya me?
nangis. Omaygaaat! Sepertinya cewek ini menangis terus
sejak tadi. Bukannya aku tidak mengerti rasa sedih dan
takut yang dialaminya, tapi memangnya air matanya
tidak ada habis-habisnya gitu? Oke, aku memang sering
salting melihat cewek menangis, tapi yang ini benarbenar membuatku kepingin kabur.
Aku melirik Rima. Kesebalanku berubah jadi rasa geli
melihat datarnya wajah cewek itu. Dia sama sekali tidak
terlihat prihatin, bersimpati, ataupun terganggu. Benarbenar lempeng banget?dan tidak palsu. Aku sungguhsungguh menyukai cewek yang jujur begini ini.
"Maaf ya, Cil, tapi kami harus menanyakan beberapa
pertanyaan lagi padamu."
Cecil mengangguk seraya menyusut air matanya bak
pemeran cewek malang dan tertindas dalam film drama
murahan yang pembuatannya buruk.
"Gimana caranya kamu menemukan Nina?"
Cecil berkedap-kedip bingung. "Gue udah ceritain ke
Daniel kok." "Ya, kamu belum cerita sama aku, dan Daniel nggak
pinter cerita." Aku memandangi Rima dengan geli bercampur sewot.
252 Isi-Omen4.indd 252 Kenapa cewek ini tahu-tahu menghina kemampuanku
bercerita? Begini-begini aku kan anak novelis terkenal.
"Oh, oke deh. Begini ceritanya." Kali ini suara Cecil
lebih dramatis ketimbang gaya bercerita yang pertama
kali dilakukannya. "Awalnya kami mengantre di depan
bilik toilet dengan manisnya. Nina ngantre di depan gue,
sementara Kiko dan Nikki di barisan sebelah."
"Yang di depan siapa?"
Cecil berkedip. "Apa?"
"Barisan di sebelahmu," ucap Rima sabar. "Siapa yang
di depan?" "Oh, itu sih Kiko."
"Oke, lanjutkan."
"Nina masuk duluan, tapi setelah Kiko dan Nikki yang
masuk belakangan udah keluar, Nina belum keluar juga.
Jadi gue mulai menggedor. Tapi ternyata pintunya
langsung terbuka, dan gue langsung menjerit..."
Cecil menutupi mulut dengan dua tangan dan mulai
menangis lagi. Sejujurnya, setelah mendengarnya begitu
sering, tangisan itu jadi terdengar palsu banget. Padahal,
sumpah deh, andai dia tidak menangis, aku tak bakalan
menganggapnya jahat kok. "Gue... gue..." Sesaat Cecil hanya bisa terisak-isak.
"Gue nggak mungkin lupa matanya yang dikasih eyeshadow biru, pipi dikasih blush-on merah, dan bibir
berlipstik merah itu..."
"Mengerikan, ya?" ucap Rima perlahan. "Dan hidung?
nya itu lho." "Disumbat pakai tomat," Cecil bergidik. "Psikopat mana
yang tega ngelakuin itu pada Nina dan Ida?"
"Kamu kira-kira bisa menduga alasannya?"
253 Isi-Omen4.indd 253 "Entahlah, kami nggak pernah jahat sama siapa pun,"
desah Cecil dengan wajah nelangsa. Lalu, men?dadak, ia
seolah mendapat pencerahan. "Tapi kami per?nah denger
ada yang suka ngata-ngatain OSIS. Mungkin kami cuma
korban lantaran kami anggota OSIS."
Oke, sekarang dia mendapatkan perhatianku. "Siapa
nama?nya?" "Entahlah, dia nggak terlalu terkenal." Cecil mengerut?
kan alis. "Tapi dia bergaul dengan anak nakal itu lho,
preman yang bikin reputasi sekolah kita jadi jelek itu..."
"Gue?" tanyaku melongo.
"Bukan, tentu dong bukan elo," Cecil tertawa. Aneh
rasa?nya melihatnya tertawa untuk sesuatu yang remeh
padahal baru saja dia menangis dengan begitu sedihnya.
"Yang cewek itu..."
"Erika Guruh," sahut Rima tenang.
"Betul, itu dia!" seru Cecil. "Yang ngomongin kita itu
cewek yang suka bareng dia itu!"
"Valeria Guntur."
"Nggak tau siapa deh namanya. Pokoknya nggak be?
ken banget." Cecil mengangkat bahu. "Tapi kalo nggak
salah dia anggota Klub Drama. Nggak heran kan kalo dia
jago akting dan bertingkah seolah-olah dia nggak
bersalah sepanjang waktu. Bener nggak?"
Aku mengertakkan gigi sementara Rima mengangguk
kaku. "Bener." "Nah, gue udah membantu, kan? Gue boleh pergi se?
karang?" "Boleh," Rima mengangguk sekali lagi. "Oh ya, Cil.
Kiko dan Nikki terus bersamamu selama interogasi ber?
langsung?" 254 Isi-Omen4.indd 254 Cecil menatap Rima lama, lalu memiringkan kepalanya


Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan gaya sok imut. "Tentu dong. Kami kan sahabat
dekat." "Dan nggak ada orang lain yang ninggalin ruangan
selain Amir?" "Nggak ada." Sepeninggal Cecil, aku berkata, "Semua yang dia cerita?
in itu bohong besar."
"Jelas," Rima menyetujui. "Aku mulai curiga akting
lebay?nya sebenarnya bukan untuk memancing simpati,
melainkan untuk menutupi sesuatu yang besar."
Rima memang cewek luar biasa.
255 Isi-Omen4.indd 255 Rima KESAKSIAN Cecil benar-benar mencurigakan.
Begitu banyak ucapannya yang membuatku tidak bisa
berkata-kata selama beberapa saat. Maksudku, semuanya
terlihat begitu cerdas bagiku. Tindakannya mengarahkan
kecurigaan pada Valeria saja sudah merupakan sesuatu
yang menarik. Valeria yang tak menonjol dan nyaris tak
dikenal?bukan Erika yang bereputasi buruk dan lebih
mudah dikambinghitamkan. Seolah-olah cewek ini me?
miliki pengetahuan ekstra tentang latar belakang Valeria
sebagai salah satu cewek paling tajir di sekolah kami?
mung?kin paling tajir, malah?dan berbagai kemampuan?
nya yang bakalan sangat mengintimidasi sebagian besar
dari kami, termasuk kemampuannya berakting. Benar
kata Cecil. Valeria anggota Klub Drama, bahkan disebutsebut sebagai anggota Klub Drama yang paling berbakat.
Tidak sulit baginya untuk tampil polos dan tidak ber?
dosa. Tapi selama ini Valeria selalu berusaha keras supaya
tidak terlihat menonjol. Usaha itu berjalan dengan
begitu baiknya sampai-sampai guru-guru pun jarang me?
256 Isi-Omen4.indd 256 ngenalinya, tidak peduli betapa keren prestasi yang su?
dah dicapainya. Jadi, kenapa Cecil bisa memperhatikan?
nya? Itu baru satu hal. Hal lain yang memancing kecurigaanku adalah caranya
melukiskan wajah Nina yang didandani bagai badut.
Andai dia hanya melihat sekilas, sudah pasti dia tidak
mem?per?hatikan warna-warna riasan pada wajah Nina
yang terluka. Namun, bukan saja dia masih ingat dengan
warna-warna itu, dia juga ingat bahwa hidung Nina di?
sumpali tomat. Asal tahu saja, tomat pada hidung Nina
dan Ida bukan tomat yang biasa ada di pasar tradisional.
Tomat itu tomat yang bagus, pastinya tomat impor atau
apalah, karena bentuknya benar-benar mirip bola ber?
warna merah seperti yang ada di hidung badut-badut
pada umumnya. Kalau cuma sekilas pandang, orang tak
bakalan menyangka benda itu adalah tomat dan bukan?
nya bola sungguhan. Hal terakhir tentu saja adalah kesaksiannya yang ber?
tolak belakang dengan kesaksian Joyce dan Vinny. Aku
tidak bisa mengesampingkan bahwa bisa jadi Joyce dan
Vinny yang keliru. Ditambah dengan akting penuh air mata, terkadang
diselingi gaya imut-imut, dan tawa ringan yang tak
sengaja dilontarkan, Cecil jelas-jelas berpotensi me?
nempati posisi tersangka nomor satu.
Tapi tunggu dulu. Dia punya saingan dalam hal mem?
perebutkan posisi itu. Saingan itu tak lain adalah Nikki.
Dengan waswas aku mengamati kemunculan Nikki.
Pengakuan Cecil bahwa dia dan Nikki selalu bersamasama pada saat menunggu giliran interogasi membuatku
257 Isi-Omen4.indd 257 cu?riga kedua anak ini akan berbohong demi menye?lamat?
kan teman mereka sendiri. Atau mereka saling men?
dukung demi menutupi kesalahan masing-masing.
Pertanyaannya adalah, siapa yang bersalah di antara
mereka? Apakah salah satu di antara mereka, atau duaduanya sekaligus, ataukah aku hanya sial karena harus
ber?urusan dengan dua tukang bohong yang hanya ingin
mengerjaiku? Perasaanku tak enak saat Nikki menyunggingkan se?
nyum?nya padaku. Senyum itu terlihat mengerikan, se?
perti senyum yang dilontarkan para tukang daging pada
sapi-sapi malang yang sama sekali tak menyangka bakal?
an digorok. Aku sangat berharap dia tidak menganggapku sapi.
"Save the best for last?" Dia melirik Daniel dan ter?
senyum. "Hai, Yang."
Aku mengangkat alis pada Daniel. Yang?
Daniel tidak tampak kaget, menandakan cowok itu
sudah pernah dipanggil begitu oleh yang bersangkutan.
Meski begitu, dia kelihatan risi. "Eh, Nik, kan gue udah
bilang, jangan panggil-panggil gue gitu ah."
"Kalo gitu gue harus manggil apa?" Oke, sekarang
perasaanku lebih tenang. Meski awalnya kedengaran
mesra, kusadari kini Nikki tidak ubahnya dengan Cecil.
Kalau Cecil berakting penuh isak dan tangis, Nikki ber?
akting mesra terhadap Daniel. Meski suaranya genit me?
rayu, matanya terlihat mati. Tidak ada sedikit pun binar
yang menandakan cewek itu naksir Daniel. Sebaliknya,
tatapan yang sama dilontarkan pada Daniel?tatapan tu?
kang jagal pada sapi malang. "Honey? Baby?"
258 Isi-Omen4.indd 258 "Nyokap gue udah ngasih gue nama bagus-bagus ya,
tolong dong dipake."
"Daniel Darling kalau begitu." Aku bisa melihat tam?
pang Daniel yang mencerminkan rasa tak berdaya, dan
diam-diam aku merasa geli sekaligus kasihan padanya.
"Jadi apa yang perlu kita omongin, darling? Masa harus
disaksikan oleh cewek lain?"
"Sebenarnya, aku yang ingin bicara sama kamu, Nik,"
ujarku sabar. "Daniel hanya jadi pengamat di sini."
"Oh, begitu?" Nikki masih hanya berbicara dengan
Daniel dan tidak mengindahkanku. Kini aku semakin
yakin bahwa dia memang sengaja datang terlambat ke
kafe hanya untuk mempermalukanku. Tapi pertanyaan?
nya, kenapa? "Jadi elo di sini cuma untuk dampingin
gue?" "Gue ada di sini untuk mendampingi Rima, Nik,"
sahut Daniel dengan suara pelan. Tunggu dulu. Apa aku
tidak salah dengar? Cowok ini takut pada Nikki? "Sebaik?
nya lo ngomong sama dia aja."
Setelah mendengar ucapan Daniel, barulah Nikki me?
noleh padaku seraya menyunggingkan senyum me?ngeri?
kan yang sama. "Jadi, lo mau nuduh gue apa?"
"Aku nggak akan menuduhmu, Nik," ucapku tenang.
"Aku hanya ingin nanya, apa yang kamu lakukan waktu
insiden yang menimpa Nina terjadi?"
"Insiden Nina?" Dia tersenyum lagi. "Jadi mulai seka?
rang kita nyebutnya begitu? Wokeeei. Yang jelas, jawaban
gue sama seperti waktu gue cerita ke Daniel dan polisi
itu. Gue sama Kiko ngantre di depan toilet yang sebelah?
an sama antrean Cecil dan Nina..."
"Siapa duluan?" selaku.
259 Isi-Omen4.indd 259 Nikki menatapku lama, seolah-olah sedang me?
nimbang-nimbang jawaban yang hendak diberikannya.
"Gue duluan, Kiko belakangan. Di sebelah, Cecil duluan,
Nina belakangan. Tapi lalu entah kenapa Nina jadi di
depan..." "Tunggu dulu!" Aku menyela, sementara Daniel yang
loyo di sebelah mendadak menegakkan tubuh mendengar
jawaban itu. "Jadi awalnya Nina ada di belakang?"
"Ya." "Kok tadi lo nggak ceritain ke gue dan ke Pak Ajun
Ins?pektur Lukas?" tanya Daniel heran.
"Tadinya gue nggak nyadar bahwa itu sepotong infor?
masi yang mungkin berguna. Barusan aja gue terpikir."
Atau baru saja dia mengarang jawaban itu. Tetapi,
andai?kan Nikki berkata benar, ada kemungkinan bahwa
sasaran sebenarnya adalah Cecil, dan Nina hanyalah ke?
salahan. "Jadi, Nina masuk ke bilik toilet. Lalu giliran gue ma?suk
ke bilik toilet di depan gue. Waktu gue keluar dan Kiko
masuk, Cecil masih nungguin di depan bilik. Karena toilet
itu kecil dan menjijikkan, gue sama Kiko pamit untuk
keluar dulu. Kami ngobrol sama Amir. Nggak sampai dua
menit, Cecil keluar sambil menjerit-jerit."
"Dia menjerit sesudah keluar atau sebelum?"
"Sebelum, gue rasa, cuma tadinya nggak terlalu ke?
denger?an karena karnaval kan rame banget. Amir lang?
sung masuk, sementara kami dengar ceritanya dari
Cecil." "Kamu nggak terpikir untuk masuk ke bilik toilet?"
tanya?ku penuh rasa ingin tahu.
"Untuk apa?" Nikki mengangkat bahu, jelas-jelas me?
260 Isi-Omen4.indd 260 nunjukkan dia tidak terlalu peduli pada Nina?atau
orang-orang lain. Sepertinya orang ini hanya peduli pada
kepentingannya sendiri. "Gue masuk pun nggak bisa
nolong. Lagian, kata Cecil, di sana begitu mengerikan
sampai-sampai kita bisa mimpi buruk. Jadi buat apa gue
bikin susah diri sendiri?"
"Sepertinya lo nggak terlalu deket sama Nina," celetuk
Daniel. Nikki tersenyum dan, demi Julia Roberts, Angelina
Jolie, dan semua cewek berbibir lebar di dunia ini, ujung
bibir Nikki seakan nyaris mencapai telinganya! Begitu
lebar, begitu menakutkan, sampai-sampai mirip film
horor. Bahkan bibir Nina dan Ida yang dilukis melewati
garis bibir pun masih tidak selebar bibir alami Nikki.
"Gue belum pernah deket dengan siapa pun," ucap?
nya, dan sepertinya inilah kata-kata jujur pertama yang
dia ucapkan pada kami. "Pertemanan membutuhkan ke?
samaan, sementara gue nggak merasa sama tuh dengan
Nina ataupun teman-teman segengnya." Apa ini berarti
Cecil juga termasuk? "Saat ini gue cuma anak SMA biasa,
jadi yah, nggak masalah gue temenan sama mereka
yang juga sama-sama anak SMA. Tapi suatu saat gue
pasti akan ninggalin mereka dan berteman dengan
orang-orang sejenis gue."
"Sejenismu?" tanyaku agak keder. "Memangnya seperti
apa itu?" Sekali lagi Nikki menyeringai, memperlihatkan bibir
superlebar yang lagi-lagi membuat jantungku?dan berani
taruhan, jantung Daniel juga?mengumpet sedalamdalam?nya di dalam rongga dada kami.
"Cewek-cewek cantik, cerdas, dan berbakat. Cewek261
Isi-Omen4.indd 261 cewek perfect, mungkin kalian akan menyebutnya begitu.
Cewek-cewek seperti kami sulit berbaur dengan orangorang lain. Menyaksikan cewek-cewek bodoh dan
dangkal mengurusi kehidupan ABG mereka seolah-olah
itu hal terpenting di dunia bikin kami jijik."
"Oh? Jadi hal terpenting di dunia itu seharusnya apa?"
"Tentu saja, the higher purpose. Tujuan yang lebih
tinggi, yang menyangkut masalah kepentingan umum.
Seperti membasmi virus atau apalah."
Baru saja aku mulai merasa dangkal dan mengagumi
cewek-cewek yang disebut cewek-cewek perfect ini, men?
dadak sesuatu yang mengerikan tebersit dalam pikiranku.
"Virus seperti apa?"
Seperti manusia-manusia tak berguna. Aku bisa men?
dengar dia menjawab begitu di dalam hati. Namun,
Nikki tidak mengucapkan kata-kata itu, melainkan hanya
tersenyum dan berkata, "Kalian nggak akan mengerti
deh. Jadi, kita masih mau lanjutin interogasi ini atau
nggak?" "Masih." Aku menghela napas dan berusaha me?nenang?
kan jantungku yang berdegup kencang karena ketakutan.
"Satu pertanyaan terakhir. Pada saat interogasi ber?
langsung, kamu meninggalkan bangku tunggu nggak?"
Jawaban yang diberikannya sama sekali tidak kami
duga-duga. "Nggak tuh. Gue nongkrong berduaan sama
Kiko. Tapi Cecil sempet pergi."
"Kamu tau dia pergi ke mana?"
Cewek itu mengangkat bahu. "Entahlah. Katanya sih
pergi beli minum. Gue sama Kiko sempet nitip segala.
Tapi waktu dia balik, dia nggak bawain kami minuman
tuh." 262 Isi-Omen4.indd 262 "Lama nggak perginya?"
"Nggak sih, paling lima belas menit."
Aku berpandangan dengan Daniel. Lima belas menit
cukup untuk bertemu dengan Ida, memukulinya, lalu
men?dandaninya sekaligus menyayat-nyayatnya.
Masalahnya, apa kesaksian Nikki benar? Kesaksian itu
memang sesuai dengan informasi yang diberikan Joyce
dan Vinny. Tetapi Joyce dan Vinny tidak bisa mengiden?
tifikasi dengan jelas, siapa sebenarnya dari tiga cewek itu
yang sempat meninggalkan bangku tunggu interogasi.
Bisa saja Cecil diam untuk melindungi Nikki, sementara
Nikki menggunakan kesempatan itu untuk menjatuhkan
semua kesalahan pada Cecil.
Mungkin Erika dan Valeria bisa mendapatkan informasi
yang lebih akurat dari Kiko.
"Oke, thanks untuk informasimu, Nikki," aku menyu?
dahi pembicaraan kami. "Nanti akan kami hubungi lagi
kalo perlu." "You?ve got my number." Dia mengedip pada Daniel,
lalu keluar dari tenda. "Cewek yang mengerikan," ucap Daniel seketika.
Aku mengangguk setuju. "Tapi cantik. Kombinasi yang
berbahaya."

Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Daniel bergidik. "Inget ucapannya soal membasmi
virus? Kenapa gue merasa yang dia maksud itu kita-kita
semua ya?" Jadi bukan cuma aku yang merasakan hal itu.
"Rima, gue tau gue udah janji sama elo," kata Daniel
mendadak, "tapi nanti gue anter pulang, ya? Gue merasa
nggak safe ngebiarin lo pulang sendirian."
263 Isi-Omen4.indd 263 Aku tahu. Sejujurnya, aku juga merasakan hal yang
sama. Aku tidak berani pulang sendirian. "Oke."
Senyum Daniel tampak lega. "Bagus. Sekarang kita
ngapain?" Aku melirik jam tanganku. Tak disangka, sudah hampir
dua jam berlalu. "Sejam lagi karnaval akan berakhir. Kita
harus memastikan semuanya berjalan lancar. Jangan sam?
pai anak-anak nggak mau pulang atau ada yang mem?
bawa pulang barang yang seharusnya nggak dibawa pu?
lang." Daniel tampak menahan senyum. "Maksud lo, nyo?
long?" "Yah, bisa jadi kan mereka nggak sengaja bawa pu?lang?"
balasku. "Tapi kita masih belum bisa senang-se?nang. Kita
akan ketemu Valeria dan Erika untuk mem?bandingkan
hasil interogasi kita. Kurasa Pak Ajun Ins?pektur Lukas juga
udah menunggu-nunggu hasil dari kita."
"Itu sih bener banget," Daniel mengangguk setuju.
"Gue juga kepingin tau apa hasil interogasi Erika dan
Val terhadap Kiko. Menurut gue, Nikki yang bersalah.
Dia sengaja mengambinghitamkan Cecil dalam kesaksian?
nya pada kita." Aku menatap Daniel, menahan senyum. "Mau ber?
taruh?" Daniel tampak kaget mendengar ucapanku. "Lo bilang
Cecil yang jadi pelakunya? Yang bener aja!"
"Itu cuma perasaanku saja."
Sebenarnya, itu bukan perasaanku saja. Ada sesuatu
dalam kata-kata Nikki saat dia bicara soal membasmi
virus. Saat itu, dia percaya bahwa dia adalah cewek sem?
purna yang melakukan semuanya untuk kepentingan
264 Isi-Omen4.indd 264 umum. Kemungkinan besar, cewek sempurna tidak akan
berbohong, apalagi menikam temannya dari belakang,
tak peduli itu teman dekat atau teman sementara.
Kecuali kalau memang dia yang mencelakakan Nina
dan Ida. Itu berarti, dia akan melakukan apa saja supaya
tidak tertangkap. "Oke, kita taruhan," kata Daniel seraya nyengir. "Yang
kalah traktir makan McD, ya!"
"Hei, kalian!" Aku tidak sempat mengiyakan ataupun menolak ajak?
an Daniel, soalnya Valeria dan Erika sudah menyeruak
masuk ke dalam tenda diikuti oleh Ajun Inspektur
Lukas. "Kalian udah selesai?" tanyaku rada kaget, soalnya aku
tidak menyangka mereka duluan selesai. Kupikir inte?
rogasi yang kami lakukan sudah cukup cepat. Apalagi
Erika seharusnya berlama-lama menginterogasi musuh
bebuyutannya, Martinus alias Anus. Aku tidak mengerti
kenapa Erika menanggapi anak itu. Toh Martinus pe?
cundang banget. Segala sesuatu dalam dirinya biasa-biasa
saja, kecuali orangtuanya sedikit tajir dan akhlaknya jauh
lebih buruk ketimbang anak-anak lain. Singkat kata,
anak-anak seperti Martinus tidak layak dianggap kenalan
sekalipun. "Udah dari kapan-kapan," sahut Erika sambil men?
congkel-congkel giginya. "Malahan gue udah sempet
ngemil jagung manis. Cih, ada yang nyelip di gigi!"
"Aduh, Ka, jangan dikorek gitu!" tegur Valeria dengan
nada cemas. "Kalo jagungnya sampai keluar dan mental,
lalu kena salah satu di antara kami, gue nggak akan bisa
bantu lo membersihkan nama baik lo."
265 Isi-Omen4.indd 265 "Gue nggak punya nama baik, Val."
"Oh ya, gue lupa. Tapi tetep aja, plis deh, Ka, itu men?
jijikkan banget. Nih, pake tisu basah!"
"Iya, iya!" Erika mengelap jarinya dengan tisu basah
sambil memasang tampang bete.
Ajun Inspektur Lukas hanya menggeleng-geleng me?
lihat ulah Erika, lalu berpaling pada kami. "Nah, jadi apa
yang kalian dapatkan?"
"Mereka dulu dong, Pak," seringai Daniel.
"Minta mati?" tanya Erika dengan tampang tenang
dan suara mengancam. "Nggak, Ka, ampun." Daniel melirik padaku dengan
muka ups-nggak-sengaja-nyari-masalah. "Kami duluan
deh." Daniel kemudian memandangku. "Lo atau gue?"
"Aku aja," sahutku, lalu berpaling pada Valeria dan
Erika. "Pada beberapa tersangka pertama, nggak ada ke?
saksian yang berarti selain bahwa mereka mengira hanya
Amir yang meninggalkan bangku interogasi. Namun saat
ke?saksian beralih pada cewek-cewek, semua jadi menarik.
Per?tama-tama Joyce dan Vinny yang bingung soal jum?
lah geng cewek yang ada. Kadang tiga, kadang empat,
itu pun sebelum insiden Nina terjadi. Kemudian Cecil
ber?keras bahwa dia, Kiko, dan Nikki tetep di bangku
tunggu, tetapi Nikki malah menjatuhkan kesaksiannya
dengan bilang Cecil sempat pergi beli minum."
"Kedengarannya interogasi kalian berjalan seru," se?
nyum Ajun Inspektur Lukas. Lalu berpaling pada Valeria.
"Val?" "Kami nggak seberuntung itu," sahut Valeria datar se?
men?tara wajah Erika tampak gelap. "Seperti kalian, cowokcowok tetap berkeras cuma Amir yang meninggalkan
266 Isi-Omen4.indd 266 bangku?termasuk Amir sendiri dan si cowok malang yang
jari-jarinya sempat dijepit oleh Erika..."
"Salah si Anus," tukas Erika, "selalu memprovokasi gue
dan bikin gue ilang sabar."
"Iya, gue juga nggak nyalahin lo," ucap Valeria kalem.
"Kalo bukan lo yang jepit jari-jarinya, gue yang akan
potong kupingnya." Pastinya si Anus ini sangat mengesalkan sampaisampai Valeria yang selalu tenang pun bisa kehilangan
kesabaran. "Untung cuma acara jepit-menjepit jari," gerutu Ajun
Inspektur Lukas. "Saya tidak mau dicariin ibu-ibu yang
menangis karena anaknya disiksa dalam interogasi polisi."
"Saya kan bukan polisi," kilah Erika. "Saya bos pre?
man." "Kamu bos preman yang saat ini didukung oleh polisi,
alias mafia." Erika tampak senang mendengar ucapan Ajun Ins?
pektur Lukas. "Lanjut ya," ucap Valeria sopan. "Lalu saat beranjak
pada cewek-cewek, semua jadi kacau. Tini dan Preti bi?
lang geng cewek yang mereka lihat cuma berdua aja
setelah insiden Nina terjadi, tapi tampang mereka nggak
meyakinkan banget." Aku bisa memaklumi hal itu. Tini dan Preti adalah
anggota-anggota Klub Kesenian, jadi aku sering bekerja
sama dengan mereka. Mereka sama sekali tidak bisa
diandalkan dan lebih suka membahas gosip-gosip hangat
yang sedang beredar. Bagusnya, aku jadi tidak ke?tinggal?
an kabar terbaru, seperti kabar tentang murid baru di
kelas dua belas yang terkenal brutal bernama Damian.
267 Isi-Omen4.indd 267 "Jadi, kami rada menunggu-nunggu kesaksian Kiko,
tapi..." "Tapi?" Aku dan Daniel sudah tidak sabar lagi men?
dengar apa yang mereka dapatkan dari Kiko.
"Cewek itu ketiduran," sahut Valeria datar. "Yep, anti?
klimaks banget nggak sih? Katanya, dia kecapekan abis
menangisi Nina, jadi dia tidur di bangku. Tapi dia
bilang, sebelum dia tidur dan setelah dia bangun, kedua
temennya ada bersama dia."
Gawat! Kesaksian yang kami tunggu-tunggu ternyata
tak berguna sama sekali. "Dari saya juga nggak ada info menarik," kata Ajun
Inspektur Lukas datar. "Polisi pertama, Suwanta, berkata
bahwa dia menjaga anak-anak itu dan tidak ada yang
me?narik perhatian selain kejadian Amir. Tapi dia me?
mang lebih menaruh perhatian pada orang-orang yang
sedang kelayapan dibanding anak-anak yang berbaris rapi
di sampingnya. Sementara polisi kedua, Halim, mengawal
Amir ke toilet dan bilang bahwa Amir tidak melakukan
hal yang tidak seharusnya dia lakukan. Intinya, dia me?
lakukan panggilan alamnya dengan tenang."
Sesaat kami semua tidak berkata-kata, merenungi
informasi-informasi penting yang terkatung-katung tanpa
bisa dikonfirmasikan sama sekali.
"Brengsek!" Daniel mengumpat. "Jadi sekarang gimana
dong?" "Setidaknya kita tau ada yang nggak beres dengan
geng cewek itu," kata Erika datar. "Dari dulu gue udah
heran, kenapa ada cewek-cewek yang ngebet banget sama
Amir dan Welly? Pasti mereka sinting, atau, kalo nggak,
punya niat terselubung."
268 Isi-Omen4.indd 268 "Yang lebih menarik adalah, kenapa cowok-cowok
begitu yakin cuma Amir yang ninggalin bangku inte?
rogasi?" Daniel mencubit-cubit bibirnya. "Gue tau
cowok-cowok biasanya nggak gitu merhatiin detail, tapi
pasti mereka ngeh dong kalo ada yang pergi."
"Mungkin yang pergi itu mengendap-endap," duga
Ajun Inspektur Lukas, "sementara anak-anak cowok itu
tidak terpikir untuk melirik-lirik dan menghitung."
Akan tetapi, semuanya terdengar tidak masuk akal di
telinga kami. Bangku tunggu interogasi memang berada
di depan tenda, sehingga tidak sulit kalau mau pergi
begitu saja. Tetapi, pergi dengan mengendap-endap
pasti akan terlihat sangat mencurigakan kan, setidaknya
bagi satu atau dua orang. Masa tidak ada yang merasa
sih? "Kalian ada tugas mengurusi karnaval, kan?" tanya
Ajun Inspektur Lukas. "Kalau begitu, Erika dan Val, kami
serahkan masalah membuntuti geng cewek pada kalian
ya!" "Aye aye, Sir!" jawab Erika ceria.
"Tapi," protesku, "mereka seharusnya bertugas menjaga
karnaval, kan?" "Jangan khawatirkan soal itu." Erika mengibaskan
tangan. "Shift kami kan seharusnya malam ini, tapi bukti?
nya kami bisa ngurusin masalah ini dengan santai. Itu
karena kami punya pasangan Ojek dan Obeng yang
sedang kelayapan di luar menggantikan kami."
"Punya cowok memang harus berguna ya, Ka?" se?
ringai Daniel. "Iya dong," sahut Erika pongah. "Siapa yang mau co?
wok nggak berguna? Yang begituan masuk ke tong sam?
269 Isi-Omen4.indd 269 pah aja. Nah, besok seharusnya giliran Amir dan Welly,
tapi si Ojek dan Obeng udah setuju, besok mereka juga
akan bantuin berjaga-jaga. Diem-diem tentunya, supaya
mereka nggak ngerusak harga diri dua anak tengil itu."
"Jadi semua beres ya," ucap Ajun Inspektur Lukas.
"Jangan lupa, utamakan Cecil dan Nikki. Mereka berdua
adalah tersangka utama. Saya benar-benar curiga pada
Nikki yang bisa-bisanya menjatuhkan kesaksian teman
sendiri. Dia bilang gimana persisnya?"
Aku segera mengulangi pembicaraan kami, pertama
dengan Cecil, dilanjutkan dengan Nikki.
"Whoa, ular berbisa!" seru Erika saat aku selesai me?
nutur?kan semuanya. "Memang dia mencurigakan ba?
nget!" "Sementara Cecil menjaga baik-baik alibi temannya
ya," komentar Valeria. "Jelas, di antara mereka ada satu
orang yang bohong. Dan gue rasa itu Cecil."
Aku puas karena Valeria juga mengambil kesimpulan
yang sama denganku. "Kenapa?" tanya Ajun Inspektur Lukas penuh rasa
ingin tahu. "Bukannya jawaban culas Nikki lebih men?
curiga?kan?" "Nggak," geleng Valeria. "Nikki mungkin culas, tapi
ba?nyak yang mendukung ceritanya. Lima cewek, ter?
masuk Nikki, mengatakan hal itu. Kalo cuma satu, bisa
jadi kesaksian mereka nggak meyakinkan, tapi ini lima
orang. Ini berarti, memang pasti ada satu yang ninggalin
bangku tunggu saat interogasi berlangsung. Satu-satunya
yang nggak mendukung kesaksian itu cuma Cecil. Jadi,
kemungkinan besar dia pelakunya."
Observasi yang hebat sekali. Valeria memang tipe
270 Isi-Omen4.indd 270 cewek yang "diam-diam menghanyutkan". Dalam arti
yang bagus, tentu saja. "Gue tetep berpendapat Nikki orangnya," kata Daniel
berkeras. "Lo belum pernah ngobrol sama dia sih. Me?
ngerikan banget lho. Sepertinya dia bisa caplok kepala
kita dengan mulutnya yang lebar banget itu."
Valeria dan Erika saling melirik dan tersenyum.
"Memang sih kami belum pernah ngobrol sama
orangnya," aku Valeria.
"Tapi," sambung Erika, "nggak berarti kami nggak per?
nah merhatiin orangnya."
Mendadak aku teringat kejadian aku dihampiri Nikki


Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di depan umum, kejadian yang hingga saat ini terasa
me?ngerikan?dan entah kenapa, memalukan?dalam
kepalaku. Aku ingat, setelah kejadian itu, Valeria dan
Erika menghampiriku dan bertanya macam-macam.
Jadi, mereka juga sudah lama memperhatikan geng
cewek itu. "Oke kalau begitu," putus Ajun Inspektur Lukas. "Un?
tuk malam ini, penyelidikan kita berakhir dulu. Untuk
menjaga hidup kalian tetap normal, sebaiknya kalian
akhiri malam ini sebagai ABG biasa yang tidak melaku?
kan tugas-tugas aneh."
"Cih, tugas-tugas aneh, katanya," cibir Erika. "Bapak
belum pernah dihukum Pak Rufus rupanya. Si Kribo itu
selalu ngasih saya tugas-tugas yang jelas-jelas belum
pernah diemban ABG lain. Minggu lalu dia ngasih saya
tugas untuk menyelidiki macam-macam tong sampah.
Gila aja. Semua orang tau kita beli tong sampah, juga
hal-hal lain, berdasarkan harga. Kalo duit kita unlimited,
kita pasti langsung beli tong sampah dari berlian yang
271 Isi-Omen4.indd 271 ukurannya paling gede. Tapi kalo bujet kita cuma ceban,
apa lagi yang bisa kita beli selain tong sampah plastik
murahan?" "Itu kan ucapan anak kecil," Ajun Inspektur Lukas
men?cemooh. "Kalau kamu sudah lebih dewasa, kamu
akan tahu bahwa tong sampah plastik murahan itu jelek
dan bikin rumah kita terlihat jorok, dan lebih baik tidak
punya tong sampah daripada punya tong sampah plastik
murahan." "Jadi, di rumah Bapak nggak punya tong sampah?"
"Punya dong," sahut Ajun Inspektur Lukas dengan
tampang bangga, seolah-olah mengumumkan rumah
berikut tong sampahnya terbuat dari berlian. "Dan tong
sampah itu saya beli di Ace Hardware!"
Erika mengangkat bahu. "Si Ajun ini seneng berkoarkoar tentang hal nggak penting. Cabut aja yuk!"
"Jangan lupa tugas kalian besok ya!" seru Ajun
Inspektur Lukas saat kami semua tergopoh-gopoh keluar
dari tenda tersebut. "Nah, sekarang apa acara kalian?" tanya Daniel pada
Valeria dan Erika. "Gue sama Rima masih harus meng?
inspeksi setiap tenda dan wahana sebelum karnaval
tutup, dan itu masih kurang-lebih setengah jam lagi."
"Good luck deh kalo gitu," ucap Erika. "Kalo kami sih
mau gabung dulu sama si Ojek dan Obeng. Dadah!"
"Daaah, Rima!" ucap Valeria padaku. "Hati-hati ya!
Daniel, titip Rima ya."
Aku memandangi kepergian dua sahabat itu. Erika se?
benarnya tidak jahat, dan meski tidak menampak?kan?nya,
dia cukup perhatian pada orang-orang di sekitarnya.
Namun Valeria benar-benar baik sekali. Rasanya dia
272 Isi-Omen4.indd 272 benar-benar peduli padaku, dan ucapannya yang terakhir
seolah-olah menyiratkan bahwa aku salah satu temannya
yang berharga. Hal-hal seperti ini memang tidak terlalu
men?colok, tapi aku memperhatikan, dan aku tersentuh.
Tapi, apakah dia masih akan menyukaiku seandainya
tahu siapa aku sebenarnya?
"Jadi sekarang apa yang akan kita lakukan?"
Aku menoleh pada Daniel. "Kita?"
"Ya dong," sahut Daniel tegas. "Gue nggak akan biarin
lo sendirian, Rim. Jadi suka atau nggak suka, kita akan
jalan bareng malam ini."
Yah, itu masuk akal. Apalagi, aku sudah setuju untuk
diantar pulang olehnya. Memang jauh lebih praktis kalau
kami jalan bareng sampai karnaval tutup. Toh kami juga
harus melakukan inspeksi bersama. "Oke deh. Kamu
punya rencana apa?" Daniel nyengir. "Kita hepi-hepi aja yuk!"
Aneh tapi nyata. Kami mengawali malam ini dengan
bersenang-senang. Lalu beberapa insiden mengerikan
terjadi, insiden-insiden yang kemungkinan besar akan
menjadi mimpi buruk untuk beberapa waktu. Tetapi,
setelah semua itu terjadi, kami masih bisa bersenangsenang. Tentu saja, awalnya sulit banget menyingkirkan
bayangan Nina dan Ida yang tergolek dengan gaya tak
wajar, dengan dandanan bagai badut yang tidak disukai
semua orang, belum lagi pemikiran-pemikiran tentang
siapa yang menjadi pelaku berbagai insiden tersebut.
Tetapi, meski semua bayangan dan pemikiran itu tidak
lenyap sepenuhnya dari kepalaku, aku bisa juga me?
nikmati saat-saat yang tersisa di malam pertama karnaval
itu. 273 Isi-Omen4.indd 273 Kurasa ini karena Daniel memang pandai sekali meng?
hibur. Pertama-tama dia membelikanku minuman soda dan
popcorn karena, "Kita udah banyak ngebacot sampe ludah
kita kering, dan Pak Ajun Inspektur Lukas mengira kita
sejenis Superman yang nggak butuh makan dan minum."
Se?telah itu, dia membawaku ke stan lempar-lemparan
kaleng. Dia mengajariku melempar dan berkata, "Pokok?
nya, bayangin sasarannya Welly, atau siapa pun yang
tampangnya sama mengesalkannya."
Aku mencoba membayangkan sasaranku adalah Daniel,
dan aku langsung berhasil mengenai sasaran tiga kali
ber?turut-turut. "Hebat!" seru Daniel kagum. "Memangnya lo bayangin
siapa?" "Rahasia." Dari permainan lempar-melempar itu, kami mendapat
hadiah berupa tiga lembar tiket (aku memenangkan se?
lembar tiket, sementara Daniel memenangkan dua
lembar tiket) yang kami tukarkan dengan sebuah boneka
Pororo. Sambil memeluk boneka penguin tersebut, aku
berpikir betapa ganjilnya malam ini. Aku bukanlah
cewek normal, tapi bisa menikmati malam karnaval de?
ngan normal, bahkan membawa pulang boneka hasil
permainan cowok yang kusuka, bagai adegan dalam filmfilm remaja klise. Namun di sisi lain, ini bukanlah ma?
lam karnaval normal. Ini malam karnaval sekolah yang
mendapat julukan Sekolah yang Dikutuk, yang berhias
dua insiden berdarah yang melibatkan geng cewek-cewek
populer. Kok bisa ya, aku punya masa remaja seperti ini?
274 Isi-Omen4.indd 274 Setelah memainkan tiga ronde permainan lempar-me?
lempar, kami ke stan permainan arcade. Jangan bayang?
kan mesin-mesin arcade ini memiliki permainan keren
seperti di arena permainan langganan anak-anak zaman
kini atau yang biasa berlokasi di dekat bioskop. Jelas, tak
mungkin ada pemilik mesin arcade waras yang rela me?
nyewakan mesin-mesinnya untuk anak-anak SMA dengan
bujet terbatas. Hanya orang-orang yang memiliki mesinmesin arcade superjadul yang bersedia melakukannya.
Contoh permainan yang tersedia adalah Tetris, Pinball,
dan, yang menjadi rebutan, Mr. Pacman. Mesin-mesin
ini rupanya juga sudah dimodifikasi sehingga bisa me?
ngeluar?kan tiket seperti yang dilakukan mesin-mesin
arcade terbaru. Kami menghabiskan sisa waktu yang tersedia dengan
me?mainkan mesin-mesin arcade dan berhasil me?ngumpul?
kan kurang-lebih seratusan tiket pada saat waktu ber?
akhir. Rencananya tiket-tiket itu bakalan ditukar pada
saat karnaval selesai, soalnya kalau tidak, kami hanya
bisa menebus hadiah-hadiah murahan seperti kotak
pensil atau apalah. Aku pergi ke loket depan yang sudah
ditutup sejak sejam lalu (diurus oleh Aya, yang tentunya
sudah mengamankan uang hasil penjualan), lalu meng?
umumkan waktu yang berakhir dan mengusir para
pengunjung secara halus melalui mikrofon yang tersedia,
sementara Daniel mengawasi penutupan stan, dibantu
oleh Valeria dan Erika beserta pacar mereka, begitu pula
Amir dan Welly yang mendadak menjadi bertanggung
jawab. Aku bisa melihat Valeria dan Erika mengawasi dari
jauh saat geng cewek keluar melewati gerbang depan.
275 Isi-Omen4.indd 275 Kebanyakan dari anggota geng itu tidak me?nyadari
keberadaanku di dalam loket, tetapi meskipun tetap
berbincang-bincang dengan teman-temannya, mata Nikki
sempat melirik ke arahku.
Oh gawat! Dia menyunggingkan senyum lebar mengeri?
kan itu lagi. Kenapa sih dia sering sekali menakut-nakuti
orang seperti itu? Beberapa waktu kemudian, Putri dan Aya lewat. Tanpa
berkata-kata Putri menaruh segulung kecil kertas di de?
pan loket, dan aku pun mengambilnya seolah-olah se?
dang memunguti uang receh. Terlihat tulisan Putri yang
rapi dan tegas di sana. Sekarang. Kamarmu. Putri benar-benar tidak suka membuang-buang wak?
tu. Tapi aku juga tahu, Putri pasti menyadari tanggung
jawabku untuk menutup karnaval ini. Jadi, alih-alih
buru-buru kabur, aku nongkrong di dalam loket, me?
nunggu hingga semua pengunjung keluar. Tukang-tukang
yang mengurusi wahana dan beberapa peralatan teknis
lain memberi salam padaku saat lewat. Lalu para petugas
sekuriti yang bertugas mengusir pengunjung akhirnya
berkumpul di depan?maksudku Daniel, Valeria, Erika,
Viktor, Leslie, Amir, dan Welly.
"Semua udah keluar," Daniel melaporkan. "Tinggal
Ajun Inspektur Lukas dan para polisi, juga para guru."
Aku berpaling pada Valeria dan Erika beserta pacar-pa?
car mereka. "Makasih ya, udah membantu malam ini."
"Jangan sungkan-sungkan," senyum Leslie.
276 Isi-Omen4.indd 276 "Kalian juga pulang segera," kata Viktor sambil me?
layang?kan pandangan. "Karnaval ini kelihatannya seram
kalo udah sepi." "Ya," aku mengangguk. "Kami akan segera pulang se?
telah semuanya beres." Setelah dua pasangan itu pergi,
aku menoleh pada Amir dan Welly. "Kalian berdua
nggak apa-apa?" "Yah, bukan malam yang menyenangkan," ucap Amir,
"tapi yang penting nggak ada korban yang nambah lagi."
"Memangnya apa sih yang mereka inginkan?" tanya
Welly padaku penuh rasa ingin tahu.
"Aku juga belum tau," gelengku, tak ingin mereka
tahu terlalu banyak karena kedekatan hubungan mereka
dengan geng cewek itu. "Semoga saja mereka nggak nyakitin cewek-cewek
malang itu lagi," kata Welly.
"Aku juga berharap gitu, Wel."
"Oke, kami pulang dulu ya. Bye, Niel, Rim!"
Aku dan Daniel memandangi kepergian Amir dan
Welly. Rupanya mereka sedang ditunggu oleh geng cewek
itu di dekat mobil mereka.
"Menurutmu mereka akan baik-baik saja?" tanyaku ce?
mas. "Ya, nggak usah khawatir," sahut Daniel. "Mereka ke?
lihat?annya aja blo?on, tapi sebenarnya bisa menjaga diri
kok." "Kuharap begitu."
Akan tetapi, aku tahu, orang yang paling berhati-hati
pun bisa saja terjebak oleh rencana penjahat. Buktinya,
dalam beberapa kejadian di masa lalu, Daniel sering
nyaris celaka di tangan musuh.
277 Isi-Omen4.indd 277 Aku sangat berharap aku tidak perlu melihatnya ter?
luka lagi. Yang terakhir pulang adalah Ajun Inspektur Lukas be?
serta pasukannya, ditambah Bu Rita dan Pak Rufus. Dari
tampang mereka yang muram, sepertinya Bu Rita dan
Pak Rufus sudah diberitahu soal semua perkembangan.
"Kalian sudah bekerja dengan sangat baik malam ini,"
ucap Bu Rita padaku. "Saya senang dengan semua ke?
putusan yang kamu buat malam ini, Rima. Kamu benarbenar sudah membuktikan kemampuanmu sebagai ketua
OSIS yang hebat." Aku menatapnya tak mengerti. "Maksud Ibu?"
"Meskipun kondisi di sini sempat kacau, kamu berhasil
memulihkan keadaan dan tetap menjalankan karnaval
seperti biasa. Sementara itu, kamu juga membantu para
polisi melakukan penyelidikan dan menginterogasi
tersangka. Tidak banyak orang yang sanggup berkepala
dingin dalam situasi seperti ini, Rima."
Aku bisa merasakan kupingku berubah panas. Habis,
aku merasa sedikit sekali yang kulakukan malam ini ke?
timbang anak-anak lain, terutama Daniel yang kini
tampak hepi-hepi saja meski tidak disinggung-singgung.
"Semua ini karena saya mendapat bantuan dari temanteman yang bisa diandalkan, juga dari pihak kepolisian
dan para guru." "Tapi yang menyatukan ya kamu juga. Intinya, kerja
bagus, Rima." Bu Rita mengangguk pada Daniel. "Kamu
juga, Daniel." "Sampai ketemu besok," seringai Ajun Inspektur Lukas,
lalu rombongan orang dewasa itu pun pergi.
"Benar-benar dingin sekali ya," komentar Daniel sam?
278 Isi-Omen4.indd 278 bil memandangi kepergian rombongan itu. Meski tidak
menyebutkan nama, aku tahu, yang dimaksudkannya
pastilah Bu Rita. "Itu udah seharusnya," ucapku. "Bu Rita udah jadi ke?
pala sekolah kita selama belasan tahun. Sesuai reputasi
sekolah kita yang terkena kutukan, beliau pasti sudah


Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengalami puluhan kali kejadian seperti ini. Kalo setiap
kali ada kejadian sekolah diliburkan atau karyawisata
dibatalkan, bisa-bisa sekolah kita nggak pernah ngapangapain." Aku terdiam sejenak. "Yang dingin sekali itu
aku, karena aku sanggup mengimbangi Bu Rita dalam
hal ini." Daniel tidak langsung membantahku, melainkan me?
mikirkan ucapanku sejenak.
"Gue rasa, lo bukannya dingin," akhirnya dia berkata.
"Gue lebih merasa lo tegar. Habis, setiap kali ada kejadi?
an, kelihatan banget lo shock berat. Meski begitu, lo
ber?usaha tetap tenang dan menenangkan situasi sebisa
mung?kin. Itu sebabnya, tadi lo malah terlihat hebat
sekali. Nah, sekarang kita bisa pulang?"
Aku menatapnya curiga. "Apa pendahuluan yang
panjang-lebar itu semacam rayuan supaya kita bisa
pulang lebih cepat?"
Daniel menyeringai. "Itu kebenaran kok, tapi nggak
ada salahnya digunakan untuk ngerayu."
"Sori mengecewakan, tapi aku masih kepingin inspeksi
sekali lagi sebelum pulang. Nggak apa-apa ya?"
"Bener-bener perfeksionis!" Daniel menggeleng-geleng.
"Oke, akan gue temenin deh."
Suasana karnaval kosong di tengah malam itu mengeri?
kan banget. Mesin-mesin pada wahana-wahana sudah
279 Isi-Omen4.indd 279 dimatikan, juga lampu-lampu, sehingga suasana jadi
remang-remang. Masih ada beberapa lampu yang dibiar?
kan menyala, mung?kin memang disengaja oleh para
tukang untuk me?nerangi jalan orang-orang yang keluar.
Namun yang lebih menakutkan adalah beberapa kali
aku merasa ada yang memandangiku. Pertama kali aku
menoleh, aku melihat patung badut dengan mulut ter?
nganga seolah-olah ingin menertawakanku. Kedua kali
aku menoleh, ada boneka beruang kotor yang ter?i?njakinjak di atas tanah becek, memandangiku de?ngan satu
mata yang sudah copot. Ketiga kalinya, tam?pak burungburungan yang sudah rusak, yang cuma bisa mangapmangap sambil berkata, "Kaaa, kaaa!"
"Kenapa, Rim?" tanya Daniel seraya menghampiriku
saat aku berbalik untuk keempat kalinya.
"Nggak," gumamku. "Cuma merasa ada yang meng?
amatiku aja." Daniel ikut memandangi sekeliling kami. "Seharusnya
udah nggak ada yang tertinggal lagi."
"Ya." Setidaknya, aku sudah menyaksikan geng cewek
itu keluar dalam kondisi lengkap?maksudku, minus
Nina dan Ida. "Mungkin cuma perasaanku aja." Aku
men?dongak pada Daniel. "Kita pulang sekarang?"
"Akhirnya!" seringai Daniel girang. "Ayo!"
Dan kami sama sekali tidak menyadari, saat kami ter?
gesa-gesa keluar, sebuah bayangan keluar dari balik
burung-burungan yang mangap-mangap tadi.
280 Isi-Omen4.indd 280 Daniel KARNAVAL hari kedua. Seperti yang sudah kami sepakati, hari ini giliranku
dan Rima membuka karnaval. Kemarin aku sudah sempat
mengecek semuanya sebelum pulang dan mandi, jadi
aku tinggal menyerahkan tugas membuka pintu pada si
penjaga loket. Hari ini kami berdua datang duluan untuk
mengawasi para tukang mengecek peralatan, juga para
siswa menyiapkan stan-stan mereka. Rima bercerita
padaku, Ajun Inspektur Lukas sempat meneleponnya dan
mengatakan bahwa baik Nina maupun Ida masih ber?
tahan di ICU. Sebelum mereka sadar kembali, kondisi
mereka belum bisa dinyatakan stabil.
Setelah semua wahana dan stan siap berjalan, kami
pun menuju ke depan pintu karnaval.
Omaygaaat! Yang menunggu ada sejuta orang di depan
sana! "Kayaknya loketnya harus dua nih," kata Winda, si
penjaga loket, dengan muka keder.
"Tenang," ucapku. "Kalo lo berhasil mengatasi suasana
281 Isi-Omen4.indd 281 ini dengan baik, nanti gue promosiin ke loket konser
Maroon 5." "Ah, yang bener lo, Niel?"
"Nggak dong. Just kidding."
Begitu pintu dibuka, loket langsung diserbu. Aku sem?
pat melihat beberapa cowok berusaha menyelinap masuk
tanpa bayar. Tentu saja, dengan muka sangar kucegat
mereka. "Eh, minta mati, ya?" tegurku keji. "Sana, bayar dulu!"
Sam?bil misuh-misuh mereka kembali ke antrean. "Eh
anak-anak curang, antrenya paling belakang! Awas kalo
nyelak!" Untunglah pada saat-saat seperti ini, petugas sekuriti
datang. Bukan Erika dan Val, melainkan petugas sekuriti
sungguhan yang biasanya bertugas di sekolah. Kuserah?
kan masalah ketertiban ini pada mereka, lalu pergi ber?
sama Rima. "Setidaknya kita jadi tau, nggak peduli ada insiden
atau nggak, anak-anak antusias banget sama karnaval
ini," kata Rima, yang malam ini mengenakan kemeja
putih, sweter abu-abu, dan rok biru tua. Sekilas dia mirip
anak SMP yang nyasar di acara anak SMA.
"Iya, anak-anak sekolah kita memang muka badak,"
ucapku muram. "Saking seringnya terjadi hal-hal yang
nggak enak, hal beginian nggak membuat mereka ke?takut?
a?n lagi. Malah aku curiga mereka diam-diam ke?pingin lihat
apakah kejadian kemarin akan terulang lagi."
"Anak-anak yang mengerikan ya."
"Begitulah teman-teman kita." Sebuah pemandangan
yang tidak wajar menarik perhatianku. "Omaygaaat! Rima,
lihat!" 282 Isi-Omen4.indd 282 Kami berdua menatap kerumunan yang mengantre
dengan tidak percaya. Dari sekian banyak orang yang
datang, lebih dari setengahnya mengenakan pakaian
serba?hitam?topi pet hitam menutupi muka, jaket hitam,
dan celana jins hitam. Beberapa bahkan berkerumun,
menandakan mereka semua adalah teman satu geng.
"Ini gila," ucapku setelah rasa shock berkurang. "Dari
mana mereka tau soal tersangka yang berpakaian serba?
hitam?" "Namanya gosip, pasti beredar dari mulut ke mulut,"
kata Rima datar. "Tiba-tiba aja, satu sekolahan sudah
tau." "Anak-anak tukang gosip."
"Begitulah teman-teman kita," kata Rima meniruku.
"Gawatnya, kalo sampe ada salah satu dari orang-orang
ber?pakaian hitam ini menjadi pelaku kejadian, tersangka?
nya bakalan banyak."
Wajahku berubah. "Atau mungkin gosip ini disebarkan
oleh pelaku, supaya semua orang pake baju yang sama
seperti dia, dan dia bisa bergerak jauh lebih bebas."
"Niel." Mata Rima menatap ke satu titik di tengahtengah kerumunan. "Lihat."
Aku mengikuti arah tatapannya?dan menemukan
Nikki beserta gengnya mengenakan pakaian serbahitam
yang sama. Yang membuatku kesal setengah mati, bah?
kan Amir dan Welly juga mengenakan kostum yang
sama. Padahal apa gunanya sih mereka mengenakan
kostum-kostuman? Di seluruh sekolah kami, tidak ada
cowok yang lebih mirip tiang listrik ketimbang Welly,
dan cuma ada satu yang bentuknya mirip gentong yaitu
Amir. Percuma deh mereka menyamar segala!
283 Isi-Omen4.indd 283 Kadang aku heran kenapa aku bisa berteman dengan
orang-orang sebodoh mereka.
"Jangan-jangan," geramku dengan mulut terkatup, "si
Amir dan Welly yang jadi sumber kebocoran ini."
"Nggak bisa disalahin juga," ucap Rima kalem. "Me?
reka kan deket dengan cewek-cewek itu. Nggak pelak
lagi, mereka pasti sering cerita macam-macam."
Kalau begitu, aku tidak boleh membocorkan informasi
apa pun juga pada Amir dan Welly.
Kecuali... "Rim, gue terpikir sebuah ide, cuma nggak tau gimana
pelaksanaannya." "Ide apa?" "Gimana kalo kita memberikan informasi palsu pada
Amir atau Welly?" tanyaku. "Informasi itu harus rada
bagus, sehingga mereka langsung sampein ke geng cewek
itu, dan informasi itu juga harus bisa memancing si
pelaku nongol sendirian di tempat sepi."
Rima tampak keberatan. "Aku nggak mau manfaatin
Amir atau Welly, Niel."
"Ah, nggak apa-apa," sahutku cuek. "Mereka bisa ber?
guna apa lagi selain hal-hal beginian? Lagi pula, daripada
mereka jadi titik kelemahan kita, lebih baik kita gunakan
mereka sebagai senjata. Jangan pandang ini sebagai hal
yang merendahkan mereka, Rim. Asal tau aja, kalo
mereka nggak terlalu mabok dikelilingi cewek-cewek po?
pu?ler, mereka pasti mau membantu kita meskipun harus
jadi umpan." "Oh begitu." Wajah Rima tidak berubah. "Tapi aku
tetap merasa nggak enak. Ada bedanya mendapat per?se?
tuju?an mereka dan nggak mendapat persetujuan mereka
284 Isi-Omen4.indd 284 untuk dimanfaatkan, Niel. Gimana kalo terjadi sesuatu
dengan mereka?" "Nggaklah." Aku mengibaskan tangan dengan pede. "Me?
reka memang blo?on, tapi mereka nggak lemah kok."
Rima menatapku lama sekali, dan aku mulai takut dia
meremehkanku karena ideku yang licik dan menunjukkan
watakku yang manipulator banget. "Sebenarnya, aku
tahu informasi palsu apa yang bisa kita kasih tau ke
mereka." Oke, aku jadi semangat. "Informasi apa?"
"Kita bisa memberitahu mereka bahwa kita akhirnya
menemukan bukti siapa sebenarnya pelaku itu, dan kita
belum serahkan bukti itu ke polisi."
"Tapi kita juga harus ngasih mereka kisi-kisi yang me?
narik. Kalo nggak, bisa-bisa si pelaku sadar bahwa dirinya
sedang dijebak." Rima berpikir sejenak. "Kita bisa bilang, pokoknya pe?
lakunya bukan sosok berpakaian serbahitam yang mereka
gosipkan itu." Aku tertegun. "Jangan-jangan lo tau siapa sosok ber?
pakaian serbahitam itu?"
Rima tidak menyahutku, melainkan hanya tersenyum.
Sudah kuduga, pasti dia sudah tahu siapa sosok ber?pakai?
an serbahitam itu. Mau tak mau aku hanya bisa meng?
hela napas. "Lama-lama gue bisa gila gara-gara lo, Rim." Ujung
mulut Rima melengkung, menandakan dia menyadari
ucap?anku bukan penghinaan, melainkan pujian untuk?
nya. "Oke, gue akan bilang ke mereka..."
"Tapi kamu nggak boleh bilang bahwa kamu yang
pegang bukti itu." 285 Isi-Omen4.indd 285 "Kenapa?" tanyaku heran sekaligus tidak setuju. "Harus
gue. Gue nggak mau jadiin orang lain, apalagi elo, se?
bagai umpan." "Justru sebaliknya, harus aku yang jadi umpan," tegas?
nya. "Di antara kita semua, aku yang paling lemah dan
pantas untuk diincar. Kalau seandainya bukti itu di?
pegang oleh kamu atau, katakanlah, Erika, mereka mung?
kin nggak akan mau ngambil risiko merebutnya, soalnya
kemungkinan besar mereka kalah sama kalian, kan?"
"Kalo gitu, mungkin mereka akan mikir ini jebakan
juga, karena nggak mungkin bukti sepenting itu di?
pegang oleh elo. Sori, bukannya menghina lho."
Rima tersenyum lagi. "Nggak terhina kok. Tapi kamu
bisa bilang gini, aku yang nemuin, dan aku nggak mau
kasih tau siapa-siapa selain polisi. Sementara itu, aku
akan sembunyi di tempat persembunyian yang sangat
jelas, yaitu tenda gudang kemarin, sambil berpura-pura
menghubungi Pak Ajun Inspektur Lukas. Tapi kita jangan
hubungi Pak Ajun Inspektur Lukas dulu sebelum kita
membekuk si pelaku. Soalnya, bisa-bisa kita dihalanghalangi karena rencana kita terlalu berbahaya. Atau,
karena terlalu banyak pengamanan, jadinya malah bikin
si pelaku curiga." Sebenarnya, kata-katanya masuk akal banget. "Jadi ren?
cana kali ini hanya kita berdua?"
Rima berpikir sejenak. "Ya, mendingan kita jangan
libatkan siapa-siapa dulu. Seperti kataku tadi, terlalu ba?
nyak orang yang berjaga-jaga bakalan bikin si pelaku
curiga." "Oke," aku mengangguk penuh semangat. "Kalo gitu,
gue samperin Amir dan Welly sekarang."
286 Isi-Omen4.indd 286 Rima membalas anggukanku. "Aku akan pergi ke tenda
gudang." Baru saja Rima ingin beranjak pergi, aku menahan
lengan?nya. "Hati-hati, Rima."
Rima memandangi wajahku, lalu tatapannya turun
pada tanganku yang memegangi lengannya. Cepat-cepat
aku melepaskan peganganku.
"Sori," ucapku salting.
Rima tidak menyahutku, melainkan balas berpesan,
"Kamu juga hati-hati ya."
Aku mengangguk perlahan dan mengawasinya berjalan
pergi. Entah kenapa perasaanku jadi tak enak. Yah, ini
pasti hanya perasaan overprotektif. Takkan terjadi apaapa. Lawan kami hanya cewek centil yang rada-rada


Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

psikopat. Meski tidak punya kemampuan bela diri, Rima
bukan cewek lemah. Dia bisa melawan kalau memang
perlu. Lagi pula, kan ada aku yang bisa melindunginya.
Yang penting aku harus segera menyelesaikan misiku
dan kembali padanya secepat mungkin.
Aku pun menghampiri Welly yang sedang membeli
minuman. "Eh, Wel, mana si Amir?"
Aku lega Welly tidak menanggapiku dengan jutek.
Sepertinya, karnaval dan semua kejadian yang bersangkut?
an dengannya?baik mengenai pedekate dengan geng
cewek maupun kejadian tragis yang menimpa mereka?
sudah membuat Welly, juga Amir, melupakan perselisihan
kami sebelumnya. "Lagi ke WC. Lo tau si Amir, WC
udah kayak rumah keduanya."
Yep, aku tidak mungkin lupa dengan kebiasaan Amir
yang rada menyebalkan itu. Seolah-olah dia tidak bisa
hidup tanpa WC. Yah, memang sih sebagai manusia ber?
287 Isi-Omen4.indd 287 adab kita semua tak bisa hidup tanpa WC, tapi Amir itu
keterlaluan banget. Kalau ditanya benda apa yang ingin
dibawanya hingga ke lubang kubur, mungkin dia bakalan
menjawab "WC" atau, lebih spesifik lagi, "kloset".
Berhubung Amir hobi menghabiskan waktu lumayan
lama di toilet, aku tidak bisa menunggunya. Apa boleh
buat, terpaksa targetku hanya terbatas pada si ceking
yang sepertinya tidak bisa diandalkan ini. Aku me?
mandangi Welly dengan penuh antisipasi.
"Apa?" tanya Welly yang, seperti biasa, sensi banget
kalau dipandangi lama-lama.
"Nggak," sahutku dengan nada dibikin mencuriga?
kan. Sepertinya aktingku lumayan juga, soalnya Welly mu?
lai mencecar, "Apaan? Pasti lo nyembunyiin sesuatu dari
kami!" "Nggak!" bantahku dengan nada lebay. "Nggak ada
yang penting." Lalu aku menambahkan efek melirik-ke-kiri-dan-kekanan ala orang-orang mencurigakan dalam film-film
kartun. Tentu saja, Welly makin terpancing.
"Apa dong?" desaknya. "Masa masih main rahasiarahasia?an antartemen gini?"
"Yah, namanya juga rahasia..."
"Hah! Kejebak omongan gue!" seru Welly dengan
wajah penuh kemenangan yang terlihat rada tolol. "Ce?
pet?an ngaku! Rahasia apa yang lo sembunyiin dari
gue?" Aku cemberut tanda bete, lalu menghela napas tanda
berat hati. Kapan-kapan, aku harus nyoba melamar jadi
aktor. "Tapi lo jangan ngasih tau siapa-siapa ya? Janji?"
288 Isi-Omen4.indd 288 Omaygaaat! Mendadak muka Welly dekat sekali dengan
mukaku! "Janji!"
Aku mundur tiga langkah supaya tidak ketularan
komedo si Welly. "Begini. Ehm, Rima cerita ke gue kalo
dia dapet bukti siapa orang yang udah celakain Nina
sama Ida..." "MASA?!" "Ssst!" Dasar tidak bisa dipercaya. Baru mendengar
satu kalimat saja, kelihatan banget dia sudah kepingin
me?neruskan gosip itu ke seluruh dunia. "Jangan berisik
dong. Kan udah gue bilang, ini rahasia!"
"Sori, sori." Welly merendahkan suaranya. "Tapi ini
keren banget. Dia tau dari mana?"
"Rima kan orangnya jeli banget," bisikku. "Katanya,
pelaku?nya udah pasti bukan si item yang kita kejar-kejar
itu." "Ah, bohong!" ucap Welly kaget. "Jelas-jelas si item itu
mencurigakan banget!"
"Tapi kata Rima bukan dia," balasku berkeras. Sial, aku
juga penasaran siapa sosok berpakaian serbahitam itu.
"Dia punya sesuatu yang bisa buktiin semua itu."
"Gila, info ini bener-bener heboh!" bisik Welly takjub.
"Jadi sebentar lagi kita akan menangkap pelaku sebenar?
nya?" "Iya. Rima bilang dia sengaja nungguin ngelapor se?
karang supaya pelakunya ada di sini dan nggak bisa ke
mana-mana waktu polisi dateng dan membekuk dia,"
aku memanas-manasi. "Cuma dia masih ragu untuk nge?
laporin temen sendiri, katanya."
"Temen sendiri?" Mata Welly nyaris keluar dari rongga?
nya. "Yang bener lo?! Temen kita sendiri?!"
289 Isi-Omen4.indd 289 "Sst!" aku mendesis lagi. "Udah gue bilang, jangan be?
risik! Udah ah, capek gue ngomong sama elo! Gue pergi
aja!" Sambil berjalan pergi, aku melirik ke arah Welly yang
tergopoh-gopoh menghampiri geng cewek. Oke, ini ber?
arti misiku sukses. Yihaaa!
Aku segera kembali pada Rima. Cewek itu hanya
berdiri diam-diam di dalam tenda yang berfungsi sebagai
gudang, dengan rambut terurai di depan wajahnya dan
tangan menggenggam ponsel di dekat telinganya,
menguarkan aura menyeramkan yang membuat semua
orang otomatis menjauh darinya. Bulu kudukku me?
remang, antara agak ngeri dan geli. Habis, Rima benarbenar terlihat mirip hantu. Kurasa pelaku semua kejadian
ini pun pasti bakalan berpikir seribu kali sebelum men?
dekatinya. Apalagi kalau dia memercayai gosip mengenai
kemampuan ajaib Rima. Aku tidak menghampiri Rima, melainkan mencari
posisi di depan pintu tenda yang tidak terlihat oleh
orang lain. Kebetulan sekali, tenda yang kami gunakan
adalah jenis tenda yang berlapis-lapis, sehingga aku bisa
menggunakan lapisan pada bagian belakang tenda yang
berhadapan dengan tenda gudang. Meski pengap dan
berbau apak, aku bisa mengintai pintu depan tanpa ter?
lihat siapa pun. Berhubung bodi besarku kadang sulit
diumpetin, sebaiknya aku tidak komplen tentang kondisi
yang tidak mengenakkan selama tempat persembunyian
itu berfungsi dengan baik.
Selama beberapa saat aku berdiri seraya mengawasi
Rima. Lalu, karena tidak ada sesuatu yang terjadi? Aku
mu?lai pegal-pegal lantaran gayaku yang mirip cicak me?
290 Isi-Omen4.indd 290 nemplok pada dinding tenda. Hebat juga Rima, bisa
tetap bergeming, posisinya sama seperti posisi awal, ke?
pala?nya tertunduk dengan ponsel menempel di telinga.
Mungkin cewek itu diam-diam punya kekuatan super
untuk menjadi patung. Saat aku tak tahan lagi dan kepingin jongkok, men?
dadak kulihat seseorang beringsut-ingsut mendekati
tenda. Gaya yang agak lebay sebenarnya, karena tak ada
orang di sekelilingnya yang akan curiga meski cara ber?
jalannya seberisik gajah. Tebersit dalam pikiranku, dari
gelagatnya, kelihatan banget si pelaku ini tak seberapa
pintar. Pasti tak sulit membekuknya. Sayangnya, dalam
kondisi begini, aku tidak bisa mengenalinya lantaran,
seperti yang sudah kuduga, dia mengenakan kostum
serba?hitam yang sedang ngetren malam ini. Ah, tak apaapa, sebentar lagi kami akan menangkapnya dan me?
nyingkap kedoknya. Oke, ini saatnya kami beraksi.
Giliranku beringsut-ingsut mendekati tenda (kalau aku
sih tidak lebay. Aku kan tidak mau suara langkahku di?
dengar oleh si pelaku). Kulihat si pelaku memegangi se?
suatu, sesuatu yang sepertinya baru saja dikeluarkannya
ka?rena tadi aku tidak melihatnya. Benda itu adalah se?
batang pentungan besi berwarna hitam yang biasa di?
gunakan oleh para satpam sebagai senjata. Saat sosok itu
mengangkat pentungan itu, siap menghantam kepala
Rima, aku tidak sanggup berdiam diri lagi. Aku me?
nyeruak ke dalam tenda...
tepat pada saat Rima membalikkan badannya dan
me?natap si pelaku dari balik tirai rambutnya. Bibirnya
291 Isi-Omen4.indd 291 me?lengkung, menampakkan senyum dingin yang mem?
buat jantungku serasa berhenti berdetak.
"Gotcha!" ucapnya dengan suara rendah yang seperti?
nya sanggup membekukan gerakan setiap orang.
Seperti aku, si pelaku terpaku sesaat, dan aku bisa me?
lihat tubuhnya gemetaran hebat. Tuh kan, apa kubilang,
Rima lebih dari sekadar sanggup menjaga dirinya sendiri.
Dia berhasil membuat si pelaku tak berkutik hanya de?
ngan satu tatapan mengerikan. Benar-benar luar biasa.
Namun kami meremehkan ketakutan yang dirasakan
oleh si pelaku. Mendadak saja si pelaku menjerit sejadi-jadinya. Jeritan
yang melengking begitu tinggi, yang membuat kita oto?
matis melindungi telinga kita supaya tidak berdenging.
Lebih parah lagi, dia mulai memukuli Rima dengan
pentung?an besi itu. Rima berusaha mengelak dengan ber?
jalan mundur, sementara aku mulai maju untuk me?
nolong Rima dan menangkap si pelaku.
Tetapi, saat aku mendekat, mendadak saja tumpukan
meja dan kursi yang memenuhi lebih dari separuh tenda
ini roboh ke arah kami. "Awas!" teriakku seraya mendorong Rima hingga cewek
itu terpental ke belakang dan menabrak dinding terpal
tenda yang empuk. Untunglah, karena saat itu juga se?
luruh dunia menimpaku. Rasanya, omaygaaat, seperti di?
gebuki ratusan orang. Sesuatu yang mirip tongkat (se?perti?
nya kaki meja atau kursi) membentur pelipisku, nyaris
mengenai mataku, membuat pandanganku gelap selama
beberapa saat. Dan dalam kondisi ini aku hanya bisa berpikir, breng?
sek, aku dikalahkan cewek yang kusangka bodoh.
292 Isi-Omen4.indd 292 Meski begitu, aku tidak kehilangan kesadaran. Aku bisa
men?dengar Rima memanggil-manggilku. Selain itu, ter?
dengar bunyi seolah-olah dia mengangkat dan me?lempar?
kan setiap benda yang menguburku hidup-hidup ini.
Oke, sekali lagi, Rima memang tidak menguasai ilmu
bela diri, tapi cewek itu tidak lemah. Saat aku digencet
se?luruh dunia, aku tidak ragu dia sanggup menye?lamat?
kanku. Tapi aku tolol banget sih, sampai-sampai harus dise?
lamatkan segala. Akhirnya cahaya memenuhi kelopak mataku. Aku
mem?buka mata, dan melihat muka Rima nongol di
antara meja dan kursi yang masih saja menggencetku.
"Daniel, kamu nggak apa-apa?" tanyanya cemas. "Oh,
ya ampun, mukamu berdarah!"
"Tenang, Rim. Gue nggak apa-apa." Setelah mengerah?
kan seluruh kekuatan, aku akhirnya berhasil membebas?
kan diri. Benar kata Rima, pelipisku berdarah, hasil
bentur?an dengan kaki perabot yang sempat membuat
pandanganku menggelap. Selain itu, sekujur tubuhku
dipenuhi memar besar dan goresan ringan. Rasanya,
sekali lagi, seperti habis digebuki massa, tapi tidak ada
luka serius. Rima menatapku dengan wajah khawatir,
mem?buatku ge-er sekaligus tidak tega. "Serius, Rim. Gue
nggak apa-apa. Nih, gue masih bisa ngangkat dua kursi
sekaligus... Awww!" Sial, acara pamerku dirusak oleh memar yang seperti?
nya besar dan pastinya sangat menyakitkan di pung?gung?
ku. "Sudah, kamu nggak usah pamer dulu." Haishh, niatku
ketahuan Rima pula. "Duduk di sini dan tunggu aku."
293 Isi-Omen4.indd 293 Gawat, cewek itu pergi tanpa menunggu jawabanku.
Apa dia berniat mengejar si pelaku sendirian? Semoga
saja tidak, karena... Aku lega banget cewek itu sudah kembali lagi. "Baru?
san lo ke mana, Rim?"
"Cuma ke loket depan untuk ngambil ini," katanya
sam?bil mengangkat kotak P3K yang dibawanya. "Aku
akan periksa lukamu."
"Ah, ini kan cuma luka-luka ringan, Rim..."
"Daniel, diam."
Oke, aku tahu ini kedengarannya aneh, tapi aku se?
nang banget Rima memerintahku dengan nada yang
tidak mau dibantah begini. Seolah-olah dia merasa cukup
dekat denganku untuk tidak bersikap sungkan seperti
biasa. Apalagi setelah itu dia mulai membubuhkan
Betadine di setiap luka goresan dan Zambuk di setiap
luka memar. Hihi, asyik, aku dipegang-pegang Rima.
"Maaf, kita nggak berhasil menangkap si pelaku," ucap?
ku untuk menutupi rasa girangku yang berlebihan dan
rada tidak pantas. "Nggak apa-apa," sahut Rima sambil terus mengobatiku
dengan tekun, sementara aku mengatupkan rahangku
kuat-kuat saat Rima membubuhkan Betadine dengan
sangat hati-hati ke atas lukaku. Sudah cukup parah aku
harus ditolongnya tadi, sekarang aku takkan mem?biar?
kannya melihat kelemahanku dengan menjerit keraskeras seperti yang sebenarnya ingin kulakukan. "Toh ini
sebenarnya siasat yang lumayan gampang ketauan. Andai
mereka parno sedikit saja, mereka pasti udah bisa men?
duga siasat ini. Tapi setidaknya kita berhasil menge?
tahui..." 294 Isi-Omen4.indd 294 "Lo tadi melihat tampangnya?" tanyaku setengah ber?
harap. "Sayang sekali nggak," geleng Rima. "Soalnya dia pake
masker. Tapi setidaknya kita udah memastikan dia salah
satu cewek dari geng itu. Selain matanya mata cewek
dan posturnya postur cewek, siapa lagi yang akan datang


Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selain orang-orang yang diceritain Welly atau Amir..."
"Welly," koreksiku. "Cuma Welly yang sempet gue
ceritain." "Welly kalo gitu," ucap Rima seraya mengangguk.
"Pasti?nya dia cuma cerita sama anak-anak geng cewek
itu, kan? Dan satu lagi..."
"Mereka." Aku bukannya tidak memperhatikan. "Tadi
lo pake kata mereka."
"Bener banget," sahut Rima dengan tatapan bersinarsinar dan seringai di bibirnya, "mereka minimal berdua.
Kamu nggak mengira tumpukan meja dan kursi ini jatuh
sendiri dengan begitu kebetulan pada saat yang begitu
tepat dan sama sekali nggak melukai si pelaku, kan?"
"Benar juga sih."
Sebenarnya, dari tadi aku berpikir, memang ajaib
banget si pelaku bisa menghindar dari tumpukan pe?
rabotan ini sementara aku menyerahkan diri begitu saja.
Memang sih, itu karena aku menyelamatkan Rima, tapi
aku ini kan Daniel Yusman yang perkasa. Tidak seharus?
nya aku jadi korban satu-satunya dalam situasi seperti
ini. "Tadi aku sempat melihat," kata Rima. "Partner pelaku
ada di belakangmu. Rupanya dia mengawasi dari jarak
ter?tentu. Saat kamu bertindak, dia langsung mendekat
untuk menolong temannya. Kurasa si pelaku ngasih kode
295 Isi-Omen4.indd 295 untuk temannya dengan jeritannya yang bikin tuli itu."
Yep, kupingku masih berdenging karena jeritan mirip
suara kuntilanak itu. "Saat kita lagi shock, temennya me?
nyelinap masuk dan menuju ke belakang timbunan
perabotan ini." "Dan mendorongnya ke arah elo saat temennya mau
kabur," dugaku. Rima menggeleng. "Mereka ngincernya kamu kok. Aku
lihat tumpukan itu roboh saat kamu mendekat. Aku
cuma sekadar umpan."
Jadi begitu. Aku benar-benar sudah meremehkan ke?
cerdikan para pelaku kejadian ini. Ternyata akulah yang
bodoh. "Katanya ada suara mencurigakan di sini?"
Kami menoleh ke arah pintu tenda. Di sana Erika dan
Val melongokkan kepala mereka.
"Oh God," Val menatap isi tenda yang berantakan itu.
"Apa yang barusan terjadi?"
Erika menyipitkan mata padaku. "Lo nggak berusaha
duduk di atas tumpukan semua ini kan, Niel?"
Omaygaatt! Tega-teganya dia menuduhku melakukan
hal yang begitu kekanak-kanakan! "Lo kira gue Welly
atau Amir?" Eh, bukan berarti aku juga tega menuduh
teman-temanku melakukan hal yang kekanak-kanakan,
tapi Amir dan Welly memang kekanak-kanakan kok.
"Tadi kami..." Ups! Seharusnya ini tidak boleh diketahui oleh Erika
dan Val. Bisa-bisa mereka ngambek karena tidak diajak
ikut serta dalam rencana ini. Lebih parah lagi, bisa-bisa
mereka menganggap rencana ini gagal karena tidak me?
libatkan mereka. 296 Isi-Omen4.indd 296 Namun, sepertinya aku telat mengerem mulut ember?
ku. "Kalian kenapa?" tanya Val dengan muka penasaran
tingkat dewa. "Apa kalian sudah jadian?"
Aku tersedak ludah sendiri mendengar ucapan Val,
tepat pada saat Rima menyurukkan keras-keras cotton bud
penuh Betadine ke luka di lututku yang masih berdarahdarah. Jadilah aku terbatuk-batuk sambil memegangi
lututku dan meloncat-loncat kesakitan. Kurasa, seumur
hidupku, baru kali inilah aku melakukan gaya yang
begitu cupu dan memalukan.
"Gimana sih lo, Val?" cela Erika sambil menudingku
yang sedang meloncat-loncat. "Jelas-jelas dia barusan me?
lakukan hal bego dengan duduk-duduk di atas tumpukan
perabotan! Nggak mungkin dia lebih bego lagi dengan
melakukan pernyataan cinta dari atas sana. Sudah pasti
orang bego seperti itu nggak akan diterima Rima!"
Dasar Erika brengsek. Bukannya prihatin melihatku
kesakitan, dia malah mengata-ngataiku bego!
"Yah, abis sepertinya Daniel nyembunyiin sesuatu dari
kita," kilah Val polos. Namun kalau kita jeli, kita akan
bisa melihat kilau licik di matanya. Yah, sekarang aku
sudah mulai mengenal Val. Meskipun bertampang kutu
buku dan terlihat polos, Val sangat cerdik dan pandai
mengelabui orang. Selain itu, dia senang mempergunakan
tampang kupernya untuk mengorek informasi dari orang
lain. "Memangnya apa kalo bukan jadian? Abis kalian
kayak bersekongkol menyembunyikan rahasia dari
kami." "Nggak kok," bantahku. "Gue nggak ada rahasia apaapa."
297 Isi-Omen4.indd 297 "Nggak usah berkelit," cela Erika. "Tadi waktu lo nge?
bacot terus tiba-tiba diem, lo sempet ngelirik ke Rima
seolah-olah merasa bersalah nyaris ngember."
Omaygaaat! Aku bahkan tidak menyadari hal itu. Ter?
nyata aktingku tidak bagus-bagus amat. Aku menoleh
pada Rima yang sedari tadi diam saja. Tanpa membalas
pandanganku, dia berkata perlahan, "Tadi kami berusaha
men?jebak si pelaku dengan menggunakan informasi
palsu. Kalian tau, kemungkinan besar si pelaku adalah
salah satu dari antara anak-anak geng cewek itu. Jadi
kami membocorkan informasi palsu pada Welly, yang
tentu?nya langsung nyebarin ke mereka."
"Masuk akal," Erika manggut-manggut. "Memang
Welly suka sok pinter di depan cewek-cewek. Lalu? Pe?
laku?nya terpancing?"
"Ya, kami memancingnya ke sini. Aku di dalam semen?
tara Daniel di luar. Tapi lalu saat kami ingin menangkap
pelaku yang sudah menghampiriku, ternyata ada
rekannya yang berusaha membantunya meloloskan diri.
Hasilnya adalah kondisi yang berantakan ini."
"Dan kondisi tubuh gue yang luka parah," sahutku
ber?usaha membesar-besarkan.
Tapi Erika dan Val sama sekali tidak memedulikan
ucap?anku. Tampang mereka terlihat kaget sekaligus ber?
semangat. "Jadi maksud lo, pelakunya ada dua orang?" tanya Val
pada Rima. "Ya. Minimal dua orang."
"Sudah gue duga!" kata Erika seraya menepuk kedua
tangan?nya lalu menggosok-gosokkannya dengan muka
keji yang biasa ditampakkannya saat dia sedang siap
298 Isi-Omen4.indd 298 berkelahi. "Nggak mungkin satu orang bisa menipu kita.
Minimal ada satu yang mengalihkan perhatian kita, satu
lagi pelaku sebenarnya."
"Tapi," Val mengetuk-ngetuk bibirnya, "ini berarti ke?
curigaan kita bener ya. Pelakunya memang berada di
antara cewek-cewek itu."
"Kalo dua, berarti seharusnya Cecil dan Nicky, karena
dua cewek itu sangat mencurigakan," cetus Erika. "Cuma
kok kesaksian mereka nggak saling mendukung ya."
"Atau ada seseorang yang lain yang kita nggak tau?"
gumam Val. Selama beberapa saat kami semua termenung me?mikir?
kan pertanyaan itu, sementara Rima berusaha menye?lesai?
kan pekerjaannya mengobatiku. Namun sebelum pekerja?
an itu selesai, mendadak kami mendengar jeritan-jeritan
dari luar lagi. Sepertinya ada korban lagi.
Tanpa banyak bacot, kami semua melesat ke luar,
meng?ikuti arus lari para pengunjung. Sebagian berlari
men?jauhi TKP, sebagian lagi malah mendekat. Selama
be?berapa saat kami bingung menentukan arah mana
yang harus kami ikuti, hingga akhirnya Rima berkata,
"Kincir raksasa!"
Mengikuti ucapannya, kami berlari ke kincir raksasa,
dan menemukan wahana itu sedang berhenti diputar.
Pintu kabin terbawah terbuka begitu saja, menampakkan
sesosok badut yang tergeletak di lantai.
Rasanya seperti d?j? vu. Namun badut itu tampak begitu familier. Tanpa sadar,
aku berlari mendekat, menerobos kerumunan orangorang secara paksa. Langkahku terhenti di depan kabin,
299 Isi-Omen4.indd 299 saat aku akhirnya berhasil melihat siapa korban yang
me?ngenakan riasan badut itu.
Korban itu adalah Welly. 300 Isi-Omen4.indd 300 Rima SEMUA ini salahku. Dengan perasaan tertekan, aku memandangi Welly
yang hanya terlihat sepintas-pintas lantaran dikelilingi
para petugas medis dan polisi. Seperti korban-korban se?
belumnya, kepalanya juga dihantam oleh sesuatu yang
keras, terbukti dari aliran darah yang mengalir turun dari
rambut ke hidung. Wajahnya juga didandani seperti
badut, lengkap dengan eyeshadow, eyeliner tebal, lipstik
yang keluar dari batas garis bibir, dan tomat yang di?
jejalkan pada hidung. Yang paling menakutkan adalah
tubuhnya yang berlumuran darah lantaran dipenuhi
banyak sayatan. Di dinding di atas kepala Welly terdapat
tulisan yang ditulis dengan lipstik berwarna merah
manyala yang sewarna dengan lipstik di wajah Welly:
YOU?RE NEXT. Seharusnya aku lebih berhati-hati. Seharusnya aku
tidak membuat rencana tolol yang kemungkinan besar
akan gagal itu. Seharusnya aku lebih memikirkan untuk
mencegah korban-korban berjatuhan lagi daripada me?
nangkap pelakunya. 301 Isi-Omen4.indd 301 Dan sekarang, aku tidak boleh memanjakan diri de?
ngan menangisi kebodohanku.
Aku menoleh pada Daniel yang baru selesai menghibur
Amir yang tampak shock hebat dan kini berdiri dengan
muka supersuram di dekat Ajun Inspektur Lukas. Pasti?
nya dia sudah menceritakan rencana kami yang gagal
pada Ajun Inspektur Lukas, karena polisi itu tampak
sama suramnya ditambah dengan aura berang yang tidak
sedikit dan membuatku keder. Meski begitu, aku me?
nyadari bahwa diomeli adalah hukuman yang terlalu
ringan untuk menebus kesalahan yang sudah kuperbuat.
Harusnya aku babak-belur seperti Daniel, atau kalau
perlu menggantikan posisi Welly.
Meski enggan, aku mendekati mereka.
"Apa yang bisa kubantu?" tanyaku agak takut-takut.
Ajun Inspektur Lukas melemparkan tatapan setajam
sinar laser ke arahku, membuatku makin mengkeret.
Untung saja aku punya rambut yang menyerupai tirai di
depan wajahku, jadi aku bisa menyembunyikan diriku di
baliknya. "Sebelum mulai ngomel, saya ingin menandaskan se?
suatu," kata Ajun Inspektur Lukas dengan suara rendah
yang lebih menakutkan daripada teriakan penuh ke?
marah?an. "Kejadian ini bukan salah kalian. Pada dasar?
nya, mereka memang menginginkan korban, dan Welly
calon yang tepat untuk membuat kalian marah. Dengan
atau tanpa rencana kalian yang sangat idiot itu, mereka
akan mengincar salah satu dari teman-teman kalian.
Atau mungkin kalian sendiri, kalau dilihat dari coretan
yang mereka tulis di dinding kabin."
Maksudnya tentu tulisan "you?re next" itu.
302 Isi-Omen4.indd 302 "Tapi, itu tidak berarti saya memaafkan ketololan
kalian!" Mendadak Ajun Inspektur Lukas meraung, mem?
buat kepala-kepala menoleh ke arah kami. Oke, aku sa?
lah. Lebih baik dia bicara dengan suara rendah seperti
tadi. Diteriaki begini membuat jantungku serasa menciut
lalu ngumpet di dalam lambungku?hal yang rasanya
sangat masuk akal saat ini karena mendadak saja aku
merasa mual. "Membuat rencana tanpa berkonsultasi
dengan pihak berwajib dan membahayakan diri sendiri?
Apa maksudnya ini? Kalian meremehkan pihak ke?
polisian? Begitu?" Oke, aku malu banget mengakuinya, tapi tuduhan itu
ada benarnya. Tepat saat itu Valeria dan Erika mendekat, dan Ajun
Inspektur Lukas langsung menghunjam mereka dengan
tatapan Cyclop-nya yang menakutkan. Valeria dan Erika
langsung mundur beberapa langkah.
"Whoa, easy, tiger," ucap Erika sambil mengangkat ke?
dua telapak tangannya seperti hendak menjinakkan bina?
tang liar. "Kami nggak bersalah apa pun dalam kejadian
ini." "Oh ya, benar juga." Ajun Inspektur Lukas berpaling
kembali dan memelototi kami.
"Maafkan kami, Pak Ajun Inspektur," ucapku nyaris
serempak dengan Daniel. Melihat betapa aku dan Daniel tidak membantahnya
sama sekali melainkan langsung minta maaf, kemarahan
Ajun Inspektur Lukas sepertinya berkurang?sepertinya,
karena meski dia tidak berteriak-teriak lagi, nada suara?
nya masih jutek banget. "Yah, setidaknya kalian cukup
jujur untuk mengakui kesalahan kalian. Tapi yang nama?
303 Isi-Omen4.indd 303 nya minta maaf tidak ada artinya kalau kalian meng?


Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ulangi kesalahan yang sama. Jadi, kalian mau janji untuk
tidak melakukannya lagi?"
"Ya, Pak." Sekali lagi, aku dan Daniel menyahut serem?
pak. Lagi-lagi Ajun Inspektur Lukas menoleh pada Valeria
dan Erika. "Kalian juga!"
"Ya ampun, gara-gara dua anak ini, kita yang dapet
ke?sulitan!" gerutu Erika. "Iya, Om. Kami nggak akan ber?
buat segegabah dua anak ini deh."
Aku memperhatikan Erika tidak berjanji apa-apa, tapi
Ajun Inspektur Lukas tidak menyadarinya. Malahan
polisi itu menukas, "Jangan panggil saya om. Saya kan
masih muda dan ganteng."
"Iya deh, Bapak Ajun Inspektur yang masih muda dan
ganteng." Ajun Inspektur Lukas menarik napas dalam-dalam,
seolah-olah kemarahannya yang tadinya sempat meledakledak berhasil diredam oleh ucapan Erika barusan. "Oke,
sekarang begini. Saya tahu kalian curiga pada anak-anak
dari geng cewek itu, terutama pada Cecil dan Nicky. Tapi
masalahnya, kita tidak punya bukti apa pun. Meskipun
saya menahan mereka, dalam kondisi seperti ini, saya
tidak punya dasar untuk menuntut mereka. Dalam waktu
singkat, mereka pasti akan dilepaskan lagi. Jadi, sekarang
ini saya tidak akan menangkap atau menginterogasi me?
reka dulu. Percuma, hasilnya pasti akan sama saja de?
ngan kemarin." "Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanya Daniel ke?
cewa. "Masa kita harus diam-diam aja?"
"Saya tidak akan menutup-nutupi," ucap Ajun Inspek?
304 Isi-Omen4.indd 304 tur Lukas. "Dari pesan yang mereka tinggalkan, seperti?
nya korban berikutnya adalah salah satu dari kalian.
Orang yang dianggap pasti akan menemukan korban
terakhir. Daripada Erika atau Valeria, saya menduga
target mereka adalah salah satu dari kalian, Rima atau
Daniel." Pendapat Ajun Inspektur Lukas tidak salah, tetapi ke?
simpulannya juga tidak sepenuhnya benar. Aku melirik
ke arah kerumunan yang mengelilingi kami, dan melihat
Putri beserta Aya di antara mereka. Kalau semua ini me?
mang perbuatan orang-orang yang mengaku sebagai Ke?
lompok Radikal Anti-Judges, mereka pastilah mengincar
para anggota The Judges: Putri, Aya, Daniel, dan aku.
Tapi tunggu dulu. Sejauh ini aku tidak merasa mereka
me?ngenali Aya sebagai anggota The Judges.
Kalau begitu, target mereka adalah aku, Daniel, atau
Putri. "Jadi mulai sekarang, ke mana pun juga, kalian harus
bareng-bareng, minimal berdua. Jangan pernah lengah
se?dikit pun. Kalau perlu, kalian harus tahu apa yang
sedang dilakukan oleh lawan kalian..."
"Maksudnya, kami harus memata-matai geng cewek
itu?" sela Erika. "Kamu bagaimana sih?" Ajun Inspektur Lukas me?
ngetuk kepala Erika dengan bolpoin yang dipegangnya
sedari tadi. "Kalau kamu kan memang hansip malam ini.
Kamu memang harus jaga mereka dong. Sudah bagus
dari tadi tidak saya omelin, kalian ke mana saja sampaisampai tidak mengawasi mereka?"
Mendengar ucapan itu, mendadak Valeria tampak
malu, sementara Erika misuh-misuh.
305 Isi-Omen4.indd 305 "Bukan salah Erika," ucap Valeria perlahan. "Saya
malam ini saya ada masalah pribadi, jadi..."
"Masalah pribadi apa?" tanya Ajun Inspektur Lukas,
sama sekali tidak sadar bahwa masalah pribadi bisa diter?
jemahkan sebagai kalo-boleh-nanya-namanya-bukanmasalah-pribadi.
Valeria yang biasanya selalu bisa menguasai keadaan,
kini tampak agak tergagap. "Ah, ehm..."
"Udah, nggak usah malu-malu," cela Erika, lalu meng?
adu pada kami, "Val putus sama pacarnya."
"Erika!" protes Valeria tepat pada saat Erika meng?
umum?kan berita itu, namun Val telat menghentikan
Erika. Kami semua sudah mendengarnya. Sesaat semua?
nya terdiam?mungkin karena shock mendengar cewek
se?manis Valeria putus dari cowok sekalem Leslie
Gunawan, mungkin juga karena ini informasi yang ter?
lalu pribadi dan sensitif untuk diketahui kami semua.
"Kenapa?" Pertanyaan itu berasal dari Daniel. Pertanyaan yang
sing?kat, jelas, dan menyiratkan rasa penasaran. Pertanya?
an yang langsung membuat jantungku serasa berhenti
se?jenak. Daniel masih mencintai Valeria. Daniel akan kembali
pada Valeria Sesaat aku merasa tak bisa bernapas.
Untung aku tidak pernah berharap pacaran dengan
Daniel Tapi kenapa hatiku sekarang serasa pecah berantakan
hanya karena pertanyaan satu kata itu?
"Ini bukan masalah besar," ucap Valeria cepat-cepat.
"Nggak pantas untuk dibesar-besarkan. Leslie dan saya
306 Isi-Omen4.indd 306 me?mang belum banyak bicara serius soal hubungan
kami, sementara semua kondisi ini begitu rumit dan
mem?bingungkan, jadi... Ah, pokoknya nggak pantas un?
tuk diributin deh. Nggak usah diomongin lagi, oke?"
"Lagi pula, si Leslie masih juga kelayapan di luar ba?
reng si Ojek," kata Erika datar. "Kalo kita mau ngomong?
in dia, mendingan tunggu orangnya pergi dulu."
Erika memang cerdik banget. Ucapan itu terdengar
seperti melucu, tapi sebenarnya dia berusaha membantu
Valeria melepaskan topik ini. Kurasa itu semacam per?
mintaan maaf karena sudah membocorkan masalah pri?
badi Valeria pada kami. "Oke," ucap Ajun Inspektur Lukas menyudahi topik
itu. "Sepertinya masalahnya cukup pelik, jadi saya tidak
akan mengungkit kegagalan kalian menjalankan tugas,
tapi seharusnya masalah pribadi tidak membuat kalian
lalai. Kita semua sedang berurusan dengan penjahat yang
tampaknya lumayan psikopat, jadi jangan sampai le?
ngah." "Maaf," ucap Valeria seraya tertunduk, sementara Erika
diam saja dengan tampang bersalah.
"Ya sudah, kami juga salah karena menyerahkan tugas
sepenting ini pada kalian," kata Ajun Inspektur Lukas.
"Karena kami yang bertugas menyelesaikan masalah ini,
se?harusnya tugas pengawasan pun menjadi tanggung
jawab kami. Tapi setelah semua tindakan yang kita laku?
kan kemarin, saya kira pelakunya tidak akan bertindak
lagi secepat ini. Saya benar-benar salah langkah." Sejenak
Ajun Inspektur Lukas tampak menyesali dirinya. "Nah,
pokoknya, untuk dua hari ke depan para polisi yang
akan mengambil tugas mengawasi karnaval. Jadi kalian
307 Isi-Omen4.indd 307 bisa melepaskan masalah ini dan menyerahkan penye?
lesai?a?nnya pada polisi. Meski begitu, kalian harus tetap
ingat saran saya tadi. Jangan jalan-jalan seorang diri,
jangan tinggalkan teman kalian, jangan lengah, terus
awasi tersangka kita. Ingat bahwa mereka bukan anakanak bodoh. Mereka pasti tahu kalian sudah curiga pada
mereka. Jadi, sekali lagi, jangan melakukan tindakan
yang aneh-aneh. Mengerti?"
Inti dari ucapan panjang lebar itu adalah, jangan ikut
cam?pur, tapi laporkan kalau ada sesuatu yang men?curiga?
kan. Terutama kalau kami merasa jadi incaran.
"Ya, Pak," sahutku sopan, sementara teman-temanku
yang lain-lain mendengungkan kata sejenis tapi tidak
sama. Semacam jawaban basa-basi yang diucapkan hanya
supaya si penanya tidak merasa dicuekin.
"Saya tahu, setelah semua kejadian ini, kalian pasti
merasa penasaran dan sulit melepaskan diri dari kasus
ini." Bukannya bete dengan jawaban yang tak antusias
itu, suara Ajun Inspektur Lukas malah melunak dan me?
nyirat?kan pengertian. "Tapi ingat satu hal, kejahatan
seperti ini adalah urusan polisi, sementara kalian hanya?
lah murid-murid SMA biasa yang punya kewajiban untuk
belajar dan menikmati masa muda kalian. Jadi, meskipun
sulit, cobalah bersenang-senang malam ini. Biarkan para
polisi yang menyelesaikan semuanya. Oke?"
"Nggak usah diulang-ulang kali, Jun, bagian yang
biarin polisi nyelesaiin semuanya," tukas Erika. "Kami
tau kok kami lagi disindir..."
Erika kena getok lagi di jidat. "Jangan panggil saya Jun
dong!" "Iya deh, Yang Mulia Ajun Inspektur Yang Perkasa,"
308 Isi-Omen4.indd 308 sahut Erika seraya bersungut-sungut. "Kami cabut dulu
ya, kalo gitu!" Sekali lagi, aku menyadari Erika berhasil kabur?seraya
menarik Valeria?tanpa menjanjikan apa-apa. Cewek itu
memang cerdik luar biasa.
Ajun Inspektur Lukas meninggalkan kami, sehingga
kini tinggallah aku bersama Daniel. Aku menoleh pada
cowok itu, dan jantungku terasa perih saat melihatnya
hanya termangu menatap kepergian Valeria. Tetapi aku
memaksakan diri untuk bertanya, "Kenapa nggak di?
kejar?" Daniel berpaling padaku, dan sesaat kukira dia tidak
mengenaliku. Ouch. "Buat apa?"
"Menghiburnya barangkali?" Oke, kenapa aku mem?
berikan usul yang tidak-tidak begini? "Saat ini dia pasti
sedih banget, kan?" "Ya, memang," angguk Daniel. "Tadi dia berusaha
nyem?bunyiin dengan bersikap malu-malu, padahal nggak
begitu." Oh, aku malah tidak menyadari hal itu. Sekarang aku
yang jadi malu. Valeria memang penipu ulung, tapi
diam-diam aku menganggap diriku kenal banget dengan?
nya maupun Erika. Andai aku tidak terlalu larut dengan
kesedihanku sendiri, aku pasti sudah menyadari perasaan?
nya yang sebenarnya. Aku tahu banget Valeria sangat
me?nyukai Leslie, demikian juga sebaliknya. Tidak mung?
kin keputusan seperti ini tidak memengaruhi perasaan
Valeria yang biasanya berhati sensitif itu.
Pantas saja mereka tidak menganggapku teman me?
reka. Aku benar-benar egois dan tidak menyenangkan.
"Kalo gitu, kamu harus ngejar dan menghibur dia,
309 Isi-Omen4.indd 309 kan?" Sekali lagi, Daniel memberiku tatapan aneh. "Se?
bagai teman, maksudnya."
Daniel menggeleng. "Bukan gue yang bisa menghibur
dia, Rim. Lo juga tau itu, kan?"
Tapi kamu ingin sekali menghiburnya, kan?
Kumohon, jangan pergi. Jangan hancurkan lagi hatiku
untuk sekian kalinya. Plis, Daniel, plis.
"Nah, daripada kita meributkan urusan yang bukan
urusan kita, sebaiknya kita meributkan sesuatu yang lain
dan jelas-jelas merupakan urusan kita. Kita nggak janji
apa-apa dengan Ajun Inspektur Lukas, kan?"
"Sepertinya cuma aku sih yang berjanji," sahutku
jujur. "Lagian, sebenarnya aku kapok bersikap sok pintar.
Aku nggak berani ngelakuin sesuatu lalu ada temen
deket yang jadi korban lagi."
"Jangan nyalahin diri lo," senyum Daniel. "Kalo mau
nyalahin, mending nyalahin gue karena gue yang ngasih
ide awalnya. Bahkan gue yang desak lo untuk me?mani?
pulasi Amir dan Welly. Omong-omong soal Amir, kayak?
nya gue harus ngobrol sama dia lagi. Bukan cuma kita
yang nyalahin diri. Amir juga ngerasa semua ini salah
dia karena dia terlalu asyik di toilet sampe-sampe lupa
nemenin Welly." "Yah, dia juga nggak tau Welly bakalan jadi inceran si
pelaku, kan?" ucapku.
"Gue udah bilang gitu, tapi tampangnya tetep aja
nelangsa," kata Daniel sambil memandangi sekitar kami.
"Eh, itu ada si Aya! Ya, temenin Rima dong!" Lalu dia
ber?paling padaku. "Gue duluan ya, Rim. Gue mau nyari
Amir dulu. Lo sama Aya aja."
Aku hanya bengong melihat kepergian Daniel. Bukan?
310 Isi-Omen4.indd 310 nya Daniel pernah bilang dia tidak akan membiarkanku
sendirian? Kenapa tahu-tahu dia meninggalkanku begitu
saja? Tidak salah lagi. Pasti karena saat ini pikirannya dipenuhi
Valeria. "Kok tampang lo makin serem aja, Rim?" tanya Aya
seraya menghampiriku. Aku menggeleng seraya menggigit bibir. Sepertinya,
saat ini aku tidak bisa bicara sama sekali lantaran rasa
perih yang menusuk jauh ke dalam dadaku, seolah-olah
se?seorang menghunjamkan pisau tepat di jantungku.
Dan orang yang tega melakukan hal itu padaku adalah
orang yang sudah berkali-kali menyakiti hatiku.
Dasar bodoh. Kenapa aku malah menyalahkan Daniel?
Sudah jelas semua ini salahku. Aku yang sejak awal
sudah tahu bahwa perasaanku tidak berbalas, tapi tetap
saja bermain api dengan mencoba-coba menjadi teman?
nya... Tidak, tidak cuma sekadar teman. Aku menyentuh
bibir?ku, bibir yang pernah dicium cowok yang sebenar?
nya mencintai cewek lain. Astaga, kenapa aku begini
bo?doh? Kenapa aku mau saja dicium oleh cowok yang
tidak mencintaiku? Aku bersumpah, mulai sekarang aku akan melupakan


Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Daniel, dan seumur hidup aku tidak akan membiarkan
diriku jatuh cinta padanya lagi.
311 Isi-Omen4.indd 311 Daniel OKE, sebenarnya apa sih yang sekarang sedang kulaku?
kan? Raungan seram Ajun Inspektur Lukas masih segar di
telingaku, "Jangan tinggalkan teman kalian!" tapi aku
malah menyerahkan Rima pada Aya, cewek lemah lain
yang mungkin juga butuh perlindungan lantaran cewek
itu pengurus OSIS juga. Belum lagi janjiku malam itu
pada Rima, saat kukatakan aku akan mengantarnya pu?
lang, "Gue nggak akan biarin lo sendirian, Rim." Dan
yang paling menamparku saat ini adalah raut wajah
Rima saat aku pergi meninggalkannya.
Tetapi, saat ini ada hal penting lain yang harus ku?
lakukan. Hal yang terpaksa kulakukan tanpa dirinya.
Aku ingat tadi, waktu aku melihat Welly yang terkapar
di dalam kabin kincir raksasa, aku langsung memasuki
kabin itu dan memeriksa kondisi Welly. Seperti korbankorban lain, dia hanya pingsan, meski pastinya dia akan
mengalami kekurangan darah dengan begitu banyak
darah yang berlumuran di tubuhnya. Kupandangi tulisan
312 Isi-Omen4.indd 312 dari lipstik itu, "You?re next," dan sesaat kupikir tulisan
itu ditujukan padaku. Lalu aku melihat surat kecil dalam genggaman Welly.
Dear Daniel, Gara-gara perbuatan gegabah elo, gue jadi korban begini.
Kalo sampe ada apa-apa sama gue, gue nggak akan ampuni
elo. Akan gue kejar lo sampe ke lubang kubur, entah se?
bagai manusia atau sebagai hantu. Lihat aja pokoknya.
Kecuali kalo lo mau bantu gue. Selidiki siapa orang yang
celakain gue. Sendirian, Niel, jangan ajak Rima atau Erika.
Mereka cuma mengejar kepentingan mereka sendiri. Lebih
gawat lagi, campur tangan mereka cuma ngebahayain
mereka sendiri. Jadi, lebih baik lo jalan sendiri aja.
Tapi lo boleh ikut sertakan Valeria. Dia tau banyak, Niel.
Lebih banyak dari yang dia ceritain ke elo. Tanya dia, Niel,
dan temukan orang yang melakukan ini ter?hadap gue.
Sohib baik lo, Welly Tentu saja, surat itu palsu. Welly tidak mungkin me?
nulis surat untukku dengan diawali "Dear Daniel" (ke?
mung?kinan besar dia akan menulis salam ala cowok
"Heh, kupret" atau sejenisnya). Tanda bacanya pun pasti
akan berantakan, tidak seperti surat yang disusun dengan
rapi ini. Tulisannya bukanlah tulisan Welly yang mirip
sandi rumput itu, melainkan tulisan tangan cewek yang
sengaja dijelek-jelekkan. Kemungkinan besar, ini hanya?
lah jebakan yang dibuat khusus untukku.
313 Isi-Omen4.indd 313 Tapi kenapa Val? Apalagi surat ini muncul tepat pada
saat Val putus dengan Leslie. Rasanya seolah-olah ada
yang memanipulasi kami semua sejak awal, bagaikan se?
orang dalang di balik pertunjukan boneka tangan. Oke,
se?karang aku jadi penasaran. Aku harus tahu alasan me?
reka putus. Apakah itu benar-benar keputusan mereka,
ataukah mereka sedang dimanipulasi oleh pihak yang
tidak mereka ketahui. Hal yang paling memberatkan dari semua ini adalah
keharusan untuk tidak memberitahu Rima. Aku berani
taruhan, orang-orang itu mengawasi kami. Rasanya risiko?
nya terlalu besar kalau aku memberitahu Rima. Mereka
pasti akan tahu aku tidak memercayai skenario mereka.
Satu-satunya cara adalah mengikuti permainan mereka,
dan minta maaf pada Rima sesudahnya. Meski aku sudah
menelantarkannya, Rima pasti mau memaafkanku. Cewek
itu kan superbaik. "Val!" Aku mengejar Val yang sedang berjalan bersama
Erika. "Mana Rima?" adalah pertanyaan pertama yang Val
ajukan saat aku tiba di depan mereka.
"Ehm, ketinggalan?"
"Gila lo, bener-bener goblok!" Seperti biasa, Erika tidak
pernah melewatkan kesempatan untuk mencercaku. "Lo
kagak denger barusan si Ajun ngomong apa? Jangan
ninggalin temen lo! Dasar idiot. Cepet panggil dia ke
sini!" "Nggak bisa, ada sesuatu yang harus gue lakukan tan?
pa dia," ucapku cepat sebelum rasa bersalah mulai me?
nyergapku dan membuat rencanaku hancur berantakan.
314 Isi-Omen4.indd 314 "Gue harus ngomong sama elo, Val. Berduaan aja. Jadi
kalo lo khawatir sama Rima, Erika bisa nemenin Rima."
Hasil dari ucapanku yang rada kurang ajar itu adalah
sebuah tonjokan tepat di ulu hati, membuatku selama
beberapa detik tampak seperti manusia dengan bentuk
tubuh menyerupai angka tujuh.
"Erika, gue cuma becanda..."
"Candaan lo nggak lucu!" ketus Erika. "Lo tau sendiri
Rima peduli banget sama elo."
Gila, mungkin saat ini aku sudah termasuk cowok pa?
ling tak berperasaan di seluruh dunia, lantaran Erika
yang biasanya tidak sensitif pun kini bisa membuatku
tertampar dengan teguran yang begitu mengena. "Sori.
Bukannya gue nggak peduli sama Rima, tapi..."
"Maksud lo, lo peduli banget sama Rima? Jadi lo suka
sama Rima? Jangan-jangan lo emang naksir dia?"
Aku memandangi muka Erika dengan jengkel. Cewek
menyebalkan! Di saat kita mengira dia benar-benar ma?
nis dan memikirkan orang lain sepenuh hati, tidak tahu?
nya dia menggunakan celah itu untuk menjebak kita!
Dasar... Arghhhhh! "Diem lo, Ka!"
"Ya deh, gue diem," ucap Erika, untuk sedetik tampak
pasrah, lalu dia menderap pergi dengan gaya superlebay.
"Daniel naksir Rima, Daniel naksir Rima..."
Sumpah. Aku tahu aku bukan manusia suci, tapi aku
tidak tahu dosa apa yang bikin aku harus dikutuk se?
hingga bertemu Erika. Orang-orang lain yang dosanya
lebih berat dariku rasanya tak punya teman menyusahkan
yang selalu mempermalukan kita.
"Jadi, lo mau bicara soal apa?"
Suara Val terdengar ganjil di telingaku. Suara yang
315 Isi-Omen4.indd 315 lebih terdengar menyelidiki daripada ingin tahu. Seolaholah dia mencurigai niatku. "Ehm, Val? Kok lo bertanya
se?olah-olah gue ini penjahat?"
"Apa lo udah ngerasa melakukan sesuatu yang jahat?"
Oke, ini pertanyaan yang jauh lebih aneh lagi. "Mak?
sud lo?" "Coba lihat ini." Val menyodorkan ponselnya padaku.
"Ini e-mail dari elo?"
Aku membaca e-mail yang terpampang di monitor
ponsel itu. Dear Val, Sori gue harus ngomongin semua ini lewat e-mail, tapi
belakangan ini kita nggak punya waktu untuk berduaan.
Rima nggak mau ninggalin gue, sementara lo dikawal
terus oleh bodyguard-bodyguard lo. Maksud gue, Leslie,
juga Erika dan pacarnya. Padahal ada masalah pribadi
yang perlu gue bicarakan sama elo.
Sori juga, gue harus nyakitin lo dengan ngasih tau lo
kabar buruk, Val. Pacar lo ternyata nggak sebaik yang lo
kira. Apa lo tau, dia tinggal bareng dengan cewek yang
nggak ada hubungan darah dengannya? Dia ngasih tau
orang-orang kalo cewek itu adiknya, padahal mereka udah
pacaran bertahun-tahun. Mereka udah membohongi semua
orang, Val, termasuk elo.
Gue tau ini sulit dipercaya. Tapi setelah semua yang
kita alami, gue masih cinta sama elo, Val. Itu sebabnya
gue nggak mungkin berpangku tangan saat ada info seperti
ini jatuh ke tangan gue. Percayalah, Val, lebih baik lo
hidup tanpa cowok itu. Soal lo mau jadian sama gue atau
316 Isi-Omen4.indd 316 nggak, semuanya terserah lo. Tapi lo harus tau bahwa gue
nggak akan berhenti nungguin elo.
Love always, Daniel Saat aku sadar, aku menyadari mulutku sedang ter?
nganga lebar. Buru-buru aku mengatupkan mulut se?
belum ada yang memotretnya dan memajangnya di
Twitter lalu di-retweet tiga ribu orang. Tapi tetap saja se?
lama beberapa saat aku kehilangan kata-kata. Masalah
pribadi. Jadi, saat Val mengucapkan kata-kata itu di de?
pan Ajun Inspektur Lukas, sebenarnya dia sedang meng?
ujiku. Astaga! "Val." Saat akhirnya aku berhasil bicara, untunglah
per?tanyaan pertama yang kulontarkan adalah pertanyaan
yang paling penting saat ini. "Lo percaya ini gue yang
nulis?" "Tentunya nggak," sahut Val, masih dengan ketenang?
an yang menakutkan. "Kalo iya, lo kira Erika masih mau
ngeledekin lo kayak tadi?" Oke, aku tahu ini kedengaran
aneh, terutama karena baru saja aku memaki-maki Erika
di dalam hatiku, tapi baru kali ini aku bersyukur cewek
itu menyiksaku dengan ledekan-ledekan memalukan.
"Tapi penulis e-mail ini jelas-jelas ingin memanipulasi
kita... dengan memaparkan semua fakta yang memang
ada." Jantungku serasa berhenti sejenak. Apa dia menying?
gung soal aku masih cinta padanya? "Tentang... apa?"
tanya??ku penasaran. 317 Isi-Omen4.indd 317 "Bahwa memang ada cewek seperti itu dalam hidup
Les. Cewek yang nggak ada hubungan darah, tapi di?
anggap Les sebagai adik sendiri. Cewek yang jelas banget
di mataku sangat menyukai Les, dan sudah membuat Les
berkorban banyak untuknya. Cewek yang mungkin
nggak akan bisa gue saingi."
Val pasti sedang bercanda. Mana mungkin ada cewek
yang tidak bisa disaingi olehnya? Bahkan Erika pun, de?
ngan segala daya ingat fotografis dan kemampuan bela
diri?nya yang brutal, tak bisa menang darinya. Tetapi,
rasa sakit yang terpancar dari tatapan dan nada suaranya
itu tidak dibuat-buat. "Tapi pasti mereka nggak tinggal bareng, kan?" Ya, aku
yakin itu. Sebenci-bencinya aku pada Leslie, aku tahu
cowok itu sebenarnya pria sejati yang tidak akan meng?
ambil keuntungan dari seorang wanita. "Leslie bukan
cowok seperti itu." "Gue tau," ucap Val muram. "Tapi topik itu bagaikan
gajah dalam ruangan. Maksud gue, topik yang selalu
mengganjal di antara gue dan Les, sekaligus topik yang
selalu kami hindari. Cewek itu benci banget sama gue,
Niel, dan gue yakin dia nggak akan membiarkan gue
hidup tenang bareng Les. Suatu saat, waktu gue melaku?
kan kesalahan, dia akan menggunakan semuanya untuk
misahin gue dari Les. Dan gue bukan cewek sem?purna.
Gue jauh dari itu. Gue pasti akan bikin kesalahan, dan
dia pasti akan mengincar gue. Ini sesuatu yang nggak
terelakkan, kecuali kalo Les melakukan sesuatu untuk
itu." "Tapi dia nggak mau."
Val mengangguk pahit. "Dalam bayangannya, cewek
318 Isi-Omen4.indd 318 itu adalah adik kecilnya yang manis, rapuh, dan harus
di?lindungi. Terutama, mungkin, dari gue."
Aku terkejut mendengar jalan pemikirannya. "Val,
nggak mungkin begitu. Leslie nggak mungkin berpikiran
seperti itu." "Niel, satu hal tentang gue, gue ini nggak muna. Gue
nggak segan-segan mengakui semua kekurangan dan ke?
lebihan gue. Gue ini anak tunggal keluarga Guntur yang
berkuasa. Andai saja gue mau berpihak ke bokap gue,
gue pasti bisa melakukan apa aja. Cewek yatim-piatu dan
miskin seperti itu, cewek yang bersama Les itu, gampang
sekali disingkirkan. Tapi kata orang bijak, Tuhan me?
limpahi kita banyak kelebihan karena Tuhan ingin kita
menolong kaum lemah, bukannya menindas mereka ha?
nya karena mereka memiliki sesuatu yang kita inginkan.
Jadi mana mungkin gue melakukan kebalikannya dan
menentang keinginan Tuhan?"
Oke, berhubung aku tidak religius, omongan seperti
ini agak sulit kupahami. Aku mencoba menyimpulkan
dengan kata-kata yang lebih sederhana. "Jadi, maksud lo,
daripada menentang keinginan Tuhan, lo lebih rela
putus sama Leslie?" "Lebih tepatnya, takdir gue bukan untuk rebut-rebutan
cowok dengan cewek lain," sahut Val. "Kalau memang
dia menghalalkan segala cara untuk mendapatkan Les,
ya dia menang. Karena gue nggak akan mau melakukan
apa yang dia lakukan, nggak peduli seberapa besarnya
rasa suka gue pada Les..."
"Tunggu dulu, tunggu dulu." Aku berusaha mencerna
semua ini. "Jadi maksud lo apa, Val? Masa lo beneran
putus sama Les?" 319 Isi-Omen4.indd 319 Aku benar-benar kaget saat Val menyunggingkan
senyum yang pahit dan terlihat teramat sedih.
"Kenapa? Kan lo tau ini cuma e-mail musuh buat


Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memanipulasi kita! Lagi pula, lo aja yang terlalu banyak
berasumsi. Mana mungkin Les akan melepas elo dan
memilih cewek itu..."
"Pelajaran penting," sela Val pelan namun jelas, "ja?
ngan pernah meminta seorang cowok melepaskan
sesuatu yang berharga baginya untukmu."
Rasanya aku ingin sekali memeluknya. "Nggak semua
cowok seperti itu, Val."
"Betulkah?" Val memandangku sambil tetap tersenyum.
"Gue menunggu suatu hari lo mewujudkan ucapan lo
itu, Daniel Yusman."
Eh? Apa maksud ucapan itu? Apakah dia ingin...
"Sudahlah, nggak ada gunanya kita bicarakan panjang
lebar lagi. Semuanya udah berakhir. Nah, sekarang,
cukup soal gue. Giliran elo, Niel. Kenapa lo kepingin
ngomong sama gue?" Sesaat aku cuma bisa bengong. Astaga, aku sudah lupa
dengan tujuanku saat ini! "Sebenernya, gue memang
kepingin tau kenapa lo bisa putus dari Leslie."
Val memiringkan kepalanya. "Buat apa?"
"Karena gue lumayan yakin sekarang kita sedang
dimanipulasi." Aku memberikannya surat yang kuambil
dari genggaman tangan Welly. "Coba baca ini. Pem?buka?
annya mirip dengan e-mail yang lo dapet, kan? Mungkin
ini memang pembukaan yang lumayan lazim untuk email, tapi nggak lazim untuk surat yang dikirim Welly
buat gue. Bagi gue, sepertinya penulisnya sama."
Val membaca surat itu dan manggut-manggut. Kesedih?
320 Isi-Omen4.indd 320 an sudah lenyap dari dirinya, yang ada hanyalah sikap
tenang namun observasif yang sangat mengagumkan di
saat dia baru saja mengalami sesuatu yang tidak meng?
enakkan. "Gue juga punya feeling yang sama. Penulisnya
bener-benar pandai memainkan perasaan orang. Di e-mail
yang dia kirim buat gue, dia nulis dengan penuh simpati,
sementara di surat yang lo dapet, dia meng?gunakan rasa
bersalah yang pasti elo rasakan waktu melihat Welly. Benerbener lihai."
"Dan inti dari dua surat ini sama, kan? Bahwa dia
mau kita bicara berdua. Untuk apa..."
Mendadak kusadari sesuatu. Aku dan Valeria sedang
menepi di pojokan antartenda, memungkinkan kami
terlindung dari pandangan ingin tahu orang lain. Tetapi,
saat ini aku bisa melihat Leslie dan Viktor berkeliaran di
depanku, sementara di belakangku ada Rima yang sedang
bicara dengan Erika. "Mereka ingin memecah-belah kita," ucapku, menyata?
kan sesuatu yang sudah jelas.
"Memang," angguk Val. "Dan kita akan membuat me?
reka yakin bahwa mereka berhasil."
Hah? Maksudnya? Apa ini berarti dia dan Leslie cuma
berpura-pura putus ataukah aku yang melewatkan sesuatu
dalam situasi ini? "Mereka pasti juga mengintai di sekitar sini. Ayo,
bantu gue, Niel. Yakinkan mereka bahwa siasat mereka
berhasil." Aku tahu pertanyaanku rada bego, tapi aku tidak yakin
apa yang Val inginkan dariku. "Caranya?"
"Cepet pegang tangan gue."
Oke, rasanya lega benar. Sejujurnya saja, tadinya aku
321 Isi-Omen4.indd 321 mengira dia bakalan mengatakan "Ayo cium gue seka?
rang juga! Cepetan! Yang hot ya!" atau semacamnya.
Kalau dia benar-benar memintanya, bisa gawat urus?an?
nya. Aku tidak mungkin melakukan permintaannya. Bu?
kan?nya aku cowok suci. Aku jauh dari itu, dan sudah
me?lakukan banyak hal yang lebih tidak sopan pada
pacar-pacarku. Tapi itu masa lalu, dan Val bukan pacar?
ku. Aku terlalu menghormatinya untuk melakukan
macam-macam padanya. Kalau dipikir-pikir lagi, aku memang bodoh banget.
Habis, asumsiku itu lebay banget sih. Ini kan Val, cewek
yang manis, sopan, dan terhormat. Tidak mungkin dia
me?mintaku melakukan sesuatu yang vulgar begitu.
Jadi, aku pun meraih pergelangan tangan Val, dan se?
lama sepersekian detik aku melongo melihat Val me?
nunduk dengan rambut terjuntai lembut di depan wajah?
nya yang terlihat sedih dan pasrah. Andai aku tidak
tahu, aku pasti akan menganggap adegan ini romantis
banget. Kurasa kebanyakan penonton kami?atau lebih
tepat lagi kusebut pengintai?pasti tak percaya bahwa ini
hanyalah akting. Dugaanku tepat, karena saat itu juga ada yang me?
renggut kerah bajuku dan mendaratkan jotosan tak
terduga di wajahku. Bukannya aku sok keren, tapi sebenarnya pukulan itu
bisa kuhindari?atau setidaknya kutangkis. Tetapi, seluruh
situasi ini benar-benar membingungkan. Sekali lagi, aku
bukan manusia suci. Aku sudah sering harus berpurapura begini atau begitu?terkadang malah aku melaku?
kan?nya demi kejailan belaka. Namun kali ini masalahnya
melibatkan Valeria Guntur, cewek bertampang polos yang
322 Isi-Omen4.indd 322 merupakan bintang andalan Klub Drama. Aktingnya be?
gitu tulus, begitu serius, begitu meyakinkan. Plus masa?
lah yang terlibat di sini juga bukan masalah ABG biasa.
Tidak ada ketawa cekakak-cekikik di belakang, tidak ada
kedipan-kedipan penuh sekongkol, yang ada hanyalah
kecerdikan spontanitas yang, tak kuduga, tak kumiliki.
Jadilah aku hanya bisa mental dengan muka blo?on.
Benar-benar memalukan. Untunglah partnerku tidak membiarkan aku memamer?
kan kebodohanku lebih lama lagi. Val langsung me?
langkah di antara aku dan orang yang berani memukuli?
ku itu, Leslie Gunawan si bos geng motor sialan.
"Stop, Les!" tukasnya. "Apa-apaan kamu ini?"
"Apa-apaan?!" tanya Les dengan muka dingin dan
sinar mata tajam yang lumayan mengerikan. Sepertinya
dia tega-tega saja membunuhku saat ini. Oke, jadi dia
dan Val benar-benar putus. Kalau semua ini hanya purapura, dia tidak bakalan bereaksi seseram ini. "Yang benar
saja. Cowok ini berusaha ngambil keuntungan darimu
saat kamu lemah, Val."
"Lalu? Apa urusanmu?" Val memiringkan kepala, me?
natap Leslie dengan tampang menantang. "Memangnya
aku nggak boleh punya temen cowok yang berharga?"
"Bukannya nggak boleh, tapi ini kan Daniel!" Dasar
breng?sek. Apa salahnya dengan Daniel? Hah? Apa salah?
nya? "Atau, jangan-jangan kamu cuma kepingin bales
aku aja?" Omaygaaattt! Aku benar-benar malang. Kenapa sih aku
harus terjebak dalam adegan cinta segitiga yang me?
malukan ini? Padahal urusan cintaku sendiri saja, aku
tidak becus mengurusnya. Sekarang tiba-tiba aku ketiban
323 Isi-Omen4.indd 323 masalah, padahal aku sama sekali tidak melakukan ke?
salahan apa pun. Benar-benar bikin emosi.
Lebih parah lagi, orang-orang mulai berkerumun
karena kehebohan yang kami timbulkan. Semakin lama
semua ini semakin memalukan. Kupandangi Viktor yang
berdiri jauh-jauh di belakang Leslie, tampak ogah ikut
campur dalam urusan percintaan orang lain, tapi cukup
dekat sehingga kalau tahu-tahu Leslie digebuki massa,
dia bisa langsung turun tangan. Dasar bajingan licik ke?
parat. Aku ingin sekali bertukar posisi dengannya. Tidak
enak banget, duduk di lantai dengan muka bengong
saking speechless-nya. Saat akhirnya aku berdiri pun,
rasanya seperti berlindung di belakang Valeria.
Sial, kenapa sih aku harus kebagian peran yang tak
menyenangkan? Kuputuskan, aku tak bakalan menyia-nyiakan peran jelek
ini. Inti dari permainan ini adalah menarik perhati?an
sebesar-besarnya dan membuat musuh lengah. Aku me?
masang tampang tegang lantaran kepergok merebut pacar
orang, siap membela Val kalau-kalau situasi ber?tambah
keruh. Namun di sisi lain, aku juga berusaha mengamati
situasi di sekeliling kami. Lebih tepatnya lagi, aku mencari
tahu apa yang sedang dilakukan musuh kami.
Itu dia! Cecil dan teman-temannya berdiri di depan
orang-orang yang mengelilingi kami, tampak senang
menonton drama ini. Satu-satunya muka lesu dalam
rombongan itu hanyalah Amir yang masih terguncang
akibat insiden Welly. Aku bisa melihat Erika mengawasi
geng cewek itu dengan mata setajam elang, yang berarti
aku bisa menyerahkan masalah ini pada cewek tangguh
dan bisa diandalkan itu...
324 Isi-Omen4.indd 324 Tunggu dulu! Di mana Rima? Oke, tidak hanya Rima,
Aya juga sudah lenyap. Satu hal lagi. Berhubung geng cewek itu berdiri di
barisan depan, aku bisa melihat ada satu anggota yang
tidak berdiri bersama mereka.
Ke mana Nikki? Sial! Perasaanku jadi tidak enak.
Tanpa pamit-pamit lagi, aku pun berlari meninggalkan
arena pertarungan. Dari percakapan antara Val dan Leslie
yang sempat kudengar, keduanya bahkan tidak me?
nyadari kepergianku. Sialan, aku benar-benar figuran ba?
nget! Untung saja aku memutuskan untuk mencampak?
kan peran yang menyebalkan ini.
"Ka, mana Rima?" tanyaku seraya mengumpet di bela?
kang Erika. Tentu saja, aku tak ingin Cecil dan gengnya
menyadari bahwa aku mulai bergerak.
"Nggak tau, katanya mau jalan-jalan sebentar." Erika
mengangkat bahu sementara matanya terus tertuju pada
sasarannya. "Nggak usah khawatir. Dia kan bareng Aya.
Aya bisa diandalkan."
Oke, sejujurnya, aku tidak tahu seberapa kemampuan
Aya, kecuali bahwa dia pelit, perhitungan soal duit, dan
sangat suka barang gratisan.
Brengsek, sekarang aku makin panik saja. "Gue cari
Rima dulu ya!" "Dan ninggalin pertunjukan gratis ini begitu saja?"
Yah, rupanya Erika satu-satunya orang yang menyadari
kepergianku. Tapi itu tidak berarti apa-apa. Kan dia me?
mang tidak termasuk kalangan manusia biasa, melainkan
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 12 Trio Detektif 09 Misteri Jeritan Jam Pendekar Sakti Im Yang 3

Cari Blog Ini