Ceritasilat Novel Online

Misteri Bunga Tasbih 1

Misteri Bunga Tasbih Karya V Lestari Bagian 1


Misteri Bunga Tasbih Karya : V Lestari Pembuat Djvu : Syauqy_Arr
Edit teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
Selesai di edit : 28 Juli 2018
Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://ceritasilat-novel.blogspot.com
Selamat membaca ya!!! Situbondo,28 Juli 2018 *** MISTERI BUNGA TASBIH V. Lestari MISTERI BUNGA TASBIH Penerbit PT Gramedia Jakarta, 1989
Bila ada persamaan dengan nama orang, nama tempat maupun bagian peristiwa atau kejadian. maka itu hanyalah kebetulan belaka.
*** FARIDA GUNAWAN memandang ke sekitarnya. Perasaan takjub masih saja ada, padahal sudah hampir dua minggu dia tinggal di situ. Sungguh lingkungan yang nyaman, sejuk, dan tenteram. Hal itu membuat ia semakin yakin bahwa pilihan dan keputusannya tidak keliru. Pasti tidak salah bila ia mengganti lingkungan lamanya di jakarta yang hiruk pikuk dan padat manusia itu dengan lingkungannya yang sekarang di kota Bogor.
Rumahnya mungil tapi bentuknya manis. Kebunnya juga indah, hasil tataan penghuni lama. Dia tinggal menikmati hasilnya. Tak ada perubahan yang perlu dilakukannya. Dia hanya membenahi barang-barang bawaannya dan memperbaiki yang rusak.
Dia memang tidak memerlukan rumah besar. Itu sangat tidak efisien bila penghuninya cuma sedikit. Dia hanya berdua dengan Bi Icah, pembantunya. Sedang Tommy, anak satu-satunya, hanya pulang seminggu sekali. Di samping itu, rumah besar dengan ruang-ruangnya yang kosong dapat mengganggu perasaan. Apalagi untuk dia yang sengaja pindah dengan tujuan
menenangkan perasaannya yang terluka. Sesuatu yang sangat penting untuknya.
Di depan rumah, sepanjang kiri kanan tepi jalan berjejer pohon kenari. Kata orang, pohon-pohon itu sudah tua sekali. Mungkin ratusan tahun umurnya. Tapi kelihatannya masih rimbun. Memang sayang dibuang meskipun katanya ada bahaya akan tumbang bila ada angin besar. Ia berharap pohon-pohon itu tetap di sana selama mungkin. Mereka juga merupakan unsur utama pemberi kesejukan dan kenyamanan.
Farida menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya kembali dengan kelegaan yang menyenangkan. Segar sekali. Udaranya pasti bersih. Tak ada polusi dari kendaraan yang lalulalang karena keadaan jalan memang hampir selalu lengang. Mungkin disebabkan karena jalan itu bukan merupakan jalan utama menuju pusat kota.
Beberapa puluh meter dari situ terletak Kebun Raya. Pucuk-pucuk pohonnya yang tinggi-tinggi bisa terlihat. Sesekali piknik ke sana di hari libur pasti menyenangkan. Tapi, dengan siapa" Tommy" Ah, tidak. Dia tidak boleh lagi mengganggu Tommy dengan hal-hal seperti itu. Dia tidak boleh lagi mengulang kesalahan yang sama. Salah satu faktor penyebab pindahnya juga karena hal itu. Dia tak boleh melupakan bahwa Tommy mulai beranjak dewasa. Dan Tommy itu laki-laki. Jangan sampai Tommy tetap memiliki citra sebagai "anak Mama" terus-terusan. Jangan sampai
terjadi Oedipus Complex, demikian kata Ratih, sahabatnya yang psikolog.
Farida menyeka matanya. Coba kalau Gunawan masih ada. Tentu dia dapat mengajaknya ikut menikmati segala kenyamanan yang terasa sekarang. Lalu ia terkejut. Ah, lagi-lagi pikiran seperti itu. Cengengnya kembali lagi. Jangan mengandaikan begini begitu dengan orang yang sudah tiada. Percuma dan menyakitkan. Kenanglah dia dengan cara yang lain. Misalnya masa lalu yang benarbenar pernah ada. jangan sesuatu yang tak ada dan tak mungkin ada. Gunawan sudah berada di alam yang lain. Itu tak boleh ia lupakan. Bukankah justru karena itu maka ia sekarang berada di sini"
jadi mulai saat itu ia harus berani dan tabah mengatasi segala rasa kesepian dan kesendiriannya. jangan bergantung kepada siapa pun, bahkan juga kepada Tommy. Ya, lebih-lebih kepada Tommy.
Sudah hampir dua tahun lamanya Gunawan meninggalkannya. Masa yang sulit. Dia yang sudah terbiasa selalu ditolong dan dilindungi merasakan kehilangan yang luar biasa. Kemudian ia melihat Gunawan dalam diri Tommy.
Ketika itu usia Tommy menjelang tujuh belas. Tubuhnya bongsor, cepat besar dan tinggi. Kumisnya sudah membayang di atas bibirnya. Seorang pemuda yang gagah dan tampan. Secara fisik dia kelihatan dewasa. Dan tentu saja juga sangat mirip ayahnya.
Farida merasa telah menemukan pengganti
yang hilang. Ke mana-mana dia minta diantar Tommy karena sudah terbiasa tak pernah pergi sendirian. Ia selalu minta bantuan Tommy dalam hampir segala hal, termasuk yang bisa dikerjakannya sendiri. Memang yang jadi masalah baginya bukanlah soal kemampuan tapi rasa kebersamaan. Ia tak ingin sendiri.
Tommy selalu siap membantu. Ia tak pernah tampak keberatan. Tapi lama kelamaan mulai tampak rasa segannya. Itu tak diutarakannya dengan penolakan terang-terangan melainkan dengan berbagai alasan. Ada ulangan, ada tugas ini itu, dan sebagainya. Mula-mula tak ada persoalan. Tapi lama-lama Farida merasa tak senang. Konflik pun pecah.
"Kamu tak mau membantu Mama lagi sekarang," keluhnya.
"Saya sibuk, Ma."
"Bohong ah. Alasan aja."
"Tapi, yang gitu-gituan kan Mama bisa sendiri'."
"Memang sih bisa sendiri. Tapi apa salahnya ditemani?"
"Jelas salah dong! Mama tahu nggak" Saya dikatain jadi gigolonya tante-tante!" Tommy meledek.
Farida kaget. Lalu marah.
"Jahat benar mulut orang itu! Tapi kamu kan nggak usah dengar" Kasih tahu aja bahwa perempuan yang sama-sama kamu itu adalah ibumu!"
"Saya dikatain masih menyusu!"
Farida terdiam. Dia tahu, dirinya salah. Dan itu
memukul perasaan. Bayang-bayang akan sendirian lagi mulai muncul. Dia akan kehilangan Tommy juga.
"Kau memang sendirian. Akuilah itu. Dan terimalah juga. Jangan cari pengganti suami dalam diri orang yang bukan suami," nasihat Ratih.
Farida mengakui kebenaran kata-kata itu. Dia sudah berlaku bodoh. Dia selalu menginginkan yang enak dan gampang untuk dirinya.
"Jangan sampai Tommy kehilangan rasa bangganya akan dirimu," Ratih mengingatkan.
Peringatan itu pun mengagetkan. Dia sudah melupakan hal itu. Selama ini Tommy sangat bangga akan dirinya. Ibuku seorang pengarang, begitu ia memberi tahu teman-temannya dengan bangga. Ceritanya bagus-bagus dan tokoh-tokoh wanita dalam cerita itu selalu punya karakter kuat, tabah, dan berani. Sama sekali jauh dari gambaran umum perempuan yang katanya suka mengeluh dan meratap-ratap dengan kesedihan yang tak kunjung tuntas. Hal itulah yang sangat disukai Tommy. Perempuan memang harus begitu kalau tak mau dibeda-bedakan dari lelaki, katanya.
Tapi ternyata gambaran semacam itu cuma khayalan belaka. Memang semuanya fiktif walaupun sebenarnya bisa saja terjadi. Dan siapa pun bisa kalau mau berusaha. Tommy tentunya menyadari hal itu juga. Tapi kebanggaan Tommy berangkat dari situ. Mungkin dia berpikir, sebagai pencipta tokoh-tokoh semacam itu tentulah ibunya kurang lebih memiliki kepribadian yang sama.
Lantas, bagaimanakah pribadiku sesungguhnya" Kebalikan dari tokoh-tokoh yang kuciptakan" Ataukah itu cuma angan-anganku yang terlalu tinggi hingga tak mungkin bisa tercapai" Tapi pikiran semacam itu tak terlalu mengganggu dibanding kekhawatiran kalau-kalau Tommy tak bangga lagi akan dirinya. Dia harus berbuat sesuatu. Dia harus berubah.
Dorongan untuk berubah bukan cuma itu. Ada lainnya yang tak kalah penting. Sejak Gunawan meninggal tak ada satu pun karya tulisnya tercipta. Padahal masa berkabung dan beristirahat seharusnya sudah lama lewat. Bukannya dia tak ingin menulis lagi, tapi karena tidak bisa. Sebenarnya dia tidak kekeringan ide, tapi ia sulit mengembangkannya apalagi mewujudkannya menjadi sesuatu yang nyata. Pikirannya seperti tersumbat. Konsentrasinya mudah sekali buyar. Dengan cepat pikirannya akan mengembara ke luar jalur. Paling sering ke masa lalunya bersama Gunawan!
Bila matanya tertuju ke kursi yang biasa diduduki Gunawan setiap pulang kerja, maka dia membayangkan bagaimana Gunawan menariknya ke pangkuan lalu membelai dan menciumnya. Bila ia melihat buku-buku Gunawan ia membayangkan bagaimana asyiknya Gunawan bila sedang membaca hingga diajak bicara pun tak mendengar. Padahal di rumah itu tentu saja banyak barang yang bekas disentuh dan dipakai oleh Gunawan. Semuanya membangkitkan kenangan
tersendiri. Tak habis-habisnya. Dan hampir selalu kenangan itu menimbulkan kesedihan. Tak ada lagi yang bisa dikerjakannya selain melamun dan menyesali nasibnya.
Tapi kesadaran bukan tak ada. Tak mungkin ia begitu terus-terusan. Kesedihan tak boleh jadi obsesi. Apalagi sekarang ia harus menjadikan kemampuannya menulis itu sebagai mata pencarian. Ia tak berniat mencari pekerjaan lain karena merasa tak punya keahlian. Ia harus tetap menulis. Tapi susahnya, pekerjaan yang satu ini membutuhkan pikiran yang sehat.
Tak lama lagi Tommy akan memasuki perguruan tinggi. Biayanya pasti tak sedikit. Sedang harta peninggalan Gunawan bila dimakan terus tiap hari pasti akan habis. Bila pikirannya ke sana dia merasa panik. Bagaimana kalau dia begitu terusterusan"
Atas anjuran dan bantuan Ratih ia memilih pindah ke Bogor. Seorang keluarga Ratih ingin menjual rumahnya dengan harga yang relatif murah. Tapi ia juga tidak berkeberatan bila rumah itu cuma dikontrak saja. Begitu melihat Farida langsung menyukai rumah itu.
"Pikir dulu. Bila cuma mengontrak kau bisa pindah lagi bila tidak betah. Tapi bila membeli kau harus menjualnya lagi dan itu membutuhkan waktu," begitu Ratih menasihatkan.
Farida merundingkan hal itu dengan Tommy. Sependapat dengan ibunya, Tommy pun menyukai rumah itu. Dia setuju dengan gagasan Ratih.
"Nanti Mama bisa seperti tokoh dalam cerita Mama itu. Apa ya judulnya, saya lupa. Itu yang menemukan jejak-jejak pembunuhan bahkan menangkap sendiri pembunuhnya. Di tempat sepi seperti ini kan bisa banyak kemungkinan," Tommy memberi semangat.
Sebenarnya Farida agak kecewa. Tommy sama sekali tidak memperlihatkan rasa keberatan akan hidup berpisah. Bahkan dengan antusias ia menyatakan keinginannya untuk indekos saja sambil menyelesaikan SMA-nya. Tanggung kalau pindah sekolah padahal sebentar lagi selesai. Memang alasan itu masuk akal. Tapi bagi Farida terasa menyedihkan. Apakah Tommy justru lebih senang bila jauh dari ibunya" Toh Farida tertawa mendengar ucapan Tommy.
"Mana mungkin. Di tempat sepi nggak ada apaapanya. Yang Mama butuhkan di sini kan cuma suasana untuk mengembangkan ide yang sudah ada di kepala. Bukan mencari ide. justru di jakarta Mama bisa menemukan ide yang tak habis-habis."
"Justru sepi begini orang bisa membunuh tanpa ketahuan, Ma. Kalau di Jakarta orang terpaksa terang-terangan karena sudah padat sih. Di sana orang di sini orang. Tempat sembunyi nggak ada. Padahal yang menarik justru yang sembunyi sembunyi itu."
"Ah, Mama nggak mau ketemu pembunuh bener-beneran. Mama takut. Lebih enak mengkhayalkan saja."
"Siapa tahu, Ma."
"Habis kalau Mama nanti diapa-apain, gimana" Kamu kan jauh. Nggak bisa bantu," Farida memancing.
Tommy tersenyum. "Ah, saya kan cuma mengkhayal juga. Orang seperti Mama akan dijauhi pembunuh."
"Kenapa begitu?"
"Mama kan penulis cerita kriminal. Jadi kayak detektif amatir begitu."
"Ah, kau bisa aja, Tom." Farida tertawa tapi juga sedih. Dia akan kehilangan gurau dan canda Tommy.
"Masa sedih sih, Ma. Saya kan nggak ke luar negeri. Seminggu sekali ketemu. Apalagi kalau lagi banyak hari libur," hibur Tommy.
"Tapi kau harus baik-baik menjaga diri, Tom. Jangan mentang-mentang bebas lantas brengsek dan ugal-ugalan."
"janji, Ma. Saya akan baik-baik. Tapi Mama juga janji dong."
Farida keheranan. "janji apa?"
"Mama juga harus baik-baik menjaga diri."
Kata kata itu diucapkan dengan serius hingga Farida terharu. Ia merasa sangat terhibur.
Akhirnya rumah itu jadi dibelinya. Sedang rumah peninggalan Gunawan di Jakarta dikontrakkan. Yang penting uangnya cukup dan tak perlu habis-habisan. '
Hanya barang-barang yang penting saja yang dibawanya pindah. Ternyata barang yang dianggap penting itu pun cukup banyak. Barang yang
dulu berarti penting bagi Gunawan tentu sama pentingnya juga baginya. Ada surat-surat, bukubuku, dan masih banyak lagi. Sebagian besar perabot ia tinggalkan karena rumah dikontrakkan beserta perabot. Salah satu yang dibawanya adalah tempat tidurnya yang tak akan ia tinggalkan ataupun diganti dengan yang baru. Sedang Tommy juga memilih sendiri di antara barang-barang miliknya, mana yang akan dibawa serta.
Ternyata pada saat pindah tak ada rasa berat hati. Mungkin karena kesadaran bahwa rumah itu masih miliknya. Dia selalu bisa kembali lagi kelak. Kini kehidupan yang sama sekali baru harus diialaninva.
*** SETELAH selesai membenahi rumah dan menunaikan kewajibannya sebagai penghuni baru dan warga baru, masih ada lainnya yang tak kalah penting, yaitu berkenalan dengan para tetangga. Ia memang harus melakukan hal itu bukan cuma karena tata krama tapi juga karena tak ingin terkucil sendiri.
Terus terang ia memperkenalkan dirinya sebagai pengarang. Itu penting supaya dirinya jangan diprasangkai macam-macam. Sebagai seorang janda yang hidup sendiri dan tidak bekerja di luar rumah orang tentu bertanya-tanya dari mana ia memperoleh nafkah. Di samping itu tentu saja juga ada kebanggaan tersendiri. Biarpun profesi pengarang tidak akan menimbulkan gambaran uang bertumpuk di benak orang yang berhadapan, tapi pasti dapat membangkitkan respek, biarpun mungkin cuma sedikit. Profesi itu bukan gampangan. Dan juga halal.
Tapi ada rasa kecewa ketika ternyata para tetangga itu belum pernah mendengar namanya. Farida Gunawan" Ah, mengarang apa saja ya" Sayang saya belum pernah baca bukunya. Coba kapan-kapan dipinjami, ya"
Sedang Bu Nurlaila, tetangga seberang rumah punya komentar lain lagi, "Saya sih senang juga baca novel. Tapi melulu karya pengarang favorit saya. Itu lho yang sudah terkenal sekali. Kalau yang belum begitu terkenal saya segan. Soalnya kalau tahu-tahu isinya jelek, wah sayang sekali uang jadi terbuang percuma. Padahal harga buku sekarang mahal-mahal, ya?"
Farida cuma bisa mengangguk. Tak ada semangatnya untuk menjelaskan macam-macam.
Pada pertemuan berikut, Bu Nur khusus datang menyeberang untuk menyampaikan komentar lain lagi, "Ternyata anak saya yang di SMA senang baca buku Ibu. Katanya, dia mah penggemar Ibu. Banyak betul buku-buku Ibu yang sudah dibacanya. Wah, ternyata banyak, ya. Tapi dia nggak beli kok. Cukup menyewa. Murah kok. Cuma sepuluh persen dari harga buku di toko. Lumayan, kan" Kalau beli mahal."
Lagi-lagi Farida cuma mengangguk. Dan menjaga senyumnya agar tidak tampak kecut.
Bu Nur melanjutkan, "Saya juga iseng-iseng baca satu. Bagus juga. Tapi kok begitu, Bu?" "Begitu bagaimana?" tanya Farida waswas.
"Ceritanya kok serem-serem sih. Sadis ah. Nggak sangka deh. Kok orang seperti Ibu bisa mengarang kayak gitu. Orangnya halus dan lembut tapi ceritanya membuat bulu roma berdiri."
"Saya memang senang menulis seperti itu. Semakin banyak bulu roma yang berdiri saya akan semakin senang."
Bu Nur menggeleng-gelengkan kepala. "Saya nggak suka cerita semacam itu. Kalau tegang tegang mah rasanya berat. Kenapa nggak coba bikin yang lain, Bu" Itu lho yang kayak pengarang favorit saya."
"Sayang sekali, nggak bisa, Bu."
"Ah masa." "Iya bener. Nggak bisa."
Bu Nur memandang agak aneh. "Bu Ida ini rupanya senang bunuh-bunuhan. Kata anak saya, selalu ada yang mati dibunuh dalam cerita Ibu."
"Betul." Ih!! "Dalam kehidupan yang nyata ini juga ada banyak kematian, Bu. Yang wajar maupun yang tidak wajar."
"Apa yang namanya cerita kan bisa dibikin, Bu. Nggak usah sama seperti dalam kenyataan. Kalau sama mah buat apa orang baca buku. Nggak ada gunanya atuh."
Farida tak ingin membantah lagi. Ada hal lain yang lebih menarik minatnya.
"Bu, apa rumah di sebelah saya itu kosong?" ia bertanya sambil menunjuk ke salah satu sisi rumahnya.
"Yang itu" Ah. nggak kosong. Ada penghuninya kok."
"Tapi saya nggak pernah lihat ada orangnya. Pintunya selalu tertutup. Siapa yang tinggal di situ" Perempuan atau laki-laki?"
"Namanya Pak Irawan. Sudah tentu lelaki. Dia tinggal sendirian."
"Tak berkeluarga?"
"Sekarang mah nggak. Dulu ada istrinya. Tapi mereka nggak punya anak. Kemudian istrinya menghilang."
"Menghilang?" tanya Farida dengan perhatian tergugah sepenuhnya. "Kok ada orang bisa menghilang sih, Bu?"
"Begini. Istrinya itu, Bu Salmah namanya, mendadak pergi tanpa memberi tahu suaminya. Ketika Pak Irawan pulang kerja rumahnya kosong. Dikiranya istrinya itu pergi ke pasar atau arisan. Nggak ada pesan apa-apa. Tahu-tahu sampai malam nggak muncul juga. Dia tanya tanya semua orang apa barangkali melihat istrinya. Tapi satu pun nggak ada yang melihat. Maklum di sini sepi sih. Rumah rumah juga pada jauh ke dalam. Besok lusanya belum muncul juga. Akhirnya dia lapor ke polisi. Istri' kok bisa hilang. Tapi polisi nggak bisa menemukan. Kemudian dia pergi ke Kalimantan Selatan, ah, kota apa sih namanya saya lupa, kampung halaman iStrinya. Bayangin sampai begitu jauh. Ternyata di sana juga nggak ada." cerita Bu Nur dengan lancar.
"Sudah berapa lama hilangnya, Bu?"
"Wah, berapa lama ya" Dua tahun mah ada kali."
"Nggak ada kabar beritanya?"
"Katanya sih ada surat yang datang. Pak Irawan memperlihatkannya pada saya. Rupanya Bu Salmah pergi bersama seorang laki-laki kekasihnya. Dia minta dikirimi surat cerai."
Farida memandang Bu Nur dengan heran. Alangkah banyak yang diketahui wanita ini tentang tetangganya. Atau memang warga di sini biasa menceritakan segala masalah pribadi kepada tetangga"
"Ada di mana sekarang Bu Salmah itu?"
"Di Jawa Tengah. Tepatnya di Salatiga."
"Apa nggak disusul" Biar jelas masalahnya."
"Sudah disusul. Tapi ternyata orangnya sudah pindah lagi tanpa memberi alamat. Rupanya dia takut sama pembalasan suaminya. Habis caranya begitu sih. Pake minggat segala. Terus terang aja kalau mau cerai mah."
"Mungkin suaminya nggak mau menceraikan. Atau mungkin juga dia kejam. Kalau nggak, masa istrinya takut sih," komentar Farida sambil membayangkan rupa tetangganya. Rasa ingin tahunya jadi meningkat.
Bu Nur tertawa. "Ah, Pak Irawan kejam" Gambaran itu jauh, Bu. Dia sangat ramah dan humoris. Orangnya juga terbuka. Lihat aja. Mana mungkin saya tahu banyak begitu kalau bukan dari dia."
Farida membenarkan. "Kalau begitu, mungkin Bu Salmah itu memang sudah bosan pada suaminya atau dia jatuh cinta pada laki-laki lain," Farida memancing.
"Ah, menurut saya dia tak tahu diuntung."
"Pantasnya lbu kenal betul. Kayak gimana sih orangnya, Bu?"
Bu Nur berpikir sebentar. "Susah menggambarkannya. Orangnya tertutup sih, Bu. Nggak suka cerita. Kalau ngomong yang perlu-perlu aja. jadi kebalikan dari suaminya."
"Cantik?" tanya Farida ingin tahu.
"Menurut saya sih biasa-biasa saja. Entahlah bagi Pak Irawan," Bu Nur tertawa. Lalu melanjutkan dengan nada mengambil hati, "Yang jelas Bu Ida jauh lebih cakep."
Farida tersenyum. Pikirannya tertuju ke hal lain. Kisah semacam itu bukankah bisa ia jadikan cerita yang menarik" Dia tinggal menambah nambah.
Bu Nur memperhatikan lawan bicaranya sebentar. Belum banyak yang diketahuinya tentang kenalan barunya ini. Tujuannya berbincang memang untuk memuaskan keingintahuan itu. Tapi kok malah dia yang cerita banyak.
"Putra Bu Ida itu gagah ya" Sayang dia nggak mau tinggal di sini aja. Ibunya sendiri. anaknya sendiri."
"Dia mau belajar mandiri. Apalagi kalau nanti lepas SMA dia tentu harus mencari sekolah yang
entah ada di kota mana. Biar belajar dari sekarang," sahut Farida dengan bangga. Tak ada kepedihan lagi sekarang.
"Apa Ibu nggak kesepian?"
Farida tidak tersinggung. Dia malah tertawa. "justru saya ke sini mencari tempat sepi."
"Oh iya. Pengarang memang suka lain dari yang lain, ya" Itu kata orang lho. Kalau saya justru kepingin tinggal di jakarta .Tempat hiburannya banyak."
Untuk Farida, percakapan seperti itu tidak menarik. Tapi ia masih ingin bertanya perihal tetangga yang belum dikenalnya itu. Belum sempat ia bicara sebuah mobil kecil berhenti di depan rumah sebelah lalu pengemudinya turun menuju pintu. Dia seorang pria jangkung memakai kaca mata dengan wajah simpatik dan rambut beruban di bagian pelipis.
Sebelum mencapai pintu pagar ia menoleh ke samping dan pandangnya tertuju pada kedua wanita yang sedang bercengkerama di muka pintu iumah Farida. Ia tertegun sebentar lalu menganggukkan kepala.
"Nah, itu dia orangnya," bisik Bu Nur. Lalu ia mengangkat sebelah tangannya.
Irawan ragu-ragu sebentar. Kemudian ia membelokkan langkahnya.
"Selamat sore," sapanya ramah.
"Selamat sore," balas Bu Nur dan Farida berbarengan.
"Kebetulan, Pak Irawan. Belum kenal sama tetangga baru, kan" Ini Bu Farida Gunawan dari Jakarta," kata Bu Nur sambil memperhatikan keduanya dengan asyik.
Mereka bersalaman. "Farida Gunawan?" tegas irawan. "Ah, saya
kenal betul nama itu. Apa bukan Farida Gunawan yang pengarang itu?"
Hampir melompat jantung Farida. Ah, ternyata ada juga yang mengenal namanya. Ia senang dan menganggap pria ini simpatik.
"Memang iya. Dialah pengarang itu," sahut Bu Nur sebelum Farida sempat bersuara.
"Wah. nggak sangka ya. Ternyata saya bisa bertetangga dengan pengarang favorit saya. Saya memiliki semua buku Ibu. Dan saya mengkliping semua artikel Ibu yang pernah dimuat di koran," kata Irawan dengan pandang takjub.
Mata Bu Nur membelalak pada kedua orang di depannya. Pandangnya silih berganti dari yang satu pada yang lain. Dia tahu kapan saatnya harus. menutup mulut dan jadi pendengar.
Perasaan Farida berbunga-bunga. Tapi ia hanya tersenyum karena , tak tahu mesti bilang apa. Sudah terlalu lama ia tak pernah bertemu dengan penggemarnya. Bahkan terpikir mereka sudah meninggalkannya. Setiap saat selalu muncul pengarang baru dengan karya masing-masing yang unik. Mungkinkah ini suatu pertanda baik" Ada sesuatu yang mencambuk semangat. Dia bisa memulai lagi dengan optimisme.
"Tapi sudah lama sekali tidak muncul karya Ibu yang baru, bukan" Saya tunggu-tunggu tapi tak muncul juga. Saya tanyakan pada penerbit, katanya Ibu belum nulis lagi. Apa betul, Bu?"
Farida tergagap. "Ya... betul, Pak. Tapi..."
Bu Nur menyela, "Ketika itu Bu Ida sedang berkabung, Pak. Pak Gunawan sudah tiada."
"Oh, saya menyesal sekali. Tapi Ibu akan menulis lagi, kan?"
"Ya," sahut Farida tanpa emosi.
"Memang untuk tujuan itulah maka Bu Ida pindah ke sini. Mencari ketenangan," lagi-lagi Bu Nur menyela.
"Kalau begitu saya senang sekali. Mudahmudahan karya Ibu cepat lahir karena tinggal di sini. Tapi di sini memang menyenangkan kok, ," kata Irawan dengan nada memberi semangat.
"Mudah-mudahan."
Setelah Irawan pamitan untuk kembali ke rumahnya, Bu Nur belum bermaksud pulang. Dia masih ingin berkomentar.
"Dia betul-betul kelihatan senang ketemu Ibu. Lihat matanya sampai bersinar-sinar. Tapi saya kok baru tahu bahwa dia senang membaca dan justru menggemari buku Ibu."
"Mungkin dia tak pernah menceritakannya pada Ibu."
"Mungkin juga. Tapi dulu sewaktu Bu Salmah masih ada saya pernah ke rumahnya namun tak pernah melihat ada buku Ibu di sana."
"Barangkali ditaruhnya di kamar," kata Farida jengkel.
Bu Nur menggeleng-gelengkan kepala seakan tak habis pikir. Dia seperti mau meruntuhkan semangatku. pikir Farida.
"Saya pikir, setelah dia tahu bahwa Ibu adalah
tetangganya pastilah dia tak akan kesepian lagi," kata Bu Nur dengan pandang penuh arti.
"Apa hubungannya dengan saya?" tanya Farida sambil mengerutkan kening. Apa gerangan yang ada dalam pikiran Bu Nur. Sesuatu antara seorang pria yang hidup sendirian dengan seorang wanita yang juga hidup sendirian"
Bu Nur tak menjawab. Ia cuma tertawa lalu bergegas menyeberang menuju rumahnya sendiri.
Walaupun penasaran terpaksa Farida juga beranjak masuk rumah. Sambil berjalan matanya melirik ke samping. Yang tampak cuma tembok pemisah. Tapi kalau dia merapat ke sana dan berjingkat dia bisa melihat rumah sebelah. Entah kenapa ada dorongan untuk melihat situasi di sana. Padahal sebelumnya tak ada. Tapi ia malu kalau ketahuan mengintip. Bagaimana kalau pria itu kebetulan melihatnya" Ia toh harus menjaga gengsi.
Hari sudah mulai gelap. Di langit kelelawar melintas.
Farida memperhatikan sekitarnya dan juga ke seberang. Sepi. Seperti biasa. Ia berjalan ke tembok lalu berjingkat pelan-pelan. Kepalanya naik sedikit demi sedikit. Matanya bergulir ke kanan dan ke kiri, siap untuk menarik kepalanya ke bawah bila melihat objek hidup. Pada perasaannya ia sedang beraksi persis seperti maling.
Tak ada siapa-siapa. Pintu rumah tertutup rapat. Dan halamannya kosong. Ia memandang dengan leluasa.
Rumah itu memiliki ukuran yang kurang lebih sama dengan rumahnya sendiri. Demikian pula halamannya. Yang berbeda cuma bentuknya. Tapi bagian depan rumah itu tak menarik perhatiannya. Ia memandang keheranan ke sekitar halaman. Rupanya si pemilik mempunyai selera keindahan yang lumayan. Ia menata kebunnya dengan cukup serasi. Tanamannya subur-subur. Daunnya hijau . bunganya bermekaran dengan cerah. Kesuburan yang memang menjadi ciri di sekitar tempat itu termasuk di kebunnya sendiri. Tanah di Bogor konon subur. Mungkin karena hujan rajin turun. ! .Tapi ada sesuatu yang mengganggu pemandangan di halaman milik irawan itu. Sesuatu yang lain sendiri. Dan itu membuatnya heran.
Sepetak tanah di dekat teras rumah, bersisian dengan tembok batas dengan rumah sebelahnya ligi, ditanami dengan tanaman bunga tasbih. Cukup banyak pohonnya. Diperkirakannya ada belasan yang ditanam berjejer seperti barisan. Tapi pohon-pohon itu sama sekali tidak kelihatan subur! Mereka seperti berpenyakit, nelangsa dan merana. Cuma beberapa yang berbunga. Tapi bunganya itu, kalau bisa disebut bunga, tampak kerdil dan keriput. Daun-daunnya menguning dan mengering. Beberapa di antara pohonnya benar-benar kering walaupun masih tegak berdiri. Sepertinya mati segan hidup pun tak mau.
Karena letaknya berseberangan dengan arah pandangnya maka pemandangan itu menjadi jelas sekali. Sesuatu yang kontras dengan sekitarnya pasti menarik perhatian. Ia tak mengerti. Kebetulan ia tahu betul bahwa pohon bunga tasbih itu termasuk pohon yang gampang tumbuh dan sama sekali tidak cerewet. Sering kali ia dipilih orang yang ingin membuat halamannya berwarna-warni tanpa harus susah payah. Ada yang menjadikannya pagar hidup karena bunga-bunganya indah sekali, baik dari dekat apalagi dari jauh. Mereka hanya akan merana lalu mati bila tak pernah disiram. Itu sudah pasti. Tapi bila tumbuhnya justru di tanah yang subur dan tak pernah kekurangan air, kenapa harus merana"
Farida memandang dan memandang. Dia harus menemukan kesimpulan. Akhirnya ia berpikir, mungkin pohon-pohon itu berpenyakit. Dan Irawan belum sempat membuangnya. Mungkin akan ditanyakannya suatu ketika nanti. Tapi, rasanya juga tak perlu. Terlalu sepele untuk ditanyakan.
"Bu! Bu! Lagi ngapain?"
Dengan terkejut Farida menoleh. Ia lega karena yang memanggil itu ternyata Bi Icah.
"Ah, Bibi ngagetin orang aja," katanya agak malu. Jangan-jangan Bi Icah menyangka ia sedang mengintip penghuni sebelah.
"Ada telepon, Bu."
Farida segera berlari. Belum banyak orang yang tahu nomor teleponnya di situ. Mungkin interlokal dari Tommy. Sesuatu yang penting" Toh anak itu sudah diberi tahu agar menelepon malam hari saja supaya lebih murah.
Betapa kagetnya ketika yang menelepon itu memperkenalkan dirinya sebagai Irawan. penghuni rumah sebelah! Tiba-tiba saja ia merasa malu karena berpikir bahwa Irawan telah melihatnya sewaktu mengintip tadi. Siapa tahu dia berada di suatu tempat yang tak terlihat. Dan sekarang dia akan menyindirnya.
Tapi kekhawatirannya tak terjadi. Irawan mengajaknya berbincang tentang beberapa dari buku-bukunya. Sesuatu yang dianggapnya janggal karena mereka toh bisa berbicara sambil berhadapan muka. Tapi ia merasa lebih senang begitu. Berhadapan muka hanya membuatnya tambah kikuk karena teringat akan perbuatannya tadi.
"Maaf. Saya ngomong di telepon, karena saya tak ingin mengganggu kalau khusus datang berkunjung. Begini lebih santai," Irawan menjelaskan.
"Ya, betul." "Sejak Ibu tinggal di sini apakah Ibu sudah mulai menulis?"
"Belum. Tapi saya baru akan mulai."
"Kalau boleh saya mengajukan usul... ah, bukan usul melainkan pendapat dari seorang penggemar. Begini. Rata-rata buku Ibu itu ketegangannya menjelang akhir, bukan" Kenapa tidak diletakkan juga di bagian awal dan tengah supaya yang membaca bisa lengket terus" Ah, ini cuma sekadar pendapat lho, Bu. Tak usah terikat."
"Wah... Coba nanti saya pikirkan ya, Pak. Tapi, bukankah tegang terus-terusan juga kurang
baik" Saya kira, sebaiknya ketegangan itu meningkat sedikit demi sedikit baru nanti meletus di klimaks. Gimana, Pak?"
Irawan tertawa. "Yaaa... itu tentu merupakan kekhasan Ibu. Saya cuma usul kok."
"Tapi saya akan mencobanya nanti. Terima kasih. Pak."
"Ada satu usul lagi, Bu. Saya pikir. cerita Ibu berkesan lembut biarpun sedang bercerita tentang kekerasan. Kurang realistis begitu. Kadang-kadang seperti mau menghindar dari kenyataan yang digambarkan. Coba lebih berani sedikit, Bu."
"Maksud Anda lebih keras?"
"Ya." "Wah. Selama ini saja saya sering dikatai sadis dan kejam, Pak. Bagaimana mau lebih dari itu" Apa pula pendapat orang nanti" Bisa jadi saya dituduh kurang beres."
Irawan tertawa. "Ah, masa iya begitu, Bu."
"Betul kok. Bahkan komentar seperti itu pun terlontar dari Bu Nur. Dia tak habis pikir?"
"Ah, biar saja dia sih. Orangnya usil, Bu. Tapi saya kira, orang yang senang membaca itu punya pilihan sendiri-sendiri. Mana tema yang ia gemari."
"Seperti Anda, pasti penggemar cerita kriminal."
"Betul. Saya punya koleksi banyak sekali. Sebagian besar dalam bahasa Inggris. Kalau Ibu tertarik untuk membacanya silakan datang ke rumah. Barangkali bisa untuk menambah ide."
"Terima kasih, Pak. Kapan-kapan deh."
"Betul lho, Bu. Saya tunggu nanti."
Farida tersenyum. Enak juga bicara melalui telepon. Bisa berekspresi seenaknya.
"Ya. Nanti saya ke sana bersama Tommy."
"Tommy?" "Anak saya." "Oh, senang sekali. Apa ada lagi yang lain" Biar diajak sekalian."
"Tidak ada. Cuma satu. Dia di Jakarta menyelesaikan SMA-nya. Pulangnya akhir pekan."
"Nggak sangka Ibu punya anak yang sudah di SMA."
Kalau komentar itu bisa dianggap sebagai pujian. maka itu menyenangkan sekali. Rasanya berbeda dibanding nada serupa yang dilontarkan orang lain, apalagi Bu Nur, pikir Farida.
Percakapan yang cukup lama itu pun berakhir. Entah berapa puluh menit. Farida sudah melupakan pohon bunga tasbih yang tadi dilihatnya. Kalaupun terpikir selintas ia tak peduli lagi
*** TOMMY kelihatan ceria dan antusias sekali ketika tiba di rumah. Begitu memasuki pintu pagar ia bersiul-siul dengan nyaring.
Farida segera ke luar menyambutnya.
"Naik apa, Tom?"
"Carter bemo dari terminal, Ma."
"Gimana bisnya" Ngebut?"
"Nggak. Biasa-biasa aja, Ma," sahut Tommy seperti biasa walaupun bisnya memang ngebut. Ibunya selalu menanyakan hal yang sama setiap ia pulang. Dan ia pun menjawab yang sama pula. Dalam hal keselamatan anak semua ibu itu cerewet, begitu kesimpulannya. Itu tanda sayang. Kalau tidak cerewet, ya, tidak sayang.
Tommy merangkul pundak ibunya sambil berjalan masuk.
Saat-saat semacam itu paling dinikmati Farida.
"Sudah lapar, Tom" Mau makan dulu?"
"Mau, Ma." Tommy selalu makan banyak pada saat seperti itu. Dia benar-benar menikmati masakan ibunya setelah seminggu lamanya makan rantangan.
"Mama belum mulai nulis?" tanya Tommy
Sambil melayangkan pandang ke sudut depan jendela. Di sana terletak meja tulis ibunya. Mesin tik masih tertutup. Kertas folio satu rim masih terbungkus rapat.
"Belum. Tapi Mama akan mulai secepatnya. Mama sudah punya ide bagus."
Tommy memandang wajah ibunya sebentar. jawaban seperti itu sudah beberapa kali ia dengar tapi nyatanya ibunya tak kunjung menulis. Ia menemukan mata yang berbinar dan wajah yang cerah. Ibunya serius.
"Tapi Mama ingin mengumpulkan bahan dulu sebelum mulai. Nanti idenya nggak bisa dikembangkan. Kebetulan saja Mama mendapat ide itu di" obrolan tetangga."
Tommy meletakkan sendoknya. Ia tertarik. Sudah cukup sering ibunya mendapat ide dari cerita orang, dari gosip, dari isu, dan semacamnya. Bahkan tak jarang dari ceritanya juga, tentang kisah temannya, gurunya, dan entah siapa lagi. semua cerita yang biasa-biasa saja, yang wajar terjadi dalam kehidupan, bisa diolah dan dikembangkan ibunya menjadi cerita yang menarik dan "kadang aneh.
Farida segera menceritakan kisah tetangga mereka.
"Itu sih kisah rumah tangga yang sering terjadi, Ma. Bukan sesuatu yang baru lagi dong," komentar Tommy.
"Memang benar. Tapi kan bukan cuma itu. Itu uma dasarnya. Ceritanya berkembang dari sana."
Tommy mengangguk. Tentu ia percaya akan kemampuan ibunya.
"Apa nanti bakal ada yang mati dibunuh, Ma?"
"Jelas ada dong."
"Siapa?" "Sang iStri yang dikatakan hilang itu. Dia sebenarnya tidak minggat melainkan mati dibunuh suaminya!" kata Farida dengan senang.
Tommy memandang kagum. Ibunya sudah pulih.
"Saya harap aja orang di sebelah itu nggak bener-bener membunuh istrinya," ia bergurau.
Farida tertawa. "Nggak dong. Itu kan cuma khayalan. Dia nggak ada potongan sebagai pembunuh, Tom. Nanti kamu lihat sendiri kalau berkenalan. Tapi kamu jangan ceritakan soal itu kepadanya. Takut dia tersinggung."
Kemudian Farida menceritakan pertemuannya dengan Irawan dan percakapan mereka lewat telepon.
Tommy bersiul hingga nasi yang masih terselip di mulutnya tersembur ke luar. "Asyik ya! Ngobrol sama tetangga sebelah aja pakai telepon. Waktu Mama di Jakarta rasanya belum pernah begitu, ya?"
"Ah, biarin aja, Tom. Toh dia yang bayar. Itu kan maunya dia. Tapi enakan begitu kok. Jadinya nggak dilihat tetangga lain. Apalagi sama Bu Nur yang di seberang itu. Coba kalau dia lihat Mama ngobrol lama-lama dengan dia bagaimana pikirannya nanti. Makanya waktu dia mengundang
Mama untuk ke rumahnya melihat-lihat koleksi bukunya Mama bilang mau ajak kamu. Malu dong kalau sendirian. Dia kan tinggalnya juga sendirian."
"Memangnya kenapa sih, Ma" Kan nggak apaapa. Kalau memang nggak berbuat jelek kan nggak usah takut."
'Yang Mama takutkan itu omongan orang, Tom. Mama di sini orang baru. Eh, kamu mau kan anterin Mama?"
"Mauuu," sahut Tommy sambil memonyongkan mulutnya.


Misteri Bunga Tasbih Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Farida mencubitnya. "Mama pikir kamu segan. Tapi dalam hal ini kamu memang perlu sebagai pengawal dan penjaga mulut orang."
"Bukan itu saja, Ma. Saya juga perlu melihat kayak apa orang sebelah itu. Apalagi kalau dia mau berakrab-akrab sama Mama."
Tommy seperti ayahnya, pikir Farida. Suka melindungi tapi cenderung posesif. Ada saat di mana dia menyukai hal itu. Tapi ada saat lain diam diam justru merasa terkekang.
"Sekarang ceritakan tentang dirimu sendiri, Tom. Gimana di tempat kosmu. Baik-baik saja?"
"Oh, saya barusan pindah lagi, Ma."
"Pindah lagi" Dalam dua minggu kau sudah dua kali pindah. Kok gitu sih?"
"Habis Tantenya cerewet bener, Ma. Ini nggak boleh itu nggak boleh. Apalagi yang belakangan. Galaknya bukan main. Katanya, kalau mau serba boleh sih tinggal aja di rumah sendiri. Kurang ajar nggak coba. Ma."
"Kamu harus bisa menyesuaikan diri dong, Tom. Setiap tempat punya aturannya sendiri. Kamu nggak boleh seenaknya."
"Tapi nggak apa-apa kok, Ma. Kalau nggak betah pindah aja. Beres. Tempat kos kan banyak."
"Kalau pindah-pindah terus buang waktu dan tenaga, Tom."
"Nggak apa-apa, Ma. Saya seneng aja. Cari pengalaman kok."
"Ingat. Kamu sudah janji, Tom. Jangan macam macam."
"Iya, saya kan sudah janji, Ma. Percaya deh. Kalau cuma begitu sih nggak apa-apa dong. Habis kalau nggak betah masa dipaksain. Ma. Dengan pindah-pindah justru jadi pengalaman. Kata teman saya yang sudah pengalaman, gituan sih sudah lumrah. Kalau kebetulan dapat yang cocok baru kita bisa nyangkut lama di situ. Iya nggak, Ma?"
"Iya deh. Tapi, kamu sekamar sendiri kan?"
"Jelas dong. Mana enak sekamar berdua atau bertiga. Bisa cari penyakit."
"Syukurlah kalau kau sendiri berpendapat begitu. Dan kalau kau sudah mendapat kamar sendiri jangan sekali-kali menerima orang menginap. Sahabat karib sekalipun."
"Saya tahu alasan Mama. Supaya nggak homo, kan?" kata Tommy sambil tertawa.
"Memang betul. Tapi jangan anggap sebagai gurau lho, Tom. Itu serius. Lebih baik menghindari sebelum terjadi. Sudah terbukti banyak anak muda sekarang suka begituan."
"Ya, saya tahu kok, Ma. Saya ngerti. Saya kan udah gede."
Farida mengerutkan kening. "Kau jangan menganggap Mama cerewet, Tom."
"Nggak. Mama memang bener kok."
Farida tersenyum. Tommy sudah pintar menghadapinya. Ia menahan keinginannya untuk bertanya lebih banyak. Biarkan Tommy makan dulu. Pasti akan menyedihkan untuknya kalau tiba-tiba selera makan Tommy lenyap lalu meninggalkan isi piringnya tanpa dihabiskan. Dia paling benci melihat orang makan meninggalkan sisa, apalagi kalau banyak. Betapapun sedikitnya, makanan itu hasil keringat dan juga berarti hidup bagi orang yang kelaparan.
Tommy makan lahap dan meninggalkan piring yang licin. Dalam hal itu ia memang tak pernah mengecewakan ibunya. Nafsu makannya selalu baik kecuali kalau sakit.
Sorenya mereka duduk bersama lagi. Farida menghidangkan makanan kecil. Talas goreng.
"Tinggal di Bogor enak ya, Ma. Talasnya enak. Buah pisangnya juga bagus-bagus. Waktu Mama di Jakarta rasanya saya kok nggak pernah makan talas," ujar Tommy di sela kesibukan mengunyah.
Farida tertawa. Tentu Tommy cuma bergurau. Begitulah Tommy kalau sedang keenakan menikmati sesuatu.
"Lama-lama juga kau akan bosan."
"Ah, pasti nggak. Lain kali dibuat getuk dan lain kali lagi bikin keripik, Ma," Tommy mengajari.
Farida mengiyakan. "Hari Senin ada ulangan, Tom?"
"Ada. Tapi saya sudah belajar sebagian waktu di bis tadi. Sebagian lagi besok. Kalau belajar hafalan jauh-jauh hari bisa lupa lagi, Ma."
Farida mengangguk. Ia tak pernah memberi aturan ini itu kepada Tommy dalam hal belajar sejak Tommy di SMA. Yang penting adalah hasilnya. Dan ia cukup puas akan prestasi Tommy.
Tentu saja sekarang ia lebih suka bila Tommy menghabiskan waktu bersamanya. Seminggu tak bertemu membuat ia kangen. Tak henti-hentinya ia memperhatikan wajah Tommy, ekspresinya, gaya bicaranya, dan segala-galanya. Sesudah itu hampir saja pikirannya mengembara kembali kepada Gunawan. Tentu itu tidak patut. Tommy bukan ayahnya.
"Ma, memangnya kenapa sih orang homo itu nggak boleh?"
Pertanyaan Tommy yang tiba-tiba itu mengagetkan. Mau tak mau ia berdebar curiga.
"Kok mendadak nanya begitu?" ia berbalik bertanya.
"Nanya kan nggak apa-apa, Ma" Kepingin tahu aja."
"Iya, nggak apa-apa memang. Orang bertanya itu bagus. Yah, kalau menurut Mama sih perbuatan atau kecenderungan homoseks itu tidak patut karena melanggar hukum alam dan menyimpang dari kodrat. Coba pikir, kenapa semua makhluk
di dunia ini diciptakan berlawanan jenis" Itu supaya mereka berpasangan dengan lawan jenis masing-masing, kan" Hewan aja nggak ada yang homo. Mereka semua hidup sesuai dan selaras dengan kodrat. Tapi manusia yang memiliki akal justru menggunakan akalnya untuk melawan hukum alam. Karena itulah mereka menerima hukumannya. Selalu ada hukumannya untuk perbuatan yang menyimpang. Mama pikir, perbuatan semacam itu juga pantas disebut sebagai keserakahan karena orang tidak puas dengan apa yang sudah dimilikinya. Yang dicarinya melulu kepuasan diri."
Farida bicara dengan bernafsu, juga didorong keinginan untuk meyakinkan Tommy, mencegah dan melindungi Tommy.
Tommy menjadi bengong. Pada perasaannya, dialah yang memiliki kecenderungan itu. Dia baru menjadi lega setelah ibunya berhenti bicara.
"Waduh, Mama serius betul," katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Memangnya kamu nanya nggak serius?" tanya Farida dengan tatap menyelidik. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa peka.
"Serius dong, Ma. Cuma Mama ngomongnya jangan begitu ah. Serem. Bukan saya yang homo, kan?"
Farida tersipu. "Maksud Mama supaya lebih memahami. jangan sampai terbawa arus."
"Saya jadi takut nerusin. Padahal masih kepingin ngomong."
"Terusin ajalah. Ayo nggak usah takut."
"Tadi Mama bilang ada hukumannya. Apa hukumannya, Ma?"
"Masa kamu nggak dengar tentang AIDS" Dan bukan cuma untuk yang sesama jenis, juga untuk yang berlawanan jenis. kalau berlebihan bisa kena penyakit. Dulu, karena kerakusan oranglah maka timbul berbagai jenis penyakit kelamin. Itu soal seks. Soal yang lain-lain iuga sama saja. Makan enak kebanyakan juga bisa sakit. Pokoknya jangan serakah. jangan melanggar hukum alam."
"Tapi kata orang, homo itu soal selera. Jadi soal perasaan. Orang tertarik lalu jatuh cinta katanya. Bahkan terjadi tanpa ia sadari. Tanpa dikehendaki. Itu gimana, Ma?"
"Orang kan punya akal" Punya kesadaran untuk tahu mana yang benar dan mana yang salah" Nah, gunakan itu untuk mengendalikan diri sendiri. Jangan karena alasan tertarik lalu ikut saja."
"Mungkin daya tariknya kelewat besar, Ma."
"Ya, mungkin saja. Tapi toh sebenarnya dia tahu bahwa itu salah. Itu menyimpang. Itu tidak patut. Kalau toh ia lakukan iuga maka itu berarti bahwa ia lebih suka mencari kepuasan daripada kebenaran. Ia lebih mementingkan kenikmatan."
"jadi bukan semata-mata karena ia lemah?"
"Pasti bukan!" "Ada kemungkinan lain, Ma. Jangan-jangan orang homo tercipta karena dunia sudah kepenuhan manusia. Saking penuhnya mereka memenuhi alam. Ekosistem jadi terganggu. Sementara proyek keluarga berencana tidak bisa menahan pertambahan penduduk. Nah, kalau semua orang mengikuti kodrat dengan berpasangan sama lawan jenis, wah bisa lebih gawat lagi dong .Mereka semua akan beranak. Orang homo kan nggak bisa beranak, ya Ma?"
Farida tertawa. "Kamu bergurau lagi."
"Nggak kok, Ma."
"Wah, kalau tentang pemikiran seperti itu Mama nggak bisa berkomentar. Pokoknya nggak ! deh. Soalnya kamu menyinggung soal tercipta sih. Jadi sepertinya sudah ditakdirkan harus ada kondisi yang seperti itu. Yang begitu kan suatu misteri. Mana bisa kita memastikan. Tapi sebaiknya pemikiran seperti itu jangan kauutarakan pada mereka. Nanti mereka mendapat alasan untuk menguatkan keadaan dan tingkah laku mereka. Bahaya tuh, Tom. Eh, ngomong-ngomong, apa kau punya kenalan orang-orang homo?"
"Ya. Ada," jawab Tommy terus terang. "Wah, jangan khawatir dong. Kan seperti kata Mama, orang itu tergantung pada dirinya sendiri. Saya lebih senang sama cewek kok, Ma."
Farida menarik napas panjang lalu mengembuskannya lagi dengan lega. la menepuk lengan Tommy
"Tadi waktu saya turun dari bemo saya melihat cewek cakep di rumah seberang, Ma. Siapa sih dia?"
"Oh itu. Dia putrinya Bu Nur. Namanya Sonia. Nanti juga kau bisa mengenalnya. Asal rajin pulang saja," kata Farida tertawa.
"Tapi, kalau ibunya usil apa anaknya usil juga, Ma?"
"Belum tentu." "Mudah-mudahan aja dia nggak kayak ibunya."
"Ya, mudah-mudahan," sahut Farida dengan serius.
Tommy memandang ke arah jam.
"Mama nggak jadi ke rumah sebelah?" ia bertanya.
"Ngapain?" "Lho, kok ngapain" Kan tadi bilang minta dianterin."
"Oh itu. Jangan sekarang dong, Tom. Masa dia baru saja mengundang kita sudah segera muncul. Malu-maluin. Kelihatannya nafsu banget nanti. Gengsi sedikit dong."
Tommy terbahak. "Saya nggak sangka Mama juga suka gengsi gengsian."
"Itu perlu supaya lebih dihargai. Gengsi itu ada saatnya, Tom."
"Wah, saya mesti belajar banyak dari Mama."
"Ngeledek atau bener-bener?"
"Bener-bener, Ma."
Lalu telepon berdering. "Naaa..., itu pasti... dia!" seru Tommy sambil menunjuk ke arah rumah Irawan.
"Hus! Belum tentu," sahut Farida sambil bangkit.
"Taruhan?" Ajakan Tommy belum sempat disahuti karena telepon sudah diangkat Farida. Segera tampak senyum Farida. Ia mengacungkan ibu jarinya ke arah Tommy pertanda dugaan Tommy benar.
"Bu Ida, tadi saya melihat anak muda turun dari bemo lalu masuk rumah Ibu. Dia pasti lommy, bukan?" kata Irawan.
"Benar." "Kalau begitu kapan Ibu mau ke rumah" Saya ingin kenalan dengan putra Ibu."
Farida memonyongkan mulutnya. Kalau dia mau kenalan mestinya kan dia yang datang ke sini, bukan sebaliknya.
Tommy memandang ingin tahu. Farida tersenyum padanya.
"Ya. Saya sudah menceritakan perihal Anda kepadanya. Kapan-kapanlah, Pak Irawan. Saya akan mengajaknya," kata Farida sambil mengerling kepada Tommy.
Tommy tertawa tanpa suara.
"Kenapa tidak sekarang saja, Bu" Saya tunggu."
"Wah", gimana ya. Katanya dia ada ulangan hari Senin. Kayaknya lagi belajar di kamarnya."
"Ah, kan nggak lama, Bu. Belajar terus juga capek. Soalnya. minggu depan saya harus ke luar kota untuk beberapa hari. Saya memang sering ke luar kota. Bu. Tugas kantor."
"Kalau begitu. nanti saya tanyakan dia dulu ya, Pak."
"Bujuk saja, Bu. Saya ingin sekali meminjamkan buku saya pada Ibu. Pasti bermanfaat. Pendeknya, banyak infomasi mengenai kriminalitas sedunia ada pada saya."
Pikiran melintas di benak Farida. Bila dia memang sangat ingin meminjamkan bukunya kenapa tidak langsung diberikan saja lewat dinding tembok" Dia tak usah datang sendiri.
"Nanti Ibu bisa memilih," sambung Irawan sebelum Farida sempat bicara.
"Baiklah. Tunggu sebentar ya, Pak."
Farida meletakkan telepon di atas kotak musik lalu ia menuju ke dekat Tommy.
"Ayo, Mama mau nanya apa?" gurau Tommy.
"Kita iyakan saja. ya?" "
"Ih, terserah Mama. Yang ngatur kan Mama."
Farida mencubitnya lalu kembali lagi ke tempat telepon diletakkan.
"Halo. Katanya mau, Pak."
"Wah bagus. Saya tunggu."
Tak lama kemudian mereka sudah berada di depan pintu pagar rumah sebelah. Farida bersyukur karena tidak melihat tetangga yang lain di depan rumah mereka. Lebih-lebih di rumah seberang.
Pintu pagar tak dikunci. Tommy membukanya lalu mengiringi langkah ibunya.
Lalu mata Farida tertuju ke barisan pohon bunga tasbih di samping. Dalam keremangan
kondisi mereka tak begitu kentara. Toh tampak jelas adanya suatu keanehan. Sesuatu yang tidak biasa. Mereka bagaikan barisan yang ganjil. Seperti sepasukan serdadu kurus kering yang lemah tapi masih mampu berdiri tegak.
Sret. Sret. Tiba-tiba bulu roma Farida berdiri. Begitu saja. Buru-buru ia memalingkan matanya darisana. Mungkin keganjilan itu terlalu merasuk, terlalu menyentuhnya. Dia terlalu peka.
Irawan menyambut mereka dengan senyum dan sapa yang ramah. Dijabatnya tangan Tommy erat-erat.
"Ayo, silakan masuk. Maafkan kalau rumah saya agak berantakan. Maklum saya merapikannya sendiri. Mungkin selera keindahan saya kurang," ia mengakui.
Tapi Farida menganggap rumah Irawan cukup rapi. Mungkin tak kalah rapi dibanding rumahnya sendiri. Atau mungkin juga dia ekstra merapikan karena akan ada tamu.
Irawan mengajak mereka masuk ke dalam. Berbatasan dengan ruang tamu yang kecil terdapat ruang duduk yang lebih luas. Di sana ada seperangkat TV, video, dan stereo set. Lalu ada rak buku yang melekat sepanjang dinding.
"Nah, ini bukunya, Bu. Bagian sini khusus buku kriminal. Itu deretan buku Ibu. Kelihatannya sedikit ya dibanding yang lain. Ibu harus menambah lagi dengan banyak yang lain nanti. Siapa tahu dengan membaca buku-buku ini dorongan untuk Ibu jadi lebih besar."
Koleksi buku Irawan membuat Farida menelan liur. Baik fiksi maupun nonfiksi sama-sama menggetarkan perasaannya. Dia sendiri tak pernah seserius itu mengumpulkan buku-buku. Justru Gunawan yang selalu membelikan untuknya.
"Pilih saja, Bu. Ambil yang banyak. Tak usah buru-buru dikembalikan," Irawan menganjurkan. "Dan Tommy, suka baca juga" Silakan ambil."
Tommy menggaruk-garuk kepalanya.
"Wah, bahasanya Inggris, Oom. Inggris saya masih payah. Percuma. Nggak ngerti nanti." ujar Tommy sangat menyesal.
"Sayang sekali." Irawan ikut menyesali. Lalu ia menasihati Tommy tentang pentingnya bahasa Inggris. Paling tidak menguasai secara pasif supaya bisa baca buku. Banyak ilmu didapat dari buku.
Tommy mengangguk membenarkan. Tiba-tiba ia merasakan kebenaran nasihat Irawan. Dulu ibunya sudah menganjurkan agar mengikuti kursus bahasa Inggris, tapi ia menolak karena merasa sudah cukup mampu mengikuti pelajaran itu di sekolah. Ulangan bahasa Inggrisnya selalu bagus bagus. Jadi buat apa kursus lagi" Tapi ternyata ilmu itu gunanya bukan cuma untuk memperbagus angka ulangan.
Sementara mereka berbincang-bincang Farida memilih buku. Inginnya memang mengambil banyak, sebab yang ini bagus yang itu pun bagus, tapi ia malu. Nanti dikira serakah. Akhirnya ia mengambil lima buah. Itupun rasanya sudah
kelewat banyak. Sudah ditimang-timangnya untuk dikembalikan lagi beberapa buah.
"Sudahlah. Ambil saja semuanya, Bu," tibatiba Irawan menganjurkan hingga Farida jadi tersipu.
Selesai memilih buku rasanya kurang pantas kalau mereka segera pamitan. jadi mereka duduk dulu untuk berbincang-bincang .Irawan sudah lebih dulu mengambil tiga botol Coca Cola dingin dari lemari es di Sudut. Jelas minuman yang dihidangkan itu harus diminum dulu.
"Saya seorang insinyur elektro," begitu Irawan memperkenalkan diri. "Saya bekerja di perusahaan yang merupakan kantor cabang dari pusatnya yang ada di jakarta." Lalu ia menyebut nama sebuah perusahaan yang terkenal. "Tapi itulah, sebagai teknisi saya sering kali ditugasi kerja di luar kota. jadi terpaksa rumah ini sering ditinggalkan kosong."
"Tapi di sini aman kan, Oom ?" tanya Tommy.
"Oh, cukup aman. Tak usah khawatir tentang hal itu. Wilayah ini memiliki petugas keamanan sendiri yang cukup bertanggung jawab. Kita para warga membayarnya tiap bulan."
Farida mengangguk. Ia sudah memahami hal itu.
Lalu Irawan membicarakan lagi beberapa buku Farida. Mana yang disebutnya menarik dan mana yang kurang.
"Asal jangan kurang sadis. Saya sendiri tidak menyukai kesadisan, Pak. Nonton pertandingan tinju saja nggak berani," kata Farida tertawa.
"Ya. Mama agak penakut kok," Tommy membenarkan.
"Wah, lain dengan saya dong. Dengan membaca buku-buku seperti itu justru Saya jadi berani," kata Irawan sambil tersenyum.
"Memangnya dulu Oom penakut juga?" tanya Tommy.
Irawan tidak menjawab. Ia cuma tertawa. Sedang Farida memandang dengan khawatir kalau-kalau Irawan tersinggung. Kadang-kadang Tommy suka bicara seenaknya.
Banyak yang dibicarakan Irawan, tapi tak pernah menyinggung bekas istrinya. Farida juga tak berani menanyakan. Mungkin nanti.
Akhirnya mereka pamitan. Setibanya di teras Farida melihat lagi pohon bunga tasbih tadi.
"Pak, pohonnya itu kok tampak merana sih," katanya sambil menunjuk.
Lama tak ada jawaban. Dengan heran Farida menoleh. Ia melihat ekspresi Irawan seperti terpesona. Pandangnya tidak tertuju kepadanya melainkan kepada pohon itu. Irawan seolah melihat sesuatu yang ganjil juga.
"Pak...," panggil Farida pelan.
"Oh ya", saya juga baru menyadari hal itu. Kenapa ya" Ah, mungkin nggak cocok ditanam di sini."
"Tapi saya lihat di sini banyak yang menanam. Subur-subur kok."
Irawan mengangkat bahunya. "Entahlah. Saya tidak tahu kenapa bisa begitu. Mungkin kena
penyakit. Saya sendiri tidak menyukai tanaman. saya tidak memusingkan pohon-pohon. Untung saja saya tak perlu menyirami. Coba kalau seperti di jakarta, pasti sudah mati semua."
"Tapi penataan kebun ini cukup rapi kok, pak."
"Oh, itu hasil kerja istri saya dulu."
Baru kali ini dia menyebut istrinya, pikir Farida.
"Seleranya manis, ya Pak," ia mencoba memancing.
Irawan menutup mulutnya. Pandangnva menjadi kaku.
Buru-buru Farida mengajak Tommy berlalu sdtelah mengucapkanterima kaSih banyak-banyak kepada Irawan.
Begitu memasuki pintu pagar rumahnya, Farida segera memberi tanda kepada Tommy dengan meletakkan jarinya di mulut. Pertanda jangan bersuara. Lalu ia berlari ke tembok pemisah. Di sana ia berjingkat. Tentu saja Tommy ikut-ikutan berbuat yang sama.
"Sssst..." desis Farida.
Mereka melihat Irawan masih di sana. Punggungnya ke arah mereka. Dia sedang menghadap pada pohon bunga tasbih tadi. Mungkin sedang mengamat-amati. Beberapa saat lamanya dia begitu. Lalu ia berbalik pelan-pelan dan memandang ke arah rumah Farida. Cepat-cepat Farida menarik kepalanya sambil menarik Tommy juga. kemudian ia berjalan masuk rumah dengan agak
membungkuk. Tommy melakukan hal yang sama walaupun tak mengerti.
"Apa-apaan sih, Ma?" tanya Tommy tak sabar setibanya di dalam.
"Nggak apa-apa. Mama cuma kepingin tahu aja. Pohonnya itu aneh sih. Apa iya dia baru menyadari" Padahal kalau mau masuk rumah kan harus melewatinya lebih dulu. Tapi ketika Mama memberi tahu kok dia bengong?"
"Bener, Ma. Saya juga heran. Pantasnya ingat istrinya."
"Ya, mungkin juga. Itu pun terpikir oleh Mama. Kasihan juga ya. Mama jadi nyesel sudah menyinggung istrinya tadi. Dia sudah baik sama kita."
"Kelihatannya dia naksir sama Mama."
Farida kaget. "Ah, kau ngomong sembarangan."
"Tadi matanya ngeliatin Mama terus. Tuh waktu Mama milih buku. Ngomongnya sih sama saya, tapi matanya... Dia ngeliatin Mama dari atas ke bawah deh."
Farida tertegun. Dia tidak menyangka bahwa Tommy bisa sekritis itu.
"Kau harus ingat bahwa dia seorang penggemar, Tom. Sebelumnya dia sudah mengenal Mama lewat buku karangan Mama. Lihat saja semua buku Mama ada di sana. Karena itu dia memandang Mama penuh selidik. Bukannya naksir. Orang setua Mama siapa sih yang mau naksir?" Farida menenangkan Tommy.
"Mama kan masih cakep. Dulu kalau saya jalan sama Mama kan banyak oom-oom yang ngelirik."
Farida tertawa. "ltu kan dulu."
"Ah, sekarang juga kok."
"Ya sudah. Tapi kamu jangan sembarang sangka. Nggak enak ah. Nanti orang nggak apaapa kan malu. Dia yang bermaksud baik pun jadi malu. Mama kira, dia penggemar yang fanatik. Coba kalau kamu ketemu Madonna misalnva, matamu juga pasti melotot, bukan?"
Tommy tak memberi komentar lagi. Ia cuma tertawa. Dibalik-baliknva buku-buku yang dipinjam ibunya tadi.
"Wah, banyak kalimat yang digaris-garis, Ma. Ada garis merah. Ada garis biru."
"Mungkin itu yang dianggapnya penting," kata Farida sambil ikut melihat-lihat. "Rupanya serius betul membacanya. Seperti orang mempelajari."
"Mama aja nggak pernah begitu, ya?"
"Mama kan lain."
"Pantasnya dia jadi dosen dalam ilmu.... ah, ilmu apa ya" Oh ya, ilmu kejahatan!" seru Tommy.
"Ah kamu." "Iya. Pikir aja pembicaraannya barusan tentang buku Mama. Mestinya taktiknya begini. Cara membunuhnya begitu. Dan membongkarnya begini. Ngajari orang kayak gitu. Kenapa bukan dia aja yang ngarang?"
"Maksudnya baik, Tom. Dia bisa membuat Mama tambah pinter." "Memangnya Mama mau berguru sama dia?"
"Nggak dong," sahut Farida menekan rasa herannya. Kenapa Tommy bersikap antipati terhadap Irawan" Apa karena perhatian yang ditunjukkan Irawan terhadapnya" Tapi ia tak ingin mengorek masalah itu. Ia berpikir untuk mengalihkan pembicaraan. Buku-buku itu disusunnya dan dimasukkannya ke dalam lemari.
Tapi Tommy belum puas mengutarakan perasaannya tentang Irawan.
"jangan-jangan orang itu sakit, Ma."
"Orang itu siapa?"
"Oom Irawan." "Sakit apaan, Tom?"
"Sakit ininya," Tommy menunjuk dahinya. "Habis, sudah tinggal sendirian, bacanya buku gituan melulu."
"Hobi orang kadang-kadang aneh, Tom. Pokoknya kita lihat aja deh. Lama-lama juga ketahuan kalau dia memang betul-betul sakit."
"Lain kali kalau Mama mau mengembalikan buku atau meminjam lagi, ajak saya, ya Ma?"
"Tentu saja," Farida mengangguk serius. Sebenarnya ia merasa geli campur waswas. Apakah Tommy iri hati kepada Irawan atau bermaksud jadi pelindung" Atau ada yang lain"
Sebenarnya malam itu Farida ingin mulai membaca salah satu buku yang barusan dipinjamnya, tapi khawatir mengganggu perasaan Tommy. Jadi ia akan menunda niat itu sampai nanti, kalau Tommy sudah kembali ke Jakarta.
Ia mengisi waktu dengan mengajak Tommy ke salah satu kamar.
"Di sinilah Mama menyimpan semua barang-barang Papa. Tapi belum sempat dibereskan semua."
Tommy memandang berkeliling. Ada meja tulis, kursi malas, lemari. Kemudian tiga dos besar masih terikat erat terletak di lantai.
"Itu barang-barang kecil yang nanti Mama masukkan lemari. Soalnya lemari itu masih kosong. Belum sempat sih, Tom."
"Mama mau dibantuin?"
"Nggak usah, Tom. Biar Mama sendiri saja," sahut Farida bum-buru. Dia tahu betul apa akibatnya kalau Tommy membantu. Bukan saja akibatnya bisa berantakan, komentarnya pun bisa terlalu banyak perihal barang-barang yang dilihatnya. Dengan demikian pekerjaan bisa tak kunjung selesai.
Lalu mata Tommy tertuju ke meja tulis. Di atasnya terletak tas kerja ayahnya. Dia ke sana dan mengangkatnya. "Ih, berat. Masih banyak isinya, Ma?"
"Pokoknya masih seperti dulu."
"Nggak pernah dibuka?"
"Nggak. Buat apa" Papa kan nggak punya masalah dengan kantornya" Pekerjaannya selalu rapi dan beres. Tak ada rahasia yang dia simpan. Perusahaan pun nggak pernah tanya apa-apa."
"Tapi siapa tahu, Ma" Buka ya, Ma?"
"Jangan. Mama nggak tahu nomor kombinasinva."
"Saya tahu kok. Gampang bukanya."
"jangan." "Ah Mama. Siapa tahu ada petunjuknya di dalam yang bermanfaat buat kita," bujuk Tommy.
"Nanti sajalah. Jangan sekarang. Eh, berapa nomornya, Tom?"
Tommy menyeringai. "Saya tahu. Mama mau ngaduk sendiri aja, ya?"
"Ayo, kasih tahu."
Tommy memberi tahu setelah menggoda ibunya lebih dulu.
Farida mengingat-ingat nomor itu. Diam-diam ia merasa gemas kepada Tommy. Anak itu telah mengobarkan sesuatu yang tadinya tak pernah ada.
*** MINGGU sore Tommy kembali ke Jakarta.
Begitu Tommy lenyap dari pandangan, Farida bergegas masuk rumah kembali untuk terus menuju kamar penyimpanan barang-barang Gunawan. Dia sampai heran sendiri akan antusiasmenya. Sesuatu yang membuatnya malu sendiri tapi merasa terdorong untuk melakukan.
Tas kerja Gunawan sudah berbunyi ceklek tanda terbuka ketika telepon berdering. Pikirannya segera tertuju pada Irawan. Diakali. Itu terasa menjengkelkan. Setiap dering telepon kini disangkanya dari sana.
Ternyata kali ini memang benar.
"Tommy sudah pulang, Bu?"
"Ya," sahutnya.
"Tidak mengganggu bila kita berbincang-bincang sebentar" Kalau Ibu ada kesibukan katakan saja. Apalagi kalau sedang menulis, wah, jangan sampai terganggu."
"Oh, sama sekali tidak mengganggu, Pak."
"Syukurlah. Saya ingin membicarakan yang semalam, Bu. Pengamatan Ibu tajam lho. Maksud saya terhadap pohon bunga tasbih itu. Padahal
ketika itu penerangannya suram. Itu bagus sekali .Saya pikir, Ibu orang yang cermat memperhatikan suasana di mana pun berada hingga kejanggalan sedikit saja segera tertangkap. Seorang pengarang seperti Ibu memang sudah seharusnya memiliki kecermatan seperti itu."
Mau tak mau pujian itu membuat Farida senang. Tapi sekaligus ia juga sadar, pujian itu menandakan bahwa Irawan juga memperhatikan dan mempelajari dirinya. Tiba-tiba terpikir, apakah mereka kini mulai saling mempelajari"
"Ah, saya Cuma kebetulan saja melihatnya, Pak," katanya merendah.
"Tapi saya kira, pasti bukan cuma karena itu, Ya, tentu saja pohon itu tampak sangat janggal dibanding lainnya. Tapi untuk orang yang tak peduli hal itu pasti takkan menarik perhatiannya, apalagi sampai menanyakan."
"Dan Anda tidak memperhatikan?" tanya Farida sambil menyayangkan bahwa ia tidak bisa melihat muka Irawan saat bertanya itu. Memang ada untung ruginya berbincang-bincang dengan cara demikian. Ruginya adalah tak bisa melihat pada saat ingin melihat.
"Sudah saya katakan saya tidak suka tanaman_ Jadi kurang peduli. Mungkin juga saya melihat tapi masa bodoh saja. Mau hidup syukur, mau mati juga terserah."
"Padahal setahu saya, pohon itu termasuk gampang. Apalagi kalau tanahnya subur dan kena matahari seperti tempat Anda itu."
"Ya. Itu juga pertimbangan saya waktu menanam dulu. Tapi..."
"Oh, jadi Anda yang menanamnya" Saya kira..." kata Farida setelah Irawan tak meneruskan perkataannya. Tapi ia pun menghentikan ucapannya karena khawatir menyinggung yang Irawan.
"Maksud Anda, istri saya" Memang bukan. Tapi coba kalau dia yang menanam mungkin nggak begitu. Mungkin karena saya nggak suka tanaman maka tanaman pun nggak suka saya. Ha ha ha!"
Tawa itu kedengaran kering. Farida sama sekali tak ingin tertawa juga. Itu gurau yang mengada ada.
"Saya kira, kalau bukan tanamannya yang sakit tentu tanahnya. Entah ada apa di dalamnya. Ha ha ha!" Lagi-lagi Irawan tertawa.
Farida memonyongkan mulutnya. Suatu kebiasaan kalau ia tidak menyukai pembicaraan lewat telepon. Kalau Tommy mendengar pembicaraan Irawan itu ia akan semakin paSti bahwa Irawan memang sakit. Itukah yang dimaksud sebagai humoris oleh Bu Nur" Rasanya tidak lucu. Suatu keuntungan bahwa ia tidak perlu ikut tertawa demi sopan santun.
"Ah, itu masalah sepele tentunya, bukan?" Irawan melanjutkan. "Kok kita jadi membicarakan soal gituan, ya. Bukan maksud saya membicarakan segala pepohonan."
"Anda yang memulai, kan?" Farida mengingatkan.
"Ya, ya. Tentu saja. Tapi itu cuma untuk menunjukkan bahwa Ibu orang yang cermat. Karena itu, sebagai orang yang cermat .Ibu tentu merasakan perubahan sikap saya sewaktu Ibu menyinggung istri saya."
"Oh ya. Saya sudah khawatir Anda tersinggung."
"Sebetulnya tidak. Sava cuma jengkel akan masa lalu. Ah, Ibu tentu sudah tahu akan kisah saya. bukan" Dari' Bu Nurlaila?"
"Betul." Irawan tertawa. "Sudah saya duga. Sejak saya bertanya-tanya perihal istri saya kepada para tetangga, dia pun rajin menanyakan kabar istri saya itu. Saya ceritakan semua kepadanya supaya saya bebas dari keingintahuan tetangga yang lain. Biarlah dia yang jadi juru bicara saya. Ternyata benar. Saya tak usah capek-capek lagi menjelaskan segala sesuatu. Mereka sudah tahu setelah saya memberi tahu Bu Nur. Saya cukup ngomong satu kali."
Kali ini Farida tertawa. "Tapi infomasi itu ada gunanya, Pak. Kita jadi tahu bagaimana harus bersikap."
"Saya mengerti. Manusia yang normal memang selalu ingin tahu. Dan tentu wajar juga kalau orang mengira-ngira orang macam apa saya ini hingga ditinggal minggat."
Farida tak bisa menyahut. Ia tentu tak bisa mengatakan apa yang jadi perkiraannya sendiri tentang laki-laki itu.
"Tapi saya berusaha untuk tidak peduli," kata Irawan lagi.
"Ya. Lebih baik begitu."
"Tapi kadang-kadang susah juga ya, Bu. Saya selalu merasa dibicarakan orang. Kalau saya lewat orang berbisik. Nah itu dia lelaki yang ditinggal kabur istrinya. Mereka memandang saya dengan iba tapi juga waswas. Orang macam apa saya ini" Saya kesal dan marah. Tapi saya nggak bisa berbuat apa-apa. Sudah nasib barangkali."
Farida merasa kasihan. "Saya kira lama-lama juga orang melupakan, Pak. Itu biasa. Anda harus sabar."
"Ibu benar." "Tapi, kalau boleh saya tanya. Apakah Anda tidak pernah berpikir untuk pindah meninggalkan lingkungan ini supaya bisa menghindar dari gangguan?"
"Wah, saya tidak ingin pindah. Saya sudah terbiasa dengan semuanya di sini. Saya sudah kenal semuanya dan saya menyukai ketenangan. Pindah ke tempat baru berarti harus menyesuaikan diri lagi. Apalagi di tempat mana pun kenangan itu tetap ada. Pengalaman masa lalu itu melekat pada kita, kan?"
"Ya betul, Pak," sahut Farida sambil berpikir bahwa dia pun begitu. Di mana pun dia berada dia tak akan melupakan Gunawan. Juga di sini. Dia memang tak ingin melupakan. Cuma kenangan itu begitu manis dan indahnya hingga jadi menyedihkan. Sesuatu yang berlawanan daripada pengalaman Irawan. Mereka senasib walaupun tak sama.


Misteri Bunga Tasbih Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, jangan-jangan pembicaraan saya ini membosankan, Bu" Saya mengganggu saja. Maafkan."
"Sama sekali tidak, Pak. Nanti kalau membosankan saya bilang terus terang."
"Oh, betul ya" Senang sekali. Saya tak punya teman bicara selama ini, Bu. Apalagi seseorang yang bisa diajak bicara seperti Ibu. Tapi tolong ingatkan saya kalau saya berlebihan. Bagaimanapun saya tak ingin mengganggu kelancaran kerja Ibu. Saya sangat ingin buku Ibu yang baru segera muncul supaya saya bisa menikmatinya."
Farida jadi terharu. Dia belum pernah berkenalan dengan seseorang seperti Irawan. Bahwa ada orang yang membutuhkannya sebagai teman bicara merupakan pengalamannya yang pertama kali. Apalagi bila orang itu pun ingin mendorongnya berkarier.
"Terima kasih atas dorongan Anda itu. Pak."
"Boleh saya bicara lagi?"
"Boleh." "Apa pendapat Ibu tentang kesetiaan" Benarkah kesetiaan itu ada atau cuma kemunafikan semata?"
Wah, dia mengajak diskusi, pikir Farida. Terasa pembicaraan akan lama, tapi dia juga ingin tahu apa pendapat Irawan tentang hal yang ditanyakannya itu.
"Saya percaya kesetiaan itu ada, Pak," katanya dengan penuh keyakinan.
"Ah ya. Ibu memang tipe wanita setia."
Nada suaranya mengandung kekaguman hingga Farida keheranan.
"Bagaimana Anda bisa tahu?" ia bertanya.
' "Saya bisa memperkirakan," sahut Irawan bernada pasti.
"Caranya?" desak Farida penasaran.
"Rahasia." "Ah, Anda tentu cuma memuji saja. Saya pikir, orang' tak mungkin bisa memperkirakan soal itu hanya dari perkenalan sepintas lalu. Kesetiaan itu perlu dibuktikan sepanjang waktu yang lama. Selama hidup."
"Ibu betul. Tapi saya kira, kesetiaan juga membutuhkan kepercayaan, bukan?"
"Asal jangan percaya secara membuta."
"Benar. Bu. Bila percaya buta gampang dikibuli."
Farida tak ingin mendiskusikan lagi soal itu. Ia mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Pak, boleh saya tanya tentang istri Anda?"
"Bekas istri." "Ya. Bekas istri."
"Boleh saja. Ibu mau tanya apa?"
"Apakah dia tak pernah memberi kabar lagi belakangan ini, Pak?"
"Tidak. Tapi, buat apa" Suratnya sudah cukup memberi kabar. Buat saya dia sudah mati."
"Anda marah sekali kepadanya."
"Sekarang tidak. Saya sudah bebas."
"Tidak ada emosi lagi bila suatu waktu bertemu?"
"Buat apa ketemu" Dia sudah mati, Bu."
Suara Irawan kedengaran bergetar. Farida menjadi ngeri dan menyesal telah bertanya seperti itu. Padahal semula ia berpikir tak ada masalah lagi membicarakan soal itu setelah lrawan lebih dulu menyinggung soal istrinya.
"Maaf, Pak. Masih peka rupanya."
"Begitulah, Bu. Lama-lama juga tidak lagi."
Percakapan berakhir meninggalkan kesah untuk Farida. Terasa berat. Lalu teringat pada apa yang akan dikerjakannya tadi sebelum menerima telepon. Suara hati mengatakan agar ia tidak usah meneruskan niatnya itu. Lebih baik membaca saja. Tapi kata-kata Tommy terasa menggoda. Siapa tahu ada rahasianya, ada petunjuknya, Ma!
Walaupun langkahnya berat ia kembali ke kamar yang tadi. Ragu-ragu ia memandangi tas kerja Gunawan. Buat apa mengOrek-ngorek" Bila Gunawan memang mempunyai rahasia atau menyimpan sesuatu yang tak boleh diketahui orang lain sudah tentu tak akan disimpannya di situ. Mungkin juga sudah dimusnahkannya jauh-jauh hari tanpa meninggalkan bekas apa-apa. Tapi kematian Gunawan terjadi agak mendadak. Serangan jantung. Karena itu tak mungkin ia bisa mempunyai waktu cukup untuk melakukan perSiapan.
Tas sudah terbuka. Ia melihat kertas-kertas, buku-buku, map-map. Semua bertumpuk padat. Semua itu tidak menarik minatnya. Bukan itu yang harus dikoreknya. Ia mengarahkan perhatiannya ke bagian tutup tas sebelah dalam yang memiliki kantong-kantong kecil bertutup ritsluiting. Di bagian-bagian tertutup orang biasanya menyimpan barang-barang yang sifatnya lebih pribadi.
Di salah satu kantong ditemuinya segepok kartu nama. Pasti bukan yang semacam itu. jadi dimasukkannya kembali tanpa meneliti satu per satu. Lalu ia membuka ritsluiting kantong yang lain yang ukurannya lebih besar. Di sana ada surat-surat. Agak gemetar tangannya ketika mencabut semua barang itu dari tempatnya.
Satu-satu amplop ia teliti dan keluarkan isinya. Satu-satu ia sisihkan. Ada juga yang berharga. Sebuah surat perjanjian utang yang bermeterai dan ditandatangani oleh seseorang yang cukup dikenalnya. Seorang teman baik mereka sekeluarga. Teman itu mengaku berutang pada Gunawan sebesar satu juta rupiah. Tapi teman itu belakangan ini menjauh dan menghindar tanpa sebab yang jelas. Mungkin ini sebabnya.
Lalu napasnya serasa terhenti. Sebuah foto ukuran kartu pos sudah ada di tangannya. Tanpa amplop. Di situ wajah seorang perempuan memandang kepadanya. Senyumnya ceria sekali. Tatap matanya hidup dan berbinar-binar. Manis dan ayu.
Jantung Farida mulai berdebar lebih kencang. Begitu saja dijatuhkannya segepok amplop yang masih dipegangnya di bawah foto itu. Semua bertebaran di lantai tanpa dipedulikannya. Dia hanya tinggal memegang foto itu saja. Ke sanalah perhatiannya tertuju. Segenap perhatiannya.
Ia perlu berpikir, perlu merenungkan semua. Kembali sedikit ke masa lalu. Untuk itu ia memerlukan posisi tubuh yang lebih enak. Dan di sana ada kursi malas.
Ia duduk setengah bersandar. Lalu ditatapnya lagi foto itu. Semakin lama wajah di situ tidak lagi semata-mata menampilkan wajah perempuan yang dicemaskan sebagai saingan, tapi seseorang yang dikenalnya. Padahal ketika pertama melihatnya kesan yang timbul adalah itu gambar bintang film. Semakin lama dia semakin yakin. Itu adalah Ines Dahliana, sekretaris pribadi suaminya. Tapi, kenapa Ines memberi foto segala" Apalagi foto seperti itu. Dia harus mengakui, Ines tampak sangat memukau.
Farida takut membalik foto itu. Lebih baik jangan dilihat belakangnya, begitu kata hatinya. Tapi dia juga penasaran. Ia berdoa supaya tak ada apa-apa di belakangnya. Pelan-pelan dibaliknya foto itu seperti akan melihat sesuatu yang mengerikan.
Doanya tidak terkabul. Di situ ada tulisan tangan. Khusus untukmu, Mas Gun. Dari Ines. Dia membacanya lagi dan lagi. Lalu tangannya mencengkeram. Remuk. Ketika jari-jari tangannya membuka lagi, foto itu pun jatuh ke lantai. Ia tak peduli. Tubuhnya sudah bersandar lesu. Matanya terpejam.
Untuk sesuatu yang namanya pengkhianatan hal itu cukup jadi bukti. Di muka umum dan di mukanya, Ines tak pernah ber-"kamu" dan
memanggil "Mas" kepada Gunawan. Ines selalu bersikap hormat dan segan dengan sebutan "Bapak", tak ubahnya anak buah Gunawan yang lain.
Pada suatu ketika dulu pernah ada isyu. Tapi Gunawan membantah. Kelakuannya juga tampak baik-baik saja. Sikapnya tak berubah. Walau sibuk tak kurang mesra. Itu cuma isyu. Prasangka buruk. Mulut usil. Kepercayaan Farida menang.
Seharusnya Gunawan memusnahkan foto itu sebelum pergi. Dengan demikian dia akan tetap hidup dalam kenang-kenangannya sebagai suami yang setia. Ternyata rasa dibohongi lebih membangkitkan marah dibanding rasa dikhianati. Padahal dia baru saja mengatakan dengan penuh keyakinan kepada Irawan tentang kepercayaannya pada apa yang namanya kesetiaan. Suatu pernyataan yang lebih merupakan pengalaman pribadi. Ternyata semua itu bohong besar. Dia sudah dikibuli.
Dengan geram Farida melompat lalu berlari ke pesawat telepon. Ia memutar nomor telepon Ratih. Interlokal ke jakarta. Padahal kalau ia menunggu barang sejam lagi, berarti jam sembilan malam, ia bisa mendapat keringanan biaya percakapan sebanyak separuhnya. Tapi emosinya menuntut agar ia bertindak sekarang juga.
Tak lama kemudian Ratih menyahuti.
"Rat, aku baru saja menemukan sesuatu tentang Gun dan Ines," kata Farida tanpa basa-basi dulu sebelumnya.
Diam sebentar. Mungkin Ratih kaget.
"Sudahlah, Ida. Itu masa lalu," kata Ratih dengan suara yang menandakan kebingungannya.
"jadi kau tahu juga?" sergap Farida.
"Oh... jangan emosi begitu, Da. Tenanglah. Tenang ya" Ingat-ingatlah. Gun sudah tiada." bujuk Ratih tanpa menjawab pertanyaan Farida. Dan bagi Farida itu berarti membenarkan pertanyaannya.
"Orang lain tahu, tapi kenapa aku yang jadi istrinya tidak tahu?" isaknya.
"Kau adalah istrinya. Kau memiliki kepercayaan yang kuat. Sedang orang lain adalah orang lain."
"Tapi kepercayaan itu sudah membutakan aku, Rat."
"Itu sudah berlalu, Da. Kau punya masa depan yang lain sekarang."
"Tapi..., oh, sakit sekali."
"Ya. Memang sakit. Tapi itu akan lewat."
"Kenapa kau tidak memberi tahu aku dulu?"
"Coba renungkan dulu, Da. Kau dulu bahagia, bukan?"
"Maksudmu, aku bahagia karena dibohongi?"
"Kau bahagia karena kau tidak tahu!"
"Tapi sekarang?"
"Sekarang tak ada artinya lagi."
"Siapa bilang" Ada!"
"Tapi tak seberapa besar, bukan" Itu akan lewat. Gun sudah tiada. Tak ada lagi cinta yang harus diperebutkan. Tak ada lagi kepercayaan yang dipertaruhkan. Kau tak perlu bersaing
dengan siapa-siapa. Rasa sakit sekarang tak seberapa besar bila dibanding dulu kalau Gun masih ada. Percayalah, Da. Nyeri itu akan lenyap."
Suara Ratih sayup-sayup sampai saja di telinga Farida. Matanya berkabut tertutup air mata, pendengarannya serasa berkurang. Ia tak tahan lagi. Telepon ia matikan begitu saja. Tanpa bilang apa-apa. Lalu ia berlari lagi ke kamar yang tadi. Ia rebah kembali di kursi malas. Di situ ia menangis sepuas-puasnya. Ya. di situ di tengah-tengah barang kesayangan Gunawan ia akan mengungkapkan perasaannya.
Esoknya, Farida menghabiskan sebagian waktu luangnya dengan membaca buku milik Irawan. Buku nonfiksi tentang kisah kriminalitas yang menggemparkan dunia. Pemaparannya mendetil dan lengkap mulai dari jalannya peristiwa pembunuhan, riwayat korban. hasil otopsi atas dirinya, kemudian pelacakan pembunuhnya yang terkadang berliku-liku. Bila dia tertangkap dipaparkan pula riwayat hidupnya, keterangan ahli jiwa tentang kesehatan psikisnya. Lalu proses pengadilan atas dirinya dan berapa hukuman yang kemudian diterimanya.
Buku itu tak kepalang menariknya hingga Farida yang semula cuma bermaksud membalikbalik saja halamannya jadi tenggelam dalam keseriusan membaca. Tak terasa emosinya jadi
terbawa mengikuti kisah yang dibacanya. Ada kalanya ia memihak kepada korban, lain kali kepada si pembunuh. Motivasi orang membunuh tentu berbeda-beda. Begitu rupa ia terhanyut hingga ketika buku ditutup, kesannya masih saja mempengaruhinya. Peristiwa semalam pun terlupakan!
Tapi kalau ingatan itu kembali ternyata tak menimbulkan rasa sakit seperti semalam. Cuma perih-perih saja. Bahkan dia juga tak merasa perlu harus bersusah payah melupakan. Biarkan saja kenangan itu datang. Sengaja mengenang pun tak apa-apa. Hanya terasa ada yang hilang. Kenangannya tentang Gunawan tidak lagi seindah dan sesempurna dulu. Dan itu ternyata membuat ia lebih mampu menerima kehilangan. Kepergian Gunawan tak lagi jadi obsesi!
Dengan tabah ia bisa kembali ke kamar tempat ia menangis semalam untuk membereskan barangbarang yang berceceran di sana. Semuanya dimasukkannya kembali ke dalam tas Gunawan. Tak ketinggalan foto Ines yang sudah remuk. Setelah rapi, tas dimasukkannya ke dalam lemari. Bila masih di meja, Tommy akan terangsang untuk membukanya.
Setelah selesai ia duduk sebentar di kursi malas untuk beristirahat. Alangkah berbedanya sekarang dengan semalam, pikirnya. Tak disangka betapa singkat waktu yang ia perlukan untuk memulihkan dirinya. Padahal untuk melenyapkan obsesi kenangannya kepada Gunawan ia memerlukan waktu hampir dua tahun dan terpaksa pula pindah dari lingkungan lamanya. Waktu selama itu sudah tersia-sia.
Ia melompat. Waktu yang tersia-sia itu akan ia kejar. Semangatnya menyala. Tangannya gatal untuk menulis. Benaknya terasa sesak oleh ide yang menuntut dikeluarkan.
Sebelum menuju meja tulisnya pandangannya terarah ke pesawat telepon. Tidakkah ia perlu mengucapkan terima kasih" Kondisinya yang sekarang ini mestinya juga berkat bantuan orang lain. Ratih atau Irawan"
Ratih tidak meneleponnya lagi semalam. Ah ya, tentu saja tidak. Ratih belum tahu nomor teleponnya karena tak sempat ia berikan. Betapapun jengkelnya dia karena Ratih telah menyimpan rahasia itu begitu baik selama bertahun-tahun, dia toh harus mengakui kebenaran pendapat Ratih. Dan Ratih telah memberinya banyak hal.
farida memandang jam. Belum jam sembilan. Dengan perhitungan biaya ia memutuskan untuk menghubungi Irawan lebih dulu. Padahal semula tak terpikir bahwa dialah yang akan berinisiatif menelepon Irawan. Bukankah dia perempuan dan yang selalu perlu bicara adalah Irawan" Tapi kali
ini lain. Gengsi sudah ia singkirkan.
"Oh, Bu Ida?" Suara Irawan kedengaran gembira sekali.
"Ya. Saya sudah membaca buku Anda," Farida menyebut judulnya. "Bagus sekali. Terima kaSih."
Farida mengucapkannya dengan penuh perasaan. Memang tak jelas baginya apa yang menyebabkan ia mampu mengatasi kesedihannya dalam waktu yang singkat. Dirinya sendiri, Ratih, buku Irawan, atau ketiganya"
"Ya. Itu memang bagus," kata Irawan.
"Yang lain belum. Saya mau menulis dulu."
"Oh, kapan?" "Sekarang." "Sekarang" Syukurlah. Saya harap cepat selesai. Nanti, boleh saya jadi pembaca pertama?"
"Boleh saja, Pak," sahut Farida tertawa.
Kali ini Irawan tak bicara banyak karena tak ingin menghambat kegiatan Farida. Begitu dikatakannya dengan serius tapi hangat. Kentara gembira sekali.
Dia masih harus menelepon Ratih tapi waktu belum menunjukkan jam sembilan. Untuk mengisi waktu menunggu itu ia membersihkan mesin tiknya yang berdebu dan mengganti pitanya. Bungkusan kertas folio ia buka dan di sisi mesin tik yang masih kosong ia letakkan map kosong untuk tempat kertas-kertas yang sudah terisi nanti. Lalu segelas air putih diletakkannya di ujung meja yang aman dari kemungkinan tersenggol. Air minum selalu penting baginya bila sedang menulis. Dia sering merasa haus. Karena itu air minum baginya seperti bahan bakar. Bila sebentar-sebentar ia harus meninggalkan mesin tiknya atau berteriak memanggil pembantu, konsentrasinya akan terganggu.
Selesai mengerjakan itu semua waktu sudah jam sembilan lewat.
Seruan Ratih di telepon mengejutkannya. "Kau baik-baik saja, Da" Malam tadi aku nggak bisa tidur mikirin kau."
"Ah, kau baik sekali. Aku sendiri tidur nyenyak. Ketiduran maksudku."
"Kau tidur nyenyak?" tegas Ratih dengan suara melengking. Mungkin jengkel kenapa justru dia yang tak bisa tidur.
Farida tak tahan untuk tidak tertawa.
"Ah, kau sudah bisa tertawa," gurau Ratih.
"Ya. Nasihatmu manjur. Terima kasih."
"Ah, apa betul karena nasihatku" Masa iya."
"Nggak percaya ya sudah."
"Aku khawatir semalam. Mau nelepon nggak tahu nomornya. Habis kauputusin begitu aja sih."
"Waktu itu aku lagi emosi. Rat. Sori."
"Nggak apa-apa. Yang penting sekarang sudah pulih."
"Ya. Sampai nanti, ya Rat. Aku mau nulis sekarang."
"Kau mau apa?" tanya Ratih dengan rasa heran dan tak percaya dalam suaranya.
"Mau nulis." "Ah, syukurlah."
Farida tersenyum setelah meletakkan telepon. Ratih tentu keheranan kenapa ia mau menulis justru di saat sekarang ini. Mungkin aneh, tapi mungkin juga tidak. Bukankah ada kejutan yang bisa menyembuhkan"
Dia mengetik sampai jam dua belas malam
*** BARU hari jumat sore Irawan menelepon lagi.
"Bu Ida tidak sedang menulis?"
"Tidak." "Saya memang pasang kuping dulu. Kalau kedengaran suara mesin tik saya nggak berani nelepon, Bu. Baru sekarang saya memberanikan diri. Pertama-tama karena nggak kedengaran suara apa-apa dan kedua karena besok pagi-pagi saya akan berangkat ke Medan. Kembalinya mungkin Senin atau Selasa, tergantung selesai tidaknya kerja saya di sana."
Farida kembali merasa tersentuh. Alangkah besar perhatian Irawan kepadanya.
"Kalau begitu selamat jalan, Pak. Dan semoga cepat selesai kerjanya."
"Terima kasih. Bu. Apa Ibu mau titip apa-apa" Barangkali Ibu suka markisa?"
"Oh, nggak usah, Pak. Saya nggak begitu suka. Pernah coba kok. Terima kasih," sahut Farida tersipu. '
"Perlu buku lagi, Bu" Kalau perlu datang saja ke sini. Ajaklah si Bibi."
Wajah Farida memanas. Malu. Tentu Irawan paham kenapa ia tak mau ke sana seorang diri.
"Yang ada saja belum habis dibaca, Pak. Nanti sajalah seminggu lagi," sahutnya kemudian.
"Sama Tommy?" "Ya. Sama Tommy."
"Saya mengerti. Kita memang harus menjaga omongan orang, bukan" Banyak mulut usil di sekitar sini. Terutama Ibu harus dapat menjaga nama."
Ser. Panas lagi muka Farida. Irawan sudah berterus terang menyatakan pemahamannya. Lagi-lagi dia merasa malu. Toh dia sadar, keterusterangan itu lebih baik.
"Benar, Pak," sahutnya.
"Untung ada telepon," kata Irawan lagi sambil tertawa. "Mereka tidak tahu bahwa selama ini kita bisa berbincang-bincang dengan leluasa, bukan?"
Farida cuma tertawa. "Sudah banyak nulisnya, Bu" Belakangan ini gencar benar ngetiknya. Saya mengagumi semangat Ibu."
"Ah, itu bukan apa-apa, Pak. Mestinya sejak dulu-dulu saya sudah mulai. Bukan baru sekarang ini."
"Dalam kondisi Ibu itu wajar saja. Yang hebat adalah keinginan Ibu untuk bangkit kembali. Itu kan susah, Bu."
"Saya pun harus berterima kasih pada Anda. Anda salah satu pendorong saya."
Irawan tertawa. "Sebagai penggemar Ibu, saya tak ingin Ibu berhenti."
Kata-kata itu berbau fanatisme, pikir Farida.
"Bagaimana kalau saya berhenti?" ia bertanya ingin tahu.
"Saya akan sedih sekali. Saya akan kehilangan. Buku-buku Ibu sudah menjadi teman bagi saya dalam kesepian. Meskipun kadang-kadang saya merasa gemas akan jalan cerita Ibu yang saya nilai kurang memuaskan, kurang greget, kurang agresif, tapi toh ada banyak hal menyentuh yang saya temukan di sana. Sesuatu yang unik, yang cocok bagi saya. Hal semacam itulah yang mendorong saya menjadi penggemar Ibu. Saya kira, itu juga sama bagi orang lain. Jadi kalaupun ada yang mengecewakan dalam karya Ibu, toh masih ada yang menyenangkan," tutur Irawan dengan nada bersemangat.
"Tidak membosankan?"
"Tidak," kata Irawan tegas. "Salah satu kekhasan Ibu adalah hal yang satu itu. Karya-karya Ibu selalu tampil dengan tema yang berbeda-beda. Kadang-kadang ada juga tema yang cengeng. Tapi seperti sudah saya katakan tadi, di dalam yang cengeng itu masih bisa saya temukan hal yang menyenangkan bagi saya."
"Wah..., semua itu tak terpikir oleh saya. Pak. Memang saya selalu mencari tema yang berbedabeda karena saya sendiri merasa bosan kalau harus mengulang-ulang yang itu-itu juga. Cuma yang jelas ada satu yang tetap tak berubah."
"Ya. Pembunuhan, bukan" Tapi itu kan warna atau ciri. Itu yang harus tetap ada."
Farida mengerutkan kening. Sebenarnya ia tidak suka kalau diharuskan begini atau begitu.
"Padahal saya berpikir untuk mencoba yang lain. Tanpa ada pembunuhan di dalamnya. Yang penting ada suspens-nya."
"Ah, jangan, Bu. Bukankah ciri yang melekat pada karya Ibu selama ini sudah menjadi trademark" Bukan cuma saya, penggemar Ibu yang lain akan kecewa. Mereka tidak akan langsung beli lagi begitu karya Ibu keluar. Mereka akan lihat-lihat dulu. Lalu pada suatu waktu mereka akan meninggalkan Ibu."
"Biar saja. Saya tidak takut. Tujuan saya menulis bukan semata-mata untuk memuaskan sekelompok orang," kata Farida angkuh.
Di sana diam sebentar. Lalu suara Irawan kedengaran lebih hati-hati. "Bu Ida tersinggung" Maaf lho, Bu. Kayaknya saya terlalu berlebihan. Mungkin saya terlalu khawatir."
"Ya. Anda terlalu khawatir untuk sesuatu yang belum jadi kenyataan. Tapi tidak apa-apa. Saya berterima kasih untuk peringatan Anda."
"Sungguh Bu Ida nggak marah?"
Nggak.!!. "Oh, terima kasih. Saya tak akan bisa memaafkan diri sendiri bila Ibu sampai marah. Padahal berkenalan dengan Ibu seperti ini merupakan suatu kebetulan yang tak pernah terpikirkan.
Dulu setiap habis membaca buku Ibu saya selalu membayangkan seperti apa sosok dan penampilan Ibu. Saya sudah mempunyai gambaran sendiri."
Betapa menggelikan, pikir Farida. Tapi tentu saja ia tak mengutarakannya. Keseriusan yang terkandung dalam suara Irawan sudah merupakan suatu peringatan.
"Setelah ketemu orangnya, gambaran itu pun buyar, bukan?" kata Farida dengan maksud bergurau agar pembicaraan lebih santai. Ia tak menyukai keseriusan itu.
Tapi Irawan tidak tertawa.
"Sama sekali tidak, Bu. Gambaran saya cocok!"
"Ah..." "Benar, Bu. Saya nggak bohong kok. Karena itu, terus terang saja saya sungguh bangga akan keberhasilan saya menggambarkan Ibu."
"Siapa tahu sebelumnya Anda tanya-tanya dulu pada Penerbit."
"Ya. Memang saya pernah menanyakan, sekedar untuk memuaskan keingintahuan, tapi mereka nggak mau bilang. Bahkan mereka memandang saya seolah saya kurang beres."
Farida tidak tahu lagi apakah cerita itu menggelikan atau tidak.
"Bagaimana jika Anda salah menggambarkan karena penampilan saya ternyata berlawanan dengan khayalan Anda?" ia masih ingin tahu.
"Yah, nggak apa-apa. Tapi, mungkin simpati saya pada buku Anda jadi berkurang."
"Lho, kenapa begitu" MeStinya kan nggak ada hubungannya."
"Saya kecewa dong," kata Irawan tertawa.
Ada kesan tak enak yang tertinggal setelah pembicaraan berakhir. Farida merasakannya kembali setiap ia mengingatnya. Kefanatikan itu biasanya mengerikan!
Esoknya pagi-pagi ketika Farida sedang berlarilari di sepanjang trotoar depan rumahnya ia bertemu dengan Irawan. Dia mengenakan jaket kulit dan menjinjing sebuah tas.
"Selamat pagi, Bu Ida. Sedang olahraga rupanya."
"Ya. Segar sekali di sini, Pak," kata Farida sambil mengatur napas.
"Wah, betapa inginnya saya ikut berlari bersama Ibu. Sayang sekali. Jadi, setiap pagi Ibu berolahraga seperti ini?"
"Ya. Kalau tidak kesiangan."
"Lain kali saya mau ikut. Boleh?"
"Boleh saja." Mereka jalan beriringan. "Anda jalan kaki, Pak?"
"Sambil menunggu kendaraan lewat. Saya harus ke Jakarta dulu. Dari sana naik pesawat."
"Tas Anda berat juga rupanya."
"Lumayan. Kalau tugas barang-barang ini tak pernah ketinggalan. Isinya peralatan. Bu. Tak ubahnya dokter juga harus bawa-bawa tas."
Irawan tertawa. Farida juga. Mereka saling memandang di bawah lampu jalan. Kemudian Farida tersipu memalingkan muka. Di mata Irawan ia melihat sesuatu yang menggetarkan. Dia jadi ngeri karena tahu apa artinya itu. Dan baginya, hal semacam itu sudah lama berlalu. Itu sudah lewat. Sama sekali bukan sesuatu yang pantas untuknya.
"Selama berhari-hari kita selalu bicara tanpa saling melihat, rasanya bebas dan leluasa tanpa gangguan pandang dan mulut usil. Itu memang menyenangkan. Tapi berhadapan begini rasanva kok lebih menyenangkan lagi," kata Irawan agak malu-malu.
Farida cuma tersenyum. "Saya sudah terlalu jauh. Saya harus kembali, Pak." katanya. "Selamat jalan!"
Ia melambai lalu berbalik. Ia lari lebih cepat karena sadar akan pandang mata Irawan yang mengikutinya. Setibanya di rumah ia sudah terlalu lelah untuk meneruskan. Semangatnya pun Sudah hilang.
Siang itu ia hilir-mudik di halaman dengan maksud meluruskan kakinya yang pegal karena duduk terus-menerus. Ia pun perlu mengistirahatkan otaknya sebentar .
Pada saat itulah ia teringat akan pohon bunga tasbih di halaman sebelah. Ia tak melihatnya lagi .
sejak berkunjung ke sana untuk meminjam buku. Apakah Irawan sudah membuangnya"
Ia merapat ke tembok lalu berjingkat. Leluasa sekarang karena ia tahu penghuninya sedang pergi. Ternyata pohon-pohon itu masih ada dan tegak seperti semula. Dan kondisi mereka pun masih sama saja. Benar-benar Irawan tak peduli.
Lama ia memandangi. Kemudian ia heran sendiri kenapa perlu merisaukan hal itu padahal itu toh bukan urusannya. Tapi rasa aneh itu datang lagi.
Semestinya petak pohon bunga itu tampak indah karena berwarna-warni. Ya, pasti indah kalau saja mereka sehat dan segar. Di antara bunga-bunga yang kerdil dan keriput itu ia melihat warna merah tua, merah muda, kuning, oranye. Lalu ia tercengang. Ada satu pohon yang bunganya putih! Belum pernah ia melihat yang seperti itu. Lebih mengherankan lagi karena bunga putih itu ternyata memiliki bercak merah! Ia membelalakkan dan mengucek matanya kalaukalau salah lihat. Tapi matanya memang tidak salah. Mungkin yang salah adalah pemahamannya. Baginya itu merupakan sesuatu yang baru. Tapi yang menimbulkan rasa ganjil adalah cara kedua warna bercampur. Dasar putih yang dominan lebih tampak seperti ditetesi warna merah darah. Merahnya berbeda dengan bunga merah di sebelahnya yang menampilkan warna merah hati.
Setelah lama dipandangi, bunga putih dengan
bercak merah itu tidak lagi kelihatan indah
melainkan mengerikan! Keputihannya seolah dinodai oleh tetes-tetes darah! Farida kembali mengucek matanya. Jangan jangan dia berkhayal atau bermimpi di siang hari. Tiba-tiba pintu pagar terkuak. Tommy muncul. "Halo, Mama! Apa kabar?"
Farida bergegas menyambut. "Halo, Tom! Kok siang begini sudah sampai?"
"Ada rapat guru, Ma. Pulangnya jam sebelas."
"Pantas." "Lagi ngapain Mama di situ tadi?"
"Nggak ngapa-ngapain."
"Bohong ah. Saya kan sudah cukup lama lihatin Mama. Lagi ngintip, kan?"
Farida mencubit. "Iya deh. Mama memang lagi ngintip. Pohon itu lho, Tom. Makin lama makin aneh saja."
Sekarang Tommy mendekat ke tembok untuk mengintip juga.
"Ah, sama dengan tempo hari. Masa begitu saja aneh sih, Ma?"
Ya, kenapa untukku jadi aneh, pikir Farida mulai meragukan pendapatnya sendiri barusan. Karena itu ia tak jadi menanyakan pendapat Tommy khusus tentang bunga putih tadi. Mungkin dia terlalu mengada-ada.
"Tapi Mama memang lagi ngintipin pohon, ya" Bukan Oom Irawan?" goda Tommy.
Farida mencubit lebih keras. Tommy mengaduh.
"Ih, Mama mulai sadis. Itu sih diajarin Oom Irawan."
"Sudah ah, jangan ngomong begitu lagi. Dia kan pergi ke Medan, Tom. Pulangnya Senin atau Selasa." !
"Pantas Mama leluasa mengintip."
"Ah kamu." Sebelum berlalu dari situ, kembali Farida melayangkan pandang ke arah bunga tadi. Barangkali pandangannya yang sekarang dengan yang tadi berbeda. Tapi ternyata sama saja. Malah bunga itu seolah balas memandangnya. Ada dua bercak merah kanan kiri yang tampak seperti sepasang mata. Farida terpesona. Dia memang telah menemukan sesuatu!
Ia mendekati Tommy, lalu menggandengnya.
"Mama mendapat ide bagus, Tom!" serunya. Wajahnya tegang.
"Oh ya?" Tommy tertegun, ikut-ikutan tegang.
"Ya. Mama sudah menemukan tempat mayat itu disimpan!" seru Farida antusias.
"Di mana, Ma?" tanya Tommy bingung.
"Di situ!" Farida menunjuk halaman sebelah. "Di bawah rumpun bunga tasbih itu!"
Tommy kaget. la membelalakkan matanya.
"Mayat siapa sih, Ma?"
"Mayat korban pembunuhan itu. Di situlah ia dikubur. Karena itu pohon yang ditanam di atasnya jadi merana. Bahkan ada yang bernoda darah. Noda darah itu pertanda kejahatan. Dia seolah memanggil-manggil. Di sini aku! Temukan aku!"
Tommy memandang cemas. Ibunya begitu bersemangat.
Baru beberapa saat kemudian Tommy sadar. Ia terbahak.
"Aduh, Mama! Bilang kek dari tadi bahwa itu cerita karangan Mama. Saya kira bener-beneran. Kelihatannya begitu sungguh-sungguh. Pinter betul Mama menakut-nakuti orang!"
Farida tersenyum juga. "Ya. Mama sendiri sampai merasa bener-beneran. Mama sering begitu kalau sedang menulis. Serasa Mama hidup di dalamnya dan mengalami sendiri. Ingat waktu Mama menulis Misteri Peti Mati" Nah, idenya timbul ketika Mama diajak seorang teman ke toko peti mati milik Koh A Siong. Salah satu peti begitu memukau perhatian Mama hingga Mama seperti kena sihir. Mama terus saja memelototi peti yang satu itu. Kenapa" Tiba-tiba saja Mama membayangkan ada mayat yang disembunyikan di sana. Memang peti mati itu tempat mayat, tapi mestinya kan ada di dalam tanah. Bukan di dalam toko."
Tommy menarik ibunya duduk di teras. Tasnya ia letakkan di lantai. Ia sangat tertarik pada cerita ibunya.
"Lho, kok di sini, Tom" Nggak mau makan dulu?"
"Entar aja ah. Cerita dulu, Ma. Terusin yang tadi dulu dong."
"Mama juga mau nulis. Nanti lupa lagi."
"Oh, Mama udah nulis" Banyak, Ma?"
"Lumayan. Empat puluh halaman."
"Wow! Mama udah lancar lagi sekarang, ya," uCap Tommy sambil menggosok-gosok kedua tangannya. "Ceritanya tentang Oom sebelah itu, Ma?"
Farida tertawa. "Ah kamu. Bukan tentang dia. Tapi mengambil kisahnya sebagai pangkal ceritanya. Terusnya kan lain. Mama ngarang sendiri. Kebetulan Mama lagi mikirin di mana tempat mayat disimpan. Itu masalah penting buat pembunuh, Tom. Membunuh sih mungkin gampang, tapi menyembunyikan mayatnya itu yang sulit. Apalagi kalau maksudnya juga untuk menghilangkan jejak. Pikir aja, Tom. Mayat itu walaupun sudah patut digolongkan sebagai benda, tapi masih bisa bicara banyak. Tentunya lewat pemeriksaan macam-macam. itu sebabnya pembunuh selalu kebingungan bagaimana menyembunyikan mayat korbannya."
"Mama juga ikut-ikut bingung."
"Habis pembunuhnya kan ciptaan Mama."
Tommy menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mama kok terus-terusan menciptakan pembunuh."
Farida tertawa. "Lebih baik bohong-bohongan daripada bener-beneran, Tom."
"Eh, terusin yang tadi dong, Ma. Peti mati itu. Waktu Mama bengong memandangi salah satu peti; apa ada yang lihat dan merasa heran?"
"Tentu saja ada. Soalnya waktu itu Mama diajak bicara tapi nggak dengar. Mata Mama kesana terus. Teman Mama mengira Mama kemasukan. Dia sudah ketakutan. Lalu dia mencubit Mama. Tentu saja Mama menjerit keras-keras. Cubitannya bukan main sih. Sakit banget. Tapi gara-gara jeritan Mama itu orang-orang yang ada di situ pada melompat saking kaget. Bahkan ada yang langsung lari ke luar."
Tommy terbahak-bahak. "Kok dulu Mama nggak cerita?"
"Mama takut Papa nggak senang. Soalnya, Mama nggak bilang bilang mau pergi ke situ."
"Emangnya nggak boleh, Ma?"
"Bukannya nggak boleh. Tapi Papa orangnya suka mengkhawatirkan macam-macam."
Mengherankan bagaimana Gunawan bisa bersikap terlalu melindungi dan terlalu mengkhawatirkan dirinya padahal ia juga melakukan hal yang sama kepada Ines, pikir Farida. Tapi sesungguhnya ia juga tidak tahu paSti apakah Gunawan memang melakukan hal itu kepada Ines.
Tommy tidak menyadari ke mana arah pikiran ibunya.
"Apakah waktu itu Mama tidak minta kepada pemilik toko supaya peti mati itu dibuka saja?"
"Lho, buat apa?"
"Buat membuktikan, betul nggak ada mayat di dalamnya."
Farida tertawa geli. "Mana mungkin Mama berbuat begitu, Tom. itu kan cuma khayalan. Kalaupun Mama minta mana mau dia mengabulkan. Bisa jadi dia menganggap Mama kurang waras."
"Sayang sekali."
"Yuk ah, kita makan dulu" Mama sudah lapar sekali." "


Misteri Bunga Tasbih Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba saja mata Tommy bergulir ke arah lain. Lurus ke arah jalan. Farida mengikuti arah pandangnya. Di depan rumah berhenti sebuah Daihatsu yang beroperasi sebagai kendaraan umum. Lalu seorang gadis berseragam putih abu abu turun. Sonia. Pandang gadis itu segera tertuju kepada mereka karena sikap tubuhnya berhadapan.
Spontan Tommy mengangkat tangannya. "Hai, baru pulang?" teriaknya.
Malu-malu Sonia mengangkat juga tangannya sambil mengangguk. Dan Farida pun ikut melambaikan tangan.
"Manis ya, Ma, senyumnya itu," kata Tommy.
"Ya. Manis memang. Tapi perut kita perlu diisi, Tom."
Tommy tertawa lalu bangkit dan menggandeng lengan ibunya. Sentuhan yang membahagiakan. Tapi bagi Farida kini, sentuhan itu benar-benar berasal dari Tommy, putranya. Bukan Tommy pengganti Gunawan. Sesuatu yang dulu terasa susah dan perlu dipaksakan kini terjadi dengan sendirinya.
Di tengah acara makan bersama tiba-tiba Tommy ingat.
"Apakah Mama sudah memeriksa tas Papa?"
"Sudah," jawab Farida acuh. .
"Ada apanya, Ma?" tanya Tommy dengan tatap selidik.
"Nggak ada apa-apanya. Oh, tentu saja ada isinya. Tapi semua bukan urusan kita."
"Betul?" Tommy kurang percaya.
"Eh, sebenarnya ada."
Tommy memandang tegang. "Ada surat perjanjian utang dari Oom Rusman. Dia berutang pada Papa sebesar satu juta. Surat itu sudah Mama sisihkan. Suatu waktu akan Mama tagih. Kita juga memerlukan uang, bukan?"
Tommy kelihatan kurang puas. Tapi ia tidak bertanya-tanya lagi. Sikapnya itu tidak lepas dari pengamatan Farida. Ia berpikir, apa sebenarnya yang jadi perkiraan Tommy ketika bermaksud menggeledah tas itu" Adakah sesuatu yang ia harapkan" Bila memang iya, kecurigaan apa yang ada dalam benaknya"
Lantas pikiran lain lagi muncul. Mungkinkah Tommy sebenarnya juga sudah tahu, seperti Ratih dan seperti orang-orang lain" Dan karena Sudah tahu maka Tommy ingin agar ia tahu juga dengan cara menemukan sendiri" Tapi tak mungkin ia menanyakannya kepada Tommy. Bagaimana kalau sesungguhnya Tommy tidak tahu" Dengan menanyakan hal-hal seperti itu akan sama saja dengan memberi tahu. Tommy tentu akan balik bertanya. Dia tahu betul sifat dan kebiasaan Tommy. Jadi kalau Tommy tidak tahu, biarlah dia tetap tidak tahu. Mungkin memang benar seperti kata Ratih, ada orang yang bahagia karena tidak tahu.
Tapi bila Tommy memang sudah tahu, dan
berharap agar ia tahu juga, biarlah Tommy mengutarakannya. Dia sudah menyediakan jawaban. "
Farida menatap Tommy dan berharap tatapannya mengandung arti yang dapat dipahami Tommy. Anak itu sedang mengunyah dengan lahap. Lalu pandang mereka beradu tapi dengan cepat Tommy mengalihkan pandangnya lagi. Terlalu cepat. Dia seperti menyembunyikan sesuatu, pikir Farida. Tapi tentu saja ia tak bisa membuktikannya. Di depannya terlihat wajah tak berdosa.
"Saya pulang hari Senin, Ma," kata Tommy di sela-sela mengunyah.
"Oh ya" Ada apa?"
"Senin libur, Ma. Lupa?"
Pandang Farida tertuju ke kalender di dinding. "Oh iya. Mama sering kali melupakan hari. Oh. senang sekali kau bisa libur lebih lama. Untung sekali liburnya nggak jatuh hari Minggu. Mama bisa rugi."
Tommy tersenyum. Farida juga. Tak ada cerita yang terungkap perihal ayah dan suami. Mungkin yang demikian itu memang lebih baik.
*** FARIDA terus mengetik sementara Tommy membaca halaman demi halaman hasil karangannya yang tersimpan dalam map. Setelah yang di map selesai dibaca. Tommy mulai memburu hasil ketikan Farida. Penasaran. katanya. Bahkan dia mulai mengintip-ngintip kertas yang masih berada di mesin tik untuk memburu kalimat demi kalimat yang terbentuk.
Akhirnya Farida merasa terganggu. Ia berhenti mengetik.
"Ah, terusin dong, Ma."
"Nanti kepalamu kena sikut."
"Biarin." "Sudah ah. Mama mau istirahat. Capek."
"Baru lima halaman masa udah capek, Ma."
"Kamu belum kasih komentar "
"Bagus, Ma. Kalau nggak masa saya begini penasaran. Wah, gimana kalau Oom Irawan baca, ya. Dia pasti tahu dirinya dijadikan bahan cerita. Dan dia akan kaget karena dituduh membunuh."
"Inikah perkiraanmu, Tom" Mama kan nggak menuduh."
"Biarin aja kalau dia nyangka macam-macam."
"Dia akan mengerti. Mama yakin akan hal itu ' "Bagaimana kalau dugaan Mama keliru?" "Nggak apa-apa, kan?"
"Kalau dia marah dan membenci Mama?"
"Biar saja. Mama tidak merugikan dia?"
"Katanya orang fanatik bisa macam-macam. Ma."
"Siapa bilang."
"Ada yang bilang."
"Ah kamu." Tapi pikiran Farida melayang juga kepada Irawan. Terutama pada perjumpaan mereka tadi pagi. Ada sesuatu dalam sorot mata Irawan. Sesuatu yang bisa dipahami tanpa memerlukan dialog. Namun ia tak berani menceritakannya kepada Tommy. .
"Menurut saya sih, Mama sebaiknya jangan meminjam bukunya lagi," kata Tommy, tiba-tiba serius.
Farida terkejut. Dia serasa melihat Gunawan di depannya. Sesaat ada rasa kurang senang.
"Memangnya kenapa, Tom?"
"Nanti dia jadi besar kepala."
"Ah masa. Bukankah dia yang memaksa Mama meminjam bukunya?"
"Ya. Karena dia ada maunya. Lihat aja cara dia memandang Mama. Dia kepingin dekat sama Mama!"
Lagi-lagi Farida kaget. Memang dulu Tommy sudah pernah mengutarakan hal yang sama. Tapi ia tak menyangka bahwa Tommy masih mengingatnya. Suatu pertanda kedewasaan" Atau Tommy memang sangat memperhatikannya"
"Jangan khawatir, Tom. Mama bisa menjaga diri. Semuanya kan tergantung sama Mama juga."
Tapi di wajah Tommy, Farida melihat ketidakpercayaan.
"Saya takut Mama diapa-apain."
Mula-mula Farida merasa geli. Dia merasa diperlakukan seperti anak kecil. Tapi keseriusan Tommy jadi mengkhawatirkan dirinya juga. Kenapa semakin dewasa Tommy jadi semakin mirip ayahnya" Suatu peniruan semata atau kecenderungan yang menurun" Di mata Farida, justru Tommy yang perlu dikhawatirkan. Bukan Irawan. Mungkin suatu waktu dia perlu membicarakannya dengan Ratih.
"Ah, Mama tahu deh. Mungkin kau terlalu terpengaruh oleh cerita yang Mama karang ini. Ingatlah. Tokoh dalam cerita ini bukan Oom Irawan. Jangan salah, Tom."
"Barangkali sebaiknya saya pindah ke sini aja. Ma. Di sini juga banyak SMA yang bagus."
Farida terkejut. "Jangan, Tom. Kau terlalu khawatir. Nggak perlu sampai begitu. Kan sayang tinggal beberapa bulan lagi sekolahmu habis. Itu namanya berkorban untuk sesuatu yang tidak perlu. Lain halnya kalau kau memang nggak betah lagi di sana."
"Kalau saya di sini dia nggak berani macam macam."
"Tommy. Tommy," ucap Farida sambil geleng-geleng kepala. "Justru kamu yang berprasangka macam-macam. Ingatlah, Mama bukan anak kecil lagi. Sudahlah. Sebaiknya kau jangan baca lagi cerita Mama sebelum selesai. Kau sudah terpengaruh."
Tommy cemberut. Farida pun kesal. Suasana menjadi keruh.
Saat itu kedengaran pintu pagar dibuka orang. Ada langkah-langkah kaki di kerikil. Lalu Suara wanita yang nyaring dan ceria.
"Punten!" "Mangga!" sahut Farida.
Tommy melompat bangun. Dengan segera rona mukanya berubah. Di depan berdiri Sonia dengan seorang gadis lain. Mereka tersenyum malu-malu. Maksud kedatangan mereka adalah untuk mengajak Tommy ikut piknik bersama muda-mudi seerte-erwe ke Cibodas besok pagi.
"Sekalian pada kenalan. Supaya remaja di sini pada kompak." kata Sonia lancar.
Tommy berpikir dulu. Pengaruh suasana tadi membuat ia kehilangan gairah. Farida tak mengatakan apa-apa meskipun dalam hati menganjurkan agar Tommy ikut. Keputusan sepenuhnya ada pada Tommy sendiri.
"Rupanya kamu ogah ngaku orang Bogor," goda Sonia melihat keraguan Tommy.
"Bukan gitu. Tapi saya lagi males. Apalagi nggak pada kenal. Kayaknya canggung kali."
"Kan sama saya udah kenal. Dan sama Dina juga udah kenal," kata Sonia sambil menunjuk
temannya. "Justru tujuan kita untuk kenal-kenalan."
"Gini aja deh. Entar saya kabarin ke rumahmu, jadi apa nggak," Tommy memutuskan.
"Oke. Kalau jadi sekalian aja bawa duit sepuluh ribu buat ongkos segala macam."
Mereka pamitan. Tommy mengantarkan sampai pintu pagar sedang Farida berdiri di teras sambil memandangi. Anak sekarang gampang sekali berkenalan, pikirnya.
"Katanya senang sama Sonia, tapi diajak piknik kok malah ragu-ragu," katanya setelah Tommy masuk. "Memangnya kamu masih kesal?"
"Kesal kenapa, Ma?" tanya Tommy heran.
"Lho, tadi kan kita berselisih paham. Lupa?"
"Oh itu," Tommy mengangkat bahu. "Udah nggak ada persoalan kok."
"Nggak ada?" "Ya. Tapi... saya boleh baca lagi cerita Mama dong."
Farida tersenyum. "Tentu saja boleh. Tapi ingat. Itu cuma cerita."
Tommy juga tersenyum. "Lantas kenapa kau ragu-ragu waktu diajak Sonia tadi?" tanya Farida lagi.
"Oh... itu cuma taktik, Ma."
"Taktik?" "Ya. Supaya saya bisa ke rumahnya nanti. Kan bisa ngobrol."
"Lho apa waktu dia ke sini tadi nggak bisa?"
"Dia bawa teman sih."
"Sama saja. Di rumahnya juga ada ibunya."
"Tapi ibunya pasti nggak nempel terus-terusan."
Farida tertawa. "Jadi sebetulnya kau mau ikut piknik?"
"Mau dong." "Syukurlah. Mama kira alasan yang kauberikan pada Sonia tadi bener-beneran."
Tommy terbahak. "Kamu sudah pinter sekarang, ya Tom. Asal nanti jangan ngibuli Mama seperti..."
"Seperti siapa, Ma?"
"Ah, nggak." Farida gugup sebentar lalu memalingkan muka. Ia melihat Tommy memandang tajam padanya. Lagi-lagi kritis. Ia yakin Tommy akan mendesaknya lagi dengan pertanyaan. Tapi ternyata tidak.
Ketika Tommy pergi ke rumah seberang, Farida punya kesempatan untuk merenungkan kembali selisih pahamnya dengan Tommy tadi. Dia memang ingin merenungkannya. Sesuatu yang disadarinya sebagai perbedaan antara dirinya dengan Tommy. Bagi Tommy tak ada perenungan kembali betapapun serius dia menilai suatu masalah. Kalau sudah lewat ya sudah. Pikirannya dengan cepat beralih kepada hal lain. Begitu serius mereka berdua membicarakan suatu masalah, bahkan sampai bertengkar. Tapi saat ia masih saja memikirkan hal yang sama ternyata Tommy sudah memikirkan hal yang lain. Perhatiannya cepat beralih. Emosinya cepat larut. Faktor usia"
Tapi Farida merasa jauh lebih akrab dengan Tommy dibanding dulu, saat Gunawan masih ada. Dan karena itu ia pun lebih mampu memahami dan mengenal Tommy. Perubahan demi perubahan dan selangkah demi selangkah perkembangan pribadi Tommy mampu dia ikuti.
Namun dirinya sendiri juga berubah dan berkembang. Itu terasa olehnya. Dulu ia akan menilai sikap Tommy yang terlalu mengkhawatirkan dirinya itu sebagai sesuatu yang menyenangkan. Bahkan sesuatu yang didambakan. Tapi sekarang ia merasakannya sebagai kekangan!
Hari Minggu esoknya Farida menyibukkan dirinya dengan melanjutkan karangannya. Rumah sepi tanpa Tommy menimbulkan suasana seperti hari kerja. Tapi dia senang karena Tommy berada di tengah lingkungannya yang seharusnya. Tommy tak boleh kehilangan keremajaan dan keceriaannya hanya karena mulai serius.
Dia melihat sendiri betapa cerianya Tommy saat berkumpul di rumah seberang bersama dengan kelompok usianya. Mereka semua tampak ceria dan jelas hanya mempunyai satu keinginan yaitu sungguh-sungguh menikmati saat itu. Dan mereka pasti berhasil karena tak memikirkan masa yang akan datang, termasuk besok dan saat-saat sesudah piknik berakhir. Yang demikian adalah urusan nanti. Masa bodoh dengan nanti. Yang
penting adalah sekarang. Ketika ia asyik mengetik, Bi Icah datang memberi tahu.
"Bu, ada tamu. Katanya mah mau ke rumah sebelah, mau ketemu sama Pak Irawan. Tapi kayaknya nggak ada orangnya. Jadi mau titip pesan aja sama Ibu."
Farida bergegas keluar. Dia melihat seorang bapak dan seorang ibu setengah baya berdiri bingung di luar pagar.
"Suruh masuk aja, Bi. Nggak enak ngomong di luar," kata Farida dengan niat baik terhadap Irawan. Barangkali tamu itu kerabat Irawan yang datang dari jauh.
Mereka disilahkan duduk di teras.
Kedua tamu memperkenalkan diri sebagai Bapak dan Ibu Hermansyah, berasal dari Banjarmasin. Logat kedaerahan mereka kedengaran sangat kental hingga sering kali Farida mesti berpikir dulu sebelum dapat memahami.
"Kami adalah paman dan bibi Salmah, istrinya Irawan, eh bekas istrinya. Maksudnya mau menanyakan apa barangkali Irawan sudah menemukan di mana Salmah tinggal sekarang, Bu," Pak Hermansyah menjelaskan.
"Wah, sayang sekali. Saya tidak tahu, Pak. Pak lrawan sekarang sedang pergi ke Medan. Pulangnya kalau tidak Senin, tentu Selasa. Jadi minggu depan saja kembali lagi, Pak."
Pak Hermansyah menggelengkan kepala. "Kami datang dari jauh, Bu. Banjar kan jauh."
. "Lantas dari sini apa mau terus pulang, Pak?" tanya Farida iba.
"Ke jakarta dulu, Bu. Di sana ada keluarga. Kami nginap di sana."
Baru Farida merasa lega. Ia tak sampai hati melihat keluguan kedua orang itu.
Bi Icah membawakan minuman yang diteguk mereka dengan nikmat.
"jadi belum ketemu juga Bu Salmah itu, ya Pak?" tanya Farida.
"Belum. Heran di mana sembunyinya dia. Yah, kalau memang sudah dicerai sih tak usah takut lagi mestinya. Irawan sendiri bilang, dia sudah tidak dendam."
"Maklum. Kalau orang bikin dosa suka ketakutan sendiri," Bu Hermansyah ikut bicara.
"Saya pernah dengar, Bu Salmah ada di Salatiga," kata Farida.
"Oh, itu dulu. Dia kirim surat dari sana. Irawan juga memperlihatkan surat itu. Tapi surat itu tidak ada alamatnya."
Farida bengong sebentar. "Habis ke mana Pak Irawan mengirimkan surat cerai yang diminta?"
"Alamatnya pakai kotak pos."
"Tidak ditanyakan ke kantor pos?"
"Kata Irawan sudah, tapi alamat yang diberikan ternyata palsu. Tidak ada yang namanya Salmah di situ."
"Wah, susah juga ya. jadi Pak Irawan belum pernah ketemu lagi sama Bu Salmah?"
"Belum." Kalau begitu cerita Bu Nurlaila agak lain, pikir Farida. Mungkin juga sudah ditambah-tambah atau diubah sendiri.
"Mungkinkah Bu Salmah itu... takut pada Pak Irawan?" tanya Farida ragu-ragu. Ia merasa pertanyaannya itu terlalu menyinggung masalah pribadi orang lain, tapi ia sangat ingin tahu. Dan bertanya sekarang adalah saat yang paling tepat. Kapan lagi ia bisa bertemu dengan orang-orang seperti Bapak dan Ibu Hermansyah" Bertanya kepada Irawan sendiri sudah jelas tak mungkin. Padahal dengan memperoleh informasi yang mungkin bisa diperolehnya itu ia bisa tahu lebih banyak tentang pribadi Irawan. Sekarang ia menganggap hal itu penting. Semakin akrab hubungannya dengan Irawan semakin penting.
Bapak dan Ibu Hermansyah saling berpandangan. Mereka sepertinya menanyakan pendapat masing-masing. Akhirnya keduanya menggelengkan kepala.
"Kalau soal itu kami tidak tahu, Bu," jawab Bu Hermansyah. "Kami jarang ketemu. Maklum jauh. Paling-paling setahun sekali kalau Lebaran. Dia pun tidak suka bercerita banyak tentang hubungannya sama Irawan."
"Tidak suka mengeluh atau mengadu, barangkali pernah diapa-apakan?"
"Tidak. Dia cuma mengeluh karena tidak punya anak. Kasihan."
"Sudah berapa lama mereka kawin?"
Bu Hermansyah menghitung-hitung. "Barangkali ada lima belas tahun."
"Tidak pernah berobat?"
"Oh, sudah sering. Ke dokter. Ke dukun. Tidak tahu siapa yang mandul. Dia tidak pernah cerita tentang sebabnya. Akhirnya ya pasrah saja. Habis sudah nasibnya begitu."
"Kalau pulang ke kampung itu apa Bu Salmah sama-sama suaminya?"
"Oh iya. Mereka selalu datang berdua."
"Kelihatannya cukup akrab?"
"Kelihatannya sih begitu."
"Tidak pernah kelihatan bertengkar?"
"Kami sih belum pernah lihat. Tapi tidak tahu ya kalau di rumah. Mana sih ada suami istri yang tidak pernah bertengkar."
"Betul, Bu. Jadi hubungan mereka berdua bisa dikata cukup baik, bukan" Tentu Bu Salmah tidak pernah ngomong soal kepingin cerai?"
"Wah, tidak." "Bu Salmah juga tidak pernah cerita tentang hubungannya dengan orang lain, maksud saya laki-laki lain?"
Pak Hermansyah mengerutkan kening. Farida menyadari, dia terlalu banyak bertanya.
Tapi Bu Hermansyah tidak keberatan menjawab, "Sama sekali tidak, Bu. Makanya saya tidak sangka dia kok bisa begitu. Maksud saya, dia orangnya penurut. Dia sama sekali bukan perempuan nakal, tapi kenapa bisa begitu."
Bu Hermansyah menyusut matanya. Kelihatan merah.
Farida memandang iba. "Ibu sayang kepadanya, bukan?"
"Ya. Dia seperti anak bagi kami. Orang tuanya Sudah meninggal sejak ia masih kecil. Kami yang mengasuhnya."
"Jadi Ibu ingin sekali berjumpa dengannya."
"Ya. Kami ingin sekali tahu kenapa dia berbuat begitu."
"Saya juga ingin memarahinya kalau ketemu," Pak Hermansyah bicara dengan nada emosi. "Saya pikir, itu perbuatan hina. Dia sudah memalukan keluarga. Memang tidak mengherankan kenapa dia sembunyi. Tentu saja dia takut karena sadar perbuatannya itu tidak pantas! Saya juga kalau jadi suaminya pasti susah memaafkan. Entah sudah saya apakan dia."
Farida merasa ngeri melihat kemarahan yang tampak di wajah Pak Hermansyah. Dia membayangkan seperti apa marahnya Irawan ketika itu.
"Menurut saya, suatu saat dia pasti akan datang juga untuk menemui Bapak dan Ibu. Orang tak mungkin sembunyi terus. Pasti dia akan merindukan keluarga," hibur Farida.
Bu Hermansyah menyusut matanya lagi.
"Apakah Ibu mempunyai foto Bu Salmah" Kalau boleh, saya ingin lihat."
Segera Farida menyadari, dia sudah melakukan kesalahan. Kedua orang di depannya memandangnya dengan keheranan.
"Apa Ibu belum tahu rupanya?" tanya Pak Hermansyah.
"Belum," Farida terpaksa berterus terang. "Saya belum lama tinggal di sini. Tapi saya sudah tahu kisahnya dari warga sekitar. Juga dari Pak Irawan sendiri. Saya kenal dia cukup baik. Dan saya merasa simpati kepada Bapak dan Ibu. Kalau bisa saya ingin sekali menolong."
Kedua orang tua itu merasa tersentuh.
"Ya. Ibu bertanya-tanya tentang Salmah sepertinya mengenal dia dengan baik," kata Pak Hermansyah.
Farida tersipu. Tapi ia mengakui kebenaran ucapan itu. Sepertinya dia memang mengenal Salmah dengan baik! Sungguh-sungguh mengenalnya seakan dia adalah sahabat dengan siapa mereka sering kali saling mengadukan nasib. Seperti halnya dia dengan Ratih. Kenapa bisa begitu"
Bu Hermansyah mengeluarkan dompet dari dalam tasnya.
"Saya memang selalu membawa-bawa potretnya sejak dia dikabarkan hilang. Saya pikir, siapa tahu saya bisa bertanya-tanya pada orang yang saya jumpai kalau-kalau dia pernah melihatnya. Nah, ini dia. Potretnya sudah lama. Dia masih muda di situ."
Farida memandangi potret ukuran tiga kali empat itu dengan saksama. Lalu dia tercengang.
Dan ditatapnya potret itu penuh pesona. Sesuatu yang aneh serasa menyelubungi dirinya. Salmah memiliki wajah yang manis dipandang, matanya agak sipit, rambut lurus agak panjang, dan lehernya jenjang. Kedua matanya itu seperti membalas pandangan Farida. Tapi bukan itu yang membuatnya terpesona. Memang itu merupakan potret seseorang yang belum pernah dikenalnya. Namun dia mengenalnya! Seperti itulah gambaran tokoh dalam ceritanya, yaitu si istri yang hilang! Seraut wajah dalam angan-angan. Dan seraut wajah yang nyata. Keduanya sama!
Saat itu juga ia menyadari kenapa ia serasa mengenal Salmah dengan baik. Ia telah menghidupkan Salmah dalam angan-angan dan dalam karangannya!
"Bu! Bu! Kenapa, Bu?"
Pak dan Bu Hermansyah memperhatikan Farida dengan cemas.
"Oh... saya... saya serasa mengenalnya. Tapi rupanya tidak. Saya cuma setengah mengenalnya," jawab Farida kemalu-maluan.
Kedua orang tua itu tidak mengerti. Tapi mereka tidak bertanya.
Foto tadi disimpan kembali oleh Bu Hermansyah dengan cermat. Kelihatan bahwa dia memang menyayangi.
"Nanti bila Pak Irawan pulang akan saya tanyakan kepadanya. Bila memang sudah ada kabar. biarlah saya yang mengabari. Bisa saya minta alamatnya?" Farida menawarkan jasa baiknya.
Dengan senang hati mereka meluluskan permintaan itu. Meskipun tidak berhasil memperoleh apa yang diharapkan toh apa yang dialami cukup menyenangkan. Ada orang yang mau membantu.
Karena itu dengan senang hati pula mereka menjawab segala pertanyaan Farida tentang Salmah. Masa kecilnya, perkenalannya dengan Irawan, dan kemudian pernikahannya.
"Jadi pernikahan mereka direstui keluarga?"
"Ya. Kami suka sama Irawan. Orangnya baik. Salmah mestinya beruntung mendapat suami seperti itu?"
"Mereka kawin tentu karena suka sama suka, ya Bu?"
"Oh iya." Hari semakin siang. Farida mengajak kedua tamunya makan bersama. Dan setelah mereka berlalu, ia pun duduk termangu. Pengalamannya tadi terlalu mencengangkan.
Tak lama-lama ia seperti itu. Bagai tercambuk ia melompat lalu kembali ke depan mesin tiknya. Semangatnya menggebu. Bila Tommy pulang sore nanti ia akan menemukan lembaran-lembaran baru. Ah, sampai mana pula ceritanya itu" Oh ya, tentang sepetak tanah dengan barisan pohon bunga tasbih di atasnya. Tanah itu akan digali...
*** MENJELANG pukul lima sore Farida sudah berada di halaman untuk menunggu Tommy pulang. Dia sudah capek mengetik terus.
Setelah mondar-mandir menghirup hawa segar ia melangkah ke tembok batas yang bersebelahan dengan rumah Irawan. Kembali ia melayangkan pandang ke baliknya.
Pohon-pohon bunga tasbih di sana masih saja seperti itu. Tak berubah. Masih sama seperti saat ia melihatnya pertama kali. Ia mencari-cari pohon yang bunganya istimewa itu. Putih dengan bercak merah. Memang masih ada. Tapi bunganya sudah menguncup. Tak kelihatan lagi bercak merahnya. Sedang bunga yang baru mekar tak ada. Dari sekelompok pohon itu tampaknya tak ada lagi yang serupa dengan pohon yang satu itu. Semua berbunga biasa saja.
Ia merasa penasaran. Semakin dipandangi semakin penasaran. Ia ingin melihatnya dari dekat. Ia ingin mengamati dan membuktikan bahwa penglihatannya tidak salah. Suatu rasa penasaran yang membangkitkan kenekatan.
Lalu ia melihat Bu Nur sedang menyeberang.
Buru-buru ia menjauh dari tembok dan berjalan menuju pagar. Biasanya Bu Nur senang mengobrol di situ.
"Kita sama-sama nunggu anak-anak pulang, Bu Ida," demikian Bu Nur menyapa lebih dulu.
"Ya. Benar, Bu. Sudah sore belum pulang, ya. Padahal Cibodas kan dekat."
"Sudahlah. Nggak usah dipikirin. Bu. Mereka sudah gede-gede kok. Kalau anak terlalu dikhawatirkan bisa jadi manja lho."
'Iya!! "Kemarin katanya Tommy ragu-ragu apa mau ikut atau nggak. Mungkin dia takut Ibu tidak mengizinkan."
"Ah, nggak kok."
"Anak lelaki mah dilepas aja, Bu. Biar berani. Biar bergaul."
Iya.,, "Apa Ibu mencemaskan pergaulannya dengan anak-anak di sini?"
"Ah, nggak kok," sahut Farida menahan jengkel.
"Anak-anak di sini baik-baik. Saya tahu betul. Nggak kayak di Jakarta. Banyak remaja brengsek. Pergaulan bebas, minum-minum, morfinis.?"
"Iya." "Karena itu saya nggak cemas sama pergaulan Sonia di sini. Lain halnya kalau di jakarta. Wah, ngeri...."
"Tapi menjaga anak perempuan harus lebih hati-hati. Bu."
"Wah, mana bisa begitu. Bu. Zaman sekarang baik anak perempuan maupun anak lelaki sama susahnya. Sama bahayanya. Siapa bilang menjaga anak perempuan lebih susah" Ngak bisa. Coba pikir. Anak lelaki lebih banyak yang suka teler, jadi morfinis, berandalan. Dan soal seks" Siapa bilang aman" Celaka kalau dia jadi homo!" Bu Nur nyerocos dengan penasaran.
Farida bengong sebentar. "Ya, ya. Ibu betul," sahutnya untuk menghindari debat berkepanjangan.
Tanpa mendapat tanggapan, semangat Bu Nur pun menyurut.
"Katanya, Ibu sudah mulai menulis."
"Kata siapa, Bu?"
"Tommy." "Oh, saya pikir Ibu bisa mendengar bunyi mesin tik saya," kata Farida sambil berpikir apa pula yang dikatakan Tommy kepada Bu Nur.
"Wah, nggak kedengaran apa-apa kok. Lantas ceritanya apa, BU?"
"Nanti saja dibaca sendiri kalau sudah jadi, Bu. Kalau belum selesai, apalagi kalau masih jauh, pantang dibicarakan."
"Oh, jadi pakai pantangan segala" Pantas si Tommy juga nggak mau bilang-bilang. Jawabannya sama Seperti jawaban Ibu."
Farida tersenyum senang. Tommy tidak menyalahi janji.
Hati Budha Tangan Berbisa 5 Dewi Ular 41 Terjebak Bencana Gaib Komplotan Penculik 1

Cari Blog Ini