Ceritasilat Novel Online

Misteri Bunga Tasbih 2

Misteri Bunga Tasbih Karya V Lestari Bagian 2


"Ngomong-ngomong, Pak Irawan itu pergi, ya?" tanva Bu Nur.
"Iya. Katanya, ke Medan."
"Oh, dia memberi tahu Ibu?"
"Kemarin pagi saya ketemu dia di jalan. Dia mau berangkat."
"Katanya, dia sangat menyukai buku Ibu."
Bu Nur mau memancing, pikir Farida.
"Ya. Katanya begitu," sahutnya.
"Oh, hampir lupa. Tadi siang saya melihat ada dua orang tua datang ke sini. Kalau nggak salah mereka..."
"Bapak dan Ibu Hermansyah dari Banjarmasin. Mereka orang tua asuh Bu Salmah."
"Oh ya. Benar. Saya ingat sekarang. Mereka dulu pernah kemari waktu Bu Salmah masih ada. Tapi sudah lama sekali. Ngapain mereka datang" Sudah ada kabar tentang Bu Salmah?"
"Justru mereka ingin menanyakan kepada Pak Irawan. Tapi Pak Irawan tidak ada. Kasihan. jauh-jauh datang tanpa hasil. Kelihatannya mereka sayang pada Bu Salmah."
"Oh, mereka bilang begitu?"
"Kelihatannya..."
"Jangan terlalu cepat bikin kesimpulan, Bu. Belum tentu mereka bener-bener sayang."
Farida memandang heran. "Bu Salmah itu mendapat cukup banyak harta warisan dari orang tua kandungnya. Ada tanah
kebun dan sawah yang luas. Semua untuk dia sendiri karena dia tak punya saudara. Waktu dia masih kecil semua harta itu dikuasai orang tua asuhnya itu. Sesudah dewasa dan menikah harta
itu masih dikelola oleh mereka. Dan Bu Salmah mendapat pembagian hasil."
Baru sekarang Farida merasa tertarik. Tak disangkanya bahwa Bu Nur masih menyimpan infomasi yang belum diketahuinya.
"Ibu mendengarnya sendiri dari Bu Salmah atau dari Pak Irawan?"
"Oh, dari Bu Salmah dong. Pak Irawan nggak pernah ngomong soal begituan."
"Tapi kalau dipikir, kedua orang tua itu sungguh beritikad baik," kata Farida yakin. "Kalau nggak. masa jauh-jauh mencari?"
"Mestinya mereka malah senang kalau Bu Salmah nggak muncul. Kan hasilnya bisa dimakan sendiri."
Dugaan itu terlalu kejam, pikir Farida. "Kalau memang benar begitu, buat apa mereka ke sini?"
"Sekadar ingin tahu."
"Ah, masa. Tapi, kalau memang Bu Salmah masih memiliki harta, pada suatu saat pasti dia akan muncul. Ada kalanya orang mengalami kesulitan uang, bukan?"
"Bu Ida bener. Apalagi kalau suaminya yang baru itu mata duitan. Kita tunggu saja, Bu. Nanti juga dia muncul."
Farida tertawa. "Kalaupun dia muncul pasti nggak di sini, Bu. Tapi di sana. Di Banjarmasin!"
Bu Nur juga tertawa. Enaknya menertawakan orang lain, pikir Farida. Tapi betapa pahit bagi yang bersangkutan.
Lalu mereka mengobrol tentang bermacam
macam hal, terutama tentang para tetangga. Bu Nur punya pengetahuan luas tentang soal itu. Lewat ceritanyalah Farida jadi mengenal para tetangganya dengan baik, meskipun dia sendiri jarang bertemu apalagi berbincang-bincang dengan mereka. Ada tetangga yang katanya suka sekali membuat kue tapi tak pernah membagi kuenya kecuali asapnya yang harum saja. Tetangga lainnya sering berkelahi antara suami istri meributkan pepesan kosong. Cerita-cerita itu membuat Farida merasa seakan ia sudah lama tinggal di situ.
Tak terasa yang ditunggu pun muncul. Sebuah bis wisata berhenti di seberang, di depan rumah Bu Nur yang rupanya dijadikan pangkalan. Lalu isinya berlompatan keluar. Para remaja yang kelihatan lelah tapi tetap saja tertawa dan berceloteh dengan ribut.
Tommy muncul dari antara kerumunan. Dia bicara sebentar dengan Sonia lalu menyeberang. Dia berpapasan dengan Bu Nur yang juga akan pulang ke rumahnya menyambut putrinya.
"Hai, Ma!" "Hai, Tom! Senang pikniknya?"
"Senang, Ma. Nulisnya udah nambah, Ma?"
"Sudah." Tommy bergegas masuk mendahului ibunya. Farida tahu ke mana tuiuan Tommy. Pasti lembaran kertas hasil ketikannva tadi. Ia tidak menyusul. Langkahnya terhenti sebelum mencapai teras. Ia memandang ke samping, ke arah tembok. Lagi-lagi ke sana.
Sesaat ia berdiri saja sambil berpikir. Ditahannya keinginannya untuk kembali menjenguk lewat tembok. Apa-apaan, pikirnya. Sudah jelas pemandangannya tak berubah. Masih seperti tadi. Apa lagi yang mau dilihat" Ah, dia bukan sekadar ingin melihat. Ada yang diinginkannya.
Akhirnya dia terduduk di teras. Dia mempunyai rencana. Tapi untuk itu ia membutuhkan bantuan Tommy.
"Tapi itu namanya mencuri, Ma!" teriak Tommy kaget.
"Ah, nggak dong. Kan mama cuma mengambil sebatang pohon yang sudah sekarat. Itu nggak ada harganya," bantah Farida setelah meletakkan jarinya di mulut Tommy.
"Kalau begitu, minta saja terus terang sama Oom Irawan. Pasti dia kasih."
"Justru Mama nggak mau minta. Dia akan berpikir dan bertanya macam-macam. Dia akan merasa aneh lalu menaruh curiga. Coba pikir. Kalau Mama minta pohon yang bagus dan subur pasti akan dianggap wajar. Tapi yang ini" Alasan Mama pasti dianggap aneh dan tidak masuk akal. Dorongan naluri" Mau bereksperimen" Wah, mana dia percaya."
Tommy menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Bilang aja Mama ngenes melihat pohon sekarat itu. Lalu Mama mau mengirimnya ke ahli
pertanian. Di sini kan dekat IPB. Mau percaya atau nggak itu terserah dia."
"Tapi Mama bukan mau memeriksa saja, Tom. Mama mau menanamnya di kebun kita. Kembangnya unik."
"Bilang aja terus terang sama dia."
"Ah kamu. Sudahlah, kalau kamu nggak mau bantu biar Mama sendiri aja."
"Gimana kalau dilihat tetangga?"
"Malam dong. Kan gelap. Jam sepuluh juga sudah sepi."
"Kalau kepergok ronda malam?"
"Jangan sampai kepergok. Tempatnya cukup tersembunyi. Di depan pohon itu terdapat semak rimbun. Kalau berada di baliknya nggak akan kelihatan dari luar. Apalagi halamannya gelap. Oom Irawan lupa menyalakan lampu depan."
"Tapi saya tetap nggak setuju. Untuk barang begituan aja masa Mama mesti ambil risiko berbahaya. Kita bisa dituduh maling lho. Sudahlah, Ma. Tunggu yang punya saja dan minta sama dia. Biarpun Mama minta semuanya, satu petak itu, paSti dikasih. Malah dia akan senang."
"Itu berarti Mama harus menunggu sampai Selasa. Bunganya keburu luruh dan busuk. Tak bisa dilihat lagi. Sekarang saja sudah kuncup. Mama perlu juga memastikan apakah penglihatan Mama nggak salah. Apa betul bunga itu ada bercak merahnya?"
Tommy memandang ibunya dengan waswas. Dia merasa ibunya bersikap aneh. Dia pun
teringat akan cerita tentang peti mati itu. Itu membuatnya ngeri. Apa seorang pengarang memang harus mengalami macam-macam sebelum melahirkan karangannya"
Tapi Farida tidak membalas tatapan putranya. Ia juga tidak mempedulikan pendapat Tommy. Yang tengah dipikirkannya adalah rencananya. Itu sama sekali bukan pekerjaan susah. Dalam waktu beberapa menit saja pasti pohon itu sudah tercabut. Memasuki halaman sebelah pun tidak sulit. Dengan menaiki bangku di sisi tembok ia bisa naik ke atasnya lalu melompat. Sedang Tommy pasti bisa melompat tanpa bangku. Jadi Tommy bisa membantunya bila akan melompat kembali dari sana. Selanjutnya pohon itu akan ditanamnya di belakang rumah supaya tidak kelihatan oleh Irawan.
Tommy memperhatikan ibunya dengan leluasa. Ia melihat wajah yang kemerah-merahan oleh semangat dan ketegangan. Ia mengagumi. Sungguh manis, dinamis, dan segar. Ibunya sudah pulih sepenuhnya dari kesedihan dan rasa kehilangan. Semangat dan kegembiraan hidupnya sudah kembali. Dan yang penting, ibunya tidak cemas lagi kalau-kalau kehilangan kemampuan mengarang hingga tak bisa memperoleh nafkah dari situ. Kini, pekerjaan itu sudah memberinya kegembiraan lagi seperti dulu. Jadi, kenapa tidak dibantu"
"Saya mau membantu, Ma!" serunya.
Farida terkejut. Ia tertegun sebentar. Lalu Tommy mengulang kata-katanya.
"Mama percaya, kau pasti akan membantu."
kata Farida sambil tertawa girang. ...
Jam sebelas malam mereka sudah siap. Farida mengenakan celana panjang hitam dengan kaus warna gelap. Tommy juga berpenampilan serupa.
Akhirnya Tommy tertawa geli.
"Ma, kita kayak Ninja!" serunya.
"Ah kamu." Tak urung Farida tertawa juga oleh gurauan Tommy. Ketegangannya jadi lenyap sebagian.
"Senternya jangan lupa, Tom," katanya mengingatkan. .
Seperti yang sudah dibayangkannya, tidak ada kesulitan baginya untuk melompati tembok setelah menaiki bangku lebih dulu. Alat yang dibawanya adalah sekop dan garpu kebun kecil yang sama sekali tidak merepotkan. Sedang Tommy sudah melompat lebih dulu tanpa menginjak bangku. Sesudah ia berada di sisi satunya lagi ia membantu ibunya turun.
Dengan pandang ke arah pintu pagar, kalau kalau ada orang melintas di trotoar, mereka berlari menuju sasaran. Dari situ pandangan tidak terhalang.
Keduanya berjongkok. Tommy di belakang ibunya sambil mengarahkan senter. Lalu Farida mulai menggali tanah di sekitar pohon yang diincarnya. Ternyata tak semudah yang diduganya. Tanahnya agak keras.
"Biar saya aja yang gali, Ma," bisik Tommy.
Farida setuju. Mereka berganti posisi.
Tapi Tommy tidak sabaran. Tiap sebentar ia menggoyang-goyang pohon itu untuk mengetahui apakah sudah bisa dicabut.
"Hus. Kau bisa memutuskan semua akarnya," protes Farida.
"Habis, akarnya kok dalam amat sih. Sudah sebegini dalamnya masih nyangkut aja."
"Sini, biar Mama yang terusin."
Ternyata Farida harus mengakui pendapat Tommy. Akarnya keterlaluan dalamnya. Mengherankan untuk pohon yang merana. Tapi dengan gemas ia terus bekerja. Kadang-kadang ia menggunakan tangannya untuk menyingkirkan tanah ke pinggir. Tak terpikir lagi akan cacing yang kemungkinan terpegang.
"Jangan takut. Cacingnya sedang tidur," hibur Tommy.
Farida tak bisa tertawa. Sudah sekitar setengah meter ia membuat lubang, tapi akar-akar pohon itu masih melekat. Ia merasa sayang mencabutnya begitu saja.
"Udahan ah, Ma. Nggak enak rasanya. Tengkuk saya dingin," keluh Tommy. Tangannya yang memegang senter sedikit gemetar.
"Hus. Sebentar lagi, Tom."
Suara kentongan menghentikan gerakan tangan Farida.
"Matikan sentermu, Tom. Itu pasti ronda malam."
Mereka terbenam dalam kegelapan. Dan menunggu. Tommy memegangi kedua bahu Farida. Sesaat terpikir oleh Farida, bagaimana mungkin Tommy yang laki-laki dan berbadan besar itu bisa merasa takut. Tapi kemudian ia merasakan tangan Tommy yang dingin. Lalu dengan tiba-tiba ia juga merasa tidak enak. Ia pun merasa takut! Tapi mereka harus menunggu sampai ronda malam itu lewat.
Suara kentongan terdengar lebih keras. Kemudian mereka melihat cahaya senter bergerak-gerak mengarah ke halaman. Tommy memeluk ibunya lebih keras sambil menariknya ke tembok. Keduanya membentuk gundukan hitam. Untung semak di belakang Tommy memang rimbun hingga mampu menutupi. Cahaya senter tak bisa menembus.
Kerja ronda malam itu parut dipuji, pikir Farida. Irawan memang mengatakan padanya, bahwa ia sudah menitipkan rumahnya kepada Pak Ganda, si petugas ronda malam. Tapi ketelitian kerja Pak Ganda itu telah membuat mereka berdua menjadi tegang oleh kecemasan.
Cahaya senter menerangi segala sudut halaman dan rumah. Terasa begitu lama. Tubuh mereka berdua sudah pegal-pegal. Akhirnya Tommy
terduduk di tanah membawa serta Farida dalam
posisi yang sama. Duduk memang lebih enak daripada jongkok. Cuma sudah pasti celana mereka akan kotor.
Akhirnya cahaya lenyap. Kentongan terdengar menjauh.
Mereka bernapas lega. Sangat lega.
"Ayo, Ma. Cepetan. Cabut aja deh," desak Tommy. .
Kali ini Farida tak lagi membantah. la menarik pohon itu kuat-kuat dengan bantuan Tommy. Kedengaran bunyi akar-akar putus. Ia tak peduli lagi. Yang penting mereka bisa secepatnya berlalu sambil membawa pohon itu.
Setelah pohon tercabut sudah tentu lubang harus ditimbuni kembali. Farida merapikan tanah lalu memandangi sebentar. Kehilangan satu pohon dari barisannya tidak begitu kentara karena ia terletak di barisan belakang dekat tembok.
"Injak tanahnya keras-keras, Tom," perintah Farida.
Setelah selesai mereka segera berlari kembali menuju tempat semula. Tommy membantu Farida naik lalu dia menyusul.
Pohon itu dibawa Farida ke kebun belakang. Di sana ia sudah menyiapkan tempat. Tinggal memasukkannya lalu menguruknya kembali. Letaknya tersembunyi, samar di antara pepohonan lain. Kebun belakang yang tak seberapa luas dibanding halaman depan memang banyak ditumbuhi pepohonan liar. Kurang terurus dan jelas kurang
mendapat perhatian dari penghuni sebelumnya. Farida sendiri belum sempat menata tempat itu. Tapi dengan demikian Bi icah tidak akan menyadari kehadiran pohon baru yang muncul tiba-tiba dalam semalam.
"Terima kasih, Tom. Kau baik sekali mau
membantu," kata Farida sambil mengaduk coklat susu panas untuk mereka berdua.
"Tapi cukup sekali aja, ya Ma?"
"Kenapa?" "Ah, Mama kan nggak berniat ngambil yang lain lagi?" balas tanya Tommy dengan pandangan cemas.
"Nggak. Mama juga merasa ngeri tadi."
"Mama juga?" "Ya." Keduanya berpandangan. Tak ada senyum apalagi tawa di wajah keduanya.
"Heran ya. Jadi maling barang gituan aja rasanya kayak gitu. Hii..." Tommy mencoba bergurau. Tapi ternyata baik Farida maupun dia sendiri tidak tertawa. Sisa ketegangan yang tadi masih terasa mencekam.
Mereka menghirup minuman masing-masing dalam kesunyian. Lalu Farida melompat membuat Tommy terkejut.
"Mama lupa mau memetik bunganya. nanti keburu luruh," kata Farida sambil bergegas ke belakang.
Di atas meja dapur ia meletakkan bunga yang barusan dipetiknya. Kelopaknya yang sudah layu ia rentangkan.
"Lihat, Tom! Penglihatan Mama memang nggak salah, kan" Bercak-bercak itu memang ada. Ganjil, bukan" Seperti kecipratan..."
Farida menggosok pelan tapi warnanya tak berubah. la memandangi dengan takjub. Macam
macam pikiran mampir di benaknya. Di bawah matanya bunga itu serasa tambah besar, tambah lebar". '
Tiba-tiba ia memekik. Ada tangan hinggap di bahunya. Tapi tangan itu milik Tommy.
"Kenapa sih, Ma?"
"Ah, kamu bikin kaget orang aja."
"Kan saya dari tadi ada di sini. Mama mikirin apa sih?"
"Bunga ini..." "Sudahlah, Ma. Anggap aja itu keganjilan alam. Kan manusia juga ada yang lahir aneh. Ada yang kepalanya dua, kakinya empat, perutnya..." Tommy kehabisan imajinasi.
Farida tak ingin menakut-nakuti Tommy, juga dirinya sendiri.
"Ya, kau benar, Tom. Mungkin kecenderungan Mama suka mengkhayal macam-macam."
"Buang aja, Ma," Tommy menganjurkan.
"Hus. Jangan dong. Masa dibuang. Mama mau keringkan dalam lembaran buku."
Yang dipilih Farida adalah buku telepon Jakarta. Di tengah lembarannya bunga itu direntangkan dengan rapi lalu ditutup.
"Kalau bukunya tebal dia akan cepat kering."
Tommy memandangi. Pikirannya ke hal yang lain.
"Ma, apa Papa dulu pernah diajak berbuat seperti ini juga?"
Farida memandang heran. "Kenapa kautanyakan?"
"Kepingin tahu aja."
"Persis seperti itu sih nggak," kata Farida setelah berpikir sebentar. "Kau kan tahu rumah kita di Jakarta letaknya di pusat kota di tengah pemukiman padat. Mana mungkin bisa jadi maling ke tetangga...."
"Ya. Tentu aja nggak persis. Tapi kan ada. ya Ma" Ceritain dong, Ma. Belum ngantuk nih."
"Kejadiannya sih udah lama, Tom. Dulu sekali waktu Papa belum sibuk seperti di saat-saat akhir hidupnya. Dulu kan dia belum jadi pimpinan." kenang Farida dengan perasaan agak sendu. Kenapa kisahnya selalu klise seperti itu" Seorang iStri berharap, membantu, dan mendorong suaminya agar terus maju dalam karier. Tapi setelah kesuksesan diperoleh, kesetiaan pun ditinggalkan. Apakah mental manusia memang seperti itu"
Farida segera sadar. Tommy sedang memperhatikannya dengan mata lebar. Jangan sampai anak itu menyangka macam-macam.
"Dulu Papa sering mengantarkan Mama ke tempat-tempat yang Mama perlukan untuk bahan cerita Mama. Kadang-kadang dia juga membantu mencarikan infomasi."
"Belakangan nggak lagi, Ma?"
"Ah, dia kan sibuk, Tom. Mana mungkin bisa mengantarkan Mama ke sana sini. Mama memang harus belajar mandiri. Cuma dalam hal tadi itu rasanya nggak bisa kalau sendirian."
"Ah, jangan sekali-kali Mama nekat untuk
melakukannya sendiri. Kalau nggak bisa ya udah aja. Nggak boleh, ya Ma?"
Mereka berpandangan lagi. Lalu tersenyum. Senyum yang melegakan. Ketegangan sudah berlalu untuk saat itu.
Besok sorenya, hari Senin, Tommy kembali ke Jakarta.
Setelah melepas Tommy di pintu pagar. Farida melangkah pelan-pelan dengan perasaan ringan. Sampai kemudian langkahnya terhenti lalu ia menoleh ke tembok batas. Rasa ingin tahu menggelitik. Cukup rapikah hasil kerjanya semalam" Kalaupun misalnya kurang rapi ia tak begitu khawatir. Irawan tak pernah mau mempedulikan tanaman-tanamannya.
Farida menuju tembok lalu berjingkat. Begitu pandangnya tertuju ke sana hampir saja ia memekik saking kaget. Wajahnya memucat. Di sana, di antara barisan pohon bunga tasbih dan semak yang semalam melindungi mereka dari jangkauan senter Pak Ganda, terletak sekopnya!
Ia membelalakkan mata, berharap penglihatannya salah. Tapi tidak. Benda itu memang di sana. Rupanya ia terlupakan untuk dibawa serta. Penyesalan memenuhi dadanya. Kenapa baru sekarang ia melihat ke sana dan' bukan semalam saat Tommy masih ada dan masih ada kesempatan untuk mengambilnya lagi" Sekarang Tommy sudah pergi...
Belum reda debar jantungnya ia mendengar bunyi mesin bemo yang sedang berhenti. Ia
menoleh ke jalan. Bemo itu berhenti di depan rumah Irawan. Sesaat kemudian sesosok tubuh jangkung kelihatan samar-samar di antara pepohonan. Dia adalah Irawan sendiri!
*** IRAWAN melangkah sambil bersiul-siul menirukan lagak Tommy bila pulang. Perasaannya memang sedang gembira.
Tiba-tiba langkahnya terhenti. Pandangnya terpaku ke bawah. Tubuhnya menegang. Ada benda asing di sana. Sebuah sekop kecil. Pasti bukan miliknya. Tapi, bagaimana bisa ada di situ"
Ia memandang berkeliling. Tak dilihatnya ada siapa-siapa. Ia mengerutkan kening. Adakah orang yang memasuki halaman ketika ia tak ada" Tapi pintu pagar yang cukup tinggi itu digembok dan kuncinya ada padanya. Gembok itu tak menunjukkan tanda-tanda habis dibuka.
Ia meletakkan'tasnya yang berat di bawah. Lalu ia berjongkok dan memandang sekitar tempat itu dengan seksama. Kemudian pandangnya tertuju ke barisan pohon bunga tasbih yang sedang bergerak-gerak ditiup angin. Tiba-tiba ia baru menyadari, benar-benar menyadari, betapa luar biasa jeleknya pohon-pohon itu.
"Pohon ielek! Sialan!" ia memaki dengan kesal.
Ia berdiri lalu menyepak pohon yang terdekat. Pohon itu doyong lalu kembali lagi ke arahnya. Ia
mendesis geram. Terasa ada yang harus dilampiaskannya. Dan pohon-pohon itulah yang jadi kambing hitam.
Setengah berlari ia masuk rumah sambil menjinjing tasnya. Setibanya di ruang dalam ia memasang telinganya dekat dinding yang bersebelahan dengan rumah Farida. Ia mendengar suara mesin tik. Lancar dan gencar bunyinya. Pertanda yang mengetik sedang kebanjiran ide. Ia berpikir sebentar. Keningnya berkerut.
Lalu ia ke dapur untuk mengambil sebilah pisau yang panjang. Kemudian ia bergegas ke halaman, kembali ke barisan pohon bunga tasbih.
"Pohon busuk! Biar mampus aja sekalian!" serunya sambil mengayunkan pisaunya. Sekali tebas sebuah pohon langsung putus. Dan ia terus menebas-nebas ke kanan dan ke kiri. Dalam waktu singkat semua pohon sudah putus. Mereka berserakan di tanah. Yang tertinggal hanyalah pangkal batangnya saja.
Dengan puas Irawan berdiri memandangi hasil kerjanya. Ia tersenyum. Serasa'ada kenikmatan yang didapatnya dari situ. Tapi dengan demikian ia tak menyadari bahwa ada seseorang yang memperhatikan tingkahnya dari balik pintu. Bu Nurlaila memandangi dengan heran lalu buruburu menyelinap pergi. Dia takut ketahuan. Sosok orang yang memegang pisau dengan wajah geram tampak mengerikan.
Sementara itu dari balik tembok sebelah sana suara mesin tik masih saja terdengar. Dan masih
gencar bagaikan menuang huruf-huruf yang mengalir seperti air. ...
Farida memang sedang mengetik. Tapi ia bukan sedang melanjutkan ceritanya. Kalimat dan huruf yang muncul di atas kertas sama sekali tak punya makna. Jari-jarinya menekan asal-asalan. Yang penting adalah bunyinya. Biar Irawan bisa menangkap lalu menyimpulkan bahwa dia tidak dalam keadaan ketakutan. Dia tenang dan mampu berkonsentrasi. Buktinya dia bisa menulis. Padahal dalam kenyataannya dia memang sedang ketakutan dan kebingungan!
Sambil menggerak-gerakkan jari-jarinya ia juga sekalian menenangkan diri dan berpikir. Ia harus mencari alasan. Ia harus menemukan alasan. Bila sebentar telepon berdering"
Tapi bila ia terus mengetik, kemungkinan telepon tidak akan berbunyi. Irawan pernah mengatakan tak ingin mengganggu bila ia sedang menulis.
Akhirnya ia menemukannya juga. Kelebihannya sebagai seOrang pengarang yang mampu mereka-reka dari sesuatu yang tak ada menjadi ada, telah menolongnya. Ia pun menjadi tenang. Pelan-pelan gerakan jari-jarinya mengendur. Lalu berhenti.
Dia tinggal menunggu. Tapi ketika telepon akhirnya berdering tak
urung ia kaget juga. Debar jantungnya mengencang. Sekali lagi ia merasa beruntung karena Irawan tak bisa melihat wajah dan sikapnya. Tapi justru karena itu Irawan akan memperhatikan suaranya. Wajar ataukah dibuat-buat"
"Ya, halo" Oh, Pak Irawan... Sudah pulang" Oh. baru saja... Kebetulan, saya memang ingin memberi tahu sesuatu."
Farida diam sebentar. Dia merasa telah bicara terlalu cepat. Ternyata bicara wajar juga susah. Dia terlalu menyadari bahwa Irawan di sana tengah mempelajari suaranya.
"Memberi tahu apa, Bu?"
Nah, suara Irawan sendiri sudah mengungkapkan betapa ingin tahunya dia, pikir Farida.
"Sekop saya ada di kebun Anda."
"Ya. Saya sudah melihatnya. Bagaimana bisa ada di situ?"
Nada pertanyaan itu tidak menyenangkan. Kira-kira seperti pertanyaan, "Bagaimana barang saya bisa ada di saku Anda?"
"Saya habis melempar kucing. Pak. Dia mencuri daging. Larinya ke situ."
Diam sebentar. Mungkin dia tengah menimbang-nimbang apakah alasan itu masuk akal atau tidak, pikir Farida.
"Tapi, kenapa justru pakai sekOp?"
"Karena barang itulah yang kebetulan ada di tangan saya. Waktu itu saya tengah membersihkan kebun," sahut Farida dengan perasaan seolah ia tengah diadili.
Kemudian terdengar suara tawa.
"Maaf, Pak. Mungkin Anda kaget..."
"Tentu saja saya kaget. Saya kira ada maling."
Wajah Farida memanas. "Maaf lho..." "Nggak apa-apa. Saya bisa memaklumi kebencian Ibu pada kucing itu. Memang kucing-kucing sudah terlalu banyak. Lalu mereka masuk rumah Orang dan mencuri makanan. Menjengkelkan, bukan?"
Suara Irawan sudah ramah kembali.
"Sekop itu tentu masih Ibu perlukan."
"Oh iya. Nanti saya suruh si Bibi mengambilnya, Pak."
"Ah, tak usah repot begitu. Nanti saya sodorkan lewat tembok. Bisa Ibu keluar sebentar?"
Ia ingin mencoba. Ia ingin melihat wajahku, pikir Farida. Kalau menolak, alasan apa pun rasanya kurang bisa diterima. Cuma keluar sebentar untuk mengambil sekop yang diulurkan lewat tembok. Itu tidak susah. Sama sekali tidak merepotkan. Tapi buat dia terasa susah. Dia khawatir Irawan bisa membaca mukanya. Toh dia tidak boleh ragu-ragu. Hal itu juga akan masuk penilaian.
"Ya, tentu saja bisa. Tapi kira-kira sepuluh menit lagi, ya Pak. Soalnya saya baru saja menumpahkan air di meja. Saya sedang mengeringkan. Kalau kena kertas dan mesin tik?"
"Baik, Bu. Saya tunggu."
Ketika telepon ia letakkan, terasa ada getaran
aneh dalam dirinya. Bukan ketakutan, kecemasan. atau yang semacam itu. Itulah sensasi!
Sesuatu yang mendebarkan, menegangkan. menakutkan, tapi sebenarnya juga menyenangkan! Itu terasa lebih jelas sekarang. Padahal semalam ia juga merasakannya.
Tapi sesuatu itu belum pernah ia rasakan ketika Gunawan masih ada. Ketika itu situasinya memang lain. Persoalan dan kesulitan tak pernah ia atasi sendiri. Selalu ada Gunawan. Dan meskipun belakangan ia sibuk, tapi ia tetap ada dan tetap membantu. Walaupun ia menyeleweng ia juga tak melupakan keluarga. Itu merupakan salah satu sebab kenapa penyelewengannya sukar dipercaya.
Kini segala sesuatu harus ia atasi sendiri. Ia tak bisa bertanya kepada siapa-siapa kecuali dirinya sendiri. Ketegangan yang dia rasakan tak bisa ia bagi kepada orang lain. Tapi ternyata, bila ia berhasil imbalannya juga luar biasa. Memang tunn perasaan. Tapi bukan main. Sangat menyenangkan. Sangat nikmat. Susah mengutarakannya dengan kata-kata.
Farida berjalan keluar dalam kondisi siap mental. Dia sudah mengajukan alasan yang sangat masuk akal. Karena itu ia harus merasa yakin akan diri sendiri.
Begitu menginjak teras dan pandangnya tertuju ke tembok ia kaget karena melihat kepala Irawan nongol di sana. Dia sedang menunggu.
Mereka bertukar senyum. "Saya sudah mengagetkan dan merepotkan," Farida berbasa-basi.
"Nggak apa-apa. Kalau nggak begini mungkin kita nggak bertemu muka," kata Irawan dengan sikapnya yang biasa.
Farida tersipu. Irawan menyodorkan sekop. Tapi agak jauh jangkauannya karena Farida lebih pendek. Ia terpaksa berjingkat dengan sebelah tangan berpegang pada bagian atas tembok. Sekop terpegang, tapi dengan demikian jangkauan pandangannya jadi melampaui tinggi tembok. Lalu ia terkejut. Sangat terkejut.
Barisan pohon bunga tasbih itu sudah porakporanda. Batang-batangnya berserakan tumpang tindih. Di mata Farida, mereka bagaikan korban pembantaian yang kejam. Tiba-tiba saja ia dicekam kengerian. Semalam ia baru saja menyelamatkan satu di antaranya!
Tiba-tiba ia menyadari. Irawan berada di situ, memperhatikan sikapnya. Tatapannya tajam di balik kaca matanya. Terasa menyelidik dan mengorek.
Farida berjuang keras untuk mengatasi perasaannya. Yang di sana itu cuma pohon. Bukan manusia. '
"Bu Ida, kenapa" Ibu tiba-tiba menjadi pucat."
"Ah, apa iya" Saya nggak merasa apa-apa kok."
"Ibu kelihatan kaget."
Dia mendesak, pikir Farida. Dia memerlukan penjelasan.
"Pohon-pohon itu sudah Anda habisi. Padahal Anda baru saja pulang."
"Apakah itu mengagetkan" Mestinya sudah saya buang sejak dulu-dulu."
"Ah, kaget sih nggak. Saya cuma heran. Semangat Anda datang tiba-tiba," kata Farida dengan ketenangan yang pulih. Untuk menutupi perasaan sesungguhnya dia tidak boleh hanya bicara pasif melainkan harus aktif juga.
"Ya. Tiba-tiba saya menyadari betapa jeleknya pohon-pohon itu. Sungguh memalukan bila dibiarkan saja."
"Bila diperbaiki kondisinya mungkin mereka bisa lebih baik."
"Ah, buat apa capek-capek. Kalau mereka nggak suka hidup, ya lebih baik mati saja."
Entah kenapa Farida merasa kurang senang mendengar kata-kata itu. Rasanya terlalu kejam.
"Waktu Anda menanamnya dulu, Anda tentu berharap agar mereka hidup dengan baik."
"Ah, saya menanamnya asal-asalan saja. Untuk menutup tempat yang kosong."
"Oh, tadinya kosong" Bu Salmah tidak menanami?"
Wajah Irawan kelihatan berubah. Farida terkejut, menyadari kemungkinan tersinggungnya irawan. Ya, betapa gampangnya wajah orang berubah seiring perasaan hatinya! Apakah dia juga seperti itu barusan"
"Dulu sih ada pohonnya. Tapi kemudian mati.
Saya tidak tahu apa nama pohon itu," Irawan menjawab juga .
Farida cuma mengangguk. "Rupanya Ibu pecinta tanaman" Pantas dalam beberapa buku Anda, saya menemukan cerita tentang pohon."
"Saya memang menyukai tanaman, tapi cuma mengagumi. Bukan untuk menanam dan memelihara, kecuali yang sudah ada tentunya. Seperti kebun saya ini, semuanya peninggalan penghuni lama. Saya tinggal mengurus dan memelihara. Sayang kalau ditelantarkan. Untung di sini cuaca sangat menolong. Dan saya mempunyai pembantu yang rajin. Oh ya, apakah Anda mau mengganti pohon itu dengan yang lain?"
"Belum tahu. Saya belum memikirkan. Biar sajalah sementara ini. Atau Ibu ada usul?"
"Sayang kalau dibiarkan kosong, Pak. Kelihatannya..."
Farida tak meneruskan kata-katanya. Rasanya kurang enak. .
"Kelihatannya apa. Bu?" sergap Irawan cepat.
"Ah, sebenarnya nggak apa-apa. Tak usah dipikirkan."
"Katakan saja."
"Kelihatannya ganjil," sahut Farida terpaksa.
Irawan tampak tertegun. la melayangkan pandang ke halamannya sendiri. "Ya. Memang ganjil," ia mengakui. "Soalnya, semua sisi dan sudut penuh tanaman. Masa di sini kosong. Kurang artistik. bukan?"
"Ya." "Usul Ibu gimana?"
"Wah, saya nggak tahu. Tapi, mungkin sebaiknya jangan pohon bunga. Pohon yang gampang saja, Sayang pengetahuan saya kurang. Anda mesti menanyakannya pada tukang tanaman."
Irawan menggelengkan kepalanya.
"Saya kira, pohon apa pun yang ditanam di situ nggak akan bagus. Pohon bunga tasbih itu kan termasuk gampang" Toh dia nggak mau hidup."
"Tanahnya meSti diteliti kalau begitu."
"Ah, saya nggak mau susah-susah. Masa bodohlah. Kenapa kita mesti meributkan sepetak tanah?"
Ya sudah, itu urusanmu, pikir Farida. Tapi ia cuma mengangguk.
"Oh ya, apakah pembantu Ibu sedang sibuk sekarang?" tanya Irawan kemudian.


Misteri Bunga Tasbih Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bi Icah" Kenapa?"
"Kalau dia nggak sibuk, saya mau meminjam tenaganya, Bu. Nanti dia saya persen. Saya mau minta tolong supaya dia membersihkan rumah dan halaman. Saya lagi capek dan malas untuk melakukannya sendiri."
"Oh, tentu saja boleh. Dia nggak sibuk kok. Nanti saya panggil."
"Tunggu sebentar, Bu. Apakah Ibu akan menulis lagi?"
"Tentu saja." "Maksud saya. Ibu akan menulis lagi malam nanti?"
"Saya kira ya. Kenapa, Pak?"
"Lancar sekali, ya Bu. Tadi pun saya dengar bunyi mesin tik Ibu. Kayak juru tik di kantor saja. Wah, pantasnya bisa cepat selesai naskahnya. Apa saya boleh tahu garis besar ceritanya, Bu?"
Farida menggelengkan kepala sambil tersenyum.
Irawan tersenyum juga. "Rahasia rupanya."
"Bukan. Saya malu menceritakan kalau belum jadi."
"Saya mengerti, Bu. Cuma saya kepingin tahu aja. Tadi saya menanyakan apakah Ibu bermaksud menulis nanti malam karena saya ingin..." Irawan tak meneruskan. Ia kelihatan ragu-ragu.
"Ingin apa?" tanya Farida penasaran.
"Saya... ah, sudahlah. Nggak apa-apa, Bu. Kalau seorang pengarang sudah ingin menulis memang sebaiknya menulis. Sayang kalau terganggu."
"Kan nggak ada salahnya diberi tahu" Ingin apa sih, Pak?"
Irawan memalingkan muka seolah malu ditatap Farida.
"Saya ingin mengajak Ibu makan di Pasar Bogor."
Kini giliran Farida yang tersipu. Yang seperti itu sama sekali di luar dugaannya.
"Terima kasih, Pak. Tapi?"
"Ya, ya, saya mengerti. Mungkin saya terlalu lancang?"
"Bukan itu, Pak. Tapi?"
"Ibu ingin menulis, bukan?"
"Ya," kata Farida dengan lega. Alasan seperti itu pasti tidak akan menyinggung perasaan. Apalagi itu dikatakan sendiri oleh Irawan. Bayangkan bila dia mengatakan yang sesungguhnya, bahwa dia merasa risi berjalan bersama Irawan. Tetangga akan mempergunjingkan. Cukup Bu Nur seorang saja yang melihat, maka semua akan tahu. Bagaimana mungkin mereka bisa diyakinkan bahwa mereka berdua cuma jalan bersama lalu makan bersama, tak lebih dari itu"
"Mungkin lain kali kalau Ibu sudah selesai menulis?"
"Ya, mungkin," jawab Farida tersenyum. Dia toh tidak akan pernah selesai menulis. Habis yang ini masih ada yang lainnya.
Bi Icah sudah berumur setengah abad, tapi bertubuh gempal dan sehat. Dia senang dimintai bantuan oleh Irawan, apalagi dengan janji akan diberi persen.
Ia bekerja dengan rajin, membersihkan perabotan dari debu. mengepel lantai, dan kemudian membersihkan halaman dari batang-batang pohon bunga tasbih. Lalu sekalian juga menyirami tanaman karena sudah dua hari tidak turun hujan.
"Bibi kerjanya baik sekali." puji Irawan.
Hidung Bi Icah menjadi mekar. Lebih-lebih setelah Irawan memberikan persen sebesar lima
ribu rupiah. Ia menganggapnya sebagai persen yang besar sekali.
"Eh iya, Bi, ada yang mau saya tanyain," kata Irawan sebelum Bi Icah pamit. "Kata Bu Ida, kemarin ada kucing nyolong daging di sana lalu kucingnya lari ke kebun saya. Sama Bu Ida ditimpuk pakai sekop. Bibi tahu, ya?"
Dengan mengerutkan kening Bi Icah menggelengkan kepala.
"Saya nggak tahu. Pak. Nggak lihat sih. Tapi... kemarin mah saya nggak masak daging sapi, tapi ayam. Rasanya mah nggak ada daging. Barangkali Bu Ida keliru, Pak. Bukan daging yang dicolong."
"Memangnya sudah pernah kejadian kucing nyolong makanan, Bi?"
"Rasanya mah belon pernah, Pak."
"Ya sudah. Nggak apa-apa'kok. Saya cuma iseng saja. Tapi sebaiknya Bibi nggak usah ngomong sama Bu Ida. Nanti disangka saya usil, kepingin tahu segala."
"Ah masa, Pak. Bu Ida orangnva baik kok."
"Ya, justru karena itu saya jadi merasa nggak enak nanti. Janji ya Bi, nggak akan memberi tahu."
"Saya janji, Pak," kata Bi Icah dengan sungguhsungguh.
Setelah Bi Icah berlalu. Irawan kembali menekuri petak tanah yang kini kosong. Pangkal batang pohon bunga tasbih yang semula masih bertonjolan kini sudah lenyap karena dicabut dan dipotong Bi Icah. Tak ada lagi yang tersisa.
Ketika Bi Icah pergi, Farida segera menuju kebun belakang rumahnya. Dia ingin menengok pohon hasil curiannya semalam. "
Pohon itu tegak dengan amannya. Sendirian tapi terlindung. Sukar untuk memastikan apakah dia akan hidup dengan baik atau malah mati. jadi jangan dulu mengharapkan dia akan cepat-cepat berbunga.
Farida menyiramnya. Dia kelihatan segar.
"Kuharap kau tetap hidup dan tumbuh subur," katanya kepada pohon itu. Sesuatu yang paSti takkan dilakukannya bila Bi Icah ada di rumah.
"Dan kuharap kau cepat berbunga. Aku ingin lihat bungamu yang unik itu. Ya, kupikir kau istimewa. Karena itu. susah payah kuambil kau."
Pohon itu bergoyang-goyang ditiup angin. Daunnya melambai-lambai.
Farida menoleh ke belakang kalau-kalau Bi Icah sudah kembali tanpa kedengaran. Lalu ia bicara lagi.
"Kau harus hidup dan harus subur. Harus pula berbunga. Biar tak sia-sia jerih payahku. Tahukah kau" Aku sudah menyelamatkanmu. Kelompokmu sudah habis semua. Cuma kau yang tersisa!"
*** RATIH telah mengundang Farida untuk menghadiri pesta kawin emas kedua orang tuanya.
"Kami sengaja mengadakannya malam Minggu supaya lebih meriah. Kau dan Tommy harus datang lho. Tak bisa tidak. Ibuku juga berpesan supaya kau datang. Dia sudah kangen padamu. Bukan cuma itu. Sesekali kau harus mengalami suasana yang lain, Da. Supaya nggak monoton. Siapa tahu kau mendapat bahan cerita baru. Jangan sembunyi di rumah terus," Ratih nyerocos di telepon, sebelum Farida sempat memberikan keputusannya.
"Aku nggak sembunyi. Aku lagi nulis, Rat," Farida protes.
"Ya, aku tahu. Tapi pergantian suasana juga perlu. Sudah berapa tahun kau nggak pernah ke pesta?"
"Aku memang nggak suka pesta, Rat. Dulu aku cuma terpaksa saja menemani Gunawan."
"He, itu bukan alasan untuk menolak, ya," hardik Ratih.
Farida tertawa. "Idih, galak amat sih kau. Aku kan belum menolak."
"Jadi kau mau, ya?"
"Ya. Aku mau. Tapi aku tidak tahu apakah Tommy juga mau. Kalau dia ikut berani dia tidak pulang ke Bogor. Soalnya di sini ada cewek yang dia senangi. Tinggalnya di seberang rumah."
"jangan khawatir. Nami kudatangi dan kubujuk dia. Banyak keponakanku yang cakep-cakep akan hadir juga."
"Terserah kau deh."
"Kau nginap di rumahku ya. Pestanya kan malam. Masa kau harus pulang ke Bogor malam malam."
"Ah, jangan. Aku bisa nginap di hotel. Kan ada Tommy yang menemani."
"Apa" Di hotel" Malu-maluin aja kau. Apalagi bawa-bawa Tommy."
"Ya deh. Aku ngeri kalau kau sudah ngomel begitu. Baik. Nanti biar Tommy tetap di tempat
kosnya saja. Dia tidak perlu ikut nginap di rumahmu."
"Nggak apa-apa. Masih ada kamar kok."
"Terserah dia sajalah. Bagaimana maunya."
"Oke. Jadi kau datang ke rumahku hari Sabtu pagi, ya?"
"Lho, kok pagi" Kan pestanya malam?"
"Enak aja kau. Datang-datang mau langsung pesta" Bantu-bantu aku dong."
"Iya deh." "Tapi ngomong-ngomong, apa kau bisa pergi sendiri dari Bogor?"
"Aduh, kau menghina aku, Rat. Masa begitu aja
nggak bisa. Di sini bis banyak. Kereta api juga ada. Tapi aku akan naik bis saja."
"Syukurlah kalau begitu. Tapi hati-hati lho, Da."
"Terima kasih. Aku akan hati-hati."
Farida masih tersenyum ketika meletakkan telepon. Tentu Ratih tidak memahami keseganannya menginap di rumahnya. Dia merasa risi karena Ratih bersuami. Sedang dia seorang janda. Dulu dia memang pernah menginap di rumah orang tua Ratih. Tapi itu dulu sekali ketika mereka sama-sama belum berkeluarga. Sedang sekarang Ratih dan keluarganya sudah menempati rumah sendiri. Tapi alasan keseganannya itu tentu tak dapat dikatakannya pada Ratih karena pasti akan ditanggapi dengan omelan.
Ternyata, di luar dugaan Farida, Tommy menerima undangan Ratih itu dengan antusias.
"Makan enak...," katanya, seakan cuma itu yang ada dalam pikirannya.
*** Sabtu pagi, setelah selesai berkemas, Farida memutuskan untuk menelepon Irawan. Rasanya kurang enak kalau ia tidak memberi tahu Irawan perihal kepergiannya. Baru kali ini ia meninggalkan rumah untuk menginap, walaupun hanya untuk satu malam saja.
Pada mulanya ia ragu-ragu. Kenapa ia harus memberi tahu" Sama sekali tidak perlu. Tapi
kemudian terpikir, bahwa Irawan merupakan tetangganya yang paling akrab. Boleh dikata, dia juga teman satu-satunya di situ. Dan Irawan sendiri selalu memberi tahu dulu kalau mau pergi lama.
"Oh, Bu Ida mau ke Jakarta sekarang" Kok kebetulan amat, ya. Saya juga mau ke sana!" kata lrawan.
"Anda ada tugas?"
"Oh, bukan tugas. Dan biasanya saya memang libur kalau Sabtu, kecuali kalau ada tugas ke luar kOta. Saya ada urusan pribadi. Kalau begitu, kenapa kita tidak pergi bersama-sama saja, Bu?"
Farida diam sebentar. Dia sudah memperkirakan usul itu.
"Saya pakai mobil kok, Bu. Kita bisa tiba di sana lebih cepat."
"Saya sih tidak harus cepat-cepat, Pak. Santai saya."
"Kalau begitu, Ibu bisa tunggu saya sebentar saja" Saya mau mandi dulu."
"Tapi...," Farida ragu-ragu. Ia membayangkan Bu Nur akan melihatnya. Atau tetangga lain.
"Ah, saya mengerti keberatan Ibu. Tapi gampang kok. Bagaimana kalau saya tunggu Ibu di depan apotek Bakti" Ibu naik bemo atau Daihatsu ke sana. Biar saya pergi duluan."
Terpaksa Farida harus mengakui kecerdikan Irawan.
Mereka sudah meluncur di jalan bebas hambatan Jagorawi.
Irawan mengenakan T-shirt, begitu pula Farida yang memadukannva. dengan celana panjang.
"Ibu tampak gesit dan sportif."
Farida tersipu. "Saya bersiap untuk naik bis. Kalau pakai gaun rasanya kurang praktis."
"Naik bis banyak bahayanya, Bu."
"Tergantung pengemudinya."
"Ibu sering naik bis?"
"Belum pernah," Farida mengakui. "Tapi saya sudah bertanya-tanya pada Tommy. Memang kurang nyaman tapi tidak susah "
"Banyak bis yang suka ngebut. Pengemudinya nggak mikir bahwa jiwa puluhan orang ada di tangannya."
"Ya. Saya tahu juga. Karena itu saya sering menasihati Tommy. Tapi dia bilang, nggak mungkin bisa milih-milih bis. Ulah sopir belum kelihatan kalau masih ada di dalam kota. Kalau sudah di Jagorawi baru berlagak. Penumpang yang protes disuruh turun padahal dia sudah bayar karcis."
"Susah memang. Tapi Ibu toh berani juga untuk mencoba."
"Orang seperti saya memang harus berani."
"Seperti tokoh-tokoh yang Ibu tampilkan dalam karya-karya Ibu?"
Farida tersenyum. Semakin lama percakapan yang terjalin antara mereka semakin lancar. Tanpa terasa tahu-tahu
Farida sudah bercerita perihal Gunawan. Tapi dia masih ingat untuk menyembunyikan penyelewengannya. Rasanya kurang patut menceritakan.
"Dia seorang suami yang baik sekali. Tak mengherankan kalau Ibu begitu kehilangan sampai perlu pindah ke Bogor," kata Irawan penuh simpati.
Farida memandang heran. Dia tak pernah mengatakan tentang itu kepada para tetangga. Satu-satunya alasan kepindahannya adalah karena ingin mendapat tempat yang tenang untuk menulis. Itu saja. Ia yakin Tommy juga tak bercerita kepada Bu Nur atau Sonia misalnya. Dalam hal seperti itu biasanya Tommy dapat dipercaya.
"Maaf. Saya cuma menebak saja, Bu," kata Irawan lagi menjawab tatapan Farida.
Farida tak menjawab. Irawan mengalihkan pembicaraan. Dan tema yang dipilihnya tepat. Ia memperbincangkan isi buku yang dipinjam Farida. Yang demikian itu menyenangkan bagi Farida. Pembicaraan mereka lancar lagi.
"Belum ada niat meminjam lagi, Bu?"
"Belum. Nanti sajalah. Gampang."
"Lain kali nggak perlu menunggu Tommy. Ajak saja si Bibi untuk menemani."
Farida tersipu. "Memang susah kalau tinggal dekat orang usil, bukan" Masyarakat kita memang tidak bisa melihat laki-laki dan perempuan jalan bersama tanpa prasangka," kata Irawan memaklumi.
"Apalagi saya seorang janda. Sendirian dan tidak punya teman."
"Ibu betul. Kita memang tidak bisa cuek terhadap anggapan orang. Pandangan orang seakan menentukan harga diri kita. Saya menghargai dan mengagumi kehati-hatian Ibu. Seperti tempo hari itu ketika saya mengajak Ibu makan, wah, saya sungguh melupakan hal itu. Maaf ya, Bu."
"Nggak apa-apa, Pak," kata Farida senang. Semakin lama ia semakin menyukai pandangan Irawan. Akhirnya ia merasa bersyukur karena tidak jadi pergi sendiri naik bis.
Irawan menurunkan Farida tepat di muka rumah Ratih.
"Jam berapa Ibu pulang besok?"
"Wah, belum tahu. Saya harus lihat situasinya dulu."
"Siapa tahu saya sekalian ke Jakarta lagi, bisa saya jemput Ibu. Nanti kita pulang sama-sama."
"Ah, nggak usahlah, Pak. Saya tidak bisa memastikan sih. Nggak enak kalau pakai jamjaman. Tahu-tahu tidak bisa tepat. Terima kasih banyak, Pak."
Irawan tidak mendesak. Sedang Farida juga tahu, bila Irawan memang bermaksud menjemputnya maka itu pasti disengaja. Mustahil suatu kebetulan bisa terjadi dua kali. Dia tentu akan merasa tidak enak bila diistimewakan seperti itu. Tapi sesungguhnya dia juga merasa senang!
Setelah Farida lenyap masuk rumah Ratih.
Irawan menjalankan kembali mobilnya. Tujuannya bukanlah suatu tempat di dalam kota Jakarta seperti yang dikatakannya kepada Farida. Ia langsung kembali ke BogOr!
Bagi Irawan perjalanan sendirian itu sungguh membosankan. Tapi ia penuh semangat. Ada sesuatu yang ingin dikerjakannya nanti setibanya di rumah!
"Siapa si ganteng itu, Da?" goda Ratih. "Oh, itu Pak Irawan. Dia tetangga sebelah." "Tetangga?"
"Ya. Dia kebetulan mau ke jakarta juga, lalu mengajakku serta. Memangnya kenapa" Nggak salah toh?"
"Tentu saja nggak salah. Dia bujangan?"
"Duda." "Oooh..." "Hei, jangan menyangka macam-macam. Dia cuma seorang penggemar."
"Aha..." "Jadi kau juga berprasangka" Kalau orang seperti kau saja sudah begini, apalagi orang lain," gerutu Farida.
"Sori. Aku cuma ingin menggodamu saja kok. Tapi aku senang melihatmu sudah mau bergaul dengan orang lain, termasuk lawan jenis."
"Tapi aku juga tidak bisa leluasa, Rat. Aku selalu mengkhawatirkan pandangan orang. Aku
sadar benar akan posisiku," keluh Farida lalu menceritakan cara bagaimana dia bisa ikut mobil Irawan tadi. .
"Bayangkan, Rat. Untuk suatu perbuatan yang tidak ada apa-apanya aku harus bertingkah seperti remaja pacaran dilarang orang tua."
Ratih tertawa. "Ya, itu memang risiko, Da. Kau harus tabah saja. Tapi aku pikir, kalau kau tidak menyukainya mustahil kau mau ikut dia tadi. Pasti dia orangnya meyakinkan dan simpatik, bukan?"
"Ya, itu kuakui," jawab Farida tak bisa lain.
"Lalu dia seorang duda dan penggemarmu pula. Sering ngobrol. Sering ketemu. Maklum tinggal bersebelahan. Nah, betapa banyak kemungkinan dari hal-hal semacam itu. Jangan-jangan dia bukan cuma kebetulan saja mau ke jakarta, tapi sengaja ingin mengantarkanmu."
"Bahkan dia menanyakan jam berapa aku mau pulang besok. karena siapa tahu dia bisa menjemputku bila dia kebetulan ke sini lagi. Saat itu pun aku sudah berpikir. masa iya ada kebetulan lagi."
"Nah, sudah jelas, bukan" Bila seorang lelaki sudah mulai memberikan perhatian khusus bisa dipastikan ada apa-apanya. Aku pikir, tak ada salahnya bila kau dari sekarang bersiap-siap. Pikirkanlah sikap yang paling baik untuk menghadapinya bila suatu waktu dia menyatakan isi hatinya."
Mendadak Farida menjadi cemas. "Aku tidak mau berpikir tentang hal semacam itu! Aku tidak ingin mulai lagi. Aku sudah tua. Rat!"
"Kau belum tua, Da. Lihatlah di cermin."
"Aku sudah empat puluh. Hidupku cuma buat Tommy."
"Jadi bukan karena penyelewengan Gunawan?"
Farida diam. "Apa pun keputusan yang kauambil, pikirkanlah baik-baik, Da. Aku salut untuk tekadmu hidup sendiri dan mandiri. Kalau kau mau menolaknya lakukanlah dengan baik. Jangan memberi hati."
"Aku tak pernah memberi hati."
"Ya sudah. Aku yakin kau bisa mengatasi dengan baik. Kau kan pengarang yang gemar menciptakan berbagai problem dengan pemecahannya sekalian. Masa problemmu sendiri tidak bisa?"
Farida tersenyum kecut. "Problem sendiri' jelas lebih susah, Rat. Aku tidak bisa menciptakan malaikat penolong untuk diriku sendiri."
"Kalau begitu, jangan bikin problem."
"Problemnya datang sendiri kok. Coba pikir, Rat. Aku ingin bisa bergaul dengan laki-laki, siapa saja yang kusukai. untuk mengobrol dan berdiskusi. Itu wajar, kan" Di dunia ini kita kan hidup berdampingan. Tapi aku tak suka diprasangkai. Aku menginginkan pergaulan yang murni tanpa diganggu pikiran busuk!"
"Tapi itu susah, Da. Namanya lawan jenis, ya jelas diciptakan untuk saling tertarik. Jadi kalau terlalu dekat..."
"Ah, jadi menurutmu persahabatan murni antara laki-laki dan perempuan itu tidak mungkin?"
"Mungkin saja."
"Nah." "Tapi kau harus tabah menghadapi prasangka yang tidak kausukai itu."
"Ya. Aku akan berusaha."
"Kalau begitu, kau harus juga bergaul dengan orang-orang lain, jangan cuma satu orang saja. Itu akan mengurangi risiko diprasangkai. Nanti akan kuperkenalkan kau dengan seseorang."
Farida memandang curiga. Suatu ketika dulu Ratih pernah berusaha untuk memperkenalkan dia dengan "seseorang", tapi dia menolak.
"Nah, kau sendiri berprasangka," kata Ratih tertawa.
"Baiklah. Perkenalkan aku dengan sebanyak mungkin orang."
Ratih tersenyum. Ya, dia akan melakukannya. Tapi tidak dengan banyak orang. Cukup seseorang.
*** Biasanya Irawan langsung memasukkan mobilnya ke garasi bila pulang. Tapi kali ini ia membiarkannya di halaman, di jalur semen yang memisahkan kebun di kiri kanannya. Letaknya dekat pintu pagar hingga hampir menutup pandangan ke jalan.
Dari balik mobil ia memandang ke jalan dan ke sekitarnya. Suasana sepi. Hanya sayup-sayup saja kedengaran suara musik kaset. Di rumah seberang milik Bu Nur juga sepi. Tak kelihatan ada orang. Buru-buru Irawan masuk rumah. Ketika keluar lagi ia membawa setumpuk buku hingga perlu dipegang dengan dua tangan. Jumlahnya sepuluh buah. Ada yang tebal, ada yang tipis.
Dengan barang bawaan itu ia menuju rumah Farida. Dengan bersyukur didapatinya pintu pagar tidak dikunci dari dalam. Ia bisa membukanya dengan mudah.
"Oh, Pak Irawan," Bi Icah menyambutnya dengan ramah tapi juga heran.
"Ada Bu Ida, Bi?" tanya Irawan dengan keyakinan bahwa Bi Icah pasti tidak diberi tahu oleh Farida dengan siapa ia pergi tadi.
"Ibu ke Jakarta, Pak. Perginya tadi pagi. Pulangnya besok," jawab Bi Icah sesuai apa yang diketahuinya.
"Sayang sekali. Saya membawakan buku untuk Bu Ida. Dia senang sekali membaca, Bi."
Bi Icah bergerak untuk mengambil alih buku yang ada di tangan Irawan, tapi Irawan menghindar.
"Tangan Bibi nggak kotor" Wah, basah tuh. Kalau buku nggak boleh kena air, Bi. Bisa rusak. Biar saya yang bawa masuk saja. Bisa saya letakkan di meja Bu Ida."
Bi Icah tidak keberatan menunjukkan di mana meja kerja Farida. Ia sudah merasa akrab dengan
Irawan. Ia tahu bahwa hubungan Irawan dengan majikannya cukup baik. Irawan pun cukup tahu tentang kegiatan Farida. Ketika sedang membersihkan rumah Irawan, laki-laki itu pernah memperlihatkan deretan buku karya majikannya.
"Wah, ini pasti karangan Ibu yang paling baru, ya Bi," kata Irawan sambil mengerling ke arah map di meja.
"Iya, Pak." Bi Icah agak bingung. Apakah ia harus membiarkan Irawan atau menyilakannya duduk" Jadi ia berdiri saja dengan kikuk.
Irawan meletakkan bukunya di ujung meja yang lowong. Kemudian dia memandang dengan ragu-ragu ke arah map.
"Apa saya boleh membacanya, Bi?"
"Wah, nggak tahu, Pak. Kalau Tommy, putra Bu Ida, sih boleh aja."
"Kalau begitu, saya juga boleh."
"Nggak tahu kalau orang lain mah," kata Bi Icah bingung.
"Saya kepingin betul membacanya, Bi. Saya senang baca buku Bu Ida. Kan Bibi lihat sendiri di rumah saya. Semua buku Bu Ida selalu saya beli."
"Nanti aja bacanya kalau udah jadi buku."
"Lama dong, Bi. Bisa berbulan-bulan."
"Tapi itu juga belon selesai, Pak. Masih dikerjain."
"Karena itu saya jadi kepingin betul membacanya. Saya bisa tahu kayak apa ceritanya. Boleh ya,
Bi?" Bi Icah ragu ragu. "Begini aja, Bi. Ini kan bukan rahasia. Semua orang akan membacanya nanti. Kalau saya baca juga nggak apa-apa. Tapi Bibi jangan bilang bilang sama Bu Ida. Kalau Bibi nggak bilang kan nggak ada persoalan?"
Bi Icah menggaruk-garuk kepalanya.
"Iya deh, Pak. Cuma hati-hati aja bacanya, ya. jangan diacak-acak. Nanti ketahuan. Sangkanya saya yang bikin."
"Nggak, Bi. Saya akan hati-hati. Terima kasih ya, Bi. Nanti Bibi saya persen, ya."
"Ah, nggak usah, Pak," kata Bi Icah malumalu.
"Wah, mesti dong. Kan Bibi udah membantu saya."
Irawan membuka map. Kembali Bi Icah kebingungan. Apakah ia harus menunggui" Pasti akan lama sekali.
"Tinggal aja, Bi. Nanti kerjaan Bibi nggak beres. Kalau sudah selesai baca, Bibi saya panggil."
Bi Icah mengangguk. Ia lebih suka begitu. Seseorang seperti Irawan pasti bisa dipercaya.
Sendirian, tentu saja Irawan menjadi leluasa. Ia membaca dan wajahnya serentak berubah. Tidak susah baginya untuk menemukan dari mana asal ide cerita Farida. Dia mengagumi betapapun kagetnya. Imajinasi Farida hebat. Tapi yang membangkitkan keheranannya adalah bagaimana Farida bisa menggambarkan tokoh istri yang
hilang itu sedemikian rupa hingga tak ubahnva dengan gambaran Salmah, baik fisik maupun watak"
Tentu dia segera teringat akan pemberitahuan Farida perihal kunjungan suami-istri Hermansyah. Farida bercerita bahwa dia melihat foto Salmah dan bertanya-tanya tentang dia. Tapi menilik waktunya, tidak tepat menyimpulkan bahwa Farida memperoleh bahan dari kedua orang tua itu. Farida sudah memulai ceritanya jauh sebelum kedatangan mereka. Dan penggambaran tokoh istri yang hilang itu sudah dimulai di awal cerita.
Semakin lama membaca ia semakin heran. Memang sayang sekali bahwa ceritanya belum habis. Justru dengan membaca naskah setengah jadi seperti itu ia jadi kian penasaran. Ya, justru naskah yang itu.
Kertas-kertas itu ia rapikan kembali seperti semula. Map ia tutup. Tapi ia masih duduk saja. Di pelupuk matanya terbayang Salmah. Tapi dengan cepat bayangan itu hilang. Gantinya adalah Farida. Dia memukau. Semakin memukau!
Bi Icah dipanggilnya lalu diberi persen. Malumalu Bi Icah menerimanya.
"Ingat ya, Bi. Rahasia ini kita pegang berdua. kalau Bu Ida tanya tentang buku saya itu, bilang saya kasih ke tangan Bibi di teras. Tapi saya nggak masuk ke dalam. jangan bilang saya cuma sampai pintu pagar, Bi. Nanti kalau ada tetangga yang lihat bisa ketahuan bohongnya," pesan Irawan.
Seperti biasa Bi Icah mengangguk serius. Dia sudah terlalu senang. Tanpa kerja apa-apa, dia sudah menerima upah lima ribu rupiah.
Irawan bergegas pulang tanpa memperhatikan lagi situasi sekitarnya. Ada sebuah rencana lain di kepalanya.
*** PESTA berlangsung di rumah orang tua Ratih di Pasar Minggu. Rumah dan kebunnya cukup luas untuk menampung tamu yang lumayan banyak. Mereka berdua memang merupakan orang-orang yang cukup terpandang.
Ternyata Farida tidak banyak membantu. Tenaga yang tersedia sudah lebih dari cukup. Dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengobrol dengan Ratih. Memang itu tujuan Ratih dengan menyuruhnya datang pagi-pagi.
Tommy sendiri tidak diketahui lagi ke mana perginya. Sesuai janji Ratih. dia sudah diperkenalkan dengan barisan keponakannya yang ayu dan jelita. Dan tampaknya Tommy sudah terjerat. Terpikir oleh Farida bahwa Tommy sudah menikmati apa yang ingin dinikmatinya dari sebuah pesta.
"Jangan-jangan dia punya bakat mata keranjang. Dikerumuni cewek cakep lupalah dia sama yang duluan," gerutu Farida.
"Hei, jangan beranggapan begitu," Ratih mengingatkan. "Dia masih terlalu muda. Kan belum serius" Lagi pula dia perlu mengenal banyak
orang supaya bisa mengenal sifat-sifat mereka. Mana yang baik dan mana yang cocok untuknya."
"Mudah-mudahan dia nggak kayak bapaknya."
"Oh, jadi itu yang kaukhawatirkan?"
Farida diam. "Sudahlah, Da. Gunawan kan manusia biasa yang punya kekurangan."
"Ya, aku juga tahu. Justru karena dia nggak sempurna itulah maka aku bisa melenyapkan rasa kehilangan dan menerima apa yang ada."
"Kau memang sudah tabah sekarang."
"Begitulah." "Mau dengar cerita tentang Ines?"
"Bukan tentang hubungannya dengan Gunawan" Yang itu aku nggak mau dengar."
"Oh, tentu saja bukan. Aku nggak mau cerita tentang masa lalu tapi masa sekarang."
"Kalau itu aku mau dengar. Kenapa sih dia?"
"Dia sudah kawin."
"Cuma itu" Biasa aia, kan?"
"Kau belum tahu siapa suaminya. Awang Iskandar."
Ratih puas melihat keterkejutan Farida.
"Bukan Pak Awang yang pengusaha besar itu?" tegas Farida.
"Memang dia kok."
"Setahuku, dia sudah punya istri. Aku kenal Bu Awang. Orangnya nggak sombong biarpun kaya raya."
"Betul, nggak salah. Ines memang cuma istri kedua."
"Kasihan...," desis Farida.
"Ceritanya begini. Tak lama setelah Gunawan meninggal, Ines berhenti kerja. Dia lalu pindah menjadi sekretaris pribadi Awang. Nah, tentu dari situ mulainya."
Farida merenung. "Kalau begitu dia cuma mengulang cerita lama," katanya kemudian. "Aku tak mengerti. Kenapa dia yang secantik itu tidak memilih pria yang sendiri agar bisa memiliki secara utuh" Kok selalu mengincar suami orang. Kok mau jadi istri kedua, membagi suami dengan orang lain."
"Mungkin untuk orang seperti dia justru yang begitulah yang menarik. Ada tantangan di situ, kan?"
"Anehnya, lelaki gampang saja tergoda. Mereka tak sadar cuma dijadikan objek kepuasan."
"Begitulah." Keduanya jadi termenung sambil memperhatikan para tamu. Kelima kakak Ratih tampak berpencaran menemani para tamu. Ruang seperti terisi oleh gaung lebah.


Misteri Bunga Tasbih Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Awang Iskandar itu termasuk di antara para undangan. Tapi dia belum kelihatan," kata Ratih setelah menebarkan pandang ke sekitarnya.
"Ah, kuharap dia datang. Aku ingin sekali melihatnya. Lebih-lebih Bu Awang. Apakah dia tampak menderita atau stres?"
Ratih tersenyum. "Kaupikir, Bu Awang mana yang akan muncul?" tanyanya.
Farida tertegun. Pertanyaan semacam itu tak
sempat mampir di benaknya. Jawaban yang logis baginya adalah Bu Awang yang sudah dikenalnya. Tentunya sebagai istri pertama dia sudah lebih dikenal orang. Juga penting untuk memelihara citra moral Awang sendiri.
"Kita lihat saja kalau dia datang," kata Ratih.
Tapi gaung lebah yang jadi lebih gemuruh dan tatapan mata hampir semua orang ke arah pintu masuk jelas menandakan bahwa dugaan Farida salah. Awang Iskandar memang muncul tapi bersama Ines dalam gandengan.
Pesona dan kekaguman pun mewarnai wajah hampir semua orang. Ines kelihatan sangat cantik. Untuk sebuah pesta dia tentu berdandan secara lebih istimewa. Dia seperti bidadari yang kemilau dan penuh gemerlap meskipun tak berlebihan. Rias wajah dan pakaiannya memang tidak seperti artis panggung atau penyanyi televisi. Sedang perhiasannya pun sekadarnya saja. Tapi dia menampilkan pesona dan daya tarik yang aduhai. Sikapnya anggun. Wajahnya penuh senyum. Sangat sedap dipandang.
Dan Awang Iskandar terdongak dengan bangganya. Tak sedikit pun ada rasa risi pada dirinya. Sebaliknya ia menggandeng Ines lebih erat dan memperkenalkannya kepada semua orang. Sikapnya seakan mengatakan, "Benda cantik dan indah ini adalah milikku!"
Farida merasa ngenes. Tiba-tiba ia membayangkan Gunawan dalam diri Awang. Matanya segera menjadi basah. Cepat-cepat ia memalingkan muka. Kebanggaan yang tampak di wajah Awang membuat hatinya sakit. Kesegaran. kemudaan, dan kecantikan Ines jelas tak dapat disaingi oleh istri pertama Awang dan juga dirinya.
Ratih menyikut pelan. "Kau sedih?" Farida mengangguk. "Yuk kita ke belakang" Di sana kita tak perlu melihat mereka. Sebentar lagi mereka pasti akan ke sini."
Tapi Farida merasa ditantang.
"Lho, kenapa aku meSti lari" Biarlah kita tetap di sini saja. Biarkan mereka mendekat," katanya dengan angkuh.
Ratih memperhatikannya sebentar. "Bagus," katanya senang.
Awang dan Ines menyalami kedua orang tua Ratih dengan hangat. Tapi mereka tak lama berbincang-bincang. Ines kelihatan malu-malu. Dia seperti kehilangan keyakinan dirinya.
"Kau lihat?" bisik Ratih. "Tiba-tiba dia jadi gugup"
"Ya. Kenapa begitu?" Farida membenarkan dengan heran.
"Aku melihat tatapan kritis Mama kepadanya. Mungkin juga sinis. Dalam hal seperti itu Mama memang pinter sekali."
Tak lama kemudian mereka sudah berhadapan dengan keduanya. Tentu Ratih menyalami dulu. Ines tersenyum manis. Lebih-lebih setelah ia melihat Farida.
"Bu Ida, apa kabar?" ia bertanya ramah sekali.
"Baik," sahut Farida singkat. Ia membalas tatapan Ines tanpa menyembunyikan perasaannya. Aku benci dan sebal kepadamu.
Sesaat mereka bertatapan. Dengan cepat Ines memalingkan pandangnya lebih dulu. Kentara ia salah tingkah. Sikap Farida di luar dugaannya. Pada pertemuan mereka yang terakhir sesudah Gunawan meninggal sikap Farida tetap baik kepadanya.
"Bu Ida sudah mengarang lagi?" tanya Awang.
"Sudah, Pak. Bagaimana dengan Ibu" Baik'baik saja?"
Awang tertegun sebentar. Sejak ia masuk ke ruang pesta ini sudah dua pertanyaan senada yang diterimanya. Satu lagi dari ibu Ratih. Pertanyaan yang menimbulkan rasa risi. Padahal orang-orang lain jelas menghindari pertanyaan yang satu itu. Mereka tak ingin menyinggung perasaannya. Tapi ternyata masih ada yang berbeda.
"Dia baik-baik saja Terima kasih," ia menjawab kesal.
"Tolong sampaikan salam saya, Pak," kata Farida lagi.
"Ya, ya," sahut Awang, lalu ia buru-buru menyeret Ines ke tempat lain. Jangan sampai ia mendengar pertanyaan berikut.
Ratih terkikik menahan tawa. Farida ikut juga.
Tak lama kemudian Tommy datang mendekat. Ia duduk dekat ibunya.
"Mama, lihat nggak" Tante Ines gandengan sama tua bangka!" katanya dengan semangat menyampaikan suatu berita hangat.
"Hus, Tom. Jangan ngomong sembarangan. Si tua bangka itu adalah suaminya." sahut Farida menahan geli.
Tommy bengong sebentar. Ratih menertawakannya.
"Saya pikir, cuma pacarnya."
"Ah kamu." "Emangnya orang tua itu belum beristri, Ma?"
"Ah, kau terus saja menyebutnya orang tua, padahal dia kan belum terlalu tua. Namanya Pak Awang."
"Habis sebel sih. Lagaknya kayak anak muda aja. Apa dia sudah punya istri, Ma?"
"Itu istrinya di sampingnya."
"Bukan yang itu. Yang tua."
Ratih tertawa. Farida menggeleng-gelengkan kepala.
"Ya, dia ada di rumah, Tom. Punya istri dua kan sudah lumrah."
Tommy memandang tajam. "Kalau Mama yang digituin gimana?"
"Digituin apa?"
"Dimadu." "Mama nggak mau dong. Manusia kan nggak bisa diperlakukan semaunya, Tom. Hewan aja bisa menggigit."
"Jadi Mama memang nggak mau, kan?"
"Lho, tentu aja dong. Eh, apa-apaan sih kamu
ini" Masa ngomong soal gituan di sini. Banyak orang kan."
"Nggak deh, Ma. Cukup sekian saja," kata Tommy tersenyum. Ia sudah berdiri tapi duduk lagi. "Ma. buat apa jadi orang cakep kalau hatinya busuk, ya?"
Tanpa menunggu jawaban ia berlalu cepatcepat. Lalu menghilang. Kelihatannya ia sudah yakin ke mana arah yang dituju.
"Aku ragu-ragu ia menyembunyikan sesuatu, Rat. Kayaknya ia tahu perihal Gunawan dan Ines."
"Biarkan saja. Nanti juga dia ngomong kalau rasanya nggak enak," sahut Ratih dengan tatapan ke arah pintu masuk.
"Dari' tadi kau selalu memandang ke sana. Ada yang kautunggu, Rat?" tanya Farida heran.
"Ah, nggak. Aku cuma senang saja lihat orangorang yang masuk."
Tapi Farida diam-diam tidak percaya. Lebihlebih setelah kemudian ia melihat munculnya seorang pria yang sendirian dan merasakan sentakan tubuh Ratih. Ketika melirik ia melihat wajah Ratih berubah cerah. Ada senyum senang di sana. Ia mengerutkan kening dengan perasaan yang gundah. Apakah Ratih mempunyai affair" Apakah kesetiaan menjadi barang langka" Padahal di rumah ini suami Ratih juga hadir.
"Siapa sih orang itu, Rat?" ia bertanya penasaran.
"Orang yang mana?"
"Itu yang kaupandangi terus-terusan."
"Oh itu," Ratih tertawa. Lebih-lebih setelah ia melihat wajah Farida yang menampakkan kecurigaan. "Hei, yang salah adalah pikiranmu. Bukan aku. Dia adalah Frans Darmo, seorang arsitek. Dan dia pun seorang duda. Istrinya meninggal sekitar tiga tahun yang lalu."
"Lantas, kenapa ia kautunggu-tunggu?"
"Apakah itu salah" Nada suaramu kok seperti memarahi?"
"Kau belum menjawab pertanyaanku," kata Farida penasaran.
"Ya, kami berdua punya janji."
"Nah." "Buang dulu pikiran jelekmu. Dialah orang yang mau kuperkenalkan padamu. Eh, nggak tepat juga. Dia ingin berkenalan denganmu. Inisiatif datang dari dia. Bukan aku lho."
"Ah, masa iya tiba-tiba dia mau berkenalan denganku. Pasti itu idemu. Seorang duda diperkenalkan dengan seorang janda," kata Farida kesal.
"Tunggu dulu penjelasanku. Kau takut diprasangkai orang, tapi kau sendiri pun begitu. Dengar. Dia ingin berkenalan denganmu karena dia menyukai buku-bukumu. Setelah istrinya meninggal dia mengalami stres. Untuk mengisi waktu luangnya, supaya tidak kebanyakan melamun, dia membaca. Buku apa saja disabetnya, termasuk bukumu. Lalu dia suka. Tentu saja aku membanggakan diriku sebagai teman baikmu. Lantas dia tanya-tanya tentang dirimu. Nggak apa-apa kan aku bilang" Dia penggemarmu."
"Maka diaturlah supaya pertemuan terjadi."
"Ah, nggak begitu. Ini hanya kebetulan saja. Dia kenal orang tuaku. Begitu pula kau. Nah, itu dia ke sini."
Farida menyalami tangan Frans Darmo dengan sedikit gugup. Dia malu mengenang prasangkanya tadi.
Frans seorang pria bertubuh sedang, berwajah simpatik dengan kumis tipis. Dahinya kelihatan lebar karena rambut yang menipis di bagian atau kepala. Dan dia tipe orang periang karena gampang tertawa. Bibirnya cepat membentuk senyum kalau bicara. Dalam waktu singkat dia sudah menghilangkan kegugupan Farida dengan sikap nya yang seakan sudah kenal lama.
"Ya. Mungkin berkat buku-buku Ibu. Meski pun bercerita tentang orang lain tapi si pengarangpun sebenarnya juga sekalian bercerita tentan dirinya sendiri. Pikiran dan pandangan hidupnya ada di sana."
"Tapi kadang-kadang juga terlalu idealis. Pak."
"Ah, itu wajar saja. Justru cerita yang terlalu realistis buat kebanyakan orang malah kurang menarik. Termasuk buat saya. Misalnya saja tentang keadilan. Semua orang mendambakan keadilan. Tapi dalam kehidupan nyata sering kali itu sukar diperoleh. jadi bila itu kita temukan dalam suatu cerita yang menarik maka rasanya menyenangkan sekali. Membuat lega. Tak peduli itu cuma cerita. Cuma fiksi. Kita sudah senang. Seharusnya memang begitu."
Farida mengangguk. Ia menyukai perbincangan semacam itu. Ada perbedaan antara Irawan dan Frans. Di depan Irawan ia selalu merasakan betapa banyak kekurangannya dalam menulis. Irawan banyak mengajari, memberi petunjuk ini itu, seharusnya begini begitu. Memang harus diakui bahwa apa yang dikatakan Irawan itu ada juga benarnya. Bahkan ada yang bagus sampai terpikir bahwa Irawan sendiri sebenarnya berbakat untuk jadi pengarang. Ya, kenapa bukan dia saja yang menulis sendiri untuk menuangkan segala idenya" tak terasa pikiran Farida untuk sesaat melayang kepada naskahnya di rumah. Tangannya terasa gatal. Ingin sekali meneruskan. Tiba-tiba saja ia ingat sesuatu. Aneh, justru di tempat itu dan dalam situasi seperti itu dia bisa teringat ke sana. Soal harta peninggalan Salmah itu...
"Sekarang sedang menulis apa, Bu?"
Ia terkejut. Ah, pikirannya pergi terlalu jauh.
"Oh, biasa saja, Pak. Sebuah cerita miSteri."
"Ada yang mati juga?"
"Ya. Tentu saja." '
Mereka tertawa. Tahu-tahu Farida menyadari bahwa Ratih sudah tidak ada. Benar-benar dia punya maksud tersembunyi, pikirnya jengkel.
"Ke mana pula Ratih itu" Pergi nggak bilangbilang...."
"Oh, Ibu nggak dengar rupanya. Tadi dia bilang kok. Katanya mau ke belakang."
Farida tersipu. Rupanya dia yang salah.
Kemudian mereka terlibat lagi dalam pembicaraan yang mengasyikkan. Sampai Tommy tiba-tiba datang. Dan tentu saja bermaksud ikut serta dalam pembicaraan karena ingin tahu.
"Ini anak saya," Farida memperkenalkan.
Frans menjabat erat tangan Tommy. Lalu Tommy duduk di sisi ibunya dengan sikap yang sudah dikenal Farida. Tommy merasa perlu mempelajari setiap teman baru ibunya. Pada saatnya nanti dia akan memberi kritik.
"Saya juga mempunyai anak, tapi dua orang dan dua-duanya perempuan. Yang besar delapan tahun dan yang kecil lima tahun. Masih kecil-kecil memang. Soalnya saya kawin terlambat."
"Repot juga Anda mengasuh mereka."
"Untung ada ibu saya. Ibu yang mengurus mereka. Tapi tentu saja tetap ada yang kurang. Seorang ibu tidak bisa digantikan nenek, bukan?"
"Betul, Pak. Tapi yang penting mereka tidak sampai terlantar dan tetap tidak kekurangan kasih sayang."
Frans mengangguk. Matanya kelihatan berkaca-kaca. Segera Farida menyadari, dia tentulah sangat mencintai anak-anaknya.
Lalu Ratih kembali. "Kusarankan agar kalian membuang sebutan Bapak dan Ibu itu. Panggil nama sajalah. Kan sudah kenal," katanya sambil tertawa.
"Boleh?" tanya Frans kepada Farida.
Tentu saja Farida mengangguk sambil tertawa.
Tiba-tiba Tommy merasa sebal. Ia pergi.
Sebenarnya Farida bermaksud pulang Minggu pagi. Semalaman sebelum tidur ia memikirkan naskahnya. Tapi bukan itu saja. Ia juga ingin melakukan sesuatu yang lain. Sesuatu yang nyata tapi juga berkaitan dengan ceritanya. Tapi Ratih mencegah niatnya itu. Ia mengajak Farida jalanjalan dulu ke Ancol bersama keluarganya. Tommy pun diajak serta.
Farida tak bisa menolak. Sedang Tommy pun bersedia ikut. Ada keponakan Ratih yang diajak serta. Namanya Lydia. Dia manis dan menyenangkan.
"Semakin banyak cewek yang saya kenal, semakin gampang saya menemukan kepalsuan mereka," begitu alasannya. Dan alasan seperti itu tentu saja berbeda dengan prasangka Farida.
"Tadinya Mama pikir kamu mata keranjang."
"Ah, Mama suka nyangka jelek rupanya."
"Nggak lagi deh."
Piknik ke Ancol itu tak begitu menggembirakan buat Farida. Ia lebih merasakannya sebagai kewajiban saja. Yang diinginkannya hanya cepat pulang lalu kembali ke depan mesin tiknya.
Menjelang sore baru keinginannya itu bisa terlaksana. Tommy memaksa mengantarkan sampai Bogor. Farida tak sampai hati menolak.
"Masa begitu aja capek. Saya kan lelaki. Pulang kemalaman nggak apa-apa," kilah Tommy.
Ternyata sesudah berada di dalam bis, ada yang mau disampaikan oleh Tommy.
"Ma, jangan mau sama duda seperti Oom Frans itu."
"Lho, kenapa?" tanya Farida heran tapi geli
"Nanti Mama disuruh mengasuh anaknya."
Farida tertawa. "Memangnya siapa yang mau sama dia?"
"Sedia payung sebelum hujan, Ma. Siapa tahu..."
"Ah kamu. Dia kan penggemar. Sama seperti Irawan."
"Itu alasan aja. Mula-mula sih penggemar, tapi lama-lama..."
"Wah, jangan sembarangan lho, Tom. Masa setiap penggemar yang mendekati Mama disangka begitu. Malu-maluin."
"Saya bilang juga sedia payung. Kalau-kalau. .."
Farida memutuskan untuk tidak berdebat. Tommy sedang kumat, pikirnya.
Tapi Tommy belum puas. Bukan cuma soal itu yang ingin dikemukakannya. Masih ada hal lain yang ingin disampaikannya saat itu juga. Waktu di rumah Ratih tak ada kesempatan. Sementara dia harus menunggu satu minggu lagi sebelum bisa bertemu dengan ibunya. Dalam seminggu itu bisa terjadi macam-macam sedang dia sendiri sudah tidak sabar.
"Ma, lelaki itu suka ngebohong. Suka selingkuh," katanya sok mengajari.
Farida kaget. la melirik, melihat wajah Tommy yang serius. Lalu ia memandang ke sekitar. Tak
ada penumpang yang memperhatikan dirinya. Rata-rata sedang terkantuk-kantuk.
"Bagaimana kau bisa tahu?" ia bertanya pelan.
"Karena saya lelaki."
"Kan nggak semuanya."
"Mama masih percaya?"
"Wah, kau menjelek-jelekkan kaummu sendiri, Tom. Termasuk dirimu juga. jangan dong."
Kemudian Farida sadar. Mungkin kata-kata itu hanya sebagai pembukaan. Sesuatu yang penting yang merupakan pokok masalah masih belum dikeluarkan Tommy.
"Kamu mau ngomong apa sebenarnya, Tom" Bilang saja."
Tommy jadi ragu-ragu. Masa ngomong begitu di dalam bis. Bagaimana kalau ibunya menangis"
"Apakah itu tentang Papa, Tom?" tanya Farida tenang.
Tommy kaget. Dia menoleh dan memperhatikan wajah ibunya. Lalu menyimpulkan tak ada emosi di wajah itu. Jadi aman.
"Mama sudah tahu rupanya. Tapi pasti belum semuanya."
"Ayolah, ceritakan, Tom. Mama nggak akan nangis kok."
"Papa minta pendapat saya tentang Tante Ines. Bagaimana kalau dia kawin lagi. Dan bagaimana kalau Mama tahu. Kira-kira Mama bisa setuju atau nggak. Dia juga minta bantuan saya untuk membujuk Mama."
Farida kaget. Ia juga tak mengerti.
"Kenapa ia justru bilang kepadamu, dan tidak kepadaku?"
"Saya pernah mergokin mereka, Ma. Waktu di mobil... Lalu Papa terpaksa ngaku. Terus ngomong macam-macam."
"Lantas apa jawabmu waktu itu?"
"Saya bilang, nggak mau kalau disuruh membujuk Mama. Papa biar bilang aja sendiri. Tapi... kalau sampai Mama nanti kenapa-kenapa saya nggak akan memaafkan Papa. Saya juga akan ikut Mama kalau Mama sampai berpisah dari Papa."
Farida menyandarkan kepalanya ke belakang lalu memejamkan mata. Tapi ternyata pikirannya kosong. la cuma merasa capek.
Tommy memperhatikan dengan khawatir.
"Ma, maaf ya. Saya nyesel ngomong. Tapi kalau nggak ngomong rasanya nggak enak bener. Sepertinya nggak... nggak jujur deh."
"Nggak usah nyesel, Tom. Mama senang kau mau menceritakan. Tapi kenapa baru sekarang dan bukan dulu waktu Papa masih ada?"
"Dulu kan lain, Ma. Saya juga bilang sama Papa, nggak mau jadi orang pertama yang menceritakan hal itu kepada Mama. Sebaiknya Papa saia yang bilang sendiri. Tapi rupanya Papa nggak pernah bilang."
"Kok tahu?" "Kelihatannya Mama memang nggak tahu. Saya pikir Mama masih belum tahu sampai sekarang. Apa Tante Ratih yang bilang?"
"Bukan." Melihat sikap ibunya yang tenang Tommy justru jadi penasaran.
"Lantas Mama tahu dari mana?" .
"Dari barang peninggalan Papa," sahut Farida setelah menimbang-nimbang sebentar.
"Kan Mama belum membongkar barang-barang itu."
"Ah. cerewet betul sih kau. Pokoknya Mama sudah lihat isi tas Papa. Sudah, jangan tanya lagi."
Ketika Farida melirik, ia melihat Tommy tersenyum. Tiba-tiba ia tahu sekarang.
"Jadi, foto itu kau yang memasukkan, bukan?"
Tommy tertegun sebentar. "Ya," jawabnya lirih.
"Tadinya ada di mana?"
"Saya nemu di laci meja tulis Papa."
Farida diam. _ "Ma, maafkan saya."
"Sudahlah. Semua sudah lewat."
Mereka berpandangan. Tommy ngeri mulamula. Tapi ia melihat senyum yang manis. Ia pun tersenyum senang dan lega. Bis yang panas itu berubah menjadi sejuk.
*** SETELAH Farida memperoleh bemo carteran untuk pulang ke rumahnya, Tommy segera memisahkan diri untuk kembali menaiki bis menuju Jakarta. Dia akan langsung pulang.
Farida melambai. Dia masih merasakan kesejukan yang tadi. Kesejukan di dalam hati.
Begitu turun di muka rumahnya, Farida melihat Bu Nur di balik pintu pagar. Ia melambaikan tangan.
"Dari Jakarta, Bu?" teriak Bu Nur dari seberang.
"Ya!" Farida juga berteriak sambil berpikir bagaimana Bu Nur bisa tahu. Lalu ia memberi isyarat akan masuk rumah sambil melangkah cepat-cepat dengan kekhawatiran kalau-kalau Bu Nur menyeberang untuk mengajak mengobrol.
"Naik apa tadi, Bu?" Bu Nur masih berteriak.
"Naik bis! Mari, Bu?"
Farida sudah membuka pintu pagarnya, lalu mengangkat tangannya sekali lagi kepada Bu Nur . Baru beberapa langkah dia sudah disongsong Bi Icah yang mengambil alih batang bawaannya.
"Kemarin Pak Irawan nganterin buku, Bu. Ada sepuluh. Saya taruh di meja Ibu "
"Oh, apa katanya?"
"Dia bilang... ah, apa ya" Katanya, buat Ibu baca. Itu aja."
"Ya sudah. Eh tunggu, Bi. Ngasihnya gimana" Dari pintu pagar atau dari tembok?" tanya Farida sambil menunjuk tembok batas.
Bi Icah tidak lupa. "Dia masuk sampai ke situ, Bu," katanya menunjuk teras. "Terus dia pergi lagi," ia menambahkan buru-buru.
"Jam berapa datangnya, Bi" Pagi, siang, atau sore?"
"Wah, saya nggak lihat jam, Bu. Rasanya sih siang."
Ketika Farida masih termangu sebentar di halaman, Bi Icah mendahului masuk dengan menenteng tasnya. Di dalam Bi Icah memandang meja tulis sambil berharap semuanya rapi di tempat semula.
Saat itu Farida tengah berpikir. Kalau benar Irawan kemarin siang ke sini berarti dia memang tak punya sesuatu keperluan di Jakarta. Atau mungkinkah dia bisa menyelesaikannya dengan cepat lalu cepat-cepat pula kembali" Betapa gesitnya dia. Dan begitu pulang langsung membawakan buku untuknya. Besar benar perhatiannya. Farida tersenyum sendiri. Tapi kemudian terpikir lagi, kenapa Irawan melakukannya secara terburu-buru begitu" Dan justru pada saat dia tak ada. Kenapa Irawan tak menunggu saja sampai saat dia di rumah kembali" Apalagi kalau Irawan memang menaruh perhatian pikiran yang membuat mukanya merona merah, maka hal itu sebenarnya bisa dijadikan alasan untuk suatu pertemuan.
Pikiran itu mengganggu. Ia tak bisa menemukan kesimpulan yang mengena. Dan kalau sudah begitu ia akan merasa tidak enak. Sepertinya ada yang kurang wajar. Ataukah itu cuma akibat dari profesinya sebagai pengarang" Reaksinya menghadapi realitas selalu dipengaruhi oleh caranya berpikir saat mengolah karyanya. Harus ada logika dari masalah dan pemecahannya. Harus pula ada motivasi bagi setiap perbuatan.
Pandangnya tertuju ke tembok batas. Sukar memastikan apakah penghuni rumah sebelah itu sedang di rumah atau tidak. Ada godaan untuk melongok ke sana....
Pikiran dan rencananya putus oleh suara panggilan dari arah jalan.
"Bu Ida!" Ia melihat Bu Nur di balik pintu pagar. Benarbenar dia menyusul. Sudah berapa lamakah dia di sana"
"Masuk saja, Bu Nur!" ia menyilakan.
"Ah, nggak usah. Saya nggak lama kok. Di sini saja."
Terpaksa Farida kembali berjalan menuju pintu. Ia menyesal tidak segera masuk tadi. Andaikata ia masuk pasti Bu Nur pun tak akan memanggil. Ia tahu Bu Nur senang mengobrol di pinggir jalan. Tapi ia juga bersyukur tidak jadi melongok ke rumah Irawan. Andaikata ia kedapatan mengintip...
"Wah, maaf nih, Bu Ida. Orang baru pulang sudah diajak ngobrol."
"Nggak apa-apa kok, Bu."
"Soalnya ada sesuatu yang ingin saya ceritakan. Rasanya sudah lama juga kita nggak ngobrol, ya" Saya jarang melihat Bu Ida di luar sekarang. Kalau saya lewat sini kedengaran suara mesin tiknya. Saya nggak mau mengganggu."
"Ah, masa mengganggu, Bu. Biarpun ada suara mesin tik. Ibu masuk saja ke dalam," kata Farida sungguh-sungguh. Ia tertarik mendengar tentang adanya sesuatu yang mau diceritakan Bu Nur. Nalurinya mengatakan. kemungkinan masalahnya tentang Irawan. Mungkinkah Bu Nur melihat Irawan membawa buku masuk rumahnya kemarin" Tak mengherankan kalau dia ingin tahu. Kemudian Farida teringat. "Bu Nur kok tahu saya dari jakarta?" ia bertanya.
Bu Nur tersenyum. "Saya tanya sama Bi Icah. Soalnya kemarin siang saya lihat Pak Irawan keluar dari sini sendirian. Jalannya cepat. Maklum kakinya panjang. Tapi saya kok nggak lihat Bu Ida nganterin. Orangnya nggak kelihatan, suaranya pun nggak kedengaran. Jadi waktu Bi Icah nongol saya tanyain. Rupanya Bu Ida nginap."
"Pak Irawan meminjami saya buku, Bu. Katanya bagus untuk referensi," Farida merasa perlu menjelaskan.
"Ya. Bi Icah juga bilang begitu."
Dalam hati Farida bersyukur bahwa kemarin pagi dia tidak terang-terangan ikut mobil Irawan dari depan rumah. Bu Nur selalu melihat.
"Jadi waktu dia datang membawa buku; Bu Nur nggak melihat?"
"Nggak. Padahal saya sudah duduk-duduk di teras sekitar sepuluh menit. Mungkin mata saya sedang ke arah lain."
"Eh, kita kok ngomongin orang sebelah rumah. Gimana kalau tiba-tiba orangnya nongol?" tanya Farida khawatir. Siapa tahu Irawan bisa mendengarkan dari balik tembok.
"Dia lagi pergi kok. Saya lihat sendiri," kata Bu Nur pasti.
Farida lega. Dia percaya pada Bu Nur.
"Cerita saya juga tentang dia, Bu," Bu Nur melanjutkan. "Begini. Apa Ibu masih ingat waktu dia pergi ke Medan?"
"Tentu," sahut Farida tak sabar. Mana mungkin dia bisa melupakan saat-saat itu.
"Nah, saya kebetulan lihat waktu dia baru pulang. Saya lagi jalan-jalan seputar sini. Waktu saya lewat rumahnya saya nengok. Soalnya dari jauh saya sudah lihat dia turun dari bemo. Ya, cuma iseng saja. Eh, kelihatannya dia rada aneh. Makanya saya ngintip dari pinggir pintu."
"Apa yang lbu lihat?" tanya Farida dengan debar jantung lebih kencang.
Bu Nur tersenyum, sengaja memperlambat ceritanya.
"Ah, barangkali Ibu cuma mengada-ada saja," Farida pura-pura tak acuh.
"Bener kok. Saya nggak mengada-ada. Saya melihat dia berdiri mematung dengan pandang bengong ke bawah. Tidak jelas apa yang sedang dipandanginya. Saya kepingin lihat tapi kehalang pohon. Tapi kelihatannya sih dia lagi memandang ke arah pohon bunga tasbih. Pohon-pohon yang merana. Jelek bener. Heran, apa dia baru sadar bahwa pohon-pohonnya itu begitu jelek" Rasanya mah udah lama begitu. Kemudian dia jongkok lalu mengorek-ngorek. Nggak begitu jelas apa yang dikoreknya. Mungkin tanah atau apa..."
Bu Nur berhenti sebentar untuk mengambil napas. Tapi Farida punya kesempatan untuk berpikir meskipun ketegangannya tak mereda. Tentu saja dia tahu jelas apa yang tengah dipandangi Irawan ketika itu. Tapi, apakah benar tanahnya pun dikorek-korek" Sadarkah Irawan bahwa ada pohonnya yang hilang hingga kegemburan tanah di sekitarnya berbeda dengan tempat lain" Padahal dia sudah menyuruh Tommy menginjak-injaknya agar keras kembali. Mungkinkah belum cukup" Tapi, apa pun persangkaan Irawan ketika itu nyatanya ia tak mempersoalkan kemudian. Mungkinkah ia menganggapnya sepele"
"Kemudian gimana, Bu?" ia bertanya tak sabar.
"Dia lari ke dalam setelah menyambar tasnya yang semula diletakkan di bawah. Ya, betul-betul lari, Bu. Kayaknya tergesa-gesa betul. Saya heran. Kok lari'" Apa dia mau ke WC" Makanya saya nggak jadi pergi. Saya cuma menjauh sedikit tapi kembali lagi. Saya kepingin tahu apa lagi yang
akan dilakukannya. Dia keluar membawa bendo, eh pisau panjang mirip golok. Hampir saja saya kabur seketika karena saya merasa seakan-akan sayalah sasarannya. Mukanya itu..."
Bu Nur diam lagi. Dia mencoba mengenang kembali supaya ceritanya kedengaran lebih mengesankan.
"Mukanya gimana, Bu?" tanya Farida.
"Mukanya itu..., ih, gimana ya bilangnya. Kayak yang beringas deh. Marah, dendam, benci begitu. Itu sebabnya saya pikir dia marah pada saya karena ngintip-ngintip. Memang, biasanya kan orang nggak senang diintip-intip, ya."
"Habis, apa yang mau dibacoknya?" desak Farida.
Bu Nur sungguh menikmati rasa penasaran Farida. Ia tertawa.
"Ya, dia memang membacok-bacok dengan sadis, Bu. Sasarannya pohon bunga tasbih itu. Habis semua dibabatin," Bu Nur bicara sambil memperagakan. "Oh, malah sebelum membacok dia nyepak dulu. Kelihatannya gemes betul." Bu Nur lalu menyepak juga.
Dalam keadaan biasa pasti Farida akan tertawa geli. Tapi ketika itu tidak bisa, padahal ia tahu Bu Nur mengharapkan ia melakukan hal itu.
"Ah, Bu Nur pinter betul ceritanya. Bulu roma saya sampai berdiri," katanya "untuk melipur kekecewaan Bu Nur.
Farida berhasil. Bu Nur terdongak bangga.
"Aneh juga orang itu, bukan?"
"Ya, betul. Apa dulu-dulu dia suka aneh seperti itu juga, Bu?" tanya Farida.
"Rasanya mah nggak. Mungkin karena dia kelamaan hidup sendirian. Kasihan juga, ya."
Farida cuma mengangguk. Dia berpikir tentang hal yang lain. Dia teringat dan rindu ingin melihat pohonnya, hasil curiannya, satu-satunya yang tersisa dari kelompoknya yang terbabat musnah.
"Oh ya, tanah itu sekarang ditanaminya dengan pohon belimbing," cerita Bu Nur lagi. "Baru tadi saya lihat dia membawanya naik bemo. Kelihatannya repot bener. Habis pohonnya udah gede sih. Batangnya sampai harus dimiringkan di dalam bemo lalu ranting dan daunnya bercuatan keluar. Waktu itu saya menegurnya. Dia bilang, sengaja pilih yang gede supaya cepat berbuah. Nanti kalau panen pasti saya dibagi. Lucu juga dia."
Farida mengiyakan lagi. Ia bersyukur ketika Bu Nur pamitan karena ceritanya sudah habis. Tapi tentu saja ia pun berterima kasih untuk cerita itu. Mungkin saja ada gunanya.
Ketika berjalan menuju rumah bangkit lagi keingintahuannya. Ia menuju tembok batas dan berjingkat. Benar seperti cerita Bu Nur. Di atas petak tanah yang dulu ditumbuhi pohon bunga tasbih yang sengsara itu kini menjulang sebatang pohon belimbing yang rimbun. Kelihatannya segar dan sudah banyak bunganya. Memang belum dapat dipastikan apakah ia akan hidup dan tumbuh subur kemudian, tapi pada saat itu tampak kontras bila dibandingkan dengan tanaman sebelumnya, para pohon bunga tasbih yang malang.
Sesudah itu ia bergegas menuju ke belakang rumah. Tapi ketika melewati ruang tengah di mana meja tulisnya berada ia tertegun sebentar. Ia menatap meja tulisnya tapi ia tak mengerti kenapa berbuat demikian. Sepertinya itu merupakan suatu gerak yang tak disadari, terjadi tanpa sengaja. Segalanya memang seperti biasa. Hanya ada tambahan benda yang biasanya tak ada. Tumpukan buku. Tapi tentunya tidak mengherankan lagi. Ia sudah tahu. Itu buku Irawan. Sedang dia tak berkeinginan melihat-lihatnya sekarang. Dia memang tak punya keinginan membaca buku apa pun. Setidaknya pada saat itu.
Baru kemudian ia menyadari apa yang mengganggu pikirannya. Pertanyaan yang tadi kembali lagi. Kenapa Irawan mengantarkan buku-buku itu justru pada saat ia tak ada"
Ia mendekat tapi tak menyentuh apa-apa. Ia cuma menatap. Ketika ia mengulurkan tangan untuk membuka mapnya tiba-tiba ia merasakan tatapan Seseorang. Ia memandang ke sana dengan mendadak. Bi Icah tersipu memalingkan pandang.
"Kenapa, Bi?" ia bertanya tajam.
"Nggak apa-apa, Bu."
"Kok Bibi ngeliatin saya?"
"Nggak Bu, eh... iya, abisnya... Ibu ngeliatin meja terus sih." Bi Icah berhasil menemukan alasan yang tepat walaupun ia sempat tergagap.
"Bibi kan nggak benah-benahin meja saya?"
"Nggak, Bu. Kan udah dipesen. Emangnya acak-acakan, Bu" Ada yang ilang?" tanya Bi Icah dengan kecemasan membubung. Bagaimana kalau Pak Irawan itu mengambil sesuatu" Pasti dialah yang akan terkena tuduhan.
Farida membuka mapnya, membalik-balik kertas hasil ketikannya. Lalu ia menggelengkan kepala. Semua masih seperti semula. Hanya kalau ada Tommy nomor halaman naskahnya terkadang acak-acakan.
Gelengan kepala itu membuat Bi Icah lega. Tapi pertanyaan berikutnya kembali mencemaskan dirinya.
"Kemarin waktu Pak Irawan mengantarkan buku itu, berapa lama dia di sini?"
"Nggak lama kok, Bu. Cuma ngomong sebentar."
"Betul cuma sebentar?" tanya Farida dengan tatapan tajam.
Bi Icah jadi gelisah. Berbohong itu sungguh tidak menyenangkan. Tapi dia sudah kepalang basah.
"Betul, Bu. Dia kan cuma nganterin buku," sahutnya lebih lancar.
"Ya sudah." "Nggak ada apa-apa lagi, Bu?"
"Nggak."

Misteri Bunga Tasbih Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bi Icah buru-buru menghilang. Sedang Farida terus ke belakang rumah.
Di depan pohonnya ia berjongkok Cuma sebentar mengamati ia sudah puas dan senang.
Pohon itu tidak membutuhkan waktu yang lama untuk bisa memulihkan kondisinya. Dia kelihatan segar. Daunnya hijau mengkilap dan lebih lebar. Urat-urat daunnya tampak jelas sekali. Dan yang lebih menggembirakan lagi adalah munculnya kuncup-kuncup bunga. Perasaan Farida tergetar. Tak sabar rasanya ingin cepat-cepat memekarkan kuncup-kuncup itu. Dia membayangkan sebentar. Bagaimana rupa bunga itu bila ia tampil dalam keadaan segar dan subur" Putih dengan nodanoda merah. Indah atau... mengerikan"
Malamnya baru Irawan menelepon.
"Sudah terima bukunya, Bu?"
"Oh sudah. Terima kasih, Pak. Kok repotrepot amat sih."
"Soalnya begini, Bu. Mumpung ada waktu dan ada kesempatan. Kan kebetulan Ibu nggak ada, jadi kalau saya datang ke rumah Ibu tetangga tidak perlu curiga. Sedang kalau Ibu yang ke rumah saya, wah, lebih-lebih lagi mereka akan curiga. Ya, nggak?"
Farida menganggap alasan itu masuk akal. Jadi masalah itu tak perlu lagi mengganggu, pikirnya. Karena itu ia jadi merasa lebih enak. Hilang sudah ganjalan semula.
"Tapi saya belum punya keinginan membaca, Pak. Bisa lama buku itu di rumah saya."
"Nggak apa-apa. Setahun dua tahun juga nggak
apa-apa," Irawan tertawa. "Kapan-kapan Ibu berminat bisa membacanya. Yang saya bawakan itu pilihan semua, Bu. Ya, tentunya pilihan saya. Tapi dijamin bagus, Bu."
"Saya percaya, Pak. Terima kasih sekali lagi."
"Kapan Ibu kembali?"
"Tadi sore." "Sendiri naik bis?"
"Ya, naik bis. Tapi sama Tommy. Dia terus kembali ke jakarta setelah saya turun di terminal."
Sepertinya ada tarikan napas lega di sebelah sana, pikir Farida. Sebesar itukah perhatiannya"
"Bagaimana pestanya?"
"Cukup menyenangkan. Tamunya banyak."
"Ketemu kawan lama?"
"Ah, nggak ada. Tapi saya ketemu seseorang yang mengaku penggemar saya."
"Laki-laki atau perempuan?"
"Laki-laki." Diam sebentar. Farida siap menunggu pertanyaan lain yang senada. Tapi persangkaannya keliru.
"Pohon jelek itu sudah saya ganti, Bu. Mengikuti saran Ibu saya tanami dengan pohon lain. Saya pilih belimbing. Katanya sih itu belimbing Demak. Nanti deh Ibu lihat dari atas tembok. Pohonnya bagus. Sudah berbuah."
Farida tersenyum. Tentang hal itu dia sudah tahu. .
"Mudah-mudahan saja subur. Pak."
"Ya. Mudah-mudahan. Tapi saya kira kali ini pasti berhasil. Dia pasti tumbuh subur."
"Bagaimana Anda bisa begitu pasti?"
"Sudah saya beri pupuk banyak-banyak."
Farida tersenyum geli. "Kemarin sepulang dari Jakarta saya cangkul tanahnya supaya gembur. Lalu saya sediakan lubangnya sesudah dilapisi pasir dan pupuk kandang. Baru tadi saya masukkan pohonnya. Padahal menurut teori lubangnya mesti dibiarkan dulu beberapa hari. Saya nggak sabar. Soalnya nggak enak melihat lubang itu lama-lama."
"Betul. Nanti bisa kejeblos sendiri, bukan?"
Irawan tertawa. "Bagaimana dengan naskah Ibu" Sudah hampir selesai?" ia bertanya kemudian.
"Oh, belum. Masih jauh. Saya masih memikirkan penyelesaiannya."
"Pembunuhnya laki-laki atau perempuan?"
Farida tertawa. "Belum tahu," katanya.
"Ah, masa iya. Waktu Ibu mulai membangun cerita, tidakkah sudah Ibu sediakan siapa yang akan jadi korban dan siapa pembunuhnya?"
"Tidak selalu, Pak. Sering kali saya bercerita begitu saja tanpa memiliki gambaran pasti siapa yang akan mati dan siapa pembunuhnya. Idenya keluar sendiri sambil cerita dibuat."
"Cek, cek. Ibu sangat unik kalau begitu. Boleh saya tahu, apa naskah yang sedang Ibu buat ini juga seperti itu" Jadi serba belum jelas begitu?"
"Korbannya sih sudah ada. demikian pula
pembunuhnya, tapi bagaimana proses pembunuhannya dan pengungkapannya kemudian saya masih belum pasti. Nanti sajalah bila saatnya sudah tiba pasti akan keluar dengan sendirinya. Sekarang saya belum merisaukan hal itu."
"Jadi Ibu mengarang tanpa konsep?"
"Ya. Toh percuma bila saya buat konsep lebih dulu. Nantinya tak dipakai sama sekali."
"Oh begitu. Jadi sampai saat ini Ibu masih belum bisa memastikan apa akhir cerita Ibu?"
"Ya. Apa itu tampaknya aneh, Pak?"
"Wah, nggak tahu ya. Saya bukan pengarang. Tapi saya kira wajar saja. Tiap orang kan punya keunikannya sendiri-sendiri. Yang pasti, kalau naskah sudah jadi saya dibolehkan membaca, ya Bu?"
Farida tertawa. "Boleh saja," katanya tanpa beban. Hal itu pernah diutarakan Irawan dulu dan dia sudah mengiyakan. Dia akan mempersiapkan diri andaikata Irawan memperlihatkan reaksi mengenali ceritanya sebagai bagian dari hidupnya. Yang jelas mirip tapi pasti tidak sama. Apalagi bila dinilai secara keseluruhan. Sebagai seorang penggemar fiksi pasti Irawan akan mengerti. Banyak pengarang memperoleh ide dari fakta dan realitas kehidupan lalu mengembangkannya berdasarkan imajinasi sendiri. Pasti itu bukan riwayat hidup atau kisah nyata dari seseorang tertentu. Bagaimanapun, itu urusan belakangan. Sekarang dia harus menyelesaikan naskahnya lebih dulu. Itu yang penting.
"Saya sudah nggak sabar. Bu."
"Mesti sabar. Orang mengarang itu kan nggak seperti membuat kue, Pak."
Irawan tertawa. "Ya. Saya akan bersabar. Tapi ngomong ngomong, pernahkah Ibu digugat seseorang karena cerita Ibu mirip riwayat hidupnya?"
"Tidak pernah. Kenapa Anda tanyakan?"
"Nggak apa-apa. Ingin tahu saja. Soalnya, kadang-kadang cerita Ibu itu terasa begitu riil. Seperti kisah nyata. Benar-benar terjadi."
"Tentu saja. Cerita saya bukan dongeng kok. Jadi mungkin saja bisa terjadi. Tapi, begini, Pak. Terus terang saya sering mengambil pengalaman hidup seseorang sebagai sumber ide. Tapi keseluruhan cerita sama sekali tidak sama. Tak ada orang yang perlu merasa terkena. Itu jelas fiktif belaka. Misalnya saja tentang tabrak lari. Itu sering terjadi. kan?" tutur Farida dengan bersemangat. Penjelasannya sekarang penting bagi Irawan kalau kelak dia membaca Ceritanya nanti.
"Ya. Saya mengerti. Bagaimana dengan riwayat hidup saya" Tidakkah itu menarik untuk dijadikan sumber ide?"
Farida tertegun. Dia merasa tersindir. Tapi, tak mungkin Irawan tahu.
Sebelum Farida sempat mencari jawaban, terdengar suara tawa Irawan. "Tapi, drama rumah tangga mungkin tidak menarik buat Ibu, bukan" Saya cuma bergurau. Tapi kalau Ibu berminat saya juga tidak keberatan kok. Saya nggak minta komisi. Eh, saya main-main saja lho."
Farida tertawa. Gurauan itu membuat ia lega. Kalau Irawan memang berpendapat seperti itu pasti tak akan ada masalah lagi. '
"Ya. Siapa tahu, Pak," jawabnya.
Ketika pembicaraan berakhir Farida benar benar merasa senang. Bebannya sudah lenyap. Cerita Bu Nur yang tadi terasa begitu menegangkan kini tak ada bekas-bekasnya lagi. Semua pertanyaan yang sempat muncul sudah ada jawabnya. Hampir-hampir sulit dipercaya bahwa hal itu bisa teratasi dengan begitu cepatnya. Sampai sampai dia merasakan seolah-olah Irawan dapat ikut merasakan apa yang membuatnya gundah. Nyatanya jawaban atas pertanyaan yang mengganggunya itu diberikan sendiri oleh Irawan tanpa diminta.
Tapi dengan demikian ia dapat lebih berkonsentrasi kepada pekerjaannya. Ia tidak perlu merisaukan soal lain.
Pertama-tama ia akan merealisasi apa yang sudah dipikirkannya ketika berada di rumah Ratih. Ia akan menulis surat kepada Ibu Hermansyah di Banjarmasin untuk menanyakan soal harta peninggalan Salmah.
Dengan giat ia menulis. Dua kali ia mengganti suratnya karena menganggap kurang cocok. jangan sampai timbul kesan bahwa ia melakukan hal itu hanya karena ingin tahu saja. Apalagi ia cuma seorang tetangga yang sama sekali tidak mengenal Salmah.
Ternyata cukup sulit. Kesannya masih tetap
bernada keusilan seorang tetangga. Tapi ia mencoba menutupinya dengan kata-kata bernada simpati yang bertele-tele. seakan pertanyaan itu sama sekali tidak penting. Bukan itu tujuan utamanya menulis surat melainkan keinginan mencurahkan simpati dan penyesalan karena Salmah belum ditemukan. Lalu ia tinggal berharap bahwa Bu Hermansyah tidak menganggapnya usil dan cukup tersentuh hingga mau membalas suratnya.
Ternyata menulis surat seperti itu jauh lebih sulit daripada menulis novel. Berkali-kali ia membaca ulang tanpa menemukan kepuasan, tapi ia juga tidak tahu bagaimana harus membuatnya lebih baik. Akhirnya ia memutuskan untuk tetap mengirimkan surat itu.
Sesudahnya ia heran sendiri kenapa ia harus seserius itu. Sepertinya surat itu penting benar untuknya hingga ia sangat berharap akan menerima balasan. Ah, di mana letak pentingnya dan untuk apa" .
Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ada kebingungan yang seperti menjerat perasaan dan pikirannya. Dia bingung memisahkan yang mana realitas dan yang mana fiktif. Padahal tidak seharusnya hal itu terjadi. Dulu-dulu pun tidak pernah begitu. Biasanya setelah ia memperoleh ide maka realitas sebagai sumbernya sepenuhnya ia tinggalkan untuk memasuki dunia yang benar benar fiktif tanpa harus meninggalkan logika dan kewajaran. Tapi kali ini terasa lain. Dia sungguh sungguh menyadarinya. Toh dia merasa sulit
untuk mengembalikan dirinya seperti dulu. Apakah itu disebabkan karena sebenarnya dia juga menyukainya" Ada getar-getar sensasi yang kembali menjalari tubuhnya!
Sebenarnya, memang tidak susah untuk membedakan mana realitas dan mana fiktif. Tapi dia mencampur-adukkan keduanya dalam karyanya! Tak ada beda lagi antara yang satu dengan lainnya.
Pada mulanya, ide tentang harta peninggalan Salmah itu sangat menggembirakan karena dia bisa menggunakannya dalam ceritanya. Ada seorang istri yang dikabarkan hilang tapi sesungguhnya dibunuh suaminya, namun dia belum menemukan motivasi dari pembunuhan itu. Padahal itu penting sekali. Jelas harus ada motivasi dari suatu tindak pembunuhan.
Tapi, semestinya ide itu saja sudah cukup. Dia bisa meneruskan karyanya. jadi tidak perlu dia sampai menulis surat! Toh hal itu dilakukannya. Dan dalam keadaan sesadar-sadarnya pun dia tetap tak ingin membatalkan niat itu.
Lantas muncul lagi pemikiran lain. Sesuatu yang menggelorakan darahnya dan meluapkan semangatnya. Getaran sensasi yang terasa membuat bulu romanya berdiri. Tentu saja bukan karena takut. Sama sekali bukan. Dia teringat akan hal-hal yang sudah ditulisnya. Mayat sang istri dikuburkan di bawah barisan pohon bunga tasbih. Itu sebabnya pohon-pohon tersebut merana hidupnya. Mereka dijadikan alat untuk menyatakan adanya suatu ketidakwajaran. Bagaimana mungkin tanah dan lingkungan yang mendukung kesuburan tidak menghasilkan tanaman yang subur pula" Jadi akan ada saatnya ketidakwajaran itu terungkap. Mayat sang istri yang hilang itu akan ditemukan di sana!
Semua itu jelas cuma angan-angannya. Fiktif. Tapi dia menghubungkannya dengan kenyataan. Pohon-pohon bunga tasbih itu telah tercerabut dari tempatnya tumbuh. Habis semua. Tanahnya sudah pula digali untuk dibuat lubang tempat akar pohon belimbing. Jelas tak ada mayat di sana! Lantas di mana lagi tempat yang ideal"
Kembali Farida menggelengkan kepalanya. Kebingungan itu datang lagi. Tapi cuma sebentar, karena segera kebingungan itu menghasilkan ide baru. Mayat itu dipindahkan! Ya, ceritanya akan berkembang seru.
Memang ada perasaan kurang enak bila ia teringat pada Irawan. Sepertinya tidak adil dan tidak jujur. Dia sudah menggunakan pengalaman dan riwayat hidup Irawan sepenuhnya sebagai lahan cerita. Bukan itu saja. Dia pun menggunakan lokasi yang sama pula, bahkan mengorek ngoreknya, juga menguntit dan mengintip. Segala perkembangan diikuti lalu dimasukkan ke dalam ceritanya. Sesuatu yang nyata diubah menjadi khayalan. Tapi kenapa dia harus terus berpegang pada kenyataan" Sepertinya dia tengah berada di suatu jalan yang tak diketahuinya akan berakhir di mana. Itu memang perasaan yang biasa bila ia tengah mengarang. Tapi apa yang berbeda adalah,
kini ia seolah tak punya kendali atas imajinasinya sendiri! Ia tidak lagi punya kebebasan untuk membelok ke mana saja sesuai keinginannya sendiri. Sepertinya dia sudah diarahkan! Tapi ke mana" Ia tidak tahu!
Tapi seperti yang sudah terjadi sebelumnya, perasaan kurang enak itu dengan cepat tersisih. Yang penting ia menyukai dan menikmati. Apa yang akan terjadi kemudian adalah urusan kemudian!
*** DI LUAR dugaan Farida, hanya dalam waktu sepuluh hari ia sudah menerima balasan dari Banjarmasin. Padahal yang dikirimnya surat biasa saja, bukan kilat. jadi bisa dipastikan bahwa Ibu Hermansyah telah memberi respon yang baik sekali.
Dengan bernafsu ia membaca surat yang tidak terlalu panjang tapi perlu dibaca berulang-ulang karena bahasanya yang sedikit kacau. Yang penting ia memahami isinya. Dan ia termangu sejenak.
Bu Hermansyah menyatakan bahwa segala harta milik Salmah yang semula berada di bawah pemilikannya sudah tak ada lagi yang tersisa. Semuanya sudah dijual oleh Salmah sendiri. Memang suami-istri Hermansyah memperoleh bagian sekian persen, tapi apa yang dilakukan Salmah dengan hasil penjualan hartanya itu tidak diketahui mereka. Salmah tidak mengatakan apaapa perihal sesuatu rencana, demikian pula Irawan. Kapan penjualan itu terjadi" Oh, itu sudah cukup lama. Mungkin ada sekitar kurang lebih setahun sebelum ia menghilang.
Ternyata informasi itu cocok dengan ide khayalnya, yaitu harta tersebut memang dijual atas anjuran sang suami yang ingin menguasainya. Sesuatu yang bagus sekali untuk dijadikan motivasi membunuh.
Lantas begitu saja terpikir, apakah Irawan tidak ikut menikmati harta Salmah" Dan pikiran yang lebih buruk lagi adalah, apakah Irawan tidak punya niat untuk menguasai juga seperti sang suami dalam ceritanya" Ah, dia mulai ngawur, pikirnya menyesali diri. Kini, dia mulai membawa khayalnya ke alam nyata!
Tapi ternyata pertanyaan itu terasa menarik untuk dipikirkan. Hanya pikiran saja tentulah bukan dosa. Dia mencoba menyimpulkan kepribadian Irawan dari apa yang dikenalnya selama ini. Seseorang seperti Irawan mungkinkah bisa membunuh hanya karena harta saja" Ternyata susah. Ia tidak bisa menggambarkan secara pasti. Apa yang dikenalnya selalu bisa berbeda dengan apa yang sesungguhnya. Seseorang bisa memiliki banyak kepribadian tergantung situasi dan kondisi. Tapi menilik fakta yang ada, Irawan sudah mempunyai pekerjaan tetap dan mengingat ilmu dan gelar yang dimilikinya tentunya ia mempunyai posisi yang lumayan. Ah, mobil dan rumah yang sekarang ditempatinya itu tidakkah merupakan miliknya" Atau bukan"
Ia sadar, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu tak mungkin bisa diperolehnya dengan mudah. Apalagi bila dia ingin memperolehnya dari mulut
Irawan sendiri. Memang hal itu tidak penting. Sama sekali bukan urusannya dan bukan pula kepentingannya. Tapi keingintahuan itu terasa menggelitik.
Selama ini Irawan hampir tiap hari menelepon. Ada saja yang dipercakapkan dan ada saja perhatian yang dicurahkannya lewat kata-kata. Misalnya, "Saya mau ke supermarket, Bu. Ibu mau titip sesuatu?" Atau, "Bu, saya tadi kebetulan lewat jalan Suryakencana lalu mampir makan asinan. Terus saya ingat untuk membawakan oleh-oleh buat Ibu. Nggak enak rasanya makan sendirian. Bisa Ibu suruh si Bibi mengambilnya lewat tembok" Mungkin agak kebanyakan, tapi asinan buahnya bisa Ibu simpan di kulkas kok. Bisa Ibu makan sedikit-sedikit sambil ngetik. Pasti sedap, Bu!"
Mengenang hal itu membuat Farida tersenyum sendiri. Memang menyenangkan sekali mendapat perhatian seperti itu. Dia tak lagi merasa sendirian. Dia diingat orang lain. Tapi dari hal-hal semacam itu terasa susahnya untuk mengenal Irawan lebih mendalam. Mungkin karena percakapan hampir selalu terjadi lewat telepon. Katakata dan ekspresi wajah bisa saja berbeda. Padahal ekspresi wajah juga bisa dianggap sebagai cerminan isi hati. Satu-satunya hal yang hampir bisa dipastikannya adalah, Irawan menaruh hati padanya!
Dalam hal itu Tommy benar. Tapi itu juga peka untuknya. Tak mungkin hal itu dibicarakan
dengan Tommy. Paling baik adalah tidak membicarakannya. Baik tentang Irawan maupun tentang pria lain, yang mana saja. Nanti Tommy akan mengingatkannya tentang kecenderungan lelaki yang suka menyeleweng. Nanti Mama akan menderita. Sama saja dengan mencari penggebuk diri sendiri. Memangnva Mama kesepian" Biar saya tinggal sama Mama saja!
"Padahal dulu justru dia yang ingin hidup terpisah, ingin mandiri dan tidak ingin dicap sebagai anak Mama," Farida mengadu kepada Ratih lewat telepon suatu malam.
"Sabar saja. Dulu kan dia belum menyadari adanya bahaya itu," sahut Ratih sambil tertawa.
"Bahaya" Bahaya apa sih, Rat" jangan mainmain ah."
"Sori deh. Maksudku, dia dulu nggak mikir bahwa akan ada laki-laki yang tertarik padamu. Ya, mikir sih mungkin sudah, tapi belum melihat kenyataannya. Tahu-tahu sekarang..."
"Dia kan tidak perlu iri."
"Mungkin bukan karena iri, Da. Tapi dia benar-benar sayang padamu hingga tak ingin kau kecewa lagi."
"Ya, mungkin juga. Tapi kayaknva berlebihan. Nggak semua lelaki seperti itu, kan?"
"Betul. Tapi kita tidak bisa tahu sebelumnya, Da. Tidak pernah bisa tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Memilih-milih sekarang hampir hampir tak ada gunanya. Manusia bisa berubah sih. Coba kalau nggak."
"Kau benar, Rat. Aku memang sangat mencintai Tommy. Hanya dia milikku satu-satunya sekarang. Tapi aku tak ingin cinta itu menghambat dan mengekang. Kayak dulu aku mengganduli dia. Toh aku bisa juga melepaskan dorongan jelek itu. Sekarang malah jadi terbalik."
"Tapi, aku yakin nggak akan terus-terusan begitu. Pada saatnya dia akan lebih banyak mencurahkan perhatian untuk urusannya sendiri. Sekarang ini kalian saling membutuhkan."
"Oh, tentu, Rat. Hal itu terasa sekali. Sebagai seorang anak dia lebih dari harapanku. Aku berterima kasih. Dia sudah berbuat banyak untukku."
"Ya. Dia punya tanggung jawab."
"Tapi aku takut kalau terlalu banyak, Rat. Aku takut kalau saling membutuhkan itu terlalu besar. Kita akan terlalu akrab, terlalu lekat sampai nanti susah lepas. Dia kan lelaki. Kau sendiri dulu yang menasihati aku seperti itu. Dan buat aku juga bisa berat kalau aku sukar melepaskan diri. Pada suatu saat kelak dia akan diambil perempuan lain. Istrinya. Lantas aku akan kesepian dan sendirian. Jadi dari sekarang aku harus bersiap-siap, bukan?"
"Aku mengerti maksudmu, Da. Itu wajar. Kau ingin memberi respon terhadap perhatian laki-laki kepadamu, bukan" Aku pikir itu bagus. Nikmatilah hidup ini dengan cara yang wajar. Kau berhak untuk itu. jangan terlalu memikirkan risiko. Aku yakin kau cukup kuat untuk mengatasinya. Kau sudah berpengalaman."
"Tapi kadang-kadang aku malu, Rat. Dulu aku sudah bertekad bahwa hidupku hanya untuk Tommy. Kemudian aku merasa bahwa yang semacam itu juga kurang baik. Aku masih memiliki diriku sendiri. Dan kesadaran itu kuat."
"Sudahlah. Kau tidak usah malu. Kau berhak memilih yang terbaik. Hanya kau yang tahu mana yang baik." _
"Apakah aku egois?"
"Ah tidak. Bukankah yang kauinginkan itu merupakan sesuatu yang tidak berlebihan" Kau tidak cuma memikirkan dirimu sendiri, bukan" Bagaimana kau bisa memberi banyak untuk Tommy kalau kau mengabaikan dirimu sendiri" Kalau kau sakit..."
"Ah, masa sakit sih, Rat. Aku nggak seloyo itu." Farida tertawa.
Ratih juga tertawa. "Kau memang nggak loyo. Kau masih gagah dan kuat. Aku cuma memisalkan."
"Aku ngerti. Tapi Tommy?"
"Sudahlah. Nanti aku akan bicara dengan dia."
"Ah jangan. Nanti disangkanya aku yang menyuruh."
"Tentu saja tidak. Aku punya cara sendiri. Aku tidak akan terang-terangan memberi nasihat dan segala macam. Aku cuma mengajaknya mengobrol. Secara kebetulan saja. Sambil lalu. Sementara ini hindari saja konflik atau perdebatan tentang masalah itu."
"Kau benar. Aku juga sudah berpikir begitu."
"Nah, jalan yang kautempuh sudah baik. Kau cukup bijaksana kok. Malah kayaknya lebih bijaksana daripada aku. Kepalaku cuma penuh teori sedang pengalaman hidupku minim."
Seusai percakapannya dengan Ratih, Farida merasa lebih mantap. Semangatnya tinggi. Dan kalau sudah begitu segala rasa kurang enak akan menjauh. Dia kembali ke depan mesin tiknya. Jari-jari tangannya menari-nari dengan lincah. Sesekali dia berhenti. Dia teringat akan Irawan. Pasti Irawan bisa menangkap bunyi mesin tiknya. Padahal dia sudah berusaha memperhalus bunyi itu dengan memberi alas kain tebal di bawah mesin tik. Tapi tak bisa meredam bunyi. Toh Irawan mengatakan bahwa dia menyukai bunyi itu. Sama sekali tidak mengganggu, begitu katanya. Bahkan dia lebih suka kalau bunyinya lebih keras. Bisa jadi teman di malam hari hingga dia tidak kesepian, katanya lagi. Jadi alas kain tebal itu diangkatnya. Apalagi dari tetangga satunya lagi tak pernah ada protes tentang suara mesin tik malam-malam. Mungkin karena mereka sendiri juga suka membuat gaduh dengan suara radio, kaset, atau televisi yang keras.
Dengan pikiran sesekali melayang kepada Irawan itu ia meneruskan kerjanya. Jari-jari tangannya seperti kereporan menyalurkan banjir kata-kata yang membahana keluar dari benaknya. Terus. Terus. Dia tak ingin berhenti. Tak boleh berhenti. Bahkan sepertinya ada rasa takut kalau dia berhenti maka semua akan macet lalu kering.
Dan dia akan mandul, tak bisa berkarya lagi dan tak bisa menghasilkan apa-apa lagi.
Akhirnya dia berhenti. Bukan karena kelelahan atau kehabisan ide, tapi karena merasa memang sudah saatnya untuk berhenti. istirahat sebentar. Ambil napas. Lalu membaca lagi semua yang sudah diketiknya barusan. Itu juga merupakan bagian dari kebiasaannya menulis.
Dia melakukannya dengan santai dengan pindah duduk ke kursi malas yang sudah dipindahkannya dari kamar tempat penyimpanan barang barang peninggalan Gunawan. Kursi itu lebih baik dia manfaatkan daripada tersia-sia.
Hampir saja tangannya susah memegang lembaran kertas. Jari-jarinya terasa lemas dan seperti kehilangan rasa, terutama di ujung-ujungnya. Ia perlu waktu sebentar untuk memulihkan dengan menggerak-gerakkan dan menggosok-gosokkan jari-jarinya.
Setelah membaca dia tertegun. Rasa aneh yang susah dimengerti tiba-tiba saja muncul. Tentu dia sadar dan kenal benar akan tulisannya sendiri. Itu memang idenya, hasil pikirannya. Mustahil dia bisa melupakan. Tapi yang disadarinya sekarang adalah sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak disadarinya tadi sewaktu asyik menulis bagai kesetanan. Kenapa tokoh sang suami dalam ceritanya itu jadi mirip irawan" Memang sejak awal ia tidak pernah menggambarkannya secara jelas. Mungkin karena saat itu ia masih belum yakin akan tokohnya sendiri. Ia masih mencari
cari. Dan hal semacam itu sebenarnya juga biasa terjadi dalam karyanya yang lain. Itu berarti ia masih memerlukan seseorang dalam kenyataan untuk dijadikan contoh. Tapi. kenapa harus Irawan"
Pelan-pelan Farida meletakkan lembaran-lembaran kertas itu di atas dadanya lalu memejamkan matanya. Ia perlu menenangkan perasaannya dulu sebelum dapat melanjutkan kerjanya. Ia perlu berhenti kalau merasa ragu-ragu. Ia perlu memperoleh pegangan yang pasti dan tempat berpijak yang mantap. Sesuatu yang terasa di luar kebiasaannya dalam mengarang. Biasanya, ia selalu merasa pasti dan mantap walaupun belum tahu ke mana arah ceritanya. Ia juga tak pernah risau akan tokoh-tokoh dalam ceritanya. Semua itu toh Cuma fiksi. Sekali ia memastikan penggambaran fisik dan karakter para tokohnya maka ia tinggal melanjutkan dengan lancar tanpa perlu mempertentangkannya lagi. Tak perlu ada beban apa-apa. Lantas kenapa kali ini terasa sukar" Dia selalu tersendat dan terantuk pada masalah yang sama. Pencampur-adukan antara yang nyata dengan yang khayal!
Mula-mula Salmah, kemudian Irawan. Tapi ada perbedaan antara kedua tokoh, sang istri dan sang suami dalam ceritanya, meskipun sama-sama memiliki kemiripan dengan Salmah dan Irawan. Pada mulanya penggambaran tokoh sang istri lahir begitu saja, murni dari imajinasinya sendiri. Tahu-tahu kemudian ternyata tokoh ini mirip
dengan Salmah, padahal dia sama sekali tidak mengenal siapa dan bagaimana Salmah itu. Sementara tokoh sang suami baru sekarang saja ia menggambarkannya dengan kemiripan seperti Irawan. Padahal dia sudah mengenalnya sejak awal. Apakah sebaiknya dia menggantinya saja" Tapi rasanya sayang. Pcnggambarannya terasa pas. Kalau tidak merasa cocok pasti dia pun tak akan selancar itu.
Kemudian muncul pikiran lain yang melegakan. Mungkinkah hal itu terjadi karena sebentar sebentar dia teringat akan Irawan saat bekerja tadi" Akibatnya tanpa sadar dia memasukkannya begitu saja ke dalam karyanya. Mengherankan tapi bukan tidak mungkin. Kalau dia mengenang caranya menulis tadi...
Tapi pikiran itu juga memanaskan muka. Dia malu sendiri. Bayangkan kalau orang yang bersangkutan tahu. Tak seharusnya dia membiarkan pikirannya terganggu bila sedang bekerja. Tapi toh sebenarnya dia tidak merasa terganggu tadi. Kerjanya lancar saja. Ingatan akan Irawan datang dan pergi tanpa beban.
Setelah kelegaan diperoleh, bangkit kembali semangatnya. Tapi sudah jam sebelas malam, begitu ia menyadari dengan kaget. Tak terasa waktu berlalu. Apakah sebaiknya ia berhenti saja lalu melanjutkan besok" Tapi dia belum mengantuk. Semangatnya masih tinggi dan masih banyak yang ingin ditulisnya. Besok bisa lain lagi. Bagi seorang pengarang tak ada jam kerja. Yang
penting baginya adalah kondisi fisik, pikiran, dan semangatnva. Tak ada faktor keterikatan dengan jam berapa saat itu. Apalagi dia pun seorang yang bebas. Tak ada orang yang menuntut pelayanan darinya. Tak ada tanggung jawab yang harus dipenuhinya. Waktu adalah miliknya sendiri. Suatu hal yang sangat berbeda dibanding saat dia masih hidup bersama Gunawan.
Farida kembali mengetik setelah mengalasi mesin tiknya dengan kain yang ekstra tebal. Suaranya menjadi halus. Kali ini dia harus membuang pikiran yang tadi. Apakah Irawan bisa mendengar atau tidak suara mesin tiknya dia tak ingin peduli lagi.
Jari-jarinya kembali menari dengan lincah. Dia menulis tentang pohon-pohon bunga tasbih yang sudah mati dan dibuang. Mayat yang terkubur di bawahnya harus dipindahkan karena gejala alam yang timbul di atasnya sudah menunjukkan adanya ketidakwajaran. Keheranan seseorang yang muncul kemudian dalam kehidupan tokoh sang suami bisa menjadi sumber kecurigaan. Tidak semua orang bisa begitu saja menerima ketidakwajaran sebagai suatu fenomena alam yang lumrah. Setelah mayat dipindahkan ke tempat lain, maka tanah di situ pun terbebas dari jeritan roh yang penasaran dan mengamuk menuntut keadilan. Dengan demikian pohon apa pun yang ditanam di situ sebagai penggantinya pasti akan tumbuh subur. Itulah nasib baik si pohon belimbing yang jadi pengganti. Pasti dia akan tumbuh
bagus kalau bibitnya memang bagus. Dia tidak menanggung beban apa-apa. Dia tidak keberatan dan sengsara karena diharuskan menjadi saksi seperti halnya para pohon bunga tasbih yang malang itu. Seharusnya memang ada saksi sebagai penunjuk adanya kejahatan. Walaupun tak ada manusia yang bisa dijadikan saksi tapi masih ada alam dan isinya. Tidak sepatutnya kejahatan terkubur dalam kebisuan. Manusia tak boleh dibiarkan takabur. jadi, bila tak ada manusia maka alamlah yang akan mengatur.
Farida menulis dengan lancar. Tapi tidak gencar seperti tadi. Dia tenang dan terkendali. Dan dia sangat menikmati ceritanya sendiri tentang nasib para pohon bunga tasbih. para saksi yang malang. Semuanya musnah. Ah, tidak semua. Masih ada satu yang tersisa. Bahkan justru yang satu itulah yang seakan tampil sebagai juru bicara rekan rekannya. Bunganya ternoda darah.
Tiba-tiba ia tersentak. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan" Yang ditulisnya itu bukan semata-mata khayalan. Dialah si pemilik pohon yang satu itu. Sejak terakhir melihatnya dalam keadaan sudah mengeluarkan kuncup ia belum melihat lagi. Padahal sudah lewat beberapa hari. Ia memang jarang ke kebun belakang. Sungguh tidak seharusnya ia melupakan. Mestinya bunga itu sudah mekar. Atau jangan-jangan sudah layu"
Tanpa pikir panjang Farida melompat dari duduknya lalu lari ke belakang. Bi Icah sudah lama tidur. Tapi ia lebih suka sendirian meskipun
ketika itu tengah malam dan di belakang penerangannya remang-remang. Lampunya cuma sepuluh watt. Sama sekali tak ada rasa takutnya. Tentu suasananya berbeda dibanding saat ia melompati tembok untuk memasuki halaman rumah Irawan. Ketika itu ia sungguh-sungguh takut. Tapi kali ini ia berada di rumahnya sendiri. Ia penuh keyakinan diri.
Angin malam menerpa wajahnya ketika ia membuka pintu belakang. Terasa dingin menyambar tengkuknya. Tapi ia tidak peduli. Pikiran dan perhatiannya hanya tertuju ke satu hal.
Bunga tasbih itu sudah mekar. Besar dan kelihatan menantang. Tapi hanya ada satu. Lainnya masih berbentuk kuncup. Farida sama sekali tidak terlambat. Bunga itu sedang berada dalam puncak kemekarannya, berarti di puncak keindahannya. Dan justru di bawah cahaya lampu temaram dia kelihatan eksotis.
Dalam jarak beberapa meter Farida berhenti sebentar. Dia terpukau dan berdebar oleh ketegangan. Saat-saat itu diperlukannya untuk menenangkan dirinya dulu. '
Kemudian ia melangkah pelan-pelan seakan mau menangkap serangga. Lalu ia berhenti dan membungkuk. Jarinya memegang pelan bunga itu dan mengarahkannya agak ke atas. Hanya sebentar pandangnya jatuh kemudian ia memekik pelan. Apa yang ingin dilihatnya sudah cukup jelas biarpun penerangan suram. Bunga itu putih bersih tanpa noda!
Tubuh Farida gemetar sebentar. Tiba-tiba matanya menjadi basah oleh keharuan. Keindahan yang putih bersih itu seolah melambangkan kesucian. Sesuatu yang tak dimiliki dirinya maupun manusia mana pun di bumi ini.
Dia membelainya sebentar. Sesaat dia raguragu. Sepertinya kurang patut bila dia merenggutnya dari tangkai yang memberinya kehidupan. Tapi dia memerlukan. Toh besok lusa bunga itu pun akan layu lalu busuk.
"Maafkan aku," katanya lirih.
Lalu ia memetiknya dengan hati-Irati. Kemudian bergegas membawanya masuk.
Cepat-cepat ia mengambil buku telepon lalu membalik lembaran yang sudah ditandainva. Di situ tersimpan bunga yang dulu. Ternyata sudah mulai mengering tanpa kehilangan segala ciri yang dulu dimilikinya. Noda-noda itu masih ada dengan jelas. Karenanya tampak kontras dengan bunga yang baru dipetik walaupun keduanya berasal dari pohon yang sama.
Farida merenunginya sebentar. Lalu dengan hati-hati ia meletakkan bunga yang baru dipetik tadi di tengah lembaran yang lain pada buku yang sama. Sedang bunga yang lama dikembalikannya di tempat semula. Lalu buku disimpannya segera.
Dia kembali ke meja tulisnya dan mengetik lagi. Masih perihal bunga itu. Jelas pohon yang tertinggal itu sudah menjadi saksi bagi sesuatu yang mengerikan. Maka ia pun menuliskan pengalaman dan perasaannya saat menemukan bunga
itu. Mendetil dan riil. Dan ia puas karena berhasil mengungkapkan semuanya di atas kertas dengan hidup sekali. Tak ada yang berlebih tak pula ada yang kurang. Semua sungguh-sungguh seperti apa adanya.
Setelah selesai ia terkejut sendiri. Ternyata tokoh si penemu bunga unik dalam ceritanya itu, yang barusan menceritakan pengalamannya dengan begitu mengesankan. adalah gambaran dirinya sendiri! Padahal tokoh tersebut ditempatkannya sebagai kekasih sang suami. Seorang kekasih yang menghadapi dilema antara cinta dan kecurigaan. Padahal dia sendiri tentu saja bukan kekasih siapa-siapa!
Memang sejak semula sudah disinggungnya perihal sang kekasih itu. Tapi tak pernah terpikir bahwa kemudian dia akan memasukkan dirinya sendiri ke dalam tokoh itu. Ah, ikut pulakah dia bermain" Dia, sutradara sekaligus pemain" Ah, bukan. Tentu saja bukan dia sutradaranya. Lalu siapa"
Farida menarik napas dalam-dalam. Lebih baik jangan memikirkan yang abstrak, kata hatinya. Bukankah dia menyukai semua itu"
Ia tersenyum. Tak disadarinya bahwa senyumnya itu tampak aneh. Ia memang tak bisa melihatnya.
"Sebuah permainan.?" gumamnya.
Esok paginya, Bi Icah menemukan majikannya tertidur di kursi malas. Lembaran-lembaran kertas yang sudah diketik berserakan di atas dadanya.
*** Di HARI Sabtu pagi yang cerah sebuah mobil dengan pelat nomor B sekian menyusuri jalan yang dinaungi pohon-pohon kenari itu dengan perlahan-lahan. Pengemudinya, seorang pria berkumis dengan rambut menipis di atas dahinya, membelalakkan mata ke arah nomor-nomor rumah yang dilaluinya. Jelas ia sedang mencari rumah seseorang.
Ketika itu Irawan sedang berada di luar rumahnya dengan celana pendek dan kaus oblong. Dia bermaksud mengecat pagar. Tentu saja terlihat olehnya tingkah pengemudi mobil tadi. Apalagi si pengemudi kemudian menghentikan kendaraannya di dekatnya.
"Cari siapa, Pak?" tanya Irawan.
Pengemudi itu menyebut nomor yang dikehendakinya, tapi kemudian ia menunjuk rumah Farida. "Oh, yang itu!" serunya.
"Cari siapa, Pak?" ulang Irawan.
"Ibu Farida Gunawan, Pak," sahut si pengemudi dengan enggan. Dia toh sudah menemukan rumah yang dituju. Jadi tak perlu perantara lagi.
"Yang pengarang itu?" tegas Irawan lagi.
"Ya betul," sahut yang ditanya sambil berpikir apakah ada beberapa Farida Gunawan di situ.
"Memang itu rumahnya kok," kata Irawan sambil menunjukkan sikap tak acuh. Ia meneruskan kesibukannya.
Si pengemudi memandangnya sebentar lalu bertanya dengan ragu-ragu, "Apa orangnya ada ya, Pak?"
"Wah, saya nggak tahu. Coba saia ditanyakan."
Si pengemudi memarkir mobilnya lalu keluar.
"Bapak dari penerbit?" tanya Irawan masih dengan sikap acuh tak acuh. Seakan cuma bertanya iseng saja.
"Ah bukan. Saya temannya."
Irawan mengangguk. Dia hanya melirik sebentar ketika orang itu membuka pintu pagar rumah Farida. Lalu senyumnya mengembang ketika mendengar teriakan ragu-ragu, "Spadaaa...!"
"Seorang teman...," gumam Irawan sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di pintu.
*** Farida berhadapan dengan Frans Darmo.
"Lingkungan yang menyenangkan. Pasti cocok sekali untuk seorang pengarang," puji Frans.
Farida cuma tersenyum. "Kok anak-anak nggak diajak, Pak?"
Frans mengangkat tangannya. "Nah, lupa lagi ya" Kita kan sudah berjanji untuk membuang sebutan Bapak dan Ibu itu. Formal amat."
"Ah, kebiasaan sih, Pak, eh..." Farida jadi tersipu oleh kegugupannya. Sesuatu yang menjengkelkan.
"Apa saya sendiri nggak boleh memanggil Ida?"
"Tentu saja boleh."
"Kalau begitu, panggil saya Frans."
"Iya. Frans," sahut Farida tak berkeberatan walaupun merasa jadi anak kecil lagi.
"Tadi kau bertanya apa, ya?" tanya Frans tanpa canggung lagi.
"Tentang anak-anakmu. Kenapa tak diajak?" balas Farida, juga tanpa kecanggungan.
"Oh ya. Tentu saja tidak. Mereka kan sekolah. Dan saya memang sengaja memilih hari dan saat ini. Repot bawa-bawa anak kecil."
Neraka Gunung Bromo 1 Badai Salju Karya Karl May Gunung Rahasia 3

Cari Blog Ini