Omen Karya Lexie Xu Bagian 2
yang selama ini menjadi tamengku.
"Terserah," sahutku dengan ketenangan yang membuat
diriku sendiri bangga. "Buatku kamu nggak berarti apaapa. Jadi, kehilangan kamu sebagai teman juga bukan
masalah bagiku." Oke, mungkin kali ini aku juga supertolol. Aku sangat
berharap dia minta maaf dan meralat kata-katanya. Namun, sekali lagi cowok ini menusuk hatiku dengan berkata, "Ya udah. Kalau begitu, sampai di sini aja, ya."
Tanpa menyahut, aku berjalan pergi dengan langkahlangkah cepat, seolah-olah aku tidak sabar untuk meninggalkannya.
Lalu, saat akhirnya aku tiba di toilet cewek, aku pun
menangis sejadi-jadinya. Isi-Omen.indd 84 JADI, bisa dibilang sebenarnya aku ogah banget mengikuti karyawisata. Kurang ajarnya, aku tetap ditagih duit karyawisata,
dan tukang palak berani mati yang melakukannya adalah
Daniel. Ya, betul, anak tengil itu adalah wakil ketua kelas
kami. Aneh? Tidak juga. Pengurus kelas kami, seperti
pengurus di kelas-kelas lain, terdiri atas murid-murid
paling populer dan paling disukai.
"Kenapa tau-tau lo yang nagih?" tanyaku curiga.
"Mana bendahara kelas kita?"
"Tuh, di situ." Daniel mengedikkan kepala ke depan
kelas, ke arah bendahara kelas kami, Vinny, yang sedang
berpura-pura sibuk menulis sambil sesekali mencuri-curi
pandang ke arah kami. "Katanya dia takut minta duit
sama elo. Udah bagus bukan elo yang minta duit sama
dia." Aku memelototi si bendahara kelas, yang semakin menunduk sambil menulis dengan kecepatan super. Oke,
tak ada yang bisa menulis secepat itu. Mungkin dia
sedang mewarnai sesuatu dengan bolpoin.
Isi-Omen.indd 85 "Ayolah, Ka, kali ini minta duit sama nyokap lo. Kan
nyokap lo juga tau ini bukan duit buat main-main, tapi
diminta dari sekolahan."
Aku mendengus. "Memangnya dari mana nyokap gue
bisa tau soal karyawisata ini?"
"Kan pasti nyokap lo kasih duit ke Eliza juga."
"Nggak, Eliza bayar pake duit tabungan sendiri kok."
"Gile, memang manis banget tuh cewek. Pantes nyokap lo sayang banget..." Kata-kata Daniel terputus saat
melihat wajahku yang gelap banget. Dia menelan
ludah, lalu bertanya takut-takut, "Mau gue yang bayarin aja?"
Aku menggeram, dan Daniel buru-buru ngacir.
Yah, sebenarnya cowok itu lucu juga, asal tidak sedang
narsis saja. Setidaknya, meski dia berasal dari keluarga
kaya, dia tidak sesumbaran soal itu. Beda dengan anak
lain yang tidak jelas kaya atau tidak, tapi hobi banget
pamer, alias si Anus. Baru saja aku berpikir begitu, muka Daniel nongol di
atas bahuku. "Eh, karena udah gue bayarin, lo kudu ikutan, ya! Gue
ogah bayarin sesuatu secara sia-sia.... Auww!" Cowok itu
berteriak kaget saat aku mengeplak mukanya dengan
buku. Sambil mengusap-usap hidungnya yang besar, dia
menggerutu, "Begini ya, cara lo berterima kasih?"
"Bukan, ini cara gue ngusir nyamuk," sahutku. "Tapi
iya, gue akan berterima kasih deh."
"Caranya?" tanya Daniel penuh semangat.
"Yah, dengan ikut karyawisata itu, bego."
"Yaaah," seru Daniel kecewa. "Kirain bakalan dikasih
satu ciuman atau lebih."
Isi-Omen.indd 86 "Mau?" Aku mengepalkan tinjuku. "Tapi dicium pake
ini." "Nggak deh. Kasihan muka gue yang ganteng ini."
Apa kubilang? Dia memang narsis banget.
Intinya, karena itulah aku bertengger di jok belakang
Ninja si Ojek di malam Minggu begini?bukan karena
aku kepingin bermalam Minggu dengan si Ojek lho.
Apalagi, cowok yang bersangkutan juga kelihatan curiga
banget. Cih, memangnya aku mau menghabiskan waktu
dengan cowok yang insecure begini?
"Kali ini bukan karena kamu bakalan ketemuan
dengan seorang cowok, kan?"
"Bukan." Baru saja si Ojek menghela napas dengan gaya lebay
banget, aku buru-buru menambahkan, "Gue bakalan
ketemuan sama banyak cowok."
Si Ojek melotot dan aku langsung nyengir puas.
"Relax, pal." Aku menepuk bahunya. "Ini acara karyawisata sekolah kok. Berhubung ada banyak cowok di
sekolah gue, mau nggak mau gue bakalan ketemu sama
mereka, ngerti? Omong-omong, kok lo cranky banget?
Jealous, ya?" Si Ojek makin melotot saja. Buset, ternyata matanya
bisa lebih gede lagi daripada biasanya, padahal biasanya
pun sudah mirip kelereng.
"Siapa yang jealous sama anak kecil dan tengil kayak
kamu?" Aku langsung cemberut. "Aku cuma khawatir cowok-cowok ngambil kesempatan, sementara kamu polos banget dan nggak punya
pengalaman," tambahnya.
Isi-Omen.indd 87 Aku ternganga sejenak. "Hei, yang bener aja! Gue? Polos? Apa otak lo lagi nggak beres?"
"Yah, kamu memang masih polos, walaupun tampangmu rada mirip cewek bejat."
Aku berkacak pinggang, lalu buru-buru menurunkan
tanganku saat menyadari gayaku mirip Ksatria Baja
Hitam dengan kepala mengenakan helm coreng-moreng
jelek yang kupinjam dari si Ojek. "Gue nggak mirip
cewek bejat!" "Dikatain polos marah. Dikatain bejat juga marah.
Oke, yang paling tepat, kamu itu cewek sulit."
Sambil berkata begitu, si Ojek mendorong kepalaku
perlahan dengan satu jarinya. Aneh, kenapa aku jadi
deg-degan? Ini kan si Ojek, cowok masam dan tua, kayak
om-om pemarah yang menopause sebelum waktunya....
Eh, tunggu dulu. Yang bisa menopause kan cuma
cewek. Yah, pokoknya kalian mengerti deh maksudku.
Intinya, cowok ini jauh lebih suka marah dibanding
manusia-manusia pada umumnya. Jadi, tak pantas aku
deg-degan menghadapi tingkahnya yang sok perhatian
itu. Tapi jantungku tak mau disuruh menurut. Apalagi
tahu-tahu si Ojek berkata, "Ya udah, ayo buruan naik.
Jam berapa acaranya dimulai?"
"Jam tujuh," sahutku sambil menempatkan diri di
belakangnya. Tidak terlalu dekat, supaya jantungku tidak
semakin menggila. "Tempatnya di mana?"
"Senayan." "Apaaa?" si Ojek berteriak kaget. "Jauh bener!"
"Yah, namanya juga karyawisata," sahutku santai.
Isi-Omen.indd 88 "Tapi waktunya tinggal setengah jam!"
"Tapi elo sanggup kan sampe di sana tepat waktu?"
Mendengar nada mengejek dalam suaraku, dia menyahut dengan rahang mengeras tanda dia sedang sebal
banget, "Tentu aja bisa. Pegang erat-erat, ya!"
Aku menggigit bibir untuk menahan jeritan saat motor
itu langsung meluncur dengan kecepatan tinggi. Namun
dalam beberapa detik, rasa kagetku berubah menjadi rasa
senang luar biasa akibat adrenalin yang mengalir deras
dalam darahku. Keahlian si Ojek dalam menghindari
berbagai kendaraan membuat kami bagaikan terbang di
atas jalanan luar kota menuju Jakarta.
Tanpa disadari, tahu-tahu saja kami sudah memasuki
kota Jakarta. Yah, perumahan kami memang tidak terlalu
jauh dari Ibu Kota Negara, tapi tetap saja berada di luar
kota. Pemandangannya pun jauh berbeda. Perumahan
kami begitu tenang dan damai, sementara Jakarta tampak
megah dengan gedung-gedung tinggi, lampu-lampu jalan,
dan papan-papan iklan raksasa. Berbagai macam kendaraan yang tak terhitung jumlahnya berderet-deret, memenuhi jalan dengan lampu berwarna-warni yang terlihat meriah.
Singkat kata, Jakarta memang menakjubkan.
Seperti yang dijanjikan si Ojek, kami tiba di Hotel
Hadiputra Grandeur Senayan tepat pada waktunya.
"Itu bus sekolah kamu," kata si Ojek saat aku melepas
helmku. "Lalu?" tanyaku cuek.
"Kok kamu tadi nggak naik bus sekolah aja?"
"Nggak mau ah, culun."
Jawaban itu, entah kenapa, membuat si Ojek ter89
Isi-Omen.indd 89 senyum. "Kalo gitu, aku akan tunggu di sini sampe
kamu pulang." "Serius?" tanyaku kaget. "Mungkin malem sekali
lho." "Nggak apa-apa. Ada banyak hiburan di sekitar sini
kok." Aku menatapnya dengan sorot mata curiga. "Ternyata
lo sukanya sama cewek-cewek Jakarta, ya?"
"Cewek-cewek Jakarta lumayan," katanya tanpa malumalu, "tapi aku lebih suka yang dekat-dekat aja."
"Maksud lo, yang sesama tukang ojek juga?"
Muka si Ojek berubah masam lagi. Ya ampun, apa dia
tidak capek memasang wajah seperti itu melulu?
"Dasar cewek bego. Udah, sono masuk."
Cewek bego? Hmm, dia belum tahu soal daya ingat
fotografis yang membuatku pantas disebut jenius. Tapi
tak apalah, aku tak akan pamer-pamer soal itu. Aku kan
tidak sombong. "Sampe nanti, Jek."
"Iya, Ngil." Pertunjukan yang akan kami saksikan diadakan di aula
besar yang terletak di samping hotel, jadi aku langsung
menuju ke sana dan menyerahkan tiket. Cewek penjaga
pintu yang mengenakan kostum serbahitam dan berkesan
misterius berkata, "Mbak, tolong tuliskan nama dan
alamat Anda di potongan tiket yang akan diserahkan ini.
Soalnya nanti akan ada doorprize."
"Nama?" tanyaku heran. "Bukannya biasanya doorprize
pake nomor?" "Saya juga nggak tahu, Mbak," sahut si penjaga pintu.
"Ini permintaan dari ilusionisnya."
Isi-Omen.indd 90 "Ooh, oke." Aku menulis dengan gaya superpede. "Nih,
beres!" Si penjaga pintu membaca nama yang kutuliskan dengan muka tercengang. "Nama Mbak Daniel?"
"Yep. Keren, kan?"
Sebenarnya, aku menulis nama Daniel karena seandainya tiketku mendapat doorprize, Daniel-lah yang patut
menerima hadiahnya lantaran tiket ini dibelikan olehnya. Tapi lucu juga melihat tampang takjub si cewek
penjaga pintu. "Udah ya. Saya udah boleh masuk, kan?"
Sementara si penjaga pintu memasukkan potongan
tiket ke dalam kotak plastik raksasa tembus pandang, aku
menyelonong masuk ke dalam ruangan yang ternyata
jauh lebih besar daripada yang kuduga?dan ramainya
juga tidak kira-kira. Berbagai jenis penonton memenuhi
ruangan, sampai-sampai aku nyaris tak bisa menemukan
murid-murid satu sekolahku. Padahal, supaya kami
semua gampang ditemukan, kami sudah disuruh mengenakan seragam sekolah yang saat ini tampak putih
bersinar dalam kegelapan. Aku yakin, aku sendiri mirip
hantu berpakaian seragam SMA yang menggentayangi
kursi demi kursi, mencari-cari orang yang kukenal. Kalau
tidak ada suara musik yang ingar-bingar ini, aku pasti
kelihatan menakutkan banget.
Tiba-tiba kurasakan tangan dingin memegang bahuku.
Aku menoleh dan tercekat. Astaga, ternyata Welly, dan
dia mirip banget dengan tuyul begeng yang udah kebelet
banget saking pucatnya! Isi-Omen.indd 91 "Kursi kita ada di belakang!" teriaknya seraya mengatasi suara musik.
Pantas saja aku tidak menemukan orang-orang yang
kukenal. "Mojok bener!" "Namanya juga tiket supermurah."
Yah, benar juga sih. Entah kenapa kepala sekolah kami
memborong tiket yang paling murah, meski untuk tiket
VIP pun sebenarnya orangtua kami sanggup membayarnya.
Mungkin beliau hanya takut didemo para ortu akibat
menyuruh murid-muridnya mengeluarkan uang untuk
kegiatan yang tidak penting-penting banget. Nonton sulap
begini, mana unsur pendidikannya? Kurasa, ada kongkalikong tertentu antara Bu Rita dan pihak panitia.
"Yuk, gue temenin ke sono!" Welly menggamit tanganku.
Buat kalian yang bertanya-tanya, ya, aku dan Welly
sudah berbaikan kembali. Sulit berlama-lama marah dengan teman yang biasa main dengan kita dua belas jam
sehari. Kurasa Welly juga merasakan hal yang sama
denganku. Jadi, tanpa butuh kata maaf, tahu-tahu saja
kami sudah baikan dan main bareng lagi.
Meski diam-diam aku merasa ada yang berbeda dengan
sikapnya. Kutatap bahu Welly yang terlalu tegak di depanku.
Aku ingat, sudah beberapa kali aku memergokinya sedang memandangiku, dan saat aku menatapnya balik,
bukannya langsung cengar-cengir atau apa, dia malah
membuang muka. Dan dalam waktu sekejap itu, aku merasakan tatapannya bukanlah tatapan biasa, melainkan
tatapan tajam yang membuatku merinding.
Isi-Omen.indd 92 Oke, semoga saja ini bukan karena dia menyadari aku
adalah kembaran Eliza dan mulai beralih naksir padaku.
Amit-amit. Kami tiba di barisan terdepan dalam kumpulan muridmurid sekolahku. Yep, seperti biasa, tempat terbaik selalu
diambil oleh murid-murid paling populer di sekolah, dan
aku beruntung punya teman seperti Daniel. Berkat cowok
itulah aku selalu kebagian fasilitas-fasilitas terbaik.
Padahal aku sama sekali bukan murid beken.
Oke, sedikit beken deh. Tapi tetap saja, bukan beken
dalam arti baik dan itu tak bakalan membuatku mendapatkan hak-hak istimewa.
Bicara soal murid beken dan hak-hak keparat mereka,
tak jauh dari kami, aku bisa melihat dua murid populer
lain yang tak ingin kulihat saat ini. Yep, betul, mereka
adalah Ferly dan Eliza. Memang sih, mereka tidak duduk
berdampingan?hanya terpaut dua-tiga orang anak?tapi
itu bukan urusanku. Yang membuatku kesal adalah keduanya langsung membuang muka dan pura-pura tidak
melihat saat aku tiba. Seolah-olah tadinya mereka sudah
sempat kegirangan karena mengira aku tidak akan datang, dan kini kemunculanku membuat mereka bete.
Omen Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku jadi kepingin memukuli keduanya sampai babak
belur. Kualihkan pandanganku ke tempat lain. Agak jauh di
pojokan, aku bisa melihat si cewek cupu tersenyum
padaku. Dia melambaikan tangannya dengan canggung.
Aku tergerak untuk membalasnya, tapi kuurungkan niatku itu dan berjalan menuju Daniel yang menyambutku
dengan cengiran lebar. Aku menjatuhkan pantatku di
Isi-Omen.indd 93 sebelahnya, dan dia langsung menyodorkan popcorn
untukku. "Kok lo bisa dateng bareng Welly?" tanyanya keras di
telingaku. "Tadi dia ngaku sama gue mau ke toilet!"
"Iya!" balasku tak kalah keras. "Gue ketemu sama dia
di toilet cowok." Daniel menatapku penuh arti. "Oh, jadi lo beneran
udah jadi cowok nih?"
Aku mengangguk dengan muka serius. "Mulai sekarang, lo punya saingan baru."
"Lo nggak seganteng itu, Ka."
"Sejelek-jeleknya gue, gue tetep lebih cakep dibanding
elo, Niel." Sebelum Daniel sempat membalasku, pengumuman
agar kami semua segera duduk dengan tenang diulang
berkali-kali sampai semua penonton mencurahkan perhatian pada panggung yang masih tertutup tirai. Perhatian Daniel langsung terarah ke depan.
Sementara itu, aku malah melirik ke samping. Seperti
Daniel dan para penonton lain, Ferly dan Eliza sedang
memandang ke arah panggung dengan muka serius. Kulemparkan popcorn ke arah mereka, membuat keduanya?
dan orang-orang lain yang juga kena lempar?menoleh
ke arahku dengan muka kaget. Kutarik kelopak mata ke
bawah dan kujulurkan lidah sepanjang-panjangnya. Tapi
bukannya menanggapiku, keduanya malah kembali
melihat ke depan. Buset, aku dicuekin. Makin bikin kesal aja!
"Childish," komentar Daniel tanpa menoleh.
"Biarin," balasku judes.
Lagu pembukaan mulai berkumandang dan megah,
Isi-Omen.indd 94 diikuti dengan dibukanya tirai panggung dengan perlahan. Seorang pria yang mengenakan setelan tuksedo
berdiri di tengah-tengah panggung, dan semua orang
bertepuk tangan untuk menyambut kemunculannya.
Berkat televisi besar di dekat kami, aku bisa mengamati
tampang pria itu dengan cermat. Dia sama sekali tidak
mirip ilusionis aneh dan seram, melainkan lebih mirip
David Copperfield yang ganteng versi Indonesia.
Rambutnya yang hitam pekat disisir ke atas semua,
alisnya tebal berbentuk golok, sementara senyumnya tersembunyi di balik kumis tipisnya yang tampak simpatik.
Tubuhnya tidak terlalu tinggi tapi tegap, dan setelan
tuksedo yang keren itu membuatnya terlihat mengesankan.
Komentar-komentar bernada genit diselingi suara
cekikikan menandakan bahwa banyak yang menganggap
pria ini masih cukup muda untuk ditaksir. Sayangnya,
cowok-cowok flamboyan macam dia dan Daniel bukanlah tipeku. Aku lebih suka cowok yang pendiam dan
tidak banyak bacot namun sebenarnya baik hati.
Seperti si Ojek. Arghh. Kenapa tahu-tahu aku malah memikirkan si
Ojek? Jelas cowok itu bukan sekadar pendiam, tapi tukang bete kelas berat. Sudah begitu, tampangnya masam
senantiasa, bikin dunia jadi serasa suram. Pokoknya, dia
tak ada bagus-bagusnya deh.
Lagian, aku ngoceh panjang lebar soal cowok pendiam
dan baik hati lantaran dulu kukira Ferly adalah cowok
pendiam yang baik hati. Namun ternyata dia tidak seperti yang kusangka. Sebenarnya, menurutku dia agakagak pengecut. Mana dia sudah tidak memedulikanku
Isi-Omen.indd 95 pula. Jadi aku pun tak akan memedulikan dia lagi. Aku
tak akan memikirkannya lagi.
Bukan berarti aku harus mulai memikirkan si Ojek
sialan. Suara si ilusionis terdengar dalam dan menyejukkan
saat dia berkata, "Selamat malam, para penonton yang
terhormat. Pada malam ini kalian akan ditemani oleh
saya, Alvin Alfonzo, dengan ilusi-ilusi luar biasa yang
akan mengagetkan Anda sekalian dan menghantui
mimpi-mimpi Anda sampai berhari-hari setelah ini."
Oke, kata-kata ini mungkin terdengar lebay, tapi kalian
tidak berada di sini sih. Ilusionis itu benar-benar hebat.
Matanya yang gelap menyapu kami semua, sementara
cara bicaranya memberi kesan misterius yang membuat
kami semua merinding. Tanpa melihat pun, aku sudah
tahu bahwa setiap pasang mata di sini tertuju padanya.
Bahkan aku pun mulai melupakan kekesalanku pada
Ferly dan Eliza, serta memusatkan perhatian padanya.
"Dalam setiap acara yang saya bawakan, saya akan meminta beberapa orang dari penonton untuk membantu
saya, sekaligus untuk meyakinkan bahwa tidak ada trik
khusus dalam ilusi-ilusi saya."
"Padahal," bisikku pada Daniel, "penonton yang dia
pilih pasti orang-orang yang dia bayar untuk membohongi kita-kita ini."
Buset, satu lagi orang yang nyuekin aku. Daniel malah
sepertinya tidak mendengarku sama sekali lantaran terlalu terpesona pada si ilusionis.
"Dan untuk meyakinkan kalian semua bahwa penonton yang saya pilih adalah penonton acak," kata si
ilusionis sambil mengedipkan mata?anehnya, aku me96
Isi-Omen.indd 96 rasa kedipan itu ditujukan padaku, "saya akan mengambil namanya dari dalam benda ini."
Seorang cewek berkostum serbahitam mendorong
kotak plastik raksasa tembus pandang tempat para penjaga pintu memasukkan potongan karcis masuk tadi.
Jadi, inilah alasan kenapa si ilusionis meminta kami
menuliskan nama kami. Wah, andai saja aku menuliskan
namaku. Siapa tahu aku bisa berada di atas panggung
dan menelanjangi salah satu triknya. Kan bakalan heboh
banget. "Kamera akan menyorot dari dekat setiap kali saya
mengambil tiket. Jadi, tak akan ada kecurangan dalam
proses ini." Satu demi satu acara pun berjalan. Diawali dengan
sulap-sulap klasik tipikal seperti mengeluarkan kelinci
dari topi, menemukan koin dan bunga dari balik tubuh
penonton yang menjadi asisten, memasukkan kertas
yang sedang terbakar ke dalam kantong baju. Meski kedengarannya sederhana, ilusionis ini berhasil memikat
semua orang dengan gaya, penampilan, dan pilihan
katanya yang menarik. Bahkan aku pun tidak bisa melepaskan tatapanku dari
panggung. Sang ilusionis sudah mendapatkan seluruh perhatian
kami saat dia berkata, "Sekarang saya akan mendemonstrasikan nomor yang menjadi favorit saya, yaitu hipnotis!"
Tepuk tangan bergemuruh menyambut ucapannya.
"Untuk itu saya akan memanggil tiga orang penonton
untuk membantu saya." Seperti sebelumnya, dia mulai
mengaduk-aduk kotak plastik raksasa. "Asisten pertama,
Isi-Omen.indd 97 Bapak Rizal dari Kemang! Yang mana Bapak Rizal dari
Kemang?" Kamera menyorot sekelompok orang yang berteriakteriak, menunjuk-nunjuk seorang bapak-bapak berkacamata yang berdiri sambil tertawa-tawa.
"Nah, itu dia Pak Rizal. Tolong ikuti nona cantik yang
akan menuntun Anda ke panggung. Sekarang asisten nomor dua. Siapakah orangnya? Oh, ternyata seorang wanita. Ibu Alexandra dari Tangerang. Yang mana Ibu
Alexandra dari Tangerang?"
Kali ini kamera menyorot seorang wanita muda dengan penampilan keren.
"Wah, beruntung sekali kita malam ini, ditemani oleh
asisten wanita yang begini menarik! Nah, Ibu Alexandra,
silakan ikuti nona yang akan menunjukkan jalan menuju
panggung. Dan asisten terakhir, siapakah orangnya? Erika
Guruh dari SMA Harapan Nusantara. Seorang siswi SMA,
rupanya!" Hah? "Ka, dia manggil elo tuh!" teriak Daniel sambil menyodokku kuat-kuat. "Gila, hoki bener lo!"
Yang benar saja. Aku kan tidak memasukkan namaku
ke dalam kotak itu! Kok bisa-bisanya aku dipanggil?
Kecurigaanku langsung beralih pada ketiga temanku
yang tampak antusias banget.
"Di antara elo bertiga, ada yang masukin nama gue,
ya?" "Bukannya nama kita pasti ada di dalam kotak plastik
itu?" tanya Amir heran. "Kan tadi dimintain di depan!"
"Udahlah, Ka, jangan banyak bacot," seru Welly. "Buruan maju!"
Isi-Omen.indd 98 Pandanganku menyapu sekeliling, menatap wajahwajah yang menampakkan berbagai perasaan. Ada yang
menatap kagum, ada yang memasang tampang mengejek,
ada yang bersorak-sorai memberi dukungan. Namun, dua
muka yang paling close-up adalah Ferly dan Eliza yang
tersenyum padaku dengan muka sok baik.
Setelah berkali-kali nyuekin aku?! Cih.
"Nona yang bernama Erika?" Aku membalikkan tubuhku dan mendapati seorang cewek berpakaian serbahitam
tersenyum padaku. Bukan cewek yang tadi menyambutku
di pintu depan sih. "Ayo, biar saya antarkan ke panggung."
Berhubung semua orang sedang melihatku?termasuk
Ferly dan Eliza?tak mungkin dong aku bertingkah seperti pengecut dengan berteriak-teriak, "Nggak mau!
Nggak sudi!" Jadi aku menegakkan bahu, lalu mengusap
rambutku dan berkata, "Oke, let?s go."
Saat aku menuruni tangga menuju panggung, kudengar sorak-sorai di belakangku?dan suara ketiga temankulah yang paling keras.
Aku curiga, pasti salah satu di antara merekalah yang
sudah memasukkan namaku ke dalam kotak itu.
Tak lama kemudian, aku mendapati diriku sudah
berdiri berjejeran dengan kedua penonton lain yang menyambutku dengan senyum grogi. Ya ampun, jadi harus
basa-basi begini. Terpaksa deh aku ikut menyeringai ke
arah mereka supaya tidak disangka sombong. Siapa tahu
kami bakalan dikerjai bareng di sini. Lebih enak kan
kalau kita punya sekutu? Sayangnya, seringaianku lebih
mirip memamerkan gigi ketimbang senyum ramah dan
Isi-Omen.indd 99 bersahabat. Pasti tampangku kelihatan seram, karena dua
orang itu langsung buru-buru memalingkan wajah.
Terdengar suara berdeham di mikrofon, dan kami pun
segera mengalihkan perhatian kami pada sang ilusionis.
Aku terkejut saat tatapan kami bertemu. Sorot matanya
yang tajam menghunjam padaku?hanya padaku?dan
kali ini bukan hanya perasaanku. Ujung bibirnya sedikit
naik, membentuk senyum misterius.
Mendadak saja, hatiku dicekam kengerian yang amat
sangat saat dia berkata dengan cara yang menyiratkan
seolah-olah ucapan itu hanya ditujukan padaku, "Malam
ini, saya akan menunjukkan kepada kalian pengalaman
yang akan mengubah hidup kalian. Untuk selamalamanya."
100 Isi-Omen.indd 100 SEBUT saja aku skeptis, tapi aku tidak percaya yang
namanya hipnotis. Ayolah, yang benar saja. Masa hanya dengan menatap
pendulum yang berayun-ayun, kita langsung mau melakukan apa saja yang diinginkan si tukang hipnotis?
Sori, aku tahu, aku sudah menyinggung banyak orang
dengan pendapatku ini, tapi aku tetap ingin menegaskan
bahwa hipnotis itu tidak masuk akal.
Hingga detik ini pun, pada saat aku berdiri di depan
panggung ini, aku tetap memandang adegan di depan
mataku dengan curiga. Si bapak-bapak dari Kemang barusan dituntun turun oleh cewek berpakaian serbahitam
setelah tertawa dan menangis berkali-kali sesuai perintah
si ilusionis, sementara si wanita bergaya sok keren dan
aku berdiri di tepi panggung?aku dengan muka aktingnya-boleh-juga, si tante dengan tampang mati-dehbentar-lagi-giliran-gue.
"Dik." Aku menoleh dan melihat si tante sedang tersenyum ala sales. "Udah nggak sabar lagi, ya? Mau duluan aja?"
101 Isi-Omen.indd 101 Enak saja dia. "Nggak ah," tolakku mentah-mentah. "Saya orangnya
sabar banget kok. Lagian, saya pengen liat Tante jadi apa."
Wajah si tante berubah. "Jangan panggil Tante dong.
Panggil saja saya Kakak."
Cih, maunya. Muka tante-tante gitu.
"Terserah deh, Tante."
Oke, sekarang si tante tampak bete banget dan jadi
lupa memasang tampang siap matinya. Sudah kuduga
dia hanya berpura-pura takut. Seperti bapak-bapak tadi,
pasti dia sudah dibayar untuk melakukan akting kelas
teri ini. "Nah, sekarang giliran Ibu Alexandra dari Tangerang.
Silakan duduk di Kursi Hitam, Ibu Alexandra."
Seperti yang dialami oleh si bapak-bapak, si tante-tante
sok keren segera duduk di sofa hitam yang diletakkan di
tengah-tengah panggung. Meski sofa itu kelihatan
nyaman, si tante-tante sama sekali tidak terlihat santai.
"Jangan tegang gitu dong, Bu," canda si ilusionis.
"Nanti saya ikutan tegang dan salah menghipnotis."
Si tante-tante tertawa kecut. "Sepertinya kata-kata itu
nggak mengurangi ketegangan saya."
Si ilusionis tertawa. "Ini acara untuk bersenang-senang,
Bu, jadi nggak perlu merasa tegang, oke?"
Senyum si ilusionis segera meluluhkan hati si tantetante yang hanya bisa mengangguk pasrah.
"Sekarang ikuti instruksi saya. Pejamkan mata Anda,
lemaskan tubuh Anda, kosongkan pikiran Anda." Suara
si ilusionis terdengar lembut, berima, menenangkan. Disentuhnya bahu si tante-tante dengan muka kebapakan.
"Bayangkan air terjun di depan Anda, dengan pohon102
Isi-Omen.indd 102 pohon tinggi dan rindang di sekitarnya. Langit biru
cerah namun tidak panas, burung-burung berkicau riang
di antara pepohonan, ikan-ikan berloncatan menembus
permukaan air. Rasakan setiap helai rumput pada kulit
Anda, angin sepoi-sepoi membelai tubuh Anda, dengarkan gemercik air yang begitu dekat di telinga Anda.
Anda terlelap, begitu dalam, dan dalam, dan tidak akan
bangun meskipun ada segerombolan gajah berlarian di
samping Anda." Aku menyaksikan si tante yang tadinya tegang berubah santai, dan kini, setelah tertidur, wajahnya tampak
damai. Si ilusionis menjauh dengan perlahan-lahan, sementara musik di latar belakang yang tadinya mengalun
lembut kini mulai membahana dengan keras dan megah.
"Berdiri!" perintah si ilusionis, dan si tante yang sedang tidur pun langsung berdiri meski dengan tubuh
lemas lunglai. Melihat kejadian itu, para penonton langsung bertepuk tangan dengan keras. "Berjalan mengitari
panggung." Oke, rasanya aneh sekali melihat tante-tante berpenampilan keren berjalan mengelilingi panggung dengan
tubuh lemas tanpa terjatuh sama sekali. Lebih aneh lagi
melihatnya mulai berlari-lari saat diinstruksikan oleh si
ilusionis, meloncati lingkaran-lingkaran yang dibawakan
oleh asisten-asisten si ilusionis yang berpakaian serbahitam, merunduk untuk menghindari tiang-tiang, bahkan
menari dengan gaya mirip balerina di tengah-tengah
panggung. Sementara penonton bersorak-sorai karena kagum, aku tetap tidak bisa mengenyahkan pemikiran bahwa semua itu hanyalah tipuan belaka.
103 Isi-Omen.indd 103 Tapi, kalau semua ini memang hanya akting, ini berarti si tante-tante layak dapat Piala Oscar. Soalnya, dia
Omen Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
benar-benar kelihatan seperti orang yang sedang tidur
dan tetap beraktivitas. Kedua tangannya yang melambailambai saat dia berlari, bahunya yang merunduk, matanya yang tertutup sempurna tanpa ada kedipan atau
kerutan. Yah, sebentar lagi aku bakalan mengetahui acara ini
sungguhan atau tidak dengan mengalaminya sendiri. Jadi
tak ada gunanya juga aku berspekulasi saat ini.
Buset, aku jadi deg-degan.
Musik yang membahana mengiringi pertunjukan si
tante mulai melembut kembali saat si ilusionis memerintahkan si tante untuk berjalan santai dan duduk di
sofa hitam. Lalu, saat dia mengusap bahu si tante-tante
dan bertepuk tangan tiga kali, mata si tante-tante terbuka perlahan-lahan, berkedip-kedip sejenak seolah-olah
merasa lampu sorot yang sejak tadi diarahkan padanya
itu terlalu terang. "Halo, tidur Anda nyenyak?" sapa si ilusionis ramah.
"Sebenarnya iya," sahut si tante terheran-heran. "Tapi
kok rasanya capek sekali."
Para penonton tertawa mendengar jawaban itu, dan si
tante segera menoleh dengan wajah bingung.
"Apa tadi saya melakukan sesuatu yang konyol?" tanyanya hati-hati.
"Tidak sama sekali," sahut si ilusionis sambil menariknya berdiri. "Bahkan, sebenarnya Anda baru saja melakukan sesuatu yang luar biasa. Anda baru saja berjalan
sambil tidur." 104 Isi-Omen.indd 104 Mata si tante terbelalak. "Oh, ya?"
Si ilusionis mengangguk. "Dan bukan itu saja. Coba
kita lihat sama-sama."
Televisi raksasa yang ada di empat penjuru ruangan
segera menayangkan ulang pertunjukan yang baru saja
dilakoni si tante yang kini menontonnya dengan wajah
merah dan pandangan bingung.
"Astaga, saya bahkan nggak pernah belajar balet!" serunya saat menyaksikan adegan dirinya yang sedang berputar-putar di atas jempol kaki kanannya.
"Betulkah?" tanya si ilusionis tampak terkesan. "Anda
harus mulai belajar. Gerakan balet Anda bagus sekali.
Anda pasti punya bakat. Kalau Anda sudah jadi balerina
terkenal, jangan lupa undang-undang saya, ya."
Si tante mengangguk-angguk dengan muka narsis.
"Pasti, Pak." "Oke, terima kasih, Ibu Alexandra, untuk bantuannya
dalam pertunjukan ini."
Sementara si tante-tante disingkirkan secara halus, si
ilusionis mulai berkoar-koar lagi, "Dan inilah asisten saya
yang terakhir, seorang siswa yang masih muda dan
ganteng" Sial. "Om, liat-liat dong. Saya ini cewek, tau!"
"Oh, maaf." Si ilusionis tersipu-sipu seraya melirik sekilas ke arah rok seragamku. "Habis, adik ini unik sekali.
Rambutnya pendek dan cara jalannya pun gagah. Adik
pasti pemberani sekali, ya?"
Tahu saja dia. "Yah, begitulah."
"Kalau begitu, Adik pasti sudah tidak sabar untuk
105 Isi-Omen.indd 105 mengalami sendiri pengalaman dihipnotis, ya? Luar biasa
sekali adik kecil ini. Ayo, kita berikan tepuk tangan
untuknya!" Hmm, sebenarnya sih yang lebih luar biasa adalah si
ilusionis ini. Meski dia membicarakan?bahkan memuji?
aku, caranya mengucapkan semua itu membuatnya tetap
memegang kendali dan menjadi pusat perhatian.
Dengan luwes si ilusionis menggiringku ke sofa hitam
dan mendudukkanku di sana.
"Nah, sekarang, pejamkan matamu dan usahakan
untuk rileks. Kosongkan pikiranmu."
Oke, akan kuikuti semua kata-katanya. Aku ingin tahu
apakah semua ini sungguhan atau tidak.
"Kosongkan pikiranmu. Rasakanlah, semuanya begitu
tenang dan nyaman. Menyenangkan, bukan? Kini, coba
bayangkan tempat yang sangat gelap. Tidak ada apa-apa
di sana. Yang ada hanyalah kamu seorang diri."
Kurasakan tangannya mengusap bahuku dengan lembut. Ya, benar. Semua ini gampang sekali. Menyenangkan, seperti kata si ilusionis.
"Tidak ada bayangan di bawah kakimu. Kamu bahkan
tidak bisa melihat jari-jarimu sendiri meski itu ada di
depan matamu. Di dalam dunia ini, kamu betul-betul
sendirian." Perasaan itu tiba-tiba mulai mencekamku lagi. Perasaan
gelap, jahat, dipenuhi kebencian pada semua orang. Pada
dunia. "Mendadak saja, dalam kesendirian itu, muncullah
orang yang paling dekat di hatimu."
Dalam kegelapan itu, muncullah Eliza, berdiri tak jauh
dariku. Aneh, tadinya kukira orang itu adalah Ferly, atau
106 Isi-Omen.indd 106 Daniel, atau cowok manalah yang mungkin pernah menarik perhatianku. Mungkin juga si Ojek yang belakangan ini sering nongol di dekatku. Tapi aku tidak pernah
menduga orang yang paling dekat di hatiku adalah
Eliza. Aku bisa melihat adik kembarku itu dengan sangat
jelas. Dalam bayanganku, dia terlihat dalam warna
hitam-putih bagaikan dalam televisi kuno. Meski begitu,
tubuhnya memancarkan sinar bagaikan malaikat yang
cantik, angkuh, suci. Membuatku merasa kotor dan penuh dosa.
"Di dunia ini, kamu bebas melakukan apa saja padanya. Dan kali ini, kamu akan melakukan sesuatu yang
tadinya tidak berani kamu lakukan padanya. Sesuatu
yang berbahaya. Sesuatu yang terlarang."
Oh, ya. Ada sesuatu yang sudah lama ingin kulakukan
padanya. Aku ingin sekali membunuhnya.
"Di sekelilingmu terdapat semua benda yang kamu
butuhkan untuk melakukan semua itu."
Di lantai yang tampak gelap dan tak berdasar itu, mendadak berserakan berbagai macam senjata yang tampak
mengerikan?tentu saja dalam warna hitam-putih juga?
pistol, gergaji, kapak. Namun yang paling mencolok adalah
sebilah pisau yang terletak tak jauh dariku. Pisau itu
tampak masih sangat baru dan tajam. Saat aku mengambil
pisau itu, gagangnya terasa pas dalam genggamanku.
Ya, betul. Mencabik-cabiknya dengan pisau akan lebih
baik daripada menembaknya atau memotong-motongnya.
"Perlahan-lahan, tanpa dia sadari, kamu mendekatinya."
107 Isi-Omen.indd 107 Begitu mudah. Eliza memang tidak mudah curigaan.
"Lalu, tiba-tiba saja dia menoleh ke arahmu"
Matanya yang lebar dan indah terbelalak melihat pisau
yang hendak kuayunkan... "tepat pada saat kamu melaksanakan keinginan terlarangmu."
dan aku pun menusuknya. Kedua tangan Eliza memegangi kedua tanganku, seolah-olah hendak mencegahku meneruskan perbuatanku.
Darahnya yang merah mengaliri tangan kami. Ya, hanya
cairan itulah yang berwarna dalam dunia yang serba
hitam-putih itu, dan cairan itu terlihat sangat menjijikkan. Kental, pekat, dan menjijikkan.
Oh, sial. Apa yang sudah kulakukan?
"Jangan, Ka," bisik Eliza dengan susah payah. "Seberapa pun lo benci sama gue, kita ini saudara kembar.
Plis... jangan bunuh gue."
"Sudah terlambat." Suara gelap yang asing menggema
di telingaku, menguasai pikiranku. "Tidak ada jalan kembali lagi. Kau harus melakukan semuanya sampai tuntas."
Dan di bawah tatapan mata Eliza yang penuh permohonan, aku pun menarik pisau itu dari tubuhnya dan
menusukkan benda itu padanya lagi.
Berkali-kali. Aku berharap tatapan mata yang membanjiriku dengan
rasa bersalah itu tertutup rapat. Namun, mata Eliza terus
menghunjam padaku, seolah-olah mengatakan bahwa dia
tidak akan melepaskanku. Untuk selamanya. Dan
tubuhku yang berlumuran darahnya yang merah pekat
menegaskan hal itu. Aku sudah bernoda darah adikku
sendiri. 108 Isi-Omen.indd 108 Oh, sial. Lalu mendadak terdengar suara penuh otoritas. "Bangun. Buka matamu."
Perlahan-lahan, tubuh Eliza yang bersimbah darah lenyap dalam kegelapan, membuatku merasa lega setengah
mati. Namun tiba-tiba saja muncullah wajah itu, wajah
yang tak akan kulupakan. Wajah yang begitu mengerikan, dengan mata besar yang gelap tanpa ada bagian
putihnya, hidung dengan dua lubang yang begitu besar
sehingga sanggup menelanku, dan mulut yang tersenyum
begitu lebar namun tanpa rasa senang di dalamnya.
Wajah yang terlihat sangat puas dengan tindakan pembunuhan yang baru saja kulakukan.
Dan aku pun menjerit sekeras-kerasnya.
Hingga kusadari bahwa di dalam ruangan raksasa ini
hanya suara jeritanku yang terdengar.
Aku juga menyadari bahwa tanganku mencengkeram
sofa itu kuat-kuat hingga terasa sakit, dan wajah mengerikan itu bukanlah wajah yang kubayangkan barusan,
melainkan wajah si ilusionis.
Tatapanku melewati si ilusionis, mengarah pada ribuan
penonton di belakangnya, yang semuanya terpaku padaku. Lalu, saat pandanganku lebih terfokus, aku bisa melihat Eliza, di antara ribuan orang itu, duduk di samping
Ferly. Keduanya terperangah menatapku dengan sorot
mata tak percaya yang tak terlalu jauh berbeda dengan
apa yang baru saja kulihat dalam dunia lain.
Dunia khayalanku. Jadi yang tadi sepertinya hanyalah bayanganku sendiri.
Sesaat napasku terhenti. 109 Isi-Omen.indd 109 Ataukah, aku sudah melakukan semua itu di hadapan ribuan orang ini? Apakah aku baru saja memperlihatkan sisi gelapku pada seluruh dunia?
Tawa canggung si ilusionis memecah keheningan.
"Ternyata adegan mesra yang kita harapkan tidak tercapai," katanya sambil mengulurkan tangan padaku,
"dan kita mendapatkan tontonan tak terduga."
Lututku langsung terasa lemas. Jadi aku benar-benar
sudah mempertontonkan keinginanku menghabisi Eliza
di depan semua orang ini?
Di depan Eliza sendiri? "Bukannya membuatnya menatap cowok yang paling
dicintainya di dunia ini, ternyata saya malah membuatnya menjerit-jerit ketakutan. Sepertinya muka saya ini
jelek banget, ya?" Sementara si ilusionis menggeleng-geleng sedih dan
tawa para penonton meledak, aku merasakan kelegaan
yang luar biasa bergolak dalam dadaku. Aku tidak melakukan apa-apa di depan semua orang ini. Aduh, belum
pernah aku selega ini seumur hidupku!
"Rupanya anak muda ini memang sulit dihipnotis.
Mungkin karena tekad dan semangat mudanya yang
kuat. Karena itu, marilah kita semua bertepuk tangan
untuk adik kecil ini!"
Tepuk tangan bergerumuh, namun aku tidak merasakan kebanggaan sama sekali. Tidak, ilusionis itu salah
besar. Dia bukannya tidak berhasil menembusku. Buktinya, dalam khayalanku, semua itu nyata sekali, sampaisampai kukira aku sudah melakukannya. Hanya keajaiban
yang membuatku tetap berdiri di tempat.
Hatiku terasa sesak. 110 Isi-Omen.indd 110 Hanya keajaiban yang membuatku tidak menunjukkan
diriku yang jahat kepada seluruh dunia.
Kurasakan seseorang mengapit tanganku. Rupanya
cewek berpakaian serbahitam yang mengantarku ke atas
panggung tadi. "Ayo, Dik," sapanya dengan keramahan yang sama dengan cewek penjaga pintu, sampai-sampai sesaat kukira
mereka adalah orang yang sama. "Mari saya antar ke
tempat duduk Adik." Aku mengangguk kelu. Saat kami melewati pintu dengan lampu EXIT di atasnya, aku tidak tahan lagi. Aku butuh udara segar.
"Mbak, saya mau keluar aja."
Tanpa memedulikan seruan cewek yang mengawalku
itu, aku mendobrak pintu dan menerjang ke luar. Kulewati beberapa petugas keamanan yang hanya melongo
menyaksikan ulahku. Aku menyeberangi pelataran parkir
yang serasa tak berujung, mencari-cari di antara deretan
motor yang kebanyakan butut-butut.
Lalu, seseorang menyambar tanganku.
Aku sudah siap untuk menjotoskan tinjuku, tapi gerakan tanganku terhenti saat melihat tampang masam si
Ojek yang kini terlihat aneh banget.
"Siapa yang berani bikin kamu nangis?"
Oke, sekarang aku yang kaget. Pertama-tama, aku baru
sadar bahwa aku sedang menangis. Kedua, si Ojek kedengarannya seperti marah sekali. Aku yakin, kalau sampai aku menyebut "si ilusionis", dia pasti bakalan meloncat ke depan panggung dan menyeret si ilusionis
turun, lalu menonjoknya sampai babak belur?atau langsung menghajarnya begitu saja di atas panggung tanpa
111 Isi-Omen.indd 111 memedulikan para petugas keamanan yang berusaha
mencegahnya. Keyakinan itu langsung membuat perasaanku jadi
nyaman. Kuhapus air mataku dengan punggung tangan,
lalu aku berkata dengan nada sengak yang terdengar
normal di telingaku, "Bukan siapa, tapi apa, tau?"
"Oke." Pandangan si Ojek melunak, demikian juga
cekalannya di tanganku. Kulirik tangannya yang masih
juga memegangiku dengan gaya sangat mencolok, tapi
dia tetap tidak melepaskanku. "Apa yang bikin kamu
nangis?" "Akan gue ceritain, asal lo bawa gue pergi dari sini."
"Memangnya kamu mau ke mana?" tanyanya dengan
tatapan tetap melekat padaku.
Buset, aku jadi deg-degan.
"Ke mana aja asal jauh dari tempat ini." Aku diam sejenak, lalu menambahkan, "Dan juga jauh dari rumah."
Si Ojek mengangguk. "Oke. Ayo, kita jalan."
Secepat kilat, motor si Ojek meluncur keluar dari
bilangan Senayan. Tadinya kukira aku bakalan diajak
makan di warteg atau warung pecel lele di pinggir jalan.
Tak dinyana, motor si Ojek meluncur halus ke dalam
pelataran parkir Kartika Chandra. Wah, rupanya aku
bakalan diajak makan Hokben. Mantap juga si Ojek
ini. Saat kami berhenti, aku melepaskan helm dan berkata,
"Wah, boleh juga lo, Jek. Lagi banyak tarikan ya, hari
ini?" "Lumayan," sahut si Ojek ringan. "Lagian, siapa tau
ini bisa bikin kamu terhibur."
Cengiranku lenyap tatkala si Ojek membawa kami
112 Isi-Omen.indd 112 memasuki pelataran gedung. Lebih shock lagi saat si
Ojek menarik tanganku ke arah pintu Planet Hollywood.
Mendadak kusadari, kayaknya si Ojek sudah salah jalan.
Mungkin dikiranya lewat sini pun kami bisa memasuki
Hokben.
Omen Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan penuh pengertian kutarik bahunya dan berbisik, "Jek, kayaknya kita nyasar ke tempat yang berbahaya deh."
"Masa?" Si Ojek tampak heran. "Nggak deh kayaknya."
Cowok ini betul-betul goblok. Padahal kami sudah
berdiri di bawah papan nama dengan tulisan Planet
Hollywood besar-besar. Atau
jangan-jangan dia tidak bisa baca-tulis.
Yah, aku kan tidak tahu. Maksudku, ini si Ojek, orang
yang berasal dari dunia yang sangat berbeda denganku.
Dari sekian banyak profesi yang tidak bergengsi, dia
malah memilih menjadi tukang delivery manusia. Maksudku, kalau dia jadi tukang delivery pizza, setidaknya dia
bisa mengenakan seragam keren dan bawa-bawa makanan lezat yang bisa kuminta. Belum lagi mereka punya
kesempatan untuk naik pangkat?jadi tukang cuci loyang
pizza, misalnya. Tapi tukang ojek sama sekali tidak
punya apa-apa selain motor yang jok belakangnya semakin lama semakin tipis karena diduduki berbagai macam pantat.
Oke, jok belakang motor si Ojek memang masih kencang dan enak diduduki, tapi kita kan tidak tahu nantinya benda itu bakalan berbentuk seperti apa. Mengerti
kan, maksudku? Intinya, yang mau kusampaikan adalah aku tidak
113 Isi-Omen.indd 113 tahu apa-apa soal si Ojek dan jalan pikirannya, juga latar
belakangnya. Bisa saja dia tinggal di gubuk derita yang
bocor setiap kali hujan deras dan tidur di atas tikar yang
sudah bolong-bolong, dan satu-satunya harta benda yang
dia miliki hanyalah si Kawasaki Ninja supermahal yang
barangkali dibelinya dengan meminjam uang dari lintah
darat. Mungkin saja dia terpaksa harus menyabung
nyawa setiap hari supaya tidak dihajar para tukang pukul
mafia.... Oke, aku sudah ngelantur berat. Mungkin seharusnya
aku straight to the point alias langsung nembak. "Kita
kayaknya nyasar deh, Jek. Hokben kan adanya di sebelah."
"Nggak nyasar kok," sahut si Ojek dengan muka pede
yang tidak pada tempatnya. "Kamu kan lagi sedih, dan
orang yang lagi sedih biasanya butuh makanan enak."
Wah, ucapan itu terdengar amat merdu di kupingku.
Tapi tidak, aku tidak boleh egois. Masa hanya karena
kepingin makan makanan enak, aku tega membiarkan si
Ojek jadi bulan-bulanan lintah darat? Memangnya hatiku
terbuat dari apa? Berlian? Kalau iya, aku sudah tidak ada
di sini, melainkan sedang mengipas-ngipas duit di Las
Vegas sambil bilang, "Barusan kalah satu juta dolar, tapi
nggak masalah. Duit gue masih banyak."
Oke, stop berkhayal lagi. Kembali ke kenyataan.
"Jek," tegurku dengan muka bijak plus welas asih.
"Makan Hokben juga nggak apa-apa. Buat gue, Hokben
juga enak kok. Coba lo bayangin beef teriyaki-nya yang
banyak bawang itu, rasanya maknyus bener."
"Kamu kebanyakan nonton Wisata Kuliner tuh, sampesampe ngikutin cara bicara om-om yang sering nongol
114 Isi-Omen.indd 114 di situ," cetus si Ojek nggak nyambung. "Udahlah, nggak
usah banyak protes. Hargai niat baik orang dikit kenapa
sih?" "Bukannya gue nggak menghargai"
Rupanya pendapatku sama sekali tidak berarti bagi si
Ojek. Tanpa menungguku menyelesaikan ucapanku, dia
menghampiri resepsionis yang tersenyum cerah pada
kami. Ini berarti sudah tidak ada jalan kembali, karena
tidak mungkin kan aku menyeret cowok seberat tujuh
puluh kilogram atau sekitar segitu dari hadapan cewek
cantik yang sanggup melemparkan senyum maut?
Eh, yang benar saja. Kenapa aku jadi uring-uringan
begini? Seakan-akan aku sedang jealous, gitu. Ih, amitamit.
"Selamat malam," sapa si cewek dewasa supercantik
tersebut. "Untuk berapa orang?"
"Dua," sahut si Ojek dengan suara rendah yang keren.
Astaga, ada apa sih denganku? Kenapa mendadak aku
merasa si Ojek cool banget?
"Area no smoking, ya."
Wah, si Ojek bisa bahasa Inggris juga. Mana gayanya
pede banget, seakan-akan dia sudah biasa berada di
tempat-tempat keren seperti ini. Apa jangan-jangan dia
sebenarnya cowok kaya yang sedang menyamar jadi
tukang ojek? Nggak mungkin. Ini kan bukan cerita Cinderella atau
semacamnya. Ini kenyataan. Tukang ojek ya tetap tukang
ojek. Paling-paling dulu si Ojek pernah kerja di restoran
elite. Yep, pasti bukan karena dia pangeran ganteng yang
sedang menyamar. 115 Isi-Omen.indd 115 Yah, sebetulnya si Ojek nggak jelek-jelek amat sih.
Astaga. Ada apa sih denganku? Orang yang mendengar
semua ini dan belum kenal denganku pasti akan mengira
aku sedang tergila-gila pada si Ojek. Aku harus berhenti
meracau yang tidak-tidak tentang si Ojek.
"Silakan. Ini menunya. Mau pesan sekarang?"
Aku membolak-balik menu yang disodorkan dan nyaris
tersedak ludah sendiri. Buset, si Ojek bisa jantungan saat
disodori bill nanti! Aku menyikut si Ojek dan berbisik, "Jek, gue pesan
menu anak-anak ajalah."
"Cewek rakus kayak kamu mana mungkin bisa kenyang makan menu anak-anak?" cemooh si Ojek.
Sebelum aku sempat membalas omongannya yang menyebalkan itu, si Ojek sudah mendongak ke arah si pramusaji yang cantik dan berkata, "Tolong bawakan Home
Alone buat Nona ini dan Indecent Proposal untuk saya."
Buset, memangnya aku dianggap apaan sampai-sampai
dipesankan minuman anak kecil begitu? Tapi lebih mendinglah daripada harus menenggak minuman bernama
Indecent Proposal yang kedengarannya vulgar banget.
Semua ini sudah cukup mengejutkan, tapi mulutku
makin ternganga lebar saja saat si Ojek memesankan
makanan untuk kami berdua dengan bahasa Inggris yang
kedengarannya keren banget di telingaku, mulai dari dua
hidangan appetizer, main course berupa steik, hingga lima
macam kue untuk dessert. Sampai pada satu titik kurasa
rahangku mulai pegal, barulah kusadari betapa culunnya
gayaku. Buru-buru aku memasang tampang cool.
Namun, saat si pramusaji meninggalkan kami, aku tidak sanggup menahan diri lagi.
116 Isi-Omen.indd 116 "Jek, siapa sih lo sebenarnya?"
Si Ojek tampak ge-er mendengar pertanyaanku itu.
"Nggak usah mikirin macam-macam dulu. Sekarang lebih
baik kita menikmati minuman kita dulu."
Oke, mungkin saja aku memang memiliki hati yang
imut-imut bagai anak kecil, karena minuman bernama
Home Alone itu terasa enak sekali di lidahku. Sebelum
aku sempat berpikir, gelasku sudah kosong.
"Nggak apa-apa," kata si Ojek saat aku mulai panik
dan menunjuk-nunjuk gelasku dengan bunyi gagap yang
tidak jelas. "Kita bisa pesan lagi. Kamu mau minuman
yang sama?" "Kalo ada teh botol aja deh," kataku dengan suara tercekik.
Si Ojek mendongak pada pramusaji yang menghampiri.
"Home Alone satu lagi."
Sampai saat ini aku sudah nyaris gila. Begitu si pramusaji enyah, aku mencondongkan badanku ke depan meja
dan berbisik keras (maksudku sih aku tidak ingin ada
yang mendengar, namun apa daya musik di tempat ini
terlalu keras), "Jek, serius nih. Lo punya duit buat bayar,
kan? Gue nggak mau disuruh nyuci piring di sini selama
setahun, ya!" Si Ojek ikut-ikutan mencondongkan badan dan berkata
dengan wajah serius yang nyaris terkesan angker, "Telat.
Saat ini, kita berdua udah pasti nggak akan dilepaskan
sebelum makanan kita dibayar. Jadi lebih baik kamu
nikmati semua makanannya daripada semua pengorbanan
kita jadi sia-sia." Oke, biarpun menakutkan, kata-katanya betul juga. Ya
sudahlah. Akan kusikat habis semua hidangan yang ada
117 Isi-Omen.indd 117 di atas meja, termasuk kepunyaan si Ojek kalau dia tidak
sanggup menghabiskannya. "Sabar, Ngil. Nggak usah langsung ngerebut makananku gitu dong. Kalau kamu mau kan tinggal pesen seporsi
lagi." Orang ini benar-benar tidak tahu diri. Setelah menakut-nakutiku begitu, dia masih berani mengajakku
pesan lagi. Kalau bukan tidak tahu diri, berarti dia sudah
gila. Kenapa aku bisa terjerat dalam masalah yang begini
memalukan? Omong-omong, lamb chop kepunyaan si Ojek ternyata
enak banget. Mungkin bagus juga kalau aku pesan seporsi untuk diriku sendiri juga. Toh sudah kepalang
tanggung. Kuangkat tanganku untuk memanggil pramusaji.
"Mbak, satu porsi lamb chop lagi Hei!" Aku memelototi
si Ojek yang sedang asyik mengunyah kentang goreng
yang diambilnya dari piringku. "Ngapain lo ngembat
makanan gue? Sono, pesan satu lagi."
Si Ojek nyengir. "Gaya banget ngomongnya. Oke,
nanti kamu yang bayar, ya?"
Aku mendengus. "Mimpi aja sana. Ngojek aja gue
ngutang." "Iya, tukang ngutang biasanya emang banyak gaya."
Aku memelototi si Ojek, tapi yang dipelototi malah
terus mencomot kentang gorengku dengan muka memangnya-gue-takut-sama-pelototan-elo.
Cowok ini benar-benar banyak tingkah.
Dengan gemas aku menancapkan garpuku pada lamb
chop-nya. Di bawah sorot mata garang si Ojek, aku me118
Isi-Omen.indd 118 masukkan potongan daging empuk itu ke mulutku yang
menganga lebar. Setelah itu, aku mengunyah dengan
berisik sambil mengacungkan tanda peace dengan jari
telunjuk dan jari tengahku.
"Apanya yang peace? Ini namanya ngajak perang,
Ngil." Yah, jadilah kami saling menyerang makanan satu
sama lain tanpa sempat menyentuh makanan sendiri.
Awalnya kami masih bisa memasang muka garang dan
berbahaya, tapi belakangan aku sudah mulai tertawa.
Sementara si Ojek tetap cool meski mulutnya terus menyunggingkan cengiran lebar yang jarang ditampakkannya itu.
Kenapa semakin lama dia kelihatan semakin ganteng?
Pasti semua makanan lezat ini yang sudah mengacaukan pikiranku dan membuatku kedengaran sinting.
Saat semua makanan licin tandas, aku sudah lupa dengan permasalahan yang sempat membuatku ketakutan.
Melihat si Ojek mengangkat tangannya, aku ketawa-ketawa tengil sambil meledeknya.
"Masih mau makan lagi? Jangan-jangan di balik baju
lo, perut lo sebenernya kayak Sinterklas, ya?"
"Ngaco. Sekarang disuruh makan lagi aku juga nggak
sanggup," balas si Ojek. "Nggak, ini mau minta bill."
"Minta bill?" Buset, aku langsung jadi enek, mau
muntah. "Lo ada duitnya, Jek?"
Tepat saat itu si pramusaji sudah nongol sambil membawakan map berisi "surat kematian" kami alias bill yang
panjangnya amit-amit. Setelah memeriksanya dengan
saksama?memangnya daftar itu bisa memendek kalau
119 Isi-Omen.indd 119 dipelototi lama-lama??si Ojek merogoh sakunya dan
mengeluarkan dompet kulit keren yang belum pernah
kulihat selama ini. Pikir-pikir, selama ini aku memang
belum pernah melihat dompet si Ojek. Setiap kali aku
membayarnya, yang dia lakukan hanyalah menyisipkan
lembaran lecek itu ke dalam kantong jaketnya.
Aku mencoba melirik dan, ugh, plat emas berukir
merek Bally langsung menyilaukan mataku. Namun yang
lebih silau lagi adalah lembaran seratus ribuan yang
sepertinya keluar terus-menerus dari dompet itu. Rasanya
aku ingin ikutan menadahkan tangan di depan si Ojek,
siapa tahu dia mau bagi-bagi lembaran-lembaran cantik
itu denganku juga. Sepeninggal si pramusaji, aku langsung mencondongkan tubuhku ke depan mendekati si Ojek dan berbisik,
"Jek, itu dompet siapa?"
"Ya dompetku lah."
"Kok duit lo bisa segitu banyak?"
"Makanya," kata si Ojek dengan tampang sok bijak,
"kerja keras! Jangan main warnet melulu."
Aku mendengus. "Masa muda ya seharusnya dihabiskan di warnet. Kalo udah tua masih berkeliaran di warnet, bisa-bisa gue dianggap pengangguran nggak laku."
"Sekarang kamu juga udah dianggap ABG pemalas
nggak laku." Kurang ajar. "Tapi nggak apa-apa. Kalau beneran nggak ada yang
sudi menikah denganmu, masih ada tukang ojek yang
mau menerimamu kok."
Aku mendelik padanya, namun di dalam hati aku
mulai bertanya-tanya. Masa sih si Ojek ada hati dengan120
Isi-Omen.indd 120 ku? Tidak mungkin. Jarak usia kami terpaut entahlah,
mungkin tiga tahun, mungkin sepuluh tahun, mungkin
juga lebih. Bukannya aku tidak suka cowok yang lebih
tua, tapi perasaanku waktu melihatnya mungkin sama
persis dengan perasaanku waktu melihat Bruce Willis.
Om-om keren, tapi bukan untuk dikecengi.
Aku pasti sudah sinting menyamakan Bruce Willis
dengan si Ojek. Astaga. Kalau sampai ketahuan Bruce
Willis, bisa-bisa dia menangis sambil menjeduk-jedukkan
kepalanya yang botak itu ke tembok yang seketika retakretak. Intinya, situasi bakalan tak terkendali. Jadi, sebaiknya aku tutup mulut dan tidak mulai menyamakan si
Ojek dengan orang-orang malang lainnya.
"Kok nggak balas ucapanku?" tanya si Ojek seraya
mengangkat alisnya dengan gaya sok. "Apa ketakutan
denger ucapanku dan langsung bertobat?"
Dasar cowok sialan. "Nggak kusangka kamu begitu gampang ditundukkan."
Brengsek. Minta dihajar dia rupanya.
"Tapi memang wajar sih kalau kamu takut. Nggak
semua cewek punya keberanian buat ngejomblo seumur
hidup, apalagi yang sifatnya jelek kayak kamu, Ngil.
Bisa-bisa kamu mendapat julukan makhluk uzur paling
mengerikan se-RT." Oke, kesabaranku sudah habis.
Tapi tentu saja aku tidak bakal langsung menggebukinya di tempat. Yang benar saja, memangnya aku sebego
itu? Aturan penting dalam permainan gebuk-menggebuk
adalah: lakukan di tempat yang sepi. Kalau tidak, selalu
121
Omen Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Isi-Omen.indd 121 saja ada yang berlagak sok pahlawan dan mencoba menghentikanmu.
Saat kami sudah berada di tempat parkir yang dipenuhi motor, aku menyeretnya hingga kami berada di
luar jangkauan pandangan satpam-satpam yang sedang
asyik merokok sembari ngerumpi.
"Begini," ucapku dengan muka semengerikan mungkin.
"Lo punya dua pilihan buat nebus ucapan lo yang
kurang ajar tadi. Pertama, kita by one di sini."
"By one?" "One by one." Berani mengataiku uzur? Heh, dia yang tidak mengerti
ucapan anak muda zaman sekarang. "Berantem satu
lawan satu. Tonjok-tonjokan secara jantan."
"Hmm, aku punya prinsip nggak mukulin wanita dan
aku nggak sudi dipukulin sama kamu. Aku pasti bakalan
babak belur. Aku pilih pilihan kedua."
"Elo belum denger apa pilihan kedua."
"Yah, tapi aku nggak punya pilihan lain."
"Oke," sahutku puas. "Pilihan kedua adalah ngasih tau
gue kenapa lo bisa punya duit sebanyak itu."
Si Ojek diam agak lama. Wajahnya yang biasanya
serius makin ditekuk saja, membuat napasku tertahan.
Jawaban yang diberikannya pasti kriminal banget.
"Sebenarnya aku punya perusahaan. Jadi, selain jadi
tukang ojek, aku juga presiden direktur."
Aku ternganga mendengar jawaban yang tak kusangkasangka itu.
Lalu tawaku menyembur, sementara si Ojek tampak berusaha cool dengan menahan senyum, tapi usahanya gagal
karena tampangnya jadi kelihatan lucu banget.
122 Isi-Omen.indd 122 "Ya deh, lo menang kali ini," kataku sambil menyusut
air mataku yang keluar lantaran ketawa terlalu keras.
"Buset, nggak mungkin gue belagak kesel lagi setelah
ngakak dengan dahsyat gini. Nggak gue sangka, ternyata
lo jago ngelucu, Jek."
"Yah, jangan melihat orang dari penampilan melulu
dong, Ngil." "Benar juga." Aku mengangguk-angguk. "Ya udah, gue
nggak akan tanya-tanya lagi urusan pribadi lo. Kalo lo
emang mau rahasiain, ya udah, gue hargai itu. Sekarang,
anterin gue pulang yuk!"
"Bener?" Si Ojek mengawasi wajahku. "Udah siap?"
"Iya." Aku mengangguk sambil nyengir. "Bersama lo,
sepertinya ke neraka juga bakalan jadi trip yang menyenangkan."
Si Ojek membalas cengiranku. "Kalo gitu, ongkos ojeknya naik, ya."
"Ngimpi aja lo sono."
Meski begitu, aku lega banget saat tiba di rumah dan
melihat lampu-lampu sudah dimatikan. Sepatu kets putih
Eliza pun sudah berada di rak sepatu. Ini berarti semua
orang sudah tidur, dan aku tidak perlu menghadapi
interogasi Eliza mengenai kejadian tadi. (Memangnya apa
yang harus kuceritakan padanya? "Aku berkhayal untuk
membunuhmu"?) Ketika berhasil menyelinap ke tempat tidurku tanpa
ketahuan semua orang, aku merasa aman luar biasa.
Lalu aku memejamkan mataku. Dan langsung menatap
muka mengerikan itu lagi.
123 Isi-Omen.indd 123 KALIAN pernah nonton film Saw?
Dalam film itu, penjahatnya menggunakan boneka bermuka jelek menyeramkan untuk menutupi jati dirinya.
Dan dalam beberapa adegan, aku punya perasaan tak
enak bahwa boneka itu benar-benar hidup, bernapas,
dan merencanakan semua penyiksaan itu.
Muka mengerikan yang kulihat setiap kali aku menutup mataku mirip dengan muka boneka dalam film
Saw itu. Hanya saja, muka mengerikan yang menghantuiku itu terlihat dalam warna hitam-putih, yang
justru malah menambah efek menyeramkan. Muka itu
terlihat seolah-olah berasal dari masa lain, masa yang
lampau, yang menandakan bahwa seharusnya dia sudah mati.
Dan muka itu memang tidak pernah berubah. Matanya
sangat hitam dan tidak pernah berkedip, hidungnya
berlubang sangat besar dan tak pernah mengembang
atau mengempis, bibirnya lebar dan tidak pernah menurunkan senyum jahatnya. Meski tidak menampakkan
tanda-tanda kehidupan, aku tetap punya perasaan bahwa
124 Isi-Omen.indd 124 muka itu hidup dan nyata. Seolah-olah aku bisa menyentuhnya saat aku mengulurkan tanganku.
Amit-amit. Jangan sampai aku bisa menyentuhnya.
Bisa horor banget. Makanya, tak heran kan kalau aku jadi susah tidur.
Gara-gara itulah, aku jadi senewen, gampang marah, dan
hobi cari gara-gara. Ini berarti aku tidak sudi merendahkan diri dengan ikut antrean dan memilih untuk menyerobot barisan orang-orang idiot di kantin atau di
toilet cewek, dan siapa pun yang berani memprotesku
bakal mendapatkan pelototan sangar yang sanggup
membungkam iblis sekalipun. Ini juga berarti lebih banyak adegan aku menyikut orang di koridor sekolah, dan
sebelum orang itu sempat memprotes, aku sudah menyemprotnya, "Jalan kok nggak pake mata? Udah tau
mau disenggol, kenapa nggak menghindar? Goblok,
ya?!" Pokoknya, jangan sampai berurusan denganku. Kalian
tak bakalan menang. Namun seberapa pun banyaknya aku bikin orangorang ketakutan dan lari terbirit-birit, aku tidak merasa
lebih baik. Sebaliknya, semua itu membuat perasaanku
makin memburuk saja. Itulah sebabnya aku memutuskan untuk mengacau di
pesta si Anus. Bukannya aku berusaha membenarkan diri, tapi pesta
itu memang butuh dimeriahkan dengan beberapa kekacauan. Lihat saja tingkat kepopuleran si Anus yang
luar biasa itu, alias nol besar. Tak bakalan ada yang mau
muncul di sana kecuali para pengecut yang takut pada
pembalasan si Anus?atau orang-orang malang yang
125 Isi-Omen.indd 125 belum pernah pergi ke pesta sehingga mendapat
undangan dari si Anus serasa mendapat secicip berkah
surgawi. Pesta itu pasti sepi dan membosankan, dan si
Anus bakalan senewen berat. Mendapatkan beberapa
kekacauan akan membuat pesta itu semakin menarik.
Lagi pula, aku merasa punya kewajiban untuk mengganggu si Anus. Yang benar saja, anak sialan itu berani
bikin pesta di saat-saat seperti ini, seolah-olah dia ingin
merayakan masa-masa sulitku. Tidak heran dong emosiku
yang sudah membeludak makin terpancing saja.
"Kege-eran banget sih." Begitu komentar Daniel waktu
aku mulai menggerutu panjang lebar soal pesta itu.
"Mana mungkin si Anus bikin pesta buat bikin kesel elo?
Barangkali saat ini dia udah nggak inget punya temen
kayak elo saking sibuknya ngerencanain pesta."
Aku bersungut-sungut. "Bukannya itu lebih nyinggung
perasaan gue lagi?" "Jadi mau lo apa sih?" tanyanya dengan wajah bosan
yang menyebalkan. "Ini salah, itu salah. Makin lama gue
makin kasihan sama si Anus."
"Hei," tukasku kesal. "Apa lo nggak bisa nunjukin sedikit aja rasa solider sama temen lo ini?"
"Rasa solider gue udah abis, Ka," balas Daniel dengan
muka makin menyebalkan. "Apalagi belakangan ini lo
makin menggila aja. Memangnya kenapa sih lo? PMS?"
Aku memelototinya. "Lo kali yang PMS, begini aja protes."
"Pantes perut gue mules banget dari tadi. Kirain panggilan alam gitu, nggak tahunya" Daniel meringis saat
mataku melotot lebih lebar lagi. "Udahlah, ngapain juga lo
urusin si Anus? Dia kan nggak penting banget, Ka."
126 Isi-Omen.indd 126 "Memang sih nggak penting, tapi dia ngeselin banget.
Bikin mata jadi sakit aja. Mana bertingkah banget lagi,
berani-beraninya bikin pesta di saat-saat kayak gini." Aku
menatap ketiga sahabatku yang tampaknya lebih tertarik
pada mangkuk bakmi di depan mereka ketimbang katakataku. "Ayolah, apa kalian nggak kepingin ikutan mengacau di pesta si Anus?"
"Nggak deh, makasih," sahut Amir di tengah-tengah
seruputan bakminya. Sementara, Welly mendengus dari balik teh botolnya.
"Ngeliat mukanya aja ogah."
Orang-orang ini benar-benar tidak setia kawan. Ya
sudahlah kalau begitu. Memangnya aku butuh mereka?
Cih. Yang benar saja. Aku bisa beraksi sendirian kok.
Malah, sebaliknya, barangkali malah lebih baik aku mengacau tanpa mereka. Toh selama ini aku yang jadi otak
keusilan kami, dan mereka hanya membantuku.
Meskipun rasanya agak sepi juga sih tanpa mereka.
Ah, sudahlah. Saat melihat si Anus nangis-nangis
frustrasi nanti, mereka pasti langsung kepingin ikut berpartisipasi juga.
Dan aku bakalan tertawa paling akhir.
Maka malam itu, berangkatlah aku seorang diri. Supaya tidak mencolok di tengah kegelapan, aku mengenakan pakaian serbahitam, mulai dari kaus lengan panjang
hingga jaket parka dan sepatu bot. Asal tahu saja, ini
bukan karena aku takut kalau-kalau identitasku ketahuan.
Sama sekali tidak. Malahan aku ingin si Anus tahu bahwa akulah yang bikin hancur rumahnya yang gosipnya
mewah banget itu. Tapi aku kan tidak goblok. Mana
127 Isi-Omen.indd 127 mau aku ditangkap dengan mudahnya sebelum berhasil
menyebabkan kerusakan parah?
Kesalnya, aku terpaksa harus berangkat sambil mengendap-endap supaya tidak ketahuan semua orang?orangtuaku, Eliza, bahkan si Ojek pun tidak boleh tahu. Aku
tidak ingin si Ojek mulai sok kebapakan lagi dan mulai
menceramahiku soal pentingnya menjaga jiwa supaya
tetap suci dan murni di usia muda. Sori-sori saja, yang
begituan sih sudah sering kudengar dari Rufus dan
sedikit pun hatiku tidak tergerak. Nah, kalau guru kribo
yang sudah berpengalaman ribuan tahun saja tidak berhasil mengubah tabiat dan kelakuanku, apalagi si tukang
ojek bertampang superbete itu.
Berhubung aku tidak ingin informasi keberadaanku
tersebar dalam jaringan Persatuan Tukang Ojek se-Indonesia (oke, aku tidak bersikap konyol. Mungkin saja ada
organisasi semacam itu, kan?), aku terpaksa naik sepeda
ke rumah si Anus. Yah, aku tahu, kedengarannya memang tidak keren, tapi menurutku itu jauh lebih baik
ketimbang pilihan yang tersisa, yaitu naik becak. Setidaknya, ada banyak film yang jagoannya muncul sambil
naik sepeda, tapi TIDAK ADA film yang menggambarkan
sang jagoan muncul sambil naik becak.
Pokoknya, naik sepeda itu lebih oke. Lagian, rumah si
Anus letaknya bukan di ujung dunia kok. Letaknya tak
jauh-jauh amat dari rumah kami, meski menurut gosip
(yang aku curiga disebarkan oleh si Anus sendiri), rumah
itu lebih pantas berada di kompleks mewah karena ukurannya beberapa kali lipat lebih besar daripada rumah
ukuran standar (alias ukuran rumah yang ditempati
anak-anak di sekolah kami pada umumnya).
128 Isi-Omen.indd 128 Saat aku tiba di depan rumah yang dimaksud, harus
kuakui si Anus tidak membesar-besarkan ukuran rumahnya. Rumah itu merupakan gabungan dari empat petak
rumah biasa, dikelilingi taman yang cukup luas, dipenuhi
pepohonan dan semak-semak yang dipangkas dengan
rapi. Sangat tepat sebagai tempat bagi para gerilyawan yang
ingin menghancurkan sarang penjahat.
Setelah berputar beberapa kali untuk memeriksa medan
pertempuran, aku memarkir sepedaku beberapa blok
jauhnya dan kembali ke rumah target dengan berjalan
kaki?sambil membawa batu-batuan yang kupungut di
depan sebuah rumah yang tengah direnovasi. Aku berhasil menyelinap ke dalam pekarangan rumah si Anus
tanpa ketahuan. Yah, itu sih gampang banget, mengingat
pintu pagarnya terbuka lebar untuk para tamu yang
datang ke pestanya. Saat aku mengayunkan tanganku untuk lemparan pertama, mendadak seseorang memegangi pergelangan tanganku.
Ya ampun, apakah aku bakalan tertangkap sebelum
memulai aksiku? "Elo lupa sama temen-temen lo, ya?"
Mendengar suara familier itu, perasaanku langsung
ceria. Saat aku menoleh, kulihat Daniel, Amir, dan Welly
berdiri berjejer bagaikan tiga prajurit yang siap mati
demi raja mereka. Aku tidak ingin kedengaran lebay, tapi
sungguh, aku terharu banget saat ini.
Sambil menyisir rambut dengan jari-jarinya yang panjang, Daniel berkata dengan wajah sok dewasa, "Kasihan
lo kalo harus beraksi sendirian."
129 Isi-Omen.indd 129 "Lagian rumah ini ternyata beneran gede seperti yang
dikatakan si Anus," kata Amir. "Butuh kerja keras untuk
menghancurkan rumah ini."
"Nggak mungkin bisa dilakuin cewek mungil seperti
elo," tambah Welly sok manis.
"Halah." Aku menyikut mereka satu per satu. "Bilang aja kalian nggak mau ketinggalan acara heboh."
"Iya deh, emang nggak seru bengong aja di rumah."
Daniel meringis. "Nggak ada acara teve yang bagus," timpal Welly.
"Mana Cinta Fitri udah selesai, lagi," kata Amir, lalu
buru-buru menambahkan, "Bukannya gue suka nonton
sinetron lho." "Iya, iya." Kami semua tahu Amir hobi nonton sinetron, tapi kami memutuskan bahwa rahasia itu harus
dijaga supaya kelompok kami tetap kelihatan keren.
"Kalo gitu, ayo kita hancurin rumah si Anus samasama!"
"Oke." Daniel menepuk bahuku. "Sebagai tukang hasut
acara ini, elo mendapat kehormatan untuk melakukan
serangan pertama." Aku menyeringai, lalu membidik dan menembakkan
batu pertama ke kaca jendela yang kuduga adalah
jendela ruang tamu. Dugaan dan seranganku tepat mengenai sasaran, karena langsung terdengar teriakan dan
jeritan dari balik jendela yang kacanya hancur berkepingkeping itu. Wajah pucat si Anus muncul beberapa saat
kemudian, tampak begitu konyol hingga aku tidak bisa
menahan tawaku. "Erika!" Uh-oh. Dia mendengar tawaku.
130 Isi-Omen.indd 130 "Lo harus bayar semua ini!" teriak si Anus.
"Kalo lo bisa tangkap gue!" teriakku dari balik semaksemak tempat persembunyianku. "Panggil aja polisi, kalo
perlu!" Kenyataannya, si Anus tidak akan berani melakukannya. Kalau dia memanggil polisi, dia terpaksa harus memberitahu mereka soal pestanya dan aparat keamanan itu
pasti bakalan menyampaikan semua ini pada orangtuanya?yang omong-omong, pasti tidak tahu-menahu soal
pesta ini. Kalau tidak salah, aku pernah mendengar
bahwa ayahnya pelit luar biasa, sementara ibunya yang
kesepian selalu mengisi waktu dengan nongkrong bareng
teman-temannya. Keduanya tidak terlalu peduli pada si
Anus, dan kurasa itulah sebabnya si Anus berusaha menarik perhatian semua orang dengan bersikap sebandel
mungkin. Sayang, karakternya yang pecundang dan
pengecut membuatnya tak disukai.
Omen Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kalian mungkin akan mengira seharusnya aku lebih
bersimpati pada si Anus karena persamaan masalah yang
kami hadapi. Karena orangtuaku juga tidak peduli padaku, karena perhatian mereka tercurah pada Eliza si putri
sempurna. Yah, harus kuakui, saat aku tahu tentang
orangtua si Anus, aku rada-rada kasihan pada anak itu.
Namun, seperti yang kukatakan tadi, karakternya yang
pecundang dan pengecut membuatku sulit bersimpati
padanya?dan semakin lama aku justru semakin kesal
padanya. Anak-anak konyol seperti dialah yang merusak
nama anak-anak badung, yang membuat kami tampak
jauh lebih buruk daripada yang sebenarnya. Makanya,
setiap kali teringat orangtua si Anus, bukannya jadi kasihan, aku malah jadi semakin ingin memukulinya.
131 Isi-Omen.indd 131 Dan sekali lagi, bukannya aku membela diri, tapi sepertinya semua orang, seperti ketiga temanku yang bergabung denganku, sependapat denganku. Buktinya, saat
batu-batu ditembakkan lagi, terdengar jeritan kaget
bercampur suara tawa yang menandakan semua menyukai kekacauan yang kubuat. Ya jelaslah, pesta si Anus
bukan jenis pesta yang bisa diharapkan untuk bersenangsenang. Kebanyakan mereka muncul di sini hanya karena
tak ada kerjaan di rumah. Pasti tak ada murid populer
yang sudi mampir di sini.
"Psst, Ka!" Sial! Dari sekian banyak orang, tak kusangka orang
yang pertama kali memergokiku adalah cewek yang
paling tak ingin kutemui di dunia ini, sekarang dan selama-lamanya. Sesaat, terbayang olehku bagaimana Eliza
terbaring dengan tubuh berlumuran darah di pelukanku.
Rasanya mengerikan sekali.
"Apa?" Oke, suaraku ternyata jauh lebih ketus daripada yang
kumaksud. Tapi tak apa, soalnya suaranya tak kalah
ketus. "Apa yang lo lakuin dari tadi? Apa betul lo yang bikin
hancur rumah Marty?"
Bikin hancur rumah Marty alias Anus. Yep, itu prestasiku
yang terbaru. "Siapa lagi kalo bukan gue?" ucapku bangga. "Biar tuh
anak kapok bikin pesta. Lo juga ngapain muncul di sini?
Kalo lo nggak ada, anak-anak lain pasti pulang."
"Ya suka-suka gue dong."
Caranya berbicara seolah-olah menyembunyikan sesuatu. Mau tak mau, aku jadi ingat ulah Eliza selama ini,
132 Isi-Omen.indd 132 bagaimana dia selalu bertingkah sebagai korban kenakalanku dan menempatkanku sebagai penjahat dalam kehidupannya.
"Sebenarnya, apa sih permainan lo kali ini?" tanyaku
curiga. Bukannya menyahutku, dia malah membalas dengan
nyolot, "Memangnya salah kalo gue dateng ke pesta temen gue sendiri?"
Buset, aku jadi kesal. "Temenan sama cacing pun elo mau. Dasar menjijikkan."
"Sodaraan sama ular pun gue nggak masalah, kenapa
harus takut temenan sama cacing?"
Kurang ajar. Dia mengataiku ular.
"Ya udah, terserah elo deh. Gue pulang aja. Males gue
keliaran nggak jelas di sini."
Lalu aku pun menyelinap pergi untuk menemui temantemanku.
"Bubar!" kataku kesal. "Si perusak suasana ada di sini."
"Siapa?" tanya Amir dengan muka cupu dan otak
lemot. "Eliza lah. Siapa lagi?" sahut Daniel santai.
"Lo bertiga kalo mau pulang, pulang aja," ucap Welly.
"Gue masih mau di sini."
"Bilang aja lo mau ngecengin Eliza," goda Amir, lalu
terdiam. "Eh, enak aja lo mau ngecengin sendiri. Gue
juga mau!" "Dasar dua orang nggak berguna," tukasku. "Yuk, Niel,
kita pulang." "Ehm, sebenarnya gue juga masih mau di sini," kata
Daniel malu-malu. 133 Isi-Omen.indd 133 Oh, sial. "Jangan bilang lo juga mau ngecengin Eliza."
"Ya, ehm, harus diakui, malam ini dia cakep banget."
Cukup sudah kesabaranku. "Ya udah kalo gitu," ketusku. "Gue pulang sendiri
deh!" Sambil mengentakkan kaki, aku meninggalkan tiga cowok bego itu di belakangku. Percuma punya temanteman yang kekompakannya berakhir saat cewek cantik
menggoda. Aku janji, mulai besok, aku tak bakalan
dekat-dekat dengan mereka lagi. Mulai besok, hanya
akan ada aku seorang diri. Mulai besok, akan kutunjukkan pada dunia bahwa aku bisa bertahan tanpa seorang
teman pun. Itulah rencanaku malam itu. Rencana yang tak akan
pernah terlaksana, karena malam itu juga terjadilah sesuatu yang mengubah hidupku selamanya. Sesuatu yang
membuatku tidak lagi memercayai siapa pun, termasuk
diriku sendiri. Dan sesuatu yang membuatku menyadari bahwa aku
tidak ingin hidup seorang diri.
134 Isi-Omen.indd 134 KU membuka kedua mataku, dan hal pertama yang
kurasakan adalah gumpalan tak enak yang memenuhi
dadaku. Perasaan apakah ini? "Rika, bangun!"
Astaga, ibuku sedang membentak-bentakku. Kenapa
aku sampai tidak menyadarinya? Mungkin tidurku pulas
banget tadi... Tunggu dulu. Memangnya sejak kapan aku tertidur?
"Erika, bangun sekarang juga!"
Aku terlonjak saat merasakan telapak tangan mendarat
keras di pantatku, dan terpana saat menatap wajah ibuku
yang kini tampak seloyo toge dan sepucat vampir.
Aneh, ini betul-betul aneh. Ibuku adalah wanita yang
keras. Kalian bisa melihat dari caranya mendidikku yang
mirip pendidikan ala militer (meski caranya mendidik
Eliza sangat bertolak belakang). Mungkin saja ada sesuatu
yang superaneh yang baru saja terjadi. Mungkin ibuku
digigit Edward Cullen. Tapi kalau itu sih, seharusnya dia
girang dong. Aku tahu, ibuku sudah tante-tante, tidak
135 Isi-Omen.indd 135 mungkin naksir cowok ABG seganteng apa pun, tapi kan
tetap saja, Edward Cullen gitu lho.
"Ada apa, Ma?" Suara ibuku bergetar saat menyahut, "Liza, Liza belum pulang."
Aku melirik ke arah jam bekerku. Baru jam dua belas
malam. Astaga, rupanya baru sejam aku tertidur pulas.
Pantas saja tak terasa sama sekali.
"Ya ampun, dia kan udah SMA, Ma," keluhku. "Wajarlah kalo dia belum pulang. Anak-anak seusia kami biasa
main sampai subuh. Kadang aku malah nggak pulang,
kan?" "Oh, ya?" Ya ampun, ibuku ternyata tidak tahu aku sering tidak
pulang ke rumah. Tahu begini, aku tidak bakalan mengungkit-ungkit hal itu.
"Tapi Liza kan nggak pernah bersikap seperti ini."
Untunglah, karena khawatir, ibuku tidak memarahiku
soal dosa besar yang baru saja kuakui terang-terangan itu.
"Kalo Mama cemas, hubungi aja ponselnya."
"Udah, tapi nggak diangkat."
Oke, ini kedengarannya sedikit aneh. Anak-anak lain
mungkin saja tidak akan mengangkat ponsel saat melihat
nama orangtua mereka tertera di layar ponsel, tapi Eliza
tidak mungkin bersikap seperti itu. Dia benar-benar cinta
pada ibu kami, sampai-sampai dia menulis "Ingin
membahagiakan Ibu" di kolom cita-cita di buku tahunan
sekolah. Yeah, yeah, aku tahu buat kalian itu sangat
mengharukan, tapi buatku itu agak-agak menjijikkan.
Menurutku, itu jelas-jelas menunjukkan bahwa dia suka
mencari sensasi. Kalau memang ingin melakukan perbuat136
Isi-Omen.indd 136 an baik, lebih baik disembunyikan daripada dipamerkan
ke seluruh pelosok dunia begitu, bukan?
"Coba kamu yang telepon dia."
Meski malas-malasan, kuraih juga ponselku dan kutekan nomor telepon Eliza. Aku menduga bakalan mendapat nada panggil sibuk atau suara cempreng operator
yang berkata datar: "Telepon yang Anda panggil sedang
berada di luar service area." Kenyataannya, yang terdengar
adalah nada panggil biasa.
Aku menduga-duga. "Mungkin dia nggak denger karena suara musik kelewat kencang"
Aku menjerit dalam hati saat tanganku dicekal keraskeras oleh ibuku. "Kenapa bisa ada suara musik kelewat
kencang? Apa menurutmu dia ada di diskotek? Apa yang
dia lakukan di sana? Ya Tuhan, menurutmu dia dicekoki
narkoba oleh teman-temannya?"
Oke, ini yang namanya parno banget.
"Bukan begitu, Ma," ucapku sambil berusaha melepaskan diri, namun kekuatan ibuku memang melebihi
rata-rata manusia biasa. "Kan dia pergi ke pesta si Anus
Eh, maksudku, si Marty. Barangkali aja kan dia berdiri di
dekat speaker yang suaranya terlalu keras sehingga dia
nggak denger bunyi ponselnya."
"Tapi ini sudah waktunya dia pulang," pekik ibuku.
"Dia janji akan pulang sebelum tengah malam, seperti
Cinderella." Aku tidak bisa memercayai pendengaranku. "Seperti
Cinderella? Dia bilang begitu?"
"Yah, dia memang seperti Cinderella, kan? Cantik,
baik hati, lemah lembut, dan," tanpa malu-malu, ibuku
menambahkan, "punya kakak yang jutek banget."
137 Isi-Omen.indd 137 Aku ingin mengatakan, "Dan kakak yang jutek ini kepingin tidur dan nggak mau diganggu!" Sayangnya, si
kakak yang jutek ternyata punya ibu kandung yang galak
banget. Mungkin saja si ibu kandung adalah penyamaran
dari ibu tiri. Tunggu dulu. Mungkin saja akulah
Cinderella-nya karena aku selalu dianaktirikan di rumah
ini. Tidak adil. Bisa saja Cinderella menderita macammacam, tapi setidaknya dia cantik dan bisa bersanding
dengan Pangeran Tampan. Sedangkan aku? Sudah jelek,
boro-boro bersanding dengan Pangeran Tampan. Bahkan
ketiga temanku yang jelek-jelek pun memilih adik tiriku.
Oke, aku sudah terhanyut dongeng. Eliza bukan adik
tiriku, melainkan adik kandungku. Adik kembarku malah.
Seharusnya aku lebih peduli sedikit. Sedikiiit saja.
"Jadi sekarang Mama mau aku ngapain?" tanyaku masam.
"Coba kamu susulin dia dan suruh dia pulang."
"Hah? Nggak mau!" tolakku spontan. Menyadari pelototan ibuku, aku buru-buru menambahkan, "Kan dia
udah gede. Malu kali dicariin kakaknya dan disuruh
pulang. Bisa-bisa dia malah langsung nolak. Lebih baik
kita biarin aja dia, siapa tau dia bakalan pulang dalam
waktu dekat dengan kesadaran sendiri"
"Erika, kalau kamu nggak mau pergi mencari adikmu,
lebih baik nanti malam kamu tidur di luar dengan kesadaran sendiri!"
Arghh. Sambil bersungut-sungut, aku menyambar jaket abuabu yang tergeletak di lantai. Sebenarnya aku ingin
mengenakan jaket hitam yang tadi kukenakan, tapi
138 Isi-Omen.indd 138 benda itu tidak kelihatan. Tapi tak apalah, aku tak berminat tampil keren saat ini. Aku bahkan sama sekali
tidak mau repot-repot mengganti pakaianku. Habis,
cuma ke rumah si Anus kok, buat apa keren-keren?
Sudah bagus kuberi dia kesempatan untuk melihatku
tampil apa adanya. Omong-omong, karena aku dipaksa untuk bangun
tengah malam, aku akan membuat orang lain menderita
dengan cara yang sama. "Hei, Jek!" "Hah?" Suara si Ojek di ujung telepon seperti orang
linglung. "Anterin gue ke rumah si Anus dong."
Hening sejenak, lalu terdengar suara si Ojek yang mendadak bernada siaga. "Ngapain kamu ke rumah si Anus
tengah malam begini?"
Hehe, lucu juga si Ojek sebut-sebut soal Anus.
"Bukan salah gue," kilahku. "Nyokap gue ngamukngamuk karena adik gue yang nggak bertanggung jawab
belum pulang hingga saat ini, jadi gue disuruh nyariin
dia." "Udah diteleponin belum?"
"Memangnya gue bego? Ya udah dong, tapi dia nggak
mau ngangkat. Jadi mau nggak mau gue harus menderita
bangun pada jam nggak wajar begini."
"Dan kamu menyeretku ke jurang penderitaan yang
sama?" "Begitulah." Aku menyeringai. "Jadi, elo mau anterin
gue pergi nggak?" Suara si Ojek terdengar semasam mukanya dalam bayanganku. "Daripada kamu keliaran sendirian jam segini.
139 Isi-Omen.indd 139 Tunggu ya, aku akan nyampe dalam waktu sepuluh menit."
"Eh, Jek, Jek!"
"Ada apa?" tanya si Ojek sigap.
"Jangan lupa sikat gigi ya. Gue nggak mau pingsan
nyium bau mulut lo."
"Kalo nggak mandi nggak apa-apa, kan?"
"Nggak apa-apa, gue udah biasa nyium bau asem
badan lo. Lagian kalo lo mandi dulu, kelamaan, tau."
"Sip deh kalo gitu."
Aku memutuskan hubungan ponsel dan tertawa geli
sendiri. Si Ojek kadang-kadang boleh juga. Dia sama sekali tidak marah meski kucandai soal bau-bauan yang
berasal dari anggota badannya. Itu berarti, biarpun sering
bete, dia punya selera humor yang oke juga.
Dan tentu saja, kesiapannya untuk menemaniku meski
pada jam-jam neraka seperti ini menjadi nilai plus.
Makin lama, imej si Ojek makin oke saja di mataku.
Mungkin sudah waktunya aku menanyakan nama aslinya.
Tapi bagaimana kalau nama aslinya nggak keren?
Atau lebih parah lagi, lebih jelek dari panggilan Ojek.
Bejo, misalnya. Oke, aku tahu si Ojek tinggi gede, tidak pantas dipanggil Bejo, tapi siapa tahu ibunya mengira nama itu pantas untuk si Ojek saat si Ojek masih berupa bayi yang imut dan lucu. Atau sebaliknya,
bagaimana kalau namanya ternyata adalah Jangkung?
Bisa-bisa aku teringat jelangkung melulu, dan itu lebih
amit-amit lagi. Sudahlah, lebih baik dia tetap kupanggil Ojek saja. Lebih aman.
140 Isi-Omen.indd 140 Seperti janjinya, si Ojek tiba di depan rumahku sepuluh menit kemudian?atau lebih tepatnya lagi, sembilan menit. Kalau di dunia ini ada penghargaan untuk
tukang ojek tepat waktu, pastilah si Ojek langsung dapat
nominasi.
Omen Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun, berbeda denganku yang takjub dengan performance-nya, si Ojek malah menatapku sambil terheranheran. "Kamu pakai piama?"
"Yep, kenapa?" "Nggak. Makin kayak anak kecil aja kamu, Ngil."
Sialan. "Nggak ada yang minta pendapat lo."
"Lho, tadi kamu yang nanya."
"Tapi lo juga harus dengerin nada bicara gue dong,"
tukasku. "Kalo gue ngomong dengan nada manis, itu
berarti lo diizinin ngomong sepatah-dua patah kata. Tapi
kalo nada gue jutek gini, berarti lo diharapkan untuk
tutup mulut. Ngerti?"
"Ya deh," sahut si Ojek sambil menggeleng-geleng.
"Aku memang nggak ngerti politik cewek."
"Politik cewek apanya? Ini namanya ilmu psikologi."
"Iya deh, aku memang nggak berpendidikan."
Ucapan itu membuatku membungkam. Soalnya, pada
dasarnya aku tidak suka menghina kelemahan seseorang
yang dimiliki bukan karena kesalahan orang itu.
Melihat aku terdiam, si Ojek tertawa dan menjejalkan
helm ke atas kepalaku. "Nggak usah merasa bersalah begitu. Aku nggak merasa terhina kok."
"Cih, siapa yang merasa bersalah?"
Meski berkata begitu, diam-diam aku senang si Ojek
141 Isi-Omen.indd 141 mengucapkan hal itu. Perasaanku langsung membaik karenanya.
Dan rasa senang itu membuat waktu terasa singkat.
Tahu-tahu saja kami sudah tiba di depan rumah si Anus.
Rupanya pesta sudah lama berakhir, karena rumah itu
sudah gelap, sementara sampah bertebaran di seluruh
pekarangan. Belum lagi jendela-jendela yang hampir
semuanya terbuka lebar tanpa kaca?berkat aku, tentu
saja. Aku yakin, ayah si Anus pasti akan berteriak-teriak
histeris begitu melihat kondisi rumahnya saat pulang
nanti?atau barangkali dia sudah pulang dan sekarang si
Anus sedang menangis sesenggukan sambil memeluk
bantalnya yang berbentuk Doraemon.
Tapi tak mungkin. Si Anus yang pengecut tidak mungkin berani bikin pesta di saat orangtuanya ada. Dia pasti
mengincar saat-saat orangtuanya pergi berlibur atau semacamnya.
"Adikmu nggak mungkin masih ada di sini."
Aku melirik si Ojek dengan sorot mata tajam. "Omongan lo nggak perlu banget deh. Yah, gimana pun kita
harus ngetok, Jek. Mungkin aja kan si Anus tau ke mana
adik gue pergi dugem."
"Tampang seperti adikmu nggak mungkin pergi dugem
deh." Kecurigaan langsung merebak dalam hatiku. "Elo pernah liat adik gue, ya?"
"Tentu aja pernah. Memangnya kerjaanku setiap hari
apa? Yah, memelototi setiap murid yang keluar dari
gerbang sekolahmu." "Ih, kerjaan lo mesum bener, Jek."
"Bukan begitu," kilah si Ojek. "Aku hanya ingin ber142
Isi-Omen.indd 142 jaga-jaga, siapa tahu kamu tahu-tahu memutuskan untuk
bersikap badung dan kabur dengan tukang ojek lain.
Tapi kamu tenang aja, antara kamu dan adikmu, kamu
jauh lebih menarik kok."
"Menarik?" tanyaku sinis. "Iya, tapi dia lebih cantik,
kan?" "Soal cantik sih sama aja, kan kalian kembar."
Jawaban itu begitu jujur, sehingga mau tak mau aku
memercayainya, dan aku merasa senang karenanya.
"Ya udah, nggak usah banyak bacot lagi," kataku berusaha menutupi perasaanku. "Sekarang waktunya nyariin
adik gue. Lo minggir, biar gue aja yang ngomong sama
si Anus. Pasti dia lebih takut sama gue ketimbang sama
elo." "Iya lah, kamu brutal gitu, Ngil."
Kudengar teriakan tertahan si Ojek saat melihatku langsung masuk melalui jendela yang terbuka.
"Tenang aja," bisikku. "Orang-orang di rumah ini udah
tidur. Nggak ada gunanya kita ngetok pintu dan bikin
keributan. Bisa-bisa oknum tak diharapkan yang bukain
pintu, seperti orangtua si Anus, dan kita malah kena
damprat. Lebih aman kayak begini."
"Yeah, lebih aman buatmu. Kalau si Anus, pasti dia
ketakutan setengah mati ada yang masuk ke rumahnya
tanpa izin." "Salah sendiri jendelanya terbuka lebar."
"Sepertinya bukan terbuka lebar, Ngil, tapi ada yang
mecahin kaca jendelanya."
"Oh, ya? Aku nggak merhatiin tuh."
Si Ojek menatapku dengan curiga, tapi aku terus melangkah ke dalam rumah si Anus. Setelah berhasil mem143
Isi-Omen.indd 143 biasakan penglihatanku dengan kegelapan di dalam rumah itu, aku pun menyadari bahwa bagian dalam rumah
itu lebih berantakan lagi daripada kondisi pekarangannya.
Sampah berserakan di mana-mana dalam berbagai jenis,
mulai dari piring-piring kertas berlumuran krim hingga
kue yang hancur berantakan di lantai.
Kalau si Anus tidak dipenggal, aku harus mengangkat
topi untuk ayahnya. Tidak sulit menebak yang mana kamar si Anus. Hanya
ada satu pintu yang bertempelkan sebuah papan bertuliskan "Dilarang masuk kecuali Luna Maya", dan itu
pasti bukan pintu kamar orangtuanya.
Tanpa ragu kuputar kenop pintu, dan kudapati si Anus
sedang tergeletak di atas tempat tidurnya, tertidur pulas
bagaikan kucing yang tertidur setelah menikmati
segentong susu segar. Sebelum aku sempat melangkah masuk, si Ojek sudah
mendahuluiku menyelonong ke dalam kamar itu, menjambak kerah piama si Anus yang bermotif bunga-bunga,
dan menyeretnya turun dari ranjang. Lalu si tukang ojek
yang tak kusangka-sangka punya mental preman itu menekankan jari-jarinya pada leher si Anus yang nemplok
di dinding dengan wajah pucatnya yang bersinar-sinar
dalam kegelapan. Meski sempat merasa takjub, aku menggerutu, "Udah
gue bilang, gue aja yang ngomong sama dia."
"Siapa bilang aku mau ngomong sama dia?" balas si
Ojek santai. "Aku cuma tukang pukulmu kok."
Tukang pukulku. Hmm, boleh juga. Aku lumayan suka
punya tukang pukul. Rasanya seperti bos mafia.
"Oke kalo begitu."
144 Isi-Omen.indd 144 Dengan kesombongan yang mendadak muncul, aku
menghardik si Anus, "Eh, elo! Mana adik gue?!"
"Mana gue tau?" balas si Anus, lalu menjerit kencang
saat si Ojek mengetatkan cengkeraman di lehernya.
"Sumpah, gue nggak tau dia pergi ke mana! Waktu gue
bilang gue nggak ngundang Ferly, dia langsung pergi
begitu aja! Jadi seharusnya lo tanya si Ferly, bukan
gue!" "Yang bener aja lo!" bentakku. "Ngapain juga dia
nyariin Ferly di rumah elo?"
"Karena gue bohong sama dia. Gue bilang, gue juga
ngundang Ferly supaya dia mau dateng ke pesta gue!"
Jadi karena itu Eliza mau datang ke pesta si tolol ini.
Yah, harus kuakui, aku juga tertipu dan mengira Ferly
ada di sini. Kalau tidak, aku tak bakalan mengacau
seperti tadi. "Jadi Ferly nggak ada di sini?"
"Nggak, gue nggak ngundang dia! Kalo dia dateng, gue
nggak akan jadi pusat perhatian di pesta gue sendiri
dong!" Kupukul kepalanya dan dia pun menjerit keras lagi.
"Dasar goblok! Tanpa Ferly pun lo nggak bakalan jadi
pusat perhatian, tau!"
Aku berpikir keras. "Oke. Itu kapan kejadiannya?"
"Mm." Si Anus berpikir sebentar. "Satu setengah jam
lalu, atau jam setengah sebelasan lewat lah, dan setelah itu, gue langsung bubarin pestanya karena gue
udah nggak mood lagi."
"Kok sekarang udah gelap begini, padahal rumah lo
masih berantakan banget?" cecarku lagi, tidak memedulikan teriakan si Anus yang bercampur isak tangis.
145 Isi-Omen.indd 145 "Ya iyalah. Kalo nggak, bisa-bisa gue digebukin pas
nyokap gue pulang. Kalo begini kan gue bisa pura-pura
kaget, bilang gue ketiduran sewaktu pesta masih berlangsung, dan melimpahkan semua kekacauan pada ulah
anak-anak nakal yang suka mengacau"
Seperti elo. Itulah yang akan diucapkan si Anus, tapi
kali ini dia menghentikan ucapannya dengan bijak. Dan
melanjutkannya dengan isakan keras tanpa malu.
Hmm, baiklah. Anggap saja semua ucapan si Anus
benar. Kalau Eliza tidak pulang ke rumah dan juga tidak
ada di sini, ke manakah dia pergi? Apa betul dia senekat
itu, pergi ke rumah Ferly? Tidak, tidak mungkin. Dia kan
cewek manis, tidak mungkin dia bertingkah seperti
cewek agresif dan menghampiri rumah cowok yang digosipkan pacaran dengan saudara kembarnya.
Mendadak gumpalan tak enak yang tadi sempat kurasakan kembali lagi.
"Ayo kita cari dia, Jek."
Tanpa menoleh pada si Anus, si Ojek bertanya padaku,
"Lalu gimana dengan si tolol ini?"
"Lempar aja ke tempatnya tadi."
Kudengar suara gedebuk yang cukup keras dilanjutkan
dengan teriakan si Anus, tapi aku tidak sempat mengecek
kondisinya lagi. Soalnya, sekarang aku yakin benar.
Eliza dalam bahaya. "Jek, mendingan kita pisah aja dan nyarinya sendirisendiri."
"Nggak mau," tolak si Ojek mentah-mentah, dan sesaat kurasa tekanan darahku naik. "Kalau memang Eliza
dalam keadaan bahaya, itu berarti ada yang mencelakai146
Isi-Omen.indd 146 nya dan aku nggak mau kamu ketemu dengan orang
yang mencelakainya itu."
Karena ucapannya masuk akal, aku tidak membantahnya lagi. "Oke, jadi menurut lo, pertama-tama kita mesti
nyari di mana?" "Lebih baik kita menyisir daerah ini dulu. Mungkin
dia masih ada di sekitar sini."
Si Ojek menjalankan motornya perlahan-lahan, sementara aku berusaha menajamkan mata dan mencari-cari
bayangan Eliza di tengah kegelapan malam tanpa hasil.
Hingga kami tiba di proyek pembangunan rumah yang
belum jadi. Saat mataku menangkap bayangan bangunan yang belum jadi itu, kecurigaan langsung memenuhi hatiku.
Maksudku, tempat itu kosong dan ideal sebagai TKP berbagai tindakan kriminal. Wajar kan kalau kami memeriksanya dengan lebih teliti?
"Stop di sini, Jek. Kita turun sebentar."
Setelah mengamankan motor si Ojek, kami memasuki
tempat itu dengan perlahan-lahan. Hanya cahaya dari
ponsel yang menerangi jalan kami, karena selain kami
lupa membawa senter (memangnya aku tahu aku bakalan berkeliaran di tempat gelap begini?), kami juga tidak
ingin menarik perhatian siapa pun yang ada di situ.
Namun setelah kami memasuki tempat itu cukup jauh,
tetap tidak ada tanda-tanda keberadaan manusia di
situ. "Gimana, Ngil?"
Oke, aku menyerah. "Kita keluar aja."
Lalu terdengarlah suara lenguhan pelan.
147 Isi-Omen.indd 147 "Itu suara Liza!" bisikku keras dan tegang. "Liza ada di
sini!" Tanpa berpikir panjang lagi, aku berteriak, "Za! Lo
ada di mana?!" Si Ojek melangkah ke depanku, seolah-olah siap menyerang siapa pun yang datang ke arahku.
"Minggir, Jek!" seruku tak sabar sambil merenggut
bahunya, dan mendadak kusadari bahu si Ojek setegang
baja. "Ada apa, Jek?"
Aku melangkah maju ke depan si Ojek.
Dan jantungku pun serasa berhenti berdetak.
Di lantai yang dipenuhi pasir dan debu kayu, terbujurlah adikku yang bersimbah darah, dengan rambut nyaris
terbabat habis, dan empat pisau menancap di atas
tubuhnya. Dan saat ini, dia terlihat mirip sekali denganku.
148 Isi-Omen.indd 148 IDAK banyak yang kuingat setelah itu.
Samar-samar aku melihat si Ojek meloncat ke samping
Eliza, lalu melakukan beberapa panggilan telepon. Setelah itu dia menuntunku ke pojokan dan merangkulku,
membisikkan kata-kata lembut yang tak kumengerti
sepatah kata pun. Setelah semua kejadian ini lama berlalu, aku akan
mengingat semua ini dan menghargai semua yang si
Ojek lakukan untukku. Namun saat ini aku bahkan tidak
melihat dirinya. Yang terbayang-bayang di pelupuk mataku adalah adegan-adegan hitam-putih mengerikan yang
sering menghantuiku: Eliza berdiri di depanku, anggun
dan sombong. Tanganku meraih pisau. Pisau itu kuhunjamkan berkali-kali ke tubuh Eliza, dan begitu
banyak darah yang merupakan satu-satunya yang
berwarna dalam semua adegan itu. Dan diakhiri dengan
muka mengerikan yang menyeringai lebar, seolah-olah
menertawaiku. Semua itu berselang-seling dengan
pemandangan Eliza terpaku di lantai dengan empat pisau
menancap di tubuhnya. 149 Isi-Omen.indd 149 Akukah pelakunya? Kuenyahkan pikiran itu sekuat tenaga seraya berusaha
mempertahankan kewarasanku. Tidak, aku tidak ada
hubungannya dengan kejadian ini.
Yang benar? Arghh. Buang pikiran buruk itu. Buang sekarang juga!
"... Eliza nggak mati...."
Kutengadahkan kepalaku pada si Ojek dan menatapnya
bingung. Apa maksud ucapannya itu? Apa itu hanya
hiburan kosong? Eliza sudah mati. Aku melihatnya
dengan mata kepala sendiri mayat Eliza terbujur kaku.
Kenapa si Ojek bisa mengatakan hal yang sebaliknya?
Apa dia kira aku begitu gampang ditipu?
Tiba-tiba muncullah banyak orang yang membawa
senter. Beberapa di antaranya adalah polisi dan beberapa
lagi paramedis. Namun saat ini bagiku mereka hanyalah
pengganggu yang tak diinginkan, orang-orang yang membuatku semakin sakit kepala. Beberapa orang mengambil
foto saat tubuh Eliza diangkat dan dibawa masuk ke
dalam ambulans, beberapa lagi mengambil foto TKP. Aku
dihampiri paramedis yang menanyakan golongan darahku, yang langsung meneruskan jawabanku pada rekannya. Setelah itu dia merepet lagi soal kondisiku. Suaranya
terdengar menyebalkan, dan aku bersyukur dia lalu diusir
si Ojek. Lalu beberapa polisi bersuara jelek menghampiriku dan diusir lagi oleh si Ojek. Sempat terlintas
dalam pikiranku, coba si Ojek juga merangkap sebagai
Omen Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tukang pukul Eliza, pasti adik kembarku itu tak bakalan
berakhir seperti ini. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Buat
apa lagi kusesali hal yang sudah telanjur terjadi?
Hah, omonganku jadi ngawur.
150 Isi-Omen.indd 150 Mendadak aku merasa diseret, dan suara si Ojek terdengar stereo banget di kupingku. "Ayo, kita ke ambulans."
"Ambulans?" tanyaku bingung. "Tapi gue nggak luka
sedikit pun. Yang luka itu kan Eliza."
"Iya, makanya kita harus ikut ambulansnya."
Ini semua benar-benar tidak masuk akal.
Aku merasakan tangan si Ojek memegangi kedua bahuku. Tatapannya menyorot tajam ke dalam mataku.
"Kamu pasti mau kan, dampingin Eliza?"
Disadarkan oleh tatapan si Ojek, aku segera kembali
pada kenyataan. "Ke kamar mayat?" tanyaku lemah. "Apa dia akan diautopsi? Gue nggak mau liat kalo dia diautopsi"
"Erika," kudengar si Ojek menyebut namaku. Rasanya asing, karena dia selalu menyebutku "Ngil". "Eliza
belum meninggal. Tadi waktu aku periksa, nadinya memang sudah pelan sekali, tapi dia belum meninggal, dan
sekarang dia akan dibawa ke rumah sakit untuk diselamatkan. Kamu mau ikut, kan?"
Saat berhasil mencerna ucapan si Ojek, aku langsung
ternganga. "Erika!" teriak si Ojek tidak sabar. "Mau ikut nggak?"
"Mau!" sahutku seraya berteriak juga. "Mau! Mau!
Mau!" Maka kami pun diantar ke dalam mobil ambulans.
Aku diizinkan duduk di sebelah Eliza sementara si Ojek
diharuskan mengikuti dengan motornya yang tidak sekeren ambulans. Benar kata si Ojek, Eliza masih hidup.
Aku bisa melihat dadanya naik-turun, sementara di sebelahnya ada mesin yang menampilkan diagram denyut
151 Isi-Omen.indd 151 jantungnya. Melihat itu, mataku langsung terasa panas.
Kupegangi tangan Eliza yang merah karena darahnya
sendiri. "Lo harus selamat, Za. Janji ya, lo harus selamat!"
"Ajaib sekali dia masih bisa bertahan hingga sekarang,"
kata paramedis di sebelahku. "Dia ditusuk dengan empat
bilah pisau, dua di antaranya tertahan oleh tulang rusuk
sehingga tidak mengenai organ vital. Tapi luka-luka ini
sangat serius, dan dia nyaris kehabisan darah."
"Tapi dia bisa selamat, kan?"
"Kami belum tahu," gumam si paramedis. "Saat ini,
kami hanya bisa mengusahakan yang terbaik."
"Ya, kalian harus usahakan yang terbaik!" kataku
garang. "Kalo nggak, akan saya obrak-abrik rumah sakit
kalian. Apa kalian nggak liat orang bertubuh besar yang
bersama saya tadi? Dia itu tukang pukul saya, tau?"
Mendengar ucapanku, si paramedis hanya mengangguk.
Mungkin dia benar-benar takut mendengar ancamanku?
atau mungkin saja dia hanya tidak tega balas memarahiku.
Perjalanan menuju rumah sakit terasa seperti berabadabad. Aku sampai harus meninju kaca yang membatasi
bagian belakang ambulans dengan bagian sopir untuk
menyuruh si sopir mempercepat laju kendaraan keparat
itu. Begitu kami berhenti, pintu langsung dibuka oleh
petugas dari luar, sementara Eliza langsung didorong
keluar dan dibawa ke Unit Gawat Darurat. Aku ingin
menyusulnya, tapi seseorang menahanku.
"Apa?!" bentakku, siap menggunakan tinjuku lagi.
"Apa Adik keluarga pasien?"
"Betul. Mau apa?"
152 Isi-Omen.indd 152 "Bisa tolong lengkapi data-data pasien?" Orang itu menyodorkan setumpuk formulir. "Dan tolong tuliskan juga
nama penjaminnya." "Penjamin?" "Orang yang akan membayarkan biaya perawatan
rumah sakitnya." Keparat. Kucengkeram kerah bajingan itu. "Adik gue
nyaris mati dan lo berani ribut-ribut soal biaya di sini?
Hati lo ada di mana sih?!"
Wajah orang itu memerah, tidak tahu karena malu
atau karena lehernya tercekik olehku. Kurasa alasan terakhir yang benar. "Maaf, tapi saya hanya menjalankan
tugas saya" "Erika!" Si Ojek tergopoh-gopoh menghampiriku. "Ada
apa?" "Si brengsek ini minta duit!" aduku dengan muka
minta dukungan. "Apa?!" teriak si Ojek. "Berani-beraninya kamu! Apa
kamu nggak tau, yang ada di dalam sana itu adiknya! Ke
mana sih hatimu?!" Si Ojek memang bisa diandalkan.
"Memangnya butuh berapa sih?"
Heh? "Eh, deposit sepuluh juta juga cukup."
"Sepuluh juta?!" Teriakanku menggema di seluruh
ruangan. "Lo kira gue bank? Emangnya gue keliatan
punya duit sebanyak itu di kantong gue? Apa lo nggak
liat, gue pakai piama bolong-bolong begini? Mata lo ke
mana sih?!" "Terima Visa?" sela si Ojek kalem.
"Terima, Pak." 153 Isi-Omen.indd 153 "Oke, antarkan saya ke kasir. Ngil, kamu tunggu di
sini aja." "Jelaslah," bentakku. "Siapa juga yang mau ngikutin si
mata duitan itu?" Sepeninggal mereka, barulah aku tersadar. Aneh betul
si Ojek. Dia kan cuma tukang ojek, kenapa bisa punya
kartu kredit? Maksudku, tidak sembarang orang bisa mendapatkan benda itu, kan? Kita harus punya surat-surat
seperti surat keterangan gaji atau NPWP atau semacam
itu. Memangnya si Ojek dapat surat-surat itu dari mana?
Apalagi, ini menyangkut saldo yang tidak sedikit. Sepuluh juta saja tersedia di Visa-nya. Berarti limit kartu
kreditnya pasti di atas angka itu, alias tampak terlalu
besar untuk ukuran pemilik kartu kredit kelas menengah
sekalipun! Jangan-jangan dia sebenarnya anak orang kaya.
Atau, yang lebih masuk akal lagi, kriminal kelas berat!
Tapi, saat ini bukan waktunya aku memusingkan si
Ojek. Eliza sedang berjuang mempertahankan nyawanya
di dalam sana, dan hal terbaik yang bisa kulakukan
untuknya adalah berdoa. "Erika! Mana Liza?"
Oh, sial. Itu orangtuaku. Bagaimana mereka bisa tahu?
Oh, ya. Samar-samar aku ingat, si Ojek sempat menelepon mereka. Ojek keparat. Kenapa sih dia harus menambah-nambah masalah?
Tanpa menyahut, aku menunjuk ke dalam ruang operasi.
"Liza!" jerit ibuku sambil berusaha menyerbu ke
dalam ruang operasi, namun dia segera ditahan oleh be154
Isi-Omen.indd 154 berapa perawat yang berada di sana. "Lepaskan! Yang di
dalam sana itu anak saya!"
"Suster, tolong izinkan kami menengok anak kami,"
pinta ayahku sambil membantu ibuku mendorongdorong.
"Kami tahu, Pak, Bu, tapi kalau Bapak dan Ibu masuk,
kalian akan mengotori kehigienisan ruang operasi dan
mengacaukan jalannya operasi."
"Tapi kami hanya ingin melihat anak kami! Memangnya itu salah?"
"Tentu saja tidak salah, tapi Anda sekalian harus bersabar!"
Aku hanya bisa bengong menonton acara dorongdorongan antara orangtuaku dan para perawat, sampai
tahu-tahu si Ojek muncul.
Dan memperparah keadaan. "Pak, Bu, harap tahan diri kalian."
"Siapa kamu?!" tanya ayahku sengit.
"Bukannya kamu tukang ojek yang sering mangkal di
depan rumah?" tuding ibuku.
"Ehm, iya sih, tapi"
"Tukang ojek jangan banyak bacot!" bentak ibuku.
"Minggir sana! Jangan pikir karena badanmu besar lantas
saya takut padamu!" "Bukan begitu, Bu, tapi"
"Minggir, saya bilang!"
Dengan muka pasrah si Ojek menoleh padaku, tapi
aku hanya bisa mengangkat bahu. Kalau aku bisa mengatasi orangtuaku, aku tak bakalan serusak ini.
"Bu, tolonglah mengerti." Suara si Ojek berubah
155 Isi-Omen.indd 155 lembut dan penuh welas asih. "Di dalam sana, semua
orang berjuang untuk menyelamatkan nyawa anak Ibu.
Kalau Ibu memaksa masuk, bukan saja ruang operasi
akan tercemar, tapi konsentrasi dokter dan para asistennya akan terganggu. Apa itu yang Ibu inginkan?"
Ibuku terdiam sejenak. Kukira dia bakalan menghardik
si Ojek dengan kata-kata "Kurang ajar!" atau "Tukang
ojek ke laut aje!" atau apalah, tapi dia malah menangis
meraung-raung. "Eliza, Eliza anakku!" tangisnya di depan pintu.
"Kamu dengar Mama, tidak? Kamu harus selamat, Nak.
Kalau tidak, lebih baik Mama ikut mati saja!"
"Betul kata ibumu, Nak," sambung ayahku dengan
suara tergetar. "Kamu satu-satunya alasan kami untuk
tetap hidup. Jadi, jangan kecewakan orangtuamu,
Nak!" "Tunggu dulu," sela si Ojek dengan suara tidak senang.
"Satu-satunya alasan kalian untuk hidup? Lalu anak
kalian yang satu lagi bagaimana?"
Kedua orangtuaku menatap si Ojek sambil berkedip
bingung. "Erika?" sebut si Ojek dengan nada mengingatkan
dan tatapan tak percaya karena bisa-bisanya ortuku tampak bingung begitu. "Yang itu lho."
Tatapan kedua orangtuaku terarah padaku dan, karena
suasana jadi canggung, aku melambai saja pada mereka.
Lalu, tahu-tahu saja ibuku menyerbu ke arahku?dan
menamparku. Bunyi tamparan itu terdengar menggema
di seluruh ruangan. Namun, rasa sakit di pipiku sama
sekali tak ada apa-apanya dibanding rasa malu karena
156 Isi-Omen.indd 156 menjadi tontonan banyak orang. Rasanya tidak mungkin
ada keadaan yang lebih buruk daripada semua ini.
Namun aku salah. "Ini semua gara-gara kamu!"
Aku hanya sanggup berdiri diam sementara ibuku mendorong-dorong jidatku. "Kalau saja kamu menjaga adikmu dengan lebih baik dan bukannya tidur-tiduran seperti
pemalas, semua ini tak akan terjadi! Semua ini salahmu,
tahu? Seharusnya kamu yang berada di dalam sana,
bukan Eliza!" "Ibu, tolong jaga ucapan Ibu!" bentak si Ojek seraya
menempatkan dirinya di antara aku dan ibuku. "Saya
tahu Ibu sekarang sedang sedih, tapi apakah pantas seorang ibu mengucapkan kata-kata sejahat itu pada anak
kandungnya sendiri? Lagi pula Ibu harus ingat siapa
yang sudah menemukan Eliza. Kalau bukan karena
Erika" "Maaf mengganggu."
Kami menoleh dan melihat seorang polisi menghampiri kami. Dia tidak mengenakan seragam polisi,
melainkan pakaian bebas. Tapi dia tidak bisa membohongiku. Ada aura-aura yang sanggup kucium dari
seorang polisi. Ya, aku tahu dia polisi karena postur tubuhnya yang
kelewat tegap untuk rakyat jelata, tonjolan di pinggang
yang kucurigai adalah pistol, dan meskipun suaranya
ramah, tatapannya menyorot penuh kewaspadaan, seakan-akan dia tak bakalan heran kalau tahu-tahu kami
semua mendadak melakukan tarian bersama-sama dengan
lagu India di latar belakang.
"Saya Ajun Inspektur Lukas, penyelidik kasus ini." Dia
157 Isi-Omen.indd 157 memperkenalkan diri. "Saya tahu, ini saat yang sulit
untuk keluarga korban, tapi ada beberapa pertanyaan
yang harus saya ajukan."
Dari sekian banyak orang, dia memilihku sebagai target interogasi yang pertama. "Kamu Erika, kakak korban.
Betul, kan? Kamu yang menemukan korban, bukan?"
Aku mengangguk kelu. Masih sangat sulit bagiku membayangkan kondisi Eliza saat aku menemukannya.
"Serangan dialami korban antara sekitar satu setengah
jam sampai sesaat sebelum kamu menemukannya." Dia
diam sejenak. "Sebelum itu, kamu ada di mana?"
"Di rumah. Sedang tidur."
"Ada yang bisa membuktikannya?"
"Ibu saya bangunin saya, nyuruh saya nyari Eliza,"
sahutku datar. Dia berpaling pada ibuku. "Apakah Ibu benar-benar
yakin putri Ibu ini ada di tempat tidur sepanjang
malam?" Tanpa disangka-sangka, ibuku menjawab, "Tentu saja
tidak. Dia itu anak liar, jadi saya tidak pernah memastikan keberadaannya. Hanya pada saat saya sedang panik
menunggui adiknya, barulah saya mendatangi kamarnya."
"Jadi Ibu tidak yakin apakah dia ada di dalam kamar
sepanjang waktu?" "Betul." Dia beralih lagi padaku. "Jadi kamu tidak punya
alibi." "Ada apa ini?" sela si Ojek tak senang. "Kenapa Anda
malah menginterogasi Erika? Apa Anda tidak melihat
betapa shocknya dia?"
158 Isi-Omen.indd 158 "Saya menyesal kalau ada kesan menuduh atau memaksa," kata si ajun inspektur datar, "tapi penyelidikan
ini bukanlah hal remeh dan harus dilakukan tanpa melibatkan emosi. Erika, apakah ada orang lain lagi yang
bisa memastikan kamu ada di dalam kamar?"
"Nggak ada," sahutku tak sabar. "Memangnya kenapa?"
"Begini." Dia berdeham. "Ada beberapa petunjuk yang
kami telusuri, yang mengarahkan penyelidikan padamu."
"Apa tuh maksudnya?" sergah si Ojek sengit. "Kalian
mencurigainya? Apa kalian pikir dia tega melukai adik
kembarnya sendiri dengan begitu sadis?"
"Ya." Kali ini ibukulah yang menyahut, dan aku nyaris tak
bisa memercayai telingaku sendiri saat mendengarnya
melanjutkan, "Ya, saya percaya dia tega. Karena," ibuku diam sejenak, lalu melanjutkan dengan dramatis,
"dia adalah Omen."
159 Isi-Omen.indd 159 MEN? Apa maksudnya?"
"Begini, Pak Ajun Inspektur." Berhubung suara ibuku
selalu keras dan ruang tunggu itu sedang hening-heningnya, bisikan ibuku terdengar jelas oleh semua orang.
Omen Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sejak kecil, anak ini sudah menampakkan sifat kejam.
Kalian tahu, seperti anak kecil dalam film The Omen."
Semua orang diam mendengar ucapan ibuku, lalu
suara si Ojek yang masam memecahkan keheningan, "Itu
konyol!" "Itu tidak konyol!" bantah ibuku. "Dia sering menyiksa
adiknya, merusak boneka-bonekanya dengan cara sadis,
bahkan membuat takut orang-orang dewasa. Kami semua
benar-benar tidak berdaya dibuatnya."
"Kalau kalian tidak berdaya, kenapa Ibu tadi tidak kelihatan takut waktu memarahinya?" tanya si Ojek sinis.
"Karena kami mengira kami sudah berhasil meredam
sifat jahatnya itu. Kami tahu dia takut kegelapan. Karena
itu, setiap kali dia nakal, kami akan menguncinya di
dalam ruangan gelap."
Astaga, semua orang ini menggosipiku seolah-olah aku
160 Isi-Omen.indd 160 tidak ada di sini. Lagi pula, aku tidak takut kegelapan.
Aku bahkan tidak takut ruangan gelap. Yang kutakutkan
adalah terkunci di ruangan gelap.
Dan tidak ada yang mau menolongku.
"Tapi sepertinya kami salah duga," kata ibuku muram.
"Buktinya, dia tega melakukan hal sesadis ini pada adiknya sendiri. Sepertinya, dia sudah berada di luar kendali
kami..." "Omongan Ibu benar-benar ngawur!"
Teriakan si Ojek yang penuh emosi disela oleh suara
tenang Ajun Inspektur Lukas, "Ibu berpikir terlalu jauh.
Semua dugaan kami masih bersifat sementara dan bisa
berubah sewaktu-waktu. Saat ini, saya hanya ingin memastikan beberapa fakta." Dia menoleh padaku. "Erika,
kamu tidak ditahan. Kamu bebas menjalani kehidupanmu seperti biasa. Tapi saya sarankan kamu tidak
melakukan hal yang aneh-aneh, seperti kabur dari rumah
atau semacamnya, karena hal itu hanya akan memberatkanmu. Lagi pula, dengan maraknya kejadian orangorang yang menghilang, termasuk murid-murid dari
sekolahmu, lebih aman kalau kamu tidak berkeliaran di
saat-saat seperti ini. Mengerti?"
Aku mengangguk kaku. Ajun Inspektur Lukas membalas anggukanku, lalu beralih pada si Ojek. "Omong-omong, Anda ini siapa?"
"Saya tukang ojek pribadi Erika," ketus si Ojek.
"Pada saat terjadinya penyerangan, apakah Anda punya alibi?"
"Ya, saya berada di Bengkel Montir Gila."
Kening Ajun Inspektur Lukas berkerut. "Maksud Anda,
bengkel tempat anak-anak geng motor sering ngumpul
161 Isi-Omen.indd 161 itu? Baiklah, saya akan menghubungi pihak bengkel untuk memastikan keberadaan Anda di sana. Anda tidak
keberatan, kan?" "Sama sekali tidak," sahut si Ojek masam. "Minta bicara
dengan salah satu montirnya saja, Leslie Gunawan."
Ujung bibir Ajun Inspektur Lukas melengkung ke atas.
Pendekar Lembah Naga 19 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Ilusi The Illusion 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama