Pulang Karya Leila S. Chudori Bagian 2
berpikir, betapa jauh?nya hidupku dari tanah air, dari Ibu, dan
dari Aji; dari Jakar??ta, dari Solo, dan dari segala kehidupan
yang baik dan buruk. Kami merasa sedang menanti pedang
Democles ja?tuh me?ne??bas leher. Setiap hari, hidup kami diisi
dengan de?bar jan?tung karena kami tak yakin dengan nasib
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 72
LEILA S. CHU DO RI yang ter?ben?tang di depan. Untuk pulang tak mungkin. Untuk
melang?lang buana masih sulit. Kami semua memutuskan
pergi ke Peking karena banyak sekali kawan-kawan yang
berkumpul di sana. Mereka akan bisa membantu persoalan
surat-surat perjalanan dan menembus imigrasi.
*** Kawan-kawan di Peking sungguh akomodatif dan menun?
juk?kan camaraderie yang luar biasa. Tak henti-hentinya ka?
mi disediakan pelbagai makanan, minuman, dan rangkaian
aca???ra? kunjungan ke berbagai tempat yang membuat kami
lelah.? Pada pekan-pekan pertama, mereka menempatkan
kami di Friend??ship Hotel. Belakangan, kami dipindahkan ke
se??bu?ah ru?mah tamu mungil untuk waktu yang cukup lama.
Dalam wak??tu sebulan, Mas Nug yang sempat belajar sinologi
di Jakarta diminta bekerja sebagai penerjemah majalah Peking
Review. Risjaf dan aku yang sama sekali tidak bisa bahasa
Cina membantu pekerjaan klerek di kantor yang sama. Kami
tak peduli pekerjaan macam apa yang harus kami lakukan,
yang penting harus bisa mencari nafkah. Sejak kami datang
hingga tahun 1966, orang-orang Indonesia di Peking selalu
saja saling mem?bandingkan kabar yang mereka dengar.
Pada titik ini, aku sudah tahu cerita yang lebih lengkap
tentang nasib Ibu, Aji, dan keluarganya. Mereka beberapa
kali didatangi, di?in?ti??midasi, digeledah, dan diinterogasi,
tetapi tak pernah di?ta?han. Syukurlah Pakde No, kakak Ibu,
adalah seorang kiai yang cu?kup dihormati di Solo sehingga
Ibu tetap dilindungi. Berkat Pak?de No pula, orang-orang
sekampung bahkan bersimpati pada Ibu karena dia dianggap
sebagai "ibu yang tak tahu apa yang dila??kukan anaknya yang
keparat". Biarlah. Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 73
PU LANG Apa pun sebutan mereka yang penting Ibu selamat.
Di akhir tahun 1966, kami sudah dianggap cukup
dengan pembekalan konsep Revolusi Kebudayaan hingga
tenggorokan kami parau meneriakkan Mao Zhuxi Wan Sui
yang artinya ?Hidup Ketua Mao?. Setelah mereka merasa
kami siap, kami diminta untuk ikut bergabung ke Desa
Merah, sebuah komunal di pinggiran kota Peking. Beberapa
kelompok masyarakat Indonesia yang bermukim di Peking
juga sedang melakukan Dong Bei Fang, yang kira-kira
berarti ?menghadap ke Timur Laut?. Kelompok Indonesia ini
terdiri orang-orang yang di Indonesia biasa dikenal sebagai
wartawan, sastrawan, dosen, dan sejumlah kader partai.
Selain mempelajari kerja ko???lek??tif, kami juga jadi paham
sistem komunal yang sedang mereka selenggarakan; sistem
pertanian yang sangat ter?struk?tur di mana mereka harus
menyetor sebagian jatah pro???duksi ke?pada negara. Melihat
cara hidup seperti ini, aku se?ma??kin ya?kin, teori Marx yang
semula penuh pesona hanya me?na??rik se?cara teori belaka. Aku
ingin sekali berdebat perihal ini de?ngan Mas Hananto, tetapi
dia kini tengah diburu-buru karena suatu ideologi yang
sangat diyakininya. Namun aku tertarik dengan cara mereka memberi nama
sebuah desa. Karena ini zaman Revolusi Kebudayaan, desa
itu disebut Desa Merah. Di dalam Desa Merah itulah? kami
mendengar segala yang terdengar merah dari tanah air??
kami. Jika di pinggiran Peking merah berarti ?bahagia?
atau ?revo??lusioner?, maka merah untuk warga Indonesia
berarti war?na sungai dan darah yang mengalir sia-sia.
Bisa saja mereka sekadar diinte??ro?gasi, diintimidasi, disiksa
agar ?menunjuk? nama-nama. Tapi kami juga mendengar
banyak korban yang langsung dici?duk dan ditebas di jalan,
di hutan, di tepi sungai, atau di pinggir jurang. Sebelum
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 74
LEILA S. CHU DO RI 30 September, mereka mengatakan, simpatisan PKI yang
membunuh anak-anak muda non-komunis yang dilempar
ke sungai. Kini setelah September dan seterusnya, Sungai
Brantas di Jawa Timur dan Bengawan Solo di Jawa Tengah
langsung berubah warna menjadi merah darah karena
banyak mayat yang diceburkan ke sana. Menurut infor?ma?
si yang bersliweran antar-penduduk Indonesia di Desa Me?
rah??sekali lagi ini informasi yang disampaikan sem?bari
ber?????bisik-bisik karena tak jelas kebenarannya?begitu banyak?
mayat yang mengambang. Meski berita itu simpang-siur dan
disampaikan dengan penuh tanda tanya, tiba-tiba saja aku
ikut mencium aroma busuk di tepi sungai itu merebak ber?
minggu-minggu lamanya. Kalau sudah begini, aku menjadi kalap dan tak peduli lagi
dengan segala marabahaya. Kuketuk kawat dengan histeris
dan meminta Aji mengajak Ibu pindah ke Jakarta. Entah
mengapa aku merasa Ibu akan lebih aman di Jakarta.
Pada pekan keempat di Desa Merah, kawan-kawan di Pe?
king menyampaikan pada Risjaf berita itu. Mereka menga?
bar??kan bahwa sebagian besar kawan-kawan di Kantor Berita
Nusan???tara sudah ditahan. Tetapi, ajaib. Kami tak men?dengar
apa?-?apa tentang Mas Hananto. Dia menghilang. Raib tanpa
bekas. "Jangan-jangan dia menyamar," kata Risjaf dengan
suara dibuat berat dan misterius.
"Menyamar jadi apa, jadi gembel?" aku terkekeh-kekeh.
"Mas Hananto itu lihai. Dia bisa menyusup ke manamana tan?pa diketahui jejaknya," kata Mas Nug dengan yakin
dan opti???mistik. "Aku yakin dia menyamar," kata Risjaf menekankan.
Aku tak punya tenaga untuk mengejek kekonyolan imajinasi
Risjaf. Dalam situasi murung dan gelap di Desa Merah, satuPulang Isi-semua (minus 220-275).indd 75
PU LANG satunya yang kami miliki adalah harapan dan selapis tipis
energi untuk saling menguatkan.
Mas Nug mendengar kabar dari ibunya bahwa beberapa
pe?kan silam Rukmini dan Bimo bersembunyi di Yogya. Mas
Nug sudah menyarankan agar mereka pindah ke Jakarta
dan me?num??pang dengan adik lelaki Mas Nug.
Tjai sudah mendapat kabar baik bahwa keluarganya
sela??mat menyeberang ke Singapura. Sebetulnya Tjai adalah
le?la?ki paling apolitis dari kami semua. Namun dia keturunan
Tiong?hoa yang bekerja di Kantor Berita Nusantara, meski
bukan bagian dari redaksi. Pada saat seperti ini, situasi amat
rawan. Tjai merasa lebih aman untuk berlindung sementara
di rumah pamannya di Singapura.
Kabar yang kami peroleh sela?lu saja terlambat sekitar
dua sampai tiga minggu. Bahkan bisa sampai sebulan.
Misalnya pada awal bulan April 1966, kami mendengar be?
rita yang paling sukar dipercaya. Konon, bulan Maret lalu,
ti?ga orang jenderal mendatangi Bung Karno di Istana Bogor
dan me????mintanya menandatangani Surat Perintah Sebe??las
Maret. Aku masih tak paham apa yang terjadi di tanah air.
Bagaimana bisa rapat kabinet yang dipimpin Bung Karno
itu terinterupsi hingga seorang pimpinan besar revolusi
ha???rus diselamatkan ke Istana Bogor? Dan bagaimana bisa
tiga?? ??orang jenderal di Bogor menyodorkan surat yang
begitu penting dan menentukan nasib bangsa ini? Peristiwa
ini betul-betul menentukan segalanya. Aku menjadi gerah
dengan sirkus politik ini.
Setelah tiga tahun kehidupan di Peking yang menuntut
kami senantiasa mengepalkan tinju dan memuja Ketua Mao:
Hidup Ketua Mao! Hidup Ketua Mao! Sembari mempelajari
produksi pertanian di beberapa pede?sa?an, aku merasa sesak
dengan absolutisme Revolusi Kebu?da?ya????an yang dijejalkan
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 76
LEILA S. CHU DO RI pada rakyat. Aku tahu, Mas Nug dengan se?gala keceriaannya
dan Risjaf dengan kepatuhannya sesung?guh???nya merasakan
kegelisahan yang sama. Setelah bermalam-malam aku terus-menerus dihajar
insomnia, aku sudah membulatkan tekad. Di penginapan Desa
Merah, aku menyalakan korek api dan membangunkan Risjaf
yang du?duk di tempat tidur tingkat atas. Pipinya kutepuktepuk agar dia tidak kelojotan.
"Sjaf...Sjaf...bangun Sjaf."
Risjaf menggosok-gosok matanya, "Sudah jam berapa,
Mas?" "Masih malam. Aku ingin ke Paris, Sjaf...."
"Ke mana?" suaranya parau seperti burung gagak dan
ma?ta??nya setengah terpejam.
"Paris, aku mau ke Prancis. Tjai mengatakan dia berniat
ke Paris atau Amsterdam...kita bisa bertemu Tjai di sana."
Risjaf masih belum sadar apakah dia sedang mimpi atau
su??dah bangun. Mungkin dia menyangka aku hanyalah seba?
tang tiang yang sedang berbicara dalam mimpinya. Dia se?
ge?ra merebahkan tubuhnya dan memejamkan matanya sam?
bil men???jawab "oke". Terdengar dengkuran yang halus.
Aku diam dan menghitung 1 sampai 10 untuk menanti
saat Risjaf mencapai tingkat kesadaran normal. Betul juga.
Pada hitungan kelima, dia meloncat duduk. Rambutnya yang
ikal serabutan ke mana-mana. Matanya merah melotot.
"Ke Paris? Ke Eropa?" dia nyaris menjerit, masih dengan
suara serak. Aku membekap mulut Risjaf dengan tanganku, khawatir
pada anggota komunal lain terbangun. Mata Risjaf berkilat,
se??tengah girang setengah ketakutan.
"Bagaimana caranya?" dia bertanya berbisik-bisik.
"Entah. Nanti kita atur. Besok kita bicarakan dengan
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 77
PU LANG Mas Nug. Tjai sudah siap ke sana. Tapi dari Singapura kan
memang mudah, tak ada masalah. Dari sini, kita harus
melalui berbagai prosedur."
Setelah mengucapkan keinginan sinting itu, Risjaf dan
aku sama-sama tidak bisa tidur. Aku melotot menatap langitlangit. Risjaf jadi gedebag-gedebug ke kiri dan ke kanan.
"Sjaf, tenanglah kau."
"Bagaimana mau tenang!" Risjaf menggerutu, "Kau sebut
Paris, langsung saja segala yang bagus dan bercahaya dari
kota itu tergambar di otakku...."
Aku tersenyum. *** Aku mendarat di Paris pada awal tahun, ketika dingin
me?nusuk tulang. Semula, kami terpencar-pencar. Aku memi?
lih Prancis, Mas Nug memilih Swiss, dan Risjaf memilih
Belan???da. Di Paris, aku segera bertemu dengan Tjai dan The?
re??sa iste?ri???nya yang sudah berdiam di sana sejak hari Natal.
Tak lama kemudian, Risjaf dengan segera bergabung
dan ber?diam di apartemen kecil dan kumuh bersamaku.
Mas Nug yang me?nga??ku kecantol seorang perempuan Swiss
menunda-nunda ke??da??tangannya hingga bulan April. Setelah
aku membentak-bentaknya melalui telepon, mengingat Ruk?
mini dan Bimo pasti sedang dikejar rasa takut oleh situasi
gila di tanah air, akhirnya Mas Nug setuju segera bergabung
dengan kami. Meski menetap di Belanda adalah sebuah
alternatif yang menarik juga?dengan segala hubungan
historis dan kemudahan men????dapatkan segala sesuatu yang
berbau Indonesia?kami se?mua sepakat memilih untuk
berkumpul dan menetap di Terre d?Asile, tanah suaka Pays
des droit de l?Homme seperti Prancis. Meski Prancis memang
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 78
LEILA S. CHU DO RI dikenal sebagai negara yang meme????luk para pengelana
politik seperti kami dengan hangat, tentu tak begitu saja
kami mendapatkan kewarga?ne?ga??raan. Proses birokrasi
untuk menjadi warga negara tetap saja melalui prosedur
dan persyaratan yang cukup lama dan rumit. Tetapi untuk
sementara, kami memegang apa yang di?se??but Titre de
Voyage atau Surat Perjalanan. Kami bisa ke mana saja di
dunia, kecuali Indonesia. Untuk hidup di Paris, se?mentara
waktu, kami mendapat bantuan sekadarnya dari lem?baga
sosial pemerintah agar bisa bertahan. Namun tentu saja itu
tak cukup untuk menunjang kehidupan yang paling mi?nim
sekalipun. Mulailah kami mencari kerja serabutan. Mas Nug yang
men???dapat keahlian akupunktur dari Peking mulai men?da??pat
pelanggan. Aku baru paham mengapa dia betah betul di Swiss:
karena rata-rata pelanggan yang mengge???mari akupunktur
di Eropa adalah perempuan. Tjai yang seorang sarjana
ekonomi lebih mudah mendapat pekerjaan di be??be?rapa toko
kecil di pinggir kota Paris sebagai akuntan. Sedang?kan Risjaf
dan aku adalah dua pengelana yang paling sial. Kami belajar
sastra karena merasa diri sebagai bagian dari kumpulan
intelektual. Sedangkan Prancis adalah negeri tem?pat lahirnya
para sastrawan dan intelektual besar yang buku-bukunya
menjadi pedoman dan panutan kami. Tak heran jika Risjaf
dan aku setiap tiga atau empat bulan berubah profesi. Dari
pekerjaan buruh di berbagai restoran, klerek di bank, hingga
asisten kurator di galeri-galeri kecil yang hanya di?kunjungi
tiga atau empat orang yang sok merasa diri seniman.
Sampai di suatu malam bulan Mei 1968 yang riuh oleh
tuntutan maha?siswa kepada pemerintah Prancis; aku ber?
temu dengan Vivi?enne Deveraux di kampus Universitas
Sor?bon?ne. Be???gitu saja ia masuk ke dalam keseharianku, ke
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 79
PU LANG dalam tu????buh???ku, dan ak?hirnya perlahan-lahan merayap me?
ma?su??ki rongga seja???rah hidupku. Bersama Vivienne, aku men???????
co?ba lahir kem?ba?li se??bagai manusia baru, tetapi aku ma??sih
me???rasa ada sesu?atu yang tertinggal di tanah air. Mung?kin
ada hatiku yang ter????ting?gal pada Ibu, pada Aji, mung?kin ju?
ga pada Surti dan anak-anak?nya. Aku tak tahu. Tapi ke?ge??
lisahan mengganggu se?tiap kali aku membaca surat?-?surat Aji
yang berisi kisah horor pem????bantaian demi pem??bantaian di
mana-mana: bukan hanya di Pulau Jawa, tetapi di Indonesia.
Surat Aji berikutnya yang membuatku ter?henyak adalah saat
Pulang Karya Leila S. Chudori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perburuan masuk ke Solo dan korban???-?korban dicemplungkan
ke Bengawan Solo. Merah. Sungai yang membesarkan aku menjadi merah
darah. Itulah yang dikatakan Aji. Dan itulah yang dikatakan
Pakde No kepada Aji. Itu pula yang akhirnya membuat Ibu mematuhi saran
Pakde No untuk pindah ke Jakarta bersama keluarga Aji.
Tak ada yang bisa mencerna situasi ini. Tapi kami
tahu, ka?mi harus hidup (sementara) di pengasingan entah
untuk be??rapa lama. Di malam-malam yang dingin, aku
menatap Sungai Seine dan membayangkan seperti apakah
warna merah da??rah pada sungai. Aku mulai menyesali
kecenderunganku untuk tidak me??netapkan pendirian. Aku
gemar berlayar ke mana-mana tak keruan, ke sebelah
kanan, ke sebelah kiri, terpesona pada ber?bagai pemikiran
tanpa ingin terjun sepe?nuhnya menjadi sa?lah satu penganut
isme. Ini semua akhirnya mengakibatkan se?luruh keluargaku
terjungkal ke jurang kesulitan yang tanpa dasar.
Tiba-tiba saja aku membutuhkan sepetak ruang kecil itu.
Sepetak kecil yang menurut Bang Amir diberikan Allah ke
hati hamba-Nya. Aku tak tahu apakah aku seorang hamba
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 80
LEILA S. CHU DO RI atau bu?kan. Tapi aku membutuhkan petak itu. Gelembung
keko?song?an itu. Aku ingin bertemu atau berbicara dengan
Bang Amir. Di manakah dia?
Aku menulis dan menulis. Aku tak tahu apakah surat itu
akan tiba dengan selamat ke tangan Bang Amir yang baik
hati. Aku bertanya tentang arti gelembung kekosongan
dalam ruang hati manusia, yang pernah dia sebutkan. Aku
merindukan sesuatu dan aku tak tahu Sesuatu itu. Apakah itu
Zat? Aku me?nulis dan menulis pada Bang Amir seolah dia ada
di hada?p?an???ku dengan wajahnya yang teduh dan suaranya
yang berat seperti Rahmat Kartolo.
Aku tak tahu di mana aku bisa menempatkan diri mengha?
dapi Zat. Di dunia fana yang kocar-kacir ini, yang warna
sungai biru oleh alam kemudian dicat menjadi merah, kini di
manakah alamatku pada peta kehidupan dunia?
Tak ada yang menjawab. *** Di bulan Februari tahun berikutnya, Aji meneleponku,
menyam?paikan kabar buruk tentang berpulangnya Ibu
dalam tidurnya. Itukah jawaban dari segala pertanyaanku?
Mengambil Ibu dari sisiku? Dari sisi Aji?
Melintas serangkaian gambar masa kecil kami yang
sederhana di Solo bersama Bapak dan Ibu. Bapak seorang
guru Bahasa Inggris di SMAN 1 Solo, yang begitu te?kun dan
percaya bahwa anak Indonesia harus mampu meng?apre?siasi
sastra Indonesia dan Barat sepenuhnya. Bapaklah yang me?
nanamkan pentingnya buku sebagai bagian dari kebutuhan
hidup seperti halnya makan, minum, dan tidur (saat itu
beliau belum mengatakan bahwa seks adalah bagian dari
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 81
PU LANG kebu?tuh??an hidup yang wajar). Pada titik ini, Bapak agak
sedikit ber?gesekan dengan Ibu, yang meski tak terlalu religius
dan taat se????per?ti Pakde Kiasno, tentu meletakkan Tuhan dan
agama se????ba?gai salah satu kebutuhan yang perlu ditekankan.
Adalah Pak?de No yang lantas mendidik aku, dan belakangan
Dik Aji yang berjarak sepuluh tahun dariku, untuk belajar
mengaji. Bapak ti?dak mempersoalkan kegiatan ini, seperti
halnya dia tidak mem??????persoalkan bagaimana Pakde No
rajin mengingatkan ka?mi untuk salat. Bapak hanya lebih
mempersoalkan agar Ibu ja??ngan lupa menyimpan peralatan
batiknya setiap kali usai mem???batik, karena Dik Aji saat itu
sering mengotak-atiknya hingga bertumpahan ke manamana.
Ibu, biasa dipanggil Bu Giri (kependekan dari nama
Bapak: Giri Suryo), meski ada juga yang memanggil Bu
Pratiwi, me?mang gemar menyerahkan dirinya pada selembar
kain kosong yang kemudian menjadi begitu cantik setelah
disentuhnya ber???malam-malam. Setelah memasak di dapur
dengan pe?nuh cin???ta?kebiasaannya yang kemudian menurun
padaku?meng?urus kedua anak lelaki yang bandel-bandel dan
suaminya yang lelah mengajar anak remaja Solo yang saat
itu menurut Ba?pak sudah terlalu cepat dewasa, Ibu akan duduk
sekadar se?jam atau dua dengan canting dan malam. Sejak
kecil aku me????nyaksikan semua upacara itu sebagai penciptaan
puisi. Mung???kin, perjumpaanku dengan kepenyairan bukan
bermula dari Chairil Anwar, me?lainkan dari tekanan Bapak
untuk ber?bahasa Indonesia yang baik dan memperhatikan
setiap kata seba?gai tubuh yang me?miliki jiwa, serta kecintaan
Ibu pada can?ting dan malam.
Ketika aku lulus SMA, Bapak merelakan aku ikut Pakde
Mur ke Jakarta agar pendidikanku bisa lebih terpelihara
dan ter??arah. Setelah aku kos dengan Risjaf, aku mulai ja?
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 82
LEILA S. CHU DO RI rang menyentuh Solo kecuali pada hari Lebaran. Bapak
tidak menge???luh dengan absennya anak durhakanya itu. Dia
tetap saja, dengan keuangan yang terbatas, mengirim satu
dua buku sastra agar aku memelihara bahasa Indonesia;
sementara Ibu seperti biasa mengingatkan pesan Pakde No
untuk tetap salat agar "dirimu diisi oleh rasa syukur nikmat
Tuhan." Seiring su?rat berisi nasihat itu, Ibu juga mengirimkan
sehelai batik baru ber??motif burung, karena beliau tahu aku
lebih menyukai motif batik cerbon.
Setelah Bapak berpulang, isi surat-surat Ibu mewakili
pe?san Bapak (membaca dan berbahasa Indonesia), pesan
PakNo (salat dan doa), dan pesannya sendiri: makan yang
baik, me?ma??saklah sendiri.
Hingga di Peking maupun di Paris, pesan mereka yang
ku?jalani adalah membaca (tentu saja sudah menjadi oksi?gen?
ku), memasak, dan makan. Aku tidak berdoa, apalagi salat.
Ketika Ibu pergi, dalam diam dan dalam pedih, apa yang
dia ingat tentang aku, puteranya yang begitu jauh dan begitu
seenaknya? Aku tak bersuara selama berpekan-pekan. Tenggorokan
se?perti terhalang batu. Risjaf, Mas Nug, dan Tjai mengu?pa??
ya?kan berbagai cara menemaniku, dari yang paling pro??
fan?misalnya Theresa membuatkan berbagai masakan Cina
kesukaanku?hingga yang paling spiritual: dengan meng?
ada??kan tahlil dan doa. Tidak ada yang mempan. Tidak ada
yang ber?hasil menenteramkan. Tidak ada juga yang berhasil
mem??buatku berbicara. Sehelai kain batik berwarna cokelat
dengan burung-burung kehijauan itu juga tak membuatku
lebih te?nang. Ibuku tetap sudah berpulang dan aku tak bisa
men?cium dahinya untuk mengucapkan perpisahan. Suaraku
tetap tak ke???luar. Setelah membisu beberapa pekan, di suatu pagi, aku ter?
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 83
PU LANG bangun dan mendadak merasa begitu kuat sekaligus pa?nik,
seperti orang yang baru menenggak obat perangsang. Aku
bertanya ke sana kemari, ke Mas Nug, ke Risjaf, ke Tjai dan
isterinya, ke Vivienne dan keluarganya, ke tetangga kami, ke
lem?baga pemerintah Prancis yang membantu suaka kami:
apa?kah mungkin dengan status suaka yang kuperoleh serta
Titre de Voyage ini aku dibantu masuk ke Indonesia?
Masuk ke Indonesia? Belum bisa. Ini Titre de Voyage.
Ka?lian tak bisa masuk Indonesia. Lagi pula, jika kau masuk
seka??rang, sudah pasti kau tak bisa keluar lagi dari neraka
itu. Aku tak peduli. Aku harus mengucapkan perpisahan de?
ngan Ibu. Aku menepis Mas Nug dan Vivienne yang mencoba mene?
nang?kan. Aku harus pulang. Aku harus pulang! Aku mencoba
men???cari tiket. Tiket apa saja. Pesawat, kapal laut. Apa saja.
Yang penting aku pulang. Risjaf memeluk bahuku dan mene?
nang??kan aku. Aku mendorongnya dengan gusar. Mereka se?
mua akhirnya terdiam. Malam itu, Mas Nug menyampaikan selembar telegram.
"jangan pulang koma situasi belum cukup aman
titik doa? kan ibu tenang koma kami tahlil terus
titik" Aku meremas lembaran telegram itu dan membuangnya
ke tempat sampah. Aku berjalan keluar dari apartemen busuk
kami, menembus udara musim dingin yang menusuk tulang.
Terdengar suara Risjaf dan Mas Nug mengejar-ngejarku.
Tapi aku justru berlari meninggalkan mereka. Angin dingin
se?per?ti pisau yang mengiris wajahku sama sekali tak terasa.
Aku ber?la??ri dan berlari. Begitu berhenti, aku sudah berada
di tepi Sungai Seine yang terlihat berwarna merah. Wajahku
panas oleh air mata. Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 84
LEILA S. CHU DO RI *** Mungkin pada saat itulah Vivienne perlahan berhasil
menjadikan Paris seperti rumah persinggahan. Bukan ru??
mah. Tetapi rumah persinggahan. Lama-kelamaan matanya
yang hijau terasa tulus dan menyediakan perlindungan ba?
gi?ku, seperti sebatang pohon tanjung rindang yang me??lin?
dungi seorang anak dengan menyediakan kesejukan ba?yangbayang.
Meski kedua sepupunya, Marie-Claude dan Mathilde begi?
tu banyak tanya tentang latar belakangku?orang Prancis
nam???pak?nya tertarik dengan sejarah?aku merasa keluarga
Deve???raux sangat akomodatif pada kekasih "Indon?sien" Vivi?
enne yang masih berbahasa Prancis dengan terpatah-patah.
Kami menikah setahun kemudian di kebun anggur salah
seorang paman Vivienne?ayah Marie-Claude?di Beaujolais,
Lyon. Itulah tempat tinggal keluarga besar Deveraux. Ka?re?
na kelihatannya semua anggota keluarga mereka adalah ka??
langan aka?demis yang sangat piawai di dapur, aku sama se?
ka??li tak bera??ni memamerkan kemampuanku memasak. Ayah
Vivienne, Laurence, dan ibunya, Marianne, mengajarkan
kepadaku ba????gai???ma????na memilih anggur (dan ini proses yang
sungguh me?nye??nang?kan) dan bagaimana mencampurkannya
pada daging. Dia juga menjelaskan mengapa mereka
menggunakan ang?gur putih un?tuk pendamping makan ikan.
Marianne, yang tam?paknya tahu be??tapa terpukulnya aku
atas kematian Ibu, pe?nuh perhatian pa?da setiap kata Prancis
yang kuutarakan. Ke?salahan tatabahasa?ku sa?ma sekali tak
diperbaikinya karena dia ingin menumbuhkan rasa percaya
diriku untuk berbin?cang dalam bahasa cantik itu. Tak hentihentinya dia mena?war??iku berbagai penganan dan ang?gur
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 85
PU LANG sembari selalu me??????mastikan aku tidak sungkan. Jean-Paul
kakak Vivienne?yang sebetulnya bekerja dengan Palang Merah
di bebe?rapa ne?ga?ra Afrika, menyempatkan diri untuk pulang
ke Lyon demi pernikahan kami. Dengan keluarga yang begitu
erat me?me??luk?ku, apa lagi yang harus kukeluhkan?
*** LINTANG UTARA Itulah nama puteri yang lahir setelah pernikahan kami
berusia lima tahun. Semua yang ada pada Lintang adalah
perwujudan ibunya, kecuali rambutnya yang hitam dan ikal
ada??lah rambut keluarga Suryo. Tak henti-hentinya kutatap
makh??luk hidup yang bulat, cantik, dan berambut hitam ikal
itu. Aku tak menyangka, akhirnya aku betul-betul berlabuh
(entah un??tuk berapa lama) dan menancapkan jangkar dalam
hidupku. Jika aku harus memiliki alasan untuk berhenti
berlayar, maka makhluk mungil bernama Lintang Utara
inilah jawabannya. Tak henti-hentinya aku memandanginya,
mengganti popoknya, me??nyanyikan lagu agar dia tertidur,
meski akhirnya aku sendiri yang mendengkur dan Lintang
malah merangkak ke sana kemari.
Vivienne sama sekali tidak memaksakan bunyi Prancis
saat memberi nama pada puteri kami. Dia setuju begitu saja,
seperti halnya Surti mengikuti saja ketika aku mengusulkan
nama Kenanga, Bulan, dan Alam untuk anak-anak yang
pernah kami cita-citakan. Selama kami menikah, aku sudah
berganti-ganti pe???kerjaan beberapa kali, sementara Vivienne
mengajar dua ma?ta kuliah di Fakultas Sastra Inggris
di Universitas Sorbonne. Me??li?hat wajah Vivienne yang
semakin judes karena kontribusi fi?nan?sialku yang tak tetap
dan lebih sibuk mengisi newsletter Taha??nan Politik yang
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 86
LEILA S. CHU DO RI semakin berkembang itu, akhirnya aku bersedia bekerja di
Kementerian Pertanian. Meski aku mendapat gaji bulanan yang lumayan, sudah
jelas aku tak bahagia dengan pekerjaan kantoran seperti di Ke?
men??terian Pertanian itu. Aku tetap saja menulis esai, puisi, dan
se??se??kali mendistribusikannya dalam newsletter untuk temanteman se??sama eksil politik di Eropa. Aku mendapat kabar
da??ri rekan-re?kan yang bekerja di media di Jakarta tentang
per??kem???bangan ter?baru, misalnya pembangunan Taman Mini
Indonesia Indah yang didirikan atas prakarsa isteri Presiden
Soeharto. Aku juga mendengar, beberapa inte?lektual seperti
sosiolog Arief Budiman mengkritik pro??yek ini. Perkembangan
politik yang semakin mengerikan adalah ba?gai?mana partai
politik semakin dikuasai eksekutif, dan bagai?mana anggota
parlemen hanyalah dewan perwakilan boneka be??laka. Itu
kutulis pada newsletter dan kudistribusikan pada ka????wan-ka?
wan sejawat di Eropa. Newsletter dengan tenaga gra?tis? itu
ter??nyata cukup populer sehingga jika sumbangan yang masuk
sudah cu?kup banyak, aku bisa mencetaknya dalam bentuk se?
per??ti koran, dengan bantuan desain Risjaf.
Lama-kelamaan aku semakin tak betah dengan pekerjaan
di Kementerian Pertanian. Aku ingin menulis buku. Aku ingin
me?nerbitkan koran. Maka suatu malam di musim gugur, aku
pu??lang ke apartemen kami membawa sebotol anggur dan be?
be??rapa potong daging untuk simpanan. Sudah jam 9 malam,
artinya Lintang sudah tidur.
"Sedang merayakan apakah gerangan?" tanya Vivienne
seraya mengambil botol dan menjenguk daging yang kubeli,
"Ini daging mahal. Ada apa Dimas?"
Mata hijau Vivienne nampak menusuk.
"Vivienne, marilah duduk."
Pulang Karya Leila S. Chudori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Vivienne duduk di sampingku dengan wajah penuh
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 87
PU LANG curiga. Aku memegang tangannya. Kucium ujung jarinya.
Dia selalu bergairah setiap kali jari-jarinya aku kulum. Aku
ingin dia mem?a?hamiku. "Vivienne, kau tahu aku mencintaimu dan Lintang
bukan?" Vivienne mengangguk. Mengernyitkan kening.
"Dimas," dia terlihat agak senewen, "ini bukan soal pe?
rem?puan lain kan?" "Ha? Gila...perempuan mana?"
Vivienne tertawa lega, "Kau selalu lupa kau sangat rupa?
wan,?Dimas. Semakin beruban, perempuan-perempuan muda??
itu semakin blingsatan. Sudah, lupakan. Kenapa Dimas?" Aku
sungguh tak tahu perempuan mana yang blingsatan pa?daku.
Rugi betul. "Vivienne, aku tersiksa. Aku sangat tidak bahagia
dengan..." "Kau baru saja mengundurkan diri dari Kementerian
Per?ta??nian?" "Oui." Vivienne menatapku. Seperti dulu, seperti sebatang pohon
tanjung yang ingin memberi keteduhan. Asal bukan soal pe?
rem???puan, tampaknya Vivienne adalah isteri yang paling
penger???tian di seluruh jagat raya. Berbeda dengan beberapa
perem??puan Prancis yang kukenal, yang membebaskan suami?
nya ber?ke?la?na dari satu ranjang ke ranjang lain, Vivienne
mem?pu?nyai atur?an main yang jelas dalam soal perkawinan
kami. Dia akan mento????lerir semua hal, semua, kecuali satu:
perem?puan. Dan aku se??tuju.
"Aku tahu...." Aku meraih Vivienne dan memeluknya seerat-eratnya.
Sekali lagi, apa lagi yang harus kukeluhkan jika aku dike?
lilingi keluarga yang sangat mencintaiku? Mengapa aku
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 88
LEILA S. CHU DO RI tetap me??rasa ada sepotong diriku yang masih tertinggal di
tanah air? Malam itu, kami menuang anggur dan mencoba me?
ran?cang masa depan yang kami inginkan setelah aku me?
ngundurkan diri dari pekerjaan tetapku. Tiba-tiba saja Mas
Nug muncul di depan pintu. Wajahnya kusut seperti tum?
pukan cucian, se?lu?ruh tubuhnya berkeringat. Tangannya
meme?gang sehelai am??plop cokelat. Dia memandangku
dengan mata berair. "Masuk, masuk Nugroho," Vivienne tergopoh-gopoh me?
na??rik Mas Nug. Aku berdebar-debar. Apalagi?
Mas Nug masih saja memegang amplop cokelat itu
dengan jari-jari bergetar.
Vivienne perlahan mengambil surat itu dari tangan
Mas Nug dan memberikannya padaku. Aku membuka dan
mem???bacanya. Sebuah surat cerai. Rukmini, sang anggrek,
Orchidee?n Bloeien, itu meminta cerai dari Mas Nugroho yang
berkumis seperti Clark Gable ini?
Aku mendekati Mas Nug dan mendekapnya erat-erat.
Aku??????? tahu betapa dia mencintai Rukmini, meski seperti Mas
Hanan?to, dia suka juga berganti-ganti ranjang.
"Seharusnya aku tahu mengapa dia selalu menolak untuk
menyusulku ke sini," kata Mas Nug dengan suara pelan
sambil menerima segelas anggur dari Vivienne.
"Kenapa?" tanya Vivienne.
"Dia berkencan dengan seorang tentara yang senantiasa
me???lin?dunginya selama perburuan sepanjang 1966 dan 1967.
Se????mu?l?a aku mengira Letkol Prakosa sekadar teman ayahnya
yang baik budi ingin menolong keluarga Rukmini."
Aku menelan ludah dan membayangkan wajah Letkol
Pra?kosa dan Rukmini. "Jadi...maksudmu, Rukmini minta cerai untuk menikah
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 89
PU LANG de??ngan Letkol Prakosa?"
Mas Nug menenggak anggur itu hingga ke dasar gelas.
Dia meminta gelasnya yang kosong diisi, Vivienne mengisinya
kem???bali dengan patuh. Di antara air mata dan bau nafas anggur dia berceloteh,
"Ka?ta?kan pada Risjaf, dia beruntung tidak jadi kawin dengan
si bu?nga anggrek. Ternyata di dalam anggrek itu terdapat
ulat." Mas Nug terkekeh-kekeh. Marah dan luka.
Setelah botol Carbonet itu kosong, barulah Mas Nug
meng?ambil surat permohonan cerai itu.
"Bolpen!!" Dia membentakku. Belum pernah aku melihat Mas Nug se?
fasis ini. Geruwalan aku mencari-cari bolpen yang mendadak
saja susah ditemui. Vivienne buru-buru mengambil pena dari
da??lam tas. Mas Nug menandatangani semua lembaran surat
cerai itu. Mudah-mudahan dia tidak salah tempat, karena
kelihatannya dia menandatangani lembaran itu dengan
marah dan setengah teaterikal.
Setelah beberapa halaman itu ditandatangani, Mas Nug
me???lipatnya dan memberikannya padaku.
"Tolong kau pos-kan, Mas. Aku khawatir, kalau kupegang
ber??lama-lama bisa masuk ke perapian!" katanya sambil
menge?nakan jaketnya kembali.
Aku mengangguk-angguk dan mengatakan "beres"
sembari mengedip pada Vivienne. Sudah pasti aku harus
mengantar Mas Nug yang sudah oleng. Vivienne mengambil
jaketku dan meng??antar kami ke pintu.
"Bonsoir Vivienne, kau beruntung mendapatkan Dimas
yang setia. Bonsoir Dimas, kau beruntung mengawini
Vivienne yang jelita. Bonsoir. Au revoir Rukmini. Bangsat kau
Prakosa!" Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 90
LEILA S. CHU DO RI Aku mendekap bahu Mas Nug dan mengajaknya berjalan
menuju Metro. Sesekali Mas Nug masih berteriak ke langit
saat kami melangkah menginjak dedaunan yang merah dan
luruh. Musim gugur di Paris menambah rasa murung.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 91
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 92
PU LANG EMPAT PILAR TANAH AIR "A cook a pure artist
Who moves everyman At a deeper level than Mozart...." (W.H. Auden) Paris, 90 Rue de Vaugirard, April 1998
Paris di musim semi, hari menjadi lebih panjang dan
malam dimulai ketika kita sudah siap menghantam kasur.
Sayup-sayup aku mendengar siulan tak beraturan yang tak
pernah bisa tepat pada notasi nada. Itu pertanda sahabatku
Nugroho Dewantoro sudah tiba pada radius terdekat. Aku bisa
mendengar upayanya bernyanyi sekeren Louis Armstrong atau
siapa pun penyanyi keroncong yang dia kagumi. Mungkin dia
menyiulkan "It?s a Wonderful World" atau mungkin "Stambul
Baju Biru". Tak jelas betul. Hanya Mas Nug yang masih bisa
riang gembira menembus segala cuaca. Musim panas yang
luar biasa gerah dan berhasil mengelupas kulit; musim gugur
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 93
PU LANG yang menyebarkan segala serbuk yang membuat kami bersinbersin; musim dingin yang menggerogot tulang Melayu kami
yang manja; atau musim semi yang kami anggap seperti remaja
pancaroba: kadang dingin berangin, kadang hangat.
Satu-satunya momen Mas Nug tak bisa mengontrol kese?
dih???an?nya adalah ketika dia menerima surat cerai dari Ruk?mi??
ni. Selebihnya, dia adalah seorang yang sangat optimistik dan
mencoba mencari hikmah dalam bencana apa pun yang menim??
panya. Sejak di Jakarta, ketika jumlah kami masih berlima,
Mas Nug memang lelaki yang tak mengenal cemas. Geng
Jalan Solo di Jakarta terdiri dari lima lelaki yang merasa diri
paling ganteng (contoh soal: lihat kumis Clark Gable milik
Mas Nug), namun toh kami lebih sering bernasib sial. Mas
Hananto, Mas Nug, Tjai, Risjaf, dan aku pernah mengalami
periode berjibaku berebut pacar. Periode itu diakhiri dengan
kemenangan para senior: Mas Hananto berhasil menggandeng
Surti; Mas Nug membuhulkan hubungannya dengan Rukmini;
Tjai menikah dengan Theresa Li; sedangkan Risjaf dan aku
sama-sama belakangan mendapat jodoh di Paris. Apa pun
situasi persahabatan kami berlima yang sering diterjang
keributan dari soal ideologi hingga perempuan, kami pasti bisa
mengatasinya. Dan salah satu penyebabnya, karena sikap Mas
Nug yang op?timistik. Di antara kami berlima hanya Mas Nug yang gemar
bernyanyi dan bersiul, tapi justru suara dia yang paling sember
dan tak beraturan. Tak peduli dengan keburukan suaranya, dia
selalu yang tergopoh-gopoh menyumbang suara jika ada acara
kum??pul-kumpul di Kantor Berita Nusantara. Mas Hananto dan
Risjaf mampu memainkan alat musik. Mas Han bisa me???metik??
gitar, Risjaf mahir meniup harmonika dan suling, se?dang?
kan suaraku yang berat tidak buruk amat. Tjai dan Mas Nug
sa??ma-sama tak paham nada dan notasi. Bedanya, Tjai tahu
kelemahannya, Mas Nug tak tahu diri. Setiap melihat mikrofon,
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 94
LEILA S. CHU DO RI dia kelojotan seperti memandang perempuan bahenol.
Dengan rasa percaya diri yang tinggi, kemampuan memijit
dan akupunktur yang dipelajari selama terdampar di Peking,
di???tam?bah kumis bak Clark Gable, Mas Nug merasa cukup mo?
dal??untuk selalu optimistik. Dia satu-satunya yang percaya ka?
mi bisa mengatasi segala kesulitan di dunia. Inilah jiwa yang
ka??????mi butuhkan di tengah kerasnya hidup sebagai orang-orang
tak bertanah air. Kini suara sember yang dinyanyikan dengan ceria itu me?
liuk??-liuk masuk ke dapur yang terletak di lantai bawah Res?
toran Tanah Air, rumah kami, tempat kami mencari nafkah,
sekaligus kebanggaan kami selama 15 tahun terakhir.
Mas Nug masuk dengan beberapa kantong belanjaan
pesananku. Pasti dia baru saja berbelanja di Belle?vile karena
kemarin aku menggerutu kekurangan bahan untuk mem?
buat bumbu-bumbu dasar, seperti kunyit, jahe, cabe me?rah,
bawang merah, bawang putih, salam, dan daun jeruk. Di Paris
tentu saja beberapa bahan harus dibeli dalam bentuk kering.
Tetapi cabe merah, bawang merah, dan bawang putih segar
bisa diperoleh meski dengan harga yang cukup mahal. Seha??
rusnya Bahrum bisa mencoba mencari itu, tetapi dia sedang
bebersih lantai restoran kami yang terbuat dari kayu.
Sembari bersiul-siul Mas Nug mengeluarkan belanjaan
dan meletakkannya begitu saja di atas meja tempat meracik.
Aku tak tahu apakah karena siulan Mas Nug yang tak keruan
itu atau karena belanjaannya yang berantakan di atas meja
racikan, isi perutku seperti diputar, dibelit, dan ditarik ke sana
kemari. Sebetulnya sudah beberapa pekan terakhir aku merasa
tak beres dengan perutku. Tetapi aku tak mengacuhkannya.
"Kenapa kau?" Aku tidak menjawab pertanyaan Mas Nug. Tjai dan Mas
Nug sudah lama mempersoalkan kesehatanku seperti sepasang
suami-isteri yang sedang memarahi anak remajanya yang ogah
belajar dan memutuskan mengurung diri di kamar. Mas Nug
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 95
PU LANG yang belajar akupunktur selama kami terdampar di Peking
me??rasa bisa mengatasi penyakit apa pun dengan tas kecil ber??
isi jarum yang selalu dibawanya ke mana-mana. Berkali-kali
dia menawarkan untuk mengobatiku dengan jarumnya. Ber????
pan?jang-panjang dia menjelaskan konsep energi dan jarum
aku?punktur, dan menit pertama dia membuka mulut, aku
langsung tertidur. Siapa yang peduli dengan soal energi, chi,
dan new age? Cuma Mas Nug.
Aku benci pada jarum. Apalagi jarum Mas Nug yang tak
jelas asal-usulnya. Meski rumah sakit pun identik dengan ja?
rum dan segala peralatan yang gigantik, terkadang aku masih
pasrah menyerahkan diriku. Seperti yang terjadi sepekan silam.
Pagi itu, mendadak saja aku tersungkur di stasiun Metro. Aku
tak merasa apa-apa, gelap seketika untuk beberapa detik. Tibatiba saja aku sudah berada di sebuah kafe dekat kios koran
langganan. Di sana ada Pierre, penjaga kios yang tak pernah
man??di; Andre, penjaga tempat kopi yang tampan, bermata bi?
ru, yang menurutku lebih cocok menjadi model Calvin Klein
dari?pada menyajikan kopi. Dalam bahasa Prancis yang begitu
Le Pa??risiens?aksen dengan menggunakan hidung, sengau,
dan me?re??pet?mereka memaksaku minum dan berulang-ulang
ber???tanya apakah aku baik-baik saja. Mereka sudah siap mene?
le???pon ambulans ketika aku menggeleng-gelengkan kepala dan
me?minta mereka menelepon Risjaf.
Yang terjadi adalah mimpi buruk: dua orang paling cere?
wet dan paling maha tahu itu yang datang, Tjai dan Mas Nug.??
Tjai yang dengan suara berat dan kalkulatif memper?soal???kan
frekuensiku menikmati alkohol, dan Mas Nug kem???bali pada
kegemarannya kuliah energi. Aku ingin se?ka?li menghilang dari
hadapan mereka. Tentu saja tuntutan mere??????ka agar aku meme?
riksakan tubuh ke rumah sakit tak bisa ?kutolak. Aku me?mang
masih gemetar dan terlalu lemah untuk menendang Mas Nug
dan Tjai. Jadilah aku seperti seorang kakek tua yang di??papah
dua orang yang berlagak lebih muda. Saat dibimbing me??nuju
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 96
LEILA S. CHU DO RI taksi, aku merasa lantai ikut bergerak bersamaku. Ketika itulah
aku tahu aku terpaksa patuh. Ada sesuatu yang tak beres dalam
perutku. Dokter l?urgence memerintahkan aku menjalani se?
rangkaian tes dan memberi aku obat. Tapi hing?ga kini, hasil tes
itu belum kujemput. Rasa mual dan gedar-gedor di dalam perutku semakin
meng??????ganggu. Mas Nug menghampiriku. Dia memegang dahi?
ku. "Mas, istirahat saja di kantor, nanti aku yang masak."
Sebetulnya aku lebih suka nasi kuning buatanku yang
leng?kap dengan tempe kering, ayam goreng kuning, urap, dan
sam?bal bajak. Aku tahu nasi kuningku, selain rendang padang,
Pulang Karya Leila S. Chudori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gulai pakis, dan gulai anam, adalah masakan populer di Res?
toran Tanah Air yang mencapai angka pesanan tertinggi. Buat?
an Mas Nug sering terlampau eksperimental. Dia terlalu sibuk
memberi nama-nama puitis sehingga melupakan rasa.
"Dimas," suara Mas Nug mencoba tidak menyinggungku.
Dia tahu, dapur Tanah Air adalah teritoriku yang hanya boleh
di?injak orang lain yang mematuhi serangkaian peraturan
(jangan mengubah susunan bumbu; jangan menyentuh satu
set pisau milikku; jangan pernah mencampur pisah bawang
de?ngan daging; meja untuk mengolah harus rapi bersih tanpa
setitik pun tetesan air atau kopi, dan seterusnya). Dapur Tanah
Air adalah takhtaku yang tak boleh diotak-atik. Bagian lain
ada??lah milik kawan-kawanku yang memang gemar pamer gigi
di atas panggung. Kini Mas Nug menawarkan untuk menggantikan posisiku
sebagai koki. Aku teringat makan malam rombongan sahabat???
ku Mahmud Radjab, penulis Malaysia yang berniat mera?ya?
kan penerbitan bukunya di sini. Dia sudah lama menu?lis surat
bahwa dia dan beberapa koleganya diundang Universitas
Sorbonne, dan mereka akan datang malam ini untuk memenu?
hi undangan itu sekaligus merayakan bukunya. Radjab secara
khu??sus menyebutkan makanan apa yang mereka inginkan.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 97
PU LANG Menu seperti itu mudah diperoleh di Kuala Lumpur, namun
"bumbu yang nak racik, luar biasa". Radjab memesan meja
untuk delapan belas orang. Aku sudah meracik bumbu
sejak pagi. Siang ini kami tinggal mengolahnya dengan nasi,
menggoreng ayam, dan mencampur sayur-sayuran dengan
bumbu ke?la?pa untuk urap.
Tapi ah...aku sungguh mual, begitu mualnya hingga aku
me?rasa ingin memuntahkan seluruh isi perutku.
"Ya, ya, aku rebahan dulu. Jangan letakkan yang anehaneh?di nasi kuningnya."
"Yooo...." Mas Nug mengantarku naik ke lantai dasar. Tjai yang se?
dang mengecek meja-meja yang sudah direservasi menurun?
kan kacamatanya dengan pandangan mata curiga, "Kenapa,
Dimas?" "Ndak apa-apa. Iseng-iseng," jawabku seenaknya.
Aku tahu Mas Nug dan Tjai saling melempar pandang
se???per?ti sepasang orangtua yang mencoba mencari akal agar
anak?nya patuh. "Besok, aku tak mau dengar alasan apa-apa. Kita harus
ambil hasil tes itu ke rumah sakit," kata Mas Nug dengan nada
otoriter. "Kalau tidak, aku akan membuat masakan aneh-aneh,
dengan eksperimen yang paling jorok dan gila."
Kurang ajar Mas Nug. Dia tahu, aku memperlakukan bum?
bu-bumbu dan bahan masakanku seperti seorang pelukis
mem???perlakukan warna warni catnya ke kanvas. Aku memper????
lakukan racikan masakanku seperti seorang penyair mem?per?
lakukan kata-kata ke dalam tubuh puisinya.
Entah kekuatan dari mana, aku melempar sarung yang
menyelimuti tubuhku dan kupegang kerah Mas Nug, "Jangan
kau acak-acak bumbuku; jangan pindah-pindah susunannya.
Jangan berani-berani kau campur kunyit dengan bumbu aneh
yang tak cocok cita rasanya ke dalam nasi kuning. Jangan kau
main-mainkan resep makanan restoran ini!"
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 98
LEILA S. CHU DO RI Aku mendengus-dengus dengan kepala pusing berputarputar dan mata berair. Mas Nug terkejut, entah karena kela?
kuanku atau karena secara khusus aku menyebut ?kunyit? dan
bukan ?jahe?, misalnya; atau mungkin karena aku terlihat sa?
kit betul. Setelah itu kepalaku berputar lagi dan perutku te?ra?
sa diperas seperti cucian baju. Aku terduduk dan saat itu?lah
segala isi perutku keluar. Mas Nug segera saja berseru me?
mang??gil-manggil Tjai, Bahrum, dan Risjaf. Aku tak tahu apa
yang terjadi selain menenggak obat yang kuperoleh dari dokter
dan langsung tergeletak. Mungkin obat itu mengandung zat yang menenangkan
saraf, karena aku mulai merasa lebih enteng dan bisa rebahan
di atas sofa tanpa merasakan gejolak dalam perutku. Ah, sofa
putih ini dulu dibawa Vivienne yang begitu bersemangat ikut
membangun Restoran Tanah Air bersama semua keluarga eksil
politik yang bergabung dalam koperasi kami. Lapisan sofa ini
sudah berulang kali diganti tetapi Vivienne tetap memilih
warna putih. Sejak kami bercerai aku menutup sofa itu dengan
sehelai kain batik cerbon kiriman Dik Aji. Dia tahu, meski
kami lahir di Solo, aku adalah penggemar batik cerbon yang
penuh warna. Aku terpejam dengan segera. Ini pasti obat yang
terlalu kuat, karena aku tertidur dengan bermacam-macam
mimpi dengan berbagai orang dan berbagai kurun waktu. Atau
mungkin aku tidak tidur tapi hanya terkenang kembali ke 15
tahun silam, ketika jarum jam Paris menentukan nasib: kami
harus memperkenalkan diri bukan hanya melalui politik atau
sastra, tetapi lebih efektif lagi, melalui seni kuliner. Betapa
ganjilnya, tetapi betapa asyiknya memasuki sebuah dunia yang
asing. *** Paris, Agustus 1982 Dalam keadaan yang terik, gerah, dan penuh justifikasi
untuk telanjang, sebetulnya tak elok memutuskan diskusi
ten?tang rancangan masa depan kami. Mas Nug, Risjaf,
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 99
100 PU LANG dan Tjai sudah hampir saling berteriak karena mereka
berdebat kerja sama apa yang sebaiknya dilakukan untuk
membangun sesuatu yang lebih ajeg bagi para eksil politik
dan keluarganya. Paris di musim panas bukan waktu yang tepat untuk
berdiskusi. Lebih enak untuk tidur di pantai atau berlindung
di pojok Shakespeare & Co, menghindar dari segala
kerumitan finansial. Tetapi wajah Tjai sangat serius. Kami
semua tak berbahagia dengan pekerjaan masing-masing. Su?
dah beberapa bulan terakhir kawan-kawan mencoba mem?
buhulkan sebuah ide: bekerja sama dalam sebuah bisnis yang
bisa menguntungkan bersama. Bisnis ini harus sesuatu yang
menyenangkan. Semula aku mengusulkan untuk mem?buat
jurnal sastra Indonesia seperti The Paris Review yang ber?i?
si cerita pendek, puisi, novela, dan kritik sastra Indonesia
mau?pun sastra asing yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia. Belum lagi kalimatku selesai, Tjai dengan datar
me?ngatakan, "Yang nanti dibagi-bagikan gratis karena yang
bisa berbahasa Indonesia dan tertarik sastra Indonesia di
Paris ada 30 orang."
Tajam betul mulutnya. Tapi dia benar.
Penerbitan jurnal atau majalah sastra seperti itu sudah
banyak makamnya. Tetapi bayangkan jika kita mempunyai
jurnal serius seperti itu, alangkah bahagianya. Alangkah nik?
matnya. "Aku ingin suatu kerja sama yang menyenangkan," kata?
ku menggerutu, "dan kita semua kan penulis."
Tjai tidak menjawab. Mulutnya yang kecimut itu cem?
berut. Artinya dia sedang mengatakan, "pakailah benda di
ba?lik jidatmu itu". Tjai adalah lem yang merekatkan kami
se?mua. Dia satu-satunya yang tak punya keanehan atau
ke??ke???nesan. Dia datang dari keluarga Tionghoa Surabaya
yang percaya pada kerja keras. Terdamparnya Tjai ke luar
Indonesia, seperti juga banyak keluarga Tionghoa lainnya,
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 100
101 LEILA S. CHU DO RI sebetulnya bukan karena soal ideologi belaka, karena Tjai
sama sekali tidak suka berpolitik. Namun dia tahu keluar?
ganya termasuk yang bakal kenal ciduk pertama kali setelah
30 September 1965 pecah, karena Henry, abang Tjai, cukup
aktif berhubungan dengan Peking. Bahwa Tjai dan Theresa
terbang ke Singapura untuk kemudian bertemu dengan kami
di Paris juga adalah sebuah perhitungan yang pragmatis.
Di antara kami semua, mungkin hanya Tjai yang kehidupan
pri?badinya kering dari drama. Serba lurus, serba baik, serba
di jalan yang benar. Tapi justru karena Tjai sungguh lurus
dan tak mengandung lonjakan, kami sangat percaya pada
ana?lisa dia yang tidak bias dan cenderung dingin.
Termasuk penilaiannya pada serangkaian mimpi kami
un?tuk berbisnis bersama. Aku jengkel dengan sambutannya,
tapi mengakui: Tjai hampir selalu benar.
Mas Nug sempat melontarkan ide sebuah harian politik
yang langsung dijawab dengan pelototan Tjai: "Lihat itu
newsletter yang dibuat Dimas. Isinya bagus. Hidupnya dari
sumbangan untuk bertahan."
Diskusi langsung mati akibat algojo Tjai yang rasional.
Apa boleh buat, memang dialah kalkulator kami.
Mas Nug duduk di dekat jendela terbuka dan memandang
keluar sambil merokok. Sejak Lintang lahir kami sudah pin?
dah ke apartemen baru sehingga tempat ini sering dijadikan
tempat ber????kumpul. Memang tidak terlalu besar, tetapi cukup
asri de??ng?an berbagai tanaman pot yang digantung Vivienne
di mana-mana. Tetapi itu masih tak cukup membantu menye?
jukkan ruangan yang tak memiliki mesin pendingin. Jamjam berikutnya, diskusi kami makin kacau dan tak terarah.
Mas Nug mengusulkan kami membeli rokok Indonesia dari
Belanda dan menjualnya di sini. Tjai kembali menggumam,
"Jadi maksudmu kita buka warung rokok? Sudah perhi?tung?
kan pajak? Lalu sudah siap bersaing dengan rokok lain? Su?
dah riset? Yang suka rokok kretek itu ada berapa di Paris,
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 101
102 PU LANG se?????lain si Dimas dan Nug?"
Kami semua terdiam. Aku tertawa geli.
Risjaf mengusulkan.... Aku tak tahu lagi apa yang dia
kicaukan. Udara begitu panas, dan aku ingin buka baju.
Untung Vivienne dan Lintang yang baru saja kembali dari
re??nang datang dan menawarkan membuatkan es jeruk nipis.
Kami sudah minum berbotol-botol bir, mungkin es jeruk nipis
bisa menyegarkan suasana. Vivienne memberi isyarat agar
aku mengikutinya ke dapur.
"Mungkin kamu mau membuat snack untuk mereka?"
Vivienne selalu meletupkan ide brilian.Sungguh bangga
aku memiliki seorang isteri yang bisa membaca suasana.
Dengan semangat aku membuka-buka lemari dapur. Ada
mi, ada daging ayam, dan sayur. Aku mengangguk. Vivienne
segera menyiapkan semua perangkat, kuali, minyak goreng,
dan bumbu. "Aku bikin mi goreng dulu, kalian teruskan saja. Toh tak
ada usul yang menarik," aku memunculkan kepala dari da?
pur. Tak ada yang menolak sama sekali. Aku yakin mereka
ju?ga tak melanjutkan diskusi dan hanya mencari pojok
yang pa?ling dekat dengan jendela sembari mencari sisa-sisa
angin. Aku merajang bawang merah, bawang putih, sayursayuran, dan ayam dengan sigap dan cepat. Vivienne hanya
ku??minta tolong menyiapkan semua bahan dengan rapi. Tentu
saja seperti biasa, aku tak mengizinkan dia mengotak-atik
urusan bumbu. Dia membantu menggodok air untuk merebus
mi. Aku tahu Vivienne tak suka jika aku menggunakan minyak
jelantah untuk menggoreng dengan alasan kesehatan. Tapi
sesekali aku menggunakannya sedikit untuk kucampur
dengan bumbu. Inilah rahasia bumbuku yang sedap: tidak
sehat tapi sungguh menggiurkan.
Mi goreng ayam dengan cepat tersaji di atas meja. Lintang
yang pertama mencoba mengunyah-ngunyah mi goreng itu
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 102
103 LEILA S. CHU DO RI hing?ga matanya terpejam, "Un tres bon plat, Ayah!"1 katanya
meng?acungkan jempolnya yang mungil. Lintang memang
peng?gemar masakan Indonesia nomor satu. Jadi ada elemen
bias dalam penilaian anak usia tujuh tahun yang menjadi
sum??bu hidupku ini. Ketiga kawanku langsung menyerbu meja makan seper?ti
narapidana yang sudah seminggu hanya menyantap kerak
nasi. Tjai melahapnya pakai sumpit dengan lincah hing????
ga mangkuknya cepat nian licin tandas. Risjaf justru me?
nik???matinya sedikit demi sedikit, sedangkan Lintang sudah
mengambil porsinya yang kedua, meski mangkuk yang
digunakan tentu saja mangkuk anak-anak. Vivienne terse?
nyum puas dan membiarkan kami mulai merokok.
Ketika kami sudah duduk selonjor menatap perut kami
yang mulai menonjolkan diri dengan cara yang memalukan,
Risjaf masih menikmati suapan terakhir mi goreng itu dan tak
peduli kami semua sudah selesai. Dengan bibir berminyak,
dia kemudian menggerutu, "Kenapa tak ada yang menjual mi
goreng seenak ini di Paris?"
Mas Nug memandang Risjaf sambil membelalak, seperti
baru saja mendapatkan sebuah ide.
"Iya, coba bayangkan," kata Risjaf merepet tanpa henti,??
"betapa asyiknya kalau setiap hari kita bisa makan mi go?
reng sedahsyat buatan Dimas. Atau selang-seling dengan
na?si goreng yang dia campur dengan terasi dan minyak
jelantah itu. Astaga, terbit pula air liurku. Oh, aku juga
pernah mencoba nasi kuning buatan Dimas waktu ulang
tahun Lintang, dengan tempe kering kriuk kriuk."
Risjaf tersedak oleh ucapannya sendiri dan berseru se?per?
ti para ilmuwan yang baru saja memecahkan rumus terke??
muka, "Oaaa...Dimas! Aku tahu kita harus terjun ke bisnis
apa! Aku tahu!" 1 Enak sekali, Ayah! Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 103
104 PU LANG Mas Nug dan Risjaf kini sama-sama melotot seper?ti ingin
saling menerkam bahagia. Oh, tolong. Tidak. Apa me?re??ka
ingin membuka perusahaan katering. Aduh.
Tapi kulihat mata Tjai berbinar-binar. Sinarnya langs?ung
mencelat masuk ke mataku. Silau. Berbeda betul reaksinya
di??banding tadi ketika kami melontarkan usul-usul yang dia
ang?gap sinting. "Dimas," Tjai menatapku, "aku rasa inilah takdir kita.
Kau adalah koki berbakat yang tak tertandingkan."
Belum pernah aku mendengar Tjai berbicara penuh se?ma??
Pulang Karya Leila S. Chudori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ngat seperti itu. Kedua matanya berkilat-kilat. Mas Nug me?
megang kedua bahuku dan berseru setinggi langit: "Dimas!
Kita akan membuat restoran Indonesia di Paris!"
*** Meski matahari Paris di musim panas masih saja ganas
ingin mengupas kulit kami, hatiku sudah merasa sejuk dengan
ke?pu???tusan yang telah tercapai. Tanpa banyak kerewelan, ma?
lam berikutnya saat kami berkumpul di rumah Risjaf, Mas
Nug melintir kumis Clark Gable miliknya sembari langsung
ber??titah membagi tugas.
"Dimas sudah jelas kepala koki dan yang menentukan
me???nu apa saja. Kita semua tahu apa saja yang diolah tangan
Di?mas akan keluar makanan yang luar biasa, seperti halnya
ka?ta-kata apa saja yang keluar dari mulutnya akan menjadi
se?buah puisi...." Mas Nug tampaknya ingin menghiburku karena kei?ngin?
anku membuat jurnal sastra tak dikabulkan Tjai.
"Tjai akan membuat riset pencarian modal. Kita bikin
proposal kepada pihak mana pun: baik pemerintah maupun
LSM. Sampaikan juga pada semua kawan-kawan di Eropa
ten?tang niat kita ini, silakan bergabung atau sekadar me?min?
j??amkan, kita akan memikirkan alternatif mana yang le??????bih?
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 104
105 LEILA S. CHU DO RI baik. Tjai juga akan membuat riset bentuk usaha apa yang?
ingin kita bangun, apakah PT atau ko...."
"Koperasi. Sudah jelas koperasi!" kata Tjai tegas.
"Oke, koperasi," kata Mas Nug dengan patuh hingga aku
ber?tanya-tanya, siapa sesungguhnya yang lebih ditakuti da?
lam kelompok ini. " Nantiiii...," Mas Nug seolah mengembalikan otoritas
ke dalam tubuhnya, "di dalam proposal kita harus jelaskan
mengapa kita memilih bentuk badan usaha itu, misalnya:
karena kita ingin membangun kebersamaan. Berarti kita
juga harus menjadwalkan Assemblee Generale tiap tahun
dan memilih pengelola setiap dua tahun."
Aku memandang Mas Nug dengan kagum. Begitu ka?mi
memasuki soal penyelenggaraan organisasi, otaknya se?gera
bergerak dengan kilat. Setelah Mas Hananto tak lagi ber???sa?
ma kami, mungkin ruh kepemimpinan itu berpindah ke?pa???da??
nya, meski sesekali dia akan diinterupsi oleh Tjai yang ja?uh
lebih piawai dalam soal angka.
Risjaf maju ke hadapan Mas Nug seperti menanti tugas.
Tetapi Mas Nug pura-pura acuh tak acuh, "Seharusnya ada
yang mengadakan riset ke beberapa restoran lain, misalnya
res?toran Vietnam, Indochina, India, Cina, apakah kita mau
mem??bangun fine dining atau casual eatery atau fast food yang
bisa dibawa pulang?"
"Sudah jelas bukan fast food!" jawabku segera. "Makanan
Indo?nesia untuk casual eatery tapi juga fine dining. Kita harus
ada bar, ini Paris. Nanti saya susun menunya," kataku kini
merasa ini wilayahku. Semua terdiam mendengarkan dengan
hikmat. Tjai mencatat. " Tapi yang jelas, kita harus sering-sering mengadakan
acara di restoran, misalnya peluncuran buku, diskusi tentang
perkembangan di Indonesia, pembacaan sastra, film, seni ru?
pa, dan fotografi. Kita harus mempunyai kurator agar pe??nye??
lenggaraan rapi dan dengan sendirinya para ha?dirin akan
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 105
106 PU LANG memesan makanan dan minuman bar. Dengan demi??kian,
tempat itu bukan hanya dikenal sebagai tempat ma?kan yang
enak, tetapi juga untuk bersosialisasi," kata-kata??ku meluncur
seperti bendungan yang jebol. Mereka ber?tiga bertepuk
tangan gembira. Tjai bahkan berdiri dan mengangkat jempol
ketika aku menyebut bar. "Saya bisa mengadakan riset! Saya juga bisa meng?
kurasi acara!" Risjaf berdiri ke hadapan Mas Nug. Mas
Nug tersenyum tak tega membunuh semangat Risjaf. "Oke
jangan semuanya kau kerjakan. Bisa tumbang. Kau ran?cang
kurasi pada malam pembukaan dan malam-malam beri??kut??
nya untuk berbagai acara. Riset restoran nanti kita kero?yok
bersama karena begitu banyak restoran yang harus kita
pelajari." "Lalu kau mengerjakan apa?" suara Tjai terdengar datar.
Mas Nug memilin kumisnya, "Aku akan menjelajahi kota
Paris dan mengecek halaman iklan di harian Le Figaro. Kita
harus mencari lokasi, bukan?"
Astaga! Tentu saja itu yang harus segera dipikirkan.
Tjai mengangguk dan kembali mencatat. Malam itu kami
meng?angkat gelas anggur, kecuali Risjaf yang sedang kepi?
ngin wedang jahe ikut-ikutan mengangkat gelasnya, dan
membunyikan denting: "Untuk restoran kita...."
Kami saling memandang. "Apa ya namanya, Mas Nug?" Risjaf bertanya.
Mas Nug melirikku, "Kita tanya pada sang penyair."
Aku menatap kawanku satu persatu. Ada yang hilang di
sana. Seharusnya ada lima.
"Kita...," aku menghela nafas, "adalah empat pilar dari
Res??toran Tanah Air."
Kami mendentingkan tiga gelas anggur dan satu gelas
wedang jahe. Tanah Air. Nama itu langsung merebut hatiku.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 106
107 LEILA S. CHU DO RI *** Paris 1975 Ada perjanjian yang tak terucapkan di antara Tjai,
Risjaf, dan aku. Sejak Mas Nug ditinggal sang bunga ang?
grek Rukmini?yang memutuskan menikah dengan Letkol.
Prakosa?kami memberi keleluasaan padanya untuk ber?
tindak seperti ?pemimpin?. Tentu kami semua percaya pada
persamaan dan tak membutuhkan pimpinan. Tapi Mas Nug
membutuhkan pengakuan itu, meski hanya untuk semen?tara.
Paling tidak, itu yang kami simpulkan. Semua ber?mula dari
malam jahanam yang mengguncang tubuh Mas Nug hingga
dia ambruk oleh alkohol kepedihan gara-gara surat cerai
Rukmini. Nugroho Dewantoro, lelaki Yogyakarta yang selalu mene?
kan?kan untuk berbahasa Indonesia daripada bahasa Jawa,
sebetulnya sangat sentimentil. Bahkan aku curiga, meski dia
sering berlagak seperti pemain perempuan, Mas Nug sangat
menginginkan kehangatan keluarga. Berbeda dengan Mas
Hananto yang mempunyai hubungan kompleks dengan Surti
?ada tetek bengek perbedaan kelas yang dia anggap men??jadi
batas psikologis?Mas Nug tak banyak cincong. Dia ter??tarik
pada sang anggrek, meski dia tahu Risjaf si anak ingusan itu
juga tengah mengejar-ngejarnya. Dia tebarkan jaring dan
dia berhasil memetik si bunga anggrek. Dia ka?wini Rukmini
yang cantik dan bermulut setajam pisau itu. Karena terlihat
Mas Nug sungguh mencintai Rukmini, aku dan Risjaf sudah
lama memaafkannya dan ikut berbahagia. Apalagi putera
yang dinantikan, Bimo Nugroho, baru datang setelah sem??
bilan tahun penantian. Aku tak akan pernah lupa sinar ke?
bahagiaan di mata Mas Nug dan Rukmini.
Tetapi, di balik kesibukan politik dan menjadi ayah dan
suami, aku tak begitu paham mengapa Mas Hananto dan
Mas Nug selalu merasa perlu menaklukkan perempuanperem??puan lain. Jika Mas Hananto selalu beralasan ingin
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 107
108 PU LANG mera?sakan "gelora kaum proletar di ranjang", Mas Nug pasti
tak memberi justifikasi kelas. Dia memang lelaki tampan
yang bangga dengan kumisnya, yang pandai mengatur
kata, yang mudah membuat perempuan melekat padanya
seperti laron pada cahaya lampu. Tak heran bahkan saat
menjadi pe?ngelana tanpa status warganegara di Peking
maupun Zurich, Mas Nug tiba-tiba saja sudah melekat
dengan seorang perempuan. Yang gila, perempuan ini, Agnes
Baumgartner, adalah isteri se?o??rang polisi. Sang polisi adalah
pelanggan akupunktur Mas Nug. Dari suami yang sering
encok dan pegal-pegal, terapi pun berlanjut ke isteri yang?
menggunakan bahasa Mas Nug?pegal dan butuh sentuhan.
Dari sentuhan jarum, sekali lagi menggunakan bahasa Mas
Nug, paha dan pinggang itu membutuhkan sentuhan kasih
sayang. Mendengar kisah penaklukannya itu melalui telepon, da??
rah?ku melesat ke ubun-ubun. Aku membentak agar Mas Nug
segera menyusul Tjai dan aku di Paris. Bukan saja agar kami
bisa berkumpul dan berbuat sesuatu, dan bukan ha?nya karena
aku memikirkan Rukmini dan Bimo, tetapi ju?ga sungguh
bahaya petualangan hasrat Mas Nug kali ini. Ber??main-main
dengan isteri polisi di negara orang bukan perkara merebut
sebatang anggrek di zaman kami kuliah. Ini polisi. Di negara
Barat. Mas Nug akhirnya menyerah karena caci makiku. Dia
tiba di Paris beberapa pekan setelah kami mendarat di Paris
dengan wajah murung. Aku tak paham, bagaimana mung??
kin dia bisa secepat itu jatuh cinta pada seseorang yang baru
saja dikenalnya. Tujuh tahun kemudian, sepucuk surat dari Rukmini mela??
yang ke tangan Mas Nug. Surat cerai. Malam itu, aku me?no??
pang Mas Nug berjalan menuju stasiun Metro sembari men?????
coba menurunkan volume suaranya yang semakin me?leng??
king tak keruan. Di stasiun, aku ingat betul wajahnya yang
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 108
109 LEILA S. CHU DO RI penuh luka. Setengah mabuk dia berkisah terbata-bata.
"Kau tahu Mas...sebetulnya...aku sudah menerima surat
dari Rukmini sejak aku di Zurich."
Suaranya bergetar. Air matanya mengambang, "Rukmini
menolak menyusulku ke Eropa. Dan dia tidak menjelaskan
kenapa." Aku masih diam. Teringat petualangan Mas Nug dengan
isteri polisi itu. "Kau tahu, Mas, Agnes bukanlah sekadar pasienku."
"Ya Mas Nug, kau sudah cerita soal jarum, soal paha..."
"Bukan, bukan," suara Mas Nug semakin parau dan dia
menggeleng-geleng dengan keras.
Aku memandang matanya yang merah didera kepe?dihan.
"Agnes Baumgartner adalah nama keluarganya. Dia ti?
dak menggunakan nama si polisi. Baumgartner itu berarti
se??seo?rang yang memiliki sebidang kebun."
Lalu? "Setiap kali aku bercinta dengannya, aku melihat setang?
kai anggrekku...." Dan air matanya mengalir sederas-derasnya.
Yang membuat situasi lebih rumit, hanya beberapa bu?
lan setelah peristiwa itu Risjaf mengumumkan: dia telah me??
ne?mukan jodoh. Amira, adik bungsu Mirza Syahrul, salah
satu eksil politik yang menetap di Leiden, Belanda. Manis,
berkacamata, sudah berusia 36 tahun, dan sedang menye?
lesaikan studi doktor dalam bidang politik di Univer?siteit
Leiden. Cinta kilat. Mereka langsung merasa cocok dan ingin
menikah. Usia mereka memang sudah tak muda lagi. Risjaf
seusiaku, kami sama-sama lahir tahun 1930.
"Kami sudah sama-sama dewasa, aku sudah terlalu lama
jadi bujangan lapuk," Risjaf tertawa terkekeh-kekeh. O ba?
hagianya. "Jadi kau nanti mondar-mandir Paris-Leiden sampai
Amira selesai doktor?" tanya Tjai menghitung-hitung.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 109
110 PU LANG "Ya," jawab Risjaf dengan mata bersinar, "bergantian."
"Kamu sudah bilang Mas Nug?" aku bertanya hati-hati.
"Belum. Ini baru mau ke sana, aku mau memperkenalkan
Amira kepada...." "Jangan!!" Tjai dan aku serentak menyentak.
Risjaf memandang kami berdua bergantian. Orang yang
sedang bahagia memang sering lupa bahwa ada orang lain
yang sedang berduka. Bola mata Risjaf bolak balik meman?
dang kami dan wajahnya yang tampan itu betul-betul tak
berdosa, "Kenapa, Mas?"
Tjai dan aku saling berpandangan, seperti saling mendo?
rong untuk memberi penjelasan yang rinci. Kepada Risjaf,
kita harus memberi pemetaan yang terang benderang.
"Sjaf, kau ingat Mas Nug baru mendapat surat cerai kan?"
"Ah!" Risjaf menepuk dahinya, "Maaf maaf...betul juga.
Jadi, jadi maksudnya nanti Mas Nug tidak bisa diundang?
Kasihan...." "Kasihan apa?" Apartemenku dan Vivienne saat itu memang masih kecil
dan tidak ideal untuk menjadi lalu lintas rahasia. Aku tak
mengira Mas Nug akan muncul seketika. Mas Nug meman?
dang kami bertiga. Begitu saja, dia menepuk-nepuk bahu
Risjaf sambil tertawa riang, "Hei, aku dengar kau sudah mau
melamar adik bungsu si Mirza? Hebat! Cantik dia. Selamat,
selamat!" Lantas Mas Nug memeluk Risjaf setu?lusnya. Risjaf
dengan wajah ragu membalas pelukan Mas Nug.
Mas Nug lantas selonjor di depan sofa panjang dan me?
nya???lakan televisi kami yang kecil dan agak buram dan ha?
nya menyiarkan acara apa pun dalam bahasa Prancis. Teta?
pi Mas Nug memperhatikan acara itu dengan intens. Risjaf
meng?garuk-garuk kepalanya. Hening dan tak nyaman.
"Aku kembali ke apartemen paman Amira di Le Marais
ya. Dia dan Pak Mirza bermalam di sana."
Mas Nug mengangkat jempolnya, tetapi matanya tetap
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 110
111 LEILA S. CHU DO RI menatap televisi. Aku duduk di sampingnya. Tjai ke dapur mengoprekngoprek lemari mencari kopi.
"Aku baik-baik saja, Mas," Mas Nug menggumam sambil
tetap menatap televisi. Aku mengangguk-angguk tanpa suara. Aku masih mene?
Pulang Karya Leila S. Chudori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tap di sampingnya. Mas Nug tetap menatap layar. Aku tahu
dia menghargai bahwa aku menemani tanpa banyak tanya.
Aku bisa membayangkan betapa remuk hatinya.
*** Paris Oktober 1982 Tentu saja itu sudah berlalu 14 tahun silam. Aku tak ta?
hu? apakah Mas Nug sudah menguburnya ke lapisan ba?
wah?? hatinya atau keceriaannya bersiul dengan nada
sembarangan itu adalah caranya memagari kesedihan yang
sering menyerang tiba-tiba.
Sementara aku menyusun menu yang nantinya akan
dimasukkan ke proposal, Tjai mengumumkan kami sudah
mendapatkan uang yang cukup lumayan jumlahnya dari
puluhan kawan Indonesia di seluruh penjuru Eropa. Yang
meng??harukan, tidak semua yang mengirim uang adalah
ek?sil politik seperti kami; ada beberapa pengusaha yang
berkawan baik dengan Mas Nug; ada juga beberapa kawan
Tjai di Jakarta yang diam-diam menyumbang tanpa pamrih.
Tjai mencatat semua nama penyumbang dengan jumlahnya,
karena dia bercita-cita saat mereka datang, akan diberi meja
khusus dan menu istimewa.
Mas Nug menjelajahi seluruh Paris dan selalu saja tak
puas. Entah lokasinya yang terlalu jauh untuk terjangkau
atau sistem airnya yang kurang baik atau tempatnya sede?
mi?kian ambruknya hingga perlu direnovasi total. Meski le?
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 111
112 PU LANG lah, aku tahu Mas Nug mengerjakannya dengan gembira
seper??ti halnya Risjaf yang penuh semangat memberi laporan
hasil risetnya dari restoran kuliner Asia lain di Paris. Sejauh
ini tak banyak restoran yang sekaligus juga menjadi kurasi
sebuah acara. Aku semakin bersemangat mengelola tempat
ini: menyelenggarakan pesta kuliner dan seni Indonesia
Kini hanya persoalan tempat. Aku juga sudah mulai gerah
karena kami selalu mengadakan pertemuan di apartemenku.
Tentu saja Risjaf punya alasan: sekaligus ujicoba menu ma?
sa?k????an?ku. Tapi mereka bukanlah kritikus kuliner yang layak,
karena meja rebus pun akan mereka lahap jika sedang lapar.
Lalu, Harian Le Figaro menyelamatkan kami!
Sebuah iklan kecil yang nyaris terlewatkan seolah mem?
buka sejarah untuk kami. Adalah sebuah restoran Vietnam
milik sebuah keluarga yang berlokasi di 90 Rue de Vaugirard.
Begitu kami masuk, berbincang dengan pemiliknya??suami
isteri Vietnam yang sudah belasan tahun menetap di Paris?
sementara Tjai dan Mas Nug memeriksa ke lantai atas dan
bawah, aku merasa sudah berada di rumahku. Aku tetap
per??misi ingin melihat dapur: sebuah dapur panjang dengan
keramik putih dan meja kerja di tengah untuk merajang
seperti pulau; sebuah oven besar yang tampak dipelihara
dengan baik karena bersih dan tak ada sebutir pun nasi yang
ter?cecer. Begitu melihat satu set kuali serta panci-panci yang
masih sangat bagus dan terbuat dari bahan alumunium yang
kuat, aku langsung jatuh cinta, "Apakah peralatan da?pur?? ini
juga akan dijual?" Sang bapak menengok pada isterinya. Sang isteri terse?
nyum dengan lesung pipitnya, "Kita sama-sama dari Asia.
Kami menyukai kalian. Kalau harga cocok, silakan ambil
berikut seluruh peralatan dapur."
Aku sudah bergerak ingin memeluk sang ibu, tetapi Tjai
mencengkeram lenganku seperti seekor kucing yang murka.
Aku menahan diri dan membiarkan Tjai maju menunaikan tu?
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 112
113 LEILA S. CHU DO RI gasnya dalam urusan hitung-menghitung, tawar-menawar,
dan seterusnya. Cara dia menawar mirip ibu-ibu di Pasar
Kle??wer. Berlagak tidak butuh, berlagak ogah, berlagak akan
per??gi saja karena toh di pojok sana ada yang lebih menarik
dan lebih murah untuk kemudian tersenyum ketika sang pen?
jual menyerah. Sang ibu tampaknya sudah jatuh cinta betul
pa?da kami, karena dia tak terlalu ingin berlama-lama ber?
ada dalam permainan Pasar Klewer. Dia mengangguk dan
ber????salaman dengan Tjai. Barulah Tjai mengizinkan aku me?
meluk pasangan itu dengan penuh rasa terima kasih. Aku
me?nyukai peralatan dapur mereka yang persis dengan alatalat dapur Indonesia: kuali dan ulekan besar yang terbuat
dari batu (meski aku masih harus mencari ulekan kecil untuk
sam?bal mentah). Koperasi dibentuk, modal terkumpul dengan bantuan
ber??bagai pihak, termasuk beberapa lembaga swadaya mas?
ya???rakat Prancis. Risjaf lantas mencari beberapa tenaga tu?
kang yang bisa memperbaiki beberapa bagian yang perlu
digo?sok, sementara kawan-kawan Indonesia di Paris dengan
sukarela menyingsingkan lengan untuk mengecat ulang
selu?ruh dinding restoran. Meski tidak diminta, su?dah sejak
jauh hari Risjaf menyediakan selebaran tentang pem?bu?kaan
restoran kami. Sementara Mas Nug dan Tjai sibuk mengurus pembentuk?
an koperasi dengan dibantu dua orang Prancis Jean-Paul
Bernard dan Marie Thomas, aku sibuk dengan dua asisten
baruku: Bahrum dan Yazir, dua orang anak eksil politik yang
gemar me??masak dan bercita-cita masuk sekolah kuliner.
Empat Pilar Tanah Air sudah memutuskan akan meniru for?
mula Belanda rijstafel, karena makanan yang berasal dari
ke?lom???pok etnis mana pun di Indonesia?Padang, Palembang,
Lampung, Solo, Yogya, Sunda, Jawa Timur, Makassar, Bali?
bisa dimasukkan ke dalam paket sesuai keinginan, kecocokan,
dan rasa. Kami juga bisa menyusunnya seperti makanan ala
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 113
114 PU LANG tiga sampai lima tahap seperti cara Barat, karena wangsa
Eropa harus melalui tahap makanan pembuka, utama, hing?
ga penutup segala. Kami memindahkan nama rijsta?fel secara
harafiah menjadi table du riz. Risjaf dan Tjai ber?sa??ma-sama
belajar membuat aperitif dan disgestif dari seo?rang ahli?
kawan Jean Paul?yang sukarela mengulurkan ke?ahliannya
tanpa biaya. Kami merancang hari pembukaan pada bulan Desember.
Semakin mendekati harinya, aku semakin berkutat di dapur
bersama Bahrum dan Yazir. Resep dicoba, dimainkan, dibuat
variasi dan modifikasi untuk makan siang dan malam serta
beberapa pilihan menu untuk pesta atau sekadar perayaan
kecil. Dua pekan menjelang pembukaan restoran, siang
malam kami mulai mengadakan percobaan berbagai resep
untuk membuat kesan yang melekat pada pengunjung. Kami
masih belum memutuskan masakan apa yang ingin ka?mi
sajikan untuk malam pertama. Bahan makanan dan bum???bubumbu sudah kami beli dengan catatan dari Tjai agar kami
menghemat porsi saat masa percobaan. "Bumbu ma?kan??an
Asia mahal karena banyak yang diimpor!" kata Tjai yang
melekat dengan kalkulatornya, mirip ten??tara yang obsesif
dengan senapannya. Aku berjanji pada diri?ku, suatu hari
akan kulempar kalkulator itu ke dalam Sungai Seine.
Siang itu Mas Nug mengintip ke dalam dapur, menjenguk,
melihat, mengotak-atik resep kami sembari bersiul-siul sem?
ber. Persis seperti intel melayu yang tidak kenal mutu, yang
jus?tru menampakkan diri di hadapan orang banyak un?tuk
mem???perlihatkan profesinya.
"Mengapa namanya membosankan: menu palembang,
menu padang, menu solo. Memberi nama kok tidak se?ma?
ngat," Mas Nug nyeletuk melihat papan tulis dapur kami.
Aku menurunkan kacamataku dan memandang Mas Nug
tanpa komentar. Kutu dari manakah ini, begitu saja meluncur
masuk ke dalam dapurku? Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 114
115 LEILA S. CHU DO RI "Pak Nug punya usul apa, Pak?" tanya Bahrum dengan
santun. Mas Nug tersenyum menatapku. Aku tahu, Mas Nug juga
mampu memasak dengan baik. Risjaf gemar makan apa sa?
ja, tapi di dapur dia hanya berfungsi untuk merebus air atau
menggoreng telur mata sapi; Tjai hanya bisa mem?bantu
mengiris bawang, itu pun harus melalui upacara menge?na?
kan masker dan kacamata. Seperti aku, Mas Nug punya lidah yang peka dan penuh
keinginan untuk berkelana. Bukan hanya menyusuri lekaklekuk lidah perempuan, tetapi lidah kami memahami bahwa
daging sapi berjodoh dengan bumbu tertentu dan anggur ter?
tentu atau ada sayur yang lebih sempurna jika tak harus me?
nyentuh panas api sama sekali. Perbedaan antara Mas Nug
dan aku adalah soal pragmatisme. Jika Mas Nug bisa me?ng????
khayalkan Agnes Baumgartner sebagai Rukmini, maka dia
juga bisa menganggap selai kacang sebagai bahan dasar un?
tuk pembuatan bumbu gado-gado atau bumbu sate. Semen?
ta?ra aku akan bersikeras dengan cinta kuliner yang murni:
bum??bu gado-gado dan bumbu sate harus terdiri dari kacang
ta?nah yang digoreng dengan sedikit kombinasi kacang mete
yang dibakar lalu diulek bersama cabe merah, cabe rawit,
dan kucuran jeruk limau. Bahrum dan Yazir sudah siap mendengarkan usul Mas
Nug. Bahrum dengan pena dan notes, Yazir dengan kapur
dan papan tulis. Mas Nug mendehem-dehem.
"Begini, kenapa tak diberi nama ayam widuri, misalnya.
Kau ciptakan saja resep seperti ayam kalasan dengan modi?
fikasi sambal bawang, tapi kau namakan ayam widuri supa?
ya itu menjadi ciri khas Restoran Tanah Air. Tahu pelangi,
mungkin kita bisa ciptakan tahu isi ikan, ikan merah kesum?
ba," katanya sambil tersenyum-senyum.
"Out!" aku mengusirnya dari dapur. Mas Nug mening?gal?
kan kami sambil tertawa terbahak-bahak. Siulannya yang
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 115
116 PU LANG sem?ber terdengar sayup-sayup.
Bahrum dan Yazir saling berpandangan. Jari mereka
yang sedang menulis segera terhenti.
"Usulnya tadi...bagus juga, Pak."
Aku melotot, "Aku tidak percaya paket! Aku tidak percaya
format. Aku tidak percaya presentasi makanan membuat pe?
nikmat akan melupakan isi. Lidah sangat menentukan. Isi
dan rasa adalah segalanya."
Bahrum menelan ludah, "Format...apa Pak maksudnya?"
Aku duduk dan memerintahkan mereka untuk duduk di
depanku. Kumajukan kepalaku dan mereka ikut-ikutan me?
ma??jukan kepala. "Kalian paham karya sastra? Puisi, novel, cerita pendek?"
"Baca Pak, saya baca. Tapi tidak melahirkan karya se?
perti bapak-bapak di sini semua," kata Yazir melotot penuh
perhatian seolah akan dibagikan peta harta karun.
"Untuk Pak Nug, presentasi dan format memang penting.
Karena perwajahan seluruh restoran ini kami serahkan pada
dia. Buat saya, memasak sebuah hidangan sama seriusnya
seperti menciptakan sebuah puisi. Setiap huruf berloncatan
mencari jodoh membentuk kata; setiap kata meliuk, melesat,
dan mungkin saling bertabrakan dan rebutan mendapatkan
jodoh untuk membentuk kalimat yang berisi sekaligus mem?
punyai daya puitik. Setiap huruf mempunyai ruh, mem?punyai
nyawa, dan memilih kehidupannya sendiri."
Bahrum mencatat semua itu seperti tak akan ada hari
esok. Bolpen?nya bergerak cepat menuliskan segala yang ku?
ucapkan seperti itu sebuah hukum yang berlaku. Yazir me????
natapku setengah terpesona setengah heran. Mung?kin ber???
tanya-tanya mengapa aku membicarakan puisi di dapur
yang bau bawang ini. "Nah, demikian juga memasak," aku mengambil sebutir
bawang. "Ini bisa berjodoh dengan bawang putih, cabai
merah, dan terasi. Tapi apakah ini," aku mengambil sepotong
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 116
117 LEILA S. CHU DO RI ikan salmon fillet, "cocok dengan terasi? Saya ragu, saya belum
mencobanya. Yang jelas mereka belum saling mengenal dan
belum saling berdekatan atau saling bergairah."
Yazir langsung masuk dalam dunia metafora itu. Kini dia
memandang potongan ayam, ikan salmon, daging rendang itu
seperti makhluk hidup yang tengah mencari jodohnya dengan
bumbu-bumbu di sebelahnya. Yazir memegang satu persatu
seperti mendapatkan intan berlian hasil rampokan. Sementara
Bahrum yang aku curigai adalah adik angkat Tjai?saking
terlalu perhitungan dan sukar berimajinasi?meman?dangku
seolah aku orang utan yang perlu dimasukkan ke kandang.
"Tapi Pak, bukankah semua masakan sudah ada resep
tradisional lengkap dengan ukuran-ukuran bumbunya? Dari
mana kita tahu bahwa...ini, si bawang ini tertarik pada si...
ini," dia mengangkat sepotong kunyit segar. Hatiku ber?de?gup.
Kuambil kunyit itu dan meletakkan bumbu itu di depanku. Di
dekatku. "Kunyit adalah bumbu yang diperebutkan semua pi?hak,"
kataku seperti mengucapkan sebaris ayat undang-undang,
"ini adalah penyedap segala masakan dan penyem?buh segala
penyakit. Kunyit adalah mahkota se?gala bumbu. Jangan
sekali-kali kau pertanyakan lagi gunanya."
"Gunakan rasa, Rum. Rasa," kata Yazir mengangkat ke?
dua tangannya dan kini merasa sudah menjelma pe?nyair
dengan seribu puisi sekelas Chairil Anwar.
Bahrum memutar bola matanya dan mengambil pisau,
"Saya praktis sajalah Pak Dimas. Saya mengikuti resep saja
dah." Dia mengangkat tangan dan menolak gabung dengan
pesta metafora di dapur. "Jadi," katanya mencoba membawa kami ke realita,"
kita jadi memasukkan ikan pindang serani, Pak?" Bahrum
menunjuk tumpukan kunyit di hadapanku.
Aku mengangguk. Ikan pindang serani harus menjadi hi?
dangan berlian di restoran ini.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 117
118 PU LANG *** Paris, 90 Rue de Vaugirard, 12 Desember 1982
Penyair Robert Frost pernah menyatakan bahwa rumah
Pulang Karya Leila S. Chudori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
adalah tempat tujuan kita, sebuah tempat yang akan me?me??
luk kita. Restoran adalah tempat tujuan kita, sebuah tem?
pat yang akan memeluk kita dan pemeluknya harus mem?
perlihatkan kegembiraan atas kedatangan kita.
Aku rasa Mas Nug yang terus-menerus menatap dirinya
di depan cermin, dengan sisir kumisnya yang mungil?yang
dibawanya dari Jakarta hingga Peking terus ke Zurich dan
kini di Paris?sedang berlatih untuk "memperlihatkan ke?
gem????biraan" itu. Dia berlatih tersenyum di depan cermin;
ber????latih mengatakan "?a Va?" dan bahkan dia mengulang
cara mengangguk-angguk sembari berlagak men?dengarkan
pernyataan tamu imajinatifnya.
Tak ada yang mengejek apalagi mencela tingkah laku Mas
Nug karena masing-masing pilar mempunyai caranya sen?diri
untuk tetap tegak dan kuat. Sebelumnya, Mas Nug dan Risjaf
memintaku membuat tulisan tangan di atas poster amatir;
mereka kemudian memasang poster be?sar: "L?ouverture du
Restaurant Tanah Air. Des Cuisines Indo?n?siennes. Ke prix
special pour la premi?re semaine".2
Risjaf mondar-mandir memperbaiki letak kursi dan meja
sembari mengecek para pramusaji?mahasiswa di Paris yang
bekerja paruh waktu?agar jangan salah mengucapkan
???"selamat malam". Se...la...mat...ma...lam. Mereka kemudian
me?nirukannya sebagai sa...la...ma? ma...laaaam. Ya sudah?
lah. Lumayan. Itu sudah lebih bagus daripada lidah Indone?
sia ka???mi saat mengucapkan bahasa Prancis.
Mas Nug memasang alat pengeras suara agar para
2 Pembukaan Restoran Tanah Air. Masakan Indonesia. Harga Spesial Selama
Pekan Pertama. Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 118
119 LEILA S. CHU DO RI fl?neur yang lalu lalang bisa mendengar gamelan Jawa dan
Bali secara bergantian. Beberapa rekan Prancis, Jean-Paul
dan Marie yang membantu koperasi kami sudah datang lebih
du?lu dan menikmati bunyi gamelan itu, meski bersumber dari
ka?set. Vivienne kemudian menyusul dan berbincang dengan
me??reka berdua sembari menenangkan keempat pilar yang
pada jam-jam tegang itu sama sekali tidak mewujudkan pi?lar
yang tangguh. Untuk menenangkan saraf, Mas Nug ber??henti
menyisir kumisnya dan mulai menikmati anggur di po?jok
ruangan. Tjai dan Risjaf memutuskan menanti di de?pan pin?
tu, sedangkan aku tetap di dapur sembari sesekali men??jenguk
ke ruang tengah dari jendela dapur.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul enam. Aku bisa
men????dengar degup jantung empat pilar Tanah Air yang seolah
ber?debur serentak. Aku tak sabar dengan keheningan suasana
ruang tengah meski sudah diisi dengan musik gamelan. Aku
keluar dan ikut bergabung dengan Jean-Paul, Marie, dan
Mas Nug yang kini menganggap siulannya yang buruk itu
bisa meniru notasi pentatonik gamelan. Tapi aku tak punya
energi untuk mengejeknya. Mataku terarah ke pintu.
"Janganlah menatap pintu itu terus menerus...kasihan
dia," kata Vivienne menenangkan. Aku tersenyum. Baru saja
aku mau mengambil rokok, bel yang digantung pada pin?tu
ber???kliningan. Kulihat sepasang suami isteri Prancis masuk dan
menikmati wayang kulit dan topeng-topeng yang ka?mi?? gan?
tung di dinding. Mas Nug dan Risjaf segera saja menyambut
mereka dengan kegembiraan yang luar biasa campur
kegugupan yang tak kira-kira. Baru saja aku akan kembali ke
wilayah kekuasaanku di dapur, namaku dipanggil.
"Madame dan monsieur ingin kau menjelaskan menu ini."
Aku menanyakan kepada pasangan paruh baya Pran?cis
itu?ka?re?na setiap lidah mempunyai pengalaman yang ber?
beda?apa???kah mereka sedang ingin daging, ikan, ayam, atau
serba vege?tarian; apakah mereka sudah cukup pengalaman de?
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 119
120 PU LANG ngan makanan berbumbu. Dengan begitu aku tahu yang mana
yang per??lu kurekomendasikan. Rupanya mereka penggemar
makanan segala dan sudah pernah berlibur ke India dan
Thailand. Gampang kalau begitu. Aku merekomendasikan
nasi padang lengkap. Agar latihan di depan cermin tak sia-sia,
Mas Nug menawarkan anggur dan berbincang dalam bahasa
Prancis dengan pasangan itu. Baru saja aku melangkah ke
dapur, ternyata bel pintu berbunyi lagi. Kali ini enam orang.
Mas Nug meminta aku juga meladeni permintaan rombongan
Prancis itu. Ternyata mereka sangat menyukai perhatianku
untuk memenuhi selera setiap orang. Lalu masuk lagi seke?lu?
arga Indonesia. Lalu masuk lagi rombongan Prancis. Lalu?...
lagi dan lagi, mereka berdatangan seperti air bah yang
mengalir. Risjaf sungguh cakap menyebarkan berita pem?
bukaan restoran ini. Tapi aku betul-betul harus kembali ke
dapur untuk membuktikan restoran ini memang layak di?
ja???di?kan rumah bagi mereka. Vivienne dan Risjaf mencoba
meng??ambil alih tugasku untuk menjelaskan bagi pengunjung
Prancis yang serba ingin tahu masakan Indonesia yang be?lum
pernah mereka coba. Para pramusaji dengan perlahan be?lajar
dari Vivienne dan Risjaf bagaimana menjelaskan ma?kanan
Indonesia yang kami sajikan.
Tanganku, Bahrum, dan Yazir tak henti-hentinya berge?
rak di meja racikan. Dari jendela dapur kami melihat ekspresi
mereka. Ayam bakar, sate kambing, gulai anam, nasi padang,
soto ayam menjadi hit malam ini. Beberapa memo tertulis
dikirim ke dapur yang berisi puja-puji terhadap masakan kami.
Memo itu kami lekatkan pada dinding agar menjadi kenangan
hari pertama sebagai penyair dalam dunia kuliner Indonesia.
"Penuh semua. Enam puluh kursi penuh Pak!" Bahrum
kem??bali dari tugas menganalisa situasi di ruang tengah dan
bawah. Kita harus mengeluarkan kursi-kursi cadangan da?ri?
gudang! "Pak Tjai berkilat-kilat dahinya!" Bahrum menyam?
bung tersenyum lebar. Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 120
121 LEILA S. CHU DO RI "Kata Pak Tjai, tipsnya sudah mencapai ribuan franc...
pouboir3!" Yazir berseru. Kami memang memutuskan, tips
di?kumpulkan ke dalam satu mangkok bersama yang di peng?
hujung malam akan dibagikan sama rata oleh Tjai.
Aku tersenyum mendengar semua kabar gembira malam
pembukaan kami yang begitu luar biasa dan sangat di luar
dugaan. Aku mulai menyiapkan makanan dan minuman
pe??nu?tup. Minuman penutup yang populer adalah es cendol
yang kucampur dengan nangka (yang apa boleh buat hanya
bisa diperoleh dari kaleng). Ternyata hampir setengah dari
seluruh pengunjung meminta gelas es cendol yang ke?dua.
Pasti ada sesuatu yang baik dan benar dari upaya kami
mem?bangun koperasi ini. Pasti ada sesuatu yang tak bu?ruk
yang pernah kami lakukan sebagai manusia. Aku tak tahu
apakah ini sekadar soal kerja kelas belaka, karena aku tahu
Paris memiliki ribuan bistro, kafe, restoran, dan bar. Aku me?
nuangkan es cendol itu perlahan. Tiba-tiba saja ada sesu?atu,
entah apa sesuatu itu, yang mendesak dadaku. Desakan itu
membuat mataku mendadak basah.
"Zir, tolong kau teruskan ini," aku meletakkan gelas.
Yazir buru-buru mengambil gelas itu sembari memandangku
heran. Aku bergegas ke pojok dapur, membelakangi mereka,
menghadap tembok. Aku mencoba mengusap-usap wajahku
seolah-olah penuh keringat. Aku tak ingin mereka tahu aku
menangis tanpa sebab. Tapi semakin aku menggosok-gosok
mukaku, air mataku semakin deras.
Pintu dapur terbuka. Sialan.
"Mas...." Ah suara Mas Nug. Pergilah sana sebentar.
Mas Nug melangkah, mendekat perlahan.
Tiba-tiba dia memeluk bahuku dari belakang. Kali ini Mas
3 Tips. Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 121
122 PU LANG Nug tak lagi bersiul atau bernyanyi dengan suara sember.
Dia ikut menangis tanpa suara.
*** Tentu saja bukan eksil politik jika tidak ada gangguan
sehari-hari. Paspor dicabut, berpindah negara, berpindah
kota, ber?ubah pekerjaan, berubah keluarga...segalanya terjadi
tan?pa rencana. Semua terjadi sembari kami terengah-engah
ber??bu??ru identitas seperti ruh yang mengejar-ngejar tubuhnya
sen?diri. Gangguan, atau Mas Nug lebih suka menyebutnya
se????ba?gai ?tantangan?, yang kami hadapi datang bertubi-tubi.
Karena itu, setelah keberhasilan malam pembukaan dan ma?
lam-malan berikutnya, kami tahu bahwa perayaan ini mem???
butuhkan antagonis. Seperti siang ini. Tiba-tiba saja Tjai menerima telepon.
Wa??jah?nya yang datar dan dingin itu hanya mengerutkan ke??????
ning. Aku yang baru saja selesai mengolah bumbu dan se?dang
menikmati bir di ruang depan.
"Ada apa Tjai?"
"Entah. Orang gila," dia menjawab dengan nada tak pe?
du???li sembari terus menghitung dan mencatat. "Kecap harus
cap Bango ya, Mas?" "Harus." "Oke. Mas Nug akan ke Amsterdam, titip yang banyak ya.
Di sana lebih murah," Tjai menoleh pada Mas Nug.
"Kalau begitu sekaligus terasi cap jempol yang banyak.
Tempe yang banyak. Rokok kretek. O, ya bubuk kencur, kun?
yit yang...." "Ya, ya, kunyit yang segar. Itu mahal! " Mas Nug meng?
ge??????rutu meski tetap menulis juga semua pesananku.
"Ya sudah kalau mau pindang serani yang rasanya aneh."
Bunyi dering telepon kembali menyalak. Tjai mengangkat
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 122
123 LEILA S. CHU DO RI tapi langsung menutupnya kembali. Mas Nug menatap Tjai
dengan heran. "Tjai ada apa sih? Kau punya simpanan?" Mas Nug ter?
kekeh-kekeh. "Itu kan kebiasaanmu," Tjai menjawab tanpa mengang?
kat wajah dari kesibukannya menghitung.
"Iya, tapi itu siapa? Bagaimana jika itu pelanggan yang
mau pesan katering?"
Tjai mengangkat kepala dan menjenguk jam tangannya.
Jam 11. Lalu dia sibuk kembali. Pertanyaan Mas Nug meng?
am??bang.Telepon berdering. Kali ini Mas Nug tak sabar. Dia
meng?angkatnya. Tjai menghela nafas dan melipat tangannya
seperti ingin tahu bagaimana Mas Nug menjawab telepon
misterius itu. Mas Nug nampak terkejut, mukanya memucat.
Dia menutup telepon perlahan.
"Sudah berapa kali dia menelepon, Tjai?"
Tjai mengangkat bahu, "Tak kuhitung. Orang gila."
"Siapa? Siapa?"
"Preman, minta bagian. Kau kira hanya Indonesia yang
banyak preman," Mas Nug menggelengkan kepalanya.
"Mereka minta berapa?"
Tjai mendelik dan menyebutkan jumlah yang membuat
aku tersedak. Hirupan bir salah masuk ke saluran hidung.
Sial????an. Berapa menu set rendang dan berapa piring sate
ayam belum juga bisa mengatasi permintaan upeti itu. Risjaf
se????gera menelepon orang-orang Amnesty International. Teror
te?le?pon itu pun berhenti sejenak, meski kami yakin suatu hari
me?reka akan menelepon lagi.
Namun ada lagi telepon model lain: bernafas dengan
suara berat. Kalau sudah begini, karena Tjai yang paling
dekat dengan pesawat telepon, dia hanya menggantung kop
te??lepon ke bahunya lalu melanjutkan meng?hi?tung pemasukan
dan pengeluaran. Biasanya beberapa me?nit kemudian Tjai
akan mengecek apakah si penelepon yang ge?mar bernafas itu
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 123
124 PU LANG sudah mematikan telepon. Barulah Tjai me?nutup telepon.
Ketika beberapa peneliti Indonesia menghadiri sebuah
konferensi di Sorbonne University, sosiolog Armantono
Bayu?aji yang kritis terhadap pemerintah Orde Baru meng???
usulkan mencicipi hidangan Restoran Tanah Air. Melihat be?
tapa penuhnya pengunjung restoran kami, apa?lagi dengan
acara diskusi buku dan pameran foto yang diku??rasi oleh
Risjaf, Armantono sungguh terkesan. Hanya beberapa pekan
setelah kunjungan mereka, keluarlah artikel Armantono di
media terbesar di Indonesia, besar selebar taplak meja, yang
isinya memuji-muji upaya kami dan mengkritik sikap peme?
rintah Indonesia yang tak jelas. Kira-kira tekanan Armantono
adalah: mengapa mereka yang di Pulau Buru sudah pulang?
meski masih ditempel stigma?sedang yang di luar negeri
belum dirangkul untuk kembali ke tanah air. Yang lebih gila,
Armantono menyebutkan betapa Restoran Tanah Air adalah
duta kebudayaan di Paris yang sesungguhnya.
Aku tak tahu apa yang terjadi di Jakarta setelah itu. Pasti
heboh memperdebatkan artikel Armantono. Kami tetap saja
menikmati kunjungan yang membludak setiap hari hingga
suatu hari menjelang jam makan siang, sebuah teror model
ba?ru datang. Yazir berlari-lari masuk dapur seperti baru sa?
ja melihat hantu. "Si Telunjuk, Si Telunjuk datang."
Aku terkesiap. Tukang Tunjuk atau Si Telunjuk adalah julukan bagi se?
se?orang yang lebih rendah daripada kotoran parit. Nama
asli?nya adalah Sumarno Biantoro. Dia seorang penulis andal
yang semula bersahabat, berdiskusi bermalam-malam de?
ngan Mas Hananto dan Mas Nug di Pasar Senen. Dia salah
sa?tu putera keluarga pemilik usaha rokok lintingan di Jawa
Tengah. Sumarno Biantoro menjadi bagian dari barisan se?
ni???man yang cukup dihormati karyanya karena puisi-puisi
dan naskah dramanya dianggap revolusioner. Pada sa?at
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 124
125 LEILA S. CHU DO RI tragedi September Sumarno ikut tersapu. Konon dia di????sik???
Pulang Karya Leila S. Chudori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sa habis-habisan hingga giginya rompal digasak dan pe?
nis?nya habis diinjak dengan kaki kursi. Dan konon pula, dia
dile?pas kembali setelah disiksa, tidak dijeblos ke tahanan
ma?na pun, apalagi ke Pulau Buru. Telunjuknya digunakan
un?tuk menunjuk mereka yang masuk kelompok kiri da??lam
semua organisasi kesenian di Indonesia. Perburuan ter???hadap
Mas Hananto akhirnya berhasil setelah tiga ta?hun, ka?ta??
nya, berkat Sumarno Biantoro yang tahu betul tem??pat per?
sembunyian (bekas) kawan-kawannya.
Tjai masuk dengan wajah pias. Baru pertama kali aku
melihat dia bisa diguncang emosi.
"Dia ingin bertemu denganmu, Mas. Dan...dia tahu betul
Mas Nug sedang di Amsterdam."
Sumarno memang tikus yang tahu semua gerak gerik si??
apa saja yang dianggap musuh. Tubuhku terpaku dan ta?ngan?
ku masih memegang pisau besar untuk membelah ayam. Besar
dan tajam. Jari-jariku gemetar. Aku berjalan de?????ngan pisau di
tanganku. Sumarno nampak duduk menghadap pintu luar. Dia
sengaja tidak memilih meja di lantai bawah. Aku berhenti
me?langkah. Dia merokok dan tidak memesan apa-apa. Tapi
dia tahu aku sudah berada di belakangnya. Di belakangku
ada Tjai, Risjaf, Bahrum, dan Yazir.
Sumarno menoleh. Aku tak tahu apakah rambutnya yang
klimis menggunakan pomade atau giginya dengan satu gigi
emas itu yang menyilaukanku. Rupanya gigi yang rompal itu
kini dia ganti dengan gigi emas.
"Dimas Suryooooooo," dia bangun dan menyalamiku.
Erat dan pasti. Yakin dan penuh kuasa dan rahasia. Dia ter?
tawa-tawa, entah apa yang lucu, itu tak penting. Tangan?nya
mempersilakan aku duduk di depannya seolah dia pe?milik
restoran yang ingin sekadar berbincang dengan koki?nya.
Aku tetap berdiri dengan pisau di tangan kiriku.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 125
126 PU LANG "Sibuk masak, Mas? Hayooo duduk duduk reriungan sa?
ma aku to, Mas." Aku melepas baju kokiku dan akhirnya duduk berhadap?
an dengan tikus bergigi emas ini. Pisau besar pengiris ayam
ku??letakkan di depanku. Seandainya dia berani menyentuhku,
aku akan menusuk tangannya hingga melekat ke meja ma?
kan. Tjai pasti akan menggerutu karena meja makan itu akan
berlubang. Tapi apa peduliku.
Aku melirik Risjaf dan Tjai yang berdiri dengan sigap, se?an?
dainya ada apa-apa. Kedua asistenku menda?dak lupa tugasnya
mengolah bahan, ikut menyaksikan deng?an gemetar.
"Ada apa, No? Kenapa kau di sini?"
"Lo lo lo wong bertamu masak ndak boleee. Ke mana to
sopan-santun Eropamu."
Sumarno menengok ke arah pintu dapur dan melambailambai, "Sjaf, Tjai...mbok ya gabung, gabung. Ayo, aku baru
saja bertemu isterimu Sjaf di supermarket opo iku...tadi
pagi." Risjaf mengerutkan kening dan maju melangkah dengan
ter?paksa. Tjai juga ikut maju tapi menuju meja kasir. Aku ta?
hu, dia sengaja berdiri di tempat strategis itu untuk ber?jagaja?ga jika dia harus menggunakan telepon.
Tapi Sumarno adalah tikus, bukan preman. Dia penge????cut.
Bermanis gulali di depan, lantas menggigit dari belakang. Ga?
ya Sumarno pamer pengetahuan sebagai bentuk teror ada???lah
hal yang sangat klise. Dia memperlihatkan bagai?ma??na dia
menge??tahui tempat tinggalku dengan Vivienne, apartemen
Risjaf dengan Amira, Tjai dengan Theresa, dan bahkan dia
menge?tahui tempat tinggal Bahrum dan Yazir sambil sesekali
ter??kekeh. Aku memegang-megang pisau meski aku tahu, se?
ka?li lagi, orang seperti ini adalah tikus pengecut.
"Wis sugih semuanya di negeri orang," dia tertawa-tawa
sendiri. "Kau mau minum apa, No?" tanya Risjaf.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 126
127 LEILA S. CHU DO RI "Kalian punya apa?" Sumarno menoleh ke arah bar yang
terletak di samping kami.
"Racun. Bermacan-macam. Racun tikus, mau?" aku mulai
tak sabar dengan dansa-dansi ini.
Sumarno malah ngakak macam gorila. Kami tidak ikut
tertawa dan hanya diam memandangnya.
Satu jam ke depan, tanpa minum, tanpa makanan, dia te?
rus menerus merepet memamerkan apa saja yang terjadi di
Jakarta dan apa yang terjadi pada eks tapol yang dibebaskan
dari Pulau Buru. "Kasihan loo, KTP mereka harus diletakkan tanda ET.
Terus, Mas Warman dan Mas Muryanto kalau menulis di
media sekarang menggunakan nama samaran. Lha tapi
kami semua tahuuu kalau Sinar Mentari itu ya nama samar?
an Warman; kalau Gregorius M ya itu Mas Muuuur. Bikin
na???ma samaran kok mudah ditebak. Gimana sih. Terus itu lo.
Anak-anaknya sekarang ikut-ikut kerja di media. Pake nama
sa??mar?an juga. Rupanya sedang jadi model menggunakan na??
ma samaran. Ya bapak, ya anak, semuanya samar-menya?
mar," dia terkikik-kikik begitu lama dan panjang hingga
aku teringat adegan Bima menyobek mulut Sangkuni dalam
Bharatayudha. Nampaknya Risjaf sudah tahu betul akibat kerot-kerot
ra??hangku. Tanganku yang tak kunjung ingin melepas pisau
itu dan aku sudah mulai merasa seluruh tubuhku dilanda
pa??nas dingin. Tikus di depanku ini bukan hanya gemar
mencelakakan sahabat sendiri seperti Hananto, tetapi dia
memang seorang oportunis yang tak layak dianggap ada.
Seperti tikus, hidupnya di dalam gelap dan kebusukan.
Tjai dengan wajah dingin mendekat dan mengatakan
bah???wa kami harus memulai pertemuan anggaran. Tentu sa?
ja ini alasan Tjai agar segala dansa-dansi ini selesai de?ngan
aman tanpa kehebohan. Gerak tubuh Tjai dan Risjaf yang
sudah berdiri di samping Sumarno membuat tikus itu ter?????paksa
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 127
128 PU LANG berdiri, masih terkekeh-kekeh mengucapkan per??pi?sahan.
Ketika mencapai pintu, Sumarno berhenti dan berbalik
me??natapku serius. "Nganu Dimas...kalau tahun ini kau me?
nga???juken permohonan visa lagi, mbok sebut saja namaku...
mu??dah-mudahan bisa membantu masuk Indonesia," dia ter?
kekeh-kekeh kembali membuka pintu.
Tjai dan Risjaf memegang lenganku dengan kuat karena
aku sudah tak tahan ingin menancapkan pisau itu ke jantung
bangsat itu. Ketika tikus itu akhirnya menggelinding pergi, Yazir dan
Bahrum buru-buru mengelap meja, kursi, dan gerendel pintu?
semua yang kena sentuh Sumarno?dengan disinfektan, seo?
lah-olah tubuhnya mengandung kuman yang menular. Aku
rasa kedua anak itu hanya ingin ikut berpartisipasi saja.
"Kembalilah ke dapur, Mas. Gunakan pisau itu untuk
ayam atau daging," kata Tjai tersenyum mengunci pintu
depan. Jam makan siang masih sejam lagi.
Teringat Mas Hananto, teringat Surti dan anak-anak?nya,
ter?ingat semua kawan yang tertangkap atas hasil telunjuk
Sumarno. Kalaupun bukan oleh Sumarno, pasti akan ada ti?
kus lainnya. Dalam hidup, jumlah manusia seperti Sumarno
ter??nyata jauh lebih banyak dan lebih mudah beranak pinak.
*** Paris, April 1998 Tiba-tiba saja aku merasa sinar matahari menyerang ma?
ta??ku. Gila. Apa-apaan? Bagaimana aku bisa berada di apar?te???
menku? Aku bingung dan tak faham waktu dan tempat. Per?
lahan aku bangun. Disorientasi sangat tidak nyaman. Tapi...
kepalaku ringan. Aku tak merasa mual ataupun pusing. Di
ruang tengah, Mas Nug celentang di atas sofa.
"Hei," Mas Nug bangun menggosok matanya, "enakan?"
"Ya, enakan...siapa yang membawa aku ke sini? Mana
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 128
129 LEILA S. CHU DO RI Suma?rno?" "Sumarno? Ha? Kau mimpi, Mas."
Aku terdiam. Ini gawat. Tahun berapakah ini?
"Semalam kau sakit, minum obat, tertidur di restoran. Aku
masak untuk rombongan Malaysia kawan-kawanmu. Lalu Risjaf
dan aku membawamu ke sini naik taksi."
Aku mengambil dua cangkir dan menyeduh kopi.
"Sebaiknya kau jangan minum kopi atau teh dulu, Mas."
Aku diam tak mempedulikan ucapan sintingnya. Bagai?ma?
na aku hidup tanpa kopi? "Mas, dengar. Selama kau tidur, aku diam-diam melaku?
kan tusuk jarum di beberapa titik. Makanya kau lebih enak
sekarang. Dari titik-titik yang kutusuk itu, nampaknya levermu
bermasalah." Mas Nug ngoceh seperti tukang obat. Aku memberi satu
cang?kir kopi untuk Mas Nug dan satu untukku. Sebelum aku
meng?hirup, aku melihat bekas jarum-jarum akupunktur di da?
lam tempat sampah. Astaga, dia tak bergurau.
"Kau tusuk aku di mana, Mas?" aku mencari jejak-jejak ja?
rum di tangan dan perutku.
"Sudahlah, kau tak perlu tahu. Yang penting, kau merasa
enak kan sekarang?" Aku mengangguk. "Tak berarti aku setuju untuk tusuk ja?
rum lagi." Mas Nug tersenyum dan menghirup kopi, "Selama kau ti?
dur ada beberapa hal penting yang harus kau ketahui...."
Aku diam menanti ocehannya.
"Pertama, aku mendapat info dari kawan-kawan Malaysia,
mereka mendengar bahwa ada aktivis Indonesia yang dicu?lik,
Pius Lustrilanang, mengadakan konferensi pers dan men?ce?ri?
takan bagaimana ia diculik dan disiksa."
Cangkir kopiku hampir terjatuh.
Gila. Ini perkembangan mutakhir paling mengejutkan yang
pernah kudengar selama 32 tahun dalam perantauan.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 129
130 PU LANG "Kok bisa?" Mas Nug menggeleng-gelengkan kepalanya, "Dan aku ya?
kin korban penculikan yang lain akan angkat bicara pada wak??
tu???nya." Setelah kami sama-sama merenungi kejadian yang menge?
jutkan itu, barulah aku teringat.
"Lalu...berita lain?
"Oh, tadi pagi Vivienne menelepon, mengatakan rumah
sa??kit menelepon dia soal hasil tes yang sudah nongkrong dan
ti??dak diambil. " "Vivienne?" Mas Nug tersenyum, "Waktu kami mengisi formulir, saat
kau jatuh, contact emergency yang kami isi adalah nama dan
nomor Vivienne." "Semprul kau!" Mas Nug tertawa seperti monyet. Dia tahu Vivienne akan
cerewet sekali menyuruh aku berobat. Meski kami sudah ber?
cerai, Vivienne dan aku tetap berkawan baik.
"Dan menurut Vivienne, dia sudah memberitahu Lintang
bahwa kau jatuh di stasiun Metro."
Merde! Ini bakal menjadi rumit jika Lintang tahu.
Mas Nug menghabiskan kopinya dan membereskan kotak
ja?rum?nya. Dia berdiri dan mengatakan akan pulang, mandi,
mem????bantu dapur Restoran, dan sore kembali menje?nguk?ku.
"Kami sudah sepakat kau harus istirahat dulu. Ambil hasil
tes, apa pun hasilnya, kau harus berobat. Kalau tidak, kau akan
ku??tusuk dengan seribu jarum!" suaranya mengancam.
"Dapur?" "Biar aku dan kedua asistenmu yang mengurus dapur. Tak
ada tawar menawar!" sang fasis memutuskan begitu saja.
Mas Nug meninggalkan apartemenku sambil bernyanyi
"What a Wonderful Life" dengan suara sember.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 130
131 LEILA S. CHU DO RI TAR LIIN G U ARA Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 131
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 132
Paris, April 1998 Dari jendela metro, aku melihat Paris di musim semi
yang murung. Hitam dan kelabu berkelebatan seperti bayangbayang. Ke mana warna ungu membiru, kuning kunyit, dan
merah kesumba itu? Bulan April, seharusnya Paris menye?bar?
kan harum bunga berbagai warna dan sesobek roti croissant
yang dicelupkan ke dalam cangkir susu cokelat yang menge??
pul??kan aroma manis. Dan seharusnya warga Paris sibuk men???
dan?dani tubuh kota ini untuk sebuah musim panas yang me?
gah.? Tetapi penyair T.S Eliot memang dahsyat. April is the
cruelest month, breeding Lilacs out of the dead land, mixing
memory and desire.... Ini bukan salah Paris, karena kota ini bukan sebuah tanah
mati yang melahirkan bunga beraroma bacin. Ini juga bukan
salah musim semi yang seharusnya menyajikan warna. Bulan
April adalah bulan terkutuk bagi mahasiswa Universitas Sor?
bonne, karena memaksa mereka untuk hidup tanpa tombol
jeda. Dosen-dosen berubah menjadi dewa penentu na??sib.
Mereka melempar puluhan tugas makalah dan ujian sembari
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 133
134 PU LANG duduk-duduk minum anggur dan tertawa terba?hak-bahak
macam gorila. Di luar jendela Metro, aku masih melihat kelebatan wa?jah?
Monsieur Didier Dupont dari satu tiang ke tiang lain. Wajah
masam yang pagi ini menyaksikan footage video hasil kerjaku
beberapa bulan terakhir: Le Quartier Algerien ? Paris.1 Cahaya
Pulang Karya Leila S. Chudori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari layar kecil itu sesekali menerpa wajahnya. Aku me???lirik se?
tiap kali layar menampilkan gambar para imigran Alja??zair yang
aku wawancara beberapa bulan silam, kurekam dan ku?sun?ting
dengan seksama. Sesekali Monsieur Du???pont me?micingkan
matanya. Sesekali dia mengerutkan bi?bir saat me?lihat footage
yang menampilkan anak-anak Aljazair yang manis dan lucu.
Tetapi setelah sepuluh menit yang mene??gangkan, Monsieur
Dupont menyuruhku duduk di hada?p?an????nya.
Untuk beberapa menit, dosenku itu membiarkan aku geli?
sah sementara dia sibuk mencatat untuk kemudian meng?hela
nafas. "Quelle est votre opinion?"2
"C?est un bon plan...."3
Suara Dupont terdengar berat.
Didier Dupont, pembimbingku yang ekonomis dalam
kata-kata itu tidak melanjutkan kalimatnya. Dia melepas kaca?
matanya, menggosok-gosok dengan sapu tangan yang sudah
kumal, dan mengenakannya kembali dengan gera?k??an yang
sangat lamban. Aku sudah tahu, dia belum sele?sai dengan
kalimatnya. "Tetapi?" tanyaku tak sabar dengan gerak jarinya. Dia
sungguh sudah renta. Dupont mengetik keyboard komputernya, lalu keluarlah
1 Daerah Aljazair di Paris.
2 Apa pendapat Anda? 3 Rencana yang bagus. Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 134
135 LEILA S. CHU DO RI ratusan judul tugas akhir mahasiswa La Sorbonne tentang
warga Aljazair di Paris. Jantungku tiba-tiba saja berhenti
berdegup. Tentu saja aku tahu begitu banyak alumni Sorbonne
yang pernah membuat film dokumenter tentang warga Aljazair
di Paris. Tetapi aku merencanakan sebuah dokumenter yang
berbeda. Belum sempat aku menyusun argumen, kulihat
Dupont memutar layar komputernya ke arahku.
"Ini topik yang sudah dikunyah-kunyah berulang kali oleh
mahasiswa Sorbonne. Usulmu ini tidak salah. Sama sekali
tidak salah," mata biru Monsieur Dupont itu menyorot mataku.
"Untung saja ini masih berbentuk proposal. Saya harap kamu
baru mengerjakan untuk tingkat proposal saja."
Aku terpaksa mengangguk. Terbayang semua video yang
su?dah berisi rekaman wawancaraku dengan para imigran Alja?
zair. Aku terlalu yakin Didier Dupont akan menyetujui pro??po?
sal tugas akhirku ini. "Dengan potensi, dengan bakat dan semangatmu, kenapa
kau tidak mengajukan proposal yang jauh lebih menarik?"
Puisi T.S. Eliot langsung saja mendera telingaku. Pantas
saja penyair itu membenci bulan April.
"Kehidupan imigran Aljazair di Paris menurut saya sangat
menarik, Monsieur," kataku mencoba tidak defensif. "Mereka
adalah orang-orang Prancis yang merasa dirinya memiliki dua
tanah air." Monsieur Dupont menatap mataku. Bola matanya yang?
berwarna biru itu seperti batu cincin pirus Maman. Dan ba?tu
pirus itu seperti tengah dilontarkan ke dahiku yang sung?guh
bebal. "Lintang, kamu lupa ada sesuatu yang menarik dari diri?
mu, dari latar belakangmu."
Jantungku yang sejak tadi berhenti berfungsi kini te?ra?
sa mendapat segelintir oksigen. "Kamu juga mempunyai dua
tanah air: Indonesia dan Prancis. Dan kamu lahir di Paris,
tum?buh dan besar di Paris. Tidakkah kamu ingin mengetahui
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 135
136 PU LANG identitasmu, tanah kelahiranmu?"
Monsieur Dupont mengambil harian Le Monde yang ter??
lihat sudah dia baca, karena agak lusuh. Dia membuka halam??
an dalam, lalu menyodorkannya padaku. Sebuah tulisan di
halaman tiga, berjudul "Une Activiste Indon?sienne qui a ?t?
Kidnapp? Prend sa parole", yang isinya memberitakan bahwa
aktivis Indonesia yang diculik akhirnya bersuara. Di halaman
Ekonomi, ada berita lebih be?sar yang membahas krisis moneter
yang menimpa negara-ne?gara Asia, termasuk Indonesia.
Aku terdiam. Kini aku paham arah pembicaraan Monsieur
Dupont. Terlalu paham. Suatu pertanyaan yang di masa lalu
meng?ganggu tidurku. Tetapi pertanyaan itu sudah lama kusim?
pan dan kukubur dalam-dalam di pemakaman hati. Aku tak
mau mengorek-ngorek sesuatu yang sudah aman, di lapis?an
ter??bawah hatiku. "Ayahmu adalah bagian dari sejarah politik yang penting di
Indonesia," katanya sembari melipat harian Le Monde itu dan
memberikannya padaku, "ambil saja."
Aku menerima lembaran koran itu, tapi masih belum juga
bisa menjawab ide Dupont. Tiba-tiba saja memandangi sepatu
kets yang kumel jauh lebih menarik daripada menghadapi bola
matanya yang biru. "Negara kelahiran ayahmu sedang bergolak. Ekonomi men?
jadi pemicu. Tetapi situasi politik semakin memanas karena
Indonesia sudah lama dipimpin oleh presiden yang sama."
Lalu, kenapa? Bukankah semua negara berkembang selalu
saja bergolak karena situasi sosial dan politik yang tak stabil?
Negara-negara Amerika Latin, Afrika, dan sebagian Asia ada
saja yang memiliki pemimpin diktator yang korup dan mili?
teristik. "Tak inginkah kau menjenguk kembali asal mula dirimu?Tak
inginkah kau mengetahui apa yang membawa ayahmu dan
kawan-kawannya terbang ke sini, ke sebuah negara yang nyaris
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 136
137 LEILA S. CHU DO RI tak memiliki hubungan historis dengan Indonesia?"
Tentu saja aku tahu kenapa rombongan Ayah terbang ke
Paris bukan untuk mengagumi Menara Eiffel atau menyusuri
jejak sejarah Gereja Notre Dame. Bahkan Ayah pernah menga?
takan setelah puluhan tahun menetap di Paris, dia baru
menjejakkan kakinya naik ke Menara Eiffel dua kali, itu pun
karena terpaksa mengantar seorang penyair Indonesia yang
sedang berkunjung. Ayah sangat membenci area turistik.
Tentu saja aku tahu bahwa kedatangan Ayah dan kawanka?wannya bukan dengan sekoper perencanaan; segalanya ser?????
ba gelap, di bawah tanah, dan menyerempet bahaya. Sejak
masih terlalu muda untuk memahami politik, aku sudah ta?
hu bahwa Indonesia, tepatnya pemerintah Orde Baru yang
tak kun??jung runtuh itu, tak akan pernah memudahkan Ayah
pu?lang ke Indonesia. Ini cerita yang selalu diulang-ulang Ma?
man. Dan ini sebuah cerita yang selalu kuhindari karena se?tiap
kali menge??nang Indonesia, Ayah akan mengakhirinya deng?an
kucur?an air mata dan rasa pahit.
Aku berlagak mengeringkan tenggorokan, "Saya belum
pernah ke Indonesia."
Ratu Pesta Dansa 3 Prabu Siliwangi : Bara Di Balik Terkoyaknya Raja Digdaya Karya E. Rokajat Asura Naga Naga Kecil 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama