Pulang Karya Leila S. Chudori Bagian 4
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 207
208 PU LANG burung pengelana akan tetap dibiarkan menetap di negara
seberang. Nama mereka dihapus dari sejarah Indonesia dan
sejarah peradaban hidup ini, sedangkan rezim akan dite?ruskan
de?mi?kian turun-temurun. Semoga aku salah.
Setiap tahun Dimas melakukan hal yang sama dan terlempar
pada kekecewaan yang sama; hatiku runtuh. Se?tiap tahun
Dimas mencoba mengajukan visa ke Indonesia, yang entah
kenapa selalu ditolak. Jika mereka menolak semua kelompok
Dimas, mungkin akan sedikit meringankan pera?sa?an. Tapi ada
beberapa kawan, yang mungkin dianggap tak akan berbuat
onar di Jakarta, bisa lolos dan bisa masuk ke Jakarta, seperti
Risjaf, Mirza di Leiden, dan ada beberapa kawan di Jerman yang
lazimnya mendapat visa. Namun, setelah insiden di Dresden dua
tahun lalu saat kunjungan Soeharto, aku tak yakin apakah akan
semudah itu Indonesia membuka pintu bagi kawan-kawan.
Bagaimanapun situasinya, ada tanjakan dan ada turunan
dalam kebijakan pemberian pintu masuk bagi kawan-kawan.
Ka?rena itu, agar Dimas tak terus-menerus merasa ditolak
seper?ti Ekalaya, aku pernah mengutarakan sudah waktunya
dia menerima kemungkinan untuk tak lagi menganggap Indo??
ne?sia sebagai tempat di hari tua dan menutup mata.
O Mon Dieu. Betapa aku melihat luka di matanya. Aku ju?ga
terkejut pada ucapanku sendiri. Aku menyadari, meng?ucapkan
sesuatu dengan nalar sering berarti bencana. Beta?pa aku telah
menutup cahaya ke???cil? di lorong gelap. Dia tidak mengatakan
apa-apa, tak juga memuntahkan kekecewaan. Itu bukan gaya
Dimas. Dia ha?nya berdiri dan keluar ke teras, merokok. Angin
musim dingin me?nyerbu masuk karena Dimas sengaja tidak
menutup pin?tu. Aku tahu aku telah mengucapkan sesuatu yang
salah. Tapi aku tidak salah.
"Rumah adalah tempat keluargamu menetap," aku me?nyu?
sul Dimas ke teras. Mencoba mempertahankan pen?diri??anku
tanpa menyinggungnya. "Rumah adalah tempat di mana aku merasa bisa pulang,"
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 208
209 LEILA S. CHU DO RI jawab Dimas. Dingin. Datar.
Pembicaraan saat itu bukanlah titik yang menentukan
perpisahan kami. Malam itu hanyalah satu titik dari garis
panjang yang akhirnya memaksa kami untuk mengambil ja?lan
masing-masing. *** "Bonjour." "Bonjour. Vivienne?"
"Oui. Ini Nugroho? Ada Dimas?"
"Ya, ya, ini tempat Dimas, Viv. Aku sedang menemani dia.
Astaga, apa kabar? Sudah lama sekali tidak mampir ke Rue de
Vaugirard. Bagaimana kabar Lintang?"
"Lintang sedang sibuk ujian, Nugroho. Begini, ada Di?mas?
kah?" Terdengar suara helaan nafas panjang.
"Pourqoui? Dimas kenapa?"
"Dia sedang tidak enak badan."
"Nugroho! Ini aku..."
Terdengar suara Nugroho terdiam.
"Dia sakit dan saya tak tahu apa penyakitnya. Mungkin
usus, mungkin lambung, atau lever. Semalam dia muntahmuntah"
"Masih minum?" "Ya siapa yang tidak minum di negara dingin begini."
"Nugroho, dia tidak mau ke dokter?"
Nugroho tertawa kecil, "Yah, kau orang yang paling kenal
dia, Viv. Yang jelas, dia terjatuh beberapa waktu lalu, dan kami
ba?wa ke rumah sakit. Dokter menyuruh dia melakukan serang?
kai?an tes dan..." "Dan dia belum mengambil hasilnya."
"Ya, itulah Dimas."
"Bukan hanya itu, rumah sakitnya juga menelepon saya."
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 209
210 PU LANG "Oh," Nug mendehem, "maaf, itu memang ulah saya. Saya
yang mengisi formulirnya. Dia lebih mendengarkan nasihatmu
daripada saran kami."
"Tak apa. Saya sudah telepon Lintang."
"Oh...." "Di mana dia sekarang, Nug?"
"Masih belum bangun. Semalam perutnya kambuh, saya
bawa pulang. Saya...temani."
"Terima kasih Nug. Nanti tolong sampaikan Dimas, saya
menelepon." "Baik Viv. Salam untuk Lintang, sampaikan semua om di
Rue de Vaugirard rindu sekali dengannya."
"Ya...." Suara Vivienne terdengar perlahan.
*** Sepekan sebelum kehebohan kesehatan Dimas, Lintang
ba??ru saja datang mengunjungiku untuk mengembalikan ke?
ba?ya encim yang dia pinjam. Aku memutuskan memasak spa?
ge?ti vongole kesukaannya karena itu sudah telanjur men?jadi
ke?bias?aan yang dibangun keluarga Dimas Suryo: makanan se?
ba?gai pelipur hati yang lara. Aku tak per?caya d iri untuk me???
masak kuliner Indonesia, meski aku cukup menguasai re?sep
makanan Indonesia yang sering diolah Dimas saat kami masih
bersama. Mempunyai suami yang pandai memasak sa??ngat
menyenangkan dan menguntungkan. Sementara dia me?ma?
sak, aku bisa memilih anggur dan memilih musik pengi?ring
belaka sambil selonjor. Toh dia tak terlalu suka digerecoki
ka?rena dapur adalah kerajaannya seperti halnya aku tak suka
ruang kerja dan perpustakaanku diutak-atik. Tetapi, akibat?
nya, Lintang tumbuh menjadi gadis dengan lidah sejuta rasa.
Lintang akan tahu betul masakan yang kurang bumbu, ka?rena
dia adalah anak yang selalu mengekor ayahnya di dapur dan
menyaksikan pesta bumbu dengan mata melotot.
Saat Lintang menceritakan komentar dan saran Didier
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 210
211 LEILA S. CHU DO RI Dupont untuk tugas akhirnya, segera saja kutangkap suara
senewen. Di sana ada ke?bim?bangan, juga rasa cemas. Membuat
sebuah film dokumenter ten?tang sejarah tanah air ayahnya
yang dikubur oleh pemerintahnya bukan saja pekerjaan berat
tetapi juga akan meng?gerus akal se?hat. Aku tak tahu bagaimana
Lintang akan mendapatkan literatur yang lengkap tentang
peristiwa September 1965 yang ma?sih banyak tanda tanya.
Ditambah lagi, ayah dan anak yang sama-sama keras kepala
ini sudah cukup lama berpuasa bicara.
Seperti yang kuduga, Lintang tampak senang saat melun?
cur masuk dapur dan menyambut panci berisi spageti vongole
masakanku. Dia gembira dengan makan malam ini. Aku
bahkan sengaja tak memasang musik Led Zeppelin, karena aku
tahu dia akan mengejekku dan meng?ang?gap aku belum juga
bisa melepas kenanganku bersama ayah?nya. Jadi aku memutar
CD klasik Ravel kesukaannya. Lin?tang memejamkan mata
saat mencoba spageti. Aha, dia menyu?kainya. Tetapi, Lintang
bukanlah Lintang Utara jika tak men?jatuhkan bom di tengah
ketenangan. "Mungkin aku harus ke Indonesia...."
Itu dia. Bom pertama. Bom yang menghentikan nafasku.
Aku mengaduk-aduk spageti dan memberikan botol anggur
putih pada Lintang agar dia membukanya. Lintang membantu
menuangkan ke gelas dan aku menyibukkan diri dengan salad
tanpa berkomentar apa-apa.
"Maman...." "Profesor Dupont sudah tahu keinginanmu?"
"Dia yang mengusulkan agar aku melihat sejarahku."
"Ya, tapi dia tidak menyebut apa-apa soal terbang ke
Jakarta!" Lintang melahap spageti itu. Setiap suapan malah mem?buat
dia semakin bersemangat. "Bayangkan Maman, semu?la ketika
aku datang ke pesta KBRI, mereka tidak terlalu memusingkan,
ka?rena begitu banyak orang, banyak makanan...oh ya Maman,
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 211
212 PU LANG ma?kanannya lezat luar biasa. Kalau ada Ayah, pasti dia akan
me?muji rasa pastel, steak lidah, dan juga es leci. Ternyata
mereka juga menyediakan es kelapa dan..."
"Lalu?" kini Vivienne memotong. Ternyata ayah dan anak
memang sama dan sebangun: terlalu bersemangat mem?
bicarakan kuliner hingga lupa fokus cerita, "Apa yang me?nye?
babkan kamu merasa perlu ke Indonesia sekarang? Apa yang
ingin kamu ceritakan dalam dokumentermu?"
"Aku belum tahu, Maman. Semula, setelah Profesor Du?
pont menyarankan untuk melihat sejarah Ayah, aku berniat
me?nyo?rot nasib keluarga korban 30 September 65 di Paris.
Tapi kemudian, aku ke pesta Kartini itu..."
"Dan kau melihat bagian Indonesia yang lain."
"Hanya sekelumit Indonesia yang berbeda. Kecil, petite,
tapi tetap berbeda dari yang saya kenal. Sesuatu yang ber?be?da
yang kemudian melahirkan pertanyaan lain: apakah me?re?ka
juga korban?" "Korban?" "Ya korban dari indoktrinasi rezim. Bayangkan," Lin?
tang merepet terus hingga piringnya licin tandas, "di pes?ta
Kedutaan itu Maman...karena kehadiranku, mereka bingung
dan panik. Timbul begitu banyak pertanyaan. Me?reka gamang:
bagaimana kita harus memperlakukan pu?teri Dimas Suryo?
Ramah, baik, basa-basi, atau di?jauhi? Apa kebijakan Pusat? Oh
kebijakan Pusat melarang me?reka makan di Restoran Tanah
Air, artinya, tak masalah dong jika dia berada di pesta ini. Tapi
tunggu...bukankah ada ke?bi?jakan Bersih Lingkungan...Apa pula
Bersih Lingkungan dan Bersih Diri itu. Bayangkan Maman,
untuk orang-orang se?perti aku yang saat peristiwa Gerakan
30 September itu be?lum lahir, dan bahkan aku lahir jauh dari
Indonesia, me?re?ka masih harus mencari formula sikap."
Piring Lintang sudah licin tandas. Wajahnya bersemangat
seperti baru menenggak obat perangsang. Aku menjauhkan
botol anggur itu dari jangkauannya, meski aku tahu sumber
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 212
213 LEILA S. CHU DO RI kelincahan Lintang tidak datang dari alkohol.
"Maman," dia menghela nafas, "aku merasa tak cukup ha?
nya mendengar cerita dari Ayah, Om Nug, Om Tjai, dan Om
Risjaf. Tak cukup juga mewawancarai orang-orang Ke?du?taan...
ada konteks kesejarahan yang harus kepahami, bagai?mana
absurditas sejarah di Indonesia ini dimulai."
Inilah celakanya membesarkan anak dengan buku dan
pen??didikan Sorbonne. "Tapi..." "Juga tak cukup jika aku pergi mewawancarai rekan-re?
kan Ayah, para eksil politik di Belanda dan Jerman, Maman.
Aku paham, pergi ke bagian lain Eropa lebih aman dan lebih
murah, tapi apa aku menemukan Indonesia di sana?"
Kalimat Lintang sudah mirip suara Dimas.
"Jadi, kau akan ke Indonesia, dan apa yang akan kau re?
kam?" "Aku belum yakin. Aku baru melempar ide, Maman. Ka?
rena pengalaman satu jam di pesta peringatan Kartini itu
membuatku ber??pikir, ada sesuatu yang jauh lebih penting
yang harus kupelajari daripada sekadar akibat-akibat yang
kusaksikan di Eropa."
Dia sungguh cerdas, dewasa, sekaligus membuat aku ce?
mas. Aku tak tahu apakah harus bangga atau berdebar-de?bar.
Ke Indonesia...semoga itu cuma lontaran impulsif belaka.
"Maman, apa hanya generasi Maman saja yang boleh
menjelajahi segala kemungkinan?"
Aku menggeleng, "Tentu tidak. Kalau nanti kau melakukan
riset untuk proposalmu dan kelihatannya harus pergi, dengan
ca?tatan ada dana dari sekolahmu, Maman bisa bilang apa?"
"Ne fait pas comme ca, Maman."7
"?coute Maman,"8 Lintang mengangkat gelas ang?gur?nya,
7 Jangan begitu, Maman. 8 Dengarkan Maman. Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 213
214 PU LANG "apa yang bisa kita petik dari I.N.D.O.N.E.S.I.A? Itu yang ingin
kulakukan." Aku berdiri mencium ubun-ubunnya. Kalau sudah me?ngu??
tip Jalaluddin Rumi, siapa yang bisa melawan?
"Tentu kalau mau jujur, aku akan senang kalau kau bisa
melakukan tugasmu di dekat-dekat sini saja. Apa kau sudah
bi?carakan dengan Ayah? Hm?" Aku menggunakan senjata ter??
akhirku. Lintang mendadak tersedak dan segera menenggak gelas
anggurnya begitu saja seperti menelan air.
"Belum," katanya sambil masih mendehem-dehem, "ha?rus
ya?" Aku tertawa kecil, "Mau ke Indonesia tanpa bicara de?ngan
Ayah?" "Ya, ya..." "Bagaimana caranya kau akan masuk ke sana?"
Lintang terdiam. "Belum tahu. Tapi ada beberapa diplo?mat
yunior yang mungkin akan saya tanya. Siapa tahu me?reka bisa
mencarikan jalan." Kelihatannya dia sudah memutuskan sebagian dari ren?cana
hidupnya. Aku membereskan piring dan ke dapur tanpa berkatakata. Lintang membantu memasukkan piring-piring ke mesin
pencuci dan aku memotong kue ceri kesukaannya. Ka?mi berdiri
di dapur sembari menikmati kue. Betapa aku me?rindukan saatsaat seperti ini. Bersama Lintang. Bersama Di?mas.
"Maman...." "Oui." Lintang mengacak-acak kue ceri di atas piringnya. Arti?nya
dia tengah memformulasikan sebuah kalimat yang peka un?tuk
dibicarakan.
Pulang Karya Leila S. Chudori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Menurut Maman, apakah Ayah seorang Ekalaya?"
Aku menuang anggur ke dalam gelas. Anggur merah.
"Non." "Kenapa tidak?"
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 214
215 LEILA S. CHU DO RI "Dia seorang Bima, yang selalu ingin melindungi perem?
puan yang dicintainya."
*** "Salut Dimas." "Viv...." "?a va?" Terdengar suara Dimas mendehem, "?a va bien."
"Dimas...." "Ya, maaf untuk gangguan telepon dari rumah sakit. Nanti
aku ambil hasilnya."
"Aku tidak terganggu dengan telepon rumah sakit, Dimas.
Aku khawatir. Kau tidak memikirkan Lintang?"
"Tentu saja aku memikirkan Lintang."
"Kalau begitu, kapan hasil kau ambil?"
Terdengar lenguhan Dimas seperti sapi yang sedang diseret
ke rumah pembantaian. "Kau masih harus istirahat. Aku bisa ambilkan, asal ada su?
rat pengambilan." "Oh jangan jangan," Dimas buru-buru mencegah, "pasti
aku ambil. Kalaupun aku belum kuat, Mas Nug atau Risjaf bisa
mem?bantu." "Janji?" "Aku berjanji."
"Aku akan meneleponmu besok. Lintang akan menjenguk?
mu." "Merci Vivienne."
*** Saint Germain-des-Pr?s, Paris 1988
Di ruang tengah apartemen kami, ada Indonesia yang
ditanamkan Dimas Suryo. Dua sosok wayang kulit yang di?
gantung di dinding: Ekalaya dan Bima. Ada beberapa to?peng
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 215
216 PU LANG yang dibawa oleh kawan-kawan yang kembali dari Indonesia,
alas batik di atas rak buku, dan peta batik Indonesia di kamar
Lintang. Yang paling menarik sebetulnya adalah dua stoples
kecil yang diletakkan Dimas di atas rak buku, di jepit bukubukunya. Isi stoples pertama adalah berliter-liter cengkih. Isi
stoples kedua adalah bubuk kunyit kuning. Tak pernah ada yang
paham mengapa kedua bumbu itu diletakkan di ruang tengah,
bukan di dapur, dan bukan pula di kamar tidur, mi?salnya.
Aku pernah bertanya. Lintang pernah bertanya. Dimas
men?jawabnya hanya dengan mengambil segenggam ceng?
kih itu dan meminta kami menghirup harumnya. Ceng?
kih memiliki aroma eksotis yang mem?buat banyak pela?ut
Eropa ber?hidung tajam bisa mencium baunya dari seberang.
Mereka berlomba-lomba menguasai kepulauan yang penuh
rempah itu. Mereka langsung menancapkan nama negara
mereka dan mengakui wilayah itu sebagai bagian dari ne?ga?
ranya. Hindia-Belanda. Lalu, mengapa kunyit, Ayah? Demikian tanya Lintang
dengan mata yang besar memandang warna kuning bubuk
itu di dalam stoples. Dimas tak pernah menjawab kecuali ter???
senyum dan juga membiarkan Lintang mencium harum ku?nyit
yang menusuk. Cuping hidung Lintang kembang kem?pis.
Peristiwa ini terjadi berulang kali. Dimas mengganti isi
stoples itu setahun sekali jika aroma cengkih dan kunyit itu
sudah mulai sirna. Terkadang dia mendapat kiriman dari ka?
wan-kawan di Belanda; terkadang dia mendapat oleh-oleh
dari Jakarta. Terkadang dia terpaksa membelinya dengan
harga mahal, di Bellevue. Itu hanya terjadi sesekali setelah
me?lalui pertengkaran demi pertengkaran karena aku sama
se?kali tak setuju menggunakan uang untuk sekadar meng?hi?
rup kenangan. Hingga akhirnya suatu malam, ketika Dimas sedang si?
buk di restoran, Lintang masuk ke kamarku dengan wajah
pu?cat dan mata berair. Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 216
217 LEILA S. CHU DO RI "Maman..." Di tangannya ada beberapa lembar, entah kertas apa.
Dia memegang lembaran itu dengan tangan gemetar. Astaga
ada apa? Lintang memberikan lembaran itu dan dia pergi keluar
kamar. Terdengar suara pintu kamarnya ditutup. Tidak di?
ban??ting. Ditutup. Aku menatap beberapa lembar kertas itu. Tulisan tangan
yang rapi, teratur dalam bahasa Indonesia yang terstruktur.
Ini sebuah surat untuk Dimas. Aku tak pernah membaca
surat-surat yang ditujukan pada suamiku, kecuali jika Dimas
sendiri yang meminta aku membacanya bersama-sama.
Aku cenderung tak ingin membaca surat ini. Tapi Lintang...
dia telanjur menemukannya. Di mana dia menemukan surat
ini? Aku membaca selintas satu persatu, ini adalah suratsurat dari Surti Anandari di akhir tahun 1960-an ketika
Hananto akhirnya tertangkap tentara. Tapi tunggu dulu, ada
beberapa surat lain...tahun 1970, 1971, 1972, 1973, 1978, 1979,
1980...1982.... Dimas yang baik, Sekali lagi terima kasih atas bantuanmu yang kau kirim
me?lalui Dik Aji. Tak pernah kuragukan kebaikan hatimu,
Vivi?enne, juga Nug, Tjai, dan Risjaf.
Selamat atas berdirinya Restoran Tanah Air di Paris. Aku
ikut berbahagia kalian semua bisa bertahan, melawan dengan
cara kalian, sekaligus menikmati kebersamaan di negeri
jauh. Aku tahu betapa tak mudahnya membangun sesuatu
yang baru dari awal, sebuah restoran, sebuah institusi yang
cara beroperasinya harus kalian pelajari betul-betul seperti
se?orang anak yang belajar merangkak dan lantas berjalan,
lalu berlari dan melawan. Tetapi, aku tak punya keraguan
se?dikit pun bahwa kalian akan berhasil, terutama karena aku
tahu kau sangat mencintai dapur, bumbu, dan dunia kuliner
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 217
218 PU LANG seperti halnya kau mencintai dunia sastra.
Aku bisa membayangkan engkau di dalam dapur dan
me????nikmati setiap detik dan setiap menit saat mengolah bum?
bu, dan memperlakukan mereka seperti makhluk ber?nya?wa
yang kau katakan "saling berjodoh dan saling men?cari pa?
sangan?nya untuk menjadi satu dan melahirkan rasa baru".
Bah??wa akhirnya kalian mendirikan sebuah restoran adalah
se???buah takdir, meski aku tahu kau tak percaya garis nasib.
Kenanga, Bulan, dan Alam baik-baik saja. Kenanga su?
dah? bertunangan dengan Fahri, putera Mas Amri, dan se?
ben???tar lagi menikah. Bulan masih kuliah di Fakultas Sastra
Ing?gris Universitas Indonesia, dan Alam kini sedang menanti
pengumuman apakah dia diterima di Fakultas Hukum atau
FISIP UI. Bantuan kalian sungguh sangat memberi kemu?
dah?an-kemudahan untuk pendidikan mereka. Mas Hananto
sangat beruntung mempunyai kawan-kawan yang setia se?
perti kalian semua. Aku juga merasa beruntung pernah mengenalmu sebagai
seorang lelaki yang paling baik dan paling menghormati pe?
rempuan. Aku tak akan melupakan segala kebaikanmu, ha?ti???
mu yang tulus. Kenangan dan pemberian dirimu sepe????nuh?nya
padaku, akan tetap kusimpan selamanya men?jadi milikku
tanpa bisa kuhapus atau kuralat, karena sesungguhnya kau
selalu ada di mana-mana. Bukan hanya ada di dapur, atau di
dalam warna kuning kunyit, atau di antara aroma cengkih,
tetapi kau mengalir di mana-mana. Terus. Selama-lamanya.
Surti Anandari Pada saat itulah aku tahu: aku tak pernah dan tak akan
bisa memiliki Dimas sepenuhnya. Saat itu pula aku tahu
mengapa dia selalu ingin pulang ke tempat yang dia begitu
cintai. Di pojok hatinya, dia selalu memiliki Surti dengan
segala kenangannya. Yang kemudian dia abadikan di dalam
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 218
219 LEILA S. CHU DO RI stoples itu. Surti adalah lambang aroma kunyit dan cengkih. Itu se??
mua menjadi satu di dalam Indonesia. Malam itu, aku me?
nga?takan pada Dimas, aku ingin berpisah darinya.
*** "Lintang...." "Ya Maman, aku sedang menuju Le Marais."
"Baiklah. Kabari Maman. Nanti begitu hujan mereda,
Maman tengok Ayah." "Oke Maman..." "Lintang..." "Oui..." "Upayakan jangan bertengkar. Ayah sedang...tidak sehat..."
"Oui, setelah melihat setitik Indonesia di tengah Paris
tempo hari, aku rasa aku akan selalu bisa memaklumi Ayah."
*** Paris 1982 Aux Champs-?lys?es.9 Di sana aku juga pernah bertemu dengan ?setitik In?do?
nesia?. Sebetulnya ini bukan kawasan yang sering kulalui ka?
rena tak ada urusannya dengan hidupku. Kebetulan saja aku
menemui kawan dan terpaksa melalui Ave?nue Montaigne
yang tiba-tiba saja lebih mirip satu garis Indo?nesia. Hampir di
setiap butik, Dior, Lacroix, Celine, aku melihat serombongan
perempuan Indonesia ber?sasak, berbaju mewah dengan scarf
berjuntai. Dari jauh, aku bahkan bisa melihat kilau kalung
atau cicin berlian yang mereka kenakan. Kali pertama
melihat ?titik Indonesia? ini be??berapa tahun lalu, aku takjub,
karena belum pernah aku me?lihat begitu banyak harta yang
9 Di Champs-?lys?es. Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 219
220 PU LANG dikenakan oleh satu tubuh. Aku selalu berusaha untuk tak
berinteraksi dengan ?titik In?do?nesia? yang ini. Aku khawatir
tak mempunyai bahan pem?bicaraan.
Tapi ?titik Indonesia? yang berbeda di Champs-?lys?es itu
hanya sebuah komedi satire belaka. Aku pernah mengalami
sesuatu yang mencekam dengan ?titik Indonesia? yang lain.
Gelap, kotor, dan berbau busuk.
Beberapa pekan setelah pembukaan Restoran Tanah
Air di bulan Desember, aku tengah menikmati kopi di pojok
L?Ecritoire Caf? di Place de La Sorbonne sambil memeriksa
be?be?rapa esai. Tiba-tiba aku melihat sepasang sepatu men?
dekati mejaku, lalu terdengar suara nyaring seorang lelaki.
"Vivienne Deveraux...atau Vivienne Surrrrryoooo?"
Kopiku hampir saja tumpah. Seorang lelaki Indonesia
yang perawakannya tak terlalu tinggi, berambut licin klimis?
mung?kin dia menggunakan setengah botol minyak rambut?
ter??senyum memamerkan sebutir gigi emas. Siapakah dia.
"Boleh?" lelaki Indonesia itu menunjuk bangku kosong di
ha??dapanku. Aku tak punya pilihan selain mengangguk.
Lelaki itu mengulurkan tangan sambil mengucapkan na?
manya sembari berdesis, "Saya Sumarno, dulu saya kawan
de??ngan Hananto, Dimas, Tjai, Nugroho, dan Risjaf. Lah se?
mua?nyalah." "Oh, teman Dimas?"
"O, iyaaaaa, iya," dia mengangguk-angguk penuh se?ma?
ngat. "Kami dulu ya sama-sama di Jakarta...jauuuuuh se?
be?lum Dik Vivienne mengenal Dimas, saya sudah lebih dulu
kenal dia...." Aku mengangguk dan mempersilakan Sumarno memes?an
saat pelayan kafe datang. Sumarno memesan secangkir ko?
pi. Ini agak aneh. Jika dia memang teman Dimas, Nug, Tjai,
dan Risjaf, mengapa dia menemuiku di sini? Sendirian? Lalu,
dari? mana dia bisa tahu aku di sini? Lebih mengerikan lagi,
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 220
221 LEILA S. CHU DO RI bagaimana dia tahu aku adalah isteri Dimas? Bagaimana
dia bisa menemukan aku di antara begitu banyak mahasiswa
dan dosen Universitas Sorbonne di kafe ini?
"Sudah berapa lama di Paris?" aku bertanya sekenanya,
karena tak tahu siapa dia sesungguhnya dan apa maksudnya
mendadak muncul di kafe ini di antara waktu istirahatku
sebelum aku mengajar kelas berikut.
"Yaaaaaa," agaknya dia gemar memanjangkan nada
setiap kali berbicara, "baru beberapa hari, hampir seminggu
begitu." Aku menghirup kopi untuk menghilangkan kegugupanku.
Aku harus segera bertemu Dimas. Perasaanku sungguh tak
enak. Siapakah dia. "Lah tadi aku baruuuuu saja ke Restoran Tanah Air. Ke?
temu mas-mu, ketemu Nug, Risjaf, dan Tjai...hebat hebat he?
bat...sudah terkapar di negeri orang, terrrrnyata, bisa me?
re?ka??hidup dengan membangun restoran masakan Indo?nesia.
He??bat, hebat," dia tertawa terkekeh-kekeh ber?kepanjangan.
Aku tak yakin apakah dia memuji dengan tulus atau sedang
me?rendahkan. Aku mulai menyibukkan diri membereskan lembaran esai
anak-anak. Dia kemudian menghirup kopinya dengan gaya
terburu-buru. "Wah, wah, maaf maaf Dik Vivienne, saya mengganggu
kesibukannya menjadi bu dosen ya. Maaf. Tapi syukurlah Dik
Vivienne punya pekerjaan tetap ya di universitas sebesar dan
sebagus ini. Bayangken bayangken kalau ndak, lah...piye,
mas-nya pekerjaannya berubah-ubah terus tu? Padahal su?
dah ada...sopo iku...Lintang Utara...ayuneeee."
Aku bergidik. Bukan karena angin musim dingin. Pasti
dia seseorang yang jahat dan keji di masa lalu Dimas. Tak
mung??kin dia kenalan, apalagi kawan baik Dimas. Jika dia
kawan baik atau bahkan sekadar relasi atau kolega belaka,
Pulang Karya Leila S. Chudori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tak mungkin dia diam-diam menemui dan berlagak baik se?
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 221
222 PU LANG men??tara memamerkan pengetahuan....Astaga, apa?kah dia
se??orang intelijen? Beginikah anggota intelijen Indo?ne?sia?
Meng??gunakan minyak pomade setebal mungkin dan men?de?
ko??rasi gigi dengan warna emas lalu wara-wiri menemui isteri
targetnya? Aku sudah memberi tanda kepada pelayan kafe agar bon
segera dikeluarkan, namun mereka nampak sedang sibuk.
Aku mulai tak sabar dan mencari-cari dompetku.
"Oooh ndak perlu, ndak perlu. Biar saya saja yang
bayaaaar. Anggep saja ini utang budi. Duluuuu, Dimas itu
waktu di Jakarta, waktu dia lengketttt betul sama Surti,
sering sekali dia traktir saya makan dan minum di Cikini,di
Pasar Senen. Lah saya dulu itu kere...ndak mungkin saya ke
Paris seperti ini." Jantungku kini berdegup. Bukan hanya karena dia me?
nyebut-nyebut nama Surti, tapi jelas dia datang ke sini un?tuk
menerorku. Aku sudah tak peduli dengan sopan-san?tun. Aku
berdiri, membereskan berkas-berkasku dan me??ning???galkannya
menuju kasir. Aku membayar kopi dan pe?ngan?an?ku, lalu
berjalan melalui mejaku tanpa meng?ucap?kan apa-apa. Tetapi,
tunggu dulu. Aku tak rela. Dia harus tahu, aku sama sekali
tak takut padanya. Aku menghampiri le?laki ber?pomade dan
bergigi emas itu, dan menatap dia dengan ta?jam.
"Dengar Sumarno atau siapa pun namamu yang se?sung?
guhnya. Aku tak tahu engkau siapa, apa kehendakmu meng?
hampiri tempat kerjaku. Aku tak peduli. Aku yakin kau bukan
kenalan atau relasi suamiku, apalagi sahabatnya. Tapi, se?
kali lagi kau muncul di area ini menggangguku, meng?gang?
gu anakku atau keluargaku, aku akan memanggil polisi. Dan
di negara ini, polisi mengerjakan tugasnya dengan baik.
Mengerti?" Sumarno memandangku dengan heran, tetapi dia meng?
angguk perlahan. Aku meninggalkannya dan berjalan me?nu?
ju kampus berkejaran dengan angin.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 222
223 LEILA S. CHU DO RI Malam hari, aku tiba di Rue de Vaugirard dan segera saja
mengisahkan peristiwa aneh itu kepada Dimas, Nug, Risjaf,
dan Tjai. Mendengar ceritaku, mereka seperti segerombolan
pemuda yang begitu marah, mengepal tinju, menancapkan
pisau ke atas meja dan hal-hal yang terasa ?lelaki? dan
purba. Ternyata instingku tepat. Sumarno memang dahulu
adalah kawan Dimas yang kini dijuluki ?Telunjuk? , seseorang
yang menunjuk siapa-siapa yang ?layak? disapu tentara. Ma?
nusia macam Telunjuk tentu saja ada di mana-mana. Dia bisa
saja menyelip di antara pintu atau di balik tembok rumah kita.
Dia seolah mempunyai telinga di mana-mana dan memiliki
seribu mulut berbisa yang berbicara. Aku tahu, Dimas dan
kawan-kawannya tak ingin membuang energi ke???marahan
pada kutu kecil seperti Telunjuk. Pengalamanku ber?temu
dengannya hanyalah satu titik kecil Indonesia. Aku yakin
dan aku tahu, Indonesia yang lain akan memberikan se?buah
pengalaman yang lebih mulia dan intim padaku.
"Kamu baik-baik saja?" Dimas membelai rambutku, pe?
nuh rasa khawatir, saat kami berdua berjalan menuju sta?si?
un Metro. "Oui, orang seperti Sumarno ada di mana-mana. Jangan
takut, aku bisa menangani kutu semacam itu," kataku me?
rang?kul Dimas untuk sebuah rasa aman dan keintiman.
Dimas tertawa, "Aku memanggilnya tikus. Kau menye?
butnya kutu. Aku tak tahu yang mana yang lebih cocok."
Kami berjalan berpelukan begitu erat. Dia membisikkan
betapa dia mencintai kekuatanku. Kemudian aku bertanyatanya: apakah dia mencintaiku karena aku kuat dan mandiri
sehingga dia tak perlu melindungi seperti seorang Bima me??
mayungi Drupadi? Atau karena dia memang mencintaiku ka??
re?na dia tak bisa bernafas seandainya aku pergi dari sisinya?
Mengapa aku tak ingin mencari jawabannya?
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 223
224 Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 224
PU LANG SURAT-SURAT BERDARAH Ketika senja turun perlahan di Le Marais, kesedihan itu
datang. Lintang tak pernah paham mengapa daerah itu selalu
saja mengirim rasa sunyi. Padahal Le Marais adalah kawasan
yang penuh dengan kafe, galeri, dan rumah seniman Prancis
ter?kemuka. Nara mengatakan ini daerah Paris yang paling hip
dan multikultur. Tetapi Lintang tak pernah bisa memutuskan
apakah kesedihan itu disebabkan warna langit senja Le Marais
yang hanya memberikan sebaris warna merah, kuning, jing?
ga, atau karena daerah ini selalu mengingatkannya pada
perceraian orang?tuanya. Ia pernah mengatakan pada ayahnya, keputusan Ayah
me?milih tempat di Le Marais pasti ada hubungannya dengan
Victor Hugo yang selalu menulis karya yang membuat hati
seng?sara. Lintang lebih suka pagi yang selalu memberi harap?
an: mungkin harapan berbuat sesuatu atau memperbaiki yang
keliru. Atau mungkin pertemuan dengan ayahnya setelah li?
ma bulan dia menghindar adalah sesuatu yang membuat dia
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 225
226 PU LANG merasa dihantam rasa bersalah. Kemarahan karena dia merasa
ayahnya menghakimi pilihannya adalah satu hal. Tetapi me?
mu?tuskan untuk menutup semua saluran komunikasi adalah
sesuatu yang belum pernah dia lakukan seumur hidup?nya,
seberapa pun jengkelnya dia pada ayahnya yang begitu rumit
dan sinis pada hidup. Di muka pintu apartemen ayahnya yang suram seolah tak
tersentuh kehangatan musim semi, Lintang mengetuk pintu.
Tak ada jawaban. Dia mengambil kunci dari dalam ranselnya.
Lin?tang masuk sambil membuka jaket dan selendang tipis yang
membalut lehernya. Dia melayangkan pandangan ke seluruh ruang tengah
apar?temen ayahnya yang bertahun-tahun hidup sendirian.
Hatinya mulai rontok. Segala yang membuatnya begitu gusar
lima bulan lalu, kini hilang begitu saja. Apartemen itu seperti
dihuni oleh seseorang yang lelah dan gering. Lihatlah ruang
tamu dan ruang kerja yang dipisah dengan partisi kayu itu,
sudah mirip ruangan dengan buku-buku yang berantakan
belaka. Sementara rak buku yang biasanya rapi karena disusun
secara alfabetis kini seperti kamar belajar remaja lelaki yang
pemalas. Dinding yang tersisa dihias dengan beberapa lukisan
kaca cerbon, lalu foto-foto Lintang dan ayahnya yang sama
seperti foto-foto di apartemen Lintang dan ibunya. Sehelai kain
batik berwarna cokelat kehijauan dengan motif burung yang
biasa di??ben??tangkan di atas meja panjang?menurut ayahnya
itu dikirim oleh Eyang Pratiwi?kini kusut masai seperti
baru digunakan untuk membersihkan meja dapur. Beberapa
piringan hitam lama berserakan: Louis Armstrong, Brandford
Marsalis, Jack Lemmers, Bing Slamet, Koes Bersaudara, ?dith
Piaf, The Beatles di awal karirnya, Pink Floyd, Led Zeppelin,
dan Creedence Clearwater Revival. Di masa lalu, setiap kali
ayahnya memutar piring hitam Led Zeppelin, maka ayah dan
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 226
227 LEILA S. CHU DO RI ibunya berlomba-lomba menceritakan pertemuan mereka saat
revolusi Mei di Paris. "Pada tahun itulah Led Zeppelin lahir,"
kata Dimas dengan bangga.
Lintang merasa orangtuanya terlalu memaksakan segala
kebe?tulan itu. Bukankah pada tahun 1968, tahun pertemuan
mereka itu, banyak yang terjadi di dunia ini?
Tapi Lintang pantang melecehkan Led Zeppelin seperti
halnya ia pantang mengkritik karya Ernest Hemingway atau
George Orwell atau James Joyce. Ayahnya sungguh pemuja
karya mereka. Kini pandangan Lintang beralih ke dinding. Ah...wayang
ku??lit tokoh Bima yang biasanya begitu gagah kini tergantung
mi??ring dan menyedihkan. Untung saja wayang kulit Ekalaya
di se?be?lahnya masih tegak. Sebuah asbak berisi puntung rokok
yang menggunung dan abu rokok yang berceceran di meja, se?
cangkir kopi yang hanya bersisa bubuk dan sepotong roti yang
tak habis. Stoples cengkih dan stoples bubuk kunyit masih ber??
diri dengan rapi di antara buku-buku yang tergeletak ma?lang
melintang. Tiba-tiba saja Lintang mendengar kehebohan di kamar
ayahnya. Lintang melongok heran. Dia bisa mendengar
suara Nugroho yang mendesak ayahnya sementara ayahnya
ngambek. "Ndak sakit, ini jarumnya kecil...tak usah dilihat, Mas."
"Nug...pokoknya ndak, ndak."
"Sudah to, Mas, percaya sama aku. Tadi malam kan dia?ku??
punktur ternyata jadi enakan to?"
Lintang melangkah perlahan mendekati kamar ayahnya
tanpa ingin mengganggu drama yang terdengar. Dia bisa me?
nebak: Om Nug ingin mengobati ayahnya dengan jarum aku?
punktur dan ayahnya menolak dengan keras dan tegas. Lintang
tersenyum kecil. Ayahnya yang tinggi besar itu memang takut
pada jarum. Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 227
228 PU LANG Lintang mengintip dan melihat Nugroho sedang mem?buka
satu tas kecil berisi jarum akupunktur. Dimas tampak terbela?
lak melihat satu pak jarum itu. Matanya seperti melihat kunti?
lanak lewat. Dengan segenap kekuatan yang tersisa, Dimas
ber?diri dan terseok-seok lari ke kamar mandi. Dia masuk dan
mem?banting pintu kamar mandi.
"Mas...." "NdakNDAK!" terdengar suara Dimas dari balik kamar
mandi. Nugroho berdiri, mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi
per?lahan dengan nada membujuk, "Mas...Dimas, saya khawatir
nanti telat." "Tidak. Kalau kau masih pegang jarum, aku akan tidur di
sini selama-lamanya!" suara Dimas galak dan keras.
Nugroho tampak putus asa. Dia kembali duduk. Saat itulah
dia menyadari Lintang sedang menyaksikan semua dagelan
itu dengan senyum tertahan. Demi melihat Lintang, wajah
Nugroho menjadi cerah. Mereka berpelukan penuh rindu.
"Aduh Lintang...Lintang...keponakanku...kenapa sudah
lama tidak mampir ke restoran to Nak. Apa kabarmu?"
"Baik Om. Sibuk."
Nugroho menatap wajah Lintang yang semakin mirip Vivi?
enne, kecuali rambut dan sepasang matanya yang betul-betul
diambil dari Dimas. Nugroho melirik ke pintu kamar Dimas. "Bapakmu...yo
wis, wong ditambani kok wegah."
Lintang kembali tersenyum dan menepuk-nepuk bahu
Nugroho yang sedang membereskan perangkat jarumnya.
"Nanti saya coba bicarakan dengan Ayah, Om."
"Nah, coba Lintang yang bicara. Mungkin dia akan patuh.
Om kembali ke restoran dulu ya, Nak."
Nugroho keluar dari kamar Dimas. Lintang mendekati pin?
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 228
229 LEILA S. CHU DO RI tu kamar mandi dan mengetuk perlahan.
"Yah...." Terdengar suara ayahnya menggeram. Heran, karena dia
mengenali itu suara Lintang.
"Yah...ini Lintang, Ayah."
Terdengar gerendel pintu dibuka. Kepala Dimas nongol.
Wajahnya yang stres menjadi lembut melihat wajah anaknya
yang sudah lama tidak berkunjung. Matanya nampak menyala
senang. Tapi dia terlihat masih jeri disergap Nugroho dan
jarumnya. Dimas mengeluarkan kepalanya, lalu melirik ke kiri
dan kanan. "Om Nug masih ada?"
Lintang tertawa geli, "Sudah pulang, Yah. Ayo, keluar!"
Dimas mengendap keluar dari kamar mandi dengan mata
penuh curiga, lala-lolo mengecek jangan-jangan Nugroho akan
muncul lagi dengan jarumnya. Lintang menggelengkan kepala
dan mulai percaya bahwa semakin tua, para orangtua kembali
menjadi anak-anak. Setelah yakin Nugroho sudah pulang,
barulah Dimas lega. "Jarumnya besar-besar lo," katanya membela diri sambil
menunjukkan seolah jarum Nugroho sepanjang gagang sapu.
"Iya Yahpercaya," Lintang mengamati tempat tidur
ayah?nya yang seperti baru saja ada gempa bumi. Dia mulai
mencabuti selimut, bantal, guling, dan mengganti seprainya.
Kini Dimas baru bisa memperhatikan wajah puterinya.
Lintang menghampiri ayahnya dan mencium pipinya.
"?a Va?" "?a Va bien, Lintang," Dimas tersenyum mencoba mene?
gakkan tubuhnya, lalu ikut-ikutan melurus-luruskan seprai,
"ibumu dan Om Nug sering membesar-besarkan persoalan.
Kau sendiri bagaimana kuliahnya?"
"Kuliah Lintang lancar, sudah sampai tahap tugas akhir.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 229
230 PU LANG Aku dengar, Ayah jatuh di stasiun Metro?" Lintang melipat
tangan di depan dadanya seperti seorang ibu menghadapi anak
berusia lima tahun. "Oh," Dimas menggaruk kepala dan berlagak mengecek
sarung bantal yang baru saja diganti Lintang. "Iya, je suis
fatigue."1 Dimas melirik Lintang dan mencoba mengalihkan
to?pik, "Kau terlihat kurus, Nak. Sudah berapa lama tidak ke
sini? Empat bulan atau lima bulan ya?"
Lintang terdiam. Kali ini dia tak berkutik dengan pertanya?
an ayahnya yang sama sekali tak berniat menyindirnya. Ayah?
nya juga tampak semakin kurus. Obat-obatan di atas rak terli?
Pulang Karya Leila S. Chudori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hat begitu banyak. "Hasil tes kesehatannya sudah diambil,Yah?"
"Om Nug mau bantu ambilkan besok. Tapi dia juga sibuk
dengan dapur restoran karena harus menggantikan Ayah."
Lintang kini membereskan meja kecil di samping tempat
tidur ayahnya yang penuh dengan asbak dan puntung rokok.
Ayahnya mengambil sebatang rokok dan baru saja dia mau
me?nyalakan korek api, Lintang mengambil rokok itu dari bi?
bir ayahnya dan meletakkannya ke dalam asbak. Dimas ter?
di?am. Menyerah. Dia tak ingin membuka pertengkaran de?
ngan anaknya yang sudah begitu lama menolak berbicara de?
ngannya. Dimas menatap Lintang yang menggerus rokok itu di
atas asbak dengan ganas. Kini Lintang mengecek botol obat ayahnya satu persatu
dan membaca petunjuknya. "Obat pagi dan siang sudah diminum?"
"Pagi...sudah. Siang belum."
Lintang mengambil segelas air putih dari dapur dan mem?
berikan dua macam obat kepada ayahnya. "Di situ ter?cantum:
1 Iya, saya lelah. Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 230
231 LEILA S. CHU DO RI obat harus dihabiskan, Yah," kata Lintang.
Ayahnya menenggak obat itu dengan patuh.
Setelah kamar ayahnya lumayan teratur rapi, kamar tengah
kena giliran dibenahi. Sofa yang berantakan karena Nugroho
ber?malam di sana, rak buku yang amburadul, meja makan
yang seolah baru digunakan untuk latihan koprol dan lantai
yang nampaknya belum bersentuhan dengan alat pengisap
debu seminggu lamanya. "Lintang, kemarilah. Nanti saja kau beberes."
"Aku tidak betah, Yah. Seperti kandang sapi."
Persis ibunya, Dimas bergumam sambil memejamkan ma?
ta karena merasa lelah. Dia lantas selonjor di atas sofa meng??a?
mati anaknya yang dengan cekatan membenahi ruang tengah.
"Lintang...berhentilah. Nanti saja. Ayah ingin tahu ka?bar?
mu. Apa tugas akhirmu?"
Lintang meletakkan alat pengisap debu. Dia tahu, sudah
waktunya dia keluar dari pretensi beberes ini. Pada akhirnya,
dia harus menjatuhkan bom itu dan mencoba meyakinkan
ayahnya tanpa harus melalui pertengkaran. Dia duduk di
samping ayahnya dan menatap wajah lelaki itu dengan serius.
"Ayah...mungkin saya perlu ke Indonesia."
Dimas yang sedang memejamkan matanya, langsung ter?
belalak. "Kenapa? Untuk tugas akhirmu?"
Lintang menghela nafas. Dia menceritakan pertemuannya
dengan Didier Dupont yang mengkritik proposal dokumenter
Le Quartier Algeriens ? Paris, kunjungannya ke Kedutaaan
Indonesia saat perayaan hari Kartini, dan hasil riset awal di
per?pus?takaan untuk mencoba mencari konteks kesejarahan
dari seluruh peristiwa ini. Malam-malam yang dihabiskan un?
tuk berdiskusi dengan beberapa seniornya di Unversitas Sor?
bonne bahkan berbincang dengan ayah Narayana yang sering
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 231
232 PU LANG me?ngun?jungi Indonesia. Ayahnya mendengarkan de?ngan cer?
mat. Setiap pertanyaan Lintang yang dilontarkan adalah per???ta?
nyaan cerdas. Pertanyaan seorang calon akademisi yang meng?
gali bahan riset pustaka dengan rasional tentang perpecahan
di kalangan elite militer Indonesia saat itu.
"Tapi saya ingin mencari sisi yang lebih manusiawi, karena
ini sebuah film dokumenter. Saya ingin menyorot nasib orangorang akibat konflik politik yang kemudian berakhir dengan
banjir darah, korban jiwa yang begitu banyak, dan trauma
politik berkepanjangan serta indoktrinasi luar biasa yang bisa
melekat pada rakyat Indonesia."
Dimas menatap anaknya dengan heran campur takjub.
Lima bulan berpuasa bicara dengan ayahnya nampaknya telah
membuat Lintang lebih banyak berpikir. Atau itu memang
didikan Universitas Sorbonne. Dimas tak tahu. Dimas juga tak
tahu bagaimana harus bereaksi terhadap keinginan Lin?tang
yang terdengar begitu impulsif untuk pergi jauh ke Indonesia,
tanah airnya yang selama ini ?menolak? untuk di?sentuh oleh
dirinya. Dia tak ingin terdengar meremehkan ke?mam?puan
anaknya, tetapi juga tak mau anaknya terjerat dalam bahaya
apa pun akibat status politik ayahnya yang di mata pemerintah
ada di garis merah. "Tapi, saya belum men?da?patkan titik fokus
yang jelas, karena ini film dokumenter yang berdurasi 60 menit.
Jadi saya harus efektif dalam memilih topik," kata Lintang
berceloteh karena ayahnya tak kunjung mem?beri reaksi.
"Semula," Lintang meneruskan karena ayahnya masih juga
tak berkata-kata, "saya merasa, akan lebih praktis dan ekonomis
untuk membuat dokumenter tentang keluarga para eksil po?
li?tik Indonesia yang tersebar di beberapa negara di Eropa,"
Lin?tang melirik ayahnya, "tapi aku rasa itu terlalu pribadi dan
aku tak mau membuat sesuatu yang terlalu subyektif, Yah. Ada
keinginanku untuk mengetahui Indonesia, meski hanya se?
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 232
233 LEILA S. CHU DO RI kadar dua pekan, mungkin sebulan. Untuk merasakan seperti
apakah negara yang pernah mengalami sebuah peristiwa ber?
darah yang begitu besar, seperti apakah masyarakatnya...."
Dimas hanya mengangguk-angguk tanpa bersuara. Pikiran?
nya melayang ke mana-mana.
Dia ingin sekali mengatakan bahwa dia juga berkehendak
me??ngajak Lintang dan ibunya ke tanah airnya, memperkenalkan
Jakarta, Bogor, Solo, Yogyakarta, Semarang, dan kota-kota
lain di Indonesia yang semua dikenalnya hanya hingga tahun
1965. Dimas ingin menceritakan bahwa ada sesuatu di Indo?
nesia, entah bau tanahnya setelah terkena rintik hujan, atau
buah-buahan tropis yang ganjil bentuk dan warnanya, atau
pe?rempuan Solo yang berbicara dengan ritme begitu lambat
dan berirama, atau tukang becaknya yang otoriter dengan te?
lun?juknya mengacung ke atas setiap kali hendak menyeberang
jalan hingga se?luruh kendaraan berhenti dengan patuh.
Ah, ini pengetahuan Dimas tentang tanah airnya yang ber??
henti sete?lah tahun 1965. Mungkin Jakarta dan Solo di tahun
1998 sudah sangat berbeda. Mungkin saja tak ada lagi be?
cak yang men?dominasi jalan-jalan di Jakarta maupun Solo.
Mungkin sudah tak banyak lagi perempuan yang memegang
canting dan per?lahan mengembuskan keajaiban di atas kain
panjang yang ke???mu??dian dinamakan batik. Mungkin juga tak
ada lagi buah-buahan atau kue-kue tradisional seperti kelepon,
nagasari, cucur, ge?tuk lindri yang biasa dimakan bersama
teh kental panas dan gula pada sore hari setelah dia pulang
mengaji bersama Aji di bawah pengarahan Pakde No. Tapi
kalaupun itu semua su?dah terlindas oleh segala yang modern,
Dimas yakin dia bisa men?carinya?demi memperkenalkannya
pada Lintang?ke pojok mana saja yang masih setia membuat
kue-kue tradisional seperti itu.
Dimas memperhatikan wajah puterinya. Wajah yang begitu
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 233
234 PU LANG Indonesia, sekaligus begitu Prancis. Hidungnya yang man???
cung lancip tak terlalu mendominasi wajahnya yang mungil.
Kulit yang putih, tapi bukan putih ras kaukasian yang sering
mengundang bintik cokelat. Kulit Lintang putih seperti susu.
Putih, segar, tapi sekaligus menghangatkan. Mungkin itu hasil
percampuran kulit Dimas yang berwarna cokelat ber???kilat dan
Vivienne yang putih, yang lantas menghasilkan war??na susu.
Lalu matanya berwarna kecokelatan seperti mata Dimas.
Rambutnya pun hitam tebal berombak seperti rambut Dimas.
Tetapi secara keseluruhan, Lintang mengambil postur dan
bentuk wajah ibunya. Itulah sebabnya Lintang dewasa sering
disangka adik bungsu Vivienne karena sekilas mereka mirip:
tinggi, langsing, dan cantik. Yang membedakan mereka hanya
warna mata Vivienne yang hijau.
Dimas membayangkan Lintang di tengah riuh rendah
Jakarta. Dia tak berhasil menggambarkan dalam benaknya.
Salur?an televisi CNN maupun BBC sudah mulai menampilkan
be?rita-berita kecil tentang demonstrasi di beberapa kota di In?
do?nesia. Ini sungguh mengkhawatirkan.
Tentu saja Lintang sering terlibat dalam demonstrasi di
Universitas Sorbonne, tetapi keriuhan mahasiswa di negaranegara Eropa selalu berbeda dengan, katakanlah, di Indonesia.
Tetapi jika Dimas menyampaikan kekhawatirannya, Lintang
akan tersinggung dan mereka akan terlibat dalam pertengkaran
lagi. "Jadi Yah, kenapa diam saja?"
"Kau sudah menyampaikan ini semua pada ibumu?" Di?
mas mengambil jalan aman dan sedikit berharap Vivienne
akan menggunakan ?kartu orangtua?, meski di Prancis itu sama
se?kali tak berlaku lagi karena Lintang kini sudah berusia 22 ta?
hun. Dia sudah dewasa dan kalau dia mau pergi ya pergi saja.
Bah?wa dia membicarakannya dulu dengan Vivienne dan Dimas
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 234
235 LEILA S. CHU DO RI itu karena Lintang anak yang baik dan mencintai orangtuanya.
Bu?kan karena dia sedang meminta restu, apalagi izin.
"Sudah. Maman menanyakan hal yang sama, apakah saya
sudah membicarakannya dengan Ayah," Lintang terlihat agak
jengkel. "Begini, pertama, fokuskan pada persyaratan Monsieur
Dupont. Apa yang diinginkan dari tugas akhirmu itu. Apa yang
harus di??tun?jukkan dari film dokumenter itu. Kedua, dari kisah
se?ja????rah Indonesia di tahun 1965 dan akibatnya, kamu harus
memilih betul-betul yang mikro, harus fokus pada satu hal,
harus menu?kik, tajam. Karena tema 1965 luar biasa besar, kacau,
berdarah, banyak aktor, banyak korban, banyak akibat, banyak
banjir darah untuk pengukuhan kekuasaan. Ada soal yang pelik
yang akan kau hadapi...."
"Karena aku adalah anak Dimas Suryo," Lintang me?mo?
tong. "Ya. Betul. Tetapi selama ini, yang kamu alami di Paris
sa??ma sekali jauh dari kekejian. Kamu memang terputus dari
Indonesia, kamu tak mengenalnya, tak pernah menyentuhnya,
me?ngenal orang-orangnya, tanahnya, bau daunnya saat ter?
timpa hujan. Kau tak mengenal saudara-saudaramu, eyangeyang, paklik, bulik dari dekat. Kamu hanya mengenal beberapa
in?siden konyol di Restoran...."
Dimas mengambil nafas, seperti mencoba tak menghiraukan
sakit di dalam perutnya, "Di Indonesia, ceritanya akan lain.
Kalau kau berniat mewawancarai keluarga tapol di Indonesia,
langkahmu akan diamati, dicatat, dan direkam oleh mereka.
Apalagi karena nama belakangmu."
Lintang mengangguk. "Selain itu...Ayah tidak tahu bagaimana caranya kau ma?
suk ke Indonesia. Sudah puluhan tahun Ayah di Paris...."
"Ada kawan baru di kedutaan, diplomat yunior. Dia mau
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 235
236 PU LANG mem?bantu," Lintang yang tak sabar menggilas kalimat ayah?
nya. Dimas memandang anaknya, setengah heran. Dari mana
Lintang memperoleh kepandaian merancang dan bersiasat
seperti ini? "Begini. Kau harus ingat betul, karena Ayah dianggap ba?
gi?an dari ?perzinahan politik? bersama PKI atau Lekra atau en?
tah kelompok mana, maka kesalahan itu memanjang terus me?
lampaui generasi Ayah. ?Dosa politik? itu bisa atau pasti ditem?
pel?kan kepadamu, di dahimu. Mudah-mudahan tidak sampai
me?luncur ke anakmu," Dimas menatap mata Lintang.
"Perzinahan politik," Lintang tersenyum, "terminologi
itu tak ada dalam buku teori politik mana pun. Je dois se me
rapeller. Ayah memang seorang penyair."
Dimas tertawa dan mengusap-usap rambut anaknya, "Di
tahun 1960-an, masa-masa sebelum Ayah meninggalkan Ja?
kar?ta, situasi politik sangat panas. Kau di kiri atau di kanan.
Kau merah, merah jambu, atau hijau, dan kehijau-hijauan.
Isti?lah dan terminologi bertaburan dalam diskusi, bantahan,
dan tu?duhan serta jeritan: Manipol, Nekolim, Revolusi, KontraRe??volusi, dan ratusan akronim buruk lainnya yang sama sekali
tak menarik untuk diingat, apalagi untuk dipelajari dan dite?
liti. Di zaman itu, Indonesia tak mengenal zona netral. Tak
mengenal area kelabu. Kau harus menjadi bagian dari Kami
atau Mereka." Lintang mendengarkan ayahnya dengan penuh minat,
"Ayah berkawan dengan semua orang, Lintang. Ayah berkawan
dengan Om Hananto, Om Nug, meski Ayah kurang cocok
dengan Pemimpin Redaksi. Ayah juga berkawan dengan Bang
Amir. Tapi aku kira, Ayah dianggap melakukan perzinahan
dengan kelompok kiri. Artinya Ayah adalah bagian dari warna
merah. Itu tak apa. Sebuah risiko untuk mereka yang tidak
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 236
237 LEILA S. CHU DO RI memilih. Tak memihak artinya sudah memihak."
"Bang Amir itu siapa, Ayah?"
"Dia pengikut Masjumi, ada dua partai yang sudah dilarang
saat itu: Partai Sosialis Indonesia dan Masjumi. Kau harus
mencari buku-buku tentang kehidupan partai saat itu," mata
Dimas mencari-cari ke atas rak-bukunya.
"Nanti saja Yah. Akan kucari. Bang Amir ini teman Ayah?"
"Ya, entah bagaimana...kami nyambung. Ada hal-hal yang
dikatakannya masuk akal. Mungkin tak semua pemikiran Pak
Natsir bisa saya pahami. Tetapi...." Dimas kelihatan ber?se???ma?
ngat dan memajukan kepalanya. Lintang ikut-ikutan me?ma?
jukan kepalanya. "Bang Amir bisa membuat saya berpikir soal spiritualisme
tanpa harus identifikasi dengan organisasi agama. Sesuatu
yang lebih dalam dan mulia di dalam inti kemanusiaan. Ke?tika
saya berbincang dengan dia lebih seperti dua manusia tan?pa
embel-embel warna, cap, partai, aliran, atau atas nama ke?lom?
pok. Kami berbincang seperti dua kawan, dua wartawan, yang
ingin mengetahui hubungan manusia yang begitu kecil, be?gitu
infinite ini dengan kebesaran alam."
Lintang mulai merasa ayahnya memasuki area yang asing.
Pulang Karya Leila S. Chudori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi ia menikmatinya. "Apakah dia termasuk yang menganggap Ayah ?berzinah?
secara politik?" "Ah, tidak," Dimas menggeleng perlahan. Lintang bisa
melihat betapa ayahnya mengenang Bang Amir dengan ke?
hangatan. Sama sekali tidak sebagai musuh politik. "Dia bukan
orang yang gemar memberi julukan seperti itu. Itu hanya
terminologi ciptaan Ayah setelah bertahun-tahun ingin menge?
tahui mengapa Ayah selalu ditolak untuk masuk ke Indonesia,"
Dimas menghela nafas, "dan kau juga harus siap, karena apa
yang dianggap ?perzinahan politik? Ayah lantas menjadi dosa
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 237
238 PU LANG turunan. Apakah kau siap dengan teror-teror semacam ini?"
"Aku siap, Yah. Aku sudah menyaksikan beberapa film do?
kumenter, dan buku-buku, dan..."
"Menyaksikan dan mengalami sangat berbeda, Sayang,"
Di?mas meraih kepala anaknya. "Kalau kamu mengalami terorteror itu secara langsung, semua pengalaman itu akan langsung
menan?cap dalam benakmu sampai akhir hayat."
Lintang tumbuh sebagai anak perempuan yang ingat se?
gala hal yang terjadi sejak kecil. Dari kenangan masa kecil saat
dia sudah dibawa ke pemakaman P?re Lachaise, hingga me??
nyak?sikan bagaimana ayahnya meramu masakan Indonesia di
dapur atau memilih buku-buku di warung Antoine Martin atau
Shakespeare & Co itu semua diingat Lintang hingga rinci. Dia
tak hanya ingat seluruh peristiwa yang terjadi dalam hidupnya,
tetapi dia tak bisa mengingat perasaan dan aroma. Jadi, jika
hal-hal keji dan buruk itu terjadi padanya, Lintang tahu dia tak
akan pernah bisa mencerabutnya dalam ingatan.
"Ayah ingin kamu siap. Keputusanmu untuk merekam
dokumenter ini tidak mudah dieksekusi. Akan banyak per?so?
al?an perizinan. Dengan nama belakangmu...kau tahu kan ra?
ta-rata tapol harus menggunakan nama samaran jika mereka
me?nulis di media dan anak-anaknya tidak menggunakan nama
ayahnya?" Lintang mengangguk dengan yakin, "Aku tahu, Yah. Aku
sudah membaca semuanya. Ayah, saya belum pernah merasa
semantap ini." "Satu lagi. Kau pasti sudah membaca koran dan menyaksi?
kan CNN atau BBC, Indonesia saat dalam keadaan yang tidak
stabil." "Ya, sejak perubahan kabinet itu awal tahun, Presiden me?
ma?sukkan anak dan kroninya ke dalam Kabinet baru...ramai di
media-media internasional."
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 238
239 LEILA S. CHU DO RI "Sebetulnya sudah terasa kegelisahannya sejak krisis eko?
nomi tahun lalu di Asia, dan Indonesia juga terkena. Nah, halhal yang berbau masa kini pasti akan mengganggu fokus kamu.
Ber?hati-hatilah." "Pasti Yah." "Nanti Ayah dan Om Nug akan kirim email ke beberapa
ka?wan yang bisa membantumu mencari narasumber. Yang
pen???ting pastikan dulu yang jelas apa isi dokumentermu. Kami
akan membantumu sebisanya."
Lintang bersender ke bahu ayahnya, tersenyum, "Oui...
Mer?ci Ayah." Ayahnya tersenyum dan merasa efek obat yang diminumnya
mempengaruhi tubuhnya. Dia menguap. Lintang merasa harus
mengeluarkan apa yang selama ini terpendam.
"Yah...tentang pertengkaran kita dulu...aku..."
Dimas melambaikan tangannya, menandakan dia sudah
melupakannya. Dia memejamkan matanya sambil bersender
ke ujung sofa. "Ayah tiduran dulu. Tapi belum mau tidur," Dimas mere?
bahkan kepalanya. Lintang menyelimuti ayahnya dan men?
cium keningnya. Dimas nampak pucat dan lelah. Lintang memutuskan un?
tuk menunda pembersihan lantai karena ayahnya tampak
sudah lelap di atas sofa. Lintang tetap membereskan bukubuku di atas rak. Lantas dia berpindah ke meja kerja ayahnya,
satu-sa?tu?nya teritori yang tidak terlalu berantakan. Agaknya,
selama sa?kit, ayahnya tak sempat mengutak-atik pekerjaan.
Mata Lintang terjerat pada sebuah manuskrip. Nampaknya
sudah lama Dimas mempersiapkan sebuah tulisan yang
suatu hari ingin dia terbitkan sebagai buku. Diberi judul
"KESAKSIAN", paling tidak sementara, sekilas manuskrip itu
berisi pengalaman orang-orang di berbagai daerah di Indo?
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 239
240 PU LANG nesia yang diburu tentara pada tahun 1965 hingga 1968; nasib
keluarganya, anak-anaknya dan orangtua ?target? yang diburu.
Lintang melirik ayahnya yang tertidur pulas. Sua?ra
nafasnya halus seperti angin yang mengelus daun willow.
Mata Lintang menyusuri satu kotak kayu besar berisi kliping
ko?ran-koran, majalah asing, dan buku-buku dari berbagai pe?
ng?amat asing dari yang percaya keterlibatan PKI, atau te?ori
keterlibatan perwira "kiri" dan perpecahan elite militer. Se?
mua lengkap dan disusun dengan rapi. Sebagian buku-buku
dan bahan ini sebetulnya sudah bisa diperoleh Lintang di per?
pus?takaan Beauborg. Mata Lintang terpaku pada sebuah kotak kayu yang lain.
Dia membukanya dengan hati berdebar karena tak tahu apa?
kah dia sedang memasuki arena pribadi ayahnya. Dia ter?
ingat beberapa tahun silam ketika menemukan surat Surti
Anandari, isteri Hananto Prawiro, teman ayahnya di Jakarta.
Lintang tak bisa melupakan malam yang begitu menentukan
saat dia masih berusia 13 tahun. Karena surat itu, terjadilah
per?tengkaran berkesudahan antara ayah dan ibunya. Malam
itu juga ayahnya meninggalkan apartemen mereka.
Tetapi setumpuk kertas surat itu tampak begitu penting dan
berhubungan dengan pekerjaan ayahnya. Lintang mem?baca
dari jauh. Nampaknya surat itu ditulis oleh Om Aji, adik ayah?
nya. Lin?tang memberanikan diri mengambil lembaran surat
itu. Ter?tanggal Agustus 1968, sebuah surat yang menceritakan
Ha?nanto Prawiro tertangkap dan setelah itu mereka tak tahu
ke mana Hananto dibawa. Bahwa Surti dan anak-anaknya
Kenanga, Bulan, dan Alam, selama perburuan ayahnya, juga
di??ba?wa ke Guntur dan Budi Kemuliaan. Bahwa intel pun sudah
ta?hu seharusnya yang berangkat ke Santiago adalah Hananto,
dan mereka mempertanyakan mengapa yang pergi adalah Di?
mas Suryo. Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 240
241 LEILA S. CHU DO RI Lintang mulai berpikir, seandainya yang berangkat adalah
Hananto, ayahnya tak akan bertemu dengan ibunya. Dan Lin?
tang tak akan lahir. Lintang menemukan satu surat yang tampak sudah begitu
tua dan tinta yang terlihat mulai redup. Begitu tuanya surat itu,
Dimas memasukkannya ke dalam sampul plastik bening. Lin?
tang bahkan tak bisa membaca beberapa tulisan karena tinta
yang sudah hilang. ...1968 Mas Dimas yang tercinta, Sekarang setelah kami pindah ke Jakarta, barulah aku
bisa berkisah dengan cukup rinci apa yang terjadi di Solo.
Aku terlalu paranoid untuk menulis panjang lebar ten?tang
neraka di Solo selama prahara September 65. Memang
tragedi ini terjadi hampir tiga tahun lalu, tetapi mengapa
rasanya baru kemarin kami hidup dalam rasa takut? Ra?
sanya baru kemarin aku melihat bagaimana kota kita, Solo
terbelah dua, oleh pendukung PKI maupun yang anti PKI.
Ingat kan aku bercerita padamu, sebelum kau berangkat ke
Santiago, bagaimana pendukung PKI begitu agresif dan ga?
nas menghajar lawannya? Setelah 30 September, saya kira
bukan saja terjadi pembalasan dendam belaka, tapi rasa benci
masya?rakat dipompa habis-habisan sehingga perburuan dan
pem?bantaian itu dianggap tindakan yang wajar. Aku ingat
mung?kin sekitar dua atau tiga pekan setelah 30 September,
sepasukan militer mendarat di stasiun Balapan. Tentu saja
mereka bukan hanya mencabik poster-poster yang berisi pe?
rang syaraf itu, tetapi bersama sebagian masyarakat mem?
bakar kantor-kantor partai, menghancurkan semua lam???
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 241
242 PU LANG bang dan peralatan PKI. Rasanya semua kekuatan PKI di
Solo sudah lumpuh total. Paling tidak itulah yang disam?pai?
kan melalui berita. Jadi aku pikir, selesailah sudah kegila?an
ini. Ternyata tidak. Pada saat aku keluar rumah untuk mengetuk ka?wat, aku
mendengar ada penangkapan terkoordinir ter??hadap seorang
petinggi PKI yang konon bersembunyi di Sidorejo di daerah
Sam?beng. Aku sendiri belum jelas bagaimana kisahnya. Beri?
ta ini aku dengar dari Pakde No.
Lalu setelah itu, perburuan masih saja terus terjadi. Kini
giliran para simpatisan: termasuk para ibu, isteri, atau ke?ra?
bat. Itulah yang membuat aku gemetar membayangkan Ibu
ikut dikumpulkan di tengah lapangan. Ternyata Pakde No
cukup sakti dan berwibawa. Karena ada beliau, Ibu dan aku
tidak disentuh, meski beberapa kali diinterogasi.
Kini di Jakarta, meski kami tetap merasa harus memiliki
sepasang mata di balik punggung, paling tidak kami mengisi
hari-hari dengan sedikit lebih tenang. Bukan karena Jakarta
lebih aman. Tetapi kami ingin menjauhkan diri dari keriuhan
di Solo. Paling tidak untuk sementara.
Semoga engkau baik-baik saja. Kalau ada kabar dari
Surti dan anak-anaknya, akan segera kuketuk kawat.
Adikmu, Aji Suryo Lintang menggigil membayangkan betapa sintingnya
hidup di masa itu. Untung saja kedua sepupunya belum lahir.
Lintang kemudian membaca surat lainnya dari Om Aji yang
lebih ?baru?, tahun 1994.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 242
243 LEILA S. CHU DO RI Jakarta, Juni 1994 Mas Dimas yang kucintai, Aku baru saja menyaksikan berita televisi peristiwa yang
menggetarkan sekaligus mencemaskan. Tiga media di In?
donesia dibredel pemerintah bulan lalu, membuat masya?
ra?kat pers dan mahasiswa serta aktivis berang. Mereka me?
nga??dakan demonstrasi di muka Departemen Penerangan di
Jalan Merdeka Barat. Itu sudah tinggal beberapa ratus me?ter
lagi ke Istana. Rendra membaca puisi. Mahasiswa dan ak?
tivis membawa spanduk perlawanan. Tentara datang. Kor?
ban jatuh. Rendra ditahan, Mas, meski kemudian dilepas lagi.
Pelukis muda Semsar Siahaan dipukuli. Katanya ka?kinya re?
tak atau patah, saya tak jelas.
Saya tahu, Orde Baru semakin kuat. Tetapi pembredelan
ke?tiga media ini sungguh suatu perbuatan yang arogan.
Mereka melakukannya karena tahu tak akan ada penga?ruh?
nya dalam kelangsungan hidup kekuasaan Orde Baru. Pro?
tes-protes akan berjalan terus bak gelombang, tapi mereka
anggap seperti denging nyamuk yang gampang dikeplak.
Gerutuan dunia (Barat) juga akan dibiarkan, telinga akan
di?bikin budeg. Sangat mudah. Hidup berlangsung terus de?
ng?an aman sentosa. Bagaimana kabarnya Lintang, Mas? Pasti sedang sibuk
belajar untuk ujian akhir sekolahnya ya. Apakah Lintang jadi
masuk ke Universitas Sorbonne sesuai yang dia rencanakan?
Saya doakan sukses Mas. Andini juga sedang stres menghadapi ujian akhir. Ren?
cananya dia ingin ikut ujian masuk untuk Fakultas Sastra.
Sedangkan Rama....ini agak mengejutkan sekaligus men?
cemaskan. Dia berhasil diterima di salah satu BUMN bidang
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 243
244 PU LANG konstruksi. Saya rasa, itu karena dia tidak menggunakan
nama Suryo. Se?jak bekerja di sana, dia hampir tak pernah
mengun?jungi ka?mi kecuali pada hari Lebaran.
Retno mengirim salam untuk Mas. Kalau ada yang ke
Ja?kar?ta, tolong beritahu, nanti saya carikan cengkih untuk
Mas. Juga jika membutuhkan buku-buku sastra yang baru
ter?bit. Salam hormatku untuk Vivienne, Mas Nug, BungRisjaf
dan BungTjai. Peluk rindu untuk Lintang.
Wassalam, Aji Suryo Lintang tak pernah mengenal kedua sepupunya secara
langsung: Rama dan Andini, kecuali dari cerita ayahnya dan dari
su?rat-menyurat antara Lintang dan Andini. Om Aji juga pernah
ber?kunjung ke Paris satu kali ketika ada pekerjaan kantornya
yang mengirim dia ke Eropa. Saat itu, Om Aji menyempatkan
di?ri mengunjungi kakaknya yang sudah puluhan tahun tak di?
temuinya. Meski Lintang masih duduk di sekolah dasar, dia
tak akan lupa bagaimana abang adik itu berpelukan begitu
erat, berbincang sembari merokok dan minum kopi hingga
pagi. Itulah satu-satunya saat Maman tidak menggerutu meski
asbak ayahnya penuh dengan puntung rokok hingga abunya
belepotan ke mana-mana. Saat itu pula, Lintang mendengar
lebih banyak tentang kedua sepupunya: Rama dan Andini.
Saat itu Rama sudah duduk masuk SMA sementara Andini juga
duduk di sekolah dasar seperti Lintang. Menurut Om Aji, Andini
pun senang membaca seperti Lintang. Sore itu juga, bersama
Vivienne, m?e?reka mencari beberapa buku anak-anak berbahasa
Inggris di?Shakespeare & Co. Lintang merelakan uang sakunya
yang tak seberapa, karena dia ingin sepupunya juga membaca
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 244
245 LEILA S. CHU DO RI buku-bu?ku yang dia baca. Maka mereka membeli buku Little
Women dari Louisa May Alcott, Le Petit Prince karya Antoine
de Saint-Exup?ry terjemahan dalam bahasa Inggris, dan Les
Mis?rables karya Victor Hugo versi yang lebih tipis dalam
bahasa Inggris. Se?jak itulah Andini menulis surat terima
kasih atas buku-bu?ku?nya dan mereka rajin berkorespondensi.
Pulang Karya Leila S. Chudori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lintang lebih senang lagi karena ternyata Andini, seperti juga
Lintang adalah pembaca buku sastra yang fanatik. Ketika
teknologi su?rat elektronik sudah mulai digunakan dua tahun
lalu, maka su?rat-menyurat tradisional antar sepupu ini pun
berubah men?jadi pertukaran kabar melalui dunia maya.
Lintang membayangkan pertemuannya dengan para sepu?
punya itu. Alangkah menyenangkan. Darah Lintang meng?alir
deras. Dia tak pernah mempunyai adik-kakak atau saudara.
Alangkah bahagianya menemukan saudara dari sisi yang tak
dikenalnya. Tentu saja Lintang mengenal sepupu jauh, anakanak dari sepupu ibunya. Tetapi Lintang tak punya sepupu
dari Jean, kakak Vivienne yang memilih tidak menikah itu.
Surat-surat di bawah surat Om Aji itu terlihat ada beberapa.
Lintang mengais-ngais hingga mendapatkan tulisan tangan
yang berbeda. Surti Anandari. Jari-jari Lintang bergetar. War?
na? kertas sudah menguning, tinta sudah memudar, tetapi
Lintang masih bisa membaca kata demi kata dengan jelas.
Jakarta, Desember 1968 Dimas yang baik, Saya tidak tahu apakah surat ini akan tiba di tanganmu
atau tidak. Saat ini kami diperbolehkan pulang ke rumah
setelah beberapa bulan kami ditahan di Budi Kemuliaan.
Saya tidak tahu apalagi yang harus saya jawab setiap
kali mereka bertanya tentang Hananto, karena saya betulPulang Isi-semua (minus 220-275).indd 245
246 PU LANG betul tidak tahu dia ke mana. Saya tidak berbohong sekarang
dan tidak akan berbohong kapan pun. Saya tak tahu rute
perjalanan (politik atau asmara) Hananto. Tetapi mereka
tak percaya. Atau tak ingin percaya.
Sejak mereka menahan Hananto bulan April lalu, kami se??
mua tak pernah mendengar kabar darinya secara lang?sung.
Sejak dia menghilang Oktober 1965, saya hanya mendengar
bagaimana dia bergerak se?per???ti bayang-bayang dalam
halimun. Dari desa ke desa. Ko???ta ke kota, saya hanya mende?
ngar kelebatannya melalui angin. ?Dan selebihnya: sunyi.
Sejak tiga tahun lalu, kami menghadapi sebuah risiko.
Risiko yang telah saya ambil mendampingi seorang Hananto,
ayah dari ketiga anak saya. Saya dilontarkan pada serang?
kaian pertanyaan yang sama dari pagi hingga malam dengan
jeda hanya be?be?rapa menit, terkadang oleh interogator yang
sopan. Tak jarang ada yang membentak-bentak dengan
perta?nyaan yang sama seperti mendengar vinyl yang sem?
ber: apakah saya mengetahui kegiatan Hananto; apa saja
ke??giatan ka?wan-kawan Hananto; apakah saya pernah me?
nge??tahui ra?pat-rapat yang dihadiri Hananto. Tetapi kalau
saya boleh me?mi?lih, interogator yang membentak galak le?
bih ?aman? dari?pada yang kurang ajar dan gemar mencoba
menge?cek kebiasaan saya dan Hananto di ranjang. Pernah
ada satu in?tero?gator paruh baya yang sungguh menjijikkan.
Hari itu gi?liran dia mengulik apakah mungkin Hananto
bersembunyi di rumah keluarganya. Dia bertanya, sekaligus
menyelipkan pertanyaan hubungan suami-isteri sembari
perlahan me?muaskan dirinya di balik celana.
Begitu jijiknya, saya menolak meneruskan menjawab
per????ta?nyaan dia. Tetapi dengan tenang dia bertanya usia Ke?
nanga dan apakah Kenanga sudah datang bulan. Dimas, itu
te???ror mental terburuk yang pernah saya alami!
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 246
247 LEILA S. CHU DO RI Saya tak terlalu khawatir dengan nasib Bulan dan Alam,
karena mereka masih terlalu kecil. Bulan masih enam tahun,
jadi dia masih melihat apa pun sebagai permainan yang lucu
dan para tentara atau interogator malah memberi mainan
un??tuknya. Alam masih senang ditimang-timang oleh semua
orang. Wajahnya yang cakap, putih, dengan rambut ikal itu
sering membuat orang-orang penghuni Budi Kemuliaan ja?tuh
kasihan dan memberinya air tajin sebagai pengganti su?su.
Tapi Kenanga sudah mulai remaja. Dia sudah paham
bah?wa ayahnya sedang diburu dan kita ditahan di sana ka?
rena ?sesuatu? yang diperbuat, entah apa. Jika saya tak ber?
hati-hati, mereka bisa mencederai Kenanga.
Salah satu interogator, dengan sopan, menyampaikan
me?reka meminta Kenanga membersihkan salah satu ruang?
an di gedung itu. Saya hanya bisa menyetujui saja, meski
be?lakangan saya baru tahu bahwa tugas Kenanga adalah
me?ngepel bekas bercak darah kering yang melekat di lantai
ruang?an penyiksaan. Dia bahkan menemukan cambuk ekor
pari yang berlumur darah kering. Kenanga baru bercerita
se??bulan kemudian sambil menangis tersedu-sedu, karena
dia tak tega melihat saya didera demam tinggi untuk waktu
yang lama. Dia membayangkan jika ayahnya ditangkap,
itu??lah yang akan terjadi padanya. Beberapa hari yang lalu,
Kenanga telanjur melihat beberapa lelaki terseok-seok de?
ngan badan penuh darah berjalan berbaris untuk pindah
ruang?an. Dimas, saya menulis ini hanya ingin berbagi dan sekali?
gus berterima kasih kau masih menyempatkan diri mengirim
ban??tuan meski kalian pun juga dalam kesulitan menjadi pe?
ngelana tanpa tujuan pasti. Apa pun kesulitan yang kami ha?
dapi, kami semua tahu dan sadar kau dan juga Aji sangat
mem?bantu menopang jiwa kami. Saya ingin berterima kasih
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 247
248 PU LANG se?dalam-dalamnya, dari lubuk hati yang paling dalam.
Pada saat ini, saya menyadari, engkau kawan sejati.
Surti Anandari Lintang mulai paham betapa beratnya apa yang akan
dihadapi di Jakarta nanti. Surat-surat itu sudah berusia
puluhan tahun, tetapi pemerintah yang berkuasa masih sama.
Sebuah surat lain dengan kertas berwarna putih dengan
tulisan tangan yang rapi dan bersih. Lintang mengamati, tulis?
an tangan orang Indonesia amat rapi, di atas garis, dan seolah
huruf-huruf itu keluar dari sebuah mesin karena cenderung
berbentuk se?ragam. Lintang hampir curiga bahwa anak-anak
Indonesia di?didik oleh guru tulis halus yang sama, karena
mereka me?miliki tulisan tangan yang begitu mirip dan rapi.
Berbeda de?ngan tulisan tangan Lintang atau kawan-kawannya
yang me?nulis dan membentuk huruf ala kadarnya seperti anakanak yang sedang memain-mainkan gulali. Memutar-mutar
jari seenaknya. Jakarta 18 Juni 1970 Om Dimas, Saya merasa langit Jakarta sudah retak. Lempengan besi
hitam itu menghujani kami.
Tak habis-habisnya segala yang menimpa kami, Om.
Saya tak tahu apakah ini awal atau akhir dari penderitaan
kami. Sebulan saya tak bisa berfungsi sejak mereka membu?
nuh Bapak. Saya di kamar terus-menerus hingga akhirnya
membusuk bersama tempat tidur dan lantai yang menemani
se?hari-hari. Saya merasa seperti sebuah kubis yang dige?le?
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 248
249 LEILA S. CHU DO RI tak?kan begitu saja, semakin hari semakin tanpa guna.
Tepat sebulan lalu, kami semua diminta berkumpul di Ru?
mah Tahanan Salemba untuk bertemu Bapak terakhir kali.
Ka?mi hanya diberi waktu dua jam untuk berbincang sebelum
Bapak dieksekusi. Tapi, apa yang harus kami katakan dalam
waktu dua jam dengan bayangan Bapak di hadapan sebaris
lelaki dengan senapan yang diarahkan padanya?
Bapak memangku Alam yang tertawa-tawa memainkan
jari-jari Bapak. Tentu saja anak berusia lima tahun masih me????
lihat langit yang menjanjikan pelangi. Bulan, meski dia ba??ru
delapan tahun, sudah memahami konsep ?datang? dan ?per?
gi?. Bulan meneteskan air mata terus-terusan sembari ber???
tanya berulang kali apakah dia akan bertemu Bapak lagi. Ibu
mencoba kuat. Dia hanya memegang tangan kanan Ba?pak
seerat-eratnya dan menahan air mata yang tumpah sem??bari
sesekali membisikkan entah apa.
Aku duduk sejauh-jauhnya menghindar dari segala kese?
dihan. Aku ingin kuat, Om. Aku tak tahu caranya untuk mem?
buat tubuhku tegak jika harus meratap. Entah mengapa, aku
malah bangga tak perlu meninggalkan jejak air mata. Aku
bahkan semula enggan melihat wajah Bapak yang hari itu,
dalam dua jam itu, terlihat tenang dan bijak. Apa yang ada
dalam pikirannya? Menjelang 30 menit terakhir, Bapak menghampiriku.
Sen?dirian. Dia berlutut dan memegang tanganku. "Kenanga,
ka?mu adalah pohon yang melindungi seluruh isi keluarga.
Kamu adalah urat nadi kita semua...."
Aku masih menolak melihat wajah Bapak. Menatap sepa?
sang sepatuku yang sudah dower, sepasang sepatu kets yang
su?dah bertahun-tahun kukenakan, dan aku mencoba meng?
i?ngat di mana Ibu membeli sepatu itu? Apa warna aslinya?
Me?rah muda? Jingga? Warna sepatu ini sekarang begitu
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 249
250 PU LANG pudar hing?ga aku tak tahu lagi apakah kita menyebutnya
cokelat ku?sam atau.... "Kenanga...." Bapak menggenggam tanganku seeratnya. "Bapak minta
maaf sudah menyusahkan kalian semua. Bapak pamit dan
hanya bisa minta pada Kenanga untuk tetap kuat. Untuk Ibu,
Bulan, dan Alam...."
Om. Saya benci air mata. Karena selalu datang dan me?
ng???alir seenaknya saat saya tak menginginkannya.
Kenanga Prawiro Lintang merasa seluruh tenaganya habis diisap oleh suratsu?rat penuh darah ini. Bukan saja karena dia harus sibuk me?
ng??usir air matanya, menangisi keluarga-keluarga yang ter?
pecah-belah yang tak dikenalnya. Tapi dia tiba-tiba merasa
be?gitu dekat dengan mereka semua.
Lintang merasa harus mencari surat lain yang bernada
?alter??natif?. Membaca surat berdarah membuat dia ikut ber?
darah. Sehelai surat berwarna biru muda dengan tulisan tangan
yang sangat rapi dan kalimat pendek-pendek. Ah, mungkin ini
dia Bang Amir. Jakarta, 1969 Dimas saudaraku, Saya menerima suratmu dan segera saat ini juga saya
menuliskan padamu. Saya ikut berduka cita atas kepergiaan
Ibunda, Dimas. Saya bersujud dan berdoa pada Allah agar
Be?liau segera memeluknya. Semoga engkau dan kawan-ka?
wan lain sehat dan tetap kuat di negeri jauh.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 250
251 LEILA S. CHU DO RI Dimas, ingatkah kau pembicaraan kita tentang suatu
?ge??lembung kosong? di dalam kita, yang diisi hanya oleh kau
dan Dia, untuk sebuah Persatuan antara kita dan Dia yang
tak bisa diganggu oleh apa pun barang seusapan. Inilah sa?
at yang tepat untukmu untuk melihat sepetak kecil dalam tu?
buhmu itu. Sendirian. Berbincang, jika kau ingin. Atau diam,
jika kau ingin. Dia mendengarkan.
Selalu mendengarkan. Sahabatmu, Moh. Amir Jayadi Tanpa sadar, Lintang memegang dadanya sendiri. Gelem?
bung kosong. Sepetak kecil dalam tubuh. Pembicaraan kita
dan Dia? Adakah itu di dalam dirinya?
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 251
252 Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 252
PU LANG FLANEUR On ne voit bien qu?avec le c?ur. L?essentiel est invisible
pour les yeux. (Le Petit Prince, Antoine de Saint-Exup?ry)
Dengan menggunakan hati, kita bisa melihat dengan
jernih. Sesuatu yang begitu penting justru tak terlihat kasat
mata. Kalimat itu selalu diingat oleh Lintang sejak pertama kali
ayahnya membacakan novel karya Antoine de Saint-Exup?ry
yang berkisah tentang seorang anak lelaki yang pesawatnya
terjebak di gurun Sahara.
Malam itu, Lintang mempunyai satu pertanyaan. Mungkin
seribu pertanyaan. Namun satu pertanyaan itu, yang terusmenerus berpijar tanpa henti, ada di dalam hati: Apakah
mungkin dia bisa melihat semua persoalan yang rumit itu
nanti di Jakarta dengan jernih?
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 253
254 PU LANG Lintang belum bisa menjawab.
Tetapi malam itu, dan malam-malam berikutnya dia tak
henti-hentinya mengetik dan mengetik seperti tak ada hari
esok. Sesekali dia membuka buku, manuskrip, jurnal, kliping,
makalah, mengamati foto-foto lama, lalu menulis lagi, mengetik
lagi. Membaca lagi, menandai dengan stabilo kuning, menulis
lagi. Bergelas-gelas kopi mengisi lambungnya yang sebentar
lagi akan menjerit karena terlalu asam dan musik klasik karya
Ravel sudah bolak-balik menggedor telinganya. Mata Lintang
membelalak sebesar-besarnya menatap belasan lembar pro?
posal yang ditulis dalam bahasa Prancis nyaris sempurna,
yang menggunakan beberapa kutipan yang tepat dan efektif
dari wawancara. Lintang menjelaskan betapa pentingnya
menguak sesuatu yang selama ini dikubur dalam sejarah
Indonesia; betapa pentingnya memberi ruang dan tempat bagi
mereka yang selama ini dibungkam untuk bersuara. Lintang
ingin me?yakinkan, betapa pentingnya dia merekam itu semua
di Indo?nesia, bukan di Paris atau Amsterdam. Nama-nama
narasumber yang diwawancara diurut dari yang dikenal sampai
yang dilupakan sejarah. Ini pagi keempat. Lintang menggeletak di atas sofa, men?
co?ba memejamkan mata sebelum dia harus mandi, bersiap
me?nge?jar Profesor Dupont untuk menyerahkan proposalnya.
Dia tertidur begitu lelap dan hampir saja terlambat saat sebuah
ciuman selembut kapas membangunkannya.
"Nara...," Lintang mengusap-usap matanya. Dia mendadak
Pulang Karya Leila S. Chudori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merasa tenggorokannya kering betul. Jam berapa? Di manakah
dia? "Aku khawatir karena kau tak mengangkat telepon. Aku
tahu kau sedang menulis proposal. Dan aku tahu kau harus
segera ke kampus." Lintang meloncat dari sofa. Puluhan lembar proposal yang
disusunnya terhambur ke udara, dan dia segera berlari ke kamar
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 254
255 LEILA S. CHU DO RI mandi membanting pintu. Nara tersenyum menggelengkan
kepala sambil memungut lembaran proposal itu satu persatu
dan menyusunnya dengan rapi berurutan.
Dia menuang jus jeruk ke dalam gelas dan mulai melipat
lengan hemnya untuk memasak sarapan. Nara tahu betul ke?
kasihnya pasti tidak makan dengan baik dan hanya meng?kon?
sumsi bergalon kafein selama tiga malam berturut-turut.
"Hm, omellette dan sausage? Dari mana pula kau dapat
croissant? Aku belum belanja seminggu ini. Kamu todong
boulangerie1 dari lantai dasar ya?" Lintang masih dalam kimono
lang?sung mencomot seluruh makan pagi yang disediakan Nara
dengan rapi di atas meja.
"Mereka baru saja mengeluarkan croissant pertama dari
oven di pagi ini, langsung aku beli," kata Nara.
"Kau memang malaikat," Lintang mencium Nara, "itulah
sebabnya aku memilih apartemen busuk ini. Karena tiap pagi
aku bisa mencium bau croissant mereka."
"Tapi pagi ini kau bangun karena ciumanku," Nara men?
cium Lintang tak henti-henti. "Masih ada waktukah un?tuk...
membuatmu tidak tegang?"
Lintang tertawa, menyentil telinga kekasihnya, lalu masuk
ke dalam kamarnya untuk berganti baju.
"Proposalmu sudah kurapikan, kumasukkan ke dalam map
hijau," Nara berseru.
"Kau sudah baca?"
"Sekilas. Kan aku menyiapkan sarapanmu. Kelihatannya
lengkap dan sangat berisi. Aku yakin Monsieur Dupont akan
terkesan." Nara membereskan peralatan dapur Lintang yang
kocar-kacir. Lintang sudah siap mengenakan celana panjang, kemeja,
dan scarf batik tipis milik ibunya. "Apa yang saya baca
1 Toko roti. Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 255
256 PU LANG beberapa pekan terakhir, apa yang saya baca dari manuskrip
Ayah, surat-surat yang dia terima, film-film dokumenter resmi
maupun buatan beberapa sineas dokumenter Australia dan
BBC, ini adalah sejarah berdarah terbesar di Indonesia yang
justru dikubur dalam-dalam," Lintang lantas duduk di meja
makan dapur sembari menyambar omelet dan sosis dengan
semangat. Nara mendengarkan sambil mengangguk-angguk.
"Pembantaian yang terjadi terus-menerus di berbagai
bagian Indonesia, perburuan terhadap anggota komunis atau
keluarganya adalah sebuah pengukuhan untuk kekuasaan yang
kekal, yang kuat, dan abadi. Dan konsep Bersih Diri dan Bersih
Lingkungan? Merde!" Lintang berbicara menerobos titik koma
dan tanda seru sambil mengunyah omelete dan mengangkat
garpunya ke udara hingga Nara harus menurunkan tangan
kekasihnya agar garpu itu tidak mencolok matanya.
"Bagus sekali, Sayang. Bersiaplah. Aku antar kau ke
kantor Monsieur Dupont, setelah itu aku harus bertemu Prof.
Dubois." "Ah," Lintang merasa bersalah tak memberikan perha?tian
sedikit juga pada kekasihnya, "dia akan memberi reko?men?
dasi?" "Kelihatannya begitu. Ayo, setelah ini semua selesai, aku
akan menculik dan mengurungmu selama tiga hari di dalam
kamar," kata Nara mencoba menyimpan hasratnya.
Nara menyambar jaket Lintang dan mereka segera berlari
menuju stasiun Metro. Pada saat itu, Lintang tak bisa tidak,
ma?lah berpikir: betapa mudah hidup yang dia lalui. Dia akan
membuat tugas akhir. Kekasihnya akan melanjutkan pen?
didikannya ke Inggris. Paris akan memasuki musim panas se?
bentar lagi. Semua begitu tertata rapi dan apik.
*** Dimas memasukkan amplop besar dan hasil X-ray ke dalam
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 256
257 LEILA S. CHU DO RI sebuah tas besar yang diberikan oleh rumah sakit. Dia ingin
sekali membuang semua hasil tes itu ke dalam tempat sampah.
Plung! Tetapi itu itu terlalu dramatis dan kekanak-kanakan.
Dimas duduk di stasiun Metro memandang tembok Metro
bawah tanah dan tiba-tiba saja dia merasa merasa posterposter itu berisi serangkaian iklan dan peringatan untuk men?
jaga kesehatan: vaksin, penyakit kulit, kanker payudara, HIV.
Dimas heran. Alangkah klise: dia bukan mati karena dieksekusi
seperti Hananto, atau ditendang masuk jurang atau dilempar
ke Bengawan Solo. Dia akan digerogoti perlahan-lahan oleh
penyakit yang dengan kurang ajar tak bisa kasat mata.
Begitu klise, begitu banal, begitu medioker hingga Dimas
merasa untuk memikirkan atau membicarakan topik itu saja
adalah bentuk pengkhianatan bagi umat manusia.
Dimas memegang perutnya yang mulai terpilin-pilin. Dia
mengeluarkan botol obat yang baru saja ditebusnya di rumah
sakit. Dia menenggak sekaligus dua butir. Paris sudah ingin
menyambut awal musim panas.
Dimas menghitung berapa musim panas yang masih akan
ditemuinya. *** Lorong ruangan kuliah umum Universitas Sorbonne selalu
menjadi kenangan bagi Lintang ketika tahun pertama dia
menjejakkan kaki di kampus ini. Kali pertama dia mengenal
Narayana; pertama mengenal belajar bagaimana merekam daun
jatuh di musim gugur dan angin di musim dingin; bagaimana
harus sabar menanti kelopak bunga mekar hanya untuk sebuah
satu rekaman beberapa detik; dan bagaimana mencari kutipan
yang menarik dari orang-orang yang diwawancara untuk film
dokumenter. Tetapi yang lebih penting lagi, berbeda dengan
apa yang dialami di sekolah dasar, Lintang merasa Universitas
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 257
258 PU LANG Sorbonne telah berhasil membuatnya menjadi bagian dari
kehidupan akademis yang tak peduli dengan warna kulit atau
penampilan mahasiswa. Hidup yang begitu bebas, begitu
bebasnya, hingga Lintang merasa ia dan kawan-kawannya di?
ajak terjun dan menukik langsung pada dunia intelektual?isme.
Asyik dan menggairahkan. Tantangan Monsieur Dupont untuk menggali sejarah
dirinya lebih dalam telah membawa Lintang berdiri di sini.
Di koridor ini. Berjalan dari lorong ke lorong menuju kantor
Profesor Didier Dupont, Lintang merasa sedang melalui se?
buah upaya mencapai satu titik tujuan yang asing bernama
Indo?nesia. Pintu terbuka. Lintang mengatur nafas, mengetuk
pintu, dan melongokkan kepala. Didier Dupont melihat wajah
Lintang dan melambaikan tangan agar Lintang masuk.
"Lintang...." "Monsieur Dupont."
Dupont tersenyum lebar. "Luar biasa!" Lintang menghela nafas lega.
"Ah...oui?" Dupont mengangguk-angguk dan mengeluarkan proposal
Lintang dari tumpukan map. "Topik menarik dan unik. Belum
pernah dikerjakan mahasiswa sebelumnya. Sudut pan?dang
yang kau ambil tajam. Meski kau bagian dari korban peristiwa
ini...." "Attendez, Monsieur.2 Saya rasa, saya tak ingin mema?
sukkan diri saya sebagai korban."
Didier Dupont memandang Lintang dengan matanya yang
biru. Mata yang tersenyum, meski bibirnya tak menunjukkan
emosi apa-apa. "Saya paham. Tapi di mata penonton yang
menyaksikan, di mata orang luar, kau tetap korban. Karena
2 Tunggu, Monsieur. Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 258
259 LEILA S. CHU DO RI kamu belum pernah mempunyai kesempatan untuk mengenal
sebagian dari dirimu. Tanah air ayahmu."
Lintang terdiam. "Ini akan menjadi film dokumenter yang luar biasa, asal
kau tepat waktu dan tetap setia pada fokus," Didier Dupont
menghentikan langkahnya. "Monsieur, poin saya yang terakhir..."
"Saya tahu...kamu ingin merekam semua itu di Indonesia.
Menurut saya tidak masalah. Akan saya rekomendasikan ke
kepala departemen. Ada sedikit dana. Mungkin kamu harus
tetap mencari sumber dana lain untuk tambahan."
Lintang ingin sekali memeluk dosen pembimbingnya eraterat. Tetapi tentu saja dia harus menahan diri. Dari sorot mata
Lintang, Didier Dupont bisa melihat ada dua butir bintang
yang berloncatan seperti ingin mencelat keluar dari kantong
matanya. "Akan kuberikan pada mereka, tunggu sehari dua hari, kita
bertemu lagi untuk mengurus hal-hal teknis."
"Merci, Monsieur," Lintang meraup tangan Didier Dupont
dan menyalaminya dengan girang.
"Derien, Lintang."
Dupont memandang Lintang dengan serius, "Film doku?
men?ter itu berkisah tentang manusia, suka-dukanya. C?est la
vie et l?histoire de la vie. Jadi, kamu harus mengerjakan do?ku??
menter ini bukan hanya karena ini tugas dari saya. Tapi harus
dari sini (Dupont menunjuk dadanya). Jangan hanya meng?
gunakan otak...." On ne voit bien qu?avec le c?ur.3
"D?accord, Monsieur."
"Tolong, hati-hati. Indonesia sudah mulai bergolak.
Mahasiswa dan aktivis di banyak kota besar sedang turun ke
3 Dengan menggunakan hati, kita bisa melihat dengan jernih.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 259
260 PU LANG jalan setiap pekan. Kamu harus tetap fokus. Dan yang lebih
penting lagi, kamu harus tepat waktu. Kamu terlambat, artinya
kamu tidak lulus. Vous comprenez?"4
"Je comprends. Merci Monsieur."5
Lintang berlari-lari sepanjang koridor. Dia merasa seperti
akan menggapai sesuatu. Menggapai sesuatu yang selalu asing
di dalam dirinya. Memetik satu dari I.N.D.O.N.E.S.I.A....
*** Nasi kuning, ayam goreng kremes, kering tempe, sambal
bajak teri, urap tabur kelapa. Memang sinting. Lintang akan
ke Jakarta. Tapi dia toh melahap masakan ayahnya itu seperti
seorang narapidana yang sudah dua tahun hanya makan nasi
basi dan garam. Semua dicoba, semua dilahap nyaris tak diku?
nyah. "Makanya jangan berseteru dengan ayahmu sendiri, jadi
kalap begini," Om Nug tercengang melihat Lintang membuat
dua piring licing tandas. Nara menggaruk kepala, karena baru
saja menikmati sepiring kecil risol untuk makanan pembuka.
Dimas keluar untuk mengecek dan menggaruk kepalanya
me?lihat nasi kuning dan lauk-pauknya sudah tinggal piring
belaka. "Mau tambah, Nak?"
Lintang tersenyum lebar. "O Mon dieu," Nara melotot.
Dimas tertawa senang. Dia masuk lagi untuk mengambilkan
makanan yang diinginkan anaknya.
Hanya beberapa menit, masuklah tiga orang lelaki muda,
tampan dan bersih, mengenakan jas, kemeja, dan dasi dengan
4 Kamu paham? 5 Saya paham. Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 260
261 LEILA S. CHU DO RI map di tangan. Risjaf berdiri terpana karena dia tahu betul siapa
mereka. Namun dia tak bergerak dari tempatnya karena tak
tahu apakah dia harus mengeluarkan otot atau mempersilakan
mereka. Roman wajah ketiga anak muda ini sungguh ramah
dan bahkan...lapar. Mereka ke sini untuk makan siang? Nug
menurunkan kacamatanya ke tengah hidung dan memandang
mereka dengan was-was, sementara Tjai untuk sementara
melupakan kalkulator kesayangannya saking terpesona.
"Hai, Raditya, Yos...ayo ayo gabung sini. Sini Hans," Nara
berseru. Risjaf memberi jalan kepada ketiga pemuda ganteng ini,
masih dengan wajah heran. Kecurigaannya semakin menipis
melihat ketiganya bersalaman begitu akrab dengan Nara dan
akhirnya pupus ketika Lintang malah mempersilakan mereka
du?duk dan menggabungkan dua meja menjadi satu sembari
memberikan lembaran menu yang disodorkan Yazir.
"Ini anak-anak KBRI, Sjaf? Mataku ndak salah?" Nug
berbisik. "Yo Mas, aku juga sedang mengidentifikasi," jawab Risjaf.
"Selamat siang...bisa saya bantu?" tiba-tiba Tjai berdiri di
hadapan meja mereka. Lho? Nug dan Risjaf saling memandang.
Yazir langsung mundur teratur karena Tjai maju dengan
perkasa. Sejak kapan Tjai tertarik menemui pengunjung dan
me?nawarkan pelayanannya secara langsung? Tjai adalah
makh??luk yang mencintai kalkulator dan kedisiplinan transaksi
agar pembukuan rapi dan tak ada garis merah. Apa gerangan
pen?dorong Tjai, yang sukar berpisah dengan podium kasir dan
kal?kulatornya itu, untuk bergerak mendekati tiga pria yang
sedang duduk-duduk mengelilingi ?keponakan? mereka yang
cantik itu? "Nasi padangnya enak. Nasi padang saja ya? Kamu juga ya,
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 261
262
Pulang Karya Leila S. Chudori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
PU LANG Nara? Supaya aku bisa comot dari kamu," Lintang menguasai
medan. "Nasi padang Om, empat. Minumnya es nangka ya?
Begini," Lintang mengacungkan jempolnya. Ketiga pemuda
ganteng itu mengangguk-angguk seperti sapi bodoh. Nara
tersenyum membiarkan Lintang memegang kemudi. Tjai
masih berdiri di situ. Tak bergerak memandang Lintang, lalu
memandang Hans, Yos, dan Raditya.
"Oh, Om Tjai...ini Hans, Yos, dan Raditya," Lintang
segera paham bahwa ketiga pria ini harus kulonuwun pada
para pemilik koperasi. Ketiganya berdiri dengan sopan dan
bersalaman. "Itu Om Nug dan Om Risjaf. Satu lagi, ayahku di
dalam sedang memasak. Merekalah Empat Pilar Tanah Air."
Ketiganya mengangguk sopan ke arah Risjaf dan Nug yang
berdiri agak jauh memandang mereka. Risjaf dan Nug mem?
balas anggukan itu. Tjai mencatat pesanan mereka dan pura-pura sibuk me?
nuju dapur. Lintang sudah membayangkan dia kelojotan mela??
porkan kepada ayahnya bahwa ada tiga diplomat muda KBRI
yang sedang duduk satu meja dengan anaknya. Apalagi Om
Nug dan Om Risjaf juga segera menghilang di balik pintu da?
pur. Lintang ingin sekali ikut menyelip ke dapur hanya untuk
men??dengarkan betapa ceriwisnya empat pilar itu untuk kali
per??tama melihat ada ?unsur? pemerintah Orde Baru yang me?
ng?i?njakkan kakinya ke restoran itu.
Hans melemparkan pandangan ke seluruh dinding. Raditya
membaca buku tamu yang tergeletak di depan, membaca pesan
dan dukungan nama-nama besar yang sudah pernah ber?
kunjung ke sana: Rendra, Arief Budiman, Abdurrahman Wahid
dan Ny. Nuriah Abdurrahman Wahid, Dani?lle Mitterrand.
Hanya beberapa menit, tiba-tiba saja Dimas Suryo, ya, Dimas
Suryo sang ayah datang membawa beberapa piring nasi pa?
dang. Lintang langsung paham, tentu sang ayah ingin yakin
anaknya tidak akan dikuliti atau dicederai oleh ketiga pemuda
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 262
263 LEILA S. CHU DO RI ini. Lintang menyimpan senyum geli dan membantu ayahnya
meletakkan lima piring. "Ayah tahu kau pesan empat piring. Tapi kasihan Nara, kau
pasti mengorek-ngorek piring dia," kata ayahnya meletakkan
piring-piring nasi padang itu ke hadapan anak-anak muda itu.
"Ayah, ini Raditya, ini Hans, dan ini Yos...semua teman
Nara." Mereka berdiri serabutan seperti tiga serdadu yang ber?
temu dengan Bapak Jenderal. Dimas menyalami mereka satu
persatu dan mempersilakan mereka duduk dan menikmati nasi
padang. Tapi Dimas tak beranjak dari meja Lintang dan para
tamunya. Dia berdiri dan melipat tangannya. Tanpa senyum.
"Ayah..." "He?" Dimas mengangkat alis.
"Mari makan...Pak Dimas." Raditya dengan gugup meng?
angkat sendok dan garpunya dan belum berani menyantap.
"O silakan, silakan," Dimas melirik ketiga kawannya sudah
berbaris melipat tangan di depan dapur. "Kalau ingin tambah,
ada Yazir." Dimas meninggalkan mereka, masuk ke dalam dapur. Te?
ta?pi ketiga om gayek tetap di sana, mencoba mencari kesi?buk?
an meski ekor mata mereka tetap waspada.
"Sorry," Lintang menggeleng kepala, "mereka agak
protektif. Maklum belum pernah ada orang KBRI yang meng?
injak restoran ini."
"No problem. Sangat paham," Yos melahap rendangnya
tanpa ingin mengangkat wajahnya lagi. Daging rendang yang
empuk itu lumer di lidahnya. Dia bahkan tak ingat apakah
Raditya dan Hans juga sudah menyatukan wajah dengan piring
di hadapannya. Ketiga diplomat muda itu tiba-tiba saja lupa di
mana mereka berada. Rendang, kuah gulai ayam yang merayap
pada nasi putih panas, dan sambal goreng ati yang dicampur
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 263
264 PU LANG dengan kentang. Di pojok piring, Dimas memberikan sambal
hijau padang. Mereka tak peduli mereka di Paris, tak peduli de?
ngan sendok dan garpu. Mereka langsung melahapnya de?ngan
tangan. Masya Allah,mengapa mereka dilarang ke sini?
"Ayah masih ingin memasak sendiri, terutama kalau ada
tamu penting," kata Lintang mencoba membuka pembicaraan.
"Aku sudah lama tak ke sini, makanya Ayah ngotot mau
masak." Ketiga diplomat mengangguk tak peduli dengan penjelasan
itu. Yang penting rendang dan gulai ayam ini dahsyat.
"Kalian bukannya dilarang makan di sini? Aku dengar ada
sele?baran resmi dari Jakarta?" Lintang terus bertanya seolah
ingin mengganggu kenikmatan tiga pengunjung baru itu. Ris?
jaf, Tjai, dan Nug langsung memasang telinga, ingin tahu ja?
wab?an mereka. Hans terpaksa mengangkat kepalanya.
"I don?t give a damn!" jawabnya dengan bibir berminyak,
"Si?apa yang bisa menolak rendang yang dahsyat ini." Hans
kem?bali memasukkan wajah ke piring nasi padang. Raditya
dan Yos sama sekali tak menjawab karena lebih sibuk dengan
gu??lai ayam masing-masing. Lintang tertawa melihat Raditya
men??copot jasnya karena dia mulai berkeringat. Lintang ikut
me?lahap nasi padang itu meski sebelumnya dia sudah meng?
habiskan dua piring nasi kuning.
"Seberapa besar lambungmu, Sayang?" Nara tertawa geli
me?lihat kekasihnya tak berhenti makan sepanjang hari.
Piring-piring sudah licin tandas. Ruangan sudah penuh
asap rokok kretek. "Oh, aku tak ingin kembali ke kantor," Yos bersender dan
memandang asap rokok yang baru saja diembuskannya. Kecuali
Lintang yang masih menikmati es nangka, mereka semua
menikmati rokok seperti tengah menikmati liburan panjang.
Ketika rokok sudah memendek, Hans mengambil se?buah map
dari tasnya, dan mengeluarkan beberapa helai for?mulir.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 264
265 LEILA S. CHU DO RI "Isi saja formulir visa ini dan letakkan namamu Lintang
Utara, tak perlu pakai Suryo."
Lintang mengerutkan kening.
"Lalu, kotak nama keluarga ini?"
"Gunakan nama Utara. For all we care, that is your last
name," kata Yos dengan nada enteng, "yang penting kau mau
masuk Jakarta kan?" Lintang mengangguk dan mulai mengisi formulir visa.
Risjaf dan Nug mulai tenang. Mereka mulai mondar-mandir
keluar masuk ruangan itu mengurus tamu lain sementara Tjai
sudah tenggelam dengan soal angka.
"Aneh," kata Lintang sembari menulis, "first name Lintang,
family name Utara." "Jangan khawatir," Raditya mematikan rokoknya, "pas?
pormu adalah paspor Prancis, jadi mereka tak akan terlalu was?
pada. Kalaupun mereka melihat nama Indonesia, mereka tak
pe?duli juga. Apalagi orang Indonesia, terutama Jawa?kalau
saya bilang Jawa, maksudku Jawa Tengah?jarang menulis
na??ma keluarga. Di KBRI ada yang bernama Hesti Handayani.
Teman kuliahku Retno Sulistyowati. Dan begitulah nama yang
ter?cantum di KTP maupun paspor mereka."
Lintang terpana dengan informasi baru ini. Tetapi dia tak
merasa punya cukup waktu dan energi untuk berdiskusi ten?tang
kebiasaan "tidak menggunakan nama keluarga" di Indonesia.
Pengisian formulir, foto, dan tanda tangan beres. Mereka
kini menikmati pisang goreng sebelum pamit menggelinding
kem?bali ke kantor. Dimas keluar dari dapur karena Lintang me?
manggil ayahnya agar bisa berterima kasih pada tiga diplomat
baik ini. Tetapi Lintang masih penasaran.
"Aku ingin tahu, Yos, Raditya, dan Hans...mengapa...
meng?apa kalian berani melakukan ini. Mengapa kalian mau
mem?bantuku?" Mereka bertiga memandang Narayana. Nara mengangguk.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 265
266 PU LANG Raditya yang semula sudah bersiap akan pergi, duduk kembali.
Apalagi dia melihat Nug, Risjaf, Tjai, dan Dimas juga ikut
menanti jawaban. "Entahlah." "Alah...ceritalah."
"Yang mana?" "Ya semualah." "Oke," Raditya akhirnya mencoba mengumpulkan kebe?
ranian. "Aku merasa zaman harusnya sudah berubah. Sudah
terlalu lama kita dipenjara oleh soal politik masa lalu. Seperti
kau, Lintang, kami semua kan generasi baru yang lahir jauh
se?sudah tahun 1965. We have brains, we have our own minds,
mengapa harus didikte."
"Maksudnya Raditya begini," Hans menambahkan karena
tidak sabar, "setiap diplomat muda, sebelum pos pertamanya
ke luar negeri, harus melalui tes tertulis maupun lisan. Di da?
lam tes tertulis ada pertanyaan, ?Apa yang akan kau lakukan
ji?ka lawan bicaramu mengatakan bahwa dia komunis??"
Lintang melotot. Nara terkesiap. Risjaf, Tjai, dan Nug
meng?angkat kepala. "Apa jawabmu?" Lintang tak sabar dengan gaya bercerita
yang dipotong-potong. Raditya melirik pada kedua kawannya dan tertawa kecil,
"Saya menulis ?that?s none of my business. Everybody has the
right to have their own political beliefs?."
Lintang menutup mulutnya saking terkejut. Dimas dan
ketiga kawannya tertawa terbahak-bahak. Nug bahkan meng?
guncang-guncang bahu Raditya.
"Gila! Lalu kau menjawab apa?" tanya Lintang pada Yos.
"Aku mengosongkan bagian itu. Aku tidak menjawab."
"Aku menjawab: "Nothing. So?"
Ruangan itu kembali penuh dengan tawa gelak mereka.
Dimas tertawa hingga keluar air mata dan sakit perut.
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 266
267 LEILA S. CHU DO RI "Lalu, kalian dihukum?" tanya Nug.
"Ya, Pak. Kami bertiga tidak boleh berangkat tahun itu,"
ja?wab Raditya. "Padahal angkatan kami sudah harus ke pos
masing-masing. Tapi kami bertiga dita?han keberangkatannya
selama dua tahun. Seharusnya saya ke?Inggris, Yos ke Argentina,
dan Hans dapat Kanada. Kami dihukum dua tahun di Jakarta
dan mengerjakan hal-hal yang remeh-temeh. Disuruh ikut
kelas P4." Raditya berkisah bahwa dia mengambil studi politik
di University of Toronto, Kanada ketika ayahnya menjadi
diplomat di sana. "Siapa pun yang belajar politik dengan serius
harus membaca semua buku politik dan ekonomi, termasuk
karya Marx, Engels, dan semua penulis kiri sesudahnya yang
jauh lebih modern. Tapi kami kan juga harus membaca pe?mi?
kiran politik lainnya. Justru karena kami membaca, kami pa?
ham mengapa komunisme gagal di banyak negara. Buat saya,"
Raditya berdiri mengenakan jasnya, "malah aneh me?la?rang
buku kajian komunisme di Indonesia. Karena itu meng?ang?gap
ma?syarakat kita bodoh dan tak bisa menggunakan otak?nya.
Pu?luh?an tahun masyarakat kita dianggap tolol, tak bisa ber?
pikir sendiri." Dimas kini paham mengapa para diplomat yunior itu berani
datang ke Restoran Tanah Air dan tidak peduli larangan resmi
dari Jakarta. Bukan hanya persoalan lezatnya rendang dan
gu?lai ayam buatannya. Tetapi ini adalah generasi baru yang
merasa tidak bisa didikte oleh sesuatu yang mereka anggap
tidak rasional. Mereka adalah generasi baru yang cerdas, yang
mulai berani berpikir mandiri.
Hans dan Yos ikut berdiri.
"Hans, kami mengikuti di tanah air...," Nug mencoba me?
na?han mereka sebelum pergi, "di beberapa kota besar se?dang
ada demonstrasi besar-besaran. Bukan hanya karena BBM
naik, tapi rangkaian dari tahun lalu setelah dolar dilepas, kabi?
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 267
268 PU LANG net dirombak." "Ya, ada terminologi yang sedang populer: KKN," kata
Risjaf. "Apa Presiden tetap akan pergi ke Kairo?" tanya Dimas.
"Kelihatannya begitu, Pak...situasi memang sedang kacau
sekali. Lintang, hati-hati di Jakarta. Take care."
"Terima kasih Hans, Radit, dan Yos...terima kasih."
Raditya, Hans, dan Yos bersalaman dengan Dimas dan
kawan-kawan, "Saya yakin suatu hari akan ada perubahan,
Pak," kata Yos ketika Dimas memeluk mereka satu persatu.
Sekali lagi, Lintang merasa dia diberkahi begitu banyak
kemudahan di antara absurditas I.N.D.O.N.E.S.I.A.
*** Hanya seminggu kemudian, paspor Lintang sudah lengkap
dengan visa Indonesia. Hari sudah senja. Dimas dan kedua
hambanya sedang mempersiapkan makan malam untuk
tamu. Risjaf dan Tjai sudah mulai bersiap untuk tamu-tamu
yang ingin makan malam. Lintang baru saja minum kopi dan
menikmati pisang rebus bersama Vivienne dan Nara. Nara
menengok arlojinya lalu menghabiskan kopinya.
"Lo, kau mau kemana? Tidak ikut makan malam?" Risjaf
heran melihat Nara berberes-beres ransel.
"Saya banyak paperwork, Om. Perihal ke Inggris. Besok
harus bertemu tiga orang dosen."
"Jadinya ke universitas apa, Nak?"
"Cambridge, Om."
Risjaf memperlihatkan jempolnya. Nara mencium pipi
Lintang dan pamit dengan Vivienne.
"Maman, apa Ayah juga bilang pada Maman dia hanya
infeksi lever belaka?" Lintang berbisik-bisik.
"Ya. Kenapa?" Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 268
269 LEILA S. CHU DO RI
Pulang Karya Leila S. Chudori di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lintang mengangkat bahu, "Saya kurang percaya...."
Vivienne menatap pintu dapur. Kepala Dimas terlihat dari
jendela dapur. Dia juga merasa demikian. Dimas nampak me?
nyembunyikan hasil tes kesehatan yang diterimanya.Na?mun
Vivienne merasa tak berhak untuk mencampuri sikap Dimas
dengan tubuhnya. Dia bukan lagi isterinya. Tapi...
"Kau tunggu di sini. Maman akan coba gali sedikit. Mudahmudahan dia mau terus terang, meski Maman tak yakin," Vivi?
enne berdiri dan menuju dapur.
Ketika Vivienne menghilang ke dapur, ketiga om langsung
duduk melingkari Lintang dan menanti hingga gadis itu selesai
dengan potongan terakhir pisang rebus kesukaannya.
"Ini daftar nama dan alamat serta nomor telepon kawankawan kami dan ayahmu. Sebagian sudah Om email, sebagian
lagi masih terlalu tradisional jadi terpaksa kami kirimi surat,"
kata Tjai yang paling rapi dan teorganisir.
Lintang membaca satu-persatu dan menandai beberapa
nama yang sudah dia hubungi.
"Lintang, ini daftar restoran yang harus kau kunjungi sean?
dainya kau ada waktu," kata Nug. "Dulu ada yang nama?nya
restoran Padang Roda...coba tengok, masih adakah res?toran
itu. Juga kunjungi Pasar Senen, itu tempat kami semua duduk
ngobrol dan ngopi." "Ah, sudah hancurlah tempat itu," kata Risjaf yang sudah
pernah ke Indonesia beberapa kali, "sudah berbeda Mas Nug."
"Yang penting kunjungi keluarga Om Hananto almarhum,
Lintang. Tante Surti...."
"Kenanga, Bulan, Alam...ya sudah saya catat semua," Lin?
tang memotong kalimat Om Nug dengan sedikit hentakan yang
untung saja tak disadari Nug yang terlalu sibuk mencari-cari
alamat beberapa kawan yang akan diberikan pada Lintang.
Lintang masih belum bisa memutuskan bagaimana pera?saan?
nya terhadap keluarga ini. Ada sesuatu yang rumit dan aneh
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 269
270 PU LANG antara ayahnya dan keluarga itu. Hubungan ayahnya dengan
Om Hananto almarhum; lantas hubungan ayahnya dengan
Surti (bagaimana dia harus memanggilnya? Tante?). Ada apa
dengan segitiga ini? Di mana letak Maman dan Lintang dalam
segitiga yang aneh ini? Lalu, Kenanga, Bulan, dan Alam. Tiga
nama itu terasa begitu dekat dengannya karena Lintang sudah
membaca surat-surat mereka. Mengapa Ayah merasa jauh
lebih bertanggung jawab atas kehidupan mereka dibanding,
katakanlah, atas anak-anak keluarga tapol lainnya?
Lintang masih mempelajari nama-nama dan alamat yang
diberikan Om Tjai dan Om Nug ketika Dimas keluar dari dapur
bersama Vivienne. Semua mata memandang mereka. Nug tak
tahan tidak menggoda pasangan aneh yang masih saling men?
cintai ini. "Kalau kalian masih remaja, pasti sudah ada ratusan ejekan
yang bisa kulontarkan pada kalian...misalnya, habis ngapain?
Lama amat di dalam."
Dimas melambaikan tangannya menunjukkan bahwa
tidak ada yang penting, "Vivienne menodong aku tentang hasil
kesehatanku, menyangka aku sakit berat!" Dimas menggerutu,
"Masakan dia tak terima, usia senja aku masih sehat, segar,
dan ganteng?" Vivienne mengangkat bahu dan duduk kembali di samping
Lintang. "Gagal," bisik Vivienne. Lintang tersenyum, "Aku akan
coba, Maman. Besok kami berjanji makan siang dan jalan-ja?
lan ke warung buku Antoine Martin."
Vivienne mengangguk, meski tak banyak berharap.
"Lintang, Om mau pesan, kalau kamu bertemu dengan
siapa pun dari pihak pemerintah Orde Baru, jangan langsung
anti?pati. Banyak sekali yang membantu kita. Banyak sekali,
sama seperti tiga diplomat tadi, yang bahkan mengirim
bantuan finansial, atau diam-diam mempekerjakan anak-anak
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 270
271 LEILA S. CHU DO RI eks tapol di kan?tornya...jadi Lintang harus bersikap netral
sebagai maha?siswa peneliti, oke?" Om Risjaf memberi petuah.
Lintang meng?angguk-angguk.
"Om Aji akan menjelaskan pemetaan padamu," Dimas
meng?elus rambut puterinya, "rata-rata anak-anak kawan kita
banyak yang bekerja di media-media dengan nama samaran."
"Kau tak bercerita tentang Rama, puteri Dik Aji, Mas?"
Mas Nug bertanya heran. Dimas menggosok dagunya yang tidak gatal, "Nanti biar
Dik Aji saja yang bercerita. Lintang kan akan tinggal di sana."
Mereka semua terdiam. Lintang melirik kiri-kanan tak
memahami apa yang terjadi dengan sepupunya.
"Jadi, tiket dan visa beres? Kaset, tape recorder, laptop,
notes, pena semua beres?" tanya Dimas membelokkan topik.
Lintang mengangguk, "Tinggal mengepak."
"Sebelum mengepak," Nug mengeluarkan sebuah amplop
cokelat yang agak gemuk, "ini dari kami semua. Masih dalam
franc, kamu nanti tukar sendiri di Jakarta ya."
"Iki opo to?" Dimas mengerutkan kening.
"Jumlahnya tak terlalu banyak, Lintang," kata Om Risjaf,
"ta?pi lumayan buat jajan. Bagi kami semua, kamu adalah
anak," kata Risjaf. Lintang memandang ketiga wajah Om ber?
gan?tian. Tjai mengangguk membenarkan ucapan Risjaf. Ini
gila. Lintang tahu, mereka bukan orang yang kaya raya.
"Om, saya sudah dapat dana dari sekolah. Saya juga punya
tabungan kan saya bekerja part-time dan Maman..."
"Kami tak bisa menginjak Jakarta, Lintang. Hanya Om
Risjaf yang berhasil ke sana. Jadi Lintang akan menjadi mata
dan telinga kami," air mata Om Nug mengambang. Tenggorokan
Lintang mendadak tercekat. Dia memegang tangan Om Nug.
"Tolong Lintang, tengok Bimo dan ceritakan padanya bah?
wa Om sehat dan masih sama mudanya seperti saat Om me?
ning?galkan dia 34 tahun yang lalu. Katakan Om masih sama
Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 271
272 PU LANG gantengnya seperti saat bertemu di Singapura 15 tahun yang
lalu. Meski kami cukup rutin saling berbincang melalui tele?
pon, saya tak bisa sering-sering bertemu dengannya. Terlalu
mahal ke Eropa. Tolong foto dia sebanyak-banyaknya," suara
Om Nug semakin serak. Dimas ikut berkaca-kaca. Om Tjai dan Om Risjaf pura-pura
sibuk mengambil gelas dan piring, dan mencoba tak ter?lihat
mereka mengusap air mata sialan yang mengalir. Vivienne
memegang tangan Om Nug. "Lintang pasti akan menemui Bimo. Dia bersahabat de?
ngan Alam. Saya dengar mereka sedang berusaha datang ke
Eropa untuk Konferensi Hak Asasi Manusia di Den Haag De?
sem?ber nanti," Vivienne yang selalu rasional biasanya bisa
mene?nangkan hati. Nug mengangguk-angguk mengusap air matanya, lalu
tertawa kecil, "Iya, iya, dia sudah bilang tanggal 10 Desember
tahun ini, dia akan datang ke Den Haag bersama Alam dan
beberapa kelompok LSM. Setelah itu dia akan meloncat kemari
ber?sama Alam. Saya mencoret kalender setiap hari, meng?
hi?tung berapa bulan dan berapa hari lagi aku akan bertemu
dengan bocah lanangku."
"Dia sudah tidak bocah. Dia sudah menjadi lelaki muda
yang ganteng seperti ayahnya," kata Risjaf menepuk-nepuk
bahu Nug. Dimas memeluk bahu Nug, tak berkata-kata.
"Baik Om, saya pasti melaporkan isi Jakarta. Terima ka?
sih untuk isi amplop ini," Lintang memeluk ketiga pilar yang
begitu kuat dan begitu teguh. Seandainya ia memiliki barang
sehelai saja kekuatan mereka untuk memasuki Jakarta, Lin?
tang merasa siap untuk meluncur ke sebuah dunia asing yang
dise?but sebagai tanah airnya.
*** Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 272
273 LEILA S. CHU DO RI Cimiti?re du P?re Lachaise, Mei 1998
Dimas dan Lintang berjalan mengamati deretan makam
yang cantik dan megah itu. Di depan makam penyanyi ?dit
Piaf yang sederhana (hitam dan bersalib), di depan makam
Marcel Proust, mereka berjalan seolah mereka adalah fl?neur
yang te?ngah menikmati keindahan kematian yang diabadikan
da?lam bentuk yang cantik. Kematian yang dirayakan dengan
pu?isi, bunga, dan pohon rindang yang meminjamkan bayangba?yang?nya untuk kesejukan. Dimas tak tahu mengapa mereka
me??milih mengunjungi pemakaman untuk mengisi hari per?
pisahannya dengan puterinya.
Hari itu mereka memilih titik-titik Paris mana saja yang
ingin mereka kunjungi. Tanpa rencana rapi, tanpa agenda,
tan?pa peta. Sebelumnya, mereka sudah menikmati makan
siang yang sederhana di salah satu warung daerah ?le StLouis sembari menertawakan kegilaan mereka yang bersedia
membuang duit begitu banyak untuk menikmati makan siang
atau makan malam di La Tour d?Argent yang dianggap sebagai
restoran paling tua dan paling mahal di Paris.
"Mengapa Balzac, Dumas, hingga penulis di masa modern
menganggap La Tour d?Argent tempat yang penuh inspirasi,
Ayah tak akan pernah paham," Dimas menggelengkan kepala.
Me?reka berjalan-jalan dulu ke tepi Sungai Seine menemui
Anto?ine Martin, berbincang sekaligus pamit sembari meng?o?
rek-ngorek buku bekas dan vinyl jualannya.
"Kau akan pergi begitu jauh. Kucarikan bacaan untukmu,"
kata Antoine sambil menggigit rokoknya dan mencari-cari
sesuatu yang tepat untuk Lintang, lalu dia memberikan kum?
pulan puisi T.S Eliot, The Waste Land. "Gratis untukmu," kata
Antoine. Lintang tertawa. Dia sudah punya kumpulan itu,
tetapi dia mengucapkan terima kasih. Mungkin dia akan mem?
bawanya, karena miliknya sudah busuk, penuh coretan dan
ber?antakan. Pulang Isi-semua (minus 220-275).indd 273
274 PU LANG Setelah membeli beberapa buku bekas itulah mereka per?
lahan berjalan menyusuri Sungai Seine dengan beberapa buku
bekas di tangan, memikirkan betapa sungai ini, yang sudah
digerayangi turis dan kamera para fotografer dan sineas, bisa
bercerita bahwa begitu banyak cerita di antara desir air yang
menjadi saksi tentang kedatangan Dimas dan kawan-kawannya
ke kota itu. Kota besar yang berisi sastrawan, filsuf, sineas,
desainer, model, arsitek terbesar dan terkemuka di dunia.
Tetapi paling tidak Sungai Seine diperkosa seperti halnya
Bengawan Solo. Betapa manusia telah mengkhianati alam
Serikat Kupu Kupu Hitam 2 Pendekar Rajawali Sakti 2 Bidadari Sungai Ular Seruling Sakti 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama