Rahasia Ibu Karya Bambang Joko Susilo Bagian 1
RAHASIA IBU BAMBANG JOKO SUSILO Editor: Abdul Qadir Shaleh
Proff Reader: Abdul Aziz Safa
Desain Cover: Yudi Herwibowo
Setting/Lay-out: Ari Penerbit: DIADIT MEDIA Jl. Kramat Pulo No. 12 C Komp. Maya Indah
Jakarta Pusat Phone/Fax. 021-3923044 Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
ISBN: 979-3957-46-8 Cetakan I, April 2006 Daftar Isi Doa untuk Ibu Kado Perkawinan Bik Gendut
Rahasia Ibu Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Kuburan di Pinggir Jalan Rumah dalam Perut Mang Ocep Tukang Kebun yang Lucu
Kaca Mata Seorang Pelupa Cita-cita Rahasia Keluarga Pabrik Boneka Gitar dari Pak Presiden Tentang Penulis Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Doa untuk Ibu SEKARANG pukul sebelas malam. Ibu belum juga pulang.
Aku benar-benar dibuat gelisah. Entah, telah berapa
banyak buku cerita kubaca, tapi tak satu pun yang
masuk ke otak. Justru kegelisahanku bertambah. Tidak
biasanya aku mengalami seperti ini. Tentu ini ada
hubungannya dengan mimpiku kemarin malam. Mimpi
yang amat mengerikan, sehingga aku takut
menceritakannya kepada siapa pun.
Malam semakin larut. Tapi Ibu belum juga pulang. Ia
pergi sudah sejak sore tadi. Katanya ingin ke rumah
sahabatnya untuk menghadiri undangan. Entah
undangan apa. Tapi mengapa hingga pukul sekian
belum juga pulang? Padahal Ibu berjanji pukul tujuh
sudah sampai di rumah. Apakah ia mendapat halangan
di jalan? Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Inilah yang membuatku gelisah. Kalau halangan itu
terjadi tepat seperti mimpiku, ah... betapa mengerikan!
Tanpa terasa bulu romaku berdiri. Ya, Tuhan...
selamatkanlah Ibu! Adikku yang paling kecil menangis merengek-rengek
memanggil Ibu. Dia memang biasa menangis kalau
ditinggal Ibu dalam waktu cukup lama. Apalagi malam
seperti ini yang biasanya kami gunakan untuk
berkumpul di ruang keluarga menyaksikan acara
televisi. Tapi kali ini tangisnya kurasakan aneh. Kuhibur
adikku itu dengan kata-kata manis, dan dengan berbagai
mainan. Sialnya, dia tetap saja menangis sambil
memanggil-manggil Ibu. "Ibu kemana, Kak? Ibu kemana? Huu..uuu...!" tanyanya
di sela-sela tangisnya. Adik bontotku itu masih kecil,
baru berumur empat tahun.
"Ibu baru ke pasar membeli oleh-oleh buat Ninuk.
Sebentar lagi pasti pulang," jawabku. Dan aku sendiri
tersentak mendengar perkataan 'pulang' yang meluncur
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
secara tiba-tiba dari mulutku. Pulang.? Pulang
kemanakah Ibu? Aku jadi gelagapan.
"Ibu tidak ke pasar!" adikku yang nomor tiga, yaitu si
Upik, tiba-tiba menyela. "Ibu tadi bilang ingin ke rumah
sakit," lanjutnya. Aku cepat-cepat berpaling kepada Upik yang baru
duduk di kelas 2 SD itu. Kutatap ia tajam-tajam.
Mendadak hatiku bertambah ciut. Ke rumah sakit?
Astagaa! Kata 'rumah sakit' itu benar-benar
mengagetkan diriku. Persis mimpiku kemarin malam.
Mimpi yang sangat mengerikan! Setelah Ibu mendapat
kecelakaan di jalan, ia segera dilarikan ke rumah sakit,
begitulah mimpiku. Ibu setiap kali bepergian memang sering berkata ingin
ke rumah sakit kepada adik-adikku supaya tidak ikut.
Biasanya mereka takut mendengar kata 'rumah sakit'.
Apalagi kalau ada tambahan kata 'dokter' dan alat
'suntik'nya. Tapi bagaimana kalau perkataan yang
digunakan untuk mengelabui itu kali ini menjadi
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
kenyataan? Artinya Ibu benar-benar dibawa ke rumah
sakit? Ya, Tuhan ... tolonglah Ibuku ... selamatkanlah dia Aku
terus berdoa. Adikku, yang berjumlah lima orang itu,
duduk mengelilingiku. Semuanya ikut berdoa. Hanya
Ninuk yang terheran-heran. Ia duduk terbengongbengong memandangi kami. Akhirnya ia pun ikut-ikutan
mengangkat tangan, sehingga suasana menjadi hening
dan khusuk. Ya, kami semua berdoa untuk keselamatan
Ibu. Aneh, sepertinya Ibu sedang bepergian jauh saja.
Padahal rumah sahabatnya itu hanya dua kali naik oplet
jaraknya dari rumah kami. Tapi kepergian Ibu kali ini
kurasakan lebih jauh dari daerah mana pun, sehingga
kami benar-benar perlu berdoa demi keselamatannya.
Aku bertanya, seandainya Ibu benar-benar
mendapatkan kecelakaan dan 'pergi' seperti dalam
mimpiku kemarin malam, bagaimana hidup kami nanti?
Sedangkan Ayah telah meninggal dua tahun yang lalu,
juga dalam kecelakaan lalu lintas. Semenjak itu Ibu
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
menjadi tumpuan hidup kami. Ibulah yang bekerja keras
membanting tulang menghidupi anak-anaknya,
membiayai sekolah kami, dan mengongkosi keperluan
hidup lainnya. Ya, seandainya Ibu tiada, apakah yang dapat kuperbuat?
Akan kuapakan adik-adikku yang jumlahnya empat
orang dan masih kecil-kecil itu? Sanggupkah aku
menghidupi mereka? Oh, Tuhan, Engkau Maha Pengasih lagi Penyayang ...
hindarkanlah Ibu dari hal-hal yang buruk. Kami terus
bedoa dengan khusuk. Aku sendiri tidak tahu mengapa kali ini jiwaku benarbenar tercekam, cemas dan berada di puncak
kegelisahan. Inikah yang namanya firasat?
Aku berusaha keras untuk tidak mempercayai firasat.
Dan aku mencoba menghilangkan segala bayangan
buruk. Namun setiap kali bayangan itu kubuang jauhjauh, setiap kali itu pula ia semakin melekat di pelupuk
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
mata. Ya, sebuah bayangan mengerikan seperti
mimpiku kemarin malam. Ketika aku dan adik-adikku sedang khusuk-khusuknya
berdoa, tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara ketukan di
pintu. Cepat-cepat aku bangkit dan berlari membuka
pintu. Di depan pintu itu berdiri Pak Jayat, tetangga
sebelah rumahku. Aku kecewa. Kukira yang datang itu
Ibu, ternyata bukan. Adik-adikku segera ikut berdiri
menghampiri Pak Jayat. "Sedang apa kalian?" tanya Pak Jayat.
"Sedang menunggu Ibu," jawabku langsung
saja. "Memangnya Ibumu ke mana?"
"Pergi kondangan," jawabku.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Tidak. Ibu tidak pergi kondangan. Ibu ke rumah sakit!"
sahut Ninuk tiba-tiba, dengan suara agak keras.
Kami seperti tersentak mendengar jawaban itu. Semua
mata segera menatap ke arah Ninuk. Lalu bayangan
buruk itu kembali hadir di hadapanku, membuatku
cemas. Ketika kami sedang berpandangan, tiba-tiba pintu pagar
terkuak. Kami semua menoleh ke depan. Di halaman,
berdiri... Ibu! Aku tertegun sejenak. Ibu membawa
bungkusan besar. Semua nampak terpana. Namun serta
merta aku dan adik-adikku lari berhamburan ke arah
Ibu, merangkulnya dan menangis terisak-isak.
Ibu tercengang-cengang. "Ada apa ini? Ada apa ini?"
tanya Ibu kaget sehingga bungkusan kue martabak yang
dibawanya terjatuh. Tapi aku tidak peduli. Aku
menangis karena lega, gembira dan entah perasaan
apalagi yang sukar kulukiskan. Sepertinya aku baru
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
terlepas dari mulut buaya se-telah dikejar-kejar
harimau. Tuhan, terima kasih atas rahmatMu. Doa kami Engkau
kabulkan! Kado Perkawinan Bik Gendut
AKU punya seorang Bibik yang tinggal di desa. Bik
Gendut panggilannya. Hampir setiap minggu Bibik
datang ke rumah kami. Setiap kali datang ia membawa
oleh-oleh banyak sekali. Ada kue onde-onde, juadah,
bangkwang, ubi, nanas, dan tak ketinggalan dua ekor
ayam. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Ini buat Ine, buat Tuti, buat Wulan dan, Iwan,"
demikian Bik Gendut berkata sambil membagikan oleholeh itu kepada kami.
Kami mengelilingi Bik Gendut persis orang berebut
tanda tangan. Mencium tangannya satu per-satu. Lalu
segera membawa oleh-oleh itu ke belakang, termasuk
ayam. Dua ekor ayam itu, kata Bik Gendut, harus
dipelihara baik-baik supaya menghasilkan telur.
"Daripada kalian beli telur ke warung, lebih baik ambil
telur sendiri di kandang. Uangnya bisa ditabung,
bukan?" demikian nasihat Bibik. Ia memang terkenal
hemat. Bik Gendut adalah adik kandung Ibu. Ia merupakan anak
terbungsu dari lima bersaudara. "Bibik sering datang
kemari karena ingin melepas kerinduannya pada kalian.
Karena itu, sayangilah Bibik," kata ibu.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Kasihan Bibik. Ia tinggal seorang diri di desa bersama
Nenek. Ia belum bersuami. Tentu ia sering merasa
kesepian. "Kapan kawin, Bik?" tanya Tuti suatu hari.
"Nanti kalau sang Arjuna sudah pulang dari berburu!"
jawab Bibik. "Ah, Arjuna mana yang mau sama gadis endut?" olok
Iwan. Wajah Bibik cemberut, dan kami tertawa tergelak-gelak.
Untunglah Bibik tidak marah oleh canda Iwan yang
keterlaluan itu. "Biarin gendut, yang penting dompetnya juga ikut
gendut. Kalau tidak, bagaimana Bibik bisa membelikan
oleh-oleh buat kalian?" demikian jawab Bibik. Setelah
itu ia ikut tertawa-tawa.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Demikianlah, Bibik tetap rajin datang ke kota untuk
menjenguk kami. Kebiasaannya membawa oleh-oleh itu
tak pernah ketinggalan. Alangkah senang hati kami.
"Bagaimana ayam-ayam yang kubawa kemarin? Apakah
sudah bertelor?" tanyanya suatu hari.
"Semuanya tidak ada yang mau pelihara ayam, Bik,
kecuali Wulan!" jawab Tuti.
"Kenapa tidak Iwan saja? Dia kan anak lelaki?" kata
Bibik. "Iwan gak tahan sama bau tainya, Bik!" jawab Iwan
sambil menutup hidung. "Curang kamu. Ogah bau tahi ayam tapi hampir setiap
hari makan telur dadar!" protesku.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Iwan hanya cengar-cengir.
"Wah, kamu tidak boleh begitu, Iwan. Lain kali harus
kau bantu kakakmu Wulan membersihkan kandang,"
nasehat Bibik. "Ogah ah. Iwan mau sama kue onde-onde Bibik saja!"
sahut adikku yang bandel itu.
Kami terpaksa tertawa. "Biar saya saja yang mengerjakan, Bik. Wulan suka kok
beternak ayam," ujarku.
"Bagus, Wulan. Ingat, Nenekmu di desa adalah saudagar
telur. Semoga kelak kau bisa mencontohnya. Nanti
kalau ayam itu bertelur, kau akan rasakan hasil jerih
payah keringatmu," kata Bibik.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Insya Allah ayam itu akan segera bertelur, Bik. Kemarin
kulihat berkali-kali ia dikawini ayam jago di kebun
belakang," jawabku. "Bagus. Jangan lupa, bila telurnya kau jual, uangnya
harus kau tabung!" nasihat Bibik.
Aku hanya mengangguk. "Ayam saja bisa kawin berkali-kali, tapi kenapa Bibik tak
Rahasia Ibu Karya Bambang Joko Susilo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menikah-menikah?" tanya Iwan tiba-tiba.
"Bibik sedang menunggu Arjuna pulang dari berburu,"
jawab Bibik, singkat. "Ah, Arjuna mana yang mau kawin sama gadis yang
bertambah endut?" olok Iwan lagi.
Mendengar gurauannya itu, kami dibuat tergelak-gelak.
Sedangkan Bibik hanya senyum-senyum mendengar
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
canda Iwan yang memang keterlaluan itu. Untunglah,
lagi-lagi Bibik tak marah. Memang tubuh Bibik
belakangan ini kulihat bertambah gemuk.
Tapi semenjak Iwan mengeluarkan olok-olok kedua
kalinya itu, kini Bik Gendut tidak datang-datang lagi ke
kota. Kami merasa kuatir. Ada apa gerangan dengan
Bibik? Marahkah ia? Kami dibuat bertanya-tanya.
Ataukah ia sedang sakit? Mengapa tidak ada kabar?
Biasanya, kalau Bibik tidak bisa datang, ia selalu
mcmberitahu kami lewat telepon. Tapi sudah beberapa
bulan ini tidak ada telpon dari Bik Gendut. Sementara
kami tidak bisa meng-hubungi Bibik, sebab rumahnya di
desa belum di-pasangi telpon. Bibik sendiri setiap kali
nelpon selalu lewat wartel.
Entah mengapa, tiba-tiba rasa kangen berke-camuk
dalam benak kami. Terutama kangen dengan oleh-oleh
kue onde-ondenya yang lezat itu.
"Jangan-jangan Bibik sakit," kata Tuti.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Ah, mana mungkin orang sesehat itu bisa sakit?"
tukasku. "Siapa tahu? Gajah saja bisa mati kemasukan semut!"
kata Ine pula. "Bibik tidak sakit," sahut Iwan tiba-tiba. "Mungkin ia
hanya bertambah gendut saja, sehingga saking
gendutnya tak bisa berjalan kemari," sambungnya.
Mendengar gurauan Iwan itu, kami tertawa.
*** SORE itu tiba-tiba kami mendapat kabar dari Ayah
bahwa Bik Gendut besok akan melangsungkan
perkawinan. Mendengar kabar tersebut kami kaget
bukan main. Mengapa begitu mendadak?
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Besok kita semua kesana untuk menghadiri
pernikahannya. Bawalah kado seperlunya!" kata Ibu
pula. Segera kami dibuat sibuk mencari kado yang tepat
untuk Bik Gendut. Tuti, kakakku nomor satu, kulihat
pergi ke Toko Prapatan. Ia membeli seperangkat alat
makan. Ada piring, sendok dan gelas. Ine, kakakku
nomor dua, membungkus kain kebaya. Kain itu
dibelinya di toko batik. Bibik tentu akan senang
menerimanya. Kedua kakakku itu memiliki uang karena
rajin menabung. Lalu Iwan, adik bungsuku yang paling
bandel itu, sibuk mengotak-atik mobil-mobilannya yang
belum begitu rusak. Ia mengelapnya hingga mengkilat
kembali. "Lho, kok kadonya mobil-mobilan?" tanyaku heran
ketika Iwan membungkusnya dengan kertas kado.
"Buat anak Bik Gendut kalau sudah lahir nanti. Mudahmudahan anaknya lelaki!" jawabnya sambil menyeka
peluh yang meleleh di dahinya.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Aku tersenyum geli dalam hati. Ah, Iwan, Iwan ... kau ini
aneh. Anak belum lahir kok sudah diberi kado.
Beginilah kalau pemberitahuan datangnya terlalu
mendadak. Coba kalau kami mengetahui seminggu atau
beberapa hari sebelumnya bahwa Bibik akan menikah,
tentu kami dapat memper-siapkan hadiah-hadiah yang
lebih menarik. Ah, Bibik barangkali ingin membuat
kejutan dengan pemberitahuan mendadak ini, demikian
batinku. Tapi aku sendiri akhirnya dibuat pusing. Belum
kutemukan hadiah yang tepat untuknya. Aku tak
mungkin bisa membeli barang-barang berharga seperti
kakak-kakakku, sebab aku tak punya uang berlebih.
Tabunganku sudah habis kubelikan buku-buku cerita.
Seandainya tersisa maka tak mungkin cukup untuk
membeli perkakas makanan seperti yang dibeli Kak Tuti,
atau kain batik seperti milik Kak Wulan. Apa dayaku?
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba kutatap buku-buku
cerita koleksiku. Bagaimana kalau Bibik kuhadiahi bukubuku itu saja? Ini mungkin hadiah yang tepat, demikian
pikirku. Tapi, bagaimana kalau Bibik tak hobi membaca?
Lagi pula, koleksi buku ceritaku kebanyakan cerita anakanak. Mana mungkin Bibik senang membaca cerita
anak-anak? Saat menatap buku-buku itu, tiba-tiba
sebuah ide baru muncul di kepalaku. Tentu ada buku
lain yang lebih tepat untuk Bibik!
Maka sore itu, dengan uang yang masih tersisa dalam
dompet, aku pergi ke toko buku. Di sana kulihat jejeran
buku yang jumlahnya ribuan. Mataku segera terpaku
pada sebuah buku berjudul "Pernikahan Islami,
Membentuk Keluarga Sakinah". Ah, inilah buku yang
tepat itu, demikian lonjakku. Segera kubeli ia. Harga
buku, betapapun lebih murah dibandingkan selembar
kain ba-tik, tapi isinya kukira lebih berharga dari
segalanya. Sesampainya di rumah, kubungkus buku itu dengan
kertas kado yang rapi. Tak lupa di dalam-nya kulampiri
secarik kertas berisi puisi tulisanku sendiri. Puisi itu
bunyinya begini: Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Selamat menempuh hidup baru, Bik Gendut
Selamat menyibak kabut Hanya buku ini yang dapat kupersembahkan
untuk perkawinan Bik Gendut
Semoga isi dompet Bibik tambah gendut
Dan semoga rukun selalu sampai kakek ninen...
Salam sayang, Wulan. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Sebelum kumasukkan ke dalam bungkusan, kubaca
sekali lagi puisi itu. Aku tertawa sendiri dalam hati. Aku
yakin Bibik senang pula membacanya.
*** ESOK harinya, tepat pukul sembilan pagi, kami
berangkat dengan kereta. Rumah Bibik cukup jauh.
Seturun dari stasiun, kami masih harus naik bus lagi
untuk menuju ke desanya yang terletak di kaki sebuah
bukit. "Pasti suami Bik Gendut tampan seperti Arjuna," celetuk
Tuti di kereta. "Iya, soalnya Bibik sendiri juga cantik," tambah Ine.
"Tapi sayang...," potong Iwan.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Kenapa?" hampir bersamaan kami bertanya sambil
menoleh ke arahnya. "Endut!" jawab Iwan.
Dan kami tertawa terpingkal-pingkal di dalam kereta itu.
Dalam perjalanan tersebut kami terus menerka-nerka
dan membayangkan bagaimana rupa Arjuna Bik Gendut
yang sudah lama dinanti oleh Bibik pulang dari berburu
itu. Selelah hari agak sore, barulah kami sampai di desanya.
Perkawinan Bik Gendut ternyata dirayakan besarbesaran. Ada pentas musik tradisional di panggung.
Bahkan malamnya akan diadakan pertunjukan wayang
golek. Banyak tamu yang datang.
Begitu tiba di dalam, kami segera ternganga-nganga
melihat penampilan Bik Gendut. Meskipun gendut, Bibik
nampak cantik sekali hari itu, bahkan seperti bidadari
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
yang baru turun dari kahyangan. Ia duduk
berdampingan di kursi pengantin bersama seorang
lelaki gagah bertubuh tinggi besar, berkumis melintang
dan dadanya berbulu lebat.
"Ini mah bukan Arjuna," bisik Iwan di tengah-tengah
keramaian perayaan pernikahan itu sambil melirik ke
pengantin lelaki. "Lalu siapa?" tanya kami hampir bersamaan.
"W e r k u d a r a.... alias Bima Sena!" jawab Iwan.
Sekali lagi kami tertawa. Iwan memang paling bisa
membuat banyolan. Segera kami masuk dan menyalami Bibik. Bik Gendut
memeluk dan menciumi pipi kami satu persatu. Bibik
menangis terisak-isak. Air matanya menetes melihat
kedatangan kami. Air mata bahagia.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Kami sangat terharu. SEMINGGU kemudian, ketika aku sedang membaca
buku di beranda rumah, Kak Tuti memanggil-manggilku.
"Ada telpon dari Bik Gendut. Cepat!" teriaknya dari
ruang tengah. Terburu-buru aku mengambil gagang telpon itu.
"Assalamualaikum. Ini Wulan?" segera kukenali suara
itu dari seberang sana. "Waalaikum salam. Benar, Bik," jawabku.
"Wah, terima kasih banyak atas kadonya, ya? Buku itu
sudah Bibik baca dan langsung tamat. Puisimu juga
bagus," kudengar suara Bibik penuh kegembiraan di
sana. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Aku senyum-senyum. "Maafkan ya, Bik. Wulan tidak bisa memberi hadiah
yang lebih menarik seperti punya Kak Ine dan Kak Tuti,"
kataku. "Kadomu bagi Bibik lebih berharga dibandingkan kado
lainnya, Wulan. Isi buku itu bagus, dan sangat
bermanfaat. Semoga Bibik bisa mengamalkannya,"
sambung Bibik. "Tapi, Bik," sahutku kemudian. "Uang yang Wulan pakai
untuk membeli buku itu... adalah uang Bibik juga."
"Maksudmu?" "Ayam pemberian Bibik sudah bertelur. Telurnya Wulan
jual ke tetangga. Wah, ternyata laku. Mereka malah
minta lagi. Uangnya Wulan tabung sedikit demi sedikit.
Telur ayam kampung sangat sulit dicari di kota,"
terangku. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Bibik tertawa di seberang sana. "Alhamdulillah...
semoga ayam-ayam itu tambah banyak telurnya."
"Ya, sebanyak dan segendut isi dompet Bik Gendut!"
sahutku. Kembali Bibik tertawa-tawa di seberang sana. Aku pun
turut tertawa. Lalu, tiba-tiba, terdengarlah di kebun samping suara,
"tok-tok petok! Tok-tok petok!"
"Halo, Bik..? Apakah Bibik mendengar suara itu?"
"Haa? Suara apa?"
"Si Blorok berkotek lagi."
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Itu tandanya dia mau bertelur!"
Aku tambah gembira. Ya, itulah suara kotek si Blorok,
ayam pemberian Bibik itu. Ia terus saja berkotek, tok tok
petok! Tok tok petok! *** Rahasia Ibu SEPULANG dari pasar Ibu muntah-muntah di depan
pintu. Ia memegangi perutnya beberapa kali, lalu buruburu ke kamar mandi.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Aku dibuat bingung. Kuikuti langkah Ibu dari belakang
tanpa bisa berkata-kata. Lalu kuintip dari balik pintu.
Begitu Ibu keluar, aku langsung bertanya, "Ibu sakit?"
Wajah Ibu pucat. "Cuma mulas, Ning," jawab-nya sambil
tersenyum. "Perlu Nining belikan obat, Bu?"
"Tidak perlu." Tidak perlu, demikian jawab Ibu. Dan ini entah untuk
yang ke berapa kali. Setiap kali kutawarkan obat, Ibu
selalu bilang tidak perlu. Padahal Ibu belakangan ini
sering muntah-muntah tanpa kuketahui penyebabnya.
Dan Ibu selalu menolak minum obat. Aku juga tak
mengerti, mengapa Ibu tiba-tiba bisa diserang penyakit
aneh itu. Setahuku, Ibu tak pernah makan sambal atau
ma-kan makanan panas lainnya. Tak mungkin kalau
cuma mulas Ibu sampai muntah-muntah seperti itu.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Ataukah ini akibat terlalu banyak makan buah mangga
muda yang dicarikan Ayah kemarin?
Dalam keadaan demikian, yang dapat kulakukan hanya
ikut meringankan pekerjaan Ibu. Sepulang sekolah aku
membantu memasak di dapur, mencuci piring,
mengepel lantai atau mengisi bak kamar mandi. Kalau
Ibu nampak capek sekali, dan tertidur di sofa, kudekati
Ibu; kupijiti tangan, kaki, tengkuk dan keningnya.
Setelah itu biasanya Ibu akan tersenyum dan mengecup
keningku. Kemudian aku pun kembali bertanya,
"Katakanlah, Bu. Ibu sakit apa?"
Namun seperti hari-hari kemarin, Ibu cuma tersenyum.
"Percayalah, Nining. Ibu cuma mual bia-sa saja,"
Rahasia Ibu Karya Bambang Joko Susilo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jawabnya. Aku hanya bisa mengangguk-angguk. Tapi aku kurang
percaya. Ibu sangat aneh, seolah-olah menyembunyikan
sesuatu dalam dirinya. Inilah yang membuatku
penasaran. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
*** SORE itu, setelah aku selesai mengepel lantai, Ibu
berkata, "Nining, nanti setelah mandi, kau mau kan ikut
mengantarkan Ibu ke rumah sakit?"
"Tentu saja, Bu. Mau berobat?"
"Ya. Mau periksa perut Ibu yang mulas ini," jawab Ibu
sambil memegangi perutnya.
"Nah, begitu dong, Bu. Coba periksa ke dokter dari
kemarin-kemarin, pasti sudah sembuh!" aku tersenyum
gembira. Tak lama kemudian, bersama Ayah, aku meng-antarkan
Ibu ke rumah sakit. Letak rumah sakit itu tidak jauh.
Cukup mengendarai Bajaj, dalam waktu sepuluh menit
kami sampai. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Ketika Ibu sedang diperiksa oleh dokter, aku gelisah di
ruang tunggu. Aku berjalan mondar-mandir. Untuk
menghilangkan kegelisahanku, kucoba melihat-lihat
lukisan yang tertempel di dinding rumah sakit itu.
Herannya, Ayah nampak tenang-tenang saja. Padahal
aku merasa begitu cemas. Aku khawatir Ibu menderita
penyakit berat. Aku sering mendengar tentang penyakit
diare, desentri dan kolera. Itu adalah jenis penyakit
perut yang sangat berbahaya. Apalagi wabah muntaber
sekarang ini sedang merajalela di daerahku. Kata Pak
guru, penyakit muntaber itu muncul dari makanan dan
minuman yang tidak bersih. Orang yang hidupnya jorok
lebih banyak kemungkinan-nya terserang penyakit yang
dapat merenggut nya-wa manusia tersebut. Ah, janganjangan Ibu telah diserangnya! Aku semakin cemas.
Di ruang tunggu itu aku terus berdoa dengan khusuk,
"Ya Allah, ya Tuhanku Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang... hindarkanlah Ibu dari segala penyakit dan
marabahaya...". Begitu Ibu keluar, aku dan Ayah langsung menyerbunya.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Bagaimana, Ma?" tanya Ayah langsung saja.
"Betul, Pa. Alhamdulillah...telah berisi!" Ibu tersenyum
cerah. "Alhamdulillah...puji syukur bagi Engkau ya, Allah...,
Allahu Akbar," Ayah mengeluarkan na-pas lega. Serta
merta ia mengangkat kedua telapak tangannya
mengucapkan doa. Ayah begitu gembira. Setelah itu
dikecupnya perut Ibu. Lalu seperti anak kecil tiba-tiba
Ayah menari-nari di ruang tunggu rumah sakit itu
sehingga beberapa pasien yang ingin berobat
tersenyum-senyum geli melihatnya. Aku hanya
terbengong-bengong melihat kejadian itu. Untung Ibu
segera mengingatkan. "Ayah, jangan begitu, dong.
Malu. Ini kan di rumah sakit!" bisik Ibu.
Setelah itu barulah Ayah sadar di mana dia berada. Ia
mengucap istighfar berkali-kali. "Oh, maafkan. Mungkin
saking gembiranya aku jadi lupa diri," ucap Ayah.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Ibu hanya senyum-senyum. Kami segera keluar dari
rumah sakit itu. Sambil berjalan aku terus saja dibuat
bertanya-tanya. "Tadi Ibu mengatakan... telah berisi. Apa maksudnya,
Bu?" akhirnya aku bertanya juga di dalam mobil taksi
saat pulang. "Perut Ibu telah berisi adik, Ning. Kau mau kan punya
adik?" jawab Ibu tersenyum sambil mengelus perutnya.
"Berisi adik...??" aku bertambah heran.
"Iya, Nining. Ibumu telah hamil. Nanti kau akan punya
adik. Kalau perempuan pasti ia secantik kamu. Kalau
laki-laki ia segagah ayah!" jelas Ayah. "Kau mengerti?"
lalu Ayah tertawa-tawa. Aku hanya mengangguk-angguk antara mengerti dan
tidak. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
*** Kuburan di Pinggir Jalan KETIKA Ayah mengajakku memasuki pemakaman umum
yang terletak di pinggir jalan itu, aku bertanya-tanya
dalam hati, siapa yang akan diziarahi Ayah? Setahuku
selama ini tidak ada saudara atau handai taulanku yang
dikuburkan di situ. Jangankan kuburan, sanak famili
yang tinggal dekat makam itu saja tidak ada. Tapi kini,
meng-apa Ayah tiba-tiba menghentikan kendaraannya
dan mengajakku masuk ke pemakaman umum itu?
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Siapa yang akan kita ziarahi, Ayah?" tanyaku
memecahkan keheningan ketika berjalan di sam-ping
Ayah. Tapi Ayah tidak menjawab. Ia terus melangkah.
Berpuluh batu nisan kami lewati. Sua-sana di
pemakaman itu hening sunyi. Yang terdengar hanya
desir angin mendesau. "Ayah, siapa yang akan kita ziarahi?" kembali aku
bertanya. Tapi, lagi-lagi Ayah tidak menjawab. Mulutnya
membisu. Hanya desiran angin terasa kian keras
meniup, menerpa pucuk-pucuk pepohonan yang
tumbuh di sekitar pemakaman itu sehingga membuat
ranting bergoyang-goyang. Ada sebuah pohon kepuh
raksasa tumbuh di tengah-tengahnya. Batangnya besar,
akar-akarnya berjuntai ke tanah dan menjalar ke manamana.
Ayah berhenti sejenak di bawah pohon itu. Lama ia
merenungi keadaan sekeliling makam. Mulutnya masih
membisu. Aku pun ikut-ikutan membisu. Lalu Ayah
kembali meneruskan langkahnya. Dan langkah kami
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
terhenti ketika mendengar ada suara orang batuk-batuk
di pojok belakang pemakaman. Kami mencari-cari
sumber suara itu. Dan di kejauhan sana, nampaklah dua
orang sedang menggali lubang kubur. Yang seorang
sibuk mencangkul, sedangkan yang satunya lagi
bertugas membuang tanah galian. Kami segera
menghampiri dua lelaki penggali kubur itu.
"Apakah ada yang meninggal, Pak?" tanya Ayah
langsung saja. "Dua orang sekaligus!" jawab salah seorang.
Benar, dua lubang sekaligus telah mereka gali. Lubang
itu letaknya berdampingan. Yang satu sudah selesai
digali, sedangkan yang satunya lagi baru mencapai
sebatas pinggang. "Kapan mereka akan dikuburkan?" tanya Ayah lagi.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Sebentar lagi mayat-mayat itu datang. Mereka mati
korban kerusuhan. Sekarang kerusuhan terjadi di manamana, Pak. Hampir setiap hari ada orang mati
dikuburkan. Lihat, pemakaman ini se-bentar saja
penuh," demikian jawab penggali kubur itu sambil
menerima pengki berisi tanah galian yang disodorkan
temannya dari bawah. Ayah mengangguk-angguk. Aku pun teringat kejadiankejadian hebat di tanah air belakangan ini. Kerusuhan
memang terjadi di mana-mana. Pembakaran,
pembunuhan, penjarahan tak hanya terjadi di tanah
Jawa, tapi juga di Aceh, Ambon, Poso, Sampit, dan
daerah-daerah lainnya. Apa sebenarnya yang terjadi
dengan Indonesia? Sebentar kemudian datanglah iring-iringan mobil
jenazah berhenti di depan pemakaman umum itu.
Benar, dua keranda mayat sekaligus diturunkan.
Keranda itu diusung memasuki pekuburan. Berpuluhpuluh, bahkan ratusan orang mengiringinya dari
belakang. Makam itu dalam sekejap penuh dibanjiri
manusia. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Seorang ibu nampak menangis terisak-isak di tepi
keranda. Beberapa orang mencoba menghiburnya.
Sementara itu kumandang ayat-ayat suci Al-Quran
terdengar di sana-sini. Suasana khusuk mencekam. Aku
dan Ayah turut menyaksikan penguburan mayat-mayat
itu; mulai dari pengeluaran jenazah dari keranda,
pemasukan jenazah ke liang lahat, sampai pada acara
pengurukan dan doa terakhir untuk sang mayat. Bungabunga pun segera ditaburkan di atasnya.
Pemandangan itu amat menakjubkanku. Tapi dalam
hatiku timbul juga rasa takut. Baru kali inilah aku
melihat penguburan orang mati.
Setelah acara penguburan dua jenazah korban
kerusuhan itu selesai, orang-orang satu persatu
meninggalkan kuburan. Kuburan kembali lengang.
Hanya tinggal penggali kubur itu saja yang terus sibuk
bekerja membersihkan sampah-sampah yang tersisa.
Setelah itu Ayah mengajakku pulang.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Iwan, tahukah kau, apa maksud Ayah mengajakmu
mampir ke kuburan?" tanya Ayah sebelum
menghidupkan mesin mobilnya.
Aku menggeleng. "Nabi pernah berkata, tidak ada salahnya kita sekalisekali ziarah ke kuburan. Tujuannya adalah untuk
mengingat mati. Ingat, kita semua ini kelak akan mati,"
demikian jawab Ayah. Aku hanya mengangguk-angguk.
Ada kenangan khusus tertera di benakku ketika
meninggalkan kuburan yang berada di pinggir jalan itu.
*** Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Rumah dalam Perut SORE itu mendung menyelimuti langit. Suara angin
mendesau-desau di luar. Kilat dan guntur terlihat dan
terdengar silih berganti. Tak lama kemudian hujan pun
turun. Mula-mula rintik-rintik, kemudian makin lama
makin deras. Sambil menanti Ayah pulang, aku duduk di ruang tamu
bersama Ibu. Saat itu aku heran melihat perut Ibu yang
bertambah gendut. "Kok perut Ibu tambah hari tambah gendut, sih? Ibu
makannya terlalu banyak, ya?" tanyaku.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Ibu yang sedang menyulam kain, sejenak menoleh ke
arahku. Ia tertawa lirih. "Perut Ibu gendut bukan karena
banyak makan, Ning. Tapi di perut ini ada adik," bisik Ibu
sambil terus menyulam. "Ada adik?" aku terheran-heran. "Betul. Apakah kau tak
ingin punya adik?" Ibu bertanya.
"Apakah Ibu tidak bohong?" aku seolah tidak percaya.
"Buat apa Ibu bohong, Ning."
"Tapi..., mengapa adik bisa di sini, Bu?" tanyaku sambil
memegang perut Ibu itu. "Yang menaruh adik di sini Tuhan, Ning. Dialah Allah
Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, yang menciptakan
alam semesta dan kita semua," jawab Ibu.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Aku mengangguk-angguk. Dalam hatiku bukan main
senangnya. Betapa tidak, sebab sebentar lagi aku akan
punya adik. Seperti apakah adikku itu nanti? Laki atau
perempuan? Ah, kalau saja adik itu nanti seperti
bonekaku, alangkah lucu! Aku tersenyum-senyum sendiri sambil membayangkan
keadaan bonekaku yang bermata besar dan beralis
tebal. "Bu...," aku mulai berkata lagi.
"Ya...?" jawab Ibu sambil terus menyulam kain.
"Apakah Nining waktu kecil juga berada di perut Ibu
seperti adik ini?" tanyaku.
Ibu tersenyum. "Tentu saja, Ning. Dan kau juga nakal
seperti adik ini. Suka menendang-nendang perut Ibu."
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Menendang?!" aku kaget. "Sakit, Bu?" tanyaku
kemudian. Ibu menggeleng. "Cuma geli," jawab Ibu
sambil menahan tawa. Aku melepas napas lega. Tidak sakit, kata Ibu.
Syukurlah. Kalau sakit, tentu kasihan sekali Ibu.
"Mengapa adik tak berada dalam perut Papa saja, Bu?
Papa kan lebih kuat!" kataku lagi.
Ibu tertawa mendengar pertanyaanku yang lucu itu.
"Papa kan laki-laki, Ning. Papa tak punya rumah dalam
perutnya buat tidur adik," jawab Ibu.
Aku mengangguk-angguk. Wah, kalau begitu Ibu kaya
sekali, sebab Ibu punya rumah dalam perutnya. Apa
sajakah yang berada di rumah dalam perut Ibu itu?
Apakah di sana juga ada tempat tidur, bantal guling,
buku cerita, kamar mandi, lampu dan boneka? O, tentu
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
saja ada. Kalau tidak, mau tidur di mana adik? Dan kalau
tak ada boneka, tentu adik akan menangis terus.
"Bu, apakah perut Nining juga punya rumah?" tanyaku
tiba-tiba. Sekali lagi Ibu tersenyum. "Tentu saja. Setiap wanita
punya rumah dalam perutnya. Juga Nenek. Dulu waktu
Ibu masih kecil, Ibu berada dalam perut Nenek. Yang
Rahasia Ibu Karya Bambang Joko Susilo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menaruh Mama di sana juga Tuhan. Setelah Ibu besar,
barulah Tuhan menaruh adik dalam perut Ibu. Dan adik
pertama yang berada dalam perut Ibu itu sekarang
sudah keluar dan sudah besar!"
"Siapa, Bu?" "Ya, kamu ini!" jawab Ibu sambil mencubit hidungku
yang mungil. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Aku tertawa. Ajaib sekali pemberian Tuhan itu. Aku tak
habis pikir, bagaimana caranya Tuhan menaruh adik
dalam perut Ibu? "Bu...?" kembali aku berkata.
"Ya, sayang?" "Apakah di dalam perut Nining ini nanti juga ada adik?"
tanyaku sambil memegang perutku sendiri.
Ibu tersenyum. "Tentu saja, Ning. Tapi nanti kalau
Nining sudah besar."
"Bagaimana caranya supaya adik bisa berada di perut
Nining, Bu?" tanyaku lagi.
"Caranya, berdoa kepada Tuhan, agar Tuhan memberi
adik itu kepada kita," jawab Ibu.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Apa tidak bisa sekarang, Bu?"
"O..., tentu saja tidak bisa, Ning. Sebab kau masih terlalu
kecil." "Tapi Nining ingin punya adik!" kataku. Lho, apa yang
berada di perut Ibu ini bukan adik?"
"Maksud Nining, adik yang berada di rumah dalam perut
Nining sendiri!" tukasku.
Kembali Ibu tertawa. Lalu Ibu memberi penjelasan,
"Nining, tadi Ibu kan sudah bilang, Nining masih terlalu
kecil. Tuhan tidak akan memberi anak kepada orang
yang masih kecil, sebab orang itu belum bisa memberi nafkah pada anaknya.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Aku mengangguk-angguk. Kini aku mengerti.
Betapa Maha Besar Allah itu. Dialah Tuhan seru sekalian
alam, yang menciptakan manusia penuh dengan
keajaiban. *** Mang Ocep Tukang Kebun yang Lucu
ORANGNYA berbadan gemuk dan berwajah lucu. Mang
Ocep namanya. Kata Ayahku, ia ingin bekerja di rumah
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
kami sebagai tukang kebun ka-rena tukang kebun kami
yang lama, yaitu Pak Sutris, pulang ke kampung.
Mang Ocep ternyata tak berbeda dengan Pak sutris. Ia
juga ramah dan baik hati. Hanya kelebihannya, tukang
kebun kami yang baru ini suka sekali melawak. Dengan
badannya yang gemuk dan perutnya yang gendut itu,
sering aku dibuatnya tergelak-gelak. Baru dua hari ia
bekerja di rumah kami, aku sudah bersahabat akrab
dengannya. "Mengapa anak bapak tidak diajak kemari?" tanyaku
suatu hari ketika ia sedang menyapu pekarangan
belakang rumah. "Jangankan anak, istri saja bapak tidak punya, Neng,"
jawabnya terkekeh. "Ah, jangan bergurau, Pak. Mosok sih istri saja tidak
punya?" tanyaku lagi, sedikit heran.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Dulu sih punya, tapi sudah lama ia meninggal,"
jawabnya. "Kenapa bapak tidak menikah lagi?" buruku.
"Mana ada wanita yang mau kawin sama bapak, Neng?
Bapak kan sudah tua," Mang Ocep kembali terkekehkekeh.
Tiba-tiba aku teringat Bik Iyem. Ia adalah pembantu
kami yang tugasnya di dapur. Bik Iyem sampai sekarang
juga belum menikah. "Bagaimana kalau bapak dinikahkan dengan Bik Iyem
saja? Dia masih single, lho!" candaku lain hari.
"Ah, Neng Ita, bikin bapak ge-er saja. Mana mau Bik
Iyem kawin dengan bapak? Selain sudah tua, bapak kan
jelek dan gendut. Lagi pula, gigi bapak sebagian sudah
ompong!" demikian jawab Mang Ocep. Lalu
diperlihatkannya gigi bagian depannya yang sudah
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
ompong itu kepadaku. "Lihat ini, gigi bapak sebagian
sudah tidak ada. Dan lihat ini, wajah bapak jelek, bukan?
Mana mau Bik Iyem kawin sama orang jelek seperti
bapak ini? He..he..hee..," kembali ia tertawa terkekehkekeh. Lalu ia meneruskan pekerjaannya.
Melihat wajah dan tingkahnya yang lucu itu, aku ikut
tertawa. Itulah Mang Ocep.
*** DEMIKIANLAH, telah sebulan lebih Mang Ocep bekerja
jadi tukang kebun di rumah kami. Ia sangat rajin. Kami
semua menyayanginya. Dan sore ini aku bingung
memikirkan hadiah untuk ulang tahun Mang Ocep.Ya,
nanti sore adalah hari ulang tahunnya yang ke-empat
puluh. Aku ingat betul tanggal lahirnya yang tertera
pada KTP-nya yang kemarin sore sempat terjatuh di
depan pintu kamar gudang. Berarti cukup tua juga Mang
Ocep itu. Tapi ditilik dari raut wajahnya, ia tampak sepuluh tahun lebih muda dari usia yang sebenarnya. Aku
maklum akan hal ini. Ia awet muda ka-rena suka sekali
tertawa. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Nah, apakah yang akan kuhadiahkan kepadanya sore
nanti? Oya, tiba-tiba aku teringat kakinya yang kemarin
pagi terkena beling di kebun belakang, karena ia bekerja
tidak memakai alas kaki. Dia memang tidak memiliki
sandal kecuali hanya sepatu butut yang dibawanya dari
kampung. Nah, apa salahnya jika aku membelikan
sepasang sandal untuknya? Tentu dia senang sekali.
Maka dengan uang tabunganku yang berjumlah Rp.
50.000,-, sore itu aku segera pergi ke toko membeli
sandal. Kupilihkan sandal terbaik sesuai isi kantungku.
Setelah itu, kubeli pula kertas ka-do. Rencanaku, akan
kubungkus ia nanti sesampainya di rumah.
Tapi sungguh sial sore itu. Belum sampai aku keluar dari
toko, tiba-tiba hujan turun dengan le-batnya. Terpaksa
aku menunggu sampai reda. Cukup lama juga hujan itu
mengguyur bumi. Setelah reda, buru-buru aku keluar
dari toko, menyeberang jalan dan menyetop bus.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Sampai di rumah aku heran melihat perubahan yang
terjadi di rumahku. Sebuah mobil ambu-lans berwarna
putih nampak diparkir di halaman. Di situ kulihat pula
seorang dokter dan beberapa suster sedang sibuk. Ayah
dan Ibuku pun nampak panik. O, apa yang terjadi? Aku
dibuat bertanya-tanya. Segera aku berlari kepada Bik
Iyem yang sedang menangis terisak-isak di dekat pintu.
"Ada apa, Bik?" tanyaku terus saja.
Bik Iyem tetap terisak. "Oh, kasihan... kasihan benar
Mang Ocep itu," katanya sambil menyapu-nyapu
matanya dengan ujung kain kebayanya.
"Apa yang telah terjadi pada diri Mang Ocep?" tanyaku
cemas. "Dia terjatuh dari atap rumah ketika sedang
membetulkan genteng yang bocor di tingkat atas,"
jawabnya lagi. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Terkejut aku mendengar jawabannya itu. Dan hadiah
untuk Mang Ocep tanpa terasa perlahan-lahan terlepas
dari tanganku ketika kulihat tukang kebun kami yang
baik hati itu terbaring di atas tandu dengan darah
meleleh di wajah dan mem-basahi sekujur bajunya.
Segera ia dibawa oleh para suster menuju mobil
ambulans. Sejenak aku terpaku. Tanpa sadar tiba-tiba aku
menangis terisak. *** Kaca Mata Seorang Pelupa Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
INI cerita tentang pamanku yang pelupa. Dia seorang
lelaki bertubuh tinggi kurus, berkaca mata putih minus.
Kemana-mana ia selalu mengenakan kaca matanya yang
berbentuk bulat mungil itu. Bila melihat jarak jauh
Paman merasa kabur tanpa kaca mata. Tapi kalau jarak
dekat, ia masih normal. Suatu hari diajaknya aku ke Wartel untuk menelpon
seorang temannya. Selesai menelpon ia bingung
mencari-cari kaca matanya.
"Barangkali Om kemari tidak pakai kaca mata," kata
pemilik Wartel. "Mana mungkin? Kalau tidak pakai kaca mata, aku tidak
akan sampai di wartel ini," jawab pamanku ketika akan
membayar. "Kalau tidak pa-kai kaca mata, aku bisa
menabrak orang di jalan, bisa nabrak tiang listrik, bisa
nabrak sapi atau kerbau, bahkan bisa masuk got!"
lanjutnya berapi-api. "Jadi, kaca mata itu pasti tertinggal
di sini." Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Lalu ia kembali masuk ke box telepon. Aku ikut pula
membantu mencarinya. Tapi hingga keringatan, kaca
mata itu tetap tak ditemukan. Apa mungkin diambil
orang lain? Tak mungkin. Seta-huku, selesai menelpon,
belum ada lagi orang lain yang masuk ke ruang telepon
itu. "Sudahlah, Paman. Nanti kita cari saja di rumah. Siapa
tahu tertinggal di sana. Bukankah Paman selama ini
memang pelupa?" kataku menasehati.
"Ah, tidak mungkin. Aku memang pelupa, tapi untuk
yang satu ini aku ingat betul, tadi kemari jelas pakai
kaca mata. Tak mungkin kaca mata itu tertinggal di
rumah!" Pamanku masih ngotot. Kembali ia mencaricari. Tapi setelah dicari-cari tak ketemu, akhirnya ia
menyerah juga. Direlakannya kaca matanya itu hilang.
"Ya, sudahlah. Tak apalah hilang. Nanti bisa beli lagi,"
katanya kemudian sambil menyeka peluh di keningnya.
Lalu ia merogoh saku bajunya untuk mengambil uang
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
pembayar pulsa telepon. Namun saat itu juga, tiba-tiba
tangannya menyen-tuh sesuatu di sakunya. "Astagaa...
apa ini?" Pamanku terkejut.
"Lhaa... itu kaca mata Om!" ujar gadis penjaga wartel
ketika pamanku perlahan mengangkat sebuah kaca
mata mungil dari saku bajunya.
Pamanku tercengang-cengang. Benar. Kaca matanya itu
ternyata ada dalam saku bajunya. Wajah Pamanku
merah padam. Alangkah malunya ia. Cepat-cepat
dibayarnya uang pulsa telepon itu. Aku tersenyum geli.
Sedangkan Paman tidak habis pikir, bagaimana bisa kaca
mata itu masuk ke kantung bajunya tanpa
diketahuinya? Kapan ia menaruhnya?
Ah, dasar Paman. Tentu saja ia lupa kalau kaca mata itu
memang ia sendiri yang menaruhnya di saku bajunya.
"Barangkali aku memang sudah pikun," akhirnya Paman
mengakui kelemahannya sambil menepuk jidat setelah
menyerahkan uang. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Kelucuan kedua terjadi ketika pemilik wartel merasa
kesulitan mencari uang kembalian.
"Wah, tidak ada uang recehan, Om," ujar gadis itu.
"Memangnya kembaliannya berapa?" "Lima ratus."
"Ya sudah, kasih kacang goreng ini saja, ya?" Pamanku
segera membuka stoples berisi kacang goreng yang
ditaruh di dekat meja kasir, dekat komputer. Kebetulan
kacang yang dibungkus plas-tik itu harganya lima ratus
rupiah sebungkus. Penjaga wartel mengangguk.
Selesai mengambil kacang goreng, dengan santainya
kami meninggalkan wartel itu. Akan tetapi, baru
berjalan beberapa langkah, gadis penjaga wartel itu
cepat-cepat berteriak, "Om.. Om... tunggu sebentar!"
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Haa, ada apa lagi?" Pamanku heran sambil berhenti,
lalu menengok ke belakang.
"Mau dibawa ke mana tutup stoples itu?" tanya penjaga
wartel. Pamanku terkejut. Aku juga kaget. Astaga-nagabalaa...
tutup stoples itu, ternyata ada di tangan Pamanku!
Wajah Pamanku tambah merah padam. Aku tertawa
terpingkal-pingkal. Penjaga wartel tersenyum-senyum.
Ah, dasar Paman, seorang pelupa.
*** Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Cita-cita Rahasia HARI ini aku bingung. Tadi pagi Bu guru menyuruh anakanak satu persatu mengutarakan cita-citanya di depan
kelas. Mereka rata-rata ingin jadi dokter, insinyur, pilot,
tentara, sarjana hukum, sekretaris, menteri, dan lainlain. Bahkan, Burhan yang duduk persis di depanku,
ingin jadi presiden. Ketika giliranku bercerita, aku
bungkam. Sebetulnya aku sudah punya cita-cita. Akan tetapi entah
mengapa aku takut mengutarakannya. Aku malu kalau
nanti teman-teman mentertawakanku. Soalnya, citacitaku lain daripada yang lain. Dari sekian banyak
temanku itu, ternyata tidak ada satu anak pun yang citacitanya sama denganku. Inilah yang membuatku takut.
Koleksi ebook inzomnia
Rahasia Ibu Karya Bambang Joko Susilo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
http://inzomnia.wapka.mobi
"Mengapa engkau diam saja, Wulan? Apakah engkau
tidak punya cita-cita?" tanya Bu guru ketika aku
bungkam. "Barangkali Wulan ingin jadi baby sitter, Bu. Sebab ia
senang menggendong boneka!" celetuk Rukmi tiba-tiba
dari belakang. Anak-anak tertawa mendengar seloroh
Rukmi. "Atau, mungkin Wulan ingin jadi artis, Bu. Ia sering saya
dengar menyanyi di kamar mandi!" sambung Andi yang
rumahnya bersebelahan dengan rumahku.
Kembali anak-anak tertawa. Wajahku merah padam
mendengar olok-olok teman-temanku itu.
"Jadi babby sitter atau penyanyi pun cita-cita bagus.
Yang penting, dalam hidup ini kalian punya cita-cita.
Tidak ada salahnya cita-cita itu dirancang sejak kecil,"
tandas Bu guru. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Aku tetap saja diam. Yang jelas aku tidak ingin jadi baby
sitter atau penyanyi. Ada cita-cita lain dalam hatiku
yang tidak seorang pun tahu.
Ketika lonceng pulang sekolah berdentang, kembali
anak-anak ribut membicarakan cita-citanya. Masingmasing bangga dengan cita-citanya itu. Si Rukmi
misalnya, yang ingin menjadi dokter, mengatakan akan
menolong orang-orang miskin di desa.
"Mereka tidak perlu membayar jika berobat kepadaku,"
katanya dengan serius. "Bahkan, khusus untuk kalian,
nanti akan kuberi diskon!" lanjutnya.
Teman-temanku tertawa. Sedangkan Ridwan yang bercita-cita ingin menjadi
insinyur pertanian mengatakan, kelak akan memajukan
kaum tani Indonesia agar hidupnya makmur. Bahkan ia
bercita-cita ingin menjadikan Indonesia sebagai negara
yang berswasembada beras.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Lain pula yang dikatakan Ismed, ia bercita-cita ingin
menjadi arsitek ternama. "Nanti akan kubangun
gedung-gedung megah pencakar langit berciri khas
Indonesia yang dapat mengalahkan kota New York atau
Tokyo!" katanya penuh semangat.
"Tapi semua itu tidak ada artinya jika tidak ada
penyanyi, bukan?" tukas Burhan tiba-tiba. "Nah, agar
kita selalu terhibur, kita perlu mengundang Wulan
pentas di panggung. Setuju kan, Wulan?" sambungnya
pula sambil melirik ke arahku yang terus berjalan di
tengah-tengah mereka. Hampir semua anak menoleh ke arahku. Lalu mereka
tertawa. Aku sangat mendongkol.
Sampai di rumah, aku langsung menemui Ibu.
Kuceritakan peristiwa di kelas tadi. "Cita-cita mereka
semuanya hebat, Bu. Rukmi ingin jadi dokter. Ridwan
ingin jadi insinyur pertanian. Ismed ingin jadi arsitek.
Burhan ingin jadi presiden. Diah ingin jadi menteri
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
urusan peranan wanita, Tuti ingin jadi pramugari.
Pokoknya, cita-cita mereka semuanya yahuud...!"
kataku sambil mengacungkan jempol.
"Dan kau? Apa cita-citamu?" tanya Ibu sambil
mempersiapkan piring untuk makan siang.
"Itulah, Bu. Wulan malu mengatakannya. Wulan takut
ditertawakan teman-teman," jawabku.
"Mengapa mesti malu, Wulan? Kalau cita-citamu bagus,
tentu teman-temanmu mendukung."
"Tapi, Bu...". "Ah, setiap manusia punya hak menentukan citacitanya, Wulan. Lebih bagus kalau cita-cita itu dirancang
sejak kecil." Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Apakah Ibu nanti tidak ikut mentertawakan bila Wulan
utarakan?" tanyaku ragu-ragu.
"Memangnya cita-citamu apa, sih?" Ibu meng-hentikan
pekerjaannya dan dengan serius mena-tapku.
Aku terdiam. Aku terpaku sejenak mendengar
pertanyaan Ibuku. Ya, apakah sebetulnya cita-citaku?
Aku segera mengeluarkan sebuah majalah dari dalam
tasku. Kubuka halaman tengah. Kuperlihatkan halaman
itu kepada Ibu sambil berkata, "Kemarin karangan
Wulan dimuat di majalah ini, Bu. Lihat, ini nama Wulan."
Ibu mengambil majalah itu. Dibacanya sejenak. Ibu
seperti tidak percaya. "Benarkah ini karanganmu,
Wulan?" "Lho, Ibu ini bagaimana, sih? Nama Wulan kan jelas
tercantum di situ. Alamat yang tertera di bawah
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
karangan itu kan alamat rumah kita," jawabku
meyakinkan. Ibu mengangguk-angguk. "Ibu sekarang tahu. Wulan
ingin jadi pengarang, bukan?" tanya Ibu kemudian.
Aku tidak menjawab. Kepalaku menunduk.
"Mengapa mesti malu, Wulan? Menjadi pengarang
adalah cita-cita besar sekaligus mulia. Sama besar dan
sama mulianya dengan cita-cita teman-temanmu itu.
Tanpa pengarang, mungkin pembangunan di negara kita
tidak akan berjalan. Mengarang adalah membangun
rohani. Ingat, pada waktu zaman revolusi dulu,
pengarang ikut berjuang. Mereka turut mengangkat
senjata, dan sen-jata mereka adalah pena. Melalui
tulisan, mereka mampu mengobarkan semangat rakyat
untuk berjuang mengusir penjajah dan
mempertahankan kemerdekaan. Bahkan, maju tidaknya
sebuah bangsa, diawali oleh kegemaran bangsa itu
dalam membaca buku, termasuk buku cerita anak-anak.
Sebuah buku, mana mungkin tercipta tanpa buah
tangan pengarang?" Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Aku tidak percaya mendengar kata-kata Ibu barusan itu.
"Jadi, pengarang pun merupakan cita-cita besar, Bu?"
tanyaku seperti bermimpi.
"Percayalah, Wulan. Ibu bangga dengan cita-citamu. Ibu
sepenuhnya mendukung. Kau tidak perlu berkecil hati.
Tugasmu adalah mendidik bangsa," jawab Ibu sambil
menepuk pundakku. Mataku berbinar-binar. Aku terharu. Kepercayaan diriku
pun tumbuh. "Tugasmu adalah mendidik bangsa!" katakata terakhir Ibu itu membekas di hatiku.
Ya, kini aku tidak perlu malu atau berkecil hati lagi
dengan cita-citaku. Besok aku harus berani
mengutarakan cita-citaku ini di hadapan Bu guru dan
teman-temanku di kelas. Aku ingin jadi pengarang!
*** Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Keluarga Pabrik Boneka IBU melahirkan lagi. Perempuan lagi! Huh, betapa
sebalnya aku. Enam orang sudah jumlah adik-ku.
Semuanya perempuan. Kini ditambah satu lagi. Jadi
tujuh. Sudah terlalu banyak. Ini tak boleh diteruskan.
Umurku baru 14 tahun, kelas dua SMP. Tapi adikku
sudah sedemikian banyak. Betapa riuhnya suasana
rumah. Aku malu kepada teman-teman. Ya, aku malu,
sebab mereka menjuluki keluargaku sebagai pabrik
boneka! Tujuh adik, terus terang, bagiku terlalu banyak.
Bagaimana orangtuaku nanti sanggup menyekolahkan
mereka? Sedangkan Ayahku bekerja cuma sebagai sopir
Bajaj. Ibuku tak punya ketrampilan apa-apa. Tinggal pun
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
masih di rumah kon-trakan. Sementara profesi ayahku
dari dulu tidak berubah-ubah, tetap sebagai sopir Bajaj.
Berapa sih penghasilan seorang sopir Bajaj? Aku tak
bermaksud meremehkan beliau. Tapi, apakah Ayah tak
pernah mau berpikir sedikit pun, bahwa di zaman
sekarang ini semakin banyak anak kehi-dupan semakin
sulit? Mengapa ia rajin benar mencetak anak? Buktinya,
ayah dan ibuku sering ber-tengkar hanya karena
persoalan sepele. "Ton, orangtuamu buka pabrik boneka, ya?" demikian
teman-temanku selalu mengejek di sekolah. Betapa
menyakitkan! Walau ejekan itu tujuannya baik, kadangkadang aku tak bisa menerimanya. Siapa yang tak sakit
hati dikatakan punya orangtua buka pabrik boneka alias
anak? Ya, kadang-kadang aku memang tidak bisa terima.
Untuk itu, siapa saja yang berani mengejekku secara
terang-terangan di depanku, sebagai imbalannya kuberi
dia bogem mentahku. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Tapi semenjak aku kalah berduel dengan Roter
seminggu yang lalu, juga oleh persoalan tersebut,
bogem mentahku tak bisa lagi diajak bicara. Aki-batnya
teman-teman bukannya berhenti mengejek, sebaliknya
malah terus memberikan sebutan-sebutan baru kepada
orangtuaku. Dikatakannya orangtuaku kuno, masih terkena faham
"banyak anak banyak rezeki". Dikatakannya orangtuaku
buta huruf, tak bisa membaca dan memahami arti
Keluarga Berencana. Dikatakan-nya orangtuaku tuli
terhadap seruan pemerintah yang bermaksud baik
tersebut. Ah, betapa aku ingin menangis. Betapa aku ingin
menjerit. Aku tahu, mereka berani mengejekku karena
aku bertubuh kecil. Melawan siapa pun pasti kalah.
Memang tidak ada artinya bogem mentahku yang kecil
ini bila dibandingkan tubuh Roter yang besar itu.
Tapi, kali ini aku tak boleh mengalah terus. Ejekanejekan itu harus kuhentikan. Aku sudah jenuh. Aku
harus membuat perhitungan dengan mereka. Tidak
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
dengan bogem mentahku yang kecil ini, tapi dengan
otak. Ya, dengan otak. Agar mereka berhenti berkicau,
dan agar mereka tahu perasaanku.
Maka siang itu, setelah bel pulang sekolah berdentang,
dan setelah Pak guru meninggalkan ruangan kelas, aku
buru-buru berdiri di depan kelas. Kuketuk meja keraskeras sambil berkata, "Teman-teman, aku harap jangan
pulang dulu. Hari ini ada yang ingin kukatakan pada
kalian. Duduklah dulu!"
"Huu..uu..uuu!" suara mereka ribut. Ada yang
mencemooh, ada pula yang terheran-heran. Mungkin
sikapku kali ini mereka rasakan agak aneh.
"Aku minta kesadaran teman-teman. Ini soal penting!"
kataku hampir berteriak sambil memukul meja dengan
keras. Kalau di situ ada cermin, mungkin aku dapat
melihat, bagaimana seramnya wajahku saat itu, sebab
mataku kupelototkan sedemikian rupa, hampir-hampir
terlepas rasanya. Barulah setelah melihat
kesungguhanku, dan setelah si Ahmad, ketua kelas
kami, ikut menenangkan suasana, teman-temanku
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
duduk kembali di kursinya masing-masing. Semua mata
tertuju padaku, pada si Tono yang bertubuh kecil ini.
"Teman-teman, sudah lama sebetulnya hal ini ingin
kukatakan pada kalian, tapi baru sekarang aku berani
bicara di hadapan kalian. Terus terang, selama ini aku
kecewa dan merasa sedih melihat sikap kalian yang
terus-menerus mengejekku karena aku mempunyai adik
begitu banyak. Aku sedih, karena teman-teman hanya
bisa mengejek tanpa dapat memberikan jalan
keluarnya. Apakah teman-teman tidak tahu
perasaanku? Bagaimana seandainya yang jadi aku
adalah kalian? Apakah teman-teman juga bisa
menerima ejekan-ejekan tersebut?" kupandang luruslurus wajah demi wajah yang duduk tercenung di
depanku. Mereka semua membisu.
"Mengapa kalian diam?" tantangku.
Tiba-tiba Roter yang duduk di belakang, berdiri. "Kami
tidak bermaksud mengejekmu, Ton. Tapi sekadar
mengingatkan. Jangan salah terima. Kamu kan anak
pertama. Setidak-tidaknya bisa memberi pengertian
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
pada orangtuamu tentang pentingnya keluarga
berencana!" katanya.
"Betul! Betul! Itu maksud kami, Ton!" sambung temanteman yang lain.
"Kami tidak bermaksud membatasi berapa seseorang
boleh punya anak, sebab itu hak setiap orang. Tapi
membuat perencanaan terhadap masa depan keluarga
juga penting, Ton!" ujar Trisna.
"Betul! Betul! Itu maksud kami, Ton!" sahut temantemanku lagi.
Aku masih diam membisu di depan kelas.
"Ya, kami sebetulnya juga ikut merasakan beratnya
beban hidupmu, Ton. Apalagi kamu se-pulang sekolah
harus menyemir sepatu untuk mencari tambahan biaya
hidup. Adik banyak bukanlah hal yang menyenangkan,
setidak-tidaknya di negeri yang sudah padat seperti
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
negara kita ini. Apalagi sekarang ini penghidupan
semakin sulit, biaya sekolah bertambah mahal,
pengangguran bertambah banyak dan kejahatan kian
merajalela. Apa-kah kita akan terus menambah koleksi
boneka yang tak bermutu? Kalau pemerintah mau ikut
membiayai sekolah anak-anak miskin, mungkin itu lain
perkara. Tapi pemerintah yang sudah dibebani hutang
luar negeri demikian banyak dan sibuk memberantas
korupsi ini, tentu bebannya juga tak ingin bertambah
Rahasia Ibu Karya Bambang Joko Susilo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berat lagi akibat dari ketololan kita, bukan?" tambah si
Hengky. "Justru itulah, seharusnya kalian ikut mencarikan jalan
keluarnya. Bukan hanya pandai mengejek. Sebab,
ketahuilah, bukan hanya orangtuaku saja yang memiliki
anak bejibun. Masih banyak orangtua miskin lainnya
yang jumlah anaknya juga berlusin-lusin!" demikian
jawabku. Semua temanku mengangguk-angguk. Kini mereka
faham apa maksud perkataanku. Dan kini semoga saja
mereka tahu perasaanku. Tapi aku sebenarnya tak
menyalahkan peringatan teman-temanku itu. Apa yang
mereka katakan ada benarnya. Beban hidupku memang
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
berat. Anak seusiaku seharusnya waktunya digunakan
khusus untuk belajar. Tapi aku, Tono, murid kelas dua
SMP yang bertubuh kecil dan kurus ini, sepulang
sekolah harus menyemir sepatu di stasiun kereta api
hingga Maghrib tiba untuk mencari tambahan biaya
hidup. Kadang konsentrasiku dalam belajar berkurang.
Tak heran bila nilai ulanganku terus merosot. Apalagi
Bajaj Ayahku belakangan ini sering mogok, dan Ayahku
sering mengeluh karena ba-dannya selalu masuk angin.
Terpaksa aku mencari uang tambahan lainnya, tak
hanya menyemir sepatu, tapi kadang juga merangkap
berjualan koran. SORE itu, ketika aku tercenung di beranda rumah
memandangi adik-adikku yang sedang bermain di lantai,
Ibu menghampiri sambil menggendong si bayi.
"Sudahlah, Ton. Tak perlu bersedih," katanya. "Pak Haji
telah berbaik hati kembali, dia masih membolehkan kita
menempati kamar ini meskipun sewanya menunggak
lagi," lanjutnya. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Aku menelan pil pahit. Uang kontrakan ru-mah ini
memang sudah menunggak dua bulan. Bulan kemarin
aku yang ikut melunasinya. Tapi bulan ini uang
tabunganku habis buat berobat ayah kemarin, ke
dokter. "Sabarlah. Tuhan itu maha adil. Pasti nanti ada jalan
keluarnya," kata Ibu lagi.
Aku diam. Suara adik-adikku ribut sekali
memperebutkan sebuah boneka. Ada yang menangis,
ada yang tertawa, yang lainnya merengek-rengek minta
uang jajan. Betapa menyebalkan. Kupandangi adikadikku antara rasa kasihan dan jengkel.
"Ibu tahu apa yang kau pikirkn selama ini. Memang ini
salah Ibu. Tapi kalau sudah terlanjur seperti ini,
bagaimana?" ujarnya lagi.
Aku masih tetap diam. Kupandang langit yang berwarna
kelabu. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Ini semua sebetulnya di luar rencana. Setelah
melahirkanmu, Ibu hamil tiga kali lagi. Dan tiga kali pula
Ibu melahirkan bayi kembar, dan semuanya perempuan.
Tapi ayahmu masih penasaran. Ia minta lagi, karena
ingin punya anak lelaki seperti kau. Lalu Ibu hamil lagi.
Ternyata adikmu yang ketujuh ini, lagi-lagi perempuan!"
demikian Ibu bercerita seolah berusaha menghiburku
sekaligus mengurangi beban jiwanya.
Tapi, menurutku Ibu tak bersalah. Semuanya sudah
terlanjur terjadi. Habis mau apa? Apakah adik-adikku itu
harus dikembalikan ke perut Ibu? Lagi-lagi aku
tersenyum pahit. Tidak! Biar bagaimana pun aku harus
tetap menyayangi adik-adikku, seperti Ibu menyayangi
anak-anaknya. "Delapan anak Ibu rasa sudah cukup. Ibu takkan
menambah lagi," kata Ibu sambil mendiamkan bayinya
yang tiba-tiba merengek. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Aku masih juga diam. Aku tak tahu, apakah harus
tertawa atau menangis mendengar ucapannya yang
terakhir itu. Ibu bilang, delapan anak ia rasa sudah
cukup. Memangnya dia punya target ingin berapa anak
lagi? Apakah delapan anak masih kurang? Kembali aku
tersenyum pahit. Bayangkan, delapan anak, masih kecilkecil, tinggal di kamar kontrakan yang sempit. Tinggal
berdesak-desak. Itu pun sewanya masih menunggak dua
bulan. Uh! Ketika aku sedang merenungi nasibku sore itu, tiba-tiba
dari ujung jalan nampak Ayah dengan tubuh rentanya
sedang bersusah-payah mendorong Bajaj masuk ke
dalam gang yang becek. Mataku melotot melihatnya.
Mengapa harus didorong? Buru-buru aku
membantunya. "Huh, Bajaj ini mogok lagi. Dasar sial!" ayahku
mengomel. Aku cuma geleng-geleng kepala.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
*** Gitar dari Pak Presiden SUDAH lama Kirno ingin punya gitar. Alangkah enaknya
bisa menyanyi dengan gitar. Penghasilannya sebagai
pengamen tentu akan bertambah. Orang-orang pasti
akan memberi uang lebih banyak bila ia menyanyi
dengan gitar. Akan tetapi, bagaimana mewujudkan
keinginannya itu? Kirno hanya pengamen cilik. Penghasilannya tidak
menentu. Kalau sedang apes, untuk membeli nasi
sebungkus pun tak cukup. Sedangkan Ibunya hanya
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
bekerja sebagai pemulung. Berhari-hari ia melamun
memikirkan gitar. "Kirno, mengapa melamun?" tanya Ibu siang itu ketika
sedang merapikan kertas dan kardus-kardus bekas hasil
pulungannya hari itu di samping gubuk mereka di
pinggir sungai Kalimalang.
Kirno tersentak. Lamunannya buyar.
"Daripada melamun, cepat bantu Ibu merapikan karduskardus ini. Besok kita antar ke bos!" kata Ibu.
Kirno pun bangkit dari duduknya, Ia membantu Ibu
merapikan kardus-kardus itu. Ibunya adalah seorang
wanita perkasa. Meskipun kulitnya hitam, tapi tubuhnya
kuat dan jarang sakit. Sudah tiga tahun ini Ibu bekerja
sebagai pemulung sejak gubuk mereka di pinggir sungai
Ciliwung di Jakarta, digusur Kamtib. Sekarang mereka
pindah ke Bekasi, tinggal di gubuk rombeng yang
dibangun oleh almarhum ayahnya di pinggir Kalimalang,
di atas lahan tanah yang tak terpakai. Yang dimaksud
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
'bos' oleh Ibu adalah juragan barang-barang bekas yang
tinggal dekat bantaran sungai. Ke sanalah para
pemulung menyetorkan hasil pulungannya. Ada kertaskertas bekas, plastik, puntung rokok, besi-besi tua,
botol-botol minuman, dan barang-barang rongsokan
lainnya yang sudah tak terpakai. Bos akan menimbang
benda-benda bekas itu. Lalu membayarnya sesuai berat
timbangannya. "Kau tak mengamen siang ini?" tanya Ibu sambil sibuk
melipat dan mengikat tumpukan kardus bekas itu.
"Malas, Bu. Habis nggak punya gitar," jawab Kirno
langsung saja. "Gitar?" Ibu mengernyitkan kening. "Mengapa mesti
pakai gitar?" Kirno bungkam. Tak menjawab.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Ibu tidak memaksa engkau mengamen, Kirno. Tapi
apakah mengamen mesti pakai gitar?" Ibu mengulang
pertanyaannya. "Saingan Kirno banyak, Bu. Kalau tidak tampil beda,
tentu penumpang malas ngasih uang," jawab Kirno.
Ibu diam. Tak berkomentar.
Lalu teringatlah Kirno saat mengamen. Sepulang
sekolah, biasanya ia langsung mengamen. Tidak dengan
gitar, melainkan dengan botol aqua yang ia isi dengan
butiran beras. Kirno melompat dari satu bus ke bus
lainnya. Menggoyang-goyangkan botol aqua itu dan
menepuk-nepukkannya ke sebelah telapak tangannya
sehingga menimbulkan suara "srek-esrek pluk... srekesrek pluk..!" Lalu, ia pun menyanyikan lagu-lagu
dangdhut kesukaannya. Penghasilannya pertama-tama lumayan. Tapi akhir-akhir
ini terus menyusut. Bukan saja karena semakin
banyaknya anak-anak jalanan yang terjun jadi
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
pengamen, tapi para penumpang pun ia rasakan
bertambah pelit. Orang-orang sekarang banyak yang
tidak menaruh belas kasihan lagi kepada rakyat miskin.
Tapi kadang Kirno mencoba berpendapat lain. Mungkin
para penumpang itu bosan mendengar nyanyiannya.
Sebab teman-temannya ternyata banyak yang ikutikutan menyanyi dengan menggunakan botol aqua
berisi butiran beras. Itulah sebabnya ia ingin tampil
beda. Ia ingin pakai gitar. Alangkah gagahnya kalau ia
menyanyi pakai gitar, demikian pikirnya.
Kirno membayangkan dirinya menyanyi seperti Iwan
Fals. Membayangkan dirinya seperti Oma Irama. Ia akan
beraksi di dalam bus. Ia akan menyanyi sebagusbagusnya. Penumpang pasti banyak yang terpesona.
Mereka tentu tak akan sayang memasukkan uang
seratus, lima ratus, atau seribu rupiah ke dalam kantung
plastiknya. Akan tetapi... bagaimana caranya dapat
mewujudkan keinginannya memiliki gitar?
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Gitar harganya mahal. Kirno pernah jalan-jalan ke toko.
Ia cuma bisa menelan ludah ketika melihat harga gitar
yang ratusan ribu rupiah.
"Kirno, kau melamun?" tegur Ibu tiba-tiba.
"Eh., tid.. tidak, Bu," Kirno gugup. Lagi-lagi lamunannya
memiliki gitar buyar. "Apa sih yang kamu pikirkan? Apakah kau punya
masalah di sekolah? Akhir-akhir ini Ibu lihat kamu sering
melamun," kata Ibu. "Gitar, Bu!" jawabnya terus terang. Setelah itu, baru ia
sadar bahwa ia telah kelepasan ngomong.
"Ah, lagi-lagi gitar. Sudahlah, menyanyi pakai alat
seadanya. Penghasilanmu kan lumayan buat tambahtambah makan kita. Lagi pula, gitar harganya mahal,
Kirno. Janganlah bermimpi yang bukan-bukan," ujar Ibu.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Kirno terdiam. Mulutnya bungkam. Tapi tangannya
terus bekerja membantu pekerjaan Ibu.
"Kirno, tahukah kau, mengapa Ibu mati-matian cari
uang seperti ini?" tanya Ibu lagi.
"Iy.. iyya, Ibu?" kembali Kirno gugup.
"Uangnya Ibu tabung buat biaya sekolahmu, Kirno. Ibu
ingin kau berpendidikan tinggi agar tidak jadi gembel
seperti Ibumu ini. Ibu terpaksa jadi pemulung karena tak
punya ketrampilan lain. Dulu Ibu tidak pernah makan
bangku sekolahan seperti kamu. Kemiskinan yang
menyebabkan Ibu tak bisa sekolah. Ayahmu pun telah
mati terserang TBC, juga akibat dari kemiskinan. Itulah
sebabnya kau harus sekolah setinggi-tingginya!"
demikian terang Ibu. "Iy.. iyya, Ibu," Kirno menunduk. Ia terharu mendengar
ucapan Ibunya itu. Ibu punya cita-cita mulia. Kini
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
harapan itu diletakkan di pundak Kirno. Ini yang
membuatnya rajin masuk sekolah. Ia tidak ingin
mengecewakan Ibu. Ini pula yang membuat Kirno
akhirnya bertekat membantu Ibu mencari uang dengan
jalan mengamen meskipun Ibu sebetulnya tidak
memaksa. Tapi, bagaimanakah caranya mendapatkan
gitar agar penghasilannya bertambah?
*** SUATU malam, ketika Kirno menyaksikan acara televisi
di rumah seorang temannya, tiba-tiba sebuah ide
muncul di kepalanya. Saat itu, televisi menyiarkan sosok
presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sedang
mengadakan dialog dengan anak-anak sekolah. Banyak
pertanyaan yang diajukan anak nak itu Pak Presiden
berjanji akan membantu biaya pendidikan anak-anak
sekolah yang kurang mampu. Bahkan secara perlahan,
nanti, sekolah akan digratiskan. Atas janji Pak Presiden
itu, ada seorang anak yang berani berkata, "Jangan janjijanji doang, Pak. Sekarang banyak rakyat Indonesia yang
hidupnya miskin dan kesusahan!"
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Pak Presiden menjawab sungguh-sungguh, akan bekerja
keras menciptakan keadilan dan kesejahteraan. Ia
berkata pula akan memberantas korupsi, sebab korupsi
adalah perbuatan tercela yang membuat bangsa
Indonesia terpuruk. Pak Presiden nampak gagah.
Senyumnya ramah. Anak-anak sangat menyukainya.
Banyak yang menaruh harapan besar padanya setelah
beliau terpilih jadi presiden baru melalui pemilihan
umum secara langsung. Anak-anak pun sadar, beliau
adalah bapak bangsa Indonesia setelah Soekarno,
Soeharto, Habibie, Gus Dur dan Megawati.
Hampir semua presiden disukai anak-anak. Dulu Pak
Harto malah kebanjiran surat dari anak-anak. Di
perpustakaan sekolah, Kirno pernah membaca buku
berjudul "Anak-anak Indonesia dan Pak Harto" yang
berisi surat-surat dari anak-anak. Isi surat itu
bermacam-macam. Ada yang sekedar ingin berkenalan,
ada yang meminta foto dan tanda tangan, ada yang
Rahasia Ibu Karya Bambang Joko Susilo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengeluh soal sekolah, ada yang ingin bertemu, ada
pula yang mengkritiknya. Isi surat itu kebanyakan luculucu. Akan tetapi, ada pula yang sedih dan
mengharukan. Misalnya, cerita seorang anak yang
daerahnya kebanjiran dan dilanda perang saudara.
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Apa salahnya kalau sekarang aku mengirim surat
kepada Pak Presiden untuk meminta gitar?" Kirno
menjentikkan jemarinya sambil tersenyum. Ia merasa
mendapatkan ide cemerlang. Ia yakin, sebagaimana
presiden-presiden sebelumnya, Pak Susilo pun pasti
senang menerima surat dari anak-anak.
Sesampai di gubuknya, Kirno mengambil secarik kertas.
Dengan hati-hati ia menulis :
Yang Terhormat, Pak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Bapak Bangsa Indonesia Di Istana Negara.- Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Pak Presiden yang baik, nama saya Sukirno. Panggilan
sehari-hari Kirno. Murid kelas V SD Bekasi, Jawa Barat.
Pekerjaan sehari-hari, pengamen cilik.
Begini, Pak. Saya dengar Bapak baik hati. Sudah lama
saya ingin memiliki gitar, tetapi uang saya tidak pernah
cukup untuk membelinya. Maklum, saya orang miskin.
Ibu saya cuma bekerja sebagai pemulung. Sedangkan
Ayah saya sudah meninggal dua tahun yang lalu
terserang TBC. Tolonglah saya, Pak, kirimi saya sebuah
gitar. Gitar itu nanti akan saya pakai untuk mengamen.
Uangnya akan saya tabung untuk biaya sekolah setinggitingginya dan untuk membantu Ibu.
Oya, Pak, saat ini saya dan Ibu tinggal di gubuk rombeng
di pinggir sungai Kalimalang, Bekasi. Saya takut kena
gusur lagi. Tolonglah kami rakyat kecil ini, Pak. Jangan
terus-terusan digusur. Nah, demikian saja dulu surat
dari saya. Saya minta maaf kalau surat ini mengganggu
kesibukan Bapak. Saya tunggu kiriman gitarnya, lho,
Pak. Terima kasih. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Salam ananda, Sukirnno. Selesai menulis, Kirno memasukkan surat itu ke dalam
amplop. Tak lupa ia menuliskan alamat sekolahnya.
Keesokan harinya, ia cemplungkan surat itu ke kotak
surat yang ada di pinggir jalan.
Berhari-hari Kirno menunggu balasan surat itu.
Akan tetapi, jawabannya tidak kunjung datang. Apakah
surat itu tidak sampai? Kirno mulai ragu. Tidak mungkin
kalau tidak sampai. Bukankah Bapak Presiden tinggal di
Istana Negara Jakarta? "Ah, barangkali beliau masih
terlalu sibuk," Kirno mencoba menghibur hati.
Hari menginjak minggu. Minggu menginjak bulan. Bulan
pun berganti tahun. Ternyata, surat itu tidak berbalas
juga. Kirno pun bosan menanti. Akhirnya, ia melupakan
surat itu. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
*** SUATU hari, di akhir pelajaran, Kirno terkejut dipanggil
Pak guru untuk menghadap Pak Kepala Sekolah di ruang
kantornya. "Ada apa ini?" ia terheran-heran setengah
takut. "Bukankah uang bayaran sekolahku tidak ada
yang menunggak?" ujarnya lagi dalam hati.
"Sudahlah, datang saja. Nanti Pak Kepala Sekolah akan
menjelaskan," kata Pak guru ketika Kirno ragu-ragu.
Dengan hati berdebar-debar ia pun masuk ke ruang
kantor Pak Kepala Sekolah.
"Kau tahu, mengapa Bapak panggil kemari?" tanya Pak
Kepala Sekolah setelah Kirno duduk di hadapannya.
Kirno menggeleng. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
"Ini berhubungan dengan surat yang kau kirim kepada
Bapak Presiden," kata Pak Kepala Sekolah dengan
tenang. Kirno tersentak. Tiba-tiba ia teringat pada surat yang ia
kirimkan satu tahun yang lalu. "Jadi., jadi.., surat itu
sudah sampai, Pak?" Kirno bertanya gugup.
Pak Kepala Sekolah tersenyum. Mulutnya seperti
menahan tawa. "Bagaimana mungkin surat itu sampai,
Kirno. Amplopnya saja tidak kau bubuhi perangko.
Mengirim surat, mestinya kan pakai perangko. Lagi pula,
sampulnya tidak kau beri perekat," jawab Pak Kepala
Sekolah lagi. "Jadi., jadi...?"
"Ya, jadi suratmu itu dikembalikan oleh Pak Pos dan
dititipkan ke kantor sekolah ini. Untung Pak Pos baik
hati. Kalau tidak, surat semacam itu biasanya sudah
dimasukkan ke tong sampah!" kata Pak Kepala Sekolah
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
sambil membuka laci meja kerjanya. Lalu,
diperlihatkannya suratnya yang tidak sampai itu.
Kirno duduk lemas. Kini, ia menyadari ketololannya.
Memang surat yang ia kirimkan kepada Bapak Presiden
itu tidak ia bubuhi perangko. Mungkin karena sudah
tidak sabar dan terlalu terburu-buru maka ia lupa untuk
membeli perangko. Sudah tentu surat tersebut tidak
sampai. "Akan tetapi, jangan bersedih, Kirno. Bapak presiden itu
baik hati. Meskipun suratmu tidak sampai,
permintaanmu untuk sebuah gitar tetap dikabulkan.
Bagaimana caranya, tidak usah kau pikirkan," ujar Pak
Kepala Sekolah kemudian. "Haah...?!" Kirno terbelalak. Ia seperti tidak percaya.
Matanya lurus-lurus menatap wajah Pak Kepala
Sekolah. Pak Kepala Sekolah hanya tersenyum sambil berdiri.
Lalu beliau berjalan ke samping lemari. "Nah, inilah gitar
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
dari Pak Presiden untukmu. Bawa pulang dan
pergunakan dengan baik. Semoga penghasilanmu dari
mengamen dapat kau tabung untuk biaya sekolahmu
setinggi-tingginya," Pak Kepala Sekolah kemudian
menyerahkan gitar itu kepada Kirno. Gitar itu mengkilat
dan masih baru. Kirno menerima gitar itu dengan tangan gemetar, Ia
sangat terharu. Air matanya menitik ketika Pak Kepala
Sekolah menepuk-nepuk pundaknya sambil memberi
nasehat agar ia tetap rajin belajar. "Dan pesan Bapak,
mengamenlah di tempat-tempat yang diperbolehkan
mengamen. Jangan mengamen di lampu-lampu merah
sebab itu dapat mengganggu lalu lintas," katanya.
"Terima kasih, Pak," hanya itu yang mampu Kirno
ucapkan. Ia pun pulang sambil membawa gitar baru.
Alangkah bangga hatinya. Di depan pintu, Pak Kepala Sekolah tersenyum-senyum
melihat kepergian Kirno. Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Benarkah Kirno mendapat kiriman gitar dari Pak
Presiden? Tentu saja tidak. Gitar itu Pak Kepala Sekolah
yang membelikan. Beliau terharu membaca surat Kirno
yang sudah berminggu-minggu berada di tangannya.
Dalam hal ini, biarlah Pak Kepala Sekolah saja yang tahu.
*** Tentang Penulis CERITA anak-anaknya pertama kali dimuat di Koran
Sinar Harapan tahun 1980 dalam ruang "Mari
Mengarang". Waktu itu ia duduk di kelas 1 SMP. Bu
Poppy Donggo Hutagalung, pengasuh ruangan itu, selalu
mengiriminya hadiah tiga buah buku cerita anak setiap
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
kali karangannya dimuat. Sejak itulah ia menyenangi
dunia tulis-menulis. Bambang Joko Susilo lahir di Sragen, Jawa Tengah,
tahun 1964. Ia pernah kuliah di Sekolah Tinggi Publisistik
Jakarta (sekarang IISIP) tahun 1985-1989, Jurusan Ilmu
Jurnalistik. Kemudian bekerja sebagai wartawan. Tahun
1990-1991 bekerja di sebuah BUMN Cilegon, mengelola
majalah perusahaan. Setelah itu mengalami berbagai
macam pekerjaan dan menjadi penulis lepas (wartawan
free lance) di berbagai media massa. Tapi jiwa
kepengarangannya tidak pernah padam. Karangannya
berupa cerita anak-anak, cerita remaja,
cerpen dewasa dan karya jurnalistik pernah dimuat di:
Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Merdeka, Mingguan
Mutiara, Psikologi Populer Anda, Prioritas, Pelita, Gadis,
Hai, Amanah, Famili, Republika, Nova, Warta Kota,
Majalah Sastra, Kompas, dan Majalah Horison.
Selain menulis, ia juga pernah berkecimpung di dunia
teater dan seni lukis. Tahun 1997 mengikuti Pelatihan
dan Penulisan Cerita Anak yang diadakan oleh Pusat
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Perbukuan, Depdikbud bekerjasama dengan Komisi
Nasional Indonesia untuk UNESCO dan ACCU
(Asia/Pasific Cultural Centre For Unesco). Buku cerita
anak-anaknya yang sudah terbit, antara lain: Bebek Dari
Kakek (kumpulan cerpen anak, Balai Pustaka, 1997), Aku
Mawar Merah (Gunung Jati, 2000), Di Puncak Bukit
Gagak (Grasindo, 2003), Di Kaki Gunung Lawu (DAR!
Mizan, 2004), Suatu Hari di Stasiun Bekasi (DAR!Mizan,
2004, novel ini merupakan pemenang pertama dalam
Lomba Mengarang Cerita Fiksi Keagamaan yang
diadakan oleh Departemen Agama RI tahun 2003). Aku
Adalah Besi Api Air Angin (Bestari Kids, 2004), Mengapa
Tante Ririn Cantik, Ma? (DAR!Mizan, 2005), Ipung Anak
Semanggi (Beranda Hikmah, 2005), Kampung Ipung
Tergusur (Beranda Hikmah, 2005), Menjadi Pemain
Topeng Monyet (Restu Ananda, 2005), Latifah Gadis
Pengamen (DAR!Mizan, 2006), Ibuku Bidadariku
(Cakrawala Publishing, 2006), Surat Tantangan (Restu
Ananda, 2006), Berandal-berandal Semanggi (Restu
Ananda, 2006). Kemudian puluhan cerpennya yang pernah dimuat di
koran dan majalah telah dibukukan dalam judul: Ketika
Matahari Tak Tampak (1997), Kejantanan di Ujung Maut
(2004), Protes! Protes! Protes! (Lingkar Pena Publishing,
Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
2004), Mencari Kekasih (DAR!Mizan, 2005). Beberapa
karya lainnya saat ini sedang dalam proses terbit.
Alamat Rumah : Jl. Nusantara No.66 RT 05/06
Jatimulya Jaya - Bekasi Timur 17510
Telp. (021) 8216385 HP. 08561146250 Koleksi ebook inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
Bumi Cinta 3 Wiro Sableng 114 Badai Fitnah Latanahsilam Lambang Naga Panji 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama