Satria November 1

Satria November Karya Mia Arsyad Bagian 1


"EITS! Jangan kabur!!!"
Ckiiittt! Sebelah kaki Mima berhenti di udara. Siapa yang
nuduh-nuduh dia kabur?! Kabur dari apaan, lagi?
Tuing! Tuing! Tuing! Telunjuk Teh Juliet bergoyang-goyang
ke arah Mima yang sudah cantik, manis, wangi, dan dandan
lengkap siap ngeceng. "Neng Mima belum pikun, kan?" lanjutnya nyebelin.
Alis Mima berkerut-kerut bingung. Dan langsung melotot.
"Eits, ati-ati ya, Teh Jul, nuduh-nuduh orang pikun!" semprot
Mima sambil merengut. Dasar Juliet palsu! Nama asli Julaeha
aja maksa minta diganti jadi Juliet! Gara-gara nonton ilm lepas di TV tuh! Ya, itu, Romeo and Juliet!!!
Set! Dengan sigap Teh Juliet menggamit lengan Mima. "Ibu
kan udah bilang kemaren, poe ieu teh (hari ini tuh) kita mau
beberes kamar loteng. Taaahhh, poho pan? (lupa, kan?)... iya,
kan? Iya, kan? Lupa, kan?" cerocos Teh Juliet enteng. Dari kampung sih dari kampung, polos sih polos, tapi suka ngeselin
deh! Tu bibir monyong kayak kura-kura!
Mima mendelik. "?Kita????Kalian?, kaliiii..."
Kepala Teh Juliet yang ditemplokin kucir kuda setinggi Menara Pisa bergoyang-goyang minta ditoyor. "Eits, eits, Neng
Mima, kamari pan Ibu teh secara langsung bilang sama Neng
Mima... hari ini kita kerja bakti, beberes loteng."
Mima mendelik lagi. "Kalo udah ada Mama, udah ada Teh
Jul, ngapain lagi sih nyuruh-nyuruh aku? Kayak lotengnya segede garasi pesawat tempur aja. Udah ah, Teh, aku mo ke
mal. Udah ditunggu niiih!"
JREENG! Dengan nyolot tangan Teh Juliet terentang menghalangi jalan Mima. "Waduuuhh, teu bisa atuh, Neeeng... Ini
perintah Ibu! Lagian itu loteng memang kecil, Neng, leutik,
alit, kecil tapiii... sumpek! Penuh! Jeung kotor, deui! Pokoknya
mah perlu banyak tenaga laaah. Ayo, Neng!" Teh Juliet
menyeret tangan Mima ke arah tangga.
"Ahhh!!! Nggak mau! Nggak mau! Teh Jul! Lepasin, nggak?!
Teh Jul!!! Let me go, Teeehhh! Aku tuh ada janjiii! Ughhh!
Awaaasss... ihhh, lepaaasss!!! Teh Juuulll..., lepa?"
"Naaahhh... mo kabur ya?!" tiba-tiba Mika, kakak kembar
Mima, nongol dengan celemek, masker saputangan, dan kemoceng warna-warni. "Tahan, Teh Jul! Jangan sampe kabur!!!"
Akhirnya Mima cuma bisa pasrah diseret Mika dan Teh
Juliet ke loteng lengkap dengan dandanan siap ke mal-nya.
Sial banget! Gara-gara Teh Juliet nih! Padahal hari ini sale pernak-pernik hari terakhiiirrr. Mana Kiki, Riva, sama Dena udah
nunggu di sana. Huh! "Nih, Ma! Tadi udah nyaris kabur. Untung ada Teh Jul." Mika
mendorong Mima pelan ke arah Mama yang sibuk bongkarbongkar.
Mima manyun. Mama cekikikan. "Sama kayak kamu tadi, kan? Untung
kamu ketangkep Pak Min."
Hahahahaha! Ternyata sesama buronan toh?! Maling teriak
maling! "Eits, mo ke mana kamu, Mi?" Mika panik melihat Mima
bergerak ke arah pintu.
"Mo nelepon anak-anak. Mereka nungguin aku, tau!" Sambil
manyun-manyun Mima menekan nomor HP Kiki.
"Halo?! Mimamiii... elo di mana siiihhh? Jangan bilang lo
baru mo berangkat?!" lengkingan Kiki langsung bikin kuping
Mima nyut-nyutan. Ni anak nggak bisa apa ngomongnya pelanan dikit?
Mima memutar bola matanya sebal. "Lebih parah. Gue
nggak bakalan bisa keluar dari rumah nih."
"APAAA???!" suara Kiki, Riva, dan Dena memekik barengbareng. Pasti teleponnya di loud speaker nih.
"Gue ada kerja bakti."
"KERJA BAKTIII?" teriak mereka bareng-bareng lagi. "Kok
bisaaa? Di manaa? Kelurahan? Minta izin aja sama Pak Lurahnyaaa..."
Mima mendengus. "Di RW. Udah ya, besok di sekolah gue
ceritain deh. Kalo ada yang lucu beliin dulu. Ntar gue ganti.
Daaah..." Klik. Dweeeng! Celemek dan saputangan belel mejeng di depan
muka Mima. "Pake nih, Neng, peralatan perang," kata Teh Juliet santai.
Sementara celemek dan masker saputangan yang dia pake
nyaris semua ketutupan debu.
Nasiiib... nasiiib... padahal rencana pura-pura lupa tadi udah
bagus banget tuh. Ternyata Mama pasang prajurit!
"Nggak mungkin ya aku biarin kamu lolos sendiri!" bisik
Mika yang asyik masukin barang-barang rongsokan ke kardus.
Mima meringis. "Awas aja! Rencana aku tadi udah perfect
banget padahal. Kalo nggak ada kamu, sekali gibas juga Teh
Jul mental tuh." Mika cekikikan. "Enak aja. You wish."
Mima menarik setumpukan tinggi majalah-majalah terbitan... terbitan... kayaknya terbitan zaman manusia gua dulu
gitu. Ugh! Bau apak banget! "Ka, kita ngapain sih bongkarbongkar ni loteng? Yang namanya gudang sih bukan emang
takdirnya berantakan? Repot amat dibersihin sampe menerjunkan pasukan kayak gini."
Buussshhh! Debu mengepul waktu Mika menjatuhkan tumpukan buku dari tangan Mima ke dalam kardus. "Ada anak
temen Mama mo sekolah di sini."
Mima mengernyit. "Terus?! Emang mo tinggal di sini?"
Mika mengangguk. "Iya. Anak sahabat Mama. Tante Helena.
Inget, nggak?" "Tante Helena? Yang di Jakarta itu?"
Mika mengangguk. "Iya, itu. Sini deh..." Mika memanggil
Mima mendekat. "Katanya sih, anaknya itu baru lepas dari
rehab..." "HAH? HMPPPPH!" Mima menepis tangan kakaknya yang
seenak jidat maen bekap. "Apaan sih?!"
"Jangan kenceng-kenceng, dodol! Ntar Mama denger.
Orang udah sengaja bisik-bisik, kamu malah teriak. Dasar
bebek." "Yeee... sori. Terus? Rehab... narkoba?"
Dengan gaya sok misterius, Mika mengangguk. "Supaya dia
nggak gaul sama temen-temen lamanya lagi, makanya dipindahin ke sini. Ke Bandung. Dititipin ke Mama. Tante Helena
kan wanita karier... sibuk terus, sementara papanya kan udah
nggak ada." Mima mendelik. "Lho..., tapi masa anaknya bermasalah
malah dititipin ke orang? Lagian Mama nekat banget sih. Kalo
ada apa-apa gimana, coba?"
Bussshhh! Debu mengepul lagi berkat Mika yang menepuk
permukaan tumpukan buku. "Nah itu dia! Aku juga pikir gitu.
Tapi kata Mama, Mama kan ibu rumah tangga. Punya banyak
waktu buat ngawasin ketat. Lagian tadinya katanya Mama
nggak mau, tapi Tante Helena memohon-mohon. Mama
nggak tega. Dia kan udah nggak punya suami, Mi," bisik Mika
panjang-lebar. "Lagian, Tante Helena bilang kalo ada apa-apa
sama tu anak, dia nggak bakalan nyalahin Mama. Karena dia
tahu Mama pasti udah usaha maksimal. Gitu."
"Tapi kok Mama nggak cerita sama aku?"
Tuing! Mika menoyor Mima. "Cerita sama kamu? Males, kali.
Ngapain cerita sama Miss Histeris-tukang protes-calon demonstran?"
Mima cemberut. Sebel! Memangnya dia minta dilahirin dengan sifat kritis, blakblakan, tukang komplain, dan bawel
gini? Huh, bisa-bisanya semua yang agresif nemplok di diri
Mima dan semua yang tenang-tenang nempel di kakak kembarnya, Mika. Si cowok cool, bijaksana, dan tenang. Sebel.
Tapi... Bakal ada orang asing tinggal di rumah ini?! Suatu saat
Mima harus protes nih!!! Harus!
SLUUURPPP!!! Glek! Brak! "Gue harus protes nih sama Nyokap!" kata Mima nyolot setelah menyeruput kuah mie, menelan mie, dan menggebrak meja kantin.
"Dasar aktivis. Dikit-dikit protes. Tanya dulu baek-baek
dong ke Nyokap," saran Riva sambil menggigit cabe rawit pasangan setia rakyat gorengan di seluruh jagat raya ini.
Mima menusuk baksonya. "Ya telat dong. Keburu orang itu
dateng dan mondok di loteng gue. Lagian Mama Papa gue
kok bisa gitu sih? Ini kan hal besar. Harusnya didiskusikan
dulu dooong...," kata Mima berapi-api.
Kiki cekikikan. "Kenapa lo cekikikan?" semprot Mima.
"Didiskusikan? Sama elo? Yang ada lo interupsi melulu.
Sama lo mah bukan diskusi, tapi perang mulut... lo ngomong
kayak orang demo sembako gitu."
"Hih! Dasar pada nggak jalan nih otaknya. Yang namanya
berdebat itu kan wajar. Menyuarakan kata hati juga wajar
dong. Daripada dipendem jadi dendam? Atau jerawat? Atau
bisul? Atau malah jadi gila? Mending ngomong blakblakan
kan kalo ada yang nggak enak atau nggak pas buat kita? Jujur itu segala-galanya, maaan! Keterbukaan itu kunci kemajuan bangsaaa?"
Dena menimpuk bibir Mima yang bersungut-sungut. "Manyun lo. Eh, udahlah, Mi. Kalo Nyokap udah mutusin, artinya
udah dipertimbangkan matang-matang, tau. Pasti Bokap juga
udah tau, kan? Mereka berdua pasti diskusi dulu. Nggak perlu
ngajak lo atau Mika. Ini urusan orang dewasa. Anak-anak
terima nasib aja."
"Ih! Nggak bisa begitu dong. Kita juga berhak buat ngasih
pendapat. Kan tinggal di rumah itu juga. Lagian, gue tau
orangtua gue. Suka gegabah, ceroboh, boro-boro mikir sampe mateng deh. Setengah mateng aja udah bagus."
Kiki cekikikan lagi. "Heh, udahhh, terima nasib aja. Kalo mo
jadi demonstran ntar-ntar aja kalo udah kuliah. Masih kelas
satu SMA aja bawel. Realistis aja, Mi, Nyokap udah nggak
mungkin berubah pikiran, kan? Mo lo demo sambil ngajak
monyet sama gajah Safari juga nggak bakal ngaruh."
Dahi Mima berkerut-kerut. Iya sih. Kalo dia dan Mika nggak
diajak diskusi, berarti ini keputusan mutlak. Huuuh! Nggak
terima. Sebel. "Omong-omong....," desis Dena, "calon anak kosnya cowok
apa cewek?" Oh iya ya, lupa nanya sama Mika. "Nggak tau."
Riva menjawil bahu Mima. "Nggak tau? Kok bisa nggak
tau? Yaaah, payah. Gayanya mau demo tapi materinya belum
lengkap. Gimana seeeh?"
"Namanya juga lupa. Wah, males banget kalo cowok!" Mima
panik lagi. Riva menepuk-nepuk bahu Mima. "Kalo cewek, anggep aja
lo punya sodara perempuan. Selama ini kan lo sama si Mika
doang. Kalo cowok, berdoa aja dia cakep. Keren. Bikin naksir."
Mima melirik. "Tetep aja jebolan rehab. Gimana kalo dia
berbuat nggak senonoh? Hayo? Bahaya banget, kan? Apalagi
di rumah cowoknya cuma Papa yang pemales itu dan Mika
yang lempeng dan nggak hobi berantem. Gimana kalo dia
berniat?" "MIMAAA!!!" jerit ketiga temannya bareng-bareng.
Mima mengangkat tangan. "Iya, iya. Gue hiperbolis. Tapi
tetep aja, namanya cowok, kalo ada kesem?"
"MIMAAA!!!" "Iya, iya! Kita liat nanti!"
Huh! Kayaknya keputusan Mama dan Papa menampung
anak sahabatnya yang baru keluar dari rehab dan bermasalah
itu bakal mengubah hidup Mima habis-habisan. Belum liat
mukanya aja Mima udah pengin maki-maki. Bikin repot keluarga orang aja!
"Eh, Mi, si Dipo nanyain lo terus tuh. Gue heran orang setinggi galah gitu sukanya sama orang kecil mungil begini
kayak lo. Beda ukuran, kan. Harusnya dia tuh sukanya sama
Dena, sama-sama galah." Kiki menyiku Mima. "Gimana, Ma,
niat memperbaiki keturunan nggak?"
"Kurang ajar. Kayak lo lebih tinggi daripada gue aja, Ki! Gue
masih mending. Nggak tinggi tapi proporsional. Nggak kayak
lo, pipi tuh kempesin!!! Badan aja ndut, nyali segede upil semut!"
Kiki melotot. "Awas lo, ya! Gue tuh bukan penakut, cuma
waspada." Mima menyeruput minumannya. " Terserah deh, pada mo
omong apa. Pokoknya gue prinsip tetep prinsip! Yang kayak
gini ini nggak bisa diterima nih!"
Riva, Kiki, dan Dena mencibir.
MIMA menghajar jagoan Mika di game PS dengan sadis.
Mika kalah lagi! Hahahaha! Kebanyakan belajar siiihhh!
Mika menoleh cepat. "Eh, ntar malem katanya dia dateng,
ya?" "Dia siapa?" Mika menunjuk-nunjuk atap. "Penghuni loteng."
Hah? Mampus! Hari ini??? Mima kan belum sempat protes
sekali pun ke Mama atau Papa. Belum ketemu. Belum ketemu
waktu yang pas! "Yang bener, Ka?"
Mika mengangguk. "Kata si sableng Teh Juliet sih gitu. Ntar
malem." Plak! Mima menepuk dahinya. "Telat! Ancur deh! Ancur!"
"Ancur apanya?"
Mima mencubit lengan Mika.
"Aduh! Kok maen cubit sih?!"
"Mika, kamu itu jadi orang kelempengan. Cool kelewat cool.
Tenang kelewat tenang! Jadi o?on, kan?"
Pluk! Gantian Mika menepuk jidat Mima.
"Aduuuhhh... apa sih?" Mima mengelus-elus jidatnya yang
cenut-cenut. "Ya kamu. Bukan ngejelasin malah menghina-hina kepribadian orang."
Mima melelet keki. "Mika, ada orang asing mo tinggal di
rumah kita. Di atas kamar kita. Mama sama Papa nggak diskusi sama kita dulu. Rumah ini pasti mau nggak mau keadaannya bakal berubah."
"Dia kan anak sahabat Mama, Mi. Heboh amat."
Dasar o?on! Mima melambai-lambaikan telapak tangannya
di depan muka Mika. "Haloooo... anak baru keluar rehab?!"
Mika meringis. "Ya, terus? Kan udah keluar. Sembuh kan,
berarti?" "Payah banget sih! Emang sih dia anak sahabat Mama. Dan
Tante Helena memang baik. Tapi kan anaknya belum tentu.
Gimana kalo dia bawa masalah ke rumah ini? Gimana kalo
dia bikin onar? Gimana kalo..."
Blep! "HMMMPSSS! HMMPHHH!" repetan Mima terhenti dibekap
Mika. "Kenal aja belum udah nuduh-nuduh. Kamu terlalu kritis
sih, jadi hiperbolis deh. Parnoan! Udah ah! Aku mo nonton TV."
Mika melepaskan bekapan tangannya, lalu ngeloyor pergi.
Mima menggeram dongkol. "MIKA! Kenapa sih orang-orang
di rumah ini nggak ada yang bisa diajak diskusi? Berpikir panjang?!"
"Pikiran kamu kepanjangaaan... kayak antrean WC umum!"
terdengar suara Mika samar-samar, nyebelin.
Mima berlari keluar kamar menyusul Mika. Yang ada malah
kepergok Mama yang baru jalan dari ruang makan menuju
dapur. "Mima."
Yah... ketangkep lagi deh.... Mima berhenti lalu menoleh
sambil nyengir. "Iya, Ma?"
"Ke dapur yuk?"
Dahi Mima langsung kusut. "Ngapain, Ma?"
"Ya masak laaah! Masa disko. Yuk?"
"T-tapi, Ma, aku mau..."
Mama melotot. "Kamu nggak ke mana-mana kan hari ini?
Ayo bantuin Mama sama Teh Jul bikin kue. Kan ntar malem
mau ada tamu." Mima merengut. Udah nggak boleh ngasih pendapat,
nggak dikasih tau tu orang datang hari ini, sekarang malah
dipaksa harus bikin kue buat dia!!! Ke mana perginya HAM?
Hak Asasi Manusia?! Hak untuk mengeluarkan pendapat dan
berbicara?! Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?!
"Aku kan nggak bisa masak. Nggak suka masak, malah, Mama
kan tau? Males ah, Maaa..."
Ternyata sifat ngotot Mima kayaknya menurun dari Mama.


Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terbukti Mama nggak nyerah, malah menarik tangan Mima
dengan semangat. "Ih! Kamu ini anak perempuan. Harus bisa
masak biar dikit. Nanti Mama malu dong sama calon mantu
dan besan kalo kamu anti-dapur."
Mima monyong-monyong sambil berjalan mengikuti mamanya tanpa suara. "Tenang aja, Maaa... aku udah masukin kriteria
jago masak di daftar persyaratan paling atas calon suami."
Mama melotot lagi. "Ngaco kamu. Ayo ke dapur."
"Mamaaa... aku kan punya hak buat milih kesukaan dan
hobiku sendiri! HAM, Ma! HAM!"
Mama nggak peduli. "HAM-HAM! Hamburger?! Hamparan
padang rumput?!" Ih apaan sih Mama! Sok plesetan. Mima manyun. Terpaksa
menurut diseret sampai dapur.
Teh Juliet mukanya udah berlepotan tepung. Mukanya lang19
sung cerah waktu melihat ada satu lagi tenaga kerja rodi datang. "Bu, ini teh semuanya dimikser?"
Mama mengangguk. "Yang rata, ya?"
Huh! Mima manyun. Bikin kue aja harus bertiga.
"Mima, kamu bikin adonan buat krim hiasannya, ya? Nih
pewarnanya. Semangkuk hijau, semangkuk kuning. Warnanya
tipis-tipis aja." "Ma, udah deeeh. Kuenya bolu aja gitu. Nggak usah dihiashias, kali. Apalagi pake pewarna. Bahaya lho, Ma. Mama nggak
nonton TV apa, kalo sekarang banyak banget bahan-bahan
berbahaya terkandung dalam... mmm... mmmmmmhhhh..."
Mama melepas bekapannya.
"Ihhh! Mamaaaa! Kok kayak Mika sih?! Maen bungkem mulut aku segala?"
"Habis kamu merepet aja kayak knalpot bocor."
Idih! Knalpot bocor. "Kan demi kebaikan juga, Ma. Kita tuh
sekarang harus teliti. Apalagi, Ma, yang namanya bahan kimia
sekarang itu... mmmmh MMMHHH!"
"Mima bawel deh! Ini pewarna khusus makanan. Khusus
kue. Tuh, liat! Makanya sering-sering ke dapur biar tau! Udah,
kerjain cepet." UHHH!!! Mima malas-malasan mencampur adonan krim
sambil ngedumel. "Ma, siapa sih yang mau tinggal di rumah
kita? Disambut-sambut segala."
"Anaknya Tante Helena. Sahabat Mama. Dia dititipin di sini
ke Mama, supaya hidupnya lebih baik."
Mima melirik. "Tadinya hidupnya buruk gitu, Ma? Ancur?"
"Ahhh... kamu juga pasti udah denger kan dari Mika?"
Tau aja Mama. Ya pastilah udah denger. Emangnya Mika
tahan nanggung beban tahu semua hal sendirian gara-gara
Mama suka malas cerita ke Mima yang tukang protes dan
komplain? "Ya tau. Mama nekat banget sih, Ma! Emang Mama yakin
sampe sini hidupnya lebih baik? Mantan pengguna gitu lho,
Ma! Mending kalo beneran udah mantan. Kalo masih?!"
"Hus! Asal aja kamu ngomong. Dia itu baru keluar dari
rehab, Mi." Mima mendelik. "Nggak menjamin tau, Ma! Bisa aja dia
pura-pura sembuh supaya bisa keluar dari rehab. Hayo? Bisa
aja dia masih make. Ma, kata guru aku juga, orang kena narkoba nggak segampang itu lepasnya. Pak polisi yang penyuluhan juga bilang gitu."
"Ya makanya Tante Helena titipin dia di Bandung sama kita.
Supaya anaknya punya kehidupan baru. Temen-temen baru.
Dan jauh dari temen-temennya yang nggak bener."
"Ya tapi kan risikonya gede, Ma, buat Mama. Gimana kalo
ada apa-apa? Hayo?"
Mama menjawil hidung Mima. "Aduuuhh! Anak Mama bawel amat ya? Tante Helena itu udah bilang sama Mama, dia
udah siap sama semua konsekuensi dan nggak akan pernah
nyalahin Mama apa pun yang terjadi. Dia tau Mama nggak
mungkin nggak berusaha semaksimal mungkin ngejagain
anaknya. Tenang aja deeeh. Mama juga nggak mungkin
nolak, Mi... Tante Helena sampe mohon-mohon sama Mama.
Papa aja sampe nggak tega."
Mima menghela napas. "Lagian kamu kenapa sih segitu nentangnya? Kamu kenal
sama anak Tante Helena?"
Mima mendelik. "Ya nggak lah, Ma! Aku cuma ngerasa
nggak sreg aja. Hal seserius itu harusnya melewati rapat besar
keluarga dulu. Yang melibatkan aku dan Mika. Kan ini masalah keluarga."
Mama senyam-senyum lalu merangkul Mima. "Ohhhh, anak
Mama yang vokal dan kritis ini merasa terlanggar prinsipprinsipnya? Sori deeehhh..."
"Ah, Mama telat!"
Tahu-tahu Mama melotot melihat mangkuk adonan Mima.
"Mimaaa!!! Masukin pewarnanya dikit ajaaa! Kok jadi ijo kayak
karpet kelurahan gini? Mama maunya ijo lemooon!!!"
UPS! Makan malam paling nyebelin sedunia. Makanan dan kue-kue
udah nangkring di meja makan, tapi belum boleh dimakan.
Jadilah Mima, Mika, Papa, dan Mama cuma duduk manis di
meja makan sambil melototin makanan. Soalnya "tamu kehormatan" belum datang. Huh.
"Ma, makaroninya dulu deh ya, Ma, secuiiil aja?" rengek
Mima kelaparan. "Ihhh, jangan dooong. Kalo dipotong rusak ntar."
Mima manyun. "Makanan kan yang penting rasanya, bukan
bentuknya, Ma. Percuma tau, Ma, makanan bentuknya bagus
tapi rasanya nggak enak. Sama aja kayak penipuan. Bungkusnya doang yang bagus, isinya nggak. Zaman sekarang kan
banyak tuh, Ma, barang-barang yang..."
"Mulai lagi deeehhh...," desis Mika.
"Apaan sih, Ka?"
"Kamu. Pidato. Prinsip-prinsip idealisme."
Mima meringis. "Releks, tau!"
Papa cengengesan. "Nggak percuma Papa waktu mahasiswa jadi ketua senat. Ternyata sifat kritis Papa menurun
sama Mima ya? Hehehe..."
Mika melirik bosan. "Iya, Pa. Banget. Berisik. Bikin pusing.
Aku heran deh sama Papa. Katanya dulu Papa aktivis, kok
sekarang kayaknya Papa santai-santai melulu sih?"
"Males maksudnya?" sambar Mima.
Mika nyengir. "Iya. Kalo nggak ke kantor hobinya tidur
sama nonton TV. Nggak ada tuh sisa-sisa ketua senat yang
katanya vokal dan kritis itu."
"Cukup masa muda aja laaah. Sekarang saatnya menikmati
hidup." Mima yang nggak puas mendengar jawaban Papa langsung
nyerocos. "Tapi, Pa, yang namanya hidup itu kan harus?"
TING TONG! "Selamaaat... selamaaat...," ledek Mika jail. Langsung kena
tatapan maut Mima. Mama beranjak. "Ayo, Pa, kita ke depan."
Papa langsung mengikuti Mama ke pintu depan. Mima dan
Mika tetap duduk manis di meja makan. Kayaknya nggak perlu juga kan beriring-iringan ke depan semua kayak rombongan lenong?
"Aduuuhhh... Lenaaaa... apa kabaaar???" Mmmuah... mmuah,
Mama dan Tante Helena cipika-cipiki heboh. "Ayo, ayo masuk.
Ke ruang makan langsung aja yuk, udah siap semua lho..."
Mima melirik Mika penasaran. Kayak apa ya orangnya?
"Len, tuh anak-anakku. Mika sama Mima. Inget, kan? Si
kembar?" Mima dan Mika berdiri menyalami Tante Helena.
"Apa kabar, Tanteee?" Mima mencium tangan Tante
Helena. "Aduuuh, kamu makin cantik ya, Mi? Si Mika juga makin
ganteng aja," puji Tante Helena sambil tersenyum lebar. "Ini
anak Tante, Inov." Mika menyalami duluan. Mima memandangi cowok bernama Inov itu. Menurutnya
Inov agak terlalu kurus untuk badan setinggi itu. Kulitnya sih
hmmm... putih untuk ukuran cowok. Kayaknya terlalu pucat
deh. Kayak orang nggak sehat. Sebetulnya manis, kalau saja
dia tersenyum sedikit dan matanya nggak kayak orang ngantuk
gitu. Kayaknya di mobil sepanjang perjalanan tadi dia tidur.
"Inov." Inov menyodorkan tangan, mengajak Mima salaman.
"Mima," jawab Mima pendek, masih dengan tatapan menyelidik ala detektif.
Tante Helena orangnya rame. Rame banget dibanding yang
terakhir kali Mima ingat. Dia sibuk bercerita betapa bersyukurnya dia karena Inov mau masuk rehab, dan keburu ketahuan
sebelum semuanya terlambat. Dia juga nggak tanggungtanggung nasihatin Mima dan Mika tentang bahaya narkoba,
bikin Inov nunduk-nunduk nggak enak karena rahasia suramnya dibongkar sang bunda.
Ternyata Inov bisa masuk rehab gara-gara Tante Helena
curiga melihat perubahan sikap Inov dan memutuskan untuk
melapor pada pihak sekolah. Ternyata pihak sekolah juga
curiga sama gengnya Inov. Akhirnya mereka digerebek di kamar mandi sekolah.
"Makanya, kamu juga harus ngawasin anakmu yang dua ini
kalo mereka mulai aneh," nasihat Tante Helena pada Mama.
Mima dan Mika langsung ciut. Mendadak kena tuduh juga.
"Aku betul-betul titip Inov ya, Ti?" kata Tante Helena pada
Mama. "Mudah-mudahan di sini dia jadi lebih baik. Apalagi
dia juga bakal satu sekolah sama anak kamu, kan?"
"Sama siapa, Ma?" celetuk Mima releks. Mama langsung
melirik galak karena nada kaget Mima yang berlebihan.
Pada Tante Helena, Mama langsung tersenyum manis. "Iya,
Len, aku masih mikir dia bakal aku masukin ke sekolah Mima
atau Mika." "Lho mereka beda sekolah?"
Mama mengangguk. "Iya. Sengaja, Len. Dari kecil kan mereka terlalu deket. Biar masing-masing mandiri."
"Sama Mika aja, Ma. Sekolah Mika kan kekurangan murid,"
kata Mima asal. Langsung Mima kena pelotot lagi.
Dan makan malam itu pun selesai tanpa sepatah kata pun
dari mulut Inov. Cowok itu cuma makan?sedikit banget?
dan banyak minum. Sambil diam.
"Yakin kamu nggak nginep aja, Len?" tanya Mama khawatir
waktu Tante Helena ngotot mau pulang ke Jakarta malam itu
juga. Tante Helena memeluk Mama. "Nggak bisa, Ti... aku besok
ada meeting." Mima melihat Inov melirik sekilas waktu bundanya bilang
"meeting". "Ini udah malem lho, Len."
Tante Helena mencium pipi kanan-kiri Mama. "Ada Pak
Kusno. Tenang aja deh. Nanti aku pasti ke sini lagi nengok
Inov. Sering-sering, pastinya. Kabarin aku soal sekolahnya itu
ya, Ti?" Mama mengangguk. "Ya udah. Hati-hati."
Sebelum keluar Tante Helena menatap Inov dalam dan sayang. "Nov, pokoknya Bunda harap kamu bisa lebih baik di
sini, ya?" Inov cuma balas menatap, tetap diam.
Tante Helena memeluk Inov. "Nurut sama Tante Titi dan
Oom Din, ya? Akrab-akrab sama Mima dan Mika. Minta bimbingan mereka. Jaga diri ya, Nov? Kalo ada apa-apa cepet
telepon Bunda." Inov mengangguk sekilas. Sekilas banget.
Dan setelah diantar ke kamar, Inov nggak keluar-keluar lagi.
Huh, kayaknya suasana bakal garing nih.
Jelas banget Inov punya masalah komunikasi.
Bener kan dugaan Mima? Ribet!
"DUH, ini kebanyakan esnya deh! Ini nih, taktik pedagang
zaman sekarang. Minumannya dikasih dikit, esnya aja dibanyakin. Ini tuh ya, bukti teori ekonomi yang dibilang Pak
Suparno. Meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan
modal seminim-minimnya. Ini ngerugiin banget tau, buat..."
"HOAAAHHHMMM!" Kiki menguap lebar banget.
Dasar turunan kuda nil Safari. "Ih, kenapa lo nguap?!"
"Ya ngantuk laaah... masa laper. Di mana-mana orang
nguap itu tandanya ngantuk. Menurut teori biologi, nguap
itu adalah... wadaw!!!" Kiki cekikikan ditimpuk kertas bon.
"Yeee, galaknya kayak monyet, main timpuk!"
"Habisnya elo ngeledeeek!!! Gue serius, tau!"
Kiki mencibir. "Gue juga serius. Emang bener kok nguap itu
menurut teori biologi dan kedokteran..."
Nyiiittt!!! "Kikiii!" Tangan Mima menyeberangi meja dan dengan sadis mencubit tangan Kiki sampai nyelekit.
"WADAAAWWW! Mi, mulut boleh aktif, jangan tangan juga
dong!!! Shhh!" Mima nyengir puas. "Makanya. Jangan ngoceh aja kayak
parkit." "Yeee, yang jago ngoceh kan situ!"
"Ya gue sih ngoceh yang berisi dan bermanfaat! Nggak kayak elo."
Kiki melengos lalu menyeruput jus jeruknya yang samasama kebanyakan es. Di food court mal ini, resto ayam cepat
saji ini memang yang paling murah. Jadi maklum saja jus jeruk lebih banyak es daripada jusnya. Namanya juga murah!
"Ada harga ada barang, kan? Namanya juga murah. Wajar lah.
Lagian elo juga sebenernya bersyukur kan ada resto ini? Pas
sama kantong pelajar. Hayooo? Sok-sok teori ekonomi segala!
Intinya kan murah! Bawel."
Mima mengangkat bahu. "Ki, gimana ya caranya biar Nyokap nggak kepikiran daftarin si Inov ke sekolah kita?"
Kiki mengernyit. "Emang kenapa? Biarin aja, kali."
Mima bergidik. "Hih!!! Males amat! Lo belum liat dia sih, Ki.
Kayak robot. Nggak ada emosi. Aneh. Udah gitu nyokapnya
udah nitip-nitipin supaya dia bisa akrab dan dibimbing" Mima
bikin tanda kutip pake jari "sama gue dan Mika. Emang kita
guru BP apa?" Mima mendengus. "Lo tau sendiri nyokap gue.
Suka aneh. Gue udah nebak deh, kalo dia sampe satu sekolah
sama kita, artinya gue harus ngeladenin dia tiap hari. Berangkat bareng, pulang bareng, bantuin di sekolah... ahhhh, tidaaakkk!"
Nyeeet! Kiki mencubit pipi Mima. "Ge-er banget lo, Mi. Segitu yakinnya dia butuh bantuan lo. Kita aja yang udah lama
deket sama lo udah mulai stres sama bibir lo yang hiperaktif
itu, apalagi dia. Mana tahan dia?"
Tiba-tiba Mima dapat ide. "Eh, Ki, lo mo liat yang namanya
Inov, nggak?" Kiki mengernyit. "Ih, ngapain?"
"Ya iseng aja. Ke rumah gue yuk. Sekalian ngapain gitu.
Gosipin... Reki?" Kiki melotot mendengar nama kecengan barunya disebut.
"Kok lo tau soal Reki?!"
Alis Mima naik-turun nyebelin sambil nyengir. "Nggak percuma dooong, gue ?aktif?."
Muka Kiki langsung merah padam. "Ihhh... Mimaaa... gue
belum mau go public, tau!"
Mima melelet. "Biarin. Rumah gue, ya?"
"Neng!" Dengan muka nyolot penuh semangat, Teh Juliet
mencegat Mima di ruang depan.
"Teh Jul niih! Apaan sih, Teh, nyegat-nyegat aku kayak satpam stres gitu?!"
"Teh Juliet mo nanya, Neng."
"Apaan?" "Den Inov itu sakit tenggorokan, ya? Lagi batuk gitu,
Neng?" Batuk? "Ya mana aku tau, Teh. Kok nanya aku? Emang
kenapa, Teh? Dia nyuruh Teteh beli obat batuk?" Mima melirik
Kiki. Teh Juliet menggeleng. Kucir Menara Pisa-nya berayunayun dahsyat. "Nggak sih, Neng, nyuruh beli obat mah
nggak... Tapi Teteh jadi lieur ini teh, jadi pusing, Neng. Tiap
ditanya Den Inov cuma geleng-geleng. Ngangguk-ngangguk.
Pusing Teteh." Tuh, kan! Dasar manusia bermasalah tuh si Inov. Mima
mengibaskan tangannya. "Ya udahlah, Teh, nggak usah dipusingin. Ribet amat. Teteh juga nggak usah ngomong aja
biar kompak. Dia geleng, Teteh geleng, dia ngangguk, Teteh
ngangguk. Beres, kan?"


Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Muka Teh Juliet berubah tolol. Mikir. "Iya juga ya, Neng?"
Ih, emang o?on! Mima nyengir.
"Laaah, tapi kalo gitu mah jadi teu nyambung atuh, Neng?"
Naaahhh! Tuh sadar dikerjain.
"Emang nggak nyambung, Teh! Udah, Teh, biarin aja dulu.
Dia masih malu, kali. Lagian kalo ada perlu juga lama-lama
dia bakal ngomong."
Teh Juliet manggut-manggut. "Bener juga, Neng. Ya udahlah, Teteh mo masak," katanya sambil ngeloyor pergi.
"Tuh kaaan, emang aneh kan tu cowok?" kata Mima bisikbisik.
Kiki celingukan. "Iya juga sih, jadi penasaran gue."
"Makanya... ayo...," Mima menyeret Kiki ke arah tangga loteng kamar Inov.
"Ke mana?" "Ya samperin lah ke kamarnya."
Kiki kontan melotot shock. "Hah? Lo udah gila? Terus mo
ngomong apa?" "Lo mo kenalan," kata Mima lempeng.
Kiki makin melotot. "Hah?! Gila, ogah! Enak aja ngorbanin
gue. Lo nyablak sih nyablak. To the point sih to the point. Tapi
jangan ngorbanin orang dong."
"Ya udah, nggak deh, nggak. Ayooo..."
Kiki diam nggak mau bergerak. "Nggak, nggak. Eh, otak
korslet, kasih tau gue dulu, lo mo ngomong apaan ke dia?"
"Alaaah, udah, ikut aja. Ngomong apa kek, ntar gampang."
Mima menarik Kiki ngotot ke arah tangga. Dan bikin Kiki tersaruk-saruk naik tangga sambil terus mengoceh ketakutan.
"Aduuuhhh, Mi, lo emang sableng binti kusut, ya? Udah ah,
nggak jadi aja, ya?"
Mima cuek sambil terus menarik tangan Kiki.
"Mi, Mi, coba kekusutan otak lo dilurusin dikit, Mi. Kita
nunggu dia di bawah aja. Mi..., Mi..., Mi...!"
Mima berhenti dengan bibir monyong saking manyunnya
sambil menoleh ke Kiki yang dari tadi merayap kayak ulat gendut kekenyangan di belakangnya. "Sssshhh! Kikiii! Penakut
amat sih, lo! Cuma ngetok kamar MANUSIA aja lo ketakutan!
Apalagi gue ajak mampir ke kampung setan Indonesia. Ayo ah,
kita kan cuma bakal ketemu cowok, manusia, bukan se?"
DUG! "?tan...." Mima mematung kaget. Apalagi Kiki. Dari tadi aja udah
pucat. Sekarang sampai jempolnya yang tadi merah nyutnyutan kena injak, ikut pucat. Gara-gara sibuk narik-narik Kiki,
Mima nggak sadar Inov berdiri di depannya sambil memandang lurus dengan mukanya yang tanpa ekspresi.
"Mampus deh...," desis Kiki.
"Eh, Inov! Ini Kiki. Kiki, ini Inov." Sret! Mima menarik tangan
Kiki, mengulurkannya ke Inov. "K-katanya Kiki pengin kenalan..."
APA?! "E-eh, Mi..."
Mima langsung bikin Kiki bungkam dengan pelototan
maut. "Hehe, iya, pas gue ceritain ada orang baru di rumah
gue, Kiki penasaran pengin kenalan. Kiki ini orangnya mo tau
aja soalnya, Nov. Nih, Ki, yang namanya Inov."
Kiki meringis ketakutan. Makin ketakutan sampai mengeluarkan suara mencicit waktu Inov menjabat tangannya yang
masih dipegangi Mima. "Khiikhiii...," cicit Kiki pelaaan banget.
Pas banget jadi pengisi suara tikus dikentutin kerbau.
Inov nggak jawab. Cuma tatapannya makin tajam dan
genggaman tangannya jadi agak makin erat. Bikin Kiki ciut
sampai gemetaran. Untung nggak sampai ngompol. Cuma
beberapa detik, lalu tangan Kiki dilepaskan.
Idih! Ni orang beneran batuk apa?! "Inov!" panggil Mima
waktu cowok itu beranjak turun tangga melewati mereka.
Inov berhenti. Alisnya naik sedikit. Kayaknya kalo diterjemahkan dalam bahasa verbal maksudnya "Kenapa?", "Ada
apa?", dan sejenisnya.
"Kok lo..." Entah kenapa, Mima yang biasanya berisik, blakblakan, dan tukang nyolot sekali ini menciut ditatap kayak
gitu sama Inov. "Ehem..." suaranya aja sampai mendadak hilang. "Kok lo... nggak nyebutin nama lo sih? Kiki kan udah
bilang namanya." Sedikit nyali Mima yang tersisa bikin dia
bisa menyampaikan maksudnya atas kenggaksopanan Inov
yang nggak balas menyebut nama waktu berkenalan tadi.
Padahal Kiki sudah mati-matian bicara sampai suaranya seperti suara tikus.
Alis Inov naik lagi, sekarang pakai dahi berkerut. Kode lain
untuk... "Emang perlu?"
Mima menatap Kiki putus asa. Baru kali ini dia mati gaya.
Terdiam konyol begini. "Ennnggg, Mi, udahlah... nggak pa-pa. Lo kan udah nyebutin nama dia. Ngapain dia ngomong lagi? Eng, i-iya kan,
Nov? Gitu, kan?" Inov mengangkat bahu. Kayaknya sih tanda setuju. Lalu
langsung ngeloyor pergi. Tapi baru turun satu anak tangga
Inov berhenti. DEG! Mima dan Kiki spontan pucat. Waduh, kenapa dia
berhenti tiba-tiba nih?
"Ehem..." Inov berdeham. Waduhhh... "Emangnya lo berani
mampir ke kampung setan? Tadi baru nabrak gue aja yang...
MANUSIA... lo udah kaget banget gitu." Suara Inov datar dan
agak serak, lalu dia ngelanjutin acara ngeloyornya.
Mima dan Kiki membatu. Kaget.
Sedetik... Dua detik... Tiga detik... Mima baru sadar. "Ihhhh!!! Manusia aneeeehhh! Dia ngeledek kita, tauuu!!! Gue kok bisa mati kutu gitu sihhh? Matanya sih, bikin takut orang! Muridnya Deddy Cobuzier, kali!!!
Ihhh! Sialaaan!!!" Kiki mendelik. "Ngeledek kita? Ngeledek lo, kali maksudnya.
Yang nyebut-nyebut pengin ke perkampungan setan kan lo.
Bukan gue. Gue cuma korban. Syukurin lo!"
"KIKI!" Kiki merengut sebal. "Makanya, siapa suruh nekat ngorbanin gue. Si Inov itu my hero deh. Bisa bikin si knalpot metromini diem. Hihihi... Idola remaja masa kini tuh dia!"
HIH! Mima menggigit bibirnya gemas. Sialan Kiki, malah
belain Inov! Tapi tadi...
Kok bisa gitu sih? Belum ada tuh sejarahnya Mima mati
kata di depan siapa pun. Tapi tadi?! Tadi itu pencemaran
nama baik namanya! Mima berlari turun tangga menyusul Kiki. "Ki...," bisiknya.
"Gue rasa dia belajar hipnotis deh."
Kiki menepis lengan Mima yang merangkulnya. "Aduuuhhh,
ngaco deh! Udah ah!"
Dweeeeng! Mereka berdua langsung bisu lagi begitu di
ujung tangga mendapati Inov duduk di meja makan sambil
minum dan... menatap mereka lurus-lurus.
"Eh, hehe... hai, Nov," Kiki bicara dalam suara tikus lagi.
Mima cuma mematung. "Ayo, Ki." Lalu menyeret Kiki ke
kamarnya. Ceklik. Mima mengunci pintu kamar.
"Ki, lo liat sendiri, kan? Gimana coba Nyokap bisa nerima
orang kayak gitu tinggal di rumah? Nggak sopan banget.
Aneh, lagi! Gue rasa sih dia masih nggak beres."
Kiki menekan tombol ON komputer Mima. "Nggak beres?
Maksud lo?" "Ya sejarahnya dia bisa dikirim ke sini lo tau sendiri. Gue
curiga deh dia masih belum beres. Habis aneh gitu. Kayak
orang nggak normal. Lo tau kan narkoba bisa ngerusak otak?
Gue rasa otak dia kali udah rusak. Dan kalo orang otaknya
rusak, pasti mikirnya juga udah nggak normal dong? Ngeri
banget nggak sih, Ki, ada orang otak rusak di rumah gue?
Mending kalo dia beneran udah sembuh dari narkobanya.
Keluar rehab bukan jaminan, tau! Kalo orang gila otaknya rusak juga, kan? Berarti bisa aja kan dia..."
"Aduh! Aduh! Aduh!" Sambil memegang kepala dengan kedua tangannya, Kiki malah mengaduh-aduh.
"Kenapa lo, Ki?"
"Ya gue pusing denger analisis lo! Lo tuh, otaknya rusak.
Hiperbolis. Emang sifatnya aja kali gitu. Lagian di tempat baru
wajarlah masih diem. Malu, kali. Kalo dia belum sembuh total
juga paling nggak dia udah bisa keluar dari rehab, artinya dia
udah mendingan dong?"
"Pokoknya gue yakin tu anak emang aneh. Bikin rumah
nggak nyaman aja. Kalo ada orang aneh kayak dia, gue kan
jadi nggak bebas gerak di rumah sendiri."
Kiki mendorong bahu Mima pelan. "Teileeeh... nggak bebas
bergerak. Bergerak mah bergerak aja, kali. Aneh-aneh aja.
Emang si Inov ngiket elo di pohon kelapa sampe nggak bisa
gerak segala?" "Ahhhh... Kiki! Pokoknya gue nggak nyaman deeeh! Lo
nggak ngerasain jadi gue siiih."
Kiki bergidik. "Ih, males banget jadi elo."
Puk! Mima menepuk jidat Kiki sebal. "Yah, nggak nyaman
deh pokoknya." "Elo tuh suka bikin ribet diri sendiri, tau nggak? Nyantai
kek sekali-sekali. Cuma gara-gara dia mantan rehab, nggak
suka ngomong, terus tatapannya bagai Deddy Cobuzier, lo
udah nge-judge dia bikin hidup lo nggak nyaman. Lo tuh harus santai dikit, Mi... santaiii. Lo juga nggak wajib ngobrol
sama dia tiap detik, kan? Ya udah, anggep aja dia salah satu
penghuni rumah ini kayak Teh Juliet, ato Mang Eno tukang
kebun. Beres, kan?"
Mima melompat ke atas kasurnya lalu menutup muka pakai bantal. Huhhh... santai-santai, enak aja Kiki ngomong!
Pikiran Kiki tuh yang terlalu santai. Tetep aja Mima nggak
nyaman. Idealisme dan jiwa kritisnya merasa nggak pas aja
ada orang asing yang punya sejarah suram tinggal di rumah
ini. Malah kemungkinan masuk sekolahnya, lagi. Huh! Ganggu
banget. "Ugh. Ngeselin!" dumel Mima dari balik bantal.
HARI ini keputusannya! Hari ini Mama dan Papa akan ngumumin keputusan Inov
bakal sekolah di mana. Papa sama Mama sudah survei ke sekolah Mima dan Mika secara bergantian. Sekarang mereka
semua dikumpulkan di ruang TV.
Inov duduk di sofa tengah, berhadapan lurus dengan
Mama dan Papa. Mima di sofa kanan, Mika di kiri. Kayak sidang aja. Mika sih kelihatan lempeng-lempeng aja tuh. Mima
sih jangan ditanya. Dari tadi dia udah komat-kamit berdoa
supaya jangan sekolah dia yang dipilih. Dia belum siap jadi
baby sitter. Apalagi untuk anak segede Inov. Udah dingin,
aneh, ...tatapannya kayak ahli hipnotis, lagi.
"Jadi, Inov, Tante sama Oom udah survei ke sekolah Mima
dan Mika. Sebetulnya sih letaknya berdekatan, tapi yaaah
masing-masing sekolah ada bedanya. Sekolah Mika itu lebih...
lebih apa ya? Lebih serius, gitu. Yang dipentingkan betulbetul bidang akademisnya. Jadi, ekskul-ekskulnya juga lebih
banyak yang ada hubungannya sama pelajaran. Kayak kelom35
pok ilmiah, grup bahasa, budaya, gitu deh. Biarpun ada juga
sih olahraganya...."
Bagus tuh, Ma, buat orang yang perlu pengawasan ketat kayak Inov, sambung Mima dalam hati.
"Kalo sekolah Mima...," lanjut Mama, "tanpa mengesampingkan akademis, ekskul mereka lebih mementingkan banyak
kegiatan isik terutama kegiatan outdoor dan olahraga. Fasilitasnya juga lebih lengkap. Lebih banyak pilihan juga untuk
ekskul." Wah, Maaa... nggak pas tuh buat Inov. Ntar dia jadi liar, lagi.
Ekskul olahraga kan banyak kegiatan di luar.
"Tante mo tanya, kalo menurut kamu sendiri gimana,
Nov?" Inov menegakkan duduknya. Lalu berdeham menghilangkan serak. "Aku terserah Tante dan Oom saja." Suaranya sama
kayak kemarin waktu ngeledek Mima dan Kiki. Tapi sekarang
jelas jauh lebih sopan dan teratur.
Mama dan Papa langsung tersenyum senang. "Oke. Karena
bunda kamu juga udah nyerahin keputusan ke Tante dan
Oom, Tante dan Oom sudah mempertimbangkan yang kayaknya lebih cocok buat kamu..."
Sekolah Mika... sekolah Mika....
"Menurut pengamatan Tante, kayaknya kamu perlu banyak
kegiatan positif yang menyenangkan..."
Sekolah Mika... sekolah Mika....
"Jadi Tante pikir, kamu lebih cocok di..."
Sekolah Mika... Sekolah Mika....
"Sekolahnya Mima."
"Kenapa, Ma?!" celetuk Mima spontan. "Kenapa?" dan langsung mengulang lebih pelan karena kena pelototan.
"Ya karena itu tadi, kegiatan di sekolah kamu lebih banyak.
Jadi Inov bisa milih. Dan nggak terlalu stres di sekolah."
Mamaaaa... tega banget siiihhh! pekik Mima dalam hati.
Releksnya seperti biasanya langsung majuin bibir dan bersungut-sungut kayak marmut nahan kentut.
"Kenapa kamu, Mi?" tanya Papa heran.
Mima menggeleng. "Nggak. Nggak pa-pa. Tapi kelas Mima
udah penuh lho. Kemaren aja Heni, anak baru juga, duduk di
bangku tambahan." Usaha terakhir penyelamatan diri. Yang
pastinya bakal gagal. Mama mendelik. "Emangnya di sekolah kamu kelasnya
cuma satu?" Huh! Mima mendengus pelan. Lengkap sudah mimpi burukkuuuu! jerit Mima dalam hati lagi.
"Nanti Inov minta dikenalin sama temen-temen di sana
sama Mima, ya." PERFECT!!! Makin perfect lagi karena Inov mengangguk setuju. Artinya
besar kemungkinan dia bakal betul-betul minta Mima ngenalin dia ke semua orang di sekolah.
Mima melirik Mika. Kakak kembarnya itu kelihatan senyamsenyum penuh kemenangan karena bebas tugas. SIAAAAL!
"Nah sekarang, Mima, kamu anter Inov," perintah Mama
bagai geledek di siang bolong.
"HAH? Ke mana, Ma?"
"Toko buku. Beli alat tulis sama perlengkapan sekolah lainnya. Ini uang dari Bunda, Nov." Mama menyodorkan amplop
ke Inov. Nggak bisa ya mimpi buruk selengkapnya dimulai nanti aja
pas cowok itu mulai sekolah? Masa dari sekarang sih? Nganter
manusia robot itu ke mal?! Gimana kalo ketemu Gian? Bisabisa belum PDKT udah gagal duluan nih. Apalagi kalo dia
nyangka selera Mima tipe robot datar mata hipnotis kayak
Inov. Semisal Gian naksir Mima pun, bisa langsung mundur
teratur dong! Aduuuh, ni orang ngerusak hidup orang banget
sih! "Ma, suruh Mika aja deh. Sama-sama cowok, kan. Masa
aku?" Mama menatap Mima memperingatkan. Anaknya yang
satu ini kalau ngomong memang seenaknya. Nggak peduli di
depan orangnya. Main hajar bleh kayak metromini remnya
blong. "Mika les. Kalian naik taksi aja."
WHAAAATTTT???!!! "Anter ke Gramedia PVJ aja, Mi. Kan habis beli alat tulis
bisa nongkrong." Dasar Mika sinting!!! Dia tahu banget Mima nggak mau.
Pakai sengaja ngasih usul mematikan, lagi. Sejak pisah sekolah, Mika bener-bener nggak sensitif lagi sama perasaan
Mima. Nggak kayak dulu. Mima nangis, dia nangis. Mima
kesel, dia kesel. Sekarang mah boro-boro.
Papa langsung merogoh saku. "Ide bagus tuh, Ka. Nih,
Papa ongkosin, Mi. Kamu ajak Inov jalan-jalan sekalian."
KENAPA HARUS AKUUU?! Mima menjerit histeris (lagi-lagi)
dalam hati. Taksi berhenti di lobi depan PVJ. Mima membuka dompet,
siap-siap membayar taksi.
"Makasih, Pak..."
Mima melongo begitu Inov yang duduk di depan nyodorin
uang duluan. Dan lebih kaget lagi waktu Inov turun dan
bukain pintu buat Mima.
"Makasih," kata Mima bingung.
Robot Inov cuma diam dan nutup pintu taksi. Ugh, salah
deh Mima kalau sempat menyangka orang ini punya perasaan. Jangan-jangan bukain pintu buat penumpang di bela38
kang dan bayar taksi sudah diprogram di chip otaknya, ya?
Jadi otomatis. Inov berjalan di belakang Mima dengan tangan di kantong
tanpa suara. Mima belok kanan, dia belok kanan. Mima belok


Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kiri, dia belok kiri. Mima tersandung, dia juga tersandung karena dengan tololnya nggak melihat apa yang membuat
Mima tersandung dan berusaha menghindar. Dasar robot!
Mima serasa diikutin Terminator saja.
"Eh! Lo ngapain belok sini juga?"
Inov mengangkat alisnya heran.
"Tuh!" Mima menunjuk ke atas, ke papan tanda toilet.
Inov mengangkat bahu. "Ugh!" Mima menggerundel lalu masuk ke lorong toilet.
Inov masih membuntutinya. Begitu Mima belok kiri ke WC
cewek, barulah Inov berbelok ke kanan, menuju WC cowok.
Bluk! Mima menutup pintu. "Sakit! Kirain mo ngikutin gue
ke toilet cewek juga!" desis Mima. "Jangan-jangan gue sengaja
nabrak dinding, dia ikutan juga!"
Mima merapikan rambutnya sebelum keluar toilet.
Ternyata Inov sudah di luar.
"Ayo," kata Mima pendek.
Lagi-lagi Inov berjalan di belakang Mima dengan tangan
terbenam di kantong. Mima berhenti mendadak. Langsung menoleh ke belakang.
"Lo mantan tentara, ya?"
Inov langsung mengernyit. Udah tau deeehhh, artinya pasti
"Emang kenapa?"
"Lo ngapain jalan di belakang gue kayak tentara baris?
Jangan-jangan lo nyamain langkah gue juga. Konyol, tau!
Mending kalo kayak tentara. Lo tau kayak apa kita kalo baris
kayak gini?" Inov menatap Mima lurus-lurus, melempar tanya.
"Kayak penguin, tau! Lo jalan di samping gue dong. Lo
malu jalan sama gue? Atau lagi latihan jadi bodyguard?"
Inov mengangkat tangan tanda menyerah. "Sori," katanya
pendek dengan suara seraknya yang datar dan dalam.
Mmm... sekarang jalan berdampingan malah makin risi nih
kayaknya. Dari tadi Mima merasa banget Inov melirik-lirik ke
dia, tapi nggak ngomong apa-apa. Bikin orang salah tingkah
aja. Mima juga nggak minat ngajak dia ngomong. Biarpun
banyak yang sebetulnya pengin dia tanyain ke Inov.
Inov melirik lagi. Huh! Ngapain sih?! Melirik lagi. "Ngapain sih?!"
Alis Inov naik lagi. "Ngapain lo lirik-lirik gue? Ada yang aneh? Dari samping
gue kayak kingkong?"
Mima yakin nggak salah lihat, tapi Inov tersenyum. Biarpun
tipiiis banget kayak kulit lumpia. Tapi Mima bisa lihat kok. "Lo
nggak ikhlas, ya?"
Gantian Mima yang dahinya berkerut.
"Nganterin gue," jelas Inov pendek.
Yaahhh, cari masalah ini anak. "Udah deh. Ikhlas-nggak
ikhlas kan gue nganterin lo."
"Biarpun kelas lo kosong, kita nggak bakal sekelas."
"Hah?" Mima menatap Inov bingung. Ini orang memang
kalau ngomong serba nggak jelas. Sepotong-potong, tapi bikin kaget.
"Gue udah kelas dua."
Mima menatap Inov. "Sekelas juga nggak pa-pa, lagi.
Emangnya kenapa? Bangku nganggur banyak."
Inov senyum tipis kulit lumpia lagi. Tapi nggak ngomong
apa-apa. Iiihhh! Bikin malu aja deh. Kenapa Mama nggak bilang dia
udah kelas dua?! Bikin orang nggak tenang aja.
"Lo pilih-pilih aja alat tulis sebelah sana. Gue di tempat komik ya?" Mima menunjuk rak alat tulis.
Ye, memang dasar robot sableng. Tadi ngajak ngobrol, sekarang boro-boro ngangguk. Ngeloyor aja gitu, lurus kayak
bus! Bodo ah! Mima langsung melenggang masuk deretan rak
komik. Fiuuhhh... yang jelas dia lega banget hari ini karena
tahu Inov sudah kelas dua. Kesempatan sekelas sudah tertutup rapaaattt!
Nggak enak banget suasananya. Gimana mo makan?
Inov yang ngajak makan. Mima yang pilih tempat. Akhirnya
milih Red Tomato, karena dari rumah Mima sudah mengidam
pasta dan piza. "Gue mo pesen piza nih. Berdua, ya? Nggak mungkin ngabisin sendiri." Mima menunjuk-nunjuk gambar piza. "Yang ini.
Mau nggak lo?" Inov menaikkan sebelah alis, lalu mengangguk sekilas.
Ughhh!!! Terminator gagal!
"Sama jus stroberi, Mas," pesan Mima.
"Air mineral," kata Inov?singkat, padat, dan jelas.
Tuk tuk tuk tuk.... Mima mengetuk-ngetukkan jari ke meja dengan bosan. Ya
gimana nggak bosan, coba? Orang nunggu makanan tuh
biasanya ngobrol kek, apa kek, lha ini? Mima mengintip Inov
sebal. Mata Inov selalu kayak orang kurang tidur. Padahal kalau dia segeran dikit, nggak kusut dan datar kayak gini,
hmmm... dia lumayan juga. Apalagi kalau badannya agak lebih berisi, kayaknya dia...
"Ngapain?" "Hah?" Mima gelagapan.
"Ngeliatin." Mima mendelik. "Ih, siapa?!"
Inov mengangkat bahu dengan ekspresi datarnya.
Busyet deh. Ketangkep basah. Mima si blakblakan mati
kata lagi nih. Ilmu hipnotis manusia satu ini kayaknya spesialis
bikin orang bisu deh. Mima juga kan tadi ngeliatin karena
nggak ada kerjaan. Coba kalo ngobrol. Nggak mungkin juga
Mima ngelakuin hal tolol kayak tadi.
"Eh, Nov. Gimana, lo kayaknya betah nggak di Bandung?"
Inov mengangkat bahu nggak jelas. Tapi sih kayaknya artinya "Gitu deh..."
"Nov, gue kasih tau ya. Nyokap gue itu orangnya bawel
dan ketat banget. Jadi..."
Siiingg! Mima membeku sejenak begitu sadar mata setajam
Deddy Cobuzier itu menatapnya lurus-lurus. Dan?lagi-lagi?
bikin dia mati kata. Bisu temporer.
"...ngng... jadi dia tuh yang bikin peraturan di rumah."
Mulut Inov cuma membulat bentuk O. Teteeeuuup tanpa
ekspresi. "Lo udah nelepon dan ngasih tau nyokap lo kalo lo bakal
satu sekolah sama gue? Nyokap lo kan pasti nungguin
tuh..." NYEBELIN!!! Inov cuma geleng kepala SEDIKIT. Ini orang
bener-bener ya! Ngomong cuma kalo mau. Diajak ngomong
duluan kadang jawab kadang nggak. Aneh! Ajaib! "Mas! Pizanya lama banget sih?! Udah garing nih!" teriak Mima nyablak.
Cape deeeh duduk sama robot Terminator gagal gini! Bakal
kayak neraka nih di rumah. Di sekolah juga.
TIDAAAKKK!!! TOK TOK TOK! "Miii... Mima... ngapain sih lama amat? Nanti kita telat lho."
Mima menyisir rambut bob-nya yang baru malas-malasan.
Rambut Victoria Beckham, kata orang salon. Biarpun muka
Mima nggak setirus Vic, tapi oke juga kok. Kata yang motong
rambut sih, rambut pendek memang pas banget buat orang
yang mungil-mungil. Tok tok tok! "Miii... kok nggak jawab sih?"
"Iya, Maaa... iyaaa... bentar dooong. Buru-buru banget sih."
"Kita kan mo ke kantor Kepala Sekolah dulu, Mi."
Huuuhhh! Itu dia yang bikin Mima males ke sekolah hari
ini. Kenapa hari ini dia nggak mules-mules, pusing, sakit gigi,
apa kek gitu. Kepleset di kamar mandi sampe benjol juga
nggak pa-pa. Daripada ikut-ikutan nganterin Inov ke kantor
Kepala Sekolah. Nggak perlu banget deh. Kenapa nggak
Mama aja sih?! Mima membuka kunci pintu dan keluar kamar malasmalasan.
"Kamu sakit?" Ternyata Mama masih di depan pintu.
Bahu Mima melorot. "Maunya sih gitu."
"Hus! Kalo ngomong sembarangan."
Mima meringis. "Maaf, maaf, ya udah, ayo, Ma."
Inov duduk di meja makan, berseragam lengkap. Mukanya
kelihatan agak lebih berperikemanusiaan kalau pakai seragam. Nggak sesangar dan sedingin kalau dia pakai T-shirt dan
celana pendek gombrong, atau jinsnya yang melorot. Mukanya juga nggak sekusut biasanya karena kayaknya hari ini dia
"terpaksa" nyisir.
Dengan ogah-ogahan Mima menyeret kaki, mengikuti
Mama dan Inov yang melangkah ke mobil.
"Jadi, Mima, kamu harus bantu Inov, ya?" Pak Kepala Sekolah
tersenyum lebar ke arah Mima.
Terpaksa deh senyum sama lebarnya. "Iya, Pak."
"Nah, Inov, mudah-mudahan kamu betah di sekolah ini. Bu
Intan, antar Inov ke kelasnya. Kamu langsung ke kelas kamu
aja ya, Mima? Nanti jam istirahat mungkin kamu bisa antar
Inov keliling sekolah."
Huh, sekolah dikelilingin segala. Kayak Kebun Binatang aja.
"Baik, Pak." "Mari, Nov...," Bu Intan mengajak Inov keluar ruangan Pak
Kepsek. Mima ikut bangkit, mau kembali ke kelas. "Saya juga pamit
keluar, Pak." "Iya, iya. Saya masih mau ngobrol sama mama kamu sebentar."
Mama tersenyum sopan. "Permisi, Pak...."
"Eh, Mima!"panggil Bu Lis, asisten Pak Kepsek yang tibatiba nongol.
"Iya, Bu?" Bu Lis tergopoh-gopoh menghampiri Mima. "Saya minta
tolong ya? Tadi kelupaan. Ini papan nama Inov udah jadi. Kebetulan begitu datanya masuk, langsung saya bikin papan
namanya. Tolong susulin ke Inov, ya?" Bu Lis menyerahkan
papan nama kecil buat dipakai di seragam Inov.
"Baik, Bu." Mima menatap papan nama di tangannya.
SATRIA NOVEMBER NIS 233456 Satria November? Ohhh... ini toh nama panjangnya. Kirain
Inov apaaa gitu namanya. Hmm... tapi unik juga. Satria
November. Pasti lahirnya bulan November.
"Nov!" Mima berlari-lari kecil menyusul Inov dan Bu Intan.
"Ada apa, Mi?"
Yang dipanggil Inov, yang nanya ada apa malah Bu Intan.
Inov cuma memandang Mima heran. Seperti biasa. Gerakan
alis atau dahi. Makin lama Mima makin jago nih baca bahasa
muka kayak gini. Mungkin ini baru sebagian yang ditunjukin
Inov. Sebentar lagi bisa saja dia mengeluarkan jurus-jurus
bahasa muka yang lain. Bibir monyong, pipi gembung, lubang hidung kembang-kempis... yang lain kek.
"Nih. Papan nama lo. Satria November."
Inov mengambil papan nama yang disodorkan Mima. "Makasih," katanya pendek. Kayaknya bilang satu kata aja berat
banget. Apalagi disuruh nyanyi. Bisa mati kali dia!
"Sama-sama," jawab Mima sama pendeknya saking sebelnya. "Saya kembali ke kelas, Bu."
Bu Intan mengangguk. Huh! Dasar robot. Bilang makasih aja nggak pake ekspresi
begitu. Otot-otot mukanya juga ikut rusak kali ya, gara-gara
narkoba? Soalnya kata Pak Polisi waktu penyuluhan, narkoba
bukan cuma ngerusak otak, tapi juga saraf dan isik. Orangorang goblok aja yang pake narkoba. Udah tau ngerusak diterusin.
Mima masuk kelasnya buru-buru. Langsung duduk di bangkunya, di sebelah Kiki. Di belakang mereka Riva dan Dena
asyik nyalin PR. "Dari mana lo, Mi?"
"Kepsek." Alis Kiki mengernyit. "Ngapain? Kasus, lo?"
"Enak aja. Nganterin si Inov. Dia kan hari ini mulai sekolah.
Bukannya gue udah cerita?"
Mata Kiki langsung melotot lebar. "Oh iyaaa... terus?
Terus?" "Terus-terus apa? Ya udah. Dia udah masuk kelas."
"Kelas satu apa?"
Mima melirik Kiki heran. "Lho, gue belum cerita? Inov ternyata udah kelas dua."
Mata Kiki melebar lagi. Sekarang Riva dan Dena ikut-ikutan
merapat. "Kelas dua? Serius?" pekik Kiki.
"Jadi... anak kos di rumah lo kakak kelas?" celetuk Riva dari
belakang. Heboh banget sih? Mima memandang sahabat-sahabatnya.
"Iya, kelas dua. Emang kenapa sih? Nggak istimewa, kan? Malah bagus dia jadi nggak bisa sekelas sama kita. Lo mau dihipnotis sampe kayak tikus kecekik lagi, Ki?"
Kiki meringis. "Nggak. Eh, dia kelas dua apa, Mi?"
"Kelas II-A1."
"AAHHH!" Tiba-tiba Kiki histeris.
Plak! Mima menepak lengan Kiki kaget. "Apaan sih lo, Ki?"
"Itu kan kelasnya Rekiii!!!"
Mima melirik datar. Kirain kenapa. Ngaget-ngagetin aja.
"Mima!" Hati Mima langsung berbunga-bunga, bersinar-sinar, dan
bernyanyi-nyanyi heboh begitu tahu siapa yang memanggil
dan menyusul langkahnya ke kantin. Kiki, Riva, dan Dena langsung cengar-cengir nggak jelas sambil ngeloyor pergi begitu
melihat siapa yang nyamperin Mima.
"Gian?" Pipi Mima langsung bersemu-semu. Selain si robot
Terminator Inov, Gian adalah manusia pertama yang bisa
bikin Mima nggak sebocor knalpot bajaj. Dan nggak senyablak tukang gado-gado keliling.
Gian jalan di samping Mima. "Gimana, kamu jadi ikutan
jadi panitia acara bazar sekolah??Acaranya bakalan meriah
lho. Kami butuh banyak bantuan," kata Gian dengan suaranya
yang berwibawa. Calon ketua OSIS masa kerja selanjutnya
gitu lho! Gian ini dari SMP katanya memang udah berprestasi
banget. Aktif. Plusss... supel dan berwibawa. Sekarang aja dia
ada di kelas dua unggulan, kelasnya anak-anak pintar.
"Ngng..., jadi kok, Gi."
Wajah Gian makin cerah. "Bener? Waaah, kami semua bakal
seneng banget, Mi. Apalagi kamu kan orangnya vokal. Pasti
bakal banyak membantu. Oh ya, Mi, ini formulir pernyataannya. Kamu bawa, ya? Isi di rumah, besok kembaliin lagi ke
aku. Oke?" Mima menerima kertas dari tangan Gian, lalu mengangguk
sok malu-malu. "Oke, Gi. Aku seneng kok bisa gabung."
"Sekarang kamu mo ke mana, Mi?"
"Ke kantin. Kamu?"
"Aku sih mau ke ruang OSIS. Tapi kita kan searah. Bareng
deh." Asyiiikkk!!! pekik Mima dalam hati.
Tapi baru juga mau seneng, Mima langsung jengkel lagi.
Di depan dia melihat Inov lagi duduk sendirian di tembok
pendek koridor. Betul-betul sendirian. Dan diam. Lagi ngapain
tu anak di situ? Mana nggak ada jalan lain ke kantin, lagi.
Kalo lewat situ, mana mungkin dia nggak negur Inov? Apa
dia balik lagi aja? Tapi... kalo balik lagi, ntar nggak enak sama
Gian. "Kenapa, Mi? Kok mukanya gitu?"
"Ha? Eh, nggak. Nggak pa-pa kok, Gi."
Huhhh... ini sih terpaksa negur.
Inov masih diam di situ, nggak ada tanda-tanda mo
pergi. TERPAKSAAA... Mima berhenti di depan Inov. Gian juga ikut
berhenti biarpun heran. "Nov, ngapain lo di sini? Nggak ke


Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kantin?" Inov melirik. "Nggak," jawabnya SUPERpendek.
Udah, gitu doang? Nanya kek Mima mo ke mana. Apa kek.
Jadi bingung. Mo ngomong apa lagi? Jiwa sosial Mima nggak
tega juga ngeliat Inov bengong sendirian. Gimanapun
anehnya Inov, ini kan hari pertamanya di sekolah. Mana
Kepsek udah nitip-nitipin dia ke Mima, lagi. "Nggak laper
emangnya? Nggak pengin liat kantin?"
Inov cuma geleng-geleng.
Aduh, ngomong apa lagi ya? Oh iya! Gian. Mima melirik
Gian yang memandangi mereka bingung. "Gi, ini Inov. Dia
anak baru di sekolah kita. Anak sahabat mama aku."
Inov membalas uluran tangan Gian.
"Halo, aku Gian."
Inov tersenyum tipis. Senyum andalannya. Senyum tipis
kulit lumpia. Tapi kayak kejadian Kiki waktu itu, karena Mima
udah nyebutin namanya, kayaknya Inov ngerasa nggak perlu
nyebutin namanya lagi. Kali ini Mima males protes. Daripada
keki? "Udah liat-liat ekskul?"
"Belum," jawab Inov datar.
Gian langsung salting. Duh, suasananya jadi nggak enak nih. "Ya udah deh kalo
lo nggak mo ke kantin. Gue ke kantin dulu, ya?"
Inov mengangguk. "Yuk, Gi..." Gian mengikuti langkah Mima. "Mi, orangnya memang
gitu?" Mima melirik Gian. "Eng... iya. Emang gitu. Jarang ngomong
di rumah." Alis Gian berkerut. "Di rumah?"
Aduh! Salah ngomong deh. "Eng... dia dititipin ibunya kos
di rumahku." Jujur aja deh. Kos. Tepat banget kata-katanya.
Nggak mungkin dooong, Mima bilang Inov tinggal gratisan
di rumah Mima dan diterima dengan tangan terbuka oleh
seluruh keluarga. Bisa-bisa Gian belum maju langsung mundur teratur. Disangka ada perjodohan terselubung antara dua
keluarga yang udah dekat. Iya, kan?
Gian manggut-manggut. "Ooo... sebaiknya kamu ajak dia
liat-liat ekskul, Mi."
Ngomong sih gampang. Tapi Mima maksa senyum. "Hehe...
iya, iya, pasti." "Eh, Mi, kenapa nggak ajak dia gabung jadi sukarelawan
acara bazar? Buat kamu juga enak kan kalo ada orang serumah?"
EH?! Waduh.... "Dia juga jadi bisa lebih cepat baur sama anak-anak. Gimana, Mi, bener nggak?"
Huhuhu... masa bilang nggak? Ini kan kesempatan untuk
mengambil hati Gian. "I-iya sihhh... bener banget."
"Nahhh, ajak dia ya, Mi? Apalagi kalo anak baru belum ada
ekskul kan dia belum punya banyak kegiatan. Masih bingung.
Bermanfaat banget kalo dia ikut jadi panitia bazar. Aku bakal
seneng banget kalo dia bisa gabung."
Enggg.... "Ehm, iya deh, iya. Nanti aku ajak."
"Nih formulirnya. Sekalian aja nanti serahin ke aku bareng
punya kamu." MAMPUS! Sambil meringis Mima menerima formulir dari
Gian. JAM 1?! Mima mengucek-ngucek matanya yang sepet. Garagara tugas kliping nih, sampe begadang begini. Mana besok
harus bangun pagi-pagi, lagi. Mana masih sebel, lagi. Berkat
hari pertama Inov, terpaksa tadi siang Mima nggak bisa ikut
Kiki dkk nongkrong di warung milkshake. Soalnya Inov belum
tahu angkot pulang. Huh! Huh! Huh!
Milkshake... kok jadi haus ya?
Mima membereskan meja belajarnya. "Kayaknya gue punya
jus di kulkas," gumam Mima sambil melenggang keluar kamar.
Hiii... rumah tengah malam gini serem juga. Mana gelap,
lagi. Mana Teh Juliet tidurnya di belakang, lagi.
DUK DAK DUK! Apaan tuh? Mendadak Mima merinding. "Suara apaan
sih?" DUK DUK DAK! Dari atas? Mima mendongak. Dari loteng kamar Inov kayaknya. Ngapain tu orang malam-malam berisik? Mima berjingkat-jingkat
naik tangga. Makin dekat ke pintu, Mima bisa mendengar
suara Inov ngomong nggak jelas dan langkah kaki cowok itu
mondar-mandir. Maklum, lantai loteng kan dari kayu. Karena
tadinya buat gudang, sengaja dibikin besar. Sekarang malah
disulap jadi paviliun buat Inov. Habis kamar di rumah ini
cuma tiga sih.... Berisik banget. Mima menempelkan kuping pelan-pelan ke
pintu. "Nggak... gue nggak mau...," suara Inov samar-samar.
DUK DAK DUK DAK... Inov mondar-mandir gelisah.
"Nggak, nggak, nggak bisa...."
Apa sih? DUK DAK DUK DAK... JREEENG! Mima melongo ketika pintu kamar tiba-tiba terbuka lebar.
Inov berdiri di depan pintu dengan muka bingung.
Mima nggak bisa gerak. Ini kedua kalinya ia tertangkap
basah. Dan sekarang lebih parah. Gimana dong?! Bilang apa
nih, jam satu malem ketauan nguping?! "Ngng..."
Inov nggak ngomong apa-apa. Ekspresi herannya hilang
begitu aja. Dia langsung ngeloyor ngelewatin Mima. Turun ke
bawah, menuju kulkas. Mima makin bengong. Turun tangga pelan-pelan. Busyet,
minumnya banyak amat? Kayak onta aja.
Habis minum Inov balik ke arah tangga, dan tanpa suara
ngelewatin Mima lagi. Ini orang betul-betul ajaib. Kok dia nggak nanya Mima
ngapain? Kok dia nggak marah? Kok dia nggak ada reaksi?!
Sebelum naik tangga Inov berhenti. Menoleh ke arah
Mima. "Sori gue berisik," katanya, lalu naik tangga, masuk, dan
menutup pintu kamar. Siiiinngg! Mima cuma mematung.
Begitu doang?! Mendadak Mima teringat formulir dari Gian. Gimana mungkin dia nyuruh Inov mengisi formulir dan bergabung jadi
sukarelawan bazar kalo keadaannya kayak gini? Mana Gian
berharap banget, lagi! UHHH!!! Tuh kan, ada aja yang kacau gara-gara Inov!
Biarpun, dipikir-pikir lagi, sebenarnya ini gara-gara Mima
juga sih. Tapi kan Inov yang mancing. Coba kalo dia nggak berisik?
Mima nggak mungkin juga nguping kayak tadi.
HUUUHHH! Terpaksa deh formulir Mima juga ditunda dulu.
Padahal kalo dia besok nyerahin ke Gian kan dia bisa... AHHH!
SEBEL! "YUK?" Mima melirik sebal ke arah suara yang pede banget bilang
"yuk" itu. Dari tadi Riva, Kiki, sama Dena udah bablas ke lapangan basket SMA Merdeka III buat jadi suporter sekolah.
Sumpah deh, Mima pengin banget ikut. Apalagi Gian juga
pergi, tapi... "Lo belum inget angkot pulang emangnya? Kan gampang."
Sambil manyun Mima protes ke Inov yang sukses bikin dia
nggak bisa ikut teman-temannya.
Set! Bukannya jawab, Inov mengangkat kertas kecil catatan
belanjaan dari Mama. "Yang setuju belanja pulang sekolah kan elo, bukan gue.
Nyokap kan minta tolongnya sama elo."
Which is artinya Mima yang harus nganterin, karena Inov
belum tahu angkot ke supermarketnya, lanjut Mima dalam
hati. Dan karena Mama juga bilang supaya Mima nemenin
sekalian nunjukin Inov jalan dan supermarketnya. Lagian Inov
ngapain pake bilang MAU!!!
Biarpun bibir Mima super mengerut kayak marmut sakit
perut, muka kusut kayak kain pel dari zaman prasejarah, Inov
datar aja. Diam sambil dengerin Mima ngedumel panjangpendek.
Mima mendelik. Dasar!!! Orang ngomel direspons kek. "Ya
udah, ayo! Kita harus jalan dulu tuh ke sana. Angkotnya dari
sana." Dengan sewot Mima berjalan melewati Inov.
Inov buru-buru menyusul Mima.
Siiinggg! Yang di PVJ aja masih bikin trauma. Sekarang malah harus
jalan lagi sama Inov. Belanja dapur, lagi! Mima melirik Inov
yang berjalan dengan tatapan lurus dan tangan masuk ke
saku celana. Tiba-tiba HP Inov bunyi.
Mima melirik lagi. Bawa HP toh dia, kirain nggak kenal satu
umat manusia pun di dunia ini. Jadi buat apa punya HP? HP
kan buat NGOBROL. Dan menurut hasil pemantauan, kayaknya NGOMONG nggak termasuk keahlian Inov.
Alis Inov mengernyit menatap layar LCD HP-nya.
"Kalo mo ngangkat telepon, berenti aja dulu," saran
Mima. Inov lempeng aja. "Halo?" katanya dingin dan dalam.
Busyet! Ada juga manusia nekat yang nelepon Inov.
Wajah Inov mendadak keruh dan tegang mendengar
omongan orang di seberang sana. Mukanya jadi serius dan
keliatan marah. Siapa sih? Ah, palingan mantan pacar yang
merasa tersinggung karena nggak dikasih tahu Inov pindah
ke Bandung. Pasti lagi ngomel sambil bilang, "Kamu kok tega
banget sih, aku tuh khawatir, tau!" atau "Kamu nganggep aku
apa sih? Kok kamu nggak bilang sama aku kalo kamu pindah?"
Inov celingukan panik. Atau... "Kamu tuh nggak mikirin perasaan aku banget sih!"
Atau... Set! Tiba-tiba Inov menarik tangan Mima kasar.
"ADUH!!! Apaan sih, Nov?" pekik Mima sementara Inov mendadak lari sambil celingukan dan menyeret tangan Mima.
Wajah Inov mengeras. Matanya nyalang sambil terus toleh
kanan-kiri. Dan terus menyeret Mima lari.
"NOV! Sakit, tau! Lo kenapa sih?!"
Tanpa aba-aba, Inov menarik Mima masuk ke bus Damri
tujuan?entah ke mana, yang pasti bukan ke supermarket?
yang lagi ngangkut penumpang. Mereka menerobos kerumunan penumpang, lalu duduk di salah satu kursi di tengah.
Kalo Mima naik bus, dia bakal pilih tempat duduk paling
dekat pintu! Nggak bakal di tengah kayak begini. Pertama,
lumayan dapat angin dari pintu, jadi nggak sesak napas kayak
sekarang. Kedua, kalo ada apa-apa lompat keluarnya gampang. Risiko terinjak-injak penumpang lain yang berdesakan
mau keluar jadi lebih kecil kalo busnya dibajak, tabrakan, meledak, atau terguling masuk jurang. Ya, kan?
Inov yang duduk di samping Mima masih ngos-ngosan.
Mukanya nggak setegang tadi, tapi masih kelihatan khawatir.
Nggak jelas kenapa. "Lo udah gila ya, Nov? Salah masuk bus nih! Sok tau sih,
pake acara ngejar-ngejar bus segala. Salah jurusan gini! Hih...
mana tangan gue ditarik-tarik, lagi. Kita tuh harusnya naik
yang itu!" Mima menunjuk angkot yang dimaksud di luar jendela dengan putus asa. "Mang, ber?! Auw!"
Mima melotot galak waktu ditarik duduk oleh Inov. Dia kan
mau minta busnya berhenti supaya mereka bisa pindah ke
jurusan yang benar? "Nov, kita mesti pindah angkot."
Tiba-tiba Inov menatap Mima tajam. "Kita diem aja di bus
ini. Please...," kata Inov, bikin Mima melongo. Diam di bus ini?!
Kenapa? "Ngapain?" "Nanti gue jelasin," jawab Inov datar.
Gila ni anak! Disuruh belanja malah lompat ke Damri jurusan entah ke mana. Pakai bakal ada penjelasan segala, lagi.
Entah kenapa Mima juga nurut aja dan malas berdebat.
Habis, dia penasaran juga sih mau ke mana Inov naik bus ini
dan kenapa. Gila! Bener-bener gila! Sekarang mereka terdampar di terminal entah apa dan di daerah mana. Mima menyipit-nyipitkan mata mencari-cari nama yang menempel di kaca angkot.
Cicaheum. Busyet deh!!! Kesampean juga Mima menginjak Terminal
Cicaheum. Seumur-umur Mima mendengar namanya, belum
pernah sekali pun dia mampir. Apalagi naik bus sampai sini.
Mima melirik sinis. "Thanks, Nov..."
Inov melirik. Menaikkan alis seperti biasa. Yang kali ini dijamin artinya "makasih buat apa?"
"Berkat lo gue jadi pernah ke Terminal Cicaheum yang terkenal ini. Tanpa tujuan. Piknik doang," desis Mima sebal.
"Mestinya kita bawa tikar dan kaset dangdut sekalian!"
Tampang Inov datar. Mima celingukan. Haus banget. Tanpa ba bi bu Mima menyeret Inov ke arah warung yang ramai banget. "Ayo... gue
haus!" Tanpa perlawanan, Inov pasrah diseret Mima. Ya iyalah pasrah! Paling-paling dia juga haus, tapi mau ngomong duluan
gengsi. "Bu, es teh manis..." Mima melirik Inov.
"Dua," sambung Inov.
Dua, dua! Dasar irit ngomong! Pita suaranya putus, kali,
kalo ngomong panjangan dikit.
Mima kipas-kipas kepanasan. Gila, asli nih panas bangeeet!
Bayangin aja nongkrong di terminal bus siang bolong begini
di warung yang penuh banget. Boro-boro pake AC, kipas
angin aja muternya udah males-malesan gitu. Kadang muter,
kadang nggak. Nggak lama es teh mereka datang.
"Sluuurppppp!!!" Saking hausnya Mima kalap, sekali sedot
habis setengah gelas. "Ahhhhh... seger bangeeeet... enaaak..."
Mima melirik Inov. Ternyata cowok itu meneguk es teh manisnya bahkan tanpa sedotan. Jakunnya bergerak naik-turun
waktu minum. Ternyata haus juga toh, minumnya sampai
nggak berhenti-berhenti. Kirain robot minumnya oli! batin
Mima. "Nov! Tadi apaan?"
Inov menyeka bibirnya. Melirik Mima dengan alis terangkat
sedikit. Seperti biasa.
"Waktu di bus lo bilang ntar lo ceritain. Apanya? Lo mo
cerita apa? Kenapa lo nyeret-nyeret gue naek bus salah
jurusan? Gue berhak tau lho, Nov! Soalnya lo udah ngajakngajak gue dengan paksa," repet Mima panjang-lebar.
Inov meneguk es teh manisnya sekali. Lalu menatap Mima.
"Nggak penting," katanya dingin.
Ugh! Sakit jiwa! Tadi dia sendiri yang bilang mau cerita,
tahu-tahu bilang nggak penting. Mainin perasaan orang
banget sih?! Dia nggak mikir Mima penasaran, apa?! Harus
ada alasan kuat dong kenapa Mima sampai harus pasrah terdampar di Terminal Cicaheum nan panas membara ini berdua
sama dia! "Terserah deh, penting apa nggak, yang jelas lo
harus cerita. Gue penasaran."
Inov diam. Ighhh!!! Dasar batu kali! Otak mutan! Kambing stroke!
"Inov! Apaan???"
"Gue lupa." WHAAATTT?!! Idioto, tololo, bodoho, stupido!!! Alasan macam apa tuh?lupa?! "Lupa? Plis deh, Nov, lo nggak punya
alasan yang lebih intelek dikit, pa? Masa ?lupa?? Mana mungkin lo lupa alasan lo tiba-tiba lompat ke Damri dan nyuruh
gue ikut sampe sini?!"
Inov menatap Mima datar. "Mungkin. Buktinya gue lupa."
Mima beranjak berdiri, lalu merogoh sakunya. "Nih, Bu,
saya bayar!" Mima menyodorkan Rp 1.500,- sambil merengut.
Lalu balik badan melengos.


Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lho, Neng, kurang, kan es teh manisnya dua..."
Mima berbalik lagi. "Satu lagi yang minum kan bukan
saya!" tukas Mima sebal sambil ngeloyor pergi.
Inov buru-buru membayar es tehnya, lalu lari menyusul
Mima. Mima menyetop angkot jurusan rumahnya.
Inov ikut naik dengan muka polos.
"Ngapain lo ngikutin?" tanya Mima judes.
"Gue nggak tau jalan pulang."
Mima mendengus. Mama bingung melihat Mima masuk sambil cemberut disusul
Inov yang mukanya nggak kalah aneh tanpa nenteng belanjaan pesanan Mama. "Lho, belanjaannya mana, Mi?"
Mima membuka kulkas lalu menuang air es ke gelasnya.
"Tanya aja sama dia."
"Inov?" tanya Mama.
Inov duduk di kursi meja makan. "Nyasar, Tante."
Alis Mama mengernyit. "Nyasar gimana? Kan ada Mima?
Mima, gimana sih... kok bisa-bisanya..."
"Aduh, Mama! Dianya aja yang pengin nyasar! Bukan Mima
yang bikin dia nyasar. Dia yang bikin Mima nyasar! Penasaran
liat Terminal Cicaheum..."
Mama makin bingung. "Udah ah, Mima ngantuk... capek. Habis seharian nongkrong di terminal bus." Mima ngeloyor pergi ke kamar.
Inov bangkit dari kursinya. "Maaf, Tante. Besok saya belanja."
Mama menepuk bahu Inov, masih terheran-heran. Aneh
banget sih ni anak berdua? "Ya, ya, nggak pa-pa. Makan dulu,
Nov?" "Iya, Tante. Saya ganti baju dulu."
Mama mengangguk masih dengan muka bingung.
Mima melompat ke kasurnya. Menatap langit-langit kamarnya.
Bibirnya masih aja manyun sambil bersungut-sungut nggak
jelas. "Ughhh... manusia aneh! Ngapain coba, asal-asalan naik
bus kayak tadi?! Bikin capek aja!"
Trrrttt... Trrrttt... Mima melirik HP-nya. Ki2 Calling... "Halooo...?" "Mi! Ke mana aja sih? Diteleponin dari tadi nggak diangkat!"
Mima mendengus. "Lo mau gue kecopetan ngangkat HP
di Terminal Cicaheum?"
"Hah? Ngapain lo ke sana?"
"Tanya sama si Inov!"
"Hah? Apa?" Mima garuk-garuk kepala kesal. "Aduuuhhh... males deeeh
ngomonginnya, ntar aja. Lo kenapa emang neleponin gue?"
"Si Gian nyariin lo tuh tadiii..."
Tuing! Dari bete Mima langsung berseri-seri. Dicariin
Giaaan? OMG! OMG! OMIGOOODDD! "Yang bener? Nanyain
gue? Kenapa?" "Hmmm... masalaaah... apalah gitu! Sukarelawan bazar..."
Mampus! Pasti soal formulir! Kok Mima bisa ge-er gitu ya?
Kalau sekarang ini Gian nyariin dia ya pastilah buat masalah
itu. "Terus lo bilang apa?"
"Ya gue bilang lo sama Inov. Nggak tau ke mana. Gue teleponin nggak bisa."
Yahhhhh... wrong answer! "Dodooolll... lo kok bilang gue
sama Inov?!" "Ya emang lo sama Inov, kan?!"
"Ya iya, tapi kan.... Ah, udah ah! Jadi bete lagi nih. Thanks
infonya anyway." "Yeee... ya udah deh."
"Daaah..." Klik! Tuh, kaaannn.... Bener-bener deh Inov! Harusnya hari ini dia
bisa ketemu Gian. Ngobrol apa kek. Diskusi apa kek. Nggak
penting juga nggak pa-pa asal ngobrol sama Gian. Ini malah
nyasar sampe ke Cicaheum!
Eh.... Mendadak Mima teringat. Tadi kayaknya waktu nyeret dia
masuk bus, Inov kayak orang panik. Kayak orang lari dikejarkejar apaaa gitu...?! Kenapa ya?
MIMA menempelkan kuping ke pintu. Kayaknya lagi-lagi
Inov lagi nelepon di kamarnya. Suara kakinya yang mondarmandir kedengaran banget.
"Tolong deh... udah selesai, kan?" gumam Inov gusar.
Apaan sih? Pacarnya itu kali ya, masih nelepon-nelepon
karena merasa diputusin sepihak?
"Jangan ganggu gue lagi... gue udah nggak mau urusan
lagi sama..." PRAK! Ups! Mima meringis ketika nggak sengaja menyenggol lampu meja di dekat pintu kamar Inov. Sial! Ketahuan lagi deh!
Si Inov pasti lagi ke sini. Mima buru-buru pasang tampang
polos. Pokoknya dia harus tenang setenang mung?
Jreng! Inov membuka pintu lebar-lebar. Kayaknya sengaja dengan
gerakan supercepat biar Mima kepergok lagi nguping. Tapi
o-oow... Anda telat, Inov. Mima sudah berdiri manis dengan
gaya sok baru datang sambil nenteng dua lembar formulir di
tangannya. "Lo jatohin lampu, ya?" tanya Mima buru-buru sebelum dia
jadi tertuduh. Jurus siapa cepat dia dapat. Nuduh duluan biar
nggak dituduh. Kayak orang kentut yang duluan bilang dia
mencium bau padahal dia sendiri yang kentut.
Inov menatap Mima heran.
Mima mengibaskan tangannya. Sok santai padahal nyaris
pingsan saking nervous-nya. "Ahhh... nggak usah dipikirin.
Angin, kali." Inov mengangkat bahu. Lalu menatap Mima penuh
tanya. Mima malah diam. Bengong dan jadi patung dadakan.
Inov menatap Mima, sekali lagi meyakinkan diri Mima memang nggak ngomong apa-apa yang penting, lalu siap-siap
masuk dan menutup pintu.
"Eh, Nov, tunggu!"
Inov menghadap Mima lagi.
"Gue ke sini tuh ada perlu, tahu. Lo maen tutup pintu
aja." "Ya?" Ughhh!!! Kapan sih Inov ulang tahun? Kayaknya dia perlu
dikadoin hadiah Kamus Bahasa Indonesia seri terbaru, lengkap dari bahasa baku, bahasa gaul, sampai bahasa Sansekerta
biar banyakan dikit ngomongnya. "Lo mau kan ikut jadi sukarelawan bazar?" tanya Mima tembak langsung. Toh Inov juga
kan hobinya tembak langsung. Nggak kenal basa-basi.
"Apa?" "Su.ka.re.la.wan ba.zar," ulang Mima lambat-lambat. "Ini formulirnya. Dari Gian. Inget, kan, yang waktu itu gue kenalin?
Dia bilang bazar butuh banyak sukarelawan. Dia nitip ke
gue." Inov mengambil lembaran formulir itu lalu membacanya
sekilas. "Kecengan lo?"
Hah?! "Apaan sih?"
"Si Gian." Muka Mima langsung merah padam. Ini orang bisanya kalau nggak bikin kesel ya bikin malu orang. "Aduh, bukan
urusan lo deh..." "Cewek... kalo lagi cari muka...," komentar Inov datar. Dan
hore! Kalimatnya agak panjang.
Mima melotot. Siap-siap protes.
"Tunggu," kata Inov sambil ngeloyor masuk kamar, meninggalkan Mima bengong di depan pintu.
Nggak lama Inov nongol lagi. Di tangannya ada bolpoin
dan kartu pelajar. Yessss! Lancaaarrr! Inov menandatangani
surat pernyataan di formulir!
"Nih!" Inov menyerahkan formulir kosong yang sudah ditandatangani tadi.
Mima melongo. Tapi tangannya otomatis menerima kertas
itu. "Tapi kan..."
"Nih." Inov menyodorkan kartu pelajarnya. "Data gue ada
di situ." Sialan! "Maksudnya gue yang isiin?!"
Inov mengangkat bahu. "Ya, kalo mau."
"Tapi..." "Cari mukanya pake usaha dikit dong..."
HIH!!! Mima mendelik sebal. Pengin ngamuk, tapi Inov keburu melengos masuk kamar.
Dan Mima yakin, yakin banget, seribu juta ratus persen,
tadi dia melihat ada sekilas senyum jail di bibir Inov.
INOV GILAAA! Mima membanting formulir dan kartu pelajar Inov ke atas
meja belajar. Siaaal! Dikerjain si Inov nih gue. Tapi at least dia
mau gabung. Udah ngasih tanda tangan, malah.
NAMA : Satria November
TTL: Jakarta, 11 November
HOBI : Mima mengernyit. Hobi?! Tuh anak memang nggak mikirin,
ya, di formulir suka ada pertanyaan personal kayak gini?
Hobi... Apaan ya? Naik lagi buat nanya dia? Males banget
deh! Harusnya Mima tadi tanya nomor HP-nya, jadi bisa ditelepon!
Hobi Inov... Diem? Main alis? Angkat bahu? Nongol tibatiba? Apa dong?
HOBI: Olahraga Standar dan aman, kan? Rata-rata cowok kan suka olahraga. Biarpun kalau diperhatiin kayaknya si Inov ini bukan
tipe cowok yang mau capek-capek rebutan satu bola sampai
harus lari bolak-balik lapangan. Cowok lelet dan hening kayak
gitu! CITA-CITA: Nah lho! Makin runyam nih! Menyangkut masa depan seseorang nih! Apa ya kira-kira cita-cita Inov? Ahli hipnotis? Guru
yoga? Dukun pertapa? Ahli akupunktur? Pijat releksi? Pokoknya semua yang nggak pake ngomong kali, ya?
CITA-CITA: Jadi orang sukses
Mima nyengir melihat tulisannya sendiri. Pas dan aman.
Orang sukses kan bisa di bidang apa aja. Dokter sukses. Pesulap sukses. Tukang bakpao sukses.... Apa kek.
Sisanya semua pertanyaan aman. Alamat. Golongan darah.
Kelas... amaaan..., amaaannn....
Mima menatap puas formulir asli-tapi-palsunya Inov. Besok
dia udah bisa nyamperin Gian. Tapi kayaknya sekarang lucu
juga kalau sok-sok nelepon atau SMS. Kan ada alasan.
Hehehe.... Mima mengutak-atik phonebook HP-nya.
Gian.... Hehehe... iseng ahhhh....
Tuuutttt... tuuutttt....
"Halo?" Awwwhhh.... suara Giaaan! "Halo..., Gian?"
"Ya, siapa ya?"
Mima sedikit kecewa ternyata nomor HP-nya nggak disave?belum di-save?sama Gian. Ah, lupa, kali. "Mima, Gi...."
"Eh, Mima! Hai.... Gimana, Mi, gimana? Ada apa nih?" suara
Gian akrab sekaligus berwibawa.
"Ngng, ini soal formulir. Kemarin sori ya, aku pulang cepet.
Biasa deh, Nyokap.... padahal formulirnya udah dibawa lho,"
Mima bohong. "Oh, ya? Kamu berhasil ngajak si Inov gabung?"
Mima mengangguk mantap. Padahal Gian kan nggak mungkin lihat juga. "Iya dong. Dia udah ngisi formulirnya nih."
"Besok kita ketemu ya, kalo gitu?"
Asyiiikkk!!! Mima tersenyum lebar. Memang itu yang ditunggu. "Oke. Besok, ya? Di mana?"
"Depan ruang OSIS gimana?"
"Oke. Ya udah, kalo gitu besok ya, Gi?"
"Bye, Mi...." "Byeee...." Klik. Ahhh... mimpi indah nihhh... mimpi indaaahhh!!!
GUBRAK! GUBRAK! Hah? Apaan lagi tuh? Ngapain lagi si Inov bikin keributan
malam-malam?! BRAK! BRUKKK! BRAK! Ughhh, bener-bener deh! Sejak ada dia, hidup Mima jadi
nggak tenang! Mima bangkit dari kasurnya dengan gemas.
"Gue samperin juga deh!"
Bak buk bak buk! Mima naik tangga dengan kasar. Pokoknya sekarang niatnya ngomel dan marah-marah. Peduli kampret deh sama tatapan Deddy Cobuzier-nya... yang penting
jangan tatap matanya, kali!
DUG DUG DUG! Mima mengetuk kamar Inov dengan muka
sebal. Singgg... nggak ada tanda-tanda mau dibukain.
DUG DUG DUG! "Noovvv... Inov!"
Masih hening. Mima yang pada dasarnya memang penasaran coba-coba
menekan gagang pintu. Ceklik. Nggak dikunci. Masuk aja, kali.
Cuma mo ngomel ini. Lagian ngomel kalau dipendem kan
bisa jadi bisul.... "Nov! Lo ngapain sih beri... INOV?!" Mima melompat masuk
begitu melihat Inov tergeletak di lantai kamar dengan barangbarang di meja belajarnya berantakan di mana-mana.
Inov mengerang-erang sambil meringkuk. Badannya menggigil tapi keringat mengucur deras. Kenapa nih? Kayaknya
semua benda ini juga berserakan gara-gara Inov yang berusaha jalan entah ke mana dan menabrak semuanya. "Nov,
lo kenapa, Nov?" "Ughhh...." Mampus gue! "Bentar, bentar, gue panggil Nyokap sama
Mika, ya?" SAT! Sekuat tenaga Inov meraih lengan Mima. Menatap
Mima nanar, lalu menggeleng.
"Apa, Nov?" Inov menggeleng lagi. "Lo nggak mau gue panggil mereka?"
Inov batuk-batuk. "J-jangan, Mi... Please..."
Mima mematung. "Ya terus gimana? Lo kenapa? Kasih tau
gue dong, Nov! Aduuhhh kenapa mesti gueee?"
"A-ir p-putihhh..."
"Air putih?" Inov mengangguk lemah. Mima buru-buru berdiri. "Bentar!" Lalu melesat ke bawah.
Ambil air putih dan balik lagi.
Waduh! Harusnya gue pindahin dulu Inov dari lantai, pikir
Mima. "Nov, sini gue bantu ke kasur..."
Mima nggak menyangka ternyata Inov yang cungkring ini
berat juga. Badan Mima sampai sakit gara-gara menyeret dia
ke kasur. Pelan-pelan Mima mendudukkan Inov. "Nih, air putih..."
Satu gelas air putih habis dalam sekejap. Gila... onta, kali!
Mima membaringkan Inov lagi. Dia masih menggigil, tapi
nggak separah tadi. Mukanya pucat. Ngeri banget. "Udah bisa
ngomong? Sekarang, lo kenapa? Lo harus ke dokter, Nov."
Inov lagi-lagi menggeleng. "N-nggak, Mi... Mi..., tolong jangan... sampe siapa... pun tau s-soal ini, ya?"
Mima mengernyit. "Maksudnya?"
"L-lo jangan cerita-cerita pernah nemuin g-gue kayak ggini..., ya? Ini rahasia kita..."
WIH! Masih kurang panjang apa daftar keanehan Inov?
Sekarang Mima malah diajak punya rahasia berdua! "Kenapa
sih? Gue nggak mau! Ntar gue yang kena masalah kalau ada
apa-apa. Lo tuh tadi ngeri banget, Nov!"
Inov menarik napas panjang. "Tolong, Mi...."
Mima mendesah berat. "Ya, tapi ceritain dulu yang jelas."
"Itu efek rehab gue. Gue kadang masih nagih... reaksi badan gue... bakal kayak tadi."
Mima melotot. "Berarti lo belum sembuh dong?"
Inov menggeleng. "Bukan gitu, Mi... itu sisa-sisa, nggak segampang itu bersih dari narkoba...."


Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ntar dulu... lo kok bisa keluar rehab?"
Inov meremas rambutnya. "Gue ngebohongin orang rehab.
Gue pura-pura udah sembuh. Tiap kali gue kumat, gue ke
kamar mandi. Mereka nggak pernah tau, sampe akhirnya mereka ngizinin gue pulang. Gue nggak tega sama Nyokap soalnya, Mi. Waktu gue di rehab, dia nangis terus.... Gue mau dia
lihat gue cepet sembuh."
"Gila lo! Bahaya, tau! Sekarang aja lo masih kayak gini. Lo
masih butuh pengobatan, tau!"
Inov meremas pergelangan tangan Mima. Bikin Mima kaget
dan mendadak deg-degan. "Mi, tolong, Mi. Kalo nyokap gue
tau, dia bisa stres. Udah cukup gue nyusahin dia, Mi. Lagian
sekarang gue nyoba terapi air putih. Gue pernah baca katanya bisa lumayan ngebantu... dan itu memang bener. Gue
cuma perlu waktu. Badan gue cuma perlu waktu, Mi.... Tolong,
Mi, ini rahasia kita, ya? Gue janji, Mi, gue nggak pa-pa. Gue
kuat kok nahannya."
Mima tercenung. Menatap Inov yang memandangnya
lurus-lurus. Mata Inov redup. Mata Deddy Cobuzier-nya hilang
nggak tau ke mana. Kali ini Mima bukan takut, tapi kasihan.
Mima terdiam lama. Kalau menuruti hati nurani dan sifat
kritisnya, ia yakin ia harus melaporkan ini semua demi keselamatan Inov. Tapi entah gimana... hati nurani dan sifat gila
kritis Mima kalah kali ini. Akhirnya Mima mengangguk pelan.
"Oke. Tapi kalo ada apa-apa bilang gue."
Inov mengangguk. "Ya udah. Lo bener udah nggak pa-pa? Gue mo tidur."
"Makasih, Mi...."
Mima beranjak. Lalu berhenti. Menoleh cepat menatap
Inov. "Ternyata lo bisa juga ngomong panjang. Gue kira kalo
ngomong panjang lo bakal mati," katanya, lalu ngeloyor
pergi. Inov tersenyum tipis. INOV jalan makin cepat melewati koridor sekolah.
Mima jalan makin cepat di belakang Inov.
Inov menoleh ke belakang, memperhatikan Mima dengan
dahi mengernyit. Mima lempeng pura-pura cuek sambil terus mengikuti
Inov. Set! Inov balik badan dan langsung menghampiri Mima di
belakangnya. "Ada perlu apa?" tanya Inov dengan suara dingin dan datarnya yang biasa.
Mima mengernyit. "Apaan?!"
Inov menunjuk Mima dengan muka lempeng. "Ngikutin
gue." Mima menggigit bibir. Ups! Ketahuan.... "Gue emang mo ke
WC kok. Emangnya nggak boleh? Aneh! Sejak kapan mesti
minta izin sama lo buat keluar-masuk WC?!"
Mata Inov tetap menatap Mima lurus. Tajam. Menusuk! "Bohong," tembaknya langsung. Kalau ini ilm kartun, Mima kayaknya sudah jengkang dan mental ke belakang plus berkeringat
sebesar bantal di jidatnya gara-gara kata-kata Inov yang sadis
itu. Ugh!!! Akhirnya Mima menyambar lengan Inov dan menyeretnya ke pinggir koridor yang agak tersembunyi. "Denger
ya, Mr. Jagoan! Gue emang sengaja ngikutin elo ke WC! Lo
lupa sekarang kita punya rahasia berdua?! Thanks banget!!!
Sejak data-data gue menyimpan kalo lo kumat suka ke toilet,
gue rasa gue harus ngikutin lo ke toilet sebisa mungkin. Denger lagi ya, gue nggak mau kena getahnya kalo lo kenapanapa karena dengan tolol mau-mau aja disuruh nyimpen rahasia! Ngerti?" repet Mima panjang-lebar mirip pidato
komandan pasukan. Here we go again.... Inov menatap Mima lurus-lurus tanpa
ekspresi. Mendengarkan omongan Mima dengan tenang, lalu
bilang... "Gue kebelet."
Mulut Mima menganga lebar. "Hahaha! Kebelet! Belum
tentu, kan?! Gue nggak bakal ketipu ya!"
Inov menatap Mima lagi. "Ikut masuk aja kalo nggak percaya."
DUINGGGG! Mima mati kutu. Langsung gelagapan. "Apapa? Lo ngeledek gue, Nov? Gue serius, tau!!!"
"Makanya, liat sendiri aja," jawab Inov dengan nada datar
yang sama. Mima makin melongo. Mati gaya nggak tahu harus jawab
apa lagi. Tadi dia sendiri yang ngotot nggak percaya sama
Inov. Dan satu-satunya cara membuktikan Inov nggak bohong
kan memang... masuk ke kamar mandi dan... lihat sendiri???
"Ihhh!!! Males banget sih, lo, Nov! Najis! Ogah gue!"
Inov mengangkat tangan dengan ekspresi yang seolah bilang, "Tuh, kaaan!" lalu ngeloyor pergi. Sebelumnya, sempet71
sempetnya Inov balik badan dan bilang, "Tenang aja. Gue
pasti bilang kalo ada apa-apa."
Mima mengentakkan kakinya gemas. Masuk ke WC dan
lihat sendiri?! Kurang ajaaarrr!!!
"Mima? Lagi ngapain di sini?"
Mima menoleh cepat ke arah suara di belakangnya. Kepalanya yang tadi panas mendadak dingin. Gian.
"Aku tunggu kamu di ruang OSIS, taunya kamu masih di
sini," katanya dengan suara berwibawa yang langsung bikin
Mima meleleeeh dan terpesonaaa....
Mima gelagapan. Langsung buru-buru setel muka cantik
lagi. "Eh, eng... Gian..., iya, iya, sori... Ini aku baru mo balik lagi
ke kelas. Formulirnya ketinggalan di kelas hehehe..."
Gian menatap Mima bingung. "Kelas kamu bukannya di
sana?" Gian menunjuk arah berlawanan.
UPS! UPS! UPS!!! Gini nih! Gara-gara Inov! Bikin masalah
mulu tiap hari! Ngeselin! "Eh..., enggg... tadinya mo ke WC,
terusss... tiba-tiba pas di sini... nah di sini... di titik ini, tau-tau
aku nggak pengin pipis lagi. Makanya berenti. Hehehe..."
Gian kayaknya curiga, tapi nggak terlalu ambil pusing.
"Jadi, sekarang mo ke kelas? Ya udah, aku anter kamu, ya?"
"Eh, iya, iya..."
Gian jalan di samping Mima. "Yuk..."
Ahhh!!! Terserah deh si Inov mau nyungsep ke lubang WC
kek, dikeroyok kecoak kek, kepleset sampai benjol semuka
kek.... Yang penting Mima jalan sama Gian!
Mima menusuk-nusuk bakso tahunya sambil bengong.
Bakso tahu Mang Udjo memang paling mantabh! Murah!
Dan... panas karena lokasinya di warung tenda depan sekolah.
"Mi, ngelamunin apa sih? Tumben hari ini ngomongnya
dikit..." Kiki menyuap potongan siomaynya.
"Palingan mikirin si Gian. Baru juga jalan berdua dari
koridor dekat WC ke kelas udah ngelamun... gimana kalo
dicium? Kejang-kejang kali dia! Hihihihi..." tebak Riva asal.
Dena baru saja mau buka mulut, tapi keburu diancam
Mima yang mengangkat garpunya yang masih nancep di bakso tahu. "Lo berani ikut ngomong, gue garuk pake garpu!"
Dena meringis. "Habisnya... si Riva udah nambah tuh sekali.
Si Kiki yang makannya lambat kayak anak ayam lagi diet aja
udah mo habis. Lah elo dari tadi cuma nusuk-nusuk tu bakso
tahu sampe babak belur tapi nggak dimakan."
Mima menghela napas. Ngelamun lagi. Nusuk-nusuk bakso
tahu lagi. Entah kenapa dia jadi kepikiran Inov. Rahasia sialan
itu bikin dia jadi khawatir! Inov sableng! Kenapa cuma gue
sih yang direpotin? rutuk Mima dalam hati. Kenapa juga gue
dilahirkan jadi orang yang nggak bisa berhenti mikir, menganalisis, dan terlalu menganggap semua hal itu penting?!
WHAT?! Mima melotot. Apa-apaan tuh! Si Inov goblok apa
pasrah sih?! Dipalak preman ceking begitu kok diem aja?!
Okelah, Inov juga ceking. Tapi orang yang mepetin Inov ke
tembok sambil ngomong dengan muka mengancam itu jauh
lebih ceking. Badannya selembar!!! Menurut hitung-hitungan
matematika, isika, kimia, dan biologi, harusnya sekali bogem
aja Inov bisa merobohkan dia. Kecuali itu tengkorak punya
ilmu hitam dan bawa-bawa jimat.
"WOIII!!! Jangan malak di daerah sekolah gue, ya!!! Apa gue
panggilin satpam?!" Entah ketololan dari mana yang bikin
Mima berani teriak lantang sambil melotot mendatangi Inov
yang dipepet preman. Dan ya, Mima menyesal setengah mati!
Ceking sih ceking, tetap saja preman, cing!
Preman itu menoleh dengan matanya yang... SAYU!?matanya sayu lho, bukannya melotot?ke arah Mima. Glek! Sedetik
Mima mati gaya, tapi demi mengingat dia punya nomor HP
Pak Uun satpam sekolah, dia tinggal pencet nomornya dan
teriak di HP kalau ada apa-apa.
Heh?! Memang pelototan Mima sedahsyat itu, ya? Kok preman ceking bermata sayu itu langsung ngacir? Tapi kenapa
sebelum pergi dia bisik-bisik pada Inov dan menekan telapak
tangannya ke dada Inov dan membuat Inov kelabakan menangkap entah apa....
"Preman goblok! Berani-beraninya malak di sini! Belum tau
apa Pak Uun master kungfu?!" sungut Mima begitu sampai di
depan Inov. Ngapain sih Inov masih kelabakan? Janganjangan... "Dia ngasih apa ke elo, Nov? Tadi dia nyodorin apa?"
repet Mima. Inov diam. Matanya saja kelihatan panik. Mima sempat melihat Inov memasukkan sesuatu ke saku jaketnya.
Tring! Insting detektif Mima langsung ON. "Dia ngasih apa
sih, Nov? Surat ancaman, ya?" Mima nyolot masukin tangannya ke saku jaket Inov. Yang bikin Inov makin panik. "Sini gue
liat!!! Udah, lo jangan takut! Surat ancaman kayak gitu bisa
jadi bukti autentik, tau!!! Sini. Surat apa sih sampe lo..."
Mima mematung begitu sadar benda yang berhasil direbutnya dari dalam saku Inov bukan surat ancaman, surat
kaleng, surat cinta, surat tilang, ataupun jenis surat-surat lainnya. "Ini... apa, Nov?"
SET! Inov dengan kasar merebut bungkusan plastik obat
kecil berisi bubuk putih. Dengan buru-buru dan ekspresi
superaneh, Inov memasukkan bungkusan itu ke saku jaketnya
lagi. "Tadi itu siapa, Nov? Itu tadi apa?"
Inov nggak jawab. Tapi cukup dari tatapannya saja, Mima
tahu Inov kenal preman ceking bermata sayu tadi. Mendadak
tangan Mima gemetar begitu punya bayangan kira-kira benda
apa yang ada di bungkusan tadi. "Nov, lo masih... itu narkoba,
kan?" GLEK! GLEK! GLEK! Mima menelan ludah panik.
Inov menatap Mima aneh. "Gue bakal beresin... tenang
aja." Mima melotot. "Dan lo minta ini jadi rahasia kita berdua
lagi?!" Inov diam. Mima makin berang. Mendadak dia marah banget pada
Inov. "Sori, Nov, gue nggak bisa!!! Lo bener-bener keterlaluan!!! Gue nggak mau bantu sama sekali!!!" Mima balik badan dan lari pergi.
"Mima!" panggil Inov.
Mima nggak peduli. Gila, apa?! Gue disuruh ngelindungin
orang yang ngadain transaksi narkoba?! Hih! Sori aja deh! Kalau cuma masalah Inov masih suka kumat dan nyembunyiin
semua dari bundanya, itu masih oke lah. Tapi ini?! Nyembunyiin kegiatan per-narkoba-an?! Hah! Haram! Najis!!! Kriminal! Mima mencegat angkot dan cepat-cepat naik. Mima
harus mikirin gimana caranya ngomongin ini sama Mama,
Papa, dan Mika. Hah? Kok bisa? Kok bisa Inov udah nunggu Mima di depan
rumah? Kok bisa Inov sampai lebih cepet daripada Mima?!
Tadi kan Mima naik angkot duluan....
Mima sok lempeng ngelewatin Inov. Dasar bandar narkoba!
Tau-tau... Set! Inov menangkap lengan Mima.
Mima mendelik galak. "Apaan sih?! Gue udah bilang, gue
nggak mau bantu. Sori aja ya, gue masih muda, nggak mau
gue punya catatan kriminal!" tembak Mima galak.
Inov memandang Mima tajam. Lurus. Dan menikam. "Dengerin dulu," suaranya tegas, memerintah, dan bikin orang
gugup. Sialan! Huh! Mima menyentakkan tangannya yang dipegang Inov.
"Sori. Nggak ada waktu! Dan nggak perlu!"
Sat! Inov menyambar tangan Mima lagi. Lalu menyeretnya
menjauh dari rumah. Nah lho, nah lho! Mima kelabakan. "Eh, ngapain sih, Nov?
Lepasin, nggak?!" "Nggak," jawab Inov dingin.
Hah?! Bener-bener deh! Mima sebetulnya pengin teriak
minta tolong. Tapi pertimbangannya banyak. Pertama, salahsalah Inov digebukin satpam, dan mau nggak mau Mima
nantinya terpaksa cerita kenapa dia teriak-teriak. Dia nggak
mungkin bilang mau diperkosa atau diculik Inov, kan? Ujungujungnya semua bakal tahu di rumah Mima ada junkie!
Kedua, nggak ada yang lebih jago ngegosip dibanding
ibu-ibu kompleks sini. Kayaknya kalau Mima teriak, terus ibuibu itu yang denger dan bukannya satpam, yang ada mereka
bakal berkumpul dulu sambil ngegosip, baru nolongin Mima
sekitar lima belas tahun kemudian. Haha!
Inov mendudukkan Mima di pos satpam kosong di ujung
jalan. Karena siang biasanya daerah kompleks relatif aman,
pos yang satu ini selalu kosong.
Mima cemberut menatap Inov yang berani-beraninya menyeret dia ke sini.
Inov hening. Mima makin manyun. Lalu tiba-tiba.... "Iya. Itu narkoba," kata Inov pendek.
Mima melotot. "TUH, KAAN!? Elo bener-bener brengsek!
Nggak bisa dipercaya! Tega banget sih lo bohongin nyokap
lo, pake acara pura-pura sembuh segala!!! Bisa-bisanya lo nyu76
ruh gue nyembunyiin kalo lo itu ternyata masih... Hmppph!
Hmmmp! Hmppphhhhh!!!" tiba-tiba mulut Mima dibekap
Inov. "Haaah..." Mima bernapas lega waktu Inov membuka bekapannya.
"Denger dulu, bisa?" kata Inov datar.
Ugh! Dasar kurang ajar. "Heh, denger ya! Nggak ada yang
boleh nyentuh mulut gue kecuali Mama, Papa, Mika, Riva,
Kiki, Dena, Nenek, Kakek, Tante Uwi, Oom Benny...," Mima
malu sendiri begitu sadar nyaris semua orang yang dia kenal
pernah membungkam mulutnya yang suka berisik dan menyebabkan serangan migren.
Tusuk Kondai Pusaka 14 Jaka Sembung 2 Si Gila Dari Muara Bondet Pengemis Tua Aneh 1