Ceritasilat Novel Online

Satria November 2

Satria November Karya Mia Arsyad Bagian 2


Mima diam. Yang lebih menyebalkan, Mima bisa melihat
Inov mengulum senyum. Setengah mati menahan tawa.
"Ngapain lo senyam-senyum?! Orang-orang itu deket semua sama gue! Lo apaan?!"
"Salah sendiri lo berisik banget."
JDAG! Rasanya kayak kena bogem mentah. Ini orang maunya apa sih?! "Udah buruan deh! Lo mo ngomong apa?! Gue
nanya bukan karena gue penasaran, cuma rugi banget gue
udah nyampe sini cuma bikin lo dapet kesempatan megangmegang muka gue!!! Jangan harap gue percaya! Tapi lo tetep
harus ngomong! Cepet!!!"
Inov mengangkat tangan tanda menyerah. "Yang tadi itu
kaki tangan bandar. Dia nganter barang ke gue?"
"HAH!? Jadi lo selain make ngedar juga?! Wah, lo gila, Nov!
Gila!!! Lo sadar nggak sih???"
Inov memandang Mima serius. Minta waktu ngomong.
Mima diam. Bibirnya manyun nahan kesel.
"Gue sadar! Sadar banget! Tapi bukan gitu kejadiannya!
Gue nggak make dan ngedar!"
Mima mendelik. "Terus apa lagi namanya? Apa istilahnya
dong? Beli-jual? Dimangsa dan memangsa? Apaan?! Diliat
dari Hong Kong, Roma, Paris, Cibaduyut, Condet, mana aja
juga sama aja, kali!"
"Denger dulu."
Mima mendengus. Lalu diam sambil masang tampang manyunnya yang tadi.
"Gue udah nggak make. Sama sekali. Gue sumpah, Mi. Tapi
masalah kumat dan nagih itu memang bener."
Mima diam. "Bandar dan gerombolan itu nggak mau ngelepas gue sembuh gitu aja. Mereka ngejer gue sampe ke sini."
"Lo lapor polisi dooong! Susah banget sih? Mana mungkin
juga polisi nangkep lo yang udah masuk rehab. Udah keluar,
malah." Ekspresi Inov mendadak frustrasi. "Nggak bisa, Mi. Gue diancem."
Mima mendelik heran. "Lho, bukannya itu malah makin
memberatkan mereka?"
Inov menarik napas dalam-dalam. Membuangnya pelanpelan. Lalu menatap Mima dengan tatapan nggak jelas. "Justru itu memberatkan gue."
Hah? Mima melongo. "Kok gitu?"
Jelas banget Inov serbasalah. Dia kelihatan mau ngomong
sesuatu yang penting tapi ragu. Bukan, bukan, bukan raguragu. Tapi takut.
"Ngancem apa sih, Nov?" tantang Mima akhirnya.
Inov menatap Mima seperti biasa... tajam dan menusuk.
Mima membalas nggak kalah tajam. "Kalo lo mau gue percaya, ya lo harus cerita. Sampai saat ini, gue sama sekali
nggak punya alasan kuat untuk percaya sama lo."
Mata Inov melembut. Menyerah. "Mereka ngancam bakal
lapor ke polisi tentang kas sekolah gue yang dulu, yang kebo78
bolan uang sekolah siswa tiga angkatan. Pelakunya gue, Mi.
Gue nagih, gue nggak punya uang, jadi..." suara Inov tercekat.
Jantung Mima apalagi. GOBLOOOKKK! Sekarang tambah
lagi yang Mima tahu tapi orang-orang nggak tahu! D-O-N-GO! Dongooo! Mima mati gaya. Mati ide. Mati suri! Nggak tahu
harus bereaksi gimana. Yang ada cuma mematung dengan
muka bengong yang aneh dan pastinya tolol.
"Gue nggak bisa bayangin gimana perasaan Bunda kalo
gue masuk penjara gara-gara ketahuan maling."
Mima masih terdiam. "Lo tau Nyokap bilang apa waktu gue masuk rehab?"
Mima menggeleng. Entah ke mana semua kosakata, kecerewetan, dan suara melengking tingkat tingginya. Mendadak semua ambil cuti. Kerongkongannya keriiing!
"Dia pegang pipi gue, ngeliat mata gue, dan bilang, ?Bunda
maain kamu khilaf nggak sengaja terjerumus ke narkoba.
Semua kembali ke diri kamu. Bunda masih bangga, anak Bunda bukan pembunuh, bukan maling...?" Sekilas air mata Inov
menggenang. Tapi entah gimana caranya, Inov bisa bikin
matanya langsung kering dan ekspresinya biasa lagi, lalu menatap Mima tajam. "Dia bilang, dia masih bangga karena gue
bukan maling...." Mendadak Mima mengkeret. Diam. Rasanya sekelilingnya
dingin. Seumur hidup, cuma manusia bernama Inov yang bisa
bikin Mima nggak berkutik kayak gini.
"Jadi lo ngerti kan, kenapa gue nggak mungkin lapor polisi?" Inov menatap Mima dalam.
Arggghhh! Suarakuuu!!! jerit Mima dalam hati. Dia tahu ada
penyakit serangan jantung mendadak, serangan asma mendadak, atau serangan migren mendadak. Tapi serangan bisu
mendadak...?! "Tolong ya, Mi? Jaga rahasia ini," pinta Inov, tetap datar dan
dingin. Cuma matanya aja yang keliatan memelas dan berharap.
Ugh! Mima langsung bimbang. Dia pengin banget nuduh
Inov bohong. Tapi entah gimana, dia tahu Inov nggak bohong. Bahwa semua ceritanya itu bener, dan kenyataan Inov
lagi-lagi sudah mengungkap rahasia tergelapnya pada Mima.
"Apa yang mereka mau dari lo?" Mima nggak mau terjebak
dalam rahasia besar dan mengerikan ini begitu saja tanpa
tahu apa-apa. "Mereka minta gue ngejual barang yang bakal mereka kasih ke gue tiap satu minggu. Jatah gue. Mereka nggak peduli
mau dipakai sendiri apa dijual lagi, yang penting gue setor
uang sesuai jumlah barang. Mereka yakin gue nggak bakalan
kuat nahan godaan. Mereka yakin gue nggak bisa sembuh."
"Hah?! Lo gila ya?! Okelah gue percaya lo nggak make lagi.
Tapi masa gue harus nutupin lo jadi pengedar?!"
Inov celingukan panik mendengar volume suara Mima
yang kembali seperti semula. Buru-buru Inov menempelkan
telunjuknya di bibir supaya Mima sadar suara sembernya bisa
bikin ayam sepeternakan mati jantungan.
"Nggak, nggak gitu, Mi. Gue juga nggak minat ngajak
orang lain rusak. Apalagi setelah yang gue alami."
Mima mengernyit. Alisnya naik beberapa senti. "Jadi gimana dong?! Jelas-jelas lo harus setor uang, kan?!"
"Gue punya uang dari Bunda."
Mima makin melotot. "Apa?! Jadi lo mo pake sendiri?! Gimana sih, Nov?! Nggak! Nggak!!!"
Inov geleng-geleng. Telunjuknya makin panik menekan
bibirnya supaya mulut Mima berhenti jadi megafon masjid.
"Bukan gitu. Gue setor uangnya pake uang saku gue. Bunda
ngasih uang saku lumayan banyak buat gue. Barangnya gue
buang. Gue nggak nyelakain orang sama sekali."
Ide tolol! Mima menatap Inov nggak percaya. "Lo mo nyetor uangnya ke mereka tiap minggu pake uang saku lo?"
Inov mengangguk. "Lo sadar nggak sih lo lagi jadi korban pemerasan?!"
Inov ngangguk lagi. "Gue nggak peduli duit demi perasaan
nyokap gue." Mima mencibir. Doooooh, secara itu duit nyokap lo gitu
lho!!! Tapi cuma dalam hati. Dan rasanya memang nggak perlu diomongin. Jelas itu hal yang telak banget nggak bisa didiskusikan. Kalau Mima bilang gitu, pasti Inov bakalan ngeles
lagi. Apa kek, yang klise: bakal cari kerja, apa kek gitu.... "Sampe kapan, Nov?"
Inov menghela napas. "Sampe gue bisa ketemu jalan keluarnya. Tapi selama dan sesusah apa pun gue bakal tahan. Gue
nggak mau ngancurin perasaan nyokap gue lagi. Gue udah
cukup bikin dia kecewa."
Mima diam. "Lo bisa bantu nyimpen rahasia ini, kan?"
Siaaaaaal! Kenapa harus gueee?! Kenapa bukan Mikaaa?!
Kembarannya itu kan lebih bijaksana, lebih tenang, dan kadang lebih tolol! Dia pasti gampang disuruh nyimpen rahasia.
Secara dia salah satu manusia paling lempeng di dunia ini.
Tapi demi melihat mata Inov yang jujur dan betul-betul berharap, plus alasan yang menurut Mima sangat mulia, plus...
entah apa lagi, mungkin keahlian hipnotis Inov, antara sadar
dan nggak, Mima mengangguk.
"Tapi cuma sebatas gue nganggep itu masih masuk akal.
Dan lo nggak boleh ngelarang gue kalo suatu saat gue
pengin mundur dari rahasia gila ini," ujar Mima, mengajukan
syarat-syarat demi keselamatan.
Inov menatap Mima dalam-dalam. Lalu mengangguk. "Makasih."
Tuhaaan!!! Selamatkan akuuuu! Ya Allaaahhh... niatku kan
baiiiiiiiiiiik!!! jerit Mima dalam hati. "Sekarang, ayo ikut gue!"
Mima menarik Inov ke belakang pos satpam. Kali besar dan
berarus deras ada di sana.
"Ngapain?" Mima menatap Inov sebel. "Mana tadi?! Kita buang sekarang. Dengan gitu kita paling nggak udah ngamanin satu
minggu ini dari kemungkinan lo jual barang itu ke orang lain.
Dan merusak generasi muda negara kita tercinta ini, tentunya," pidato Mima heroik.
Inov merogoh sakunya. Menyodorkannya ke Mima.
Dengan ekspresi dan perasaan campur aduk, Mima membuka bungkusan kecil itu, lalu menaburkan isinya ke kali.
Inov menatap datar tanpa ekspresi.
Mimaaaa... lo bener-bener nyemplung ke jurang!!! Mima
meringis dalam hati. Lalu bertanya lagi, WHY MEE?!
MIMA merapat ke Inov. Tangannya mencengkeram lengan
Inov dengan muka ketakutan. Sumpah deh! Belum pernah
nyali Mima seciut ini....
"Duuuh, serem banget sih, Nov! Ini tempat apaan sih?!
Horor gini! Jangan-jangan banyak setannya, lagi!"
Inov nggak menjawab, dia terus jalan.
Mima cemberut kesal. Tapi bener-bener deh! Ini tempat
apaan sih?! Semak-semaknya tinggi, belum lagi bangunan
belum jadi di sekelilingnya bikin suasana makin suram. Tempatnya agak-agak mirip tempat favorit hantu-hantu di ilm
horor kalau pengin nongol.
"Nooov, ini tempat nyeremin banget sih! Kita nggak lagi
berburu setan, kan?!"
Bluk! Mima menabrak punggung Inov yang tiba-tiba berhenti.
Mima mengelus-elus hidungnya yang nyut-nyutan.
Inov berbalik menghadap Mima. Lalu menatapnya lurus83
lurus. "Tadi mending nggak ikut, kan?" katanya dengan datar
dan dingin seperti biasa.
Mima manyun kesal. "Kok gitu sih?! Bukannya bersyukur
ada yang mau nemenin! Lagian gue harus mastiin lo aman!
Lo cuma ambil barang dan nggak berbuat aneh-aneh. Nyicipin tu barang, misalnya!"
Entah kenapa sejak tahu rahasia Inov, mendadak Mima merasa punya kewajiban untuk menjaga Inov tetap aman dan
nggak terlibat masalah. Biarpun setelah dipikir-pikir lagi, sebetulnya Mima jadi overprotective sama Inov karena dia takut
kalo Inov kenapa-kenapa dan terlibat masalah, itu berarti
Mima juga kena! Inov cuma geleng-geleng menatap Mima. "Ya udah. Kalo
gitu ayo," katanya datar tanpa ekspresi. Sama sekali nggak
ngerasain takutnya Mima biar secuil, setitik, seupil pun! Dasar
robot! Lupa apa waktu itu dia segitu melankolisnya minta tolong sama Mima untuk menyimpan rahasia gila ini?! Bisa-bisanya dia langsung balik gitu aja kembali jadi Inov si robot mati
rasa!!! Nyebelin! Kirain udah kebongkar rahasianya jadi gimana kek!
Mima berlari kecil menyusul Inov, lalu berjalan rapat di
belakang cowok itu. Mereka menerobos semak-semak tinggi, beberapa kali
muka Mima kena ciprat air dari ilalang saking tingginya itu
ilalang. Mereka berjalan makin dalam, hingga akhirnya masuk
ke salah satu bagian gedung rusak itu, di tempat yang agak
berdinding lengkap. Gelap! Dan lebih horor daripada di luar tadi! "Nov, lo nggak
niat numbalin gue sama apa gitu, kan? Sama kuntilanak, genderuwo, Nenek Lampir, atau apa gitu..." Mima melihat sekeliling dengan muka ngeri. "...nggak, kan, Nov?"
Inov mengernyit heran. "Menurut lo?"
Glek! Mima ketakutan. "Ya mana gue tau! Makanya nanya!
Nggak, kan, Nov?" Inov menatap Mima aneh. Sebel sama pikiran Mima yang
ke mana-mana. Dia memang pernah jadi junkie, tapi mana
ada minat nyoba jadi pemuja setan!
Inov balik badan dan berjalan ke arah ruangan kecil yang
sumpek dan gelap. Kayaknya kalau bangunan ini rampung,
ruangan kecil ini bakal jadi kamar mandi deh.
Mima masih nempel di belakang Inov. Dengan muka asem
ketakutan. "Eng, barangnya ditaruh... di sini?" Mima celingukan.
Inov nggak jawab. Tangannya menggerataki kotak semen
kecil yang bentuknya nggak keruan, yang kayaknya harusnya
jadi bak air. Nggak lama Inov menarik tangannya keluar. Bungkusannya ada! Bungkusan laknat yang bikin susah orang itu!
Narkoba sialan! Perusak generasi muda! Dan perusak ketenangan hidup orang! Mima maksudnya....
"Kenapa sih ditaro di situ? Di gedung ini, lagi! Ngambilnya
kan repot!" Inov mendelik menatap Mima. "Harusnya di mana? Dititip
di ruang guru?" katanya garang, bikin Mima tertohok sampai
serasa tersedak. Ini narkoba, Mima! Barang ilegal! Barang haram! Ya udah sewajarnya transaksinya juga repot dan rahasia!
Emangnya jualan mangga? Emangnya dagang kutang bisa
diobral?! Kalo tolol jangan berlebihan deh, Ma! Begitu kirakira kalimat Inov kalau diterjemahkan lebih panjang lagi.
Mima manyun. Sebel banget sama jawaban Inov yang sinis
dan bikin hati berdenyit saking keki. "Lo sinis banget sih?!
Maksud gue bukan itu! Maksud gueee, kenapa lo yang disuruh ngambil? Kenapa nggak orang itu juga ada di sini?!
Bisa aja kan lo dijebak?! Bayangin deh, kalo ada polisi ngintai
atau ada yang curiga... yang ketangkep kan lo doang! Dia?
Lepas deh gitu aja! Iya, kan? Pikir deh, secara logika harusnya
kan... MMMPHHH!" Inov membekap mulut Mima.
Kraaaukkk! "AWWW!" Inov melepas tangannya yang kena gigit.
Mima terkekeh puas. "Kan gue udah bilang, dilarang
bekap-bekap mulut gue selain orang-orang yang ada dalam
daftar gue! Sapa suruh nekat!"
"Maksudnya biar lo sadar di sini bukan tempat pidato," tembak Inov dengan lempeng dan dingin.
Mima makin cemberut. Inov melanjutkan, "Lo tuh ya, bilang takut jadi tumbal setan, tapi terus-terusan berisik ngundang setan." Lalu dengan
santai ia berbalik dan pergi.
Deg! Mima pucat! "Inooovvv! Tunggu dooong!" pekik Mima
sambil ngibrit. Mima menyemprot parit kecil halaman belakang. Serbuk itu
hanyut terbawa air. Inov memandang dingin air yang mengalir disemprot
Mima. "Tuh, duit lo! Masuk got! Sampe kapan lo mo buang duit
lo ke selokan kayak gini?" sindir Mima sambil terus nyemprotin air ke parit.
Inov melirik Mima. "Gue..."
"Woi! Lagi pada ngapain sih?"
PROOOOTT! Air di slang sukses nyemprot muka Mika garagara Mima kaget setengah mampus ditepuk dari belakang.
"Pffttt!!! MIMAAA! Woiii... basah niihhhh!!!" Mika panik
menghadang semprotan air dengan telapak tangannya. Yang
ada airnya malah makin ngembang nyemprot ke manamana.
Set! Mima menurunkan slangnya. "Ups! Sori, Ka, sori...,
nggak sengaja... basah dehhh..."
Mika melotot sebel. "Ya basahlah, orang disemprot pake
slang!" Inov menutup mulutnya kayak nahan geli.
"Kalian ngapain sih? Nyuci got? Dicariin Mama tuh, makan!"
dumel Mika sambil heboh bersih-bersih badannya yang basah
kuyup. Mima mematikan keran sambil melirik-lirik pengin tau
reaksi Inov. Apa dia setakut Mima kalau-kalau Mika mendengar omongan mereka soal benda setan terkutuk itu? Tapi
Inov keliatan tenang-tenang aja tuh.
Mika jalan duluan sambil ngedumel gara-gara bajunya basah. "Cepetan, ya. Ditunggu Mama tuh!"
Plak! Mima memukul bahu Inov begitu Mika sudah jauh.
"Kok mukul?!" Mima melotot kesal. "Lo emang robot mati rasa, ya? Lo
nggak takut Mika denger omongan kita?!"
Inov mengangkat bahu. "Keliatannya nggak tuh." Lalu ngeloyor pergi.
Ughhh!!! Dengan geram dan darah tinggi Mima memungut
batu kerikil kecil dan menimpuk Inov penuh dendam. Sayang
meleset. Entah karena Inov sudah terlalu jauh, batunya kekecilan, atau memang Mima nggak berbakat dalam hal
timpuk-menimpuk. Detik ini juga Mima harus segera mencoret lempar cakram, tolak peluru, bisbol, basket, dan semua
profesi lain yang membutuhkan kemahiran menimpuk dari
daftar cita-citanya. Mungkin kalau ada olahraga timpuk kecoak atau lempar tikus Mima masih mau mempertimbangkan
buat latihan lebih keras. Secara Mima benci setengah edan
sama dua makhluk itu. Gara-gara rahasia geblek-edan-nggak penting-bikin susahpemicu stres-bikin kusut-nya Inov, Mima jadi parno. Berasa
diawasin. Berasa Mama tahu. Berasa Mika, Teh Jul, Papa tahu


Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semua, pokoknya berasa semua curiga gitu.
"Ngapain sih pada liat-liat?" kata Mima.
Mama mendelik. "Siapa yang liatin kamu? Mama liat jam
dinding. Tuh, segede bagong di belakang kamu."
Mima menoleh ke belakang. Memang iya sih jamnya di
belakang Mima. Iya juga segede bagong. Kebayang kalau
bagong beneran disuruh ngegantung di dinding sambil megangin jam. Lucu juga kali ya, hiasan dinding yang unik.
"Kamu ngapain liat-liat?" gantian Mika kena semprot
Mima. Mika sama mendeliknya kayak Mama tadi. "Kamu mendadak jadi ge-eran, ya? Aku ngeliatin itu tuh..." Mika
menunjuk piring saji di depan Mima. "Rendang! Dari tadi
minta dioperin nggak dioper-oper. Kirain kamu masih mau.
Ternyata dari tadi malah dianggurin aja!"
Dengan muka cemberut Mima mengoper piring rendang.
"Bilang dong, jangan cuma ngeliatin! Bikin orang parno aja!"
Mika mendelik sambil menerima piring rendang. "Parno
kenapa? Memang kamu bikin salah apa sampe jadi parno?"
GLEK! Mima cengengesan. "Ngng, hehehe..." Mima melirik
Inov judes, minta pertanggungjawaban. SIAL! Inov malah
santai aja makan tanpa ngelirik-lirik! Dia itu emang ya, kepala
udang! Otak cumi-cumi! Ini semua kan gara-gara dia!!!
Untung insiden keparnoan itu cuma sebentar. Habis itu semuanya sibuk dengan makanan masing-masing, yaaah gitu sih
sebenernya harapan Mima, sampai Mama tiba-tiba bilang...
"Ma, Nov, kalian hari ini pulang telat, padahal makanannya
udah siap dari tadi lho. Mama sama Mika sampe kelaperan
nunggunya. Dari mana dulu sih?"
Sebetulnya Mama sih nanyanya biasa aja, nadanya biasa,
ramah senyum, bercanda, tapi efeknya, Inov si robot mati saraf itu mendadak pucat kayak hampir kena serangan jantung,
terus... "Ke kantor OSIS!"
"Makan bakso!"
Jawab Mima dan Inov berbarengan....
Makan BAKSO?! Duh! Genius banget. Dasar ROBOT!
Mama menatap Mima dan Inov menyelidik.
"Makan bakso!"
"Ke kantor OSIS!"
Kali ini bareng-bareng lagi, tapi kebalik. Mima mendelik
marah ke Inov. Gimana sih?! Kenapa dia jadi ikut-ikutan bilang kantor OSIS?! Padahal Mima udah ganti haluan jadi
makan bakso! Kacaaauuu!!! Kusuuut!!!
Mama melempar pandangan pembuat serangan jantung
itu lagi. Rasanya mendadak Mima butuh pernapasan buatan
dari Zac Efron atau siapa kek, Johnny Depp biar udah tua
bolehlah...! Inov keliatan lempeng, tapi jelas banget matanya
melotot lebih besar sedikit saking shocknya. Biar mampus!
Mima menahan napas, maksudnya mau kasih waktu siapa
tahu Inov mau jawab. Jangan sampai kejadiannya kayak tadi,
bisa bikin Mama makin curiga, kan?! Tapi ternyata Inov diam
aja tuh, mukanya malah rada aneh, baru berasa, kali yang
namanya mati kutu, mati gaya, mati tersedak, dan jenis-jenis
mati kepergok lainnya. Setelah Mima dan Inov nyaris mati muda, tahu-tahu Mama
tersenyum geli sambil menatap Mima dan Inov bergantian.
"Kalian kok panik gitu? Ya udah, ya udaaah, Mama ngertiii,
kalian ada acara rahasiaaaa. Mama nggak tanya-tanya lagi
deh." Senyam-senyum lagi. "Tapi lain kali bilang dulu, ya? Jadi
Mama sama Mika nggak kelaperan nungguin kalian."
Glek! Mima dan Inov mendadak kompak. Kompak BANGET,
sampai mengangguk dan meringis bareng-bareng dengan
muka lega. Mima menyuap rendangnya, ya ampun, nelennya susah
setengah mati! Kayaknya Mama bakal berubah jadi saingan
godzilla ngamuk kalo aja dia tau "acara rahasia" Mima dan
Inov adalah ke gedung tua, ambil narkoba, bawa pulang, dan
menghanyutkannya di selokan RUMAH INI! Mungkin godzilla,
kingkong, ataupun Hulk bakalan berguru ke Mama gimana
cara ngamuk yang baik dan benar juga efektif bikin orang
langsung tewas seketika.
Inov yang lagi berkutat dengan laptop-nya cuma bisa bengong waktu Mima ngeloyor masuk ke kamarnya dengan
muka ditekuk dan mata menyipit-nyipit aneh.
"Ada apa?" Mima nggak jawab, dia jalan terus ke kasur Inov, ngambil
bantal. "Ada apa?" ulang Inov. Intonasi sama. Volume sama.
Mima tetep nggak jawab. Dia menenteng bantal sambil
cemberut, terus... BUKKKKKK! Dia menggebuk Inov pake bantal.
Inov membelalak kaget. Apaan lagi nih, kok dia tiba-tiba
kena gebuk? "Kenapa lagi?" katanya tanpa emosi.
"Biarin! Lo emang pantes digebuk! Masih untung cuma
pake bantal. Padahal gue penginnya pake pentungan satpam,
tau! Ini uang muka lo udah bikin gue terlibat semua ini!
Emosi gue sama lo! Kita nyaris ketauan Mamaaa!"
Inov memandang Mima lurus-lurus. "Ketauan apanya?"
BUG! BUG! Mima menggebuk Inov lagi. Kali ini Inov nangkis pake tangannya. "Apanya gimana? Waktu makan siang
tadi?! Mama tuh curiga, tau!"
"Dia cuma nanya dari mana, sambil senyum, terus bilang
lain kali kita harus kasih tau. Apanya yang curiga?"
Mima menatap Inov geram. Nggak bisa jawab.
"Mama kamu cuma godain kita, lagi."
Mima melotot... sebel banget. "Godain kita? Ngapain?! Dikira kita emang ada acara berdua-duaan?" BUG BUG BUG!
"Ughhhh. Inov!!! Pokoknya suatu hari ini harus diselesein, titik!!!"
Mima melenggang pergi. Keluar, dan BRUK!!! Membanting
pintu. Inov cuma diam. Dia tau dia salah sudah menyeret Mima
ke dalam masalahnya. Tapi Inov juga nggak bisa membohongi
diri bahwa sejak ada Mima, orang lain yang tahu rahasianya,
Inov merasa lebih nyaman dan tenang.
IKI dengan sebal menendang-nendang jok depan. "Denaaaa,
majuan dikit doong kursinyaaaa.... Sempit nihhhh...."
Dena menoleh ke belakang. "Ya gimana lagi dong, Kiii? Di
sini juga sempit, taaauuu! Kalo gue maju lagi kaki gue nekuk,
gue yang pegel ntar. Elo juga sih, ngapain duduk di belakang
gue kalo nggak mau sempit!"
Kiki manyun. "Ih, siapa juga yang mau. Gue telat masuk sih
tadi. Jadi dapet paling ujung," Kiki ngomel sambil melirik
Mima yang nyengir lebar karena sukses mengalahkan Kiki
dalam perebutan kursi taksi tadi di mal.
Riva melirik. "Terima nasiblah, pasrah," katanya lempeng,
nggak mikirin perasaan orang.
Kiki makin manyun, meringis-ringis gara-gara dengkulnya
nempel ke sandaran kursi Dena.
Mima melirik, nyengir lagi. "Maaf deeeh, Kiii.... lo harus lapang dada doong. Kan udah sesuai perjanjian. Kursi depan
buat Dena, kursi belakang menerapkan sistem siapa cepat dia
dapat! Hehehe.... Lagian bentar lagi juga gue turuuun. Ya,
kan? Ya, kan?" Paling seru emang kalau hari Minggu jalan-jalan sama
temen-temen. Nonton, window shopping, foto-foto, hhhh hidup ini indah! Pokoknya masalah PR, ulangan, semuanya
lupain dulu deh! Dan yang pasti, nggak perlu ketemu Inov
seharian! Inov... INOV?! Mima menyipitkan mata ke luar, ke arah pos
satpam kosong di jalan kompleks rumahnya. Iya! Itu Inov!
Inov banget! Cowok yang diseret ke balik pos sama dua cowok lain bermuka tirus itu pasti Inov!!! Apa-apaan tuh?!
Ngapain sih mereka?! "Pak! Pak! Stop, Pak! Stop!!! Cepetan!" Mima menepuknepuk belakang jok sopir dengan heboh.
Semua heran melihat tingkah Mima yang mendadak histeris.
Kiki menatap Mima aneh. "Ngapain berhenti di sini?!
Rumah lo kan masih di sana..."
Mima gelagapan, "Gue?gue turun di sini aja deh."
Riva mengernyit. "Ngapain? Lo lagi diet?"
Diet?! Apa hubungannya?
"Lo mo jalan dari sini ke rumah biar kurus? Bakar kalori?"
sambung Riva ngasal. Duuuh! Nggak ada waktu buat interogasi nih! Kalo diliat
dari tampang dua orang itu, Mima yakin banget siapa mereka!
Taksi menepi. "Mi! Ngapain sih turun di sini? Lo belum jawab lhooo..."
Dena ternyata sama penasarannya. Sampai bela-belain muter
badannya ke belakang demi melihat langsung muka Mima.
Pikir, Mima! Pikir! Alasan! Alasan! Bikin alasaaan! "Eng, gue,
gue baru inget disuruh Nyokap mengambil undangan arisan
di rumah temen Nyokap." Duh! Cuma kepikiran itu. Apa lagi
dong?! Dena mengernyit. "Ya udah. Taksinya puter balik aja. Udah
kelewatan rumahnya? Dianter sampe tempatnya aja, kita tungguin juga bisa. Cuma ngambil, kan?"
UGHHH! Parah! Mikir lagi! Mikir lagiii! "Eng, nggak usah,
nggak usah, deket kok. Tuh masuk gang situ. Tinggalin aja.
Gue turun di sini yaaa..."
Kiki menahan tangan Mima. "Eh, terus pulangnya?"
Mima nyengir buru-buru. "Santai deh, santai, gue jalan aja.
Sekalian olahraga. Udah ya, gue turun. Takut temen Nyokap
lagi pergi... dadah!"
Mima turun, langsung dadah-dadah dengan tampang
ngusir. Begitu taksi itu pergi, Mima lari-lari ke arah pos kosong.
"Nov! Lo bener-bener nyusahin!!! Kenapa tadi gue harus
liaaat!" gerutu Mima sebal. Mima mengendap-endap begitu
dia deket banget sama pos itu. Pasang kuping tajam-tajam...
"Gue kan udah nyetor sesuai perjanjian! Apa lagi?!"
Mima mendengar dua cowok tirus itu terkekeh nyebelin.
"Ya masa nggak ada progress-nya siiih? Kalo lo bisa jual habis
barang segitu, berarti lo harus bisa jual lebih doooong!"
Mereka mau nambahin jatah jualan Inov?!
"Kalian kan udah janji, dengan gue nyetor uang sesuai jumlah barang yang sekarang, kalian nggak bakal ganggu nyokap
gue, kan?!" Mereka terkekeh nyebelin lagi. "Yaaah, itu kan waktu itu...
si Bos Revo mutusin jumlah segitu terlalu gampaaang, jadi
jumlahnya harus nambah."
"Ataaau..." sambung suara yang satu lagi. "Rahasia lo jadi
rahasia umum masyarakat Indonesia lho! Lo tau kan koran94
koran suka banget tuh berita model gitu! ?Anak sekolah dan
narkoba?Membobol sekolah demi narkoba!? Hahahaha."
Mima mendengar suara grusak kencang banget. Kayaknya
Inov melawan. "SIALAN KALIAN!"
Buggghhh!!! "AAAWGH!" Inov mengaduh sekencang makiannya tadi.
DEG! Mima tercekat. Inov dipukul! Gila! Ini sih kriminal
namanya. Dan dia nggak bisa lapor polisi!!!
"HEH! Lo jangan banyak gaya deh! Lo jual barang lebih
atau rahasia lo kami bongkar! Plus bukti-bukti yang bisa bikin
nyokap lo serangan jantung!" ancam mereka.
Grusak! Kayaknya Inov berontak lagi. BUGGG!!! "ARGGH!"
jerit Inov lagi. DUG! BAG! BUG! Mima mendengar Inov dipukul bertubitubi.
"Lo berani ngelawan, ya?! Denger, lo harus jual tu barang.
Terserah lo mau berhenti make, tapi lo nggak bisa gitu aja
melenggang bebas keluar dari geng kita dan sok insaf kayak
sekarang! Ngerti?!"
Inov mengerang-erang kesakitan. "Gimana... gimana kalo
gue nggak sanggup menuhin jumlah setoran itu?"
Duo cowok ceking itu ngakak. "Nggak sanggup? Enak aja
nggak sanggup! Nggak ada kata nggak sanggup dalam geng
kita. Lo tau itu, kan?!"
Mima ngintip. Pengin melihat keadaan Inov. Ia menelan
ludah begitu melihat Inov babak belur dengan lebam dan
darah di hidung plus sudut bibirnya.
Salah satu cowok ceking bermuka alien itu menatap Inov
gahar. "Dan kalo lo berani-berani, akibatnya..." dia mengangkat
tangannya dengan tinju terkepal.
"STOOOPPP!!!" Mulut ngember, suka protes, rese, dan blakblakan mungkin kurang lengkap rasanya kalau nggak nekat.
Entah gimana, Mima berani nongol dan berteriak heroik ala
Xena sang warrior princess gitu.
Yang jelas Inov yang babak belur dan duo alien ceking itu
menatap Mima heran bercampur kaget.
Mima lari menerobos mereka berdua dan menghampiri
Inov yang tersungkur. Bener-bener cari mati! Mau tau yang
lebih gila lagi?! Dengan sangat berani, menantang, nyolot,
dan rada geblek, Mima berdiri di depan Inov yang tersungkur,
melindungi dia dari alien narkoba itu, sambil MERENTANGKAN
tangan! "Eh! Kalian mendingan pergi ya sebelum gue teriak panggil
satpam! Beraninya main keroyokan!!!"
Dua alien itu melongo keheranan. Tau-tau ada cewek mungil, nyolot, dan nantangin kayak gini. Tapi nggak ngaruh!
Bukannya ngibrit, alien-alien itu malah nyengir mengejek
Mima. Bertukar pandang sambil cengengesan. Bener-bener
minta ditampar! Dan, salah satu alien ceking itu menatap Inov. "Ohhh, jadi
lo sekarang punya bodyguard, Nov? Busssyeet... cewek, lagi!
Bisa apa dia? Kungfu? Silat?! Santet?! Hahaha..."
Mima melotot. Sialan! Malah ngeledek!
Terus alien gila itu mendadak melotot ke Mima langsung
setelah cengengesannya tadi! "Denger ya, bodyguard-nya
Inov, kalaupun hari ini kami lepasin dia, bukan berarti besok,
lusa, atau minggu depan kami nggak bakal mengejar dia lagi!
Kami akan terus mengejar dia sampe dia bisa memenuhi kewajiban, dan kalau nggak..."
"Oke! Oke! Oke! Gue ngerti!!!" jerit Mima, nggak mau mendengar ocehan makhluk ajaib itu lagi. "Kalian mau uang tambahan, kan?! Tenang aja, Inov bakal penuhin permintaan kalian! Gue jamin!!! Tapi awas, kalo kalian berani-berani
mengancam Inov lagi, apalagi sampe bocorin rahasia Inov,
gue juga bakal seret kalian! Gue ini saksi, tau!!!" cerocos Mima
dengan nyali tambahan entah dari mana.
Okelah, Mima biasanya memang berani mengutarakan dengan lantang semua isi hatinya pada semua orang. Orangtua,
guru, temen, sodara. Tapi sama kaki tangan pengedar narkoba?! Ini edisi perdana nih!
Inov melotot kaget. Duo alien itu juga tercekat kaget. Mereka saling tatap nggak percaya, senyum sinis mengejek.
Bikin kesel aja! Mima melotot. "Kenapa malah pada nyengir
sih?! Dikira gue bercanda? Udah sana pergi! Jangan takut
deh, gue nggak bakal ingkar!"
Alien-alien idiot itu saling tatap, saling kasih kode. Lalu menatap Inov sinis. "Eh, lo denger sendiri kata dia, kan?! Awas
kalo lo bohong!" salah satu cowok itu merogoh sakunya, lalu
melemparkan bungkusan plastiknya pada Inov. "Nih barangnya!"
Mima menahan napas waktu muka salah satu alien itu mendekat ke mukanya. Mending kalo cakep! Udah ancur, nyeremin, bau asem, lagi!
"Dan elo, untung lo cewek! Kalo nggak udah gue apain lo!
Inget ya, lo yang janji! Dan kalo sampe ingkar, lo bakal liat
sendiri akibatnya!" si alien melotot mengancam. "Gue nggak
main-main!" katanya dingin dan menakutkan.
Glek! Mima menelan ludah. Nggak bohong. Nggak ngeles.
Kali ini Mima ngaku, Mima takut. Pilihan terbaik adalah...
diam. Mereka pergi. Mima masih mematung. Lalu memutuskan ngintip. Ternyata mereka bener-bener udah pergi. Piuuuhhh, Mima
buru-buru balik nyamperin Inov yang masih terduduk sambil
membersihkan darah di hidung dan bibirnya dengan muka
meringis. Inov mendongak begitu Mima berdiri di depannya. Lalu


Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menatap Mima datar dan agak aneh. "Apa-apaan lo?"
Hih! Mima mendelik. Udah ditolongin masa nanyanya gitu?!
Mima duduk di samping Inov. Cemberut. Melotot. "Ya nolongin lo, lah! Emang lo pikir ngapain lagi? Ngangon kebo?
Ternak unggas?! Lo tuh suka tolol ya?"
Inov melirik. Meringis kesakitan. "Lo janji sama mereka.
Gue nggak ada duit lebih. Duit gue bakal abis minggu depan... gara-gara lo."
Emang dasar mantan alien! Dia pikir Mima idiot, apa? Jelaslah tadi Mima ngomong gitu sudah siap dan lengkap dengan
solusinya. Mima merogoh tasnya, mengeluarkan dompetnya,
lalu menarik beberapa lembar uang lima puluh ribuan.
"Nih!" Dengan galak Mima menaruh uang itu di paha Inov.
"Cukup kan untuk nambah setoran lo?! Gue yakin cukup, karena gue denger jumlahnya tadi."
Inov melongo, speechless.
"Ini demi nyokap lo, tau! Gue kasian sama dia," potong
Mima buru-buru. Mima melirik Inov yang tercengang, lalu
menambahkan, "Lo tunggu di sini dulu."
"Eh, lo mau ke..."
"Udah, diem! Bawel banget sih! Lo tunggu di sini aja
bentar. Awas ya, jangan berani-berani kabur dari sini."
Mima melesat pergi. Inov bengong. Sebenernya dia pengin banget buru-buru
cabut dari situ. Cuma berhubung kali ini Mima betul-betul
sudah berbuat lebih, malah berlebihan buat dirinya, jadi rasanya kurang ajar banget kalo Inov sampe berani ngelanggar
perintah Mima dan pergi dari sini. Apalagi seluruh muka dan
badannya nyut-nyutan berkat dipukulin tadi.
Untung Mima nggak lama. Tau-tau dia nongol dengan
bungkusan plastik hitam dari warung di tangannya. Mima
duduk di samping Inov sementara tangannya sibuk membongkar plastik yang ternyata berisi es batu. "Sini, muka lo
dikompres dulu." Inov melirik. Mematung.
Bikin Mima jadi gemes. Tanpa ba-bi-bu Mima langsung merapat ke Inov dan tanpa ampun, NYUUUTTT! Es batu di tangan Mima langsung nempel di bagian-bagian bekas bogem
di muka Inov. "Ssssshhh... aaauuhh...," ringis Inov nggak tahan perih.
Mima mendelik judes. "Halah! Gitu aja meringis. Katanya
mantan anak bandel! Temen-temannya preman. Masa cemen
gini?!" Inov langsung mengatupkan mulut. Cuma mukanya aja
meringis-ringis waktu dikompres Mima dengan muka judes.
Cara cepat membuat cowok kecengan kamu menyatakan
cinta: 1. Angkatlah topik-topik pembicaraan yang memancing.
2. Jangan ragu untuk menunjukkan kamu...
"MIMA!" Wah! BLUK! "AWWWW!!!" saking panik dan buru-burunya,
bukan cuma buku yang masuk laci, jari Mima juga. Dan seisi
dunia ini juga tahu jari kejepit itu sakit dan nyut-nyutan.
Mima menoleh, melotot galak ke Mika. "Awww! Ngapain sih?!
Masuk kamar orang tiba-tiba! Sakit, tau, kejepit laci!!!"
Mika mendelik. "Lho, apa hubungannya?" Mendadak ia
langsung curiga. "Hayooo, kamu baca apaan sih?! Kok kaget
gitu? Buku porno, ya? Foto cowok-cowok berotot, ya?"
Idih! Mima makin melotot. "Mika! Udah deh! Udah ngagetin, nuduh, lagi. Bukan urusan kamu, tau!"
Mika menarik kursi di sebelah Mima.
Bibir Mima makin manyun. Ganggu banget sih! Orang lagi
100 baca jurus-jurus bikin Gian nembak dia! "Mo ngapain sih, Ka?
Cepetan deh, aku sibuk nih!"
"Sibuk liatin foto cowok-cowok di majalaaah?"
"Mika! Udah deeeh, cepetan! Ganggu waktu pribadi orang
aja sih. Belum pernah denger hukuman buat pelanggaran
privasi, ya? Nih ya, di negara hukum ini ada... hmmmmp!
Hmmmpff!!!" Lagi-lagi kena bungkam!
Baru aja Mima mau ngamuk ngeluarin jurus teriakan Nenek
Lampir kena tampar, Mika pasang muka serius sambil menempelkan telunjuknya di depan bibir. "Ada apa sih?"
"Ma, jujur deh, kenapa si Inov babak belur gitu?"
GLEK! Mima terdiam. Gelagapan. Time to ngeles nih! "Eng...,
ya mana aku tau. Bukan aku yang mukulin kok." Angkat dua
jari, pasang gaya victory, sambil nyengir. "Sumpah."
Wah, ini serius nih. Kok Mika tetep lempeng gitu sih mukanya? Nggak ikutan nyengir sedikit pun? What?s up nih? What?s
wrong? What happened? "Ka! Kenapa sih? Serius banget mukanya. Kayak orang nahan kentut! Hihihi!"
Harusnya ya, ini harusnya, Mika ikut senyum kek dikit. Cekikikan gitu secuil. Menghargai usaha Mima, eh ini nggak!
Mukanya tetep serius aja lho! Malah menatap Mima makin
lekat. "Aku emang serius, Ma..."
Cengiran Mima langsung ilang. Mika gitu lho yang ngomong. Dia kan manusia paling lempeng lurus dan kurang
intrik sedunia. Jadi kalo dia bilang serius, berarti bener-bener
serius. "Kamu beneran nggak tau si Inov kenapa?"
Inov lagi, Inov lagi! Mima menggeleng ragu. "Ng-nggak,
kenapa siiih?" Mata Mika menyelidiki Mima. Bikin salting. Tapi biarpun
curiga, kayaknya Mika nggak minat maksa Mima lebih lanjut.
101 "Siap-siap aja. Bentar lagi juga kamu kena panggil Mama
sama Papa." Hah?! "Emang kenapa?"
"Ya kamu kan tau Inov dititip di sini supaya bisa diawasin
sama Mama-Papa. Mama pasti khawatir lah liat dia pulang
babak belur gitu. Apalagi Mama denger dari nyokapnya Inov
kalo geng narkoba itu sangat mungkin ngikutin Inov ke sini.
Makanya kalo kamu tau ada apa-apa yang mencurigakan
atau ada kejadian apa, jangan disembunyiin. Bahaya."
Waduh! Mima buru-buru buang muka dari Mika. Lamalama Mika bisa tau dia bohong nih! Kata orang, saudara kembar bisa tau kalo ada apa-apa sama kembarannya. Termasuk
kalau kembarannya bohong. Apalagi Mima mulai sering mules dan rada-rada keringet dingin begini, gara-gara akhir-akhir
ini dia sering banget bohong (yang amat sangat bertentangan banget sama prinsip keterbukaan, kejujuran, dan teriakan kebenarannya Mima). Sambil sok santai Mima menyalakan komputernya. Nggak berani lagi melirik Mika. "Bahaya
apaan? Kalo nari jaipongan di tengah jalan tol, itu baru bahaya!"
Mika mengangkat bahu cuek. "Ya udah, bagus deh kalo
kamu nggak tau. Aku cuma ngasih tau aja. Supaya kamu siap.
Udah ah, aku keluar. Kamu pengin melototin cowok di majalah lagi, kan?"
"Ihhh! Terserah aku deh! Udah sana!" Timpukan kertas
Mima meleset. Ya iya lah! Nimpuk ke Mika, tapi matanya melototin komputer, halaman kosong Word.
Klik! FIUHHH! Mima membuang napas lega begitu Mika tutup
pintu. Gawat nih! Mesti latihan akting dadakan! Aktingnya di
depan Mama sama Papa harus super meyakinkan. Kalo nggak
rahasia Inov dan MIMA sendiri bakal terbongkar dalam satu
102 pertanyaan aja!!! Oh, noooo!!! Tarik napaaas... buang napaaas...
tarik napaaas... buang napaaas...
TOK TOK TOK! "Non Mimaaaa... dipanggil tuuuh sama Bapak sama Ibuuu..."
suara Teh Jul membuyarkan konsentrasi Mima.
Bener-bener deh si Inov. Bikin repot. Kalo gini caranya
Mima bisa kena serangan stres di usia muda nih.
Sambil deg-degan, Mima turun mendatangi Mama dan
Papa yang udah nunggu di ruang TV. Baru kali ini mau ketemu Mama-Papa tapi rasanya kayak mau menyerahkan diri
di arena tinju kingkong. Antara deg-degan dan penasaran liat
kingkong. "Duduk sini, Mi," Mama menepuk-nepuk ruang kosong di
sofa tempat dia duduk. Papa duduk di hadapan Mama sambil
sibuk ngunyah brownies.
Mungkin nggak sih bisul di pantat tumbuh mendadak?
Soalnya tau-tau rasanya duduk di sofa empuk bikin pantat
Mima susah duduk gitu. Tapi tatapan serius Mama dan Papa
memang lebih menyakitkan daripada bisul. Jantung Mima
makin deg-degan. Si Inov enak banget nggak ikutan dipanggil! Kenapa cuma Mima yang dipanggil?! Mima nyengir sok
santai. Kayaknya di garis tangannya nggak ada setitik pun
takdir jadi artis. Aktingnya parah banget. Tipe-tipe akting
yang bisa bikin sutradara pengin menampari mukanya sendiri.
Alias jelek abis. "Ada apa sih, Ma? Kok muka Mama sama Papa kayaknya
serius gitu? Oh, Mima tau, ada orang kaya raya yang udah
tua bangka pengin memperistri Mima, ya? Kayak Datuk
Maringgih gitu? Hehehe..." Tuh kan... parah, kan?
Mama dan Papa saling pandang aneh. Tebakan jayus Mima
bukan cuma meleset, tapi terjengkang, terpelanting, kelelep,
alias jauh! 103 Mama menatap Mima lebih serius lagi. "Mi, kamu tau kan
Inov tadi pulang babak belur?"
Busyeet! To the point gini! Nggak ada basa-basi atau apa
gitu? "Eng, bo-bonyok gitu maksudnya, Ma?" kata Mima ngeles gagal alias mati gaya.
Papa meletakkan brownies-nya. " Iya. Kamu tau kan Inov
kayak habis dipukulin orang?"
Andai... oh andai... Mima memelihara Doraemon dan bukannya ikan hias yang kayaknya sebentar lagi bakal mati dimakan
kucingnya Teh Jul. Doraemon pasti punya alat menghilang
yang tinggal ngedip. Atau pintu kabur kalau dimarahin! Atau
pil pembuat asap kentut penyamaran! Apa kek gitu, asal bisa
bikin Mima kabur dari depan Mama-Papa sekarang ini. "Eng,
ehm, ya liat laaah. Masa bonyok gitu Mima nggak liaaat. Kan
warnanya biru-biru keunguan gitu. Hehehe..."
"Mima, Mama mau tanya sama kamu. Serius. Mama minta
kamu jujur. Mama tau kamu anak Mama yang selalu jujur dan
terbuka. Dan anti kebohongan, kan?"
Jebakan Batman!!! Mima meringis. Antara ngangguk dan
menggeleng. Dia memang menjunjung tinggi kejujuran dan
anti kebohongan. Tapi akhir-akhir ini kayaknya dia lagi nggak
jujur-jujur amat gara-gara si tengil Inov!
"Kamu tau Inov kenapa? Siapa yang mukulin dia? Kamu
kan tau, sindikat narkoba itu bisa ngejer dia sampe sini. Dan
bunda Inov udah nitipin dia sama keluarga kita. Jadi kalau
memang betul begitu, kita harus lapor polisi, Mi."
UPS! Mima makin kelabakan. Ini sih perlu ngeluarin akting
Piala Oscar biar bohongnya lancar. Habis gimana dong? Wajarlah Mama dan Papa curiga. Inov baru pindah ke sini, pendiam,
dan kayaknya nggak punya temen, pulang-pulang babak
belur kayak gitu. Mencurigakan banget, kan?! Tapi boro-boro
akting, Mima malah mematung diam, kelamaan mikir.
104 "Mima?" "Eh, hah? Apa, Ma? Tadi Mama bilang apa?"
Mama mengernyit saling tatap dengan Papa.
"Kamu mikirin apa sih? Kok bisa nggak denger? Mama tanya, kamu tau nggak siapa yang mukulin Inov sampe babak
belur begitu?" ulang Mama.
Duh! Kalo sampe bengong dan gelagapan dua kali, bakalan
percuma ngeles-ngeles. Jelas banget jadinya ketauan bohong!
"Eng, sori, Ma, Mima ngantuk. Hehehe... jadi nggak kedengeran. Pusing nih, Ma...! Biasa, kan, Ma orang kalo ngantuk
itu efeknya bisa pusing, pandangan burem, mata berair..."
"Mimaaa..." Mima meringis. "Ya, Ma?"
"Mama nggak nanya gejala-gejala ngantuk. Mama tanya
kamu tau nggak siapa yang mukulin Inov?"
"Nggak, Ma. Nggak! Beneran! Suer! Nggak!" Duh, kayaknya
berlebihan, ya? Mima jadi nyesel sendiri kelewat heboh.
Bener, kan? Mama menatap Mima penuh selidik. "Bener,
Ma? Kamu nggak tau sama sekali?"
"Bener, Ma." Kali ini cukup satu kali. Perasaan sih udah meyakinkan. Biarpun keringet dingin sama jantung deg-degan.
Gini nih, kalo mulut nyablak disuruh bohong!
Mama pandang-pandangan lagi sama Papa. Sekilas Mima
lihat Papa kayak kasih kode ke Mama. Berhubung waktu SMP
baru satu bulan ikut Pramuka Mima udah nggak betah, Mima
sama sekali nggak ngeh apa arti kode yang dikirim Papa.
Meski Mima agak nggak yakin di Pramuka diajarin kode seperti anggukan sama kerlingan.... Yah... pokoknya mo kode
apa kek, Mima memang nggak ahli. Jadi dia cuma bisa berdoa semoga kode Papa tadi artinya bukan "Ayo, Ma! Desek
terus! Papa tau anak kita berbohong!"
Semoga bukan.... 105 Mama menghela napas. "Ya udah. Tapi, Mi, kalo kamu tau
apa-apa, cepet bilang sama Mama, ya?"
FIUHHH!!! Mima narik napas lega. "Mima balik ke kamar
lagi ya, Ma? Pa? Mo chatting nih sama temen."
"Katanya ngantuk?" celetuk Papa datar.
Hih! Papa inget aja. "Eng, ya tidur dulu, Pa, baru chatting.
Udah ah, Mima ke atas, ya." Mima kabur secepat kilat.
Sampe kamar Mima melamun sendiri. Sampe kapan nih
bakal kayak gini? Semua gara-gara INOOV!!!
106 MIMA bersender di dinding penuh lumut yang kayaknya
kalau disenderin lebih dari sepuluh orang bakalan roboh. Hari
ini dia "mengantar" Inov mengambil "barang" di bak mandi
WC jorok gedung tua yang belum jadi ini.
Mima udah nggak takut-takut lagi kayak waktu pertama
dulu. Sekarang Mima malah niat banget bawa camilan sementara nungguin Inov ngubek-ngubek WC nyari tu barang
sialan. "Nooov, kok lama siiiih?"
"..." "Noooovvv!!!" "..." Ih! Kena penyakit budek, apa?! Ditanya diem aja. Mima
bangkit dari duduknya sambil nepuk-nepuk bajunya yang
ketempelan debu dan lumut. Dengan bibir manyun Mima
berdiri di ambang pintu WC bobrok dan bau tikus itu. "Inov!
Jawab kek! Kok lama sih?"
107 Inov melirik Mima datar. "Nggak panggil polisi aja sekalian?"
"Hah?" Akhirnya Inov nemu juga yang dicari-carinya. "Daripada
teriak-teriak kayak gitu, mending telepon polisi aja sekalian,
kan?" katanya lempeng sambil ngelewatin Mima. Nyebelin!
Mima duduk di samping Inov di tangga gedung yang belum sempat dipasangi atap. Rasanya hangat karena sinar
matahari yang merembes dari sela-sela semak yang merambat di atasnya. Kayak lagi di negeri dongeng. Huff... kupukupu yang terbang di sekeliling Mima dan Inov juga bagus
banget. Suasananya jadi...
HAH! Negeri dongeng apaaan! Mima mendadak sadar. Back
to the real world, Mimaaa!!! Ini gedung tua busuk tempat transaksi narkoba! Negeri dongeng, huh! Mima melirik Inov. Cowok itu sedang menimang-nimang bungkusan kecil di tangannya dengan ekspresi nggak jelas. "Nov...," panggil Mima.
Inov melirik. Mima merebut bungkusan kecil itu dari tangan Inov sampe
Inov kaget. "Kali ini, barang sialan ini nggak perlu keluar dari
sini!" Inov menatap Mima nggak ngerti.
Mima memutar bola matanya capek. "Iyaaa... kita buang di
sini! Di-si-ni!" Inov mengangkat bahu. "Nih!" Mima kembali nyodorin barang itu ke Inov. "Buang!"
Inov menatap Mima aneh. "Kenapa nggak lo aja?"
Mima mencibir sambil bergidik. "Nggak ah! Elo aja! Kalo
ada yang mergokin kan gue nggak salah-salah amat. Eh, lo
pegang-pegang dulu semua bungkusannya. Tutupin sidik jari
gue tadi. Cepetan!"
108 Meski bingung, Inov dengan patuh memegang semua bagian bungkusan itu. Tanpa ekspresi Inov menumpahkan semua isi bungkusan ke tanah. Lalu Mima menuangkan semua
isi botol air mineralnya di atas bubuk itu sambil menginjakinjak dan mengacak-acak tanah penuh dendam.
"Papa sama Mama kayaknya beneran curiga. Gue pas naek
tangga aja ngerasa diliatin gitu. Mereka pasti ngebahas kalo


Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gue bohong!" Mima bersungut-sungut sebel inget peristiwa
interogasi Mama dan Papa. "Kita pasti bakal ketahuan, Nov."
Inov diam. Huh! Bikin darah tinggi aja! "Nov, lo denger nggak sih? Lo
harus cari jalan keluar, tau! Pertama, terlibat pengedar narkoba adalah hal yang salah banget! Kedua, lo nggak bisa
bohongin bunda lo terus-terusan. Selain dosa, bohongin
orangtua pasti berakibat buruk! Ketiga, lo bisa celaka, tau!
Gue juga!" Inov menarik napas. Lalu mengembuskannya pelan-pelan.
Menoleh ke Mima juga pelan-pelan. Lalu menatap Mima
dalam-dalam. Mata Inov pas banget kena sorot matahari.
Ternyata matanya cokelat, ya? "Lo udah nggak mau bantu
gue?" Ya ampun! Susah amat ya ngomong sama Inov? "Aduuuh,
lo nggak ngerti, ya? Justru gue tuh mo nolongin elo! Supaya
lo lepas dari narkoba. Supaya lo juga lepas dari orang-orang
itu. Kok malah dibilang nggak mau bantu sih! Nuduhnya menyakitkan hati banget sih lo!"
Inov lagi-lagi menarik napas lalu mengembuskannya dengan berat. "Gue nggak bisa."
HUUUHHH! Mima mengentakkan kaki, memungut batu
kecil, lalu menimpuk kucing buduk yang lewat. Harusnya Inov
yang dia timpuk. Tapi mengingat Inov bisa aja nimpuk balik,
109 nggak jadi deh.... Untung kucing itu nggak tiba-tiba pengin
nyakar muka Mima. "Mima...," panggil Inov pelan.
Mima menoleh dengan malas. "Apa?"
"Makasih ya..."
Huff... terserah deh. "Satu Super Supreme medium, garlic bread, chicken wings,
milkshake strawberry, air mineral.... Ada lagi?" pelayan Pizza
Hut bernama Tatik membaca ulang pesanan Mima dan Inov.
Mima menatap Inov minta konirmasi.
"Masih kurang nggak?"
Huh. Ditanya malah nanya balik. Lagian kesannya Mima
rakus banget sampe nentuin semua pesanan. Biarpun memang iya sih. Yang Inov pesan sendiri cuma air mineral. "Itu
dulu deh, Mbak." Mbak Tatik mengangguk lalu permisi pergi.
Piza-nya datang lima belas menit kemudian. Chicken wings
dan teman-temannya udah duluan nongkrong di meja. Dari
tadi Mima yang kelaparan sibuk melahap semua makanan di
meja, sementara Inov baru makan sepotong garlic bread.
Mima jadi malu hati, serasa rakus banget.
"Lo kok nggak makan sih? Nov, lo nggak nyuruh gue ngabisin semua sendiri, kan? Lo tau nggak, cewek itu nggak boleh makan kebanyakan. Soalnya ya, berat badan cewek itu
cenderung nggak stabil. Gampang gemuk, gitu..."
"Kenyang?" Kenyang? Mima nyengir. Lalu geleng-geleng. "Ya belum
sih..." Inov menyeruput air mineralnya. Tetep nggak nyentuh makanan sedikit pun.
Tahu-tahu Inov meringis....
110 "Kenapa, Nov?"
Inov meringis terus. Lalu menggeleng. Tapi mukanya tetep
kayak orang kesakitan, sementara tangannya menekan perut.
"Perih ya perutnya? Gejala maag tuh, lo nggak makan sih.
Makanya gue bilang juga, lo tuh kudu makan. Lo jangan
nganggep remeh maag lho, Nov. Biarpun kayaknya nggak
berbahaya, maag itu..."
HUP! Tiba-tiba Inov menutup mulut pakai telapak tangan.
Mukanya pucat. Semua orang juga tahu ini pose orang mau
muntah. Inov berdiri, lalu buru-buru berlari ke kamar mandi.
"Nov! Kenapa lo?"
Inov nggak menoleh sedikit pun. Langkahnya makin cepat
ke kamar mandi. Mima melipat tangan di dada sambil mondar-mandir gelisah di depan pintu kamar mandi cowok.
"Mo ikut masuk, Mbak?"
Mima mendelik marah ke arah cowok jail yang mau masuk
WC. "Rese! Ke WC ya ke WC aja! Usil banget sih!"
Cowok jail itu cengengesan.
"Eh, Mas! Kalo ketemu temen saya yang namanya Inov di
dalem, bilangin ya, ditunggu di luar."
Cowok itu menatap Mima heran. Tadi marah, eh sekarang
malah minta tolong. "Saya bilang juga, ikut masuk aja, Mbak."
Mima melotot. "Kalo nggak mau nolongin ya udah!"
"Mi?" Lega banget rasanya melihat Inov keluar dari kamar mandi.
Tapi mukanya pucet banget. "Lo kenapa, Nov? Lo muntah,
ya? Lo sakit, Nov?"
"Nggak. Nggak pa-pa."
"Nggak pa-pa gimana? Yang namanya orang muntah itu
pasti kenapa-kenapa. Kecuali lo hamil. Lo nggak mungkin
hamil, kan? Lo pasti sakit, ya?"
111 Inov cuma diam, berjalan melewati Mima, lalu duduk kembali.
Mima duduk di hadapan Inov dengan muka serius. "Nov,
perlu beli obat nggak?"
Inov malah balas menatap Mima. "Makan lagi aja gih...."
Ini orang bener-bener robot! Mima melanjutkan makan
dengan muka serbasalah dan khawatir.
"Kertas!" Mima menyodorkan kertas ke tangan Dena yang lagi bikin
tugas kelompok mereka di rumah Dena. Kamar Dena betulbetul nggak matching sama body-nya. Bodi tinggi kekar gitu
tapi nuansa kamar biru pastel kayak bayi baru brojol.
"Lo tadi dari mana sih, Mi?" Sambil sibuk mengguntinggunting kertas, Dena melirik Mima.
"Eng, ada perlu sama Inov."
Riva mencibir. "Perlu apa sih? Segitu perlunya, ya? Padahal
Gian nyariin lo tuh."
Gian nyariin?! Ya ampun, Gian! Pangeran impian Mima.
Akhir-akhir ini terpinggirkan gara-gara urusan Inov. Huh.
Mima menoleh cepat menatap Riva. "Terus? Lo bilang gue
lagi sama Inov?" Riva ngangguk. "Ya iya lah. Habis bilang apa lagi? Lo juga
nggak ngompakin kita-kita. Ya gue kepaksa jujur lah."
PLAK! Mima menepak jidatnya. "Harusnya jangaaaan. Yaaah,
Rivaaaa. Ntar Gian mikir gue sama Inov ada apa-apa, lagi.
Udah berapa kali nih, dia denger gue jalan sama Inov."
Riva mendelik sebel. "Kok nyalahin gue? Lo kan kalo pergi
sama Inov nggak pernah bilang sama kami. Makanyaaa... kompakan dulu. Gue kan nggak mungkin mendadak dukun, tibatiba bisa baca pikiran."
Mima manyun. Mendadak dangdut, kali! Aduuuh! Parah
112 nih. Padahal hubungan Mima dan Gian udah lumayan. Tapi
kalo Gian denger Mima jalan sama Inov terus lama-lama bisa
gagal total nih. Kembali ke titik awal. Yaaaahhh... gimana
doooong? "Apa gue telepon Gian aja, ya?"
"Lem! Ya, telepon ajaaa... ribet amat," celetuk Dena sambil
membuka tutup lem yang disodorin Riva.
"Ngomong apaaa?"
Riva memutar bola matanya bosan. "Ya ngomong apa kek.
Prakiraan cuaca, bisnis ayam potong, sapi perah, model sanggul modern, pergaulan remaja masa kini... apa kek. Topik banyak."
PUK! Dengan gemes Mima menimpuk jidat Riva pake pantat boneka sapi. "Bisa-bisa gue disangka gila! Masa ngomong
sama kecengan tiba-tiba diskusiin besok Jakarta berawan,
Bandung hujan rinrik-rintik? Sakit lo, Va!"
Riva cengar-cengir. Mima menatap HP-nya. Telepon... nggak... telepon... nggak...
telepon... nggak.... DRRRRRRRTTTT! Mima nyaris terjengkang saking kaget
waktu HP-nya tiba-tiba bergetar. Inov?! Yaaa ampuuun... belum cukup apa urusannya sama Inov hari ini?
"Halo?" Inov batuk-batuk. "Uhuk... uhuk..."
Yeee! Malah batuk. "Halooo? Ada apa sih?" Mima bangkit
dari duduknya, menjauh dari Riva dan Dena untuk mojok di
sudut kamar Dena, deket lemari baju.
"Uhuk... uhuk... Mi, bisa... tolong... uhuk... ambilin gue air
putih?" WHAT?! Emang dia pikir Mima pembantu dia, apa? Ni anak
emang bener-bener korslet. Nelepon Mima cuma minta dibawain air putih? Mima mendesis sebal. "Nooov, gue lagi
113 ngerjain tugas di rumah Dena. Lagian, lo apa-apaan sih?! Lo
takut ketemu Mama sama Papa?!"
Inov batuk-batuk lagi. "Iya..."
IYA! IYA?! "Gue... gue sakit kayaknya... uhuk... gue nggak kuat...
uhuk.... jalan ke bawah.... gue... nggak mau ketemu mama lo.
Nanti... uhuk uhuk... Bunda jadi tau. Tolong ya, Mi? Uhuk!
Gue... uhuk! Uhuk!"
OMG! OH MY GOOOD! "Lo sakit? Tuh kan, gue bilang juga
tadi apa! Lo tuh pasti kenapa-kenapa. Sekarang tau rasa, kan?
Makanya, Nov, kalo dibilangin tuh nurut. Jangan malah bawel
sok-sok nggak pa-pa padahal..."
"Uhuk! Please, Mi, gue haaauuus... tenggorokan gue sakiiit..."
UGHHHH!!! "Iya, bentar!" Mima mematikan HP-nya.
Riva dan Dena memandang Mima penasaran.
"Gue cabut dulu ya."
Riva dan Dena saling pandang bingung. "Lho? Mo ke mana
sih?" tanya Riva penasaran.
Unexplainable!!! Nggak bisa dijelasin! "Menyangkut hidup
dan mati seseorang deh pokoknya. Sori ya?"
Mima pun ngeloyor pergi, meninggalkan Riva dan Dena
bengong. Pintu kamar Inov nggak dikunci.
Mima meletakkan gelas berisi air putih di meja kecil di samping ranjang Inov. "Air putihnya nih, Raden Pangeran Tuan
Raja yang terhormat!"
Inov yang meringkuk di balik selimut menggeliat pelan
sambil mengerang pelan. "Uhuk... uhuk... m-makasih, Mi...."
suaranya serak-serak serem.
Mima menekan tombol lampu. Begitu lampu kamar terang,
114 Mima bisa melihat dengan jelas Inov yang pucat, matanya
yang sembap, dan bibirnya yang kering dan memutih. Releks
Mima memegang dahi Inov. Waks! Panas banget!
"Nov! Badan lo panas banget! Lo sakit apaan sih? Nov, Nov,
serius deh, lo mendingan ke dokter. Panas lo kayaknya tinggi
banget, Nov..." Inov menggeleng lemah. Lalu menatap Mima memohon.
"Nggak, Mi, jangan bilang siapa-siapa, ya? Gue... uhuk... cuma
lu aja kok. Gue... uhuk... nggak mau Bunda khawatir... uhuk.
Janji ya, Mi...?" "Tapi, Nov, badan lo tuh panas banget! Lo yakin lo nggak
pa-pa?" tanya Mima cemas.
Inov mengangguk pelan. "Gue... cuma perlu istirahat, Mi..."
Mima menyodorkan air putih yang dia bawa. "Nih, katanya
lo haus." Mima baru aja mau membantu meminumkan air putihnya
ke Inov, ketika Inov mengambil gelas itu dari tangan Mima.
"Makasih, Mi, uhuk... gue bisa sendiri."
Mima menatap ragu. Tapi akhirnya membiarkan Inov minum sendiri, lalu Mima bangkit dari duduknya.
"Nov, asli, gue khawatir liat lo kayak gini. Tapi kalo lo nggak
mau gue ngomong sama siapa-siapa ya udah. Gue ke kamar
dulu ya? Kalo ada apa-apa langsung telepon HP gue ya, Nov?
Gue serius!" Inov menatap Mima. Senyumnya tipis banget, tapi Mima
tau Inov senyum. Mima menutup pintu kamar Inov pelan. Kenapa ya gue
bisa selemah ini sama Inov? Kenapa gue nggak pernah bisa
menolak permintaan Inov? Hhhh... alasan Inov tentang bundanya terlalu ampuh. Terlalu sukses bikin gue nurut dan nggak
tega. Semoga bener cuma lu biasa, doa Mima dalam hati.
115 MIMA mondar-mandir di depan meja makan. Kalau gini caranya bisa telat nih! Inov sih enak pelajaran pertamanya hari ini
olahraga. Lah gue?! Lagian tadinya Mima udah mau kabur
aja, pergi duluan. Kalau aja tadi Inov nggak SMS dan minta
pergi bareng. Huh! Mika menepuk pundak Mima. Begitu Mima noleh, mukanya
berhadap-hadapan sama muka Mika yang keliatan panik dengan mulut menggigit roti tawar. "Telat aku, Mi! Kamu
ngapain masih di sini?! Siang, Mi! Ini udah siang!" katanya
panik sambil nunjuk-nunjuk jam tangan.
Dengan santai tapi sebel Mima mendorong Mika. "Udah
tau telat masih ngajak ngobrol orang! Sana duluan!"
Mika memandang Mima heran. "Kamu?"
Dengan muka setingkat lebih sebel, Mima menunjuknunjuk ke atas. Ke arah kamar Inov di loteng. Mika kelihatannya masih pengin tanya-tanya, tapi hari ini dia ulangan
isika. Mika melesat pergi setelah sebelumnya melempar pandangan "Sabar, yaa..." ke arah Mima.
116 Nggak lama Inov keluar. Mata Mima yang tadinya melotot
marah langsung berubah jadi kaget begitu melihat penampilan Inov yang kayak mayat hidup. Matanya sembap, bibirnya pucat, rambutnya kusut, jalannya sempoyongan.
"Nov? Lo mandi nggak sih?" Pertanyaan yang sangat nggak
berperikemanusiaan itu meluncur dari mulut Mima.
Inov diam dan berjalan sempoyongan ke arah Mima.
"Uhuk! Uhuk!" Batuk-batuk pula.
Mima jadi khawatir. Releks Mima meyentuh dahi Inov lagi.
Ngecek. Waduh! Panasnya masih sama kayak tadi malam.
Mima menatap Inov khawatir. "Nov, lo masih sakit, ya? Lo
udah minum obat belom, Nov? Lo yakin mo sekolah?"
Inov batuk-batuk. Tapi nggak menjawab pertanyaan Mima.
Cowok itu malah melirik jam tangannya, melirik Mima sekilas,
lalu ngeloyor pergi. "Kita telat..."
HALOOO!!! Penguin kontet di Kutub Utara juga tau, kaliii!!!
Mima buru-buru mengimbangi langkah Inov.
Baru juga jalan beberapa meter, tau-tau....
"Uhuk! Uhuk! Uhuk!!! Kita ke... rumah sakit ya, Mi? Kita aja...
raha?uhuk!?sia, ya, Mi?" Inov batuk-batuk lagi. Menatap
Mima, sambil mengerjap-ngerjap seolah Mima sekecil upil
tikus sampe Inov nggak bisa liat dia, lalu memegang kepalanya dengan muka kesakitan, dan... BLUK! Jatuh pingsan di
pelukan Mima. "NOV!!! Lo kenapa, Nov?! Bangun, Nov!!!" Mima panik. Dan
makin panik teringat kata-kata "terakhir" Inov tadi. Ke rumah
sakit... KITA AJA?! Another secret nih? RAHASIA LAGIIII?! Mima
makin kepayahan menopang Inov. Ceking-ceking ternyata
Inov berat juga. Apalagi dia pingsan! Mudah-mudahan dia
nggak mati. Tangan Mima melambai-lambai panik memanggil
taksi yang lewat. 117 Sudah bisa dipastikan, hari ini dia tinggal pilih: mau ditulis
alpa, sakit, atau izin di buku absennya.
Duuuhhh... Kikiii! Angkat dooong! Kayaknya dia udah missed
call HP Kiki sekitar sembilan kali. Dan kalo yang ini juga
nggak diangkat, berarti bakal genap ada sepuluh missed call
di HP Kiki.... "Halo?!" Akhirnyaaa... suara Kiki ngos-ngosan menjawab
telepon Mima. "Ki?! Kok ngos-ngosan?"
"Huuuh... udah deh. Gue lari dari kelas ke WC demi ngangkat telepon dari lo nih! Lo di mana, Mi? Lo nggak sekolah? Lo
udah di-alpa tuh di jam pertama."


Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siaaalll!!! Dapet alpa deh! "A-aduuuh... gue telat ya nelepon
lo? Ki, gue lagi di rumah sakit..."
"Ha?! Ngapain? Siapa yang sakit? Lo nggak kenapa-napa,
kan? Lo ketabrak, Mi? Sama apa? Mobil? Bajaj? Sepeda ontel?
Apa? Lo nggak pa-pa, kan?"
Busyet! Merepeeet.... "Tenang dong, Kiii! Dengerin dulu
dong. Gue nganter Inov. Tadi pas mo berangkat sekolah dia
pingsan..." "Oke! Ntar gue bilangin deh biar absen lo izin, kan nganter
orang sakit. Darurat. Jadi lo..."
"Nggak! Nggak! Jangan, Ki!"
Kiki terdiam bingung. "Jangan? Kok jangan?"
"Pokoknya jangan. Nggak ada yang boleh tau Inov masuk
rumah sakit. Dan nggak ada yang boleh tau kalo gue nganter
Inov ke rumah sakit. Ini rahasia. Inget ya, Ki: ra-ha-si-a...,
ngerti?" Rahasia? Kiki melongo makin bingung. "Rahasia? Kok bisa
rahasia? Terus gimana?"
Mima terdiam. Iya, ya? Gimana dong? "Ehm, ya udah. Gue
118 cuma ngasih tau lo doang. Bilangin aja sama Dena dan Riva,
gue nggak masuk hari ini. Inget RA-HA-SI-A. Kasih tau mereka
berdua juga ya." "Terus absennya?"
Mima terdiam lagi. Mikir. Akhirnya mutusin bunuh diri. "Ya
udah, biarin aja alpa."
... "Halo, Ki? Kok diem?"
"Mi, sebenernya lo ada rahasia apa sih sama Inov?"
"Nggak ada kok, Ki. Udah, ya? Inget pesen gue. Rahasia."
Kiki makin bingung. Katanya nggak ada rahasia apa-apa.
Terus kenapa ini harus dirahasiain? Aneh.
Klik. Kiki menatap HP-nya cemas.
"Keluarga Satria November?" Dokter celingukan di ambang
pintu ruang periksa. HAH?! Mima yang lagi ngelamun sambil duduk langsung
releks berdiri. "Satria November ya, Dok? Saya, Dok, saya..."
Dokter berjas putih dan bermuka ramah itu menatap Mima
heran. Dr. Prawiro. Begitu yang tertulis di papan namanya.
"Kamu... keluarganya Satria November? Orangtuanya mana?"
Mampus! Mima panik dalam hati. Tapi dia harus tenang!
Harus tenaaang! "Eng, saya... saya... adiknya, Dok. Papa-Mama
lagi keluar kota. Kakak saya gimana, Dok?" Yakin seyakin-yakinnya, malaikat di bahu kiri Mima langsung sigap mencatat satu
lagi kebohongan Mima. Daftar dosanya bakal makin panjang
daripada gerbong kereta se-Jabotabek. Tuhaaan... ampuni
akuuu! Jangan cemplungkan aku ke nerakaaa....
Dokter Prawiro manggut-manggut memandang Mima, lalu
tersenyum ramah. "Mari masuk...," Dokter Prawiro membimbing Mima masuk ke ruangan.
119 Inov terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Udah sadar.
Cowok itu kelihatan pucat dan nggak berdaya. Mendadak
Mima betul-betul bersyukur tadi Inov cuma pingsan, bukan
mati. Melihat keadaannya sekarang, Inov kayak orang baru
bangun dari koma. Mima mendekati Inov dengan panik. "Lo...
eh, Kakak nggak pa-pa?"
Biarpun tergolek nggak berdaya, Inov sempet-sempetnya
menatap Mima bingung karena dipanggil "kakak".
Demi melihat Inov yang heran, Mima buru-buru mengirim
kode dengan kalap. Kedipan mata, alis naik-turun, hidung
kembang-kempis... pokoknya segala kode yang bisa dilakukan
dengan muka sebelum Inov nyeletuk bego dan membocorkan
semuanya ke Dokter Prawiro.
Akhirnya Inov mengangguk lemah. "Uhuk... nggak pa-pa.
Aku udah nggak pa-pa kok, Dik..."
DIK?! Hahaha! Sekalian aja bilang adinda! Penting ya kalo
dipanggil "kakak", harus balas manggil "dik"?!
Mima menoleh ke Dokter Prawiro. "Dok, eng, kakak saya
udah boleh pulang, kan?"
Dokter Prawiro mengusap dagunya serius. "Begini, sebenarnya saat ini yang terbaik adalah kakak kamu dirawat di sini.
Saya bisa kasih obat demam dan antibiotik untuk menghilangkan demamnya. Tapi saya rasa kakak kamu juga perlu melakukan rontgen. Hmm, saya khawatir ada penyakit yang nggak
terdeteksi. Sebaiknya diperiksakan lebih lanjut, supaya bisa
mendapat penanganan yang tepat dan segera."
Mima melotot panik. Jadi Inov beneran terancam penyakit
parah dan bakal mati?!
"Tapi itu baru kecurigaan saya. Makanya saya rekomendasikan untuk rontgen supaya lebih yakin," sambung Dokter
Prawiro seperti membaca pikiran Mima.
120 Mima menatap Inov panik. "Gimana dong, No?eh, Kak?
Mama sama Papa kan nggak ada?"
Susah payah Inov berusaha bangun dan duduk. "D-dok,
saya... saya mau pulang dulu aja. Saya mau rontgen sama
papa dan... mama saya. Boleh, Dok?"
Dokter Prawiro kelihatan ragu, tapi akhirnya mengangguk.
"Ya sudah. Saya akan tulis resep buat kamu untuk sepuluh
hari. Habiskan obatnya ya. Dan kalau dalam jangka waktu itu
kamu merasa sakit lagi, segera kembali ke sini, ya? Jangan
lupa, kamu harus segera rontgen."
Inov mengangguk lemah. Dokter Prawiro duduk di mejanya, lalu menulis resep dan
surat pengantar ke lab. Mima dengan cemas duduk di hadapan Dokter Prawiro.
"Ini. Langsung ditebus ya obatnya. Ini surat pengantar buat
rontgen." Mima memasukkan resep dan surat pengantar tersebut ke
tas sekolahnya. Dokter Prawiro berdiri dan menatap Inov yang masih terduduk lemah. "Kamu yakin kuat untuk pulang?"
Inov mengangguk. "Yakin, Dok. Saya kuat kok."
Dokter Prawiro mengangguk. "Baiklah kalau begitu. Saya
tinggal, ya? Nanti buat urusan administrasinya bisa diurus
sama Suster Tika," Dokter Prawiro menunjuk suster asistennya.
Mima melirik Inov yang bersandar lemah di jok taksi. "Terus
gimana nih, Nov? Lo denger kan kata Dokter? Lo harus
rontgen. Nov, kita langsung rontgen aja yuk?"
Inov membuka matanya pelan. Lalu menggeleng lemah.
"Nov! Lo jangan bikin gue susah dong, Nooov! Kalo lo
kenapa-kenapa gue yang kena nih, soalnya gue kan tau
121 semuanya! Malah dokternya ngomong sama gue! Nooov, kita
rontgen, ya, sekarang?"
Inov menatap Mima putus asa. "Uangnya... dari mana, Mi?"
Mima tercenung. Barang sialan itu! Inov harus setor ke
bandar-bandar gila itu! Dan artinya Mima juga! Karena kenaikan setoran yang diminta si bandar ceking dan norak itu
sudah disanggupi Mima! Ugh! Terlibat narkoba emang terbukti nggak ada untungnya, cuma bawa sial doang! Inov dan
Mima oicially bangkrut! Nggak punya duit! Kecuali...
"Udahlah, Nov! Buat setoran itu ntar kita pikirin lagi, yang
penting kesehatan lo dulu." Mima melirik sopir taksi. Takut si
sopir menguping pembicaraan mereka. Lalu Mima mendekatkan bibirnya ke telinga Inov, bisik-bisik. "Udah cukup ya Nov,
gue rahasiain yang aneh-aneh. Tapi lo jangan tega mati di
tangan gue dong! Please, Nov, lo harus rontgen. Kalo nggak
demi lo, demi gue deh... ya?"
Inov tercekat. Dia juga nggak mau Mima disalahin sama
semua orang kalau ada apa-apa sama dia. Dan kalau sampe
dia kenapa-kenapa, siapa yang bakal melindungi Mima dari
bandar sialan itu?! Akhirnya Inov mengangguk.
Mima menghela napas lega.
Gian celingukan di depan kelas Mima.
Kiki lari-lari kecil menghampiri Gian. "Hei, Gi, eng... cari
apa... eh siapa?" Gian langsung salting kepergok Kiki. "Eng, aku... aku mau
cari..." "Mima?" tebak Kiki kilat.
DEG! Muka Gian langsung merah padam. Ini nih yang namanya ketangkap basah. Lagian, entah kenapa Gian bener-bener
makin hari makin sadar dia suka banget sama Mima yang
cerewet, blakblakan, dan selalu gagal total kalau mau sok
122 manis atau sok kalem. Gian jadi kangen sama Mima semenjak
akhir-akhir ini dia jarang banget ketemu Mima. Padahal Mima
udah setuju jadi panitia bazar sekolah. Padahal Gian berharap
bakal sering ketemu di rapat-rapat panitia, eh...
"Mima nggak masuk, Gi. Dia?"
"Pergi sama Inov lagi?" Gian nggak bisa nyembunyiin nada
penasaran dan cemburu dalam suaranya, bikin Kiki jadi
kaget. Kiki menatap Gian kaku. Berusaha mencari-cari alasan biar
bisa ngeles dengan mulus. "Eng... justru... justru gue nggak
tau tuh, Gi. Dia nggak masuk, tapi nggak bilang-bilang tuh,
hehe..." Ini sih bukan ngeles dengan mulus namanya, tapi
mati ide!!! "Oh... kirain. Akhir-akhir ini perasaan Mima sering pergi
sama Inov. Iya, kan?"
Glek! Kiki menelan ludah panik. Mati gue! Pergi, Giaaan!
Pergi dooong! Gue nggak bisa mikir niiihhh! pekik Kiki dalam
hati. Kiki diam. Gian diam. Mima ke mana ya? Masa sih Mima bolos? Kayaknya nggak mungkin deh.
"Eng, ya udah, gue... gue mo ke kantin dulu ya, Gi?" Kiki
buru-buru kabur. "Ki! Tunggu!" Ngapain Gian ngejer gueee??? Sambil meringis, Kiki menatap Gian. "Iya, Gi? Kenapa lagi?"
Gian kelihatan gelisah dan ragu-ragu ngomong sama Kiki.
"Lupa ya, Gi?"
Gian menggeleng. "Nggak, nggak, bukan lupa..."
"Gatel?" Gian menjatuhkan tangannya yang nggak sadar garukgaruk kepala. "Bu-bukan, Ki..."
123 "Nggak jadi ngomong?" tebak Kiki lagi. Ngarep.
Gian langsung gelagapan. "Ja-jadi, jadi, Ki. Jadi."
Ad-duuuuh! Jadi, lagi. Kenapa nggak jadi aja sih?! Kiki nyengir maksa. "Apa?"
"Ki, Mima... eh... Mima sama Inov... eng... Mima sama Inov
pacaran?" Wah! Gian beneran suka nih kayaknya sama Mima. Kiki
menggeleng. Yang ini dia tau pasti jawabannya. "Setau gue
sih nggak." Gian menghela napas lega. "Syukur deh."
"Hah? Apa, Gi?"
"Nggak, Ki, nggak. Ya udah, makasih ya. Eh, Ki, tolong bilangin Mima ya, gue nyariin. Soal rapat panitia bazar."
Kiki mengernyit. "Kenapa nggak telepon sendiri aja?"
Oh iya, ya? Kenapa nggak nelepon sendiri aja? Plak! Gian
menepuk jidatnya sendiri.
"Iya, kaaan?" desak Kiki rese, lalu melenggang meninggalkan Gian yang berkutat dengan HP-nya.
Mima menatap layar HP-nya. Nama Gian berkedap-kedip. Separo hatinya betul-betul pengin menjawab telepon itu.
Ngobrol sama Gian, cowok yang bener-beneeerrr Mima suka.
Bayangin aja, setelah sekian lama, akhirnya dia bisa makin
deket sama Gian! Tapi separo hatinya yang lain ngotot melarang Mima supaya nggak ngangkat telepon dari Gian. Habis
ntar Mima mau ngomong apa coba, kalau Gian tanya dia di
mana? Mima kayaknya nggak bisa bohong sama Gian.
Gimana coba kalo dia ketauan bohong sama Gian?
Mima melirik Inov yang tertidur setelah rontgen tadi. Mima
menghela napas lalu memasukkan HP-nya yang berkedipkedip ke tas. Ini demi lo nih, Nov!
124 Gian mematikan HP-nya dengan kecewa. Melamun sejenak.
Ke mana ya Mima? Apa dia sama Inov lagi?
Gian mengetik SMS buat Mima.
Mima, km kmn hr ini? Ak t d nyari km k kls. Kt udh mo mulai rapat bazar.
Km baik2 aj a kan? Mima menatap SMS dari Gian dengan putus asa. Sori, Gi,
soriii banget. 125 "GIAN!" Mima berlari-lari kecil menyamai langkah Gian menuju gerbang sekolah.
Gian keliatan girang melihat Mima. Tapi langsung agak kecewa karena teringat telepon dan SMS-nya nggak dibalas.
"Mima." Duuuh... kok Gian mukanya gitu sih? Pasti gara-gara kemaren nih. "Gi, aku mo ngomong sama kamu."
Biarpun kelihatan agak maksa, Gian tetap tersenyum manis
seperti biasa. "Ya, Mi, ada apa? Kamu terima missed call sama
SMS aku kemaren?" Tuh, kaaan.... "Eng, iya terima. Justru itu, Gi. Sori ya... kemaren aku nggak ngangkat telepon sama bales SMS kamu.
Kemaren mendadak banget soalnya, eng, Mika... demam. Jadi
gue nganter Mika ke rumah sakit. Sori, ya?"
Gian ngangguk, kelihatan lega. "Iya, nggak pa-pa lagi, Mi.
Nyantai aja. Aku cuma pengin ngasih tau kamu rapat-rapat
panitia bazar bakal segera dimulai. Aku... pengin banget kamu
datang." Muka Gian memerah dan kelihatan salting sendiri.
126 Mima jadi salting juga.
"Kamu mau datang kan, Mi?"
Mima mengangguk cepat. "Iya, mau, mau... pastilah mau,
masa nggak? Aku dateng lah, pasti dateeeng...," jawabnya terlalu semangat. Makin kentara deh Mima juga salting.
Gian mengulum senyum senang melihat Mima salting
begitu di depan dia. "Aku seneng banget, Mi, kalo kamu bisa dateng rapat. Eh,
yang lain juga pasti seneng sih, soalnya..."
Lho?! Siapa tuh cewek yang ngomong sama Inov di depan
gerbang? Kok kelihatan merengek-rengek gitu? Lho kok...?
Kok kayak mo nangis gitu? Ih! Ngapain tuh narik-narik tangan
Inov gitu?! Lho... lho... kenapa Inov nyeret dia menjauh dari
situ? Eng... sambil dipeluk pula?! Siapa sih tuh cewek?!
"Gi, sori, aku mesti pergi nih...."
Gian yang lagi nyerocos mendadak bengong. "Eng... eh,
kenapa, Mi...?" Mima makin gelisah sekaligus nggak enak sama Gian. "Sosori banget ya, Gi? Tapi aku pasti datang rapat kok. Sori ya,
Gi, sori.... Aku pergi dulu, Gi...." Mima melesat pergi.
Gian terdiam bingung. Tapi agak bisa menebak, soalnya dia
juga sempat melihat Inov sama cewek itu. Gian mengembuskan napas masygul. Apa mungkin Mima bener-bener ada
perasaan sama Inov ya? Gian menatap kepergian Mima setengah putus asa. Tapi kan belum tentu juga? Dalam hati
Gian menghibur diri sendiri.
Mima celingukan di depan gerbang sekolah. Mana sih?!
Ngumpet di mana ya mereka berdua? Makin hari Mima makin
nggak bisa nggak ikut campur urusan Inov. Apalagi setelah
semakin banyak rahasia "penting" soal Inov yang dia tahu.
Belum lagi pake acara ngangkut dia ke rumah sakit segala!
127 Mima merasa bertanggung jawab atas Inov. Dan Inov juga
jelas HARUS bertanggung jawab atas Mima. Karena kalo ada
apa-apa, siapa yang duluan keseret, coba? MIMA! So pasti
itu! "Aku kan udah bilang sama kamu, berhenti! Kenapa sih
kamu nggak mau dengerin aku?! Berhenti, Ra, berhenti!"
Lho? Itu suara Inov, kan? Tapi kok ngomongnya lancar dan


Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panjang gitu ya? Mima mencari-cari asal suara.
"Nov, please, Nooov, pleaseeee... kamu kan tau mereka gimanaaa?"
DHUAAG! Mima mendengar sesuatu dihantam keras. Hmm,
kayaknya suaranya berasal dari balik halte butut dekat sekolah yang sepi. Mima buru-buru ke situ. Voila! Inov dan cewek yang tadi dia panggil "Ra" memang ada di situ. Inov
mencengkeram kedua pergelangan tangan cewek itu dan
menatapnya tajam. "Ehem, Inov..."
"Mima?" Inov menoleh cepat, secepat dia melepas genggamannya dari tangan cewek itu. "Lo ngapa?"
Mima memutar bola matanya sebal. "Lo yang ngapain
ribut-ribut di sini? Tukang siomay mangkal juga bisa denger,
tau!" sembur Mima, nggak meduliin cewek bernama "Ra" yang
tampak bingung dengan mata sembap, berleleran air mata
dan... ingus! Ih! "Nooov...," rengek cewek itu memelas. Untuk ukuran cewek
dia lumayan tinggi. Dan cantik. Kalau saja dia nggak ceking
kayak tengkorak di laboratorium sekolah. Mana matanya juga
cekung kayak nggak tidur tiga kali puasa tiga kali Lebaran.
Standar... nungguin Bang Toyib pulang.
Inov menarik tangan itu mendekat ke Mima, lalu menatap
Mima pasrah. "Mi, kenalin. Ini Saira. Saira... mantan cewek
gue." 128 Saira keliatan kaget dan shock waktu Inov bilang "mantan
cewek gue". Tapi cewek ceking itu tetep mengulurkan tangannya ke Mima. "Sa-Saira."
"Mima." Saira menatap Inov minta penjelasan atas jawaban Mima
yang pendek. "Dia anak sahabat Bunda. Aku tinggal di rumahnya sekarang. Sekolah di sini sama-sama dia."
Mima senyum basa-basi. Ternyata Inov bisa juga ber-akukamu dan ngomong panjang tanpa harus bermuka dingin
kayak biasanya. Katanya mantan, tapi kok tatapannya masih
penuh cinta begitu sih?! Mima merogoh-rogoh tasnya. Menyodorkan tisu ke Saira yang keliatannya butuh tisu lebih
dari apa pun juga di dunia ini. Sekarang mukanya benerbener berantakan!
"Mo cuci muka juga nggak? Gue bawa air minum nih, bisa
dipake," ujar Mima sadis. Mulutnya memang ember dan nggak
bisa ditahan. Ini aja udah sedikit pasang rem. Kalau dilepas,
sebetulnya dia pengin bilang, "Muka lo jelek banget, ingusnya
juga kayaknya lengket". Tapi kayaknya itu terlalu kejam.
Saira menatap Mima, menggeleng pelan sambil mengambil tisu yang disodorkan Mima. "Nggak, makasih." Lalu buruburu mengelap air mata dan ingusnya.
Saira masih terisak sambil sibuk membersihkan muka.
Inov bersandar ke dinding dengan muka capek dan putus
asa. Mima terdiam melirik Inov sekali-sekali. Penasaran banget
pengin tahu ada apa, tapi males nanya. Soalnya males aja
kalo ternyata ini masalah percintaan. Misalnya mereka putus,
terus Saira nggak mau apa gimana gitu....
"Nov, kamu harus balik ke Jakarta, Nov. Harus. Ya, Nov?"
Tiba-tiba Saira bersuara lagi.
129 Tunggu, tunggu! Apa katanya, ke JAKARTA?! Mima buruburu melirik Inov. Biarpun diam, Mima tahu banget Inov mendadak panik. Inov kelihatan berusaha menghindari tatapan
Mima. Waaahhh, kalo bakal aneh-aneh Mima harus turun tangan
nih. "Ra, memangnya Inov boleh keluar Bandung? Setahu gue
Inov dititipin bundanya di rumah gue supaya..." kalimat Mima
menggantung. Aduh, gawat. Gimana kalo ternyata Saira
nggak tahu kasus cowoknya dan nyangka Inov ke Bandung
tanpa alasan? "Gue tau," potong Saira pendek.
Ohhh... dia tau. Mima jadi lega. Bagus deh. Jadi dia batal
jadi pembocor rahasia. "Kalo lo tau, terus kenapa lo suruh
Inov ke Jakarta? Bahaya, kan? Lo sama aja nyeret dia balik ke
orang-orang itu dong?"
Pertanyaan Mima bikin Saira tersentak diam. Mematung
dan nggak bisa jawab. Inov keliatan cemas dan nggak enak.
"Atau... lo belum tau para kaki tangan bandar itu ngejer
Inov sampe ke sini? Dan bikin Inov babak belur?"
Saira tercekat menatap Inov. "Nov..."
Inov meremas rambutnya frustrasi. Lalu balas menatap
Saira. "Kamu kan tau gimana mereka, Ra," katanya.
Eits, eits, tunggu! Tadi Saira juga bilang gitu. "Kamu kan
tau siapa mereka." Apa hubungannya Saira sama mereka? Ini
pasti mereka yang sama, kan?! Mima menatap Saira kaku. "Lo
juga kenal... mereka?" tanya Mima ragu-ragu. Yang namanya
mulut ember bocor, mana bisa ditahan. Semua kalimat
terlontar gitu aja. Mima betul-betul sukses bikin Saira mati gaya. Matanya
menatap Inov minta pertolongan.
"Mima tau semuanya," kata Inov akhirnya.
Saira menatap Inov nggak ngerti.
130 "Dia yang nolongin aku, Ra. Waktu aku digebukin, sampe
ngambil barang yang harus aku jual dan setor sama mereka.
Mima bahkan ngasih uangnya buat aku untuk nutupin setoranku yang ditambah jumlahnya. Kalo nggak ada dia..." Inov
menatap Mima, "aku nggak tau gimana nasibku sekarang."
Mima tak bicara. Diam-diam senang karena ternyata semua
yang dia lakukan dihargai Inov.
Saira terkaget-kaget. "Kamu... kamu masih jualan, Nov?"
Inov tertawa kecut. "Ya nggak lah! Barang itu nggak aku
jual. Aku cuma nyetor aja sama mereka. Aku nggak mau ngerusak orang lain lagi. Cukup. Aku cuma ngejaga Bunda dari
mereka, supaya mereka nggak ganggu Bunda dan bikin hati
Bunda hancur lagi gara-gara aku."
Reaksi Saira betul-betul bikin Mima shock. Tiba-tiba Saira
melompat ke hadapan Inov. Memeluk cowok itu sambil menatap Inov dengan tatapan memohon dan memelas. "Kamu
nggak jual, Nooov? Berarti masih ada sama kamu dong
barangnya? Nooov, kasih ke aku dong, Nooov. Kasih akuuu....
Aku, aku butuh bangeeet... mana, Nooov? Kasih aku, yaaaa?
Nooov...." Mima melongo. Makin melongo waktu Inov mencengkeram
lengan Saira lalu menatap tajam cewek itu.
"Ra!!! Aku kan udah bilang! BERHENTI! Kamu ngapain masih
terus kayak gini? Kamu liat aku, Raaaa, liat akuuu! Aku udah
berhenti dari semua ini! Tapi semua kebusukan dan akibat
buruknya masih ngikutin aku ke mana-mana!!!"
Mima tercekat. Mata Inov yang tadi nyalang berubah sedih menatap Saira.
"Ra, berhenti, Raaa... sebelum terlambat. Kasian mami-papi
kamu..." "Lepaskan!!!" Tiba-tiba Saira menjerit sambil menyentakkan
tangan Inov yang menggenggam tangannya. Matanya kem131
bali berlinangan air mata. "Kamu jahat, Nov! Kamu jahaaat!
Papi sama Mami nggak peduli sama aku! Aku pikir kamu
yang cinta sama aku! Yang peduli sama aku! Aku jadi kayak
gini juga karena aku cinta sama kamu!"
"TAPI AKU UDAH SADAAAR!" teriak Inov keras sampe Mima
mundur beberapa langkah saking kagetnya. Dengan napas
terengah-engah Inov menatap Saira. "Aku udah sadar semua
itu salah! Dan aku pengin kamu juga sadar! Sadar, Sairaaa!!!
Aku pengin kamu juga sembuh!"
Air mata Saira semakin tumpah. "Gampang aja kamu
bilang gitu, Nov! Kamu punya Bunda yang masih bisa ngerti
dan maain kamu! Aku?! Aku gimana, Nooov? Aku udah sejauh ini dan kamu tinggalin aku gitu aja. Badanku sakit semua, Nov. Aku butuuuh, tapi aku nggak punya uang! Kamu
tega, Nooov? Kamu tega ninggalin aku!"
Inov meninju dinding dengan frustrasi. "AKU NGGAK NINGGALIN KAMU! AKU UDAH BILANG, AKU AKAN TETEP SAMA
KAMU ASAL KAMU BERHENTI!!!" Duag! Duag! Duag! Inov meninju tiang halte.
"INOV!" Mima memegang lengan Inov, menariknya mundur.
Gila! Kok jadi gini sih?! Puk! Mima menepuk pipi Inov pelan.
"Nov, sadar, Nov. Jangan teriak-teriak di sini... ntar banyak
orang bisa denger. Sabar, Nov, sabaaar..." Mima sadar suaranya
gemetaran. Sumpah, dia ketakutan! Pelan-pelan Mima mendorong Inov duduk. "Tenang, Nov, tenang ya?"
Mima lalu mendekati Saira yang menangis sampai terduduk di lantai. Dengan lembut Mima memegang kedua
bahu Saira. Membantunya berdiri. "Kotor, Ra, berdiri yuk?
Duduk di situ. Kita ngomong baik-baik ya?"
Saira mengikutinya dengan patuh.
Muka Inov tegang sementara mulutnya terkatup rapat. Tangannya mengepal sampai urat-uratnya bertonjolan keluar.
132 Saira duduk di sudut lain, masih sesenggukan dengan
mata sembap dan ingus yang sesekali nongol.
Mima terdiam di tengah-tengah. Mima menatap Saira.
"Mmm.. Ra, sebenernya ada apa? Kenapa Inov harus ke Jakarta? Ada acara penting apa?"
Saira diam. Masih terus menangis.
Busyet! Mima meringis bingung. Gimana nolonginnya nih
kalo nggak kooperatif begini? Apa mending dibiarin aja mereka berdua cakar-cakaran ngurusin urusan "domestik" ini?
Sekalian aja sediain piring, mangkok, ceret, ember, dan alatalat dapur lainnya buat lempar-lemparan seru juga, kali.
"Anak-anak ngadain pesta rutin." Suara Inov yang serak merespons pertanyaan Mima.
"Anak-anak? Maksud lo... mereka?"
Inov mengangguk sekilas. "Pesta gila-gilaan. Pesta rahasia,
kalo ada rumah anak-anak yang kosong."
"Kali ini rumah gue," sambung Saira lirih.
Mima menoleh cepat. "Lo... lo mau gelar pesta narkoba?"
Ucapan Mima kali ini betul-betul langsung menusuk hati
Saira. Pesta narkoba... ya, bener! Saira memang mau menggelar pesta narkoba. Tapi entah kenapa, waktu Mima yang
ngucapin kata itu, rasanya bulu kuduk Saira merinding. Buat
mereka itu cuma seneng-seneng aja, tapi pesta narkoba...?
Bayangan cuplikan berita-berita penggerebekan pesta
narkoba dalam berita kriminal gantian berkelebat di kepala
Saira. Mendadak dia ketakutan. Padahal waktu anak-anak
memilih rumahnya dengan iming-iming barang gratis, Saira
semangat setengah mati.
"Rumah Saira kosong. Anak-anak udah telanjur tau jadwal
orangtua Saira yang jarang di rumah," Inov menjelaskan.
Mima menatap Saira khawatir. "Lo kan bisa nolak. Ya,
kan?" 133 Saira mengabaikan pertanyaan Mima dan memandang
Inov putus asa. "Nooov, kamu beneran nggak mau nolongin
aku, Nooov? Aku nggak mungkin minta uang sama MamaPapa lagi, mereka udah nggak mau ngasih uang sama aku
bulan ini. Aku... aku butuh, Noov. Kamu dateng, ya, Nooov?"
Inov menatap Saira lurus-lurus dari tempat dia duduk. "Ra,
aku udah berhenti. Aku mau bebas dari semua ini, Ra. Lagian
buat apa aku di sana, Ra? Aku nggak mau lagi make barang
itu, Ra, aku nggak mau! Dan aku pengin kamu berhenti juga,
Ra!" Saira berdiri, menghampiri Inov. "Nov, kamu nggak perlu
make. Kamu nggak perlu ngapa-ngapain. Aku cuma, aku
cuma pengin ada kamu, supaya kalo ada apa-apa aku aman.
Aku takut, Nov, aku takut mereka kelewatan di rumahku.
Siapa yang bakal nolongin aku, coba? Kamu tau mereka, Nov,
mereka nggak akan peduli. Aku takut, apalagi sama Revo. Dia
makin sering deket-deketin aku, Nov. Aku nggak mauuu...
aku... aku takut, Nooov. Aku cuma butuh barang gratis itu
aja...." Inov mematung. Revo. Bandar gila itu! Jadi sekarang dia
naksir Saira? Inov memandang Saira sedih. Dia nggak pernah berhenti sayang sama Saira. Tapi dia pengin Saira sembuh! Dia cuma minta Saira berhenti! Sadar! Kalau dia masih
pengin jadi pacar Inov. Tapi ternyata Saira malah lebih milih
muasin kecanduannya daripada berjuang sembuh demi
Inov! Saira menggenggam tangan Inov. "Nooov, kamu tau kan,
kalo aku jadi host pesta, aku nggak perlu keluar uang untuk...
dapet barang. Nov..."
Inov masih menatap Saira tajam. Dia tau masih ada yang
disembunyiin Saira. "Revo bilang, aku bisa dapet free tiga kali... kalo kamu da134
teng, Nov," lanjut Saira putus asa, karena dia tahu percuma
bohong sama Inov. Inov mengusap mukanya. "Aku nggak mau bantu kamu
dapet barang itu, Ra. Aku mau kamu berhenti."
Saira mundur perlahan, menatap Inov putus asa. "Kamu
jahat, Nov, kamu jahat! Kamu tau aku butuh. Kamu jahat,
Nov, kamu jahat! Katanya kamu sayang sama aku...."
Mima bisa melihat jelas bibir Saira bergetar dan pucat.
"Ra, tenang dulu...."
"Kamu jahat, Nov!" Saira lari pergi.
"Ra!" panggil Mima panik.
"ARGGH!" BUAAAKK! Inov meninju dinding dengan keras.
Serpihan cat dan tembok bobrok berjatuhan.
"Nov! Tenang dooong!" Mima menahan tangan Inov yang
siap meninju dinding lagi. "Lo duduk dulu deh, Nooov, duduk
dulu. Ya?" suara Mima makin gemetar ketakutan. Dia belum
pernah berada dalam situasi kayak gini. Dan dia sebenernya
nggak mau ada di situasi kayak gini. Nggak mauuu!
"AAARGGH!!!" "INOV! Tenang dulu kenapa sih!" Mima menahan tangan
Inov sekuat tenaga. "Lo mo bikin halte ini roboh?! Biar semua
orang ke sini, gitu?!" Nggak sengaja Mima menatap punggung tangan Inov yang tadi dipakai meninju dinding. "Ya
ampun! Tangan lo tuh, Nov..." Tangan Inov merah kebiruan,
mulai bengkak dan lecet-lecet. "Lo nggak perlu ninju-ninju
gitu kan Nov?" Inov nggak jawab. Dia cuma nunduk. Meremas-remas rambutnya dengan napas naik-turun nggak teratur dan gemetaran.
Mima duduk di sebelah Inov. Diam.
"Cewek gobloook!" desis Inov sambil tetap menunduk dan
meremas rambutnya. 135 Inov memang masih cinta sama Saira. Mima mengusap
punggung Inov hangat. Lalu menepuk-nepuknya pelan. "Lo
cinta banget sama Saira, ya, Nov?"
Inov terdiam. "Iya, kan, Nov?"
Inov mendongak menatap Mima. "Gue yang bikin dia kayak gini. Sekarang gue nggak bisa nolong dia."
Mima menepuk-nepuk bahu Inov lagi. "Mendingan sekarang kita pulang dulu yuk, Nov? Di sini kita bisa bikin orang
curiga. Lo juga masih harus istirahat, kan? Lo belum sehat
banget lho, Nov. Yuk?" Mima membimbing Inov berdiri.
Tanpa perlawanan Inov bangkit. Baru kali ini Mima merasa
Inov lemah banget. Sifat dingin dan datarnya hilang begitu
aja. Pandangan matanya yang tajam mendadak redup dan
putus asa. Pasti. Inov pasti masih sayang banget sama
Saira. Gian memandang nanar dari kejauhan. Mima membimbing
Inov dengan telaten. Tangan Mima melingkar di pinggang
Inov. Gian menghela napas panjang. Merasa kesempatannya
makin kecil. Tapi dia juga nggak akan mundur begitu aja.
Zaman sekarang kan prinsip yang dipegang bukan cuma
selama janur kuning belum melengkung, tapi selama bendera
kuning belum berkibar hehehe....
Mima menyodorkan air putih untuk Inov minum obat. Mima
menyentuh dahi Inov sekilas. "Lo anget lagi, Nov. Lo mending
langsung tidur deh."
Inov menelan obatnya lalu merebahkan kepala ke bantal.
"Makasih, Mi."
Mima mengangkat bahu. "Lo sampe mau repot-repot ngurusin dan khawatirin gue."
136

Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nov, ini semua karena gue tau. Gue nggak mungkin diem
aja sementara gue tau masalah elo. Kalo gue nggak tau juga
gue bakal cuek-cuek aja. Jadi santai ajalah, Nov, yang penting
lo harus sehat! Lo juga harus mikirin gue, Nov. Oke?"
Inov tersenyum masam. "Kecengan lo pasti bete banget
nih." Gian. Mima teringat Gian. Gimana dia tadi ninggalin Gian
yang lagi semangat ngomong nggak tau apa. Mima malah
ngeloyor buru-buru pergi demi Inov.
Mima bangkit dari duduknya. "Lo istirahat deh, Nov. Gue
ke kamar dulu." "Makasih, Mi."
Mima keluar. Tuuuut... tuuut... Aduuuh, Giaaan, angkat dooong! Mima mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja dengan nggak sabaran.
Tuuut... tuuut.... "Halo?" Ah! Akhirnya! "Gian? Ini aku, Mima."
Gian diam sejenak. "Mima? Eh, hai... tadi... gimana acaranya?"
"Acara?" "Iya, itu lho, waktu kamu mendadak pergi tadi," pancing
Gian penasaran. Mulut Mima terkunci. Dia harus bilang apa?! Kok Gian
mancing-mancing begitu sih? Apa jangan-jangan Gian...
liat? "Hei, Mi, sori, sori, udah nggak usah dipikirin pertanyaanku
tadi. Ada apa, Mi?"
Ada apa ya? Mendadak Mima bingung sendiri kenapa dia
nelepon Gian. 137 "Mi?" "Eng... rapatnya kapan, Gi?"
Gantian Gian yang bingung. "Lho, tadi kan aku udah bilang
sama kamu. Jadwalnya lagi dikerjain sama anak OSIS. Nanti
segera disebar." "Oh... kamu udah ngomong tadi?"
Gian makin bingung. "Iya, udah. Kamu nggak denger ya,
Mi?" "So-sori, Gi, aku tadi?"
"Udah, udah, nggak pa-pa kok, Mi. Aku malah khawatir
sama kamu. Kamu nggak kenapa-kenapa, kan?"
Mima tercenung. Ternyata Gian makin hari makin perhatian
sama dia. Tapi Mima melewatkan semuanya gara-gara urusan
Inov. Ya ampuuun...! "Aku? Aku nggak pa-pa kok. Ya udah,
nanti ketemu lagi di sekolah, ya?"
"Oke." "Oke" "Mi!" "Gi!" Mima dan Gian bicara bareng-bareng.
"Iya, Mi?" "Kamu manggil aku kenapa?" balas Mima.
"Nggak. Nggak jadi," jawab Gian gugup. "Kamu?"
"Nggak jadi juga, Gi..."
... ... "Oke. Udah dulu ya, Gi? Bye...."
"Bye, Mi...." Klik. Mima memeluk HP-nya di dada. Ya Tuhaaan, semoga semua pertolongannya buat Inov dapat ending yang baik. Supaya semua pengorbanannya, termasuk ngorbanin Gian pangeran impiannya, nggak sia-sia.
138 Tok tok tok... SEMUA mata yang lagi serius mendengarkan penjelasan
sang ketua rapat, Gian, kontan menoleh kompak ke arah pintu. Gian sendiri langsung berhenti menjelaskan.
Mima nyengir nggak enak karena datang telat ke rapat
pertama bazar. "Sori telat."
Biarpun nggak terang-terangan, semua orang juga bisa liat
Gian langsung sumringah dan senang melihat Mima akhirnya
nongol juga. "Nggak pa-pa, Mi, kami juga baru mulai kok.
Masuk aja..." Mima menoleh ke belakang. "Yuk..."
Gian mengernyit penasaran. "Yuk?" Memangnya ada sia?
Oh iya, Gian inget. Dia sendiri yang waktu itu menyuruh
Mima mengajak Inov bergabung. Dan akhirnya cowok itu setuju. Mendadak Gian sadar. Dan nyesel.
Inov mengekor di belakang Mima dengan tampang nggak
enak. 139 "Wah, Inov ikut juga?" celetuk seorang cewek takjub. Kayaknya itu temen sekelas Inov. Inov cuma tersenyum tipis dan
melambai sekilas ke cewek itu.
Mima duduk di kursi agak depan yang kosong.
Inov duduk di dekat beberapa cowok di kursi belakang.
Dalam hati, Gian seneng dan lega banget Inov nggak duduk di sebelah Mima. Dengan perasaan tenang, Gian melanjutkan menjelaskan materi rapat.
Sumpah deh! Mima berusaha banget berkonsentrasi pada
apa yang dijelasin Gian. Semua yang penting Mima catat serapi-rapinya. Tapi...
"Uhuk! Uhuk! Uhuk!"
...Gimana mo konsentrasi kalau Inov batuk-batuk melulu
kayak gitu?! Sekali-sekali Mima melirik ke arah Inov. Cowok
itu kelihatan beberapa kali berusaha menahan batuk, tapi
gagal. Dia tetep aja batuk-batuk sepanjang rapat.
Gian beberapa kali mergokin Mima melirik khawatir ke
arah Inov. Hati Gian mencelos, bergetar aneh. Rasanya...
nggak rela. "Mima..." Mima menghentikan langkah begitu denger suara Gian
manggil dia. "Eh, hei, Gi. Sori ya, tadi aku telat."
Gian senyum maniiis banget. Bikin Mima deg-degan. Entah
kenapa dia yang bawel, rese, dan cerewet ini bisa jatuh cinta
pada Gian yang serba kebalikannya. Pendiam, berwibawa,
kalem... pokoknya calon pemimpin masa depan deeeh!
"Udah, nggak pa-pa, lagi. Eng, kamu mau ke mana habis
ini, Mi?" Gian udah mutusin untuk selangkah lebih berani
daripada cuma "berlindung" di balik bazar. Biarpun malu dan
rasanya aneh, Gian nekat berani-beraniin ngajak Mima jalan.
Minimal makan siang bareng deh....
140 "Eng, nggak ke mana-mana sih, Gi. Kenapa?"
Wah! Kesempatan emas datangnya cepet bangeeet! pekik
Gian girang dalam hati. "Aku... aku pengin ngajak kamu..."
"Uhuk uhuk!" Dari kejauhan suara batuk Inov yang lagi jalan menjauh kedengaran jelas.
Aduh, kenapa batuknya makin menjadi-jadi gitu sih?! "Gi!
Aku lupa! Soriii banget. Aku... eh... aku ada janji sama Mama
hari ini. Lain kali aja, ya?"
MIMAAA!!! Otak lo kutilan ya sampe jadi nggak mikir?! GIAN
NGAJAK JALAN! Dan lo, berkat "kutil" lo itu, milih bohong karena denger INOV batuk?! teriak suara hati Mima. Tapi... sisi lain
hatinya bilang, kalo Inov batuk-batuk biasa, gue tinggal nyuruh tu cowok beli obat batuk. Lah kalo pingsan kayak kemaren?
Gian menatap Mima. Kecewa. "Oh... kamu dah ada acara,
ya?" Oh tidaaak!!! Why, TUHAN, why...?! "Sori banget ya, Gi? Aku
beneran baru inget. Padahal aku pengin bangeeet." Wussss!
Muka Mima memerah waktu ngucapin kalimat terakhirnya.
Habis gimana dooong? Gian harus tahu Mima juga sebetulnya
pengiiiin banget pergi sama dia. Mima nggak mau Gian
nyangka Mima nolak karena nggak mau!
Gian tetep senyum, walaupun Mima bisa ngeliat senyumnya beda. "Ya udah. Lain kali aja, Mi. Nggak pa-pa kok."
"Sori ya, Gi, aku... aku pergi dulu ya..." Mima buru-buru
pergi. Gian memandang punggung Mima yang berlari-lari kecil.
Dia yakin Mima mendadak "nggak bisa" waktu denger suara
batuk-batuk Inov. Lagi-lagi Inov. TAP! 141 Langkah Inov berhenti waktu tangan mungil Mima menggenggam lengannya. "Mima?" Inov celingukan mencari
Gian. Mima tersenyum tipis. "Udah gue tinggalin di sana. Lo panas lagi, Nov." Mima melepas genggaman tangannya di lengan Inov.
"Gue nggak pa-pa."
"Itu kan kata lo! Kata Dokter kan belum tentu!" sembur
Mima sewot. Udah batuk-batuk edan gini masih sok bilang
nggak pa-pa. "Gue masih kuat."
Mima melotot sebal. "Kata lo! Kata Tuhan? Belum tentu!"
Inov mengernyit. Bibirnya menahan senyum geli. Makin
hari dia makin ngeh Mima yang galak dan berisik ini kalau
ngomong bener-bener nyablak kayak ember bocor.
Mima teringat amplop di rumah hasil rontgen Inov yang
belum mereka bawa ke Dokter. "Ayo kita ke dokter hari ini!"
ajaknya. "Nggak usahlah. Ke Gian aja sana."
Idih! Dasar sok kuat! Mima menyambar tangan Inov. "Ayo
ah! Ikut gue! Lagian ngapain kita keluar uang sampe miskin
mendadak cuma buat bayar rontgen ini, kalo hasilnya nggak
Pendekar Elang Salju 7 Cahaya Bertasbih Karya Suffynurcahyati Mayat Misterius 3

Cari Blog Ini