Ceritasilat Novel Online

Satria November 3

Satria November Karya Mia Arsyad Bagian 3


dibaca dokter?!" Inov terdiam. Lalu menatap Mima serius. "Mi, kita baca hasil aja, ya? Kalo cuma baca hasil gue mau."
Mima balas menatap Inov nggak ngerti.
"Gue mau tau, tapi gue nggak mau dirawat. Belum."
Buk! Mima mengentakkan kakinya ke aspal. "Lo kok kerjaannya bikin pusing melulu sih!!!"
142 KLINIK BERSAMA SEJAHTERA ABADI "Di klinik ini ada dokternya. Dia pasti bisa baca hasilnya.
Kalo harus dirawat, kita pake alasan Mama-Papa-lagi-pergi
lagi. Ngerti, nggak?!" Mima menyiku lengan Inov.
Inov menoleh. "Ngerti, Bos."
Ih! Mima mendelik sebal. "Lo bercanda nggak pada waktunya! Dasar robot! Baru jalan ya, chip bercandanya?! Ayo!"
Inov mengikuti langkah Mima masuk klinik.
Dokter jaga klinik itu masih kelihatan muda. Tersenyum
ramah waktu Mima dan Inov duduk di kursi di hadapannya.
"Gimana, apa keluhannya? Siapa nih yang sakit?"
Inov menyodorkan amplop hasil rontgen ke depan dokter
muda itu. "Waktu itu saya sakit. Dokter di rumah sakit ngasih
rekomendasi untuk rontgen, Dok. Tapi rumah kami jauh dari
rumah sakit yang waktu itu. Jadi saya mau tau hasilnya di sini
aja." Dokter itu membuka dan membaca hasil rontgen itu serius.
Alisnya beberapa kali berkerut. Tangannya bolak-balik mengusap dagu.
Selama ini Mima ngamatin, kalo Papa udah mulai begitu,
biasanya pertanda nggak baik. Waktu Mima SMP, Papa baca
rapor Mima begitu tuh gelagatnya. Alis berkerut-kerut,
ngusap-ngusap dagu, habis itu... JDAR JDER ngomel! Dokter
ini sih nggak mungkin ngomel, tapi bisa aja menyampaikan
berita buruk, kan? "Oke, Satria November?saya panggil apa nih? Satria?"
"Inov aja, Dok."
"Dan, gadis cantik ini...?" Dokter itu menatap Mima sambil
senyum. Mima ikut-ikutan senyum. "Saya adiknya, Dok."
143 Dokter itu manggut-manggut. "Inov. Saya Dokter Benny.
Gini, Inov, saya udah baca hasil rontgennya. Akhir-akhir ini
gimana? Masih pusing? Batuk? Demam? Apa ada yang dirasa
nggak enak?" Inov melirik Mima. Ngasih kode supaya dia sendiri yang
jawab sebelum si bawel ini merepet membocorkan yang
nggak penting. "Kadang-kadang, Dok. Memangnya apa hasilnya, Dok?"
Dokter Benny menarik napas. Kayak siap-siap mo ngomong
sesuatu yang serius banget. "Jadi begini, Inov, lebih baik saya
jelaskan aja semuanya, ya?"
Inov mengangguk. Mima juga, biarpun dia nggak ditanya.
Maklum, releks sok tahu dan sok pengin tahu.
Dokter Benny terdiam sebentar. "Hasilnya nggak terlalu ba?
gus, Nov. Kamu perokok?"
Inov keliatan bingung. Lalu mengangguk. "Dulu, Dok, tapi
udah beberapa lama berhenti."
Dokter Benny manggut?manggut. "Hm, ya, ya. Jadi, Nov,
ada masalah sama paru?paru kamu. Kemungkinan ada infeksi.
Lebih jelasnya kamu harus ke dokter spesialis, Nov. Sebaiknya
kamu ke rumah sakit besar yang fasilitasnya lebih lengkap."
Bukan cuma rokok, tapi Inov udah menghirup berbagai
macam zat berbahaya buat badannya. Nggak heran paru?paru?
nya rusak. Mima melirik Inov. Biarpun cowok itu berusaha kelihatan
tenang, kekagetannya nggak bisa terlalu sukses disembunyiin.
"Gitu ya, Dok? Jadi saya kemungkinan... infeksi paru?paru?"
Dokter Benny berdeham pelan. "Bukan cuma itu, Nov."
Inov dan Mima menatap Dokter Benny penasaran.
"Sebelumnya maaf ya, Nov, saya perlu tanya sama kamu,
Apa kamu pemakai atau pernah pake narkoba?"
144 DEG! Gile dahsyat juga ya hasil rontgen? Kok bisa Dokter
Benny nanya begitu? "Iya Dok, saya baru keluar rehab," dengan mantap Inov menjawab.
Mima tahu persis Dokter Benny kaget. Tapi dia kagum
sama kebesaran hati Inov yang mau mengakui kesalahannya.
"Tapi sudah berhenti total?"
Inov mengangguk. Lebih mantap lagi. "Sudah, Dok."
Dokter Benny menepuk-nepuk punggung tangan Inov kagum. "Bagus, bagus. Yang kamu lakukan dulu memang salah.
Tapi setidaknya kamu udah sadar, dan jadi lebih baik. Banyak
orang yang sudah salah malah diterusin, kan? Menyesal lebih
baik terlambat daripada nggak sama sekali," kata Dokter
Benny, mendadak ceramah.
Lalu Dokter Benny kembali menatap Inov serius. "Begini,
Nov, kemungkinan besar akibat perilaku kamu di masa itu,
bisa jadi liver kamu juga ada masalah. Kelihatannya kamu
harus mendapat penanganan serius, Nov. Organ dalam kamu
kemungkinan banyak yang infeksi dan bermasalah. Kamu
harus diperiksa lebih lanjut. Klinik ini nggak punya alatnya.
Saya pun bukan dokter spesialis penyakit dalam. Sebaiknya
secepatnya, Nov." Harus ke internis? Kemungkinan harus dapat penanganan
serius? Inov beneran mo mati, ya? Dan CUMA Mima yang
tau?! Ini bener-bener malapetakaaa!!! Bencanaaa!!! Kutukaaan!!!
Dokter Benny mengambil kertas dengan cap nama dan
alamat praktiknya, lalu menulis sesuatu, memasukkannya ke
amplop, dan menutupnya rapat. "Nah, ini surat pengantar
buat dokter di rumah sakit. Biar mereka tau kamu sudah pernah saya periksa. Hasil rontgennya jangan lupa dibawa ya,
Nov." 145 Inov menerima surat yang disodorkan Dokter Benny. "Makasih banyak, Dok."
"Semoga cepat sembuh ya."
Inov mengangguk. "Ayo, Kak...," kata Mima. Teteup berakting.
146 DUAGHHHH! "Argh!" Inov terpental ke dinding rapuh bangunan tua yang
mulai gelap karena sudah sore. Lumut dan serpihan tembok
berjatuhan ke lantai. "Berani lo ya!!!" Cowok ceking berkaus kutung dengan tato
bergambar nggak jelas di tangannya itu mencengkeram kerah
baju Inov. "Lo mo pura-pura lupa hari ini tanggal lo setoran?!
HAH?!" Sambil meringis, Inov mengusap sudut bibirnya yang berdarah. "Gue nggak pura-pura lupa. Gue juga nggak lupa. Gue
cuma minta waktu, karena uang itu gue pake ke dokter."
"Alaaahhh! Banyak bacot lo!!!" Jdat! Cowok ceking lain yang
kuping, hidung, dan alisnya penuh anting menoyor jidat Inov
kencang. "Sakit apa lo sampe perlu ke rumah sakit segala!?
Sakit jiwa?! Gila lo sekarang?! HAH?!"
Inov diam. Merasa pertanyaan nggak penting itu nggak
perlu dijawab. 147 "Lo minta dihabisin, ya?! Hah?! Paling juga tu barang lo
pake sendiri tapi lo nggak mo bayar, kan?!"
Susah payah Inov berusaha berdiri. "Udah gue bilang, gue
ke dokter. Gue cuma minta waktu. Gue pasti setor."
BUGHHH!!! Satu tonjokan lagi melayang ke muka Inov. Kali
ini cowok rada pendek dengan rambut berdiri ikut berpartisipasi menyumbangkan tinjunya.
Tiba-tiba si ceking bertato maju. Lalu lagi-lagi mencengkeram kerah leher Inov yang terduduk kena pukul. "Heh, lo
tau pesta kami bakal di mana minggu ini?! Ha?" senyum licik
menghiasi bibir si ceking bertato ancur.
Saira! Inov terbelalak marah. Si ceking malah ngakak. "Cewek lo itu cantik juga ya? Mana udah kehabisan uang, lagi!
Cewek model begitu lo anggurin. Revo sih nggak bakal nyianyiain cewek itu! Hahaha!"
"EH! Jangan macem-macem kalian sama dia!!!" teriak Inov
sambil berusaha bangun dengan panik.
BRUKKK! Dengan cepat cowok-cowok ceking itu mendorong Inov sampe terjengkang duduk lagi. "Apa?! Mo apa, lo?!
Heh! Siapa suruh lo kabur ke sini dan ninggalin tu cewek
sama kami?! Jangan sok jagoan, lo! Kalo setoran lo nggak beres, jangan sangka lo bisa kabur gitu aja ya! Jangan belagu
lo mikirin cewek itu segala!" Sebelah tangan si ceking bertato
menekan leher Inov. Mata Inov memerah. Mukanya menegang marah. "Jangan
ganggu Saira!" Plak! Si anting berderet menepak kepala Inov. "Jangan
ganggu? Siapa yang ganggu? Cewek lo tuh butuh barang!
Sakaw! Nagih! Dia yang mau jadi tuan rumah demi barang
gratis. Dan lo tau Revo, kan? Nggak ada yang gratis!"
"ERGGH! Lepasin gue! Kalian mo apa sekarang? Gue nggak
ada uang. Gue bakal bayar, tapi perlu waktu! Atau kalian mo
148 ngabisin gue aja sekarang, jadi kalian nggak dapet setoran
sama sekali?!" Tiga preman ajaib itu saling pandang. Akhirnya si rambut
berdiri mendekati Inov sambil cengengesan licik. "Lo pinter
juga ya? Lo ngancem kami? Iya?"
Inov diam. Jari-jari si rambut berdiri mencengkeram pipi Inov kencang.
"Oke! Lo kami kasih waktu! Tapi kalo sampe lo molor, awas
aja!!! Lo tau sendiri akibatnya!"
"HEEEH! LEPASIN TEMEN GUE!!!"
Inov terenyak. Lengkingan suara itu... MIMA! Dengan susah
payah Inov menoleh ke arah suara. Bener. Mima. "Sial,
ngapain dia ke sini?"
Si ceking langsung menatap bengis, mengenali Mima.
"Naaah, kebetulan lo dateng! Eh, cewek sok jagoan! Lo yang
janji setoran Inov bakalan lancar! MANA?!"
Mima meluruskan tangan kanannya ke depan dengan telapak tangan terentang menahan si ceking mendekat. "Berhenti!!! Lo pikir gue bego, ke sini sendirian?! Liat tuh!" Mima
menunjuk ke belakangnya. "Itu satpam sekolah sama satpam
kompleks deket sini!" Di kejauhan tiga bapak-bapak dan satu
orang berpakaian satpam tampak mendekat. "Mereka semua
jago kungfu, tau!"
Berhasil! Tiga preman ceking itu panik ketakutan. Si rambut
berdiri melepas cengkeramannya di pipi Inov dengan kasar,
lalu mengancam sebelum kabur. "Inget kata-kata kami tadi!
Revo nggak pernah main-main!" Lalu mereka bertiga kabur.
Mima berlari menghampiri Inov yang terduduk lemas, dengan sudut bibir masih sedikit berdarah dan pipi lebam kebiruan. "Nov, Nov! Lo nggak pa-pa, kan?! Nov! Lo sadar, kan,
Nov?! Sadar, kan?!" Pak-pok-pak-pok. Mima menepuk-nepuk
pipi Inov dengan gaya paramedis nyadarin orang pingsan.
149 "Bisa pingsan bentar lagi... kalo terus ditabokin begini," kata
Inov lirih. Ups! Mima nyengir. Tangannya releks berhenti menaboki
pipi Inov. "Sori, sori, Nov. Tapi lo bener nggak pa?pa, kan?
Aduuuh, lo memar?memar gini, lagi! Gue lagi nih yang kena
interogasi!" "Arghhh..." Inov mengerang kesakitan memegangi perut?
nya. "Nov! Kenapa, Nov?" Mima makin panik. "Pak! Pak! Buruan,
Paaak! Bantuin nih, bantuin!"
Satu satpam dan dua bapak?bapak berlari mendekat dan
buru?buru membopong Inov yang mengerang?erang ke?
sakitan. "Apa nggak sebaiknya langsung dibawa ke dokter?"
Mima mematung. Mendadak beku mendengar suara cowok
barusan. Takut?takut Mima menoleh. "Gi?Gian...? Ngapain
kamu...?" Gian buru?buru menopang Inov.
Mima melongo. Kenapa Gian ada di sini! Kenapa ada GIAN?
Ngapain GIAN di sini? "Aku liat kamu panik berlari?lari ngajak Pak Satpam. Tadi
aku baru selesai beresin ile di ruang OSIS. Aku... aku khawatir
aja." Glek! Mima menelan ludah. Antara ge?er dan bener?bener
shock ada Gian di sini, ikut heboh nolongin Inov yang di?
keroyok orang. "Kenapa bisa gini, Mi? Siapa yang mukulin Inov?"
Argh! Mikir, Mima! Mikiiir! "Eng, itu... itu... preman. Ya,
preman?preman. Waktu itu Inov pernah dipalak sama mereka,
tapi nggak ngasih. Mereka dendam. Aku... aku curiga aja wak?
tu tadi sempet liat Inov diseret mereka. Makanya aku ajak Pak
Satpam ke sini." Lumayan lancar juga nih Mima ngeles. Pada?
150 hal bohong buesaaar! Sebenernya tadi siang Mima heran Inov
yang janji pulang bareng ngilang nggak bilang-bilang. Ditelepon nggak diangkat. Teringatlah Mima: JADWAL SETORAN!
Seketika itu juga Mima tau di mana Inov. Dia langsung mengajak Pak Satpam menyusul Inov. Plus ngajak dua tukang becak buat pura-pura jadi anak buah satpam.
Inov melirik Mima yang dengan lancar ngibulin Gian.
Bener-bener nggak nyangka Mima bakal muncul di sini. Cewek satu ini memang ratunya nekat. Ibaratnya, orang lain
kecebur berenang cari selamat, yang satu ini begitu mau kecebur malah bawa peralatan selam.
Gian kayaknya termakan kibulan Mima mentah-mentah.
"Terus sekarang gimana, Mi?"
"Tolong bantu panggil taksi, ya? Pak, tolong panggilin taksi."
Mima menahan punggung Inov yang sempoyongan dari belakang, sementara Gian dan Pak Satpam membopong Inov.
Salah satu bapak-bapak bayaran Mima langsung buru-buru
jalan ke depan dan manggil taksi. Untung pas banget ada
yang lewat. Pelan-pelan Gian dan Pak Satpam mendudukkan Inov di
kursi belakang. "Makasih ya, semua...." Mima merogoh sakunya, menyodorkan uang sepuluh ribuan buat masing-masing tukang becak
bayaran. Dengan kaku dan serbasalah Mima mendekati Gian.
"Makasih banget ya, Gi, kamu mau repot-repot dateng ke
sini." Gian kelihatan khawatir. "Kamu nggak mau aku temenin
nganter Inov ke rumah sakit, Mi?"
Giaaan! Elo baik banget siiiihhh!!! Hati Mima mencelos. Tapi
sayang ia terpaksa menjawab, "Nggak usah, Gi. Ni anak pasti
nggak mau dibawa ke rumah sakit. Paling langsung pulang
ke rumah." 151 Sekilas ekspresi Gian kelihatan kecewa. "Enak ya, serumah
sama kamu...," katanya setengah bergumam.
"Apa, Gi?" Gian gelagapan. Grogi setengah mati udah keceplosan. "Eh,
nggak, nggak. Maksudnya enak aja gitu, serumah, jadi nggak
ribet nganterinnya. Ya, kan?"
Mima tersenyum tipis. "Ya udah, Gi. Aku jalan dulu ya?
Mamaku bisa nge-rap nih kalo kelamaan."
Set! Tiba-tiba Gian menangkap pergelangan tangan Mima
yang mau masuk taksi. DEG! Jantung Mima serasa copot. Dengan muka merah
padam karena dag dig dug tangannya dipegang Gian, Mima
menoleh malu-malu. "Kenapa, Gi?"
Bukannya jawab, Gian malah bikin jantung Mima pengin
I?m sorry goodbye alias pamit berhenti kerja karena nggak kuat
berdetak lagi, dengan menatap Mima lewat matanya yang
tajam, teduh, plus penuh wibawa itu.


Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gi?" Setengah mati mengatur napas, Mima sukses bikin
suaranya nggak gemetaran karena ge-er dan deg-degan.
Tangan Gian yang menggenggam pergelangan tangan
Mima terasa dingin. Nggak salah nih?! Gian juga grogi!
"Engng, aku cuma mo bilang, ati-ati ya?"
Wiiih, cuma mau bilang itu sampe pegang tangan? Mima
pasang senyum grogi semanis mungkin. "Iya, Gi. Tenang aja.
Makasih ya..." Gian menatap Mima. Mima menatap Gian. Hening... "Neng? Ini teh ke mana tujuannya?"
Uwaaa! Kejam nian wahai kau sopir taksi! Nggak bisa lihat
adegan romantis! Gian melepas genggamannya. Yaaah, Mima kecewa. Biar152
pun tangan Gian dingin karena grogi, Mima betaaah! Maunya
Mima, Gian ikut aja. Tapi Mima nggak berani ambil risiko Gian
penasaran dan tanya ini-itu. Mana bisa sih nahan rahasia
lama-lama dari pujaan hatiii?! Ya, nggak?! Ya, nggaaak?!
"Dah, Gi..." Mima masuk taksi, duduk di samping Inov.
Dengan gentleman Gian menutupkan pintu Mima. Telunjuk
Mima menekan tombol power window. Sementara taksi jalan
pelan-pelan, Gian dan Mima masih sempet-sempetnya saling
pandang malu-malu. "Ehem! Mabok cinta nih yeee? Uhuk! Uhuk!"
"Ih!" Mima menepuk bahu Inov sebal. "Apa sih?! Rese!"
Mima menyipitkan mata. "Nov, lo tuh tadi apa-apaan sih?!
Ngapain lo pergi sendiri kayak gitu? Untung gue cari bantuan.
Coba kalo nggak! Sekarang gue mesti bilang apa lagi nih kalo
ketauan Mama?!" Inov menepuk telapak tangan Mima pelan. "Jangan bilang."
Enak aja nih kalo ngomong. Mima manyun. "Gimana caranya? Kalo lo ketauan babak belur gini ya pasti gue ditanya
dong, Nov! Mama itu instingnya tajem, tau! Cita-citanya aja
waktu kecil pengin jadi polisi. Hobinya baca buku detektif.
Film kesukaannya CSI! Gimana, coba?! Gue streeesss, tau, diinterogasi Mama!" Mendadak Mima histeris.
"Neeeng, masih sekolah mah jangan stres, Neeeng, nanti
Neng teh pusing. Migren. Jantungan. Asma. Maag! Kata Dokter di TV, penyakit kayak begitu pemicunya itu bisa dari stres!"
Tahu-tahu si sopir taksi main nyamber aja.
Bibir Mima makin maju. Manyun gila-gilaan. "Bapak juga
nih. Udah tua jangan nguping!" sahut Mima sebal.
"Kita berhenti di pos kosong kompleks ya, Mi," bisik Inov.
Mima memutar bola matanya pasrah. Permintaan yang
nggak mungkin Mima tolak. Mima tahu banget.
153 "Nih, Pak, makasih ya..." Mima menyodorkan ongkos taksi ke
sopir taksi bawel dan suka ikut campur urusan anak muda
itu. Si sopir bukannya langsung menerima uang Mima, malah
celingukan ngamatin pos satpam kosong di pinggir jalan. "Ck,
ck, ck, anak muda zaman sekarang. Kalian mau pacaran di
pos satpam kosong itu? Ingat, itu dosa. Ingat orangtua kalian,
ingat masa depan bangsa...."
HAH?! Mima merengut sebal. Masa depan bangsa apaan?!
"Gimana masa depan bangsa ini kalo generasi mudanya
sudah menyisihkan moral, norma-norma Pancasila, dan adat
ketimuran?" Busyet deh! "Pak, mau terima uangnya nggak nih? Apa gratis?!"
"Neng, saya ini cuma mengingatkan kalo..."
Mima meletakkan uangnya di atas dasbor. "Nggak perlu
deh, Pak. Dijamin kami nggak bakal merusak masa depan
bangsa! Udah deh, Pak. Narik aja gih! Daripada Bapak merusak masa depan uang belanja istri kalo setoran kurang."
Si sopir seolah kena skak mat. langsung tancap gas dan
pergi. "Rese," sungut Mima. "Ayo, Nov..." Dengan hati-hati Mima
membopong Inov ke pos satpam kosong.
"Uhuk! Dia nggak tau aja, lo penyelamat masa depan
bangsa. Gue, maksudnya."
"Ha-ha! Dan mendingan nggak usah kayaknya. Ribet." Mima
ngomel-ngomel. Mima membimbing Inov duduk di balik pos. Inov bersandar di dinding yang mulai keropos. Mima duduk di sebelahnya.
154 "Lo pulang duluan aja, Mi."
"Pulang duluan gimana? Asal jeplak aja. Terus lo gimana?
Mo gue biarin digerogotin tikus sama kecoak di sini?"
"Nanti gue nyusul."
Nyusul? "Maksudnya?"
"Biar lo nggak diinterogasi. Kalo kita pulang sendiri-sendiri,
artinya lo nggak tahu apa-apa."
Genius! Tapi Mama lebih genius! "Nggak ngaruh. Gue tetep
bakal diinterogasi biarpun gue pulang sekarang terus lo pulang tiga tahun kemudian. Halooo! Secara gue yang tiap hari
paling sering ketemu lo, satu sekolah sama lo! Dengan kata
lain: Nggak ada orang lain yang bakal ditanya kecuali?"
Mima menunjuk dirinya sendiri?"GUE! Udah. Kita pulang bareng."
"Arghh..." Inov memegangi perutnya yang beberapa kali
kena tonjok dengan kesakitan. Sementara mukanya meringis
akibat lebam di pipi dan luka di sudut bibirnya.
Karena kelihatannya memang menyakitkan, Mima ikutikutan meringis sambil menyentuh perut Inov pelan. "Sakit
banget, ya, Nov?" Inov nggak jawab. Cuma meringis.
"Nov, mendingan kita pulang sekarang. Di rumah luka dan
memar lo bisa dikompres dan diobatin. Kita pake alasan yang
sama kayak ke Gian aja. Yuk, Nov, gue bantuin sini." Mima
memapah Inov pelan-pelan.
Inov jalan terseok-seok. "Makasih, Mi...."
"Nggak bisa selamanya gini, Nov. Harus ada penyelesaian,"
jawab Mima pelan tanpa menoleh ke Inov.
Makin deket rumah jantung Mima makin nyut-nyutan.
Bener-bener ciut. Jam segini semua pasti lagi pada ngumpul
di ruang TV. Daripada ngadepin Mama, kayaknya mendingan
dipatok seribu ayam gendut, diciumin monyet, dikentutin
155 sapi, atau apa pun. Biarpun pasti sakit, geli, dan bau, yang
penting itu semua bukan tatapan tajam detektif ala Mama.
Kayak sekarang ini.... Mama menatap penuh selidik ke arah Mima dan Inov.
Mima yang cengengesan dan Inov yang bersandar lemas di
bahu Mima dengan muka babak belur. Tahu-tahu Mama berdiri tergopoh-gopoh menghampiri Inov. "Ya ampuuun, ini
kenapa lagi sih? Kamu kenapa, Nov?" Mama menoleh ke Mika.
"Mika, bantuin Mama dong, papah Inov ke kamarnya, ayo..."
Mika buru-buru bantuin Mima dan Mama. Sementara Papa,
yang seperti biasa lagi ngemil dengan penuh konsentrasi, baru
ngeh belakangan tapi langsung menaruh stoplesnya, berdiri,
dan lari menggantikan Mima memapah Inov ke atas.
"Ini kenapa? Ada apa? Mi, Inov kenapa?" Ramalan tepat
seratus persen! Betul, kan, Mima nggak akan lepas dari interogasi Mama? Buktinya begitu Inov aman di ranjang, tatapan
khawatir Mama otomatis berubah jadi tatapan detektif.
Ayo, Mimaaa! Tadi kan udah latihan, waktu ngomong ke
Gian. Tinggal ngulang doang. Jangan kalah sama tatapan hipnotis Mama dooong. "Ini, Inov dikeroyok preman, Ma. Aku...
aku sama Pak Satpam datangnya telat. Makanya, makanya
keburu babak belur gini."
Tatapan Mama yang memancarkan sinar X, Y, Z, dan segala
sinar lain yang mematikan bergantian menatap Inov minta
konirmasi. "Iya, Tante... Uhuk! Aku nggak mau ngasih waktu
dipalak. Mereka marah. Untung ada Mima sama satpam...
Auw..." Berhasil nih kayaknya. Pandangan Mama yang tadinya bisa
buat motong semangka, ngupas kentang, dan ngiris bawang
saking tajamnya, pelan?pelan berkurang. Tapi, "Kok ada
preman di deket sekolah?"
Ternyata Mama nggak main percaya gitu aja kayak Gian.
156 "Yah, Mama, mana Mima tau? Masa Mima mesti tau jadwal
nongkrong preman?" Mama diam. "Ya udah, Nov, sini Tante liat luka kamu."
Mama menyentuh lebam di pipi Inov. Dan sukses melengkapi
hari ini sebagai "Hari Meringis" buat Inov. "Kamu ke dokter
aja, ya? Badan kamu juga agak panas nih. Jangan-jangan
kamu demam, jadi nggak bisa melawan, ya? Pasti susah kan
kalo lagi pusing harus ninju, nendang, ato apa gitu?"
Idih, Mama! Kok malah nyuruh Inov berantem siiih?
Inov cuma meringis (lagi). "Nggak usah, Tante. Nggak usah
ke dokter. Luka kayak gini sih di-Betadine-in juga bisa sembuh, Tante."
Mama memandangi Inov khawatir. "Kamu yakin?"
Inov mengangguk. "Yakin, Tante."
Mama menepuk bahu Inov pelan. "Ya udah. Tante ke bawah dulu. Ambil kompres sama kotak P3K. Mima, Mika, tolong bantu obatin Inov, ya?"
"Tante!" panggil Inov cepat.
Langkah Mama terhenti di ambang pintu. "Kenapa, Nov?"
Mata Inov memohon ke Mama. "Jangan bilang Bunda ya,
Tante? Tolong." Mama cuma tersenyum keibuan, lalu keluar dan menutup
pintu kamar. Mika mengompres lebam Inov. "Lo sebenernya kenapa sih,
bro? Beneran kena hajar preman?"
Sekilas Mima dan Inov pandang-pandangan. Saling melempar kode supaya jangan ngasih tahu Mika. Inov mengangguk
pelan. "Iya. Nggak tau gue, disangka gue banyak duit, kali.
Apes." Mungkin nggak ya tatapan itu menurun? Soalnya Mika
tahu-tahu memandang Mima penuh selidik dengan tatapan
157 tajam pengiris bawang, pengupas kentang, pemotong semangka Mama tadi. "Kok lo bisa tau, Mi?"
"Ya tau lah! Pas gue mo keluar gerbang, gue liat dia digiring preman. Ya gue panggil satpam. Dasar aja tuh bapakbapak larinya pelan. Jadi aja Inov keburu bonyok."
Tangan Mika berhenti mengompres Inov. "Bentar ya, gue
ambil Betadine. Bibir lo luka tuh..." Mika bangkit dan melangkah keluar kamar.
Begitu Mika tutup pintu, Mima melompat duduk di samping Inov. "Nov, perut lo kayaknya sakit bukan cuma garagara kena bogem. Lo harus ke rumah sakit, Nov. Lo inget kan
kata dokter waktu itu? Lo harus dapet penanganan serius.
Nov, udah deh, emang kenapa sih kalo bunda lo tau lo sakit?
Bunda lo juga tau kan lo pernah make? Lo harus ke rumah
sakit, tau!" "Ssst!" Tahu-tahu Inov menempelkan telunjuknya ke bibir
Mima. Set! Mima releks menepis telunjuk Inov. "Ih, apaan sih lo,
Nov?" "Sori. Gue nggak kuat bungkem mulut lo. Tapi gitu juga
diem, kan?" Mima diem. Sebel banget. "Mi, please. Gue nggak pa?pa. Gue nggak mau bikin Bunda
kepikiran. Buktinya gue masih baik?baik aja, kan?"
Baik?baik dari Hong Kong?! Babak belur gini "baik?baik aja"?
Mana badannya panas, lagi.
"Obat dari Dokter kemarin juga masih ada kok," sambung
Inov. "Iya, tapi kan kata Dokter kalo sebelum obat habis lo masih
ngerasa nggak enak, lo harus buru?buru ke rumah sakit."
Set! Telunjuk Inov menempel di bibir Mima lagi. Mima lang?
sung angkat tangan ala orang kalah perang. Menyerah.
158 "Please, Mi..."
Mima menghela napas putus asa. "Tapi lo janji sama gue
ya, Nov, kalo misalnya ngerasa nggak beres lo harus bilang
sama gue. Nov, lo pikirin gue juga dong. Sebagai satu-satunya
manusia yang memegang rahasia gila lo ini, gue juga bisa
mendadak gila gara-gara stres kebanyakan pikiran! Lo mo
bikin gue gila? Lo tau nggak, sakit jiwa itu?"
Cklek! Suara pintu terbuka bikin Mima menutup mulut. Melirik keki ke Inov yang membuang napas lega. Kayaknya kalau
Mima masih merepet, telunjuk Inov bakal nemplok di bibirnya
lagi. Kalau cewek-cewek yang lagi sok romantis pacaran, waktu telunjuk cowoknya nempel di bibirnya pasti langsung degdegan ke-ge-er-an. Itu sih romantis! Lah ini? Cuma gara-gara
nggak kuat bungkem mulut Mima pake seluruh tangan, Inov
malah ngerusak adegan yang seharusnya romantis itu. Nyebelin!
Mika masuk dengan kapas dan Betadine, dan percakapan
Mima-Inov pun terpaksa ditunda.
159 "MENURUT kamu gimana, Mi?" Gian melirik Mima yang berjalan di sampingnya.
"Eng... apa, Gi?"
Gian tersenyum kocak. Dia suka banget Mima yang nyablak
apa adanya. Tapi entah kenapa, Mima selalu mendadak salting dan gugup tiap kali ngomong sama dia. Yah, Gian sama
aja sih. Udah aslinya pendiam, setiap berdekatan sama Mima
kayaknya Gian harus mengeluarkan nyali cadangan biar
nggak terlalu kelihatan culun di depan Mima.
"Warna dasar panggung. Menurut kamu gimana, mendingan warna ngejreng kayak ungu, hijau elektrik, atau merah,
apa warna-warna soft kayak biru langit?"
Ohhh. Itu pertanyaannya. Mima meringis malu sendiri.
Kirain ditembak. "Ehm, kalo menurut aku sih warna-warna
ngejreng juga seru, Gi. Sekarang kan lagi zamannya warna
serbaberani gitu. Menurut aku sih..."
Hhh! Hari ini indah banget. Inov nggak masuk karena mendadak nggak enak badan. Bukannya Mima nyukurin Inov
160 sakit. Tapi kan saat-saat kayak begini langka banget, bahwa
dia bisa tenang di sekolah tanpa harus mikirin Inov.
Gian membolak-balik buku contoh warna dengan serius.
"Mi!" Tahu-tahu pundak Mima ditepuk pelan. Begitu menoleh, Mima langsung berhadapan dengan muka jail tiga sahabatnya yang cengar-cengir nggak jelas.
"Ikut makan mie ayam, nggak?" tanya Riva sambil cengengesan nyebelin.
Ya nggak laaahhh! jawab Mima dalam hati. Masa dia mau
ngorbanin waktunya berduaan sama Gian demi mie ayam!
Biar dikasih gratis plus gerobak dan abangnya sekalian juga
Mima ogah! "Ehm, gimana ya? Sebenernya gue pengin banget sih. Tapi gue sama Gian masih harus ngecek sesuatu."
Mima melirik Gian, berharap Gian menangkap ketulusan, kesucian, kemurnian, dan kengebetan hatinya untuk bisa bersama dia.
"Makan mie ayam di mana?" tanya Gian kalem.
"Depan kantor pos." Dena menunjuk arah kantor pos. "Tau,
kan, Gi?" Gian ngangguk. "Tau. Kebetulan urusan kami hampir selesai kok. Aku juga laper. Nanti Mima biar sama aku ke sananya. Gimana?"
Enam deret alis naik-turun bareng-bareng. Persis grup ulet
bulu joget breakdance. Sok-sok ngirim kode "cieeeh-cieeehswit-swiiiit" ke Mima.
Riva sok asyik menepuk lengan Gian. "Beneran, ya? Mima
dianter, yaaa?" Jempol Gian teracung. "Pasti."
Tadi alis naik-turun bareng, sekarang tiga mulut nyengir
genit berbarengan. "Ya udah, kalo gitu kami duluan yaaa...," Kiki mencubit pipi
Mima sambil mengerling.
161 Mima mendelik galak. "Iya, iya! Udah, sana pada pergi! Hus!
Husss!" Kiki, Riva, dan Dena pergi sambil cekikikan.
Gian memarkir motornya di depan warung mie ayam.
Kiki, Riva, dan Dena langsung cengar-cengir begitu melihat
Mima datang boncengan sama Gian.
"Dateng juga. Kirain nggak jadi," celetuk Kiki usil.
Gian menggantung helm di setang motor. Tangannya
releks mendorong bahu Mima lembut. Bikin Mima jedag?
jedug serasa dirangkul. "Yuk, Mi...."


Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baruuu aja mau melangkah masuk warung mie ayam, tahu?
tahu... "Mima!" Mima nggak terlalu ngenalin suara cewek yang manggil
dia barusan. Tapi Mima yakin banget dia pernah denger suara
itu. Sambil berharap semoga dia salah, Mima menoleh...
"Saira?" Ternyata tebakan Mima tepat, sama sekali nggak meleset
barang setitik pun. Itu memang suara Saira. Mantannya Inov.
Cewek ceking tapi cantik itu kelihatan lebih mending dari?
pada waktu Mima pertama kali bertemu dengannya. Kali ini
matanya yang sayu nggak berleleran air mata. Hidungnya
yang bangir juga nggak berlepotan ingus. Tapi tetap aja
mukanya sembap dan pucat.
"Mima, gue mo ngomong soal Inov," suara Saira bergetar.
UH! Spontan Mima menoleh ke Gian. Cowok itu masih ber?
diri di dekatnya. Bisa dipastikan dia mendengar kalimat Saira
barusan. Berdasarkan pengalaman pertama dulu, Mima ingat
cewek ini bisa histeris dan ngomong apa aja, tanpa peduli
sekitarnya. Menurut yang Mima baca, itu memang kecen?
162 derungan para pecandu dan pemakai narkoba. Mereka jadi
agresif, impulsif, dan nggak masuk akal.
"Nggak bisa nanti aja ngomongnya?"
Mata Saira yang sayu menatap Mima maksa. "Gue mo ngo?
mong sama lo soal Inov sekarang!" Nadanya memerintah,
langsung bikin Mima sadar Saira bakal segera histeris kalau
nggak diturutin. Mima mengangkat tangannya. "Oke! Oke! Bentar!" Dasar
pengacau! Baru aja Mima mau makan mie ayam bareng Gian.
Biarpun warungnya panas, Mas yang dagang agak?agak BB
alias bau badan, makan sambil diliatin kucing buduk yang
kelaperan, ini kesempatan LANGKA! Kenapa juga si Saira bisa
tiba?tiba nongol di sini?!
Mima berbalik menghadap Gian. "Gi, sori ya. Soriii banget.
Aku nggak jadi makan mie ayam. Aku?"
"Ada urusan?" tebak Gian cepat. Bikin Mima nggak enak.
"Sori ya, Gi? Tapi... ini penting banget. Temen aku ini dari
Jakarta. Kasian udah jauh?jauh."
Gian nggak bisa nyembunyiin kekecewaannya kali ini.
Cowok itu setengah mati berusaha senyum, dan gagal kelihat?
an tulus kayak biasanya. Hati Mima langsung nge?drop. Padahal dia udah satu lang?
kah lebih maju. Lagi?lagi gagal karena "urusan" Inov. "Kamu
nggak pa?pa, kan, Gi?"
"Nggak. Nggak pa?pa kok. Aku makan mie ayam sama
temen?temen kamu aja. Sekalian udah di sini ini."
Uwaaa! SEBEEEL! Mima melirik sandal jepit butut yang ter?
geletak di jalanan. Melihat muka Saira yang maksa dan
nggak sabaran, pengin banget Mima memungut sandal butut
itu buat dijadiin senjata jurus yang baru Mima ciptain:
Kepretan Setan!?di muka Saira.
"Kamu nggak mau bungkus, Mi? Buat makan di rumah,"
163 suara Gian yang sejuk bikin Mima makin semangat pengin
mungut sandal jepit terbengkalai itu buat ngepret muka
Saira. "Nggak usah, Gi. Gi... sori banget, ya? Aku juga nggak tau
dia ada di sini." Gian menepuk?nepuk bahu Mima pelan. "Nggak pa?pa."
Set! Tahu?tahu Riva menarik lengan Mima sampai setengah
badannya masuk ke warung mie ayam. "Lo beneran mo cabut
sama tu cewek? Siapa sih?"
"Panjang deh ceritanya. Tapi serius, gue harus nemuin dia."
Riva menatap Kiki dan Dena bergantian. Yang ditatap ang?
kat bahu. Sama?sama nggak tahu.
"Nanti deh ya gue ceritain," sambung Mima. "Gue pergi
dulu ya. Dah, Gian..." Mima melesat pergi.
"Tu anak kenapa sih? Siapa lagi tu cewek yang mo ngo?
mongin Inov?" sungut Riva begitu Mima pergi.
"Akhir?akhir ini Mima sering banget ngurusin Inov. Aduh!"
pekik Kiki begitu disiku Dena. Kiki menoleh dan baru ngeh
kenapa. Gian! Gian berdiri menatap mereka bertiga tetap dengan
muka kalemnya. "Kalian yakin Mima sama Inov nggak pa?
caran?" JREEENG! "Gue telepon nggak bisa, gue SMS nggak dibales. Dia di
mana sih?" Mima bengong melihat Saira yang heboh sendiri. Ngomel
frustrasi sambil nangis?nangis.
Eh, eh, sekarang malah ngejambak?jambak rambut sendiri.
Stres juga ni anak. "Ughhh! Jahat banget sih dia itu! Nggak mikirin gue!
Inooovvv!!!" 164 Waduh, waduh, waduh. "Eng, Ra, Ra, tenang dulu deh, tenang...."
Dengan mata berleleran air mata, Saira melotot ke arah
Mima. Tak lupa ingus pun ikut beraksi. "Tenang?! Tenang gi?
manaaa? Mana mungkin gue bisa tenang, Miii... gue lagi bu?
tuh dia banget, tapi dia tega menghilang kayak gini!!!"
Duh, emang ya, efek narkoba itu mengerikan! Di mata
Mima kelakuan Saira udah benar?benar kayak orang sakit
jiwa! "Iya, iya, tapi lo jangan teriak?teriak dong."
Saira masih terisak?isak heboh.
"Inov nggak menghilang, Ra. Dia ada di rumah. Lagi sakit,"
kata Mima pelan. "Jadi lo tenang aja?"
"Ya, tapi kenapa dia harus nggak ngangkat telepon gue?!
Kenapa dia nggak bales SMS?SMS gueee? Itu artinya dia se?
ngaja, kan?! Dia emang menghindar, kan, dari gue?! Iya, kan?!
Lo nggak perlu ngelindungin dia deh, Mi! Nggak perluuu!"
Lah, siapa juga?! "Gue nggak ngelindungin Inov. Gue cuma
ngasih tau lo, dia ada di rumah. Lagi sakit. Kali aja HP?nya
mati, Inov masih tidur. Namanya juga orang sakit."
"Kenapaaa? Kenapa dia matiin HP?nya?! Buat ngehindarin
gue, kaaan?! Iya, kaaan?"
Busyet! Ge?er banget sih. Parno berlebihan. Iya, itu juga.
Paranoid. Akibat narkoba sialan! Bikin orang kayak gini?can?
tik, tapi otak sama kelakuannya nggak beres. "Kayaknya bu?
kan deh," kata Mima pendek.
Jawaban Mima bikin Saira makin nggak terkontrol. "Nggak
gimanaaa?! Apa lagi coba alasannya, apaaa?!"
Tadi kan udah dibilang, HP?nya kali aja lagi mati, Inov
mungkin masih tidur, sungut Mima sebal dalam hati. Tiba?tiba
ia tersadar sesuatu. "Eh, lo nggak sekolah, Ra? Kok lo bisa ada
di Bandung?" 165 "Sekolah?! Ngapain gue sekolah! Gue harus ketemu Inov!
Siapa juga yang peduli gue nggak sekolah! Siapaaa...?"
Yee, ya siapa?! Badut Ancol, kali. Kuda nil, kali. Ya mana gue
tau! Kok nanya gue?! Mima meringis putus asa. "Terus lo mo
gimana?" "Gue harus ketemu Inov, Mi, harus!"
Mima garuk-garuk kepala. "Gimana dong? Gue serius, Ra.
Inov beneran sakit. Sumpah deh! Atau lo mo nemuin dia di
rumah gue? Tapi ada nyokap gue di rumah." Mima nggak
mau Saira tahu rumahnya. Pasti bakal terjadi keributan. Maka?
nya dia sengaja nyelipin "ancaman terselubung" dengan bi?
lang Mama ada di rumah. Padahal sih nggak tahu juga. Se?
cara Mama hobinya jalan?jalan.
Saira menggeleng?geleng dengan muka parno. "Nggak,
nggak.... Gue nggak mau ke rumah lo. Gue nggak mau ke?
temu nyokap lo. Nggak! Gue cuma mau ketemu Inov."
Mima diam?diam bernapas lega. Untung strateginya man?
faatin keparanoidan Saira berhasil. Tampang Mima sok bi?
ngung mikirin nasib Saira yang pengin banget ketemu tam?
batan hati, cinta dalam hidupnya, pangerannya... hehe.
"Mi, gue minta kertas, Mi, ada? Gue minta kertas, selembar
aja, Mi, selembar...."
Santai aja nggak bisa ya? Minta kertas aja kayak minta apa.
"Oh, ada, ada." Mima menarik buku kosong dari dalam tas.
"Bener cukup selembar aja? Nggak mau semua aja nih? Se?
buku? Nggak pa?pa kok kalo mau semuanya, beneran!" Mima
menyodorkan bukunya. Lagi?lagi Saira menggeleng berlebihan sambil masih agak?
agak berleleran air mata. "Nggak, Mi, nggak, selembar aja.
Cukup selembar...." Mima merobek selembar kertas. "Nih..."
Mima baru sadar tangan Saira gemetaran waktu cewek itu
166 menerima lembaran kertas dari tangan Mima. "Makasih. Gue...
boleh pinjem bolpoin, Mi?"
Yaelaah! Dari tadi kek. Mima merogoh-rogoh tasnya lagi.
"Nih...." Dan Mima baru sadar banyak lebam dan bekas suntikan di
tangan Saira yang sebetulnya putih mulus. Sayang banget....
"Makasih, Mi..."
"Santai," kata Mima nyengir.
Saira berjongkok dengan kertas di pangkuan. Sambil me?
nangis kayak di ilm?ilm drama dan sinetron yang penuh ta?
ngisan dan air mata, Saira menulisi kertas itu. Air matanya
menetes?netes ke kertas sampai dari jarak lumayan jauh juga
Mima bisa melihat tinta tulisannya luntur. Efek dramatis
abiiisss! Hati?hati Saira melipat suratnya itu. Lalu menyodorkannya
ke Mima. "Mi, gue titip ya. Buat Inov. Tolong bilang sama dia,
gue butuh dia. Dia jangan tinggalin gue gitu aja!"
Mima memasukkan surat Saira ke kantong depan tasnya.
"Iya, nanti gue sampein suratnya." Mima menatap Saira pri?
hatin. "Terus sekarang lo gimana? Lo balik ke Jakarta naik
apa?" "Travel." "Gue temenin, ya ke travelnya?" Mima jadi khawatir sama
Saira. Aduuuh! Kenapa jadi banyak yang bikin repot gini sih?!
"Yuk..." Mima mengulurkan tangan ke Saira, mengajaknya
naik angkot. Saira nurut. TOK TOK TOK! .... "Nooov, gue niiih..." Mima menekan handle pintu. Dikunci.
Kok dikunci sih? Tumben. 167 TOK TOK TOK! "Nooov, lo tidur, Nooov? Buka dong! Penting
niiih!" Hening. Busyet deh! Keturunan kebo, kali. Tidur sampe budek.
Tiba-tiba Mima merasa bahunya ditowel. "Teh Jul? Apaan
sih towel-towel? Kayak tuyul aja!"
Teh Jul melongo dikatain tuyul. "Emang tuyul suka towaltowel, Neng?"
Yaaah... pertanyaan ngaco bin tolol. "Ya mana gue tau,
Teeeh! Belum pernah kena towelan tuyul! Tadi kan cuma perumpamaan, Teeeh, perumpamaan! Ungkapaaan!"
Dengan muka bego, Teh Jul manggut-manggut sok ngerti.
"Ohhh. Tapi, Neng, perumpamaan itu dibikin mestinya kan
ada alasannya? Jadi, perumpamaan ditowel tuyul teh pasti
ada alasannya, Neng.... Ya nggak, Neng?"
"Aduh! Teh Jul! Emang penting ya, ngebahas towel-towelan
tuyul?! Teteh ke sini mo ngapain sebenernya? Pake nowelnowel aku segala?"
BET! Teh Jul mengibaskan serbet bau di depan muka
Mima. "Uhhh! Bau, Teh!"
Teh Jul cengengesan. "Neng, Teteh teh cuma mo bilang,
Den Inov nggak ada, Neeeng! Jadi, mo Neng gedor pake palu
godam sampe jarinya bengkak juga, nggak bakalan ada yang
bukain pintu...." Mima mengernyit. "Pergi, Teh? Ke mana?"
"Ya Teteh donow, Neng. I donowww..."
"I don?t know, Teh. I don?t knooow. Ngasal aja kalo ngomong.
Terus, dia pergi sama siapa? Jam berapa?"
Muka Teh Jul mencong kanan-kiri, mikir. "Waduuuh,
Neeeng, Teteh juga lupa jamnya. Tapi perginya sama Den
Mika pas Den Mika pulang sekolah. Kayaknya sih ke rumah
168 sakit, kali, Neng. Habis Den Inov lemes gitu, sampe perlu dibopong-bopong."
WHAT?! Mima panik dan mengambil HP dari dalam tas. Menekan nomor telepon Mika.
"Halo, Mima?" "Mika! Inov kamu bawa ke rumah sakit? Kenapa? Kamu di
mana sekarang? Gimana Inov?"
"Aduuuh! Tenang, Mi, tenaaang."
"Mikaaa, kasih tau aku! Kamu di mana? Aku nyusul sekarang!"
"Udah, nggak usah. Kamu tenang aja di rumah, oke?! Tunggu di rumah. Oke?!"
"Eh, eh, Mika! MIKA!"
Klik. Tut... tut... tut...
UGHHHH! Mima berbalik marah. GEDEBUK! Mima menabrak
Teh Jul sampai terjengkang.
"Aduh, Neeeng!!! Pantat Teh Jul, Neeeng, memaaar... aduduuh! Bemper Teteh rusak deh, Neeeng!"
"Ihhhh! Teh Jul juga, ngapain masih di belakang aku, coba?!
Emangnya kupingku spion?!"
"Yeeee, Neng, mobiil, kali!"
"Ya makanya. Minggir ah, Teh!" Mima turun tangga sambil
manyun berat. Inov tertidur dengan damai. Mika nih yang bakal nggak
damai. Gimana mo damai, Mima melotot di ambang pintu,
dengan garang nunggu dia yang habis ngangkut Inov ke kamar.
Benar saja. Mima langsung menyeret tangan Mika yang
sengaja jalan lambat-lambat keluar kamar Inov. "Kok kamu
nggak bilang sama aku sih?! Aku kan bisa buru-buru pulang!"
169 Mika mengernyit. "Kok kamu panik begitu sih? Emang ada
apa?" Waw waw! Salah ngomong. Mima jadi gelagapan sendiri.
"Ya, nggak ada apa-apa. Aku khawatir aja, aku kan, eng, ya
khawatir aja! Emang nggak boleh? Terus apa kata Dokter? Kok
Inov bisa lemes gitu, sampe nggak kuat jalan?"
Mika angkat bahu. "Padahal tadi di rumah sakit dia kuat
lho, ngotot-ngototan sama aku dan Dokter, nggak mau dirawat inap, pengin pulang."
Raut Mima langsung khawatir. "Emang harusnya dirawat,
Ka?" Mika mengangguk cemas. "Malah kata Dokter, Inov harus
segera rontgen. Soalnya Dokter curiga ada apa-apa. Tapi dia
ngotot pengin pulang. Alasannya macem-macem banget.


Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sampe akhirnya Dokter kasih obat sama wanti-wanti dia harus balik ke rumah sakit dan rontgen."
Mima terdiam. Berarti bukan dokter yang sama.
"Dia kayaknya harus bed rest. Besok juga belum boleh sekolah tuh."
Kontan Mima langsung batal menyerahkan surat Saira ke
Inov. Nggak mungkinlah sekarang. Buka mata aja Inov nggak
bisa, apalagi baca. Sebetulnya Mima penasaran banget sih
sama isi suratnya. Tapi nggak deh. Nggak sopan banget
ngobrak?ngabrik privasi orang sampe segitunya. Biarpun surat?
nya nggak dilem juga sih....
Inov muntah?muntah. Mima yang dapet tugas bawain makanan jadi makin ngeri.
Mangkuk buburnya buru?buru ditaruh di meja. "Minum nih,
Nov, teh anget. Biar perutnya enakan." Muka panik Mima ken?
tara banget. "Makasih, Mi," Inov menyeruput tehnya pelan?pelan.
170 "Nov, mendingan lo balik ke rumah sakit deh. Parah nih..."
Dasar keras kepala, Inov lagi-lagi menolak. "Nggak usah.
Dokter udah kasih obat kok..."
"Ya, tapi itu kan cuma buat sementara, Nov. Bukan solusinya. Penyakit lo itu harus diobatin. Lo kan tau sendiri hasil
rontgen-nya. Masa mau lo diemin sih? Kalo ada apa-apa gimana? Jangan gila deh, Nov, gue bisa ikut disalahin, tau!"
Tangan Inov terasa panas banget waktu meremas pelan
telapak tangan Mima. "Gue janji, gue nggak akan bawa-bawa
nama lo, Mi..." Mima mendengus sebal. "Ya bukan cuma itu, Nooov! Tapi
gue sekarang beneran khawatir. Gue tahu keadaan lo, masa
lo mau gue diem dan pura-pura nggak tau sih? Tanggung
jawab moral, Nooov! Tanggung jawab moraaal..."
Inov meringis. "Pidato melulu ah."
"Inov! Gue serius."
Inov menepuk-nepuk tangan Mima pelan. "Gue juga, Mi...
serius." Surat itu nggak mungkin diserahin sekarang. Keadaan Inov
masih payah banget. Mima nggak mau nambahin beban pikiran Inov. "Terserahlah, Nov, yang penting gue ingetin lo
lagi. Nggak bisa selamanya kayak gini. Lo nggak bisa ngediemin penyakit lo dan kucing-kucingan sama dokter dan
keluarga kayak gini terus. Lo harus mikirin semuanya ke depan, Noov, gue telanjur tau semuanya. Gue cuma khawatir."
Inov tersenyum. Kali ini beda. Senyum Inov yang biasanya
cuma basi-basi dan datar, kali ini kelihatan tulus dan... terharu? "Makasih, ya, Mi... lo udah percaya sama gue. Gue juga
nggak mau... uhuk... kayak gini terus."
Mesti ngomong apa lagi, coba? Akhirnya Mima bangkit
dari duduknya. "Ya udah deh, lo istirahat, ya? Tidur. Gue keluar dulu."
171 Pelan-pelan Mima menutup pintu kamar Inov. Berdiri melamun di depan pintu kamarnya. Mikir. Apa dia udah salah
langkah? Apa seharusnya dari awal Mima jangan mau nyemplung ke dalam rahasia besar ini? Apa harusnya dari awal
Mima jangan mau bantu Inov untuk nyembunyiin semua ini
dari bundanya? Mima menghela napas berat.
Apa memang bunda Inov bakal lebih bahagia dibohongin
gini daripada kalau Inov jujur?
172 ASIH juga di dalam rumah, Papa udah jejingkrakan gaya
joging di tempat. "Bener niih, kamu nggak mau ikutan
joging? Sehat lhooo..."
Mima menggigit rotinya sambil memandangi Papa heran.
"Males ah! Liburan tuh penginnya males-malesan. Papa juga
biasanya males-malesan, tumben mau-maunya diajak Mama
sama Mika joging?"
Papa nyengir. "Habis ada penyuluhan kesehatan tuh di kantornya. Itu
lhooo, menyinggung soal ukuran lingkar pinggang yang
berisiko kena penyakit. Papa kamu langsung ketakutan," celetuk Mama, menjatuhkan gengsi Papa yang ceritanya sok
sadar kesehatan karena diri sendiri, padahal ketakutan garagara penyuluhan.
Bibir Mima membulat. "Ooo... kirain insaf dari hati yang terdalam, Pa. Ya udah, gih pada joging, kesiangan lho ntar. Aku males
ah! Lingkar pinggang aku kan nggak kayak Papa. Belum perlu
panik, Paaa! Papa sih udah kritis. Kayak tas pinggang gitu. Aku
pernah baca di buku nih, Pa, ukuran pinggang itu?"
173 "DAAAHHH, MIMAAA!" Mama, Papa, dan Mika kompak kabur dari pidato kenegaraan Mima.
"Huuu! Dibilangin yang bener juga." Mima manyun.
"Eh, Mi..." Tahu-tahu kepala Mika nongol lagi.
"Apa?" "Kata Mama, karena kamu yang ada di rumah, titip si Inov,
ya. Dia kan masih sakit tuh."
"Huuu! Iya, iya! Udah sana ah!"
Mika cekikikan sambil ngabur.
Mima mengoles selai ke tangkup roti kedua. Enak banget
sarapan sendirian. Nggak perlu rebutan roti atau selai, nggak
perlu dipaksa minum susu sama Mama, pokoknya bebaaasss!
Hari libur gini memang mantap banget berleha-leha,
nonton TV, nggak mandi?biarpun udah cuci muka sama
sikat gigi siiih! Mima ngulet puas sambil ngelirik jam dinding.
Hah? Udah jam dua belas?! Kok yang joging belum pada balik
sih? Pasti pake acara tambahan. Pasti makan-makan nih!
Sama Papa, gitu lho! Eh, Inov kayaknya belum makan deh.
Perasaan dari tadi dia nggak turun-turun.
Mima buru-buru ngambil piring dan bikin roti isi selai buat
Inov. Lumayan, kan, ganjel sebelum makan berat. Eh, oh iya!
Surat itu! Mima buru-buru melesat ke kamarnya dan mengambil surat titipan Saira.
"Makan, lo. Ntar disangka lo di rumah gue disiksa lagi, nggak
dikasih makan." Mima meletakkan piring roti di atas meja di
dekat ranjang Inov. "Makasih. Nanti gue makan, Mi," suara Inov kedengaran se?
ngau dan serak. "Jangan nanti?nanti... sekarang. Buruaaan...."
Akhirnya Inov nurut dan mengambil setangkup roti. Meng?
gigitnya dengan muka kelihatan terpaksa dan enek.
174 "Kok muka lo gitu sih?! Nggak enak, ya?"
Inov menggeleng lemah. "Bukan, bukan gitu..."
"Habis apa dong? Nggak suka?"
Inov menggeleng lagi, sama lemahnya. "Bukan, Mi, bukan..."
"Terus apa? Nggak mau?"
Inov tetep geleng-geleng. "Bukan, Mi..."
"Ya terus kenapa dooong? Eh, Nov, lo harusnya bersyukur,
tau, masih bisa makan enak berlimpah kayak gini. Coba lo
bayangin orang-orang kelaparan di Bosnia, di Afrika, di manamana. Jangankan makan roti, makan ikan asin aja udah syukur!"
Inov mengernyit. "Di Afrika emang ada ikan asin?"
"Eh, maksudnya sejenis ikan asin. Kayak... apa ya? Ikan kering! Ikan mati yang udah kering karena bencana kekeringan.
Iya, kan? Kita beruntung, kan? Jadi, Nov, kita itu harus meningkatkan rasa bersyukur kita atas rezeki berlimpah, kemudahan,
dan segala reze?hmpphhh!!!"
Inov berusaha nyengir. Melepas bekapan tangannya pelanpelan dari mulut Mima.
"Inooov! Jahat banget sih! Mentang-mentang udah punya
tenaga, berani maen bungkam mulut gue!"
"Gue kan tadi udah bilang, Mi, gue pasti makan. Bukannya
nggak mensyukuri." Mima manyun dan bersungut-sungut. Oh iya! Mima merogoh saku celana pendeknya. "Nov, beberapa hari lalu, pas
hari pertama lo nggak masuk karena sakit, Saira nyamperin
ke sekolah." Dari lemas nggak berdaya, tahu?tahu Inov tersentak ba?
ngun dengan mata melotot. "Apa?! Saira? Ngapain?"
"Ya nyariin elo lah! Karena lo nggak ada, jadi gue yang
kena cegat! Padahal gue nyaris makan siang bareng Gian.
175 Tapi cewek lo itu histeris banget," sungut Mima sebel, inget
peristiwa waktu itu. "Dia ngomong apa, Mi?" tanya Inov serius.
"Ya gitu deh, nangis-nangis heboh, pengin ketemu lo. Gue
sempet nawarin dia ke sini sih, tapi dia nggak mau, takut ketemu Mama. Ujung-ujungnya dia nitip ini." Mima menyodorkan surat Saira yang berlepotan karena ditulisnya sambil
beleleran air mata. "Sori ya, baru gue kasih sekarang. Habis
kemaren lo tepar gitu. Ntar lo banyak pikiran, lagi."
Tangan Inov keliatan makin kering dan kurus waktu dia
meraih surat dari tangan Mima. Dengan muka penasaran dan
khawatir, Inov membuka lipatan surat Saira. Matanya me?
nyipit serius, membaca kalimat demi kalimat di surat itu.
Tiba?tiba... "AGHHH!!!" Dug! Inov meninju kasur sekuat tenaga. Sampe
Mima yang duduk di pinggir kasur ikut terlonjak.
"Kenapa lo, Nov?!"
"Ini jam berapa, Mi?"
Mima melirik jam meja di meja belajar Inov. "Jam... eng...
jam satu, Nov. Kenapa?"
"SIAL!" Dug! Inov meninju kasur lagi.
Lama?lama Mima jadi keki. Dari tadi ninju?ninju kasur mak?
sudnya apa, coba? "Kenapa sih, Nov?"
Sret! Tahu?tahu Inov berdiri. Sempoyongan.
Mima buru?buru mencengkeram lengan Inov yang lim?
bung. "Eh, eh, Nov, mo ke mana lo?!"
"Gue harus ke Jakarta, Mi! Sekarang!" Inov memijat kepala?
nya yang pusing. "Sebelum telat!"
Hah?! Ni anak keram otak kali, ya? Mo ke Jakarta, mo ke
Jakarta. Ngomong seenak udel aja! "Eh, apa? Nggak, nggak.
Lo udah gila ya, Nov. Lo masih sakit! Lagian, ngapain lo ke
Jakarta? Ngapain, coba? Ngapaiiin?"
176 Inov melepas cengkeraman Mima dengan pelan. Sebelah
tangannya masih memijat dahinya yang kelihatan pusing banget. "Gue harus ke Jakarta, Mi. Gue nggak bisa biarin Saira.
Gue janji, gue nggak bakal kenapa?napa, Mi."
Mima mendelik. "Enak aja janji?janji! Emang lo tau dari
mana lo nggak bakal kenapa?napa? Nov, jangan gila dong!
Jangan nekat dong! Lo nggak mikirin gue, apa?!"
Dengan gusar dan buru?buru, Inov memakai sweter lalu
menyambar dompet dan HP?nya. Inov berbalik menghadap
Mima. Pelan?pelan Inov mendorong Mima sampe duduk di
pinggir ranjang. "Sori ya, Mi, tapi gue bener?bener harus ke
Jakarta." Mima bengong. Inov terhuyung?huyung berjalan cepat ke pintu.
Ini ada apa sih sebetulnya? Kok habis baca surat Inov lang?
sung blingsatan gitu? Ah! Itu suratnya! Mima menyambar
surat Saira yang tergeletak di atas selimut.
Inov, aku mohon. Kamu harus dateng ke pesta di rumahku.
Please, Nooov, pleaseee....
Aku takut. Kata Revo, kalo aku nggak bisa bikin kamu dateng
ke pesta itu, dia bakal minta aku bayar barangnya.
Bukan pake uang, Nov, dia mau aku bayar pake diri aku,
Nov, aku nggak mau.... Aku cuma butuh barang itu, Nov, makanya aku mau jadi
tuan rumah. Tapi aku nggak mau disentuh Revo, Nov....
Kecuali... kalo memang nggak ada jalan lain. Aku butuh
barang itu, Nov... butuh banget.
Pestanya Minggu, Nov, jam 11 siang.
Seperti biasa, siang, supaya nggak ada orang yang curiga.
Nov, aku sayang sama kamu....
Apa kamu udah nggak sayang sama aku?
177 Aku butuh kamu.... ?SAFIRABrengsek banget sih yang namanya Revo itu! Dia mau perkosa Saira, baru mau ngasih barang itu ke Saira? Dan Revo
pasti tau persis, gimana orang yang lagi nagih. Sakaw. Butuh
barang tapi nggak punya uang, mau ngelakuin apa aja demi
barang haram sialan itu! Mima inget cerita Inov waktu dia sampe ngebobol uang
sekolah demi dapat barang. Dia nggak mikir risikonya kalau
ketangkep. Dan sekarang? Inov udah insaf tapi tetep aja
masih tersiksa. Nggak kebayang Saira. Gimana kalo dia bener?bener nye?
rahin kehormatannya demi dapat barang nggak berguna itu?!
Gimana masa depannya? Gimana kalo dia hamil? Gimana kalo
dia trauma? Gimana kalo... ya ampuuun!!! Gimana sih Mima!
Harusnya dia ikut nolongin Saira, bukannya ngebiarin Inov
pergi sendirian! "INOOOOV!" Mima lompat dari ranjang, lalu GRUBAK?GRU?
BUK! pontang?panting berlari turun tangga mengejar Inov.
Inov memegang pohon, menahan badannya yang nyaris ro?
boh. Mengerjap?ngerjapkan matanya sebentar, lalu dengan
susah payah melanjutkan berjalan menuju halte dekat rumah
Mima. "Gue nggak boleh roboooh... ugh!"
Mima terbirit?birit mengejar Inov, yang biarpun sempoyong?
an ternyata jalannya cepet juga. "Inooovvv! Tungguin
gueee!" Inov meremas kepalanya. "INOOOOOV! BUDEK YA, LOOO! NOOOV!"
"Mima?" Inov berbalik pelan.
Bener banget. Mima. Cewek bawel itu lagi lari serampangan
178 dengan lubang hidung kembang-kempis dan muka jelek
banget ngejer-ngejer Inov.
"Hhah... hhah... gile lo ya! Jalannya cepet banget... hhah...
hhah... dipanggil-panggil bukannya noleh, malah... hhah...
hhah... ngeloyor!" "Ngapain lo, Mi?"
PLAK! Mima menepuk bahu Inov dongkol. "Ya nyusul lo,
lah!" Inov menatap Mima nggak ngerti.
"Gue ikut lo ke Jakarta," kata Mima mantap.
Mantap. Mata Inov yang kaget juga melotot mantap banget. "Apa?"
"Nggak kedengeran? Gue bilang, gue ikut?"
Inov mengangkat tangannya. "Gue denger, Mi, gue denger.
Tapi buat apa, Mi? Ngapain?"
Mima menepis tangan Inov. "Pertanyaan nggak mutu. Udah
jelas lah kenapa! Lo pikir gue bakal biarin lo pergi sejauh itu
sendirian?! Ke Jakarta, lagi. Nih ya, sekarang ini, buat gue
mendingan lo pergi ke Sungai Nil daripada ke Jakarta, tau."
Inov melongo. "T-tapi, Mi..."
"Ahhhhh, udah deh! Ayo! Acaranya jam sebelas, kan?!"
Mima menyambar tangan Inov dan menyeretnya penuh semangat.
"Mi..." Inov menahan langkah Mima.
"Apa lagi?" Mima berbalik menghadap Inov.
"Thanks ya...."
Mima terdiam. Tapi cuma sebentar. "Aduuuh! Jangan kayak
sinetron ah! Yuk, kita naik travel aja. Biar cepet sampe." Mima
menyeret Inov lagi. Inov memandangi punggung Mima. Beruntung banget dia
kenal Mima. 179 MIMA memandangi rumah gedongan dengan pagar tinggi
yang sepiii banget itu. "Ini rumahnya, Nov? Kok sepi? Katanya
ada pesta...." Lirikan Inov langsung bikin Mima sadar pertanyaannya sangat blo?on bin tolol. Oh iya, ya, kan pestanya pesta narkoba.
Masa rame-rame? Sekalian aja undang Serse Narkoba kalo
gitu sih. Mima meringis.


Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ayo, Mi..." Inov menggandeng tangan Mima. Mengendapendap ke pintu samping yang katanya tembus ke kolam berenang.
"Nov, emang nggak ada satpamnya rumah segede gini?
Pembantu? Sopir?" bisik Mima sambil releks mengikuti Inov
mengendap?endap. Inov celingukan. Lalu melirik Mima. "Semua udah diatur,
Mi. Rumah ini dibikin supaya kosong. Satpam di sini cuma
dua. Sopir pergi nganter orangtua Saira. Pembantu cuma
dua. Nggak susah buat mereka nyingkirin dua satpam dua
180 pembantu kalo Saira juga turun tangan. Semua pekerja di
sini takut sama Saira," papar Inov pelan. "Ayo, Mi..."
Mima mengekor Inov lagi. Begitu dekat pintu, mereka mu?
lai bisa melihat ada banyak orang di dalam. Tapi nggak ba?
nyak suara. Nggak kayak pesta umumnya, di situ nggak ada
musik, nggak ada makanan. Yang Mima lihat orang?orang
duduk bergelimpangan sambil cengengesan dan teler nggak
jelas. Mungkin rumah pribadi yang kosong memang tempat
yang mereka anggap aman. Polisi mana nyangka di rumah
gedongan kayak gini ada anak?anak remaja lagi berbuat
nggak jelas? Mata Inov keliatan nyalang menatap ke dalam.
"Kenapa, Nov?" "Saira. Kok dia nggak ada? Saira nggak ada?"
Mima ikut?ikutan menatap serius ke dalam. Iya, bener.
Nggak ada. Mima menepuk bahu Inov pelan. "Tenang, Nov,
tenang, lo jangan gegabah. Kita cuma berdua, Nov. Gue
nggak bisa berantem. Cuma bisa jurus maling kepergok
ngembat cangcut doang alias kabur."
Inov pasang mata lagi. Mima ikut mengamati keadaan.
Gila, mimpi apa dia semalam? Dia sedang menyaksikan pesta
narkoba LIVE di depan mata. Dan bukannya lapor polisi,
Mima malah mengintai sama Inov yang mau jadi jagoan me?
nyelamatkan sang pujaan hati! Mima bener?bener nggak mi?
kir. Seandainya tempat ini digerebek polisi, mereka berdua
pasti kena seret juga. Beritanya pasti nyampe ke Bandung!
MAMA BISA MURKA! Seluruh kekuatan godzilla ngamuknya
pasti dikeluarin. Tanpa sadar Mima menghela napas. Dia udah
nyemplung terlalu dalam dan nggak bisa mundur! Gimana
mo mundur?! Dia udah di dalam rumah ini!
"Mi, nunduk!!!" Inov menekan kepala Mima sampai mereka
181 berdua terlindung di balik semak-semak. Inov nempelin telunjuk di bibirnya. "Ssst... ada yang ke sini!"
Mima mengintip. Tiga cowok ceking cengengesan berjalan
mendekati kolam renang. Dari gaya mereka melepas atasan,
mereka pasti mau nyemplung ke kolam tuh.
"Sebelum bener-bener high, mending kita berenang dulu...,
ya nggak, brooo?" kata salah satu cowok ceking berambut
cepak. "Yoiiii!" Yang dua setuju sambil saling toast dengan muka
teler. Mima mengernyit. "Nov, emang orang teler bisa berenang?
Bukannya kalo kita teler itu artinya kerja otak terganggu? Berarti sinkronisasi anta?hmmpphhh." Mima merengut kena
bekap lagi. "Ssst...," desis Inov pelan banget.
Oh iya! Dasar mulut ember bocor! Sampe lupa lagi
"mengintai", malah sempat-sempatnya pidato.
Tiga cowok itu semakin dekat ke kolam renang. Semakin
dekat ke Mima dan Inov. Ini saatnya mengunci mulut rapatrapat. Jangan ada sepatah kata pun. Nggak boleh batuk, bersin, nguap, apalagi kentut.
"Gileee, mantap banget rumah Saira, coy!"
"Hahaha, kita sih cuma dapet enak?enakan di rumahnya
doang! Tapi cuma Revo yang bisa enak?enakan sama Saira!
Hahahaa. Masa rumah segede GOR bulutangkis gini nggak
punya uang buat beli barang? Payah!"
"Yoiiiiii! Untung banget si Revo! Ohhhh... Sairaaaa....
Hahaha!" DUG! Tanpa sadar Inov meninju tanah.
Sat! Mima menahan tangan Inov yang dengan marah
beranjak berdiri dan muncul dari persembunyian. "Nov!
Ssst!" 182 Inov kembali jongkok. "Kita harus cari Saira, Mi..."
Mima ngangguk. "Iya, gue tahu. Kira?kira dia di mana ya?"
"Gue rasa di kamar. Di lantai dua. Kita harus ke sana?"
"Tapi kita harus tunggu sampe aman, Nov. Inget! Kita cuma
berdua. Gue cuma bisa jurus maling kepergok ngembat cang?
cut. Gue nggak bisa bantu lo kalo dikeroyok."
Mending kalo Mima bisa lari cepet. Kalo lamban? Bisa?bisa
nambah urusan, pikir Inov dalam hati.
"Woiii! Naik, woiii, naiiik! Saira! Sairaaa!" Tiba?tiba cewek
berbaju hitam?hitam dengan rambut acak?acakan berteriak?
teriak sambil berlari?lari heboh mendatangi tiga tiang yang
lagi berenang. Cowok ceking berambut cepak menatap si cewek baju hi?
tam heran. "Ngapain lo ngibrit gitu? Kenapa Saira emang?
nya?" "Udaaah, cepetan ke atas! Gawat, mampus kita! Si Fira ka?
yaknya kebanyakaaan! Lo tau sendiri Revo!"
APA?! Inov dan Mima kompak tersentak kaget. Saira
kenapa? Kebanyakan? Maksudnya?!
"Wah, parah nih, bro, ayo, ayo!" Tiga belalang kerempeng
itu naik dari kolam dan buru?buru lari ke dalam rumah.
"Mi! Gue mo masuk! Lo di sini aja!" Inov bangkit dan ikut
panik lari ke arah rumah.
Waduh! Bunuh diri dengan sukarela ini namanya. "Nov! Gila
lo! Lo mo ke sana?!"
Sambil lari Inov menoleh ke Mima yang dengan panik me?
nyembul dari balik semak?semak. "Udah, lo tunggu di situ!"
Lalu dia lari lagi dengan panik.
"Nov! Inooov!!!" Gila ni anak! Maen tinggal aja! Mima ce?
lingukan. Sepi. "Inooov!!!" jerit Mima lagi. Tapi sama sekali
nggak ngaruh. Inov udah menghilang di balik pintu rumah.
"Ughhh! Gimana nih?!" Susah payah Mima keluar dari semak?
183 semak yang ternyata rimbun banget itu. "Percuma gue sampe
sini kalo Inov tetep sendirian. Nooov! Tunggu gueee!" Mima
tergopoh-gopoh menyusul Inov.
"MINGGIR! MINGGIR!" Inov menyeruak di antara kerumunan
anak-anak teler yang mengelilingi ranjang di kamar Saira.
Revo tergeletak nggak berdaya di sofa dengan mata setengah
terbuka. "Inov?" Cewek berbaju hitam yang tadi heboh turun ke ko?
lam kaget, baru sadar ada Inov di situ. "Lo..."
Inov menepis minggir cewek itu. "Mana Saira?! Minggir...!
MINGGIR SEMUA!" Remaja?remaja ancur dan teler itu satu per satu minggir.
Inov mematung. Terpaku memandang Saira tergeletak di
ranjang dengan mulut penuh busa dan napas putus?putus.
"SAFIRAAA!!! GOBLOK KALIAN SEMUA!!! GOBLOOOK!!!
SAFIRA, LO KENAPA?! KENAPAAA?!" Beberapa detik kemudian
Inov melompat ke ranjang dan histeris memeluk Saira yang
terkulai nggak sadarkan diri. "KALIAN APAIN SAFIRAAA?! Ka?
lian apain Sairaaa...?" Badan Inov gemetar memeluk Saira.
"INOV!" Mima mematung di ambang pintu. Pemandangan
Inov memeluk Saira yang nggak sadarkan diri bikin dia
membeku. Kenapa Saira?! Demi ngeliat Revo yang tergeletak
lemas, Mima sadar apa yang sebenernya terjadi. Buru?buru
Mima mendekat ke ranjang. Tangannya gemetar waktu mem?
belai pelan punggung Inov. "Nov... mendingan kita bawa dia
ke rumah sakit, Nov. Dia harus ditolong, Nov...."
Kalimat Mima bikin Inov tersadar. Inov langsung mem?
bopong Saira. "Ayo, Mi! Kita pake mobil Fira aja. Pasti kunci?
nya ada di bawah." Mima mengangguk. Langkah Inov terhenti. Dengan marah Inov menatap semua
184 orang teler yang masih mematung di situ. "Gue nggak akan
diem aja kalo ada apa-apa sama Fira! Kalian urus tuh si Revo!!!"
Inov menunjuk Revo yang tergeletak nggak bergerak.
Dasar orang teler semua. Setelah mendengar Inov ngamuk,
mereka baru sadar Revo juga kritis. Dengan sempoyongan
kayak zombie mabuk, mereka buru-buru mengerumuni Revo.
"Nov! Bawa Revo juga!" teriak cewek berbaju hitam tadi.
Inov menatap sinis. "Nggak! Kalian urus aja sendiri! Gue
nggak mau!" Inov berjalan cepat ke garasi.
Mima mengekor dengan panik. Ya Tuhaaan! Ini benar-benar
mengerikan! Mima menyodorkan gelas kertas berisi teh hangat buat Inov.
"Nov, minum dulu deh."
Inov menggeleng. Lalu mondar-mandir untuk kesekian
kalinya. Mukanya keliatan makin pucat. Dan stres.
"Nov... biar lo mondar-mandir Bojonegoro?Zimbabwe
bolak-balik sampe betis lo meledak juga, lo nggak bantu apaapa. Yang ada lo malah ikut-ikutan sakit, tau! Lo ngaca gih!
Muka lo udah kayak zombie stres, tau! Minum dong, Nooov,
gue udah capek-capek juga belinya," rayu Mima khawatir.
Rayuan Mima ternyata berhasil. Inov berhenti mondarmandir, mengambil gelas kertas dari tangan Mima. "Thanks,
Mi." Inov menyeruput tehnya. Sedikiiit banget.
Pelan-pelan Mima meraih lengan Inov. Menariknya duduk
di kursi tunggu. "Lo juga lagi sakit, Nov. Perlu istirahat. Gue
tahu lo khawatir banget... tapi kita cuma bisa berdoa aja,
Nov." Inov diam. Menunduk sambil meremas-remas rambutnya.
Mima jadi pengin nangis. Antara kasihan dan stres. Dari
tadi HP-nya dimatiin. Entah berapa missed call dan SMS yang
nongkrong di HP-nya seandainya sekarang HP-nya ON. Mama,
185 Papa, dan Mika pasti udah khawatir. Mima melirik jam tangannya... jam lima sore. Mereka pasti udah missed call lima juta
kali deh. "Mama-Papa lo pasti nyariin, Mi," kata Inov tiba-tiba, kayak
membaca pikiran Mima. "Pasti. Gue mau nyalain HP gue, Nov. Gue nggak mau mereka stres terus lapor polisi. Hhh... bohong lagi deh...." Mima
menekan tombol ON HP-nya.
Mata Inov menatap sayu. "Sori, ya?"
Mima menepuk paha Inov pelan. "Udahlah, Nov, nggak
pa-pa." Begitu HP Mima ON... Triritiritriiiriit. HP itu langsung berisik
jerit-jerit sambil bergetar-getar heboh saking banyaknya
missed call dan SMS yang masuk. Nggak usah dibaca juga
Mima udah bisa nebak. Penerima penghargaan pengirim SMS
dan pe-missed call terbanyak adalah... MAMA! Mima sadar diri
dan menelepon Mama balik?setelah sebelumnya ngecek ke
teman-temannya apa Mama ngecek mereka atau nggak. Ternyata IYA. Artinya, nggak bisa bawa-bawa nama mereka buat
jadi alasan! Huh! "Mimaaaa! Kamu di mana sih?! Pergi nggak bilang-bilang
Mama! Ditelepon nggak aktif! SMS nggak bales! Kamu tau
nggak seisi rumah cemas mikirin kamu?! Kamu itu coba
ya?" "Mama! Mama! Stop, Ma! Stop!" Tuh, kelihatan banget kan
dari siapa sifat bawel ini menurun sebenarnya? Udah pasti
dari Mama! Nggak bilang "halo" udah langsung meletus kayak
petasan banting. "Kamu ini! Malah nyuruh Mama stop segala. Mama udah
tanya temen-temen kamu, kamu juga nggak sama mereka.
Kamu di mana sih?! Kan Mama udah bilang, kalo mo pergi
bilang dulu! Kamu bukannya jelasin malah?"
186 "Mamaaa... aku kan mo jelasin. Gimana mo jelasin kalo
Mama pidato sambutannya panjang kayak gitu. Interupsi,
Maaa... interupsiiii!"
Mama diam. "Ya udah, apa?!"
"Aku jalan sama Inoooov. Aku suntuk di rumah. Makanya
aku ajakin nonton. Ehhh, tau-tau ilm yang mo ditonton cuma
ada malem. Ini aja masih nunggu. Nggak pa?pa ya, Maaaa?
Sama Inov ini." "Hah? Kamu ini gimana? Inov kan lagi sakit, kok malah
kamu ajak nonton?!" Yaaah! Malah ngomel lagi!
"Ma, dianya mau. Katanya kasihan Mima sendirian. Udah
deh, Ma, Mima cuma nonton kooook! Mima janji deh, nggak
ngajakin dia itnes ato berantem sama badak. Nonton kan
cuma duduk, Ma. Oke, Ma?!"
"Bener?" "Bener, Maaaa... ngapain juga sih berantem sama badak.
Ya, kan?" Mama nggak menjawab pertanyaan bodoh Mima. "Mana
Inov?" Yaaah, dasar jiwa detektif! Mima menyodorkan HP?nya ke
Inov. Pencet tombol loudspeaker. Inov makin pucat.
"Inov, bener kamu udah nggak pa?pa dan bisa nemenin
Mima nonton?" Mima mengangguk?angguk di depan muka Inov dengan
heboh supaya Inov menjawab iya.
"I?iya, Tante. Aku, aku udah nggak pa?pa kok."
"Jangan maksain ya, Nov. Apa tadi Mima maksa kamu?"
Mima melotot. "Nggak, Tante, nggak. Kebetulan aku juga suntuk di rumah
terus." 187 "Ya udah. Hati-hati ya. Inov, dengerin Tante, jangan mau ya
kalo Mima ngajak kamu yang aneh-aneh."
"Dah, Maaaa!" Klik! FIUHHH! Mima mengelus dada lega. "Nov, lo nggak ngasih
tau keluarga Saira lagi? Kok belum ada yang dateng juga?"
Inov menatap Mima sayu. "Kalo mereka ada waktu dan
masih peduli sama Saira, mereka pasti datang. Lagian, Saira
udah biasa sendiri." Suara Inov tercekat.
"Ya udah, kita tunggu aja, Nov, sambil berdoa buat Saira."
Mata Inov menatap ruang tindakan dengan cemas. "Kok
lama ya, Mi?" Mima menggeleng pelan. "Nggak tau, Nov..."
Semoga Saira baik?baik aja.... Semoga Dokter bisa ngobatin
Saira dan cewek itu bisa sembuh, kumpul sama keluarganya
lagi... dan Inov. Semoga kejadian ini bikin dia sadar bahwa
yang namanya narkoba cuma bikin diri sendiri ancur, hidup
sendiri ancur, keluarga sendiri ancur, dan semua hal lain yang
kita punya ancur. Semoga....
KLIK! Pintu ruang tindakan terbuka.
Inov spontan berdiri. Mima juga.
Dokter yang menangani Saira keliatan capek dan stres.
"Kalian keluarga Saira?"


Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Inov buru?buru mengangguk. "I?iya, Dok. Mama?papanya
belum datang. Saira... gimana keadaan Saira, Dok?"
Di mata Mima gerakan Dokter itu melepas masker, lalu me?
lepas kacamatanya jadi kayak slow motion. Pelan?pelan mata
lelah Dokter menatap Inov dan Mima bergantian. Menarik
napas dalam?dalam... "Maaf, kami sudah berusaha. Tapi zat berbahaya yang ma?
suk ke tubuhnya terlalu banyak."
Apa?! Tunggu, tunggu, tunggu, ini maksudnya...
188 "Maksudnya... maksudnya apa, Dok?" Suara Inov bergetar.
"Saira mengalami overdosis. Waktu kalian bawa ke sini, dia
sudah kritis. Maaf, kami nggak bisa menolong dia...."
SIIING! Inov mematung. Mima terdiam beku, nggak tahu
harus ngomong apa dan ngapain.
"Saira," desis Inov. Kakinya melangkah pelan?pelan ke am?
bang pintu ruangan tempat Saira terbaring.
Jantung Mima serasa berhenti berdetak waktu dia meng?
ikuti langkah Inov. Selain kaget dan shock mendengar berita
tadi, ini juga pertama kalinya dia bakal melihat jasad orang.
Dan orang itu baru saja mengobrol dan minta tolong pada
Mima beberapa hari yang lalu. Apa... apa ini salah Mima? Apa
seharusnya Mima memberikan surat itu lebih cepat, jadi hari
ini Inov nggak terlambat? Glek. Mima menelan ludah dengan
galau. DUK! Mima menabrak punggung Inov yang berhenti men?
dadak memandang jasad Saira di atas ranjang periksa.
Mima mengintip takut?takut dari balik bahu Inov.
"Nggak, Ra, nggaaak!" racau Inov sambil geleng?geleng.
"SAFIRAAA!" Detik berikutnya Inov merangsek cepat ke ran?
jang Saira. "RAAA! Ini aku, Raaa... maain aku, Raaa!!! INI AKU,
RA! INI AKUUU!!!" Dengan kalap Inov mengguncang?guncang
Saira yang udah nggak ada.
Lutut Mima terasa lemas. Itu beneran Inov? Inov yang dingin
dan nggak ada emosinya?! Apa iya dia bisa begitu histeris dan
nangis kayak gitu? Langkah Mima terasa gemetar waktu men?
dekati Inov yang membungkuk di depan jasad Saira. "Nov,
udah... lo nggak boleh gini, Nooov, kasian Sairaaa...."
"Ini salah gue, Mi, salah gueee. Gue yang bikin dia masuk
ke pergaulan ini, dia... dia kayak gini gara?gara dia cinta sama
gue. Tapi gue... gue nggak bisa nyelametin dia, Mi. Gue malah
189 bikin dia... gue malah bikin dia.... ARRRGGGHH!!!" Bahu Inov
naik-turun kencang seirama tangisannya.
Mima menggigit bibir. Mana sih keluarga Saira?! Apa
mereka sama sekali nggak peduli?! Mima meremas bahu Inov
lembut. "Lo kan udah berusaha, Nooov. Gue lihat sendiri lo
udah berusaha, Nov. Lo sampe nyusulin ke sini. Lo nggak
salah, Nov, lo nggak salah kalo pengin dia berhenti..."
Inov masih telungkup di samping Saira dengan bahu ter?
guncang naik?turun. Masih menangis. "Tapi gue telat, Mi, gue
telat...." Mima tercekat. Iya, Inov terlambat. Kalau Mima langsung
nyerahin surat Saira ke Inov, mungkin Inov bisa mencegah
pesta itu. Mungkin Inov bisa pergi ke Jakarta dari kemarin.
Mungkin Inov bisa.... Nggak bisa ditahan, air mata Mima menetes. Mima ikut?
ikutan Inov, menyalahkan diri sendiri dalam hati. "Gue juga
sedih, Nov...." Inov terisak lagi. Memandangi Saira yang terbujur kaku.
BRAAAKKK! "SAFIRAAAA!!!" Tiba?tiba seorang perempuan setengah baya
dengan dandanan modern banget menyeruak masuk dan
melengkingkan nama Saira. Perempuan itu makin terbelalak
menyaksikan putrinya terbujur kaku sementara Inov dengan
mata sembap bercucuran air mata membungkuk di samping?
nya. "SAFIRA, ANAK MAMAMA! BANGUN, NAAK! BA?
NGUUUUUN!!! Paaa, Saira, Paaa! Sairaaa!" perempuan itu
menatap ke arah pintu. Mima ikut melirik. Seorang laki?laki tinggi, berkumis, de?
ngan bibir yang kelihatan jarang senyum, berdiri tegang me?
natap istri dan jasad putrinya.
Mama Saira memeluk anaknya histeris. "Sairaaa... anak
Mama, kamu denger Mama, Naaak? Kamu kenapaaa? Bangun,
190 Raaa, bangun, Raaaa! Anak Mama cuma kamuuu. Firraaa! Banguuun!"
"ANAK KURANG AJAR! INI SEMUA GARA-GARA KAMU!!!" Kejadian berikutnya berlangsung cepat banget. Mima nggak
tahu gimana, tiba-tiba papa Saira ada di belakang Inov. Ta?
ngannya mencengkeram Inov dari belakang, menariknya ka?
sar menjauh dari ranjang dan melemparnya hingga terduduk.
Dengan marah papa Saira menarik bahu Inov sampai mereka
berhadap?hadapan. Lalu dengan sekuat tenaga dan mata ber?
kaca?kaca... DUAAAGH! Tinjunya melayang ke muka Inov. "Li?
hat! Lihat apa yang kamu perbuat sama anak saya! Lihaaaat!
Kamu bilang apa sama dia?! APA?! CINTA?! Iya? CINTAAAA?!
Cinta apa sampe bisa bikin anak saya MATIII!!!" DUAAAAGH!
Tinjunya melayang lagi ke pipi Inov.
Ya ampun! Kenapa jadi gini sih? "STOP, OOM! STOOOP!"
Mima sang warrior princess beraksi lagi. Dengan gagah berani
Mima berdiri mengadang di antara Inov dan papa Saira.
"Jangan pukul Inov lagi." Tatapan Mima lurus menghunjam.
"Siapa kamu?!" "Saya Mima. Saya yang nganter Saira ke sini sama Inov.
Jauh sebelum Oom dan Tante sampe sini barusan," jawab
Mima dingin. "Oom nggak boleh pukulin Inov! Ini bukan
salah dia, Oom! Inov udah sembuh. Dia yang berusaha
nolongin anak Oom." "Nolongin anak saya?! NOLONGIN!? Anak saya jadi begini
justru gara?gara dia! Dia yang bikin anak saya jadi begini?
DIA!" Telunjuk papa Saira menuding Inov tajam. Tiba?tiba lu?
tut papa Saira lemas kehilangan tenaga. Dia terempas duduk,
air matanya bercucuran. "Sekarang Saira sudah nggak ada.
Anak saya... satu?satunya sudah nggak ada. Bisa apa dia seka?
rang? Bisa apaaa? Saira sudah nggak adaaaa! Apa kamu bisa
191 tolong dia sekarang, Inov?" Suara serak papa Saira menusuk
jantung Inov waktu menyebut namanya.
BLUK! Inov ikut terduduk lemas. Menangis keras. Nelangsa.
Sedih. Menderita. "Anak saya... Saira, nggak bakalan kembali lagi... anak
sayaaa...." "Maaain saya, Oooom..., maain sayaaaa... MAAFIN SAYAAA!"
Bahu Inov terguncang makin keras.
Mima memeluk Inov erat. Air matanya nggak kuat lagi di?
bendung. Dia cuma bisa memeluk Inov. Membiarkan cowok
itu menangis di pelukannya. Mima menatap papa Saira
dalam?dalam. "Oom, Oom nggak bisa berhenti nyalahin orang lain?! Kena?
pa Oom nyalahin Inov terus?" air mata Mima semakin deras.
"Apa Oom nggak pernah mikir, kenapa Saira bisa kayak gitu?
Kenapa dia bisa terlibat narkoba? Kenapa Oom nggak mikir
apa Oom sama Tante udah cukup merhatiin dia?! Jangan sa?
lahin Inov terus, Oom..." Tangis Mima pecah. Pelukannya makin
erat. Inov terguncang makin kencang. Terisak makin sedih.
Papa Saira berlutut di lantai. Juga menangis makin ken?
cang. Meratapi anaknya yang sudah nggak ada, meratapi dia
yang terlambat, meratapi kenapa baru sadar sekarang bahwa
selama ini dia nggak pernah merhatiin Saira.... Meratapi akhir
hidup Saira. Inov masih menangis di pelukan Mima. Menyesali ke?
salahannya menjerumuskan Saira tanpa bisa menyela?
matkannya lagi. Lita meletakkan dua gelas teh panas di lantai teras aparte?
men. Lalu duduk di samping Mima.
Lita. Sahabat Saira dan Inov di sekolah. Lita ngizinin Mima
dan Inov nginep di rumahnya malam ini supaya bisa datang
192 ke pemakaman Saira besok. Di rumah bergaya minimalis ini
cuma ada Lita dan Ditya, abangnya. Sebenarnya Mima heran,
kok bisa cewek alim, berjilbab, kalem, dan soleh kayak Lita
bersahabat dengan Inov dan Saira. Eng, maksudnya bukan?
nya nggak boleh, tapi... ya aneh aja.
"Nov, nanti kamu tidur di kamar Mas Ditya aja, ya? Dia lagi
PKL di Sukabumi. Mima tidur sama aku aja. Maklum, aparte?
men ini kamarnya cuma dua," kata Lita dengan suaranya yang
kalem dan sejuk. Mima mengangguk. Lalu melirik Inov yang duduk melamun
memeluk lutut, memandang lampu?lampu Jakarta yang ge?
merlapan dari teras apartemen mungil Lita dan Ditya. "Ma?
kasih ya, Lit. Sori ngerepotin. Lo sampe harus minjemin baju
segala." "Nggak pa?pa kok. Aku masuk dulu ya. Ada tugas. Kalian
santai aja di sini," kata Lita lembut, lalu beranjak dari situ.
Angin berembus pelan menerpa Mima dan Inov. Entah apa
yang ada di pikiran Inov. Dari tadi dia cuma diam, sibuk de?
ngan pikirannya sendiri. Meninggalnya Saira betul?betul bikin
Inov drop dan kacau kayak sekarang.
Mata Inov nanar menatap lampu?lampu di bawah. "Lampu?
lampu itu... mungkin kayak nyawa manusia ya, Mi..." tiba?tiba
Inov berkata lirih. Mata Mima releks memandang lampu di bawah sana.
"Dari sini, karena banyak, terangnya sama, gemerlapnya
sama, yang redup nggak kelihatan. Tapi kita nggak pernah
tahu, mana yang bakal mati duluan. Belum tentu yang redup
itu mati duluan. Mungkin yang itu..." Inov menunjuk ke ke?
jauhan. "Yang paling terang. Biarpun umurnya masih muda,
bisa aja dia rusak dan mati duluan. Bukan karena umurnya
udah tua. Mungkin karena ada anak nggak tau diri ngelempar
dia pake batu sampe pecah. Atau mungkin... ada maling yang
193 nyolong dia karena nggak suka jalanan itu terang. Kayak
Saira..." Mima terdiam. "Masih muda, tapi hidupnya rusak gara?gara gue... anak
kurang ajar yang ngerusak, ngelempar dia pake batu sampe
pecah dan padam," suara Inov bergetar.
Mima bergeser pelan, duduk lebih merapat ke Inov. "Nov,
lo tau nggak kalo ternyata istilah ?penyesalan selalu datang
terlambat? itu bener? Lo nyesel karena lo datang terlambat,
tapi udah telat untuk nyesel. Lo nyesel, karena lo udah jeru?
musin Saira ke dunia narkoba, tapi itu udah terlambat. Lo
nyesel, kenapa lo ngelakuin hal tolol kayak gini, tapi itu ter?
lambat. Semua serba terlambat! Buat gue, nyeselin sesuatu
yang udah terlambat sama aja bo?ong. Buang?buang waktu.
Karena nggak ada alat pemutar waktu di dunia ini, Nov. Lo
emang terlambat nyelametin Saira, tapi kalo cuma bisa
menyesali itu, lo nggak bakal mengubah apa?apa, Nov. Saira
nggak bakal balik lagi. Lo harus maju, Nov, jangan sampe lo
terlambat lagi. Karena sekarang masih belum telat buat
nyelametin diri lo sendiri."
Kata?kata Mima meresap ke hati Inov. Bikin cowok itu me?
renung, mikir makin jauh. Makin dalam.
"Nov, gue minta maaf. Kalo aja gue kasih surat itu lebih
cepat?" Inov menatap Mima sayu. "Lo nggak salah, Mi. Nggak akan
ada bedanya. Keadaan gue juga nggak memungkinkan waktu
itu. Lo nggak salah, Mi."
Mima diam lagi. Mata Inov yang nanar masih menatap lautan lampu di ja?
lanan Jakarta. Hening. ... 194 ... Sampai... "YA AMPUN, INOV!" Mima memekik histeris. Matanya melotot menatap jarum jam tangannya. "JAM 12?! Gue harus
ngabarin rumah!!! Mati gue, Nov! Matiiii!!!" Mima melesat masuk mencari HP-nya yang dari tadi di-silent. Mama, Papa, dan
Mika pasti khawatir banget!
Inov tetap merenung. Hari ini hati dan pikirannya betulbetul terasa mati. Mati bersama Saira, dan semua kenangan
tentangnya.... 195 SELAMAT tinggal, Saira....
Pelan?pelan tanah menimbun liang lahat peristirahatan ter?
akhir Saira. Beberapa teman sekolah Saira berpelukan sedih, nggak
nyangka bakal begini akhir hidup Saira. Nggak nyangka
kalau rumor Saira yang jadi pecandu gara?gara pacaran sama
Inov ternyata bukan cuma gosip. Saira meninggal gara?gara
OD. Semuanya jadi jelas....
"FIRRAAA... anak Mamaaa... Ya Allaaahhhh..."
Orang?orang panik begitu mama Saira terkulai lemah da?
lam pelukan suaminya. "Tolong... tolong! Minyak angin! Minyak angin!" jerit salah
satu kerabat. Papa Saira memangku istrinya dengan muka letih dan ber?
linang air mata. "Ma, bangun, Maaaa.... Sadar, Maaa...."
Mata mama Saira perlahan membuka, menatap suaminya
lemah. "Anak kita, Paaa... Saira... ini salah kita, Pa... salah
196 kitaaa...," racaunya sambil tergeletak lemas di pangkuan papa
Saira. Hampir semua orang nggak bisa menahan tangis waktu
papa Saira memeluk istrinya sambil menangis pilu meng?
harukan. "Papa tahu, Maaa, Papa tahuuu... ini salah kita. Kita
yang nggak perhatian sama dia selama ini, kita yang nggak
bisa megang kepercayaan dari Allah untuk mengurus dia....
Ini salah kita, Maaa... Papa tahu. Tapi Mama nggak boleh gini,
Maaa... Mama harus kuat. Mama harus sabaaar, minta ampun
sama Allah, Ma.... Ya Allah, astagirullah...."
DUAK!!! Inov meninju pohon dengan keras. Tinjunya masih
menempel di batang pohon ketika Inov mulai menangis. Me?
mandang prosesi pemakaman Saira dari kejauhan.
Mima meremas bahu Inov pelan. "Nov, mending lo kirim
doa, Nov, kirim doa buat Saira....," bisik Mima pelan dengan
mata berkaca?kaca, terharu melihat kesedihan keluarga dan
kerabat Saira. Juga Inov.
Mima dan Inov cuma memandang upacara pemakaman itu
dari balik pohon besar beberapa meter dari situ. Inov nggak
sanggup menyaksikan dari dekat. Nggak sanggup dan takut
ketemu orang?orang. Nggak sanggup melihat jasad Saira


Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang terbungkus kain kafan dimasukkan ke liang lahat. Nggak
sanggup melihat air mata orangtua Saira. Nggak sanggup
dituduh jadi penyebab kematian Saira... nggak sanggup.
Bahu Inov masih berguncang pelan.
"Cerita Saira udah selesai, Nov. Tapi lo belum. Lo masih
punya banyak halaman kosong yang harus lo isi."
Inov terdiam. Mima duduk di batu di samping Inov. Menatap Inov sim?
pati. "Nov, menurut gue, ibarat buku, hidup kita ini bukan
cuma punya kita sendiri lho."
Inov mendongak. Menatap Mima nggak ngerti.
197 "Iya. Biarpun kita yang nulis, kita yang nentuin mau nulis
apa. Dan isinya bukan cuma memengaruhi hidup kita doang,
tapi juga orangtua dan orang-orang terdekat kita. Cerita kita
bakal bikin mereka bangga dan bahagia. Atau malah bikin
mereka malu dan sedih."
Inov tercenung. "Saira memang udah nggak ada. Dia udah tenang di sana.
Dia nggak bisa lagi denger omongan orang, nggak akan tahu
gunjingan orang. Tapi lo pikir deh. Gimana coba orangtuanya?
Mereka sedih kehilangan Saira, tapi mereka juga bakal lebih
sedih denger kasak?kusuk orang. Malu sama orang lain, te?
tangga, keluarga, guru?guru, tukang sayur depan rumah,
pembantu, tukang kebun... Hmmpphhh..." Tahu?tahu tangan
Inov membungkam mulut Mima. Mima menatap Inov sebal.
Bibir Inov tersenyum tipis. "Thanks, Mi, nggak usah di?
sebutin semua. Gue ngerti kok maksud lo," katanya parau.
Untung lagi berkabung gini, kalau nggak Mima pasti udah
mengeluarkan jurus turun?temurun dari Mama. Ngamuk ala
godzilla pusing. Gila aja, orang lagi ngomong serius malah
dibekap. "Kita doakan, semoga almarhumah dapat diterima dengan
baik amal ibadahnya, diampuni segala dosa?dosanya..."
Sayup?sayup suara ustaz yang memimpin doa untuk almar?
humah Saira sampai ke telinga Mima dan Inov.
Mima menengadahkan kedua telapak tangannya. "Amin...."
bisik Mima pelan. Inov pelan?pelan ikut menengadahkan kedua telapak ta?
ngannya. Memejamkan mata dan memanjatkan doa dengan
khusyuk.... Makam Saira udah sepi. Nggak ada siapa?siapa lagi. Semua
kerabat dan pelayat udah pulang.
198 Mima menaburkan bunga di atas tanah makam yang masih
basah. Inov duduk bersimpuh di samping makam Saira. Dengan
nelangsa, Inov menatap dan mengelus nisan kayu bertuliskan
nama Saira. "Kalo aku tau kamu bakal kayak gini gara?gara
kenal sama aku, lebih baik kita nggak pernah kenal," bisik
Inov serak dan gemetar. Mima tercekat, lalu ikut bersimpuh di samping Inov. "Terus
lo yakin hidupnya bakal lebih baik, gitu?"
"Seenggaknya dia nggak bakal meninggal gara?gara nar?
koba." "Belum tentu. Pernah nggak kepikir sama lo, Nov, bisa aja
narkoba memang bagian dari cobaan yang harus dia hadapin.
Yang harus dia ikutin, atau tolak. Jadi, kalo nggak dari lo, bisa
aja kan dari orang lain? Semua itu sebetulnya tergantung
kitanya kok. Pilihan itu kan ada di dia, Nov. Dia yang milih
untuk pacaran sama lo, dan ikut lo nyemplung ke narkoba.
Padahal bisa aja kan dia pacaran sama lo, tapi justru nye?
lametin lo dari narkoba? Itu pilihan, Nov...."
Inov tersenyum tipis. "Terus pernah nggak kepikiran sama lo, bahwa bisa aja
dalam posisi inilah justru Saira jadi penyelamat lo? Jadi yang
bawa pesen buat lo? Supaya lo nggak terus deket?deket
narkoba sialan itu. Dan nggak jadi kayak dia sekarang,"
sambung Mima. Inov tersenyum lagi. "Hidup gue udah ancur, Mi. Satu?satu?
nya yang pengin gue selametin sekarang ini adalah Bunda.
Perasaan Bunda." Mima menghela napas pelan. "Ya, tapi untuk itu, lo sendiri
juga harus selamat dulu, kan?"
Inov membelai nisan Saira lagi. Nggak menjawab per?
tanyaan Mima. 199 "Emang lo pikir dengan bohongin dia, lo nyelametin perasaan bunda lo? Lo pikir bunda lo bakal ngerasa seneng kalo
tahu lo sengaja bohong dan tetep dalam lingkungan setan
itu? Mana ada orang yang bahagia dibohongin, Nov?"
Mata Inov sembap menatap Mima. "Gue tahu, Mi, gue
tahu. Tapi Mi, please... gue nggak siap sama reaksi Bunda kalo
dia tahu semua kebenaran tentang gue."
Mima diam. Jelas nggak setuju. Siap?! Kalo nunggu siap,
kapan siapnya?! Di dunia ini kayaknya nggak ada yang siap
untuk malu, untuk dimarahin, untuk kecewa, bahkan mungkin
nggak ada orang di dunia ini yang siap untuk bahagia. Semua
yang ada di dunia ini kejutan?paket yang dibungkus rapi.
Manusia memang semuanya belagu! Selalu bilang tabah, siap
menghadapi semuanya, siap nerima ini, siap nerima itu. Kalo
kita siap, kenapa kita harus nangis, marah, atau malah ketawa? Kalo kita siap, harusnya kita nggak perlu nangis waktu
saudara kita yang sakit akhirnya meninggal. Kalo kita siap,
kita nggak bakal tertawa bahagia waktu buka kado ulang tahun....
Nggak, manusia nggak pernah siap. Kita memang bisa
tahu. Tapi kita nggak pernah siap. Kalau kita selalu siap, buat
apa ada emosi?! "Mima!!!" Mika berteriak memanggil Mima.
Mima yang duduk di kursi taman parkir pemakaman menepuk bahu Inov pelan. "Kita udah dijemput...."
Mika berlari-lari kecil menghampiri Mima dan Inov. Di belakangnya Mama dan Papa juga tergopoh-gopoh dengan muka
cemas. Sepanjang jalan Mama berkoar-koar heboh, dengan
panik nggak ngerti kenapa bisa-bisanya Inov dan Mima berbohong dan baru mengaku tengah malam setelah semua
orang panik menunggu mereka pulang.
200 "Hai, Ka!" Mima nyengir.
Mika mendelik. "Kalian berdua memang udah gila! Untung
Mama nggak nelepon polisi tadi malem!"
"Gue minta maaf, Ka," kata Inov pelan.
Mika diam. Mama menyeruak dengan muka merah padam. Sembilan
puluh sembilan persen pasti gara-gara marah campur ngosngosan berlari-lari di parkiran. "Kalian berdua ini bener-bener
deh! Mama hampir aja telepon polisi! Untung kamu nelepon
Mama jam dua belas! Kalo nggak, polisi se-Bandung Raya
bakal nyari kalian berdua, tahu?!"
Deuuuh... polisi se-Bandung Raya? Anak gubernuuur, kali.
Mima nggak sengaja cengar-cengir.
Mama kontan melotot. "Kenapa kamu nyengir, Mi?! Kamu
pikir Mama bercanda?!"
"Ih, Mama, siapa yang nyengir? Mima meringis, Ma... meringis. Mules." Langsung lempar jurus ngeles.
Papa yang gemuk dan berjalan lamban akhirnya sampai
juga dengan muka lebih merah padam daripada Mama. Buat
Papa, lari-lari di parkiran kuburan siang bolong di Jakarta
sama aja kayak dengan sukarela nyemplung ke panci panas.
"Hhhah... hhhahh... hhahh..." cuma itu yang bisa keluar dari
mulut Papa begitu nyampe. Butiran keringatnya gede-gede.
Lubang hidungnya membesar-mengecil, membesar-mengecil.
Napasnya ngos-ngosan. Matanya kedap-kedip nggak jelas.
Untung aja Papa nggak pingsan.
"Tante, Oom, maain aku. Ini semua salahku. Aku yang
bikin Mima sampe ikut ke sini." Tiba?tiba Inov buka suara
dengan muka kelihatan bener?bener nggak enak sama ortu
Mima, juga sama Mika. "Hhhah..., hhah..., sebenernya ngapain siihh, ...kalian ini?"
Papa maksain ngomong buat jaga wibawa.
201 "Ini salahku, Oom, salahku." Inov menegaskan lagi. "Tadinya
aku mau kabur ke Jakarta sendirian, Oom. Temen deketku dalam masalah. Aku tahu kalau aku minta izin sama Oom atau
Tante pasti nggak bakal diizinin. Makanya, waktu aku denger
dia butuh aku, aku berniat ke Jakarta diam-diam. Tapi Mima
tahu. Dia ngerasa bertanggung jawab atas aku, jadi daripada
aku kabur sendirian ke Jakarta terus kenapa-napa, dia milih
ikut nemenin aku. Aku yang suruh dia bohong, Oom, Tante."
Inov menarik napas. "Tadinya kami nggak ada niat nginep, tapi
ternyata Saira..." Inov nggak sanggup meneruskan.
Mima tertunduk. Mama dan papa Mima saling pandang.
Mika merangkul adik kembarnya.
Inov mengusap matanya yang berkaca?kaca. Lalu menatap
Mama dan Papa bergantian. "Oom, Tante, Oom sama Tante
nggak bilang sama Bunda, kan, soal ini?" tanya Inov penuh
harap. Papa menepuk bahu istrinya pelan. Kode supaya Mama aja
yang jawab. "Nggak, Nov. Tante sama Oom nggak bilang sama bunda
kamu. Karena Mima telepon, Tante sama Oom mutusin untuk
ketemu kalian dulu, denger semuanya lebih jelas. Karena
kami percaya banget sama Mima. Kami tahu Mima nggak
pernah bohong. Tapi tadinya Tante ada niat untuk nelepon
bunda kamu... dan polisi, seandainya kalian nggak nelepon
kami lewat jam satu malam."
Diam?diam Mima membuang napas lega.
Inov releks mencium tangan Papa. "Makasih ya, Oom...."
Lalu mencium tangan Mama. "Tante, makasiiih... aku nggak
tahu gimana jadinya kalo Bunda sampe tahu. Makasih ya,
Tanteee... Oom... ini, ini, berarti banget buat aku...."
Mama memegang bahu Inov. Membuat Inov bangun dari
202 bungkuknya. "Tapi, Nov, kamu harus ngerti satu hal. Tante
sama Oom nggak mungkin berbuat begini lagi demi kamu.
Juga Mika...." Lalu Mama menatap Mima tajam. "...dan Mima.
Ya kan, Mi?" Ohhh... ubur-ubur! Sengatanmu kalah TOTAL dibanding sengatan tajam tatapan Mama. Mima bergidik ngeri, lalu mengangguk ketakutan. Mampus!!! Terus segunung rahasia segede
kuda nil bunting itu mau diapain???
"Denger, Inov..." Papa merangkul Inov hangat, "bukannya
kami mau ikut campur atau membatasi kehidupan kamu. Tapi
kamu ngerti, kan? Kami ini diserahin tanggung jawab sama
bunda kamu. Kami nggak mau mengecewakan dia, apalagi
kalo ada apa-apa sama kamu. Kamu ngerti, kan?" Mata Papa
menatap bijak. Inov mengangguk respek pada Papa. "Iya, Oom, aku ngerti.
Aku makasih atas kebaikan Oom dan keluarga sama aku. Aku
betul-betul minta maaf, Oom...."
Papa tersenyum lebar sambil menepuk-nepuk bahu Inov.
"Ya sudah. Kami ngerti kok. Oom mungkin akan berbuat yang
sama kalo temen deket Oom dalam masalah. Pacar?"
Inov menerawang. "Dalam hati aku, iya, Oom... dia bakal
selalu jadi pacarku."
Papa merangkul Inov erat. "Ya udah, ayo kita pulang." Papa
meraih Mima dalam rangkulan tangannya yang sebelah lagi.
"Kalian ini... ada-ada aja."
Mima dan Inov saling pandang diam-diam.
Dalam hati Mima bersyukur punya Papa, Mama, dan
Mika. 203 MIMA duduk memeluk lutut di tangga busuk berlumut gedung tua yang biasa.
Inov duduk di samping Mima. Posisinya? Sama persis. Melongo, meluk lutut.
Teh Jul pasti bakal ngomel dua kali lipat nanti. Masalahnya,
lumut yang tumbuh di tangga busuk ini hijau dan lengket
BANGET. Celana olahraga Mima dan celana seragam Inov sekarang berlepotan lumut yang kayaknya perlu ritual khusus
waktu dicuci biar bersih.
Kalau aja cara kenalan Mima sama gedung ini bukan dari
tempat transaksi narkoba, tangga butut ini pasti bisa jadi tempat rahasia favorit Mima. Mima suka banget suasana dingin
yang jadi hangat karena rembesan sinar matahari dari selasela tanaman rambat di atap yang belum jadi ini. Belum lagi
suara burung yang terbang ke sana kemari. Romantis...
"Ini harus berhenti, Nov. Gue takut," kata Mima pelan dengan dagu disandarkan di atas lutut.
Inov melirik bungkusan paket barang terlarang yang ter204
geletak di sampingnya. Menatapnya dengan perasaan campur
aduk. "Gue tau," kata Inov lirih.
Tuk! Mima melempar kerikil ke lantai. "Terus kapan?"
Tuk! Inov ikut melempar kerikil. "Gue nggak tahu."
Huh! Mima manyun. "Ya harus tahu dong, Nov! Lo tahu
sendiri pengawasan Mama makin ketat sejak kejadian Jakarta
itu. Kita udah nggak bisa sembunyiin ini lama-lama. Lambat
laun pasti ketahuan. Kita harus cari jalan keluar."
Inov hening. "Gue kira si Revo yang bakal mampus! Taunya dia malah
baik-baik aja. Heran ya, jadi manusia kok nggak ada kapoknya. Udah hampir mati kayak gitu, sekarang tetep aja jadi
bandar dan ngirim-ngirim kaki tangannya buat meres elo."
"Ini bukan pertama kalinya...."
Mima menoleh. Mengernyit bingung. "Apa? Si Revo meres
elo?" Inov balas memandang Mima. "Bukan. OD. Ini bukan pertama kalinya Revo nyaris lewat gara-gara OD."
"Hah?!" Inov mengangguk meyakinkan Mima. "Iya. Dan dia nggak
mati-mati. Terus-terusan sembuh. Dan makin dihormati karena
lebih dari tiga kali selamat dari OD. Dianggap master. Heran
juga, kok bisa dia selamat terus."
"Bukti, kali. Neraka aja males nerima dia," sungut Mima dari
hati yang terdalam. Biarpun dia nggak secara langsung kenal
Revo, makin hari Mima makin benci sama ketua geng sekaligus bandar itu. Apalagi setelah peristiwa Saira. Nggak sadar
apa, dia udah bunuh orang?!
Inov bangkit. Menepuk?nepuk belakang celananya, ber?
usaha merontokkan lumut?lumut yang menempel dengan
nikmatnya. "Ke mana?" 205 "Pulang. Nanti mama lo curiga, Mi. Kita kan bilangnya rapat
bazar." "Tunggu!" Mima menahan tangan Inov. "Itu gimana?" Mima
menunjuk barang biadab di tangan Inov.
Tangan Inov meremas-remas bungkusan itu. Menggenggamnya dalam kepalan tangan, lalu... "AARRGGHHH!!!" Inov melempar bungkusan itu sekuat tenaga ke tengah lahan penuh
ilalang setinggi orang di areal gedung.
Mima melotot. "Lo gila ya?! Kok lo lempar gitu aja sih?!"
"Biarin, Mi." "Biarin?! Lo gimana sih? Kalo ada yang nemuin gimana?
Kalo ketemu terus sidik jari lo diselidikin gimana? Terus kalo...
hnmppphhh!" Mima kena bekap. Lagi, lagi, dan lagi... terus-terusan kena
bungkam! "Mi, tenang aja, oke? Itu bawahnya rawa, lagi."
Mima diam dengan muka merengut.
"Sekarang kita pulang. Ayo." Inov mengulurkan tangannya.


Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berani-beraninya ngajak gandengan sesudah main bungkam mulut orang kayak tadi. Nyebelin! Mima menepis keki
tangan Inov sambil melenggang dongkol lewat di depan
Inov. "Gue bisa jalan sendiri! Gue belum tua!" kata Mima sambil ngeloyor.
"Sshh..." Inov meringis. Tangannya mencengkeram tiang
halte. "Kenapa, Nov? Sakit lagi?" Mima memegang dahi Inov.
Padahal Inov megangin perutnya. "Wah, lo panas lagi, Nov.
Obat lo udah abis, kan?! Ayo duduk, duduk sini, Nov..." Mima
menarik Inov duduk di bangku halte. Tangannya buru-buru
mengaduk-aduk tasnya yang kelihatan penuh gara-gara hari
ini ada pelajaran olahraga. Semua masuk di situ?baju, han206
duk, alat kecantikan buat ngembaliin tampang seperti semula
setelah dijadiin rebus-rebusan tengah hari bolong, dan ini
nih, ini yang paling penting: air minum! Taraaa! Mima mengeluarkan botol minuman dari tasnya. "Minum nih!"
Inov menatap Mima ragu.
"Kenapa?! Nggak mau minum?"
Inov masih menatap botol minuman di tangan Mima. "Bekas... lo?"
Duh! Pertanyaan tolol! Mima mendelik sebel. "Ya iya lah! Lo
pikir bekas siapa? Dinosaurus?! Emangnya kenapa?"
Inov menggeleng pelan. "Nggak. Tapi temen-temen gue...
sshhh... suka berisik soal apa tuh, ciuman nggak langsung. Lo
mau nyerahin ciuman nggak langsung lo... ke gue?"
Plak! Dengan gemas bercampur malu, Mima menempelak
bahu Inov. "Dasar sakit! Masa lo mikirin gituan sih? Iya, nggak
pa-pa, ambil aja! Darurat gini pikirannya masih ke manamana. Gue mendingan lo ambil itu daripada lo mati di sini
pas sama gue!" kata Mima menggebu-gebu nutupin malu.
"Nih! Buruan! Sebelum gue kasih ciuman nggak langsung gue
sama tukang becak yang lagi ngos-ngosan itu!" kata Mima,
makin salting menunjuk abang becak yang lagi menggoseh
becaknya dengan muka merah padam, hidung kembangkempis, dan keringat mengucur kayak keran bocor.
"Makasih....," kata Inov dengan muka meringis. Tangannya
agak gemetar waktu mengambil botol minuman dari tangan
Mima. Sambil meringis kesakitan, Inov minum dari botol minum Mima.
Ciuman nggak langsung! Dasar makhluk luar angkasa. Bisabisanya mikirin gituan! Ciuman nggak langsung... ada-ada aja.
Apa coba, ciuman nggak langsung.... GLEK! Mima menelan
ludah dengan grogi waktu bibir Inov menyentuh botol. Mima
kan belum pernah dicium cowok? Ciuman nggak langsung....
207 "AAA!!!" Mima menggeleng-geleng heboh dengan muka
panik. "Mi?" Inov kaget dan memegang bahu Mima.
"Ihhh! Jangan pegang-pegaaang!" Dengan sadis Mima menepis tangan Inov dari bahunya.
Lho? Inov menatap Mima aneh. "Kenapa lo?"
"Gara-gara elo! Nyebelin! Udah, minum, minum aja! Jangan
ngurusin orang!" sergah Mima sewot nggak jelas.
"Yeee... lo yang teriak tiba-tiba."
Mima mendelik sambil manyun. "Ya udah, cuekin aja! Jangan pegang-pegang gue!"
Kenapa sih ni anak? Inov makin bingung. "Gue... uhuk...
minum, ya?" "Ya udah sana! Dari tadi juga disuruh minum."
Tiba-tiba, biarpun mukanya pucat persis mayat kaget, Inov
masih bisa nyengir jail. "Nyesel, ya? Nggak ikhlas?"
Mima menatap heran.... "Ciuman nggak langsungnya diambil gue."
Muka Mima langsung kembali jadi sewarna berbagai macam rebus-rebusan. "Aahhhhh! Tau ah! Reseee!" SREEET! Mima
bergeser menjauh jaga jarak. Dasar Inov! Ngapain sih dia
ngomongin ciuman nggak langsung segala. Kan bikin orang
kepikiran! Huuhh! Iya! Emang Mima sekarang agak-agak
nyesel. Harusnya ciuman nggak langsung itu buat Gian! Gian,
yang akhir-akhir ini jadi makin terbengkalai gara-gara Inov!
Sebeeel! "Mima?" Harusnya ciuman itu buat?"Gian?" Busyet! Sekarang waktunya nyanyi Panjang Umurnya, ya? Kan katanya kalo orang
yang diomongin atau dipikirin nongol, artinya orang itu panjang umur. Ini... Gian kok tiba-tiba ada di sini?
Mima melongo. "Gi-Gian?"
208 Gian memandangi Mima yang lagi duduk dengan pipi menempel di tiang halte sambil manyun dengan heran. "Kamu
kenapa, Mi?" "Hah? Ng, aku..."
"Kamu sama sia?oh." Kalimat Gian terhenti begitu melihat
Inov di ujung kursi lainnya. Air mukanya langsung berubah.
Apa ya? Marah? Nggak enak? Kecewa?
Ad-aduuuh! Pasti Gian ngira yang nggak-nggak nih. "Eh,
eng, aku... aku tadi... tadi si Inov tuh... pulang sekolah minta
dianterin ke supermarket situ. Tahu mo nyari apaan... hehe...."
Mima jadi malu sendiri. Memangnya Gian peduli? Kok Mima
ngerasa perlu ngejelasin semuanya?
Gian udah pasti bete, tapi dia tetep senyum manis banget.
"Oh, ya udah. Aku duluan, ya? Nanti... nanti ganggu."
Inov mengamati dari tempat dia duduk. Dari jauh aja kelihatan banget Mima panik dan kecewa karena kayaknya Gian
menyangka ada apa-apa di antara Mima dan dirinya. Dari
jauh, Inov juga bisa melihat kekecewaan di mata Gian waktu
lagi-lagi mendapati Mima sama Inov.
"Eh, Gi!!!" Entah tenaga dari mana, Inov yang nyaris pingsan
masih bisa teriak manggil Gian. "Tunggu...," sambung Inov,
jauh lebih NGGAK bertenaga daripada tadi.
Gelang Perasa 2 Raja Petir 04 Asmara Sang Pengemis Maling Yang Jujur 1

Cari Blog Ini