Satria November Karya Mia Arsyad Bagian 5
lalu menghela napas. Ada perasaan aneh di dada Mima. Rasanya
kayak... hmm... ngambang. Sekaligus deg-degan karena nggak
tenang. Tau-tau aja hati dan otaknya kompak mengiyakan bahwa
dia memang lebih khawatir dan perhatian soal Inov daripada Gian.
Tapi namanya sahabat memang seharusnya begitu, kan? Masa Inov
mendadak nggak bisa dihubungi Mima tapi diem aja?
"Mungkin hari ini bakalan kiamat."
Mima menoleh kaget. Ternyata Mika, kakak kembarnya yang
cool, berwibawa, juara kelas, dan pastinya akan jadi cowok idaman
para mertua, tampak berdiri sambil senyam-senyum aneh di
belakangnya dengah sebelah tangan memegang kantong keripik
pedas merek Cabe Iblis. Keripik yang level pedasnya bisa bikin lidah
kebakaran. "Ramalan siapa lagi tuh? Kamu habis baca apa? Habis nonton
apa?" Mika senyum tengil, lalu duduk di samping Mima yang lagi asyik
ngelamun sambil duduk di ayunan di halaman belakang. "Tandatandanya udah jelas," kata Mika serius.
Mima menegakkan duduknya, menatap Mika aneh. "Tanda-tanda
apaan? Kamu habis nonton apaan sih, Ka? Cepetan jawab! Habis
baca apaan? Kok tiba-tiba ngomongin kiamat? Eh, Ka, jangan-jangan
kamu ikut aliran sesat, ya? Mendingan kamu tobat deh, Ka. Keluar
dari perkumpulan kayak gituan. Mama sama Papa bisa stres kalo
kamu kejebak aliran sesat, tau! Kamu harusnya... HMMPH!"
Mata Mika melebar penuh ancaman.
Mima diam... atau bekapan Mika nggak bakalan dilepas.
Mima memutar bola matanya, nyerah. Biarpun olahraga yang
paling rajin Mika lakukan adalah nulis, ngetik, dan membolak-balik
halaman buku, tapi tenaga Mika kuat lho. Mima curiga, diam-diam
Mika sebetulnya rutin angkat barbel, handstand, dan push up
berbagai gaya di dalam kamar.
Oh ya, satu lagi, Mima curiga kakaknya ini lagi ngecengin cewek.
Soalnya akhir-akhir ini si cowok teladan Mika mendadak lebih modis
dan wangi. Rambutnya juga dicukur dan ditata ala Justin Bieber.
Mima bukan penggemar Justin Bieber, tapi harus objektif, potongan
rambutnya keren juga. Mima menarik napas dalam begitu Mika melepas bekapannya.
"Kamu kalo mau bekep aku mulutnya aja dong, jangan sampe
idung. Kalo aku mati gimana?" protes Mima sambil melotot.
"Gentayangan paling." Mika cengengesan.
"Mika! Udah, jangan mengalihkan pembicaraan. Coba jelasin
dulu soal kiamat-kiamat tadi. Dan sumpah dulu, kamu nggak ikut
aliran sesat. Percaya itu sama Tuhan, bukan sama setan!"
Dan Mika pun ngakak. POK! POK! Mima menepak-nepak pipi Mika setengah panik. "Eh,
kok malah ngakak sih?! Ya ampun, Mika! Kamu kesurupan?!"
"Yah nggaklah! Aneh-aneh aja sih," jawab Mika geli sambil masih
tertawa-tawa. Mima menatap Mika waspada. Curiga kakaknya beneran ikutan
aliran sesat dan sekarang kesurupan. Tadi mendadak ngomongin
kiamat sudah dekat, terus tiba-tiba ngakak nggak keruan gini. Yang
lebih parah, doa yang keingetan di kepala Mima sekarang ini cuma
Al-Fatihah. Padahal kata Mama, kalau ada setan harus baca Ayat
Kursi. Gimana nih? "Mimaaa... Mima..." Mika menyebut nama Mima sambil gelenggeleng dengan muka yang masih merah padam gara-gara ngakak.
"Aku ngomongin kamu. Nggak ada hubungannya sama aliran
sesat." Mima menatap Mika nggak paham.
"Gini ya, adik kembarku yang manis, yang baru potong rambut,
yang berisik, dan tingginya nggak nambah-nambah?tanda-tanda
kiamatnya itu kamu. Suatu keajaiban dunia yang langka kamu bisa
diem ngelamun sambil menatap kosong kayak tadi. Makanyaaa...
jangan-jangan kamu bengong gitu salah satu tanda-tanda kiamat."
"Hah?! Sialan!" Mima menepak bahu Mika. "Kurang ajar banget
sih! Jahat! Emangnya aku nggak boleh ngelamun? Semua manusia
di dunia punya hak ngelamun. Semua manusia di bumi punya
masalah, terus..." "Oke, setop! Ternyata kamu masih normal. Dunia belum mau
kiamat. Hore!" Mika cekikikan lagi.
Dasar kakak kembar yang menyebalkan. Mima mendengus, lalu
buang muka dengan keki. Males ngeladenin dia lagi. Jangan-jangan
bukan cukuran rambutnya aja yang mirip Justin Bieber, tapi
kelakuan Mika juga jadi tengil kayak si Justin. Dan jangan-jangan
yang dia taksir sekarang ini Selena Gomez!
Mika berhenti ketawa begitu sadar Mima ngambek. "Mi,
ngambek ya? Ya udah, aku minta maaf deeeh... kamu kenapa sih?
Tumben ada yang bisa bikin kamu nelangsa gini. Beneran, aura
kamu tadi muram semuram-muramnya."
Mima menatap Mika. Hih, sejak kapan Mika jago baca aura?
Mereka memang bukan saudara kembar ekstralengket yang bisa
merasakan perasaan satu sama lain. Atau lebih ekstrem lagi, mereka
bukan tipe kembar yang kalau salah satu sakit, yang satunya bisa
merasakan juga. Terbukti waktu Mika cacar air bentol seluruh
badan, Mima malah dengan santai ngabisin jatah martabak Mika
yang lagi nggak nafsu makan. Tapi, mereka cukup dekat dan suka
saling cerita, juga selalu siap membantu kalau salah satu kesusahan.
Kayak waktu Inov nyaris mati dan Mima panik di rumah sakit, Mika
datang membantu Mima dengan menjadi kakak yang bisa diandalkan. Jadi kayaknya nggak ada salahnya Mima cerita ke Mika. "Inov,
Ka..." Alis Mika bertaut. Sekilas dia kelihatan khawatir. "Kenapa
Inov?" Lalu Mima menceritakan semuanya pada Mika. Ekspresi Mika
berubah-ubah waktu mendengar cerita singkat Mima. Awalnya
khawatir, lalu bingung, nyengir, lalu sekarang geleng-geleng.
"Kamu kok malah geleng-geleng sih, Ka?"
TUING! Mika menoyor jidat Mima dengan telunjuknya. "Pola
pikir kamu tuh, Mi... ribet! Nanya aja ke Mama, repot amat. Ngapain
pake nggak mo nanya sama Mama segala, coba? Cuma gara-gara
gengsi, kan?" Bibir Mima mengerucut manyun. Bibir ikan buntel sekarang kalah
sama bibir monyong Mima. "Gengsi apaan sih?"
"Emang apa namanya kalo bukan gengsi? Kamu nggak mau
minta tolong Mama nanyain Inov ke Tante Helena karena kamu
mikirin pendapat Inov nanti, kan? Nanya mah nanya aja kali, Mi.
Kan wajar kamu pengin tau kabar dia karena mendadak susah
dihubungin. Siapa tau dia ada masalah?"
Mima terdiam sejenak. Betul-betul sejenak alias nggak lebih dari
dua detik. "Enak aja ngomong. Terus gimana kalo ternyata dia
emang ngehindarin aku? Kan aku malu, kayak kecentilan banget
nyari-nyari dia sampe ke mamanya."
Gantian Mika yang memutar bola matanya, bosan. "Heuuuh...
emang ribettt pikiran kamu. Kamu sama Inov kan teman deket,
bukannya keceng-kecengan. Wajar aja kali khawatir dan penasaran,
ngapain takut disangka kecentilan? Eh, kecuali kalo..."
"HEITSS!" Mima mengacungkan telunjuknya tinggi-tinggi.
"Jangan coba-coba ngelantur. Oke, aku nanti tanya Mama. Tapi
nggak sekarang. Kalo dua hari lagi Inov tetap nggak bisa dihubungin,
baru aku tanya Mama."
Mika mengedikkan bahu. "Terserah kamu aja. Tapi aku udah bisa
bayangin, betapa menderitanya kamu selama dua hari ke depan
karena menahan kepo." Mika menyeringai jail.
"Uhhh, udah ah, sana gih, sana!" Mima mendorong-dorong bahu
Mika biar kakaknya pergi. "Gangguin orang aja!"
Mika terkekeh. "Siapa juga yang kepingin di sini lama-lama..."
Tau-tau terdengar ringtone ponsel dari dalam saku celana Mika.
Detik itu juga Mika langsung berhenti terkekeh, lalu dengan
gerakan kilat ekstracepat menarik ponselnya dari saku celana.
TRING! Muka tengil cengengesan Mika berubah semringah. "Aku
ke kamar dulu!" katanya buru-buru.
"Eh, Mika! Siapa tuh? Kamu punya cewek, ya?! Mika!" Mima
gagal menangkap Mika yang melesat masuk. Tapi Mima yakin, pasti
telepon itu dari cewek yang bikin Mika berubah modis dan wangi
kayak sekarang. Bikin penasaran aja. Tapi, ini bukan saatnya
memuaskan kekepoannya pada Mika, fokus Mima sekarang adalah
Inov. Oke, Mima akan konsisten dengan kalimatnya tadi. Kalau dua
hari lagi Inov tetap nggak bisa dihubungi dan nggak ada kabar,
mau nggak mau Mima harus minta Mama nanyain ke Tante Helena.
Dua hari lagi. Mima harus tahan. Dua hari lagi!
Ya Tuhaaan, kenapa Inov menghilang gini sih? Mima menggigiti
kukunya, beneran panik. Panik sepanik-paniknya, cuma gara-gara
Inov nggak bisa dihubungi. Apa cowok itu baik-baik aja? Atau
malah... Jangan-jangan Tante Helena juga bohong sama Mama
bahwa semua baik-baik aja padahal sebenarnya ada apa-apa?
"ARGHHH!!" Mima menyambar bantal dari ujung ayunan yang
tadi diduduki Mika, lalu membekap mukanya sendiri. "AHHH!!!"
lalu sedetik kemudian menjauhkan bantal itu dari mukanya dengan
panik. "MIKAAAA, KAMU KENTUT DI BANTAL YAAA?!"
"HAAA?! KOK KAMU TAUUU?!" balas Mika dari kamar.
"IYUHHHH!!!" Mima melempar bantal itu jauh-jauh. Buset,
pengin galau aja banyak amat rintangannya!
Empat ET! Bayangan itu menghilang ke sela-sela gang sempit begitu
Mima berhenti melangkah. Mima terdiam beberapa detik,
lalu melangkah lagi. Dari bodi mobil yang terparkir di sisi
trotoar, Mima bisa liat dengan jelas sosok yang tadi ngikutin dia
muncul lagi dari sela-sela gang dan kembali mengikuti langkah
Mima. GLEK! Mima menelan ludah cemas. Sebetulnya, selain soal
menghilangnya Inov, ada satu hal lagi yang bikin Mima gelisah atau
lebih tepatnya ketakutan akhir-akhir ini. Sejak sekitar tiga hari lalu,
Mima ngerasa ada sosok yang selalu menguntit dia setiap jalan
sendirian. Mima udah pernah ceritain soal ini pada ketiga
sahabatnya. Tapi semua bilang, itu perasaan Mima aja, toh sampe
hari ini Mima baik-baik saja. Hellooow! Yang namanya orang berniat
jahat kan bisa aja nunggu momen yang tepat sebelum beraksi.
Kali ini Mima semakin yakin kecurigaannya tepat. Memang benar
ada yang menguntit dia. Duh, Mama ngapain sih nyuruh Mima
ngambilin uang arisan dulu ke Tante Anne sebelum pulang?!
Emang sih rumah Tante Anne masih terhitung dekat sama rumah
Mima, tapi posisi rumahnya itu lho. Rumah Mima kan ada di jalan
utama kompleks yang ramai, tapi rumah Tante Anne nyempil di
salah satu jalan kompleks yang sepi. Daerah rumah Tante Anne
adalah wilayah baru kompleks. Di situ baru tiga rumah yang terisi,
termasuk rumah Tante Anne, selebihnya rumah-rumah kosong,
belum jadi, atau malah lahan dengan papan "DIJUAL". Selain itu,
deretan ruko-ruko kosong yang sekarang Mima lewati juga bikin
suasana di sini makin sepi dan terasa mencekam. Katanya sih daerah
sini direncanakan untuk pusat fasilitas publik warga kompleks,
termasuk supermarket dan perkantoran. Tapi entah kapan
terwujud. Jadinya malah kayak ruko berhantu gini. Pocong, suster
ngesot, kuntilanak pohon, dan hantu-hantu trendi Indonesia lainnya
mungkin udah teken kontrak sewa tempat tinggal di sini.
SREK! Langkah Mima terhenti mendengar suara keresek langkah
dan daun kering barusan. Jantung Mima udah nggak bisa dikontrol
lagi. Jedag-jedug nggak keruan. Rasanya kalau ada apa-apa, Mima
bakalan pingsan. Dia betul-betul ketakutan.
Mima melirik ke kaca deretan ruko lain di seberang jalan. Dan
di sana! Di kaca ruko seberang jalan, terpantul bayangan sosok
berbaju hitam yang bersembunyi di sela-sela gang antarruko di
belakang Mima. Dia memang dikuntit!
Tarik napas, buang napas... mikir Mima! Mikir!!! Dari sosoknya
udah jelas itu laki-laki dan kemungkinan besar kalau Mima lari, dia
bisa mengejar Mima. Kalau Mima teriak, orang itu pasti akan muncul
dan membekap, lalu menangkap Mima. Tapi yang pasti Mima nggak
bisa diam di sini sekarang. Dia harus bergerak. Cepat, tapi normal.
Menurut yang Mima liat di TV, koran, atau berita online, penjahat
biasanya panik dan brutal kalau korban atau incarannya panik. Jadi
untuk menghindar, Mima harus melakukannya setenang mungkin
tanpa bikin orang itu curiga. Sosok itu nggak boleh tau Mima
sedang dalam rangka kabur.
Benar saja! Begitu Mima mulai berjalan?dan Mima melirik ke seberang jalan
untuk mengintip bayangan dari kaca ruko di seberang sana?dia
bisa liat sosok berbaju hitam berkupluk itu keluar dari persembunyiannya lalu mengikuti Mima dengan tetap menjaga jarak. Ini
udah nggak beres. Mana sepi banget lagi. Mima mempercepat
langkah, dan tanpa harus melirik ke kaca ruko, Mima bisa merasakan
sosok di belakangnya juga mempercepat langkah. Ini benar-benar
nggak bagusss. Langkah Mima tambah cepat. Tambah cepat. Tambah cepat, lalu
akhirnya lari. "TOLOOONG! TOLOOONG!!!" Mima lari sambil teriakteriak histeris. Lari ngibrit kayaknya yang paling tepat sekarang.
Mudah-mudahan ada yang mendengar jeritan Mima.
Tindakan cerdas, Mima! Berkat jeritan histerisnya, Mima udah
bikin si penguntit ikutan berlari dan terang-terangan mengejar dia.
Mima bisa mendengar jelas suara langkahnya di belakang. Kalau
kata orang bule, OH SHITTT!!!
"AAAAH! TOLOOONG!"
Ya Tuhan, kenapa jalanan ini sepi banget sih? Ke mana para
satpam? Ke mana tukang cilok yang biasa keliling kompleks? Bahkan
orang gila bugil yang akhir?akhir ini sering keliaran di kompleks
pun hari ini nggak ada. Ke mana semua orang?
"AAAHHH! TOLOOONG!" Mima merasakan sosok di belakangnya
semakin dekat, sementara dia udah ngos-ngosan berat, nyaris
kehabisan napas karena lari, panik, dan jerit-jerit nggak keruan.
Oksigen mendadak terasa tipis. Ini tragis, tragiiisss! Masa begini
akhir hidup Mima? Atau malah awal penderitaan Mima sebagai
korban penculikan!? Mima bergidik ngeri teringat penculik yang
menganiaya korbannya di serial CSI. Apa pun itu, Mima nggak
mau. Mima makin ngos-ngosan. Lututnya mulai lemas dan kayaknya
kecepatan larinya lebih pelan daripada kura-kura habis minum obat
batuk. "AAAH! TO... HMPP!" Tau-tau ada tangan membekap Mima dari
belakang. Mima meronta-ronta panik, tapi kalah tenaga. Orang
yang membekapnya dari belakang menyeret dia masuk ke salah
satu ruko kosong di samping mereka yang memang nggak dikunci.
Mampus! Mima benar-benar mampus!
Mamaaa... Papaaa... maain Mima! Kalau nyawanya berakhir di
sini, semoga dia ditemukan dan nggak jadi arwah gentayangan
kayak di ilm?ilm horor Indonesia. Tapi sebelum itu... dia nggak
akan menyerah tanpa perlawanan. Mima kembali meronta-ronta.
Kayaknya dia harus mengeluarkan satu jurus lagi. Kalau Mima
berhasil mangap, dia bisa gigit tangan orang ini! "HMMP! HMMPH!!!"
"Bisa diem nggak sih? Suaranya masih sama aja, merepet!"
"HMPPH?!" Begitu mendengar suara orang yang membekapnya,
Mima yang tadi ragu-ragu mendadak nekat. KRAUK!!! Dengan
sekuat tenaga dia gigit tangan yang membekapnya.
"AWWW! Maen gigit sih?!" jerit cowok yang membekap Mima,
memekik kesakitan sambil melepas bekapannya.
Mima berbalik cepat. Dia terbelalak syok. Ini apa deh maksudnya?!
Mima mengerjap-ngerjap setelah beberapa detik mematung.
Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Inov?!" Mima nggak salah mengenali suara cowok ini.
Yang berdiri di depannya ini betulan Inov!
"Iya, gue," jawab Inov pendek sambil mengibas-ngibaskan
tangannya yang tadi digigit Mima dengan brutal. Sedetik kemudian
Inov berhenti mengibas-ngibaskan tangan dan malah menatap
Mima serius. Tau-tau aja tangan Inov memegang kedua bahu cewek
itu. Matanya menatap Mima lurus-lurus. "Lo gimana, semua baikbaik, kan?" katanya, terdengar cemas, dan bukan dengan nada
yang biasa dipakai orang buat nanya kabar. "Selama gue nggak
ada... hmm... nggak ada yang ganggu lo, kan?"
Mima balas menatap Inov lurus-lurus. Sebetulnya, Mima pengin
melakukan adegan kucek-kucek mata atau tampar-tampar pipi
sendiri untuk mastiin ini bukan mimpi. Tapi sepertinya bakalan kayak
orang bego. Jadi batal. Makanya Mima lebih memilih mengamati
Inov baik-baik untuk meyakinkan dirinya bahwa yang tadi
membekap mulutnya, lalu menggeretnya ke dalam ruko kosong
beraroma kecoak ngompol ini memang Inov.
Cowok di depan Mima memang Inov kok. Inov yang berdiri di
depannya ini versi badan lebih berisi, lebih hidup alias air mukanya
nggak pucat kayak zombi lagi. Kulitnya nggak terlalu putih kayak
dulu, dicurigai sekarang mulai aktif olahraga, dan... potongan
rambut yang lebih up-to-date.
Tau Austin Butler, cowok cool dengan senyum misterius yang
main di serial The Carrie Diaries? Nah, begitulah potongan rambut
Inov sekarang. Nggak cepak, potongan modern, dan ditata dengan
jari supaya kesannya messy dan asal-asalan, padahal... trendi abis!
Apalagi Mima baru merhatiin sekarang, rambut Inov nggak hitamhitam amat. Well, kayaknya Inov dan Austin juga sejenis. Diem,
kalem, misterius, dan langsing. Tapi Austin jelas bukan tipe pendiam
ala robot rusak kayak Inov. Buktinya dia jadi artis.
"Mima? Nggak ada yang ganggu lo, kan?" Samar-samar suara
Inov membuyarkan acara bengong Mima.
PLAKK! "Aw! Lo kenapa sih? Tadi gigit, sekarang mukul! Udah lupa
bahasa manusia?" protes Inov dengan suara rendahnya yang udah
nggak seserak dulu. Biarpun nadanya tetap aja lat dan kurang
emosi, dari suaranya aja Inov terdengar lebih "sehat" dibandingkan
terakhir kali mereka ketemu.
PLAK! PLAK! PLAK! Mima menepak bahu Inov bertubi-tubi.
"Nggak lucu tau, Nov!"
Inov mengernyit tanpa berusaha ngeles dari serangan Mima.
"Siapa yang ngelucu? Dari tadi nggak ada yang ngelucu."
Mima membelalak emosi. "Ini! Ini apa? Lo tiba?tiba muncul di
depan gue kayak gini, apa nih namanya kalo bukan lelucon gagal?!
Lo udah gila ya, Nov? Tadi gue ketakutan setengah mati, gue sangka
ada orang jahat yang mau nyulik gue sampe nguntit gue berharihari, atau mau bunuh gue! Jadi selama ini lo? Lo niat banget sih
ngerjain gue. Berarti lo sengaja kan menghilang demi ngagetin gue
kayak gini?! NGGAK LUCUUU! Untung jantung gue nih bukan made
in China, tapi made by Tuhan Yang Maha Esa, jadi nggak langsung
modar gara-gara kaget! Lo mikir nggak sih gue bisa aja kena
serangan jantung tadi? Bisa aja kan gue kaget sampe pingsan atau
malah sampe ma... HMMMP!!!"
"Masih aja kayak petasan cabe. Mau digiring hansip?"
Mima menggeleng. Inov melepaskan bekapannya.
PLAK! Mima memukul Inov sekali lagi dengan kekuatan penuh
plus tenaga dalam karena dibekap tadi. "Apa hubungannya sama
hansip?" Inov cuma menatap Mima lurus-lurus dengan emosi yang nggak
kalah datar. Sedatar permukaan meja belajar. "Lo sadar nggak kalo
lo jerit-jerit kayak gitu, terus kita ketangkep berduaan di dalem
ruko ini, kita bisa disangka mesum?"
Idih! Mima bergidik. "Mesum? Amit-amit! Udah deh, Satria
November alias Inov alias robot korslet yang jidatnya minta ditakol
bakiak, sekarang lo jelasin semua. Termasuk kenapa lo ada di sini.
Jawab!" Inov terbatuk pelan. Dia nggak mungkin jujur sama Mima. Itu
kan rahasia. Bibir Inov bergerak-gerak gelisah. Harus ngomong apa
nih? Dia sama sekali nggak memikirkan kemungkinan kepergok,
jadi nggak menyiapkan jurus ngeles yang oke dan terpercaya. Dalam
keadaan kepepet kayak gini, gimana mo mikirin alasan coba? Ngasal
sih bisa, tapi sama aja ketahuan bohong dong?! Dan bohong sama
Mima? Oh no no no, nggak deh. Dipastikan 99,99% bakalan
ketahuan! Tunggu, tunggu... Mima mengamati Inov yang jadi gelagapan
dan bingung nyari jawaban. Sebuah kemungkinan terlintas di benak
Mima. Mima menyadari sesuatu, besok kan ulang tahun Mima!
Jangan-jangan... "Aaah... ketauaaan!" Dengan cengiran lebar Mima
menuding Inov. Alis Inov bertaut. Dahinya langsung berkerut-kerut bingung. Inov
menatap Mima gelisah. "M-maksud lo...?"
Mima menepak lengan Inov. "Nggak usah sok polos deeeh. Lo
sengaja kan nyuekin gue karena lo pengin ngerjain gue? Udah
deeeh, ngaku aja. Lo mo jailin gue pas ulang tahun gue besok, kan?
Ayo, ngaku! Lo ngerencanain apa? Udah kebongkar nih. Terus, apa
pun rencana jail lo besok, batalin. Kalo sampe besok lo ngisengin
gue, awas!" cerocos Mima berapi-api sambil mengacungkan
bogem. Mima yakin tebakannya benar. Inov pasti berniat ngerjain
dia pas ulang tahunnya. Di dalam pikirannya, Mima dengan cepat
merangkai kejadian beberapa hari terakhir sejak Inov nggak bisa
dihubungi. Pertama, Inov mendadak menghilang dan nggak bisa dihubungi.
Lalu sekarang, dia kepergok nguntit Mima sehari sebelum ulang
tahun Mima. Hah! Khas kejailan ulang tahun banget ini sih! Biarpun
kesal, Mima lega. Ternyata Inov bukan marah atau mau menghindari
Mima dan memecatnya jadi teman karena hal yang misterius.
"Yeee, robot somplak! Kenapa malah dieeem? Jawaaab! Gue
kesel banget tau, gara-gara lo sok menghilang begitu. Nggak ada
deh ya acara gue dikerjain segala besok. Jadi sekarang terima aja,
acara kejutan lo udah... ter-bong-kar-kar...kar...kar!" Mima sok bikin
efek-efek echo. Inov masih gelagapan. Lebih tepatnya lagi mempertimbangkan
jawabannya dalam hati. Ya ampun ini cowok, masih sok diem nggak mau ngaku lagi!
"Inov, buruan ngaku! Nunggu gue beneran marah? Gue pergi
nih." "Iya, oke, oke. Lo bener." Inov angkat tangan, nyerah. Berdebat
sama Mima ibarat berantem sama Hercules, Samson, Kingkong,
Transformer, atau makhluk apa pun itu, yang nggak mungkin kalah
dari kita. "Nah!" Mima menepuk tangannya puas. "Gitu dong, ngaku."
Inov meringis. Empat bulan mereka nggak ketemu, nggak nyangka sekarang
Inov dan Mima berdiri berhadapan lagi. Begitu perasaan Mima
mereda dan nggak seheboh tadi, dia baru benar-benar mengamati
Inov. Cowok itu memang kelihatan lebih segar.
Mima masih ingat pertama kali Inov datang untuk dititipkan ke
rumahnya oleh Tante Helena. Cowok itu kurus, pucat, dan kayak
hidup segan mati tak mau. Ternyata di Surabaya pengobatan Inov
berhasil. Dia kelihatan sehat. Mima lega. Ternyata keputusan nekat
Mima menolong Inov melawan geng narkoba nggak salah. Sekarang
Revo dan kawan-kawan yang dulu menjerat Inov masih mendekam
di penjara. Mima merasa matanya panas karena berkaca-kaca.
"Eh, Mima?!" Inov tersentak kaget karena tiba-tiba Mima
menubruk dan memeluknya erat-erat. Cewek ngegemesin, berisik,
dan pernah jadi pahlawannya itu sekarang nemplok di badannya.
Inov mendadak kaku. Nggak siap dapat pelukan erat kayak gini.
Dasar cewek ajaib. Tadi marah-marah, gigit-gigit, terus mukul,
sekarang tiba-tiba main peluk tanpa aba-aba.
"Lo apa kabar, Nov? Lo nggak kangen gue, apa?" tanya Mima
dengan suara mendem karena mukanya terbenam di dada Inov.
Tadi Mima terlalu emosional sampe lupa mereka belum saling tanya
kabar. Eh, seenggaknya tadi Inov udah nanya duluan sih. Mima
yang belum nanya kabar Inov. Sebetulnya Mima juga takjub dia
bisa lompat meluk Inov. Tapi, kayaknya ini ungkapan spontan
kelegaannya karena Inov baik-baik aja, dan malah ada di sini
sekarang. Cewek ini emang blakblakan setengah mati. Bikin Inov mati gaya.
Sebetulnya sih reaksi Mima wajar sebagai dua orang yang dekat
dan udah cukup lama nggak ketemu. Apalagi sebelum berpisah,
mereka baru aja melewati petualangan yang nggak biasa secara
bersama-sama. Dan keadaan Inov waktu itu memang nggak terlalu
baik. Dia baru lepas dari geng sindikat narkoba Revo, nyaris mati
dikeroyok, kena infeksi paru-paru, dan saat itu Mima mempertaruhkan
keselamatannya?bersama polisi menjebak geng Revo.
Mima bukan cewek "biasa" dalam hidup Inov. Badan Inov yang
tadi kaku karena tegang dipeluk Mima, mulai rileks. "Gue baik, Mi.
Tapi bisa jadi kabar kita berubah nggak baik kalo beneran ketangkep
disangka mesum." "Ih!" Mima releks melepas pelukannya, lalu dengan mata
melebar menatap Inov. Habis mengucapkan kalimat tadi harusnya
nyengir kek, cengengesan kek, tapi Inov ya Inov. Cowok itu berdiri
dengan ekspresi datar dan robotic sambil menatap Mima.
Mima geleng-geleng. "Lo ya, kalo bercanda tuh ketawa kek,
paling nggak senyum kek, kayak gini nih. Inget kan cara senyum?"
Mima menarik ujung bibirnya pake jari dengan sebel.
"Siapa yang bercanda? Kita beneran bisa ketangkep mesum."
Inov berdeham karena kerongkongannya agak seret setelah
otaknya teringat adegan pelukan tadi. "Kalau ada yang ngedobrak
masuk, terus posisi kita kayak tadi, yah..." Inov mengangkat bahu
pelan. "Ih, otak lo yang mesum itu sih! Orang lagi kangen-kangenan
kok dibilang mesum? Terus lo udah tau bisa disangka mesum
kenapa gue ditarik masuk ke sini, coba?"
"Soalnya tadi lo kabur sambil teriak-teriak," jawab Inov lempeng.
Jawaban macam apa tuh? Mima mendorong Inov pelan. "Yeee,
jelaslah! Gue ketakutan karena gue nyangka dikuntit penjahat, ya
gue lari sambil teriak. Emang harus ngapain lagi, baris-berbaris? Ih,
ternyata di Surabaya yang diobatin kesehatan isik lo aja, ya? Kirain
otak robot lo udah direnovasi jadi otak manusiaaa..." Mima
memutar-mutar telunjuknya di depan jidat Inov dengan muka
melongo dibuat-buat, ngeledek Inov.
Ini cewek emang bener-bener deh! Inov nggak tahan, akhirnya
senyum dan terkekeh pelan.
"Nah! Bisa cengengesan juga rupanya! Gitu dong! Terakhir kita
ketemu kan lo udah lumayan manusiawi alias nggak robot-robot
banget. Masa habis berobat korslet lagi?"
Inov meggeleng-geleng pelan. "Mimaaa... Mimaaa..." kata Inov
sambil tertawa pelan. "Di sana nggak ada yang kayak elo. Ternyata
kangen juga gue sama lo, Mi."
"Ya ampuuun, kangennya ikhlas nggak sih?!"
Lha? Inov mengernyit, menatap Mima nggak ngerti. "Maksudnya?"
"Ya elooo... ikhlas apa nggak sih kangen sama gue? Kalimatnya
kayak terpaksa kangen gitu sih?" Bibir Mima yang manyun bersungut-sungut.
Inov makin nggak ngerti. "Terpaksa kangen gimana?"
"Itu tadi, ?ternyata kangen juga gue sama lo, Mi?. Pake ternyata
segala. Kesannya kangen nggak sengaja. Padahal kan tadi gue
beneran tulus dari hati bilang kangen sama lo, terus beneran cemas
gara-gara kelakuan jail lo ngerjain gue, terus..."
"Iya, iya, gue kangen sama lo, Mi! Ikhlas." Inov mengulurkan
tangan, mengacak-acak rambut Mima, memotong omongan Mima
sebelum cewek itu merepet kayak kesurupan arwah terompet
Tahun Baru. Mima nyengir puas. Dua detik kemudian dia menatap Inov
serius. "Kenapa lagi?" Karena udah kenal banget sama Mima, ekspresi
Mima yang kayak gini Inov hafal banget, artinya dia mau ngomong
sesuatu. "Gue mo tanya deh. Kan lo yang nguntit gue beberapa hari ini,
berarti lo udah ada di Bandung sejak beberapa hari lalu dong? Lo
beneran niat banget ya mo ngerjain gue sampe berhari-hari udah
ada di sini? Jangan-jangan lo sengaja bikin gue ngerasa dikuntit dan
ketakutan? Itu bagian rencana lo ya? Jangan bilang besok lo berniat
ngerjain gue dengan drama penculikan."
Buset. Mima betul-betul masih Mima yang Inov kenal. Cewek ini
nggak bakalan puas kalau belum dapat semua jawaban yang dia
mau. Semua yang dia pengin tau, gimanapun caranya bakalan matimatian dia dapetin jawabannya. Kalau urusan maksa dan ngotot,
Mima memang jagonya. Buktinya dulu dia bisa bikin Inov buka
mulut soal kasusnya dan Revo, lalu akhirnya bikin Mima ikutan
kecemplung masalahnya. Tuh kan, sekarang mata Mima yang membulat menatap Inov
lurus-lurus menunggu jawaban. Inov meringis. Ngeles gimanapun
caranya, Mima nggak bakalan nyerah, jadi mending Inov aja deh
yang nyerah. Terpaksalah Inov ketawa garing mengiyakan tebakan
Mima. "Hahaha... iya, Mi, lo bener."
Mata Mima berbinar kocak karena kegirangan tebakannya benar.
Tapi nggak lama kemudian ekspresinya berganti lagi jadi ekspresi
detektif. "Terus, siapa aja yang terlibat? Mama gue terlibat? Nyokap
lo terlibat nggak? Mika? Teh Jul? Kiki? Riva? Dena? Ah, trio kwekkwek itu pasti terlibat, kan? Soalnya waktu gue cerita gue curiga
ada yang ngikutin gue, mereka sok-sok nenangin gue bahwa itu
perasaan gue doang. Mereka udah tau ya lo di sini?"
"Mi, Mi..." Inov mengangkat telunjuknya, kode minta Mima
dengerin dia. "Nggak ada yang terlibat. Cuma gue. Beneran. Niat...
hmm... ngerjain lo doang, Mi, tapi kebongkar. Ya udah."
Mima mengamati Inov. Nggak nyangka, si Robot ternyata punya
otak jail level kurang kerjaan juga ya? Kalau nggak kurang kerjaan,
ngapain coba sampe niat banget kayak gitu. Mending kalau samasama tinggal di Bandung. Nah, ini? Niat banget dari Surabaya
berangkat ke sini. Tapi Mima merasa tersanjung sih, kalau Inov
sampe segitunya, berarti ulang tahun Mima termasuk dalam
kategori penting dong. "Terus lo nginep di mana?"
Duh! Inov garuk-garuk kepala. Satu pertanyaan dijawab, ternyata
masih ada pertanyaan lainnya. "Di hotel," jawab Inov pendek. Dan
Inov langsung nyadar jawabannya nggak cukup. Jadi sebelum Mima
merepet buka mulut, Inov menambahkan dengan buru-buru, "Hotel
Picnic, tau, kan?" Bibir Mima membulat. "Ooo... gila modal banget lo sampe
nginep di hotel. Ya iya sih ya, kalo nginep di rumah gue, ketauan
dong." Mima menganalisis kalimatnya sendiri. "Tante Helena tau
lo ke sini?" Inov mengangguk. "Berarti Tante Helena terlibat," kata Mima mantap, bikin Inov
bengong. "Soalnya beberapa hari lalu nyokap gue nelepon nyokap
lo, nggak dikasih tau tuh lo mo ke sini." Mima mengetuk-ngetuk
telunjuknya ke bibir dengan muka serius. Sementara Inov nggak
komentar apa-apa. Biarin aja Mima menganalisis sesuka dia. Kalau
dikomentarin nanti malah jadi panjang.
"Uhuk! Uhuk!" Mima batuk-batuk dan tersadar mereka masih
berada di dalam ruko bau ompol kecoak. Mima menyambar
pergelangan tangan Inov. "Yuk ah!"
"Eh, ke mana, Mi?!"
"Anterin gue ke rumah Tante Anne, terus ke rumah gue-lah. Lo
Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kan udah ketuan ini, emang lo nggak mau ketemu Nyokap sama
Mika?" Inov pasrah digeret Mima. Sebetulnya dia nggak ada rencana
buat mampir. Tapi kalau dia bilang begitu sama Mima, bisa panjang
lagi urusannya dia diinterogasi dan diomelin?agak melenceng dari
rencana awal. Tapi kayaknya sih nggak pa-pa juga dia ketemu mama
Mima dan Mika, toh bundanya tau dia ke Bandung. Kalau sampai
mama Mima ngecek ke Bunda, nggak bakal jadi masalah. Bunda
pasti tau harus jawab apa.
Lima appy birthdaaay to youuu... happy birthdaaay to
you..." "Woiii... kebluk bawel banguuun..." Lalu ada suara
Mika disusul dengan guncangan-guncangan halus di bahu Mima.
"Happy birthdaay to youuu..."
"Neng, tidurnya meuni kayak kebo banget sih, Neng, wek ap,
Neng!" lalu suara Teh Jul.
Mima ngucek-ngucek mata dan langsung menyipit, silau karena
di atas kue yang ukurannya nggak gede-gede amat dikasih lilin yang
naujubilah bejubel. Setelah serangan cahaya mendadak yang bikin
mata Mima berkunang-kunang mereda, Mima akhirnya bisa melihat
dengan jelas siapa aja yang nyanyi-nyanyi sember sambil bawa kue
ke kamarnya. Ada Mama, Papa, Mika, dan tentu aja yang nggak
pernah ketinggalan, sang asisten rumah tangga yang bercita-cita
jadi artis, Teh Jul. "Tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang jugaaa... ayo, Neng, tiup,
Neng, padamkaaan!" Mima duduk. Tarik napas dalam-dalam dan FUUUH! Mima
meniup sekuat tenaga dan semua lilin padam satu per satu. Mama,
Papa, Mika, dan Teh Jul semua tepuk tangan. "Makasih, semuaaa!"
Mima tersenyum lebar. "Selamat ulang tahun ya, Sayang. Semoga kamu sehat, panjang
umur, sukses, nurut Mama-Papa, dan semua yang bagus-bagus.
Satu lagi, semoga tahun ini bawel kamu lebih terkontrol."
"Ih, Mama! Tapi makasih ya, Ma..." Mima mencium tangan
Mama, dibalas dengan pelukan hangat dan ciuman bertubi-tubi
dari Mama. "Selamat ulang tahun ya, anak Papa yang paling heboh. Doa
dan harapan Papa idem deh sama Mama." Papa mengecup dahi
Mima. Mima cengengesan sambil mencium tangan Papa. "Makasih ya,
Papaaa..." "Selamat ulang tahun! Ah, aku duluan!!! Yes!" Mima mengepalkan
tangan senang. Ini tradisi sejak lima tahun lalu. Mama, Papa, dan
Teh Jul bakal masuk kamar Mika duluan, karena Mika lahir duluan.
Habis itu, setelah tiup lilin kuenya di kamar, semua rame-rame ke
kamar Mima dan giliran Mima tiup lilin. Satu lagi tradisi iseng Mima
dan Mika, dulu-duluan ngucapin selamat. Berhubung bawel dan
kecepatan ngomong adalah keahlian Mima, jadi dari tahun ke tahun
yang menang selalu Mima. Termasuk barusan. Baru juga Mika
mangap dikit, Mima udah nyerocos duluan.
"Sama-sama." Mika memeluk Mima. "Selamat ulang tahun juga,
bawel!" Terakhir, Teh Jul memberikan kecupan mesra dengan bibirnya
yang monyong maksimal sebelum akhirnya semua keluar kamar
Mima, lalu kembali ke kamar masing-masing karena sekarang sudah
jam dua belas malam dan mereka semua bela-belain bangun demi
tradisi tiup lilin ini. Hah... Mima senyum sendiri. Biarpun cuma tiup lilin dan nggak
bertaburan kado mewah, Mima bahagia banget mengingat dia
punya keluarga yang hangat dan saling sayang. Plus dia dan Mika
masing-masing dapat uang dari Papa-Mama buat nraktir teman
masing-masing. Hehehe. Satu lagi keberuntungan Mima pada hari
ulang tahunnya: hari ini dia libur. Berhubung besok ada rapat
yayasan di sekolah Mima, jadi sekolah diliburkan. Itu artinya Mima
nggak perlu nunggu pulang sekolah untuk acara traktiran ulang
tahunnya. Eh! Mima yang baru aja mau rebahan terduduk lagi. Mima baru
ingat, dia belum mengundang Inov. Tadi sore, waktu Inov mampir
ke rumah buat ketemu Mama, Papa, dan Mika, Mima kelupaan
mengundang Inov untuk datang ke acara traktiran nanti. Gimana
nggak kelupaan coba? Mama heboh banget begitu liat Mima datang
sama Inov. Setengah histeris Mama melukin Inov, tak lupa cipikacipiki (lebih tepatnya nyiumin pipi Inov kayak nyium pipi anak SD),
lalu nelepon Tante Helena buat ngasih kabar Inov lagi ada di rumah
mereka, terakhir nggak lupa ngajak Inov ngemil sore sebelum
cowok itu balik ke hotel. Sebelum pergi Inov sih bilang bakal kontak
Mima lagi hari ini buat janjian ketemu lagi. Yah, berhubung Mima
blank jadi nggak kepikiran ngundang Inov.
Mima melirik jam. Pukul 00.15. Kayaknya kemaleman ya kalau
dia telepon Inov? Kemungkinan cowok itu juga udah tidur. Akhirnya
Mima mutusin ngirim SMS dan WhatsApp sekaligus biar besok pagi
waktu bangun, Inov bisa baca dan balas. Toh acaranya juga jam
sebelasan. Hotel Picnic nggak jauh dari resto tempat Mima
berencana nraktir Gian dan ketiga sahabatnya besok.
TO: INOV Besok wajib dateng, gue mo traktiran ultah!
Halo Corner ya, yang di Jalan Citarum, jam 11.
Awas kalo bilang nggak! Begitu bangun trus baca SMS ato WhatsApp gue ini,
LANGSUNG JAWAB! Mima menekan tombol Send. Setelah yakin SMS dan WhatsAppnya terkirim, Mima melompat masuk ke selimut, dan lanjut ngorok.
Acaranya jam sebelas nanti bakalan fun banget!
TUNG! SMS Mima bunyi beberapa detik kemudian. Mima buru-buru
keluar dari selimut dan menekan tombol Read. Wah, kilat banget
Inov jawabnya. From : GIAN Dear Mima, Happy birthday ya, Mi. Panjang umur, sehat, dan semoga semua cita-cita kamu
tercapai. I?ll see you soon, Mi... Ternyata Gian. Mima membalas ucapan selamat Gian, lalu
kembali meringkuk di dalam selimut.
"SELAMAT ULANG TAHUUUN!!!" Lalu BRET! Gorden dibuka dengan
brutal. Lalu BRET! BRET! Selimut Mima ditarik dengan brutal
juga. "EH! IH!" Mima ber-"eh" begitu mendadak kedinginan karena
selimutnya ditarik, dan ber-"ih" karena refleks melek, malah
kesilauan sama cahaya matahari yang masuk lewat jendela. Mima
melirik jam. Astaga! Baru jam sembilan! Rencananya kan hari ini dia
mau bangun jam 09.30, terus mandi, baru berangkat deh ke Halo
Corner buat makan-makan sama Kiki, Riva, Dena, dan Gian. "Heh?
Kalian kok di sini? Kita kan janjian di Halo?"
"Yeee... dikasih surprise bukannya seneng!" protes Kiki manyun.
"Nih, tiup!" Dena menyodorkan kotak berisi kue ulang tahun
berlilin angka enam belas dan tulisan Happy 16th ELMIMA SRIKANDI
MILLENIA! "Buset deh, nama lengkap!" Mima menatap takjub namanya
yang ditulis lengkap dengan krim putih dan taburan sprinkle gula
warna-warni. "Kenapa nggak Mima aja sih? Repot amat sampe
nulisin nama lengkap gue segala. Kan lebih simple kalo..."
"WOI!" Riva mengangkat tangannya. "Ampun deh, ngerusak
suasana banget sih. Emang kalo nama lengkap kenapa? Kan emang
nama lo. Udah deh, buruan tiup lilinnya! Berdoa dulu!"
Mima merem. Mengucapkan doa-doa dalam hati. Lalu "FUUUH!"
Dia meniup lilin kuenya yang kedua hari ini. "Makasih, Guuuys!"
Mima memeluk sahabatnya satu per satu, lalu melompat dari
kasur. "Eh, mo ke mana lo?" Kiki menyambar tangan Mima.
"Ya mandi lah! Kita kan mo ke Halo. Makan-makaaan!"
Dena, Kiki, dan Riva malah saling lirik penuh arti, sementara Kiki
memegang pergelangan tangan Mima.
Mima mengernyit. "Kenapa pada lirik-lirikan?"
Dena menyeringai lebar. "Sori, Mi, inget birthday rules kita untuk
ulang tahun ke-16 dan 17, kan? Pasal 1 butir 1. Yang ulang tahun
harus nurut sama yang nggak ulang tahun. Alias, lo wajib nurut
sama kami bertiga." Mima makin mengernyit. Wah, ada yang nggak beres nih. Mima
langsung pasang muka curiga. "Weitsss... tunggu, tunggu. Gue mo
disuruh nurut apaan sama kalian?"
Kiki senyum tengil. SUPERTENGIL! Senyum yang memancarkan
ketengilan luar biasa. "Hari ini lo nggak boleh mandi. Lo ke Halo
pake baju tidur lo ini, nggak pake acara dandan, cuma boleh gosok
gigi." "HAH?! Kejam banget sih! Lo bertiga dandan cakep-cakep, terus
gue harus pake piama dan nggak boleh mandi? Nggak adil. Di mana
hak kesetaraan setiap manusia untuk dandan dan gaya sesuai
peradaban?" "SSST! Berisik ah! Konsisten dong. Kan bulan lalu si Kiki udah
mau nonton bareng pake kebaya pas ulang tahunnya. Hayo? Emang
lo nggak bisa komit nih?" tantang Dena dengan nada suara yang
minta disentil banget pake pentungan.
Mima mendengus. Terpaksa mau.
*** "Eh, kita mampir ke Hotel Picnic, ya?" Mima menatap temantemannya, lalu menatap layar ponselnya gelisah. Kok Inov nggak
bales SMS dan WhatsApp-nya, ya? Nggak mungkin dia belum
bangun. Ditelepon ada nada sambung, tapi nggak diangkat. Ke
mana ya dia? Kemungkinan dia masih tidur sih. Makanya Mima
mutusin untuk jemput Inov ke hotel.
Riva yang duduk di kursi depan taksi noleh ke belakang. "Hotel
Picnic? Ngapain?" Duh, iya ya, ternyata Mima belum cerita apa-apa soal Inov pada
trio kwek-kwek. "Jemput Inov. Dia kan ada di Bandung. Gue udah
kasih tau via SMS sama WhatsApp, tapi nggak dibales. Mending
samperin aja langsung deh ke hotel. Biar rame acaranya."
Bukannya dapat jawaban setuju, Mima malah mendapati trio
sahabatnya itu melongo dengan gaya masing-masing.
"Tunggu, tunggu... jemput Inov? Inov ada di sini?" tanya Riva
yang sadar duluan dari kebengongannya.
Mima ngangguk sambil menyisir rambut sebahunya pake jari.
Sialan banget deh mereka bertiga ini. Kirain cuma nggak boleh
mandi dan nggak boleh ganti baju. Masa mereka tambah pake
nggak boleh nyisir pake sisir dan cuma boleh nyisir pake jari?! Mima
ngangguk sok santai. "Iya, Inov di sini. Emang gue belum cerita ke
lo bertiga, ya?" "Sok akting lagi. Belum! Lo juga tau kan lo belum cerita? Kok
dia bisa ada di sini? Ngapain?" Setelah menepak bahu Mima, Dena
menembakkan pertanyaan bertubi-tubi.
Mana inget Mima cerita ke mereka? Dia terlalu kaget dan girang
ketemu Inov. "Ntar kalian tanya aja sendiri deh sama dia, kenapa
dia ada di sini. Yang penting sekarang kita jemput dia dulu ke Hotel
Picnic. Soalnya gue undang dia, nggak ada jawaban. Kemaren
sebelum dia balik dari rumah gue, kami ada rencana janjian hari ini.
Gue bener-bener lupa ngasih tau dia soal acara ini pas di rumah.
Hotel Picnic ya, Pak." Tanpa menunggu jawaban yang lain, Mima
menepuk punggung sopir taksi.
*** "Maaf, Mbak, nggak ada tamu kami yang bernama Satria November," jawab resepsionis Hotel Picnic sopan setelah mengecek
guest list di database komputer. Biarpun tersenyum ekstramanis,
si Mbak resepsionis tampak nggak bisa menahan diri untuk
mengamati Mima yang datang dengan baju tidur, rambut asalasalan, dan muka kucel karena nggak mandi.
Nggak ada? Kok bisa? "Masa sih, Mbak? Uhm... kalo Inov?" Mima mencoba nama Inov.
Siapa tau aja cowok itu check in nggak pakai nama lengkap, tapi
nama panggilan. Resepsionis itu kembali mengetikkan sesuatu di keyboard
komputer. Matanya yang pakai bulu mata palsu tebal dan mirip
ulat bulu bergerak-gerak setiap kali dia ngedip. Resepsionis itu
mendongak, menatap Mima. Lalu senyum ekstraramah lagi. "Maaf,
Mbak, atas nama Inov juga nggak ada."
Mima tertegun. Nggak percaya. "Masa sih, Mbak?"
Resepsionis itu mengangguk. "Mbak yakin temen Mbak menginap di sini? Saya ingat rasanya nggak ada remaja yang menginap
sendirian di sini. Karena sekarang weekdays dan bukan hari libur,
kebetulan nggak banyak kamar yang terisi, jadi saya ingat tamutamu kami."
Gantian Mima ngangguk. "Dia bilang hotel Picnic. Di Bandung
kayaknya yang namanya Hotel Picnic cuma di sini, kan?"
"Iya, Mbak, cuma di sini."
Aneh. Mima tertegun lagi. Dia ingat jelas kok Inov bilang dia
menginap di hotel Picnic. Tapi kok nggak ada? Apa dia pindah hotel?
Tapi ke mana? Sampai sekarang SMS dan WhatsApp Mima belum
ada yang dibales. Ditelepon juga masih tetap nggak diangkat. Ke
mana Inov? "Mi. Udah? Ada Inov-nya?" Kiki menepuk Mima dari belakang.
Kiki, Riva, dan Dena yang tadi duduk di lobi sekarang berdiri di
belakang Mima. "Nggak ada." "Lho? Kok nggak ada? Pergi?"
Mima menghela napas gusar. "Nggak tau deh. Ntar gue tanya
dia. Ya udah, kita ke Halo Corner aja yuk. Takutnya Gian keburu
dateng. Makasih ya, Mbak."
Mbak resepsionis berbulu mata ulat bulu ngangguk.
Sepanjang jalan menuju Halo Corner Mima bolak-balik mencoba
menghubungi Inov, tapi nggak ada yang dijawab sama sekali.
Berkali-kali ditelepon juga nggak diangkat. Kayaknya sekarang udah
berapa juta missed call di ponsel Inov. Mendadak Mima gelisah lagi.
Kenapa Inov nggak bisa dihubungi lagi? Apa dia udah pulang ke
Surabaya? Mima jadi ingat dia nggak sempat nanya, kapan Inov
bakal pulang ke Surabaya. Lagian kemarin Inov bilang mereka bakal
ketemuan lagi hari ini, berarti harusnya dia belum pulang ke
Surabaya dong? Jangan-jangan Inov ngerjain Mima lagi nih?
Tapi... kenapa Inov harus bohong sama Mima bahwa dia nginep
di Hotel Picnic? Emang sebetulnya dia nginep di mana?
"Duduk di mana nih?" tanya Kiki begitu mereka sampai di pintu
Halo Corner. Berhubung masih jam 10.30 pagi, resto bernuansa
semi outdoor ini masih sepi. Baguslah, jadi waktu Mima jalan dari
pintu depan ke tempat duduk nggak bakalan diliatin banyak
orang. "Di sofa yang deket taman aja, yuk?" Mima menunjuk meja yang
dikelilingi sofa empuk di salah satu sisi kafe berbentuk teras dan
langsung menghadap ke taman. Mima melirik ponselnya. Kok Inov
belum juga ngasih kabar ya? Apa ponselnya hilang? Dicopet? Masa
iya berkali-kali Mima telepon nggak diangkat?
"Gian!" Mima mengangkat tangan, memanggil Gian yang
celingukan di pintu masuk.
Gian keliatan berdandan rapi banget. Kemeja kotak-kotak, celana
denim biru muda yang disetrika superlicin, plus sepatu kinclong.
Jadi nggak heran Gian bengong begitu sadar Mima mengenakan
piama. "Duduk, Gi," ajak Mima dengan tampang polos tanpa dosa.
Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Masih dengan ekspresi aneh, Gian duduk di sebelah Mima. "Mi,
selamat ulang tahun ya. Ini, kado buat kamu." Gian menyerahkan
kado yang dibungkus rapi dengan pita pink, sementara matanya
terus mengamati Mima. "Makasih, Gi. Kenapa sih? Kok ngeliatin kayak gitu terus?"
Gian tersenyum ragu. "Uhm... Mi, kita jadi kan nonton sama
dinner? Tapi kamu kok pake baju... kayak gini?"
Ohhh! Mima langsung meringis. "Ohhh... ini? Ini nih kerjaan
mereka bertiga. Ngejailin aku! Dan aku harus nurut soalnya udah
perjanjian. Kita nontonnya sore, kan? Dinner juga malem, kan?
Namanya juga dinner. Ada waktu kok buat ganti baju, terus
mandi." Dahi Gian berkerut. "Kamu belum mandi?"
"Tapi udah gosok gigi kok! Haahh! Tuh kan, udah, kan?"
Dahi Gian makin berkerut-kerut dan ekspresinya jadi makin ajaib.
"Iya, iya. Jadi kita nggak langsung dari sini berangkatnya?"
"Ya nggak dong, Gi. Masa aku nonton sama dinner pake baju
kayak gini, sih? Jadi habis ini aku bakalan pulang dulu, ganti baju,
mandi, baru deh kita pergi. Nggak pa-pa, kan?"
Gian tersenyum samar. "Iya, nggak pa-pa sih. Cuma tadinya aku
pikir kita mau jalan keliling mal dulu sambil nunggu ilm. Makanya
aku udah langsung pake baju rapi kayak gini. Kirain kita bakal
barengan seharian ngerayain ulang tahun kamu."
"Ehem..." Riva releks berdeham pelan karena merasakan per?
ubahan suara Gian. Biarpun ketua OSIS mereka itu suaranya masih
kalem dan teratur, jelas banget cowok itu bete.
"Oooh... yah, aku nggak tau, Gi. Kalo tau kan tadi aku bakalan
ngelawan sekuat tenaga buat nolak. Gimana dong nih? Kamu juga
nggak bilang sih sama aku. Coba kalo kamu kasih tau dulu."
"Niatnya kan surprise, Mi." Gian terdengar makin bete karena
Mima nggak peka dan nggak ngerasa Gian bete. "Ya udah, nggak
pa-pa, kan udah telanjur. Kalo gitu, habis ini aku ke toko buku dulu
nggak pa-pa, kan? Setelah itu sorenya aku jemput kamu ke rumah,
pas kamu udah mandi dan ganti baju. Kamu lagian ada?ada aja.
Masa keluar pake baju tidur dan belum mandi? Kan nggak pantes,
Mi." tandas Gian, langsung bikin semua yang di situ jadi nggak
enak. Mima terenyak. Biarpun Gian nggak marah-marah, kok terasa
sinis banget sih? Lagian dia jadi nggak enak sama ketiga sahabatnya.
Biarpun Gian negur Mima, kan ini semua kerjaannya Kiki, Riva, dan
Dena. Secara nggak langsung, Gian juga negur mereka, kan?
Mima baru aja berniat buka mulut mau protes, tapi batal karena
perhatiannya mendadak beralih fokus pada cowok celingukan di
dekat kasir. "INOV?!" Inov berhenti celingukan dan langsung noleh ke arah suara
Mima. "Kok ada Inov?" Gian terheran-heran melihat Inov berjalan
menuju tempat mereka duduk. Cowok itu kan harusnya ada di
Surabaya. Kok Mima nggak cerita dia ada di sini? Ada perasaan
aneh di dada Gian. Memang Mima sama Inov nggak ada apa-apa,
dan bisa dibilang Inov juga yang berjasa sampai Gian bisa jadian
sama Mima dengan mengatur kencan pertama mereka di bioskop.
Tapi kalau ingat gimana dulu Mima selalu mengutamakan Inov...
Gian mendadak gelisah. "Halo semua, apa kabar?" Inov tersenyum tenang begitu sampai
di meja Mima. "Selamat ulang taun, Mi..."
"Auk ah!" Mima melipat tangan di dada sambil pasang muka
ngambek. "Lo kok tau kami di sini?"
"Kan lo SMS gue."
"Nah!" Mima menuding Inov dengan telunjuknya, sebel. "Itu lo
baca SMS gue. Kok habis itu lo nggak bisa dihubungin? Gue telepon
bolak-balik juga nggak diangkat. Hayo!"
Kiki, Riva, Dena, plus Gian kompak menatap Inov karena ikutan
penasaran sama jawaban Inov. Inov terdiam sedetik. "Ngambek?"
tanya Inov sambil menaikkan sebelah alis.
Hih! Mima mendelik. "Nanya?"
"Beneran ngambek. Bagus deh kalo ngambek. Berarti gue
sukses." "Apa?!" Mima melotot keki dan langsung mengeplak bahu Inov.
"Jadi lo jailin gue?! Tuh kan, Inov, gue udah bilang kan nggak ada
acara ngisengin gue hari ini. Kok lo masih jail aja sih? Rese tau
nggak? Bikin orang kesel a..."
"Happy birthday!" Potong Inov sambil nyodorin kado ke depan
muka Mima. "Buat lo."
Mima mendadak mingkem karena disodorin kado tiba-tiba. "Buat
gue?" "Yang ulang tahun elo, kan?"
Wah, gede juga kadonya. Ternyata si Terminator somplak ini
manis juga sampai beliin kado segala. Mima nyengir lebar.
"Berhubung ada kado, ya udah gue maain."
"Huuu.... dasar mata kadoan lo ah!" ledek Riva. Lalu Dena dan
Kiki ikut-ikutan ngeledek Mima.
"Boleh dibuka nggak nih?" Saking nggak nyangkanya bakal dapat
kado dari Inov, Mima jadi kegirangan sendiri.
Inov mengangkat bahu, seolah mengatakan "buka aja".
Mima merobek kertas kado bergambar bibir-bibir bertebaran
yang membungkus kado Inov. Dasar Inov, bungkus kadonya niat
banget pengin ngeledek Mima. "Apaan nih?" Mima tercengang
dengan sukses begitu melihat isi dus kado Inov. Bener-bener deh
si Inov, masa isi kadonya boneka bantal bentuk bibir yang ukurannya
bisa bikin pemilik bibir dower sedunia minder. Gede banget.
Sepertinya ini replika bibir Mick Jagger yang kena sengat tawon.
"Gue bingung mo kasih kado apa. Jadi gue kasih kado yang
ngingetin gue tentang lo aja."
"BIBIR?!" protes Mima keki.
"Bawel." Kiki, Riva, Dena kompak cekikikan. Kecuali Gian. Cowok itu
terdiam mengamati Inov dan Mima dengan nggak nyaman.
Memang segitu spesialnya kado dari Inov sampai-sampai Mima
pengin membukanya duluan? Waktu nerima kado dari Gian
kayaknya dia nggak segirang itu.
"Eh, Nov, lo sebenernya nginep di mana sih? Tadi kami tuh
nyamperin lo tau, ke Hotel Picnic. Tapi kata resepsionis, nggak ada
yang namanya Satria November atau Inov yang nginep di sana.
Malahan si mbaknya yakin banget tamu mereka nggak ada cowok
remaja sendirian." "Uhuk!" Inov terbatuk-batuk sendiri. Jelas banget Inov nggak
bisa nyembunyiin kagetnya. "L...lo... ke Hotel Picnic? Ehem..." Inov
berdeham pelan, lalu mengulang pertanyaannya dengan lebih
tenang. "Lo ke Hotel Picnic?"
Mima mengangguk. "Iya. Gue, Kiki, Riva, Dena, berempat. Tapi
lo nggak ada dan katanya, nggak nginep di sana. Kok bisa?"
"Hmmm... emang waktu itu gue nyebut Hotel Picnic? Sori,
kayaknya gue salah sebut. Maksud gue... Hotel Pinus. Gue
nginepnya di Hotel Pinus."
Mima terenyak. Masa sih Inov salah nyebut? Hotel Picnic sama
Hotel Pinus kan beda lokasi. Lagian kayaknya waktu itu Mima yakin
banget Inov mantap nyebut Hotel Picnic. Diam-diam Mima meneliti
gerak-gerik Inov. Nggak salah lagi. Inov keliatan agak gelisah dan
salah tingkah, juga kaget setengah mati begitu Mima bilang mereka
mampir ke Hotel Picnic. Mima udah cukup mengenal Inov untuk
langsung tau cowok itu gelagapan dan gelisah. Alias... kemungkinan
besar nggak jujur atau nyembunyiin sesuatu.
Apa yang disembunyiin Inov? Kenapa dia harus bohong soal
nama hotel? Tapi Mima cuma ngangguk-ngangguk. Rasanya reaksi
paling tepat sekarang adalah "iya-iya aja". Kalau emang ngumpetin
sesuatu, Inov nggak bakalan ngaku sekarang. "Ooo..." akhirnya
Mima cuma bilang begitu. Biarpun udah memutuskan "iya-iya aja", Mima tetap nggak bisa
berhenti mengamati Inov. Cowok itu bolak-balik melirik ponselnya
dengan gelisah dan nggak konsen makan. Beberapa kali juga dia
mengetik sesuatu, sepertinya balasan buat pesan yang dia terima.
Sampai akhirnya Inov berdiri tiba-tiba. "Ehm... Mi, gue pamit duluan
nggak pa-pa, kan?" "Emang lo mo ke mana? Ada acara lain?"
Gimana sih Inov? Katanya ke Bandung buat surprise ulang tahun
Mima. Lha ini, lagi makan-makan pas hari H-nya, dia malah pamit
duluan. "Uhm... gue dititipin Nyokap disuruh ngambil, uhm... barang di
rumah temen Nyokap. Yang punya rumah ada acara nanti sore.
Jadi... gue harus ke sana sekarang. Besok gue nggak bisa."
"Emang kenapa besok nggak bisa?" "Uhm... iya... soalnya...
besok gue balik." Biarpun sekilas, keliatan Inov mempertimbangkan
dulu kalimatnya sebelum menjawab Mima.
Duduk Mima langsung tegak. "Besok lo udah mo balik ke
Surabaya?" Inov menggosok-gosok rambutnya kayak lagi menetralkan
kegugupannya, baru ngangguk. "Iya."
Idih! Inov sebetulnya niat nggak sih mau nemuin Mima dan
ngerayain ulang tahun Mima? Masa baru ketemu sekilas, sekarang
pamit duluan, terus besok pulang?
"Eh, tapi, Mi, kita bisa ketemuan lagi ntar malem. Gue bisa..."
"Mi, kita jadi nonton sama dinner, kan?" Tau-tau, Gian yang dari
tadi diam mengamati dengan gelisah, bersuara juga. Gimana nggak
makin gelisah coba, selama makan tadi Mima terus aja ngeliatin
Inov. Serius banget. Padahal Gian duduk di sebelahnya. Sekali lagi,
Gian tau mereka akrab karena suatu peristiwa, tapi tetap aja Gian
kan pacar Mima. Duh! Iya ya, nanti sore Mima bakalan nonton, lalu lanjut dinner
sama Gian. Nggak mungkin dia ngebatalin acaranya sama Gian demi
acara dadakan sama Inov. "Yah, gue udah ada janji sama Gian, Nov.
Eh, tapi besok lo pulang jam berapa? Besok kita masih bisa ketemu,
kan? Pulang sekolah, sebelum lo berangkat, gimana? Bisa dong? Lo
belum beli tiket, kan?"
Sebetulnya Inov ada niat untuk bohong, bilang dia udah telanjur
beli tiket paling pagi. Tapi rasanya dia nggak sanggup bohong untuk
menjawab berondongan pertanyaan Mima. Lagian Inov juga masih
pengin ketemu Mima. Waktu tau Mima baik-baik aja dan nggak ada
yang ganggu selama Inov di Surabaya, Inov lega banget. Barusan,
ekspresi girang Mima waktu dapat kado ala kadarnya juga bikin
Inov lega dan senang. Dia takut Mima nggak suka dan Inov malah
ketauan beli kado itu dadakan.
Oke. Jadi nggak ada salahnya kan satu hari lagi dari hari-hari
Inov di Bandung buat ketemu Mima? Toh, besok doang. Setelah
itu kan... "Nov, halooo! Malah bengong sih? Belum beli tiket, kan? Besok
pulang sekolah, sebelum lo berangkat, kita ketemu ya? Masa iya
kita pisah sekarang terus nggak ketemuan lagi sebelum lo pulang.
Lo kan belum tau kapan ke Bandung lagi."
Akhirnya Inov ngangguk. "Iya, bisa. Besok pesawat gue sore
kok, jam... uhm... setengah limaan. Kita bisa ketemuan dulu."
Senyum Mima mengembang. "Nah, gitu dong!"
"Oke, besok gue jemput lo ke sekolah, ya?" tanya Inov sambil
bangkit siap-siap pamit duluan.
"Oh, nggak usah, nggak usah. Dari Hotel Pinus ke sekolah kan
lumayan jauh, Nov. Kalo lo naik taksi muter-muter, buang-buang
ongkos taksi deh. Mendingan kita ketemu di airport aja langsung.
Nanti gue dari sekolah ke airport naik ojek. Lebih cepet, lebih
murah. Lebih eisien deh. Oke?"
Inov mengangkat alis. "Beneran lo mo ketemu di sana aja?"
Mima ngangguk mantap. "Jam tiga, ya?"
"Oke. Kalo gitu, sekarang gue jalan dulu ya? Kiki, Riva, Dena...
Gian. Gue duluan." Setelah menyalami semua, Inov pun pergi.
"Sampe besok, Mi," kata Inov sebelum berjalan pergi.
Gian menatap Mima setelah Inov benar-benar pergi. "Mi, kamu
mau ketemuan dia di airport besok?"
"Iya. Nggak pa-pa, kan?"
Gian mengetuk-ngetuk telunjuknya ke ujung meja. Ini sih lebih
parah daripada gelisah. Kalau dia bilang nggak boleh, itu artinya
dia resmi jadi cowok posesif. Tapi kalau dia bilang boleh, jelas-jelas
hatinya nggak ikhlas Mima berduaan sama Inov.
Selama pacaran, mereka bukan tipe pasangan yang sering
berantem atau cemburu-cemburuan. Tapi Gian juga bukannya
nggak sadar bahwa dia dan Mima nggak bisa ngobrol panjang-lebar,
atau... atau bercanda bebas kayak Mima dan Inov tadi.
Akhir-akhir ini Mima juga kayaknya agak terpaksa kalau harus
nurutin saran Gian. Soalnya Gian masih mergokin Mima ngakak
kenceng sama sahabat-sahabatnya di kantin, padahal kalau di
depan Gian Mima bisa jaga sikap. Terus, emangnya Mima nggak
kepikiran bahwa Gian pasti bakal ngajak dia jalan-jalan dan berharap
dia dandan cantik ke sini, bukannya berpiama dan belum mandi?
Lagian itu agak kurang pantes.
Intinya, semua saran Gian kan biar Mima jadi perempuan yang
lebih baik. Sekarang malah ada masalah baru. Inov tiba-tiba muncul
di Bandung. Biarpun besok cowok itu pulang, tetap aja, perhatian
Mima lagi-lagi tersedot ke dia. "Eh, Mi, gimana kalo aku aja yang
nganterin kamu ke airport? Daripada naik ojek," usul Gian. Gian
langsung merasa idenya superbrilian. Dia nggak terlihat melarang,
malah nawarin bantuan. Nggak disangka-sangka, Mima malah menggeleng sambil menatap aneh Gian. "Eh, nggak usah, Gi. Kamu bukannya ada
pertemuan rutin OSIS tiap pulang sekolah? Nanti kesorean. Terus
kamu juga nggak mungkin kan ikut pertemuan rutin tapi nggak
sampai selesai? Udah aku naik ojek aja. Kan ada si Mang Udan,
langganan aku kalo aku lagi buru-buru. Lagian aku cuma ngobrol
di airport terus pulang kok, Gi."
Gian langsung mati gaya. Sama sekali nggak punya jurus lain.
"Beneran kamu nggak masalah naik ojek?"
Mima mengangguk mantap. Terang aja dia nggak pa-pa. Kalau
dianter Gian bisa-bisa semuanya jadi kacau dong. Mima mau naik
ojek bukan asal naik ojek biar cepat dan eisien. Mima naik ojek
karena punya rencana. Enam UNGGU di sini ya, Mang Udan. Jangan ke mana-mana,"
perintah Mima sambil menepuk bahu tukang ojek
langganannya. Mang Udan selalu bisa diandalkan saat
dia buru-buru atau ada urusan mendesak. Soalnya kalau lagi santai,
Mima lebih pilih naik angkot.
"Maksudnya teh Mang Udan nungguin Neng Mima sampe selese
urusannya, begitu?" Mima memutar bola matanya. "Ya iyalah, Mang. Ntar aku pulang
naik apa? Udah tenang aja, Mang Udan aku carter. Bayarannya
sesuai pemakaian. Ongkos pergi, ongkos nunggu, ongkos pulang.
Oke?" Demi mendengar kata carter dan ongkos-ongkos yang disebutkan Mima, Mang Udan yang tadinya cemas langsung nyengir
girang dan hormat ala tentara. "Siap, Neng!"
"Tunggu di sini. Jangan ke mana-mana. HP jangan dimatiin,
jangan nelepon cewek sampe habis baterai. Pokoknya harus on
terus!" ultimatum Mima.
"Siap, Neng!"
Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sambil jalan ke arah deretan kafe di bandara, Mima mengecek
ponselnya, membaca ulang pesan dari Inov. Kafe TEHnology. Hmm,
kalo nggak salah kafe ini kafe kecil yang berseberangan dengan
pintu terminal kedatangan. Bandara Hussein Sastra Negara Bandung nggak terlalu besar. Jadi nggak susah untuk janjian.
Inov duduk di salah satu sofa dekat kasir. Melihat dari gelas
tehnya yang tinggal setengah, kayaknya dia udah lumayan lama
berada di situ. "Nov!" Akhirnya si bawel datang juga. Mima tampak berlari-lari kecil ke
arah Inov dengan tas sekolah masih nyantol di bahu dan rambut
yang tampak lepek, sebagian nempel ke jidat, kemungkinan karena
ketindihan helm. Inov ingat, kemarin kan dia bilang dia mau naik
ojek. "Udah lama, ya?" Mima langsung menarik kursi dan duduk di
hadapan Inov. Kayaknya perjuangan Mima naik ojek berat banget. Selain
rambutnya lepek tak berdaya, mukanya juga merah padam.
Inov menggeleng. "Nggak juga sih. Baru setengah gelas teh
sama roti bakar. Di jalan panas banget, ya?"
"Ya panaslah. Pake nanya."
Inov tersenyum kalem. "Makanya cari ojek yang pake AC. Paling
nggak helmnya ada AC-nya. Kasian rambut lo sampe lepek gitu."
Mima mendelik. "Sarap! Mana ada ojek pake AC. Eh, udah ya,
jangan bahas ojek. Waktu kita dikit nih. Banyak yang gue mo tanya
sama lo..." "Tunggu," potong Inov, langsung bikin Mima mingkem dengan
tampang penasaran. Dia membuka kotak kecil di depannya yang
ternyata berisi cupcake, menancapkan sebatang lilin merah, menyalakan api, lalu mendorongnya ke depan Mima. "Tiup dulu lilinnya, baru ngomel."
Cupcake mini dengan lilin kurus. Mima bengong, lalu menatap
Inov. "Jangan bengong gitu. Kemaren kayaknya nggak ada acara tiup
lilin. Tadi gue liat di bakery pojok situ ada cupcake, punya lilin juga.
Mo ditiup apa nggak?"
"FUH!" releks Mima meniup lilin. "Makasih ya. Nggak nyangka
deh lo kepikiran yang kayak gini. Ternyata otak robot lo sedikit
demi sedikit bermutasi jadi otak manusia, ya? Gian aja nggak bawain
gue kue. Kayak gini nih namanya so sweet! Hebaaat, dokter di sana
berhasil masukin program baru ke otak lo. Program so sweet.
Hihihi!" Inov menoyor jidat Mima. "Biasa aja kali. Lo kan mergokin gue
ke sini buat ulang tahun lo. Kue gini doang wajar, kan?"
Mima mencibir. "Iyaaa... iyaaa... sensi banget sih. Dibilang so
sweet langsung sewot. Tapi beneran, makasih."
"Sama-sama." Inov mendengus pelan dan mengalihkan pandangan ke arah gelas teh.
Udah kelamaan Inov nggak ketemu Mima. Ternyata dalam
keadaan biasa-biasa alias nggak sedang dalam masalah, menatap
Mima lekat-lekat gini bisa bikin salting.
"Lo udah sehat ya, Nov," kata Mima lebih mirip bergumam pada
diri sendiri, lalu tersenyum sambil mengamati cowok itu.
Inov terbatuk pelan. Mima bikin dia makin salting. Kalimatnya
tadi kedengaran tulus dan penuh perhatian. "Iya, dokter gue di
Surabaya juga bilang gitu. Lo juga udah bilang itu kemarin dan
kemarinnya lagi." "Gue seneng liat lo seger gini. Mama, Papa, sama Mika juga
bilang begitu. Tuh, kalo gini kan cakep, Nov. Lo keliatan kayak
manusia, nggak kayak drakula darah rendah. Potongan rambut lo
juga up-to-date banget deh. Siapa yang usulin? Pacar, ya?" Dari
nebak-nebak iseng, Mima malah jadi penasaran beneran. "Janganjangan lo punya cewek, tapi nggak cerita-cerita ke gue? Terus,
jangan-jangan lo ke sini nggak bilang-bilang ke cewek lo karena dia
bakalan cemburu...?"
Inov menatap Mima tanpa dosa. "Ngelantur sih! Lo yang nuduh,
lo yang heboh." "Jadi, lo nggak punya pacar?"
"Nggak," jawab Inov pendek.
"Terus, penata gaya lo siapa? Sampe bisa ngusulin potongan
rambut keren gini." "Bianca." Mata Mima melebar. "Bianca? Nah, nama cewek kan tuh? Lagi
pedekate, ya? Gile juga lo, Nov. Belum juga masuk sekolah, tapi
udah punya gebetan..."
"Bencong salon," tandas Inov keki.
"Hah?" Inov memencet-mencet dahinya sendiri, frustrasi. Susah deh
punya teman kelewat kritis, berisik, dan kayaknya sekarang punya
bakat baru: detektif. Kayaknya semua pertanyaannya mirip interogasi!
"Bianca itu bencong di salon tempat gue cukur rambut. Dia yang
nyukur rambut gue kayak gini. Buat gue, ini namanya model
terserah. Karena dia nanya, gue jawab: terserah."
Dan Mima langsung cekikikan. "Lo potong rambut ke salon? Gue
kira model kayak lo gini ke barbershop."
Ya ampuuun... malah ngeledek. "Gue sekalian nganter Nyokap,
Mi. Udah ya... Udah puas, kan? Tutup bahasan salon."
Mima yang masih asik cekikikan angkat tangan. "Oke. Terus,
Nov, lo kapan mulai masuk sekolah lagi?"
"Yah setelah kenaikan kelas lah. Karena kasus waktu itu dan
karena gue harus berobat, gue udah ketinggalan banyak. Gue
bakalan mulai sekolah di tahun ajaran baru. Ngulang kelas sebelas."
Mima manggut-manggut. "Berarti kita jadi seangkatan dong?
Lo bukan kakak kelas gue lagi."
Inov menaikkan alis. "Emang ngefek? Lo kayaknya nggak pernah
nganggep gue kakak kelas."
"Emang," jawab Mima tengil. "Lo kapan ke Bandung lagi?"
Inov terdiam. Lalu mengangkat bahu. "Belum tau. Tapi, Mi, kalo
ada yang ganggu-ganggu lo, bilang gue ya. Harus. Ngerti?"
Itu lagi. Waktu kemarin baru ketemu, yang Inov tanya duluan
juga soal itu. Kayaknya Inov parno banget bakal ada yang gangguin
Mima setelah kejadian dulu. "Yaelah, Nov, kan waktu itu gue udah
bilang iya. Jangankan ada yang ganggu gue, kalo pengin curhat aja
gue kadang WhatsApp, ngerecokin lo, kan? Biarpun jawaban lo
banyakannya bikin makin pusing. Lagian lo kan udah lepas dari
lingkungan nggak bener itu. Selama lo nggak terlibat sama mereka
lagi, nggak perlu khawatir deh. Revo sama gengnya kan udah
dipenjara. Nggak ada yang perlu lo takutin, ya kan?" Inov nggak
jawab. Cuma diam dengan muka khawatir.
"Yeee, kok diem? Bener kan kata gue? Lo jangan parnoan gitu
deh. Lo kan udah bebas dari geng narkoba. Sekarang lo bisa hidup
tenang." Mima tercekat. "Eh, tunggu, emang kenapa lo parno gitu
sih? Nov, jangan bilang lo balik lagi..."
"Wow, wow... nggak... Nggak, Mi. Nggak mungkin gue mo
terlibat barang haram itu lagi," bantah Inov cepat. "Ya udah,
baguslah kalo emang lo nggak ada yang ganggu." Mungkin gue aja
yang kelewat khawatir, lanjut Inov dalam hati.
"Perhatian kepada seluruh penumpang Indonesia Air Asia tujuan
Surabaya, dengan nomor penerbangan..."
"Pesawat lo ya, Nov?"
"Eh, apa?" Mima menunjuk-nunjuk ke arah speaker yang mengulang
pengumuman boarding. "Itu... yang dipanggil ke ruang tunggu,
pesawat lo, kan?" Inov terenyak sekilas. "Oh, iya! Ya udah, Mi, gue masuk dulu,
ya?" Mima mengangguk dan ikut berdiri waktu Inov berdiri. Lalu dia
sadar Inov nggak bawa apa-apa. "Nov, lo nggak bawa tas?"
"Tas? Oh, tas. Udah di bagasi." Inov lalu berdiri di hadapan Mima.
Badan Inov yang sekarang lebih berisi jadi bikin cowok itu kelihatan
lebih tinggi beberapa senti. Inov memegang kedua bahu Mima.
"Gue masuk ya, Mi. Lo nggak usah anter gue. Di sini aja."
"Kenapa?" Inov meremas bahu Mima pelan. Meyakinkan Mima untuk tetap
di sini. "Udah, di sini aja. Gue nggak mau jadi sentimentil sedihsedihan di gate. Pokoknya lo harus janji jaga diri. Dan kalo ada
apa-apa, bilang gue."
"Yah, elonya jangan nggak bisa dihubungi dong!"
Inov menepuk-nepuk pipi Mima. "Iya, iya! Sekarang nggak bakal
gitu lagi. Itu kan ngerjain lo doang."
"Janji?" tantang Mima.
"Iya." "Jadi gini doang nih kunjungan lo? Nggak ada jalan-jalan bareng
yang beneran? Nggak ada acara ngobrol yang beneran?" Mima
masih nggak rela Inov pergi begitu saja.
Inov tersenyum tipis. "Masih ada lain waktu, Mi. Next time gue
dateng lagi. Gue jalan dulu, ya?"
Mima mengangguk. Inov menatap Mima canggung. "Sampe ketemu, Mi..." Lalu
akhirnya dia memberanikan diri maju dan memeluk Mima biarpun
agak kaku. Bukan agak kaku, tapi kaku banget.
"Bye, Nov..." Inov melangkah pergi. Mima juga berjalan menjauh, namun matanya terus mengikuti
langkah Inov yang menyeberangi jalan di depan kafe, menuju pintu
terminal keberangkatan, bergabung dengan kerumunan orang di
sana, lalu berjalan ke arah... toilet.
"Neng, kita teh ngapain nangkring di bawah pohon begini?" Mang
Udan keheranan karena mereka berdua udah stand by di atas motor
lengkap dengan helm full face, tapi Mima minta mereka nggak jalan
dulu dan malah memarkir motornya di bawah pohon di salah satu
sudut parkiran. Mima menaikkan kaca helmnya supaya suaranya kedengaran,
sementara matanya masih tertuju ke satu arah. "Aduh, Mang Udan
banyak tanya deh. Ganggu konsentrasi aja. Udah nurut aja, nanti
aku tambahin ongkos nangkring di bawah pohon."
"Beneran, Neng? Oke deh, kalo begitu mah." Mang Udan
mengacungkan jempol tanda deal. Mungkin setelah ini Mima harus
mengajukan ongkos diam. Yang artinya Mang Udan bakalan dapat
tambahan ongkos kalau dia bisa diam, nggak banyak tanya.
Mima terus mengamati ke arah kerumunan orang. Tatapannya
fokus pada toilet laki-laki dan orang-orang yang keluar dari sana.
Mima yakin irasatnya benar. Mima melirik jam tangannya. Dia
nggak mungkin salah. Dan benar!!! Itu Inov! Feeling Mima nggak salah. Inov bohong. Dia nggak terbang
pulang ke Surabaya hari ini. Pesawat yang harusnya dinaiki Inov
udah terbang sepuluh menit lalu, tapi itu Inov?baru keluar dari
toilet! Ternyata kecurigaan Mima benar. Pasti ada yang Inov sembunyikan. Pertama, Inov bohong soal hotel tempat dia tinggal.
Kedua, Inov terlihat nggak yakin waktu di Halo Corner dia bilang
mau pulang hari ini. Dia keliatan cari-cari alasan. Ketiga, masa iya
dia juga nggak yakin sama jam penerbangannya pas Mima tanya?
Pokoknya terlalu banyak kejanggalan deh! Keempat, yah Mima tau
aja gelagat bohong Inov! Kemarin itu Mima memang memutuskan untuk pake strategi
sok polos supaya Inov nggak curiga bahwa Mima udah curiga.
Soalnya kalau Mima ngotot, bisa-bisa Inov malah menghindar.
Mima fokus mengamati Inov. Cowok itu tampak berhenti sejenak
dan melihat sekeliling. Kemungkinan besar dia ngecek, Mima masih
ada di sana atau nggak. Lalu setelah merasa aman, Inov berdiri di
pinggir jalan dekat parkiran. Nggak lama kemudian Inov tampak
melambai, memanggil taksi yang memang berbaris menunggu
penumpang. "Nyalain mesin, Mang! Ikutin taksi itu!" Mima menepak punggung Mang Udan yang lagi terkantuk-kantuk karena angin sepoisepoi.
"Eh, astaghirullah hal?azim, Neng! Apa, Neng?!"
Haduh! Bisa kehilangan jejak nih!
"Mesin, hidupin mesin! Jalan! Tuh, ikutin taksi itu!!! Buruan! Kalo
sampe kehilangan jejak, aku denda karena gagal nganterin
penumpang lho. Tapi kalo berhasil, aku tambahin ongkos detektif.
Buruaaan!" "Oh, siap, Neng!!!" lalu BRRRMM! Mang Udan menyentak gas
sampai motornya agak-agak loncat.
"Eh, Mang! Nguntit artinya nggak boleh ketauan ya. Jaga jarak
aman. Kalo ketauan, aku denda!"
Inov mau ke mana ya? Kenapa dia harus bohong karena faktanya
dia tidak jadi pulang ke Surabaya? Kenapa harus diam-diam kalau
masih ada di Bandung? Ada urusan apa sih?!
"Nih, ongkos-ongkos yang tadi aku bayar duluan. Mang Udan sana
gih ke warung yang tadi kita liat di depan. Makan. Tunggu aku di
sana, nanti aku kontak lagi." Mima menyodorkan beberapa lembar
uang pada Mang Udan sambil berdiri dengan posisi waspada di
balik pohon. Mata Mima tetap fokus pada Inov yang sekarang lagi
bayar ongkos taksi. "Neng nggak perlu ditemenin ngumpet? Kalo ada ongkosnya
mah Mang Udan ready, nemenin Neng ngumpet di sini."
Dasar Mang Udan mata duitan.
Mima geleng-geleng nggak sabar. "Nggak usah. Udah deh,
pokoknya Mang Udan buruan ke warung di ujung jalan sana sekarang. Tunggu aku panggil. Mau tambahan ongkos nurut nungguin
di warung nggak?" "Oh, mau, Neng, mau. Siap deh, kalo gitu. Neng teh lagi nguntit
pacar yang dicurigai selingkuh, ya? Ntar kalo ngegerebek, Mang
Udan ikut, ya? Kali-kali masuk TV." Mang Udan nyengir lebar dengan
muka sotoy. Mima melotot. "Kepo banget sih. Udah, buruan sana, Mang.
Kalo masih usil, perjanjian batal, aku bakal pake ojek lain!"
"Oke, Neng!" Mang Udan buru-buru pergi, takut bayarannya
dipotong. Mima merapat lagi ke balik pohon yang ukurannya lumayan
raksasa dan cocok banget buat sembunyi. Berkat keahlian Mang
Udan ngepot kanan-kiri, Mima berhasil nguntit Inov sampai di
sini. Taksi itu berhenti di rumah kecil di kompleks RSS alias rumah
sangat sederhana, beberapa meter di samping pohon tempat Mima
ngumpet sekarang. Kompleks perumahan ini berisi rumah-rumah
sederhana dengan ukuran kecil-kecil. Tapi dilihat dari penampilannya,
sepertinya kompleks ini semacam proyek perumahan yang kurang
sukses, bahkan gagal. Lingkungan kompleks itu keliatan kumuh dan nggak terawat.
Dari sekian ratus rumah yang ada, kayaknya cuma beberapa puluh
yang terisi. Kompleks ini sepi dan suram. Agak-agak mengerikan.
Suasananya mirip gedung setengah jadi, tempat Revo menyimpan
paket narkobanya untuk diambil Inov waktu dulu. Mencekam dan
suram. Dan rumah tempat Inov berhenti, betul-betul terpisah dari
rumah-rumah lainnya. Sepanjang jalan sepertinya cuma tiga rumah yang terisi, termasuk
rumah ini. Itu pun jaraknya jauh-jauhan. Kayaknya, biarpun ada bom
meledak di sini, tetangga terdekat pun nggak mungkin dengar.
Mima mengamati Inov yang masih berdiri di pinggir jalan setelah
taksinya pergi, seperti sedang menunggu sesuatu. Pelan-pelan
Mima mengendap-endap dari pohon tempat dia sembunyi ke pohon
di depannya yang lebih besar dan lebih dekat dengan tempat Inov
berdiri. Nggak sampai semenit, Mima bisa mendengar ponsel Inov
berbunyi dan Inov buru-buru mengangkatnya.
Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, halo, Bang, gue di depan rumah. Oke. Gue tunggu di sini,
Bang." Lalu Inov celingukan seperti mengecek keadaan sekitar.
"Aman, Bang." Mima mengernyit. Bang? Siapa Bang?
Mima merapatkan posisinya ke balik pohon setelah mendengar
pembicaraan Inov yang mencurigakan tadi. Gerak-gerik Inov dan
obrolannya sama si Bang? melaporkan situasi sekitar aman?bikin
perut Mima mules. Sepertinya ada yang nggak beres. Feeling Mima
nggak salah. Keputusannya untuk nekat mencarter ojek untuk
nguntit Inov sudah tepat. Ini sih jelas ada yang sembunyiin dari
Mima. Kijang butut abu-abu tampak mendekat ke arah Inov setelah
sekitar lima belas menit Mima menunggu di balik pohon. Butut
maksudnya betul-betul butut. Mobil itu kayaknya udah nggak layak
jalan dan lebih pantes masuk gudang besi rongsok deh. Selain abuabunya udah kelewat kusam, tampak dempul di mana-mana.
Begitu mobil itu parkir di depan Inov, laki-laki bertampang sangar
dan bertato besar di lengan turun dari kursi pengemudi dan langsung nyamperin Inov. Nggak lama kemudian, pintu belakang
terbuka dan dua orang lagi yang penampilannya nggak kalah seram
tapi tampak lebih muda juga melompat keluar. Yang satu kurus
dan berambut pirang mirip Sule dengan anting di mana-mana, yang
satu lagi badannya kekar berotot.
Laki-laki bertato yang tadi turun dari pintu pengemudi menepuk
bahu Inov. "Barang sama targetnya masih aman di dalam?" katanya
dengan suara serak dan dalam yang masih bisa terdengar sampai
tempat Mima berdiri. "Aman, Bang," jawab Inov pendek. Lalu mereka semua tampak
melihat keliling dengan waspada?mengecek keadaan. Ekspresi
mereka serius, tegang, dan dingin. Ekspresi Inov juga sama. Inov
memang jago soal ekspresi robot yang lat, tapi belum pernah
berekspresi berdarah dingin kayak gini. Ekspresi khas penjahat di
ilm action. "Oke, kalo gitu, gue sama si Anting urus barang. Lo, Bang, urus
target sama dia." Si cowok berotot yang turun dari pintu belakang
menunjuk Inov dan memberi instruksi pada si Bang yang kayaknya
sih maksudnya "Abang". Satu cowok lagi, si rambut pirang yang
tadi disebut Anting, pasti karena penampilannya dipenuhi antinganting?hidung, alis, dagu, bibir, kuping (jangan ditanya yang di
kuping, banyak banget), belum lagi kemungkinan di tempat lain.
Si Abang mengangguk. "Beres."
"Pastiin semua beres, Bang. Terutama, lo harus awasin dia. Inget,
dia dalam masa OSPEK. Jangan sampe bikin kacau. Dia tanggung
jawab lo, Bang. Lo udah nyanggupin ke Bos, kan? Gue sama Otot
urus barang, lo berdua cepet beresin target. Harus bersih ya. Terutama lo, Nov, inget kenapa lo bisa ada di sini." Giliran Anting buka
suara sambil semacam memperingatkan Inov dengan suaranya
yang kedengaran culas. Cowok satu lagi yang dipanggil Otot?pasti karena badannya
yang kekar mirip binaragawan? mengangguk setuju.
"Bener. Kayaknya udah aman nih. Kita gerak sekarang. Gue sama
Anting bakal bersihin barang, lo berdua cepet urus target. Jangan
lama-lama, cepet balik. Jangan lupa, kita harus kumpul bareng Bos
Kecil di lokasi merah. Mobil ditinggal di sini aja, kita jalan kaki. Di
depan lokasi harus bersih."
GLEK. Mima menelan ludah. Nggak perlu punya otak genius dan
ranking satu untuk tau bahwa yang mereka bicarakan itu pasti
sesuatu yang negatif. Tadinya Mima mau menerapkan prinsip
"don?t judge a book by its cover". Tadi Mima masih berusaha
berpikiran positif bahwa biarpun "teman-teman" Inov ini penampakannya kriminal banget, bisa aja kan itu cuma penampilan
luarnya? Tapi setelah mendengar dan mengamati mereka, jantung
Mima spontan deg-degan. Inov terlibat apa lagi sih? Bukannya dia udah sembuh? Terus
ngapain bergaul sama orang-orang ini?! Memangnya dia belum
kapok?! Keterlaluan banget sih, Inov! Mima mendadak emosi. Kok
Inov tega banget. "Ya ampun!" Mima terpekik dan releks membungkam mulutnya
sendiri karena ngeri. Yang tadinya jantungnya cuma deg-degan
karena emosi dan penasaran, sekarang rasanya jantung Mima ngehang sampai mendadak berhenti berdetak beberapa saat.
Gimana nggak setop mendadak? Nggak lama setelah Inov dan
teman-temannya itu masuk ke rumah, Inov dan si Abang keluar
lagi dari rumah. Kalau jalan ke luar rumah doang sih Mima nggak bakalan syok.
Tapi ini, Inov dan si Abang keluar sambil menggotong seseorang
yang terkulai lemas dan ditutupi kain. Mima yakin itu manusia
karena kelihatan tangannya menjuntai lemas dan kakinya yang
bersepatu kulit cokelat, sementara Inov memegang kuat lututnya.
Itu jelas orang! Tapi siapa dia? Apa dia pingsan? Atau... janganjangan udah jadi mayat?! Terus, kenapa Inov menggotong orang
pingsan... atau... orang mati itu?!
"Kita buang dia di tempat yang waktu itu, Bang?"
Si Abang mengangguk. Otot tampak menyusul keluar, lalu membantu membuka pintu
belakang mobil. "Inget ya, harus beres. Jangan ada buntutnya!"
katanya sebelum buru-buru masuk lagi ke rumah.
Mima tercekat. Orang itu mau dibuang?! KENAPA? Mima mengatur napas. Ini lebih mengerikan dibandingkan dulu, waktu Mima
pertama kali tau Inov dipaksa Revo untuk terus nyetor uang pada
geng narkoba. Ini lebih menakutkan!!! Mima sampai sesak napas
dan nyaris pingsan. Inov masuk komplotan penjahat? KENAPAAA?!
Mima bersandar di pohon karena lututnya lemas. Tapi dia juga
nggak bisa begitu aja pergi dari sini. Sama kayak kejadian sebelumnya, kali ini dia telanjur "tau" sesuatu. Mima nggak bisa purapura nggak tau.
Tujuh IMA melirik jam tangannya. Nyaris setengah jam dia
ngumpet di balik pohon ini setelah tadi Inov dan orang
yang dipanggil Abang pergi dengan Kijang butut
membawa orang yang nggak jelas pingsan atau mati.
Tadi sebelum pergi kan duo Otot dan Anting mewanti-wanti Inov
dan Abang untuk jangan lama-lama, jadi Mima mutusin untuk
nunggu. Mima nggak bisa mengusir penasarannya karena tadi juga
sempat denger soal "habis ini mereka bakalan ngumpul sama Bos
Kecil di lokasi merah". Dari kalimat yang terdengar penuh kode itu,
semua makin terasa nggak beres dan bikin Mima makin penasaran.
Lima menit lalu Mima udah kirim SMS buat Mama bahwa dia
bakal pulang telat. Mima juga ngirim SMS buat Mang Udan supaya
jangan ke mana-mana biarpun Mima bakalan lama. Tentunya
dengan iming-iming ongkos menunggu dalam waktu yang tidak
ditentukan. Mima harus meyakinkan Mang Udan untuk stand by
dan nggak ninggalin dia. Karena kalau ada apa-apa dan Mima butuh
bala bantuan untuk kabur, dia bisa tenang karena ada Mang
Udan. Kijang butut itu! Mima buru-buru membenarkan posisi ngumpetnya sampai yakin
dia nggak bakal kelihatan begitu Kijang butut yang tadi dinaiki Inov
dan Abang muncul di ujung jalan. Mobil itu parkir di pekarangan
rumah yang penuh dengan ilalang dan tanaman-tanaman yang
tumbuh nggak beraturan. Dipikir-pikir, rumah itu lebih mirip sarang
zombi daripada rumah. DIN! Samar-samar Mima bisa liat si Abang membunyikan klakson
pendek sebelum turun dari mobil. Nggak sampai satu menit dari
bunyi klakson, Otot dan Anting tampak keluar dari rumah.
"Beres?" tanya Otot begitu melihat Abang dan Inov.
"Aman. Bersih. Dijamin. Asal lo berdua tau, gue nyaksiin eksekusinya tadi subuh. Nih anak jago banget. Orang itu sama sekali
nggak sempet liat dia. Sekali hantam langsung tumbang! Kita bisa
aja buang tuh orang begitu selesai eksekusi, tapi kan lo berdua
bilang, Bos Kecil nyuruh lo berdua liat dulu targetnya. Jadi lo bisa
laporin bahwa feeling gue soal nih anak nggak meleset."
Otot dan Anting liat-liatan.
"Ntar aja dah bahasnya. Sekarang kita ke lokasi merah. Gue sama
Otot jalan duluan. Lo berdua nyusul." Anting langsung memberi
kode jalan pada Otot. Lalu mereka berdua berjalan ke... ARAH
MIMA! Astaga!!! Mima buru-buru berjongkok dari posisi yang tadinya cuma
berlindung di bawah pohon. Mima setengah tiarap sembunyi di
balik semak-semak sekitar pohon. Mereka nggak boleh sampai tau
Mima ada di sini. Kalau sampai ketangkep, bisa mampus! Mereka
sepertinya tipe orang yang tega nyiksa orang lain.
Suara langkah Otot dan Anting makin dekat. Mima menahan
napas. Tangannya siap-siap menekan nama Mang Udan di phone
book. "Ternyata boleh juga si Inov. Dia bisa nyergap target tanpa
ketauan. Gue rasa dia emang memenuhi syarat masuk komplotan
kita." Ini suara Anting. Mima yakin banget. Biarpun baru dengar
tadi, Mima bisa ngenalin nada culas yang khas di suara Anting.
"Kagak bisa begitu aja, Ting! Tetep kita harus awasin dia. Kita
semua kan tau sejarah tuh anak. Kalo bukan permintaan langsung
si Revo, dan si Abang nggak mendukung kalo dia yakin sama tuh
anak pas liat dia, wahh... kagak segampang itu masuk ke komplotan
kita. Ini masalah harga diri Revo sama komplotannya. Harga diri,
harga mati!" "Tenang aja, Tot, Revo bilang dia pegang kartu ace kalo si Inov
macam-macam." Mima buru-buru menutup mulutnya sendiri supaya nggak
keceplosan menjerit. Revo?! Dia nggak salah dengar, kan? Ini semua
ada hubungannya sama Revo? Mima jadi makin panik dan
ketakutan. Nggak bener nih. Inov nggak boleh terlibat sama Revo
lagi. Lagian Revo kan ada di penjara? Kok dia bisa terlibat sama
komplotan ini??? Nggak bisa. Mima nggak bisa diam aja! Dia harus ngomong dan
konfrontasi langsung soal ini ke Inov. Tentunya dia harus nunggu
Inov sendirian. "Gue yakin Bos Kecil bakal suka lihat kerja lo, Nov. Tenang
aja." Mima menahan napas lagi. Itu suara Abang. Rupanya Abang dan
Inov udah jalan menyusul Anting dan Otot.
"Yang penting lo yakin aja dan tunjukin nyali lo. Masuk komplotan
kayak gini, pede lo harus nomor satu. Kalo nggak, lo bisa abis!"
Lalu terdengar suara si Abang menepuk-nepuk punggung Inov
lumayan keras. Mima mengintip, mengamati mereka jalan menjauh. Gila si Inov!
Apa-apaan nih? Ada masalah apa lagi dia sama Revo? Masa kejadian
dulu yang sampai bikin Saira, mantan pacarnya meninggal, bikin dia
bohong sama Tante Helena, kehabisan uang, digebukin, terus sampai
kena infeksi paru-paru, belum cukup untuk bikin Inov anti berurusan
sama geng Revo sih? Apa Revo mengancam Inov lagi kayak dulu?!
Tapi mengancam apa? Itu orang kan di penjara! Lagian, kalau
diancam, kenapa nggak lapor polisi sih? Mima keluar dari persembunyiannya, mengendap-endap mengikuti Inov dan Abang.
Jadi ini lokasi merah. Mima merapat di balik dinding pos siskamling kosong sambil
ngintip. Lokasi merah yang disebut-sebut tadi ternyata adalah
bangunan mirip gedung pertemuan berukuran sedang, di dalam
kompleks ini juga. Sepertinya memang niatnya dibangun untuk jadi
gedung serbaguna warga kompleks. Sama kayak seisi kompleks ini
yang mirip kota hantu, bangunan yang ini juga tampak terbengkalai
dengan jendela yang belum ada kacanya dan cuma dipalang papan
dengan asal-asalan. Cat di dinding luarnya tampak mengelupas di
mana-mana. Inov dan Abang masuk ke bangunan itu lewat pintu seng yang
asal tempel. Ngapain mereka di dalam? Mima celingukan. Setelah yakin aman dan nggak ada siapa-siapa,
Mima berjingkat mendekat. Papan-papan yang dipaku di jendela
nggak terlalu rapat. Itu artinya banyak celah buat ngintip dan
nguping. Mima melangkah sepelan mungkin. Pokoknya sebisa
mungkin nggak bikin suara apa pun.
Mima berjongkok, lalu pelan-pelan berjinjit sedikit supaya dia
bisa ngintip dari balik celah papan yang paling bawah.
"Gue denger dari Anting dan Otot, kerja lo bagus. Tanpa jejak.
Bener begitu?" Mima menyipitkan mata, berusaha supaya bisa melihat lebih
jelas sosok yang barusan ngomong. Laki-laki pertengahan dua
puluhan, kayaknya seumur si Abang, kurus, peyot, tapi... auranya
jahat. Inov mengangguk cepat. "Gue usahain yang terbaik, Bos."
Bos?! Jadi ini yang namanya Bos Kecil. Si ceking peyot ini bos
mereka??? Tapi bos dalam melakukan apa?
"Jadi lo yakin kan, korban lo yang pertama itu nggak bakal
ninggalin jejak yang mengarah ke kita? Inget, lo bisa masuk sini
karena Revo. Tapi kalo lo sampe bikin kacau... gue juga nggak bakal
diam aja! Kelompok kita ini eksklusif. Nggak sembarang orang bisa
masuk, apalagi bikin kacau." Suara si Bos Kecil yang serak bikin
orang itu makin menyeramkan. Tapi lebih menyeramkan lagi waktu
dia menyebut "korban pertama" Inov. Ya ampun! Sebetulnya Inov
terlibat apa sih? Jadi orang yang mereka gotong tadi itu korbannya
Inov? Inov yang posisinya memunggungi jendela mengangguk.
"Harusnya sih nggak, Bos. Gue sergap dia dari belakang, langsung
tumbang. Waktu gue sama Abang bawa dia pake mobil ke rumah,
itu orang pingsan. Mata sama mulutnya juga udah gue tutup. Motor
dia gue masukin ke bagasi mobil. Nggak ada yang liat motor itu di
jalan. Otot sama Anting udah mretelin motor itu tadi."
"Terus, lokasi pembuangan?"
"Gue jamin, Bos, nggak bakalan ada laporan penemuan mayat.
Kalopun tuh orang masih hidup, gue yakin dia nggak akan punya
petunjuk apa pun," jawab Inov yakin.
Curanmor! Mima menelan ludah. Inov terlibat dalam komplotan
pencurian kendaraan bermotor. Bukan gitu aja, Inov bahkan sampai
melukai korbannya. Mereka asli gerombolan kriminal, dan Inov
sekarang terlibat! "Bagus! Gue suka orang kayak lo. Harusnya dari dulu lo masuk
kelompok ini! Jangan nunggu disodorin si Revo. Inget, kita masih
belum mencapai target untuk maju ke Bos Besar pertengahan bulan
depan! Jangan lupa, Nov, lo yang harus menuhin sisa target kita
untuk pertemuan besar sama Big Boss. Dan lo harus lebihin dari
target Revo untuk bayar janji lo sama Revo. Paham?"
Inov mengangguk lagi. "Gue akan penuhin target, Bos. Gue udah
punya rencana wilayah operasi dan targetnya."
INOV MAU MERAMPOK LAGI?! Mima mendadak pusing. Karena kesemutan, Mima menurunkan
kakinya yang berjinjit dengan cepat. Dan dengan sukses menciptakan kelebat bayangan bergerak yang keliatan dari dalam.
"Siapa itu?!" Bos Kecil yang berdiri lurus menghadap jendela
langsung berdiri tegak dari posisinya yang tadi bersandar ke
meja. Mati gue! Mima tercekat ngeri. Masa sih dia keliatan?
"SIAPA ITU YANG DI JENDELA?!" gertak si Bos Kecil dengan
suara seraknya yang sekarang menggelegar. Dan kali ini seisi
ruangan menatap ke arah Mima?lebih tepatnya ke arah jendela.
Tapi tatapan mereka terasa menembus papan dan mengarah
langsung ke Mima. Gimana ini? Kalau dia telepon Mang Udan, nggak menjamin Mima
bisa lolos. Mang Udan ada di warung nasi dekat gerbang masuk
kompleks. Butuh waktu untuk sampai sini. Oke, Mima harus tenang.
Nggak boleh panik dan gegabah. Tadi sempat kepikiran untuk
menjawab "meooong..." waktu si Bos Kecil bertanya "siapa itu?".
Lalu Mima tersadar. Adegan kayak gitu dia tonton di ilm komedi.
Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jelas sangat nggak tepat dipraktikkan sekarang.
"Kalian semua tadi ngecek keadaan nggak waktu ke sini? Janganjangan ada yang ngikutin kalian!" bentak si Bos Kecil semakin nggak
sabaran. "Kenapa pada bengong?! PERIKSAAA! Dan kalo ada orang,
tangkap!!!" MAMPUS!!! Kalau begitu instruksinya, Mima nggak bisa diam
aja. Jalan satu-satunya dia harus kabur. Dia harus lari sekencangkencangnya dari sini. Sambil lari dia harus nelepon Mang Udan
untuk ngebut menjemput dia. Dengan strategi kayak gitu Mima
pasti bisa lolos. Gerombolan itu ke sini dengan berjalan kaki. Jadi,
begitu Mima berhasil naik boncengan Mang Udan, dia bisa langsung
ngebut dan pasti lolos. Mima berbalik. Dia harus lari sekarang
ju... PRAKKK!!! Tiba-tiba papan yang tadi menempel di jendela tempat
Mima ngintip mental beterbangan, disusul Otot dan Anting yang
melompat ke luar. Persis adegan mendobrak jendela pake tendangan di ilm kung fu Cina. Sadis. Sekali tendang, papan itu mental
dan jendela langsung bolong.
"Heh, siapa lo? Mo ke mana lo? Jangan lari!"
Jangan lari? Gila! Jelas lari adalah satu-satunya hal yang mau
Mima lakukan saat ini. "Lo nggak bisa ke mana-mana!" Tau-tau Anting berdiri mengadang Mima.
Mima bergidik ngeri. Dari dekat, kombinasi rambut pirang kuning
neon dan tindikan Anting yang bertebaran makin nyeremin.
Mima mematung. Bodoh! BODOH! Penyesalan memang datangnya selalu belakangan. Kenapa dia harus ngintip segala sih? Kenapa
dia nggak nunggu aja di jarak aman sampai Inov sendirian?! Kenapa
dia ngikutin nafsu otak keponya? Sekarang gimana? Dia nggak bisa
ke mana-mana. Mima benar-benar MAMPUS! Dalam arti sebenarnya.
"Siapa lo?!" Suara Otot lebih terdengar kayak orang menggeram
daripada nanya. Mima gelagapan. Nggak lama Inov, Abang, dan Bos Kecil keluar.
Mata Inov terbelalak lebar. Mukanya mendadak pucat. Bahkan
lebih pucat daripada Mima. Apa-apaan ini? Mima? NGAPAIN DIA DI
SINI? "Eh, kenapa bengong? Lo denger kan temen gue nanya apa?"
gantian Anting menuding Mima. "Jawab! Lo siapa? Ngapain lo di
sini?" Mima menelan ludah yang rasanya kayak menelan seluruh
kepahitan hidup manusia blangsak di dunia. Seret dan menyakitkan!
"G...gue... Gue..."
Semua mata tajam menatap Mima.
"Gu...gue..." "Dia cewek gue!" teriak Inov tiba-tiba. "Dia... cewek gue," ulang
Inov lebih jelas sambil mengacak rambutnya gelisah.
Hah? Mima terdiam bingung. Tapi tampang Inov juga nggak kalah
bingung, seolah apa yang dia bilang barusan itu keluar begitu aja
nggak lewat otak dulu. Sukses! Kalimat Inov tadi sukses bikin semua pandangan yang
semula terfokus ke Mima sekarang beralih ke Inov. Semua tampak
sama kagetnya. Jadi ekspresi mereka sekarang seragam: kaget.
Inov berdeham gugup, lalu berjalan kaku ke arah Mima. Sampai
di samping Mima, Inov dengan canggung merangkul Mima. "Ini...
cewek gue. Sori. Gue... juga nggak tau kenapa dia bisa ada di sini.
Tapi bener, dia cewek gue."
Abang menatap lurus Inov. Dahinya berkerut-kerut serius.
"Bener dia cewek lo?"
Jakun Inov naik-turun. Dia menelan ludah, tegang. "Bener, Bang,
namanya Mima." Suara Inov terdengar seret.
Bos Kecil tampak mengamati Mima, curiga. Lalu menatap Inov
tajam. "Kenapa cewek lo bisa ada di sini, Inov? Lo kan tau ini tertutup. Lo bisa jamin dia aman buat kita? Lo udah tau kan peraturan
soal kayak begini? Kalo dia nggak bisa lo pegang, artinya..."
"Aman, Bos, aman. Jangan khawatir. Gue jamin aman. Gue
beresin sekarang. Gue tau peraturannya. Gue bakal patuh."
Mima cuma bisa diam. Nggak berani mengatakan sepatah kata
pun. Ini udah di luar bayangannya. Ini terlalu menakutkan dan
bahaya. Terjebak di komplotan curanmor sadis? Ngebayanginnya
aja nggak sanggup. Eh, ini malah kejadian.
Bos Kecil berjalan mendekati Inov. Meneliti Mima dengan
tatapan yang bikin Mima pengin ngompol, lalu menepuk bahu Inov.
"Lo ikut gue dulu ke dalam. Tinggalin cewek lo sama si Abang di
sini. Kita perlu bicara!"
Inov nurut. "Nov..." pekik Mima tertahan.
Tapi Inov cuma menatap Mima tajam. "Tunggu di sini. Bang,
titip." Abang memegang sebelah tangan Mima, sementara Inov mengikuti langkah Bos Kecil, Otot, dan Anting kembali ke dalam.
Mima bergidik. Ini serius. Ini nggak main-main.
Sepuluh menit Inov di dalam bersama Bos Kecil, Otot, dan
Anting. Sementara Mima tegang dan bingung berdiri di luar dengan
sebelah tangannya dipegangi Abang. Mima berusaha menajamkan
kuping, berharap mendadak punya ultrapower buat menguping
pembicaraan di dalam. Atau... dapet kekuatan mata super deh. Jadi
penglihatannya bisa menembus tembok dan tau apa yang terjadi
di dalam sana. Gimana Mima nggak cemas? Nggak ada suara. Hening. Apa Inov
dibunuh dengan disuruh minum racun sampai nggak ada suara gini?
Kalau Inov mati di dalam sana, terus nasib Mima gimana?
"Kamu cewek nekat ya." Tau-tau Abang yang berdiri di belakang
Mima bersuara. "Harusnya kalo liat hal bahaya, kamu kabur.
Bukannya mendekat. Sekarang telanjur."
Tenggorokan Mima tersekat. Mima semakin ketakutan. Apa dia
bisa pulang lagi ke rumah?
Pintu seng bangunan suram itu tampak terbuka. Inov berjalan
ke luar. Mima spontan menghela napas lega, Inov masih hidup. Eh,
tapi tunggu dulu! Mima pernah nonton ilm maia yang ada adegan
salah satu anggotanya disuruh menghabisi mata-mata yang dia
kenal. Ya ampun, gimana kalau Inov disuruh menghabisi Mima
karena Inov dianggap bersalah membawa Mima ke sini? Gila! Ini
gila! Masa Mima mati di tangan Inov??? Terus nanti gimana Mama?
Gimana Papa? Gimana Mika? Semua pasti gempar. Tragis banget
nasib Mima, bermaksud baik malah dibu...
"Ayo, ikut," ujar Inov pendek begitu sampai di hadapan Mima.
Abang melepaskan pegangannya. "Kamu denger dia. Ikut dia.
Jangan bertingkah aneh-aneh. Di sini nggak mengenal kata
kasihan," kata Abang tajam.
Mima sama sekali nggak mikirin Inov mau ngajak dia ke mana.
Dia nggak tau Inov mau ngajak dia pergi dari sini untuk diantar
pulang atau malah dibunuh di tempat lain. Mima nggak punya
pilihan. Sekarang cuma Inov yang (mudah-mudahan) bisa Mima
percaya. Delapan EPANJANG jalan yang gelap dari gedung terbengkalai tadi
menuju entah ke mana, Inov cuma berjalan lurus dan diam
seribu bahasa. Inov belum mengucapkan satu patah kata
pun. Ekspresinya keliatan campur aduk antara panik, marah, cemas,
dan bingung. Dan entah kenapa, insting Mima juga membuat Mima tetap
diam, nggak berani nanya apa pun. Feeling Mima, Inov diam bukan
karena nggak mau ngomong. Mungkin karena belum aman untuk
bicara. Atau... Inov terlalu marah dan nggak sanggup ngomong
sama Mima karena lebih pengin menggetok Mima pakai pentungan
hansip. Jadi Mima cuma jalan sambil nunduk di samping Inov.
Inov berbelok di rumah tempat Inov dan Abang ketemu tadi.
Inov menatap Mima sekilas, "Tunggu bentar."
Mima mengangguk pelan. Nggak lama kemudian Inov keluar dari pintu garasi kecil sambil
menuntun motor trail dan menenteng dua helm. "Nih, pake." Inov
menyodorkan salah satu helm pada Mima.
Mima nurut. Dia sama sekali belum membaca apa maksud Inov
waktu dia bilang ke Bos Kecil and the gank bakal "membereskan"
Mima. Yang pasti Mima bersyukur sampai detik ini belum ada
tanda-tanda Inov bakal membekap atau menyakiti Mima.
"Naik," kata Inov pendek setelah dia sendiri pakai helm. Nada
suaranya balik ke nada suaranya waktu pertama Mima kenal dia.
Kaku. Kayak robot. Mima melompat naik ke boncengan motor tanpa banyak
tanya. "SMS nyokap lo, bilang lo pulang telat. Gue yang anter."
Kalimat Inov barusan langsung bikin Mima menghela napas lega.
Sekarang dia yakin Inov nggak bakal membekap, apalagi membunuh
Mima. Kalau dia ada niat begitu, nggak mungkin kan dia nyuruh
Mima SMS Mama? Nanti ketahuan dong. Mima buru-buru mengetik
SMS. Pertama, untuk menyuruh Mang Udan pulang sendiri. Dan
kedua, untuk Mama. "Udah?" tanya Inov sambil memunggungi Mima dan posisi siap
jalan. "Udah." Inov menyentak gas. Motor trail melaju dengan suara knalpot
berisik. Di tengah udara malam Bandung yang dingin, Mima pasrah
duduk di boncengan motor Inov, nggak tau mau diajak ke mana.
Ternyata motor masuk ke pekarangan gedung setengah jadi
yang udah Mima kenal banget. Ini gedung yang dulu jadi saksi
transaksi antara Revo dan Inov. Di dalam kepala Mima langsung
memutar adegan lash back. Gedung setengah jadi ini sebetulnya
cukup indah waktu siang. Cahaya yang masuk dari sela-sela
tanaman merambat bikin suasananya seperti tempat rahasia di
ilm?ilm romantis Jepang atau Korea, terlepas dari suasana sepinya
yang bikin suram dan cocok untuk arisan kuntilanak sih.
Nah sekarang, malam-malam begini Inov malah bawa Mima ke
sini. Inov bahkan nggak memarkir motornya di luar. Cowok itu
menerobos masuk dengan motornya sambil membonceng Mima
dan memarkir motornya di lantai dasar.
Biarpun nggak ada lampu, di dalam gedung ini nggak gelap-gelap
amat karena dinding-dindingnya masih belum tertutup penuh.
Cahaya dari luar masih bisa masuk. Terutama waktu langit malam
juga terang dan banyak bintang kayak malam ini.
Inov melompat turun, lalu melepas helm. "Ayo, turun."
Ragu-ragu Mima turun dari boncengan motor dan ikut meletakkan helm di setang.
"Ikut gue." Inov menyambar pergelangan tangan Mima, lalu
menariknya menaiki tangga ke lantai atas.
"Eh, Nov, mo ke mana sih?"
"Pokoknya ikut." Inov terus menggenggam pergelangan tangan
Mima sambil menaiki tangga. Setelah naik tangga demi tangga
akhirnya mereka sampai ke lantai paling atas. Alias atap bangunan
setengah jadi itu. Dulu berkali-kali dulu mereka ke sini, namun belum pernah naik
sampai ke atap kayak sekarang. Lantai atas juga penuh ditumbuhi
tanaman liar dan rumput. Dilihat dari beberapa bangku taman yang
keliatan sama usangnya, kayaknya awalnya lantai teratas ini mau
dijadiin taman terbuka. Inov melepas pegangannya begitu mereka sampai di tengahtengah lantai atas.
Mima mendongak. Kalau suasananya nggak lagi tegang kayak
gini, tempat ini keren banget. Bintang-bintang bersinar terang.
Lampu-lampu kota di sekitar mereka juga keliatan kerlap-kerlip
warna-warni. Tinggal dikasih soundtrack, pasti berasa di dalam
adegan ilm. Mima berdiri diam. Di depannya, Inov mondar-mandir gelisah
sambil mengacak-acak rambutnya sendiri. Mata Mima mengikuti
Inov. Sampai tiba-tiba Inov berhenti dan berbalik cepat menghadap
Mima dengan wajah tegang.
"Lo gila!" suara Inov terdengar bergetar sambil menuding Mima.
"Lo ngapain sih tadi di situ, Mi? Lo tau nggak itu bahaya? Lo
harusnya mikir kalo mo ngapa-ngapain! Untung mereka percaya lo
cewek gue, untung gue bisa bawa lo pergi dari sana! Tapi sekarang
semua kacau! KACAU! Lo nguntit gue?! Lo seharusnya nggak usah
sok penasaran gitu! BAHAYA!"
Lho, lho... tunggu, tunggu. Kenapa jadi Mima yang dimarahmarahin dan disalah-salahin Inov? Ini kebalik namanya. Nyali Mima
yang tadi mengkeret mendadak balik lagi. Mima menegakkan
badannya, lalu mendongak, menatap Inov lantang. "Eh, kok malah
jadi lo marah-marahin gue sih?"
Mata Inov melebar. "Ya iyalah! Lo nyadar nggak sih tadi itu
BAHAYA?!" Mata Mima melotot lebih lebar. "Terus itu salah gue? Elo nyadar
nggak sih ini gara-gara siapa? Bukan gara-gara gue, tapi gara-gara
lo!" Dengan lantang Mima balas menuding Inov.
Inov releks tercengang karena dituding balik.
"Kenapa bengong? Kaget???" Serasa dapat celah, Mima lanjut
menyerang Inov. "Denger ya, Inov Robot Somplak, kalo ada yang
harus disalahin sekarang, jelas-jelas itu lo! Dan lo, harus jelasin
banyak hal sama gue! Kenapa lo bohong sama gue? Kenapa lo
pura-pura pulang ke Surabaya padahal masih di sini? Kenapa lo
bohong soal tempat lo nginep? Jangan-jangan dari awal lo emang
udah bohong! Lo ke Bandung bukan karena ulang taun gue, kan?
Lo pikir gue bego, Nov? Gue curiga! Lo pikir di airport gue langsung
pulang? Gue udah niat nyelidikin lo. Makanya gue bisa ngikutin lo
sampe ke tempat tadi."
"Astagaaa..." keluh Inov putus asa sambil meremas rambutnya
sendiri. Mima mendelik. "Kok astaga? Jelasin ke gue. Apa maksud semua
yang gue denger dan liat tadi? Gue juga denger nama Revo ada
hubungannya sama semua ini. Sebenernya ada apa sih? Lo udah
gila ya, Nov, lepas dari geng narkoba terus lo masuk geng curanmor? Masih aja lo takut sama Revo. Lo diancem, kan? Asal lo tau
ya, gue nggak takut! Dan gue bakal lapor polisi kalo Revo ganggu
hidup lo lagi!" "Eh, Mima!!!" Secepat kilat Inov menyambar tangan Mima
sebelum cewek itu beneran nekat lapor polisi. "Jangan!"
Mima berbalik. "Kenapa???"
"Lo nggak perlu lapor polisi. Polisi udah tau. Abang itu polisi.
Intel yang lagi nyamar. Namanya Bang Rudi."
"Hah?" Mima melongo. Mendadak kepalanya pening. Ini
skenarionya gimana sih? Betul-betul bikin pusing.
Napas Inov mulai teratur dan nggak memburu lagi. Badannya
juga udah lebih rileks setelah saling teriak dan tuding sama Mima
tadi. Inov meraih pergelangan tangan Mima lagi. Kali ini nggak
keras dan kasar kayak tadi, tapi lebih pelan dan menarik dia untuk
duduk di bangku taman yang sebagian besar udah dililit tanaman
rambat. "Duduk dulu."
Mima duduk di samping Inov. Sekarang dia blank. Si Abang itu
polisi? Kok bisa? "Lo bener, ini semua ada hubungannya sama Revo. Dia dendam
sama gue. Dan dia ngancem gue."
"Kok bisa sih? Dia kan dipenjara di sini, di Bandung. Gimana
caranya dia ngancem lo? Terus emang dia ngancem apa sampesampe lo jadi berurusan sama geng curanmor kriminal kayak gitu
sih?!" Inov menatap Mima lurus-lurus. "Lo bisa tenang dulu dan
dengerin penjelasan gue nggak?"
Mima mengedikkan bahu. Tanda oke.
Tapi mata Inov masih menatap Mima lurus-lurus. "Gue bukan
cuma mau cerita, Mi. Gue juga mau kasih tau konsekuensinya
karena lo mau nggak mau udah ?nyebur? ke masalah ini. Padahal
gue udah berusaha ngejauhin lo dari ini. Tapi lo malah nyamperin
Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahaya." Hah? Kapan? Kapan Inov berusaha ngejauhin Mima dari semua
ini? Tapi yang keluar dari mulut Mima malah, "Oke. Gue emang
pengin tau semua soal ini. Karena menurut gue, lo gila masih mau
terlibat sama Revo."
"Oke." Inov mengangkat tangan tanda setuju.
"Gue dengerin."
Inov menarik napas dalam-dalam sebelum mulai bicara.
"Pertama, lo harus tau Revo dapat record berkelakuan baik selama
di penjara, kemungkinan besar hukumannya akan diperingan.
Kedua, waktu sidang, bukti-bukti nggak cukup kuat untuk
mendakwa Revo sebagai bandar besar. Dia divonis penjara sebagai
pengedar dan pemakai. Dan keputusannya, dengan catatan
kelakuan baik, setelah menjalani setengah dari masa hukuman, dia
bisa bebas dengan uang jaminan yang lumayan besar."
"Ck!" Mima mendecak kesal. Kelakuan baik Revo udah jelas
pura-pura karena dia berniat buru-buru keluar dari penjara dan bisa
bebas bersyarat. "Terus," Inov melanjutkan, "salah satu pemimpin komplotan
curanmor ini Bos Kecil, yang lo liat tadi itu, ternyata sobatnya Revo.
Bos Kecil selain ranmor juga main drugs. Dia baru kembali ke
Bandung setelah kabur setahun, nggak tau ke mana, karena kasus
kriminal. Baru sekitar sebulan yang lalu dia balik ke Bandung karena
kasusnya ditutup dengan menangkap tersangka lain. Dan Bos Kecil
baru tau Revo, sahabat kriminalnya, masuk sel."
Jadi si Bos Kecil sahabatnya Revo? Emang dasar kriminal. Sahabatan nggak jauh-jauh sama kriminal juga. Gimana mo bener
Pasukan Kelelawar 2 Love In Sunkist Karya Evelyn Jingga Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama