Ceritasilat Novel Online

Satria November 6

Satria November Karya Mia Arsyad Bagian 6


hidupnya? "Bos Kecil namanya Beny. By the way, Beny berhasil jenguk si
Revo di penjara, denger semua ceritanya, dan Revo dapet ide buat
balas dendam ke gue. Revo kirim SMS ancaman ke gue entah lewat
HP Beny ato salah satu komplotannya. Yang pasti Revo ngerasa
gue udah mencoreng harga diri dia dengan bikin dia masuk penjara.
Gue yang masukin dia ke sel, artinya gue juga yang harus bebasin
dia." Mima tertegun bingung. "Maksudnya?" Dalam hati Mima nggak
tenang. Jadi Revo dendam sama Inov karena menganggap Inov
ngejatohin harga dirinya dengan jeblosin dia ke penjara? Tapi...
yang menjebak Revo dan gengnya itu kan Mima. Mima releks
menelan ludah ngeri. "Revo bilang, gue harus ke Bandung, masuk komplotan Beny,
beraksi curanmor, dan hasil aksi kriminal gue itu untuk bayar
tebusan dia keluar dari penjara. Kalo gue nggak mau, atau
melibatkan polisi, atau aksi gue ketauan... mereka bakal..." Inov
berhenti. Mima menyipitkan mata. "Bakal apa?"
Bukannya jawab, Inov malah menatap Mima ragu.
"Nov... bakal apa?"
"Aghh!" Inov menggosok-gosok rambutnya, frustrasi. Dia
terpaksa banget nyeritain ini semua ke Mima. "Mereka bakal balas
dendam ke gue lewat lo dan Mika."
Jantung Mima serasa meledak saking kagetnya. "A-apa? Dia...
mo ngapain gue dan Mika?" Ya ampun! Jadi Revo dan gerombolan
itu mengincar Mima dan Mika? Dan tadi Mima dengan sok jagonya
mengintai dan dengan sukses kepergok. Betul-betul cari mati. Ini
sih sama aja melenggang dengan ikhlas masuk ke mulut buaya
yang lagi mangap. Sekarang Mima ngerti kenapa Inov ngotot
banget nanya apa ada orang yang ganggu Mima. Ternyata maksudnya ini.
SET! Mima releks berdiri karena panik. "Aduh, gimana dong nih,
Nov? Gue harus kasih tau Mika. Jangan sampe dia kenapa-kenapa.
Apalagi gue udah kepergok gini. Gue harus ngecek keadaan
Mika." "Mi!" Inov secepat kilat berdiri dan badannya menjulang di
hadapan Mima yang kalang kabut karena panik. "Gue belum
selesai!" Tangan Inov memegang kedua bahu Mima. Menahan
Mima supaya nggak kelabakan kabur dari situ untuk nemuin
Mika. BUK!!! Mima memukul dada Inov kesal. "Apaan sih lo, Nov?! Bisa
jadi sekarang Mika dalam bahaya. Gue harus ngingetin dia!"
HAP! Inov mengangkap tangan Mima yang siap mukulin dia lagi.
"Mika nggak dalam bahaya. Lo nggak usah histeris gitu. Bisa?"
"Yah nggak bisalah! Semua orang juga bakalan histeris kalo tau
hal kayak gini, kecuali kalo gue kebo, bukan orang. Please deh.
Mikir dong, Nov!" Tatapan Inov menghunjam mata Mima. "Lo nggak percaya
gue?" Sinting nih cowok. Pertanyaan macam apa tuh? Dia ngaca nggak
sih sebelum ngomong kayak gitu? Apa amnesia? "Menurut lo, lo
bisa dipercaya nggak? Tukang bohong apa nggak?" sembur Mima
sarkastis. Frustrasi. Inov betul-betul frustrasi sekarang. Dia tau Mima panik,
tapi Mima nggak tau Inov kemungkinan tiga juta kali lebih panik
daripada Mima. "Mi, please!" Inov mencengkeram bahu Mima lebih
keras. "Itu bukan intinya. Oke? Denger gue, mereka nggak tau
identitas lo dan Mika. Gue masih bersyukur ternyata Revo nepatin
janji untuk nggak bocorin identitas lo ke Beny dan komplotannya
asal gue juga nurutin perintah dia. Perjanjiannya, gue ke sini dan
masuk kelompok itu untuk beraksi dan dapet uang, atau dia bakal
bocorin identitas lo dan Mika ke geng Beny untuk di... untuk
dikerjain." Pembuluh darah di dahi Mima terasa berdenyut-denyut. Lututnya
juga jadi lemas dan agak gemetaran. Dia pikir semua masalah udah
beres, dan saat dia ketemu Inov lagi, mereka bisa berteman dengan
normal dan gembira. Ternyata Revo nggak mau lepasin Inov gitu
aja. "Kayaknya gue mo pingsan deh," gumam Mima.
Inov buru-buru merangkul Mima, lalu mendudukkan Mima di
bangku taman usang itu lagi. Kali ini Inov nggak duduk di samping
Mima. Inov malah duduk bersila di bawah, di depan kaki Mima.
Mima duduk membungkuk dengan muka bengong dan tangan
terlipat di dada. Kecemplung di petualangan gila apa lagi sih Mima?!
Karena duduk bersila di bawah, sekarang posisi wajah Inov jadi
sejajar sama Mima yang duduk agak membungkuk ke depan.
"Sebenernya gue udah di sini sejak seminggu lalu. Persis setelah
gue nggak bisa lo hubungin, Mi. Gue yang nguntit lo berhari-hari
karena mo mastiin lo baik-baik aja dan Revo nggak memerintahkan
siapa pun ngusik lo, sesuai janjinya. Gue nggak terlalu khawatir soal
Mika karena sasaran utamanya lo, Mi."
"Jadi bener lo ke sini bukan karena ulang tahun gue?" Mima
nggak bisa nyembunyiin kecewanya. Kirain Inov beneran mau kasih
surprise. Inov membuang napas berat. "Bukan berarti gue lupa."
"Ya, tapi ulang taun gue nggak ada dalam jadwal lo, kan?"
Inov mengusap mukanya, capek. "Karena buat gue keselamatan
lo lebih penting. Gue sengaja nggak berinteraksi sama lo selama
di Bandung sampe masalah ini selesai supaya lo jauh dari masalah
ini. Selama mereka nggak tau siapa lo, lo aman. Tapi sekarang..."
Kalimat Inov menggantung.
Ya, ya, ya, intinya kenekatan Mima bikin kacau semuanya. Mima
paham. "Eh, tunggu, Nov, ada yang belum lo jelasin. Tadi kata lo...
Abang itu polisi?" Inov releks menempelkan telunjuk ke bibirnya sendiri, menyuruh
Mima jangan bicara keras-keras, lalu mengangguk. "Bang Rudi intel
yang memang sengaja ditugaskan untuk menyusup masuk ke
komplotannya Beny. Sejak si Beny alias Bos Kecil balik ke sini,
komplotan mereka mulai beraksi brutal lagi. Mereka pelaku curanmor dengan kekerasan. Korbannya udah cukup banyak. Memang
nggak ada yang meninggal, tapi rata-rata kritis. Aksi mereka juga
betul-betul udah pro. Hubungan antaranggota geng juga udah
kelewat erat. Kalo satu ketangkep, mereka bakalan bungkam dan
nggak akan membocorkan keberadaan yang lain. Mereka lebih baik
dihukum ketimbang ngaduin yang lain. Solidaritas mereka tinggi.
Polisi sampe bikin operasi khusus untuk meringkus mereka."
Mima terenyak. "Terus? Bang Rudi bertugas nangkep, kan?"
"Iyalah. Tapi bukan tanggung-tanggung. Penyamaran Bang Rudi
sengaja untuk menangkap seluruh anggota komplotan termasuk
penadah besarnya. Si Big Boss itu. Bang Rudi dapat bocoran dari
informan bahwa bakal ada pertemuan besar sama si Big Boss. Di
situ semua anggota geng kumpul. Operasi besar, semua bakal
ketangkep. Nggak gampang Bang Rudi masuk situ. Tapi tim intel
bisa bikin identitas palsu yang meyakinkan buat Abang. Komplotan
itu taunya Bang Rudi penjahat kelas kakap yang baru keluar penjara
karena kasus curanmor sadis dan beraksi solo."
Mima mengangguk-angguk. Biarpun sebetulnya Mima belum
sepenuhnya paham sih. "Terus, ngapain lo masih nyemplung ke
situ, Nov? Kan udah ada Bang Rudi?"
Inov tersenyum tipis. Memang kalau sama Mima, segala hal
mutlak detail. "Mi, gue nggak gila dengan langsung nurutin
anceman Revo begitu aja. Ya jelas begitu gue terima SMS itu, gue
ceritain ke pendamping gue dari kepolisian. Kalo gue nekat dateng
ke Bandung dan menelan ancaman Revo mentah-mentah, sama
aja gue bunuh diri. Lo pikir gue mau jadi pelaku curanmor beneran?"
Alis Mima mengernyit. "Jadi setelah kasus itu, di Surabaya gue masih didampingi
intensif sama pihak kepolisian. Bagaimanapun gue pernah terlibat
kasus kriminal pembobolan sekolah lama gue, inget kan? Berhubung
gue jalanin pengobatan dan dianggap bantu polisi nangkep geng
Revo, maka gue nggak perlu jalanin masa tahanan di sel. Gue
dianggep tahanan luar."
Mima menegakkan duduknya. "Nah, kalo polisi udah tau, kenapa
nggak langsung tangkep aja sih? Kan ada bukti SMS-nya?"
Inov menengadah, menatap ke langit dan menarik napas panjang. Padahal semuanya udah direncanakan dengan matang untuk
nggak melibatkan Mima dan Mika sama sekali. Yang ada sekarang
Inov malah harus jelasin semuanya pada Mima. Inov mengembuskan
napas panjang. "Jadi gini, Mi, gue kasih liat ancaman Revo. Di sana
tim kepolisian liat nama Beny alias Bos Kecil disebut. Mereka kontak
ke kepolisian Bandung untuk cari tau soal geng curanmor ini.
Rencana awal, gue akan ke Bandung didampingi intel untuk
ngejebak geng Beny, seolah-olah gue mau nurutin permintaan
mereka. Begitu mereka muncul, tangkep. Gitu doang. Tapi rencana
berubah setelah pihak kepolisan tau komplotan Beny adalah
komplotan curanmor yang lagi jadi target operasi dan ada Bang
Rudi yang lagi menyusup untuk nangkep seluruh anggota mereka,
sampe ke Big Boss-nya. Ini operasi besar. Karena mereka sadis."
"Jadi sekarang lo bagian dari operasi besar kepolisian, gitu?
Ngapain sih, Nov? Kan udah ada tim kepolisian, harusnya lo nggak
usah ikut terjun dong. Kalo mereka tau gue sama Mika terancam,
masa mereka nggak kasih pengamanan ke gue?"
Inov tersenyum tipis. "Itu sih udah ditawarin polisi. Gue tetep
di Surabaya, dan lo bakal dapat pengamanan polisi sampe situasi
aman pas komplotan ini ditangkep nanti. Tapi nggak mungkin
segampang itu." "Kenapa?" Rupanya cewek bawel di depan Inov ini sama sekali nggak
kebayang gimana rumitnya situasi ini. Inov menegakkan duduknya,
lalu bergeser maju dan duduk bersila lebih dekat dengan kaki Mima.
"Mi, Revo, Beny, dan komplotan penjahat kayak mereka nggak
bego. Kalo sampe gue nggak nurutin perintah mereka, udah pasti
mereka langsung tau polisi terlibat. Karena mereka pasti mikir gue
nggak bakalan nekat kalo nggak ada backing. Gue nggak mo ambil
risiko, Mi, biarpun lo sama Mika dijaga polisi, Revo bakal makin
dendam sama gue. Gue yakin dia bakal cari cara lain buat bales
dendam sama gue. Dia bisa aja nyuruh orang lain untuk ngerjain
lo dan Mika." Mima terdiam. Dia nggak mikir sejauh itu.
"Lebih aman cara yang sekarang. Dengan Revo menyangka gue
menuruti perintah dia, sesuai perjanjian dia nggak akan ganggu lo
dan Mika. Akhirnya tim kepolisian juga setuju pendapat gue, bahwa
lebih aman kalo gue terjun ke lapangan. Dengan gitu, Revo bakal
nyangka rencananya lancar. Jadi polisi memutuskan untuk mengirim
gue ke sini supaya bikin Revo percaya, sekalian gue dimasukkin
untuk jadi back up Bang Rudi dalam misi ini. Nanti setelah semua
anggota komplotan ditangkap, kasusnya sekalian dipake untuk
menjerat Revo juga. Polisi bakal pake bukti SMS Revo ke gue dan
pake pernyataan yang mereka dapet dari komplotan Beny tentang
aksi Revo ini. Hukuman Revo bisa ditambah karena dakwaan baru,
dan dia bakal diawasi ketat setelah ini."
Speechless. Mima asli mati gaya, nggak tau mau komen apa. Kagetnya sih
dari tadi belum mereda ya. Tapi sekarang ditambah uhm... terharu?
Nggak tau deh apa deskripsi perasaannya sekarang. Yang pasti dia
speechless karena Inov melakukan semua ini demi keselamatan
Mima dan Mika. Inov melindungi Mima dan Mika. "Kenapa sih Revo
nggak meres lo minta duit aja? Kalo emang dia nyuruh lo supaya
bisa setor uang buat tebusan dia, suruh aja lo cari duit, nggak usah
nyuruh lo terlibat kayak gini!"
PUK PUK PUK! Inov tersenyum tipis sambil menepuk-nepuk
dengkul Mima pelan. "Mi, di dunia hitam kayak gini nggak ada yang
se-simple itu. Ini bukan cuma soal uang, tapi soal harga diri Revo.
Dia baru puas kalo gue ambil risiko, membahayakan diri gue, dan
melakukan sesuatu yang dia tau gue nggak mau. Itu semacam etika.
Kasarnya nyawa bayar nyawa." Inov menepuk-nepuk dengkul Mima
lagi. "Sekarang udah jelas kan semua? Lo nggak usah panik. Justru
kita semua harus tenang. Ini udah direncanain dengan rapi dan
teliti. Ikutin jalurnya. Semua akan aman."
"Bentar, bentar. Terus, untuk meyakinkan mereka, lo harus
ngerampok beneran? Tadi gue liat lo sama Abang ngangkut orang
dari rumah. Itu... korban lo?"
100 Inov mengangguk. "Bisa dibilang gitu. Tapi lo jahat banget kalo
nyangka gue tega ngehajar orang, terus ngerampok kayak gitu."
"Lho, itu buktinya?"
"Kan gue udah bilang, ini semua udah direncanain dengan rapi.
?Korban? gue itu juga bagian dari misi ini. Itu juga agen yang nyamar.
Nanti korban-korban selanjutnya juga agen. Semua udah diatur biar
keliatan nyata bahwa gue emang jago banget dan rapi dapetin
target. Orang yang tadi lo liat itu, sekarang palingan lagi nonton
TV sambil ngopi di rumahnya."
Kepala Mima makin pening. Dia beneran terlibat aksi detektif!
"Tapi kan mereka udah kepalang liat gue, Nov."
"Itu yang tadi di awal gue bilang, ini semua ada konsekuensinya
buat lo, Mi. Mereka percaya lo cewek gue. Tapi mereka sama sekali
nggak tau itu kartu ace yang bakal Revo lempar kalo gue macemmacem."
Perasaan Mima mulai nggak enak. Dari ketakutan jadi ketakutan
banget sampe Mima pengin gebuk-gebukin tembok sambil teriakteriak. Tapi dia tahan. "Konsekuensinya... buat gue... apa?"
"Mulai hari ini lo jadi pacar gue."
"HAH?!" Kalau ini ilm kartun pasti ada per yang langsung bikin
mata Mima mental keluar. Jadi pacar Inov?! Kenapa dari cerita dunia
kriminal terus melenceng ke pacaran?
Tiga detik Inov mutusin untuk diam dulu supaya Mima bisa
menikmati kagetnya yang kayaknya bikin dia nyaris kena serangan
jantung. Mima melongo dengan mulut menganga, mata melotot,
plus akhirnya mulutnya bergerak-gerak tanpa suara. Kayak mau
ngomong sesuatu tapi bingung.
"Mereka akan ngawasin kita, Mi, untuk memastikan kita beneran
pacaran. Jadi kita yah harus pacaran supaya mereka yakin kita
nggak bohong. Kalo sampe ketauan kita nggak ada hubungan apaapa, bisa bahaya. Ada aturannya soal pacar-pacaran di geng ini.
Pacar nggak boleh tau sama sekali, dan kalo pacar sampe tau,
101 artinya hanya satu: dia harus masuk ke lingkaran komplotan dan
bisa dipegang sepenuhnya. Mereka harus yakin bahwa lo nggak
mungkin bocorin apa-apa. Kita harus ikut aturannya."
Aturan yang aneh. Mima menatap Inov nggak ngerti. "Tapi orang
pacaran kan bisa putus?"
"Itu juga ada aturannya. Kalo kita putus, gue harus keluar dari
geng itu, tapi nggak dilepas sepenuhnya alias terus diawasin. Atau...
gue tetap di dalam geng, tapi mantan gue, mereka awasi. Dan gue
nggak boleh ikut campur. Dua-duanya bukan pilihan tepat. Misi
tinggal satu bulan lebih, nggak mungkin gue gagalin gara-gara ini.
Pilihan kedua juga nggak mungkin. Gue nggak mau lo di-handle
sama mereka. Emang lo mau?"
Mima menggeleng panik. Jelas dia nggak mau!
"Berarti lo ngerti kan bahwa kita harus pacaran supaya aman?
Itu juga artinya lo harus bisa pastiin untuk nggak berduaan sama
Gian di tempat umum yang mungkin mereka liat. Yang mereka tau
pacar lo itu gue." YA TUHAN, TOLOOONG!!! Mima nggak boleh pingsan, terus


Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

minta diinfus aja ya? Ini semakin rumit. Dan ini berkat ketololannya
sendiri. Andai dia nggak kelewat nekat. Andai mikir dulu sebelum
sok detektif ngintip Inov dan geng curanmor itu. Gimana caranya
menjaga supaya nggak ketauan pacar Mima yang asli?
"Ngerti kan, Mi, maksud gue?" suara Inov membuyarkan lamunan Mima.
Mima mengangguk lemas. Yah, gimana lagi? Mau nggak mau
Mima memang harus ikut aturan mainnya. Dia nggak pengin
membahayakan dirinya sendiri, Inov, atau Mika. Yang pasti dia juga
nggak mau jadi pengacau operasi besar kepolisian. AGHHH!
"Kenapa sih, Nov?"
Inov mendongak, menatap Mima. "Kenapa apa?"
Mima balas menatap Inov. "Kenapa ketika gue bisa denger lo
ngomong panjang-lebar, tapi topiknya nggak ngenakin gini? Gue
102 pikir pas ketemu lagi keadaannya bisa normal kayak ketemu temen
biasa. Ngobrol enak pas lo udah sehat. Ini, malah makin serem
daripada dulu. Terus, Nov, lo tinggal di mana?"
Inov bangkit, lalu duduk di samping Mima. "Gue tinggal di rumah
yang tadi sama Abang. Rumah itu di-set buat Abang. Dan sekarang
ceritanya gue di bawah tanggung jawab Abang. Karena waktu gue
masuk, Abang langsung menyodorkan diri untuk jadi pengawas
gue. Sabar ya, Mi, cuma satu bulan lebih. Sori, gue udah nyeret lo
sejauh ini. Tapi lo pegang deh omongan gue, gue bakal lindungin
lo sekuat tenaga gue. Sebelum ada yang nyakitin lo, mereka harus
hadapi gue dulu." Mima menghela napas berat. Mima nggak kebayang, kayak apa
kehidupannya mulai besok.
103 Sembilan IMAAA! MI!!!" Suara Mika manggil-manggil Mima,
lalu disusul gedoran di pintu kamar mandi.
Mima mematikan keran air. "Apaan sih, Ka? Aku
baru masuk, kali. Antre dong! Kalo mo ngebom, di toilet tamu
sana!" Huh! Kebiasaan deh gedor-gedor orang mandi.
"Siapa yang mo ngebom? Kamu buruan mandinya! Udah
dijemput tuh!" jawab Mika sewot.
Dijemput? Mima mikir. Dijemput sama siapa? Gian dan Mima
bukan tipe pasangan yang suka saling antar-jemput sekolah. Rumah
Gian dan Mima berlawanan arah dengan sekolah. Mima juga
rasanya nggak janjian sama Kiki, Riva, dan Dena deh. "Siapa yang
jemput aku?" "Inov." "Hah? Inov yang jemput aku? Mika! Mika?!" Tapi Mika nggak
nyaut lagi. Kakak kembar Mima langsung melengos pergi karena
harus buru-buru ke sekolah. Tinggal Mima yang panik karena
rambut dan badannya masih basah. Mima buru-buru gosok gigi,
handukan, dan ngibrit ke kamar. Buset! Inov ngapain sih datang
pagi-pagi banget gini? Inov duduk di teras dengan teh buatan Teh Jul. Cowok itu
keliatan segar baru mandi. Rambut up-to-date ala Austin Butler-nya
kembali rapi dan nggak acak-acakan kayak semalam. Dia keliatan
keren dengan jeans bolong di lutut, T-shirt putih, dan sepatu hiking.
104 Ala-ala celebrity daily styles yang sering Mima liat di rubrik snap
shot majalah remaja. Enak banget si Inov, baru masuk sekolah
setelah kenaikan kelas nanti.
"Nov, ada apa pagi-pagi gini? Emang kita mo ke mana?"
berondong Mima begitu berdiri di ambang pintu. Rambutnya masih
lepek karena basah dan nggak sempat di-blow dry.
Inov berdiri, menatap Mima aneh. "Ke sekolah lo lah. Emang lo
libur hari ini?" Mima menggeleng dengan muka bingung. "Ya nggak lah. Libur
apaan hari ini?" "Ya, makanya gue jemput lo. Gue anter lo ke sekolah."
"Kenapa?" "Sini..." Inov menangkap pergelangan tangan Mima, lalu jalan
nyamperin motor sambil menggandeng Mima. "Mi, lo nggak lupa
obrolan kita tadi malam, kan?"
Mima mendelik. Pertanyaan Inov suka ajaib deh. Tentu aja Mima
nggak lupa. Mana mungkin dia melupakan fakta-fakta heboh dan
mengerikan yang dia dengar tadi malam? Apalagi sekarang Mima
terlibat di dalamnya. Memang Inov pikir Mima pikun? Amnesia?
"Nggaklah. Mana mungkin gue lupa."
Inov ngangguk cepat. "Makanya gue jemput lo. Kita ?pacaran?,
inget, kan?" Mima nggak tahan untuk nggak melongo. "Jadi pacarannya
termasuk nganter ke sekolah?" tanya Mima polos.
Inov ngangguk lagi. "Dan pulang sekolah."
"Hah? Pulang sekolah juga lo bakal jemput gue?" Jadi betul-betul
servis antar-jemput nih? "Iya, iya, iya. Mereka pasti lagi ngawasin kita, Mi. Bang Rudi juga
nyaranin agar gue nggak biarin lo sendirian selama mereka
mengobservasi kita."
"Observasi kita? Emang kita kodok pake diobservasi segala?"
Mata Inov menyipit serius. "Bukan saatnya bercanda, Mi. Paling
105 nggak seminggu, mereka bakal ngamatin kita secara intensif.
Terutama ngamatin elo. Mereka harus mastiin bahwa lo benerbener bisa dipercaya dan gue bisa ?pegang? lo."
GLEK. Mima menelan ludah gusar. "Oke." Mima akhirnya
pasrah. "Nih." Mima langsung memakai helm yang disodorin Inov dan naik ke
boncengan motor trail Inov.
"Pegangan dong," kata Inov pendek.
"Apa?" Tangan Inov menggapai ke belakang, lalu menarik tangan Mima
supaya pegangan di pinggangnya. "Mana ada orang pacaran
boncengan, tapi kayak naik ojek? Lo jangan kayak orang panik.
Dijemput pacar harusnya bahagia, bukan panik. Pegangannya sama
gue. Bukan besi jok."
Mima meringis. "Nov... lo anter gue jangan sampe depan sekolah
ya," kata Mima sambil maksa nyengir.
"Nggak bisa. Gue anter lo harus sampe depan gerbang. Mana
ada pacar nganter ceweknya nggak sampe gerbang?" tolak Inov
mentah-mentah. "Yah, Nov, terus gue ngomong apa kalo anak-anak liat? Kalo
Gian nanya, gimana?"
Inov menyalakan mesin motor. "Bukannya lo jago ngomong?
Masa ngeles gitu aja nggak bisa." Lalu, tanpa ngasih kesempatan
Mima jawab apa-apa lagi, Inov menyentak gas motor trail dan
langsung melaju ke jalanan.
Huh! Dasar Terminator somplaaak! Enak aja ngomong kayak gitu.
Emangnya Mima segitu tukang ngibulnya? Dasar robot yang cuma
diprogram buat bikin pusing doang! Mima nggak sengaja melirik
tangannya sendiri yang melingkar di pinggang Inov. Ternyata
punggung Inov bidang juga ya. Wangi parfumnya juga enak.
Lembut, tapi macho. Inov juga cocok banget naik motor trail. Dia
106 keliatan modis, tapi macho. Istilah fashion-nya efortless. Nggak
usah usaha banyak untuk terlihat keren. Kebalikan dari Gian yang
nggak jago naik motor. Naik motor bebek aja gugup dan nggak
pede boncengan. Kalau naik motor trail yang tinggi begini, janganjangan dia bakal nyungsep ke selokan.
Gian duduk gelisah di taman belakang ruang OSIS.
"Sori, Gi, lama. Tadi dimintain tolong bawa buku ke ruang guru."
Mima muncul dan langsung duduk di samping Gian. Sedetik
kemudian Mima langsung sadar ekspresi Gian aneh. "Gi, kamu
kenapa? Sakit?" Gian menggeleng pelan. "Nggak. Aku nggak sakit. Mi, aku boleh
tanya sesuatu sama kamu? Tapi aku minta kamu jujur."
Dari nada suaranya aja, Mima yakin ada yang nggak beres. Mima
mengangguk ragu. "Tanya apa? Kok serius banget sih?"
"Mi... tadi pagi, kok kamu bisa dianter ke sekolah sama Inov?
Bukannya dia udah pulang ke Surabaya kemarin? Terus, ada anakanak yang bilang, kalian berdua... mesra."
Jadi, Gian tau?! Tenggorokan Mima langsung seret. Tiba-tiba
Mima kesal setengah mati teringat tengilnya Inov waktu Mima
nanya dia harus bilang apa sama Gian. Huh! Nggak nyangka Gian
bakalan nanya secepat ini. Mima bahkan belum sempat mikirin
jawaban satu pun! "E...eh, iya, dia emang nggak jadi pulang ke
Surabaya, Gi." "Kenapa?" Kenapa ya? Mima panik setengah mati. "Dia... dia katanya
disuruh bundanya untuk sekalian survei... survei sekolahan di sini.
Nanti pas masuk sekolah, kemungkinan dia mo sekolah di Bandung
lagi." Ah! Jawaban Mima tadi kayaknya cukup meyakinkan. Ya,
kan? Gian mengernyit. "Ke sekolah ini lagi?"
107 "Uhm... yah belum tau, Gi. Kan namanya juga baru survei. Ke
sekolah mana yah nggak tau."
Gian ngangguk-ngangguk dengan ekspresi gelisah. "Terus...?"
"Terus apa, Gi?"
"Terus, kenapa kamu ke sekolah bareng dia dan... katanya
mesra?" Seandainya Mima jin botol, kayaknya Mima bakalan langsung
ngumpet ke dalam botol apa pun yang terdekat. Botol kecap, botol
sambel, botol minyak angin, apa pun lah, yang penting Mima bisa
menghindar. "Mesra? Mesra apaan sih? Itu anak-anak yang lebay
aja. Aku boncengan terus pegangan biasa. Masa aku boncengan
nggak pegangan? Biarpun pake helm kalo harus jatoh sih ogah, Gi.
Uhm... tadi kebetulan Inov ke rumah, nganter titipan bundanya
buat Mama, jadi aku... sekalian nebeng." Mima nggak tau harus
ngarang alasan apa kalau besok atau besoknya dan hari-hari
selanjutnya dia kepergok Gian lagi. Yang penting menyelamatkan
diri hari ini dulu deh. "Gitu?" tanya Gian ragu.
Mima mengangguk (sok) yakin. "Iya, gitu. Gimana lagi emang?
Kamu kenapa sih nanyanya kayak gitu, Gi? Jangan bilang... kamu
cemburu, ya? Masa sih kamu cemburu sama Inov? Kan dia yang
nyomblangin kita." Gian buru-buru menggeleng. "Oh, nggaklah, Mi. Bukan cemburu.
Aku cuma nanya karena kebetulan aku dengar. Sebagai pacarmu,
wajar kan aku nanya? Kesannya nggak enak kalo aku denger dari
omongan orang. Yang penting kamu udah jawab jujur."
Mima cuma tersenyum getir. Sayangnya, Gi, nggak ada satu pun
kalimatku tadi yang jujur.
Kiki, Riva, dan Dena duduk menghadap Mima. Sementara Mima
duduk di kursi di seberang mereka, sendirian. Udah kayak terdakwa
aja. Padahal sekarang mereka lagi berada di kantin sekolah.
108 "Beneran si Inov masih di sini bukan karena lo dan masih pengin
kangen-kangenan?" tanya Dena dengan tatapan menyelidik. Tinggal
dikasih kaca pembesar, dia cocok jadi detektif.
Emang sih Inov di sini demi Mima. Tapi kan bukan untuk kangenkangenan. Mima menggeleng. "Ya, bukanlah. Dibilangin, dia lagi
cari sekolah." Mima akhirnya kasih jawaban yang sama seperti yang
dia bilang ke Gian. Kalau jawaban Mima beda-beda, terus Mima
salah ngomong, kan bisa berabe.
Gantian Kiki menilik Mima dengan muka mengerucut curiga.
"Beneran lo nggak ada hubungan apa-apa sama dia, Mi? Tadi pagi
banyak yang liat kok lo boncengan sama dia sambil meluk pinggang
mesra gitu." Pertanyaannya sama kayak Gian nih. Emang sekarang Mima
"pacar" Inov. Tapi kan cuma akting di depan para penjahat itu.
Bukannya pacaran beneran. Mima menggeleng lagi. "Nggak adaaa...
Hubungan apaan sih? Kadang-kadang kalo barang bawaan gue
berat gue juga suka megang pinggang Mang Udan. Terus gue jadi
pacaran gitu sama Mang Udan? Nggak, kan? Jangan berlebihan ah!
Di mana-mana orang naik motor ya pegangan pinggang. Masa iya
megang jidatnya atau sepatunya. Ajaib banget posisi naik motornya
kalo kayak gitu." "Yeee, dia malah bercanda," protes Riva. "Kami nanya serius"
"Gue juga jawab serius."
Kiki, Riva, dan Dena saling lirik.
"Bener lo nggak bohong?" tantang Kiki.
Mima ngangguk. "Bener ya?" tanya Kiki lagi, "Kalo lo bohong...?"
"Jerawat lo meledak," potong Mima sambil nunjuk jerawat yang
baru dua hari ini nangkring di hidung Kiki.
Kiki mendelik. "Kok lo yang bohong, malah jerawat gue yang
meledak sih? Jerawat lo dong!"
"Gue kan nggak jerawatan. Muka gue mulus, tanpa hambatan,"
jawab Mima ngeselin sambil mengusap mukanya gaya model iklan
krim antijerawat di TV. "Lagian aneh-aneh aja sih. Masa pada nggak
percaya sama gue? Udah dijawab malah nuduh yang nggak-nggak.
Gue nggak bohong sama kalian. Oke? Pertanyaan setelah ini bakalan
gue jawab ?no comment?."
"Sok artis lo ah!" Riva mencibir keki.
"No comment," kata Mima sambil mengangkat tangan dan mulai
makan siomay. Ini udah kayak deja vu. Menyimpan rahasia Inov
dan kecemplung di dalamnya. Tapi kali ini jauh lebih besar dan
bahaya. Mima berjalan cepat ke gerbang belakang sekolah. Tangannya sibuk
menekan-nekan keypad HP, menelepon Inov. "Halo, Nov. Lo udah
di gerbang belakang? Iya, gue lagi jalan ke sana. Tunggu ya." Mima
menekan tombol End. Buset. Pulang sekolah aja urusannya jadi ribet begini. Mima
sengaja minta Inov jemput dia di gerbang belakang untuk meminimalisasi jumlah orang yang bakal liat mereka pulang bareng.
Terutama Kiki, Riva, Dena, dan Gian tentunya.
Motor Inov tampak terparkir di bawah pohon besar di pelataran
parkir belakang sekolah. Inov-nya ya nangkring di motor sambil
melipat tangan di dada dan bolak-balik melihat ke arah gerbang.
Inov mengangkat tangan, melambai sekilas begitu melihat Mima
keluar gerbang. Mima buru-buru jalan ke arah Inov. "Pokoknya kalo jemput di
gerbang belakang sini aja, ya? Pusing gue diinterogasi Gian, Kiki,
Riva, dan Dena. Belum lagi anak-anak pada ngegosip. Di sini lebih
aman. Lebih sedikit yang keluar lewat sini."
"Oke. Siap, Nyonya."
"Yeee, malah ngeledek lagi. Katanya, situasinya serius, bukan
waktunya bercanda," sungut Mima manyun.
110 "Emang lo kayak nyonya," balas Inov lempeng, "bawel. Banyak
aturan." Minta dijitak banget nih cowok satu. Dia yang bikin Mima kejebak
masalah ini, eh, malah Mima yang dikatain banyak aturan. Perasaan
sekarang Mima deh yang terpaksa ngikut banyak aturan.
"Saya udah meeting sama dewan sekolah, Gi, kita putuskan
untuk bangun parkir sepeda di pelataran belakang. Sebagai ketua
OSIS, meeting selanjutnya kamu harus ikut." Itu suara Pak Norman.
Tapi... siapa tadi yang dia ajak ngomong? Gi?
"Baik, Pak."

Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

BAGUS! PERFECT! MANTAP! SEMPURNA! Itu Gian, yang lagi jalan
sama Pak Norman ke gerbang keluar menuju pelataran parkir,
tempat Mima dan Inov berdiri sekarang.
Mima langsung pucat. Apa jadinya kalau Gian liat Inov jemput
dia pulang, di gerbang belakang pula? Kesannya ngumpet banget.
"Sini!" desis Inov tiba-tiba sambil menarik badan Mima ke balik
pohon dekat mereka berdiri. "Ssst!" Inov memberi kode Mima
supaya diam. Mima meringis. Berusaha tenang.
Tapi, posisinya ini lho. Gimana bisa tenang coba, sementara Inov
memegang bahu Mima dan menarik cewek itu sampai posisi badan
mereka kelewat dekat dan hampir nempel. Posisi mereka kayaknya
bisa masuk kategori pelukan. Muka Mima sekarang persis di bawah
dagu Inov dan menatap lurus ke jakun Inov yang tampak naik-turun
karena tegang. Mima bahkan bisa merasakan embusan napas Inov di atas
kepalanya. Hangat dan nggak beraturan. Kompak dengan jantung
Inov yang juga deg-degan dan terasa di siku Mima yang menempel
di dada Inov. Dan ternyata deg-degan itu menular. Sekarang Mima
ikutan deg-degan. Kalau mereka lagi sial dan kepergok dalam posisi kayak gini,
111 bukannya sukses ngumpet, yang ada mereka disangka mesum di
balik pohon! Kenapa sih lagi-lagi mereka terancam kepergok
disangka mesum? Waktu itu di dalam ruko, sekarang di balik
pohon. Duh... Gian sama Pak Norman masih diem di situ nggak sih?
"Nah, di sini posisinya." Suara Pak Norman malah kedengeran
sangat dekat di balik pohon.
Mima mendongak, mencoba mengintip ke arah Inov.
Inov menatap Mima penuh arti dan menggeleng pelan, tanda
mereka belum aman karena Pak Norman dan Gian masih ada di
sana. Bahkan posisinya sekarang lebih dekat.
Tau-tau Inov memegang bahu Mima lebih erat, lalu menarik
Mima lebih dekat sambil mengarahkan Mima bergerak ke sisi lain
pohon, menghindar dari Pak Norman dan Gian yang posisinya
semakin dekat. Haduh! Ini kapan udahannya? Mima bisa betulan pingsan kalau
gini caranya. Sama Gian yang pacarnya sendiri aja Mima belum
pernah berdiri sedekat ini. Oke, waktu pertama ketemu Inov lagi,
waktu itu Mima emang releks melompat dan memeluk Inov. Tapi
situasinya beda. Kalau sekarang...
"Lo deg-degan, ya?" Tau-tau Inov berbisik sambil menunduk
supaya bisa liat Mima. Mima mendelik. "Ih, apaan sih? Ge-er!"
Inov menaikkan alis. "Ge-er apaan? Emang lo nggak deg-degan
takut kepergok Pak Norman sama Gian?"
Sial! Itu toh maksudnya. Muka Mima langsung merah padam.
Tolol banget deh Mima. Kenapa bisa mikir ke mana-mana sih?
Jelaslah maksud Inov deg-degan karena takut ketauan, bukannya
karena pelukan. Bisa-bisanya Mima mikir ke sana. Ck ck ck, memalukan. "Ya, deg-degan, dikit."
Dalam hati Inov geli sendiri karena ekspresi panik Mima dan
mukanya jadi merah padam. Mima pasti salah tingkah gara-gara
posisi berdiri mereka sekarang.
112 Jangankan Mima, kalau aja cewek itu tau Inov juga deg-degan
setengah mati karena grogi.
Wangi rambut Mima manis. Bikin Inov salah tingkah karena
seolah dia sengaja menghirup wangi rambut Mima. Padahal ya
boro-boro sengaja, pucuk kepalanya kan tepat di depan lubang
hidung Inov. Tapi Inov nggak munaik juga. Dia memang sayang
sama Mima. Cewek ini udah menyelamatkan hidupnya. Bahkan
situasi sekarang jadi begini karena Mima nggak bisa diam aja
melihat kejanggalan Inov. Mima memang bawel, berisik, suka ribet,
tapi tulus dan perhatian.
"Nov, mereka masih ada?" bisik Mima menyadari Inov dan dia
udah mulai saling ngomong dan nggak tahan napas lagi kayak
tadi. Inov mengecek keadaan. Tampak punggung Pak Norman dan
Gian menjauh, masuk kembali ke gerbang sekolah. Inov menggeleng. "Mereka udah pergi. Aman."
"Terus, sampe kapan kita mo kayak gini?" Mima masih dengan
muka kemerahan menunjuk bahunya yang masih dipegang Inov.
"Eh..." Inov releks melepaskan pegangannya. Sambil berjalan
ke luar dari balik pohon Inov sibuk menggosok-gosok rambutnya,
serbasalah. "Nih, pake..." Inov menyodorkan helm. "Buruan naik,
sebelum ada yang ke sini dan kita harus ngumpet di balik pohon
kayak tadi!" kata Inov canggung.
Mima nyengir tengil. Deg-degannya udah pergi dan keahlian
jailnya balik lagi. "Emang kenapa, lo deg-degan ya deket-deketan
sama gue di balik pohon? Terpesona, ya?"
Inov melongo. "Ngomong apaan sih?"
Dengan cengiran tengil yang dua kali lebih tengil daripada yang
tadi, Mima menowel pinggang Inov. "Udaaah... ngaku aja. Degdegan, kaaan? Salah tingkah, kaaan? Terpesona, kaaan?"
"Mima! Jangan gila mendadak. Udah, buruan naik!" Inov buruburu memasang helm dan melompat ke motor. Tapi Mima yakin
113 seratus persen sebelum Inov pakai helm, dia liat muka cowok itu
merah padam salah tingkah.
Mima melompat naik ke boncengan Inov. Lalu tanpa disuruh,
sambil cekikikan Mima memeluk pinggang Inov, dan makin
cekikikan begitu Inov nyaris lompat karena kaget.
Oke, "petualangan" kali ini memang besar dan penuh bahaya.
Tapi... kayaknya, biarpun begitu, Mima bakal menikmati saat-saat
bareng Inov. Mima berusaha berpikir positif. Ini nggak akan lama.
Entah gimana, Mima yakin Inov nggak akan membiarkan Mima
kenapa-kenapa. Dan seserius apa pun keadaannya, ngebayangin
dia bisa sedekat ini sama Inov dan melihat Inov salting kayak tadi,
sepertinya Mima bisa bertahan.
114 Sepuluh EH Jul menatap miris spageti yang menggulung kaku di
dalam piring. "Ya ampun, Neeeng, ini mah belum mateng
atuhh. Liaaat nihhh... masih kaku kejang beginiii..." JLEB!
dengan garpu ukuran raksana Teh Jul menghunjam bagian tengah
gulungan spageti dan mengangkatnya. Sumpah, bentuknya nggak
kayak spageti. Tapi lebih mirip sarang burung dari jerami yang
ujung-ujungnya mencuat-cuat tajam.
Mima mengamati sambil meringis. "Masa sih, Teh, belum mateng?"
"Euuuh, si Eneng nggak percaya amat deh. Helooo, Neeeng.
Helooo... ini meuni kaku begini. Kalo nggak percaya sama
pengamatan Teh Jul mah, dicoba aja atuh. Biar yakin. Dicicip."
Mima menggeleng cepat. "Nggak deh!" Kalau Teh Jul udah
kepedean gitu, artinya dia yakin banget dia benar. Mengingat
keahlian Teh Jul dalam hal masak-memasak yang menurut pengakuannya bisa ngalahin chef?chef cantik di TV swasta, biasanya
kalau dia yakin kayak tadi, artinya 99,99% nggak bakal salah. Jadi
Mima memutuskan untuk percaya aja. "Terus gimana dong, Teh?
Dicemplungin lagi biar lembek?"
Jadi setelah dua hari kucing-kucingan diantar-jemput Inov tanpa
ketahuan Gian, tibalah hari ini. Sabtu. Biasanya Mima dan Gian suka
jalan-jalan buat nonton, makan, atau sekadar muter-muter di mal.
Ya, kayak umumnya orang pacaran pas malam Minggu deh.
115 Semacam jadwal wajib. Tapi Sabtu ini jelas nggak bisa. Mima kan
lagi menghindari pergi ke tempat-tempat umum sama Gian. Biarpun
belum tentu ketauan sama komplotan Beny, menurut Inov mereka
harus superwaspada. Jadinya begini deh. Mima terpaksa masak.
Dengan melempar alasan pengin kencan beda, Mima mengusulkan agar Gian datang ke rumah dan dinner di rumah Mima.
Ditambah iming-iming Mima yang masak spesial buat mereka. Tapi
seperti seluruh dunia manusia, dunia hewan, dunia tumbuhan,
bahkan dunia setan tau, Mima masak apa pun pasti gagal. Bahkan
masak mi instan pun nggak stabil. Kadang lembek, kadang keras,
kadang kebanyakan kuah, pernah juga kurang air sampai seret dan
mi-nya ngembang kayak gerombolan cacing lagi gulat. Tapi demi
menghargai Gian yang dengan baik hati dan mendukung ide Mima
yang berniat masak buat mereka berdua, akhirnya Mima nekat
masuk dapur. Yah, paling nggak jadinya Mima kan nggak seratus
persen bohong bahwa masakannya betul-betul dia masak sendiri.
"Masak lagi yang baru atuh, Neng. Masa yang gagal dimasak
lagi? Bisa makin kacaaau..." Teh Jul mengangkat bungkus spageti
mentah dan menyodorkannya ke Mima. "Si Eneng baca dong
petunjuknya. Kan ada tuhhh, harusnya dimasak berapa menit."
Sambil manyun Mima menyalakan kompor kembali dan siap-siap
memasak ulang. "Kan tadi keliatannya kayak udah mateng, Teh."
"Itu pan keliatannya. Apa yang keliatan belum tentu sesuai
kenyataan, Neng. Bisa aja patamorgana," cerocos Teh Jul ngaco.
"Mestinya sebelum diangkat, comot dulu satu. Tes, pencet-pencet,
udah mateng apa belum. Kalo udah, baru deh angkat semua,"
katanya sambil memeragakan memencet-mencet ujung spageti.
"Nah, habis itu, pas disaring kasih minyak sedikit. Biar nggak
lengket kayak cacing berantem gini, Neeeng..."
Kalau bukan karena Mima memerlukan keahlian Teh Jul yang
jago masak, pengin rasanya dia jejelin kerupuk udang ke mulut Teh
116 Jul biar bibirnya jontor karena alerginya kumat. Teh Jul kan alergi
udang. Tapi nggak parah. Efeknya cuma bibir jadi jontor dan gatalgatal seluruh tubuh. Dengan satu tablet obat alergi yang dijual di
apotek, dia bisa langsung sembuh.
"Iyaaa... iyaaa... bawel banget, ya? Kasih udang lho!"
"Eits! Jangan maen udang atuh, Neng. Mengancam itu namanya.
Kalo sama udang, Teh Jul nyerah."
"Makanya jangan bawel," rutuk Mima sambil mencemplungkan
spageti mentah ke panci. Yah, lama lagi deh nih masaknya. Belum
lagi bikin saus bolognaise-nya. Masak memang menyiksa!
"Wihhh, tanda-tanda kiamat apa lagi nih? Mima-si-masak-apapun-gagal masuk dapur!" Tau-tau Mika berdiri di ambang pintu
dapur dengan muka heran, tapi mix sama muka ngeledek.
"Ka, kamu kalo cuma mo ganggu dan bikin kesel aku, mendingan
run for your life sekarang. Sebelum aku kalungin celemek Helo Kitty,
terus aku suruh ngiris bawang Bombay sampe kamu ingusan karena
nangis!" ancam Mima sambil melotot.
Mika malah cekikikan. "Ancaman yang menakutkan. Ge-er kamu.
Siapa juga yang mo ganggu? Tanpa diganggu juga masakan kamu
udah pasti jadi bencana dunia kok. Itu, pacar dateng!"
"Gian?" "Ya, kalo pacar kamu cuma satu."
Mima mengernyit. "Maksudnyaaa?"
"Maksudnya, ya udah, ke depan sana. Urusan masak-masak biar
Teh Jul, daripada jadi bencana alam!" lalu Mika ngeloyor pergi.
"Teh, titip dulu, ya?"
Teh Jul mencibir. "Masakin maksudnya?"
"Yah, gimana ikhlasnya Teh Jul ajalah. Aku ke depan dulu." Mima
buru-buru melepas celemek dan melangkah ke ruang depan. Ah,
Gian ngapain datang kecepetan sih? Mima belum selesai masak.
Belum mandi. Belum dandan. Mana masakannya gagal! Ini sih bisa
dipastikan kencan dinner-nya bakalan ga...
117 "Lho, Inov?" Mima kebingungan sendiri melihat Inov yang duduk
di teras rumah, bukan Gian.
"Sibuk, Mi?" Mima meluruskan lengan bajunya yang tadi digulung jadi kutung
waktu masak. "Ya... bisa dibilang gitu. Gue lagi masak. Soalnya ntar
sekitar setengah tujuhan gue sama Gian mo dinner di sini. Makan
masakan gue. Kan lo bilang gue jangan ke tempat umum sama
Gian, jadi yah, gue ganti sama dinner di rumah aja."
"Batalin, Mi." "Hah?" Saking kagetnya mulut Mima mangap nggak terkontrol.
Inov maju ngedeketin Mima. "Lo kontak Gian, batalin janji. Lo
harus ikut gue, sekarang. Urgen."
Mima terdiam mencerna kata-kata Inov. "Tunggu, tunggu... gue
harus batalin janji dinner gue sama Gian, terus gue harus ikut lo,
gitu? Kok tiba-tiba? Mo ke mana? Lagian ini kan malam Minggu,
gue udah janjian sama Gian. Terus kalo tiba-tiba gue batalin, gue
harus bilang apa? Gian bisa curiga."
Inov menatap Mima lekat-lekat. "Tapi lo harus batalin, Mi. Hari
ini Bos Kecil minta kita kumpul. Bukan untuk pembicaraan ?aksi?
selanjutnya, tapi kumpul-kumpul santai anggota. Semua wajib
datang. Termasuk yang pacar-pacarnya udah ?masuk? ke lingkaran.
Itu artinya termasuk lo. Terutama lo."
"Terutama gue?" Mima mengulangi kalimat terakhir Inov.
"Iya. Dengan lo datang, mereka mo mastiin lo beneran pacar
gue, bahwa lo beneran udah gue pegang dan sepenuhnya aman
buat mereka, bukan sekadar orang yang gue kenal dan gue
selametin karena kepergok nguping. Dengan lo datang, mereka
bakal yakin bahwa lo udah setuju ?masuk?. Ini penting buat misi ini,
Mi. Pembuktian. Lo inget, kan? Konsekuensi."
Hhh!!! Rasanya Mima pengin neriakin Inov "Konsekuensi jidat lo
rata?!". Konsekuensi sih konsekuensi, tapi rasanya Inov nggak
118 nyebutin bahwa Mima harus stand by kapan aja dan harus mau
diajak ketemu lagi sama orang-orang menyeramkan itu. Mima kira
mereka cukup akting pacaran yang meyakinkan selama dalam
pantauan. Tapi yang kayak gini, Mima asli nggak siap. Mima nggak
mau ketemu orang-orang itu lagi!
Inov meraih sebelah tangan Mima, lalu berkata dengan pelan,
"Mi, gue tau lo takut. Tapi ini demi keamanan lo juga. Ada gue, ada
Abang. Gue nggak bakal biarin lo kenapa-kenapa. Ini cuma acara
kumpul-kumpul makan. Lo cukup terus ada di dekat gue dan makan,
terus kita pulang. Oke?"
Mima menghela napas pelan. Dia tau Inov nggak mungkin
membahayakan Mima. Jadi, apa pun yang Inov bilang sekarang,
pasti yang terbaik untuk situasi ini. Mima cuma harus berpikir cepat,
harus bilang apa sama Gian. Mima melirik jamnya. Setengah enam.
Harus segera ngabarin Gian, sebelum cowok itu berangkat dari
rumah. Dengan berat hati, akhirnya Mima pakai nama Mika buat alasan.
Mima bilang sama Gian bahwa Mika mendadak sakit perut mencretmencret dan minta dianter ke dokter. Mima bilang dokternya penuh
dan setelah daftar via telepon, Mika dapat urutan nomer 32. Betulbetul materi bohong yang cetek. Tapi Mima nggak bisa mikir yang
lain. Dan untungnya Gian percaya. Dia terdengar kecewa, tapi nggak
bisa apa-apa. Skinny jeans hitam, oversized T-shirt, jaket jeans, Converse, plus
gelang-gelang kulit di tangan Mima menurut Inov udah cukup oke
untuk dandanan pacar anggota komplotan curanmor paling
berbahaya di Bandung. Mima menangkap helm yang dioper Inov
sambil cemberut. Helm ini lama-lama serasa jadi miliknya. Dalam
beberapa hari aja kayaknya Mima udah sering banget pakai helm
ini. "Serius tadi lo masak buat dinner?" tanya Inov waktu Mima sibuk
pakai helm. Mima mengangguk. "Iya."
"Masak apa?" "Spageti." Inov manggut-manggu serius. "Untung juga dinner?nya nggak
jadi ya?"

Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mima mengeryit. "Maksud lo?"
"Untung aja. Coba kalo jadi. Lo yakin Gian nggak bakal keracunan
makanan? Yang ada lo beneran ke rumah sakit nganter Gian."
BUK!!! Mima melepas lagi helmnya buat menggebuk punggung
Inov. "Kalo gue racunin lo aja, gimana? Masih utuh tuh spagetinya.
Ntar gue kasih saus spesial. Sandal jepit giling dengan topping
cangcut bekas pakai. Mau?"
Inov terkekeh pelan. "Gue tenang kalo lo udah ngomel-ngomel
gitu. Ayo." Acara kumpul geng ini bukan di kafe atau restoran seperti acara
kumpul-kumpul anak muda pada umumnya. Mereka kumpul di kafe
tenda pinggir jalan di daerah Gasibu. Kafe tenda yang satu ini
kayaknya memang udah di-booking sama mereka. Nggak ada geng
lain atau pelanggan lain yang mampir ke tenda ini.
Geng lain nggak mampir mungkin karena udah paham etika
sesama geng. Kalau pelanggan biasa, pasti menghindari gerombolan
orang-orang kayak gini. Mima nggak bisa tenang. Dia takut banget
ada yang liat dia di sini, lalu ngadu sama Mama. Atau Papa. Atau
Mika. Atau teman-temannya. Tapi kayaknya Mima nggak perlu
sekhawatir itu sih. Teman-temannya kayaknya nggak ada yang main
ke daerah sini. Mereka tipe yang nongkrong di mal atau kafe-kafe
keren di Bandung. Tetap aja sih, waspada itu harus.
"Jadi cewek lo udah ngerti rules di sini, kan?" Abang mengedipkan
sebelah mata sambil menyodorkan minuman ungu. Di belakang si
Abang, Anting berdiri sambil mengamati penasaran.
120 Inov sempat cerita waktu mereka makan pecel lele bareng di
dekat rumah Mima malam kemarin bahwa kalau lagi kumpulkumpul pada waktu siang begini, mereka minum minuman
berenergi sebagai pengganti minuman keras. Kalau kumpul-kumpul
yang lebih tertutup, mereka biasanya minum minuman keras.
Abang punya cara untuk mengelabui yang lain, seolah-olah dia juga
minum. Sedangkan Inov, dari awal dia di-set punya penyakit dalam
yang parah dan bisa mati kalau mabuk-mabukan atau merokok.
Seluruh anggota geng jelas nggak mau ada masalah kalau ada yang
mati di dalam komplotan mereka. Intinya, selama "aksinya" bagus,
mereka nggak peduli orang itu mau minum atau nggak. Lagian kata
Inov, yang lain nggak punya waktu untuk merhatiin apakah
semuanya betul-betul minum atau nggak.
"Gue udah jelasin semua, Bang. Tenang aja, dia ngerti banget
gue anggota geng ini."
Abang menepuk punggung Inov. "Bagus."
Mima cuma senyam-senyum canggung. Yang kumpul hari ini
bukan cuma Bos Kecil, Abang, Inov, Otot, dan Anting. Ada sekitar
belasan orang lainnya yang Mima nggak kenal. Beberapa orang
adalah cowok-cowok yang Mima yakin anggota komplotan ini.
Penampilan mereka nggak kalah "kriminal". Lalu ada empat cewek
seumuran Mima. Setelah mengamati, Mima bisa ambil kesimpulan bahwa di antara
empat cewek itu, dua orang adalah komplotan yang sering bertugas
mengalihkan perhatian target. Yang dua lagi posisinya sama kayak
Mima: pacar anggota. Mima sama sekali nggak berusaha berakrab
ria dengan mereka. Yang Mima lakuin sepanjang acara adalah tetap
berada sedekat mungkin dengan Inov.
Kumpul-kumpul mereka ini biarpun di kafe tenda bisa dikategorikan kumpul-kumpul bermodal. Ada hidangan kambing guling,
tongseng, sate, dan minuman gratis. Semua Bos Kecil yang tanggung. Katanya, memang mereka punya kas khusus untuk acara
121 macam begini. Komplotan mereka bukan komplotan curanmor
dengan hasil kecil-kecilan. Komplotan mereka profesional dengan
hasil jarahan besar, dan aksinya bikin resah warga Bandung.
"Bos!" Inov dengan pede nyamperin si Bos Kecil. "Gue cabut
duluan ya, Bos? Biasaaa... pacaran dulu, Bos. Hari ini nggak ada
meeting, kan?" Beny si Bos Kecil cengengesan penuh arti. "Mo mesum di mana
lo, hah?" Pipi Mima langsung memanas karena pertanyaan Beny. Parah
banget sih! Emangnya kalau orang pacaran pasti mesum?
Inov tertawa garing. "Bisa aja lo, Bos. Yang gelap-gelap lah
pokoknya. Biar asyik," katanya nyebelin, lalu ngakak bareng-bareng
si Bos Kecil, menjijikkan.
Idih! Baru seminggu gabung sama komplotan ini, tapi omongan
Inov udah bikin geli kayak itu! IH! Apa maksudnya tuh yang gelapgelap?
"Jangan lupa pengaman! HAHAHA..." pesan si Bos Kecil sambil
lalu. JIJAY! Pada kotor semua pikirannya. Mima risi, serasa ditelanjangi
dengan obrolan nggak senonoh tadi. Ya, dia sih nggak marah sama
Inov. Mima ngerti Inov cuma harus mengimbangi omongan si Bos.
Tapi awas aja, kalau ada yang berani macam-macam sama Mima.
Sejak ramai kasus pemerkosaan di kota besar Mima serius
mempelajari jurus bela diri yang praktis. Sikut dagunya, sikut
perutnya, lalu terakhir... ini yang mantap... tendang selangkangannya.
SEKERASNYA! Nggak perlu belajar karate supaya perempuan bisa
melawan aksi kejahatan. Cukup tau trik dan sasaran yang tepat.
"Yuk..." Inov sok santai merangkul Mima.
Mima melirik Inov. "Ke mana? Ke tempat yang gelap-gelap?"
cibir Mima. Inov cuma tertawa pelan. *** 122 Ternyata Inov betul-betul ngajak Mima "pacaran" dulu. Cowok itu
nggak langsung nganter Mima pulang, tapi membawa Mima
mampir Cihampelas Walk. Ke mal.
"Yuk," ajak Inov setelah matiin mesin motor.
"Ngapain kita ke sini, Nov? Gue pikir tadi lo alesan doang supaya
bisa cabut duluan dari acara kumpul-kumpul."
Inov mengunci motor. "Ya, emang. Karena gue mo ngajak lo
makan. Di sana lo kan nggak makan apa-apa."
Mima meringis. "Mana bisa gue makan di tengah gerombolan
penjahat gitu? Mana ada nafsu makan gue, Nov?"
"Berarti lo lapar kan sekarang? Kita ke KFC aja. Daripada di rumah
lo harus makan spageti beracun lo itu karena kelaparan."
Mima mencibir keki. "Terus aja ngeledek, Nov. Terusss... Suatu
saat lo akan dikutuk jadi cinta dan nge-fans banget sama masakan
gue. Lo akan menyembah-nyembah gue untuk masakin lo. Lo
bakalan ngiler 24 jam karena pengin banget makan spageti saus
sandal jepit giling dan topping cangcut bekas pakai buatan gue.
Dan saat itulah lo akan menyesal pernah menghina-hina masakan
gue hari ini." Mima melipat tangan, lalu mengangkat dagu, berpose
antagonis telenovela. Inov melongo. Menatap Mima nggak berkedip. Dan BRUK! Tautau Inov jatuh berlutut dengan badan membungkuk dan kepala
menunduk di lantai parkiran.
Ya ampun! Mima langsung panik dan mengguncang-guncang bahu Inov.
"Nov, lo kenapa, Nov? Nov?? Inov!"
Inov nggak bereaksi. "Nov! Lo kenapa sih? Jawab dong? Lo sakit? Kita ke rumah sakit,
ya?" Mima makin panik. "Gue panggil satpam deh, minta tolong."
HAP! Tau-tau sambil masih berlutut, Inov memeluk lutut Mima.
123 Mima terlonjak kaget. "Nov?!"
Lalu sambil memeluk lutut Mima, Inov mendongak pelan-pelan,
menatap Mima lurus-lurus, dan berkata lamat-lamat. "Spageti...
saus sandal jepit giling... topping cangcut..."
HAAAH?! Belum sempat Mima mikir, ngomel, bahkan ngedip, Inov melepaskan lutut Mima, lalu berdiri dengan supercepat dan mengacakacak rambut Mima cuek. Seolah-olah tadi dia nggak bikin kelakuan
konyol. "Nggak ada kutukan macam begitu. Kita makan," kata Inov
sambil berlalu. "Inov! SARAAAP! Lo ngerjain gue, ya?! Inov!" Mima lari-lari kecil
menyusul Inov. Dasar robot stres! Tadi Mima panik beneran! Dia
kira Inov sakit kayak dulu. Dia kira Inov mau pingsan.
Sementara Mima sibuk mukulin punggung Inov bertubi-tubi
setelah berhasil menyusul langkahnya, cowok itu terus aja
melenggang santai ke arah KFC.
"Nyebelin! Nyebelin! Nyebelin! Manusia nyebelin!" Mima ngomelngomel sambil terus memukul-mukul punggung Inov.
"Makan dulu deh, biar ada tenaganya dikit," ledek Inov sambil
lempeng jalan. UGHH!!! "Mima!" Tangan Mima yang udah ambil ancang-ancang untuk mukulin
Inov lagi mengambang di udara. Inov juga refleks berhenti
melangkah. Mereka berdua kompak menoleh ke arah suara yang
memanggil nama Mima tadi.
Dan di situlah Kiki. Cewek itu tampak baru keluar dari toilet
sambil menggandeng anak perempuan lima tahunan. Kalau nggak
salah itu sepupunya. "Kiki? Kok lo di sini?" tanya Mima releks.
Kiki membalas Mima dengan tatapan sejuta makna yang penuh
kode. Kira-kira artinya "harusnya gue yang nanya, kenapa lo di sini
sama INOV?". 124 "Nganter sepupu gue. Lo? Sama Gian juga? Apa berdua aja?"
"Uhm... berdua aja. Gue hari ini nggak jalan sama Gian. Ada
urusan bentar sama Inov. Ini baru kelar. Lapar, makanya mampir
ke sini. Lo udah makan? Kita mo ke KFC. Ikut?"
"Teh Kikiii... ayooo ke tempat maiiin...." Sepupu Kiki merengek
sambil menarik-narik tangan Kiki. "Cepetan, Teeeh...."
Kiki tampak bingung, antara mau nurutin sepupunya atau nurutin
insting keponya untuk menginterogasi Mima. Tapi berhubung
sepupunya merengek sampai histeris dan menunjukkan tandatanda bakal duduk ngejoprak di lantai, akhirnya Kiki nyerah daripada
malu. "Gue anter dia dulu, Mi... Nanti ya." Dan itu artinya Mima
harus press conference pada trio rusuh sahabat-sahabatnya.
"Masalah lagi. Kenapa harus ketemu Kiki sih? Besok gue jadi
harus jelasin deh ke mereka bertiga. Pusing!" keluh Mima sambil
menepak jidat. Inov menepuk-nepuk bahu Mima pelan. "Lo pasti punya jawabannya buat mereka," katanya tenang.
Huh! Enak aja Inov ngomong. Bukan dia yang harus meyakinkan
teman-teman dan pacarnya dengan cerita bohong. Bukan dia yang
harus mikirin alasan untuk besok. Berbohong itu nggak enak!
Karena sekali berbohong, kita harus terus berbohong untuk
menutupi kebohongan-kebohongan sebelumnya. Dan cuma satu
yang bisa bikin kita berhenti bohong: JUJUR! Yang nggak mungkin
banget Mima lakukan untuk sekarang.
125 Sebelas ESRA banget lagi!" koar Kiki berapi-api. Hari ini
mereka semua nggak ke kantin, tapi lebih milih
buat menginterogasi Mima di kelas. Sebetulnya
kalau keadaan normal, pasti kemarin Minggu, Kiki, Riva, dan Dena
bakalan langsung nyerbu ke rumah Mima untuk minta konirmasi.
Berhubung Riva ada acara kawinan, Kiki nganter ibunya belanja
bulanan, jadi diputuskan bahwa Mima harus menjelaskan semua
hari ini. Senin. Di sekolah.
Seenaknya aja nih Kiki ngomong mesra keras-keras. Mata Mima
langsung membelalak. "Wah, itnah! Mesra apaan?"
"Lo sama si Inov. Mesra banget. Gue kan liat lo berdua udah
sejak kalian nongol dari arah parkiran. Lo pukul-pukulan mesra gitu.
Hayo! Ngaku!" "Belibet otak lo, Ki! Orang pukul-pukulan dibilang mesra. Kalo
mesra tuh gandeng-gandengan, peluk-pelukan. Kalo gitu, preman
terminal mesra dong? Kan suka pukul-pukulan."
"Otak lo sama belibetnya, Mi." Riva ikutan komentar. "Pukulpukulannya preman ya beda dong, lebaaay! Gue yakin maksud Kiki,
lo berdua tuh pukul-pukulan gemes deh. Ya kan, Ki? Pukul-pukulan
gemes yaaa... indikasinya mesra!"
Kiki mengangguk mantap sambil menunjuk ke arah Riva, setuju,
lalu melanjutkan dengan acungan jempol semangat. "Nah! Pukulpukulan gemes. Itu dia!"
126 "Eh, setop, setop!" Mima memukul-mukul meja ala hakim minta
hadirin tenang. "Wah, mulai pada ngarang nih. Nggak ada pukulpukulan gemes. Coba ya belajar bahasa Indonesia yang bener.
Pukul-pukulan kan artinya interaksi dua arah, pelakunya dua orang.
Perasaan semalem cuma gue deh yang mukulin Inov. Itu juga
karena dia ngerjain gue."
"Sampe lo gemes, kan?" Dena yang sejak tadi hening tau-tau
nyeletuk lempeng. JLEB! Mima cengo, mati gaya. Kalo dipikir-pikir dia memang
mukulin Inov karena gemes dikerjain. Huh! "Ya, tapi bukan mesra!"
Mima ngeles salting. "Tapi gemeees...." Dena mengejek dengan santainya.
Demi kacang ijo di dalam bakpao, sumpah, tampang Dena
annoying banget. Tampang penuh kemenangan. Itu termasuk kategori ekspresi manusia yang menimbulkan hasrat pengin nabokin
pipinya pakai sandal jepit rombeng bekas nginjek pipis ayam.
Mima cemberut keki. "Pada kenapa sih? Kalian kan tau pacar
gue Gian. Masa iya kalian nuduh gue mesra sama Inov? Gue cuma
nganter dia ke rumah temen Mama dan bunda dia. Inov nggak tau
jalan." "Terus habis itu kalian jalan-jalan gemes di mal?" Kiki nyengir
lebar. Belum puas soal gemes-gemes.
"Ngarang! Habis itu kami lapar. Masa nggak boleh makan sih?
Makan berdua kan bukan berarti mesra. Kalo nenek gue jalan ke
mal, terus makan berdua Rai Ahmad, mesra juga? Kasian dong Rai
Ahmad kalo tiap jalan sama nenek-nenek dibilang mesra." Mima
betul-betul harus ngadepin mereka bertiga setenang mungkin.
Biarpun sekarang Mima jadi kepikiran masalah pukul-pukulan gemes
tadi, dia harus bisa kalem supaya mereka nggak curiga dan nanyananya lebih banyak.
"Gian tau lo pergi sama Inov?" Pertanyaan Dena yang ini bikin
Mima langsung panik. 127 "Nggak." "Lo nggak ngasih tau dia? Kan malam Minggu!" tanya Dena lagi.
Sementara Kiki dan Riva menyimak dengan muka penasaran
banget. Mereka kayak wartawan datang ke konferensi pers artis
yang ke-gap selingkuh. Bagian susahnya akhirnya datang juga. Menjelaskan soal Gian.
"Gue bohong sama Gian. Harusnya malam Minggu itu gue ada
acara sama Gian. Kalo gue jujur mo nganter Inov, nanti panjang
urusannya. Gian bisa curiga, atau cemburu. Terus gue bilang aja,
Mika mencret dan gue harus nganter dia ke dokter. Tapi hari
Minggu, gue menembus waktu gue kok. Gian lunch di rumah
gue." Kiki, Riva, dan Dena saling lirik. "Terus, dia nggak curiga pas
ketemu Mika baik-baik aja, nggak mencret-mencret?" tanya Riva.
Mereka berempat lucu juga ya kalau buka kantor detektif.
Kayaknya mereka jago deh urusan interogasi. Mereka nggak gampang menyerah dan rasa pengin taunya ada di level sadis. Mima
menggeleng santai. "Nggak ketemu. Mika nggak ada, pagi-pagi
udah berangkat. Kayaknya dia punya cewek. Lagian gue udah siapin
strategi kok kalo Mika ada di rumah. Udah gue pikirin semua."
"Emangnya si Gian nggak bingung pas tau, Mika sakit tapi
Minggu pagi udah jalan-jalan?" Dahi Kiki berkerut-kerut penasaran.
"Kan gue bilangnya Mika check up ke dokter karena belum
sembuh." Lalu ekspresi Kiki, Riva, dan Dena kompak berubah serius sambil
menatap Mima. Mereka saling lirik kayak saling melempar kode


Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

siapa-yang-mau-ngomong- duluan. Akhirnya Dena yang buka mulut.
"Wah, hubungan lo sama Gian bener-bener udah nggak beres, Mi.
Nggak salah akhir-akhir ini kami bertiga khawatir soal lo sama
Gian." "Hubungan gue sama Gian nggak beres gimana? Nggak ada
hubungannya deh." 128 "Ya, jelas ada," sambar Kiki cepat. "Gini ya, Mi , kalo lo udah
mulai cari-cari alasan sama cowok lo karena mo jalan sama cowok
lain, artinya lo udah nggak jujur sama dia. Terus ya, kalo lo nggak
ada apa-apa sama orang yang jalan bareng sama lo, ngapain lo
harus takut Gian cemburu, coba? Akhir-akhir ini kan kami bertiga
udah sering liat lo nggak nyaman sama Gian. Dan kami udah berkalikali nanya sama lo tapi lo selalu ngeles. Dan sekarang lo bela-belain
bohong ke Gian demi Inov." Urusan merepet dengan suara mencicit
cempreng kayak tikus emang Kiki deh jagonya. "Kemungkinannya..."
sambung Kiki yang ternyata belum selesai ngomong, "lo ada apaapa sama Inov, lo emang bermasalah sama Gian, ataaau... Inov
pelarian lo," katanya menganalisis sok tau.
Hmm, Mima memang ada apa-apa sama Inov. Seandainya
mereka tau urusannya lebih rumit daripada sekadar cinta-cintaan.
Tapi, Mima juga nggak bisa bohong sama diri sendiri bahwa dia
mulai membenarkan omongan sahabat-sahabatnya soal hubungannya dengan Gian. Mima bukannya nggak suka lagi sama Gian, tapi
emang nggak salah juga omongan mereka. Mima harus ngakuin
bahwa dia sering mati gaya kalau berlama-lama sama Gian. Mima
juga... sering nggak nyaman kalau Gian komplain hal-hal yang
menurut Mima nggak penting atau justru pribadi banget. Misalnya
cara jalan, cara ketawa. Ya, selama ini Mima nurut aja dan berusaha
mikir positif sih. Gian cuma mau Mima jadi cewek yang... hm... lebih
baik. "Mi!" Tiba-tiba Gian memanggil Mima dari ambang pintu.
Untung Mima nggak releks bilang "Panjang umur kamu, Gi"
begitu liat Gian. Kalau nggak, bisa ketauan mereka lagi ngomongin
cowok itu. Bisa kacau. Mima buru-buru berdiri menghadap ke arah
Gian. Sementara tiga mulut bawel lainnya langsung mingkem.
"Yuk!" Mima menepuk punggung sahabatnya satu-satu. "Gue ke Gian
dulu ya." Fiuhhh... Gian datang tepat waktu.
Tadi pagi Gian SMS Mima, memberitahu bahwa pas jam istirahat
dia punya kejutan buat Mima. Mima nggak punya clue sih kejutan
apa. Apa mungkin ada hubungannya sama ulang tahun Mima
beberapa hari lalu? Semacam kado susulan gitu? Waktu itu setelah
dibuka, ternyata kado Gian isinya buku fantasi yang sekarang pun
Mima lupa judulnya. Buku itu salah satu buku favorit Gian. Dia
berapi-api mempromosikan buku itu ke Mima, tapi Mima nggak
nyangka bakal dibeliin yang baru dan dijadiin kado ulang tahunnya.
Padahal Mima bakalan lebih seneng kalau Gian ngasih dia novel
Teenlit. Kayaknya lebih cocok buat Mima. Nah, siapa tau sekarang
Gian mau kasih kado lagi yang lebih "cocok" buat Mima.
"Gi, kita mo ke mana sih?" Mima mulai nggak sabar karena
mereka jalan terus ke ruang OSIS.
Gian melirik Mima sambil tersenyum misterius. "Kamu liat aja
nanti." Mima makin penasaran karena mereka sekarang berhenti di
depan pintu ruang OSIS. Siap masuk. "Eh, Gi, tunggu. Ngapain kita
ke ruang OSIS?" Dari luar Mima bisa mendengar suara obrolan,
tandanya di dalam ruang OSIS ada banyak orang. Suara-suara
obrolan para anggota yang udah kumpul tapi meeting belum mulai.
"Kalo kamu ada meeting, aku nunggu di luar." Mima sama sekali
nggak berminat ikut meeting OSIS. Sebelum ini kan Mima aktif
ikutan kegiatan OSIS karena ada misi PDKT sama Gian. Itu juga dia
nggak jadi pengurus OSIS, cuma jadi tenaga kasual saat ada kegiatan bazar atau pentas seni.
Gian malah senyum lagi. "Ya, kamu harus ikut, Mi. Soalnya
mereka emang nunggu kamu. Sekretaris OSIS yang baru."
HAH?! Mima tercengang. Kupingnya masih normal, jadi Mima
yakin dia nggak salah dengar. Sekretaris OSIS?
130 "A-apa, Gi?" Senyum Gian masih mengembang lebar, sama sekali nggak
nyadar bahwa Mima bukan kaget terharu, tapi syok. "Windy
mengundurkan diri dari jabatannya sebagai sekretaris OSIS, Mi.
Setelah rapat darurat aku langsung tau siapa yang cocok menggantikan Windy. Kamu. Dan semua anggota setuju. Aku yakin kamu
pasti jadi sekretaris OSIS yang bagus, dan kita... bisa kerja sama."
WOW WOW WOW! Mima mengerjapkan mata karena syoknya
bertambah dua kali lipat dan tadi dia sempat nggak berkedip. "E...
eh, tunggu, tunggu, kayaknya kamu belum pernah ngomong soal
ini sama aku. K-kapan aku setuju jadi sekretaris OSIS?"
Udah Mima gugup kayak gitu, Gian masih aja nggak nyadar.
"Justru itu kejutannya, Mi. Kalo aku kasih tau kamu, bukan kejutan
lagi namanya. Ya udah, nanti aja kagetnya. Kita masuk dulu. Semua
nunggu perkenalan resmi sekretaris OSIS yang baru." Gian meraih
pergelangan tangan Mima. "Eh, nggak, ntar dulu, Gi..." Mima releks menarik tangannya
dari genggaman Gian. "Kenapa, Mi?" Mima mundur, menjauh dari pintu. Mau nggak mau Gian ngikutin
Mima. "Gi, kamu nggak bisa jadiin aku sekretaris OSIS begitu aja
tanpa nanya sama aku. Harusnya kamu tanya dulu dong, aku mau
apa nggak. Kamu kan ngasih aku tanggung jawab. Kalian kan harus
cari orang yang kompeten."
Kayaknya Gian baru ngeuh bahwa tadi Mima bukan kaget terharu. Ekspresi Gian yang tadi semringah mau kasih kejutan, sekarang berubah serius. "Emangnya kenapa, Mi? Menurutku, kamu
kompeten. Kamu emang belum berpengalaman, tapi aku bakal
bimbing kamu. Yang lain pasti juga bakal bimbing kamu. Dengan
kamu ada di pengurus OSIS dan jadi sekretaris, kita juga kan kerja
bareng." "Tetep aja, harusnya kamu nanya aku dulu, Gi. Akunya mau apa
131 nggak. Ini kan menyangkut aku juga. Masa aku nggak diajak ngambil
keputusan?" Napas Mima mulai cepat, emosinya naik.
"Emangnya kamu nggak mau, Mi, jadi sekretaris OSIS? Untuk
masuk jadi sekretaris OSIS kan nggak gampang, Mi. Banyak yang
mau. Tapi semua yakin sama rekomendasi aku. Aku juga yakin
merekomendasikan kamu. Dengan kamu jadi sekretaris OSIS, kita
bisa punya lebih banyak waktu, dan bisa kerja bareng juga. Kamu
berkesempatan belajar organisasi dan kedisiplinan. Termasuk sikap
dan lain-lain. Kamu nggak akan susah berbaur, Mi, kan udah sering
ikut acara OSIS." Apa? Mima mengernyit. Kalimat Gian tadi itu kesannya Mima
nggak disiplin dan sikapnya kurang oke sampai-sampai harus
"dididik" di OSIS. Lagian, sekali lagi Mima tegasin, dia nggak minat
jadi pengurus. Dulu itu trik PDKT. Ya, sekarang juga kalau cuma
ikutan kegiatan dan jadi tenaga kasual sih Mima masih oke. Tapi
jadi pengurus? Itu artinya ada tanggung jawab yang Mima harus
pegang. Waktunya bakal terikat. Belum lagi, Gian kan perfeksionis
banget. Rasanya Mima ragu hubungan mereka bisa tetap profesional waktu kerja. Ini sih namanya cari masalah! Dan Mima
benar-benar nggak suka karena Gian nggak nanya pendapatnya.
Hal kayak gini bukan sesuatu yang bisa dijadiin kejutan. Sama
aja Gian nggak menghargai suara Mima. Sama aja Mima ditodong.
Disuruh jangan ngakak berlebihan kalau ketawa, Mima nurut.
Diminta untuk nggak kelewat ceplas-ceplos, Mima juga usahain
nurut. Tapi ditodong jadi sekretaris OSIS?
"Gi, sori... aku nggak bisa."
Di bayangan Gian, sepertinya Mima bakalan terharu karena tibatiba dikasih jabatan bergengsi kayak gini. Jadi Gian sama sekali
nggak siap dengan jawaban Mima yang ternyata malah menolak
dengan yakinnya. "M-maksud kamu? Kamu nolak?"
"Sori, Gi, aku nggak bisa terima tanggung jawab itu. Aku mo
balik ke kelas." 132 "Mi!" Gian menangkap tangan Mima. "Itu kejutan aku buat
kamu. Aku merasa kamu pantas ada di jabatan ini. Kamu cuma
perlu penyesuaian diri."
Mata Mima melotot tajam mendengar Gian masih ngotot dan
bukannya minta maaf. Kenapa kesannya jabatan ini begitu
berharganya dan Mima yang nggak bersyukur sih?
"Gi, dengerin aku ya. Kamu bisa ngasih kejutan ke aku dengan
ngasih anak anjing, anak kucing, bayi monyet, kolam bunga, atraksi
badut, apa pun deh, bakalan aku terima. Tapi ngasih tanggung
jawab kerjaan? Nggak bisa gitu aja dong, Gi. Makasih kamu udah
ngerasa aku kompeten, tapi aku nggak mau." Mima melepaskan
tangannya, lalu pergi. "Mi! Tunggu! Aku harus bilang apa sama yang lain?! Keputusan
itu udah diputuskan di dalam rapat, Mi! Mi!"
Mima mempercepat langkahnya ke kelas. Gian keterlaluan deh!
Harusnya dia lebih mikirin Mima yang jelas-jelas sekarang ngambek.
Bukannya malah mikirin gimana ngomong sama pengurus OSIS
yang lain. Lagian, itu bukan urusan Mima. Dia kan sama sekali nggak
terlibat! "Jadi karena itu lo sampe ngotot banget ke Lembang buat makan
ketan bakar?" Inov melirik Mima, lalu menyeruput teh panas. "Habis
sampe sini, ketannya dipelototin. Bukannya dimakan."
"Masih panas tau!" sungut Mima keki.
Selama di sekolah tadi, setelah ditodong jadi sekretaris OSIS,
Mima menghindari Gian. Bahkan di jam istirahat kedua, Mima
sengaja ngumpet di UKS biar nggak ketemu Gian. Untungnya, Mima
sukses menghindar sampai jam pulang sekolah dan naik ke
boncengan motor Inov. "Kalo panas ditiup, bukan dipelototin."
Mima mendelik kesal. "Protes aja deh! Sebenernya ikhlas nggak
133 sih nemenin ke sini? Cuma diminta nemenin makan ketan kok.
Ketannya juga gue yang bayar. Tugas lo cuma dengerin gue curhat
dikit. Gitu aja udah ngeluh. Melototin ketan aja diprotes! Terserah
gue dong ketannya mo dipelototin kek, ditiup kek, dilemparin ke
pantat kuda kek, ketan punya gue ini. Emangnya ada peraturan
gimana cara kita memperlalukan ket... HMPPH. INOV!!!" Inov
seketika membekap mulutnya.
"Iya, terserah lo ketannya mo diapain. Gue ikhlas nganterin lo
ke sini. Nemenin lo galau."
"Ish! Siapa yang galau? Gue cuma kesel sama Gian. Wajar dong
gue kesel! Dia nggak bisa dong gitu aja mutusin gue jadi sekretaris
OSIS tanpa nanya gue dulu. Terus kalo gue terima, nantinya ada
apa-apa, muka gue mo ditaro di mana coba?"
"Selama muka lo nggak bisa dilepas, ya di situ aja," sahut Inov
dengan suara lat, se-lat mukanya.
"Ah, lo ah! Seriusss tauuu!" Dengan sadis Mima mencubit lengan
Inov dengan jurus cubitan kecil. Itu lho, teknik nyubit penuh
dendam yang rasa sakitnya nyelekit karena daging yang dicubit
cuma seuprit. "AW! AW! AW! Gue juga serius. Emang jawaban gue salah?"
PLAK! Mima melepas cubitannya dan langsung mengeplak
lengan Inov yang bekas dia cubit. "Bener! Tapi bukan itu
jawabannya! Ah, Inov! Gue tuh kesel banget tau. Makanya gue
bela-belain ngajak lo makan ketan jauh-jauh, soalnya si Gian pasti
bakalan penasaran nyari gue ke rumah. Dia nggak mungkin betah
sama masalah yang nggak selesai. Sementara gue belum mau
ketemu dia gara-gara tadi. Kayaknya Gian nggak ngehargain
pendapat gue. Kok dia bisa yakin banget kalo gue pasti mau. Malah
dia bangga karena udah bisa bikin semua percaya dan setuju
rekomendasi dia. KESEEEL!"
Inov batal menggigit ketan, lalu menghadap ke samping,
menghadap Mima yang duduk sambil manyun di sampingnya.
134 "Menghindar sekarang emang ada bedanya? Lo pasti bakal ketemu
Gian juga. Apalagi lo masih jadian sama dia. Ya pasti harus ketemu.
Masalah itu kalo dibiarin nggak bakal pernah selesai. Mending lo
jelasin aja. Menunda-nunda cuma nambah masalah baru."
"Wuih!" Mata Mima membulat takjub. "Lo bisa bijak banget
gitu. Bisa ngomong gitu sekarang. Dulu lo disuruh lapor polisi,
nyelesein masalah lo sama Revo dan jujur sama Tante Helena,
alasannya macem-macem. Ujung-ujungnya ketauan juga."
"Persis. Itu maksud gue. Lo kan udah liat gimana kejadiannya
sama gue. Menunda masalah bukan berarti nyelesein masalah.
Mundurin deadline doang," kata Inov kalem.
Mima diam, membuang napas berat. Inov benar juga.
"Ngapain pusing sih? Ngomong aja jujur sama dia. Dia kan cowok
lo. Kalo dia sayang sama lo, gue yakin perasaan lo juga penting
buat dia. Dan dia bakal ngerti. Buat gue, perasaan dan pendapat
orang yang gue sayang itu penting."
"Sialnya, gue bukan cewek lo..."
"HMMPRFFRT! A...aapa?" Teh manis Inov spontan nyembur
gara-gara gumaman Mima tadi.
"Eh?" Muka Mima langsung merah padam begitu sadar dia
menggumamkan apa barusan. "Buset, biasa aja kali, Nov, nggak
usah nyembur juga. Gue bercandaaa... bercandaaa..."
Inov telanjur keselek dan sekarang batuk-batuk heboh. Sementara Mima sambil ngakak menepuk-nepuk punggung Inov.
Okelah, Mima harus berani ngomong jujur sama Gian.
135 Dua Belas Apakah reaksi yang benar untuk saat ini?
(A). Diem aja nunggu Gian selesai bengong.
(B). Melambai-lambai di depan muka Gian supaya dia sadar dari
bengong berkepanjangan. (C). Kabur. ARI ini Mima mengajak Gian bicara dan membahas
jabatan sekretaris OSIS itu di warung mi depan sekolah.
Sebetulnya, nggak bisa dibilang warung juga sih, mungkin
lebih tepat dibilang kafe mini. Tempatnya nggak sempit karena
pemiliknya menyulap garasi mobilnya jadi tempat makan mi yang
modern. Meja kursinya warna-warni dan lucu. Tempatnya juga adem
karena halaman rumahnya rindang dan penuh pohon. Biarpun
tempat ini baru buka sekitar tiga bulan, tapi udah rame pengunjung
karena asyik banget buat nongkrong. Murah lagi.
Kembali ke Gian. Akhirnya Mima jujur sama Gian soal ketidaksukaannya jadi sekretaris OSIS, termasuk menekankan bahwa dia
nggak suka Gian memutuskan itu tanpa nanya Mima dulu. Dan
inilah reaksi Gian. Kaget sampai tercengang.
"Aku bener-bener nggak ngerti..." Setelah beberapa detik jadi
patung, Gian balik jadi manusia lagi.
Fiuhhh... Mima diam-diam membuang napas lega. Lega karena
artinya dia nggak perlu bingung berkepanjangan dan salah tingkah
136 karena terbawa suasana canggung tadi. Satu lagi, dia lega karena
pikiran aneh yang sempat melintas di kepalanya tadi nggak terbukti.
Tadi Mima sempat kepikiran, jangan-jangan Gian terlalu kaget
sampai kena serangan jantung dan mati berdiri. Eh, bukan mati
berdiri. Tapi mati duduk di kursi warung mi.
Yah, biarpun sekarang Mima masih bingung, Gian nggak ngerti
di bagian mananya? Kayaknya Mima udah jelasin semua dengan
jelas dan terang-terangan deh. "Nggak ngerti apanya, Gi? Aku kan
udah jelasin semua."
"Y-ya... nggak ngerti aja. Aku ngerti kamu nggak nyaman karena
aku nggak nanya kamu dulu sebelum merekomendasikan kamu di


Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meeting OSIS. Tapi yang aku kasih ke kamu kan sesuatu yang baik,
Mi. Aku minta kamu jadi sekretaris OSIS. Bukannya nyuruh kamu
jadi kaki tangan pencuri atau apa. Jadi sekretaris OSIS itu selain
baik buat kamu belajar berorganisasi dan bertanggung jawab, aku
merasa itu bisa bermanfaat buat kamu nantinya. Misalnya pas
kuliah nanti, itu bisa jadi CV pengalaman berorganisasi kamu. Mungkin kamu bisa berkarier juga di senat mahasiswa. Bahkan mungkin
dapat beasiswa atau apa gitu. Bahkan pas kamu kerja, itu bisa jadi
nilai plus karena kamu terbiasa berorganisasi sejak SMA."
Serius nih, Gian? Dia masih kekeuh bahwa ini baik untuk Mima
dan Mima yang aneh karena nolak? Gian bukannya sadar, malahan
masih merasa dia nggak salah sama sekali?
Mima menghela napas. "Yang menurut kamu baik belum tentu
cocok buat orang lain, Gi. Manusia kan beda-beda. Ada yang suka
berorganisasi kayak kamu, ada juga yang nggak kayak aku. Kalo
semua manusia sama, dunia boring banget. Lagian, kalo aku perlu
belajar organisasi kan nggak harus OSIS juga. Karang Taruna di
kompleks juga organisasi."
"Tapi, Mi..." Mima mengangkat sebelah tangan. "Please, Gi, hargain keputusan aku dong. Aku bener-bener nggak berminat jadi sekretaris
137 OSIS. Yang ada, kalo aku maksa nurutin kamu, nanti aku kerja asalasalan dan bikin kamu malu. Atau malah bikin kacau OSIS. Emang
kamu mau?" Gian terdiam. Nggak berdaya lagi buat ngotot. Akhirnya Gian
mengangkat bahu, nyerah. "Oke. Aku tinggal mikirin gimana
nyampeinnya ke yang lain." Lalu mata Gian tertuju pada gelanggelang di tangan Mima. "Gelang baru?"
Mima releks menyentuh gelang?gelangnya. Ini gelang yang dia
pakai waktu ikut Inov ke acara kumpul-kumpul bareng komplotan
curanmor itu. Sejak itu Mima malah jadi suka gelang-gelang ini.
Gelang-gelang funky yang terdiri atas campuran banyak gelang,
ada yang dari kulit, rantai, karet, tali... pokoknya numpuk jadi satu.
Lucu. Warna-warni, tapi nggak terlalu girly. Kan lagi ngetren
sekarang. Udah dua hari ini sebetulnya Mima pakai ke sekolah. Tapi
kemarin karena mereka ribut di depan ruang OSIS, kayaknya Gian
nggak merhatiin. "Nggak baru juga sih. Mix and match gelang-gelang koleksi lama.
Sama... ya... ada juga beberapa yang baru. Lucu, kan?"
Gian mengamati gelang Mima dengan datar. "Yah..." jawab Gian
menggantung. "Yah?" "Kalo menurut aku, nggak terlalu pantes dipake ke sekolah deh,
Mi." Mima mengernyit. "Kenapa?"
"Yahhh... jadi nggak rapi aja. Imej kamu juga jadi keliatan...
gimana ya? Jadi bandel kesannya. Kayaknya kamu jadi tengil dan
nggak serius." WHAT? Masa gelang-gelang ini bikin Mima keliatan bandel. Ini
kan bukan gelang paku-paku yang bikin dia kayak preman. Lagian,
ini cuma aksesori lucu-lucuan. Cewek- cewek di sekolah semua
pakai aksesori kesukaan masing-masing. Kayaknya Mima juga pakai
aksesori, tapi seragamnya tetap memenuhi standar deh. Dia nggak
138 pake rok kependekan atau kemeja kesempitan sampai kancingnya
nyaris mental. Terus, tadi apa kata Gian? Tengil dan nggak serius?
Selama ini kan Mima memang bukan tipe pelajar unggulan yang
serius dan kalem. Mima memang tengil dan nggak serius dengan
atau tanpa gelang-gelang ini!
Ini memang Gian yang makin ngeselin, atau Mima yang jadi
sensitif karena hari-harinya sampai sekitar sebulan ke depan harus
dijalani super hati-hati. Yaaah, katanya manusia kalau lagi stres,
tegang, atau takut bisa jadi sensitif, kan? "Ini kan aksesori doang,
Gi." "Kalau kata aku sih lebih keliatan rapi kalo kamu nggak pake.
Lebih keliatan smart juga, Mi," kata Gian dengan suara tenang, tapi
agak memaksa. Ternyata memang Gian yang makin ngeselin. Habis maksa Mima
jadi sekretaris OSIS, sekarang malah ribet soal aksesori yang Mima
pakai. Padahal cuma gelang biasa. Mima menarik napas panjang,
menahan diri biar kesalnya nggak meluap-luap. "Aku suka kok
gelang ini. Keren. Lagian, kenapa harus mikirin imej sih? Yang
penting kan aku tau aku bukan cewek bandel. Kamu juga tau,
kan?" "Kalo bisa tampil lebih rapi, kenapa nggak? Ya, kan?"
Telunjuk Mima mengetuk-ngetuk ujung meja. "Iya dan nggak.
Gi, udah dong. Kamu nyadar nggak sih kita jadi banyak debat?
Dalam dua hari udah dua kali. Debat soal sekretaris OSIS, sekarang
soal gelang. Udah dong. Aku juga nggak protes kan kamu pake
sepatu pantofel mengilat terus? Padahal menurut aku itu agak aneh
dan aku bilang sih lebih keren sepatu keds."
Gian nyaris keselek potongan bakso. Sama sekali nggak nyangka
Mima bakal bilang begitu. Mima nganggep aneh kebiasaan Gian
pakai sepatu pantofel mengilat? Apanya yang aneh? Itu kan rapi.
Dia kan ketua OSIS. Wajar kan kalau dia selalu rapi dan berwibawa?
"Tuh, kamu pasti nggak nyaman, kan? Itu kan gaya pribadi kamu.
Sama aja kayak aku. Aku juga punya gaya sendiri. Itu identitas kita.
Selama nggak negatif dan nggak jahat, kayaknya semua orang
sah-sah aja untuk jadi unik dengan jadi diri sendiri." Memang udah
saatnya Mima buka suara. Dia nggak benci sama Gian. Dia cuma
pengin Gian leksibel sedikit dan membuka pikiran bahwa orang
tuh punya standar masing-masing.
"Oke, oke, Mi. Aku ngerti. Aku coba ngasih saran aja kok. Ya
udah, aku anter kamu pulang, ya?"
Anter pulang? Mima buru-buru geleng. "Eh, nggak usah, Gi. Aku
pulang sendiri aja kayak biasa. Ribet. Masa kamu naik angkot dulu
ke rumah aku, terus naik angkot lagi ke rumah kamu?"
"Kita bisa naik taksi."
Mima geleng lagi. "Nggak usah, Gi. Boros banget taksi nganter
ke rumahku dulu. Lagian... aku mo ke apotek dulu. Nyokap minta
beliin obat apalah gitu. Besok kita ketemu lagi di sekolah, ya?"
"Beneran kamu pulang sendiri aja?"
Mima ngangguk. "Iya... aku pulang sendiri aja."
Sebetulnya Gian masih penasaran karena rasanya Mima menghindar. Tapi, dari tatapan mata dan nada suara Mima, sengotot apa
pun Gian, Mima bakalan tetap nolak. Gian juga ngerasa kayaknya
nggak pas kalau dia maksa Mima sekarang. Mau nggak mau Gian
harus ngakuin perdebatan mereka cukup bikin canggung.
"Oke." Diam-diam Mima membuang napas lega. Untung Gian nggak
maksa lagi. Ini belum seminggu, dan Mima masih "wajib" pulangpergi sekolah bareng Inov karena Inov yakin mereka masih
"diawasi". "Udah beres masalah rumah tangganya?" Inov menyodorkan helm
dan langsung dijawab dengan keplakan di bahu.
140 "Sembarangan aja."
Inov tetap pasang muka lempeng. "Bukannya orang pacaran
untuk menuju pernikahan? Namanya apa? Rumah tangga."
Tangan Mima yang siap mengangkat helm ke kepala, spontan
turun lagi. Batal. "Panas?" Mima malah menempelkan tangan ke jidat
Inov. "Udara hari ini emang panas."
Mima menarik tangannya sambil melotot judes. "Bukan udaranya, robot rombeng! Tapi lo! Lo sakit panas? Demam? "
"Emang gue keliatan sakit?"
Huh! Mima mendengus sebal. Dasar Inov manusia kebal sindir!
"Ohhh iya ya, gue lupa. Lo kan yang sakit bukan badannya, tapi
otaknya somplak," cibir Mima nyinyir. "Ya, lo kayak orang sakitlah,
ngomong-ngomongin nikah sama rumah tangga segala. SMA aja
masih lama beresnya, masih jauh tuh ke acara nikah-nikah. Luna
Maya yang lebih tua daripada gue aja belum nikah."
Mata Inov melebar konyol. "Luna Maya kalo pengin nikah tinggal
ngedip aja, antrean pendaftaran langsung panjang."
"Hah?! Ngeledek banget sih, Nov! Kenapa? Lo mo antre juga
kalo Luna Maya ngedip cari jodoh? Kayak bakal diterima aja."
Inov nggak jawab dan langsung memasang helm. "Helm, pake
tuh helm. Kenapa jadi ngomongin Luna Maya?"
"Yah, ngomongin aja," jawab Mima sambil manyun nyebelin dan
pasang helm. Mima menghela napas. Perasaan tadi dia udah
dengan heroik bilang ke Gian bahwa "masalah" mereka udah
selesai dan clear deh, tapi kok ternyata Mima masih bete ya? Masih
kesel aja teringat Gian yang seenaknya masukin namanya jadi
sekretaris OSIS, ditambah lagi ngomentarin gelang yang dia
pakai. Mima memegang bahu Inov, pegangan untuk naik ke boncengan.
Tau-tau... 141 "Mima?" Kaki Mima yang baru setengah naik ke pijakan motor, releks
turun lagi dan dia menoleh ke arah suara. Inov juga ikutan noleh.
Lalu dua-duanya sama-sama kaget.
Gian berdiri di ambang pintu gerbang belakang sambil menatap
heran ke arah Mima yang hampir naik ke boncengan Inov.
"Gian?" Dengan langkah lebar-lebar karena buru-buru, Gian nyamperin
Mima dan Inov."Bukannya tadi kamu bilang mau pulang sendiri?"
Sial! Gara-gara bahasan Luna Maya tadi sih! Harusnya tadi Mima
nggak perlu debat-debatan nggak penting sama Inov. Harusnya
dia langsung pakai helm, naik boncengan, dan mereka bisa pergi
lebih cepat. Kalau mereka pergi semenit lalu aja, nggak mungkin
kepergok Gian kayak gini.
Gian pasti lagi ngecek lokasi untuk pembuatan parkiran sepeda
yang waktu itu dia obrolin sama Pak Norman.
Pipi Mima memanas. Nggak tepat banget waktunya buat tersipusipu deh!
"Eh, iya... kebetulan... pas aku baru mau jalan... Inov..."
"Gue telepon dia, nanya lagi di mana. Gue ada perlu sama Mika,
jadi mo mampir ke rumahnya. Karena Mima bilang masih di sekolah,
gue jemput aja sekalian," sambung Inov lebih cepat dan lebih
lancar. Rupanya si robot somplak mulai jago ngibul.
Gian mengamati. Antara percaya-nggak percaya. "Bukannya
kamu bilang tadi mo mampir ke apotek dulu, Mi?"
"Uhm... ya iya, sekalian lewat aja, Gi. Kan naek motor, bisa
mampir." Mima emang kurang jago akting. Senyum sok naturalnya
sekarang ini pasti lebih keliatan kayak meringis mules.
Gian keliatan semakin gusar dan nggak suka. "Padahal aku juga
nggak keberatan nganter kamu ke apotek dulu, terus ke rumah.
Aku kan pacar kamu." Suasana mendadak dingin dan nggak enak
waktu Gian menekankan kalimat "aku kan pacar kamu" pada Mima.
Dan Inov tentunya. 142 Gian emang bukan tipe cowok yang bakal nyolot dengan gaya
ngajak berantem. Tapi dari nada suara dan ekspresinya, jelas-jelas
Gian lagi menegaskan posisinya di depan Inov. "Gimana kalo biarin
aja Inov duluan ke rumah kamu, terus aku yang anter kamu ke
apotek dan pulang? Nggak pa-pa kan kalo aku mampir ke rumah
kamu sekalian? Ketemu sama papa dan mama kamu."
Duh, Mima makin pusing kalau gini. Releks Mima melirik Inov.
Inov cuma menggeleng samar, sambil melirik sekilas ke arah
warung kecil di seberang jalan. Berusaha nunjukin sesuatu.
Mima mengikuti arah lirikan Inov tadi. Dua orang yang duduk di
motor di depan warung itu, jelas lagi sok-sok ngobrol sambil
mengamati mereka. Dua orang itu jelas bukan orang yang iseng
nongkrong. Mereka anggota komplotan Beny. Ternyata yang Inov
bilang bukan omong kosong, mereka memang diawasi. Iyalah,
nggak mungkin juga omong kosong. Komplotan sebesar dan
seberbahaya itu nggak mungkin lengah dan membiarkan sembarang
orang masuk. Biarpun status Mima "pacar" Inov, mereka pasti akan
menyelidiki sendiri kebenarannya. Apalagi... cara Mima "ketemu"
mereka waktu itu aneh banget?kepergok mengintai. Nggak heran
kalau mereka waspada sama Mima.
"Mi... gimana? Kamu pulang bareng aku, kan? Lagian, kan nggak
enak sama anak-anak kalo kamu sering keliatan berdua sama Inov.
Nanti disangka ada apa-apa," tanya Gian membuyarkan lamunan
Mima. Mikir, Mima! CEPAAAT! Mima heboh memerintah otaknya sendiri
supaya cari ide. "Lho, Gi, kamu ada meeting OSIS jam tiga, kan? Ini
sudah setengah tiga lho."
Mata Gian bergerak-gerak gelisah. Jelas banget dia nggak bisa
mengalihkan perhatian dari Inov. Apalagi tadi Mima keliatannya
riang banget. Padahal waktu sama-sama Gian, cewek itu kayaknya
nggak seriang dan seakrab itu. Padahal kan Gian pacarnya. Gian
udah berusaha jadi cowok sebaik mungkin, sekaligus ngajak Mima
143 ke arah yang baik. "Aku bisa minta Wira untuk mewakili aku mimpin
rapat ini." Gian menyebut nama wakilnya. "Kamu tunggu di sini,
Mi. Sebentar. Aku ke dalam dulu buat ngomong sama Wira. Habis
itu aku antar kamu pulang." Tanpa menunggu jawaban Mima, Gian
berjalan cepat, masuk kembali ke sekolah.
Begitu punggung Gian menghilang di gerbang sekolah, Mima
dan Inov releks saling tatap.
"Lo nggak bisa pulang bareng dia, Mi. Bisa jadi masalah. Mereka
pasti liat," suara Inov terdengar rendah dan hati-hati.
"Gue tau." Mima malah buru-buru mengancingkan helmnya dan
lompat naik ke boncengan motor Inov. Setelah itu Mima rasanya
jadi pacar paling durjana sedunia. "Jalan, Nov." Mima menepuk
punggung Inov dari belakang.
"Hah? Maksud lo, Mi?"
TAK! Mima menjitak belakang helm Inov gemas. "Maksudnya
jalan, ya jalan!!!" "Kabur?" "IYA!" Ya Tuhaaan! Inov bolot pada waktu yang nggak tepat
banget deh. "Terus nanti Gian gimana?"
ARGHHH! Kayaknya Mima harus pinjam pentungan satpam buat
menggetok helm Inov biar berasa. "Nggak tau, Nov! Kecuali lo
punya jalan lain, mendingan kita nggak usah debat, dan jalan sekarang!"
BRRRM! Akhirnya Inov menyentak gas motor dan menuruti
perintah Mima. Kabur. Ini cewek kalau kepepet memang suka ajaib.
Kabur dari pacarnya sendiri???
Hah! Memangnya dia bakal jelasin apa nanti sama Gian? Inov
juga nggak punya ide lain sih untuk mencegah Mima pulang bareng
Gian dan berisiko ketauan kaki tangan Beny yang mengintai.
Mima menempelkan kepalanya yang tertutup helm ke punggung
Inov. Kusut. Kusuuut! Dia benar-benar nggak kepikiran gimana
144 menghadapi Gian setelah ini. Tapi yang penting sekarang lolos
dulu. 145 Tiga Belas ya, Ma... Oke. Iya nanti aku bilangin Inov. Oke, Ma." Mima
menekan tombol End. Inov menatap Mima penasaran. "Gimana, Mi?"
"Mama bilang pulangnya jangan kemaleman." Barusan Mima
minta izin Mama untuk pulang telat dengan alasan mau nganter


Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Inov ngambil spare part motor dari pedagang online karena Inov
nggak tau jalan ke alamat itu. Jadi sekarang Mama, Papa, dan Mika
taunya Inov ada di Bandung untuk urusan cari-cari info soal sekolah
karena nanti kemungkinan Inov bakal sekolah di Bandung lagi.
Supaya Mama tenang, Mima dan Inov kompak bilang kalau Inov
menyewa kamar kos selama di Bandung. Alasan sama yang Mima
bilang ke Gian waktu itu. Dan Mama mendukung seratus persen
niatan Mima untuk bantuin Inov. Apalagi setelah Mama conirm ke
Tante Helena, sahabatnya itu mengiyakan.
Mama nggak tau aja yang sebenarnya. Kalau tau, Mama bisa
histeris. Tante Helena tau persis apa yang terjadi sekarang. Jadi
selain polisi, Tante Helena adalah salah satu orang yang paham
betul soal operasi ini. Atas permintaan tim kepolisian, juga berbagai
pertimbangan keselamatan, diputuskan untuk nggak memberi tau
keluarga Mima soal posisi Mima sekarang. Semakin banyak yang
tau akan semakin bahaya buat Inov dan Mima.
Dan tadi, setelah aksi kabur dari Gian, tiba-tiba aja Beny si Bos
Kecil mengontak dan meminta Inov segera datang karena ada
146 kumpul besar dadakan. Hari ini semua anggota bakalan kumpul,
ditambah ada pengenalan anggota baru. Kecuali Bos Besar yang
baru akan datang dari Singapura bulan depan. Saat itu barulah
mereka kumpul istimewa karena mereka bakal bertransaksi besarbesaran.
"Oh iya, satu lagi. Pulangin gue dengan selamat sampe ke
rumah," kata Mima lagi sambil membenarkan helm yang tadi
dicopot untuk nelepon. Tadinya Inov ngotot nyuruh Mima nelepon
sambil terus melajukan motornya. Yah mana bisalah! Udah motor
Inov berisik, jalanan juga berisik, dan helmnya full face. Gimana
neleponnya? Akhirnya mereka parkir sebentar di pekarangan
minimarket. "Nyokap lo bilang gitu?"
"Dalam hati gue yakin dia bilang gitu. Makanya gue sampein ke
lo. Harus pulangin gue dengan selamat. Kenapa sih, nanyanya kayak
nggak mungkin banget nyokap gue ngomong gitu? Kesannya gue
anak yang nggak dipeduliin."
"Gue nggak bilang gitu." Inov mengancingkan helm, lalu siapsiap jalan. Ponsel Mima tau-tau bunyi.
Mima mengeluarkan ponsel. Lalu terdiam.
"Nyokap lagi?" "Bukan. Gian lagi." Dari tadi Gian udah missed call Mima 43 kali!
Bayangin! Dan nggak satu pun yang Mima angkat. "Ya udah, jalan
aja, Nov." "Nggak diangkat?"
Mima memasukkan ponselnya ke tas. "Diangkat juga mo
ngomong apa coba? Udah deh, biarin aja. Gue mo mikir dulu harus
ngomong apa ke dia." Mima tau dia nggak adil sama Gian dengan
kabur kayak gini. Tapi sumpah, Mima semakin sadar bahwa akhirakhir ini dia nggak nyaman berduaan sama Gian. Hubungan mereka
rasanya aneh. Mereka nggak pernah berantem sampai ribut besar.
Semua serba teratur, penuh disiplin, dan tenang. Kayak Gian. Tapi,
kayak ada yang kurang pas. Entah apa.
147 Gian baik. Dia nggak pernah nyakitin Mima. Bahkan semua
kritikan, nasihat, atau apa pun yang Gian lakukan dan ada hubungannya sama Mima, demi kebaikan Mima. Cuma ada yang terasa
nggak pas. Gian kayak nggak nerima Mima apa adanya.
"Mampir bentar ya, Mi."
Berkat ngelamun nggak keruan, Mima sampai nggak sadar motor
Inov sekarang terparkir manis di depan rumah kecil nan kusam dan
misterius di kompleks sepi tempat Inov dan Bang Rudi tinggal.
"Ngapain?" "Udah, ayo." Mima menurut, mengikuti langkah Inov masuk ke rumah kecil
itu. "Ini rumah kemasukan orang gila ngamuk, ya?" Mima melongo
begitu sampai di dalam dan melihat pemandangan menakjubkan.
Rumah paling berantakan versi seluruh planet.
Gila, rumah ini habis kena gempa lokal kali ya?
"Lo pernah liat rumah penjahat rapi?"
"Pernah. Itu yang di ilm?ilm action, rumahnya mewah-mewah.
Kaya-kaya." Inov menggeleng-geleng pelan. "Ya, itu rumah bosnya penjahat,
bukan rumah kroconya. Nggak usah dibahas deh. Kayak mo bantuin
beresin aja." Inov ngeloyor masuk kamar.
"Eh, Nov! Kok malah masuk kamar?"
Inov nggak jawab, tapi nggak lama kemudian dia keluar dengan
menenteng jeans dan T-shirt. "Nih, lo pake ini. Nggak mungkin lo
ikut kumpul pake seragam."
"Gue pake baju lo?" Mima menatap baju di tangan Inov raguragu.
"Emang lo milih pake seragam?"
"Hm... yah nggak sih."
"Ya udah, pake nih. Cepetan ganti. Ini jeans gue yang paling
kecil. Lo gulung aja. Gue liat cewek-cewek sekarang kan lagi sering
pake celana cowok digulung-gulung."
148 Mima menatap Inov takjub. "Sempet aja lo merhatiin fashion!
Itu namanya boyfriend jeans."
Inov ngibasin tangannya. "Terserah deh apa namanya. Yang
penting sekarang lo buruan ganti. Itu toiletnya."
Mima menurut masuk ke toilet dan mengganti baju. Nggak sampai sepuluh menit, Mima keluar udah berganti kostum. Rok abuabunya berganti jadi jeans belel Inov yang digulung sampai sedikit
di atas mata kaki. Gulungan celana ala seleb Hollywood kalau pakai
boyfriend jeans. Kemeja putihnya juga berganti jadi T-shirt abu-abu
pudar Inov yang ujungnya Mima ikat karena kedodoran.
"Udah?" Inov yang nunggu sambil duduk membaca majalah,
bangkit dan berbalik begitu mendengar suara pintu dibuka. Inov
tertegun. Dalam hati dia nggak bisa bohong bahwa Mima
ngegemesin banget pakai bajunya. Sekaligus dia nggak nyangka
baju di lemarinya bisa dipakai jadi model feminin kayak gitu.
Feminin, ngegemesin. Ya ampun! Mikir apa sih Inov?! Pada saat
genting dan bahaya begini sempat-sempatnya otaknya mikirin
begituan. Mima berdiri di depan pintu toilet dengan salah tingkah. Huh,
tau gini Mima bawa baju ganti dari rumah deh. Pakai baju Inov
rasanya... ng... deg-degan. Habis gimana dong? Entah Inov nyucinya
kurang bersih, atau memang parfumnya superbagus, atau Inov
sering banget pakai baju ini, wanginya masih jelas banget menempel
di T-shirt yang Mima pakai. Rasanya kayak dipeluk Inov, tapi terusterusan.
"Keliatannya udah belum? Yuk ah, jalan sekarang. Ntar pulangnya
kelamaan. Inget pesen nyokap gue tadi." Mima melengos sok cuek,
melenggang ke pintu keluar buat ngilangin grogi.
Inov buru-buru mengikuti langkah Mima.
*** Anggota baru yang dikenalkan ke seluruh anggota komplotan?
termasuk Mima dan para pacar lain?hari ini masih anak SMA. Sama
kayak Mima dan Inov. Betul-betul miris. Semakin banyak pelajar
yang salah jalan dan memutuskan untuk gabung di pergaulan yang
salah kayak gini, cuma demi gengsi dan uang. Kerja part time di
kafe, toko, atau tempat lain kayaknya kurang menggiurkan buat
anak-anak pemalas macam cowok-cowok ini. Semua pengin duit
cepat demi kebutuhan yang nggak penting.
Memangnya mereka pikir orangtua mereka nggak berkeringat
darah demi cari duit buat bayar sekolah? Katanya, anak baru ini
juga aktif di salah satu geng motor paling terkenal dan paling
meresahkan di Bandung. "Kalo soal nyali, gue yakin lo sebagai anak XYZ pasti nggak diragukan lagi, kan?" Beny menepuk-nepuk bahu cowok itu. Kayaknya
bangga banget dengan reputasi cowok itu sebagai anggota geng
motor paling ditakuti di Bandung.
Cowok berambut cepak di sebelah itu ngangguk-ngangguk.
"Pokoknya gue nggak bakal ngecewain lo, Bos. Apalagi gue tau di
sini duitnya juga nggak ngecewain." Lalu semua ketawa bareng,
angkat gelas?isi bir tentunya?dan toast.
Sore ini mereka kumpul di kafe kecil di pojokan Dago. Jangan
bayangin kafe-kafe gaul dan rame dengan desain keren yang
bertebaran di Bandung. Kafe yang satu ini kayaknya bisa masuk
kategori kafe remang-remang. Yang kumpul di sini bukan anak gaul
pada umumnya. Mima malah sempat sekilas melihat oom-oom
genit duduk di pojokan, ditemani perempuan yang dandanannya
kayak siap konser dangdut keliling kampung. Perut Mima terasa
mules dan nggak enak. Dia merasa dunia yang ada di sini beda
dengan dunianya. Beny menepuk-nepuk punggung cowok itu lagi. Kalau nggak
salah tadi disebut namanya Deden. "Kalo dalam tiga minggu ini
aksi lo memuaskan, nanti saat kumpul besar sama Big Boss, lo bisa
150 sekalian dilantik jadi anggota resmi. Tuh, sekalian sama Inov. Dia
baru bakal dilantik nanti, pas pertemuan istimewa sama Big Boss.
Sejauh ini Inov udah nunjukin kualitas. Dia beraksi betul-betul tanpa
jejak. Lo bisa contoh dia."
Inov mengangkat gelasnya?satu-satunya gelas yang berisi
soda?ke arah Beny dan Deden sambil mengangguk cool.
Lalu giliran Beny mengangkat gelasnya tinggi-tinggi sambil
berkata super duper lantang. "Pokoknya Bandung di tangan
kita!!!" "BOS, GAWAT!" Tiba-tiba Jek, anggota komplotan yang ditugasin
patroli di luar kafe, masuk dengan panik. "Polisi, Bos!"
Beny menoleh cepat ke arah Jek. "Maksud lo, Jek?!"
"Acara kita kumpul di sini bocor! Ayo, Bos, cabut! Mereka udah
di depan jalan!" Dengan heboh Jek menjelaskan cepat-cepat.
Raut muka si Bos Kecil langsung menegang. Antara emosi dan
panik. BLAKKK! Dengan kasar dia meletakkan gelasnya di meja dan
mengangkat tangan bagi semua anggota komplotan yang ada di
situ. "Cabut!!! Kalo dikejar, mencar! Ingat, siapa pun yang ketangkep, kunci mulut lo!"
Butuh beberapa detik buat Mima menyadari apa yang terjadi.
Tau-tau aja semua anggota geng berlompatan keluar, menuju
motor masing-masing. Ada yang lewat pintu depan, pintu belakang,
jendela, bahkan menjebol kusen kamar mandi. Seisi kafe cuma bisa
diam dengan tegang, nggak berani ikut campur. Semua tau, ikut
campur berarti celaka. "Mi, ayo!" Badan Mima tersentak lumayan keras karena tangannya ditarik Inov. "Bukan waktunya bengong! Kalo kita nggak lolos,
kita bisa dibawa ke kantor polisi!"
HAH?! Dibawa ke kantor polisi??? Mima mengerjapkan mata dan
sekarang seratus persen sadar dengan yang terjadi: mereka digrebek!
"Inov, ikut gue!" Abang berteriak keras dari luar jendela belakang
kafe yang tampak terbuka.
151 "Ayo!" Inov menarik tangan Mima ke arah jendela, tempat
Abang berdiri. Jantung Mima rasanya berdetak secepat mobil
Formula 1. Mima sampai nggak tau kakinya masih napak di lantai
atau nggak. Dia bahkan baru sadar dari tadi dia tahan napas, dan
baru buang napas sekarang. Untung dia nggak mati tiba-tiba.
"Manjat, Mi!" "Hah?" Inov nggak menjawab dan malah langsung memeluk dan
menggendong badan Mima keluar lewat jendela. Di luar, Abang
menangkap badan Mima yang diangkat Inov. Saking mati gayanya,
Mima serasa bagai karung beras yang dioper-oper kuli angkut di
pelabuhan Tanjung Priok. Setelah Mima berhasil sampai luar, nggak
lama kemudian Inov menyusul lompat keluar dari jendela.
"Lo pepet gue terus, Nov! Kita nggak boleh sampe ketangkep!"
instruksi Abang. Inov ngangguk sambil melompat naik ke motornya. "Naik,
Mi!" Sepertinya sekarang semuanya kebalik. Yang jadi robot bukan
Inov lagi, melainkan Mima. Dengan tampang melongo bingung,
Mima langsung menuruti perintah Inov, naik ke boncengan motor.
Otak Mima sekarang kayak diprogram untuk menuruti apa pun
yang Inov omongin kalau mau selamat.
SET! Inov menarik kedua tangan Mima supaya memeluk
pinggangnya erat-erat. Jantung Mima serasa nyaris berhenti. Ya
ampun, ini sih Mima udah kayak anak koala nemplok di punggung
induknya. Nempel banget. Inov menelan ludah. Tangan Mima mungil banget. Dan sekarang
tangan itu melingkari pinggangnya. Dia nggak boleh salah tingkah
cuma gara-gara ini. Mima harus pegangan erat-erat demi keselamatan. "Pegangan yang kuat, Mi. Kalo takut, lo merem aja!" Dan
WUSSHHH!!! Saking kuatnya Inov menyentak gas, motornya sampai
melompat ke depan, lalu dia ngebut sengebut-ngebutnya.
152 Sirene polisi meraung-raung di kejauhan, di belakang mereka.
Motor Abang dan motor Inov melaju superkencang. Kayaknya rem
adalah satu-satunya bagian dari motor tersebut yang nggak
dibutuhkan sekarang. Tangan Mima masih memeluk erat pinggang
Inov. Sekarang dia bukan lagi deg-degan gara-gara pelukan, tapi
seumur hidup Mima nggak pernah ngebayangin kalau motor bisa
ngebut sekencang ini, dan dia sedang duduk di atasnya!!! Entah
gimana nasibnya kalau sampai jatuh dari motor sekencang ini.
Belum lagi, tanpa ngurangin kecepatan sedikit pun, Inov ngepotngepot menyalip di sela-sela mobil yang menghalangi jalan
mereka. Yang pasti, sekarang dibayar berapa pun Mima nggak bakal mau
ngelepasin pelukannya dari pinggang Inov. Mima malah memeluk
pinggang Inov lebih erat lagi. Memastikan sengepot apa pun
belokan motornya, Mima nggak bakalan lepas dan mental.
Mima menoleh ke belakang. Kerlap-kerlip lampu mobil patroli
udah nggak keliatan lagi. Di jalan ini cuma ada motor Abang yang
Inov. Anggota komplotan yang lain entah pada kabur ke mana. Ide
Abang kabur lewat jendela belakang tadi ternyata bikin mereka
bisa lolos. Polisi-polisi yang menggerebek kafe kayaknya mengejar
anggota komplotan yang keluar dari pintu depan dan belakang
yang terlihat oleh mereka. Kalau tadi nggak ada peringatan dari
Jek yang ngasih tau bahwa polisi udah ada di ujung jalan dekat
kafe, kayaknya mereka semua udah ketangkep. Mereka lolos
karena keburu kabur sebelum polisi sampai ke lokasi.
Motor Abang berbelok ke gang kecil di daerah Dago Atas, gang
gelap dan sepi di perkampungan sekitar. Inov ikut membelokkan
motornya. Motor mereka meloncat-loncat heboh karena ternyata
gang itu menuju jalan tanah yang berbatu-batu di belakang
perkampungan. Yang lebih gila lagi, jalanannya nanjak. Yang artinya,
kalau sampai keseimbangannya hilang, mereka bukan cuma jatuh,
tapi ada bonus menggelundung ke bawah. Mima memeluk
153 pinggang Inov makin erat. Jalanan ini betul-betul gelap dan nggak
jelas juga bakalan nembus ke mana. Mima pasrah aja deh. Kalau
ada apa-apa, Inov yang tanggung jawab!
"Mi... gue nggak bisa napas, Mi..."
"Hmmm?" tanya Mima dengan suara nggak jelas dari dalam
helmnya yang menempel di punggung Inov.
"Lo udah bisa lepasin pegangan. Motornya udah berhenti, lo
nggak bakalan jatuh."
"Hah?" Mima spontan duduk tegak dan baru ngeuh bahwa motor
mereka berhenti dan parkir di pekarangan rumah kecil di tengahtengah kebun singkong. "Eh!" Mima buru-buru melepas pelukannya
dari pinggang Inov. Ya ampun, malu-maluin amat. Berapa lama tadi
Mima masih nemplok memeluk pinggang Inov, padahal motornya
udah berhenti? Mima langsung melompat turun. "Ini di mana?"
Abang mematikan mesin motornya. "Nanti aja ngobrol di dalem.


Satria November Karya Mia Arsyad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Inov, bawa motor lo masuk. Ayo!"
Inov mengangguk dan mengikuti Abang, menuntun motornya
ke dalam rumah kecil itu. "Ayo, Mi."
"Rumah ini memang sengaja dikontrak untuk keadaan darurat
kayak gini," kata Abang begitu mereka masuk.
"Maksudnya, Bang?" Inov merapatkan motornya ke salah satu
sisi dinding. "Untuk misi ini kami sengaja ngontrak di beberapa lokasi, termasuk rumah tempat tinggal kita itu, Nov. Untuk keadaan darurat
begini, paling nggak kita punya tempat tujuan dan nggak sembunyi
di sembarang tempat."
Mima duduk di sofa sederhana dekat jendela. Jantungnya masih
deg-degan banget. Gila, kayaknya kejadian barusan masuk daftar
teratas pengalaman paling menegangkan dalam hidup Mima tahun
ini. Mimpi apa dia sampai harus nemplok di boncengan motor Inov
yang kebut?kebutan kayak ilm action begitu? Film sih mending,
154 cuma akting. Lha, tadi? Mima menarik ponselnya dari tas. Ada 35
missed call baru dari Gian.
"Bang, itu tadi gimana sih? Kok bisa kita digerebek kayak gitu?"
Pertanyaan Inov pada Abang langsung bikin Mima mengalihkan
pandangannya dari ponsel, lalu ikut-ikutan menatap Abang penasaran. Soalnya Mima memang penasaran. Kok bisa sih mereka
digerebek? Bukannya soal operasi penangkapan komplotan ini kata
Inov udah terencana matang, termasuk waktu penggerebekannya?
Abang mengangkat tangan kanan, sementara tangan kirinya
menarik ponsel dari saku celana. "Sebentar!" Sambil menekannekan nomor telepon, Abang berjalan ke bagian belakang rumah.
Tebakan Mima sih Abang nelepon rekan polisinya dan sekarang
lagi ngobrol rahasia sesama polisi.
Sementara nunggu Abang selesai dengan urusan telepon rahasianya, Mima melirik Inov. "Nov, hari ini gue bisa pulang ke rumah,
kan?" "Maksudnya?" Mima meringis cemas. "Maksud gue, hari ini gue tetep bakal lo
anterin pulang, kan? Bukannya nginep di sini atau di mana gitu,
buat sembunyi gara-gara penggerebekan tadi. Intinya, gue bakal
pulang, kan?" "Nanti kita tanya Abang."
Jawaban Inov bikin Mima makin cemas. Apa maksudnya sih
dengan "nanti kita tanya Abang"? Mima belum tentu bisa pulang,
gitu? "Nov, gue nggak mungkin nggak pulang. Orang rumah bisa
panik. Apalagi ini malam sekolah, nggak mungkin gue ngarang
Edensor 1 Walet Emas 02 Danyang Delapan Neraka Badai Laut Selatan 22

Cari Blog Ini