Ceritasilat Novel Online

Senyum Karyamin 2

Senyum Karyamin Karya Ahmad Tohari Bagian 2


Gubuk Blokeng penuh dirubung orang. Suara langkah kaki di tanah becek. Suara anak terjatuh atau tergelincir lumpur atau tinja penghuni sarang itu. Lincak dipasang dalam satu-satunya ruangan dalam sarang Blokeng. Hampir penuh. Dan tikar digelar. Blokeng diminta bangkit dari tanah bersama bayinya. Dia naik ke tempat tidur tanpa sepatah kata, tanpa sedikit pun ekspresi rasa pada wajahnya. Blokeng hampir tidak pernah berkomunikasi dengan siapa pun dalam bahasa ekspresi, apalagi bahasa lisan. Sekali lagi, Hadining meminta kampungku menjadi saksi bahwa bayi Blokeng adalah anaknya.
"Setidaknya ayah bayi ini pasti seorang lelaki. Nah, saya pun laki-laki, bagian yang sah dari kelelakian. Jadi, saya tidak bisa begitu saja dianggap mengada-ada dengan mengakui bayi Blokeng sebagai anakku."
Lagi, kampungku memperlihatkan kelegaan yang demikian nyata. Namun kemudian kampungku terheran-heran. Mereka melihat di sana Blokeng termangu setelah mendengar kata-kata Lurah Hadining. Termangu dalam citra hewani. Lalu dalam gerakan sama sekali tidak bermartabat, tidak bertata-krama, Blokeng melepaskan bayinya. Didekatinya Lurah Hadining. Dibukanya kopiah kepala kampung itu. Lurah Hadining yang terkesima membiarkan saja perilaku Blokeng.
"Tidak," kata Blokeng sungguh tanpa emosi, "yang datang kemari malam-malam tidak berkepala botak. Bukan orang ini."
Kampungku tergagap, tak terkecuali lurahnya, sedetik setelah mendengar ucapan Blokeng. Lihatlah wajah-wajah mereka yang baur dan buram. Mereka menggaruk kepala masing-masing yang sama sekali tidak botak kecuali Lurah Hadining. Di bawah rambut lebat otak mereka mulai berpikir untuk berkelit menghindar dari kemungkinan tuduhan membuntingi Blokeng. Sungguh, keesokan hari kampungku sudah berubah gundul. Gundul di sini, gundul di sana, di mana-mana terlihat lelaki gundul. Dan keblingsat-an tetap mencekam kampungku yang pongah.
Hanya Blokeng sendiri yang tidak ikut blingsatan. Dunianya yang tidak cukup akal membebaskannya dari dosa, dari keharusan mempunyai suami sah, dan dari kepongahan yang akan menelorkan keblingsatan dan kepura-puraan. Tetapi bukan berarti Blokeng sekali pun tidak bisa bertindak seperti perempuan kebanyakan. Suatu pagi Blokeng membawa bayinya ke depan pintu gubuk, dilelo-lelo, ditimang-timang. "Cowet, anakku. Ayahmu itu mbuh. Tetapi jangan bersedih, ya. Lihatlah itu, orang-orang gundul. Lucu, ya?" Seperti tahu kata-kata emaknya, cowet yang masih bayi tertawa ngakak. Hek-hek-hek. Hik-hik-hik.
SYUKURAN SUTABAWOR Hari ini sebuah sumber berita yang amat terpercaya mengatakan bahwa Sutabawor sedang mengadakan syukuran. Konon tiga ekor ayam yang tidak begitu besar dipotong. Para tetangga diundang makan-makan. Sumber berita itu selanjutnya mengatakan Sutabawor merasa perlu, amat perlu menyelenggarakan syukuran karena akhirnya dia berhasil menyingkirkan kekesalan hidup yang menghimpitnya selama beberapa tahun terakhir ini.
Yang membuat Sutabawor selalu kesal adalah sebatang pohon jengkol, kata sumber berita tadi. Pohon jengkol itu demikian subur, batangnya besar, dan daunnya rimbun. Tetapi tak kunjung mendatangkan buah yang menjadi kesayangan Sutabawor. Memang, setiap musim pohon jengkol Sutabawor berbunga demikian lebat. Pada saat seperti itu, Sutabawor sering berdiri lama-lama di bawah pohon jengkolnya, penuh harap diperhatikannya dengan saksama bunga-bunga jengkol yang sedang dirubung oleh lebah madu atau klangseng. Orang tani seperti Sutabawor mengerti bila bunga-bunganya dirubung serangga, itu pertanda baik; bunga itu pasti akan tumbuh menjadi buah.
Tetapi menurut sumber berita itu, Sutabawor selalu kecewa karena bunga jengkolnya luruh ke tanah dan tak secuil pun yang menjadi buah. Sekali waktu karena telah berputus asa Sutabawor mendekati pohon jengkolnya sambil membawa sebuah kapak besar. Sudah bulat hatinya hendak merubuhkan pohon itu, pohon yang mandul dan tidak pernah menghasilkan apa-apa. Namun pada saat yang sama datang mertua Sutabawor. Kakek yang sudah bungkuk itu mencegah menantunya sembarangan menebang pohon.
"Menebang itu gampang. Anak sekarang memang suka tebang sana tebang sini, tetapi malas menanam," kata si Mertua seperti yang dikutip oleh sumber berita yang amat terpercaya itu.
"Nah, buat apa kita pelihara pohon yang tidak mau berbuah ini. Lebih baik kutebang dan kujadikan kayu bakar," jawab Sutabawor.
"E, lha. Sabar Nak, sabar. Pertama, carilah kutu di kepalamu sendiri. Cari kesalahan pada dirimu mengapa pohon jengkol ini tidak mau berbuah. Jangan tergesa seperti itu."
"Jengkol ya jengkol Pak. Aku mesti bagaimana?"
"Itulah! Anak-anak sekarang memang begitu. Maunya mendapatkan sesuatu dengan mudah tetapi cepat putus asa. Tunggu sampai hari Jumat Kliwon: Kita akan setiar dengan mantra dan srana. Siapa tahu pohon jengkolmu akan berbuah."
Selanjutnya sumber berita itu mengatakan bahwa pada hari yang telah ditentukan Sutabawor bersama mertuanya kembali mendatangi pohon jengkol mereka. Sebagai srana mertua Sutabawor mengikatkan sebuah kukusan bekas pada batang pohon itu. Kemudian si Mertua menuntun menantunya membacakan mantera:
"He, pohon jengkol," kata si mertua seperti yang dikutip oleh sumber berita itu.
"He, pohon jengkol," ujar Sutabawor menirukan mertuanya.
"Kamu boleh pilih."
"Berbuah selebat-lebatnya dan kubiarkan tegak."
"Berbuah selebat-lebatnya dan kubiarkan tegak."
"Atau tidak berbuah."
"Atau tidak berbuah."
"Dan kamu kutebang untuk kujadikan tutup lahat makam priayi zaman akhir."
"Dan kamu kutebang untuk kujadikan tutup lahat makam priayi zaman akhir."
Dog-dog-dog, atas perintah mertuanya Sutabawor menggedor pohon jengkolnya tiga kali.
Pada musim berikut, ternyata pohon jengkol Sutabawor berbunga dan berbuah sangat lebat. Dahan-dahannya runduk karena menahan beban berat. Sutabawor sangat gembira sehingga dia rela memotong tiga ekor ayamnya yang tidak begitu besar buat syukuran. Syukur kepada Gusti Allah yang telah berkenan menyuruh pohon jengkol Sutabawor berbuah. Hari inilah Sutabawor melaksanakan syukuran itu. Seperti yang disampaikan oleh sumber berita yang amat terpercaya tadi.
Dalam acara syukuran, kepada para tetangga yang diundang Sutabawor menceritakan pengalamannya dengan pohon jengkolnya yang sekian lama tidak berbuah. Diceritakan bagaimana dia mengikatkan kukusan bekas, bagaimana dia membaca mantera, dan bagaimana dia menggedor pohon jengkolnya tiga kali.
"Rupanya pohon jengkolku demikian ngeri bila kujadikan tutup lahat makam priayi zaman akhir. Maka dia cepat-cepat berbuah," demikian lapor sumber berita mengutip ucapan Sutabawor kepada para tetangga.
"Eh, nanti dulu. Memang apa dan bagaimana priayi zaman akhir itu? Apakah dia demikian sepele sehingga sebatang pohon pun tak sudi menjadi tutup lahat makamnya?" tanya seorang tetangga sambil menggigit sayap ayam yang tidak begitu besar.
"Lho, mana saya tahu. Sampean tahu barangkali?" kata Sutabawor.
Yang ditanya cengar-cengir. Yang lain-lain berhenti bergerak meski ada tulang leher atau kaki ayam yang tak begitu besar di mulut mereka masing-masing. Sekian belas lelaki yang duduk melingkar itu kadang saling pandang.
"Priayi zaman akhir itu kan priayi zaman sekarang." kata seseorang.
"Lha iya. Lalu bagaimana mereka itu? Kok ada sebatang pohon jengkol yang tidak sudi menjadi tutup liang lahat- nya?" tanya yang lain.
Sumber berita yang amat terpercaya tadi menceritakan dengan saksama orang-orang yang sedang berkumpul di rumah Sutabawor. Konon tak satu pun di antara mereka yang bisa memberikan deskripsi yang agak pantas tentang apa dan bagaimana priayi zaman akhir yang konon pohon jengkol sekalipun tak sudi berdekatan dengan mayatnya. Namun setidaknya masih diberitakan dialog antara orang- orang yang sedang syukuran itu.
"Barangkali, barangkali saja priayi masa kini itu terlalu rakus makan buah jengkol. Demikian rakus sehingga pohon jengkol mana saja segan menemaninya di dalam kubur," kata Sutabawor.
"Ah, kamu ini bagaimana? Kamu sendiri adalah orang yang gemar akan jengkol. Tetapi mengapa tak ada mantera yang berbunyi: Hai pohon jengkol. Kamu boleh pilih. Berbuahlah selebat-lebatnya dan kubiarkan tegak atau tidak berbuah dan kamu kutebang untuk kujadikan tutup lahat kubur tani pemakan jengkol?"
Konon kemudian orang-orang yang sedang menghadapi hidangan gulai ayam yang tidak begitu besar tadi, terbahak bersama tapi hanya beberapa saat. Selanjutnya sunyi. Mereka menyesal telah memperolokkan sebait mantera yang wingit. Kemudian ada yang tersedak. Suasana jadi mencekam. Kelimbungan mulai merambah hati setiap orang yang hadir.
Dalam menutup laporannya, sumber berita yang amat terpercaya itu mengatakan bahwa akhirnya mertua Sutabawor datang buat mengembalikan suasana sumringah. Dikatakan oleh sumber berita itu, mertua Sutabawor akhirnya berkata kepada orang-orang yang berkumpul. Demikian kutipnya:
"Sedulur-sedulur, dengarlah. Sampean semua jangan salah tafsir. Mantera itu adalah hasil pangraita pujangga zaman dulu. Demikian tentunya. Jadi, yang tersebut sebagai priayi zaman akhir ya priayi zaman pujangga itu, zaman dulu. Bukan priayi zaman sekarang. Priayi zaman dulu kan bekerja dan mengabdi kepada kaum penjajah, bukan bekerja dan mengabdi kepada kaum kawula seperti kita ini. Mereka bersikap ningrat, maunya dilayani. Mereka menjunjung atasan dan tak mau mengerti tangise wong cilik. Mereka maunya membentuk tata nilai sendiri dan malu bergaul dengan rakyat biasa. Dan mereka angkuh tentu saja. Mereka jarang menyadari bahwa gaji yang mereka terima berasal dari wong cilik, setidaknya berasal dari harta milik bersama seluruh rakyat. Pokoknya priayi zaman dulu itu menurut pohon jengkol demikian tak berharga karena miskin akan nilai kemanusiaan yang sejati."
"Elah, jadi begitu?" suara orang-orang yang sedang menyuap nasi secara bersama-sama. "Kalau demikian mantera itu tidak eoeok lagi buat masa sekarang. Sampean yang mengerti soal mantera, maka gantilah kata-kata priayi zaman akhir dengan priayi zaman dulu."
Mertua Sutabawor tepekur. Dan menggeleng-geleng. Mulutnya lalu bergumam lirih sekali sehingga hanya sumber berita itu yang bisa mendengarnya.
"Tidak bisa, tidak bisa. Sekali mantera tetap mantera. Setiap katanya sudah terpilih dan tak mungkin diganti. Priayi zaman akhir ya priayi zaman akhir. Tak perduli sungguh kata-kata itu bisa diartikan sebagai priayi zaman sekarang."
Hari itu sebuah sumber berita yang amat terpercaya mengatakan bahwa di rumah Sutabawor sedang ada syukuran. Ada tiga ekor ayam yang tidak begitu besar dipotong dan ada pohon jengkol yang tidak sudi menjadi tutup lahat kubur priayi zaman akhir.
RUMAH YANG TERANG Listrik sudah empat tahun masuk kampungku dan sudah banyak yang dilakukannya. Kampung seperti mendapat injeksi tenaga baru yang membuatnya menggeliat penuh gairah. Listrik memberi kampungku cahaya, musik, es sampai api dan angin. Di kampungku, listrik juga membunuh bulan di langit. Bulan tidak lagi menarik hati anak-anak, bulan tidak lagi mampu membuat bayang-bayang pepohonan. Tapi kampung tidak merasa kehilangan bulan. Juga tidak merasa kehilangan tiga laki- laki yang tersengat listrik hingga mati.
Sebuah tiang lampu tertancap di depan rumahku. Seperti teman-temannya sesama tiang listrik yang membawa perubahan pada rumah yang terdekat, demikian pula halnya beton langsing yang menyangga kabel-kabel di depan rumahku itu. Bedanya, yang dibawa ke rumahku adalah celoteh-celoteh sengit dua tetangga di belakang rumah.
Sampai sekian lama, rumahku tetap gelap. Ayahku tidak mau pasang listrik. Inilah yang membuat tetangga di belakang rumah merasa jengkel terus-terusan. Keduanya sangat berhasrat menjadi pelanggan listrik. Tapi hasrat mereka tak mungkin terlaksana sebelum ada dakstang di bubungan rumahku. Rumah dua tetangga di belakang itu terlalu jauh dari tiang.
Kampungku yang punya kegemaran berceloteh seperti mendapat jalan buat berkata seenaknya terhadap ayah. Tentu saja dua tetangga itulah sumbernya. "Haji Bakir itu seharusnya berganti nama menjadi Haji Bakhil. Dia kaya, tapi tak mau pasang listrik. Tentu saja dia khawatir akan keluar banyak duit."
Kadang celoteh yang sampai ke telingaku demikian tajam sehingga aku hampir tak kuat menerimanya. Mereka mengatakan ayahku memelihara tuyul. "Tentu saja Haji Bakir tak mau pasang listrik karena tuyul tidak suka cahaya terang." Yang terakhir kedua tetangga itu merencanakan tindakan yang lebih jauh. Entah belajar dari mana mereka menuduh ayahku telah melanggar asas kepentingan umum. Mereka menyamakan ayahku dengan orang yang tidak mau menyediakan jalan bagi seseorang yang bertempat tinggal di tanah yang terkurung. Konon mereka akan mengadukan ayahku kepada lurah.
Aku sendiri bukan tidak punya masalah dengan sikap ayah. Pertama, akulah yang lebih banyak menjadi bulan- bulanan celoteh yang kian meluas di kampungku. Ini sungguh tidak nyaman. Kedua, gajiku sebagai propagandis pemakaian kondom dan spiral memungkinkan aku punya radio, pemutar pita rekaman, juga TV (karena aku masih bujangan). Maka alangkah konyulnya; sementara listrik ditawarkan sampai ke depan rumah, aku masih harus repot dengan setiap kali membeli baterei dan nyetrum aki.
Ketika belum tahu latar belakang sikap ayah, aku sering membujuk. Lho, mengapa aku dan ayah tidak ikut beramai- ramai bersama orang sekampung membunuh bulan? Pernah kukatakan, apabila ayah enggan mengeluarkan uang maka pasal memasang listrik akulah yang menanggung biayanya. Karena kata-kataku ini ayah tersinggung. Tasbih di tangan ayah yang selalu berdecik tiba-tiba berhenti.
"Jadi, kamu seperti semua orang yang mengatakan aku bakhil, dan pelihara tuyul?"
Aku menyesal. Tapi tak mengapa karena kemudian ayah mengatakan alasan yang sebenarnya mengapa beliau tidak mau pasang listrik. Dan alasan itu tak mungkin kukatakan kepada siapa pun, khawatir hanya akan mengundang celoteh yang lebih menyakitkan. Aku tak rela ayah mendapat cercaan lebih banyak.
Betapa juga ayah adalah orang tuaku, yang membiayai sekolahku sehingga aku kini adalah seorang propagandis pemakaian kondom dan spiral. Lalu mengapa orang kurang menghayati status yang kini kumiliki. Menjadi propagandis pemakaian kondom dan spiral tidak hanya membawa keuntungan material berupa gaji dan insentif, melainkan ada lagi yang lain. Aku mendapat peluang besar berhadapan dengan kaum perempuan yang masih subur rahimnya, subur dadanya, bahkan subur birahinya. Aku seperti mendapat SIM untuk berbicara yang nyrempet-nyrempet bahaya. Dan sekiranya orang berani secara jujur mengakui, berbicara keporno-pornoan adalah dorongan untuk melampiaskan naluri primitif yang mengasyikkan.
Jadi, aku mengalah pada keteguhan sikap ayah. Rela setiap kali beli baterei dan nyetrum aki, dan rela menerima celoteh orang sekampung yang tiada hentinya.
Ketika ayah sakit, beliau tak mau dirawat di rumah sakit. Keadaan beliau makin hari makin serius. Tapi beliau bersiteguh tak mau diopname. Aku berusaha menyingkirkan perkara yang kukira menyebabkan ayah tak mau masuk rumah sakit.
"Apakah ayah khawatir di rumah sakit nanti ayah akan dirawat dalam ruang yang diterangi lampu listrik? Bila demikian halnya maka akan kuusahakan agar mereka menyalakan lilin saja khusus bagi ayah."
Tanggapan ayah adalah rasa tersinggung yang terpancar dari mata beliau yang sudah biru memucat. Ya Tuhan, lagi- lagi aku menyesal. Dan jiwaku mendadak buntu ketika mendengar ucapan ayah yang keluar tersendat-sendat:
"Sudahlah Nak. Kamu lihat sendiri, aku hampir mati. Sepeninggalku nanti kamu bisa secepatnya memasang listrik di rumah ini."
Tidak pernah sekalipun aku mendengar kata-kata ayah yang mengandung ironi demikian tajam. Sesalku tak habis- habisnya. Dan malu. Keahlianku melakukan pendekatan verbal yang biasa kulakukan selama aku menjadi propagandis pemakaian kondom dan spiral ternyata hanya punya arti negatif di hadapan ayah. Lebih malu lagi karena ucapan ayah tadi adalah kata-kata terakhir yang ditujukan kepadaku.
Seratus hari sesudah kematian ayah, orang-orang bertahlil di rumahku sudah duduk di bawah lampu neon dua puluh watt. Mereka memandangi lampu dan tersenyum. Dua tetangga belakang rumah yang tentu saja sudah pasang listrik mendekatiku.
"Nah, lebih enak dengan listrik, ya Mas?"
Aku diam karena sebal melihat gaya mereka yang pasti menghubung-hubungkan pemasangan listrik di rumahku yang baru bisa terlaksana sesudah kematian ayah. Oh, mereka tidak tahu bahwa aku sendiri menjadi linglung. Listrik memang sudah kupasang, tapi aku justru takut menghidupkan radio, TV, dan pemutar pita rekaman. Sore hari aku tak pernah berbuat apa pun sampai ibu yang menghidupkan lampu. Aku enggan menjamah sakelar karena setiap kali aku melakukan hal itu tiba-tiba bayangan ayah muncul dan kudengar keletak-keletik suara tasbihnya.
Linglung. Maka tiba-tiba mulutku nyerocas. Kepada para tamu yang bertahlil aku mengatakan alasan yang sebenarnya mengapa ayahku tidak suka listrik, suatu hal yang seharusnya tetap kusimpan.
"Ayahku memang tidak suka listrik. Beliau punya keyakinan hidup dengan listrik akan mengundang keborosan cahaya. Apabila cahaya dihabiskan semasa hidup maka ayahku amat khawatir tidak ada lagi cahaya bagi beliau di alam kubur."
Aku siap menerima celoteh dan olok-olok yang mungkin akan dilontarkan oleh para tamu. Karena aku sendiri pernah menertawakan pikiran ayah yang antik itu. Aneh, para tamu malah menunduk. Aku juga menunduk, sambil berdoa tanpa sedikit pun kadar olok-olok. Kiranya ayahku mendapat cukup cahaya di alam sana.
KENTHUS Keluar dari rumah ketua RT, Kenthus merasa dirinya bukan lagi Kenthus. Wajahnya bingar. Senyumnya sesekali mengubah bentuk bibirnya yang berhias cokop di kedua ujungnya. Semua orang yang dijumpainya berubah menjadi liliput: kecil bukan main. Pepohonan menjadi kerdil dan merunduk. Angin didengarnya bersenandung tembang mangayubaya. Kenthus telah dilambungkan dari kelas terbawah ke atas panggung kehidupan.
Maka inilah yang sudah diisyaratkan dalam mimpiku, pikir Kenthus. Ya, tak salah lagi. Mimpi nunggang macan. Apa tidak hebat? Macan adalah tamsil kekuasaan. Aku akan menunggangi kekuasaan. Dan kenyataan itu tiba.
Sampai di rumah, Kenthus mendorong pintu bambu dengan gaya yang gagah. Dan Dawet, istrinya, pun sudah berubah menjadi liliput. Bahkan Dawet bukan hanya kelihatan demikian kerdil, melainkan juga buruk tidak kepalang. Matanya sepele seperti mata laron. Komat-kamit mulutnya jelek sekali seperti dubur ayam. Tetapi mata laron itu terus menatap Kenthus yang berjalan mondar-mandir sambil bertolak pinggang. Mata laron itu melihat saku Kenthus yang bunting, pasti berisi uang. Tangan Dawet, seperti biasa, selalu tak tahan. Tangan itu menjulur ke arah saku suaminya, tetapi Kenthus berkelit sangat tangkas. "Lho, Kang?"
"Hah, apa?" jawab Kenthus penuh gaya.
"Nganyar-anyari apa mintoni? Bila orang sudah dekat ajal biasa melakukan hal yang aneh-aneh."
"Ngawur! Jangan ngomong yang macam-macam. Lebih baik siapkan kopi dan siapkan Gudang Garam."
"Nanti Kang, aku jadi takut. Kamu sungguh-sungguh bukan sedang mmttmi? Lho, meskipun kamu melarat aku tidak mau jadi janda. Sungguh Kang!"
Kenthus tersenyum, dadanya penuh. Lalu diambilnya selembar lima ratusan. Uang itu diacungkannya melalui pundak kepada Dawet.
"Sudah kukatakan jangan macam-macam. Nah, pergilah ke warung sana!"
Sampai sekian lama, Dawet tetap tidak mengerti apa yang menyebabkan tingkah suaminya berubah. Di warung, Dawet berpikir keras untuk memperoleh jawaban. Di dapur, kulit keningnya berkerenyit. Tetapi jawaban pasti tak kunjung tersimpul. Dan ketika Dawet menghidangkan kopi, didapati suaminya sedang menikmati rokok, dengan tingkah yang nyaris congkak. Dawet makin merasa tidak enak.
"Kan uang tadi bukan hasil nyolong Kang?"
Kenthus terkejut. Dia tidak siap menghadapi pertanyaan yang provokatif, bahkan menyelidik. Keangkuhannya goyah.
"Ngawur lagi! Sepanjang mengenal si Kenthus, pernahkah kamu mendengar si Kenthus jadi maling?"
"Ya tidak, Kang. Aku mengenal sejak dulu kamu adalah tukang gembala kerbau milik Pak Suta. Lalu kamu pindah menjadi tukang maculnya Pak Naya. Pindah lagi menjadi pencari kayu bakar sampai tertangkap oleh mandor."
"Cukup! Jadi, kamu belum pernah mendengar aku jadi maling?"
"Ya. Tetapi mbok ya katakan, mengapa kamu berubah tingkah hari ini."
Kenthus bangkit. Kediriannya yang baru menggeliat sejak pulang dari rumah ketua RT tadi pagi, tersinggung. Dawet dilihatnya lebih kecil daripada liliput. Mulutnya lebih jelek daripada dubur ayam. Kemudian Kenthus berpidato. Penuh gaya, lebih gaya daripada penjual obat palsu di depan pasar. Dikatakannya, dia baru saja mendapat tugas, semacam wahyu cakra ningrat, sebagai pelaksana proyek pengadaan buntut tikus.
"Bukan karena semua orang kampung ini sudah tahu ketika menjadi penggembala kerbau aku sering menyate tikus!" kata Kenthus dalam tekanan khas, "Melainkan kehormatan ini memang sudah seharusnya kuterima. Buktinya, kemarin dulu aku bermimpi nunggang macan. Jadi, aku kini sedang menunggangi kekuasaan karena macan adalah lambang kekuasaan."
Dawet merasa hampir muntah melihat gaya suaminya berpidato. Perutnya terasa mual. Namun Dawet bertahan. Akhirnya Dawet mengerti, uang dalam saku suaminya berasal dari kas desa. Dengan uang itu seluruh warga dirangsang dan digelitik agar mau menghimpun buntut tikus sebanyak mungkin. Dan ketika Kenthus berkata, "Para petani sudah terkena wabah penyakit masabodo sehingga segalanya perlu dirangsang-rangsang," Dawet bengong. Karena Dawet yakin suaminya hanya menirukan ucapan ketua RT. Dawet merasa pasti suaminya seperti dia juga, tak tahu apa-apa arti ucapan ketua RT itu.
"Nah, sudah jelas kan? Jadi, sore nanti, lihatlah. Semua orang kumpul di sini hendak setor buntut tikus. Mereka akan antre dan berhimpitan di hadapanku."
Di depan istrinya, Kenthus berjalan berputar-putar. Lenggangnya mengayun ke samping kiri dan kanan. Ditambah dengan gelaknya yang lepas, Kenthus sengaja meniru Dursasana dalam pentas wayang orang. Dawet dilihatnya hampir hilang karena menjadi liliputnya, liliputnya liliput. Anehnya, dalam bentuk yang sudah terasa demikian kerdil, Dawet kelihatan memegangi perut lalu muntah. Oh, Kenthus tidak ambil pusing. Karena dia sudah membayangkan di hadapannya ada barisan panjang orang-orang yang amat membutuhkan dirinya. Mereka adalah para warga yang akan setor buntut tikus. Mereka adalah para warga yang tiba-tiba berubah menjadi liliput tak berharga di hadapan Kenthus yang sudah jadi orang punya kuasa.
Menjelang pukul tiga, beberapa orang sudah muncul di rumah Kenthus membawa buntut tikus. Ada yang diikat seperti ikatan kacang panjang. Ada yang dibungkus dalam kantung plastik. Tetapi seorang anak menggenggam begitu saja buntut-buntut tikus dengan tangannya,
Kenthus berlagak tak acuh. Dia sibuk menala meja dan kursi buat dirinya sendiri. Lalu duduk penuh gaya, di tangannya ada pensil dan kertas kumal. Dalam hati, Kenthus berdoa, kiranya dia tidak lupa bagaimana membuat tulisan cakar ayam.
"He, Thus, aku dapat lima puluh buntut. Sini, bayar lima ratus," kata Korim sambil maju.
"Aku dapat empat puluh tiga,"
"Aku dua puluh enam."
"Aku." Kenthus tetap duduk, tekun dengan cakar ayam yang sedang dibuatnya di atas kertas lusuh. Dia tidak merasa perlu cepat tanggap karena dia sudah mimpi tunggang macan. Pepohonan sudah menjadi kerdil dan semua orang berubah menjadi liliput. Ketika Korim mendesak agar buntut tikusnya dibayar, Kenthus malah masuk ke dalam. "Kalian bisa menunggu sampai semua orang datang. Kemudian susun antrean agar tertib." Kenthus lalu menghilang.
Dari balik dinding bambu yang sudah transparan, Kenthus mengintip keluar. Makin banyak penyetor tikus yang datang. Mereka berbondong-bondong. Sebentar saja halaman rumah Kenthus penuh liliput. Kemudian lihatlah: Korim, yang tidak lain adalah anak bekas majikan Kenthus, mengambil prakarsa membuat barisan antre. Rasanya dia sudah termakan oleh kekuasaan seorang pelayan yang mimpi nunggang macan. Terjadi hiruk-pikuk karena ada anak kecil jatuh dan terinjak. Ada seorang kakek yang terhimpit. Suasana makin bingar. Korim berteriak-teriak menata antrean.
Di dalam rumah, Kenthus menarik tangan Dawet yang kebetulan mendekat. Kenthus cekikikan.
"Intiplah keluar. Hi-hi. Lucu, ya?"
"Lho, Kang. Cepatlah layani mereka," pinta Dawet dengan masygul.
"Hi-hi, biar saja. Aku belum puas melihat liliput-liliput itu berdesakan. Seperti bebek menunggu gabah, ya? Hi-hi.??
Dawet kembali memegangi perutnya. Mual. Lalu muntah. Dan terus muntah. Kenthus bersungut-sungut, lalu keluar. Kemunculan Kenthus menghebohkan para penyetor buntut tikus. Barisan antre kocar-kacir. Korim kembali berteriak- teriak. Namun Kenthus malah tertawa. Dia menikmati pandangan di depannya. Orang-orang yang berhimpitan dan saling dorong, anak-anak kecil yang menangis dan seorang kakek yang terbatuk-batuk sempoyongan.
Kenthus masih terkekeh melihat liliput-liliput yang bergelut dalam antrean. Mereka mau saja menggondol buntut tikus demi uang yang kini masih menggumpal dalam saku Kenthus.
Sesungguhnya Kenthus tidak menghendaki tontonan di hadapannya cepat berakhir. Tetapi tiang emper rumahnya berderak oleh tekanan orang-orang yang antre. Ini gawat, rumahnya bisa rubuh. Maka Kenthus duduk dan tidak lupa bergaya. Pembayaran dimulai. Korim yang setor lima puluh buntut mendapat lima ratus perak, yang dapat empat puluh tiga dibayar empat ratus, yang dapat dua puluh enam dibayar dua ratus lima puluh. Protes pertama disambut dengan sikap acuh. Protes kedua dilayani dengan sorot mata yang tajam. Protes selanjutnya dilawan dengan pendekatan persuasif sehingga akhirnya tak ada protes.
Selesai membayar para penyetor, Kenthus duduk menghadap halaman yang sudah kosong. Di atas meja di depannya bertimbun buntut tikus. Setelah dihitung, Kenthus punya untung hampir dua ratus buntut. Kenthus puas, lalu bangkit mencari Dawet. Aneh, istrinya sudah berubah kembali menjadi manusia biasa, bukan liliput. Malah Dawet kelihatan begitu cantik sehingga Kenthus ingin merangkulnya. Dawet yang masih merasa pusing karena terlalu banyak muntah, diam saja ketika dipeluk oleh suaminya. Tetapi tiba-tiba Dawet beringas. Kenthus ditolaknya ke belakang, "Jijik, jijiiiik! Apa itu mimpi nunggang macan? Kamu jadi bau tikus. Tengik dan busuk! Aku benci, benciiiiiiii!?' Kenthus bengong. Dia hanya melihat tanpa daya istrinya yang lari lalu membanting pintu dari luar.
ORANG-ORANG SEBERANG KALI
Kami menyebut mereka orang-orang seberang kali. Terlalu berlebihan sebenarnya karena mereka tinggal tidak lebih dan seratus meter dari kami. Dan yang disebut kali itu sebenarnya hanya sebuah parit alam yang dalam. Kedua tebingnya curam dan penuh ditumbuhi pakis-pakisan. Hanya di tempat-tempat tertentu air parit itu kelihatan dari atas. Bening, karena keluar langsung dari mata air. Tapi air itu jadi tidak menarik karena dikotori banyak sekali sampah daun bambu serta substansi apa namanya yang berwarna kuning sekali. Kami menyebutnya kotoran kuning atau tahi besi.
Orang-orang seberang kali itu betapa jua adalah bagian dari warga desa kami. Tapi memang, kami merasa punya jarak dengan mereka. Dan sebuah titian batang pinang yang harus kami lalui bila kami ingin pergi kepada mereka seakan menjadi simbol bagi jarak itu. Air, sebuah titian yang tak pernah luput dari kotoran anak-anak mereka. Di bawahnya banyak sekali kepiting batu berfoya dengan makanan lunak sepanjang hari. Pada musim kemarau kepiting lenyap entah ke mana. Air kali kecil sekali. Dan kakus orang-orang seberang kali itu menjadi tempat yang meriah bagi burung- burung sikatan dan kadal. Mereka berpesta makan lalat.
Lalu kalian mengira titian batang pinang jarang dilalui orang karena siapa saja akan takut tergelincir dan melayang dua meter ke bawah lalu hinggap di atas pasta kuning? Tidak. Itu perkiraan salah. Selain orang-orang seberang kali sendiri banyak orang luar lalu-lalang di atas titian itu. Orang- orang luar itu bukan dari kami. Mereka datang entah dari mana. Yang jelas mereka selalu melewati titian batang pinang sambil mengepit atau menjinjing ayam jago. Begitu.
Orang-orang seberang kali ini memang menganggap adu jago adalah bagian terpenting dalam hidup mereka. Di sana, Madrakum menjadi botofi-nya.
Bisa jadi karena soal adu ayam itulah maka terbentang jarak antara kami dengan mereka. Kami memang tidak pernah main adu-aduan. Bisa juga karena banyak di antara kami beberapa kali kehilangan ayam. Ah, anak-anak orang di seberang kali itu juga sudah pintar bermain ayam. Dengan cara mencuri-curi, anak-anak mereka suka mengadu ayam kami yang sedang berkeliaran di pekarangan dengan ayam mereka tentu saja. Selagi berlaga, ayam siapa pun akan gampang ditangkap.
Lucunya, kami tidak bisa melupakan jasa orang-orang seberang kali, terutama karena ayam-ayam jago mereka. Setiap fajar seakan menjadi milik orang seberang kali karena jago mereka selalu berkokok lebih awal dari jago siapa pun, bahkan lebih awal dari kokok muadzin di surau kami. Maka yang terjadi setiap fajar, muadzin surau kami dibangunkan oleh ayam jago orang seberang kali. Begitu. Di sana kokok ayam jantan, di sini seruan takbir. Di sini orang- orang pulang dari surau, di sana orang-orang jongkok sambil mengelus-elus ayam jago.
Kecuali Rabu kemarin. Kemarin kami pulang dari surau kala pagi masih remang oleh kabut, ada orang seberang kali sudah berdiri di halaman rumahku.
"Lho, Kang Samin?" tanya saya sesudah dekat benar.
"Iya, Mas." "Gasik betul. Ada apa rupanya? Dan apakah ayammu sudah dirawat?"
"Kali ini jangan bicara soal ayam, Mas. Saya mau minta tolong, dan ini amat penting."
"Oh, maafkan saya."
"Anu, Mas. Mbok sampean mau pergi kc rumah Madrakum, sekarang. Jenguklah dia. Kasihan, Mas."
"Kang Madrakum, kenapa dia?"
"Sakit. Dia sedang sakit dan saya kira sudah hampir mati. Sebenarnya kalau dia hanya mau mati, ya mati saja. Ini lain Mas."
"Sakit, mati, lain. Bagaimana Kang Samin?"
"Begini. Madrakum memang sudah agak lama sakit. Dan sejak tiga hari yang lalu dia mulai sekarat. Tapi ya itu, Mas. Wong mau mati saja kok sekaratnya lama betul. Kami yang melihatnya, lama-lama jadi tidak tahan."
Pagi masih terang. Aku dan Kang Samin masih berdiri di halaman. Aku melihat ada kampret masuk ke lubang dalam pokok kelapa. Ada ayam betina ngukruk membimbing anak- anaknya keluar dari kandang. Di belakangku, bunga mulai dirubung lebah. Dan mimik kang Samin jadi kelihatan jelas.
Kang Samin terus berbicara. Bahwa Madrakum sudah memperlihatkan semua tanda datangnya kematian; daun telinga yang terkulai, bau mayat yang khas, dan roman muka yang sudah lain sama sekali.
"Tapi ya itu, Mas. Madrakum awet benar. Heran, nyawanya demikian betah dalam tubuh Madrakum yang melarat." "Kan ajal di tangan Tuhan, Kang."
"Lha iya. Aku juga tahu semua orang akan mati. Tapi kukira tidak seperti Madrakum. Lagi pula, Mas. He-he. Hari- hari ini cuaca amat bagus. Sayang si Madrakum itu tidak mati juga."
"Orang mati takkan memilih cuaca."
"Lha iya. Tapi tamu-tamu kami akan selalu mempertimbangkan cuaca. He-he. Mengadu ayam dalam hujan, mana bisa. He-he."
Untuk saudaraku orang-orang dari seberang kali ini aku hanya bisa tersenyum dan menggerakkan kepala. Lalu Kang Samin mengulangi permintaannya, agar aku pergi menjenguk Madrakum si botoh adu ayam dari seberang kali itu.
"Anu, Mas. Orang-orang seperti sampean kan mengerti bagaimana cara membuat orang sekarat cepat mati."
"Aku mengerti maksudmu. Membacakan Surah Yassin, kan? Tapi jangan keliru. Ajal di tangan Tuhan."
"Lha iya, lha iya. Soalnya aku belum pernah melihat orang sakit yang sudah bau mayat bisa sembuh kembali. Apalagi si Madrakum itu, pasti dia sudah dekat ajal."
"Baik. Silakan pulang dulu. Aku segera menyusul." Ketika aku melewati titian batang pinang itu hari sudah benar-benar terang. Pakis-pakisan di tebing parit hijau dan segar dengan tetes-tetes embun di puncak-puncaknya. Segar seperti perawan yang basah rambutnya setelah mandi keramas. Kulihat seekor burung sikatan terbang mengejar betinanya. Keduanya lalu heboh dalam rumpun bambu. Ada daun bambu yang luruh karena huru-hara itu, lalu melayang masuk ke dasar parit. Di depanku ada dua perempuan berdiri, menunggu sampai aku mencapai seberang. Mereka tentu saja akan jongkok di atas titian. Tetapi aku tidak bisa melihat kepiting-kepiting batu. Dasar parit masih gelap.
Di rumah Madrakum sudah ada enam atau tujuh lelaki. Tetapi yang terbanyak dari mereka kulihat sedang' jongkok di halaman, mengelilingi kurungan jago. Ayam jago milik Madrakum ada beberapa ekor. Satu di antaranya adalah yang terbaik di seberang kali itu, demikian yang kudengar. Aku masuk diiringi Kang Samin. Kamar si sakit masih seperti malam, jadi masih ada pelita berkelip. Ya, mataku yang awam dapat melihat keadaan Madrakum memang sudah payah. Aku sependapat dengan Kang Samin; Madrakum dalam keadaan sekarat. Sekarat Madrakum memang lain. Si sakit yang kelihatannya sudah demikian lemah, kadang mendadak jadi penuh tenaga. Kedua kakinya mem cakar-cakar, kedua tangannya mengepak-epak. Kemudian diam dan melemah lagi. Dan dari rongga mulutnya terdengar suara aneh.
Aku duduk di atas kursi dekat kepala Madrakum. Kang Samin membuka jendela singkap yang harus selalu ditopang dengan sebilah kayu. Kang Samin menduga aku akan membaca kitab. Dia tidak tahu aku hafal Surah Yassin di luar kepala. Orang-orang seberang kali ternyata bisa mencip- takan hening ketika aku membacakan ayat-ayat suci. Tapi ayam-ayam jago mereka tidak. Maka suaraku sering tenggelam oleh suara kokok jago yang bersahutan tak henti- hentinya. Selesai dengan bacaan suci, aku bangkit. Aku permisi pulang hendak menyampaikan berita perikeadaan Madrakum kepada teman-temanku. Sebelum itu, doaku buat Madrakum sekali lagi disambut dengan keheningan.
Yang pertama kulakukan setelah sampai kembali ke rumah adalah memberitahukan keadaan Madrakum kepada istriku sendiri. Lalu aku keluar hendak menghubungi tetangga kiri-kanan. Tapi baru mendapat satu rumah aku harus menghentikan niat. Kang Samin muncul. Langkahnya panjang-panjang.
"Wah, Mas. Terima kasih. Kang Madrakum sudah tiada. Sungguh-sungguh sudah mati dia. Terima kasih, Mas."
"Inna lillahi. "
"Ya. Tapi ya itu, Mas. Sekali Madrakum tetap Madrakum. Dia suka aneh-aneh saja," kata kang Samin sambil tersenyum.
"Kamu menertawakan saudara yang baru meninggal?"
"Maksudku bukan begitu. Aku hanya mau bilang, Madrakum suka aneh-aneh. Itu saja."
Maka sambil senyum-senyum. Samin bercerita tentang kerabatnya di seberang kali itu. Katanya, tidak lama setelah aku mengundurkan diri Madrakum bangkit. Turun dari balai-balai, Madrakum berdiri dengah gagah. Lalu dia membuat gerakan-gerakan persis ayam jago sedang menggombal betinanya. Tidak hanya itu. Madrakum kemudian keluar halaman, lagi-lagi berdiri dengan megah. Matanya liar. Kedua tangannya mengembang untuk membuat gerakan-gerakan mengepak. Kaum kerabat yang terpana dibuat lebih kecut karena kemudian Madrakum berkokok berkali- kali. Suaranya demikian mirip dengan binatang yang dipeliharanya sehingga semua ayam jago di seberang kali menyahutnya berganti-ganti. Tapi semuanya segera berakhir ketika Madrakum kemudian jatuh melingkar di tanah. Mati.
WANGON JATILAWANG Wajah dua tamuku mendadak berubah ketika Sulam masuk. Mereka makin bingung melihat Sulam terus tamuku yang masing-masing memakai baju lengan panjang serta sepatu bagus itu, tentu tak mengenal Sulam. Namun siapa saja yang tinggal di antara Wangon dan Jalilawang pasti mengenal dia. Sepanjang ruas jalan raya kelas dua itu nama Sulam sangat terkenal.
"Pak," kata Sulam tanpa ekspresi apa pun.
"Ya," jawabku. "Nasi atau uang?"
Sulam diam. Diperlihatkannya padaku ujung celananya yang kuyup. Celana yang kedodoran itu nyangkut di perutnya dengan ikatan tali plastik. Kaosnya ada gambar yang sangat cabul di bagian punggung. Ah, pasti anak-anak nakal telah mempermainkan Sulam.
"Nasi atau uang?" ulangku.
"Aku sudah punya uang," jawab Sulam sambil membuka tangannya. Ada kepingan logam putih di sana. Tetapi tangan itu pucat dan gemetar. Maka aku bangkit meninggalkan kedua tamuku yang duduk membisu. Sepiring nasi dan segelas teh kuberikan pada Sulam. Dia duduk di lantai, tepat di samping kursiku. Kedua tamuku yang masing-masing memakai baju lengan panjang dan sepalu bagus itu tetap diam.
Selesai makan, Sulam mengangkat sendiri piring dan gelasnya, lalu masuk ke dalam. Anak-anakku tak ada yang merasa takut kepadanya. Mereka sudah kenal siapa dia. Dan tanpa sepatah kata pun. Sulam keluar. Pastilah dia akan meneruskan perjalanannya ke Pasar Jatilawang. Kedua tamuku menghembuskan napas panjang-panjang. Kukira
salah seorang di antara mereka ingin bertanya tentang siapa dan mengapa lelaki kerdil berkepala seperti buah salak itu. Tetapi aku hanya tersenyum. Kukira itulah jawaban yang paling aman. Teh kedua tamuku yang masing-masing berbaju lengan panjang dan sepatu bagus itu sudah bisa menduga sendiri siapa dia, siapa Sulam. Bahkan aku lagi- lagi hanya tersenyum ketika salah seorang tamuku bertanya apakah Sulam sering mampir ke rumahku seperti tadi.
"Yang penting sampecrn berdua tidak tersinggung karena aku menerima tamu yang kotor dan kurang sopan tadi, bukan?"
Kedua tamuku saling berpandangan dan tersenyum janggal. Kukira mereka agak terkejut dengan pertanyaanku.
"Maaf, Mas. Aku merasa perlu bertanya demikian karena aku mempunyai banyak pengalaman dengan tamu yang kotor tadi."
Lalu aku mendongeng. Suatu hari, lepas magrib, Sulam datang. Kebetulan, aku sedang menyelenggarakan kenduri. Gerimis yang sejak lama turun, membuat Sulam basah kuyup. Aku merasa tak bisa berbuat lain kecuali menyilakan Sulam masuk, meski aku melihat tamuku jadi agak masam wajahnya. Setelah kutukar pakaiannya, Sulam kuajak menikmati kenduri. Dia kubawa ke tempat persis di sampingku. Orang-orang yang semula duduk di dekatku menjauh, menjauh. Dan kenduriku malam itu berakhir tanpa keakraban, Pura tamu pulang hanya dengan ueapan basa-basi. Wajah mereka jelas berbicara bahwa mereka merasa tersinggung karena Sulam kuajak duduk di antara mereka. Semuanya menjadi lebih jelas ketika aku beberapa minggu kemudian menyelenggarakan kenduri lagi. Ternyata hanya beberapa orang yang datang memenuhi undangangku.
Kedua tamuku yang berbaju lengap panjang dan bersepatu bagus itu mengangguk-angguk. Kukira keduanya merasa heran. Tetapi aku tak tahu, apakah mereka heran terhadapku atau terhadap orang-orang kenduri yang tersinggung oleh kedatangan Sulam itu. Atau terhadap kedua-duanya, aku dan orang-orang kenduri itu. Dan kepalang dua orang muda itu sudah terheran-heran. maka lebih baik kuteruskan dongengku. Bahwa emakku sendiri suatu ketika marah karena mendapati Sulam menginap di rumahku.
"Yah, bagaimana lagi, Mak. Hari hujan dan Sulam mampir berteduh. Karena sampai malam hujan tak reda, maka Sulam kusuruh menginap di sini."
"Lhah! Kamu seperti tak tahu. Rumah siapa saja yang sering disinggahi orang semacam Sulam, bisa apes. Tak ada wibawa dan rejeki jadi tidak mau datang. Lihat tetanggamu itu; tamunya gagah-gagah, bagus-bagus. Tamumu malah si Sulam."
'"Bila hari tak hujan, Sulam pun tak mau menginap di sini Mak."
"Memang rumahnya kan pasar Wangon dan pasar Jatila- wang, bukan rumahmu ini. Kamu saja yang bodoh."
Mendengar dongeng itu kedua tamuku yang berbaju lengan panjang dan bersepatu bagus tersenyum. Kali ini senyumnya lepas. Kukira mereka membenarkan sikap emakku terhadap Sulam, entahlah. Sementara itu, aku teringat Sulam yang saat ini pasti dalam perjalanan menuju pasar Jatilawang. Kubayangkan, langkahnya yang pendek- pendek sambil menyeret ujung celana yang basah dan kedodoran. Bila perutnya tidak kelaparan, Sulam selalu berjalan sambil rengeng-rengeng. Tak pernah jelas tembang apa yang didendangkannya. Kadang dalam perjalanan antara Wangon dan Jatilawang. Sulam pintar meniru gaya penyiar TV, meski suara yang keluar dari mulutnya hampir tak punya makna apa pun. Dan ketika kedua tamuku yang bagus-bagus itu minta diri, kukira mereka akan mencapai Sulam sebelum pasar Jatilawang. Namun aku merasa ragu, apakah mereka mempunyai cukup perhatian untuk mengenali Sulam kembali.
Wangon dan Jatilawang adalah dua kota kecamatan. Jarak keduanya tujuh kilometer atau lebih. Setiap hari Sulam berjalan menempuh tujuh kilometer itu pulang pergi; pagi ke Wangon, sore ke Jatilawang atau sebaliknya. Tak perduli panas atau dingin. Kata banyak orang, Sulam hanya singgah dan berteduh di rumahku. Tetapi aku tak percaya akan cerita demikian, karena rasanya terlalu berlebih-lebihan. Kukira tidak semua orang yang tinggal antara Wangon dan Jatilawang tidak suka bersahabat dengan Sulam.
Memasuki bulan puasa, Sulam tetap singgah ke rumahku setiap pagi. Tetapi sikapnya berubah. Dia kelihatan malu ketika menyantap nasi yang kuberikan. Setiap kali dalam kesempatan berbeda Sulam selalu berkata:
"Pak, wong gemblung boleh tidak puasa kan?"
"Ya, kamu boleh tidak berpuasa. Anakku yang masih kecil juga tidak berpuasa."
"Tapi aku bukan anak kecil. Pak. Aku wong gemblung," kata Sulam serius.
"Ah, siapa yang mengatakan kamu demikian?"
"Wong gemblung boleh tidak puasa, kan?"
"Nanti dulu; siapa yang mengatakan kamu wong gemblung?"
Sulam tidak menjawab. Kemampuan nalarnya kukira, sangat terbalas. Dan inilah rupanya yang menyebabkan semua orang yang tinggal di antara Wangon dan Jatilawang mengatakan Sulam wong gemblung. Kukira mereka memang tidak mempunyai istilah lain. Dan sebutan itu menempel pada Sulam sejak dia masih anak-anak. Dulu Sulam tinggal secara tetap dengan emaknya dalam sebuah rumah kecil di Jatilawang. Emak Sulam yang sama-sama menderita keterbelakangan mental, meninggal dan rumah kecil itu punah tak lama kemudian. Sulam yang sebatangkara lalu menjadi anak pasar Jatilawang dan pasar Wangon.
Dekat hari Lebaran, pagi-pagi sekali, Sulam sudah berada di rumahku. Aku tak melihat kedatangannya, dan tiba-tiba saja dia sudah duduk di ruang makan. Wajahnya kelihatan bimbang. Nasi dan sekeping uang yang kuletakkan di atas meja di depannya, tidak segera menarik perhatiannya. Ketika kutanya mengapa demikian. Sulam malah balik bertanya:
"Sudah hampir Lebaran, ya Pak?"
"Ya, empat atau lima hari lagi. Kenapa?"
Sulam menunduk. Terbengong-bengong sehingga muncul semua tanda keterbelakangannya.
"Mestinya Lebaran ditunda sampai emak pulang."
"Hus! Lebaran tidak boleh ditunda. Nanti semua orang marah."
"Tetapi emak belum pulang. Dia sedang pergi ke kota membeli baju."
"Oh, aku tahu sekarang. Kamu tak usah menunggu emakmu. Nanti aku yang memberimu baju."
Sulam mengangkat muka lalu tersenyum aneh. Nasi di depannya dimakan dengan lahap, sementara aku pergi ke belakang mengurus ayam. Kukira aku cukup lama di kandang ayam; tapi ketika aku masuk kembali ke rumah, Sulam masih duduk di ruang makan.
"Sudah hampir lebaran, ya Pak?"
"Oh iya. Kamu nanti akan memakai baju yang baik. Tetapi
aku tidak akan menyerahkan baju itu kepadamu sekarang. Nanti saja, tepat pada hari lebaran kamu pagi-pagi kemari." "Di pasar Wangon dan Jatilawang orang-orang sudah membeli baju baru."
"Ya, tetapi untukmu, nanti saja. Aku tidak bohong. Bila baju itu kuberikan sekarang, wah, repot. Kamu pasti akan mengotorinya dengan lumpur sebelum Lebaran tiba." "Aku kan wong gemblung, Pak."
"Nanti dulu, aku tidak berkata demikian."
Aku ingin berkata lebih banyak. Namun Sulam melangkah pergi. Wajahnya murung. Aku mengikutinya sampai kc pintu halaman. Dari belakang kuperhatikan langkahnya yang pendek-pendek, menyeret-nyeret ujung celananya yang kombor dan kelewat panjang, celana pemberian orang. Mobil-mobil masih menyalakan lampu kecil, karena pagi sangat berkabut mendahului Sulam. Makin jauh tubuh Sulam makin samar. Dan sebelum seratus meter jauhnya, Sulam telah raib dalam keremangan pagi berkabut.
Dan aku mulai menyesal, mengapa tidak memenuhi permintaan Sulam akan baju dan celana yang layak. Mengapa aku khawatir tentang kebiasaan Sulam yang suka mengotori baju yang kuberikan, atau menukarnya begitu saja dengan sebungkus nasi rames di pasar Wangon. Maka sebenarnya aku tidak cukup mengerti tentang lelaki kerdil yang setiap hari menyusuri jalan raya antara Wangon dan Jatilawang itu. Dengan demikian, aku sungguh tidak layak mengaku sebagai sahabat Sulam.
Jam tujuh pagi hari itu juga penyesalanku menghunjam ke dasar hati. Seorang tukang becak sengaja datang ke rumahku.
"Pak, Sulam mati tergilas truk di batas kota Jatilawang." Bisa jadi tukang becak itu masih berkata banyak. Namun kalimat pertamanya yang kudengar sudah cukup. Aku tak ingin mendengar ceritanya lebih jauh. Aku malu, perih. Demikian malu sehingga aku tak berani menjenguk mayat Sulam di Jatilawang meski istriku berkali-kali menyuruhku ke sana. Sulam telah menyindirku dengan cara yang paling sarkastik sehingga aku mengerti bahwa diriku sama sekali tidak lebih baik daripadanya. Atau memang demikianlah keadaan yang sesungguhnya. Karena dalam hati sejak lama aku percaya, setiap hari Tuhan tak pernah jauh dari diri Sulam. Dan aku yang konon telah mencoba bersuci jiwa hampir sebulan lamanya, malah menampik permintaan Sulam yang terakhir. Padahal, sungguh aku mampu memberikannya.
Menjelang pagi di hari Lebaran, Sulam datang lagi dalam angan-anganku. Dia sama sekali tidak meminta baju yang telah kujanjikan. Dia hanya menatapku dengan wajah yang jernih, dengan senyum yang sangat mengesankan. Kemudian Sulam gaib sambil meninggalkan suara tawa ceria yang panjang. Namun aku perih mendengarnya. Malu.
PENGEMIS DAN SHALAWAT BADAR
Bus yang aku tumpangi masuk terminal Cirebon ketika matahari hampir mencapai pucuk langit. Terik matahari ditambah dengan panasnya mesin disel tua memanggang bus itu bersama isinya. Untung bus tak begitu penuh sehingga sesama penumpang tak perlu bersinggungan badan. Namun dari sebelah kiriku bertiup bau keringat melalui udara yang dialirkan dengan kipas koran. Dari belakang terus-menerus mengepul asap rokok dan mulut seorang lelaki setengah mengantuk.
Begitu bus berhenti, puluhan pedagang asongan menyerbu masuk. Bahkan beberapa di antara mereka sudah membajingloncat ketika bus masih berada di mulut terminal. Bus menjadi pasar yang sangat hiruk-pikuk. Celakanya, mesin bus tidak dimatikan dan sopir melompat turun begitu saja. Dan para pedagang asongan itu menawarkan dagangan dengan suara melengking agar bisa mengatasi derum mesin. Mereka menyodor-nyodorkan dagangan, bila perlu sampai dekat sekali ke mata para penumpang. Kemudian mereka mengeluh ketika mendapati tak seorang pun mau berbelanja. Seorang di antara mereka malah mengutuk dengan mengatakan para penumpang adalah manusia-manusia kikir, atau manusia-manusia yang tak punya duit.
Suasana sungguh gerah, sangat bising dan para penumpang tak berdaya melawan keadaan yang sangat menyiksa itu. Dalam keadaan seperti itu, harapan para penumpang hanya satu; hendaknya sopir cepat datang dan bus segera bergerak kembali untuk meneruskan perjalanan ke Jakarta. Namun laki-laki yang menjadi tumpuan harapan itu kelihatan sibuk dengan kesenangannya sendiri. Sopir itu enak-enak bergurau dengan seorang perempuan penjual buah.
Sementara para penumpang lain kelihatan sangat gelisah dan jengkel, aku mencoba bersikap lain. Perjalanan semacam ini sudah puluhan kali aku alami. Dari pengalaman seperti itu aku mengerti bahwa ketidaknyamanan dalam perjalanan tak perlu dikeluhkan karena sama sekali tidak mengatasi keadaan. Supaya jiwa dan raga tidak tersiksa, aku selalu mencoba berdamai dengan keadaan. Maka kubaca semuanya dengan tenang: Sopir yang tak acuh terhadap nasib para penumpang itu, tukang-tukang asongan yang sangat berisik itu, dan lelaki yang setengah mengantuk sambil mengepulkan asap di belakangku itu.
Masih banyak hal yang belum sempat aku baca ketika seorang lelaki naik ke dalam bus. Celana, baju, dan kopiahnya berwarna hitam. Dia naik dari pintu depan. Begitu naik lelaki itu mengucapkan salam dengan fasih. Kemudian dari mulutnya mengalir Shalawat Badar dalam suara yang bening. Dan tangannya menengadah. Lelaki itu mengemis. Aku membaca tentang pengemis ini dengan perasaan yang sangat dalam. Aku dengarkan baik-baik shalawatnya. Ya, persis. Aku pun sering membaca shalawat seperti itu terutama dalam pengajian-pengajian umum atau rapat-rapat, Sekarang kulihat dan kudengar sendiri ada lelaki membaca shalawat badar untuk mengemis.
Kukira pengemis itu sering mendatangi pengajian-pengajian. Kukira dia sering mendengar ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup baik dunia maupun akhirat. Lalu dari pengajian seperti itu dia hanya mendapat sesuatu untuk membela kehidupannya di dunia. Sesuatu itu adalah Shalawat Badar yang kini sedang dikumandangkannya sambil menadahkan tangan.
Semula ada perasaan tidak setuju mengapa hal-hal yang kudus seperti bacaan shalawat itu dipakai untuk mengemis. Tetapi perasaan demikian lenyap ketika pengemis itu sudah berdiri di depanku. Mungkin karena shalawat itu maka tanganku bergerak merogoh kantong dan memberikan selembar ratusan. Atau karena ada banyak hal dapat dibaca pada wajah si pengemis itu.
Di sana aku lihat kebodohan, kepasrahan yang memperkuat penampilan kemiskinan. Wajah-wajah seperti itu sangat kuhafal karena selalu hadir mewarnai pengajian yang sering diawali dengan Shalawat Badar. Ya. Jejak-jejak pengajian dan ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup ada berbekas pada wajah pengemis itu. Lalu mengapa dari pengajian yang sering didatanginya ia hanya bisa menghafal Shalawat Badar dan kini menggunakannya untuk mengemis? Ah, kukira ada yang tak beres. Ada yang salah. Sayangnya, aku tak begitu tega menyalahkan pengemis yang terus membaca shalawat itu.
Perhatianku terhadap si pengemis terputus oleh bunyi pintu bus yang dibanting. Kulihat sopir sudah duduk di belakang kemudi. Kondektur melompat masuk dan berteriak kepada sopir. Teriakannya ditelan oleh bunyi mesin disel yang meraung-raung. Kudengar kedua awak bus itu bertengkar. Kondektur tampaknya enggan melayani bus yang tidak penuh, sementara sopir sudah bosan menunggu tambahan penumpang yang ternyata tak kunjung datang. Mereka terus bertengkar melalui kata-kata yang tak sedap didengar. Dan bus terus melaju meninggalkan terminal Cirebon.
Sopir yang marah menjalankan busnya dengan gila-gilaan. Kondektur diam. Tetapi kata-kata kasarnya mendadak tumpah lagi. Kali ini bukan kepada sopir, melainkan kepada pengemis yang jongkok dekat pintu belakang.
"He, sira Kenapa kamu tidak turun? Mau jadi gembel di Jakarta? Kamu tidak tahu gembel di sana pada dibuang ke laut dijadikan rumpon?"
Pengemis itu diam saja. "Turun!" "Sira beli mikir? Bus cepat seperti ini aku harus turun?"
"Tadi siapa suruh kamu naik?"
"Saya naik sendiri. Tapi saya tidak ingin ikut. Saya cuma mau ngemis kok. Coba, suruh sopir berhenti. Nanti saya akan turun. Mumpung belum jauh."
Kondektur kehabisan kata-kata. Dipandangnya pengemis itu seperti ia hendak menelannya bulat-bulat. Yang dipandang pasrah. Dia tampaknya rela diperlakukan sebagai apa saja asal tidak didorong keluar dari bus yang melaju makin cepat. Kondektur berlalu sambil bersungut. Si pengemis yang merasa sedikit lega, bergerak memperbaiki posisinya di dekat pintu belakang. Mulutnya kembali bergumam: "... sholatullah..salamullah, 'ala thaha rasulillah...."
Shalawat itu terus mengalun dan terdengar makin jelas karena tak ada lagi suara kondektur. Para penumpang membisu dan terlena dalam pikiran masing-masing. Aku pun mulai mengantuk sehingga lama-lama aku tak bisa membedakan mana suara shalawat dan mana derum mesin diesel. Boleh jadi aku sudah berada di alam mimpi dan di sana kulihat ribuan orang membaca shalawat. Anehnya, mereka yang berjumlah banyak sekali itu memiliki rupa yang sama. Mereka semuanya mirip sekali dengan pengemis yang naik dalam bus yang kutumpangi di terminal Cirebon. Dan dalam mimpi pun aku berpendapat bahwa mereka bisa menghafal teks shalawat itu dengan sempurna karena mereka sering mendatangi ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup di dunia maupun akhirat. Dan dari ceramah-ceramah seperti itu mereka hanya memperoleh hafalan yang untungnya boleh dipakai modal menadahkan tangan.
Kukira aku masih dalam mimpi ketika kurasakan peristiwa yang hebat. Mula-mula kudengar guntur meledak dengan suara dahsyat. Kemudian kulihat mayat-mayat beterbangan dan jatuh di sekelilingku. Mayat-mayat itu terluka dan beberapa di antaranya kelihatan sangat mengerikan. Karena merasa takut aku pun lari. Namun sebuah batu tersandung dan aku jatuh ke tanah. Mulut terasa asin dan aku meludah. Ternyata ludahku merah. Terasa ada cairan mengalir dan lubang hidungku. Ketika kuraba, cairan itu pun merah. Ya Tuhan. Tiba-tiba aku tersadar bahwa diriku terluka parah. Aku terjaga dan di depanku ada malapetaka. Bus yang kutumpangi sudah terkapar di tengah sawah dan bentuknya sudah tak keruan. Di dekatnya terguling sebuah truk tangki yang tak kalah ringseknya. Dalam keadaan panik aku mencoba bangkit bergerak ke jalan raya. Namun rasa sakit memaksaku duduk kembali. Kulihat banyak kendaraan berhenti. Kudengar orang-orang merintih. Lalu samar-samar kulihat seorang lelaki kusut keluar dari bangkai bus. Badannya tak tergores sedikit pun. Lelaki itu dengan tenang berjalan kembali ke arah kota Cirebon.
Telingaku dengan gamblang mendengar suara lelaki yang terus berjalan dengan tenang ke arah timur itu: "sholatullah..salamullah, 'ala thaha rasulillah...."
KATA PENUTUP Oleh Sapardi Djoko Damono
Di tengah-tengah gemerlap kebudayaan populer yang umumnya berlatar restoran, hotel, kampus, mobil, telepon, dan parfum, Ahmad Tohari telah mencipta-kan dunia yang mungkin terasa asing bagi kita yang entah sejak kapan telah menjadi bagian dari kota besar. Kenthus, Blokeng, Minem, dan Samin?beberapa tokoh yang diciptakan Tohari?bisa terasa jauh jaraknya dengan kita sebab besar kemungkinannya seandainya mereka itu pindah ke kota besar, nama-namanya akan berubah menjadi Kenny, Blocky, Minny, dan Sammy. Minem merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan pedusunan Jawa; ia dan kawan-kawannya itu berasal dari lapisan bawah, beberapa di antaranya bahkan paling bawah, dan karenanya berurusan dengan berbagai masalah yang sering terlalu sederhana dalam pengertian kita.
Dalam kenyataannya, tentu pembatas dan jarak antara Minem dan Minny tidaklah setegas yang sering kita bayangkan. Jarak antara sebuah kota besar tempat tinggal Minny dan sebuah desa tempat tinggal Minem bisa beberapa puluh kilometer saja; bahkan ada kemungkinan tokoh yang sama dengan aman mengadakan perjalanan ulang-alik kota-desa dan tanpa kesulitan apa pun menjadi pendukung dua kebudayaan: di kota ia menjadi pembantu rumah tangga, di desanya seorang pemanen padi yang terampil. Ia dengan lancar bergerak dari kebudayaan populer ke kebudayaan rakyat: malam ini nonton layar tancep di kota, besoknya terlibat dalam upacara bersih desa.
Dalam ujudnya sebagai hasil seni, Minem dan Minny bisa memiliki kedudukan yang sama, demikian juga desa dan kota tempat tinggalnya. Potret mengkilap sebuah gerobak sapi di jalanan desa yang rimbun dengan rumpun bambu bisa saja menjadi bagian kalender; sama halnya dengan potret seorang peragawati yang bersandar pada Toyota Corolla model baru di depan sebuah hotel. Keduanya bisa merupakan hasil kebudayaan populer. Dengan demikian, sebenarnya bisa saja dunia ciptaan Ahmad Tohari itu menjadi bagian yang sah dari kebudayaan populer, sama dengan karya sastra populer lain yang umumnya berlatar kota besar. Tohari bisa memoles tokoh, latar, dan peristiwa rekaannya itu sedemikian rupa sehingga "indah", skematis, dan gamblang; agar pembaca bisa memanfaatkannya sebagai tempat pelarian.
Dalam cerpen-cerpen yang terkumpul dalam Senyum Kciryamin ini, tampaknya tidak ada kecenderungan yang disengaja untuk menjadi populer, Tohari rupanya memiliki sesuatu yang penting yang harus disampaikan kepada kita; ia tidak sekadar ingin menghibur kita. Berbagai anasir dalam eerpen-eerpennya itu kadang merupakan contoh-contoh masalah dalam masyarakat kita yang ada baiknya kita pahami, kadang berfungsi sebagai lambang masalah lain yang mengatasi kehidupan sehari-hari kita. Tohari ingin menyampaikan semacam pesan kepada kita mengenai berbagai masalah tersebut.
Orang keeil di dunia perdesaan memang merupakan ciri khas dunia rekaan Tohari; tidak adanya hasrat untuk menjadikan dunia tersebut gemerlapan juga merupakan kekhasannya, yang tentunya membedakannya dan seni populer. Namun, tidak jarang keinginannya untuk menyampaikan pesan kepada kita terasa berlebihan. Yang serba berlebihan, termasuk keinginan untuk menyampaikan pesan, adalah juga ciri seni populer; lirik lagu populer, misalnya, umumnya sarat dengan pesan mengenai berbagai masalah kehidupan. Dalam beberapa cerpen, keinginan yang berlebihan itu masih bisa tersembunyi oleh adanya ironi. "Blokeng". misalnya, sarat dengan pesan tentang kemunafikan manusia; dalam sebagian besar cerita itu Tohari bisa bertahan pada ironi, namun di akhir cerita agaknya ia tidak bisa menguasai dirinya dan mendadak Blokeng berkata kepada anaknya:
"Cowet, anakku. Ayahmu itu mbuh. Tetapi jangan bersedih, ya. Lihatlah itu, orang-orang gundul. Lucu, ya?" Seperti tahu kata-kata emaknya, Cowet yang masih bayi tertawa ngakak. Hek-hek-hek. Hik-hik-hik.
Tohari telah terlalu keras tertawa, dan juga mengajak kita mengejek dunia rekaannya itu dengan tertawa keras-keras; dalam posisi demikian, ia tidak lagi menyindir tetapi memberi nasihat secara berlebihan. Dalam cerita ini juga tampak kecenderungan pengarang berbakat ini untuk kadang-kadang suka bermain kata-kata secara berlebihan, seperti ketika menggambarkan sikap seisi kampung terhadap Blokeng :
Ini kepongahan kampungku yang dengan gemilang telah berhasil memelihara rasa congkak dengan cara memanipulir nilai martabat kemanusiaan.
Agak mengherankan bahwa kisah tentang sebuah desa yang mirip dongeng itu harus mengandung kalimat (kalimat) yang dipoles sedemikian rupa sehingga terasa sok-pintar. Dengarkan juga kalimat lain dalam cerpen yang sama:
Maka keblingsatan bersama anak-cucunya harus dioperasi, bila perlu dengan menggunakan sinar laser atau sinar partikel.
Itu merupakan tanggapan pengisah terhadap suatu situasi ketika sebuah desa menjadi "ribut" karena ada seorang perempuan muda bunting tanpa suami; tentu saja terdengar berlebihan.
Namun, umumnya cerita-cerita Tohari tidak sepenuhnya dikuasai kalimat-kalimat semacam itu. Ciri khasnya, kehidupan pedusunan yang bertokoh orang-orang lapisan bawah, sangat menonjol dan mampu menjadi daya tarik utama. Pencari kayu di hutan, pencari batu kali, pengemis, tukang adu ayam di desa, dan wong gemblung (orang yang tidak begitu waras pikirannya) ada di antara tokoh ciptaan-nya. Dalam sejarah perkembangan kesusastraan kita, perhatian terhadap kaum semacam itu tentu bukan merupakan barang baru, namun di tengah-tengah kebudayaan populer yang berorentasi pada kemewahan mungkin hal itu bisa dianggap sebagai nilai tambah. Hanya saja, tentu Tohari menghadapi masalah penciptaan yang erat kaitannya dengan pemilihan tokoh dan latarnya itu.
Karyamin, Minem, Blokeng, Samin, dan Suing adalah orang-orang yang tidak bisa dijejali pikiran muluk-muluk dan dibebani masalah yang berat. Demikianlah, Tohari sebagai si pencipta tidak bisa leluasa mengembangkan perwatakan ceritanya; ia pun sebenarnya terikat pada rangkaian peristiwa yang sederhana, yang memungkinkan tokoh-tokoh ciptaannya itu hidup. Dalam kebanyakan cerita, Tohari berhasil bertahan pada prinsip itu; tentu saja hal ini bisa menimbulkan masalah lain, yakni bahwa cerita ceritanya mungkin dianggap terlalu sederhana, tanpa konflik yang berarti. Masalahnya memang: konflik macam apa pula yang bisa dialami oleh tokoh semacam Blokeng dan Suing? Alur macam apa pula bisa disusun jika tokoh-tokoh itu harus menjadi tokoh utama?
Sastra, yang baru maupun yang lama, adalah dunia yang penuh lambang. Hal-hal yang sangat sederhana pun, di tangan pengarang baik, bisa menjelma menjadi lambang-lambang berbagai masalah yang rumit dan sangat berharga untuk kita hayati. Dongeng dan berbagai jenis cerita rakyat yang bisa beredar turun-temurun kebanyakan berunsurkan tokoh, latar, dan alur yang tidak berbelit-belit, namun mengandung kemungkinan penafsiran lebih lanjut. Masalah sosial dan kemanusiaan yang abadi bisa direkam dalam dongeng: Kemiskinan, hubungan manusia dan Tuhan, cinta, kearifan, misalnya, merupakan tema yang abadi dalam sastra mana pun. Dan tampaknya arah itulah yang paling cerah bagi Tohari.
Tampaknya, pengarang ini tidak dibebani terlalu berat jika ia mendongeng. Pengamatannya yang cermat terhadap masalah yang umumnya luput dari perhatian kita merupakan modal penting baginya untuk menyusun dongeng-dongeng itu. Perlambangan dalam kesusastraan diperkaya oleh pengalaman hidup; tampaknya Tohari memilikinya.
Cerita yang paling saya sukai dalam kumpulan ini adalah "Pengemis dan Shalawat Badar??, sebuah dongeng modern yang temanya universal namun tokoh dan latarnya memiliki akar dalam masyarakat kita. Keuniversalan tema itulah yang menyebabkan kita mungkin berpikir bahwa ada kemiripan antara cerita ini dengan kisah-kisah sufi, namun jika kita menghadapi tema yang universal sulit untuk berbicara mengenai keaslian. Dalam cerita ini Tohari berhasil membatasi keinginannya untuk berkomentar?mengajar dan menilai; ia lebih banyak mendongeng dan pembaca dibiarkannya mengusut sendiri perlambangan dalam dongengnya yang relatif sederhana itu. Cerita ini merupakan perlambangan kerinduan manusia akan penegasan hubungannya dengan Yang Maha Kuasa, kerinduan kita akan perlindungan-Nya.
Kisah mengenai Sulam, wong gemblung itu, dalam "Wangon Jatilawang" juga mirip dongeng. Dalam cerita itu muncul cinta dan perhatian manusia terhadap sesamanya, yang dilambangkan oleh Sulam. Dalam cerita ini pun Tohari mendongeng saja, tanpa terlalu banyak membimbing pembacanya; dan inilah rupanya cara terbaik baginya. Dalam pengamatan saya, jalan inilah yang akan memberikan manfaat bagi Tohari dan bagi pembacanya.
Sudah saya singgung, cerpen-cerpen yang terkumpul dalam Senyum Karyamin ini menunjukkan kecermatan pengamatan Ahmad Tohari terhadap berbagai masalah yang sering tidak kita sadari adanya. Tokoh-tokoh sastra dunia yang sering dianggap sebagai '?Bapak?' pengarang cerpen, yakni Anton Cekov dan Lu Xun, mempunyai kecermatan perhatian semacam itu juga. Mereka pun banyak menampilkan tokoh-tokoh lapisan bawah dan dunianya. Jika Tohari menekuni cara mendongeng sebaik-baiknya, ada kemungkinan ia mampu menampilkan kearifan kisah-kisah sufi yang kekayaan perlambangannya setara dengan kisah-kisah modern ciptaan penulis Rusia dan Cina tadi. Kita mengharapkan ketekunannya.
Depok, Maret 1989 TENTANG PENGARANG Ahmad Tohari?lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, 13 Juni 1948?adalah sastrawan Indonesia. Ia menamatkan SM A di Purwokerto, lalu pernah mengenyam bangku kuliah, yakni Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun, Jakarta (1967-1970), Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto (1974-1975), dan Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman (1975-1976).
Dalam dunia jurnalistik, Ahmad Tohari pernah menjadi staf redaktur harian Merdeka, majalah Keluarga, dan majalah Amanah, semuanya di Jakarta. Dalam karier kepengarangannya, penulis yang berlatar kehidupan pesantren ini telah melahirkan beberapa novel dan kumpulan cerita pendek. Beberapa karya fiksinya antara lain Ronggeng Dukuh Paruk, yang telah terbit dalam edisi bahasa Jepang,
Jerman, Belanda, dan Inggris. Tahun 1990 pengarang yang punya hobi memancing ini mengikuti International Writing Programme di Iowa City, Amerika Serikat, dan memperoleh penghargaan The Fellow of the University of Iowa.
Ronggeng Dukuh Paruk, yang diterbitkan tahun 1982, berkisah tentang pergulatan penari tayub di dusun kecil Dukuh Paruk pada masa pergolakan komunis. Karyanya ini dianggap kekiri- kirian oleh Pemerintah Orde Baru, sehingga Tohari diinterogasi selama berminggu-minggu. Hingga akhirnya Tohari menghubungi sahabatnya Gus Dur, dan akhirnya terbebas dari intimidasi dan jerat hukum. Novel ini telah difilmkan oleh sutradara Ifa Irfansyah dengan judul Sang Penari (2011). Tohari memberikan apresiasi yang tinggi terhadap para pembuat film tersebut dan berujar ini akan jadi dokumentasi visual yang menarik versi rakyat, bukan versi kota sebagaimana dalam film-film sebelumnya.
Cerpennya yang berjudul Jasa-Jasa buat Sanwirya mendapat Hadiah Hiburan Sayembara Kincir Emas 1975 yang diselenggarakan Radio Nederlands Wereldomroep. Novelnya Kubah (1980) memenangkan hadiah Yayasan Buku Utama 1980. Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), Jantera Bianglala (1986) meraih hadiah Yayasan Buku Utama tahun 1986. Novelnya Di Kaki Bukit Cibalak (1986) menjadi pemenang salah satu hadiah Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1979. Pada tahun 1995 Ahmad Tohari menerima Hadiah Sastra Asean, SEA Write Award. Sekitar tahun 2007 Ahmad Tohari menerima Hadiah Sastra Rancage.
Pedang Sakti Tongkat Mustika 10 Animorphs - 4 Terjebak Di Dasar Samudera Azab Dan Sengsara 3

Cari Blog Ini