Ceritasilat Novel Online

Student Hidjo 2

Student Hidjo Karya Marco Kartodikromo Bagian 2


"Apakah kita berpakaian begini saja?" tanya Biru.
"Ya, begitu saja!" jawab yang ditanya.
Dua orang gadis itu pergi bersama-sama ke kantor Kawedanan hendak telepon. Kedatangan mereka ke kantor, disambut oleh Juru Tulis Wedono.
S T U D E N T H I J O "Tuan Juru Tulis?" tanya Raden Ajeng Wungu. "Apakah Tuan mau memberi tahu kepada kantor Kabupaten Jarak bahwa saya akan berbicara dengan Wardoyo -- anak lelaki Regent Jarak."
Wedono Baratadem dan Juru Tulisnya sudah paham betul bahwa gadis yang datang di kantor minta tolong itu anaknya Regent Jarak. Maka dari itu Juru Tulis cepat memenuhi permintaannya dan berkata kepada Wungu. "Baik Tuan Putri!"
Wedono yang baru saja duduk-duduk di depan rumah dengan istrinya, ketika dia mengetahui kedatangan dua raden ajeng itu, segera datang ke kantor dan bertanya apa keperluannya.
"Saya mau telepon ke Kabupaten Tuan Wedono," jawab Wungu kepada Wedono.
Waktu itu Juru Tulis Wedono sedang telepon ke kantor Kabupaten Jarak, dan meminta supaya Raden Mas Wardoyo mau menerima telepon, sebab Raden Ajeng Wungu hendak berbicara dengannya. Selama Juru Tulis sedang berbicara dalam telepon itu, Raden Ajeng, Raden Ayu Wedono dan Wedono Baratadem sedang ngobrol satu dengan yang lain.
"Sudah Tuan Putri!" begitu Juru Tulis Wedono memberi tahu kepada Raden Ajeng, setelah dia mendengarkan bahwa Raden Mas Wardoyo sudah siap di telepon.
"O, ya!" kata Raden Ajeng. Lalu ia segera menghampiri telepon dan berbicara dengan saudaranya.
"Halo! Halo! Ben jij Mas [Ini saya Mas]" kata Raden Ajeng di telepon."Ya, saya Wungu, ibu minta satu kereta lagi untuk tamu kita yang akan datang di Kabupaten."
"Famili Hidjo?"
"Ya, famili Hidjo! Tiga orang perempuan: ibunya, saudara perempuan ibu Hidjo dan anak perempuannya. Memang, kebetulan sekali kita bisa berkenalan dengan familinya Hidjo."
"Apa? Auto? .... Baik. Kami akan datang menjemput Baik!"
"Tapi cepat, sebab kita sudah siap akan pulang bersama-sama dengan famili Hidjo. Apa?.... Verjaardag- nya [Hari ulang tahunnya] Papa?.... O, ya!?....
Kebetulan kalau begitu. Jadi seperti memberi kehormatan kepada famili Hidjo. Kapan ada pesta?.... Hari Minggu?.... Cepat Mas!.... Dus kom jij ons afhalen? Tot straks! [Jadi kamu menganggur? Ayo lekas]" Di sini Raden Ajeng selesai bercakap-cakap di telepon dengan saudara lelakinya. Dan S T U D E N T H I J O
kembali ke depan pintu kantor distrik, yaitu tempatnya Raden Ajeng Biru.
Wedono dan Raden Ayunya sedang ngobrol sambil menunggu dia.
"Mari Raden Ajeng, duduk sebentar di rumah saya?" kata Raden Ayu Wedono kepada Raden Ajeng Wungu yang baru datang dari bicara di telepon.
"O, maaf Tuan Putri, jangan marah sebab saya keburu-buru, nanti akan segera pulang ke Jarak!" jawab Raden Ajeng Biru dangan ramah.
"Sebentar saja, ya sekadar minum tehlah!" kata Raden Ayu Wedono ramah pula.
"Terima kasih. Bulan yang lain kalau saya datang lagi kemari, saya akan sempatkan mengunjungi Tuan Putri. Hari ini kita sudah tidak punya waktu, sebab sebentar lagi kita akan pulang ke Jarak."
Setelah Raden Ajeng Wungu mengucapkan terima kasih atas pertolongannya memberi kesempatan untuk berbicara dalam telepon kepada Wedono dan Juru Tulis. Lalu kedua raden ajeng itu meminta permisi untuk kembali ke hotel.
Setelah kira-kira satu jam lamanya jarak waktu, Raden Ajeng berbicara di telepon lalu mobil yang ditumpangi saudara lelakinya untuk menjemput tamu itu telah datang.
Raden Mas Wardoyo diperkenalkan oleh Wungu kepada ibu Hidjo, saudara perempuan ibu Hidjo dan anak perempuannya, yaitu Raden Ajeng Biru.
Sewaktu saudara lelakinya Wungu sedang saling berkenalan dengan famili-familinya Hidjo, dia merasa gugup melihat wajah Biru. Meskipun disembunyikan, jangan sampai ada orang yang mengetahuinya.
Setelah selesai semuanya, famili Regent Jarak dan famili Hidjo berangkat naik mobil dan kereta ke Jarak.
"Bu, saya mau naik mobil saja sama Raden Ajeng Biru dan Mas Jo!" kata Raden Ajeng Wungu minta izin kepada ibunya.
"Baik!" jawab ibunya.
Raden Ayu Regent, Raden Nganten Potronoyo dan saudara perempuannya naik kereta. Adapun yang lainnya naik mobil.
"Bu, kita hendak jalan dahulu," kata Raden Ajeng kepada Raden Ayu Regent.
"Baik!" jawab ibunya pendek.
Mobil yang membawa kedua Raden Ajeng dan Raden Mas Wardoyo berjalan di depan. Tetapi Raden Mas duduk jejer dengan supir mobil.
"Mas Jo, mari kita nanti langsung plesir di Jarak?" kata Raden Ajeng kepada saudara lelakinya.
S T U D E N T H I J O "Baik!" jawab yang ditanya.
"Bagaimana Tuan Putri, maukah Tuan Putri plesir dengan mobil ini?" tanya Wungu kepada Biru.
"Baik!" kata Biru pendek
Mobil yang dinaiki tiga orang muda itu disuruh mempercepat jalannya oleh Raden Ajeng Wungu. Sudah barang tentu lebih cepat daripada kereta yang dinaiki oleh ibunya Raden Ajeng. Sesampainya di Jarak, Raden Ajeng Wungu dan Raden Mas sama plesir melihat-lihat kota Jarak. Waktu itu mobil berjalan pelan-pelan.
"Mas, kamu duduk di sini saja, sama kita!" suruh Raden Ajeng kepada saudara lelakinya supaya duduk jejer dengan dia.
"Bolehkah Raden Ajeng, saudara saya duduk di sini," tanya Woengeo kepada Biru.
"Tentu saja boleh!" jawab Biru dengan senang.
Waktu Raden Mas Wardoyo sedang meloncat dari tempat duduknya hendak pindah ke belakang, kedua raden ajeng itu sama-sama memberi tempat untuk Raden Mas ada di tengah. Yaitu sebagaimana adat kesopanan Eropa.
"Di mana saya musti duduk?" tanya Raden Mas kepada saudara
perempuannya, waktu dia masih berdiri di mukanya.
"Di sini, tuh, di tengah!" jawab Raden Ajeng Wungu sambil menunjukkan tempat yang sudah disediakan.
"Bolehkan saya duduk di sini?" tanya Raden Mas kepada Tuan Putri Biru.
"Tentu saja boleh, dengan senang hati!" jawab Biru memakai adat kesopanan Eropa juga.
Raden Mas, sewaktu mendengar suara Biru dan duduk di tengah, darahnya mengalir ke atas pertanda bahwa dalam hati Raden Mas ada sesuatunya.
"Sudah berapa hari Tuan Putri ada di Baratadem?" kata Raden Mas mulai berbicara kepada Biru sambil melihat roman muka gadis manis yang ada di sampingnya itu.
"Kira-kira sudah satu minggu!" jawab yang ditanya.
"Apa sebelumnya sudah berbicara dengan ibu kalau hendak ke Baratadem?"
tanya jejaka tampan itu. "Tidak!" jawab putri cantik itu pendek.
"Bagaimana kabarnya Hidjo?" tanya Raden Mas.
S T U D E N T H I J O "Kita waktu itu berangkat ke Negeri Belanda, sama mengantarnya sampai di Tanjung Priok," jawab tuan putri.
"O, ya!" potong Raden Ajeng Wungu cepat.
"Ya!" kata Raden Ajeng Biru.
"Memangnya kita juga punya niatan untuk mengantarkan sampai di Batavia langsung pergi ke Bogor. Tetapi ayah tak punya waktu karena banyak pekerjaan," kata Wungu dengan panjang menunjukkan kekesalan hatinya, tidak bisa ikut mengantar kepergian Hidjo.
"Bagaimana keadaan kota Betawi?" tanya Raden Mas.
"Ah, biasa-biasa saja, seperti kota-kota lainnya," kata Raden Ajeng.
Berlama-lama ketiga orang itu berputar-putar naik mobil keliling kota, lalu mereka bersama-sama pula pulang ke Kabupaten. Sebab dia mengira bahwa ibunya sudah lama datang dan waktu itu sudah jam tujuh malam.
Sampai di Kabupaten, semua orang yang naik kereta dari Baratadem sudah sama-sama datang.
"Dari mana kamu?" tanya Raden Ayu Regent yang baru saja tiba kepada anak perempuan dan saudaranya dan Raden Ajeng Biru.
"Dari plesir!" jawab anaknya. "Menunjukkan kepada Tuan Putri supaya mengerti keadaan kota sini."
Kedatangan famili Hidjo diterima dengan senang hati oleh Regent dan Raden Ayu, juga semua anak-anaknya.
Karena kurang tiga hari lagi Regent Jarak hendak merayakan hari ulang tahunnya, maka dari itu Raden Ayu Regent memohon dengan sangat kepada famili Hidjo supaya mereka mau menunggu sampai hari ulang tahun Regent itu tiba.
Selama setelah tamu Regent itu menunggu hari ulang tahun yang akan dirayakan itu tiba, ia selalu dibuat bahagia oleh tuan rumahnya. Pun pula Biru, tiap-tiap sore ia selalu melancong dengan Raden Ajeng Wungu dan saudara lelakinya. Karena famili Regent Jarak sangat mencintai famili-famili Hidjo, maka mereka selalu memperbincangkan keadaan Hidjo dan anak-anaknya yang lain.
Raden Nganten Potronoyo dan saudaranya -- ibu Biru -- merasa dijamu secara luar biasa oleh Regent sekalian. Sehingga kedua famili Hidjo itu selalu berkata bagaimana mesti harus membalas kebaikan Regent itu.
S T U D E N T H I J O "Seandainya Hidjo belum punya tunangan, saya juga mau Hidjo kawin dengan Raden Ajeng Wungu," begitu Raden Nganten Potronoyo sering memikirkannya sendirian. "Tetapi bagaimana, Hidjo harus kawin dengan Biru anak keponakan saya sendiri."
Selama Raden Nganten Potronoyo ada di Kabupaten Jarak, dia tidak putus-putusnya berpikir, bagaimana caranya harus membalas kebaikan Regent sekalian. Begitu juga ibu Biru, ia juga selalu berusaha hendak membalas kebaikan Regent Jarak.
Semakin lama famili-famili Hidjo berada di Kabupaten Jarak, semakin dekat hari ulang tahun Regent yang akan dirayakan itu. Demikian pula anak-anak muda yang ada di Kabupaten itu juga menantikan hari yang baik itu. Sebab mereka ingin mendengarkan suara merdanga dan melihat tandak yang hendak diadakan di pendopo Kabupaten.
MERAYAKAN HARI ULANG TAHUN REGENT JARAK
Jam yang ada di Kabupaten jarumnya sudah menunjukkan pukul lima sore.
Orang-orang yang ada di Kabupaten sibuk mengatur rumah. Juga klonengan ( merdanga) yang akan dipertontonkan untuk menyenangkan semua orang yang turut merayakan hari ulang tahun Regent sudah tersedia di pendopo Kabupaten. Dan anak-anak kecil famili Regent Jarak sama memukul klonengan itu. Mantri dan Juru Tulis Kabupaten yang sedang bekerja di kantor Kabupaten mempercepat pekerjaan mereka masing-masing supaya pukul enam sore nanti semua pekerjaan sudah selesai dan dia bisa turut bersenang-senang di pendopo Kabupaten. Pada waktu itu Raden Ajeng Biru, Raden Ajeng Wungu dan Raden Mas Wardoyo, setelah selesai mandi, bersama-sama pergi ke kebun di depan rumah Kabupaten untuk mengambil bunga mawar, melati, arumdalu dan sebagainya. Dengan senang hati, ketiga anak muda itu ngobrol di dalam taman sambil memetik bunga yang akan dibikin bouquet. Raden Mas Wardoyo yang di dalamnya terbayang wajah Raden Ajeng Biru selalu ngobrol silih berganti seolah-olah mereka sedang sama-sama menunjukkan rasa hatinya masing-masing yang masih
dirahasiakan terhadap Raden Ajeng Wungu. Meskipun mendengar kabar dari ibunya dan famili Hidjo bahwa Biru itu bakal menjadi istri Hidjo, tetapi Wungu selalu menunjukkan kecintaannya kepada Biru. Selama famili-famili Hidjo ada di Kabupaten, Raden Mas Wardoyo hatinya selalu tertarik kepada kemanisan wajah Biru. Selain itu, dia juga sering berkata dalam hatinya sendiri, "Jika Biru bukan bakal menjadi istri Hidjo, tentu dia akan saya jadikan teman saya sehidup semati. Tetapi harapanku itu tentu tak mungkin terjadi. Sebab"
S T U D E N T H I J O "Wungu!" kata Regent Jarak yang baru keluar dari kantornya dan berjalan menuju ke kebun, tempat ketiga anak muda itu sedang berada. "Ayo lekas-lekas berdandan. Sekarang sudah pukul enam, nanti pukul tujuh tamu-tamu akan datang."
"Nanti dulu Pa!" Jawab Raden Ajeng Wungu ketika ayahnya sudah sampai di kebun menghampiri ketiga anak muda itu.
Saat itu Raden Mas Tumenggung hatinya merasa senang melihat ketiga anak muda itu karena mereka hidup rukun seakan-akan saudara kandung.
Tak lama, ketiga anak muda itu pun masuk ke rumah. Masing-masing membawa bunga dan terus hendak berdandan untuk pesta yang sebentar lagi.
Lampu gas yang menerangi Kabupaten laksana cahaya matahari. Merdanga yang dipukul para niaga [pemain gamelan Jawa] suaranya amat nyaring terdengar di telinga. Juga suara tanduk dari Solo yang sangat merdu, bisa menarik hati siapa saja yang mendengarnya. Seorang dua orang priyayi yang hendak merayakan hari ulang tahun Regent sudah ada yang datang. Waktu itu pukul tujuh malam.
R.M. Wardoyo yang sudah berpakaian necis ala Eropa tampak melihat-lihat di pendopo Kabupaten. Tetapi di situ belum ada tamu yang datang yang patut disambutnya. Maka dari itu lalu dia pergi ke kamar saudara perempuannya, kamar yang juga ditempati Raden Ajeng Biru.
"Ya!" kata R.A. Wungu ketika mendengar pintu kamarnya diketok oleh R.M.
Wardoyo. "Ben je klaar Zus? " ["Apakah sudah selesai?"] tanya Wardoyo di depan pintu kepada saudara perempuannya.
"Ya, ik ben klaar, " ["Ya, saya sudah selesai"] jawab Wungu dengan suara nyaring, "Ga binnen!" ["Masuklah!"]
Wardoyo dengan cepat membuka pintu dan masuk di kamar.
Di dalam kamar R.A. Wungu yang bisa menyenangkan mata itu, ia mendapat dua gadis manis yang sudah selesai berdandan. Mereka masing-masing berdiri di depan lemari kaca sedang mematut-matut diri. Di dalam kamar itu R.M. Wardoyo duduk di atas kursi beludru ( fluweel) sambil melihat-lihat gambar-gambar yang menghiasi kamar itu. Meski mata
R.M. Wardoyo tidak melihat wajah R.A. Biru, gadis yang amat manis itu, tetapi hatinya selalu memikirkan dirinya. Kedatangan R.M. Wardoyo di kamar itu membuat hati R.A. Biru berdebar-debar. Tetapi ya... tetapi!
S T U D E N T H I J O "Wij zijn klaar" ["Kami sudah selesai"] jawab Wungu kepada Wardoyo, sambil mengambil dua kipas yang terbuat dari bulu burung di dalam lemari yang pintunya bercermin itu.
"Mari kita segera pergi ke pendopo!" jawab Wardoyo.
"Mari!" jawab Wungu sambil mengunci lemari dan memberikan sebuah kipas kepada Biru. Ketiga orang itu keluar dari kamar bersama-sama dan langsung menuju ke pendopo.
Berlian dan zamrud yang sama-sama dipakai dua gadis itu bisa menambah kemolekannya, juga saat-saat tertentu, sinar permata itu bisa mengalahkan sinar lampu gas yang sangat terang.
Belum lama mereka duduk-duduk di kursi rotan yang ada di pendopo Kabupaten sambil mendengarkan suara klonengan, Regent, lengkap dengan pakaian kebesarannya, keluar dari rumah belakang.
"Mengapa kamu duduk di situ?" kata Regent kepada mereka yang sedang duduk di tempat yang agak gelap.
Pada saat itu mereka mendengar suara mobil dan kereta yang berjalan menuju pelataran pendopo Kabupaten. Sudah barang tentu Raden Mas Tumenggung hendak menyambut kedatangan tamu itu.
"Tabik Regent!" kata tamu-tamu itu sesudah turun dari kendaraan sambil naik ke pendopo Kabupaten dan berjabatan tangan dengan Regent.
R.A. Wungu dan R.M. Wardoyo, ketika mengetahui bahwa tamu-tamu itu adalah Assisten Resident dan istrinya Onderwijzeres, Patih dan Controleur, mereka tidak ketinggalan, termasuk Biru, bersama-sama hendak menyambut tamu-tamu itu. Sesudah mereka saling berkenalan sambil berjabatan tangan satu dengan yang lainnya, lalu Regent meminta supaya mereka mau duduk.
Raden Ayu Regent yang diberi tahu R.A. Wungu tentang kedatangan tamu-tamu itu, lekas keluar ke pendopo untuk memberi sambutan selamat datang kepada tamu-tamunya. Regent dan istrinya, Assisten Resident dan istrinya serta Patih sama-sama duduk menghadap sebuah meja.
R.A. Wungu, Biru, Onderwijzers, Controleur dan Wardoyo sedang duduk di tempat yang tidak begitu jauh dengan tamu-tamu lainnya. Mereka saling ngobrol sesuai dengan kesenangan masing-masing. Pada saat itu, tamu-tamu mulai berdatangan yang juga disambut oleh Regent dan istrinya dengan senang hati. Tidak saja tamu Regent itu para priyayi dari Hulpschrijver ke atas, juga orang-orang yang bekerja perticulier dan saudara-saudagar yang sama-sama turut merayakan hari ulang tahun Regent di Kabupaten.
S T U D E N T H I J O Saat itu, tanduk dari Solo mulai menandak di tengah-tengah pendopo dengan lagu Srikaton. Sudah barang tentu, semua mata yang ada di pendopo Kabupaten tertuju ke arah tanduk itu. Juga telinga sama-sama mendengarkan suara klonengan dan tanduk yang amat merdu yang membikin dinginnya hati.
Kira-kira setengah jam lamanya tanduk dari Solo itu menunjukkan kebolehannya di hadapan berpuluh-puluh orang itu, lalu berhenti sebentar.
Barangkali ia tidak tahu jika waktu itu banyak anak-anak muda yang sedang gelisah pikirannya karena mendengarkan suara-suara yang merdu dan wajah-wajah yang elok itu.
Raden Ajeng Biru, Wungu dan R.M. Wardoyo, hati mereka semakin hancur mendengarkan suara tanduk dan klonengan itu. Sebab semua itu bisa membuat pikirannya gelisah, mempertanyakan nasib dirinya pada masa-masa yang akan datang.
Raden Ajeng Wungu pikirannya selalu ngelantur tertuju kepada Hidjo yang sedang berada di Negeri Belanda. Raden Ajeng Biru hatinya selalu bingung sebab separo memikirkan Hidjo dan yang separonya lagi tergoda oleh bayang-bayang R.M. Wardoyo yang tidak bisa lenyap dari angan-angannya.
"Sayang, dalam keadaan yang sangat menyenangkan hati begini, tidak duduk berjejer dengan Hidjo!" kata Wungu dalam hati.
"Betapa senangnya hatiku, jika kelak saya bisa melihat suasana begini rupa dan di sisiku ada seorang pemuda, suamiku. Hidjo atau Wardoyo?" begitulah R.A. Biru bertanya dalam hati sambil sekejap menatap wajah Wardoyo yang duduk di depannya.
"Barangkali tidak aneh, jika pada hari perkawinanku nanti, saya akan mendapatkan kehormatan semacam ini. Tetapi kalau istriku, wajahnya tidak persis seperti Biru, tentu saya tidak merasa hidup," begitulah angan-angan Wardoyo berkata sambil melihat wajah Biru dengan tajam.
Seorang Controleur yang ikut dan ngobrol di situ merasa senang sekali melihat keelokan Wungu dan Biru. Meskipun di sisi Controleur itu duduk seorang Onderwijzeres, bangsanya yang masih gadis. Tetapi Controleur itu merasa lebih senang kalau bisa duduk di sebelah salah seorang dari dua Raden Ajeng itu.
"Saya lebih suka melihat tandak daripada melihat orang berdansa," kata Controleur kepada R.M. Wardoyo sambil matanya melihat kedua Raden Ajeng dan Onderwijzeres.
"Apakah Tuan bisa menandak seperti orang Jawa?" tanya R.M. Wardoyo kepada Controleur yang masih muda itu sambil tertawa.
S T U D E N T H I J O Tentu saja, karena pertanyaan itu, R.A. Wungu, Biru dan Onderwijzeres ikut tertawa sebagai tanda kegembiraan ngobrol dan setuju dengan pertanyaan itu.
"Saya tidak bisa menandak, tetapi saya kepingin belajar," jawab Controleur dengan tertawa. "Betul, saya suka sekali adat-istiadat orang Jawa, baik mengenai masalah kesenangan atau hal-hal yang lainnya."
"Kalau begitu Tuan suka menjadi orang Jawa?" tanya Wardoyo untuk humor.
Pada saat itu gadis-gadis manis itu juga ikut tertawa lagi. Dan masing-masing menyapu bibirnya yang amat manis dengan sapu tangan setengah sutera.
"Mengapa tidak suka?" jawah Controleur senang.
Karena mereka tertawa sangat ramai, tamu-tamu lainnya menoleh ke arah mereka seolah-olah memberi tanda turut merasakan kegembiraannya.
"Wah ramai betul di sini," kata Regent sambil mendekati mereka sebentar.
"Ada apa di sini?"
"Boten wonten napa-napa Romo! " ["Tidak ada apa-apa, Romo"] jawab Controleur kepada Regent dengan Bahasa Jawa.
Perkataan Controleur dengan Bahasa Jawa itu bisa membikin semua orang yang mendengarnya tertawa.
"Menapa kula kepareng bekso Romo?" ["Apakah saya boleh menari, Romo?"] tanya Controleur dengan Bahasa Jawa kepada Regent.
"O, kepareng, tur mawi sanget, menawi putra kula kerso bekso, " ["O, boleh, sangat boleh, bila anakku mau menari"] jawab Regent dengan tertawa dan orang-orang yang mendengarnya juga ikut tertawa.
"Tuan Wardoyo," tanya Controleur kepada R.M. Wardoyo, "Apakah saya bisa pinjam kain kepala?"
"Apakah Tuan mau pakai kain kepala?" tanya Wardoyo kepada Controleur dengan setengah tertawa.
"Ya!" jawab Controleur pendek.
R.M. Wardoyo meminta kepada Controleur supaya dia ikut ke kamarnya yang ada di bijgebouw [bangunan tambahan] Kabupaten, untuk memakai kain kepala.
Sungguh semua orang yang ada di pendopo Kabupaten amat terang, sewaktu mereka mengetahui Controleur sudah berganti pakaian adat Jawa. Mereka menduga bahwa pakaian adat Jawa itu seakan-akan menunjukkan bila Controleur itu berhati Jawa.
S T U D E N T H I J O Sesudah para tamu-tamu itu dijamu makan dan minum sepantasnya, lalu Controleur minta izin kepada Regent untuk menandak. Dan Regent, Raden Ayu, Assisten Resident dan istrinya sama mengizinkan permintaan itu dengan senang hati.
"Putra kula mundhut gendhing menapa? " ["Anakku mau minta lagu apa?"]
tanya Regent kepada Controleur.
"Gambir Sawit!" jawab yang ditanya.
Merdanga lagu Gambir Sawit sudah berbunyi dan tandak sudah menandak, lagu Regent menyuruh berdiri priyayi-priyayi yang ada di situ dan tepuk tangan guna menghormati Controleur yang baru menandak.
Meskipun Controleur itu tidak bisa menandak secara baik seperti orang Jawa, tetapi orang yang melihatnya merasa senang karena lucunya.
Sungguh amat riuh orang-orang bertepuk tangan, dan banyak orang yang tertawa melihat Controleur yang lucu itu.
Kira-kira seperempat jam lamanya Controleur menandak, lalu berhenti.
Tetapi priyayi-priyayi lainnya tidak ada yang turut menandak. Sebab mereka mengerti bahwa tandak itu tidak untuk tayub.
Sampai pukul tiga malam mereka bersenang-senang merayakan hari ulang tahun Regent Jarak.
XI. SURAT-SURAT KEPADA HIDJO Pukul delapan pagi. Di Kabupaten masih sunyi senyap. Karena semua orang yang ada di Kabupaten masih tidur. Burung-burung yang berkicau di pepohonan dekat kamar R.A. Wungu dan Biru seolah-olah memberi tahu dan menggoda kepada Raden Ajeng yang masih tidur supaya mereka segera bangun.
Saat itu R.A. Biru tersadar dari tidurnya, lalu ia membangunkan Wungu.
Sesungguhnya mereka masih merasa lemah dan ngantuk karena kurang tidur.
Tetapi dia terpaksa bangun karena sudah siang.
Meski keindahan kamar Wungu tak bisa dicela, tapi waktu itu yang tampak di mata kedua gadis manis itu tetap tak bisa menyenangkan. Di atas babut yang berwarna kuning yang menutup plester ( vloer) di kamar Wungu, tergeletak sapu tangan dan kipas. Kursi-kursi beludru ( fluweel) yang ada di situ berserakan tak karuan, juga pakaian serba sutera yang diletakkan di tempat yang tak semestinya. Ini membuktikan bahwa kedua gadis itu ketika hendak tidur tak mempedulikan barang-barang yang ada di situ.
S T U D E N T H I J O Pukul sepuluh siang, setelah semua orang di Kabupaten bangun dari tidurnya, dan semua kamar-kamar ditata lagi sebagaimana mestinya, dua orang Raden Ajeng itu bersama-sama menulis surat hendak dikirimkan kepada Hidjo.
Mereka ingin memberi kabar tentang suasana hari ulang tahun papa Wungu yang telah dirayakan. ***
Raden Hidjo . p/a Directeur Bank
Hamelstraat; Den Haag Geachte Broer [Kakak yang terhormat]
Barangkali Tuan tercengang membaca surat saya ini, karena dengan gampang saya berani menulis: "Geachte Broer" kepada Tuan. Padahal biasanya kalau saya kasih surat kepada tuan tentu memakai tulisan "Geachte Heer Hidjo". Kalau lantaran perubahan surat saya ini Tuan menjadi marah, itulah saya lebih suka. Sebab kemarahan Tuan itu saya pandang suatu pelajaran yang penting sekali. Yaitu yang mesti saya cetak di dalam hati saya, dan tidak bisa lupa selama-lamanya.
Kalau saya ingat waktu Tuan ada di Kabupaten dan kalau sore kita (Tuan, Mas Wardoyo dan saya) sama melancong menyenangkan diri, sungguh pun merasa susah saya sekarang. Sebab kesenangan serupa itu tidak bisa saya dapat lagi. Ketika Tuan berangkat ke negeri Belanda, saya kebetulan sakit, dari itu kita tidak bisa mengantarkan kepergian Tuan itu. Itu waktu juga saya terpaksa mesti pergi ke Baratadem, yaitu menurut nasehatnya dokter yang memeriksa penyakit saya.
Tuan tentu tidak lupa dengan tempat pemandian yang sejuk hawanya dan panorama yang amat bagus itu. Tempat mana yang dulu sering Tuan datangi dengan kita orang. Belum lama kita tinggal di situ, datanglah tiga orang perempuan dari Solo yang menumpang satu hotel dengan kita orang. Kita sama sekali tidak mengira bahwa tiga orang perempuan itu Tuan punya famili: ibu Tuan, saudaranya istri dan Raden Ajeng Biru. Seketika itu juga saya bisa sembuh dari sakit, lantaran saya bisa berkenal-kenalan dengan Tuan punya famili itu. Juga ibu Tuan yang sakit, rupa-rupanya dia lalu sembuh sebab melihat kesenangan kita itu.
Dengan sangat Ibu minta kepada ibu Tuan, supaya dia orang suka datang di Kabupaten Jarak, buat mengekalkan orang persaudaraan. Dan itu permintaannya Ibu bisa kabul. Sampai ini hari Tuan punya famili masih ada di rumah kita.
Saya merasa senang sekali bisa kenal dengan Raden Ajeng Biru, yaitu.
Begitu juga Mas Jo. S T U D E N T H I J O Sekarang lain perkara. Kemaren malam kita bersenang-senang ada di Kabupaten buat merayakan hari tahun papa. Sungguh sayang sekali Tuan tidak bisa turut menyenangkan diri di dalam pesta itu. Tidak saja kita bisa melihat tandak dari Solo yang amat bagus dan mendengarkan suara klonengan, tetapi kita orang bisa melihat juga seorang Controleur yang amat lucu. Itu Controleur memakai pakaian mas Jo cara Djawa. Dan dia suka menandak di pendopo Kabupaten di dalam kalangannya berpuluh-puluh orang. Sudah tentu saja orang banyak sama tertawa melihatkan keadaan Controleur itu.
Dari sebab ini surat terlalu panjang, terpaksa saya kuncikan, sebab saya kuatir, kalau saya cerita lebih panjang lagi, Tuan tidak suka mebacanya.
Barangkali besok pagi lagi, Tuan punya famili kembali pulang ke Solo. Saya harap kalau Tuan ada tempo yang tidak Tuan pakai buat belajar, supaya Tuan memberi kabar tentang keadaan di sini.
Tabik kita semua kepada Tuan.
WUNGU *** R. Hidjo Hamelstraatl, Den Haag Lieve Djo! Sudah sementara hari Boede, Ibu dan saya ada di Kabupaten Jarak. Bukan sedikit kesenangan kita, sebab kita bisa berkena-lkenalan dengan familinya R.M.T. di Jarak. Tentu hal itu kamu sampai tahu. Waktu kita pulang dari Betawi habis mengantarkan kamu di Tanjoeng Priok, Boede sakit. Barangkali dari sebab terlalu keras memikirkan kamu. Dari itu kita lantas pergi Baratadem buat menyembuhkan penyakitnya Boede. Di situ kita ajar kenal dengan famili Regent Jarak dan sampai sekarang ini kita masih ada di Kabupaten Jarak.
Barangkali selama kita ada di Jarak, Boede tiada terlalu keras memikirkan kepada kamu, karena dia dapat anak baru. Yaitu R.M. Wardoyo. Rupa-rupanya Boede amat cinta kepada R.M. Wardoyo dan R.A. Wungu.
Kalau tidak salah, besok pagi atau lusa kita orang pulang kembali ke Solo.
Salam kita kepadamu je BIRU *** S T U D E N T H I J O Sesudah dua gadis itu selesai menulis surat, lalu suratnya saling ditukarkan supaya mereka itu bisa mengetahui isinya yang diceritakan kepada Hidjo.
Karena dia satu dengan lainnya tidak lagi mempunyai rahasia apa-apa lagi tentang Hidjo.
"Barangkali Mas Jo juga hendak berkirim surat kepada Tuan Hidjo," kata Wungu kepada Biru yang sedang berdiri di depan jendela. "Marilah kita pergi ke kamar Mas Jo."
"Mari!" jawab Biru dengan senang hati.
Dua gadis itu keluar dari rumah Kabupaten hendak pergi ke tempat R.M.
Wardoyo di bijgebouw yang tidak begitu jauh dari situ.
"Mas Jo, Mas Jo!" begitulah R.A Wungu yang berjalan bersama-sama R.A.
Biru memanggil-manggil saudara sambil menuju ke kamarnya Wardoyo.
Tetapi di dalam kamar itu, Wardoyo tidak ada. Maka dari itu Wungu dan Biru terus pergi ke kebun, tempat mana biasanya menghibur dari sambil membaca buku.
R.M. Wardoyo yang sedang duduk di tikar gantung ( hangmat) di bawah pohon jambu sedang asyik membaca buku De macht van de Geest, dia kaget melihat kedatangan saudaranya bersama R.A. Biru menuju tempatnya.
"Selamat pagi!" kata Wardoyo kepada dua gadis manis yang baru saja datang itu. Ia turun dari hangmat sambil menutup bukunya.
"Mas Jo, apa tidak ikut kirim surat untuk Tuan Hidjo?" tanya Wungu kepada saudaranya yang masih memegang hangmat.
"Kita sudah sama-sama bikin surat, nanti hendak kita kirimkan kepada Tuan Hidjo."
"Baik, nanti saya juga hendak kirim surat kepada Hidjo!" kata Wardoyo.
"Kalau suratmu sudah selesai, kasihlah saya saja supaya bisa saya masukkan dalam satu amplop," kata Wungu.
"Baik!" jawab Wardoyo.
"Apa Tuan Putri mau duduk di hangmat?" tanya Wardoyo kepada Biru.
"Tidak!" jawab Biru dengan setengah tertawa dan raut wajahnya kelihatan sedikit malu, karena di dalam hatinya terkandung maksud.
"Kalau Tuan Putri mau , hangmat itu akan saya turunkan," kata Wardoyo.
"Cobalah turunkan," kata Wungu.
S T U D E N T H I J O Saat itu dengan senang hati, Wardoyo melepaskan tali hangmat supaya tidak terlalu tinggi dan dua gadis Jawa itu bisa duduk di situ.
"Mari duduk!" kata Wardoyo kepada dua gadis manis, setelah hangmat itu diturunkannya.
Dengan senang hati R.A. Biru dan Wungu duduk di hangmat yang bagus itu.
"Apakah ini buku bagus?" tanya Wungu kepada saudaranya setelah dia duduk dan memegang buku yang terletak di hangmat itu. R.A. Biru dengan tatapan mata tajam dan manis turut membaca judul buku Wardoyo yang dipegang oleh Wungu.
"Buku itu baik untuk R.A. Biru," kata R.M. Wardoyo sambil setengah tertawa.
Kata-kata itu tidak dibalas oleh Biru, tetapi sekejap ia melihat Wardoyo dengan tatapan yang menunjukkan kegembiraannya.
"Apakah arti dari ? De macht van de geest? itu Tuan?" begitulah Biru memaksa diri menanyakan arti judul buku itu.
"Kekuatan pikiran," jawab yang ditanya seraya berdiri di dekat Wungu sambil membaca judul buku itu.
Satu jam lamanya tiga orang muda-mudi itu ngobrol di kebun yang banyak pepohonannya yang bagus-bagus itu. Lalu mereka bersama-sama pergi ke kamar Wardoyo.
"Duduklah dulu!" kata Wardoyo kepada dua dara manis itu.
"Ya!" jawab Biru pendek. Tetapi Biru dan Wungu tidak mau duduk, karena mereka lebih suka melihat-lihat hiasan yang ada di kamar Wardoyo.
"Siapa ini Tuan?" tanya Wungu kepada Biru, sewaktu dia melihat potret Hidjo yang tergantung di tembok. Pertanyaan itu mengandung maksud yang tak mudah diterka orang lain.
Pertanyaan Wungu itu dibalas oleh Biru dengan berkata, "Saya juga punya potret itu."
R.M. Wardoyo yang sedang duduk menulis surat, tiap-tiap kedua gadis molek itu bercakap-cakap, selalu menghentikan penanya dan melihat nona-nona manis itu.
"Saya sudah selesai menulis surat!" kata Wardoyo sambil berdiri dari kursinya. "Maukah kalian mendengarkannya? Coba saya bacanya?"
Tentu saja Biru dan Wungu mendekati Wardoyo hendak mendengarkan surat kepada Hidjo yang hendak dibaca itu.
S T U D E N T H I J O Jarak.... Beste Broer! Familimu sekarang ada di Jarak. Sudah tentu saja kita mendapat kesenangan yang tiada ada bandingannya. Ibumu berkata, waktu dia melihat rupa saya, dia seolah-olah melihat rupamu. Saya akan diambil anak angkat oleh Ibumu, supaya dia tidak terlalu keras memikirkan kepadamu. Memang hal yang semacam itu sudah jadi adatnya orang tua yang cinta kepada anaknya.
Begitu pun Ibu amat cinta kepada R.A. Biru, karena lantaran Wungu berkenal-kenalan dengan R.A. Biru. Wungu kelihatan sehat dan senang hatinya, tidak sakit seperti biasanya.
Sudah tentu saja mulai sekarang ini kita tiap-tiap hari minggu akan pergi ke Solo buat datang di rumah Ibumu.
Apa kabar di?s-Gravenhage? Apakah kamu sekarang sudah plesir?
Salam kita WARDOYO *** Dengan sangat senang hati sekali dan setengah tertawa dua gadis manis itu mendengar isi surat Wardoyo yang dibacanya.
XII. HIDJO MENJADI KLUISENAAR (SEORANG PERTAPA)
Pada suatu hari, Betje terpaksa tidak masuk sekolah karena sakit katanya.
Papa Betje yang sangat sayang kepadanya menyempatkan datang sendiri ke Leerar H.B.S guru Betje, memberi tahu tentang keadaan Betje. Direktur Bank itu, tiap-tiap jam menengok keadaan Betje di kamarnya.
"Wajahmu pucat sekali," tanya papa kepada Betje yang sedang duduk di kursi menghadap meja itu. Dan buku-buku yang ada di situ bercerai-berai tidak beraturan. "Sakit apa kamu?"
Dengan wajah sedih dan rambut yang hitam kemerahan yang masih tergerai, Betje menjawab pertanyaan papanya. "Saya meriang, Pa!"
"Apa kamu perlu diperiksa dokter?" tanya papanya lagi.
"Nee, nee, nee, tidak perlu!" jawab anaknya cepat.
Waktu itu papa dan mama Betje harus pergi ke Amsterdam untuk mengurus keperluannya. Sedang Marie masuk sekolah.
S T U D E N T H I J O Sesudah kedua orangtua Betje mengucapkan selamat tinggal kepada anaknya, lalu mereka memberi tahu juga kepada Hidjo tentang kepergiannya itu.
"Is Juffrouw Betje ziek Meneer? " tanya Hidjo kepada direktur, sewaktu dia masuk kamar dan sudah mengucapkan selamat tinggal kepada Hidjo.
"Ya!" jawab papa Betje dan langsung berangkat dengan istrinya.
Belum selang antara lama Betje mendengar orang turun dari rumahnya dan menutup pintu, sebagai tanda bahwa orangtuanya telah benar-benar berangkat. Meskipun begitu, Betje masih kurang percaya pada pendengaran telinganya sendiri. Maka dari itu, dia menyempatkan mengintip, apa betul orangtuanya sudah pergi. Dengan sembunyi-sembunyi, Betje membuka gorden yang menutup pintu kaca, supaya bisa melihat mama dan papanya yang baru berjalan hendak pergi ke Amsterdam. Setelah Betje yakin akan kepergian kedua orangtuanya, dia segera berdiri di muka cermin besar yang ada di kamarnya dan menyisir rambut dengan sekadarnya.
"Djo! Been je daar? " kata Betje setelah dia membuka pintu kamar Hidjo dan langsung ngeloyor masuk.
Sikap Betje yang demikian itu membuat heran pembantu perempuannya yang waktu itu sedang bekerja dan mengetahui Betje masuk ke kamar Hidjo tanpa mengetuk pintu lebih dahulu atau minta permisi lebih dahulu.
"Ya, saya baru baca buku!" jawab Hidjo yang duduk di leuningstoel dan menutup bukunya.
"Kamu toh bukan Faust lagi?" kata Betje dengan tertawa.


Student Hidjo Karya Marco Kartodikromo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nee, saya Hidjo!" balas yang ditanya dengan tertawa juga.
Di dalam kegembiraan ini, hati Hidjo merasa sedih sekali sebab dia selalu memikirkan surat Wungu dan Biru.
"Sungguh, saya dalam keadaan bahaya?" begitu kata Hidjo dalam hati.
"Kalau perbuatanku ini aku terus-teruskan, tentu dia belakang hari akan menyusahkan kedua orangtuaku sendiri. Dan... dan... akhirnya... Bagaimana akalku supaya lepas dari bahaya ini? Bagaimana nantinya Biru, bagaimana nasib Wungu kelak? Apa yang akan didapat Betje dan diriku sendiri....? O, parah!"
Seminggu dua kali, Hidjo mesti datang ke Delf untuk mendengarakan pelajarannya. Tetapi pelajaran itu sudah tidak diperhatikannya. Karena pikirannya selalu tergoda oleh aneka macam. Tiap hari Hidjo selalu mengunjungi tempat-tempat sunyi seperti Haagsche Bosch, Scheveningsche Bosch, Houtenrust dan lain-lain supaya ia bisa berpikir dengan jernih bagaimana ia bisa menghindar dari bahaya itu.
S T U D E N T H I J O Dengan surat palsu, Hidjo bisa membuat alasan mohon izin kepada orang yang dipondokinya, guna pergi ke Amsterdam, ke tempat temannya sesama orang Jawa. Direktur bank dan istrinya tidak keberatan ada permintaan Hidjo itu. Tetapi bagi Betje, ia merasakan sungguh berat atas kepergian Hidjo.
Rupa-rupanya, Betje selalu mencari akal, agar Hidjo tidak pergi, meski kepergiannya itu hanya satu dua minggu. Betje juga selalu berupaya supaya bisa ikut Hidjo ke Amsterdam. Tetapi semua usahanya itu sia-sia saja.
Sudah barang tentu, waktu Hidjo berangkat ke Amsterdam, Betje tak boleh tidak ikut mengantarkan sampai di stasiun dan...
Di Amsterdam, Hidjo menumpang di sebuah hotel kecil, yang disebut orang Vegitarie Hotel (hotel khusus bagi orang-orang yang tidak makan daging).
Setiap hari Hidjo pergi dari hotel ke tempat-tempat sunyi. Dan selama itu, ia melakukan puasa sebagaimana yang diajarkan orangtuanya, bahwa orang yang suka menjalankan puasa akan cepat mencapai apa yang diinginkannya.
Hidjo kembali ke hotel setelah jam enam sore. Pada saat itu ia mulai makan kentang, sayuran dan makanan yang tidak memakai daging dan ikan.
Semakin lama Hidjo tinggal di Amsterdam, badannya kian kurus. Tetapi pikirannya menjadi tenang. Dan rasa cintanya kepada orangtua dan handai taulannya semakin kuat, lebih-lebih kepada Wungu, Biru dan Wardoyo.
"Saya harus pulang kembali ke Tanah Jawa!" kata Hidjo dalam hati sewaktu dia duduk di bawah pohon sambil memandang hamparan laut lepas. "Sebab kalau saya terus belajar di Negeri Belanda ini, barangkali tidak mustahil kalau saya akan terus menjadi orang Belanda. Kalau saya sampai melakukan hal itu, saya sama artinya dengan meninggalkan sanak famili dan bangsaku.
Bah!.... Europeesche beschaving! 3
Dua minggu lamanya Hidjo tinggal di Amsterdam sambil bekerja membanting tulang, penghasilannya akan digunakan sebagai bekal untuk pulang ke Tanah Jawa.
Dari Amsterdam, Hidjo berkirim surat kepada orangtua Wungu, Biru dan Wardoyo. Maksud surat itu, ia memberi tahu bahwa dirinya hendak kembali ke Tanah Jawa karena di Negeri Belanda ia selalu sakit-sakitan. Selain itu Hidjo memberi kabar kepada Wungu dan Biru tentang keindahan Negeri Belanda.
XIII. CONTROLEUR WALTER MENCINTAI R.A. WUNGU
Setelah Controleur Walter ikut merayakan hari ulang tahun Regent Jarak dan berkenalan dengan R.A. Wungu, pikirannya selalu membayangkan Wungu.
S T U D E N T H I J O Karena hal itu, pergaulan Controleur Walter semakin akrab dengan Regent.
Bagitu juga Controleur Walter amat merendahkan diri terhadap Regent.
Karena antara Controleur dan Regent itu seolah ada hubungan kerja, maka tidak celanya jika Controleur tiap-tiap hari selalu datang ke rumah Regent.
Meski kedatangan Controleur yang tiap hari selalu menjadi pertanyaan bagi Regent dalam hatinya, tetapi dia tidak mengira sama sekali kalau Controleur itu menaruh hati kepada anaknya yang ia cintai. Sebab sepanjang kabar yang ia dengar Controleur Walter telah mempunyai tunangan seorang Onderwijzeres, yaitu yang juga ikut merayakan hari ulang tahun Regent beberapa hari lalu. Lagi pula hubungan Controleur dan Onderwijzeres itu sudah seperti suami istri.
"Sekarang ini memang zaman pergerakan," kata Regent setelah selesai dia dan Controleur membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan dua orang ambtenaar Gouvernement Belanda itu.
"Bagaimana pendapat Tuan Regent mengenai perkara associatie (percampuran dengan bangsa asing), baik mengenai masalah pekerjaan maupun masalah perkawinan?" tanya Controleur kepada Regent.
"Ah, perkara itu tua!" jawab Regent tanpa beban. "Itu sangat tergantung orang yang menjalaninya. Kalau buat saya, masalah itu sangat sesuai sekali.
Karena sesungguhnya manusia itu tak ada bedanya, baik bangsa bumiputera maupun bangsa Belanda dan lain-lain."
"Memang betul begitu!" kata Controleur pendek.
"Tetapi Tuan?!" kata Raden Tumenggung melanjutkan perkataannya,
"Percampuran bangsa itu bisa jadi memang baik, kalau antara bangsa yang satu dan bangsa yang lainnya sama derajatnya, sama kekuatannya, sama kepercayaannya dan lain-lain. Kalau tidak begitu, saya kira akan amat susah bisa menjadi baik perkara associatie (persaudaraan) itu? Lebih-lebih bagi kita orang Bumiputera. Itu sangat susah untuk melakukan associatie dengan bangsa Eropa. Karena kebanyakan bangsa Eropa memandang kita sebagai budaknya. Kalau menurut pikiran saya, Associatie itu merupakan suatu usaha supaya kita bumiputera selamanya tetap senang sebagai budak sebab orang yang memerintah mau mengaku sebagai saudara kepada kita. Barangkali akan lebih jelas kalau saya sebut associatie nya antara majikan dan budaknya."
"Boleh jadi Tuan Regent itu tidak salah," kata Controleur. "Tetapi jika masalah kawin campur, apakah Tuan Regent tidak sepakat?"
"Apa maksud Tuan kawin campur itu seperti Belanda dengan Jawa?" tanya Regent.
S T U D E N T H I J O "Ya, begitu!" jawab Controleur.
"Ya, Tuan!" jawab Regent sambil memikirkan dengan susah. "Masalah ini saya belum bisa memberi penjelasan yang pasti. Sebab kebanyakan anak-anak zaman sekarang yang telah mendapatkan pendidikan model Eropa, dia lebih suka mencari suami atau istri sendiri. Karena perkawinan itu membutuhkan dasar saling cinta-mencintai. Memang masalah itu tidak salah.
Tetapi yang lebih banyak saya lihat, masalah cinta itu hanya di bibir saja.
Dulu waktu zaman saya masih anak-anak, orang kawin itu kebanyakan musti dari orangtua di perjaka dan si gadis. Meskipun mereka tidak saling mencintainya. Tetapi lama-kelamaan, salah seorang dari mereka itu tentu akan mencintai. Sebab sebagaimana kata pepatah Belanda ? Het medelijden is een brug, die naar de liefde leidt? (Kasihan itu jembatan menuju cinta). Jadi, jika salah seorang antara gadis dan perjaka itu memiliki rasa kasihan, tentu lama-kelamaan akan bisa menjadi cinta."
"Tetapi kalau tidak Regent?" tanya Controleur.
"Ya, kalau tidak punya rasa kasihan, tahu sendiri!" jawab Regent dengan mengangkat pundaknya.
Sampai di situ Regent dan Controleur itu saling bercakap-cakap, datang R.A.
Wungu menemui ayahnya. "Dag Raden Ajeng?" begitu Controleur berdiri dari kursinya dan memberi salam hormat kepada Wungu waktu gadis itu baru sampai di pintu kantor ayahnya.
"Dag, Meneer!" jawab R.A. Wungu.
Tidak saja Controleur itu terlalu merendahkan diri kepada Wungu, tetapi waktu itu melihat kedatangan Wungu, sekonyong-konyong darahnya naik ke atas, tanda gembira.
"Ada apa?" tanya Regent kepada anak manisnya yang berdiri di sampingnya.
"Nanti malam itu mau melihat Komedi Harmstond, " kata Wungu dengan pelan, seolah-olah dia mau kalau kata-katanya didengar Controleur.
"Baik!" jawab ayahnya.
"Dag, Meneer," Raden Ajeng memberi salam hormat kepada Controleur. Dan dia meninggalkan tempat ayahnya sambil berjalan setengah lari, seakan-akan menunjukkan rasa bahagianya.
"Dag, Raden Ajeng!" jawab Controleur dan berdiri.
Mata Controleur yang selalu berputar untuk melihat Raden Ajeng dan telinganya selalu terpasang buat mendengarkan bicara gadis Jawa yang amat S T U D E N T H I J O
molek itu, dia bisa paham betul, apa keperluan Raden Ajeng menemui ayahnya.
Mata Controleur Walter yang tidak lama melihat wajah Wungu itu, semakin menambah kuat niat hatinya yang selalu terbayang-bayang Raden Ajeng.
"Apakah Tuan Regent nanti akan melihat Komedi Harmstond?" tanya Controleur.
"Belum tentu, tetapi anak-anak yang akan melihat!" kata Regent sambil mengatur buku yang ada di meja tulisnya.
Waktu itu juga Controleur permisi pulang kepada Regent. Sesampainya di rumah, Controleur diberi surat dari Onderwijzeres oleh pembantunya.
Deer Heer Willem Walter Controleur B.B. Jarak Wimlief! Mengapakah kamu sudah seminggu tidak datang ke tempatku. Silahkan datang di hotelku sebab aku kepingin melihat rupanya.
Ciumku Jet Roos *** Setelah surat dari Onderwijzeres itu dibaca oleh Controleur, lalu dirobek dan dibuang ke keranjang sampah.
Pukul tujuh malam, Controleur sudah berpakaian bagus hendak melihat Harmstond. Meskipun waktu itu masih ada waktu untuk datang ke tempatnya Jet Ross ( Onderwijzeres), tetapi dia merasa tidak senang lagi untuk bertemu dengan Jet Roos. Karena pikirannya selalu melayang melihat wajah Raden Ajeng Wungu.
"Willem?!" Kata seorang Belanda yang baru berjalan sewaktu Controleur sedang keluar dari erf rumahnya menuju ke jalan raya hendak pergi ke komedi.
"Ya! Situ siapa?" tanya Controleur kepada orang itu dan berhenti.
"Piet," jawab Administrateur Djati yang bernama Piet Boeren, sahabat Controleur.
S T U D E N T H I J O "O, kamu Piet," kata Controleur dan mereka saling berjabat tangan. "Hendak ke mana?"
"Mau ketemu kowe," jawab Piet. "Saya kira kowe ada di hotel tempatnya Juffrouw Jet, seperti biasanya."
"Ah, tidak, saya mau melihat Komedi Harmstond! " kata Controleur."Apakah kamu mau ikut?"
"Tentu!" jawab Administrateur. "Mengapa Juffrouw Jet tidak ikut?"
"Dia baru meriang!" kata Walter pendek.
Dua orang itu sama-sama berjalan hendak melihat komedi.
Di Alun-alun, di Harmstond itu, sudah banyak orang yang hendak masuk.
Tukang karcis komedi itu amat sibuk melayani orang-orang yang membeli karcis. Controleur Walter dan Administrateur Boeren tampak mondar-mandir di depan tenda komedi.
"Mari Wim, masuk?" kata Piet
"Nanti dulu," jawab Controleur. "Saya menunggu Regent. Apakah kamu sudah mengetahui anak perempuan Regent?"
"Sudah, tetapi belum kenal!" jawab Piet.
"Apakah kamu ada pikiran buat...?" tanya Administrateur.
"Kalau.... memang," jawab Controleur dan tangannya memutar-mutar tongkatnya.
"Lantas... Juffrouw Jet Roos?" tanya Piet Boeren sambil memelototkan tongkatnya.
"Ah... itu perkara gampang," kata Controleur dengan berani. "Toh saya baru saling berkenalan saja sama dia."
Tidak begitu lama mereka saling bercakap-cakap, di depan tenda komedi, datang mobil yang dinaiki famili Regent Jarak, yaitu R.A. Wungu, R.M.
Wardoyo dan ibunya. Controleur dan Administrateur hendak bertemu dengan famili Regent Jarak itu, tetapi tidak bisa. Karena mereka telah turun dari mobil dan langsung masuk dan sudah membawa karcis.
Dua orang bangsa Belanda itu segera membeli karcis di loge [loket] tetapi meski sama kelasnya mereka mendapat tempat yang jauh sekali dengan famili Regent. Sudah barang tentu Controleur tidak bisa bercakap-cakap dengan Raden Ajeng, sebagaimana yang diinginkan.
S T U D E N T H I J O "Bagaimana pertimbanganmu?" tanya Controleur kepada Administrateur, waktu dia sudah duduk di kursi dan melihat wajah Raden Ajeng Wungu yang sangat molek.
"Memang cantik!" jawab Administrateur dan terus memandang Wungu yang berbaju sutera hijau muda.
Pukul 11, sebelum permainan selesai, famili Regent Jarak sudah pulang. Jadi, maksud Walter sama sekali tidak bisa kesampaian. Tetapi dia sudah merasa senang sebab dia sudah bisa melihat wajah Raden Ajeng dari pukul 9 sampai pukul 11.
XIV. JUFFROUW JET ROOS (ONDERWIJZERES) DAN
CONTROLEUR WALTER Selama Walter menaruh cinta kepada anak gadisnya Regent, hubungan Juffrouw Roos dan Walter seperti terputus. Beberapa kali Onderwijzeres datang ke rumah Controleur, selalu tidak bisa berjumpa. Sebab memang Controleur sudah tidak suka lagi berjumpa dengan Juffrouw Roos. Kalau dia bisa berjumpa di kantor Controleur, dia berkata banyak pekerjaan dan tidak ada waktu untuk berbicara lebih lama. Setiap kali Walter didatangi Roos di kantornya, dia selalu berjanji hendak datang ke tempatnya. Tetapi janji itu tidak pernah ditepati.
Sudah tentu, lama-lama Juffrouw Roos menjadi kesal hatinya.
Wimlief! Datanglah di tempatku sebentar saja, saya hendak bicara perlu kepada kamu. Ingatlah perkataanmu dan kasihanilah badanku.
Ciumku Jet *** Begitulah, pada suatu sore, Controleur menerima surat dari Onderwijzares lagi yang dibawa oleh pelayan hotel.
"Bilang sama Nona, nanti habis makan, saya datang," kata Controleur kepada pembawa surat, sesudah dia membaca suatu surat itu. Dan surat itu langsung dirobek, seolah-olah Controleur menunjukkan kebenciannya kepada Juffrouw Roos.
Sudah tentu saja Onderwijzeres sangat ingin bertemu dengan Controleur.
Pukul 9 malam, setelah semua orang yang menginap di Logement [hotel]
S T U D E N T H I J O selesai makan, Onderwijzeres tidak lupa berjalan mondar-mandir di depan hotel, untuk menunggu kedatangan Walter. Tetapi harapannya hanya sia-sia saja. Karena malam itu Walter lebih suka ngomong-ngomong di Kamar Bola ( Societiet) daripada bertemu dengan Onderwijzeres.
Sampai pukul 12 malam Walter ditunggu oleh Juffrouw itu. Tetapi waktu itu, yang ditunggu sudah tidur pulas di rumahnya.
Dengan bercucuran airmata dan merasa sedih sekali, Onderwijzeres masuk di kamarnya dan menjatuhkan badannya di tempat tidur.
"Sekarang sudah jelas sekali bahwa Wim menipu saya," kata nona itu kepada dirinya sendiri sewaktu dia sedang menangis.
"Siapa yang akan menolong saya? Siapa yang bakal merawat badan saya?
Siapa yang akan mengakui anak saya yang baru tiga bulan saya kandung di perutku?"
Mulai waktu itu Onderwijzeres jatuh sakit dan terpaksa tidak bisa masuk kerja. Semakin hari dia merasakan semakin sakit. Tetapi dia belum putus harapan. Maka dari itu dia mencoba memberi surat lagi kepada Controleur dengan panjang lebar.
Dengan memaksakan diri Onderwijzeres menulis surat kepada Walter untuk yang penghabisan.
Mijn liefste Wim! Saya merasa hancur dan sedih sangat di dalam hatiku, karena beberapa kali saya menunggu kedatanganmu sia-sia saja. Sekarang saya sakit, dari sebab terlalu keras memikirkan kamu. Saya percaya, tentu kamu tidak membikin susah kepada saya. Walaupun kamu terlalu banyak pekerjaan, kamu mesti bisa menengok keadaan saya sebentar. Saya sendiri tidak bisa tahu, berapa jam lagi saya masih bisa menarik napas saya. Meskipun kamu menipu kepada saya, tetapi saya kepingin mendengarkan perkataanmu, yaitu yang saya pandang sebagai putusannya jiwaku. Kamu seorang yang baik-baik tentu mengerti kesusahanku. Sudah berapa kali saya memberi tahu kepadamu, bahwa saya sekarang mengandung anak, sudah tiga bulan lamanya.
Dengan sepenuh-penuh pengharapanku, supaya kamu suka menengok keadaanku.
Ingatlah perasaan kemanusiaan!
Ciumku Jet *** S T U D E N T H I J O Sesudah surat tersebut dimasukkan ke dalam amplop, lalu dia menyuruh untuk membawa surat itu kepada Controleur. Dan dengan bersedih hati dan badan sakit, Onderwijzeres kembali ke tempat tidur.
"Ada apa Babu? " tanya Controleur kepada babu yang datang di kantornya dan membawa surat.
"Surat dari nona Tuan!" jawab babu.
"Bilang sama nona, 'baik'!" kata Walter kepada babu. Dan suratnya Onderwijzeres itu dibakar.
Selama babu itu dalam perjalanan pulang diri kantornya Controleur, dia selalu memikirkan tentang tabiat Controleur yang sekarang telah berubah.
"Surat sudah saya berikan di kantornya. Nah, Tuan bilang ?baik?!" begitu babu sesudah pulang kembali ke Logement dan memberi tahu kepada Onderwijzeres.
"Apa Tuan tidak bilang apa-apa lagi?" tanya nona yang sakit.
"Tidak! Cuma dia bilang baik dan surat itu dibakar."
"Dibakar?" tanya nona.
"Ya, Nyah!" jawab babu.
Ketika Onderwijzeres mendengarkan cerita babunya, bahwa suratnya dibakar, dia seakan-akan hendak bunuh diri.
Pemilik Logement itu tahu bahwa Onderwijzares yang menginap di situ sedang sakit, maka dari itu, dia menengok keadaannya.
"Dag, Juffrouw!" kata Tuan Logement sesudah mengetuk pintu dan dibukanya. "Sakit apakah nona?"
"O, sakit malaria Tuan!" jawab Onderwijzeres dengan suara dalam dan setengah menangis.
"Apa perlu memanggil dokter?" tanya Van Loon, pemilik Logement itu.
"Tidak perlu Tuan," jawab nona yang sedang sakit sambil membuka kelambu tempat tidur seraya memandang Van Loon.
"Maaf Tuan, saya tiduran, sebab badan saya tidak kuat untuk duduk."
"Ya, ya, tidak jadi apa!" jawab Eigenaar Hotel merasa sedih. "Tidak Nona, sebaiknya penyakit Nona itu diperiksa dokter, supaya jangan sampai parah!"
"Baik, heh! heh! heh! heh! " jawab nona pelan sambil bernapas dengan susah payah. Dan tangannya yang dijadikan bantal kepalanya sudah kelihatan sangat lemah.
S T U D E N T H I J O Sesudah dokter keluar dari kamar Nona Roos, ia segera memanggil dokter dengan telepon. Karena di Jarak tidak ada dokter bangsa Eropa, mau tak mau ia meminta pertolongan Inl. Arts. Tidak begitu lama dokter datang dan bertemu Van Loon, lalu mereka sama-sama masuk ke kamar nona yang sakit.
Pada saat itu dokter memeriksa dan memberi obat seperlunya kepada yang sakit.
XV. FAMILI REGENT JARAK DATANG DI SOLO
Setelah famili Hidjo pulang ke Solo, Raden Ajeng Wungu, Biru dan R.M.
Wardoyo selalu berkirim-kiriman surat. Tiap hari Oppaspost tentu membawa surat untuk R.A. Biru, Wungu dan Wardoyo. Sejak saat itu, ketiga anak muda itu tidak putus berpikir bagaimana untuk terus berkirim-kirim-an surat. Di mana surat-surat itu seperti yang tersebut di bawah ini.
Mejuffrouw R.A. Wungu p/a Regent Jarak Beste Zus Barangkali kamu telah mendengar kabar bahwa di dalam bulan Maart 3 ini (1913) di Solo akan diadakan congres (vergadering besar) dari perhimpunan Sarekat Islam. Ini waktu, orang-orang di Solo sudah beramai-ramai membicarakan itu vergadering yang akan datang. Tentu Broer Wardoyo bisa tahu terang hal ini surat-surat kabar.
Dari itu dengan sangat pengharapan saya, supaya kamu suka datang di Solo buat melihat itu congres Sarekat Islam di Sriwedari. Di sini kita orang nanti tidak cuma bisa melihat vergadering saja, juga di Sriwedari kita bisa melihat binatang-binatang yang bagus-bagus. Barangkali Broer Wardoyo sudah pernah melihat itu kebagusannya Sriwedari.
Sungguh kita orang mengharap kedatanganmu semua di Solo.
Groeten van huis tot huis1 Biru
*** Mejuffrouw R.A. Biru p/a R. Potronoyo Solo Lieve Zus S T U D E N T H I J O Suratmu telah kuterima. Memang Mas Jo dan saya kepingin sekali bisa datang di Solo buat melebarkan pemandangan. Tetapi Ibu dan Romo selalu belum bisa memberi sempat niat kita itu. Saya kira sekarang ini kita bisa datang di Solo, karena Romo hendak turut melihat itu congres Sarekat Islam di Solo yang dibuka di Sriwedari. Seberapakah bakal kesenangan kita kalau kita bisa datang di Solo dan ketemu kamu.
Groeten van huis tot huis
Wungu *** Mejuffrouw R.A. Biru p/a R. Potronoyo Solo Lieve Zus Besok hari Sabtu yang akan datang, kita hendak pergi ke Solo dengan menumpang kereta api yang penghabisan. Harap kalau tidak ada halangan supaya Zusje suka menjemput kedatangan kita di Stasiun Balapan.
Groeten van huis tot huis
WARDOYO *** Pada waktu pukul setengah enam sore, orang-orang berdesak-desak di stasiun N.I.S. Balapan Solo, yaitu antara para penumpang kereta api yang baru datang dan para penjemputnya. Berpuluh-puluh andong memakai bendera S.I. Itu menjadi tanda bahwa kereta itu telah disewa oleh perkumpulan S.I.
dan khusus disediakan untuk menjemput orang-orang yang akan datang dalam kongres S.I.
Sudah barang tentu, orang-orang yang bukan anggota S.I. dan tidak dijemput kendaraan terpaksa harus berjalan kaki, karena waktu itu tidak ada andong sewaan yang tidak memakai bendera S.I.
Pada saat itu semua orang Islam menunjukkan kesepakatan hatinya antara satu dan lainnya. Di jalan-jalan, siapa saja anggota S.I. yang berpapasan dengan kereta yang berbendera S.I., tentu akan menunjukkan kegembiraan hatinya masing-masing. Semua kereta S.I. itu menuju ke kampung Kabangan.Yaitu tempat yang akan digunakan vergadering para Bertuur S.I.
S T U D E N T H I J O Famili Hidjo dan Regent Jarak yang waktu itu ada di Stasiun Balapan, terpaksa harus menunggu sampai beratus-ratus anggota S.I itu meninggalkan stasiun.
Pakaian dan wajah R.A. Wungu dan Biru yang elok bisa membikin miring semua mata beratus-ratus orang yang ada di stasiun itu. Juga para kaum muda yang mengenyam pendidikan ala Eropa, dia akan merasa merugi
meninggalkan Stasiun Balapan jika R.A. Wungu dan Biru belum pergi dari tempat itu.
Semakin lama, orang-orang dan kereta-kereta sudah meninggalkan stasiun, lalu R.A. Biru memanggil dua kereta yang sudah disediakan untuk menjemput tamunya. Dua kereta dengan ban karet yang ditarik dua pasang kuda-kuda besar tersebut bisa menambah kegembiraan tamunya. Meskipun dua kereta ini berangkat belakangan dari kereta-kereta yang berbendera S.I., tetapi bisa berjalan lebih cepat. Dua orang kusir yang menjalankan kereta yang dinaiki famili Hidjo dan Regent Jarak, selalu membunyikan cambuknya, untuk memberi tanda akan berjalan lebih dahulu. Sudah barang tentu semua orang yang duduk di dalam kereta berbendera S.I. sama melihat kebagusan kereta dan orang-orang yang menaikinya. "Sungguh ramai di sini!" kata Wungu dan melihat beberapa kereta itu.
"Besok pagi Sriwedari lebih ramai lagi!" kata Biru yang duduk berdampingan dengan Wungu sambil melihat Wardoyo dengan tatapan mata yang manis.
"Mas Jo, sudah berapa kali kamu datang ke Solo sini?" kata Biru memberanikan diri dengan perasaan hati yang senang.
"Sudah sering!" jawab Wardoyo yang duduk di depan dua orang gadis itu dan kaki kanannya ditumpangkan di atas kaki kirinya.
"Mas Jo tentu lebih senang di sini daripada di Jarak?" tanya Wungu bergurau.
Perkataan itu dibalasnya, "Nee!" tetapi mata Wardoyo yang melihat Biru dengan wajah yang terang, jelas menunjukkan bahwa perkataan Wungu itu klop dengan hati Wardoyo.
Tidak begitu lama, kereta yang dinaiki Regent Jarak, Raden Ayu dan Raden Nganten Potronoyo sudah sampai di depan rumahnya. Pun pula kereta yang dinaiki ketiga muda-mudi itu juga cepat menyusul. Sungguh tidak sedikit rasa senang tuan rumah sekalian beserta tamunya itu. Raden Potronoyo yang baru saat itu juga berkenalan dengan tamu orang-orang besar selalu menunjukkan rasa senang dan kerendahannya.
S T U D E N T H I J O Sehabis makan, kira-kira pukul 8 malam, datang seorang tamu hendak bertemu dengan R.M. Wardoyo, yaitu teman sekolahnya yang menjadi anggota Sarekat Islam.
"Zoo, apa kabar?" tanya Wardoyo kepada tamu itu, sewaktu dia keluar dari rumah dan berjumpa dengan Prayogo, yang berdiri di depan rumah R.
Potronoyo. "Baik!" kata Prayogo setelah berjabat tangan. "Saya mau bicara denganmu!"
"Goed, bicara apa? Mari masuk ke rumah!" kata Wardoyo.
"Nee, nee, nee! " kata Prayogo. "Saya tidak ada waktu lagi."
"Mau ke mana?" kata Wardoyo
"Mau vergadering!" jawab yang ditanya. "Kedatangan saya kemari akan mengajakmu ikut mendengarkan vergadering Sarekat Islam di Kabangan."
"Itu saya senang sekali, tetapi saya belum menjadi Lid S.I.," jawab Wardoyo.
"Ah, itu perkara yang gampang. Saya yang akan menanggungnya," kata Prayogo dengan gagah.
"Mari masuk ke rumah sebentar," kata Wardoyo mengajak tamunya untuk masuk ke rumah.
"Nee, tidak usah!" kata Prayogo. "Saya tunggu saja di jalan, saya bawa auto."
"Baik, tunggu sebentar," kata Wardoyo terus langsung ke rumah belakang, di mana para kerabat tuan rumah masih duduk-duduk menghadap meja makan.
"Siapa Mas?" tanya Wungu kepada saudaranya yang baru datang dari depan rumah.
"Sahabat saya!" jawab Wardoyo.
Wardoyo hendak memohon izin kepada ayahnya dan R. Potronoyo, tetapi belum ada waktu yang tepat, karena mereka masih ngobrol.
"Gok! gok! gok! " Prayogo membunyikan tuter auto- nya untuk memberi tanda agar Wardoyo lekas pulang.
Suara tuter auto itu membikin kaget semua orang yang ada di situ. Dan mereka melihat ke arah Wardoyo.
"Siapa itu?" tanya ayah Wardoyo kepada anaknya.
"Teman saya!" jawab Wardoyo.
S T U D E N T H I J O Mereka mengira bahwa teman Wardoyo itu sudah ada di depan rumah, oleh karena itu, semua kerabat Regent dan kerabat Hidjo menghampiri ke depan rumah.
"Di mana temanmu?" tanya Regent kepada anaknya.
"Ada di auto!" jawab anaknya.
"Siapa dia?" tanya R. Potronoyo.
"Prayogo, teman sekolah saya," balas Wardoyo.
Dua gadis itu selalu melihat auto yang ada di jalan depan rumah R.
Potronoyo, seolah-olah dua perempuan muda itu ingin mengetahui wajah orang yang ada di auto.
Lantaran mata Prayogo melihat wajah Wungu dan Biru dari jauh ia membunyikan tuter auto-nya lagi," Gok! gok! gok! "
"Suruh datang kemari dia!" kata R. Potronoyo menyuruh Wardoyo, supaya tamunya yang ada di auto datang ke rumah.
"Dia sudah tidak punya waktu!" jawab Wardoyo.
"Apa dia menunggu kamu?" tanya ayahnya.
"Ya!" jawab anaknya.
"Kamu mau pergi Mas?" sambung R.A. Wungu.
"Ya!" kata Wardoyo pendek.
"Saya sama Zus Biru ikut?" kata Wungu dengan setengah tertawa.
Perkataan Wungu itu terdengar oleh Prayogo, dari itu dia membunyikan tuternya "Gok! " untuk memberi tanda.
"Nee, nee, jangan. Saya mau vergedering!" kata Wardoyo kepada saudara perempuannya.
"Besok pagi saya lihat di Sriwedari!" kata Regent kepada anak perempuannya yang manis.
Sesudah Wardoyo permisi kepada semua orang yang ada di situ, lalu dia terus pergi naik auto dengan Prayogo.
Waktu Prayogo dan Wardoyo datang di Kampung Kabangan, tempat diselenggarakan vergadering S.I., pada saat itu sudah ada beratus-ratus orang yang akan mengikuti vergadering. Semua itu adalah utusan dari semua cabang Sarekat Islam se-Jawa. Musik yang berbunyi di vergadering itu, semakin membuat bahagia hati semua orang-orang Islam yang ada di situ.
Bangsawan Keraton Solo, saudagar, priyayi Gouvernement dan para orang-S T U D E N T H I J O
orang particulier, mereka itu semua sama-sama menunjukkan keakrabannya masing-masing. Karena pengaruh Sarekat Islam, waktu itu tidak ada lagi perbedaan manusia. Semua mengaku saudara. Baik orang yang berderajat tinggi maupun mereka yang berderajat rendah.
Meskipun R.M. Wardoyo bukan lid Sarekat Islam, tetapi karena pertolongan Prayogo, dia bisa masuk di dalam persidangan itu.
Pukul 9 malam, vergadering dibuka. Dan membicarakan betapa perkumpulan yang besar itu musti harus dijalankan. Pada saat itu mulai timbul perdebatan, masing-masing bermaksud supaya perkumpulan yang membikin gentarnya rakyat Hindia itu bisa menjadi lebih baik. Sebab Sarekat Islam memang bermaksud mulia sekali. Karena akan memperbaiki nasib orang-orang Islam yang sudah ratusan tahun diinjak-injak.
Wardoyo dan Prayogo tidak bisa ikut campur berbicara dalam persidangan itu, tetapi mereka saat-saat tertentu ikut tepuk tangan kalau mendengar ada hal yang disetujuinya.
Vergadering itu sampai jam 12 malam baru ditutup.
*** Pukul 7 pagi, hari Minggu, beribu-ribu orang sudah sama-sama masuk di Sriwedari. Commissaris politie dan seluruh pegawainya sudah siap menjaga tempat itu yang kebetulan ditempati kongres S.I. Pun pula serdadu yang ada di benteng yang didatangkan dari Magelang untuk menjaga perkumpulan itu, sudah siap sedia kalau di dalam kongres itu ada kerusuhan. Sepanjang jalan di kota Solo, penuh dengan orang-orang yang akan datang di Sriwedari, untuk melihat vergadering itu. Pada waktu itu, seolah-olah semua orang Hindia sudah bersatu hati dan bersama-sama menuju ke tempat yang
berperikemanusiaan. Di rumah R. Potronoyo, sejak pukul enam pagi, sudah pada ribut hendak ikut melihat kongres Sarekat Islam. Juga kereta dengan ban karet yang ditarik sepasang kuda besar dan berbulu putih, pukul setengah delapan sudah disiapkan di depan rumah. Yaitu yang akan dinaiki Regent Jarak dan R.
Potronoyo. Wardoyo yang sudah janjian dengan Prayogo akan dijemput dengan auto, juga sudah berpakaian bagus. Begitu juga Wungu dan Biru yang telah diberi tahu Wardoyo, bahwa mereka itu boleh menumpang auto- nya Prayogo. Dia juga sudah sama ribut berdandan di dalam kamar.
Pukul delapan kurang seperempat, Prayogo datang dengan auto-nya. Pada saat itu Regent Jarak dan R. Potronoyo akan segera berangkat ke Sriwedari.
S T U D E N T H I J O "Wungu!" "Prayogo!" "Biru!"
"Wardoyo!" Begitu ketiga anak muda itu saling berjabatan tangan dan memperkenalkan nama masing-masing, setelah Wardoyo menyuruh saling berkenalan satu dengan yang lain.


Student Hidjo Karya Marco Kartodikromo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Silakan naik Tuan-tuan Putri," kata Prayogo menyuruh dua orang gadis manis itu supaya cepat naik ke auto.
"Kamu duduk di muka, di samping saya!" kata Prayogo kepada Wardoyo, setelah para Raden Ajeng itu duduk di auto dan pintunya telah ditutup oleh Prayogo.
Tiga orang anak muda itu sudah ada di dalam auto. Prayogo memutar putaran auto, lalu dia naik dan menjalankan auto itu dengan cepat.
Baju sutera gadis-gadis yang ada di dalam auto yang sedang berjalan cepat itu, berkibar-kibar yang bisa membikin hati senang orang-orang yang melihatnya. Wajahnya yang ayu-ayu itu, membikin besar hati Wardoyo dan Prayogo. Barangkali orang-orang yang melihatnya akan menyangka bahwa yang naik auto itu dua pasang penganten baru.
Sewaktu R.A. Wungu, Biru, Wardoyo dan Prayogo sampai di Sriwedari, pada saat itu sudah ada orang kurang lebih tiga puluh ribu. Meski di pintu Sriwedari itu terdapat beriburibu orang yang berdesak-desakan, tetapi empat orang muda lelaki-perempuan itu bisa dengan mudah masuk ke vergadering.
Panggung tempat Bestuur Sarekat Islam dihias bagus sekali. Bendera-bendera Jawa, Turki dan Belanda, juga dipasang di situ. Orang-orang yang menjaga minuman, seperti limun dan air Belanda, sedang ribut melayani orang-orang yang memintanya.
Pukul 8, kongres dibuka. Pada saat itu Bestuur S.I. mulai voordracht bergantian. Tidak selang berapa lama Biru, Wungu, Prayogo dan Wardoyo mendengarkan voordracht Bestuur S.I., lalu mereka iseng-iseng melihat-lihat binatang buas yang ada di Taman Sriwedari. R.A. Wungu yang baru pertama kali melihat suasana Sriwedari, merasa heran. Sebab selama hidupnya baru pertama kali melihat harimau, gajah, buaya, ular besar-besar dan binatang-binatang lain.
"Apakah Tuan Putri belum pernah datang di sini" tanya Prayogo kepada Wungu yang kelihatan heran melihat binatang-binatang buas itu.
"Belum!" jawab yang ditanya merendahkan diri.
Waktu itu R.A. Wungu, pikirannya selalu teringat kepada Hidjo yang ada di Negeri Belanda. Biru yang selalu ngobrol dengan Wardoyo, seolah-olah tidak S T U D E N T H I J O
lagi memikirkan Wungu. Maka dari itu terpaksa ia harus bertanya barang-barang yang aneh kepada Prayogo. Hati Wungu dan Prayogo itu tidak bisa saling bertaut, tentu saja, kedua anak muda itu hanya saling berkenalan biasa saja. Tidak sampai ke dalam hati.
Sesudah pukul satu siang, orang-orang yang ada di Sriwedari, sebagian kecil sudah pulang. Semakin lama bertambah banyak orang yang meninggalkan Sriwedari. Juga banyak orang yang sudah capek mendengarkan voordracht lalu mereka sama melihat indahnya Kebun Raja itu.
Pukul 2 siang vergadering selesai, dan semua Bestuur dipotret.
XVI. WUNGU DENGAN HIDJO, BIRU DENGAN WARDOYO
Sejak di Kabupaten Jarak hingga pulang ke Solo, R. Nganten Potronoyo selalu memikirkan bagaimana caranya dirinya bisa membalas kebaikannya Regent Jarak. Bagitu juga R. Potronoyo, tidak saja mendengar pujian tentang kebaikan Regent Jarak yang diucapkan istrinya, tetapi dia sudah menyaksikan sendiri bahwa Regent Jarak dan istrinya, adalah orang yang baik budinya serta memiliki sifat perikemanusiaan yang tinggi.
Sudah barang tentu, R. Potronoyo juga berusaha untuk membalas kebaikan hati Regent. Selama kerabat-kerabat Regent Jarak ada di Solo, R. Potronoyo dan istrinya sering membicarakan apa yang musti diperbuat untuk membalas kabaikan Regent yang baik budi itu.
"Kanda, cobalah Kanda pikir!" begitu R. Nganten memulai pembicaraan dengan suaminya sewaktu dia hendak tidur siang. Dan tamunya Regent Jarak, ada di kamarnya sendiri. Biru dan Wungu juga sudah masuk di kamarnya.
"Seandainya Raden Ajeng Wungu juga sudah masuk di kamarnya.
"Seandainya Raden Ajeng Wungu itu kita jadikan istri Hidjo apa Kanda sepakat? Sebab dahulu Hidjo sering berkata kepada saya, tentang keadaan Raden Ajeng Wungu dan rupa-rupanya dia juga sama sekali tak memikirkan kata-kata Hidjo. Sebab pikiran saya, Hidjo musti saya kawinkan dengan Biru.
Tetapi setelah sekarang mengetahuinya sendiri keadaan R.A. Wungu, R.M.
Wardoyo dan kedua orangtua mereka, pikiran saya jadi tertarik. Saya menjadi sangat mencintai mereka. Apakah Kanda sepakat jika Raden Ajeng dan Raden Mas itu kita minta, yaitu Wungu kita kawinkan dengan Hidjo dan Biru dengan Wardoyo. Saya tahu betul, bahwa Raden Mas menaruh hati betul kepada Biru, demikian juga sebaliknya. Adapun Hidjo dengan Wungu, saya berani tanggung, mereka pasti saling mencintai."
S T U D E N T H I J O Perkataan Raden Nganten itu sangat membikin senang hati suaminya. Tetapi apakah semua kehendak istrinya itu akan bisa dilaksanakan. Sebab dia hanya seorang saudagar, tentu tidak gampang besanan dengan seorang Regent.
"Adinda, saya setuju sekali dangan maksudmu yang sangat bagus itu, tetapi apakah niatmu yang sebaik itu bisa terkabul?" tanya R. Potronoyo kepada istrinya.
"Kanda tidak usah pusing-pusing memikirkan. Asalkan Kanda sudah sepakat, nanti saya sendiri yang akan berusaha. Tetapi Kanda jangan takut kehilangan uang. Sebab kalau maksud saya itu bisa tercapai, tentu tidak mahal bila kita beli dengan uang sepuluh ribu rupiah," begitu Raden Nganten berkata.
"Memang!" jawab R. Potronoyo setuju. "Kita tentu tidak rugi buang-buang f.10.000,- asalkan maksud kita kesampaian."
Pukul 5, R. Potronoyo dan para tamunya duduk-duduk di muka rumah sambil minum teh dan ngobrol tentang Sarekat Islam yang habis mengadakan kongres. R.A. Wungu, Biru dan Wardoyo yang juga ikut duduk di situ, sudah berdandan bagus.
"Apakah kamu mau plesir?" tanya Regent kepada anaknya dan melihat kepada tiga anak muda yang ikut duduk di situ.
Karena pertanyaan itu, Wungu lalu melihat saudaranya yang seperempat tertawa, seolah dia menyuruh Wardoyo, supaya pertanyaan itu cepat dijawab.
"Ya!" Akan hal itu, Wardoyo pun paham apa yang dimaksudkan oleh saudara perempuannya itu. Maka dari itu, Wardoyo menjawab, "Ya!" kepada ayahnya.
Raden Nganten Potronoyo yang mendengar perkataan itu bertanya kepada Biru. "Apakah kamu sudah menyuruh kusir untuk menyiapkan kereta?"
"Belum!" jawab Biru. Lalu dia cepat pergi dari tempat duduknya untuk menyuruh kusir menyiapkan keretanya.
Kereta sudah siap. Ketiga anak muda itu lantas naik kereta untuk plesir melihat suasana kota Solo.
Raden Mas Tumenggung, Raden Ayu, R. Potronoyo dan Raden Nganten merasa senang melihat kerukunan tiga anak muda itu.
"O, Raden Ayu!" kata Raden Nganten ketika kereta yang untuk plesir itu sudah pergi jauh. "Kalau saya melihat keadaan Raden Ajeng, Raden Mas Jo dan Biru, sungguh hidup saya merasa sangat senang!"
"Saya demikian juga Raden Nganten!" jawab ibu Wardoyo.
S T U D E N T H I J O Pada saat itu Raden Nganten mulai bertanya tentang hari kelahiran Wardoyo dan Wungu. Setelah diberi tahu oleh Raden Ayu Tumenggung, lalu Raden Nganten memberi tahu hari kelahiran Biru dan Hidjo.
"Sebenarnya, kalau menurut hitungan hari kelahiran, Hidjo itu kurang baik jika harus kawin dengan Biru!" kata Raden Nganten kepada Raden Ayu.
"Saya kira juga begitu!" kata Raden Ayu. "Sebab hitungannya tidak cocok."
"Tapi kalau menurut hitungan saya, Hidjo itu umpamanya kawin dengan R.A.
Wungu sangat baik sekali!" kata Raden Nganten bergurau.
"Ah, kamu seperti dukun!" kata Raden Potro kepada istrinya, juga sambil bergurau. "Coba sekarang kamu hitung lagi, kalau Biru bersuamikan R.M.
Wardoyo, cocok tidak?"
"Betul Kanda, hitungan saya ini tidak main-main!" kata Raden Nganten dan diam sebentar sambil memikirkan kelahiran Biru dan Wardoyo.
"Lho, ini juga baik!" kata Raden Nganten sambil tertawa.
Ketika Raden Nganten menghitung baik tidaknya orang menikah, dua orang tamunya itu merasa girang sekali. Begitu juga Raden Potro.
"Memang cocok perhitungan Tuan itu!" kata Regent kepada Raden Nganten.
Pada saat itu mereka saling menunjukkan hitungan masing-masing dan pendapatnya memang betul, baik, Wungu dengan Hidjo, Wardoyo dengan Biru.
"Sekarang Raden Ayu, umpama lho, Raden Ayu, yang saya omongkan ini cuma umpama, sebetulnya jadi kan?" begitu Raden Nganten berkata.
"Umpamanya Raden Ajeng Wungu kawin dengan Hidjo dan Biru dengan Raden Mas Wardoyo, apa Raden Ayu setuju?"
Regent dan istrinya ketika mendengarkan kata-kata itu, wajahnya sudah menunjukkan kegembiraannya.
"Umpama itu bisa terjadi, buat saya sendiri merasa senang!" jawab Raden Ayu dengan wajah cerah.
"Apakah Raden Ayu dan Raden Mas Tumenggung tidak malu mempunyai anak kawin dengan anaknya orang yang hina seperti kita?" tanya Raden Nganten bergurau.
"Tidak Raden Nganten, zaman sekarang ini tidak ada lagi orang hina dan mulia. Kalau dipikir, sebetulnya semua manusia itu sama saja. Saya seorang Regent, itu kalau dipikir mendalam, badan saya ini tidak ada bedanya dengan jongos atau tukang kebun Belanda. Jadi saya ini sebagaimana perkataan S T U D E N T H I J O
umum ?buruh?. Maka dari itu umpama anak kawin dengan anak Tuan apa jeleknya? Asal yang menjalaninya suka!" begitu kata Regent dengan panyang lebar kepada Raden Nganten.
Perkataan Regent itu menunjukkan bahwa maksud Raden Potronoyo dan istrinya bakal terkabul. Waktu itu, Raden Nganten terpaksa menggigit bibir bawahnya sebagai tanda senang hatinya.
"Saya kira mereka itu akan senang, kalau bisa terjadi sebagaimana maksud ibu Hidjo," kata R. Potronoyo kepada Regent dan istrinya.
"Saya kira juga begitu!" jawab Regent.
Semakin lama mereka ngobrol tentang perkawinan Wungu, Biru, Warwojo semakin bulat nitanya supaya maksud itu bisa kesampaian.
Wardoyo, Wungu dan Biru yang sedang plesir, tidak mengerti sama sekali apa yang telah dibicarakan oleh orangtuanya.
"Apakah Zus suka melihat pesta Sarekat Islam?" tanya Wardoyo kepada Biru, sewaktu keretanya berjalan di alunlaun.
"Di mana tempatnya?" tanya Biru yang duduk berdampingan dengan Wungu, kepada Wardoyo yang duduk di mukanya.
Pada saat itu, Biru lantas menyuruh kusir supaya ke Kabangan, tempat pesta S.I.
"Mas, kamu toh bukan anggota S.I.?" tanya Wungu bergurau.
"Nee, saya anggota S.I.," jawab Wardoyo sambil tertawa. "Hati-hati, nanti kamu para perempuan kita boicot."
"Ah, tidak takut ya Zus?" kata Wungu dan tanya kepada Biru sambil tertawa.
Pertanyaan itu tidak dijawab oleh Biru, tetapi dia ikut tertawa sebagai tanda setuju.
"Nanti kita para perempuan dan laki-laki saling boikot-boikotan?" sambung Biru bergurau.
"Ya, natuurlijk! Biar orang laki-laki sama masak sendiri dan mengatur rumah tangga sendiri!" kata Wungu.
Wardoyo sangat senang mendengarkan pembicaraan Wungu dan Biru itu.
Merdanga dan musik sudah berbunyi sangat merdu di kantor Sarekat Islam.
Orang-orang dari berbagai negeri yang juga ikut merayakan pesta itu sudah sama berdatangan. Bangsawan-bangsawan dari keraton yang pakaiannya bertabur intan biduri juga sudah siap di situ. Di sini, mereka (para bangsawan S T U D E N T H I J O
dan kaum kebanyakan) sama-sama saling beramah-tamah menunjukkan kekalnya persaudaraan mereka. Waktu itu orang-orang yang melihat pesta itu sudah berdesak-desakan. Masing-masing berebut tempat di muka, supaya bisa melihat keadaan berpuluh-puluh orang utusan S.I. se-Jawa yang hadir di situ.
Sampai di depan rumah tempat pesta itu, kereta yang dinaiki Wardoyo, Wungu dan Biru terpaksa dihentikan.
"Toh, kamu tidak akan masuk ke dalam situ kan Mas?" tanya Wungu kepada Wardoyo. Dan mereka itu bersama-sama melihat suasana orang-orang yang berdesak-desakan itu. Mereka turun dari kereta hendak melihat suasana pesta, tetapi sia-sia. Karena tidak ada jalan untuk menengok keadaan itu. Maka dari itu mereka terpaksa kembali tanpa mengerti suasana pesta S.I.
Dua hari dua malam, kerabat-kerabat Regent tinggal di rumah R. Potronoyo di Solo. Lalu mereka pulang.
XVII. PERTANYAAN KEPADA WARDOYO, WUNGU, BIRU DAN HIDJO
Setelah Regent Jarak pulang dari Solo, R. Potronoyo memberi surat kepada Hidjo ke Negeri Belanda. Yaitu tentang maksud yang telah disepakati antara dirinya dengan Regent Jarak suami-istri.
R. HidjoHamelstraat Den Haag
Tole! Saya ibumu, ibumu cilik dan Biru semua mendapat selamat, tidak kurang suatu apa. Kira-kira satu minggu yang telah lalu, Regent Jarak sekalian dan dua anaknya: R.M. Wardoyo dan R.A. Wungu sama datang di Solo, juga menginap di rumah kita, tiga malam Regent Jarak dan familinja itu ada di Solo. Kita merasa girang sekali; lantaran kamu, kita berkenalan dengan anaknya Regent Jarak, sedang kita bisa ajar kenal dengan dia orang. Kita tidak perlu memuji kebaikan Regent Jarak dan semua familinya, sebab hal itu kamu tentu lebih mengerti. Tetapi saya dan ibumu merasa menyesal sekali kalau kita berkenal-kenalan dengan Regent Jarak cuma seperti biasa orang bersaudara saja. Dari itu kita harus membikin tali perhubungan supaya Regent Jarak dan kita orang bisa jadi famili yang kekal sekali. Kalau kita melihat keadaannya R.M. Wardoyo dan R.A. Wungu, sungguh menyesal sekali hati kita, karena mereka itu tidak jadi anak kita. Ibumu terlalu cinta sekali kepada R.A. Wungu dan R.M. Wardoyo, begitu juga saya. Waktu dia orang ada di Solo, selalu melancong dengan Biru, merika itulah seolah-olah saudara seIbu-Bapak. Sudah tentu saja, lantaran keadaan itu, Regent Jarak S T U D E N T H I J O
sekalian, ibumu dan saya merasa senang sekali. Selama Regent Jarak ada di Solo, kita tidak habis memikirkan, betapa akal kita, supaya R.M. Wardoyo dan R.A. Wungu itu bisa jadi anak kita. Begitupun Regent Jarak sekalian, dia orang merasa senang sekali umpama kamu dan Biru bisa menjadi anaknya.
Lantaran hal-hal itu, Regent Jarak sekalian, saya dan ibumu sudah sama mufakat, supaya kamu berkawin dengan R.A. Wungu dan Biru dengan R.M.
Wardoyo. Saya percaya tentu kamu setuju dengan maksud kita ini. Lain hari ibumu hendak kasih tanda percintaan kepada R.M. Wardoyo dan R.A.
Wungu. Bagaimanakah keadaanmu di sini? Saya minta kabar. Apakah tidak lebih baik kamu pulang saja?
Ramanda POTRONOYO *** R. Potronoyo, Raden Nganten dan Biru sama-sama pergi ke Semarang untuk keperluan membelikan tanda cinta bagi Wardoyo dan Wungu, juga akan memberitahukan surat-surat itu kepada Regent. Di Semarang, tiga orang dari Solo itu masuk ke toko emas intan dan membeli satu kalung zamrud untuk R.A. Wungu dan satu Arloji emas dengan rantainya untuk R.M. Wardoyo.
Setelah selesai keperluannya di Semarang, lalu mereka itu langsung ke Kabupaten Jarak. Kedatangan R. Potronoyo sekalian bersama Biru membikin kaget saudara-saudara Regent Jarak, karena tidak memberi kabar lebih dahulu. Dengan senang hati semua orang yang ada di kabupaten menerima kedatangan tamu dari Solo itu. Sudah barang tentu, Regent dan Raden Ayu tidak sedikit memberikan kehormatannya kepada tamu itu. Masing-masing berwajah cerah menunjukkan kesenangan hatinya.
Pada waktu itu, hari sore. R. Wardoyo dan R.A. Wungu dan R.A. Biru duduk-duduk di samping kabupaten sambil ngobrol omong kosong.
Tidak antara lama, Regent sekalian dan R. Potronoyo sekalian menyusul duduk di tempat itu. Pada saat itu, Raden Nganten Potronoyo memberikan kalung zamrud kepada Wungu dan arloji emas kepada Wardoyo. Bukan main girangnya kedua anak muda itu sewaktu mereka membuka kotak dari beludru yang di dalamnya ada barangnya yang bercahaya amat bagus itu.
R.A. Biru merasa senang sekali melihat keadaan itu, sebab itu adalah suatu tanda cinta antara kerabat Hidjo dan Regent.
S T U D E N T H I J O R.M. Tumenggung lalu memberikan surat kepada Wardoyo. Yaitu surat dari R. Potronoyo yang akan dikirim kepada Hidjo. Demikian surat itu telah dibaca oleh ayah dan ibunya Wardoyo.
Setelah surat itu dibaca Wardoyo, sekonyong-konyong darahnya naik, tanda kegirangan. "Coba kasihkan surat itu, Wungu," kata Regent kepada Wardoyo.
Wungu amat bingung hatinya sewaktu ayahnya menyuruh dia agar ikut membaca surat itu. Dengan hati berdebar-debar, Wungu melihat tulisan-tulisan itu. Setelah dia selesai memahami maksud surat itu, dia terpaksa menggigit bibir bawahnya. Yaitu satu bukti bahwa isi surat itu disetujuinya.
"Biru, coba baca surat itu!" kata Raden Nganten Potronoyo kepada Biru, sewaktu Wungu telah meletakkan surat itu di atas meja yang ada di depannya.
Biru memegang surat itu dan matanya melihat wajah Wungu dan Wardoyo, yang sama-sama mesem (seperempat ketawa), seolah-olah bertanya kepada mereka apa maksud dari surat yang telah dibacanya. Waktu Biru baru membaca separo, wajahnya bertambah manis. Sesudah Biru selesai membaca surat itu, dengan cepat ia meletakkan surat itu di atas meja dan dia tidak berani melihat wajah R.M. Wardoyo. Ini satu bukti, bila surat itu sangat cocok dengan keinginannya.
"Kamu sekalian harus saling sehati satu sama lainnya!" kata Regent kepada Biru, Wungu, dan Wardoyo.
"Kalau kamu sekalian mau menurut dengan maksud suratnya Adinda Potronoyo, tentu kita akan merasa sangat senang sekali!"
Meskipun ketiga anak muda itu hanya diam saja, tetapi sudah banyak tanda-tanda bahwa mereka akan menurut dengan senang hati. Begitu R. Potronoyo sekalian dan Raden Ayu mereka merasa bahwa maksudnya telah disetujui jika melihat tingkah ketiga anak muda itu.
Mulai saat itu R.A. Biru merasa malu berkumpul dengan R.M. Wardoyo, karena dia tidak mengira sama sekali bahwa dirinya akan menjadi anak menantu Regent.
Satu hari satu malam kerabat Hidjo ada di Kabupaten Jarak. Dan semua urusan telah diselesaikan. Adapun Surat R. Potronoyo kepada Hidjo ditambahi oleh Regent Jarak seperlunya, dan langsung dikirim dengan aangeteekend.
S T U D E N T H I J O XVIII. CONTROLEUR WALTER DATANG DI RUMAHNYA HIDJO Setelah Hidjo pulang dari Amsterdam, Betje tiap hari sedikitnya sepuluh kali datang ke kamar Hidjo. Hal ini menyebabkan perasaan Hidjo menjadi gundak. Hidjo merasa berada dalam bahaya. Meskipun hatinya sangat keras untuk menolak bahaya itu, namun kadang-kadang hati Hidjo dengan gampang terpikat oleh kehendak Betje.
Pada waktu sore, pukul 8 malam, Hidjo, Betje dan saudara-saudaranya sama duduk-duduk di salon, dan masing-masing mendekati kachel yang sudah berapi. Sebab waktu itu sudah mulai musim dingin.
"Plok! Klining! Klining! " begitu suara surat yang dimasukkan di pintu. Dan oppaspost menarik bel untuk tanda ada surat datang.
"Pos!" kata Hidjo memandang Betje, mamanya dan yang lainnya.
"Sudah, saya ambilnya!" kata Betje sambil bangkit dari duduknya hendak mengambil surat yang baru datang itu.
"Ini ada aangeteekend untuk Tuan!" kata Betje setelah dia mengambil surat itu dari balik pintu dan dibacanya. Meski surat aangeteekend itu belum diambil, tetapi Hidjo tahu surat itu dari keluarga Regent. Karena di panggilan surat aangeteekend itu diterangkan bahwa surat itu dari Jarak.
Tidak antara lama terdengar bel pula dan dienstmeid membuka pintu.
"Apakah saya boleh bicara dengan Tuan Hidjo?" tanya Controleur Walter sewaktu dia berhadapan dengan dienstmeid dan memberikan kartu namanya untuk Hidjo.
"Tunggu sebentar Tuan!" jawab pembantu perempuan itu dan dia dengan cepat memberikan kartu nama itu kepada Hidjo.
W. WALTER Controleur b/h B.B.
Jarak Hidjo sangat tercengang setelah membaca kartu nama Walter. Dan dia memberi tahu kepada Direktur sekalian serta Betje bahwa dia kedatangan tamu seorang Controleur yang baru datang dari Hindia.
"Apakah saya boleh menerima tamu di salon ini Tuan?" tanya Hidjo kepada tuan rumah yang waktu itu sedang duduk-duduk di salon.
S T U D E N T H I J O "Dengan senang hati!" kata Direktur, begitu pula yang lain-lainnya juga menunjukkan senang hatinya Hidjo menerima tamu itu.
Setelah Hidjo menjemput tamunya yang masih menunggu di depan pintu dan berjabatan tangan, lalu Walter diajak masuk ke salon dan diperkenalkan juga dengan tuan rumah dan sekalian Betje.
Tidak sedikit kegembiraan Hidjo untuk menanyakan aneka macam kabar dari Hindia. Begitupun Controleur senang sekali menceritakan keadaan keluarga Regent Jarak. Selain itu, dia juga bercerita mengenai pesta di Kabupaten untuk merayakan hari ulang tahun Regent. Dan dalam pesta itu dia menandak.
Selain itu, Controleur Walter bercerita bahwa di kapal dia berkenalan dengan Sergeant Djepris. Seorang yang selalu menghina bangsa Hindia. Walter bercerita pula bahwa hinaan-hinaan yang keluar dari mulut Sergeant itu selalu dilawannya. Begitu juga, semua yang mendengarkan omongan Controleur ikut menyetujui akan perlawanannya kepada Sergeant yang amat bodoh itu.
Lonceng jam yang ada di atas kachel jarum kecilnya sudah menunjukkan angka sebelas. Angin yang sangat keras menempuk jendela kaca seperti hendak memecahkannya. Walaupun Walter mengerti bahwa tuan rumah begitu senang mendengarkan cerita tentang keadaan di Hindia, tetapi dia merasa perlu untuk segera pulang kembali ke rumahnya. Se-ab waktu itu adalah waktunya orang-orang untuk tidur.
"Kita mohon supaya Tuan sering datang ke rumah saya!" kata Direktur kepada Walter, ketika mereka sudah saling berjabatan tangan dan berjalan hendak pulang.
"Baik!" jawab Walter, terus keluar pintu sambil berkata "goeden avond"1
untuk yang terakhir. XIX. HIDJO MENGAMBIL SURAT AANGETEEKEND
DENGAN BETJE Pukul sembilan pagi, para pedagang yang berjualan apel dan bunga-bungaan untuk bouquet sudah berteriak-teriak menawarkan dagangannya. Juga, kere-kere yang mengemis dengan memutas orgel atau meniup seruling telah mondar-mandir sehingga membuat ramainya jalan. Kuli jalan atau bebon dari gemeente yang memakai pet 4berhiaskan pasmen kuning seperti priyayi Gubermen Hindia sudah sama bekerja membersihkan jalan atau mencabuti rerumputan di kebun-kebun.
S T U D E N T H I J O Waktu itu Hidjo masih berada di dalam kamar sambil membaca buku.
Walaupun dienstmeid dan nyonya rumah sudah sibuk mempersiapkan sarapan, tetapi Hidjo masih lebih senang tinggal di kamarnya. Tidak antara lama, Hidjo dipanggil untuk minum kopi dan sarapan. Pakaian Hidjo sudah menunjukkan bahwa dia hendak pergi. Maka dari itu, saat ia mengucapkan selamat pagi kepada Betje yang waktu itu ia baru keluar dari kamar hendak ke ruang makan, mata Betje selalu melihat pakaian Hidjo, dari sepatunya yang berkilat sampai dasinya yang melilit leher. Wajah Betje sudah menunjukkan tanda-tanda bahwa ia akan ikut apabila Hidjo pergi dari rumah. Begitu juga Hidjo, dari matanya menunjukkan hatinya senang jika dia mau ikut.
"Gaat U uit meneer Hidjo?"1 tanya Betje sambil mengaduk kopi dan melihat wajah Hidjo.
"Ja.... brief helen, "2 jawab Hidjo pendek dan dia juga tidak lupa melihat wajah nona manis itu. "Gaat U mee?"3 lanjut Hidjo sambil minum kopi dan wajahnya tampak cerah.
"Ja, als U goed vindt," jawab Betje dengan seperempat ketawa yang membuat senangnya Hidjo.
"Zeker! Zeker! "5 kata Hidjo dengan senang.
Pukul sepuluh, Hidjo dan Betje pergi ke kantor pos utuk mengambil surat aangeteekend dari orangtuanya yang dikirim dari Jarak.
Sewaktu Hidjo menerima surat itu dari pegawai pos, ia ingin sekali langsung membuka surat itu dan membacanya. Tetapi, karena di tempat itu terlalu ramai maka dia mencari tempat yang baik untuk membaca surat itu.
"Ke mana kita harus pergi?" tanya Hidjo kepada Betje setelah dia memegang surat aangeteekend dan hendak keluar dari kantor pos.
"Sesukamu!" jawab Betje yang berjalan di samping kanan Hidjo.
"Haagsche bosch?" tanya Hidjo pendek sambil memandang wajah nona ayu itu.
"Baik!" jawab Betje dan berjalan mendesak Hidjo.
Mereka pergi ke Haagsche ? bosch (hutan di Den Haag untuk plesiran) dengan naik tram jalur 4, hendak membaca surat aangeteekend yang baru diterimanya.
"Mari kita duduk di bangku itu!" kata Hidjo kepada Betje sewaktu dia sudah turun dari tram dan jalannya sudah sampai di hutan. Walau Betje tidak menjawab perkataan Hidjo itu, tetapi tingkah lakunya sudah menunjukkan bahwa dia menuruti kehendak Hidjo. Kecuali bangku itu tempatnya ada di S T U D E N T H I J O
bahwa pohon yang bagus dan di belakangnya ada kolam ( Hollvijver), airnya sangat jernih dan ditumbuhi dengan tetumbuhan yang sangat indah, akan menyenangkan siapa saja yang melihatnya.
"Saya baca surat sebentar!" kata Hidjo kepada Betje seolah-olah ia minta izin.
"Ya!" jawab Betje pendek dan dia duduk di samping Hidjo sambil ujung payungnya ditusuk-tusukkan ke tanah.
Betje duduk diam di samping Hidjo, selain itu dia juga tidak mau ikut membaca surat yang baru dibaca Hidjo, supaya hatinya tidak tergoda untuk ikut memahami isi surat itu.
"Pukul berapa sekarang Bet?" tanya Hidjo kepada Betje yang ada di samping kanannya dan melihat surat itu dimasukkan ke saku bajunya.
"Kwart voor elf!"6 jawab nona manis itu sambil melihat arloji emas yang ada di lengannya yang putih.
"Mari kita jalan-jalan!" kata Hidjo.
"Mari!" Jawab Betje.
Selama Hidjo berjalan-jalan dengan Betje di Haagsche bosch, dia selalu berkata pada dirinya sendiri: "Bagaimana saya musti memberi tahu kepada Betje tentang surat dari ayah ini. Saya disuruh ayah pulang ke Tanah Jawa dan akan dikawinkan dengan Wungu, seorang gadis bangsawan yang telah kukenang-kenangkan sejak saya pertama kali melihatnya. Sudah tentu saya merasa hidup senang di dunia. Dan Wungu pun akan menjadi istriku sampai mati. Begitu juga Biru, tunanganku sejak kecil, namun sesungguhnya saya tidak mencintainya, dia akan dikawinkan dengan Wardoyo, teman sekolah saya dan saudara lelaki dari bakal istriku. Memang betul-betul senang hidupku kelak. Tetapi nasib apakah yang bakal menimpa Betje, kalau dia kutinggal? O, susah!"
Sampai di situ Hidjo berkata dengan dirinya sendiri, dan sebentar-sebentar merasa senang, namun sebentar-sebentar pula ia merasa susah. Sudah tentu Hidjo menjadi bingung sebab dia mengerti bahwa cinta Betje kepadanya tidak gam-pang diputuskan.
"Betje lief?" kata Hidjo kepada Betje hendak bercerita bila dirinya disuruh pulang ke Tanah Jawa. Tetapi maksud itu tidak bisa keluar dari bibir Hidjo.
Maka dari itu dia berkata, "Mari kita masuk ke kafe, sebab saya merasa haus!"
"Mari!" jawab Betje pendek dan hatinya merasa sedih juga karena ikut merasakan kesusahan Hidjo.
S T U D E N T H I J O Setengah jam lamanya mereka itu minum limonade di kafe yang tidak begitu jauh dari Haagsche bosch, lalu bersama-sama pulang. Sebab waktu itu sudah mendekati pukul 12 siang, yaitu waktunya Koffie drinken (Di Negeri Belanda kalau makan waktu pukul 12 siang disebut Koffie drinken).
XX. HIDJO MEMUTUS CINTA BETJE
Setelah Hidjo menerima surat aangeteekend dari orangtuanya, surat yang mana menceritakan supaya dia kembali ke Tanah Jawa dan akan dikawinkan dengan Wungu, maka Hidjo selalu mencari cara untuk memberitahukan kepada Betje tentang akan kepergiannya dari Negeri Belanda itu.
Meskipun Hidjo merasa susah dalam hatinya, tetapi kesusahan itu dengan sangat pandai bisa ditutupinya supaya Betje tidak ikut merasakan kesusahannya. Tetapi, saat-saat Hidjo tinggal di kamarnya sendirian dan tidak sedang membaca-baca bukunya atau sedang duduk-duduk termenung di depan jendela sambil melihat lautan yang sangat luas, Betje selalu bertanya, apa sebabnya ia selalu nampak sedih.
"Mari kita besok pergi ke Amsterdam?" kata Hidjo kepada Betje sewaktu dia datang ke kamar Hidjo pura-pura meminjam buku.
"Baik!" jawab Betje pelan supaya suaranya tidak didengar orang lain, juga matanya melihat ke pintu yang terbuka, sebab dia takut kalau ada orang di situ.
"Sudah, cepat keluar!" suruh Hidjo kepada Betje supaya dia cepat keluar dari kamarnya. Begitu pula Betje, dia cepatcepat keluar dari situ sambil mejewer telinga Hidjo sebagai tanda kegirangan.
Hari yang ditentukan untuk pergi ke Amsterdam sudah tiba. Betje dan Hidjo sudah siap-siap akan pergi.
"Apakah kalian hendak pergi melancong?" tanya nyonya rumah sewaktu dia melihat kedua orang itu sudah sama-sama berpakaian rapi.
"Ya, ke Warenhuis hendak membeli buku tulis," jawab Betje dusta kepada mamanya.
Pukul setengah sepuluh lebih Hidjo dan Betje keluar dari rumah hendak ke Amsterdam.
Di Stasiun Hollandsche Spoor, orang-orang yang hendak menumpang kereta sudah berdatangan. Demikian pula di Wacht Kamer, sudah banyak orang duduk-duduk sambil minum-minum dan lain-lain.
S T U D E N T H I J O Pegawai kereta api berjalan mondar-mandir untuk mengurus pekerjaannya.
Anak-anak yang berjualan koran berteriak-teriak menawarkan korannya.
Kereta api yang dari Rotterdam sudah datang. Para penumpang sudah ribut, ada yang turun dan ada yang naik. Mereka itu saling berdesak-desakan. Hidjo dan Betje mondar-mandir melihat-lihat kereta kelas 2 yang tidak begitu banyak orangnya, supaya dia bisa naik ke situ. Tetapi keinginannya itu sia-sia, sebab semua kereta penuh dengan penumpang. Sudah tentu, Hidjo dan Betje terpaksa ikut naik di kereta kelas 2 yang banyak orangnya. Di sini mereka itu tidak bisa ngobrol, kecuali perkara-perkara penting yang harus dibicarakan di situ.
Satu jam lamanya dua orang itu ada di dalam kereta api. Lalu mereka turun di Stasiun Amsterdam.
Sewaktu Hidjo dan Betje keluar dari stasiun hendak naik tram, beberapa orang tukang semir sepatu, orang-orang yang berjualan di situ sama ribut menanyakan kepadanya. Apakah Hidjo dan Betje tidak suka digosok sepatunya? Karena permintaan itu, maka dengan ikhlas Hidjo memberi uang setali kepada penyemir sepatu itu. Walaupun sepatunya tidak disuruh untuk menggosoknya.
"Terima kasih banyak Tuan!" kata tukang semir sepatu itu sambil mengangkat tangannya untuk memberi hormat, setelah ia menerima uang setali dari Hidjo.
Di dalam sebuah hotel di Amsterdam, Hidjo mesti bercerita kepada Biru tentang niatnya hendak pulang ke Tanah Jawa.
"Kalau kamu ke Tanah Jawa, saya ikut!" jawab Betje setelah dia mendengarkan cerita Hidjo. Dan airmatanya bercucuran menunjukkan tanda kesedihannya.
"Jangan, besok saya akan kembali ke Negeri Belanda sini lagi dan kita bisa bertemu dan....," kata Hidjo kepada Betje.
Di kamar yang tertutup, mereka bercakap-cakap, silih berganti sampai masalah yang dibicarakan selesai.
Dengan keinginannya sendiri, Hidjo memberikan sebuah buku Post Spaarbank yang ditulisi namanya dan di dalamnya ditaruh uang sebesar f.
1000,- "Buku ini kamu simpan, dan uangnya beleh kamu ambil, kalau kamu ada keperluan," kata Hidjo kepada Betje yang baru menerima buku.
S T U D E N T H I J O XXI. DUA TAHUN BERLALU Hidjo telah kawin dengan R.A. Wungu dan hidup senang sebagai jaksa di Jarak.
Wardoyo sudah jadi regent di Jarak, mengganti papanya. Dia pun hidup rukun di kabupaten itu dengan R.A. Biru.
Walter sudah kembali dari verlof, ia menjadi assistent resident di Jarak dan telah mempunyai istri, yaitu Betje. Adapun Onderwijzeres Nona Jet Roos telah kawin dengan Administrateur Boeren, sobat karib Willem Walter dan juga bertempat tinggal di Jarak.
TAMAT S T U D E N T H I J O Serikat Serigala Merah 1 Fear Street Jeritan Terkeras Loudest Scream Fearpark 2 Kisah Dokter Cinta 1

Cari Blog Ini