Ceritasilat Novel Online

Warisan Jenderal Gak Hui 1

Warisan Jenderal Gak Hui Oey Liong Kiam Karya Chin Yung Bagian 1


Warisan Jenderal Gak Hui Karya : Chin Yung / Saduran : ho cing hong
Image Sources : Awie Dermawan
Rewrite/Edited : yoza EYD-Version @ 2018, Kolektor E-Book
OEY LIONG KIAM (Warisan Jendral Gakm Hui)
saduran : ho cing hong CETAKAN PERTAMA U.P. KRESNO 1975 JAKARTA Image Sources : Awie Dermawan
Rewrite/Edited : yoza EYD-Version @ 2018, Kolektor E-Book
Oey Liong Kiam 1 0 OEY LIONG KIAM (Warisan Jenderal Gak Hui)
Diolah Oleh : HO TJING HONG
Jilid ke 1 P UCUK pohon cemara tampak melambai-lambai ditiup angin pegunungan
yang sejuk. Bulan sabit menerangi dengan sinar keemasan tanpa terganggu
oleh kabut dan awan, bintang-bintangpun bertaburan di angkasa, Pegunungan
Go-Bie-San tampak tenteram dan damai. Semarak dengan pohon-pohon hutan
ramping menjulang, jurang-jurang yang dalam dengan tebing-tebing berbatubatu menonjol.
Dari dasar jurang Liong-houw-ya yang berbatu-batu besar dan dinding
jurang yang terdalam dan bila melihat keatas seolah-olah terkurung dalam
himpitan dinding curam, terpisah dari dunia luar. Tampaklah samar-samar
bayangan pohon-pohon cemara yang meliuk-liuk tertiup angin sejuk. Bayangan
pohon-pohon yang hanya tampak samar-samar jauh diatas seolah-olah angan
kita turut melambung ke angkasa dan hanyut terbawa terbang ke bintangbintang yang bersinar pudar.
Betapa dalamnya jurang itu hingga tak dapat terduga lagi seandainya bukan
malam terang bulan dan tiada bintang-bintang dan gelap gulita maka tiada
terkira lagi karena jurang Liong-houw-ya memang jurang yang sangat dalam.
Tiba-tiba suasana yang tenteram itu dengan tak terduga telah berubah
menjadi gaduh. Terdengar suara gemuruh, batu-batu melayang dan meluncur
ke dasar jurang. Gemuruh dan berhamburan pecahan-pecahan batu
menimbulkan kepulan-kepulan debu dan jurang yang sepi itu dengan tiba-tiba
menjadi sangat gaduh, sesaat kemudian kembali tenang dan sepi hanya suara
kericik air terdengar sangat lembut.
Ketika itu tampaklah sebuah bayangan yang bergerak menuruni tebing
jurang menuju ke suatu tempat. Rupa-rupanya bayangan itu adalah seorang
laki-laki yang bertubuh tinggi berdada bidang. Mukanya tampan dan rambutnya
yang hitam panjang digulung diatas kepala. Hanya wajah yang tampan itu
Oey Liong Kiam 1 1 kelihatan tegang seolah-olah laki-laki itu menahan rasa sakit yang mengendap
dalam tubuhnya. Dari sudut bibir dan lubang hidungnya meleleh darah segar.
Dengan langkah-langkah yang tertahan dan sempoyongan dia terus berusaha
untuk mencapai dasar jurang Liong-houw-ya.
Tatkala kepalanya terangkat dan memandang jauh keatas tebing sedang kaki
kanan menginjak sebuah batu yang menonjol, dengan tiba-tiba batu itu terlepas
dan menggelundung meluncur kebawah. Untung laki-laki itu dapat menguasai
diri dan keseimbangan tutuhnya hingga dia tidak terdorong jatuh. Namun
demikian berdesir juga jantungnya dan kembali melihat kedasar jurang yang
berbatu-batu. Kembali suasana tenang, hanya terdengar dengusan nafas laki-laki itu.
Kemudian terdengar suara jeritan tangis bayi. Jeritan tangis bayi itu makin
menyayat dan keras sekali. Laki-laki yang menuruni tebing jurang itu berhenti
lagi dan benda yang dibungkus dengan kain selimut berwarna kuning tua itu
dibukanya. Bungkusan selimut kuning tua itu sejak tadi telah dipondongnya dan
didekapnya, bahkan sekali dipandanginya dengan sinar mata sayu dan sedih.
Ternyata didalam selimut kuning tua itu adalah bayi lak-laki yang berparas
bagus berkulit halus dan montok sekali. Namun bayi itu tiada henti-hentinya
menangis. Bahkan selimut kuning tua itu kini telah bernoda darah yang telah
membeku. Dipandangnya dasar jurang yang masih terlalu dalam dan gelap. Walaupun
samar-samar sinar bulan telah menerangi dasar jurang namun tetap gelap.
Dengan menarik napas panjang laki-laki yang tampaknya sangat sedih itu
meneruskan langkahnya sangat berat dan terpeleset-peleset menuruni tebing.
Diatas batu besar tampak seorang kakek berjubah putih. Kakek yang telah
berambut putih digelung diatas kepala dengan janggutnya yang panjang dan
putih melambai ditiup angin. Wajah kakek itu sangat tenang menggambarkan
bahwa kakek itu berilmu tinggi dan sangat budiman. Seolah-olah kakek itu
menunggu ke dataongan laki-laki yang sedang menuruni tebing jurang. Sesekali
kakek berjubah putih itu mengerutkan keningnya dan memandang dengan
pandangan mata lurus kearah laki-laki yang membopong bayi terbungkus dalam
selimut kuning tua. Oey Liong Kiam 1 2 Setelah jarak mereka telah begitu dekat dan telah mencapai dasar jurang,
laki-laki itu dengan jantung berdebar telah memandang kakek berjubah putih
yang masih duduk diatas batu dengan tenang dan memandang padanya juga.
Seolah-olah ada sesuatu hal yang tertahan didalam pikiran kakek itu.
Serta merta laki laki yang memondong bayi itu merebahkan diri menjura
kearah kakek berjubah putih, sedangkan bayi dalam dekapannya itupun masih
tetap menjerit-jerit menangis.
"Locianpwee aku telah mencari-carimu". mungkin tidak sepeminum teh lagi.. .
nyawaku telah.. " seru laki-laki itu dengan suara tertekan dan terdengar sangat
sedih. "Hemmmm . . ." terdengar gumam kakek berjubah putih dan tetap duduk
diatas batu dengan tenang seolah-olah tidak peduli dengan apa yang dikatakan
orang didepannya itu. "Bencana telah menimpa keluargaku.. . . sudilah locianpwee mengulurkan
tangan dan menerima anakku ini.. . anak yang malang ini kutitipkan padamu . . ."
tersendat kata-kata itu ditenggorokan dan dilihatnya bayi dalam bungkusan kain
selimut berwarna kuning tua itu dengan perasaan sedih.
"Hemmmm.. . " terdengar sekali lagi gumam kakek berjubah putih itu. Sikapnya
masib tetap seperti tadi dan seolah-olah tidak merasakan apa-apa dengan
peruturan laki-laki yang sangat merintih dan sedih itu. Bahkan kakek berjubah
putih itu tidak bergeser sedikitpun dari tempat duduknya.
Laki-laki yang tampak sangat malang dan memelas itu sekarang berlutut
dihadapan kakek berjubah putih. Ditatapnya wajah kakek itu dengan sorot mata
penuh iba dan mohon dikasihani. Sementara itu bayi dalam pelukannya itupun
telah diam dari tangisannya.
"Apapun yang akan locianpwee lakukan terhadap bocah ini aku tidak perduli.. .
terimalah.. . . atau aku lebih baik membinasakannya daripada kelak bocah ini
sengsara". seru laki-laki itu yang kedengaran suaranya sangat berputus asa dan
sedih, sekali lagi dipandangnya bayi dalam pelukan itu dengan mata sayu dan
sedih. Oey Liong Kiam 1 3 Saat itu kakek berjubah putih hanya mendengus dan pandangan matanya
dialihkan kearah sebuah batu besar yang terdapat dibelakang laki-laki yang
berlutut didepan kakek berjubah putih itu.
".. . . . . aku telah berlutut dihadapanmu dengan penuh rasa hormat dan
mengemis rasa belas kasihmu untuk bocah yang malang ini. Ternyata
Locianpwee yang terkenal arif bijaksana dan penuh rasa kasih sayang itu
ternyata sangat dingin dan hatinya beku seperti es---baiklah Locianpwee, kalau
memang kau orangtua tidak sudi menerima bayi ini lebih baik binasa bersamaku
daripada kelak menderita dan terhina--- " seru laki-laki itu. Tiba-tiba bayi dalam
pelukan tangan kanan itu kini telah dipindahkan ketangan kiri dan tahu-tahu
tangan kanan telah menggenggam sebilah pedang yang berkilauan tertimpa
sinar bulan. Kakek berjubah putih itupun merasa terkejut ketika melihat laki-laki itu
menggenggam pedang mengkilat. Berdesirlah hati kakek itu dan menarik nafas
panjang. Kemudian matanya memandang lagi kearah batu-batu dibelakang lakilaki yang menggendong bayi dan berlutut dihadapannya itu. Kemudian
pandangan mata mereka bertemu. Laki-laki yang menggenggam pedang itu
tidak tahan menatap pandangan mata kakek berjubah putih. Ditundukkannya
kepala dan dipandanginya bayi dalam gendongan tangan kiri dengan perasaan
sedih dan air mata berlinang.
Pedangnya diangkat dan akan ditikamkan kearah bayi itu, sedangkan kakek
berjubah putih akan mencegahnya tetapi matanya memandang kearah batu
besar dan menarik nafas panjang. Sekali lagi laki-laki itu tidak sampai hati untuk
membunuh anak sendiri. Walaupun dia telah memutuskan lebih baik membunuh
bayi itu daripada kelak hidup sengsara dan dihina orang. Namun dengusan nafas
kakek sakti itu sangat berpengaruh dan membuat dia menjadi lemah seolaholah tangannya terkulai. Tangan yang menggenggam hulu pedang itu gemetar
dan dipandangnya wajah kakek berjubah putih yang masih bersikap duduk
seperti semula. Seolah-olah kakek itu tidak akan mencegah niat laki-laki yang
berlutut dihadapannya itu. Walaupun tiada sepatah katapun yang terucapkan.
Ketika pandangan mereka bertemu ternyata sekali lagi laki-laki itu tidak
tahan menentang pandangan mata kakek berjubah putih.
Oey Liong Kiam 1 4 Ditundukkannya wajahnya dan memandang kearah batu-batu dasar jurang.
Batu yang berserakkan. Saat itu kakek berjubah putih memandang dengan tegas kearah batu besar
dibelakang laki-laki yang berlutut dihadapannya.
Bertepatan dengan itu laki-laki yang malang itu telah mengangkat
pedangnya dan akan ditikamkan kearah bayi dalam pondongannya.
Tiba tiba dari balik batu dibelakangnya telah berkelebat sebuah bayangan
hitam dan langsung meloncat menyerang dengan sebuah hantaman bertenaga
luar biasa kearah laki-laki yang telah putus-asa.
Terpentalah pedang dalam genggaman laki-laki itu. Sedangkan laki-laki itu
sangat terkejut mendapat serangan dengan tiba tiba dan sempat menyaksikan
pedangnya yang melayang kemudian berdentang jatuh ketanah membentur
batu dan ternyata pedang itu telah patah menjadi dua.
Bertepatan dengan itu telah berdiri, dihadapan kakek berjubah putih seorang
laki-laki bertubuh tinggi dan berdada bidang dengan wajah tegang memandang
kakek berjubah putih dan berganti-ganti memandang kearah laki-laki yang
masih tercengang dan terduduk ditanah berbatu-batu.
Laki-laki yang baru datang dan luar biasa tenaganya itu masih muda dan
berusia tidak lebih dari tiga puluhan tahun. Namun telah menguasai suatu ilmu
yang luar biasa. Kakek berjubah putih memandang dengan tersenyum kearah laki-laki gagah
yang berdiri dihadapannya itu. Dia merasa kagum dengan sikap gerakan dan
kekuatan orang yang kini berdiri di hadapannya tu.
"Bagus-bagus, luar-biasal" seru kakek itu dengan manggut seraya menatap
pandangan orang berdiri dihadapannya.
Sesaat lamanya suasana jadi sepi, hanya terdengar dengusan napas dan
desauan angin pegunungan pula gemericik air yang sangat halus. Bayi itupun
seolah-olah mengerti dan tiada jerit tangis lagi.
"Jika mata tuaku tidak salah, rupa-rupanya yang telah berdiri dihadapanku
adalah ketua Sin-ciu-sam-kiat yang pada saat ini sangat menggemparkan
Oey Liong Kiam 1 5 kalangan Kang Ouw.. . ?" tegur kakek berjubah putih dengan suara tenang kearah
laki-laki yang berdiri dihadapannya itu.
Bersamaan dengan teguran itu tampak berkeJebat dua bayangan tertimpa
sinar bulan yang samar-samar. Dua bayanyan itu langsung berdiri sejajar
dengan laki-laki yang sejak tadi berdiri dihadapan kakek berjubah putih.
Mereka adalah seorang wanita cantik jelita berusia sekirar dua puluh tahun
berparas ayu dan kulitnya kuning mulus. Sedangkan yang seorang lagi adalah
seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dengan rambut hitam panjang sampai
kebahu serta berjambang bauk.
Kakek berjubah putih mengangkat wajahnya sesaat tetapi tetap duduk
dengan tenang diatas batu gunung didasar jurang.
Dielusnya janggut yang panjang melambai dan putih itu. Dipandanginya satu
persatu orang-orang itu. Kemudian kakek itu menarik nafas panjang seolah-olah menghalaukan suatu
kenangan yang tersimpan dalam dadanya.
"Betul tidak keliru lagi penglihatanmu!" seru laki-laki yang ditegur tadi. Tetapi
laki-laki itu masih bersikap tegang dan menyilangkan kedua lengannya didada.
Matanya yang hitam mengkilat mengawasi sikakek yang acuh tak acuh itu.
"Hem tidak kusangka kita akan bertemu di tempat ini. Ternyata dunia ini kecil
sekali sehingga kita dapat bertemu dimana saja!" seru Pek-hi-siu-si dengan
mengusap janggutnya. Ketiga orang yang kini berada dihadapan kakek berjubah putih itu adalah
Thin-siu-sam-kiat yang terdiri dari Ji Han Su atau si Tinju Baja, Siauw Liang atau
si Angin Taufan dan Pek Giok Bwee atau Dewi Gelombang, Mereka adalah murid
dari satu perguruan, tetapi ilmu dan tingkat ilmu mereka berlainan.
Ji Han Su sangat menguasai tenaga dalam dan mabir mengerahkan tenaga
dalam. Tenaga dalamnya demikian hebat dan dahsyatnya hingga hembusan
angin pukulannya saja mampu mematahkan pedang baja.
Siauw Liang sangat pintar memainkan ilmu golok. Sedemikian hebatnya ilmu
golok Siaw Liang hingga dia dapat melindungi dirinya dari percikan air hujan
Oey Liong Kiam 1 6 yang deras. Hingga dia mendapat julukan di rimba persilatan sebagai si Angin
Taufan. Sedangkan Pek Giok Bwee memiliki ilmu tenaga dalam dan meringankan
tubuh serta pandai memainkan senjata rahasia sambil meloncat memutar
tubuh. Kehebatan ilmu meringankan tubuh si cantik jelita Pek Giok Bwee itu tiada
taranya dikalangan Kang ouw.
Semenjak Sin-ciu-sam-kiat terjun di rimba persilatan, dalam waktu singkat
mereka telah menonjol dan mendapat julukan yang luar biasa.
"Sudah lama kita mendengar Pek-hi-siu-si (orang sakti berjubah putih) yang
tersohor sangat arif bijaksana disamping adalah seorang pendekar ilmu pedang
yang tiada taranya dikalangan Bulim dan selama beberapa puluh tahun telah
malang meintang dan menjagoi dikalangan persilatan" seru si jelita Pek Giok
Bwee dengan tenang, "Kita harus selalu menghormatinya dan harus menjunjung
tinggi nama kakek itu, tetapi kenyataannya setelah pertemuan ini kami menjadi
sangat kecewa karena apa yang di kabarkan orang-orang itu ternyata kosong
belaka. Kau membiarkan seseorang menjadi sangat kecewa, padahal kau dapat
berbuat sesuatu untuk menolong orang itu. Pek-hi-siu-si orang tua yang
disanjung dan dihormati orang itu ternyata adalah tidak lebih dari seorang yang
berhati beku sebeku es"
Pei Giok Bwee telah mengucapkan kata-kata yang sangat menyinggung dan
menghina kakek sakti berjubah putih itu dengan sengaja. Ia merasa sangat
gemas dan jengkel dengan sikap dingin dan acuh tak acuh kakek berjubah putih
itu kepada laki-laki yang telah menyembah-nyembah dan menggendong bayi
dihadapannya itu. Sedangkan sikakek sakti berjubah putih atau Pek-bi-siu sin yang selalu
dihormati dan disegani orang di lingkungan Kang-ouw, belum pernah dia
mendapat hinaan dan dicaci orang sedemikian tajam itu. Maka mendadak jadi
sangat terkejut dan gusarlah kakek itu. Namun demikian kakek sakti itu dapat
juga menguasai perubahan wajahnya dengan sedikit deretan garis dahinya yang
mengkerut dengan sinar mala melanya. Kemudian tersenyum.
"He Sin-ciu-sam-kiat! kita baru kali ini bertemu muka dan anrara kita tidak
ada ikatan permusuhan dan kalian belum pernah mengadu tenaga dengan aku
Oey Liong Kiam 1 7 orang tua, tetapi kalian sengaja mendatangi jurang Liong-houw-ya untuk
mencoba dan menghinaku!" bentak Pek-hi-siu-si kepada ketiga bersaudara itu.
Meskipun sikakek berjubah putih itu mengeluarkan kata-kata menantang
tetapi kata-kata itu dikeluarkan dengan tersenyum dan bernada halus, mau tak
mau ketiga pendekar itu menjadi sangat gusar. Karena seolah-olah kakek itu
tidak memandang sebelah mata padanya. Yang paling gusar adalah si Angin


Warisan Jenderal Gak Hui Oey Liong Kiam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Taufan atau Siauw Liang dengan wajah merah dan mata melotot meloncat
kedepan kakek yang masih tetap duduk diatas batu besar dengan tersenyumsenyum dan mengelus janggutnya.
"Pek-hi-siu-si ! Kau adalah seorang tua budiman gadungan" seru Siauw Liang
dengan suara lantang dan mata melotot sambil mengelus janggutnya yang
putih. "Pek-hi-siu-si, sebenarnya Ji Twako telah menasehati padaku untuk tidak
curut campur tangan dalam urusan ini. Namuo hati dan perasaan
kemanusiaanku tidak tahan untuk memperdengarkan orang yang malang itu
terus meratap dan memohonkan pertolonganmu. Namun kau kakek tua ternyata
berpura-pura tuli dan tidak mendengarkan kesedihan orang lain. Kau seorang
kakek sakti yang kejam dan tidak berperikemanusiaan!. Untuk bertempur
melawanmu orangtua tidak perlu kami Sin-ciu-sam-kiat bersama-sama maju.
Cukuplah aku dengan golokku Hui-to ini...!" seru Siauw Liang dengun mata melotot
dan wajah merah membara. Dengan selesainya kata-kata itu dia menggenggam
golok Hui-to ditangan kanan dan meloncat menyerang kakek berjubah putih.
Namun Pek-hi-siu-si tersenyum dan tenang, walaupun didalam hati ia
memuji akan keberanian laki-laki berambut awut-awutan dan berjambang itu.
Ketika serangan golok itu hampir menyentuh dadanya kakek itu sama sekali
tidak bergeming dari tempat duduknya. Dia hanya menggerakkan kedua jarijarinya tangan kanan kearah mata golok. Terlihatlah Siauw Ling terperanjat.
Karena kenyataan yang ditemuinya dia menikam tempat koaong dan terhuyunghuyung meluncur hampir membentur batu tempat dimana kakek itu duduk.
Pek-hi-siu-si telah menjagoi dunia persilatan selama tiga puluh tahun lebih
dengan banyak menjatuhkan lawan-lawannya. Hingga dengan demikian dia
telah mendapatkan julukan "jago pedang nomor satu" dan kini dia harus
Oey Liong Kiam 1 8 berhadapan dengan Shin ciu-sam kiat jago-jago muda yang baru muncul dan
sedang mengembangkan nama dikalangan Kang ouw. Dengan senang dan
tersenyum serta mengelus janggutnya yang putih panjang itu Pek-hi-siu-si
berseru kearah Siauw Ling.
"He Siauw Ling, aku orang tua yang keropos ini, telah mendengar kehebatan
permainan ilmu golok Hui-to mu yang luar biasa itu".
Gerakan ilmu golok Hui-to yang dapat bergerak dan menyapu lawan
bagaikan topan itu sangat luar biasa.
Namun aku orang tua tidak takabur dan sombong, tetapi aku hanya
menurutkan tantanganmu sebagai orang-orang satria yang pantang menolak
tantangan orang. Kalah dan menang itu bukan milik kita, maut ditangan Thian. Tetapi kalau
sampai kau dapat memotong putus selembar bulu badanku saja maka aku akan
menyerahkan pedang pusakaku ini padamu dan aku akan mengundurkan diri
dari kalangan Kang-ouw !" seru si kakek berjubah putih dengan suara tenang.
Suara yang bernada tenang itu diselingi dengan desahan nafas Pek-hi-siusi diarahkan kepada Siauw Liang adalah nada suara yang penuh keangkuhan
dan tantangan yang sangat menyakitkan hati Siauw Liang.
Mendengar kata-kata yang sangat memanaskan hati itu Siauw Liang yang
bersifat berangasan menjadi sangat gusar dan wajahnya merah sampai
ditelinga dan mata yang bersinar hitam itu menyala-nyala. Kelihatan sangat
bengis karena diamuk kemarahan yang meluap-luap. Kemudian meloncat
kebelakang satu langkah diatas tanah berbatu sambil tangan kanan masih
menggenggam golok Hui-to dan tangan kiri menuding kearah Pek-hi-siu-si.
"Kau boleh membual sesuka hatimu! Sekarang buktikanlah kata-katamu itu!"
bentak Siauw Liang. Begitu selesai dengan kata-katanya itu dia telah meloncat
dan golok Hui-to bergerak sangat cepat sekali menyambar Pek-hi-siu-si.
Siauw Liang menyadari sekarang dia sedang berhadapan dengan seorang
pendekar kalangan tua yang luar biasa hebat ilmu silatnya. Maka dia bermaksud
menyerang secepat mungkin sebelum lawannya sempat bersiap siaga. Dia yakin
benar serangannya itu akan berhasil dengan baik karena dia menyerang PekOey Liong Kiam 1
9 bi-siu-sin dengan jurus permainan golok yang sangat dahsyat dan belum pernah
dapat dihindari oleh lawan, ialah jurus Soan-hong-cui-long atau Angin taufan
meniup gelombang yang telah membuat goloknya memancarkan cahaya
kemilau dan mengeluarkan angin yang suaranya menderu-deru gemuruh.
Pek-hi-siu-si bersikap tenang dan meloncat berdiri ditanah dua langkah
didepan batu tempat dimana kakek tadi duduk. Angin serangan golok itu
menyambar sangat deras. Kakek berjubah putih dengan tenang menggerakkan
lengan tangan kanan dan mengebutkan lengan jubahnya kearah datangnya
serangan. Ternyata hembusan lengan jubah itu luar biasa akibatnya. Angin
hembusan lengan jubah itu mampu menahan serangan golok Hui-to. Sekaligus
hembusan lengan jubah itu menampar Siauw Liang hingga laki-laki itu terlempar
mundur beberapa langkah. Selama Siauw Liang berkecimpung dikalangan Kang-ouw belum pernah
gagal serangannya dengan jurus yang sangat diandalkan itu. Jurus Soan-hong
cui-long selalu berhasil dengan baik dan lawan belum pernah dapat
menghindari serangan itu. Namun kini setelah berhadapan dengan kakek sakti
berjubah putih dia telah mengalami kenyataan pahit bahkan dirinya dapat
ditampar mundur sampai beberapa langkah kebelakang. Bukan saja Pek-hi-siusi dapat menahan bacokan Hui-tonya malah hembusan tenaga angin pukulan
lengan jubah kakek itu sangat luar biasa dan dapat memukul mundur tubuh
Siauw Liang. Dengan kenyataan itu, laki-laki berangasan itu menjadi sangat gusar dan
menggembor keras seraya meloncat dengan golok Hui-to mengarah ke arah
leher Pek-hi-siu-si. Loncatan itu sangat hebat dan keras. Namun Pek-hi-siu-si
dengan tenang menantikan datangnya serangan. Ketika serangan ujung golok
itu hampir menyentuh tenggorokan kakek sakti, dengan tiba-tiba kakek itu
menggeserkan kaki kanannya dan tubuhnya sedikit miring kekanan tangan
kanan bergerak kearah lengan Siauw Liang. Gerakan kakek itu begitu cepat dan
tiba-tiba. Siauw Liang sangat terperanjat dan dia hampir tersungkur karena dorongan
tenaga serangannya sendiri. Dengan gerakan cepat kakek itu telah menggobang
leher Siauw Liang hingga terpaksa Siauw Liang meloncat dan menggelundung
Oey Liong Kiam 1 10 ditanah berbatu-batu sampai beberapa tombak. Kemudian memutar tubuh
sambil meloncat menghadapi Pek-hi-siu-si dan tangan kanan masih
menggenggam golok Hui-to.
Kakek berjubah putih dengan mata tuanya dan kening dikerutkan
memandang Siauw Liang. Dia yakin bahwa lawannya kini menjadi sangat gusar.
Sedangkan dua orang saudara Siauw Liang hanya mengamati jalannya
pertempuran itu dengan pandangan mata penuh kekhawatiran. Karena mereka
tahu bahwa kakek itu sebenarnya bukan tandingan Siauw Liang.
Sekali lagi Siauw Liang menggembor sambil meloncat menyerang Pek-hisiu-si. Bersamaan dengan alunan gemboran yang menggema didalam jurang
Liong-houw-ya, sebuah batu besar telah hancur berkeping-keping terbentur
kepala Siauw Liang. Tampaklah Pek-hi-siu-si mengegoskan tubuhnya kesamping
dan mengebutkan lengan jubahnya kearah tubuh laki-laki itu. Begitu kepala
Siauw Liang menumbuk batu, dan batu itu hancur berantakan, maka sesaat
pemandangannya menjadi kabur pula, Namun dasar memang dia sangat keras
kepala belul-betul maka keadaannya itu tidak dirasakannya. Sekali
menggerakkan lengan tangannva maka berputarlah tubuh Siauw Liang dan
menyerang kakek itu dengan Hui-to dalam jurus Soan-hong-cui-long kearah
dada dan kaki Pek-hi-siu-si.
Kali ini kakek berjubah putih itu sangat kewalahan melayani gerakan
membadai dan luar biasa jurus-jurus yang dimainkan oleh Siauw Liang. Jurus
Soan-hong-cui-long yang sangat ganas dan luar biasa. Seolah-olah tangan
pendekar golok itu menjadi enam buah banyaknya. Semuanya bergerak sangat
cepat dan tampaklah kilatan yang menyilaukan mata. Golok Hui-to yang
tajamnya luar biasa itu tampak mengerikan dan ketika digerakkan dengan cepat
terdengarlah suara deru yang luar biasa serta angin dingin yang menyayat kulit.
Walaupun tiada tersentuh kulit Pek-hi-siu-si oleh mata golok Hui-to namun
angin sambarannya saja terasa pedih, sedangkan Siauw Liang bertambah nekad
dan meningkatkan gerakan ilmu golok jurus yang luar biasa Soan-hong-cui-long
dan mendesak terus kearah kakek berjubah putih. Kini tampaklah kakek itu
merasa kewalahan juga untuk mengadu kelincahan dan pernafasan dengan
Siauw Liang yang masih muda itu.
Oey Liong Kiam 1 11 Beberapa jurus lamanya kakek Pek-hi-siu-si melayani Siauw Liang dengan
golok Hui-to kakek itu melayani kehebatan jurus-jurus ilmu golok Siauw Liang
dengan tangan kosong. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh dan
kelincahan kakek Pek-hi-siu-si. Walaupun kakek itu adalah seorang kakek sakti
yang telah menjagoi dunia persilatan selama tiga puluhan tahun lebih, namun
baru kali ini dia mendapatkan musuh yang masih berusia muda tetapi sangat
luar biasa ilmunya. Biarpun sampai sekian lama belum dapat Siauw Liang menyentuh kulit Pekbi siu-sin namun kakek yang telah tua itu mandi keringat juga. Gerakan Siauw
Liang bertambah hebat dan bagaikan ular melilit-lilit dengan suara menderuderu dan angin dingin yang ditimbulkan oleh golok Hui-to. Gerakan-gerakan
cepat yang luar biasa itu bertambah mendesak Pek-hi-siu-si hingga kakek itu
mandi keringat untuk menghindari gerakan ilmu golok lawannya.
Kakek berjubah putih yang menghadapl Siauw Liang dengan tangan itu
dibuat sangat sibuk dengan menghindari bacokan-bacokan maut golok Hui-to.
Kakek itu mengegoskan tubuhnya kekanan dan kekiri, kadang-kadang
mengebutkan lengan jubahnya dan membentur serangan lawan dengan kepalan
tinju. Namun Siauw Liang tampaknya bertambah marah dan menyerang dengan
serangan yang dipengaruhi hawa kemarahan itu tanpa memperdulikan keadaan
lawan bahkan bertekad untuk membinasakan lawannya walaupun kakek itu
tanpa senjata. Karena Siauw Liang menyerang dengan sangat nekad dan untuk
menundukkan lawan yang telah nekad itu tidak mudah. Maka kakek berjubah
putih itu kini telah mengubah serangannya dan meloncat mundur tiga langkah
kemudian mencabut pedang pusakanya.
Pedang yang mengeluarkan perbawa luar biasa itu mengejutkan Siauw
Liang. Namun tidak menggentarkan laki-laki yang nekad itu. Malah Siauw Liang
tertawa gembira menyaksikan lawannya juga menggunakan pedang.
Pek-hi-siu-si berdiri dengan kuda-kuda lutut melengkung dan memitingkan
tubuh kearah lawan. Kedua lengannya disilangkan didepan seolah-olah kakek
itu sembunyi dibalik silangan lengan tangannya dari pandangan lawannya.
Oey Liong Kiam 1 12 Sedangkan pedangnya yang bersinar kuning berkilauan itu cepat melindungi
wajah keriput kakek berjubah putih.
Namun demikian kakek itu tetap tersenyum walaupun matanya yang bening
tepat memancarkan sinar mengkilat kearah Siauw Liang. Tiba-tiba Siauw Liang
menggembor dan meloncat dibarengi dengan dia meluncur dan berdiri diatas
tanah berbatu didasar jurang Liong-houw-ya itu Siauw Liang membacokkan
golok Hui-to kearah tubuh Pek-hi-siu-si.
"Tranggg.. . !" terdengar dua senjata tajam
beradu dan tampak pijaran bunga api
terpancar dari benturan senjata tajam itu.
Siauw Ling terkejut dan terlempar lima
langkah wajahnya pucat. Ternyata Pek-hisiu-si mengangkat pedangnya melindungi
bahu kanan dari bacokan Siauw Liang
ketika Siauw Liang terlempar lima langkah
kebelakang dan tampak terhuyung
menahan rasa sakit dengan wajah pucat.
Maka kakek sakti itu telah meloncat
mengubah sikap kuda-kudanya dan
menghadang serangan Siauw Liang.
Kedua orang saudara Siauw Liang menahan nafas dan khawatir. Sampai
beberapa saat mereka menunggu loncatan maut Pek-hi-siu-si, namun kaiek itu
masih tetap berdiri ditempatnya dengan melengkungkan lututnya dalam sikap
kuda-kuda dan menantikan serangan lawan.
Siauw Liang setelah dapat menguasai diri dan menarik nafas dalam,
tampaklah wajahnya dari sedikit demi sedikit telah menjadi merah menjalar
sampai ke telinganya. Detik-detik selanjutnya laki-laki yang berambut awutawutan dan berjambang itu menggembor dan meloncat menyerang Pek-hi-siusi.
Gemboran yang menggema dan keras itu menggetarkan pepohonan yang
tumbuh di lereng jurang yang terjal namun kakek berjubah putih itu tetap berdiri
Oey Liong Kiam 1 13 dengan tenang dan bersikap menunggu dengan kuda-kuda kokoh bagaikan
melekat diatas tanah berbatu-batu dasar jurang Liong-houw-ya. Ketika ujung
golok Hui-to hampir menyentuh tenggorokan kakek itu, terdengarlah dentangan
dua benda logam beradu. "Trang!" terdengar dentangan nyaring dan Pek-hi-siu-si tampak menekuk
lutut dan pedangnya menyentuh hulu golok Hui-to. Seolah-olah golok itu terhisap
dan melekat kuat sekali ke mata pedang Pek-hi-siu-si.
Bergetarlah tangan Siauw Liang. Laki-laki keras kepala itu berusaha untuk
menarik atau mendesak lawannya. Namun sampai beberapa saat tanpa dapat
bergerak bahkan tubuhnya bagaikan dialiri berjuta-juta semut dan menghantam
dadanya hingga menyesakkan pernafasan.
Siauw Liang berusaha untuk melepaskan sedotan itu dengan mengerahkan
tenaga singkang kearah goJok Hui-to. Tampaklah laki-laki itu wajahnya menjadi
tegang dan dlsusul dengan bintik-bintik keringat di wajahnya. Namun Pek-hi-siusi tetap tenang dan tersenyum menghadapi Siauw Liang yang tegang itu.
Saat itu baik Ji Han Su maupun Pek Giok Bwee menjadi tegang juga, mereka
menahan nafas khawatir akan keselamatan saudaranya. Namun mereka merasa
heran juga, ternyata kakek berjubah putih yang sukar diduga pikirannya itu tidak
bertindak lebih lanjut. Dalam keadaan Siauw Liang yang tidak berdaya itu
sebenarnya mudah untuk membinasakan, namun diluar dugaan ternyata kakek
itu hanya tersenyum dan ketika tangan Siauw Liang bergetar hebat dan wajah
laki-laki itu tampak pucat tiba-tiba terdengar jeritan bayi melengking dan
mengejutkan semua yang hadir di jurang Liong-houw-ya.
Ji Han Su dan Pek Giok Bwee meloncat menghampiri datangnya suara yang
ternyata bayi dalam pondongan laki-laki malang itu, sedangkan Iaki-laki yang
luka parah itu telah menggeletak. Ketika Ji Han Su membalikkan tubuh laki-laki
itu ternyata telah binasa dengan mata masih melotot. Saat itu juga Siauw Liang
dan Pek-hi-siu-si telah berada disisi laki-laki yang menggeletak, sedangkan Pek
Giok Bwee langsung menyambar tubuh bayi yang baru berumur sebulan itu dan
sesaat bayi itu masih menjerit menangis.
Ketika dalam pondongan Pek Giok Bwee dan dihibur dengan kemesraan
seorang ibu, lama kelamaan tangis bayi itu menjadi reda. Sedang Ji Han Su
Oey Liong Kiam 1 14 berlutut mayat laki-laki itu dan memejamkan kedua mata yang terbalik nanar.
Tampaknya sangat mengharukan, dari mulut dan hidungnya masih tampak
mengalir darah segar. Pek Giok Bwee tampak sangat sayang dengan bayi yang montok dan
sepasang matanya yang sangat jeli dengan kulit putih dan bersih. Maka dengan
diayun-ayunkan gendongan bayi itu kemudian bayi itupun terdiam dari
tangisnya. Ji Han Su dan Pek Giok Bwee telah menjadi suami isteri selama tiga tahun
dengan penuh kemesraaan, namun mereka belum dikaruniai putra, apakah
mereka telah berjodoh untuk mengangkat putera saat itu, dengan diketemukan
bayi yang telah ditinggalkan mati kedua orang tuanya itu? Memang dunia ini
penuh hal-hal yang luar biasa dan silih berganti. Kejadian-kejadian yang tidak
terduga-duga dapat terjadi dengan tiba-tiba, bahkan tanpa direncana akan
terjadi sesuatu. Pek Giok Bwee berpaling dan sepasang matanya menatap mata Ji Han Su.
Sorotan mata wanita muda dan jelita itu sudah cukup berarti bagi Ji Han Su. Jika
mereka telah memahami maksud satu dan lainnya, kiranya hanya dengan sorot
mata saja cukup pengganti seribu patah kata yang terucapkan. Maka
mengertilah Ji Han Su akan maksud isterinya yang tercinta itu, laki-laki yang
berwajah halus itu hanya tersenyum sebagai jawaban dan memahami maksud
Pek Giok Bwee. Sedangkan Siauw Liang membalikkan tubuhnya menghadap kepada kakek
berjubah putih atau Pek-hi-siu-si yang sudah berdiri lagi diatas batu besar yang
tadi, diatas batu besar itu Pek-hi-siu-si tampak bersedakep sambil tersenyumsenyum memandang kearah Siauw Liang.
"He Pek-hi-siu-si ! Kini ayah bayi itu telah binasa ! Apa yang kau perbuat
terhadap bayi yang malang itu ?!" seru Siauw Liang dengan mata berapi-api
sambil menuding kearah bayi yang dalam gendongan Pek Giok Bwee.
Tetapi kakek sakti berjubah putih atau Pek-hi-siu-si hanya tersenyum dan
memandang dengan tenang kearah Siauw Liang, seolah-olah kakek itu tidak
mendengar seruan Siauw Liang.
Oey Liong Kiam 1 15 Saat itu Siauw Liang sudah tidak dapat menahan kegusarannya lagi. Lakilaki yang berangasan itu menatap mata Pek-hi-siu-si dengan pandang mata


Warisan Jenderal Gak Hui Oey Liong Kiam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berapi-api karena kegusaran dan akan membentak. Tetapi Pek Giok Bwee telah
melangkah maju. "Rupanya Pek-hi-siu-si tidak merasa kasihan dengan bayi yang malang
melintang dan tidak berdosa ini. Kita sampai hati menyaksikan bayi
ditelantarkan dan menderita. Maka jika kau orangtua merasa sungkan untuk
merawat bayi ini seperti permintaan dari ayah bayi ini, maka kami Sin-ciu-samkiat yang akan merawatnya. Hanya sayang sekali bahwa setelah peristiwa ini,
selanjutnya kau tak pantas lagi dipanggil dengan Pek-hi-siu-si dan orang-orang
di kalangan Kang-ouw.. . " seru Pek Giok Bwee dengan mata menyala bening dan
sepasang bibir yang tipis merah jambu, tetapi kata-kata itu terputus sebelum
selesai terucapkan karena Pek-hi-siu-si memberikan isyarat kepada wanita
cantik itu untuk berhenti berbicara. Kemudian terdengar bentakan kakek itu
dengan suara lantang. "Apakah kalian tahu, mengapa aku menjadi sungkan untuk mengangkat
bocah itu menjadi calon muridku? Apakah kalian juga tahu siapakah musuh
besar bocah itu?" seru Pek-hi-siu-si memberondong dengan nada gusar.
Kemudian diam menunggu jawaban dari ketiga pendekar yang berdiri saling
berpandangan dihadapan kakek itu.
Tetapi ketiga orang Sin-ciu-sam-kiat tetap membisu. Mereka tidak
mengeluarkan sepatah katapun. Dengan sinar mata hitam dan tajam kakek sakti
berjubah putih itu memandang mereka. Kemudian terdengar suara kakek itu
lagi. "Aku orang tua sebenarnya bukannya tidak sudi untuk menerima bayi ini
menjadi calon muridku, tetapi aku tidak sudi kelak mendengar dan menyaksikan
dia binasa ditangan musuhnya. Padahal aku telah bersusah payah membimbing
dan melatih ilmu padanya.. .!" seru Pek-hi-siu-si dengan suara datar. Kemudian
kakek itu melirik lagi kepada ketiga pendekar yang berdiri saling berpandangan
dihadapannya. Ketiga pendekar itu tidak paham dengan maksud kakek sakti itu. Mengapa
justru kakek itu menceriterakan semuanya itu kepada mereka padahal mereka
Oey Liong Kiam 1 16 telah menyaksikan kehebatan ilmu silat dan ilmu pedang Pek-hi-siu-si. Apalagi
telah menyaksikan jurus sakti Bo-kit-sin-kong atau tenaga dalam sakti tanpa
tanding, yang ternyata telah mampu dengan mudah menahan tekanan bacokan
golok Siauw Liang. Pula dengan ilmu pedag Lik-siang-kiam-hoat atau ilmu
pedang yang benar-benar mukjizat yang telah berhasil melumpuhkan
permainan golok Siauw Liang dengan mudah. Kedua jurus ilmu pedang dan
sinkang itu yang telah berhasil mengangkat derajat kakek sakti Pek-hi-siu-si
dikalangan Kang-ouw sebagai pendekar nomor satu yang tak terkalahkan
selama tiga puluhan tahun.
Sesaat kemudian Ji Han Su melangkah dua tindak kedepan dihadapan Pekhi-siu-si berdiri dan pemimpin Sin-ciu-sam-kiat menghormat dengan
membongkokkan tubuh kearah kakek sakti itu.
"Kita sudah mendengar nama besar dan keluhuran budi Pek-hi-siu-si
dikalangan para pendekar baik dari kalangan putih maupun hitam. Tetapi jika.. . "
seru Ji-Han Su dengan suara mendatar dan sopan. Tetapi kata-kata itu tidak
diteruskan karena dipotong oleh Siauw Liang.
"Twako!" seru Siauw Liang dengan suara keras memotong, "Jangan tanya
panjang lebar lagi! Kita ingin tahu siapakah sebenarnya musuh besar bocah ini
kelak yang begitu meragukan Pek-hi-siu-si akan kemampuannya. Padahal Pekhi-siu-si telah menjagoi dunia persilatan nomor satu dikolong langit, tetapi masih
merasa khawatir juga.. . " seru Siauw Liang dengan nada mencibir dan gusar.
Mendengar kata-kata yang kurang enak itu Pek-hi-siu-si bukannya marah
atau tidak memperlihatkan kegusaran hatinya. Wajah kakek itu tetap tenang dan
tersenyum serta mengelus-elus janggutnya dan matanya yang bersinar tajam
itu memandang tajam kearah Siauw Liang.
"Hemm.. . . kalau kalian mendesak padaku untuk memberitahukan musuh
besar bocah ini yang sangat kutakuti itu, baiklah.. " seru kakek berjubah putih itu
dengan suara datar dan sabar.
Sekali lagi dipandangnya wajah ketiga pendekar yang berdiri dihadapannya
dengan sinar mata tajam dan sejuk. Ketiga orang itupun memandang Pek-hisiu-si dengan keinginan yang mendesak dan tidak sabar. Tiba-tiba Pek-hi-siu-si
Oey Liong Kiam 1 17 menundingkan jari telunjuk tangan kanan kearah langit. Dimana saat itu tampak
bulan sabit yang baru saja ditinggalkan oleh awan.
"Ciam Gwat !" seru Siauw Ling tanpa terasa dan setelah itu dia membisu
menundukkan wajahnya menatap pandang kearah batu-batu.
Ji Han Su dan Pek Giok Bwee juga terperanjat ketika mendengar seruan
Siauw Liang menyebut "Ciam Gwat" tadi. Ciam Gwat atau bulan sabit dikalangan
persilatan mempunyai arti tersendiri. Bukan dari segi keindahannya yang
syahdu. Tetapi Ciam Gwat adalah gelar seorang pendekar wanita yang maha
sakti ilmu silatnya lagi pula mempunyai sifat ganas dan keji.
Sejenak kemudian Pek Giok Bwee berpaling kearah Pek-hi-siu-si, sedangkan
bayi dalam pondongan wanita jelita itu telah tertidur dengan tenangnya.
"Kita tidak menghiraukan tentang musuh besar bayi ini, juga kita tidak
merasa gentar akan kesaktian dan kehebatan musuh besar bocah ini. Tetapi kita
telah bertekad untuk memelihara bocah ini dan akan kita didik segala macam
ilmu yang kita miiliki. Kita tidak ingin menyaksikan bayi ini terlantar di jurang
ganas ini, sedangkan urusan dikemudian hari bukan ditangan kita.. ." seru Pek
Giok Bwee dengan suara lancar dan melengking bersemangat, serta berkali-kali
menyaksikan wajah bayi yang malang dan kini telah tertidur dalam
pondongannya itu. Kemudian Pek Giok Bwee berpaling kepada Ji Han Su dan Siauw Liang
dengan kilatan sudut matanya sambil berseru "Mari kita berlalu dari jurang ini!"
"Sabar" seru Pek-hi-siu-si sambil mengangkat tangan kanan kearah mereka
bertiga, "Sebenarnya aku telah mempunyai sebuah rencana untuk memelihara
bocah itu, baiklah kalian pelihara terlebih dahulu bocah itu dengan baik dilembah
telaga Cui-ouw, sepuluh tahun lagi aku akan datang dan melanjutkan
mendidiknya..!" seru Pek-hi-siu-si dengan suara datar dan bersungguh-sungguh.
Setelah selesai dengan kata-katanya itu dia mengelus janggutnya dan
memasukkan tangan kiri kedalam saku jubahnya, keningnya berkerut seolaholah mengingat sesuatu.
Mendengar penjelasan itu ketiga Sin-ciu-sam-kiat tercengang. Mereka saling
berrpandangan dan beralih memandang Pek-hi-siu-si dengan sorot mata heran
Oey Liong Kiam 1 18 karena baru saja kakek berjubah putih itu menyatakan bahwa dia tidak sudi
memelihara bayi itu, mengapa sekarang dia telah berubah ?
"Menurut pendapatmu, kita bertiga bersama memelihara bayi ini. Kemudian
kaupun akan datang melanjutkan mendidik bocah itu dalam ilmu silat?" seru Ji
Han Su dengan suara datar dan gembira.
Pek-hi-siu-si menganggukkan kepala dan tersenyum. kemudian menyambut
dengan kata-kata pula "ya, itupun boleh, hanya aku yang sudah tua bangka ini
merasa khawatir, apakah masih sempat menurunkan ilmu silatku pada bocah
itu." gumam kakek berjubah putih dengan suara lirih dan matanya berkilat
memandang ke arah Pek Giok Bwee yang menggendong bayi malang itu.
"Haaa-haaa kau ini betul-betul sangat cerdik! Kau sengaja menjebak kita dan
kau orang tua ternyata telah berhasil. Tak usahlah kau khawatir akan usiamu,
karena usia tak dapat dijadikan naungan Thian!" seru Ji Han Su dengan suara
mendatar dan terdengar cetusan rasa gembira dan bersahabat, walaupun tidak
menghilangkan hormatnya kepada kakek itu.
Pek-hi-siu-si tersenyum mendengarkan penuturan itu. Dia merasa gembira
dan tangan kirinya yang sejak dimasakkan kedalam saku jubah itu telah
dikeluarkannya dan kakek menggenggam sesuatu benda.
"Kitab kecil ini adalah sebuah catatan tentang kelahiran bayi yang berada
dltanganmu itu" seru Pek-hi-siu-si sambil memandang kearah Pek Giok Bwee
serta memperlihatkan kitab kecil yang berada dalam genggaman tangan kiri."
Bayi itu dilahirkan dari keluarga Tong bernama Kiam Ciu. Ayah bayi yang malang
itu bernama Kim Seng dengan julukan Kun-tiat (sitinju besi) yang terkenal
dikalangan persilatan pada masa-masa puluhan tahun yang lalu" seru Pek-hisiu-si seolah-olah menerawang pandangnya jauh kedepan. Sedangkan ketiga
Shin-siu-sam-kiat bagaikan terpaku.
"Ohh Kun tiat.. ." guman Ji Han Su dan mereka memandang kearah Pek Giok
Bwee. Pek-hi-siu-si tersenyum menyaksikan semuanya iu. Kemudian melanjutkan
kata-katanya dengan suara sabar dan penuh bijaksana.
Oey Liong Kiam 1 19 "Pada dewasa itu Tong Kim Seng atau Kun tiat pernah berkali-kali datang
berkunjung kekediamanku, kemudian aku mengetahui bahwa dia telah
mengundurkan diri dari dunia persilatan. Sepuluh tahun aku tidak mendengar
beritanya lagi, tiba-tiba kini dia telah muncul dan kudengar kabar bahwa semua
keluarganya telah binasa. Keluarganya yang terdiri dari lima orang anak dan
isterinya telah binasa. Tinggal bayi yang berumur sebulan itu yang selamat, atau
berhasil diselamatkan." seru kakek itu dengan suara penuh keharuan.
Pandangan mata kakek berjubah putih itu kosong menerawang ke langit.
Hatinya sangat terharu, sedangkan ketiga bersaudara Sin-ciu-sam-kiat tidak
berani mengucapkan sepatah katapun.
"Hemmm.. . musuh besar bayi itu mempunyai ilmu silat yang luar biasa
hebatnya. Jika kita berempat mendidik bocah itu dengan tekun dan bersungguhsungguh serta penuh kasih sayang, aku yakin bahwa kelak bocah itu akan
menjadi seorang pemuda yang luar biasa. Aku telah minta kepada kalian untuk
merawat bayi itu, karena aku yang sudah tua usia ini tidak dapat merawat bayi
yang baru berusia sebulan itu. Aku belum mengundurkan diri dari dunia
persilatan karena masih banyak tugas-tugasku yang harus kuselesaikan Oleh
karena itu.. ." seru Pek-hi-siu-si dengan lancar, tetapi sebelum kata-kata itu
selesai terucapkan telah disambut oleh Siauw Liang.
"Sudahlah!" seru Siauw Liang dengan suara mendongkol. "jika rencanamu
memang tegitu, mengapa tidak sedari tadi kau katakan ?!"
"Hemmm.. ." hanya itu sambung Pek-hi-siu-si sambil tersenyum.
"Aku sudah terlanjur turun tangan dan mengadu kekuatan dan kekerasan
tulang kekebalan kulit. Baiklah kelak aku masih akan mengadakan perhitungan
denganmu?" seru Siauw Liang. Walaupun suaranya kasar dan kedengarannya
seperti marah, namun ternyata kata-kata itu diucapkan dengan selingan
senyuman yang bertambah melebar, kemudian terdengar tawa laki-laki
berangasan itu. Menyaksikan hal itu Pek-hi-siu-si turut pula tertawa dan dengan suara tawa
itulah berarti dia telah mengikat hubungan lebih erat dengan ketiga Sin-ciusam-kiat,
Oey Liong Kiam 1 20 "Maaf jika kita bertindak agak Iancang, kami Shin-chiu-sa-kiat menyatakan
hormat setinggi-tingginya kepadamu dan dengan jalan ini aku berjanji akan
memelihara dan merawat bocah ini dengan baik." seru Ji Han Su dengan
membongkok memberi hormat serta dengan suara penuh hati-hati.
"Akupun berjanji akan mewariskan ilmu silatku padanya" seru kakek berjubah
putih dengan tersenyum tetapi nada suaranya bersungguh-sungguh dan
didengarkan oleh ketiga Sin-ciu-sam-kiat dengan penuh perhatian. Mereka
menunduk dan memperhatikan kata-kata yang terulangkan oleh Pek-hi-siu-si
sebagai seorarg sakti dari golongan tua.
"Aku telah mengetahui bahwa kalian tinggal di suatu tempat di lembah telaga
Cui-ouw. Sekarang aku masih mempunyai banyak urusan dan tak dapat
menyertai kalian bertiga, Tetapi setelah lewat sepuluh tahun aku berjanji akan
menemui kalian di lembah telaga Cui-ouw. Aku mengharapkan semoga kalian
dapat memelihara bayi itu dengan baik" sambung Pek-hi-siu-si. Kemudian kakek
itu menunjuk kearah mayat Tong Kim Seng yang masih menggeletak diatas
tanah berbatu di dasar jurang Liong-houw-ya.
"Dia telah terluka parah dalam tubuhnya, telah disadarinya bahwa dirinya
akan binasa. Hanya sayangnya dia harus meninggalkan dunia yang penuh
lelakon ini dengan meninggalkan seorang bayi yang masih amat kecil dan baru
berumur satu bulan.. . sungguh suatu kejadian yang sangat memilukan hati.. .
Hemmm. Marilah kalian bantu dulu untuk mengubur jenazah Tong Kim Seng
dengan seksama" seru kakek berjubah putih dengan kerutkan kening dan
meloncat turun dari atas batu besar menghampiri tubuh Tong Kim Seng yang
telah lama menggeletak didasar jurang itu.
Setelah mengadakan upacara sembahyang secukupnya didepan kuburan
Tong Kim Seng, maka Pek-hi-siu-si mengawasi keatas dan tampaklah langit
sudah mulai terang menjelang fajar. Kakek itu mengangkat kedua tangannya
dan mengembangkan jari jemari kedua belah tangan serta memberi hormat
kepada ketiga Sin-ciu-sam-kiat.
"Nah, aku harus pergi sekarang! Selamat tinggal dan sampai kita bertemu
kembali kelak.. ." seru Pek-hi-siu-si. Bersamaan dengan berakhirnya kata-kata itu
dia telah berkelebat bagaikan terbang dan menghilang kebalik gunung.
Oey Liong Kiam 1 21 Ketiga bersaudara Sin-ciu-sam-kiat memandang kearah menghilangnya
kakek Pek-hi-siu-si. Mereka merasa kagum atas kehebatan kakek itu. Tanpa
sengaja mereka serentak berseru memuji.
"Tidak mengherankan kalau dia disegani di rimba persilatan sebagai tokoh
tua yang maha sakti. Dengan menyaksikan gerakannya itu saja kita telah dapat
mengukur betapa tingginya ilmu meringankan tubuh Pek-hi-siu-si. Marilah kita
pun harus cepat-cepat berlalu dari sini !" seru Siauw Liang sambil memutar
tubuh kearah Ji Han Su. Ji Hau Su menganggukan kepala dan menghampiri Pek Giok Bwee yang
masih menggendong bocah malang Tong Kiam Cu yang telah tertidur pulas.
Dengan langkah pasti mereka meninggalkan dasar jurang Liong-houw-ya. Paling
belakang mengiringkan kedua suami isteri itu adalah Siauw Liang, sedangkan
Pek Giok Bwee tampak berbabagia dan senang sekali mendapat seorang bayi
yang bagus dan montok itu. Ditengah jalan berkali-kali wanita cantik itu
menciumi pipi bayi dalam gendongannya itu. Namun bayi itu dengan tenang
dan pulasnya tetap memejamkan mata dan tersenyum-senyum bibirnya yang
tipis merah dan mungil itu.
Ketika itu didasar jurang Liong-houw-ya menjadi sepi. Hanya desir air
gemericik dan desau angin yang meniup daun-daun cemara mengiris suasana
sepi saat itu. Disana sini masih tampak darah membeku, ialah darah Tong Kim
Seng yang telah binasa dan membisu di dasar jurang Liong-houw-ya.
Perubahan alam begitu tertentu dan tepat pada saatnya. Maka perlahanlahan tetapi pasti bulan sabit telah pudar dan tenggelam di cakrawala Barat.
Kemudian menyusul sinar merah jambu di ufuk Timur. Mentari pagi telah
muncul menggantikan suasaaa malam yang gelap.
Demikianpun kehidupan manusia dari kegelapan berganti keterangan. Dari
sedih berganti gembira, Silih berganti dan tidaklah layak berputus asa pada saatsaat menghadapi suatu perkara dan kesedihan.
***** Tahun-tahun lelah berlalu dengan cepatnya. Semenjak pertemuan ketiga
saudara Sin-ciu-sam-kiat dengan Pek-hi-siu-si di Jurang Liong-houw-ya kini
Oey Liong Kiam 1 22 telah berlalu dengan cepatnya. Tahu-tahu telah mencapai sepuluh kali akhir
musim semi. Sinar matahari menyinari bumi dengan sinarnya yang hangat. Burungburung berkicauan diatas pepohonan yang tumbuh disekitar telaga. Diatas air
lelaga yang bening itu tampak bunga-bunga teratai yang beraneka warna.
Sedangkan sinar matahari yang menimpa air telaga dipantulkan kemilau dan
memantulkan warna-warna sangat indah.
Demikianlah pemandaagan di telaga Cui-ouw pada akhir musim semi dan
permulaan musim panas. Pemandangan yang sangat indah itu dapat
mengenaskan rasa hanyut menerawang ke alam kenangan yang sukar
dilukiskan. Suasana yang indah dan syahdu itu dengan tiba-tiba dipecahkan oleh
sesuatu keributan. Terdengarlah bentakan-bentakan dan tawa dari atas air
telaga, ternyata diatas bunga-bunga teratai diatas air telaga itu telah menjadi
suatu yang luar biasa. "Hayo larilah, kau akan lari kemana sekarang ?" seru seorang bocah
membentak sambil meloncat dari daun teratai yang satu keatas teratal yang
lain diatas air telaga bening itu. Tetapi seorang gadis cilik yang cantik telah
meloncat sangat indahnya dan mendarat dengan sangat lunak ditepi telaga.
Mereka tertawa sangat gcmbira. Ternyata kedua bocah itu sedang
bersendau gurau dan melatih ilmu merirgankan tubuh atau Ging-kang. Dengan
sangat gembira mereka berdua telah mengisi kesunyian disekitar telaga Cuiouw. Seperti juga burung-burung yang berloncatan diatas dahan-dahan pohon
Liu disekitar telaga itu. Bocah laki-laki yang berusia sekira sepuluh tahun,
wajahnya cerah dan matanya bersinar luar biasa. Dengan wajah putih bersih
dan alis membentuk golok lebar. Sedangkan bocah perempuan yang meloncat
ke darat itu adalah bocah yang sangat jelita dan halus kulitnya, pipinya montok
dengan rambut hitam kelam dan panjang. Sepasang bibirnya tipis dan merah
jambu selalu basah. Matanyapun berkilauan bagaikan kilatan golok jatuh
tertimpa sinar surya. Bocah jelita itu berumur tujuh tahun.
Mereka berdua asyik berlatih dan bercanda. Berloncatan dan lari mengitari
telaga Cui-ouw. Bahkan kadang-kadang mereka berloncatan diatas daun teratai


Warisan Jenderal Gak Hui Oey Liong Kiam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oey Liong Kiam 1 23 diatas telaga. Gerakan-gerakan yang mereka lakukan sangat indah dan
mempesonakan. Kalau dibandingkan dengan umur mereka yang masih sangat
muda itu, sungguh sangat luar biasa.
Kedua bocah itu adalah kakak beradik, walaupun mereka bergembira bukan
semata-mata hanya bersenang-senang bermain-main di hari cerah. Namun
mereka sebenarnya sedang berlatih ilmu meringankan tubuh. Sikakak yang lebih
tua tiga tahun itu telah menyaksikan adiknya meloncat kedararan. Maka dengan
sekali genjot dibarengi sebuah pekikan melengking tahu-tahu bocah laki-laki itu
telah melayang dengan jurus Cian-li-piauw-biauw atau melayang diangkasa
sepanjang seribu lie, dia mengejar dan berhasil menangkap adiknya itu.
"Kau telah menangkap diriku, itu tidak mengherankan dan tidak luar biasa"
seru bocah jelita itu sambil memberengut dan mengibaskan lengan kiri yang
digenggam oleh bocah laki-laki itu. "karena . . karena koko telah banyak belajar
terlebih dahulu kepada ibu. Lagipula kalau aku dapat melepaskan diri tentu kau
menjadi gusar.. ." sambung gadis cilik dan jelita itu seraya cemberut.
Kakaknya tertawa dan terlihatlah dengan jelas-jelas sederetan gigi-giginya
yang putih dan teratur bagaikan mutiara berderet diantara sepasang bibirnya
yang tipis. "Aku tak akan menjadi bergusar hati terhadap gadis cilik yang manis seperti
kau.. " seru kakaknya seraya melepaskan genggaman lengan adiknya dan
tersenyum. "Cihhhh.. . " sahut gadis cilik yang ayu itu sambil cemberut dan memalingkan
wajahnya ke arah telaga, "sudah pintar kau sekarang!"
Setelah mereka bertengkar dan berolok-olok itu akhirnya mereka berdua
istirahat diatas sebuah batu dan rerumputan yang hijau dibawah batang pohon
liu. Bocah laki-laki itu menggigit-gigit batang rumput dan dipermainkan
dimulutnya seraya matanya memandang jauh ke tengah-tengah telaga. Sedang
gadis cilik yang jelita itu memegang jari manisnya yang tampak dilingkari
sebentuk cincin bersinar merah. Sesaat gadis itu memandang cincin yang
Oey Liong Kiam 1 24 melingkar dijari manisnya dengan senyuman yang manis sekali. Kemudian
tampaklah sepasang bibir gadis cilik itu bergerak.
"Cincin ini adalah pemberian ibu" seru gadis itu ketika diliriknya bocah lakilaki itu tampak memperhatikan cincin yang bersinar merah melingkar dijari
manis adiknya. "Ibu menceritakan padaku babwa cincin ini adalah peninggalan
nenek dan selain diwariskan kepada anak perempuan, kecuali.. ." belum selesai
kata-kata itu dipotong oleh kakaknya.
"Kecuali apa!" seru kakaknya.
"Kecuali bila tidak mempunyai anak perempuan" sambung adiknya
menjelaskan. "Oh.. jadi kalau ibu tidak melahirkan kau maka cincin itu diberikan kepadaku
bukan?" kata kakaknya sambil tersenyum.
"Kira-kira begitulah.. " seru adiknya. "aih.. . ternyata ibu lebih cinta padaku, lebih
sayang buktinya cincin ini diberikan padaku.. "
"Tidak.. tidak! Ibu menyayangi kita berdua sama besarnya. Kasih ibu kepada
kita tidak berbeda-beda, buktinya kita berdua diajarksn ilmu yang sama dan
sangat baik.. " seru kakaknya dengan tegas dan memandang wajah adiknya
dengan sinar mata penuh sayang seorang kakak.
Sedang kedua bocah itu asyik berbicara dan berdebat. Tiba-tiba dikejutkan
dengan suara ranting kering terpijak. Kemudian d.susul dengan suara tawa yang
mengejutkan. Ketika kedua bocab itu berdiri dan berhimpitan tampaklah
disamping mereka itu seorang kakek yang berwajah arif dan tenang. Kakek itu
berdiri tegap sambll mengelus-elus jenggotnya yang putih dan panjang
melambai-lambai ditiup angin musim panas.
"Ha.. ha.. ha.. bocab, bocah yang baik dan pandai. Kalian rupanya kakak
beradik yang lucu mengapakah kalian bertengkar ? Hemm.. siapakah namamu
anak-anak yang manis.. .?" seru kakek berjubah putih dan berjanggut panjang
putih melambai-lambai. "Aku Ji Tong Bwee dan ini kakaku bcrnama Ji Kiam Ciu..!" seru bocah jelita itu
dengan berani dan tdak merasa sungkan-sungkan lagi. Bocah itu berhenti
sejenak karena ketika dia memperhatikan wajah kakek itu tampak
Oey Liong Kiam 1 25 memperhatikan mereka berdua dengan sangat teliti dan mengherankan sekali.
Tetapi ketika diperhatikan bahwa kakek itu tampak kembali tersenyum maka Ji
Tong Bwee melanjutkan kata-katanya, "Aku belum pernah mengenal dan melihat
kakek. mengapakah kakek menanyakan nama kami?" setelah terhenti kata-kata
Ji Tong Bwee maka dengan mendadak kakaknya menarik tangan gadis itu dan
akan diajaknya berlalu. Tetapi tangan kakek berjubah putih itu mencegahnya.
"Kakek, kita dapat segera berlalu dari tempat ini jika kita mau" seru Ji Kiam
Ciu sambil melototkan matanya, tetapi yang menarik hati mengapa kakek
mencegah kami ?!" "Aku hanya ingin mengetahui sebetulnya kalian berdua ini anak siapa? Aku
sama sekali tidak bermaksud untuk mengganggu kalian berdua" sahut kakek itu
dengan suara ramah dan tenang suaranya.
Tiba-tiba Ji Kiam Ciu telah meloncat tinggi sekali. Bocah laki-laki itu
bermaksud melarikan diri dan meloncati melalui atas kepala kakek itu. Namun
kakek itu dengan cepat sekali telah menggerakkan tangannya tahu-tahu Ji Kiam
Ciu telah berada dalam dekapannya. Bocah itu meronta dan kedua kakinya
menendang-nendang. Kakek berjubah putih hanya tertawa-tawa sambil memondong Ji Kiam Ciu
yang meronta terus menerus dengan gerakan luar biasa. Diam-diam bocah itu
merasa cemas dan heran. Ternyata kakek tua itu mempunyai gerakan luar biasa
yang tidak terlihat oleh mata Ji Kiam Ciu. Hanya tahu-tahu dia telah berada
didalam dekapan kakek itu padahal menurut pendapatnya bahwa didunia ini
orang yang telah dia kenal sangat lihay hanyalah ibu dan pamannya yang telah
mampu mengalahkan ilmu bocah itu. Tetapi kenyataannya kini dia harus
berhadapan dengan kakek yang tampaknya sangat lemah itu ternyata
mempunyai gerakan yang sangat cepat luar biasa.
Ji Kiam Ciu merasa kurang senang diperlakukan seperti itu dan dihalanghalangi maksudnya oleh sikakek berjubah putih itu. Maka dengan berani bocah
itu membentak. "Jika kakek masih juga mencegah diriku maka aku terpaksa harus bertindak
kurang ajar kepada kakek . .!" seru Ji Kiam Ciu dengan meronta dan kakek itu
melepaskan pelukannya, hingga bocah laki-laki yang berani tetapi sopan itu
Oey Liong Kiam 1 26 terlempar beberapa tombak dan dapat berdiri dengan sangat lunak diatas
rerumputan yang halus. Kakek berjubah putih yang kini sedang berhadapan dengan Ji Kiam Ciu dan
Ji Tong Bwee dengan tenang dan tersenyum memandang kedua bocah itu.
Sambil mengelus-elus janggutnya yang panjang dan putih itu selalu matanya
yang bersinar tenteram itu mengamati segala gerak-gerik Ji Kiam Ciu.
"Bocah manja, mengapa kau ingin memukulku?!" seru kakek itu dengan
senyum yang mempesona. "Apakah kau tahu aku ini siapa dan apakah ilmu
silatmu sudah sedemikian lihaynya sehingga kau ingin mengukur kehebatan
Ilmu silatku? Tetapi baiklah, majulah dan aku ingin mengukur sampai seberapa
hebatnya ilmu pukulanmu.. .!" seru kakek berjenggot panjang itu sambil
membongkok-bongkokkan tububnya dan kedua tangannya terbentang dengan
jari-jemari terbentang pula.
Ji Kiam Ciu walaupun masih bocah berumur sepuluh tahun, namun dia
adalah seorang bocah yang berani dan berjiwa satria. Mendengar tantangan itu
sebagai seorang satria pantang mundur, Maka dengan meloncat kedepan tahutahu bocah itu teJah berdiri dihadapan si kakek berjanggut putih.
Ji Kiam Ciu telah siap siaga dengan kuda-kuda miring dan sepasang lututnya
melengkung tapi kuat melekat diatas tanah telaga. Kedua tangannya mengepal
tinju disisi tubuh dengan sikap siaga.
Ketlka diamatinya bahwa kakek berjenggot panjang itu dalam keadaan
lengah maka sekali mengembor bocah itu telah meloncat mengirimkan
tendangan dan pukulan beruntun silih berganti. Gerakan bocah itu sangat lincah
dan bagaikan tupai berloncatan sangat indah sekali.
Diam-diam kakek itu merasa kagu.m juga menyaksikan gerak indah dan
hawa pukulan luar biasa. Namun demikian kakek itupun dengan sangat tenang
ternyata dapat luput dari segala serangan Ji Kiam Ciu. Hanya angin pukulan
yang lemah dapat terasa menyerempet lengan dan wajahnya.
Ji Kiam Ciu merasa gusar juga karena beberapa jurus telah berlalu, tiada
sebuah pukulanpun yang berhasll mengenai lawannya. Maka kini bocah itu
mengikatkan ilmu pukulannya dengan meloncat mundur dua langkab kemudian
Oey Liong Kiam 1 27 menyilangkan kedua lengannya di dada. Ketika dia menarik kaki kanan digeser
kebelakang seJangkah segeralah menggembor lantang dan meloncat dengan
jurus Cui-siong-lok-hua menumbuk dada kakek berjanggut panjang dan putih
didepannya. Jurus Cui-siong-lok-hua atau angin tofan meniup bunga itu sesungguhnya
sebuah ilmu yang luar biasa hebatrya. Ilmu andalan Siauw Liang, pukulan itu
kalau sudah diyakini benar mempunyai kehebatan yang luar biasa. Apalagi
tubuh manusia sedangkan gunung saja dapat bancur lebur kalau terkena
pukulan itu. Baru seorang bocah yang masih kecil tenaganya itu saja telah terasa
perih serempetan angin pukulannya ke pipi kakek yang usilan itu. Namun kakek
itu bukannya terkejut mendapat kenyataan itu, malah dia tersenyum dan memuji.
"Bagus! BigusT' seru kakek itu seraya memutar tububnya menghadap kearah
Ji Kiam Ciu yang baru saja menginjak tanah dari loncatannya.
Ji Kiam Ciu begitu menginjak tanah segera memutar tubuh dan langsung
menyerang kakek itu dengan kaki dan tangannya. Kemudian meloncat mundur
menggeserkan kaki kanan dan sekali lagi mengirimkan pukulan dengan jurus
Cui-siong-lok-hua kearah ulu hati kakek itu. Pukulan yang memerlukan tenaga
hebat itu menarik tubuh bocah itu kedepan dan tahu-tahu tengkuknya terkena
pukulan telapak tangan lawan.
Ketika dia dapat menguasai diri kembali, kakek. itu telah lenyap dari
hadapannya. Segeralah Ji Kiam Ciu memutar tubuh dan ketika dia melihat
kelebatan tubuh kakek iiu segeralah dia menggembor. Maka bersamaan dengan
suara gemboran melengking itu tampaklah Ji Kiam Ciu meloncat. Tanpa raguragu dia mengirimkan dua pukulan sekaligus dalam jurus Liong-hong-hun-hui
atau Naga dan Cenderawasih terbang berpisah.
Jurus Liong-hong-hun-hui atau Naga dan Cendrawaaih terbang berpisah
adalah sebuah jurus pukulan dua tinju berbareng untuk memukul dua lawan
sekaligus. Serangan dengan jurus itu dilancarkan oleh Ji Kiam Ciu dengan hebat
dan gencar sekali. Ternyata bocah itu hampir sempurna melatih ilmu pukulan
yang luar biasa itu. Namun kakek berjanggot panjang dan putih itu memang bukan lawan Ji Kiam
Ciu. Sekali pukulan yang bertenaga hebat itu telah telah mendekati ulu hati dia
Oey Liong Kiam 1 28 sempat memiringkan tubuh dan ketika itu pula kakek aneh merasa kaget
ternyata lambungnya hampir saja terkeca pukulan berikutnya.
"Luar biasal" seru kakek berjanggut putih itu sambil meloncat menghindari
pukulan kembar yang luar biasa. Berkibarlah ujung baju jubah kakek berjanggut
panjang dan putih itu. Ketika dia berhasil menghindari serangan beruntun kepalan tinju berputar
bocah itu maka sempat pula orang tua itu memperhatikan kesungguhan Ji Kiam
Ciu, si kakek itu mengelus janggutnya dan tersenyum. Justeru pandangan mata
dan senyuman kakek itu yarg membuat hati Ji Kiam Ciu menjadi bertambah
penasaran. Dengan loncatan pendek dan bersiaga serta melintangkan kedua lengannya
didada. Kiam Ciu menghadang didepan lawannya. Dengan sinar mata mengkilat
tajam diawasinya gerak-gerik aneh lawannya yang sudah tua. Tampak dimata
Kiam Ciu bahwa kakek. itu sama sekali tidak mempunyai keistimewaan, namun
pada saat-saat dia mengirimkan serangan baik tendangan maupun pukulan
selalu dapat dihindari dengan cepat dan tidak terduga.
Keiika diketahuinya ada lubang kelengahan lawannya. maka segeralah
bocah iiu meloncat. Loncatan itu ringan sekali dengan mengerahkan tumit kaki
kanan kedepan mengarah tenggorokan lawan. Ji Kiam Ciu mengirimkan
tendangan dan pukulan dengan jurus Liong-hong-hun-hui dengan lebih hebat
dan cepat. "Bet-bet wut wut" terdengar suara pukulan bocah iiu menubruk sebuah
benda dan angin pukulan mcndesak kearah kakek berjanggut. Tetapi Kiam Ciu
menjadi sangat terperanjat. Karena kenyataannya pukulan tangannya serasa
memukul benda berisi pasir. Sangat berat dan dengan tidak terduga pukulan
berikutnya ternyata menyambar tempat kosong.
Kiam Ciu terhuyung karena tekanan tenaganya sendiri, hampir saja pemuda
cilik itu jatuh. Namun dengan sebuah putaran tubuh yang sangat indah Kiam Ciu
berhasil mengimbangi dan mengurangi tenaga dorong tububnya. Ketika dia
berhadapan dengan kakek itu kembali, maka tidak menunggu lawannya siap
siaga lebib lanjut. Menurut pendapat bocah cerdik itu, lebih baik dia mendahului
Oey Liong Kiam 1 29 menyerang sebelum lawan dalam keadaan siap siaga. Maka kini dia
menggembor nyaring dan meloncat.
Limbungan tubuh bocah itu begitu tinggi dan seolah-olah terbang, sedangkan
kakek itu memiringkan tubuhnya dan mengangkat tangan kanan keatas kearah
mata kaki Kiam Ciu. Ketika kepalan tinju kakek itu berbentur dengan mata kaki bocah cilik yang
bandel dan terdengarlah sutra jeritan.
"Aduh !" seru jeritan tertahan meluncur dari mulut mungil Kiam Ciu. Dengan
memutar tubuh untuk mempercepat terjunnya bocah itu telah berdiri diatas
tanah kemudian jatuh dan menggelundung kesamping.
Kakek itu menjadi heran dan terperanjat dengan perbuatan Kiam Ciu itu.
Betul-betul dia tidak tahu dengan ilmu Trenggiling itu Kiam Ciu berusaha
mengelabui mata lawan dan sebelum kakek itu menadi sadar apa yang sedang
dilakukan lawan, tahu-tahu bocah itu teiah meloncat berdiri dengan cepat dan
langsung menyerang selangkah kakek itu dengan tendangan punggung kaki
kanan. "Bagus !" seru kakek itu untung dapat segera meloncat tinggi serta
mengirimkan hantaman sisi tapak tangan kepunggung Kiam Ciu.
"Buk !" terdengar benda berat jatuh, bersamaan dengan kaki kakek itu telah
memijak kemball diatas tanah berumput halus.
Ji Kiam Ciu adalah seorang anak pemberani dan keras lepala. Walaupun dia
terjatuh, jatuhnya tidak begitu keras namun tidak urung matanya berkunangkunang dan sejenak kepalanya menjadi pening. Anak itu telah bertekad tidak
mau mengakui kalah melawan kakek berjubah putih. Dia berusaha untuk berdiri.
Ketika dia telah berhasil berdiri kembali dan tanpa membetulkan
pakaiannya yang awut-awutan dan kotor, karena didorong oleh amarah yang
telah memuncak. Maka Ji Kiam Ciu telah memasang kuda-kuda. Bocah itu
bermaksud menyerang lawannya dengan mempergunakan jurus Liong-honghun-hui atau Naga dan Cendrawasih terbang berpisah.
Oey Liong Kiam 1 30 Terlihat kakinya telah menancap kokoh diatas tanah Dalam kuda-kuda
sepasang kaki terpentang. Kemudian menekuk lutut dan meloncat kearah Pekhi-siu-si.
Bertepatan dengan loncatan itu tiba-tiba terdengar suara menegur dengan
nada suara keras dan sangat berpengaruh terhadap bocah itu.
"Tahan ! Kiam Ciu ! Jangan kurang terhadap seorang Locianpwee !"
(Bersambung Jilid 2) Oey Liong Kiam 1 31 Oey Liong Kiam 2 0 OEY LIONG KIAM (Warisan Jenderal Gak Hui)
Diolah Oleh : HO TJING HONG
Jilid ke 2 B EGITU berbareng pula munculnya seorang laki-laki bertubuh tegap dan
berkumis tebal. Kiam Ciu begitu melihat kehadiran laki-laki itu segera
menarik kembali serangannya yang telah disalurkannya sepertiga, namun tak
urung dia terbanting. Pek-hi-siu-si waspada, dengan tangkas menyambar tubuh
Kiam Ciu yang telah limbung dan terhantam oleh kekuatannya sendiri yang tadi
telah dipersiapkan untuk menyerang kakek itu.
"Ha.. ha.. .ha.. . anak bagus" seru Pek-hi-siu-si dengan meletakkan kembali tubuh
anak itu diatas tanah dan sekilas dipandanginya anak itu sambil tersenyum dan
mata bersinar-sinar.

Warisan Jenderal Gak Hui Oey Liong Kiam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sedangkan Kiam Ciu menunduk dengan wajah bersemu merah. Kemudian
menghormat orang yang menegurnya yang tiada lain adalah ayahnya ialah Ji
Han Su pemimpin ketiga Sin-ciu-sam-kiat ialah sitangan baja.
Ketika Ji Han Su berada didekat Pek-hi-siu-si segara membongkok memberi
hormat. Yang juga disambut oleh kakek berjubah putih dan berjanggut panjang
seraya tersenyum. "Tayhiap mohon dimaaf atas kelancangan bocah ini. Rupa-rupanya waktu
berlalu sangat pesat sekali. Hingga tak terasa sepuluh tahun telah berlalu. Kedua
bocah ini adalak Kiam Ciu dan yang perempuan ini adatah Tong Bwee kini
mereka telah meningkat menjadi besar dan bertambah nakal, hingga dengan
orang tua berani kurang ajar! sekali lagi aku Han Su mohon pada Tayhiap sudilah
untuk memaafkan atas kekurang ajaran Kiam Ciu !" seru Han Su sambil
menghormat. "Ha.. . .ha.. . .ha! Memang waktu berlalu sangat cepatnya dan ternyata orang she
Ji masih tidak mengubah adatnya yang suka menghormat dan merendah hati.
Bertambah tua bertambah ganteng pula dan kini karena kumismu itu tampak
lebih seram dan lebih jantan ha.. .ha.. .ha!" seru Pek-hi-siu-si.
Oey Liong Kiam 2 1 "Ah Tayhiap berolok-olok!" seru Ji Han Su tampak menutup kumisnya.
"Janganlah kau berkata yang bukan-bukan, aku sengaja datang kemari untuk
memenuhi janjiku.. bocah itu tidak bersalah, akulah yang bersa)ah karena aku
telah menggodanya sehingga terjadi pertarungan yang hebat tadi. Haa.. haa.. ha"
seru Pek-hi-siu-si sambil memperhatikan Kiam Ciu. Kiam Ciu menundukkan
kepala dan wajahnya bersemu merah karena merasa malu. Kakek itu melangkah
menghampiri Kiam Ciu dan memegang bahu anak itu kemudian menepuknya.
Tampaklah Pek-hi-siu-si tersenyum pula dan matanya yang bening itu
tampak bersinar bergairah. Sekilas Ji Han Su dapat menyaksikan keadaan itu.
Walaupun bagaimana dada si Tangan Baja bergetar juga.
"Tayhiap aku yang bodoh mohon maaf dan petunjuk !" serunya sambil
menghormat. "Memang waktu sepuluh tahun telah berlalu sangat pesat, Namun aku telah
menyaksikan dengan mata kepala sendiri aku puas sekali bahwa hasil yang
dicapainya oleh kedua bocah itu sangat bagus" seru kakek aneh berjubah putih
Pek-hi-siu-si dan selanjutnya sambil tersenyum meneruskan kata-katanya, "aku
mengucapkan selamat kepada kalian berdua suami isteri yang telah dikaruniai
seorang anak yang jelita ini !".
Sehabis berkata begitu Pek-hi-siu-si memandang kearah Kiam Ciu dan
tersenyum. Seolah-olah kakek itu telah melihat kembali gambaran sepuluh tahun
yang lalu di dasar jurang Liong-houw-ya dimana pada masa itu seorang bayi
mungil berumur sebulan telah menggelepar-gelepar menangis, sedang ayahnya
telah binasa dengan sangat mengerikan.
Kini dihadapannya telah berdiri seorang bocah, calon pendekar yang luar
biasa hebatnya, seorang bocah yang sangai berbakat dan budinya sangat
menarik. Rupa-rupanya Pek Giok Bwee telah mendidik bocah itu dengan baik.
Lalu dengan tersenyum dan mengelus-elus jenggotnya yang putih dan panjang
kakek itu berseru. "Memang tangan wanita lembut dan dingin makhluk yang halus dan penuh
dengan curahan kasih sayang, Jika sepuluh tahun yang lalu aku tidak
menemukan kalian, hemmm . . . aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat saat
Oey Liong Kiam 2 2 itu dan apa akan jadinya. Sekarang kenyataannya aku telah merasa puas dan
bergembira sekali menyaksikan kehebatan bocah itu.. . " seru Pek-hi-siu-si sambil
melirik kearah Kiam Ciu dengan senyuman yang lucu lekali.
Tampaklah kedua bocah itu tertawa senang juga dan mereka memandang
kearah kedua orang tua dan pamannya yang juga tersenyum-senyum gembira
dalam pertemuan itu. Maka tahulah kedua bocah itu kini bahwa kakek itu adalah
Pek-hi-siu-si yang selalu diceriterakan ayahnya maupun ibunya dan juga oleh
pamannya. "Ayo kalian berdua menghaturkan hormat kepada Twa-supee (paman guru
yang tertua) !" seru Ji Han Su memerintahkan kedua anaknya dengan suara
penub kasih sayang dan memegang bahu kedua anaknya itu.
Kiam Ciu merasa heran menyaksikan ayahnya begiiu sangat megghormati
kakek aneh itu. Maka kedua anak itupun tersipu sedangkan, Kiam Ciu yang lebih
tua telah berlutut dihadapan Pek-hi-siu-si serta menjura.
"Aku Ji Kiam Ciu yang bodoh, memberikan hormat dihadapan Twa-supee.
Aku mohon diampuni karena telah berani kurang ajar", seru Kiam Ciu dengan
suara penuh hormat kepada Pek-hi-siu-si.
Ji Tong Bwee juga berlutut disisi Kiam Ciu, tetapi gadis cilik ini tidak
mengucapkan kata-kata sepatahpun.
"Baik-baik, kau baik sekali . . . Hemmmm . . bangkitlah!" seru Pek-hi-siu-si
sambil mengusap kepala Kiam Ciu dan Tong Bwee bergantian. Dada kakek itu
tergoncang juga menahan keharuan itu tetapi dia adalah tokoh sakti yang sudah
mumpuni, maka dengan segera kakek itu dapat mengusir kegetiran dan
keterharuan yang saling menggempur dadanya itu.
Walaupun kedua bocah itu telah mendengar perintah Pek-hi-siu-si yang
terucapkan tegas dan datar itu, namun kedua bocah itu tidak berani bangkit
berdiri dan beranjak dari tempat itu. Mereka tetap masih berlutut dihadapan
Pek-hi-siu-si dan kepala mereka masih tertunduk.
Menyaksikan hal itu yang hadir ditempat itu tersenyum, mereka tersenyum
dalam angan pikiran masing-masing.
"Sudahlah kalian sudah disuruh bangkit berdiri !" seru Ji Han Su.
Oey Liong Kiam 2 3 Kedua bocah itu telah berdiri dan mereka diajak oleh Siauw Liang dan Pek
Giok Bwee mendahului pulang, sedangkan Ji Han Su dan Pek-hi-siu-si masih
bercakap-cakap di tepi telaga yang berhawa segar itu.
"Kau telah berhasil memelihara dan mendidik anak itu dengan baik sekali.
Aku merasa sangat puas sekali.. . uh.. . uh.. . ." belum lagi kata-kata kakek itu selesai
terucapkan tiba-tiba terbatuk sambil mengerutkan keningnya.
"Twako.. . kita jarang bertemu, tetapi kini aku mengharapkan sudilah tetap
tinggal bersama kami. Sehingga kami dapat rmemelihara kesehatanmu karena
setelah kudengar Twako tadi terbatuk-batuk itu yakin bahwa twako menderita
luka dalam yang mengendap" seru Ji Han Su dengan sangat berhati-hati penuh
harapan. Saat itu Pek-hi-siu-si mmandaag Ji Han Su sambii tersenyum, kemudian
menganggukkan kepalanya. "Penglihatanmu memang tajam sekali dan kau menduga dengan tepat. Aku
memang menderita luka dalam, mujur sekali bahwa aku telah menguasai ilmu
Bo-kit-sin-kong sehingga dapat kuatasi pergolakan didalam tubuhku karena
pukulan tenaga dalam yang saling membentur. Jika engkau hanya
mengandalkan obat-obatan saja mungkin aku telah binasa karena luka dalam
ini! Aku masih bersyukur dengan demikian masih dapat menepati janjiku untuk
datang ketempat ini.. .!" seru Pek-hi-siu-si dengan suara mendatar dan bibirnya
tetap tersenyum, tiada terlupalan pula mengelus-elus janggutya yang panjang
itu. "Apakah luka dalam tubuh twako itu sudah sembuh seluruhnya?" seru Ji Han
Su sambil mengajak kakek itu untuk berjalan menuju kepondoknya seraya
berpaling kepada kakek yang berjalan perlahan-lahan.
"Sibetulnya luka ini hebat sekali" sahut Pek-hi-siu-si sambil berjalan dan
tangan kanannya memegang dada sesaat, "Tetapi janganlah kau beritahukan hal
ini kepada istrimu ataupun Siauw Liong! Aku tidak mau mereka berdua menjadi
gelisah, aku sudah tua.. . . Tetapi aku yakin bahwa aku tidak mudah lekas-lekas
mati.. . ." sambung kakek aneh itu selanjutnya dan sesaat kemudian kakek aneh
itu memandang keatas telaga yang indah dengan berkilau-kilauan pantulan
sinar matahari diatas air telaga.
Oey Liong Kiam 2 4 Seielah kedua orang itu melewati hutan pohon bambu, mereka tiba di sebuah
lembah membentang. Pemandangan disekitar lembah itu sangat indah sekali,
terdengar burung-burung beraneka macam tengah berkicau. Didepan mereka
tampak sebuah bangunan rumah yang besar. Rumah kayu itu tampak sangat
megah dan pengkuh sekali.
Pek Giok Bwee, Siauw Liong dan kedua bocah yang telah mendahului mereka
tadi kini telah berdiri didepan pintu Seolah-olah mereka sedang menunggununggu kedatangan tamunya ini. Dengan wajah berseri-seri mereka menyambut
kedatangan mereka itu. "Selamat datang dipondok kami twako" seru Pek Giok Bwee dengan hormat
dan terlihat pula sederetan giginya yang putih kecil-kecil bagaikan mutiara dan
sejuk dipandang mata. Pek-hi-siu-si tersenyum, sekilas matanya menyapu pandang kearah kedua
bocah yaag terseyum pula. Bahagialah kakek itu bertemu dengan keluarga
bahagia itu. Selama hidupnya hingga menjadi kakek-kakek baru kali itulah
merasakan kebahagiaan yang luar biasa.
"Hemmmm . . terimakasih . . terimakasih. . . . " seru Pek-hi-siu-si sambil
manggut-manggut dan menghentikan langkahnya didepan pintu.
"Mari Twako !" seru Ji Han Su sammbil memberikan isyarat kepada kakek itu
dengan tangan kanan untuk memberikan jalan masuk kedalam pondok besar
kebanggaan keluarga Sin-ciu-sam-kiat.
Bangunan rumah itu dilihat dari luar memang tidak begitu menarik.
Tampiknya hanya mengutamakan kekuatan saja. tetapi setelah orang masuk
kedalamnya, barulah tahu babwa dalam rumah itu diatur sangat rapi dan
semarak sekali. Ternyata Pek Giok Bwee kecuali seorang wanita pendekar tetapi
juga pandai membina dan memajang rumahnya sedemikian rupa. Hingga
siapapun betah tetap tinggal didalam rumah itu.
Setelah Pek-hi-siu-si berada didalam ruang tamu sedangkan mereka semua
telah mengambil tempat duduk masing-masing. Kakek itu memandang kedua
bocah itu sambil tersenyum puas dan berkata kepada Pek Giok Bwee.
Oey Liong Kiam 2 5 "Apakah kau mengetahui.. . kedua anak itu tadi sedang bermaln-main apa.. . ?"
seru kakek itu dengan senyum lebar.
"Blasanya mereka bermain kejar-kejaran diatas daun Teratal" jawab Pek Giok
Bwee dengan senyum yang manis sekali.
"Semula mereka bermain-main kejar-kejaran di atas daun teratai diatas
telaga kemudian mereka bertengkar . . ha ha hah.. " seru Pek-hi-siu-si dengan
tertawa dan mengelus-elus janggutnya yang putih
Mendengar kata-kata kakek itu Ji Tong Bwee terperanjat, wajahnya bersemu
merah sampai ke telinga, kemudian menyahut dan mengadu kepada ibunya
sambil cemberut. "Ibu, Twa-supee jail sekali. Kita hanya bertengkar tetapi tidak sampai
berkelahi . ." seru gadis cilik yang manis dan ayu itu sambiI cemberut kearah
Pek-hi-siu-si dan mengerling kearah Kiam Ciu.
Ji Kiam Ciu hanya menundukkan kepala memandang ke lantai dan
mempermainkan kakinya, sikap bocah itu membuat semua yang berada di
tempat itu jadi tertawa gembira.
"Twa-supee hanya menggoda kalian.. ." seru Pek Giok Bwee sambil mengusap
rambut Tong Bwee, nah . . . sekarang kalian berdua boleh bermain-main lagi
diluar dan awas.. . .! jangan kalian bertengkar!" seru Pek Giok Bwee sambil
menudingkan telunjuknya seolah-olah mengancam kedua bocah yang lucu-lucu
itu sambil tersenyum. Semua yang hadir dalam ruang tamu itu tersenyum pula. Tetapi kedua bocah
itu tertunduk malu. Mereka berdua sebenarnya lebih senang meniggalkan ruang
tanu dan menjauhkan diri dari orang-orang tua dan lebih-lebih Twa-supeenya
yang selalu menggodanya itu.
"Koko.. . . kemana kita akan bermain-main?" tanya Ji Tong Bwee setelah
sampai diluar dan berdiri dibawah pohon yang rindang dihalaman rumah.
Dengan pernyataan itu, Ji Kiam Ciu hanya berpaling mrmndang adiknya dan
tersenyum. Tetapi tidak memberikan jawaban. Ketika itu dengan tiba-tiba Ji Kiam
Ciu telah meloncat dan lari meninggalkan adiknya seorang diri. Walaupun
Oey Liong Kiam 2 6 adiknya menjerit memanggil-manggil namun Kiam Ciu terus lari dengan
kencangnya hingga adiknya menjadi kecewa dan sangat gusar sekali hatinya.
"Hemmmmmn, koko sangat berlagak. Baiklah ! jika demikian akupun tidak
sudi menyusulnya.. ." gumam Ji Tong Bwee dengan cemberut dan tidak mau lagi
melihat kearah mana Ji Kiam Ciu tadi berlalu.
Sesaat kemudian Ji Tong Bwee memutar tubuh dan bergerak menuju
kerumah dan memutuskan untuk tidak akan mengikuti kakaknya yang angkuh
itu menurut perasaan gadis cilik yang perasa itu. Tetapi ketika sampai dekat
jendela ruang tamu, tiba-tiba telinganya mendengar sesuaiu pembicaraan yang
sangat mengejutkan dan gadis cilik itu jadi sangat tertarik untuk menguping
pembicaraan didalam. "Sebenarnya mereka berdua merupakan satu pasangan yang tepat sekali.. "
Tong Bwee dapat menduga bahwa kata-kata itu terucapkan oleb Pek-hi-siu-si.
Hati gadis itu bergetar, walaupun dia masih sangat bocah tetapi kecerdasan
otaknya dan perasaannya yang menyebabkan bocah itu tahu maksud kata-kata
Pek-hi-siu-si tadi. Memang sering sekali bocah cilik yang jelita itu merasakan bahwa kakaknya
sangat sayang pada dirinya. Hanya sayang itu memang kadang-kadang disertai
dengan sikap yang sangat ganjil. Sedangkan dia sendiri juga merasa sangat
senang dengan sikap yang sangat ganjil itu.
Ucapan Pek-hi-siu-si yang dapat didengarnya itu menimbulkan hasratnya
unuk mendengarkan lebih lanjut. Maka gadis cilik itu membatalkan niatnya untuk
masuk kedalam rumah. Saat itu dia dengan berjingkat dan berusaha untuk berhat-hati dan jangan
sampai terdengar oleh orang-orang yang berada didalam. Ji Tong Bwee
menyelinap kebawah jendela dan menguping percakapan Pek-hi-siu-si yang
berada di ruang tamu dengan tanpa curiga apa-apa.
"Bagus . . bagus sekali, kalian tclah berhasil memelihara bocah itu dengan
sempurna. juga kalian telah merahasiakan asal-usul bocah itu hingga sekarang.. ."
terdengar tegas suara Pek-hi-siu-si.
Oey Liong Kiam 2 7 Ji Tong Bwee berdegup jantungnya mendengar kata-kata itu. Berdebar hebat
mendengar kata-kata Pek-hi-siu-si yang lembut dan bcrdesah dari dalam ruang
tamu. Dia lebih mendekat lagi dibawah jendela untuk mendengarkan lebih jelas.
"Apa yang kalian lakukan itu adalah baik sekali. Tetapi kita tidak akan
mungkin menyembunyikan rahasia itu terus menerus. Pada suatu hari kita
harus memberitahukan juga . ." sambung kakek itu dengan suara yang
bercampur dengan desahan perasaan tertahan.
Mendengar kata-kata kakek itu, hati Ji Tong Bwee jadi sangat gelisah dan
jantungya berdegup sangat kencang.
"Dia bukan saudara kandungku ?" pikir Ji Tong Bwee dengan perasaan tegang
dan dengan berhati-hati sekali dia meninggalkan tempat itu menuju kejalan
dimana tadi Kiam Ciu berlari-lari meninggalkan dirinya.
Saat Tong Bwee berlari-lari mencari kakaknya itu, bocah cerdik dan
penberani Kiam Ciu tengah duduk diatas sebuah batu dibawah sebatang pohon
yang rindang di tepi telaga. Bocah itu mencoret-coretkan ujung ranting kering
diatas tanah basah, coret-coret iiu membentuk gambar seekor naga. Saat itu Ji
Kiam Ciu merasa menyesal akan perbuataanya yang baru saja. Perbuatan yaog
mungkin menimbulkan rasa jengkel kepada adiknya, karena dia dengan serta
merta telah meninggalkan adiknya berlari dan berlari kencang sekali. Dia
merasa heran mengapa dia dapat berlaku masa bodoh kepada adiknya.
Dalam keadaan Ji Kiam Ciu sedang melamn dan berangan-angan itu,
telinganya telah mendengarkan derap langkah orang yaag bertambah dekat.
Langkah kaki itu disertai seribitan angin dan perasaan bocah itu yang telah
terlatih ditempat tenang dan sepi sangat pekat sekali.
Maka tahulah Ji Kiam Ciu bahwa dirinya telah dihampiri seseorang. Maka
dengan cepat dia telah berpaling dan ketika itu Tong Bwee telah berada
disisinya samtll tersenyum memandang kearah Ji Kiam Ciu.
"Koko . . " seru gadis cilik yang manis senyumannya itu kepada Ji Kiam Ciu, "
aku telah mendengar suatu rahasia besar.. . ?"
Saat itu Ji Kiam Ciu pura-pura tidak mendengar dan masih menggores-gores
tanah dengan ranting kering. Perbuatan itu memang yang selalu diperbuat oleh
Oey Liong Kiam 2 8 Ji Kiaci Ciu untuk mcnggoda adiknya. Tiap saat memang mereka selalu
bertengkar, kemudian tertawa bersama dan bertengkar.
"Koko , , , kau sebenarnya bukan saudara kandungku , , !" seru gaJis cilik itu


Warisan Jenderal Gak Hui Oey Liong Kiam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan suara lantang dan nafas terengah menaban gejolak hati.
Ketika Ji Kiam Ciu mendengar kata-kata itu, barulah dia menjadi sangat
terperanjat, Maka terlonjaklah pemuda itu, dia meloncat berdiri menghampiri
Tong Bwee sambil memegang kedua bahu gadis cilik itu dan mata Ji Kiam Ciu
mendelik, menggoyang-goyangkan bahu adiknya.
"Tong Bwee.. . . apa katamu ?" seru Ji Kiam Ciu dengan mata melotot,
Tetapi gadis ilu tidak berani menentang mata kakaknya. Maka dengan wajah
tertunduk gadis cilik itu menjawab. "Aku bukan adik kandungmu, kau tidak
dilahirkan oleh ibuku.. ."
Ji Kiam Ciu mendengar kata-kata itu jadi terperanjat dan gugup sekali.
Digoncangkannya bahu Tong Bwee dan dipandanginya g.adis cilik itu dengan
penuh keheranan. "Katakanlah adikku, katakanlah apa yang kau katakan tadi?" seru Ji Kiam Ciu
dengan apa yang baru saja didengarnya tadi.
"Kau bukan saudara kandungku!" seru Ji Tong Bwee mengulaogi kata-katanya
sekali lagi. tetapi kali ini dia berani menatap wajah dan sorot mata Ji Kiam Ciu.
"baru saja aku mendengar Twa-supee bercakap-cakap dengan ayah di ruang
tamu". Ketika mendapat penjelasan itu. sesaat kemudian keadaan menjidi sepi dan
hanya terdengar desahan napas kedua bocah itu. Ji Kiam Ciu melepasksn bahu
adiknya dan memutar tubuh meninggaJkan tempat itu.
Dengan tidak mempedulikan Ji Tong Bwee yang melongo ditepi telaga dan
ditinggalkan lari dengan kencang sekali menuju kepondo. Bocah itu dengan
sangat tergesa-gesa telah menerobos masuk kedalam pondok dan langsung
menuju ke ruang tamu. Hal itu membuat orang-orang yang berada didalam
ruang itu jadi terperanjat.
Oey Liong Kiam 2 9 "Kiam Ciu, mengapa kau . . . ?" tanya Ji Han Su dengan sangat heran melibat
tingkah laku Ji Kiam Ciu yang sangat mengejutkan.
Sesaat Ji Kiam Ciu memandang kepada ayahnya, kemudian kepada ibunya
dan kepada pamannya. Dengan pandangan mata yang sangat aneh, kemudian
dengan suara bergetar bocah itu berseru dengan hormat. "Ayah, adik bilang aku
bukan kakak kandungnya. Apakah betul ?".
Sesaat menjadi sepi, hanya terdengar nafas mereka yang berada diruangan
tamu itu saja terdengar. Kemudian angin sejuk semilir menyelinap berhembus
kedalam ruang tamu. Pek-hi-siu-si melirik kearah ketiga bersaudara Sin-ciusam-kiat. Mereka saling berpandangan dan tak menentu.
"Kiam Ciu.. . . sebetulnya pagi-pagi aku akan menceritakan hal itu padarnu.. ."
teiapi sebenarnya berat hatiku untuk menceritakan. Apa yang dikatakan adikmu
adalah benar, kau memang bukan anak kandung kami. . . kau memang tidak
dilahirkan oleh ibumu. Tetapi kau adalah anak angkat kami yang semenjak
berumur sebulan telah kami ambil sebagai anak kandung kami sendiri... . . Kau
sebenarnya bukanlah kelahiran dalam keluarga she Ji, tetapi kau adalah she.. . ."
seru Ji Han Su dengan suara tersekat dala.m tenggorokannya dan terputus
sejenak. Ji Kiam Ciu tidak menunggu iebih lanjut kata-kata dari Ji Han Su. Hati pemuda
itu merasa terguncang hebat dan sedih sekali. Dengan serta merta dia lari keluar
tanpa memperhatikan kehadiran Pek-hi-siu-si ditempat itu. Kemudian setelah
sampai diluar, segeralah dia lari terus meninggalkan halaman pondok itu masuk
kedalam hutan yang telah menghijau.
Kiam Ciu lari dan berlari terus memasuki hutan yang masih lebat. Hingga
dia tiada merasa telah seberapa jauh dia berlari meninggalkan pondok ayah
angkatnya. Pokoknya dia tidak mau tahu dan ingin lari dari kenyataan. Hingga
kini, akhirnya kaki kanan bocah itu tersandung akar pohon yang melintang
ditanah dan pemuda kecil itu jatuh bergulung ditanah berumput tebal.
Dibiarkannya dirinya menggeletak ditanah dan sebagian tububnya tertimpa
cahaya matahari yang telah menyengat sambil memejamkan matanya dia
melepaskan lelah dan pikirannya menerawang memikirkan peristiwa yang baru
saja berlalu. Hatinya tergoncang ketika mendengar bahwa ayah dan ibu yang
Oey Liong Kiam 2 10 selama ini dianggap orangtuanya itu ternyata bukan orang tua kandung.
Teringat pula kepada paman Siauw Liang yang telah banyak mengajarkan ilmu
silat padanya dan akhirnya dia teringat kepada Ji Tong Bwee yang sangat
dicintai itu , , , semuanya membuat jantungnya berdebar hebat dan pikirannya
jadi sangat kacau. Tlba-tiba dalam keadaan itu, Kiam Ciu sangat terkejut karena seekor kelinci
hitam telah menerjang kakinya. Meskipun terkejut, teiapi dia sempat menangkap
tubuh kelinci itu dengan tangau kanannya. Saat itu dia menyaksikan bahwa kaki
kiri belakang binatang itu tampak berdarah yang telah mengential. Ketika
diamatinya ternyata tampak sebatang jarum masih menancap pada luka itu.
"Ohhh . . . kasihan , , , kelinci yang manis, tenanglah aku akan menolongmu
mcncabut jarum keparat ini dari lukamu . , , " seru Kiam Ciu dengan penuh kasih
sayang. Hati bocah itu memang welas asih dan belum pernah dia membunuh
binatang karena dia merasa kasihan kepada segala macam makhluk. Penuh
rasa kasih dan mudah terharu.
Sesaat kemudian dirobeknya pinggir bajunya setelah jarum yarg menancap
dikaki be!akang kelinci itu tercabut, lalu dibalutnya. Kelinci itupun dengan tenang
tidak meronta dalam cekalan Kiam Ciu.
Yang sangat mengherankan ternyata ketika kelinci itu diletakkan ditanah,
binatarg yang manis itu tidak mau lari. Malah tampak dari mulut binatang itu
mengeluarkan sebuah benda merah. Benda itu ternyata sebuah buah yang
berbau harum sekali. "Hey kelinci, apakah kau ingin memberikan buah ini padaku ?" seru Kiam Ciu
sambil memungut buah berwarna merah itu dan menunjukkannya kepada
binatang yang jinak dan lucu itu.
"Hemm apakah kau ingin aku makan buah ini.. ?" gumam bocah itu sambil
mencium buah yang berwarna merah dan harum sekali baunya.
Keiika itu Kiam Ciu sangat berhasrat untuk mengulum buah merah
ditangannya. K.etika hampir saja buah itu masuk ke mulutnya, terdengarlah
sebuah bentakan yang sangat mengejutkan.
Oey Liong Kiam 2 11 "Jaugan kau makan, tahanl" bentak suara lantang dan mengejutkan.
Sejenak kemudian tampaklah sebuah kelebatan melayang didepannya
beberapa langkah. Ternyata orang itu adalah seorang kakek kira-kira berumur
tujuh puluh tahun telah berdiri dengan tegap dihadapan Kiam Ciu. Wajah kakek
itu berwarna kuning dan seram dan sepasang matanya bersinar abu-abu.
"Ayo berikan buah itu padaku ! Lekas.. . " bentak seram laki-laki itu sambil
mengulurkan tangannya kearah Kiam Ciu. Kiam Ciu sangat terkejut dan merasa
berdiri bulu kuduknya mendengarkan suara kakek yang keras besar dan
melengking tinggi. Kiam Ciu hanya melolong saja menyaksikan gerak gerik kakek
itu. Diamatinya dari kepala hingga kaki kakek itu. Tampak kakek itu bergerak
maju dengan kakinya yang timpang,
"Hay bocah bandel. apakah kau tidak mendengar permintaanku, atau
memang kau tuli dan pegal? " seru kakek itu dengan suara lebih seram
sedangkan wajahnya memperlihatkan gambaran bahwa kakek itu sangat kejam.
Sorot mata yang abu-abu itu seolah-olah pusaran maut.
"Hayo berikan lekas buah merah ditanganmu itu, atau kubinasakan dirimu
yang bandel?" bentak kakek itu dengan sejangkah maju lagi serta mengulurkan
tangan kanan untuk meraih genggaman Kiam Ciu.
Menyaksikan sikap dan suara kakek yang seram itu, lama-lama Kiam Ciu
merasa ngeri dan takut sekali. Namun demikian bocah iiu belum juga mau
menyerahkan buah merah yang berbau harum itu kepada orang yang
bertambah dekat di depannya itu. Tahu-tahu kakek seram itu telah meloncat
dan menerkam dada Kiam Ciu dengan sekali loncatan. Diangkatnya tubuh bocah
itu ditatapnya, dengan sorot tajam. Namun Kiam Ciu masih tidak perduli dan
buah merah itu tetap digenggaranya erat-erat.
Ketika itu Kiam Ciu telah meronta, tahu-tahu tubuhnya telah merosot jatuh
ketanah. Entah dibantingkan, atau karena gerakan bocah itu. Ketika kakek seram
itu menyadari bahwa bocah itu mempunyai keistimewaan gerakkan maka sekali
lagi diterkamnya. Namun dengan sigap pula Kiam Ciu meloncat dengan jurus
Pek Ciok tiauw ki atau Burung gereja terbang diudara yang telah dapat diyakini
dengan baik dari Pek Giok Bwee. Namun ternyata gerakan tangan menyambar
Oey Liong Kiam 2 12 orang tua itu begitu cepat dan luar biasa hingga terpaksa terjambret juga ujung
baju bocah itu dan robek.
Menyaksikan gerakan hebat dan dahsyat itu maka Kiam Ciu teringat kembali
atas cerita-cerita ibunya Pek Giok Bwee. Ji Han Su maupun pamannya Siauw
Liang, orang yang mempunyai gerak dan kepandaian itu ialah berjuluk Kun-si
Mo-kun atau si Iblis jahat yang mengacau dunia.
Pada dua tahun terakhir ini, Kiam Ciu telah sering mendapat ceritera tentang
Kun-si Mo-kun ini yang telah banyak merajalela dan berbuat keji dan terkutuk
di kalangan Kang-ouw selama berpuluh-puluh tahun lamanya.
Tiba-tiba pada sekira empat puluh tahun yang silam orang berhati keji dan
ganas itu telah menghilang dari kalangan Kang-ouw. Lenyapnya Kun-si Mo-kun
dari kalangan Kang-ouw itu membuat keadaan menjadi tenang, tetapi
bersamaan dengan itu pula dikalangan Bu-lim telah kehilangan seorang tokoh
silat yang perkasa dan ilmunya sangat sempurna tetapi berjiwa arif dan
bikjaksana. Lenyaplah kedua tokoh itu bagaikan ditelan bumi dan tiada
seorangpun tahu kemana mereka pergi.
Kiam Ciu telah diberi gambaran jelas tentang ciri-ciri Kun-si Mo-kun, iblis
berwajah seram dengan sepasang mata berwarna abu-abu dan kakinya panjang
sebelah sehingga kalau berjalan agak pincang. Padahal tanda-tanda itu persis
seperti yang dimiliki oleh orang yang berada dihadapannya.
"Hey bocah ! Apakah betul-betul kau tidak mau menyerahkan buah itu!"
bentak Kun-si Mo-kun dengan wajah lebih bengis kelihatannya,
Kiam Ciu tidak menyahut, hanya dengan sebuah loncatan yang lincah bocah
itu melarikan diri. Sedangkan buah berwarna merah yang berbau harum itu
masih dalam genggamannya.
Diperlakukan seperti itu, Kun-si Mo kun menjadi sangat gusar. Sambil
menggertak giginya kakek berwajah kuning dan seram itu memutar tubuh dan
jubahnya yang kuning berkelebat melambai kemudian tampaklah kakek itu
dengan cepat telah melesat mengejar Kiam Ciu.
Sampai beberapa saat Kiam Ciu dapat mengandalkan ginkangnya dan
mengembangkan ilmu lari cepat masuk kehutan lebih dalam lagi. Berbelok-belok
Oey Liong Kiam 2 13 diantara pohon-pohon besar dan semak belukar yang rimbun. Begiiu pula Kunsi Mo-kun berusaha untuk mengejarnya.
Karena perasaan jengkel dan gusar yang tiada tertaban lagi, Kun-si Mo-kun
menggembor nyaring berbareng dengan sebuah loncatan dan bocah itu teiah
diterkamnya. Kiam Clu terbanting ketanah dan tidak berkutik lagi!
"Aku akan serahkan buah merah yang kau minta ini !" seru Kiam Ciu sambil
meronta akan melepaskan diri, "tetapi kau jangan menggangguku lagi!"
"Haaa.. Haaaa.. .haaah.. kau telah berlaku cerdik anak bandel!" seru Kun-si Mokun dengan suara cekakakan dan menyeramkan.
Sambil melepaskan cengkeraman punggung Kiam Ciu dan bocah itu
dibanting ditanah kemudian Kun-si Mo-kun dengan sangat cepat menyambar
buah merah yang telah diperlihatkan oleh Kiam Ciu tadi, dengan cepat pula buah
itu lalu dikulumnya dalam mulut.
"Ha ha ha hahhh" kakek seram itu tertawa setelah mcnelan buah merah, kau
telah memberikan buah merah padaku, tetapi kau harus mati juga ditanganku.
Meskipun dengan menyerahkan buah merah itu kau telah menolong jiwaku.. . !"
seru iblis itu dengan suaranya yang kasar.
Kiam Ciu terperanjat mendengar kata-kata itu, namun dia adalah seorang
bocah yang berani dan cerdik, walaupun digertak akan dibunuh tetapi dengan
sikap tenang dan berkacak pinggarg didepan Kun-si Mo-kun dia berseru lantang
pula, "Mengapa kau masih ingin membunuhku ?!" seru Kiam Ciu dengan sikap
tabah berani. "Karena.. . seumur hidupku aku tidak menerima budi orang lain!" sahut Kunsi Mo-kun dengan tenang tetapi kejam.
"Hemmmm . . . " gumam Kiam Ciu dengan mata tetap memandang wajah
kuning dan seram itu tanpa takut sedikitpun.
"Aku telah terluka dalam yang sangat hebat dan hanya dengan buah merah
tadi luka itu dapat sembuh. Walaupun kau telah menolong jiwaku dengan
memberikan buah merah tadi, tetapi aku tidak sudi menerima budimu. Maka kau
Oey Liong Kiam 2 14 harus mati ditanganku. Untuk budimu itu aku akan membunuhmu dengan cara
kematian yang cepat!" seru iblis ganas dan keji itu dengan suara lantang dan
seram kedengarannya. Ji Kiam Ciu pernah mendengar ceritera tentang kekejaman Kun-si Mo-kun
selama menjagoi dunia persilatan. Walaupun bulu kuduknya merasa bergidik,
namun bocah ini tidaklah memperlihatkan rasa takutnya didepan orang! Bahkan
tampaklah wajah bocah itu bersirat merah dan mengepalkan tinju!
Sesungguhnya dia sangat gusar mendengar penuturan orang yang tidak
mengenal budi itu! "Aku paling benci melihat orang yang keji dan jahat semacam kau ini !" seru
Kiam Ciu dengan nada suara sengit sekali, "jangan kau kira bahwa kau dapat
membunuhku dengan mudah!"
Diam-diam Kun-si Mo-kun mengagumi juga keberanian bocah itu. Namun
iblis itu dasar seorang yang berhati kejam dan keji tidak menggubris segala
seruan bocah cilik itu. "Haaa haaahhh . . . Mungkin kau belum tahu aku ini siapa, sehingga kau beranl
menantang aku sedemikian kasarnya!" seru Kun-si Mo-kun dengan suara
bernada marah menganggap ringan bocah dihadapannya.
"Aku tahu kau ini siapa! Kau adalah Kun-si Mo-kun yang terkenal kejam dan
keji dikalangan Kang-ouw. Tetapi meskipun demikian aku tetap tidak gentar akan
ancamanmu!" seru Kiam Ciu dalam keadaan siap siaga menghadapi segaia
kemungkinan yang akan dilakukan oleh Kun-si Mo-kun.
Mendengar dan menyaksikan sikap bocah berani dan cerdik itu. Kun-si Mokun menyengir. Kemudian tertawa gelak-gelak dan berseru lantang,
"Kalau kau telah tahu bahwa aku ini jahat dan terkutuk yang kau benci,
mengapa kau telah memberikan buah merah itu?" seru Kun-si Mo-kun dengan
tertawa-tawa. "Karena.. . . . Karena aku tidak begitu yakin bahwa kau adalah orang yang
begitu kejam" jawab Kiam Ciu sambil menundukan kepala, "aku mengira bahwa
cerita itu cerita tentang kejahatanmu hanyalah dilebih-lebihkan orang.. . " Kiam
Ciu menatap wajah kakek seram itu dengan mata penuh selidik.
Oey Liong Kiam 2 15 Anehnya orang yang terkenal kejam dan keji itu kedengaran menarik nafas
panjang, seakan-akan ada sesuatu yang dipendam dalam hatinya.
"Hemmm.. . aku tidak menyangka bahwa di kolong langit ini masih ada orang
yang menganggap diriku ini tidak jahat . ." gumam Kun-si Mo-kun dengan suara
keluar dari hidungnya. Kemudian wajah kakek itu telah berubah dan memandang wajah Kiam Ciu
dengan sorot mata aneh pula, sorot mata yang lain dari saat-saat pertama dia
bertemu tadi, "Hey bocah baik, siapakah namamu ?" seru kakek itu kedengaran ramah.
"Namaku Ji . . ohh . . Tong Kiam Ciu , . . " sahut sibocah sambil menundukkan
muka. Walaupun kini kelihatannya Kiam Ciu sangat lemah, namun bocah itu
telah siaga juga, untuk menghadapi segala kemungkinan.
"Tong Kiam Ciu ? Nama yang bagus ! Nama yang bagus.. . !" kata Kun-si Mokun sambil melangkah maju selangkah dan kepalanya manggut-manggut "aku
akan ingat-ingat namamu dan kemudian hari kita pasti bertemu lagi !"
Dengan berakhirnya kata-kata itu Kun-si Mo-kun telah melangkah lagi. Tong
Kiam Ciu telah siaga sambil meloncat kesamping dan tangannya telah
mengepal disamping tubuhnya. Namun kakek itu terus saja berjalan tanpa
menoleh lagi dan meninggalkan Kiam Ciu seorang diri.
Tong Kiam Ciu termangu dengan rasa heran, karena kakek itu ternyata tidak
berbuat apa-apa dan meninggalkan dirinya begitu saja.
"Aneh.. . . sesuggguhnya dia tidak sekejam sangkaan orang" pikir Kiam Ciu
sambil membetulkan pakaiannya dan menepiskan dari kekotoran.
Beberapa saat kemudian ketika Kiam Ciu berada ditempat itu seorang dtri
dan masih membersihkan dari daun-daun dan tanah yang melekat
dipakaiannya. Terasalah hembusan angin dari arah belakang.
"Hemm.. . . kau telah nyaris dari tangan keji Kun-si Mo-kun meskipun kau telah
kehilangan biji merah yang sebenarnya sangat berguna dan sukar dicari, tetapi
kau telah menolong jiwamu sendiri . . " terdengar tiba-tiba sebuah suara dari
arah belakang punggung bocah itu,


Warisan Jenderal Gak Hui Oey Liong Kiam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oey Liong Kiam 2 16 Dengan sangat terkejut bocah itu memutar tubuh dan alangkah kagetnya
ketika diketahui yang berada di tempat itu tidak lain adalah Pek-hi-siu-si yang
tekah berdiri dengan tersenyum dan penuh rasa kasih sayang. Sambil
tersenyum mengelus janggutnya yang panjang berurai.
"Twa-supee.. . . !" seru Kiam Ciu sambil menghormat.
Pek-hi-siu-si melangkah maju mendekati Kiam Ciu yang masih membongkok
hormat, kemudian dielusnya kepala bocah itu dengan rasa haru.
"Kiam Ciu kau harus lekas-lekas pulang, Meskipun ibu dan ayahmu yang
sekarang itu adalah orangtua angkatmu. namun ternyata mereka
memandangmu sebagai anaknya sendiri. Mereka sangat menyayangimu
dengan setulus hati. Maka sekarang pulanglah. Kelak aku akan menceritakan
padamu tentang riwayat hidupmu." sejenak Pek-hi-siu-si berhenti dengan tarikan
nafas panjang. "Kau harus banyak belajar ilmu, karena banyak tugas yang harus
kau lakukan. Pula kau jangan mengecewakan harapan orangtuamu dan juga
orang-orang yang menyayangimu. Kau mempunyai musuh besar yang harus
kau binasakan kelak kalau waktunya telah tiba.. . . ."
Kemudian Kiam Ciu telah membenamkan wajahnya ke dada kakek itu,
namun tiada isak an tangis yang terdengar. Kiam Ciu telah menahan semua
perasaannya dengan ketabahan hati. Pek-hi-siu-si merangkul bocah itu dan
mengajaknya untuk pulang kepondok. Dalam pada itu tampaklah Pek-hi-siu-si
tertawa-tawa sambil menunjuk ke suatu tempat. Kedua orang itu berjalan
menuju kepondok dimana ketiga Sin-ciu-sam-kiat menantikan dengan perasaan
cemas! Begitu pula gadis cilik yang manis Ji Tong Bwee tampak sangat gelisah
dan akan keluar saja untuk mencari Kiam Ciu!
Mulai saat-saat berikutnya dan pada hari-hari berikutnya Pek-hi-siu-si telah
mengambil alih dari tangan ketiga bersaudara Sin-ciu-sam-kiat untuk
menurunkan ilmu pedang yang tiada tandingan dikalangan Kang-ouw!
Pulau Seribu Setan 2 Pengecat Langit Malam Karya Mochammad Asrori Melacak Topeng Hitam 2

Cari Blog Ini