Warisan Masa Silam Karya V. Lestari Bagian 2
bila mendapat kesempatan. Tapi susahnya ia harus me?
nyembunyikannya dari istrinya dan Fani. Kedua orang
itu, ibu dan anak, memiliki persamaan.
Ia ingin berbincang dengan Sukri, ayah Nana. Se?
bagai sesama orang dewasa tentu pembicaraannya
akan berbeda. Tapi yang menyulitkan adalah status
Sukri sebagai pembantu yang terikat dengan pekerjaan
Isi-Warisan.indd 91 dan rumah. Ia tak bisa sembarang keluar rumah.
Kelihatannya tak juga punya hari libur. Jadi tak bisa
diajak ketemuan di suatu tempat seperti restoran, kafe,
atau di mana saja. Ia sendiri tak ingin lagi masuk ke
rumah itu, biarpun cuma di halaman.
"Kamu nggak apa-apa kalau ngomong di situ, Ki?"
Budiman ingin tahu. "Nggak, Pa. Memangnya kenapa?" tanya Kiki de?
ngan polos. "Nggak ada rasa apa-apa?"
"Ah, nggak. Kenapa mesti takut?"
"Ya sudah. Nggak apa-apa. Bagus kalau begitu."
Kiki jadi termangu sejenak. Melihat itu Budiman
jadi khawatir. "Kalau kau merasa nggak nyaman, kau nggak
perlu pergi ke sana, Ki. Biar kita atur supaya Nana
saja yang datang ke sini."
Kiki segera menggeleng. "Oh, nggak, Pa. Aku
justru pengin ke sana, melihat tempat itu lagi. Kalau?
pun di sana ada hantu, jelas mereka nggak jahat sama
aku. Kalau jahat mereka pasti nggak akan mau
nolong. Lagi pula di sana ada Nana dan bapaknya.
Mereka sudah lama tinggal di sana."
Budiman mengangguk. Ia bangga dengan pendirian
dan keberanian Kiki. Anak lain mungkin akan kuncup
ketakutan. Sebenarnya Kiki merasakan sesuatu yang sulit di?
utarakan. Yang pasti bukan takut. Ia tak bisa meng?
gambarkannya kepada ayahnya. Juga khawatir kalaukalau ayahnya mengartikannya sebagai rasa takut atau
keengganan hingga melarangnya pergi.
Isi-Warisan.indd 92 Kemudian Budiman mendapat akal. Ia mengusulkan
kepada keluarganya untuk pergi berjalan-jalan ke
Kebun Binatang Ragunan hari Minggu itu. Sumarni
setuju saja karena Fani sangat senang. Tapi Kiki, se?
perti yang sudah disepakati dengan ayahnya, menolak
ikut dengan alasan banyak pekerjaan sekolah yang
harus dikejarnya selama waktu sakit. Sebenarnya
Sumarni keberatan meninggalkan Kiki sendirian di
rumah, tapi Budiman menenangkannya.
"Kiki itu sudah bisa diandalkan, Ma. Dia anak
yang cerdas." "Belum dua belas tahun umurnya, Pa," Sumarni
mengingatkan. "Jangan menilai dari umurnya. Badannya juga
sudah cukup gede. Malah ada orang yang sudah tua
tapi masih kekanak-kanakan."
"Kita kan bisa pergi minggu depan lagi kalau dia
sudah nggak banyak kerjaan."
"Kau akan mengecewakan Fani. Lagi pula Kiki
nggak pengin ikut kok."
"Kok tumben kau pengin ke Kebon Binatang,
Pa." "Aku punya janji di sana."
"Dengan siapa?"
"Para penghuninya."
Sumarni tertawa. Ia tidak berargumentasi lagi.
Biarlah untuk Kiki ia akan menyiapkan makanan yang
enak. Pada hari Minggu yang sudah ditunggu-tunggu itu,
Kiki melepas keberangkatan keluarganya dengan pe?
rasaan tegang. Ia belum pernah ditinggalkan sendirian
Isi-Warisan.indd 93 di rumah. Bukan karena ia merasa takut, tapi ada sen?
sasi akan menjalani pengalaman yang baru.
"Jangan lupa mengunci pintu, Ki. Jangan mem?
bukakan pintu bagi sembarang orang. Siapa pun orang
itu. Dia ngomong apa pun jangan percaya."
Kiki mengiyakan saja. Dalam hati merasa bersalah
karena berharap mereka cepat pergi. Tapi tatapan ayah?
nya membuat ia merasa tenang. Ah, senangnya punya
ayah yang bisa diajak berbagi. Sayang sekali ia tidak
bisa bercerita mengenai semua pengalamannya di
rumah Stella. Padahal ia selalu merasa tergoda untuk
ber?cerita bila sedang berduaan dengan ayahnya dan
mem?bicarakan hal itu. Bukankah ayahnya mengalami
hal yang sama? Ayahnya pasti tak akan menyampai?
kan?nya pada orang lain. Tapi ia tidak mungkin melaku?
kannya. Wajah Stella selalu terbayang. Yang dirasakan?
nya bukanlah takut kepada Stella, tapi iba dan
pri?hatin. Juga sayang. Ia sering memikirkan. Bila seseorang yang sudah
berada di dunia lain, seperti Stella dan Bi Ani, me?
merlu?kan datang untuk menolongnya, pastilah karena
mereka juga memerhatikan dan sayang padanya.
Kenapa ia tak dibiarkan saja di situ, di ruang bawah
tanah, supaya bisa mencari jalan keluar sendiri?
Sebelum pergi, Budiman masih sempat berpesan
diam-diam kepadanya, "Kirim sms pada Papa kalau
ada apa-apa." Ia tersenyum sendiri membayangkan ayahnya pasti
tidak sabar menunggu hasil kunjungannya ke tempat
Nana. Isi-Warisan.indd 94 *** Nana sudah menunggu kedatangan Kiki di balik pintu
gerbang. Ayahnya, Sukri, tidak kelihatan berada di ha?
laman. Ia baru muncul begitu Nana membuka pintu.
Di mata Kiki, wajah keduanya sudah menampakkan
pe?rasaan tegang dan ingin tahu. Sama-sama, pikir?nya.
Nana mengajaknya masuk ke tempat tinggalnya di
sayap kanan. Sejenak Kiki melayangkan pandang ke
sebelah kiri, di mana ia terjungkal masuk ke dalam
ruang bawah tanah. Ia menunjuk.
"Apakah di sebelah sana ada yang menempati,
Na?" "Sayap kiri kosong."
Sukri mengikuti keduanya di belakang.
Di ruang tamu tak ada kursi, hanya karpet yang
menutup setengah lantai, terus sampai ke sebuah bufet
yang di belakangnya terdapat dinding. Ada sebuah
teve kecil di atas bufet dan di sampingnya berdiri
beberapa foto berbingkai. Di atas karpet terdapat meja
empat persegi panjang berkaki pendek. Meja yang
tidak memiliki padanan kursi. Sedang bagian lantai
yang tidak berkarpet terus memanjang ke lorong da?
lam rumah. "Kita duduk di sini aja, Ki," Nana mengajak. Ia
mendahului duduk bersila di atas karpet, menghadap
meja dengan pandangan ke sebelah luar.
Kiki mengikuti dengan posisi menghadap Nana,
jadi pandangannya ke arah dalam rumah.
Sukri mengambil tempat di antara keduanya, meng?
hadap dinding. Isi-Warisan.indd 95 Setelah semua mengambil posisi, tak segera terjadi
perbincangan. Kiki mengamati sekitarnya. Nana dan
ayahnya membiarkan sejenak, memberi kesempatan
kepada Kiki untuk mengamati situasi.
Lalu tatapan Kiki tertuju ke pintu di dinding
sebelah depan bufet. "Itu pintu yang membuka ke arah dalam rumah
utama," jelas Nana, menyadari pandang Kiki.
Kiki mengangguk. Ia yakin, ruang di balik itu
mestinya adalah ruang di mana ia didudukkan di sofa
setelah keluar dari ruang bawah tanah.
Sukri mengerutkan kening ketika mengamati
tatapan Kiki. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa.
Akhirnya mereka saling pandang.
"Maukah kamu cerita lagi tentang kejadian itu,
Ki?" tanya Sukri. Kiki sudah menyiapkan ceritanya. Ia sadar harus
hati-hati jangan sampai keceplosan. Siapa tahu ada
pengaruh dari rumah itu. Tapi ia mengingatkan diri,
jangan-jangan Stella ada di situ, mengamati dan men?
dengarkan. Pikiran itu membuat ia lebih waspada.
"Mula-mula aku menginjak punggung temanku
supaya bisa naik ke pintu. Dari situ aku loncat ke ba?
wah. Aku segera mencari bola yang jatuhnya di sana,"
Kiki menunjuk ke arah sayap kiri rumah. "Nanti aku
tunjukkan tempatnya."
Kiki sengaja berkata begitu supaya mendapat ke?
sempatan untuk melihat lagi papan penutup basement
itu. Nanti ia pura-pura akan bertanya apa gunanya
papan itu. "Saat aku mencari bola, teman-teman ninggalin,
Isi-Warisan.indd 96 karena mereka dipanggil orangtua. Adikku juga ikut
lari. Jadi aku sendirian. Aku berusaha keluar, dan
meng???amati pintu. Ada selotnya. Tapi keras. Susah.
Aku coba memanjat. Dengan satu tangan megang
bola, jadi susah. Terpikir untuk melempar bola keluar
dulu, tapi takut bolanya menggelinding jauh lalu di?
ambil orang. Akhirnya aku terpeleset dan jatuh...."
Kiki menunjuk pergelangan kakinya. "Kayaknya ke?
seleo. Sakit banget kalau berdiri. Aku jadinya duduk
aja di tanah. Barangkali nanti ada yang akan men?
jemput?ku. Kalau berteriak, aku takut yang punya
rumah keluar lalu aku disangka maling. Jadi aku diam
saja. Nggak berdiri aja sakit kok. Lalu Stella keluar
sama Bi Ani. Ya, mulanya aku tentu nggak tahu me?
reka siapa. Bi Ani sempat mengira aku maling, tapi
Stella nggak. Lalu Bi Ani memeriksa kakiku. Lala
ngajak masuk ke dalam...."
"Ha? Masuk ke dalam?" Nana terlonjak kaget.
Sukri pun tampak terperanjat.
"Iya. Aku dipapah berdua, kiri dan kanan. Lalu
aku didudukkan di sofa. Mungkin karena kursi di teras
nggak nyaman. Aku sih ngikut aja. Makanya tadi aku
liatin pintu itu..." Kiki menunjuk pintu di depan bufet.
"Kayaknya ruangannya ada di balik situ...."
"Ada Tuan dan Nyonya, eh... orangtua Lala,
nggak?" tanya Nana. "Nggak ada siapa-siapa. Sepi, nggak ada suara."
"Terus gimana...?" tanya Sukri, gelisah dan tidak
sa?bar. "Bi Ani memberi obat pada kakiku. Lalu dia meng?
urut pelan. Rasa sakitnya jadi berkurang...."
Isi-Warisan.indd 97 "Ya. Mama pintar mengurut," sela Nana. "Terus
gi??mana?" Kiki sempat melihat wajah Sukri yang tampak se?
dih. Ia merasa iba. Tapi kemudian sadar, nanti adalah
giliran mereka bercerita. Ia harus buru-buru menye?
lesai?kan bagiannya. "Kami nggak sempat ngobrol. Cuma kenalan aja.
Lalu papaku datang menjemput. Papa juga sempat
kenalan. Bahkan waktu aku digendong Papa dan kami
kesulitan membawa bola, Lala pengin ikut untuk
membantu...." "Oh ya?" seru Nana takjub.
"Ya. Tapi kemudian Papa minta Bi Ani meletakkan
saja bola di depan pintu sebelah luar. Setelah Papa
mem?bawa pulang, ia kembali lagi untuk mengambil
bola. Nah, itu ceritaku. Jadi aku kepengin sekali ke?
temu Lala untuk menyampaikan terima kasih. Tapi
aku nggak pernah melihatnya lagi."
"Tentu saja...," gumam Nana dengan pandang me?
nerawang. "Aku nggak tahu bahwa Lala sudah... sudah nggak
ada. Juga Bi Ani. Kok bisa begitu, ya?"
"Aku juga nggak tahu," kata Nana.
Kiki menatap Sukri yang menggelengkan kepala.
"Apa kamu dan Bapak nggak pernah melihat me?
reka di sini?" tanya Kiki.
"Nggak pernah."
"Ceritain dong, Na. Kenapa mereka meninggal,
dan kapan itu?" Nana menatap ayahnya. "Bapak deh yang cerita,"
kata?nya. Isi-Warisan.indd 98 Sukri merenung. Ia berdeham.
"Oh iya!" seru Nana. "Aku ambil air minum dulu.
Lupa nih, Ki. Sebentar, Pak."
Nana melompat lalu lari ke dalam. Ia keluar de?
ngan membawa tiga gelas Aqua beserta sedotan. Se?
mua diletakkannya di meja.
"Ayo, kita minum dulu," kata Sukri, meraih gelas?
nya. Nana dan Kiki mengikuti. Terutama Kiki yang me?
mang sudah merasa haus sejak tadi.
Setelah minum Sukri siap bercerita.
"Itu musibah," katanya, menghapus mata. "Kejadi?
an?nya sudah lebih dari setahun. Mereka keracunan
makanan. Begini. Waktu itu Lala dan orangtuanya
baru pulang dari bepergian. Terus Lala datang ke sini
membawa bungkusan berisi ikan bakar pakai bumbu.
Dia ngajak makan bersama. Ya, Lala memang suka
begitu. Kalau punya makanan dia selalu bawain buat
kami. Padahal mamanya nggak suka. Nah, akhirnya
yang makan banyak itu cuma Lala dan Bi Ani. Nana
Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nggak doyan ikan, Bapak juga. Rupanya ikan itu
nggak bagus. Katanya ada bakterinya apa, gitu. Nggak
lama sesudahnya, setengah jam kemudian, mereka
merasa sakit. Papa Lala membawa mereka ke rumah
sakit. Tapi kok cepat sekali mereka pergi. Nggak ke?
tolongan. Huuu..." Sukri menangis. Nana ikut-ikutan. Kiki termangu
sedih. Kemudian Nana menggoyang lengan Sukri. "Su?
dah, Pak. Sudah..." Isi-Warisan.indd 99 Sukri menghapus matanya. Nana permisi ke be?
lakang. Mau cuci muka, katanya.
"Ya, begitu ceritanya, Ki," kata Sukri menatap
Kiki. "Apa mama dan papanya Lala nggak makan ikan
yang sama?" tanya Kiki.
"Nggak tahu. Bapak nggak berani nanya-nanya.
Kayaknya sih nggak. Kalau iya, pasti mereka juga
ikut sakit." Kiki teringat pada tulang-belulang di basement.
"Apa mereka dikuburkan, Pak?"
"Tentu saja." "Ada kuburannya?"
"Iya dong. Kamu mau ziarah?"
Nana kembali dari belakang. Ia mendengar ucapan
terakhir ayahnya. "Siapa mau ziarah?"
"Itu Kiki, nanya kuburannya," sahut Sukri.
"Iya, Ki?" tanya Nana pada Kiki.
"Iya. Mau ngajak Papa nanti," sahut Kiki, tiba-tiba
mendapat ide. "Wah, bagus!" seru Nana girang. "Sama kami aja
nanti, Ki." "Ya. Nanti aku kasih tahu Papa dulu. Lalu kita
janji?an, Na." Sukri memandang kedua anak silih berganti.
Tatapannya sendu. "Jadi kuburan Lala dan Bi Ani berdekatan?" tanya
Kiki. "Ya. Bersebelahan, malah. Lala sangat dekat sama
Mama," sahut Nana. "Mungkin lebih dekat daripada
mamanya sendiri." "Orangtuanya tentu sedih sekali, ya. Lala anak
satu-satunya, kan?" "Oh, nggak. Lala punya kakak perempuan, tapi
nggak tinggal di sini. Dia tinggal sama tantenya,
kakak mamanya di Belanda."
Nana bangkit berdiri, berjalan ke bufet untuk
mengambil sebuah foto. Ia menyodorkannya kepada
Kiki. Di foto itu tampak dua anak perempuan berdiri
berdampingan. Kiki mengenali Lala, jadi yang satunya
pasti kakaknya. Wajahnya mirip, demikian pula tinggi?
nya hampir sama. Kiki tak bisa memahami kenapa anak dibiarkan
tinggal berjauhan dari orangtuanya. Tapi itu tentu
bukan urusannya. Ia tak mau menanyakan hal itu.
"Bapak nggak habis pikir, kenapa ya dua orang itu
bisa muncul di depan kamu?" kata Sukri.
"Bukan Bapak aja, aku juga," kata Nana. "Benarbenar nggak ngerti."
"Sejak kepergiannya, nggak pernah kami melihat
apa-apa," kata Sukri.
Kiki memandang berkeliling rumah. Kelihatannya
me?nyenangkan, pikirnya. Sederhana tapi nyaman. Bu?
kan hunian yang menyeramkan atau membangkitkan
bulu roma. Nana mengikuti tatapan Kiki. "Kamu lihat apa?"
"Nggak apa-apa. Rumahnya enak kok. Kalau di
situ perabotnya besar-besar."
Kiki menunjuk ke dinding.
"Oh ya. Kamu pernah dibawa ke situ, ya," kata
Isi-Warisan.indd 100 100 Isi-Warisan.indd 101 Nana. "Eh, kamu mau lihat ruang itu lagi, nggak?
Kebetulan tadi kudapati pintu di situ nggak dikunci.
Kelupaan, mungkin." "Nanaaa...," kata Sukri dengan nada melarang.
Kiki menggeleng. Ia tak ingin Nana dimarahi.
"Tapi, Pak. Cuma lihat aja tanpa masuk. Dari pintu
aja. Iya, Ki?" desak Nana.
Kiki bingung sejenak. Ia sebenarnya ingin, tapi
Sukri tampaknya tidak setuju.
"Ya sudah. Jangan masuk, ya. Kalau ketahuan nggak
enak. Siapa tahu sudah dikasih tanda," kata Sukri.
Ucapan itu membuat Kiki tertegun sejenak. Tapi
tak bisa berpikir lama-lama, karena Nana sudah meng?
gamit tangannya. Ia pun merasakan sensasinya.
Pintu di depan bufet itu dibuka Nana. Bukaannya
ke arah dalam rumah Nana. Pelan-pelan seperti takut
kalau-kalau membangunkan orang di dalamnya,
padahal jelas tak ada siapa-siapa. Membukanya tidak
lebar-lebar, pas untuk kepala Kiki saja.
"Ayo..." Kiki menjulurkan kepalanya sementara Nana tetap
memegangi pintu. Sukri tetap di tempatnya, tidak
menatap mereka. Kiki segera melihat dan mengenali ruangan itu.
Juga sofa di mana ia didudukkan. Tapi kemudian ia
ter?kesiap. Tak tahan ia memekik pelan. Lalu menarik
kepalanya cepat-cepat. Spontan Nana menggabrukkan
pintu yang menutup dengan suara keras.
"Kenapa, Ki? Ada apa? Kamu lihat apa?" tanya
Nana cemas. Sukri pun melompat. "Ada apa, Ki? Ada apa?"
101 Kiki tak segera menjawab. Ia buru-buru duduk
kem?bali untuk melancarkan napasnya. Tadi ia begitu
kaget sampai napasnya menjadi sesak.
Lalu Kiki melihat tatapan kedua orang di depan?
nya. Cemas dan ingin tahu.
"Ke... ke mana pintu yang adanya di dinding se?
belah sana." Kiki menunjuk dinding. "Itu yang ada di
belakang sofa? Bukankah di situ ada pintu?"
Yang dimaksud Kiki adalah pintu yang membuka
ke ruang basement. Dari pintu itulah ia keluar setelah
menaiki tangga, dipapah Stella dan Bi Ani, lalu di?
dudukkan di sofa yang ada di depan pintu. Sofanya
masih di sana, tapi pintu itu tidak ada! Cuma ada
dinding tembok yang licin mulus!
Nana dan Sukri menatap Kiki dengan heran, tapi
juga cemas. Kiki menyebut pintu itu "hilang".
"Pintu itu nggak hilang, Ki," kata Sukri. "Tapi me?
mang dibongkar. Dulu pintu itu selalu dikunci."
"Kapan dibongkarnya?" tanya Kiki.
"Belum lama. Beberapa hari yang lalu ya, Pak?"
tanya Nana kepada ayahnya.
"Iya, belum lama," Sukri membenarkan.
Kiki merasa lega. Kalau begitu pembongkaran
pintu itu terjadi sesudah ia jatuh di basement. Tak
mung?kin terjadi sebelumnya. Bagaimana ia bisa keluar
dari situ? Bagi Lala dan Bi Ani tentunya bukan halang?
an. Hampir saja ia mengutarakan kelegaannya itu.
Tapi kemudian Kiki teringat bagai mendapat
entakan bahwa ia tidak boleh bercerita mengenai
ruang basement itu. Nanti mereka akan bertanya apa
Isi-Warisan.indd 102 102 Isi-Warisan.indd 103 saja yang dilihatnya di situ. Padahal isi peti itu adalah
rahasia yang harus dijaganya
"Aku ingat karena pernah duduk di sofa, di be?
lakang?ku ada pintu," jelas Kiki.
"Iya. Waktu itu memang masih ada. Jadi bukannya
hilang begitu saja," kata Sukri
"Kenapa dibongkar, Pak?"
"Wah, nggak tahu."
Kiki merasa Sukri tak begitu menyukai percakapan
perihal pintu itu. "Aku pulang saja, ya. Rumahku kosong. Mesti
jaga rumah." "Baiknya begitu," Sukri setuju. "Takutnya Nyonya
dan Tuan pulang. Nggak bisa dipastikan kapan pulang?
nya." Setelah berkata begitu Sukri berjalan ke dalam.
"Terima kasih, Pak!" seru Kiki.
"Ya," sahut Sukri tanpa menoleh.
Di halaman Kiki berjalan cepat ke sayap kiri.
Mum?pung Sukri tidak mengikuti.
"Eh, mau ke mana, Ki?" tanya Nana sambil me?
ngejar. Kiki menunjuk. "Tuh, bolaku jatuhnya di situ!?
Tak cukup dengan menunjuk, Kiki membungkuk
lalu menyibakkan sesemakan yang diingatnya me?
nutupi sebagian papan penutup ke basement. Sebelum
tersibak semuanya ia sudah melihat sebagian kecil dari
papan penutup itu. Masih ada!
"Nyari apa sih, Ki? Emangnya bolamu masih di
situ?" Nana keheranan.
"Aku cuma mau nunjukin tempatnya," sahut Kiki.
103 "Kamu kenapa sih?" Nana mengamati wajah Kiki.
"Sudah ah. Aku pulang, ya."
Kiki berlari ke pintu, dikejar Nana.
"Tunggu dong, Ki. Nanti kita ngobrol lagi, ya?"
Kiki berhenti di depan pintu. Teringat untuk mengen?
dali?kan dirinya. "Ya, tentu saja, Na. Kita sms-an dulu
aja." Sesudah berada di luar pintu dan Nana mengunci
selotnya, tiba-tiba Kiki berbalik.
"Eh, Na, apa kamu akan bilangin orangtua Lala
tentang ceritaku tadi?" tanya Kiki.
Nana mengerutkan kening. "Nggak dong. Mana
be?rani?" "Bapakmu?" "Sama aja. Ngapain cari gara-gara. Minta digebuk
apa?" "Emangnya kamu suka digebuk?"
Wajah Nana berubah murung. "Udah, ah," katanya
lalu berlari masuk. Kiki berjalan pulang dengan langkah gontai. Berat.
Ternyata kekagetannya tadi, tentang pintu yang hilang,
tak bisa dibaginya dengan ayahnya. Ia punya cerita,
tapi tak bisa menceritakan semuanya. Kenapa Lala
menyuruhnya berjanji seperti itu?
Tak lama setelah Kiki pergi, Sukri keluar, terus me?
nuju pintu gerbang. Ia mengamati selot lalu mengunci
dan membukanya berulang-ulang. Mulus dan lancar
saja. "Kok tadi katanya selotnya keras dan susah dibuka.
Apanya yang susah?" ia bergumam.
Isi-Warisan.indd 104 104 Isi-Warisan.indd 105 PADA hari Minggu berikutnya, Nana datang ke ru?
mah Kiki tanpa pemberitahuan lebih dulu. Kiki
terkejut, demikian pula Budiman. Sedang Fani merasa
senang dan Sumarni surprise. Sumarni menyukai sikap
santun Nana. Sebelumnya ia memang sudah diceritai
oleh Budiman perihal teman baru Kiki itu. Stella atau
Lala sudah pergi, dan penggantinya adalah Nana.
"Hapeku diperiksa Nyonya. Semua nomor teman,
termasuk nomormu, dihapus olehnya. Yang boleh ada
cuma nomor Bapak. Aku nggak ingat nomormu. Biar
nanti kucatat lalu kusimpan di hape Bapak saja," kata
Nana. Ucapan itu didengar oleh semua anggota keluarga
Kiki. Nana merasa pemberitahuan seperti itu tak perlu
disembunyikan. Mereka merasa geram mendengar?
nya. "Siapa Nyonya itu, Na?" tanya Fani.
Nana sadar, Fani belum memahami siapa dirinya.
Ia menatap Kiki dan Budiman sambil tersipu.
105 Kiki mengambil alih penjelasan kepada Fani.
Seharusnya adiknya itu diberitahu.
"Yang dimaksud itu majikan Nana, Fan. Dia adalah
ibunya Lala. Ibu Nana sudah meninggal. Dia dan
papanya tinggal dan bekerja di rumah itu."
Mulut Fani terbuka sedikit. "Ooo... begitu. Jadi
kamu kerja juga di situ? Kerja apa?"
"Pembantu," sahut Nana tanpa keberatan.
Wajah Fani tampak iba. "Kamu kan masih kecil,
Na. Masa udah dijadiin pembantu...."
"Nggak apa-apa...."
Kiki menjawil Fani, memberi isyarat. Fani ter?
diam "Tapi kenapa ia berbuat begitu, Na?" tanya
Budiman. Ia teringat pada sikap ketus ibu Stella ketika
menghadapinya tempo hari.
"Waktu sedang melayani Nyonya, ada teman yang
menelepon. Dia marah, padahal aku nggak angkat te?
leponnya. Salah juga sih. Hape ada di kantong. Mesti?
nya ditinggal aja." "Ya sudah. Nggak apa-apa, Na. Sabar aja, ya," hi?
bur Budiman. Sumarni juga menghibur dengan membelai kepala
Nana. "Ayo sini. Kita ngobrol ramai-ramai, Na. Kamu
su?dah sarapan?"
Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sudah, Bu. Terima kasih. Cuma mau kasih tahu
aja. Sekalian mau nyatat nomor Kiki, biar disimpan di
hape Bapak saja. Takut ketahuan lagi."
"Jangan buru-buru dong, Na. Kan mereka pergi...,"
kata Kiki. Isi-Warisan.indd 106 106 Isi-Warisan.indd 107 "Takut mendadak pulang. Mungkin perginya nggak
lama. Oh ya, ada berita penting lagi, Ki. Sekarang di
rumahku dipasangin kamera. Baru kemarin masangnya.
Katanya, supaya ketahuan kalau ada yang datang ke
rumah. Dia sudah melarang temanku datang ke rumah.
Katanya itu bukan rumahku, tapi rumah dia. Aku juga
kalau pergi paling ke sekolah atau ke pasar...."
Yang mendengar tertegun. Kiki merasa sesak oleh
kemarahan. Sungguh terlalu orang-orang itu.
"Aku nggak ngerti kenapa bisa begitu, ya. Kok
kejam amat. Kamu kan bukan budaknya," seru Kiki.
"Iya. Emangnya budak," Fani menimpali.
"Kalau gitu, kamu nggak punya teman dong, Na,"
kata Sumarni iba. "Ada di sekolah, Bu."
"Ya. Teman main, maksudku."
"Dulu ada Lala..." Nana terkejut menyadari ke?salah?
annya. Hampir keceplosan. "Ya, sebelum Lala pergi."
"Begini saja, Na. Kalau mau main, kamu ke sini
aja. Ada Kiki sama Fani," kata Sumarni.
"Iya, Na. Ke sini aja," kata Fani.
Nana menggeleng. "Takut, ah. Kalau ketahuan bisa
dicubit. Sakit nyubitnya."
Kiki melotot. Budiman menahan emosinya. Ia ter?
ingat pada sosok perempuan, ibu Stella, seperti yang
pernah dilihatnya. Pantaslah kelakuannya seperti itu.
"Apakah papanya Lala juga sekejam itu, Na?"
tanya Budiman. Nana tak menyahut. Ia tidak membantah ataupun
mengiyakan. Tapi dari sorot matanya tampak ketidak?
sukaannya. 107 Budiman tidak mendesakkan jawaban. Tampaknya
Nana tidak suka ditanyai seperti itu. Mungkin karena
banyak yang mendengarkan.
Nana kelihatan gelisah. "Sudah ya, Tante, Om,
Kiki dan Fani. Pulang dulu."
"Eh, tunggu. Kamu kan belum dikasih nomorku.
Aku catatkan dulu, ya."
Kiki berlari masuk mencari kertas. Ia cepat keluar
lagi, dan menyodorkan kertas itu kepada Nana, yang
segera memasukkannya ke saku celana pendeknya.
"Aku antar, ya?" kata Kiki sambil menoleh kepada
ayah dan ibunya. Mereka mengangguk. "Aku ikut?" tanya Fani.
"Jangan, Fan. Kamu di sini aja," cegah Sumarni,
memegangi pundak Fani karena ia sudah mau me?
nyelonong saja mengikuti Kiki dan Nana.
"Idih, kenapa?" tanya Fani kesal.
"Ngapain juga ikut-ikutan? Biar saja mereka
berdua. Kan bukan mau main," kata ibunya.
"Ayolah kita masuk ke dalam," ajak Budiman,
mem?bimbing Fani. Fani yang kesal merasa terhibur.
"Sebetulnya aku pengin bisa masuk ke rumah itu,
Pa. Pengin lihat dalamnya," katanya.
"Mau apa lihat-lihat? Tadi kau nggak dengar cerita
Nana, bahwa rumahnya sekarang dipasangi kamera?
Nanti ketahuan kamu celingukan di situ, Nana yang
dimarahi." Fani bisa mengerti. Sementara itu Kiki mendampingi langkah Nana.
Isi-Warisan.indd 108 108 Isi-Warisan.indd 109 Berulang kali Kiki melirik wajah Nana yang masih
saja murung. "Kalau dia begitu kejam kepadamu, kenapa bapak?
mu nggak membela?" Kiki tidak tahan bertanya.
"Bapak nggak bisa apa-apa."
"Ha? Apa diancam sama dia?"
"Nanti kalau diusir kami mau tinggal di mana?"
Kiki terdiam. Ia memang tidak mengerti per?
masalah?annya. "Kok jadi dipasangin kamera, Na. Emangnya dia
tahu aku datang ke rumahmu? Kan nggak ada orang
lain kecuali Bapak."
"Entahlah. Dia sih nggak nanya-nanya."
"Jangan-jangan ada mata-mata...."
"Nggak tahu, ah."
"Sudah, jangan sedih, Na. Kamu kan sekarang
udah punya teman baru, yaitu kami sekeluarga. Kalau
ada apa-apa, minta bantuan sama kami aja, Na."
"Ya, Ki. Terima kasih."
Ketika Nana menoleh kepadanya, Kiki melihat
linangan air mata di pipinya. Hatinya merasa luluh.
Tempo hari berita tentang Lala membuat ia shock dan
sedih, sekarang cerita Nana juga membuatnya sedih.
Ia sudah menganggap Nana sebagai pengganti Lala.
Nana adalah kenyataan sedang Lala adalah kenang?
an. Mereka tiba di depan pintu gerbang. Kiki merasa
berat berpisah. Ia masih ingin bicara banyak karena
ke?ingintahuannya mengenai Nana dan Lala belum ter?
puaskan. Tapi ia sadar tidak boleh membawa risiko
buruk bagi Nana. 109 "Sudah ya, Na. Kamu tabah aja. Kalau menelepon
atau sms dari sekolah aja, Na. Jangan di rumah. Terus
dihapus." "Ya. Aku juga berpikir begitu."
"Aku pulang, ya. Salam untuk Bapak."
"Terima kasih, Ki."
Ketika Nana mengeluarkan ponselnya untuk me?
nelepon ayahnya supaya membukakan pintu, Kiki
sudah berjalan pergi. Saat Sukri keluar, ia tidak lagi
melihat Kiki. "Cepat sekali dia pergi," kata Sukri, berharap bisa
bicara dengan Kiki. "Dia sudah kuberitahu tentang kamera, Pak. Dia
jadi takut," sahut Nana murung.
"Ya." "Kalau di halaman sini dipasang nggak, ya?"
Nana memandang ke sekitarnya, ke pucuk pohon
tinggi dan atap rumah. Sukri menggeleng. "Nggak dong. Kan Bapak lihat
waktu masangnya." "Kalau begitu, nanti aku ngobrol sama Kiki di sini
aja ya, Pak?" Sukri tertegun sejenak. Ia berpikir lalu menggeleng.
"Nggak tahulah, Na. Kan nggak enak juga ngobrol
di sini. Kalau di teras sih jangan, ah."
"Bukan di teras, Pak. Di sini aja dekat pintu.
Nggak usah duduk juga nggak apa-apa. Kalau main
ke rumahnya, malu. Ngomongnya nggak bisa ber?
dua." Tiba-tiba Sukri tertawa. "Kecil-kecil sudah pengin
ngomong berduaan...."
Isi-Warisan.indd 110 110 Isi-Warisan.indd 111 Nana tersipu tapi kemudian menepuk lengan ayah?
nya. "Aku masih pengin ngobrol tentang Lala, Pak,"
katanya dengan suara perlahan, seakan khawatir ada
yang mendengarkan. Tawa Sukri lenyap. "Apa lagi yang mau diomong?
in?" "Kan masih banyak, Pak. Kayaknya dia juga gitu
deh. Lagi pula aku heran kenapa Lala dan Mama mun?
cul di depan Kiki? Kenapa di depan kita nggak pernah
ya, Pak?" "Bapak juga heran, Na. Kita di sini biasa-biasa aja.
Padahal si Kiki itu kenal juga nggak."
"Makanya, Pak, aku jadi ingin kenal lebih dekat
sama Kiki. Anaknya sih kelihatan baik."
"Ya, kelihatannya begitu."
"Orangtuanya juga baik-baik. Fani, adik Kiki, juga
begitu. Mereka menyuruh aku sering main ke rumah?
nya." "Apa mereka tahu siapa kita?"
"Ya." "Kadang-kadang ada orang yang nggak suka kalau
tahu siapa kita. Cuma pembantu."
"Tapi mereka nggak sombong, Pak. Di sekolah ada
teman yang setelah tahu, langsung menghindar. Nggak
mau dekat-dekat lagi."
"Biarin aja. Kalau orang nggak mau dekat jangan
didekati." "Padahal pembantu itu bukan budak ya, Pak?"
"Tentu saja bukan. Ini pekerjaan halal kok."
"Tapi kenapa Nyonya begitu sama aku, ya? Kayak?
nya nggak suka, gitu."
111 "Dia itu memang kasar, Na. Orangnya cantik tapi
kasar. Lala itu beda karena diajari sama mamamu, bu?
kan oleh mamanya sendiri."
Nana mengeluarkan air mata. Sukri menatapnya
iba. "Sudah, Na. Sudah...," hibur Sukri, padahal mata?
nya sendiri ikut menjadi basah.
"Kamu harus sabar, Na." Sukri mengusap kepala
Nana. "Sampai kapan, Pak?" Nana berusaha keras me?
nahan sedu-sedannya. "Sekarang ini kita nggak punya rumah, Na. Bapak
juga nggak bisa nyari kerja yang lain kecuali ber?
kebun. Di Jakarta ini orang mesti punya kepintaran,
Na. Sementara ini biarpun susah tapi kita masih bisa
makan, punya tempat bernaung, kamu bisa sekolah.
Kita nggak perlu jadi gelandangan atau pemulung.
Biarpun gaji kecil, tapi sekolahmu dibiayai, makan
gratis. Lumayan bisa nabung."
Wajah Nana berubah optimis. "Oh, Bapak punya
tabungan? Udah banyak, Pak?"
"Lumayan sih. Tapi banyak sekali mah belum."
"Taruhnya di bank, Pak?"
"Tentu aja. Masa di bawah bantal?"
Nana tertawa di balik air matanya. Ia memeluk
pinggang ayahnya. "Aku kan juga kerja di sini, Pak. Kok nggak per?
nah digaji?" Sukri diam sejenak sebelum menjawab, "Gajimu
itu adalah biaya sekolahmu, Na. Jadi kamu membiayai
sekolahmu sendiri." Isi-Warisan.indd 112 112 Isi-Warisan.indd 113 "Kalau gitu aku cari duit untuk diriku sendiri, ya
Pak? Tapi Nyonya itu kalau ngomel suka ungkitungkit, katanya udah dibiayain sekolah jangan belagu.
Padahal aku nggak pernah belagu tuh, Pak."
"Ya sudahlah. Habis orangnya memang begitu.
Kita kerja setengah mati juga tetap aja dia begitu."
"Tapi aku pernah lihat dia ramah sekali pada
orang lain. Ngomongnya juga halus."
"Kita kan beda, Na. Kalau dia seperti itu kepada
semua orang, bisa-bisa dia nggak punya teman. Dia
itu maunya sama yang sederajat."
"Sesama orang kaya gitu, Pak?"
"Ya, begitulah. Manusia itu beda-beda, Na. Ada
yang begini, ada yang begitu."
"Tapi Tuan kok nggak pernah mau ngomong sama
aku ya, Pak?" "Emangnya mau ngomong apa dia sama kamu?
Nggak ada urusannya, kan?"
"Nggak suka nyuruh maksudku, Pak."
"Kamu kan pesuruhnya Nyonya. Bukan Tuan.
Kalau pesuruh Tuan itu aku." Sukri tertawa sinis.
"Dulu Mama..." "Ah, jangan ngomongin Mama lagi, Na. Buat apa?
Nggak ada gunanya." "Dulu Mama suka bilang, jangan deket-deket sama
Tuan," Nana tetap melanjutkan kalimatnya.
Sukri tertegun sejenak. Lalu menatap tajam wajah
putrinya. "Ya, emangnya mau apa deket-deket
Tuan?" "Nggak tahu. Aku nggak nanya. Tapi aku memang
nggak suka juga sama Tuan, Pak. Matanya itu lho..."
113 "Kenapa matanya?" tanya Sukri, setengah meng?
hardik. "Tajam kayak mata..."
"Mata apa?? "Mata kucing hitam itu lho...."
"Ah, kamu..." "Serem." Sukri terbahak. "Serem, katamu? Lelaki seganteng
itu?" Nana tidak menyahut. Ia hanya menggerutu pelan,
"Ganteng apaan...."
Mereka berjalan menuju rumah.
"Ingat, Na, kalau masuk matamu jangan ke arah
Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kamera. Biasa-biasa aja. Nanti dicurigai...."
Nana tidak jadi masuk ke dalam. Sukri juga me?
nahan langkahnya. "Paaak...," kata Nana pelan. Suaranya mengandung
rengekan. "Apa?" tanya Sukri dengan tatapan sayang, tapi
khawatir. Bila nada suara Nana seperti itu biasanya
ada keluhan atau pengaduan. Lalu ia akan merasa
pedih oleh ketidakberdayaan.
"Nanti kalau tabungan Bapak udah banyak, kita
pindah dari sini, ya?"
"Untuk beli rumah sih jelas nggak cukup, Na. Di
Jakarta ini rumah kan mahal. Barangkali bisa sih
nyewa rumah susun, tapi terus kerja apa? Orang yang
kerjaannya kayak kita ini lebih disukai tinggal di
dalam." "Bapak kan pintar berkebun. Kita ke desa aja, Pak.
Isi-Warisan.indd 114 114 Isi-Warisan.indd 115 Beli tanah dan bikin rumah kecil di atasnya, terus kita
bertani...." Sukri termangu, lalu berkata kemudian, "Ya, itu
pikir?an yang bagus, Na. Bapak juga nggak mau terusterusan kayak begini."
Ucapan itu memberi semangat kepada Nana. Ia
me?lompat dan bertepuk tangan. Lalu memeluk ayah?
nya. "Bagus, Pak! Bagus! Begitu dong! Horeee...!"
Sukri tersenyum melihat kegembiraan putrinya.
Semangat itu penting untuk mempertahankan kesabar?
an. *** Beberapa meter dari rumah Jalan Kencana, Kiki me?
lihat ayahnya berjalan mendatanginya. Ia tahu, ayah?
nya bukan semata-mata menjemputnya, tapi juga ingin
berbincang berdua dengannya. Ia merasa senang. Ber?
bincang di rumah pasti didengarkan ibu dan adiknya.
Budiman mengajak Kiki berjalan memutar supaya
jarak ke rumah menjadi lebih jauh hingga mereka bisa
punya waktu lebih banyak untuk berbincang. Mereka
berjalan perlahan-lahan. "Tadi ngomongnya nggak banyak, Pa. Habis ke?
lihat?annya Nana murung dan khawatir terus."
"Kasihan, ya. Rupanya majikannya nggak percaya
sama mereka hingga perlu dipasangin kamera se?
gala." "Padahal pintu ke rumah utama selalu dikunci.
Eh... tempo hari waktu aku ke situ lupa dikunci. Lalu
Nana memberiku kesempatan untuk melongok ke
115 dalamnya. Nggak masuk sih. Kata bapaknya, jangan
masuk, takutnya dikasih tanda."
"Siapa tahu sengaja memancing dengan tidak me?
ngunci pintu. Mereka pengin tahu apakah ada yang
ma?suk atau nggak. Lalu kau melongok mau ngapa?
in?" "Pengin mengingat lagi suasana di dalamnya, Pa."
"Terus masih sama?"
Kiki bercerita tentang pintu yang dikiranya hilang.
"Waktu aku duduk di sofa, kulihat di belakangku
ada pintu. Ingat benar, Pa. Aku pikir itu pintu kamar.
Tapi waktu aku melihat dari tempat tinggal Nana, dari
pintu yang terbuka, mestinya pintu itu ada di se?
berang. Tapi nggak ada lagi. Sofanya sih masih sama.
Sekarang di belakang sofa cuma tembok doang. Tahutahunya bukan hilang, tapi dibongkar. Itu dilakukan
tak lama setelah aku jatuh di sana."
"Apa kamu nggak nanya, pintu apa itu?"
"Katanya pintu itu menuju ke ruang bawah ta?
nah." "Oh, begitu. Jadi maksudnya ruang itu mau di?
hilangkan. Mungkin nggak terpakai lagi."
"Kok ada ruang bawah tanah segala ya, Pa?"
"Banyak rumah kuno seperti itu, Ki. Katanya,
rumah-rumah di Eropa kebanyakan memiliki gudang
di bawah rumah. Ada yang buat instalasi listrik, tem?
pat cuci, atau gudang saja."
"Kan nggak perlu dibuang pintunya ya, Pa. Cukup
dikunci aja." "Kenapa nggak kautanyakan pada Pak Sukri?"
"Dia nggak tahu."
Isi-Warisan.indd 116 116 Isi-Warisan.indd 117 "Memangnya kauanggap itu aneh?"
"Iya," sahut Kiki, teringat saat jatuh ke ruang ba?
wah itu dan kenapa pintu dibongkar tak lama se?
sudahnya. Bagaimana kalau sebelumnya?
"Ah, kupikir itu sih nggak aneh. Biasa-biasa aja,
kan? Mungkin yang punya rumah tak mau meng?
gunakan lagi ruang bawah tersebut," Budiman tak
me?ngerti. "Ya, kayaknya begitu, Pa."
Kiki berpikir mengenai pintu penutup di halaman.
Ruang itu masih bisa dimasuki dari sana. Tapi, kenapa
harus melewati cara yang sulit kalau ada yang lebih
gampang? Kalau mau dihilangkan sama sekali mesti?
nya pintu itu juga harus dibuang lalu lubangnya di?
tutup. Tapi ia tak bisa mendiskusikan soal itu dengan
ayahnya. "Ini pengalaman yang luar biasa, Ki."
"Betul, Pa." "Seumur hidupku belum pernah mengalami hal ini,
Ki. Melihat hantu aja belum pernah."
"Lala bukan hantu, Pa."
"Ya, entahlah apa namanya. Tapi kalau dipikir-pikir
sebenarnya rumah itu tidak kelihatan menakutkan.
Biasa saja seperti rumah yang lain, meskipun antik."
"Alasannya apa, Pa?"
"Coba kaupikir lagi, Ki. Waktu kau ada di dalam
ber?sama Lala dan Bi Ani, apa kau merasa dingin, me?
rinding, atau semacam itu?"
"Nggak, Pa," sahut Kiki tanpa berpikir atau meng?
ingat-ingat. "Papa sendiri gimana? Kan Papa juga
dekat mereka." 117 "Sama sepertimu. Mereka memang persis seperti
orang hidup. Nggak ada yang aneh. Kalau memang
ada, tentu kita sudah ketakutan."
"Nana dan ayahnya juga nggak pernah merasakan
apa-apa, Pa. Padahal mereka tinggal di situ."
"Benar. Pasti mereka penasaran sekali. Kenapa
Lala dan Bi Ani mau menemui kita, padahal nggak
kenal sebelumnya." "Mungkin karena mereka menganggap aku butuh
pertolongan." "Ya, mungkin juga."
Tapi Kiki tidak yakin, apakah kalau ia jatuh di
halaman akan mendapat pertolongan seperti itu juga.
Apakah pada saat ia berada di ruang bawah tanah itu
pintu yang membuka ke dalam rumah sudah tidak
ada? Jadi pintu keluar baginya hanya pintu satu-satu?
nya dari mana ia masuk. Dan tangga yang mesti di?
naiki?nya kecil dan sudah reyot. Ia tidak yakin apakah
kakinya bisa menaiki tangga itu. Ia juga tidak yakin
apa kakinya bisa cepat membaik bila tidak diurut oleh
Bi Ani. Mereka sudah tiba di rumah. Percakapan ber?
akhir. *** Sementara Nana berada di dalam rumah mengerjakan
pekerjaan rumah dan belajar, ayahnya duduk di depan.
Sukri menunggu majikannya pulang. Tadi ia sudah
menerima pesan lewat ponselnya dari sang majikan
bah?wa mereka sudah berada dekat rumah. Suatu isya?
Isi-Warisan.indd 118 118 Isi-Warisan.indd 119 rat bahwa ia sudah harus bersiap membukakan pintu.
Jangan sampai majikan menunggu lama di luar.
Nana sadar ia tidak akan punya banyak waktu ka?
lau majikannya ada di rumah. Sebenarnya ia tidak
habis mengerti kenapa selalu ada saja yang diperintah?
kan Nyonya untuknya. Ambilkan minum, tambah
minum??nya. Ambil es batu, ambil air hangat, ambil ini
ambil itu. Bila ia tidak disuruh hilir-mudik, ia disuruh
memijit tengkuk dan pundak, lalu pindah ke kaki.
Kedua tangannya sampai pegal-pegal dan terkadang
mati rasa untuk sementara. Bahkan bukan hanya ta?
ngan?nya, tapi sekujur tubuhnya ikut pegal karena ber?
ada dalam posisi yang sama terus-menerus. Kadangkadang sampai esok pun pegalnya belum hilang. Lalu
di sekolah ia tak bisa menulis bagus, karena jarijarinya yang kaku.
Ia heran, sepertinya Nyonya tak suka melihat ia
menganggur atau beristirahat. Pada saat Nyonya me?
nonton televisi selalu minta dipijat. Yang ini masih
bisa menghibur, karena ia bisa ikutan menonton semen?
tara kedua tangannya bekerja. Pernah ada tayangan
iklan tentang kursi yang bisa memijat. Ia berharap
majikannya tertarik untuk membeli. Tapi ketika diintip
ternyata mata Nyonya terpejam. Ia berpikir Nyonya
tertidur lalu mengendurkan pijatannya. Tapi bentakan
Nyonya mengejutkannya. Otomatis jari-jarinya bekerja
lagi, sebelum otaknya sempat menyuruh.
Biarpun sudah capek dan pegal, tapi Nyonya selalu
saja menggerutu bahwa pijatannya tidak enak. Seperti
dielus-elus saja. Seperti tak punya tenaga. Seperti ku?
rang makan. Beda sekali dengan pijatan Bi Ani. Tentu
119 saja, kata hatinya, ibuku kan sudah dewasa. Tangannya
besar dan tenaganya besar. Sedang dirinya masih kecil
dengan sepasang tangan yang masih kecil pula. Jelas
pula tenaganya kecil. Ia menganggap Nyonya memang sengaja menyiksa?
nya. Setelah ibunya meninggal, dia menggantikan
posisi ibunya. Padahal dulu ketika ibunya masih ada,
ia tak pernah merasakan deraan Nyonya seperti itu.
Paling-paling ia hanya mendampingi ibunya atau mem?
bantunya melayani Nyonya.
Di saat-saat awal ia merasa seperti beban berat
tiba-tiba ambruk ke pundaknya. Ia menangis setiap
ma?lam akan tidur. Bukan saja karena kecapekan lahirbatin, tapi karena ia pun merindukan ibunya.
Ia berusaha menyembunyikan tangisnya. Tapi ayah?
nya tahu. Lalu mereka menangis berdua. Padahal ia
tak ingin melihat ayahnya menangis. Ia jadi tambah
se?dih. Ayahnya mencoba menghiburnya walaupun ia
tahu ayahnya sendiri perlu dihibur.
Setiap malam ayahnya ganti memijatnya, pundak?
nya dan kedua lengannya. Lalu merendam jari-jarinya
dengan air hangat sambil diurut perlahan. Perlakuan
itu sangat meringankan dan menyenangkan. Ia masih
punya ayah. Ia tak pernah berhenti berpikir. Tanda tanya besar
selalu berdengung di kepalanya.
"Kenapa Nyonya begitu kepadaku, Pak?"
"Sudahlah. Itu sudah sifatnya. Kita nggak bisa
mem?pertanyakan sifat orang," sahut Sukri.
"Aku pernah melihat dia tersenyum ketika aku ter?
kaget-kaget habis dibentak. Kayaknya dia senang
Isi-Warisan.indd 120 120 Isi-Warisan.indd 121 sekali. Apa memang ada orang yang nggak punya rasa
kasihan, Pak?" "Ada saja, Na. Dia itu contohnya."
"Waktu masih ada Lala, dia nggak begitu sama
aku, Pak." "Soalnya ada Lala yang membela."
"Ya, aku tahu. Kadang-kadang aku pikir Nyonya
se?benarnya marah sama aku, kenapa bukan aku saja
yang mati?" "Hus! Jangan mikir begitu. Nggak boleh, Na."
"Kenapa nggak boleh, Pak?"
"Itu namanya nyangka sembarangan. Padahal
nggak tahu pasti." "Perasaanku yang bilang, Pak."
"Perasaan belum tentu benar, Na."
Tapi Nana tahu, sebenarnya ayahnya bukan mem?
bela Nyonya, melainkan ingin meringankan perasaan?
nya. Kalau membenarkan, sama saja dengan menanam
dendam dan kebencian. Setelah perkenalan dengan Kiki, tak habis-habis
rasa penasarannya kenapa ibunya dan Lala justru mem?
perlihatkan diri kepada Kiki, yang tidak pernah di?
kenal sebelumnya? Kenapa tidak pernah sekali pun
mun?cul di hadapannya dan menolongnya atau memberi
penghiburan? Kenapa mau menolong Kiki, tapi tak
mau menolongnya? Itu tidak adil.
Pada saat kecapekan memijit punggung dan teng?
kuk Nyonya, ia ingin sekali saat itu ibunya datang
untuk membantunya, setidaknya menguatkan jari-jari?
nya. Tapi mana? Mama tak pernah muncul. Jari-jari?
nya tetaplah miliknya yang kecil kurang tenaga.
121 Betapa bencinya ia melihat punggung dan tengkuk
putih yang lembut dan berisi itu. Betapa bencinya ia
me?lihat wajah cantik itu. Di matanya, wajah itu ter?
amat jelek. Ia jadi belajar untuk tidak menilai orang
dari luarnya. Setiap kali melihat orang yang cantik, di
televisi atau di mana pun, ia meragukan orang itu.
Orang yang cantik biasanya jahat karena menganggap
dirinya hebat dan karena itu suka merendahkan orang
lain.
Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi untunglah masih ada hari atau saat di mana
ia bisa beristirahat. Sabtu dan Minggu misalnya, atau
libur panjang, meskipun tidak sepanjang hari. Kalau
Nyonya pulang, mulailah ia menjalani deraan itu.
Kadang-kadang Tuan dan Nyonya mengadakan
jamu?an makan malam bagi teman-temannya. Ada se?
kitar dua puluh orang. Ia menghitung mobil yang di?
parkir. Kalau ada sepuluh mobil dan satu mobil dua
orang, berarti dua puluh orang. Pada saat itu ia dan
ayah?nya diliburkan, karena Tuan dan Nyonya meng?
gunakan pelayan dari penyedia makanan. Tapi setelah
acara selesai, mulailah kerja berat untuk mereka
berdua. Ayahnya membereskan rumah dan ia melayani
Nyonya. Bila Nyonya mengantuk dan siap tidur, maka
ia pun lega. Dulu Lala selalu diharuskan ikut serta dalam acara
jamuan itu. Padahal Lala ingin bersamanya, main atau
melakukan apa saja. Pernah juga Lala meminta Nyo?
nya untuk mengajaknya ikut serta, tapi disambut de?
ngan tertawa cemooh. "Nanti orang nyangka aku punya dua anak, yang
satu item yang satu putih. Ha-ha-ha! Mana bisa, La?
Isi-Warisan.indd 122 122 Isi-Warisan.indd 123 Ini kan acara keluarga. Si Nana itu bukan keluarga,
cuma pembantu." Lala cemberut, tak bisa membantah. Ia sendiri ti?
dak merasa sedih, karena sudah terbiasa dengan ce?
mooh?an Nyonya. Lagi pula ia memang tak ingin
ikut-ikutan. Orang-orang itu, teman-teman Tuan dan
Nyonya, di matanya seperti makhluk asing.
Setelah dia dan Lala berduaan, Lala selalu meng?
hiburnya. "Kamu jangan marah dan sedih ya, Na. Mama me?
mang begitu orangnya. Maafin, ya."
"Nggak apa-apa," sahutnya dengan penuh rasa syu?
kur. Bukan hanya Lala, ayahnya pun selalu meng?hibur?
nya dengan kata-kata sama, "Dia memang begitu
orang?nya. Sifatnya sudah begitu...."
Ia tidak mengerti. Apakah sifat tidak bisa ber?
ubah? Ia juga tidak mengerti kenapa setelah Lala tak ada,
acara pesta seperti itu masih tetap dilakukan? Tuan
dan Nyonya seolah tidak merasa sedih atau kehilang?
an. Ia tidak tahu apakah tamu-tamu itu menanyakan
Lala atau tidak, dan kalau mereka menanyakan apa
kiranya tanggapan Tuan dan Nyonya. Kalau kebetulan
ia bisa mendengar, ia tidak paham karena mereka
selalu bicara dalam bahasa asing.
"Mendingan juga nggak ngerti," komentar Sukri.
"Kenapa, Pak?" "Nanti malah sakit hati..."
Pada saat itu ia tidak bisa merasakan kebenaran
ucap?an ayahnya. Baru kemudian ia menyadari kebenar?
123 annya setelah secara tak sengaja menangkap pem?
bicara?an Nyonya dengan salah seorang tetangga yang
menyatakan belasungkawanya atas kematian Lala.
"Ya, Terima kasih, Bu. Tapi anakku masih ada satu
lagi kok. Di Belanda...."
Sahutan Nyonya membuat perasaan Nana perih
se?kali. Ia tidak mau menyampaikannya kepada ayah?
nya karena sudah tahu apa yang akan dikatakannya
nanti. Nana terbangun dari lamunan ketika ayahnya me?
manggil. "Siap-siap, Na! Mereka udah dekat...."
Tak lama kemudian klakson berbunyi. Tuan dan
Nyonya sudah ada di depan pintu gerbang.
Isi-Warisan.indd 124 124 Isi-Warisan.indd 125 ETELAH David Sentosa memarkir mobilnya di
halaman, Sukri mengunci kembali pintu gerbang. Nana
membukakan pintu mobil bagi Linda, sang Nyonya.
Ia melakukannya setiap kali Nyonya pulang bepergian.
Ia sudah diajarkan seperti itu.
Sesudah itu, bersama bapaknya, Nana membawa tas
dan belanjaan ke dalam sementara Tuan dan Nyo?nya
melenggang saja. Sering kali keduanya bergandeng?an
atau berangkulan dengan mesra, terkadang diseling
dengan kecupan. Di belakang mereka, Nana mencibir. Huuu... eneg,
pikir?nya. Seperti di sinetron saja. Apa mereka pikir
sedang main film? "Itu makanan bawa ke belakang, Na. tuang ke pi?
ring, ya? Ingat, cuci tangan dulu sebelumnya," pesan
Linda, sang Nyonya, dengan suara cempreng. Suara?
nya yang khas. "Ya, Nya." 125 "Eh, es krimnya lebih dulu masukin kulkas. Ingat,
taruhnya di freezer, ya?"
"Ya, Nya." Sementara Nana berjalan ke belakang, menuju
ruang makan dengan ayahnya mengikuti di belakang?
nya membawa barang belanjaan yang berat, kedua
suami-istri berhenti di ruang tengah. David yang lebih
dulu berhenti. Ia mengamati dinding di belakang sofa,
di mana dulu terdapat pintu yang menuju ke ruang
bawah. "Ada apa, Pa?" tanya Linda, ikut mengamati. Tak
mengerti apa yang diamati.
David merabai dinding. "Kelihatannya sambung?an?
nya retak, ya?" "Mana?" Linda memelototi dinding, ikut meraba-raba.
Nana yang masih di ruang itu, dalam per?jalanannya
menuju belakang, berhenti lalu menoleh. Ia mendengar
percakapan kedua orang itu dan ingin tahu. Ayahnya
di belakangnya juga ikut menoleh. Kalau saja
percakapan majikannya itu dalam bahasa asing, ia
tidak mengerti. Sekarang, bukan saja ia memahami?
nya, tapi juga merasa ingin tahu.
"Nggak ah, aku nggak lihat ada retak apa-apa.
Bagus kok. Licin," kata Linda.
"Tapi aku merasa seperti ada retakan di bagian
sambungan. Nih, di sini."
David memegang jari telunjuk istrinya lalu me?
letakkannya di bagian dinding yang dimaksudkannya.
"Coba raba...."
Linda meraba-raba kemudian menggeleng. Tapi
Isi-Warisan.indd 126 126 Isi-Warisan.indd 127 kemudian pandangnya tertuju ke arah lain, kepada
Nana dan Sukri yang masih terpaku mengamatinya. Ia
segera melotot. Sebelum suaranya melengking, Nana
sudah berlari pergi. Sukri pun mengangkat kakinya,
tapi tak jadi melangkah karena David memanggilnya.
"Sini, Kri! Coba kamu periksa di sini. Ada retak
apa nggak? Ayo, yang teliti!"
Sukri mematuhi perintah. Ia cermat merabai per?
mukaan dinding yang dulu merupakan pintu, terutama
batas antara dinding lama dan baru. Ia sependapat
dengan Nyonya. Ia tak menjumpai retak, bahkan yang
selebar rambut pun. Tapi ia sadar harus bersikap diplo?
matis. Tak boleh memihak biarpun pandangannya sen?
diri berkata lain. "Ada sedikit, Tuan. Tapi halus sekali. Hampir
nggak keraba dan nggak kentara. Saya pikir ini biasa,
namanya juga sambungan."
"Kalau bikinnya bagus mestinya nggak boleh
begitu, kan?" "Iya, Tuan." "Jadi menurutmu, mesti diapain nih? Apa baiknya
diplester lagi?" "Jangan, Tuan. Nanti malah jadi gak licin. Dan,
jadi kayak polisi tidur."
"Ah, masa sih. Aku takut nanti retaknya makin
besar, lalu ambrol."
"Kalau begitu sih, nggak mungkin, Tuan."
"Jadi dibiarin aja?"
"Ya, Tuan. Kalau retaknya membesar baru nanti
disemen." 127 David masih saja memelototi dan meraba-raba.
Tampaknya tidak puas. Linda memperhatikan dengan
wajah bosan, lalu pergi meninggalkannya. Ia menyusul
Nana ke ruang makan. Tak lama kemudian kedengaran
suaranya yang cempreng. Sukri ingin meninggalkan David untuk menjenguk
dan membantu Nana, tapi tidak berani pergi kalau
belum disuruh. Kemudian David mendekati Sukri, lalu berkata
perlahan, "Yang itu kamu nggak bilang siapa-siapa,
kan?" sambil tangannya menunjuk ke dinding.
Sukri menggeleng. "Tentu saja nggak, Tuan."
"Sama anakmu juga nggak, kan??
"Nggak, Tuan. Sumpah...."
"Awas ya, kalau kamu buka mulut...."
David mengepalkan tinjunya ke muka Sukri.
Wajahnya memperlihatkan ekspresi mengancam. Dari
jarak dekat itu terpaksa Sukri menatap muka David.
Saat itulah ia merasa harus membenarkan ucapan
Nana. Mata David seram. Seperti mata kucing hitam.
Tapi bagi Sukri, ibaratnya bukan seperti mata kucing
hitam, melainkan sesuatu yang lain.
David pergi menuju kamarnya meninggalkan Sukri
yang masih terkesima. Tapi Sukri cepat tersadar men?
dengar suara Linda yang marah-marah kepada Nana.
Ia segera menyusul ke belakang.
Dengan sigap Sukri membantu Nana menata meja
makan. Tadi yang dibawa Nyonya adalah masakan
resto?ran. Nasi sudah dimasak Nana dan dibiarkan ha?
ngat dalam rice cooker. Nana memindahkan nasi ke
dalam wadah. Isi-Warisan.indd 128 128 Isi-Warisan.indd 129 Linda mengamati nasi sejenak lalu mengaduk-aduk.
Tiba-tiba menghardik. "Kok kayaknya keras, Na!"
"Udah mateng kok, Nya."
"Kurang air, tahu?"
"Takarannya biasa kok, Nya."
"Biasa! Biasa! Udah jelas seperti ini. Kalau dikasih
tahu, mbantah melulu! Dasar kampungan! Lahir di kota,
tinggal di kota, tapi tetap saja mental kam?pung!"
Nana tertunduk. Ia tahu, segala yang dikerjakannya
tak pernah beres di mata Nyonya. Memang tak perlu
membantah. Tapi selalu terdorong karena penasaran.
Sementara Sukri pura-pura tak mendengar dan
menyibukkan diri tapi matanya melirik sesekali. Tak
ada gunanya membela bila tidak membawa kebaikan.
Sebenarnya ia tidak ingin melihat karena tidak tega
melihat ekspresi Nana yang sedih. Ia memang sudah
terbiasa melihat ekspresi Nana yang seperti itu bila
berada di dekat Nyonya. Ekspresi sedih dan takut.
Tapi biarpun sudah terbiasa, hatinya selalu merasa
seolah tertusuk. Sebagai ayah tidak bisa membela,
membiarkan saja, tidak berbuat apa-apa. Malu.
Tapi kemudian, setelah melirik untuk kesekian kali?
nya, tiba-tiba ia serasa membeku. Tak sengaja ia me?
lirik ke arah Nyonya, bukan Nana. Yang terlihat oleh?
nya mengejutkan dan sekaligus menakutkan dirinya.
Di mata Nyonya ia melihat kebencian kepada Nana!
Buru-buru ia mengalihkan tatapan, kembali kepada
objek yang sedang dikerjakan. Itu pun dengan me?
maksa diri. Padahal masih ingin memperhatikan,
kalau-kalau salah lihat dan ingin memastikan. Tapi ia
129 juga takut kedapatan. Kalau hal itu terjadi, bisa ce?
laka. "Kri!" Sukri terlompat kaget. Hampir ia terjatuh.
"Ya, Nya?" "Cepat panggil Tuan. Mau diajak makan. Habis itu
kamu pulang aja. Biar si Nana tetap di sini."
"Baik, Nya." Setelah bertukar pandang sejenak dengan Nana,
Sukri cepat pergi. Kalau berlama-lama bisa dihardik.
Di depan kamar majikannya, ia mengetuk pintu. Pelan
saja. "Tuan, dipanggil Nyonya."
"Ya!" sahutan keras si Tuan.
Lalu Sukri bergegas pergi lewat pintu samping
yang menembus ke pavilyunnya. Nanti Nana pun
pulang lewat pintu yang sama. Malam hari pintu itu
dikunci seperti pintu-pintu yang lain. Rumah besar
me?miliki pintu yang banyak. Pintu lain sudah dikunci
olehnya. Tinggal pintu yang satu itu. Nanti yang akan
mengunci adalah Tuan atau Nyonya karena merekalah
yang berada di dalam. Begitu merapatkan pintu, ia menjatuhkan diri
duduk di atas karpet di lantai, lalu rebah menelentang.
Lalu memejamkan mata. Di relung kegelapan matanya
tetap saja tampak mata Nyonya yang menyorotkan
Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke?bencian kepada Nana. Kenapa benci? Jadi itukah
sebabnya kenapa perlakuan Nyonya kepada Nana tak
pernah ramah? Apakah ada sesuatu yang dilakukan
Nana hingga Nyonya dendam kepadanya? Sulit rasa?
nya menerima hal itu. Setahu Sukri, Nana tak pernah
Isi-Warisan.indd 130 130 Isi-Warisan.indd 131 menentang atau menolak apa yang diperintahkan.
Nana anak yang baik dan sangat memahami
kewajiban-kewajibannya. Itu merupakan hasil didikan
almarhumah istrinya, Ani. Lala juga menjadi anak
yang baik dan santun berkat Ani. Dia tumbuh besar
dalam asuhan Ani, bukan ibu kandungnya yang lebih
sering meninggalkannya. Ketika Nana berusia tiga tahun, mereka sekeluarga
mulai bekerja dan juga tinggal di situ. Sukri dire?ko?
mendasikan oleh teman Tuan yang mau pindah ke luar
negeri tapi tak mau membawanya serta karena Sukri
punya keluarga. Dia menjadi tukang kebun merangkap
kerja serabutan lainnya. Sedang Ani menjadi pembantu
yang kerjanya terbatas karena punya anak kecil. Hal
itu sudah disepakati sebelumnya.
Waktu itu Lala yang juga berumur tiga tahun me?
miliki pengasuh sendiri. Tapi pengasuh Lala tak per?
nah bisa bertahan lama karena kecerewetan Nyonya.
Akhirnya, setelah pengasuh terakhir minta berhenti,
Nyo?nya menyuruh Ani sekalian mengasuh Nana. Ke?
dua anak itu pun bisa bermain bersama. Tampaknya
keduanya memang akrab sejak dipertemukan. Dengan
posisinya yang baru itu Ani tak lagi menjadi pembantu
rumah tangga, melainkan jadi pengasuh anak. Nyonya
lebih mudah mendapatkan pembantu rumah tangga
daripada pengasuh anak yang bisa ia percaya. Ia juga
punya penilaian yang baik terhadap Ani karena me?
lihat fisik Nana yang sehat dan bersih berkat peng?
asuhan Ani. Di samping itu Ani juga tahan dice?re?
weti. Stella atau Lala sebenarnya memiliki seorang
131 kakak perempuan. Namanya Imelda. Umurnya dengan
Lala hanya berbeda setahun. Setelah Lala lahir, Imelda
diasuh oleh Olivia, kakak Nyonya yang tinggal di
Belanda dan tidak memiliki anak. Setahun sekali
Imelda datang berkunjung dan menetap selama se?
bulan. Setelah Lala dan Nana tidak lagi memerlukan peng?
asuhan terus-menerus, maka Ani mendapat tambahan
pekerjaan, yaitu sebagai pelayan pribadi Nyonya.
"Supaya nggak banyak nganggur," kata Nyonya.
Tetapi Nana yang sudah besar itu pun tidak dibiar?
kan menganggur. Ia juga disuruh bekerja. Kalau tak
di?lihat ibunya, Lala suka membantu. Ia tidak suka de?
ngan sikap ibunya yang suka meremehkan. Kalau se?
dang sedih atau dimarahi orangtuanya, Lala selalu
men?cari penghiburan kepada Nana dan Ani yang su?
dah dianggapnya sebagai ibu kedua.
Waktu kecil, Lala suka memanggil Ani dengan se?
but?an Mama, meniru Nana. Tapi ketika Nyonya men?
dengarnya, ia marah besar. Hampir saja Lala dipukul?
nya kalau tidak dicegah Ani. Lalu Nyonya marah
ke?pada Ani karena mengira dia yang mengajarkan
panggilan itu. "Pokoknya menjadi tanggung jawabmu untuk
ngajar?in dia. Awas, kalau kudengar dia nyebut Mama
lagi kepadamu. Emangnya anakku punya ibu pem?
bantu!" sembur Nyonya.
Nana juga membantu mengingatkan Lala kalau dia
salah sebut. Nana takut ibunya diapa-apakan Nyonya.
Tapi justru alasan itulah yang membuat Lala benarbenar jera. Ia juga takut kalau Ani sampai diapa-apa?
Isi-Warisan.indd 132 132 Isi-Warisan.indd 133 kan. Ia sayang kepada Ani. Sejak itu panggilannya
adalah "Bi Ani" dan tidak pernah salah lagi.
Setelah Lala dan Ani meninggal, mulailah tempat
itu bagai neraka bagi Nana.
Sukri benar-benar tidak mengerti. Dia sekeluarga
sudah lama bekerja di situ. Sudah delapan tahun. Itu
bukanlah waktu yang singkat. Masihkah mereka belum
mendapat kepercayaan atau majikannya memang tak
bisa dan tak mau memberi kepercayaan? Ia pernah
men?dengar ucapan Nyonya, "Kalau terlalu dipercaya,
mereka bisa menyalahgunakannya...."
Memang ucapan itu tidak ditujukan langsung
kepada?nya, tapi ia punya perasaan bahwa Nyonya
sengaja bicara keras supaya ia bisa mendengarnya. Ia
merasa tersinggung tapi kemudian setelah berpikir
lebih dalam ia merasa sikap majikan seperti itu ada
baik?nya juga. Ia tidak perlu khawatir akan dituding
kalau ada barang berharga hilang karena sudah dijaga
dengan baik. Tuan sendiri jarang berinteraksi dengannya. Selalu
Nyonya yang jadi juru bicara kalau Tuan perlu apaapa. Satu-satunya hal yang dibicarakan Tuan khusus
dengannya adalah mengenai ruang bawah tanah itu.
Tidak boleh memberitahu siapa-siapa, termasuk Nyo?
nya. Tentu saja semua orang tahu mengenai keberadaan
ruang itu, termasuk Nana dan Lala. Apalagi Nyonya
sebagai nyonya rumah. Setahu Sukri, rumah itu milik
Tuan, yang diperoleh sebagai warisan turun-temurun.
Katanya Tuan punya darah Belanda dari nenek
moyangnya. 133 Tapi yang khusus itu adalah sesuatu yang dikerja?
kan Sukri di ruang itu. Ia disuruh menggali lubang di
tengah ruang bawah tanah itu. Lubang yang luasnya
satu kali dua meter dan dalamnya satu setengah me?
ter. Ia membayangkan kembali saat-saat itu.
Hal itu dikerjakan sebelum pintu dibongkar. Se?
lama tiga hari baru ia selesai menggali. Tak bisa
cepat-cepat karena ia mengerjakannya di luar pekerja?
an rutin dan di luar pandangan orang-orang rumah,
ter?utama Nana. Untuk itu ia diberi kunci pintu.
Pengerja?annya selalu pagi hari pada saat Nana sekolah
dan Nyonya pergi. Pembantu yang lain, yaitu mereka
yang tidak menginap, tidak peduli pada apa yang di?
kerja?kannya karena mereka memang tidak bisa me?
lihat. Pintu ke ruang bawah itu selalu dikunci dan bila
ia turun untuk mulai bekerja, ia menguncinya lagi dari
dalam. Para pembantu itu pun sudah tahu bahwa ada
gudang di ruang bawah itu. Sedang Sukri disegani
me?reka karena posisinya yang senior dan juga peng?
awas. Untung saja lantai ruang bawah itu hanya disemen
tipis. Jadi mudah membongkarnya, dan tanah di ba?
wah?nya pun tidak keras. Tapi udara pengap dan panas
membuat ia cepat lelah dan berkeringat. Ia ingin mem?
buka sedikit papan penutup di halaman supaya udara
segar bisa masuk biarpun sedikit. Tapi ia takut pem?
bantu lain yang kebetulan berada di situ tahu lalu
meng?intip ke dalam. Ia takut dimarahi Tuan lalu di?
pecat. Bukan hanya itu, ia juga khawatir Tuan batal
mem?berinya imbalan yang dijanjikan.
Isi-Warisan.indd 134 134 Isi-Warisan.indd 135 Sebenarnya ia diliputi tanda tanya, untuk apa lu?
bang itu dibuat? Kenapa ukurannya pas untuk tubuh
manusia? Jangan-jangan untuk diriku, pikirnya seram.
Tapi itu tentu tidak mungkin. Dia tidak pernah melaku?
kan kesalahan pada Tuan maupun Nyonya. Ia selalu
patuh, tak pernah melawan.
Ia tidak pernah ingin tahu, barang-barang apa saja
yang disimpan di ruang itu. Sekilas pandangan pun
bisa disimpulkan bahwa di situ cuma ada barang
rongsokan. Sebenarnya masih ada harganya kalau di?
jual ke tukang loak, tapi orang kaya mana mau ber?
urusan dengan tukang loak? Muncul juga pikiran
bisnis?nya. Kenapa tak diberikan saja kepadanya? Biar
dia yang menjualkannya. Tapi tak mungkin ia meminta
seperti itu. Malu. Kalau sampai seperti itu, ia seolah
mata duitan. Perhatiannya sempat terfokus ke sebuah peti agak
panjang di sudut bawah tangga. Mirip-mirip peti mati.
Semula muncul niat untuk mengintip isinya, tapi dari
kejauhan pun sudah kelihatan ada gembok yang men?
cantol di bagian tengah penutupnya. Karena iseng ia
mendekat juga untuk memeriksa. Peti itu dari kayu
jati tua. Tampaknya antik tapi bentuknya biasa saja,
bahkan kasar. Tak dipelitur atau dicat. Mungkin isinya
pakaian tua atau barang rongsokan kecil-kecil yang
sayang dibuang. Tapi ia segera melihat bahwa gembok
yang terpasang itu masih baru. Muncul perasaan
kurang nyaman. Jangan-jangan tadinya peti itu tidak
digembok, tapi karena dia disuruh kerja di situ, maka
dikhawatirkan ia akan mengambil atau mencomot isi
peti. Tapi perasaan itu cuma muncul sebentar. Biar
135 sajalah. Justru dengan digembok maka ia bisa bebas
dari prasangka. Daripada nanti muncul ribut-ribut ten?
tang barang hilang, maka dirinya bisa dijadikan ter?
sangka. Tapi, mana mungkin barang berharga disimpan
di gudang bawah tanah? Keheranannya memuncak setelah Tuan menyampai?
kan maksudnya. Setelah memeriksa lubang yang telah
dibuatnya dan merasa puas, Tuan menunjuk peti itu.
"Aku mau memasukkannya ke sini. Ayo, kubantu
kau menggotong. Takut kau nggak kuat."
Sukri sudah belajar untuk tidak bertanya, seberapa
besar pun keingintahuannya. Apa pun yang mau dilaku?
kan Tuan dengan barang miliknya sendiri, itu adalah
haknya. Mereka menggotongnya. Sepertinya tidak begitu
berat. Tapi yang pasti ia tidak akan kuat mengangkat?
nya sendiri. Setelah peti ditaruh di sisi lubang, Tuan
meng?ambil tali yang sudah dipersiapkannya di salah
satu laci meja tua. Berdua mereka mengikat peti de?
ngan tali kemudian menyusupkan sebuah batang besi
ke bawah ikatan tali. Masing-masing memegang satu
ujung batang besi lalu mengangkatnya untuk perlahanlahan diletakkan ke dalam lubang.
"Bagus!" kata Tuan sambil menepiskan kedua ta?
ngan?nya. "Sekarang kamu bereskan sendiri, ya? Tali?
nya dikeluarkan. Terus lubangnya diuruk lagi. Sisa
ta?nah nanti kau keluarkan dari sana aja," Tuan me?
nunjuk lubang berpenutup papan di sebelah atas.
"Ya, Tuan." "Besok kamu beli semen dan pasir untuk nyemen
per?mukaannya. Supaya nggak kayak kuburan." Tuan
Isi-Warisan.indd 136 136 Isi-Warisan.indd 137 terkekeh. "Oh ya, ada semen yang sudah bercampur
pa?sir. Semen instan. Tinggal kasih air, bisa langsung
pakai. Beli dua karung. Takutnya kalau satu nggak
cukup. Kalau lebih ditebalkan saja, atau dipakai me?
ratakan dengan sekitarnya."
"Baik, Tuan." Selama Tuan berbicara itu, Sukri tetap sibuk de?
ngan pekerjaannya. Kemudian Tuan menarik dompetnya dari saku. Ia
mengeluarkan tiga helai uang kertas seratus ribu
"Nih, duitnya, Kri. Pasti lebih dari cukup. Sisanya
buat kamu beli minuman."
"Ya, Tuan. Terima kasih."
Sesudah Tuan meninggalkan tempat itu ia termangu
memandangi peti di dalam lubang. Jangan sampai se?
perti kuburan, kata Tuan. Tapi kenyataannya memang
seperti itu. Tentu saja ia tidak berani bertanya, kenapa
barang rongsokan saja harus dikubur. Seaneh apa pun,
itu hak Tuan sebagai pemilik barang. Ia hanya men?
jalankan perintah. Ia mengingat-ingat lagi. Bila peti itu berisi tubuh
manusia dewasa, pasti jauh lebih berat. Pemikiran ini
sedikit melegakan. Sebenarnya yang berat dari peti itu
adalah kayunya. Sayang sebenarnya, mengingat kayu
jati mahal harganya. Perasaannya tak nyaman kalau berpikir mengenai
yang seram-seram. Mustahil Tuan menguburkan mayat
di ruang bawah rumahnya sendiri. Kalau memang
benar, tentu dikerjakannya saja sendiri supaya tidak
ada orang lain yang tahu rahasianya. Tapi ketidak?
wajar?an itu tetap mengganggu pikirannya.
137 Barangkali isi peti itu adalah rahasia Tuan yang
tak boleh diketahui Nyonya. Sesuatu yang sifatnya
pri?badi. Mungkin barang-barang peninggalan bekas
pacar atau selingkuhannya. Tapi kenapa tidak dimasuk?
kan ke dalam kantong plastik sampah saja baru di?
kubur? Lebih ringan dan tidak makan tempat. Petinya
pun bisa dimanfaatkan. Ia berusaha menepis pikiran buruk. Bukankah se?
lama ini ia tidak pernah melihat Tuan berbuat kejam
kepada siapa-siapa? Akhirnya pekerjaannya selesai. Tuan datang meme?
riksa dan menyatakan kepuasannya. Imbalan yang di?
beri?kan membuat ia serasa melayang. Satu juta rupiah.
Gajinya sebulan saja tidak mencapai angka sebegitu.
Padahal pekerjaannya hanya memakan waktu tiga hari.
Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Itu pun tidak penuh. Dengan gembira ia menambahkan uang itu ke da?
lam tabungannya. Sebenarnya ada suara hati yang
me?nyampaikan keheranan, tak ubahnya dengan pe?
kerjaan itu. Pekerjaan yang mengherankan, imbalannya
pun demikian. Tetapi ia terlampau gembira hingga tak
ingin memikirkannya berlama-lama.
Sudah tentu soal uang itu tak bisa ia ceritakan
kepada Nana, karena berkaitan dengan rahasia yang
harus dipegangnya. Jadi ia tak bisa membagi kabar
gembira atau berdiskusi. Meskipun usia Nana belum
dua belas tahun, tapi ia cerdas dan enak diajak ber?
diskusi. Bahkan kadang-kadang Sukri merasa dirinya
lebih bodoh dari Nana. Esoknya Tuan memanggil tukang batu untuk mem?
bongkar pintu yang menuju ruang bawah dan meng?
Isi-Warisan.indd 138 138 Isi-Warisan.indd 139 gantinya dengan dinding yang menyatu dengan bagian
dinding lain. Mungkin Tuan tak percaya bahwa ia bisa
melakukannya dengan baik. Ia memang tak punya
pengalaman sebagai tukang bangunan.
Lenyap sudah akses menuju ruang bawah. Hanya
tinggal satu pintu masuk, yaitu yang berpenutup papan
di halaman. Semula ia mengira, pintu itu pun akan
di?tutup. Yang itu lebih gampang, yaitu tinggal me?nye?
mennya saja tanpa mengangkat papannya, maka tak
ada yang tahu bahwa di bawahnya ada pintu masuk
ke ruang bawah. Ia sendiri bisa mengerjakannya. Tapi
tak ada perintah untuk itu.
Tambah lagi keheranan yang lain. Pintu tersebut
dibongkar dan disemen tentu supaya tak ada lagi
orang yang bisa turun ke bawah. Bila yang mau disem?
bunyikan dari penglihatan orang adalah peti itu, maka
seharusnya pembongkaran pintu tak perlu lagi. Bukan?
kah peti sudah rapi tersembunyi? Hanya dia dan Tuan
yang tahu. Tuan pun mestinya tidak perlu meng?
khawatirkan dirinya akan bercerita kepada orang lain,
meski?pun sudah berjanji, karena ia tidak tahu apa isi
peti itu. Mustahil ia bisa menyebar prasangka buruk
tanpa bukti? Sekarang Tuan memasalahkan adanya retak pada
dinding bekas pintu, padahal ia tidak melihat apa-apa.
Nyonya pun tidak melihat. Bukankah itu kekhawatiran
yang berlebihan? Sukri terkantuk-kantuk. Kemudian ia teringat pada
kamera-kamera itu. Tentunya terekam di situ gambar
dirinya yang sedang menelentang di lantai. Ah, tidak
apa-apa. Bisa saja ia terbujur kecapekan atau memang
139 terbiasa tidur-tiduran di situ, di pavilyunnya. Tak ada
yang aneh dan perlu dicurigai.
Kamera-kamera itu sudah menjadi duri dalam
daging. Untung saja hanya ada satu di pavilyunnya.
Satu lagi di ruang tamu di rumah utama. Mungkin
ruang tamu dianggap penting untuk memantau apakah
ada tamu yang datang. Setiap orang yang mau masuk
ke dalam tentunya harus melewati ruang itu lebih
dulu. Ia juga teringat pada persangkaan Nana, kalaukalau di halaman juga dipasangi kamera. Tapi ia yakin
tidak melihat pemasangannya. Yang diketahuinya ada?
lah pemasangan di teras tengah di muka rumah utama.
Kamera itu bisa menjangkau pintu gerbang, berarti ia
dan Nana harus berhati-hati. Bila ia atau Nana keluarmasuk rumah, maka mereka berdua harus menyiapkan
alasan yang masuk akal kalau ditanya. Selama ini tak
ada larangan bagi mereka untuk keluar?masuk rumah
selama rumah ada yang menjaga.
Sepertinya kehidupan di rumah itu menjadi tidak
nyaman lagi. Sejak sekarang ia harus serius memikir?
kan masa depannya. Terutama masa depan Nana. Se?
karang Nana duduk di kelas 6 SD. Tak lama lagi ujian
akhir. Barangkali baiknya menunggu sampai selesai
ujian karena Nana tentunya akan terus melanjutkan
sekolah. Tidak seperti dirinya yang hanya lulusan SD.
Bila pindah tempat tinggal, tentunya harus pindah
sekolah juga. Sekarang ini hidupnya untuk kepentingan
Nana saja. Ia kasihan kepada Nana. Ia sedih kalau teringat
pada Ani. Seharusnya mereka berdua membesarkan
Isi-Warisan.indd 140 140 Isi-Warisan.indd 141 Nana. Bukan dia sendirian saja. Tanpa Ani, dia seperti
perahu oleng. Untung saja Nana sudah besar hingga
ia tidak terlalu kerepotan. Bahkan sebaliknya, justru
Nana yang kerap menjadi penopang dirinya di saat
se?dih dan putus asa. Ia jadi diingatkan, bukan dirinya
saja yang kehilangan Ani, tapi lebih-lebih Nana.
Mereka jadi saling menghibur, saling menguatkan.
Lalu ada kejadian aneh, yaitu pengalaman Kiki.
Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Pertanyaan yang
jelas tak ada jawabnya. Seperti kata Nana, harus di?
terima saja karena memang begitu adanya. Tapi ada
juga rasa senang karena sekarang Ani bersama Lala.
Mereka berdua selalu ada di situ biarpun tak kelihatan.
Kalau orang tak dikenal seperti Kiki saja ditolong,
mustahil dia dan Nana dibiarkan kalau sampai terjadi
sesuatu? Sukri tersentak dari rasa kantuk yang tadi hampir
menguasainya. Ia mencoba menajamkan telinganya.
Tapi seperti sudah diduga, tak ada suara apa pun yang
bisa tertangkap dari ruang di sebelah sana. Suara dari
ruang yang bersebelahan dinding saja tidak bisa ter?
dengar, apalagi dari ruang yang di belakangnya.
Ruang?annya luas, dinding pun tebal. Bahkan suara
cempreng Nyonya tak bisa tertangkap bila semuanya
tertutup. Lama sekali, pikirnya. Entah apa yang sedang di?
laku?kan Nana sekarang. Acara makan pastinya sudah
selesai. Mungkin ia sedang mencuci piring dan mem?
benahi ruang makan. Atau disuruh memijit?
Tak ada panggilan untuknya lewat interkom, sarana
panggilan di rumah itu untuk orang-orang yang berada
141 di ruangan lain. Padahal kalau dipanggil, ia bisa mem?
bantu Nana supaya pekerjaannya cepat selesai. Kasih?
an Nana. Pasti dia sudah mengantuk. Untung pekerja?
an sekolahnya sudah selesai. Ia juga sudah belajar
untuk ulangan besok. Tapi biasanya sebelum tidur ia
mengulang lagi supaya lebih melekat dalam ingatan.
Sukri merasa bangga akan anak semata wayangnya.
Dia pintar dan rajin. Tidak seperti dirinya dulu. Sudah
bodoh, malas pula. "Anak kita harus sekolah setinggi mungkin," kata
Ani dulu. Ucapan yang sering diulang-ulang.
"Ya. Tentu saja," kata Sukri keras-keras. Sepertinya
ia mendengar ucapan Ani itu secara nyata.
Dulu Nana dan Lala selalu belajar bersama di
pavilyunnya ini. Mereka berbeda sekolah. Jadi bisa
saling membagi, apa yang diterima dan tidak diterima
di sekolah masing-masing. Lala bersekolah di sekolah
yang berpredikat internasional yang kualitasnya lebih
bila dibandingkan dengan sekolah Nana, terutama
tentu?nya dalam bahasa Inggris. Jadi Nana bisa me?
nyerap banyak dari Lala. Tapi pemahaman Nana ten?
tang matematika lebih tinggi meskipun banyak materi
yang didapat dari sekolahnya ketinggalan dari sekolah
lain. Ia bisa mengikuti dan memahami lebih cepat
dibanding Lala. Jadi mereka berdua bisa saling mem?
beri dan menerima. Setelah Lala tak ada, jelas Nana sangat kehilangan.
Dua pukulan sekaligus. Ibunya dan Lala. Sukri sampai
cemas sekali kalau-kalau pukulan itu bisa meme?
ngaruhi Nana. Pada awalnya Nana memang terlihat
stres sekali. Sering termenung dan menangis. Makan
Isi-Warisan.indd 142 142 Isi-Warisan.indd 143 juga sedikit. Sukri sampai bingung bagaimana meng?
hiburnya. Ia sendiri terpukul, tapi harus memikirkan
kondisi Nana. Bila ia hanya mengurung diri dalam
ke?sedihannya sendiri, bagaimana dengan Nana yang
hanya memiliki dirinya? Untunglah Nana bisa pulih. Semangatnya kembali
dan makannya normal, meskipun sesekali ia masih
suka menangis kalau terkenang pada orang-orang yang
dikasihinya. Sukri sakit hati pada Nyonya yang waktu itu se?
olah tak mau tahu akan kondisi Nana. Justru dalam
ke?adaan seperti itu Nana disuruh menggantikan tempat
Ani. Sukri tak mengerti kenapa Nyonya seolah tak
punya rasa perikemanusiaan. Ia juga heran kenapa
Nyo?nya seolah tak bersedih dengan kematian Stella.
Demi?kian pula dengan Tuan. Seharusnya mereka se?
mua bersedih. Ia tak pernah melihat Nyonya me?
nangis. Tapi tentu saja ia bisa memaklumi. Biarpun
Nyonya menangis meraung-raung, ia tidak akan bisa
mendengar bila berada di dalam pavilyunnya sendiri.
Masa orang harus menangis di depannya. Hati yang
sedih belum tentu diperlihatkan di mukanya. Tapi ia
tetap merasakan hal-hal yang baginya sulit diterima.
Lalu dengan terkejut Sukri teringat pada ucapan
Nana. "Mungkin Nyonya benci padaku, karena ia meng?
anggap harusnya aku yang mati, bukan Lala."
Ia tidak percaya akan hal itu. Tapi sekarang ia me?
mikirkannya kembali. Ia duduk dan mengamati pintu di sebelahnya. Ter?
niat untuk membuka sedikit dan mencoba menangkap
143 suara-suara dari ruang di belakang. Tapi ia takut ke?
dapatan. Jelas tak mungkin baginya untuk nyelonong
masuk ke sana tanpa dipanggil. Itu adalah kelancangan
yang paling dibenci oleh Tuan dan Nyonya.
Tiba-tiba pintu terbuka. Sukri terkejut karena ia tak
mendengar suara apa pun sebelumnya. Nana masuk.
Ia membawa bungkusan. "Oh, Na... udah beres? Bapak nunggu-nunggu
panggilan," kata Sukri dengan rasa sesal, menatap wajah
Nana yang tampak lelah dan mata menahan kan?tuk.
"Udah, Pak. Nyonya bilang, aku bisa ngerjain sen?
diri." Ucapan itu kedengaran biasa, tapi Sukri menangkap
nada pahit. "Capek, Na? Sudah sana, cuci muka dan tangan.
Terus tidur." "Aku mau mandi aja, Pak. Biar lebih segar."
"Ah, mandi malam-malam? Emangnya jadi segar
mau ke mana? Kan mau tidur?"
"Aku mau ngulang lagi buat besok sekolah, Pak."
"Ya, ya. Baiklah. Tapi jangan lama-lama mandinya,
ya." "Iya, Pak." Setelah berjalan beberapa langkah, Nana berbalik
lalu menyodorkan bungkusan yang dibawanya.
"Oh ya, Pak. Ini ayam goreng dari Nyonya. Nggak
habis...." "Sisa?" kata Sukri, merasa sedih. Padahal duludulu tidak begitu.
Nana tidak menyahut. Ia cepat berlalu seolah mau
mengejar waktu. Isi-Warisan.indd 144 144 Isi-Warisan.indd 145 Sukri melangkah ke dapur dengan membawa
bungkusan tadi. Ia menengok dulu ke arah kamera.
Lensa itu tidak mungkin bisa menembus dinding, pikir?
nya meyakinkan diri. Tanpa membuka bungkusan untuk melihat isinya,
ia memasukkannya ke dalam tempat sampah!
"Dibuang, Pak?" tanya Nana yang sempat melihat
se?belum masuk ke kamar mandi. Nadanya tidak me?
nyesali. Hanya menegaskan saja.
"Iya. Mulai sekarang kita jangan lagi makan
makan?an sisa mereka, Na."
Nana tertegun. Tak jadi masuk kamar mandi. Ia
menatap ayahnya dengan rupa heran.
"Kenapa, Pak?" tanyanya ingin tahu.
"Baiknya jangan. Nanti kamu pun jangan makan
apa-apa yang dikasih Nyonya. Kalau dikasih terima
aja, tapi jangan dimakan. Bilang aja kamu mau bawa
pulang untuk membagi dengan Bapak."
Nana akan bertanya lagi, tapi lalu mengurungkan
niatnya. "Iya, Pak. Aku juga nggak pengin kok," katanya
lalu menutup pintu kamar mandi.
Sukri mengangguk puas. Ia senang akan sikap
Nana. Besok ia akan membuang sampahnya di luar
rumah. Jangan sampai dilihat pembantu lain, karena
nanti bisa sampai ke telinga Nyonya.
Semua orang harus berupaya melindungi diri sen?
diri dan keluarganya, pikirnya. Aku cuma punya Nana
dan Nana cuma punya aku. 145 ARI-HARI berikutnya, Kiki dan Nana punya
kegiatan baru. Sepulang sekolah Kiki menemui Nana
di sekolahnya yang berjarak tak terlalu jauh untuk
pulang bersama. Untuk itu ia berjalan sendiri, tak lagi
seiring dengan ketiga temannya dan juga Fani. Mereka
berempat langsung pulang ke rumah masing-masing.
Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sukri sudah mengetahui dan mendukung per?teman?
an mereka. Ia yang memberi info apakah Nyonya
siang itu ada di rumah atau tidak. Lebih sering Nyo?
nya pergi dan kemudian makan siang di luar. Jadi
Nana punya waktu untuk pulang lebih lambat dari
biasanya. Lalu Sukri akan mengabari apakah Nyonya
sudah berada di jalan pulang atau belum karena dia
yang menjaga pintu. Dengan demikian Nana bisa
cepat-cepat pulang. Pertemuan kedua anak itu hanya untuk memuaskan
keinginan berbicara dan bercerita. Jadi sambil berjalan
pulang mereka mengobrol. Terkadang berhenti bila
Isi-Warisan.indd 146 146 Isi-Warisan.indd 147 ada tempat untuk duduk. Perhentian paling akhir ada?
lah di dekat rumah Nana, supaya ia tidak terburu-buru
bila ada kabar darurat dari ayahnya. Tapi mereka tak
pernah berlama-lama karena keyakinan masih ada hari
esok. Simpan saja ceritanya untuk esok supaya tak
ada hari tanpa bercerita.
Fani mengadukan hal itu kepada ibunya karena
sebenarnya ia pun ingin diajak ikut serta. Bukankah
ia pun teman Nana? Tapi Sumarni cukup bijak untuk
men?jelaskan bahwa ada saatnya nanti Nana bisa ber?
main bersama. Sekarang mereka harus berhati-hati
supaya tidak ketahuan oleh majikan Nana yang galak.
Bila disinggung perihal majikan Nana dan penderitaan
yang dialami Nana, maka Fani cepat memahami.
Sekarang Nana mempunyai teman curhat yang se?
baya. Kiki jadi pengganti Lala. Curhat kepada ayahnya
berbeda. Sering kali ia harus menahan hati untuk tidak
bercerita kepada ayahnya karena sadar ceritanya bisa
membuat ayahnya bersedih karena merasa tak ber?
daya. "Jadi kau tumbuh besar bersama Lala," kata Kiki.
"Ya. Delapan tahun, Ki. Nggak nyangka dia pergi
be?gitu cepat. Padahal kami dulu sering beranganangan, bagaimana kalau sudah dewasa nanti. Bercanda
aja. Sama sekali nggak nyangka bakal kejadian seperti
itu." "Kasihan ya. Pasti keracunan itu sakit sekali."
Kemudian Kiki sadar ucapan seperti itu bisa mem?
buat Nana menjadi sedih lagi.
"Maaf, Na. Aku nggak bermaksud..."
"Nggak apa-apa, Ki. Memang sakit kelihatannya."
147 Nana memejamkan mata saat mengatakannya. Kiki
menyesal sekali telah berkata seperti itu.
"Sudahlah, Na. Jangan dipikirkan lagi."
Nana membuka mata lalu tersenyum. Kiki terpana
melihatnya. Nana manis sekali, pikirnya. Lala cantik.
Nana manis. Pikiran yang membuat wajahnya jadi
me??rona kemerahan. Duh, aku kok berlagak dewasa
saja. "Ngomong-ngomong, Na. Kamu kan tahu tentang
ruang bawah tanah itu. Apa kau dan Lala pernah ma?
suk ke situ?" "Ya. Pernah. Kami bertiga, aku bersama Lala dan
Imelda, kakaknya. Waktu itu Imelda sedang berlibur
di sini." "Emangnya nggak dikunci?"
"Dikunci sih. Kuncinya juga disembunyikan. Tapi
Lala berhasil mengambil kuncinya. Kita turun per?
lahan-lahan, serem juga sih. Gelap remang-remang
begitu. Banyak barang kuno kayaknya."
"Kenapa ada larangan turun? Siapa yang me?
larang?" "Tuan. Makanya dikunci."
"Terus lihat apa lagi di situ?"
"Ya, Cuma barang rongsokan aja. Aku dan Imel
naik duluan. Lala belakangan. Waktu kami udah ada
di atas, kedengaran Lala menjerit."
"Menjerit? Kenapa?"
"Dia cuma bilang, di situ serem banget. Tapi
nggak mau bilang seremnya kayak apa. Sesudah itu
dia buru-buru ngembaliin kunci. Aku dan Imel nggak
tahu tempatnya di mana. Sesudah itu kami nggak
Isi-Warisan.indd 148 148 Isi-Warisan.indd 149 pernah turun lagi ke bawah. Memang nggak kepengin
kok. Yang berani itu Lala."
"Jadi cuma sekali-sekalinya itu kau turun?"
"Iya." Nana mengamatinya sebentar dengan heran.
"Eh, kau pengin tahu amat sih, Ki. Apa waktu
itu...," Nana tidak melanjutkan ucapannya.
Kiki jadi penasaran. "Terusin dong, Na. Waktu itu
kenapa?" Nana tak segera menjawab. Ia terlihat murung.
"Apa waktu itu Lala cerita kepadamu tentang
ruang bawah itu? Soalnya kau pernah lihat pintu itu,
bukan? Siapa tahu dia cerita."
Kiki terdiam. Ia sadar tak boleh membuka rahasia
Lala. Sebelum sempat menjawab, Nana sudah bicara
lagi. "Maksudku, Ki. Waktu kau ketemu sama...sama
roh?nya. Bukan orangnya. Dia sempat ngomong,
kan?? "Ya. Tapi nggak cerita soal ruang itu, Na. Kenapa
kau jadi murung begitu?"
"Soalnya Lala nggak mau cerita padaku kenapa dia
menjerit. Kalau cuma soal seram sih dari mula juga
udah ketahuan." "Apa kau nggak tanya?"
"Tentu saja aku nanya. Imel juga nanya.Tapi dia
nggak mau bilang. Cuma serem, serem aja."
"Oh, begitu. Ya, sudahlah. Nggak usah dipikirin
lagi, Na. Tentunya Lala bermaksud baik."
Di dalam hati, Kiki yakin pada saat menjerit itu
Lala melihat isi peti. Sama seperti dirinya.
149 "Ya, aku pikir juga begitu. Karena kamu nanyananya aku jadi ingat."
"Sori, Na." "Nggak apa-apa, Ki. Aku pengin tahu. Setelah
kamu tahu bahwa sebenarnya Lala dan ibuku sudah
meninggal, apa kau jadi takut setelah itu?"
"Takut sih nggak. Cuma heran aja. Kok bisa ya."
"Aku dan Bapak juga nggak habis pikir. Tapi
Bapak bilang, itu artinya mereka berdua tetap ada di
sisi kami. Kalau orang yang nggak dikenal kayak
kamu aja dia mau nolong, apalagi aku dan Bapak.
Maka?nya aku belakangan ini suka ngomong sendiri,
eh, maksudku ngomong sama Lala atau sama Mama.
Tapi jadinya kayak ngomong sendiri. Tentunya kalau
nggak ada orang." "Aku juga suka ngomong sendiri."
"Sama Lala?" ?Ya. Apalagi waktu aku sakit itu. Kata papaku, aku
mengigau karena panas. Tapi aku memang suka ngo?
mong sendiri. Bisik-bisik aja...."
"Jadi kita bukan tergolong orang sinting dong, ya
Ki?" "Jelas bukan." "Syukurlah, Ki. Kadang-kadang aku takut juga jadi
nggak waras." "Ah, jangan mikir begitu. Siapa tahu bapakmu juga
suka ngomong sendiri, tapi dia nggak mau bilang."
Mereka tertawa. Keduanya merasa senang, bisa
sa?ling curhat. Lalu Nana berganti topik.
"Kemarin malam Bapak bersikap agak aneh."
Isi-Warisan.indd 150 150 Isi-Warisan.indd 151 "Aneh kenapa?" Kiki terkejut.
"Semalam, sesudah selesai makan, Nyonya mem?
beriku sebungkus ayam goreng. Untuk dimakan ber?
sama Bapak, katanya. Tapi anehnya, Bapak segera
mem?buangnya ke tempat sampah. Dia bilang, mulai
se?karang kita nggak akan lagi makan makanan sisa."
"Kenapa? Kau nggak tanya?"
"Dia nggak bilang. Tapi katanya kalau dikasih te?
rima saja, terus bawa pulang. Jangan makan di tem?pat?
nya. Nanti di rumah dibuang saja."
"Kok gitu, ya? Memangnya dulu nggak?"
"Dulu nggak. Kami suka makan masakan yang
nggak habis dimakan. Bukan makanan sisa dari piring
mereka." "Bapakmu tentu punya alasannya."
"Kukira juga begitu. Tapi dia nggak mau bilang.
Cuma hati-hati saja, katanya."
"Ya sudah. Patuh saja pada bapakmu, Na. Dia
tentu tahu mana yang baik."
Pembicaraan itu sebenarnya masih mengganjal pe?
rasa?an Kiki, tapi sudah harus diakhiri karena Nana
merasa waktunya sudah habis. Bukan karena ditelepon
Sukri, tapi karena kesadaran sendiri.
Pada saat itu Kiki menyeberangi jalan, sedang
Nana melanjutkan perjalanan yang tinggal puluhan
meter saja ke rumahnya. Hal itu sudah disepakati se?
belumnya. Di rumahnya, pada kesempatan berduaan dengan
ayahnya, Kiki menceritakan perbincangannya dengan
Nana. Ia selalu melakukan itu karena tahu ayahnya
suka mendengarkan, dan ia pun senang karena punya
151 teman berdiskusi. Ayahnya sudah menjadi bagian dari
pengalamannya yang aneh. Mereka berdua selalu tak sabar menanti datangnya
kesempatan bicara seperti itu karena tak mungkin
meng?ajak serta atau kedengaran oleh Sumarni, apalagi
Fani. Tak mungkin juga bicara kasak-kusuk berdua
dengan dilihat oleh mereka. Pasti akan membangkitkan
keingintahuan. Bagi Budiman tema cerita Kiki hari itu sangat me?
narik. "Wah, Lala melihat yang serem di ruang bawah
itu!" seru Budiman. "Apa, ya? Sayang Nana nggak
tahu. Barangkali bapaknya tahu."
"Aku nggak nanya, Pa. Kalaupun dia tahu pasti
nggak bakal cerita pada Nana. Nanti Nana jadi ta?kut."
Sambil mengatakan itu, Kiki berpikir mengenai apa
yang telah dilihatnya sendiri. Pasti yang dimaksud
Lala dengan "yang seram" itu adalah isi peti di bawah
tangga. Jadi hanya dia dan Lala yang berbagi penga?
lam?an itu. Kenapa Lala melarangnya untuk bercerita
kepada orang lain? Sekarang ia tidak bisa membaginya
dengan ayahnya meskipun sangat ingin. Janji itu suci.
Apalagi ia mengucapkannya bukan kepada Lala se?
bagai seseorang yang hidup, melainkan wujudnya
yang lain, entah apa. Ia tak ingin menyebutnya se?
bagai hantu. Itu terasa melecehkan.
Tapi Lala mengatakan, ayahnya menceritakan bah?
wa ruang bawah itu merupakan kuburan dan tulangbelulang itu berasal dari orang-orang masa lalu. Apa?
kah itu berarti bahwa Lala menyampaikan apa yang
dilihatnya kepada ayahnya lalu meminta penjelasan?
Isi-Warisan.indd 152 152 Isi-Warisan.indd 153 Lalu ayahnya memintanya untuk tidak menceritakannya
pada orang lain. Selanjutnya giliran Lala memintanya
berjanji yang sama. Kiki sangat menyadari apa akibatnya kalau hal itu
diketahui orang lain lalu menyebar ke mana-mana.
Polisi bisa datang ke situ dan memeriksa lalu me?
nyebabkan penghuninya menjadi susah. Pasti Lala
juga menyadarinya, atau ayahnya yang memberitahu.
Mungkin permintaan Lala kepadanya untuk berjanji
seperti itu mempunyai maksud untuk melindungi
keluarganya. Kiki merasa respek. Pasti ia sendiri pun
akan melakukan hal yang sama bila keluarganya
sampai terancam. "Pantas pintu itu dibongkar. Tentu maksudnya su?
paya orang lain jangan sampai masuk lagi ke situ,"
kesimpulan Budiman. "Mending dikunci saja dan kuncinya disimpan. Ka?
lau suatu waktu mau ambil apa-apa kan nggak bisa.
Sayang dong, Pa." "Iya sih. Tapi rumahnya gede. Tanpa adanya ruang
itu pun masih banyak ruang kosong lain."
"Mestinya rumah kita juga dibuatkan ruang bawah
tanah, Pa." Budiman tertawa. "Susah tuh, Ki. Mendingan di?
buat tingkat saja. Nantilah kalau Papa punya uang."
Pikiran Kiki sudah kembali beralih.
"Menurut dugaan Papa, yang serem itu kira-kira
apa?" "Wah, nggak berani nyangka macam-macam, Ki.
Bisa saja buat Lala serem tapi buat Papa nggak. Kan
beda cara pandangnya."
153 Ah, Papa nggak tahu aja, kata Kiki dalam hati?
nya. "Oh ya, soal makanan itu memang aneh juga,"
Budiman mengalihkan topik.
"Apa karena bapaknya Nana merasa kesal karena
sekarang rumah dipasangi kamera segala atau karena
Nana diperlakukan buruk?"
"Bisa saja, Ki. Tapi siapa tahu ada lainnya."
Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa misalnya, Pa?"
"Papa jadi ingat cerita bahwa Lala dan Bi Ani
keracunan makanan yang diberikan majikannya," kata
Budiman. Kiki tersentak. "Tapi itu kan udah lama, Pa. Kata
Nana, sikap bapaknya itu baru-baru aja."
"Ya. Papa kan cuma ingat cerita itu. Mungkin saja
nggak ada hubungannya."
"Nana belum cerita banyak sih. Mungkin nanti
bisa lebih banyak lagi, Pa."
"Ya. Papa ingin tahu soal makanan itu, lho."
"Barangkali Nana mau bertanya lagi kepada bapak?
nya." "Suatu saat bapaknya pasti mau cerita. Tak mung?
kin tiba-tiba tanpa sebab suatu perbuatan dilakukan."
"Apa dia takut diracuni, Pa?"
Budiman terkejut oleh pertanyaan Kiki. Ia sendiri
tak berani berpikir ke situ.
"Jangan, jangan. Jangan mikir begitu, ah. Papa jadi
takut, Ki. Emangnya mereka sekeluarga salah apa?
Kalau sudah nggak suka, pecat saja dan usir."
"Wah, kasihan amat, Pa. Lalu mereka mau ke
mana?" Isi-Warisan.indd 154 154 Isi-Warisan.indd 155 "Bukankah mereka punya kampung halaman?
Tempo hari waktu kau jatuh di sana, katanya mereka
sedang pulang kampung."
"Ya, punya sih, Pa. Tapi orang kampung justru
pada pergi ke kota. Di sana nggak ada kerjaan."
"Kasihan, ya." "Barangkali Papa bisa bantuin?"
"Bantuin apa?" Budiman menggaruk kepalanya.
"Cariin kerjaan buat bapaknya Nana."
"Oh itu. Ya, ya, bisa sih. Tapi sebelumnya Papa
pe?ngin ngomong dulu sama dia. Kalau orangnya pe?
ngin tetap di situ, buat apa?"
"Pokoknya aku tanya Nana dulu ya, Pa?"
Kiki merasa gembira karena ayahnya mau me?no?
long. Esoknya ketika Kiki bertemu lagi dengan Nana, ia
mengemukakan hal itu. "Kalau kalian sudah nggak betah di situ, kenapa
nggak pergi saja, Na?"
Nana tersentak, menghentikan langkah lalu me?
natap Kiki. Wajahnya memperlihatkan betapa mengena?
nya pertanyaan itu. "Oh, kalau bisa sih, sekarang juga kami pergi, Ki!"
serunya, emosional. "Kenapa nggak bisa?"
"Bapak selalu bilang, dia nggak bisa kerjaan yang
lain. Mau pergi ke mana yang bisa nyediain tempat
tinggal?" "Nggak usah kerjaan lain, yang seperti itu saja.
Jadi tukang kebun sesuai keahliannya."
"Nyarinya di mana? Itu kan harus ada perantara.
155 Dulu Bapak bisa kerja di sana karena dikenalin sama
temannya Tuan. Jadi bisa dipercaya. Kalau sembarang
orang yang belum dikenal diajak tinggal dalam rumah
bisa bahaya. Itu kata Bapak."
"Habis masa menderita terus di situ, Na?"
"Tentu saja nggak, Ki. Diam-diam Bapak punya
tabungan. Tapi dia nggak mau bilang jumlahnya udah
berapa. Aku usul supaya uangnya nanti dibelikan
tanah di kampung lalu kami bertani di situ. Aku juga
senang bertani. Barangkali nanti aku sekolah pertanian
saja," kata Nana bersemangat.
"Wah, itu bagus dong, Na!" seru Kiki.
"Tapi baru angan-angan, Ki. Tabungannya belum
cukup." Nana murung.
"Lama-lama kan cukup, Na," hibur Kiki.
"Sampai kapan?"
"Jangan putus asa dulu, Na. Sambil terus me?
nabung, cari kerjaan lain. Aku sudah tanya Papa, dia
mau bantuin cari kerjaan lain yang sama. Tapi papaku
harus ngomong dulu sama bapakmu, apa benar mau
cari kerja lain. Papaku bisa jadi perantara. Barangkali
di antara teman-temannya ada yang butuh."
Wajah Nana menjadi cerah.
"Wah, aku akan tanya Bapak."
"Bagus, jadi biar mereka ketemuan dan bicara
dulu, ya. Tapi ngomong-ngomong soal bapakmu itu,
aku punya cerita lucu yang belum kuceritakan. Waktu
ke rumahmu dan ketemu dia pertama kali, dia nga?
getin aku dengan tiba-tiba muncul dari balik pagar.
Terus aku balas ngagetin dia dengan mengatakan ada
cacing di kepalanya. Wah, dia kaget sekali dan lang?
Isi-Warisan.indd 156 156 Isi-Warisan.indd 157 sung saja melompat sambil mengibaskan kepalanya
dengan tangannya yang kotor. Aku ketawain karena
lucu sekali. Rambutnya malah jadi kotor banyak
tanah...." Nana tertawa geli. "Terus cacingnya jatuh?"
"Sebenarnya nggak ada cacing. Aku bohongin.
Habis dia ngagetin aku. Eh, jangan bilangin ya, Na.
Nanti dia marah sama aku."
Nana masih tertawa. "Ah, aku nggak akan bilang.
Tapi biarpun dikasih tahu, dia nggak marah kok."
"Siapa tahu, Na. Di depan dia nggak marah, tapi
dalam hati kesal. Tapi aku heran, Na. Dia kan petani.
Sudah biasa dengan cacing. Masa jijik sih?"
"Ya, kalau cacingnya ada di tanah sih nggak apaapa. Tapi kalau di kepalamu?"
Mereka tertawa bersama. "Apa kalian sering diberi makanan sisa, Na? Atau
jarang-jarang, sekali-sekali?"
"Jarang sih. Mereka lebih sering makan di luar.
Kalau bawa makanan ke rumah baru kami dibagi.
Tapi nunggu mereka habis makan dulu. Kalau ada
lebihnya baru dikasih."
"Waktu ada Lala juga?"
"Oh ya, waktu ada Lala lebih sering karena yang
bawain buat kami adalah Lala. Lalu dia makan ber?sama
kami. Nyonya sering memarahi dia, tapi dia tetap saja
berbuat begitu. Jadi dengan orangtuanya Lala makan
bersama, lalu makan lagi bersama kami. Sering kali dia
ikut makan karena suka masakan Mama."
"Siapa yang masak buat mereka?"
"Ada tukang masaknya. Tapi nggak nginap. Kalau
157 Tuan dan Nyonya mau makan di luar, dia libur masak.
Jadi nggak datang." Kiki geleng-geleng kepala. Orang kaya yang meng?
herankan, pikirnya. "Sejak bapakmu membuang ayam goreng itu, apa
masih ada lagi pemberian lain yang dibuang?"
"Oh, ada. Padahal kuenya kelihatan enak banget.
Tapi Bapak sama sekali nggak kelihatan bernafsu."
"Tentunya kau nggak diam-diam mencicipi."
"Nggak dong." "Kenapa?" "Sikap Bapak membuat aku takut."
"Kenapa takut?"
"Takut aku jadi sakit kalau makan diam-diam. Aku
selalu ingat bagaimana Mama dan Lala menjerit dan
merintih kesakitan sehabis makan ikan itu."
"Apa sisa ikan nggak diperiksa?"
"Ya. Katanya ada bakterinya."
"Kenapa Tuan dan Nyonya nggak ikut sakit?"
"Mungkin karena ikannya beda."
"Kok bisa kebetulan gitu sih?"
"Mana aku tahu."
"Sebenarnya, bakteri atau racun?"
Nana tertegun, menatap Kiki dengan horor di mata?
nya. "Ih, kamu nakutin saja. Kan udah diperiksa. Kata?
nya bakteri." "Tapi sekarang bapakmu kok jadi takut. Kau sen?
diri tadi bilang, ikut takut, kan?"
"Entahlah. Tapi itu persangkaan jelek sekali, Ki."
"Bapakmu pasti punya alasan kenapa bersikap be?
Isi-Warisan.indd 158 158 Isi-Warisan.indd 159 gitu. Masa cuma karena marah dan kesal saja. Apalagi
makanannya kan bukan sisa dari piring."
"Lantas kenapa dia nggak mau bilang?"
"Tentu saja dia nggak akan bilang. Dia nggak mau
membuatmu jadi takut."
"Tapi, Ki, kan Lala ikut makan. Mustahil anak sen?
diri..." Nana tak melanjutkan ucapannya. Wajahnya ber?
ekspresi ngeri. "Mereka nggak tahu kalau Lala ikut makan...."
Sesudah Kiki berkata begitu, wajah Nana menjadi
pucat. Matanya seperti tidak fokus. Kiki terkejut. Ia
menyesal sekali. Ia takut Nana akan pingsan. Buruburu dipegangnya lengan Nana.
"Na, kenapa kau? Maafkan aku...."
Nana tersenyum sedih. "Nggak apa-apa, Ki. Aku
nggak apa-apa. Sudah..."
"Benar? Ayolah kita cepat pulang. Sudah dekat."
Tapi Nana belum mau melangkah. Ia berkata pelan,
"Nyonya pernah berkata padaku waktu marah-marah.
Dia bilang, kenapa bukan kamu yang mati? Aku kaget
dan sedih waktu itu."
Kiki tertegun. Ia terkejut.
"Kau bilang sama bapakmu?"
"Waktu itu nggak langsung bilang, karena aku ka?
sihan kalau Bapak jadi banyak pikiran. Aku bilangnya
baru belakangan ini."
"Sebelum dia membuang makanan??
"Ya." Mereka berjalan lagi perlahan-lahan.
"Kalau begitu, kamu memang harus berhati-hati,
159 Na. Tapi jangan cuma waspada terhadap makanan.
Mi?numan juga." "Wah, susah amat, ya."
"Makanya paling baik buru-buru saja keluar dari
situ." "Ya. Betul sekali, Ki. Pastinya Bapak juga punya
pikir?an begitu. Tapi dia nggak mau ngomong sama
aku." "Aku kira sih dia nunggu saatnya aja. Kalau
nggak ngomong sama kamu, sama siapa lagi dong,
Na? Bagai?manapun kamu kan harus tahu sebabnya
apa? Aku sama papaku aja selalu berbagi cerita. Dia
selalu ku?ceritakan tentang perbincangan kita karena
dia su?dah merasa jadi bagian dari pengalamanku
sama Lala. Kita ini kan masih kecil, Na. Belum pu?
nya kekuatan. Jadi kita mesti dapat bantuan dari
orang dewasa. Paling baik dari orangtua sendiri. Si?
apa lagi dong?" "Jadi Om Budi tahu semua, ya. Apa Tante dan
Fani juga tahu?" "Mereka sejak awal nggak dikasih tahu, Na. Jadi
aku sama Papa bicara berdua saja. Rasanya memang
nggak enak juga, tapi bagaimana lagi? Mereka bisa
kaget kalau tahu. Kalau mereka cerita sama orang
lain, bagaimana?" Nana mengangguk. "Ya, benar sekali, Ki. Kamu
bijak, ya. Aku bersyukur sekali bisa punya teman
kayak kamu. Berkat Lala. Mungkin Lala juga yang
ngatur supaya aku bisa punya teman. Coba kalau
nggak, aku pasti sendirian. Bapak juga sendirian. Baik
sekali Om Budi, ya. Mau bantuin kami."
Isi-Warisan.indd 160 160 Isi-Warisan.indd 161 "Ah, kan belum, Na. Baru mau berusaha kok.
Mudah-mudahan saja bisa, ya."
"Terima kasih, Ki."
Pada saat makan siang bersama ayahnya, wajah
Nana terus murung. Sukri mengamatinya dengan pe?
rasa?an waswas. "Ada apa sih, Na? Kok kamu cemberut terus?
Biasa?nya bawel...."
"Ada yang aku pikirin, Pak." Nana menunjuk dahi?
nya. "Mikirin apa?" tanya Sukri sambil menyendok nasi.
"Tadi ngobrol sama Kiki."
"Ngomongin apa? Cerita atuh, Na. Jangan diam
doang." "Nanti aja ngomongnya, Pak. Takut keselak. Tadi
di sekolah ada yang keselak bakso. Ketelan bulat-bu?
lat...." Sukri tertawa. Tapi kemudian terdiam melihat Nana
tidak ikut tertawa. "Habis gimana dia? Nggak apa-apa, kan?"
"Mukanya udah biru, mulutnya kayak ikan..."
"Terus?" "Terus digaplok sama Pak Guru."
"Lho, orang keselak kok digaplok?" Sukri heran.
"Yang digaplok itu punggungnya, Pak. Bukan pipi?
nya. Loncatlah bakso dari mulutnya..."
Barulah Nana tertawa. Dia mengenang kejadian
itu.
Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sukri senang sekali melihat putrinya tertawa. Kalau
orang bisa tertawa artinya tidak ada masalah besar.
Yang ada mungkin kecil saja.
161 "Bodoh amat ya. Bakso kok ditelan," kata Sukri.
"Bukan ditelan, Pak. Tapi ketelan. Itu kan beda."
"Segede apa sih mulutnya?"
Nana tertawa lagi. Kali ini oleh ucapan ayahnya.
"Yang pasti nggak segede kuda nil, Pak."
Mereka tertawa berderai. Leluasa. Tidak akan ke?
dengaran ke ruang sebelah. Lagi pula Tuan dan Nyo?
nya tak ada. Kamera juga tak bisa menjangkau da?
pur. Usai makan Sukri mencuci piring. Nana disuruhnya
istirahat sebentar baru mengerjakan pekerjaan sekolah.
Hal itu sudah rutin dilakukan, karena khawatir me?
nunda waktu bisa terlambat bila Nyonya keburu pu?
lang. Padahal pulangnya tak tentu kapan. Bisa pulang
sendiri, lebih dulu dari Tuan, atau pulang bareng di
sore hari. Setahu Sukri, Tuan punya perusahaan, tapi
ia tidak tahu perusahaan apa.
Yang pasti bila Nyonya keburu pulang, maka
datang pula pekerjaan melelahkan bagi Nana. Nanti
waktu tinggal sedikit baginya untuk belajar. Nyonya
sedikitpun tak mau memberi perhatian untuk hal yang
satu itu. Ia tak pernah menanyakan bagaimana sekolah
Nana meskipun tiap bulan tetap memberi uang biaya
sekolah yang dijadikan satu dengan gaji Sukri. Nyo?
nya memang tak peduli. Bagi Sukri hal itu tidak jadi masalah. Perhatian dan
kepedulian tidak diperlukan, asal tidak menya?kiti.
Nana tak mau istirahat lama-lama. Ia hanya duduk
melonjorkan kaki dan memejamkan mata sejenak. Ia
tak melupakan apa yang mau dipercakapkannya de?
ngan ayahnya. "Pak, tadi kan aku mau ngomong..."
Isi-Warisan.indd 162 162 Isi-Warisan.indd 163 "Oh, jadi ya? Bukan soal keselak bakso itu?"
Nana tertawa. Entah ayahnya pura-pura atau me?
mang selugu itu. "Serius nih, Pak. Sini...." Nana menepuk kursi.
Sukri duduk. Wajahnya benar-benar serius. Ia se?
lalu takut kalau yang mau dibicarakan Nana adalah
se?suatu yang tak bisa ia penuhi.
"Pak, aku terus mikirin soal makanan yang di?
buang Bapak itu...."
"Kenapa, emangnya sayang dibuang?" Sukri me?
nyela. "Ih, bukan. Aku mikirin sebabnya apa. Kenapa Ba?
pak berbuat begitu? Mesti ada alasannya dong."
Sukri tertegun. Tak menyangka topiknya seperti itu.
"Buat apa? Kita kan sudah kenyang dengan makan?
an yang kita masak sendiri."
"Bukan itu, Pak. Aku nggak percaya kalau cuma
itu." Sukri tak segera bicara. "Ayo dong, Pak...." Nana mengguncang bahu ayah?
nya. Sukri menatap wajah Nana lekat-lekat.
"Ah ya, kamu udah gede...," gumamnya. Matanya
ber?kejap-kejap. Kelihatan sedih.
"Umurku memang baru dua belas, tapi kan udah
bisa mikir, Pak." "Iya, iya. Semakin kamu besar, Bapak semakin se?
nang." "Nah, jadi kenapa, Pak?"
"Aku sebetulnya takut kalau kukatakan nanti kamu
jadi takut juga." 163 "Nggak, Pak. Sebenarnya aku juga punya dugaan,
Pak." "Dugaan apa?" "Apa Bapak takut diracuni?"
Sukri tersentak. Ekspresinya tercengang.
"Kenapa kamu menduga begitu?"
"Ah, Bapak kok nanya balik? Benar nggak duga?an?
ku itu?" Sukri menempelkan jari di mulutnya, lalu me?man?
dang berkeliling. Nana ikut melakukan hal yang sama.
Ia mengira ada sesuatu yang dilihat atau didengar
ayah?nya. Tapi tak ada apa-apa.
"Apa ada... ada yang mengingatkan Bapak? Barang?
kali Lala atau Mama?" tanya Nana penuh harap.
Sukri menggeleng. Nana menggoyang pundak ayahnya lagi.
"Cepatlah kita bicara, Pak. Nanti mereka keburu
pulang." Diingatkan begitu, Sukri seperti tersadar. Ia juga
ingat, Nana belum belajar. Bisa habis waktunya.
"Ya, ya. Dugaanmu benar, Na. Tapi kan baru duga?
an. Belum tentu benar. Kita harus hati-hati saja. Jaga
diri itu paling penting."
"Tapi alasannya apa? Kenapa tiba-tiba seperti itu?
Tadinya kan nggak." "Aku ingat kamu pernah cerita bahwa Nyonya per?
nah ngomel. Mestinya kamu yang mati. Bukan Lala.
Yah... kurang-lebih seperti itu."
"Sama dong, Pak. Aku juga mikir ke situ. Tapi...
apa dia serius pengin aku mati, Pak? Atau cuma kesal
saja?" Isi-Warisan.indd 164 164 Isi-Warisan.indd 165 "Wah, mana Bapak tahu? Yang tahu kan dia sen?
diri. Tapi nggak ada salahnya kita hati-hati. Kalau
sam?pai diracuni, mungkin nggak sampai mati. Tapi
bisa sakit tuh. Hiii...."
Sukri merinding sendiri. Ia teringat pada penderita?
an Ani. "Nah, kalau sudah tahu begini kan enak, Pak. Aku
nggak nanya-nanya dalam hati terus. Kata Kiki, kita
bukan cuma perlu hati-hati terhadap makanan, tapi
minuman juga." "Tentu saja... Eh, Kiki juga dikasih tahu?"
"Iya, Pak. Dia sudah tahu semuanya."
"Wah...." Sukri menggaruk-garuk kepalanya.
"Kita harus punya teman, Pak."
"Ya, kamu benar," kata Sukri, mengagumi anak?
nya. "Kata Kiki, papanya mau bantuin cari kerjaan buat
Bapak." "Oh ya?" Sukri berbinar senang.
"Tapi papanya pengin ngomong dulu sama Bapak.
Nanti kapan-kapan kalau sempat. "
"Tentu saja," sahut Sukri bersemangat. "Akan ku?
cari waktunya. Ayolah, kamu belajar sana.... Bapak
mau ke kebun. Nanti di kamera Bapak nggak kelihat?
an kerja." Nana tertawa. Di halaman, Sukri berjalan menuju sayap kiri. Ta?
ngan?nya menjinjing gunting, cangkul, dan garpu
kebun. Dia berhenti sebentar di depan teras depan
pintu utama. Tapi tidak memandang ke arah kamera
yang dipasang di pojok dinding berbatasan dengan
165 plafon. Ia hanya sengaja berdiri di situ sebentar
supaya kelihatan. Ia sudah tahu bahwa kamera itu
menjangkau pintu gerbang.
Lalu ia meneruskan langkah ke pojok yang ba?
ngunannya menjorok lebih ke depan dengan bentuk
me?lengkung, sama seperti sayap kanan di mana ia
tinggal. Berbeda dengan sayap kanan, di situ tumbuh
sesemakan yang lebat. Jenis tanaman yang gampang
tumbuh dan cepat banyak. Di depan pavilyunnya tak
ada tanaman seperti itu. Hal itu memang disengaja untuk menutupi pandang?
an ke papan penutup lubang ke ruang bawah tanah.
Bila tanaman disibakkan, baru papan itu kelihatan
jelas. Ia berjongkok lalu mengamati. Dalam posisi seperti
itu tanpa menyibakkan tanaman pun papan itu bisa
terlihat sebagian, karena papannya membentang dari
dinding ke arah depan sedang tanamannya tumbuh di
pinggir dan bagian depan. Engsel papan berada di sisi
dinding karena membukanya ke arah dinding. Selot
atau pengunci berada di sebelah depan.
Ia tergoda untuk membuka papan penutup itu dan
mengintip ke dalam. Pastinya gelap karena terakhir ia
keluar dari sana, lampunya ia matikan. Apa ada yang
bisa terlihat dan apa pula yang mau dilihatnya? Ia
sendiri tidak tahu. Akhirnya ia menyingkirkan godaan itu dan buruburu menyingkir dari situ.
Isi-Warisan.indd 166 166 Isi-Warisan.indd 167 ANA terheran-heran. Dia tak habis pikir kenapa
Nyonya tiba-tiba berubah. Karena tiap hari selalu
sama, maka sekalinya berbeda akan terasa sekali.
Sesudah melayani makan malam kedua majikannya,
kemudian mencuci piring dan membereskan meja
makan, Nana memijat tengkuk dan punggung Nyonya
seperti biasa dengan menggunakan krim. Seperti biasa
Nyonya duduk berselonjor di depan televisi yang di?
nyalakan. Dan seperti biasa pula ia tidak banyak bi?
cara, hanya menyuruh ini dan itu saja. Sementara itu
Tuan sudah masuk ke kamarnya.
Tapi yang tidak biasa adalah pemijatan itu tidak
berlangsung lama. Belum sampai ia merasa pegal dan
kaku, Nyonya sudah minta berhenti.
"Sudah, sudah. Cuci tanganmu sana."
Sesudah mencuci tangan dengan ragu-ragu ia kem?
bali. Sudah pasti ia belum diperkenankan pulang. Ter?
pikir, apakah ada pekerjaan lain untuknya?
167 "Duduk sana," kata Nyonya, mengibaskan tangan?
nya ke arah sampingnya. Nana duduk di atas karpet di lantai, menyamping
agak ke belakang dari kursi yang diduduki Nyonya.
Sikap duduknya kaku karena tegang menunggu. Tapi
Nyonya diam saja, pandangannya ke arah televisi. Se?
pertinya iklan pun ditontonnya.
Dengan posisinya Nana bisa mengamati wajah
Nyonya lebih jelas meskipun dari samping. Tampaknya
perhatian Nyonya tidak ke pesawat televisi meskipun
matanya ke sana. Dia seperti melamun atau berpikir.
Nana menjadi waswas. Jangan-jangan Nyonya sedang
memikirkan siksaan baru untuknya karena sudah bosan
dengan yang lama. Nana mengagumi kecantikan Nyonya. Kulitnya
halus seperti pualam. Raut mukanya indah dengan hi?
dung mancung dan bibir merekah. Sayang matanya
suka diberi pensil mata atau apalah namanya hingga
mata itu kelihatan membelalak besar sekali. Jadinya
kelihatan menyeramkan. Lala punya kecantikan yang sama. Kalau sudah
be?sar, ia pasti cantik luar biasa. Sayang umurnya pen?
dek. Imelda, kakak Lala, juga cantik, tapi menurut
Nana dia kalah cantik dibanding Lala. Entah seka?
rang. Nana merasa heran kenapa Nyonya tidak pergi ke
kamar saja menemani suaminya kalau sudah tak ingin
dipijat lagi. Ia tahu di kamar Nyonya yang sangat luas
ada juga pesawat televisi yang besar. Nonton di sana
berdua tentu lebih nyaman. Di ruang duduk di mana
mereka sekarang berada pesawatnya lebih kecil. Me?
Isi-Warisan.indd 168 168 Isi-Warisan.indd 169 reka di situ karena Nyonya biasa dipijat di situ. Buat
Nana sendiri ia memang lebih suka di situ daripada di
kamar karena di sana ada Tuan. Ia juga sangat takut
kalau-kalau Tuan minta dipijat juga. Ia membayangkan
jari-jarinya yang kecil harus memijat daging gempal
dan liat milik Tuan. Tapi tampaknya Tuan tidak ber?
minat dengan pijatan. Ia pernah mengatakan hal itu kepada ayahnya, tapi
ayahnya menggeleng dengan pasti.
"Dia itu dagingnya keras. Ototnya gede. Orangnya
suka olahraga. Kalau kamu yang mijit, pasti rasanya
kayak dielus-elus saja," katanya tertawa.
"Mestinya Bapak yang mijit."
"Dia mah nggak suka dipijit."
"Barangkali sama Nyonya."
Sukri cuma tertawa. Tuan jarang menyertai istrinya duduk di situ kalau
sedang dipijat. Tapi kalau sudah kelamaan terkadang
dia datang juga. Kehadirannya selalu membuat Nana
tak nyaman. Tuan dan Nyonya selalu bicara dalam
bahasa asing yang tidak dimengertinya. Bagi Nana, itu
memang lebih baik. Biarpun dirinya yang dibicarakan,
ia tidak akan mengerti. Tapi yang membuat ia sangat
tidak nyaman adalah sikap mereka berdua. Kalau
mereka berpelukan dan berciuman ia seolah dianggap
tak ada. Biasanya kalau Tuan datang itulah yang ter?
jadi. Bahkan pernah juga terjadi mereka berbuat lebih
dari itu. Ia hanya bisa berpaling. Tapi tak mungkin
tidak melihat. Lalu mereka tertawa geli. Ia tahu diri?
nya?lah yang ditertawakan.
Ia juga mengadukan hal itu kepada ayahnya.
Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
169 "Biarin aja, Na. Peduli amat sih. Mestinya yang
malu itu mereka. Bukan kamu."
"Tapi ngeliatnya nggak enak, Pak."
"Nggak usah diliat."
"Kenapa nggak di kamarnya saja ya, Pak? Kenapa
mesti di depanku?" "Tahu kenapa? Mereka sengaja mempermainkanmu.
Mau bikin kamu malu dan salah tingkah."
"Jelas aku malu dong, Pak. Mau pergi nggak
boleh." "Tutup mata saja, Na."
Memang susah juga, pikir Nana. Dia sendiri tahu
maksud dua orang itu, yaitu mempermainkannya dan
melecehkannya. Semakin dia salah tingkah semakin
me?reka menjadi senang. Tapi ia tidak tahu mesti ber?
buat apa. Seperti yang dianjurkan ayahnya, ia pernah
menutup matanya rapat-rapat. Tiba-tiba ia merasa
sesuatu menimpa kepalanya. Tentu saja spontan ia
mem?buka mata. Ternyata yang menimpa kepalanya itu
adalah baju Nyonya yang sekarang sudah telanjang
sedang Tuan... Buru-buru ia menutup mata lagi dengan
wajah panas, apalagi setelah mendengar tawa berderaiderai.
"Berusahalah supaya kamu tetap tabah, Na," pesan
ayahnya. "Sudah, Pak." "Anggap saja mereka orang gila. Yang penting
kamu jangan sampai diapa-apain."
"Sama siapa, Pak? Nyonya atau Tuan?"
"Tentu saja dua-duanya. Kamu ngerti, kan?"
Isi-Warisan.indd 170 170 Isi-Warisan.indd 171 "Ya, Pak. Tapi mana mungkin mereka berani di
rumah sendiri, Pak."
"Eh, jangan terlalu yakin, Na. Kalau terlalu yakin,
kamu bisa lengah." Nana sadar, ucapan ayahnya itu benar. Tapi yang
membuat ia percaya diri adalah selama ini Tuan tidak
pernah berbuat kurang ajar kepadanya. Jangankan me?
nyentuh, menatapnya lama-lama juga tidak pernah.
Sedang Nyonya hanya mulutnya saja yang kasar,
tangan?nya tidak. Untunglah, perbuatan seperti yang dilakukan dua
orang itu hanya beberapa kali saja. Mungkin lamalama merasa bosan atau tidak menarik lagi karena
res?pons?nya dingin dan tak peduli. Apa sebenarnya
yang mereka harapkan? Apa mereka berharap ia ikut
tertawa cekikikan? Atau mengamati dengan senang?
Atau mau mencoba saja, ingin tahu reaksinya?
Sayang sekali Bapak tak bisa diajak berdiskusi.
Dalam soal itu ia tidak suka bicara. Nana paham,
mung?kin Bapak merasa malu. Ya, sayang sekali ia tak
punya ibu. Seorang ibu bisa diajak bicara tentang hal
itu tanpa sungkan. Ia sungguh merindukan ibunya.
Pada hari Minggu ia dijemput Kiki untuk bermain
ke rumahnya. Mereka membawa serta buku-buku
pelajaran. Sudah dekat ujian, banyak ulangan umum,
mereka bisa bertukar soal sambil mengerjakan.
Sukri dan Nana sudah menunggui Kiki di balik
pintu gerbang. "Pak... kameranya...," bisik Nana.
"Ala, biarin aja. Kalau nanti dia periksa dan tanya,
bilang aja kau mau belajar bersama ke rumah teman.
171 Udah dekat ujian. Lihat reaksinya gimana. Apa di?
larang juga? Kan nerima tamu di sini gak boleh. Masa
keluar juga nggak boleh."
Nana menengok, menatap wajah ayahnya. Nada
bicara ayahnya kesal. Tapi Sukri tidak menatap balik.
Ia melambai kepada Kiki. "Aku jalan ke sana ya, Pak."
Nana bergegas akan membuka pintu gerbang. Tapi
Sukri mencegah. "Nanti kalau dia udah sampai, baru kau keluar.
Gitu dong caranya menjemput. Masa bersamplokan di
jalan," Sukri bicara menggoda.
"Idih, Bapak...."
Kiki segera tiba. "Selamat pagi, Pak. Nana..."
"Pagi Kiki..." Lalu pandangan Kiki segera tertuju ke arah kamera
di teras utama. "Jangan ngeliat ke situ dong, Ki," kata Nana.
Kiki malah pasang senyum dengan manisnya.
Sukri terbahak melihatnya.
"Pasang aksi nih," kata Sukri.
"Ah, mana kelihatan, Pak. Kan cuma separo-se?
paro, kehalangan pagar..."
Ketika pintu dibuka ternyata Kiki kembali meng?
ulang aksinya, tersenyum ke arah kamera.
"Aduh, kamu ini apa-apaan sih, Ki," kata Nana,
tapi sambil tertawa. "Ya, biarin aja, Na. Sekalian supaya mereka lihat,
biar dilarang punya teman, kau tetap punya teman."
Nana dan Kiki pamit. Isi-Warisan.indd 172 172 Isi-Warisan.indd 173 "Hapenya jangan lupa, Na," kata Sukri.
Nana menepuk sakunya. "Ada kok, Pak."
"Biarpun Bapak nggak telepon-telepon, kalau udah
waktunya pulang, kau pulang ya," pesan Sukri.
"Iya, Pak." Sukri mengamati kedua anak itu berlalu. Kiki mem?
bantu membawakan buku Nana.
Setelah mengunci kembali pintu gerbang, Sukri
me?neruskan pekerjaannya merapikan tanaman di se?
panjang pagar. Ia merasa gembira hari itu. Sebentar
lagi kalau Nana pulang, giliran dia bertemu dengan
Budiman untuk membicarakan pekerjaan. Hal itu
sudah disepakati sebelumnya lewat telepon yang di?
sampaikan Nana kepadanya.
Kalau saja ia bisa betul-betul melakukan pekerjaan
bertani, alangkah senangnya. Di situ ia hanya me?rawat
taman. Ia ingin yang lebih menantang daripada itu.
Fani menghampiri Nana sebelum mereka mencapai
rumah. Ketika bertemu keduanya berangkulan lalu sa?
Dua Cinta 8 Nemesis Karya Agatha Christie Winnetou Kepala Suku Apache 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama