Ceritasilat Novel Online

Warisan Masa Silam 5

Warisan Masa Silam Karya V. Lestari Bagian 5


"Rumah ini nggak sepi kalau ada anak lagi, Ma.
Kita bisa punya teman di hari tua. Dan rumah ini
nggak jatuh ke orang lain."
"Kita masih tinggal di sini, kan? Umur kita masih
cukup panjang." "Gimana kalau pendek?"
"Kau cuma mementingkan rumah."
Isi-Warisan.indd 344 344 Isi-Warisan.indd 345 "Aku sayang rumah ini, Ma. Rumah sejarah. Ru?
mah warisan...." "Stop! Mau rumah apa kek, tetap saja rumah. Dia
nggak hidup. Nggak punya jiwa."
"Siapa bilang?"
David tak bisa bicara lagi. Bagaimana menjelaskan
kepada orang yang tak sehati?
Sebenarnya, ada sesuatu yang lain yang menimbul?
kan keterikatan David dengan rumah itu. Peti di base?
ment! Andaikata rumah itu jatuh ke tangan orang lain,
bagaimana dengan peti itu? Adalah suatu keuntungan
bahwa rumah itu termasuk cagar budaya yang tak
boleh dibongkar. Tetapi basement merupakan area ter?
sembunyi yang kalau dibongkar tidak ketahuan dari
luar. Siapa tahu pemilik ingin merombaknya.
Sekarang peti itu sudah aman terkubur di dalam
tanah. Sukri yang tampak bodoh itu tidak tahu apa
isinya, tapi ia tetap tahu mengenai keberadaan peti
yang dikubur. Pernahkah terpikir olehnya kenapa peti
itu harus dikubur? Peti itu memang barang antik. Dulunya digunakan
untuk menyimpan senjata. Tapi di masa kakeknya peti
itu berubah fungsi. David mengetahui hal itu dari
ayah?nya. Bukan tanpa sebab ayahnya bercerita, melain?
kan karena dorongan keterpaksaan.
Ketika itu David menginjak usia remaja, masa di
mana ia mulai menyadari sesuatu pada dirinya yang
tidak sama seperti kebanyakan orang. Ia suka sekali
pada anak kecil, terutama anak lelaki. Rasa suka itu
tadinya memang sudah ada, tapi hanya rasa suka tanpa
345 yang lain. Ketika tubuhnya mulai bergejolak dengan
dorongan dan keinginan seksual, rasa suka itu berubah
menjadi gairah seksual. Pada saat teman-temannya
asyik mengamati majalah porno dan perempuan te?
lanjang, ia malah blusukan ke kampung-kampung dan
wilayah kumuh di mana banyak anak kecil berkeliaran
tanpa mengenakan celana! Tapi setelah dicurigai orang
dan hampir disangka mau menculik anak, ia tak berani
lagi melakukan hal itu. Kemudian ia menemukan sarana yang aman, yaitu
majalah anak-anak dan bacaan-bacaan porno. Dia tak
lagi perlu keluyuran ke mana-mana dengan risiko tak
nyaman. Dia bisa berjam-jam mengunci diri di kamar,
membaca, memandangi foto-foto anak-anak lelaki di
majalah, sambil bermasturbasi!
Tapi ia cukup pintar menutupi kecenderungannya itu.
Ia tahu kalau sampai ketahuan orangtuanya, apa?lagi
orang luar, akibatnya bisa gawat. Pedofilia ber?beda
dengan homoseksual dan dianggap sebagai ke?jahat?an
karena korbannya adalah anak-anak yang tidak tahu apaapa, sedang homoseksual masih bisa diterima karena
dianggap persoalan suka sama suka antara sesama orang
dewasa yang memiliki kecenderungan sama. Sampai
saat itu, ketika usianya remaja, ia me?mang hanya
mencari pemuasan lewat bacaan-bacaan porno dan fotofoto saja. Tapi jauh dalam hati ia sadar dan tahu, pada
suatu saat ia menginginkan seseorang yang bisa
dinikmati secara nyata, bukan hanya dalam angan-angan
saja. Apakah keinginan itu harus ditekan dan dibuang
demi menjaga diri dari tuntutan dan tudingan?
Sosoknya yang ganteng dan gagah membuat ia
Isi-Warisan.indd 346 346 Isi-Warisan.indd 347 disukai cewek. Ia menyambut dan memacari yang ter?
cantik di antara mereka. Terkadang gairahnya bisa
juga terbangkitkan. Bahkan keperjakaannya lenyap
oleh pacar pertamanya. Tapi ia bisa berhati-hati agar
pacar?nya tidak sampai hamil karenanya. Ia cukup
sadar apa akibatnya kalau hal itu sampai terjadi.
Meskipun sempat memiliki pengalaman seksual
dengan lawan jenis sesama orang dewasa, tapi hal itu
ternyata tidak bisa memuaskan dirinya. Atau mampu
membuat ia mengalihkan kesukaannya kepada anak
lelaki kecil. Ia tetap merindukan dan menginginkan
mereka. Hanya saja ia belum tahu bagaimana cara
mendapatkannya. Ternyata ia tak bisa selamanya berhati-hati. Suatu
malam, setelah kelelahan bermasturbasi sambil meng?
amati majalah bergambar bocah lelaki, ia tertidur di
kursi. Sementara pintu kamarnya kelupaan dikunci.
Ayah?nya mengetuk pintu. Karena tak mendapat jawab?
an ia membukanya. Ia memandang David sejenak, lalu
tertarik kepada majalah dan bacaan yang terbuka di
pangkuan David. Ia mengambilnya dengan hati-hati
supaya David tidak terbangun, lalu mengamatinya. Ia
terkejut setengah mati. Tentu saja si ayah segera me?
ngerti. Darahnya naik ke muka. Kulitnya yang putih
jadi memerah seperti kepiting rebus.
Dengan emosi yang meletup seperti gunung berapi
yang aktif setelah lama tidur, si ayah menggulingkan
kursi yang diduduki David hingga jatuh ke belakang.
David terkejut lalu berteriak. Mimpi indahnya
menjadi mimpi buruk. Ia melihat ayahnya berkacak
pinggang di sampingnya. Tampak besar dan perkasa
347 karena posisi dirinya yang tertelentang di atas kursi
yang terguling. Lalu wajah ayahnya yang merah pa?
dam dan napasnya yang tersengal pendek-pendek me?
nandakan kemarahan yang sulit ditahan menambah
kengerian. David segera mengerti apa penyebab kemarahan
ayahnya setelah majalah yang tadi dinikmatinya di?
lemparkan ayahnya kepadanya. Sementara itu celana?
nya pun masih terbuka. ?"Bangun!" teriakan ayahnya menggelegar.
Dengan susah payah David bangun. Kursi hitam
beroda dibiarkan saja terguling. Lalu ia buru-buru me?
ngancingkan celananya. Baru saja ia berdiri tegak sebuah tamparan keras
me?ngenai samping kepalanya. Tadinya ayunan tangan
ayahnya tertuju ke mukanya, tapi David sempat ber?
paling karena ingin menyelamatkan mukanya yang
mulus. Ia pun terhuyung dengan rasa nyeri yang me?
nyengat. Pertama kali itu ia merasakan tangan ayahnya. Dia,
anak tunggal yang selalu dimanjakan dan dituruti apa
kehendaknya. Bukan hanya kepalanya yang sakit, tapi
hatinya juga. Ia tak mau menghubungkan pukulan itu
dengan apa yang dilakukannya. Tapi yang terpikir,
tidak seharusnya ayahnya berbuat begitu biarpun sa?
ngat marah. Dan kenapa harus marah kalau ia tidak
menyakiti orang lain dengan perbuatannya? Ia hanya
ingin menyenangkan dirinya sendiri.
"Kau... kau...," ayahnya terbata oleh napasnya yang
sesak. "Kau mau jadi pedofil?"
"Apa itu pedofil, Pa?" tanyanya.
Isi-Warisan.indd 348 348 Isi-Warisan.indd 349 "Itu!" teriak ayahnya menunjuk gambar anak-anak
lelaki dan bacaan porno yang tadi dinikmatinya. "Itu
apa?" "Itu cuma majalah, Pa."
"Cuma majalah!? Dan itu bacaan apa!? Kalau
kamu bukan pedofil mustahil kamu suka memandangi
foto-foto anak-anak lelaki di majalah sambil membaca
tulisan-tulisan seperti itu!!"
"Aku kan nggak nyakitin orang, Pa. Cuma nye?
nangin diri sendiri masa nggak boleh."
"Diam kamu! Itu perbuatan memalukan, tahu?
Jahat! Mulanya kamu cuma baca. Lama-lama kau
bener-bener nyari bocah!"
"Aku sudah cukup senang begini, Pa. Nggak ba?
kal..." "Nggak bisa! Papa tahu mulanya memang seperti
ini, karena kamu belum bisa lebih. Tapi nanti kamu
akan berbuat. Awas, kalau Papa sampai tahu. Kau
akan kubunuh. Punya moyang pedofil, eh, sekarang
pu?nya keturunan pedofil juga. Duh, punya dosa apa
sih aku ini?" Ibunya muncul di ambang pintu. Raut mukanya
cemas dan bertanya-tanya.
"Ada apa...?" "Lihat itu." Ayahnya menunjuk majalah dan bacaan
porno. Ibunya menatap lalu melotot. Tangannya menutup
mulutnya. Ketika ia menoleh kepada David, tampak
wajahnya yang syok. "Aduh, David. Barangkali kamu cuma kebetulan
aja lihat-lihat, ya?"
349 "Kebetulan apa?" bentak ayahnya. "Dia sendiri
mengaku sedang bersenang-senang."
"Jangan, David... jangan dilihat lagi majalah dan
bacaan seperti itu..."
Ibunya bergerak untuk mendekati David, tapi ayah?
nya mencegah dengan tangannya.
"Dia nggak perlu dihibur, Ma. Dia bukan anak
kecil lagi. Dia harus mendapat peringatan keras. Ini
bukan main-main..." "Papa mau apa?" tanya ibunya. Cemas.
"Biar aku handel. Ambil kunci basement."
"Paaa...," rengek ibunya.
"Ambil!" David sendiri terpaku saja, bingung apa yang mau
dilakukan ayahnya. Basement?
Setelah ibunya menyerahkan sebuah kunci yang
diberi gantungan hiasan motif tengkorak, ayahnya me?
narik tangan David. "Ayo, kita ke basement."
"Mau apa ke sana, Pa?" tanya David ketakutan.
"Jangan, Pa..." Ibunya juga ketakutan.
"Emangnya aku mau ngapain? Sudah, kamu diamdiam saja, Ma. Aku cuma mau kasih lihat sesuatu
padanya. Kamu nggak usah ikut."
Ibunya hanya menunggu di ambang pintu base?
ment. Ia tidak ikut turun. David ditarik ayahnya me?
nuruni tangga basement. David sudah berkurang takut?
nya karena tampaknya amarah ayahnya sudah
ber?kurang. Ia juga ingin tahu apa yang mau diperlihat?
kan kepadanya di basement?
Ayahnya menyalakan lampu. David memandang ke
Isi-Warisan.indd 350 350 Isi-Warisan.indd 351 sekitarnya dengan rasa takut yang kembali muncul.
Apakah ia akan dikunci di situ? Tapi tampaknya tidak
mungkin, karena ayahnya berada di depannya. Kalau
bermaksud menguncinya di sana, tentu ayahnya ada di
belakangnya. Ataukah ia akan dibunuh? Itu tempat
ter?sembunyi. Ia sendiri belum pernah turun ke situ
karena takut. Tapi tak mungkin juga ayahnya tega
mem?bunuhnya. Dia anak satu-satunya. Dan ibunya
tahu. Ia sendiri pun akan melawan sekuat tenaga kalau
sampai dianiaya. Tubuhnya tidak kalah besar dari ayah?
nya. Keyakinan itu membuat ia lebih tenang. Ia me?
mandang ke sekitarnya, waswas tapi ingin tahu. Se?buah
ruangan yang suram, terisi barang rongsokan tapi tidak
penuh. Jelas sudah lama tidak terpakai atau diisi barang
baru. Setahu David pintunya selalu dikunci. Ia memang
tak pernah ingin tahu mengenai ruangan ini.
Ayahnya menyeretnya ke bawah tangga. Di situ
ada sebuah peti yang agak panjang. Tampaknya seperti
peti mati, pikirnya merinding. Ketakutan kembali
melanda. Apakah ayahnya akan memasukkannya ke
dalam peti itu, lalu ditutup dan dikunci?
David menyiagakan segenap ototnya. Kedua
kakinya menancap lantai dengan kokoh.
"Buka!" perintah ayahnya.
"Papa aja yang buka," bantahnya. Bahkan ia mun?dur,
berdiri ke samping ayahnya. Tidak lagi di depan.
"Kamu yang buka!"
"Nggak mau!" Kehilangan kesabaran, ayahnya menyentak tutup
peti. 351 David melongok ke dalamnya lalu menjerit. Ia
melihat kerangka dan tengkorak di dalam peti. Tam?
paknya ada lebih dari satu tengkorak. Tapi ia tidak
menghitung karena tak ingin melihat lama-lama. Ia
sudah melompat mundur begitu tahu isi peti. Ayahnya
pun segera menutup kembali. Bunyinya menggabruk
keras. Ibunya berlari turun. Wajahnya cemas tak ter?hing?
ga. Ia menyerbu David lalu memeluknya. Dalam
peluk??an ia merasa tubuh David menggigil.
Ibunya menatap ayahnya. "Kau menakut-nakuti dia," katanya pelan.


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku cuma ingin memperlihatkan warisan nenek
moyangnya," kata ayahnya dengan dingin.
David menyentakkan pelukan ibunya lalu menatap
ayahnya. Sekarang ia sudah tenang dan berani.
"Apa maksud Papa?"
"Itu adalah korban moyangmu. Kakek buyut dan
moyangnya." "Korban? Mereka membunuh siapa?"
"Mereka itu pedofil. Dan mereka membunuh anakanak itu."
Wajah David pucat pasi. "Apa kau tidak merasa jijik dan marah, Dav? Apa
kau mau seperti mereka?" Suara ayahnya meninggi
penuh emosi. "Tapi aku... aku kan nggak seperti mereka...."
"Ya. Sekarang nggak. Selalu ada permulaannya.
Sebelum kau sampai ke sana, Papa kasih tahu dulu.
Maksud Papa jelas. Supaya kau jangan seperti mereka.
Ini kejutan buat kamu."
Isi-Warisan.indd 352 352 Isi-Warisan.indd 353 "Nggak, Pa! Nggak akan!"
"Papa harap begitu. Harus begitu, Dav!"
David berlari menaiki tangga, terus ke kamarnya.
Lalu mengunci pintunya. Dibuangnya majalah dan
bacaan tadi ke pojok kamar. Ia pun menangis.
Seumur hidupnya baru pernah ia menangis.
Sejak itu hubungannya dengan ayahnya mendingin.
Sering kali ia merasa ayahnya melihat kepadanya
seperti melihat kotoran. Amarah dan jijik masih saja
tampak di mata ayahnya. Tapi ibunya tidak berubah. Tetap lembut dan pe?
nyayang. Bagi David, ibunya seperti kesejukan di terik
matahari. Beda dengan ayahnya yang keras dan tegas,
ibunya mencoba membujuk dan menasihati. Ibunya
benar-benar bagaikan oase di padang pasir.
Kepada ibunyalah David bertanya.
"Papa sangat terpukul, Dav. Ia menganggap ini
sebagai kutukan bagi keluarga kita. Kenapa justru kau,
anak kami satu-satunya, yang menjadi penerus dari
kutukan turun-temurun itu?"
"Apa maksud Mama dengan kutukan??
"Dari dulu, entah generasi yang mana, pokoknya
nenek moyang van der Meer, selalu ada anggota
keluarga yang pedofil. Apakah itu yang disebut gen
atau apa, Mama nggak tahu."
"Lantas kerangka di peti itu?"
"Menurut cerita yang Mama dengar, pertama kali
yang membunuh adalah buyut dari kakek buyutmu.
Entah bagaimana, dia memasukkan mayat korbannya
ke dalam peti lalu menyimpannya di basement. Sejak
saat itu basement nggak pernah dipakai lagi. Dikunci
353 terus. Sampai kemudian kakek buyutmu melakukan
hal yang sama. Ia membunuh dan memasukkan lagi
korbannya ke dalam peti, bercampur dengan korban
se?belumnya." "Jadi ada dua, Ma?"
"Entah. Nggak tahu ada berapa. Mana berani Mama
lihat-lihat. Mama cuma dengar cerita dari Papa."
"Kenapa sampai membunuh, Ma?"
"Mana Mama tahu?"
"Kenapa disimpan di situ, Ma? Nggak dikubur
saja?" "Dikubur di mana, Dav? Itu kan pembunuhan. Ka?
lau ketahuan bisa ditangkap dan dipenjara."
"Jadi mereka nggak pernah ketahuan?"
"Nggak. Kalau ketahuan tentu saja peti itu nggak
akan di sana lagi. Dulu, waktu Belanda berkuasa, ke?
luarga ini kan orang terpandang. Apa pun yang di?laku?
kannya barangkali kebal hukum."
"Kalau aku sampai punya kecenderungan seperti
itu tentunya bukan kesalahanku, Ma. Aku nggak ingin
seperti itu. Kenapa aku harus kena kutuk?"
"Mama nggak percaya kutukan. Mungkin ada
faktor gen. Jadi penting bagimu untuk melawan ke?
cende?rungan itu. Harus bisa, Dav. Jangan mau dikalah?
kan. Jangan dilihat lagi foto-foto anak-anak itu. Dan
jangan lagi membaca yang seperti itu. Setan ada di
situ." David tidak menjawab. Bagaimana menjelaskan
kepada ibunya, seorang perempuan, bahwa ia me?rasa?
kan kecenderungan itu bukan sebagai keinginan, tapi
sebagai dorongan yang sulit diatasi? Sementara ayah?
Isi-Warisan.indd 354 354 Isi-Warisan.indd 355 nya sudah mencapnya sebagai kutukan. Ia tidak mau
dan tidak rela menerima sebutan "terkutuk". Melawan?
Bagaimana melawannya kalau itu sepertinya berada di
dalam darah dan dagingnya? Enak saja bicara.
Tapi ia sadar, ibunya harus dibaiki. Hanya tinggal
ibunya yang berpihak dan membelanya. Ia juga takut
pada kebencian ayahnya. "Jangan takut, Dav. Papamu akan kembali seperti
semula kalau kau bisa membuktikan dirimu bukan
pedofil. Dan tidak akan menjadi pedofil."
"Bagaimana membuktikannya, Ma? Dia tidak
mung?kin ada di sampingku terus-menerus atau me?
nyewa orang untuk membuntuti aku ke mana pun aku
pergi. Bahkan juga di kamar tidurku."
Ibunya tak bisa menjawab. Mungkin merasa sendiri
bahwa hal itu memang sulit. Ayahnya sudah telanjur
percaya, bahwa apa yang dilihatnya tempo hari sudah
menjadi pertanda bahwa dirinya memang seorang
pedofil. Atau calon pedofil yang pasti akan menjadi
pedofil. Ataukah memang begitu? Ia bertanya-tanya
sendiri. Untuk membuktikan niat baiknya dan menghapus
citra buruknya di mata ayahnya, ia setuju berkonsultasi
dengan psikiater. Ibunya selalu setia mengantarkan dan
menungguinya menyelesaikan sesinya dengan psikiater.
Tapi kadang-kadang ia curiga bahwa ibunya sengaja
menemaninya karena takut ia akan membolos.
Sikap ayahnya menjadi lebih baik. Malah tampak
senang dan optimis. Psikiater memberinya obat yang harus dimakan
tiap hari. Ibunya rajin mengingatkan, bahkan menaruh
355 botol obat itu di meja makan supaya tidak terlupa
ditelan sesudah makan. Pengaruh obat itu segera terasa.
Ia lalu memang tidak lagi berkeinginan melihat
foto-foto anak-anak laki seperti dulu dan tidak merasa
bergairah melihat anak lelaki yang imut-imut, tapi ia
juga tidak lagi merasa sebagai lelaki! Kejantanannya
seolah hilang. Ia sama sekali tidak menyukai hal itu. Jadi ia me?
ngurangi dosis obat tersebut. Dorongan menguat lagi,
tapi tidak seperti sebelumnya. Karena sampai saat itu
apa yang dilakukannya hanya sebatas mengkhayal sam?
bil memandangi foto-foto anak lelaki, maka menahan
dorongan tak terasa terlalu berat. Apalagi obat masih
dimakan, meskipun dikurangi. Yang penting baginya
ia tidak lagi merasa loyo. Lagi pula gairahnya kepada
perempuan masih ada. Cukup untuk merasa masku?
lin. Setelah kejadian itu ia berhati-hati kalau memanda?
ngi foto-foto anak-anak lelaki di majalah kesukaannya
sambil membaca tulisan-tulisan porno. Selalu ada saat
ketika ayah dan ibunya tak ada di rumah. Atau di ma?lam
hari, saat semuanya sudah tidur dan ia tak pernah lupa
lagi mengunci pintu. Ia juga berhati-hati terhadap
ibunya. Meskipun ibunya selalu baik, siapa tahu ibu?nya
mengadu atau disuruh ayahnya untuk memata-matai.
Ia juga giat berpacaran. Sesekali mengajak pacar?
nya ke rumah, mengenalkannya pada orangtuanya dan
makan malam bersama. Lalu berciuman di teras ru?
mah. Sepertinya sembunyi-sembunyi, padahal sengaja
karena ia tahu ada yang mengintip.
Isi-Warisan.indd 356 356 Isi-Warisan.indd 357 Ia melakukan semua itu karena sadar ayahnya
masih mencurigainya. Ia juga tahu, kemungkinan ayah?
nya tidak akan pernah memercayainya apa pun yang
ia lakukan. "Tapi sampai saat ini ia sudah cukup puas," kata
ibu?nya. "Asal kau tetap seperti ini."
David memaknai ucapan ibunya itu sebagai per?
ingat?an, bahwa apa pun yang ia lakukan, ia harus
menyembunyikan apa yang tak diinginkan ayahnya
dan sebaliknya menonjolkan apa yang diinginkan.
Setelah lulus SLA ia dikirim ayahnya ke Negeri
Belanda untuk melanjutkan studinya. Di sana ayahnya
masih memiliki banyak kerabat pada siapa ia bisa
menitipkan dirinya. Dan tentu saja, juga mengawasi
dan memata-matainya. Karena kepergiannya, hubungannya dengan pacar?
nya putus. Sesungguhnya ia memang tidak serius. Pe?
rempuan itu dijadikan pacar semata-mata untuk men?
ciptakan kesan normal di mata orangtuanya. Pacarnya
menangis-nangis karena ditinggalkan dan merengek
minta supaya hubungan tetap berlanjut biarpun di?
pisahkan oleh jarak yang jauh. Bukankah ada telepon?
Ia berjanji untuk tetap setia dan menunggu kepulangan
David. Tetapi David tidak mengacuhkan. Ia punya
seribu satu alasan untuk dikemukakan. Setelah ber?
masalah dengan orangtuanya, ia jadi pintar dan kreatif
dalam hal itu. Di luar dugaannya, bermimpi pun tidak, di Belanda
ia menemukan "surga". Semula ia menduga dirinya
akan terkungkung, tapi para kerabat di mana ia me?
numpang tidak mengawasinya seperti burung elang.
357 Mereka menganggapnya sudah dewasa untuk dikha?
watir?kan sepak-terjangnya. Ia segera memahami bahwa
ayahnya tidak berterus terang perihal kecenderungannya
yang menyimpang. Mereka menyangka ia hanya perlu
diawasi dan dibina supaya tidak terjerumus ke dalam
hal-hal menyimpang. Bukan karena pada dasarnya ia
memang sudah menyimpang. Apalagi ia juga pintar
beramah-ramah dan bersikap santun. Ia tahu betul
sikap seperti itu bisa memenangkan hati orang.
Dalam waktu tak lama ia sudah memperoleh ba?
nyak teman. Ia pun sangat surprise ketika menemukan
betapa beragam teman-temannya itu. Ada gay, lesbian,
dan kemudian juga... pedofil. Yang terakhir itu tidak
mudah ditemukan, karena perilaku seperti itu dianggap
sebagai kejahatan. Biasanya selalu ada cara dan jalan yang kebetulan.
Seseorang yang menyimpang bisa lebih mudah me?
nemukan sesamanya yang juga menyimpang. Mungkin
disebabkan karena insting atau ada hal-hal kecil yang
hanya sesama mereka bisa mengendusnya.
Lebih terkejut lagi ketika ia menemukan bahwa
seorang sepupunya, bernama Karel, juga seperti diri?
nya. Dari Karel ia bisa mengetahui lebih banyak. Dan
mengalami lebih banyak lagi. Karel pula yang me?
nunjukkan jalan dan caranya mendapatkan apa yang
selalu diinginkannya. Karel sudah paham akan likuliku?nya, bagaimana mendapat kepuasan tanpa ketahu?
an. Yang penting punya uang.
Karel mengajarinya, untuk tidak pernah mencari
mangsa dari lingkungan atau orang baik-baik. Jangan
pernah tergiur pada mereka, karena bila ketahuan
Isi-Warisan.indd 358 358 Isi-Warisan.indd 359 maka penjara akan menanti, lalu cap sebagai pedofil
akan menetap seumur hidup di dalam file kepolisian.
Karel sudah tahu seluk-beluknya. Ada jaringan
yang menyediakan pelacur bocah.
Tanpa disadari atau disangka apalagi dikehendaki,
ayahnya justru telah menjerumuskannya lebih dalam.
Ia sudah menjadi seorang pedofil sejati. Seorang
mahasiswa yang kaya, ganteng, dan santun ternyata
se?orang pedofil, yang tega memangsa anak-anak se?
olah mereka itu makanan lezat yang terhidang di atas
piringnya. Walaupun mereka disebut pelacur anak, tapi
yang pasti mereka adalah anak-anak yang tidak se?
harus?nya mendapat perlakuan biadab. Dunia mereka
yang seharusnya penuh canda tawa, bermain tanpa
beban, menjadi gelimang kekejian di mana tubuh kecil
mereka dirobek-robek untuk memenuhi nafsu yang
merajai otak orang dewasa.
Ayah David tak pernah mendengar berita buruk
perihal putranya. Apalagi prestasi David di kampus
cukup baik karena dia memang cerdas. Kesenangannya
sebagai seorang pedofil tidak membuatnya lupa be?
lajar. Sebaliknya, ia justru tambah bersemangat karena
tidak lagi merasa terkungkung dan bebas menyalurkan
hasratnya. Setelah lulus sebenarnya ia tak ingin kembali ke
Jakarta, tapi ia kasihan kepada ibunya. Ayahnya juga
memaksa pulang untuk meneruskan usaha. Mereka
memiliki usaha yang cukup maju yaitu mengekspor
barang-barang seni dan kerajinan dan juga rempahrempah. Dulu nenek moyang van der Meer mendapat
kekayaan berlimpah dari perdagangan rempah-rempah.
359 Setelah VOC musnah mereka tidak kehilangan kekaya?


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

an, karena keburu dialihkan ke negara lain. Sementara
investasi di Indonesia lenyap disita.
Tapi keluarga itu punya insting berdagang yang
hebat. Mereka tidak hanya berusaha di satu atau dua
bidang saja, tapi juga investasi di sana-sini. Kalau satu
ambruk masih ada lainnya. Kalau tidak bisa ekspor
karena prospek ekonomi yang suram, maka perhatian
dialihkan ke usaha lokal saja.
Tak lama setelah berada di Jakarta ia sudah men?
dapatkan pacar, yaitu Linda Pratiwi. Baginya memiliki
pacar sangat penting bagi citranya sebagai lelaki nor?
mal, terutama di mata orangtuanya. Ia sendiri me?
nyukai Linda karena kecantikannya, hingga bisa di?
banggakan dalam pergaulan sosialnya.
Ayah dan ibunya sangat setuju pada pilihannya,
karena di samping Linda cantik, ia pun memiliki
darah Belanda. Meskipun suara Linda kurang bagus
karena volumenya yang tinggi cempreng, itu bisa
ditutupi asal ia tidak bicara keras-keras.
Berbeda dengan David yang hanya pura-pura saja,
Linda sangat mencintai David. Ia mendesak David untuk
menikah secepatnya. Tapi bagi David, menikah adalah
keterikatan seumur hidup. Saat ini kedua orang?tuanya
sudah tua hingga usia mereka pun mungkin tak lama
lagi. Bila hal itu terjadi ia akan menjadi orang bebas,
tanpa harus menuruti kehendak siapa-siapa dan tanpa
harus berpura-pura. Tapi bila ia punya istri, maka sosok
itu akan menjadi pengganti orangtua, yang mengatur dan
melarang ini-itu. Lepas dari kung?kungan yang satu jatuh
ke dalam kungkungan yang lain.
Isi-Warisan.indd 360 360 Isi-Warisan.indd 361 Ia terus mengulur-ulur waktu biarpun orangtuanya
pun ikut-ikutan mendesak. Apa lagi yang kamu
tunggu? Semua sudah ada. Kami ingin punya cucu!
Lalu ayahnya meninggal karena stroke. Ibunya se?
makin keras mendesaknya. Rumah ini kebesaran. Sepi.
Kalau ada anak-anak akan ramai. Linda juga ikut men?
desak. Bahkan sempat melemparkan prasangka. Janganjangan ada orang lain. Jangan-jangan cintamu bohong.
Merasa kesal karena didesak terus-menerus, akhir?
nya David memutuskan untuk buka kartu kepada
Linda. Apalagi ayahnya juga sudah tak ada. Sedang
ibu?nya tak akan membuat masalah andaikata Linda
mengadu kepadanya. David mengakui kondisinya kepada Linda.
"Aku jujur dan terus terang kepadamu. Tak mau
ber?pura-pura dan membohongimu seperti aku mem?
bohongi Papa. Nanti kau bisa menderita. Mungkin kau
bisa lebih menderita daripada orangtuaku," tutur
David, berharap Linda akan mundur ketakutan dan
ngeri. Linda memang terkejut sekali. Ia menatap David
seolah lelaki itu baru dikenalnya. Tampak horor di
mata?nya. David merasa senang dan menunggu saatnya
kapan Linda akan berlari pergi. Tapi ia melihat, horor
di mata Linda semakin redup dan kemudian hilang.
"Coba ceritakan prosesnya dari awal kau merasa?
kan kecenderungan itu," kata Linda dengan ketenangan
dalam suaranya, yang membuat David merasa tak
nyaman. David pun menceritakan sambil kembali berharap
bahwa ceritanya akan menakutkan.
361 "Jadi ada solusinya, Dav! Kau bisa makan obat,
kan? Dengan makan obat, kau nggak perlu jadi pe?
dofil...." David tertegun. Harapannya kembali runtuh.
"Nggak sederhana itu, Lin. Oke, aku memang bisa
makan obat. Tapi akibatnya aku jadi loyo. Apa kau
mau punya suami loyo?"
Linda malah tertawa. "Kan loyonya nggak per?
manen," ia malah bercanda.
Bagi Linda, yang penting ketertarikan David itu
tidak tertuju kepada perempuan atau sesama lelaki
dewasa. Hanya bocah. Apa yang perlu ditakutkan dari
bocah-bocah? David masih berupaya. Pada suatu hari ketika ibu?
nya tak ada di rumah, David mengajak Linda ke
basement. Ia memperlihatkan peti di kolong tangga
dan membuka tutupnya. Linda menjerit dan berlari
naik ke atas. David menyusul dengan senyum di
bibir. Linda gemetaran. David memeluk dan meng?hibur?
nya. Tiba-tiba ia jadi takut kalau-kalau Linda mem?
beritahu soal peti itu kepada orang lain padahal ia
seharusnya merahasiakannya sebagai rahasia keluarga.
Bila masalah itu bocor, polisi bisa turun tangan dan
mempertanyakan keberadaan kerangka di dalam peti
itu. Tentu pelakunya yang merupakan moyangnya su?
dah tak ada untuk dimintai pertanggungjawaban, tapi
dia sebagai generasi penerusnya bisa dituduh me?
nyembunyikan kejahatan. Setelah minum segelas air putih Linda berangsur
tenang. Ia punya mental yang kuat.
Isi-Warisan.indd 362 362 Isi-Warisan.indd 363 "Ceritakan," ia menuntut.
David bercerita sesuai dengan apa yang diketahui?
nya dari ayahnya. "Itu perbuatan moyangku dan kami yang mendapat
warisannya. Bukan cuma kekayaan, tapi juga barang
itu." "Kenapa nggak dikubur baik-baik saja? Ditaruh
begitu saja besar risiko dilihat orang, kan?"
"Ruang ini nggak pernah dipakai lagi. Pintunya
pun dikunci. Aku pun pernah menanyakan kepada
Papa, katanya ruang itu dianggap sebagai kuburan.
Ka?lau sampai dibawa keluar pasti ketahuan dan di?
curigai orang. Justru karena ditaruh di sini, maka me?
reka aman." "Apa baunya nggak keluar?"
"Aku nggak tahu. Kejadiannya sudah lama. Tapi
melihat letaknya, tanpa lubang ventilasi ke luar, maka
baunya pun tak sampai keluar."
"Enak sekali moyangmu itu, membunuh nggak ke?
tahuan sampai dia mati. Kenapa papamu mesti marah
kalau nggak sampai ketahuan? Lain halnya kalau
sampai dipenjara, lalu bikin heboh dan mencemarkan
nama baik." "Dia pikir itu kutukan."
"Ah, masa sih? Aku pikir tiap orang kan punya
ciri sendiri-sendiri. Ada yang sukanya begini, sukanya
begitu. Nggak semua sama."
Ucapan itu membuat David tertegun. Untuk per?
tama kalinya ia memandang Linda dengan cara yang
berbeda. Ia menganggap ucapan itu sebagai keber?
pihak?an terhadapnya. 363 "Nah, demi kebaikanmu sendiri, baiknya kaupikir?
kan lagi hubungan kita seribu kali," katanya.
"Aku tidak perlu berpikir, apalagi sampai seribu
kali. Aku tetap cinta padamu dan ingin jadi istrimu."
Karena mendengar ucapan Linda yang tadi, maka
David tidak perlu merasa heran. Tapi ia menjadi
bingung. Ia menginginkan kebebasan, tapi ia merasa
pernyataan Linda sangat simpatik.
"Kau jangan takut aku akan merintangi kebebas?
anmu," kata Linda seolah memahami pikiran David.
David masih belum memercayai pendengarannya.
"Tapi tentunya dengan terkendali. Kalau kau main
sama bocah terus, gimana aku?" Linda terkekeh de?
ngan suara cemprengnya. "Maksudmu?" "Ya, bagi-bagi begitu. Kau boleh saja main sama
bocah, asal aku jangan dilupakan."
"Tapi kita harus tetap tinggal di rumah ini, Lin.
Nggak boleh dijual."
"Tentu saja. Aku suka rumah ini. Dari dulu aku
suka rumah antik." "Biarpun ada itu?" David menunjuk basement.
"Ya. Itu kan tetap di dalam peti, nggak pernah ke?
luyuran?" Linda terkikik.
"Aku takut kau menyesal."
"Belum apa-apa kau sudah takut. Gimana sih? Kau
tahu nggak, bahwa dalam kondisimu itu kau justru
perlu istri. Seorang lelaki yang tetap membujang pada?
hal dia sangat mapan akan dicurigai orang. Lalu kau
akan diamat-amati. Tapi kalau kau punya keluarga,
siapa akan menyangka macam-macam?"
Isi-Warisan.indd 364 364 Isi-Warisan.indd 365 David termangu. Ia tahu, perkataan Linda itu be?
nar. Sama seperti ketika ia berusaha mengelabui ayah
dan ibunya dengan memiliki pacar sebagai kamu?
flase. Pada saat ia masih menimbang-nimbang, ucapan
Linda berikutnya mengejutkannya.
"Dan jangan lupa, aku sudah tahu kau punya peti
itu. Kalau aku ngomong di luar, bisa heboh. Apalagi
kalau sampai ke telinga polisi."
Pada akhirnya David menikah dengan Linda. Tapi
ia tidak tahu apakah pilihannya itu disebabkan karena
terbujuk atau terperangkap.
Belum lama setelah ia menikah, ibunya meninggal.
David merasa senang, karena baik ayahnya maupun
ibunya meninggal dengan pemikiran bahwa ia sudah
menjadi lelaki "normal".
David juga tidak membutuhkan waktu lama untuk
mengenal watak Linda. Ia kerap kali dibuat ter?
cengang. Tapi ia menikmati hidup barunya. Sekarang
ia sudah memiliki teman hidup, yang berbagi banyak
hal dengannya. 365 IANG itu, setelah tinggal sendirian di rumah, Sukri
mulai mengangkuti kelima dus dari teras utama ke
samping pintu papan menuju ruang bawah. Kalau
sudah terkumpul semua baru ia akan mengangkat
pintu, lalu menurunkan satu-satu dengan menggunakan
tali. Ia sudah membeli segulung tali plastik berwarna
merah di warung, memotong-motongnya sepanjang
empat meter sebanyak lima potongan. Setiap potongan
tali diikatkan pada dus, lalu ia akan menurunkannya
ke bawah, lalu melepasnya berikut talinya karena ia
tak mungkin melepas tali dari atas. Setiap dus akan
diperlakukan sama sampai semuanya berada di bawah.
Sesudah itu barulah ia turun, melepas semua tali, ke?
mudian meletakkan dus-dus itu di salah satu sudut
ruang bawah yang masih kosong.
Sebenarnya kalau isi dus itu hanya kertas seperti
yang dikatakan Tuan, mestinya tidak masalah bila di?
jatuhkan saja. Kalaupun dusnya pecah, tidak merusak
Isi-Warisan.indd 366 366 Isi-Warisan.indd 367 isinya. Tapi ia khawatir kalau sampai menimbulkan
masalah bila tidak memenuhi perintahnya. Ia tidak
ingin terjadi masalah menjelang kepergiannya. Apalagi
ucapan Tuan semalam tak bisa ia lupakan.
Ia juga merasa heran kenapa dokumen kantor mesti
disimpan di tempat itu. Bukankah lebih praktis bila
di?musnahkan saja dengan menggunakan mesin? Ia
pernah melihat mesin pemotong kertas beroperasi.
Begitu praktis. Sesudah itu bisa dibuang atau diberikan
pada pemulung. Katanya, bisa didaur ulang.
Pada perasaannya, Tuan ingin memanfaatkan waktu
sisanya di rumah itu dengan menyuruhnya melakukan
pekerjaan yang tak bisa diserahkan pada orang lain.
Dirinya sudah akrab dengan ruang bawah itu. Orang
lain yang masih baru dan asing tentu akan meneliti
semua barang yang ada dengan tujuan yang mungkin
kurang baik. Bagi orang sekaya Tuan, barang di dalam
tempat itu sudah dianggap tak berharga, tapi bagi
orang seperti dirinya, barang-barang itu masih punya
nilai. Padahal Tuan sudah mengamankan petinya. Tidak
ada orang lain yang tahu, bahwa peti itu terkubur di
te?ngah ruang. Mungkinkah peti itu berisi harta
karun? Ponselnya berbunyi. Dari Nyonya.
"Kri, kamu udah beres kerjaan di bawah?"
"Belum, Nya. Baru mau nurunin dus. Sesudah itu
turun. Beres-beres di bawah, lalu naik lagi. Selesai.
Ke?napa, Nya?" "Aku mau pulang kalau kau udah beres. Sejam
atau dua jam?" 367 "Dua jam aja, Nya."
Yang penting sebelum Nana pulang sekolah ia
harus sudah selesai. Pastinya satu jam juga beres. Apa
susahnya membereskan lima buah dus?
"Baik. Nanti aku telepon lagi."
"Iya, Nya." Suara Nyonya kedengaran baik-baik aja, pikir
Sukri. Kepada Nana pun Nyonya berlaku baik. Entah
karena bantuan Imelda atau Nyonya memang merasa
sendiri bahwa selama ini perlakuannya sangat tidak
baik. Karena mau ditinggalkan, baru dia merasa butuh.


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi kalau selama ini kedua majikan itu berlaku baik,
bahkan sangat baik, mungkin sama sekali tak terpikir
olehnya untuk pergi mencari hidup yang baru. Lalu
untuk selamanya dia hanya menjadi tukang kebun me?
rangkap pembantu dan pesuruh. Demikian pula
Nana. Baru saja Sukri menurunkan satu dus, ponselnya
ber?bunyi lagi. Nyonya ini sungguh tak sabaran, pikir?
nya. Tapi ternyata suara Tuan yang berat menyambut?
nya. Jantungnya jadi berdebar.
"Udah beres, Kri?"
"Belum, Tuan. Baru nurunin satu. Sudah mau pu?
lang, Tuan? Saya tunggu dulu sebelum turun."
"Oh, nggak. Aku pulang sore aja. Mungkin Nyo?
nya duluan. Pengin nanya aja. Apa di bawah baik-baik
aja kelihatannya?" Sukri tertegun sejenak. Ia merasa pertanyaan itu
ganjil. "Kelihatannya sih baik-baik aja, Tuan. Saya baru
lihat dari atas. Kan belum turun."
Isi-Warisan.indd 368 368 Isi-Warisan.indd 369 Tuan tertawa. "Baik. Hati-hati sama hantu, ya."
Sukri kembali mengerutkan kening.
"Ya, Tuan." Sukri termenung sejenak. Ia merasa tidak nyaman
oleh ucapan Tuan. Hantu? Sejak kapan Tuan suka
meng?ajaknya bercanda? Tadi pagi Tuan berangkat duluan dengan mobilnya
sendiri. Sedang Nyonya pergi lebih siang bersama
Imelda dengan mobilnya sendiri juga. Sepertinya tuju?
an mereka berbeda. Nyonya pergi setelah Bi Entin dan pembantu satu?
nya lagi juga pulang. Bi Entin tidak disuruh masak
banyak-banyak, sedang pembantu satunya lagi tak pu?
nya pekerjaan lain bila tidak ikut membantu Bi Entin.
Jadi Tuan dan Nyonya memberinya keleluasaan untuk
bekerja sendiri tanpa ada yang mengganggu atau ikut
campur. Sepertinya orang lain memang tidak boleh tahu
mengenai apa yang ada di dalam ruang bawah itu,
pikir Sukri. Mungkin sesudah dirinya pergi, pintu
papan ini akan dimatikan dengan semen, seperti pintu
di ruang utama. Kalau tidak dihilangkan akan selalu
memancing keingintahuan orang. Apa sebenarnya yang
berharga di bawa sana hingga dikhawatirkan akan di?
ambil orang? Atau ada sesuatu yang justru tidak boleh
diketahui orang? Sukri membuang pertanyaan itu jauh-jauh dari
benaknya. Untuk apa memikirkannya kalau ia tak per?
nah bisa tahu jawabannya? Lagi pula memang tak ada
gunanya karena ia akan pergi, tak punya urusan lagi
dengan rumah itu dan segala isinya.
369 Satu per satu dus sudah diturunkan. Tinggal satu
lagi. Tiba-tiba Sukri teringat untuk mengecek tangga
kayu yang menuju ke bawah. Ia harus berhati-hati
kalau-kalau tangganya sudah tak kuat lagi menahan
beban tubuhnya. Ia yakin sudah lama tak dipakai.
Mungkin saja sudah lapuk.
Kalau sekiranya tak meyakinkan ia akan meng?
ambil tangga alumunium dari belakang kediamannya
untuk menggantikan tangga kayu itu. Jangan sampai
nanti ia bisa turun tapi tak bisa naik lagi. Sekarang
ke?selamatannya menjadi sangat berharga. Tentunya
selalu berharga, tapi pada saat itu jadi berlipat kali
karena hidup barunya bersama Nana menunggunya di
depan sana. Empat hari lagi! Tiap pagi bangun tidur
ia selalu menghitung. Ia merabai pinggiran tangga, menggoyang-goyang?
nya, lalu membungkuk untuk memeriksa yang di se?
belah bawah. Tangganya kecil, hanya muat satu orang.
Tampaknya sulit untuk meneliti keseluruhan tangga.
Bisa saja yang bobrok justru adanya di bawah se?
kali. Perhatiannya yang terkonsentrasi ke bawah tangga
mem?buat ia tidak menyadari apa yang ada di belakang?
nya. Sebuah bayangan gelap seolah melingkupi dirinya
yang sedang membungkuk itu. Ketika menyadari dan
terkejut sudah terlambat. Ia didorong ke bawah!
Sukri menjerit keras. Karena sewaktu didorong ia
sedang membungkuk, maka kepalanya jatuh lebih
dulu, menghantam lantai semen! Tapi ia berusaha ke?
ras untuk bangkit lagi sambil menengadah untuk me?
lihat siapa yang telah mendorongnya. Susah payah dan
Isi-Warisan.indd 370 370 Isi-Warisan.indd 371 menahan sakit. Belum sempat ia berhasil melakukan?
nya, dus yang tadi tertinggal satu di atas dijatuhkan
ke bawah dan menimpanya hingga ia kembali ter?
sungkur. Lalu tangga dijatuhkan tapi tak sampai me?
nimpanya. Sesudah itu terdengar bunyi menggabruk.
Ke?gelapan melingkupinya. Pintu papan ditutup! Ia
masih bisa mendengar bunyi selot ditarik!
Ia berteriak sekuat-kuatnya. Kepanikan melandanya.
Ketakutan menguasainya. Apakah ia akan mati di situ?
Tidak ada orang yang tahu ia di situ. Tuan dan Nyo?
nya akan berpikir ia sudah selesai lalu pergi entah ke
mana. Sedang Nana juga tidak tahu.
Sukri menangis sejadi-jadinya. Ketakutan dan ke?
panik?an membuat ia tak berpikir untuk memeriksa
tubuh?nya. Ia sangat takut mati. Takut meninggalkan
Nana sendirian. Setelah beberapa saat berlalu tangisnya berhenti. Ia
mulai tenang dan berpikir akan realitas. Ia mencoba
duduk. Lutut kanannya terasa sakit dan tak bisa di?
beng?kok?kan. Ia tak bisa melihat karena gelap. Badan?
nya seolah remuk. Pinggulnya tadi tertimpa dus. Ia
merabai kepalanya. Rasanya sakit dan teraba benjolan.
Lalu tangannya merasakan cairan lengket. Kepalanya
ber?darah. Pada perabaan tampaknya masih utuh. Pada?
hal tadi kepalanya membentur lantai lebih dulu. Ia
sempat mengira kepalanya remuk.
Ia tak bisa merangkak karena lututnya sakit, jadi
ia beringsut dengan menggeser-geser pantatnya dan
se?sekali kedua tangan direntangkan mencari dinding.
Setelah ketemu ia bersandar dan mencoba berpikir
tenang. Kegelapan itu sangat mengganggu. Ia meraba
371 saku, mencari ponselnya. Tapi tidak ketemu. Kemung?
kin?an ponselnya juga jatuh. Ia meraba-raba sekitarnya,
tapi tak berhasil mendapatkan. Tangga yang jatuh itu
pun mengganggu. Ia berharap ponselnya tidak hancur
karena jatuh. Kalau Nyonya nanti menelepon lagi, ia
bisa memberitahu kondisinya. Ia sendiri akan sulit me?
nelepon biarpun berhasil menemukan ponselnya, ka?
rena dalam kegelapan ia tak bisa melihat nomornya.
Setelah beringsut ke sana-sini dan merabai sekitar?
nya, ia berhasil menemukan pecahan ponselnya! Harap?
an?nya merosot ke titik terendah. Tapi ada yang pen?
ting. Ia belum mati. Ia tidak mati. Kepalanya masih
utuh hingga ia masih bisa pula berpikir. Apa yang se?
benarnya telah terjadi, ia tidak tahu dan tidak bisa
mem?p?erkirakan. Siapa yang mendorongnya dan ke?
napa? Itu tidak perlu dipikirkan. Yang penting adalah
berupaya keluar. Pertama-tama ia harus mencoba berdiri. Karena
sudah menemukan dinding, ia bisa berpegangan dan
me?numpukan tubuhnya ke dinding, lalu mencoba me?
luruskan kedua kakinya. Yang kiri tidak bermasalah,
tapi yang kanan tak kepalang sakitnya. Sepertinya
tidak akan tahan lama. Jadi ia kembali duduk dengan
menggelosorkan kaki kanannya lalu beringsut menuju
tangga batu yang naik ke pintu yang sudah dimatikan.
Di atas tangga itu, dekat pintu yang sudah tak ada,
ter?letak sakelar atau tombol lampu. Kalau tombol di?
tekan baru lampu menyala. Ia memerlukan lampu
supaya bisa melihat sekitarnya dengan jelas.
Perjalanan itu lama sekali karena dilakukan dengan
beringsut dan meraba-raba. Ia hanya memperkirakan
Isi-Warisan.indd 372 372 Isi-Warisan.indd 373 arah, tapi kalau kebentur benda ia tahu jalannya ku?
rang ke tengah. Barang-barang rongsokan semua di?
letakkan di pinggir sedang di tengah adalah tempat di
mana ia menguburkan peti. Nanti dari situ barulah ia
menemukan tangga. Setelah dapat ia harus berhatihati, setiap menemui undakan ia mengangkat pantat
naik ke undakan berikutnya. Ia terus naik sampai me?
nyentuh dinding yang tadinya merupakan pintu. Di
situ ia berusaha berdiri dengan menahan rasa sakit di
lutut kanannya. Ia menyandarkan tubuh ke dinding,
berhati-hati supaya tidak sampai kehilangan kese?
imbang?an, lalu merabai dinding mencari sakelar. Akhir?
nya ketemu. Lampu menyala!
Ia tidak sempat memandang ke sekitarnya karena
perlu duduk dulu dengan kaki kanan diluruskan. Ke?
pala?nya juga pusing kalau berdiri. Setelah reda baru
ia melihat keadaan di situ. Tangga kayu melintang
rebah di lantai. Dus-dus yang tadi diturunkan berada
di bawah lubang keluar. Sedang dus yang tadi dipakai
melempar dirinya berada agak jauh.
Ia mengamati lutut kanannya. Ada memar dan luka.
Tempurung lututnya sakit sekali kalau disentuh. Ia
meraba kepala. Tangannya basah oleh darah yang ma?sih
keluar. Ia membuka kaosnya untuk menekan luka dan
mengeringkan darahnya, lalu membebat ke?palanya.
Kemudian ia menuruni tangga kembali. Juga de?
ngan beringsut. Kali ini lebih lancar karena ruangan
yang terang. Ia menemukan pecahan ponselnya, tapi
sadar tak mungkin bisa digunakan lagi. Sudah hancur.
Ia tidak mengenakan arloji, jadi tidak tahu jam berapa
saat itu. 373 Nana pulang sekitar jam satu. Apakah ia sudah
pulang? Kalau menemukannya tidak ada, ia pasti akan
memanggil-manggil. Tapi ia khawatir, jangan-jangan
suaranya tidak masuk. Kondisi ruangan tanpa ventilasi
jadi seperti kedap suara.
Ia harus berusaha mengangkat tangga dan me?
nyandar?kannya kembali ke dekat mulut lubang keluar.
Setelah itu ia akan berusaha naik lalu menggedorgedor papan pintu itu. Ia tahu akan sulit baginya un?
tuk mendobrak papan karena tebal, tapi paling tidak
suaranya bisa menarik perhatian orang. Mungkin
Nana. Berusaha berdiri dengan sebelah kaki ia menyeret
tangga hingga ujungnya menyentuh dinding kemudian
mengangkatnya terus ke atas supaya mencapai mulut
lubang. Sebenarnya tangga itu tidak berat tapi ia me?
laku?kannya dengan meringis-ringis dan merintih-rintih.
Sakit di kaki kanan menyengat otaknya. Kepalanya
berdenyut. Ia terus memaksa diri. Kalau tangga itu tak
berdiri, bagaimana ia bisa naik ke atas? Yang penting
berdiri dulu, nanti ia bisa beristirahat mengumpulkan
tenaga. Tapi belum sempat tangga itu berdiri, pandang?annya
sudah berputar. Ia jatuh berdebum. Tangga me?nimpanya.
Ia berteriak keras sekali. Sesudah itu diam...
*** "Empat hari lagi," kata Nana kepada Kiki.
"Ya. Itu nggak lama. Waktu nggak kerasa lewat,"
kata Kiki, menirukan ucapan ibunya.
Isi-Warisan.indd 374 374 Isi-Warisan.indd 375 "Pikir-pikir malu juga ya tinggal di rumahmu."
"Ah, kenapa mesti malu? Jadi orang harus tolongmenolong. Suatu saat nanti siapa tahu giliran kamu
yang menolong kami."
"Mana bisa? Aku bisa apa?"
"Siapa tahu kau nanti jadi menteri? Atau jadi pre?
siden?" Mereka terbahak. "Kok Bapak belum menelepon, ya? Nggak ada
kabar apa-apa." Nana memeriksa ponselnya.
"Coba kamu aja yang menelepon."
Nana menghubungi Sukri. Tapi jawaban yang di?
dapatnya adalah nada tulalit.
"Lho, kok tulalit sih? Nggak pernah begini."
"Pulsanya habis?"
"Nggak mungkin. Biasanya Bapak teliti. Apalagi
pada saat seperti ini ketika dia perlu menelepon."
"Sudahlah. Jangan risau. Barangkali ada sebab?
nya." "Kemarin dia bilang, disuruh ngerjain sesuatu sama
Tuan. Tapi apa sesuatu itu dia nggak bilang apa."
"Kalau begitu dia masih sibuk. Apa Tuan ada di
rumah?" "Nggak tahu juga. Si Imel juga nggak ngomong
apa-apa. Biasanya dia menyuruh kamu mampir."
"Emangnya dia sudah bangun tadi pagi?"
"Belum. Maksudku, malam kemarin."
Lalu Nana bercerita tentang mi bakso yang diberi?
kan Nyonya tapi tidak dimakan.
"Bapak bilang, harus ekstra hati-hati menjelang
kepergian kami." 375 "Betul sekali. Jangan tergiur sama makanan enak.
Memang betul sih kecurigaanmu. Kalau dari awal ber?


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

niat memberi, kenapa tidak dikasih langsung pada saat
itu juga? Kenapa menunggu begitu lama, sampai me?
reka selesai makan?"
"Ya, Ki. Kadang-kadang jadi nggak enak juga. Se?
pertinya kami ini curigaan amat. Siapa tahu mereka
berniat baik." "Ya, siapa tahu juga mereka berniat jahat?"
Nana mencoba lagi menelepon ayahnya, tapi hasil?
nya sama seperti tadi. Ia menjadi gelisah.
"Ayolah kita cepat pulang saja, Ki."
"Baik." Kiki mempercepat langkahnya, mengikuti langkah
Nana. Tidak biasanya Nana seperti ini. Tapi ia juga
me?rasa tidak pantas meremehkan kegelisahan Nana
meski?pun ia menganggap itu hanya sepele. Nana ber?
sikap seperti itu tentu karena kekhawatirannya kalaukalau rencana kepergiannya bisa batal.
Nana mempercepat langkahnya sampai setengah
berlari. Kiki mengikuti saja. Mereka tak bicara apaapa lagi.
Setelah tiba di depan pintu gerbang, keduanya
celingukan ke kiri dan kanan. Tidak tampak seorang
pun. Sukri tidak ada. Kedua mobil pun tidak ada.
Pintu garasi yang terbuka tampak kosong.
Pintu didorong, tapi tak bisa dibuka karena diselot
di sebelah dalam. "Bapaaak...! Bapaaak...!" teriak Nana.
"Pak Sukri! Paaak...!" teriak Kiki.
Untuk beberapa saat keduanya berteriak, kadang
Isi-Warisan.indd 376 376 Isi-Warisan.indd 377 berbarengan, kadang susul-menyusul. Tapi Sukri tetap
tidak tampak. "Wah, Bapak ke mana, ya?" Nana sudah hampir
me?nangis. Rasa takut seperti mencengkeramnya.
"Tenang, Na. Jangan panik dulu. Lihat, Tuan dan
Nyonya juga Imel nggak ada. Mobilnya nggak ada.
Pak Sukri mestinya ada karena harus jaga rumah. Tapi
kenapa dia nggak ada? Mungkin saja dia di WC, lagi
sakit perut...." "Jangan bercanda, Ki. Nggak lucu."
"Aku bukan bercanda, Na. Tapi bicara tentang ke?
mung?kinan. Kalau panik gitu, mana bisa mikir? Bapak?
mu kan orang dewasa. Mana mungkin menghilang
begitu saja." Nana merasakan kebenaran ucapan Kiki. Ia ber?usaha
menenangkan diri. Mereka berpikir sambil ber?sandar ke
pintu gerbang. Mereka sudah capek ber?teriak. Para
tetangga pun tak ada yang melongok un?tuk menanyakan.
Entah tak peduli atau tak men?dengar.
"Gimana kalau aku melompati pintu lalu membuka
selotnya, Na? Aku kan udah pengalaman."
"Dulu kamu nginjak punggung temanmu, terus
kamu jatuh di dalam. Nanti kalau jatuh lagi gi?
mana?" Kiki berpikir. Susah juga melompati pintu yang
tinggi itu tanpa injakan. Masa ia menginjak punggung
Nana yang lebih kecil darinya? Kasihan sekali. Harus?
nya Nana yang menginjaknya, tapi bisakah Nana me?
lompati pintu? Itu berbahaya.
"Aku pernah lihat Bapak mengutik selot dari luar.
Ia bisa membukanya dari luar karena badannya tinggi.
377 Tangannya nyelip di antara celah jeruji terus ke bawah
lalu menarik selot."
"Kalau begitu kita juga bisa, Na."
"Kita kan pendek. Tangan sih bisa nyelip. Tapi
nggak bisa ke bawah."
"Bisa. Kamu naik punggung aku, terus tanganmu
masuk." Nana berpikir. Tampaknya itu solusi yang bisa di?
guna?kan. Ia setuju. Mereka meletakkan tas di bawah. Kiki mem?
bungkuk. Nana membuka sepatu. Dengan berpegangan
ke jeruji ia naik ke punggung Kiki. Kalau berdiri tu?
buh?nya terlalu tinggi. Tangannya yang masuk ke jeruji
hanya menggapai-gapai saja. Lalu ia berjongkok dan
mencoba lagi. Tangannya menggapai terus ke bawah.
Tinggal sedikit lagi. Ia sudah bisa menyentuhnya.
Posisinya diubah jadi berlutut di atas punggung Kiki.
Ia menggapai lagi ke bawah. Mukanya sampai mepet
ke pintu, serasa jadi gepeng.
Kiki menyeringai keberatan. Ia bertahan sekuat te?
naga. Kedua tangannya dipakai menopang lutut yang
sudah gemetaran. Dalam hati berdoa supaya tidak
sampai jatuh. Akhirnya Nana berhasil. Ia mencapai ujung selot
lalu menariknya. "Horeee...!" serunya girang.
"Udah, Na? Nggak tahan lagi nih...."
Kiki ambruk. Mereka berdua jatuh. Tapi mereka
segera bangkit sambil tertawa. Lalu keduanya teringat
pada tujuan semula. Nana mendorong pintu. Mereka
meraih tas lalu buru-buru masuk.
Isi-Warisan.indd 378 378 Isi-Warisan.indd 379 "Bapaaak...!" teriak Nana sambil berlari menuju
kediamannya. Kiki mengikuti di belakangnya.
Pintu rumah tertutup rapat. Nana tertegun sejenak.
Ia melempar tasnya ke atas kursi. Kiki melakukan hal
yang sama. Lalu mereka masuk ke dalam sambil ber?
teriak-teriak memanggil Sukri. Tapi suasana begitu
sunyi. Nana mencoba membuka pintu penghubung ke
rumah utama. Tapi terkunci dari sebelah dalam. Ia
tidak mungkin mencari Sukri di rumah utama. Tak ada
alasan bagi Sukri untuk berada di situ. Lagi pula pintu
rumah utama tampaknya terkunci.
Mereka berdiri bingung. "Aduh, Ki. Bapak ke mana, ya?" Nana sudah mau
menangis lagi. "Tenang, Na. Kita harus tenang," kata Kiki, pada?
hal ia sendiri bingung dan cemas. Mustahil Sukri ber?
sembunyi, sengaja membuat putrinya ketakutan?
Kiki memandang berkeliling. Mereka belum
mencari ke sebelah kiri rumah. Ia bergegas ke sana.
Nana mengikutinya karena tak tahu harus ke mana.
Langkah Kiki terhenti di depan pintu papan ke
ruang bawah. Sesaat ia teringat pengalamannya dulu
waktu turun ke basement. Lalu ia melihat gulungan
tali plastik warna merah dengan gunting kecil di
sebelahnya. "Lihat apa, Ki?" tanya Nana. Ia tidak tahu me?ngenai
adanya papan pintu yang sebagian tertutup pohon.
"Kenapa ada tali dan gunting di situ, Na?"
"Nggak tahu. Tentunya tadi Bapak lagi kerja di
sini." 379 Kiki mengamati sekitarnya. "Tapi sekitar sini
nggak ada yang diikat pakai tali merah. Terus talinya
ada dekat pintu papan lagi."
"Pintu papan apa?"
Kiki berjongkok. Nana juga. Lalu Kiki mem?bung?
kuk?kan tubuhnya hingga dekat sekali dengan pintu
papan itu. Di luar dugaan Nana tiba-tiba Kiki berteriak
keras-keras hingga Nana terduduk saking kaget.
"Pak Sukriii...! Paaak...!"
Biarpun tak mengerti Nana ikut-ikutan berteriak,
"Bapaaak! Bapaaak!"
Lalu mereka mendengar suara lirih dari arah ba?
wah. "To... looong..."
"Itu Bapak!" seru Nana. "Dia di bawah!"
Kiki segera menarik selot pintu, lalu memegang
han?del?nya dan menariknya ke atas. Nana membantu?
nya, karena pintu itu terasa berat. Lebih berat daripada
pertama kali, pikir Kiki.
Sesudah terbuka, keduanya melongok ke bawah.
Ruangan yang terang memudahkan mereka melihat
suasana di bawah. Langsung mereka memekik kaget.
Mereka melihat Sukri terkapar dengan bertelanjang
dada karena kaosnya dililitkan di kepala. Dan tampak
noda darah di kaos itu. "Aduh, Bapak! Bapak kenapa? Bapaaak...!" jerit
Nana berlinang air mata. Ia takut sekali.
"Pak Sukri! Bapak dengar, nggak? Coba ngomong,
Pak!" teriak Kiki. Ia harus memastikan.
Sukri bergerak, mencoba duduk. Ia melambaikan
tangan. Isi-Warisan.indd 380 380 Isi-Warisan.indd 381 "Kiki... Nana...," katanya.
"Oh, Bapak nggak mati! Bapak masih hidup!" Nana
bersorak. "Kita harus menolongnya. Tapi tangganya jatuh.
Gimana turunnya, ya? Kamu punya tangga, Na?"
Sukri bersuara, "Ada di rumah, Ki."
Suara Sukri lebih keras sekarang. Mereka merasa
lega. "Ayo kita ambil, Na. Bapak tunggu, ya?"
Kiki dan Nana berlari. Sementara Sukri mengucap
syukur karena berhasil ditemukan. Sebenarnya tadi ia
pingsan. Lalu terbangun setelah mendengar teriakan
sayup-sayup. Ia pun berteriak minta tolong, tapi suara?
nya nyaris tak keluar. Pada saat membuka mata ia
melihat pintu sudah terbuka. Udara segera terasa lebih
segar. Kiki dan Nana kembali dengan menggotong tangga
aluminum. Berdua mereka menurunkan tangga yang
pan?jangnya ternyata kurang setengah meter dari ping?
gir lubang. Tapi berhasil disandarkan ke dinding.
"Hati-hati, jangan sampai kalian jatuh," Sukri
meng?ingatkan. "Aku saja yang turun. Kamu tunggu di sini, Na."
Sukri beringsut mendekati tangga bagian bawah. Ia
berupaya memegangi tangga supaya tidak bergeser
pada saat Kiki mulai menapak karena jarak puncak
tangga setengah meter dari lubang.
Berpegang pada pinggiran lubang, Kiki setengah
melompat ke puncak tangga. Hampir tergelincir, tapi
ke?dua tangannya berhasil mencengkeram pinggiran
381 tang?ga. Kemudian ia turun dengan cepat. Lalu men?
dekati Sukri untuk melihat keadaannya.
Sukri menyampaikan kondisinya. Ia membuka lilit?
an kaos di kepalanya. Kiki melihat luka yang darah?
nya sudah mengering dan untungnya tak keluar lagi.
"Na! Ambilin baju Bapak! Dan sebotol air!" seru
Kiki. Nana segera berlari. "Kok Bapak bisa ada di sini?"
Sukri menceritakan tugas yang sedang dikerjakan?
nya dan apa yang terjadi kemudian. Kiki sangat marah
mendengarnya. "Siapa yang mendorong Bapak?"
"Nggak tahu. Aku nggak lihat. Cuma bayangan
hitam aja yang kelihatan."
"Bukan Tuan, Pak?"
"Wah, nggak berani nyangka sembarangan. Tuan
kan pergi. Nyonya sama Imel juga."
"Ya. Tadi pintu diselot dari dalam. Aku sama Nana
berhasil membukanya dari luar. Apa Bapak bisa naik
tangga nanti, Pak?" "Dicoba aja. Yang penting tangga kayu harus naik
dulu." "Aku telepon Papa minta bantuan ya, Pak? Jangan
telepon yang punya rumah. Siapa tahu mereka yang
jahat," kata Kiki gemas.
"Sebentar, Ki. Aku mau coba sendiri dulu."
Kiki menaikkan tangga kayu setelah menyisihkan
tangga alumunium ke pinggir. Tangga itu masih baik
kondisinya. Tidak ada yang lapuk dan setelah dijatuh?
kan tadi, tak pula ada yang lepas.
Isi-Warisan.indd 382 382 Isi-Warisan.indd 383 Tiba-tiba Kiki tersentak oleh ingatan yang muncul
tiba-tiba. Tatapannya mengitari ruangan lalu terfokus
ke sudut di bawah tangga di seberangnya, tangga
yang menuju ke ruang di atas dan tak lagi berpintu.
Se?ka?rang di bawah tangga itu kosong. Ke mana peti?
nya? Didorong keingintahuannya Kiki berlari ke sana.
Siapa tahu dari kejauhan tidak begitu jelas. Bahkan ia
sampai berdiri di tempat di mana tadinya peti itu ber?
ada. Persis di bawah tangga. Ruang itu memang ko?
song. Ia mondar-mandir dari satu sisi ke sisi lain. Lalu
tatapannya mengitari ruangan lagi. Tak ada jejak peti
itu. Tanpa disadari Kiki, Sukri mengamati gerak-gerik
Kiki dengan heran. Biarpun menahan sakit, ia tetap
me?naruh perhatian. "Nyari apa, Ki?"
"Ke...ke mana...?" tanya Kiki dengan tangan me?
nunjuk kolong tangga. "Ke mana apa?" Kiki tersadar. Ia begitu terdorong oleh rasa kaget?
nya. "Ah... nggak, Pak. Nggak apa-apa..."


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sukri tidak puas. Tapi ia merasa harus menyimpan
ke?tidak?puasannya itu. Ia akan memikirkannya lagi
nanti. Nana kembali membawa baju kaos ayahnya dan
sebotol air putih. Ia menuruni tangga. Lalu membantu
me?makaikan baju. Kemudian Sukri minum dengan
rakus. Habis satu botol air yang dibawa Nana. Lalu
Nana memeluk dan menangis di punggung Sukri. Se?
383 gala kecemasan yang tadi dipendamnya sekarang
tumpah-ruah. "Na, Bapak nggak apa-apa. Nanti juga sembuh."
"Tapi tadi Bapak kayak orang mati."
"Tadi pingsan. Bukan mati."
"Aku takut, Pak. Nanti kita nggak jadi pergi."
"Kita harus pergi, Na. Apalagi sesudah kejadian
ini." "Sekarang Bapak dan Nana di sini dulu, ya. Bapak
biar istirahat sambil ngumpulin kekuatan. Aku naik
dulu mau nelepon Papa. Di sini nggak dapat sinyal,"
kata Kiki. "Jangan lama-lama, Ki," kata Nana.
Mula-mula Kiki menelepon ibunya untuk mem?
beritahu kenapa ia terlambat pulang. Sumarni sangat
terkejut lalu menyuruhnya minta bantuan ayahnya. Itu
sesuai dengan maksudnya. Ia memang membutuhkan
pendapat ayahnya. Ia merasa kecil dan tidak berdaya.
Alasan tidak mendapat sinyal tidak benar. Ia hanya
ingin menelepon tanpa didengar Nana dan Sukri.
Budiman sangat terkejut. Ia segera mengatakan akan
minta izin pulang segera. Ia akan ke Jalan Kencana.
"Sukri bisa nunggu? Nggak ada perdarahan, kan?
Gimana dengan Tuan dan Nyonya, apa mereka nggak
ditelepon?" suara Budiman terdengar gusar.
"Pak Sukri nggak ingat nomornya. Ada di hapenya,
tapi sekarang hapenya hancur karena ikut jatuh."
"Nana juga nggak punya?"
"Katanya nggak."
"Kalau dia nggak bisa naik, jangan dipaksain.
Tunggu, Papa bantuin nanti."
Isi-Warisan.indd 384 384 Isi-Warisan.indd 385 "Baik, Pa." "Oh ya, kamu hebat, Ki. Bagus!"
Wajah Kiki merona meskipun pujian itu lewat
telepon. Ia senang. Kemudian Kiki turun kembali untuk menyampaikan
pesan ayahnya tadi. "Duh, bikin repot saja," kata Sukri malu.
"Nggak, Pak. Sama sekali nggak. Betapa senang
kami melihat Bapak baik-baik saja."
Sekarang Sukri akan mencoba naik sendiri. Di?papah
oleh Kiki dan Nana ia berdiri dengan kaki kiri.
"Eh, mending Nana naik duluan aja," katanya. "Di
atas bisa bantu megangin."
Nana setuju. Ia menaiki tangga dengan cepat. Siap
di mulut lubang. Karena sekarang ada yang membantu, semangat
Sukri bertambah besar. Ia juga tak ingin menyusahkan
Budiman nanti. Kedua tangannya berpegang erat ke
pinggir tangga, kaki kiri menapak kuat ke anak tang?
ga, sedang kaki kanan dibiarkan tetap lurus. Selanjut?
nya kedua tangannyalah yang menyangga berat badan?
nya sewaktu kaki kirinya melompat ke anak tangga
berikutnya. Di belakangnya Kiki membantu dengan
mendorong pantatnya. Begitu sampai di mulut lubang, Nana memegang
kedua tangan ayahnya. Tak disangka tubuhnya yang
kecil ternyata mampu menarik tubuh ayahnya. Se?
bagian karena dorongan Kiki dari belakang.
Sampai di atas, Sukri langsung tergeletak kelelah?
an. Ia juga perlu istirahat karena pandangannya mulai
berputar. 385 "Bapak mau masuk rumah saja dulu?" tanya Kiki.
"Nunggunya di sana. Papa bilang, Bapak mau dibawa
ke rumah sakit." Sukri tahu dirinya perlu ditolong dokter. Ia harus
sembuh dalam empat hari! "Nunggu di sini aja, Ki. Dari sini ke pintu lebih
dekat. Nanti mesti jalan ke sana-sini."
"Baiklah. Sekarang aku telepon Papa dulu, kasih
tahu Bapak udah berhasil naik."
Kiki menelepon lalu menyampaikan pesan ayahnya
kepada Sukri dan Nana. "Kata Papa, siapkan semua barang Bapak dan
Nana yang mau dibawa. Jangan ada yang disisain.
Nanti dimasukin bagasi mobil. Bapak dan Nana ja?
ngan kembali lagi ke sini sesudah dari rumah sakit.
Langsung ke rumah kami."
Sukri dan Nana berpandangan sejenak. Sesungguh?
nya itu merupakan jalan keluar yang sangat baik.
Sukri tak bisa membayangkan dirinya berbaring sakit
di rumah itu, sedang Nana pun takut ayahnya tak bisa
membelanya kalau ia diapa-apakan.
"Oh, terima kasih, Ki," kata Sukri dan Nana ber?
barengan. Lalu terdengar bunyi keruyuk dari perut entah
siapa. Mereka saling berpandangan.
"Kita harus makan," kata Sukri. "Kiki juga. Tapi
makanannya sederhana aja, Ki."
"Nggak apa-apa, Pak," kata Kiki. Andaikata hanya
nasi dengan kecap pun pasti akan dimakannya karena
ia sangat lapar. "Makannya di mana, Pak?" tanya Nana bingung.
Isi-Warisan.indd 386 386 Isi-Warisan.indd 387 "Bapak makan di sini aja. Kalian di rumah."
"Ah, jangan. Kita sama-sama aja di sini."
Kiki dan Nana berlari ke rumah untuk mengambil
makanan. Ketika kembali Nana membawa satu piring
untuk Sukri. Kiki membawa dua untuk dirinya dan
Nana. Isi piring berupa nasi dengan tumis labu siam
dan goreng tempe. Mereka makan bersama.
Sukri didudukkan di atas baju kaos yang tadi di?
pakai membelit kepalanya. Punggungnya yang di?
tempeli tanah karena berbaring tadi dibersihkan oleh
Nana. Sedang Nana dan Kiki duduk di atas papan
pintu yang sudah ditutup dan diselot kembali. Mereka
membiarkan tangga alumunium di bawah. Tak perlu
bersusah payah membawanya ke atas.
Setelah makan dan minum mereka bertiga merasa
kekuatan masing-masing jadi bertambah. Tadi rasa
lapar sampai tak teringat. Nana membawa piring kotor
pulang untuk dicuci. Kiki ikut bersamanya untuk mem?
bantu membereskan barang-barang yang mau dibawa.
Sukri menyatakan dirinya baik-baik saja ditinggal
sendiri. Karena barang-barang yang mau dibawa tidak ter?
lalu banyak, kedua anak itu bisa membawanya sekali?
gus. Mereka meletakkan tas-tas di dekat pintu.
Kiki senang melihat Sukri sudah bertambah baik.
Sambil menunggu kedatangan Budiman, Sukri pun
ber?cerita lagi secara lebih detail. Ceritanya sekarang
lebih lancar. "Sebelum pergi, Tuan bercanda mengingatkan
supaya Bapak hati-hati sama hantu."
"Ah, itu sih bukan hantu, Pak. Tapi orang. Hantu
387 itu kan tinggalnya di bawah. Yang mendorong Bapak
itu di atas." "Iya. Bapak juga nggak percaya sama hantu."
"Tuan pesan supaya Bapak jangan bilang-bilang
sama siapa pun, termasuk Nana. Bahkan kerjanya pun
nunggu Bi Entin dan temannya pergi."
"Ah, Bapak. Mestinya Bapak bilang aja diamdiam. Toh aku nggak bocorin," Nana menyesalkan.
"Nah, itu kan ada maksudnya, Pak," kata Kiki.
"Tapi dia sama Nyonya pergi, Ki."
"Bisa aja dia balik lagi. Mobilnya diparkir di
luar." Sukri termangu. Pendapat Kiki itu menakutkan.
Ponsel Kiki berbunyi. Telepon dari Imelda. Kiki
ter?sentak. Ia tidak ingat pada Imelda, padahal nomor
Imelda sudah ada di ponselnya. Maka buru-buru ia
bercerita bahwa Sukri jatuh ke basement dari lubang
masuk. Dan sekarang mau dibawa ke rumah sakit.
"Siapa yang bawa?" suara Imelda terdengar ka?
get. "Papaku." "Papamu? Lho... Ini Mama mau bicara."
Terpaksa Kiki mengulang lagi ceritanya.
"Emangnya keadaan Sukri bagaimana? Dia baikbaik aja?"
"Belum tahu, Tante."
"Nanti Tante cepat pulang. Jangan tinggalin rumah
dulu." "Itu papa saya sudah datang. Mau pergi, Tante.
Nanti telepon lagi deh."
"Hei..." Isi-Warisan.indd 388 388 Isi-Warisan.indd 389 Kiki sudah mematikan ponselnya dan tak meng?
angkat ketika berbunyi. Ayahnya memang sudah
datang. Mereka tak boleh berlama-lama. Siapa yang
tahu bagaimana sesungguhnya kondisi Sukri.
Budiman tak banyak bertanya. Setelah menyapa
Sukri, dia dan Kiki memapah Sukri bangun. Tapi de?
ngan malu-malu Sukri permisi untuk buang air kecil
di sudut kebun. Mereka memapahnya ke sana, lalu
me?ninggalkannya sejenak. Setelah selesai, Budiman
dan Kiki memapahnya ke luar, terus masuk ke mobil
yang diparkir di tepi jalan.
Lalu tas-tas dimasukkan ke dalam bagasi. Kemudi?
an Budiman mengunci pintu gerbang dari sebelah luar
dengan menarik selotnya, seperti yang diajarkan
Kiki. Dalam perjalanan Nana memeluk ayahnya. Ada
rasa syukur bahwa ayahnya selamat, tapi juga resah
dan cemas bagaimana kelanjutannya. Ia bertekad tidak
ingin kehilangan lagi. Setelah ibunya pergi, masa ayah?
nya harus pergi juga? Budiman melihat pemandangan mengharukan di
belakangnya dari kaca spion. Ia pun bertekad akan
mem?bantu keluarga itu sebisanya. Kiki di sebelahnya
menoleh sesekali. Setiap kali ia menoleh Sukri mem?
berinya senyuman, pertanda bahwa ia baik-baik saja.
Tapi yang ada dalam pikiran Kiki adalah bagaimana
kalau ia yang mengalami seperti itu? Ia tidak mau
kehilangan ibu atau ayahnya. Dan sekarang ia pun
bangga terhadap ayahnya. Ia punya ayah yang hebat.
Pikiran lain muncul di benak Kiki. Peti itu!
Peti itu jelas sudah tak ada di tempat semula, juga
389 di tempat lainnya di dalam basement. Tapi pintu yang
menuju ke ruang di atas juga sudah tak ada. Mana
yang lebih dulu menghilang, peti atau pintu?
Waktu ia ditolong Lala dan Bi Ani, pintu ke atas
masih ada. Bahkan pada saat itu Lala memegang
kunci. Roh halus tidak membutuhkan pintu, tapi diri?
nya perlu. Bagaimanapun ia tidak bisa menemukan
kesimpulan, mana yang lebih dulu menghilang, karena
ia tidak tahu kelanjutan soal peti itu.
Andaikata peti itu dikeluarkan tentu harus meng?
ambil jalan lewat tangga batu, bukan tangga kayu.
Apakah Tuan berani mengeluarkannya tanpa menimbul?
kan kehebohan atau keingintahuan orang? Mustahil
pula peti dengan isi yang mengerikan itu disimpan di
kamar atau ruang lain di rumah utama? Paling aman
tentu tetap disimpan di basement.
Lalu Kiki teringat lagi pada cerita Imelda, bahwa
lantai basement berubah warna. Tadinya dekil menjadi
lebih putih seperti baru disemen. Bagian tengah ruang
basement menjadi lebih mumbul, kata Imelda.
Imajinasi bermain di benak Kiki.
Kemudian sikap Sukri tadi. Biarpun kesakitan, dia
masih menanyainya. Ada perhatian berarti ada ke?
ingintahuan. Kenapa? Kiki merasa Sukri mengetahui sesuatu tentang peti
itu. Isi-Warisan.indd 390 390 Isi-Warisan.indd 391 UKRI mendapat pertolongan intensif di Unit Gawat
Darurat. "Pak Sukri masih harus di CT-Scan," jelas dokter
kepada Budiman. "Tapi untung lehernya tidak patah.
Padahal jatuhnya kepala lebih dulu. Tempurung lutut?
nya tidak sampai retak. Cuma otot dan saraf di kaki?
nya yang cedera. Selebihnya kondisinya cukup
baik." "Apa dia harus dirawat, Dok?"
"Oh ya, tentu. Dia harus diobservasi juga kalaukalau ada gegar otak."
Budiman mengatakan hal itu kepada Kiki dan
Nana yang menunggu di luar. Nana tampak sedih dan
berusaha supaya tidak menangis. Budiman membelai
kepalanya. "Jangan sedih, Na. Kita harus optimis. Bapak akan
se?gera pulih. Dia harus sehat dulu sebelum bisa be?


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kerja." 391 "Tapi... tapi..." Nana merasa kerongkongannya ter?
sendat. Budiman mengerti apa yang dicemaskan Nana.
"Bapak harus sembuh dulu sebelum bisa bekerja,
Na. Tapi dia pasti akan sembuh. Nanti Pak Gunawan
akan kuberitahu. Dia akan mengerti. Sedang kamu kan
sudah siap tinggal sama kami. Kamu nggak usah
mikir?in apa-apa. Yang penting belajar. Jangan me?
ngecewakan Bapak." Wajah Nana menjadi lebih cerah.
"Terima kasih, Om."
"Baik. Sekarang Om mau bicara sama Bapak dulu,
ya?" Budiman kembali menemui Sukri yang masih
dipersiapkan untuk dibawa ke Bagian Radiologi.
"Terima kasih, Pak Budi," kata Sukri berlinang air
mata. "Tolong jagakan anak saya ya, Pak."
"Ya, pasti, Pak. Soal itu jangan dipikirkan. Biar
plong saja, supaya cepat sembuh."
"Nanti yang bayar rumah sakit biar saya saja. Saya
punya tabungan," kata Sukri.
Budiman tertegun. Ia pernah mendengar cerita Kiki
bahwa tabungan itu untuk membeli tanah.
"Saya akan usahakan supaya yang membayar
adalah majikan Bapak. Apa yang menimpa Bapak itu
adalah kecelakaan kerja."
"Terima kasih, Pak."
Kemudian mereka mendengar nada cempreng suara
Nyonya di luar. Budiman buru-buru keluar. Ia men?
dapati Nyonya bersama Imelda.
"Kan tadi aku udah bilang, jaga rumah! Kok ikut
Isi-Warisan.indd 392 392 Isi-Warisan.indd 393 ke sini?" Nyonya memarahi Nana. Lalu ia menatap
Budiman yang mendekatinya.
"Saya papanya Kiki yang membawa Pak Sukri ke
sini, Bu," kata Budiman sambil mengangguk.
Nyonya tertegun sebelum mengangguk juga. Sikap?
nya segera berubah. "Gimana keadaan Sukri, Pak?"
Budiman menyampaikan keterangan dokter tadi.
"Dia beruntung," kata Nyonya. "Kerja kok tele?
dor." "Dia bukan teledor, Bu. Katanya dia didorong
orang dari belakang."
"Oh ya?" Nyonya tampak kaget. "Siapa yang men?
dorong? Kan dia cuma sendirian di rumah. Masa sih
ada yang masuk." "Kamera!" seru Kiki tiba-tiba.
Semua mata menatap Kiki. "Kan ada kamera di teras, arahnya ke pintu ger?bang.
Lihat saja di situ siapa yang masuk," kata Kiki.
"Ya, betul sekali," Imelda ikut bicara. "Nanti ma?
lam kita lihat ya, Ma."
Nana tidak berani ikut bicara. Ia takut dimarahi.
"Nanti ngomong saja sama Papa," kata Nyonya.
"Sekarang Mama mau jenguk si Sukri."
Budiman mendampinginya menemui Sukri. Ia kha?
watir Sukri dimarahi juga.
"Jadi kamu baik-baik aja, Kri?" tanya Nyonya. Si?
kap?nya ramah. "Ya, Nya." "Emangnya kamu nggak lihat siapa yang men?
dorong itu?" 393 "Nggak, Nya. Cuma kelihatan bayangan gelap
aja." "Bayangan gelap? Bukan orang?"
"Pastinya sih orang, Nya. Cuma nggak kelihatan
aja." Nyonya tidak bicara lagi. Ia keluar. Budiman meng?
ikuti. "Sukri perlu dirawat, Bu. Perawat minta penye?le?sai?
an administrasinya. Mau kelas berapa dan ada uang
mukanya," kata Budiman sambil mengiringi langkah
Nyonya yang tergesa-gesa.
"Ya, ya. Biar saja itu urusan kami, Pak," sahut
Nyo?nya, ketus tiba-tiba.
"Dan Nana biar tinggal bersama kami, Bu. Toh
nanti dia juga tinggal sama kami sampai saat ujian."
"Ya, ya. Terserah maunya gimana. Sekarang aku
mau ngomong dulu sama suamiku."
Dia lalu pergi ke tempat yang agak jauh dan bicara
di ponselnya. Budiman mengajak kedua anak menemui
Sukri sebelum ia dibawa ke Bagian Radiologi. Kata
perawat dari sana ia akan dibawa ke kamar perawatan.
Tapi harus diurus dulu administrasinya.
"Kamu nanti baik-baik di rumah Kiki ya, Na.
Jangan macam-macam," pesan Sukri.
"Iya, Pak. Bapak harus cepat sembuh, ya. Apa bisa
sembuh dalam empat hari, Pak?"
"Lamaan juga nggak apa-apa, Na. Yang penting
sembuh dan kuat, supaya bisa kerja. Kalau masih le?
mes mana bisa kerja. Nanti Bapak malah malu-maluin.
Ki, terima kasih ya tadi. Kalau nggak ada kamu..."
"Sudah, nggak apa-apa, Pak." Kiki jadi malu, me?
Isi-Warisan.indd 394 394 Isi-Warisan.indd 395 rasa diperlakukan seperti dewa penolong. Padahal ia
takkan tahu mengenai pintu papan yang menutup lu?
bang ke bawah itu kalau dulu tidak pernah masuk ke
situ. Tapi ia tidak bisa mengatakannya.
Nyonya masuk menemui mereka. Imelda mengikuti
di belakangnya. "Aku sudah bicara sama suamiku. Dia setuju mem?
bayar biaya rumah sakit. Kami orang bertanggung ja?
wab, Pak. Biarpun Sukri sudah mau berhenti, kami
nggak keberatan," kata Nyonya dengan nada tinggi.
"Bagian administrasi sudah menunggu, Bu,"
Budiman memberitahu. "Ya, aku akan urus. Nanti kamu di kelas tiga aja
ya, Kri?" Tanpa menunggu jawaban, Nyonya berbalik dan
pergi. Imelda bingung sejenak, mau menetap atau
meng?ikuti ibunya. Akhirnya ia berlari mengejar ibu?
nya. Ia merasa tidak nyaman di ruang itu.
Budiman baru pernah melihat Imelda. Ia menemu?
kan kesamaan antara Lala dan Imelda. Sama cantik,
pikirnya. Kemudian terlintas pikiran apakah sewaktu
berada di basement tadi Sukri didatangi oleh Lala dan
Bi Ani. Tapi ia takkan berani menanyakannya. Kalau
Sukri ingat akan hal itu juga, tentunya ia akan merasa
iri kepada Kiki kalau dirinya sendiri tidak ditolong
pada?hal Kiki yang bukan apa-apanya malah diperlaku?
kan istimewa. Hari sudah menjelang sore ketika mereka keluar
dari rumah sakit. Sukri sudah ditempatkan di kamar
kelas tiga yang berisi sepuluh pasien. Nana merasa iba
meninggalkan ayahnya sendiri di rumah sakit. Tapi
395 Budiman menghiburnya. Ia mengatakan kepada Pe?
rawat Kepala bahwa Sukri tak punya anggota keluarga
yang bisa menungguinya. Sementara anak satu-satunya
harus mempersiapkan diri menghadapi ujian. Ia minta
bantuan perawat agar mau memberi perhatian kepada
Sukri. Budiman mengatakannya dengan segala ke?
santunan dan keramahan yang dimilikinya untuk meng?
ambil hati perawat itu. Setahu dia dan menurut
pengalam?an, orang-orang yang dirawat di rumah sakit
biasanya ditunggui anggota keluarga karena perawat
terlalu sibuk. Atau tak mau sibuk.
Perawat Kepala dengan ramah menjawab, bahwa
ia akan memberi perhatian. Lalu Budiman mengatakan,
bahwa budi baik itu tak akan ia lupakan. Ada suatu
pe?san tersamar dalam ucapan itu. Ia merasa tak enak
juga saat mengatakannya, seolah berjanji akan mem?
beri sesuatu. Tapi ia sebenarnya tidak tega me?ninggal?
kan Sukri sendiri karena dokter memberi instruksi
agar ia tetap berbaring. Kalau kepalanya baik-baik
saja, maka instruksi itu tak lagi berlaku. Ia berharap
hasil CT-Scan baik-baik saja.
Sampai mereka pulang, Tuan atau David tak da?
tang menjenguk. Menjelang malam, Budiman datang lagi bersama
Sumarni untuk menjenguk. Nana tetap di rumah ber?
sama Kiki dan Fani. Budiman membelikan Sukri se?
buah ponsel bekas yang sudah diisi pulsa dengan
nomor Sukri dan batere yang penuh. Barang itu cukup
untuk berkomunikasi, karena memang hanya itu yang
diperlukan. Dengan demikian Sukri tak sampai merasa
kehilangan hubungan, terutama dengan Nana. Kalau
Isi-Warisan.indd 396 396 Isi-Warisan.indd 397 ada sesuatu yang diperlukannya, ia bisa memberi ka?
bar. Sumarni membawakan roti dan biskuit kalau-kalau
Sukri merasa lapar sebelum saatnya makan. Mendapat
perhatian seperti itu, Sukri begitu terharu sampai tak
bisa berkata-kata. Seumur hidupnya ia belum pernah
men?dapat perhatian sebesar itu. Bahkan sewaktu masih
kecil pun tidak pernah. Tentu Bi Ani, almarhumah
istri?nya, sering memberinya perhatian, tapi sebagai
istri. Adalah kewajiban suami dan istri untuk saling
memerhatikan. Tapi orang-orang ini, Budiman dan ke?
luarganya, bukan apa-apanya. Ia sampai takjub bahwa
ternyata ada orang-orang yang seperti itu.
Setelah Budiman dan Sumarni pulang, muncul se?
seorang yang sama sekali tidak disangka oleh Sukri.
Tuan! Spontan muncul rasa takut. Tapi kemudian ia
bisa menenangkan diri. Di kamar itu ia tidak sendiri?
an. Ada sembilan pasien lain berikut keluarga mereka
yang menunggui. Apa pula yang mau dilakukan
Tuan? Tapi Sukri merasa surprise melihat raut wajah
Tuan yang ramah. Senyum menghiasi wajahnya yang
tampan. Seisi kamar menatap padanya, juga perawat
yang seolah terpesona. "Gimana keadaanmu, Kri? Sudah baikan?" tanya
David. "Sudah, Tuan." David menarik kursi ke dekat ranjang, lalu duduk.
Sukri merasa kikuk. "Coba kamu ceritain bagaimana kejadiannya, Kri."
Sukri bercerita seperti apa adanya.
397 "Jadi kamu nggak lihat orangnya?"
"Nggak, Tuan. Soalnya saya lagi jongkok meriksa
tangga. Nggak sempat pegangan."
"Bukan hantu?" David tersenyum, bercanda.
"Bukan, Tuan. Kalau memang hantu kan adanya di
bawah. Dia mah di atas."
Sikap David membuat rasa takut Sukri berangsur
hi?lang. "Begini, Kri. Rupanya ada maling masuk ru?mah...."
"Oh..." Mata Sukri membesar. "Setelah dikasih tahu Nyonya, aku buru-buru pu?
lang untuk melihat kamera yang di teras. Kalau ada
orang asing masuk pasti kelihatan. Eh, kameranya
sudah hilang." Sukri tertegun tak bisa berkata-kata. Ia ingat, se?
waktu akan bekerja ia hanya merapatkan pintu rumah?
nya seperti kebiasaannya. Kalau memang ada maling
yang masuk, pasti ia tidak hanya mengambil kamera,
tapi juga berupaya memasuki rumah. Karena rumah
utama dikunci, tentu ia beralih ke rumah samping,
yaitu kediamannya. Tapi tadi Nana tidak ribut soal
ba?rang hilang atau diacak-acak. Ia teringat pada se?
dikit uang dan buku tabungannya. Duh, apakah itu
tidak hilang? Nana tentu tidak tahu karena ia menyim?
pannya di dalam koper di sela-sela pakaian. Sewaktu
akan berangkat ke rumah sakit, Nana dan Kiki mem?
bawa koper dan tas ke luar. Nana memang tidak perlu
waktu lama untuk membereskan barang-barang yang
mau dibawa karena sudah disiapkan sejak kemarinkemarin.
Isi-Warisan.indd 398 398 Isi-Warisan.indd 399 "Apa dia membongkar pintu rumah, Tuan?"
"Untung saja nggak. Masih terkunci. Mungkin dia
buru-buru. Ambil yang gampang saja. Tapi aku nggak
tahu bagaimana di tempatmu. Apa dikunci waktu
kamu mau turun?" "Nggak, Tuan. Dirapatkan saja. Tapi Nana nggak
ribut, Tuan." "Ya, syukur-syukur kalau nggak ada yang hilang.
Katanya semua barangmu sudah dibawa ke rumah
Kiki." "Ya, Tuan. Biar Nana bisa belajar lebih tenang."
"Untung aja kamu selamat, Kri."
David mengamati kepala Sukri dan lutut kanannya
yang diperban. "Katanya kepalamu di CT-Scan."
"Ya, Tuan. Hasilnya besok."
"Eh, Kri, kamu kan sekarang di kelas tiga. Sesak


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kayak gini. Nggak pakai AC, lagi. Mau kupindahkan
ke kelas satu? Di sana lebih nyaman. Kau cuma sen?
diri?an." Sukri terkejut. Sendirian? Ia justru takut sendirian.
Kalau ada apa-apa, tak ada yang tahu. Ia cepat meng?
geleng. "Nggak, Tuan. Biar di sini saja. Kelas satu mah
mahal. Lagi pula di sini banyak teman."
David memandang berkeliling. "Kayak begini kau
bilang banyak teman? Hahaha... ada-ada aja."
"Kalau sendirian saya malah takut, Tuan."
"Hah? Takut sendirian? Kan ada suster yang da?
tang menjenguk setiap saat."
"Saya belum pernah masuk rumah sakit."
399 "Aku kasihan aja lihat kamu di sini. Gimana kalau
kelas dua? Di situ pakai AC. Ada yang berdua, ada
yang berempat. Tadi aku sudah tanya-tanya. Mahal
nggak jadi soal. Mau, ya?"
Sukri merasa tidak enak hati. Tuan sungguhsungguh berniat baik. Mungkin merasa bersalah.
"Kamu kan karyawanku, Kri. Dan kamu meng?
alami kecelakaan itu saat sedang bekerja. Sudah ke?
wajibanku mengurus kamu."
"Baiklah, Tuan. Terima kasih banyak," kata Sukri.
Yang penting ia tidak sendirian.
"Ya, Kri. Aku juga terima kasih kau telah me?me?
nuhi janji. Maaf, kalau aku suka ngomong kasar. Tapi
aku memang takut kalau peti itu sampai ketahuan
orang. Buktinya kemarin sudah ada yang nyoba. Apa
orang itu nggak berusaha turun juga, Kri?"
Sukri bingung sejenak. Lalu menggeleng.
"Kalau dia memang mau turun, kenapa tangganya
dijatuhkan?" "Mungkin nggak sengaja."
"Dijatuhkannya sesudah saya jatuh, Tuan. Kalau
dia punya maksud jahat sama saya, pasti dia ngejar
saya ke bawah." "Mungkin dia nggak jadi turun setelah melihat peti
itu sudah nggak ada di tempatnya."
"Mana kelihatan, Tuan. Gelap begitu."
"Bisa aja dia bawa senter."
Sukri merasa bingung. Ribet amat, pikirnya. Ke?
pala?nya menjadi pusing. "Untung saja peti itu sudah dikubur. Tak kelihatan
lagi untuk selamanya."
Isi-Warisan.indd 400 400 Isi-Warisan.indd 401 David menepuk pundak Sukri lalu berdiri.
"Aku mau urus kepindahanmu sekarang juga.
Supaya kau bisa enak tidur. Kelas dua, ya?"
Akhirnya Sukri mendapat kamar berisi dua orang.
Sejuk, ada TV dan kulkas.
"Nanti kamu kabari Nana bahwa sudah pindah
kamar. Kalau nggak, besok dia kebingungan."
David berlalu dengan wajah puas. Ia tersenyum
ke?pada semua orang yang dilewatinya, membuat me?
reka terpesona. "Siapa itu?" tanya perawat.
"Itu majikan saya."
"Wah, baik sekali majikannya. Dan cakep lagi."
Sukri hanya tersenyum. Ia sendiri bingung.
Malam itu juga Sukri menikmati kamar barunya.
Itu sesuai dengan pesan yang disampaikan David ke?
pada perawat. Jangan menunggu sampai besok. Ter?
nyata kenikmatan itu bisa memengaruhi sakitnya yang
rasanya jadi berkurang. Ia merasa berterima kasih,
walau?pun sulit memahami kenapa Tuan bisa menjadi
begitu baik. Ketika Nana meneleponnya, ia sudah sangat me?
ngantuk karena diberi obat penenang.
"Na, Bapak baik-baik saja. Sekarang sudah pindah
kamar ke kelas dua, Tuan maunya begitu. Barusan dia
ke sini. Udah ya, ngantuuuk...."
*** Nana segera menyampaikan kabar itu kepada seluruh
keluarga Kiki. Mereka jadi bersemangat.
401 "Tapi Bapak nggak bisa ngomong lagi karena su?
dah ngantuk." "Kok dia jadi baik, ya," kata Sumarni.
"Dia sadar, itu memang sudah tanggung jawabnya.
Ka?lau sampai diributkan, dia akan malu," kata
Budiman. "Jadi pengin tahu, dia ngomong apa saja sama
Bapak," kata Nana. "Tadi kan si Imel bilang, mau lihat kamera yang
di teras," Kiki teringat. "Aku telepon dia, ya?"
Yang lain setuju karena mereka semua sama-sama
ingin tahu. Kiki menghubungi Imelda. Ia bicara sebentar, lalu
menutup ponselnya dengan tangan kemudian berkata,
"Imel mau cerita asal besok diajakin besuk Pak
Sukri." "Boleh saja asal dia diizinkan ikut oleh orangtua?
nya," kata Budiman. Kiki bicara lagi dengan Imelda. Sesudahnya ia ber?
cerita, "Kata Imel, kamera yang diteras diambil ma?
ling. Sudah hilang."
Mereka saling berpandangan.
"Apa iya?" "Bohong tuh." "Sengaja dicopot...."
"Entah siapa yang kelihatan di situ."
Berbagai komentar tak percaya keluar dari mulut
mereka. "Pendeknya besok kalau ketemu Pak Sukri bisa
di?tanyakan," kata Budiman.
"Wah, kamarnya nggak tahu, Om."
Isi-Warisan.indd 402 402 Isi-Warisan.indd 403 "Nanti bisa tanya suster, Na. Kelas dua, nyaman
kamarnya. Ada teve dan kulkasnya."
"Senyaman-nyamannya, rumah sakit tetap saja
nggak enak," kata Nana.
"Iya, Na. Tapi pastinya nggak kayak pasar seperti
di kelas tiga itu," sahut Kiki.
Malam itu, Nana tidur sekamar dengan Fani. Nana
sudah tidak canggung lagi seperti awalnya. Tapi ia
sulit tidur, bukan hanya karena tempatnya baru, tapi
juga memikirkan ayahnya. Bisakah dia sehat seperti
semula? Bisakah dia bekerja seperti yang diangankan?
Tapi kekhawatiran itu bisa juga ditepisnya dengan
pemikiran, bahwa ia seharusnya bersyukur ayahnya
masih hidup. Itulah yang paling penting. Setelah itu ia
bisa tidur dengan nyenyak.
*** Esoknya Nana bangun pagi seperti kebiasaannya.
Sebelum Sumarni bangun, ia sudah bangun lebih dulu,
lalu mandi dan mempersiapkan keperluan sekolahnya
lebih dulu. Ia ingin ke dapur untuk mempersiapkan
makanan, tapi tidak tahu apa yang mesti dikerjakan.
Ia menunggu Sumarni bangun.
Sumarni heran melihat Nana sudah segar.
"Udah biasa, Tante. Sekarang mau masak apa,
Tante?" "Biasanya kalau masih ada sisa lauk kemarin itu
aja yang dihangatkan. Terus ditambah apa gitu kalau
kayaknya kurang. Biasanya bikin omelet. Tapi se?ka?
rang karena nggak ada sisa, bikin nasi goreng aja."
403 "Biar saya yang racik bumbunya, Tante. Apa aja?"
Sumarni mengeluarkan bumbu yang diperlukan.
Bawang merah, bawang putih, cabe merah, tomat.
Nana mengulek bumbu dengan sigap. Sumarni
melirik dan mengaguminya. Anak yang rajin, pikirnya.
Pasti bukan semata-mata karena didikan orangtua.
"Kita besuk Pak Sukri sore saja," kata Budiman di
meja makan. "Iya dong," kata Sumarni. "Biar kalian saja yang
pergi. Aku jaga rumah."
"Jadi anak-anak berusaha belajar sebelum pergi.
Kalau masih ada yang kurang bisa dilanjutkan se?
pulang dari rumah sakit. Takutnya nanti terlalu lelah
atau kehilangan konsentrasi."
"Ya, Pa." "Ya, Om." Lalu ponsel Nana berbunyi. Begitu dilihatnya se?
gera wajahnya ceria. "Bapak...," katanya.
Semua mata menatapnya, ingin tahu.
"Hahaha! Bapak bilang, malu dimandiin suster!"
Nana tertawa geli. Semuanya terbahak. "Terus apa lagi?" tanya Kiki.
"Cuma itu aja."
Usai makan dengan sigap Nana mengumpulkan
piring kotor untuk dicuci.
"Sudah, biarkan saja itu, Na. Kamu kan harus be?
rangkat," Sumarni mencegah.
"Masih keburu, Tante."
Fani membantu Nana. Karena sudah terbiasa, Nana
bisa mencuci piring dengan cepat tapi bersih.
Isi-Warisan.indd 404 404 Isi-Warisan.indd 405 Saat berangkat ke sekolah, Nana bergabung dengan
geng Kiki. Ia sudah mengenal teman-teman Kiki. Me?
reka sudah dijelaskan perihal Nana, hingga tak perlu
ber?tanya-tanya lagi kenapa Nana berada di rumah Kiki.
Melewati rumah Jalan Kencana mereka memper?
lambat langkah lalu mengamati suasana di depan ru?
mah. Sepi. Biasanya pada saat itu Sukri sudah mulai
bekerja, membersihkan kebun lalu mengantar Nana
sampai pintu. Sementara majikan belum bangun.
Nana mengamati situasi itu dengan perasaan sendu.
Baru kemarin dia masih di situ menjalani hari-harinya
yang rutin. Sekarang sudah berubah. Memang akan
ber?ubah, tapi masih ditunggu hari demi hari. Tahutahu perubahan terjadi dengan mendadak.
Sampai di suatu tempat arah yang ditempuh Nana
berbeda dengan yang lain. Sekolahnya beda.
Siangnya, usai sekolah, Kiki tetap dengan kebiasa?
an sebelumnya, yaitu menjemput Nana. Yang lain pu?
lang duluan, termasuk Fani.
"Tadi aku ditelepon Imel. Kita disuruh mampir.
Orang?tuanya nggak ada. Bi Entin dan keluarganya
sudah menempati tempat tinggalmu."
"Kau mau, Ki?" "Yuk? Soalnya, Imel bisa memberi cerita. Kan kita
juga sudah janji mau mengajaknya besuk nanti sore.
Dia bilang, orangtuanya sudah memberi izin."
Nana setuju. Pada saat-saat akhirnya di rumah itu,
Imelda sudah membantu. Mereka tak lagi menghabiskan waktu di jalan
untuk mengobrol, tapi melangkah dengan cepat. Tak
boleh membuang waktu kalau waktu cuma sedikit.
405 Imelda sudah menunggu di depan pintu. Seperti biasa
dia tampak cantik sekali. Di belakangnya berdiri se?orang
lelaki tua yang rambutnya putih. Nana me?ngenalinya
sebagai suami Bi Entin, Pak Ujang. Rupa?nya Pak Ujang
jadi pengganti Sukri, mengurus kebun.
Bi Entin keluar menemui mereka.
"Nana, gimana bapakmu?"
"Udah baikan, Bi."
"Katanya ada yang ngedorong dia ke bawah situ,
ya?" Bi Entin menunjuk arah basement.
"Iya, Bi," sahut Nana segan.
"Senang kamu sekarang ya, Na?" Ada nada iri da?
lam suara Bi Entin. Nana hanya tersenyum. Ia tak ingin melayani Bi
Entin, tapi takut dikatai sombong. Kebetulan Kiki me?
manggilnya, ia segera berlalu diiringi tatap tak suka
dari Bi Entin. Imelda menunjuk ke sudut atas teras, tempat tadi?
nya kamera berada. Sudah kosong sekarang. Melihat
itu Nana dan Kiki merasa nyaman. Tak ada lagi yang
me?mata-matai. Waktu Imelda mengajak mereka ke
teras, mereka tak lagi keberatan.
Mereka duduk di teras. Kiki jadi ingat ketika ia
ditolong Lala. Sekarang tak ada Lala, tapi Imelda.
Memandangi Imelda yang duduk di sebelahnya, ia jadi
bingung untuk sejenak. Imelda jadi seperti Lala. Se?
perti?nya tak ada lagi bedanya. Hampir saja ia jadi
ter?bawa perasaan untuk membicarakan kisah dulu itu.
Ingatkah kamu ketika membimbingku menaiki tangga
di bawah itu? Ketika kamu memakaikan obat dan
perban? Ketika kamu menyuruhku berjanji untuk tidak
Isi-Warisan.indd 406 406 Isi-Warisan.indd 407 menceritakan apa yang kulihat di bawah sana? Janji
itu akan selalu kupegang, La!
"Hei, kamu ngelamun, Ki!"
Imelda menepuk lengan Kiki yang terlonjak kaget.
Imelda dan Nana tertawa. "Aku ingat..." Tiba-tiba Kiki terdiam ketika melihat Nana meng?
gelengkan kepala dan mengedipkan mata. Rupanya
Nana bisa menebak apa yang mau dikatakannya. Ia


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terkejut dan malu, merasa dirinya seperti terseret arus
dan ia pasrah saja tanpa melawan.
"Ya, waktu sama Pak Sukri aku ingat apa yang
ku?lihat di bawah sana," kata Kiki, buru-buru mengalih?
kan. "Apa yang kamu lihat?" tanya Imelda dan Nana
ham?pir berbarengan. Kiki mengingatkan dirinya untuk berhati-hati. Ja?
ngan kelepasan lagi seperti tadi.
"Tapi sebelum aku cerita, kamu cerita lagi dong
tentang apa yang kamu lihat dan pengalaman kalian
waktu sama Lala dulu."
Imelda tidak keberatan. Mula-mula ia bercerita ten?
tang bagaimana mereka bertiga, bersama Nana dan
Lala, turun ke bawah setelah Lala berhasil menemukan
tempat kunci disembunyikan.
"Ada apa aja sih di situ?" tanya Kiki.
"Barang kuno dan rusak. Kursi meja, lemari, ran?
jang... eh, apa lagi ya, Na?" tanya Imelda.
Nana berpikir. "Ya, ada juga yang dibungkus plas?
tik hitam. Barang-barangnya dijejer di sudut dan
pinggir?an. Jadi tengahnya kosong."
407 "Sampai ke bawah tangga juga ada barangnya?"
"Kayaknya gitu. Seingatku, di situ nggak melom?
pong. Ya kan, Mel?" tanya Nana.
"Oh iya. Ada peti antik di situ. Si Lala mau mem?
bukanya, tapi aku dan Nana udah nggak tahan. Udara?
nya nggak enak. Sumpek. Tapi Lala belum mau naik,
jadi kami naik duluan. Entah dia ngapain. Aku dan
Nana duduk-duduk di sini nungguin dia. Tahu-tahu dia
menjerit. Ketika kami mau turun untuk melihatnya,
dia sudah lari naik. Mukanya pucat...."
"Terus dia buru-buru mengunci pintu lalu lari ke
dalam. Katanya mau naruh kunci," sambung Nana.
"Waktu dia balik lagi, dia duduk dan memejamkan mata.
Ditanyain ada apa, nggak mau bilang. Dia minta tolong
diambilin air minum. Terus aku ambilin air putih."
"Pendeknya, kelakuannya aneh," Imelda ganti ber?
cerita. "Seharian dia jadi pendiam. Nggak mau ikut
ngobrol dan main. Dia cuma baca-baca, tapi kayaknya
pura-pura. Masa lembaran bukunya nggak dibalikbalik."
"Berapa lama dia seperti itu?" tanya Kiki.
"Seharian ya, Na?" Imelda menoleh kepada Nana
yang mengangguk. "Tapi besoknya dia udah biasa lagi," sambung
Nana. "Biarpun begitu, dia tetap nggak mau ngomong
soal itu. Katanya, udah ah, nggak mau ngomongin itu
lagi. Jadi kita nggak berani nanya-nanya lagi."
"Sepertinya dia takut ngomongin itu. Kasihan
juga," kata Imelda. "Terus papa kamu bilang Lala lihat hantu di situ
ya, Mel?" Nana mengingatkan.
Isi-Warisan.indd 408 408 Isi-Warisan.indd 409 "Oh iya. Kata Papa hantunya bayangan item besar.
Makanya belakangan pintu di situ dibuang." Imelda
menunjuk ke belakangnya. "Terus yang kamu lihat waktu sama Pak Sukri itu
bagaimana, Mel?" "Kan kamu udah diceritain sama Nana?"
"Ya. Tentang ubinnya yang tadinya dekil lalu jadi
bersih dan terang seperti habis disemen."
"Betul. Nah, kamu sendiri mau cerita apa?"
"Aku sempat memperhatikan. Mumpung ada ke?
sempatan. Bener tuh, Mel. Ubin di bagian tengah beda
sekali sama yang di pinggir-pinggir. Tapi di kolong
tangga kosong. Nggak ada barang apa-apa."
Imelda dan Nana duduk lebih tegak dan menatap
intens pada Kiki. "Jadi kesimpulannya apa, Ki?" tanya Nana.
"Nggak tahu," jawab Kiki cepat. "Aku mengamati
situasi di situ sesuai cerita kalian saja."
"Ah, bisa jadi Tuan menyuruh orang untuk me?
nyemennya," kata Nana ringan. "Sama seperti dia me?
nyuruh membongkar pintu dan membuatnya jadi din?
ding. Tentu semau dia dong. Namanya kan pemilik."
"Bener juga sih. Ngapain kita pusing-pusing, ya?"
Kiki membenarkan. Ia khawatir juga melihat keserius?
an wajah Imelda. "Ayolah, kita harus pulang, Ki. Ingat, sore nanti
mau besuk. Kita harus belajar dulu," Nana mengingat?
kan. "Jam berapa perginya?" tanya Imelda.
"Nanti di SMS, Mel. Mungkin jam enam. Harus
409 me?nunggu papaku pulang dulu. Ingat, minta izin sama
orangtuamu," pesan Kiki.
"Ya, jemput aku."
Imelda melepas keduanya pergi dengan iri. Ia kem?
bali ke ruang depan dan mengempaskan tubuhnya di
sofa tadi. Pintu dibiarkannya terpentang lebar. Dengan
demikian ia tidak merasa sendirian. Dari tempatnya ia
bisa melihat Pak Ujang wara-wiri di kebun.
Ia teringat pada pembicaraan tadi. Mereka meng?
akhirinya dengan pertanyaan yang tak terjawab. Se?
mula ia memaksa Sukri membuka pintu ke basement
hanya ingin tahu tentang keberadaan hantu seperti
yang dikatakan ayahnya. Takut-takut tapi ingin tahu.
Ternyata lain lagi yang dilihatnya. Sekarang ia tidak
takut lagi. Sukri bukan didorong oleh hantu, tapi
orang. Tepatnya maling. Pertanyaan tadi memang tak terjawab. Tapi bukan
tak bisa dijawab, karena ayahnya pasti tahu! Itu sudah
pasti, karena seperti kata Nana, pemilik pasti tahu.
Masalah?nya, ia tidak berani menanyakannya. Dengan
memaksa Sukri membuka pintu papan itu, ia sudah
me?lakukan pelanggaran. Baginya, situasi seperti yang terjadi sekarang ini
te?rasa menyenangkan. Seperti petualangan. Jadinya ti?
dak lagi membosankan seperti yang dibayangkan oleh?
nya sebelumnya. Isi-Warisan.indd 410 410 Isi-Warisan.indd 411 SUKRI merasa sangat bersyukur. Dokter Pramono
mengatakan bahwa hasil CT-Scan-nya baik. Tak ada
kelainan yang ditemukan di kepalanya. Dan sampai
saat itu tidak ada gejala gegar otak. Ia tidak merasa
pusing dan tidak mual atau muntah.
Kemarin, pada saat kejadian ia merasakan pandang?
annya berputar. Tapi sekarang tidak lagi.
"Waktu itu Bapak kan belum makan. Jadi otak
belum mendapat suplai makanan."
"Betul, Dokter. Sesudah makan, langsung jadi se?
gar." Sukri tersipu.
"Luar biasa juga pengalaman Bapak itu. Jatuh de?
ngan kepala lebih dulu. Setinggi empat meter, ya?"
"Betul, Dokter."
"Tapi leher Bapak baik-baik saja. Kuat sekali tu?
lang lehernya. Hahaha..."
Dokter Pramono tertawa. Sukri ikut saja tertawa.
Ia tak mengerti gurauannya.
411 "Apa saya sudah boleh jalan, Dok?"
"Duduk dulu, Pak. Nanti kalau semua lancar, baru
jalan. Setahap demi setahaplah, Pak. Nanti kalau su?
dah boleh jalan, minta pinjam tongkat sama suster."
"Terima kasih, Dokter."
Tadinya Sukri ingin menanyakan kapan ia boleh
pulang. Tapi teringat, bahwa ia baru saja dibolehkan
duduk. Jalan belum. Bagaimana bisa bertanya tentang
pulang? Lalu ia teringat dengan terkejut. Ia akan pulang ke
mana? Setelah berpikir ke situ, keinginan pulangnya
hilang. Biar sajalah ia tetap di rumah sakit sampai ia
benar-benar sehat dan kuat. Bukankah di situ nyaman?
Ia tidak perlu kerja, hanya makan dan tidur saja.
Kalau sudah benar-benar sehat, jalan tak perlu pakai
tongkat, ia bisa langsung bekerja di Sukabumi. Calon
majikannya tentu tak mau mempekerjakan orang yang
sulit berjalan. Kerjanya pasti tidak optimal.
Ia berharap bila keluar dari rumah sakit ia tidak
hanya bisa berjalan lancar, tapi juga berlari. Sekarang
lutut?nya masih nyeri berdenyut-denyut. Ah, sesungguh?
nya ia memang masih beruntung.
Apalagi ia tak perlu merisaukan biaya rumah sa?
kit. Pikiran itu menenangkan. Ia harus konsentrasi saja
untuk kesembuhannya. Seperti yang dikatakan
Budiman. Biarpun merasa kesal karena harus tiduran
saja, ia tak mau menyesali keadaan. Seperti kata
Nana, untung Bapak tidak mati. Ya, ia benar-benar
ma?sih beruntung. Seperti kata dokter tadi....
Isi-Warisan.indd 412 412 Isi-Warisan.indd 413 Ia merabai lehernya. Betulkah ia memiliki tulang
leher yang kuat seperti kata pepatah, tulang besi otot
kawat? Ia tersenyum. Tentu saja itu tidak mungkin.
Mana ada orang seperti itu.
Ia memejamkan mata, mengenang dan merasakan
kembali suasana pada saat itu. Ketika ia didorong saat
berjongkok. Ia melayang ke bawah seperti layanglayang putus. Semua terjadi dalam hitungan detik.
Sulit mengurai kembali saking cepatnya. Tapi ia bisa
merasakan kembali bagaimana leher dan kepalanya
terasa kaku, sebelum menyentuh lantai. Ia mengira itu
adalah ketakutan yang membuat saraf tegang. Apakah
kekakuan itu yang membuat lehernya tak patah dan
kepalanya tak pecah? "Ani! Lala!" tercetus dari mulutnya begitu saja.
Seorang ibu penunggu pasien di sebelah Sukri
tersentak bangun dari duduknya lalu menghampiri.
"Kenapa, Pak? Mau dipanggilkan suster?" ia ber?
tanya simpati. Ia sudah tahu bahwa Sukri tidak ada
yang menunggui. "Nggak, Bu. Tadi ngomong sendiri," kata Sukri
ter?sipu. "Oooh... kalau perlu suster, dibel saja, Pak."
"Ya, Bu. Terima kasih."
Sukri senang ketika ibu itu kembali ke tempatnya
se?mula. Ia tak suka diajak mengobrol. Jadi ia meng?
ingat?kan dirinya untuk menjaga mulutnya. Tapi tadi ia
begitu spontan. Ia juga lupa bahwa dirinya tidak sen?
diri?an karena terbiasa sendirian kalau berada di rumah
Tuan. Dengan bebas pikirannya kembali berkelana. Betul?
413 kah ia telah ditolong hingga kondisinya tidak gawat
seperti yang diperkirakan? Tetapi ia tidak melihat Ani
dan Lala secara fisik, juga tidak merasakan sentuhan?
nya, tidak mendengar suaranya. Kepadanya dan Nana
mereka berdua tidak pernah hadir dalam bentuk apa
pun. Hanya kepada Kiki seorang. Apakah karena Kiki
tidak pernah melihat atau mengenal mereka sebelum?
nya? Sukri tahu, tak ada jawaban untuk pertanyaan itu.
Dia dan Nana sudah berulang kali melontarkan per?
tanyaan serupa. Hanya untuk dilempar ke udara saja.
"Terima kasih, Ani dan Lala," ia menggumam per?
lahan. Tak mungkin ibu sebelah bisa mendengarnya.
Ia menganggap keduanya adalah penolongnya.
Anggap?an itu sedikit-banyak mampu memberi kepuas?
an dan meredakan rasa penasarannya. Keduanya tidak
melupakan dirinya. Ia tidak perlu iri kepada Kiki.
Tanpa melakukan kerja fisik dan hanya tiduran
saja, pikirannya jadi terasah. Berpikir dan melamun
itu jelas berbeda. Tadinya ia suka melamun di waktu
senggang. Sekarang ia tak lagi melamun, tapi berpikir.
Di samping banyak waktu, banyak pula kejadian yang
menimpanya, dan menuntutnya untuk berpikir.
Tentang Kiki. Anak itu memang cerdas dan lincah.
Bagaimana dia bisa menebak bahwa dirinya berada di
basement? Menurut Kiki ia melihat gulungan tali
plastik dan gunting di dekat pintu papan. Bagaimana
ia bisa tahu bahwa di bawah pintu papan itu terdapat
lubang basement? Hal itu memperkuat dugaannya se?
mula bahwa Kiki pernah masuk ke situ.
Lalu tingkah Kiki sewaktu berada di basement
Isi-Warisan.indd 414 414 Isi-Warisan.indd 415 bersamanya. Meskipun ia sedang kesakitan tapi ia bisa
merasakan keganjilan pada tingkah Kiki itu. Anak itu
wara-wiri, mengamati kiri-kanan, terutama di bawah
tangga batu. Bahkan tangannya terulur meraba ke
kanan dan ke kiri, seperti orang buta mencari barang.
Apa yang dicarinya di bawah tangga itu?
Hanya peti yang dulu berada di situ dan kemudian
meng?hilang ke bawah tanah. Jadi sepertinya Kiki per?
nah melihat peti itu. Sukri serasa ingin bersorak karena berhasil me?
nemu?kan kesimpulan itu. Ternyata berpikir itu me?
nyenangkan juga karena ada hasilnya. Dia memang
tidak berpendidikan. Tapi untuk berpikir dan mengasah
otak kiranya ia tidaklah terlalu bodoh.
Berbeda dengan Ani dan Lala, Kiki hidup dan bisa
ditanyai. Tapi ia mengingatkan diri untuk berhati-hati.


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Takut kalau menyinggung. Hal itu paling tak diingin?
kannya. Apalagi menyinggung perasaan anak sebaik
Kiki yang telah menolongnya. Ia juga ingat sudah ber?
janji kepada Tuan. Bagaimana bertanya kepada Kiki
tanpa membuka rahasia? Ia tahu, bila ia bertanya
maka ia akan balas ditanya. Ia tak akan memperoleh
jawaban dari apa yang ditanyakan kalau ia juga tidak
menjawab apa yang ditanyakan kepadanya.
Tidak sukar bagi Sukri untuk menyimpulkan pe?
nyebab kebaikan Tuan belakangan ini. Tuan tentu
takut kalau ia membuka rahasia bila mendapat per?laku?
an buruk. Berbeda dengan Nyonya yang tampaknya
tidak berubah. Sukri tidak tahu, mana yang harus le?
bih diwaspadai, orang yang berubah atau yang tetap
seperti semula. Firasatnya mengatakan, selama ia
415 masih berhubungan dengan orang-orang itu, ia harus
tetap waspada. *** Sore itu Imelda sangat gembira. Ia akan dijemput jam
enam dan kedua orangtuanya sudah setuju.
"Tapi ingat," kata Linda. "Kamu harus mendengar?
kan apa saja yang dibicarakan mereka, lalu cerita
kalau pulang nanti."
"Beres, Ma." David menertawakan dandanan Imelda.
"Memangnya kau belum pernah besuk orang sakit,
Mel? Masa seperti itu sih?"
"Jadi, nggak pantas begini?" Imelda tertegun. Ia
cuma ingin kelihatan menonjol bila dibanding Nana.
"Nanti kamu diketawain mereka," kata David.
"Habis ganti lagi, Pa?"
"Iya. Pakai baju kasual aja. Dan jangan pakai
make up. Kamu itu udah cantik."
"Betul," Linda menimpali. "Kamu jauh lebih cantik
daripada si Nana yang kampungan itu. Tanpa rias apaapa kamu tetap cantik. Buat apa susah-susah?"
Imelda berlari lagi ke kamarnya untuk mencuci
muka?nya dan mengganti pakaiannya. Ia terpaksa me?
makai pakaian Lala. "Nah, begitu baru bagus," puji David.
Sebelum jam enam Imelda sudah menunggu di de?
pan pintu gerbang. Bi Entin menemaninya. Sedang
kedua orangtuanya duduk di teras.
Isi-Warisan.indd 416 416 Isi-Warisan.indd 417 Karena letak rumahnya yang tusuk sate dengan
jalan di depan yang mengarah ke Jalan Belimbing, di
mana Kiki tinggal, maka Imelda gampang mengamati.
Pandangannya lurus saja ke depan.
Tak lama kemudian ia bisa melihat sebuah mobil
warna krem mendatangi. Ia mengenali mobil Budiman.
Buru-buru ia mendekat ke trotoar.
"Daaag... Mel!" seru David.
"Daaag Papaaa...! Mamaaaa...!" seru Imelda. Ia
me?lam?baikan tangan tanpa menoleh.
David dan Linda tetap duduk di tempat mereka.
Begitu mobil Budiman berhenti, Imelda langsung
mem?buka pintu. Ia duduk di belakang, berderet de?
ngan Nana dan Fani. Kiki di depan bersama ayah?
nya. "Sore, Om. Sore, semuanya," sapa Imelda.
"Sore, Mel," sambut Budiman, diikuti yang lain?
nya. "Wah, Om nggak sempat pamit dulu sama orangtua?
mu, Mel. Kayaknya tadi ada di teras, ya?" kata
Budiman. "Iya, Om. Tapi pada males bangkit." Imelda ter?
tawa mengikik. Yang lain tertawa juga, biarpun tidak menganggap
ucapan itu lucu. Semata-mata untuk menghargai
Imelda. Bukankah seharusnya mereka yang menemani
Imelda di pintu lalu melepasnya pergi? Itulah kuranglebih pemikiran Kiki dan ayahnya. Sedang Nana sudah
menganggapnya biasa. Bagi Nana, itu bukan berarti
Tuan dan Nyonya kurang menyayangi anaknya, tapi
417 karena tak ingin menemui Budiman dan lain-lainnya.
Mereka sombong, pikir Nana.
"Wah, mobilnya butut," komentar Linda. "Mudahmudahan aja nggak mogok di tengah jalan."
"Tapi kelihatannya terawat baik."
"Dulu mobilnya itu pernah mogok di depan pintu.
Aku nggak lupa tampangnya. Terus kusuruh buru-buru
pergi supaya nggak menghalangi pintu masuk."
"Kapan itu?" "Nggak ingat. Yang pasti sebelum kita kenal si
Kiki. Anaknya cakep, tapi bapaknya nggak, ya?"
Linda tertawa. "Mungkin ibunya cantik."
"Ah, masa sih."
"Biarpun dia cantik, pastinya lebih cantik kamu."
Linda tertawa senang. Ia menatap suaminya dengan
mesra. "Aku heran, kenal di mana si Sukri sama
Budiman?" "Mungkin anak-anaknya duluan yang saling kenal.
Jangan-jangan si Nana itu yang suka cerita tentang
kita, dijahatinlah, diapainlah, jadinya bapaknya si Kiki
kasihan." David mengangguk. "Kayaknya begitu. Bagus apa?
nya si Nana itu sampai Kiki tertarik sama dia?"
"Kata si Imel sih, waktu pertama berkenalan, si
Kiki sampai melotot memandanginya."
David tertawa. "Tentu saja. Nggak heran itu sih. Si
Nana pasti cemburu."
"Nggak pantes dong. Masa putri raja dicemburuin.
Emangnya dia apa?" Isi-Warisan.indd 418 418 Isi-Warisan.indd 419 Keduanya terbahak. Lalu mereka berdiri, masuk ke
dalam sambil berangkulan.
Begitu mengunci pintu, David menyambar tubuh
istrinya, menggendongnya lalu membawanya berlari
ke kamar. Tawa cekikikan Linda mengiringi perjalanan
itu. David sangat kuat dan perkasa.
Lalu David melempar tubuh Linda ke tempat tidur.
Mereka bercinta dengan cara yang liar, bagaikan orangorang yang baru lepas dari tahanan setelah ber?bulanbulan dipenjara. Setelah selesai mereka sama-sama
tergolek kelelahan dengan tubuh bercucuran keringat.
Linda merasa puas dan senang. David yang seperti
itulah yang ia inginkan. David yang tidak harus di?
redam dengan obat penekan libido. Ia tidak tahu dan
tidak mengerti. Apakah sesungguhnya seorang pedofil
bisa benar-benar meninggalkan kecenderungannya?
Apa?kah David bisa mendapat kepuasan dari dirinya
hingga tidak lagi merindukan bocah? Betapa senang?
nya kalau hal itu bisa terjadi.
Selama ini ia memang tidak lagi menyuruh David
memakan obatnya secara kontinu karena tak ingin
dirinya mengalami kerugian. Ia sebenarnya juga tidak
tahu apakah di luar David tidak pernah berusaha men?
cari bocah untuk melepaskan hasratnya? Ketika berada
di Belanda, David bisa melakukannya karena sudah
menge?tahui seluk-beluk caranya yang aman. Di sini,
ada ba?nyak sekali bocah gelandangan yang bisa di?
manfaat?kan. Sepertinya ada banyak sekali stok. Tapi
bukan tanpa risiko. Dulu sebelum memiliki anak, ia tahu persis kegiat?
an David. Tapi sekarang ia merasa kegelapan me?
419 nyelimuti David. Ia tidak tahu banyak lagi. Sampai ia
mengira bahwa David sudah bisa meninggalkan ke?
cenderungannya. Kemudian ia terkejut melihat sikap
dan reaksi David terhadap Kiki. Ia melihat nyala api
yang lama hidup lagi dalam diri David.
Ia mengingatkan David bahwa Kiki bukan bocah
yang bisa dimanfaatkan sesukanya. Terlalu besar risiko?
nya. Kiki bukan anak gelandangan yang tidak me?
miliki orangtua atau orang yang peduli terhadapnya.
Kiki sulit untuk diraih. Bahkan jelas tidak bisa.
"Ya, aku juga tahu. Aku kan nggak bodoh," kata
David kesal. "Jadi kenapa kau terus berharap?"
"Aku nggak berharap!"
"Tapi kelakuanmu itu seperti kucing melihat ikan!"
"Sudah, diam! Aku akan mencari penyelesaian sen?
diri." "Ingat! Jangan dekati dia lagi! Apalagi anakmu
suka sama dia." David tidak mau lagi membicarakan hal itu. Linda
hanya bisa berharap dan waspada. Ia mencoba menilai
dari kegiatan seksual mereka. Sepertinya David sudah
bisa memenuhi kebutuhan seksualnya dari dirinya
tanpa perlu mencari yang lain.
Tapi Linda tidak tahu apa yang berkecamuk dalam
diri David. Dalam permainan cinta mereka yang ber?
gelora tak pernah ia menyangka bahwa yang dibayang?
kan David bukanlah dirinya, melainkan tubuh mulus
bocah bernama Kiki! Isi-Warisan.indd 420 *** 420 Isi-Warisan.indd 421 "Tante, mamamu, nggak ikut, Ki?" tanya Imelda. Ia
belum pernah bertemu dengan Sumarni.
"Mama jaga rumah."
"Emangnya rumahmu bisa lari?" Imelda tertawa.
"Iya, bisa kok. Ada kakinya," sahut Kiki.
Fani tertawa lebih keras daripada Imelda. Ia meng?
anggap gurauan Kiki lebih lucu dari Imelda.
Seisi mobil tertawa. Ada juga keceriaan yang bisa
dibawa Imelda. "Kalau rumahmu nggak bisa lari, Mel," kata
Kiki. "Memang nggak bisa. Mana ada rumah bisa lari."
"Ada aja. Kalau dia mau, dia lari."
"Emangnya rumah itu hidup? Serem dong."
"Eh, tadi aku lihat papa dan mamamu di teras,
Mel." Kiki mengganti topik.
"Iya. Mereka nungguin aku pergi."
"Nggak susah minta izin?"
"Nggak. Kan perginya sama Om Budi."
"Mereka bilang apa?" Budiman ingin tahu.
"Ya, begitu. Nggak ngomong sih. Aku tahu aja."
Selama Imelda berbicara, Fani yang duduk di
tengah, tak bisa lepas mengamati Imelda dari pinggir.
Ia mengagumi kecantikan Imelda. Seperti boneka,
pikir?nya. "Yang tinggal di rumah samping cuma Bi Entin
dan Pak Ujang ya, Mel?" tanya Nana.
"Sekarang iya. Tapi kata Bi Entin, dia mau ngajak
cucunya tinggal di situ. Bisa bantu kerjaan, kata?
nya." "Cucunya? Cewek atau cowok? Umur berapa?"
421 "Cowok. Umur sepuluh kalau nggak salah."
"Cowok?" tegas Budiman. Nadanya seperti ter?
kejut. "Iya, cowok, Om. Memangnya kenapa, Om?"
"Oh, nggak apa-apa. Tapi cowok kecil bisa kerja
apa?" Budiman menyembunyikan keterkejutannya.
Apa?kah tidak berbahaya bagi anak lelaki itu serumah
dengan seorang pedofil? "Katanya sih buat disuruh-suruh," sahut Imelda.
"Apa orangtuamu setuju?" tanya Kiki.
"Setuju aja. Tapi kata Mama, kalau ada lagi cucu?
nya yang lain, mau yang cewek aja. Jangan cowok.
Bisa disuruh mijitin."
Mereka tertawa. Terutama Nana. Bukankah ia su?
dah terbebas dari pekerjaan menyebalkan itu? Pung?
gung putih dan omelan cerewet itu akan jadi masa
lalu. "Apa kamu suka disuruh mijit mamamu?" tanya
Fani. "Nggak. Kalau disuruh pun aku nggak mau. Nanti
bukannya kupijit, tapi kucubit."
Mereka tertawa. Ternyata Imelda bisa juga ber?
gurau. Tapi terutama karena yang dijadikan bahan
gurau?an adalah ibunya sendiri.
Imelda merasa senang dan bangga karena dirinya
serasa menjadi pusat perhatian. Memang itulah yang
selalu ia inginkan. Ia sudah menyadari bahwa dengan
bersikap judes dan sombong ia tidak akan mendapat
teman. Apalagi perhatian dari Kiki.
Setibanya di rumah sakit Budiman harus bertanya
dulu ke mana Sukri dipindahkan. Sewaktu Sukri di?
Isi-Warisan.indd 422 422 Isi-Warisan.indd 423 telepon oleh Nana untuk mendapatkan nomor kamar?
nya, ternyata Sukri tidak tahu. Tahunya cuma kelas
dua saja. Bukan main gembiranya Sukri ketika dijenguk.
Nana menghambur untuk memeluknya. Sukri meng?
usap-usap kepala Nana. Ia menyalami Budiman dan
Kiki, menyapa Imelda dan Fani. Orang yang pendiam
itu menjadi ceria. Sekarang Sukri sudah tidur dengan dua bantal dan
tempat tidur ditinggikan di bagian kepala. Ia sudah
boleh duduk. Infus sudah dicabut.
"Besok boleh jalan," kata Sukri dengan yakin.


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Syukurlah, Pak," kata Nana.
"Ya. Tiga hari lagi."
Budiman geleng-geleng kepala melihat antusiasme
Sukri yang masih tinggi. "Jangan mikir pekerjaan terus, Kri. Sembuh dulu
seratus persen," kata Budiman.
"Betul, Pak. Sekarang rasanya sudah sembilan pu?
luh persen," kata Sukri.
"Terutama lututmu itu. Jangan dipaksakan berjalan
sebelum sembuh. Pakai tongkat."
"Iya, Pak. Nanti dipinjami tongkat, kata suster."
"Aku sudah mengabari musibah yang kaualami ini
kepada Pak Gunawan. Dia berharap kau cepat sembuh.
Nggak usah buru-buru kerja, katanya. Kapan saja kau
siap, kau bisa masuk."
"Terima kasih, Pak."
"Enak ya kamar Bapak," kata Nana, mengagumi.
"Iya, seenak-enaknya rumah sakit, Na, mendingan
sehat. Terima kasih kepada Tuan ya, Non Imel?"
423 "Kata Papa, kalau kelasnya lebih tinggi susternya
lebih baik," kata Imelda. "Soalnya Bapak kan nggak
ada yang nunggu. Biar diperhatiin gitu."
"Iya, Non." Budiman tidak menyetujui pendapat itu, tapi ia
diam saja. Biarkan ayah Imelda menjalankan kewajib?
an?nya dengan baik. Tak lama kemudian keempat anak sudah keluar
dari kamar, mencari ruang yang lebih lega, yaitu di
taman yang letaknya di luar teras kamar. Budiman
meng?amati mereka sejenak lalu kembali ke kamar me?
nemani Sukri. "Memang lebih baik mereka di luar saja, daripada
me?menuhi kamar," kata Budiman, menoleh ke sam?
ping di mana tirai membatasi kedua ranjang pasien.
Di sebelah sana juga sedang dibesuk oleh keluarga
hingga suasana menjadi ramai.
"Kri, aku pikir kalau nanti kau diperbolehkan pu?
lang dalam beberapa hari ini, jangan langsung be?
rangkat. Jadi sebaiknya jangan hari Sabtu ini seperti
rencana semula. Kau istirahat saja dulu, sambil me?
latih kakimu. Tapi tentunya kau nggak bisa pulang ke
rumah Tuan, karena di situ sudah nggak mungkin.
Jadi istirahatlah di rumahku sama Nana."
"Waduh, Pak..." Sukri tak bisa bicara saking ter?
haru. Matanya berkejap-kejap.
"He, kenapa? Wajar saja, Kri. Kita sudah berteman
sekarang. Nggak perlu sungkan lagi. Tapi sekarang
jangan ngomong dulu sama Nana. Tunggu nanti saja
kalau sudah jadi kenyataan. Takutnya dia ngomong
sama Imel. Lalu Imel ngomong sama orangtuanya.
Isi-Warisan.indd 424 424 Isi-Warisan.indd 425 Memang sih kita nggak mengharapkan yang bukanbukan. Tapi sebaiknya kita berjaga-jaga."
"Baik, Pak. Terima kasih."
"Nanti kau tidur sama Kiki saja. Kalau Nana sama
Fani." "Iya, Pak." "Jadi sekarang kau nggak perlu mikir apa-apa lagi,
Kri. Konsentrasi sama kesembuhanmu."
"Iya, Pak." "Sekarang aku mau lihat anak-anak dulu. Pada
Hijaunya Lembah Hijaunya 16 Pedang Pusaka Buntung Karya T. Nilkas Wanita Gagah Perkasa 12

Cari Blog Ini