Ceritasilat Novel Online

Warisan Masa Silam 6

Warisan Masa Silam Karya V. Lestari Bagian 6


ngapain mereka itu."
Budiman ke luar, menuju taman di samping teras.
Ia melihat anak-anak sedang duduk di bangku besi.
Mereka sedang mengobrol. Tampaknya serius.
"Hai, lagi ngapain? Asyik amat di sini," Budiman
menyapa. "Di sini nyaman, Pa," kata Kiki.
"Ya, benar sekali." Budiman ikut duduk.
"Memang sudah mau pulang, Om?" tanya Imelda.
"Yuk? Kan kalian masih harus belajar. Dan Imel
ditunggu Papa-Mama."
"Nggak sih, Om," sahut Imelda. Ia masih betah.
Nana berdiri lalu berlari masuk ke dalam kamar.
Kiki mengikutinya. Fani dan Imelda juga, tak bisa
lain. Dari perkenalan itu Fani sudah memutuskan. Ia
lebih menyukai Nana daripada Imelda. Ia menganggap
Imelda agak sombong dan bicaranya tinggi. Ia merasa
diperlakukan seperti anak kecil, padahal beda umur
tak banyak. Mereka pamitan pada Sukri yang melepas mereka
dengan terharu. Rasa sakit yang masih ada dan juga
425 pengalaman menyakitkannya tidak berarti dibanding
apa yang diperolehnya sekarang. Tak apa-apalah se?
mua itu ditanggungnya demi mendapatkan yang seka?
rang. Mungkinkah orang harus bersakit-sakit dulu se?
belum mendapatkan kegembiraan?
Tapi ia mengingatkan diri. Jalan yang harus di?
tempuhnya masih panjang. Mungkin ia masih harus
bersakit-sakit lagi sebelum mencapai tujuannya. Siapa
tahu akan ada banyak lagi cobaan menunggunya di
depan. Ia harus siap. *** Imelda sudah ditunggu orangtuanya untuk makan ma?
lam. Bi Entin melayani mereka. Linda tidak suka ke?
pada Pak Ujang karena penampilannya yang mirip
per?tapa. Sambil makan Imelda bercerita tentang pengalaman
di rumah sakit dan bagaimana kondisi Sukri sekarang.
Ka?rena mereka berbicara bahasa Belanda, Bi Entin
tidak mengerti. Ia hanya mendengar nama Sukri dan
Nana disebut-sebut. Sebenarnya ia ingin juga tahu,
tapi apa daya, dia tidak mengerti bahasa mereka.
Meng?gemaskan. Dari orang-orang ini sudah jelas ia
takkan bisa memperoleh informasi apa sebabnya Sukri
dan Nana sampai pergi dari rumah itu. Ia tidak per?
caya alasan Sukri bahwa ia ingin jadi petani di Suka?
bumi. Kenapa pula orang yang tinggal di Jalan
Belimbing itu begitu baik hati padahal bukan apaapanya?
Isi-Warisan.indd 426 426 Isi-Warisan.indd 427 Sukri tidak pernah bercerita buruk perihal majikan,
tapi Bi Entin tahu betapa kasar dan judes sikap
Nyonya padanya. Biarpun begitu, nyatanya Sukri dan
keluarganya bisa tahan sampai delapan tahun. Bi Entin
kenal baik Bi Ani yang sudah lebih lama bekerja di
situ. Tapi mereka tidak pernah menggosipkan majikan.
Penyebabnya adalah karena masing-masing takut
dilaporkan. "Jadi Sukri sudah sehat?" tanya Linda.
"Sudah, Ma. Sudah boleh duduk. Besok jalan."
"Hi hi hi... kayak bayi aja. Senang dong dia dapat
kelas dua." "Iya. Kelihatannya nyaman. Di luar kamar ada
tamannya. Tadi aku sama Nana, Kiki, dan Fani dudukduduk di situ."
"Ngapain?" tanya David.
"Ngobrol. Lihatin orang."
"Memangnya belum pernah lihat orang?" tanya
Linda. "Kan beda-beda, Ma. Ada yang begini. Ada yang
begitu." Mereka tertawa. "Besok aku boleh ikut sebentar ke rumah Kiki,
Ma?" "Ngapain?" "Pengin lihat rumahnya. Main sebentar. Mereka
juga mesti belajar kok."
"Memang kau sudah tahu rumahnya?"
"Besok aku ikut mereka pulang sekolah. Habis
kalau di rumah kesal, Ma. Nggak punya teman."
427 "Iya deh," kata David. "Nanti ditemenin aja sama
Bi Entin." Bi Entin menoleh mendengar namanya disebut,
tapi tak ada yang memandang kepadanya.
Imelda memonyongkan mulutnya. "Huuu, aku
nggak perlu baby sitter.... Bisa diketawain dong."
"Tapi kau harus mengerti, Mel," kata David. "Di
sini beda dengan di Belanda. Di sini banyak penculik.
Banyak penjahat. Anak secantik kamu pasti menarik
minat jahat orang. Mana mungkin dilepas sendirian.
Apalagi kamu asing di sini."
David sengaja menakut-nakuti, meskipun ia sendiri
juga merasa khawatir. "Dari sini ke Jalan Belimbing dekat, Pa."
"Biar dekat tapi tetap berbahaya. Jalanan itu yang
berbahaya. Misalnya kamu sedang jalan, lalu tiba-tiba
ada mobil berhenti di samping kamu terus ada orang
keluar lalu menarikmu ke dalam mobil. Nah, kamu
bisa apa? Biar teriak-teriak pun sudah dibawa kabur
duluan." Imelda menjadi ngeri juga. Sebegitu berbahayakah
negeri ini? "Tapi Nana selalu pergi sekolah sendirian. Nggak
pernah ada apa-apa."
"Tentu saja. Karena dia jelek. Mana ada yang
tertarik?" "Lalu kalau diculik aku diapain, Pa?"
"Macam-macam. Pertama, bisa dimintain tebusan.
Kedua, kamu dijual. Nah yang kedua itulah yang pa?
ling berbahaya. Sekarang banyak perdagangan manu?
sia." Isi-Warisan.indd 428 428 Isi-Warisan.indd 429 Imelda jadi bergidik. "Kalau dijual diapain, Pa?"
"Ya. Dijadiin...," David ragu-ragu meneruskan.
"Dijadiin pelacur, Pa?" Imelda tak sabar menunggu
kelanjutan ucapan ayahnya.
David menatap putrinya. Anak itu sudah mengerti
rupanya. "Ya, seperti itulah, Mel. Jadi perempuan yang
cantik itu memang menyenangkan. Banyak yang suka
dan tertarik, tapi banyak juga yang punya niat jahat.
Jadi orang cantik itu harus lebih berhati-hati daripada
orang jelek. Ha ha ha...."
Bi Entin melirik. Apa pula yang ditertawakan
Tuan, pikirnya. Padahal Nyonya merengut saja.
Imelda mengamati ayahnya dengan serius.
"Aku memang nggak mau tinggal di Indonesia, Pa.
Takut." "Habis kalau nanti aku dan Mama nggak ada,
siapa yang meneruskan tinggal di sini?"
"Jual saja, Pa."
"Dan perusahaan kita?"
"Dijual juga," sahut Imelda ringan.
"Ah, kamu. Main jual-jual aja. Emangnya kamu
nggak suka rumah ini? Turun-temurun dari nenek
moyang kita tinggal di sini, tahu?"
"Iya, tahu. Kan udah diceritain. Tapi tadi Papa sen?
diri yang ngomong, tinggal di negeri ini banyak
bahaya?nya. Banyak orang jahatnya. Buat apa bertahan
di rumah nenek moyang kalau nanti nggak selamat?"
David terpana memandang Imelda. Anak ini sudah
pintar bicara. 429 "Eh, Mama kok diam saja sih?" David beralih ke?
pada istrinya. "Lagi nggak pengin ngomong," sahut Linda.
"Aku tahu jalan keluarnya, Pa," kata Imelda.
"Apa?" tanya David heran. Bahkan Linda menatap
Imelda dengan ingin tahu.
"Papa dan Mama bikin anak lagi saja. Jangan
cuma aku sendirian. Bikinlah anak lelaki. Yang cakep
kayak Papa." David dan Linda berpandangan. Tawa keduanya
me?ledak berbarengan. Linda yang semula merasa bo?
san jadi ceria. "Enak saja kamu ngomong, Mel," kata Linda. "Me?
mangnya gampang?" "Gampang dong, Ma. Kan Papa dan Mama sudah
berhasil bikin dua. Masa satu lagi nggak bisa?"
Mereka tertawa terpingkal-pingkal. Hanya Bi Entin
yang tersenyum bingung. Tapi baik David maupun Linda tidak menjawab
pertanyaan Imelda tadi. "Bisa kan, Pa? Bisa kan, Ma?" desak Imelda.
"Bisa sih bisa, tapi nggak mau," jawab Linda.
"Papa sih terserah Mama saja. Kalau mau sekarang
juga bisa," kata David.
Imelda tertawa geli mendengar jawaban ayahnya
itu. Tapi Linda tersenyum kecut.
"Aku pengin juga punya adik, Ma. Lagi pula kalau
aku di Holland, Papa dan Mama di sini nggak ada
yang nemenin." Ucapan itu kedengaran bijak, tapi Linda meng?
geleng-gelengkan kepalanya.
Isi-Warisan.indd 430 430 Isi-Warisan.indd 431 "Kenapa sih nggak mau, Ma?" Imelda bisa me?
nyimpulkan bahwa yang tidak mau itu adalah ibunya,
bukan ayahnya. "Apa kaupikir punya anak lagi itu bisa langsung
jadi besar? Bisa nemenin, bisa diajak main? Dia jadi
bayi dulu, proses jadi gedenya lama dan sulit. Nanti
dia sakit, dia bengal, makan hati. Tahu?" sahut Linda
agak kesal. David mengedipkan mata pada Imelda yang tak
lagi melanjutkan topik itu. Sikap ibunya sudah merupa?
kan alarm tanda bahaya. Setelah makan Imelda pergi ke kamarnya. Ayahnya
sudah menyiapkan pesawat televisi berikut segepok
DVD pesanannya. Ia akan menonton sepanjang malam
sampai mengantuk. Semula ia ingin sekali menelepon
Kiki atau Nana, tapi ia sadar keduanya tentu sedang
belajar. Bisa-bisa mereka akan malas menyahut.
"Katanya kamu mau mengajak cucumu tinggal di
sini, Bi?" tanya Linda kepada Bi Entin.
David tersentak oleh pertanyaan istrinya itu. Se?mula
dikiranya Linda tidak setuju dengan gagasan itu.
"Oh iya, Nya. Kalau boleh," sahut Bi Entin.
"Perempuan atau lelaki?"
"Kalau perempuan mah belum bisa disuruh-suruh,
Nya. Masih kecil, baru tujuh tahun. Ada juga yang
lelaki, umurnya sepuluh tahun. Udah bisa kerja kayak
si Nana. Pagi sekolah, pulangnya bantu-bantu."
"Apa cowok bisa kerja?" tanya Linda.
"Bisa, Nya. Udah dibiasain sih. Bisa ngepel, cuci
piring. Bersih lagi. Cuma sekolahnya rada bodoh.
Nggak pinter kayak si Nana," Bi Entin berpromosi.
431 "Anaknya sendiri gimana? Badannya bersih nggak?
Jangan sampai kurapan atau kutuan," David tak tahan
untuk tidak ikut bertanya.
"Oh, nggak, Tuan. Dia bersih kok. Sehari mandi
dua kali." "Begini saja. Besok bawa ke sini. Kita lihat dulu,
Bi," kata Linda. "Baik, Nya. Besok biar Ujang yang jemput dia."
Setelah mereka berdua berada di kamar, meninggal?
kan Bi Entin membersihkan ruang makan, David
langsung mengungkapkan keheranannya.
"Bukankah tadinya kau nggak setuju si cucu di?
bawa ke sini?" "Kau tahu kenapa?" tanya Linda, mengamati ta?
jam. "Nggak tahu." "Aku mau ngetes kamu!"
David hanya bisa terkejut.
Isi-Warisan.indd 432 432 Isi-Warisan.indd 433 "NAMANYA ABIDIN, dan panggilannya Didin,"
Bi Entin mengenalkan cucunya.
Pagi-pagi sekali Ujang pergi menjemput Didin di
rumah anak perempuannya di bilangan Kwitang,
Jakarta Pusat. Tak begitu jauh. Semalam ia sudah
mem?beritahu lewat ponsel kepada Didin dan orangtua?
nya, jadi begitu ia datang menjemput, anak itu sudah
siap. David, Linda, dan Imelda mengamati anak itu dari
atas ke bawah. Bi Entin meninggalkan cucunya di?
kerubuti karena ia harus menyiapkan sarapan.
Didin bertubuh pendek agak gempal. Wajahnya
tampak imut-imut. Terlihat lebih muda dari usianya
yang sepuluh tahun. Kulitnya cokelat dan berambut


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ikal kecil-kecil, agak kribo. Sepasang matanya bulat
dan hidungnya agak pesek, dengan lubang hidung se?
dikit mendongak. Tapi bibirnya mungil. Keseluruh?
annya dia tidak cakep, tapi juga tidak jelek. Ia me?
433 ngenakan seragam SD, kemeja putih dan celana merah
tua. Dari situ ia akan berangkat ke sekolah diantar
oleh kakeknya, karena ia belum tahu jalan.
"Kayak dakocan," bisik Imelda di telinga ibunya.
Lalu ia cekikikan sambil menutup mulutnya.
Didin membungkukkan tubuhnya dalam-dalam
mengikuti ajaran neneknya. Lalu berdiri diam mem?
biarkan tatapan orang-orang di depannya men?jejalahi?
nya. Ia merasa canggung dan malu dan rasanya ingin
se?kali lari. Tapi ia jatuh cinta pada rumah itu. Sung?
guh bagus dan luas. Alangkah senangnya kalau ia bisa
tinggal di situ dibanding dengan rumah orangtuanya
yang kecil dan sumpek. Yang paling tajam mengamatinya adalah David.
"Kamu kelas berapa, Din?" tanya David.
"Kelas tiga, Tuan."
"Ah, baru kelas tiga?"
"Ya, Tuan. Pernah nggak naik," sahut Didin malu.
"Nggak apa-apa. Kalau kamu di sini, kamu akan
tetap sekolah dan belajar meskipun bantu-bantu kerja?
an. Sekolah itu penting, tahu?"
"Ya, Tuan," sahut Didin berbesar hati. Ia sangat
optimis akan diterima di situ.
"Yang penting kamu harus jujur dalam bekerja.
Ka?lau jujur kamu dipercaya," kata Linda, bersuara
untuk pertama kalinya. "Ya, Nya." Lalu Didin mengangkat mukanya. Tampak bibirnya
ber?getar. Pandangnya pertama-tama tertuju kepada
David. Pertama kali keduanya beradu pandang. Spon?
tan Didin merasakan kekaguman. Lelaki yang gagah
Isi-Warisan.indd 434 434 Isi-Warisan.indd 435 dan tampan. Lalu kekaguman itu bertambah lagi ke?
tika ia melihat Linda dan Imelda. Aduh, apakah ini
ke?luarga artis? Semuanya cantik dan tampan. Hampir
saja mulutnya terbuka. Tapi dari ketiga orang itu yang paling memukau
dirinya adalah Tuan. David segera memahami tatapan itu. Dan ia me?
nyukainya. Ada seseorang yang tidak menganggapnya
seperti dewa, bukan setan!
Kemudian David terkejut ketika menyadari bahwa
Linda sedang mengamatinya. Apakah Linda bisa mem?
bacanya tadi? "Bagaimana, Ma? Kau setuju? Kita jangan me?
nahannya lama-lama. Dia mau sekolah."
"Ya, aku setuju," sahut Linda.
David merasa surprise, tapi merasa senang. Lihat
saja?lah apa yang akan terjadi, kata hatinya.
"Baiklah, Din. Kamu akan tinggal di sini bersama
kakek dan nenekmu. Sekarang pergilah sekolah," kata
David. Didin terlonjak senang. "Terima kasih, Tuan. Nya. Dan... dan..." Didin me?
natap ragu-ragu kepada Imelda.
"Panggil aku Non Imel," kata Imelda dengan gaya
seorang putri. "Ya, Non Imel."
Lalu Didin berlari ke dapur untuk memberitahu
neneknya, Bi Entin. Ia merasa seperti lulus ujian.
Imelda mengejar Didin untuk mengamati gerakgeriknya. Ia menganggap Didin lucu. Gaya berlarinya
pun lucu. Kalau dia gendut pastilah akan mirip bola
435 yang bisa digelindingkan. Barangkali dia bisa dijadi?
kan teman bermain sekalian untuk disuruh-suruh.
*** "Jadi kau mau ngetes aku?" tanya David.
"Ya. Bukankah kau pun bisa ngetes dirimu sen?
diri?" sahut Linda. "Ah, buat apa? Itu nggak perlu. Aku tahu diriku
sen?diri tanpa perlu tes-tesan," David kesal.
"Kalau begitu buat aku, karena aku perlu tahu.
Nah, gimana tadi? Apa ada yang menggelitik di ba?
wah sana?" Linda menunjuk ke bawah perut David.
Tapi David tidak mau menjawab. Ia melengos.
"Kau selalu bisa menahan diri, Pa. Seperti dulu.
Jangan lupa sekarang kita punya obat."
"Obat? Huh, bukankah kau pun nggak dapat apaapa kalau aku makan obat?"
"Tapi masih bisa kok. Itu bisa meredam gejolak
pada saat yang nggak seharusnya. Iya, kan?"
David harus mengakui kebenaran kata-kata itu. Ia
ter?ingat saat gejolaknya tak tertahankan ketika meng?
hadapi Kiki. Ia seolah sedang sakaw saat itu. Me?malu?
kan karena itu terjadi di depan Imelda.
"Tapi kau menyuruhku menahan diri sambil meng?
godaku." "Belajarlah berdisiplin."
"Ha-ha! Disiplin apa? Kayak orang diabetes di?
suruh berdiet, tapi di meja banyak makanan manis."
"Terserah kau mau mengumpamakan apa."
Isi-Warisan.indd 436 436 Isi-Warisan.indd 437 "Kalau sampai terjadi, gimana?"
"Apa kau berani memangnya? Bocah itu kan ada
orangtuanya, ada kakek-neneknya. Kalau dia mengadu,
habislah kau." David terdiam. Ia teringat pada tatapan Didin tadi.
Tatapan mengagumi. Dan sepertinya ada sesuatu yang
lain juga. Sesuatu yang hanya mungkin dipahami oleh
orang-orang seperti dirinya.
Linda mencermati wajah David. Tapi David buruburu pergi.
Dalam waktu yang singkat itu Linda merasa me?
lihat sesuatu dalam ekspresi wajah David. Tapi ia tak
bisa menyimpulkannya. Apakah ia membangunkan
ma?can tidur? Pernah di tengah malam ia terbangun dan men?
dapati David sedang memandangi Kiki di layar kompu?
ternya. Memang hanya memandangi saja tanpa me?
lakukan hal lain, tapi cukup memberi kesimpulan bagi
Linda. David masih merindukan Kiki. Mungkinkah ia
mencintainya juga dan bukan sekadar seks saja? Apa?
kah seorang pedofil bisa mencintai hanya satu bocah,
seperti halnya kaum yang lain?
Linda menganggap hal itu berbahaya. Kiki tak
mungkin bisa diperoleh David dengan jalan apa pun.
Kiki adalah sesuatu yang mustahil. David bisa me?
rugikan diri sendiri dan keluarganya bila melakukan
hal-hal nekat. Apakah bagi David cukup dengan hanya
bermimpi dan berkhayal mengenai Kiki?
Karena pemikiran itulah maka Linda memutuskan
akan mengambil risiko yang lain. Dengan menerima
Didin ia bisa mengamati sampai ke mana kenekatan
437 David. Apakah David juga berani mengambil risiko
berupa kemarahan orangtua Didin dan mungkin juga
masyarakat? Nama baik akan tercemar. Padahal sejak
zaman dulu keluarga van der Meer merupakan orangorang terpandang biarpun di antaranya ada pedofil
dan pembunuh! Kuncinya adalah menjaga kerahasia?
an. Lebih dari itu Linda berharap David bisa melupa?
kan dan menyisihkan Kiki dari pikirannya. Di samping
itu, keluarga Didin tampaknya lebih mudah diatasi
karena mereka orang miskin. Sedang keluarga Kiki
bisa menimbulkan kesulitan. Hal itu sudah terbukti
dengan keluarnya Sukri dan Nana.
*** Sebelum berangkat ke kantor, Linda mengajak Imelda
bicara saat David sedang mandi.
"Nanti siang kau pengin ikut ke rumah Kiki?"
"Iya, Ma. Boleh kan, Ma?" tanya Imelda penuh
ha?rap. "Mama kasih izin, tapi jangan lama-lama. Kau
harus tahu diri kalau di rumah orang. Dan ada satu
syarat lagi. Kamu kasih tahu kalau Papa mendadak
pulang siang-siang, terus awasi Papa itu ngapain aja
di rumah. Gimana?" Imelda tidak keberatan. Itu masalah kecil.
"Emangnya kenapa sama Papa?" dia ingin tahu
juga. "Kamu nggak perlu nanya-nanya. Ayo, setuju
nggak?" Isi-Warisan.indd 438 438 Isi-Warisan.indd 439 "Setuju aja," sahut Imelda ringan. Suatu saat nanti
dia akan tahu juga. "Oh ya. Si Didin itu diawasin juga, ya? Dia kan
baru di sini." "Beres, Ma." "Pulang dari rumah Kiki minta dijemput sama Pak
Ujang, ya? Telepon ke hapenya."
"Ya, Ma." Bagi Imelda apa pun akan diiyakan, karena yang
penting ia mendapat izin.
Di siang hari, dengan perkiraan jam sekolah sudah
usai, ia mengirim SMS kepada Kiki bahwa ia ingin
ikut sebentar saja ke rumahnya, sekadar ingin tahu
rumahnya di mana. Kiki mengiyakan dengan pesan asal jangan lamalama. Itu sudah cukup menyenangkan bagi Imelda.
Yang penting ia bisa tahu di mana letak rumah Kiki.
Dan seperti apa bentuknya.
*** Siang itu Kiki dan Nana pulang bersama teman-teman
Kiki, juga Fani. Sebelumnya mereka berbarengan men?
jemput Nana di sekolahnya yang letaknya lebih jauh
sedikit. Baru sekarang mereka pulang bareng, karena
Kiki dan Nana merasa tidak perlu lagi pulang ber?
duaan saja, karena sudah tinggal serumah. Jadi apa
pun yang mau dibicarakan lebih mudah.
Teman-teman Kiki sudah tahu bahwa Nana itu
pintar. Jadi mereka ingin juga belajar bersamanya.
439 Te??pat?nya, ingin diajari. Atau ingin juga kecipratan
kepintarannya, biarpun cuma sedikit karena daya serap
yang terbatas. Semua sudah tahu bahwa mereka akan menjemput
Imelda. Teman-teman Kiki sangat antusias, lebih-lebih
Fani bercerita tentang kecantikan Imelda dan sedikit
melebih-lebihkan. Dari jauh mereka sudah melihat Imelda menunggu
di depan pintu gerbang. Rencananya ia langsung ikut
serta. "Wow! Wow! Wow!" seruan dari tiga kerongkong?
an sekaligus. Kiki, Nana, dan Fani terbahak-bahak. Kiki sempat
melupakan bahwa dia pun pada saat pertama melihat
Imelda sampai bengong dan mematung. Tapi tentu
saja itu disebabkan karena ia melihat Lala dalam diri
Imelda, pikirnya. Jadi ia tidak merasa sama dengan
ketiga temannya. Ketiga anak diperkenalkan pada Imelda. Tangan-ta?
ngan yang bersalaman itu tampak segan lepas. Imelda
menikmati kekaguman yang tertuju pada dirinya. Ia
selalu menyenangi hal itu.
Mereka berjalan beriringan. Tiga anak perempuan
di depan. Yang lelaki di belakang. Sudah mulai ter?
tanam dalam diri mereka tentang ungkapan ladies
first. Tapi sebenarnya dengan demikian yang lelaki
jadi punya kesempatan untuk mengamati dari bela?
kang. Harum minyak wangi Imelda menampar hidung
mereka dan mereka menghirupnya dengan nyaman.
Rambut Imelda yang panjang ikal berkibar-kibar ditiup
angin menjadi pemandangan yang indah.
Isi-Warisan.indd 440 440 Isi-Warisan.indd 441 Sayang sekali bagi ketiga teman Kiki, mereka
harus berpisah ketika sudah tiba di rumah Kiki.
"Daaag..." Imelda melambaikan tangan.
Ketiga anak lelaki itu membalas dengan melakukan
hal yang sama. Fani terpingkal-pingkal melihatnya. Di
mata?nya, kelakuan anak-anak itu sungguh menggeli?
kan. "Awas ada lubang!" teriak Fani.
Ketiganya sampai melompat karena mengira pem?
beri?tahuan Fani itu benar. Fani semakin terpingkal.
Imelda semakin senang. Ia punya banyak teman seka?
rang. Sumarni berkenalan dengan Imelda. Ia pun me?
ngagumi kecantikan anak itu. Jadi Lala yang pernah
dilihat Kiki dan Budiman seperti ini, pikirnya. Pantas
kalau Kiki sampai begitu jatuh hati.
"Selamat siang, Tante. Senang berkenalan dengan
Tante," sapa Imelda.
"Siang, Mel. Senang juga kenalan denganmu,"
balas Sumarni. Melihat gaya Imelda itu, Kiki jadi terkenang lagi
ke?pada Lala. Pasti Lala pun seperti itu pula. Ia tidak
bisa mengenang terlalu banyak karena pertemuannya
dengan Lala hanya singkat. Apakah Lala yang pernah
ditemuinya itu sama dengan Lala sewaktu hidupnya?


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menurut Nana, Lala lebih baik daripada Imelda. Tapi
seperti yang dilihatnya belakangan ini, meskipun be?
lum banyak, sepertinya Imelda menampilkan seorang
yang baik. Apalagi kalau mengingat cerita Nana bagai?
mana ia diperlakukan pada hari pertama Imelda da?
441 tang. Sampai terpikir oleh Kiki, jangan-jangan Nana
melebih-lebihkan saja. Ketika Imelda masih berbincang-bincang dengan
Sumarni dan Kiki, Nana menuju ke dapur untuk me?
nyiapkan makan siang. Sumarni mengajak Imelda ikut makan siang ber?
sama. "Sudah makan tadi, Tante. Terima kasih."
"Sedikit saja nggak apa-apa, Mel. Nyobain sayur
saja. Nggak usah pakai nasi."
"Ya, Tante." Imelda duduk di kursi yang biasa diduduki Budiman.
Sambil makan perlahan-lahan matanya menatap ke
sekitarnya. Sumarni melihat tatapannya.
"Rumahnya kecil ya, Mel. Nggak kayak rumahmu.
Besaaar...." "Paling rumah kita setengahnya," kata Fani.
"Sepertiganya," kata Kiki.
Nana diam saja. Ia merasa minder.
"Ah, itu rumah kuno. Peninggalan Belanda," sahut
Imelda merendah. "Nenek moyangku orang VOC ting?
gal di situ, terus turun-temurun."
"VOC?" tegas Fani. "Penjajah Belanda?"
"Iya. Tapi kan itu udah lama sekali. Sekarang
nggak ada penjajah lagi."
"Jadi rumah itu turun-temurun nggak pernah lepas,
Mel?" Sumarni tertarik.
"Menurut Papa pernah lepas beberapa kali, tapi
ber?hasil dibeli lagi. Terus sampai sekarang."
"Wah, jarang ada rumah bisa dimiliki turun te?
murun seperti itu. Apalagi sejak zaman Belanda," kata
Isi-Warisan.indd 442 442 Isi-Warisan.indd 443 Sumarni. "Kenapa dipertahankan seperti itu, Mel?
Pasti?nya karena sangat cinta, ya?"
"Nggak tahu juga, Tante. Kata Papa, nenek mo?yang
kami selalu berpesan kepada anak-anak mereka su?paya
tetap mempertahankan rumah itu. Jangan di?jual."
"Jadi kamu nanti tinggal di situ, Mel?" tanya Fani.
"Aku nggak mau tinggal di situ. Enakan di Holland.
Di sana rumahnya juga besar. Kayak kastil."
"Kastil?" tanya Sumarni kagum. "Besar sekali itu."
"Bukan kastil sih. Seperti replikanya saja. Bentuk?nya
saja. Kebunnya lebih luas daripada rumah Papa."
"Dan kamu sendirian saja di sana?" tanya Kiki.
"Oh, nggak. Sama Om dan Tante. Terus ada bebe?
rapa pelayan. Dan empat ekor anjing."
"Wah, anjingnya galak?" tanya Fani.
"Galaknya sama orang asing aja."
"Aku takut sama anjing," kata Fani.
"Kalau sudah kenal, baik kok, Fan. Nanti kalau
Tante dan Om sekeluarga jalan-jalan ke sana, mampir
ya?" "Ya, pasti," kata Sumarni tersenyum.
Usai makan, dengan sigap Nana membereskan
piring-piring kotor untuk dicuci. Sumarni akan mem?
bantu, tapi dicegah Nana. Fani juga.
"Biar saya saja, Tante. Sendiri juga bisa," kata
Nana. "Nana kan udah ahli," kata Imelda sambil berjalan
ke?luar diikuti yang lain. Mereka masih ingin men?
dengar cerita Imelda tentang rumahnya.
Nana menggigit bibirnya mendengar perkataan
Imelda itu. Ia kecewa karena Kiki tidak berkomentar
443 apa-apa. Baginya, ucapan Imelda itu merupakan sindir?
an. Kalau saja Kiki mengucapkan pembelaan atau se?
suatu yang meringankan, alangkah senangnya. Tapi
Kiki seperti tidak mendengar ucapan itu.
Nana bekerja dengan cepat. Kemudian Fani datang
untuk membantu. Betapa senang hati Nana, merasa
terhibur. "Biar saja aku selesaikan, Fan. Kamu ngobrol lagi
saja. Kan dia jarang-jarang ke sini."
"Kata Imel, besok-besok tiap pulang sekolah dia
pengin ikut ke sini lagi."
"Oh..." hampir saja Nana menjatuhkan piring yang
sedang dipegangnya. "Katanya, nanti kalau mau pulang minta dianter
sama Kiki. Udah dipesan sama mamanya, karena di
sini banyak penculikan."
"Oh..." Nana tak terlalu kaget lagi.
"Udah beres, Na. Yuk, kita keluar lagi."
Fani menarik tangan Nana. Mereka keluar berpe?
gangan tangan. Imelda sudah siap pergi.
"Nggak mau lama-lama. Takut mengganggu yang
mau belajar. Daag Nana... daag Fani, daag Tante...!"
Imelda melambaikan tangan, lalu menarik tangan
Kiki. Tangan itu tetap digenggamnya sambil berjalan.
Kiki tampak tersipu. Ia hanya melambaikan tangan ke
belakang tanpa menoleh. Nana tak mau memandangi lama-lama. Ia segera
masuk ke dalam. Ia ingat harus mencuci pakaian ayah?
nya yang kemarin dibawa dari rumah sakit. Kalau
tidak segera dicuci nanti ayahnya bisa kekurangan
Isi-Warisan.indd 444 444 Isi-Warisan.indd 445 pakaian untuk ganti. Hanya baju kaos, pakaian dalam,
dan kain sarung. Fani melihat sekilas ke arah Nana lalu berkata
pelan kepada ibunya, "Kayaknya Imel naksir Kiki ya,
Ma? Kasihan Nana dilupain...."
"Hus, jangan ngomong gitu, Fan. Semuanya kan
berteman. Jangan pilih-pilih teman. Kalian kan masih
kecil. Jangan berpikir macem-macem...."
"Habis kayaknya..."
"Sudah. Ayo sekarang bikin PR dan belajar dulu.
Nanti sore mau ikut lagi besuk nggak?"
"Mau dong, Ma."
Lalu Sumarni teringat. "Eh, si Imel pengin ikut
lagi nggak nanti sore?"
"Tadi dia nggak ngomong. Mungkin lupa."
Kiki yang sudah pulang juga ditanyai, tapi dia pun
mengatakan Imelda tidak berpesan apa-apa.
"Mungkin dia lupa," kata Kiki.
"Sudah, nggak usah ditanyain," kata Fani.
Sumarni hanya tersenyum, tak ingin menyarankan
apa-apa. Tapi ia merasa lega karena Kiki juga tidak
bermaksud menelepon Imelda untuk menanyakannya.
Jadi sore itu mereka berangkat dengan tim yang
biasa, tanpa Sumarni yang akan menjaga rumah sekali?
an menyiapkan keperluan makan malam bila mereka
pulang nanti. Nana merasa lega karena Kiki tidak menelepon
Imelda untuk mengajaknya. Mungkin Imelda memang
tak lagi ingin ikut karena sudah bosan.
Tapi mereka tercengang karena di kamar Sukri ada
445 Imelda bersama ayahnya! Ternyata kedua orang itu
sudah datang lebih dulu. David menyalami Budiman yang terpaksa me?
nerima uluran tangannya meskipun sangat segan. Kiki,
Nana, dan Fani berlari ke taman. Imelda segera me?
nyusul mereka. "Terima kasih kemarin Imel sudah diajak, Pak
Budi," kata David. "Oh, sama-sama."
David bertanya perihal pekerjaan Sukri di Suka?
bumi nanti, yang dijawab Budiman seperti apa adanya.
Tentu Sukri pun sudah bercerita. David hanya berbasabasi saja.
"Katanya nggak jadi hari Sabtu ini ya, Pak?"
"Pastinya begitu. Kepastian pulangnya saja belum
tahu. Lagi pula biar Sukri istirahat dan melatih kaki?
nya. Baru dia bisa kerja."
"Ya, betul sekali. Tadi ketemu Dokter Pramono. Ke?
betulan dia teman saya. Katanya mau pulang besok atau
lusa juga bisa. Tinggal istirahat di rumah saja. Biar?pun
sudah boleh pulang, kan mesti check-up lagi."
"Oh begitu. Terserah sama Sukri mau pulang ka?
pan. Kalau besok sepertinya terlalu cepat. Bagaimana
lusa, Kri?? tanya Budiman pada Sukri.
Sukri memandang pada David dan Budiman ber?
gantian. "Baik, Pak. Tadi saya sudah jalan sedikit. Kaki ma?sih
kaku dan ngilu, tapi nggak nyeri lagi. Bisa beng?kok
sedikit-sedikit." "Ya," kata David. "Tadi saya juga sudah tanya, tapi
kata Sukri dia pengin berunding dulu sama Pak Budi.
Isi-Warisan.indd 446 446 Isi-Warisan.indd 447 Jadi kalau sudah pasti lusa, saya bisa urus masalah
administrasinya sebentar. Kalau lusa pulang, tinggal
dicek lagi perhitungannya, kurang atau lebih. Bila ada
kekurangan tolong ditalangin dulu ya, Pak. Nanti saya
transfer. Soalnya lusa saya nggak bisa datang lagi ke
sini." "Begitu juga baik, Pak," Budiman setuju. Ada juga
rasa tanggung jawabnya, pikirnya.
"Oh ya. Kata Sukri, dia akan istirahat di rumah
Pak Budi. Saya pikir, rumah Pak Budi kan nggak
besar, jadi kalau dia mau istirahat di rumah saya juga
bisa. Sama Nana, tentunya. Jangan khawatir. Mereka
nggak bakal disuruh kerja." David tertawa.
Pasti diberitahu Imelda bahwa rumahnya kecil,
pikir Budiman. "Nggak apa-apa, Pak. Biar kecil tapi masih muat
kok," sahut Budiman.
"Ya sudah. Sukri tentunya juga trauma di rumah
saya." David tertawa sendiri.
Sukri hanya tersenyum. Senyum terpaksa.
"Baiklah. Saya pulang dulu. Selamat jalan buat
Sukri, ya." David menepuk pundak Sukri. "Jaga ke?
sehat?an?mu supaya rencana nggak gagal."
"Terima kasih, Tuan."
Budiman mengangguk. Ia merasa tidak perlu meng?
ucapkan terima kasih karena apa yang dilakukan David
itu sudah seharusnya. David mencari Imelda. Ia berjalan ke taman.
Budiman buru-buru menyusul karena khawatir ada yang
akan dilakukan David terhadap Kiki. Mungkin aku jadi
paranoid, pikirnya. 447 Seperti biasa anak-anak sedang duduk-duduk di
bangku. Tapi David tidak mendekati mereka. Ia hanya
me?manggil dan menggapai. Imelda lari menghampiri?
nya. "Pulang, Pa?" "Iya dong. Kita sudah cukup lama. Giliran dong."
Imelda melambai kepada anak-anak lainnya.
"Daaag... daaag...!"
David juga melambai. Anak-anak membalas.
"Daaag, Om Budi."
"Daaag..." Imelda berpegangan tangan dengan ayahnya, ber?
jalan sambil sesekali melompat-lompat. Budiman
meng?amati mereka sejenak.
Nana berlari ke dalam kamar untuk menemui ayah?
nya. Budiman tidak mengikuti, ia pergi ke taman
untuk ikut duduk bersama kedua anaknya.
"Kita berikan Nana kesempatan ngomong berdua
dengan bapaknya," kata Budiman ketika Kiki dan Fani
bermaksud menyusul Nana. Nana sangat ingin tahu apa saja yang dikatakan
David kepada ayahnya. "Dia ngomong baik-baik kok, Na. Dia mau bayarin
rumah sakit, karena Bapak akan pulang lusa."
"Hore!" seru Nana. "Jadi Bapak udah sembuh be?
ner nih?" "Sembuh bener sih belum, Na. Mesti istirahat. Se?
perti yang direncanakan Pak Budi sajalah. Istirahat
seminggu di rumahnya. Tadi Tuan ngajak istirahat di
rumahnya. Sama kamu. Nggak perlu kerja, katanya."
"Huuu... mana bisa begitu ya, Pak?"
Isi-Warisan.indd 448 448 Isi-Warisan.indd 449 "Iya dia kan ngomongnya asal aja. Nggak sungguhsungguh. Tapi dia bener-bener baik. Dia juga ngasih ini,
Na." Sukri meraih amplop dari bawah bantal lalu me?
nyodorkannya kepada Nana.
Nana membukanya. Isinya segepok uang kertas.
Mata Nana terbelalak. "Coba hitung, Na. Tadi Tuan nggak bilang jumlah?
nya. Aku juga malu menghitung di depannya."
"Memangnya ini uang apa, Pak?"
"Katanya sisa gaji kita berdua ditambah pesangon.
Ayolah, hitung." Nana menghitung. Lembarannya masih baru, licin
dan mengilap. Untung nilainya seratusan ribu, jadi
lebih ringkas.

Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wow, lima juta, Pak."
"Nanti kita masukkan tabungan saja ya, Na. Oh
ya, sudah dicek buku tabungan Bapak di dalam tas?"
"Sudah, Pak. Ada kok. Jumlahnya banyak juga, ya
Pak. Ditambah sama ini. Wah, sudah kaya deh kita."
"Belum dong, Na. Cukuplah untuk simpanan."
"Ya, Pak. Kita mah nggak perlu kaya. Asal cukup
saja." "Ayo simpan, jangan sampai hilang. Nanti kalau
sudah sehat Bapak setor ke bank."
Nana melipat amplop lalu memasukkannya ke da?
lam saku celananya. Sedikit gembung. Untung kaosnya
agak panjang, jadi bisa menutupi.
"Ke mana perginya Pak Budi?" tanya Sukri.
"Ada di taman. Yuk, kita ke sana, Pak? Jalan pelanpelan aja."
449 Sukri turun dari ranjang.
"Mau dipakai tongkatnya, Pak?"
"Nggak. Pegangan kamu aja. Tadi juga bisa tanpa
tongkat." Mereka menuju ke taman. Kiki langsung berlari
meng?hampiri begitu melihat keduanya. Ia memegangi
tangan satunya, sementara Nana memegangi tangan
lainnya. Budiman segera berdiri dan mendekat. Sukri ber?
jalan tertatih-tatih. Yang kiri melangkah dulu, lalu
yang kanan diseret perlahan-lahan. Sementara itu wa?
jah?nya tidak menampakkan rasa sakit. Budiman hanya
berjaga-jaga saja kalau-kalau Sukri menjadi limbung.
Ia tidak mengambil alih pegangan tangan Kiki atau
Nana. Kedua anak itu tampak senang bisa menolong.
"Bagus, Kri," puji Budiman senang.
Sukri didudukkan di bangku. Ia langsung menghela
napas dalam-dalam. "Uh, segar memang ya. Pantes kalian senang di
sini." "Nah, sekarang Bapak yang keenakan," kata Nana.
"Nanti pengin lamaan."
"Nggak dong, Na. Tapi tadi dokter bilang, kalau
mau beberapa hari lagi juga nggak apa-apa."
"Oh ya?" kata Budiman. "Kau mau begitu, Kri?"
"Kan ada yang bayarin," Kiki menimpali.
Sukri tertawa. "Nggak ah. Kasihan juga Tuan.
Rumah sakit kan mahal."
"Dia kaya, Pak," kata Kiki. "Biarin aja."
"Tapi bukan cuma itu, Ki. Rasanya nggak enak aja
Isi-Warisan.indd 450 450 Isi-Warisan.indd 451 di sini. Tadi siang kayaknya ada yang meninggal di
situ." Sukri menunjuk. "Banyak yang menangis...."
Nana jadi diam termangu. Rumah sakit adalah tem?
patnya orang sakit. Kalau tidak parah tentu tidak di?
masukkan ke situ. Sakit parah berarti dekat dengan
ke?matian. Ah, sungguh tidak nyaman. Memang lebih
baik cepat pulang saja. "Saya pikir," kata Sukri, "besok nggak usah besuk
aja, Pak. Supaya nggak buang waktu karena lusanya pu?
lang. Tapi... lusa itu hari Sabtu, Bapak harus kerja..."
"Beres, Kri. Nanti aku jemputnya siang saja. Aku
kerja setengah hari."
"Ikut dong, Pa. Tunggu aku pulang sekolah, ya,"
kata Kiki. "Aku juga," sambung Fani.
Nana tersipu. Ingin bicara juga tapi malu.
"Ya, semuanya ikut. Tiga sekawan ikut terus," kata
Budiman. Mereka tertawa. Sukri juga. Ia benar-benar me?
nyadari, kalau mau bahagia harus sakit dulu. Tak apalah
sakit, asal jangan mati. 451 ALAM ITU, David mengatakan kepada Linda, ia
ingin dipiijit oleh Didin.
"Biasanya, kamu yang dipijit oleh Nana. Sekarang
giliranku." "Apanya yang dipijit?"
"Biasalah." "Di mana?" tanya Linda dengan mata melotot.
"Di tempat kamu dulu biasa dipijit. Kau mau
nonton juga boleh." "Huh..." Linda mencibir.
"Aku mau nonton, Pa," kata Imelda, menangkap
isyarat dari ibunya. "Boleh. Sana kamu panggil dia."
Imelda memanggil Didin lewat interkom.
Di kediamannya, Bi Entin dan Ujang terheranheran.
"Si Didin bisa apa?" kata Ujang. "Mana bisa dia
mijit? Panggil tukang pijit beneran kan lebih enak."
Isi-Warisan.indd 452 452 Isi-Warisan.indd 453 "Sudah, pergi saja sana."
Didin keluar lewat pintu penghubung yang sudah
di?buka oleh Imelda. Mereka menuju ruang duduk tem?
pat David sudah menunggu. Linda juga ada di situ,
tapi begitu melihat Didin, ia pergi dengan wajah cem?
berut. "Hei, Ma! Nggak mau lihat gajah dipijit semut?"
tanya David sambil tertawa ngakak. Sengaja bicara
dalam bahasa Indonesia. Linda menoleh. "Nanti kalau gajah digigit semut
baru aku nonton," katanya tanpa tertawa.
Didin menutup mulutnya dengan tangan karena
ingin tertawa, tapi takut dianggap tidak sopan. Ia tahu
siapa yang dimaksud dengan gajah dan semut. Dan ia
menganggapnya lucu. Sedang Imelda menyusul ibunya
ke kamar. Hanya sebentar lalu Imelda keluar lagi. Ia
mendapat pesan dari ibunya agar memata-matai kedua
orang itu. David menggelar tikar karet busa di lantai. Ia mem?
buka bajunya. Dengan hanya bercelana pendek ia re?
bah menelungkup. Didin berlutut di sampingnya. Ia
bi?ngung. "Ajarin dia, Mel," kata David.
Imelda menyodorkan botol berisi krim kepada
Didin. "Nih, olesin ini dulu di punggungnya. Baru
kamu pijitin. Udah pernah belum?"
Didin menggeleng takut-takut. Berbohong atau
terus terang sama-sama bisa diomeli.
"Udah pernah bikin adonan roti belum?" tanya
Imelda sambil tertawa. "Belum." 453 "Yah, adonan apa aja deh."
"Belum." "Emak lu nggak pernah bikin?"
"Pernah sih." "Ya. Kayak gitu aja."
"Aduh, Mel," David bersuara, "masa badan Papa
disamain dengan adonan."
"Caranya aja, Pa." Imelda tertawa keras.
"Ayo, sana," dorong Imelda kepada Didin.
Didin mulai mengolesi. Lalu mulai memijit. Tibatiba David tersentak seperti kena arus listrik. Didin
terkejut. Imelda keheranan.
"Nggak apa-apa. Ayo terusin," kata David.
"Kenapa memangnya, Pa?" tanya Imelda.
"Pijitannya bikin kaget. Ayo, terusin Din."
Tangan Didin yang kecil gemuk mulai kepayahan.
Daging yang harus dipijitnya gempal dan keras.
"Wah, jari-jari si Didin bisa rontok tuh, Pa."
Imelda tertawa geli. Ia menikmati "pertunjukan" itu.
"Udah deh, stop."
David membalik tubuhnya jadi telentang, menatap
Didin yang tersipu. "Maaf, Tuan. Nggak kuat," kata Didin sambil meng??
gerak-gerakkan jari-jarinya.
"Sudah, nggak apa-apa. Aku punya cara lain."
"Cara apa, Pa?" tanya Imelda ingin tahu.
"Sekarang kamu cuci tangan dulu, Din. Pergi sana."
Lalu kepada Imelda, David berkata, "Mel, ambilin
kaos kakiku di lemari. Tanya Mama aja."
Antusias oleh keingintahuan, Imelda berlari ke ka?
mar. Lalu muncul dengan kaos kaki hitam di tangan?
Isi-Warisan.indd 454 454 Isi-Warisan.indd 455 nya. Tak lama kemudian Didin juga muncul dengan
ekspresi bertanya-tanya. "Kamu pakai kaos kaki itu, Din."
Didin mematuhi. "Nanti kalau aku telungkup lagi kayak tadi, kamu
pelan-pelan injak punggungku ya. Nih, di sini." David
menunjuk punggung sebelah atas. "Naiknya pelan-pelan.
Sesudah itu kamu seperti jalan di tempat. Pelan-pelan
juga. Tapi sebelumnya aku nyoba dulu apa aku sanggup
menahan berat badanmu atau nggak. Kalau aku suruh
turun, cepat turun, ya."
"Ya, Tuan." "Jangan, Pa. Entar jadi gepeng. Si Didin kan gen?
dut," cegah Imelda khawatir.
"Makanya nyoba dulu. Biar gendut, dia kecil kok."
Imelda jadi tertarik. Didin mengenakan kaos kaki lalu menginjakkan
satu kaki ke punggung atas David. Imelda bantu me?
meganginya. Lalu Didin menaikkan kaki lainnya untuk
diletakkan di atas punggung David. Sedang Imelda
menjaga di sampingnya. Didin berlaku seolah sedang bermain sirkus. Wajah?
nya senyum-senyum ngeri. Kalau begini lebih me?
nyenangkan daripada memijit dengan tangan.
"Gimana, Pa?" tanya Imelda.
David menunjukkan jempolnya. "Sekarang kamu
jalan di tempat. Pelan-pelan juga. Hitung satu-dua, satudua."
Didin mengikuti instruksi. Imelda tertawa-tawa.
"Rupanya biar gendut kamu nggak berat. Isinya
angin kali," kata Imelda.
455 Didin tidak berani menjawab, takut dijudesi. Ia
sudah berpengalaman sebelumnya. Apa yang dicandai
oleh Imelda tidak boleh dibalas dengan canda juga.
"Sekarang kaki kamu turun ke bawah sedikit,"
perintah David. Setelah beberapa menit, tiba-tiba David membalik?
kan tubuhnya. Didin terpelanting sambil memekik.
David bisa menangkap tubuhnya.
Imelda tidak keburu membantu. Ia membiarkan
saja karena Didin memang tidak apa-apa.
Linda muncul, tertarik oleh suara pekikan Didin.
Ia mengamati pemandangan itu dan sempat menangkap
bagaimana David mendekap tubuh Didin. Ia gelenggeleng kepala dengan ekspresi sebal. Sedang pemanas?
an, pikirnya. David melihat tatapan Linda lalu melepaskan tubuh
Didin. "Sudah, Din. Kalau kelamaan aku bisa remuk."
Didin berdiri dengan malu. Ia juga takut melihat
tatapan Linda. "Sekarang kamu beresin tikar ini. Gulung dan ta?
ruh di belakang. Besok bisa dipakai lagi. Oh ya, kaos
kaki itu buat kamu aja, khusus buat keperluan ini.
Tapi cuci dulu. Sekarang kau boleh pulang."
"Baik, Tuan." "Emangnya enak diinjak-injak gitu, Pa?" tanya
Imelda. "Uh, enak. Kayak dipijit aja. Soalnya dia nggak
bisa mijit pakai tangan. Daging Papa udah keras."
"Iya. Udah jadi batu," Linda menimpali.
David tertawa keras. Imelda juga.
Isi-Warisan.indd 456 456 Isi-Warisan.indd 457 Didin bergegas membawa gulungan tikar ke bela?
kang. Lalu dia kembali dan mengucapkan permisi.
"Eh, Din. Enakan mijit pakai tangan atau pakai
kaki?" tanya David. "Pakai kaki, Tuan," sahut Didin tanpa berpikir lagi.
"Sudahlah. Kamu cepat pulang saja," kata Linda.
"Iya, Nya." Didin melangkah cepat, diiringi Imelda yang di?
suruh mengunci pintu. Sambil berjalan Imelda meniru?
kan gaya Didin berjalan. Tapi Didin tidak melihat. Ia
asyik dengan pikirannya sendiri.
Tadi sewaktu terguling dari punggung Tuan lalu
di?tangkap dan didekap, ia merasa tangan Tuan me?
nyentuhnya di bawah. Heran, pikirnya. Kenapa orang
lelaki dewasa suka berbuat seperti itu? Bukankah me?
reka juga lelaki seperti dirinya? Jadi mereka juga me?
miliki bentuk tubuh yang sama. Kenapa tidak me?
nyentuh milik sendiri saja?
Di rumah orangtuanya juga tinggal pamannya, adik
ayahnya. Pada awalnya cuma menyentuh saja, lamake?lamaan lebih dari itu. Ia tidak berani melawan,
pasrah saja. Ia pun tidak berani melapor pada orang?
tuanya. Kata pamannya, yang seperti itu sudah biasa.
Sekarang, Tuan berbuat seperti itu pula. Apakah
nanti akan lebih dari itu, sama seperti yang diperbuat
pamannya? Jadi, apakah yang seperti itu memang
sudah biasa hingga tidak perlu diributkan?
Tapi bila ia harus memilih, ia lebih suka bersama
Tuan daripada pamannya yang jelek dan kasar itu.
Tuan baik kepadanya. Dan kaya pula. Sedang paman?
nya cuma kenek angkot. Biarpun Nyonya judes dan


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

457 suka marah, tapi ia merasa majikannya adalah Tuan,
bukan Nyonya. Dan rumah itu seperti mimpi baginya. Biarpun bu?
kan rumahnya, tapi bisa tinggal di situ sudah luar
biasa. Ia tidak memikirkan orangtuanya karena ia me?
rasa mereka pun tidak memikirkan dirinya.
Ia akan mengabdi kepada Tuan. Ia akan mem?
buatnya senang. *** Setelah Imelda masuk ke kamarnya sendiri, David dan
Linda mulai meributkan soal Didin.
"Kamu harus hati-hati," kata Linda. "Jangan cari
gara-gara di rumah sendiri. Jangan menyeret aku dan
anak kita. Ingatlah itu."
"Tentu saja aku ingat. Aku bisa mengendalikan
diriku." "Apa? Yang tadi itu apa? Bukankah itu main api
namanya?" "Hei, kau yang nerima dia, kan? Bukan aku."
"Aku cuma mau ngetes aja. Ternyata kau kesenang?
an." "Aku juga ngetes diriku sendiri kok."
"Yang seperti itu namanya ngetes?"
"Iya. Kalau nggak begitu, bagaimana aku bisa
tahu?" "Bisa aja. Kalau kau nggak dekati dia, berarti kau
bisa mengendalikan dirimu. Kauhindari dia. Jauh-jauh
dari dia. Nah, itu baru salut. Baru namanya hebat."
"Padahal dia serumah dan dekat. Mana bisa, Ma."
Isi-Warisan.indd 458 458 Isi-Warisan.indd 459 "Ah, dasar mau nyalahin orang lain aja. Pokoknya
sedia obat. Kalau sampai sakaw, makan tuh obat."
"Beres, Ma. Aku kan bukan anak kecil."
"Huuu..." "Terserah kalau nggak percaya."
"Pokoknya jangan sampai aku turun tangan."
"Apa? Mau turun tangan gimana?"
David menatap istrinya dengan cemas. Di mata
Linda ia melihat ancaman.
"Jangan begitu, Ma."
"Makanya kau harus hati-hati. Disiplin. Jaga diri.
Kalau bisa, hilangkan keinginan-keinginan itu."
"Kau tahu sendiri itu nggak bisa, Ma. Dokter juga
bilang, orientasi seksual nggak bisa dihilangkan."
"Tapi bisa dikendalikan, bisa ditekan. Itu yang
nama?nya disiplin." "Kaukira itu gampang?"
"Bukan masalah gampang, tapi mau atau nggak."
David terdiam. Bila berdebat dengan Linda ia se?
lalu kalah. Jadi lebih baik mengalah sebelum kewalah?
an. "Lantas si Didin itu mau kaumakan?" Linda masih
be?lum puas. "Aduh, istilahmu itu kasar amat sih, Ma. Emang?
nya aku binatang buas? Lantas kalau aku berbuat de?
nganmu apa berarti kau kumakan juga?"
"Beda dong. Aku kan orang dewasa. Didin itu
anak kecil. Dia belum tahu apa-apa. Kasihan."
"Kasihan?" ejek David, tak bisa membiarkan ko?
mentar itu. "Kau punya rasa kasihan?"
459 "Tentu saja." Linda mendongakkan kepalanya de?
ngan sikap angkuh. "Huuu..." Sebenarnya David ingin mengungkit perbuatan
Linda, tapi pertengkaran bisa panjang.
"Rupanya kau nyesel si Sukri sampai jatuh," Linda
berganti topik. "Mau nyesel bagaimana? Sudah kejadian. Biarlah
dia pergi secepatnya."
"Katanya mau tinggal sementara di rumah Kiki."
"Iya." "Bagaimana kalau dia cerita sama orangtua Kiki?"
"Aku yakin nggak akan. Dia sudah kuminta ber?
janji. Tapi aku nggak mau terlalu cerewet. Kalau
terus-menerus diingatkan, dia justru akan berpikir
jelek." "Kalau terlalu baik juga dia bisa berpikir jelek."
"Ah, sudahlah."
Malam itu kembali Linda mendapati David sedang
termenung memandangi Kiki di layar monitornya. Tapi
ia tak bisa apa-apa, hanya memendam kekesalan.
*** Didin bercerita dengan antusias kepada kakek-nenek?
nya tentang pengalamannya di rumah utama. Ia mem?
perlihatkan kaos kaki yang masih baru.
"Nggak usah dicuci dulu. Besok kan dipakai lagi,"
katanya. "Cuci!" perintah Bi Entin. "Kalau bau kecium tuh.
Nanti dia marah." Isi-Warisan.indd 460 460 Isi-Warisan.indd 461 "Ya," Ujang menimpali. "Sekarang kamu rendam
dulu, besok baru cuci. Pakein pengharum sekalian."
Bi Entin mengikik. "Biar dia senang, Din. Kalau
dia senang, kamu pasti dapat persen."
"Betul, buat dia senang. Menyenangkan orang kaya
selalu ada imbalannya," kata Ujang. "Tapi hati-hati
sama Nyonya. Kalau diajak ngomong jangan pandang
mukanya. Nunduk aja."
Didin mendengarkan dan mengiyakan berbagai pe?
tuah itu. Ya, ia akan berusaha menyenangkan Tuan.
*** Esok paginya Imelda mondar-mandir di rumahnya
dengan kesal. Didin sekolah, jadi tak bisa diajak main.
Ia sudah bosan nonton televisi.
Akhirnya ia masuk ke kamar orangtuanya. Biasa?
nya kamar itu dikunci kalau kedua orangtuanya pergi,
tapi karena ada dirinya, jadi dibiarkan tak dikunci.
Ia duduk di kursi ayahnya lalu mengamati sekitar
meja yang besar. Ada laptop, ada komputer meja
dengan layar monitor yang besar, ada perangkat audio
video dengan sekumpulan kaset video rekaman. Di
dalam laci ada banyak sekali kaset video. Tapi ia tidak
tertarik untuk mencoba menontonnya. Selera ayahnya
pasti beda. Lalu tatapannya tertuju ke komputer. Ia meng?hidup?
kannya. Ia teringat, bukankah ayahnya menyimpan
ha?sil rekaman kamera pengintainya di dalam harddisk-nya? Ia ingin mencari yang ada Kiki.
Apakah ayahnya menggunakan password? Ah,
461 ternyata tidak. Ia bisa membukanya. Rupanya ayahnya
me?rasa aman-aman saja atau tak peduli. Mungkin ibu?
nya tak suka mengorek. Atau memang tak ada yang
perlu disembunyikan. Imelda sudah biasa menggunakan komputer. Om
Anton yang mengajari. Dia juga suka mengajaknya
sama-sama memeriksa hasil rekaman kamera pengawas
yang dipasang di sekeliling rumah. Jadi ia tahu bagai?
mana mencari dan menemukan apa yang tersimpan di
dalam hard disk. Ia mencari kamera yang dipasang di teras. Itu
kamera yang mengarah ke pintu gerbang. Ia tidak tahu
hari dan jam berapa Kiki terekam. Tapi ia mencari
kode yang mungkin dipakai ayahnya. Ada kode K.
Mung?kinkah itu? Ia meng-kliknya.
Kiki terlihat di monitor. Ia tertawa. Ia menonton
ber?ulang-ulang. Sayang cuma sedikit. Ia menjadi bo?
san. Lebih menyenangkan melihat Kiki yang se?
sungguh?nya daripada melihat rekaman itu.
Ia berpikir tentang apa lagi yang ingin dilihatnya.
Melihat rekaman kamera yang ada di rumah Nana
waktu itu? Tapi pastinya tidak menarik. Biarpun me?
rasa tak ada lagi yang ingin dilihat, ia tak segera me?
matikan komputer. Lalu ia membuka-buka lemari. Baju-baju ibunya
tidak menarik minatnya. Seleranya berbeda. Sedang
lemari ayahnya tidak menarik sama sekali. Tapi ke?
mudian ia membukanya juga karena sudah tak ada
lagi yang bisa digeratak.
Ia menjelajahi isi lemari dengan matanya. Sampai
tatapannya tertumbuk pada satu benda di pojok, tak
Isi-Warisan.indd 462 462 Isi-Warisan.indd 463 begitu kentara, tertutup oleh pakaian yang tergantung.
Ia mengulurkan tangan lalu mengambilnya. Ia menge?
nali?nya sebagai salah satu kamera pengawas karena
bentuknya sama dengan yang lain. Kenapa kamera itu
berada di situ? Apakah maksudnya untuk dipasang?
Tapi sepertinya salah tempat. Masa disimpan di lemari
baju? Tiba-tiba saja teringat oleh Imelda kamera yang
di?pasang di teras depan rumah. Katanya, kamera itu
hilang pada hari kejadian Sukri jatuh ke basement.
Orang?tuanya mengatakan kamera itu pasti dicuri
maling yang masuk rumah dan selanjutnya persangka?
an mereka pastilah maling itu yang mendorong Sukri
ke bawah. Ia memeriksa kamera itu. Jelas bukan barang baru.
Masih ada sedikit debu yang menempel. Apakah ini
bukan kamera yang itu? Yang katanya diambil maling?
Kalau memang yang itu dan adanya di sini, pasti
bukan maling yang mengambil.
Ia bergegas kembali ke depan komputer. Lalu men?
cari-cari. Ia mengingat-ingat dulu tanggal kejadian.
Tidak begitu sulit. Itu adalah hari ketika Sukri jatuh
ke basement. Pada hari itu ia diajak ibunya ke mal.
Ia segera menemukan datanya. Lalu ia mengamati
monitor. Mula-mula terlihat Nana keluar hendak be?
rangkat ke sekolah diiringi Sukri. Setelah itu Sukri
ma?suk dan mondar-mandir mengerjakan taman. Ke?
mudian ayahnya pergi sendiri. Baru belakangan diri?
nya dan ibunya masuk mobil yang lain untuk pergi
juga. Sukri kemudian mengunci pintu.
Lalu terlihat Sukri muncul membawa dus terus
463 menghilang ke pinggir. Muncul lagi dengan tangan
kosong dan kembali dengan dus berikutnya. Begitu
sampai lima kali. Ia tahu, Sukri mengangkuti dus yang
semula diletakkan di teras. Entah mau dikemanakan
dus itu. Oh, pasti mau dimasukkan ke basement.
Lalu Sukri pergi dan kembali lagi membawa se?
gulung tali plastik warna merah berikut sebuah
gunting. Kemudian menghilang ke pinggir.
Lama tak terlihat apa-apa. Imelda mempercepat
laju hard disk, sampai terlihat gerakan.
Dengan terkejut ia melihat ibunya muncul di balik
pintu. Tangan ibunya masuk ke celah teralis pintu
terus turun ke bawah untuk mencapai selot, lalu mem?
bukanya. Ibunya masuk, merapatkan kembali pintu
lalu berjalan ke pinggir, arahnya ke basement. Tak
ke?lihatan sejenak. Tak lama kemudian ibunya muncul
lagi, lalu menuju pintu gerbang, keluar dan kembali
me?masukkan tangannya ke arah dalam untuk me?
ngunci selot. Lalu ibunya tak kelihatan lagi. Setelah
itu lama tak kelihatan apa-apa lagi di balik pintu
gerbang. Kemudian Imelda terbelalak melihat kemunculan
Kiki dan Nana. Mereka menggoyang-goyang pintu,
dan Kiki mencoba mengulurkan tangannya untuk men?
capai selot tapi tidak bisa. Selanjutnya tak begitu
jelas, karena pemandangan terhalang pintu gerbang,
tapi sepertinya Nana menaiki punggung Kiki, lalu
Nana mencoba meraih selot. Ia berhasil membuka
pintu. Sekilas tampaknya mereka berdua jatuh.
Lalu pintu terbuka. Kedua anak itu lari ke arah
tempat tinggal Nana. Tak kelihatan lagi. Kemudian
Isi-Warisan.indd 464 464 Isi-Warisan.indd 465 mereka kembali dan tampak panik, ke sana kemari.
Sam?pai akhirnya mereka menghilang ke pinggir tem?
pat basement berada. Setelah beberapa saat tak tampak apa-apa, terlihat
kedua anak itu berlarian ke arah kediaman Nana. Ke?
mudian muncul lagi dengan menggotong tangga.
Meng?hilang lagi ke arah basement.
Selanjutnya ia melihat urut-urutan kejadian seperti
yang telah diceritakan kepadanya.
Paling akhir ayahnya muncul dan menghalangi
kamera itu dengan badannya sampai gambar lenyap.
Ia tahu, itu pasti karena ayahnya mengambil kamera
itu dari tempatnya. Imelda termangu. Ia tahu sekarang, orangtuanya
telah berbohong. Kamera itu tidak dicuri maling, tapi
ayah?nya sendiri yang mengangkatnya karena sudah
jelas terekam di situ siapa orang yang masuk ke da?
lam. Kamera itu diangkat karena sudah merekam siapa
orang yang masuk ke dalam rumah pada saat kejadian.
Bukan maling, tapi ibunya!
Ia ingat, ibunya menelepon ayahnya ketika berada
di rumah sakit. Kira-kira pada saat itulah ayahnya
mengangkat kamera itu. Ibunya yang menyuruh.
Apa yang sebenarnya dilakukan ibunya pada saat
itu? Melihat jam kejadian yang tertera, ia tahu pada


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saat itu seharusnya ibunya berada di mal bersamanya.
Mereka bersama seorang teman ibunya yang juga
mem?bawa anak, lebih kecil darinya. Ketika itu ibunya
pamit sejenak untuk pergi ke suatu tempat yang tidak
ia sebutkan dan menitipkan dirinya kepada temannya
itu. Ia dan anak teman ibunya itu asyik bermain
465 hingga tidak menyadari kapan ibunya sudah kembali.
Apakah pada saat itulah ibunya pulang ke rumah?
Kalau memang ibunya berniat pulang dulu, kenapa
ia tidak kelihatan masuk ke rumah utama melainkan
jalan ke arah pinggir, kemudian keluar lagi terus
pergi? Jelas ibunya tak pernah masuk ke rumah. Tuju?
an dia semata-mata ke arah pinggir tempat basement
ber?ada. Dan juga Sukri. Tiba-tiba Imelda merasa lemas oleh pemikiran
yang teramat buruk. Ia mematikan komputer, keluar seraya meng?gabruk?
kan pintunya, lalu berlari ke kamarnya dan mem?
banting tubuhnya ke tempat tidur. Ia menangis.
Ia ingat nanti siang berencana ikut ke rumah Kiki.
Tapi dalam keadaan seperti itu, mana mungkin ia bisa
ke sana dan menghadapi mereka semua? Ia merasa
malu. Ia harus mempersiapkan diri dulu, harus berpikir
bagai?mana bersikap kepada orangtuanya.
Ketika sepulang sekolah rombongan Kiki men?dekati
rumah Imelda, namun mereka tidak melihat siapa pun di
depan pintu. Mereka berhenti, bergerombol di depan
pintu pagar. Tapi tidak ada siapa pun di halaman maupun
di teras. "Mungkin dia pergi," kata Kiki, mengajak temantemannya berjalan kembali.
Nana melirik wajah Kiki sejenak. Adakah keke?
cewaan di situ? Tapi ia tidak bisa membaca apa-apa.
"Mestinya kautelepon dia, Ki," kata Madi.
"Ah, ngapain? Biarin aja. Kalau dia memang mau,
pasti udah nungguin," sahut Kiki. Tampak masa
bodoh. Isi-Warisan.indd 466 466 Isi-Warisan.indd 467 "Mungkin dilarang mamanya," kata Fani.
"Mamanya galak, ya?" kata Madi.
"Serem," kata Fani. "Tapi cantik lho."
"Cantik kok serem?"
"Galak." "Oh." Yang terasa oleh Nana adalah Kiki berjalan dengan
langkah lebih cepat. Sepertinya ingin cepat sampai di
rumah. Nana merasa tidak nyaman.
Sampai sore kemudian malam, tak ada berita atau
telepon dari Imelda. "Tadi Kiki ngirim SMS ke Imel. Tapi kayaknya
nggak dibalas," bisik Fani kepada Nana.
"Oh, begitu. Mungkin Imel belum pulang. Siapa
tahu dia diajak ke mana, gitu," sahut Nana, mencoba
bersikap tak peduli. Nana berusaha untuk tidak memikirkan hal itu.
Biar sajalah kalau Kiki lebih suka kepada Imelda. Ke?
napa ia harus risau? Wajar saja kalau Kiki seperti itu,
karena Imelda cantik. Dan juga mirip dengan Lala.
Tentunya Kiki kangen pada Lala yang tak bisa dilihat
dan dihubungi. Sekarang ada Imelda yang hidup dan
juga menyukainya. Tak heran kalau ia mengalihkan
perhatian kepadanya. Besok ayahnya pulang ke rumah itu. Tadi siang ia
mem?bantu Sumarni membereskan kamar Kiki supaya
lebih lega hingga bisa menampung dua kasur di lan?
tai. "Kamu jadi kesempitan ya, Ki," katanya
"Nggak apa-apa. Yang penting nggak..." Kiki ter?
diam. 467 "Nggak apa, Ki? Ayo dong bilang," desak Nana
kha?watir. "Nggak ngorok...," kata Kiki, tertawa.
"Oh itu. Rasanya sih nggak. Aku nggak pernah de?
ngar Bapak ngorok. Justru Mama yang suka ngorok."
"Bi Ani? Dia kan perempuan."
"Emangnya kalau perempuan nggak bisa ngorok?"
"Aku kira lelaki aja. Nanti aku tanyain papaku,
apa Mama suka ngorok atau nggak."
"Hus, jangan ah. Masa yang gituan ditanyain."
"Bercanda aja kok."
Budiman menyerahkan setumpuk majalah pertanian
kepada Nana. "Ini buat Bapak, Na. Ada yang me?
ngenai tanaman organik. Lumayan buat tambahan
pengetahuan." "Pasti mahal, Om."
"Ah nggak. Aku beli di kios majalah bekas. Ke?
betulan lagi lihat-lihat, wah, ini bagus buat Sukri. Jadi
kuborong aja semua. Murah kok. Namanya juga be?
kas. Jadi lumayan buat bapakmu mengisi waktu."
"Terima kasih, Om."
"Jadi besok pulang sekolah segera pulang cepat,
ya. Terus makan dulu. Aku juga pulang cepat," kata
Budiman kepada semuanya. Pada suatu kesempatan, Kiki bertanya pelan kepada
Nana, "Bagaimana kalau si Imel pengin ikut besok,
ya?" Nana mengangkat bahu. "Terserah kamu dong."
"Kalau ditolak nggak enak juga, ya."
"Diajak saja nggak apa-apa. Bisa bantu-bantu bawa
buntelan." Nana tertawa.
Isi-Warisan.indd 468 468 Isi-Warisan.indd 469 Kiki juga tertawa. "Oke, kalau begitu. Jadi kalau
nanti dia Tanya, aku bilang dia bisa ikut, ya."
"Lho, emangnya aku yang nentuin?"
"Nggak enak aja kalau nggak tanya kamu dulu."
Jawaban itu menyejukkan perasaan Nana.
*** "Tadi kamu nggak ke rumah Kiki?" tanya David ke?
pada Imelda saat makan malam.
"Nggak." "Kenapa? Lagi marahan?"
"Nggak. Males aja."
"Nggak main congklak aja sama si Didin? Katanya
Pak Ujang udah ngambil papannya."
"Nanti aja." Linda mengamati tajam. "Kamu diam saja sih,
Mel. Sakit?" "Nggak. Emangnya orang nggak boleh diam?"
"Wah, keluar juteknya deh. Lagi mens, ya?"
"Nggak. Udah ah. Jangan cerewet."
Linda dan David berpandangan. David meng?geleng?
kan kepalanya. Isyarat agar Imelda jangan ditanyai
lagi. Selesai makan, David bertanya, "Mel, nggak mau
nonton Papa diinjak Didin lagi?"
"Nggak ah. Males."
"Ya sudah. Ini males. Itu males," kata David kesal.
Untuk menghindari gerutuan lebih lanjut, Imelda
buru-buru menghindar ke kamarnya. Di sana ia bisa
469 lebih tenang dan leluasa dengan pikirannya sendiri.
Supaya lebih yakin ia mengunci pintu kamarnya.
Ia benar-benar kesal. Pada perasaannya, orangtua?
nya sudah membuat hari-harinya menjadi gelap. Bagai?
mana sekarang ia mesti bersikap di depan Kiki dan
yang lain, juga terhadap Nana dan Sukri? Harga diri?
nya sudah merosot ke titik bawah. Memang tidak ada
yang tahu. Orangtuanya juga tidak tahu bahwa ia tahu.
Tapi dirinya sendiri yang merasa tidak nyaman.
Tadi SMS dari Kiki tidak ia jawab. Padahal ia
tidak ingin kehilangan pertemanan dengan Kiki. Apa?
kah ia mesti belajar berpura-pura? Aduh, bagaimana
sikap Kiki kalau ia sampai tahu? Barangkali Kiki ti?
dak mau lagi berteman dengannya. Nana dan ayahnya
juga akan marah. Budiman dan istrinya, juga Fani,
mungkin akan merasa jijik kepadanya. Padahal bukan
ia yang berbuat. Tentu mereka akan berpikir sebagai
anak ia adalah bagian dari orangtuanya, bagian dari
per?buatannya juga. Imelda mengambil ponselnya. Ia harus membalas
SMS Kiki. Sori, Ki. Tadi sakit kepala. Tiduran terus.
Besok nggak ikut ah. Terima kasih diajakin.
Kiki membalas. Sekarang dah sembuh, Mel?
Sudah, Ki. Tapi masih nggak enak aja. Udah ya.
Belajarlah... Imelda merasa senang mendapat perhatian dari
Kiki. Perasaannya sedikit terhibur.
Ia mulai berpikir. Kenapa ibunya berbuat seperti
itu? Ya, itu memang tuduhan yang tak ada buktinya.
Siapa bisa membuktikan bahwa ibunyalah yang telah
mendorong Sukri ke bawah? Tapi mau apa dia masuk
Isi-Warisan.indd 470 470 Isi-Warisan.indd 471 berindap-indap seperti maling di rumah sendiri? Se?
mentara tak ada orang lain yang masuk ke dalam se?
lain dia sendiri. Lantas buat apa pula kamera dicopot
dan disembunyikan lalu diributkan seolah maling yang
mengambil? Apa dia harus mengkonfrontir ibunya tentang hal
itu? Wah, dia tak berani. Nyalinya sudah ciut duluan
mem?bayangkan reaksi ibunya. Atau bertanya kepada
ayah?nya? Ah, sama saja. Nanti dia tak lagi disayangi
me?reka. Ia tak ingin hal itu terjadi. Tentu ia masih
pu?nya Om Anton dan Tante Olivia yang tak ubah
papa dan mamanya juga. Tapi bagaimanapun mereka
bukan orangtua kandung. Imelda jadi bertanya-tanya, apa gerangan yang
telah diperbuat Sukri hingga ibunya membencinya?
Ka?lau tidak benci mustahil ibunya sampai berbuat se?
perti itu. Hanya orang sakit jiwa yang melakukan hal
itu tanpa alasan. Seperti yang sering dikatakan Tante
Olivia. Setiap orang berbuat sesuatu karena ada alasan?
nya. Lalu ia mulai memikirkan posisi dirinya yang
berada di tengah-tengah. Tentu saja ia harus mencari
sikap yang menguntungkan, bukan merugikan. Apalagi
masalah itu bukanlah urusannya. Sukri dan Nana bu?
kan apa-apanya. Ia juga tak menyukai mereka. Kenapa
ia harus peduli? Lagi pula Sukri tidak mati. Ia sudah
sembuh dan dibayari pula oleh ayahnya. Mungkin
ayahnya merasa bersalah atas perbuatan ibunya.
Jadi, ia akan berpura-pura saja. Ia juga bisa sekali?
an mengamati kiri dan kanan dengan tatapan dan pe?
nilaian orang yang tahu. Ah, itu sangat menarik.
471 Di ruang duduk, tanpa Imelda yang hadir me?
nonton, David malah jadi leluasa. Linda pun tidak
ke?luar dari kamarnya. Seperti kemarin David dipijit Didin dengan cara
diinjak. Lalu David menyuruhnya turun, tidak lagi
mem?balik badan dengan tiba-tiba hingga Didin ter?
jatuh. Tapi kemudian David memeluk Didin lalu men?
ciuminya sambil menjamahnya. Meskipun demikian ia
tetap bersiaga kalau-kalau Linda atau Imelda tiba-tiba
keluar dari kamar. Ia hanya sekadar ingin menguji
sikap Didin. Tapi bagi Didin hal itu bukan kejutan lagi. Malah
di?bandingkan dengan perlakuan yang diterimanya dari
paman?nya, ia menganggap hal itu cukup menyenang?
kan. Ada perasaan disayangi di situ. Sedang pamannya
seolah menerkam dan menyeretnya bagai binatang
buas yang akan memakannya.
Bagi mereka berdua, kejadian itu hanyalah pe?
manasan saja. David bisa membuktikan kepada dirinya
sendiri bahwa ia masih mampu mengendalikan dan
menunda. Ia tidak terlampau diburu oleh nafsu hingga
harus menuntaskannya pada saat itu juga. Ia juga se?
kali?an membuktikan bahwa Didin tidak sulit diperoleh
dan tak ada risiko yang perlu ditakutkan.
David bisa menebak bahwa Didin sudah ber?
pengalaman. Entah siapa yang memperlakukannya se?
perti itu. Reaksinya yang menerima memperlihatkan
hal itu. Segalanya menjadi lebih mudah.
"Jangan bilang siapa pun, Din. Juga kakek dan
nenek?mu. Nanti kamu disuruh pulang. Mau kamu
pulang?" kata David perlahan.
Isi-Warisan.indd 472 472 Isi-Warisan.indd 473 Didin menggeleng. "Nggak mau, Tuan."
"Bagus." Mereka sudah mencapai kesepakatan.
473 UKRI sudah berada di rumah Kiki. Ia sangat malu
dan canggung karena tak bisa berbuat apa-apa. Ia se?
olah tamu dan diperlakukan seperti tamu padahal bu?
kan. Ia ingin membantu dan mengerjakan ini-itu pun
tak diperkenankan. Ia disuruh istirahat dan me?mulih?
kan kesehatan saja. Padahal ia tidak biasa ber?diam diri
biarpun sedang sakit. Dulu waktu di rumah Tuan biar?
pun sakit-sakit ia tetap memaksa diri bekerja dan bisa
sembuh sendiri. Ia juga diperlakukan seperti anggota keluarga.
Makan bersama di meja dengan mengambil tambahan


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kursi dari ruang depan. "Kri, kamu nggak usah malu-malu. Yang begini ini
kan sudah seharusnya," kata Budiman. "Kalau suatu
saat kita terbalik, aku yang butuh bantuan, tentunya
kamu juga akan membantu, bukan?"
Sukri mengangguk. Ia tahu, Budiman dan keluarga?
nya berupaya benar supaya dia tidak merasa canggung.
Isi-Warisan.indd 474 474 Isi-Warisan.indd 475 Tapi ia sudah terlalu lama tidak merasakan kebaikan
orang. Dan sudah terlalu lama pula merasa dirinya
ha?nya sebagai pembantu dan tukang kebun. Juga ter?
lalu lama hanya menundukkan kepala bila dimarahi
biarpun tidak merasa salah.
Hanya di dalam hati dan secara diam-diam ia ber?
doa supaya budi baik yang ia dan Nana terima itu
akan mendapat balasan yang setimpal dari Yang Maha
Kuasa. Ia pun membisikkan hal yang sama kepada
Nana agar mereka tidak pernah melupakan budi itu.
"Tentu saja, Pak. Aku juga mendoakan yang sama.
Hanya itu yang bisa kita lakukan. Om Budiman itu
orangnya memang sesuai dengan namanya, ya?" kata
Nana. Dengan Kiki ia bisa cepat akrab. Apalagi tidurnya
sekamar. Malam-malam menjelang tidur mereka mengobrol
dulu. Biasanya Sukri pendiam, tapi dengan Kiki ia
lancar bercerita. Apa saja ia ceritakan. Masa kecil di
kam?pung kemudian merantau ke Jakarta.
Kiki senang mendengarkan. Ia tak pernah men?
dengar cerita yang seperti itu. Kadang-kadang mulut?
nya sampai terbuka saking takjub. Ternyata di kam?
pung pun ada banyak cerita menarik dan unik.
"Wah, Pak. Kalau nanti Bapak pergi pasti aku jadi
kesepian. Nggak ada yang cerita lagi."
"Jangan begitu, Ki. Nggak ada yang namanya ke?
sepi?an kalau kamu bisa mengisi waktu. Apalagi Kiki
punya adik dan orangtua yang begitu baik. Itu adalah
anugerah, Ki." "Iya, Pak. Ngomong-ngomong sudah dua malam
475 nih, berarti masih ada empat malam lagi Bapak di
sini. Waktu cepat lewatnya ya, Pak. Nggak kerasa."
"Bener, Ki. Sepertinya barusan aja kejadiannya.
Tahu-tahu sudah sampai di sini. Nanti tahu-tahu sudah
di Sukabumi." "Kami, tiga sekawan, akan mengantar Bapak ke
sana. Yang penting Nana bisa melihat situasinya,
karena nanti dia akan ke sana juga."
Tiba-tiba Kiki menjadi sendu mengingat hal itu.
Nana akan pergi juga. "Ya, sekarang kalian harus belajar dulu, Ki. Jangan
seperti Bapak, nggak sekolah."
"Sebetulnya Bapak bisa belajar sendiri. Kalau
Bapak banyak membaca..." Kiki menunjuk tumpukan
maja??lah yang diberikan ayahnya, "Bapak juga bisa
pinter kok." "Untung saja bisa baca ya, Ki." Sukri tertawa. "Ka?
lau buta huruf gimana? Bapak sudah baca dan sangat
berguna. Orang sekarang sudah pintar."
"Nana juga membacanya, Pak. Dia suka pertani?an."
"Ya. Katanya nanti mau sekolah pertanian saja.
Nggak perlu sekolah tinggi yang bayarannya mahal.
Biar ke SMK Pertanian aja. Bisa langsung praktik."
Kiki menatap Sukri dengan kagum. Melihat tatapan
Kiki, Sukri tertawa. "Bapak barusan baca di majalah itu, Ki. Tau yang
mana tuh. Nana juga sudah lihat. Dia langsung suka.
Kebetulan di Sukabumi ada."
Ponsel Kiki berbunyi. Telepon dari Imelda.
"Dari Imel, Pak," ia memberitahu Sukri sebelum
men?jawab telepon. Isi-Warisan.indd 476 476 Isi-Warisan.indd 477 Sukri mengangguk. Ia meraih majalah dan mem?
balik-baliknya. Pura-pura membaca padahal memasang
telinga. "Oh, gitu ya, Mel? Besok mau ikutan kami pulang
sekolah? Nengokin Pak Sukri? Wah, baik deh kamu.
Apa? Mau dikirimin kue oleh ibumu? Kue apa?
Hehehe. Nitip salam? Orangnya ada di sini kok. Nih
di sebelah aku. Mau ngomong sendiri? Nggak? Ya
udah, besok juga ketemu. Daaag...."
Lalu Kiki berpaling pada Sukri. Pasti Sukri sudah
mendengar ucapannya. "Besok si Imel pengin menjenguk Bapak. Katanya
Nyonya mau ngirim kue."
Sukri memonyongkan mulutnya sambil meng?gelenggelengkan kepalanya. Kiki tertawa melihat muka Sukri
yang lucu. "Sebentar, Pak. Aku telepon dia lagi. Bilangin ja?
ngan kirim kue, ya?"
Sukri mengangguk. "Bapak takut sama kuenya,
Ki." Kiki tertawa lalu meraih ponselnya. "Halo, Mel?
Kata Pak Sukri, jangan kirim kue atau makanan apa
saja. Di sini banyak makanan, Mel. Terima kasih, kata?
nya. Udah ya, daaag...."
Sukri tampak lega. "Soalnya nggak enak sama Pak
Budi dan Ibu kalau makanannya dibuang, Ki. Nanti
dianggap sok atau gimana."
"Mereka udah tahu kok, Pak. Kan udah dicerita?
in." "Tapi tetap aja nggak enak. Masa makanan di?
buang. Kalau di sana sih nggak ada yang lihat."
477 "Pokoknya kalau besok kulihat dia bawa makanan
akan kusuruh simpan aja. Nggak boleh dibawa," kata
Kiki. "Bagus, Ki. Terima kasih, ya."
"Ngomong-ngomong, Pak, Imel sama Lala itu baik?
an siapa sih?" "Baikan Lala. Kalau Imel rada asing, habis didikan
Belanda sih. Sedang Lala tumbuh sama Nana, samasama diasuh Bi Ani. Kiki masih ingat sama Lala dan
Bi Ani, ya?" "Oh ya, Pak. Itu adalah pengalaman yang nggak akan
kulupakan. Kalau nggak ada mereka, gimana aku bisa
naik tangga...." Kiki terdiam, merasa keceplos?an.
Sukri tersenyum-senyum. "Kenapa senyum-senyum, Pak?" Kiki mencoba
me?ngorek. "Nggak apa-apa sih. Kalau Kiki nggak mau terus
terang sih nggak apa-apa. Tentu ada alasannya. Tapi
buat Bapak mah nggak masalah."
"Apa sih yang Bapak bicarakan?"
"Takutnya kamu tersinggung."
"Nggak, Pak. Bener. Ayolah, bicara saja."
"Kan dulu kamu cerita jatuhnya dari pagar waktu
mau loncat karena nggak bisa buka selot pintu. Tapi
selot itu gampang kok dibukanya. Sudah kamu bukti?
kan sendiri waktu sama Nana, ya? Jadi kamu se?betul?
nya bukan jatuh dari pagar...."
Kiki tertegun. Baru sekarang menyadari kebohong?
annya itu tidak serta-merta diterima begitu saja. Tapi
sekarang sudah tak ada masalah lagi.
"Ya, tempo hari aku memang berbohong, Pak.
Isi-Warisan.indd 478 478 Isi-Warisan.indd 479 Maaf, ya. Tapi waktu itu kan takut dimarahi. Aku su?
dah lancang masuk ke basement. Di situ jatuh."
"Jatuhnya dari mana? Tangga kayu atau tangga
batu?" "Tangga batu." "Kok milih yang itu, Ki? Tangga itu kan keluarnya
ke dalam rumah, nanti bisa ketemu yang punya rumah
dong." "Aku naik ke situ bukannya bermaksud keluar,
Pak. Aku kaget dan panik. Bukan karena lupa. Baru
sadar setelah di tengah-tengah. Ketika berbalik salah
nginjak, jadi jatuh."
"Kenapa kau kaget dan panik, Ki?"
Melihat Kiki terdiam, Sukri tak tega mendesak.
Ia melanjutkan, "Waktu Bapak jatuh ke situ, kamu
turun dan kita berdua saja. Bapak sempat memper?
hatikan bagaimana kamu mengamati seisi ruangan.
Ba?pak heran kenapa kamu segera pergi ke bawah
tangga dan mengamati sekitar situ seperti... ya, seperti
men?cari sesuatu yang hilang. Nyari apa, Ki?"
Kiki tahu ia tak bisa lagi mencari alasan. Ia ber?
pikir perihal janjinya kepada Lala. Apa yang diminta
Lala waktu itu? Oh ya, ia diminta berjanji untuk tidak
memberitahu siapa pun perihal isi peti itu. Hanya isi
peti! "Sudahlah, Ki," kata Sukri, iba melihat keraguan
di wajah Kiki. Kalau Kiki merasa keberatan untuk
ber?cerita ia tak ingin mendesak. "Nggak apa-apa kok.
Nggak usah dipikir sampai begitu. Maaf, ya."
Kiki menatap wajah Sukri yang cemas dan penuh
sesal. 479 "Nggak usah minta maaf, Pak. Sebetulnya, aku
nyari peti yang tadinya ada di bawah tangga. Kok
udah nggak ada. Aku melihat berkeliling barangkali
dipindahkan, tapi kelihatannya nggak ada."
"Kenapa peti itu sepertinya penting, Ki? Sampai
dicari..." "Habis di bawah tangga itu kelihatannya jadi
plong. Kosong melompong."
"Cuma lantaran kelihatan plong?"
"Iya. Mencolok bedanya."
"Peti itu sih biasa-biasa aja. Nggak menarik per?
hatian. Cuma karena ada tutupnya, orang pikir pasti
ada isinya. Apa kamu membukanya, Ki? Pasti kamu
kaget karena melihat isinya, ya? Makanya kamu lari
ke arah tangga batu karena itu yang dekat. Ah, Bapak
cuma nebak aja kok."
Kiki tidak menjawab. Sukri menghela napas. "Sudah, nggak apa-apa, Ki. Kita cuma ngobrol aja
kok." Tapi Kiki menangkap keingintahuan Sukri. Ia ter?
ingat bahwa ia pun punya keingintahuan yang hanya
bisa dijawab oleh Sukri. "Bapak sendiri pasti sudah tahu tentang peti itu.
Kan sudah lama tinggal di situ. Apa Bapak nggak per?
nah melihat isinya?"
"Nggak." "Kalau Bapak sering turun ke situ, kenapa Bapak
nggak coba mengintip isinya?"
Sukri tertawa. "Kalau Bapak turun, itu bukan
untuk main-main, Ki. Cuma nurunin barang, ditunggui
Isi-Warisan.indd 480 480 Isi-Warisan.indd 481 lagi sama Tuan di atas. Mana sempat tengok sanasini?"
"Pantasnya Bapak pengin tahu banget, ya? Kenapa
nggak turun diam-diam aja waktu Tuan dan Nyonya
pada pergi?" "Wah, nggak kepikir, Ki. Pada saat itu sih nggak
pengin tahu. Baru belakangan aja...."
"Kenapa?" kejar Kiki.
Sekarang giliran Sukri yang tersudut. Ekspresinya
membuat Kiki tertawa. "Ayo, kenapa baru sekarang pengin tahunya?"
"Aduh, Ki. Jangan tanya itu deh."
"Iya deh, Pak. Tapi kayaknya ketahuan sekarang,
kita sama-sama pengin tahu soal peti itu, ya? Kalau
Bapak pengin tahu isinya, kalau aku petinya."
Sukri manggut-manggut dengan penuh semangat.
"Kalau nebak boleh nggak, Ki?"
"Boleh." "Tapi mau tanya dulu, Ki. Waktu itu apa peti itu
digembok?" "Nggak." "Nah, jadi kamu bisa membukanya. Isinya pasti
mengerikan. Kalau nggak mana mungkin bisa mem?
buatmu kaget." Sukri mengamati wajah Kiki, ingin tahu reaksinya.
Tapi Kiki tersenyum. "Baiklah. Aku memang melihat isi peti," Kiki
meng?aku. Tapi jangan tanya lagi. Tahu kenapa, Pak?
Aku terikat janji sama Lala. Waktu itu Lala me?nyuruh?
ku berjanji. Mana mungkin aku melanggarnya? Dia
sudah menolongku. Apalagi dia itu roh..."
481 Sukri terkejut lalu termangu dengan wajah sendu.
Ucapan itu cukup membuatnya tak mampu bertanya
lagi. Tapi Kiki merasa mendapat angin. Ketika Sukri tak
lagi bisa maju, maka giliran dialah yang mendesak.
"Sekarang giliranku, Pak. Apa Bapak yang mindahin
peti itu? Mengeluarkannya? Nggak mungkin. Pasti
di..." "Stop! Jangan bicara lagi, Ki. Sama seperti kamu,
aku juga terikat sama janji. Nggak boleh ngomong
sama siapa pun." Kiki mengamati wajah Sukri yang tampak me?
mohon. Ia tidak tega mendesak.


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Iya deh, Pak. Kita sama-sama terikat janji rupa?
nya. Tapi aku bisa nebak janji itu sama siapa, cuma
disimpan di sini aja." Kiki menunjuk dadanya.
Sukri terlihat lega. "Kita ngomong yang lain saja, Pak. Tapi masih
soal peti. Apa yang Bapak belakangan lihat itu petinya
digembok atau nggak?"
"Digembok." "Oh, jadi digemboknya memang belakangan.
Waktu aku jatuh nggak digembok. Waktu Lala, Nana,
dan Imel turun ke bawah juga nggak."
"Kok kamu tahu?"
"Bukankah Imel cerita sama Nana, bahwa mereka
bertiga turun ke bawah? Tapi Lala naik belakangan.
Kedua anak mendengar Lala menjerit, lalu berlari naik
dengan muka pucat. Tapi Lala nggak mau bilang ke?
napa dia menjerit. Baru belakangan Tuan cerita sama
Isi-Warisan.indd 482 482 Isi-Warisan.indd 483 Imel, bahwa ketika itu Lala melihat hantu. Pastinya
bohong, kan?" "Jadi... yang dilihat Lala sama dengan yang dilihat
olehmu," kata Sukri.
"Ya. Makanya Lala menyuruhku berjanji. Kami
su?dah sepakat, Pak."
"Ya, ya. Bapak juga nggak maksa kamu cerita,
Ki." "Imel cerita bahwa ubin di basement berubah
warna. Tadinya hitam dekil sekarang jadi terang, dan
di bagian tengah lebih mumbul. Aku juga melihatnya.
Apakah peti itu dikubur di situ, Pak?"
Sukri tersentak kaget. Anak pintar, pikirnya.
Ekspresi kaget Sukri membuat Kiki tertawa.
"Nah, ketahuan deh," katanya girang. "Bener, kan?
Bapak tahu karena Bapak yang disuruh Tuan me?
nguburnya. Nggak mungkin dia menyuruh orang lain
yang nggak dikenal. Lalu dia meminta Bapak berjanji
nggak akan bilang siapa-siapa."
Kali ini Sukri tersenyum. Ia menganggap Kiki
lucu. "Rupanya kali ini kita sama-sama jadi tahu tanpa
melanggar janji, ya," kata Sukri. "Habis setiap orang
punya otak sih. Mana bisa otak itu disuruh berhenti
berpikir." Mereka tertawa gembira. "Tapi Bapak masih pengin ngomong, Ki. Kalau se?
karang Bapak nebak apa isi peti itu, boleh nggak? Nanti
Bapak lihat muka Kiki. Kalau kaget, pasti bener...."
"Ha? Nggak ah, Pak. Nggak boleh tebak-tebakan.
Nggak boleh...." 483 Kiki cepat menelungkup sambil menutup kedua
telinganya. Sukri menepuk Kiki. "Sudah. Nggak usah khawatir,
Ki. Nggak kok. Bercanda aja...."
Mereka mengakhiri malam itu dengan tidur yang
nyenyak. Sama-sama merasakan berkurangnya beban
meskipun Sukri sempat memikirkan apa gerangan isi
peti itu. *** Imelda sudah bisa memantapkan pikiran dan mengem?
bali?kan harga dirinya. Kenapa ia harus merasa minder
atau bersalah kalau yang melakukan kesalahan itu bu?
kan dirinya? Meskipun itu ibunya, tapi dia tak punya
sangkut-paut. Ayahnya juga tahu, tapi dia tidak. Bah?
kan dialah yang pertama kali melemparkan gagasan
ten?tang kamera di teras sebelum orang lain keburu
ber?pikir sama. Kalau memang dia tahu atau ber?se?
kongkol, tentu dia takkan berkata seperti itu.
Siang itu ia menunggu rombongan Kiki pulang se?
kolah. Didin yang sudah pulang lebih dulu menemani?
nya supaya nanti bisa mengunci pintu bila ia pergi.
Ke?dua orangtuanya sudah tahu bahwa ia akan men?
jenguk Sukri di rumah Kiki. Mereka tidak berkeberat?
an. Linda sudah membekali kue keju kering di dalam
stoples untuk diberikan kepada Sukri. Tapi setelah di?
telepon Kiki yang mengatakan sebaiknya jangan mem?
bawa makanan, Imelda menolak membawanya. Ia
me?ngatakannya kepada ibunya yang kemudian marahIsi-Warisan.indd 484 484 Isi-Warisan.indd 485 marah lalu mengambil stoples kue dan membawanya
pergi. "Buat aku aja di kamar, Ma. Aku suka kaastengels,"
kata Imelda. "Kalau buat kamu aku beliin yang baru aja. Yang ini
jangan dimakan. Sudah agak bulukan," Linda meng?
akui. "Lho, kok makanan bulukan dikasih ke orang sih,
Ma?" "Biar gitu masih bisa dimakan kok. Orang seperti
mereka itu perutnya kuat, tahu?"
"Habis mau dikemanain itu, Ma?"
"Itu urusanku. Nggak usah tanya-tanya!"
Lalu setelah kedua orangtuanya pergi Imelda ber?
maksud menggeratak lagi di kamar mereka. Tapi ia
men?dapati pintu dikunci. Ia jadi berpikir, kenapa ke?
marin tidak dikunci tapi sekarang dikunci? Apa karena
nanti siang ia bermaksud pergi ke rumah Kiki?
Ia mencari kue itu di lemari makan di dapur, tapi
tidak menemukannya. "Nyari apa, Non?" tanya Bi Entin.
"Nyari kue keju, Bi."
"Oh, yang di stoples? Tadi dibawa Nyonya, di?
masukin ke dalam kantong plastik. Emang lapar, Non?
Bibi bikinin mi rebus dulu ya, Non?"
"Nggak ah, Bi. Kalau makan mi sih kenyang."
Imelda pun merenung. Kenapa sekarang ibunya
jadi berlaku baik kepada Sukri dengan mengirimkan
kue segala, biarpun kue bulukan? Ia menyimpulkan
sen?diri. Mungkin ibunya merasa bersalah, lalu ingin
memperbaiki kesalahannya. Tapi kalau begitu mestinya
485 yang mau diberikan itu kue yang bagus. Kasihan
Sukri. Untung saja dia nggak mau dikasih kue.
Sekarang dia mencari kue itu bukan untuk di?
makan, tapi untuk diamati. Apa benar bulukan, dan
se?perti apa? Sayang sudah tak ada lagi. Mungkin ibu?
nya khawatir kue itu dimakan olehnya. Padahal ia
tidak serakus itu hingga mau makan kue bulukan.
Siang itu sepertinya kedatangan rombongan Kiki
agak lama. Jadi Imelda mengalihkan perhatiannya ke?
pada Didin. "Eh, kamu masih mijitin Papa kemarin?"
"Masih, Non." Ada kebanggaan dalam suara Didin.
"Kecil-kecil jadi tukang pijit. Udah besar mau jadi
tukang pijit juga?" "Kalau saya udah besar mana mau Tuan diinjak,
Non." Imelda terbahak-bahak. "Ya ya, bisa gepeng. Maka?
nya kalau kamu pengin jadi tukang pijit Papa lebih
lama, jangan jadi tambah gendut. Baiknya tambah
kurus aja. Hahaha...."
Didin sudah berani ikut tertawa. Tadinya takut.
"Eh, Din. Kalau habis mijit kamu dikasih duit
nggak?" Didin menggeleng. "Nggak, Non. Kan saya mah
amatiran." Imelda terbahak lagi. Ternyata si Didin ini pintar
juga melucu, pikirnya. "Justru kau amatiran, maka kau perlu dikasih per?
sen." Isi-Warisan.indd 486 486 Isi-Warisan.indd 487 "Ah, nggak perlu, Non. Yang penting Tuan se?nang."
Didin mengatakannya dengan bersungguh-sungguh
hingga Imelda mengawasinya sejenak. Ia menganggap
wajah Didin menampakkan kecocokan dengan ucapan?
nya. Tampaknya anak ini bisa jadi budak yang setia.
Papa pasti akan menyayanginya. Sedang Mama bisa
iri karena Mama kehilangan Nana.
"Nah, itu mereka datang," kata Imelda senang.
"Sudah, kamu masuk aja. Terus kunci pintu."
Tapi Didin masih ingin menyaksikan siapa temanteman Imelda. Ia melihat rombongan anak-anak ber?
seragam seperti dirinya. "Sudah, kamu masuk."
"Ini siapa, Mel?? tanya Kiki dengan tatapan ke
arah Didin. "Namanya Didin. Cucu Bi Entin."
"Tinggal di sini?" tanya Nana.
"Ya. Dia gantiin kamu, Na. Bedanya, dulu kamu
tukang pijit Mama. Sekarang dia tukang pijit Papa."
Imelda tertawa, tapi Kiki dan Nana tidak. Merasa
tak nyaman karena tertawa sendiri, Imelda menghardik
Didin, "Masuk! Kunci pintunya!"
Didin buru-buru mematuhi perintah itu. Dari balik
jeruji besi pagar ia mengamati Imelda bersama
rombong?annya menyeberang jalan. Setelah itu ia
berlari masuk. Ia merasa lapar.
Ketika semua pemilik rumah tidak ada, maka ru?
mah itu jadi serasa surga bagi Bi Entin dan keluarga?
nya. Mereka menikmatinya seperti di rumah sendiri.
Ujang berbeda dengan Sukri. Dia hanya bekerja di
kebun kalau pemilik rumah ada. Usianya juga mem?
487 buat tubuhnya mulai diserang rematik. Dia sudah tidak
bergairah lagi untuk memeriksa rumah itu.
Ujang sudah tahu perihal pintu papan yang mem?
buka ke basement dari istrinya. Ia juga melihatnya
sendiri. Tapi ia tidak punya keinginan untuk membuka
dan melongok ke dalamnya. Ia sudah diberitahu bah?
wa Sukri jatuh ke bawah sewaktu akan memasukkan
barang. Buat apa pula melongok-longok kalau sudah
jelas tempat itu merupakan gudang barang rongsokan.
Ia pun sudah tidak kuat naik-turun tangga.
Sekarang Didin sudah menggantikan peran Sukri
sebagai tukang mengunci pintu gerbang. Ia sudah di?
beri?kan sebuah ponsel bekas pakai David dan di?
beritahu cara memakainya. Jadi kalau David pulang,
Didin yang ditelepon untuk bersiap di pintu. Sedang
Ujang yang juga memiliki ponsel hanya ditelepon
kalau David atau Linda pulang ke rumah sebelum
Didin pulang sekolah. Didin sangat gembira dengan tugasnya itu. Ia lebih
gembira lagi karena bisa memiliki sebuah ponsel yang
tak mungkin dibelikan oleh orangtuanya. Karena pon?
sel itu ada hubungannya dengan tugasnya, maka tidak
kelihatan sebagai hadiah yang berlebihan dari David.
Apalagi sekarang ponsel sudah tidak lagi merupakan
barang yang mewah hingga sulit terbeli oleh orang
kebanyakan. Maka ponsel itu selalu berada di sakunya, tak per?
nah ketinggalan ke mana pun ia pergi. Bahkan juga
kalau ke WC. Tak lama setelah Imelda pergi ponselnya berbunyi.
Didin berdebar. Dari Tuan.
Isi-Warisan.indd 488 488 Isi-Warisan.indd 489 "Din, Non Imel sudah pergi?"
"Baru aja, Tuan."
"Siap di pintu, ya. Sepuluh menit lagi aku sam?pai."
"Baik, Tuan." Didin tak berpikir, bagaimana mungkin tuannya
bisa tiba di rumah dalam waktu sepuluh menit. Ia
memang tidak tahu di mana letak kantor Tuan, tapi
se?dekat-dekatnya, lalu lintas yang kerap macet tak me?
mungkinkan orang bisa tiba dengan cepat. Kalau
memang hanya sepuluh menit tentu orang tak me?
merlukan mobil. Cukup jalan kaki saja. Buat Didin
berpikir seperti itu terlalu rumit. Terima saja apa yang
jadi kenyataan. Yang penting Tuan sudah mau pulang
dan ia harus menunggui pintu.
Setelah mobil David masuk dan Didin kembali me?
ngunci pintu, David mengatakan, "Bilang sama nenek?
mu, dia nggak perlu nyiapin makan. Aku nggak ma?
kan. Nanti malam saja sama Nyonya. Sudah itu
kem?bali ke sini untuk bawain barang."
Didin berlari dengan lincah. David mengamatinya
sejenak, lalu mengeluarkan sebuah kantong belanjaan
dari belakang mobil. Ketika Didin kembali lagi de?
ngan cepat, Didin langsung disuruh membawa kantong
itu dan mengikutinya ke dalam rumah.
Lalu pintu rumah dikunci. David menyuruh Didin
mengikutinya ke kamar. "Kamu sudah mandi, Din?" tanya David
Didin menggeleng heran. "Nanti sore mandinya,
Tuan," katanya. "Aku mau mandi sekarang. Kau mau mandi bareng
sama aku?" 489 Didin bengong sejenak. Kemudian ia mengangguk.
Wajahnya tampak antusias.
David mengamatinya lalu tertawa. Didin juga.
David sudah tahu bahwa Didin pun tahu.


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagi Didin pengalaman seperti itu hanya pengulang?
an, tapi dalam versi yang menyenangkan. Berbeda
de?ngan pamannya yang kasar dan perlakuannya yang
menyakitkan, Tuan melakukannya dengan lembut. Ada
krim yang dioleskan hingga tak ada rasa sakit yang
ditimbulkan. Ia tak perlu lagi menderita sesudahnya.
"Kamu nggak apa-apa ya, Din? Nggak marah?"
tanya David. "Nggak, Tuan." "Siapa yang melakukan dulu?"
"Paman yang tinggal serumah, Tuan."
"Kamu suka sama dia?"
"Nggak, Tuan. Dia maksa dan mengancam."
"Menyakitkan?" "Oh iya, Tuan."
"Sama aku nggak, kan?"
"Nggak, Tuan." "Nanti, kapan-kapan kita ulang lagi, ya?"
"Ya, Tuan." "Jangan bilang siapa-siapa. Kalau sampai ada yang
tahu, kamu bisa diusir dari sini."
"Nggak, Tuan. Buat apa saya bilang-bilang. Dulu
sama paman begitu juga. Nggak ada yang tahu."
"Tapi itu kan karena kamu takut sama dia. Kalau
sama aku takut nggak?"
"Nggak, Tuan." "Bagus kalau begitu. Kita saling percaya."
Isi-Warisan.indd 490 490 Isi-Warisan.indd 491 "Ya, Tuan." David memercayai bocah itu.
"Kalau kamu sayang sama aku, maka aku juga
akan sayang sama kamu."
Didin menatap majikannya dengan mata berbinar.
Ucapan itu sangat menyentuhnya. Ia mengangguk
kuat-kuat. "Ya, Tuan," katanya dengan tulus.
Lalu Didin terkejut ketika tubuhnya diangkat de?
ngan mudah lalu dibopong. Ia tidak takut, malah ter?
tawa dengan riang. Kapan ia pernah diperlakukan se?
perti itu dan oleh siapa? Tak pernah.
*** Yang dilakukan Imelda pertama kali saat memasuki
rumah Kiki adalah menemui Sukri.
"Pak Sukri, udah sembuh?" ia bertanya dengan ra?
mah dan penuh perhatian. Di dalam hati ada rasa iba
mengingat perbuatan ibunya. Tapi ia sudah bisa me?
nyingkirkan rasa bersalahnya. Kenapa ia harus merasa
bersalah kalau bukan dirinya yang berbuat? Bahkan
terlibat pun tidak. "Udah, Non. Terima kasih," sahut Sukri, merasa
ter?sentuh tapi juga takjub untuk perubahan sikap
Imelda yang biasanya judes. Mungkin karena sekarang
sudah berkawan dengan Kiki, pikirnya.
"Jadi pergi hari Sabtu nanti?"
"Jadi, Non." "Emangnya udah bisa lari?"
Sukri tertawa. 491 "Di sana kan kerjanya bukan lari-lari, Mel," sahut
Nana. "Bercanda aja kok," kata Imelda.
"Jalannya udah lancar," Kiki nimbrung. "Pagi-pagi
jalan bolak-balik di depan."
"Pokoknya udah sehatlah," kata Sukri.
"Nanti kalian ikut mengantarkan?" tanya Imelda.
"Oh iya," sahut Nana. "Aku pasti harus ikut karena
nanti tinggal di sana juga."
"Aku juga ikut," kata Fani.
"Wah, pergi semua. Tante?" tanya Imelda kepada
Sumarni. "Oh, Tante sih jaga rumah," sahut Sumarni ter?
senyum. "Asyik ya. Aku belum pernah pergi ke Sukabumi,"
kata Imelda dengan nada ingin.
Nana tahu, Imelda ingin diajak. Ia khawatir, Kiki
meng?ajaknya. Tapi ia yakin Kiki tidak mungkin ber?
buat begitu tanpa bertanya dulu kepada ayahnya.
"Nanti saja kamu jalan-jalan sama Tuan dan Nyo?
nya," kata Nana. "Di sana banyak tempat wisata."
"Oh, ya?" Mata Imelda berbinar.
Kiki menatapnya dan terpesona sejenak. Mata itu
mirip sekali dengan mata Lala.
"Ya, pergilah jalan-jalan. Mumpung masih di sini,"
Sumarni menganjurkan. "Emangnya kamu nggak pernah diajak ke luar
kota?" tanya Fani. "Cuma ke Puncak dan Bogor."
"Belum pernah ke yang lain? Bali, misalnya?" ta?
nya Kiki. Isi-Warisan.indd 492 492 Isi-Warisan.indd 493 "Oh, Bali udah. Tahun lalu."
Nana buru-buru menghindar ke dapur untuk me?
nyiapkan makan siang. Dalam percakapan seperti itu
ia tak bisa ikut serta. Sukri mengikuti untuk mem?
bantu?nya. Sumarni membiarkan. Dapur akan sesak
ka??lau ia di sana juga. Sukri sudah memohon-mohon
supaya ia dibolehkan membantu selama berada di
sana. Ia merasa tak enak kalau tidak bekerja apa-apa.
Padahal sebenarnya sejak pagi ia membersihkan ru?
mah sampai bersih ke sudut-sudutnya. Mobil juga
di?cuci. Ia sudah terbiasa mencuci mobil Tuan dan
Nyonya. Sesudah selesai di dapur, Nana dan Sukri kembali
menemui yang lainnya. Tapi mereka tertegun karena
pembicaraan Imelda sedang riuh, seputar kue keju
yang semula mau dibawanya untuk Sukri. Kiki, Fani,
dan ibu mereka mendengarkan dengan wajah tertarik.
Sampai Sumarni melirik ke arah Nana dan Sukri dan
mengajak mereka bergabung.
"Aku bilang sama Mama, kata Kiki nggak perlu
dibawain kue karena di sini juga banyak makanan.
Lagi pula Pak Sukri nggak doyan. Jadi biar buat aku
aja, ditaruh di kamar. Kan enak bisa ngemil sambil
nonton teve." "Terus dikasih, nggak?" tanya Nana.
"Nggak. Dibawa pergi tuh. Waktu mereka pada
pergi aku cari di kamar mereka juga nggak ada, di
dapur nggak ada. Kata Bi Entin dimasukin ke dalam
kantong plastik hitam."
"Kenapa kamu nggak dikasih?" tanya Kiki, melirik
Sukri. 493 "Katanya, buat aku nanti dibeliin lagi. Pengin tahu
dia ingat atau nggak."
Imelda tertawa seakan itu hal yang lucu. Sumarni
dan Fani ikut tertawa. Tapi Kiki dan Nana termangu,
sedang Sukri memalingkan muka.
Imelda tak menyadari ada ekspresi yang berbeda.
Ia mengoceh tentang keju di Belanda dan rasanya
yang lezat, tidak seperti di Indonesia, biarpun impor
dari sana. "Setiap datang ke sini, aku pasti bawa oleh-oleh
keju. Tapi biasanya aku juga yang makan sendiri,"
Imelda tertawa lagi. Kali ini tawanya diikuti yang
lain. Memang lucu. Sukri kelihatan berusaha keras untuk ikut tertawa.
Cerita Imelda itu telah membuatnya takut.
"Pak Sukri," Imelda menatap Sukri lurus-lurus,
"mungkin hari ini terakhir aku ketemu Bapak. Besok
aku nggak bisa ke sini. Sabtu juga nggak. Selamat
jalan ya, Pak. Baik-baik di sana, ya. Bapak jadi orang
sukses, ya? Biar Bapak bisa jadi petani yang hebat.
Begitu juga Nana...."
Entah dari mana kelancaran bicara Imelda itu. Ada
dorongan rasa kasihan yang sangat kepada Sukri dan
rasa malu atas perbuatan ibunya. Tiba-tiba air matanya
keluar. Ia menangis. Orang-orang sekitarnya, juga
Nana, tercengang dan terharu. Imelda tampak sangat
berbeda. Sukri juga menangis. "Terima kasih, Non. Saya minta maaf selama kerja
di sana, sudah melakukan kesalahan...."
"Aku juga minta maaf, Pak. Atas kesalahanku,
Isi-Warisan.indd 494 494 Isi-Warisan.indd 495 papaku dan mamaku.... Maaf ya, Pak. Jangan dendam,
ya Pak...." Tiba-tiba Imelda memeluk Sukri, mencapai ping?
gangnya saja. Nana ikut menubruk mereka. Kedua ta?
ngan Sukri merengkuh kedua anak itu. Mereka ber?
tangis-tangisan. Kiki dan Fani mengucek mata mereka.
Juga Sumarni berlinang air mata. Ia sedih, tapi juga
ba?ha?gia untuk ketiga orang itu. Mereka telah ber?
damai. Sukri melepas kedua tangannya lalu berjongkok
supaya dia tidak jauh lebih tinggi.
Tapi Imelda masih belum selesai. Ia merogoh ke
dalam sakunya lalu mengeluarkan sebuah bungkusan
kertas putih. "Pak, ini ada kenang-kenangan dariku untuk Ba?
pak. Aku cuma bisa kasih ini. Terima kasih karena
Bapak dan Nana sudah sangat baik kepada kami, tapi
kami kadang-kadang tidak begitu," kata Imelda dengan
fasih. Sukri menerima barang itu. Lalu membukanya. Se?
mua mata menatap. Sebuah gelang emas!
Nana mengenalinya, karena gelang seperti itu
kadang-kadang dipakai Lala. Tentunya Imelda juga
memiliki yang sama. Semua terkejut. Lebih-lebih Sukri. Tapi ekspresi
ke?terkejutan Sukri berubah menjadi kecemasan. Ia
meng?geleng kuat-kuat. Tangannya tampak gemetar. Ia
membungkus kembali gelang itu seperti semula, lalu
me?letakkannya ke dalam tangan Imelda dan me?
nangkup?kan tangan satunya lagi.
"Jangan, Non Imel. Jangan. Terima kasih tak ter?
495 hingga. Tapi saya nggak boleh menerimanya. Ini
barang pemberian papa dan mama Non Imel. Jangan
dikasih orang lain."
"Tapi kan sudah jadi milikku, Pak. Mau kukasih
siapa terserah aku. Ayo dong, Pak. Buat kenang-kenang?
an. Kalau Bapak melihatnya, Bapak akan ingat aku."
Sukri kembali menggeleng. "Tanpa perlu melihat
apa-apa, Bapak akan tetap ingat. Adanya kan di sini."
Sukri menunjuk dadanya. Imelda menyodorkannya kepada Nana. "Buat
Nana?" katanya berharap.
Nana menggeleng. "Jangan, Mel. Terima kasih ba?
nyak. Terima kasih. Kamu begitu baik. Itu sudah lebih
dari segala barang berharga yang ada di dunia."
Nana terisak, lalu meraih Imelda. Keduanya ber?
pelukan. Banjir air mata.
Terpaksa Imelda memasukkan kembali gelangnya
ke dalam saku. "Selamat jalan sekali lagi, Pak Sukri," katanya
kepada Sukri yang masih berjongkok. Di luar dugaan
Sukri, Imelda mencium pipi Sukri. Begitu terkejutnya
Sukri hingga ia jatuh terduduk.
Orang-orang masih berlinang air mata, juga Nana,
tapi mereka tak tahan untuk tidak tertawa. Sukri se?
gera melompat bangun. Ia tersipu tapi ikut tersenyum.
Aduh, kalau saja Tuan dan Nyonya melihat adegan
itu, pikirnya. "Sekarang kita makan," ajak Sumarni setelah me?
nyusut matanya. "Aku mau pulang aja, Tante. Nggak ikut makan.
Tadi dipesan Mama, jangan lama-lama."
Isi-Warisan.indd 496 496 Isi-Warisan.indd 497 "Oh, mamamu ada di rumah?"
Sukri terkejut dengan kemungkinan itu.
"Belum pulang sih, tapi nanti dilaporin Bi Entin."
"Baiklah. Anterin dulu, Ki."
Dengan diiringi seluruh penghuni rumah, Imelda
beranjak ke jalan. Ia melambaikan tangan, lalu meraih
tangan Kiki. Mereka berjalan berbimbingan tangan.
Orang-orang mengamati sebentar lalu masuk ke dalam.
Mereka harus menunggu kepulangan Kiki dulu untuk
mulai makan bersama. Sukri sudah biasa kembali. Tapi dia terlihat lebih
ceria. "Kenapa tanganmu gemetar tadi, Kri?" tanya
Sumarni ingin tahu. "Saya... saya tadi ketakutan, Bu. Ingat sama Nyo?
nya. Takut Non Imel disuruh Nyonya. Bukan maunya
sendiri." "Oh, maksudmu akal Nyonya mau menjebakmu?"
"Iya. Jadi malu, Bu. Anak begitu polos kok di?
curigai. Nggak nyangka sih."
"Imel sudah berubah sekali, Tante," kata Nana.
"Saya juga heran sekali. Tadinya nggak gitu. Apalagi
waktu dia baru datang."
"Tapi saya pikir dia judes juga karena disuruh Nyo?
nya," kata Sukri. "Makanya tadi juga saya berpikir


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

be?gitu." "Dan soal kue keju itu. Ceritanya polos," kata
Sumarni. "Ngeri juga ya. Anaknya pengin nggak dikasih, ma?
lah diumpetin. Tapi mau dikasih ke kamu." Sumarni
tidak habis pikir. 497 Sukri tidak ingin bercerita perihal ketakutannya
yang dulu sewaktu masih tinggal di rumah Tuan dan
Nyonya. Itu sudah berlalu.
*** "Tadi kamu baik sekali, Mel," puji Kiki.
Imelda tersipu. Gelang emas yang tadi mau
diberikannya kepada Sukri itu dulunya milik Lala, tapi
se?karang jadi miliknya karena diberikan ibunya kepada?
nya. Semua perhiasan Lala sudah diberikan kepadanya.
Miliknya sendiri ada di rumahnya di Holland. Biarpun
demikian itu sudah menjadi miliknya dan ia tidak
sayang memberikannya. Ia ikhlas. Kalau ketahuan
ibunya, tentu dia akan marah sekali. Tapi bila sudah
jadi miliknya, ia mestinya berhak melakukan apa saja,
ter?masuk memberikannya kepada orang lain.
"Sayang dia nggak mau. Padahal maksudku untuk
kenang-kenangan. Habis barang apa yang bisa ku?
berikan? Semuanya ada di rumah sana."
"Pak Sukri itu maksudnya baik. Dia takut kamu
dimarahi mamamu. Jadi lebih baik jangan cari garagara."
"Ah, aku nggak begitu suka sama Mama. Aku
lebih sayang sama Tante yang di Holland. Dia lebih
seperti ibuku. Penginnya aku manggil dia Mama. Tapi
dia bilang jangan. Kalau kupikir-pikir mungkin juga
karena dilarang Mama. Kalau Tante nggak setuju,
bisa-bisa aku diambil kembali. Aku juga heran kok
mereka membiarkan aku dibawa jauh-jauh. Dikasih
Isi-Warisan.indd 498 498 Isi-Warisan.indd 499 orang, maksudku. Padahal aku anak pertama. Kenapa
bukan Lala yang muncul belakangan."
"Apa kautanyakan itu?"
"Ya. Tapi yang kutanya Tante. Bukan Mama. Mana
berani?" "Terus jawabnya apa?"
"Waktu itu Mama sebenarnya belum pengin punya
anak. Sibuk sama kerjaannya. Tau ngapain. Jadi dia
rela aja memberikan aku pada tante. Tapi aku nggak
nyesel kok. Lihat saja nasib Lala. Dia malah mati."
"Ah...," Kiki tersedak.
"Bener, Ki. Aku suka mikir, kalau aku yang di
sini, jangan-jangan aku yang mati."
"Kau mikir begitu?" Kiki heran. Tak menyangka
kalau Imelda yang ceria itu bisa berpikir serius.
"Iya. Tapi aku nggak pernah ngomong sama orang
lain. Sama Tante juga nggak."
"Sekarang Lala sudah nggak ada. Mereka nggak
punya anak lagi. Apakah mereka memintamu untuk
tinggal di sini saja?"
"Papa yang tanya begitu. Mama nggak. Aku bi?
lang, gampang Pa. Bikin anak lagi aja."
Kiki terbahak. "Bagus betul jawabanmu. Terus apa
kata papamu?" "Dia cuma ketawa."
Kiki memegang tangan Imelda lebih erat karena
mereka akan menyeberang. "Wah, Papa lagi di rumah rupanya," kata Imelda,
melihat mobil ayahnya di halaman.
Kiki tersentak. "Kenapa?" 499 "Aku nggak mau kelihatan. Entar dipanggilpanggil."
Imelda tertawa. "Ayo, kita jalannya menyusur di
ping?gir sana aja, Ki."
Dekat pintu gerbang, di bagian sampingnya yang
ter?tutup pepohonan, mereka berhenti. Sebenarnya bu?
kan hanya Imelda yang segan berpisah, tapi Kiki juga.
Setelah melihat adegan mengharukan di rumahnya
tadi, Kiki semakin tertarik kepada Imelda.
"Nanti cerita tentang pengalamanmu di Sukabumi,
Ki." "Tentu saja. Aku akan meneleponmu."
Mereka berpandangan sejenak. Mata Imelda masih
tampak basah dan pipinya kemerahan karena menangis
tadi. Semakin cantik. Dia adalah Imelda. Bukan Lala.
Tapi bagi Kiki, tetap saja ada bayang-bayang Lala da?
lam diri Imelda. Isi-Warisan.indd 500 500 Isi-Warisan.indd 501 UDIMAN ikut terheran-heran waktu diceritakan
perihal kelakuan Imelda siang tadi.
"Wah, sayang sekali aku nggak ikut menyaksikan.
Anak itu bisa begitu, ya? Dia nggak pura-pura, kan?"
"Nggak mungkin, Pa," kata Kiki pasti.
"Ya, kelihatannya tulus sekali," Sumarni membenar?
kan. "Kita semua nangis lho, Pa. Terharu sekali."
"Non Imel itu seperti malaikat," kata Sukri.
"Tapi memang mengherankan perubahan itu," kata
Nana. "Apa bisa orang berubah mendadak seperti itu,
Om?" Budiman termangu. Tentu saja ia tidak tahu jawab?
annya. Menyelami hati orang itu sulit biarpun dia
masih kecil. Nana memang masih penasaran. Ia sudah men?
diskusi?kannya dengan Kiki tanpa bisa memperoleh
jawabannya. Kiki percaya akan ketulusan Imelda dan
menganggap hal itu tidak perlu dipertanyakan lagi.
501 Sementara Nana juga percaya akan ketulusan Imelda
karena sikapnya yang begitu polos, tapi ia merasa hal
itu tak mungkin terjadi begitu saja.
"Mungkin ia juga punya hati yang baik, Na.
Selama ini ia tahu kalian selalu dijahati. Lalu tak lama
lagi kalian akan pergi jauh. Bukankah sebelumnya ia
sudah membantu juga?" Kiki mengingatkan.
Nana membenarkan. Tapi merasa belum juga puas.
Sedang ayahnya juga tak punya pemikiran apa-apa. Ia
terguncang oleh perlakuan Imelda hingga tak lagi bisa
berpikir apa-apa. "Sudahlah, Na. Nggak usah heran. Kita terima saja
sebagai rahmat." "Mungkin lama-lama ia merasa sendiri bahwa
perbuatan orangtuanya sudah keterlaluan," Budiman
menyimpulkan. "Dan jangan lupa ia sudah berkawan
dengan kalian. Anak-anak kan suka memihak, biarpun
harus bertentangan dengan orangtuanya sendiri."
Mungkin benar seperti itu, pikir Nana. Padahal
dulu semasa Lala masih hidup, Imelda sering bertolak
belakang dari Lala. Orang lain tak ada yang tahu
sebanyak dirinya. Imelda yang biasanya sombong dan
judes itu tiba-tiba jadi begitu baik. Bahkan Sukri
diciumnya dan dirinya dipeluk begitu erat. Perubahan
yang begitu mendadak itu benar-benar mencengangkan.
Tapi... mungkin juga Kiki benar. Perubahan sebenarnya
sudah ada, tapi tidak begitu mencolok. Imelda sudah
beberapa kali mau membantu.
Lalu sebuah pikiran melintas di benak Nana. Ada
kesimpulan yang muncul. Imelda melakukan itu untuk
merebut hati Kiki! Isi-Warisan.indd 502 502 Isi-Warisan.indd 503 Hasilnya memang jelas terlihat. Kiki jadi sangat
mengagumi Imelda. Nana semakin disadarkan, ia
bukan apa-apa dibandingkan Imelda. Tapi ia rela kalau
Imelda memang menjadi sebaik itu. Ia sendiri begitu
tersentuh ketika berpelukan tadi. Sampai ia hampir
yakin bahwa yang dipeluknya itu adalah Lala, bukan
Imelda. Kiki sangat beruntung. Asal saja Imelda tidak
langsung melupakannya kalau ia nanti pulang ke
Belanda. Kasihan Kiki nanti.
Setelah hasil ujian nanti ia pun akan pergi. Jadi tak
ada gunanya memiliki harapan terlalu muluk. Pada
saat itu Nana jadi sangat disadarkan bahwa dirinya
masih kecil. Padahal ada saat ketika ia merasa sudah
dewasa dengan pemikiran yang matang. Ia masih
kecil, jadi seharusnya fokus ke sekolah saja. Tak boleh
ada yang namanya cinta biarpun kata orang itu adalah
cinta monyet. Cinta yang kelak akan lenyap sendiri.
Tapi bagi Nana, apa pun perasaan yang bersemi di
hatinya itu adalah sesuatu yang indah, memberikan
kebahagiaan tak terkira. Ia yakin perasaan itu tak akan
lenyap begitu saja seiring dengan waktu. Mungkin
hanya berbeda saja, tapi tidak akan hilang.
Malam itu Nana melepaskan Kiki dari hatinya.
Bagai layang-layang yang sedang melayang tinggi lalu
sengaja dipotong talinya. Ia menangis diam-diam
ketika Fani sudah lelap tertidur.
Sementara itu di kamar sebelahnya Sukri dan Kiki
belum tidur. Mereka masih membicarakan kejadian
dengan Imelda tadi siang. Biarpun mengulang-ulang
kata sama, rasanya tak bosan-bosan.
"Gimana rasanya dicium tadi, Pak?"
503 "Waduh, selangit, Ki. Bener-bener nggak nyangka.
Mimpi juga nggak tuh."
"Sampai terjatuh-jatuh. Hahaha..." Kiki meredam
tawanya, takut mengganggu orang lain.
"Pokoknya muka Bapak itu lucu banget."
"Coba Kiki yang dicium...."
"Lalu sekarang rasanya gimana, Pak?"
"Tentu saja masih senang. Bayangkan, Non Imel
sampai minta maaf untuk orangtuanya. Duh, luar biasa
sekali." "Kalau orangtuanya tahu, pasti mereka nggak rela
ya, Pak?" "Kayaknya begitu. Kenapa mereka sendiri nggak
minta maaf? Kan aneh. Jadi Bapak berpikir, nggak
mungkin Non Imel disuruh. Dan kalau Non Imel itu
masih yang dulu, yang sombong itu, dia juga nggak
bakalan mau disuruh seperti itu."
"Betul sekali, Pak. Aku juga mikir begitu. Barang?
kali nanti kalau Bapak dan Nana sudah pergi dan aku
masih sempat ketemu dia, akan kutanyakan. Sepertinya
dia masih ada di sini pada saat ujian sudah selesai."
"Ah, buat apa ditanya-tanya, Ki. Kalau orang ber?
buat sesuatu masa ditanya kenapa. Lho, dia maunya
begitu. Biar saja. Itu kan dorongan hati, Ki."
"Tadinya aku pengin tanya, kenapa kamu tiba-tiba
berubah begitu, Mel? Tadinya kamu nggak suka sama
Pak Sukri dan Nana, kok sekarang jadi perhatian dan
sayang?" "Ah, jangan ditanya begitu, Ki. Kalau orang ber?
buat baik tentu karena hatinya baik. Nggak mungkin
ada maksud lain. Non Imel itu kan nggak punya
Isi-Warisan.indd 504 504 Isi-Warisan.indd 505 maksud jelek sama Bapak dan Nana. Buat apa? Bah?
kan disuruh bawain kue lalu ditolak juga dia nggak
maksa. Malah mau dimakan sendiri. Itu pasti karena
dia nggak punya persangkaan jelek sama mamanya.
Nggak seperti Bapak. Berarti dia juga nggak tahu apaapa tentang perbuatan mamanya. Atau papanya."
Kiki mengangguk-angguk. Ia menganggap pemikir?
an Sukri itu bagus. Dan semakin membuat ia me?
ngagumi Imelda. "Tahu nggak, Pak. Nana kelihatan penasaran benar.
Dia nggak seperti kita yang menganggap perbuatan
Imel itu memang karena dia baik. Dia tetap berpikir
tentang udang di balik batu, Pak."
"Apa itu?" Kiki tertawa. "Maksudnya, orang yang berbuat se?
suatu karena ada maunya."
"Ya, banyak orang memang seperti itu. Tapi kalau
Non Imel pasti nggak. Dia masih kecil, nggak seperti
orang dewasa yang banyak akalnya."
"Sepertinya Imel juga bukan anak kecil lagi, Pak.
Aku dan Nana juga." "Ya, ya. Tentu saja. Tapi kan tetap aja beda."
"Pak, aku pengin ngomong lagi tentang basement
itu. Mumpung Bapak masih di sini. Kita sama-sama
menyimpan rahasia yang sama. Tahu sama tahu, ya."
"Mau ngomong apa, Ki?"
"Nggak apa-apalah kita ngomong sekarang, ya Pak.
Toh nanti Bapak juga nggak punya hubungan apa-apa
lagi sama rumah Tuan dan Nyonya. Selamat tinggal
sama mereka. Tentu rahasia Tuan itu bisa tetap Bapak
pegang. Aku cuma menebak saja, bukan dikasih tahu
505 sama Bapak. Aku yakin, peti itu dikubur di bawah
lantai. Kalau isinya bukan sesuatu yang menakutkan,
mustahil sampai dikubur. Biarpun isinya barang atau
surat rahasia yang nggak boleh diketahui orang lain,
kenapa nggak dibakar saja? Kok sampai pakai buang
tenaga segala untuk menggali lubang. Kalau di filmfilm, Pak, yang dikubur adalah mayat."
"Ih, serem ah, Ki," potong Sukri, membayangkan
dirinya melakukan hal itu.
"Itu kan cuma bayangan aja, Pak. Biarpun Bapak
memang bener-bener ngubur mayat, hehehe... bercanda
aja kok, kan Bapak nggak tahu isinya apa. Bapak
cuma disuruh."

Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi Sukri menatap Kiki dengan wajah horor hing?
ga Kiki merasa kasihan. Ia menyesal telah berbicara
sesuatu yang mengerikan dan membuat Sukri merasa
tak nyaman. "Maaf ya, Pak. Udah jangan dipikir lagi. Aku se?
benar?nya pengin ngomong soal hubungannya sama
Imel. Aku pikir kayaknya dia juga punya perhatian
sama basement itu, ya. Buktinya dia sampai maksa
Bapak membuka pintu tutupnya karena pengin lihat."
"Ya, kayaknya begitu. Bapak juga heran kenapa
dia ngotot amat. Kenapa, ya?"
"Aku pikir dia sebenarnya nggak percaya sama
cerita tentang hantu yang dikatakan Tuan. Jadi dia
pengin membuktikan. Ternyata petinya udah nggak
ada. Dia nggak tahu mesti tanya sama siapa."
"Dia mancing-mancing sih, tapi Bapak tentu saja
nggak bilang apa-apa. Lantas sekarang gimana?" tanya
Sukri, bingung ke mana arah pembicaraan Kiki.
Isi-Warisan.indd 506 506 Isi-Warisan.indd 507 "Nanti kalau Bapak udah pergi, aku mau ngomong?
in soal itu." Sukri terkejut. "Duh, jangan, Ki. Nanti kalau dia
tanya ke papanya, gimana? Mending jangan diungkitungkit. Udah biarin aja."
Kiki melihat ketakutan di wajah Sukri. Ia menyesal
telah membicarakan hal itu.
"Kan nanti Bapak udah pergi."
Sukri bersikap sangat serius. "Ki, biarpun Bapak
sama Nana udah pergi dari sini, tapi kamu sama
keluarga kan tetap di sini? Mereka tahu rumahmu."
Kiki duduk tegak sekarang. "Kan nggak ada
hubung?annya sama aku dan keluarga, Pak. Kenapa?"
"Jaga diri aja, Ki. Jangan bangunin macan tidur.
Kamu tahu, nggak? Dia pernah mengancam Bapak
kalau berani melanggar janji. Kalau nanti Imel kelepas?
an ngomong, dia bisa curiga sama kamu. Dipikirnya
Bapak cerita-cerita sama kamu. Bapak memang nggak
ada di sini lagi, tapi dia bisa ganti mengincar kamu,
Ki. Jangan main-main sama orang seperti itu, Ki. Dia
berbahaya." Yang terpikir oleh Kiki adalah masalah lain. "Wah,
jadi dia pernah mengancam Bapak? Sampai seperti
itu? Kalau gitu, bener ada sesuatu yang mengerikan di
situ." "Duh, Ki. Serius dong. Ini bukan main-main. Wah,
mending kita cerita aja sama Pak Budi, ya? Supaya
dia juga hati-hati."
Sekarang Kiki terkejut. Ayahnya tidak tahu sampai
sebanyak itu. 507 "Jangan, Pak. Kan cuma kita berdua yang tahu.
Ja?ngan melibatkan Papa."
"Jangan libatkan Non Imel juga dong."
"Iya deh. Iya. Sudah, Pak. Jangan khawatir. Tadi
kan kita cuma ngobrol. Mumpung Bapak masih di
sini. Kalau Bapak udah nggak ada, aku ngobrol sama
siapa? Orang lain nggak ada yang tahu."
"Sukabumi itu nggak jauh, Ki."
"Nggak jauh apaan? Jalan kaki bisa?"
Mereka tertawa. "Jadi bener ya, Ki? Jangan ngomongin soal
basement lagi sama Non Imel."
"Kalau dia duluan yang ngomong?"
"Pura-pura aja nggak tahu."
"Baik, Pak." "Ayolah tidur. Besok bisa kesiangan, Ki."
Sukri punya beban baru. Selama ini ia terus meng?
hitung waktu, kapan saatnya pergi. Tapi ia tak ingin,
sungguh tak ingin, kepergiannya membawa masalah
bagi keluarga yang sudah menolongnya. Terutama bagi
Kiki. *** Kiki bercerita kepada Sukri, kalau nanti lulus ia akan
dibelikan laptop oleh ayahnya. Sukri sudah memahami
arti komputer dan kegunaannya. Ia suka mengamati
Budiman bila sedang bekerja di balik komputernya.
Dan Budiman juga tak keberatan memberitahu caracara penggunaannya dan apa saja manfaat yang bisa
diperoleh. Meskipun Sukri tahu ia tak mungkin bisa
Isi-Warisan.indd 508 508 Isi-Warisan.indd 509 menggunakan karena memang tidak memiliki dan tak
ada keperluannya dengan benda itu, tapi ia merasa
ter?tarik. Sukri mendapat ide yang dirasanya amat pantas. Ia
juga ingin membelikan Nana dan itu tidak harus me?
nunggu sampai ia lulus. Lebih cepat lebih baik karena
bisa memanfaatkan waktu selama ia masih tinggal di
situ. Jadi bisa minta diajari oleh Budiman. Ia pun bisa
belajar bersama Kiki. Mula-mula ia mengatakannya kepada Nana. Tentu
saja Nana terkejut tapi senang.
"Duitnya, Pak?"
"Kan tempo hari dapat lima juta dari Tuan. Nanti
kutanyakan kepada Pak Budi. Kalau kurang aku masih
punya tabungan. Nanti bisa ngumpulin duit lagi, Na.
Ja?ngan khawatir. Yang penting kamu bisa jadi pin?
tar." Budiman menyambut dengan baik. "Aku kira, lima
juta cukup, Kri. Apa kau pengin belinya sekarang-se?
karang, sebelum hari Sabtu?"
"Nggak perlu sekarang, Pak. Nanti waktunya
nggak ada. Bapak kan kerja."
"Gampang. Aku bisa pergi meninggalkan kantor
sebentar. Besok?" Dengan bersemangat Sukri mengambil uang lima
juta pemberian Tuan yang masih utuh dan belum sem?pat
disetor ke bank lalu diberikannya kepada Budiman.
Tentu saja Kiki menjadi iri dan ingin juga men?
dapat?kannya lebih cepat. Sebulan dua bulan akan te?
rasa lebih lama bila barang itu sudah kelihatan di de?
pan mata. Nana sudah punya, dia belum.
509 "Beli sekalian aja buatku, Pa. Jadi Papa sekalian
jalan. Jangan khawatir, aku pasti lulus."
Budiman tertawa. "Bukan masalah khawatir kamu
nggak lulus. Tapi kalau besok terlalu cepat. Duitnya
be?lum ada. Bonus dari kantor sebulan lagi. Aku nggak
mau pinjam-pinjam. Toh kamu juga nggak perlu se?
karang." "Begini aja, Ki," Nana menengahi. "Nanti kita pa?
kai?nya berdua. Kita belajarnya berdua. Sama-sama
be?lum ngerti, kan. Jadi Om Budi juga nggak capek
ngajarin satu-satu. Pada saatnya kamu punya sendiri,
kamu udah lancar." Kiki merasa senang dengan usul itu. Juga Budiman
dan Sukri. Tadinya Sukri sempat merasa tidak enak
ka?rena telah membuat Kiki menjadi iri. Sebenarnya ia
yakin Nana akan mau berbagi dengan Kiki, tapi ia
tahu Nana sedang kesal karena Kiki semakin dekat
dengan Imelda. Memang Nana tak pernah curhat soal
itu, tapi ia bisa menduga.
"Fani juga bisa belajar sama-sama," kata Nana,
me?nyadari pandang Fani. Fani mengangguk senang. Besok sudah merupakan hari terakhir bagi Sukri,
karena esoknya lagi adalah Sabtu. Ia sudah siap ber?
kemas, tinggal angkut saja. Majalah pemberian
Budiman pun dibawa serta.
Ia senang bahwa Imelda tidak muncul lagi sampai
hari kepergiannya. Itu lebih baik. Meskipun anak itu
sudah baik kepadanya, tapi tetap saja ada bayangbayang orangtuanya yang menakutkan.
Kiki tidak menyadari perasaan Sukri. Di depannya
Isi-Warisan.indd 510 510 Isi-Warisan.indd 511 ia menelepon Imelda untuk menanyakan apakah
Imelda di hari terakhir tidak mau datang lagi. Sukri
sampai bengong sejenak mendengarkan.
"Oh, aku mau ikut Papa dan Mama ke Puncak.
Ber?akhir pekan di sana, Ki. Nggak usah perpisahan
lagi. Kan tempo hari udah," kata Imelda di telepon.
Sukri bisa mendengar suara Imelda karena posisi?
nya yang berdekatan di kamar Kiki. Wajahnya segera
Pesan Misterius Di Water 1 Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Dendam Mahesa Lanang 3

Cari Blog Ini