Ceritasilat Novel Online

Warisan Masa Silam 8

Warisan Masa Silam Karya V. Lestari Bagian 8


ngan agresif ia mengulurkan kedua tangannya untuk
me?meluk Kiki lalu mendekatkan mukanya. Kiki tak
bisa menghindar lagi. Tepatnya dialah yang dicium
Imelda. Mulanya hanya bibir mereka yang beradu.
Lalu Kiki merasa bibir Imelda semakin merapat dan
me?lekat. Ia merasa terkejut-kejut oleh aliran sensasi
Isi-Warisan.indd 598 598 Isi-Warisan.indd 599 yang seolah menyetrumnya. Tapi ternyata ia juga me?
nyukainya! Imelda melepasnya. Kiki mengulum bibirnya se?
jenak. "Bagaimana?" tanya Imelda.
Kiki tersipu. "Pertama kali, kan?"
"Ya." "Aku senang jadi orang yang pertama buatmu."
Kiki tidak berani menanyakan apakah itu cium yang
pertama juga buat Imelda. Ia merasa tidak yakin.
"Apa kau suka, Ki?"
"Ya," Kiki berterus terang.
"Kau mau lagi? Jangan malu-malu. Nggak ada saat
lain lagi." Tiba-tiba Kiki merengkuh Imelda, lalu mencium?
nya. Lebih lama daripada tadi. Sampai keduanya ham?
pir kehabisan napas. Tapi keduanya memang harus saling melepaskan
diri karena ponsel Imelda di atas meja berbunyi nya?
ring. Telepon dari mamanya.
"Mel, tadi papamu pergi. Aku nggak tahu ke mana.
Jangan-jangan dia pulang. Kalau Kiki ada di sana,
suruh cepat pulang saja."
Suara Linda kedengaran panik dan senewen. Imelda
tidak mengerti kenapa ibunya berulah seperti itu.
"Katanya Papa kemungkinan pulang."
"Apa?" Kiki terlompat. "Kalau begitu aku harus
se?gera pulang, ya Mel."
Mereka berdiri. Imelda tidak sempat protes. Kiki
su?dah memeluknya dan menciumnya dengan ringan.
599 "Terima kasih ya, Mel. Selamat jalan dan jangan
lupa?kan aku." Perpisahan yang mendadak itu membuat keduanya
agak linglung sejenak. Tapi mereka terus berjalan ke
pintu. "Daaag Mel..." "Daaag Ki..." Kiki berjalan cepat-cepat. Ketika menoleh, ia tak lagi
melihat Imelda. Ia bersyukur tak berpapasan de?ngan
papanya Imelda. Kalau sampai dipanggil misal?nya, akan
sulit juga baginya untuk tidak memeduli?kan.
"Hei, lebih cepat dari kemarin, Ki," Sumarni me?
nyambut. "Iya, papanya mungkin pulang."
"Kok tahu?" "Dikabarin sama mamanya."
"Oh ya?" "Iya. Ma, aku tidur sebentar saja, ya. Satu jam
saja. Habis mandi baru belajar."
"Baik. Nanti Mama bangunin."
Nana hanya memandang saja. Kiki tidak menoleh
ke?padanya. Nana sudah mulai membuka bukunya. Nan?
ti sore dia akan membantu Sumarni memasak untuk
makan malam. Jadi ia harus memanfaatkan waktu
yang kosong. Setelah makan malam dan mengobrol
ber?sama sebentar, masih ada waktu sedikit untuk be?
lajar lagi sebelum tidur.
Di kamarnya Kiki rebah di tempat tidur, tapi bu?kan?
nya tidur. Ia sedang mengenang kejadian tadi ber?sama
Imelda. Sambil mengenang itu ia merabai bibir?nya. Dan
membayangkan pelukan yang erat bagai me?nyatu. Untuk
Isi-Warisan.indd 600 600 Isi-Warisan.indd 601 pertama kali ia merasa terangsang. Aduh, berapa umur?
ku? "Dua belas tahun!" katanya keras-keras.
Tidakkah itu memalukan? Tapi... begitu menyenang?
kan! Pada saat perasaannya seolah melayang-layang ia
ter?ingat kepada Nana yang tadi tengah tekun belajar.
Ingat?an ini melecutnya. Jangan sampai Nana mengalah?
kan?nya! Ia melompat bangun lalu keluar setelah menyambar
bukunya. Matematika harus lebih dulu. Hafalan bisa
be?lakangan. Masalah hafalan bisa diatasinya dengan
mu?dah. Tapi untuk matematika ia perlu bekerja sama
de?ngan Nana. Barangkali Nana sudah berhasil me?
ngerja?kan banyak soal. Nana mengangkat kepala sejenak, menatap Kiki
lalu meneruskan pekerjaannya tanpa berbicara. Tadi ia
ke?sal karena tidak ditegur oleh Kiki yang melewatinya
seolah ia tidak ada. "Banyak soal yang kaudapat, Na?" tanya Kiki,
yang mengambil tempat di depan Nana.
"Nih. Ini yang berhasil kupecahkan. Coba kau bi?
kin sendiri. Nanti kita cocokkan hasilnya."
Nana menyerahkan soal-soal yang sudah disiapkan?
nya untuk Kiki. Kemudian mereka bekerja dengan
diam. Tapi diam-diam Nana sesekali melirik kepada
Kiki. Ia merasakan sesuatu yang berbeda. Kiki sering
sekali mengulum bibirnya, seolah habis makan sesuatu
yang masih melekat di bibir. Nana merasa geli ketika
membayangkan sesuatu. Itu membuatnya tersenyumsenyum.
601 Lama-lama Kiki menyadari hal itu.
"Kenapa sih kamu senyum-senyum terus?" ia ber?
tanya. "Mau tahu?" tanya Nana tanpa mengangkat ke?
pala. "Mau dong." "Ah, nanti kamu marah. Aku nggak mau bikin kau
marah." "Kenapa mesti marah? Masa orang marah tanpa
sebab." "Nggak ah." "Ayo, Na. Jangan bikin aku penasaran."
Pembicaraan itu diucapkan dengan bisik-bisik. Fani
duduk tak jauh dari mereka. Dan Sumarni kadangkadang bolak-balik.
"Janji nggak marah?"
"Ya. Janji." Nana menulis di secarik kertas lalu menyodor?kan?
nya kepada Kiki yang segera menyambarnya. Ia ter?
kejut ketika membacanya. Habis ciuman sama Imel,
ya? Sontak wajahnya memerah. Kertas itu diremasnya
lalu dimasukkannya ke dalam sakunya. Jangan sampai
ada yang menemukan. Nana menatapnya sejenak lalu buru-buru menunduk
lagi. Mukanya merah. Hihihi, benar dugaanku! Tapi
ia tak lagi tersenyum, khawatir Kiki marah. Ia juga
me?nyimpan gemuruh perasaannya sendiri. Kiki benarbenar menyukai Imelda. Kalau tidak, mustahil sampai
mau berciuman. Tapi pastinya Imelda juga yang me?
rayu?nya. Ia masih ingat cerita Imelda tentang temanteman cowoknya di Belanda. Bagi Imelda, berciuman
Isi-Warisan.indd 602 602 Isi-Warisan.indd 603 bukan sesuatu yang baru. Tapi, bagi Kiki pasti luar
biasa. Di samping menyimpan rasa geli, ia juga sedih.
Tapi kesedihan itu cuma melintas sebentar saja. Apa?
lah dirinya dibanding dengan Imelda. Seperti bumi
de?ngan langit. Lalu rasa khawatir menguasainya. Bu?
kan kalau-kalau Kiki marah padanya, tapi apa akibat
perpisahan dengan Imelda itu bagi Kiki. Kalau Kiki
bisa mengatasinya, tentu tak masalah. Sejak dia pergi
ber?sama Imelda untuk berduaan saja di rumahnya,
Kiki jadi banyak melamun.
Kiki mengamati Nana yang terlihat menunduk le?
bih dalam bahkan menopang dahinya dengan tangan.
"Kenapa kau menduga seperti itu, Na?"
"Nebak aja." "Tapi kenapa?" "Sikapmu." "Ada apa dengan sikapku?"
Nana berpikir. Ia tahu, Kiki akan terus mengejarnya
dengan pertanyaan itu sebelum mendapatkan jawaban.
Tapi memberitahu yang sebenarnya akan kedengaran
seperti lelucon yang mengejek.
"Imel kan orangnya bebas. Dia seperti bule saja.
Mereka suka sekali berciuman," kata Nana akhirnya.
Kiki memikirkan ucapan itu.
"Lantas sikapku kenapa?"
"Kau jadi suka melamun. Belajar kelihatan nggak
konsen." "Kau sendiri kadang-kadang suka melamun juga.
Apa salahnya?" 603 "Tentu aja nggak salah. Tapi ada waktunya dong.
Melamun jangan di tengah belajar."
Kiki terdiam. Ia menyadari kebenaran ucapan
Nana. "Ya sudah. Aku akan berusaha nggak melamun
lagi," katanya. "Bagus. Yang penting ngerjain yang di depan mata.
Nantilah kalau mau melamun, misalnya kalau mau
tidur atau sedang di WC...."
Kiki tertawa keras tak bisa ditahan. Sumarni dan
Fani menoleh. Nana juga terkejut, tak menyangka.
"Ada apa sih?" tanya Sumarni.
"Ya. Ada apa?" tanya Fani. "Lagi asik-asik belajar,
tiba-tiba ketawa. Ingat sama Imel, ya?"
"Ingat sama yang lucu aja," kata Kiki. "Tapi jangan
nanya. Mau ngobrol ada waktunya. Sekarang belajar."
Fani tak bisa mendesak lagi. Nana juga diam saja,
ber?usaha untuk tidak tertawa. Tapi ia senang karena
Kiki tidak marah atau menuduhnya ikut campur de?
ngan urusan pribadi. Ia juga senang karena besok
Imelda pergi hingga Kiki bisa lebih konsentrasi lagi.
Ketika sibuk di dapur, Sumarni bertanya perihal
penyebab tawa Kiki yang seolah tanpa ujung-pangkal
itu. Nana yang semula bermaksud mendiamkan saja
masalah itu, terpaksa menceritakan dengan pesan agar
Kiki tidak ditanyakan lagi.
Sumarni mengangguk, mengagumi dan menyetujui
tindakan Nana. "Bagus sekali, Na. Kau benar-benar setia kawan.
Mudah-mudahan dia cepat bisa mengatasi rasa ke?
hilangannya akan Imel."
Isi-Warisan.indd 604 604 Isi-Warisan.indd 605 Nana merasa bangga. Baginya, Kiki lebih dari se?
orang sahabat meskipun Kiki mungkin menganggapnya
berbeda. Kemudian Sumarni menceritakannya pula kepada
Budiman. Mereka tertawa bersama.
"Hebat si Kiki. Umur dua belas sudah berciuman.
Prestasi, ya?" kata Budiman.
"Prestasi apaan? Itu namanya matang dipaksa."
"Imel lebih tua setahun. Anak perempuan lebih
cepat dewasa. Apalagi dia dibesarkan di negeri Barat
yang pergaulannya bebas."
"Ibunya juga yang menganjurkan. Mungkin kasihan
karena Imel sedih akan berpisah."
"Tapi si ibu mau juga berpikir untuk keselamatan
Kiki, karena cepat memberitahu sebelum suaminya
pu?lang." "Jadi dia tahu dong kalau suaminya itu pedofil."
"Berarti sangkaan kita juga benar. Jadi kita nggak
sem?barang berburuk sangka."
"Duh, Pa. Bagaimana rasanya punya suami seperti
itu?" "Ya, biar sajalah. Tiap orang ada saja keburukan?nya.
Kita jalani yang baik-baik saja dalam hidup kita."
"Untunglah si Imel besok pergi. Jadi si Kiki nggak
kelamaan dipengaruhi. Untung juga ada Nana. Dia
bilang, gampang kalau mau membangkitkan semangat
Kiki. Bilang aja sama dia, nanti kamu bisa dikalahkan
Nana." Budiman tertawa. "Gitu, ya? Kita harus berterima
kasih pada Nana." "Kita akan kehilangan dia kalau dia pergi."
605 "Betul sekali. Tapi mau bagaimana lagi? Ada saat?
nya untuk berpisah. Dia pergi dari kita untuk bertemu
dengan ayahnya. Kita harus ikut gembira."
Diam-diam mereka mengamati kedua anak yang
sedang belajar bersama itu. Nana punya motivasi yang
kuat hingga semangatnya menggebu. Mungkin satu
buku bisa dilahapnya habis dalam waktu singkat. Kiki
juga punya motivasi, tapi tidak sampai sekuat Nana.
Tentu dia ingin lulus dengan hasil yang baik, tapi
moti?vasinya tak ingin dikalahkan Nana. Sedang Nana
me?motivasi dirinya demi masa depan.
*** Sepulangnya dari makan malam bersama Imelda,
Linda berkata kepada David, "Imel masih saja ber?
sikap dingin kepadaku, Pa."


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sabarlah. Dia membutuhkan waktu. Kejadiannya
belum lama. Tak mungkin dalam waktu singkat dia
bisa melupakan. Tahun depan kalau dia kembali, dia
sudah lupa sama sekali."
Sebenarnya David tidak begitu yakin. Dicekik de?
ngan beringas oleh ibu sendiri tak mungkin bisa ter?
lupakan, mungkin sampai kapan pun.
"Tahun depan?" Linda memijit-mijit keningnya.
"Kenapa? Dari tadi kulihat kau begitu terus."
"Sakit kepala ini kambuh."
"Makan obat." "Tadi sudah." "Makan lagi." Linda mengambil obatnya, pil penyembuh sakit
Isi-Warisan.indd 606 606 Isi-Warisan.indd 607 kepala yang katanya manjur. Keseringan memakannya
membuat kemanjurannya jadi berkurang. Ia tahu hal
itu, tapi merasa tak tahan.
"Besok sesudah mengantarkan Imel, kita ke dokter,
Ma." "Pergi ke dokter malah dapat penyakit."
"Ah, masa? Kenapa bisa begitu?"
"Tadinya nggak apa-apa, malah jadi ada apa-apa.
Gara-gara salah obat, salah diagnosa...."
"Dokter kan nggak sembarang menebak, Ma. Tapi
berdasarkan tes dan pemeriksaan dengan alat-alat."
"Aku cuma stres."
"Itu namanya mendiagnosa sendiri."
"Sudahlah, lihat besok saja. Aku mau tiduran dulu.
Kau pergilah bicara dengan Imel. Bujuk dia dong.
Jangan main sama si Didin melulu."
Ucapan itu dikeluarkan Linda tanpa sikap ketusnya
yang biasa hingga David merasa janggal.
Malam itu ia tidak memanggil Didin seperti biasa?
nya. Ia ke kamar Imelda dan mengetuk pintunya.
"Papa, Mel!" "Ya, masuk!" Imelda sedang menonton film animasi kesukaan?
nya. "Hai, Mel. Tadi bebeknya enak?"
"Enak. Tapi kasihan bebeknya."
"Kalau kasihan sana-sini nanti nggak bisa makan
apa-apa." "Bisa aja. Tante vegetarian."
"Pantas dia kurus kering."
"Ah, nggak kok. Dia bukan kurus tapi langsing."
607 "Ya, gimanalah. Mama lagi tiduran tuh. Sakit ke?
pala." "Marah melulu sih."
"Katanya dia stres. Mama sedih dan nyesel karena
nyakitin kamu. Mama juga takut kamu terus marah
dan benci padanya." "Ya. Aku tahu Mama berusaha baik-baikin aku.
Tapi susah juga Pa melupakannya. Waktu itu tampang?
nya kayak... kayak orang gila."
"Hus! Jangan ngomong begitu, Mel. Mama se?benar?
nya sayang sama kamu."
"Kalau sayang kenapa bisa begitu? Mama seperti
mau membunuhku." "Dia lupa diri, Mel. Kamu mau memaafkannya,
kan?" "Maaf sih gampang, Pa. Tapi melupakan yang su?
sah." "Mama sudah berusaha keras, Mel."
"Aku tahu." "Katanya, si Kiki beberapa hari ini main ke sini
terus, ya?" "Siapa yang cerita? Mama atau si Didin."
"Sebenarnya nggak ada yang cerita. Tadi kebetulan
pengin pulang sebentar. Pas pulang si Didin bilang,
Kiki baru aja pergi. Terus Papa tanya. Dia bilang
bahwa sudah beberapa hari Kiki main ke sini. Tapi
kamu jangan marah sama Didin. Papa yang tanya kok.
Dia sama sekali nggak ngomong apa-apa."
Imelda yakin ayahnya hanya ingin melindungi
Didin. Tapi ia tak mau marah kepada Didin karena
se?mua?nya sudah berlalu. Esok takkan ada Kiki lagi.
Isi-Warisan.indd 608 608 Isi-Warisan.indd 609 "Menyenangkan dong, ya? Sayang Papa nggak bisa
ikutan. Kiki orangnya simpatik, bukan?"
"Memangnya Papa ikutan mau ngapain?"
David tidak menjawab. Ia hanya tertawa. Sebenar?
nya Didin sudah bercerita sejak hari pertama, tapi ia
menahan diri untuk tidak mengganggu. Tapi hari itu,
hari terakhir, ia tidak tahan ingin melihat dan bertemu
Kiki. Sayang anak itu sudah pergi.
"Cepat sekali dia pergi tadi."
"Dia mau belajar. Besok ulangan umum."
"Oh gitu. Sekarang kau mau ngapain? Mau nonton
saja? Nggak tidur?" "Nonton dulu. Baru tidur."
"Baik. Jangan marah lagi sama Mama, ya?"
Sesudah berkata begitu, David mencium dahi
Imelda. Ia keluar diikuti tatapan Imelda. Aku tahu,
Papa ke sini pasti disuruh Mama. Biarpun Mama su?
dah baik-baik, mengizinkan Kiki main ke sini, tapi aku
nggak bisa melupakan. Nggak akan! Besok aku pu?
lang. Tapi aku sudah menyiapkan kejutan untuknya.
609 USAI mengantarkan Imelda ke bandara dan melihat?
nya memasuki pesawat, David dan Linda pulang ke
rumah lebih dulu. Dalam perjalanan Linda tampak
gem?bira. "Imel kelihatan ceria, ya?" kata Linda.
"Dia sudah baik sama kamu?"
"Kayaknya sih baik. Aku mencium dia lalu dia
juga balas mencium."
"Syukurlah. Aku ikut senang."
"Aku pikir, bulan depan kita jenguk dia ya, Pa?"
"Bulan depan? Jangan terlalu cepat dong, Ma."
David jadi bertanya-tanya dalam hati, kenapa se?
karang Linda jadi kelihatan sayang kepada Imelda.
Padahal sebelumnya tidak seperti itu. Apakah sematamata karena penyesalan?
"Ya, kapan-kapanlah. Secepat kita bisa."
"Baik." Menjelang tiba di rumah, Linda kembali memijit
keningnya. Isi-Warisan.indd 610 610 Isi-Warisan.indd 611 "Sakit lagi? Aku bikin perjanjian dengan dokter,
ya?" "Dokter apa?" "Nanti aku tanyakan ke rumah sakit, dokter ahli
otak atau ahli saraf."
"Waduh... makan obat aja hilang kok sakitnya."
Lalu ponsel Linda berbunyi.
"Si Imel...," Linda memberitahu David.
"Ya, ada apa, Sayang? Belum take off, ya? Ini
hampir sampai di rumah kok. Apa itu? Baik, baik."
Linda mematikan ponselnya dengan wajah penuh
senyum. "Ada apa?" "Kata Imel, ia memasukkan kertas dengan pesan
di dalam tasku. Bacanya nanti di rumah," kata Linda
sam?bil mencari-cari di dalam tasnya. Ia menemukan
se?carik kertas yang dilipat-lipat dan ujungnya dimasuk?
kan ke dalam lipatan hingga tak bisa segera dibentang?
kan. "Kok dimacam-macamin sih," gerutu Linda.
"Sudah. Bacanya di rumah saja. Kan katanya be?
gitu," kata David, tiba-tiba merasa tak nyaman.
"Nggak sabar." "Sebentar lagi juga sampai."
Saat Linda mengutik-kutik lipatan kertas itu tibatiba David merebutnya lalu memasukkannya ke dalam
saku celana yang letaknya paling jauh dari Linda.
"Hei!" teriak Linda. "Itu kan punyaku."
"Bacanya di rumah. Nanti Imel marah lho."
"Dia kan nggak bisa lihat."
Tapi Linda tidak marah. Dia tertawa-tawa, seakan
611 menganggapnya sebagai permainan. David agak heran
melihatnya. Pengaruh Imelda itu tampaknya besar
juga, pikirnya. Didin sudah siap membukakan pintu. Begitu David
menghentikan mobil, Linda buru-buru keluar lalu me?
nyergap David yang keluar belakangan. Ia mencoba
merogoh saku celana David. Tapi David berkelit dan
ber?hasil menghindar lalu lari ke rumah. Linda me?
ngejar?nya sambil tertawa keras-keras.
Didin mengamati dengan melongo. Pemandangan
seperti itu baru pernah dilihatnya.
Sayangnya mereka terhenti di depan pintu terkunci.
David harus membuka pintu dulu. Kesempatan itu di?
gunakan Linda untuk memeluk pinggang David lalu
satu tangan merogoh saku celana. Ia berhasil mendapat?
kan?nya. Ia tertawa gembira lalu menyelinap masuk
be?gitu pintu terbuka. "Pokoknya sudah sampai rumah, kan?" kata David
sambil mengunci pintu kembali.
Masih sambil berdiri, Linda berkutat membuka
lipatan kertas dengan wajah sumringah. Apa pula yang
dimainkan anak ini, pikirnya. Sebuah gambar lucu?
David berdiri di sampingnya, mengamati dengan
ingin tahu. Tapi Linda tidak membiarkan ia mengintip.
Jadi yang diamati David hanya wajah Linda saja.
Setelah kertas terpentang lebar, wajah Linda ber?
ubah. Senyum tawa lenyap, dan kulitnya memucat. Ia
menjatuhkan kertas itu lalu berteriak keras-keras. Ke?
dua tangannya naik ke atas, meregang sejenak kemudi?
an lemas jatuh ke bawah. Tubuhnya pun lemas. Ia
jatuh pingsan. Isi-Warisan.indd 612 612 Isi-Warisan.indd 613 David begitu terpesonanya sampai terlambat me?
nyangga tubuh Linda. Linda jatuh ke lantai. David
meng?angkatnya lalu membaringkannya di sofa.
"Ma! Maaa! Kenapa kau?" tanyanya sambil meng?
goyang-goyang tubuh Linda. Ia meletakkan jari di
de?pan lubang hidung untuk mengecek napasnya. Ia
me?nempelkan telinganya ke dada Linda untuk men?
dengarkan debar jantungnya. Semuanya masih ada.
Tak lama kemudian Linda melenguh. Tangannya
men?cari-cari. David tahu apa yang dicarinya. Kertas
tadi masih tergeletak di lantai. Ia segera memungutnya
lalu melihat isinya. Ia pun terkejut. Hanya beberapa patah kalimat.
AKU TAHU APA YANG MAMA LAKUKAN TER?
HADAP SUKRI! AKU MELIHAT KAMERANYA!
MAMA KEJAM! AKU BENCI MAMA!
David segera merobek-robek kertas itu menjadi
kepingan-kepingan kecil lalu membuangnya di tempat
sampah. Rasa kaget tidak membuat ia kehilangan
kewarasan. Linda terbangun. Matanya terbuka lebar. David ter?
kejut melihat mata itu. Sepertinya lebih lebar dari
biasa, lebih tajam dan menyorot. Ketika sepasang
mata itu tertuju kepadanya, ia bergidik.
David menghampiri ketika Linda duduk. Ia akan
me?rangkulnya, tapi Linda mendorongnya. Tiba-tiba
Linda kembali menjerit keras. Dia seperti mengeluar?
kan semua uneg-uneg di dalam dirinya! Keras dan
me?lengking. "Maaa... tenanglah, Ma. Di kamera itu ia tidak me?
lihat apa yang kaulakukan...."
613 "Hahaha! Dia memang nggak tahu apa saja yang
telah kulakukan!" David terkejut. Perubahan sikap Linda itu membuat
bulu romanya berdiri. Ia bengong saja, takut dan bi?
ngung. "Kamu juga nggak!" bentak Linda kepadanya.
"Sudahlah, Ma." David sadar kembali. Ia meraih
tubuh Linda untuk merengkuhnya dalam pelukan. Ia
lebih suka bila Linda menangis saja daripada berlaku
seperti itu. Tapi ketika tersentuh ia terkejut lagi karena
tubuh Linda begitu kaku dan tegang.
"Aku membunuh Tono! Aku membunuh Ani!"
teriak Linda. Tubuh David menjadi dingin. Buru-buru ia me?
nutup mulut Linda dengan tangan. Untuk sesaat ia
lupa bahwa ia tidak perlu melakukannya. Biarpun
Linda menjerit dan berteriak, takkan ada yang me?
ngerti karena kebiasaan mereka berbahasa Belanda.
Linda menepis tangan David.
"Aku menaruh Tono di peti." tangan Linda me?
nunjuk ke dinding di mana basement berada.
David tersentak. Ia gemetar.
"Dan... dan Ani?"
"Aku meracuninya. Siapa suruh ia menaruh curiga,
nanya ini nanya itu?"
"Jadi... jadi Lala mati gara-gara kamu??
Wajah Linda yang semula garang berubah sedih. Tapi
kemarahan David memuncak. Ia menampar Linda keraskeras. Linda berteriak lalu menangis meng?gerunggerung.


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

David mengepalkan tinjunya kuat-kuat. Ia berusaha
Isi-Warisan.indd 614 614 Isi-Warisan.indd 615 sekuat-kuatnya untuk tidak meninju Linda dan meng?
hajarnya sampai terkapar. Bahkan mungkin membunuh?
nya juga! Tapi tidak! Ia tidak boleh dan tidak ingin.
Biar?pun ia membunuh Linda, orang-orang yang di?
bunuh oleh Linda takkan hidup lagi.
"Kenapa kau sekejam itu?"
"Kalau kamu bukan pedofil itu nggak akan terjadi. Si
Tono memeras dan makin lama makin kurang ajar. Tapi
dia nyaman di situ." Linda menunjuk dinding base?ment.
"Banyak temannya yang bisa diajak ngobrol. Hahaha!"
"Apa kauracuni dia juga?"
"Iya. Gampang sekali. Hanya orang-orang rakus
yang mati! Hahaha!" David melayangkan ingatannya ke tahun-tahun
yang sudah lewat. Ketika Linda melakukan perbuatan
itu ia tidak mendengar apa-apa. Mungkinkah saat itu
ia diberi obat tidur? Tidak pula ada orang lain di ru?
mah utama. Sukri dan keluarganya pasti tidak men?
dengar juga. Kalaupun mendengar sesuatu, mereka ti?
dak mungkin datang melihat karena pintu dikunci.
Ia membayangkan Linda turun ke basement dengan
menarik mayat Tono. Lalu memasukkannya ke dalam
peti. Tubuh Tono memang kecil. Tidak terlalu sulit
bagi Linda untuk melakukannya.
Tapi bagaimana mungkin Linda seberani dan setega
itu? Dia sendiri, seorang lelaki pedofil, penyuka bocah,
takkan berani melakukannya. Padahal lelaki pedofil
sering kali diasumsikan sebagai pembunuh juga. Tapi
dia bukanlah penerus nenek moyangnya yang seutuhnya.
Tidak mungkin dia membunuh bocah yang sudah
memberinya kenikmatan. Tidak mungkin!
615 "Aku membunuh Tono. Aku membunuh Ani,"
Linda meracau. Linda sudah tidak waras. Tapi ketika dia melaku?kan
perbuatan itu dulu, dia cukup waras. Sekarang dia
menjadi tidak waras karena syok oleh perlakuan Imelda.
Satu pemicu telah membuat pikirannya ka?cau.
Linda terus saja tertawa dan meracau dengan katakata yang sama.
David sadar. Dia harus berbuat sesuatu.
"Kita ke rumah sakit, Ma."
"Nggak mau!" "Bukankah kepalamu sakit? Iya, kan? Itu sebabnya
kamu bertingkah seperti ini. Mana mungkin kamu
begitu terus. Nanti teman-temanmu bilang apa?"
Linda berhasil juga dibujuk.
David mengajak Bi Entin dan Didin untuk
menemaninya. Kalau dalam perjalanan di mobil Linda
mengamuk sementara ia sendirian, ia pasti kewalahan.
Ujang tetap di rumah untuk menjaga pintu.
Mula-mula ia ke UGD Bagian Psikiatri. Ia ber?
cerita tentang kelakuan Linda yang emosional dan la?
bil, bagaimana saking marah ia mencekik leher putri?
nya sendiri. Setelah si putri melawan ia menjadi syok
dan bertingkah seperti itu.
Di tempat pemeriksaan Linda kembali berulah
sama. "Apa katanya?" tanya dokter yang tak mengerti
bahasa Belanda. "Dia sudah membunuh Tono. Dan membunuh Ani."
Dokter geleng-geleng kepala. Ia tidak percaya
wanita secantik itu bisa membunuh.
Isi-Warisan.indd 616 616 Isi-Warisan.indd 617 David menyampaikan pula keluhan Linda sebelum?
nya, yaitu perihal sakit kepalanya yang sudah kronis
"Baiknya dilakukan Citi-scan saja, Pak. Siapa tahu
ada tumor di otaknya. Itu juga bisa menimbulkan ke?
lainan perilaku. Sekarang juga, ya."
David setuju. Lalu ia menyuruh Bi Entin dan
Didin pulang dan memberi mereka ongkos. Ia akan
pulang belakangan dan berpesan pada Didin untuk
selalu berdekatan dengan ponselnya.
Kemudian ia duduk menunggu. Linda sudah diam
karena diberi obat penenang.
Perasaan David seolah mengambang, sepertinya ia
tidak berada pada situasi riil, seperti mimpi, seperti
ber?khayal. Pantaslah setiap bertengkar Linda selalu
me?nyalahkan dirinya yang pedofil, sementara ia juga
me?nyalahkan Linda kenapa mau saja menikah dengan?
nya biarpun sudah tahu. Jadi di balik penyesalan itu
ada penyesalan yang lain. Betul kata teori, sekali me?
lakukan pembunuhan, maka melakukan yang berikut?
nya tidak lagi susah. Kalau tidak terjadi seperti ini,
apakah Linda akan membunuh lagi dan lagi? Sudah
terbukti pada Sukri. Tapi ternyata Sukri tidak gampang
dijadikan korban. Ia sendiri sangat bodoh karena tidak
ber?pikir sejauh itu. Ia mengira Linda sesungguhnya
ti?dak bermaksud membunuh Sukri dengan men?dorong?
nya ke bawah basement. Hanya kebencian semata
yang membuatnya seperti itu. Nyatanya Sukri juga
tidak mati. Itu sesuai yang dikatakan Linda. Ia percaya
saja. Kelamaan menunggu membuat pikiran David terus
bekerja. Sesungguhnya, penyebab dari semua itu
617 bukan?lah terletak pada dirinya yang pedofil, seperti
yang dikatakan Linda, melainkan pada nenek moyang?
nya! Mereka mewariskannya gen pedofil. Mereka me?
ninggalkan pula peti berisi kerangka hasil kejahatan
mereka di dalam basement yang kemudian membawa
celaka itu. Kenapa tidak dari dulu mereka me?nyingkir?
kannya? Kenapa mereka menyembunyikannya saja di
situ dan membiarkan keturunan mereka menanggung
akibatnya? Seandainya peti itu diangkat lalu dilaporkan pada
yang berwajib supaya bisa dikuburkan baik-baik, apa?
kah mereka mau percaya bahwa itu adalah kerangka
dari zaman dulu dan pelakunya adalah nenek moyang
yang rohnya entah ada di mana? Bukankah perbuatan
itu akan menimbulkan kesulitan karena dirinya bisa
disangka sebagai pembunuh massal? Apalagi kalau
sampai diketahui orang bahwa dia seorang pedofil,
maka pastilah tuduhan itu akan dilayangkan padanya.
Tapi yang mengejutkan, Linda telah menambah
jumlah kerangka itu dengan kerangka Tono. Kalau
sam?pai ada pemeriksaan, pasti usianya tidak sama
dengan yang lain. Pasti Linda telah menelanjangi Tono
se?belum memasukkannya ke dalam peti supaya tak
ada bukti tentang dia. Lala yang melihatnya tidak me?
nyebut ada pakaian di situ. Sedang ia sendiri tidak
be?rani melihat. Akhirnya hasil dari Citi-scan sudah didapat.
Dokter mengajaknya bicara sambil memperlihatkan
gambar otak yang di-scan.
"Memang ada tumor, Pak. Tidak terlalu besar. Ini
dia." Dokter menunjuk satu titik. "Tapi letaknya agak
Isi-Warisan.indd 618 618 Isi-Warisan.indd 619 sulit dijangkau. Bisa dioperasi, tapi hasilnya tidak ter?
lalu menjanjikan. Fifty-fifty. Tapi kalau tidak diangkat
bisa membesar dan berbahaya, sementara sakitnya
terasa terus dan kelakuannya bisa jadi agresif."
"Kalau begitu pilihannya hanya operasi, Dok?"
"Menurut saya, seperti itu."
"Baik, Dok. Saya setuju," kata David setelah ber?
pikir sejenak. Ia tidak mungkin menanyakan apa ke?
inginan Linda sendiri. Dokter Bambang mencari tanggalnya, lalu ber?
sepakat dengan David. Kemudian ia tinggal mencari
kamar di rumah sakit itu. Hari itu juga Linda masuk
kamar perawatan dengan penjagaan khusus.
Saat itu hari sudah melewati tengah hari. Perutnya
keroncongan. Ia bergegas pulang.
Didin membukakan pintu. Bi Entin juga me?
nyambut?nya. "Gimana Nyonya, Tuan?"
"Dia dirawat, Bi. Mesti dioperasi."
"Wah, operasi?? "Ya. Ada tumor di otaknya," David menjelaskan
de?ngan senang hati. Orang-orang ini kalau tidak di?
jelas?kan bisa menyebar gosip yang mengada-ada.
Nanti mereka akan mengatakan bahwa Linda sudah
menjadi gila. Tingkahnya memang sudah menyerupai
orang gila. "Oh, begitu." "Udah masak, Bi? Lapar nih...."
"Udah, Tuan. Nanti saya siapkan."
Bi Entin berlari lewat samping rumah terus ke be?
lakang menuju dapur. Jalan itulah yang biasa dilalui?
619 nya karena rumah utama dikunci. Sementara Didin
masih menemani David. "Kamu udah makan, Din?? tanya David ramah. Ia
teringat pada Tono. "Udah, Tuan." Didin masih menunggu kalau-kalau ia "diperlu?
kan". "Kamu pulang saja, Din. Belajar kek. Hari ini aku
sibuk. Sebentar mesti balik ke rumah sakit lagi. Mesti
ini, mesti itu. Nanti aku telepon kalau mau pergi."
David menepuk pelan kepala Didin. Anak itu ter?
tawa senang lalu berlari pergi. Tiba-tiba rasa haru
meng?gumpal di dadanya ketika memandangi Didin. Ia
merasa seperti linglung, melangkah tak berpijak ke
tanah dan seperti kurang mengenali sekitarnya. Apakah
ia juga mengalami syok? Bila Linda syok karena surat
Imelda, dia syok karena melihat reaksi Linda dan
terutama karena pengakuannya.
Sesudah David makan dan Bi Entin membereskan
ruang makan lalu pergi, ia masih saja duduk di depan
meja makan. Setelah beberapa saat tatapannya tak
fokus ke mana-mana, akhirnya menancap pada tirai di
se?berang ruangan. Tirai yang menutup ruang nenek
moyang di mana gambar-gambar dan potret-potret
tergantung di dinding. David menuju ke sana, membuka tirai. Segera ber?
bagai pasang mata nenek moyang tertancap padanya
dan mengamatinya dengan ingin tahu. David menatap
semuanya silih berganti, menyapu ke kiri-kanan dan
ke atas-bawah. Lalu perasaannya diliputi kegusaran.
Dia ingin sekali menghancur-leburkan gambar-gambar
Isi-Warisan.indd 620 620 Isi-Warisan.indd 621 itu. Tapi masih ada kendali. Nanti akan merepotkan
kalau harus membersihkan puingnya.
Lewat ponselnya ia memanggil Didin dan Ujang.
"Cari dus kosong atau keranjang, Din!"
Kedua orang itu disuruhnya menurunkan semua
gambar. Ia membantu dengan meraih gambar yang
letak?nya tinggi. Yang kecil-kecil dimasukkan ke dalam
dus. Sesudahnya ia menyuruh semua dibawa ke dalam
kamar yang terletak di atas basement, sebuah kamar
kosong. Barang-barang itu ditaruh di sudut. Yang
besar-besar diletakkan berdiri, bersandar ke dinding,
dengan gambar menghadap ke dalam.
Setelah selesai ia menyuruh kedua orang itu pulang
dan membekali mereka dengan sepiring kue dari kul?
kas. Kemudian ia merenungi ruangan yang sudah ko?
song melompong dengan perasaan puas. Sekarang
nenek moyang sudah dienyahkan!
Dengan perasaan yang sudah mulai "membumi" ia
duduk di hadapan komputernya untuk mengirim e-mail
kepada Imelda dan om serta tantenya. Ia menjelaskan
perihal penyakit Linda. Hanya dengan secara tertulis
ia bisa memberi keterangan dengan hati-hati, kalau
salah diperbaiki. Ia tak ingin menghubungkan penyakit
Linda dengan surat yang diberikan Imelda. Jangan
sampai Imelda merasa bersalah, dan akhirnya merasa
terbebani sepanjang usianya.
David menyadari kesalahannya sudah terlalu ba?
nyak. Ia tak ingin menambahnya lagi.
Pesan dari Imelda muncul di layar. Pa! Mama
udah baca suratku? 621 Belum, Mel. Papa yang membacanya duluan.
Mama belum sempat baca. Jadi Mama pingsan duluan?
Ya. Soal itu nanti kita bicarakan.
Baik. Jangan dikasih tahu dulu, Pa.
Ya, Mel. Tante lagi bersiap mau ke Jakarta.
Kamu ikut tentunya. Iya dong, Pa. Mereka tidak chat berlama-lama. David berharap
ia tidak melakukan kesalahan dengan berbohong pada
Imelda. Sore itu David kembali ke rumah sakit, membawa
tas berisi pakaian ganti, handuk, sikat gigi dan sabun.
Ia bermaksud menemani Linda .
"Tadi Ibu nanyain Bapak terus," kata perawat.
"Dia tenang?" "Sempat ngamuk, Pak. Makanya tangannya tetap


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diikat. Mungkin kalau ada Bapak bisa dilepaskan."
"Ya, lepaskan," kata Linda meniru ucapan pe?
rawat. "Tapi kamu baik-baik, ya," kata David.
"He-eh..." Dibantu perawat, David melepaskan ikatan tangan
Linda. "Nanti malam dokter akan ke sini," perawat meng?
ingatkan. "Tadi Bapak nggak ada. Jadi dia praktek
dulu." "Besok jadi operasinya?"
"Tanya dokter saja pastinya, Pak."
Perawat berlalu meninggalkan David berdua de?ngan
Isi-Warisan.indd 622 622 Isi-Warisan.indd 623 Linda. Tiba-tiba Linda tertawa, membuat perasa?an
David tercekat. Biasanya tawa Linda itu tinggi cem?
preng. Sekarang kedengaran sember, rendah datar.
"Kenapa tertawa?"
"Senang. Hahaha... hahaha..."
"Senang ada aku, kan? Aku akan menemanimu se?
malaman." "Nggak takut aku membunuhmu nanti?"
David terkejut. Tapi segera sadar pertanyaan itu
diucapkan di luar kewarasan.
"Jangan bunuh siapa-siapa lagi."
"Aku membunuh Tono. Aku membunuh Ani..."
Ah, mulai lagi, pikir David. Untung saja diucapkan
dalam bahasa Belanda. Kalau tidak para perawat dan
dokter bisa geger. Tapi bagaimana kalau dia bicara
be?gitu di depan Imelda dan kakaknya nanti? Kedua
orang itu tentu membutuhkan penjelasan darinya. Apa?
kah dia harus membukanya?
Ia berharap besok operasi jadi dilaksanakan. Jadi
ketika kedua orang itu datang, Linda tidak berada da?
lam kondisi bicara. Kalau Linda bicara, kebohongannya
kepada Imelda akan ketahuan juga.
Tadinya ia mau bicara soal Imelda dan tantenya
yang akan datang besok, tapi ia khawatir nama Imelda
bisa memicu kegusaran Linda. Jadi ia tidak mengata?
kan?nya. Ia akan menunggu sampai Linda bertanya.
"Mana si Didin?"
"Di rumah." Tiba-tiba Linda bicara jorok sampai wajah David
memerah. Biasanya Linda tidak pernah bicara seperti
623 itu di saat marah sekalipun. Ia diam saja. Tapi bersiapsiap kalau-kalau Linda sampai mengamuk. Tapi Linda
yang tadi diberi obat penenang tidak punya tenaga
untuk itu. "Nanti giliran si Didin," kata Linda dengan suara
parau. Tengkuk David meremang. Ia tidak ingin lagi men?
dengarkan Linda bicara. Ia menjauh ke sofa. Pura-pura
baca koran. Linda meracau dengan ucapan tak jelas.
Ada nama Ani disebut, nama Lala, nama Tono. David
menyesal tidak membawa penutup telinga.
Ketika dokter datang, David mengajaknya bicara
di luar kamar supaya Linda tidak bisa mendengar.
"Setelah dia dioperasi nanti, apakah dia masih
akan meracau seperti itu, Dok?"
"Mudah-mudahan tidak lagi. Saya pernah me?
nangani penderita yang didiagnosa skizofrenia, ter?
nyata ada tumor otak juga. Setelah tumornya berhasil
diangkat, gejala kejiwaannya pun tak ada lagi. Tak
pernah bertingkah, tak pernah halusinasi. Tapi terus
terang itu pada yang operasinya sukses. Ada juga yang
tidak berhasil. Maka saya minta Anda siap mental.
Ber?harap dan optimis tentu perlu, tapi siap juga me?
nerima akibat buruk."
"Ya, Dok. Terima kasih."
Untunglah malam hari Linda diberi obat penenang
lagi, hingga David merasa tenteram. Ia juga bisa tidur
tanpa takut diganggu. Tak urung kalau sesekali Linda
mengigau ia terbangun dengan terkejut.
Isi-Warisan.indd 624 *** 624 Isi-Warisan.indd 625 Kiki dan seisi rumahnya menjadi heboh mendengar
berita dari Imelda. "Besok dia datang lagi bersama tantenya untuk
men?jenguk mamanya. Nyonya sakit tumor otak dan
mau dioperasi." "Wah, gawat," kata Budiman.
"Memang gimana ceritanya?" tanya Sumarni. "Kok
men?dadak amat." "Pulang mengantarkan Imel, mamanya pingsan di
rumah. Terus dibawa ke rumah sakit. Di sana di Citiscan. Ketahuan ada tumornya. Cuma itu doang. Imel
nggak bisa cerita banyak. Mungkin kalau nanti dia
sudah datang dan melihat sendiri, dia bisa cerita lebih
banyak," kata Kiki. "Pantas kelakuannya begitu," komentar Budiman.
"Tumor itu kan nggak muncul begitu saja. Awal kecil
sekali, lama-lama besar. Butuh waktu lama pula."
Nana mengangguk-angguk. Menilik kelakuan
Nyonya dulu yang terkadang seperti orang gila pantas
di?maklumi, pikirnya. Apakah orang seperti itu patut
dikasihan atau dibenci? "Apakah semua orang jahat itu di otaknya ada
tumor?nya, Pa?" tanya Fani.
Pertanyaan itu serius tapi orang-orang tertawa.
"Mesti diotopsi dulu baru bisa dilihat," kata
Budiman. "Kalau diotopsi kan mati, Pa."
"Ya. Kalau misalnya dia dihukum mati atau di?
tembak mati waktu mau ditangkap. Papa pernah baca
cerita tentang pembunuh di Amerika yang membunuh
625 puluhan orang, setelah dihukum mati otaknya diambil
untuk diselidiki. Ternyata ada tumornya."
"Kalau begitu, orang itu sebetulnya nggak jahat
ka?lau dia nggak punya tumor di otaknya," Fani me?
nyim?pulkan. "Jangan menyimpulkan begitu, Fan," kata Budiman.
"Ada juga yang punya tumor di otak, tapi nggak jadi
jahat. Dan nggak semua orang jahat pasti punya tumor
di otaknya. Belum tentu. Mungkin tergantung di bagian
otak sebelah mana tumor itu bersarang."
"Oh, menarik sekali," kata Fani.
Wajah Fani yang demikian serius kembali membuat
orang tertawa. Tak jelas apakah Fani sungguh-sungguh
atau ingin melucu. "Aku kasihan aja kalau orang menjadi seperti itu
ha?nya karena ada tumornya. Yang jahat itu tumornya,"
kata Fani. "Memang betul," kata Budiman. "Padahal keberada?
an tumor itu nggak selalu cepat ketahuan."
Ucapan Fani membuat Nana merenung. Kalau Nyo?
nya tak punya tumor di otaknya, mungkinkah dia ti?
dak jahat, bahkan baik sekali seperti Lala? Siapa yang
harus dia benci, Nyonya atau tumornya? Tentunya bu?
kan salah Nyonya kalau dia sampai punya tumor. Si?
apa pula yang menghendaki?
"Jadi besok Nyonya dioperasi. Apa maksudnya
tumor?nya akan diangkat, Om?" tanya Nana.
"Ya. Setahu aku, kalau dibiarkan bisa tambah
besar." "Ih, serem," kata Fani.
Isi-Warisan.indd 626 626 Isi-Warisan.indd 627 Kali ini tak ada yang tertawa. Bukankah hal se?
macam itu bisa menimpa siapa saja, tak terkecuali
mereka juga? 627 PAGI-PAGI kepala Linda dicukur sampai tak tersisa
sehelai rambut pun lalu dicuci sampai kulitnya bersih.
Rambutnya yang indah itu hilang sudah. Perawat
mengumpulkannya ke dalam kantong plastik.
"Pak, mau dibawa pulang?" ia menawarkan kepada
David. Setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya David mene?
rima??nya juga. Kalaupun nanti ia tidak suka dan Linda
pun tidak menyukai, ia bisa saja membuangnya.
Ia merasa lega karena Imelda dan tantenya baru
akan datang sore hari. Dengan demikian mereka tidak
sempat bertemu dengan Linda yang masih suka
meracau. Berarti rahasia Linda akan terjaga untuk
sementara sambil berharap sesudah operasi Linda tak
akan lagi meracau. David menyadari bahwa sesungguhnya ia berharap
seperti itu bukan hanya karena ingin menjaga rahasia
perbuatan Linda, tapi juga melindungi dirinya sendiri.
Isi-Warisan.indd 628 628 Isi-Warisan.indd 629 Ia memang tidak membunuh, berkomplot pun tidak,
tapi ia seorang pedofil! Linda dengan senang hati akan
meracau ke mana-mana tentang hal itu bila ia tetap
berperilaku seperti sekarang ini. Bila Imelda tahu,
habislah dia. Baginya faktor Imelda menjadi sangat
pen?ting. Ia tidak ingin kehilangan respek anak itu
meski?pun ia tidak tahu, apakah respek bisa diperoleh
dengan menyembunyikan kebenaran. Tapi kebenaran
bukan hanya bisa menghancurkan dirinya tapi juga
Imelda sendiri. Sesudah pemahamannya tentang ibu?
nya lalu membencinya, bagaimana pula bila ditambah
dengan kenyataan perihal ayahnya?
Ia mengikuti keberangkatan Linda ke kamar bedah.
Sebelum dibawa masuk ia minta waktu sebentar. Ia
men?cium Linda dan berbisik, "Sukses, Ma!"
Linda hanya menatapnya dengan mata sayu me?
nyipit. Lalu Linda hilang di balik pintu. Ia dipersila?
kan menunggu. Maka mulailah penantian yang panjang dan me?
nyiksa. Beberapa orang lain datang ikut menunggu
rekan dan kerabat mereka yang baru dibawa masuk.
David menjadi khawatir diajak berbincang. Ia pergi
men?jauh. Lalu sempat tertidur sejenak. Ketika ter?
bangun ruang tunggu sudah sepi. Tinggal ia sendiri.
Ia terkejut, jangan-jangan Linda sudah dibawa kembali
ke kamar dan ia dibiarkan di situ karena perawat tidak
melihatnya. Ketika sedang kebingungan ia melihat Dokter
Bambang menghampirinya. Cepat-cepat ia berdiri.
"Operasinya cukup berhasil. Tumor sudah diangkat,
Pak," Dokter Bambang menjelaskan.
629 "Jadi sukses, Dok?"
"Kesuksesan baru bisa dilihat beberapa hari ke
depan. Saya nggak bisa menjamin kesuksesan, Pak.
Saya nggak mau membuat Bapak terlalu optimis tapi
juga jangan sampai kehilangan harapan. Semuanya
ter?gantung pada diri Ibu. Dan juga Bapak sebagai pem?
beri semangat." David tahu itu ucapan yang diplomatis. Tapi ia
memang tak bisa berharap lebih dari itu.
Sesudah Dokter Bambang tak kelihatan lagi,
barulah pintu terbuka dan Linda terlihat didorong ke
luar. Ia belum sadar dari pembiusan. David mengiringi
di samping kereta dorong.
Di kamar, David bersama seorang perawat me?
nunggu Linda sadar. Belum sempat pikiran David
me?layang ke mana-mana, Linda sudah bergerak-gerak.
Ia mengerang-erang. Perawat memeriksanya.
"Buuu... Buuu... sadar, Bu. Bangun, Bu...."
Tiba-tiba Linda berteriak, "Aaaa...! Aaaa...!"
Hampir saja si perawat terlempar ke belakang sa?
king kagetnya. Demikian pula David. Lalu mereka
ber?dua saling memandang dengan bingung. Saat itu
Linda membuka matanya lebar-lebar. Ia mengerang.
David dan perawat mendekat.
"Sakiiit..." "Ya, tahan sebentar, Bu. Tadi rupanya teriakan ke?
sakit?an," kata perawat memandang David. Seakan mem?
beri penjelasan. David fokus ke mata Linda. Di mata itu ia melihat
pengenalan. Ia senang. "Mama? Ingat sama aku?"
Isi-Warisan.indd 630 630 Isi-Warisan.indd 631 "Ya," kata Linda lirih.
Wajah Linda tampak teduh dan tenang. Berbeda
de?ngan sebelumnya. "Bagus, Bu," kata perawat, sibuk mencatat. Ke?
mudi?an ia pergi setelah berpesan pada David agar
mem?bunyikan bel bila ada masalah.
David duduk di samping Linda.
"Tahan sakitnya ya, Ma. Nanti juga dikasih obat.
Masih mual?" "He-eh..." "Nanti juga hilang mualnya. Sekarang masih ada
pengaruh pembiusan."
Linda memejamkan mata. Mungkin menahan sakit,
pikir David. Tapi masih bagus dibanding berteriak tadi.
Sampai sempat terpikir, jangan-jangan Linda kumat.
Ia tak berani bicara, hanya memandangi saja. De?
ngan kepala botak dan sebagian tertutup perban, Linda


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih tetap kelihatan cantik dan tampak seperti makh?
luk dari luar bumi. Ia ingin mengelus bagian kepala
yang tak tertutup, tapi takut kena bagian yang peka.
Jadi ia hanya memegangi tangan Linda saja.
"Imel," bisik Linda.
David harus meletakkan telinganya di depan mulut
Linda supaya bisa mendengar apa yang dikatakan?
nya. "Sebentar dia datang sama kakakmu, Ma. Kamu
tenang aja. Nggak usah risau."
Linda diam, entah memahami, entah merasa sakit.
Tapi yang menjadi tidak tenang adalah David. Kalau
di depan Imelda nanti Linda membicarakan masalah
surat itu, maka akan ketahuan ia telah berbohong. Ia
631 harus memikirkan dari sekarang bagaimana meng?
hadapi?nya. Menjelang malam baru Imelda datang bersama
tante?nya, Olivia. Saat itu David sedang ketiduran di
sofa. Ia merasa sangat lelah, fisik dan mental. Kedua
orang yang datang itu tidak membangunkannya karena
memahami kelelahannya. Ketika David terbangun
karena mendengar suara-suara, barulah ia menyadari
kehadiran mereka. Imelda sedang menelungkup di sisi Linda. Tante?
nya di sampingnya. Linda kelihatan membuka matanya lebar-lebar, tapi
tidak tampak fokus ke arah Imelda atau Olivia. Biar?
pun dipanggil-panggil, matanya tidak berpaling. Se?
perti?nya ia sedang melayang jauh entah ke mana.
David segera memanggil perawat karena ia khawatir
Linda koma. Perawat datang bersama dokter jaga. Mereka me?
meriksa Linda. David melihat wajah keduanya tampak
tegang. "Saya akan telepon Dokter Bambang. Kebetulan
se?karang dia sedang praktek di poli," kata dokter jaga.
Ia pergi, sementara perawat menunggui Linda.
"Kenapa Mama, Pa?" tanya Imelda dengan wajah
merah. Matanya berair. "Sabar, Mel. Dokter lagi dipanggil," hibur Olivia
di sisinya. "Ya, sabarlah. Tunggu." David tak bisa berkata lain.
Imelda memeluk Linda. Ia menciumi pipi Linda
dan memanggil-manggil. "Mama... Mama... bangun
dong. Ini Imel udah datang. Imel, Maaa..."
Isi-Warisan.indd 632 632 Isi-Warisan.indd 633 Air mata Imelda jatuh bertetesan di atas pipi
Linda. Lalu menganak-sungai mengalir ke mulutnya
masuk ke celah bibirnya. Tiba-tiba mata Linda meng?
arah kepada Imelda dan fokus kepadanya. Perawat
mendekat, juga David dan Olivia. Ketiganya tegang
meng?amati. "Kenal aku, Ma? Aku Imel," kata Imelda buru-buru.
Linda mengangkat tangannya yang tak diinfus lalu
memegang pipi Imelda. Cepat Imelda memegang
tangan itu dan menekannya ke pipinya.
"Maaa... maafkan Imel ya, Ma."
Mulut Linda komat-kamit, tapi tak ada suara
keluar. Imelda melepaskan tangan Linda, lalu men?
dekatkan telinganya ke mulut Linda supaya bisa me?
nangkap suaranya. "Apa, Ma? Ngomong apa?"
"Sudah, Mel. Jangan dipaksa," bisik David.
Olivia buru-buru maju lalu mencium pipi Linda.
"Ini Via, Lin. Kenal, kan?"
Mata Linda menatap kakaknya, lalu tampak se?
nyum tipis di bibirnya. Olivia mengeringkan muka
Linda yang basah oleh air mata Imelda dengan tisu.
Mulut Linda komat-kamit lagi, tapi seperti tadi tak
ada suaranya. David agak menjauh untuk memberi kesempatan
kepada kedua orang itu. Mengamati mereka tiba-tiba
muncul kesimpulan. Jangan-jangan Linda kehilangan
suara! Bukankah itu jadi suatu blessing in disguise?
Linda tak bisa lagi mengungkapkan dosanya seperti
cara ia membeberkannya kemarin. Di samping tak
bisa mengungkap dosa sendiri, ia juga tak bisa mem?
633 beritahu hal-ihwal dirinya yang pedofil! Bayangkan
kalau ia meneriakkan, "Papamu pedofil!"
Ucapan terakhir yang tadi sempat didengarnya
adalah, "Imel." Hanya itu saja.
Dokter Bambang yang datang malam-malam me?
meriksa Linda dengan saksama. Ia pun mencoba meng?
ajak Linda bicara. Tapi Linda hanya berkomat-kamit
biarpun kentara ia berusaha keras untuk bicara.
"Mudah-mudahan saja untuk sementara," kata
Dokter Bambang memberi harapan.
Tapi harapan yang diberikan itu tidak pernah ter?
wujud. Malah kebalikan yang terjadi.
Belum lama Dokter Bambang keluar dari kamar,
Linda mengalami kejang-kejang dan kemudian detak
jantung?nya berhenti. Upaya pertolongan yang diberi?
kan tak berhasil memompa kembali jantungnya.
Imelda menangis menggerung-gerung. David ber?
upaya menahan tangisnya. Ia tidak menyangka ke?pergi?
an Linda begitu cepat. Yang selama ini ia pikirkan
hanya bagaimana kelakuan Linda setelah sembuh,
apakah menjadi lebih baik atau sama saja. Dan yang
penting adalah bisakah ia tetap menyimpan rahasia.
Sekarang, tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Tapi
ia merasa kehilangan. Hidup ke depan pastinya akan
ber?beda. Seperti orang yang biasa berjalan dengan dua
kaki, tiba-tiba kehilangan satu kakinya.
Olivia sibuk menenangkan Imelda. David meng?
amati keduanya di balik air matanya. Tiba-tiba muncul
perasaan bersyukur bahwa Imelda diasuh Olivia. Dua
kakak-beradik itu berbeda usia lima tahun. Olivia ti?
dak secantik Linda, tapi dia sangat keibuan. Rasanya
Isi-Warisan.indd 634 634 Isi-Warisan.indd 635 tidak adil kenapa orang yang keibuan dan penuh kasih
sayang tidak dikaruniai anak, sementara orang yang
tidak tahu bagaimana harus bersikap sebagai ibu yang
baik malah diberi banyak.
Imelda merasa terhibur ketika diberitahu David
bah?wa kata terakhir yang sempat diucapkan Linda dan
bisa didengar adalah namanya.
"Untunglah suratku nggak dibaca Mama ya, Pa,"
kata Imelda dengan ekspresi kelegaan yang tiada tara.
"Ya, Mel," sahut David dengan perasaan tersayat.
Mana mungkin ia menceritakan kejadian sesungguhnya
kepada gadis kecil itu? Banyak orang selalu berkata
bahwa kebenaran harus diungkapkan apa pun risiko?
nya. Betulkah demikian? Sudah terbukti kebenaran
yang disampaikan Imelda dalam bentuk suratnya su?
dah "membunuh" Linda. Apa yang akan terjadi bila
ke?benaran diungkapkan kepada Imelda? Penyesalan
bisa mengubah seseorang. Kalau perubahan itu ke
arah yang baik tentu tak apa-apa. Tapi kalau sebalik?
nya malah menghancurkan, di mana letak manfaat?
nya? *** "Aku pengin melayat," kata Nana tiba-tiba usai makan
malam bersama keluarga Kiki.
Semua menatap Nana dengan heran dan penuh ta?
nya. "Aku juga mau," sambut Kiki. "Nyonya dise?mayam?
kan di rumah duka rumah sakit tempat dia meninggal.
Kita pergi berdua, Na. Boleh nggak, Pa? Ma?"
635 Bila Kiki yang mengatakannya, Budiman dan
Sumarni merasa tak perlu heran. Kiki akrab dengan
Imelda, jadi merasa punya kedekatan dengan ibunya.
Tapi Nana? "Tentu saja boleh," sahut Budiman. "Itu niat yang
baik. Tapi jangan pergi berdua. Nanti kuantarkan. Bu?
kan karena takut sama papanya Imel, tapi buat prak?tis?
nya saja." "Pak Sukri sudah tahu, Na?" tanya Budiman.
"Sudah, Om. Tadi malam saya SMS."
"Apa dia yang suruh melayat?"
"Nggak ada yang nyuruh, Om. Pengin sendiri aja. Ini
terakhir kali melihatnya. Kan Imel juga teman saya."
Budiman mengangguk. Dalam hati mengagumi
Nana. Setelah Budiman pergi bersama Kiki dan Nana,
Fani mengutarakan keheranannya kepada ibunya.
"Dulu kan Nana sering dijahatin sama Nyonya.
Kok sekarang dia mau melayat, Ma? Apa memang
cuma mau melihat saja?"
Sumarni menatap Fani. Ia melihat kepolosan. "Nggak
juga, Fan. Nana mau melepas kepergian Nyonya dengan
doa-doa di dalam hatinya. Dulu Nyonya memang jahat
tapi sekarang dia tinggal jasad saja. Kenapa harus
mendendam kepada sesuatu yang sudah tidak ada?"
Fani mengangguk dengan rupa serius.
"Nana pasti orang yang baik ya, Ma? Aku senang
ber?sahabat sama dia. Sayang sekali nggak lama lagi
dia harus pergi. Aku akan sedih sekali kalau dia pergi,
Ma." "Tapi dia kan pergi nggak jauh-jauh amat. Masih
Isi-Warisan.indd 636 636 Isi-Warisan.indd 637 bisa hubungan, masih bisa ketemu meskipun jarang.
Jangan terlalu sedih. Nanti kau akan punya teman
baru. Nana juga." "O, setelah di sana Nana pasti lupa sama aku, sama
kita. Ada cowok yang naksir dia, Ma. Itu anaknya Om
Gunawan. Namanya Alvin."
Sumarni tertawa. "Kamu bisa aja, Fan. Jangan bi?
lang pasti begitu. Kita nggak tahu apa yang akan ter?
jadi. Tunggu dan lihat saja."
*** Rumah duka tempat persemayaman Linda dipenuhi
tamu. Budiman bersama Kiki dan Nana harus antre
sam??pai mendapat kesempatan menyampaikan bela?
sungkawa. David tampak surprise sekali melihat mereka.
Imelda melompat lalu menghambur kepada Kiki dan
memeluknya. Kiki malu tersipu tapi kemudian balas
memeluk. Kemudian Imelda memeluk Nana. Lalu
giliran Budiman. Imelda mengenalkan Olivia.
"Ini tanteku." Mereka mengamati jasad Linda. Kepala botaknya
yang dililit perban tak terlihat karena ditutup rapi
dengan selendang. Wajahnya yang pucat masih tampak
cantik. Bahkan terlihat seperti boneka pajangan.
Setelah berdoa sebentar mereka diajak duduk oleh
David. Merasa tak enak kalau langsung pergi, mereka
duduk juga. Kiki duduk diapit oleh Budiman dan
Nana. David di sebelah Budiman. Mereka berbasa-basi
637 sejenak sampai David terpaksa harus meninggalkan
tempatnya karena tamu-tamu terus berdatangan. Imelda
yang semula dikerubuti tamu, diajak bicara sana-sini
dan dipeluk sana-sini, akhirnya datang bergabung dan
duduk di sebelah Nana. Ia merangkul Nana.
"Kamu baik sekali, Na, mau datang. Maafkan se?
mua kesalahan Mama ya, Na. Baik padamu maupun
pada Pak Sukri. Ya, terutama pada Pak Sukri. Nanti
kasih tahu kalau kamu ketemu, ya."
"Ya, Mel. Tentu."
"Om Budi, terima kasih ya. Kiki, terima kasih.
Sori, Ki. Aku nggak bisa nemenin."
"Nggak apa-apa, Mel. Kami juga mau pulang."
David menyempatkan diri menemui mereka se?
belum pulang. Ia menyalami semuanya dan bersikap
biasa saja kepada Kiki. "Terima kasih, Pak Budi, Kiki, dan Nana. Duh,
Nana, maafkan almarhumah ya. Juga pada Pak Sukri.
Maaf dari saya dan Nyonya. Semoga kamu dan Bapak
bisa sukses, ya," kata David dengan mata berkacakaca.
Nana menangis ketika kepalanya dibelai. Sepanjang
usianya tinggal di rumah David kapankah ia pernah
diperlakukan seperti itu? Nyonya yang terbaring di
sana pun tak pernah berkata manis kepadanya, apalagi
membelai. Apakah hanya kematian yang bisa membuat
orang berubah? Tapi perubahan itu hanya untuk orang
yang masih hidup, bukan orang yang sudah mati.
Kalau mati, ya mati. Tak bisa apa-apa lagi.
Nana juga menangis ketika berpelukan dengan
Imelda. Isi-Warisan.indd 638 638 Isi-Warisan.indd 639 "Sekarang kita sama-sama nggak punya ibu,
Mel." "Ya. Biar bagaimana jelek dan jahat pun dia tetap
ibu kita." "Kau baik-baik, ya Mel."
"Kau juga, Na. Tetap berhubungan, ya?"
Saat berpisah Kiki tidak canggung lagi berpelukan
dan cium pipi dengan Imelda. Mungkin karena melihat


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banyak orang lain berbuat serupa.
"Nanti aku telepon, Ki."
"Ya.? Imelda mengawasi dari belakang ketika Budiman,
Kiki, dan Nana berjalan. Ia sempat melihat Kiki
meraih tangan Nana, lalu mereka berjalan dengan
berbimbingan tangan. Imelda memalingkan muka.
Dalam perjalanan pulang, Nana yang duduk sendiri
di belakang mobil sering sekali membuang ingus. Kiki
dan Budiman berpandangan lalu menatap di kaca
spion. Kiki menyodorkan kotak tisu.
"Kamu kok masih saja sedih, Na?" tanya Kiki.
"Orang yang mati nggak ingat lagi pada apa yang
sudah dia lakukan. Yang masih hiduplah yang me?
mintakan maaf buat dia. Sampai-sampai Tuan yang
begitu sombong pun mau minta maaf."
"Jadi itu yang membuatmu sedih?"
"Ya. Bukankah seharusnya Nyonya sendiri yang
minta maaf?" "Tapi itu nggak mungkin, Na. Orang yang sudah
mati mana bisa minta maaf."
"Sudahlah," Budiman menengahi. "Biarpun dia
nggak minta maaf, sepatutnya kita beri maaf, Na.
639 Lupakan yang sudah lalu. Sekarang ada masa depan
menunggu." "Betul, Om. Terima kasih ya, Om, karena sudah
meng?antarkan saya."
"Boleh tanya, Na, apa yang mendorongmu ingin
melayat?" tanya Budiman.
"Bukan mendorong, Om. Tapi rasanya seperti ke_
wajib?an aja. Nyonya bekas majikan. Kami tinggal di
rumahnya, diberi gaji, disekolahkan...."
"Biarpun kamu diperlakukan semena-mena?" tanya
Kiki. "Ya." Malam itu mereka sama-sama sulit berkonsentrasi.
Karena berdua dan saling memberi dorongan, mereka
ber?hasil juga menyelesaikan pekerjaan masing-masing.
Menjelang tidur barulah Nana mengabari ayahnya
perihal kunjungannya ke rumah duka lewat SMS. Ia
tak mau menelepon karena takut Fani terganggu dari
tidurnya. Sukri memuji perbuatannya dan berkata bahwa ia
bangga Nana memiliki jiwa yang besar.
Sebetulnya Tuan-lah yang minta maaf, Pak.
Sama aja, Na. Dengan datang ke sana kau sudah
memaafkan. Apalagi dengan mendoakan. Maaf nggak
perlu diucapkan. Sama Bapak juga Tuan minta maaf. Aku diminta
menyampaikannya. Ya sudah. Sekarang tidurlah. Sudah malam.
Sekarang Nana bisa tidur tanpa beban. Sementara
Kiki menunggu-nunggu telepon dari Imelda, tapi tak
kunjung berbunyi. Ia tak berani berinisiatif menelepon
Isi-Warisan.indd 640 640 Isi-Warisan.indd 641 duluan karena khawatir Imelda sedang sibuk atau su?dah
tidur karena kecapekan. Akhirnya ia pun ter?tidur.
David merenungkan pertemuannya dengan Kiki. Di
samping merasa surprise, ia juga senang luar biasa.
Kiki tidak lagi kelihatan takut padanya. Ia pun bisa
me?lihatnya dan menyalaminya tanpa ada gejolak da?
lam dirinya. Pasti bukan semata-mata karena kehadiran
banyak orang. Ia bisa bersikap biasa. Bukan dipaksapaksa atau diingat-ingatkan. Wajar-wajar saja. Apa
ka?rena suasana kematian? Ia tidak begitu yakin.
Tadi ia sempat mengamati raut wajah anak-anak
itu ketika memandang jenazah Linda. Ada kengerian,
tapi itu tentunya wajar. Mungkin juga selama ini me?
reka belum pernah melihat jenazah. Tapi khusus di
wajah Nana ada sesuatu yang tampak beda. Keningnya
berkerut seperti ekspresi orang yang keheranan, tak
percaya, dan merasa melihat sesuatu yang mustahil.
Apa?kah Nana mensyukuri kematian Linda? Tapi ia
yakin bukan itu. Sepertinya perasaan Nana sama se?
perti yang ia rasakan. Sesuatu yang spontan muncul
di hatinya setelah Linda dinyatakan meninggal. Yaitu,
kematian sudah melepaskan Linda dari jerat hukum
dan hujatan duniawi! Tentu kematian itu tidak diinginkannya. Linda
punya semangat hidup yang tinggi. Kalau bisa seribu
tahun pun ingin ia jalani. Tapi sepertinya kematian itu
terlalu mudah sebagai jalan keluar. Ataukah sebenar?
nya bukan jalan keluar? Mungkinkah ada sesuatu yang
lain menantinya di sana? David teringat kepada Tono. Anak itu terlalu muda
untuk disingkirkan dari kehidupan dengan paksa.
641 Bersama Tono ia telah mendapatkan kenikmatan fisik.
Rasa iba menyeruak dadanya bila teringat pada saatsaat kebersamaan itu. Lalu Bi Ani dan kemudian Lala.
Itu yang paling menyakitkan. Apakah selama itu Linda
tidak merasakan penyesalan yang luar biasa? Apakah
tumor di otaknya bisa dituduh sebagai penyebab?
Dia pun ingat kepada ocehan Linda, "Nanti giliran
Didin..." Ia merasa bulu romanya berdiri. Kematian me?
mang telah menghentikan kejahatan Linda. Dan Didin
pun selamat. Sebenarnya Linda tidak membawa serta kejahatan
yang dilakukannya ke liang kubur. Ia sempat "meng?????
akuinya" meskipun dengan meracau. Ia meng?akui?nya
bukan hanya kepada David, tapi juga kpada Bi Entin,
Didin, dokter dan perawat. Tapi mereka tidak mengerti
bahasanya. Walaupun demikian, bahasa apa pun yang
digunakan, itu tetaplah berupa pengakuan. Hanya saja
ia tidak sempat mengatakannya di depan Imelda dan
Olivia. Kalau Linda tidak meracau seperti itu mungkinkah
kejahatannya bisa diketahui?
Yang jelas diketahui David hanyalah perbuatan
Linda mendorong Sukri ke basement. Tentu ia tidak
melihat sendiri. Sedang yang terekam di kamera hanya
sedikit. Tapi sikap Linda yang panik dan menyuruhnya
buru-buru mengangkat kamera itu membuat ia curiga.
Ia tidak mau memenuhi permintaan itu kecuali Linda
mengatakan terus terang apa penyebabnya. Lalu Linda
mengakui. Tapi Linda tidak mengatakan bahwa
tujuannya adalah membunuh Sukri, meskipun
perbuatan itu bisa membunuh. Katanya, ia hanya ingin
Isi-Warisan.indd 642 642 Isi-Warisan.indd 643 mencederai saja karena benci dan takut Sukri akan
membuka rahasia peti itu.
Kenapa Linda harus setakut itu? Ia sendiri tidak
sampai seperti itu. Ia merasa cukup dengan meng?
ancam saja maka Sukri tidak akan berani. Lagi pula
meskipun suatu waktu terjadi juga kebocoran hingga
diperiksa oleh yang berwenang, maka tulang-belulang
itu akan mampu "berbicara" bahwa mereka telah ber?
usia tua dan sudah ada di situ jauh sebelum ia dilahir?
kan. Ia sudah menjelaskan hal itu kepada Linda.
Sekarang pertanyaan itu sudah terjawab. Linda
patut merasa takut karena ia telah menambah jumlah
tulang-belulang itu dengan jenazah Tono.
Bi Ani menaruh curiga. Apa gerangan bukti dari
ke?curigaannya? Ia sendiri tidak pernah menyangka
apa-apa. Linda tidak pula bercerita. Yang tahu hanya
mereka berdua. Sekarang mereka sudah tak ada lagi
untuk ditanyai. Beberapa kali Imelda terlihat ingin bicara berdua
saja dengannya, tapi belum mendapat kesempatan
untuk itu. Ia tahu apa yang ingin dibicarakan Imelda.
Pasti mengenai surat yang ditujukannya kepada Linda.
Karena dia mengaku telah membacanya, pastilah
mengenai hal itu. Cepat atau lambat mereka memang
harus membicarakannya. Imelda tidur bersama Olivia, tantenya, di kamarnya
yang biasa. Dan hampir sepanjang hari Olivia selalu
mendampinginya. Dari situ saja sudah jelas bahwa
Imelda tidak ingin masalahnya diketahui pula oleh
Olivia. David sangat menghargai sikap Imelda itu.
Biar?pun usianya masih sangat muda dan hubungannya
643 dengan Olivia jauh lebih dekat dibanding dengan
Linda, tapi ia ingin menjaga rahasia Linda yang ter?
cela. Itu merupakan tambahan pengalaman dan pe?????
lajaran bagi David, untuk tidak meremehkan usia
muda seseorang. David merasa sepi di kamarnya yang luas. Kehadir?
an Linda yang biasanya riuh dan ceria semakin mem?
buat sepi. Ia pun kehilangan suaranya yang cempreng
dan tawanya yang melengking.
Ia menyalakan komputernya, mencari-cari lalu me?
lihat wajah Kiki di layar monitor. Ia mengamati berlama-lama. Sekarang ia tak perlu lagi khawatir di?
marahi atau dicaci Linda. Ia bebas berbuat apa saja.
Tapi ternyata hal itu tidak membuatnya senang. Ia
meng?amati Kiki di gambar, lalu mengenang pertemuan
di rumah duka. Pelan-pelan tangannya mengklik-klik.
Ia menghapus Kiki, hilang semuanya.
"Goodbye, Kiki," katanya pelan. Tapi ia tahu,
gambar di komputer bisa dihapus namun yang ada di
memori otaknya tetap ada.
Ia terkejut. Terdengar ketukan di pintu. Di tengah
keheningan suara itu terdengar jelas.
"Ya?" "Imel, Pa." David jadi berdebar. Baru tadi dipikirkan, sekarang
jadi kenyataan. "Masuk, Mel." Pintu terbuka perlahan-lahan. Imelda mucul dengan
baju tidur yang berenda-renda dan rambut ikalnya
yang kusut. Ia tampak seperti bidadari. Ia menutup
pintu perlahan-lahan lagi.
Isi-Warisan.indd 644 644 Isi-Warisan.indd 645 "Tante sudah tidur?"
"Iya. Jangan sampai dia terbangun. Nanti nyariin.
Aku tahu, Papa belum tidur. Kelihatan terang di ba?
wah pintu." "Ada apa, Mel? Kau nggak bisa tidur, ya?"
"Pengin bicara, Pa."
"Ayolah, ke sini."
Mereka naik ke tempat tidur ukuran jumbo. Lalu
duduk bersandar dan berdampingan.
"Mau ngomong apa, Mel?"
"Papa pasti udah tahu. Apalagi kalau bukan surat
yang aku masukkan ke dalam tas Mama waktu di
bandara. Apa betul dia belum sempat membacanya,
Pa?" Karena sudah siap sebelumnya dan memutuskan
harus konsisten, David segera menjawab, "Betul, aku
yang duluan mendapat surat itu."
"Tapi rasanya kok aneh. Aku nelepon Mama, tentu?
nya dia yang mendapat lebih dulu."
"Begini. Waktu itu kami ada di mobil. Setelah
Mama bicara di telepon dia kasih tahu apa yang di?
bicarakan. Terus dia keluarkan surat itu dari dalam
tas?nya. Tapi kau berpesan supaya surat itu dibaca di
rumah, kan? Nah, dia mau langsung baca. Jadi Papa
rebut surat itu terus kumasukkan ke dalam saku celana
yang dekat pintu. Dia nggak bisa ambil. Begitu me?
markir mobil, dan Papa turun dia mau merebut lagi.
Tapi Papa berhasil mempertahankannya. Terus sampai
masuk ke dalam. Tahu-tahu di ruang depan dia jatuh
menggabruk. Pingsan," tutur David dengan lancar. Ter?
nyata tidak sulit, hanya membelokkan saja sedikit.
645 "Jadi Papa yang membaca surat itu. Papa kaget
se?kali, Mel. Kenapa kau menyimpannya saja?
Seharusnya kau bicarakan denganku lebih dulu."
Imelda memercayai cerita itu.
"Aku takut, Pa. Teringat perbuatan Mama yang
mau mencekikku. Dan Papa juga marah-marah waktu
di kolam renang di Puncak itu. Bayangin kalau aku
ngomong soal itu. Bukan saja Mama yang meledak,
tapi Papa juga, karena kalian berdua yang menyem?
bunyikan kamera itu."
"Baik. Papa sama sekali nggak tahu bahwa Mama
punya rencana begitu. Jadi, ketika sore-sore sesudah
ke?jadian Sukri dibawa ke rumah sakit, Mama mene?
lepon Papa, menyuruh segera menurunkan kamera dan
menyembunyikannya. Papa minta Mama cerita dulu
baru Papa kabulkan permintaannya. Ya, Mama meng?
aku. Tentu saja Papa kaget sekali. Itu kan perbuatan
kriminal. Mama bisa dituntut. Tapi bagaimana lagi?
Papa harus membelanya. Jadi Papa lakukan itu. Rupa?
nya Papa ceroboh karena tidak menyembunyikannya
dengan baik." "Tapi kenapa Sukri sampai dibegitukan? Dia salah
apa sih?" "Dia nggak salah. Yang salah adalah kami berdua
dan nenek moyang penjahat."
"Ha? Siapa itu nenek moyang penjahat? Pantas
gambar-gambar nenek moyang sudah nggak ada se_
mua?nya." "Ya, ya. Kamu memang kritis, Mel. Kamu dan Lala
sama-sama ingin tahu tentang peti yang semula ada di
bawah tangga itu. Lala berhasil melihat isinya."


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Isi-Warisan.indd 646 646 Isi-Warisan.indd 647 "Apa isinya, Pa?"
"Ssst... pelan-pelan. Nanti Tante bangun. Kau nggak
ingin Tante ikut mendengar ceritanya, kan?"
"Nggak, Pa. Aku ingin tahu dulu ceritanya. Nanti
baru aku pikir-pikir apa Tante pantas tahu nggak."
"Pikir dengan baik ya, Mel. Jangan terburu-buru.
Yang penting kamu sebagai keturunan Papa satusatunya perlu tahu."
"Jadi apa isinya?" Imelda tak sabar.
"Isinya tengkorak dan tulang-belulang manusia."
"Ha? Tengkorak siapa dan dari mana?"
"Dengar dulu cerita Papa. Jangan sebentar-sebentar
menyela." Lalu David bercerita tentang isi peti warisan nenek
moyang para penjahat. Bagaimana peti itu kemudian
jadi menyusahkan mereka. Lalu Linda mengusulkan
agar menyuruh Sukri menguburkan saja peti itu di
tengah basement. "Apa Sukri tahu isi peti?"
"Nggak. Sudah Papa gembok. Mungkin juga dia
curiga, tapi nggak bertanya-tanya."
"Lantas kenapa Mama berbuat begitu kepada
Sukri? Kan dia nggak pernah cerita. Nana aja nggak
tahu." "Mama terlalu takut," sahut David sambil mem?
bayangkan Tono di dalam peti. Tono yang ikut terkubur
di basement. Yang ini tidak mungkin ia cerita?kan kepada
Imelda. Punya ibu seorang pembunuh bisa tak ter?
tanggungkan oleh siapa pun.
"Jadi para penjahat itu terdapat di antara gambargambar itu, Pa?"
647 "Ya. Papa nggak tahan melihatnya."
"Dihancurkan saja, Pa."
"Nantilah, Mel. Nggak usah buru-buru."
"Kalau begitu sebetulnya..." Imelda ragu-ragu se?
jenak, "sebetulnya, Mama bermaksud membunuh
Sukri." David terkejut oleh persangkaan Imelda.
"Katanya sih cuma ingin mencederai saja, supaya
Sukri takut." Imelda terenyak ke belakang, menjatuhkan ke?
palanya ke atas bantal. David duduk tegak, mengamati Imelda dengan kha?
watir. "Kau nggak apa-apa, Mel?"
"Cerita yang mengerikan. Jadi... jadi ada kuburan
di bawah rumah kita? Hiii..."
Imelda menggosok-gosok kedua lengannya. David
jadi tertawa melihatnya. "Hei, Mel, kita sudah tinggal lama di sini. Sudah
berapa generasi, coba? Tapi rumah ini nyaman saja,
kan? Nggak pernah ada yang komplain."
"Tapi kalau sudah tahu, rasanya jadi nggak enak.
Ah, biarin. Aku toh nggak tinggal di sini."
"Apa itu berarti kau nggak mau pulang ke sini
lagi, Mel? Ah, jangan dong."
"Pa, aku punya usul. Sekarang Papa tinggal sendiri.
Apa Papa mau terus tinggal di sini?"
"Ini rumah warisan."
"Biar rumah warisan atau rumah apa kek, Papa
berhak untuk tinggal di mana saja semau Papa. Sudah,
Isi-Warisan.indd 648 648 Isi-Warisan.indd 649 Pa. Pindah aja. Cari rumah lain yang kecilan. Rumah
ini punya sejarah yang mengerikan."
David termangu. Ucapan Imelda memang benar,
pikir?nya. Tapi tak pernah terpikir olehnya untuk pindah
rumah. "Emangnya Papa cinta sama rumah ini?"
"Nggak sih." "Nah, tinggalin aja. Apalagi ada riwayat Mama
yang nggak enak. Rumah gede begini jadi terasa sepi
sekali kalau Papa sendirian."
"Pesan nenek moyang, nggak boleh dijual."
"Huuu... nenek moyang yang bikin susah."
Sejenak mereka termangu, merasakan kekesalan
yang sama. Belum pernah keduanya merasakan ke?
dekatan satu sama lain seperti itu. Dulu-dulu kalau
bicara pun hanya sebentar-sebentar. Sekarang mereka
benar-benar berbagi. "Oh, aku tahu kenapa rumah ini nggak boleh di?
jual, Pa!" seru Imelda.
"Kenapa?" "Karena ada rahasia di basement itu. Kalau dijual
sama orang lain kan ketahuan."
"Ya, mungkin juga. Tapi goblok amat ya. Masa
di?biar?kan begitu saja. Dulu kakekmu juga masa bo?
doh. Dipikirnya aman saja di situ. Bahkan peti itu di?
gembok pun nggak. Katanya itu toh sudah merupakan
kuburan karena ada di bawah. Cukup mengunci pintu
dan menggembok pintu yang di halaman. Pembantu
pun nggak ada yang berani lama-lama di basement
karena mereka mendengar di basement ada kuburan.
Hanya Lala yang menemukan. Tentu aku terkejut
649 sekali. Ternyata ada juga kemungkinan dibuka orang.
Jadi aku gembok peti itu."
"Sekarang peti itu sudah aman. Mestinya dari dulu
dikubur. Pak Sukri nggak jadi korban. Kasihan."
"Sudahlah. Yang penting dia selamat."
"Dia orang baik. Jadi dia selamat."
Kata-kata itu membuat David tertegun. Menye?
nangkan sekali berbincang dengan Imelda, serasa
bicara dengan sesama orang dewasa. Jauh lebih me?
nyenangkan dibanding Linda yang selalu kukuh dan
mau menang sendiri. "Nanti dipikirin ya, Pa."
"Tentang apa?" "Pindah rumah. Atau Papa mau tinggal di Belanda
aja?" "Wah, kalau itu sih nggak bisa, Mel."
"Kalau rumah ini nggak boleh dijual, dikontrakin
aja, Pa." "Ya, nanti Papa pikirkan."
Malam semakin larut. Pintu terbuka perlahan-lahan.
Seorang perempuan bergaun tidur semata kaki masuk
dengan langkah berindap-indap. Lalu dia berhenti di
dekat tempat tidur dan menatap dua sosok yang
sedang terlelap. Dia tersenyum sambil geleng-geleng
kepala. Dia adalah Olivia. Tadi ia masuk karena me?
lihat terangnya kamar di bawah pintu. Dimatikannya
lampu besar setelah menyalakan lampu kecil. Lalu ke
luar perlahan-lahan juga.
Isi-Warisan.indd 650 650 Isi-Warisan.indd 651 IKI merasa kecewa karena tidak sempat bertemu
lagi dengan Imelda. Ketika ia menerima telepon pada
suatu malam, Imelda mengatakan akan berangkat esok
pagi. "Secepat itu, Mel?" Kiki tak menyembunyikan ke?
kecewaannya. "Ya. Tak ada banyak waktu. Aku mesti nemenin
Tante Via ke sana ke sini. Tapi kamu kan harus be?
lajar juga." "Padahal sebentar saja kan nggak apa-apa. Belajar
melulu juga capek." "Tapi kalau ketemunya cuma sebentar saja rasanya
juga nggak puas, Ki. Mendingan nggak ketemu aja."
"Ah, mana bisa begitu. Kamu kan mau pergi lama."
"Nanti bisa ketemu lagi, Ki. Hidup masih panjang.
Hahaha..." Kiki tidak ikut tertawa. Ia tidak merasa lucu.
"Sudah ya, Ki. Selamat tidur. Belajar terus, ya.
651 Nanti jangan lupa kabarin aku gimana hasil ujianmu.
Salam buat Nana." Usai menutup telepon, Kiki menatap ponselnya se?
jenak. Kok cuma itu saja pembicaraannya? Sepertinya
Imelda tidak berminat bicara panjang-panjang. Sama
sekali berbeda dari biasanya, suka bermanja-manja,
suka cerita ini-itu. "Imel sudah mau pulang?" tanya Nana.
"Ya. Dia titip salam untukmu."
"Oh. Cepat sekali perginya. Dia sudah harus se?
kolah sih." Tapi bagi Kiki yang kesal, itu bukan alasan.
"Janjinya mau nelepon, tapi kok cuma itu saja,"
sungutnya. Nana ingin menghiburnya, tapi tidak tahu harus
ba?gai?mana. Dalam keadaan itu sepertinya lebih baik
diam saja. Mereka masih punya waktu sebelum tidur untuk
belajar sejenak, mengingat-ingat lagi apa yang sudah
di?pelajari tadi dengan berdiskusi dan tanya-jawab.
Sudah terbukti cara itu efektif untuk membuat apa
yang sudah dipelajari menetap di dalam memori.
Nana berusaha supaya Kiki tetap konsentrasi. Be?
berapa kali Kiki melenceng, pikirannya melayang
kepada Imelda. Nana bisa memperkirakan apa yang
mengganggu pikiran Kiki. Ia juga kesal tapi ada rasa
geli. Inikah akibatnya kalau masih kecil sudah
pacaran? "Ki, udahan ah."
"Kok udahan? Kan belum selesai?"
"Habis aku kayaknya ngomong sama tembok."
Isi-Warisan.indd 652 652 Isi-Warisan.indd 653 "Tembok apa?? Nana tertawa. "Kamu jadi tembok. Badan ada di
sini, tapi pikiran di..." Tangannya menunjuk arah Jalan
Kencana. Kiki memonyongkan mulutnya. "Ah, kamu. Mana
mungkin bisa begitu."
"Kenyataannya begitu. Sudah, jangan dipikirin. Dia
kan baru kehilangan ibunya. Perlu waktu. Biar dia
dengan urusannya, dan kita dengan urusan kita."
Kiki menyadari kebenaran kata-kata Nana. Tapi
rasa kesal itu masih saja ada.
"Kalau janji kan harus ditepati."
"Kadang-kadang nggak bisa juga, Ki."
"Ah, harus bisa."
"Nggak selalu."
"Harus." "Nggak." "Harus." Nana diam. Kiki tak mau kalah.
"Kok diam?" "Kalah." Kiki tertawa. "Nah, gitu. Tertawa kan lebih baik daripada ma?
nyun." "Iya sih. Betul juga. Ayolah kita terusin."
Kiki bersemangat lagi. Ternyata mereka bisa me?
nyelesaikan dengan cepat. Sepertinya lancar saja ma?
suk ke otak. Dengan menghela napas lega keduanya
mem?bereskan buku. "Aku pengin segera ujian. Nggak lama tapi seperti?
nya lama," kata Nana.
653 "Kenapa?" "Aku kangen Bapak. Pengin segera ke sana."
Tiba-tiba Kiki tersentak. Dia seperti baru teringat
bahwa sebentar lagi Nana akan pergi. Tiba-tiba ia jadi
sedih. Imelda pergi. Nana pun akan pergi.
"Duh, pada pergi...," keluhnya.
"Sukabumi nggak jauh."
"Siapa bilang? Aku akan kehilangan kamu, Na."
Nana menatap wajah Kiki. Ada kesenduan dalam
ekspresinya. Apakah Kiki sungguh-sungguh?
"Aku juga kehilangan lebih banyak lagi. Fani,
Tante, Om...." "Tapi kamu beda, Na."
"Sudah, jangan sendu gitu. Sekarang jangan mikir
soal kehilangan, karena belum sampe ke sana. Yang
di depan mata saja dulu, Ki. Ujian..."
Mereka saling memandang lalu tertawa. Jelas Nana
berbeda daripada Imelda, pikir Kiki.
Tak jauh dari mereka, diam-diam Budiman meng?
amati di sela pekerjaannya. Hanya dia yang masih
menemani. Lainnya sudah tidur.
Zaman sudah berubah, selalu berubah dari waktu
ke waktu. Anak kecil sekarang lebih banyak memiliki
kebebasan dan kemampuan berinteraksi seiring dengan
kemajuan tehnologi. Budiman jadi iri. Ah, ia ingin
kem?bali jadi anak kecil lagi.
Malam itu Budiman menerima kiriman e-mail dari
Gunawan. Ada kabar mengenai Sukri. Gunawan
merasa sangat puas dengan pekerjaan Sukri. Ia memuji?
nya sebagai pekerja yang rajin dan cepat paham. Sukri
juga tidak sulit bergaul dengan pekerja lainnya. Jadi
Isi-Warisan.indd 654 654 Isi-Warisan.indd 655 tak ada masalah dengan Sukri kecuali pujian. Hanya
Sukri suka melamun biarpun bukan pada saat bekerja.


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia mengaku rindu pada Nana.
Berita yang sangat baik itu membahagiakan perasa?
an Budiman juga. Bagi Gunawan dan Sukri, keduanya
mendapat manfaat yang maksimal dari usaha masingmasing.
*** Klimaks sudah tercapai dan kemudian antiklimaks.
Ujian sudah datang dan berlalu. Hasilnya pun sudah
didapat. Kiki dan Nana sama-sama menjadi juara di
se?kolah masing-masing. Angka yang diperoleh Kiki
lebih besar 0,1 dibanding Nana. Bagi Nana angka se?
gitu kecil. Tapi bagi Kiki, biarpun kecil berarti dia
lebih daripada Nana. "Ya, kamu menang," kata Nana ikhlas. Baginya,
lebih baik Kiki yang menang. Asal menangnya sedikit.
Ternyata memang itu yang terjadi.
Setelah kegembiraan mereda, Kiki berpikir lain.
"Sebenarnya itu berkat jasamu, Na. Kalau nggak
ada kamu, mungkin angkaku nggak sebesar itu meski?
pun tetap lulus." "Ah, mana bisa? Kan otaknya tetap otak kamu."
"Selama ini kita belajar bersama. Aku dapat ba?
nyak dari kamu. Dan kamu sering memberiku se?
mangat di saat sedang kesal. Terima kasih ya, Na."
Nana tersipu mendapat pujian di hadapan keluarga
Kiki. Apalagi mereka semua membenarkan ucapan
Kiki. 655 "Sekarang kamu cepat kabarin Imel," kata Nana.
"Males ah. Ngapain harus sekarang. Besok juga
bisa." Semua orang di rumah menatap Kiki dengan he?
ran. "Dia sudah mutusin hubungan," jelas Kiki. "Teman
biasa aja. Nggak ada yang spesial."
Nana terperangah. Demikian pula Fani, Budiman,
dan Sumarni. Budiman kembali geleng-geleng kepala
dengan takjub. Masih kecil saja sudah pacaran lalu
memutuskan hubungan. Mungkin generasi berikut,
bayi-bayi sudah bisa berbuat sama.
"Wah, nggak jadi ke Belanda dong!" seru Fani.
Wajah Kiki memerah. "Memang siapa yang mau
ke sana?" "Siapa tahu suatu saat kita bisa jalan-jalan ke sana,
Ki," kata Sumarni, menghibur.
"Kapan dia mutusinnya, Ki?" tanya Nana.
"Pas setelah ujian."
"Bagus nggak sebelumnya," kata Nana. Ia mem?
bayangkan Kiki yang sedih dan melamun terus. Tapi
ia tidak merasa melihat Kiki yang seperti itu setelah
ujian selesai. Mungkin menangis di kamar? Atau se?
gera terhibur karena hasil ujiannya bagus?
"Ya sudah. Kalian masih terlalu muda untuk patah
hati," kata Budiman.
"Kasihan hati yang kecil," kata Fani.
Mereka tertawa. Kiki juga.
Nana dengan bersemangat mengabari Sukri lewat
SMS. Ia tak berani menelepon, takut kalau Sukri se?
Isi-Warisan.indd 656 656 Isi-Warisan.indd 657 dang sibuk bekerja. Sukri cepat membalas. Isinya
penuh kegembiraan dan ucapan selamat.
"Nanti Om kirim kabar pada Om Gunawan untuk
minta tolong mendaftarkan kamu di SMP yang sama
dengan anak-anaknya. Istrinya sudah berpesan," kata
Budiman. "Biar aku urus rapor dan ijazahnya," kata Sumarni.
"Barangkali mereka perlu salinan yang dilegalisasi."
"Terima kasih, Om, Tante," kata Nana penuh haru.
"Sekarang kalian bersantai saja setelah belajar
terus-menerus. Papa punya beberapa keping DVD film
animasi yang bagus."
Budiman tak hanya mengambil DVD yang di?
maksud, tapi juga sebuah dus yang diserahkannya ke?
pada Kiki. "Hore! Laptop!" seru Kiki.
Budiman sengaja membelikan laptop dengan merek
dan jenis yang sama seperti yang dimiliki Nana. Mak?
sud?nya jelas, yaitu supaya tidak dibanding-banding?
kan. Akhirnya Kiki berhasil memperoleh apa yang ia
dambakan. Biarpun selama ini ia bisa menggunakan
milik Nana, tapi tetaplah bukan milik sendiri.
"Sudah bisa langsung kaugunakan, Ki. Kau sudah
tahu caranya, kan?" "Ya, Pa. Terima kasih, Pa!"
Kiki memeluk dan mencium pipi Budiman hingga
Budiman agak tercengang. Sebegitu gembiranyakah
Kiki atau ketularan kebiasaan Imelda? Seingatnya Kiki
tak pernah berbuat begitu kepadanya. Tapi ia senang.
Hari itu Kiki tidak bermaksud menonton film DVD
657 atau mencoba laptopnya. Ia mengajak Nana meninjau
rumah Imelda. "Ada apa?" Semua orang bertanya dengan heran.
"Kemarin aku melihat orang sibuk ngangkutin me?
bel dari dalam rumah. Sofa di mana aku pernah duduk
juga diangkut. Kayaknya pindah rumah. Jadi pengin
lihat." "Ah, buat apa?" kata Budiman.
"Pengin lihat aja, Pa."
Nana juga bersemangat ingin melihat. Tapi Fani
tidak. Sekarang Budiman tidak merasa khawatir melepas
Kiki karena ia yakin David tidak akan macammacam.
Kiki menggenggam tangan Nana waktu berjalan.
Belakangan mereka kembali seperti itu lagi kalau
berjalan bersama. Kebiasaan yang sempat ditinggalkan
pada waktu Imelda dekat dengan Kiki.
"Kayaknya habis diputusin sama Imel, Kiki balik
lagi sama Nana," Fani menyimpulkan.
"Duh, sok tahu..." Budiman tertawa.
"Nanti si Alvin di sana gigit jari dong," Fani ma?
sih menambahkan. Tidak ada komentar dari kedua orangtuanya.
Sementara itu Kiki dan Nana sudah berada di
depan pintu gerbang rumah Imelda. Mereka tidak me?
lihat mobil hitam milik David hingga tidak merasa
khawatir. Tidak ada kegiatan apa-apa di halaman. Tapi pintu
rumah utama terpentang lebar-lebar. Tidak terlihat
siapa-siapa. Lalu muncul Didin dari rumah samping.
Isi-Warisan.indd 658 658 Isi-Warisan.indd 659 Ia berlari ke pintu gerbang ketika melihat Kiki dan
Nana. "Mau masuk, Kak?" ia bertanya.
"Nggak sih," sahut Kiki. "Kok sepi? Pindah, ya?"
"Iya. Tuan mau pindah."
"Kamu?" "Ikut. Sama Kakek dan Nenek."
Didin membuka pintu. Kiki dan Nana masuk. Baru?
lah kelihatan bahwa ruang depan rumah utama sudah
kosong. Tapi pandangan Kiki segera tertuju ke sam?
ping kiri karena ada yang berubah di situ. Ia bergegas
ke sana diikuti Nana. Rumpun pohon kembang sepatu yang lebat sudah
tak ada lagi. Jadi terlihat jelas bagian yang semula
ter?tutup. Pintu papan yang menuju basement juga su?
dah tak tampak lagi karena tertutup oleh undakan se?
tinggi tiga puluh senti yang berlapis batu hias terus
memanjang ke kiri dan ke kanan sepanjang bawah
jendela. Di atas undakan atau bagian yang lebih tinggi
itu berjejer pot tanaman hias.
"Pintu itu dihilangkan, Na," kata Kiki sambil me?
nunjuk. "Orang nggak bisa lagi turun ke bawah," kata Nana.
"Ya, sudah dihilangkan," kata sebuah suara berat
di sisi mereka. Keduanya terlompat kaget. David berdiri sekitar
satu meter dari mereka tanpa terdengar kedatangannya.
Keduanya terlalu asyik mengamati.
David tertawa. "Maaf, ngagetin kalian."
Kiki menenangkan diri. Tak mungkin Tuan berbuat
macam-macam. 659 "Kenapa pintunya dihilangkan, Om? Apa barang?
nya ditinggal di bawah?"
"Ya. Dikubur saja sekalian."
"Jadi nggak dipakai lagi ruangannya? Nggak sa?
yang, Om?" "Memang nggak perlu lagi. Oh ya, kalian sudah
lu?lus?" "Sudah, Om, kami juara di sekolah masingmasing."
"Wah, hebat. Selamat, ya," kata David tanpa men?
dekat untuk menyalami. "Terima kasih, Om."
"Nana?" tegur David melihat Nana diam saja.
"Oh, terima kasih, Tuan."
"Kapan ke Sukabumi?"
"Secepatnya, Tuan. Kalau semua sudah beres."
"Sesudah ini pasti kita tidak akan ketemu lagi.
Entah nanti kalau memang berjodoh untuk bertemu.
Mungkin untuk waktu yang lama sekali. Aku sudah
jadi kakek-kakek dan kalian pasangan yang tampan
dan cantik." "Katanya mau pindah, Om," kata Kiki.
"Ya. Rumah ini terlalu besar untuk Om sendiri?
an." "Apa rumah ini mau dijual?"
"Kenapa? Kau berminat membeli? Hehehe... Nggak?
lah. Ini rumah warisan yang nggak boleh dijual. Kalau?
pun mau dijual sepertinya susah laku. Habis nggak
boleh dibongkar." "Kalau mau pindah kok basement ini ditutup,
Om?" Isi-Warisan.indd 660 660 Isi-Warisan.indd 661 "Kalau nggak, nanti ada yang masuk. Ah, kamu
masih saja penasaran dengan basement itu, ya? Ada
yang ingin kamu tanyakan, Ki? Ayolah, mumpung Om
ada di sini. Nanti kita nggak akan bertemu lagi.
Silakan saja bertanya, jangan sungkan. Nana juga."
Ucapan itu kedengaran menantang. Kiki dan Nana
sempat berpandangan. "Peti itu dikemanain, Om? Itu, yang tadinya ada di
bawah tangga." David mengerutkan kening. "Kok kamu tahu?"
"Ya. Tahu aja."
"Pasti Imel yang cerita, ya?" David menghela na?
pas. "Apa dia bilang juga tentang isinya?"
Kiki menggeleng. Ia tak mau membawa nama
Imelda. Tapi David tidak mendesak. Ia berkata pelan, "Peti
itu sudah dikubur. Seharusnya dari dulu."
"Isinya apa, Om?"
"Ah, sepertinya kamu sudah tahu. Pura-pura saja,
ya. Kalau sudah tahu mesti dijelaskan. Kalau nggak
kamu akan penasaran terus. Itu adalah hasil kejahatan
nenek moyangku, generasi di atas ayahku. Lalu me?????
reka mewariskannya turun-temurun kepada ke?turun?
annya. Akulah yang terakhir karena aku me?ngubur?
kannya. Jadi isi peti itu adalah warisan masa lalu."
Pikiran Kiki tertuju kepada Lala. Jadi benar cerita
Lala waktu itu. Basement itu seperti kuburan. Yang
jahat nenek moyang, tapi yang menanggung adalah
ke?turunannya. "Tolong nanti sampaikan juga pada Pak Sukri, Na.
Dia tentu masih penasaran. Kasih tahu bahwa dia
661 tidak membantu aku berbuat jahat dengan me?
nguburkan peti itu. Dia nggak tahu apa-apa. Maaf se?????
kali lagi padanya." "Ya, Tuan." David merasa iba sekali kepada Nana. Hanya satu
yang tak bisa dikatakannya kepada gadis kecil itu,
bahwa Linda yang telah membunuh Ani. Biarlah raha?
sia itu disimpannya sendiri dan akan dipertanggung?
jawabkannya sendiri pula.
Semua kekesalan di hati Nana kepada David luruh.
Orang sebesar itu, sekaya dan sesombong itu, sudah
mau merendahkan diri dengan sikap dan kata-katanya
kepada dia yang kecil dan bukan apa-apa. Itu sangat
menyentuh perasaannya. Kiki tahu, janjinya dengan Lala sudah tidak berlaku lagi. David sudah menjelaskan. Ia merasa beban?
nya sudah terangkat. Ketika berpamitan Kiki mengulurkan tangannya
kepada David tanpa segan dan takut-takut. Mereka
bersalaman. Juga Nana dengan David. Tidak ada lagi
getaran listrik yang terasa oleh David. Semua biasabiasa saja.
David melambaikan tangan. Kemudian tangannya
masuk ke dalam saku. Sebuah gerakan yang menjadi
kebiasaan belakangan ini. Di sakunya sekarang selalu
terdapat botol obat penekan libido yang dulu selalu
disodor-sodorkan kepadanya oleh Linda. Ia me?????
makannya secara rutin sekarang. Dua kali sehari.
Akibatnya, terhadap Didin pun ia kehilangan se?
lera. Semula ia menyuruh Didin agar kembali saja


Warisan Masa Silam Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada orangtuanya. Tapi Didin menangis tidak mau.
Isi-Warisan.indd 662 662 Isi-Warisan.indd 663 Di sana ia selalu diperlakukan jahat oleh pamannya.
David tidak tega. David sangat menyadari dirinya. Orientasi seksual?
nya tak bisa berubah. Biarpun ia tetap menyukai anakanak, tapi tidak sampai menjurus kepada gairah seks
karena libidonya tidak lagi meletup-letup seperti dulu.
Maka ia tak boleh sampai kehilangan obatnya.
Bila diibaratkan, dirinya adalah serigala. Ia bisa
saja mengenakan bulu domba, tapi tidak bisa menjadi
domba. Ia hanya bisa menjadi serigala jinak.
*** Sekeluarnya dari rumah David, Kiki mengajak Nana
berjalan-jalan ke taman tak jauh dari situ. Kiki sering
bermain bersama teman-temannya di taman yang dulu?
nya merupakan pemukiman liar itu, tapi belum pernah
bersama Nana. Mereka duduk di bangku yang menghadap ke
kolam ikan. "Enak ya tempat ini."
"Besok-besok kita ke sini lagi untuk mengobrol.
Mumpung kau masih di sini, Na."
"Ya. Aku ingin kauceritakan tentang apa yang
dibicarakan Tuan tadi. Aku nggak ngerti."
"Memang aku pengin ngomong soal itu. Pak Sukri
nggak pernah cerita, kan? Dia bilang, sudah berjanji
sama Tuan. Sedang aku sudah berjanji sama Lala.
Sekarang janji itu nggak berlaku lagi. Baik bagi Pak
Sukri, maupun bagiku. Tuan sudah mengungkapkan
semuanya." 663 "Ya, ceritalah."
Kiki bercerita dari awal, sejak ia mencari bola lalu
turun ke basement dan melihat kerangka di dalam
peti. Awal perjumpaannya dengan Lala dan Bi Ani.
Kemudian ceritanya berlanjut ke percakapannya
dengan Sukri, bagaimana ia memancing Sukri untuk
memberitahu di mana peti itu berada. Tapi Sukri tidak
mau memberitahu. Tapi Kiki bisa menebak bahwa
Sukri telah menguburkan peti itu di tengah basement
atas perintah Tuan. Sementara Sukri juga menebak
bahwa isi peti adalah seperti yang telah dilihat oleh
Kiki. Mereka hanya menebak tanpa menjelaskan su?
paya tidak melanggar janji yang telah dibuat.
Nana merasa takjub mendengarnya. Ia sampai
menggosok-gosokkan kedua lengannya.
"Aku kagum. Kamu bisa pegang janji. Bapakku
juga. Biarpun basement itu sudah ditutup, ia tidak me?
nyimpan rahasia lagi buat kita. Oh, aku sungguh
nggak ingin punya nenek moyang seperti itu, biarpun
berkuasa dan kaya-raya. Apalagi mendapat warisan
seperti itu. Hiii... mengerikan."
?????"Ya. Mendingan jadi orang kayak kita aja, se?
derhana dan bukan siapa-siapa."
"Betul, Ki. Tapi kan kita nggak bisa juga memilih
nenek moyang." Mereka tertawa. "Na, nanti kalau kamu sudah di Sukabumi, jangan
lupa sama aku, ya?" "Nggak dong. Kita kan bisa tetap berhubungan.
Mungkin sekali-sekali kau sama keluarga bisa jalanjalan ke sana."
Isi-Warisan.indd 664 664 Isi-Warisan.indd 665 "Iya. Memang bisa sih. Tapi ini bukan soal ke?
temuan atau berhubungan, tapi soal lupa itu lho."
"Nggak mungkin bisa lupa, Ki. Masa sih?"
"Tapi di sana ada si Alvin, Aldo, dan entah siapa
lagi." "Oooh... tapi kamu kan ada Imel."
"Hei, lupa ya? Sama Imel udah putus kok. Terakhir
dia bilang, sudah punya cowok lain."
"Oh ya?" "Maksudnya supaya aku jangan mengharapkan dia.
Lucu, ya. Memangnya siapa yang mengharapkan
dia." "Pergaulannya bebas."
"Na, sebenarnya kita ini terlalu kecil nggak sih
untuk pacaran?" Nana tertawa. "Wah, nggak tahu. Tapi apa maksud
pacaran sebenarnya?"
"Aku suka kamu dan kamu suka aku."
"Oh begitu? Kalau cuma itu sih boleh-boleh aja
dong. Namanya perasaan. Emangnya perasaan bisa
dilarang. " "Jadi boleh, ya? Kalau gitu, kau mau dong pacaran
sama aku?" Kiki nekat bertanya. Kalau bukan karena
Nana akan pergi jauh, mungkin ia akan menunda saja
mengatakannya. Nana tertegun. Lalu berkata pelan, "Ya, Ki. Aku
mau. Tapi... kalau sudah dewasa nanti, taruhlah lima
sampai sepuluh tahun lagi, apa kita akan tetap saling
suka seperti sekarang?"
"Ah, itu sih urusan nanti, Na. Yang penting se?
karang." 665 Mereka saling memandang dan tersenyum cerah.
Masa depan memang tak jelas, tapi itu tak lagi pen?
ting bila ada masa sekarang yang bisa dinikmati se?
penuh hati. Isi-Warisan.indd 666 666 Isi-Warisan.indd 667 Untuk pembelian online: e-mail: cs@gramediashop.com
website: www.gramedia.com
GRAMEDIA penerbit buku utama
667 Isi-Warisan.indd 668 Isi-Warisan.indd 669 Untuk pembelian online: e-mail: cs@gramediashop.com
website: www.gramedia.com
GRAMEDIA penerbit buku utama
Isi-Warisan.indd 670 Isi-Warisan.indd 671 Untuk pembelian online: e-mail: cs@gramediashop.com
website: www.gramedia.com
GRAMEDIA penerbit buku utama
WARISAN MASA SILAM.pdf 12/28/12 WARISAN MASA SILAM Ketika mencari bolanya yang jatuh di halaman sebuah rumah kuno dan
besar, seorang bocah laki-laki
bernama Kiki menemukan pintu
ruang bawah tanah. Ia lalu turun ke situ
didorong rasa ingin tahunya. Di bawah sana ia menemukan peti antik, yang isinya membuatnya terkejut dan
ketakutan. Isi peti itu adalah warisan masa silam yang
mengerikan dari nenek moyang David, si pemilik rumah.
Setiap orang akan bersukacita bila menerima warisan
harta kekayaan. Tapi bagaimana jadinya bila bersama
dengan harta itu David harus pula mewarisi bukti
kejahatan dari generasi masa silamnya? Celakanya lagi,
bukan hanya materi dan bukti kejahatan yang diwariskan
padanya, tapi juga gen jahat!
WARISAN MASA SILAM Sastrawan Cantik Dari Lembah Merak 1 Mushasi Karya Eiji Yoshikawa Pendekar Panji Sakti 24

Cari Blog Ini