Dendam Kesumat Karya Widi Widayat Bagian 9
"Apa? Benarkah itu? Ah kurang ajar!" Prayoga geram sekali ditipu orang.
"Akan tetapi yang membuat aku tak mangerti, mengapa dia hanya menakut-nakuti dan tidak berusaha mencelakakan aku?"
"Tidak ada perlunya mencelakai orang." Sarini menjelaskan.
"Tambah banyak orang yang datang dan berusaha menyelidiki harta karun, berarti membantu usahanya. Sebab siapapun yang menemukan tempat itu, tentu dibunuhnya! Apa sebabnya? Agar dia sendiri yang mendapatkan harta karun itu."
"Ah, gila"' gerutu pemuda ini.
"Kalau begitu. tentunya engkau sangat menderita selama ditawan mereka?"
Sarini memalingkan muka dalam usahanya menyembunyikan airmata. Ia terharu sekali, pemuda yang diCintai itu amat memperhatikan dirinya. Tidak seperti waktu waktu sebelumnya. perhatian Prayoga selalu tertuju kepada Mariam seorang saja. Sekalipun dirinya selalu berusaha mendekati dan menarik perhatian, tetapi tidak pernah mendapat tanggapan seperti yang diharapkan.
Kiranya lebih biiaksana kita tinggalkan dahulu mereka yang mencari harta karun. Dan sebaiknya kita sekarang mengikuti kepergian Marsih lebih dahulu, yang menuju Muria Dalam perjalanan menuju Muria ini. Marsih berpapasan dengan dua orang muda naik kuda. Ternyata dua orang muda itu cengar-cengir dan berusaha menggoda. Marsih menjadi marah. Dua pemuda itu dihajar babak belur, kemudian dua ekor kuda itu, direbut lalu dipacu ke Muria. Karena kuda itu dipergunakan bergantian, perjalanan menjadi cepat.
"Hai, berhenti!" bentak penjaga markas Muria.
Ketika itu hari sudah malam. hingga penjaga tidak dapat melihat jelas. MarSih berhenti juga, kemudian menyahut,
"Aku! Tidak perlu banyak bicara. Aku datang ke mari mencari Swara Manis!"
Saat itu Swara Manis justru sudah berhadapan dengan maut. Kendati telah mendapat hukuman dengan dua kaki buntung. namun banyak orang yang tetap menuntut Swara Manis supaya dihukum mati. Memang di
saat Ladrang Kuning hadir, semua orang terpaksa mengalah. Akan tetapi setelah perempuan sakti itu pergi, tuntutan banyak orang membahana minta agar Swara Manis tetap dihukum mati. Kendati dua kakinya sudah buntung. tetapi banyak orang tetap berpendapat, Swara Manis berbahaya.
Jawaban marsih itu menyebabkan penjaga curiga. Lima orang penpaga serempak mengurung MarSih, dan salah seorang membentak,
"Kurangajar! Menyerahlah untuk kami tangkap!"
Trang trang... para penjaga itu mengancam dengan senjata, tetapi segera ditangkis oleh Mars-ih. Sesudah dua orang dapat dirobohkan. kemudian MarSih menerobos masuk markas.
"Tangkap! Tangkap! Ada pengacau!" teriak para penjaga itu sambil mengejar. Marsih mengamuk, kemudian berhasil merobohkan beberapa orang lagi. Akan tetapi jumlah penjaga yang mengepung makin lama tambah banyak.
Suara ribut-ribut itu menarik perhatian Darmo Gati. Ia cepat-cepat keluar sambil membawa tongkat. Marah tidak perduli Siapapun. Begitu melihat ada 0rang keluar, tanpa ditanya sudah diserang.
Darmo Gati terkejut sekali ketika tahu. penyerangnya hanya wanita muda. Ia malu! Tongkat dibuang lalu bertangan kosong sudah menghadapi Marsih.
"Lepas'" teriaknya.
Marsih merasakan tangannya kesemutan, dan tahu tahu senjatanya sudah pindah ke tangan Darmo Gati. yang kemudian melontarkan kepada batang pohon. Senjata menancap pada batang pohon, tetapi Darmo Gati menjadi terperanjat setelah tahu Siapa yang dihadapi. Katanya ramah,
"Ah, ternyata engkau! Ah, hampir saja aku salah tangan. Apakah sebabnya engkau mengamuk?"
Tetapi Marsih yang penasaran membentak,
"Tak usah banyak omong. Mana Swara Manis?"
"Mengapa kau tanyakan?"
"Sudahlah! Katakanlah lekas, di mana Swara Manis'" bentaknya lagi. '
"Apa maksudmu yang sebenarnya?" desak Darmo Gati.
Tiba-tiba Ali Ngumar muncul, keluar dari markas. Darmo Gati segera diminta untuk membawa Marsih ke dalam markas. '
Setelah tiba di dalam markas. tanpa tedeng aling aling MarSih menuturkan maksud kedatangannya, untuk minta Swara Manis.
Baik Ali Ngumar maupun Darmo Gati merasa kasihan kepada wanita yang tergila gila kepada Swara Manis itu. Lalu Ali Ngumar berkata,
"Marsih! Hampir semua orang menuntut Swara Manis dihukum mati. Apakah engkau juga tahu soal ini?"
"Ya, tentu saja aku tahu!" sahutnya tegas.
Ali Ngumar menghela napas panjang, kemudian.
"Karena dosa perbuatannya sulit diberi ampun, maka telah diputuskan hukuman mati untuk Swara Manis."
"Apa" Marsih berjingkrak saking kaget.
"Jadi... jadi... kakang Swara Manis sudah mati... .?"
Ali Ngumar nenghela napas lagi, lalu
"Mati memang belum."
Ketika melihat wanita itu menghela napas lega. Ali Ngumar berkata lagi,
"Engkau jangan kaget dan sedih. Sekarang kakinya sudah buntung!"
Marsih terbelalak. Namun beberapa saat kemudian ia tenang kembali, lalu berkata mantap,
"Tidak apa! Sekalipun kakinya sudah buntung, dia tetap saja kakang Swara Manis!"
Ali Ngumar dan Darmo Gati terharu mendengar tekat Marsuh. Ini membuktikan bahwa cinta-kasih Marsih Swara Manis murni. Sekalipun kakinya sudah buntung, cinta kasih wanita ini tidak juga menjadi luntur.
Pada saat ini, Tiba-tiba saja Ali Ngumar terbayang akan nasib anaknya yang menderita. Ia menghela napas panjang dan akhirnya Ali Ngumar membicarakan masalah Swara Manis ini dengan para tokoh yang lain.Dalam pembicaraan ini, si Bongkok yang kokoh tetap menuntut agar Swara Manis dihukum mati. Tuntutan ini memang sudah pada tempatnya. karena s1 Bongkok ini yang paling mendendam kepada Swara Manis yang curang dan penipu Itu. Namun setelah Jim Cing Cing Goling membujuk. akhirnya si Bongkok mengalah. Akhirnya semua orang setuju, dapat memberi ampun kepada Swara Manis. Setelah semua orang sependapat, kemudian Ali Ngumar memerintahkan agar Suara Manis digotong masuk.
*** DENDAM KESUMAT karya Widi Widayat Jilid 8 *** "DENOK", kata Ali Ngumar.
"Apakah" keputusanmu ini sudah engkau pikirkan masak-masak akan akibatnya?"
"Sudah!" sahut MarSih.
"Pendeknya apapun yang terjadi, dan bagaimanapun keadaannya, aku tetap menCintai kakang Swara Manis."
Ali Ngumar terharu sekali. Kemudian ia mempersilahkan Marsih ke dalam bilik di mana Swara Manis berada.
Pertemuan yang terjadi dalam bilik itu amat mengharukan. Mereka berpelukan. dan airmatanya membanjir dari sudut mata masing-masing. Airmata penyesalan, kesadaran. rasa syukur, benih cinta-kasih dua insan ini tumbuh dan bersemi dalam lubuk hati masing-masing. Swara Manis yang selama ini selalu menghina MarSih. tidak malu-malu lagi minta maaf dan menyesali perbuatannya, sehingga semakin besarlah hati Marsih yang setia ini.
Tak lama kemudian. Marsih sudah keluar sambil menggendong Swara Manis. Marsih kemudian mohon diri kepada para tokoh para pejuang ini,, sambil mengucapkan terima kasih. Ali Ngumar yang terharu melihat keadaan itu, hatinya tergerak. Untuk mempercepat perjalanan dari dua insan ini. Ali Ngumar memberi hadiah seekor kuda pilihan.
Semula marsih sudah berketetapan hati. untuk segera menuju ke tempat yang tenang, guna membangun rumah-tangga yang bahagia dan damai. Akan tetapi tiba-tiba Marsih teringat, bahwa berhaSilnya bertemu
dengan Swara Manis. atas jasa pertolongan sebuah patung di pesanggrahan Mayong. Teringat itu timbullah niat Marsih untuk kembali lagi ke pesanggrahan itu. guna mengucapkan terima kasihnya kepada patung.
Kurang penting kita ceritakan dalam perjalanan. Yang penting. mereka telah tiba di pesanggrahan Mayong. Kemudian setelah turun dari kuda. tanpa rikuh lagi digendonglah Swara Manis masuk pesanggrahan.
Hadirnya MarSih sambil menggendong Swara Manis, membuat Prayoga terkejut dan menegur,
"Hai. engkau membawa Swara Manis ke mari? mBakyu Darmi sudah menunggumu sejak kemarin."
"Terima kasih," sahut Marsih gembira.
"Tolong, bawalah aku ke tempat mbakyu Darmi."
Prayoga tidak keberatan kemudian membawa Marsih untuk dapat bertemu dengan Darmi.
Prayoga memang halus perasaannya. Sekalipun semula benci setengah mati kepada Swara Manis. tetapi setelah melihat keadaannya, menjadi kasihan juga. Lenyap rasa benci yang tersimpan dalam hati selama ini, dan sekarang dapat memberi maaf.
Munculnya Marsih sambil menggendong Swara Manis, di sambut gembira oleh Darmi yang saat itu sedang bercakap-cakap dengan Darmo Saroyo dan Sarini. Ternyata Darmo Saroyo sama perasaannya dengan Prayoga, hingga rasa-benci dan dendamnya kepada Swara Manis terkikis habis saat itu juga. Tidak ketinggalan pula Sarini sudah memberi maaf.
Begitu datang dan memperhatikan apa yang sedang dibicarakan, Swara Manis berkata,
"Aku yang hina dan tidak berguna ini, ingin mengemukakan pendapatku. Aapakah kalian sedia mendengar?"
"Bagaimanakah pendapatmu?" sambut Prayoga yang kenal kecerdikannya.
Swara Manis batuk-batuk sebelum menjawab. Kemudian,
"Aku percaya bahwa tempat menyimpan harta karun itu amat dirahasiakan. Menurut keterangan. dahulu disembunyikan oleh orang-orang kepercayaan Pangeran Harya Penangsang. Kalau sekarang harta karun itu banyak dibicarakan orang, aku menduga bahwa cerita itu merupakan salah satu siasat dari keturunan orang-orang kepercayaan Pangeran Harya Penangsang tersebut, untuk menutupi rahasia perbuatannya yang curang. Apakah kalian sependapat dengan aku?"
Darmo Saroyo dan kawan-kawannya seperti disadarkan oleh pendapat Swara Manis. Kemudian mereka juga dapat menerima pendapat itu
Swara Manis berkata lagi,
"Kiranya orang-orang kepercayaan Pangeran Harya Penangsang itu sudah menyadari bahwa sekalipun sudah sedemikian rupa letak harta karun itu dirahasiakan. lambat laun akan bocor juga. Sebab sesuatu rahasia Itu hanya akan aman, apabila hanya diketahui oleh seorang saja. Sebab apabila rahasia itu diketahui dua orang, salah seorang akan membocorkan kepada orang kedua, ketiga dan seterusnya. Akhirnya sudah bukan rahasia lagi. karena disiarkan dan mulut ke mulut. Akan tetapi agaknya jauh sebelumnya sudah diperhitungkan pula akibatnya. Maka di kala orang Sibuk berusaha mencari harta karun."
Untuk sejenak Swara Manis berhenti. Lalu ia berbisik,
"Bukankah saudara-saudara tadi mengatakan Saragedug dan Sintren masih berkeliaran di tempat ini? Mudah-mudahan ucapanku tadi sudah mereka dengar."
Mendengar itu Darmo Saroyo dan Prayoga cepat melesat keluar ruangan untuk menyelidiki. Ternyata dugaan Swara Manis tepat sekali. Mereka melihat dua sosok bayangan hitam lari ke utara. Menilik keadaannya, jelas baru saja lari dari tempat ini.
"Ternyata mereka memang, mendengarkan dari luar,
" kata Darmo Saroyo sesudah masuk kembali.
"Tetapi sekarang sudah jauh, kita tak perlu khawatir lagi. Sekarang lanjutkanlah pendapatmu, saudaraku."
Sebutan "saudaraku" ini membesarkan hati Swara Manis. Berarti sekalipun pada mulanya bermusuhan, Darmo Saroyo benar benar melupakan peristiwa lama.
Sesudah merenung sejenak. tangan Swara Manis' menuding ke jendela. Katanya,
"Tetapi aku sendiri baru dapat menduga saja. Menurut kata sementara orang, harta karun itu disembunyikan dalam perut patung. Tetapi karena letaknya amat dirahasiakan, maka tidak gampang orang menemukannya. Akhirnya orang-orang menpadi putus-asa dan mengambil keSimpulan bahwa sesungguhnya harta karun itu tidak ada. Maka sekalipun sudah berlalu lama sekali. harta karun itu tetap masih selamat tidak seorangpun berhasil menemukan."
Darmi yang otaknya tumpul, diam-diam mencaci Swara Manis, yang dianggap sudah membual. Akan tetapi Sarmi yang cerdas lain. Ia cepat dapat menangkap maksud Swara Manis. Ia menghampiri jendela lalu memandang keluar. Lagi-lagu bayangan Saragedug dan Smtren baru sama melesat ke atap dan melarikan diri.
"Engkau benar-benar cerdik,
" Sarini memuji. Swara Manus menghela napas puas. ujarnya,
"Tetapi kali ini mereka tentu benar-benar pergi. Suami-isteri Itu memang sakti, dapat datang dan pergi sepertl setan."
Sekarang Darmi baru sadar mengapa sebabnya Swara Manis berkata begitu. Kiranya memang sengaya supaya didengar Saragedug dan Sintren.
Sebenarnya Swara Manis masih dalam keadaan terluka parah. Kendati Marsih amat berhati hati sekali dalam memboyong Swara.Manis, tetapi guncangan kuda itu menyebabkan luka pada kakinya mengucurkan darah lagi. Namun demikian karena melihat orang orang yang dahulu membencinya bersikap bersahabat, Swara Manis
merasa masih dibutuhkan orang. Ia menahan sakit dan melanjutkan keterangannya. _
"Jelasnya, kalau hanya mencari pada patung dalam pesanggrahan ini, hasilnya sia-sia belaka. Karena patung-patung itu tentu akan diselidiki orang."
Swara Manis tampak terengah kepayahan. Melihat itu Marsih memberi nasihat, sebaiknya istirahat dahulu.
Akan tetapi Swara Manis yang ingin menebus dosa perbuatannya, tidak menghiraukan Marsih dan berkata lagi,
"Aku percaya saudara-saudara sudah melakukan penyelidikan di pesanggrahan ini sampai tuntas. Apakah di antara saudara ini tidak menemukan salah satu tempat yang menimbulkan rasa curiga?"
Sarini seperti disadarkan. Ia teringat kepada sumur yang menyebabkan dirinya terjatuh. kemudian teringat pula bahwa air dalam sumur itu memancarkan sinar yang aneh dan mencurigakan. Ia menjadi sangSi. Tetapi sejenak kemudian ia menarik lengan Prayoga lalu diajak pergi. Setelah Sarini dan Prayoga pergi. Darmo Saroyo dan Darmi juga pergi.
"Marsih'." ujar Swara Manis.
"Apakah engkau tidak ikut membantu mereka menCari harta karun itu?"
"Tidak!" sahutnya cepat.
"Aku tidak menginginkan apapun, kecuali ingin selalu berada di sampingmu."
Swara Manis terharu, katanya tersendat,
"Tetapi... tetapi aku selalu... menyakiti hatimu... ."
MarSih cepat-cepat menutup mulut Swara Manis, sambil 'berkata lembut.
"Kakang Swara Manis, apa yang pernah terjadi tidak membekas dalam hatiku. Apa saja yang engkau lakukan terhadap diriku, aku tetap setia dan mencintai engkau sepenuh jiwa ragaku."
Marsih tak kuasa menahan tangisnya lagi. Sedang Swara Manis sangat menyesal, teringat perjalanan hidupnya yang sudah dilalUi. Ia maSih ingat. ketika dirinya
masih gagah, tampan, ia tidak perduli kepada Marsih yang sudah ditunangkan sejak lama. Akan tetapi sekarang setelah dirinya buntung, ternyata orang yang memperhatikan pertama kali juga MarSih.
"Ah Marsih... aku sudah banyak dosa terhadap engkau,
" katanya penuh sesal.
"Apakah engkau sedia mengampuni?"
"Sudahlah kakang, jangan berkata seperti itu. Apakah engkau masih terkenang kepada Mariam?"
"Ah. dia sekarang sudah pergi tak diketahui di mana. Akulah yang menyebabkan dia menderita. Dan di samping itu. akupun sudah buntung... ."
"Sudahlah. engkau tak perlu menyesali keadaan. Bagiku. dulu dan sekarang, engkau tetap sama. Satu-satunya pria yang aku Cintai."
Saking terharu 'dan terima kasihnya jari jari tangan Swara Manis segera menggenggam jari tangan Marsih erat-erat sekali. Kemudian mereka saling pandang amat mesra...
Namun kemudian mereka terkejut oleh suara orang ketawa dari luar jendela, disusul pintu yendela terbuka tiba-tiba. Seperti setan muncul dari bumi, tiba-tiba seseorang telah muncul, berpakaian seperti petani desa dengan wajah ditutup kain.
"Heh-heh-heh, seharusnya engkau tepat mendapat gelar "mata keranjang" alias perayu wanita. Aih, adegan yang kamu buat tadi, benar-benar membuat hatimu puas, bukan?"
Swara Manis seperti disambar petir saking kagetnya. Ia cukup kenal suara pendatang ini. Siapa lagi kalau bukan Sintren, wanita sakti dan tangannya ganas? Dalam keadaan dirinya sudah cacat buntung seperti saat ini, dirinya takkan dapat berbuat apaapa. Lebih-lebih Marsih bukan tandingannya. Namun demikian sedapat mungkin ia bersikap tenang dan menindas kegelisahannya. Lalu sambil tersenyum, ia berkata,
"Ah; bibi mengejek."
Marsih yang belum kenal segera bertanya. Swara Manis cepat memberi isyarat agar Marsih pergi memanggil bantuan. Akan tetapi celakanya MarSIh tak dapat menangkap maksud Swara Manis. tidak mau pergi malah mendesak,
"Siapa dia, dan apakah maksudnya ke mari?"
Sintren menjadi sebal. Ia melompat masuk lewat iendela. Swara Manis gugup dan Cepat-cepat memangkan,
"MarSih! Beliau seorang sakti dari Gunung Kidul. Saking saktinya itu orang-memberi gelar Gendruwo Semanu dan merupakan orang kepercayaan raja Mataram.'
Maksud Swara manis agar Marsih sadar kalau Sintren ini musuh pejuang Pati, dan Marsih diminta segera memanggil bantuan. Sayang sekali isyaratnya tanpa hasil. Ia tidak mau memangigil bantuan, malah kemudian menyambar senjatanya dan diputarkan cepat sekali. Dan ketika Sintren menghampiri, ia membentak,
"Huh, mata-mata Mataram. jangan berusaha mendekati kakang Swara Manis!"
Swara Manis mengeluh dan amat gelisah. Sedang Sintren terkekeh.
"Bibi. saya mohon jangan mencelakai dia!" pinta Swara Manis. Kiranya bibi lebih tepat bertanya kepadaku saja."
Swara Manis segera menyuruh Marsih agar memanggil Darmi dan Darmo Saroyo. Ia terpaksa berterus terang, karena MarSih tak juga mengerti isyarat yang diberikan berulang-ulang, padahal keadaan amat berbahaya. _
Namun sesungguhnya, bukannya Marsih "tidak tahu isyarat itu. Yang jelas Marsih tidak mau meninggalkan kekasihnya berhadapan dengan bahaya seorang diri. Bagaimanapun ia tetap berusaha melindungi Swara Manis. Katanya mantap,
"Kakang, Jangan takut! Akan aku usir orang busuk ini!"
Begitu berkata, Marsih sudah menusuk dengan senjata trisula. Sayang yang dihadapi sekarang ini Sintren yang sakti. Sebelum senjata MarSih sempat menusuk, Sintren sudah menerkam. MarSih menghindar ke samping dan menusuk dada.Di luar tahu MarSih, semua itu sudah diperhitungkan oleh Sintren. Ketika Marsih menusuk lagi, Sintren sudah siap dengan dua jari untuk menjepit.
Marsih amat terkejut. Cepat-cepat ia menarik senjatanya, tetapi tidak berhaSil. '
"Hem, ibarat timun melawan durian!' ejek Sintren sambil terkekeh. Ketika tangan Sintren bergerak, senjata Marsih sudah melengkung.
MarSih terlonggong keheranan melihat kesaktian orang. Sintren menarik trisula, dan secepat kilat disodokkan. Akibatnya Marsih mengerang tertahan, kemudian roboh tak berkutik karena terpukul dadanya.
Swara Manis amat terkejut. Dengan menahan rasa sakit ia berusaha mengangkat tubuhnya. Akan tetapi ketika melihat Marsih roboh di lantai tak berkutik, ia menghela napas dan merebahkan diri lagi.
Sintren sengaja memamerkan kesaktiannya. Sekali banting, senjata Marsih sudah masuk ke dalam lantai separo lebih. _
Sintren menyeringai, lalu menyapa,
"Swara Manis! Engkau tak kurang suatu apa, bukan?"
Berhadapan dengan bahaya ini. satu-satunya jalan hanyalah menggunakan taktik mengulur waktu. Mudahmudahan Darmo Saroyo dan kawcm-kawannya segera datang dan menolong. Kemudian tidak mempunyai alasan kuat, Swara Manis menyingkap selimut yang menutupi dua kakinya. .
"Aih... itukah perbuatan orang Pati? Sungguh ganas!" Sekalipun Sintren selalu mengganas, berjingkrak juga.
"Tetapi yang bibi lakukan tak kalah ganasnya." sindir Swara Manis.
"Kakek guru sudah terlanjur bersumpah, hutang itu pada saatnya harus bibi' bayar berikut bunganya."
"Apakah kakek gurumu juga hadir di sini?" Sintren kaget sekali.
Swara Manis ketawa bergelak-gelak, tidak menyahut. Untung Sintren bukan tolol, malah seorang perempuan licin dan penuh tipu muslihat. Maka sudah dapat menduga, Swara Manis hanya main gertak.
"Hai Swara Manis! Jika engkau sedia bekerjasama dengan kami, aku tanggung engkau takkan mengalami kerugian lagi." Sintren mulai membujuk.
"Apabila kami dapat menemukan harta karun itu, engkau akan memperoleh bagian juga. Aku tanggung, bagianmu akan dapat engkau nikmati sampai tujuh turunan. Apakah engkau tidak ingin?"
Sintren sudah salah duga. Menurut anggapannya. Swara Manis masih seperti dulu. Padahal sesudah kakinya buntung, Swara Manis menjadi sadar dan menjadi manusia baru, yang sadar dan ingin menebus dosa.
"Brak...! tiba-tiba Swara Manis memukul papan tempatnya berbaring.
"Engkau jangan mimpi! Engkau jangan berharap dapat mempengaruhi aku lagi. Swara Manis sekarang bukanlah Swara Manis yang dulu. Sekalipun harta karun itu seluruhnya engkau berikan kepada ku, aku tidak sudi berhubungan dan berdekatan dengan kau lagi."
Sintren terkejut. Namun "segera menyeringai, dan ketawa seperti iblis.
"Bagus! Hi-hi-hik, engkau sekarang sudah mengangkat diri sebagai ksyatria sejati? Him-huh, siapakah yang membawa pasukan Mataram memukul Mayong? Siapa pula yang merencanakan penyerbuan Muria dan Pati? Huh huh, engkau kira mereka sedia mengampuni jiwamu? Tolol! Benar benar sudah berobah tolol ! Apakah engkau tidak menyadari bahwa mereka bermaksud menggunakan kecerdikkan otakmu untuk menemukan harta karun itu? Sesudah berhasil. nyawamu melayang. Tahu?"
Swara Manis mengucurkan keringat dingin. Umpan Sintren itu berhasil menggoyahkan pendiriannya. Sebagai seorang cerdik, iapun bisa merasakan bahwa dirinya memang sulit memperoleh ampun. Sesudah berhaSil menemukan harta karun itu, para pejuang Pati tentu segera memutuskan hukuman mati. Tetapi sebaliknya kalau sedia bekerjasama dengan Sintren, masih ada harapan akan memperoleh bagian yang dapat dinikmati sampai tuyuh turunan.
Akan tetapi kemudian ia teringat akan sikap para tokoh pejuang. Sikap mereka, memberi ampun secara ikhlas. Dan ini dibuktikan pula, dengan pemberian hadiah seekor kuda. Kemudian ia percaya pula bahwa tokoh seperti Ali Ngumar maupun yang lain, merupakan ksyatria ksyatria yang tak pernah ingkar janji dan bisa di percaya. Maka tidak mungkin orang-orang itu sampai hati menghukum mati.
Makin dipikir, Swara Manis segera teringat pula akan sepak-terjang orang-orang seperti Saragedug dan Sintren ini. Nyatanya ia pernah memberi bantuan tetapi malah dikorbankan. Bukankah sebabnya dua kakinya sampai buntung sekarang ini, tidak lain akibat kelicikan dan tipu muslihat Saragedug dan Sintren juga? Ah, ia menjadi semakin sadar. Bahwa dirinya dikorbankan oleh Saragedug dan Sintren, dengan maksud agar penyamarannya jangan' sampai terbongkar, dan satu-satunya jalan sakSi satu satunya harus dilenyapkan.
Dalam hatinya marah dan mengutuk oleh kelicikan Sintren. Dan ia gembira bahwa dirinya masih diberi kesadaran. hingga tidak terbujuk oleh Sintren.
Katanya kemudian, "Huh, jika engkau mengharapkan aku mau membantu dan bekerjasama dengan tikus tikus busuk, sama halnya menunggu timbulnya batu di permukaan air!"
Wajah Sintren berobah seketika. Senjata Marsih yang tadi ditancapkan di lantai dicabut dengan gampang, kemudian dipergunakan untuk mengancam Swara Manis. Hardiknya,
"Baik! Silahkan memutar lidah sampai'kering, tetapi akupun tidak akan membiarkan engkau hidup dan menjadi penaSihat para pemberontak!"
"Kalau mau membunuh, silahkan membunuh!" tantangnya mantap.
Sintren terkesiap mendengar tantangan itu. Diam diam Sintren heran bukan main, menyaksikan perubahan watak Swara Manis. Ia kenal, Swara Manis semula gila hormat dan gila pangkat. Tetapi sekarang Swara Manis sudah menjadi baru segalanya.
"Huh -huh, engkau jatuh giliran kedua. Lebih dahulu akan aku bunuh perempuan ini!" Sintren berputar tubuh, lalu tangannya" bergerak akan menikam Marsih.
"Tahan!" cegah Swara Manis.
"Apa? Apakah engkau sudah setuju?"
Tetapi lagi lagi Sintren salah duga. Swara Manis bukan berobah pikiran. dan setuju permintaan Sintren, tetapi ingin menolong Marsih. Apapun yang akan terjadi, dirinya sudah diselamatkan Marsih. Untuk itu ia berjanji membalas budi kepada Marsih yang setia dan sedia berkorban itu.
Namun celakanya untuk dapat menolong Marsih, dirinya harus menyetujui permintaan Sintren. Padahal ia sudah menyesal dan tak ingin kembali ke jalan lama. Akibatnya untuk beberapa saat lamanya., Swara Harus Seperti kehilangan akal. tak segera dapat menjawab.
Agaknya Sintren dapat mengetahui juga perasaan Swara Manis. Ia mengangkat senjata, dan ujung senjata itu sudah dekat sekali dengan dada MarSih. Sebelum senjata itu bergerak. Sintren berkata,
"Pikir dulu masak-masak! Aku menghitung sampai IO kali. Jika sampai pada akhir hitungan engkau tetap membandel, perempuan ini tentu mati!""
Tanpa menunggu jawaban, Sintren sudah mulai menghitung. Satu... dua dan tahu-tahu sudah meluncur untuk menikam dada MarSih.
"Hai...!" Swara Manis memekik ngeri.
Akan tetapi dengan cepat pula Sintren dapat menarik kembali senjata itu. hingga tidak menyentuh kulit MarSih. Sintren melirik ke arah Swara Manis yang pucat Kemudian mulai menghitung lagi dari satu.
Dada Swara Manis menjadi sesak. Napasnya memburu dan matanya berkunang-kunang. Akan tetapi Swara Manis maSih memaksa diri untuk mengangkat kepala memandang ke depan. Dan ia melihat ujung semata itu turun perlahan-lahan. Sebelum Swara Manis sadar, Sintren sudah menghitung sampai enam. Saking tak kuasa menahan perasaannya lagi, tiba-tiba Swara Manis pingsan.
Tetapi karena Sintren berdiri membelakangi Swara Manis, maka Sintren tidak tahu keadaan pemuda itu. Perempuan ganas _ini sudah memutuskan, kalau MarSih tak dibunuh, tentu Swara Manis mengira dirinya hanya main gertak saja. Untuk menundukkan swara Manis, satu-satunya jalan hanya membunuh perempuan ini lebih dahulu.
Setelah memperoleh keputusan, senjatanya bergerak cepat sekali meluncur untuk menikam dada MarSih.
"Ya'Tuhan, hamba mohon, ampunilah hamba-Mu!" mendadak terdengar suara orang berdoa, nadanya halus merdu, akan tetapi kumandangnya menguasai seluruh ruangan.
Sintren kaget. Ujung senjata yang tinggal dekat sekali dengan dada itu tiba.-tiba berhenti oleh getaran suara orang tersebut. Ketika Sintren memalingkan muka ke pintu, seorang kakek berpakaian serba hitam, membawa tongkat, sedang memandang dirinya dengan mata mencorong.
Sintren berdebar. Dan ketika pandang matanya beradu dengan mata kakek tersebut, seketika nafsu kemarahannya lenyap. Untuk beberapa saat Sintren tegak termangu. Sebagai seorang perempuan luas pengalaman, ia segera menyadari bahwa kakek yang dihadapi sekarang ini sakti mandraguna, dan dirinya bukan tandingannya.
Kakek itu melangkah perlahan menghampiri Swara Manis. Ketika lewat di dekat Marsih dan memandang pula wanita muda yang menggeletak tak berkutik, ia berkata halus,
"Ya Allah, mengapa sebabnya anak muda ini menahan kesakitan sedemikian rupa?"
Ia menggerakkan tongkatnya perlahan menyentuh pundak MarSih. Sentuhan itu menyadarkan MarSih. Tetapi karena dadanya diancam senjata, MarSih tidak berani bergerak sedikitpun.
"Ah, harap singkirkan dahulu senjatamu, agar wanita ini' dapat bangun!" katanya lagi, dan tetap halus.
Sungguh aneh yang terjadi. Seperti terpengaruh daya gaib, di luar kehendaknya sendiri, Sintren Sudah mengangkat senjatanya dan Marsih dapat meloncat bangun. Sintren gelagapan dan menyesal, mengapa diri nya tadi menurut saja kepada kata-kata kakek itu.
Kemarahannya bangkit lagi dan tertuju kepada kakek itu. Sambil melengking-keras, ia menyerang, sekalipun tahu kakek itu sakti. Dalam usahanya menang, ia menyerang sambil mengerahkan hawa saktinya yang dingin. Mendadak saja seluruh ruangan itu menjadi 'dingin. Marsih menggigil kedinginan. Pada saat MarSih kedinginan itu, Swara Manis sadar. Melihat Marsih duduk di sampingnya, segera menggenggam jari tangan kekasihnya mesra sekali.
Kakek yang diserang itu tampak tenang-tenang saja. Ketika senjata Sintren sudah hampir menyentuh tubuhnya, barulah kakek itu melintangkan tongkatnya.
'Trang! Sintren tersentak kaget. Ketika senjatanya berbenturan Sintren kaget sekali, karena tenaganya seperti lenyap tiba-tiba, sehingga hawa dingin yang menyebar ke seluruh ruangan itupun lenyap pula. Buru-buru Ia melepaskan senjatanya, kemudian meloncat ke belakang.
"Jebeng, buanglah alat membunuh itu dan kembalilah ke jalan benar," kata kakek itu lemah lembut.
"Kebiasaan membunuh sesama manusia, menyuburkan kebuasan dan kesewenangan serta menghilangkan rasa kemanusiaan-mu!"
Mendengar kata-kata itu, Swara Manis serasa memperoleh penerangan batin..
Sebaliknya sintren yang masih tetap marah. memandang kakek itu dengan mata berapi, lalu menghardik.
"Siapakah engkau ini, orang tua!?"
Kakek itu ketawa sejuk. Sahutnya halus,
"Orang menyebut aku sesuai dengan tempat tinggalku di desa Jamus."
Seperti dipagut ular, Sintren berjingkrak. Kemudian tubuhnya melesat keluar lewat jendela, karena menyadari takkan sanggup melawan, kakek itu.
Tiba-tiba bayangan hitam menghadang di depannya,
"Denok, engkau sudah berhasil?"
Yang menghadang itu suaminya. Lalu Sintren berbisik,
"Jangan tanya soal itu lagi. Kigede Jamus muncul di sini!"
"Apa?!" Saragedug gugup.
"Lalu bagaimana?"
Sintren merenung beberapa jenak. Lalu,
"Kita tidak perlu khawatir. Kita mempunyai senjata yang terakhir. Huh. aku tidak percaya kalau Sarini memilih mati, daripada bekerjasama dengan kita. Percayalah!"
Kemudian suami isteri itu melesat pergi. Setelah berada di tempat jauh, mereka menentukan siasat yang harus dilakukan. Pendeknya mereka takkan berhenti berusaha sebelum berhaSil menemukan harta karun itu. Karena harta tersebut sangat penting artinya, baik bagi suami isteri itu sendiri maupun demi pengabdiannya kepada Mataram. Bukankah apabila harta karun itu dapat diketemukan para pemberontak,berarti pula pemberontak itu akan memperoleh kekuatan yang dapat membahayakan kedudukan Mataram?
Perlu dicatat bahwa pada saat itu, Mataram masih menghadapi beberapa Bupati yang tak mau tunduk kepada Mataram. Maka apabila kekuatan pemberontak ini tak dapat dihancurkan sampai ke akar-akarnya, bagaimanapun tentu maSih merupakan bahaya terpendam, yang sewaktu-waktu dapat meletus dan ibarat ratanya sebagai api dalam sekam.
Dan bagi suami-isteri Gendruwo Semanu ini, mendapatkan harta karun berarti pula mendapatkan keuntungan ganda. Pertama tentu akan mendapat ganjaran pangkat tinggi dari Sultan Agung. Yang ke dua, merekapun tentu akan mendapat bagian dari harta karun yang takkan habis dinikmati sampai tujuh turunan, sesuai dengan janji Sultan Agung sendiri.
Setelah Sintren dan suaminya melarikan diri, Kigede Jamus menghampiri SwaraManis. Diusap-usapnya kepala pemuda itu dengan penuh kasih-sayang, tidak bedanya kepada cucunya sendiri. Oleh sentuhan tangan kakeki itu, tiba-tiba Swara Manis merasakan dirinya nyaman sekali.
Merasakan perobahan dalam tubuhnya yang tiba-tiba itu, Swara Manis menyadari betapa kesaktian Kigede Jamus. Menduga demikian, Swara Manis -segera mengucapkan permintaan,
"Apabila Kigede berkenan, saya, Swara Manis yang hina ini ingin sekali dapat mengabdi kepada Kigede."
Sudah tentu yang dimaksud Swara Manis ini, ingin dapat diterima sebagai muridnya. Atas permintaan ini Kigede Jamus tersenyum, kemudian menyahut ramah,
"Jebeng, sungguh sayang sekali jebeng bukan jodohku. Tetapi kalau jebeng benar-benar mau bertobat. Allah pasti akan memberi ampun dan memberi petunjuk ke jalan benar. Jebeng, percayalah bahwa hidup manusia di dunia ini hanya terbatas puluhan tahun lamanya. Orang mengatakan, hidup dalam waktu seratus tahun 'itu tidak sembarang orang.Akan tetapi sebaliknya setelah manusia ini dipanggil oleh yang menciptakan, ,Jebeng akan hidup di dunia lain yang tidak terbatas lamanya. Karena itu sebelum manusia ini dipanggil oleh yang menciptakan, wajib berusaha mencari bekal yang tepat. agar kelak kemudian hari jebeng tidak menyesal, dalam kehidupan dunia.lain itu."
Sebagai seorang yang cerdik, Swara Manis itu dapat memahami apa yang sudah diucapkan oleh" Kigede Jamus. Walaupun kata-kata tidak terlalu panjang, sederhana, tetapi tepat dapat menyentuh hati dan perasaannya. Ia menjadi terharu, dan diam-diam menyesal sekali mengapa selama ini langkahnya salah arah. Akibatnya dirinya dibenci banyak orang, kemudian dirinya menjadi cacat seumur hidup.
Di saat Swara Manis tengah merenungkan kata-kata sederhana Kigede Jamus itu, tiba tiba Darmo Saroyo masuk dan berseru gembira,
"Bapa guru!" Kemudian _bekas Panglima Pati itu berlutut di depan Kigede Jamus. Sedang Sarini dan Raden Ayu Darmi yang menyusul kemudian.juga berlutut.
"Jebeng, ilmu kepandaianmu bertambah maju, tetapi 'sebaliknya kecerdasanmu malah mundur," ujar Kigede Jamus halus dan merdu, ditujukan kepada Darma Saroyo.
"Sudilah bapa memberi petunjuk."
"Hemm, apa yang engkau anggap baik, lakukanlah. Tanpa petunjuk, engkaupun sudah dapat melakukan."
Kemudian tangan Kigede Jamus bergerak perlahan mengebut. Tanpa dikehendaki, Darma Saraya, Sarini dan Darmi sudah bangkit berdiri.
"Eyang..." Sarini tak kuasa menahan airmata, kemudian berderai membasahi pipi yang montok. hadis ini terharu di samping gembira.
Kigede Jamus tidak cepat menyahut, melainkan mengulurkan tangan memeriksa denyut nadi pergelang an tangan Sarini. Kakek itu menghela napas pendek, katanya haru,
"Ya Allah, ampunilah hamba Mu ini. Hem. mengapa jebeng menjadi begini? Apakah sebabnya eng kau sudah dekat dengan ajalmu?"
Buru-buru Darmo Saroyo menerangkan.
"Bukankah bapa guru datang kemari, setelah menerima surat dari salah seekor burung merpati? Maksud murid tidak lain hanya mengharapkan bapa guru turun tangan untuk menolong Sarini."
Kigede Jamus tidak menyahut, melainkan menatap Sarmi penuh perhatian, lalu ucapnya,
"Aneh, sungguh aneh!"
"Kigede, kita semua ini mengharapkan pertolongan Kigede kepada Sarini," Darmi ikut meminta.
Kigede Jamus menggelengkan kepalanya. Lalu,
"Jebeng, sayang! Sungguh mengherankan sekali mengapa ada orang yang berbuat sedemikian sedemikian ganasnya kepada dirimu? Ah, aku menyesal sekali sebagai orang tua bangka yang tidak berguna. Hemm, aku tidak tahu.
Ilmu macam apa yang dipergunakan oleh orang itu. Kalau aku memberi pertolongan, aku khawatir malah salah."
Betapa terkejut semua orang mendengar jawaban Kigede Jamus itu. Apakah memang sudah takdir Sarini harus mati dalam usia muda? Padahal sebelumnya, seluruh harapan hanyalah kepada kakek ini. Tetapi ternyata kakek ini tidak sanggup menolong Sarmi. Kalau kakek sakti ini tidak dapat menolong, lalu Siapakah yang akan bisa memberi pertolongan?
Hancurlah perasaan hati Sarini mendengar jawaban Kigede Jamus. Tiba-tiba saja Sarini melompat lalu lari cepat sekali keluar. Prayoga yang baru datang menjadi kaget lalu mengejar. Akan tetapi Sarini sudah tidak tampak lagi bayangannya.
Akhirnya Prayoga kembali lagi ke ruangan itu, berlutut di depan Kigede Jamus sambil berkata,
"Kigede, bagaimanapun juga, hendaknya Kigede berkenan menolong Sarini."
Kigede Jamus menggelengkan kepalanya. Lalu.
"Jebeng, bangunlah. Di dunia ini memang terdapat banyak sekali perkara dan peristiwa yang tidak dapat dicegah dan dihalangi oleh manusia. Mengapa? Karena manusia ini hanya ibarat wayang. Manusia hanya diCiptakan. Maka nasib setiap manusia sepenuhnya di tangan Penciptanya. KetahUilah jebeng, di dunia ini tiada yang abadi. Akhirnya semua akan kembali ke asalnya. kepada yang mencipta. Siapa yang berusaha melawan takdir. itu berarti melawan kekuasaan Allah."
Ia berhenti sejenak lalu berkata pula,
"Ada kalanya buah tidak juga mau runtuh sekalipun sudah amat matang dan ditiup angin kencang juga tetap masih bergantungan.Akan tetapi ada kalanya pula buah yang masih muda sudah runtuh hanya ditiup angin sepoi. Manusia juga dibatasi oleh takdir. Kalau memang belum takdirnya mati. manusia akan tetap hidup sekalipun berhadapan dengan bahaya. Sebaliknya kalau memang sudah takdir, maut akan datang menjemputnya pula."
Tubuh Prayoga gemetaran, desaknya,
"Kigede, apa-kah benar Sarini sudah tidak dapat ditolong lagi?"
Belum juga Kigede Jamus menyahut, Darma Saroyo sudah bertanya,
"Bapa, apa sesungguhnya arti kata yang sudah bapa ucapkan tadi? Murid belum dapat menangkap maksud bapa yang merasa aneh tadi."
"Jebeng, hem. lupakah engkau bahwa Sarini sudah pernah minum air dari batu mustika? Air itu merupakan air mukjizat peninggalan salah seorang Wali sakti, yang tidak diketahui namanya. Akan tetapi yang jelas, air dari batu mustika itu sangat bermanfaat terhadap siapapun yang minum."
Akan tetapi Prayoga yang masih muda, belum juga dapat menangkap maksud Kigede Jamus. Ia khawatir sekali akan nasib gadis yang dicintai. bertanya.
"Lalu, apakah hubungannya dengan keanehan tadi?"
"Hemm, wajahnya memancarkan sinar kehijau-hijauan. Akan tetapi anehnya jalan darah istimewa di luar pembuluh darahnya, masih dapat diurut orang."
"Tetapi apakah air mustika itu mampu menolong Sarini?" tanya Prayoga.
Kigede Jamus termenung beberapa saat. Kemudian
sahutnya, "Hal itu tergantung dari ketabahan bocah itu sendiri. Mungkinkah Sarini sanggup menderita siksaan yang akan diterima? Ah. hem, belum saatnya aku mengemukakan hal itu. Aku hanya manusia biaSa yang tidak sempurna. dan segalanya di tangan Allah. Apabila sudah saatnya dan Allah mengijinkan, akan aku jelaskan lagi masalah ini." _ Jawaban Kigede Jamus ini kemudian mengurangi kerisauan Prayoga ia dapat menangkap maksud kakek ini. bahwa sesungguhnya Kigede Jamus dapat memberi penjelasan tentang nasib Sarini, tetapi tidak berani mendahului kehendak Tuhan.
Kigede tanpa membuka mulut lagi, kemudian duduk bersemadi di sudut ruangan. Semua orang tidak berani mengganggu, lalu menyibukkan diri dengan . tugas masing-masing.
Dan karena menyadari, Swara Manis seorang cerdik dan banyak membaca dan menguasai berbagai macam ilmu sejarah, Darma Saroyo bertanya,
"Saudara Swara Manis, bolehkah aku bertanya?"
Dendam Kesumat Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, apa sebabnya saudara berkata begitu?" sahut Swara Manis sambil tersenyum.
"Apakah kalian belum percaya sepenuhnya terhadap perobahan diriku ini?"
"Oh tidak!" Darma Saraya cepat-cepat memperbaiki ucapannya yang menimbulkan salah tafsir.
"Maksudku, apakah engkau tidak merasa terganggu kalau aku bertanya?"
"Silahkan! Setiap pertanyaan akan aku jawab kalau memang bisa."
"Begini. Sarini menceritakan. dalam usahanya menyelidiki letak harta karun disimpan, Sarini terantuk sesuatu kemudian jatuh. Ternyata yang menyebabkan Sarini jatuh adalah gelang besi pada sebuah papan besi. Ketika papan besi itu dibuka, ternyata merupakan sebuah sumur. Apakah engkau tahu tentang sumur itu?"
Swara Manis batuk-batuk untuk melegakan tenggorokan, kemudian menerangkan,
"Menurut catatan yang pernah aku baca, sumur di Pesanggrahan ini disebut Sumur Sunan Kudus. Tentu kalian merasa aneh mendengar nama sumur itu. Tetapi ini memang sebenarnya. Ketika itu Sunan Kudus, guru dari Pangeran Harya Penangsang menunjuk sejengkal tanah kemudian bersabda. Jebeng, ketahuilah bahwa di dalam tanah ini terdapat emas."
Ia berhenti, setelah mengamati kawan-kawannya sejenak, lalu meneruskan,
"Mendengar sabda Sunan Kudus itu, berduyun-duyunlah orang menggali tanah itu menjadi dalam, sehingga airpun memancar keluar. Akan tetapi sayang sekali bahwa emas yang diharapkan orang itu tidak pernah ada. Kemudian orang berpendapat, Sunan Kudus sudah membohong. Akan tetapi Sunan Kudus' tidak marah malah tersenyum dan menjawab, sudah tentu emas tak dapat diketemukan kalau hanya menggali secara biasa. Begitulah riwayat sumur yang dimaksud, yang terkenal dengan nama Sumur Sunan Kudus. Sumur itu mulutnya sempit, tetapi dalamnya lebar, menyerupai gentong. Hemm, cerita tentang sumur Sunan Kudus ini. menurut dugaanku sebagai cerita Simbolis, untuk menutup sesuatu yang perlu dirahasiakan. Ah... apakah tidak terpikir oleh kalian, bahwa sesungguhnya di dalam sumur itulah harta karun sudah disembunyikan orang?"
Darmo Saroyo, Prayoga dan Darmi seperti disadarkan. Darmo Saroyo segera mengajak untuk mencoba menyelidiki sumur itu. Tetapi Prayoga memberi alasan ingin mencari Sarini lebih dahulu, sebelum datang ke sumur.
Kita tinggalkan mereka, dan kita ikuti sekarang Sarini yang lari seperti kuda binal. Gadis ini menjadi putus-asa setelah mendengar pengakuan Kigede Jamus, yang tak sanggup menolong. Saking sedih, kemudian ia berdiri di dekat pagar tembok pesanggrahan sambil menangis sedih.
Tiba-tiba ia merasa, pundaknya ditepuk orang perlahan. Ia mengira bahwa yang menepuk pundaknya pe muda yang diCintai. Prayoga. Maka tanpa selidik Sarini sudah berkata iba,
"Kakang... ah. Kigede Jamus juga tak berdaya menolong aku. Apakah memang sudah takdirku harus berpisah dengan engkau?"
orang itu ketawa lirih, _lalu menjawab,
"Sarini, hem. Jika engkau tak ingin berpisah dengan kekasihmu, gampang saja! Coba terangkanlah, apakah engkau sudah dapat menemukan tempat harta karun itu disimpan?"
Sarini terkejut sekali dan berpaling. Ternyata yang berdiri di dekat-nya. Sintren dan Saragedug! Cepat ia menghindarkan diri agar pundaknya tak dapat disentuh sambil membentak,
"Jangan mengganggu aku!"
"Sarini apakah sebabnya engkau berkata begitu?" bujuk Sintren halus.
"Kalau orang semacam Kigede Jamus yang sakti tidak sanggup menolong dirimu, apakah engkau benar-benar tidak mengharapkan pertolonganku? Hem, apakah engkau sudah bertekat untuk lebih baik mati dalam usia semuda ini?"
Sarini marah sekali. ia mengerahkan tenaga kemudian memukul Sintren. Akan tetapi dengan gampang Sintren sudah menangkap tangan Sarini, sambil masih membujuk.
''Sarini! Camkanlah! Ini kesempatan terakhir yang aku berikan kepadamu. Pikirkan masak-masak, dan Juga terserah kepada tekatmu sendiri. Waktu amat mendesak! Engkau takkan dapat menyakSikan terbitnya matahari lebih lama lagi."
Sarini berdebar. Sebenarnya saja ia memang belum ingin mati. Namun sebaliknya ia juga tidak sudi kalau harus menyerah kepada Sintren. Sahutnya sengit.
"Huh, tak perlu engkau memperdulikan aku lagi. Mati atau hidup bukan urusanmu, tetapi urusanku sendiri!"
Sintren tertawa terkekeh,
"Baik! Tetapi engkau harus ingat pesanku. Setelah engkau berhasil menemukan tempat penyimpanan harta karun itu, bakarlah kayu bakar yang sudah aku sediakan, dan aku pasti segera datang menolongmu!"
Setelah berkata, Gendruwo Semanu melesat pergi dan lenyap ditelan gelap malam. Hampir saja Sarini akan bergerak menyusul mereka dan memberitahukan tentang sumur yang mencurigakan itu. Untung kesadarannya menang dan membantah,
"Tidak! Tidak! Kalau memang sudah takdirku harus mati, biarlah mati. Ah, umurku tinggal satu hari satu malam. Tetapi... biarlah!"
Namun hatinya bicara lain,
"Apa salahnya harta karun itu jatuh ke tangan Gendruwo Semanu, asal saja masih hidup dan menikmati cinta-kasih Prayoga?"
Kakinya segera bergerak ke tempat kayu kering yang sudah ditumpuk Sintren. Tetapi untung, baru beberapa langkah kesadarannya datang kembali. Terjadilah pertentangan batin yang hebat. Namun akhirnya kesadaran Sarini dapat mengatasi. Katanya dalam hati,
"Ah tak apa aku harus mati kalau memang sudah takdir! Akan tetapi aku tidak mau mati sia-sia! Sebelum mati aku harus masuk ke dalam sumur itu untuk membuktikan. benar dan tidaknya harta karun itu disimpan. Hem, sekalipun aku tak dapat berenang, aku dapat menahan napas!"
Setelah bulat pendapat, ia cepat menuju ke sumur lalu terjun ke dalam. Ia memang tidak dapat berenang, maka gelagapan dan beberapa kali minum air. Cepat cepat ia menahan napas dan mengerahkan semangat agar bisa mengapung. Untuk dapat bertahan cukup lama, ia muncul ke permukaan air mengambil napas, lalu kembali menyelam lagi. Ketika kaki menyentuh dasar sumur, ia membuka mata dan meraba-raba. Celakanya ia tidak dapat menemukan apa-apa, kecuali air dan lumpur. Oleh tekanan air tubuhnya kembali terangkat naik. Sarini berusaha memberatkan tubuhnya, karena teringat bahwa ketika kakinya menginjak lumpur, terasa ada bagian yang keras dan datar. Buru-buru ia membungkuk dan meraba. Ia menjadi keheranan dan curiga. tidak mungkin terdapat sumur yang dasarnya halus seperti ini.
Karena tangan mengaduk lumpur, air menjadi keruh bercampur dengan lumpur. Akibatnya pandang matanya menjadi gelap. Kendati demikian ia tidak perduli dan terus meraba-raba untuk mencari sesuatu. Akhirnya. ah... jari tangannya menyentuh dua buah gelang besi yang besar. Ia segera mengerahkan semangat dan tenaganya untuk mengangkat. akan tetapi amat berat.
Namun karena semangat gadis ini berkobar kobar, akhirnya bisa mengangkat. Ketika penutup dasar. sumur itu bisa diangkat, air tambah keruh oleh lumpur. Tetapi dalam kekeruhan itu, memancar sinar menyilaukan mata dari dasar sumur.
Sarini gembira bukan main. saking gembira ia lupa dan menjerit. Haep, mulutnya menyedot air dan lumpur, begitu pula hidungnya. Buru buru ia menutup mulut dan pernapasan, sedang tubuhnya puga terangkat naik.
"Sia sia saja usahanya untuk dapat, memberatkan tubuh agar dapat menyelam kembali. Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba saja hidungnya tertumbuk oleh barang keras. Kepalanya menjadi pening dan mata berkunang kunang. Ia berusaha menutup mulut dan pernapasan, tetapi sudah tidak keburu lagi. Akhirnya air bercampur' lumpur masuk ke dalam perut lewat mulut, di samping lewat hidung. Dalam waktu singkat perut menjadi kembung. Lalu setengah sadar dan tidak. Tiba tiba kepalanya membentur dinding sumur dan robohlah gadis ini tidak sadarkan diri lagi.
DI saat Sarini pingsan ini, Darmo Saroyo dan yang lain hampir tiba di sumur Sunan Kudus Itu. Dari jarak agak jauh mereka melihat dua sosok bayangan orang sedang membungkuk, mengamati ke dalam sumur. Mereka terkejut! Mereka segera mengenal bahwa dua orang itu Saragedug dan Sintren.'Perempuan iblis itu memang cerdik. Setelah bersama suaminya meninggalkan Sarini, lalu bersembunyi dan mengintip untuk mengetahui apa yang akan dilakukan gadis itu. Ketika mereka melihat bahwa Sarini lari menuju sumur lalu terjun, mereka curiga. Mereka menjadi khawatir jangan-jangan karena putus-asa, gadis itu menjadi nekat untuk membunuh diri. Bagi mereka, gadis itu belum boleh mati, karena masih diperlukan bantuannya.
"Celaka!"'seru Sintren tertahan ketika tak dapat melihat Sarini lagi. '
Akan tetapi mereka tidak berani ikut terjun ke sumur. Akhirnya setelah beberapa lama Sarini tidak muncul kembali dari air, mereka sudah akan pergi meninggalkan tempat itu. Akan tetapi tiba-tiba mereka terkejut, melihat dasar sumur yang memancarkan sinar kemilau mencurigakan.
"Denok!" seru Saragedug.
"Ternyata harta karun itu disimpan di sini!"
Sintren juga melihat dan mengiakan. Kemudian cepat mencegah ketika suaminya sudah akan meloncat ke dalam sumur.
"Tunggulah kakang! Kalau gadis itu sudah berhasil, barulah kita bertindak!"
Saragedug menurut. Tetapi justru pada saat itu Prayoga dan kawan-kawannya datang. Ketika melihat Kigede Jamus tidak ikut datang, Gendruwo Semanu bersemangat. Mereka yakin dalam waktu singkat akan dapat menyelesaikan tiga orang lawan itu. Maka secepat kilat Saragedug sudah menarik ikat pinggang sutera dari pinggangnya, Talu menyambut Darmo Saroyo dengan serangan.
Ketika itu Darmo Saroyo dilanda oleh kemarahan, hingga bernafsu untuk segera mengalahkan' Saragedug. Ia kurang waspada kepada lawan yang bersenjata ikat pinggang. Karena gelap, tiba-tiba plak!
Tubuh Darmo Saroyo yang terpukul oleh ikat pinggang itu sakit sekali seperti dipukul oleh cambuk baja. Akibatnya Darmo Saroyo limbung dan hampir roboh. Masih untung Darmo Saroyo .dapat menggunakan tangkai cambuk guna menyanggah tubuh, kemudian berjungkir balik dan dapat berdiri tegak. Ketika memandang Saragedug, baru sadar kalau lawan bersenjata ikat pinggang.
Darmo Saroyo bukan main marahnya. Ia melompat dan menyerang dengan cambuk. Tetapi dengan tangkas Saragedug menghindar, hingga ujung cambuk memukul tanah dan akibatnya debu berhamburan.
Saragedug membalas. Ikat pinggang menyerang, dan angin keras menyambar. Darmo Saroyo mundur. Tetapi ikat pinggang itu seperti berubah menjadi puluhan banyaknya dan menyambar Darmo Saroyo. Ia menyadari juga betapa ampuhnya ikat pinggang Saragedug ini. Akan tetapi ia tidak takut, dalam usaha melaksanakan tugas. Namun sayang sekali dirinya kemudian menjadi bingung menghadapi serangan aneh itu. Dan terpaksa untuk melindungi diri, Darmo Saroyo memutarkan cambuknya.
Di pihak lain Darmi dan Prayoga bekerja sama menghadapi Sintren. Sekarang ini dengan pedang, Prayoga menggunakan ilmu pedang Kala Prahara. Namun Sintren tidak gentar dan menghadapi dengan berdiri tegak. Ketika ujung pedang datang menyambar, Sintren melintangkan senjata di depan dada.
Tring, ketika dua senjata berbenturan, Prayoga merasakan tangannya dilanda hawa dingin. Buru buru Prayoga menggunakan jurus ke tiga bernama Nawa Prahara dan menusuk tenggorokan lawan. Hampir berbareng Darmi menyerang pula ke bagian atas dan bawah.
Tetapi Sintren tenang saja. Kakinya bergeser ke samping, langsung membalas. Darmi terkeSiap. Karena senjata Sintren yang bentuknya hitam bulat itu tiba tiba berobah menjadi persegi kemudian berobah bulat lagi, dan perobahan itu terjadi dengan cepat. Yang hebat, setiap senjata itu menyerang, menyebabkan Darmi terhuyung kedinginan. Dalam gugupnya Darmi mengerahkan tenaga untuk menarik senjatanya. Sintren tertawa panjang, kemudian mengalihkan serangannya kepada Prayoga. '
Setelah Sintren menyerang Prayoga, saat itu Darmi baru melihat dengan jelas. bahwa senjata Sintren
itu hanya selembar jubah. Akan tetapi hebatnya di tangan Sintren. senjata dari kain itu menjadi amat berbahaya.
"Gila!" Darmi berseru tertahan. Ketika senjatanya dapat ditarik, walaupun kedinginan dirinya masih dapat bertahan. Namun sejenak kemudian dirinya seperti di banting ke belakang. Kendati berusaha sekuat tenaga untuk menahan diri, masih saja tetap terbanting. Ia menjerit tertahan ketika kepalanya terbentur tepi papan besi penutup sumur dan darah bercucuran.
Sulit dibayangkan betapa marah perempuan ini. Ia sudah meloncat untuk menyerang. Tetapi tiba tiba tenaganya serasa hilang, lalu jatuh terduduk tanpa daya lagi.
"Prayoga! Celaka! "serunya.
"Tolong layanilah sendiri iblis itu. Aku tidak bisa... ."
Kendati ilmu kesaktian Prayoga sudah tambah maju. tetapi berhadapan dengan Sintren ibarat ketimun musuh durian. ia tidak dapat berbuat banyak. Keuntungan satu-satunya, saat sekarang ini Prayoga menggunakan pedang pusaka milik gurunya. Kyai Baruna, yang sangat tajam. Sadar menggunakan pedang pusaka, ia ingin memanfaatkan sebaik baiknya. Setiap kali senjata lawan melayang datang, ia membabat. Hanya sayang, Sintren dapat menggerakkan jubah itu laksana burung, sulit disentuh.
Dalam waktu yang singkat Prayoga telah dikurung oleh cengkeraman angin dahsyat dari senjata Sintren, Pemuda ini masih berusaha melirik Darmi untuk melihat keadaannya. Darmi tampak terengah engah kesakitan, menyebabkan Prayoga gugup dan bingung, sehingga perhatiannya terpecah. Secepat kilat jubah Sintren menyambar dahsyat.
Masih untung Prayoga cukup tangguh. Kakinya bergerak dengan ilmu Jathayu nandang papa. sedang pedangnya dengan ilmu pedang Kala Prahara. Tubuhnya terhuyung ke sana ke mari, tetapi pedangnya menyambar nyambar.
Akan tetapi bagaimanapun gagahnya, tingkat Prayoga masih jauh di bawah Sintren. Kendati berusaha sekuat tenaga, Prayoga tetap saja terdesak. Tetapi untuk merobohkan pemuda itu, Sintren masih kesulitan.
Sebaliknya perkelahian antara Saragedug dengan Darmo Saroyo berat sebelah. Darmo Saroyo hanya mampu membentengi diri dengan putaran cambuk sambil berloncatan ke sana ke mari menghindar. Hal itu amat berbahaya. Jika tenaganya habis, Darmo Saroyo akan menyerah kalah.
Padahal gerak serangannya yang menggunakan ikat pinggang itu, makin lama makin menghimpit dan menekan. Deru angin yang menyambar panas sekali, membuat Darmo Saroyo seperti cacing kepanasan.
Darmo Saroyo kaget sekali. Ketika ia melirik kepada Prayoga, ia menjadi lebih gugup lagi. Ia melihat Prayoga pontang panting sedang Darmi duduk di tanah tak bergerak.
Tiba tiba ia berseru, "Den ayu Darmi! Engkau terluka?"
Darmi merasakan tubuhnya agak seger setelah beristirahat. Sahutnya,
"Ya, tetapi berat!"
"Mengapa tidak berusaha memanggil bala bantuan?"
Seruan Darmo Saroyo itu menyadarkan Darmi. Bukankah Kigede Jamus di dalam pesanggrahan? Ia menyesal mengapa tolol dan memaksa diri melawan. Pada hal tidak mungkin bisa menang.
Cepat ia melompat bangun, tetapi tiba tiba saja terpelanting roboh.
Baik Saragedug maupun Sintren menyadari betapa bahaya mengancam, kalau Darmi dapat memanggil Ki
gede Jamus. Karena itu seperti kilat cepatnya ikat pinggang Saragedug sudah melibat kaki Darmi, menyebabkan wanita itu terbanting roboh.
Tetapi Darmi wanita keras hati. Ia merangkak untuk selanjutnya lari. Saragedug memekik, ikat pinggang diputar menjadi lingkaran dan tiba tiba meluncur ke arah kepala Darmi.
Darmo Saroyo kaget. Ia menyadari, Darmi akan celaka kalau sampai dapat dilibat. Ketika terjadi pertandingan dengan Ali Ngumar, peristiwa itu menyebabkan Ali Ngumar tak dapat berkutik.
Bagi Darmo Saroyo. menolong orang lain yang terancam bahaya merupakan kewajibannya, sekalipun harus mengorbankan jiwanya sendiri. Secepat kilat ia meloncat ke atas sambil melecutkan cambuknya ke arah senjata Saragedug.
Gangguan itu menyebabkan Saragedug amat marah. Ujung ikat pinggang yang terpental berbalik dan melibat cambuk Darmo Saroyo, kemudian membentak keras,
"Lepas!" . Akan tetapi Darmo Saroyo tak gampang menyerah. Ia nekat mempertahankan cambuknya. Sekalipun telapak tangan terasa sakit sekali dalam mempertahankan cambuk itu, ia tetap saja bertahan.
Akan tetapi hanya dalam waktu singkat Darmo Saroyo dapat mempertahankan cambuknya. Setelah Saragedug menggentak keras, cambuk itu dapat dirampas. Kemudian sambil ketawa mengejek. Saragedug sudah menggerakkan senjatanya menyerang Darmi lagi. ia terkejut dan berusaha melawan. Namun celakanya senjata Darmi segera dapat dirampas dengan ikat pinggang, sehingga baik Darmo Saroyo maupun Darmi tidak bersenjata lagi.
Di saat genting ini tiba tiba terdengar suara orang membentak keras. dari pagar tembok pesanggrahan.'
"Keparat! Berkelahi macam apa itu! Huh. ke mana anak nakal Sarini pergi?" '
Saragedug dan Sintren terkejut. Kalau bala bantuan datang, yelas pihaknya sulit bisa menang. Meskipun demikian mereka tidak gugup. Saragedug yang sudah tidak menghadapi lawan memandang ke pagar tembok. Tampak seorang tinggi besar berdiri di atas tembok. Menyusul kemudian dua sosok tubuh yang berdiri di kiri dan kanan orang itu. Tubuhnya masih kalah dibanding yang tengah, tetapi tubuhnya lebih besar.
Saragedug menjadi kaget setengah mati. Ia cepat berseru kepada'Isterinya, lantang,
"Denok, di antara puluhan jalan ."
Lengkapnya. di antara puluhan jalan menghadapi musuh tangguh, lebih baik melarikan diri.
Tetapi sayang. belum juga lari puluhan orang datang sambil membawa obor. Menyebabkan sekitar sumur itu menjadi terang benderang, dan menolong Gendruwo Semanu untuk melihat tiga sosok bayangan di atas tembok. Ternyata di tengah memang orang, tetapi di kiri dan kanan dua ekor orang utan.
Karena perkelahian terhenti mendadak, Darmo Saroyo, Darmi dan Prayoga memperoleh kesempatan memandang ke tembok. Tiba-tiba Prayoga berseru gembira,
"Paman Jaladara. Bantulah!"
Dia memang Wasi Jaladara! Si kasar itu ketawa, kemudian meloncat dari tembok, diikuti oleh Joli dan Jodhang.
"Keparat! Mengapa belum berkelahi sudah lari?!" teriaknya marah, ketika melihat Saragedug dan Sintren sudah lari tunggang-langgang.
Kalau saja sejak tadi Sintren dan Saragedug sudah melarikan diri tentu selamat. Akan tetapi karena terlambat. beberapa orang sudah menghadang. dengan senjata terhunus. Dalam gugupnya suami-isteri itu berbalik lalu berdiri beradu punggung untuk menghadapi segala kemungkinan.
Oleh sinar obor yang puluhan banyaknya, tampak yang baru datang itu Ali Ngumar, Ladrang Kuning, si Bongkok Baskara, Jim Cing Cing Goling, Darmo Gati dan Resi Sempati. Semua orang sudah menghunus senjata, sehingga dalam waktu Singkat Gendruwo Semanu ini terkepung rapat.
Setelah yakin suami-isteri Gendruwo Semanu ini tak mungkin lolos lagi, Ali Ngumar bertanya kepada Darmo Saroyo,
"Adi Sarayo. Di mana Sarini? Mengapa dia tidak tampak?"
"Sangat panjang kalau diceritakan. Lebih baik bereskan dahulu dua manusia busuk itu!" sahutnya.
Saragedug dan Sintren amat gelisah kali ini. Sekarang suami-isteri ini menyadari berhadapan dengan musuh-musuh tangguh. Masih ditambah lagi, Kigede Jamus juga di sini, dan kalau muncul tak mungkin dapat melawan.
Ali Ngumar mengamati suami-isteri itu. kemudian bertanya ramah,
"Apa kabar saudara? Dan mengapa kalian masih di sini?"
Wasi Jaladara yang tak sabar sudah berteriak,
"Saudara Ali, apa perlunya membuang waktu? Hajar saja sudah cukup!" Ketika melihat Ladrang Kuning, ia berseru,
"Ha, kiranya engkau juga hadir?"
Ladrang Kuning tak perduli kepada orang kasar itu, ia melangkah maju mendampingi seaminya menghadapi suaminya menghadapi suami-isteri Gendruwo Semanu itu.
Sintren masih dapat tertawa terkekeh kendati jantung berdebar. Kemudian,
"Hemm, perlu apa kalian turun tangan? Kami berdua akan menyerah... ."
"Apa sebabnya?" si Bongkok heran.
'Heh heh-heh," Sintren terkekeh.
"Kami hanya dua orang dengan dua pasang tangan dan kaki. Mana mungkin dapat melayani kalian?"
Sekarang semua orang menjadi tahu maksud perempuan itu. Dalam hati memang khawatir kalau sampai di keroyok. Mana mungkin dapat menghadapi keroyokan tokoh tokoh sakti ini?
"Kakang Susilo, kiranya cukup kalau kita berdua yang main!" kata Ladrang Kuning kepada suaminya.
"Kakang Susilo..." tanpa dapat tercegah, si Bongkok menirukan.
"Hai Ladrang Kuning! Alangkah merdunya ssuaramu memanggil suamimu dengan sebutan ka kang Susilo itu. Ya, rasanya sudah belasan tahun lamanya Kilat Buwono merindukan panggilan itu."
Memang pada kenyataannya sudah belasan tahun lamanya, suami isteri itu berpisah tetapi belum bercerai, akibat salah paham. Tetapi sekarang mereka sudah rukun kembali, sehingga semua sahabat menyambut peristiwa ini dengan rasa syukur dan gembira. Dari semua sahabat yang hadir ini hanya seorang saja yang tetap gelisah, bukan lain Prayoga. Pemuda ini sibuk dalam memikirkan Sarini, yang sudah lama belum juga muncul.
"Bapa!" akhirnya Prayoga tak tahan dan melapor.
"Sarini ' lenyap mendadak!"
"Lekas cari!" sahut beberapa orang.
Saragedug dan Sintren ketawa mengejek. Lalu Sintren menghina,
"Ya, lekas cari! Agar mayatnya tidak membusuk di dalam air!"
Saking marah, Prayoga sudah meloncat dan menyerang. Suami isteri itu tersenyum, lalu mengangkat tangan dan Prayoga sudah terhuyung-huyung.
Saragedug mengejek, "Beberapa saat lalu, budak perempuan itu meloncat ke dalam sumur. Karena itu
kalau kalian dan, bukankah dia sudah menjadi mayat?" _
Semua orang kaget berbareng heran. Mereka tidak dapat menduga mengapa sebabnya Sarini sampai berbuat senekat itu dan membunuh diri? Akibatnya orang 0rang yang mengterung suami isteri itu menjadi kendor, karena perhatian mereka beralih kepada Sarini. Di saat orang sibuk memperbincangkan Sarini yang nekat membunuh diri, Saragedug dan isterinya menggunakan kesempatan melarikan diri.
Semua orang menjadi kaget. Mereka tidak menduga telah ditipu Gendruwo Semanu. Padahal yang menjaga di bagian belakang hanya Darmo Saroyo dan Prayoga. Dan saat itu Prayoga sedang memikirkan Sarini. Akibatnya Prayoga yang tidak menyadari bahaya, merasakan dadanya sesak. Ia masih berusaha menabas dengan pedang, tetapi suami isteri itu sudah lolos.
Semua orang gugup dan mengejar Sayang suam' isteri itu sudah menghilang. Suami isteri ini menjadi gembira usahanya berhasil. Namun rasa gembira itu belum lama menghuni dada, tiba tiba mereka merasa di sambar angin dari belakang. Dalam gugup, suami isteri ini sudah memutar tubuh sambil menampar.
Plak! Plak! Pukulan itu tepat sekali mengenakan sasaran. Namun yang terdengar bukan erangan sakit, tetapi malah raungan geram. _
Sintren dan Saragedug terkesiap. Baru sadar sekarang, berhadapan dengan dua ekor orang utan yang marah, sedang taringnya yang besar menyeringai buas.
Memang, kendati semua orang dapat ditipu oleh suami isteri ini, tetapi dua ekor orang utan itu tidak! Binatang itu tetap waspada!
"Mereka tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan orang banyak, dan perhatian binatang ini tetap tertuju kepada Sintren dan Saragedug. Ketika suami isteri itu lolos, dua ekor orang utan itu sudah meloncat. mengejar!
Raungan Joli dan Jodhang itu didengar orang. Secepat kilat Ali Ngumar, Ladrang Kuning, Jim Cing Cing Coling dan si Bongkok sudah datang, langsung mengurung suami isteri itu.
Kalau semua orang ribut memikirkan Sarini dan menghadapi Gendruwo Semanu, sebaliknya Wasi Jaladara seenak sendiri sudah ngoceh,
"Hemm, setelah dua hari lamanya aku terkurung di dalam gangsiran Aswatama, secara tidak terduga-duga aku bertemu Joli dan Jodhang. Malah kemudian akupun menemukan simpanan makan di tempat itu, dan entah siapa yang sengaja menyimpan. Hemm, aku tak dapat menghitung berapa bulan aku terkurung di dalam gangsiran Aswatama itu. A kan tetapi kemudian Tuhan menolong dan aku bisa ke luar. Kemudian aku menuju ke mari bersama Joli dan Jodhang. Haya, kalau saja aku tidak membawa Joli dan Jodhang kemari, dan menghadang bangsat itu, apakah mereka tidak berhasil lolos?"
Sebaliknya perhatian Prayoga segera terpusat kepada sumur Sunan Kudus, di mana Sarini mati di dalam sumur. Tanpa pikir panjang lagi, ia sudah terjun ke dalam sumur.
Saat itu air sumur sudah jernih kembali. Lapisan lumpur yang semula teraduk, sudah kembali mengendap dan tenang. Maka di dalam sumur ini, Prayoga dapat melihat dengan jelas. Di samping itu pemuda ini juga beruntung, bahwa selama merantau berhadapan dengan berbagai macam peristiwa. Di sela sela tugas penting, ia belajar berenang. Maka sekalipun sunur ini dalam, ia tidak kesulitan. Ia cepat menyelam dengan mata terbuka. Kemudian ia terbelalak, ketika melihat cahaya kemilauan dari dasar sumur. Dan pada saat itu, tangannya menyentuh tubuh Sarini.
Ia melihat dan merasakan bahwa tubuh Sarini terbungkus oleh lumpur. Hatinya pedih sekali dan terharu. Secepatnya Sarini dipondong, di bawa ke permukaan air. kemudian. mendorong tubuh Sarini ke atas
sambil mengerahkan tenaga. Sungguh beruntung di mulut sumur sudah ada orang yang siap menerima. Hingga Sarini yang malang, segera dibaringkan di atas batu.
Mulut, telinga dan hidung Sarini tersumbat oleh lumpur. Melihat keadaan Sarini, semua orang sudah putus-asa. Jelas gadis ini sudah meninggal. Namun kendati sudah meninggal, merupakan kewajiban manusia untuk mensucikan jenazah itu. Akan tetapi ketika muka Sarini dibersihkan, semua orang menjadi heran dan terkejut. Wajah sarini tidak menunjukkan keadaan kalau sudah meninggal. Wajahnya berseri seperti orang sedang tidur.
Prayoga menubruk gadis yang dicintai itu, memeluk sambil menangis tersedu sedu. Hati dan perasaan prayoga serasa hancur, karena baru saja menemukan cinta-kaSih harus'sudah berpisah untuk selamanya.
Keadaan Prayoga itu, mengobarkan kemarahan semua orawg. Malah Ali Ngumar yang biasanya sabar itu, sekarang tak dapat menahan marahnya lagi, melihat Sarini mati dan Prayoga menangis seperti itu. Hati Ali Ngumar seperti di sayat sayat. Justru dua orang muridnya itu, sudah tidak bedanya anak sendiri.
Ali Ngumar mengambil pedang Kyai Baruna yang tadi dipergunakan Prayoga melawan Sintren. Kemudian sambil menatap isterinya, berkata,
"Diajeng Wulan, bantulah aku membalaskan sakit hati Sarini!"
"Mari kakang, kita hadapi bersama!" sahut Ladrang Kuning halus, kemudian sudah menyerang ke arah tenggorokan Sintren.
Setelah isterinya bergerak menyerang, Ali Ngumar pun ikut menyerang.
Baik Saragedug maupun Sintren sadar bahwa kali ini harus menghadapi perkelahian hebat untuk mempertahankan hidup. Maka dalam menghadapi Ladrang Kuning dan Ali Ngumar, suami isteri Gendruwo Semanu
ini hati-hati. Dan agar dapat melawan dengan baik, mereka beradu punggung. Dengan demikian tidak mungkin dapat diserang dari belakang. '
Ketika ujung pedang Ali Ngumar menyambar, Saragedug mundur selangkah sambil menggerakkan ikat pinggang guna melibat pedang lawan. Sedang Sintren mendorongkan tangannya ke depan. menghantam kaki Ladrang Kuning.
Senjata Saragedug yang lemas itu bertebaran di udara. Saragedug lupa kali ini berhadapan dengan senjata pusaka. Ketika senjatanya berhasil melibat pedang, baru ia sadar Ujung senjatanya terbabat putus menjadi tiga potong. Hingga senjata yang semula panjang itu tinggal dua tombak saja.
Ladrang Kuning melenting ke udara untuk menghindari serangan Sintren. Ketika membalas serangan, Ali Ngumar menggunakan jurus Prahara Segara, sedang Ladrang Kuning bergerak dalam jurus Bumi Jugrug. Sepasang pedang itu memancarkan cahaya kemilauan oleh pantulan sinar obor. Kemudian gelanggang perkelahian itu seperti penuh dengan sinar pedang.
Akibat senjatanya menjadi pendek. Saragedig berkurang kegarangannya. Ketika sepasang pedang itu. menyerang berbareng, yang tampak hanya sinar pedang lawan, membuat Saragedug menggerakkan sisa senjatanya melibat kaki Ali Ngumar. Menyusul menggerakkan tangan kiri dengan pukulan jarak jauh. Karena Saragedug tahu Ali Ngumar lebih lemah dibanding isterinya. .
Ali Ngumar meloncat keatas menghindari sanbaran senjata lawan. Berbareng itu bersuit keras dan gerak pedangnya sudah berganti dengan jurus Nawa Prahara, jurus ketiga yang lebih hebat dari jurus pertama dan ke dua.
Sayang sekali pukulan Saragedug dengan tenaga sakti yang berhawa panas sekali. hingga Ali Ngumar
merasa dadanya sesak. Perkelahian makin seru. Saragedug dan Sintren tetap berkelahi dengan beradu punggung. Tiba-tiba mereka bergeser dan memecah diri. Saragedug berhadapan dengan Ladrang Kuning, dan Sintren menghadapi Ali Ngumar. Agaknya Gendruwo Semanu ini memang sudah terlatih dalam bekerja sama menghadapi lawan tangguh.Karena Sintren. sudah melepaskan pukulan berturut turut, menyebabkan Ali Ngumar menderita kedinginan.
Saragedug juga cepat melancarkan pukulannya, dengan dilambari tenaga sakti panas. Akibatnya Ladrang Kuning menderita seperti dibakar api. Akan tetapi Ladrang Kuning lebih tinggi kesaktiannya dibanding suaminya, ia masih tetap dapat menyerang Sardgedug dengan gencar.
Ladrang Kuning dan Ali Ngumar semakin cepat bergerak dengan ilmu pedang masing masing, sedang Saragedug dan Sintren lancar berputaran berganti lawan setiap saat. Akibatnya hawa panas dan dingin bercampur aduk, menyebabkan Ali Ngumar makin lama semakin kepayahan karena harus menahan napas dan menolak serangan lawan.
Ladrang Kuning terkejut. Ia bergeser mendekati sambil bertanya,
"Kakang, engkau bagaimana?"
Ali Ngumar terpaksa tidak menyahut._Karena jika menyahut harus bernapas, dan itu berarti akan terlanda oleh hawa panas dan dingin dari lawan.
Agaknya Ladrang Kuning menyadari keadaan suaminya. Kemudian berkata.
"Kakang, mundurlah! Akan aku hadapi seorang diri manusia busuk ini!"
Tepat pada saat itu Sintren melancarkan pukulan ke arah Ladrang Kuning. Sebaliknya Ladrang Kuning cepat cepat menyarungkan pedang, lalu menyambut tangan Sintren yang melayang.
Plak! Dua telapak tangan melekat. Sekarang mereka tak dapat berputaran lagi.
hingga Ali Ngumar dapat bernapas longgar lagi. Akan tetapi bagaimanapun, diam-diam ia cemas juga melihat isterinya. Karena isterinya dikeroyok dua oleh Saragedug dan Sintren.
' Dalam keadaan seperti itu, kalau Ali Ngunar mau, tidak sulit membunuh lawan dengan tusukan. Tetapi Ali Ngumar tak mau melakukan, tidak mau menggunakan kesempatan dalam kesempitan.
Memang, orang yang sedang berkelahi mengadu tenaga sakti, seluruh tenaga murni, semangat dan perhatian harus dicurahkan. Sedikit saja terganggu. pemusatan menjadi terpecah dan penyaluran tenaga itu buyar. Apabila kesempatan ini digunakan lawan dengan menekan, akibatnya hebat. Yang kalah akan menjadi cacat seumur hidup.
Ali Ngumar cepat menyarungkan pedangnya,tak tega membiarkan isterinya dikeroyok dua lawan tangguh. Ia melompat ke depan dan memukul.
Plak! Tangan Ali Ngumar kemudian saling lekat dengan tangan Sarasedug.
Sesungguhnya keadaan Ladrang Kuning saat itu memang sudah agak kacau. Dalam beradu tenaga sakti dengan Sintren, ia harus menerima tenaga sakti yang berganti ganti sifatnya. Pada suatu saat dingin, tetapi di saat yang lain panas. Ternyata suami isteri tersebut pandai sekali dalam mengatur diri. Karena punggung melekat, mereka dapat menyalurkan tenaga sakti secara bergantian. Apabila Sintren sudah letih dalam menyalurkan tenaga sakti dingin, kedudukannya digantikan Saragedug dengan tenaga sakti yang panas. Karena mereka menyerang bergantian, sumber tenaga tak pernah surut.
Pada mulanya Ladrang Kuning memang dapat mengimbangi. Tetapi sesudah cukup lama dan tidak mempunyai kesempatan untuk istirahat, akhirnya Ladrang Kuning menjadi letih dan terdesak. Untung di saat terdesak, Ali ngumar sudah menggempur Sintren, hingga lawan kepayahan.
Sebaliknya dalam menghadapi Ali Ngumar, Saragedug memiliki kelebihan. Dan ketika melihat isterinya terdesak. ia cepat-cepat memindahkan serangan kepada Ladrang Kuning. Dan Sintren segera tanggap. Ia mengalihkan serangannya ke arah Ali Ngumar. Akibat terjadinya pergeseran tenaga itu, sekarang menjadi berimbang.
Perkelahian antara mati dan hidup ini berlangsung lama sekali. Empat tokoh sakti itu tampak tegak berdiri seperti patung. Kalau mau, Jim Cing Cing Goling dan kawan kawannya tentu dapat mengakhiri dengan menyerang bersama-sama. Tetapi mereka tak mau menjadi pengecut, dan di samping itu mereka juga khwatir kalau Ladrang Kuning dan Ali Ngumar menjadi salah paham.
Semua orang mengikuti perkelahian itu dengan prihatin dan tegang. Mereka semua sadar, bahwa makin lama berkelahi, mereka mencapai tingkat penyelesaian yang mendebarkan. Entah pihak Ali Ngumar dan Ladrang Kuning yang akan menang, ataukah harus kalah dan menderita cacat seumur hidup. Semua orang tidak tahu dan tidak dapat menduga. Mereka hanya melihat, butiran keringat menetes turun dari tubuh masing masing. Wajah Ali ngumar tampak merah membara, wajah Ladrang Kuning tampak muram dan sayu, sedang wajah Saragedug merah seperti kepiting rebus dan wajah Sintren pucat kebiru-biruan.
Dalam situasi tegang dan mendebarkan itu, tiba tiba terdengar jelas sekali ketukan tongkat ke tanah. Makin lama semakin dekat. Dan ketika mereka memalingkan muka, mereka terbeliak kaget berbareng gembira.
Kigede Jamus telah muncul sambil melangkah perlahan, mendekati mereka yang sedang berkelahi. Wajah kakek itu tenang dan agung. namun semua orang belum
dapat menduga apa saja yang akan dilakukan kakek itu.
Ketika jarak Kigede Jamus dengan empat orang yang sedang berkelahi itu semakin dekat, jantung semua orang tegang berdebaran. Setelah makin dekat lagi, Kigede Jamus menyatukan telapak tangan di depan dada sambil berkata perlahan,
"Ya, Allah! Mengapa manusia manusia masih saja menurutkan nafsu dan amarah. memanjakan nafsu dan dendamnya? Ah, tidak baik apabila kalian melanjutkan perkelahian tak berguna ini. Dan sekarang aku akan mewakili kalian untuk menghapus semua dendam kesumat yang berkecamuk dalam "dada kalian!"
Setelah berkata, Kigede Jamus mengangkat tongkatnya perlahan-lahan.
Ladrang Kuning dan Ali Ngumar tahu akan maksud Kigede Jamus, yang tidak lain akan melerai. Kendati mereka tidak menginginkan, tetapi mereka tidak marah.
Jalan pikiran Ali Ngumar dan isterinya ini, bertolak belakang dengan jalan pikiran Saragedug dan isteri nya. Mereka sudah salah duga, dan mengira kakek ini akan membantu lawan. Karena salah duga ini, mereka menjadi gelisah. Dalam gugup, mereka mengerahkan tenaga sakti dan mendorong sekuat tenaga kepada Ladrang Kuning dan Ali Ngumar. Maksudnya, apabila berhasil akan segera meloncat melarikan diri. _
Akan tetapi 'Ladrang Kuning dan Ali Ngumar tidak bodoh. Karena tahu Maksud lawan, di saat Saragedug dan Sintren menarik kembali tenaganya, secepat kilat Ladrang Kuning dan Ali Ngumar melancarkan serangan yang dahsyat. Akibatnya, baru saja Gendruwo Semanu dapat menggeser kaki ke samping, sudah diserang gelombang tenaga sakti yang dahsyat. Sesaat itu juga Saragedug dan Sintren mengeluh lalu jatuh terduduk di a tas tanah dalam keadaan loyo.
Menyadari keadaan lawan. kalau tidak menjadi lumpuh tentu cacat seumur hidup dan kesaktiannya lenyap.
Ladrang Kuning dan Ali Ngumar tak mau mendesak lagi. Mereka terus melompat ke samping, disambut dengan sorak dan tepuk tangan menggemuruh saking lega dan gembira.
"Ya.Allah ampunilah dosa ummat Mu. Barang siapa yang menanam tentu memetik buahnya, dan siapa bermain api akan terbakar sendiri. Bersyukurlah kalian masih dapat menikmati kebesaran Tuhan Sekalian Alam. Dan sekarang silahkan kalian pulang beristirahat, dan selanjutnya hiduplah dengan tenang dan tenteram!" kata Kigede Jamus kepada Saragedug dan Sintren.
Suami isteri itu bangkit. Akan tetapi keadaan mereka sudah lain. Suami isteri itu sekarang sudah cacat dan hilang semua kesaktiannya, dan kembali seperti manusia biasa yang tidak kenal ilmu kesaktian.
Melihat keadaan mereka, kendati pada mulanya benci setengah mati, sekarang menjadi terharu dan tak sampai hati untuk membalas dendam. Suami isteri itu dibiarkan pergi tanpa diganggu.
Saragedug dan Sintren yang menderita kekalahan itu masih penasaran. Maka sebelum pergi, mereka berteriak,
"Kami sekarang sudah menjadi manusia tanpa guna. Akan tetapi sebaliknya, budak perempuan itu tidak mungkin bisa ditolong lagi. Dengan begitu, kami dapat pulang dengan bibir tersenyum."
Ucapan Sintren itu menyadarkan semua orang. Sejak tadi mereka tidak memperhatikan Sarini yang menggeletak tak bergerak. Dengan gugup mereka sekarang mengarahkan perhatian kepada Sarini. Akan tetapi mereka yang melihat menjadi keheranan karena dalam keadaan mati, Sarini seperti orang hidup. Wajah gadis bersinar terang, bertambah ayu tidak bedanya dengan 0rang yang sedang tidur nyenyak.
"Ya Allah, terima kasih,"-kata Kigede Jamus halus.
"Keajaiban Mu telah terjadi, Ya Allah! Engkau telah memberi petunjuk kepada bocah itu. untuk berlatih dan
mengembangkan daya guna dan manfaat guna dari air batu mustika yang sudah diminumnya."
Sudah tentu semua orang tidak mengerti maksud kata kata kakek sakti itu. Karena tidak tahu, mereka bertanya, dan Kigede Jamus sambil bersenyun menjawab,
"Ya, endapan lumpur dalam sumur yang telah membungkus tubuhnya itu, telah menggerakkan daya guna dan haSil guna dari air mustika dalam batu. Jebeng ini tidak saja minum lumpur tetapi "babahan hawa sanga" (sembilan lubang pada tubuh) sudah dimasuki air dan lumpur. Hem, kalian perlu mengetahui, Siksaan yang terjadi tidak bisa dibayangkan. Akan tetapi dengan begitu, di luar tahu "dan kehendak jebeng itu sendiri. telah mendapat pertolongan Allah yang tak terduga. Berkat daya guna dan hasil guna air mustika dalam batu yang sudah berkembang itu, jebeng Sarini akan hidup kembali, sesuai dengan kehendak dan kekuasaan Allah semata. Ah, karena jebeng Sarini sudah selamat, sekarang ijinkanlah aku pulang."
Kigede Jamus melangkah perlahan sambil mengetukkan tongkat ke tanah. Tampaknya langkah itu seenaknya. tetapi tahu-tahu Kigede Jamus sudah lenyap.
Dan benar juga. Setelah Kigede Jamus pergi, Sarini bergerak. Cairan muntah dari mulut. Prayoga yang tadi menangis karena menduga calon isterinya sudah meninggal, sekarang menangis lagi saking gembira dan lega.
Baru saja membuka mata. Sarini menjadi kaget melihat perhatian semua orang terpusat kepada dirinya. Tetapi semua tidak terpikirkan, dan gadis ini membicarakan yang lain. Katanya,
"Kakang, harta karun yang kita cari itu ternyata disimpan di bawah dasar sumur ini. Dasar sumur itu tertutup sekeping batu hitam. Akan tetapi hati hatilah jika masuk, karena di bawah batu itu dipasang alat rahasia."
Sungguh hebat! Begitu sadar Sarini bicara soal harta karun. Ini membuktikan sampai di mana tanggung ja wab gadis ini terhadap urusan perjuangan.
"Sarini, aku bersyukur kepada Tuhan, engkau belum ditakdirkan mati," Prayoga berkata. kemudian ia menuturkan kembali apa yang sudah diucapkan Kigede Jamus. Dan hal ini membuat Sarini gembira dan bersyukur.
Sarini menyedot napas dalam dalam kemudian duduk. Ia merasakan tubuhnya terasa nyaman sekali, di samping tambah segar. Kemudian ia memandang sekeliling, lalu berseru,
"Lekas! Lekas ambillah harta karun dalam sumur itu! Perjuangan kita akan berhasil oleh pertolongan Tuhan!"
Di antara tokoh yang hadir, tidak seorangpun yang menang dengan Ladrang Kuning, dalam hal menyelam dalam air. Karena merasa bertanggung jawab pula, maka Ladrang Kuning bertanya,
"Sarini! Alat rahasia apakah yang dipasang di dalam sumur?"
"Entahlah ibu, murid kurang jelas. Akan tetapi alat tersebut "dapat. menimbulkan tenaga putaran yang kuat sekalii"
"Ah, tidak sulit!" sahut Ladrang Kuning, lalu langsung terjun ke sumur.
Tak lama kemudian para tokoh yang menunggu di atas, hatinya berdebar tegang ketika melihat kepala Ladrang Kuning muncul di bibir sumur. Kemudian semua orang terbelalak melihat dari tangan Ladrang Kuning memancar sinar kemilauan. Ternyata Ladrang Kuning sudah membawa beberapa butir intan, berlian, mutiara, emas dan toga mulia yang lain. Baru segenggam benda yang diambil Ladrang Kuning itu saja, sudah cukup untuk menjamin puluhan orang dalam setahun.
Ladrang Kuning segera menceritakan apa yang terdapat dalam sumur. Katanya,
"Alat yang dipasang di
dasar sumur itu, ternyata sebuah roda besar. itulah sebabnya dapat berputar dan menimbulkan daya tarik yang kuat sekali. Akan tetapi roda itu sekarang sudah aku rusakkan. Siapa saja yang pandai berenang dan menyelam, turun dan kuras habis harta benda itu!"
Lima orang segera turun berbareng untuk melaksanakan perintah Ladrang Kuning. Mereka bekerja keras, sehingga sebelum pagi tiba, semua harta tersebut sudah dapat diambil, ditampung dalam dua buah peti besar.
Setelah pekerjaan itu selesai, semua orang masuk ke pesanggrahan. Ketika orang-orang masuk, ternyata Swara Manis dan Marsih sudah pergi, tidak diketahui pergi ke manakah dua orang itu. Namun harapan semua orang, agar Swara Manis menjadi sadar dan berguna bagi masyarakat, dan dapat hidup bahagia dengan Marsih.
Apa sebabnya Swara Manis dan Marsih pergi diam diam? Semua ini ajakan Swara Manis. Ia sudah mendengar berita. bahwa harta karun sudah berhasil ditemukan, dan benar memang terSimpan di dalam sumur Sunan Kudus. Atas keberhasilan para pejuang mendapatkan harta karun itu, hati Swara Manis serasa besar dan serasa menjadi manusia baru. Bahwa sekalipun kakinya sekarang sudah buntung, tetapi otaknya masih dapat bekerja dengan baik. Hingga untuk pertama kalinya dirinya dapat menunjukkan jasa kepada semua orang dalam hubungan harta karun itu. Akhirnya dua insan itu sepakat untuk segera membangun rumah tangga yang bahagia dan tenteram, di samping Swara Manis bertekat untuk memperdalam ilmu kesaktiannya. Ia menyadari setelah dua kakinya bmtung, dirinya harus menggembleng diri agar hidupnya kemudian hari berguna bagi masyarakat, dan tidak dihina orang.
Demikianlah akhirnya, setelah harta karun diketemukan dan diangkut ke atas, lalu diputuskan bahwa yang bertanggung jawab untuk mengamankan harta itu, Ladrang Kuning, Jim Cing Cing Goling, si Bongkok dan Resi Sempati.
Ketika itu angka tahun menunjuk 16l8 M. Setelah selesai mempersiapkan segala sesuatu, Ali ngumar mengajak seluruh rombongan kembali menuju Muria. Tidak ketinggalan dua ekor orang utan, si Joli dan Jodhang.
Berhasil diketemukannya harta karun itu, disambut dengan gembira sekali oleh anak buah pejuang Pati. Di tengah suasana kegembiraan yang meluap-luap ini, tiba tiba si Bongkok yang suka usil mengusulkan.
"Saudara saudaraku, benar kita gembira dengan harta karun yang tidak ternilai harganya ini. Kendati begitu, masih ada dua masalah yang membuat hatiku tidak puas."
Semua orang menjadi kaget berbareng heran. Di antara mereka ada pula yang lalu menduga, agaknya si Bongkok ini bermaksud agar bisa memperoleh bagian dari harta itu.
"Apa maksudmu?" tanya Jim Cing Cing Goling.
Si Bongkok mendeham sambil menebarkan pandang ke sekeliling. Kemudian ia melirik penuh arti kepada Sarini dan Praayoga. Jawabnya,
"Enam tahun lamanya aku menjadi pembantu rumah tangga saudara Ali Ngumar, dan pura pura menjadi kakek gagu. Selama itu, hubunganku dengan anak Prayoga maupun Sarini erat sekali. dan dua bocah itu memanggil aku kakek. Nah, aku ingin bertanya kepada Prayoga dan Sarini. Apakah sekarangpun kamu masih menganggap aku sebagai kakekmu?"
Wasi Jaladara yang jujur dan kasar itu cepat menyambut, katanya,
"Ya, kakek bongkok, ha ha ha ha! Tetapi tidak apa! Yang penting bukan ujudnya sebagai manusia, tetapi peribudi dan watak tabiatnya. Si Bongkok tidak bisa diragukan keperwiraannya. dalam membela rakyat kecil."
"Hai, kau mengejek aku?"
"Oh tidak! Kiranya saudara yang lain akan sependapat dengan aku."
"Benar! Benar!" sambut yang lain.
Si Bengkok ketawa terkekeh, kemudian mengulang pertanyannya kepada Sarini dan Prayoga.
"Ya, kami masih menganggap engkau sebagai kakekku,
" sahut Sarini sambil tersenyum.
"Tetapi kami tidak lagi memanggil kakek gagu, tetapi kakek bongkok!"
"Heh heh-heh, hatiku menjadi gembira sekali. Akan tetapi sebagai kakekmu, aku sekarang menuntut sesuatu kepadamu berdua, dan harus kamu luluskan."
Sarini dan Prayoga saling pandang. Jim Cing Cing Goling yang cerdik segera dapat menduga lalu ketawa terkekeh gembira. Akan tetapi Wasi Jaladara yang lugu tidak tahu, lalu bertanya,
"Menuntut sesuatu boleh saja; Tetapi tuntutanmu itu soal apa? Hemm, engkau jangan mempersulit orang muda."
"Heh heh heh, tuntutanku sederhana saja. Sarini dan Prayoga harus segera kawin... ."
Kata-kata si Bengkok ini terputus oleh tepuk 'tangan dan teriakan setuju. Membuat dua orang muda itu .saling pandang, tersenyun dan malu, tetapi dalam hati bahagia sekali.
"Kita sudah banyak harta," kata si Bongkok.
"Tunggu kapan lagi?"
Lalu si Bongkok mengamati Ali Ngumar dan Ladrang Kuning yang duduk berdampingan. Terusnya,
"Saudara Ali Ngumar, aku harap engkau tidak menganggap aku lancang. Semua ini justru untuk kebaikan dua bocah itu sendiri. Aku punya usul begini. Saudara Ali ngumar bertindak sebagai wali Sarini, sebagai pengganti orang tuanya. Sebaliknya aku si Bongkok yang bunk rupa ini, ijinkanlah bertindak sebagai kakek Prayoga. Nah, karena aku sebagai kakeknya, sekarang juga aku meminang Sarini untuk aku jodohkan dengan Prayoga. Setuju?"
Sebelum Ali ngumar sempat menyahut, semua 0rang sudah berteriak,
"Setuju!" "Tetapi aku masih menuntut sebuah syarat lagi," ujar si Bengkok.
"Hai, apa apaan kau ini?" Wasi Jaladara mencela.
"Apakah engkau ini seorang yang paling berjasa. kemudian banyak menuntut?"
Si Bengkok yang sudah mengenal watak Wasi Jaladara, tidak memperdulikan dan tidak marah. Lalu berkata lagi kepada Ali ngumar,
"Bagaimana saudara Ali Ngumar, apakah engkau sedia mengabulkan permintaan ku?"
Ali Ngumar tersenyum. Tetapi tidak menjawab malah bertanya,
"Saudara menghendaki apa lagi?"
Si Bengkok segera berkata lantang,
Dendam Kesumat Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku si Bongkok yang buruk rupa ini, tidak akan merasa puas, sebelum Simbul yang dihormati semua pejuang ini bersatu kembali seperti belasan tahun lalu. Maka terus terang, aku mengajukan permohonan kepada saudara Ali ngumar dan juga kepada isterimu Ladrang Kuning. Sejak saat sekarang harus mau kembali rujuk dan memimpin kami. Tanpa hadirnya Ladrang Kuning di sampingmu, rasanya kok kurang sreg. Mau apa mau?"
Beberapa orang berdebar hatinya, khawatir kalau Ladrang Kuning marah. Ali Ngumar mengamati isterinya, dan Ladrang Kuning juga melirik suaminya sambil tersenyum. Pertanda bahwa hati perempuan aneh ini sudah benar benar berobah dan sedia rujuk kembali dengan
suaminya. Kendati tak ada jawaban yang terdengar namun orang sudah tahu kalau suami istri itu bersedia rujuk.
"Hore! Hore!Terima kasih saudara Bongkok," sambut Jim Cing Cing Goling.
"Sekarang. lebih tepat kiranya apabila segala sesuatu diatur secepatnya. Upacara itu boleh sederhana, tetapi harus meriah, diliputi suasana bahagia.Sesudah semua itu beres, baru tepat apabila kita bicara masalah perjuangan. Setuju?"
"Setuju." "Akur!" "Amat menggembirakan kami".
Macam-macam teriakan mereka dalam menyambut peristiwa bahagia, rujuknya Ali Ngumar dengan Ladrang Kuning, dan rencana perkawinan Sarini dengan Prayoga.
Ya, begitulah yang terjadi di Muria. Mereka bersyukur kepada Tuhan, akhirnya mendapat petunjuk dan perkenan Tuhan, untuk kepentingan para pejuang.
Seperti diketahui, pada tahun 1618 M itu, Kerajaan Mataram masih menghadapi banyak kesulitan dan kekacauan. Bupati dan Adipati di wilayah timur serta pesisir, tidak mau tunduk lagi kepada Mataram. Hingga Sultan Agung terpaksa menggerakkan pasukannya untuk menggempur mereka yang membangkang. Di ujung pulau Jawa masih ada dua kekuatan yang sulit ditundukkan, ialah Pangeran Pekik, Adipati Surabaya dan Sunan Giri yang sejak jaman para wali. mendapat kepercayaan memegang kekuasaan mengesahkan setiap Raja.
Sunan Giri tidak mau mengakui Kerajaan Mataram. Karena bukan keturunan Demak, dan Mataram berdiri setelah mengalahkan pewaris Demak yang sah
dan diakui para wali, Pangeran Pangiri (putera tunggal Pangeran Prawoto) Karena tidak diakui oleh Sunan Giri ini maka Raia Mataram yang pertama tidak bergelar Sunan atau Sultan, tetapi Panembahan Senopati. Sebagai Raja Mataram yang kedua juga bergelar Panembahan terkenal dengan nama Panembahan Seda Krapyak dan juga Panembahan Anyakrawati. Raja ketiga bergelar Panembahan Anyakrakusuma. Kendati Sunan Giri tidak mau mengakui dan mengesyahkan, kemudian Panembahan Anyakrakusuma ini mengganti gelarnya dengan nama Sultan Agung.
Waktu itu Mataram yang masih baru, ibarat berada di ujung dua tanduk. Pertama menghadapi pemberontakan para Bupati dan Adipati, dan kedua Kumpeni Belanda yang makin lama semakin kuat cengkeramannya pada beberapa wilayah peSisir dan pelabuhan pelabuhan besar. Itulah sebabnya Sultan Agung menggunakan tangan besi dalam usahanya memperkuat kedudukan Mataram, dan dalam usahanya pula mempersatukan Nusantara.
Kendati mengetahui hal ini, namun para pejuang Pati belum berani bergerak. Mereka sadar bahwa Sultan Agung seorang raja yang pandai dalam hal ilmu siasat perang dan ilmu ketatanegaraan, disamping pula sebagai ahli seni. Pasukannya besar dan kuat, hingga membuat getarnya setiap pihak yang berusaha melawan.
Untuk menghadapi Mataram yang jauh lebih kuat ini, para pejuang Pati memperhitungkan kekuatan secara masak. Mereka harus menunggu hasil penjualan benda benda berharga itu. Dan dari haSil penjualan harta tersebut, dapat melengkapi alat perang maupun persediaan makan.
Ladrang Kuning yang terpilih memimpin penjualan harta berharga ini. Akan tetapi memang tidak gampang menjual barang berharga berjumlah dua peti besar itu.
Di samping hati hati juga memerlukan waktu. Maka setelah membutuhkan waktu lebih kurang enam bulan. Ladrang Kuning dan rombongannya dapat kembali ke Muria sambil membawa uang banyak sekali.
Dengan uang tersebut. para pejuang melaksanakan rencananya. Membangun kekuatan besar dan persiapan lain yang dibutuhkan untuk perang. Dalam waktu tidak lama pasukan Pati ini semakin besar kekuatannya, karena sisa pasukan Kabupaten dan Kadipaten lain yang sudah tunduk kepada Mataram, banyak menggabungkan diri.
Akhirnya Sultan Agung tidak dapat membiarkan kekuatan Pati makin besar dan kuat. Dikirimlah pasukan besar untuk menumpas gerakan itu. Tetapi karena gerakan Pati ini dipimpin para tokoh sakti, sukarlah Mataram mengalahkan mereka. Akhirnya Sultan Agung menggunakan siasat mengurung Muria ini agar putus hubungannya dengan pihak lain. Dengan siasat ini kendati persediaan makanan cukup banyak, pada akhirnya pasukan pejuang Pati berantakan. Pastkan Pati menderita kekalahan dan cerai berai.
Ya, manusia bisa berdaya tetapi Allah Maha Kuasa.
Prayoga dan Sarini yang berhasil menyelamatkan diri, telah berpisah dengan kawan kawan yang lain.
"Kakang," kata Sarini sambil memegang tangan suaminya.
"Kita harus mencari tempat yang aman dan tenteram lebih dahulu. Apabila suasana sudah reda, kita masih dapat mencari Bapa dan Ibu Guru, serta para tokoh yang lain."
Prayoga tersenyum. lalu jawabnya,
"Aku akan selalu menurut saja. karena engkau lebih cerdik dari aku. Jika engkau menganggap baik, lakukanlah. Aku akan tutwuri handayani." .
"Terima kasih" sahut Sarini gembira.
"Dan jangan lupa kakang, kita ucapkan selamat berpisah sementara dengan para pembaca Suara Merdeka yang terhormat. Perlu kita ucapkan terima kasih ., berkenan mengikuti dengan tekun perjalanan hidup kita ini. Mudah mudahan Tuhan masih mengabulkan harapan kita, kemudian
hari masih dapat menemani para pembaca Suara Merdeka yang tercinta. di kala senggang".
"Benar," sahut Prayoga.
"Kita wajib mengucapkan terima kasih!"
Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://ceritasilat-novel.blogspot.com
Sampai jumpa di lain kisah ya !!!
Situbondo,24 Agustus 2018
Terimakasih Selesai Solo, awal 1981. Api Di Bukit Menoreh 1 Ksatria Puteri Dan Bintang Jatuh Karya Dewi Lestari Rahasia Diri 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama