Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p Bagian 7
"Aku rela menghadap raja kalian tanpa senjata
dan dengan tangan diikat, kalau kalian curiga
aku akan mencelakakan dia."
Ko Ban-seng kembali menanggapi, katakatanya ditujukan kepada perwira-perwira
istana, "Orang ini musuh kita, tetapi aku sudah
dengar bagaimana pribadinya, dan aku
mempercayainya. Kadang-kadang ada musuh
yang lebih dapat '"dipercayai dari teman yang
menikam punggung dari belakang..."
Sebagai orang yang tidak punya kedudukan
apa-apa, Ko Ban-seng memang sudah biasa
bicara ceplas-ceplos, bahkan seandainya di
depan Kaisar Tiong-ong sendiri. Sudah lama ia
tidak senang kepada Jenderal Lau Cong-bin
serta Jenderal Gu Kim-sing yang sering
menyikut teman seperjuangan sendiri semacam
Jenderal Li Giam, demi keuntungan sendiri. Dan
sering perkataannya itu diwarnai ketidaksenangannya itu. Kembang Jelita 2 / XI 50 Para perwira banyak yang terpengaruh oleh
kata-kata itu. Seorang perwira berjenggot
pendek kelabu, menyahut, "Coba kita hadapkan
kepada Baginda. Kalau dia mau main gila di
hadapan Baginda, aku kira pastilah Guru Ko
tidak akan tinggal diam."
Dengan kata-kata yang seolah-olah memuji
ini, si perwira menaruh tanggung-jawab
keamanan kaisar ke pundak Ko Ban-seng.
Begitulah, akhirnya Helian Kong dibawa
menghadap Kaisar Tiong-ong dengan dilucuti
senjatanya. Saat itu sudah larut malam, sehingga Kaisar
Tiong-ong tidak dapat dibangunkan. Terpaksa
Helian Kong harus merelakan dirinya
"menginap" semalam di tempat itu. Dia
dikurung dan dijaga ketat, tapi diperlakukan
cukup baik. Helian Kong pun tidak membuat ulah yang
akan mempersulit niatnya bertemu dengan
Kaisar Tiong-ong. Ia mencoba bersikap tenang,
beristirahat, dan menikmati makanan dan
minuman yang disuguhkan tanpa curiga dan
Kembang Jelita 2 / XI 51 ternyata memang tidak beracun. Ia tekan
kegelisahan hatinya. Keesokan harinya, seorang thai-kam masuk
ke ruangannya dengan membawa seperangkat
jubah dan pakaian yang layak untuk menghadap
raja. Sikap thai-kam itu pun ramah sekali, "Tuan
Helian, Tuan dipersilakan mandi air hangat di
ruang sebelah, sudah disediakan, setelah itu
memakai pakaian ini, sarapan pagi dan
menghadap Baginda. Guru Ko akan mendampingi Tuan." Helian Kong tertawa dalam hati, "Tak
pernah sekalipun aku bermimpi akan menjadi
tamu-agungnya kepala gerombolan Pelangi
Kuning seperti ini..."
Toh Helian Kong memberi kesempatan
tubuhnya dimanjakan seperti bangsawanbangsawan. Mandinya dengan berendam di
tong besar air hangat, badannya digosok dan
disabuni oleh dua orang dayang istana yang
cantik dan Helian Kong tinggal merem-melek
menikmati tangan-tangan lembut mereka.
Selesai mandi, ia dihanduki, dibantu Kembang Jelita 2 / XI 52 mengenakan pakaian yang dibawa oleh thaikam tadi, lengkap dengan topi yang bagus.
Dalam pakaian pinjaman itu, Helian Kong
berdiri sejenak di depan cermin besar untuk
melihat bagaimana tampangnya, lalu tertawa
sendiri dan berkomentar sendiri, "Boleh juga
tampangku. Mirip seorang pembesar sipil..."
Thai-kam yang mengantar pakaian tadi,
tiba-tiba berkomentar, "Tuan Helian nampak
berwibawa dengan pakaian itu. Tetapi Tuan
lebih gagah kalau memakai pakaian pembesar
militer seperti dulu..."
Helian Kong menoleh kepada hamba istana
itu dengan heran, "Kau pernah melihatku
memakai pakaian pembesar militer?"
"Pernah, Tuan, aku bekerja di istana ini
sejak jaman Baginda Cong-ceng dulu..."
Helian Kong mengangguk-angguk, kemudian dengan gaya pembesar sungguhan ia
berkata, "Sediakan sarapanku..."
"Baik, Tuan." Thai-kam itu menepukkan tangan dua kali,
maka masuklah beberapa thai-kam lainnya dari
Kembang Jelita 2 / XI 53 tingkat yang lebih rendah, masing-masing
membawa nampan-nampan dengan mangkukmangkuk makanan di atasnya. Dalam sekejap,
ruangan itu penuh bau masakan sedap yang
merangsang selera. "He, sebanyak ini? Berapa orang yang akan
makan?" tanya Helian Kong kaget. Inilah satusatunya gaya yang tidak mirip gaya para
pembesar, melainkan mirip orang yang tidak
pernah ketemu makanan enak.
Thai-kam yang jadi pimpinan menyahut,
"Tentu saja Tuan Helian sendiri yang akan
makan." "Mana bisa aku menghabiskannya?" ketika
berkata ini, Helian Kong ingat pesan ibunya
agar kalau makan dihabiskan, sikap yang
terbawa sampai sekarang. "Tuan tidak perlu menghabiskannya. Tuan
makan saja mana yang Tuan sukai, tidak perlu
dihabiskan..." "Sisanya?" "Dibuang. Masa dimakan lagi?"
Kembang Jelita 2 / XI 54 Helian Kong membayangkan bahwa
perutnya hanya bisa memuat sepersepuluh dari
yang disediakan itu, dan sembilan sepersepuluhnya akan dibuang. Sementara di
luar istana banyak orang kelaparan yang
menganggap kerak-nasi bulukan pun sebagai
makanan lezat dari surga.
Tak tertahan Helian Kong tertawa sinis, "Hehe... ternyata kehidupan penguasa-penguasa
baru yang dulu gembar-gembor mengaku
memperjuangkan nasib rakyat itu sama saja
dengan penguasa lama yang mereka tuduh
korup dan bersenang-senang di atas penderitaan rakyat."
Si pelayan sida-sida menundukkan kepala
dan berkata perlahan, "Hampir semua seperti
itu, Tuan Helian. Kemenangan dan kedudukan
membuatnya terlena."
Helian Kong tidak berkata apa-apa lagi. Ia
lalu menyantap hidangan yang disediakan.
Tepat ketika ia menyelesaikan makannya,
Ko Ban-seng tiba di tempat itu dan berkata
Kembang Jelita 2 / XI 55 dengan suaranya yang keras dan kasar,"Aku
akan menemanimu menghadap Baginda!"
Ternyata, meskipun hendak menghadap
kaisar, pakaian yang dikenakan Ko Ban-seng
tetap pakaian yang kemarin, jubah kain kapas
kasar dan murahan, berwarna kelabu dekil,
bahkan kusut, agaknya semalam dipakai untuk
tidur dan paginya langsung dipakai menghadap
kaisar "Aku siap sekarang."
Mereka berdua berjalan berdampingan,
menuju ke ruangan Gi-si-pong (Ruang Baca
Tulis). Di luar ruangan tempatnya menginap
semalam, Helian Kong melihat penjaga-penjaga
bertebaran, bahkan ada yang di atas atap.
Dilihat dari gerak-geriknya, mereka pastilah
pengawal-pengawal pilihan yang terdiri dari
jagoan-jagoan yang punya kelas.Danmereka
pastilah menjaga dirinya semalam.
Helian Kong tertawa dan berkata kepada Ko
Ban-seng, berkelakar, "O, pantas. Semalam
tidurku nyenyak sekali, bahkan seekor nyamuk
Kembang Jelita 2 / XI 56 pun tidak mengganggu aku, ternyata penjagapenjagaku sebanyak ini..."
Ko Ban-seng tidak menjawab.
Sambil berjalan, Helian Kong melihat
keadaan istana itu tetap sama seperti dulu di
jaman dinasti Beng. Belum ada bangunanbangunan baru. Malah ada beberapa bangunan
yang rusak atau terbakar dan kelihatan sedang
diperbaiki oleh tukang-tukang. Kaisar Tiongong belum sempat berbuat banyak untuk
memperindah istana itu, sebab naik tahtanya
saja baru satu bulan. Dan masih ada masalahmasalah besar yang menghadang, seperti
bangsawan-bangsawan dan jenderal-jenderal
dinasti Beng yang masih kokoh bercokol di
belahan selatan dengan pasukannya masingmasing yang kuat, ancaman orang Manchu di
timur-laut, masalah San-hai-koan, kota perbatasan yang kecil tetapi kalau salah
penanganannya akan mengakibatkan dampak
yang besar, dan sebagainya. Seperti lazimnya
suatu dinasti yang baru "diwarisi" setumpuk
masalah dari dinasti pendahulunya.,
Kembang Jelita 2 / XI 57 Hati Helian Kong bergetar ketika melewati
sebuah bangsal yang dikenalnya sebagai
kediaman Puteri Tiang-ping, puteri almarhum
Kaisar Cong-ceng. Puteri Tiang-ping adalah
sahabat baik Heiian Kong, baik dalam
menghadapi komplotan dorna Co Hua-sun,
membongkar jaringan mata-mata Pelangi
Kuning yang ternyata "dikomandani" Tan Wanwan, dan dalam banyak persoalan lainnya.
Tak tertahan Heiian Kong bertanya, "Tuan
Ko, aku dengar kabar di luaran, Tuan Puteri
Tiang-ping dan Pangeran Cu Sam masih ada di
istana ini?" "Ya." "Masih di bangsal itu?"
"Ya." "Bagaimana keadaan mereka?"
"Baik. Kami kaum Pelangi Kuning bukan
gerombolan penjahat yang haus darah, yang
mabuk kemenangan dan memperlakukan
lawan-lawan yang kalah semau-maunya. Kami
tidak seperti itu. Kami perlakukan Puteri Tiangping dan adiknya, Pangeran Cu Sam, dengan
Kembang Jelita 2 / XI 58 baik. Kami tetap hormati martabat kebangsawanan mereka. Bahkan kami merawat Puteri
Tiang-ping sebaik-baiknya sehingga saat ini
luka-lukanya hampir sembuh..."
Helian Kong terkesiap, "Luka-luka? Lukaluka karena apa? Apakah ketika kalian
menyerbu dan menguasai istana ini?"
"Ya, saat itulah dia mendapat luka parahnya,
tetapi bukan oleh tangan orang-orang kami."
"Lalu oleh siapa?"
"Oleh Ayahandanya sendiri, almarhum
Kaisar Cong-ceng. Ketika terjadi pertempuran
memperebutkan istana ini, Kaisar Cong-ceng
amat panik. Rupanya dia mengira kami ini
sejenis gerombolan tak tahu aturan yang akan
merayakan kemenangan dengan perampasan
dan pemerkosaan besar-besaran, begitu yang
dibayangkannya. Kaisar Cong-ceng mengkhawatirkan martabat isterinya, selirselirnya dan puterinya kalau sampai mengalami
Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hal itu. Maka sebelum dia sendiri membunuh
diri di Bukit Bwe-san, dia kumpulkan anak isteri
dan selir-selirnya di suatu ruangan, dan dengan
Kembang Jelita 2 / XI 59 pedang di tangannya sendiri ia babat mati
isteri-isterinya Sendiri..."
"Ah!" Helian Kong terkesiap kaget.
Ko Ban-seng melanjutan, "... ketika giliran ia
hendak membunuh Puteri Tiang-ping, ia
terpeleset darah yang berceceran di lantai,
sehingga bacokannya luput, hanya berhasil
memotong buntung sebelah lengan sang puteri
sebatas pundak. Kaisar Cong-ceng menyangkanya sudah mati dan meninggalkannya untuk menggantung diri di
Bwe-san. Kami yang menemukan, dan
merawatnya sampai sekarang ini, dia hampir
sembuh..." Kerongkongan Helian Kong tersumbat rasa
haru, matanya panas dan berkaca-kaca.
Suaranya jadi sedikit parau, "Jadi... jadi... Puteri
Tiang-ping sekarang ini... buntung satu
tangannya?" "Ya." Helian Kong tidak mampu berbicara lagi.
Mulutnya seperti dijahit, pikirannya galau.
Kembang Jelita 2 / XI 60 Mereka pun tiba di Ruangan Gi-si-pong,
yang di sekitarnya dikawal ketat olah Gi-Cian
Siwi (Pasukan Pengawal Kaisar) yang
seragamnya juga mirip pasukan pengawal
kaisar di jaman dinasti Bang.
Ko Ban-seng minta kepada salah seorang
pengawal agar melaporkan kedatangannya.
Pengawal itu masuk, dan sesaat kemudian
keluar kembali sambil berkata, "Baginda
mempersilakan Guru dan Tuan Helian berdua
untuk masuk ke dalam."
Ko Ban-seng berdua pun memasuki ruangan
penuh buku itu. Kaisar Tiong ong tidak
memakai jubah kebesarannya, melainkan jubah
sehari-harinya, sedang duduk di belakang meja.
di dalam ruangan itu ada delapan orang
pengawal, dua diantaranya berada di kiri kanan
kursi Kaisar. Begitu melangkah masuk, Ko Ban-seng
langsung berlutut sambil berkata, "Salam,
Tuanku." Sedangkan Helian Kong tidak mau berlutut,
ia berdiri tegap menatap tajam ke arah si raja
Kembang Jelita 2 / XI 61 pemberontak itu. Itulah seorang lelaki berkulit
kasar dan agak kehitam-hitaman, rahangnya
persegi, tatapan matanya juga tajam, setajam
tatatan Helian Kong. Dengan potongannya yang
kasar itu, Helian Kong bisa membayangkan
alangkah janggalnya kalau orang ini memakai
jubah kaisar dan duduk di singgasana. Tetapi
dengan menatap matanya, Helian Kong harus
mengakui dalam hati bahwa orang ini lebih
punya semangat daripada Kaisar Cong-ceng
yang berwatak lemah dan gampang dipengaruhi
kawanan dorna. Melihat Helian Kong tidak berlutut,
pengawal-pengawal di ruangan itu membentak
gusar, "Helian Kong, jangan kurang adat di
hadapan Baginda! Berlutut !"
Ternyata Helian Kong cuma memberi
hormat dengan menjura biasa, "Selamat pagi,
Tuan Li. Terimakasih atas pelayananmu
kepadaku semalam dan pagi ini..."
Keruan para pengawal menjadi gusar dan
merasa gertakannya diremehkan. Dua orang
pengawal menerjang dari kanan dan kiri,
Kembang Jelita 2 / XI 62 hendak menekan pundak Helian Kong ke bawah
dan menjejak belakang lutut Helian Kong, untuk
memaksanya berlutut.. Tetapi Helian Kong berkelit selicin belut,
kedua tangannya juga bergerak serempak.
Penubruk yang dari sebelah kanannya ia dorong
sekalian sehingga menubruk orang yang dari
sebelah kiri. Kedua-duanya jatuh ke lantai.
Pengawal-pengawal lain berubah air
mukanya dan siap bertindak, namun Kaisar
Tiong-ong berseru sambil mengangkat tangannya, "Mundur!"
Pengawal-pengawalnya pun patuh, bahkan
Kaisar Tiong-ong melanjutkan perintahnya,
"Ambilkan kursi buat Tuatl Helian. Dia mau
mengaku aku sebagai raja atau tidak, kita tidak
bisa memaksanya." Seorang pengawal mengambilkan kursi, dan
Helian Kong duduk tanpa sungkan dl hadapan
Kaisar Tiong-goan, berselisih meja di depan
tempat duduk Kaisar. "Nah, Tuan Helian, apa tujuanmu
menyelundup ke tempat ini ?
Kembang Jelita 2 / XI 63 "Aku tidak sudi ditanyai seperti pesakitan!"
Kaisar Tiong-ong tertawa, "Tuan Helian,
bersikap yang biasa sajalah, kenapa Tuan jadi
bersikap demikian rendah diri?"
"Apa? Rendah diri? Aku rendah diri di
hadapan gembong pemberontak sepertimu."
"Ya. Sikapmu yang digarang-garangkan dan
dibuat-buat itu seperti seekor kucing yang
terpojok oleh musuhnya di pojokan lalu
menegakkan semua bulu-bulunya dan meluruskan ekornya ke atas agar kelihatan
lebih besar dari ukuran yang sebenarnya."
Wajah Helian Kong menjadi merah, namun
dia mengakui dalam hatinya bahwa kata-kata
Kaisar Tiong-ong itu benar. Helian Kong
memang merasa tekanan wibawa Li Cu-seng
amat besar, jauh lebih besar dari wibawa yang
terpancar dari Kaisar Cong-ceng, junjungan
Helian Kong dulu. Sebelumnya Helian Kong
amat meremehkan Li Cu-seng dan orangorangnya, tetapi sikap memandang remehnya
itu tidak cocok dengan kenyataan ketika melihat
betapa tertibnya istana, bagaimana perlakukan
Kembang Jelita 2 / XI 64 Li Cu-seng kepada keluarga Kaisar Cong-ceng,
apalagi setelah berhadapan sendiri dengan Li
Cu-seng alias Kaisar Tiong-ong yang begitu
berwibawa. Memang Helian Kong harus
mengakui dalam hati, bahwa sikap garangnya
itu agak dibuat-buat untuk "mendongkrak"
dirinya agar tidak "terinjak" oleh wibawa Kaisar
Tiong-ong. (Bersambung jilid XII) Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 20/07/2018 14 : 26 PM
Kembang Jelita 2 / XI 65 Kembang Jelita 2 / XII 1 ( Bagian II ) JILID XII Karya : STEVANUS S.P. pelukis : WIDODO Percetakan & Penerbit
CV "G E M A" Mertokusuman 761 RT 02 RW VII
Tilpun 35801 - SOLO 57122
Kembang Jelita 2 / XII 2 Kembang Jelita 2 / XII 1 KEMBANG JELITA PERUNTUH TAHTA 2 Karya : STEFANUS S.P. Jilid XII S ikap Kaisar Tiong-ong tetap santai, dan
mengulangi pertanyaannya tadi, "Nah, Tuan
Helian, aku menanyai mu kembali sebagai
seorang...seorang teman, kalau kau sudi
berteman denganku si orang kampung ini.
Pertanyaanku, apa tujuanmu menyelundup ke
tempat ini?" Sikap merendah Kaisar Tiong-ong itu malah
membuat Helian Kong makin merasa kerdil.
Akhirnya ia bersikap mengimbangi saja, "Tuan
Li, aku memang bermaksud mengajak Tan Wanwan keluar dari sini."
Kaisar Tiong-ong menahan senyum, "Nona
Tan memang pernah bercerita kepadaku
Kembang Jelita 2 / XII 2 tentang hubungan lama kalian. Tetapi bukankah
kabarnya kau sudah beristeri dan bahkan
isterimu hampir melahirkan anakmu?"
"Tidak, bukan itu masalahnya. Tan Wanwan akan aku bawa ke San-hai-koan, untuk
Jenderal Bu Sam-kui..."
Senyuman Kaisar Tiong-ong memudar dari
wajahnya, suaranya jadi kedengaran lebih
bersungguh-sungguh, "Pihak kami sangat
menghormati Tan Wan-wan sebagai pahlawan
yang sangat berjasa bagi perjuangan kami
mencapai kemenangan, tetapi kau, Tuan Helian,
yang mengaku sahabat sejak masa kanak-kanak,
ternyata memperlakukan Nona Tan hanya
seperti sepotong barang yang bisa di-pindahtangankan ke sana ke mari saja. Memang aku
pernah dengar cerita Nona Tan, ketika dia
diberikan kepada Bu Sam-kui begitu saja tanpa
ditanyai pendapatnya sendiri. Sekarang dengar,
Nona Tan pernah bilang kepadaku bahwa ia
tidak mencintai Bu Sam-kui sedikit pun! Dan
aku tidak akan membiarkan dia menderita batin
mendampingi orang tolol macam Bu Sam?kui!"
Kembang Jelita 2 / XII 3 Suara Kaisar Tiong-ong yang makin
meninggi dan bernada panas hati itu
mengejutkan semua orang di ruangan itu.
Bukan hanya Helian Kong, tetapi juga Ko Banseng dan pengawal-pengawal Li Cu-seng
sendiri. Sebab kentara sekali kalau Kaisar
Tiong-ong tidak hanya marah melainkan juga
cemburu. Mendengar kata-kata Helian Kong itu,
langsung menyerocoskan begitu banyak katakata.
Helian Kong mengeluh dalam hati, "Wah,
gawat ini. Jangan-jangan si pemberontak ini pun
jatuh cinta kepada Tan Wan-wan dan ingin
memilikinya sendiri? Tidak kusangka, kecantikan Tan Wan-wan yang terangkat dari
desa ke pusat pemerintahan, ternyata
menimbulkan masalah yang tidak kecil. Ikut
berperanan dalam jatuh-bangunnya beberapa
pemerintahan..." Dalam suasana seperti itu, adalah suatu
pertaruhan nyawa bahwa Helian Kong masih
berani berkata, meskipun dengan sangat hatihati, "Tuan Li, harap Tuan ingat bahwa dulu
Kembang Jelita 2 / XII 4 ketika Nona Tan dianugerahkan kepada Bu
Sam-kui, sama sekali tidak ada paksaan. Nona
Tan sudah ditanyai pendapatnya oleh Tuan Puteri Tiang-ping. Dan sekarang Tuan Puteri
Tiang-ping masih hidup, bisa ditanyai apakah
perkataanku ini benar atau tidak. Memang
mungkin dasarnya Tan Wan-wan bersedia
dijodohkan dengan Bu Sam-kui itu bukan cinta,
hanya belas kasihan, tetapi di sini tidak ada
paksaan..." "Tidak! Bukan belas kasihan, tetapi Nona
Tan saat itu bersedia mengorbankan diri
mendampingi manusia tak berguna Bu Sam-kui
demi keselamatan negeri. Ia menyanggupi itu,
supaya si tolol Bu Sam-kui segera mau kembali
Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke posnya yang penting, di kota perbatasan Sanhai-koan, yang sering ditinggalkan Bu Sam-kui
untuk keluyuran di Pak-khia! Itulah motif Nona
Tan mau dijodohkan dengan Bu Sam-kui.
Alangkah luhurnya! Di antara kaum lelaki pun
tidak banyak yang sanggup berkorban sebesar
dia, berpandangan sejauh dia!"
Kembang Jelita 2 / XII 5 Kecemasan Helian Kong makin tajam
mendengar bagaimana Kaisar Tiong-ong
mengucapkan pembelaannya tentang Tan Wanwan itu dengan luapan perasaan yang amat
dalam, tidak sekedar dari otak. Makin nyata
kalau pemboyongan Tan Wan-wan ke istana
serta pemberian gelar menjadi Puteri Kong-hui
itu lebih dari sekedar penghargaan biasa. Besar
kemungkinannya Kaisar Tiong-ong sudah
tertambat hatinya kepada Tan Wan-wan.
Persoalan jadi ruwet. "Tuan Li, kali ini pun demikian. Pemindahan
Tan Wan-wan ke San-hai-koan bukan demi Bu
Sam-kui pribadi, tetapi demi San-hai-koan itu
sendiri. San-hai-koan sebagai pos perbatasan
strategis antara negeri bangsa Han kita dengan
negeri bangsa Manchu yang ingin mencaplok
negeri kita..." Sengaja Helian Kong tekankan kata-kata
"negeri bangsa Han kita" dengan harapan hatinurani Li Cu-seng sebagai patriot bangsa Han
akan terusik, dan mengutamakan kepentingan
Kembang Jelita 2 / XII 6 seluruh negeri di atas kepentingannya sendiri
yang atas nama cinta sekalipun.
Wajah Kaisar Tiong-ong berubah beberapa
kali, sebentar merah dan sebentar pucat,
gelombang napasnya tersendat-sendat, kentara
kalau sangat berat melepaskan Tan Wan-wan.
Bahkan ia kemudian bangkit dari kursinya dan
berjalan hilir-mudik di ruangan itu.
Para pengawalnya jadi cemas, khawatir
kalau selagi sang junjungan lewat dekat Helian
Kong tiba-tiba disergap oleh Helian Kong dan
dijadikan sandera untuk Helian Kong keluar
dari situ. Tetapi para pengawal lega melihat Ko
Ban-seng tetap berdiri bersiaga di dekat kursi
yang diduduki Helian Kong, dan para pengawal
tahu sampai di mana ketangguhan kakek gendut
berambut panjang dan berjidat lebar yang
sekeras baja itu. Beberapa saat yang terdengar cuma desir
langkah Kaisar Tiong-ong yang hilir-mudik,
sampai terdengar suaranya yang mendadak
parau, "Kenapa dengan si tolol Bu Sam-kui itu?
Mabuk kepayang? Patah, hati? Hem, begitu tidak
Kembang Jelita 2 / XII 7 bergunanya jenderal-jenderal dinasti Beng,
sehingga di saat-saat gawat pun masih sempat
memikirkan seorang perempuan..."
Helian Kong agak panas mendengar
sindiran yang ditujukan kepada "jenderaljenderal dinasti Beng" yang tentunya termasuk
dirinya sendiri juga. Maka jawabnya,
"Cinta memang bisa membuat seorang lelaki
kehilangan nalar, pikirannya jadi sempit dan
melupakan persoalan-persoalan lain yang lebih
luas. Tidak peduli lelaki itu jembel, seorang
jenderal, atau bahkan seorang... raja!"
Kaisar Tiong-ong berubah sedikit wajahnya,
merasa disindir. Tanyanya, "Kalau Tan Wanwan tidak dikirim ke San-hai-koan, apa yang
akan dilakukan Bu Sam-kui."
Helian Kong menjawab pelan-pelan,
menekankan tiap patah kata, "Aku khawatir,
dan aku percaya Tuan Li juga mengkhawatirkan
ini, Bu Sam-kui akan menakluk kepada orang
Manchu dan menyerahkan San-hai-koan kepada
mereka..." Kembang Jelita 2 / XII 8 "Keparat!" Kaisar Tiong-ong menggebrak
pegangan kursi. "Begitu tidak bergunanya dia,
sehingga demi seorang wanita akan mempertaruhkan seluruh negeri?"
"Sekali lagi, Tuan Li, kita tidak bisa
menyelami pikiran orang yang sedang mabuk
cinta. Kalau sampai Bu Sam-kui menyerahkan
San-hai-koan karena Tan Wan-wan, aku akan
mencaci-maki dia. Tetapi aku juga akan
mencaci-makimu, Tuan Li. Kau juga mempertaruhkan seluruh negeri demi Tan
Wan-wan..." "Diam, Helian Kong! Detik ini juga kau bisa
kehilangan batok kepalamu!"
"Tentu saja" sahut Helian Kong kalem.
"Tetapi sekalipun kau tumbuk kepalaku kau
tumbuk halus dan kau sebarkan ke mana-mana,
negeri ini tidak akan bisa diselamatkan kalau
kau dan Bu Sam-kui sama tololnya!"
"Aku akan memerintahkan Jenderal Lau
memperhebat serangan agar San-hai-koan bisa
segera direbut dan tidak memberi kesempatan
kepada orang Man-chu."
Kembang Jelita 2 / XII 9 "Keparat!" Kaisar Tiong-ong menggebrak
pegangan kursi. Kembang Jelita 2 / XII 10 Helian Kong tertawa, "Jujur saja ya? Kalau
aku disuruh memilih antara dua pilihan, apakah
San-hai-koan direbut oleh pihakmu atau pihak
Manchu, aku lebih senang kalau jatuh ke
tanganmu. Meskipun yang paling aku sukai
adalah kalau tetap dipertahankan oleh pihak
kami, dinasti Beng. Sayangnya, jenderalmu Si
Lau Cong-bin itu adalah jenderal kantong nasi.
Gempuran-gempuran tololnya atas San-haikoan cuma mampu membuat Bu Sam-kui panik
dan main mata dengan pihak Manchu, tetapi
tidak pernah dan tidak akan pernah bisa
merebut San-hai-koan. la terlalu tolol. San-haikoan tidak bisa direbut hanya dengan
mengandalkan jumlah besar dan ditembaki
meriam!" "Lalu dengan apa San-hai-koan harus
direbut?" pancing Li Cu-seng.
"Jangan kau kira bisa memancing dari
mulutku. Bu Sam-kui itu temanku, mana bisa
aku memberitahu musuh untuk merugikan
temanku sendiri?" "Jadi apa maumu?"
Kembang Jelita 2 / XII 11 "Membawa Tan Wan-wan ke San-hai-koan.
Demi seluruh negeri bangsa Han!"
"Jangan-jangan kepentingan pribadimu
sendiri tersangkut?"
"Terserah kau percaya kepadaku atau
tidak." "Hem, Tan Wan-wan sudah cukup
menderita selama ini, dan aku tidak akan
menambah penderitaannya. Dia tidak boleh
berkorban lebih banyak lagi!"
Helian Kong menarik napas, wajahnya
sangat muram. Jalan buntu.
Sementara Kaisar Tiong-ong menjatuhkan
perintah, "Guru Ko, tahan begundal dinasti lama
yang korup ini!" Ko Ban-seng segera turun tangan atas
Helian Kong, dan Helian Kong yang tahu dirinya
bukan tandingan kakek gendut ini, tidak
melawan. Dalam urusan rumit itu, ia akan lebih
mengandalkan otaknya. "Mudah-mudahan Bu Sam-kui juga mau
menggunakan sedikit otaknya..." doa Helian
Kembang Jelita 2 / XII 12 Kong di kamar tahanannya, dalam keadaan
terborgol kaki dan tangannya.
Setelah Helian Kong berlalu daripadanya,
ternyata pikiran Kaisar Tiong-ong tetap
dipenuhi percakapannya dengan Helian Kong
tadi. Helian Kongnya sudah pergi, tetapi katakatanya seperti masih memenuhi ruangan Gi-sipong itu, bahkan ruang Kaisar Tiong-ong.
Ia dihadapkan kepada dua pilihan,
kehilangan San-hai-koan atau kehilangan Tan
Wan-wan? Kalau bisa, ia tidak ingin kehilangan
kedua-duanya. Karena pusing memikirkan itu
sendiri, Kaisar memanggil beberapa panglimanya untuk diajak bertukar pikiran.
Tetapi kepada Tan Wan-wan sendiri, Kaisar
justru menyembunyikan persoalannya, la
benar-benar khawatir kalau sampai Tan Wanwan mendengarnya, maka Tan Wan-wan akan
mengorbankan dirinya lagi dengan pergi ke
San-hai-koan, entah bagaimana caranya. Berarti
Tan Wan-wan terbang lepas dari tangannya,
itulah yang tidak dikehendaki Kaisar.
Kembang Jelita 2 / XII 13 Dan setelah panglima-panglimanya berkumpul, Kaisar Tiong-ong membeberkan
masalahnya, tetapi soal Tan Wan-wan sama
sekali tidak dia sebut, la hanya minta
pertimbangan panglima panglimanya bagaimana seandainya pihak Manchu lebih dulu
merebut San-hai-koan karena diberi kesempatan oleh Bu Sam-kui. Kaisar Tiong-ong
mengaku mulai memikirkan kemungkinan itu
setelah "mendengar seseorang dari garis
depan." "Nah, coba pikirkan oleh kalian."
"Apakah Jenderal Lau belum juga berhasil
merebut San-hai-koan?" celetuk seorang
panglima bernama Te Seng-hian. "Dengan
pasukan yang begitu besar dan peralatan
perang yang begitu lengkap, menghadapi Sanhai-koan yang kecil dan sedikit prajuritnya?"
"Apakah Jenderal Li Giam perlu dipanggil
kembali dari wilayah barat untuk membereskan
masalah San-hai-koan ini?"
Jenderal Gu Kim-sing yang juga hadir di
pertemuan itu bersama beberapa pembantu
Kembang Jelita 2 / XII 14 dekatnya, menjadi tidak senang mendengar
nama Li Giam disebut-sebut lagi sebagai orang
yang bisa membereskan masalah itu. Li Giam
yang telah disingkirkan dari Pak-khia, pusat
pemerintahan, ditempatkan jauh di wilayah
barat. Gu Kim-sing pun mendengus, "Hem,
memangnya hanya Li Giam yang bisa
membereskan persoalan ini? Memangnya
panglima-panglima di sini tidak ada yang
mampu?" Kaisar Tiong-ong cepat-cepat melerai,
"Jangan bertengkar. Kalian aku undang untuk
membicarakan masalah ini dan menemukan
jalan keluarnya." "Maaf, Tuanku..." sahut Gu Kim-sing.
"Hamba hanya risih telinga mendengar nama Li
Giam terlalu disanjung, seolah-olah dia
sendirilah penyebab kemenangan kita. Padahal...!" "Sudah! Kau punya pemecahan masalahnya
atau tidak! Kalau punya, katakan, kalau belum
punya, diam dan pikirkan!"
Kembang Jelita 2 / XII 15 Gu Kim-sing tersipu-ipu. "Baik, Tuanku..."
Sesaat ruangan itu jadi sunyi, para panglima
yang tidak didampingi penasehat harus berpikir
sendiri, sedangkan yang membawa pembantupembantunya
pun berunding
Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan pembantu-pembantunya. Gu Kim-sing lalu berbisik kepada Ang Bik,
"Ang Bik, coba pikirkan, bagaimana pemecahan
soal ini? Jangan sampai kalah cepat dari orang
lain." Gu Kim-sing belum mengerti kalau Ang Bik
sebenarnya sudah menjadi kaki tangan Manchu.
Ang Bik menjawab dengan mendekatkan
mulutnya ke kuping Gu Kim-sing, "Jenderal,
masalah ini sebenarnya masalah ringan. Coba
pikir, di jaman dinasti Beng yang lemah dulu
sanggupkah orang Manchu menerobos ke
Tiong-goan biarpun sejengkal?"
"Tidak." "Sekarang, kita yang sudah mengalahkan
dinasti Beng dan jauh lebih kuat dari dinasti
Beng, masa harus takut kepada anjing-anjing
Manchu itu? Tidak ada kemungkinannya sedikit
Kembang Jelita 2 / XII 16 pun orang-orang Manchu itu memasuki Tionggoan. Mereka tidak berani. Paling banter
mereka membantu Bu Sam-kui mempertahankan San-hai-koan, demi keamanan wilayah mereka sendiri di timur
laut..." Sebagai seorang yang malas memakai
otaknya sendiri, Gu Kim-sing langsung
menyetujui omongan Ang Bik itu. Ia segera
bangkit dari duduknya untuk berlutut di depan
Kaisar Tiong-ong, "Tuanku, hamba ada sesuatu
yang harus hamba katakan..."
Sementara itu, Ang Bik dan seorang perwira
bawahan Gu Kim-sing lainnya yang bernama
Ciong Ek-hi, bertukar pandangan dan senyuman
tersembunyi. Ciong Ek-hi yang nama aslinya
adalah Ha Cao, seorang perwira pasukan
rahasia Manchu. Orang-orang yang berbisik-bisik di ruangan
itu segera berhenti bicara. Kaisar Tiong-ong
pun berkata, "Katakan!"
Gu Kim-sing dengan bangga mulai
menjelaskan panjang lebar, penuh semangat,
Kembang Jelita 2 / XII 17 seolah-olah yang dikatakan itu adalah hasil
pemikiran otaknya sendiri yang "cemerlang".
Selesai bicara, ia pun menatap penuh
harapan ke wajah Kaisar junjungannya,
menantikan reaksinya yang mudah-mudahan
berupa pujian. "Jadi menurutmu, Jenderal Gu, kecil
kemungkinannya orang Manchu menyerbu ke
Tiong-goan, karena kita lebih kuat dari dinasti
Beng, sedang di jaman dinasti Beng saja mereka
tidak mampu melangkahi perbatasan, begitu?"
"Bukan cuma kecil kemungkinannya,
Tuanku, tetapi bahkan hamba jamin tidak ada
kemungkinannya sama sekali. Tetapi kalau
mereka tolol dan salah menghitung kekuatan
kita sehingga berani melangkahi perbatasan
untuk menjajal kekuatan kita, ya rasakan saja.
Kita akan hajar mereka sehingga pulang
kembali ke Liau-tong dengan mencawat ekor!"
Omongan Gu Kim-sing memang dahsyat,
kontan mendapat dukungan dari beberapa
panglima yang juga malas berpikir seperti Gu
Kim-sing. Kembang Jelita 2 / XII 18 Tetapi Kaisar Tiong-ong masih mendengarkan pendapat orang lain, la menoleh
kepada Ko Ban-seng, yang biarpun bukan
panglima militer tetapi hadir juga di tempat itu,
"Bagaimana pendapatmu, Guru Ko?"
Ko Ban-seng yang kalau bicara tidak pernah
sungkan kepada siapa pun, mengeluarkan
jawaban yang memerahkan muka Jenderal Gu
dan pendukung-pendukung-nya, "Menurut
hamba, Tuanku, pendapat Jenderal Gu itu
terlalu menggampangkan persoalannya karena
malas berpikir. Hamba yakin ada usaha pihak
Manchu untuk menguasai negeri ini, dan cara
apa saja akan mereka manfaatkan. Tidak
mustahil mereka juga membujuk Bu Sam-kui
agar takluk kepada mereka, sehingga San-haikoan bisa diterobos oleh pasukan mereka yang
besar!" Gu Kim-sing kontan menjadi gusar, "Tuan
Ko! Jangan buka mulut seenaknya!"
Tetapi Ko Ban-seng tidak melirik sekejap
pun kepada Gu Kim-sing, hanya punggungnya
yang tetap dihadapkan kepada Si Jenderal
Kembang Jelita 2 / XII 19 Pelangi Kuning yang sedang mencak-mencak
itu. Ia tetap menghadap ke arah Kaisar dan
melanjutkan kata-katanya yang ceplas-ceplos,
"Kalau hamba berbicara, hamba punya bukti
kenyataannya, tidak hanya sekedar mendengar
bisikan orang lain. Hamba menerima berita dari
murid-murid hamba yang mendampingi
Jenderal Li. Murid hamba melaporkan adanya
usaha pembunuhan terhadap Jenderal Li Giam,
menggunakan pembunuh-pembunuh bayaran
yang disebut Tujuh Pembunuh Gurun Utara dan
Tiga Serigala Perbatasan. Tetapi ketika mereka
gagal, muncul jugalah dalang yang sebenarnya
dari usaha pembunuhan itu, yang tidak lain
adalah Kat Hu-yong, si bangsat Manchu, penasehat militer Pangeran Toh Sek-kun, musuh
bebuyutanku! Ini membuktikan bahwa pihak
Manchu bersungguh-sungguh dalam ambisinya
menguasai Tiong-goan. Penasehat Militer
mereka sendiri keluyuran di Tiong-goan
memimpin orang-orangnya. Semua pendapat
yang tidak cocok dengan ini, adalah pendapat
Kembang Jelita 2 / XII 20 yang meninabobokan dan membuat kita
lengah!" Jenderal Gu semakin merah wajahnya,
makin diremehkan. Tetapi ia benar-benar jerih
kalau harus berhadapan dengan Si Gajah
Berkepala Besi yang berangasan dan suka
mengamuk itu. Tak ada di antara pengawalpengawalnya yang bisa menahan amukannya.
Akhirnya Jenderal Gu bersikap diam. Tetapi
kesempitan jiwanya mengambil keputusan
untuk menjegal usaha apa saja yang akan
dilakukan Ko Ban-seng. Tentu saja menjegal
secara diam-diam. Demi sakit hati pribadi dan
tidak peduli apa pun pertaruhannya.
Bagi Kaisar Tiong-ong sendiri, penjelasan
Jenderal Gu rasanya lebih membelai telinga.
Namun dia pun punya otak, belum tentu yang
membelai telinga itu yang lebih benar.
Masalahnya buat Kaisar, kalau Ko Ban-seng
yang benar, apakah dia harus melepaskan Tan
Wan-wan sesuai dengan cara yang dikatakan
Helian Kong? Melepas Tan Wan-wan ke tangan
Bu Sam-kui? Berat sekali rasa hati Kaisar TiongKembang Jelita 2 / XII
21 ong, mengakui atau tidak, ia sudah mengalami
apa yang dialami kaisar yang digulingkannya,
Kaisar Cong-ceng, yaitu terjerat oleh kecantikan
Tan Wan-wan. Sementara Jenderal Gu kembali berani
bersuara, meskipun sambil melirik takut-takut
kepada Ko Ban-seng, "Tuanku, siapa yang
membawa kabar tentang situasi gawat di Sanhai-koan itu?"
Kaisar Tiong-ong menjawab, "Helian Kong.
Ia datang ke istana ini semalam."
Ang Bik yang berdiri di belakang kursi
Jenderal Gu, rasanya jantungnya hampir
berhenti berdetak mendengar nama saudaraseperguruannya itu. Orang yang paling sering
dikhianati, orang yang paling ditakuti. Kalau
semula ia memberi usul-usul kepada Jenderal
Gu hanya demi menjalankan "tugasnya" sebagai
kaki-tangan Manchu untuk menina-bobokan
Kaisar Tiong-ong terhadap gerakan diam-diam
pihak Manchu, kini Ang Bik alias Ting Hoan-wi
ini harus memutar otak untuk keselamatannya
sendiri. Kembang Jelita 2 / XII 22 Karena itu, tiba-tiba saja ia maju berlutut di
depan Kaisar Tiong-ong dan berkata, "Ampuni
hamba, Tuanku, hamba hanya seorang perwira
rendahan, berani lancang ikut berbicara di
antara para Jenderal. Tetapi hamba tiba-tiba
ingin mengatakan sesuatu..."
Berharap dapat menemukan jalan keluar
yang tidak usah melepaskan Tan Wan-wan,
Kaisar Tiong-ong mengijinkan, "Katakan. Setiap
pendapat tentu berharga, tidak peduli dari
siapapun juga." Ang Bik berkata, "Tuanku, Helian Kong itu
kita ketahui sebagai sahabat baik Bu Sam-kui,
sama-sama panglima dinasti Beng. Bukan
mustahil Helian Kong pura-pura menyampaikan
situasi di San-hai-koan kepada kita, tujuan
sebenarnya agar kita kendorkan tekanan ke
San-hai-koan. Jadi dia lakukan ini hanya untuk
menolong Bu Sam-kui, temannya itu. Menurut
hamba, penggal saja kepala Helian Kong, lalu
perhebat tekanan ke San-hai-koan. Habis
perkara. Buat apa pusing-pusing memikir dan
Kembang Jelita 2 / XII 23 menganalisa suatu kebohongan, bahkan sempat
berdebat segala?" Ko Ban-seng menukas, "Taruh kata Helian
Kong bohong demi menolong temannya sendiri
di San-hai-koan, memangnya murid-muridku Yo
Kian-hi dan Oh Kui-hou yang melaporkan
tentang usaha orang Manchu itu juga bohong?"
Ang Bik agak gentar dipelototi Ko Ban-seng.
"Tentu saja aku tidak berani menuduh muridmuridmu berbohong, Guru Ko. Bukankah siapa
pun yang ada di sim berhak mengajukan usul
untuk dipertimbangkan bersama? Helian Kong
itu..." Ko Ban-seng menukas tajam, "... Helian Kong
itu musuh kita, tetapi ia lebih bisa dipercaya
dari banyak orang di tempat ini yang mengaku
sebagai kawan-kawan kita!"
Ang Bik menyeringai canggung, "Tuan Ko,
begitu saja kok marah?"
"Ya, aku marah akan usaha-usaha yang
hendak menina-bobokan Baginda dengan
laporan-laporan yang tidak benar'
Kembang Jelita 2 / XII 24 Laporan-laporan tidak benar yang menganggap orang Manchu tidak berani kepada
kita dan tidak mungkin menyerbu Tiong-goan.
Sedangkan aku punya bukti lain lagi..."
Kaisar Tiong-ong cepat mengangkat
tangannya sehingga Ko Ban-seng berhenti
berbicara. Kaisar Tiong-ong yang menganggap
dirinya "pembebas rakyat" itu tidak suka
disebut "dinina-bobokan", seperti Kaisar Congceng yang digulingkannya. Katanya kepada Ko
Ban-seng, "Guru Ko, jangan menganggap aku
segampang itu menelan semua laporan dan
mempercayainya. Memangnya aku sama dengan
Si Cong-ceng raja tidak becus itu?"
"Maaf, Tuanku, hamba tidak bermaksud
demikian. Hamba cuma berusaha mengingatkan...para Jenderal ini, bukan Tuanku,
bahwa ada yang patut kita waspadai, agar
jangan kita lengah setelah kemenangan kita atas
dinasti Beng. Tuanku, maaf kalau hamba harus
mengatakannya sekarang. Sesungguhnya sejak
usaha yang gagal untuk membunuh Jenderal Li
Giam, murid hamba Yo Kian-hi yang
Kembang Jelita 2 / XII 25 sebelumnya bersama-sama Jenderal Li, telah
kembali
Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diam-diam ke Pak-khia dan menghubungi hamba..."
Jenderal Gu menyeletuk, "Wah, ini suatu
pelanggaran disiplin militer, apa pun alasannya.
Mana boleh seorang perwira seperti Yo Kian-hi
meninggalkan pasukannya begitu saja. Ini kan..."
Kali ini Kaisar Tiong-ong yang menghentikan kata-kata Jenderal Gu dengan
isyarat tangannya. Lalu perintahnya kepada Ko
Ban-seng, "Teruskan, Guru Ko."
"Murid hamba ingin memberitahu semua
yang di Pak-khia ini tentang kegiatan bawah
tanah orang Manchu. Dan laporan terakhir yang
hamba peroleh dari murid hamba adalah, pusat
kegiatan orang-orang Manchu di Ibukota Pakkhia ini adalah di sebuah warung bakmi di
depan markas pasukannya Jenderal Gu. Warung
yang sering dikunjungi perwira-perwira
bawahannya Jenderal Gu ini. Murid hamba
sudah lama mengamat-amati; dan curiga bahwa
warung bakmi itu begitu lama dijadikan ajang
makan-minun gratis oleh orang-orangnya
Kembang Jelita 2 / XII 26 Jenderal Gu tetapi tidak bangkrut-bangkrut
juga. Ini mencurigakan..."
Ang Bik dan Ciong Ek-hi yang nama aslinya
adalah Ha Cao, seorang perwira pasukan
rahasia Manchu itu, terkejut. Ciong Ek-hi tibatiba menatap Ang Bik dengan curiga,
mencurigai Ang Bik yang membocorkan rahasia
tempat itu. Namun Ang Bik menggeleng dengan
wajah yang agak pucat. Untung tidak ada yang
memperhatikan sikap mereka, semua perhatian
sedang dipusatkan ke omongan Ko Ban-seng.
Tatapan tajam Kaisar Tiong-ong dialihkan
kepada Jenderal Gu, membuat Jenderal Gu jadi
gugup seperti tikus di hadapan seekor kucing,
dan buru-buru berlutut sambil berkata, "Ampun
Tuanku, hamba...hamba selalu memberi
peringatan kepada bawahan-bawahan hamba
agar bersikap sopan terhadap siapa pun. Tidak
mungkin mereka makan-minum di warung
tanpa membayar seperti tuduhan Guru Ko ini,
kelakuan orang-orang hamba pasti tidak sama
dengan perwira-perwira dinasti Beng dulu..."
Kembang Jelita 2 / XII 27 Ko Beng-seng mendengus, "Aku tidak
sedang menuduh orang-orangmu, Jenderal Gu.
Aku sedang menggambarkan keganjilan warung
bakmi itu..." Gu Kim-sing tetap berlutut. "Tuanku, hari ini
juga akan kami tangkap seluruh penghuni
warung itu, dan kami periksa mereka dengan
keras..." Ciong Ek-hi benar-benar mengkhawatirkan
teman-temannya di warung itu. Namun kalau
saat itu meninggalkan ruangan itu, tentu
mencurigakan. Yang tidak kalah gelisahnya
adalah Ang Bik. Ia benar-benar terancam dari
dua pihak. Dari pihak Gu Kim-sing sendiri kalau
sampai diketahui bahwa dia sudah menjadi
kaki-tangan Manchu. Dari pihak Manchu kalau
mereka menyangka Ang Bik menjadi biang
keladi kebocoran gerakan rahasia mereka.
Orang-orang yang berkecimpung di kegiatan
mata-mata biasanya rasa curiganya amat tebal,
bahkan terhadap kawan sendiri juga, sulit
mempercayai orang. Kembang Jelita 2 / XII 28 Kaisar menatap Ko Ban-seng, "Guru Ko,
betulkah yang kau katakan itu?"
"Hamba jamin kebenarannya dengan leher
hamba sendiri. Kegiatan orang-orang Manchu
itu benar-benar ada, bukan sekedar anganangan orang-orang kita yang terlalu cemas."
"Kalau begitu, yang dikatakan oleh Helian
Kong itu..." "Helian Kong itu musuh, tetapi hamba rasa
kata-katanya bisa dipercaya, Tuanku. Hamba
percaya dia mencemaskan kejatuhan San-haikoan ke tangan orang Manchu."
"Kalau begitu, Puteri Kong-hui... harus kita...
relakan diberikan kepada..." suara Kaisar Tiongong jadi tersendat-sendat gemetar dan tidak
lancar. Ko Ban-seng cepat-cepat melegakan hati
Kaisar, "Tuanku, kita bisa mempercayai Helian
Kong, tetapi jalan keluar dari masalah ini tidak
harus menuruti usul Helian Kong. Puteri Konghui sudah cukup besar pengorbanannya di
jaman perjuangan kita dulu, jangan ditambahi
Kembang Jelita 2 / XII 29 Ko Ban - seng cepat - cepat melegakan hati Kaisar,
"Tuanku, kita bisa mempercayai Helian Kong, tetapi
jalan keluar dari masalah ini tidak harus menuruti
usul Helian Kong." Kembang Jelita 2 / XII 30 lagi pengorbanannya. Kita tidak akan
menyerahkan dia ke tangan Bu Sam-kui..."
"Kau punya pendapat, Guru Ko?"
"Tuanku, ijinkan hamba ke San-hai-koan
untuk membereskan Bu Sam-kui dan membuka
pintu gerbang San-hai-koan dari sebelah dalam,
agar pasukan Jenderal Lau bisa lebih dulu
menduduki kota itu."
Itulah usul yang nekad, suatu pertaruhan
nyawa, tetapi tidak ada orang di ruangan itu
yang tidak kenal siapa pendekar tua bergelar
Kang-tau-siang (Gajah Berkepala Baja) yang
sanggup menyeruduk jebol suatu tembok tebal
dengan jidatnya yang mengkilat.
Wajah Kaisar Tiong-ong pun mendapatkan
cahayanya kembali, "Kau bisa, Guru Ko?"
"Doakan saja, Tuanku. Mudah-mudahan
pemerintahan Tuanku tetap mendapat mandat
Langit yang masih panjang. Dan ijinkanlah
hamba berangkat sekarang juga."
"Bagaimana dengan Helian Kong?"
"Bagaimanapun juga ia adalah musuh.
Kurung dia terus. Kita takkan membiarkan
Kembang Jelita 2 / XII 31 seekor macan buas yang sudah dalam kurungan
untuk berkeliaran kembali dan membahayakan
kita." "Baiklah, Guru Ko. Selamat bertugas."
Seperti biasanya, sebagai orang yang tidak
terikat kepada peraturan-peraturan di istana,
Ko Ban-seng langsung berangkat.
Kemudian Kaisar Tiong-ong pun membubarkan pertemuan. Keluar dari istana, Jenderal Gu bertekad
untuk langsung menggerebek warung bakmi
yang dikatakan Ko Ban-seng tadi. Sementara
Ciong Ek-hi memutar otak untuk menyelamatkan kawan-kawannya sesama prajurit-prajurit rahasia Man-chu di warung itu.
Di tengah perjalanan, Gu Kim-sing berkata
kepada Ang Bik, "Ang Bik, berjalanlah duluan
untuk menyiapkan tentara."
Ang Bik hendak beranjak, tetapi Ciong Ek-hi
cepat-cepat mencegahnya, "Kakak Ang tidak
perlu repot-repot. Biar aku saja..."
Dulunya Ang Biklah yang memanggil Ciong
Ek-hi dengan sebutan "Kakak Ciong" sebab
Kembang Jelita 2 / XII 32 waktu itu Ciong Ek-hi adalah kepala-stafnya
Jenderal Gu. Tapi sekarang Ang Biklah yang
menduduki posisi itu, sehingga Ciong Ek-hi yang
memanggilnya "Kakak Ang".
Permintaan Ciong Ek-hi untuk pergi
menggantikan Ang Bik itu tidak menimbulkan
kecurigaan Gu Kim-sing maupun pengiringnya
yang lain, sebab saling menjilat untuk mencari
muka kepada perwira yang lebih senior itu
sudah menjadi kebiasaan di kalangan mereka.
Tetapi Ang Bik tahu bahwa Ciong Ek-hi
ingin menyelamatkan teman-temannya di
warung bakmi itu, maka Ang Bik tidak berani
melarangnya, khawatir kalau sampai diragukan
"kesetiaannya" oleh pihak Manchu. Jawabnya
kepada Ciong Ek-hi, "Silakan jalan dulu, Saudara
Ciong. Siapkan orang-orang kita..."
Perkataan "orang-orang kita" itu pun
bermakna ganda. Di kuping Jenderal Gu dan
pengiring-pengiring yang lain, yang dimaksud
"orang-orang kita" tentunya adalah prajuritprajurit di tangsi yang akan disiapkan untuk
menggerebek warung bakmi itu, sedang di
Kembang Jelita 2 / XII 33 kuping Ciong Ek-hi "orang-orang kita" tentunya
adalah orang-orang Manchu teman-temannya.
Begitulah licinnya Ang Bik dalam "bermain" di
antara dua kekuatan itu. Ciong Ek-hi memacu kudanya mendahului
rombongan Jenderal Gu. Namun ia tidak
langsung ke tangsi, melainkan memutar jalan
lewat di belakang warung itu, mengetuk pintu
belakangnya dengan isyarat. Pintu dibuka,
Ciong Ek-hi tanpa turun dari kudanya, berbicara
kepada pegawai warung gadungan yang
membuka pintu itu, "Menyingkir secepatnya.
Orang-orang Pelangi Kuning sudah mengetahui
tempat ini dan akan segera menggerebeknya."
Lalu ia putar menuju ke tangsi. Di tangsi itu
ia menyiapkan pasukan sesuai perintah
Jenderal Gu. Tetapi ia sengaja berlama-lama,
mengulur-ulur waktu. Satu kali ia berkata
barisannya kurang tertib, lain kali ia katakan
kurang ini atau kurang itu sehingga pasukan itu
tidak segera keluar dari tangsinya.
Dan setelah semuanya beres, pasukan itu
tidak juga keluar dari tangsi, karena Ciong Ek-hi
Kembang Jelita 2 / XII 34 berdalih, "Kita menunggu kedatangan Jenderal
Gu. Beliau akan memimpin sendiri penggerebekan ini sehingga mendapat muka
terang di hadapan Sri Baginda!"
Komandan pasukan itu pangkatnya di
bawah Ciong Ek-hi, sudah tentu tidak berani
membantah. Kemudian Jenderal Gu tiba, langsung
menggerebek warung. Warung yang sudah kosong!
Ang Bik dan Ciong Ek-hi saling tukar
pandangan dengan lega. Tetapi mereka purapura ikut banting-banting kaki karena kecewa.
* * * Seorang kakek tua mengamat-amati
penggerebekan warung itu dari kejauhan.
Tadinya dia sedang berada di warung itu,
seperti biasa mendengarkan para perwira
membual. Tetapi tiba-tiba satu demi satu
pegawai-pegawai di warung itu menghilang
Kembang Jelita 2 / XII 35 tanpa kentara, bahkan juga si pemilik warung
yang biasanya ramah. Hal itu baru disadari ketika beberapa
perwira berteriak-teriak dan menggebrakgebrak meja minta tambahan bakmi dan arak
tetapi tidak ada yang meladeninya.
Si Kakek yang biasanya duduk di pojokan
dan selalu memesan mi kuah yang paling
murah, kini merasakan gelagat jelek, lalu dia
pun keluar dari warung itu. Benar juga, tidak
lama warung itu digerebek oleh Jenderal Gu
Kim-sing sendiri. Gu Kim-sing hanya menemukan perwiraperwiranya sendiri di warung itu, ada yang
dalam keadaan setengah teler karena arak. Dan
Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketika mereka ditanyai kemana perginya si
pemilik warung serta pegawai-pegawainya,
mereka menjawab tidak tahu, sehingga
perwira-perwira itu digampari mukanya oleh
Gu Kim-sing, sampai tangan Gu Kim-sing sendiri
kesakitan. "Bakar tempat ini!" itulah puncak
kemarahan Gu Kim-sing. Tidak peduli warung
Kembang Jelita 2 / XII 36 itu letaknya rapat dengan rumah penduduk
lainnya, para bawahan pun menjalankan
perintahnya. Si Kakek melihat dari kejauhan api yang
menjilat langit. Si Kakek geleng-geleng kepala,
mengeluh dalam hati, "Kalau begini terus, mana
bisa rakyat disuruh percaya bahwa pemerintahan Pelangi Kuning lebih baik dari
pemerintahan dinasti Beng? Tingkah laku
prajurit-prajurit dan pejabat-pejabatnya sama
saja dengan tingkah laku prajurit-prajurit dan
pembesar-pembesar dinasti Beng..."
Kakek itu mencopot capingnya, mengibasngibas tepung yang mengotori rambutnya
sehingga rambut itu seolah-olah ubanan,
sehingga rambut itu terlihat jadi hitam kembali,
la copot alis putihnya yang tempelan dan juga
kumis dan jenggotnya, copot pula jubah
dekilnya sehingga kelihatan pakaian ringkasnya
yang membungkus tubuhnya yang tegap.
Ternyata ia memang bukan kakek-kakek,
melainkan seorang pemuda yang tegap, yang
bukan lain adalah Yo Kian-hi, perwira bawahan
Kembang Jelita 2 / XII 37 Li Giam yang menyelundup kembali ke Pak-khia
untuk membongkar komplotan mata-mata
Manchu. Ternyata sebelum komplotan matamata itu tuntas tercabut, ia baru pada tahap
mengamat-amati warung bakmi yang dicurigai
itu, Jenderal Gu sudah main sapu bersih
sehingga sulitlah sekarang mencari kembali
jejak kawanan mata-mata itu.
Apa boleh buat. Yo Kian-hi kembali ke
rumah yang disewanya murah, yang selama ini
digunakannya selama ia berada di Pak-khia.
Tetapi begitu masuk ke ruangan itu, dilihatnya
gurunya, Ko Ban-seng, sudah duduk dalam
ruangan itu. Cepat Yo Kian-hi memberi hormat. "Guru..."
"Aku dari istana, darimana saja kamu?"
"Mengamat-amati warung itu, dan berusaha
tahu lebih banyak. Sayang, si tolol Gu Kim-sing
mengacaukan segalanya. Jadi belum banyak
yang aku ketahui." Ko Ban-seng menarik napas. "Barangkali itu
karena salahku..." "Kenapa, Guru?"
Kembang Jelita 2 / XII 38 "Aku dari istana, dan kami membicarakan..."
lalu Ko Ban-seng memberitakan pembicaraan di
istana. Maka Yo Kian-hi pun tahulah bahwa
operasi Gu Kim-sing tadi bukan hasil ketajaman
petugas-petugas rahasia Gu Kim-sing sendiri,
melainan karena Gu Kim-sing mendengarnya di
istana dari mulut gurunya. Tentu saja Yo Kian-hi
tidak berani menyalahkan gurunya, cuma
menggerutu dalam hati. "Waktu itu hatiku panas, karena si goblok
Gu Kim-sing itu berusaha meninabobokan
Baginda tentang kegiatan orang Manchu. Aku
beberkan semua yang aku dengar darimu.
Tentang usaha pembunuhan terhadap Jenderal
Li Giam dan tentang warung ini..."
Yo Kian-hi tidak menjawab.
Kemudian Ko Ban-seng juga bercerita
bahwa ia akan ke San-hai-koan untuk
menyelamatkan kota perbatasan yang strategis
itu, jangan sampai "digadaikan" Bu Sam-kui ke
tangan orang Manchu hanya gara-gara Bu Samkui gusar karena calon isterinya diboyong ke
istana Kaisar Tiong-ong. Bicara soal San-haiKembang Jelita 2 / XII
39 koan, mau tidak mau Ko Ban-seng menyinggung
juga nama Helian Kong. "Itu sebabnya Helian Kong ingin memanggil
Tan Wan-wan ke San-hai-koan, untuk dijadikan
tumbal menenteramkan Bu Sam-kui..."
"Helian Kong?" "Ya." "Guru, bukankah pernah kukatakan bahwa
Jenderal Li Giam berhutang budi kepada Helian
Kong? Ketika hampir terbunuh oleh Kat Huyong si Penasehat Militer Manchu, Helian Kong
datang menolong." "Ya. Kau pernah bilang itu kepadaku. Aku
pun perlakukan Helian Kong dengan baik.
Tetapi aku bukan penguasa istana, aku tidak
bisa menentukan nasib Helian Kong semauku.
Lagi, jangan lupa, Helian Kong itu bagaimanapun baiknya, adalah musuh."
"Lalu, apa yang akan Guru lakukan?"
"Segera berangkat ke San-hai-koan. Kamu?"
"Kalau Guru perkenankan, aku ingin tetap di
Pak-khia ini untuk mencoba membongkar
jaringan kegiatan orang-orang Manchu..."
Kembang Jelita 2 / XII 40 "Baiklah, tetapi hati-hatilah. Orang-orang
Manchu itu ternyata bergerak dengan sigap.
Contohnya, penyergapan terhadap warung
bakmi gadungan itu dilakukan langsung begitu
Gu Kim-sing pulang dari istana, tidak ada
tenggang waktu, toh penghuni-penghuni
warung bakmi itu sempat kabur semua.
Mungkin mata dan kuping mereka tersebar di
mana-mana, itulah sebabnya kau harus berhatihati..."
"Baik, Guru." Ko Ban-seng pun melangkah pergi. Bagi
orang seperti dia, perjalanan jauh ke San-haikoan pun dianggapnya sama dengan pergipulang ke warung di depan rumah, maka begitu
ia ingin pergi, pergilah ia.
Yo Kian-hi kembali keluyuran di Tak khia.
Kembali ia menyamar sebagai kakek-kakek tua.
Sementara Ko Ban-seng melangkah cepat ke
arah timur-laut. Biarpun tubuhnya gemuk dan
usianya sudah lanjut, ternyata langkahnya lebih
cepat dan lebih tegap dari kebanyakan lelaki
muda. Ko Ban-seng juga tidak mau naik kuda
Kembang Jelita 2 / XII 41 atau kendaraan lain, sebab ia anggap berjalan
jauh seperti itu akan menjaga kesegaran
jasmaninya dan juga jiwanya. Rambutnya yang
panjang berkibaran terurai di belakang
kepalanya, ubanan. Ia melangkah terus melewati tanjakantanjakan dan lembah-lembah dan desa-desa,
tidak mempedulikan matahari sudah mulai
tenggelam. Kebetulan ketika hari mulai gelap, ia
sudah meninggalkan jauh di belakang sebuah
desa, tetapi Ko Ben-seng tidak menyesal ia tidak
berhenti di desa itu untuk mencari penginapan
melainkan terus berjalan. Di desa itu ia hanya
membeli beberapa buah bakpao dan sebuli-buli
arak. Dan kini sambil berjalan di bawah
bayangan pepohonan yang memanjang di senja
hari, ia makan bakpaonya sambil berjalan. Ia
benar-benar mengkhawatirkan San-hai-koan,
sehingga berjalan siang malam.
Namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Di
sebuah tempat yang sepi penuh pohon belukar,
sesosok tubuh kurus berdiri menghadang di
depannya. Kembang Jelita 2 / XII 42 Ko Ban-seng membanting sepotong bakpao
di tangannya, meneguk araknya dengan santai,
mempertajam pandangannya dan mengenali
orang yang menghadangnya itu. Seorang kakek
yang sebaya dengan dirinya sendiri, bedanya
kakek itu bertubuh kurus seperti tiang jemuran.
Tetapi Ko Ban-seng tidak berani meremehkannya, sebab ia mengenali si
penghadang itu adalah Kat Hu-yong, Penasehat
Militer Pangeran Toh Sek-kun.
"Kau!" geram Ko Ban-seng. "Buat apa kau
hadang aku?" "He-he-he, kita sudah sama-sama tua dan
biarlah aku tidak akan membohongi-mu. Kau
buru-buru ingin ke San-hai-koan untuk
membunuh Bu Sam-kui dan mempermudah Lau
Cong-bin menguasai kota bukan?"
Ko Ban-seng kaget dalam hatinya, ia cuma
menggeram. Sementara Kat Hu-yong melanjutkan, "Dan
karena aku mengetahuinya, tentu saja aku
mencegahmu. Aku tidak suka sebenarnya
Kembang Jelita 2 / XII 43 berkelahi denganmu. Kau hebat, membuat aku
kesakitan. Tapi apa boleh buat. Demi tugas."
"Darimana kau tahu?"
"Dari orangku yang ikut berada di istana
ketika pembicaraan kalian pagi tadi dengan
Kaisar goblok itu." Hati Ko Ban-seng bergetar. Tepat
dugaannya bahwa "mata dan kuping" orangorang Manchu sudah tersebar di mana-mana,
bahkan di istana, bukan mustahil juga orangorang di sekitar Kaisar Tiong-ong sendiri.
Namun Ko Ban-seng menenangkan hatinya dan
ingin balas menggertak, ia mengangguk-angguk
dan suaranya dibuat setenang mungkin, "Sudah
kami perhitungkan itu. Tetapi jangan kau pikir
kami buta. Kami tahu."
Tak terduga gertakan itu ternyata tidak
mempan. Kat Hu-yong menjawab sambil
tertawa-tawa, "Ya, aku tahu kalian tidak buta,
tetapi kalau tiga perempat buta, ya. Yang agak
melek sebenarnya hanyalah orang-orangnya Li
Giam, sedangkan orang-orangnya Gu Kim-sing
dan Lau Cong-bin meleknya hanya kalau
Kembang Jelita 2 / XII 44 melihat uang dan makanan gratis. Aku tahu, aku
tahu. Muridmu Si Yo Kian-hi itu sudah lama
mengamat-amati warung bakmi kami dengan
menyamar sebagai Kakek-kakek, dan kami tahu
dia juga punya rumah sewaan kecil di belakang
toko barang-barang kulit. Jangan cemas, orangorangku sudah mengurus muridmu itu baikbaik..."
Kali ini Ko Ban-seng tidak dapat
menyembunyikan rasa kagetnya. Dia jadi amat
mencemaskan nasib muridnya. Dan sebagai
seorang guru yang mencintai murid-muridnya
seperti ayah mencintai anak-anaknya, kecemasannya cepat berubah menjadi kegusaran yang meluap-luap.
"Bedebah!" Ko Ban-seng meraung, tubuhnya
yang gemuk itu meluncur pesat ke depan
dengan sepasang jotosannya bergerak serempak, mengincar muka dan perut Kat Huyong sekaligus. Terjangan-nya mirip seekor
gajah mengamuk dengan sepasang gadingnya
yang mengancam. Kekuatannya hebat sehingga
Kembang Jelita 2 / XII 45 Tubuhnya yang gemuk Itu meluncur pesat ke depan
dengan sepasang jotosannya bergerak serempak.
Kembang Jelita 2 / XII 46 banyak daun pohon di sekitar arena terguncang
rontok. Kat Hu-yong sengaja memancing kemarahan lawannya, sebab dalam kemarahan
Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tentu lawannya akan kehilangan sebagian
kecermatannya. Kat Hu-yong tahu bahwa ia
seimbang dengan lawannya itu, tetapi sekarang
dengan berkurangnya kecermatan di pihak
lawan, jadi tidak seimbang lagi.
Kat Hu-yong melejit ke samping, merapat
sebatang pohon besar. Namun Ko Ban-seng ikut
menyeruduk ke samping sambil memiringkan
kepalanya. Dan keluarlah gaya serangan yang
membuat ia mendapatkan julukan Kang-tausiang (Gajah Berjidat Baja), yaitu serudukannya.
Tubuh Kat Hu-yong yang merapat di pohon itu
hendak diseruduknya, kalau bisa sampai kulit
Kat Hu-yong menjadi satu dengan kulit pohon.
Sudah tentu Kat Hu-yong emoh di
begitukan. Tubuhnya melejit ringan bagai
capung, melewati atas kepala Ko Ban seng.
Terdengar suara gemuruh dahsyat ketika
batang pohon sebesar tubuh manusia itu
Kembang Jelita 2 / XII 47 terseruduk ambruk oleh kepala Ko Ban-seng,
tercabut ambruk ke akarnya.
"Hebat!" Kat Hu-yong memuji dari jarak
beberapa langkah. "Tetapi sekarang rasakan
balasanku!" Dua kali Kat Hu-yong menebaskan sepasang
telapak tangannya bergantian seperti membacok ke arah Ko Ban-seng, namun dari
jarak beberapa langkah. Di udara terdengar
suara mencicit-cicit seperti suara tikus.
Ko Ban-seng juga sudah mengenali jenis
ilmu lawannya, seperti lawannya juga sudah
mengenalinya. Ilmu Kat Hu-yong disebut Buheng To-hoat (Ilmu Golok Tanpa Wujud).
Ko Ban-seng tidak mau tubuhnya terpotong
oleh "golok udara" yang tidak kelihatan itu,
namun dengan ketajaman kupingnya dia bisa
memperkirakan arah serangan lawan. Ia
berlompatan menghindar, lalu menyeruduk
kembali dengan cepat. Begitulah kedua jago tua itu pun bertarung
hebat. Matahari tenggelam dan langit pun sudah
dipenuhi bintang, tetapi kegelapan tidak
Kembang Jelita 2 / XII 48 menghalang-halangi kedua jago tua itu
mengadu keperkasaan, sebab mata mereka
lebih tajam berpuluh kali lipat dari mata kucing.
Maka meskipun di gelanggang itu tidak
kelihatan apa-apa karena gelap, suara yang
terdengar sungguh menegakkan bulu roma.
Deru angin seolah-olah ada badai yang lewat,
mengguncang pepohonan, suara mencicit-cicit
aneh di udara seolah ada ribuan tikus di situ.
Sebentar-sebentar terdengar gemerasak dari
pohon yang tumbang, baik oleh hantaman dan
serudukan Ko Ban-seng maupun oleh "golokangin" Kat Hu-yong.
Kedua pihak memeras keringat entah
sampai berapa ratus gebrakan, bentakanbentakan dan dengus napas terdengar makin
berat. Sampai dari arah barat, dari arah kota Pakkhia, terlihat beberapa buah obor yang bergerak
mendekat dengan cepat. Dan derap kuda. Tiga
orang penunggang kuda mendekat, mereka
masing-masing membawa obor untuk menerangi jalan. Kembang Jelita 2 / XII 49 Mereka adalah Goh Lung dan dua orang
"pegawai warung bakminya" yang baru siang
tadi lolos setelah warung mereka digerebek Gu
Kim-sing. "Ke mana kira-kira perginya Kun-su
(Penasehat Militer)?" Goh Lung menghentikan
kudanya dan celingukan. Obornya diangkat.
Ketika itulah dari depan terdengar suara
bentakan dua jago tua yang bertempur dalam
kegelapan itu, serta suara gemuruhnya
pepohonan yang tumbang. "Di sana!" Goh Lung menunjuk ke arah
pertempuran. "Kita dekati, tapi hati-hatilah,
kedua orang, tua itu pasti bertarung dengan
luar biasa sekali. Turun dari kuda dan matikan
obor." Ketiga orang itu turun dari kudanya masingmasing, menambatkan kuda mereka di
pepohonan dan mematikan obor mereka. Lalu
melangkah hati-hati mendekati medan pertarungan dalam kegelapan itu.
"Tidak kelihatan apa-apa..." desis salah
seorang pengiring Goh Lung, dan tiba-tiba dari
Kembang Jelita 2 / XII 50 arah arena ada sepotong dahan pohon yang
melayang dan menyambar jidatnya sehingga ia
mengaduh. Kedatangan tiga orang itu ke dekat arena
diketahui dua orang jago tua yang bertempur.
Sambil bertempur, Kat Hu-yong berteriak, "Goh
Lungkah itu?" Goh Lung menjawab dengan bahasa
Marichu, "Betul, Kun-su."
"Tunggulah sebentar, gajah tua ini liar
sekali, agak sulit menjinakkannya."
Tiba-tiba timbul akal Goh Lung untuk
membantu Kat Hu-yong agar cepat mengalahkan lawannya. Membantu dengan
ikut-ikutan berkelahi tentu mustahil, Goh Lung
tahu diri kalau dua jago tua itu tingkatannya
jauh di atas dirinya, salah-salah malah bisa
merepotkan Kat Hu-yong dan bukannya
meringankan bebannya. Tetapi membantu
dengan kata-kata yang menggoyahkan semangat Ko Ban-seng, tentu saja bisa
dilakukannya dari luar arena.
Kembang Jelita 2 / XII 51 Maka Goh Lung menukar bahasanya ke
dalam bahasa Han agar Ko Ban-seng bisa ikut
mengetahui. Katanya, "Semua tugas yang Kunsu berikan kepada karni, sudah beres. Si gajah
kecil Yo Kian-hi itu sekarang sudah ada dalam
kurungan kita." "Bagus, bagus. Apakah kalian juga sudah
siapkan kurungan besar untuk gajah yang besar
ini?" sahut Kat Hu-yong dalam bahasa Han juga.
Keruan perasaan Ko Ban-seng jadi campuraduk tak keruan mendengar dialog itu. Gerak
tempurnya jadi semakin kurang perhitungan,
didorong hanya oleh emosinya yang meluap.
Sebelum Goh Lung bertiga datang, Ko Banseng sudah mendapat dua luka, di pundak dan
di pinggang, kedua-duanya oleh "golok tak
berwujud" Kat Hu-yong yang mendapat peluang
karena ketidakcermatan Ko Ban-seng sendiri.
Kini mendengar percakapan Kat Hu-yong dan
Goh Lung, amarahnya meluap-luap dan gerak
tempurnya pun makin kedodoran. Ia mendapat
dua luka lagi. Darah yang terus menitik dari
luka-lukanya membuat ia makin lemah.
Kembang Jelita 2 / XII 52 Suatu kali, serangannya yang mem-babibuta luput. Kat Hu-yong melejit di atas
tubuhnya sambil mengayunkan sepasang
telapak tangannya berbareng, sejajar, membuat
dua buah garis yang dalam di punggung Ko Banseng. Bukan sekedar luka-luka di kulit,
melainkan sampai di daging dan bahkan
memutuskan beberapa buah tulang.
Ko Ban-seng meraung dahsyat, raungan
terakhir dalam hidupnya sebelum ia rebah
tertelungkup dan nyawanya terbang.
Kat Hu-yong termangu-mangu berdiri di
samping tubuh itu. Terengah-engah. Ia telah
keluar sebagai pemenang dalam pertempuran
dahsyat itu, namun tenaganya pun hampir
terkuras habis. Bahkan pinggulnya agak nyeri
juga, tadi ada tendangan Ko Ban-seng yang
menyerempetnya. Di sela engah napasnya, Kat Hu-yong
berkata kepada Goh Lung, "Kemarilah. Bantu
aku berjalan!" Goh Lung terkejut, "Kun-su terluka?"
Kembang Jelita 2 / XII 53 "Hanya kehabisan tenaga. Mendekatlah.
Tidak apa-apa, gajah tua ini sudah terbunuh."
Goh Lung dan kedua kawannya kembali
menyalakan obor-obor mereka lebih dulu,
barulah mendekati ke arena pertempuran itu.
Melihat bekas-bekas pertempuran itu, Goh Lung
bertiga pun bergidik ngeri, membayangkan
alangkah dahsyatnya duel tadi. Tempat itu,
seluas belasan tombak, seperti tempat yang
baru saja dilanda prahara, lalu diinjak-injak
seratus gajah yang mengamuk, sebab hancurlebur tak keruan. Pohon-pohon besar
bertumbangan, batangnya patah remuk atau
pun seperti terpotong senjata yang amat tajam
dan Goh Lung yakin bahwa "senjata tajam" itu
tak lain adalah Golok Tanpa Wujudnya Kat Huyong.
Di tengah-tengah gelanggang hancur lebur
itu, nampak Kat Hu-yong duduk terengah-engah
di atas sebatang pohon yang roboh. Mukanya
pucat, ada beberapa titik darah di sudut
bibirnya. Telapak tangannya menekan dadanya.
Tetapi lawannya terkapar telungkup beberapa
Kembang Jelita 2 / XII 54 langkah daripadanya, dengan sepasang luka
dalam sejajar sepanjang punggungnya.
Goh Lung cepat-cepat melangkah mendekat
dengan melompat-lompati pepohonan yang
rebah, serunya, "Kun-su!"
Kat Hu-yong menyeringai, mencoba
tersenyum tetapi kemudian berubah menjadi
seringai kesakitan. Katanya terengah-engah, "Ko
Ban-seng ini hebat juga. Seandainya pikirannya
tidak terganggu memikirkan nasib muridnya,
bisa-bisa yang kalian temui di sini bukan satu
mayat, tetapi dua mayat. Kami seimbang benar."
"Luka Kun-su bagaimana?"
"Aku butuh istirahat paling tidak sepuluh
hari. Sekarang, gendong aku pergi dari sini..."
Goh Lung menyerahkan obor yang
dipegangnya kepada seorang anak buahnya,
kemudian ia menyediakan punggungnya sendiri
untuk menggendong Kat Hu-yong. Untung Kat
Hu-yong itu bertubuh kurus, jadi ringan, tidak
jadi soal buat Goh Lung yang bertubuh kuat.
Dibawanya ke kuda, lalu dengan berboncengan
Kembang Jelita 2 / XII 55 dengan Goh Lung meninggalkan tempat itu.
Tetapi Kat Hu-yong tiba-tiba berkata, "Tunggu!"
"Ada apa, Kun-su?"
"Biar bagaimanapun, aku menghormati
orang tua gendut itu sebagai sesama pendekar.
Aku. tidak rela mayatnya dicabik-cabik binatang
liar..." Goh Lung langsung bisa menerka kelanjutan
kata-kata Kun-sunya itu, "Aku tahu, Kun-su. Biar
kedua anak buahku mengurus jenazah Guru
Ko." "Urus secara layak. Jangan seperti mengurus
bangkai anjing atau kucing."
"Ya, Kun-su." Goh Lung pun memberi perintah kepada
kedua pengiringnya, lalu ia sendiri berkuda
berdua bersama Kat Hu-yong yang terluka.
Biar dalam keadaan luka dalam yang
lumayan berat, pikiran Kat Hu-yong tidak mau
disuruh istirahat. Ia begitu memikirkan rencana
yang dirancangnya bersama-sama Pangeran
Toh Sek-kun untuk menaklukkan Tiong-goan.
Karena itu, di atas kudanya pun ia berkata
Kembang Jelita 2 / XII 56 kepada Goh Lung biarpun terengah-engah, "Saat
ini kaum Pelangi Kuning pasti sudah yakin
adanya maksud dari pihak kita untuk merebut
daratan tengah, kosongnya warung bakmimu
Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketika mereka gropyok, bagaimanapun pasti
menimbulkan pemikiran mereka. Karena itu,
kita harus melakukan tindakan-tindakan cepat
untuk mendahului setiap persiapan pihak
Pelangi Kuning..." Kat Hu-yong terbatuk-batuk dan meludahkan segumpal kecil darah. Goh Lung
menganjurkannya untuk jangan terlalu banyak
berbicara dulu, tetapi Kat Hu-yong menyerocos
terus, "Goh Lung, kirim berita dengan cara yang
paling cepat yang paling memungkinkan, untuk
memberi kabar kepada Pangeran Toh Sek-kun,
agar pasukannya bersiap-siap memasuki Sanhai-koan. Berita kedua untuk teman kita Jai
Yong-wan di San-hai-koan, agar pengambilalihan San-hai-koan dilakukan secepatnya."
Hati Goh Lung menyala mendengar perintah
itu. "Baik, Kun-su. Inilah yang aku nantinantikan sejak dulu..."
Kembang Jelita 2 / XII 57 * * * Helian Kong dikurung di sebuah ruangan
bawah tanah yang kokoh-kuat bangunannya
dan juga orang-orang yang menjaganya.
Penjaga-penjaganya adalah jago-jago pilihan
dari berbagai kelompok pasukan istana, tidak
ada yang prajurit biasa. Rupanya pihak istana
sadar benar siapa yang dikurung di situ.
Helian Kong mendapat perlakuan baik,
makanannya juga cukup baik, tidak dianiaya,
tetapi ia gelisah bukan main. Ia sudah berjanji
kepada Bu Sam-kui dalam waktu 10 hari akan
kembali ke San-hai-koan membawa Tan Wanwan. Ternyata sekarang justru mengalami nasib
seperti ini, dan tak terasa lima hari sudah lewat
sejak janjinya kepada Bu Sam-kui itu.
Di dalam kurungannya, Helian Kong terus
memutar otak mencari akal, juga berharap
mudah-mudahan Bu Sam-kui takkan mengambil
keputusan yang gegabah dengan memasukkan
balatentara Manchu. Kembang Jelita 2 / XII 58 Hari keenam, ketika Helian Kong baru saja
menyelesaikan sarapannya, ia mendapat
kunjungan tidak terduga, la melihat pengawalpengawal tempat itu bersikap hormat,
mengiringi masuknya seorang puteri cantik
yang melangkah dengan lembut.
Di selnya, seorang pengawal mem-beritahu
Helian Kong dari sebelah luar terali besi, "Kau
mendapat kunjungan Puteri Tiang-ping!"
Helian Kong bangkit, dan melihat Puteri
Tiang-ping sedang melangkah di lorong itu
dengan langkahnya yang lembut. Diiringi
seorang dayang yang membawa sebuah
keranjang rotan yang agaknya berisi makananmakanan.
Hati Helian Kong terkoyak hancur melihat
puteri dari kaisar terakhir dinasti Beng itu.
Dulu, Puteri Tiang-ping pernah diramalkan
seorang tabib yang mengatakan bahwa
penyakitnya tak tersembuhkan, dan puteri itu
takkan bisa melewat umur 20 tahun dan takkan
boleh menikah. Pernikahan akan mempercepat
kematian nya, kata si Tabib. Umur yang sudah
Kembang Jelita 2 / XII 59 "dipatok" itulah yang membuat Puteri Tiangping mencurahkan sepenuh pikiran nya untuk
kerajaan, dan salah satu "prestasinya" adalah
membongkar komplotan mata-mata Pelangi
Kuning di istana, bersama-sama dengan Helian
Kong. Helian Kong selalu merasa iba terhadap
nasib puteri Kaisar Cong-ceng itu, dan sekarang
ia lebih iba lagi melihatnya. Puteri Tiang-ping
melangkah perlahan di lorong sel itu, wajahnya
masih secantik dulu, tetapi sekarang nampak
pucat, bahkan kulit wajahnya seperti kehijauan,
cahaya matanya murung dan tidak lagi
bersemangat seperti dulu. Yang paling
menghancurkan hati Helian Kong ialah ketika
melihat salah satu lengan baju dari pakaian
yang dikenakan puteri itu melambai kosong,
tidak ada isinya, karena lengannya pun buntung
sebelah sebatas pundak. Menurut cerita Ko Banseng, buntungnya Puteri Tiang-ping adalah oleh
pedang Kaisar Cong-ceng sendiri, sebelum Sang
Ayahanda menghabisi nyawanya sendiri dengan
menggantung diri di Bukit Bwe-san.
Kembang Jelita 2 / XII 60 Tatapan mata Helian Kong seolah kabur
melihat Puteri Tiang-ping terus mendekat.
Pandangan Helian Kong kabur karena matanya
berlapis air. Sementara, seorang penjaga dengan sikap
hormat menghentikan Puteri Tiang-ping dan
berkata, "Maaf, Tuan Puteri, kami harus
memeriksa keranjang rotan yang dibawa oleh
dayang Tuan Puteri..."
Puteri Tiang-ping hanya mengangguk,
dayangnya lalu menyerahkan keranjang rotan
itu kepada penjaga untuk diperiksa isinya.
Isinya memang hanya beberapa jenis makanan.
Penjaga itu mengembalikannya kepada Si
Dayang, dan berkata, "Silakan, Tuan Puteri..."
Sementara seorang penjaga dengan sikap
waspada terhadap Helian Kong, mulai
membuka gembok terali besi itu. Helian Kong
sendiri bersikap tidak memperuncing situasi.
Pintu sel dibuka dengan suara yang keras,
para penjaga pun mempersilakan, "Silakan
masuk, Tuan Puteri..."
Kembang Jelita 2 / XII 61 Puteri Tiang-ping melangkah masuk diiringi
dayangnya yang juga sudah saling kenal dengan
Helian Kong. Penjaga menutup dan merantai
kembali pintu sel itu sambil berkata, "Maaf,
Tuan Puteri, karena tahanan yang seorang ini
cukup berbahaya bagi kami, kami harus
menutup pintunya selama Tuan Puteri
berbicara dengannya..."
Sementara Helian Kong sudah berlutut
memberi hormatnya, "Salam hormat hamba,
Tuan Puteri..." Puteri Tiang-ping mengambil tempat duduk
di pinggir pembaringan kayu kasar, satusatunya perabot di sel Helian Kong itu.
Dayangnye berdiri di sebelahnya.
"Bangkitlah, Saudara Helian, aku bukan lagi
seorang Tuan Puteri dinasti Beng. Keluargaku
sudah musnah, bahkan Ayahandaku sendiri
pernah menghendaki kematianku..." suara
Puteri Tiang-ping begitu lembut dan terkendali,
namun menimbulkan rasa haru Helian Kong.
Helian Kong berdiri, suaranya agak
tersendat, "Jangan patah semangat, Tuan Puteri.
Kembang Jelita 2 / XII 62 Separuh dari seluruh wilayah Tiong-goan,
bagian selatan, masih sepenuhnya dikuasai oleh
keluarga Tuan Puteri dan abdi-abdi dinasti yang
setia. Yang termasuk keluarga Tuan Puteri,
antara lain masih ada Pangeran Lou-ong yang
berkedudukan di Siao-hin dan pasukannya
menguasai seluruh Propinsi Ciat-kang, masih
ada Pangeran Hok-ong di Lam-khia, Pangeran
Tong-ong di Hok-kian dan Pangeran Kui-ong di
Kui-sai. Empat pangeran dinasti Beng dengan
pasukannya masing-masing yang kuat..."
Puteri Tiang-ping menarik napas saja
mendengar kata-kata Helian Kong itu. Ia
bukannya tidak kenal watak dari pangeranpangeran yang diceritakan Helian Kong itu.
Kalau mereka punya kekuatan yang sama atau
setidak-tidaknya hampir sama, Puteri Tiangping khawatir kalau mereka bukannya bersatu,
tetapi malah cakar-cakaran..
Sementara Helian Kong menyerocos terus,
berusaha membangkitkan semangat Puteri
Tiang-ping, "... masih ada Keluarga Bhok di Hunlam, Jenderal Su Ko-hoat di Yang-ciu, Jenderal
Kembang Jelita 2 / XII 63 Thio Hian-tiong di Se-cuan yang terkenal
dengan pasukan Thai-se-kunnya yang gagah
perkasa, Jenderal Thio Hong-gan di Ciat-kang,
Jenderal Li Teng-kok di Hun-lam, Jenderal The
Seng-kong di Hok-kian yang juga mempunyai
tentara laut yang berpangkalan di Pulau
Taiwan. Dan hamba beri tahu, di wilayah utara
ini pun masih banyak orang-orang kita yang
terus berjuang, tidak menyerah..."
Namun wajah Puteri Tiang-ping tetap acuh
tak acuh mendengar Helian Kong menyebutkan
sederetan nama panglima militer dinasti Beng
itu. Pasalnya, Puteri Tiang-ping tahu kalau
ayahandanya almarhum, Kaisar Cong-ceng,
banyak melakukan tindakan yang menyakitkan
hati kaum militer gara-gara hasutan para dorna
semacam Co Hua-sun dan kawan-kawannya.
(Bersambung jilid XIII.) Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 23/07/2018 16 : 38 PM
Kembang Jelita 2 / XII 64 Kembang Jelita 2 / XIII 1 ( Bagian II ) JILID XIII Karya : STEVANUS S.P. pelukis : WIDODO Percetakan & Penerbit
CV "G E M A" Mertokusuman 761 RT 02 RW VII
Tilpun 35801 - SOLO 57122
Kembang Jelita 2 / XIII 2 Kembang Jelita 2 / XIII 1 KEMBANG JELITA PERUNTUH TAHTA 2 Karya : STEFANUS S.P. Jilid XIII T indakan Kaisar Cong-ceng yang paling
menyakitkan golongan militer, antara lain
ialah ketika menghukum mati Jenderal Wan
Cong-hoan, padahal jenderal itu baru saja
membuat kemenangan gemilang dalam perang
melawan bangsa Manchu di Liau-tong, bahkan
Jenderal Wan Cong-hoan ketika itu berhasil
menewaskan raja Manchu, Kaisar Thai-cong,
dalam suatu serangan hebatnya. Kemudian lagi,
jenderal yang bernama Su Ko-hoat juga pernah
hampir mati disuguhi arak beracun oleh Kaisar
Cong-ceng, juga karena hasutan komplotan
orang kebiri. Jenderal Su Ko-hoat tidak jadi
terbunuh, namun semenjak itu ia tidak pernah
Kembang Jelita 2 / XIII 2 mau menghadap ke Ibukota Pak-khia, dan
bahkan tidak datang membantu ketika Pak-khia
dalam keadaan gawat dan hampir jatuh ke
tangan golongan Pelangi Kuning. Teringat
serangkaian kesalahan yang dibuat oleh
mendiang ayahandanya terhadap golongan
militer itulah yang membuat Puteri Tiang-ping
tidak yakin kalau para jenderal Beng di selatan
itu masih mau bersusah-payah memikirkan
dinasti Beng. Memang ada orang yang sesetia
Helian Kong, tetapi berapa banyak yang seperti
ini? Karena itulah Puteri Tiang-ping kemudian
menarik napas dan berkata lirih, "Saudara
Helian, aku sedang tidak berselera membicarakan itu. Aku datang hanya untuk
menengok kesehatanmu, sebab aku mendengar
kau menyelundup ke istana ini dan
tertangkap..." "Terima kasih atas perhatian Tuan Puteri
kepada hamba..."sahut Helian Kong masygul.
Agaknya, puteri dinasti Beng ini selain
membutuhkan kesembuhan tubuh, juga butuh
Kembang Jelita 2 / XIII 3 kesembuhan jiwa. Bagaimanapun, yang dialami
oleh keluarganya selama ini terlalu dahsyat
buat seorang gadis yang umurnya belum dua
puluh tahun. "Bagaimana dengan keadaan
Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tuanku Putera Mahkota Cu Sam?
"Apakah sehat-sehat juga?"
"Dia sehat." "Maksud hamba, bukan cuma tubuhnya,
tetapi... apakah jiwanya tidak terguncang oleh
kemelut yang baru-baru ini terjadi?" Helian
Kong tanyakan ini, sebab Putera Mahkota saat
itu baru berusia sepuluh tahun, masih kanakkanak, jiwanya masih terlalu rapuh menahan
keadaan sekitar sehebat saat itu.
"Secara keseluruhan dia baik. Masih agak
nakal. Cuma kalau malam hari dia tidak berani
tidur sendiri, minta ditemani aku. Dia juga
sering menjerit kalau bermimpi buruk.
Peristiwa mengerikan itu belum bisa terhapus
sepenuhnya dari angan-angannya..."
Helian Kong agak prihatin. Pangeran Cu
Sam bisa menjadi pemersatu bangsawanbangsawan Beng di selatan yang dikhawatirkan
Kembang Jelita 2 / XIII 4 bersaingan itu, biarpun masih kanak-kanak
namun tetap keturunan sah dinasti Beng.
Biarpun setidak-tidaknya hanya sebagai raja
simbolis, seperti si Kaisar bocah Sun-ti di negeri
Manchu. Puteri Tiang-ping mengambil keranjang
rotan berisi penganan-penganan itu dari tangan
dayangnya, lalu disodorkannya kepada Helian
Kong. "Saudara Helian, aku sebagai wakil
Keluarga Cu (keluarga yang memerintah dinasti
Beng selama berabad-abad) menghargai kesetiaanmu kepada keluarga kami, Saudara
Helian. Sayang, aku sudah bukan anggota
keluarga penguasa istana ini, sehingga tidak
bisa menolongmu dari kesulitan. Terimalah ini,
tidak berarti tetapi sebagai tanda perhatian
kami..." Helian Kong menerima keranjang makanan
dengan kedua tangannya, dalam sikap hormat.
"Terima kasih, Tuan Puteri. Bagaimana orangorangnya Li Cu-seng memperlakukan Tuan
Puteri?" Kembang Jelita 2 / XIII 5 "Baik. Aku dan Adinda Cu Sam diperlakukan
dengan baik, tanpa merendahkan martabat
kebangsawanan kami. Dan ini karena pengaruh
Puteri Kong-hui kepada Baginda Tiong-ong..."
Kini Helian Kong sudah tahu kalau yang
disebut Puteri Kong-hui itu adalah Tan Wanwan. Hatinya bergetar mendengar Puteri Tiangping menyebut nama itu.
"Tuan Puteri, apakah Tuan Puteri masih
mencintai negeri ini?" tiba-tiba saja Helian Kong
bertanya. Puteri Tiang-ping menerawang jauh sambil
menarik napas, "Dinasti keluargaku yang sudah
musnah?" "Maksud hamba, pengertian yang lebih luas
dari sekedar dinasti ini atau dinasti itu, tetapi
tanah yang dipijak oleh jutaan orang bangsa
Han, tak peduli apa pun benderanya. Tanah
yang disebut Tiong-goan ini. Apakah Tuan
Puteri rela melihatnya diinjak-injak orang
Manchu?" Kali ini ada sedikit cahaya di mata Puteri
Tiang-ping yang semula muram terus itu, dan
Kembang Jelita 2 / XIII 6 ini memberikan sepercik harapan di hati Helian
Kong. "Tuan Puteri, tidakkah kita sadari bahwa
sekarang ini negeri kita terancam serangan
bangsa Manchu?" "Ah, itu kan sejak dulu? Di jaman Ayahanda
berkuasa dulu, orang-orang Manchu sudah
memerangi kita, bahkan diam-diam menjalin
kerjasama dengan Co Hua-sun."
"Benar, Tuan Puteri. Itu dulu. Sekarang ini,
selagi negeri kita dalam keadaan belum
seimbang benar karena pergantian pemerintahan di Pak-khia, orang Manchu
mencapai puncak kegiatannya. Negeri bangsa
Han ini betul-betul terancam. Apakah Tuan
Puteri tahu, apa yang mendorong hamba sampai
nekad menyelundup ke istana ini?"
"Pihak istana tidak mengatakan apa-apa
kepadaku, kecuali tentang tertangkapnya
Saudara Helian oleh mereka."
Helian Kong mulai menceritakan masalahnya, kesulitan pasukan di San-hai-koan,
kepanikan Bu Sam-kui baik menghadapi situasi
maupun setelah mendengar kabar tentang
Kembang Jelita 2 / XIII 7 diboyong-masuknya Tan Wan-wan ke istana,
bujukan pihak Manchu, dan akhirnya janji
Helian Kong kepada Bu Sam-kui.
Sikap acuh tak acuh Puteri Tiang-ping
mencair. Bagaimanapun juga, ia masih
menyimpan kepedulian terhadap negerinya.
"Jadi Saudara Helian menjanjikan Tan Wan-wan
kepada Bu Sam-kui agar Bu Sam-kui tidak
terbujuk orang-orang Manchu?"
"Ya..." sahut Helian Kong penuh harapan
menatap wajah Puteri Tiang-ping. Helian Kong
rela membusuk di ruang sekapan asal San-haikoan bisa diselamatkan.
Tak terduga wajah Puteri Tiang-ping
menjadi cemberut, "Saudara Helian, begitukah
caranya kau memperlakukan seorang wanita?
Hanya dianggap sebagai barang mati yang
dipindah-tangankan seenaknya sendiri demi
tercapainya tujuanmu sendiri?"
Helian Kong kaget. Tak menyangka Puteri
Tiang-ping menanggapi rencananya itu dari
sudut pandangan yang sama sekali tidak
terpikir oleh Helian Kong. Sudut pandang setia
Kembang Jelita 2 / XIII 8 kawan sekaum, tidak peduli yang satu adalah
bekas puteri dinasti Beng dan yang lainnya dari
pihak yang meruntuhkan dinasti itu. Beberapa
saat Helian Kong jadi kelabakan menghadapi
sikap Puteri Tiang-ping itu, sambil menggerutu
dalam hatinya, "Kedua perempuan ini sungguh
aneh. Keduanya berdiri di pihak-pihak yang
bermusuhan, dan bersungguh-sungguh hati
dalam memperjuangkan pihaknya masingmasing, tetapi secara pribadi mereka saling
membela dan saling melindungi. Betul-betul
pusing aku..." Akhirnya Helian Kong menemukan juga
kata-katanya, "Ampun Tuan Puteri, hamba
ingatkan, bukankah Tan Wan-wan itu memang
tunangan Bu Sam-kui? Bahkan dulu Sri Baginda
almarhum dan Tuan Puteri sendiri ikut
merestui. Apakah kalau hamba bawa seorang
perempuan kepada tunangannya, itu dianggap
merendahkan martabat kaum wanita dengan
memindah-tangankan seenaknya?"
Puteri Tiang-ping menarik napas, "Waktu
itu keadaannya begitu khusus. Tindakan itu
Kembang Jelita 2 / XIII 9 harus diambil, agar Bu Sam-kui segera kembali
ke San-hai-koan, menjaga bentengnya, sebab
kalau tidak demikian dia akan terus keluyuran
di Pak-khia mencari Tan Wan-wan. Dan aku
bersyukur, saat itu Tan Wan-wan sendiri
dengan sukarela mau dipertunangkan dengan
Bu Sam-kui, meski aku tahu pasti tidak
mencintainya. Dia mau, hanya demi kepentingan seluruh negeri, agar San-hai-koan
segera dijaga kembali. Seorang wanita
berpikiran seluas Tan Wan-wan, sungguh di
antara kaum pria pun belum tentu terdapat satu
dari sejuta..." Kini Helian Kong dapat melihat samarsamar apa yang membuat Puteri Tiang-ping dan
Tan Wan-wan yang sekarang bergelar Puteri
Kong-hui, bisa bersahabat begitu erat. Rupanya,
keduanya diam-diam saling mengagumi dan
saling membanggakan kehebatan kaum wanita
yang bisa menjungkir-balikkan sejarah negeri
Cina. "Tuan Puteri, keadaan di San-hai-koan
sekarang jauh lebih darurat dari keadaan di
Kembang Jelita 2 / XIII 10 Pak-khia dulu. Bu Sam-kui yang pendek akalnya
itu bisa-bisa mengambil suatu keputusan yang
membahayakan negeri. Mengundang balatentara Manchu masuk Tiong-goan..."
"Hanya Tan Wan-wan hadir di San-hai-koan
yang bisa meredakan niat Bu Sam-kui?"
"Ya." "Apakah Bu Sam-kui sudah demikian
lembek, sehingga dalam keputusan yang amat
penting pun tergantung seorang wanita?"
"Dengan berat hati hamba katakan, memang
demikianlah keadaannya, Tuan Puteri. Hamba
sendiri rasanya ingin memelintir kupingnya
kuat-kuat, tapi... ya memang begitulah
orangnya. Kita semuanya tahu."
"Maumu?" "Bicarakanlah dengan Tuan Puteri Kong-hui,
barangkali hatinya tergerak dan dia mau lagi
pergi ke San-hai-koan untuk menenangkan
kegelisahan Bu Sam-kui. Kalau bukan orangnya
sendiri, mungkin sepucuk suratnya bisa
mempengaruhi Bu Sam-kui..."
Kembang Jelita 2 / XIII 11 "Kalau surat itu ternyata berisi anjuran Tan
Wan-wan agar Bu Sam-kui menyerah kepada
pihak Pelangi Kuning? Bagaimana? Ingat, Tan
Wan-wan itu orang Pelangi Kuning lho."
Helian Kong terniangu-mangu sejenak, tidak
bisa menjawab. Namun akhirnya menjawab
juga. "Sebagai orang yang setia kepada dinasti
Beng, hamba tidak rela San-hai-koan direbut
kaum Pelangi Kuning. Tetapi sebagai orang
bangsa Han yang harus berpikiran luas di atas
kepentingan golongan sendiri, rasanya hamba
lebih rela San-hai-koan dikuasai kaum Pelangi
Kuning daripada oleh orang asing, orang
Manchu..." "Aku akan berbicara dengan Tan Wan-wan."
"Tuan Puteri, hamba mohon jangan
terlambat. Dalam mengikuti perkembangan di
San-hai-koan, jangan memakai hitungan hari
demi hari, tetapi detik demi detik. Setiap detik
bisa saja Bu Sam-kui mengambil keputusan gila
itu, karena otaknya sedang dikacau oleh arak
dan bayangan Tan Wan-wan."
"Usulmu aku perhatikan."
Kembang Jelita 2 / XIII 12 Puteri Tiang-ping masih bercakap-cakap
beberapa saat dengan Helian Kong, dan Helian
Kong kagum menyaksikan betapa dalam setiap
kata-kata maupun sikapnya, tidak ada sedikit
pun kesan kasihan kepada diri sendiri pada diri
Puteri Tiang-ping. Padahal, puteri itu memiliki
alasan untuk beriba diri. Keluarganya yang
runtuh, tangannya yang buntung, keadaannya
sebagai tawanan, biarpun "tawanan elite".
Ketegaran wanita muda di depannya itu
mengingatkan Helian Kong pada seorang wanita
lainnya. Tan Wan-wan. "Kesamaan inilah yang barangkali mengakrabkan mereka. Benar kalau ia katakan,
di antara kaum lelaki pun jarang ditemukan
pribadi-pribadi setegar itu. Padahal mereka
bukan jago-jago silat. Kenyataannya malah
banyak lelaki jago silat yang lebih cengeng dari
kedua perempuan ini."
Setelah bercakap-cakap agak lama dengan
Helian Kong, Puteri Tiang-ping meninggalkan
sel itu. Sebelum pergi, sekali lagi Helian Kong
Kembang Jelita 2 / XIII 13 mengingatkannya untuk berbicara dengan Tan
Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wan-wan. Setelah Puteri Tiang-ping pergi, entah
dorongan apa yang membuat Helian Kong
berkata kepada pengawal-pengawal Pelangi
Kuning di luar terali besi selnya, "Aku gembira
melihat kalian memperlakukan Puteri Tiangping dengan hormat. Terima kasih."
Pengawal-pengawal di luar sel itu
tercengang sejenak, namun seorang pengawal
berjenggot pendek menjawabnya ramah pula,
"Kami mengagumi ketegarannya. Ia seperti
Puteri Kong-hui kami..."
Ternyata pengawal itu pun melihat
kesamaan antara Puteri Tiang-ping dan Tan
Wan-wan, sama seperti Helian Kong.
Sementara seorang pengawal yang lebih
muda dan bermata tajam menyambung, "Kami,
prajurit-prajurit didikan Jenderal Li Giam,
menghargai orang-orang berpribadi seperti itu,
entah lelaki entah perempuan."
"Kalian didikan Jenderal Li Giam?"
"Ya." Kembang Jelita 2 / XIII 14 "Kenapa kalian tidak ikut Jenderal Li Giam
ke wilayah barat?" "Karena kami terpilih menjadi prajuritprajurit istana, jadi harus berada di istana. Mau
kacang goreng?" Sepiring kacang goreng disodorkan dari luar
terali, dan Helian Kong yang di dalam pun
menerimanya. Begitulah, lewat beberapa patah
kata, kacang goreng, mereka pun jadi akrab.
Semangat persahabatan Puteri Tiang-ping dan
Puteri Kong-hui menular kepada mereka. Tetapi
entah seandainya mereka bertemu di medan
laga. Sementara itu, Puteri Tiang-ping mengikuti
anjuran Helian Kong, tidak "berhitung hari demi
hari" melainkan "detik demi detik". Meninggalkan sel Helian Kong, ia langsung
menemui Tan Wan-wan alias Puteri Kong-hui di
bangsalnya, dengan kolam-kolamnya dan
pemandangan alam buatannya yang bermodel
wilayah Soh-ciu. Itulah bangsal hadiah dari
almarhum Kaisar Cong-ceng, Ayahanda Puteri
Kembang Jelita 2 / XIII 15 Tiang-ping, ketika tergila-gila kepada Tan Wanwan dulu.
Ketika Puteri Tiang-ping melangkah
menemui Tan Wan-wan, Tan Wan-wan sedang
dipinggir kolam, menebar-nebarkan makanan
ikan. Wajahnya nampak kurang gembira.
Dayangnya mengiringinya dari jarak agak jauh.
Tetapi begitu melihat Puteri Tiang-ping
melangkah mendekat, anggun, biarpun sebelah
lengannya buntung sebatas pundak, Tan Wanwan menyongsongnya dengan senyuman, "Adik
Ping..." Puteri Tiang-ping mencoba membawakan
sikap tahu diri, kalau dulu Tan Wan-wan adalah
tamu di istana ini, sekarang Puteri Tiang-ping
lah yang jadi tamu di situ. Maka Puteri Tiangping lalu menekuk sebelah lututnya, hendak
berlutut, sambil berkata, "Tuan Puteri Konghui..."
Tetapi ia gagal berlutut sebab Tan Wan-wan
cepat memeluk pundaknya dengan lembut,
"Jangan begitu, Adik Ping. Dunia di luar istana
ini boleh jungkir-balik seribu kali, kita juga
Kembang Jelita 2 / XIII 16 tidak terhindari dari kewajiban kita masingmasing, tetapi itu semua jangan sampai
mempengaruhi hubungan kita yang sudah
seperti saudara kandung."
Puteri Tiang-ping sudah bertekad akan
membicarakan situasi gawat di San-hai-koan,
tetapi tidak akan menyebut nama Helian Kong
sama sekali. Puteri Tiang-ping tahu antara
Helian Kong dan Tan Wan-wan ada hubungan
istimewa di masa lalu, dan ia tidak akan
mengungkit-ungkit itu. Tetapi entah Tan Wanwan sudah tahu apa belum kalau Helian Kong
berada di istana sebagai tawanan?
"Tuan Puteri Kong-hui..."
"Adik Ping, aku mohon, panggil aku Cici
Wan-wan seperti dulu. Aku akan sangat sedih
kalau permintaanku yang ini tidak kau turuti..."
"Tetapi semua orang di istana ini
memanggilmu Puteri Kong-hui, juga Kaisar..."
"Kita boleh tidak pedulikan mereka. Aku
rindu, mendengar orang memanggil namaku
sebenarnya, dengan akrab dan hangat."
"Baiklah, Kakak Wan..."
Kembang Jelita 2 / XIII 17 "Nah, begitu." "Dari kejauhan tadi kulihat Kakak Wan
murung, ada apa?" "Tidak apa-apa, aku hanya bosan di istana
ini. Ingin melihat keadaan di luar dinding istana,
tetapi ternyata tidak semudah dulu. Ada
peraturannya, harus memakai tandu, harus
membawa pengawal, harus ini, harus itu..."
Puteri Tiang-ping tersenyum. Perasaan
seperti itu juga sering melandanya juga dulu.
Sehingga sebagai puteri istana, ia sering diamdiam menyelundup keluar istana.
"Apakah istana ini kurang bagus?"
"Terlalu bagus malah. Saking bagusnya
hingga memisahkan aku dari kenyataan yang
ingin aku lihat." "Kenyataan apa? Bukankah... golongan yang
Kakak Wan perjuangkan sudah memenangkan
perang?" "Adik Ping, dulu aku mempertaruhkan
nyawa sampai menyelundup ke istana ini,
tujuanku bukan sekedar kemenangan golonganku, sehingga golonganku Kembang Jelita 2 / XIII 18 menggantikan memerintah negeri in? Bukan itu.
Tetapi aku ingin melihat perbaikan kehidupan
rakyat kecil. Dan kehidupan rakyat kecil tidak
kelihatan dari istana ini, dindingnya terlalu
tinggi..." "Dulu Kakak Wan di luar istana..."
"Ya. Sebelum kaki-tangan Jenderal Gu
memergoki tempat sembunyiku bersama
keluarga Siangkoan. Ketika itu aku merasa
seperti ikan dalam air, sehari-hari bisa melihat
kehidupan orang-orang kecil dan melaporkannya ke istana melalui Saudara Yo
Kian-hi dan Jenderal Li Giam..."
Puteri Tiang-ping merasa mendapat
kesempatan sedikit untuk menyodorkan
masalah yang dibawanya, "Kakak Wan tahu
situasi di luaran sekarang?"
"Hanya samar-samar."
"Situasi San-hai-koan?"
Hati Tan Wan-wan berdebar. Ingat San-haikoan, ia ingat pula panglimanya yang bernama
Bu Sam-kui dan tergila-gila kepada Tan Wanwan, dan akhirnya dipertunangkan dengan Tan
Kembang Jelita 2 / XIII 19 Wan-wan tetapi Tan Wan-wan sama sekali tidak
mencintainya, hanya kasihan. Sekarang kenapa
tiba-tiba Puteri Tiang-ping menyebutnya?
Puteri Tiang-ping menatap Tan Wan-wan,
tanpa diminta dia menceritakan keadaan Sanhai-koan seperti yang didengarnya dari Helian
Kong. Wajah Tan Wan-wan berubah-ubah
mendengarnya, dan ia balas menatap Puteri
Tiang-ping tajam-tajam. "Adik Ping, aku kira kau terus berkurung di
bangsalmu, ternyata kau mengetahui perkembangan di luaran seteliti itu. Darimana
kau mendengarnya?" "Pokoknya dari seseorang yang bisa aku
percaya." Tan Wan-wan tiba-tiba tertawa sambil
mengkitik rusuk Puteri Tiang-ping sehingga
Puteri Tiang-ping menggeliat geli. Kata Tan
Wan-wan, "Ayolah, Adik Ping. Atau aku harus
mengerahkan orang-orangku untuk membongkar jaringan mata-matamu di istana
ini, sebagai pembalasan karena dulu kau
bongkar jaringanku? Ayo, katakan tidak?"
Kembang Jelita 2 / XIII 20 Puteri Tiang-ping tertawa geli, dan untuk
sejenak kemurungannya pun mencair. Sahutnya
di antara tertawanya, "Aku tidak punya jaringan
mata-mata, aku hanya tahu ini dari seorang
yang paling kupercayai..."
Puteri Tiang-ping ingin bertahan tidak
menyebut nama Helian Kong, tetapi Tan Wanwan malah yang menyebutnya lebih dulu,
"Helian Kong, ya?"
Puteri Tiang-ping tercengang.
Tan Wan-wan terus berkata dengan suara
datar tanpa kelihatan lonjakan emosinya, "Aku
sudah mendengar dari para pengawal bahwa
beberapa malam yang lalu Helian Kong
menyusup ke istana ini, dan tertangkap. Aku
juga sudah dengar dari Guru Ko. Dan aku tahu
siang ini Adik Ping mengunjunginya di ruang
tahanan..." "Wah, ternyata Kakak Wan yang mematamatai aku."
"Benar Helian Kong, bukan?"
"Benar." Kembang Jelita 2 / XIII 21 "Aku juga sudah mendengar dari Guru Ko
tentang jalan keluar yang diusulkan Helian
Kong, yaitu agar aku ke San-hai-koan untuk
mempengaruhi dan menenangkan Bu Samkui..."
Puteri Tiang-ping datang menemui Tan
Wan-wan untuk membicarakan soal itu, tak
terduga agaknya Tan Wan-wan sudah
mengetahui semuanya lebih dulu. "Jadi, Kakak
Wan sudah tahu?" "Jangan lupa. Aku dulu mata-mata Pelangi
Kuning paling hebat."
"Paling hebat kok terbongkar olehku, dan
oleh Helian Kong? Jadi siapa yang lebih hebat?"
Tan Wan-wan tertawa, senang melihat
kemurungan Puteri Tiang-ping "mencair". Ingat
masa lalu, ketika istana itu menjadi arena
"kucing-kucingan" antara Tan Wan-wan dan
orang-orangnya melawan Puteri Tiang-ping dan
orang-orangnya juga. Puteri Tiang-ping memang merasa gembira,
tetapi ia ingin kembali ke persoalannya. "Kakak
Kembang Jelita 2 / XIII 22 Wan, menghadapi situasi gawat di San-hai-koan,
apa yang dilakukan... Kaisar...?"
"Coba mengorek keterangan ya?" Tan Wanwan masih berkelakar.
"Ya, karena aku tidak akan tenteram tidur
sebelum tahu keadaannya."
Sesaat Tan Wan-wan jadi merasa serba
salah. Kalau ia tidak memberi tahu Puteri Tiangping, ia khawatir Puteri Tiang-ping akan
tersinggung dan kembali jadi murung, padahal
Tan Wan-wan baru saja mulai lega melihat
Puteri Tiang-ping sudah bisa tertawa dan
berkelakar. Tetapi kalau diberitahu, Tan Wanwan terhalang kenyataan bahwa bagaimanapun
Puteri Tiang-ping adalah keturunan dinasti
Beng, sedang Bu Sam-kui juga seorang panglima
yang masih setia mengibarkan bendera dinasti
Beng di bentengnya, bagaimana kalau Puteri
Tiang-ping menyelundupkan keterangan itu
sampai ke luar istana, dan menggagalkan tugas
yang dibebankan Kaisar Tiong-ong ke pundak
Ko Ban-seng? Kembang Jelita 2 / XIII 23 Puteri Tiang-ping agaknya dapat menebak
apa yang merisaukan hati Tan Wan-wan, "Kakak
Wan, khawatir aku menyelamatkan Bu Sam-kui
dan menggagalkan suatu rencana dari pihakmu
atas diri Bu Sam-kui? Dengan membocorkan
apa yang aku dengar darimu?"
Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Adik Ping, setujukah kau jika San-hai-koan
diserahkan oleh Bu Sam-kui kepada orang
Manchu?" "Kakak Wan, biarpun Jenderal Bu itu adalah
orang dari pihakku, sudah tentu aku akan
menolak mentah-mentah tindakannya yang
semacam itu kalau dia lakukan."
Meski sudah mendengar kata-kata Puteri
Tiang-ping seperti itu, Tan Wan-wan masih
ragu-ragu untuk berterus terang. Tatapannya
menatap jauh ke bunga-bunga teratai yang
terapung-apung di tengah-tengah kolam, dan
angsa-angsa biru yang berenang hilir-mudik di
antara bunga-bunga teratai.
Akhirnya Puteri Tiang-ping yang mengalah,
"Baiklah, Kakak Wan. Kalau yang aku tanyakan
ini menyangkut rahasia yang penting dari
Kembang Jelita 2 / XIII 24 pihakmu, aku bisa mengerti kalau kau tidak
mau memberitahukannya kepadaku. Aku cabut
pertanyaanku." "Terima kasih atas pengertianmu, Adik Ping.
Aku benar-benar merasa punya sahabat sejati
yang mau mengerti kesulitanku."
Puteri Tiang-ping mengangguk sambil
tersenyum. Sementara Tan Wan-wan berkata pula,
"Pihak kami akan memperlakukan Jenderal Bu
Sam-kui sebijaksana mungkin..."
Puteri Tiang-ping mendapat kesempatan
untuk menggoda Tan Wan-wan, "Kenapa Kakak
Wan katakan itu padaku, seolah-olah aku
mencemaskan keselamatan Jenderal Bu?
Kakaklah yang lebih pantas mencemaskannya,
sebab Kakak adalah tunangannya...aduh!" Puteri
Tiang-pirig mengaduh karena dicubit keras oleh
Tan Wan-wan. Mereka sebenarnya masih ingin bercakapcakap lebih lama, tetapi seorang dayang Tan
Wan-wan datang berlutut dan berkata, "Tuan
Kembang Jelita 2 / XIII 25 Puteri Kong-hui, ada panggilan dari Baginda
agar menghadap di Bangsal Tiong-cun..."
Tan Wan-wan kelihatan enggan, namun
tidak berani membantah, "Katakan kepada
orang suruhan Baginda itu, aku segera menuju
ke Bangsal Tiong-cun..."
"Baik, Tuan Puteri," sahut si dayang sambil
beranjak pergi. Puteri Tiang-ping sudah mendengar bisikbisik di antara hamba-hamba istana, katanya
Kaisar Tiong-ong diam-diam menginginkan Tan
Wan-wan juga, cuma bisik-bisik itu memang
belum kelihatan buktinya. Agaknya Kaisar
Tiong-ong masih mencoba mempertahankan
martabatnya, takut dicap seperti pendahulunya
yang ia gulingkan, mendiang Kaisar Cong-ceng
yang dianggap sebagai kaisar yang lemah dan
selalu dikendalikan kecantikan perempuan. Kini
Puteri Tiang-ping mendengar sendiri panggilan
untuk Tan Wan-wan, dan keengganan Tan Wanwan, pikirannya langsung meluncur searah
dengan bisik-bisik di antara hamba-hamba
istana itu. Kembang Jelita 2 / XIII 26 "Apakah ada soal penting, sehingga Baginda
memanggil Kakak Wan?" tanyanya.
Jawaban Tan Wan-wan mengandung
keluhan, "Tidak ada urusan penting. Memang
sudah biasa Baginda memanggilku, ternyata
hanya untuk diajak bermain catur, melukis,
minum teh, mengobrol ringan. Tetapi desasdesusnya di luaran, bukan main..."
Puteri Tiang-ping menarik napas. Dulu,
kecantikan Tan Wan-wan telah meruntuhkan
kebesaran seorang kaisar, yaitu ayah Puteri
Tiang-ping sendiri. Sekarang, akankah Kaisar
Tiong-ong menjadi "korban" kedua? Hal ini
tidak bisa menyalahkan Tan Wan-wan, daya
tarik Tan Wan-wan memang luar biasa
meskipun tidak disengaja, bahkan Puteri Tiangping yang sesama wanita pun mengakuinya.
Apalagi para lelaki. Di luar dugaan ketika Tan Wan-wan
melanjutkan kata-katanya dengan masygul,
"Kalau sekedar desas-desus tidak apa-apa, aku
khawatir justru kalau... kalau..."
"Kalau apa, Kakak Wan?"
Kembang Jelita 2 / XIII 27 "Kalau yang dikatakan oleh desas-desus itu
ternyata benar..." "Ha?" Puteri Tiang-ping melongo.
Tan Wan-wan menundukkan kepala.
"Kakak Wan, bukankah kau yang
menjalaninya? Kau sendiri yang tahu desasdesus itu betul atau tidak..."
Tan Wan-wan tiba-tiba bangkit dan berkata,
"Sudahlah. Baginda pasti sudah menungguku."
Lalu Tan Wan-wan pun menuju ke Bangsal
Tiong-cun. Tetapi, ketika ia memasuki bangsal itu,
segera dia tahu bahwa Kaisar Tiong-ong kali ini
memanggilnya tidak sekedar untuk menemaninya bersantai. Sebab di samping
Kaisar Tiong-ong, juga nampak Yo Kian-hi,
perwira bawahan lenderal Li Giam, yang kali ini
tidak mengenakan seragam melainkan berpakaian biasa, bahkan wajahnya babakbelur seperti habis dianiaya, dan wajahnya
memancarkan kegusaran hebat. Tan Wan-wan
tidak perlu heran bahwa Yo Kian-hi bisa
menerobos sampat ke hadapan Kaisar TiongKembang Jelita 2 / XIII
28 ong dengan mudah, sebab hampir seluruh
prajurit istana adalah bawahan-bawahan
Jenderal Li Ciam juga. Sedetik Tan Wan-wan lupa memberi hormat
kepada Kaisar karena merasa tak terduga
bertemu Yo Ktan-hi di situ. Setelah melengak
sebentar, barulah Tan Wan-wan berlutut
memberi hormat Kaisar, "Salam hormat hamba,
Tuanku." "Bangkitlah, Kong-hui..."
Tan Wan-wan bangkit, dan menanti katakata kaisar selanjutnya.
Ternyata kata-kata Kaisar Tiong-ong
selanjutnya bukan buat Tan Wan-wan,
melainkan buat Yo Kian-hi, "Perwira Yo, ulangi
kembali ceritamu tadi..."
Yo Kian-hi pun bercerita dengan nada yang
tegang dan tergesa-gesa. Menceritakan kegiatan
mata-mata Manchu, bagai mana Yo Kian-hi
berusaha melacaknya, tetapi tertangkap oleh
kawanan mata-mata Manchu dan dihajar babakbelur. Hanya oleh suatu keberuntungan, Yo
Kembang Jelita 2 / XIII 29 Kian-hi berhasil meloloskan diri dan langsung
ke istana untuk memberitahu kaisar.
Di antara berita yang paling menyedihkan
yang dibawa Yo Kian-hi, adalah tentang
tewasnya gurunya, Ko Ban-seng, meski Yo Kianhi tidak melihatnya sendiri melainkan hanya
mendengar dari percakapan para mata-mata
Manchu yang didengarnya. Selain itu, Yo Kian-hi
juga menegaskan bahwa Ciong Ek-hi, salah satu
perwira terpercaya Gu Kim-sing, adalah matamata Manchu.
"Darimana Saudara Yo mengetahuinya?"
tanya Tan Wan-wan. "Ciong Ek-hi ikut bersama-sama orangorang Manchu yang menawan aku, berbicara
bahasa Manchu, dan ternyata nama aslinya
adalah Ha Cao." "Nama yang berbau Manchu."
"Jadi Guru Ko tidak akan mencapai San-haikoan, dan berarti tidak ada yang bakal
mencegah Bu Sam-kui dari menyerahkan kota
itu ke tangan bangsa Manchu..."
Kembang Jelita 2 / XIII 30 "Tuanku, apa yang akan kita lakukan
sekarang?" "San-hai-koan harus diselamatkan..."
"Ya, tentu saja, tetapi bagaimana caranya?"
karena tegangnya setelah mendengar cerita Yo
Kian-hi tadi, Tan Wan-wan jadi bersikap agak
kasar kepada kaisar. Ketika ia menyadari
sikapnya, ia buru-buru memohon maaf, "Ampun
Tuanku..." Kaisar Tiong-ong menatap Tan Wan-wan
dengan perasaan berat, suaranya juga berat,
"Kong-hui, bagaimana kalau aku kirim kau ke
San-hai-koan?" Tan Wan-wan terkejut. Apakah dirinya
harus kembali menjadi korban, diumpankan
untuk mengendalikan Bu Sam-kui? Meskipun
Tan Wan-wan sendiri rela demi keselamatan
seluruh negeri, tetapi diluar dugaan juga bahwa
Kaisar Tiong-ong memutuskan demikian.
Meskipun saat itu belum merupakan suatu
keputusan pasti, baru menanyai Tan Wan-wan
mau atau tidak. Tan Wan-wan termangu-mangu.
Kembang Jelita 2 / XIII 31 Kaisar Tiong-ong melihat itu dan buru-buru
menambah penjelasan, "Kong-hui, aku maksudkan bukannya kau datang untuk
mendampingi Bu Sam-kui selamanya, sebab aku
tidak bisa tidak mempedulikan perasaanmu
yang tidak mencintai Bu Sam-kui. Aku akan
kirim kau sebagai duta kerajaan dengan segala
kehormatan, hak-hak istimewa, untuk berunding dengan Bu Sam-kui. Kalau perlu, kau
boleh menjanjikan penarikan seluruh pasukan
Jenderal Lau Cong-bin yang saat ini
menggempur San-hai-koan, kalau hal itu
diajukan Bu Sam-kui sebagai syarat."
"Hamba akan menuruti perintah Tuanku."
"Bagus. Kita harus bergegas. Kau datang
bukan sebagai umpan empuk yang disodorkan
ke mulut Bu Sam-kui, melainkan atas namaku,
sebagai perunding dari pihak kita."
"Hamba mengerti. Hamba ada sebuah
permohonan..." "Apa syaratmu?"
"Ampun Tuanku, ini bukan syarat.Hamba
akan tetap menjalankan perintah Tuanku
Kembang Jelita 2 / XIII 32 dengan sepenuh hati, tidak peduli permohonan
hamba ini dikabulkan atau tidak..."
"Baiklah, apa permohonanmu?"
"Hamba mohon ampun sekiranya permohonan hamba ini agak diwarnai oleh
kepentingan pribadi hamba sendiri..." bicara
sampai di sini, sepasang pipi Tan Wan-wan jadi
agak memerah sehingga kecantikannya makin
bercahaya. "Hamba mohon... Tuanku membebaskan
teman hamba... tetapi sekali lagi ini bukan
syarat, hanya permohonan..."
"Temanmu? Siapa?"
"Helian Kong." Sepercik rasa cemburu menyengat hati
Kaisar Tiong-ong. Untungnya ia bukan seorang
yang mudah dikuasai perasaan. Ia cuma
bertanya, "Kau tahu siapa Helian Kong?"
Tan Wan-wan menunduk, "Hamba tahu, dia
adalah panglima dinasti Beng yang berhati
keras, sampai sekarang masih menentang kita.
Hamba hanya memohonkannya, keputusannya
terserah pertimbangan Tuanku..."
Kembang Jelita 2 / XIII 33 Hati Kaisar Tiong-ong agak panas.
Seandainya yang memohonkan kebebasan
Helian Kong itu bukan Tan Wan-wan, melainkan
orang lain dengan pertimbangan yang masuk
akal, barangkali Kaisar Tiong-ong akan
mengabulkannya. Tetapi sekarang yang
memohonkan adalah Tan Wan-wan, seorang
perempuan cantik yang secara khusus punya
Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tempat di hati Kaisar, Kaisar jadi terkait
perasaan pribadinya kepada Tan Wan-wan.
Saat itulah Yo Kian-hi tiba-tiba berbicara
pula, "Ampun Tuanku, perkenankanlah hamba
mengajukan usul." "Ya. Katakan." "Ada baiknya Helian Kong kita bebaskan.
Pertama, untuk membalas budi dari pihak kita.
Pernah Penasehat Militer Manchu dibantu
pembunuh-pembunuh bayaran hampir berhasil
membunuh Jenderal Li Giam, tetapi Helian Kong
datang menolong. Ketika itu Helian Kong tidak
pandang pihaknya sedang bermusuhan dengan
pihak kita, tetap saja menolong Jenderal Li. la
bersikap sebagai patriot bangsa Han yang
Kembang Jelita 2 / XIII 34 berpandangan luas, berjiwa lapang, sanggup
untuk sementara waktu melupakan permusuhan di antara sesama bangsa Han demi
menghadapi musuh bersama dari luar,
pembebasan Helian Kong bisa menjadi isyarat
persahabatan dan perdamaian dengan sisa-sisa
dinasti Beng yang sampai sekarang masih
membangkang. Aku percaya, kalau Helian Kong
dibebaskan, ia tidak akan menggunakan
kesempatan ini untuk menikam kita dari
belakang, tetapi malah akan menghubungi
kawan-kawannya untuk memperingatkan adanya bahaya yang lebih besar bagi seluruh
negeri, yaitu ancaman Manchu. Dia musuh,
tetapi hamba percaya wataknya terlalu jantan
untuk menikam kita dari belakang..."
Dengan perkataannya yang seolah hanya
memuji Helian Kong, Yo Kian-hi seolah-olah
juga memperingatkan kaisarnya agar jangan
sampai bersikap kalah lapang dada dari Helian
Kong. Tan Wan-wan melirik dengan sorot mata
berterima kasih kepada Yo Kian-hi dan jantung
Kembang Jelita 2 / XIII 35 Yo Kian-hi terguncang. "Korban" Tan Wan-wan
ternyata tidak cukup hanya Helian Kong, Kaisar
Cong-ceng, Bu Sam-kui, Jenderal Lau Cong-bin,
Kaisar Tiong-ong, tetapi Yo Kian hi pun sudah
lama diam-diam mengaguminya, cuma disimpannya rapat-rapat dalam hati.
Kaisar Tiong-ong mengerutkan alisnya,
kurang setuju dengan permohonan Tan Wanwan yang didukung Yo Kian-hi itu. Tetapi
khawatir kalau dirinya di mata Tan Wan-wan
kelihatan kalah lapang dada dan kalah hebat
dari Helian Kong, akhirnya Kaisar pun berkata,
"Baiklah. Aku ingin memperagakan lebarnya
kemurahan hatiku bagi sisa-sisa dinasti Beng
yang masih membangkang, semacan Helian
Kong dan kawan-kawannya. Aku akan bebaskan
dia. Tetapi pembebasannya harus dalam
peristiwa yang disaksikan dan diperhatikan
banyak orang. Helian Kong akan dibawa dulu ke
San-hai-koan dalam rombongan Puteri Konghui, nanti di San-hai-koan barulah dibebaskan!"
Tan Wan-wan berlutut, "Terima kasih
Tuanku." Kembang Jelita 2 / XIII 36 "Kenapa kau berterima kasih buat dia?
Seberapa dekat hubunganmu dengan dia?"
Cinderella Jakarta 2 Nona Berbunga Hijau ( Kun Lun Hiap Kek ) Karya Kho Ping Hoo Pusaka Bernoda Darah 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama