Ranjau Ranjau Cinta Karya Marga T Bagian 1
Ranjau Ranjau Cinta Karya : Marga T Pembuat Djvu : Tak diketahui
Edit teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
Selesai di edit : 11 Agustus 2018,Situbondo
Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://ceritasilat-novel.blogspot.com
Selamat Membaca ya!!! *** MARGA T. RANJAU-RANJAU CINTA Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2004
= ini adalah kisah fktif = persamaan nama tokoh, tempat, maupun ide, hanyalah kebetulan belaka.
*** Bab 1 Mianti duduk di hadapan ibunya dengan rasa tidak percaya dan pikiran bercabang-cabang. Dia baru saja lulus SMA beberapa bulan yang lalu. Jadi masih ingat betul teman-temannya dan tekad rahasia mereka. Bersama Susi, Linda, Turi, dan Yasmin, dia telah bersumpah akan memperjuangkan hak-hak asasi mereka sebagai gadis modern.
Waktu itu mereka baru duduk di kelas satu SMA Santa Ursula. Seorang anak dari kelas dua mendadak berhenti sekolah, sebab mau dikawinkan oleh orang tuanya. Skandal itu menjadi buah bibir lama sekali.
"Aku sih lebih baik mati daripada menyerah!" tukas Linda.
"Jaman apa sekarang! Main kawin paksa!" seru Yasmin.
"Pokoknya, jangan kawin bila tidak dengan orang yang kita sukai!" kata Susi, dan semua menyatakan setuju.
Mianti ingat, dia yang paling bersemangat waktu itu. Linda mengusulkan agar mereka mengadakan sumpah, bertekad rahasia untuk melawan kesewenangan orang tua. Khususnya di bidang kawin paksa.
Otak jenial si Linda segera merumuskan kata-kata sumpah mereka. Sambil memohon bantuan Allah, mereka bertekad untuk mempelopori perbaikan nasib kaum wanita dari tindasan laki-laki. Serta perbaikan nasib bocah-bocah dari kebengisan orang tua.
Dan hari ini, pikir Mianti, tekadnya itu tengah diuji. Kenapa justru dia yang kena kawin paksa. Bukan Cindy, misalnya. Kakaknya itu takkan peduli dengan perbaikan nasib segala macam. Dia selalu menganggap nasibnya sudah baik. Dan tidak perlu lebih baik lagi. Cindy biasa penurut. Bukan pemberontak seperti dirinya.
Aiii, agaknya Tuhan tidak membantu ketika mereka bersumpah. Mungkin juga cuma dianggap-Nya permainan kocak belaka di antara siswi SMA yang masih hijau. Masakan anak sekolah sudah memikirkan perkawinan?
Dan kini, apa kata Ibu? "Jadi, Mimi," ulang ibunya,
"Mama harap engkau jangan terlalu erat bergaul dengan Tibor Apalagi pacaran!"
"Tapi saya kan sudah mengenalnya sejak kelas dua SMA, Mam. Kenapa dulu tidak dilarang?" tuntut Mianti penasaran.
"Sebab dulu, Mama tidak mengira, kalian akan pacaran," kata ibunya menghela napas sambil menatap penuh sayang.
"Lantas kenapa, bila kami pacaran?" Mianti sengit betul.
"Cindy boleh memilih sendiri pacarnya! Kenapa saya tidak?"
"Mimi, bukankah baru saja Mama jelaskan ...."
"Ah! Kuno!" pekiknya sambil melempar semua bantal kursi ke lantai.
Ibunya diam saja tanpa melarang. Dipandangnya gadis itu dengan perasaan dosa dan duka. Dia tentu tidak menyangka, bahwa tindakan masa silam akan berakibat begini. Siapa sangka, dalam satu generasi saja, sikap perempuan sudah begitu banyak berubah.
Tiga puluh tahun yang lalu, ah, malah dua puluh tahun yang lalu, perempuan masih menunduk malu, bila diajak berbincang soal jodoh. Semuanya diserahkan pada orang tua. Mau dipilihkan yang kaya, syukur. Mau diberi yang jelek dan miskin, terserah!
Mimi menghentak lalu bangkit dengan marah dan berlari ke loteng. Beberapa saat kemudian terdengar suara pintu kamar dibanting tertutup.
Mianti terjun ke tempat tidur, menelentang. Matanya nyalang memandangi langit-langit. Wajahnya yang bujur telur tampak mendung. Rambutnya yang lewat bahu, membingkai kecantikannya di atas seprai putih-licin yang sebentar lagi pasti lusuh diacak-acak kejengkelan.
Betulkah apa yang tadi didengarnya di bawah? Bukankah itu hanya lelucon? Oh, kalau saja hari ini tanggal satu April! Tapi April sudah enam bulan berlalu.
Ah, itu pasti lelucon. Atau mimpi. Ya, mimpi. Pasti. Dilihatnya seekor cecak di dinding.
Mimpikah dia? Tidak. Tidak mungkin mimpi. Suara Ibu terlalu jelas untuk disebut mimpi. Terlalu tegas untuk dianggap lelucon.
"Mimi," kata ibunya tadi.
"Ketika engkau berumur dua tahun, kau jatuh sakit. Payah sekali ...."
Entah sakit apa. Ibu cuma bilang, panas tinggi, lalu sesak napas. Menurut dokter, jantungnya kurang beres. Mungkin. Dia emoh minta penjelasan yang lebih terperinci. Masa lalu tidak menarik minatnya. Yang penting, waktu sekarang. Dia sehat-sehat, titik.
Betulkah dia sehat? Bagaimana dengan sesak napasnya? Bagaimana dengan kelakar Dokter Faramaz, bahwa dia cuma boleh punya anak satu saja?
Mianti melihat cecak tadi masuk ke lubang di sudut langit-langit. Ah, gembiranyajadi cecak. Kalau engkau jatuh sakit, indukmu pasti takkan berkaul mau mengawinkan engkau dengan anak sahabatnya.
Huh, kenapa aku tidak mati saja ketika itu! Jadi beres urusan.
"Mimi, Papa dan Mama sudah begitu putus asa waktu itu..."
Aah, mengapa aku tidak mati saja, biar putus asa itu memuncak dan membuat dunia kiamat!
"...karena itu Papa dan Mama menurut saja apa yang dinasihatkan orang, asal engkau tertolong. Nenekmu pergi ke dukun...."
Huh! Dukun! "...Itu bukan dukun yang membuat mantera atau memberikan air ajaib. Bukan. Dia dukun yang dapat meramalkan hari depan orang dan melihat apa yang harus dilakukan untuk membuka pintu rejeki. Mimi, dukun yang sudah berusia delapan puluhan itu memberi nasihat supaya engkau dijodohkan dengan ."
Fuui! Mianti berbalik dan memejamkan mata.
"... Tidak terpikir sama sekali oleh Mama untuk menolak nasihat itu. Kami semua sudah gelagapan hilang akal melihat keadaanmu. Mama pikir, yang penting, kau selamat dulu. Lainnya, urusan belakangan. Lagi pula, bagaimana kami akan menentang? Sebab kakek itu telah mengatakan, bahwa itu satu-satunya jalan."
Huh! Dan siapa nama anak yang telah memusingkan kepalanya ini? Entah! Ibunya lupa menyebutkan dan dia tentu saja tidak berhasrat mau tanya. Orang itu sama sekali tidak menarik baginya. Peduli amat siapa namanya, pekiknya dalam hati.
Mianti menelentang kembali dan membuka mata. Seekor cecak muncul lagi. Mungkin yang tadi. Atau lainnya? Susah membedakan mereka, Cecak itu seakan memandanginya. Mencemooh? Atau iba?
Peduli amat siapa namanya, pikirnya lagi. Dia toh takkan sudi kawin dengannya! Orang itu boleh pergi ke neraka. Boleh mengadu pada raja iblis! Namun dia tetap tak sudi! Takkan sudi! Takkan pernah!
Betulkah hanya karena kaul klenik itu dia langsung sembuh dari sakit keras yang menghebohkan itu? Huh! Anak kecil barangkali mau percaya. Itu pun, bila dia hidup dua puluh atau dua ratus tahun yang lalu. Tapi anak generasi sekarang! Huh! Apa ingin ditertawakan teman dan lawan?
Lebih baik mati daripada malu. Lebih baik bunuh diri! Sekarang banyak jembatan penyeberang yang strategis. Jatuh, pasti mati. Atau tidur di rel kereta api. Pasti ada lintasan yang kurang dijaga ketat. Atau minum
Pintu terbuka. Mianti menoleh dan menatap Cindy yang selalu tampak bahagia. Siapa yang tidak? Anjing buduk pun akan berseri kalau punya pacar banyak. Silih berganti seperti orang pakai sapu tangan.
"Telepon, Mi," serunya sambil menghampiri cermin, lalu duduk dan segera sibuk dengan rambutnya.
Mianti bangkit dengan kecepatan yang mengagumkan. Pasti Tibor! Dia melompati anak-anak tangga dengan wajah cerah. Diintipnya ruang di bawah loteng. Ibu tidak kelihatan. Horee. Selincah kijang dilompatinya anak tangga terakhir, lalu menuju meja telepon.
Napasnya terengah. Setan! Masa begini saja sudah ngos-ngosan? Diraihnya telepon yang telungkup itu, lalu diangkatnya.
"Halo," bisik Mianti sambil mengatur napas.
"Hai!" Senyum manis terkembang di atas wajahnya, mengenali suara Tibor yang agak bindeng. Mereka ngobrol sejenak mengenai segala macam gosip mutakhir yang beredar di jalan.
Akhirnya, keluar juga isi hati di seberang sana.
"Betapa sedapnya bila kau dapat ikut bersamaku ke Jerman!" Tibor sudah mengucapkan itu seribu kali sejak pekan lalu. Dan Mianti bukan tidak ingin ikut!
"Ya," sahutnya lesu.
"Tapi aku pasti takkan diijinkan pergi!"
"Kenapa?" "Kalau Cindy, pasti boleh!"
"Lho! Aneh! Cindy, boleh. Kau, tidak?! Kenapa?"
Mianti tidak berani terus terang. Takut ditertawakan. Apa tidak ditertawakan, bila ketahuan, bahwa orang tuanya sudah mencarikannya jodoh ketika dia belum bisa bicara?
"Mimi, siapa itu?" terdengar suara lembut ibunya. Gadis itu terkejut, namun tidak menoleh. Ditutupnya telepon dengan telapak tangan. Kemudian dia berbisik, mengatakan bahwa acara ngobrol sudah harus dihentikan.
"Ada larangan menelepon di sini ...."
"Lucu! Takut rekening? Belum juga sepuluh menit. Bukan pula interlokal,"
"Kau tak mengerti. Ini cuma bagiku. Cindy sih bebas."
"Aneh! Ada apa sebenarnya denganmu? Begini saja. Aku akan datang ke tempatmu."
"Aduh, jangan! Di rumah Yasmin saja."
"Baiklah. Sejam lagi. Kira-kira pukul lima."
"Siapa, Mi?" tegur Ibu sekali lagi.
"Siapa saja!" sahutnya sambil meletakkan telepon, tanpa memandang ibunya.
"Mimi!" "Teman saya, Mam."
"Engkau harus sopan bila diajak bercakap-cakap."
Mianti terpaksa mengangkat muka dan memandang ibunya Menanti.
"Siapa itu? Tibor?" Dicobanya memperhalus teguran itu dengan seulas senyum.
Mianti menggeleng, lalu cepat-cepat menaiki tangga loteng. Ibu mengawasi dengan hati tersayat. Anaknya mulai menjauhkan diri darinya. Perempuan itu menghela napas.
Di dalam kamar, Cindy tengah bersenam. Dengan kepala di bawah, dia menyeringai melihat adiknya. Mendung pekat melabur wajah Mianti.
"Kenapa lagi?" tanya Cindy penuh simpatik.
"Biasa. Apa lagi!" gerutunya kesal.
"Ayolah. Ikut latihan."
"Mengapa aku yang jadi korban dukun-dukunan konyol itu!" dia merepet terus tanpa mengacuhkan ajakan kakaknya.
"Mengapa anak-anak lain bisa begitu bebas?"
"Ya, memang itu amat menjengkelkan," kata kakaknya seraya mengambil napas baru.
"Tapi siapa tahu, Mi, anak itu simpatik. Kenapa engkau tidak minta dikenalkan saja? Bila kemudian kau betul-betul tidak suka, aku rasa tidak seorang pun yang dapat memaksa."
"Oh, aku pasti takkan suka!" tukasnya cepat sambil meraih gaun dalam lemari.
"Aku tidak merasa perlu berkenalan dengannya!"
Diambilnya gaun hijau muda berlengan panjang. Tibor menyukainya dan sejuk pula di tubuh. Dari cermin lemari dilihatnya Cindy sudah berdiri lagi di atas kakinya.
"Engkau serius dengan Tibor ?" tanyanya sambil merapikan rambut.
"Engkau serius dengan Palka?" balik tanya Mianti. Kakaknya meringis tanda tak pasti.
"Nah, begitu juga dengan Tibor. Dia akan meneruskan studi di luar negeri, sedang aku harus diam di sini. Bagaimana kita akan bicara soal serius, bila bertahun-tahun tidak bisa jumpa?"
Suaranya tiba-tiba menjadi parau. Cindy menghampiri dan memeluknya.
"Berdoalah saja, Mi. Aku akan berdoa juga, semoga kau bahagia."
"Aku aku ingin seperti engkau, Cin," bisiknya dengan mata berlinang.
"Itu pasti terjadi! Aku doakan. Sekarang jangan pikirkan soal ini dulu. Engkau kan harus melihat pengumuman penerimaan mahasiswa besok?"
"Rasanya tidak diterima."
"Jangan begitu, dong. Di negeri mungkin sulit masuk. Tapi siapa tahu, Dewi Fortuna ada di pintu gerbang Trisakti, menunggumu."
"Ah, untuk apa aku kuliah bila tidak diperbolehkan bergaul dengan laki-laki. Kalau aku jatuh cinta nanti, itu cuma akan membawa malapetaka saja dan menghancurkan hatiku. Lebih baik aku diam di rumah!"
"Bila kau jadi penunggu rumah, kau justru takkan punya kesempatan untuk meloloskan diri. Seandainya kau jatuh cinta, itu lebih bagus. Engkau akan punya alasan untuk menolak kawin paksa."
Kawin paksa?! Mianti menggigil. Brengsek, brengsek, brengsek!!! Dibayangkannya seorang laki-laki yang tidak simpatik, mungkin kejam, tidak setia, juling, barangkali kudisan, hampir botak, jerawatan, dan kasar. Boleh jadi waktu kecil, dia merupakan anak laki-laki paling manis yang pernah memikat hati Ibu. Sehingga dia tidak keberatan menerimanya sebagai calon menantu. Tapi setelah dua puluh tahun lebih, ya Allah, banyak hal bisa terjadi. Dia mungkin tidak semanis dulu lagi.
Ah, gagasan Cindy betul-betul menggembirakan. Mianti memandang kakaknya. Mendadak tidak dapat dia menahan gelak tertawanya.
"Ya, Cin, aku akan pacaran dan jatuh cinta! Persetan dengan siapa sih namanya?"
"Mana aku tahu," sahutnya menggeleng.
"Mengingat-ingat nama-nama pacarku saja, sudah payah otakku."
Ah, Cindy yang bahagia, keluh Mianti daIam hati. Saat ini paling sedikit ada tiga pacarnya. Semuanya simpatik. Semuanya baik hati. Semua mencintainya. Mau apa lagi? Cindy tinggal menjaga, agar ketiganya jangan saling tahu dan bertabrakan. Bahagianya!
Sedang dia cuma minta satu saja. Satu dan tidak lebih. Tapi satu yang betul-betul dicintainya Pilihan scndiri. Bukan satu yang disorongkan dari masa lalu.
Digantinya baju. "Eh, mau ke mana?"
"Ke rumah Yasmin."
Ditariknya serot gaun itu ke atas, lalu dimasukkannya ikat pinggang ke dalam celahnya di pinggang.
Di bawah, orang tua Mianti tengah mempercakapkan nasibnya. Pak Burhan baru saja pulang dari kantor. Dia tersenyum melihat istrinya murung. Pasti ada persoalan.
Laki-laki setengah tua yang berpakaian sederhana itu mendekati istrinya dan duduk di sebelahnya.
"Ada apa, nih?" tanyanya sambil menyapu seluruh ruangan dengan matanya.
Organ terbuka. Tapi tidak ada tanda-tanda ada yang berniat main. Tidak ada buku. Pandangnya beralih ke sudut. Pemutar kaset lagu juga tertutup. Bisu. Sunyi betul.
"Di mana anak-anak?" tanyanya, walau yang dimaksud sudah bukan anak-anak lagi.
"Di kamar mereka," sahut perempuan itu sambil memutar-mutar cincin.
Mereka merupakan keluarga cukup bahagia dan sampai hari ini rukun. Walau tidak kaya, namun berkat keuletannya, ayah Mianti berhasil mengumpulkan sedikit dana. Mereka cukup makmur. Dan selalu gembira. Tidak terkecuali Mianti. Sampai dia lulus SMA dan Ibu terpaksa memberi tahu persoalan jodohnya.
"Ada apa, Sayang?" ulang Pak Burhan.
"Mianti," sahut yang ditanya dengan suara pelan.
"Kenapa dia?" Nyonya Burhan memandang suaminya. Terasa sulit baginya untuk mencari kata-kata yang tepat. Tapi suaminya mendesak sekali lagi dan memang tidak ada alasan mengapa dia harus berlagak tidak ada persoalan. Kan suaminya juga ikut menyetujui perjanjian dulu itu.
"Hari ini aku mulai melarangnya berpacaran dengan sembarang orang," katanya pelan.
"Oooh." "Dia tanya, mengapa. Aku ceritakan semuanya."
"Ya, betul." "Aku rasa, toh saatnya sudah tiba. Dia harus tahu."
"Ya, betul. Lalu, kenapa Mimi?"
"Itulah. Dia tampaknya tidak senang. Rupanya dia sudah mencintai yang lain."
"Alaa, cinta monyet!" Pak Burhan mendengus remeh.
Nyonya Burhan menatap suaminya sedetik, lalu menunduk dan memutar cincinnya dengan ragu.
"Tapi ...," bisiknya seakan ngeri,
" seandainya dia betul-betul mengasihi orang lain, bagaimana? Bagaimana. Pa?"
"Ah, dia pasti tertarik pada Yos! Tunggu saja. Mereka kan belum pernah jumpa?!"
"Tapi andaikan ...andaikan ...," keluh perempuan itu.
"Kita toh tidak mau merobek hatinya?"
Pak Burhan diam menekuri lantai. Istrinya memegang tangannya dan menghela napas.
"Barangkali sebaiknya, kita mencari jalan saja untuk membatalkan urusan ini. Siapa tahu, Yos juga mencintai gadis lain!"
Pak Burhan mengangkat wajahnya dan membalas tatapan sang Istri. Sebelum dia sempat menjawab, sudah terdengar suara Cindy dan adiknya
menuruni tangga. Nyonya Burhan segera melepas pegangannya, lalu keduanya duduk bersandar ke sofa. Santai dan tenang.
"Mat sore, Pap, Mam," seru mereka serentak.
Mianti tampak berseri-seri dengan gaun hijau yang amat serasi, sehingga ayahnya diam-diam melirik ibunya. Betulkah anak ini barusan keki?
"Sudah ada pengumuman?" tanya ayahnya.
"Belum, Pap. Besok."
"Nah, kalau sudah jadi mahasiswi tidak boleh manja lagi, ya!"
*** Bab 2 Yos sudah beberapa hari Sibuk memperhatikan calon-calon mahasiswi yang simpang-siur di kampus Kedokteran Trisakti. Sejak dari masa pendaftaran, dia mendadak jadi rajin kuliah. Apalagi ada kuliah. Tidak ada pun, dia masih ngotot mau dudukduduk di depan aula, atau di kantin, atau di muka Tata Usaha.
Setiap kali terpandang olehnya sepucuk wajah manis, hatinya serentak menggelepar diserang tanya demi tanya. Diakah? Atau dia itu? Yang inikah? Atau yang tadi?
Lama-lama dia tertawa sendiri dalam hati. Gila betul, pikirnya. Aku jadi terpukau oleh rasa ingin tahuku. Cuma rasa ingin tahu, tentu saja. Tidak lebih. Kenapa pula harus lebih? Ingin tahu saja, titik.
Ketika orang tuanya seminggu lalu memanggilnya untuk bicara bertiga, Yos mengira dia akan dikirim ke luar negeri. Senang tak kepalang hatinya. Namun kecewa bukan main, ketika ternyata tema pembicaraan hanya urusan sepele. Cewe! Dia sama sekali belum mau diaiak bicara soal cewe.
"Kenapa dibicarakan sekarang, Ma?" tanyanya tidak sabar.
"Kepagian. Saya kan baru mau naik tingkat empat. Entah kapan tamat. Maklum kan, swasta."
"Tapi ini penting, Yos," desak lbu.
"Lain kali saja, Ma. Jangan sekarang," katanya membandel.
"Yosef!" bentak ayahnya, dan Yos tahu, kesabaran Ayah hampir habis. Dalam suasana ramah-tamah, dia takkan membentak.
"Ya, Pa." "Dapatkah kauberikan beberapa menit dari waktumu yang berharga itu untuk mendengarkan kami? Atau ada urusan lain yang lebih penting?"
Mana berani dia bilang ?ya?, walau seandainya ada yang lebih penting! Mau kiamat? Atau mencari mati?
"Tidak, Pa," sahutnya dengan patuh.
"Bagus. Nah, dengarkan baik-baik. Singkat saja. Aku tidak suka mendongeng seperti ibumu. Pokoknya, Yos, engkau sebenarnya sudah dijodohkan dengan anak bungsu Oom Burhan."
"Apa?" seru Yos kaget setengah mati.
"00m Burhan? Oom Burhan yang mana?"
"Teman akrab Papa." sahut ibunya. lalu mendongeng,
"Waktu itu usiamu lima tahun. Anak Oom Burhan sakit keras. Tidak ada dokter yang sanggup menyembuhkannya. Lalu neneknya mendapat nasihat, anak itu harus dijodohkan dengan ...mu."
"Astaga!" Kepalanya mendadak berdenyut nyeri.
"Oom Burhan pernah menolong Papa ketika menganggur. Jadi kami juga bermaksud membalas kebaikannya."
"Dan mengorbankan saya?" tanya Yos kurang senang.
"Yos, anak itu betul-betul menjadi sembuh. Tidak dapat kaubayangkan betapa senangnya hati kami semua!"
"Mama tidak memikirkan saya?"
"Yos, tentu saja kami memikirkan engkau. Bagaimana mungkin tidak? Engkau kan anak kami sendiri?"
"Lantas, kenapa Papa dan Mama sembarangan saja dalam hal sepenting itu?"
"Tentu saja kita tidak sembarangan. Oom Burhan itu tidak tercela namanya. Dia sudah pernah menolong kita dari bahaya kelaparan," kata ibunya membela.
"Bukan cuma itu!" sela ayahnya bergegas.
"Dia menyembunyikan aku dari tebasan pedang samurai! Apakah hutang budi demikian mau kita remehkan begitu saja?"
"Betul, Yos," kata Ibu mengangguk, mencoba membujuk dengan lembut.
"Lagi pula pada saat saat seperti itu, ah! Engkau belum mengalami punya anak. Bila anakmu sakit keras, dan semua dokter sudah angkat tangan, oh, serasa kiamat dunia! Jangankan pergi ke dukun! Disuruh menjumpai setan di neraka pun, pasti engkau takkan keberatan. Asal anakmu sembuh. Sebaliknya, engkau juga pasti akan berusaha sekuat tenaga membantu penyembuhan anak sahabat-sahabatmu. Seperti yang akan mereka lakukan untuk anak-anakmu."
"Saya tidak mau mendengarkan lebih lanjut!" tukasnya dengan nada terhina dan bergerak mau bangkit.
"Sedikit lagi, Yos," tahan ibunya.
"Aku ingin menyampaikan kabar gembira. Anak itu sudah besar dan cantik!"
"Saya tidak peduli!"
"Yosef!" hardik Ayah untuk kedua kali.
"Hormati ibumu!"
Yos menunduk dengan hati geram.
"Yos," kata ibunya dengan lembut.
"Tante Burhan bilang, anak itu sudah mau masuk universitas tahun ini. Mungkin di Trisakti. Kedokteran. Cobalah engkau tengok-tengok. Terutama waktu mapram. Jangan sampai kenapa-kenapa. Namanya Mimi Burhan."
Aku tak mau peduli! Dia mengutuk dalam hati. Dongkolnya serasa akan mampu meluberi waduk Jatiluhur. Pada jaman modern ini! Aduh! Perdukunan brengsek! Calon dokter percaya klenik? Aduh! Pasti dia akan jadi bahan tertawaan, bila diketahui konco-konconya! Seperti orang-orangan di tengah sawah saja yang tak mampu mencari pasangan sendiri!
Haruskah dia menyerah? Oho, nanti dulu, pikirnya sengit. Walau dengan dalih menghormati orang tua, tunggu dulu! Kalau perlu, dia menolak kawin seumur hidup. Nah! Mau apa? Dapatkah cewe itu memaksanya? Mentang-mentang cantik? Menurut Ibu, cantik. Menurut ibunya, apalagi. Tapi, menurut dia? Kan belum tentu?! Di samping itu, apakah kecantikan sudah merupakan jaminan, bahwa aku pasti tertarik? Berjuta banyaknya perempuan yang boleh disebut cantik di bawah langit ini! Payah sekali bila aku harus jatuh cinta pada setiap dari mereka!
Huh! Dasar orang tua! Kuno! Egois! Cuma ingat diri mereka sendiri. Cuma sibuk memikirkan bagaimana membalas hutang budi! Perasaan anak? Urusan belakangan. Atau, sangka mereka, yang disebut "anak" oleh setiap orang tua, adalah barang milik yang mutlak boleh dipermak semau mereka?
Namun walau Yos memaki kalang kabut dalam hati, selang beberapa hari dongkolnya ternyata melarut dan hilang. Berganti dengan rasa ingin tahu.
Yos tidak biasa memusingkan diri dengan halhal yang belum terjadi. Dia selalu yakin akan dapat membereskan setiap persoalan yang timbul dalam hidupnya.
Jadi dia juga tidak memikirkan perjodohan Mimi dan dirinya. Bila saatnya tiba, soal itu akan beres sendiri. Dia tidak menyetujui cara-cara serupa itu. Tapi buat apa pula menentangnya? Buang energi percuma.
Baginya, Mimi hanyalah sebuah nama. Kalau dia tertarik pada gadis itu, bagus. Kalau tidak, persetan! Dia takkan membiarkan diri dicocok hidung macam kerbau dungu.
Tapi sejauh itu, belum sekali pun dicoba-bayangkannya apa kira-kira reaksi Mimi terhadap persoalan ini. Sebuah nama takkan mungkin bereaksi, bukan? Ataukah dianggapnya perempuan selalu
pontang-panting ketakutan tidak laku? Sehingga apa pun yang diusulkan orang tua akan selalu diterima dcngan rasa lega? Seperti budak belian yang lega mendapat majikan? Boleh berlalu dari pasar dan mendapat makan minum tiap hari? Mungkin begitu pikirannya.
Bagaimanapun, dengan tidak berdaya, Yos mendapati dirinya mulai asyik memperhatikan setiap gadis baru yang masuk ke kampus. Sebuah tanda tanya besar selalu mengetuk kepalanya: inikah dia? Atau dia? Atau dia?
Teman-temannya mengira, bahwa penyakit tahunan yang biasa melanda kebanyakan mahasiswa, sudah menyerangnya pula. Setiap tahun, para mahasiswa bujangan memang sibuk sekali menyortir cami-cami (calon mahasiswi) untuk dijadikan pacar sementara maupun kekal. Untuk iseng maupun untuk hidup bersama. Selama itu, Yos selalu adem.
"Tapi siapa tahu sekarang," sindir Budi.
Siang itu Yos tengah berdiri beberapa meter dari papan pengumuman ketika seorang gadis bergaun kuning datang ke situ. Yos spontan melirik. Hm, manis. Tahi lalat di pipi kiri. Rambutnya yang lewat bahu diikat dengan karet biasa. Sederhana banget. pikirnya. Matanya lalu ke lantai. Astaga. Bersandal jepang, lagi. Luar biasa.
Tiba-tiba saja timbul keinginannya hendak ngobrol. Atau menyapa.
"Ada?" tanyanya menghampiri tanpa basa-basi.
Gadis itu menoleh mendengar suaranya, tapi tidak menjawab.
"Nomor berapa?" tanya Yos menegaskan, mau bantu mencari.Gadis itu masih diam. Mungkin bisu? Hiii. Dia merasa geli dalam hati. Tapi lebih mungkin lagi, sedang jual mahal, Neng? Awas kau! Kalau masuk kemari, aku akan gojlok di mapram nanti! Sehingga engkau takkan bisa melupakan aku lagi selamanya!
"Nomor berapa?" desaknya.
Gadis itu menggigit bibir. Huh, sombong rupanya! Yos makin penasaran.
"Eh, nomor berapa sih?" Kali ini dicoleknya sedikit puncak bahunya.
"Oh." Gadis itu tersipu.
"Tiga ratus lima belas."
Aduhai, suaranya pelan amat. Lenyap kesan sombong tadi. Pasti dia lembut, pemalu, dan tidak rewel. Yos segera menyalangkan matanya meneliti daftar di balik kaca. Dalam hati dia berharap semoga gadis tanpa nama itu diterima. Supaya, ah Tuhan, supaya hamba dapat berkenalan lebih lanjut dengannya. Supaya tahu namanya. Tidak sedetik pun dia teringat akan tunangannya, Mimi Burhan.
Diperhatikannya gadis itu dalam kaca. Ah, lehernya jenjang seperti tabung Erlenmeyer yang kelamaan ditarik-tarik dalam pabrik. Tahi lalat di pipi kiri' itu! Ah, inikah salah satu calon dokter lagi?
"Haaa, ini dia." Suara riang itu membuat Yos tergopoh-gopoh menoleh. Wajahnya sedikit memerah, seolah ketahuan tengah mengintip, bukan ikut mencari.
Gadis itu menunjuk sebuah angka. Yos ikut membaca, sambil memperhatikan tahi lalatnya di kaca.
"Tiga satu lima. Wah. selamat!" serunya mengulurkan tangan.
Gadis itu menerimanya dengan malu malu. Betapa lembutnya, pikir Yos. Sayang bila mesti berbaju karung dan keramas dengan minyak ikan. Tapi, memang begitulah nasib. Yang masuk belakangan, selalu mesti digenjot oleh yang duluan. Alam biasanya iri pada yang muda dan cantik. Nah, apalagi mahasiswa dan mahasiswi yang sudah tua serta keriput. Walau bukan kulit, paling sedikit semangat.
Gadis itu bergerak mau pergi.
"Sampai ketemu dalam mapram," seru Yos setengah gembira, setengah mengancam.
"Sudah tahu di mana daftarnya? Di sana. Di Tata Usaha." Tapi gadis itu cuma membalik sebentar, tertawa tanpa mengiakan, lalu berlari ke luar. Yos mengikuti dengan matanya. Sebuah mobil hitam menerpa mata. Hm. Pantas. Kaya, rupanya. Manja? Nanti dalam mapram dicek! Tiba-tiba dia sadar. Lupa ditanya namanya! Aii
"Ceritanya, naksir nih?" mendadak didengarnya suara orang di sampingnya.
Yos menoleh. Budi bercekak pinggang menatapnya, lalu melirik ke halaman, ke arah si Manis.
"Hm," dengus Yos.
"Kenapa tidak kauurus saja haemorrhoid' mu yang bengkak itu?"
"Jangan marah, mek. Juga tak perlu malu. Itu biasa. Malah lebih baik terus terang, supaya teman teman tidak berani merebut. Sakit kan, bila yang diincar terpancing orang lain?!"
Yos cuma tertawa. Dia tidak dapat menjawab, sebab dia memang belum berani memastikan apakah dia betul-betul menghendaki gadis itu. Dia belum berniat pacaran. Tertarik saja, memang bukan dosa. Tapi jatuh dalam cinta, tunggu dulu.
Itu memerlukan beberapa patokan yang cukup rumit. Misalnya, apakah sifat mereka cocok? Apakah kegemaran mereka takkan terganggu? Bisa berkembang atau mati? Bagaimana pandangan hidup masing-masing? Setiakah dia?
Dan sedikit tetek bengek lain yang dapat menjadi mesiu bila bersentuhan.
Tertarik sih boleh seratus kali dalam sebulan. Tapi jatuh dalam cinta enaknya sih, cuma sekali seumur hidup. Sebab menurut yang tahu, cinta itu makan energi, waktu, uang, dan hati. Jadi cukup sekali.
Yos menggaruk-garuk kepalanya, sebab mendadak nama Mimi Burhan berkilat dalam otak. Entah seperti apa setan perempuan itu! Bila dikiranya hidupku akan dapat diatur oleh kehadirannya di bumi ini, siapa luh! Lebih baik aku membujang saja!
"Hei, Yos!" seru Luki yang muncul dari arah kantin.
"Sejak tadi aku cari-cari! Sedang apa sih?"
"Naksirin cewe," kata Budi menolongnya menjawab.
"Boleh, kan? Atau dilarang Dekan?" tantang Yos sengit.
"Oh, boleh. Boleh," kata Luki serius.
"Tapi ingat-ingat dong, tugas!"
" tugas apa"!"
" 'Tuh, apa kataku! Naksir cewe seribu pun tiada halangan. Tapi jangan lupa tugas! Hari ini rapat mapram, Ketua Keamanan!"
Ranjau Ranjau Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi aku kan sudah bilang, tidak mau jadi Ketua Keamanan. Aku mau membantu saja!"
"Tidak ada mau atau tidak mau!" kata Luki ganas.
"Pokoknya, tak ada orang lain yang sudi menggantikan engkau!"
"Ooh, jadi aku ini dipaksa!"
"Ya!" Budi nimbrung.
"Kalau tidak ..." Kalimatnya sengaja distop untuk menyampaikan nada ancaman.
"Kenapa kalau tidak?" Yos mengangkat dagu tanpa gentar.
"Dipermak, kau!" seru Budi gembira.
"Ah, tidak." Luki mulai sabar, sebab gawat kalau Yos ogah terus.
"Bukan dipaksa, Yos. Tapi tak ada yang bisa menduduki tempat itu. Semuanya ngeri, teringat insiden tahun lalu. Kan kau, walau cuma kulit-kulitnya, pernah belajar karate."
"Hm. Kalau pengacau-pengacau itu bawa senjata api seperti dulu, ya aku juga takkan bisa berkutik!"
"Akan ada hansip yang bersenjata."
"Pendeknya. kau harus mau! Jangan banyak cingcong!" kata Budi.
"Apa kau mau dibleklis oleh Ketua Senat dan disumpahi biar ujian-ujianmu jeblok semua?!"
Yos garuk-garuk kepala lagi, walau dia selalu keramas dengan cairan anti ketombe.
Dia tahu, amat berat ikut panitia mapram. Tahun ini kliknya yang terpilih. Bila dia enak-enakan saja, sementara konco-konconya lembur, tidak adil rasanya.
Dia menghela napas, disaksikan oleh kedua temannya dengan tidak sabar. Apa boleh buat. Dia menggelinding ke ruang Anatomi dimana rapat akan segera dibuka.
Ketika dia melangkah masuk, Ketua Mapram begitu lega, sehingga "beliau" memerlukan untuk menyambutnya sendiri, tergopoh-gopoh, lalu menepuk-nepuk otot bicep"nya. Budi menghitung dalam hati.
"Sudah, Jon," katanya pada Ketua Mapram.
"Sudah kautepuk lima belas kali. Cukup."
"Setan, kau!" dengus Ketua yang menjadi malu.
"Beliau" kembali ke depan, sementara Yos dan kedua temannya itu mencari tempat.
Rapat dibuka dengan suara batuk Wiwi, yang rupanya kumat bronkitis-nya. Batuknya begitu keras, sehingga mengalahkan bunyi stetoskop yang dihantamkan ke meja. Jono batal mengetuk lebih lanjut.
"Sudah, Wi," teriak Budi dari baris tengah.
"Sudah lebih dari tiga kali. Kapan kita boleh mulai?"
Budi agaknya punya kesenangan menghitung. Pernah ada yang tanya, kenapa dia tidak belajar matematika saja. Babe, jawab Budi. Babe yang tahu, kenapa!
Suara batuk untung lekas mematuhi perintah Ketua Seksi Kesehatan. Barangkali takut diberi surat sakit. Sebab Wiwi termasuk getol mengurus mapram.
"Kesenangan hidup setahun sekali! Menteror manusia, setelah kita sepanjang tahun diteror ujian serta praktikum," kata Wiwi.
Jono segera meraih sehelai kertas yang penuh coretan, kemudian dibacakannya. Daftar ketua-ketua seksi. Wiwi, seperti biasa, tidak mau seksi lain, kecuali Keputrian.
"Lesbos kali, anak itu!" gerutu seorang cowo, terdengar juga oleh telinga Wiwi yang prima, dan membuatnya mendelik. Sayang ini tengah rapat. Kalau tidak, tentu akan dilabraknya Markus keparat itu. Lesbos! Dia barangkali yang wadam!
"Jadi semua setuju."
Mendadak terdengar teriak nyaring Jono, membuat Wiwi gelagapan. Dia tidak menyimak. Untung ada yang cerdik dan daftar itu sudah distensil untuk dibagikan.
Seperti dua tahun berturutan, Seksi Acara dipimpin oleh Anton, yang ternyata merupakan turunan langsung dari Profesor Beta Edison dan Profesor Zweistein. Jadi akalnya sebakul penuh. Terutama dalam menteror makhluk-makhluk malang yang ingin menjadi dokter.
Seorang Kingkong dengan wajah menyeringai tampil di samping Jono. Matanya bulat seperti tatakan cangkir. Rambutnya tegar seperti ijuk. Alisnya hitam seakan dipoles jelaga dapur, begitu juga kumisnya. Bibirnya tebal seperti karet penghapus.
Itulah cucu buyut dari dua orang profesor. Tahun lalu, dia diberi gelar oleh cama cami: Jenderal Udo Amin. Tahun ini diharapkan dia akan lebih banyak memberi amnesti, dan tidak berlaku garang seperti tahun lalu.
"Tepuk tangan untuk ?Bapak Anton!" seru Jono, namun tak seorang pun yang menghiraukan perintah itu.
"Sialan! Tepuk tangan, dong!" seru Anton keki,seraya meraba-raba kumis.
Hadirin mengikik, lalu bertepuk tangan. Anton manggut-manggut, persis simpanse sirkus yang kegirangan melihat pisang.
"Cukup. Cukup," katanya mengangkat tangan dengan lagak seorang primadona.
Tepuk tangan langsung sirna. Wiwi memijit-mijit telapak tangannya yang pedas. Kalau bukan untuk pacar sih, tak sudi dia bertepuk-tepuk begitu. Buang energi percuma!
"Bapak" Anton alias Udo Amin sudah menyiapkan lima folio tik dua spasi. Itu acara-acara yang akan diusulkannya untuk dua minggu lagi.
Daftar itu distensil, dan dibagikan. Rapat akan menilai mana yang pantas, mana yang bertentangan dengan peri kemanusiaan.
Lima menit hening. Setiap pasang mata asyik membaca. Veri segera menemukan sesuatu.
"Wah, jangan pakai "Bermalam di Jelambar' segala dong," serunya.
"Payah kita bila cewe-cewe itu histeris."
"Kan ada Seksi Keamanan!" tukas Luki menyebar panah beracun.
"Seksi Keamanan cuma bertugas mengamankan benda dan makhluk supaya jangan hilang. Serta menghadapi pengacau dari luar," kata Rudi, anak buah Yos.
"Menenangkan sekelompok cewe yang histeris, bukan bagian kita, Bung!"
"Akur!" kata Yos, lalu melirik Wiwi dan menyambung,
"Lagi pula ...sorry, Wi, ...belum tentu yang akan histeris itu cami melulu! Bagaimana bila rekan-rekan kita juga ...."
Wiwi menginjak kaki Yos di bawah meja, sebab kata-katanya menghina korps cewe.
"Kita sih pasti takkan histeris, deh! Dijamin! Tapi bila puluhan cami yang ...aaah, Anton, kau sudah sinting ?kali mengusulkan ini!"
Tertuduh cuma menyeringai. Jono menjawab teguran Wiwi,
"Katanya mau emansipasi! Masa in-de-hoi di kuburan, takut?!"
Merah muka Wiwi seperti tomat hampir busuk. Tapi sebelum dia sempat melempar bom natrium-palmitat (yang dibuat dari kelapa sawit pamannya), Udo Amin sudah mendahului menjawab, seraya menyepak tulang kering Jono. Bagaimanapun,
"Bapak" Anton tidak rela, melihat bidadarinya dibikin malu. Harus dibela. Kalau Wiwi sampai ngambek! Apalagi sampai mengadu kepada pamannya! Huaaah! Bisa-bisa sang Paman akan betul-betul membikin bom dari kebun kelapanya.
Lantas dijatuhkan di atas kepalanya tentu saja! Resumenya? Dia belum ingin kiamat seperti orang orang Vietnam.
"Itu memang eksklusif buat cama, kok!" kata Udo Amin.
"Untuk putri, kita serahkan pada Seksi Keputrian!"
"Huh!" dengus Luki dengan suara bindeng penuh hinaan.
"Laki-bini mengurus mapram! Mampus kita! Yooos!!!"
"Eeeiiit!" sahut Yos, nyaris terpelanting kaget, sebab dia tengah asyik mengagumi kuku-kuku merah Wiwi, tanpa berhasil menerka merk apa kuteks itu.
"Ada apa, Babon?"
"Kau berani kan menjaga cewe-cewe di kuburan?"
"Bukan tugasku!"
"Berani, tidak??! !" teriak Luki garang.
Anak ini bisa lembut, tapi bisa juga meledak seperti ketel uap kelebihan tekanan. Rambutnya yang cuma dua inci panjangnya, berdiri tegak semua, seperti kucing siap tempur. Matanya nyaris merah seakan baru dicuci dengan seliter boorwater. Dan mata itu menatap tanpa kedip. Sang Karateka tentu saja tidak mundur melihat tantangan.
"Eh, mengapa tidak?" Dia nyaris berdiri supaya dapat bercekak pinggang.
"Cuma berdua pun, aku berani! Asal cewe itu bukan penghuni di situ!"
"Penakutnya!" ejek Budi.
"Bukan begitu! Soalnya, apa untungnya menemani cewe semalam suntuk, bila dia sudah tak dapat lagi diganggu gugat?!"
Semua hadirin mengikik geli. Yos mengangguk senang.
"Bapak" Anton merabai kumisnya, barangkali khawatir sudah jatuh ke lantai.
Jono mengusulkan agar rapat mengadakan pemungutan suara saja. Siapa yang senang kencan di kuburan, tulis, ya; siapa yang tidak, tak usah tulis apa-apa. Anton cepat menengahi,
"Ini acara lewat jam dua belas, Bung. Aku rasa tidak cocok untuk cewe. Emansipasi memang boleh. Tapi tidak enak kan melihat rekan-rekan putri kita yang harus menjaga cami-cami lusuh kayak cucian dalam rinso?! Sehari semalam tidak tidur! Esoknya langsung apel lagi."
"Jadi maumu bagaimana?"
"Acara itu cuma untuk pria!"
"Tanpa cewe, emoh!" kata seseorang dan yang lain setuju.
Luki mengusulkan pemungutan suara kilat dengan angkat tangan.
"Siapa yang suka nekrophilia'"...eh, salah ...yang suka acara ini?" Cuma lima telunjuk yang teracung.
Mereka tidak jadi "Bermalam di Jelambar".
"Kenapa sih kau tidak setuju?" tanya Luki uring-uringan.
"Sebab ada anak tetangga yang selalu sawan di kuburan!" sahut Yos.
"Dan anak itu masuk ke sini?"
"Otakmu encer!"
"Tidak sawan dia waktu testing?"
*** Bab 3 secara Kebetulan, tapi sebenarnya disengaja, Yos melihat daftar nama calon mahasiswa yang sudah membayar ongkos mapram. Hatinya ingin tahu nama gadis lembut berbaju kuning dulu itu. Agak sulit. Apa dia bisa bilang,
"Pak Wardoyo (pegawai Tata Usaha yang bertugas menerima uang dahar), apa gadis berbaju kuning, berambut segini, bertahi lalat di pipi kiri, sudah datang?"
Tentu saja tidak bisa. Sebab mungkin malah hampir pasti gadis itu takkan mengenakan rok kuning ketika datang lagi. Di mana ada gadis yang suka pakai baju itu-itu juga? Apalagi naik mobil, jadi anak orang kaya. Bukan anak orang kaya pun, pasti ingin juga ganti-ganti baju setiap kali ke luar. Terlebih ke tempat yang sama. Terlebih lagi, ke tempat yang banyak cowonya. Terlebih, terlebih lagi, cowonya semua mahasiswa! Titel yang lumayan sementara masih belum dapat menangkap titel yang menghasilkan uang.
Jadi, sambil menyeringai dalam kepalanya tetapi tetap serius di luar ditatapnya daftar itu.
Astaga, banyaknya nama cewe. Apakah itu berarti, mungkin cewe lebih pintar dari cowo? Atau mungkin, cewe surplus dalam angkatan tahun ini? Atau mungkin, lebih banyak cewe yang punya ayah sanggup menyumbang di atas bilangan tujuh, di bawah meja, baik berbentuk kertas maupun benda? Bergerak mobil maupun tidak bergerak rumah -?
Ya, ketiga tanda tanya itu mungkin. Malah barangkali masih ada dua empat tanda tanya lain. Misalnya
Dokter Awal, seorang pentolan di kampus, pada suatu sore mendung kedatangan seorang gadis manis yang ingin menjadi dokter.
"Heran, bolehnya kok dia tahu, saya ini termasuk pimpinan di sini," kata beliau.
"Padahal tidak dicantumkan di papan."
Jangankan itu! Huruf-huruf yang mengucap hari dan jam pun nyaris tak terbaca lagi. Papan itu sudah berusia dua puluh tahun lebih, warnanya putih kekuningan, retak-retak dimakan angin dan hujan.
Wiwi yang ceplas-ceplus itu pernah tanya,
"Ya ampun, papan praktek Anda, Dok. Kenapa sih tidak diganti?"
Santai jawab beliau kena sekali,
"Kenapa sih mesti diganti? Pasien-pasien saya tidak perlu itu.
Mereka langganan lama, jumlahnya juga bejubel. Rekening koran saya selalu bengkak tiap hari."
Bayangkan! Bukan tiap bulan, tapi sudah tiap hari! Bila ini terdengar oleh para orang tua murid SMA, ampun Dewa, mereka pasti akan menyerbu kemari. Dan ngerinya, jangan-jangan tak ada lagi anak yang diijinkan menjadi musikus, politikus, maupun pembuat kakus.
Seperti cewe malang yang datang di sore mendung. Lesu. Tidak lulus tes.
Dokter Awal meneruskan ceritanya,
"Dari mana kamu tahu, bahwa saya bisa menolong? Saya tidak bisa."
"Ah, saya tahu, Dokter bisa menolong. Orang bilang bisa."
"Ah, bohong, tuh. Saya tidak bisa."
"Semua orang bilang bisa."
"Salah dengar, tuh."
"Semua orang bilang, cuma Anda yang bisa."
"Ah, bohong, tuh."
"Tolonglah, Dok."
"saya tidak bisa. Sungguh mati!"
"Anda pasti bisa, kalau mau."
"saya mau, Dik. Saya mau menolongmu. Tapi tidak bisa."
"Ah," keluh panjang dari celah bibir dokter, yang menyitir.
"Masuklah fakultas lain saja, Dik. Masih banyak yang dapat menerima. Misalnya, Farmasi. Ya, masuk itu saja. Nanti saya bantu."
"Nah! Kan Anda memang bisa membantu? Bantulah saya, masuk FK."
"Tidak bisa. Ini ada numerus clausus-nya. Ada jatah, Dik."
"Untuk saya tak ada?"
"Karena kamu tidak lulus tes."
"Kalau saya menyumbang ...?"
"Harus kamu tanyakan pada pimpinan sana. Bukan saya."
Gadis itu tampak begitu putus asa, persis orang yang mau terbang ke akhirat, menurut beliau. Sehingga beliau jadi kasihan.
"Berapa kamu bisa ...?"
"Saya tidak bisa. Ayah saya sudah pensiun. Hidup kami megap-megap. Sebab itu saya ingin jadi dokter, biar cepat kaya dan dapat menyenangkan orang tua."
"Wah, kalau cuma karena itu, tak perlu payah payah masuk FK! Banyak karir lain yang lebih nyaman dan lebih bikin kaya."
"Tapi saya ingin jadi dokter. Bukan jadi lainnya. Tolonglah saya, Dok."
"Tak bisa, Dik."
"Kok masuk Farmasi, bisa? Pasti Kedokteran juga bisa!"
"Dik, Farmasi tidak banyak peminatnya seperti Kedokteran. Jadi tempat masih banyak yang kosong. Mau, ya?"
"Tidak, ah. Saya cuma ingin FK. Tolonglah, Dok. Tolonglah! Apa saja akan rela saya lakukan supaya bisa masuk ...."
Dokter Awal mengakhiri kisahnya dengan senyum lucu.
"Itu ruginya kalau istri' menjadi pembantu praktek! Ada gadis manis menawarkan daging mulus. tak bisa kita santap! Ha ...ha ...."
Sambil memperhatikan dokter itu, pikiran Yos melayang penuh tanya. Kenapa cewe berbaju kuning itu bisa masuk ke sini? Pandai sekali? Kaya sekali? Atau ...?
Tapi, siapa sih namanya? Buset! Baru pertama kali ini dia geregetan ingin tahu nama orang. Gadis lagi. Apakah dia sudah gila?
Mendadak dia bergidik seolah melihat kalajengking di kertas. Jantungnya berpacu lebih cepat. Digelengnya kepala. Digosok-gosoknya sebelah mata. Tapi keadaan tak berubah. Yang tadi menyengat penglihatannya masih tetap ada. Mianti Burhan!
Hm. Jadi betul Ibu. Anak itu masuk kemari. Mau mati kali. Apa dia bisa menandingi cewe berbaju kuning itu? Biar aku habisi dia di mapram. Tahu rasa.
Datang ke dunia cuma untuk mengacau hidup orang! Berani-berani minta kawin denganku! Malah selagi masih bocah! Huh! Pakai pura-pura sakit payah segala!
Orang yang percaya reinkarnasi, mungkin akan bilang, cewe itu tidak kesampaian kawin dengannya pada hidup yang lalu. Huh! Untung dia tidak percaya.
Neneknya dari Ibu ikut juga lho memusingkan diri dengan urusan yang apek ini. Mencoba membujuknya. Nenek! Nenek yang dihormatinya selama ini!
Apa yang kuno dan aneh, tidak disukainya. Bau apek. Walau dibungkus nama indah. Mianti.
Tak salah lagi. Pasti dia. Di rumah. tentunya dipanggil Mimi tok, seperti disebut Ibu. Nama belakangnya sudah jelas. Burhan.
Hm. Jadi dia betul berani masuk ke sini. Nekat amat. Siap sekolah tiga belas tahun lagi. Sampai jadi nenek. Atau, cuma mau dapat dokter saja? Bukan titelnya? Hm. Hm. Dapat kita selidiki dalam mapram.
Nyogok? Bukan hal baru. Keliwat pintar? Kita akan lihat nanti, cami!
"Berapa cewe yang terdaftar di situ?" tanya Budi begitu muncul. Seperti biasa, dari tempat pompa kalori. Kantin.
Yos masih termenung dengan kertas pendaftaran di tangan. Agak jengkel dia, saat tengah berintiman dengan pikiran sendiri, diganggu. Dia menoleh, lalu mengembalikan kertas itu ke tempat semula, dalam map kuning di pinggir meja.
"Kan hitung-menghitung biasanya keasyikanmu?! Silakan!"
Budi sudah mau memperoloknya, sebab Yos cuma sinis bila sedang jengkel. Namun mendadak ruangan jadi gelap. Rupanya ambang pintu yang selalu terbuka, kini tertutup oleh sepotong materi raksasa.
Keduanya serentak menoleh. Raksasa itu menyeringai ramah, sambil menggaruk-garuk ketombe.
"Buset!" seru Budi.
"Jangan halangi cahaya masuk, dong. Kaukira, kau mungil, ya?!"
Boni masuk ke dalam, masih bercengkerama dengan kepalanya.
"Kau perlu apa, Yos ?" tanya Ketua Seksi Keuangan itu.
"Kau boleh minta apa saja."
"Apa saja?" Boni mengangguk. Selesai dia menghitung serbuk serbuk ketombenya. Kini tangannya masuk ke saku. Keluar lagi dengan sepotong kain lusuh yang dianggapnya sapu tangan. Disekanya hidungnya yang nyaris ikut lusuh, sebab keseringan selesma.
"Nah, kalau begitu, A.K. satu, Colt satu, stengun"
"Gila, kau! Ini mapram! Bukan demonstrasi anti koruptor!"
"Katamu, apa saja!"
"Ya, tapi yang masuk akal. Baterai, pentung, alat pemadam kebakaran, bahkan gas air mata. Itu boleh."
"Seksi Keamanan memang mesti punya senjata api," bela Budi.
"Kita bukan mau jadi anggota Kodak Jaya. Lalu, apa gunanya kita memilih seorang karateka? Bukan untuk diberi nasi bungkus gratis, lho!"
Wiwi masuk bersamaan dengan munculnya tiga dara.
"Eeeiit," serunya, mengingatkan siapa yang tuan rumah.
Ketiga calon mahasiswi itu mengalah, dan masuk belakangan. Yos dan yang lain, segera memperhatikan mereka. Tidak begitu cantik, pikir Yos. Cuma genitnya lumayan. Terkadang, itu satu-satunya modal untuk menarik perhatian dan berkenalan.
Pasti mereka bukan Mimi, pikirnya lagi. Sebab Mimi sudah mendaftar jauh-jauh hari, seakan takut kehabisan tempat. Lucu juga melihat anak-anak manis (atau genit) berebut minta digojlok. Malah disuruh membayar, lagi!
Entah kenapa, dia merasa lega ketika yakin, bahwa ketiganya bukan Mimi. Barangkali dia kurang merasa aman dengan cewe yang terlalu lincah?
"Naksir, tidak?" bisik Budi cukup keras, sehingga seorang di antara dara-dara itu menoleh, dan menghadiahi mereka senyum manis.
"Wah, belum apa-apa sudah mau berkenalan!" tukas Boni.
"Sabar," sindir Wiwi sambil bercekak pinggang. Lagi-lagi mau menunjukkan, siapa boss di situ. Ketiga dara tak berani berkutik.
"Naksir?" ulang Budi ketika Yos bungkam, cuma senyum
"Tuan besar mana gampang-gampang jatuh hati!" Wiwi ketawa, lalu menambah,
"Tapi cadaver 'yang belatungan mau diciumnya!"
Sayang Wiwi sudah ada pelindungnya, pikir Yos sengit. Kalau tidak, aku kecup juga dia sekarang, biar merasakan jadi cadaver"
"Itu karena aku tidak ketemu-ketemu juga saraf kelima di pipinya, Kunyuk! Lagi pula, soal mencium tidak ada hubungannya dengan cinta. Kau bisa saja mencium aku bila mau. Tapi itu tak berarti, kau cinta padaku dan bukan Anton. Betul, tidak?"
Wiwi bersemu merah dikik-balik. Sekarang dua orang dara yang menoleh ke belakang. Wiwi cepat menggeleng untuk menghilangkan malu, supaya kelihatan tetap angker. Walau matanya tidak melirik ke meja, namun dia mendesis seperti kobra,
"Awas nanti! Yang genit-genit mesti dibikin tunduk biar kapok dan lembut!"
Ketiga cami itu agaknya mengerti, walau kurang jelas mendengar desisnya. Mereka cepat menyelesaikan urusan, lalu melenyapkan diri. Tanpa berani senyum lagi."Oke," kata Boni setelah keadaan tenang lagi.
"Jadi kau tidak perlu apa-apa, Yos?"
"Aku perlu hansip-hansip yang bersenjata "
"Itu pasti ada."
"Baterai, pentung, dan tabung pemadam kebakaran juga. Gas air mata, aku rasa tak perlu. Anton kabarnya mau meminjam mobil pemadam kebakaran. Betul, Wi? Biar itu saja dipakai untuk menghalau orang-orang jail."
"Gas air mata memang rasanya tak perlu. Tapi mobil pemadam kebakaran tidak bisa kita tahan selama mapram. Paling-paling cuma beberapa jam. Selama acara."
"Memangnya kau yang punya Jakarta?" ledek Wiwi.
Yos nyaris mendelik. Bukan main cewe ini. Selalu bikin gemas!! Sayang sudah didahului Anton! Kenapa dulu-dulu tidak terbuka matanya!
"Hei, Wi," jawil Boni di bahunya.
"Kau perlu apa?"
"Jangan jawil-jawil, eh, bini orang," balas Yos meledek. Senangnya bukan main melihat Wiwi mendelik dan menjadi merah seperti bubuk karmin.
"Kita perlu dua pispot, balon dua puluh, tepung kanji tiga kilo, levertraan cair lima-enam botol, brotowali, terasi, beberapa ekor cacing dari labor ...."
"Oke, oke. Kalian susun sendiri daftarnya. Hitung berapa. Dan minta biayanya padaku. Aku rasa, levertraan dan segala macam itu dapat diurus oleh Anton. Kau minta sesuatu yang khusus untuk putri saja."
"Misalnya?" Wiwi tak tahu.
"Terserah," nimbrung Yos, melihat lubang pembalasan.
"Pembalut bulanan, kek!"
"Yos!" teriak Wiwi, malu banget diledek begitu.
"Huss!" bentak Boni.
"Kenapa pakai menjerit segala? Mau panggil Anton, ya?"
"Kita bukan mau memperkosa ," kata Yos geli, membuat Wiwi mendelik. Untung Budi lekas menengahi dengan bicaranya yang ngawur.
"Kau jadi orang penting ya, sekarang?" tukasnya pada Boni.
"Tahun lalu kau hampir diskors, nyaris ditendang ke luar. Untung aku ikut tanda tangan membelamu!"
"Iya deh, beribu terima kasih. Sampai mati tak terlupa. Sekarang kau ingin apa?"
"Ssst, bila kau mau korupsi, bilang bilang ya. Aku ikut!"
"Setan, kau! Beli kain untuk spanduk pun sudah hutang pada dompetku! Di mana lagi mau komisi"
Yos bersandar di pintu besi seperti penganggur yang tidak berminat mencari kerja. Tapi sebenarnya dia sedang asyik sekali. Mencuci mata dengan calon-calon mahasiswi FKG. Tidak dapat disangkal, walau dengan dalil apa pun, bahwa di kampus, yang paling subur dengan dara manis adalah Kedokteran Gigi.
Entah, karena yang manis-manis selalu dekat dengan gigi misalnya bonbon entah pula karena fakultas itu cuma menerima yang manis. Atau. karena setiap dara yang masuk gerbang FKG, lantas disulap jadi manis? Pengaruh sinar lampu? Atau gangnya agak gelap-gelap temaram, sehingga panu, jerawat, serta keriput tak tampak?
Yos belum mau mencari jawabnya. Biar saja. Yang penting, FKG menyejukkan penglihatan dan perasaan.
Nah, nah, melintas sepasang cut-brai di atas tumit runcing dan tinggi. Aduhai, Dik, dua minggu lagi, ingat ya, pakai sepatu butut. Mampus kamu, kalau ketahuan melenggok begitu anggun! Harus kumal seperti lap dapur, itu baru cami teladan.
Diikutinya dengan matanya. Sementara hatinya melonjak, berdesir-desir. Hm, boleh juga takaran gulanya. Sedikitnya, dua kilo dalam seliter air. Nanti terpaksa aku ikut-ikut mapram di FKG, pikirnya melamun. Siapa tahu, bisa berkenalan. Senang kan mengenal gadis manis. Walau tanpa maksud apaapa.
0la la! Lewat lagi sepotong bonbon dibungkus gaun biru. Amboi. Rupanya ini tahun panen dara-dara manis. Berarti akan ramai acara nanti.
Bayangkan, bila mereka semua ditutup matanya, lalu dikecup sepasang bibir yang bau rokok! Ha, ha! Pasti lebih dari separuh akan ngoak-ngoak panggil mami, merasa sudah setengah diperkosa!!! Hi, hi.
Harus diusulkannya acara itu pada Wiwi. Seperti tahun lalu. Barangkali Wiwi malah sudah memasukkannya dalam daftar. Sebab itu acara kegemarannya. Wiwi akan minta rokok, mengisapnya sampai mulutnya penuh asap, lalu
"Banyak yang cakep, ya." Budi tiba-tiba mengacau saat pribadinya.
"Iya, mek. Gila banget tahun ini. Keluar sarang semua yang manis-manis."
"Awas banyak semut!"
Yos ketawa, tapi lekas juga diam lagi mendengar suara temannya,
"Kesempatan dong, untuk mencari patse!"
Kata terakhir mengingatkannya pada nasibnya. Mama bilang apa? Tidak boleh pacaran sembarangan lagi? Selain dengan Mimi brengsek itu? Mimi yang entah seperti apa rupanya?
Papa bilang apa? Harus ikut keinginan orang tua agar tidak durhaka? Hu, hu! Dunia akan tahu dan menyaksikan, bahwa nasibnya adalah miliknya sendiri. Bukan milik Mama, Papa, ataupun si Brengsek itu!
Luki tahu-tahu muncul dari belokan gang, menggandeng seorang dara manis berambut panjang sepunggung. Sambil tersenyum cerah diseretnya bawaannya itu ke depan teman-temannya.
"Hei, Babon, kau bawa apa?" tanya Budi heran, sebab sejauh ini, Luki selalu naas. Mungkin karena jenakanya yang keliwat batas, mirip monyet tukang ngamen. Mana ada cewe yang tahan diajak bergurau seumur hidup. Dia tentunya mengharapkan wajah yang serius. Terlebih di kala bilang cinta. Atau sayang. Atau entah apa lagi.
"Ini Anita, anak tetanggaku. Mohon diingat-ingat supaya jangan digojlok. Bisa mampus aku dipentung ayahnya bila itu terjadi."
"Hm," dengus panjang Budi, penuh hinaan.
"Kausangka, pangkatmu sudah mengorbit jadi jendral? Belum, belum. Titelmu masih de-er-es terbalik. Sau-da-ra. Es-de-er. Ngerti? Eh, Anita, apa dia itu pacarmu? Masih laamaa tamat. Sarjana muda pun belum didapatnya. Mending aku. Walau pangkat sama, tapi bapakku Kepala Perkebunan Negara. Uangnya banyak! Pindah sama aku saja. Surat-surat bisa diurus belakangan ...."
"Memangnya Toyota!" sembur Luki.
Gadis manis itu ternyata bisa juga ketawa genit, penuh rayuan nyiur melambai. Yos mengangguk dalam hati. Hm. Hm. Boleh sebagai korban. Tidak bisa tidak. Yang manis, yang genit, yang pandai merayu. Semua mesti dikorbankan pada dewa-dewa mapram. Harus digojlok. Rambutnya yang berkilat itu pantas sekali dikeramas dengan minyak ikan, lalu digantungi tali rafia manca warna.
Wajah lembut Yos yang samar menjanjikan akan beringas, terlihat pula oleh Luki. Itu, ditambah seloroh Budi, membuatnya was-was. Dia berusaha menghimbau, minta setetes rasa belas kasihan. Demi mukanya.
"Bukan aku sok, Bud," katanya penuh sabar,
hampir memelas. "Soalnya, babenya sudah pesan wanti-wanti padaku, supaya anaknya dilindungi. Malu aku bila ..."
"Itu urusanmu!" sahut Budi tak peduli.
"Di sini, dari jendral ke bawah, tidak bisa diberi dispensasi!"
"Takut diplonco?" tegur Yos mengancam sedikit.
"Kalau takut, diam saja di rumah, di samping Papi. Kan aman?"
Anita menunduk malu, memilin-milin ujung sapu tangan.
"Ah, jangan takut," kata Luki mencoba gagah, walau hatinya kecil. Dia tahu, Budi bukan mengancam kosong. Setiap anak manis harus dibikin menangis atau ketakutan, sampai dia jera atau jatuh cinta pada sang Raka.
Dia tahu itu. Sebab itu pula yang dilakukannya. Ah, kenapa lagi Anita masuk kemari?
"Kau takkan diapa-apakan," katanya lagi seolah membujuk.
"Mau ke kantin?"
Anak manis itu mengangguk. Mereka berlalu diiringi senyum kecil di wajah-wajah yang menunggu.
Seakan robot keduanya bicara serempak,
"Calon ya? Ha ...ha *** Bab 4 Selama dua minggu semua pihak sibuk mempersiapkan diri. Pihak senior. Maupun pihak plonco. Ada bagusnya bagi Mianti. Untuk sementara dapat disingkirkannya persoalan lain ke laci meja otaknya sehingga tak usah dipikirkan.
Bicaranya soal mapram melulu. Juga bicara ibu dan ayahnya. Sejenak kelihatan, semua orang siap berdamai. Melupakan sepotong ranjau yang ditanam masa silam serta ancaman ledakan masa kini.
Tibor sudah berangkat minggu lalu. Miami tidak kelihatan resah. Kakaknya ingin sekali bertanya, kalau-kalau dia rindu. Untung sekali ibu tahu isi pikiran anak yang satu ini. Cindy memang anak mami. Semua diceritakan. Juga niatnya menanyakan rindu Mimi.
Tentu saja Ibu melarang. Jangan adikmu dibikin gaduh hatinya. Biarkan dia lupa. Tapi Miami jauh dari lupa. Bahkan tiap hari menulis surat penuh kangen. Cuma belum sempat diposkan. Nanti saja, setelah mapram.
Dia memang kangen dengan Tibor. Tapi anehnya, tidak rindu. Malah samar terbayang wajah lain. Yang ditemuinya ketika melihat pengumuman. Setelah itu tak pernah jumpa lagi. Dia sudah berleha-leha ketika mendaftar mapram. Dengan harapan orang itu akan masuk ke kantor Tata Usaha. Sia-sia. Dia sudah pura-pura kelupaan potret. Lantas, pura-pura mencari dalam tas yang sengaja diaduk-aduk supaya lama tidak ketemu. Mula-mula dia bermaksud pura-pura sungguhan. Lupa potret. Jadi bisa balik. Siapa tahu, nanti ketemu wajah itu lagi.
Ranjau Ranjau Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pikiran aneh. Baru kali itu muncul di benak. Untuk sepotong wajah asing. Memang simpatik. Namun asing. Tidak dikenal. Namanya? Ha. belum tentu dia menjadi mahasiswa di sana. Kedokteran lagi. Siapa tahu, cuma pengunjung Poliklinik Umum. Atau, malah Poliklinik Gigi. Mau bikin gigi emas. Ha, bisa terpingkal geli kakaknya bila dia pulang membawa pacar bergigi emas!
Semua pikiran ruwet itu melintas dalam sedetik. Dan membuat pikiran waras menang. Potret dikeluarkannya dari tas. Pendaftaran selesai diurus.
Di luar Tata Usaha, pikiran jail kembali menggoda. Bagaimana kalau dia mampir sebentar di kantin? Siapa tahu orang itu ada di sana. Atau akan muncul.
Kakinya bergerak, namun langkahnya terhenti lagi.
Tertumbuk keraguan jangan-jangan orang itu memang cuma pasien. Hii, malunya bermimpi tentang pasien! Seorang calon dokter bukan begini tingkahnya!
Dengan tegas dia memutar arah, menuju pulang. Itu memang tindakan bijaksana. Tidak seperti hatinya.
Terkadang Mianti kaget sendiri setelah menyadari, bahwa dia baru saja mengenang sepotong wajah. Setiap kali, rasa sedikit tidak setia menyelinap. Terhadap Tibor.
Dia berusaha waras dan setia. Tapi kewalahan menghadapi hatinya yang bandel. Benda itu ingin selalu mengingat. Dan mengajaknya melamun. Miami tahu, itu gejala gawat. Sebab lamunannya bukan mengenai Tibor.
Sebagai dokter nantiii dia pasti akan sering atau sesekali menjumpai pasien pria yang simpatik, tampan atau malah jatuh cinta sekalian padanya. Dia tahu, dia tidak tergolong jelek. Barangkali pas-pasan untuk nampang dalam iklan, tapi jelas cukup untuk merebut hati seorang pria. Katakanlah, pria yang tidak rewel dan mau terima apa adanya.
Banyak pasien wanita jatuh hati pada dokter pria. .Jadi kenapa tidak bisa terjadi, pasien pria jatuh
hati pada dokter wanita-nya?
Tapi, persoalan akan jadi gawat, bila dia sang Dokter wanita yang melamunkan pasien! Mungkin dia sinting. Barangkali ada sesuatu yang kurang beres di atas sini. Kalau tidak salah, seorang pamannya ada yang kawin lari dengan istri orang. Cinta membara? Atau hanya sinting belaka? Kalau betul sinting,janganjangan sifat itu telah menurun? Aduh, Mama!
Dia berusaha menyibukkan diri dengan segala kerja tetek-bengek. Menyapu. Walau Bi Inem menjerit, sudah disapu. Membuang sampah. Walau Pak Kebun mencegah. Memberi makan Bleki. Walau biasanya dia emoh atau merasa tidak sempat. Menjahit sarung bantal robek. Walau Ibu bergegas bilang, itu pengisi waktunya di kala berdua dengan Ayah. Dan lain-lain.
Semua tugas yang biasa dihindari, kini dicarinya. Cuma sekedar untuk menghilangkan kesempatan melamun. Membayangkan sepotong wajah simpatik di atas bahu bidang pada tubuh atletis. Tidakkah itu gawat? Atau, inikah yang disebut para pengarang dan ahli jiwa, cinta pada pandang pertama?
Amore a prima viesta sih romantis. Tapi jangan terhadap pasien, ampun!
Pasienkah dia? Kenapa begitu berani? Malah lancang? Bertanya-tanya segala? Biasanya, pasien itu mengerut duduk, menanti panggilan dengan resah. Bukan kelayapan sampai ke depan papan pengumuman. Apalagi menyapa orang yang tidak dikenal.
Aah, bekas mahasiswa. Tentunya tidak lulus-lulus ujian CMS E-2, maka dipersilakan angkat kaki. Sebelum ikut tes masuk, Mimi sudah mengumpulkan info dari sepupunya yang juga kuliah FK di swasta, tapi bukan Trisakti. Info itu cukup menyeramkan. Mereka harus ikut ujian-uj ian penjegalan (istilah sepupunya) negara, yang disebut ujian CMS'. Misalnya E-2, di tingkat satu atau dua, Mimi lupa. Lulus itu, langsung ditabrak E-3a. Lulus ini, belum boleh bernyanyi. Masih ada E-3b. Lulus ini, kalau belum gila, masih dipersilakan mengikuti E-4a. Lulus ini, nah calon sejawat, kita akan ketemu nanti dalam ujian bangsal! Ujian dengan pasien, itulah E-4b. Sungguh cukup untuk membuatnya semaput, ngeri. Dan sepupunya sempat pula menyeringai.
"Nah, masih berani masuk FK? Apa tidak mendingan kursus kue saja pada Nila Chandra?"
"Huh!" Mimi mendengus.
"Kaukira, cuma kau sendiri yang berani? Bila kau saja sanggup. masakan aku tidak? Sedangkan Dokter Faramaz, dokter rumahku, masih bisa bilang,
"Kerbau pun kalau dipakaikan labjas bisa lulus kedokteran!" "
Merah sepupunya itu, kecut.
Barangkali laki-laki iseng itu jebol di E-2? Atau, lulus E-2, mogok di E-3a, Atau, lulus juga E-3a, tapi tersandung di E-3b. Hasilnya sama saja. Keluar!
Tapiii, seandainya dia memang betul mahasiswa di situ. iiiiih!! Mianti sampai bergidik saking senangnya. Apalagi kalau masih bebas. Iiiih! Akan ditunjukkannya pada Mama, juga Papa, di mana hatinya. Akan dipaksanya mereka membatalkan mainan kuno yang tidak lucu dan menyakitkan itu.
Ya, mereka akan terpaksa membatalkan. Daripada melihat anak terbujur kaku?! O ya, dia takkan segan menggunakan ancaman bunuh diri. Walau dalam hati takut mati. Dan bila terlanjur serta terpojok, akan nekat menjalaninya. Biar orang-orang penyebabnya akan merasa berdosa besar, sehingga mereka seakan hidup tak bisa, mati tak sanggup.
Tapiiii, masih ada satu tetapi. Seandainya, orang itu sudah ada yang punya ...! Putus akal. Dia belum tahu, tindakan apa yang akan dilakukannya. Barangkali di sini kakaknya perlu campur tangan. Dia
banyak pengalaman. Baik sebagai rebutan, maupun sebagai perebut. Dan rupanya semua berlangsung damai.
Paling sedikit, belum ada cewe yang menelepon untuk mencaci maki Cindy. Juga tidak ada cowo yang pernah mengancam begini begitu padanya. Kalau ada, pasti Mama tahu. Cindy selalu bocor hati di depan Mama. Mama tahu, berarti seisi rumah akan tahu. Sebab Mama akan cerita sama Papa. Berdua, mereka akan terlibat diskusi hangat bertele-tele. Udara rumah akan mendung.
Akhirnya, seisi rumah, sampai Bleki pun akan tahu. Anjing itu akan mencari perlindungan di bawah meja makan yang sejuk dan aman. Bi Inem dan Pak Kebun juga akan menghindar. Tidak percuma di situ sudah belasan tahun. Mereka mengerti, kapan majikan tak mau diganggu. Bukan cuma dengan omongan, tapi juga dengan kehadiran!!
Tidak. Cindy tak pernah mengalami kesulitan dalam soal pacaran. Dia dapat berganti pasangan semudah dan sesering bikin baju baru. Dunia tidak heboh.
Lantas, kenapa adik Cindy tidak boleh meniruya? Kenapa dia, Mianti, tidak boleh berkutik? .Jangankan bergonta-ganti, satu pun pacar tak boleh
dipilihnya sendiri. Ini abad keberapa sih? Angkasa sudah penuh dengan kapal perang. Tapi orang di bawah masih main dukun-dukunan!
Tidak masuk akal. Entah siapa yang bodoh. Mama-Papa yang percaya Nenek. Atau Nenek almarhumah yang percaya dukun. Atau dukunnya. Yang sebenarnya tidak becus, jadi mengada-ada, supaya dikira pintar!
Mengobati sakit dengan kias perjodohan! Coba dia berani bicara begitu dalam mapram Kedokteran! Mati dia disikat anak-anak yang tidak rela fakultasnya ditutup. Tentu saja akan ditutup, bila untuk penyembuhan sakit cukup kias-kiasan belaka.
Tidak, dia tak percaya. Dia tahu, dukun itu tidak berhasil menyembuhkan sakitnya. Buktinya, dia masih suka sesak napas. Dia tetap tidak boleh berolahraga berat. Terlempar dari dokter satu ke dokter lain. Dari Spesialis Anak sampai ke Ahli Bedah. Namun semuanya kurang lebih menelurkan pendapat yang sama. Malah ada dokter yang sampai hati mengatakan, bahwa dia tak boleh hamil. Aduh, Mama!
Kelainan katup jantungnya memang termasuk ringan. Tapi seharusnya sudah dioperasi ketika dia
masih belum sekolah. Sekarang sudah agak terlambat. Dengan atau tanpa operasi, hasilnya takkan beda jauh. Yang penting, hindari kerja berat. Hindari segala macam infeksi, terutama di pernapasan.
Wah, repotnya Mama bila Mianti pilek sedikit. Apalagi kalau tahu dia jingkrak-jingkrak main tali.
Juga sekarang. Dia disuruh membawa surat dokter. Belum dilaksanakan. Masih dipikir-pikir, malu tidak ikut mapram tapi berdiri di pinggir?
Sebenarnya Mama tidak tahu apa-apa tentang mapram. Tentu dari Cindy datangnya ketakutan itu. Disuruh merangkak-laa, mesti melompat-laa, harus lari-laa. Macam-macam kakaknya itu. Dan tidak bisa dibantahnya. Sebab Cindy sudah ikut mapram dua tahun lalu. Walau tidak terlalu bergairah, dia masih menekuni bangku ekonominya. Sekedar menunggu waktu, barangkali. Sampai hatinya menemukan pelabuhan akhir. Entah akan bernama Palka, Deni, atau Kadun. Jumlah pacarnya melebihi daya ingat Mianti.
"Mimi, ingat kau tidak boleh terlalu cape. Pergi saja ke Dokter Faramaz. Minta surat," kata ibunya kemarin sore.
"Ah, Mama. Malu, kan," sanggahnya.
"Kenapa? Dokter itu sudah kenal padamu dan tahu seluk-beluk penyakitmu, bukan? Atau ingin Mama antar?"
"Bukan malu pada si Tua, Mam. Sama anakanak. Masa ikut mapram, nonton di pinggir?!"
"Apa salahnya? Kau kan bawa surat!"
"Surat invalid. Nanti diejek mereka. 'Penyakitan kok mau masuk Kedokteran.' Aduh, malu, Mam."
"Daripada sesak napas?"
"Tidak akan, Mam. Saya berjanji."
Tapi ibunya tak mau sudah dengan sepotong janji. Mianti boleh berjanji. Tapi jantungnya punya pikiran lain. Bagaimana bila dia bertingkah ketika sedang asyik-asyiknya disuruh merangkak pergi datang di bawah bangku? Orang mungkin mengira, Mianti malas dan mau tidur saja di kolong. Mana ada yang akan memikir langsung pada kelainan katup?
Bila itu terjadi, dia akan dihardik dulu. Mungkin juga diguncang kasar oleh rakanita. Baru, kemudian, dipanggilkan dokter. Itu pun kalau ada dokter. Misalnya menjelang tengah malam? Saat rumah sakit sudah sepi dan tempat praktek tutup?
"Kenapa sih mapram mesti sampai tengah malam?" keluh ibunya.
"Aturannya begitu. Malah sampai pagi. Dulu
kan Cindy pernah pulang jam tiga? Ingat, Mam? Masih mesti keramas, bau minyak ikan. Lalu mesti jahit baju dan merangkai kalung. Jam lima pergi lagi. Baju karung itu Mama yang jahit. Kalung petainya saya yang buat. Ingat, kan?"
"Ya, tentu Mama ingat," ibunya tersenyum, lalu kembali muram dan menggeleng.
"Pulang pagi! Pasti akan sangat melelahkan. Mimi, kau harus minta surat. Kalau tidak sempat, biar Papa yang pergi."
Sampai hari ini, Miami masih berlagak belum sempat. Lusa sudah mulai mapram. Sore ini atau esok, ayahnya pasti akan mengunjungi Dokter Faramaz. Akan dibiarkannya surat itu di kantung. Tidak boleh ada yang tahu, bahwa dia penyakitan. Salah salah ada yang akan melapor pada Dekan, bila dianggap tubuhnya takkan sanggup jaga malam dan melaksanakan tugas-tugas berat lainnya di Kedokteran.
Di belakang Mianti, kakaknya melapor pada Ibu. Keduanya memang sekamar. Jadi mudah banget bagi Cindy untuk memperhatikan Mimi.
"Dia sering melamun, Mam."
"Biar saja," sahut ibunya kalem.
"Nanti juga dia lupa."
"kalau tidak! tiap malam ditulisinya si tibor. Sudah bertumpuk di laci. Sayang sampulnya langsung direkat, jadi tidak bisa dibaca."
"Biar saja. Lama-lama pasti lupa. Apalagi kalau Tibor di sana sudah menemukan yang baru. Laki-laki seperti dia pasti cepat melupakan."
Mereka tidak menyangka, bahwa Mianti melamunkan orang lain.
** Bab 5 Hari besar itupun tiba. Seisi rumah bangun lebih pagi dari biasa. Untuk Pak Burhan, itu berarti jam enam. Pagi ini dia sudah duduk di meja makan seperempat jam sebelumnya. Masih dengan rambut acak-acakan.
Cindy keluar kamar setengah tujuh. Berarti tiga puluh menit lebih pagi. Nyonya Burhan sudah ke dapur jam lima. Itu juga terlalu pagi.
Dan yang punya hari besar sudah di kamar mandi setengah enam. Biasanya, dia sama malasnya dengan Cindy. Paling pagi jam tujuh menguak selimut.
"Jam berapa apelnya?" tanya Cindy sambil menguap.
"Setengah delapan."
"Naik sepeda?" "Tidak, ah. Belum disuruh," sahut Mianti sambil mengikat sepatu tenisnya yang kemarin sudah dikapurnya dua kali.
Mereka harus berseragam putih. Dan bersepatu tenis. Sebenarnya Ibu takkan keberatan bila Mianti mau membeli yang baru. Tapi anak itu lebih senang
membongkar gudang dan mencari sepatu lama.
Pernah dipakai sebentar di SMP. Setelah ketahuan guru apa penyakitnya, Mianti tidak diijinkan lagi ikut olahraga, kecuali senam. Bertelanjang kaki. Sepatu itu jadi nganggur. Sudah menguning walau masih rapi dalam dus.
Cindy melirik Mama. Tapi yang dilirik tidak mengerti. Tentu saja Mama tidak tahu, Mianti harus naik sepeda, pikir Cindy. Ada binar jenaka dalam bola matanya.
"Bila ketahuan, kau pasti kena hukuman."
"Ketahuan apa?" Mianti mengangkat muka, heran.
"Naik mobil." Cindy tersenyum. Ada sedikit kesenangan baginya memikirkan sebentar lagi cami ini akan dihardik
"Borjuis, kamu!" Tapi Mianti tenang saja Digerak gerakkannya kakinya dalam sepatu. Lalu dia melangkah percobaan.
"Tidak sempit?" tanya Ayah khawatir.
"Tidak, Pap." "Tali-tali itu tak perlu begitu kencang diikat," kata Ibu.
"Tidak kencang."
"Sopir sudah datang?" tanya lagi Pak Burhan.
"Sudah," sahut Nyonya.
"Nah, sudah siap, Mimi? Sarapan sudah kenyang?"
"Ah, Pap. Sarapan mana boleh sampai kenyang. Nanti jadi ngantuk."
"Hm," komentar Cindy yang selalu lahap di pagi hari.
Semua bangkit dari meja makan. Beriringan mereka antar calon dokter itu ke depan. Melihat parade itu dari halaman, sopir segera meninggalkan Pak Kebun dan bergegas membukakan pintu.
"Pak Kirman, nanti stopnya agak jauh dikit," ujar Cindy.
"Biar tidak kelihatan siapa-siapa."
"Memangnya kenapa?" tanya Mianti.
"Ah, pokoknya turut saja nasihatku."
"Sudah jadi nenek rupanya, nih!" sindir Mianti ketawa, sambil masuk ke dalam mobil.
"Kenapa tidak boleh turun di muka kampus?" tuntut Ibu.
"Mimi kan tidak boleh jalan terlalu jauh?"
"Alaa, lima puluh meter sih boleh. Soalnya, cama-cami tidak boleh naik mobil."
"Omong kosong! Mimi, kalau ada kesulitan, kasih tahu Papa. Nanti aku bereskan!"
Cindy ketawa geli. Papa ini terkadang lupa daerah kekuasaannya cuma di rumah. Tanpa bintang di dada, apa yang bisa dibereskan?!
"Sudah ya, Mam, Pap, Cin. Saya pergi dulu, ya." Mianti melambai gembira, lalu pintu ditutup. Mobil menggelinding halus.
Mendekati kampus, Pak Kirman menoleh ke belakang.
"Mau turun di mana, Neng?"
Aah, Cindy macam-macam saja! Bikin sopir jadi bingung. Di depan pintu gerbang tentunya.
"Biasa saja, Pak."
Toyota hitam itu berhenti mulus dalam halaman. Banyak orang. Tapi tak ada yang menoleh. Syukur. Dibukanya pintu, lalu cepat dijejakkannya kedua kaki ke tanah. Mianti melirik. Masih tak ada yang peduli. Aman.
"Jam berapa mau dijemput, Neng?" tanya Pak Kirman.
"Masih belum tahu. Datang saja jam dua belas. Kalau saya belum kelihatan, tunggu saja ya."
Dia melangkah deg-deg-degan. Aneh sekali. Tak seorang pun yang menoleh. Seakan dia cuma hantu yang tak tampak. Begitu banyak manusia. Masingmasing seolah sibuk dengan urusan sendiri. Tak ada yang memaki cami naik sedan. Hii, Cindy cuma
menakut-nakuti belaka. Dengan kepercayaan yang penuh lagi, Mianti menuju ke belakang. Halaman sudah putih dengan seragam dan sepatu. Di pinggir lapangan dilihatnya dewa dewi berkelompok. Menyeringai sambil memperhatikan santapan lezat yang terhidang di depan mata.
Dia langsung menghampiri kelompok yang berdiri di bawah pohon.
"Kenalkan, Tomi. Arek Suroboyo!"
"Saya, Kurdi. Betawi asli!"
Huiit! Mianti sedikit gelagapan diserang dari dua penjuru. Dia ketawa.
"Yang mana dulu?"
"Jabat saja berbareng!" usul Kurdi tersenyum.
Maka mereka saling tempel tangan bertiga. Tomi kurus dan kecil. Pasti gesit larinya, pikir Miami. Kurdi tampak lebih jenaka. Tubuhnya juga gemuk pendek seperti badut. Wajahnya bulat dan matanya seperti yang biasa dilihat Mianti dalam akuarium Ayah. Di sana ada empat pasang ikan maskoki.
"Eh, kok engga mau kasih tahu nama?" tuntut Kurdi.
"0h, iya. Kelupaan. Mianti."
"Betawi juga, ya?" Kurdi makin senang.
Di seberang mereka, terlindung oleh dedaunan rindang. duduklah Yos dan kamerad-kamerad. Acara mereka, pandangan mata. Pemilihan calon korban. Yang manis. Yang genit. Yang keras kepala.
Yos asyik dengan pikiran sendiri. Cami begitu bejubel. Di mana memedi yang mencoba merusak hidupnya? Di mana si Mimi Burhan ini? Kayak apa sih tampang memedi?
Sok berani, main campuri hidup orang lain! Mending kalau kalau cantik! Kalau betul memedi, tentunya tidak.
Yang tinggi semampai itu! Cukup putih, mek. Tapi kaca matanya sudah seperti teropong tebalnya! Salah-salah, di ranjang pun mesti terus dipakai! Supaya terlihat setiap nyamuk dan tumbila! Semoga namanya bukan Mimi.
Yang buntek itu! Haa, masih berani ketawa. Memang orang gemuk susah direm rasa lucunya. Kita lihat saja. Apa dia masih bisa ketawa setelah dikeramas minyak ikan dan disuruh menelan cacing? Mudah-mudahan bukan Mimi. Wah, kalaupun Mimi, tak apa. Siapa peduli? Yang mau dengan dia toh bukan Yos Jamal?
Yang rambutnya panjang 0la la, itu kan cewe yang dulu berbaju kuning? Yang pura-pura tuli, sampai mesti ditegur tiga kali! Hm. Tahi lalat di pipi kirinya menantang betul. Manja? Genit?
"Bud, kau lihat cewe di dekat pohon cemara itu?" tanya Yos menunjuk.
"Yang coba-coba berteduh?"
"Yang rambutnya panjang."
"Iya, lihat. Kenapa?"
"Nanti kita cek, apa dia manja, tidak!"
"Oho, pasti deh. Lihat saja lagaknya! Berhalal bihalal sama dua ekor cecunguk! Kartu mati semua!"
"Biar aku gebah!" kata Rudi sambil bercekak pinggang, lalu turun ke lapangan.
Mianti terkejut ketika Rudi muncul mendadak. Kedua tangan "beliau" di pinggang. Matanya empat.
"Eh, apa-apan kamu?! Senang-senang! Cengarcengir. Apa dikira ini pesta taman, ha? Ayo, tutup mulutmu yang bau! Cemberut!"
Ketiganya serentak diam. Mianti masih melirik
kedua teman barunya dan mengedip. Kurdi tidak berani menjulurkan lidah, walau ingin. Mereka mulai mencicip permulaan mapram.
Juga beberapa cami lain. Dewa Bermata Empat yang galak itu segera menggebah mereka yang berusaha menyelip di keteduhan pohon.
"Ayo, ke tengah lapangan! Pohon ini bukan untuk kalian!"
Di pinggir lapangan, Yos ketawa melihat kegarangan wakilnya.
"Rasain! Si Manja itu mengerut sekarang. Takut!"
"Eh, itu kan yang diantar Toyota hitam?!" seru Luki.
"Rrrr'eeenng!" dengus panjang Budi seolah anjing melihat tulang.
"Rreeenng!" Budi mulai haus darah. Naik mobil memang termasuk dosa mati.
"Biar aku gojlok setengah mampus!"
"Eeeit, omong gede," cibir Wiwi."Salah-salah kau yang dibuatnya jungkir balik, Bud! Gadis semanis itu! Siapa sih yang tidak tahu berapa keranjang matamu?!"
"Mau berapa keranjang kek, bukan urusanmu! Jaga saja Pak Anton! Jangan kasih kelayanan ke Kobaran!" Anak-anak ketawa. Juga Wiwi. Yos kebat-kebit. Budi memang terkadang kurang tahu aturan main.
Pernah terjadi. Main sambar. Main sikat. Tak peduli milik orang. Asal namanya cewe cakep.
Betulkah mata keranjang itu tertarik pada si Rambut Panjang?
Rudi sudah kembali setelah berkeliling menghardik dan menteror.
"Yang paling jelek, itu!" terdengar lagi vonis Budi. Semua orang menoleh ke arah telunjuknya. Cami itu memang tidak cantik. Tapi simpatik. Pipinya tembem seperti apel. Ketawanya barangkali menarik. Sayang Budi sudah menteror mereka, menyuruh semua cemberut. Hingga yang tampak cuma bekas-bekas jerawat. Dan tubuh sebulat bola.
"Kakinya! Du-ilah! Kalah jagoan sumo tegapnya!" kata Luki mengikik. Dia bangga dong akan Anita, anak tetangga yang dianggapnya sebagai serep calon istri. Artinya, kalau dia sampai tidak mendapat cewe lain yang seperti bintang film, Anita-lah gantinya.
"Tapi kaki seperti itu kuat lho, Luk. Bila kauajak naik-naik ke puncak gunung!" kata Wiwi.
Semua ketawa berderai. Mereka memang tergabung dalam klub pendaki gunung.
Yos melihat Luki menggaruk kepala. Wiwi selalu bikin gemas. Memang. Kalau tidak memandang "Bapak" Anton, tentu sudah mereka racik-racik cewe manis ini!
Boni muncul tergopoh dengan ransel besar. Diserahkannya pada Seksi Kesehatan.
"Jangan dibagi-bagi, Bud. Seperti tahun lalu! Bujet kita tipis sekali. Cuma yang jaga malam boleh menelan sebutir multivit. Tidak boleh dibawa pulang untuk papi-mami!"
Boni bergerak mau menggeleser lagi.
"0la la, kenapa buru-buru? Sini dulu, cuci mata. Bukankah kau biasanya suka ngintip?"
"Sialan kau, Yos! Buka rahasia teman jangan depan umum, dong!"
Boni memang ke mana-mana sering diikuti bisul di kelopak mata.
"Hardeolum Anda itu," undang seorang dosen,
"mau saya congkel. Gratis. Asal datang ke rumah."
Boni merasa tidak tega berpisah. Hordeolum keliwat setia. Dua tahun sudah, dia muncul kalau bulan terang. Begitu pengamatannya. Tinggal beberapa minggu. Lantas kempes. Datang lagi sebulan dua kemudian.
Bandel. Dan otak otakan. Sudah diusir dengan salep antibiotika. Sudah dicekoki mami tape singkong tiap hari. Hasilnya nihil. Jadi dibiarkan.
"Rasanya tidak ada yang nempil!" cetus Boni.
"Aah, masa. Lihat-lihat yang benar! Matamu sih! Tidak beres!"
"Pergilah ke Dokter Mata," kata Wiwi.
"Pasti tak usah bayar. Asal bilang, mahasiswa Kedokteran."
"Bagaimana? Sudah diamati? Ada yang boleh ditaksir?"
Sebelum Boni menjawab, Dekan sudah muncul bersama pemimpin lain. Diiringi Ketua Senat, yang berlagak jadi penting dan tidak mau menoleh ke arah teman-teman.
"Sialan si Husni! Berlagak tidak lihat! Padahal masih hutang lima ribu padaku!" comel Boni.
Menyimpang dari kebiasaan, sekali ini mapram dibuka oleh fakultas. Sendiri-sendiri. Pada penutupan, baru akan diadakan api unggun bersama. Biasanya bakar jagung. Dan menjalin cinta.
Melalui pengeras suara, Anton berkaok-kaok. Cama-cami yang tidak kenal aturan itu diperintah berbaris.
Harus rapi dalam semenit. Ternyata tidak rapi.
"Huh!" teriak anton.
"Bikin barisan pun kagak becus. ljazahmu aspal "kali, ya? Sepuluh-sepuluh semua?"
Cama-cimi malah makin bingung. Mulai merasakan ketegangan mapram. Anton makin sewot. Pengeras suara nyaris memaki kalang kabut. Untung kehadiran Dekan dapat mencegah.
Akhirnya terbentuk juga barisan ala kadarnya. Mencong-mencong dikit. Tapi Dekan bilang oke. Hari sudah mulai panas. Pidato masih akan panjang.
"Kasihan mereka dijemur." kata beliau.
Anak-anak ingusan itu mendengarkan dengan khidmat. Setelah Dekan, Ketua Senat.
"Kalau sambutan Pak Dekan, bolehlah dengan khidmat didengar. Tapi sambutan si Husni! Cuma juga Ketua Senat," gerutu seseorang.
"Kenapa sih mesti begitu khusyuk?"
Lalu sambutan Ketua Mapram. Ya, ampun. Sangka bocah-bocah itu, Jono juga dapat mempengaruhi kenaikan tingkat, barangkali.
Jono pidato dengan serius. Cukup bertele-tele. Dan sarat dengan ancaman. Tapi dalam hati dia geli. Sekaligus menikmati keangkerannya Puluhan remaja menunduk atau melongo. Semua pasang kuping. Celotehnya dianggap penting. Ha ...ha ...itu sebabnva sudah tiga kali ini dia menjadi Ketua. Walau mesti kerja banyak. Puas dianggap penting.
Yos tidak mendengarkan. Dia bosan segala macam sambutan. Kata-kata yang berloncatan di udara itu sama semua. Indah namun kosong. Seperti kado yang bagus bungkusnya. Isinya cuma sebutir kerikil.
Lebih sedap memperhatikan wajah-wajah muda yang mulai kepanasan. Sebagian sudah sibuk melap keringat. Beberapa tidak berani melap. Ada juga yang resah, blingsatan mencuri-curi lihat arloji.
Matahari sudah hampir mencapai titik kulminasi. Tepatnya, sebelas empat puluh menit. Bagian tengah lapangan tidak diteduhi sehelai bayangan pun. Dan angin bungkam. Seakan mau ikut menggojlok.
Wiwi mendadak lompat ke luar. Berlari ke arah barisan. Yos menatap heran. Budi ikut lari.
"Ada apa, sih?" bisik dari belakang.
"Tidak lihat? Itu. Ada cewe pingsan."
"Pasti manja!" Anak itu belum pingsan. Dia masih bisa berjalan. Disanggah oleh Wiwi dan Budi. Dibawa ke ruang kuliah yang dijadikan markas P3K.
"Wah, baru panas begini sudah ka-o. Belum lagi kalau kita nanti piknik ke Sahara!" tukas Luki.
Cami itu mendengarnya. Namun tidak berani
mengangkat muka. Dia menunduk berharap mukanya jangan terlihat. Malu dong. Bisa terus-terusan diledek sepanjang mapram kalau dikenali.
Yos dipanggil oleh Rudi untuk menemui hansip hansip. Ada empat orang yang akan membantu. Perkenalan berlangsung singkat dan hangat. Yos segera membagi mereka dalam dua regu. Untuk siang. Dan malam.
Beres urusan, keduanya balik ke lapangan. Ketika lewat di depan P3K, Yos berhenti. Cami yang kepanasan itu sedang duduk minum teh manis.
"Ola la, kiranya si Rambut Panjang!" serunya setengah bersiul.
Cami itu mengangkat muka mendengar suara. Menatapnya. Lalu dia tertegun. Betul betul tertegun. Sampai menganga. Yos tersenyum. Mendekat.
"Masa takut?" Dia membungkuk, hingga mukanya sejajar dengan wajah belia itu. Kemerahan dibakar matahari.
"Tak pernah menggigit, kok. Masih ingat sama saya?"
Bibir yang merah merekah itu mendadak menggeletar. Cami itu segera menunduk. Yos menoleh ke belakang.
"Jangan ditakut-takuti, Babi!" semburnya.
"Aku tidak berbuat apa-apa," bela Rudi.
"Melotot pun baru mau. Belum."
Wiwi muncul dari balik tirai. Bercekak pinggang. Ketawa geli.
"Eeitt! Ngapain di sini! Tahu ada cewe cakep, sudah tidak bisa tahan! Main kerubut berdua!"
"Cuma kebetulan lewat," bela Rudi.
"Siapa yang mau ngerubut?!" Yos nyengir.
"Kan cewe cakepnya ada dua. Seorang satu! "
"Awas, kau!" "Mati! Dia mau ngadu sama lakinya!" bisik Rudi.
"Alaa, kok jadi ciut? Gini-gini, aku bisa karate, tahu. Dua belas Anton boleh berjejer, di sini! Aku hantam sekalian! Biar irit tenaga!"
Wiwi mencibir sambil mengibaskan tangan.
"Pergi sana! Jangan membual di sini! Kaupikir, aku lupa taktikmu? Kalau ada yang cakep? Huh!"
"Aku mau tanya, kenapa dia semaput. Kenapa
kau semaput? Belum sarapan?" Cami itu tidak tahu harus bilang apa. Dia mengangguk saja biar gampang.
"Buset!" pekik Rudi.
"Lain kali mesti sarapan dulu, Non! ini tempat penyiksaan. Kamu pasti pingsan bila perut kosong."
Yos menyikut perutnya. "Jangan banyak omong, Babi kau! Hobimu menakuti anak kecil! Mau roti? Aku belikan di kantin. Tidak? Sungguh? Betul? Tidak, ya sudah."
Ketika langkah mereka sudah samar bunyinya, Mianti mengangkat kepala. Pusing dan tujuh-kelilingnya serasa terbang mendadak ke angkasa. Nyanyian baru berdenting-denting dalam kalbu.
Oh, Tuhan, terima kasih! Orang itu, orang yang simpatik itu! Dia itu! Mahasiswa! Laki-laki itu mahasiswa! Aku tidak sinting. Aku tidak melamunkan pasien!
Mianti menghela napas. Lega. Gembira. Bahagia. Mau rasanya menangis. Sayang cewe galak itu tak mau beringsut dari sini.
*** Bab 6 Besok malamnya acara pengumpulan tanda tangan. Yos duduk bersama tiga empat teman di bangku panjang depan kantin. Tak ada perhatian khusus terhadap cami-cami. Yang bagus-bagus rupanya masuk Kedokteran Gigi semua, pikirnya. Kedokteran cuma kebagian satu dua noni yang boleh dianggap lumayan menarik.
"Cewe cakep rupanya pada ogah masuk sini," ujar Rudi berlagak tahu, padahal hasil ujiannya selalu pas-pasan. Mana mungkin serba tahu?
"Kenapa?" "Tahulah. 'Kan takut jadi perawan tua menunggu titel. Kalau masuk mau menggaet dokter, lebih riskan lagi. Belum tentu dapat. Dan yang sudah dapat, tentunya tak perlu lagi ke sini. Kalau maunya cuma itu."
"0la la, teorimu ruwet banget. Lebih baik diam saja. Pusing aku!"
Dari jauh dilihatnya si Rambut Panjang yang semaput kemarin. Wajahnya sudah tidak keruan. Berminyak macam kuali. Rambutnya kusut. penuh ikatan pita-pita sepuluh warna.
Tadi pagi mereka memang bekerja bakti. Berguling guling meratakan jalanan dalam kampus.
"Kita sedang bikin jalan," teriak Anton dari pengeras suara.
"Tapi buldoser rusak hari ini. Mau sewa yang lain, tak ada lagi. Semuanya tengah dikerahkan untuk membuat by-pass Grogol Pasar ikan."
Sudah tentu, mereka tak berhak tanya, apakah itu betul. Pokoknya, betul.
"Kita perlu buldoser untuk memecah dan meratakan batu-batu. Maukah kalian jadi buldoser?"
"Ayo bilang ?Mau!'" Wiwi mengajari. Serentak semua bilang ?Mau!?
"Ah, bagus! Kalian rupanya memang sungguh cinta pada kampus!"
"Tapi," jerit Luki dari pinggir.
"apa kalian nanti tidak menyesal? Belum tentu kalian akan selamanya di sini. Kalau tidak lulus E-2, keluar. Tidak lulus E-3, keluar. Bagaimana? Tidak akan nyesal? Tidak sayang sumbangan jutaan? Amblas kalau naas?"
"Masih ada kesempatan!" teriak Anton lagi.
"Siapa mau keluar, silakan minggir! Takkan diganggu!"
Tak ada yang bergeming. Semua diam mematung. Melongo. Menunduk.
Ranjau Ranjau Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sungguh bego!" desis Rudi yang menjadi panas.
Direbutnya corong pengeras lalu berkaok ke kiri ke kanan. Beberapa cami meringis. Kuping sakit.
"Rupanya kalian kemari cuma mencari jodoh, ya?"
Tak ada yang membantah. Diam. Tiba-tiba dilihatnya si Rambut Panjang di ujung barisan.
"Hei, kamu!" teriaknya ke telinga.
"Kamu ke sini cuma mau mendapat jodoh, bukan? Ya. bukan? Ayo, jawab! Ya, bukan?!"
Mianti menggeleng ketakutan.
"Apa?" Dewa Bermata Empat itu naik pitam.
"Kamu berani-berani menyangkal? Ayo, manggut! Bilang "Ya"!"
Cami itu bandel. Diam saja. Rudi panas dianggap angin. Dihardiknya Mianti. Sampai menangis. Senang dikit hatinya. Dihardiknya sekali lagi. Barulah kepala cantik itu mengangguk.
Rudi mengembalikan corong. Ditepuki teman teman. Yos tidak ikut. Dia cuma mengawasi sang Korban menyusut mata dengan tangan.
Sekarang anak itu tengah berjongkok di hadapan senior tingkat empat. Mukanya tersenyum sedikit mendengar sesuatu yang dikatakan senior itu. Matanya lekat menatap. Yos menggigit bibir. Iri? Cemburu? Khawatir telat? Mungkin semua.
Diperhatikannya adegan itu tanpa kedip. Seorang rakanita muncul. Menarik sehelai pita. Dilempar ke tanah. Cami itu tidak merengut. Dengan sabar dipungutnya. Lalu dipasang kembali di rambut.
Bajunya kotor seperti lap. Ketika pulang tadi siang, pasti tidak sempat mandi maupun bertukar pakaian. Kasihan.
Yos kaget mendengar kata itu dalam pikirannya. Kasihan? Aneh. Selama ini dia tidak pernah ingat bahwa dia merasa kasihan pada cama-cami.
"Raka, bolehkah saya berkenalan?" bisik suara halus.
Yos menoleh. Tiba-tiba sudah berdiri seorang cami manis. Sejenak hatinya menggelepar. Inikah si Mimi memedi'?
Cami itu mencoba ketawa. namun takut. Rupanya ingat, bahwa ketawa dilarang untuknya. Buku bagusnya terulur penuh hormat. Tubuhnya sedikit
membungkuk. "Huh! Bau apek betul kau!"
Cami itu bergidik dibentak Rudi. Dalam dua hari saja, anak ini sudah berhasil meraih gelar Dewa Bermata Empat atau Jin-botol yang galak. Tentu saja disiarkan bisik-bisik dari kuping ke kuping.
"Belum mandi?" tanya Yos ramah.
Cami itu menggeleng. Suara Yos berhasil memunahkan kegarangan anak buahnya. Yos menyambuti bukunya, lalu membaca halaman pertama.
"Panjang amat namamu." Ada nada lega di situ.
Bukan Mimi. Tapi segera muncul keresahan lain. Yang mana Mimi?
Rudi segera nimbrung membaca.
"Huuiii sekilometer! Dewi Suryaningsih Sudirohusodo! Lantas kamu dipanggil apa? Dewi? Surya? Ningsih?"
"Dewi," desahnya halus, menunduk.
"Ngomong yang keras! Di sini semuanya budek, tahu!" hardik Rudi.
"Apa bapakmu dokter?"
"Bukan." "Kok pakai 'Husodo' segala?"
Yos menyikutnya. Supaya Rudi merem hinaannya. Yos tidak senang bila nama orang dipersoalkan.
"Dewi, kaulihat rekanmu yang jongkok di sana?
Yang rambutnya panjang?"
Dewi menoleh dan mengangguk.
"Seret dia kemari! Ayo, lekas! Jiwamu aku tahan di sini!" Seperti robot, cami itu segera melaksanakan perintah. Yos mengikuti dengan matanya, sambil memandang berkeliling. Tanda tanya dalam hatinya makin membengkak juga. Yang mana di antara mereka itu Mimi Burhan? Yang mana penyebab teror dalam hidupnya?
Dilihatnya cami Dewi mendekati rekannya, menyentuh bahunya, lalu menunjuk ke arah Yos. Senior tingkat empat itu mengibas, memberi ijin pergi.
Keduanya berjalan berendeng. Angkuh juga, pikir Yos mengawasi. Dewi dan rekannya segera jongkok di depannya. Yos tidak menoleh pada si Rambut Panjang. Dia mengasyikkan diri dengan Dewi. Tanya segala rupa tetek bengek. Hobi. Penyanyi kesayangan. Makanan kesukaan. Minggu pagi ngapain. Sabtu malam ke mana.
Dibubuhkannya tanda tangan. Dewi nyaris mau mencium tangannya, sebab terharu. Sudah empat raka dihampirinya. Tiga memberi tugas. Tanda tangan belakangan. Baru kali ini dapat tanda tangan, gratis. Berkat Tuhan bagimu, Raka, katanya dalam
hati. "Lekas menggelinding!" usir Rudi.
Aduh, Jin-botol! Dewi melompat kaget dan terus melenyapkan diri dengan langkah sejuta.
Yos menoleh pada si Rambut Panjang. 0la la, tahi lalat itu menggoda pandangan. Tapi air mukanya angkuh. Barangkali memang sifatnya pendiam? Atau terlalu kaya? Lantas manja?
"Ha, ini dia si Borjuis!" seru Jin-botol garang.
"Madam, kamu tahu, selama mapram tak boleh naik sedan! Tahu, tidak?"
Bahunya naik sedikit. Ngeri dibentak. Tapi matanya tetap nyalang.
"Jawab! Tahu, tidak?" Cami itu mengangguk.
"Nah, sudah tahu kenapa masih bikin dosa? Mau mampus?"
Cami itu menunduk. Yos melihat bibirnya yang kemerahan menggeletar.
"Eh, berapa sih sumbanganmu sampai bisa masuk ke sini? Berapa juta? Lima belas? Dua puluh? Berapa?"
Yos menyikut temannya. Tapi Rudi sudah kerasukan entah setan mana.
"Ayo, jawab! Berapa juta? Bapakmu kaya, ya?"
Suara cami itu kecil sekali,
"Saya lulus tes. kok."
"Eh, mau berlagak pintar, ya? Mau pamer otak, ya? Kaukira cuma kau sendiri yang lulus tes?"
"Mana bukumu?" sela Yos melihat matanya mulai berlinang.
"Di sana," sahutnya pelan menunjuk ke belakang.
"Di sana! Di sana apa? Babi, anjing? Di sana, Raka! Ulang!" Rudi melotot bengis.
"Di sana, Raka."
"Masih ingat saya?" Yos menatapnya.
Cami itu senyum samar. Ah, engkau masih ingat, Kunyuk. Bagus.
"Sudah tahu nama saya?"
Menggeleng dia. "Nah, kalau begitu, lekas berkenalan!" hardik Rudi.
"Apa itu! Pakai senyum. Pakai geleng. Nanti aku panggil pacar si Raka, mampus kau!"
Cami itu menunduk, menatap sepatu sandal Yos. Jadi sudah punya pacar! Ah! Kenapa yang baik justru sudah menjadi milik orang? Sedang Jin-botol ini, ditanggung pasti belum laku.
"Ambil bukumu," suara lembut menyentaknya. Dia segera bangkit dan lari.
"Wah. boleh disuruh keliling Monas besok!" teriak Rudi.
"Rud, tampaknya di depan ada ramai-ramai. Tolong lihat, dong," kata Yos mengusir temannya secara halus.
Rudi yang serius dengan tugas, segera berjalan pergi. Yos melihat Andi senior tingkat empat menulis dalam buku si Rambut Panjang, lalu menyerahkannya. Seperempat menit kemudian cami itu sudah jongkok lagi di depannya. Terengah-engah seperti kuda.
"0la la, segitu saja sudah sesak napas?"
Cami itu mencoba tersenyum. Dia sungguh megap-megap mencari udara.
"Kenapa?" "Tidak apa-apa. Biasa."
Yos membalik halaman pertama. Dia tidak suka menyuruh cama-cami menyebut nama dan tanggal lahir. Lebih suka dibacanya sendiri.
Dipandangnya halaman pertama itu. Dia tertegun. Kaget. Diulangnya. Lalu diangkatnya mukanya. Untung di sebelahnya tak ada orang, dan teman temannya asyik dengan cama-cami mereka.
Cami itu tengah asyik menatapnya. Pasti dilihatnya perubahan di wajahnya. Pasti agak pucat. Kaget.
Cami itu sendiri juga berubah. Tadi angkuh. Kini
sudah sayu. Bisa lembut juga rupanya.
Dia tidak tahu harus gembira atau jengkel. Gadis yang telah memikat perhatiannya adalah
"Kau dipanggil apa?"
"Mimi." "Sudah tidak sesak lagi, Mi?"
Mimi menggeleng. Sekonyong-konyong Yos merasakan kemesraan luar biasa dalam hatinya. Meluap terhadap gadis ini. Gadis yang baru dikenalnya. Namun serasa sudah lama menjadi kekasihnya.
"Syukurlah. Apakah kau sering sesak begini?"
Hei, apakah dia menaruh perhatian? Aneh. Ada yang galak. Ada yang penuh perhatian. Kalau pacarnya tahu?
Mianti berdebar. Tidak tahan ditatap. Begitu lembut. Tidak tahan ditatap orang yang sudah jadi milik orang lain. Hatinya tiba-tiba terasa sakit. Dia terlambat. Ah! Mianti menunduk.
"Ya, sejak kecil, Raka"
"0la la. Tidak ke dokter?"
Aduh, nadanya khawatir. Ke mana Jin-botol itu? Untung tidak ada. Bisa habis dia diledek.
"Bosan. Dokter bilang, tidak apa-apa. Asal jangan cape. Tidak bisa sembuh."
"Eh? Sakit apa? Asthma?"
"Entah, Raka." "Apa? Engkau kan calon dokter! Masa tidak berusaha mencari tahu?!"
Aduh, dia marah. Tapi sepertinya marah sayang! Sebab khawatir akan nasibku. Hiii sedapnya bila dia jatuh hati padaku! Tapi pacarnya ...?
"Sejak lahir?" "Mungkin. Waktu saya dua tahun, saya sakit panas, batuk, sesak napas, kejang. Barangkali juga jantung. . . ."
Yos tidak mendengarkan. Sudah tahu lengkap dari Ibu. Tidak ditunggunya sampai habis.
"Karena itu kau tidak naik sepeda?" selanya.
"Ya." "Besok bawa surat dokter. Serahkan padaku. Kalau tidak, kau akan dihukum. Sebab cama-cami tidak boleh naik mobil."
Mianti mencari-cari di balik baju karungnya. Sepotong kertas lusuh muncul.
"Ini suratnya, Raka."
Yos menyambuti dan membaca.
"Kenapa tidak dari dulu diserahkan? Oke." Dia mengangguk, lalu cepat mencari halaman kosong. Dicoretnya dengan namanya.
Buku diserahkan kembali. "Besok pagi cari Seksi Kesehatan. Minta kartu kuning. Tempel di baju. Kau boleh naik mobil"
Cami itu mengangguk. Cepat dicarinya halaman tadi dan membaca.
"Terima kasih, Raka Yos." Matanya bersinar jelita.
Yos mengaduh dalam hati. *** Bab 7 Nyonya Jamal menatap wajah anak tunggalnya tak puas-puas. Sejak mapram dimulai, sulit betul melihatnya. Dia selalu menghilang sebelum orang bangun. Sarapan minta roti, supaya bisa dibawa.
Nah, siang ini dia beruntung. Dokter Gigi sakit, sehingga dia harus pulang lagi. Dan diam di rumah sampai Yos pulang.
"Bagaimana?" "Biasa. Seperti tahun-tahun lalu."
"Maksud Mama, bagaimana Mimi?!"
"Juga biasa." Dia bohong tentu saja. Karena itu hampir tersedak makanan.
"Sudah ketemu?"
"Sudah." "Juga sudah kenalan?"
"Sudah." "Nah ..." Nyonya Jamal mengawasi anaknya dengan cemas. Tapi juga penuh harap. Yos mencoba sembunyi di atas piring, tapi tak bisa. Dia harus mengangkat
wajah kalau makan. Sendok yang harus naik keatas, kata Mama. Bukan mulut yang ke bawah. Seperti anjing.
"Nah, Yos?" ulang ibunya.
Dia terpaksa juga menoleh. Mencoba mengangkat bahu. Tidak berhasil. Sebab dia tidak biasa berdusta.
"Nah bagaimana, Mam?"
"Perasaanmu?" "Biasa." Ibunya tahu, dia bohong. Jakunnya bergerak terlalu cepat, seperti yoyo mainan anak sebelah.
"Jadi kau toh bukan tidak tertarik padanya?" selidik ibu.
"Ukh! Kalau karena dukun-dukunan itu, lantas dikira saya akan kawin sama dia, nanti dulu, Mam!"
"Aku tidak tanya soal kawin. Sebelum kalian berdua tamat, takkan ada perkawinan. Aku cuma ingin tahu, apakah kau tertarik padanya? Apakah dia tertarik padamu?"
"Saya tidak, dia juga tidak!"
"Oh, begitu? Dia tidak tertarik? Pasti?" Alis ibunya terangkat naik. Baru dia mendengar, ada cowo kasep tidak laku. Apalagi calon dokter. Dan tidak lekas marah.
"Mana saya tahu. Tapi saya rasa, pasti tidak. Kan
kenalnya juga belum lama."
"Berapa lama?" "Baru kemarin malam. Lima menit."
"Sudah cukup," kata Nyonya Jamal tegas.
"Seandainya dia bisa memakai matanya dengan baik.
"Barangkali dia tidak tahu siapa saya"
"Memang begitu kehendak ibunya. Mimi tidak diberi tahu di mana dan siapa kau."
"Kenapa saya dikasih tahu?"
"Sebab kau lelaki. Kau harus tahu."
"Kenapa?" "Supaya kalian bisa ketemu."
"Ruwet!" "Supaya kau dapat menemukan dia. Dan berkenalan."
"Ola la, rupanya kami ini mau dijadikan marionet? Seandainya saya kasih dia tahu?"
"Oh, jangan." "Saya ingin." "Tidak. Kau takkan memberinya tahu, Yos! Kau tidak boleh!"
"Alasannya?" "Dia akan menjadi sangat tidak bahagia."
"Aneh. Rumit. Tidak mengerti!"
Ibunya tidak mau menyibak kerumitan itu. Beliau diam saja. Tapi hatinya melonjak girang tak terkira ketika anaknya pamit. Sambil lalu Yos bilang,
"Malam inaugurasi barangkali akan saya jemput dia."
Bagaimanapun, dia tahu, Yos tidak bisa bohong padanya. Dia tahu, anaknya tertarik pada Mimi.
Begitu Yos menghilang, Nyonya Jamal yang sudah tidak sabar, segera menyambar telepon. Kebat-kebit ditunggunya. Sambil berdoa semoga yang ditelepon ada di rumah. Padahal inaugurasi masih lima hari lagi.
"Siapa ini?" Nyonya Jamal langsung tahu.
"Cindy? Ini Tante Jamal. Panggil ibumu, dong. Pentiiiing sekali."
"Oh, Tante. Ya, tunggu sebentar. Mama di loteng."
Diletakkannya telepon. Lalu melangkah santai ke atas. Ibunya tengah menjahit celana Papa yang koyak.
"Mam. Nenek Sihir menelepon," katanya kalem.
"Sin huss! Itu kan ibunya Yos! Tidak boleh kausebut begitu!"
"Habis! Siapa lagi yang suka dukun-dukunan kalau bukan nenek sihir?"
"Dia sudah menolong adikmu!" tukas ibunya
sambil menggunting benang. Lalu bangkit.
"Ah! Kalau dia bisa membuat Bleki bicara, baru saya mau percaya." Ibunya tidak meladeni. Bergegas dia turun. Dan terengah menyambut telepon.
"Halo, Bet. Ada apa?"
"An, kau tahu? Oh, kau tentu belum tahu! Anakku... dia sudah kenal sama Mimi!"
"Wah! Lantas? Kok anak itu tidak bilang apaapa sama saya?"
"Mimi kan tidak tahu siapa Yos!"
"0h ya, ya. Lantas?"
"An, Yos mau menjemput anakmu malam inaugurasi nanti!"
"Wah!" "Jadi ingat, yang datang nanti anakku! Mimi jangan dilarang!"
"Kalau begitu, mereka saling tertarik!"
"Moga-moga. Seingat saya, ini pertama kali Yos mau pergi inaugurasi dengan anak perempuan. Tapi belum tahu, apakah Mimi mau tidak."
"Ah, pasti dia mau."
"Yos bilang, belum tentu."
"Akan saya bujuk."
"Jangan! Nanti dia curiga!"
"Oh ya, ya. Benar. Jadi?"
"Tunggu saja. Nanti saya telepon lagi."
Nyonya Burhan kembali ke loteng dengan wajah merona merah. Tegang. Cindy melirik.
"Hm. Pasti gosip lagi. Nenek ...eh, Tante Sihir itu bilang apa, Mam?"
Ibunya cuma mesem-mesem. Cindy makin digelitik rasa ingin tahunya.
"Apa sih, Mam?"
Nyonya Burhan mengambil kembali jahitannya. Matanya berbinar ketika memandang anaknya.
"Kau tidak boleh bilang-bilang sama adikmu, ya!"
"Ya." Cindy mengiakan saja biar lekas diberi tahu. Ibunya takkan marah bila janjinya tidak dipegang. Beliau tahu, Cindy tidak pernah punya janji yang betul. Seperti juga janji pada pacar-pacamya. Semuanya rapuh. Tak bisa digenggam.
"Awas! Janji, ya!"
"Ya." "Mimi sudah kenalan dengan anak Tante Jamal! Malah akan pergi ke inaugurasi bersama. Rupanya mereka cocok!"
"Hm. Jadi perjodohan kuno ini betul-betul akan terlaksana?"
Cindy melongo. Lalu iri. Mungkin enak juga dipilihkan calon begitu. Dikagumi banyak cowo mula-mula memang sedap. Lama-lama payah juga ganti-ganti begini. Bosan dan makan hati. Yang dulu suka warna hijau. Semua baju, sepatu, dan sapu tangan maunya hijau. Tapi yang baru suka warna biru. Semua barang itu terpaksa tidak bisa dipakai lagi.
"Huss, kau tidak boleh bilang ya, sama Mimi. Dia tidak tahu siapa anak Tante Jamal. Kalau tahu, tentunya ngambek. Tidak mau."
"Oh, jadi belum tahu?" Cindy mengerling sambil tersenyum.
Ibunya tidak suka melihat senyum nakal begitu. Dia menyesal sudah bicara.
Terlambat. Itu kelemahannya. Dia selalu ingin bicara pada Cindy. Padahal tahu, tidak boleh. Anak anak kan selalu bocor mulutnya.
Dengan Cindy lebih berat lagi. Kalau dia merajuk minta sesuatu dan Ibu ragu-ragu, nah! Dia akan mengancam mau buka rahasia!
*** Malamnya, Mianti memutuskan akan ikut mandi tajin. Tiga cami menyatakan berhalangan. Dan mengundang cemooh dari sekian banyak raka. Ketiganya berdiri di pinggir. Ditonton raka dari segala penjuru. Nyaris dipegang-pegang seperti ayam. ih,
malunya. Di aula sudah dituang air kanji lima ember. Cami-cami diharuskan memakai celana olahraga atau baju renang. Sebab acara ini terbuka untuk umum.
"Mimi, betulkah kau akan sanggup mengikutinya?" tanya Yos penuh khawatir.
Cami itu mengangguk. "Tidak akan sesak napas?"
Dia menggeleng. Yos tetap khawatir. Dia menarik napas ketika mengawasi Mimi berjalan pergi menemui kelompoknya.
Yang ikut enam belas cami. Delapan diberi balon besar. Seorang dua. Yang tidak punya balon, harus berpasangan dengan pemilik balon.
Semuanya berbaring di pinggir ruangan. Di utara, kelompok dengan balon. Di selatan, sebaliknya.
Wiwi menjelaskan aturan mainnya dengan singkat. Ketika peluit berbunyi, kedua kelompok merayap ke tengah ruangan. Balon-balon itu mesti berpindah tangan. Lalu kembali ke tempat semula. Siapa paling cepat, dia menang.
Enak memang kasih komando. Tidak mudah menjalankannya. Air tajin licin sekali. Banyak kepala dan paha saling berbenturan.
Yos mengawasi bagian tengah sebelah utara. Dia tetap khawatir Mimi akan kenapa-kenapa. Tapi cami itu tidak kelihatan sesak napas. Geraknya juga lincah. Dia tidak mengerti, kenapa dia begitu memperhatikan gadis itu. Karena penyakitnya?
Budi dan Luki bertepuk tangan dengan riuh. Disertai komentar pandangan mata. Yang memancing lebih banyak ketawa Dari penonton.
"Hei, hei, aduh! Sakitnya kepalaku kena ubin!"
Tentu saja itu suara Budi, sasarannya si Gemuk-bola. Cami mana boleh berbunyi.
"Wow ...taaar! Pecah balonku, aduh, Mak!" teriak Luki.
Yos tengah asyik ketawa, ketika Rudi muncul. Mendekatinya.
"Ada apa?" "Ada eks mahasiswa kita, mau memaksa masuk. Katanya, adiknya diplonco."
"Hm. Lebih baik kita tanyakan saja siapa adiknya. Kita permak!"
"Adiknya laki-laki, mek."
"Lebih bagus lagi. Kita tak perlu segan mengembuti."
Mereka berjalan sambil bicara dan sebentar saja sudah tiba di luar. Kedua Pak Hansip tengah berdiri dalam keadaan siaga. Tiga orang pemuda tampak tegap menantang. Tungkai mereka dibuka lebar-lebar, seakan siap berkelahi.
Melihat Rudi dan Yos, seorang di antara mereka membuang rokok dan meludah. Yos menghampiri tanpa membuka mulut. Dipandangnya mereka dengan tenang. Bergantian. Akhirnya yang di tengah menyapa,
"Selamat malam."
"Selamat malam."
"Saya ingin menjemput adik."
"Silakan. Tapi sekarang masih setengah sembilan. Mereka baru akan pulang jam dua belas."
"Oh, tidak apa-apa. Boleh saya tunggu?"
"Boleh. Tapi tidak di dalam."
"Kenapa?" "Ini tertutup untuk orang luar."
"Saya bukan orang luar."
Suasana mulai panas. Laki-laki itu mengeluarkan dompet dan mengambil sehelai kartu kumal.
"Saya juga mahasiswa di sini. Cuma sudah hampir setahun tidak kuliah. Bolos. Bukan keluar. Ini kartu mahasiswa saya."
Yos tidak menyambuti kartu itu. Dia juga tidak merasa pernah melihatnya di kampus.
"Maaf. Saudara tak dapat masuk tanpa tanda
masuk dari panitia mapram. Saya harap Saudara mengerti. Sebab ini tidak bisa ditawar. Kami siap mencegah Saudara masuk kemari. Dengan jalan apa pun."
Orang itu meludah lagi. Dia menyeringai seperti buto cakil. Kedua temannya sudah mengepalkan tinju. Terdengar senjata dikekang. Kedua orang hansip kelihatan waspada. Rudi ikut siaga. Yos masih tenang.
"Pokoknya, saya juga mahasiswa di sini. Saya juga bayar uang kuliah!"
"Kalau begitu, perlihatkan tanda masuk Saudara," kata Yos tenang.
"Setiap mahasiswa yang sudah bayar kuliah, pasti diberi tanda masuk."
"Saya tidak punya." Sebuah tantangan.
Ranjau Ranjau Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau begitu, terpaksa menanti di sini saja. Bersama Pak Hansip."
Yos memutar tumitnya tanpa pemborosan kata lagi. Rudi juga. Mereka belum lagi melangkah, tahu-tahu Yos terjerembab ke muka. Seorang diantara Pak Hansip berteriak. Seraya menyorongkan senjata ke depan. Mencegah mereka masuk.
Rudi kaget. Tapi sebelum dia memutuskan apaapa, Yos sudah bangkit. Berdiri. Wajahnya terpoles
rasa nyeri dan marah. Tanpa bersuara, diayunnya tinju.
Laki-laki yang menendangnya cepat berkelit. Yos mengayun tinju lagi. Kena. Laki-laki itu terhuyung memegangi perutnya. Temannya yang penuh jerawat menghantam Yos. Dengan mudah dielakkan. Dan dibalas. Duk! Rupanya orang itu tidak kuat. Dia mengaduh meraba bahu. Barangkali kebanyakan bisul asmara, seru seorang penonton. Tidak tahan berkelahi.
Rudi memasang kuda-kuda. Mengawasi orang ketiga yang belum beraksi. Kalau mereka main keroyok ...! Salah seorang hansip menyodok pinggang orang itu dengan ujung senapan.
Rupanya dia jeri. Anak-anak sudah bermunculan dari dalam. Yos menatap tanpa kata. Pelan-pelan pemuda lawannya menyeringai. Lalu berbalik. Diikuti oleh kedua temannya. Kedua hansip menurunkan senjata seraya menghela napas lega.
"Huuuaaah!" teriak beberapa anak.
"Kenapa dikasi lolos? Belum dicekokin minyak ikan pakai brotowali! Belum aku genjot batok kepalanya! Enaknya kan dijadikan preparat anatomi saja!" Dan lain-lain. Sadis juga anak-anak. Walau sudah bertitel mahasiswa, rupanya memang keturunan Kain
dan Abel. Untungnya, teriakan-teriakan itu ampuh sekali, membuat ketiga pengacau makin lari terbirit-birit. Rupanya yang sudah setahun bolos kuliah itu mengerti, apa itu preparat anatomi.
Yos menyelinap diam-diam ke P3K. Lipat lututnya terasa nyeri. Barangkali perlu buka celana untuk diperiksa.
Ruang yang melongo itu sekilas kelihatan kosong. Tapi Yos melihat bayangan di balik tirai. Dia melangkah masuk. Disibaknya kain putih itu.
Seorang cami terbaring tanpa gerak. Budi sudah penuh keringat terutama di dahi dan bawah lengan. Dia tidak menyadari kehadiran orang lain. Terlalu
sibuk menyelamatkan nyawa.
Napasnya sendiri sudah terengah. Dia asyik melakukan pijat jantung dan pernapasan buatan.
Cami itu masih belum bergeming. Namun samar, Yos melihat gerak dada. Diperhatikannya wajahnya. Astaga! Mimi!
"Hei!" serunya menebas tangan Budi yang siap kembali di dada.
"Apa yang tengah kaulakukan? Cami ini cuma kelengar. Bukan cardiac arrest (jantung stop)'!"
Yos mendekatkan arlojinya ke hidung Mimi. Kacanya suram.
"Lihat!" "Aku sangka, dia sudah tidak bernapas! Dia tergelincir! Kepalanya menyenggol ubin!" Budi menyeka keringat di dahi dan mengibas-ngibaskan tangan kemejanya.
"Kau cuma mau latihan!" tuduh Yos.
"Jangan diadukan dong."
Yos tidak menjawab. Diambilnya gunting. Lalu didekatinya kalung petai Mimi. Cekris. Kalung itu disingkirkan. Cekris. Leher baju karung itu digunting. Sebab terlalu mencekik, kekecilan.
Memang mode untuk cami adalah: tak boleh kelihatan belah dada. Untuk cama, gulung pipa celana sebelah kanan, pakai kaos kutang karung. Awas, asesori di bawah lengan tak boleh diperlihatkan! Dan kepala-kumis mesti kelimis.
Ini semua untuk membedakan mana senior, mana budak belian. Tapi lubang leher yang sempit seperti leher botol! Ampun!
Selesai menggunting, dibukanya celana. Budi memperhatikan dan melihat.
"Waaalah! Kau kenapa?"
"Ditendang barusan. Hitam?"
"Sedikit. Besok tentu lebih jelas."
"Setan! Nyeri juga dikit. Kau punya apa?"
"Vitamin." "Kalau cuma itu, tak usah disebut!" Yos mengenakan kembali celananya.
"Obat merah. Tapi itu juga tidak berguna. Kau mau apa?"
Ditanya balik, Yos berpikir.
"Suntik analgetik ada?"
"Tidak. Cuma yang tetes ada." Budi menyerahkan sebotol cairan putih dengan sendok teh dan sebuah gelas kosong.
"Itu air minum di termos. Sepuluh tetes. Aku permisi dulu, ya."
"Kau mau ke mana?"
"Pesta tajin sedang ramai-ramainya. Kau di sini saja. Tak boleh berdiri!"
"Cami ini urusanmu."
"Tolong jaga sebentar. Dia takkan bikin repot. Sebentar saja, ya. Sepuluh menit." Lalu Budi cepat menghilang sebelum Yos menolak. Kapan lagi bisa meninggalkan pos? Dia tahu, Yos takkan pergi sebelum dia kembali.
Di samping itu, lututnya sudah matang biru. Dia sudah kepalang tak boleh menonton lagi. Apa salahnya duduk-duduk menunggui cewe pingsan?
Atau tidur. Dia kurang pasti. Dugaannya, cewe itu kecapean. Pasti bermalam-malam kurang tidur. Nadinya bagus. Tensi-nya" bagus.
Udara di ruang P3K panas. Kipas angin kecil di sudut mogok sejak kemarin. Habis, diputar nonstop. Mana barang tua, lagi.
Yos melihat wajah Mimi berkeringat. Apalagi lehernya.
Dia bangkit sambil membawa beberapa helai kertas penyeka. Dengan lembut dihapusnya keringat. Dia sedikit menunduk. Mukanya tepat di atas kepala Mimi yang mungil. Dia melihat hidung yang bangir. Ditatapnya juga bibir-bibir lembut yang mengatup. Anak-anak rambut disisihkannya.
Cantik. Pikiran itu menerjang ingatannya yang surut ke tempo lalu. Ketika ayah dan ibunya terutama Ibu membawanya tamasya ke masa silam. Di mana seorang bocah cilik sakit keras. Dan dia dijadikan sandera.
Tiba-tiba kelopak matanya mengerjap. Seperti sayap kupu-kupu yang siap terbang. Lalu, tanpa peringatan, matanya sudah terbuka lebar.
Yos terkejut. Mundur sesenti. Mimi tidak segera
mengerti. Pandangnya sejenak kabur.
Ketika akomodasinya sudah berfungsi, tangannya bergerak menutup mulut. Matanya membelalak. Roman mukanya malu.
Dia berusaha mau bangun.Yos mencegah dengan gerak tangan.
"Tenang saja. Kau di P3K. Jangan bangun. Kepalamu terantuk ubin, kata Budi. Kau pasti pusing kalau berdiri."
"Sudah lama saya di sini?"
"Lumayan." Wajahnya memerah. Tangannya meraba ke leher. Hampir dia menjerit kaget. Kalungnya tak ada. Leher bajunya digunting.
Dengan bingung dipandangnya Yos. Tidak tahu, apakah boleh bertanya lagi. Cami biasanya tak boleh buka mulut. Satu pertanyaan sudah lebih dari lumrah.
"Itu digunting. Kau tadi sesak napas."
Entah kenapa, Yos tidak berani mengakui, itu perbuatannya.
"Kenapa kau tidak minta dispensasi? Merayap di lantai kan cukup melelahkan!"
Mimi terdiam. Yos menatap lembut.
"Mi, sebenarnya apa sih sakitmu?"
"Entah. Saya tak tahu namanya. Tapi saya bisa cerita."
"Ceritalah." "Di dalam jantung saya ada sekat. Sekat serambi. Harusnya menutup. Ini tidak."
"Ola la, itu A-S-D!"
"Apa itu?" "Kata sandi penyakitmu."
"Karena sakit keras waktu kecil?"
"Ini adalah kelainan bawaan. Dari lahir. Tidak disebabkan sakit keras. Kalau mau tahu, namanya A-atnal S-septal D-defect. Jadi, defek septum (penyekat) atrium (serambi). Jelas?" Yos tersenyum. Mimi berdebar senang.
"Sungguh? Raka pintar sekali, ya." Binar-binar dalam mata bagus itu pastilah penuh kekaguman. Tak bisa disembunyikan, walau mau dipakai kaca mata penghalau sinar.
"Gini-gini kan sudah tingkat empat. Eh, ngomong ngomong, kalau tak ada orang, tidak usah panggil Raka. Panggil saja Yos."
Hiii senangnya Mimi. Sayup-sayup hatinya berdendang. Bukan begini sikap orang yang sudah punya pacar!
Dalam hatinya, lagu pemberontakan terhadap
mama mulai digubah. Rencananya untuk pacaran semau hati tampaknya akan terlaksana. Mama akan kapok main dukun. Dan anak yang dijodohkan dengannya dipersilakan gigit jari. Boleh sampai putus, peduli apa!
Suara Yos kembali meruak potongan renungannya.
"Mi, setiap cami biasanya diundang ke pesta inaugurasi oleh senior. Maukah kau ikut denganku?"
*** Bab 8 Sekarang, kalau Mianti menengok ke belakang, semuanya terasa jelas. Semuanya klop. Banyak pertanyaan yang tidak usah diberinya tanda tanya lagi.
Umpamanya, ketika dia dijemput Yos pada malam inaugurasi. Hatinya kebat-kebit. Antara senang, dapat menunjukkan calon pacar-semau-saya pada Ibu. Dan khawatir, jangan-jangan dilarang. Sebab bukan calon yang telah ditentukan. Yang entah ada di mana itu.
Herannya, Ibu malah tersenyum. Berpesan agar hati-hati. Jangan pulang terlalu malam. Biar tak usah sampai pesta ditutup.
Setelah resmi mulai kuliah tapi masih suka nganggur, sebab belum semua dosen kembali dari libur mereka jadi betah bersama. Ngobrol. Makan di kantin. Pergi-pergi. Terutama ke bioskop. Akhirnya pacaran. Masing-masing untuk pertama dan kedua kali.
Yos beberapa kali muncul di rumah. Ibu sudah melihat dengan mata kepala sendiri. Papa juga. Cindy, Inem, Pak Kebun, dan Bleki. Semua melihat.
Kecuali Bleki yang gemar menjilati Yos tak ada yang memberi reaksi. Mama tidak kelihatan mau melarang. Jangankan marah; dia malah kelihatan sudah mau duduk saja menemani ngobrol. Untung Mianti dengan diplomatis selalu bisa mengusahakan agar Ibu tak usah deh mengganggu. Ini urusan orang muda. Walaupun, untuk kelompok ibu-ibu, Mama juga masih termasuk muda.
Setelah beberapa bulan berlalu aman sentosa, malah hampir setahun, Mianti tak tahan. Pada suatu malam dikeluarkannya unek-uneknya di atas ranjang. Di depan Cindy.
"Heran ya, Mama kok tidak melarang aku pacaran? Apa barangkali urusan dukun klenik itu sudah dibatalkan? Kok aku tidak dikasih tahu?"
Cindy menatapnya. Lalu menoleh seakan mau menyembunyikan ketawanya.
"Ada apa, sih? Kau pasti tahu sesuatu! Yang tidak aku ketahui!"
"Kau memang tak boleh tahu!"
"Apa sih?" Cindy menggeleng. "Sudah janji sama Mama."
"Kalau mengenai aku, harus kauberitahu dong. Itu namanya jujur."
"Memang soal pacaranmu," Cindy mendesah.
"Nah, apa!" "Kalau aku cerita, kau tidak boleh bilang lagi pada Mama, ya!"
"Ya." "Sebab urusan ini serius banget. Terlebih untuk Papa!"
"Sebenarnya, aku ingin sekali tahu, apa sih yang telah dikatakan dukun itu?"
"Mama bilang, dukun itu menyuruh kau dijodohkan dengan putra sahabat karib Papa."
"Jadi, tidak mutlak harus dengan anak tertentu, bukan? Sahabat karib Papa tentunya masih ada lagi? Masakan cuma satu?"
Cindy mengangkat bahu. "Dengan yang ini, Papa sudah seperti saudara."
"Hm. Brengsek. Dikira mereka, aku ini jangkrik. Diberi-beri pasangan!"
"Sudahlah. Kan semuanya akan beres juga!"
"Mana mungkin!"
"Lho, kenapa tidak? Kau kan sudah pacaran dengannya!"
Cindy mendadak menutup mulutnya. Mianti memandangnya. Mula-mula keheranan, lalu dengan curiga. Sedetik kemudian, mengerti. Udara menjadi hening. Mianti terdiam. Namun kelihatan tegang.
Napasnya lebih cepat lagi menggerakkan dada Naik turun. Naik turun.
Cindy menanti. Sama tegang. Dia sudah keterlepasan omong. Dia ngeri memikirkan akibatnya. Topan. Badai. Mianti bisa mengamuk.
Tapi ternyata dia cuma mengisak tenang. Air matanya merembes turun dipacu kesedihan yang hampir tanpa batas.
Dia berbaring masih. Kini meremas-remas ujung selimut. Cindy memperhatikan tanpa daya. Dia tidak tahu, bagaimana harus menghiburnya.
"Jadi Yos itulah orangnya!" bisiknya ketakutan.
"Aku cinta sekali padanya, Cin."
"Bagus kalau begitu," kata Cindy mengelus rambut adiknya.
"Tapi aku tidak mau diatur-atur dukun seperti itu!" suaranya bertambah keras.
"Aku terpaksa harus memutuskan hubungan ini!"
"Oh! Kenapa?" Cindy kaget.
"Kan tak ada yang memaksa, Mi?"
"Memang tak ada yang memaksa putus. Justru karena mereka mau memaksa aku kawin dengan Yos! Aku tidak sudi membiarkan orang tua tua semena-mena mengatur hidupku!"
Mianti menjangkau lampu dan mematikannya.
Dalam gelap, Cindy tidak tahu apakah Mimi masih menangis.
Api Di Bukit Menoreh 21 Arjuna Kembar Karya Wiroatmodjo Api Di Bukit Menoreh 14
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama