Ceritasilat Novel Online

Ranjau Ranjau Cinta 2

Ranjau Ranjau Cinta Karya Marga T Bagian 2


Memang masih. Tapi air matanya mengalir pelan tanpa suara. Terbayang semua yang manis-manis sekitar Yos.
Mereka pergi ke bioskop. Mereka berenang. Mereka main tenis. Mereka berdekapan dalam hujan. Itu ketika mereka dalam perjalanan pulang dari sebuah perpustakaan asing. Mereka juga mengikuti kursus bahasa Inggris.
Alangkah bahagianya dia! Alangkah manis untuk dikenang. Alangkah pahit buat diputus.
Tahukah Yos siapa dirinya? Tahukah Yos urusan perjodohan ini?
*** Mianti tidak mau pura-pura. Tidak mau melindungi perasaan Yos. Dengan mendadak serta tanpa penjelasan, dia menghindari pemuda itu. Di kampus dia mulai menyendiri di tempat-tempat yang tidak biasa didatangi Yos. Bukan di kantin. Bukan di lorong-lorong. Bukan di taman bunga.
Yos memang mula-mula tidak berhasil menemukannya. Tapi dia tidak mau menyerah. Diteruskannya usaha pencarian itu sampai ke pelosok bangunan tempat wc pegawai yang tidak terawat. Ketika masih juga tidak ketemu, dia duduk di muka ruang kuliah Mianti. Menunggu kuliah bubar. Untuk itu, terpaksa dia sendiri bolos kuliah.
Mianti tengah sibuk memasukkan kembali segala buku dan catatan. Dia hampir memekik ketika tangannya tiba-tiba dipegang seseorang.
Ruang kuliah sudah sepi. Dia memang sengaja tinggal belakangan, supaya tidak usah ikut yang lain-lain masuk kantin. Dia tidak mau ketemu Yos.
Tapi kini, justru Yos yang berdiri di sampingnya. Suaranya telah menegur sebelum Mianti mengangkat muka. Dia tidak jadi menengadah. Geraknya membereskan buku juga terhenti. Dia tetap duduk, bisu menanti.
"Hei, kenapa kau ini? Kemasukan setan?" tanya Yos riang.
"Lantas, apa mau dipanggilkan dukun?" sahutnya ketus.
Yos terkejut. Pegangannya terlepas. Hatinya bahkan sudah was-was. Dia tahu, pasti ada sebabnya kenapa Mianti sudah seminggu menghindarinya. Perkataan dukun menambah rasa curiganya. Apakah ...?
"Kenapa kau menjauh sekarang, Mi?"
"Sebab aku ingin menjauh!"
"Mau putus?" "Ya!" "Kenapa?" "Tidak apa-apa!"
"Pasti ada apa-apa!"
"Lebih baik kau jangan tahu!"
"Harus. Aku harus tahu! Kenapa? Salahku apa?"
Tiba-tiba Mianti menggerakkan kembali tangannya. Semua buku dengan cepat dilemparnya ke dalam tas, lalu dia bangkit. Yos berusaha menahan. Tapi dikibaskannya dengan sengit. Lalu berlari ke luar.
Dia langsung pulang. Tidak menunggu kuliah berikut.
Dua bulan kemudian, setelah kenaikan tingkat, Mianti muncul lagi di kantin. Diiringi Masiton, mahasiswa tingkat akhir.
Yos kebetulan di sana. Alisnya sampai naik dua senti melihat mereka. Untung tidak sedang minum. Pasti terselak, masuk paru-paru.
Masiton sudah masuk klinik. Sebenarnya dia jarang muncul di kampus. Di manakah Mimi mengenalnya, pikir Yos. Apa dalam bazar belum lama ini?
Mianti tertegun sejenak melihat Yos. Namun segera pula dia melengos, berpura tidak melihat. Dia duduk berdampingan dengan Masiton, menikmati es cendol. Mereka membelakangi Yos. Kepalanya sebentar sebentar miring mendekati Masiton. Kelihatannya mesra dan asyik.
"Bagaimana ini, Yos?" bisik Budi sambil menunjuk mereka.
"Secepat itu putus?"
Yos mengangkat bahu, menelan kekecewaannya bersama sirop yang diminumnya. Apa yang harus dikatakannya? Dia sama sekali tidak tahu apa salahnya, hingga Mimi putus dengannya.
"Hei, jangan banci dong!" tegur Budi lagi.
"Ambillah sikap!"
"Jangan campur urusanku!" Dia menjadi sengit, lalu berdiri, mendorong kursi, dan berjalan ke luar.
Mianti melihatnya. Cepat dia menunduk mengaduk isi gelas. Yos dilihatnya berjalan ke halaman. Punggungnya agak membungkuk. Padahal biasanya dia selalu tegap. Ada bayang kekalahan dalam sikapnya.
Mianti mengangkat bahu. Masa bodoh! Salah siapa?
*** "Ya, salah siapa ini?" tanya Yos setengah kalap. Dia tengah duduk makan angin di teras bersama Ibu. Ayahnya belum pulang.
Ibu bertanya, kenapa wajahnya mendung begitu. Yos langsung bilang, bahwa Mimi sudah putus dengannya. Tanpa sebab.
"Masa tanpa sebab?"
"Ya, mungkin memang ada sebabnya. Tapi saya tidak tahu apa."
Ibu jadi termenung. Bibirnya digigit-gigit seperti kebiasaannya bila resah.
"Ada apa, Mam?"
"Jangan-jangan Mimi sudah tahu siapa kau?"
"Lantas?" "Dia menentang urusan jodoh ini."
"Oh!" "Tapi darimana dia tahu? Jadi dia mau putus gara-gara ini?"
Hatinya terasa ngilu. "Mungkin. Kalau dia sudah tahu, mungkin karena itu."
"Nah, siapa biang keladinya? Siapa yang bilang?"
Ibu tidak bisa menjawab. Yos kembali melihat kemesraan Mimi di samping Masiton. Laki-laki yang tegap gagah dan hampir lulus.
Betapa pahitnya. Pertama kali dia merasa ingin mencintai seseorang! Tahunya, hatinya dibikin hancur berantakan. Salah siapa??? Siapa biang keladinya?
"Ya, salah siapa ini?" tanyanya setengah kalap.
Ibu menghela napas. Tidak disangkanya urusan akan menjadi gawat. Tidak disangkanya, anak-anak sekarang tidak mau lagi dicarikan jodoh. Padahal itu hal biasa ketika dia masih muda.
"Mimi tidak mau! Saya juga tidak mau!" kata Yos parau.
"Jadi kenapa tidak kalian batalkan saja urusan konyol ini?"
"Bukankah kau sebenarnya suka padanya?" bisik ibunya setengah membujuk.
"Ya. Tapi itu tak ada sangkut pautnya dengan janji konyol di masa lalu itu, Mam! Saya menyukainya sebelum tahu namanya. Setelah tahu, juga tidak menjadi soal. Tapi Mimi agaknya tahu, dan tidak mau. Jadi, semuanya macet. Batal. Salah siapa? Seandainya tidak ada campur tangan orang tua, pasti kami takkan putus! Bila terjadi apa-apa, semua orang tua harus menanggung dosanya!" serunya
sengit. "Yos! Jangan bilang begitu. Orang tua cuma memikirkan kebaikan untuk anak-anaknya!"
"Ah!" sanggahnya, lalu bangkit dan masuk ke rumah.
Sambil menunggu suami pulang, Nyonya Beti Jamal termenung memikirkan putra tunggalnya. Yos belum pernah kelihatan begitu murung. Seandainya dia betul-betul sangat mencintai Mimi, apa yang akan terjadi?
Menurut Nyonya Ana Burhan, Mimi amat menentang soal perjodohan itu. Mungkinkah dia sudah tahu?
Bila Mimi tahu, dia pasti tidak mau lagi dengan Yos. Bila Yos betul-betul mencintainya, apa yang akan terjadi? Bagaimana caranya melenyapkan cinta dari lubuk hati anaknya?
Dia tidak tahu. Suaminya, yang segera diajaknya berunding, sebelum sempat buka sepatu, juga tidak tahu.
"Telepon saja ibunya," usul Pak Jamal.
*** Akhirnya Yos tidak tahan lagi. Hatinya pedih,
terluka, dan memar dikacau cinta. Belum pernah dia jatuh cinta. Karena itu tidak paham aturan mainnya.
Mungkin saja Mimi tiba-tiba merasa muak dengannya, tanpa sebab. Jadi tanpa tahu siapa ia. Mungkin saja gadis itu tiba-tiba mendapati Masiton lebih keren.
Mungkin saja dia lebih menyukai pacar yang hampir lulus. Mungkin saja dia sebenarnya bukan mau menjadi dokter; tapi cuma ingin mendapat. Karena itu perlu pacar yang sudah pasti akan meraih titel.
Ya, semua itu mungkin. Tapi dia harus tahu yang pasti. Rabu sore, Mimi akan pulang setengah tujuh seusai praktikum. Akan ditunggunya. Akan dibujuknya gadis itu supaya mau bicara.
"Halo, Mi," sapanya ketika anak-anak sudah bubar dari ruang praktikum. Untung sekali, Mimi termasuk beberapa orang yang ke luar paling belakang.
Mianti terkejut melihatnya. Tapi dia tidak bilang apa-apa.
"Aku perlu bicara sebentar, Mi."
Melihat gadis itu seakan mau menolak, Yos lekas menyambung,
"Sebentaaar saja. Penting."
"Sudah gelap," kata Mianti sambil memandang kawan-kawan dan asisten yang sudah berlalu.
"Sebentar saja. Nanti aku antar pulang."
"Tak usah. Aku dijemput."
Mereka tinggal berdua. Tak ada orang lain. Bahkan jangkerik pun tak mau menemani mereka.
Melihat wajah Yos yang tidak bisa dibantah, Miami akhirnya mengalah. Dia duduk di atas bangku di luar kamar praktikum. Yos duduk di sebelahnya.
"Oke, mulailah," undangnya tanpa memandang wajah pemuda itu.
"Aku cuma ingin tahu, apakah sikapmu belakangan ini karena diriku? Karena kau sudah tahu, bahwa kau dan aku telah telah dijodohkan waktu kecil?" Yos cepat berhenti, sebab suaranya mendadak jadi parau. Seakan menahan tangis.
Mianti menunduk. Menelan liurnya berkali-kali dengan susah payah. Dia tidak dapat menjawab.
Yos menunggu. Mianti membisu terus. Dia tahu, bila dibukanya mulut, air matanya akan berhamburan menambah sesak perasaan.
"Baiklah. Kau tak usah menjawab bila tak mau. Menurut ibumu, kau tidak tahu siapa aku. Tapi, seandainya dugaanku itu betul, aku ingin kau tahu,
bahwa aku pun sependapat denganmu. Aku juga menolak urusan jodoh itu. Ketika aku melihatmu dan jatuh cinta padamu, aku belum tahu namamu. Aku sama sekali belum tahu siapa engkau. Mimi, setelah aku tahu, ternyata aku tak berdaya mengubah perasaanku. Aku tetap mencintaimu. Bukan karena orang tua. Sama sekali bukan. Aku masih tetap menolak urusan menjodoh-jodohi anak kecil. Tapi aku sungguh cinta padamu. .Juga sekarang. Setelah kau menemukan yang lain. Itu saja, Mi. Cuma itu yang mau aku katakan."
Yos memasukkan tangan ke dalam saku celananya dan mengeluarkan sebuah gelang hitam.
"Akar bahar ini diberikan oleh ayahmu. Dulu. Sekarang aku kembalikan padamu. Engkau bebas, Mi. Engkau bebas bersama Masiton atau siapa pun juga yang kaupilih. Jangan merasa bersalah. Jangan merasa menentang orang tua. Sebab kebebasan memilih itu hak mutlakmu. Aku ikut membela pendirianmu. Sebab itu merupakan pendirianku pula."
Mianti tunduk membisu. Air matanya sudah jatuh. Untung mulai gelap dan Yos moga-moga tidak melihat.
Dia tidak menolak ketika Yos meraih tangan kirinya dan memasukkan gelang itu. Tapi pemuda itu tidak segera melepas pegangannya.
"Kita akan selalu berteman bukan, Mi? Engkau tidak memusuhi aku, bukan? Engkau tidak marah, kan?"
"Aku aku sama sekali ti. ti dak marah. Yos, oh Yos! !"
Air matanya tidak lagi terbendung. Yos sibuk mencari-cari sapu tangan. Ditemukannya di saku belakang. Diberikannya pada Mianti.
"Harap kau mengerti. Aku sangat tidak senang dengan perbuatan orang tuaku. Aku tidak mau menyerah pada kehendak mereka yang tidak adil. Aku juga cinta padamu. Sekarang juga. Bahkan mungkin nanti juga. Selamanya mungkin. Tapi aku aku lebih suka patah hati, daripada menuruti dukun klenik! Bila bila aku mati, itu lebih baik!" Mimi tersedu sedan.
Yos mendekapnya. "Huss! Jangan bilang begitu! Kau takkan mati. Kau akan jatuh cinta lagi seratus kali! ltu harus kaulakukan! Kau harus melupakan aku. Baru dengan begitu, kau akan berhasil menggagalkan rencana orang tua kita."
Dari balik air mata, Mimi tiba-tiba memandang laki-laki itu.
"Apakah kau juga mau melupakan aku?"
Yos melengos ditanya begitu. Dia berusaha tersenyum, namun tak berhasil.
"Susutlah air matamu. Kau harus pulang," bujuknya.
"Kau kau belum menjawab ..."
Yos merasa pedih sekali didesak begitu. Wajahnya memucat. Untung langit sudah gelap dan di situ tak ada lampu.
"Aku belum tahu jawabnya, Sayang," bisiknya.
"Barangkali waktu nanti yang akan bicara."
Tiba-tiba dikecupnya tahi lalat di pipi kirinya.
*** Di tengah jalan yang sepi, dibukanya jendela mobil. Diloloskannya gelang hitam itu dari pergelangan tangannya, lalu dilemparnya ke luar. Pergi kau! Jangan mengingatkan aku lagi pada masa lalu!
*** Bab Nyonya Burhan tidak tahu bahwa Mianti sudah putus dengan Yos. Masiton tidak pernah diajak ke rumah. Jadi ibunya tidak tahu, ada orang kedua. Yos juga tak pernah muncul lagi. Tapi untuk menghindarkan kecurigaan, Ibu tak pernah bertanya.
Sangkanya, Mianti belum tahu siapa Yos.
"Kenapa Yos tidak pernah datang lagi, ya?" tanya Ibu pada Cindy.
"Entah," sahut Cindy menyembunyikan rasa bersalah di balik majalah.
"Mimi kan belum tahu siapa Yos?"
"Saya rasa memang belum tahu."
"Kau tidak lancang mulut toh?"
"Mana berani, Mam," sahutnya cepat. Untung Ibu tidak merebut majalah itu. Jadi pucatnya tidak ketahuan.
Juga Yos ikut membela Mianti. Atas segala ingin tahu ibunya, dia selalu memberi kesan, bahwa Mianti sudah kembali rapat dengannya. Nyonya Jamal tidak berani menyampaikan pertengkaran Miami dan Yos pada ibunya. Untunglah bila keduanya kini
sudah rapat lagi. Cindy yang tahu, juga tak berani buka mulut. Dia ingat dosanya.
Jadi Mianti asyik pacaran dengan Masiton tanpa gangguan. Satu-satunya hal yang dirasa aneh oleh pemuda itu adalah bujukan 'Jangan', setiap kali dia ingin pamer di depan calon mertua.
Dan bukan main tak sabarnya dia untuk memamerkan jambulnya di depan Nyonya Burhan. Bila Pak Burhan juga hadir, wah kebetulan sekali.
Akan dikatakannya secara tidak langsung misalnya bila menyinggung lamanya kuliah di Kedokteran bahwa dia akan segera tamat. Lalu diteruskan dengan juga masih tidak langsung permisi Oom dan Tante, bagaimana kalau Mianti dan saya kalimat lengkapnya masih harus dipikirkan. Masih perlu mengumpul keberanian. Tidak kalah penting dari ujian Interne, her yang ketiga!
Masiton sering berangan-angan.
Mianti juga. Tapi lebih sering lagi diperbandingkannya pemuda itu dengan Yos. Untung sejauh itu, tampaknya Masiton tidak kurang satu angka pun dari Yos. Malah lebih tinggi, kalau mau diukur tingkat kuliahnya.
Dengan Masiton, dia akan segera menjadi nyonya dokter sambil menunjukkan pada Ibu, pada Ayah, bahwa anak mereka tidak mau disuruh-suruh kawin semau mereka.
Dengan Yos, entah kapan dia akan disebut nyonya dokter. Di samping itu, yang paling gawat, dia akan dianggap mengikuti kehendak kolot Ayah-Bunda. Oh, ye! Takkan terjadi. Hampir saja. Untung Cindy terlepas omong.
Karena merasa terlibat, Cindy cepat menyanggup ketika Mianti minta dicarikan tempat apel bagi Masiton. Rumah Ramsus, pacarnya yang mutakhir (pengganti Palka), dianggap paling cocok.
Tidak terlalu jauh, sehingga Mianti bisa pulang sendiri malam hari. Atau diantar Ramsus. Atau berdua Cindy.
Tidak pula terlalu dekat, sehingga Ibu mungkin akan memergoki.
Di rumah itu juga tak ada mulut usil. Itu penting. Kakak perempuannya sudah lama menikah. Yang tinggal cuma ayah, ibu, pembantu, dan anjing. Semuanya tidak campur urusan di luar dapur.
Mianti bisa membina hubungan dengan aman. Yos hampir tidak pernah kelihatan lagi. Tapi sebenarnya dia terus memperhatikan gadis itu. Dari jauh.
Walau dalam hati menangis, Yos merasa bangga
melihat kekerasan tekad gadis itu. Yang dianggap semena-mena walau dari orang tua sumbernya harus ditentang.
Yos mengerti, tentu saja ini agak subyektif. Sebab belum tentu orang tua menganggap sikapnya semenamena. Walau anak bilang begitu.
Bagaimanapun, Mianti tampaknya gembira selalu di samping Masiton. Budi terkadang memperoloknya.
"Bagaimana tuh, kok dibiarkan?" tanyanya menunjuk Mianti yang asyik bergandengan sama Masiton.
"Lantas, mesti diapakan?"
"Baru pacaran sebentar, kok sudah dilepas lagi?"
"Ah, sama-sama cuma iseng!"
"Mmmm, biasa cewe memang begitu!" kata Budi menghibur.
"Melihat yang hampir lulus, tentunya lebih condong dia ke sana!"
"Ah, jangan sok tahu!" Yos selalu membela Mianti. Sampai-sampai hampir meledak marahnya pada Budi, ketika dia tak henti-henti menjelekkan Mianti.
Budi sampai bengong keheranan.
"Lho! Aku kan membelamu!"
"Tak usah!" Waktu itu bulan Oktober. Musim hujan sudah tiba. Kesempatan ini yang terakhir untuk mendaki gunung. Karena itu mereka yang tidak terhalang ujian atau praktikum berusaha ikut.
Mereka ke Jawa Tengah. Yos, sebagai Bendahara dan Kepala Logistik klub, tentu saja ikut.
Mereka berkumpul di kampus. Siang itu Mianti kebetulan libur. Sebab dosennya ikut klub. Ada dua puluh lebih yang berangkat. Di antaranya, tiga mahasiswi. Dari PT dan FKG.
"Yos, hati-hati, ya."
Pemuda itu tengah jongkok memeriksa isi ranselnya. Dia agak terkejut mendengar suaranya. Jelas tidak diharapkannya. Dia mengangkat muka. Dan langsung tertawa lebar.
"Hai," serunya.
"Aku kira kuntilanak. Tidak kedengaran sih langkahmu! Apa kabar?"
Mianti pura-pura merajuk. Tapi senang hatinya ditanya apa kabar.
"Seperti kaulihat. Bagaimana?"
"Banyak senang, rupanya."
"Kau juga, kan?"
Yos mengelak dan tidak menjawab.
"Sayang Masiton tidak ikut," katanya kemudian.
"Dia harus co-schap'."
"Kalau tidak, aku bisa merencanakan kecelakaan baginya! Haa supaya ..." Yos berbisik,
" kau kudapat lagi!"
"Hiii! Katamu dulu, mau membela aku!"
"Memang betul. Bila kau menemui kesusahan, aku pasti akan datang membela!"
"Bukan itu yang kumaksud!"
"Tapi, itu yang aku maksud!"
"Lantas, persoalan yang satu itu?"
Yos menatapnya sejenak, lalu meringis. Nyaris diraihnya lengan gadis itu, bila tidak dikuatkannya hatinya.
"Aku menyesal telah melepasmu." Dia menghela napas.
"Terkadang aku berpikir, apakah kita berdua -terutama aku bukan sedang melakukan kebodohan? Mengapa tidak kita sepelekan saja dongeng orang tua kita? Dengan berbuat seperti sekarang ini, kita seakan terlalu memperhatikan tindakan orang tua kita dulu. Dan menjadikannya sebuah persoalan besar!"
Mianti merapatkan bibirnya. Menunduk.
"Mimi, kenapa kita tidak mau berpura-pura tidak tahu siapa kita? Kita tidak perlu tahu nama kedua bocah-bocah cilik itu, bukan? Aku tidak ingin tahu siapa nama anak perempuan yang dulu sakit parah itu. Kau juga tidak mau tahu nama anak laki-laki sahabat ayahmu. Yang hadir cuma kita berdua. Saling bertemu dan jatuh ..."
"Sudahlah, Yos. Tak perlu diteruskan," potong Mianti.
"Keadaan sudah begini. Aku sudah terlanjur tahu. Kau juga. Hatiku sukar sekali menerima tindakan orang tua kita. Aku merasa diperlakukan seperti setengah manusia saja."
Tiba-tiba seseorang menyentuh bahu Mianti.
"Kau belum mau pulang?" tanya Nita, teman setingkat.
"Belum." "Bolehkah aku diantar pulang Masiton sebentar? Nanti dia akan kembali lagi menjemputmu."
"Hmm. Tentu saja," sahutnya dan Nita segera berlalu sambil bilang ?
Trims'. Kebetulan buat Mianti. Dia dapat lebih leluasa bicara dengan Yos. Tapi rupanya Yos tidak mau sekedar bicara. Dia melantur terus ke arah kangen.
"Sebenarnya aku sangat rindu. Mi. Kangen sekali. Aku pergi ini pun sekedar untuk melipur rasa kangen itu."
"Ah, kalau bicaramu ngelantur terus, tidak enak jadinya ngobrol kita ini," tukasnya cemberut.
"Katakanlah yang indah-indah saja. Jangan ingat-ingat nasib malang. Di samping itu, kau masih muda. Sebentar saja sudah terlupa olehmu di mana letak tahi lalatku!"
"Oho, takkan pernah! Di pipi kiri! Selalu akan kuingat. Sebab aku akan selalu kang ..."
"Sudah, sudah. Nanti pecah bendungan air mataku! Aku pergi saja kalau begini!"
"Tapi Masiton belum kembali."
"Karena itu kita ngobrol. Mengenai yang indah indah saja, ya."
Yos termenung menatapnya.
"Mengenai kau. Sebab cuma kau yang indah di mataku. Tapi bicara tentang dirimu, tak mungkin tanpa rasa ah, kau saja yang bicara. Aku mendengarkan."
Gadis itu tercenung memperhatikan Yos menutup ransel. Sckonyong-konyong dia merasa tidak dapat berdiri di situ lebih lama lagi tanpa berlinang air mata.
"Permisi, Yos. Aku harus segera ke belakang. Kau baik-baik ya di sana. Hati-hati. Jangan mau jadi orang gunung, ya."
"Hei, aku tak mau menjabat tanganmu. Ke belakang kan cuma sebentar. Kau harus balik lagi. Aku tunggu di sini."
Mianti berlama-lama duduk di wc. Tidak melakukan sesuatu apa pun. Ketika didengarnya ribut-ribut, baru dia keluar.
Rombongan peserta sudah disuruh naik ke dalam bis. Dilihatnya Yos berdiri paling belakang. Ada dua kali dia masih menoleh. Pasti berharap akan dapat melihat Mianti dan melambainya.
Tapi gadis itu malah berjalan ke arah yang berlawanan, tidak terlihat dari jalan. Dia masuk ke kantin dan duduk di bangku yang kosong. Tidak ada satu pun orang di sana kecuali pemilik.
"Tidak ikut melihat yang berangkat?" sapa perempuan setengah baya itu.
"Tidak." Mianti menggeleng.
"Tolong segelas cendol, Bu. Dan sepiring gado-gado. Cabenya yang banyak. Empat rawit. Dua merah."
"Iih, apa nanti tidak sakit perut?"
"Tahan, kok." Mianti mencoba tersenyum sementara bayangan Yos belum pupus dari ingatan.
Dia memutuskan untuk menanti Masiton di sini
aja. Sengaja dipesannya gado-gado yang pedas Supaya pipinya merah dan matanya berair. Jadi takkan ada seorang pun yang akan menduga, bahwa dia sebenarnya menangis.
Dia berlama-lama menghadapi piringnya. Tapi itu pun akhirnya habis. Beberapa mahasiswa mulai memasuki kantin. Dia tahu, bis sudah berangkat.
Untung tidak ada kawan setingkat. Tak ada yang usil menyapanya. Es cendol pun habis pula diteguk. Masiton masih belum muncul. Ditengoknya arloji. Diperhatikannya lorong di depan kantin.
Tidak ada tanda-tanda bahwa yang ditunggu akan segera datang padanya.
Hei, siapa tahu dia kecantol di tempat Nita, lantas duduk ngobrol? Memang tadi Masiton tidak pamit dengannya. Bego betul dia menantikan orang yang takkan datang! Huh!
Dengan kesal dia bangkit, menyambar tasnya, lalu berjalan ke belakang kantin untuk membayar.
*** Malamnya Ramsus menelepon. Cindy yang bicara. Setelah selesai, dia berindap-indap naik loteng. masuk ke kamar mereka.
"Mi," bisiknya, walau tak ada orang yang akan menguping di luar kamar.
"Masiton tabrakan tadi. Sekarang di rumah sakit. Gegar otak."
"Hah?" Mimi langsung melepas bukunya, yang terbanting ke lantai. Dan tidak diangkatnya.
"Apa, Cin?" tanyanya menegaskan.
"Pats eh, Masiton tabrakan! Skuternya ringsek!"
"Astaga!" "Cewe yang diboncengnya apa adiknya? lebih parah lagi. Terlempar, menghantam pinggir
trotoar." "Hiii!" Mianti bergidik.
"Kasihan Nita!"
Pasti Nita. Sebab Masiton tidak punya adik perempuan.
"Di rumah sakit mana? Aku ingin melihatnya."
"Kau gila! Sudah jam delapan! Kalau ditanya Mama dan Papa ...."
Gawat juga. Mianti menghela napas dengan kesal. Brengseknya nasib, bila harus pacaran sembunyi sembunyi. Sudah separah itu pun, kita tidak bisa
menengoknya. "Tunggu besok pagi," hibur Cindy.
"Dia cuma geger otak. Pasti tidak terlalu gawat."
"Ah, orang-orang memang sok tahu. Terkadang
dokter tidak mau bicara sebenarnya ...."
"Habis kau mau apa? Sudah jelas takkan bisa kautengok sekarang."
Mianti tidak tidur semalaman, Dan ternyata itu merupakan permulaan dari penyakit susah tidur yang akhirnya menimpa dirinya.
Esoknya dia berhasil melihat Masiton. Sedang tidur. Tapi menurut perawat, sudah terjaga dari pingsan. Dia juga menengok Nita. Namun tidak diijinkan masuk kamar. Mengenai keadaannya, perawat cuma bilang, belum ada perubahan.
Sepuluh hari kemudian, Masiton sudah boleh pulang. Gegernya cuma derajat dua. Selain pusing kepala yang sekali-sekali melanda, laki-laki itu dinyatakan pulih seperti boneka baru. Pusing kepala yang ringan itu belum tentu berasal dari tabrakan. Sebab selama festival ujian, Masiton juga kerap merasa pusing. Bahkan pusing sebelah kepala merajalela dalam keluarga, mulai dari nenek sampai kakak.
Pendeknya, bukan ini yang menyebabkan Mianti susah tidur. Masiton sudah oke. Tapi Nita!
Nita sekarang yang menjadi persoalan. Gadis manis itu menjadi hilang ingatan. Terkadang bisa mengenal keluarga. Lebih sering lagi, tidak. Dan
suka termenung saja. Berjam-jam, bahkan berhari-hari.
Keluarganya menuntut. Keluarga Masiton menyanggupi perongkosan tur ke dokter-dokter ahli. Tapi itu dianggap belum cukup. Siapa yang menyebabkan Nita jadi begini? Tentu saja bukan pengemudi mobil yang menabrak. Melainkan, Masiton.
Lalu, siapa yang mesti mengawini Nita? Siapa yang mesti menanggungnya seumur hidup?
"Mimi, aku tak bisa berbuat lain. Ampunilah aku. Dan cobalah mengerti. Nita sekarang menjadi invalid. Dia tak mungkin lagi jadi dokter. Tak mungkin lagi melimpahi orang tuanya dengan materi hasil prakteknya. Walau misalnya, prakteknya akan do-re-mi, dia toh tetap akan dapat membalas kebaikan orang tua. Akan dapat membuat mereka bangga. Tapi kini, semua itu tak mungkin lagi. Aku merasa sangat-sangat-sangat berdosa. Nita tak mungkin lagi kawin, tak mungkin lagi punya anak, kecuali dengan aku. Dokter bilang ada kemungkinan dia akan pulih pelan-pelan, bila dia bahagia. Misalnya, punya anak. Katakanlah aku sial, katakanlah aku ceroboh, katakanlah aku tidak setia, bajingan, atau apa saja. Tapi, Mi, aku merasa harus menebus dosa ini. Aku takkan bisa merasa damai dalam diri.
selama ini belum dijalankan. Aku takkan mungkin bisa damai di sampingmu. Walau cintaku padamu tak terukur. Relakanlah aku ...."
Bagaimana bisa tidak? Sebab Masiton sudah meneken surat perjanjian nikah dengan Nita, di muka notaris. Orang cacat harus dilindungi dari kemalangan. Dari patah hati. Orang sehat, rupanya dianggap kebal.
Masiton datang untuk pertama dan penghabisan kali ke rumah Mianti. Dia tidak lupa larangan Mimi untuk berkunjung. Tapi dianggapnya tidak pantas bicara soal begitu serius di rumah Ramsus.
Nyonya Burhan sangat heran melihat tamu pria itu asyik berkasak-kusuk dengan anaknya di sudut kebun yang terlindung banyak daun. Tapi dia berani taruhan, laki-laki itu bukan Yos. Terlalu gemuk. Dan terlalu berani. Yos tentunya akan menanyakan di mana nyonya rumah, dan berusaha menemuinya.
"Siapa orang itu, Cin?"
Yang ditanya, berlagak asyik menghafal pelajaran.
"Cindy!"

Ranjau Ranjau Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, Mam." Terpaksa menoleh dan mendengar pertanyaan diulang.
"Kalau Mama mesti tahu juga, itu pacarnya!"
. "Apa? Di mana Yos?"
"Saya tidak tahu."
"Di mana Yos, Mimi?" tanya ibunya ketika dia masuk lagi ke rumah, dengan wajah mendung. Masiton barusan pulang. Juga tanpa menemui yang punya rumah. Betul-betul tak punya kesopanan. Dan yang begitu itu yang mau jadi menantu?
Mimi terhenti di anak tangga. Tak berani menoleh. Air matanya setiap saat mengancam turun.
"Di mana Yos?" ulang ibunya.
"Kenapa sudah lama sekali tak pernah muncul?"
"Saya tak tahu, Mam."
"Apa maksudmu, tak tahu?"
Mimi mengangkat bahu dan meneruskan langkah ke atas. Tapi ibunya belum menyerah. Beliau mengadu pada Ayah. Dan malamnya, seusai makan, Mianti diberi pil pahit.
"Bukankah sudah dijelaskan oleh ibumu, bahwa kau tak boleh bergaul dengan sembarang laki-laki?" Ayah memulai pengadilannya.
"Masiton juga teman kuliah. Malah hampir lulus. Bukan sembarang laki-laki !"
"Jangan membantah kataku! Kautahu apa yang kumaksud!" Ayah meledak.
"Di mana Yos?" "Di luar kota."
"Mimi, jangan kurang ajar! Jawab yang benar!"
"Sedang mendaki gunung."
"Begitu lebih sopan. Nah, bila dia sudah kembali, kau harus berbaik dengannya. Bila kalian sudah bertengkar, harus berbaik lagi. Mengerti?"
Mimi tidak ingin mengerti. Hatinya terlalu sakit melihat kenyataan. Masiton tidak lagi menjadi pacarnya. Laki-laki itu sudah didaulat oleh Nita. Padahal belum tentu Nita mencintainya. Apalagi dalam keadaan sekarang. Mencintai dirinya sendiri saja tidak mampu.
Tapi begitulah nasib. Masiton harus di sampingnya. Harus bertanggung jawab atas cacat yang diderita oleh Nita.
Mimi ditinggalkan hampa. Tanpa kesempatan membela diri. Malah Ayah dan Ibu seakan mensyukuri kecelakaan itu dari jauh. Tentu saja mereka tidak tahu, bahwa Mianti menjadi lesu karena ditinggal Masiton. Sangka mereka, gadis itu murung, karena dipaksa menerima Yos.
Cindy sebenarnya tahu sebabnya. Tapi dia merasa telah sangat banyak campur tangan. Dan hasilnya tidak menggembirakan bagi adiknya. Jadi, kali ini dia memutuskan untuk tutup mulut.
Kebetulan, Ibu tidak bertanya apa-apa. Nyonya
Burhan mengira, anaknya menjadi kurus dan pucat karena dipaksa kawin kelak. Dia sangat prihatin memperhatikan perubahan Mimi yang tampak makin sayu dari hari ke hari.
Hingga akhirnya, pada suatu pagi, dia tak dapat bangun untuk kuliah. Dia muntah-muntah. Serta mengeluh kepala pusing dan mual. Dia juga panas dan sesak napas.
Dokter menuliskan resep panjang dan memberi saran agar gadis itu dibiarkan istirahat di rumah. Paling sedikit seminggu setelah panas turun.
Nyonya Burhan terperanjat. Itu membuktikan, bahwa keadaan Mimi tak boleh dianggap main main. Seminggu istirahat!
Dan selama waktu itu, Mianti tidak berubah. Panasnya turun. Sesaknya hilang. Namun Dia terus merenung. Dari hari ke hari. Terkadang begitu dalam, sehingga tidak mendengar panggilan atau pertanyaan.
Ibunya yang merasa sangat khawatir, kini mencoba menghimbau suami agar perjodohan itu sebaiknya dibatalkan saja. Mimi terlalu menderita karenanya.
"Ah, tidak! Seorang anak yang manja seperti itu tak boleh kita biarkan berbuat sesuka hatinya. Anak
harus selalu tunduk pada orang tua. Tanpa kita, dia takkan ada di dunia, bukan?"
Melalui Cindy, Ibu mencoba memberi bujukan. Sebab padanya sendiri, Mimi tidak mau bicara atau mendengarkan.
"Katakan padanya, Cin, dia harus tenang-tenang saja. Selama dia atau Yos belum lulus, mereka takkan dikawinkan. Itu masih akan lama lagi, bukan? Selama itu, siapa tahu sikap Papa akan melunak."
"Jadi Mama sendiri tidak lagi ngotot dengan perjodohan ini?" Cindy menatap Ibu dengan heran.
"Lebih penting kesehatan dan kebahagiaan Mimi," sahutnya pelan.
Tapi Mimi tidak bergairah terhadap bujukan itu. Keadaannya tidak berubah. Ayah dan Ibu kasak-kusuk mempertimbangkan apakah sebaiknya membuat konsultasi dengan dokter jiwa?!
Sebelum diambil keputusan yang amat sulit diambil mendadak muncul bintang terang. Surat dari Tibor!!
Tiga sekaligus. Rupanya dua yang pertama sempat nyasar ke tempat lain. Mimi membukanya dengan begitu antusias, seakan di dalam sampul-sampul itulah terletak udara kehidupannya.
Dibacanya pelan-pelan. Berulang-ulang. Sambil
duduk dikursi. Sambil berbaring di ranjang. sambil berdiri dekat jendela. Seharian itu dia tersenyum berkali-kali. Sehingga Ibu mulai khawatir janganjangan Mimi malah sudah betul-betul menjadi gila.
Ternyata tidak. Puji Tuhan. Beberapa hari kemudian, dia mulai kuliah lagi. Hari pertama, dia sebenarnya perlu memasukkan surat untuk Tibor.
Hatinya gembira lagi. Tapi di kampus, Mianti mendengar musibah lain.
*** Bab 10 Yos hilang. Cuma berita itu yang menghantam kepalanya. Dia bahkan tidak ingin tahu, gunung apa yang telah menelannya. Peduli apa nama sebuah gunung, Dia sudah mencelakakan Yos!
Seluruh anggota rombongan sudah mencari ke sana kemari. Yang ditemukan cuma sebuah notes kecil berisi catatan harian.
"Apa tidak minta pertolongan?" tanya Mianti parau. Dia nyaris mau menangis kalau tidak merasa malu dengan yang lain.
"Ketua rombongan masih di sana," sahut Wiwi.
"Mereka sudah minta tolong pada Angkatan Darat, polisi, dan penduduk setempat."
Mianti cuma dapat menunggu berita. Sehari. Dua hari. Seminggu. Lewat seminggu. Tiba-tiba dia tahu, Yos takkan pernah kembali. Kekerasan hati yang tegar sudah menimbulkan bencana. Itulah pangkal perpisahan mereka.
Seandainya dia menerima ajakan Yos untuk memintal kembali benang cinta mereka yang sudah terburai-burai, mungkin Yos masih di sini sekarang.
Mungkin dia tidak jadi berangkat tempo hari. Dan mereka pasti akan bahagia.
Oh, bila dia selamat, bila dia berhasil kembali pulang, apa saja akan mau dilakukannya. Dia bahkan tidak keberatan lagi untuk menjadi istrinya. Kelak.
Apa saja. Asal Yos tidak hilang. Asal dia tidak kenapa-kenapa. Oh, dia tidak boleh mati! Tidak boleh! Jangan dulu, Tuhan! Berilah saya kesempatan untuk mencintainya. Membahagiakannya.
Oh, saya tidak tahu, betapa saya telah mencintainya. Saya takkan sanggup lagi melupakannya. Selama ini saya telah menipu diri sendiri.
Betapa saya mencintainya!
"Ini gara-garamu!" tukas Wiwi setengah main main, padanya.
"Orang yang depresi macam dia, amat mudah mengalami bencana. Dia menjadi teledor, linglung, kurang waspada ...."
"Kenapa Yos menjadi depresi? Depresi, katamu, bukan?" tanya Luki.
"Ya, dia depresi. Tentu saja, karena patah hati. Siapa penyebabnya? Haa, nona manis ini!" Wiwi menunjuknya dengan tepat.
Mau rasanya Miami mati seketika. Malunya! Ditatap berlusin mata. Pembelaan Luki terasa hambar
di telinga. "Ah, Mimi kan gandengan dengan Masiton!"
"Sebelum itu?" teriak Wiwi, lalu memagutnya dengan pandang bernyala.
"Kenapa sih kalian berpisah? Apa kau tidak bisa menghargai cinta yang tulus? Apa kau tidak tahu betapa pekanya Yos? Begitu banyak yang menaksirnya, dia tak peduli. Tapi kau yang dipilihnya, tidak punya perasaan!"
Barangkali Wiwi akan lebih kasar lagi, bila tidak segera dibungkam oleh Anton. Mianti sudah merasa panas matanya. Dia tidak tahan diperlakukan begitu. Tanpa menunggu lebih banyak tuduhan, dia berlari pulang.
Betapa kasarnya Wiwi. Hatinya sakit dituduh yang bukan-bukan. Tapi dia bisa mengerti perasaan si Wiwi dan teman-teman Yos yang lain. Kalau betul Yos patah hati, dialah yang berdosa. Hatinya telah membunuhnya!
Padahal sebelum berangkat, dia masih sempat memohon. Matanya bahkan setengah mengiba, minta dia kembali. Tapi saat itu Mianti merasa bukan main gagahnya dapat menggagalkan rencana orang tua.
Semuanya bodoh. Orang tua. Dan anak. Sekarang. mereka semua menderita. Catatan harian itu
rupanya dibaca Ibu Yos sambil mengisak di telepon. Mianti mendapati ibunya memegangi tangkai pesawat, sambil menyusut air mata berkali-kali.
"Jadi di dia se be nar nya men cin tai anakku!"
Mimi menggigit bibir. Dia lari kembali ke loteng, tidak jadi turun. Menangis puas-puas pun takkan mengantar Yos kembali pulang.
Air matanya sudah kering. Dia cuma dapat merenung. Menyesal. Melalaikan pelaja-ran. Tapi tidak tahu harus berbuat apa.
Surat-surat Tibor dibacanya kembali. Namun akhirnya dia menghela napas. Insaf. Tibor hanyalah bianglala di langit tinggi. Indah dipandang. Manis dikenang. Namun tak terjangkau. Bukan permainannya. Tak mungkin dimiliki. Dan tak ingin.
Surat-surat itu disimpannya lagi. Mungkin kapankapan akan dimusnahkan.
Cindy berusaha menjadi kakak yang baik. Malam malam, terlebih sehabis pulang pacaran, dia tentu akan mencoba menghibur adiknya.
"Semua itu kehendak Tuhan, Mi. Sama sekali bukan salahmu!"
"Oh ya, memang salahku!"
"Pendakian seperti itu selalu membawa bahaya.
Kalau dia sendiri kurang hati-hati, tentu saja bisa kena kecelakaan."
"Ah, kau tahu apa!"
"Dan kau, barangkali lebih tahu?"
"Tentu! Dia patah hati gara-gara aku! Lalu jadi depresi. Murung. Orang begitu, gampang kena celaka. Misalnya, kurang waspada, melamun sambil jalan, lantas masuk jurang ."
"Ngibul!" "Atau diterkam binatang buas ."
"Jangan terlalu banyak teori, Mi."
"Habis! Menurutmu, dia kenapa?"
"Aku tidak tahu! Yang pasti, semua itu bukan salahmu! Ingat, ibunya sendiri tidak menyalahkan engkau. Jadi, kenapa mau kausiksa dirimu dengan pikiran yang bukan-bukan?"
"Aku mencintainya," bisiknya lirih seakan pada diri sendiri.
"Aku tak habis-habis menyesal. Kenapa tidak aku terima permintaannya!"
"Dia minta apa?"
"Dia ingin, aku kembali padanya. Katanya,
"peduli apa sikap orang tua. Kita pura-pura saja tidak tahu siapa kita. Anggap sepele rencana orang tua. Yang penting, kita berdua saling mencintai'. Ya, dia ingin aku melupakan rencana dukun klenik
itu. Dianggapnya cuma kebetulan saja, pilihan kita cocok dengan pilihan orang tua. Aku menyesal ." Tahu-tahu air matanya sudah meleleh.
Cindy mengambil sapu tangan dan menyusut lembut pipi adiknya. Dia juga kehabisan kata. Tidak tahu lagi bagaimana mesti menghibur adiknya. Dari malam ke malam.
Ibu dan Ayah angkat tangan juga. Mereka hanya bisa mengawasi gadis manis itu dengan penuh duka. Kelincahan dan kebandelannya sudah menghilang.
Tubuhnya mengurus menelan derita. Lingkaran hitam di bawah mata seakan tamu yang datang terlalu pagi. Tidak pantas di sana. Dan tak mau pergi.
Dengan rasa bersalah, ibunya tidak berani dekat dekat. Paling banter cuma memperhatikan makanannya dan mengantar sampai pintu pagar bila dia pergi kuliah.
Akhirnya. hari yang menentukan itu pun tiba.
*** Bab Ketua rombongan pulang. Mianti kebetulan ada di kampus. Sedang menunggu kuliah berikut.
Jono datang untuk memberi laporan pada Dekan. Semua teman setingkat Yos mengurungnya dengan pertanyaan, penyesalan, dan kemarahan. Mianti tidak berani terlalu dekat. Cukup bisa mendengar saja.
"Dia sudah ditemukan?" tanya seseorang.
"Ah, jadi sudah ditemukan! Sehat?"
"Di mana sekarang?"
"Lho! Apa? Belum juga?" teriak gusar orang
lain. "Belum? Bangsat! Lantas, apa yang kaulakukan selama ini?"
"Sableng!" "Aku harus melapor!" teriak nyaring Jono yang mulai ketakutan dikeroyok manusia-manusia putus asa.
Untung teriakannya didengar dua orang pegawai Tata Usaha yang bergegas ke luar. Acara main hakim sendiri dibatalkan. Mereka cuma dapat menyumpah. Mianti hanya dapat menangis. Dalam hati.
*** Sorenya, resmi ditempel di papan pengumuman, bahwa Yos sudah tewas. Kebaktian untuk arwahnya akan dilakukan di aula seminggu kemudian.
Mianti berdiri terpaku menatap ke dalam kaca yang melindungi setiap kertas yang ditempelkan.
Lebih dari setahun yang lalu, dia juga berdiri di sini. Melihat nomornya, keluar atau tidak. Seorang laki-laki telah ikut berdiri di sampingnya dan menyapa,
"Ada?" Dia ingat, dia tidak segera menyahut. Kan tidak kenal. Di samping itu, hatinya sedang dak-dik-duk sementara matanya membelalak membaca urutan nomor dari atas ke bawah, dari bawah ke atas, bolak-balik.
"Nomor berapa?" orang itu bertanya lagi.
"Nomor berapa?" ulangnya ketika dia belum juga menjawab.
Akhirnya, dia disentuh. "Eh, nomor berapa sih?" suaranya mendesak betul. Heran juga dia melihat orang begitu penuh minat mau menolong. Sebab pasti, orang itu cuma iseng mau menolong mencarikan nomornya.
"Tiga ratus lima belas." Dia mengatakannya juga. Semua itu teringat kembali ketika dia menatap pengumuman. Matanya berlinang. Mau rasanya
dihantamnya kaca dan direnggutnya kertas jahanam itu. Kertas itu bohong! Yos tidak kenapa-kenapa. Dia tidak mati! Dia tidak matiii! Dia tidak
Dilihatnya bayangan seseorang di sampingnya. Budi sejak tadi memperhatikan Mianti. Lama betul anak itu berdiri di situ. Padahal pengumuman itu cuma empat baris dan selesai dibaca dalam Semenit. Dia menjadi khawatir melihat perubahan mimik wajahnya.
Dalam kaca, terpantul gerak tangannya menyentuh bahu Mianti.
"Jangan menangis, Mi. Tabahkan hatimu. Kita semua memang kehilangan dia."
"Tapi kau tidak merasa bersalah, Bud. Kau tidak membunuhnya."
"Jangan dengarkan ocehan Wiwi. Anak itu biasa omong sembarangan kalau sedang uring-uringan. Pulanglah. Jangan dipikirkan terus. Jumat nanti kita akan berdoa bersama baginya."
Mianti terpaksa menyerah. Setiap orang yang waras rupanya sudah mengerti, bahwa Yos telah tiada.
Namun agaknya sulit sekali menerima keadaan baru itu. Ibu Yos masih sering bertangis-tangisan di telepon bersama ibunya. Mimi selalu melamun.
Terkadang bangun kaget di tengah malam. Cindy kehabisan upaya untuk menghibur adiknya.
Juga ibu Yos dianggapnya keterlaluan. Menelepon lewat tengah malam!
Semua orang terjaga. Tapi cuma Ibu yang ke luar kamar dan turun ke bawah. Bukan pertama kali ini Nyonya Jamal kambuh penasarannya. Jadi Ibu sudah tahu, itu panggilan dari siapa.
Membiarkannya berdering terus, akan sangat mengganggu. Tidak ada yang akan bisa tidur. Mencabut kabelnya, dianggap Ibu kurang pantas.
"Dulu, mereka telah menolong anakku. Sekarang, kita wajib ikut merasakan derita mereka."
Jadi, jalan yang terbaik cuma satu. Cepat mengangkat pesawat. Cuma sepuluh menit kurang lebih. Setelah menguras isi hati, Nyonya Jamal akan merasa sedikit lega dan cukup kuat untuk menghentikan pembicaraan.
Mianti mencoba tidur lagi. Tapi sulit. Dering di tengah malam itu kembali mengoyak ingatannya, yang baru saja terlena dalam mimpi. Dia kembali ingat. Dia akan selalu ingat. Selama dia jaga, selama dia tidak tidur, dia pasti akan ingat. Lagi. Dan lagi.
Cindy sudah lelap kembali. Napasnya halus teratur. Kakaknya memang gampang sekali tidur.
Di luar terdengar langkah Ibu menaiki tangga. Rupanya sekali ini, ocehan dari sana singkat saja, pikir Mianti.
Diikutinya langkah Ibu dengan telinga. Makin naik. Makin dekat. Lho! Berhenti di muka kamar?! Dipusatkannya perhatian. Tapi tidak terdengar apa apa lagi. Tak ada suara langkah. Tak ada derit pintu kamar orang tuanya.
Yang didengarnya malah suara gerendelnya sendiri diputar. .Jadi Ibu memang berhenti di situ. Mau apa?
Pintu dibuka pelan. Cahaya lampu dari luar kamar menyinari sekeliling tubuh ibu. Tapi wajahnya tak nampak. Terlihat dia meraba-raba.
"Mimi?" bisiknya seakan takut menggugah suara napas Cindy yang begitu teratur. Ibu berindap-indap ke ranjang Mianti.
"Mimi," ulangnya pelan sekali.
"Kau belum tidur?"
"Sudah. Tapi terbangun karena telepon. Mau apa lagi ...?"
"Ssst. Tidak boleh marah pada Tante Jamal. Dia membawa kabar baik."
"Besok saja, Mam. Jangan ingatkan saya sekarang. Besok saja. Biarkan saya tidur, Mam."
"Mimi, Anakku sayang, Mama bukan mau mengganggu tidurmu. Mi, Yos baru saja kembali!"
*** Bab 12 Esoknya, pengumuman yang gelap pekat itu sudah tidak ada. Jumat yang menjanjikan kesenduan dan penasaran itu telah berubah menjadi hari baru yang penuh sorak-sorai dan ketawa panjang.
Sang Pahlawan adalah Yos. Sebenarnya bukan pahlawan dalam arti membela sesuatu. Tapi bagi anak-anak, Yos pagi itu adalah orang istimewa. Seakan bangun kembali dari kubur.
Mianti memperhatikan dari jauh. Merasa kecil. Tidak berani mendekat. Khawatir akan dituding lagi oleh Wiwi dengan kata-kata berbisa. Dia melihat anak-anak berkerumun. Yos tenggelam di tengah, nyaris tidak kelihatan.
Tapi Yos melihatnya. Sejenak terbit niatnya hendak berlari menemuinya. Namun niat itu padam tatkala teringat olehnya sikap Mimi yang begitu keras. Dia juga ingat akan Masiton yang begitu meyakinkan penampilan dan hari depannya. Tentu saja dia belum tahu musibah yang telah menimpa laki-laki itu dan Nita.
Kecil sekali hati Yos teringat semua itu. Mianti
menolaknya! Bahkan membencinya. Lihat saja. Dia cuma mengawasi dari jauh. Tidak jelas bagaimana air mukanya. Barangkali kesal, bahwa dia tidak jadi binasa. Mungkin dia sebenarnya datang untuk menghadiri kebaktian di aula nanti.
Yos tidak dibiarkan melamun enak sendirian. Teman-temannya menuntut sebuah cerita yang harus bisa memuaskan rasa ingin tahu mereka.
"Aku tersesat ke arah berlawanan dari camping. Gara-gara buang air jongkok sambil memejamkan mata."
"Kenapa mesti memejamkan mata?"
"Supaya lebih konsentrasi. Aku selalu menemui kesulitan kalau tidak makan pepaya."
"Ha ha ha ..?" Rudi ketawa dengan nada menyukuri dan puas. Dia tidak pernah mengenal kesulitan di bidang itu.
"Lantas ?" Wiwi menengadah sambil mengalungkan lengan sekeliling pinggang pahlawan. Sikap gadis ini sempat membuat Luki dan Rudi saling pandang. Tapi barangkali, hanya karena terlalu gembira. Wiwi memang selalu spontan dan tidak mengenal ragu. Untung Anton tidak hadir.
"Ketika selesai, aku bangkit, lalu berjalan. Setelah terlambat. aku baru sadar sudah salah arah.
Waktu itu menjelang malam, lewat magrib. Aku tidak berani kembali. Sudah gelap. Terpaksa jalan terus. Eh, sialnya aku terpeleset! Menggelinding ke dalam jurang. Rasanya aku sudah mati. Atau lebih baik mati. Sakit terasa seluruh badan. Tapi rupanya aku memang mesti menyelesaikan kuliah dulu sebelum masuk surga. Di jurang itu bukan, itu lembah -ada yang tinggal. Aku ditolong mereka. Bahkan gadis ayu di sana jatuh cinta padaku."
"Iiih!" seru Wiwi dan mencubitnya, tapi tidak melepas rangkulan. Mianti sempat melihat semua gerak itu. Dia menghela napas dalam hati. Yos memang bukan ditakdirkan untuk dicintainya. Apalagi setelah jadi orang istimewa, tentu dia akan makin jauh darinya.
Melihat Yos dalam keadaan segar-bugar, walau agak kurus, Mianti mendadak tidak lagi merasa bersalah. Hatinya tenang dan lapang. Tekadnya untuk menerima Yos, juga melemah. Terlebih setelah melihat sikap pemuda itu terhadap Wiwi. Dibiarkannya gadis itu menggelantunginya! Nyaris mau mengecupnya. Berarti Yos sama sekali tidak memerlukannya. Pasti sudah melupakannya!
Kalau memang bukan jodoh, biarlah. Asal Yos selamat. dia sudah senang. Namun sambil melangkah pergi, hatinya terasa berat. Seakan ada yang tertinggal. Tapi dia tidak sanggup memperhatikan adegan itu semenit pun lagi.
Anehnya, setelah hari itu, dia sering berselisih jalan dengan Yos. Ketika dia mau masuk kantin, Yos tengah melangkah ke luar. Bersama Wiwi. Memang, mereka tidak rangkulan. Tapi mereka jelas bersama.
Lain kali, dia melangkah masuk ke ruang Tata Usaha ketika Yos mau ke luar. Lagi-lagi ditemani Wiwi. Yos tersenyum dan bertanya
'Apa kabar". Tidak lebih. Sebab Wiwi selalu menyetop setiap lanjutan dengan gerak kepalanya yang sangat berwibawa.
Mianti terkejut. Tidak syak lagi, Wiwi sudah berganti haluan. Tidak lagi menganggap Anton sebagai manusia paling heeiiibat di muka bumi ini.
Pantas yang belakangan ini pernah dilihatnya melamun di pinggir selokan depan kampus. Itu tentunya perbuatan orang gila. Atau orang yang hampir gila.
Dan kenapa manusia segagah Anton hampir menjadi gila?
Mianti bergidik. Tak berani dia mencari jawabnya. Dia lari menyembunyikan risaunya dalam dekapan bantal tidur.
Cindy diberi tugas oleh Ibu untuk mengamati keadaan adiknya. Siapa tahu dia sudah ceria lagi. Dan punya pacar. Atau, lebih bagus lagi, bila dia mau membalas cinta Yos. Bukankah dalam catatan harian berukuran delapan kali dua belas sentimeter itu, Yos sudah menulis tentang perasaannya? Dan Mianti mengaku pada Cindy diteruskan ke Ibu bahwa sebenarnya dia mencintai Yos, cuma ogah dipaksa paksa kawin?!
Dalam hati kecil Ibu, angan-angan masa dulu, masih belum lenyap dua ratus persen. Apalagi kalau menuruti kemauan Ayah"
Namun Cindy tidak bisa memberi laporan yang menyenangkan.
"Mimi masih suka melamun. Ya memeluk bantal, tapi tidak tidur. Terkadang saya bangun tengah malam dan anak itu masih gulak-gulik menunggu lelap."
"Apa dia suka menangis?"
"Tidak." "Menulis surat? Membaca surat?"
Cindy menggeleng. Miami memang kelihatan seakan menjauhkan diri dari penghuni rumah. Bahkan Ayah yang biasa menjadi teman main catur, sudah pula dijauhinya
sejak dia ikut-ikutan Ibu -malah lebih keras! memaksanya kelak menjadi istri' zebra belang seperti Yos.
Apa yang harus kita lakukan untuknya, keluh Ibu. Ya, apa? Cindy tak tahu.
*** Yos mengangkat telepon yang berdering sore itu.
"Ya, betul. Siapa ini?"
"Wiwi." "Hei, aku tidak mengenali. Suaramu lain. Bindeng. Pilek?"
"Yos, Anton di rumah sakit! Tabrakan. Tahukah kau siapa yang sedang jaga malam?"
"Anton? Yang jaga malam? Wah, kalau di Bedah, aku tak tahu. Tapi Budi sedang jaga di Bagian Anak. Nanti aku telepon dia sebelum berangkat. Kau perlu dijemput?"
"Tidak usah." "Wi?" "Apa?" "Tabahkan hatimu, Anton pasti tidak apa-apa."
Terdengar suara tangis sesenggukan sebelum pesawat diputus.
Hampir tiap sore Mianti duduk di teras depan dengan sebuah buku catatan kuliah. Seakan sibuk belajar. Namun Bi Inem yang disuruh mengintip, melihatnya duduk termangu bermenit-menit. Buku itu telungkup tenang di pangkuan.
Mianti merasa tidak mampu memecahkan persoalan yang melilit dirinya. Dia mencintai Yos. Tapi tidak bisa menjadi pacarnya. Sebab itu berarti setuju dengan rencana orang tua. Ingin, tapi tidak bisa. Dia tidak mau menyerahkan kebebasan dan harga diri pada orang tua.
Lebih celaka lagi, sekarang Yos juga berubah. Dia jelas telah memilih Wiwi. Sakit memang melihat seorang manusia begitu mudah berubah pikiran. Baru tiga bulan yang lalu, laki-laki itu masih memintanya kembali. Ketika itu dia tengah bersiap mengikuti tim pendakian.
Tapi sepulang dari sana, belum sekali pun Yos betul-betul mencari dan mengajaknya bicara. Mereka sudah bertemu entah berapa kali.
Di kantin. Di lorong depan wc. Di muka laboratorium Di kamar Tata Usaha. Tapi cuma senyum yang terhidang dan sapa manis 'Apa kabar" yang sebenarnya hambar di hati.
Bagaimana caranya mendekati Yos? Bagaimana caranya hah! Persetan! Dia belum kehilangan harga diri! Dia takkan mendekati orang semacam itu! Dia takkan mendekatinya seumur hidup! Ditambah lagi dengan sikap Wiwi yang terlalu blak-blakan. Dia ngeri membayangkan reaksi kalap manusia seperti Wiwi. Apalagi bila dia merasa hari depannya direbut orang!
Tidak. Yos tidak akan membuatnya melakukan onar di kampus. Dengan pilihannya terhadap Wiwi, sebenarnya sudah lebih jelas seperti apa sifat laki-laki itu. Seorang yang lembut rasanya takkan memilih gadis cerewet dan cempreng seperti itu.
Di samping itu, Mianti mulai menyadari bahwa Budi selalu mendekatinya. Kalau dipikir ke belakang, bahkan sejak mapram dua tahun yang lalu. Bila dia perlu diktat, Budi pasti selalu punya. Bila dia harus Ujian, Budi sering kali memberinya berkas-berkas pertanyaan dari ujian-ujian terdahulu. Apakah...
Bagai disengat kalajengking, Mianti tersentak dari lamunannya sore itu. ketika sebuah skuter hijau
berhenti di depan rumah. Wajahnya seketika pias, seolah sudah pasti, pengemudi skuter itu tahu apa yang baru saja dipikirkannya.
Dan sikap tamu itu pun tidak membuatnya menjadi lebih lega. Sebab air mukanya keruh seperti kanal di tengah kota.
"Ikut aku, Mi. Sebentar saja."
Mianti makin kaget mendengar nada perintah itu. Apa salahnya?!
"Wiwi " "Ayo," desak Wiwi dengan gerak kepala yang terkenal itu.
*** Budi meletakkan telepon dan bilang,
"Saya mau ke Bagian Bedah sebentar. Ada yang kecelakaan."
Suster Nuri tidak merasa heran. Pasti ko-as ini mau latihan menjahit. Di setiap bagian yang dimasukinya, Budi segera terkenal paling rajin. Selalu mau latihan. Selalu mau mencoba. Tidak peduli becus atau tidak. Pokoknya, pernah lihat sekali dan diijinkan dokter jaga.
Di Bagian Anak ini, dia selalu yang melakukan
punksi lumbal (mengambil cairan otak)'. Malah maunya, setiap anak yang panas tinggi, walau tanpa kejang, juga di-punksi.
Dan bila jaga malam, dia selalu bersiul bila banyak pasien muntaber yang perlu diseksi pembuluh baliknya.
Tapi ketika di Interne, dia pernah naas. Mau melakukan punksi pleura (menusuk selaput paru)".
"Bisa?" tanya dokter.
"Bisa," sahutnya mantap.
"Pernah?" "Pernah lihat." Rupanya bagi Budi, pernah lihat sama saja dengan pernah melakukan. Sekali itu dia keliru.
Ketika jarum ditusukkan, darah yang keluar. Jelas dari pembuluh nadi. Untung dokter yang memang meragukan kepandaiannya segera berada di situ. Jarum dicabut. Punksi dibatalkan.
Di ruang jaga, jauh dari pasien, Budi dimarahi.
"Tahukah kamu bagaimana melakukan punksi yang sebenarnya? Jarum ditusukkan di atas iga sebelah bawah. Tadi kamu menusuk di bagian bawah iga sebelah atas. Di situ kan berjalan semua pembuluh darah!"
Budi tidak keder. Tidak kapok. Dia belum pernah masuk co-schap di Bagian Bedah. Tapi sudah beberapa kali melihat teman-temannya melakukan hechting. Bius lokal. Bersihkan luka. Ambil jarum ' untuk mengambil cairan otak " menusuk selaput paru (ada cairan dalam rongga pleura)
dan benang. Semudah itu! Huu huu huu Sambil bersiul dia berjalan menuju Bagian Bedah. Kemudian berlari, takut didahului ko-as lain.
Budi mulai memaki dalam hati. Semua orang kelihatan tenang dan santai, padahal temannya mungkin hampir sekarat saat ini! Seorang mantri yang ditanyainya, menjawab bahwa korban kecelakaan sudah dibawa ke kamar OP. Berarti, keadaan Anton agak atau sudah gawat.
Di muka pintu kamar operasi dia berhenti. Mengatur napas dua detik. Lalu tanpa permisi menerobos masuk. Sunyi. Masih ada pintu lagi. Di mana semua orang? Pasti di balik pintu itu.
Kembali dia menerobos. Masih sunyi. Dan masih ada pintu. Kali ini malah dua, kiri dan kanan. Tapi ada seorang suster muda yang berwajah tua.
"Sus, di mana teman saya?" tanyanya terengah, takut telat.
"Anu, yang baru saja dibawa masuk."
"Di sana," sahutnya sambil menunjuk ke pintu kanan dengan kepalanya, sebab tangannya sibuk bermain di bawah kran air.
Budi membuka pintu dengan sopan. Ruangan itu lebih luas. Dia melangkah masuk dan astaga! Seorang laki-laki tengah duduk di lantai, mengisap rokok dengan damai. Punggungnya tersandar ke dinding. Kedua tungkainya terjulur ke depan.
"Begini rupanya kerja di rumah sakit!" gerutunya cukup keras.
"Pak Mantri, tidak tahukah Anda, bahwa ada orang yang luka berat? Tidakkah Anda mau membantu?"
Seperti sudah diduganya, laki-laki itu tidak mengacuhkannya. Bahkan kedua matanya tetap mengatup. Dengan geram Budi melangkah panjang menghampiri pintu terakhir yang menembus ke ruang OP.
Ketika pintu hampir terjangkau, tahu-tahu dia jatuh terjerembab. Mukanya mencium lantai. Hidungnya nyeri bukan main. Mungkin patah.
Seperti orang gila, dia tertelungkup beberapa detik, berusaha melawan nyeri, lalu pelan-pelan bangkit.
"Aduh!" didengarnya suara suster yang barusan mencuci tangan.
"Biar tahu kesopanan! Buka sepatumu kalau masuk kemari!"
Budi bangkit dengan penuh marah. Diawasinya mantri itu dengan mata bernyala. Dia tahu. laki-laki
itu telah mengait kakinya hingga dia jatuh.
Dikepalkannya tinju. Dipasangnya kuda-kuda.


Ranjau Ranjau Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Berani betul, kau! Mari, bangun!"
"Hai, itu kan Dokter Bedahnya!" seru suster kaget.
Budi lebih kaget lagi. Tinjunya terbuka, lengannya tergantung ke bawah.
"Sudah tingkat berapa?"
"Tingkat lima, Dok," sahutnya lesu.
"Hah!" ejek laki-laki itu.
"Masih jauh! Masih jauh! Apalagi di swasta! Tapi sudah berani kurang ajar sama senior, ya? Tidak tahukah kau, masuk ruang OP mesti buka sepatu?"
"Maaf, Dok." "Jawab saya! Tahu, tidak?!"
"Tahu, Dok." Budi memaki diri sendiri. Saking kelewat ingin hechting, sampai lupa hal yang pokok itu!
"Nah! Jangan sok garang, Bung! Mau lihat temanmu saya jahit tanpa anesthesi lokal? Mau?"
Budi bergidik dalam hati. Seandainya dokter ini benar-benar sableng dan melaksanakan ancamannya!
"Jangan, Dok. Jangan. Teman saya kan tidak bersalah!"
"Hah! Naik motor ngebut seakan jalanan punya kakeknya! Mulut bau alkohol! Apa itu tidak bersalah? Seandainya dia menabrak orang?"
Budi terkejut. Dia tidak menyangka, Anton sudah melarikan deritanya ke botol minuman.
""Sebenarnya bukan maunya, Dok. Pikirannya pasti sedang kalut. Pacarnya dirampas ...."
"Hah! Saya tak punya waktu buat roman picisan! Mau apa kau ke sini sebenarnya?"
"Saya saya ingin melihat ..." Dia menjadi gugup.
"Huh! Kenapa cuma melihat! Sudah pernah hechting?"
Sejenak mereka beradu pandang. Hati Budi menggelepar. Sekarang atau tidak! Dia nekat.
"Sudah, Dok!" dustanya.
"Mau hechting?"
Aduh. Hampir tak kuasa disembunyikannya kegembiraannya. Kalau nanti ternyata mencong-mencong dikit, Anton pasti akan rela memaafkannya. Dan dia akan memberinya sebanyak mungkin anesthesi, supaya temannya sama sekali tidak kesakitan. Serta kerjanya juga bisa tanpa gugup.
"Mau, Dok." "Sana!" Pada saat itu pintu terbuka dan Yos masuk. Juga dengan sepatu. Dokter Bedah menatapnya sekilas dengan tajam, terutama kakinya, lalu dengan tenang melanjutkan,
"Itu temanmu sendiri. Jangan dijadikan kelinci permainan. Begitu kau tidak sanggup, lekas bersiul, panggil saya." Dia memandang Yos sekali lagi.
"Dan Saudara? Juga teman? Tunggu saja di luar!" Lalu dikatupkannya kembali matanya dan diisapnya rokoknya dengan santai.
Yos menatap Budi sedikit tercengang. Budi menggeleng dan memberi isyarat agar dia keluar saja. Yos memperhatikan temannya itu membuka sepatu, lalu dia berbalik.
Di muka kamar OP, dia hampir saja ditabrak Wiwi yang terengah-engah diikuti Mianti. Rupanya mereka berlari sepanjang lorong.
"Di mana dia, Yos? Di mana Anton?"
"Di dalam." Sebelum dia sempat memperingatkan, Wiwi sudah menyerbu pintu. Mianti kelihatan ragu. Ikut masuk? Mau apa? Anton tidak dikenalnya dengan akrab.
"Kau tidak perlu masuk. Mari kita duduk dekat jendela," kata Yos menunjuk ke ujung lorong, beberapa meter dari situ.
"Kenapa aku diajak Wiwi ke sini?" tanya Mianti heran, sambil melangkah.
"Aku bahkan tidak tahu, bahwa Anton kecelakaan."
Yos membisu. Bagaimana harus dijelaskannya? Wiwi mau kembali pada Anton. Dia mau disuruhnya kembali pada Mianti. Mianti mau disuruhnya kembali padanya.
Yos memasukkan tangan ke saku celana seraya berkata,
"Wiwi mau kembali pada Anton." Dikeluarkannya tangannya.
"Maukah kau kem ...?"
"Tidak!" jawab Mianti yang terlalu cepat dan keras, mengejutkannya.
"Aku tahu, kau tidak mau kembali padaku." Yos menghela napas.
"Tani kembang gula ini? Tidak mau?"
"Aku sudah mendengar apa yang terjadi dengan Masiton dan Nita. Aku sangat sedih, bahwa peristiwa itu harus menyangkut dirimu pula. Tapi kasihan ya, Nita."
"Ya. kasihan Nita." Mianti menghela nafas.
*** Bab 13 Akhirnya Budi yang menang. Dan hari pernikahan pun telah ditetapkan. Sabtu pertama bulan Juni. Sebab hari Minggu gereja sudah terlalu penuh dengan tiga pernikahan. Budi tidak mau menunggu sampai minggu depan.
Dan hari itu adalah besok.
Mula-mula mereka akan ke Catatan Sipil. Dari sana langsung ke gereja.
Akhirnya aku harus bilang ?Ya? juga, pikir Mianti sambil duduk di depan cermin. Dia tidak bisa tidur. Padahal besok harus tampak segar dan cerah.
Tapi apa daya. Semuanya bermain kembali di depan mata. Semua yang terjadi dalam hampir sepuluh tahun ini.
Budi dan teman-temannya sudah lulus lima bulan yang lalu. Mianti juga akan maju ujian negara sebelum akhir tahun ini. Budi sangat mendesak. Dan Mianti juga tidak menemukan alasan, kenapa dia harus mengulur waktu.
Jadi, esok! Tapi mengapa semua kenangan mengganggunya? Enyahlah. Pergi! Biarkan aku sendiri. Tak ada gunanya kalian mencoba menggugah perasaanku. Aku tahu, putusan ini tepat dan paling baik. Pergi!
Dia akan menunggu sampai jam dua belas. Setelah itu, terpaksa harus ditelannya pil tidur yang diberikan oleh Budi. Mianti tersenyum. Calon suaminya selalu memperhatikan hal-hal kecil yang sering kali tidak terpikirkan olehnya. Dia tahu, calon pengantin akan sukar tidur.
Mianti bangkit, lalu duduk di belakang meja belajar. Sebuah kunci kecil disisipkannya ke dalam lubang, lalu diputarnya. Ditariknya laci. Segebung surat menerpa matanya. Surat-surat Tibor yang akan dimusnahkan. Diangkatnya bundel itu. Sampulnya semua biru dengan noktah merah-biru di sekeliling. Menurut Tibor, sudah peraturan di Jerman, bahwa surat-surat ke luar negeri harus memakai sampul berwarna. Sampul putih cuma untuk dalam negeri.
Perangkonya bagus-bagus. Akan diguntingnya untuk Yos. Baru-baru ini saja dia tahu hobinya. Perangko.
Yos. Pikirannya teraduk seperti adonan semen-pasir.
*** Yos menyeret Budi. Budi menyeret Tomi. Di tengah-tengah mereka ada Tibor, yang menggapai
gapai. Nyaris tenggelam dalam kesepian.
Dan kenangannya tak terbendung lagi. Merembes ke luar ingatan, lalu tumpah ruah ke atas meja. Bahkan ke seluruh kamar.
Semua itu dibangunkan kembali oleh telepon tadi siang. Dari Yos.
Mula-mula Tibor. Diingatnya tubuhnya yang tegap. Tidak jangkung, namun atletis. Wajahnya juga berotot. Selalu segar dan rapi tanpa kumis sehelai pun. Begitu yang disukainya.
Tapi gambar-gambar yang dikirimnya dari Hamburg menonjolkan air muka agresif yang tidak dikenalnya. Matanya sendu. Namun lekuk bibirnya mulai sinis. Rambutnya juga sering kali acak-acakan. Barangkali dimainkan angin? Barangkali.
Atau mungkin juga tidak sempat bersisir? Kurang tidur? Jawabnya adalah kesepian. Tibor berusaha menumpahkan kesalahan padanya. Sungguh dirasanya tidak adil. Dia sih mau saja ikut ke sana. Tidak apa harus makan roti hitam tiap hari. Tidak apa kedinginan.
Tapi orang tua melarang. Dan mereka yang punya duit. Dengan apa beli tiket? Dengan sobekan koran?
Tibor tidak mau mengampuni. Sengaja diceritakannya segala hal yang dia tahu akan membuatnya merinding. Di antara semua petualangan yang membuatnya mau ongkek-ongkek, dua hal teringat terus. Pertama, perploncoannya di Reeperbahn bersama seorang tante yang montok, berambut pirang, dan suka makan coklat bersama es loli. Mianti pasti tidak akan ingat kisah ini, bila Tibor tidak begitu sadis.
Tanpa mengindahkan perasaannya, Tibor sudah melukis semua itu dengan kecermatan yang mendetil. Maksudnya, mau membuat Mianti merasa bersalah. Tapi hasilnya cuma membuat gadis itu merasa jijik dan tersinggung. Surat itu tidak dibalasnya. Tibor tak mau sudah.
Kedua, menonton pelacur Amsterdam istilah Tibor di jendela kaca. Sangat merangsang dan mahal. Lagi-lagi ditulisnya pengamatan ini dengan sangat terperinci.
Mianti menolak tanggung jawab yang dilempar Tibor ke dadanya. Dia tidak merasa telah menjerumuskan laki-laki itu ke "lembah hitam yang tak berdasar". Ini juga istilah ciptaan Tibor.
Memangnya bakat jelekmu sudah ada. Laten di sini. Mengobar di sana. Dia menulis tak kalah beringas. Benci, marah, dan tersinggung dikirimi surat-surat begituan terus.
Kalau memang punya keberanian dan nurani, baliklah kemari. Adu lidah dengan orang tuaku. Bila kau berhasil membujuk mereka, aku pun tak keberatan menjadi istrimu. Walaupun, mengingat semua yang telah kautulis, aku mulai ragu akan integritasmu. Kini sebagai laki-laki. Dan kelak sebagai suami.
Atau, bila kau tanggung pulang, timbalah ilmu sebanyak-secepatnya di sana. Lantas, balik.
Tibor tidak menanggapi surat ini. Menulis lagi tentang hal-hal lain sama sekali. Seakan tak pernah menerima suratnya.
Mianti mengambil kesimpulan sendiri. Laki-laki itu sudah keenakan lepas dari borgol mami-papi. Mana mau pulang menawarkan kaki supaya diikat lagi.
Ketika dia di tingkat lima waktu itu dia sudah pacaran dengan Budi dan Tibor diberi tahu surat~surat mulai jarang. Tahun berikutnya yang datang cuma kartu ulang tahun dan Natal.
Sejak dua tahun ini. dua kartu itu pun bahkan
tidak muncul lagi. Mianti terkadang rindu sekali, ingin tahu apa kabarnya Tibor.
Bukan. Dia bukan menyesal. Bukan merasa cinta. Tapi dia merindukan masa lalu. Dia tidak rela kelompok teman-temannya yang dulu berpencaran tanpa ketahuan kabarnya.
Tapi dua suratnya yang penuh pertanyaan, telah lenyap tanpa balas. Dan esok, sudah terlambat baginya untuk menulis. Sebagai istri orang, dia takkan merasa leluasa lagi menulis sehalaman penuh untuk seorang kawan pria (yang pernah mencintainya, yang pernah menuliskan segala detil mengenai sport Arab-nya).
Tibor, ade! (bukankah begitu kata Tibor, yang dikatakan orang Jerman bila berpisah?) Auf wieder sehen! Maaf, surat-suratmu terpaksa aku bakar. Namun isinya sudah terekam di kepala.
Lalu Masiton. Sebelumnya, pernah menyelip Yos. Tapi dia tidak mau mengenang Yos.
Masiton pergi ke Kalimantan setelah lulus, dan betah. Nita kabarnya mulai berangsur baik setelah melahirkan dua anak.
Lalu Budi yang akan menjadi suaminya besok.
Dengan Budi sebenarnya sudah dimulai sejak mapram. Tapi matanya baru terbuka setelah Anton sembuh dari tabrakan.
Wiwi kembali pada kekasihnya semula. Mianti melihat mereka selalu mesra, seolah tak pernah ada insiden apa pun. Lebih bagus lagi, Wiwi berubah menjadi lembut dan agak merem semua perkataannya.
Berkasih dengan Budi tidak selalu mudah dan menggembirakan. Kadang dia murung terus. Dan alasannya selalu sama.
"Aku merasa bersalah pada Yos. Aku merasa merampok gadisnya!"
Budi memang erat sekali dengan Yos.
"Tapi kami kan sudah lama putus!"
"Walaupun demikian!"
"Mengapa tidak kautanya dia?"
"Sudah. Dua-tiga kali. Selalu jawabnya, tidak. Aku tidak melukai hatinya. Tidak, dia tidak keberatan. Ya. dia malah senang. Tapi matanya. Mi!"
Matanya bicara banyak. Mengakui bahwa hatinya masih padamu. Aku merasa telah merampas kesempatannya. Aku merasa dibayangi olehnya setiap kali berdua denganmu. Kedua matanya yang hitam terus terkenang olehku!"
Mereka berpacaran dua tahun. Sampai dia hampir naik ke tingkat enam. Tapi jelas sekali, Budi tidak merasa bahagia. Nuraninya sangat putih.
Apalagi, Yos juga tidak merasa segan menemani mereka jadi bertiga. Misalnya di kantin.
Yos selalu bersikap ksatria. Tidak pernah murung bila bersama mereka. Tidak pernah menyindir. Tidak pernah minta belas kasihan. Malah seakan merestui hubungan mereka. Dan karena itu, dia mungkin merasa tak ada halangan menemani.
Tapi Budi merasa tersiksa. Menjelang akhir cinta mereka, dia malah menjadi sedikit paranoid. Menurut pikirannya, Yos sakit hati padanya. Yos pasti tengah berusaha bikin pembalasan. Tidak dengan karatenya tentu saja. Tapi melalui nuraninya.
Mianti berusaha sekuat batin meyakinkan Budi, bahwa Yos tidak sejahat itu. Dia cuma ingin menemani tok. Karena dia sendirian.
Baiklah, bila dia tidak mau lagi makan minum bertiga dengan Yos, mereka tidak akan ke kantin
Matanya bicara banyak. Mengakui bahwa hatinya masih padamu. Aku merasa telah merampas kesempatannya. Aku merasa dibayangi olehnya setiap kali berdua denganmu. Kedua matanya yang hitam terus terkenang olehku!"
Mereka berpacaran dua tahun. Sampai dia hampir naik ke tingkat enam. Tapi jelas sekali, Budi tidak merasa bahagia. Nuraninya sangat putih.
Apalagi, Yos juga tidak merasa segan menemani mereka jadi bertiga. Misalnya di kantin.
Yos selalu bersikap ksatria. Tidak pernah murung bila bersama mereka. Tidak pernah menyindir. Tidak pemah minta belas kasihan. Malah seakan merestui hubungan mereka. Dan karena itu, dia mungkin merasa tak ada halangan menemani.
Tapi Budi merasa tersiksa. Menjelang akhir cinta mereka, dia malah menjadi sedikit paranoid. Menurut pikirannya, Yos sakit hati padanya. Yos pasti tengah berusaha bikin pembalasan. Tidak dengan karatenya tentu saja. Tapi melalui nuraninya.
Mianti berusaha sekuat batin meyakinkan Budi, bahwa Yos tidak sejahat itu. Dia cuma ingin menemani tok. Karena dia sendirian.
Baiklah, bila dia tidak mau lagi makan minum bertiga dengan Yos, mereka tidak akan ke kantin
lagi. Masih banyak tempat makan lain di luar kampus.
Tanpa Yos, Budi juga masih tidak tenang. Terlebih setelah dia mulai masuk co-schap dan sudah jarang ke kampus.
Paranoid-nya' makin menghebat. Dia menuduh Yos sengaja tidak mau seregu dengannya, agar tidak usah jaga malam bersama. Kapan dia jaga, dan Yos tidak, menurut dia, Yos pasti datang ke rumah Mianti. Setengah mati gadis ini berusaha meyakinkan, bahwa ilusi itu tidak betul.
Dia pernah sampai menangis, disuruh bersumpah oleh Budi. Bahwa Yos betul tidak datang.
Akhirnya, dia tidak tahan lagi. Dilihatnya Budi mulai retak dengan Yos. Tingkah laku Budi mulai agak aneh. Gugup. Resah. Seakan dikejar Interpol. Nuraninya yang putih mulai retak. Ketipisan. Tingkah laku orang yang tidak bahagia. Dan dia sendiri juga tidak merasa tenang. Tidak gembira.
Demi kebaikan dan pemulihan segala hal, akhirnya ditulisinya Budi.
"Engkau dan aku, kita masih harus menunggu seabad lagi sebelum menjadi cocok."
Ternyata seabad itu tidak lama.
Kemudian, muncul Tomi. Arek Suroboyo yang menyalaminya pada permulaan mapram.
Mereka mulai pada tahun ketujuh. Mianti tidak lagi menyebut tingkat. Sebab di Kedokteran cuma ada enam tingkat. Tapi tahun kuliah di swasta baru berakhir pada hitungan kesebelas.
Tahun ketujuh, delapan, sembilan. Tiga tahun mereka memadu kasih. Mianti merasa lega. Mengira, pencarian dan penemuan cintanya sudah selesai.
Tomi tidaklah setegap Yos atau Budi. Boleh dibilang kurus. Juga kalah tinggi. Wajahnya pun tergolong biasa. Malah, kalau diperhatikan satu per satu tak ada embel-embel di mukanya yang bisa dianggap bagus. Namun bila semua itu dijumlahkan, secara keseluruhan, dia amat simpatik.
Yang terutama memikat hatinya adalah kedewasaannya. Tomi selalu siap mengambil keputusan. Dan keputusannya juga selalu tegas serta tepat. Ini penting. Penting sekali. Tomi tidak pernah merintih. Tidak pernah resah. Tidak kenal khawatir. Jelas sangat berbeda dengan Budi.
Setelah dibikin menangis-nangis karena tak mau bersumpah, kini bersama Tomi, Mianti serasa
menghirup udara baru. Yang bebas dari polusi kesintingan.
Namun betapapun cocoknya dengan Tomi, akhirnya dia harus melihat kenyataan, bahwa semua hal di dunia, sebenarnya merupakan perpaduan. Tak ada kemurnian.
Positif dan negatif. Putih dan hitam. Siang dan malam. Bahkan bayang-bayang yang pernah menakutinya semasa kecil, merupakan contoh yang mudah. Perpaduan antara cahaya dan kegelapan.
Di samping, kedewasaannya, Tomi sebenarnya merupakan anak manja di rumah. Hal itu tidak disembunyikannya.
Setiap libur, walau cuma sepuluh hari, dia harus balik ke Surabaya.
"Sebab di sana ada Mami yang memanjakan. Kau tidak usah cemburu, Mi. Aku bukan mau melupakan engkau. Cuma sekedar ingin santai. Kota metropolitan seperti ini membuat batinku tegang terus. Jangan cemberut. Pulangnya, aku bawakan oleh-oleh."
Mianti menarik napas. Dalam keheningan kamar, suaranya seperti lenguh gajah raksasa, menghela napas ketika berbalik dalam tidur-seribu-tahunnya.
Diliriknya arloji. Masih ada waktu. Sebentar lagi.
Dan oleh-oleh Tomi yang penghabisan, telah merobek hatinya. Darah bertetesan. Tidak kering dalam seminggu. Penyakit susah tidur kembali mengganggunya.
Dia tidak dapat mengerti mula-mula, bagaimana hal itu bisa terjadi. Hatinya remuk. Tapi tidak lebih parah dari yang sudah-sudah.
Malah sempat dia bilang dengan sinis pada Tomi,
"Tak usah khawatir. Hatiku sudah patah berkali-kali. Sekali dua kali lagi takkan menjadi soal."
Ya, apa lagi yang harus dipersoalkan? Semuanya jelas. Tomi sudah melanggar perbatasan. Dia sudah menginjak ranjau. Sebelah kakinya sekarang telah berada dalam genggaman gadis itu. Alida namanya.
Bom waktu yang tumbuh dalam dirinya menuntut pengamanan dengan segera.
"Ampuni aku, Mi. Aku tidak sengaja. Aku mabuk!"
Mianti menolak ketika Tomi mau berlutut mencium kakinya. Apa gunanya upacara seperti itu? Kalau cuma untuk memohon ampun, tak usahlah.
"Aku ampuni kau. Semoga bahagia. Kau akan terus kuliah?"
"Ya. Alida akan tinggal di rumah orang tuaku sampai aku nanti lulus. Ampuni aku. Ampuni."
"Ah, janganlah melit. Cukup kaukatakan sekali.
Lagi pula, seharusnya minta ampun, bukan padaku. Tapi pada Tuhan."
Kemudian, dia seolah mendapat ilham dari Tomi. Waktu itu Cindy akan menikah. Di antara kesibukan mempersiapkan pesta bagi kakaknya dan Ramsus (akhirnya toh Ramsus, bukan Palka), Ibu sempat bilang,
"Tahun depan kau, ya. Kan Yos sudah mau lulus."
Sesaat. Hatinya tertusuk. Celaka ini. Rupanya mereka masih belum mau sudah dengan ranjau permainan mereka itu.
Apa akal untuk meloloskan diri? Mana Tomi sedang bikin ulah! Setelah Cindy diboyong ke luar rumah, Mianti tidak lagi punya kawan bicara. Ibu tidak enak lagi diajak ngobrol. Apalagi perkara pacaran. Bisa sableng aku, pikirnya.
Dan dia betul-betul menjadi sableng!
Tiga bulan setelah Cindy kawin, Mianti datang pada ibunya dengan air mata berlinang.
"Mam, saya sudah dua kali tidak mens!"
Pernahkah ada rumah kejatuhan meteor? Seandainya pernah, ingin tahu bagaimana paniknya penghuni, sebelum mati?
Nah, begitulah keadaan di rumahnya. Ibu panik. Ayah marah seperti angin topan yang paling ganas. Karena tidak bisa memukulnya, maka benda-bendalah yang menjadi sasaran.
Mianti ngeri tak terkira. Seingatnya, belum pernah Ayah membanting asbak, piring, gelas, jambangan, dan segala rupa yang bisa diangkat serta dibanting.
Ibu menangis terus dalam kamar, seakan anaknya sudah mati. Dia mulai dirasuki rasa sesal. Tapi demi mempertahankan kebebasan diri! Dia mengangkat bahu. Sembunyi dalam kamar sampai badai reda.
Dan hasilnya? Dia menang!
Walau dengan suara parau menahan air mata, Nyonya Burhan terpaksa memberitahukan aib itu pada calon besannya. Yang kini tidak dapat lagi menjadi calon.
Telepon ikut panik selama beberapa hari. Sebab Nyonya Jamal seakan tidak bisa percaya. Dia harus menelepon balik. Menegaskan. Lalu menelepon lagi. Untuk menghibur. Menelepon lagi. Bilang, ah masa tak ada jalan keluar? Menelepon lagi. Pasrah. Ya. apa boleh buat! Bukan jodoh.
Miami ketawa dalam hati. Putus. Dukun klenik itu sudah kalah. Dia tidak bisa lagi disuruh kawin dengan Yos.
Bebas. Dia sekarang bebas. Seperti Cindy. Dia akan memilih siapa saja yang berkenan. Dan sekali ini, dia akan berhati-hati. Tidak perlu tergopoh-gopoh.
Tapi dia lupa, Ibu percaya dustanya. Dan tetap panik.
"Siapa orangnya, Mi? Harus cepat dibereskan! Dalam beberapa bulan lagi, semua
orang akan tahu keadaanmu!"
Mimi sempat bingung. Dia tidak dapat menyebut sebuah nama pun. Ibu mendesak. Mimi menjadi tenang kembali. Pokoknya, terus berlagak pilon. Terus berlagak, tak ada yang mau bertanggung jawab.
Telepon panik lagi. Nyonya Burhan terpaksa minta tolong Nyonya Jamal, agar mau membujuk Yos supaya membantu.
Yos dijadikan reserse untuk mencari dan membekuk biang keladi yang menyebabkan Mianti tidak lagi mens.
Dan akhirnya Yos tahu! *** Mianti sudah masuk co-shap. sekali itu,dia sedang jaga malam di Bagian Penyakit Dalam. Kebetulan saja, malam itu tenang. Pasien gawat tidak muncul.
Dia santai membaca textbook di kamar ko-as, ketika pintu terbuka tanpa ketuk. Dia menoleh.
Yos berdiri di balik pintu. Menatapnya tenang dengan gaya polisi tulen. Tapi kedua tangannya dibenam dalam saku lab jas.
"Hei, aku tidak tahu, kau sedang jaga! Di mana?"
"Di Kebidanan." Lalu tanpa menunggu undangan, diseretnya kursi dan duduk.
"Boleh, kan?" Miami tersenyum. Menunggu. Dia yakin, Yos bohong. Dia bukan sedang bertugas. Mungkin cuma menggantikan orang lain. Sengaja!.
Mau mengorek isi hatinya? Bah! Siapa yang bertanggung jawab? Bah! Hampir dia mengikik geli.
Tapi Yos sama sekali tidak menyinggung persoalannya. Aneh. Namun dia jadi lega.
Mereka ngobrol tanpa keinginan. Akhirnya, seakan sambil lalu, Yos mengeluh tentang seorang pasiennya.
"Kenapa?" Rasa ingin tahu yang muncul Coba dia
tidak bertanya" Coba dapat dikuasainya rasa ingin tahunya! Tapi saat itu dia seperti dungu.
"Kenapa?" Itu yang ditunggu oleh Yos! Mianti tahu beberapa menit kemudian.
"Gadis itu mau dipaksa menikah oleh orang tuanya. Dia tidak mau. Berontak. Kau tahu apa yang terjadi?" Yos menggeser kursinya ke dekat meja, sehingga mereka kini duduk berhadapan. Kakinya diangkat dan diletakkannya di ujung meja.
Mianti tak berani menjawab. Firasatnya sudah lain. Dia bahkan menolak berpandangan muka. Tapi tahu, Yos tengah mengawasinya bulat-bulat.
"Gadis itu menghamili dirinya sendiri!"
Brengsek! Kau menyindir aku!
"Bodohnya, dia tidak tahu siapa yang berbuat. Barangkali waktu itu dia sudah sangat tergesa. Dan lelaki itu cuma orang jalanan yang kebetulan lewat!"
Aduh! Hampir meledak dadanya disindir telak begitu. Tapi apa daya. Dia mesti berlagak tidak mengerti. Dan tetap tersenyum.
"Apakah dia sekarang hampir melahirkan?"
"Belum. Mereka sekarang histeris. Ibu dan anak. Menurutmu, apa yang sebaiknya dilakukan oleh gadis itu?"
Mianti yakin sekarang, bahwa Yos memang cuma mau menyindir belaka. Tanpa pikir panjang, diajawab,
"Mati saja!" "Kau?" Yos membelalak. Tungkainya diturunkannya dari meja, kedua tangan dilipatnya, lalu diajukannya tubuhnya ke depan.
"Kau?" ulangnya.
"Itu nasihatmu? Menghindari tanggung jawab? Di mana prinsipmu? Bukankah menurut engkau, orang tua tidak boleh bertindak semena-mena terhadap anak? Bukankah begitu? Anak harus diberi kebebasan memilih jalan hidup sendiri. Lantas, apakah kau merasa pasti, janin itu ingin juga mati? Ingin juga ikut mati? Bukankah dengan membunuh diri, gadis itu akan bertindak lancang terhadap anaknya? Sebab anak itu pasti mati juga! Hah, begitu? Tidak. Tidak, Mi. Tidak boleh segampang itu! Siapa berbuat, dia mesti bertanggung jawab! Gadis itu mesti melahirkan dan merawat anaknya! Enak amat semua kesulitan mau diselesaikan dengan kematian!" Yos menatapnya tajam sekali. Mianti merinding sejenak, namun segera pula timbul belangnya
Ditutupnya textbook dengan suara keras. Lalu dia berdiri dari kursi.
"Sebenarnya kau sedang bicara tentang pasienmu atau aku???"
Dilemparnya pandang benci ke arah pemuda itu.
Kemudian disambarnya lab jas dari gantungan.
Yos melongo tak mengerti.
"Pokoknya yang penting, perjodohan kita sudah bubar! Aku bebas sekarang! Dukun-dukunan tidak mempan lagi pada jaman ini. Aku bisa ditertawakan semua teman, bila kita berdua sampai kawin! Huh!" Dikenakannya lab jas itu, lalu melangkah ke luar. Yos dengan cepat bangkit, lalu menyambar lengannya. Dipitingnya gadis itu dan dipojokkannya ke dinding.
"Kaupikir," desisnya,
"cuma kau sendiri yang akan malu? Kaukira, aku tidak cukup keras menentang mereka?"
Mianti bergerak hendak membebaskan diri. Bibirnya terkatup erat dalam mimik kesal dan benci.
"Lepaskan! Lenganku sakit! Aku harus mengontrol pasien yang di-infus!"
Yos melepas cengkeramannya dan membukakannya pintu. Tatapan matanya yang tajam takkan terlupa oleh Mimi. Di situ tergambar rasa duka, penyesalan. dan cinta.
Sindiran yang menyakitkan itu membuat Mianti tak bisa tidur semalaman. Padahal. tumben malam
jaga itu relatif tenang. Cuma sekali datang pasien yang perlu cairan. Mestinya dia bisa tidur!
Setelah semalaman menanggung jengkel, esoknya dia bertugas dengan wajah kuyu. Kemudian, dia sengaja pulang jam empat sore. Bukan jam dua. Mau menghindari Yos.
Semua anak yang kuliah maupun praktikum di rumah sakit sudah pulang. Rupanya tinggal dia sendiri dan anak-anak yang dinas malam.
"Hai, Mi! Kok belum pulang? Ayo, mari naik di belakang. Bis sudah jarang kalau sore."
Budi muncul seperti malaikat. Mianti memang sudah agak resah memikirkan bis. Udara mendung pekat. Hari itu dia tidak dijemput, sebab mobil mau dipakai Ayah.
Tanpa sungkan, dia langsung menghampiri Yamaha yang gagah menantang itu. Supaya bisa jalan cepat, Budi memintanya agar mau memeluk pinggangnya erat-erat.
Angin kencang timbul ketika Yamaha itu membelah udara jalanan. Mianti memperhatikan langit. Merasa dikejar hujan. Tegang. Dia takut kehujanan. Tadi pagi sudah bersin-bersin. Badannya juga terasa kurang enak. Agak panas dingin. Mungkin karena tidak tidur semalaman? Akan sakit?
Hujan menertawakan kekhawatirannya. Sebelum mereka masuk ke dalam kota, air langit sudah tercurah melimpah ruah. Mereka tidak sempat mengelak. Tidak sempat berteduh. Begitu saja. Tanpa aba-aba lagi, mereka sudah basah kuyup.
Tidak ada jalan lain. Mempercepat motor, supaya lekas tiba. Untuk apa berteduh dengan baju lekat di badan? Mianti menolak. Dia malu melihat lekuk-lekuk tubuhnya tercetak begitu nyata di balik baju.
"Terus saja. Tidak jauh lagi, kan?"
Nyonya Burhan memarahinya. Budi merasa amat bersalah. Tapi Mianti cuma ketawa.
"Tidak sempat lagi. Mam. Dalam sedetik! Ya, sekejap mata! Kita sudah lepek! Ayo, Bud, masuk. Kau tidak boleh pulang sebelum makan. Dan ganti bajumu dengan baju ayahku." Mianti tiba-tiba menyadari, bahwa Budi mirip dengan Ayah. Tingginya, tegapnya, caranya ketawa, dan kesantaiannya di mana saja. Tak pernah terlihat kikuk.
Mianti memandangnya sejenak. Matanya yang kini sudah pakai gelas, seperti juga Yos dan dirinya sendiri -jemih berkilau seperti bintang .Bibirnya ah. ada apa dengan aku?
"Lekas! Tukar bajumu, Mi! Apa kau mau sakit??? gelegar Ibu.
Dia tidak mau, tapi rupanya harus. Mianti demam tinggi. Menurut Dokter Faramaz, radang paru-paru akut. Ke rumah sakit!
Selama dua minggu berikutnya, Mianti seakan melayang di antara langit dan bumi. Suhunya tinggi sekali, dadanya amat nyeri dan terkadang dia kurang menyadari sekelilingnya.
Ibu, Ayah, dan Cindy terus-menerus menjaganya bergantian. Budi yang merasa bersalah, keluar masuk kamar Mimi berkali-kali tiap hari.
Keadaannya menggawat. Panasnya tidak turun turun. Dan yang ditakutkan memang terjadi. Komplikasi cairan dalam selaput paru!
Nyonya Burhan mempunyai ketakutan tambahan. Ketika bicara empat mata dengan dokter yang merawat, dia segera menumpahkannya.
"Bagaimana kandungannya, Dokter? Bisa diselamatkan? Dia juga mempunyai kelainan jantung " Nyonya Burhan menjadi plin-plan dalam hati. Di satu pihak, dia senang bila terjadi abortus. Itu berarti, Mianti tak perlu kawin segera. Lagi pula, orangnya pun belum ditemukan. Yos tidak berhasil. Menurut Yos, pacar Mimi malah sudah kawin dengan orang lain. Pacarnya mengaku telah menghamili gadis tetangga, tapi dia bersumpah belum pernah menyentuh Mianti.
Di lain pihak, dia merasa kasihan pada anaknya bila itu terjadi. Sayang. Siapa tahu, Miami sesungguhnya menghendaki bayi itu dan bapaknya juga mau bertanggung jawab.
"Ya, kelainan jantung bawaan." Dokter menekan tombol lampu menerangi dua buah gambar sinar X.
"Sekat di sini tidak menutup. Serambi dan bilik kanan membesar. Gambaran paru-paru juga lebih ramai dari normal. Tapi ini semua tidak terlalu tragis."
"Waktu dia berumur dua tahun, dia pernah sakit keras. Apakah lalu kejantung ini?"
"Tidak. Ini bawaan. Sakit kerasnya tak ada hubungannya dengan kelainan ini. Bawaan artinya, sudah ada waktu lahir."
"Tidak perlu dioperasi?"
"Dalam keadaan sekarang, hmm belum. Tapi saya anjurkan pemeriksaan khusus. Misalnya, untuk mengetahui berapa besar volume peredaran darah paru dibanding sistemik. Dari situ akan dapat diputuskan, apakah perlu operasi atau tidak." Tombol ditekan dan gambar-gambar dicabut.
"Dan kandungannya?"
Dokter menatapnya heran. "Dia tidak hamil, Nyonya."
"Bagaimana mungkin! Apakah dia keguguran tanpa ketahuan?"
Dokter menggeleng. "Atau menggugurkan sen ..." Nyonya Burhan setengah berbisik. Matanya membelalak membayangkan sesuatu yang mengerikan.
"Untuk ketenangan Anda, bisa saja kita periksa urine. Tapi saya yakin, hasilnya akan negatif. Dia tidak hamil. Nyonya tidak percaya?"
"Tentu. Saya percaya. Dokter, apakah apakah apakah dia masih masih perawan?"
"Saya tidak tahu. Tidak saya periksa," sahut dokter serius.
"Bisakah diperiksa?"
"Ya dan tidak. Tidaknya, karena ini bukan kasus perkosaan dan pasien sudah dewasa. Harus dengan ijin yang bersangkutan. Kalau dia setuju, nah, bisa." Dokter mendekati ibu pasien dan meletakkan tangan sejenak di bahu.
"Nyonya, untuk apa khawatir tidak keruan? Anak Anda kelihatan seperti orang baik-baik. Tak usah dipikirkan itu. Yang penting
adalah cairan -sudah saya beri tahu tadi, kan?
ini mesti segera dikeluarkan."
Itulah yang menyelamatkannya.
*** Ibu memberanikan diri. "Kenapa kaubilang hamil, padahal tidak?"


Ranjau Ranjau Cinta Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Supaya terpaksa putus dengan Yos. Tidak dipaksa kawin."
Nyonya Burhan sangat iba melihat kekerasan hati anaknya.
"Sekarang kau bebas sudah. Lekaslah sembuh."
Cairan lenyap disedot keluar. Panasnya berangsur turun. Walaupun dietnya masih cair. tapi dia sudah mau makan. Dan pada suatu hari, Budi muncul untuk menyuapinya.
"Perintah dari Dokter Camar," katanya mengibaskan protes Mimi.
Sebenarnya, dia merasa bersalah. Gara-gara kehujanan, pikirnya, Mimi jadi sakit.
Ketika dokter menjenguk, Mimi sudah bisa guyon.
"Dok, kenapa sih menyuruh Budi menyuapi saya?"
"Apa? Budi? Menyuapi kamu? Saya yang suruh?"
Ada sebersit sinar aneh jenaka dalam matanya, tapi begitu cepat disambungnya kata-katanya, sehingga Miami tak mampu melihatnya.
"Aaaah" Dokter Camar ketawa lebar. Tidak membantah. Tidak pula mengiakan.
Ketika Budi datang lagi waktu makan siang, dia dipanggil ke kantor Dokter Camar.
"Saya sudah dengar, kamu ini paling senang coba-coba. Selalu mau latihan. Apakah ..." Dokter Camar bicara sambil berdiri. Kedua telapaknya ditekan ke meja. Tubuhnya dijorokkan ke depan, mendekati Budi yang berdiri berhadapan tepat di pinggir meja.
" kamu sekarang sedang latihan menyuapi pasien?"
Budi nyengir. Nyaris menggaruk kepala.
"Saya merasa bersalah, Dok. Saya bawa dia hujan-hujanan!"
"Bukan! Kamu bukan merasa bersalah. Bolehkah saya kasih tahu?! Kamu mencintainya! Ya, kan?"
*** Tali kasih antara Budi dengannya terjalin baru. Kali ini tanpa rasa bersalah. Budi merasa malah bangga dan bahagia.
"Aku tahu sekarang, Yos memang sengaja memutuskan hubungan denganmu! Karena dia tahu,
kau punya ASD. Dia tahu septum" jantungmu bocor. Dia tidak mau dibebani istri penyakitan! Hah! Berlagak di luaran seperti gentleman! Tidak tahunya! Dan dari dulu aku mengira telah merampasmu dari sampingnya! Padahal sebaliknya! Akan kutunJukkan padanya, bahwa engkau amat berharga bagiku. Bahwa aku tidak akan bersikap pengecut seperti dia! Mimi, aku bahagia kini!"
Mereka pacaran setahun lebih. Sambil menunggu Budi lulus. Yos tidak pernah mengganggu mereka. Tidak pemah mendekatinya untuk menguji kekuatan batinnya.
Walaupun mereka berdua sudah bertengkar perkara ASD, namun Budi dan Yos tetap bersahabat.
Dan akhirnya. Esok Sebuah pertanyaan semula berkeliling dalam pikiran Mianti. Betulkah Yos telah melepaskannya, karena dia menderita kelainan jantung? Barangkali dia khawatir, takkan boleh punya anak? Atau kelak, istrinya jadi penyakitan?
Semua itu kan tidak benar! Oia boleh punya anak.Kelainannya ringan. Tahukah Yos?
Mereka pisah karena hal lain. bukan?
*** Tadi siang telepon berdering. Cepat diangkatnya. Supaya jangan menambah senewen dirinya yang sudah resah menanti hari esok.
"Ini Mimi, ya?"
"Hai, Yos! Apa kabar?"
"Kabar buruk!" "0h. Siapa yang meninggal?"
"Lebih buruk lagi dari itu!"
"Maksudmu, Knop lagi? Rupiah didevaluasi lagi?"
"Kekasihku mau kawin!"
"Ah! Jangan diungkit lagi. Nanti aku nangis!"
"Ola la! Besok hari besar. kok mau nangis ?"
"Kalau engkau bikin aku sedih?!"
"Aku justru ingin membahagiakanmu, Mi. Menggembirakan hatimu, Selalu. Sejak dulu. Tidakkah engkau mengerti? Tidakkah kau sadar? Apakah kau betul-betul merencanakan bunuh dirimu mulai esok?"
"Kau mau apa?" "Pikirkanlah sekali lagi, Mi. Masih belum terlambat. Percayalah padaku. Seperti kataku beberapa hari yang lalu, ibuku bilang dia malah berani bersumpah kalau perlu bahwa dukun itu sebenarnya tidak menjodohkan kita berdua. Dia tidak menyebut namaku."
"Dukun lagi!" Mianti mengeluh.
"Tapi dia harus disebut. Penting. Supaya kau betul mengerti. Kita tidak dijodohkan. Ayahku yang menawarkan diriku pada orang tuamu. Kata ibuku, ayahku berhutang budi terlalu besar pada ayahmu. Jadi, seandainya ayahku tidak bilang apa-apa, bisa saja kau diberi pasangan lain. Sahabat ayahmu tentunya bukan ayahku tok. Jadi cinta kita ini bukan paksaan, Mi. Bukan klenik. Bukan takhyul. Normal senormal normalnya!"
"Hentikan, Yos. Aku tak mau mendengar lebih lanjut. Aku sudah terlanjur bilang,
"ya'. Kaukira ini main-main? Kenapa bukan dari dulu? Bukankah pengumuman di gereja sampai tiga Minggu berturut turut? Kenapa kau diam saja ketika kami masih pacaran?"
"Aku tidak menyangka, kau akan nekat!"
"Aku sama sekali tidak nekat. Sudah kupikirkan semuanya setahun lebih. Dan betulkah engkau dulu menghindari aku? Karena ASD?"
"Itu prasangka Budi. Aku tidak berusaha meralat. Sebab aku tidak mau membeber persoalan kita.
Kau pasti akan malu. Aku juga."
"Janganlah mengganggu aku lagi. Kau tidak boleh egois. Ingat, Budi adalah kawan karibmu. Sampaikah hatimu menghancurkan hidupnya?"
"Aku bukan mau menghancurkan sahabat sendiri. Aku memikirkan engkau. Supaya hidupmu jangan hancur! Supaya kau jangan sampai merana dalam pelukan orang lain."
"Aku takkan merana bersama Budi."
Betulkah dia takkan merana? Sanggupkah dia melupakan Yos?
Matanya menyentuh gebung surat-surat yang tergolek di meja. Diliriknya arloji.
Aku harus minum pil itu, pikirnya. Lalu disimpannya kembali semua surat dari Tibor. Nanti akan dibakar, setelah dia sempat mengguntingi perangkonya. Untuk ...?
*** Bab 14 Esok pun tiba. Sabtu pertama bulan Juni. Direncanakan, jam sebelas: Catatan Sipil. Jam setengah satu: gereja. Jam dua: pesta. Jamuan makan siang ini sengaja diperlambat, setelah diperhitungkan, bahwa dua pertiga dari hadirin masih harus bekerja setengah hari. Yang akan hadir di gereja cuma kerabat saja dan sebagian kecil undangan yang libur di hari Sabtu.
Jam empat Mianti terbangun dan tidak bisa tidur lagi. Jam lima dia minta sarapan. Segelas kopi susu. Sarapan yang aneh. Tapi dituruti seakan dia seorang narapidana yang sebentar lagi akan berhadapan dengan skuadron tembak.
Jam enam mulailah kepikukan dengan munculnya Cindy membawa tukang rias, yang dulu meriasnya juga. Suasana bahwa hari itu lain dari biasa, segera terasa.
Mianti belum mandi, ternyata. Tergopoh-gopoh dia berlari minta handuk. Perias menggeleng kepala. Ibu sudah mendekati panik. Khawatir tidak akan cukup waktu.
Paniknya meledak ketika Yos muncul setengah jam kemudian. Mianti tengah dirias dalam kamarnya di lantai bawah. Sejak Cindy menikah, Mimi pindah ke kamar yang lebih kecil. Dia merasa segan naik turun tangga sendirian. Juga kamar di loteng terlalu besar. Di samping itu, enak ditemani Bleki tiap malam.
Pintu kamar tidak ditutup rapat, sebab AC mendadak rusak. Mianti mendengar suara Ibu panik. Tidak tahu kenapa.
Cindy masuk untuk mencek keadaan Mimi. Jauh dari beres. Tapi perias kelihatan tenang. Pasti cukup waktu.
"Kenapa Mama menjerit begitu?"
"Yos sudah datang!"
"Lantas?" "Dia datang sendirian!"
"Lho!" Menurut rencana, Budi akan datang ditemani Yos dan Luki. Tapi pagi itu telepon di rumah Yos berdering. Dengan terbata-bata Yos berusaha menjelaskan duduk perkara, tanpa meninggikan tekanan darah nyonya rumah. Dia memilih kata-katanya dengan hati-hati. Sengaja tidak mau menjelaskan secara detil.
Pertama, karena kode etik kolegial. Kedua, karena khawatir Nyonya Burhan akan pingsan.
Dia tidak mau menyalahkan Budi. Dan tidak dapat. Hatinya sudah terlalu pedih memikirkan nasib kawannya itu. Memang, mesti diakui, Budi terkadang kelewat berani. Mengerjakan apa saja mau. Coba-coba pun jadi. Walau dia tidak mahir atau malah tidak begitu paham cara-caranya.
"Aku sial, Yos! Pasien yang dikuret kemarin dulu, mati!"
Yos menekan rasa kagetnya supaya kawannya jangan tambah stress.
"Kau yang melakukan?"
"Tentu saja. Kalau tidak, masakan aku bilang, aku sial? Dokter Herman menawarkan, ?Ada kuret, apa kau mau? Saya harus seksio(Bedah Kaisar)?.
"Tentu saja aku bilang ?Mau!? Mana aku tahu, itu abortus kriminalis! Mana aku tahu pasien itu sebelumnya sudah dipermak oleh bidan liar! Mana aku tahu, sonde(nama alat) rupanya telah menembus dinding uterus!"
Budi menghela napas. "Lantas sekarang?"
"Kalau pasien ini dari kampung, barangkali cukup uang duka saja; Berapa pun aku bayar! Tapi ini
rupanya anak orang gedean! Malah punya bintang. Lebih baik tidak aku sebut jumlahnya. Mengerikan. Aku heran, kepalaku masih selamat sampai saat ini. Tapi "
Budi terdiam, sementara Yos memegangi tangkai pesawat makin erat, seakan itu nyawa temannya yang tak boleh dilepas.
"Halo, halo? Kau masih di situ?"
"Tentu saja! Aku kan belum selesai?"
"Ya, selesaikan. Anu, ceritanya boleh belakangan saja. Yang penting, bagaimana urusanmu dengan Mianti?! Bukankah kau menelepon ini ada hubungannya dengan Mimi?"
"Ya." Lesu. Lalu disambung setelah membersihkan tenggorok atau membersit hidung? "Yos, katakan pada orang tuanya, terutama padanya sendiri. aku minta ampun sebesar-besarnya. Aku tidak bisa datang ."
"Apa maksudmu?"
"Aku tidak boleh datang. Perkawinan itu batal. Aku menarik diri. Kau saja yang menggantikan, Yos. Tolonglah. Demi persahabatan kita. Kaugantikan, Yos. Jangan sampai Mimi mendapat malu!"
"Hei, apakah kau mendadak gila? Apa-apaan ini? Kaupikir ini main-main?" teriak Yos, sekarang
marah walau tadi sedih (untuk Budi).
"Aku tak banyak waktu. Mereka menunggu. Polisi-polisi. Rumahku sudah jadi tontonan sejalanan. Aku harus segera masuk tahanan. Mereka, atas perintah bapak pasien, tidak mengijinkan aku menyelesaikan urusan hari ini. Dengan sinis ada yang bilang,
"Nanti saja setelah sidang pengadilan dan Saudara dibuktikan tak bersalah. Lain kali. Tapi tidak hari ini!' Yos, aku tahu, tidak ada lain kali. Aku pasti akan ditemukan bersalah! Bila aku memaksa, mungkin mereka akan menyuruh pengantin dan pastor datang ke tahanan. Itu tak mungkin aku lakukan terhadap Mianti. Aku tak mau menjadikannya sasaran pers jail. Dan aku juga tahu, tak mungkin mengharap sedikit dispensasi dari orang di belakang ini semua. Dia kehilangan anak perempuannya. Jadi kenapa dia harus membiarkan si pembunuh yaitu aku berbahagia hari ini? Gantikan aku ya, Yos. Aku tidak memilih Luki, karena dia sudah punya Anita. Di samping itu, aku tahu di mana hatimu! Terima kasih ya, Yos. Jangan kecewakan Mimi hari ini! Surat untuk pastor dan cincin, akan segera diantar."
Mana mungkin Yos akan menceritakan semua itu kembali? Diserahkannya surat untuk pastor dan
kotak cincin pada tuan rumah. Dia berharap ceritanya akan cukup jelas, walau terlalu singkat.
"Bagaimana?" tanya Nyonya Burhan setengah berteriak.
"Coba kauulang sekali lagi."
"Budi ditahan polisi. Upacara hari ini terpaksa dibatalkan anu ditunda sampai (ini sarannya sendiri) dia bebas."
"Sampai kapan?" tuntut Nyonya Burhan melengking.
"Dokter kan manusia biasa juga. Mungkin saja berbuat salah. Bukankah dia baru lulus? "
"Tidakkah ada atasannya di rumah sakit itu?"
"Ada, Tante. Persoalannya, pasien ini anak pejabat. Mungkin jendral."
"Wah, gawat!" Pak Burhan menggeleng dan dalam hati segera memutuskan, keluarganya tak boleh terlibat perkelahian dengan seorang jendral.
"Bagus Budi masih berpikir panjang. Dia rela membatalkan perkawinan ini!" katanya mengangguk sambil membuka kotak kecil dan memperhatikan kedua cincin.
"Pa, kenapa kau bilang begitu?" lengking sang Istri.
"Apanya yang bagus? Anak kita sudah dirias. Sebentar lagi akan mengenakan gaun pengantinnya. tapi tidak jadi! Apanya yang bagus?"
Lalu dia menangis. Cindy yang membisu sejak tadi, ikut mewek.
Sang Ayah melirik ke arah kamar Mimi, yang pintunya digantungi karangan bunga.
"Huss, huss! Nanti kedengaran ...."
Sang Istri dan Cindy menurut dan menyusut mata mereka.
"Kau belum bilang, sakit apa pasien itu?" tanya Pak Burhan.
"Dan apa yang telah dilakukan Budi terhadapnya ?"
"Budi melakukan curettage."
"Apa?" "Abortus." "Astaga! Kenapa dia begitu ceroboh? Barusan lulus ..."
"Disuruh atasan." Yos merasa perlu membela Budi, walau percuma.
"Dia menyangka, pasien itu seorang nyonya biasa yang mengalami abortus tidak lengkap. Jadi harus dikuret. Siapa sangka, dia seorang gadis! Putri orang terkenal, lagi!"
"Oh, oh, oh," Nyonya Burhan merintih dalam kursi.
"Apakah dokter yang satunya tidak ditahan?" Pak Burhan penasaran.
"Entah, Oom. Budi lupa bilang. Tapi saya rasa,
pasti kena juga." "Oh, apakah yang harus kita lakukan sekarang?" ratap Nyonya Burhan.
"Oh, Yos, apakah yang dapat kita lakukan sekarang?"
Yos menggigit bibir bawahnya sampai berdarah. Dia tidak dapat menjawab. Ditatapnya bergantian Tante dan Oom Burhan, lalu Cindy. Seperti si Bego hilang ingatan, dia berdiri di tengah ruangan.
"Kita harus memberi tahu dia!" Akhirnya Pak Burhan mengambil keputusan. Dan ini menyadap kembali kepiluan dari lubuk hati sang Ibu.
"Oh, ooh " "Cindy, bawa ibumu ke loteng. Papa akan bicara dengan Mimi."
Nyonya Burhan tidak membantah ketika dipapah anaknya. Dia juga tidak mau meraung di situ, khawatir membuat Mimi kenapa-kenapa. Bukankah jantungnya sejak lahir tidak beres? Nyonya Burhan selalu takut jangan-jangan Mimi kena celaka karena jantungnya itu.
Yos mengawasi laki laki setengah tua itu menghilang ke dalam kamar anaknya yang pintunya kini ditutup. Karena tidak ada orang yang akan menyilakannya duduk, maka Yos mengundang dirinya sendiri.
Dipilihnya kursi rotan yang kebetulan terletak di depan pintu kamar Mianti, di seberang ruangan.
Cepat sekali Pak Burhan sudah keluar lagi. Dengan kepala menunduk. Tanpa menoleh pada Yos, dia berjalan terus ke ruang depan. Terdengar suara helaan napasnya ketika dia menjatuhkan diri ke atas kursi plastik yang disewa untuk pesta.
Yos berperang dalam hati. Dia tidak mengatakan sedikit pun mengenai anjuran atau keinginan Budi. Dia tidak berani usul untuk menggantikannya. Tapi sebuah pikiran tak mau hilang.
Bagaimana sikap Mianti di dalam kamar? Bagaimana perasaannya?! Bagaimana perasaannya sendiri seandainya dia berada di tempatnya?
Yos menggigit kembali bibirnya. Tidak cukupkah itu dijadikan alasan untuk bertindak, walau dicap gila-gilaan nanti? Tidak cukupkah keaiban yang akan menimpa Mimi dijadikan alasan untuk bertindak gila?
Yos teringat tuduhan Budi tempo hari. Mereka sedang berduaan di kamar ko-as.
"Aku tahu sekarang kenapa kau putus dengan Mianti! Bangsat! Rupanya kau sudah tahu, dia mempunyai kelainan jantung congenital! Kau tidak mau dibebani seorang istri yang penyakitan, bukan? Setan! Mau enaknya saja, ya? Akan kutunjukkan padamu. bahwa aku tidaklah serendah engkau! Mimi tidak begitu penyakitan seperti yang kaukira. Dia cukup berharga bagiku! Aku sekarang tidak lagi merasa bersalah. Aku tidak merebutnya dari engkau. Bahkan sebaliknya!"
Yos ingat, dia berdiri tanpa kata dan langsung melangkah ke luar kamar. Tapi Budi menyambar lengannya dan menggenggamnya erat-erat. Matanya menatap benci. Nyaris diludahinya Yos.
"Kaudengar apa yang kukatakan, Bangsat! Akhlakmu kiranya dangkal, sampai hati meninggalkan cewe di tengah jalan!"
Dikibaskannya lengannya sehingga Budi terdorong ke belakang. Dengan gigi gemeretuk dia melangkah cepat-cepat, seakan di kamar itu ada setannya.
Ketika sudah berada di lorong bangsal, baru disadarinya bahwa jantungnya telah berdebar kencang. Hampir saja terlompat dari mulutnya dongeng tentang dukun-dukun klenik. Untung masih dapat ditahannya perasaannya. Biarlah Budi mengambil kesimpulan sendiri!
Diliriknya jam dinding. Waktu merayap terus. Yos mulai dijalari panik. Detik terus berjalan. Menit terus lewat.
Tidak dapatkah diambilnya keputusan? Bayangkan saja ini rumah sakit. Seorang pasien dalam keadaan bahaya maut, seandainya dokter tidak dapat mengambil keputusan dalam beberapa menit.
Operasi atau tidak? Kalau ya, operasi, apakah akibatnya? Bahayanya? Kalau tidak, apa pula akibatnya?
Kalau tidak, jelas sudah.
Mimi akan jadi bahan gunjingan. Dan mesti ditanggungnya sendirian. Barangkali malah ada sementara pihak yang menganggapnya pembawa sial. Ini lebih gawat lagi. Bisa-bisa seumur hidup takkan laku lagi. Takkan ada laki-laki yang biasanya pengecut atau punya ibu takhyul mau menghampiri.
Kalau ya? Kalau ya, Mimi mungkin juga akan tetap jadi bahan gosip. Pada hari pernikahan, calon suami dijebloskan ke penjara! Lalu "dioper" oleh kawan si calon.
Gunjingan seperti itu tak bisa dicegah. Manusia
tidak cuma hidup dari air dan udara, melainkan juga dari menceritakan perihal orang lain.
Namun paling tidak, itu akan ditanggungnya bersamanya. Berdua! Dan bila dia berhasil membahagiakan Mimi, maka tak ada lagi gosip yang dapat melukainya.
Beranikah dia? Diingatnya pembicaraan telepon kemarin siang. Agak ciut nyalinya mengingat kekerasan hati Mimi. Kalau dia menolak lagi sekarang?
Bukan soal! Tak apa! Yang penting, aku mencoba! Yang penting, aku sangat mencintainya. Tidak boleh ada kesusahan menimpa dirinya selama aku bisa mencegah.
Setelah bulat putusan, Yos tiba-tiba berdiri dan melangkah panjang menyeberangi ruangan, lalu mengetuk pintu kamar.
Karena terlalu tegang dan perhatian terpusat ke pintu, tidak dilihatnya Nyonya Burhan sudah menuruni anak tangga dan melihatnya. Nyonya itu mengangkat tangan kanannya dengan rupa kaget, lalu menutupi mulutnya, seolah mau mencegahnya berteriak. Di sebelahnya, Cindy juga tertegun.
Pelan-pelan mereka menuruni tangga Tanpa berbunyi. Seakan kena telepathi, Pak Burhan juga
bangkit dan masuk ke dalam.
Yos membuka pintu dan menghilang. Ketiga orang di luar menghentikan langkah mereka dan saling berpandangan.
*** Mimi mengangkat mukanya yang menunduk. Mereka berpandangan. Yos melihat bahwa tugas perias sudah dihentikan walau belum selesai. Wanita muda itu tengah duduk di pinggir jendela memandang ke taman.
Dalam kilatan detik pertama, Yos teringat bahwa dia sebenarnya mula-mula ingin dan bisa menolak menemani Budi kemari. Namun hati kecilnya seakan tak rela melepas kekasih begitu saja tanpa melihatnya lagi untuk penghabisan kali.
Setelah upacara hari ini selesai, Mimi dianggapnya bagaikan telah mati. Baginya. Karena itu dia harus mengantar. Harus menyiksa diri.
Tapi upacara itu tidak jadi berlangsung. Sukar merasa gembira, bila ini dikaitkan dengan nasib Budi. Entah dipermak seperti apa dia di sana. Entah bisa keluar hidup, entah harus dalam box!
Yos tak peduli, apakah perias muka itu mengawasi mereka atau tidak. Peduli amat bila dia mau menguping. Dan memang pasti didengarnya semua
"Tak banyak waktu lagi, Mi," katanya lembut tapi dengan desakan. Wajah Mimi membayangkan kecemasan, kegelisahan, keragu-raguan, dan pasrah.
"Engkau masih ingat teleponku kemarin? Semua yang kukatakan itu benar. Bilanglah ?ya?! Jangan bodoh! Jangan menyiksa dirimu sendiri!"
Mimi mencoba bicara. Bibirnya sampai menggeletar, namun lidahnya tidak sanggup melahirkan sepotong kata pun.
Yos melihat kotak cincin di atas meja. Diambil dan dibukanya. Dicobanya yang besar. Pas. Yang kecil dimasukkannya ke jari kelingking. Juga cocok. Diletakkannya kembali ke tempat semula.
"Mimi, Sayang, katakanlah!" desaknya.
Gadis itu menggigit bibirnya yang bergetar. Air matanya sampai berlinang, karena ingin sekali bicara, tapi tak sanggup.
"Mengangguklah." Yos berlutut dan memegang sebelah tangannya.
Mimi menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Lalu mengangguk. Berulang-ulang. Yos mengecup tangannya.
"Mbak. silakan riasnya diselesaikan. Upacara ini
akan diteruskan!" Yos ke luar kamar dan mendapati dirinya ditatap oleh tiga pasang mata. Dipandangnya Oom dan Tante Burhan bergantian. Cindy, tidak.
Wajahnya tenang sekali ketika dia bilang,
"Oom dan Tante, saya akan menggantikan Budi."
"Oh!" Nyonya Burhan menutup mulut dengan telapak tangan. Matanya membelalak.
"Betapa mulianya engkau, Yos. Tapi siapa yang akan menandatangani surat nikah?"
"Saya." "Atas nama Budi?"
Oh, mereka tidak mengerti juga. Budi sudah boleh dianggap almarhum saja. Sulit sekali bisa keluar dari lingkaran pembalasan orang yang gelap mata, dengan masih utuh.
"Atas nama saya. Mimi sudah setuju."
Nyonya Burhan menatapnya sejenak dengan rupa kurang mengerti. Ketika pada detik berikut, otaknya sudah paham apa yang didengar, dia memekik,
"Oh!" Lalu berlari menerjang pintu kamar Mianti.
"Oom, bolehkah saya pinjam telepon?"
Pak Burhan seakan tersentak dari sihir.
"Silakan. Silakan." Tapi nampaknya dia tidak begitu mengerti apa yang ditanyakan.
Yos melangkah ke ujung ruangan, tempat pesawat berada. Tiba-tiba dia berhenti dan menoleh.
"Oom, apakah Oom sama sekali tidak keberatan?"
"Tidak. Tidak." Masih kelihatan linglung dan bingung. Begitu juga Cindy yang mematung di dekat ayahnya.
"Anu, bahwa saya akan menikah dengan Mimi, Oom setuju?"
"Setuju. Setuju."
"Terima kasih, Oom." Lalu diteruskannya langkahnya. Semua itu kelihatan menggelikan dan akan membuat penonton ketawa, seandainya terjadi di atas panggung teater. Tapi saat itu tak ada yang menganggap setiap gerak dan mimik mereka lucu.
Untung belum ada satu pun tetangga atau famili yang datang. Sebab baru jam tujuh.
"0h, Mimi, betapa buruk nasibmu!" pekik ibunya di ambang pintu sebelum masuk ke dalam.
"Engkau terpaksa melepaskan orang yang kaucintai dan kaupilih!"
Tapi lho! Miami tidak kelihatan sedih. Mukanya
tabah. Dapat dikatakan bercahaya. Penuh harapan! Make-up wajahnya hampir selesai. Ibunya melihat dia melirik ke arah gaun yang tergantung di sudut kamar.
Malu-malu, dia tersenyum bahagia.
"Mam, sejak dulu cuma satu orang yang saya cintai! Yos!"
"0h!" terdengar lagi teriak Nyonya Burhan yang selama itu tidak diketahui berbakat histeris sampai ke luar kamar. Pak Burhan kini tergopoh-gopoh ikut masuk.
Sementara itu terdengar Yos bicara dengan tenang di telepon,
" Ukuran jari saya seperti jari Papa, Mam. Ukuran jari Mimi sekelingking saya. jadi sekelingking Papa. Juga, Mam, jangan lupa ya, surat lahir, surat permandian, surat kelakuan baik, surat keterangan belum pernah menikah, surat bebas G-30-S. O ya, buketnya juga. Ya, ya, jam sebelas Catatan Sipil. Setengah satu gereja. Jam dua baru makan. Ya, saya akan segera pulang untuk ganti baju. Mau bicara dengan Oom?"
Tepat saat itu Pak Burhan tengah membimbing istrinya keluar dari kamar Mianti.
"Oom, Mama mau bicara sebentar."
Pak Burhan bergegas menghampiri. Wajahnya
serentak lebih terang dan senyumnya untuk pertama kali merekah sejak Yos tiba. Pembicaraan yang menyenangkan itu tidak makan waktu banyak. Sebab rupanya orang tua Yos memerlukan segenap detik dan menit untuk mengurus keperluan anaknya.
Pak Burhan kini memutar nomor Catatan Sipil.
"Ya, ya. Minta Pak Ibrahim. Ya, ya. Sangat, sangat, sangat penting." Untunglah lbrahim bekas teman sekolahnya yang masih rapat dengannya.
Ditutupnya mulut telepon, lalu menoleh ke arah Yos yang sedang pamitan pada istrinya.
"Saya harus salin pakaian, Tante. Mimi akan saya jemput jam sepuluh seperempat. Jalanan biasanya macet ke arah sana."
"Mami dan Papi?" tanya Nyonya Burhan yang sekarang sudah tenang kembali.
"Akan ikut datang. Mami tadi sudah bicara dcngan Oom."
"Tante juga mau bicara dengan Mami, kalau dia belum keburu ke luar rumah. Oh ya, setelah di gereja nanti, kau harus panggil Tante, Mami, lho. Seperti Mimi!" Untuk pertama kalinya, nyonya rumah tersenyum. Bersama Yos.
"Yos, siapa nama lengkapmu?" tanya Pak Burhan. masih menutupi mulut telepon.
"Dan tanggal lahirmu ?" *** "Yosef Jamal, maukah engkau menerima Agnes Mianti Burhan sebagai istrimu?"
"Ya, saya mau."
"Agnes Mianti Burhan, maukah engkau menerima Yosef Jamal sebagai suamimu?"
"Ya, saya mau."
Nyonya Jamal menekankan sapu tangannya ke ujung mata, diikuti oleh Nyonya Burhan.
Dengan biaya ekstra, semua berhasil diperoleh. Nyonya Jamal mengurus surat-surat yang diperlukan dan memesan buket. Pak Jamal ngebut mencari cincin. Ukuran yang tepat diperoleh dalam toko kelima. Sebuah toko yang besar dan mewah. Bisa langsung di grafir. Sudah tentu semuanya ekstra mahal.
Tapi Yos adalah anak tunggal dan Pak Jamal sedang membayar hutang budinya pada Pak Burhan.
Dulu, Pak Burhan yang menyelamatkan lehernya dari samurai. Sekarang, dia yang menyelamatkan muka sahabatnya itu. Bukan berarti bahwa hutang budinya akan dianggapnya impas! Bukan! Hutang
itu akan tetap membuatnya berterima kasih dan dekat pada Burhan.
Cuma saat ini, ada rasa bangga dan haru dalam hati, karena telah berhasil menggembirakan dan membahagiakan sahabatnya sekeluarga. Coba anakanak itu tidak banyak ulah, semua kesulitan ini tak perlu terjadi. Untunglah semua akhirnya beres.
Mengenai hutang piutang, sama sekali tak ada dalam pikiran Mimi dan Yos. Yang ada dalam hati mereka hanyalah rasa haru, syukur kepada Tuhan, dan cinta yang meluap. Mereka pantas dimaafkan bila sesaat itu telah melupakan Budi.
Ketika organ mengalunkan ciptaan BachGounod, Ave Maria, tidak terasa oleh Miami, setetes air mata telah jatuh membasahi sarung tangannya. Tenggoroknya rasa tersekat.
Kebahagiaan, seperti juga kesedihan, terkadang menimbulkan rasa terharu yang menyesakkan dada.
Bagaimanapun, ranjau yang ditanam masa lalu, kini telah dimusnahkan.
Ave Maria Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://ceritasilat-novel.blogspot.com
Sampai jumpa di lain kisah ya !!!
Situbondo,11 Agustus 2018
Terimakasih Tamat Lembah Berdarah 21 Pena Beracun The Moving Finger Karya Agatha Christie Terjebak Di Gelombang Maut 2

Cari Blog Ini