Ceritasilat Novel Online

Selubung Sutra Dewangga 1

Selubung Sutra Dewangga Karya Maria A. Sardjono Bagian 1


Maria A. Sardjono COVER Selubung Sutra Dewangga | 1
Maria A. Sardjono Selubung Sutra Dewangga | 2
Maria A. Sardjono MARIA A. SARDJONO SELUBUNG SUTRA DEWANGGA Seri Teratai Selubung Sutra Dewangga | 3
Maria A. Sardjono Kisah ini hanya fiktif. Persamaan nama tokoh, jabatan,
tempat kejadian dan peristiwa,
hanyalah kebetulan semata-mata.
SELUBUNG SUTRA DEWANGGA Karya : Maria A Sardjono Dicetak pertama kali oleh :
Penerbit TRIKARYA, Jakarta
Cetakan T. 09 : 1992 Perancang Sampul : Floren
Setting oleh : Trias Typesetting
Hak cipta Pengarang dan ilustrator
dilindungi oleh Undang-undang
Selubung Sutra Dewangga | 4
Maria A. Sardjono Daftar Isi 1 .............................................................. 6
2 ............................................................ 16
3 ............................................................ 44
4 ............................................................ 85
5 .......................................................... 112
6 .......................................................... 135
7 .......................................................... 150
PENUTUP ............................................ 173
Selubung Sutra Dewangga | 5
Maria A. Sardjono 1 Bermula dengan perdebatan lebih dahulu
tatkala kedua gadis cantik itu turun dari
pesawat udara. "Dadaku bergemuruh, Ria," bisik
Ninik, agak gemetar. Gadis yang dipanggil
Ria tersenyum sekilas. Sahutnya dengan
tenang: "Aku berani sumpah, tak akan ada
orang yang berani menggigitmu, Nik!"
"Tetapi permainan kita ini sungguh
gila, Ria," keluh Ninik, "Kalau kupikir lebih
lanjut, apa sih sebenarnya yang akan
didapat dengan sandiwara ini?"
Melihat wajah pucat sahabatnya itu, Ria
jatuh iba. Lembut ditepuknya lengan gadis
itu. Selubung Sutra Dewangga | 6
Maria A. Sardjono "Percayalah kepadaku, Nik, lusa kau
pasti akan tertawa sendiri kalau semuanya
sudah berjalan dengan sendirinya.
Memang sebelum dimulainya suatu
pertunjukkan, seorang aktris seringkali
merasakan demam panggung. Itu biasa,"
hiburnya. Wajahnya tampak cerah, penuh
dengan perasaan-perasaan yang bersifat
optimis. Ninik tidak menjawab. Rasanya
seperti mimpi saja, baik ketika duduk di
dalam pesawat terbang maupun ketika
duduk di dalam bis yang membawa
penumpang itu ke gedung Bandara. Dan
juga, tatkala kemudian setelah bawaanbawaan mereka diperiksa, ia berjalan
keluar berbaur dengan pengantar,
penjemput, dan penumpang-penumpang
lainnya. Jadi, permainan akan segera
dimulai. Dan itu sama sekali bukan hal
yang biasa seperti apa yang Ria katakan
tadi! Selubung Sutra Dewangga | 7
Maria A. Sardjono "Sedikit tersenyumlah, Nik!" terdengar suara Ria lagi. Terasa siku gadis
itu menyodok rusuknya. "Kau tidak sakit
gigi kan?" Lelucon Ria sedikit banyak mengurangi ketegangannya. Ada senyuman lewat di bibirnya. Dan melihat
hal itu hati Ria yang sebenarnya juga sudah
mulai berdetak keras, agak terhibur
sebentar. Memang menegangkan permainan ini, pikirnya. "Jangan cemas mengenai apapun,"
katanya. Perkataan yang bukan Ininya
untuk menghibur Ninik saja, tetapi juga
untuk menghibur dirinya sendiri.
"Tidak ada resiko yang membahaya
kan dalam permainan ini. Bahkan kita akan
segera memasuki dunia impian. Bukankah
itu mirip dengan Cinderela?" sambungnya.
Selubung Sutra Dewangga | 8
Maria A. Sardjono Ninik tersenyum hampa. Dan Ria
menahan nafasnya. Yah, rasanya saat ini
dia memang telah memulai babak baru
dalam kehidupannya, sebagai seorang
Cinderela baru. Sebulan lalu, kala Ria
pulang dari kuliah, tiba-tiba saja neneknya
menyodor kan sepucuk surat kilat dari
Jakarta. "Dari pamanmu!" kata sang nenek.
"Paman yang mana, Eyang?!"
pertanyaan yang wajar. Paman Ria banyak.
Baik dari ibunya maupun dari pihak
ayahnya. "Paman dari pihak ayahmu!"
Ria merasa heran. Sejak dua puluh
tahun yang lalu, hubungannya dengan
sanak keluarga pihak ayahnya boleh dikata
seperti putus. Hampir hampir tidak pernah
ada komunikasi di antara dirinya dengan
mereka-mereka. Bahkan terhadap ayah
Selubung Sutra Dewangga | 9
Maria A. Sardjono kandungnya sendiri pun Ria tidak terlalu
akrab. Dia hanya tahu bahwa yang
membiayai kehidupannya bersama nenek
nya selama ini adalah ayahnya yang tinggal
di Jakarta. Dan sang ayah itu hidup sebagai
seorang pengusaha yang cukup berhasil.
Itu saja Tidak banyak yang ia ketahui
mengenai kehidupan dan kegiatan ayah
nya di sana. Pertemuan mereka hanya
terjadi kalau ayahnya sedang rindu dan
menengoknya di kota kecil yang selama
dua puluh tahun ini telah membesarkan
nya menjadi gadis berumur dua puluh dua
tahun yang cantik. Dia juga tahu bahwa
sampai sedewasa ini, neneknya tak pernah
mengijinkannya menengok sang ayah di
Jakarta karena suatu hal. Memang, lelaki
yang ditinggal mati oleh istri yang
dicintainya itu tak pernah berniat untuk
menikah lagi. Cintanya sudah mati dan ikut
terkubur bersama almarhumah. Tetapi
sayang sekali, di dalam kehidupannya yang
Selubung Sutra Dewangga | 10
Maria A. Sardjono sepi itu ayah Ria telah mengisinya dengan
cara yang keliru. Ia hidup sebagai kumbang
yang suka terbang dari bunga yang satu ke
bunga yang lain tanpa niat untuk
melanjutkannya kepada ikatan yang lebih
serius. Ia memilih hidup bebas dan
menikmati kesendiriannya sesuka hati.
Nenek Ria dari pihak almarhum
ibunya tidak tega melihat Ria tinggal
bersama ayahnya meskipun ada perawat
anak yang berpendidikan. Ia tidak ingin Ria
tumbuh dan berkembang di bawah asuhan
sang ayah yang hidupnya agak liar itu.
Maka diambilnya sang cucu itu dan
dibawanya ke kota kecil tempat ia tinggal!
Bahkan menjenguk ke Jakarta pun nenek
Ria hampir-hampir tak mengijinkannya
kalau tidak sangat terpaksa. Jadi kalau
rindu, sang ayahnyalah yang sering datang
menjenguknya. Tak heran apabila
hubungan Ria dengan sanak keluarga
ayahnya boleh dikata terputus. Ia tidak
Selubung Sutra Dewangga | 11
Maria A. Sardjono dapat mengingat-ingat wajah mereka.
Begitu pun sebaliknya. Oleh sebab itu Ria
merasa kaget menerima surat yang dikirim
dengan kilat khusus itu, dan hatinya
menjadi tak enak. Surat itu ditimangtimangnya dengan ragu.
"Ria, buka dan bacalah surat itu!"
kata neneknya tak sabar. "Bagaimanapun
juga, Pak Haryokusumo itu adalah kakak
kandung ayahmu. Ingat?"
"Ingat, Eyang. Ingat namanya.
Tetapi bagaimana wajahnya, saya tidak
ingat lagi. Tetapi... mengapa beliau
menulis surat untukku?"
"Justru itu buka dan bacalah. Nanti
kau pasti tahu juga apa isinya!"
Ria menganggukkan kepalanya.
Surat itu pastilah penting sebab baru
pertama kali inilah Pakde Haryokusumo
menulis surat untuknya. Selubung Sutra Dewangga | 12
Maria A. Sardjono Tetapi baru seperempat halaman
surat itu dibaca oleh Ria, tiba-tiba saja
tangisnya meledak. Ayahnya telah
meninggal dunia, karena serangan
jantung. Pakde Haryokusumo meminta
maaf kepadanya bahwa sesudah almarhum ayahnya dikuburkan, baru
mereka berusaha mencari alamat Ria.
Apalagi karena ada satu urusan yang harus
diselesaikan oleh gadis itu sehubungan
dengan meninggal nya sang ayah. Mereka
sangat mengharap kan kedatangan Ria.
Sungguh ini keterlaluan sekali pikir Ria
antara marah dan kecewa. Masa sekian
banyak saudara-saudara ayahnya, tak
seorang pun ingat kepadanya ketika
ayahnya meninggal dunia. Dan, baru
teringat ketika mereka membutuhkannya.
"Ria, ayahmu meninggalkan seluruh
harta miliknya kepadamu sebagai ahli
waria satu-satunya Pengacara almarhum
mengharapkan kau datang secepat kau
Selubung Sutra Dewangga | 13
Maria A. Sardjono bisa" begitu antara lain isi surat yang
ditulis oleh paman Ria tersebut.
Sukar Ria menerima semua itu
dengan hati yang tenang. Sekarang dia
sadar bahwa dirinya telah benar-benar
menjadi seorang anak yatim piatu Dan
sekarang pulalah dia menjadi ahli waris
dari sekian jumlah kekayaan ayahnya plus
satu perusahaan yang sedang mulai
berkembang. Hati Ria menjadi kecut.
Kehidupan yang amat berbeda dan amat
asing sedang menghadang di jalur
kehidupannya. Ada perasaan bahwa dia
seolah telah dilontarkan oleh nasib ke
suatu tempat yang tinggi tanpa sesuatu
apa pun yang dapat dipakainya sebagai
pegangan. Untunglah, neneknya yang awas itu
mengerti gejolak hati cucunya itu.
Diberikanya gadis itu semangat dan
hiburan. Selubung Sutra Dewangga | 14
Maria A. Sardjono

Selubung Sutra Dewangga Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Setelah kau nanti kerasan di sana,
Ria, gampang kalau nanti aku ingin tetap
mendampingimu. Jangan segala hal kau
pikirkan dengan hati resah. Pasrahkan
segala-galanya kepada Tuhan," begitu
antara lain hiburan dari nenek Ria yang
berumur enam puluh tahun itu.
Namun begitu, baru beberapa
minggu kemudian Ria bisa memutuskan
untuk berangkat ke Jakarta Lebih-lebih
karena surat dari orang yang sama datang
lagi dan mendesaknya agar menyelesaikan
segala sesuatunya secepatnya.
*** Selubung Sutra Dewangga | 15
Maria A. Sardjono 2 Di sepanjang kehidupan Ria selama ini,
kasih-sayang yang pernah dikecap dan
dialaminya hanyalah didapatkannya dari
kakek dan neneknya. Bentuk-bentuk kasihsayang antara manusia yang pernah
dirasainya adalah bentuk-bentuk kasihsayang yang diungkapkan oleh kedua
orang tua almarhum ibunya itu. Dan
sekarang sesudah kakeknya juga meninggal dunia, segala kasih-sayang dan
perwujudannya hanya didapatkannya dari
neneknya saja. Nenek yang semakin hari
tampak semakin rapuh akibat usianya
yang merambat petang. Sebagai manusia biasa dengan
segala kebutuhan pokoknya, Ria juga
mendambakan kasih-sayang, bahwa
keberadaannya di dunia sebagai seorang
Selubung Sutra Dewangga | 16
Maria A. Sardjono individu, sebagai seorang insan, diterima
dan diakui dengan gembira. Apa yang
diterimanya dari sang nenek, belumlah
mencukupi. Oleh karena itulah, gadis itu
memiliki kepekaan untuk menangkap
perhatian dan kasih-sayang yang tulus dari
manusia-manusia lainnya. Bahkan dalam
persahabatan pun, ia mendambakan suatu
jalinan keakraban dan kedekatan tulus
yang dapat menyentuhkan sedikit
kebutuhan akan kasih-sayang antar
manusia. Dan karena rasa haus akan kasihsayang antar manusia itu pulalah yang
menyebabkan perasaannya menjadi amat
lembut dan mampu menangkup rasa
persahabatan yang disebarkan oleh orang
lain tarhadapnya. Begitulah yang terjadi
ketika dulu ia baru duduk di permulaan
SMP, hampir sepuluh tahun yang lalu.
Tetangga sebelah rumah tempat ia tinggal,
dijual. Pemiliknya pindah duri rumah itu.
Dan sebagai penggantinya ialah sebuah
Selubung Sutra Dewangga | 17
Maria A. Sardjono keluarga yang membeli rumah tersebut
dan kemudian menempatinya.
Sejak mereka menjadi tetangga
sebelah rumah, hubungan mereka dengan
keluarga nenek Ria, langsung menjadi
akrab. Bukan saja karena keluarga baru itu
merupakan keluarga yang periang, hangat
dan ramah-tamah, tetapi juga karena
mereka menyukai keluarga nenek Ria dan
menghargai orang tua yang telah
berpengalaman dengan asam-garamnya
kehidupan itu. Sehingga, terjalinlah
hubungan yang akrab, manis dan yang
semakin meluas kepada seisi rumah
masing-masing. Kehidupan dalam keakraban semacam itu menjadikan
mereka semua merasa seperti saudara,
bahkan seperti keluarga saja. Terutama
hubungan Ria dan Ninik, salah seorang
putri dari keluarga sebelah rumah itu.
Kebetulan pula mereka berdua sebaya
sehingga mereka dapat bermain bersama,
Selubung Sutra Dewangga | 18
Maria A. Sardjono ke sekolah bersama, belajar bersama dan
kemudian juga pergi kuliah bersama-sama
pula setelah keduanya menjadi gadis-gadis
belia yang kebetulan juga sama-sama
cantik. Senang dan susah sama dirasa.
Begitu sifatnya hubungan persaudaraan di
antara mereka itu sehingga Ria yang haus
kasih-sayang persaudaraan itu merasa
bahwa keluarga Ninik adalah keluarganya
juga. Suatu hal yang baginya merupakan
usapan da di hatinya yang begitu gersang
dari rasa kekeluargaan. Sedemikian
kuatnya rasa persaudaraan itu sehingga
tatkala salah seorang dari kakak lelaki
Ninik jatuh hati kepadanya dan kemudian
menyatakan dengan terus terang
bagaimana perasaannya itu, Ria merasa
kaget dan terherang-heran menatapnya.
Sulit baginya membayangkan diri
nya sebagai kekasih lelaki itu. Sebab
selama ini baginya keluarga Ninik adalah
juga keluarganya sendiri hingga ia
Selubung Sutra Dewangga | 19
Maria A. Sardjono menganggap dirinya bagian dari keluarga
mereka. Dengan demikian, kakak Ninik
juga dirasakannya sebagai kakaknya
sendiri. Apalagi ia bukan saja tidak beribu
lagi, tetapi juga tidak mempunyai saudara
kandung barang seorang pun. Dan apa
yang tak dimilikinya itu terpenuhi pada
keluarga Ninik. Jadi, pikirannya tak mampu
menangkap adanya kemungkinan ia
menjadi kekasih kakak lelaki Ninik itu.
"Bagaimana mungkin aku bisa
menjadi kekasihmu, Mas" katanya
dengan mata terbelalak. "Aku menyayangi
mu, itu pasti. Tetapi mencintaimu sebagai
seorang kekasih, wah tak pernah
terbayangkan olehku, Terpikir pun tidak.
Aku selalu menganggapmu sebagai kakak
kandungku sendiri. Aneh dan bahkan lucu
rasanya kalau hubungan persaudaraan kita
yang manis dan hangat ini akan kehilangan
kemurnian dan ketulusannya karena ada
Selubung Sutra Dewangga | 20
Maria A. Sardjono warna erotisme semacam itu di dalam
nya!" Kakak lelaki Ninik tertegun dan
terdiam untuk mencerna kata-kata Ria
yang diucapkan dengan sepenuh kejujuran
dan perasaannya itu. Dan akhirnya ia
secara pelan-pelan dan bertahap, mampu
memahaminya untuk kemudian juga
mampu mengubah perasaan cinta antara
pria dan wanita yang dirasainya terhadap
Ria, menjadi cinta persaudaraan Bahkan
mereka semua sekeluarga, akhirnya juga
merasa merasa bahwa Ria adalah bagian
dari keluarga mereka, dan menerima
keberadaan gadis itu sebagaimana
adanya. Mereka semua menyayangi gadis
lembut yang tulus hati dan tak beribu tak
bersaudara kandung itu dengan rasa
persaudaraan. Oleh karena itu, kedekatan diantara
mereka dengan Ria pun semakin hari
Selubung Sutra Dewangga | 21
Maria A. Sardjono menjadi semakin kental. Jadi bukan hal
yang mengherankan lagi apabila berita
tentang meninggalnya ayah Ria di Jakarta
serta perubahan besar-besaran yang
menimpa gadis itu dan yang juga merubah
nasibnya itu, keluarga Ninik jugalah yang
pertama kali mengetahuinya. Dan juga
keluarga itu pulalah yang banyak
mendampingi kedukaan dan kecemasan
nya terhadap masa depannya yang tibatiba berubah. Terutama Ninik mampu
merasakan apa yang sedang dirasai olah
Ria. Dibawanya gadas itu tidur di
rumahnya supaya dapat merasakan
kehangatan kakeluarga yang dipancarkan
oleh orang tua dan saudara-saudaranya.
Ria membutuhkannya! "Kau jangan membiarkan dirimu
terlalu diseret kesedihan dan rasa cemas,
Ria!" begitu yang sering diucapkan oleh
keluarga Ninik terhadap gadis yang baru
saja kehilangan ayahnya itu. "Bukankah
Selubung Sutra Dewangga | 22
Maria A. Sardjono kau masih memiliki kami yang adalah juga
sudah menjadi keluargamu juga?"
"Saya tahu..." Ria sering menjawab
kata-kata itu dengan sendu. "Tetapi justru
karena itulah sebenarnya yang paling
membuat hati saya sedih sekali. Kalau yang
sudah meninggal dunia, yah, saya bisa
melakukan apa untuknya bukan? Betapa
pun cinta saya kepada Bapak, tetapi dalam
kenyataan seperti sekarang ini, saya hanya
bisa mendoakan arwahnya saja. Agar
Tuhan mengampuni segala dosa dan
kesalahan-kesalahan yang dilakukannya
semasa ia masih hidup di dunia."
"Kalau begitu Ria, apa yang
membuatmu sedih? Keakraban di antara
kita dan rasa persaudaraan yang mengikat
hati kita ini seharusnya justru Tante
harapkan akan menghibur hatimu!" kata
ibu Ninik begitu mendengar kata-kata Ria
Selubung Sutra Dewangga | 23
Maria A. Sardjono yang diucapkan bergelombang itu. dengan suara "Karena... karena perubahan hidup
saya ini mengharuskan saya tinggal di
Jakarta. Dan itu berarti saya harus
meninggalkan kehidupan lama saya di kota
tercinta kita ini." sahut Ria semakin sedih.
Suaranya juga mulai terdengar serak oleh
emosinya yang teraduk-aduk. "Berarti pula
saya harus meninggalkan Eyang, meninggalkan Tante dan keluarga ini. Hal
itulah yang paling tak tertahankan bagi
saya, Tante!" Kini mereka semua menyadari apa
sesungguhnya yang menjadi sumber
terbesar dari kesedihan yang tengah
dialami oleh Ria saat itu. Suatu sumber
kesedihan yang ditimbulkan oleh bayangan kesepian, kesendirian dan
ketercabutan dirinya dari kehangatan dan
keakraban yang disebarkan oleh keluarga
Selubung Sutra Dewangga | 24
Maria A. Sardjono Ninik. Ia akan kehilangan orang-orang
terkasih di kota kecil ini. Dan bahkan ia
merasa gamang, gentar menghadapi masa
depannya yang ia tak bisa membayangkan
bagaimana corak dan warnanya dan yang
serba tak jelas bagaimana itu tetapi yang
memiliki kepastian tentang datangnya.
Mau tak mau, saat itu harus dihadapinya
karena merupakan suatu kepastian. Dan
itulah yang menggaduhkan perasaannya.
Ia meraba gamang menghadapi segala
perubahan tanpa kehadiran neneknya,
tanpa kehangatan keluarga Ninik di
dekatnya. "Ria," bujuk ibu Ninik dengan suara
lembut keibuannya itu. "Bagaimanapun
juga perubahan yang akan kau alami, kami
yang akan kau tinggalkan ini akan tetap


Selubung Sutra Dewangga Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencintaimu. Janganlah merasa sendirian
dan jangan pula merasa tersisihkan. Kami
semua tak akan pernah melupakanmu!"
Selubung Sutra Dewangga | 25
Maria A. Sardjono "Juga harus kau ingat Ria, ada satu
hal yang menyenangkan. Kau sekarang
seorang hartawan lho!" sela Ninik
"Bayangkanlah itu. Kau bisa membeli apa
saja yang kau inginkan tanpa harus
memintanya lebih dulu, baik kepada
Eyangmu maupun kepada almarhum
ayahmu melalui surat seperti masa-masa
yang telah lalu. Ayolah, bergembiralah."
"Apa yang dikatakan oleh Tante dan
Ninik itu benar, Ria!" sambung ayah Ninik
"Dan menurut Oom, segala sesuatu di
dunia ini tidak ada yang utuh bulat. Dalam
setiap kesenangan pun ada celah-celah
ketidak sempurnaannya. Sebaliknya dalam
suatu kesusahan atau kemalangan pun,
ada celah-celah lain yang bisa disebut
macam-macam. Entah itu hikmah
namanya, entah itu sisi lain dari
kemalangan itu, dan seterusnya. Nah,
dalam hal ini, Ria akan menjadi orang kaya
dan bisa mempergunakan kekayaan itu
Selubung Sutra Dewangga | 26
Maria A. Sardjono dengan bebas. Kalau tak salah ingat, Oom
pernah mendengar Ria mengatakan
bahwa di jaman sekarang ini yang paling
tepat adalah seorang yang selesai sekolah
tinggi bukannya mencari pekerjaan yang
baik saja. Tetapi yang jauh lebih bermakna
adalah membuat lapangan kerja. Ada
sekian banyak para sarjana baru yang
terpaksa menganggur sekian lamanya
karena tidak ada lowongan pekerjaan yang
cocok. Nah, Ria kan bisa melakukan
sesuatu yang pernah menjadi cita-cita Ria
waktu dulu!" Ria terdiam dan mencernakan
semua saran dan nasehat yang diberikan
oleh kedua orang tua Ninik itu dengan
sebaik-baiknya. Dan ia merasa terhibur
karenanya. Ninik memperhatikan perubahan-perubahan wajah sahabatnya
itu untuk kemudian mencetuskan apa yang
ada di dalam pikirannya. Selubung Sutra Dewangga | 27
Maria A. Sardjono "Ria, bayangkanlah, kau menjadi
boss. Hebat kan?" katanya, mencoba
menghibur hati sahabatnya yang gundah
itu. "Ah, aku tak berani membayangan
nya, Nik!" sahut Ria, masih juga belum
tampak terang cahaya air mukanya.
"Rasanya, aku lebih suka kehidupanku
yang sekarang seandainya aku bisa
memilih. Di sini, rasa rasa aman, damai,
tentram dan hangat dengan adanya
keluargamu di sebelah rumah Eyangku."
"Ah, kok aneh sih Ria...?"
"Ya bukan hal yang aneh, Nik!"
sahut Ria cepat, "Terus-terang saja, aku
merasa gentar menghadapi kehidupan
baruku nanti. Asing rasanya. Aku tak biasa
hidup di kota besar yang penuh dengan
pelbagai macam manusia dan segala
macam masalah-masalahnya itu. Kau
tentu tahu, bagaimana semrawutnya
Selubung Sutra Dewangga | 28
Maria A. Sardjono kehidupan orang-orang yang tak mampu
mengalami gerak-alunan dan ketergesaan
kota metropolitan yang hiruk-pikuk dalam
segala hal itu. Rasanya sangat sulit aku di
sana untuk dapat menemukan keluarga
sebaik dan sehangat keluargamu ini, Nik!"
"Ah, kau terlalu pesimis, Ria!" sahut
Ninik "Janganlah hanya membayangkan
segi buruknya saja. Ada sekian banyaknya
kesenangan yang dapat kita peroleh di
kota metropolitan yang di sini tidak bisa
kita rasai, Ria. Jadi sekali lagi, janganlah
terlalu pesimis!" "Kedengarannya memang begitu,
Ria. Tetapi cobalah kau ikuti bagaimana
jalan pikiranku dan kau telusuri perasaan
ku dalam menghadapi segala hal dan
keadaan yang masih serba baru dan serba
asing bagiku itu. Kau hendaknya
memahamiku bahwa aku menjadi ahli
waris almarhum ayahku ini pasti sudah
Selubung Sutra Dewangga | 29
Maria A. Sardjono banyak diketahui oleh orang-orang di
sana. Aku, aku takut berada di sana
sendirian, di tengah-tengah orang-orang
yang hanya mengenalku sebagai orang
yang menerima warisan kekayaan. Aku
takut membayangkan mereka memandangku bukan sebagai diriku sendiri,
melainkan sebagai OKB, orang kaya baru
yang mempunyai kesempatan untuk
melakukan sesuatu dengan uangku itu Nik,
kau kan tahu, di mana ada gula di situ pasti
bersemut. Sedangkan aku tak mempunyai
pengalaman apa pun dalam menghadapi
kehidupan semacam itu. Kau, kau bisa
mengerti itu semua kan?"
Sekarang Ninik baru bisa mengerti
apa yang menjadi masalah batin
sahabatnya itu. Seperti Ria, ia juga masih
hijau dalam pengalaman hidup meskipun
kalau dilihat fisiknya mau pun umurnya,
mereka berdua sudah digolongkan sebagai
gadis dewasa. Gadis-gadis yang sudah
Selubung Sutra Dewangga | 30
Maria A. Sardjono harus dapat menentukan dirinya sendiri
dan mempertanggungjawabkannya secara
sadar. Tetapi menghadapi perubahan
mendadak sebagaimana yang dialami oleh
Ria di tempat yang sama sekali asing dan
tanpa seseorang yang dekat dengan
dirinya dalam arti suatu kedekatan batin,
memang memerlukan kekuatan mental
yang ekstra. "Kalau begitu Ria," kata Ninik
akhirnya, sesudah gadis itu berpikir-pikir
beberapa saat lamanya, "tetaplah tinggal
di kota ini bersama eyangmu dan di
dekatku dan dengan keluargaku. Serahkan
lah segala urusan almarhum ayahmu
seperti perusahaannya, hartanya dan lain
sebagainya itu kepada pamanmu atau
kepada orang yang bisa kau percaya.
Minta sajalah apa-apa yang bisa kau
pindahkan ke mari. Sedangkan mengenai
keuntungan perusahaan misalnya, bisa
diurus pula dengan cara yang luwes. Kau
Selubung Sutra Dewangga | 31
Maria A. Sardjono minta bagianmu setiap bulannya, umpama
nya." "Tetapi Nik, itu tanggungjawabku!"
sahut Ria sedih. "Dengan cara itu memang
kuakui, aku akan merasa lebih aman dan
tidak perlu harus menghadapi masalahmasalah di mukaku, yang pasti akan
membuat kepalaku pusing tujuh keliling.
Tetapi apakah itu bukan berarti aku ini lari
dari tanggungjawabku? Malahan, boleh
jadi akan ada orang yang menuduhku mau
enaknya sendiri atau boleh jadi pula
menilaiku pengecut, pemalas dan entah
apa lagi." Ninik tertegun dan semakin mampu
menembus kemelut yang sedang dihadapi
oleh gadis cantik di hadapannya itu.
"Tetapi Ria, kau bisa memberi
alasan yang masuk akal!" katanya
kemudian sesudah berpikir-pikir lagi untuk
beberapa saat lamanya. Selubung Sutra Dewangga | 32
Maria A. Sardjono "Alasan apa?" "Bahwa kau masih ingin melanjut
kan studimu di sini. Katakan, kalau
terpaksa harus pindah sekolah, kau harus
melakukan adaptasi dengan lingkungan
barumu baik di rumah, maupun di tempat
kuliah. Dan itu pasti akan berpengaruh
pada prestasi studimu. Itu alasan
pertama," sahut Ninik dengan sikap serius.
"Alasan kedua, katakan bahwa kau baru
mau ikut terjun aktif mengurusi
perusahaan almarhum ayahmu apabila
kau kelak sudah bersuami..."
"Bersuami?" Ria memotong katakata Ninik dengan mata terbelalak "Hiii,
aku tak pernah berpikir ke arah sana. Wah,
kau memberi tambahan beban pikiranku
saja, Nik!" "Tambahan beban pikiran bagai
mana?" Ninik juga mencorongkan mata
nya ke arah Ria. "Itu kan wajar. Setiap
Selubung Sutra Dewangga | 33
Maria A. Sardjono gadis kan nantinya akan menikah juga.
Kecuali kalau mempunyai program hidup
yang lain!" "Itu aku tahu," Ria mendengus. "Kau
belum bisa mengerti jalan pikiranku juga."
"Jalan pikiranmu yang mana lagi?"
Ninik menyela bicara Ria yang belum
selesai itu. "Pada perasaanku, pikiranmu
itu penuh dengan lorong-lorong yang tak
ada ujung pangkalnya dan tumpang tindih.
Ruwet!" Mendengar istilah yang dipakai oleh
Ninik itu, mau tak mau Ria jadi tertawa.
Sebab meskipun diucapkan dengan nada
kesal dan setengah bercanda, tetapi ada
kebenaran di dalamnya. Dan itu harus
diakuinya. "Begini lho, Non," sahutnya
kemudian. "Dengan adanya harta warisan
ayahku dan aku menjadi pemilik sah yang
Selubung Sutra Dewangga | 34
Maria A. Sardjono tunggal, tentu akan merupakan godaan
bagi kaum pria untuk tidak melirik
kepadaku. Sudah kukatakan tadi. Di mana
ada gula di situ ada semut, kan?"
"Wah, serba susah!" gumam Ninik.
"Terserah kau bagaimana baiknya."
"Kalau tak takut dimarahi oleh para
karyawan perusahaan ayahku dan temanteman seusahanya, juga saudara-saudara
ayahku, maulah aku menghibahkan
hartaku itu kepada rumah yatim piatu. Aku
hanya akan mengambil sebagian saja
untuk kehidupanku bersama nenek selama
sekian tahun!" Ninik tertawa "Pikiranmu ada-ada
saja. Ayolah, jadikan dirimu seorang yang
berani menentang kehidupan ini. Jangan
bersemangat tempe dan berhati kerupuk,
Ria!" katanya. Selubung Sutra Dewangga | 35
Maria A. Sardjono Bersemangat tempe dan berhati
kerupuk? Ria teringat kata-kata semacam
itu yang pernah dilontarkan seorang
kawan terhadapnya tatkala ada seseorang
yang memfitnahnya dan dia membiarkan
nya karena takut semakin dibenci oleh si
pemfitnah itu. "Aku tak suka perselisihan. Aku
mencintai sesuatu yang damai!" begitu
dulu dia pernah mengatakan kepada si
teman itu. Dan teman itu pun menjadi
kesal. "Tetapi damai yang semu. Kau tak
mau membela kebenaran. Hatimu hati
tempe dan semangatmu semangat
kerupuk!" katanya. Dan terbangkitlah harga diri Ria. Dia


Selubung Sutra Dewangga Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukan seorang pengecut seperti Ninik
dikira. Selubung Sutra Dewangga | 36
Maria A. Sardjono Sekarang, kata-kata Ninik pun
mempunyai akibat yang sama. "Aku akan
membuat tempe dan kerupuk dari baja!"
katanya. Dan Ninik terbahak.
"Jadi?" tanyanya.
"Aku akan menghadapi segalanya
dengan melenyapkan tempe dan kerupukku!" sahut Ria nyengir. Dan Ninik
pun tertawa lagi. "Mudah-mudahan aku
mampu melaksanakannya, Nik."
Tetapi dibalik senda gurau itu, Ria
mulai menyusun rencananya.
Kebetulan liburan semester tinggal
beberapa hari lagi. Dengan rundingan yang
berkali-kali, dan bujukan dan bahkan
tangisan, Ninik terpengaruh oleh rencana
nya itu. Terpengaruh bukan pada rencana itu
sendiri, tetapi karena ia tidak sampai hati
membiarkan sahabatnya itu sendirian saja
Selubung Sutra Dewangga | 37
Maria A. Sardjono menghadapi segala macam hal yang
menakutkan hatinya. Rasa kesetia
kawanannya yang besar, tergerak. Hatinya
terpanggil untuk mendampingi nya.
"Aku sih mau saja menolongmu,
Ria" kata Ninik yang mulai lemah hati itu.
"Tetapi rencanamu itu tetap kuanggap
sebagai rencana yang gila!"
"Aku tidak mempersoalkan gila atau
tidaknya rencanaku ini, Nik. Asal kau mau
menolongku, itu sudah cukup bagiku.
Percayalah, aku menjamin tidak ada
sesuatu apa pun yang merugikan nama
baikmu. Semuanya akulah yang bertanggung jawab!" "Aku bukan hanya memikirkan
diriku sendiri saja, Ria. Tetapi juga dirimu.
Apa yang orang katakan kalau rencanamu
itu gagal?" Selubung Sutra Dewangga | 38
Maria A. Sardjono "Tidak akan ada yang dikatakan
karena kita berdua akan bekerja dengan
rapi." kata Ria dengan penuh harapan akan
keberhasilan rencananya itu.
"Lantas, sekolah kita bagaimana?"
"Nik, kalau aku jadi pindah ke
Jakarta, berarti aku juga harus
meneruskan kuliah di sana. Apa boleh
buat..." sahut Ria perlahan, "Tetapi, hal
itu bisa dipikirkan belakangan. Kalau aku
tidak kerasan di sana, gampang. Nanti aku
kembali ke sini. Sekarang, yang penting
adalah melihat situasi sana lebih dulu. Dan
bagimu, Nik. anggaplah liburan kali ini
sebagai petualangan yang menarik hati.
Kau pasti akan mengalami sesuatu yang
menarik dan merasai pengalaman yang
tidak akan terlupakan."
Ninik lama berdiam diri memikirkan
apa yang dikatakan oleh Ria. Sepenuhnya
dia mengerti perasaan gadas itu dalam
Selubung Sutra Dewangga | 39
Maria A. Sardjono menghadapi kehidupan barunya yang
masih serba samar. Sebagai gadis yang
dibesarkan secara sederhana, gemerlap
nya kota Jakarta, kekayaan yang
diwarisinya dan pergaulan yang tak
diketahui bagaimana corak dan warnanya
nanti, tentu membuat hatinya gentar. Di
kota kecil yang tenang ini, Ria telah
menghabiskan bertahun-tahun yang
damai dan tanpa kepalsuan. Apakah di
Jakarta juga akan ditemui kedamaian dan
ketulusan seperti di kota kecil mereka ini?
"Kau... mau menolongku kan, Nik?"
terdengar suara yang menghiba itu lagi.
Ninik mengangguk dengan anggukan berat, "Apa boleh buat,"
gumamnya. "Walau aku masih berpikir
apakah itu bukan berarti kau sedang
bersiap untuk main-main dengan
kehidupanmu sendiri. Gila, rasanya sukar
membayangkannya!" Selubung Sutra Dewangga | 40
Maria A. Sardjono "Entah gila atau apa pun namanya
jangan kau bayangkan kalau tidak masuk
ke dalam pikir. Tetapi jalanilah bersamaku
dengan kesanggupanmu itu. Asal kau
ingat, aku tidak bermaksud buruk dalam
hal ini. Aku hanya ingin meninjau dunia
yang serba asing bagiku nanti itu secara
incognito, istilah kerennya. Tujuanku,
supaya aku dapat meninjau dengan lebih
leluasa karena pandangan orang tidak
ditujukan kepadaku sehingga dengan
demikian aku dapat merencanakan masa
depanku nanti dengan lebih baik dan
terarah. Dan bagaimana nanti aku akan
menempatkan diri dan kegiatanku
selanjutnya, itu bisa dipikirkan kemudian.
Pokoknya tergantung situasi dan kondisi
nya nanti. Begitu lho Nik!" sahut Ria yang
sedang berusaha menghadapi masa
depannya yang masih tak menentu
kepastiannya itu dengan kepala dingin.
Sebab rasanya tak mungkin melarikan diri
Selubung Sutra Dewangga | 41
Maria A. Sardjono dari realitas yang mau atau pun tidak toh
harus dihadapinya juga. Ninik terdiam lagi. Dalam beberapa
hal, terutama kalau itu mengenai suatu
pendirian tertentu, seringkali Ria menghadapinya dengan keras kepala.
Percuma saja Ninik atau pun yang lain
untuk mencairkan perasaannya Jadi
dengan begitu, rencana yang telah disusun
oleh gadis itu akan dilaksanakannya.
Berarti, mereka berdua akan bertukar
tempat dan identitas. Ninik akan menjadi
Ria dan Ria akan menjadi Ninik. Sebab kata
si pencetus rencana itu, keadaan di mana
ia akan bertukar identitas dengan Ninik itu
membuat ia nanti akan lebih mudah dan
bebas melihat segala sesuatu di depannya.
Dan hati Ninik yang masih ragu dan
bimbang itu merasa dirinya harus ikut
mendampingi Ria dalam segala persoalan
nya. Tetapi diam-diam di hatinya, ia
Selubung Sutra Dewangga | 42
Maria A. Sardjono berharap agar segala rencana sahabatnya
terkasih itu dapat berjalan sebagaimana
yang diharapkan dan tidak menimbulkan
akibat buruk apa pun yang tidak
diinginkan. *** Selubung Sutra Dewangga | 43
Maria A. Sardjono 3 Baik Ria maupun Ninik tak pernah
menyangka bahwa setiba mereka berdua
di bandara Soekarno-Hatta, ada seseorang
yang menjemput mereka. Dengan
demikian rencana mereka untuk langsung
memanggil taksi yang cukup banyak
berderet di lapangan parkir itu, dibatalkan
nya. Orang yang menjemput mereka sudah
setengah baya dan langsung memperkenal
kan diri sebagai sopir Pak Haryokusumo.
"Maaf Nona-nona, apakah salah
seorang di antara anda berdua ada yang
bernama Nona Ria?" tanyanya begitu
mendekati kedua gadis yang tampak masih
asing di tempat yang didatanginya itu.
Sikap keduanya memang kelihatan
Selubung Sutra Dewangga | 44
Maria A. Sardjono canggung di antara deretan taksi-taksi
berwarna biru itu. Mendengar pertanyaan, mulut Ria.
berbuka, berniat akan memperkenaIkan
diri kepada lelaki yang bertanya itu. Tetapi
suara Ninik telah mendahuluinya dengan
sigap. "Saya yang bernama Ria, Pak!"
katanya. Diam-diam dengan sikunya
menyodok rusuk Ria sambil melotot. "Dan
ini, teman saya Ninik."
Ria menyeringai menyadari kesalahan yang hampir saja dilakukannya.
Baru mulai menginjak tanah Jakarta sudah
nyaris terperosok kebohongannya sendiri.
"Wah, kalau begitu selamat datang,
Nona-nona," sambut lelaki setengah baya
itu dengan suara lega dapat menemukan
yang harus dijemputnya. "Saya bernama
Pak Maman, sopir Pak Haryokusumo dan
Selubung Sutra Dewangga | 45
Maria A. Sardjono mendapat tugas menjemput nona-nona
berdua. Mari sebagian bawaan Nona-nona
saya bawakan. Tempat mobil kita, tidak
jauh dari parkir di tempat ini, mari ikuti
saya!" Sambil berkata seperti itu Pak
Maman mengangkat kopor terbesar di
antara bawaan kedua gadis itu, yaitu kopor
milik Ria. Dan kedua gadis itu mengangkat
sisanya bersama-sama, dan mengekor di
belakang Pak Maman menuju ke halaman
parkir. Hati keduanya merasa lega karena
tidak harus naik taksi sebagaimana yang
disangkanya semula. Pakde Haryokusumo
tidak mengatakan bahwa mereka akan
dijemput oleh sopirnya. Kalau sampai
terjadi harus pergi dengan taksi, sudah
pasti keduanya akan bingung. Sebab
meskipun Ria sudah beberapa kali ke
Jakarta bersama neneknya di kala masih
agak kecil dulu, suasana Jakarta belumlah
seperti sekarang. Selubung Sutra Dewangga | 46
Maria A. Sardjono Di dalam mobil, baik Ria maupun
Ninik merasa semakin lega. Dulu ketika Ria
datang ke Jakarta, bandara yang dipakai
bukanlah bandara Soekarno-Hatta tetapi
Halim Perdana Kusumah. Ia masih merasa
sangat asing dengan suasana sekarang.
Kalau naik taksi, bisa-bisa mereka dinakali
oleh sopir taksinya dan memutar-mutar
kannya lebih dulu agar mendapat uang
yang lebih banyak. Kelegaan itu membawa pikiran Ria
ke arah lain. Ia mulai menyadari bahwa Pak
Maman tidak keliru mengenal mereka
berdua, padahal sebelumnya mereka
belum pernah berjumpa. Karenanya, gadis
itu merasa penasaran dan ingin tahu
mengapa Pak Maman tidak salah
mengenalinya, padahal ada sekian
banyaknya penumpang yang bersamasama keluar dari gedung bandara itu.
Selubung Sutra Dewangga | 47
Maria A. Sardjono Entah Pak Maman merasakan
bahwa kedua penumpangnya itu merasa
penasaran atau entah karena memang
dasarnya lelaki itu suka mengobrol, yang


Selubung Sutra Dewangga Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jelas ketika mereka sudah berada di jalan
tol dan kendaraannya berjalan dengan
muluas dan mantap, lelaki itu berkata
tentang apa yang ingin mereka ketahui
tadi. "Sebenarnya sudah sejak tadi saya
meneliti satu-satu penumpang yang baru
mendarat, dan akhirnya toh mata tua saya
masih cukup tajam untuk dapat membeda
kan sikap canggung dan agak bingung dari
dua gadis cantik yang ada di antara sekian
banyaknya orang!" katanya.
"Jadi kalau ada orang bingung dan
canggung, itu mesti dari kota kecil nun
jauh dari Jakarta ya Pak?" tanya Ria
tertawa. Jadi, sikap merekalah yang
mudah 'dibaca? orang. Selubung Sutra Dewangga | 48
Maria A. Sardjono "Bukan begitu, Non, Maksud saya,
orang-orang yang canggung semacam
sikap anda berdua tadi menunjukkan
bahwa mereka jarang sekali ke Jakarta
atau malahan sama sekali belum pernah
ke Jakarta." "Yah, masuk akal memang. Tadi,
kami sedang berunding mau naik taksi
yang mana sewaktu pak Maman
mendekati kami?" sahut Ninik yang
menyamar sebagai Ria itu.
Sopir tua itu tersenyum. "Paman Nona sudah memikirkan
segala-galanya dengan seksama, Nona
Ria!" katanya kemudian. "Sayangi beliau
tidak sempat datang menjemput Nona
karena jamnya bertepatan dengan
undangan makan siang seorang relasi yang
tak bisa diabaikan. Jadi kata beliau, beliau
minta maaf kepada Anda berdua. Dan
beliau mengharapkan agar anda berdua
Selubung Sutra Dewangga | 49
Maria A. Sardjono terutama Nona Ria merasa senang berada
di Jakarta dan mudah-mudahan kerasan
tinggal di ibukota kita ini!"
Ria tersenyum kepada Ninik,
kemudian dikedipkannya sebelah matanya. Mula-mula Ninik diam saja dan
wajahnya tampak tegang. Tetapi dengan
canda Ria yang segera memijit hidungnya,
gadis itu pun tersenyum dan ketegangannya mulai mengendur.
"Kau membuatku terpaksa ikut
bermain dalam sandiwara konyolmu!"
bisiknya kemudian. Ria membalas gerutuan Ninik
dengan sikap seenaknya. Bahkan diraihnya
tangan sahabatnya itu agar melihat ke
arah yang sedang dilihatnya. Sawahsawah, padang rumput, tanamantanamana lainnya, burung-burung belibis
dan lain sebagainya yang terlihat melalui
jendela mobil yang mereka tumpangi itu.
Selubung Sutra Dewangga | 50
Maria A. Sardjono Juga ke arah lallu-lintas yang melaju cepat
di jalan tol itu. Dalam waktu yang tak lama,
Ninik pun ikut menikmati pemandangan
yang berbeda daripada apa yang biasanya
mereka lihat di kota kecil mereka. Lebihlebih ketika mereka sudah memasuki kota
dan menyaksikan gedung-gedung tinggi
tersebar di mana-mana dan kesemrawutan lalu-lintasnya yang dapat
membuat orang senewen karena ada saja
orang yang seenaknya menyalip dari kiri
dan kanan, serta mengagetkan dengan
bunyi klaksonnya yang memekak telinga.
Turun dan tol atas, Ria berbisik lagi
kepada Ninik dengan mencorongkan
mulutnya, ke telinga sahabatnya itu,
"Semua serba bergerak cepat dan
semua serba semrawut," katanya, "Aku
jadi pusing melihatnya!"
Selubung Sutra Dewangga | 51
Maria A. Sardjono "Oh dasar udik!" sahut Ninik sambil
mencibirkan bibirnya. "Baru semenit di
Jakarta sudah seperti orang bingung."
Ria menyeringai. Tetapi pikirannya
sudah tidak di tempat lagi, melainkan
sudah sibuk dengan pelbagai hal yang
dilihatnya di sepanjang perjalanan itu. Bis
kota yang sarat penumpang, taksi yang
ngebut, dan kemudian juga pertokoan
yang ramai dipadati pengunjung. Pikirnya,
katanya sekarang ini susah mencari uang,
tetapi kok di pertokoan selalu penuh orang
berbelanja. Dengan mobil bagus-bagus
pula. "Ramai sekali ya..." gumamnya
kemudian. "Heeh. Semua orang seperti sedang
mengejar sesuatu, serba bergerak cepat
dan membingungkan!" sahut Ninik.
Ria tertawa. Selubung Sutra Dewangga | 52
Maria A. Sardjono "Tuh, kau sendiri kebingungan
seperti anak kambing masuk ke kota!"
gumamnya. "Nah, siapa yang udik!"
"Ya, kita berdua!" sahut Ninik
tersenyum miring. "Aku tak bisa
membayangkan apakah aku akan bisa
kerasan tinggal di kota ini kalau lihat
suasananya yang serba ruwet, Jauh sekali
bedanya dengan ketenangan yang kita
kecap selama ini." Kata-kata Ninik yang diucapkan
suara gentar itu menulari Ria langsung
terdiam. Seperti kata Ninik tadi, apakah ia
akan beradaptasi dengan lingkungan yang
serba berbeda daripada lingkungannya
semula, itu masih merupakan tanda tanya
yang belum terjawab. Waktulah yang nanti
akan berbicara. Namun justru karena
waktu itu pulalah Ria jadi gamang
menghadapinya. Akan beranikah ia
menghadapi semua itu seorang diri, nanti?
Selubung Sutra Dewangga | 53
Maria A. Sardjono Sampai kapankah selubung yang mereka
pergunakan itu tak tersingkap sehingga
orang akan menyangka ia sebagai Ninik
dan sebaliknya Ninik disangka dia? Lalu
akan mampukah ia melayari kehidupan ini
tanpa eyangnya di sampingnya dan tanpa
keluarga Ninik di dekatnya? Dan masih
akan akrabkah hubungannya dengan
keluarga Ninik apabila ia harus tinggal di
Jakarta dan meninggalkan segala hal yang
terjadi di kota kecil tercintanya itu?
Mampukah ia menjalin hubunganhubungan baru dengan manusia-manusia
di sekitarnya yang saat ini masih begitu
asing dan tak terjangkau oleh pikirannya?
Padahal konon kata orang, penduduk
Jakarta jarang yang bisa dipercaya
ketulusan hatinya. Konon kata orang pula,
semua hal serba diperhitungkan dengan
uang. Ada imbalannya uang. Sangat
berbeda dngan cara hidup di kota kecil
yang masih menggaris bawahi hidup
Selubung Sutra Dewangga | 54
Maria A. Sardjono bergotong royong. Kalau ada sebuah
keluarga yang sedang mempunyai hajat,
tanpa diminta pun para tetangga akan
datang membantu dengan hati tulus tanpa
pamrih... Kalau pun ada pamrihnya, itu tak
ada kaitannya dengan uang, tetapi dengan
harapan akan mendapatkan balasan
bantuan jika di suatu ketika ia
membutuhkan bantuan tenaga orang.
Tetapi yah, memang benar kata orang pula
bahwa lain lubuk, lain pula ikannya.
Apalagi di Jakarta yang penduduknya
berasal dari mana-mana dan yang
semuanya membawa gaya hidupnya
masing-masing di mana saling pengaruhmempengaruhi terjadi, dan berproses
terus-menerus. "Pak Maman, kita ini mau ke
mana?" tanya Ninik tiba-tiba, mengakibat
kan lamunan Ria lenyap. Selubung Sutra Dewangga | 55
Maria A. Sardjono Pertanyaan yang penting, pikir Ria
mengalihkan perhatiannya. Yah, akan
dibawa ke manakah mereka oleh Pak
Maman? Ia masih asing ditengah-tengah
orang baru dikenalnya. Kalau bisa, ia ingin
tinggal di rumah ayahnya meskipun ia tahu
tempat itu pasti lengang, Tetapi tentu ada
penjaga rumahnya. Mungkin mbok Pah
masih tinggal di sana. Dulu beberapa kali
perempuan yang pernah mengasuh Ria di
kala bayi dulu, diajak oleh ayahnya
mengunjunginya karena perempuan itu
bersikeras akan ikut. Perempuan itu sudah
terlanjur sangat menyayanginya. Nasibnya
yang menjadikan dirinya mandul akibat
suatu penyakit membuat naluri keibuan
nya dicurahkan kepada Ria.
"Kita ke rumah ayah Nona Ria!"
jawab Pak Maman yang mengira
pertanyaan itu diajukan oleh Ria sendiri.
Padahal yang bertanya adalah sang
sahabat gadis itu. Selubung Sutra Dewangga | 56
Maria A. Sardjono "Apakah mbok Pah masih ada di
sana?" tanya Ria ganti bertanya.
"Nona Ninik kenal kepadanya?"
"Tentu saja kenal," sahut Ria,
menyadari hampir saja ia terpeleset
bicara. "Kan kalau ayah Ria datang
menjenguknya, mbok Pah hampir selalu
ikut. Sedangkan saya tinggal di sebelah
rumahnya dan sering sehari-harian tinggal
di rumahnya. Kami berdua keluar masuk
rumah masing-masing, malah kadangkadang tukar tempat!"
Pak Maman tersenyum mendengar
jelasan itu. Dan kedua gadis itu juga
tersenyum, teringat masa-masa lalu.
Seringkali Ria pulang dari bepergian tetapi
tempat tidurnya sudah terisi Ninik yang
tidur bergulung dengan nyenyaknya.
Majalah yang terbuka, tergeletak di
dadanya. Maka dengan diam-diam takut
mengagetkan yang sedang tidur, ia pergi
Selubung Sutra Dewangga | 57
Maria A. Sardjono ke rumah Ninik dan tidur di sana. Belum
lagi kalau salah seorang sedang kesal
kepada orang rumah, masing-masing
mempunyai tempat untuk bersembunyi.
Dan masing-masing tahu ke mana harus
mencari tempat yang aman dan tenang
kalau di tempatnya sendiri terasa kurang
nyaman. Sekarang diam-diam di hati
keduanya juga timbul pertanyaan, entah
kapan hal-hal semacam itu bisa terjadi lagi.
Waktu terus berlalu di dalam kehidupan ini
dan kisah anak manusia datang silih
berganti, tiada yang abadi. Selalu ada
akhirnya Selalu ad perjumpaan yang
berakhir. Selalu ada pertemuan dan
perpisahan. Bagi Ria, perpisahan itu terasa
berat. Pikirnya, benarlah apa yang orang
pernah katakan bahwa perpisahan adalah
kematian kecil. Berpisah dengan keluarga
Selubung Sutra Dewangga | 58
Maria A. Sardjono

Selubung Sutra Dewangga Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ninik dan terutama dengan gadis itu
sendiri memang merupakan kematian
kecil. Entah apakah nantinya akan ada
seseorang di Jakarta yang bisa diajak
bicara dalam suka dan duka seperti Ninik.
Dan entah apakah akan ada orang yang
mampu menyimpan rahasia pribadi
sebagaimana Ninik menyimpan rahasianya. Dari hal-hal yang sepele
sampai tentang berapa banyak surat cinta
yang diterimanya sejak duduk di
perguruan tinggi. "Nona Ria, sejak dua minggu lalu
sesudah ayah Nona meninggal dunia,
Mbok Pah pulang ke kampungnya. Saya
dengar, perempuan itu baru akan kembali
kalau Nona Ria sudah pasti akan tinggal di
Jakarta." Terdengar suara Pak Maman lagi.
"Itulah kalau rumah terasa sepi dan
lengang. Mbok Pah saja pun tidak kerasan.
Sekarang rumah itu ditunggui oleh nyonya
Marni, adik almarhum. Tetapi hari ini
Selubung Sutra Dewangga | 59
Maria A. Sardjono rumah itu ramai dengan keluarga dekat
Anda, Nona Ria. Mereka ingin melihat
bagaimana Anda sekarang karena kata
mereka, sejak umur dua atau tiga tahun,
mereka tak pernah lagi melihat Nona.
Seharusnya dulu Nona Ria sering datang
mengunjungi ayah Nona sehingga
hubungan kekeluargaan tidak menjadi
terputus." Ninik yang diajak bicara oleh Pak
Maman diam saja, lupa bahwa sopir itu
mengenalnya sebagai Ria. Melihat itu Ria
cepat-cepat menyenggol lengan gadis itu
dengan keras sehingga yang disenggol
tersentak. "Apa?" bisiknya kaget.
"Kata Pak Sopir, kau seharusnya
dulu sering datang mengunjungi ayahmu
di Jakarta sehingga hubunganmu dengan
keluarga ayahmu tidak terputus seperti
sekarang." sahut Ria sambil melototkan
Selubung Sutra Dewangga | 60
Maria A. Sardjono matanya. Kemudian dilanjutkannya dengan berbisik di sisi telinga sahabatnya
itu. "He, kau sekarang ini jadi Nona Ria,
Nik. Jangan bengong saja!"
Ninik balas melotot, persis seperti
ikan mas koki. Tetapi karena ia harus
bicara kepada Pak Maman, suaranya
dipolesnya sehingga terdengar lembut.
"Memang Pak, semestinya saya
sering ke mari. Tetapi waktunya yang tidak
ada. Sibuk!" sahutnya dengan suara
lembutnya itu. Tetapi bukan main kesal
hatinya terhadap Ria. Gara-gara gadis itu,
ia terpaksa bermain sandiwara yang
melelahkan ini. "Tetapi juga karena segan meninggalkan neneknya, Pak!" Ria
menyambung bicara Ninik dengan
tangkas. Tahu dia bahwa Ninik sedang
kesal kepadanya karena terpaksa menjadi
dirinya. Maka sekali lagi dia melototkan
Selubung Sutra Dewangga | 61
Maria A. Sardjono matanya ke arah Ninik. "Ini saja kalau tidak
saya temani Pak, mana mau dia pergi ke
Jakarta!" Ninik semakin jengkel kepada Ria
tanpa mampu melampiaskannya di depan
orang lain. Karenanya dia hanya mampu
membalas pelototan mata Ria dengan
sama lebarnya, sambil mendesiskan katakatanya di sisi telinga sang sahabat itu.
"Lidahmu memang pandai berdansa, tetapi aku yang harus kena
getah permainanmu!" Ria nyengir dengan wajah menggda
sehingga kekesalan Ninik memuncak.
Dicubitnya lengan Ria sehingga gadis itu
mengaduh. Baru si pencubit, tertawa puas.
Sementara itu Pak Maman yang
tidak tahu menahu mengenai apa yang
terjadi di belakang punggungnya mulai
asyik memberi penjelasan tentang hal-hal
Selubung Sutra Dewangga | 62
Maria A. Sardjono yang ditemui di jalan dan tentang
komentar-komentarnya mengenai kota
Jakarta yang semakin lama semakin cantik
dan gagah. Tetapi karena perjalanan juga
semakin lama semakin mendekati
tujuannya, baik Ria mau pun Ninik tak lagi
dapat mengkonsentrasikan pikiran dan
perhatiannya kepada apa-apa yang
diceritakan oleh Pak Maman. Keduanya
merasakan hati mereka berdegup
kencang. Bahkan tatkala akhirnya mobil
masuk ke sebuah pekarangan luas dengan
tamannya yang tertata apik dan rumah
megah di hadapannya, jantung mereka
serasa seperti meloncat dari diri mereka
saking takutnya. Permainan mereka akan
dimulai. Mereka akan berjumpa dengan
orang-orang lain, bukan hanya dengan Pak
Maman saja seperti tadi. Ketika sopir membukakan pintu
untuk mereka dan kedua kaki gadis itu
mulai menapakkan kakinya ke halaman,
Selubung Sutra Dewangga | 63
Maria A. Sardjono pikiran keduanya sama. Ninik merasa asing
dengan kemewahan yang jauh bertolak
belakangi dengan keadaan rumahnya yang
hanya dalam kategori cukup, sedang Ria
merasa asing menyadari bahwa rumah
megah itu adalah rumahnya, miliknya.
Tetapi kedua gadis itu sama-sama merasa
gamang menghadapi kenyataan yang ada
di mukanya itu. Suara mobil yang masuk ke halaman
menyembulkan sosok-sosok manusia yang
bergegas keluar satu persatu dan
memenuhi teras. Tiga orang wanita dan
serang lelaki setengah tua dengan rambut
beruban yang mengesankan kematangan,
segera maju menyongsong mereka. Di
belakang ketiganya, beberapa orang
pembantu rumah tangga juga ikut
menyambut dengan pancaran wajah
penuh rasa ingin tahu. Tetapi, tidak ada
mbok Pah di antara mereka.
Selubung Sutra Dewangga | 64
Maria A. Sardjono Tangan Ria dan Ninik mulai berkeringat
tatkala keduanya sama-sama mencoba
mengukir senyum. Bahkan tubuh Ria
sempat menegang, khawatir sandiwara
nya gagal dan lalu mungkin kena damprat
beramai-ramai. "Yang mana Ria...?" tanya lelaki
beruban itu dengan tertawa gembira.
Wajahnya mirip ayah Ria sehingga gadis itu
yakin bahwa dia adalah saudara kandung
almarhum. Perasaannya mulai tergetar.
Tatapi karena ingat kepada sandiwaranya,
pelan-pelan ia mendorong Ninik ke muka
sehingga gadis itu terpaksa menjawab.
"Sa... saya Ria," sahutnya terpaksa.
Suaranya terdengar agak bergetar.
Sungguh tak enak rasanya membohongi
orang sekian banyaknya itu. Kalau bukan
karena sudah terlanjur berjanji untuk
membantu Ria maulah ia berteriak
Selubung Sutra Dewangga | 65
Maria A. Sardjono sekeras-kerasnya bahwa dia bukanlah Ria,
tetapi Ninik, sahabatnya.
"Ini Ria.." seru salah seorang di
dekatnya tersenyum senang. "Sudah
kuduga bahwa anak ini akan menjadi
cantik kalau sudah dewasa. Semasa masih
kecil saja pun tanda-tanda itu sudah
tampak jelas!" Sambil berkata seperti itu, ia
menciumi pipi Ninik sehingga kedua gadis
itu tersipu-sipu. Ninik dengan perlakuan
sehangat itu dan Ria dengan ucapan
seperti itu. Lelaki beruban tadi tertawa lagi.
"Ria, yang menciummu itu kakak
perempuan ayahmu, Nduk!" katanya
menjelaskan. "Dan aku adalah kakak lelaki
ayahmu, Pakde Haryokusumo. Maaf tadi
Pakde tidak bisa ikut menjemputmu ke
Bandara karena baru lima menit yang lalu
Selubung Sutra Dewangga | 66
Maria A. Sardjono Pakde tiba di sini sesudah mengadakan
pertemuan dengan seorang relasi."
"Tidak apa-apa kok Pakde" sahut
Ninik dengan sikap canggung.
Pak Haryokusumo membalas kata-kata
Ninik itu dengan mencium kedua belah
pipinya yang kemudian disusul dengan
yang lain-lain, baru kemudian lelaki itu
berkata lagi. "Nah, selamat datang di rumahmu
sendiri," katanya. Kemudian ia menoleh ke
arah Ria, lalu lanjutnya, "apakah ini
sahabatmu yang kau ceritakan yang akan
datang menemanimu itu, Ria?"
"Ya, Pakde..." sahut Ninik terbata.
"Oh, ini sahabat Ria ya?" seru salah
serang di antara orang-orang yang berdiri
menyaksikan kehadiran kedua gadis itu.
"Cantik sekali. Sungguh, kalian berdua
merupakan gadis-gadis rupawan. Pasti
Selubung Sutra Dewangga | 67
Maria A. Sardjono kalian berdua menjadi bunga kota kecil
kalian ya?" Kedua gadis itu tersipu-sipu lagi dan yang
lain-lain tertawa. Bahkan Pak Haryokusumo langsung memperkenalkan
si pembicara tadi. "Orang yang pandai memuji orang
itu adik ayahmu, Ria... Kau boleh
memanggilnya dengan sebutan Tante
Marni... Lalu yang berpakaian blues biru
itu adalah istri Pakde!"
Ninik menganggukkan kepalanya tanpa
tahu harus mengatakan apa.
Untunglah Pakde Haryokusumo
mengalihkan perhatian semua orang
dengan menyuruhnya masuk ke rumah.
"Ayo semua masuk ke rumah dan
melanjutkan kangen-kangenan kita ini
sambil minum-minum!" katanya.
Selubung Sutra Dewangga | 68
Maria A. Sardjono Semuanya mengiyakan. Di dalam,
suasananya tambah semarak dengan
aroma masakan yang tampaknya memang
disiapkan untuk menyambut kedatangan
kedua gadis itu. "Inilah rumahmu, Ria!" kata Pak
Haryokusumo lagi. "Kau bebas berbuat
apa saja di dalam rumah milikmu ini!"
Ninik tidak memberi komentar apa pun
sehingga lekas-lekas Ria menyenggolnya
sambil mencubit lengannya. Baru dia
teringat akan sandiwaranya. Tetapi
alangkah sakitnya cubitan Ria itu!


Selubung Sutra Dewangga Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"I... iya, Pakde..." sahutnya,
menanggapi ucapan Pakde Haryokusumo
tadi sambil melotot diam-diam ke arah Ria,
mengancam akan membalas cubitannya
yang pedas tadi. "Terima... kasih."
Ria menahan tawanya melihat ulah
Ninik yang seperti cacing kepanasan itu.
Selubung Sutra Dewangga | 69
Maria A. Sardjono Dengan segala upayanya, ia mengalihkan
perhatiannya dengan asyik memandangi
segala sesuatu yang ada di dalam rumah
itu. Ah, ternyata ayahnya seorang yang
rapi Segala benda terletak di tempatnya
dengan apik meskipun sentuhan kewanitaan dalam rumah itu tak tampak
dan menyebabkan ada sesuatu yang
kurang dalam penataannya.
Sementara pembantu rumah tangga
menghidangkan minuman segar dengan es
batu kecil-kecilnya yang berdentingan di
dalam gelas dan menerbitkan rasa haus,
Ninik dan Ria memilih duduk berdampingan. Seolah dengan duduk
demikian, rasa cemas yang masih
bermegah-megah di dada mereka itu
dapat ditundukkan. "Ayo cicipi kuenya, gadis-gadis
cantik!" senyum istri Pakde Haryokusumo
sambil mendekatkan tempat kue ke atas
Selubung Sutra Dewangga | 70
Maria A. Sardjono meja di muka kedua gadis itu. "Ini buatan
Bude sendiri lh!" "Ah, Bude repot-repot saja sih..."
kata Ninik merasa tak enak. Mestinya
kerepotan itu bukan untuknya!
"Ini sekalian latihan kok. Bude
sedang kursus membuat kue-kue basah
dan kering berikut cara menghiasi nya. Jadi
bukan repot, Nduk!" sahut Bude
Haryokusumo lagi. Kali ini sambil duduk di
sisi Ninik. Lalu lanjutnya sambil menatap
Ria sejenak. "Bude sangka yang bernama
Ria justru Nak Ninik lho. Soalnya bentuk
hidung dan pancaran matanya mirip
almarhum. Tajam!" Baik Ninik maupun Ria terkejui mendengar
kata-kata itu. Sungguh tak terpikirkan oleh
mereka bahwa adanya kemiripan Ria
dengan ayahnya akan tertangkap oleh
orang. Tetapi untunglah, kata-kata Bude
Haryokusumo tidak diperhatikan oleh
Selubung Sutra Dewangga | 71
Maria A. Sardjono orang lain yang sedang asyik mencobai
kue-kue dan penganan lainnya. Lebih-lebih
karena Ria yang cepat berpikir dan tangkas
menangkis kata-kata orang itu segera
menjawab. "Itu kan karena asyik menatapi
penataan yang indah rumah ini, Tante!"
katanya. "Sehingga mata saya, menyalanyala tajam!"
Bude Haryokusumo tertawa. "Sahabatmu ini lucu, Ria!" katanya.
Tawa mereka terhenti oleh suara
tante Marni yang menyuruh semua orang
makan bersama-sama. "Memang untuk makan siang,
kesorean dan untuk makan malam
kesorean, tetapi tak apalah. Tak rugi kok
mencicipi masakan lezat buatan rumah
makan langganan kita itu!" katanya
Selubung Sutra Dewangga | 72
Maria A. Sardjono kemudian. "Ayo, mulai saja. Ria dan Ninik,
jangan malu-malu lho."
"Wah, semua orang memanjakan
kami..." kata Ninik. "Sampai pesan
makanan dari luar. Sungguh merepotkan!"
"Tidak merepotkan. Dan memang
kami mau memanjakan kalian untuk
menunjukkan betapa kedatangan kalian
menyenangkan kami semua!"
"Tetapi sebaiknya sesudah makan,
kalian beristirahatlah. Pilih saja kamar
mana yang ingin kalian tempati," sela Pak
Haryokusumo. "Yang ingin memanjakan
kedua gadis cantik itu, tunggu sampai sore
nanti sesudah keduanya beristirahat dan
mandi!" Meskipun disuruh memilih, tetapi
tampaknya tante Marni yang sejak kakak
lelakinya meninggal dunia tinggal di rumah
itu, memilihkan kamar yang paling
Selubung Sutra Dewangga | 73
Maria A. Sardjono menyenangkan di rumah itu. Kamarnya
luas dan jendelanya lebar-lebar, menghadap ke arah halaman samping di
mana penataan tamannya begitu indah
dan asri. "Apakah... apakah ini dulu kamar
Bapak?" tanya Ninik agak takut-takut.
Tante Marni memahami perasaan gadis
itu. "Bukan, Ria," sahutnya sambil
tersenyum. "Ayahmu tidur di kamar depan
dekat ruang kerjanya. Tetapi kalau pun ini
bekas kamarnya, kenapa mesti merasa
takut? Ayahmu meninggal bukan di rumah
ini. Dan orang yang sudah meninggal dunia
ya sudah, tidak akan kembali lagi.
Namanya saja meninggal dunia. Ya artinya
meninggalkan dunia, pergi ke tempat lain
yang kita tidak tahu bagaimana itu!"
"Ya, Tante..." Selubung Sutra Dewangga | 74
Maria A. Sardjono "Nah, Tante tinggal dulu, kalian
beristirahatlah!" "Terimakasih, Tante!"
Sepeninggal tante Mini, kedua gadis itu
merasa lega dan berniat untuk
melepaskan ketegangan hati mereka
dengan menceritakan ini dan itu mengenai
pengalaman yang baru saja mereka alami
tadi. Tetapi belum sampai itu terlampiaskan, pintu kamar mereka
diketuk orang. Ternyata Pak Haryokusumo menyusul
mereka. "Tadi Pakde lupa mengatakan
kepadamu, Ria!" katanya begitu pintu
terbuka. "Besok pagi, kalau kau sudah
cukup beristirahat, kita akan menemui
pengacara ayahmu!" Ninik terlonjak mendengar kata-kata yang
ditujukan kepadanya itu. Matanya
Selubung Sutra Dewangga | 75
Maria A. Sardjono melebar. Ia melirik ke arah Ria yang sedang
menjadi Ninik itu. "Apa... apakah Ninik boleh ikut,
Pakde?" tanyanya gagap.
"Boleh saja. Kenapa?"
"Ria itu memang penakut kok Oom,"
sela Ria, menyadari gawatnya persoalan.
Ninik harus didampingi olehnya!
"Penakut bagaimana? Masa pergi ke
pengacara saja takut?"
"Ria memang paling takut menghadapi orang-orang yang belum
dikenalnya. Maklum Oom, kami berdua ini
datang dari kota kecil!"
"Ya, saya maklum. Tetapi seharusnya hal seperti ini tak boleh
dibiarkan terus. Rasa takut, rasa gentar
dan rasa malu itu dapat menghambat
kemajuan seseorang. Jadi Ria, kau tak usah
Selubung Sutra Dewangga | 76
Maria A. Sardjono merasa takut. Apalagi ada Pakde di
sampingmu. Anak adik lelakiku adalah juga
anakku!" "Ya Pakde, terima kasih..." sahut
Ninik. "Nah, sampai besok ya. Pakde dan
budemu juga harus pergi lagi nanti malam.
Ada undangan pernikahan putri seorang
kenalan." "Pakde dan Bude tidak tidur disini?"
tanya Ninik. "Kalau tidur di sini, lalu siapa yang
menjaga rumah?" tawa Pakde Haryokusumo, "Sudahlah jangan memikir
kan yang bukan urusanmu. Lebih baik
pikirkan saja masa depanmu. Simpan
energi pisikmu!" Ninik dan Ria tersenyum. Dan
setelah Pak Haryokusumo berlalu dan
mereka tinggal berdua kembali, secara
Selubung Sutra Dewangga | 77
Maria A. Sardjono bersamaan keduanya menghembuskan
nafas lega sambil menjijitkan alis. Lalu
menyadari kebetulan yang lucu itu,
keduanya juga sama-sama tertawa kecut.
"Huh... saat yang menegangkan tadi
sudah berlalu..." gumam Ria. Bahunya
yang semula tegang, turun dengan
gerakan lentur. Tetapi Ninik masih bersungut-sungut.
"Saat yang tegang tadi memang
sudah berlalu!" gerutunya. "Tetapi nanti
sore, besok dan entah sampai kapan, kita
akan berjumpa lagi dengan apa yang
dinamai ketegangan itu."
"Jangan pesimis, Nona cantik!" tawa
Ria melihat kerucut bibir Ninik yang
sedang kesal itu. "Kau sih enak!" sahut Ninik lagi,
masih menggerutu. "Aku yang susah. Coba
bayangkan, salah sikap sedikit saja kalau
Selubung Sutra Dewangga | 78
Maria A. Sardjono tidak kau sodok rusukku dengan sikumu
yang kurang ajar itu, tentu kau pelototi aku
dengan matamu yang galak itu!"
Ria tertawa. "Marah nih ya?" gumamnya.
"Ya siapa sih tak marah kalau
disuruh bersandiwara menegangkan
begini. Ditepuki tangan penonton tidak.
Diberi pakaian indah dari toko busana
untuk mengiklankan dirinya, tidak. Apalagi
honor." Ninik masih menggerutu panjangpendek. "Coba bayangkan, apa yang harus
kulakukan kalau besok menghadapi
pengacara almarhum ayahmu. Coba pikir,
apa pula yang harus kukatakan kalau
ditanya ini dan itu yang aku tak tahu
menahu!" Sekarang baru Ria terdiam,
menyadari semakin gawatnya persoalan.
Lama dia terdiam dan membiarkan
otaknya yang cerdas itu bekerja sampai


Selubung Sutra Dewangga Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selubung Sutra Dewangga | 79
Maria A. Sardjono akhirnya ia menepuk pahanya sendiri
dengan mata berseri. "Gampang Nik," katanya kemudian.
"Nanti sebelum Pakde Haryo dan kita
berhadapan dengan pengacara Bapak
almarhum, aku akan mengajaknya bicara
empat mata lebih dulu."
"Untuk apa?" tanya Ninik heran.
"Untuk apa?" gerutu Ria "Ya tentu
saja untuk mengatakan hal yang benar.
Jadi berarti menceritakan sandiwara kita
ini, tujuannya dan sebagainya, agar beliau
tidak menanyakan yang sulit-sulit!"
"Nanti dia marah?"
"Itu urusanku, Nik. Aku yang akan
menghadapinya. Soalnya kalau tidak
begitu, bisa repot kita nanti. Sebab pasti
ayahku telah menyerahkan surat-surat
identitas diriku beserta fotonya sekali. Aku
ingat beberapa tahun lalu Eyang Putri
Selubung Sutra Dewangga | 80
Maria A. Sardjono mengirimkan foto-fotoku kepada Bapak.
Ketika kutanya, katanya Bapak menginterlokal supaya Eyang mengirimkan fotoku."
"Jadi?" "Jadi terhadap pengacara Bapak,
kita tidak boleh main sandiwara. Ini bukan
saja supaya segala urusan dapat selesai
dengan lancar, tatapi juga supaya tidak
timbul hal-hal yang diinginkan sebab
sudah pasti pak pengacara kita itu akan
menaruh curiga kalau melihat wajahku lain
dan sikapku tak meyakinkan hanya garagara pemain sandiwaranya kurang ahli!"
"Pemain sandiwara seperti itu biar
diupah setinggi apa pun aku tak suka.
Biarlah aku tak usah menjadi pemain
sandiwara sialan yang ahli!"
Ria tertawa melihat sahabatnya
masih marah-marah begitu.
Selubung Sutra Dewangga | 81
Maria A. Sardjono "Jangan serius begitu ah. Pikir yang
ringan-ringan sajalah!" katanya kemudian.
"Lalu kau sendiri apa yang pikirkan
dengan pikiran ringan-ringanmu itu?"
dengus Ninik. "Aku ingin jalan-jalan ke seluruh
pelosok kota Jakarta. Tetapi sebelumnya
aku akan ke makam Bapak dulu." Ria
menjawab ringan. "Kota Jakarta adalah
kota kelahiranku. Tetapi aku merasa asing.
Jadi akan kulawan rasa asing itu dengan
mengenalnya kembali. Sampai ke pelosokpelosoknya. Kita akan tinjau tempattempat yang di kota kecil kita tidak ada.
Apa saja. Lalu sesudah itu" Ria terhenti
oleh tawa Ninik. "Kok tertawa?"
"Karena aku baru sadar kau ini
serang jutawan sehingga mau keliling kota
Jakarta sampai ke pelosok pun kau tak
perlu memikirkan biayanya, Tinggal
menyuruh orang mengantarkanmu."
Selubung Sutra Dewangga | 82
Maria A. Sardjono "Oh, jangan kaitkan angan-anganku
dengan hal itu. Jutawan atau bukan, aku
akan tetap ingin mengenal kembali kota
kelahiranku yang semakin luas dan
berkembang ini. Aku akan napak tilas
tempat-tempat yang pernah kukunjungi
bersama Bapak dulu sewaktu kecil dan
datang mengunjunginya dulu..." suara Ria
yang ringan tadi berubah demi mengucap
kan kalimat terakhirnya itu. Ada
gelombang tangis di sana. "Ah.., tak
kusangka aku akan menjadi yatim-piatu
pada usia muda begini"
Wajah Ninik yang semula penuh gerutuan,
mengendur. "Sudahlah," katanya dengan suara
lembut menghibur. "Bukankah kau sudah
berjanji untuk tidak bersedih lagi?
Betapapun juga toh ada aku di dekatmu
biarpun suka mengmel panjang-pendek!"
Selubung Sutra Dewangga | 83
Maria A. Sardjono Ria menatap mata sahabatnya, yang
bersirat ketulusan itu. "Yah, seharusnya aku merasa
beruntung. Aku tidak benar-benar
sebatang kara di dunia ini," gumamnya.
"Pikiran bagus. Sebab memang kau
masih mempunyai nenek yang sangat
mengasihimu. Masih mempunyai saudarasaudara sepupu. Dan masih ada aku dan
keluargaku. Nah kenapa susah?"
Ria tersenyum menyadari kebenaran kata
teman-temannya. "Ya, kau benar Nik!" sahutnya
kemudian. "Dan inilah kekayaan atau harta
yang sebenarnya dan yang nanti
kusyukuri?" *** Selubung Sutra Dewangga | 84
Maria A. Sardjono 4 Selamatan empat puluh hari meninggalnya
almarhum ayah Ria diadakan tepat satu
minggu setelah kedua gadis itu tiba di
Jakarta. Selain mengadakan doa bagi
arwah almarhum, Pakde Haryokusumo
yang juga mengundang sanak-keluarga
serta kenalan almarhum, berniat memperkenalkan Ria kepada mereka.
Terutama kepada pegawai-pegawai perusahaan milik ayah Ria, dengan tujuan
agar mereka melihat dan mengenal siapa
pemilik perusahaan yang baru itu.
Ria dan Ninik mengetahui maksud
itu sehingga hati keduanya berdebardebar kencang selama berjam-jam
sebelum acara itu dimulai. Lebih-lebih
Ninik yang harus menghadapi mereka
semua. Selubung Sutra Dewangga | 85
Maria A. Sardjono Ria memahami perasaan sahabat,
nya. Dia sendiri pun merasa cemas apakah
Ninik mampu membawakan diri secara
seharusnya di hadapan para tamu nanti. Ia
cukup kenal betapa kecilnya hati Ninik.
Gadis itu selain lembut, kadang-kadang
juga suka kurang percaya diri.
Memang, dalam hal menghadap
orang banyak dengan selubung sutra
menutupi mereka seperti saat itu, Ria juga
merasa cemas kalau-kalau selubung itu
akan tersingkap dan penyamaran mereka
ketahuan. Tetapi dibanding Ninik, ia tak
terlalu gelisah yang menyebabkan perut
mulas sebagaimana yang dialami oleh
sahabatnya itu. Ia tidak seperti Ninik yang
mudah menyerah kepada keadaan. Ria
suka menerjang segala resiko yang
dihadapinya sesuai dengan aksi yang
dilakukannya. Pikirnya, kalau orang tidak
berani mengambil resiko, ya tinggal saja di
rumah. Aman. Jadi, akhirnya ia
Selubung Sutra Dewangga | 86
Maria A. Sardjono berpendapat, terjadilah apa yang akan
terjadi. Dan kalau ia juga menunjukkan
kecemasan tanpa berani mengatasinya,
bagaimana dengan Ninik yang ikutsertanya dalam sandiwara mereka itu
karena paksaannya. Berpikir seperti itu, ia segera
merubah sikap dengan memperlihatkan
keyakinan dirinya. Untunglah sikapnya
yang ptimis itu menulari Ninik juga pada
akhirnya. Mereka dapat menghadapi
tamu-tamu dengan sikap wajar yang
semakin lama semakin mudah dijalani
sehingga pelan-pelan debar-debar jantung
yang terbalut kecemasan tadi, mulai
berkurang dan akhirnya dapat berdetak
dengan nrmal kembali. Bahkan perut Ninik
yang semula tegang dan mulas, juga
menghilang. Orang yang pertama dikenalkan
kepada Ninik yang dianggap Ria adalah
Selubung Sutra Dewangga | 87
Maria A. Sardjono serang pengusaha muda berumur sekitar
dua puluh sembilan tahun. Ia diberi
kepercayaan oleh ayahnya untuk mengella
perusahaan keluarga. Lelaki itu bernama
Haryadi. "Sebelum ayahmu meninggal dunia,
Haryadi dan ayahmu pernah membicara
kan untuk menggabungkan kedua
perusahaan mereka!" kata Pakde
Haryokusumo kepada Ninik dan Ria yang
selalu menempel kepadanya. "Pakde rasa,
ada baiknya keinginan ayahmu itu
dibicarakan lagi secara lebih serius dengan
yang bersangkutan. Tetapi tentu saja kau
mempunyai hak penuh untuk menentukan
sendiri jalan perusahaan yang sekarang
menjadi milikmu ini. Dan pakde harap, kau
juga sudah seharusnya mempelajari selukbeluk perusahaan yang telah menjadi
milikmu ini, Ria!" Selubung Sutra Dewangga | 88
Maria A. Sardjono "Ya... ya. Pakde..." sahut Ninik
terbata-bata. "Apakah saya juga boleh mempelajarinya?" tanya Ria menyela.
Pikirnya, akan gawatlah kalau Ninik
mempelajari hal-hal yang tidak ada
kaitannya dengan bidang studi yang
tengah dipelajarinya. Ninik adalah
mahasiswi IKIP sedangkan Ria sendiri
mahasiswi fakultas eknmi.
Untuk sesaat lamanya Pakde
Haryokusumo menatap Ria dengan
tatapan tajam. Tetapi lekas-lekas Ninik
menyela. "Ya, Pakde. Kami berdua memang
biasa belajar apa-apa berdua. Saya kira
ada baiknya kalau ia juga diberi
kesempatan mempelajari perusahaan
Bapak... sebab... sebab siapa tahu dia nanti
saya minta bekerja di perusahaan kita!"
katanya. Selubung Sutra Dewangga | 89
Maria A. Sardjono Pak Haryokusumo mendengar kata-kata Ninik.
tertawa "Baiklah," katanya. "Semaumulah.
Kau yang lebih berhak menentukan segala
sesuatunya!" Sepeninggalan Pakde Haryokusumo,
Ninik menghembuskan nafasnya dan mulai
menggerutu lagi. "Gara-gara kau Ria, aku terpaksa
harus melongok apa yang namanya
kantor. Jangan lagi mempelajarinya.
Melihat apa saja isi sebuah kantor dan
bagaimana orang bekerja di kantor, belum
pernah. Sekarang aku harus mempelajari
nya!" katanya sambil bersungut-sungut.
Ria nyengir. "Knn kata orang bijak, tidak ada
ruginya orang belajar sesuatu, sebab di
suatu ketika nanti pasti akan ada


Selubung Sutra Dewangga Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gunanya!" katanya. Selubung Sutra Dewangga | 90
Maria A. Sardjono "Orang bijak gmbalmu!" dengus
Ninik. Ria bermaksud membalas gerutuan
Ninik tetapi diurungkannya ketika melihat
lelaki bernama Haryadi tadi menghampiri
tempat mereka. Lagaknya begitu meyakin
kan. Wajahnya menyiratkan rasa percaya
diri yang besar. "Sudah makan?" tanyanya kepada
kedua gadis itu. "Sudah..." sahut kedua gadis itu
hampir bersamaan. "Siapa yang memasak? Enak sekali!"
"Wah saya tidak tahu." sahur Ninik.
"Yang mengurus ini semua Bude
Haryokusumo dan tante Marni!"
"Kami belum tahu apa-apa di
Jakarta ini," sambung Ria.
Selubung Sutra Dewangga | 91
Maria A. Sardjono "Tetapi tentunya sudah kerasan kan
tinggal di Jakarta ini, Dik Ria?" tanya
Haryadi sambil menatap ke arah Ninik,
Matanya yang tajam menelusuri lekuk-liku
wajah gadis itu "Yah, begitulah..."
"Kk begitulah?" tanya Haryadi
sambil tersenyum manis memikat
"Apa artinya?" "Artinya, ya terpaksa harus kerasan
tinggal di sini Mau tak mau dan suka tak
suka kan harus tinggal di Jakarta!" Ria yang
menjawab. Dengan tangkas pula. Entah
mengapa sejak melihat Haryadi, ia merasa
tidak suka. Lelaki itu terlalu ramah dan
terlalu memiliki keyakinan diri yang
berlebihan. Nyaris pongah.
"Begitu dik Ria?" tanya Haryadi.
Selubung Sutra Dewangga | 92
Maria A. Sardjono "Ya. Meskipun saya lebih suka
tinggal di kota yang kecil tetapi tenang dan
damai, saya harus bisa juga tinggal di kota
yang serba sibuk demi kewajiban!" sahut
Ninik. Haryadi tersenyum mendengar jawaban
itu. "Jadi itu artinya masih ada harapan
bagi saya untuk membuat dik Ria menjadi
kerasan dan senang tinggal di Jakarta ini.
Saya bersedia lho menjadi guide untuk
melihat-lihat kota ini kepadamu. Sebab
bagaimana dik Ria akan bisa kerasan
tinggal di Jakarta ini kalau tidak kenal.
Ingat kan pepatah mengatakan, tak kenal
maka tak sayang? Jadi saya harap kalau dik
Ria nanti sudah lebih mengenal Jakarta
beserta segala pelosok dan corakwarnanya, rasa terpaksa tinggal di kota ini
nanti akan berganti dengan rasa suka dan
Selubung Sutra Dewangga | 93
Maria A. Sardjono lalu menjadi kerasan. Kemudian tidak lagi
ingat kembali ke kota semula!" katanya.
Ninik yang tak biasa didekat serang
pria yang sudah jadi orang tidak tahu harus
mengatakan apa atas kata-kata Haryadi
tadi. Dia hanya tersenyum-senyum saja.
Begitu pun ia tak mampu bicara banyak
tatkala kemudian dengan fasihnya Haryadi
menceritakan ini dan itu serta men
jelaskan tentang banyak hal mengenai
kota Jakarta. Padahal sebenarnya ia
merasa sangat risih. Persis seperti Ria, dia
juga sudah menangkap gejala tak wajar
dari lelaki itu yang keramahannya sudah
lewat dari takaran. Dilayaninya dia selah di
tempat itu tidak ada orang lain.
Ria yang tidak dihiraukan oleh
Haryadi, merasa sebal. Diam-diam ia
menjauhi tempat Ninik sedang mengobrol
dengan lelaki itu sambil berharap supaya
sahabatnya jangan sampai tergiur oleh
Selubung Sutra Dewangga | 94
Maria A. Sardjono pria Jakarta yang seringkali kelewat agresif
itu. Langkah kaki Ria bergerak menuju
ke tempat minuman dan mengambil
segelas es buah untuk kemudian mencari
tempat duduk lain, jauh dari tempat Ninik
yang sedang dimnpli oleh Haryadi tadi.
Tetapi sedang dia mulai menyenduk buahbuahan yang terapung-apung di dalam
gelasnya, serang lelaki muda mendatangi
tempatnya dan duduk di dekatnya.
"Udara agak panas malam ini ya
Mbak," katanya menyapa. "Nikmat
rasanya minum es buah yang segar ini."
Ria melirik ke arah tangan lelaki itu.
Ada es buah juga di dalam gelas yang
sedang dipegangnya. "Ya," sahutnya kemudian.
"Mbak temannya Mbak Ria ya?"
Selubung Sutra Dewangga | 95
Maria A. Sardjono "Ya." "Boleh kita berkenalan?" Lelaki itu
mengulurkan tangannya. "Saya Gunawan.
Mbak siapa?" "Saya, Ninik!" sahut Ria. Dijabatnya
tangan yang terulur itu. "Saya bekerja di perusahaan ayah
Mbak Ria," kata lelaki itu pula.
"Cukup lama juga bekerja di tempat
itu. Jadi saya sudah kenal baik dengan
almarhum ayah Mbak Ria. Dia serang yang
baik dan penuh perhatian terhadap
karyawan muda dan selalu memberi
kesempatan bagi kami untuk menunjuk
kan prestasi. Sungguh sayang, beliau
meninggal secara mendadak. Bagi saya,
dia adalah pengganti ayah saya."
Ria melirik lelaki itu, ada ketulusan
dalam air mukanya sehingga ia merasa
Selubung Sutra Dewangga | 96
Maria A. Sardjono terharu. Rupanya, lelaki itu pengagum
ayahnya. "Tuhan berkehendak lain, Mas!"
gumamnya kemudian. "Dan rupanya,
Anda termasuk orang yang kehilangan atas
meninggalnya ayah sahabat saya itu."
"Ya memang. Kemajuan yang saya
capai dalam menangani pekerjaan, beliau
sendiri yang membimbing saya. Dari orang
yang belum berpengalaman, sampai yah...
lumayanlah pekerjaan saya sekarang."
"Mungkin almarhum menyukai
pribadi anda, Mas Gunawan!" pancing Ria.
Ia ingin mengetahui bagaimana ayahnya di
mata anak buahnya, Sekaligus ia ingin
menggali infrmasi yang sekiranya dapat
dipakainya kelak jika ia harus ikut terjun
dalam perusahaan. "Ah, bukan karena itu. Saya bukan
orang istimewa kok Mbak!" sahut
Selubung Sutra Dewangga | 97
Maria A. Sardjono Gunawan lekas-lekas. "Bapak Danukusumo memang menyukai kaum
Lembah Merpati 9 Simple Past Present Love Karya Thia Kyu Ori Memanah Burung Rajawali 33

Cari Blog Ini