Selubung Sutra Dewangga Karya Maria A. Sardjono Bagian 2
muda dan ingin memberi kesempatan
kepada pemuda. Beliau tidak setuju
kepada perusahaan lain yang lebih
mengutamakan mereka yang berpengalaman semua apabila mencari
tenaga kerja. Tetapi beliau, selalu
membaurkannya. Yang sudah berpengalaman dengan yang belum."
"Saya kira hal itu ada bagusnya!"
kata Ria tertarik. "Pertama, memberi kesempatan
kepada kaum muda agar belajar dari
pengalaman yang lain. Kedua, memberi
semangat kerja kepada mereka sehingga
bisa menunjukkan prestasi yang optimal!"
"Benar, Mbak. Kalau tidak, kapan
kami bisa berpengalaman bukan?"
Selubung Sutra Dewangga | 98
Maria A. Sardjono "Siapa lagi selain anda yang
mendapat bimbingan langsung dan
beliau?" pancing Ria lagi.
"Banyak. Antara lain Pak Anton,"
sahut yang ditanya "Ah, umur panjang dia.
Sedang kita bicarakan, orangnya datang.
Itu dia Mbak, Pak Anton wakil almarhum
Pak Danukusumo baru saja datang!"
"h, yang sedang disambut oleh Pak
Haryokusumo itu ya Mas?"
"Ya. orangnya pandai dan sangat
disayang oleh almarhum!" kata Gunawan
lagi. Ada nada bangga dalam suaranya
tatkala ia menceritakan tentang atasannya
itu. "Dia benar-benar tangan kanan
almarhum dan sejiwa dengannya. Cakap
dalam menangani segala persoalan.
Sebenarnya dia seorang ahli hukum. Tetapi
juga pernah belajar di luar negeri
mengenai manajemen. Di usia yang baru
Selubung Sutra Dewangga | 99
Maria A. Sardjono tiga puluh lebih sedikit, sudah sedemikian
majunya." Ria tertarik kepada penuturan Gunawan.
Tetapi karena merasa penasaran, ia segera
memberi komentar. "Kedengarannya begitu sempurna" gumamnya. "Padahal setiap
manusia kan mempunyai kekurangan!"
"Ya, memang. Pak Anton itu
cacatnya satu. Tidak bisa berhadapan
dengan hal-hal yang tidak benar. Langsung
saja tanpa kompromi, dia akan
menegurnya!" "Misalnya?" tanya Ria semakin
tertarik. "Misalnya terhadap anak buah yang
merekomendasikan temannya secara
muluk-muluk supaya menempati suatu
posisi padahal tempat itu bukan bidang
keahliannya, ia akan segera menolaknya
Selubung Sutra Dewangga | 100
Maria A. Sardjono mentah-mentah. Katanya, suatu struktur
bangunan, kalau ada tiangnya yang tak
kuat, seluruh bangunan pasti bisa roboh
dalam waktu yang singkat!" sahut
Gunawan. "Tetapi kalau yang datang
melamar itu berbakat meski tanpa
pengalaman, Pak Anton pasti akan
memperhatikan nya secara istimewa."
Ria mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Lalu Mas Gunawan sendiri
menempati pekerjaan apa di kantor?"
tanyanya kemudian. "Saya kepala bagian admistrasi."
"Anda lulusan fakultas ekonomi
atau sejenis?" "Wah bukan. Saya lulusan akademi
bank dan pernah kursus-kursus akutansi,"
sahut Gunawan. "Yah, saya memang
bodoh, jadi suka mencari ilmu."
Selubung Sutra Dewangga | 101
Maria A. Sardjono Ria tersenyum, langsung menyukai lelaki
muda yang tampaknya termasuk orang
yang berkepribadian baik dan serang
karyawan teladan. "Anda, suka merendahkan diri..."
gumamnya kemudian. Gunawan tersenyum. Dihabiskannya isi
gelasnya, baru kemudian berkata lagi.
Tetapi sekarang mengenai hal lain.
"Bagaimana Mbak, sudah kerasan
tinggal di Jakarta."
"Yah, cukuplah."
"Masih akan lama tinggal di sini
menemani Mbak Ria?" "Tergantung keadaan," jawab Ria
"Rencananya sih hanya satu bulan karena
libur semester tidak lama dan kami
terpaksa membolos. Tetapi kalau Ni... eh...
Ria membutuhkan kehadiran saya, ya
Selubung Sutra Dewangga | 102
Maria A. Sardjono terpaksa saya undur. Hubungan kami
berdua sudah seperti saudara. Saudara
kembar, malah!" Gunawan tersenyum dan menatap
Ninik dari kejauhan. "Tampaknya Mbak Ria itu serang
gadis yang lemah lembut dan keibuan.
Mudah-mudahan ia dapat menyesuaikan
diri dengan manusia-manusia Jakarta yang
bermacam sifat dan kelakuannya itu..."
gumamnya. Ria menatap gunawan dengan
tatapan tajam. Ia mendengar nada prihatin
dalam suara lelaki muda itu.
"Mengapa?" tanyanya kemudian.
"Semuda dia, secantik dia, pasti
banyak godaannya. Saya mengkhawatir
kan perusahaan. Mudah-mudahan saja dia
dapat bekerjasama dengan Pak Anton agar
perusahaan dapat semakin berkembang.
Selubung Sutra Dewangga | 103
Maria A. Sardjono Dalam hal pekerjaan, Pak Anton tidak
kenal jenis kelamin maupun usia. Baginya
yang penting adalah potensinya. Mbak Ria
terlalu lembut kelihatannya. Mudahmudahan penilaian saya dari jauh ini
keliru." "Apa lagi penilaian anda Mas
Gunawan?" pancing Ria lagi.
"Ah tidak..." Gunawan mengelak.
"Jangan khawatir. Kalau ini demi
kebaikan, saya akan ikut memberikan
saran," bujuk Ria. "Katakanlah!"
"Tetapi jangan katakan ini dari saya
lho!" "Tidak. Saya berjanji!"
"Sejak tadi, saya terus memperhati
kan Mbak Ria dari jauh. Kelihatannya gadis
itu seorang yang mudah tersipu-sipu, agak
gampang bingung... pokoknya terlalu
Selubung Sutra Dewangga | 104
Maria A. Sardjono lembutlah untuk menjadi boss. Terusterang, saya khawatir kelembutan dan
ketidakyakinan dirinya itu akan dimanfaat
kan orang!" kata Gunawan mulai
mengeluarkan penilaiannya.
Dalam hatinya, Ria merasa senang
bahwa Gunawan mampu menilai Ninik
yang disangkanya Ria itu dengan cukup
baik meskipun belum kenal orangnya.
Pengetahuan Ria terhadap kelebihan
Gunawan itu dicatatnya di dalam hati.
Karyawan seperti dia, perlu diperhitung
kan. "Mas merasa prihatin ya?"
"Tentu saja. Kalau perusahaan
menjadi lebih karena pimpinan yang
kurang tepat, yang rugi bukan hanya satu
atau dua orang saja. Tetapi semuanya. Dan
yang lebih disayangkan adalah perusahaan
yang dirintis oleh Pak Danukusumo
almarhum dengan susah payah dan
Selubung Sutra Dewangga | 105
Maria A. Sardjono setapak demi setapak ini, dapat terancam
kelangsungan hidupnya. Jadi, siapa yang
tidak merasa prihatin kan Mbak?"
"Saat ini apa yang Mas Gunawan
prihatinkan?" "Yah, Pak Hariyadi itu lho Mbak!"
sahut Gunawan antusias. "Lihat, tampaknya beliau tidak membuang-buang
waktu untuk mendekati Mbak Ria. Dia
memang kabarnya ingin bergabung
dengan perusahaan Pak Danu. Tetapi
keburu Pak Danu meninggal dunia. Entah
bagaimana dan seberapa jauh pembicaraan di antara mereka, saya tidak
tahu. Tetapi saya yakin, kalau Pak Danu
pasti akan berhati-hati dalam hal ini.
Khususnya dalam hal pembagian keuntungan. Almarhum memikirkan
kepentingan bersama, khususnya untuk
kesejahteraan karyawannya!"
Selubung Sutra Dewangga | 106
Maria A. Sardjono "Lalu Mas Gunawan sendiri, apakah
mengetahui tentang perusahaan Pak
Hariyadi itu?" pancing Ria lagi untuk ke
sekian kalinya. "Tahu sekali sih tidak, Mbak. Tetapi
dari serang kenalan, saya pernah
mendengar perusahaan itu bermaksud
memperluas jaringan, tetapi modalnya
tidak mencukupi." "Lalu, ia ingin mencari partner
usaha?" "Begitulah." Pembicaraan mereka terhenti
karena dari tempat mereka, tampak Pak
Haryokusumo sedang memperkenalkan
Ninik kepada Pak Anton. "Wah, kelihatannya Pak Anton itu
kurang ramah kepada Ni... kepada Ria ya
Mas Gunawan?" komentar Ria. Saking
Selubung Sutra Dewangga | 107
Maria A. Sardjono asyiknya, sampai-sampai ia hampir lupa
menyebut nama. "Memang begitulah sikap beliau
kepada kaum wanita yang berwajah
cantik. Apalagi Mbak Ria nanti kan menjadi
rekan sekerjanya. Belum-belum, Pak
Anton sudah mengambil jarak lebih dulu!"
tawa Gunawan. "Apakah menikah?" Pak Anton belum "Belum. Pernah bertunangan tetapi
gagal di tengah jalan. Tunangannya terlalu
banyak menuntut perhatian darinya.
Begitu yang saya dengar!"
Ria tak melanjutkan pembicaraan
nya. Dari tempatnya, ia melihat mata Ninik
mencari-cari untuk kemudian berlabuh
kepadanya begitu melihatnya. Gadis itu
memberi isyarat kepadanya supaya datang
mendekat. Tampaknya, Ninik tak mau
Selubung Sutra Dewangga Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selubung Sutra Dewangga | 108
Maria A. Sardjono ditinggalkan di tempat yang asing bersama
lelaki-lelaki yang baru dikenalnya. Ria
merasa wajib untuk mendampingi sahabat
yang karena ulahnya jadi ikut terbawa
situasi yang tak menyenangkan.
"Marilah kita ikut bergabung ke
tempat Ria," katanya, mengajak Gunawan.
"Anda belum berkenalan dengannya
bukan?" Kehadiran Ria yang lincah dan gesit
bersama Gunawan di tempat itu membuat
suasana menjadi lebih menyenangkan.
Ninik tidak lagi tampak kaku dan
kebingungan. Apalagi ternyata di tempat
orang banyak, Gunawan dapat merupakan
teman mengobrol yang enak. Orangnya
bisa bergaul dengan siapa saja dan isi
bicaranya mantap serta memiliki rasa
humor yang sehat. Suatu saat sebelum acara sembahyangan dimulai, Pak Haryokusumo
Selubung Sutra Dewangga | 109
Maria A. Sardjono menepuk bahu Anton. "Ajaklah kedua
gadis itu ke kantor, Dik Anton. Biar mereka
bisa melihat-lihat keadaan di sana. Dan Dik
Gunawan, temani Pak Anton kalau kedua
gadis ini berkeliling di sana!"
"Siap, Pak!" Gunawan mengangguk
kan kepalanya. Tetapi Anton bergumam tak jelas.
Wajahnya menampilkan kebekuan yang
sulit diterjemahkan. Menurut pikiran Ria,
kalau lelaki itu bukan serang yang angkuh,
pastilah termasuk orang yang suka
meremehkan kaum wanita. Dan pada saat
itu wanita yang kelihatannya sedang
dipandang Anton dengan sebelah mata
adalah Ninik yang di dalam anggapannya
adalah Ria, calon atasannya, sebagai
pemilik perusahaan. Merasakan hal itu, Ria menjadi
jengkel kepada lelaki itu. Sungguh dia tidak
bisa mengerti mengapa almarhum
Selubung Sutra Dewangga | 110
Maria A. Sardjono ayahnya begitu menyukai Anton sebagaimana yang tadi ia dengar dari
Gunawan. Lelaki itu tidak simpatik
menurut pendapatnya. Tetapi yah, entahlah, hati orang
siapa tahu bukan? *** Selubung Sutra Dewangga | 111
Maria A. Sardjono 5 Hari itu tatkala kedua gadis itu pulang dari
berkeliling kantor, Nini bersungut-sungut
begitu mereka berdua turun dari mobil.
"Aku benci melihat si Anton gombal
itu!" gerutunya sambil berjalan menuju ke
kamarnya. "Lelaki kok begitu sih
menghadapi kaum wanita. Tidak ada
ramah-tamahnya sama sekali. Dingin, acuh
tak acuh, ogah-ogahan dan seperti
menganggap remeh setiap pertanyaan
yang kuajukan kepadanya!"
Ria tertawa. "Habis, apa-apa yang kau tanyakan
kadang-kadang tidak relevan sih!" katanya
memberi komentar. Selubung Sutra Dewangga | 112
Maria A. Sardjono Ninik terhenti dan matanya melotot ke
arah Ria Bibirnya semakin meruncing
karena jengkel. "Tuh, bukannya kau membelaku,
malah menyalahkan" katanya berapi-api
"Kau kan tadi yang berpesan supaya aku
jangan kelihatan dungu. Jadi aku purapura penuh perhatian terhadap semua
yang kulihat dan ku tambahi dengan
pertanyaan ini dan itu. Huh, malah tertawa
melihatku kesal begini!"
"Yang ku tertawakan bukan caramu
menghadapinya tadi dan juga bukannya
senang melihatmu diberi sikap tak
simpatik dari si tuan besar berdarah dingin
yang mungkin keturunan kodok itu!" tawa
Ria lagi, Tetapi aku menertawakan
keseriusanmu Kenapa sih begitu tegang.
Sudah kukatakan, santai sajalah dan
nikmati permainan kita ini."
Selubung Sutra Dewangga | 113
Maria A. Sardjono Mendengar kata-kata Ria, wajah Ninik
tampak lebih kendur dan sudut-sudut
bibirnya mulai bergerak lentur.
"Untungnya saja Mas Gunawan tadi
begitu sabar dan berbaik hati untuk
menjelaskan ini dan itu sehingga aku tidak
terlalu kelihatan seperti orang goblok dari
dusun, masuk ke kota!" katanya
kemudian, setengah tersenyum.
"Ya," sahut Ria sambil masih
tersenyum-senyum. "Mana orangnya
tampan, gagah dan ramah-tamah. Sudah
begitu terhadap wanita, ia menaruh
hormat. Sikap hormat yang pas. Tidak
berlebih-lebihan tetapi membuat kaum
wanita jadi merasa diperhatikan sebagaimana mestinya!"
"Aduh, panjangnya kata-kata pujianmu!" Sekarang Ninik dapat ikut
tertawa. "Jangan-jangan ada sesuatu nih!"
Selubung Sutra Dewangga | 114
Maria A. Sardjono "Idih!" Ria mencibir. "Lelaki
impianku bukan seperti dia, Non. Itu kan
justru lelaki impianmu. Kau pernah
mengatakan kepadaku apa type lelaki yang
kau idamkan!" "Dan kau seperti Anton itu ya?"
"Nggak usah ya Non!" cibir Ria lagi.
"Memangnya senang ya setiap hari diberi
suguhan es batu campur semen?"
"Apa? Es batu campur semen?"
"Iya. Si Anton itu kan dingin dan
kaku!" jawab Ria seenaknya. "Persis
seperti es batu dan semen!"
Ninik tertawa. Seluruh ketegangan
nya lenyap dari wajah cantiknya.
Kemudian gadis itu melontarkan pertanyaan barunya. "Dan Hariyadi, bagaimana menurut
mu? Seperti apa?" Selubung Sutra Dewangga | 115
Maria A. Sardjono "Seperti kawat kecil dari baja!"
sahut Ria tangkas. "Kok baja?" "Habisnya, ulet dan kita tidak tahu
dia itu mau apa, melentur ke sana ke mari
seperti sedang menunggu kesempatan
untuk mengikat sesuatu!"
"Wah, kau pandai perumpamaan!" tawa Ninik.
mencari "Dan bagaimana perumpamaanmu
tentang lelaki itu?" pancing Ria.
"Ini bukan perumpamaan tetapi apa
yang kulihat secara nyata." sahut Ninik.
"Lelaki itu sangat ramah dan manis, tetapi
manis dan keramahannya sudah lewat
takaran. Salnya, terhadapmu tidak
demikian, Ria!" "Kalau begitu, penilaian kita sama.
Andaikata dia tahu akulah yang Ria
Selubung Sutra Dewangga | 116
Maria A. Sardjono sebenarnya, pasti ia juga akan ramah dan
manis sekali terhadapku!"
"Itu pasti. Dan kepadaku, mungkin
malah tidak!" "Ah, jangan lekas berprasangka,
Nik!" "Oh, aku punya firasat yang kuat,
Ria. Sudah sejak awal perkenalan
dengannya, perasaanku sudah mendapat
bisikan dari dunia antah berantah supaya
aku bersikap waspada kepadanya, dan
jangan sampai terpengaruh olehnya!"
"Wah, permainan kita mulai asyik ya
dengan masuknya ketiga pria yang samasama ganteng tetapi mempunyai sifat yang
berlainan itu!" komentar Ria sambil
memainkan matanya. "Huh, dasar keranjang!" ejek Ninik.
cewek mata Selubung Sutra Dewangga | 117
Maria A. Sardjono "Biar saja," tawa Ria sambil
mengibaskan rambutnya yang bagus.
"Yang penting, permainan kita tambah
asyik kan?" "Huh, aku justru sudah ingin
mencopot selubung sutra kita ini!" gerutu
Ninik. "Rasanya, aku sudah capai menjadi
dirimu!" "Sabar, Non. Tunggu sampai waktu
yang tepat!" "Tetapi aku sudah jengkel sekali
menghadapi Haryadi itu," kata Ninik
"Rasanya, aku ingin melempar wajah
Hariyadi kalau saja itu bisa kulakukan.
Masa setiap saat dia menelpon, seolah aku
begitu membutuhkan dan mendambakan
nya?" Ria jadi tertawa lagi mendengar
keluhan itu. Memang hampir setiap saat,
telpn di rumah sering berdering. Dan
Selubung Sutra Dewangga | 118
Maria A. Sardjono hampir semua telpn yang masuk, tertuju
kepada Ninik. Dari Hariyadi! Isinya kalau
bukan ajakan membicarakan langkahlangkah apa yang akan dijadikan upaya
penggabungan kedua perusahaan, tentu
mengajak jalan-jalan keliling kota atau ke
tempat-tempat yang menarik.
Memang pernah dua kali Ninik
menerima ajakan Hariyadi untuk nonton
film dan makan di rumah makan mewah
yang baru pertama kali itu dikunjunginya.
Tetapi ia tidak pergi berdua saja sebab ia
meminta supaya Ria juga diajak serta.
Namun karena sikap Hariyadi agak dingin
terhadap Ria, dan Ria tahu dirinya menjadi
penghalang, ketika Hariyadi mengajak
Ninik lagi, ia tak mau mengekor di
belakang mereka. "Aku ingin nonton teve saja di
rumah bersama tante Marni!" katanya
memberi alasan. Selubung Sutra Dewangga | 119
Maria A. Sardjono Karena Ninik sudah terlanjur
mengiyakan ajakan Hariyadi, terpaksalah
ia pergi juga bersamanya tanpa Ria. Tetapi
itu adalah kali terakhir ia mau diajak lelaki
itu. "Aku mau pergi bersamanya itu kan
Selubung Sutra Dewangga Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
karena pertama, merasa tak enak kalau
menlak terus-terusan. Kedua, karena kau
ikut bersamaku. Tetapi tanpamu, aku tak
sudi berdekatan dengan lelaki yang tiap
semenit mengobral pujian itu. Muak aku
dibuatnya!" katanya jengkel.
Tetapi Hariyadi memang termasuk
lelaki yang ulet. Memang persis kawat baja
yang lentur tetapi sulit sekali putus. Usaha
mengajak Ninik yang berulangkah gagal itu
dirubahnya. Sekarang, dia sering datang
berkunjung ke rumah. Lalu ketika ia
mengetahui sikap dingin Ninik, akalnya
berjalan lagi. Sekarang kalau datang
berkunjung, ia selalu mengajak Gunawan.
Selubung Sutra Dewangga | 120
Maria A. Sardjono Dengan adanya Gunawan, Ria jadi
ikut duduk di ruang tamu. Dan dengan
adanya kedua orang itu, suasana menjadi
lebih menyenangkan. Memang belakangan ini Pakde
Haryokusumo sering mengajak Hariyadi
meninjau kantor untuk menjajagi
penggabungan kedua perusahaan. Dengan
begitu hubungan Hariyadi dan Gunawan
maupun yang lain-lain, termasuk Anton
mulai terjalin akrab. Tetapi meskipun
sudah sedemikian jauhnya, mengenai
penanaman modal ke perusahaan milik Ria
itu masih belum dilaksanakan. Pakde
Haryokusumo hanya mewakili almarhum
sementara Ria masih belum aktif terjun di
dalamnya. Jadi, dia tak mempunyai hak
untuk memutuskan sebelum Ria menyetujuinya. Dan Ninik atas suruhan Ria
berpura-pura masih berpikir-pikir dulu.
Selubung Sutra Dewangga | 121
Maria A. Sardjono Sementara itu sikap Gunawan
terhadap kedua gadis itu sangat baik.
Khususnya terhadap Ria, karena
untuk berakrab-akrab dengan Ninik,
Gunawan merasa sungkan. Pertama,
baginya Ninik adalah bossnya. Kedua, ada
lelaki lain yang sedang berusaha membuka
hati gadis itu. Namun meskipun Gunawan bersikap lebih
akrab dengannya, Ria tahu perasaan
khusus yang sedang tumbuh di hati lelaki
itu ada pada diri Ninik. Ria tidak bisa
dikelabuhi oleh sikap-sikap apa pun. Sinar
mata Gunawan tak mampu menyembunyikan sirat yang ada di
hatinya. Pandangannya yang penuh
kekaguman, ditujukannya kepada gadis
lembut keibuan itu dengan sembunyisembunyi. Apalagi Ria sering mendengar
lelaki itu menyebut nama Ria yang
sebetulnya Ninik dengan suara mesra...
Selubung Sutra Dewangga | 122
Maria A. Sardjono "Sesungguhnya, Mbak Ria itu lebih
cocok kalau menjadi seorang guru atau
serang konsultan, atau menjadi seorang
ibu rumah tangga murni!" begitu lelaki itu
pernah berkata. "Orangnya lembut dan
tampaknya tak berminat mengurus soalsoal yang menyangkut perusahaan.
Tampaknya, la merasa terpaksa Kasihan
dia" "Dia berjiwa lemb dan sederhana,
memang!" komentar Ria. Lalu dia
mengemukakan apa yang sebenarnya
sedang dirasa olehnya sendiri, kekayaan
dan tanggung jawab besar yang tiba-tiba
dihibahkan kepadanya oleh nasib,
menyebabkannya merasa gamang.
"Ia membutuhkan pendamping
yang kuat..." gumam Gunawan lembut.
"Aku kasihan melihatnya. Mudahmudahan ia tidak merasa tertekan
batinnya." Selubung Sutra Dewangga | 123
Maria A. Sardjono Seusai bicara seperti itu, Gunawan
terdiam dan melamun tanpa sadar bahwa
Ria masih memperhatikannya.
"Kok melamun, mas Gunawan?"
tegur gadis itu. Gunawan agak kaget, dan tersentak
mendengar pertanyaan yang tak di sangka
sangkanya itu. Rupanya gadis yang ada di
dekatnya itu termasuk serang yang cermat
"Yah... memang saya melamun,"
sahutnya terus-terang. "Saya sedang
berandai-andai. Seandainya saya berkenalan dengan Mbak Ria sebelum ia
mewarisi kekayaan ayahnya, alangkah"
"Alangkah kenapa mas Gunawan?"
tanya Ria ketika Gunawan menghentikan
bicaranya dan membiarkan kata-katanya
mengambang di udara tanpa penjelasan
lebih lanjut. Selubung Sutra Dewangga | 124
Maria A. Sardjono "Ah, tidak apa-apa." sahut Gunawan
tersipu-sipu. "Dan saya harap, Dik Ninik
jangan menyampaikan apa yang tadi saya
katakan itu kepada yang bersangkutan
ya?" Ria menganggukkan kepalanya Tetapi di
dalam hatinya, ia sudah dapat meraba apa
yang kira-kira ada di dada Gunawan
terhadap Ninik. Diam diam dia berharap
Ninik menyadari perhatian khusus itu dan
sukur-sukur mau menimpalinya. Di kota
besar yang penuh dengan iklan dunia dan
penuh dengan lelaki berhidung belang,
Gunawan merupakan salah seorang dari
yang langka. Lelaki itu bukan saja lelaki
baik dan berkepribadian menarik, tetapi
juga mempunyai semangat dan daya juang
yang pasti akan menaikkan karirnya di
masa mendatang. Tetapi rupanya pikiran Pak
Haryokusumo lain lagi. Lelaki tua itu lebih
Selubung Sutra Dewangga | 125
Maria A. Sardjono menyukai Anton. Wakil dan tangan kanan
almarhum Pak Danukusumo itu merupa
kan harapannya. Ia ingin lelaki itu menjalin
hubungan khusus dengan Ninik yang
dianggapnya Ria. Sebab tampaknya ia
sudah melihat bahwa Ninik tidak
mempunyai bakat dalam bidang usaha
sehingga ia membutuhkan pendamping
terpercaya. Anton berbakat menjadi
pemimpin. Pak Haryokusumo yang
mempunyai usaha sendiri di bidang lain,
tidak dapat sepenuhnya ikut memikirkan
hal-hal yang menyangkut diri sang
kepnakan. Demi rasa tanggungjawabnya
atas semua peninggalan almarhum
adiknya, ia berharap Anton akan
membantu sang keponakan dalam
mengelola perusahaannya itu.
Hanya sayang sekali, sikap Anton
kepada Ninik sangat dingin dan sedikit
melecehkan. Dan Ria yang melihat sikap
seperti itu, merasa tersinggung. Sahabat
Selubung Sutra Dewangga | 126
Maria A. Sardjono nya tidak bersalah apa-apa. Anton tidak
boleh memandang rendah seperti itu
hanya karena Ninik tak mampu bekerja di
bidang yang bukan bidangnya. Kalau Ria
merasa jengkel, ia yang lekas-lekas
mengambil alih pembicaraan sehingga dia
yang akhirnya berbicara, berdebat dan
bertukar pikiran dengan Anton mengenai
jalannya perusahaan serta kebijakankebijakan yang harus ditempuh. Akibat
nya, yang menjadi akrab bukanlah Anton
dengan Ninik yang dianggap Ria,
melainkan dengan Ria yang dianggapnya
Ninik. Karena memang Ria menyukai dunia
usaha serta tantangan-tantangannya.
Seringkah bersama Anton, ia terlibat
diskusi yang membuat mata Ninik yang
berada di dekat mereka terkantuk-kantuk
karena merasa bosan. Sementara waktu terus berjalan.
Ninik mendapat surat dari orang tuanya.
Selubung Sutra Dewangga | 127
Maria A. Sardjono Semester baru sudah dimulai dua minggu
yang lalu tetapi Ninik belum juga pulang.
"Ria, aku harus pulang!" katanya
menjelaskan. "Tunggu sampai sandiwara kita tiba
pada akhirnya dan kita bisa menata segala
sesuatunya dengan baik sesuai dengan
harapanku!" sahut Ria.
"Kau gila, Ria. Aku sudah capek. Dan
bagaimana dengan kuliahku? Kau tahu kan
aku harus segera merampungkannya. Dua
tahun lagi, Bapak harus membiayai Didik,
adikku. Kalau aku belum menyelesaikan
kuliah, kan berat buat Bapak. Mana Mas
Ttk juga belum selesai-selesai kuliahnya.
Masih ada ujian negara yang harus
diselesaikannya." aku "Cuti akademik saja, Nik. Bukannya
mau sewenang-wenang dengan
Selubung Sutra Dewangga | 128
Maria A. Sardjono uangku, tetapi uang semester kali ini biar
aku yang membayarimu!"
"Sesungguhnya bukan hanya masalah kuliahku saja yang membuatku
ingin pulang, Ria. Tetapi juga sal
perasaanku. Aku kesal kepada Mas
Gunawan. Sikapnya serba memakai jarak
padahal aku tahu, ia menyukaiku dan
aku... aku juga mulai menyukainya. Sudah
begitu sikap Haryadi seperti lintah
kelaparan. Ke mana-mana maunya dekat
terus, membuatku merasa sebal. Lalu si
Anton yang dingin dan kaku itu sering
melemparkan pandang mata melecehkan
ke arahku. Aku tak tahan lagi, Ria!"
"Kau tega kepadaku, Nik?" kata Ria
menghiba. "Aku tak bisa berpisah
denganmu. Lebih-lebih dalam keadaan
seperti ini. Kalau perlu, nanti kita cari dkter
yang mau dimintai tlng membuatkan surat
keterangan sakit untuk dikirimkan ke
Selubung Sutra Dewangga | 129
Maria A. Sardjono sekretariat kampusmu, biar kau tak kena
sanksi. Kasihanilah aku, Nik. Bagaimana
aku harus menghadapi orang banyak kalau
kau tiba-tiba melepaskan selubung
sandiwara kita dan pulang begitu saja?"
"Baiklah, kuperpanjang satu minggu
lagi dan tlng carikan surat keterangan
seperti yang kau janjikan itu. Kalau dalam
waktu satu minggu lagi nanti keadaan tak
berubah, aku pulang!"
"Dan aku akan ikut kau pulang!"
Ninik tertawa dan wajahnya mulai
melembut lagi. Ia tahu, sebenarnya Ria
juga sudah merasa bsan dengan
permainannya. Mereka berdua tidak tahu
cara bagaimana mengakhirinya. Memang,
kalau bicara hasil sandiwara mereka,
memang ada. Dari keterangan Gunawan,
Ria dapat melihat hal-hal yang pasti tidak
diketahui oleh ayahnya almarhum. Dan
semua itu dicatatnya di dalam hati untuk
Selubung Sutra Dewangga | 130
Maria A. Sardjono
Selubung Sutra Dewangga Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di suatu ketika nanti dapat dipakai untuk
memperbaiki hal-hal yang kurang maupun
yang tidak tepat. Ia juga mulai dapat
melihat ketidaktulusan Hariyadi yang
terlalu manis mulut itu. Pasti, penggabungan kedua perusahaan akan
lebih menguntungkannya daripada sebaliknya. Dan di rumah, Ria juga sudah
melihat mana-mana yang bersikap tulus
dan mana-mana yang sebaliknya. Sebab
selama ini ia sering mendapat perlakuan
yang dingin dan bahkan kurang hrmat dari
pembantu rumah tangganya. Padahal
terhadap Ninik yang mereka kira Ria, sikap
mereka begitu manis. Semua itu
menyebalkannya. Dan kelak, dia akan
meminta Mbok Pah datang kembali.
Masih dalam keadaan mengambang
dan menekan perasaan seperti itu Pakde
Haryokusumo menelepon dan memberitahu bahwa Hariyadi mengajak
mereka semua menginap ke Pacet.
Selubung Sutra Dewangga | 131
Maria A. Sardjono "Dia berulang tahun dan ingin
merayakannya bersama-sama kita. Dan
dia sudah memesan dua pondok
berdekatan yang akan kita pakai di sana."
kata Pak Haryokusumo. "Tak enak kalau
kita tolak. Dia sudah memesan ini dan itu
untuk menjamu kita!"
"Siapa yang diundang, selain kita?"
tanya Ninik atas suruhan Ria.
"Ya, kita-kita saja. Nak Gunawan dan
Pak Anton juga diundang!"
Pak Haryokusumo tentu tidak akan
mengatakan bahwa atas permintaannya
lah Pak Anton juga diundang. Ia memang
sudah melihat adanya kecocokan di antara
Anton dan Ria dalam banyak hal.
Tujuannya, ingin supaya kecocokan itu
juga ditularkan kepada Ninik yang
dianggap Ria. Selubung Sutra Dewangga | 132
Maria A. Sardjono Padahal Pak Hariyadi justru ingin supaya
Gunawan yang akan meraih perhatian Ria
yang disangkanya Ninik sehingga ia dapat
bebas berdua-dua dengan Ninik yang
disangkanya sebagai Ria. Dengan adanya
Anton, mungkin akan lain lagi persoalan
nya. Ria yang cerdas dapat menangkap
keinginan Hariyadi itu dan dia ingin sekali
melihat lelaki itu gigit jari. "Hm...
tampaknya akan seru juga menginap di
Puncak sana!" gumamnya kemudian. "Tiga
pria ganteng dan dua gadis bingung!"
"Dasar kau suka menantang hal-hal
semacam itu!" gerutu Ninik.
Ria hanya tertawa saja. Tak
dikatakannya bahwa ia juga ingin
menikmati pemandangan di pegunungan
Jawa Barat yang konon kata orang sangat
cantik. Ini adalah kesempatan yang baik
untuk menyaksikannya. Selubung Sutra Dewangga | 133
Maria A. Sardjono *** Selubung Sutra Dewangga | 134
Maria A. Sardjono 6 Di kamar yang berudara dingin tetapi
nyaman karena adanya selimut tebal dan
tempat tidur yang empuk serta jendela
lebar berkaca yang dapat menghidangkan
pemandangan di luar sana, Ria dan Ninik
tidur bergelung di dipan masing-masing.
"Ayo bangun, sudah siang!" kata Ria
sambil menyingkap tirai sampai ke tepitepi bingkai jendela di dekatnya. "Lihat tuh
cantiknya pemandangan di luar sana.
Sudah jam enam nih!"
Tetapi karena tidak mendengar
tanggapan dari Ninik, Ria mengalihkan
perhatiannya kepada gadis itu dan mulai
merasa geli melihat bibir sahabatnya itu
mengerucut dan memberungut.
Selubung Sutra Dewangga | 135
Maria A. Sardjono "Cantik apanya, kalau harus
berdekatan dengan Hariyadi!" gerutunya.
"Aku mual!" "Memangnya kenapa?" tanya Ria
semakin geli. "Seumur-umurku, baru kali ini aku
dihujani pujian yang memuakkan. Tiap
sebentar bertanya 'Dik Ria dingin? Kasihan
tubuh indah dan wajah cantik itu kalau
kedinginan'. Atau 'aduh Dik Ria, alangkah
cantiknya kamu. Dirimu memberi
kehangatan khusus kepadaku di udara
sedingin ini'. Huh." gerutu Ninik lagi.
"Mana di cuaca remang senja pula.
Menyebalkan. Dikira itu romantis
barangkali!" "Hush!" "Hush apa, Ria? Coba kalau dia tahu
aku ini bukan Ria sang jutawan yang
dikiranya akan menguntungkan Selubung Sutra Dewangga | 136
Maria A. Sardjono perusahaannya, belum tentu dia akan
semanis itu terhadapku. Nyatanya,
kepadamu begitu acuh tak acuh selah kau
itu tidak ada di dekatnya!" Ninik masih
menggerutu. "Padahal kalau yang diukur
nya itu kecantikan, sudah jelas kau lebih
cantik dari aku, Ria!"
"Hush!" "Jangan hash-hush saja, Ria. Aku
sedang muak nih!" kata Ninik semakin
jengkel. "Apalagi si Hariyadi itu mau
mengajak kita semua berkuda."
Tetapi ternyata Anton yang tahu
bahwa Hariyadi sebenarnya hanya ingin
berkuda dengan Ninik, mengatakan tidak
ingin berkuda karena lebih suka
memancing. Sedangkan Gunawan yang
merasa tak sampai hati melihat Ninik
didekati lelaki lain, memilih ikut keluarga
Pak Haryokusumo ke Cipanas untuk
berbelanja oleh-oleh buat di rumah. Dan
Selubung Sutra Dewangga | 137
Maria A. Sardjono Ria yang tidak mau menjadi orang ketiga,
memilih tinggal di pondok meskipun mata
Ninik melotot dan nyaris keluar seluruh
bola matanya. "Aku akan melukis, membuat sketsa
pemandangan di sini!" katanya kepada
Ninik yang tak bisa marah-marah di
hadapan orang banyak itu. Maka sesudah
Ninik pergi akhirnya Ria sibuk dengan
lukisannya sampai tidak didengarnya
langkah kaki Anton yang mendekatinya
sesudah beberapa jam lamanya ia
tenggelam di dalam keasyikannya itu.
"Bagus sekali Dik Nik!" kata lelaki
itu. Ria menoleh. Matanya menangkap
sinar mata kekaguman dari kedua bola
mata lelaki itu. Ah, alangkah tampannya
dia. Pakaiannya melekat dan pas ke
tubuhnya yang jangkung berisi itu. Dan
Selubung Sutra Dewangga | 138
Maria A. Sardjono matanya menatap lembut ke arahnya,
menghantar pujiannya tadi.
"Ah, Mas Anton..." sahutnya agak
gugup. "Eh, sejak tadi itu hanya dapat
memancing dua ekor ikan saja?"
Ria mengalihkan pembicaraan
kepada dua ekor ikan yang dijinjing oleh
lelaki itu. "Banyak semut besar-besar, Dik Nik.
Aku tidak tahan duduk di sana!" kata lelaki
itu. "Wah, aku tak mengira kau
mempunyai bakat melukis. Sudah lama
menyukai bidang itu?"
"Sejak bayi!" tawa Ria. "Anugerah
Tuhan." "Kau penuh hal-hal mengagetkan, Dik Nik..."
yang Kata-kata Anton menyembulkan
rona kemerahan di pipi Ria karena cara
Selubung Sutra Dewangga | 139
Maria A. Sardjono lelaki itu bicara jelas mengandung pujian
yang kental. Meskipun tidak berhamburan, kata-kata pujian semacam
itu lebih menyentuh perasaan daripada
pujian-pujian yang diucapkan oleh
Hariyadi sebagaimana cerita Ninik tadi.
"Ini... ini hanya iseng kok Mas."
sahutnya gagap. "Eh, ikannya mau
diapakan Mas?" "Enaknya diapakan?"
"Dibakar, yuk? Mau?"
"Oke!" Suasana tak resmi yang berbeda
daripada pertemuan mereka biasanya itu
terasa menyenangkan bagi keduanya.
Apalagi tidak ada orang lain di tempat itu.
Tukang masak sedang sibuk di dapur.
Sedang kedua muda-mudi itu membakar
ikan di bawah phn besar di halaman.
Selubung Sutra Dewangga | 140
Maria A. Sardjono "Dik Ninik sudah kerasan tinggal di
Jakarta ini?" tanya Anton tiba-tiba.
"Apakah lebih senang daripada tinggal di
kota kecil?" "Semuanya mempunyai daya tariknya sendiri-sendiri, Mas!" sahut Ria
terus-terang. "Tetapi karena sudah
terbiasa tinggal di kota yang tenang,
tinggal di Jakarta membuat hati sering
resah. Kalau saja nasib tidak mengharuskanku tinggal di Jakarta, tentu
akan lebih menyenangkan tinggal di kota
kecil yang penuh dengan keakraban tulus."
"Nasib yang mengharuskan tinggal
di Jakarta bagaimana?"
Ria tersentak menyadari keterlepasan bicaranya. Tetapi dengan
cepat ia berusaha mengatasinya.
"Ya nasibkan kalau aku terpaksa
harus menemani Ria?" sahutnya Selubung Sutra Dewangga | 141
Maria A. Sardjono kemudian. "Kasihan dia kalau kutinggalkan
di tempat yang masih serba asing dan baru
itu!"
Selubung Sutra Dewangga Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hidup dan nasib kadang-kadang
memang seperti undian!"
"Undian bagaimana?"
"Yah contohnya Dik Ria itu," sahut
Anton sambil membalik ikan dan
menglesinya dengan mentega. "Rupanya
ia tidak siap mewarisi perusahaan
ayahnya. Secara pribadi aku menyukainya.
Ia baik. Tetapi sebagai rekan, apalagi
sebagai boss atau atasan, aku sungguh
tidak bisa melihat sepak-terjangnya yang
terlalu lembut, tak tahu apa-apa dan tak
berpendirian itu. Bagaimana perusahaan
bisa dipimpin oleh orang seperti itu? Aku
heran, apakah sang paman tidak melihat
itu. Rasanya aku kurang percaya ia seorang
mahasiswi fakultas ekonomi yang hampir
selesai!" Selubung Sutra Dewangga | 142
Maria A. Sardjono Ria tertegun. Jadi, itulah arti
pandangan meremehkan yang ditujukan
Anton kepada Ninik. "Ria memang seorang yang lembut
hati dan terkadang kurang percaya diri.
Tetapi dia baik hati!" katanya membela
"Sudah kukatakan tadi, dia seorang
gadis baik. Tetapi kurasa ia akan lebih
cocok menjadi seorang guru atau ibu
rumah-tangga. Mm... mudah-mudahan
saja Pak Hariyadi..." Anton menghentikan
bicaranya. Semburat rona merah melintasi
pipinya. "Pak Hariyadi kenapa, Mas Anton?"
desak Ria. "Katakanlah. Aku ingin
mengetahui. Siapa tahu itu ada gunanya!"
Anton melirik mata Ria, berperang dalam
batinnya sesaat, baru berkata-kata lagi.
"Aku berharap mereka... Pak
Hariyadi dan Dik Ria itu akan menjadi
Selubung Sutra Dewangga | 143
Maria A. Sardjono pasangan yang ideal. Sebagai... suami-istri
misalnya dan sebagai rekan usaha. Itu
harapanku. Boleh kan orang berharap?"
"Dalam hal ini apa kepentinganmu,
Mas?" tanya Ria memancing.
"Suasana kerja yang enak. Dengan
demikian, aku tidak perlu harus bekerja
dengan Dik Ria, tetapi dengan suaminya."
Hmm, begitu, pikir Ria. Lalu tanyanya lagi.
"Rupanya Mas Anton menyukai
wanita-wanita yang keibuan dan tinggal di
rumah dan bukannya mencampuri
pekerjaan suaminya!"
"Bukan begitu. Aku menyukai
serang istri keibuan, itu jelas. Tetapi bukan
yang seperti Dik Ria. Keibuan yang
kumaksud adalah naluri kewanitaan yang
diperlukan juga di perusahaan dalam hal
penanganan terhadap anak buah, dari
pribadi ke pribadi. Sikap dan cara bijaksana
Selubung Sutra Dewangga | 144
Maria A. Sardjono serang ibu yang tahu seluk-beluk
pekerjaan, itu perlu. Sedang Dik Ria, tidak
mempunyai sifat dan sikap seperti itu.
Padahal sebagai pemilik perusahaan,
seharusnya dia belajar mengetahui segala
sesuatunya. Sungguh tidak enak berhadapan dengan orang yang bukan saja
tidak tahu apa-apa, tetapi juga tidak ada
minat. Yang susah kan wakilnya!"
"Sulit juga wanita idaman Mas
Anton." "Tidak. orang seperti Dik Ninik-lah
yang saya sukai. Gesit, cekatan, lincah dan
memiliki kepenuhan sebagai wanita
sesungguhnya. Tetapi juga peka terhadap
kebutuhan orang lain dalam kaitannya
dengan pekerjaan. Dik Ninik cerdas,
mempunyai daya juang dan minat
terhadap hal-hal yang menyangkut
perusahaan demi sahabat. Ini sungguh
Selubung Sutra Dewangga | 145
Maria A. Sardjono mengesankan. Kita selama ini bisa cocok
dalam hal itu!" "Ah..." Ria merasa tak enak. Anton
rupanya termasuk lelaki yang tidak biasa
memakai bunga-bunga kata.
"Aku bersungguh-sungguh, Dik Nik.
Kalau bisa, janganlah pulang ke kotamu.
Tinggallah di sini, dampingi Dik Ria dengan
ikut terjun di dalam perusahaannya. Dan
terutama, aku... aku merasa senang
bersamamu!" Pipi Ria merona merah. Baru sekali
ini ia mendapat perlakuan khusus yang
diucapkan secara berhadapan, sambil
membakar ikan pula! Ah, mana seninya?
Itukah yang disebut romantis? Rasanya
bukan! "Aku... aku... harus kembali ke kota
asalku, Mas!" katanya memancing lagi.
"Rumahku bukan di sini!"
Selubung Sutra Dewangga | 146
Maria A. Sardjono "Akan kutawarkan rumahku untuk
mu di suatu saat nanti, Dik Nik!"
"Apa?" Wajah Ria semakin merna
merah. "Ijinkan aku mendekatimu secara
khusus, Dik Nik. Selama ini, aku merasa
berbahagia berdekatan denganmu. Tetapi
aku belum berani mengatakannya.
Pertama, aku tak ingin kecewa lagi. Dulu
aku pernah ditinggal pergi kekasih yang
memilih lelaki lain yang lebih segalanya.
Dan aku pernah merasa benci kepada
kaum wanita yang hanya tahu
mempergunakan kecantikannya saja.
Tetapi begitu bertemu denganmu luruh
semua kebencian dan penilaianku. Kau
sempurna, Dik Nik. Cantik, cerdas dan tahu
memakai tak. Dan kedua, aku belum
berani mengatakan hal ini karena takut
kau tlak. Tetapi setelah mendengar kau
akan pulang, aku merasa harus berani
Selubung Sutra Dewangga | 147
Maria A. Sardjono menghadapi resik dan mengatakannya
dengan terus terang kepadamu. Memang
ini terlalu cepat... tetapi lebih baik
kerapatan daripada terlambat dan kau
terlanjur pergi!" Ria terdiam. Betapa dadanya terasa
penuh, dan hatinya terasa manis
mengetahui perasaan lelaki itu. Tetapi
bagaimanakah andaikata dia tahu bahwa
dirinya bukanlah Ninik, melainkan Ria.
Akan marahkah dia? "Kk diam, Dik Nik?" tanya Anton.
"Katakanlah sesuatu meski yang paling
buruk sekali pun!" "Aku, aku merasa kau hargai,
Mas." Ria tertengadah. Dan, aku merasa
senang" katanya terus terang. "Tetapi
Tetapi kau belum kenal aku yang
sebenarnya. Jangan terlalu cepat menaruh
perasaan tertentu kepadaku. Nanti
kecewa!" Selubung Sutra Dewangga | 148
Maria A. Sardjono "Aku sungguh menyukaimu Dik Nik,
Tak mungkin aku merasa kecewa!"
Ria menggigit bibirnya sendiri,
bingung. Sungguh mati, ia tak tahu apa
yang harus dikatakannya kepada Anton
yang tengah menatapnya dengan
pandangan mata mesra itu!
*** Selubung Sutra Dewangga | 149
Maria A. Sardjono 7 Ninik membantingkan tubuhnya ke atas
tempat tidur sesudah melemparkan baju
hangatnya ke atas kursi. Wajahnya tampak
murung. "Ada apa lagi?" tanya Ria yang
menyusul masuk. Begitu masuk ke rumah
bersama Hariyadi tadi, Ninik langsung
masuk ke kamar dengan wajah masam.
Sebagai sahabatnya sejak kecil, Ria tahu,
pasti ada yang tidak beres dengan gadis itu
sehingga lekas-lekas ia menyusulnya.
Apalagi ia tadi melihat mata Pak
Haryokusumo menatap tajam ke arah
gadis itu. "Aku sudah tidak tahan lagi, Ria!"
keluh Ninik, hampir menangis. "Si Hariyadi
itu bukan saja memuakkan tetapi juga
Selubung Sutra Dewangga | 150
Maria A. Sardjono sudah kelewatan. Ia memang sengaja
hendak membawaku berdua-dua dengan
alasan berkuda. Tahu kau Ria, dia... dia
hampir saja berhasil menciumku!"
"Tetapi kau dengan tegas telah
menlaknya kan?" "Ya. Aku bahkan mengatakan jangan
berbuat macam-macam kepadaku," sahut
Ninik. "Tetapi yang membuatku hampir
putus asa ini bukan karena usahanya mau
menciumku saja, Ria!"
"Lalu apa lagi kalau begitu?"
"Aku sudah melihat Mas Gunawan
jadi semakin menjauhiku karena si
Hariyadi itu terus-menerus melekat
kepadaku!" kata Ninik dengan suara
menggeletar. "Seandainya aku bisa tampil
sebagai Ninik dan bukan sebagai Ria, pasti
tidak begini ceritanya."
Selubung Sutra Dewangga | 151
Maria A. Sardjono "Sabarlah, Nik!" bujuk Ria lembut.
"Mm... apakah kau mencintainya, Nik?
Katakan terus-terang kepadaku!"
"Mungkin kalau dikatakan cinta, itu
terlalu pagi. Tetapi kalau menyukainya dan
sering... sering melamunkannya... ya!"
Ria tersenyum. Ini kemajuan,
namanya. Sama seperti kemajuan dalam
hal perasaannya sendiri terhadap Anton.
Ada rasa malu. Ada rasa debar-debar
jantung yang tak beraturan. Ada rasa
manis. Dan... dan seterusnya. Itu semua
adalah pengalaman baru baginya. Apalagi
kalau diingat ia dulu tak suka kepada sikap
dingin Anton. Dan rupanya demikian juga
bagi Ninik terhadap Gunawan. Ia tampak
begitu putus asa dijauhi oleh Gunawan. Ria
merasa iba. "Nik, kalau kau memang menyukai
Mas Gunawan, aku akan menolongmu
dengan cara menjauhkanmu dari si
Selubung Sutra Dewangga | 152
Maria A. Sardjono Hariyadi itu. Tetapi berjanjilah untuk
menangguhkan kepulanganmu barang dua
tiga hari lagi. Oke?"
"Oke. Segera jauhkanlah si Hariyadi
itu dariku sejauh-jauhnya!" kata Ninik
mulai cerah wajahnya. Kesempatan yang dijanjikan oleh
Ria, tiba pada sore harinya sesudah
mereka semua beristirahat siang. Ketika
itu kedua gadis itu sudah mandi dan
masing-masing mengenakan stelan celana
dan blus yang serasi. Modelnya sama
tetapi warnanya berbeda. Tetapi keduanya sama-sama tampak cantik dan
menarik di sre hari yang cerah itu sampaisampai Hariyadi berusaha ingin mendekati
Ninik. Dan melihat jitu, Gunawan merasa
Selubung Sutra Dewangga Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tak tahan. "Siapa mau ikut aku jalan-jalan
melihat matahari terbenam?" tanyanya
Selubung Sutra Dewangga | 153
Maria A. Sardjono asal saja, demi mengurangi keketatan
hatinya. "Aku!" kata Ria cepat. "Siapa lagi?"
tanya Gunawan, sambil menatap ke arah
kedua anak Pak Haryokusumo yang masih
duduk di SMA itu. Tetapi lagi-lagi dengan
gesit Ria sudah mendahului yang lain.
"Ayo Nik, temani kami!" katanya
sambil menarik lengan Ninik. Lalu katanya
keras-keras, takut Hariyadi mengekor.
"Sudah cukup. Terlalu banyak orang tidak
bisa menikmati teindahan."
Ninik terpaksa berdiri dan Gunawan
berjalan di tengah kedua gadis cantik itu.
Sementara itu angin sore bertiup lembut.
Sesekali juga nakal dan menerbangkan
rambut Ria yang agak panjang melewati
bahunya itu. "Menurut anda berdua, mana yang
lebih lebih bagus, Pemandangan di Jawa
Selubung Sutra Dewangga | 154
Maria A. Sardjono Barat sini atau pemandangan di Jawa
Tengah?" tanya Gunawan tiba-tiba.
"Sama saja," sahut Ria. "Tergantung
tempatnya Kalau pemandangan di sini
dibanding dengan yang di dekat kota kami,
misalnya. Ya tentu saja bagus di sini. Tetapi
kalau di Dieng, atau di Tawangmagu, ya
sama indahnya lah!" "Bagaimana Mbak Ria," Gunawan
ganti menoleh kepada Ninik. "Tampaknya
Mbak Ria ini masih belum merasa mapan
tinggal di Jakarta ya?"
"Kok tahu?" Ninik ganti bertanya
"Tahu, kelihatan!" tentu saja. Mudah "Yang lain-lain tidak berpendapat
demikian!" gerutu Ninik.
Selubung Sutra Dewangga | 155
Maria A. Sardjono "Ada rencana lain?" pancing
Gunawan. "Mengendalikan perusahaan
dari jauh, misalnya!"
"Aku memang ingin di tempat yang
tenang dan jauh dari keramaian yang
membuat kepala sakit!"
"Dengan uang Mbak Ria, hal itu bisa
dilakukan bukan?" sahut Gunawan "Mbak
bisa tinggal di tepi kota Bogor misalnya.
Lewat tol akan lebih mudah ditempuh!"
"Ah ya, aku sering lupa itu..." sahut
Ninik gagap. "Tetapi memang hal itu
tidak... tidak... yah, entahlah. Masih
bingung rasanya. Lebih enak tinggal di kota
kami yang lama..." "Hal itu bisa kulihat. Mbak Ria ini
pada dasarnya berjiwa sederhana dan
lembut. Jarang ada orang kaya seperti
Mbak Ria!" Selubung Sutra Dewangga | 156
Maria A. Sardjono "Jangan terlalu memuji!" bantah
Ninik tertawa. "Nanti di suatu saat
mungkin tak akan lama lagi, Mas Gunawan
pasti akan tertawa kalau ingat kata-kata
pujian itu." "Apa maksud Mbak Ria berkata
seperti itu!" tanya Gunawan heran.
"Tidak ada maksud apa-apa!" Ria
yang menyela pembicaraan itu. Dan
dengan pandainya lalu mengalihkan
pembicaraan. Lalu ketika ia melihat Ninik
dan Gunawan sudah menjadi lebih mampu
berhandai-handai membicarakan pemandangan indah di sekitar mereka,
dengan diam-diam langkah kakinya
diperlambat untuk kemudian menjauhi
keduanya. Kemudian lekas-lekas ia
kembali ke pondok. Saat itu Anton sedang
bermain catur dengan Hariyadi di ruang
tamu. Maka Ria memilih duduk di teras
dan menikmati angin gunung sendirian.
Selubung Sutra Dewangga | 157
Maria A. Sardjono Sejam kemudian baru dilihatnya Ninik dan
Gunawan kembali. Wajah keduanya
tampak cerah dan sikap mereka tampak
lebih akrab satu sama lainnya. Begitu
cepatnya keakraban itu terjalin, pikir Ria
curiga. Jangan-jangan Ninik telah
membuka selubung sutra permainan
mereka berdua kepada Gunawan.
Karena senja telah turun mereka
bertiga langsung masuk ke ruang tamu,
berniat akan menyalakan televisi. Tetapi
sedang mereka memilih tempat duduk,
terdengar suara ramai dari luar. Sehingga
perhatian mereka terserap ke sana. Suara
Pak Haryokusumo dan istrinya terdengar
tertawa-tawa dan ditingkahi oleh tawatawa lain. Baik Ninik maupun Ria samasama
mengangkat kepala dan mengarahkan kepala mereka ke arah
pintu. Selubung Sutra Dewangga | 158
Maria A. Sardjono Mata keduanya terbelalak gembira. Lebihlebih Ria. Ia segera berdiri dan menyambut
orang yang baru datang bersama Pak
Haryokusumo itu dengan lincah.
"Eyang Putri!" serunya. Kemudian ia
langsung menghambur ke dalam pelukan
perempuan tua yang baru datang itu
dengan gembira. Neneknya datang! Nenek
Ria tidak datang seorang diri. Di
belakangnya, sesosok tubuh gagah
menatap ke arah Ninik sambil tertawa.
Dan Ninik yang ditatap, segera berlari
menghambur ke arah lelaki gagah itu.
"Mas Nano!" katanya. Dan lelaki
yang disebut namanya itu segera
memeluknya dengan hangat.
"Aduh Mas, Ninik kangen sekali
kepada seluruh keluarga. Bapak dan Ibu
sehat-sehat saja kan?"
Selubung Sutra Dewangga | 159
Maria A. Sardjono Nan, sang kakak lelaki menganggukanggukkan kepalanya.
"Mereka semua sehat Dan kulihat,
kamu pun tampak sehat dan segar!"
sahutnya "Dan kau Ria, kau pun tampak
sehat dan tambah cantik'"
Ria yang sudah melepaskan dan pelukan
neneknya, tertawa. "Makan dan tidur terus masa tidak
segar sih, Mas?" sahutnya. "Kau sendiri
kelihatan tambah gemuk bagaimana istri
dan anak-anakmu, Mas?"
"Mereka sehat-sehat. Si Menik
malah sering ke rumahmu dan
menanyakan mana tante Ria. Kok nggak
pulang-pulang!" jawab Nano. "Dan semua
orang merindukanmu lho Ria. Tanpa
dirimu di sekitar kami, sepi rasanya!"
"Ya, memang!" neneknya yang sejak
tadi hanya tersenyum-senyum menatap
Selubung Sutra Dewangga | 160
Maria A. Sardjono Ria, menyela. "Eyang kesepian, Nduk. Jadi
Eyang berani diri naik kapal terbang
menyusulmu. Sesampai di Jakarta,
ternyata kau sedang ke luar kota. Jadi
Masmu memutuskan naik taksi menyusulmu ke mari sesudah diberi
alamat. Aduh Nduk, naik taksi begitu tadi,
Iha kok mahal sekali!"
"Nanti Ria ganti, Eyang!" tawa Ria
sambil memeluk neneknya lagi. Bukan
main senang hatinya dijenguk oleh
neneknya. "Ria kangen sekali kepada
Eyang dan kepada semuanya!"
"Ibu dan Didik kapan-kapan juga
ingin menjengukmu, Ria. Mereka kangen
kepadamu!" sela Nano.
"Aduh senang sekali!" Mata Ria
berbinar-binar. "Kau juga Nik, semua orang sudah
merindukanmu dan mengharapkan kau
Selubung Sutra Dewangga | 161
Maria A. Sardjono segera kembali ke rumah. Ingat, kau masih
punya tugas kuliah lho!"
"Aku memang akan pulang..."
Suara Ninik terhenti. Ia mendengar
suara-suara di sekelilingnya dan mulai
menyadari bahwa dirinya masih dikelilingi
orang banyak. Seketika itu juga wajahnya
memerah sehingga Ria yang memperhatikannya ikut menatap apa
yang sedang dipandang oleh sahabatnya
itu. Baru disadarinya, mengapa Ninik tadi
terdiam dengan tiba-tiba dan wajahnya
memerah. Maka tanpa dapat dicegah,
wajah Ria pun segera menyusul menjadi
kemerah-merahan. Kedua gadis itu
menyadari, permainan mereka telah usai.
Selubung sutra yang menyamarkan
mereka, telah tersingkap. Tanpa sadar,
keduanya saling mendekat dan bergandengan tangan, seolah dengan cara
Selubung Sutra Dewangga | 162
Maria A. Sardjono itu mereka berdua mendapatkan kekuatan
dari masing-masing pihak.
"Nah, sekaranglah waktunya permainan kalian berakhir!" Suara Pak
Haryokusumo yang memecahkan suasana
tegang tadi seperti bergema di udara, di
atas kepala mereka. "Permainan apa?" tanya nenek Ria
heran. "Permainan anak-anak muda yang
nakal dan tak berpikiran panjang itu!"
sahut Pak Haryokusumo, disusul oleh
tawanya yang besar. "Hay, kalian berdua
terutama Ria, kau harus menjelaskan
segala-galanya!" Ria tersentak-sentak. Matanya yang
bagus membelalak. "Pakde... tahu permainan kami?"
Selubung Sutra Dewangga | 163
Maria A. Sardjono "Semula memang sempat terkelabuhi. Tetapi apakah kau pikir
permainan kalian berdua itu sempurna?
Dan apakah kau pikir pengacara ayahmu
tidak mengatakannya kepadaku? Ini
masalah hukum, Nduk. Kalau dia salah
bertindak hanya karena kalian berdua mau
mempermainkan orang, kan berat
urusannya. Jadi meskipun kalian sudah
memintanya supaya merahasiakan penyamaran kalian, toh akhirnya ia
mengatakannya juga kepada pakde demi
kebaikan. Lagi pula Ria, tak terpikirkankah
Selubung Sutra Dewangga Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
olehmu bahwa ayahmu juga menyimpan
fotomu sesudah kau besar ini? Singkat
kata, Pakde tahu siapa kalian sebenarnya!"
"Jadi... selama ini Oom sudah tahu?"
sela Ninik dengan pipi kemerah-merahan.
"Sudah. Tetapi Oom biarkan saja
sambil melihat sampai di mana permainan
Selubung Sutra Dewangga | 164
Maria A. Sardjono kalian. Heran sekali, apa tujuan kalian
bermain-main begini ini!"
"Apa arti ini semua?" sela nenek Ria
tak sabar. Sejak tadi pertanyaannya belum
dijawab dengan jelas. "Artinya Bu, Ria ini menyamar jadi
Ninik dan Ninik disuruhnya menjadi
dirinya. Dan bersandiwaralah mereka
berdua selama tinggal di Jakarta ini."
"Astaga Ria!" Mendengar seruan neneknya, Ria
tidak tahan lagi. Dengan pipi masih
kemerah-merahan, ia berlari menghambur
masuk ke kamarnya. Tak sanggup ia
membalas tatapan mata Anton, Gunawan,
Hariyadi dan yang lain-lainnya. Ia tak
mampu menghadapi mereka semua.
Perasaannya menjadi kacau balau.
Selubung Sutra Dewangga | 165
Maria A. Sardjono Rasanya lama sekali waktu berlalu baru
kemudian ia mendengar neneknya dan
Ninik menyusul masuk ke kamarnya.
"Hei Ria, jangan jadi gadis yang
bersemangat kerupuk dan berhati
tempe!" kata Ninik begitu berada di
dekatnya. "Kau harus berani menghadapi
mereka semua dengan mempertanggung
jawabkan perbuatanmu sendiri. Jelaskan
segalanya secara konsekwen, Non!"
Biasanya kata-kata seperti itu amat
manjur, tetapi kali itu, sia-sia. Ria
menggelengkan kepalanya. "Aku akan pulang bersama Eyang,
secepatnya!" katanya.
"He, jangan seperti anak kecil dan
berpikir sehatlah. Masa eyangmu baru
datang mau diajak pulang!" gerutu Ninik
yang merasa lega sudah dapat tampil
sebagai dirinya sendiri. Selubung Sutra Dewangga | 166
Maria A. Sardjono "Aku. aku malu. "
"Kepada Anton kan?" senyum Ninik.
"Aku tahu lho. Tetapi kulihat tadi, air
mukanya biasa-biasa saja."
"Bagaimana dengan yang Lainlain?" tanya Ria masih belum berani keluar
dari kamarnya. "Apakah ada yang marah
kepada kita?" "Aku tak memperhatikannya, Ria."
"Hariyadi, bagaimana dia?"
"Entahlah, aku tak perduli kok,"
sahut Ninik dengan suara ringan.
"Pokoknya bagiku sendiri ini terasa
menyenangkan." Nenek Ria berdehem melihat pipi Ninik memerah.
karena "Eyang tadi melihat, ada seorang
lelaki muda yang langsung tampak cerah
wajahnya dan lalu menggandeng Ninik.
Selubung Sutra Dewangga | 167
Maria A. Sardjono Entah apa yang mereka bicarakan
kemudian di balik pohon besar. Tetapi
waktu kembali, kedua wajah mereka
tampak berseri-seri!" katanya dengan
nada menggoda. "Ah, Eyang..." Ninik tersipu-sipu
malu. "Dan aku juga melihat serang lelaki
muda yang tiba-tiba menjadi canggung
dan serba salah!" kata nenek Ria lagi.
"Itu pasti Hariyadi!" komentar Ria.
"Eyang tidak tahu, tetapi permainan
kalian berdua memang mengharuskan
telinga kalian dijewer kuat-kuat sebab
telah membuat canggung orang. Sungguh
keterlaluan." Nenek Ria mulai menegur
dengan suara lembut tetapi dengan nada
yang tegas. "Semestinya kalau kau merasa
gentar menghadapi kehidupan yang sama
sekali baru dan tak tersangka-sangka itu,
Selubung Sutra Dewangga | 168
Maria A. Sardjono harus kau katakan dengan terus-terang
sehingga bisa dicari jalan keluarnya yang
baik. Bukan lalu bermain sandiwara
sendiri. Kan ada Eyang, Ria. Eyang pasti
mau kalau kau minta untuk mendampingimu di Jakarta sini. Wah,
Eyang sendiri jadi mulai berpikir apa tidak
sebaiknya mulai sekarang saja Eyang
pindah ke Jakarta sampai kau nanti
mempunyai suami!" "Dan rumah di sana, Eyang?"
"Kan ada sepupumu, Ria, Nanti akan
Eyang minta supaya dia mau tinggal di
sana bersama suaminya. Daripada
mengontrak rumah!" "Oh. Eyang mau tinggal di Jakarta
bersama Ria?" Ria merasa senang sekali,
mendengar janji neneknya itu.
"Nanti kita bicarakan lagi. Tetapi
sekarang ini yang penting keluarlah dan
Selubung Sutra Dewangga | 169
Maria A. Sardjono minta maaf kepada mereka semua. Hadapi
dengan jiwa ksatria, Ria. Kau yang
menanam, kau juga yang harus menuai.
Apa pun hasil panenanmu itu!"
"Ya Eyang, tetapi sekarang Eyang
dulu yang keluar, nanti akan Ria susul!"
jawab Ria sambil bangkit dari tempat
tidurnya. Eyangnya menurut. Sesudah memijit hidung cucunya dengan gemas
berbaur kasih, perempuan tua yang masih
gagah dan sehat itu keluar.
"Nah, Nik, ayo sekarang giliranmu
menceritakan akan apa yang terjadi
padamu dan Mas Gunawan!" kata Ria
sepeninggal neneknya. "Aku dan Gunawan merasa gembira
ketika mengetahui kenyataan sebenarnya.
Sebab sikapnya kepadaku tak perlu lagi
memakai jarak. Dan tiba-tiba saja jalan
Selubung Sutra Dewangga | 170
Maria A. Sardjono yang mulus, terbentang di hadapan kami
berdua!" "Wah, indah sekali kedengaran
nya!" komentar Ria ikut bahagia.
"Pokoknya kalau kau jadi menikah dengan
dia, aku pasti kan memberimu hadiah
istimewa. Tinggal pilih, bulan madu ke Bali
atau seperangkat perabot kamar tidur?"
Wajah Ninik memerah lagi dan
memukul bahu sahabatnya. "Kau... kau jutawan kaget, jangan
ngawur terlalu jauh!" gerutunya.
Ria tertawa. Ketika melihat
pancaran sinar bahagia dari kedua belah
bla mata Ninik ia merasa itulah bat
mujarab sesudah kepahitan yang baru
dialaminya tatkala ia tadi tak tahu harus
mengatakan apa dan berbuat apa di
bawah tatapan berpasang-pasang mata
yang sedang terpana atas terbukanya
Selubung Sutra Dewangga | 171
Maria A. Sardjono sandiwara nyata yang selama ini seperti
mengelabuhi mereka semua.
Ah, memang ia telah berbuat keliru,
sebab seperti telah mempermainkan
mereka semua Sudah sepantasnya lah
kalau ia dengan berani, menghadapi
mereka semua dan meminta maaf atas
segala-galanya. Benarlah seperti kata Ninik
tadi : "Jangan bersemangat kerupuk dan
berhati tempe!" Berpikir seperti itu, Ria pun
meneruskan menyisir rambutnya, memulas bedaknya seulas dan merapikan
pakaiannya untuk kemudian sambil
menggamit lengan Ninik, ia berjalan keluar
kamar menuju ke tempat lain-lainnya yang
sedang riuh membicarakan peristiwa yang
baru saja terjadi itu. *** Selubung Sutra Dewangga | 172
Maria A. Sardjono PENUTUP Malam telah sunyi tatkala Ria terbaring di
kamar dengan pikiran resah. Sejak senja
tadi tatkala sesudah ia meminta maaf
kepada semua orang atas kelakuannya
mengelabuhi mereka dengan menukar
identitas antara dirinya dengan Ninik,
perasaannya sungguh kacau-balau.
Memang mereka semua sudah
memaafkannya dan malah bisa menertawakan apa-apa yang selama ini
pernah terjadi, tetapi masih ada dua orang
yang ia tak berani menatapnya. Pertama,
adalah Hariyadi. Sebab ia melihat sikap
lelaki itu tampak canggung, persis seperti
apa yang dikatakan oleh neneknya tadi.
orang kedua, adalah Anton. Ria tidak
berani menghadapi lelaki itu secara
terang-terangan. Dan kini, ia merasa
Selubung Sutra Dewangga | 173
Maria A. Sardjono gelisah. Marahkah Anton kepadanya?
Kecewakah dia kepadanya? Ah, Anton memang termasuk lelaki
yang sulit dijajagi apa yang ada di hatinya.
Tetapi justru karena itulah Ria menjadi
gelisah karenanya. Ria mengeluh dan membalikkan
lubuhnya. Di seberang sana, Ninik tampak
tidur bergelung di bawah selimut tebal
dengan nafas yang teratur. Wajah
cantiknya tampak damai. Yah, Ninik telah mampu menyelesaikan persoalannya dengan baik.
Gunawan telah menyatakan cintanya. Ia
sekarang merasa lega sekali karena
ternyata Ninik bukanlah Ria si pemilik
perusahaan. Sungguh akan melupakan
beban batin kalau ia sampai jatuh cinta
kepada bossnya sendiri, mereka sungguh
sepasang kekasih yang bahagia dan
berhati lega, sekarang ini.
Selubung Sutra Dewangga | 174
Maria A. Sardjono Ria mengeluh lagi. Alangkah
enaknya Ninik, pikirnya. Dan alangkah
sialnya dia, masih menghadapi masalah
berat yang berkaitan dengan diri Anton.
Maka akibatnya, ia tidak dapat tidur.
Padahal dentang jam dinding yang
berbunyi sebelas kali sudah lewat entah
berapa puluh menit yang lalu.
Merasa kesal tak dapat tidur dan
ingat kata-kata eyangnya bahwa kalau
Selubung Sutra Dewangga Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang susah tidur bisa dibantu dengan
minum segelas susu hangat, Ria lalu
melemparkan selimutnya jauh-jauh ke
sudut dipannya. Pelan-pelan Ria keluar dari
kamarnya dan dengan hati-hati takut
membangunkan yang lain, Ria pergi ke
dapur. Diambilnya sebotol susu segar yang
sore tadi dibeli oleh bude Haryokusumo.
Kemudian dituangkannya ke atas panci
bertangkai untuk akhirnya dijerangkannya
Selubung Sutra Dewangga | 175
Maria A. Sardjono ke atas kompor gas yang disediakan oleh
penginapan itu. Sambil menunggu susunya panas,
Ria mencari-cari sesuatu yang bisa
dimakan dari lemari. Tetapi belum sempat
tangannya menggapai kaleng kue kering,
suara seseorang di belakang pintu
membuatnya tersentak. "Tidak bisa tidur ya Dik Nik eh, Dik
Ria?" Ria tersipu-sipu, menatap ke
ambang pintu. Anton sedang berdiri di
sana dengan pakaian tidurnya, piyama
berwarna biru telor asin.
"Yaaa," sahutnya kemudian agak
terbata-bata. "Mung... mungkin karena
siang tadi aku terlalu lama tidur siang..."
"Ah, bukan karena hal itu!" bantah
Anton sambil melangkah masuk ke dapur
dan duduk di salah satu kursi makan di
Selubung Sutra Dewangga | 176
Maria A. Sardjono tengah ruang dapur yang luas dan apik itu.
"Tetapi karena sesuatu yang lain."
Wajah Ria memerah. "Jangan menyinggung masalah yang
sudah terjadi, Mas. Bu... bukankah aku
sudah minta maaf?" katanya dengan suara
menggeletar. "Tetapi aku justru ingin membicara
kannya. Duduklah di depanku!" sahut
Anton sambil menarikkan kursi di muka
nya. Ria terpaksa menurut. ditunggunya lelaki itu bicara lagi.
Dan "Ketahuilah Dik Ria, aku justru
gembira bahwa ternyata kaulah yang
mempunyai wewenang dalam perusahaan. Ada banyak hal yang bisa kita
lakukan bersama-sama karena kulihat, kau
mempunyai kemampuan yang sangat
bagus untuk itu. Itu kalau bicara tentang
Selubung Sutra Dewangga | 177
Maria A. Sardjono pekerjaan. Dan bicara tentang hal lain, aku
ingin bertanya kepadamu, apakah kau
telah mendapatkan sesuatu dari penyamaranmu? Aku ingin tahu apakah
dengan mengelabuhi orang banyak kau
telah mendapatkan sesuatu sebagaimana
yang kau harapkan dari penyamaranmu
itu!" kata Anton. "Yah, aku dapat melihat adanya
potensi-potensi besar pada diri Gunawan,
misalnya. Dan aku bahagia bahwa lelaki itu
ternyata mencintai Ninik dengan cinta
yang tulus!" sahut Ria terus-terang.
"Dan Hariyadi?" pancing Anton.
"Ah, Ninik tidak menyukainya,"
sahut Ria mulai lancar. "Seringkah dia
marah-marah kepadaku karena gara-gara
aku, lelaki itu jadi mendekatinya. Ninik
merasa kesal karena Hariyadi selalu
merayu-rayunya!" Selubung Sutra Dewangga | 178
Maria A. Sardjono "Dan bagaimana dengan diriku?"
Pipi Ria memerah. "Entahlah, aku... aku hanya merasa
tak enak kepadamu... karena aku... aku tak
berterus-terang kepadamu waktu itu. Dan
sekarang... sekarang, aku bingung!"
Anton tertawa. "Kau itu memang masih harus
belajar mengenai kehidupan beserta
segala sifat dan jenis manusianya dengan
lebih baik," katanya kemudian. "Tetapi
yah, umurmu memang masih belia!"
"Apa tujuanmu bicara seperti itu,
Mas?" "Aku hendak mengatakan bahwa
pandanganmu terhadap manusia masih
lebih banyak kepada warna putih dan
hitam. Dengan kata lain, kau masih
bingung memasukkan diriku kepada warna
Selubung Sutra Dewangga | 179
Maria A. Sardjono yang mana. Padahal Dik Ria, ketahuilah
bahwa kalau seseorang itu mencintai
kekasihnya, yang dilihat bukanlah siapa dia
dan apa masa depannya. Melainkan diri
orang itu sebagai Subyek yang utuh, bukan
atributnya. Jadi, kalau aku mengatakan
mencintaimu, itu juga yang kucintai adalah
dirimu entah namamu Ninik entah
namamu Ria. Dan entah kau ini kaya atau
miskin. Jelas?" Ria menganggukkan kepalanya
dengan tersipu-sipu. Untuk menetralisir
perasaannya, ia segera mematikan kmpr
begitu melihat susunya mendidih dan naik
ke atas. Baru kemudian dia duduk kembali
di tempatnya semula. "Soal kau lalu menjadi bossku, itu
tidak masalah bagiku. Aku punya sejumlah
uang yang bisa kutanamkan dalam
perusahaan sehingga kedudukan kita bisa
sejajar kalau itu akan menjadi masalah..."
Selubung Sutra Dewangga | 180
Maria A. Sardjono "Masalah apa?" "Yah, misalnya kita jadi merasa
sungkan satu sama lain. Atau merasa
curiga takut kalau-kalau ada orang yang
menyangka hubungan kita berdua ini ada
kaitannya dengan materi."
"Aku mengerti, Mas. Dan aku
menurut padamu." "Bagaimana pendapatmu mengenai
keinginan Hariyadi untuk bergabung?"
pancing Anton lagi. "Aku tak setuju. Mengapa demikian,
aku tak usah mengatakannya kepadamu,
Mas. Kau pasti sudah dapat menilai
sendiri. Terhadapku, ia tak menaruh
penghargaan barang sedikit pun, bagaimana kami bisa menjadi rekanan
usaha? Dan sekarang andaikata dia
berubah sikap, itu jelas karena posisiku
Selubung Sutra Dewangga | 181
Maria A. Sardjono yang sekarang. Aku tak menyukai orang
yang mau berteman karena posisinya!"
"Syukurlah kalau kau mempunyai
pendapat seperti itu, Dik Ria. Sesungguh
nya, aku juga tidak menyetujuinya. Begitu
pun pendapat Gunawan ketika kutanyai.
Tetapi bagaimana suara Pakde Haryo?"
"Beliau pasti menyerahkan sepenuh
nya kepada kebijaksanaanmu. Dik Ria.
Lagipula beliau juga sudah bisa melihat
sepak terjang Hariyadi belakangan ini.
Nyatanya, perhatiannya lebih tertuju
kepadaku..." "Tetapi Pakde Haryo mendekatkanmu kepada Ninik!"
lebih "Tidak," tawa Anton. "Pak Haryokusumo sudah tahu bahwa perhatianku ada padamu dan perhatian
Ninik ada pada Gunawan. Beliau berusaha
menempatkan diriku di antara Mbak Ri...
Selubung Sutra Dewangga | 182
Maria A. Sardjono eh Mbak Ninik dengan Hariyadi itu adalah
upaya supaya Hariyadi jangan terlalu
mendesak Mbak Ninik. Jangan lupa, Pak
Haryo itu sudah tahu yang mana Ria yang
sebenarnya lho!" Ria tersenyum. Ah, ternyata dia pun
sudah dibodohi oleh Pak Haryo yang
membiarkan selubung sutranya tetap
berkibar-kibar. Pasti di belakangnya, lelaki
itu menertawakannya. Pantaslah, ia
membiarkannya menyamar sebagai Ninik
untuk ikut campur bicara, mengenai
perusahaan sementara Ninik yang
memainkan peran sebagai Ria dibiarkannya seperti kambing congek.
"Nah, Dik Ria sendiri apa
rencananya sesudah sandiwaramu ini
berakhir?" tanya Anton untuk ke sekian
kalinya. "Aku ingin menyelesaikan kuliahku
yang masih satu tahun itu. Kalau bisa
Selubung Sutra Dewangga | 183
Maria A. Sardjono pindah ke universitas di Jakarta ini, ya
langsung kemari. Kalau tidak, ya
kuselesaikan dulu di tempat asalku, baru
kemudian pindah kemari."
"Rencana yang bagus. Tetapi
tentunya juga sekali-sekali ikut terjun ke
dalam perusahaan!" "Itu pasti. Ada sesuatu yang akan
kurubah sedikit. Khususnya mengenai
kesejahteraan para karyawan yang masih
bisa ditingkatkan!" "Itu juga rencana yang bagus, Dik
Ria. Aku setuju!" sahut Anton sambil
menatap mata Ria penuh penghargaan.
"Dan bagaimana dengan kemungkinan
bagiku untuk lebih meningkatkan
hubungan kita. Apakah aku boleh
mencintaimu sebagai seorang pribadi
mandiri tanpa atribut apapun dan
mengharapkan hubungan yang lebih
serius?" Selubung Sutra Dewangga | 184
Maria A. Sardjono "Kalau... kalau kau masih mau,
silakan..." sahut Ria lirih.
Anton tersenyum manis. "Aku gembira mendengar katakatamu, Dik Ria!" katanya kemudian. "Dan
aku gembira bahwa ternyata kau adalah
gadis yang sederhana dan tak silau oleh
harta benda atau materi. Seandainya gadis
lain yang tiba-tiba menjadi boss dan kaya,
mungkin akan lain jalan ceritanya. Kau
membuatku kagum!" "Jangan melebih-lebihkan
ah!" Ria tersipu-sipu lagi.
diriku "Tetapi sungguh dik Ria,
Selubung Sutra Dewangga Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penyamaranmu selama ini bagiku
merupakan keuntungan bagiku. Seandainya aku tahu dirimu Ria, belum
tentu aku akan menaruh perasaan
tertentu kepada dirimu meski harus kuakui
bahwa ketika kita berkenalan pada
Selubung Sutra Dewangga | 185
Maria A. Sardjono pertama kalinya, aku sempat terpesona
oleh kecantikan dan kegesitanmu. Sebab
tidaklah menyenangkan jatuh cinta
kepada pemilik perusahaan di mana aku
sendiri bekerja di tempat itu!"
"Jadi..." "Jadi permainanmu, sandiwaramu
dan penyamaranmu itu pantas kalau
kusebut sebagai selubung sutra dewangga,
karena indahnya!" "Ah aku tak menyangka kau bisa
puitis begitu!" "Itulah yang orang katakan sebagai
kekuatan cinta. Sebab kekuatan cinta, bisa
merubah seseorang. Yang semula
pendiam, bisa merangkai kata-kata rayuan
Dan yang semula banyak bicara, bisa
menjadi pendiam dan lidahnya kelu. Dan
seterusnya!" Selubung Sutra Dewangga | 186
Maria A. Sardjono Ria tersenyum dan menundukkan
kepalanya karena malu Tetapi hatinya
berbunga-bunga. Ternyata, Anton tidak
terlalu kaku dan dingin sebagaimana
kesannya semula. Atau apakah itu karena
kekuatan cinta yang merubahnya?
"Dik Ria, coba kau angkat dagumu
dan pandanglah aku..." pinta Anton ketika
dilihatnya gadis itu terus saja tertunduk.
Ria menurut, dan diangkatnya
dagunya. Mata mereka saling bertautan
Dan kemesraan yang lembut pun mulai
melumuri kedua belah bola mata mereka
berdua. "Dik Ria," kata Anton akhirnya
"Sekali lagi kutanya dengan lebih jelas dan
kuharap kau pun menjawab dengan lebih
jelas. Mm. apakah aku boleh mencintaimu
dan kau mau membalas perasaanku?"
"Yyyaa" Selubung Sutra Dewangga | 187
Maria A. Sardjono "Apakah itu berarti kau juga
memberiku kesempatan untuk berbagi
rasa?" tanya Anton lagi. "Contoh
gampangnya, kalau aku ingin menonton
film atau makan di luar, maukah kau
menemaniku dan menikmatinya bersamasama?"
"Ya..." Anton tersenyum manis. Diulurkannya tangannya ke arah tangan
Ria dan digenggamnya tangan yang halus
itu. "Sekarang janji itu harus dimeterai
dengan cap stempel!"
"Maksudmu...?" tanya Ria agak
bergetar. Tangannya berada di dalam
tangan Anton. Ah, alangkah mesranya.
"Maksudku..." Suara Anton terhenti. Sebagai gantinya, lelaki muda itu
mencium bibir Ria sehingga gadis itu
Selubung Sutra Dewangga | 188
Maria A. Sardjono mengerti apa yang dimaksudkan dengan
cap stempel tadi. Ada kehangatan dan kepercayaan
serta rasa aman yang mengaliri hati Ria
oleh perbuatan Anton itu. Ia yakin, dengan
cinta dan perlindungan Anton yang jauh
lebih berpengalaman dalam kehidupan
maupun dalam perusahaan, ia tak perlu
lagi harus merasa gentar.
Maka dengan hati yang damai,
tangan Ria pun terulur membalas pelukan
lelaki itu. Alangkah indahnya!
SELESAI Selubung Sutra Dewangga | 189
Maria A. Sardjono Kisah ini bermula ketika Ria menerima berita
bahwa ayahnya yang selama ini hidup sendiri, telah
meninggal dunia dan seluruh harta termasuk
perusahaannya yang mulai berkembang, jatuh ke
tangannya. Gadis berhati sederhana itu pun menjadi
gentar menghadapi hari esoknya sendiri. Maka
timbullah pikiran untuk menukar identitas dirinya
dengan Ninik, sahabatnya yang terpaksa mau
menuruti rencana gilanya itu.
Demikianlah, dengan menukar Identitas Ria
menjadi Ninik dan sebaliknya Ninik, menjadi Ria,
berangkatlah mereka ke Jakarta menyongsong
kehidupan baru yang semuanya masih serba asing.
Ketika Ninik merasa lelah bermain sandiwara
dengan berselubung sutra penyamarannya itu serta
berniat akan pulang ke kotanya kembali, Ria pun,
kebingungan, bagaimana cara mengakhiri permainannya, ia sendiri pun tak tahu.
Jadi, apa yang harus dilakukannya untuk
mengatasi kebingungannya itu sementara secara tak
disangka-sangkanya, la justru jatuh cinta kepada si "es
batu" Anton itu? Selubung Sutra Dewangga | 190
Maria A. Sardjono PERNYATAAN File ini adalah sebuah usaha untuk
melestarikan buku-buku novel Indonesia
yang sudah sulit didapatkan di pasaran
dari kemusnahan, dengan cara mengalih
mediakan menjadi file digital.
Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan
finansial dari karya-karya yang coba
dilestarikan ini. File ini dihasilkan dari konversi file DJVU
menjadi teks yang kemudian di kompilasi
menjadi file PDF. Credit untuk : ? Awie Dermawan. ? Ozan ? Kolektor E-Books Selubung Sutra Dewangga | 191
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 5 Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Lalita 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama