Ceritasilat Novel Online

Siapa Pembunuh Ratu Pesta 1

Fear Street Siapa Pembunuh Ratu Pesta Tahunan Who Kill The Homecoming Queen Bagian 1


Bab 1 BUNYI drum menggema di selasar-selasar Shadyside High.
Eva Whelan berlari ke arah tangga, sementara bunyi berdebum-debum
itu terdengar semakin keras.
Eva tersenyum. Di sekelilingnya, murid-murid berlari ke arah
datangnya suara itu, tak sabar ingin segera sampai ke tempat band
sedang menyelaraskan nada.
Semua murid menyukai acara kumpul-kumpul, pikir Eva.
Lebih-lebih yang ini. Bukan hanya karena jam pelajaran terakhir
sudah selesai, tapi juga karena kami akhirnya akan tahu siapa yang
terpilih menjadi Ratu Pesta Tahunan tahun ini.
Eva tersenyum lagi. Dia merasa bersemangat. Dia berbelok di
sudut lalu menuruni tangga yang menuju aula olahraga. Ketika dia
membetulkan letak tasnya di bahunya, sejumput rambutnya yang
hitam panjang terjepit tali tas itu. Dia berhenti berjalan, mencoba
melepas rambutnya. "Eva, tunggu! Eva!"
Eva berpaling dan melihat sahabatnya, Tania Darman,
melambai-lambai kepadanya di atas kepala orang-orang. "Tunggu!"
teriak Tania lagi. Eva balas melambai, kemudian menyisih ke pinggir selasar. Dia
bersandar pada jajaran locker, merogoh saku celana jeans-nya untuk
mencari karet gelang. Dia melihat sahabatnya menembus kerumunan ke arahnya.
Seperti biasa, penampilan Tania sungguh keren. Badannya langsing,
rambut pirangnya indah terjurai sepanjang bahu, wajahnya manis dan
ramah. "Asyik sekali, ya?" seru Tania sembari menjejeri Eva. "Semua
orang sudah tak sabaran!"
Eva mengucir rambutnya yang hitam lebat. "Jangan bilang kau
tidak ingin tahu!" "Oh, aku sangat sangat ingin tahu!" sahut Tania, matanya yang
hijau berbinar-binar. "Maksudku, siapa tahu aku yang akan dinobatkan
sebagai Ratu Pesta Tahunan. Rasanya tak percaya!"
"Kuharap kau menang, Tania. Aku berdoa untukmu," kata Eva.
"Kau berdoa?" Tania mengibaskan rambutnya sambil
tersenyum. "Bagaimana dengan firasat paranormalmu yang terkenal
itu? Tidak bisakah kau meramal apakah aku akan menang atau tidak?"
Eva menggeleng. Beberapa kawannya menganggapnya
paranormal karena kadang-kadang dia punya firasat aneh. Dia bisa
merasakan kalau ada sesuatu yang tidak beres, meskipun tak bisa
menjelaskan tepatnya apa.
Seperti kejadian minggu lalu, ketika dia dan Tania pergi
membeli gaun pesta untuk Acara Dansa di Pesta Tahunan. Ketika
mereka masuk ke salah satu toko paling mahal di Division Street Mall,
Eva tiba-tiba merasakan arus kengerian menyerangnya. Semuanya
tampak wajar, tetapi dia gelisah terus selama berada di toko itu.
Tepat sebelum mereka meninggalkan toko, semua alarm di situ
berbunyi. Tiga orang ditangkap karena mengutil?oleh satpam-satpam
yang menyamar sebagai pengunjung toko.
Tidak selamanya Eva mendapat firasat seperti itu. Tetapi, bila
dia merasakannya, dia mempercayai intuisinya.
Bagaimanapun itu hanya... firasat. Dia tidak bisa meramalkan
apa yang akan terjadi. Dia tidak bisa melihat masa depan.
"Bekerjanya tidak begitu," dia mengingatkan Tania. "Bukan
seperti kalau aku punya bola kristal atau apa."
"Aku tahu, aku hanya bercanda," kata Tania. Mereka berjalan
ke arah tangga. "Kau tahu, aku tidak peduli akan terpilih jadi Ratu
Pesta Tahunan atau tidak."
Eva memandang sahabatnya dengan tajam.
"Kau serius, ya?"
"Well, kalau terpilih aku takkan menolak," Tania mengakui.
"Sejujurnya, tahun ini adalah tahun keberuntunganku... sampai sejauh
ini. Banyak hal telah terjadi?bulan Juli kemarin Mom menikah lagi,
lalu kami pindah ke rumah baru yang asyik, aku benar-benar
menyukai ayah tiriku, dan aku sekarang punya saudara tiri yang
hebat." Itu benar, kata Eva dalam hati. Eva tergila-gila pada Jeremy,
saudara tiri Tania. Jeremy, dengan rambutnya yang cokelat dan
senyumnya yang malu-malu.
Dia belum kenal betul dengan pemuda itu?tetapi dia sungguh
ingin punya kesempatan untuk mengenalnya lebih jauh.
"Dan aku punya Sandy," Tania melanjutkan. "Aku tak percaya
waktu dia mengajakku kencan. Maksudku, dia kan salah satu cowok
paling keren di sekolah ini."
Eva mengangguk. Sandy Bishop, kapten tim football yang
tampan itu memang keren. Semua orang mengakuinya.
Termasuk Sandy sendiri, kata Eva dalam hati. Pemuda itu sadar
benar bahwa dia populer. Dia senang kalau gadis-gadis berebut ingin
mendapat perhatiannya. Kelihatannya Sandy memang tergila-gila
pada Tania. Tak heran kalau dia agak sombong.
"Masuk nomimasi Ratu Pesta Tahunan memang
membanggakan, tapi bagiku kalah-menang tak jadi soal," kata Tania.
"Sekarang ini hidupku benar-benar sempurna. Aku bahkan dapat nilai
A waktu ulangan bahasa Prancis kemarin!"
Eva tertawa. "Aku ikut senang mendengarnya, Tania. Sungguh,
kau pantas bahagia. Ayo, sekarang kita ke aula. Kau mungkin tidak
peduli siapa yang menang, tapi aku ingin tahu."
Di puncak tangga, kerumunan lebih padat.
Ketika Eva mengikuti Tania ke arah puncak tangga, seseorang
mendorongnya dari belakang. "Hei, lihat-lihat, dong!" teriaknya.
Dia merasa didorong ke samping dengan keras. Buku-bukunya
berjatuhan dari tangannya, tas punggungnya melorot dari bahunya.
Eva berusaha menyeimbangkan badannya dan melihat sesuatu
dari sudut matanya. Gerakan-gerakan kabur. Sosok seseorang keluar menembus
kerumunan. Dua tangan, terulur. Meraih... Tania menjerit. Eva berpaling?dan melihat kawannya
terguling-guling jatuh di tangga.
Bab 2 TANIA tersungkur, lalu terguling. Tangannya menggapai-gapai
udara kosong. Murid-murid menjerit ngeri dan melompat menyingkir.
Eva berusaha meraih sweter Tania.
Luput. Tania terpelanting beberapa anak tangga, tangannya masih
menggapai-gapai mencari keseimbangan. Akhirnya, dengan satu
tangan dia berhasil menggapai birai tangga yang terbuat dari logam.
Dia mengayunkan badannya, mendarat dengan tegak tapi
membentur dinding dengan keras.
"Wah. Kau tak apa-apa?" seseorang bertanya. Tania
mengangguk dan mencoba tersenyum.
Eva cepat-cepat menuruni tangga. "Apa yang terjadi?"
"Ini salahku," terdengar suara seseorang di belakang mereka.
Eva dan Tania memutar badan.
Leslie Gates berdiri di puncak tangga, memandang mereka
dengan wajah cemas. "Ini salahku," ulangnya. "Aku terpeleset. Maaf.
Aku tak bermaksud mendorongmu, Tania."
Mungkin tidak, pikir Eva, sambil mendongak memandang
Leslie. Tetapi kalau Tania jatuh terguling dan kepalanya retak atau
apa, kau takkan benar-benar menyesal, ya kan, Leslie? Kalau itu
terjadi, kau punya kesempatan lebih baik untuk menjadi Ratu Pesta
Tahunan. "Maaf, Tania," ulang Leslie sambil menggulung lengan sweter
merahnya. "Sungguh. Kau tidak apa-apa, kan?"
Tania mengibaskan rambut yang menutupi matanya. "Yeah,
kurasa aku tak apa-apa."
"Bagus." Leslie mendesah lega. "Sampai ketemu di aula." Dia
berbalik lalu menuruni tangga.
Eva memandanginya ketika Leslie bergegas melewati mereka.
Leslie, yang bertubuh jangkung dan atletis serta berambut cokelat
sehalus sutra, adalah saingan terberat Tania. Mereka bersaing dalam
banyak hal, pikir Eva. Menurut Leslie, Tania selalu memperoleh apa yang
diinginkannya. Tania punya lebih banyak kawan daripada Leslie.
Musim semi nanti, Tania akan ikut kunjungan murid senior ke
London. Leslie tidak. Tania punya mobil pribadi. Leslie menyetir
station wagon milik keluarga?kalau mobil itu tidak sedang dipakai
yang lain. Dan Tania pacaran dengan Sandy, cowok yang sudah berbulanbulan diincarnya.
Eva tahu, dulu Tania dan Leslie bersahabat. Tetapi Leslie yang
iri dan cemburu memutuskan persahabatan mereka. Sekarang, gadis
itu nyaris tak pernah bicara dengan Tania.
Eva berpaling pada Tania. "Kau yakin kau tidak apa-apa? Kau
tadi membentur dinding dengan keras."
"Oh, ya? Aku tak merasa. Mungkin aku terlalu bersemangat
sampai tidak menyadarinya." Tania merapikan sweternya dan
mengelus rambutnya. "Tampangku bagaimana?"
"Keren," Eva meyakinkan sahabatnya.
"Oke. Sebaiknya aku cepat-cepat ke aula. Sampai ketemu
nanti." Sambil memaksa diri tersenyum, Tania berbalik dan bergegas
menuruni tangga. "Hei! Semoga berhasil!" seru Eva di belakangnya.
Dia tidak peduli kata-kataku, Eva menyimpulkan. Dia terlalu
bersemangat. Terlalu gembira.
Berapa lama kebahagiaan seperti itu akan bertahan?
Ketika segerombolan murid lain melewatinya sambil mengobrol
riuh, Eva bergidik. Tawa dan teriakan mereka seakan terdengar jauh,
suara-suara band pun menjadi sayup-sayup.
Eva merasa, seakan segumpal awan gelap dan dingin tiba-tiba
menyelubunginya. Sensasi itu hanya berlangsung semenit. Kemudian semuanya
kembali cerah dan berisik lagi.
Ini bukan salah satu "firasat"-ku, kata Eva dalam hati. Aku
belum sempat makan siang. Aku begini pasti karena lapar. Aku juga
terlalu bersemangat demi Tania.
Semua beres. Takkan terjadi apa-apa. Sambil menarik napas panjang, Eva menuruni tangga dan
bergabung dengan murid-murid lain yang berjalan ke aula.
Para pemain band bergerombol di salah satu pojok deretan
bangku, sedang menyelaraskan peralatan mereka. Di depan mereka,
regu cheerleader Shadyside sedang berlatih, melompat, berputar, dan
mengajak hadirin ikut menyanyi. Bangku-bangku kayu itu bergoyang
ketika para penonton mengentak-entakkan kaki mengikuti irama.
Di tengah-tengah lantai kayu yang mengilat, dipasang panggung
rendah. Jason Thompson, yang sehari sebelumnya dinobatkan sebagai
Raja Pesta Tahunan, berdiri di panggung, di samping pelatih.
Di belakang mereka, Tania dan tiga gadis lain duduk di kursi
yang dijajarkan membentuk setengah lingkaran. Keempat gadis itu
tersenyum gugup dan melambai-lambai ke arah kawan-kawan mereka
yang duduk di bangku-bangku penonton.
Seharusnya ada lima gadis.
Eva mengamati wajah-wajah yang duduk di panggung. Tania.
Julia Moran. Mei Kamata. Dierdre Bradley.
Leslie tak ada. Mana Leslie? Eva menebak-nebak. Dia tadi mendahului kami,
tapi sekarang dia tak ada di sini.
Cepat matanya beralih ke para penonton. Jangan tolol, katanya
dalam hati. Leslie pasti tidak ada di antara penonton. Dia sangat ingin
dinobatkan sebagai Ratu. Seharusnya dia ikut duduk di panggung
sambil bergaya seakan mahkota sudah menghias kepalanya.
Kenapa dia tidak muncul? Perasaan aneh kembali mengusiknya. Eva menggigit bibir
dengan tegang, kemudian memaksa diri tersenyum ketika Tania
melambai kepadanya dari panggung.
Sambil membalas lambaian kawannya, Eva menembus
kerumunan orang lalu menaiki undakan untuk duduk di deretan
bangku yang di atas. Ketika dia melewati para pemain band, terompet melengking
memekakkan telinganya. Musik terdengar semakin keras, lalu tibatiba berhenti.
Dalam keheningan yang tiba-tiba, terdengar suara lain.
Bunyi logam mendesing tajam.
Bunyinya terdengar keras dan menggema dipantulkan dindingdinding aula.
Tembakan! pikir Eva panik.
Tembakan senapan! Bab 3 MULUT Eva serasa kering. Darah serasa berdenyut-denyut di
telinganya. Senapan! pikirnya panik. Seseorang menembakkan senapan di
aula! Karena ngeri, Eva membuka mulut untuk menjerit lagi.
Matanya terbelalak ketika pemuda di dekatnya mengambil
sebuah benda logam yang mengilat dari lantai di bawah bangku.
Kaleng soda yang gepeng. Eva langsung menutup mulut, merasa malu.
Pemuda itu baru saja menggepengkan kaleng soda dengan
kakinya. Aku sudah mendengar suara seperti itu jutaan kali. Kenapa
tadi itu kukira letusan senapan?
Karena aku gugup, dia menyimpulkan. Karena aku mendapat
firasat buruk. Hmm, lupakan saja, kata Eva pada diri sendiri. Bagaimana
kalau sebelumnya firasat seperti itu selalu terbukti benar? Ah... kali ini
aku pasti keliru. Semua baik-baik saja di sini?lihat saja sekelilingmu.
Seberkas warna merah membuatnya tertarik. Dia berpaling dan
melihat Leslie berlari menyeberangi lantai aula sambil tersenyum dan
melambai-lambai. Penonton bertepuk tangan, wajah Leslie memerah
karena senang. Dia naik ke panggung lalu bergabung dengan para
calon ratu lainnya. Eva memutar-mutar bola matanya. Jadi itu rencana Leslie.
Menunggu... agar bisa muncul terakhir dan menjadi pusat perhatian.
Sambil menggeleng dengan sikap muak, Eva berbalik lalu
menaiki undakan lagi. Saat itu dia melihat Keith Hicks. Keith?
pemuda kurus dengan rambut hitam ikal?mengenakan warna
kesayangannya, yaitu hitam. Celana jeans hitam, kemeja hitam, dan
topi hitam. Satu-satunya yang berwarna cerah adalah anting-anting
emas mengilat yang terpasang di telinga kirinya dan sepasang
matanya yang biru terang.
Eva tersenyum, tiba-tiba perasaannya menjadi tenang. Bukan
karena Keith, meskipun dia cukup menyukai pemuda itu, tetapi karena
pemuda yang duduk di samping Keith.
Jeremy, saudara tiri Tania yang baru.
Jeremy yang jangkung dan atletis duduk sambil menopangkan
siku pada lututnya dan memandang ke panggung. Rambutnya yang


Fear Street Siapa Pembunuh Ratu Pesta Tahunan Who Kill The Homecoming Queen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cokelat ikal berkilau disinari lampu. Dia duduk sambil mendengarkan
apa yang dikatakan Keith kepadanya.
Tempat di kanan-kiri Jeremy kosong. Ambil saja, kata Eva pada
dirinya sendiri. Cepat, sebelum orang lain duduk di sampingnya.
Band bermain lagi. Eva mendaki undakan dengan cepat,
kemudian menyusuri bangku ke arah Jeremy dan Keith. "Hei, kalian,"
katanya, menyela kata-kata Keith.
"Hai, Eva." Keith tersenyum linglung padanya.
Jeremy juga tersenyum, dan lesung pipi sekilas menghias sudut
kanan mulutnya. Tetapi, sesaat kemudian dia berpaling dan kembali
memandang ke panggung. Duduklah, kata Eva pada dirinya sendiri. Coba buat dia tertarik.
Goda dia sedikit. Kemudian minta dia menemanimu ke Pesta Dansa Tahunan.
Eva berharap, moga-moga Jeremy belum punya teman kencan.
Dia duduk di samping pemuda itu dan meletakkan kakinya di atas
tasnya. "Boleh kutebak?" katanya. "Keith sedang bicara tentang film,
kan?" Itu tebakan yang mudah. Keith ingin menjadi sutradara film.
Dia selalu bicara tentang film.
"Yeah," Jeremy mengangguk. "Tapi aku tidak benar-benar
mendengarkan." "Terima kasih banyak," gumam Keith.
"Jangan paksa dia, Keith," kata Eva. Dia mencondongkan
badannya, semakin dekat pada Jeremy.
"Aku terlalu tegang untuk bisa mendengarkan omongan siapa
pun," Jeremy mengaku. Dia menunjuk ke panggung. "Aku sungguh
berharap Tania menang. Menurut kalian, apa dia bisa menang?"
Semangat Eva langsung kendur. Jeremy terlalu sibuk
mencemaskan apakah Tania akan menang atau tidak, dia takkan
memperhatikan aku, pikirnya.
"Aku tidak tahu," jawabnya. "Aku juga berharap dia menang.
Tapi, kalaupun tidak menang, dia takkan kecewa. Dia tidak bilang
begitu padamu?" Jeremy mengangguk. "Ya, dia memang bilang begitu. Tapi aku
ingin dia menang. Dia kan saudaraku. Kau tahu, kan? Memang dia
saudara tiriku, tapi itu tak jadi soal. Kami menjadi dekat sejak ayahku
dan ibunya menikah musim panas yang lalu."
"Wah, itu baru hebat namanya," kata Eva.
"Memang," Jeremy sependapat. "Mungkin kedengarannya aneh.
Tapi punya sebuah keluarga benar-benar asyik. Aku belum pernah
punya keluarga sungguhan. Ibuku meninggal waktu aku masih bayi.
Dan aku nyaris tak pernah ketemu ayahku karena dia selalu sibuk
bekerja. Sekarang dia semakin sering tinggal di rumah."
Untuk apa dia ceritakan semua itu padaku? pikir Eva.
"Tania juga sangat senang karena itu," kata Eva. "Itu salah satu
sebab mengapa dia tidak peduli akan menjadi ratu atau tidak. Dia
bilang, banyak hal baik terjadi dalam hidupnya, jadi yang ini bukan
masalah." Keith mendesah keras-keras. "Kalau ini sebuah film, musik
pengiring seharusnya dimainkan sekarang."
Eva mengulurkan tangannya di belakang punggung Jeremy dan
meninju lengan Keith. "Apa urusanmu? Kau tidak suka cerita bahagia,
ya?" "Ah, itu tidak apa-apa," sahut Keith sambil mengangkat bahu.
"Tapi film membutuhkan kejadian dramatis."
"Ini bukan film," Jeremy mengingatkan dia. "Memang bukan.
Tapi," Keith melanjutkan, "dengar, aku akan cerita tentang videoku."
"Video apa?" tanya Eva.ebukulawas.blogspot.com
"Video yang akan kubuat," kata Keith menjelaskan. "Video
yang akan membuatku menerima beasiswa untuk melanjutkan ke
akademi perfilman. Itu yang tadi kuomongkan."
Dia memandang Jeremy, mata birunya terang dan tegang. "Hei,
tahu tidak apa yang bisa membuat video itu jadi hebat?"
Jeremy menggeleng. "Kalau Tania mau berperan dalam video itu," seru Keith. "Dia
sempurna. Menurutmu, maukah dia main di videoku?"
"Astaga!" Jeremy tertawa. "Kau mau lakukan apa saja untuk
mendekati Tania?ya, kan?"
Wajah Keith langsung muram. Dia menyisiri rambut hitamnya
dengan jari-jarinya dan menjilat bibirnya. "Ya," jawabnya lirih. "Apa
saja." Wah! kata Eva dalam hati. Aneh benar kata-katanya. Aneh
benar sorot matanya. Bagaimana kalau dia tergila-gila pada Tania?
Mengapa tiba-tiba tingkahnya jadi aneh?
"Hei, mungkin di skenario video itu akan kutulis bahwa Tania
mencampakkan Sandy demi aku," kata Keith.
Jeremy mendengus. "Mengapa tidak kaubunuh saja Sandy? Itu
satu-satunya cara agar Tania memperhatikanmu!"
Seringai Keith semakin lebar, tetapi menurut Eva senyumnya
itu palsu. Dan matanya! Mengapa matanya berkilat-kilat seperti itu?
Arus dingin sekali lagi merambati punggung Eva.
Lupakan, katanya dalam hati. Ini tak ada artinya.
Tetapi perasaan aneh itu tak mau enyah. Dia melirik Keith.
Apa yang dipikirkan Keith?
"Ayo, semuanya!" salah satu cheerleader berteriak dari bawah.
"Ayo kita meriahkan acara ini!"
Eva mengalihkan pandangnya dari Keith dan menonton regu
cheerleader memainkan tarian mereka. Semua orang bertepuk tangan
sambil bersorak-sorak, tetapi Keith terus saja bicara tentang video
yang akan dibuatnya. "Leslie sudah bersedia bermain di videoku," dia berteriak
mengatasi riuhnya sorak-sorai para penonton. "Katanya dia ingin jadi
pemeran utama, menurutnya itu penting."
"Oh, ya?" tanya Jeremy.
Keith menggeleng. "Leslie sangat ingin menjadi aktris. Dia
melamar ke semua akademi drama di mana saja. Kalau dia bermain di
video itu, dia akan punya sesuatu sebagai bukti. Aku yang akan
berjasa baginya." "Kedengarannya itu kerja sama yang menguntungkan bagi
kalian berdua," Jeremy berkomentar. "Apakah Leslie bisa main
bagus?" "Tentu saja," Keith menyahut sambil mengangkat bahu. "Tapi
aku lebih suka Tania yang main?apalagi kalau dia terpilih jadi Ratu
Pesta Tahunan." "Apa hubungannya dengan itu?" tanya Eva. "Maksudku,
videomu itu tentang apa, sih?"
Mata Keith berkilat-kilat lagi. "Judulnya Siapa yang Membunuh
Ratu Pesta Tahunan?"
Para cheerleader selesai menari, mereka lari ke luar arena
sambil melambai-lambaikan pompom. Para penonton bertepuk tangan,
kemudian bersiul-siul dan mengentak-entakkan kaki. Pelatih tim
football mengambil mikrofon dan meminta hadirin untuk tenang.
Eva tahu, Mr. Jackson akan mengumumkan nama ratu terpilih.
Tetapi dia tak bisa mengalihkan pandangnya dari Keith.
Siapa yang Membunuh Ratu Pesta Tahunan? Kenapa mata
Keith berkilat penuh semangat ketika dia menyebutkan judul itu?
Aku punya firasat, akan terjadi sesuatu yang buruk. Tapi apa?
"Hanya tinggal satu minggu sebelum Pesta Tahunan!" suara Mr.
Jackson menggema lewat pengeras suara. "Dan sekarang, nama yang
sudah kalian tunggu-tunggu! Ratu Pesta Tahunan Shadyside High
School tahun ini adalah...," pelatih itu berhenti bicara secara dramatis,
"...Tania Darman!"
Aula meledak oleh sorak-sorai, tepuk tangan, dan siulan-siulan.
Jeremy berteriak lalu melompat berdiri. Eva juga berdiri, sambil
bertepuk tangan keras-keras dan menjulurkan lehernya agar bisa
melihat kawannya. Tania duduk di kursinya, tampak kaget sekali. Mulutnya
ternganga. Dia mengangkat tangannya, menutupi wajahnya.
Pelatih mengangkat mahkota berhias permata imitasi itu tinggitinggi, lalu mengulurkannya kepada Jason Thompson. "Tania,
selamat!" serunya. "Majulah, dan izinkan Jason memasang mahkota
ini di kepalamu!" Tania bangkit berdiri. Para calon ratu lainnya bangkit merubung
dan memeluknya. Semua, kecuali Leslie. Semua itu tak luput dari
mata Eva. Leslie berdiri menepi, mengawasi. Sambil melambai ke
arah penonton, Tania menyeberangi panggung untuk menerima
mahkota. Di tengah-tengah panggung, langkahnya terhenti. Kedua
lengannya terkulai lemas.
Kemudian, seakan dihantam palu godam, tubuhnya jatuh
tersungkur di lantai. Bab 4 SORAK-SORAI berubah menjadi helaan napas tertahan dan
pekikan. Kemudian aula menjadi hening, keheningan yang mencekam.
Eva terbelalak memandang ke bawah. Tubuhnya membeku
karena ngeri. Tania tak bergerak. Aku tahu, pikir Eva. Aku tahu, sesuatu yang buruk akan terjadi.
Aku bisa merasakannya! "Cepat, Eva!" Jeremy berteriak. Dia melompat di depan gadis
itu dan nyaris tersandung. "Kita harus turun ke sana!"
Akhirnya Eva beranjak menuruni undakan. Kemudian tiba-tiba
dia berhenti, lalu meraih lengan Jeremy. "Tunggu! Dia duduk?lihat!"
Eva terus memegangi lengan Jeremy sambil memandang ke
arah panggung. Tania menyangga badannya dengan satu siku. Dia menyibakkan
rambut yang menutupi matanya dan memandang pelatih. Pelatih itu
menyuruh Jason dan gadis-gadis lainnya minggir, lalu dia
membungkuk memeriksa Tania.
Tania menggeleng dan mengatakan sesuatu. Pelatih itu
mengulurkan tangannya dan membantunya berdiri. Dengan wajah
pucat tetapi tetap tersenyum, Tania berjalan menyeberangi panggung
dan mengambil mikrofon. "Kalian lihat sendiri, dinobatkan menjadi Ratu ternyata malah
membuatku pingsan!" katanya dengan suara bergetar. "Di antara
kalian mungkin ada yang tahu bahwa gula darahku rendah. Kadangkadang kalau terlalu bersemangat, aku jatuh pingsan. Percayalah,
menjadi Ratu Pesta Tahunan memang bisa membuatku pingsan!"
Semua bertepuk tangan dan bersorak-sorai.
Eva tertawa lega. Dia bisa merasakan ketegangan Jeremy
mengendur. "Seharusnya aku bisa menebak apa yang terjadi," katanya
kepada pemuda itu. "Aku tahu gula darah Tania rendah. Boleh dikata,
aku sudah tahu dari dulu."
Di panggung Tania masih bicara. "Setelah makan sebatang
cokelat atau sesuatu yang manis, aku akan langsung pulih," dia
meyakinkan para hadirin. "Bukannya menjadi ratu itu tidak manis?
itu menyenangkan. Aku sungguh bahagia dan bersyukur. Terima kasih
banyak, kawan-kawan!"
Jason memasang mahkota itu di kepala Tania. Semua orang
bertepuk tangan dan bersorak-sorai lagi.
"Hebat ya, dia?" tanya Jeremy. "Saudaraku, Ratu Pesta
Tahunan. Ayo kita turun dan menyalaminya."
Sambil meraih lengan Eva, Jeremy menariknya menuruni
deretan bangku. Tetapi ketika Eva membungkuk untuk mengambil
tasnya, tangan Jeremy terlepas.
Eva melihat Jeremy bergegas turun di depannya. Payah, kata
Eva dalam hati. Berpegangan tangan dengannya tadi sungguh asyik.
Akhirnya, Eva sampai juga di deretan bangku paling bawah.
Waktu meloncat ke lantai aula, dia melihat Jeremy naik ke panggung
dengan cepat lalu memeluk Tania erat-erat.
Dia senang melihat kedua bersaudara itu begitu akrab. Pacar
Tania seharusnya juga ada di panggung.
Mana Sandy? Eva memandang berkeliling, mencoba mencari Sandy Bishop.
Tetapi tak dilihatnya pemuda itu di antara kerumunan orang.
Aneh, pikirnya. Dia mengangkat bahu, lalu berjalan ke arah panggung, tahutahu dia berada di tengah murid-murid yang berdesakan hendak ke
luar aula. Selama beberapa detik dia terbawa arus manusia ke arah
pintu. Tapi, akhirnya dia bisa membebaskan diri.
Ketika berbalik menjauhi pintu, dia bertabrakan dengan Leslie
Gates. "Ups, maaf," kata Eva sambil menyandangkan tasnya di bahu.
Leslie mengangguk, kemudian cepat-cepat mengalihkan
pandang. Tapi Eva sempat melihat kilau air matanya. "Hei, Leslie." Dia
mengulurkan tangannya dan menyentuh lengan gadis itu. "Kau
menangis?" "Siapa bilang?" Suara Leslie bergetar, dia tetap membuang
muka. "Aku kelilipan."
Aku percaya, kata Eva dalam hati. Dia melihat bagaimana
Leslie mengejap-ngejapkan mata, berusaha mengeluarkan debu yang
tidak ada dari matanya. Eva merasa kasihan padanya.
Dia tega mendorong Tania sampai jatuh karena iri, kata Eva
dalam hati. Gadis ini model gadis snob?suka membanggakan diri.
Tapi sekarang, aku yakin dia pasti sangat sedih.
"Dengar, Leslie," gumam Eva. "Cobalah untuk tidak bersedih.
Dunia belum kiamat."
"Aku tahu. Ini hanya..." Leslie mengusap matanya dan menarik
napas dengan gugup. "Tapi Tania selalu mendapat apa saja yang
diinginkannya?sedangkan aku tidak pernah berhasil. Bahkan gula
darahnya yang rendah pun bisa membuatnya hebat!"
"Huh!" Eva mendengus keras-keras. Leslie pasti bercanda.
"Apa hebatnya punya gula darah rendah?"
"Dia bisa makan enam batang cokelat setiap hari!" jerit Leslie.
"Dan tetap ramping seperti biasa!"
"Aku tak pernah memandangnya dari sudut itu," Eva mengakui.
"Pasti asyik kalau bisa makan cokelat sebanyak-banyaknya tanpa
risiko berat badan akan tambah."
"Semua selalu sempurna bagi Tania," Leslie berkata dengan
pahit. "Dia adalah si Gadis Sempurna. Gadis Idaman Shadyside
High." "Itu tidak benar," bantah Eva. "Tidak selamanya semua baik
baginya. Maksudku, orangtuanya bercerai dua tahun lalu. Dia dan
ibunya harus pindah ke apartemen yang jelek sekali di Old Village?
ingat?" "Ya, tapi ibunya menikah lagi, dan mereka pindah ke rumah
yang bagus, dan Tania mendapat saudara tiri yang asyik, dan mereka
adalah keluarga yang bahagia!" tukas Leslie dengan tajam. "Plus,
Tania dinobatkan menjadi Ratu Pesta Tahunan!"
Dan dia juga pacaran dengan Sandy Bishop, lanjut Eva. Tetapi
hanya di dalam hati. Leslie pasti ngamuk kalau dia lontarkan kalimat
itu. "Kau tidak bisa menyalahkan Tania hanya karena dia mendapat
suara lebih banyak. Lagi pula, bukan hanya kau yang tidak menang."
"Wah, terima kasih untuk kuliahnya, Bu."
Eva mendesah. "Iri tak ada gunanya, Leslie."
"Oh, diam kau!" bentak Leslie. "Jadilah sahabat terbaik Tania
dan tinggalkan aku sendiri!"
Sambil menggeleng-geleng, Leslie berbalik dan menembus


Fear Street Siapa Pembunuh Ratu Pesta Tahunan Who Kill The Homecoming Queen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kerumunan murid yang keluar lewat pintu-pintu di belakang deretan
bangku. Eva mengertakkan gigi dan menyusulnya. Aku tak peduli kalau
dia bilang aku menguliahinya, pikirnya. Aku harus membuat dia
berhenti membenci Tania. Kalau tidak, sesuatu yang buruk akan
terjadi. Mungkin itulah firasat buruk yang selalu mengusikku?
kebencian Leslie. Ketika sampai di belakang deretan bangku, sekilas Eva melihat
sweter merah Leslie. Gadis itu berjalan cepat, keluar lewat pintu. Eva
mempercepat langkah hendak menyusulnya sebelum Leslie terlalu
jauh. Kemudian sesuatu di belakang deretan bangku membuatnya
tertarik. Seketika itu dia menghentikan langkahnya, berpaling agar
bisa melihat lebih jelas.
Dan berseru tertahan karena kaget sekali.
BAB 5 EVA membekap mulutnya dengan tangannya, kemudian cepatcepat bersembunyi di belakang deretan bangku.
Apakah aku benar-benar melihatnya? pikirnya menebak-nebak.
Pelan-pelan, dia mengintip ke balik sudut dan memandang
terpana. Sandy Bishop berdiri di ruang sempit yang gelap antara deretan
bangku dan dinding belakang aula. Sandy, pacar Tania. Jangkung,
atletis, berbahu lebar, dan berambut lebat warna pasir, serasi dengan
namanya: Sandy?seperti pasir.
Tentu saja Sandy tidak melihat Eva. Mata Sandy terpejam. Dia
sedang mencium seorang gadis yang bersandar ke dinding aula. Mata
gadis itu juga terpejam. Dan gadis itu bukan Tania.
Gadis itu pendek, rambutnya cerah warna tembaga, ikal lebat
dan indah. Hanya ada satu gadis di kelasnya yang punya rambut
seperti itu?Cherise Colby.
Hati Eva sesak ketika melihat Cherise berjinjit dan memeluk
leher Sandy semakin erat.
Bukankah Sandy tergila-gila pada Tania? kata Eva pada diri
sendiri. Mengapa dia bersembunyi di balik deretan bangku dan
mencium Cherise? Pertanyaan tolol, dia menyimpulkan. Dia mencium Cherise
karena jelas-jelas dia tidak tergila-gila pada Tania.
Dan Tania tak tahu apa-apa.
Setidak-tidaknya... belum tahu.
Tapi orang-orang akan tahu. Sandy takkan mungkin menyimpan
rahasianya selamanya. Cherise akan mengatakan sesuatu pada seorang
kawannya. Dan kawannya itu akan bercerita pada orang lain. Dan
akhirnya, kabar itu akan sampai ke telinga Tania.
Sungguh tidak menyenangkan kalau harus tahu lewat cara
seperti itu. Eva menggigit bibir. Apakah sebaiknya aku cerita kepadanya?
Bagaimanapun, aku ini sahabat karibnya. Itu takkan membuat
masalahnya jadi mudah bagi Tania. Tetapi, setidak-tidaknya Tania
takkan mendengarnya dari mulut-mulut yang usil.
Apakah aku harus menyampaikan kabar buruk ini?
Atau sebaiknya malah kusimpan rapat-rapat?
Eva menggigit-gigit bibirnya, tak tahu harus berbuat apa. Kalau
dia tidak mengatakannya kepada Tania, dia merasa seperti berbohong.
Tetapi mengatakan yang sebenarnya juga sulit sekali.
Di lorong yang remang-remang itu, akhirnya Sandy dan Cherise
melepaskan pelukan dan saling berpandangan. Lalu mereka berciuman
lagi. Eva mengendap-endap pergi. Dia telah melihat cukup banyak.
Pertanyaannya adalah, apa yang harus dilakukannya sekarang?
Dengan perasaan risau bercampur marah, Eva berbalik ke
deretan pintu aula. Tetapi seseorang menghalanginya.
Leslie. Gadis itu ternyata kembali ke aula. Sekarang dia berdiri
beberapa kaki dari Eva, memandang Sandy dan Cherise. Dia
memandang mereka beberapa detik, kemudian pelan-pelan berpaling
kepada Eva. Mata Leslie berkilat-kilat lagi, tetapi bukan karena air mata.
Kali ini, mata itu berkilat puas.
"Kejadian ini akan membunuh Tania!" kata Leslie penuh
kemenangan BAB 6 SEPULANG sekolah esok sorenya, Eva berdiri dekat deretan
bangku di stadion football, melihat Tania dan Sandy yang sedang
bertengkar. Tania kelihatan lebih marah daripada yang pernah kulihat,
pikirnya. Dan... cara Sandy terus-menerus mengepalkan tinjunya! Ini
benar-benar mengerikan. Tiupan angin yang mengembus tiba-tiba membuat wajah Eva
tertutup rambutnya. Hidungnya gatal dan matanya berair. Dia ingin
sekali bersin. Tapi, kalau aku bersin, mereka akan melihatku, pikirnya. Apa
yang akan terjadi kalau begitu?
"Ayolah, Tania," suara Sandy terdengar tidak sabar. "Aku tak
mengerti apa yang kauomongkan."
"Jangan pura-pura!" jerit Tania. "Kau tahu persis apa yang
kumaksud. Bersikap baiklah padaku dan berhentilah berpura-pura."
"Aku tidak berpura-pura!" Sandy menghela napas dalam-dalam
dan memasukkan tangannya ke dalam saku celana jeans-nya. "Aku
sedang tak minat main tebak-tebakan, Tania. Kenapa kau tak bilang
saja apa masalahnya?"
Hah? pikir Eva. Kau memang pura-pura tidak tahu.
Mata hijau Tania menyipit. "Oke, Sandy, akan kukatakan. Aku
tahu yang sebenarnya. Aku tahu bahwa di belakang punggungku kau
ada main." Sandy mengerutkan dahi, tampak bingung. "Apa?"
"Kau pacaran dengan orang lain," sembur Tania. "Itu artinya
ada main, Sandy. Selama ini kau berpacaran dengan gadis lain?di
belakang punggungku!"
"Tidak." Kepalan tangannya dia keluarkan dari sakunya. Dia
melangkah mundur dan kelihatan marah sekali. "Itu bohong!"
"Itu benar!" teriak Tania. "Aku melihatmu. Dan aku punya
kawan, Sandy. Mereka juga melihatmu."
"Itu bohong," ulang Sandy sambil menggeleng-geleng marah.
"Aku tak peduli apa yang kau dan kawan-kawanmu kira lihat!"
"Oh, ngaku sajalah!" Tania memutar-mutar bola matanya.
"Aku tidak pacaran dengan siapa pun, Tania. Kau dan kawankawanmu benar-benar keliru."
Tania bersedekap dan memandang Sandy dengan marah.
Sandy balas memelototinya, wajahnya keruh.
Eva mengawasi mereka, tidak berani bergerak. Apa yang akan
terjadi? pikirnya. Akhirnya, Tania mendesah. "Dengar, ini semua gila."
"Nah, sekarang kau mulai mengerti," Sandy menyahut dengan
cepat, menyatakan sependapat. Dia melangkah maju. Tangannya
terulur seakan hendak memeluk Tania.
"Jangan." Tania mundur sambil menggeleng-geleng.
"Maksudku, tak ada gunanya terus berbantah. Aku tahu apa yang
kulihat. Begitu pula kawan-kawanku."
Dia mengambil napas panjang. Matanya yang hijau berkacakaca. "Ini sudah selesai, Sandy."
"Apa artinya itu?"
"Kau ingin aku mengatakannya dengan lebih jelas?" tanya
Tania. "Oke?aku memutuskan hubungan kita. Sudah selesai.
Mengerti sekarang?" "Tidak bisa!" Suara Sandy meninggi. Jari-jarinya mengepal
lagi. "Kau tak bisa memutuskan hubungan kita begitu saja. Tidak
sebelum acara Dansa Tahunan."
"Seharusnya kau berpikir tentang itu sebelum memutuskan
untuk pacaran dengan gadis lain," kata Tania. "Aku ini Ratu Pesta
Tahunan, ingat? Aku takkan datang ke pesta dansa itu dan membuat
diriku tampak tolol. Kalau kau sangat ingin datang ke pesta, kenapa
kau tidak mengajak pacarmu yang baru?"
"Dengar kataku?itu bohong!" Sandy berkeras.
"Cukup, Sandy!" bentak Tania. "Semua orang di sekolah ini
tahu kau ini seperti apa!"
"Kau tak boleh begini!"
"Dengar baik-baik, ya! Dengan senang hati aku memutuskan
hubungan denganmu!" Tania menyibakkan rambut yang menutupi
matanya lalu beranjak hendak pergi.
Sandy mencengkeram lengannya dan memutar gadis itu agar
berbalik menghadapnya. "Kau pikir kau bisa memutuskan hubungan
dan meninggalkan aku begitu saja?" geramnya dengan marah.
Sambil balas memelototi pemuda itu, Tania berusaha
melepaskan jari-jari Sandy yang mencengkeram lengannya.
"Lepaskan, Sandy!" dia mendesis sambil mengertakkan gigi.
Sandy mempererat cengkeramannya dan mengguncangguncang badan gadis itu.
Kepala Tania terlempar ke belakang.
Eva berseru tertahan. Sandy akan menyakiti Tania, pikirnya.
"Lepaskan!" teriak Tania.
Dia mengayunkan tangannya yang bebas untuk memukul
pemuda itu. Tetapi Sandy mencengkeram tangan Tania yang satunya
itu. "Aku takkan melepaskan kau!" teriak Sandy dengan marah.
"Aku takkan pernah melepaskanmu!"
"Lepaskan, kau membuatku kesakitan!" jerit Tania.
Eva melihat tangan Sandy terangkat lalu mencengkeram bahu
Tania. Matanya berkilat-kilat penuh amarah. Dengan kasar dia
mengguncang-guncang badan Tania, sampai kepala gadis itu terkulai
seperti boneka kain. Dia akan membunuh Tania! pikir Eva. Dia gila!
"Hentikan!" teriak Eva. "Sandy, hentikan!" Dia bergegas
mendekati mereka. Sandy masih terus mengguncang-guncang Tania. Semakin
keras dan semakin keras. Setelah berkutat dan memutar-mutar badannya, akhirnya Tania
berhasil mendaratkan tinjunya ke pelipis Sandy.
Sandy limbung dan memandang Tania dengan nanar. Matanya
mengejap-ngejap kesakitan. Kemudian dia melompat menerjang gadis
itu. Tangannya mencekik leher Tania.
"Apa-apaan ini?" jerit Tania. "Kau mencekikku! Hentikan!
Lepaskan!" Dia akan membunuh Tania! pikir Eva dengan putus asa. Sandy
akan membunuhnya. Aku harus menghentikannya!
Jeritan Tania berubah menjadi suara orang tercekik.
Mengerikan. Matanya melotot. Tangannya terkulai lemas dan lututnya
tertekuk lunglai. Eva memandang ngeri ketika tubuh Tania terkulai lemas lalu
jatuh tertelungkup di tanah. "Tidak!" jerit Eva memecah keheningan.
"Tidaaak!" BAB 7 "CUT!" teriak Keith. "Bagus sekali! Kita istirahat sebentar!"
Dia menegakkan badannya setelah meletakkan kamera videonya.
Eva melihat Tania berguling lalu menelentang, memandang
langit bulan Oktober yang biru.
Sandy berjalan menjauhinya, melemaskan jari-jarinya sambil
tersenyum sendiri. Eva bersin keras-keras, kemudian duduk bersila di rumput dan
mengembuskan napas lega. Mereka sudah mengulang adegan itu tiga
kali. Tadinya asyik-asyik saja, tapi sekarang dia mulai bosan. Dan
lapar. "Eva, jeritanmu tadi hebat," kata Keith padanya. "Aku sampai
merinding mendengarnya."
"Terima kasih." Dia juga merinding. Cerita ini memang seram.
"Adegan tadi sempurna sekali, kawan-kawan," Keith
mengumumkan. "Sayangnya, kita harus mengulangnya lagi."
"Kau bercanda." Sandy berbalik. "Untuk apa?"
Keith menunjuk ke langit. "Lihat pesawat itu."
Eva menengadah dan melihat sebuah pesawat kecil warna perak
melintas di atas mereka. Sebelumnya dia tidak melihat pesawat itu.
Tetapi sekarang dia bisa mendengar bunyinya yang keras sekali.
"Aku tak ingin ada bunyi pesawat di soundtrack," jelas Keith.
"Dan satu-satunya cara untuk menghilangkan bunyi itu adalah
menunggunya sampai lewat jauh dari sini." Sandy menggeleng kesal.
Keith mengangkat bahu. "Hei, ini syuting di luar ruangan. Mau
tak mau harus diulang."
"Kenapa kita tidak syuting di dalam ruangan saja?" tanya Sandy
jengkel. "Itu akan memudahkan kerja kita."
Keith menggeleng. "Mengatur tata cahayanya tidak mudah.
Lagi pula skenarionya kutulis untuk adegan di luar ruangan. Karena
itu, aku harus mengambilnya di luar ruangan."
"Hebat benar!" dengus Sandy kesal. "Aku tak tahu, apa aku bisa
main sebaik tadi." Eva juga mendengus kesal. Dasar sombong, katanya dalam hati.
Baru pertama kali main di video sudah berlagak seakan dia sehebat
Tom Cruise! "Biar kami istirahat, Keith!" Sandy berkeras. "Putar dulu video
itu. Siapa tahu bunyi pe sawat terbang itu tidak terekam."
Keith menunjuk headphone yang melingkar di lehernya. "Aku
bisa mendengarnya, keras dan jelas," jawabnya. "Jangan mengomel
lagi, Sandy. Ayo kita ulangi lagi adegan itu, sebelum sesuatu yang
buruk terjadi." Sandy mendengus keras-keras, menarik napas dengan dramatis,
lalu berjalan mendekati Tania yang masih berbaring di rumput. "Ayo,
Tania," katanya. "Kita selesaikan ini secepatnya. Kalau kita
beruntung, sebelum siang besok syuting sudah selesai."
Tania tidak bergerak. "Hei, Tania! Ayo, berdirilah, Tania." Sandy berlutut di samping
gadis itu. "Hei!" teriaknya. Dia berpaling kepada Eva, wajahnya berkerut
panik. "Ada yang tidak beres! Tania tidak bergerak!"
BAB 8 "DIA tidak bergerak!" teriak Sandy gugup.
"Dia tak mau bangun!"
Eva dan Keith berlari mendekati Tania. Sebelum mereka
sempat menyentuh gadis itu, Sandy mendudukkan Tania dengan
memegangi bahunya. "Tania, bangun!" dia berteriak dengan suara parau. "Bangun!"
Kepala Tania terkulai ke belakang ketika Sandy mengguncangguncang badannya.
"Hentikan, Sandy!" teriak Eva. Dia bersimpuh di rumput dan
memegangi kepala Tania dengan kedua tangannya. "Kita baringkan
dia! Kau menyakiti dia."
"Oh!" Cepat Sandy melepaskan Tania. Tubuh gadis itu
menimpa Eva, dia menggumam lirih dan pelupuk matanya bergetar.
"Lihat, dia mulai sadar," gumam Keith. "Hei, Tania. Apa yang


Fear Street Siapa Pembunuh Ratu Pesta Tahunan Who Kill The Homecoming Queen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terjadi? Kau baik-baik saja?"
"Dia pasti kenapa-kenapa! Kau ini gila atau apa, sih?" Sandy
membentak Keith dengan marah. "Jangan hanya bengong. Panggil
ambulans!" "Sandy, diam!" teriak Eva. "Tania baru saja mengatakan
sesuatu. Teriakanmu keras sekali, kau bahkan tak bisa mendengar
dia!" Sandy mendengus, kemudian membungkuk di atas Tania.
"Apa?" tanyanya. "Apa, Tania?"
"Kubilang, 'tidak perlu ambulans'," bisik Tania. "Aku bisa mati
karena malu. Aku tak perlu dokter. Aku butuh sebatang cokelat."
"Tapi..." "Ini hanya gara-gara kadar gula rendah," kata Tania dengan
suara tercekik. "Kurasa, aku terlalu bersemangat tadi."
Eva mengembuskan napas lega. "Ada yang bawa cokelat?" dia
bertanya. "Ya. Aku punya sebatang Hershey di ranselku," jawab Keith.
"Kalau begitu, cepat ambil!" bentak Sandy. Keith berjalan cepat
ke ranselnya, mengambil cokelat itu, dan membawanya ke Tania.
Tania duduk dan mengunyahnya dengan cepat. "Sekarang lebih
baik," katanya sambil menjilati sisa cokelat di jari-jarinya. Kemudian
dia bangkit berdiri. "Hei, jangan buru-buru!" kata Sandy kepadanya. "Duduklah
sebentar lagi. Kau masih pucat sekali."
Tania tertawa. "Kau juga, Sandy. Kau belum pernah melihat
orang pingsan, ya?" "Tapi bukan orang yang kusayangi." Sandy duduk di rumput di
samping gadis itu lalu memeluknya. "Kau benar-benar membuatku
cemas. Bagaimana kalau sesuatu yang benar-benar buruk terjadi
padamu?" Kau akan langsung pergi ke pelukan Cherise untuk memohon
simpati, batin Eva dengan jijik. Dan gadis itu akan memberimu
banyak simpati. "Aku tidak apa-apa," Tania meyakinkan Sandy. "Tapi, terima
kasih kau telah mengkhawatirkan keselamatanku."
Sandy tersenyum dan memeluknya lebih erat.
Eva merasa hendak muntah.
Dasar buaya bermuka dua! pikirnya. Pura-pura
mengkhawatirkan keselamatan Tania, dengan dramatis pula. Purapura seakan baginya Tania gadis paling penting di dunia ini.
Padahal, selama ini dengan sembunyi-sembunyi dia berkencan
dengan gadis lain. Rasanya cerita di video Keith itu menjadi kenyataan, batinnya.
Hanya satu bedanya?Tania tidak tahu betapa palsunya Sandy.
Dia tidak tahu bahwa Sandy juga pacaran dengan Cherise.
Dia harus tahu bagaimana sebenarnya pacarnya itu. Dan aku
yang harus memberitahunya.
"Oke!" kata Keith ketika Tania sedang membersihkan rumput
dari celana jeans-nya. "Semua sudah siap syuting lagi?"
"Keith, aku tak bisa," kata Tania sambil melihat jamnya sekilas.
"Aku harus berlatih untuk pembukaan Pesta Tahunan besok."
"Ini takkan lama," Keith mendesaknya. "Kau sudah hafal luar
kepala. Syuting terakhir tadi sempurna, kalau tidak ada pesawat
lewat." "Aku mengerti, tapi..."
"Kecuali itu, aku takkan selamanya mengerjakan video ini,"
Keith memohon. "Sekarang Oktober. Sejauh ini kita beruntung, tapi
sewaktu-waktu cuaca bisa berubah."
"Hei, kasih dia kesempatan istirahat," sembur Sandy. "Dia tak
bisa. Bukan salah dia."
Tania tertawa. "Sebenarnya salahku juga. Kalau saja aku tidak
pingsan." Keith mengacak-acak rambutnya dengan bingung. Tania meraih
tangan Keith dan meremasnya. "Maaf, Keith. Aku berjanji takkan
pingsan lagi lain kali."
Wajah Keith memerah. Dia menyeringai salah tingkah.
Jeremy benar, Eva menyimpulkan. Keith memang tergila-gila
pada Tania. Tania meremas tangan Keith lagi, kemudian berpaling kepada
Sandy dan mencium pipinya sekilas. "Sampai ketemu."
Tania berlari menuruni bukit ke arah gedung sekolah. Eva
mengambil tasnya dan menyusulnya.
Sekarang aku punya kesempatan untuk memberitahu dia
tentang siapa Sandy sebenarnya, pikirnya. Akan langsung saja
kukatakan dan masalahnya selesai. Memang tidak enak, tapi setidaktidaknya dia akan tahu bagaimana sebenarnya pacarnya itu.
Kuharap dia tidak akan marah padaku karena aku memberitahu
dia, pikir Eva. Dia mempercepat larinya, dan berhasil menyusul Tania tepat
sebelum gadis itu masuk lewat salah satu pintu samping auditorium.
"Hei, Tania. Bisa bicara sebentar?"
"Tentu." Tania membuka pintu lalu mereka masuk. "Ada apa?"
"Aku..." "Wah, di sini gelap sekali," Tania menyela ketika pintu berat di
belakang mereka terayun menutup dengan bunyi keras. "Kurasa baru
aku yang datang ke sini. Tombol lampunya mana, ya?"
"Aku tak tahu."
Eva mengejap-ngejapkan matanya, menyesuaikannya dengan
kegelapan di dalam ruangan. Mereka berdiri di salah satu lorong
samping, dekat deretan bangku paling belakang. "Mungkin kita bisa
menyalakan lampu panggung. Tapi, sebaiknya kita duduk dan bicara
dulu," dia mengusulkan sambil menunjuk deretan bangku.
"Baik, tapi kita nyalakan lampu dulu." Tania berjalan ke
panggung, menyusuri lorong berlapis karpet di antara deretan bangku.
"Kau mau bicara tentang apa, sih?"
Dahi Eva berkerut, mencoba mencari kata yang tepat untuk
mulai. Haruskah langsung kukatakan begitu saja? Dengar, Sobat!
Sandy diam-diam pacaran dengan Cherisc.
"Eva?" suara Tania datang dari depan auditorium. "Apa yang
mau kaukatakan?" "Well..." Pelan-pelan Eva berjalan ke arah panggung. Ini lebih
sulit daripada yang dibayangkannya.
"Ada yang tidak beres?" tanya Tania. Sepatu ketsnya berdecitdecit ketika dia menaiki undakan kayu ke panggung. "Kau tampak
cemas sekali." "Ya, begitulah," Eva mengakui.
Eva naik ke panggung yang gelap, menyusul Tania. Katakan
secepatnya dan selesai, katanya dalam hati.
Dia mengambil napas dalam-dalam.
Tetapi sebelum dia sempat membuka mulut, sebuah bayangbayang sekilas terlihat olehnya.
Bayang-bayang itu bergerak.
Eva berseru tertahan, sosok gelap tiba-tiba keluar dari
kegelapan. "Aku akan membunuhmu, Tania!" sebuah suara berteriak. "Aku
akan membunuhmu!" BAB 9 TANIA menjerit dan melompat menghindar.
Dia menabrak Eva. Kedua gadis itu terhuyung-huyung ke
belakang, kemudian jatuh membentur lantai panggung.
Dengan panik, Eva berguling melepaskan diri dari tindihan
Tania, kemudian bangkit berdiri dengan susah payah. Ketika dia
mengulurkan tangan untuk menarik Tania berdiri, lampu panggung
tiba-tiba menyala. Eva berseru kaget sambil menudungi matanya yang silau karena
cahaya spotlight yang terang benderang.
"Kau mendapat semua yang kauinginkan, ya kan, Tania?"
sebuah suara berteriak penuh amarah.
Eva menurunkan tangannya, matanya berkejap-kejap.
Leslie berdiri beberapa kaki dari situ, memelototi Tania dengan
marah. "Leslie?" suara Tania bergetar. "Apa... apa..."
"Ya, apa-apaan, sih?" teriak Eva. "Kau membuat kami kaget
dan takut! Kau ini kenapa, sih?"
"Jangan ikut campur, Eva," bentak Leslie. "Ini antara aku dan
Tania." "Apa?" tanya Tania. "Leslie, salah apa aku?"
"Dasar sok," tukas Leslie sengit. "Jangan pura-pura tidak tahu."
"Aku memang tidak tahu!" teriak Tania. "Aku tak mengerti apa
maksudmu!" "Hah!" Leslie menyeringai penuh ancaman. "Pertama, kau
dinobatkan menjadi Ratu Pesta Tahunan. Sekarang kau merebut peran
utama di video Keith. Kau tahu, aku perlu peran itu untuk referensi
masuk akademi drama! Heran, teganya kau merebut peran itu dariku!"
"Tapi..." "Aku bisa membunuhmu, Tania!" Leslie mengepalkan
tangannya. "Sungguh, aku tidak main-main!"
Eva bergidik. Leslie benar-benar sudah tak dapat
mengendalikan diri, batinnya.
"Kau kan tidak peduli soal-soal akting," tuduh Leslie sambil
menatap Tania lekat-lekat. "Tapi aku selalu ingin berakting, bahkan
sejak aku masih kecil. Kau kan tahu itu! Kau tahu, tapi kau tetap saja
merebut peran itu dariku!"
"Hentikan, Leslie!" teriak Tania. "Hentikan bicaramu dan
dengarkan aku!" "Kenapa aku harus mendengarkan kau?"
"Karena aku sungguh tidak tahu bahwa kau ingin main di video
itu," Tania menjelaskan.
Leslie mengentakkan kepalanya, sikapnya sinis dan penuh
curiga. "Aku tidak tahu," ulang Tania pelan-pelan. "Keith tidak pernah
bilang padaku. Leslie, aku tidak menyalahkan kau kalau kau kesal.
Kalau Keith bilang, aku pasti akan menyuruhnya memilihmu. Tapi dia
tidak bilang apa-apa!"
Leslie memandangnya beberapa saat. Kemudian bahunya
mengendur, amarahnya surut, matanya tidak garang lagi.
Eva mengembuskan napas lega.
"Aku sungguh minta maaf," gumam Tania.
Leslie mengangguk. "Well..." Dia berhenti. "Ada sesuatu yang
harus kukatakan padamu, Tania."
"Oh, ya?" "Aku akan menyempurnakan hari ini menjadi harimu yang
paling buruk," kata Leslie dengan pahit.
"Hah?" Dahi Tania berkerut. "Apa maksudmu?"
Jantung Eva berdetak kencang. Leslie pasti akan cerita tentang
Sandy dan Cherise, batinnya. Takkan kubiarkan Leslie
mengatakannya! Dia akan menikmatinya. Dan Tania pasti akan sangat
malu?di depan rivalnya yang terbesar.
"Apa maksudmu?" Tania bertanya kepada Leslie.
"Jangan sekarang!" sela Eva. "Leslie, ke sini kau."
Dia menarik lengan Leslie dan menyeretnya ke samping
panggung. "Kau ini apa-apaan, sih?" kata Leslie kesal.
"Aku tahu apa yang akan kaukatakan!" bisik Eva dengan geram.
Dia meremas lengan Leslie. "Awas kau. Jangan berani-berani cerita
padanya tentang Sandy! Aku tahu, kau akan puas kalau bisa menyakiti
hatinya. Awas, jangan nekat!"
"Tutup mulutmu!" desis Leslie sambil menarik bebas
lengannya. "Kau yang tutup mulut!" Eva berkeras. "Tutup mulutmu tentang
Sandy dan Cherise!" Leslie membelalakinya beberapa saat. Eva membalas
memelototinya. "Oke. Aku takkan memberi tahu dia... sekarang,"
akhirnya Leslie menyerah.
Dia berbalik lalu beranjak pergi.
"Ada apa, sih?" tanya Tania. "Apa yang ingin dikatakannya
padaku?" Eva mengambil napas panjang.
Tetapi ketika dia hendak bicara, pintu-pintu auditorium terbuka
dan para bintang Pesta Tahunan bermunculan.
Aku tak bisa mengatakannya sekarang, pikir Eva. Tidak di
depan orang-orang ini. "Ah, tidak apa-apa," katanya sambil memaksa
diri tersenyum. "Lupakan saja. Bukan sesuatu yang penting."
************ Sore esok harinya, Eva berdiri dekat air mancur di Division
Street Mall dan memandang sekelilingnya. Dia dan Tania berjanji
bertemu di situ untuk sekali lagi melihat-lihat gaun yang cocok untuk
acara Pesta Tahunan. Tapi sampai saat itu, dia belum melihat
sahabatnya. Tentu saja, sekarang kan hari Sabtu, dia ingatkan dirinya
sendiri. Tempat itu penuh sesak. Mungkin Tania terjebak di tengahtengah orang banyak dan sedang berusaha mencari aku.
Eva menjulurkan lehernya, tetapi tak mungkin dia bisa melihat
kawannya di antara ratusan kepala orang. Merasa kesal, dia naik ke
dinding batu rendah yang mengelilingi air mancur itu agar bisa
melihat lebih baik. Dia memandang berkeliling dan melihat seorang pemuda
jangkung berambut ikal merah kecokelatan dan berwajah penuh
bintik-bintik. "Jeremy!" Eva berjinjit dan melambai-lambaikan tangannya.
"Jeremy!" Jeremy berpaling, kaget. Ketika melihat Eva, dia tersenyum
malu-malu, lesung pipinya muncul di sudut bibirnya.
Dia sangat menggemaskan, kata Eva dalam hati. Dia melompat
turun lalu menembus kerumunan orang, mendekati pemuda itu.
"Hai, Eva. Untung kau melihatku," kata Jeremy. "Aku hampir
putus asa mencarimu."
Jantung Eva berhenti berdegup sesaat. "Kau mencariku?"
Pemuda itu mengangguk. "Tania menyuruhku menyampaikan
pesannya padamu, dia akan terlambat," dia menjelaskan. "Dia
menurunkan aku di sini, tapi dia harus pulang. Dia harus
mengembalikan sesuatu dan tadi lupa membawanya. Katanya, kalau
kau tak ingin menunggu di air mancur, dia akan menemuimu di Pete's
Pizza." "Oh." Bagus, jadi dia mencariku untuk menyampaikan pesan
Tania, kata Eva pada diri sendiri. Tapi, dia ada di sini, ya kan? Aku
harus memanfaatkan kesempatan yang tersedia.
"Well, aku tak mau berdiri konyol di tengah orang banyak,"
katanya. "Mau minum Coke di Pete's sama aku?"
"Tentu, Eva." "Bagus." Eva menggandeng tangan pemuda itu dan menariknya
menembus padatnya orang-orang. Alasan yang bagus untuk
menggandeng tangannya, katanya dalam hati.
Mereka beruntung. Ada pasangan yang baru selesai makan, jadi
mereka langsung menempati kursi yang kosong itu. Mereka memesan
dua gelas Coke, kemudian Eva melepas jaketnya dan menumpangkan
sikunya di meja. Dia merasa seakan benar-benar sedang pacaran
dengan Jeremy. "Kau juga mau beli pakaian untuk acara Pesta Tahunan nanti?"
tanyanya. Mungkin dia bisa menyelidiki apakah Jeremy sudah punya
teman kencan atau belum. Jeremy menggeleng. "Aku ingin ke toko CD," jawabnya.


Fear Street Siapa Pembunuh Ratu Pesta Tahunan Who Kill The Homecoming Queen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ibuku ulang tahun dua minggu lagi. Mungkin aku akan
membelikannya sesuatu." Dia berhenti bicara dan menggeleng lagi.
"Aku tak percaya, aku bilang seperti itu!"
"Apa? Apa anehnya membelikan hadiah ulang tahun untuk
ibumu?" "Memang tidak aneh, tapi aku belum pernah mengucapkan
kata-kata itu?ibuku," dia menjelaskan. Dia berhenti sejenak ketika
pelayan meletakkan pesanan mereka. "Ini masih baru," tambah
Jeremy. "Mempunyai keluarga, maksudku. Berbagi pekerjaan seharihari di rumah dan hal-hal seperti itu. Itu mengubah hidupku."
Eva memasukkan sedotan ke dalam gelasnya dan tertawa.
"Tunggu sampai kau mendapat hukuman tak boleh keluar rumah."
Mata cokelat Jeremy menjadi serius. "Aku tidak mengeluh,"
katanya. "Bagiku, ini menyenangkan. Sebelum Dad menikah dengan
mamanya Tania, aku lebih banyak sendirian. Dan aku... aku ada
masalah di sekolahku yang dulu."
Eva memandangnya dengan penuh ingin tahu. "Masalah apa?"
"Oh..." Jeremy ragu-ragu lagi. "Ah, lupakan saja. Itu sudah
lewat. Sudah selesai. Tamat." Dengan cepat dia meneguk Coke-nya.
"Kita bicara yang lain saja."
"Baik. Oke." Eva masih tetap ingin tahu, tetapi dia tidak mau
mendesak. Jangan nyinyir, katanya pada diri sendiri. Jeremy sangat
pendiam. Sangat pemalu. Mungkin dia sering bolos sekolah atau apa.
Tak mungkiri dia punya masalah besar.
"Pokoknya," Jeremy melanjutkan, "punya keluarga sungguh
menyenangkan. Tidak enaknya cuma Tania membuat semua orang
gila karena selalu meributkan gaun apa yang akan dipakainya ke Pesta
Tahunan. Kuharap kalian berdua bisa menemukan yang cocok hari
ini?aku bosan mendengar omongan tentang gaun pesta."
"Aku pun berharap begitu," jawab Eva. Kemudian, sebelum
keberaniannya hilang, dia menyemburkan kata-kata ini, "Ngomongngomong soal Pesta Tahunan, kau sudah punya teman kencan belum?"
Jeremy tidak menjawab. Dia memandang lurus melewati bahu
Eva, matanya menyipit. Sialan, pikir Eva. Dia tahu aku akan memintanya pergi
denganku. Dia mencoba mencari kata yang tepat untuk menolak.
Tetapi kelihatannya Jeremy tidak sedang mencari-cari alasan,
Eva menyimpulkan. Dia tampak marah. Tangannya mencengkeram gelas minumnya
erat-erat. Bibirnya terkatup rapat menjadi garis tipis. Matanya terus
memandang lewat bahu Eva.
Eva berpaling. Sandy dan Cherise duduk berduaan di bagian belakang restoran.
Mereka duduk berdampingan, sangat dekat, boleh dikatakan Cherise
seperti duduk di pangkuan Sandy.
Dengan jijik, Eva melihat bagaimana Sandy memeluk Cherise
erat-erat lalu mengecup bibirnya.
Tak heran Jeremy marah sekali, pikir Eva. Tania kan saudara
tirinya. Dia mencintai Tania dan sekarang dia melihat pacar
saudaranya mencium gadis lain.
Sandy dan Cherise masih berciuman ketika Eva kembali
menghadap Jeremy. Tepat ketika itu, pintu Pete's Pizza terbuka dan seorang gadis
langsing berambut pirang dan bermata hijau indah masuk ke restoran.
Tania. BAB 10 EVA tersentak. Apakah Tania akan melihat Sandy dan Cherise?
Tania melangkah masuk. Serombongan anak-anak mendesak
melewatinya. Tania menyisih ke pinggir memberi mereka jalan. Dia masih
belum menoleh ke dalam restoran.
Apa yang bisa kulakukan? pikir Eva gugup. Menyembunyikan
Sandy dan Cherise di bawah meja? Menjerit "kebakaran"?
Melemparkan jaketku ke kepala Tania?
Ketika Eva duduk membeku, dia mendengar suara Jeremy.
"Aku akan membawanya keluar dari sini, Eva. Temui kami dekat air
mancur." Dengan cepat Jeremy berdiri dan bergegas mendekati Tania.
Eva melihat dia mengatakan sesuatu, kemudian membuka pintu dan
mengajak Tania keluar. Eva mengembuskan napas lega. Hampir saja terjadi keributan
besar, pikirnya. Untung Jeremy cepat tanggap. Eva mengambil
jaketnya dan menoleh ke bagian belakang restoran.
Sandy dan Cherise masih berpelukan erat. Sepiring pizza
tergeletak di meja mereka, belum disentuh.
Kuharap mereka keracunan makanan, pikir Eva dengan marah.
Tania harus tahu betapa busuknya Sandy.
Kalau Sandy dan Cherise selalu terang-terangan begitu, rahasia
mereka takkan bertahan lama. Tania akan tahu. Dan pasti akan sangat
tidak enak kalau dia jadi tahu setelah melihat adegan seperti tadi.
Dasar tak tahu malu. Mereka berbuat seakan di dunia ini tak ada
orang lain. Eva mendesah sambil meletakkan uang tip di meja lalu beranjak
pergi. Seharusnya aku bilang pada Tania kemarin itu. Aku kan sahabat
terbaik Tania. Aku tak bisa membiarkan dia terus-terusan mengira
bahwa Sandy mencintainya.
Aku harus memberitahu dia. Secepat mungkin.
********** "Berhenti, semuanya!" teriak Keith. "Kita istirahat."
Eva menjatuhkan diri di rumput dan melihat Keith bertengkar
dengan adiknya, Mandy. Gadis itu datang waktu acara merekam suara
dan membuat Keith ngamuk-ngamuk.
Akhirnya Keith membentak Mandy dan menyuruhnya
menunggu di mobil van. Gadis itu menyingkir dengan wajah murung.
Eva mendesah. Sekarang Senin sore, PR-nya banyak sekali.
Kalau syuting video terus begini caranya, sudah bagus kalau dia bisa
sampai di rumah sebelum waktu makan malam.
Untung hari ini Jeremy datang ke tempat syuting dan
membantu-bantu Keith. Mungkin dia akan punya kesempatan
mengajak pemuda itu ke pesta dansa. Dia memperhatikan Jeremy dan
Keith mengutak-atik camcorder. Kemudian dia menoleh ke arah
Tania. Tania duduk bersama Sandy, tertawa karena sesuatu yang
dikatakan pemuda itu. Dasar bejat, pikir Eva. Dia berbaring telentang, memandang
langit. Awan datang bergulung-gulung. Awan gelap, pikirnya. Kalau
tidak cepat-cepat, kami bisa kehujanan.
Eva bergidik. Dia sudah siap mengatakan kepada Tania tentang
Sandy hari Sabtu itu, setelah meninggalkan Pete's Pizza. Tapi Tania
sedang senang sekali, dengan riang mencoba gaun pesta yang pas
untuk Pesta Dansa Tahunan. Eva tak sampai hati merusak
kegembiraan kawannya. Kemarin dia menelepon Tania, tapi rumahnya kosong.
Jadi, beginilah sekarang, pikirnya dengan murung. Mengulangulang adegan pertengkaran Ratu Pesta Tahunan dan pacarnya.
Kalau saja Tania tahu bahwa cerita itu sama dengan
kenyataannya.... Terdengar langkah-langkah kaki menginjak rumput kering
dekat kepala Eva. Dia membuka mata, berharap akan melihat Jeremy.
Sandy berdiri di dekatnya. "Kau ada masalah, Eva?" tanyanya.
"Kau bosan?" Eva bangkit berdiri. "Aku tidak bosan. Adegan tadi sungguh
menarik." "Ya, memang," pemuda itu sependapat. "Hei, menurutmu
bagaimana aktingku tadi? Maksudku, kau berdiri di sana dan melihat
semuanya. Aku main seperti sungguhan, kan?"
Eva memutar-mutar bola matanya. "Sebenarnya, kau malah
tidak sungguh-sungguh, Sandy."
"Huh!" Sandy mendengus, merasa tersinggung. "Hei, sejak
kapan kau jadi kritikus film? Menurut Keith aktingku bagus."
"Aku tidak bicara tentang adegan itu, Sandy," kata Eva. "Aku
bicara tentang kehidupan nyata."
Sandy berkacak pinggang. "Apa maksudmu?"
Sekilas Eva melirik Tania yang sedang bicara dengan Keith dan
Jeremy. Lalu dia kembali menghadapi Sandy. "Aku tahu apa yang
kaulakukan," katanya terus terang. "Hari Kamis kulihat kau di aula
olahraga bersama Cherise. Dan hari Sabtu, aku melihat kalian di
Pete's. Apakah pizza itu akhirnya kalian makan, Sandy?"
Sandy menatapnya beberapa saat. Dia tidak tampak malu atau
salah tingkah, kata Eva dalam hati. "Aku bisa menjelaskannya," kata
Sandy. "Itu bukan masalah besar."
"Oh, ya? Kalau begitu, beritahu Tania," bentak Eva. Dia
beranjak hendak pergi. "Hei." Sandy mencengkeram lengannya. "Kau tidak akan
memberitahu dia, kan?"
"Apa pedulimu?" tanya Eva. "Maksudku, kalau kau memang
peduli, kau takkan berkencan diam-diam dengan Cherise."
"Sudah kubilang?aku bisa menjelaskan itu," Sandy berkeras.
Eva menarik lepas tangannya lalu pergi menjauh dengan sikap
muak. Dia mendengar Sandy mengikutinya. Tapi sebelum sempat
mengusir pemuda itu, dia mendengar Keith mengumumkan bahwa dia
sudah siap mengambil adegan lagi.
Eva menempati poisisinya di belakang deretan bangku dan
pura-pura membeku ketakutan ketika melihat Sandy dan Tania
memulai adegan pertengkaran mereka.
Sebenarnya, aku tidak harus berpura-pura, pikir Eva. Aku
benar-benar ngeri. Bagaimana mungkin Sandy bersikap begitu wajar
padahal dia nyata-nyata mengelabui Tania? Dia bahkan bilang itu
bukan masalah besar. "Dengar?itu bohong!" teriak Sandy kepada Tania. Sekarang
mereka hampir selesai memainkan adegan itu.
"Jangan bohong!" Tania balas berteriak. "Semua orang di
sekolah ini tahu siapa kau sebenarnya!"
Tidak semua orang, pikir Eva. Tania tidak tahu. Bagaimana
reaksinya kalau dia kuberitahu? Apakah dia akan berteriak kepada
Sandy seperti tadi? Mungkin tidak. Kalau marah, sikap Tania sangat
dingin. Mungkin tidak akan mengacuhkan pemuda itu lagi.
Pikiran Eva kembali ke adegan yang sedang berlangsung.
Gilirannya hampir sampai. Keith akan marah sekali kalau dia
mengacaukan adegan itu. ebukulawas.blogspot.com
Sandy mencengkeram lengan Tania.
"Hentikan!" teriak Eva.
Sandy dan Tania bergumul. Kemudian Sandy mulai mencekik
Tania. Eva berteriak lagi, kemudian berlari mendekati mereka. Tania
mengeluarkan suara orang tercekik... pura-puranya. Jari Sandy
menekan lehernya, semakin erat, semakin erat.
Eva mengambil napas dalam-dalam agar bisa berteriak keraskeras.
"Stop!" Tiba-tiba Keith berteriak, mengagetkan semua orang.
"Stop!" BAB 11 "STOP!" Keith berteriak lagi.
Sandy menjatuhkan tangannya. Tania mundur terhuyunghuyung. Eva berpaling kepada Keith, menduga-duga apa yang tidak
beres. "Apa lagi?" bentak Sandy.
"Camcorder-nya," kata Jeremy kepadanya. "Ngadat lagi."
Sandy pergi menjauh sambil mengomel. Jeremy memelototinya.
"Bagus, Sandy," teriaknya. "Ngamuklah semaumu. Itu akan menolong
kita." "Jeremy!" Tania memandangnya dengan kaget "Apa, sih,
masalah kamu?" "Tak ada," gumam Jeremy. "Mungkin aku capek." Dia
mengangkat bahu lalu meneruskan membantu Keith.
Eva juga kaget. Tidak biasanya Jeremy bicara sinis begitu. Ini
pasti karena Tania, dia menyimpulkan. Jeremy juga marah pada
Sandy, sama seperti aku. Sandy memandang Jeremy dengan marah selama beberapa
detik. Kemudian dia bergegas mendekati Tania, lalu memeluknya.
Tania tersenyum dan menyandarkan kepalanya ke bahu pacarnya.
Eva membuang muka. Tania sangat menyukai Sandy, pikirnya.
Dia akan sedih kalau aku cerita tentang Cherise padanya.
"Oke, kurasa sudah beres sekarang," Keith mengumumkan.
"Ayo..." Dia memandang langit. "Sialan. Tunggu. Ini gila. Sebentar
lagi pasti hujan." "Maksudmu, kita sudah selesai hari ini?" tanya Sandy.
"Belum. Kita harus syuting sebagus-bagusnya untuk adegan
ini." Keith menunjuk ke deretan bangku yang dinaungi atap. "Kita
syuting di sana. Ayo. Cepat ke sana."
Eva membereskan ranselnya lalu berjalan bersama yang lain ke
deretan bangku. Keith mengatur posisi para pemainnya. Kemudian dia
dan Jeremy mengatur sudut pengambilan adegan. Ketika mereka siap
memulai syuting, hujan turun.
Eva berdiri di lorong di antara deretan bangku. Sandy
berhadapan dengan Tania di undakan paling bawah. Di belakang
mereka, Eva melihat hujan turun dengan lebat dari langit yang kelabu.
"Siap, semuanya!" seru Keith. "Siap... mulai!"
Eva menahan napas, melihat Sandy dan Tania mulai bertengkar.
Kemudian tiba saatnya dia harus meneriakkan kalimat yang sudah
dihafalnya. Tania mulai membuat suara-suara aneh. Lengannya terkulai
lemas. Sandy terus mencekiknya, semakin erat, semakin erat.
Tania terpuruk lemas ke tanah.
"Keith!" sebuah suara tiba-tiba berteriak. "Keith kau di mana?"
"Cut! Siapa yang berteriak itu?" teriak Keith dengan marah.
Eva berbalik dan melihat adik Keith menaiki undakan di antara
deretan bangku. "Mandy!" sembur Keith marah sekali. "Kubilang tunggu di
mobil!" "Aku sudah menunggu di mobil!" keluh Mandy. "Sekarang
sudah jam setengah lima. Kau harus mengantarkan aku ke tempat
latihan senam, ingat?"
Keith menarik-narik rambutnya dengan kesal. "Heran, aku,"
gumamnya. "Aku tak percaya ini."
Ketika Keith bertengkar dengan adiknya, Eva mengambil napas
panjang. Tangannya pedih. Diamatinya, rupanya tadi tergores dinding
semen. Segaris tipis darah segar merembes keluar dari lukanya.
Dia mengambil tisu dari sakunya dan melihat adik Keith pergi
dengan marah. Kemudian dia melihat Jeremy mendekatinya.
"Kau luka?" tanya Jeremy. Dia mengambil tangan Eva.
"Mungkin Keith punya kotak P3K di mobilnya. Tunggu, biar kuam..."
Kata-katanya terputus, matanya nanar memandang ke undakan di
bawah. Eva mengikuti pandangnya.
Tania terbaring tak bergerak di depan deretan bangku yang
pertama. "Bangun, Tania!" kata Sandy cemas sambil membungkuk di
atas gadis itu. "Tania? Hei! Tolong ambilkan sebatang cokelat!"
"Aku punya satu," kata Eva. "Kasihan Tania. Dia sangat benci
dengan urusan penyakit gula darah rendah ini."
"Tidak! Tania!" Suara Sandy tiba-tiba terdengar panik


Fear Street Siapa Pembunuh Ratu Pesta Tahunan Who Kill The Homecoming Queen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bercampur ngeri. "Tidak!"
Tubuh Eva membeku ketika Sandy berpaling kepadanya. Mata
pemuda itu tampak panik. "Dia tidak bernapas!"
"Hah?" Eva berteriak lalu memegangi birai undakan.
"Jangan hanya bicara!" teriak Jeremy tak sabar. "Periksa
nadinya!" "Sudah?aku tak bisa menemukannya!" teriak Sandy. "Dia
tidak bernapas. Dia sudah mati!"
Dia menelan ludah dengan susah payah. Matanya menatap mata
Eva lekat-lekat. "Tapi aku tidak membunuhnya! Aku tidak
membunuhnya!" teriak Sandy.
BAB 12 SAMBIL berteriak parau, Jeremy melompat menuruni undakan.
Dengan kasar didorongnya Sandy ke pinggir. Kemudian dia berlutut
di samping Tania. Eva berlari-lari menuruni undakan, berusaha menekan rasa
paniknya. Tania pingsan lagi, pasti itu masalahnya, katanya pada diri
sendiri. Sandy hanya berpura-pura, untuk menunjukkan bahwa dia
sangat peduli. Tak ada yang tak beres, Tania baik-baik saja.
"Tidaak!" tiba-tiba Jeremy berteriak. "Tania! Tania!"
Jantung Eva berhenti berdegup, sesaat. Tidak mungkin,
pikirnya. Tania pingsan! Tak mungkin dia...
"Dia mati!" teriak Jeremy. "Tania! Tidaak!" Dia memegang
bahu Tania, lalu menariknya berdiri. "Tania!"
Eva melompat turun dari undakan terakhir, nyaris bertabrakan
dengan Keith. "Tidak mungkin!" teriak Keith. Dia berpaling kepada
Sandy. "Ada apa?" tanyanya mendesak.
Dengan panik Sandy menggeleng-geleng. "Tak ada apa-apa!
Tak ada apa-apa! Dia tak apa-apa!"
Sandy mencengkeram Eva, matanya panik. "Aku tidak
melakukan apa-apa!" teriaknya kepada gadis itu. "Aku tidak
melakukan apa-apa." Ketika Eva berkutat hendak melepaskan diri dari Sandy, sekilas
dia melihat wajah Tania. Kulitnya pucat pasi. Mulutnya ternganga, kepalanya terkulai
lemas ke belakang. Dia tidak bernapas, pikir Eva ngeri. Ini sungguhan! Dia mati.
Tapi bagaimana terjadinya?
Pasti bukan karena gula darah rendah. Kalau karena itu, dia
pasti hanya pingsan. Dia takkan mati gara-gara penyakit itu.
Bagaimana Tania menemui ajalnya?
Eva merasa sesuatu menyesakkan dadanya. Air matanya
menetes, lalu mengalir menuruni pipinya. Eva menangis tanpa suara.
"Ayolah, Tania!" Jeremy memegang bahu Tania lalu
mengguncang-guncangnya dengan gugup. "Bangunlah! Kau pasti
bisa. Ayo, Tania!" Kepala Tania terputar-putar. Mulutnya ternganga semakin lebar,
seperti sedang berteriak. Tetapi suaranya tak mau keluar.
"Tania, ayolah!" isak Jeremy. Dia mengguncang-guncang Tania
semakin keras. "Ayolah, bangun!"
"Jeremy, hentikan!" Masih sambil terisak-isak, Eva melepaskan
diri dari cengkeraman Sandy lalu memegang bahu Jeremy. "Oh,
hentikan itu!" Sambil berteriak, Jeremy menepiskan tangan Eva. Eva
terhuyung-huyung ke belakang dan menimpa Keith lagi. "Panggil
ambulans!" teriaknya dengan suara parau. "Dan polisi!"
Keith tidak bergerak. Dia memandang tubuh Tania yang
terbaring tak bergerak. Ekspresinya bingung dan cemas.
"Tolong, Keith!" teriak Eva. Didorongnya Keith sedikit. "Kita
butuh bantuan!" Dengan enggan Keith mengalihkan pandangnya dari Tania, lalu
memandang Eva sambil mengedipkan mata.
"Ayo! Cepat!" Eva berteriak. "Panggil polisi dan ambulans!"
"Baik." Keith memutar badannya lalu berlari ke telepon umum
terdekat, di belakang gedung sekolah.
"Aku tak mengerti!" gumam Sandy dengan panik kepada Eva.
"Tadi semua beres-beres saja. Sungguh! Aku tidak mengerti apa
sebenarnya yang terjadi!"
Eva memelototinya. Sandy pura-pura mencekik Tania untuk
adegan video itu, dia ingat. Apakah Sandy kebablasan? Apakah dia
benar-benar membunuh Tania?
"Kenapa kau tidak ikut Keith?" kata Eva dingin.
"Tapi aku mau menunggui Tania!"
"Untuk apa?" tantang Eva. "Apa yang bisa kaulakukan
sekarang?" Sesaat Sandy menatapnya tajam. Kemudian dia berbalik dan
berlari pergi. Eva menghapus air matanya dan memegangi bahu Jeremy. Dia
tak tahan melihat wajah Tania lagi. "Jeremy," katanya lirih, "jangan
guncang-guncang dia terus. Keith sedang menelepon ambulans.
Mereka pasti bisa menyelamatkannya."
Jeremy tidak menjawab. Tapi akhirnya dia melepaskan bahu
Tania dan membaringkan gadis itu pelan-pelan.
Air mata membasahi bibir Eva lalu jatuh ke dagunya. Eva
mengambil napas dalam-dalam. Dadanya bergetar. Dia mencoba
memaksa Jeremy agar mau berdiri. "Ayo. Kita duduk di sini dan..."
"Tidak!" Jeremy menepiskan tangan Eva sambil melompat
berdiri. Matanya nanar dan liar. "Aku tak bisa duduk dan menunggu di
sini! Aku harus melakukan sesuatu!"
Eva mengulurkan tangan untuk meraihnya, tetapi dengan kasar
Jeremy menghindar lalu melompat menuruni undakan.
"Jeremy!" Eva mengejarnya dengan cemas. Dia histeris, batin
Eva. Pikirannya kacau. Jangan-jangan dia akan berbuat nekat.
"Jeremy!" Eva berteriak lagi. Dia melompat dari undakan ke
rumput lalu berlari menyeberangi lapangan.
Hujan turun semakin deras, membasahi rambut dan sweternya,
bercampur dengan air mata di wajahnya. Dari sudut matanya dia
melihat adik Keith berlari ke arah deretan bangku.
"Mana Keith?" teriak Mandy. "Ada apa, sih?"
"Kembali ke mobil dan tunggu di sana!" teriak Eva dengan
tajam. "Jangan bergerak seinci pun sampai Keith datang!"
Mata Mandy membelalak karena kaget mendengar nada bicara
Eva. Dia berbalik lalu lari kembali ke mobil dengan cepat.
Eva terus berlari, mencoba mengejar Jeremy. Tapi kaki Jeremy
yang panjang membawa pemuda itu menyeberangi lapangan dengan
cepat. Eva melihat Jeremy menghilang di balik deretan bangku di
seberang lapangan, lalu lenyap dari pandangan.
Dengan napas terengah-engah, Eva berlari di rumput yang
basah, lalu mendaki gundukan rendah. Tiba-tiba dia mendengar
lengking sirene. Eva berhenti. Ambulans dan polisi, pikirnya. Aku harus balik.
Aku harus ada di sana waktu mereka mengangkut Tania pergi.
Sambil mengusap matanya lagi, Eva berbalik dan mulai berlari
menyeberangi lapangan. Ketika itu dia melihat Keith dan Sandy
berlari ke arah deretan bangku dari arah lapangan parkir di belakang
sekolah. Dia menoleh dan melihat Jeremy pelan-pelan berjalan ke
arahnya dari deretan bangku sebelah sana. Dia pasti juga mendengar
bunyi sirene, batin Eva. Jeremy terus menunduk, tangannya dimasukkan ke dalam saku
celana jeans-nya. Air hujan menetes-netes dari rambutnya dan
membasahi kaus olahraganya. Dia tampak bingung dan linglung.
Eva berhenti dan menunggunya. Bersama-sama mereka
menyeberangi lapangan lalu menaiki undakan. Ketika mereka sampai
ke lorong di antara deretan bangku tempat Tania jatuh tadi, Eva
terbelalak kaget sekali. Kosong. "Mayatnya...," Eva tergagap, "... hilang!"
BAB 13 "WAH! Ini tidak mungkin!" Jeremy berkata dengan suara
tercekik. "Mana?mana dia?"
Keith menggeleng, tapi tidak menjawab. Sandy juga diam saja.
Ternganga dia memandang tempat Tania terbaring tadi, wajahnya
tampak shock. Eva merasa pusing lalu memejamkan mata. Ini tidak mungkin,
pikirnya. Seseorang pasti memindahkan Tania, tapi siapa?
"Mana mayat Tania?" ulang Jeremy.
"Aku... aku tidak tahu," Keith menjawab terbata-bata. "Aku...
tadi dia terbaring di situ waktu aku pergi. Aku baru saja balik! Mana
mungkin aku tahu apa yang terjadi?"
Mendengar langkah-langkah kaki di belakangnya, Eva
membuka mata dan menoleh.
Dua polisi, satu laki-laki satu perempuan, berjalan ke arah
mereka dengan wajah tegang. "Kami mendapat telepon tentang
kematian karena kecelakaan," si polwan berkata dengan serius.
"Ambulans sedang dalam perjalanan ke sini."
Dia memandang sekeliling. "Kalian ingin menunjukkan mayat
itu kepada kami?" Eva menelan ludah. "Kami tidak bisa," gumamnya, suaranya
bergetar. "Mak... maksudku, dia tak ada."
Polisi yang satunya mengerutkan dahi. "Sebaiknya kaujelaskan
kepada kami," katanya kepada Eva.
"Kami tidak bisa," ulang Eva.
Dahi polisi laki-laki itu semakin berkerut. "Kalian bercanda,
ya?" "Tidak!" teriak Eva. "Anda jangan sembarangan bicara. Tania
mati!" sembur Eva. "Kami tadi meletakkan mayatnya. Tepat di situ.
Kemudian Keith pergi untuk menelepon Anda, dan Sandy pergi
bersamanya. Jeremy lari dan aku..."
"Hei, hei, pelan-pelan," kata si polwan. Dia berpaling kepada
rekannya dan menyuruhnya membatalkan panggilan ambulans dan
memeriksa sekitar situ. Polisi laki-laki itu menuruni undakan di antara deretan bangku,
dia menelepon dengan ponsel.
Sandy dan Jeremy mengikutinya. Mereka berjalan ke tengah
lapangan, masing-masing pergi ke arah yang berbeda, mencari mayat
Tania. Polwan itu meneruskan menanyai Eva dan Keith. "Ceritakan
apa yang terjadi," perintahnya. "Tapi mulai dari awal."
Keith berdeham lalu bercerita tentang syuting video itu. Eva
tidak mendengarkan. Air mata mengalir deras ketika dia ingat betapa
pucatnya Tania tadi. Dia ingat bagaimana rambut pirang Tania
terburai-burai ketika Jeremy mengguncang-guncang tubuhnya.
Dia sudah mati, kata Eva dalam hati. Dan sekarang mayatnya
hilang. Kami meninggalkan dia terbaring sendirian dan sekarang
mayatnya lenyap! Eva mengambil napas dalam-dalam dan mengusap wajahnya.
Sambil begitu dia memandang ke atas. Leslie berdiri di deretan
bangku paling atas, memandang ke bawah. Angin meniup rambutnya
yang panjang, membuat wajahnya terlihat jelas oleh Eva.
Leslie sedang tersenyum. Arus dingin merambati punggung Eva. Arus dingin yang selalu
dirasakannya kalau dia mendapat firasat buruk.
Apakah Leslie tahu sesuatu? dia menduga-duga.
"Lihat!" teriak Eva menyela cerita Keith. Dia menunjuk ke atas,
ke arah Leslie. "Kalau ingin tahu apa yang terjadi pada Tania, coba
tanyai dia!" Ketika polwan itu memandang ke atas, Leslie menuruni deretan
bangku lewat pinggir. "Hei!" teriak si polwan.
Leslie berbalik lalu berlari ke ujung deretan bangku, sepatunya
berdetak-detak keras menginjak lantai semen,
"Hentikan dia!" teriak polwan itu.
BAB 14 POLWAN itu berlari, melompat ke tanah, lalu cepat mengejar
Leslie ke belakang deretan bangku. Eva mendengar dia berteriak
memanggil rekannya sambil berlari.
"Ngapain Leslie di atas sana?" tanya Keith. "Apa kaupikir dia?
" "Aku tidak tahu apa yang kupikirkan." Eva merasa badannya
bergetar hebat sampai giginya berkertak. Dengan terhuyung-huyung
dia duduk di deretan bangku terdekat. "Ekspresi Leslie aneh.
Senyumnya juga aneh."
Kedua polisi itu kembali. Leslie berjalan di antara mereka,
tampak sangat ketakutan. Jeremy menyusul di belakang mereka,
wajahnya kebingungan. "Kau harus menceritakan apa yang kaulihat kepada kami," kata
polwan itu kepada Leslie.
"Aku tidak melihat apa-apa!" kata Leslie.
"Kalau begitu, kenapa kau lari?" tanya rekannya.
"Karena aku takut," Leslie menjelaskan.
"Maksudku, aku kan kebetulan saja sedang berdiri di atas sana.
Kemudian, tiba-tiba Eva menunjuk-nunjuk aku. Lalu dua polisi
mengejar-ngejar aku, sepertinya aku ini penjahat!"
"Ngapain kau di atas tadi?" tanya Eva.
"Aku ingin melihat syuting video? Mengerti?" Wajah Leslie
memerah. "Aku sangat ingin melihatnya. Aku tahu aku tidak diajak
main, tapi aku ingin melihat." Dia mengangkat bahu. "Waktu aku
sampai di sini, aku hanya melihat orang-orang berlarian ke sana
kemari dengan panik."
"Kau tahu apa yang terjadi dengan mayat Tania?" tanya si
polwan. "Sudah kubilang, aku...," kata-kata Leslie terputus, matanya
terbelalak kaget. "Apa?" serunya tertahan. "Mayat Tania? Kalian ini
bicara apa, sih?" "Tania mati," kata Eva kepadanya. Dengan suara bergetar, Eva
menceritakan apa yang terjadi. "Kau yakin kau tidak melihat apa yang
terjadi padanya, Leslie?"
Dengan kaget Leslie menggeleng. "Sudah kubilang, aku hanya
melihat orang-orang lari ke sana kemari dengan panik. Aku tidak
melihat Tania." Apakah Leslie tidak bohong? Eva menebak-nebak.
Kelihatannya dia benar-benar shock mendengar bahwa Tania mati.
Tapi, bukankah dia ingin menjadi aktris?
Ketika kedua polisi itu bertanya lebih banyak lagi, Eva mulai
gemetaran. Hujan semakin deras, kini ditambah angin kencang.
Tapi, ini bukan gara-gara cuaca, pikir Eva.
Ada yang tidak beres, aku bisa merasakannya.
Dia memandang sekeliling. Leslie masih tampak shock. Begitu
pula Keith. Jeremy menunduk memandang lantai, wajahnya kosong
dan kebingungan. Semua bereaksi dengan benar, pikir Eva.
Tapi seseorang sedang berpura-pura.
Seseorang di sini berbohong.
Eva bergidik lagi. Firasat anehnya muncul lagi bila dia merasa
ada yang tidak beres.

Fear Street Siapa Pembunuh Ratu Pesta Tahunan Who Kill The Homecoming Queen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kali ini, firasat itu mengatakan bahwa seseorang berbohong.
Tapi siapa? pikirnya, lalu memandang berkeliling lagi. Siapa,
ya? Dan apa yang dia rahasiakan?
Langkah-langkah kaki berdetak-detak keras di lantai semen.
Tiba-tiba Sandy muncul. Rambutnya yang cokelat muda basah kuyup,
napasnya terengah-engah. "Ke mana saja kau?" tanya Jeremy.
"Mencari..." Sandy membungkuk dan mengambil napas dalamdalam. "Mencari Tania." Dia mengambil napas lagi, lebih lama,
kemudian menegakkan badannya sambil mengusap rambutnya.
"Kukira dia menunggu di mobilku, tapi..."
Kepala Jeremy langsung tegak. "Apa katamu?"
"Bagaimana mungkin dia bisa menunggu di mobilmu?" tanya
Keith. "Dia sudah mati, ingat?"
Sandy membuang muka, tampak salah tingkah.
Jeremy melangkah mendekatinya. "Kau tahu sesuatu, Sandy!
Katakan, apa? Apa yang kaututup-tutupi?"
"Kalau kau tahu sesuatu, cepat katakan kepada kami," polwan
itu memperingatkan. "Aku tak perlu mengatakan pada kalian bahwa
ini masalah serius. Kau bisa mendapat kesulitan kalau tidak mau
menceritakan semuanya kepada kami."
"Oke, oke, akan kuceritakan!" Sekali lagi Sandy mengelap
rambutnya dengan tangannya. "Rencananya tidak begini."
"Apa yang tidak begini?" desak Jeremy. "Kau bicara apa, sih?"
"Tadinya kami ingin bercanda. Tania dan aku merencanakan
ini," Sandy menjelaskan. "Idenya adalah, aku akan mencekiknya
untuk syuting video itu. Dia akan pura-pura mati, lalu aku tinggal
mengikutinya. Kami hanya ingin membuat kalian bingung. Kami
hanya bercanda." "Huh!" Eva mengembuskan napas keras-keras, kaget sekali.
"Kau dan Tania memutuskan bermain-main dalam filmku?"
teriak Keith. "Yeah, kami hanya bercanda," ulang Sandy.
Eva ternganga memandangnya. "Itu lelucon yang mengerikan,"
katanya. "Teganya kau dan Tania merencanakan lelucon yang
mengerikan!" "Lupakan itu. Mana dia?" tanya Jeremy. "Mana Tania?"
"Itu masalahnya," kata Sandy kepadanya. "Begini, setelah
semua orang panik, seharusnya Tania melompat berdiri dan berteriak
'kejutan!'" "Tapi dia tidak melompat berdiri dan tidak berteriak," Eva
mengingatkan Sandy. "Kecuali itu, tadi Jeremy langsung lari ke
bawah dan mengguncang-guncang bahunya. Dia pasti tahu kalau
Tania hanya pura-pura!"
Jeremy menggeleng. "Aku terlalu panik untuk mengecek
kondisinya dengan sungguh-sungguh," katanya. "Dia terbujur tak
bergerak. Benar-benar diam!"
"Memang?dan itu bagian dari rencana kami," Sandy
menjelaskan. "Kupikir dia benar-benar menikmati lelucon itu.
Maksudku, dia takkan melompat berdiri sebelum kalian semua
pontang-panting seperti orang gila."
Jeremy memelototinya. "Jadi, kapan kau mulai sadar bahwa ini
bukan lelucon?" "Ketika Tania menghilang. Itu bukan bagian dari rencana
kami." Sandy memandang sekelilingnya, mengharapkan Tania tibatiba muncul. "Tapi dia benar-benar menghilang! Aku tak tahu di mana
dia!" Eva memandang Sandy lekat-lekat. Apakah dia bohong? Aku
tidak tahu. Dia tampak bingung dan cemas, tetapi yang lain-lain juga.
Seseorang pasti berpura-pura, tapi siapa dia?
Dan apa yang terjadi pada Tania? Apakah dia benar-benar
sudah mati? "Ngomong-ngomong tentang adegan itu," kata polwan itu
kepada Sandy. "Adegan pencekikan di video itu?kau dan Tania
sudah berjanji akan pura-pura bahwa kau akan benar-benar
membunuhnya?" Sandy mengangguk. "Dia akan pura-pura mati. Kemudian aku
akan memeriksanya dan berteriak. Kami hanya ingin menakut-nakuti
mereka. Tapi?" "Oke, jadi kau memeriksa dia," kata polwan itu. "Apakah waktu
itu dia masih bernapas?"
"Ya." Sandv berhenti bicara, dahinya berkerut. "well"
"Well, apa?" desak Jeremy. "Dia masih bernapas atau tidak?"
"Aku pikir masih," jawab Sandy gugup.
"Bagaimana mungkin kau tidak tahu?" pekik Jeremy,
"Karena aku hanya pura-pura, aku tidak memeriksanya dengan
sungguh-sungguh." Sandy memejamkan mata. "Kupikir dia masih
bernapas, tapi... tapi sekarang aku tidak yakin."
"Kau sengaja membunuhnya!" tuduh Jeremy.
Mata Sandy terbelalak. "Kau sengaja membunuhnya!" ulang Jeremy. "Kau
mencekiknya! Kau membunuh saudaraku!"
Sandy mundur dengan kaget.
Jeremy melompat menerjangnya, memukulinya dengan
tinjunya. "Kau membunuh Tania!" teriaknya penuh amarah. "Kau
mencekiknya sampai mati! Kemudian pacarmu yang lain datang dan
menyingkirkan mayat itu, ya kan?"
"Pacarku yang..." Sandy hendak bicara.
Tapi kata-kata itu terhenti di leher ketika tangan Jeremy
menjepit lehernya dan mulai mencekiknya.
BAB 15 "HEI! Mundur?ccpat!" teriak polwan itu. Dia dan rekannya
mencengkeram Jeremy dan menariknya lepas dari Sandy. "Tenang.
Tenang!" "Lepaskan aku!" teriak Jeremy. "Dia membunuh Tania. Dia
membunuh Tania!" "Jeremy, stop!" Eva memohon. "Please!"
Keith dan Leslie juga berteriak kepadanya, tetapi Jeremy tidak
peduli. Dia begitu marah dan ingin membunuh Sandy, pikir Eva ngeri.
Tapi itu takkan menolong Tania. Itu tak ada gunanya.
Akhirnya, polisi itu menarik Jeremy ke salah satu deretan
bangku. Sandy terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi
lehernya. Napasnya tersengal-sengal.
"Sandy!" teriak Leslie. "Kau tidak apa-apa?" Dia berlari kepada
pemuda itu dan merangkulnya, menjaganya agar tidak jatuh. "Kau
bisa bernapas dengan lega? Kau bisa bicara?"
Sandy terbatuk-batuk. "Aku tidak apa-apa," katanya dengan
suara parau. Eva memandang Jeremy. Pemuda itu sudah berhenti melawan
polisi. Dia berdiri dengan tegang, napasnya memburu. Jeremy
mengepalkan dan membuka tinjunya berulang-ulang.
"Jeremy, kami mengerti kau marah dan sedih," kata polisi itu.
"Tapi kau harus menguasai dirimu dan mendengarkan kami." Dia
meletakkan tangannya di bahu Jeremy dan menekannya kuat-kuat.
Jeremy terduduk, tampangnya masih tegang.
"Menurut kami, saudaramu itu pergi entah ke mana," kata polisi
itu kepadanya. "Menurut kami dia tidak mati."
"Apa?" Jeremy menggeleng. "Aku tidak percaya. Anda tidak
melihat dia terbaring di sana tadi. Kecuali itu, apa Anda tidak dengar
apa yang dikatakan Sandy tadi? Dia tidak yakin apakah Tania masih
bernapas atau tidak waktu itu!"
"Kami sudah dengar semuanya," si polwan menukas. "Sekarang
dengar, mayat tidak bisa menghilang begitu saja. Semua ini berawal
dari keinginan bercanda, ya kan?"
Jeremy mengangguk. "Jadi, menghilangnya Tania mungkin juga begitu," lanjut
polwan itu. "Dia hanya bercanda."
"Tapi, bagaimana kalau tidak?" tanya Keith.
"Kalau tidak, kami akan menyelidikinya sampai tuntas," polwan
itu meyakinkannya. "Tapi, menurut kami ini hanya bercanda."
Mungkinkah polisi itu benar? Eva tidak yakin.
Polwan itu menepuk-nepuk punggung Jeremy. "Kalau ada yang
bercanda sampai kebablasan begini, orang pasti marah," katanya pada
Jeremy. "Yang penting, kalian harus berusaha tetap tenang."
Eva mengangkat matanya dan memandang Sandy. Pemuda itu
Zaman Edan 5 Warisan Jenderal Gak Hui Oey Liong Kiam Karya Chin Yung Panji Sakti ( Jit Goat Seng Sim Ki) 10

Cari Blog Ini